Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 34


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 34



Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja

   

   Biarlah perampok muda itu membujuk kawan-kawannya"

   "Apakah kita akan melepaskannya?"

   Bertanya Akuwu "jika ia lari, maka kami akan mendapat kesulitan untuk keluar dari daerah ini""Kita tidak akan melepaskannya"

   Jawab Mahisa Mahisa Bungalan "biarlah ia berbicara pada jarak ini"

   Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Kemudian iapun berkata kepada dua orang pengawalnya yang menjaga perampok muda itu di belakang jajaran para pengawalnya "Bawa anak itu kemari"

   Kedua pengawal itupun membawa anak muda itu kepada Akuwu Suwelatama. Kemudian Akuwu itupun berkata "Beritahukan kepada kawan-kawanmu dari tempat ini, apa yang sudah terjadi sebenarnya pada gerombolan-mu yang terperangkap di padukuhan itu"

   Perampok muda itu ragu-ragu. Namun ketika kedua pengawal itu membawanya ke dekat Akuwu Suwelatama, maka iapun tidak dapat berbuat lain.

   "Kawan-kawan"

   Teriak perampok muda itu "sebenarnyalah bahwa pemimpin kami telah tertangkap. Kawan-kawan kami sebagian telah tertawan pula, sementara ada beberapa diantara mereka yang terluka parah dan bahkan terbunuh"

   "Suruh mereka menyerah"

   Desis Akuwu.

   "Karena itu"

   Anak muda itu melanjutkan "menyerah sajalah. Mereka akan memperlakukan kita dengan baik"

   Para perampok itu terdiam sejenak.

   Agaknya mereka masih mencoba memperhatikan, siapakah yang sedang berbicara itu.

   Namun akhirnya, setelah mereka mengenalinya, orang tertua diantara mereka itupun berkata "Pengkhianat.

   Apa keuntunganmu membawa mereka kemari? Mereka akan mati, dan kau akan aku lempar hidup-hidup ke mulut buaya"

   "Aku tidak berkhianat"

   Jawab anak muda itu "Tetapi karena pemimpin kami menyerah, maka kami semuanyatelah menyerah.

   Karena itu, menyerah sajalah.

   Mereka terlalu kuat buat kita.

   Apa lagi jumlah kalian sedikit.

   Kami yang berjumlah lebih banyak pada waktu itu tidak dapat melawan mereka"

   "Jangan banyak berbicara. Kau akan mengalami nasib yang paling buruk dari para pengkhianat yang lain dan orang-orang yang datang untuk membunuh diri itu"

   Jawab seorang perampok yang datang berjambang panjang "Kau kira bahwa kau begitu mudah menipu kami he? Perampok muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil berpaling ia berkata "Mereka tidak mau mendengarkan lagi. Terserah kepada kalian"

   Akuwu Suwelatama maju selangkah dan berkata kepada para perampok "Baiklah.

   Jika kalian tidak mau menyerah, kami terpaksa mempergunakan kekerasan.

   Aku kira kekuatan kalian sama sekali tidak memadai.

   Karena itu, tugas kamipun akan segera dapat kami selesaikan.

   Yang menjadi persoalan adalah, jika ada diantara kalian atau kami yang terluka parah.

   Sementara kami berjalan membawa tubuh kami masing-masing, kami sudah mengalami kesulitan.

   Apalagi jika kami harus membawa orang-orang yang terluka"

   "Tidak ada yang terluka"

   Teriak orang tertua diantara para perampok itu "kalianlah yang akan kami tumpas habis"

   Akuwu Suwelatama tidak sabar lagi. Karena itu, maka iapun telah meneriakkan perintah "Bersiaplah"

   Para pengawalpun segera bersiap. Dua orang pengawal yang bertugas telah menarik perampok muda itu dan membawanya ke belakang garis pasukan para pengawal.

   "Aku terpaksa mengikatmu"

   Berkata pengawal itu."Jangan "

   Minta pemuda itu "Jika kalian mengikatku, maka yang akan membunuhku bukan dari antara kalian.

   Tetapi salah seorang kawan dari kawan-kawanku itu tentu akan menyelinap dan kemudian membunuh aku.

   Tetapi jika aku tidak terikat, mungkin aku sempal menyelamatkan diri"

   "Jangan membohongi kami"

   Bentak pengawal itu.

   "Aku berkata sebenarnya. Tetapi jika kalian terkeras, maka sebaiknya aku tetap kalian lindungi meskipun terikat"

   Berkata perampok muda itu.

   Kedua pengawal itu termangu-mangu.

   Namun akhirnya mereka berkeputusan untuk mengikat perampok muda itu agar pada saat-saat tertentu, jika keduanya lengah, ia tidak melarikan diri.

   Namun demikian, seperti yang diminta oleh perampok muda itu bahwa keduanya akan melindungi perampok muda itu dari kemungkinan pembalasan dendam kawan- kawannya, yang menganggap bahwa ia telah berkhianat.

   Dalam pada itu, maka Akuwu Suwelatama tidak mempunyai pilihan lain.

   Maka iapun segera menjatuhkan perintah, sehingga para pengawal itupun telah bergerak dengan senjata ditangan mendekati celah-celah batu padas berkapur itu.

   Sementara itu, para perampokpun telah bersiap pula menyambut kedatangan para pengawal itu dengan kemarah-an yang meluap.

   Demikianlah sejenak kemudian, kedua belah pihak itupun telah berbenturan.

   Pasukan pengawal dari Pakuwon Kabanaran berjumlah lebih banyak.

   Apalagi mereka memiliki kemampuan tempur lebih tinggi dari paraperampok yang hanya berbekal keberanian dan sedikit kemampuan bermain senjata.

   Karena itu, maka dalam waktu yang pendek, merekapun telah kehilangan kesempatan untuk mendesak lawannya yang berusaha untuk mengurung mereka pada celah-celah batu padas.

   "Mereka tentu menyembunyikan harta benda yang pernah mereka rampas di dalam barak di celah-celah batu padas itu"

   Berkata Akuwu Suwelatama di dalam hatinya.

   Sebenarnyalah, para perampok itu tidak banyak dapat bergerak.

   Mereka segera terdesak ke barak mereka.

   Bahkan seolah-olah mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat mempertahankan diri.

   Sebenarnyalah Akuwu Suwelatama benar-benar ingin menyelesaikan masalah itu dengan tuntas.

   Karena itu, maka iapun mendesak terus.

   Ia memaksa para perampok itu untuk menyerah dan menunjukkan sarangnya yang sebenarnya.

   Dalam pada itu, maka perampok itupun akhirnya merasa bahwa mereka memang tidak akan dapat melawan.

   Jika para pengawal itu berniat, maka mereka akan dapat membunuh mereka seorang demi seorang dan melemparkan mayat mereka ke dalam rawa-rawa seperti yang dikatakan oleh pemimpin para pengawal itu.

   Karena itu, maka tidak ada pilihan lain, bahwa mereka harus menyerah jika mereka tidak mati dan menjadi makanan buaya-buaya yang buas di dalam rawa-rawa.

   Demikianlah ketika mereka telah terdesak dan tidak mungkin untuk mengelakkan kematian jika pertempuran itu berlangsung terus, maka orang tertua itupun telah berteriak nyaring "Kami menyerah""Akuwu Suwelatama mendengar teriakan itu.

   Karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat kepada para pengawal untuk menghentikan pertempuran.

   Sebenarnyalah para pengawal itupun berusaha untuk menahan diri.

   Satu dua diantara mereka telah terluka.

   Tetapi diantara para perampokpun telah beberapa orang yang mengalirkan darah.

   Bahkan ada diantara mereka yang terluka parah.

   "Kalian menyerah?"akuwu Suwelatama menegaskan.

   "Ya. Kami menyerah"

   Jawab orang tertua sambil melemparkan senjatanya diikuti oleh kawan-kawannya.

   Para pengawalpun kemudian mendesak para perampok itu untuk berdiri berjajar menghadap ke batu karang berkapur itu.

   Beberapa orang pengawal menjaga mereka dengan senjata terhunus.

   Dalam pada itu, Akuwu Suwelatamapun memanggil orang tertua diantara mereka dan bertanya "Nah, jika kalian telah menyerah, maka kalian akan mengatakan apa saja yang ingin aku ketahui"

   Orang tertua itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia bertanya "Apa yang ingin kau ketahui?"

   Akuwu Suwelatama termangu-mangu sejenak. Kemudian bersama Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra, ia membawa orang tertua itu ke dalam barak mereka di celah-celah batu kapur itu.

   "Apakah tidak ada orang lain lagi?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Tidak ada"

   Jawab orang tertua itu.

   "Baik"

   Berkata Akuwu itu "kami akan membawa kalian ke Pakuwon. Kalian adalah tawanan kami""Ya. Kami mengerti"

   Jawab orang tertua itu.

   "Kalian telah mempersulit perjalanan kami. Ada beberapa orang-orangmu yang terluka. Sengaja atau tidak sengaja, senjata di dalam pertempuran kadang-kadang tidak dapat memilih arah"

   "Ya"

   Jawab orang tertua itu.

   "Tetapi, baiklah kalian tunjukkan, dimanakah kaian menyimpan barang-barang yang telah kalian kumpulkan selama kalian menjadi perampok"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Barang-barang apa?"

   Bertanya orang tertua itu.

   "Jangan mulai berpura-pura. Kau sudah menjawab segala pertanyaanku dengan baik. Tetapi kini kau mulai akan ingkar"

   Desak Akuwu Suwelatama.

   "Aku tidak ingkar. Tetapi aku memang tidak tahu. Aku kira selama aku berada di sini, kami tidak pernah menyimpan sesuatu"

   Berkata orang tertua itu.

   "Kau mulai ingkar"

   Berkata Akuwu "bawa perampok muda itu kemari"

   Perampok muda yang telah menunjukkan jalan ke sarang mereka itupun telah dibawa masuk pula. Demikian orang tertua itu melihat kawannya yang muda itu, maka wajahnya telah menjadi tegang.

   "Katakan"

   Desak Akuwu tanpa bertanya kepada anak muda itu. Orang tertua itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya iapun menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu. Yang aku ketahui adalah isi barak ini. Tidak lebih dan tidak kurang"

   Akuwu memperhatikan anak muda itu. Kemudian iapun bertanya "Kau dapat mengatakan yang sebenarnya""Ya. Memang ada harta benda yang disimpan. Tetapi tidak semua orang boleh tahu"

   Jawab anak muda itu. Ia nampak bersungguh-sungguh dan jujur.

   "Kau tidak mengetahuinya?"

   Bertanya Akuwu.

   "Tidak. Tetapi orang tua itu mengetahuinya"

   Jawab anak muda itu.

   "Tutup mulutmu"

   Bentak orang tua itu "Aku juga tidak tahu dimana barang-barang itu disimpan, jika memang ada barang-barang berharga itu"

   Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang tua itu sambil berkata "Kau sudah kehilangan akalmu. Jika demikian kenapa kau menyerah. Kenapa kau tidak bertempur saja sampai orang terakhir mati?"

   Orang tua itu tidak menjawab.

   Sementara itu Akuwu Suwelatama telah kehilangan kesabaran.

   Maka katanya "Dengar.

   Kami datang dari jarak yang jauh melalui jalan yang sangat sulit Karena itu.

   jangan mencoba mempermainkan kami.

   Kami mempunyai cara yuiu khusus untuk memaksamu berbicara"

   Wajah orang tua itu menjadi tegang. Namun Akuwu tidak menghiraukannya lagi. Dengan lantang ia berkata "jawab setiap pertanyaanku, atau aku akan memerasmu"

   Orang itu menjadi semakin tegang.

   Namun mulutnya bagaikan membeku.

   Sebenarnyalah ia merasa sangat bingung.

   Para perampok itu mempunyai paugeran tersendiri di dalam hidup mereka.

   Ketika Akuwu kemudian berdiri, dan memandang orang tua itu dengan mata yang menyala, maka orang itupun berkata dengan suara gemetar "Ki Sanak.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kami bersumpah, bahwa kami tidak akan membuka rahasia kami kepadasiapapun juga dalam keadaan apapun juga.

   Karena itu, kasihani aku"

   Kau dapat membatalkan sumpahnya untuk tujuan yang lebih baik Sumpahmu tidak akan mengutukmu"

   Bentak akuwu.

   "Tetapi aku takut"

   Desis orang itu.

   "Terserahlah kepadamu"

   Jawab Akuwu.

   "Mohon jangan paksa aku "

   Mohon orang itu. Akuwu menjadi semakin marah. Dengan lantang ia membentak "Aku akan memaksamu berbicara. Seorang demi seorang"

   Orang itu gemetar, tetapi mulutnya masih tetap terbungkam.

   Sementara itu, selagi Akuwu kehilangan kesabaran dan sudah siap memaksa orang itu berbicara, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di sebelah bukit karang berkapur itu.

   Semua orang terkejut karenanya.

   Rasa-rasanya tanahpun mulai berguncang.

   "Apa?"

   Bertanya Akuwu dengan serta merta. Tetapi orang tertua itupun merasa ngeri mendengar suara itu. Katanya "Aku belum pernah mendengarnya sebelumnya"

   "Prahara"

   Terdengar seseorang berteriak di luar barak yang terdapat dicelah-celah batu-batu padas berkapur itu.

   Akuwupun segera meloncat keluar.

   Sebenarnyalah ia melihat pepohonan hutan bagaikan diguncang oleh prahara.

   Tetapi tentu bukan prahara.

   Bukan pula badai dan angin pusaran, karena tidak seluruh hutan itu diguncang.Baru kemudian seorang diantara mereka berteriak "Ular raksasa itu"

   Sebenarnyalah, seekor ular raksasa lelah mengamuk. Ular raksasa yang mereka jumpai melintas jalan, berwarna hijau kecoklatan.

   "Ular itu"

   Yang lainpun berteriak.

   Para pengawal itupun menjadi ribut.

   Mereka menarik senjata masing-masing.

   Namun apakah arti pedang-pedang ditangan mereka.

   Ular raksasa itu akan mampu menyapu mereka dengan ekor dan membunuh mereka dengan racun yang disemburkan dari mulutnva.

   Suara itu semakin lama menjadi semakin jelas.

   Sementara itu, perampok yang tertua dengan pucat berdiri di belakang Akuwu Suwelatama "Ki Sanak"

   Desis perampok tertua itu "ular itu telah mencium darah.

   Menurut pendengaranku, bau darah membuatnya menjadi buas.

   Bukan hanya yang berwarna hijau itu saja, tetapi yang bertanduk itupun akan berbuat serupa.

   Mereka selama ini tidak pernah mengganggu kami meskipun kami sering berjumpa.

   Tetapi agaknya benar kata orang, bau darah dari antara kita yang terluka dipeperangan ini"

   Wajah Akuwu menjadi tegang.

   Setelah ia berhasil melakukan tugasnya yang hampir diselesaikan seluruhnya itu, tiba-tiba telah muncul sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungannya.

   Dan yang tidak termasuk dalam hitungannya itu, tidak akan mungkin dilawannya.

   Dalam pada itu, suara yang seperti badai itu menjadi semakin keras.

   Ketika mereka memperhatikan ular berwarna hijau yang semakin dekat itu, tiba-tiba yang bagaikan badai itu menjadi semakin keras.

   Pepohonan raksasa di hutan itupun terguncang semakin dahsyat.Tiba-tiba saja mereka melihat warna yang lain dalam Satu pergulatan.

   Baru kemudian mereka menyadari, dua ekor ular raksasa itu ternyata sedang bergulat.

   Ular raksasa yang berwarna nijau kecoklatan dengan ular raksasa yang bertanduk dan berwarna hitam kelam.

   Pergulatan antara dua ekor ular itu benar-benar merupakan peristiwa yang sangat dahsyat.

   Agaknya keduanya benar-benar menjadi liar dan buas ketika mereka mencium bau darah.

   Ketika ujung ekor ular yang hitam itu menyapu pepohonan di depan barak itu, terasa betapa sangat mengerikan.

   Beberapa batang pohon telah tumbang.

   Sementara itu, kepala kedua ekor ular itu bagaikan saling berbenturan, bergelut dan tubuh-tubuh mereka saling melilit.

   Suara yang terlontar dari mulut-mulut ular yang menganga itu melampaui suara badai di samudra yang paling garang.

   Dalam kecemasan itu, maka Akuwu berteriak "Kita mencari jalan keluar dari daerah maut ini"

   "Tidak ada jalan"

   Desis Mahisa Agni "sebentar lagi semuanya akan digilas sampai lumat "

   Mahisa Agni termangu-mangu.

   Dipandanginya batu- batu karang yang kokoh itu.

   Namun ia tidak segera menemukan tempat untuk bersembunyi.

   Namun demikian, mungkin mereka akan dapat berada di celah-celah batu karang itu.

   Memang tidak ada jalan keluar dari tempat itu.

   Akuwupun melihat betapa kedua ekor ular itu bertempur dengan dahsyatnya.

   Semakin lama semakin mendekat batu- batu karam berkapur itu."Jika kita mencoba untuk menyingkir, maka kita justru akan menjadi korban, Tetapi bukan berarti bahwa kita akan pasrah untuk disapu oleh tubuh kedua ekor ular raksasa yang sedang berkelahi itu.

   Mungkin batu-batu karang itu akan dapat memberikan perlindungan"

   Berkata Mahisa Agni.

   Untuk sesaat, para pengawal dan para perampok itu berdiri termangu-mangu.

   Senjata mereka tidak berarti apa- apa di hadapan dua ekor ular raksasa itu.

   Apalagi keduanya telah menjadi buas dan Uar karena telah mencium bau darah.

   Dalam pada itu, tiba-tiba orang tertua diantara para perampok itu berkata "Aku tahu sebuah lubang yang menghubungkan celah-celah batu karang itu dengan sebuah goa dibawah tanah"

   "Kau berkata sebenarnya?"

   Bertanya Akuwu.

   "Ya, Aku berkata sebenarnya. Tetapi dengan demikian aku sudah berkhianat terhadap pemimpinku"

   Jawab orang itu.

   "Pemimpinmu sudah aku tangkap"

   Bentak Akuwu "Cepat, tunjukkan lubang goa itu"

   Orang tertua itupun ragu-ragu sejenak. Namun pertempuran yang dahsyat itu menjadi semakin dekat. Tiba-tiba saja Akuwu menyambar lengan orang itu sambil berkata "Tunjukkan. Atau kaulah yang pertama- tama aku lemparkan ke tempat pertempuran itu"

   Iapun sebenarnya menjadi sangat ngeri melihat perkelahian itu.

   Karena itu, maka iapun telah membawa para pengawal yang diikuti oleh para perampok itu kebelakang barak yang terdapat dicelah-celah batu karangitu.

   Mereka mendapatkan sebuah batu karang yang besar tergolek diantara batu-batu karang yang lebih kecil.

   "Kita harus menyingkirkan batu itu"

   Berkata orang tertua itu.

   "Apakah batu itu merupakan pintu masuk ke dalam goa?"

   Bertanya Akuwu.

   "Ya"

   Jawab orang tua itu.

   "Cepat. Kita akan memindahkan batu itu. Para pengawalpun kemudian mencoba memindahkan batu yang besar itu. Tetapi batu itu hanya beringsut sedikit sekali.

   "Bagaimana pemimpinmu membuka pintu ini? Dengan tenaga gaib?"- bertanya Akuwu.

   "Tidak. Kita bersama-sama. Khususnya orang-orang vang sudah mendapat kepercayaan"

   Jawab orang tertua itu.

   "Demikian beratnya?"

   Desak Akuwu.

   "Ya. memang hanya sedikit demi sedikit. Kadang- kadang kita memerlukan waktu yang lama untuk membukanya. Orang-orang yang belum waktunya mengetahui rahasia itu, mendapat perintah untuk melakukan pekerjaan diluar lingkungan barak ini, sementara kami berusaha untuk membuka dan menyimpan barang-barang di dalamnya. Baru setelah pintu itu tertutup, maka orang-orang yang belum mendapat hak untuk mengetahui rahasia itu, boleh memasuki barak"

   Akuwu tidak menjawab lagi.

   Tetapi bersama-sama dengan para pengawal dan beberapa orang perampok mereka berusaha untuk membuka pintu itu.

   Namun seperti semula, pintu itu beringsut sedikit demi sedikit.Sementara itu, debu dan batu akikbat perkelahian dua ular raksasa itu telah memenuhi udara.

   Tanah dan batu- batu padas yang terlempar telah mengenai mereka.

   Bahkan kadang-kadang ekor salah satu dari kedua ekor ular raksasa yang bertempur itu bagaikan terayun diatas kepala mereka.

   "Cepat"

   Orang tertua itu mendesak.

   Tetapi tenaga mereka sangat terbatas.

   Mereka tidak dapat berebutan bersama-sama mendorong batu itu, karena tempat yang sempit.

   justru karena batu karang itu berada di celah-celah.

   Akhirnya Mahisa Agni tidak telaten, karena bahaya menjadi semakin dekat.

   Karena itu, maka katanya minggirlah.

   Biarlah aku dan Witantra membukanya.

   Witantra mengerutkan keningnya.

   Namun iapun mengerti bahwa ia harus mempergunakan kekuatan puncaknya.

   Akuwu tidak segera mengetahui maksud Mahisa Agni.

   Meskipun demikian, maka iapun kemudian memerintahkan orang-orang itu menepi.

   Demikianlah, Mahisa Agni dan Witantra berdiri tegak dihadapan sebongkah batu padas yang menyumbat goa itu.

   Sejenak mereka memusatkan segula kemampuan mereka.

   Dengan isyarat, maka Mahisa Agnipun kemudian memberikan aba-aba.

   Berbareng keduanya meloncat, dan berbareng keduanya menghantam batu padas itu.

   Batu padas itu bagaikan meledak.

   Ternyata kekuatan kedua orang itu mampu memecahkan sebongkah batu padas, meskipun batu padas itu menjadi debu.

   Tetapi hampir separo dari pintu goa itu telah terbuka."Masuklah"

   Berkata Mahisa Agni kemudian "meskipun dengan merangkak, kalian dapat bersembunyi di dalam goa, jika goa itu cukup besar memuat kalian"

   "Cukup"

   Berkata perampok yang tertua. Setelah masuk ke dalam beberapa puluh langkah, maka ada lubang yang turun ke dalam tanah. Dalam pada itu, bumi rasanya telah berguncang. Rasa-rasanya mereka yang berjejal-jejal berdiri dicelah-celah batu padas.

   "Cepat"

   Teriak Akuwu.

   Demikianlah seorang demi seorang, mereka merangkak memasuki lubang yang tidak terlalu besar itu.

   Lubang goa itu memang sempit.

   Para pengawal dan perampok itu telah berebut dahulu memasuki lubang itu.

   Mereka telah melupakan permusuhan yang baru saja mereka lakukan.

   Ternyata mereka yang memasuki goa itu memang masih harus merangkak untuk beberapa puluh langkah.

   Tetapi lubang itu semakin lama menjadi semakin besar, sehingga kemudian mereka dapat berdiri tegak.

   Dengan demikian maka mereka maju semakin cepat.

   Namun demikian rasa-rasanya orang-orang yang berada dibelakang masih melalu mendesak mereka untuk maju lebih cepat Yang berada dipaling depan adalah orang tertua diantara para perampok itu.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   la ternyata mengenal jalur goa itu dengan baiknya.

   Beberapa saat kemudian, mereka telah mencapai tangga dan dalam kegelapan mereka mulai merayap turun, keruang di bawah tanah yang luas.

   Di mulut goa masih saja para pengawal dan perampok yang tersisa berjejalan.

   Namun satu persatu mereka berhasil memasuki lubang itu.

   Yang terakhir dari mereka adalahAkuwu Suwelatama, Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahisa Agni.

   Hampir saja Mahisa Agni terlambat.

   Demikian ia hilang di lubang gua itu, maka ekor dari ular raksasa yang berwarna hitam lekam itu menyapu barak di celah-celah batu karang itu.

   Bahkan segumpal batu karang telah runtuh dan menutup lubang goa yang sempit itu.

   Namun lubang itu tidak tersumbat seluruhnya, sehingga dari dalam goa masih nampak cahaya udara diluar goa.

   "Hampir saja"

   Desis Witantra.

   "Hampir saja"

   Sahut Mahisa Agni "melawan ular raksasa itu, aku tidak akan sempat mempergunakan Aji Gundala Sasra.

   Ular itu bergerak terlalu cepat.

   Dalam pada itu, maka para perampok dan para pengawal itupun telah berada disebuah ruang yang besar di dalam tanah.

   Ada beberapa ruang yang tersekat oleh batu batu karang.

   Nampaknya goa itu tidak dibuat oleh tangan.

   Tetapi airlah yang telah memahat goa itu dalam waktu beratus-ratus tahun.

   Sementara itu, orang tertua dari para perampok itu telah membuat api dari batu thithikan dengan emput serabut aren.

   Kemudian dengan dibauri oleh sebangsa belereng, maka emput itu dapat menyala.

   "Ambil obor itu"

   Desis orang tertua itu.

   Seorang perampok telah mengambil obor yang tersedia.

   Kemudian obor itupun dinyalakannya, sehingga ruangan itu menjadi sedikit terang.

   Namun demikian obor itu, menyala, hampir semua orang yang berada di tempat itu terkejut.

   Ternyata di sebuah lubang tersendiri di dalam ruangan dibawah tanah itu nampak beberapa buah peti yang tertimbun rapi.Baik para pengawal, maupun para perampok yang belum pernah mendapat kesan apaiaiiuntuk memasuki ruangan itu segera mengetahui, banwa yang berada didalam peti-peti itu adalah harta benda yang sangat mahal nilainya.

   Namun dalam pada itu, orang-orang itu tidak sempat menyatakan keheranannya.

   Ruang itupun bagaikan telah diguncang oleh gempa beberapa kali.

   Sementara itu, desis yang keras telah mendebarkan jantung.

   Kedua ekor ular raksasa itupun masih saja bertempur dengan dahsyatnya.

   Pepohonanpun menjadi beserakkan.

   Batu-batu karang telah pecah sebongkah demi sebongkah dan terlempar kian kemari.

   "Jika bukit ini pecah, kita akan tertimbun disini"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   Mahisa Agni mengangguk.

   Katanya "Tetapi untuk memecahkan batu karang berkapur inipun tidak mudah.

   Betapa tinggi kekuatan kedua ekor ular raksasa itu, tetapi agaknya bukit karang ini tidak akan dengan mudah.

   Untuk beberapa saat orang-orang itu tidak sempat memikirkan peti-peti yang terdapat di sebuah lubang di- dalam goa itu.

   Merekapun tidak sempat memperbincangkan sikap mereka yang telah menyerah.

   Perhatian mereka sepenuhnya adalah pada gemuruh perkelahian yang mengerikan itu.

   Guncangan demi guncangan telah membuat mereka semakin tegang.

   Rasa-rasanya dinding- dinding goa dibawah tanah itu akan runtuh.

   Sementara itu, pertarungan antara dua ekor ular raksasa itu menjadi semakin sengit.

   Keduanya memiliki kelebihannya masing-masing.

   Meskipun ular berwarna hitam legam itu lebih besar dari ular yang berwarna hijau kecoklat-coklatan, tetapi ternyata kekuatan mereka tidak berselisih.Dalam pada itu, tiba-tiba saja orang tertua diantara para perampok itu berdesis "Tiga orang kawan kita terluka.

   Kita tidak sempat membawa mereka"

   Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Mereka membayangkan peristiwa yang sangat mengerikan telah terjadi. Mungkin mereka tergilas menjadi lumat. Tetapi mungkin pada kesempatan salah seekor ular raksasa itu telah mematuk mereka dan menelannya.

   "Tidak sempat"

   Desis seseorang kepada dirinya sendiri.

   Gemuruh itu masih juga belum mereda.

   Sementara itu, Mahisa Agni mulai memperhatikan keadaan di dalam goa itu.

   Ruang demi ruang diperhatikannya dengan seksama.

   Ketika ia mendapatkan lagi sebuah obor, maka obor itupun dinyatakannya pula.

   "Ruangan ini tidak menjadi penuh asap obor"

   Berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Lalu "Tentu ada lubang- lubang lain dari lubang yang satu itu. Mungkin lubang- lubang itu kecil, tetapi tidak hanya satu"

   Tetapi Mahisa Agni masih tetap diam. Namun demikian, agaknya Witantrapun sedang memperhatikannya pula. Dalam pada itu, untuk beberapa saat mereka masih mereda. Bahkan dinding goa dibawah tanah itu kadang- kadacg bergetar dan debupun berhamburan.

   "Apakah bukit karang kecil ini akan runtuh?"

   Desis seorang diantara para perampok itu.

   Orang tertua diantara mereka itupun menjadi tegang.

   Bagaimanapun ia bertahan untuk tidak membuka rahasia, namun akhirnya ia tidak dapat ingkar lagi, justru karena kedua ekor ular raksasa yang sedang bergulat itu.Ketegangar masih tetap mencengkam.

   Sementara Mahisa Agni dengan teliti memperhatikan keadaan goa itu.

   Selain pintu sempit tempat mereka masuk, tentu terdapat lubang-lubang lain yang menghubungkan ruang itu dengan udara diluar.

   Meskipun lemikian setiap kali Mahisa Agnipun telah menjadi berdebar-debar karena getar dinding goa.

   Jika goa itu runtuh, maka ruang dibawah tanah itu akan menjadi sebuah kuburan yang besar yang tidak akan pernah diketemukan orang.

   Dalam pada itu, selagi orang-orang di dalam goa itu dicengkam oleh kecemasan, maka telah terdengar suara lain dari gemuruhnya ular-ular raksasa yang sedang bertempur itu.

   Terdengar seolah-olah kuak seekor binatang yang sangat dahsyat.

   Kemudian terdengar deru yang sangat dahsyat.

   Sekali lagi goa itu bergetar.

   Namun yang mengguncangkan jantung mereka yang ada di dalamnya adalah perubahan suhu udara yang tiba-tiba.

   Dari beberapa arah.

   seakan-akan telah bertiup udara yang panas dan menyesakkan.

   Setiap orang di dalam gua itu menjadi semakin tegang.

   Mereka berdiri mematung.

   Ujung jari merekapun seakan- akan tidak dapat lagi mereka gerakkan.

   Sekali lagi terdengar kuak yang mengerikan.

   Keras sekali dan gemanya terdengar susul menyusul dari dalam goa itu.

   "Apalagi yang telah terjadi"

   Desis Akuwu. Yang terdengar kemudian adalah suara menguak yang berulang-ulang. Kemudian terdengar suara menderu di atas bukit karang itu.Beberapa bongkah batu padaspun berjatuhan. Tetapi ternyata bukit karang itu tidak runtuh.

   "Ular itu melintas dia tas bukit karang berkapur ini"

   Desis orang tertua diantara para perampok itu.

   "Hanya seekor"

   Berkata yang lain.

   "Pertempuran itu sudah selesai"

   Jawab orang tertua itu.

   "Apakah yang lain sudah mati?"

   Bertanya Akuwu.

   "Tidak"

   Jawab orang tertua itu "suara menguak yang dahsyat itu adalah suara ular yang berwarna merah dengan jamang ditelinganya, yang menurut dugaan kami adalah raja dari segala ular meskipun ular itu bukan ular yang terbesar.

   Kedua ekor ular yang sedang bertempur itu tentu sudah diusirnya"

   "Kedua ekor ular yang lain itu takut terhadap ular berkepala merah itu?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Ya. Dan kini agaknya telah terbukti"

   Jawab orang tertua itu "semula kami hanya mendengar dari beberapa ceritera, dan menduga-duga menilik sifat ular-ular itu. Udara panas itu tentu disebabkan oleh api yang memancar dari mulut ular berkepala merah itu"

   "Kalian pernah melihat api itu?"

   Bertanya Witantra.

   "Melihat belum. Tetapi kami pernah melihat bekas- bekasnya. Kami melihat bagian hutan yang menjadi kering akibat api yang tersembur dari mulut ular itu. Binatang- binatang hutan yang kebetulan berada di daerah itu menjadi kering"

   Berkata orang tertua itu. Mahisa Agni termangu-mangu. Orang-orang di dalam goa itu masih mendengar beberapa kali ular itu menguak. Namun kemudian sepi, setelah terdengar deru yang semakin lama menjadi semakin jauh."Mereka telah pergi"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Ya. Mereka telah pergi"

   Berkata orang tertua itu Dengan demikian, maka merekapun mulai menyadari tentang keadaan mereka.

   Diantara mereka terdapat para perampok dan para pengawal yang akan menangkap mereka.

   Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatamapun kemudian berkata lantang "Kita sudah terlepas dari amuk ular-ular raksasa itu.

   Tetapi kita masih tetap dalam keadaan kita.

   Para perampok lelah menyerah.

   Siapa yang berusaha untuk berbuat yang dapat mengganggu keadaan itu, akan kami tindak dengan tegas"

   Orang tertua diantara para perampok itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi para perampok itu memang tidak akan dapat berbuat apa-apa.

   "Berkumpullah"

   Perintah Akuwu Suwelatama. Para perampok itupun kemudian berkumpul. Dua pengawallah yang kemudian memegangi obor, sementara Mahisa Agni berkata "Kita akan melihat, apakah pintu itu masih tetap terbuka"

   Akuwupun kemudian memerintahkan dua orang pengawal untuk melihat, apakah mereka masih mungkin keluar dari mulut goa, yang mereka lalui ketika mereka merangkak masuk.

   Seperti ketika mereka masuk, maka kedua pengawal itu memang harus merangkak untuk mendekati mulut goa.

   Namun demikian mereka sampai ke mulut goa, ternyata mulut goa itu sudah tertutup rapat.

   Nampaknya mulut goa itu telah pecah dan justru karena itu, reruntuhan batu karang itupun telah menyumbat mulut goa."Sulit untuk keluar"

   Berkata salah seorang dari kedua pengawal itu.

   "Kita akan melapor. Mungkin kita memang harus mati di dalam goa ini"

   Sahut yang lain.

   Kedua orang pengawal itupun kemudian kembali ke tempat kawan-kawannya berkumpul.

   Mereka telah melaporkan bahwa mulut goa itu telah tersumbat oleh Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam.

   Namun kemudian katanya "Apakah reruntuhan itu tidak dapat disingkirkan?"

   "Kami tidak tahu, apakah cukup waktu untuk me iakukannya"

   Jawab pengawal itu. Akuwu itupun termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu maka Mahisa Agnipun berkata "Kita akan mencari jalan lain"

   "Aku tidak tahu, apakah ada jalan lain untuk keluar dari goa ini"

   Berkata orang tertua diantara para perampok itu.

   Beberapa orang menjadi tegang.

   Jika mereka tidak dapat keluar dari dalam goa itu, maka akan berarti satu bencana yang sangat dahsyat.

   Mereka akan mati perlahan-lahan di dalam goa itu.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mungkin karena mereka tidak akan dapat bernafas lagi.

   Mungkin kelaparan dan kehausan.

   Tetapi sementara orang-orang itu kecemasan, Mahisa Agni berkata "Aku kira ada lubang-lubang lain yang menghubungkan ruang ini dengan udara di luar.

   Api-api obor itu tetap menyala.

   Ruang ini tidak menjadi sesak dan penuh dengan asap obor itu"

   "Ya"

   Tiba-tiba saja Akuwu Suwelatama menyahut "kita tidak akan berputus asa""Aku melihat cahaya betapapun lemahnya "berkata Witantra sambil menunjuk pada sebuah lubang di dinding goa itu.

   Bersama Mahisa Agni keduanya mendekati lubang di langit-langit goa di bawah tanah itu.

   Ternyata mereka memang melihat cahaya yang meskipun sangat lemah, tetapi lebih terang dari kegelapan di dalam goa di bawah tanah itu.

   "Marilah kita lihat"

   Berkata Mahisa Agni. Witantrapun kemudian bersiap-siap. Mahisa Bungalan yang mendekat pula berkata "Aku akan memasuki lubang itu"

   Mahisa Bungalanpun kemudian naik ke pundak Mahisa Agni, sedangkan tangannya berpegangan pada bibir goa itu, maka iapun telah mengangkat kedua kakinya dan berusaha untuk memasuki lubang itu.

   "Tunggu di situ"

   Berkata Mahisa Agni.

   Witantra kemudian naik pula menyusul Mahisa Bungalan.

   Sementara itu, Mahisa Agni yang memanggil seorang pengawal untuk atas loncatannya, telah memasuki lubang itu pula.

   Bertiga mereka kemudian merangkak menyelusuri lubang itu yang semakin lama menjadi semakin sempit.

   Namun ternyata mereka menjadi semakin berpengharapan karena cahaya yang mereka lihat itu semakin lama menjadi semakin jelas.

   Namun akhirnya lubang itu menjadi sangat sempit.

   Meskipun demikian, Mahisa Bungalan berhasil menerobos lubang yang nampaknya memang tidak pernah dilalui oleh seseorang.Batu-batu karang yang runcing telah menghambat gerak mereka.

   Meskipun demikian, akhirnya mereka benar-benar melihat cahaya.

   Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun bergerak lebih cepat, meskipun ia bukan saja harus merangkak, tetapi bergeser maju sambil menelungkup di atas batu karang yang kadang-kadang terasa tajam.

   Akhirnya, Mahisa Bungalan itupun berhasil keluar dari sebuah lubang di wajah batu karang yang berseberang-an dengan celah-celah batu karang saat mereka masuk.

   Demikian ia keluar dari lubang itu, maka ternyata bahwa beberapa bagian tubuhnya telah berdarah oleh tajamnya batu-batu karang.

   "Kita masih berkesempatan untuk menghirup udara"

   Berkata Mahisa Bungalan, ketika kedua pamannya, itupun telah berada diluar pula. Namun dalam pada itu, maka merekapun sempat menyaksikan jejak ular raksasa yang melintas di atas batu karang berkapur itu.

   "Bukan main"

   Desis Mahisa Bungalan.

   "Apa yang terjadi di sebelah"

   Desis Witantra.

   Ketiga orang itupun kemudian memanjat naik ke puncak bukit karang kecil yang agak memanjang itu.

   Demikian mereka melihat bekas perkelahian antara kedua ular raksasa dan kehadiran ular ketiga itu, maka bulu-bulu tengkuk mereka telah meremang.

   Sebagian hutan telah menjadi berserakan.

   Namun yang lebih mengerikan adalah bekas api yang telah menjilat pepohonan yang agaknya memang sudah tumbang karena pertempuran yang sengit.Daun-daun telah menjadi abu dan pepohonanpun menjadi arang.

   Masih nampak asap mengepul dan bara yang menyala.

   "Bukan main"

   Desis Mahisa Agni "untunglah lubang itu terdapat di sisi yang lain dari baru karang ini. Jika lubang- lubang semacam itu terdapat disini sebelah menghadap arena pertempuran itu, maka semburan api itu akan dapat membakar udara di dalam goa itu"

   "Kami merasakan udara panas itu"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Tetapi tidak langsung"

   Jawab Witantra "dan beruntung pulalah bahwa lubang tempat kami masuk justru telah tersumbat"

   "Tetapi kita akan mendapat kesulitan jika kita ingin membawa harta benda hasil rampokan itu dan menyerahkannya sebagai kekayaan Pakuwon ini yang akan dipergunakan untuk kepentingan orang banyak"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Ya. Maksud itu tentu baik"

   Desis Witantra "Tetapi aku kira, selagi kita belum menemukan jalan yang lebih baik, setidak-tidaknya lubang tempat kita masuk, kita tidak akan dapat membawa peti-peti itu keluar"

   "Kita akan mencari jalan kemudian"

   Sahut Mahisa Agni pula "marilah, kita kembali kepada orang-orang yang mungkin menjadi bingung di ruang itu"

   Dengan hati-hati ketiga orang itupun kemudian turun pula di lereng sebelah.

   Ternyata yang mereka lihat, tidak hanya ada satu lubang yang menghubungkan udara di luar dengan ruang dibawah tanah.

   Mereka melihat lebih dari tiga buah lubang, termasuk lubang-lubang yang lebih kecilyang menyalurkan asap obor keluar dari ruang di bawah tanah itu.

   Dengan demikian, maka Mahisa Agni dan Witantra tidak cemas lagi, bahwa orang-orang yang berada dibawah tanah itu akan menjadi lemas kehabisan udara yang bersih.

   Dari lubang yang banyak jumlahnya itu, akan dapat mengalir udara yang segar.

   Meskipun di dalam goa itu gelap gulita.

   Namun kegelapan itupun dapat membuat udara rasa-rasanya menjadi sangat pengab.

   Dengan hati-hati, maka mereka yang berada di atas bukit karang itupun memasuki kembali lubang yang telah mereka lalui untuk merangkak keluar.

   Dalam pada itu, merekapun sadar, bahwa goresan-goresan karang yang runcing akan menjadi semakin banyak mengoyak kulit mereka sehingga darahpun akan mengembun pula dari luka-luka yang dangkal itu.

   Namun oleh keringat yang mengalir, luka-luka itupun terasa menjadi pedih.

   Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah memasuki lubang dibawah tanah tempat para pengawal dan para perampok berkumpul.

   Ternyata obor yang masih menyala tinggal sebuah, karena yang lain sudah kehabisan minyak.

   "Tidak ada obor lain?"

   Bertanya Mahisa Agni. Namun tiba-tiba orang tertua diantara para perampok itu berkata "Aku menyimpan biji jarak kering"

   "Dimana?"

   Bertanya Mahisa Agni.

   Orang tertua itupun kemudian mengambil biji jarak- kering dari sebuah bakul yang diletakkannya disudut goa itu.

   Beberapa diantara biji jarak itu sudah dirangkai dengan lidi.Sebelum obor kedua itu padam, maka orang tertua itu sudah menyalakan biji jarak yang dirangkai cukup panjang sebagai pengganti obor.

   Bahkan sekaligus tiga orang telah menyalakannya pula.

   Dalam pada itu, maka Mahisa Agnipun memberi tahukan kepada Akuwu Suwelatama bahwa mereka masih mungkin untuk keluar meskipun mereka tidak akan dapat membawa barang-barang hasil rampokan itu.

   "Baiklah"

   Berkata Akuwu Suwelatama "tetapi biarlah aku melihat, apa saja yang telan disimpan dibawah tanah ini"

   Diantar oleh orang tertua diantara para perampok itu, maka Akuwu Suwelatamapun melihat isi peti-peti yang tersusun rapi itu.

   Ternyata di dalamnya terdapat beberapa jenis perhiasan dari emas, perak dan permata.

   Balikan di sebuah peti yang terpisah terdapat beberapa buah pendok emas bertretes berlian.

   "Dimana kalian mendapatkan semua ini?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Kami tidak dapat mengingat lagi satu persatu"

   Berkata orang itu. Akuwu itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya "Baiklah. Biarlah barang-barang ini tetap berada disini"

   Tetapi dalam pada itu, selagi Akuwu akan meninggalkan barang-barang ini langkahnya tertegun.

   Ia melihat sebuah peti yang ditempatkan di tempat yang terpisah, di bayangi oleh sebongkah batu padas.

   Karena itu, maka Akuwu itupun segera mendekatinya.

   Ketika diluar sadarnya Akuwu berpaling kepada orang tertua diantara para perampok itu, ia melihat wajah orangitu menjadi tegang.

   Namun orang tua itu tidak akan dapat mencegah apa yang akan dilakukan oleh Akuwu Suwelatama.

   Dengan ragu-ragu Akuwu itupun kemudian mendekati peti itu.

   Perlahan-lahan ia menggapai tutup peti itu dan perlahan-lahan pula ia membukanya.

   Ketika peti itu terbuka, maka jantung Akuwu itupun menjadi berdebar-debar.

   Dalam cahaya obor yang lemah, Akuwu melihat dua buah patung yang berwarna ke kuning- kuningan tergolek di dalam peti itu.

   Palung yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi terbuat dari emas.

   "Dua buah patung"

   Desisnya. Mahisa Agni dan Witantrapun mendekatinya. Mereka pun kemudian mengambil patung itu dan mengamatinya.

   "Dari mana kau dapal barang ini?"

   Bertanya Akuwu "Jangan kau jawab bahwa kau sudah lupa. Untuk barang- barang yang khusus seperti ini, kau tentu tidak akan pernah lupa"

   "Bukan aku yang mendapatkannya"

   Jawab orang itu.

   "Kau memang pandai mengelak. Tetapi siapapun yang mendapatkannya, kau tentu tahu, darimana asalnya?"

   Desak Akuwu.

   Orang itu termangu-mangu sejenak.

   Namun agaknya memang tidak ada gunanya lagi untuk mengelakkan pertanyaan semacam itu.

   Karena itu, maka iapun menjawab "Aku tidak ikut pada waktu kami mendapatkan barang itu.

   Tetapi menurut pendengaranku, barang itu didapat pada sebuah iring-iringan kecil dari sebuah padepokan yang jauh menuju ke Kediri.

   Mereka akan mempersembahkan kedua patung itu kepada Raja di Kediri.

   Tetapi sepasang patung itu telah kami ambil.

   Dalampertempuran yang terjadi, maka kami telah membunuh semua orang yang mengawal patung itu, karena mereka telah mempertahankannya sampai orang terakhir"

   Wajah Akuwu itu menegang. Namun kemudian katanya "Baik. Aku akan membawa patung ini. Tetapi karena kita mengalami kesulitan untuk keluar, maka kita akan keluar dahulu. Baru kemudian mencari jalan untuk dapat membawa barang-barang ini keluar"

   Demikianlah, maka orang-orang yang berada di dalam goa itupun bersiap-siap untuk keluar.

   Tidak ada sepotong barangpun yang akan mereka bawa.

   Mereka akan sampai diluar lebih dahulu, baru kemudian mereka akan mencari jalan yang lebih baik untuk mengambil barang-barang yang ada di dalam lubang itu.

   Mungkin justru akan didapatkannya jalan yang lebih baik lagi.

   Karena itulah, maka akhirnya seorang demi seorang mereka telah meloncat ke lubang dilangit-langit itu untuk kemudian menyelusurinya.

   Akuwu dan beberapa orang pengawal berada dipaling depan.

   Kemudian beberapa orang perampok yang sudah menyerah itu.

   Diikuti oleh para pengawai lagi.

   Yang terakhir dari mereka adalah Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

   Beberapa saat lamanya mereka berdiri termangu-mangu di atas batu-batu karang berkapur itu.

   Akuwu Suwelatama masih saja tergetar hatinya melihat sisa-sisa dari pertempuran yang mengerikan itu.

   Seandainya mereka tidak segera berhasil bersembunyi di dalam lubang di bawah tanah di batu karang itu, maka merekapun tentu akan lumat disapu oleh tubuh ketiga ekor yang menjadi buas dan liar.

   Mungkin ular-ular itu tidak sengaja melakukannya.

   Tetapi mungkin pula ular-ular itu memang sedang berebut tubuh berdarah yang baunya telah membuat mereka gila.Dalam pada itu, maka merekapun kemudian dengan hati-hati menuruni tebing.

   Beberapa orang yang terluka berat yang tidak sempat dibawa masuk ke dalam goa telah lenyap.

   Mungkin mereka telah dipatuk oleh ular-ular yang menjadi buas, atau dengan tidak sengaja telah tersapu dalam pertempuran yang mengerikan itu.

   "Ada diantara kita yang masih berbau darah"

   Berkata Akuwu Suwelatama memperingatkan "meskipun tidak banyak, tetapi mungkin masih akan mengundang ular-ular itu lagi"

   Orang-orang yang mendengar keterangan itu menjadi termangu-mangu.

   Namun orang tertua diantara para perampok itu berkata "Ular yang berkepala mereka itu sudah turut campur.

   Mungkin mereka tidak akan kembali lagi.

   Kecuali ular berkepala merah itu sendiri.

   Tetapi nampaknya ular itu justru tidak begitu tertarik kepada bau darah jika ia datang, adalah karena kedua ekor ular yang lain itu telah berkelahi"

   Akuwu mengangguk-angguk. Orang tertua diantara para perampok itu telah lama berada di tempat yang sering dilalui oleh ular-ular raksasa itu, sehingga orang itupun tentu lebih mengenalinya daripada dirinya.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kita akan melihat-lihat, apakah kita akan dapat menemukan jalan yang lebih baik untuk mengambil barang- barang yang ada di dalam bukit karang itu "

   Berkata Akuwu Suwelatama.

   Mahisa Agni termangu-mangu.

   Lubang di celah-celah batu karang yang mereka pergunakan untuk merangkak masuk itu sudah tertimbun reruntuhan batu-batu karang.

   Lubang itu agaknya cukup besar untuk membawa beberapa buah peti yang terisi oleh barang-barang berharga hasil rampokan itu.

   Meskipun mereka harus merangkak, tetapimereka akan dapat membawanya sebagaimana para perampok itu telah membawanya masuk.

   Tetapi rasa-rasanya tidak mungkin lagi untuk membuka lubang itu.

   Betapa dahsyat kekuatan Mahisa Agni dan Witantra, namun kekuatan itu tidak akan dapat dipergunakannya untuk menyingkirkan reruntuhan oatu- batu padas yang tertimbun di mulut goa itu.

   "Apakah ular itu akan kembali?"

   Bertanya Akuwu.

   "Agaknya tidak"

   Jawab orang tertua "suara itu jauh sekali.

   Agaknya ular itu masih marah karena kedua ekor yang lain telah berkelahi.

   Akuwu mengangguk-angguk.

   Iapun sependapat, bahwa suara itu terdengar cukup jauh.

   Meskipun demikian, suara itu telah membuat setiap jantung berdebar-debar.

   Untuk beberapa saat lamanya Akuwu Suwelatama dan Mahisa Agni masih sibuk mencari kemungkinan untuk memasuki goa itu.

   Tetapi mereka tidak melihat kesempatan untuk berbuat demikian, satu-satunya jalan adalah jalan yang mereka lalui untuk keluar.

   Lewat jalan itu, mereka tidak akari dapat membawa apapun juga, karena untuk badan mereka sendiri dan selembar senjata, terasa sulit sekali.

   Di tempat terpisah Akuwu Suwelatama telah berbicara dengan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

   Ternyata mereka tidak mungkin untuk membawa barang- barang itu pada saat itu juga.

   Tetapi, apakah pada saat yang lain kita akan dapat melakukannya?"

   Bertanya Akuwu.

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Jawabnya "Tidak mudah untuk melakukannya.

   Di saat lain kita harus mengadakan kesempatan khusus untuk datang lagi ketempat itu.

   Mungkin kita akan bertemu lagi dengan ketiga ekor ular itu.

   Atau bertemu dengan kesulitan-kesulitan lain yang tidak kita duga"

   "Tetapi untuk membawa sekarang, juga tidak mungkin"

   Sahut Witantra "Kita tidak akan dapat mengambilnya dari goa itu"

   Akuwu termangu-mangu.

   Namun akhirnya Mahisa Bungalan berkata "kita tinggalkan barang-barang itu.

   Kita sudah tahu, bahwa barang-barang itu tersimpan di bukit kapur.

   Jika pada suatu saat ada kesempatan untuk mengambilnya, biarlah Akuwu mengambilnya bagi kesejahteraan Pakuwonnya.

   Uang yang dirampas dari tangan rakyat Pakuwon Kabanaran itu biarlah dipergunakan bagi rakyat Kabanaran.

   Tetapi apabila hal itu tidak mungkin, maka perampok di tempat ini telah dapat ditundukan sampai tuntas.

   Itu su dah merupakan hasil yang sangat besar.

   Sementara harta benda itu akan tinggal menjadi harta karun di dalam tanah di bawah bukit itu"

   Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Namun ia tidak dapat menunda-nunda lagi. Tiba-tiba saja me reka mendengar sekali lagi ular raksasa itu menguak Lebih keras dari semula.

   "Kedengarannya menjadi semakin dekat"

   Desis Akuwu "Kita tinggalkan tempat ini"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   Akuwu segera kembali kepada pengawal-pengawalnya yang menjaga para perampok yang tertawan.

   Katanya kemudian "Kita akan segera meninggalkan tempat ini.

   Biarlah harta benda itu tertimbun di dalam tanah.

   Itu lebih baik daripada kita akan hangus dibakar oleh hembusan api dari mulut ular raksasa itu""Ular agaknya menjadi semakin dekat"

   Berkata orang tertua diantara para perampok "mungkin perhitunganku keliru"

   Akuwupun segera mempersiapkan orang-orangnya.

   Sejenak kemudian merekapun telah siap untuk meninggalkan tempat yang mengerikan itu.

   Ketika mereka mendengar ular itu sekali lagi menguak, maka Akuwupun segera memerintahkan para pengawalnya membawa para perampok meninggalkan tempat itu.

   Mereka menelusuri jalan setapak yang semakin lama menjadi semakin basah.

   "Apakah jalan lewat air lebih mudah dari jalan lewat darat ini?"

   Bertanya Akuwu.

   "Ya"

   Jawab orang tertua diantara para perampok.

   "Apakah kita akan menempuh jalan air?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   Akuwu masih nampak berpikir.

   Agaknya ia masih belum dapat mempercayai orang itu sepenuhnya.

   Orang itu telah mencoba merahasiakan lubang di bawah bukit karang berkapur itu.

   Seandainya saat itu tidak ada dua ekor ular naga yang bertempur itu, mungkin orang tertua itu masih tetap ingkar.

   Meskipun demikian, Akuwu itupun bertanya Jika kita akan melalui jalan air di rawa-rawa itu, dimana kita akan turun?"

   "Sebentar lagi kita akan sampai"

   Jawab orang tertua itu "di sela-sela pepohonan air itu terdapat beberapa buah rakit. Sebagian besar dari rakit kita sedang dipergunakan oleh sekelompok yang besar yang pergi ke padukuhan""Sudah aku katakan"

   Jawab Akuwu "Mereka sudah kami tangkap"

   Orang tertua itu tidak menjawab lagi.

   Tetapi nampaknya ia memang membawa iring-iringan itu ke tempat yang dikatakannya.

   Dalam pada itu, sekali lagi terdengar kuak ular yang menjadi semakin keras.

   Agaknya ular yang berkepala merah itu benar-benar akan kembali ke bukit karang Mungkin masih tercium bau darah, atau ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan membuatnya marah.

   Namun orang tertua itu terkejut ketika ia melihat sesuatu di dalam air di rawa-rawa itu.

   Air yang biasanya tenang itupun nampak bergejolak.

   Seakan-akan telah terdapat pusaran air yang memutar isi rawa itu.

   Ketika sekali nampak gelombang yang besar beriak di wajah rawa itu, maka orang-orang yang berada di tepi rawa- rawa itupun melihat seekor ular raksasa berwarna hitam sedang menggeliat.

   Kemudian nampak warna merah mengambang di wajah rawa-rawa itu.

   "Ular itu"

   Geram orang tertua diantara para perampok. Orang-orang itupun segera melangkah surut. Namun sejenak kemudian muncullah kepala ular bertanduk itu ke atas permukaan.

   "Matilah kita sekarang"

   Desis orang tertua.

   "Cepat, menyingkir"

   Desis Mahisa Agni.

   Ternyata ular itu sedang sibuk dengan dirinya sendiri.

   Di kepalanya yang bertanduk atu sedang meleleh darah bercampur air lumpur.

   Agaknya ular itu masih sedang mengatasi perasaan sakit setelah bertempur melawan ular berwarna kehijau-hijauan itu.Karena itu, maka ular berwarna hitam kelam dan bertanduk di kepalanya itu sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berada di pinggir rawa-rawa itu.

   "Kita tidak dapat mengikuti jalan melalui air"

   Berkata orang tertua sambil dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.

   Iring-iringan itupun kemudian menelusuri jalan setapak, yang mereka lalui pada saat mereka pergi ke bukit karang itu.

   Mereka telah memutuskan untuk tidak mencoba melalui jalan air.

   Ular hitam yang kesakitan itu agaknya akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka.

   Pada saat-saat lain, ular itu memang tidak pernah mengganggu mereka.

   Sekali kepala ular itu muncul di sebelah pohon raksasa itu, memandangi iring-iringan rakit yang kebetulan lewat.

   Kemudian hilang lagi ke dalam air.

   Namun meskipun ular itu tidak dengan sengaja mengganggu mereka, tetapi dalam keadaan kesakitan itu, sentuhan tubuhnya akan dapat menghancurkan rakit-rakit yang lewat.

   Dengan tergesa-gesa iring-iringan itupun kemudian meninggalkan tempat itu semakin jauh.

   Mereka melalui hutan yang basah oleh air yang meluap dari rawa-rawa disebelah.

   Meskipun mereka tidak akan bertemu dengan ular bertanduk itu, namun merekapun harus berhati-hati terhadap ular-ular kecil yang berkeliaran di tempat yang basah.

   Ular air yang sebesar jaripun akan dapat membunuh mereka karena bisanya yang tajam.

   Beberapa saat kemudian, ternyata mereka tertegun sejenak ketika mereka melihat hutan yang rusak.

   Pepohonan yang tumbang malang melintang, menjulur panjang menuju ke ujung lain dari rawa-rawa itu.

   "Nampaknya ular hijau yang kesakitan itu"

   Desis orang tertua diantara para perampok itu.Sebenarnyalah ular yang berwarna hijau ke coklat- coklatan itupun telah berusaha untuk menyingkir.

   Namun oleh perasaan sakitnya, nampaknya ular itu telah merusak hutan yang dilaluinya.

   Dalam pada itu, terdengar sekali lagi ular berkepala merah itu menguak.

   Tidak terlalu dekat.

   Nampaknya ular itu berhenti disuatu tempat.

   Semakin lama iring-iringan itupun menjadi semakin jauh.

   Namun demikian, mereka terkejut ketika mereka melihat api yang menjilat ke udara.

   Meskipun agak jauh, namun darah mereka rasa-rasanya memang membeku di dalam jantung.

   "Kenapa ular itu marah lagi?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Entahlah"

   Jawab orang tertua itu "agaknya ia masih mencium bau darah, atau mungkin karena sebab yang lain"

   Tetapi orang-orang itu tidak menghiraukannya lagi.

   Mereka justru berjalan lebih cepat menyusup pepohonan.

   Orang tertua diantara para perampok itu, seperti juga anak muda yang bersama para pengawal sebagai penunjuk jalan ketika mereka datang, nampaknya telah mengenal jalan itu sebaik-baiknya.

   Dengan demikian, maka merekapun semakin lama menjadi semakin jauh dari bukit karang berkapur itu, sehingga merekapun menjadi semakin jauh pula dari ular- ular raksasa yang membuat mereka menjadi sangat ngeri.

   Ketika mereka kemudian berpapasan dengan seekor ular yang besarnya melampaui betis kaki, maka mereka sama sekali tidak terkejut.

   Ketika ular itu berhenti dan mengangkat kepalanya memandangi, orang-orang yanglewat itu, maka mereka tidak menghiraukannya.

   Karena ular sebesar betis sudah terlalu sering mereka jumpai.

   Meskipun demikian, justru ular-ular yang jauh lebih kecillah yang mendapat perhatian.

   Ular yang tidak segera dapat mereka lihat, bahkan mungkin akan dapat terinjak kaki di atas tanah basah berlumpur diantara semak-semak dan ilalang yang liar.

   Ternyata bahwa mereka tidak dapat berjalan terlalu jauh, karena malam segera mulai turun menyelimuti hutan berawa-rawa itu.

   Seperti ketika mereka berangkat, maka merekapun berusaha mencari tempat untuk beristirahat pada dahan pepohonan.

   Beberapa orang diantara para perampok yang sudah menyerah itu kadang-kadang telah diusik pula oleh satu keinginan untuk melarikan diri.

   Namun ternyata mereka tidak akan mendapat kesempatan.

   Mereka menyadari, bahwa para pengawal yang datang ke sarang mereka adalah para pengawal terpilih yang tidak dapat mereka anggap telah lengah pada saat-saat mereka beristirahat.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena itu, ketika fajar menyingsing, dan pasakan itu siap untuk melanjutkan perjalanan, tidak seorangpun diantara mereka yang kurang.

   Akhirnya, merekapun telah sampai ke padukuhan di sebelah rawa-rawa yang disebut Kedung Sertu.

   Mereka segera dikumpulkan dengan kawan-kawan mereka.

   De ngan demikian mereka tidak dapat lagi menganggap bahwa para pengawal, termasuk Akuwu Suwelatama itu hanya sekedar menipu mereka, dengan mengatakan bahwa pemimpin mereka telah tertangkap.

   "Temuilah mereka"

   Berkata Akuwu Suwelatama kepada para perampok yang dibawanya dari bukit karang berkapur itu.Orang tertua diantara para perampok itupun segera menemui pemimpinnya.

   Mereka sempat baling menceriterakan, bagaimana mereka dapat tertangkap oleh Akuwu Suwelatama.

   "Akuwu itu memang cerdik"

   Desis perampok itu.

   "Tetapi kami hampir saja dibinasakan oleh ular-ular raksasa itu"

   Berkata orang tertua diantara jpara perampok yang tinggal "karena itu, aku tidak dapat merahasiakan lagi lubang yang memasuki goa dibawah tanah itu. Wajah pemimpin perampok itu menjadi merah. Katanya "Kau sudah berkhianat"

   "Tidak"

   Jawab orang tertua itu "Aku tidak mempunyai pilihan lain. Jika pada waktu itu kami tidak memasuki lubang itu, maka kami akan dilumatkan oleh pertarungan antara ular-ular raksasa itu.

   "Dan kau sempat membuka penutup lubang itu? Bukankah untuk membuka bongkahan batu sumbat itu diperlukan waktu?"

   Bertanya pemimpin perampok itu.

   "Itulah yang mendebarkan jantung"

   Berkata orang tertua diantara para perampok yang menunggui sarangnya "dua orang diantara para pengawal Itu ternyata memiliki ilmu iblis. Mereka dapat memecah batu penyumbat itu dengan tangannya"

   "jangan mengigau? Apakah kau sudah menjadi gila karena kau melihat ular itu bertempur?"

   Geram pemimpinnya.

   "Sebaiknya kau melihat sendiri. Ia akan dapat memecahkan kepala seseorang dengan sentuhan tangannya. Tidak usah dengan mengerahkan segenap kemampuannya"

   Berkata orang tertua itu."Tetapi ia tidak melakukannya. Ketika kami bertempur, tidak seorangpun yang kepalanya pecah. Yang terbunuh, adalah karena dadanya koyak oleh pedang, atau. lambungnya robek oleh ujung tombak"

   Berkata pemimpin perampok itu.

   "Nampaknya orang itu tidak ingin berbuat demikian. Ketika kami bertempur, orang itupun tidak menunjukkan kelebihannya itu. Tetapi dalam keadaan memaksa,, maka dua diantara mereka telah memecahkan batu padas yang menyumbat lubang goa itu"

   Sahut orang tertua itu "dengan demikian kami dapat menyelamatkan diri dari kepunahan. Tetapi dengan demikian orang-orang itu melihat isi goa dibawah tanah itu"

   "Apakah mereka membawanya?"

   Bertanya pemimpin perampok itu. Orang tertua itu dapat menceriterakan segala sesuatunya yang terjadi, sehingga semua barang-barang masih tetap berada di dalam goa.

   "Entahlah, jika ular berkepala merah itu akan menghancurkan batu karang itu. Ketika kami pergi, ular itu telah marah lagi tanpa sebab"

   Berkata orang tertua itu.

   Pemimpin perampok itu mengangguk-angguk.

   Memang tidak dapat diingkari, bahwa orang tertua itu, tidak mempunyai pilihan lain.

   Namun dalam pada itu, pemimpin perampok itu merasa agak lega dan masih berpengharapan, bahwa pada suatu saat ia akan dapat kembali ke bukit karang berkapur itu untuk mengambil barang-barang yang disimpannya.

   Meskipun ia tidak mempunyai gambaran, hagaimana ia akan mengambil barang-barang itu dari bawah bukit karang itu.Apalagi jika ketiga ekor ular raksasa itu masih saja berkeliaran disekitar bukit itu atau di rawa-rawa disebelah bukit.

   Bagaimana juga, ular-ular raksasa itu memang harus diperhitungkan, karena ular-ular itu akan dapat berbuat banyak terhadap siapapun juga yang mendekati bukit karang itu.

   Tetapi selain ular-ular raksasa itu, maka pemimpin perampok itupun harus berfikir, sampai kapan ia akan berada di tangan Akuwu Suwelatama.

   Bahkan mungkin ia tidak akan pernah dilepaskan lagi, atau bahkan demikian mereka berada di Pakuwon Kabanaran, para perampok itu akan digantung di alun-alun.

   Namun menilik sifat beberapa orang pemimpin dalam pasukan para pengawal itu, pemimpin perampok itu masih mempunyai harapan untuk hidup dan menikmati kekayaan yang berlimpah-limpah yang disembunyikannya dibawah bukit.

   Tetapi kecemasan lain mulai membayang.

   Jika ada satu dua orang yang telah mendapat kepercayaannya memasuki goa itu ternyata kemudian mendapatkan kebebasannya lebih dahulu, maka orang itulah yang akan mengambil harta benda yang tidak ternilai harganya itu.

   Dengan demikian, maka dalam keadaannya itu, pemimpin perampok itu dibayangi oleh berbagai macam bayangan yang muram.

   Bahkan ia mulai membayangkan, bagaimana ia akan saling memburu dengan kawan- kawannya beberapa tahun mendatang Mungkin sekali, kawanan perampok itu akan justru saling menyingkirkan kawan-kawannya.

   Saling memburu dan saling membunuh"

   "Persetan"

   Pemimpin perampok itu menggeram "itu akan terjadi beberapa tahun mendatang. Sekarang akumenghadapi hukuman yang berat karena perbuatanku itu. Bahkan mungkin hukuman mati"

   Dalam pada itu, untuk beberapa hari mereka masih tetap berada di Padukuhan disekitar Kedung Sertu.

   Namun sementara itu Akuwu telah menyiapkan para pengawalnya untuk membawa tawanan mereka kembali ke Pakuwon.

   Tidak mudah untuk menggiring para perampok yang jumlahnya cukup banyak itu.

   Meskipun mereka sudah menyerah dan tidak bersenjata, tetapi dalam keadaan yang khusus, mungkin sekali mereka akan melarikan diri.

   Tetapi Akuwu tidak mau mengalami kesulitan seperti itu diperjalanan yang panjang.

   Jumlah yang terlalu banyak dan dendam yang mungkin masih bergejolak di dalam dada para perampok yang tertangkap itu.

   Karena itu, maka Akuwu telah mengambil keputusan, untuk memanggil sepasiikan pengawal lagi dari Pakuwon Kabanaran, sehingga akan terdapat cukup banyak pengawal yang akan membawa para perampok yang jumlahnya lebih besar dari pengawal yang ada itu.

   Demikianlah, Akuwu telah menugaskan tiga orang pengawal untuk pergi ke Pakuwon.

   Dengan kuda-kuda yang cukup tegar mereka berpacu menuju ke Pakuwon Kabanaran.

   Para Senopati yang memimpin pemerintahan selama Akuwu tidak ada, telah mendapat laporan dari ketiga orang pengawal itu.

   Karena itu, maka merekapun segera menyiapkan sepasukan pengawal untuk menjemput Akuwu Suwelatama.

   Meskipun demikian, para Senopati itu tidak mengabaikan peristiwa yang belum lama telah menimpa Pakuwon Kabanaran.

   Ketika pasukan beberapa orang Pangeran telah melanda Pakuwon itu seperti banjir,sehingga Akuwu Suwelatama terpaksa menyingkir untuk beberapa saat.

   Jika saat itu pasukan pengawal dari Kedung Sertu masih belum dapat meninggalkan tugasnya, maka para pengawal itu tidak dapat ikut mempertahankan Pakuwonnya.

   "Para Pangeran itu untuk beberapa saat tidak akan berbuat apa-apa"

   Berkata salah seorang Senopati yang ikut mempertahankan kota Pakuwon pada waktu itu.

   "Tetapi mungkin sekali mereka mempunyai perhitungan lain"

   Jawab kawannya "justru merekapun, sadar, bahwa kita menganggap mereka tidak akan kembali dalam waktu singkat"

   "Memang perhitungan itu mungkin sekali"

   Jawab Senopati yang pertama "Tetapi mereka tidak sempat untuk mengumpulkan pasukan yang cukup.

   Beberapa orang terpenting diantara mereka telah terbunuh.

   Bahkan salah seorang yang paling diharapkan untuk ikut serta dalam gerakan mereka, ternyata telah berpihak kepada Akuwu Suwelatama"

   Namun dalam pada itu, seorang Senopati yang h tua berkata "Memang kemungkinan bagi para Pangei.

   itu untuk melakukan gerakan yang besar seperti yang pernah dilakukan adalah kecil sekali.

   Meskipun demikian, apa salahnya kita berhati-hati.

   Kadang-kadang kita memang dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak terduga-duga.

   Memang mungkin para Pangeran itu dapat menghimpun orang-orang yang kurang mengetahui persoalannya dari padepokan-padepokan.

   Sementara mereka mendapat pengetahuan dan ilmu olah kanuragan dari para pemimpin, padepokan itu.

   Namun kemungkinan yang demikian memang kecil sekali"Para Senopati itupun mengangguk-angguk.

   Mereka mengerti, bahwa mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan dari pihak manapun juga.

   Demikianlah, setelah diperhitungkan dengan saksama, maka dibawah pimpinan seorang Senopati, sepasukan pengawal telah meninggalkan kota Pakuwon menuju ke daerah berawa-rawa di Kedung Sertu.

   Perjalanan itu sendiri bukannya perjalanan yang sulit.

   Tidak ada hambatan apapun diperjalanan.

   Memang agak berbeda dengan perjalanan dari padukuhan disekitar rawa- rawa di Kedung Sertu itu menuju ke bukit karang berkapur sarang para perampok itu.

   Dibanding dengan perjalanan menuju ke bukit karang, maka perjalanan para pengawal dari Pakuwon Kabanaran itu tidak imbang sama sekali.

   Perjalanan dari kota Pakuwon itu bagaikan perjalanan tamasya yang mengasyikkan.

   Meskipun demikian, ketika para pengawal yang menjemput mereka menceriterakan pengalamannya ke sarang para perampok itu, maka kawan-kawannya sulit dapat membayangkannya.

   Bahkan mereka menganggap kawannya itu sedang bergurau atau membual.

   Tetapi ketika para pengawal di bawah Seorang Senopati itu sampai ke padukuhan di daerah Kedung Sertu, maka setiap orang pengawal yang pernah mengikuti sergapan yang mengerikan ke sarang perampok di bukit karang berkapur itu telah menceriterakan hal yang serupa.

   "Jadi hal itu benar-benar telah terjadi?"

   Bertanya seorang pengawal.

   "Kau kira aku berbohong?"

   Desis kawannya yang ikut memasuki sarang perampok itu."Jadi ular-ular raksasa itu benar-benar ada?"

   Bertanya pengawal itu.

   "Ya. Dan mereka benar-benar bertempur diantara mereka"

   Jawab kawannya "Jadi selama ini kau anggap kami sekedar membual"

   "Aku kira demikian"

   Jawab pengawal itu "Tetapi aku dengar Akuwupun mengatakannya pula. Bahkan Mahisa Bungalan juga berceritera tentang ular-ular raksasa itu"

   "Anak setan"

   Geram pengawal yang ikut memasuki sarang perampok itu "selama ini kau anggap kami berbohong atau sekedar mengungkapkan sebuah dongeng menjelang tidur"

   Pengawal itu tertawa "Aku minta maaf. Tetapi dengan demikian maka kalian telah melakukan satu tugas yang mengerikan"

   "Ya. Pada saatnya akan datang giliranmu"

   Berkata kawannya pula.

   "Tidak. Lebih baik aku tidak mendapat tugas memasuki daerah neraka berawa-rawa itu"

   Jawabnya.

   "Pada suatu saat, Akuwu tentu akan kembali ke tempat itu. Di dalam goa, dibawah bukit karang berkapur itu terdapat harta benda yang tidak ternilai harganya. Harta benda yang telah dikumpulkan oleh para perampok itu bertahun-tahun lamanya. Barang-barang yang terbuat dari emas dengan permata intan berlian. Pendok, timang dan bahkan terdapat sepasang patung emas murni"

   "Dari mana kau tahu bahwa patung itu terbuat dari emas murni?"

   Bertanya kawannya."Nampaknya memang demikian"

   Jawab pengawal yang ikut serta memasuki sarang perampok itu "Tetapi aku tidak tahu, apakah benar patung itu terbuat dari emas murni"

   Kawannya menarik nafas dalam-dalam.

   Namun ia mulai membayangkan, bahwa memang mungkin pada suatu saat, ia akan ditunjuk untuk ikut serta memasuki neraka yang mengerikan itu.

   Ia tidak akan gentar menghadapi sepasukan prajurit pilihan.

   Namun menghadapi ular-ular naga raksasa itu, tentu tengkuknya akan meremang.

   Ular hitam legam bertanduk seperti seekor kerbau.

   Ular berwarna hijau kecokiat-sokiatan dan seekor lagi berwarna merah membara dengan jamang dan sumping di telinganya dan api yang menyembur dari mulutnya.

   Tetapi jika perintah itu benar-benar datang kepadanya, maka ia tidak akan mengelak.

   Apalagi Akuwu sendiri ikut pula dalam pasukan yang bakal disusun untuk kepentingan tersebut.

   Dalam pada itu, maka ketika pasukan pengawal itu telah berada di padukuhan tempat para perampok itu ditahan, maka Akuwu segera menyusun pasukannya.

   Dengan teliti ia memperhitungkan keadaan.

   Mereka harus kembali sampai ke kota Pakuwon dengan utuh.

   Juga para tawanan itu harus mereka bawa seluruhnya tanpa seorangpun yang dapat melepaskan diri.

   Jika seorang saja diantara mereka terlepas, maka orang itu tentu akan berusaha untuk kembali ke arangnya dan menemukan kembali harta benda yang tersimpan"

   Berkata Akuwu "sedangkan harta benda itu akan sangat penting artinya bagi rakyat Pakuwon Kabanaran.

   Dengan harta benda yang tidak ternilai jumlahnya itu akan dapat dibangun kepentingan rakyat Pakuwon Kabanaran.

   Tetapi jika harta benda itu jatuh kembali ketangan para perampok,mala harta benda itu tidak akan mempunyai nilai dan tidak mempunyai arti sama sekali bagi rakyat Pakuwon ini"

   Dengan demikian, maka segala sesuatunya memang harus diperhitungkan dengan cermat.

   Sementara itu, Akuwu dan para pengawalpun mengetahui, bahwa para perampok itu sudah terbiasa hidup dalam tantangan keadaan yang sangat berat, sehingga mereka akan dapat berbuat sesuatu yang tidak diduga sama sekali.

   Setelah segelanya dipersiapkan sebaik-baiknya, maka Akuwu Suwelatama itupun telah minta diri kepada rakyat di padukuhan disekitar Kedung Sertu.

   Sementara rakyat di daerah itupun mengucapkan terima kasih atas hasil yang lelah dicapai oleh Akuwu serta para pengawalnya di daerah itu.

   Dengan demikian maka mereka akan dapat hidup dengan tenang, tanpa gangguan dari para perampok yang untuk waktu yang cukup lama telah membayangi ketenangan hidup rakyat di daerah disekitar Kedung Sertu.

   Bahkan sampai ke padukuhan-padukuhan yang agak jauh.

   Seperti yang pernah dilakukan oleh rakyat di daerah Kedung Sertu, mereka mengadakan keramaian yang meriah, jika beberapa saat yang lalu hal itu dilakukan untuk memancing para perampok agar menganggap bahwa para pengawal telah meninggalkan padukuhan-padukuhan itu, maka yang diselenggarakan kemudian itu benar-benar tumbuh dari satu ungkapan terima kasih terhadap Akuwu Suwelatama dengan para pengawal yang telah membebaskan mereka dari ketakutan dan kegelisahan.

   Pemimpin perampok itu mengumpat di dalam hati.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan wajah membara ia mengumpat-umpat di dalam bilik tahanannya ketika ia mendengar keramaian di padukuhan itu."Aku terjebak oleh suasana seperti ini"

   Geram pemimpin perampok itu "Jika saat itu aku menyadari , aku tidak akan dikurung di dalam bilik pengab seperti ini"

   Tetapi segalanya telah terjadi.

   Dan pemimpin perampok itu tidak dapat mengingkari kenyataan itu.

   Dengan demikian, maka para perampok itu, termasuk pemimpinnya tidak dapat mengelak, ketika di hari berikutnya, mereka di giring oleh para pengawal menuju ke kota Pakuwon Kabanaran.

   Karena mereka tidak berkuda, maka perjalanan mereka itupun menjadi bertambah panjang.

   Namun demikian mereka memasuki kota Pakuwon, maka rakyat telah menyambut kedatangan para pengawal dengan meriah.

   Mereka berdiri memagari jalan menuju ke istana Akuwu Suwelatama.

   Sambil bersorak-sorak mereka mengangkat tangan mereka melihat hasil yang gemilang dari tugas yang berat yang dipimpin oleh Akuwu suwelatama sendiri.

   Sementara itu, para perampok yang merasa dirinya menjadi tontonan itu telah mengumpat-umpat.

   Bukan saja di dalam hati, tetapi ada diantara mereka yang tidak dapat, menahan hati sehingga kemarahannya telah meledak.

   "Jika saja tanganku tidak terikat"

   Geramnya. Kawannya yang berjalan disampingnya memandanginya. Tetapi ia tidak berkata apapun juga, meskipun di dalam hati ia bertanya "ketika kita menyerah, bukankah tangan kami juga belum terikat?"

   Demikianlah, maka satu tugas yang berat telah terselesaikan.

   Akuwu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa yang telah banyak memberikan bantuan, pikiran dan kemampuannya adalah Mahisa Bungalan, Mahisa Agnidan Witantra, Karena itu, maka secara khusus Akuwu pun telah menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka.

   Namun dalam pada itu, Akuwu itupun berkata "Masih afda satu tugas yang sama beratnya.

   Menyelesaikan persoalan yang serupa di hutan perbatasan"

   "Ya. Tetapi aku kira kekuatan Pakuwon ini telah terkumpul. Semua kekuatan akan dapat dipusatkan di hutan perbatasan"

   Jawab Mahisa Bungalan "sementara itu, agaknya Pangeran Indrasunu masih belum mungkin untuk bergerak"

   "Aku kira memang demikian"

   Sahut Akuwu "tentu kami tidak akan dapat menahan kalian terlalu lama disini.

   Tetapi apa yang pernah kita lakukan di Kedung Sertu akan merupakan pelajaran yang sangat berharga.

   Meskipun mungkin para perampok di hutan perbatasan itu sudah mendengar pula tentang apa yang terjadi, sehingga mereka akan lebih berhati-hati"

   "Mungkin demikian"

   Berkata Mahisa Agni "mungkin mereka tidak akan dapat terpancing lagi dengan cara yang kita lakukan di Kedung Sertu"

   "Harus dicari cara yang lain"

   Sambung Witantra "Tetapi aku yakin, Akuwu tidak akan kekurangan akal. Meskipun di hutan perbatasan itu Akuwu akan bersentuhan dengan Pakuwon tetangga"

   "Ya. Aku memang harus memperhitungkan kemungkinan itu"

   Berkata Akuwu Suwelatama.

   Karena itulah, maka Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra telah menganggap bantuan yang mereka berikan telah cukup.

   Mereka akan menyerahkan penyelesaian masalah para perampok di hutan perbatasan kepada Akuwu Suwelatama yang kekuatan para pengawalnya telah dapatdikumpulkan.

   Pengawalnya yang berada di daerah-daerah yang tersebar telah dapat ditarik, selain pasukan yang berada di hutan perbatasan itu sendiri, sehingga apabila diperlukan, maka seluruh kekuatan pasukan pengawal Pakuwon Kabanaran akan dapat berada di hutan perbatasan.

   Tetapi ada kesulitan tersendiri di hutan perbatasan itu.

   Sarang para perampok tidak berada di tlatah Pakuwon Kabanaran itu sendiri, sehingga apabila mereka ingin langsung memasuki sarang para perampok, maka mereka harus memasuki daerah tetangga.

   Hal itulah yang akan dapat menumbuhkan kesulitan tersendiri.

   "Sebenarnya kami masih sangat memerlukan bantuan kalian"

   Berkata Akuwu "Tetapi apa boleh buat. Kami sudah cukup membuat kalian mengalami banyak kesulitan. Dan selebihnya, kami harus mengakui, tanpa kalian, segala usaha kami telah gagal"

   "Tentu tidak"

   Jawab Mahisa Agni "sebenarnya kami juga ingin ikut serta menyelesaikan segala masalah yang timbul. Tetapi kami sudah terlalu lama meninggalkan Singasari"

   "Baiklah"

   Berkata Akuwu "menurut perhitunganku, penyelesaian masalah para perampok di hutan perbatasan perlahan-lahan akan dapat kami selesaikan.

   Kami akan menjajagi kemungkinan dengan mempergunakan cara yang sama seperti yang kita rencanakan sejak semula.

   Bahkan kita sudah pernah mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukannya atas hutan perbatasan itu lebih dahulu, sebelum Kedung Sertu.

   Tetapi akhirnya kita memutuskan untuk memasuki daerah rawa-rawa itu lebih dahulu"

   "Mungkin Akuwu dapat menempuh jalan lain"

   Berkata Mahisa Agni kemudian "mungkin Akuwu dapatmempersoalkannya dengan Akuwu di Pakuwon seberang hutan perbatasan.

   Bukan sekedar pemimpin pasukan pengawal yang ada di daerah itu.

   Jika perlu Akuwu dapat memohon bantuan dari para pemimpin di Kediri untuk menyelesaikan masalah ini.

   Akuwu.

   Suwelatama mengangguk-angguk.

   Katanya "segala jalan akan aku tempuh.

   Mudah-mudahan aku berhasil.

   Bahkan aku akan mencoba membujuk Akuwu diseberang hutan perbatasan, bahwa mereka akan berhak memiliki harta benda yang tersimpan di daerah mereka yang akan dapat di pergunakan bagi kepentingan rakyat banyak"

   "Mungkin hal itu akan menarik pula, Akuwu"

   Sahut Witantra "Akuwu akan dapat memberikan contoh apa yang terdapat di dalam goa itu. Sayang harta benda yang tidak ternilai harganya itu belum dapat kita angkat keluar"

   Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahisa Agni telah bersiap-siap untuk kembali ke Singasari, seorang utusan dari daerah hutan perbatasan telah datang menghadap Akuwu Suwelatama.

   "Apakah ada yang penting yang akan kau laporkan?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Ampun Akuwu"

   Jawab penghubung itu "ternyata bahwa para perampok yang memang mendapat perlindungan dari para pengawal di Pakuwon Watu Mas"

   "Kenapa kau berkata demikian?"

   Bertanya Akuwu.

   "Ketika para pengawal dari Kabanaran mengejar beberapa orang perampok sampai keperbatasan, maka tiba- tiba saja kami sudah berhadapan dengan para pengawal dari Pakuwon Watu Mas"

   Jawab penghubung itu."Mungkin para pengawal dari Pakuwon sebelah belum mengerti, apa yang sedang kalian lakukan?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Kami sudah mengatakan Sang Akuwu, bahwa kami sedang mengejar sekelompok perampok"

   Jawab penghubung itu "Tetapi pimimpin pengawal dari Watu Mas justru menuduh kami menyebarkan ketakutan dan kekalutan di daerah Pakuwon Watu Mas"

   "Mungkin terjadi salah paham"

   Berkata Akuwu Suwelatama "karena itu, sampaikan perintahku. Agar untuk sementara semua kegiatan dilakukan di Pakuwon kita sendiri. Kita tidak akan memasuki Pakuwon sebelah sebelum aku dapat menemui Akuwu di Watu Mas"

   "Tetapi setiap kali kesempatan yang sudah ada dihadapan hidung kita terpaksa terlepas lagi, Sang Akuwu. Mereka selalu melarikan diri ke daerah seberang perbatasan"

   Jawab penghubung itu "seandainya Akuwu dari Pakuwon Watu Mas tidak dengan sengaja melindungi mereka, maka kami tentu akan dapat menangkap mereka.

   Setidak-tidaknya sebagian dari mereka.

   Atau justru pasukan pengawal dari Watu Mas menahan agar para perampok itu tidak memasuki wilayahnya untuk memberi kesempatan kami dapat menangkap mereka"

   "Sudahlah"

   Berkata Akuwu "sampaikan saja perintahku"

   Penghubung itu termangu-mangu. Namun ia tidak akan dapat membantah lagi. Meskipun demikian, tiba-tiba saja ia berkata "Sang Akuwu. Kami minta ampun, bahwa kami telah melakukan sesuatu mendahului perintah tuanku"

   "Apa yang sudah kalian lakukan?"

   Bertanya Akuwu."Karena sebagian dari kami tidak dapat mengendahkan perasaan lagi, maka kami telah menugaskan dua orang petugas sandi untuk memasuki wilayah Pakuwon Watu Mas.

   Menurut pengamatan para petugas sandi, sebenarnyalah bahwa para perampok itu mendapat perlindungan, dari para pengawal di Watu Mas.

   Para pengawal di Watu Mas itu ternyata mendapat sebagian dari hasil kejahatan para perampok itu"

   "Apakah Akuwu di Watu Mas mengetahuinya?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Semula Akuwu di Watu Mas itu memang tidak mengetahui. Kami masih berpengharapan bahwa pada suatu saat, apabila Akuwu di Watu Mas mengetahui perbuatan sebagian dari para pengawanya itu, ia akan mengambil satu tindakan"

   Jawab penghubung itu "Namun ternyata sesuatu perkembangan baru telah terjadi.

   Seorang Pangeran dari Kediri telah datang ke Pakuwon Watu Mas.

   Nampaknya sebelum terjadi hubungan antara Pangeran itu dengan Akuwu di Watu Mas, Pangeran itu telah lebih dahulu berhubungan dengan para pemimpin pengawal diperbatasan"

   "Siapakah nama Pangeran itu?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Pangeran Indrasunu"

   Jawab penghubung itu.

   "Adimas Indrasunu"

   Desis Akuwu Suwelatama.

   Sementara itu Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra yang kemudian mendengar berita itu pula dari Akuwu lelah menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Laporan itu memang sangat menarik perhatian.

   Ternyata api yang menyala di dalam dada Pangeran Indrasunu itu masih belum padam."Darimana ia mendengar pertentangan yang terjadi diperbatasan itu"

   Desis Mahisa Agni.

   "Ia mencari segala cara untuk mencari kepuasan dengan melepaskan dendamnya"

   Berkata Akuwu Suwelatama.

   Karena peristiwa yang berkembang itulah, maka Akuwu tidak dapat menganggap bahwa penyelesaian lengan para perampok itu akan dapat diselesaikan sebagaimana mereka menyelesaikan para perampok di Kedung Sertu.

   Meskipun di Kedung Sertu mereka mengalami satu peristiwa yang sangat mengerikan, namun yang mereka hadapi waktu itu bukanlah hubungan dengan seseorang.

   Ular-ular raksasa itu tidak akan menganggap perkembangan persoalan yang terjadi akan menjadi semakin meluas Yang sudah terjadi itu bukan merupakan persoalan lagi bagi ular-ular raksasa itu dengan Pakuwon Kabanaran.

   Tetapi tentu tidak demikian dengan Pakuwon Watu Mas yang telah berhubungan dengan Pangeran Indrasunu.

   "Akuwu harus segera memberikan penjelasan"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Ya. Ternyata aku terlambat. Aku berusaha menyelesaikan persoalan yang berkembang di Kedung Sertu, karena aku tidak menduga sama sekali, bahwa adimas Indrasunu masih meneruskan pemanjaan dendamnya"

   Berkata Akuwu Suwelatama.

   "Apakah Akuwu akan pergi ke Pakuwon Watu Mas?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Ya. Secepatnya. Sementara aku memerintahkan agar para pengawal tetap menjaga diri dan menahan perasaan mereka"

   Berkata Akuwu Suwelatama.

   Mahisa Agni mengangguk-angguk.

   Tetapi sebenarnyalah ia mulai memikirkan perkembangan baru yang terjadi.Sementara itu tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata "Paman, jika paman berdua berkenan, biarlah aku tinggal disini, sementara paman berdua dapat kembali ke Singasari"

   Mahisa Agni memandangi Witantra sekilas. Dalam pada itu, Witantra itupun berkata "Bukankah kita tidak berkeberatan?"

   Mahisa Agni mengangguk. Katanya "Baiklah. Kita akan dapat melaporkannya, bahwa terjadi satu perkembangan baru sehingga Mahisa Bungalan masih akan tinggal barang satu dua pekan di Pakuwon ini"

   "Aku akan sangat berterima kasih"

   Berkata Akuwu Suwelatama "dengan demikian, aku akan mendapat kawan untuk berbincang tentang Pangeran Indrasunu. Bukankah pangkal dari persoalan yang terjadi dengan Pangeran Indrasunu menyangkut juga Mahisa Bungalan"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Karena itu aku akan tinggal"

   Demikianlah, maka Mahisa Bungalan telah menggagalkan niatnya untuk kembali ke Singasari.

   Ia masih ingin untuk melibatkan diri dalam kegiatan Akuwu Suwelatama dalam hubungannya dengan Pakuwon tetangganya, yang ternyata telah disentuh pula oleh Pangeran Indrasunu.

   Ketika dihari berikutnya Mahisa Agni dan Witantra siap untuk meninggalkan Pakuwon, maka Mahisa Bungalan dan Akuwu Suwelatama telah melepaskannya diregol istana Akuwu.

   Berkali-kali Akuwu mengucapkan terima kasih.

   Sementara Mahisa Agni dan Witantrapun berpesan, agar Mahisa Bungalan tidak terlalu lama berada di Pakuwon itu."Jika persoalannya menjadi terang, kau harus segera kembali"

   Pesan Mahisa Agni.

   "Ya. Paman"

   Jawab Mahisa Bungalan "Aku akan, segera kembali"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada masalah yang menunggumu"

   Berkata Witantra "bukan saja dalam hubungannya dengan kedudukanmu sebagai calon Senopati. Tetapi juga dalam hubungan dengan hidupmu sendiri"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Sekilas terbayang Ken Padmi di rongga matanya.

   Namun yang akan dihadapinya itupun semula bersumber pada persoalan Ken Padmi itu pula.

   Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantrapun kemudian meninggalkan Pakuwon Kabanaran.

   Dua orang yang sudah menjadi semakin tua.

   Namun sebagai orang yang terbiasa menenpa hidupnya dengan berbagai macam persoalan.maka keduanya masih nampak segar.

   Sementara itu, Mahisa Bungalan dan Akuwu Suwelatamapun telah mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Akuwu di Watu Mas.

   Mereka ingin menjelaskan persoalan yang sebernarnya.

   Jika mungkin, maka persoalan itu akan diselesaikan sebaik-baiknya tanpa kekerasan.

   Persoalan akan dikembalikan kepada masalah yang sebenarnya.

   Persoalan para perampok di perbatasan.

   Dalam pada itu, sebelum Akuwu Suwelatama mengunjungi Akuwu di Watu Mas, maka ia telah memerintahkan dua orang penghubungnya untuk menghadap dan menyampaikan pesannya, bahwa Akuwu Suwelatama ingin bertemu dan berbincang tentang masalah yang berkembang antara kedua Pakuwon yang bertetangga itu.Namun ternyata bahwa jawaban Akuwu di Watu Mas telah menggetarkan jantung Akuwu Suwelatama.

   "Menurut Akuwu di Watu Mas"

   Berkata penghubungannya "kedatangan Akuwu Suwelatama ke Watu Mas tidak akan ada gunanya.

   Tidak ada masalah yang perlu diperbincangkan,karena antara Kabanaran dan Watu Mas tidak ada persoalan apa-apa.

   Tetapi jika Akuwu di Kabanaran akan berkunjung ke Watu Mas, maka akan diterima dengan senang hati"

   Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. la sadar, bahwa Akuwu di Watu Mas tidak bersedia untuk berbicara. Tetapi, bagaimanapun juga ia ingin bertemu langsung. Bagaimanapun juga, maka kesempatan untuk bertemu itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.

   "Bagaimana mungkin Akuwu di Watu Mas itu menganggap tidak ada persoalan antara Kabanaran dan Watu Mas"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Akuwu di Watu Mas akan mempertahankan keadaan seperti sekarang ini. Dan itu berarti kesulitan bagi kita untuk menghapus kejahatan itu sampai ke akarnya"

   Berkata Akuwu Suwelatama. Lalu "Tetapi kesediaannya untuk menerima kedatangan kita, sudah pantas untuk hargai"

   Pada hari yang ditentukan, maka Akuwu telah berangkat ke Watu Mas bersama Mahisa Bungalan dan ampat orang pengawal.

   Mereka telah mempersiapkan beberapa masalah yang akan mereka bicarakan dengan Akuwu di Watu Mas dengan tidak langsung, karena Akuwu di Watu Mas sudah mengatakan bahwa ia tidak merasa perlu untuk berbicara tentang apapun juga dengan Akuwu Suwelatama.

   Dalam pada itu, sebenarnyalah penerimaan Akuwu di Watu Mas terhadap kehadiran Akuwu Suwelatama terasa sangat sepi.

   Seoalah-olah yang datang itu bukanlah seorangAkuwu dari Pakuwon tetangga.

   Akuwu di Watu Mas menerima kehadiran Akuwu Suwelatama tidak dalam satu upacara menerlmaan sebagaimana biasanya.

   Tetapi, Akuwu menerimanya sebagai salah seorang tamu biasa, bahkan mirip dengan keluarganya.

   "Kakangmas Akuwu Suwelatama sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri"

   Berkata Akuwu di Watu Mas.

   Nampaknya sikap itu memang sangat akrab.

   Tetapi Akuwu Suwelatama mengerti, bahwa Akuwu di Watu Mas benar-benar tidak ingin berbicara tentang persoalan- persoalan yang menyangkut hubungan antara kedua Pakuwon itu.

   Tetapi Akuwu Suwelatama mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin.

   Bukan saja di medan peperangan, tetapi dalam hubungan antara pemimpin- pemimpin pemerintahan.

   Karena itu, maka ia tetap tersenyum, betapapun hatinya merasa tersinggung.

   Bahkan katanya kemudian "Aku tidak mengira, bahwa aku akan disambut demikian akrabnya.

   Karena itu sewajarnya aku mengucapkan beribu terima kasih"

   Dalam pada itu, Akuwu di Watu Mas menyambut tamu- tamunya tidak dengan para pemimpin pemerintahan Pakuwon Watu Mas. Tetapi yang menyambut Akuwu Suwelatama adalah anggauta keluarganya. Isterinya, anak- anaknya.

   "Pamanmu Pangeran Suwelatama yang memegang kekuasaan di Pakuwon Kabanaran"

   Berkata Akuwu di Watu Mas kepada anak-anaknya.

   Lalu "yang lain adalah para pengawalnya.

   Bagaimanapun juga, seorang Akuwu memang memerlukan pengawalan yang sebaik-baiknya"Jantung Mahisa Bungalan berdegup semakin cepat.

   Namun demikian Akuwu Suwelatama masih juga tersenyum sambil menyahut "Pamanmu memang seorang yang kurang lumrah.

   Baru kali ini pamanmu sempat datang kemari.

   Aku bertemu dengan ayahandamu justru pada saat- saat kami menghadap ke Kediri.

   Hampir setengah tahun sekali.

   Dalam pasowanan Agung.

   Karena pada saat-saat pasowanan yang lain, mungkin waktu kami tidak bersamaan.

   Dan disamping itu setahun sekali kami bertemu di Singasari"

   Anak-anak Akuwu di Watu Mas itu mengangguk- angguk.

   Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama tidak segera kehilangan akal.

   Meskipun satu dua patah kata, ia masih ingin berbicara tentang para perampok di hutan perbatasan.

   Dalam pembicaraan yang seolah-olah benar-benar akrab, maka Akuwu Suwelatama sempat bertanya tentang musim di Watu Mas.

   "Musim kering kali ini, agaknya memang semakin panjang"

   Jawab Akuwu di Watu Mas.

   "Apakah hal itu tidak mempengaruhi kehidupan para petani?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Tentu kakangmas"

   Jawab Akuwu di Watu Mas "hasil sawah tahun ini memang agak turun"

   "O"

   Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk "Apakah adimas tidak berusaha untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan para petani?"

   "Yang dapat kami usahakan adalah menghemat air, memperbaiki bendungan dan mengatur penggunaan air itu"

   Jawab Akuwu di Watu Mas.Akuwu Suwelatama mengangguk.

   Lalu katanya "Memang menjadi kewajiban kita.

   Setiap kesulitan yang diderita oleh rakyat kita, adalah kesulitan kita.

   Setiap keluhan rasa-rasanya jantung kitalah yang telah berdesir.

   Hal yang serupa telah aku rasakan pula Musim kering ini memang terlalu panjang.

   Apalagi di daerah Kabanaran, arus sungai-sungaipun menjadi semakin kecil.

   -oo0dw0oo-

   Jilid 28 SEHINGGA karena itu, kami di Kabanaran benar-benar mengalami kesulitan"

   "O. Apakah tidak ada jalan lain untuk mengatasinya?"

   Bertanya Akuwu di Watu Mas.

   "Sulit sekali. Apalagi sekarang"

   Jawab Akuwu Suwelatama.

   "Bagaiamana dengan sekarang?"

   Bertanya Akuwu di Watu Mas itu pula.

   "Di daerah hutan perbatasan terdapat segerombolan perampok yang telah menambah kesulitan kehidupan penduduk di daerah Kabanaran"

   Jawab Akuwu Suwelatama. Akuwu di Watu Mas mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Itu adalah beban yang wajar. Kita yang sudah sanggup menjadi pemimpin atas satu kesatuan tempat, maka kita harus berani mempertanggung jawabkan"

   Akuwu di Watu Mas itu berhenti sejenak, lalu "tetapi sudahlah. Marilah kita berbicara tentang keluarga. Mungkin kita dapat mengenang silsilah kita. Mungkin kakangmasmempunyai keperluan keluarga yang lain yang akan kakangmas bicarakan di sini?"

   Akuwu Suwelatama tersenyum. Katanya "anak-anakmu sudah memanjat masa remaja"

   "Ya kakangmas"

   Jawab Akuwu di Watu Mas.

   "Sayang. Di Kabanaran banyak anak-anak remaja menjadi korban keganasan para perampok. Bukan karena mereka dirampok. Tetapi entah karena pengaruh apa, sebagian dari mereka berada di dalam lingkungan para perampok"

   "Ah"

   Potong Akuwu di Watu Mas "kenapa kakang mas selalu berbicara tentang perampok saja?"

   "Maaf. Tetapi persoalan itu sangat menarik bagiku. Justru karena para perampok itu telah mempersatukan persoalan diantara kita"

   Berkata Akuwu Suwelatama.

   "Sudahlah"

   Jawab Akuwu di Watu Mas jangan berbicara tentang hal-hal yang dapat mendirikan bulu-bulu tengkuk. Sekali lagi aku mohon, kakangmas berbicara tentang masalah lain saja"

   "Mungkin kita akan dapat melakukannya adimas. Kita dapat berbicara tentang sesuatu yang menyenangkan. Tetapi tentu tidak bagi anak-anak yang sedang menjelang remaja. Kekisruhan-kekisruhan yang dapat timbul karena tingkah laku para perampok tentu akan sangat berpengaruh terhadap anak-anak remaja seperti putera-putera adimas ini"

   Jawab Akuwu Suwelatama.

   "Ah, kakangmas berbicara tentang sesuatu yang menggetarkan jantung. Aku mohon kakangmas jangan berbicara tentang perampok"

   Berkata Akuwu di Watu Mas."O"

   Desis Akuwu Suwelatama "Aku mohon maaf. Tetapi justru karena aku melihat sorot mata putera-putera adimas yang bening dan tidak mengenal dosa"

   Jawab Akuwu Suwelatama "sementara itu dosa telah terjadi dimana-mana. Dosa dalam segala bentuknya. Apakah hal itu tidak terasa pada adimas?"

   Akuwu di Watu Mas menarik nafas dalam-dalam.

   Ia sudah dengan sengaja menerima Akuwu Suwelatama diantara keluarganya.

   Meskipun terasa agak janggal juga, karena Akuwu Suwelatama datang dengan pengawalnya yang ternyata ikut bersama Akuwu diterima diantara keluarga Akuwu di Watu Mas.

   Tetapi agaknya Akuwu Suwelatama yang menyadari cara penerimaan itu tidak mengurungkan niatnya untuk berbicara tentang daerah perbatasan.

   Bahkan katanya kemudian "Adimas.

   Adalah kebetulan sekali bahwa adimas telah menerima kami dengan sangat akrab karena kami telah adimas anggap sebagai keluarga sendiri.

   Dengan demikian aku dapat berbicara dengan adimas sebagai seorarig saudara tua.

   Aku ingin memperingatkan, bahwa putera-putera adimas ada dalam bahaya"

   Wajah Akuwu di Watu Mas menjadi merah. Apalagi ketika ia melihat kecemasan membayang di wajah isterinya. Diwajah permaisuri Akuwu di Watu Mas.

   "Kakangmas"

   Tiba-tiba suara Akuwu di Watu Mas itu bergetar "Aku tidak bermaksud berbicara tentang hal-hal yang terjadi di Kabanaran.

   Karena hal seperti itu tidak terdapat dan tidak akan terjadi di Watu Mas.

   Marilah kita berbicara tentang persoalan-persoalan lain"

   "Adimas"

   Berkata Akuwu Suwelatama "Aku datang justru akan merasa, bahwa kita adalah keluarga yang masih dekat bukan saja sesuai dengan jalur keturunan, tetapi letakPakuwon kita yang berbatasan.

   Karena itu aku ikut merasa bertanggung jawab terhadap kemanakan-kemanakanku disini.

   Meskipun umurku mungkin lebih muda dari adimas, tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhku ternyata lebih tua dari adimas.

   Karena itulah maka aku khusus datang untuk memberitahukan bahwa perampok di hutan perbatasan itu menjadi semakin garang.

   Pada masa terakhir, sasaran mereka lebih banyak terarah kepada Pakuwon Watu Mas dari pada Pakuwon Kabanaran"

   "Tidak"

   Potong Akuwu di Watu Mas "kakangmas jangan menakuti keluargaku. Apalagi anak-anakku"

   "Bukan menakut-nakuti adimas"

   Jawab Akuwu Suwelatama "Tetapi untuk waktu yang tidak lama lagi, mereka akan ikut bertanggung jawab atas pemerintahan di Pakuwon Watu Mas ini.

   "Sudahlah kakangmas "Akuwu di Watu Mas menjadi marah. Namun dihadapan isteri dan anak-anaknya ia masih berusaha untuk menahan diri. Namun kemudian katanya kepada permaisurinya "Nampaknya kakangmas Akuwu Suwelatama kurang dapat mengendalikan diri. Karena itu, biarlah aku menerimanya sendiri, agar kau semuanya tidak terpengaruh oleh sikapnya yang sangat berhati-hati. Kecemasannya tentang keadaan yang tidak sesuai sama sekali dengan kenyataan yang telah terjadi, membuat Pakuwon Kabanaran diliputi oleh ketakutan"

   Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya kepada permaisuri Akuwu di Watu Mas "Aku mohon maaf. Orang tua selalu sangat berhati-hati menghadapi keadaan"

   "Tetapi kakangmas lebih muda dari kami"

   Desis permaisuri itu."Kecemasan tidak mengenal kemudaan"

   Sahut Akuwu di Watu Mas. Akuwu Suwelatama tidak menjawab lagi. Sejenak kemudian maka permaisuri dan anak-anak Akuwu di Watu Mas itu pun telah meninggalkan pertemuan itu.

   "Maaf adimas"

   Berkata Akuwu Suwelatama "Aku memang ingin berhadapan dengan adimas"

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi Akuwu di Watu Mas menjawab "Tidak ada yang dapat kita bicarakan. Aku sebenarnya ingin mempergunakan cara yang lebih halus untuk menghindarkan pembicaraan ini. Tetapi kakangmas justru bersikap kasar terhadap isteri dan anak-anakku"

   "Aku hanya mengingat kepentingan rakyatku di sekitar hutan perbatasan"

   Sahut Akuwu Suwelatama.

   "Semua pembicaraan aku tujukan untuk kepentingan mereka. Tentu adimas mengetahuinya"

   "Aku sudah menerima laporan dari perbatasan"

   Jawab Akuwu di Watu Mas "tidak ada apa-apa disana.

   Karena itu, jangan memaksa aku untuk berbicara tentang perbatasan.

   Segala sesuatu yang menyangkut perbatasan telah diatur dalam paugeran-paugeran.

   Jika kakangmas tidak melanggar paugeran itu, maka tidak akan timbul persoalan"

   "Tetapi dalam hubungan dengan para perampok itu timbul masalah lain adimas"

   Sahut Akuwu Suwelatama "para perampok itu berada di daerah Watu Mas"

   "Jangan membuat persoalan"

   Berkata Akuwu di Watu Mas itu "sudahlah. Aku akan menjamu kakangmas dan para pengawal kakangmas itu"

   "Aku memerlukan ketegasan sikapmu adimas. Aku telah melakukan satu tugas yang sangat berat di Kedung Sertu. Ternyata bahwa di dalam sarang para perampok ituterdapat harta benda yang tidak ternilai harganya. Karena itu, jika adimas bersedia bersikap tegas terhadap para perampok itu, mungkin harta benda yang telah banyak dari yang aku ketemukan di Kedung Sertu itu akan dapat memberikan manfaat bagi Pakuwon ini"

   "Kakangmas memang sering aneh-aneh saja"

   Jawab Akuwu di Watu Mas. Lalu "

   Sudahlah. Aku tidak ingin berbicara. Aku akan dengan senang hati menerima kakangmas sebagai keluarga. Lebih dari itu tidak"

   "Jangan bersikap demikian adimas"

   Berkata Akuwu Suwelatama "seharusnya kita mencari jalan, apa yang dapat kita lakukan untuk kepentingan kita bersama. Jika adimas menutup pintu bagi pembicaraan, maka persoalan kita akan semakin meningkat, bukannya mendapat jalan pemecahan"

   "Tidak ada persoalan yang pantas dibicarakan. Bukankah sudah aku katakan?"

   Jawab Akuwu di Watu Mas.

   Akuwu Suwelatama menjadi semakin gelisah menghadapi Akuwu Watu Mas yang keras hati itu.

   Bahkan seolah-olah telah menutup sama sekali pintu pembicaraan.

   Karena itu, maka Akuwu Suwelatama itupun berkata "Jika demikian adimas, aku kita tidak ada jalur yang lebih baik untuk memecahkan persoalan ini selain lewat kekuasaan di Kediri, selebihnya Singasari"

   Akuwu Suwelatama berhenti sejenak, lalu "Aku memang tidak mempunyai jalan lain.

   Jika aku langsung memasuki tlatah Watu Mas untuk menangkap para perampok, maka aku telah melakukan kesalahan.

   Tetapi jika tidak, maka Watu Mas menjadi pancatan untuk melakukan kejahatan di tlatah Kabanaran"

   "Jangan membuat fitnah seperti itu"

   Potong Akuwu Di Watu Mas "Tetapi adalah licik sekali jika kakangmas pergike Kediri dan apalagi ke Singasari. Seperti anak-anak yang tumbak cucukan. Seolah-olah kita tidak dapat menyelesaikan persoalan kita sendiri"

   "Tetapi cara itu adalah cara yang paling aman bagi rakyat kita"

   Jawab Akuwu Suwelatama.

   "Tidak ada gunanya kakangmas. Kakangmas tidak akan dapat menunjukkan kepada orang-orang Kediri bahwa aku sudah melanggar paugeran. Mungkin orang-orang Singasari yang sekarang berada di Pakuwon Kabanaran itukah vang akan menjadi saksi pelanggaran yang sudah aku lakukan?"

   Akuwu Suwelatama memandang Mahisa Bungalan yang be ada bersama para pengawalnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu kepadanya.

   "Kakangmas"

   Berkata Akuwu di Watu Mas "Aku berpegang teguh kepada sumpah jabatanku sebagai Akuwu di dalam kekuasaan Kediri dan kemudian Singasari.

   Aku tidak akan melanggar kekuasaan wilayah Pakuwonku dan apalagi menginjak Pakuwon tetanggaku.

   Termasuk Pakuwon Kabanaran"

   "Kau berpegang pada paugeran resmi"

   Jawab Akuwu SUwelatama "Tetapi apakah bukan satu pelanggaran jika kau membiarkan tanahmu menjadi landasan para perampok yang berbuat jahat di Pakuwonku"

   "Semuanya itu omong kosong"

   Berkata Akuwu di Watu Mas "kakangmas akan mencari alasan untuk memiliki seluruh hutan di perbatasan itu, karena hutan itu ternyata menyimpan kayu cendana, kayu beledok dan kayu-kayu yang menghasilkan getah yang mahal lainnya"

   "Adimas"

   Potong Akuwu Suwelatama "Aku justru tidak mengerti, bahwa di hutan itu terdapat jenis-jenis kayu yang berharga""Sudahlah"

   Berkata Akuwu di Watu Mas "tidak ada waktu bagiku untuk berbincang tentang sesuatu yang tidak ada artinya. Karena itu, jika kakangmas masih ingin berada di rumahku, silahkan mengatakan apa saja tetapi tidak menyangkut jabatan kita masing-masing"

   Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya "kedatanganku menyangkut persoalan yang lebih penting dari berbincang tentang makanan dan minuman.

   Ketahuilah adimas, diantara orang-orang yang aku sebut sebagai pengawalku, memang terdapat seorang yang kau anggap sebagai orang Singasari itu"

   Akuwu di Watu Mas mengerutkan keningnya, sementara Akuwu Suwelatama berkata "Yang masih muda diantara mereka itu adalah Mahisa Bungalan"

   "O"

   Akuwu di Watu Mas mengangguk-angguk "Aku tidak berkeberatan ia berada di sini. Justru ia menyaksikan sendiri, apa yang kakangmas lakukan ini"

   "Kedatanganku memang agak terlambat adimas"

   Berkata Akuwu Suwelatama kemudian "semula aku memilih untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di Kedung Sertu.

   Karena aku menganggap bahwa persoalan di hutan perbatasan itu akan lebih mudah diselesaikan dengan pertolongan adimas.

   Namun ternyata aku salah.

   Apalagi satelah hadir di Pakuwon ini Pangeran lndrasunu"

   "Pangeran lndrasunu"

   Ulang Akuwu di Watu Mas "apa salahnya ia berada di sini. Bukankah ia masih keluarga kita? Aku menerimanya seperti aku menerima kakangmas. Tidak lebih dan tidak kurang"

   "Kau tahu persoalan yang timbul antara aku dan Pangeran lndrasunu?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama."Aku pernah mendengarnya. Tetapi itu bukan persoalanku. Aku tidak akan mencampurinya"

   Jawab Akuwu di Watu Mas.

   "Aku justru berpendapat, bahwa kehadirannya di sini telah memperkeras sikapmu adimas"

   Berkata Akuwu Suwelatama "karena itu, sebaiknya kita berbicara dengan terbuka. Aku memang memerlukan pertolonganmu. Cukup dengan janjimu"

   Akuwu di Watu Mas tertawa. Katanya "Aku bukan anak-anak yang dapat kau bujuk kakangmas. Ijinku berarti aku menyerahkan hutan itu seluruhnya ke tangan kakangmas"

   "Tuduhan itu terlalu keji. Aku sama sekali tidak ingin melakukannya"

   Jawab Akuwu Suwelatama "justru untuk meyakinkan aku datang kemari. Mungkin memang perlu dibuat satu perjanjian yang pasti"

   Tetapi Akuwu di Watu Mas menggeleng. Katanya "Tidak ada yang perlu dibicarakan"

   Wajah Akuwu Suwelatama menjadi tegang.

   Sekilas dipandanginya Mahisa Bungalan yang menjadi berdebar- debar.

   Kemudian Akuwu itupun berkata "Nampaknya usaha Pangeran lndrasunu berhasil.

   Baiklah.

   Aku sudah berusaha untuk memecahkan persoalan ini.

   Jika pembicaraan ini gagal bukan salahku.

   Tetapi mungkin justru itulah yang kau kehendaki atas bujukan Pangeran lndrasunu"

   "Jangan mimpi"

   Potong Akuwu di Watu Mas "Aku mempunyai sikap tersendiri. Aku bukan bayangan Pangeran lndrasunu meskipun aku baik terhadapnya"

   Jantung Mahisa Bungalan menjadi semakin berdegup.

   Ia mempunyai persoalan tersendiri dengan Pangeranlndrasunu, sehingga karena itu, maka persoalan yang hampir jpdam itu telah menyala kembali di hatinya.

   Tetapi ia tidak ingin ikut serta dalam pembicaraan itu justru karena ia merasa, mungkin sekali ia tidak akan dapat menahan hati lagi.

   Dalam pada itu, maka Pangeran Suwelatama berkata "Adimas.

   Nampaknya Adimas sudah berkeras pada tekad adimas.

   Baiklah.

   Aku mempunyai saksi seorang prajurit Singasari.

   Jika kemudian pembicaraan ini meningkat ke tataran yang lebih tinggi, maka aku dapat mengatakan, bahwa aku telah berusaha"

   "Apapun yang hendak kakangmas lakukan, aku persilahkan"

   Jawab Akuwu di Watu Mas "yang penting aku tidak melakukan pelanggaran. Dengan demikian aku tidak akan dapat dituduh mendahului persoalan yang mungkin timbul antara Kabanaran dan Watu Mas"

   "Kau memang cerdik"

   Jawab Akuwu Suwelatama "Tetapi baiklah.

   Usahaku untuk berbicara nampaknya telah gagal.

   Tetapi berbicara bukan cara satu-satunya.

   Sudah aku katakan, mungkin aku dapat meningkatkan persoalan ini ke tataran yang lebih tinggi.

   Tetapi mungkin aku akan mencari jalan sendiri"

   Tetapi Akuwu di Watu Mas itu tertawa. Katanya "kakangmas memang pandai mengancam. Tetapi jangan menyangka bahwa ancaman kakangmas itu akan dapat menggetarkan sehelai bulu rambutku"

   Jantung Akuwu Suwelatama rasa-rasanya hampir meledak.

   Tetapi ia masih tetap menghormati tatanan yang berlaku.

   Karena itu, maka ia masih tetap tersenyum.

   Bahkan katanya "Sejak semula aku kagum atas ketabahan hati adimas menghadapi segala macam persoalan.

   Tetapi aku juga mengagumi betapa adimas sama sekali tidakbergetar hatinya melihat penderitaan hidup rakyat di sekitar hutan perbatasan"

   "Kakangmas memang aneh"

   Berkata Akuwu di Watu Mas "Yang mengalami kesulitan adalah orang-orang di Kabanaran. Bukan orang-orang di Watu Mas. Justru karena kakangmas tidak segera dapat mengatasi keadaan di Kabanaran, kakangmas ingin mencari sumber kesalahan Watu Mas"

   Rasa-rasanya jantung Akuwu Suwelatama tidak dapat bertahan lagi.

   Justru karena itu, maka agar tidak terjadi sesuatu yang tidak dikehendakinya Akuwu Suwelatama itupiin kemudian berkata "Baiklah.

   Tidak ada lagi yang dibicarakan.

   Sebenarnva kedatanganku ini juga ingin bertemu dengan adimas Indrasunu.

   Tetapi nampaknya adimas sudah berusaha untuk mencegah pertemuan yang demikian"

   "Kenapa aku harus mencegahnya?"

   Bertanya Akuwu di Watu Mas "seandainya sekarang Pangeran Indrasunu ada di sini, maka aku akan mempersilahkannya menemui kakangmas. Tetapi Pangeran Indrasunu tidak ada di Pakuwon Watu Mas sekarang ini"

   Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata "Jadi, Pangeran Indrasunu sekarang tidak ada di Pakuwon ini?"

   "Tidak"

   Jawab Akuwu di Watu Mas.

   "Dimana?"

   Bertanya Akuwu Suwelatama.

   "Aku tidak tahu"

   Jawab Akuwu di Watu Mas "Aku bukan pemomong Pangeran Indrasunu"

   Pangeran Suwelatama tertawa semakin keras. Katanya kemudian "jika demikian, akulah yang mengetahuinya"Akuwu di Watu Mas mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Apa yang kakangmas ketahui?"

   "Adimas Pangeran Indrasunu"

   Sahut Akuwu Suwelatama "ia tentu berada di hutan perbatasan"

   Wajah Akuwu di Watu Mas merah. Dengan suara gemetar ia menjawab "kakangmas terlalu tergesa-gesa. Dari mana kakangmas mengetahuinya bahwa Pangeran Indrasunu berada di hutan perbatasan"

   "Berdasarkan perhitungan"

   Jawab Akuwu Suwelatama "adimas Indrasunu telah berusaha menghancurkan Pakuwon Kabanaran sebelumnya.

   Bahkan dengan cara yang sangat kasar.

   Aku masih dapat menahan diri untuk mencoba mengatasinya tanpa menarik persoalannya ke lingkungan yang lebih luas.

   Tetapi menurut pendengaranku, adimas Pangeran Indrasunu sama sekali tidak mau mengerti.

   Ia tidak menyadari kekeliruannya, justru ia berusaha untuk mengungkit dendam di dalam hatinya dengan cara yang sangat kasar.

   Lebih kasar dari cara yang telah dipergunakan sebelumnya.

   Tentu ia telah menggabungkan diri dengan para perampok di hutan perbatasan itu"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau jangan menuduh demikian kasar"

   Jawab Akuwu di Watu Mas "Jika Pangeran Indrasunu mendengar tuduhan itu, maka ia tidak akan dapat menahan hati lagi"

   "Tolong adimas"

   Justru Akuwu Suwelatama menjawab "sampaikan kepada adimas Pangeran Indrasunu bahwa aku menganggapnya demikian.

   Kenapa aku harus takut jika ia menjadi marah? Ia sudah berbuat yang paling buruk terhadap Pakuwon Kabanaran.

   Buruk dan dengan cara yang rendah dan licik? Nah, itulah wajah adimas Pangeran Indrasunu""Bohong"

   Bantah Akuwu di Watu Mas "Aku mengenal Pangeran lndrasunu dengan baik. Aku juga mendengar bahwa ia pernah menduduki Pakuwon Kabanaran, justru karena pemerintahan yang goyah di Pakuwon itu. Jika tidak tentu tidak mungkin Pangeran lndrasunu berhasil"

   


Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL

Cari Blog Ini