Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 4


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 4



Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja

   

   Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncangkan isi dada.

   anak muda itu.

   Sebenarnya ia memang tidak segarang itu.

   Pamannyalah yang telah mengajarinya, seperti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng.

   Karena itu, ketika ayahnya menyudutkannya ke dalam keadaan yang sulit, maka melonjaklah nuraninya tanpa sesadarnya.

   "Jawab pertanyaanku"

   Bentak Ki Watu Kendeng. Kuda Pramuja yang terkejut itupun menjawab dengan suara bergetar "Tidak ayah. Aku menurut apa yang ayah katakan"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.

   Namun dalam pada itu Gagak Branang berteriak "Persetan orang- orang Watu kendeng yang pengecut.

   Akulah yang akan menentukan sikap sebagai seorang laki-laki.

   Aku minta Ki Selabajra menyerahkan anak gadisnya kepada Kuda Pramuja.

   Jika tidak, maka padepokan ini akan menjadi karang abang"

   "Itu bukan maksudku"

   Ki Watu Rendenglah yang menjawab "jika kau ingin berbuat demikian, aku tidak bertanggung-jawab.

   Bahkan seandainya kau berhasil merampas gadis Kenanga itu dengan kekerasan, ia tidak akan menjadi isteri anakku.

   Anakku hanya beristeri dengan orang yang dapat menerimanya dengan ikhlas.

   Tidak karena terpaksa atau dengan dorongan lain yang tidak dikehendakinya sendiri"

   Gagak Branang itu benar-benar menjadi marah.

   Dengan kasar iapun kemudian meloncat dari pendapa sambil berteriak "Aku sudah terlanjur mengatakan maksudku.

   Aku akan merampas gadis itu dari Padepokan Kenanga.

   Jika orang-orang Watu Kendeng akan menghalang-halangi aku,maka merekapun akan menjadi lawanku yang akan aku singkirkan dari muka bumi.

   Tegasnya, aku akan membunuh siapa saja yang akan menghalang-halangi niatku mengambil gadis itu.

   Jika Kuda Pramuja yang ternyata seorang pengecut itu tidak akan menerimanya, maka aku akan mengambilnya menjadi isteriku sendiri"

   Orang-orang yang berada di pendapa itupun menjadi tegang.

   Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa Gagak Branang telah benar-benar menjadi seperti orang yang wuru tanpa menghiraukan apapun juga.

   Bahkan kakaknyapun sama sekali tidak dapat mempengaruhi sikapnya.

   "Nah, Ki Selabajra. Sebelum peristiwa yang buruk itu terjadi diatas padepokanmu, panggillah anakmu dan serahkanlah kepadaku. Karena kau dan orang-orangmu bahkan bersama orang-orang Watu Kendeng yang ada disini, tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku dan orang- orangku"

   "Kau hanya sendiri. Apa yang-dapat kau lakukan?"

   Bertanya kakaknya.

   "Yang nampak, aku hanya berdua"

   Jawab Gagak Branang "tetapi jika diperlukan, aku akan dapat memanggil orang-orangku yang setia untuk menghancurkan padepokan ini"

   Wajah-wajah itupun semakin menjadi tegang. Pengiring Gagak Branang itupun menjadi berdebar-debar pula. Peristiwa itu terjadi terlalu cepat. Pembicaraan di pendapa itu telah patah sesaat saja dari kata-kata pembukaan.

   "Terlalu"

   Desisnya "Ki Lurah tidak dapat menahan diri menghadapi keadaan ini.

   Tetapi justru karena ialah yang telah tergila-gila dengan gadis padepokan Kenanga itu"Namun demikian, pengikutnya itu tidak dapat berbuat lain daripada mempersiapkan diri.

   Jika keadaan tidak lagi dapat dikuasai, maka iapun harus bertempur.

   Ia mengerti, betapa tingginya kemampuan Gagak Branang.

   Tetapi ia menjadi berdebar-debar, karena jumlah lawan yang terlalu banyak.

   Bahkan nampaknya orang-orang Watu Kendeng sendiri justru akan berdiri di pihak padepokan Kenanga.

   Namun dalam pada itu, diluar pengetahuan pengiring Gagak Branang itu, tiga orang adik seperguruan Gagak Branang sedang merayap mendekati padepokan Kenanga.

   Mereka tahu, bahwa keadaan akan segera membakar pertemuan itu seperti yang dipesankan oleh Gagak Branang.

   Karena itulah, maka merekapun telah mempersiapkan diri, sejak Gagak Branang memasuki padepokan Kenanga.

   "Nampaknya suasana padepokan itu telah meningkat menjadi panas "berkata salah seorang dari ketiga orang itu.

   "Ya. Kau dengar suara Macan Kajiman itu? Nah, marilah, apalagi yang kita tunggu?"

   "Biarlah perkelahian itu pecah lebih dahulu. Kita akan melihat, siapakah yang akan menjadi lawannya. Baru kita akan turun sambil mengejutkan mereka"

   Jawab yang lain. Ketiga orang itupun kemudian menunggu sambil melekat ke dinding padepokan. Setiap saat mereka siap untuk meloncat masuk dan melihatkan diri ke dalam arena perkelahian itu.

   "He, seperti yang diduga oleh Macan Kajiman, saudara laki-lakinya itu benar-benar seorang pengecut. Juga anak yang dipakainya sebagai kedok itupun tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka agaknya Macan Kajiman benar- benar harus mempergunakan kekerasan"Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun yang seorang lagi tertawa sambil berkata "Suatu kesempatan yang baik untuk mencari perbandingan ilmu. Selebihnya, padepokan itu tentu memiliki sesuatu yang menarik selain anak perempuan Ki Selabajra itu. Mungkin emas, mungkin selaka, mungkin pusaka-pusaka yang berharga"

   Tiba-tiba saja kawan-kawannyapun tertawa tertahan. Yang seorang berdesis "Bagi Macan Kajiman, yang penting adalah gadis itu saja, meskipun ia sudah mempunyai lebih dari sepuluh istri "

   Ketiga orang adik seperguruan Gagak Branang itu hampir tidak dapat menahan suara tertawanya.

   Namun untunglah, bahwa suara itu tidak terdengar dari dalam halaman yang sedang dicengkam oleh ketegangan.

   Dalam pada itu, orang-orang yang berada di pendapa padepokan Kenanga itu bagaikan telah dipanggang di atas api.

   Makerti yang sejak semula hanya berdiam diri saja, tidak lagi dapat menahan diri.

   Tetapi ketika ia siap untuk meloncat, Ki Selabajra telah menggamitnya sambil berbisik "Orang itu bukan lawanmu"

   "Tetapi jantungku bagaikan retak guru"

   Desis Makerti. Ki Selabajra menggelengkan kepalanya. Bahkan ketika Gemak Werdi bergeser, iapun menggeleng lemah.

   "Aku akan turun ke halaman"

   Desis Ki Selabajra. Dengan dada tengadah, maka Ki Selabajrapun kemudian melangkah ke tangga pendapa. Tetapi langkahnya tertahan ketika Ki Watu Kendeng meloncat kesampingnya sambil berkata "Ki Kenanga. Jangan kau hadapi anak itu seorang diri"

   "Kenapa?""Ia memiliki ilmu iblis"

   "Apapun yang akan terjadi Ki Watu Kendeng, aku adalah ayah dari gadis yang dikehendakinya dengan kekerasan. Aku harus mempertahankannya sampai kemampuanku yang terakhir"

   "Kemarilah"

   Teriak Gagak Branang "jika kau ingin mati, turunlah ke halaman"

   "Aku akan menyertainya"

   Diluar dugaan Ki Watu Kendeng berteriak "akulah yang menyebabkan keonaran ini terjadi.

   Jika aku tidak datang melamar anak Ki Selabajra, maka tidak akan terjadi seperti ini.

   Karena itu, biarlah aku menebus kesalahan ini dengan mempertaruhkan hidupku bersama Ki Selabajra"

   "Pengerut, minggirlah kakang"

   Teriak Gagak Branang "aku masih merasa segan membunuh saudara kandung meskipun aku tahu tingkat kemampuanmu"

   "Aku mengerti, bahwa tingkat kemampuanmu adalah tingkat kemampuan iblis. Tetapi panggilan nuraniku memaksa aku untuk melibatkan diri dalam pertempuran ini. Mungkin aku dari Ki Selabajra masih belum dapat mengimbangi kemampuanmu. Tetapi di sini ada beberapa orang murid padepokan Kenanga dan beberapa orang murid Watu Kendeng. Betapapun tinggi ilmumu beserta seorang pengiringmu itu, namun kau tidak akan mampu melawan kami yang lebih dari sepuluh orang ini"

   Gagak Branang tertawa.

   Katanya "Apa artinya sepuluh orang itu bagiku dan bagi pengiringku.

   Bahkan mungkin masih ada orang lain yang akan membantuku.

   Kalian akan segera terkapar mati.

   di halaman padepokan ini, sementara aku akan membawa gadis Kenanga itu"Ketegangan di halaman itupun sudah memuncak.

   Ketika Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng turun ke halaman, maka setiap orang telah berloncatan turun pula.

   "Kita akan bertempur bersama-sama"

   Teriak Ki Watu Kendeng "aku mengerti, apa yang dapat dilakukan oleh iblis itu"

   Gagak Branang tertawa keras-keras.

   Semakin lama menjadi semakin keras.

   Diantara derai tertawanya terdengar ia berkata "Kalian mulai berputus asa.

   Baik.

   Aku mengakui, bahwa aku tidak akan dapat melawan sepuluh orang sekaligus.

   Tetapi aku tidak sendiri.

   Aku datang berdua dengan pengiringku.

   Nah, dengan demikian, kalian tidak akan dapat melawan aku.

   Apalagi jika saudara- saudara seperguruanku datang pula saat ini"

   "Jangan menakut-nakuti"

   Desis Ki Watu Kendeng "kau memang hanya berdua"

   Sementara itu, salah seorang dari ketiga orang saudara seperguruan Gagak Branang berkata "Ia sudah menyebut kita bertiga"

   "Jika demikian, marilah. Apa yang kita tunggu lagi?"

   Sahut yang lain. Yang seorang terdiam sejenak. Namun kemudian Katanya "Marilah Kita meloncat dinding"

   "Tunggu"

   Desis yang lain "aku akan mempersiapkan diri untuk tertawa. He, bukankah dengan tertawa kita akan menjadi semakin garang?"

   "Suara tertawamu jelek. Biar aku sajalah yang tertawa seperti guntur. Aku sudah mempelajari gelap ngampar serba sedikit"Ketiga orang itupun segera mempersiapkan diri. Sejenak kemudian, di saat ketegangan di halaman memuncak, terdengarlah suara tertawa meledak. Setiap orang di halaman itupun berpaling. Mereka dengan berdebar-debar melihat tiga orang berloncatan dinding halaman. Dalam pada itu, maka Gagak Branangpun berteriak lantang "Lihatlah. Saudara-saudaraku yang setia itu telah datang"

   "Gila"

   Geram Ki Watu Kendeng "jadi kau memang sudah mempersiapkan perampokan ini"

   "Jangan menyesali apa yang terjadi, kakang"

   Jawab Gagak Branang "jika kau masih ingin hidup, menyingkirlah. Sudah aku katakan, aku masih segan membunuhmu"

   "Persetan"

   Geram Ki Watu Kendeng "bunuhlah aku paling dahulu"

   Tiba-tiba saja Ki Watu Kendeng menarik kerisnya yang besar yang melekat di punggung.

   Dengan tangkasnya ia meloncat menusuk dada adiknya yang telah mengkhianatinya itu.

   Tetapi Gagak Branang mampu bergerak lebih cepat.

   Ia bergeser selangkah, sehingga tusukan Ki Watu Kendeng tidak mengenainya.

   Serangan itu telah merupakan aba-aba yang melibatkan semua orang di halaman itu untuk bertempur.

   Sementara ketiga saudara Gagak Branang itupun segera turun pula memasuki arena.

   Dalam pada itu, orang-orang Watu Kendeng menjadi termangu-mangu.

   Kuda Pramujapun berdiri sajakebingungan.

   Tetapi sejenak kemudian, ketika ia melihat ayahnya mulai bertempur, maka iapun berteriak "Jangan bingung.

   Aku bukan pengecut seperti yang dikatakan oleh paman.

   Aku hanya bingung.

   Tetapi aku sekarang sudah mengerti apa yang sebenarnya terjadi"

   Orang-orang Watu Kendeng yang termangu-mangu itupun segera menemukan sikap.

   Merekapun segera turun ke arena bersama Kuda Pramuja.

   Tetapi mereka pada umumnya tidak siap untuk bertempur.

   Mereka tidak membawa senjata yang memadai, selain sebilah keris, karena mereka memang tidak bersiap untuk bertempur.

   Mereka datang untuk melamar.

   Sementara itu, orang-orang padepokan Kenanga yang telah menduga bahwa akan terjadi kekerasan, telah bersiap- siap meskipun masih tersembunyi.

   Tetapi demikian pertempuran terjadi, maka salah seorang dari mereka telah dengan tergesa-gesa mempersiapkan senjata daa menyerahkan kepada Makerti, Gemak Werdi dan ketiga orang murid tertinggi padepokan Kenanga.

   Meskipun mereka masih belum selesai, tetapi mereka telah memilik' bekal yang cukup untuk menjaga dirinya^sendiri.

   Namun ternyata lawan mereka adalah orang-orang yang luar biasa.

   Di halaman itu adalah lima orang yang memiliki kemampuan melampaui setiap orang yang ada di padepokan itu, Bahkan Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajrapun tidak akan dapat mengimbanginya.

   Hanya karena jumlah mereka yang lebih banyak, maka merekapun dapat berusaha, untuk membatasi gerak lawan mereka dengan bertempur berpasangan.

   "Gila"

   Desis Ki Selabajra "ternyata orang itu memang licik, selain memiliki kemampuan yang luar biasa"Namun dalam pada itu, sejenak kemudian maka segera nampak, betapa lemahnya orang-orang Watu Kendeng dan orang-orang padepokan Kenanga.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra sendiri, yang bagi orang-orang Watu Kendeng dan orang-orang Kenanga merupakan puncak dari ilmu mereka, sama sekali tidak berdaya menghadapi Gagak Branang dan saudara-saudara seperguruannya.

   Karena itu, meskipun mereka berjumlah jauh lebih banyak, namun merekapun segera terdesak.

   Bahkan ketika orang-orang Watu Kendeng telah mendapatkan senjata yang memadai dari orang-orang padepokan Kenanga, ternyata mereka tidak dapat berbuat banyak.

   Dalam keadaan yang demikian, maka orang-orang Watu Kendeng dan orang-orang padepokan Kenanga sama sekali tidak dapat berharap lagi.

   Sejenak kemudian, maka mereka akan segera dibinasakan, sementara padepokan itu akan menjadi abu.

   Tetapi yang paling menyedihkan bagi Ki Selabajra dan juga Ki Watu Kendeng adalah anak gadis padepokan Kenanga itu.

   Namun bagaimanapun juga, orang-orang Kenanga dan orang-orang Watu Kendeng telah bertempur dengan sengitnya.

   Mereka memang sudah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali dengan sepenuh kemampuan mempertahankan diri mereka.

   Gagak Branang, seorang pengiringnya dan ketiga orang saudara seperguruannyapun segera merasa, bahwa tugas mereka tidak akan sangat berat.

   Mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu.

   Seorang demi seorang, lawan mereka akan dapat mereka lumpuhkan, sehingga akhirnya akan sampai kepada orang terakhir.

   Dalam pada itu, terdengar suara Gagak Branang lantang "Selagi kalian masih mendapat kesempatan.

   Lakukanlahperintahku.

   Siapa yang ingin hidup, minggirlah dan bawa gadis itu kemari.

   Aku akan membawanya dan menjadikannya isteri yang keempat belas"

   Penghinaan itu benar-benar telah membakar jantung Ki Selabajra.

   Namun betapapun juga ia tidak mampu berbuat banyak.

   Serangannya yang keras dan cepat, sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh lawannya.

   Tetapi karena Ki Selabajra bertempur berpasangan dengan Ki Watu Kendeng, maka Gagak Branang memang harus berhati-hati.

   Melawan kedua,orang itu, ia tidak dapat mengabaikan seperti menghadapi orang-orang yang lain, meskipun baginya kedua orang itu tidak akan mungkin mengalahkannya.

   "Aku akan menghitung sampai sepuluh"

   Teriak Gagak Branang "siapa yang tidak minggir dari arena, maka mereka akan mati"

   Setiap orang menjadi berdebar-debar. Keteganganpun segera memuncak ketika Gagak Branang benar-benar mulai menghitung "Satu, dua, tiga, empat"

   Suara Gagak Branang lantang "lima, enam, tujuh, delapan, sembilan"

   Suara Gagak Branang terputus, ketika tiba-tiba saja terdengar suara seorang perempuan "Tidak perlu kau mengucapkan angka kesepuluh"

   Suara itu benar-benar mengejutkan. Ketika mereka yang sedang bertempur itu berpaling, maka mereka melihat seorang gadis yang berdiri di muka pintu menyandang pedang di lambung.

   "Ken Padmi"

   Ki Selabaira berteriak "menyingkirlah"

   "Tidak ayah. Aku tidak akan menyingkir"

   Jawab Ken Padmi."Jangan bodoh"

   Makertipun berteriak. Tetapi Ken Padmi masih, berdiri di tempatnya. Dengan lantang ia berkata "Ayah. Pusat dari persoalan ini ada padaku"

   "Ya. Tetapi menyingkirlah"

   Semua orang menjadi heran melihat Ken Padmi justru tersenyum. Untuk sesaat pertempuran itu justru telah berhenti.

   "Ayah"

   Berkata Ken Padmi "jika ayah mengijinkan, biarlah aku mencari penyelesaian dari persoalan ini"

   "Apa yang kau maksud?"

   "Seandainya ada perkelahian, jangan menyangkutkan orang yang tidak bersalah"

   Orang-orang yang berdiri di halaman itu pun menjadi semakin tidak mengerti.

   Mereka melihat Ken Padmi berdiri tegak tanpa kecemasan sama sekali.

   Ki Selabajra yang mencemaskan nasib anaknya itupun kemudian melangkah naik ke pendapa.

   Tatapi anaknya sudah berteriak "Aku akan mengadakan sayembara tanding"

   "Sayembara tanding"

   Setiap mulut telah mengulang.

   "Ya. Sayembara tanding. Aku akan memilih seorang yang akan melindungi aku. Siapa pun yang dapat mengalahkannya, maka ia berhak atas aku, apa pun yang akan dilakukannya. Apakah aku akan dijadikan istrinya yang ke duapuluh lima, atau akan dijadikan budak belian, aku sama sekali tidak berkeberatan. Apa pun yang akan diperlakukan terhadapku, aku akan menyerah"

   Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang meledak.

   Gagak Branang tidak dapat menahan gejolak persasaannya.

   Sambil meloncat ke depan ia berteriak"Bagus.

   Suatu sikap yang adil dan terpuji.

   Segera tunjukkan kepadaku, laki-laki yang manakah yang akan kau pilih?"

   "Apakah harus seorang laki-laki?"

   Bertanya Ken Padmi. Pertanyaan itu agak membingungkan Gagak Branang dan setiap orang yang mendengarnya. Bahkan Ki Selabajra pun bertanya dengan gagap "

   Apakah kau, kau sendiri yang akan memasuki arena sayembara tanding itu?"

   Ken Padmi tertawa, sehingga ayahnya menjadi heran. Ia sama sekali tidak melihat kecemasan di wajah gadis itu.

   "Apakah ia menjadi berputus asa dan ingin membunuh diri?"

   Bertanya Ki Selabajra di dalam hatinya.

   Namun dalam pada itu Ken Padmi menjawab "Aku hanya bertanya saja, ayah.

   Tetapi aku memang akan menunjuk seorang laki-laki yang ada di padepokan ini.

   Bertempur sampai tuntas.

   Aku tidak mengatakan mati, karena menyerah juga berarti kalah"

   "Tidak"

   Teriak Gagak Branang "bertempur sampai mati"

   "Akulah yang mengadakan sayembara. Karena itu, akulah yang menentukan syarat-syaratnya. Jika tidak, maka sayembara itu batal, dan aku akan membunuh diri sekarang"

   "Jangan gila"

   Teriak Gagak Branang.

   "Nah, kau sudah mendengar. Apakah kau setuju?"

   "Persetan"

   Geram Gagak Branang, lalu "tunjukkan, siapakah yang kau pilih"

   Sejenak Ken Padmi termangu-mangu.

   Namun kemudian diedarkan tatapan matanya berkeliling.

   Dipandanginya ayahnya yang berdiri dengan tegang.

   Kemudian Makerti, Gemak Werdi, saudara sepupunya, kemudian murid-murid ayahnya yang lain.

   Namun tatapan matanya masih sajabergerak ke arah orang-orang Watu Kendeng.

   Ketika gadis itu memandang Ki Watu Kendeng, Gagak Branang berteriak "Jangan kakakku.

   Aku masih menghormatinya"

   "Aku menyediakan diri"

   Teriak Ki Watu Kendeng.

   Tetapi Ken Padmi menggeleng.

   Kemudian ditatapnya wajah Kuda Pramuja tajam-tajam.

   Ternyata anak muda itu memang bukan seorang pengecut.

   Sambil menengadahkan dadanya ia bergeser maju.

   la mengerti, betapa tinggi ilmu pamannya.

   Dan ia pun mengerti bahwa ia tidak akan dapat mengimbanginya.

   Namun ia adalah laki-laki seperti juga pamannya seorang laki-laki.

   Namun akhirnya Ken Padmi menggelengkan kepalanya.

   "Tidak. Tidak seorang pun di halaman ini yang aku pilih. Karena itu aku akan memilih seorang cantrik yang tidak masuk hitungan"

   "Kau gila"

   Teriak Gagak Branang.

   Ken Padmi tersenyum.

   Kemudian ia mundur selangkah dan menarik sebuah tangan dari sisi pintu.

   Ketika seorang laki-laki muncul, maka gemparlah halaman padepokan Kenanga.

   Terutama orang-orang padepokan itu sendiri.

   Dengan mulut ternganga mereka berdesis "Mahisa Bungalan.

   Kenapa ia berada di sini?"

   Sementara itu Ken Padmipun mendorong Mahisa Bungalan ke tengah-tengah pendapa. Cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan jatuh ke wajahnya yang tegang.

   "Gila"

   Teriak Gagak Branang "siapakah laki-laki itu?"

   "Ia adalah pekatik ayahku. Ia bukan muridnya dan ia bukan seorang yang garang seperti kau. Tetapi ia sudahbersedia untuk memasuki arena, mewakili kawan- kawannya dari padepokan Kenanga"

   Gagak Branang termangu-mangu sejenak.

   Dengan tegang dipandanginya laki-laki yang berdiri di tengah- tengah pendapa, itu.

   Menilik bentuk tubuhnya, maka ia adalah seorang yang memiliki ilmu kanuragan.

   Sejenak Gagak Branang termangu-mangu.

   Namun kemudian ia berkata "Ken Padmi, apakah pekatik sudah jemu hidup?"

   "Ia tidak perlu mati"

   Jawab Ken Padmi.

   "Tetapi jika ia mati sebelum menyatakan diri menyerah?"

   Bertanya Gagak Branang.

   "Itu salahnya sendiri. Tetapi mungkin ia tidak akan terlambat. Mungkin demikian ia memasuki arena, demikian ia akan menyatakan menyerah"

   "Persetan. Engkau mempermainkan aku he?"

   Ken Padmi tidak menjawab.

   la hanya tertawa kecil sambil memandang Mahisa Bungalan yang masih berdiri diam.

   Dalam pada itu.

   Gagak Branang memang menjadi berdebar-debar.

   Nampaknya orang-orang padepokan Kenanga menjadi tenang ketika orang yang disebutnya pekatik itu berada di pendapa.

   Karena itulah ia menjadi curiga.

   Meskipun demikian, kepercayaannya kepada diri sendiri memang terlalu besar.

   Betapapun tinggi ilmu orang- orang padepokan Kenanga, namun tidak akan ada seorangpun yang dapat mengimbanginya dalam olah kanuragan.

   Karena itu, dengan wajah yang merah Gagak Branang berteriak "Marilah, cepat.

   Apalagi yang kau tunggu.Apakah kau menyesal bahwa kau sudah menyediakan dirimu menjadi pahlawan di padepokan kecil yang tidak berarti ini? Lihat.

   Disini ada Ki Selabajra.

   Dua orang pemimpin padepokan Kenanga dan Watu Kendeng tidak dapat mengimbangi aku.

   Apalagi kau.

   Kau tentu bukan murid terpercaya.

   Atau kau sekedar dijadikan umpan yang tidak berarti sama sekali?"

   Mahisa Bungalan menarik nafas-dalam-dalam.

   Namun kemudian, ia melangkah maju sambil berkata "Aku memang telah menyediakan diriku apapun yang akan terjadi atasku.

   Bagi seorang gadis, maka sayembara adalah bebana.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yang paling terhormat dari bebana itu adalah perang tanding.

   Kalah atau menang memang bukan persoalan pokok.

   Tetapi perang tanding itulah yang menentukan harga seorang gadis.

   Jika ia direbut dengan titik darah, maka ia adalah gadis yang berharga.

   Tidak seorangpun yang akan bersedia mengorbankan badannya apalagi, nyawanya, bagi seorang gadis yang tidak akan berarti apa-apa bagi hidupnya.

   Sebaliknya, jika ia seorang gadis yang sangat berharga baginya, maka seseorang akan bersedia merebutnya dengan taruhan yang paling mahal.

   Yaitu hidupnya"

   Gagak Branang tergetar hatinya.

   Jawaban itu telah menyentuh perasaannya, seolah-olah pertanyaan baginya, apakah Ken Padmi memang suatu keyakinan, bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat mengalahkannya.

   Tetapi semuanya telah terlanjur terjadi.

   Baginya, keinginannya untuk membawa gadis itu apapun namanya, tidak, akan dapat dihalanginya.

   Justru karena ia yakin, tidak seorangpun yang dapat mencegahnya, maka iapun kemudian berkata lantang "He, cantrik yang dungu.

   Kau jangan membuat penilaian menurut kedunguanmu.

   Seorang gadis yang manapun juga, tidak ada yang cukup bernilaiaku rebut dengan taruhan nyawa.

   Tetapi karena aku tahu, bahwa yang ada hanyalah tikus-tikus kecil, maka aku datang untuk mengambilnya.

   Seandainya aku harus membunuh tiga atau empat orang dari padepokan Kenanga atau Watu Kendeng, maka nyawa mereka tidak akan berarti apa-apa bagi kesenanganku, meskipun mungkin hanya sesaat.

   Mungkin satu atau dua hari, jika ia bernasib baik, maka mungkin, sepekan atau dua pekan, Ken Padmi akan aku anggap sebagai isteriku.

   Tetapi pada saatnya ia akan aku singkirkan juga seperti perempuan-perempuan yang lain yang pernah ada padaku.

   Itu bukan apa-apa.

   Dan kematian kalian di padepokan ini dan padepokan Watu Kendengpun bukan apa-apa.

   Karena itu jangan menganggap bahwa Ken Padmi adalah perempuan yang sangat berarti bagiku"

   "Gila"

   Teriak Ken Padmi yang maju selangkah. Tetapi terdengar suara Mahisa Bungalan berbisik "Sabarlah. Kau berjanji untuk menyerahkan Semuanya kepadaku"

   Ken Padmi menggeretakkan giginya. Tetapi ia berusaha untuk menahan perasaannya.

   "Jangan marah"

   Terdengar suara Gagak Branang "itulah nilaimu yang sebenarnya"

   "Bagus"

   Jawab Mahisa Bungalan "untuk seorang gadis yang tidak berharga kau telah memaksa diri untuk memanggil saudara-saudara seperguruanmu"

   "Aku memanggilnya untuk menyaksikan apa yang akan aku lakukan"

   Jawab Gagak Branang.

   "Itulah gambaran warna hatimu yang sebenarnya. Buram, seperti buramnya kata-katamu. Tetapi adalah suatu kehormatan, bahwa kau telah sudi merebut gadis padepokan Kenanga dengan kekerasan dan perang tanding.Bagaimana juga penilaianmu. Lebih berharga lagi, adalah karena semula kau ingin memperalat kemanakanmu. He, bukankah kau datang melamar Ken Padmi untuk Kuda Pramuja. Yang barangkali kau memang ingin merampasnya kelak dengan cara apapun juga"

   "Diam, Cepat turun ke arena. Jangan berbicara saja seperti orang gila"

   Potong Gagak Branang.

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Kemudian iapun melangkah maju dan kemudian selangkah demi selangkah ia menuruni tangga pendapa.

   Demikian ia berdiri di halaman, maka Gagak Branangpun berteriak "Jadilah saksi.

   Bahwa perkatik yang gila ini akan segera terkapar mati.

   Menyerah atau tidak menyerah.

   Aku akan membunuhnya.

   Tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi aku.

   Kata-kataku adalah peraturan yang berlaku, karena aku dapat berbuat apa saja menurut kehendakku"

   Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia bergeser maju mendekat. Gagak Branang mengerutkan keningnya. la melihat pekatik itu benar-benar seperti orang gila yang tidak sadar apa yang sedang dilakukannya.

   "Pilinlah senjata"

   Teriak Gagak Branang "perang tanding ini bersenjata"

   "Apapun yang ada dapat aku pakai sebagai senjata"

   Jawab Mahisa Bungalan. Jawaban itu benar-benar menyakitkan hati. Tiba-tiba saja ia berteriak "Beri ia senjata. Cepat, sebelum aku membunuhnya"Hampir diluar sadarnya, Makerti telah meloncat maju sambil mengulurkan pedangnya.

   "Apakah kau bersenjata rangkap Makerti?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Kau yang akan berperang tanding"

   "Tetapi orang-orangnya akan dapat berbuat curang. Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan"

   "Aku mempunyai sebilah pisau belati panjang"

   "Itu saja berikan kepadaku. Pergunakan pedangmu jika perlu"

   Percakapan itu benar-benar dirasa sebagai suatu penghinaan bagi Gagak Branang yang merasa dirinya orang yang tidak ada duanya. Karena itu, maka iapun berteriak "Aku akan bersenjata sebilah keris. Kita akan mempergunakan senjata pendek"

   Yang terdengar adalah suara Makerti "Keris jauh lebih berbahaya dari sebilah pisau belati.

   Jika warangan keris itu tajam, maka sebuah goresan kecil, jika terlambat diobati, akan menyeretmu ke kematian.

   Karena itu, meskipun bukan sebuah pusaka linuwih, pergunakan kerisku Mahisa Bungalan"

   Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya "Terima kasih Makerti. Mudah-mudahan aku dapat memenuhi kewajiban ini sebaik-baiknya"

   "Lakukanlah. Kau bukan saja pelaksana sayembara tanding. Tetapi kau peserta sayembara itu sendiri"

   Makerti berdesis perlahan.

   "Ah"

   Mahisa Bungalan berdesis.

   Sekali lagi Gagak Branang merasa terhina.

   Karena itu maka iapun berteriak "Cepat.

   Aku akan segera mulai"Mahisa Bungalanpun bergeser lebih ke tengah.

   Sementara orang-orang yang berada di halaman itu mengerumuninya dalam kelompok-kelompok yang, bersiap- siap menghadapi segala kemungkinan Di pendapa Ken Padmi berdiri tegak dalam pakaian khususnya-dan sebilah pedang di lambung.

   Ia adalah pewaris yang paling lengkap dari ilmu padepokan Kenanga, melampaui murid-murid laki-laki yang paling terpercaya dari padepokan itu.

   Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.

   Ia teringat saat-saat ia memasuki padepokan itu bersama Makerti.

   Padepokan itu menerimanya dengan curiga dan bahkan terjadi arena perkelahian seperti yang terjadi malam itu.

   "Jangan tertidur"

   Teriak Gagak Branang "

   Atau kau menyesal?"

   Mahisa Bungalan memang sudah tidak sabar lagi.

   Sekilas dipandanginya wajah ketiga saudara seperguruannya yang tegang.

   Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata "Kau sempat juga bermain-main dengan pekatik gila itu.

   Tetapi ada juga baiknya, jika darah telah membasahi halaman ini, maka orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng akan menggigil ketakutan"

   "Aku tidak berarti apa-apa bagi Kenanga"

   Sahut Mahisa Bungalan "aku hanya seorang pekatik. Tetapi jika benar darahku menitik, maka halaman ini tentu akan mendidih. Kekuatan padepokan ini memang harus dipancing dengan titik darah. Kali ini darahkulah yang akan dikorbankannya"

   Jawaban yang seenaknya itu, ternyata berpengaruh bagi saudara seperguruan Gagak Branang. Bahkan salah seorang berteriak "Bunuh orang itu tanpa menitikkan darah. Cekik saja ia sampai mati""Persetan. Jangan percaya kepada igauan itu"

   Teriak Gagak Branang.

   Halaman itupun kemudian menjadi hening.

   Mahisa Bungalan benar-benar telah mempersiapkan diri.

   Ia tidak dapat mengabaikan lawannya yang belum diketahui dengan pasti tingkat kemampuannya.

   Ia sudah mencoba mengintip saat Gagak Branang bertempur.

   Dan ia memang sudah mendapat sedikit petunjuk bahwa Gagak Branang memang seorang vang mempunyai ilmu yang tinggi.

   Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah bersiap dengan keris di tangan masing-masing.

   Setapak mereka bergeser.

   Kemudian dengan garangnya, Gagak Branang telah mulai menyerang dengan mengayunkan kerisnya, menyambar kening.

   Tetapi Mahisa Bungalan yang sudah bersiap, sempat mengelak.

   Bahkan dengan tangkasnya pula ia menyerang tangan Gagak Branang.

   Ia ingin menggoreskan ujung keris Makerti, karena ia tahu, bahwa keris itu mengandung warangan yang keras, meskipun iapun telah menduga, bahwa Gagak Branang tentu mempunyai obat penawarnya.

   Namun kejutan yang demikian akan mempengaruhi perasaan lawannya jika ia berhasil.

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak berhasil.

   Dengan cepat Gagak Branang menarik, tangannya sehingga ujung keris Mahisa Bungalan tidak menyentuhnya.

   Tetapi dengan demikian, mereka masing-masing dapat menjajagi kecepatan gerak masing-masing.

   Gagak Branang menjadi berdebar-debar dan hampir tidak percaya bahwa pekatik padepokan Kenanga itu mampu bergerak demikian cepat dan tangkas.

   Bahkan kemudian ia benar-benar menjadi curiga, karena tata gerak Mahisa Bungalan selanjutnya.Gagak Branang yang marah itupun kemudian menyerang lawannya dengan gerakan yang cepat dan keras.

   Kerisnya seolah-olah mematuk dari segala arah.

   Dengan loncatan-loncatan panjang, Gagak Branang berusaha memecah perhatian lawan dengan arah serangan yang berputar.

   Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak menjadi bingung.

   Kakinya justru bagaikan terhunjam ke dalam tanah.

   Pahanya berputar dengan menggerakkan satu kakinya, menghadap kesegala arah datangnya serangan, sehingga seolah-olah Mahisa Bungalan pada setiap saat telah berdiri menghadap kesegala arah.

   Gagak Branang mulai menjadi gelisah.

   Tetapi kemarahannya telah membuat semakin bernafsu.

   Ia menyerang lawannya bagaikan badai yang mengamuk.

   Tetapi Mahisa Bungalan berdiri bagaikan batu karang yang tidak tergoyahkan.

   Kedua orang itu ternyata benar-benar memiliki ilmu yang tinggi.

   Mereka mampu mempergunakan senjata pendek di tangannya dengan cepat, berbahaya dan hampir diluar nalar.

   Tetapi ternyata bahwa keduannya selalu berhasil menghindarkan diri mereka dari goresan senjata lawannya.

   Dalam pada itu, kemarahan Gagak Branangan rasa- rasanya tidak tertahankan lagi.

   Kepalanya bagaikan berdenyut dan jantungnya seolah-olah akan meledak.

   Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa usahanya akan terbentur pada kenyataan yang sama sekali tidak diduganya.

   Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, maka Gagak Branang telah melihat lawannya bagaikan angin pusaran.

   Ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuranitu dengan membunuh lawannya, dengan tidak saja menggoreskan ujung kerisnya, tetapi dengan menghunjamkannya ke dalam dada pekatik yang sombong itu.

   Tetapi usaha itu tidak segera dapat berhasil.

   Lawannya terlalu cepat bergerak dan terlalu cekatan mempermainkan senjatanya.

   Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun semakin meningkatkan ilmunya.

   Ia ingin menggoreskan kerisnya.

   Tetapi karena lawannya bertempur dengan kasar dan keras, Mahisa Bungalan justru menjadi ragu-ragu.

   Jika kerisnya tidak hanya menggores kecil, tetapi menusuk cukup dalam, maka keadaan lawannya itu akan menjadi sangat gawat.

   Mahisa Bungalan sama sekali tidak ingin membunuh lawannya, meskipun dari peristiwa itu ia mengetahui, bahwa Gagak Branang, bukanlah seorang yang baik seperti Ki Watu Kendeng.

   Tetapi kedua kakak beradik itu ternyata mempunyai sifat yang jauh berlainan.

   Pada saat-saat pertempuran itu menjadi semakin meningkat, maka orang-orang padepokan Kenanga semakin lama menjadi semakin yakin akan kemampuan Mahisa Bungalan.

   Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng memperhatikan pertempuran itu dengan tatapan mata tanpa berkedip.

   Mereka benar-benar kagum melihat katangkasan Mahisa Bungalan.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bahkan mereka melihat, bahwa Mahisa Bungalan masih belum sampai pada puncak kemampuannya.

   Ia masih melihat sepercik keragu-raguan pada setiap serangannya.

   Berbeda dengan Gagak Branang yang marah.

   Dengan kasar dan buas ia telah memeras segenap kemampuannya untuk membunuh Mahisa Bungalan.Tetapi ternyata kemampuannya tidak seimbang dengan kegarangan kata-katanya menghadapi Mahisa Bungalan yang mengaku sebagai seorang pekatik dari padepokan Kenanga itu.

   Bahkan Ki Watu Kendeng yang tidak dapat menahan perasaannya lagi, bergeser sambil bertanya "Apakah benar ia seorang pekatik padepokan ini?"

   Di luar sadarnya Ki Selabajra mengangguk sambil menjawab "Ya, ia seorang pekatikku yang baru"

   "Baru?"

   Ki Selabajra seolah-olah sadar dari mimpinya. Dengan tergagap ia menjawab "Ya, ya. Ia seorang yang baru di padepokan ini"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Kemudian ia berbisik lagi "Kau tahu, darimana ilmunya itu dipelajarinya? Tentu bukan dari Ki Selabajra"

   "Bukan. Ia datang sudah dengan ilmunya. Ia memang bukan muridku. Bahkan sepantasnya akulah yang menjadi muridnya"

   Sahut Ki Selabajra. Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya pula "Apakah ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Selabajra?"

   Ki Selabajra menggeleng sambil menjawab "Tidak. Tidak ada hubungan keluarga. Ia datang seperti runtuhnya daun kering. Dan ia pergi, seperti disapu angin"

   "Pergi? Bukankah ia masih ada di sini?"

   Ki Watu Kendeng menjadi heran.

   Ki Selabajra terkejut mendengar keterangannya sendiri.

   Dengan serta merta ia menyambung "Maksudku, ia datang tanpa aku ketahui dari mana asal-usulnya.

   Dan sudah barang tentu, pada suatu saat, ia akan pergi begitu sajatanpa alasan apapun dan kemana ia akan pergi.

   Padepokan ini terlalu kecil dan tidak mempunyai arti apa-apa sama sekali baginya"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk.

   Pertempuran itu memang menjadi semakin seru.

   Gagak Branang bertempur semakin kasar dan bahkan seolah-olah menjadi liar dan buas oleh kenyataan yang dihadapinya.

   Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi semakin yakin bahwa saatnya menjadi semakin dekat untuk menjatuhkan lawannya.

   Jika saja ia tidak memperhitungkan kemungkinan untuk tetap mengalahkan lawannya tanpa melukainya, sehingga dapat mengancam jiwanya, maka ia sudah dapat menyelesaikan pertempuran itu.

   Yang menjadi tegang dan berdebar-debar adalah saudara-saudara seperguruan Gagak Branang.

   Mereka melihat apa yang telah terjadi.

   Karena merekapun memiliki kemampuan untuk menilai keadaan itu, maka merekapun mengerti, bahwa kemampuan Gagak Branang ternyata tidak dapat mengimbangi kemampuan lawannya yang disebut sebagai pekatik dari padepokan Kenanga.

   Ketiganya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat, bagaimana Mahisa Bungalan mulai memaksa lawannya untuk memeras segenap kemampuannya, untuk kemudian dilumpuhkannya.

   "Gila"

   Desis salah seorang dari mereka "orang ini memang gila. Ilmu iblis manakah yang telah dimilikinya sehingga ia mampu mengalahkan kakang Gagak Branang"

   Yang lain tidak menjawab.

   Salah seorang dari mereka justru mengedarkan tatapan matanya ke seputarnya.

   Ia melihat orang-orang Padepokan Kenanga dan orang-orang padepokan Watu Kendeng sedang asyik memperhatikanpertempuran itu, sehingga mereka tidak menghiraukan lagi ketiga saudara seperguruan Gagak Branang itu.

   Untuk beberapa saat lamanya mereka masih menahan diri.

   Tetapi diam-diam mereka telah mempersiapkan sebuah serangan yang tiba-tiba untuk menghancurkan orang-orang padopokan Kenanga dan orang-orang Padepokan Watu Kendeng.

   Dengan demikian, maka pekatik itu tentu akan terpengaruh sehingga perlawanannya akan dapat dipatahkan oleh Gagak Branang.

   Ketika pertempuran antara Gagak Branang dan Mahisa Bungalan menjadi semakin seru, maka mereka mulai saling menggamit dan memberi isyarat.

   Sesaat lagi akan mulai dengan sebuah serangan tiba-tiba.

   Orang-orang padukuhan Kenanga dan orang-orang padukuhan Watu Kendeng memang tidak memperhatikan mereka.

   Pertempuran yang seru itu membuat mereka lengah.

   Apalagi ketika mereka mulai melihat, bahwa Mahisa Bungalan telah berhasil menguasai lawannya yang menjadi semakin letih.

   Namun pada saat ketiga orang itu siap memutar senjatanya dan menyerang setiap orang, maka tiba-tiba saja pekatik yang sedang bertempur itu berteriak "Berhati- hatilah.

   He Makerti, Gemak Werdi, Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng.

   Ketiga saudara seperguruan yang setia itu akan berbuat curang"

   Peringatan itu diberikan pada waktu yang tepat.

   Pada saat ketiga orang itu berloncatan.

   Makerti, Gemak Werdi dan murid-murid padepokan Kenanga yang lainpun segera berpencar.

   Demikian pula Ki Watu Kendeng, Kuda Pramuja dan para pengiringnya.

   Mereka segera menyesuaikan diri menghadapi setiap kemungkinan yang akan berkembang di halaman itu."Gila"

   Geram pengiring Gagak Branang "mereka tidak mampu menahan diri lagi"

   Namun iapun tidak dapat berbuat lain. Karena ketiga saudara seperguruan Gagak Branang itu sudah mulai, maka iapun telah hanyut pula pada arus pertempuran yang melanda halaman padepokan itu.

   "Curang"

   Tiba-tiba terdengar suara Ken Padmi melengking "aku masih merasa terikat pada janji sayambara tanding"

   "Persetan"

   Teriak Gagak Branang "lakukanlah menurut apa yang kalian ingini. Kami akan melakukan sesuai dengan keinginan kami"

   "Kalian bukan orang-orang jantan"

   Sambut Ken Padmi.

   "Apapun namanya, tetapi kau akan menjadi rampasanku nanti jawab Gagak Branang. Namun Gagak Branang tidak menyadari, bahwa jawabannya itu telah membunuh gejolak di hati Mahisa Bungalan Namun demikian, Mahisa Bungalan masih belum kehilangan nalarnya sehingga masih tetap pada niatnya untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya. Sementara itu, di halaman padepokan itu, pertempuran telah menyala lagi dengan dahsyatnya. Empat orang pengikut Gagak Branang harus bertempur melawan seisi padepokan Kenanga dan orang-orang dari padepokan Watu Kendeng, termasuk diantara mereka adalah Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng sendiri. Hanya karena jumlah yang jauh lebih banyak, maka orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng mampu bertahan. Meskipun dengan demikian, lambat laun nampak juga, bahwa mereka mengalami kesulitan. Ketiga saudara seperguruan Gagak Branang, meskipun masihbelum setingkat dengan Gagak Branang sendiri, namun mereka masih merupakan orang-orang yang luar biasa bagi kedua padepokan itu. Dengan demikian, maka orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng telah mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Merekapun mulai mengenal ilmu kanuragan yang sebenarnya. Mereka mulai melihat, betapa garangnya dunia ilmu kanuragan yang telah mengguncangkan padepokan mereka. Dan dengan demikian mereka mulai melihat, betapa kecilnya arti padepokan mereka yang selama itu mereka anggap sebagai tempat terbaik untuk menyadap ilmu tertinggi. Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Gagak Branangpun melihat, bahwa orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng mulai mengalami kesulitan lagi. Karena itulah, maka ia mulai membuat pertimbangan- pertimbangan tersendiri mengenai lawannya. Jika Mahisa Bungalan terikat kepada niatnya untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya, maka ia masih harus bertempur berhati-hati. Ia dapat melukai lawannya, tetapi sekedar goresan yang tidak terlalu dalam, sehingga luka itu masih sempat diobati. Tetapi jika goresan luka itu terlalu dalam menghunjam ke dalam kulit, sehingga menyentuh urat darah yang lebih besar, maka akan sulitlah bagi lawannya untuk mengobati lukanya itu. Tetapi dengan demikian, mungkin akan mempunyai arti yang lain bagi orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng. Mungkin pada saat-saat sebelumnya, satu dua orang dari mereka telah lebih dahulu jatuh menjadi korban. Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan membuat pertimbangan tersendiri.Dalam pada itu, pertempuran di halaman itupun menjadi semakin seru. Kuda Pramuja ternyata telah bertempur dengan tangkasnya tanpa mengenal takut meskipun ia sadar, bahwa lawannya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kemarahannya tidak dapat ditahankannya lagi, karena ia sadar bahwa pamannya telah memperlakukannya sebagai permainan untuk kepentingannya sendiri. Seolah-olah ia adalah anak muda paling dungu di muka bumi. Kemarahan itulah yang membuatnya menjadi bermata gelap dan kurang memperhitungkan keadaan lawannya. Darahnya yang bagaikan mendidih itu telah mendorongnya untuk bertempur tanpa menghiraukan apapun juga. Tanpa menghiraukan kemungkinan-kemungkinan pahit yang dapat terjadi di atas dirinya. Tetapi lawan Kuda Pramuja adalah orang yang memiliki ilmu yang jauh lebih matang dari ilmunya. Apalagi mereka benar-benar orang yang tidak mempunyai pertimbangan perasaan sama sekali. Yang mereka ketahui, di dalam pertempuran, maka mereka akan membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Itulah sebabnya, maka ketika salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang itu merasa terdesak karena lawannya yang terlalu banyak, ia tidak membuat perhitungan sama sekali atas lawannya. Ia tidak mau tahu, seorang demi seorang. Karena itulah, maka ketika terbuka kesempatan, maka iapun telah mempergunakannya sebaik- baiknya. Dengan loncatan panjang ia menghindari beberapa ujung senjata yang mengarah ketubuhnya. Namun pada saat itu, Kuda Pramuja yang marah, tidak mau melepaskannya. Dengan tergesa-gesa karena nalarnya yang buram olehkemarahan ia menyerang tanpa memperhitungkan kawan- kawannya yang masih belum bersiap menyusulnya. Kesempatan itu telah dipergunakan oleh lawannya sebaik-baiknya. Kesendirian Kuda Pramuja itu telah membuatnya bernasib buruk. Ketika ia menyerang dengan menjulurkan pedang yang didapatkannya dari orang-orang padepokan Kenanga, lawannya telah siap menghadapinya. Dengan sebuah putaran pedang yang cepat dan kuat melibat pedangnya, maka Kuda Pramuja tidak berhasil mempertahankannya, sehingga pedang itu terloncat dari tangannya. Beberapa orang pengiringnya melihat hal itu terjadi. Merekapun berloncatan menyusul. Tetapi ternyata mereka datang terlambat. Mereka melihat, bagaimana dengan cepatnya ujung pedang salah seorang saudara seperguruan Gagak branang itu menusuk dadanya. Demikian cepatnya hal itu terjadi, sehingga Kuda Pramuja tidak sempat mengelak. Ia terkejut ketika terasa tusukan itu mematuk dadanya. Berapa orang terpekik melihat hal itu. Namun yang terjadi itu sudah terjadi. Ketika lawannya dengan tergesa- gesa menarik pedangnya untuk kemudian melindungi dirinya dari serangan beberapa orang lawannya. Kuda Pramuja telah terhuyung-huyung. Ki Watu Kendengpun terkejut melihat hal itu. Tanpa menghiraukan lawannya, ia meloncat berlari menangkip anaknya yang sudah hampir jatuh.

   "Kuda Pramuja"

   Desis Ki Watu Kendeng.

   Yang terdengar adalah desah tertahan.

   Kuda Pramuja menahan sakit yang amat sangat.

   Tetapi ia tidak mengeluh dan merengek.

   Dengan gigi gemertak ia berkata tersendat-sendat "Bunuh orang-orang tidak berperasaan itu.

   Ternyata pamanku adalah seekor serigala yang buas dan liar"

   Kuda Pramuja tidak dapat meneruskan kata-katanya. Sekali lagi ia berdesis. Giginya masih terdengar gemertak oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Namun kemudian tubuhnya terkulai ketika jantungnya ternyata telah berhenti berdetak.

   "Anakku mati"

   Ki Watu Kendeng berteriak "setan kalian. Aku akan membunuh kalian di halaman ini"

   Tetapi terdengar jawaban adiknya "Jangan menyesal kakang. Kaulah yang telah membunuh anakmu sendiri. Jika kau bukan seorang pengecut, maka ia masih akan tetap hidup meskipun ia tidak akan beristri Ken Padmi"

   "Persetan"

   Teriak Ki Watu Kendeng sambil meloncat mendekati arena perkelahian antara Gagak Branang dan Mahisa Agni. Namun dalam pada itu Mahisa Bungalanpun berteriak "Jangan mendekat. Ia menjadi buas dan liar"

   Ternyata peringatan itu masih didengarnya.

   Ia masih sadar, bahwa adiknya benar-benar seorang iblis jahanam yang tidak mengenal perikemanusiaan.

   Pada saat itulah Mahisa Bungalan sudah kehilangan pertimbangannya untuk menangkap lawannya hidup-hidup.

   Justru ia merasa bahwa ia telah terlambat.

   Seorang telah jatuh menjadi korban, justru Kuda Pramuja yang marah karena tingkah pamannya.

   Sambil menggertakkan giginya Mahisa Bungalan menggeram "Kau memang licik.

   Kau sampai hati mengorbankan keluargamu sendiri.

   Bukankah kemanakanmu termasuk keluargamu yang dekat""Persetan.

   Apa pedulimu.

   Kaupun akan mati karena tingkahmu yang lancang.

   Kenapa kau mencampuri persoalan ini"

   Mahisa Bungalan tidak menjawab.

   Namun tiba-tiba saja ia telah mehentakkan ilmunya.

   Ia tidak lagi perlu berhati- hati.

   Justru ia menganggap bahwa ketiga saudara Gagak branang yang lainpun merupakan orang-orang yang sangat- berbahaya.

   Mungkin korban akan jatuh satu lagi, satu lagi.

   Mungkin Ki Watu Kendeng Mungkin Ki Selabajra.

   Mahisa Bugalan yang menjadi marah itu telah mengerahkan kemampuannya.

   Ia adalah anak Mahendra yang telah membunuh seorang pemberontak muda yang pilih tanding dari Hahibit.

   hingga karena itulah, maka lawannya yang bernama Gagak Branang itu bukanlah lawan yang dapat menahan kemarahannya.

   Sejenak kemudian, maka senjata pendek Mahisa Bungalan itupun berputar dengan dahsyatnya.

   Seolah-olah dengan sengaja Mahisa Bungalan telah membuat lawannya menjadi kehilangan pusat perlawanan.

   Sambil meloncat- loncat Mahisa Bungalan menyerang lawannya dari segala arah.

   Kerisnya bagaikan seekor lalat yang terbang berputaran di seputar tubuhnya.

   "Gila"

   Diluar sadarnya Gagak Branang berteriak. Tetapi Mahisa Bungalan yang marah itu dapat berbuat apa saja diluar jangkauan nalarnya. Tiba-tiba saja terasa segores luka menyobek pundaknya.

   "Setan"

   Gagak Branang berteriak dalam kegelisahan.

   Ia sadar akan arti dari goresan keris seperti yang dipegang oleh Mahisa Bungalan yang diterimanya dari Makerti itu.

   Karena itu, dalam kemarahan yang memuncak, Gagak Branang berusaha menebus kekalahannya itu.

   Tetapiternyata bahwa Mahisa Bungalan telah benar-benar bertempur dengan segenap kemampuannya.

   Ia tidak sekedar ingin menundukkan Gagak Branang.

   Tetapi justru karena kematian Kuda Pramuja, maka iapun benar-benar ingin melumpuhkan Gagak Branang dan saudara-saudara seperguruannya.

   Karena itu, ketika Gagak Branang mengamuk bagaikan badai yang dahsyat, Mahisa Bungalanpun telah bertempur dalam puncak ilmunya, sehingga karena itulah, maka kemampuan Gagak Branang tidak banyak berarti lagi.

   Selagi Gagak Branang berusaha membalas goresan keris Mahisa Bungalan dengan serangan dahsyat, maka Mahisa Bungalan dengan tangkasnya menghindar.

   Namun dalam pada itu, ia masih sempat menjulurkan tangannya di saat ia bergeser.

   Justru keris Mahisa Bungalanlah telah sekali lagi menggores dada gagak Branang.

   "Anak iblis"

   Seperti gila Gagak Branang berteriak sambil meloncat menyerang membabi buta.

   Tetapi justru karena itulah maka sekali lagi Mahisa Bungalan berhasil mengenainya.

   Ujung kerisnya telah menyobek lambung Gagak Branang yang marah.

   Sejenak Gagak Branang masih sempat mengumpat.

   Namun kemudian tubuhnya telah menggigil.

   Warangan yang keras pada keris itu telah bekerja ditubuh Gagak Branang.

   Apalagi luka di lambungnya yang parah bagaikan memuntahkan darah yang tidak tertahankan.

   "Anak iblis. Anak iblis"

   Ia masih berteriak.

   Tetapi suaranya kemudian hilang dihanyutkan angin malam yang basah.

   Gagak Branang jatuh terjerembab.

   Ia masih mengucapkan nama Ken Padmi.

   Tetapi gadis itu sendiri yang masih berdiri di pendapa tidak mendengarnya.Sementara itu, ketiga saudara seperguruan Gagak Branangpun menjadi semakin marah mendendam.

   Pengiringnya yang setia rasa-rasanya ingin membalas kematian itu dengan kematian pula.

   Namun keadaan telah berubah.

   Mahisa Bungalan telah kehilangan lawannya yang terberat.

   Karena itu, maka iapun kemudian berdiri dengan keris di tangan, memandang setiap orang diarena pertempuran itu.

   Yang tersentuh oleh sorot mata anak muda itu menjadi berdebar-debar.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketiga orang saudara seperguruan Gagak Branang yang sudah mulai menguasai arena itupun menjadi berdebar-debar.

   Dengan kematian Gagak Branang, maka keseimbanganyapun tentu akan berubah.

   Sebenarnyalah yang terjadi memang demikian.

   Ketika Mahisa Bungalan turun menghadapi salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang, maka orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng telah menempatkan diri menghadapi lawan masing-masing dalam kelompok- kelompok kecil.

   Diantara mereka yang bertempur dengan penuh keraguan adalah pengiring Gagak Branang.

   Sejak semula ia sudah tidak mengerti tingkah laku Gagak Branang.

   Hanya karena kesetiaannya sajalah maka ia telah bertempur melawan orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng.

   Tetapi ketika Gagak Branang sendiri telah mati, maka pengiringnya itu telah bertanya kepada diri sendiri "Apakah kesetiaanku harus juga berarti mati karena Gagak Branang mati?"

   Namun pengiringnya itupun kemudian menggeram "Tidak. Aku harus mencari kesempatan untuk hidup"

   Karena itulah, maka ketika ia mendapat sedikit kesempatan, tiba-tiba saja ia telah melakukan sesuatu yangsama sekali tidak diduga oleh orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng.

   Dengan serta merta, maka iapun telah melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran.

   Ketangkasan orang itu memang melampaui orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng.

   Karena itu, maka ketika seseorang akan mengejarnya, Mahisa Bungalanlah yang mencegahnya "Biarkan orang itu lari.

   Tetapi kepung yang lain, agar tidak seorangpun lagi yang sempat melarikan diri.

   Orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng itupun segera menempatkan diri mereka.

   Meskipun mereka tidak saling berjanji, tetapi tiba-tiba saja mereka telah berada di dalam kelompok masing-masing untuk menghadapi lawannya.

   Salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang telah bertempur menghadapi orang-orang padepokan Kenanga.

   Ia harus menghadapi Ki Selabajra, Makerti, Gemak Werdi dan tiga orang murid yang lain, sementara saudara seperguruan Gagak Branang yang lain, yang justru telah membunuh Kuda Pramuja, harus menghadapi Ki Watu Kendeng dengan para pengiringnya yang marah karena kematian Kuda Pramuja.

   Sementara seorang lagi saudara seperguruan Gagak Branang harus menghadapi Mahisa Bungalan yang sedang marah pula.

   Saudara-saudara Gagak Branang yang telah kehilangan dua orang kawan itupun telah mengumpat-umpat.

   Mereka merasa terperosok ke dalam sarang serigala.

   Meskipun mereka mempunyai bekal ilmu yang dahsyat, tetapi, ternyata mereka harus menghadapi perlawanan yang mendebarkan.

   Apalagi ternyata seseorang yang menyebut dirinya pekatik itu telah berhasil membunuh Gagak Branang."Kalian telah mengingkari perjanjian semula"

   Berkata Mahisa Bungalan dengan lantang "jika kalian tidak ingkar, maka kematian Gagak Branang adalah akhir dari sayembara tanding, sehingga kalian tidak akan terlihat.

   Tetapi karena kalian justru telah mulai dan bahkan membunuh Kuda Pramuja, maka nasib kalianpun akan ditentukan disini"

   "Persetan"

   Salah seorang dari mereka berteriak.

   Tetapi suaranya terdengar gemetar penuh keragu-raguan.

   Di halaman padepokan Kenanga itu masih terjadi pertempuran yang sengit.

   Saudara-saudara seperguruan Cagak Branang ternyata benar-benar orang yang memiliki ilmu yang mengagumkan.

   Mereka yang harus menghadapi orang-orang padepokan Watu Kendeng ternyata masih sempat bernafas panjang.

   Dengan berloncat-loncatan ia masih dapat menghindarkan diri dari ujung senjata yang mematuk dari segala arah.

   Bahkan kadang-kadang masih juga timbul niatnya untuk melarikan diri pula.

   Tetapi tidak mudah untuk melepaskan diri dari kepungan beberapa orang yang sedang marah, yang dipimpin oleh Ki Watu Kendeng sendiri.

   Namun demikian, ia masih melihat kemungkinan untuk bertahan.

   Jika orang-orang Watu Kendeng itu kemudian menjadi letih, maka keseimbangan pertempuran itupun akan segera berubah.

   Ia akan segera menguasai lawan-lawannya yang tidak dapat berbuat banyak lagi, karena tenaga mereka yang sudah terperas habis, sementara saudara seperguruan Gagak Branang itu sendiri adalah seseorang yang memiliki daya tahan yang luar biasa.

   Sementara, salah seorang dari mereka yang harus menghadapi orang-orang Kenanga, nampaknya lebihbanyak mengalami kesulitan.

   Ternyata lawannya agak lebih banyak dari orang-orang Watu Kendeng.

   Bahkan murid- murid terpercaya dari padepokan Kenanga itupun mampu bertempur saling mengisi, sehingga saudara seperguruan Gagak Branang itu kadang-kadang mengalami kesulitan.

   Meskipun demikian, dengan hentakan-hentakan yang mangejutkan, ia masih sempat mendesak lawannya yang mengepungnya.

   Namun ia sama sekali tidak lagi dapat melihat kesempatan untuk melepaskan diri.

   Yang dapat dilakukannya adalah bertahan sekuat-kuatnya.

   Menunggu lawan-lawannya lebih dahulu menjadi lelah.

   Karena itulah maka kadang-kadang ia memancing pertempuran yang kasar dan keras, sehingga orang-orang padepokan Kenanga telah memeras keringat untuk mengimbanginya.

   Sebenarnyaiah bahwa orang-orang padepokan Kenanga mempunyai daya tahan yang jauh lebih lemah dari lawannya.

   Meskipun mereka dapat mengepung rapat-rapat, tetapi hentakan-hentakan yang mengejutkan dan loncatan- loncatan panjang dari lawan mereka, mamaksa orang-orang Padepokan Kananga untuk memeras keringat.

   Yang paling parah dari ketiga saudara seperguruan Gagak Branang adalah yang kebetulan sekali harus berhadapan dengan Mahisa Bungalan.

   Sejak semula lawannya sudah hampir berputus asa, karena Gagak Branang sendiri tidak dapat bertahan melawan kegarangan anak muda itu, meskipun ia hanya bersenjata sebilah keris.

   Jika saudara-saudara seperguruannya yang lain dapat mengendalikan pertempuran dengan memaksa lawan- lawannya untuk memeras tenaga, namun ia sendiri justru harus menyesuaikan diri dengan lawannya.

   Ialah harusmemeras tenaga dan seakan-akan kehilangan segala kemungkinan untuk melepaskan diri dari maut.

   Sebenarnyalah, sejak Kuda Pramuja terbunuh, maka Mahisa Bungalan benar-benar telah kehilangan kesabaran.

   Apalagi masalahnya menyangkut seorang gadis yang bernama Ken Padmi, yang pada malam itu berdiri termangu-mangu di pendapa menyaksikan pertempuran yang terjadi di halaman, benar-benar seperti seorang puteri yang duduk di atas panggungan, menyaksikan sayembara tanding di alun-alun.

   Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan tidak memperpanjang waktu lagi.

   Ketika ia melihat orang-orang Watu Kendeng mulai menjadi letih, maka iapun tidak mau terlambat lagi.

   Mahisa Bungalan tidak mau melihat korban yang lain dari orang-orang Watu Kendeng itu jatuh.

   Atau orang-orang Kenanga yang terbunuh.

   Karena itu, maka iapun berniat segera mengakhiri pertempuran.

   Ia sadar, bahwa lawannya tentu tidak akan dengan suka rela memberikan kemenangan kepadanya.

   Karena itu, Mahisa Bungalanpun sadar, bahwa ia memang harus bertempur sepenuh kemampuan, agar tugasnya cepat selesai.

   Pada saat itulah, maka serangan-serangan Mnhisa Bungalan mengalir bagaikan hempasan ombak yang didorong oleh badai, menghantam tebing.

   Berdeburan dengan dahsyatnya, berurutan hantam menghantam.

   Betapapun juga berusaha, tetapi lawannya benar-benar tidak mampu menghadapi serangan beruntun tanpa henti- hentinya dengan kekuatan raksasa.

   Karena itulah, maka dengan jantung yang bergelora, lawannya berloncatan surut.

   Tetapi senjata Mahisa Bungalan bagaikan selalu mengejarnya tanpa jarak.Akhirnya, ia tidak mampu lagi berusaha menyelamatkan diri.

   Ketika keris Mahisa Bungalan menyobek dadanya, ia masih sempat berteriak mengumpat.

   Tetapi kemudian suaranya bagaikan hilang ditelan angin malam.

   Yang terdengar kemudian adalah tubuhnya yang terbanting jatuh terjerembab.

   Kemudian nafasnya tidak lagi sempat mengalir lewat lubang hidungnya.

   Sejenak orang itu masih menggeliat.

   Namun kemudian jantungnya telah berhenti berdenyut.

   Kematian salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang itu benar-benar telah menentukan akhir dari perkelahian itu.

   Dengun pucat kedua orang lain harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak lagi mempunyai kesempatan.

   Adalah jauh berbeda, perasaan mereka pada saat mereka memasuki halaman itu dengan perasaan mereka, setelah dua orang saudara seperguruannya terbunuh, dan pengiring Gagak Branang itu meninggalkan arena.

   Tidak ada lagi senyum dan tertawa yang garang terlontar dari bibir mereka.

   Tidak ada lagi harapan dan bayangan pendok dan kamus emas tretes berlian.

   Yang nampak tidak ada lain, kecuali bayangan maut yang semakin kelam menyelubungi mereka, Lamat-lamat telah terdengar kidung dari dasar yang paling kelam dari kegelapan.

   Namun dengan demikian, jiwa mereka telah dibakar oleh keputus-asaan.

   Mereka tidak lagi sempat membuat pertimbangan dan perhitungan.

   Yang terbayang di rongga mata mereka adalah kematian, sehingga karena itu, maka merekapun justru menjadi kehilangan akal.

   Kedua orang itupun kemudian mengamuk sejadi- jadinya.

   Mereka memutar senjata tanpa membuatperhitungan-perhitungan yang cermat.

   Mereka manyerang seperti angin ribut tanpa sasaran.

   Namun demikian, orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng menjadi ngeri melihatnya.

   Mereka seperti sedang berhadapan dengan binatang liar yeng sangat buas.

   Meskipun keduanya tidak dapat berbuat lebih banyak daripada dalam sebuah lingkaran.

   Tetapi keduanya masih mampu menggetarkan setiap hati.

   Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang sudah tidak terikat lagi pada lawannya perlahan-lahan bergeser mendekati arena orang-orang Watu Kendeng.

   Ketika ia sudah berdiri di pinggir arena, ia masih sempat berkata lantang "Ki sanak.

   Apakah kau masih mendengar suaraku"

   "Persetan"

   Geram orang itu.

   "Jika kau masih mendengar suaraku, cobalah kau mendengarnya. Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah. Aku akan menjamin bahwa kau tidak akan dicincang oleh orang-orang Watu Kendeng, meskipun kau sudah membunuh Kuda Pramuja"

   "Tutup mulutmu pekatik gila"

   Geram orang itu sambil memutar senjatanya "kau harus mati"

   "Bayangan maut itu sedang mengikutimu. Bukan aku"

   "Diam, diam, diam"

   Orang itu berteriak. Saudara seperguruan Gagak Branang itu menjadi semakin berputus asa. Ia bergerak semakin buas dan liar, sehingga orang-orang Watu Kendeng benar-benar menjadi ngeri.

   "Tinggalkan orang ini"

   Berkata Mahisa Bungalan kemudian "bergabunglah dengan orang-orang padepokanKenanga. Dengan jumlah yang banyak, kalian akan dapat mengalahkan lawan kalian"

   Orang-orang Watu Kendeng yang menjadi ngeri itupun serentak melangkah mundur, menjauhi lawannya yang menjadi gila. Tetapi pada saat itu, Mahisa Bungalan telah memasuki arena menghadapi orang yang telah membunuh Kuda Pramuja itu.

   "Jangan harap dapat membunuh aku seperti saudara- saudara seperguruanku"

   Teriak orang itu.

   "Menyerahlah"

   Desak Mahisa Bungalan.

   "Persetan"

   Orang itu bahkan bergerek semakin liar.

   Ia menyerang Mahisa Bungalan dengan tanpa membuat perhitungan dan pertimbangan lagi.

   Dalam pada itu, seorang yang lainpun telah merasa bahwa kematian akan segera datang.

   Seperti kawannya, maka iapun telah mengamuk pula sejadi-jadinya.

   Tetapi karena lawannya terlalu banyak, maka sekali-sekali ia mulai menindi bingung dan kehilangan pegangan.

   Apalagi kemudian orang-orang Watu Kendeng telah mendekatinya pula.

   Mereka mulai bergabung dengan orang-orang pedopakan Kenanga, sehingga dengan demikian lawannyapun menjadi semakin banyak.

   Suadara seperguruan Gagak Branang itu menjadi semakin ngeri menghadapi kenyataan itu.

   Dari segala arah, ujung senjata telah mematuknya.

   Bahkan kadang-kadang duri dua tiga arah bersamaan.

   Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, ia masih ingin memakan orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng memeras tenaga, agar mereka menjadisegera letih.

   Tetapi dalam jumlah yang sekian banyaknya, amat sulitlah rasanya bagi saudara seperguruan Gagak Branang itu untuk menghadapi mereka.

   Karena itu, maka justru ialah yang lebih dahulu menjadi letih.

   Sebelum orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng tidak mampu lagi bergerak dan bertempur, terasa bahwa saudara seperguruan Gagak Branang llu telah jauh susut.

   Pada saat-saat yang demikian itulah, maka keputus- asaan telah mencengkamnya tanpa dapat dikendalikan lagi.

   Karena itu, maka iapun telah kehilangan segala harapan dan saat-saat berikutnya untuk dapat tetap hidup.

   Karena itu, maka akhirnya, orang itu tidak lagi berpikir, kecuali dengan sengaja telah membunuh dirinya sendiri.

   Ia tidak menghiraukan lagi senjata yang teracu kepadanya.

   Ia tidak menghiraukan lagi patukan ujung pedang.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Meskipun ia masih menggenggam pedang di 'tangan, tetapi ia seolah-olah telah manyerbu dengan dadanya, langsung menghunjamkan diri ke ujung-ujung senjata yang merunduk mengarah kepadanya.

   Orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng justru terkejut.

   Tetapi demikian beberapa ujung senjata telah memecahkan kulitnya, maka merekapun justru berloncatan surut.

   Orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng menyaksikan dengan berdebar-debar, bagaimana orang itu jatuh tertelungkup.

   Tetapi orang itu tidak sempat lagi untuk mangaduh.

   Tubuhnya yang terluka parah itupun kemudian diam sama sekali, meskipun darah masih tetap mengalir.

   Sementara itu, saudara seperguruan Gagak Branang yang bertempur melawan Mahisa Bungalan manjadisemakin gelisah.

   Ia tidak mempunyai kawan seorangpun lagi.

   Saudara-saudara seperguruannya telah mati.

   Sejenak orang itu mencoba memandang wajah Mahisa Bungalan.

   Dalam remang-remangnya cahaya obor di kejauhan, orang itu melihat kilatan mata yang membara.

   Ia masih melihat kemarahan yang membayang disorot mata Mahisa Bungalan.

   Dalam kegilaannya, orang itu masih juga merasa ngeri melihat lawannya.

   Tetapi ia sudah tidak dapat melepaskan diri lagi.

   Apapun yang akan terjadi, memang harus dihadapinya, termasuk kematian.

   -oo0dw0oo-

   Jilid 04 TETAPI kengerian yang sangat telah menusuk perasaannya.

   Sekilas ia melihat saudara-saudara seperguruannya yang masih terbaring ditanah.

   Sekilas terbayang saat-saat mereka mendekati padepokan itu.

   Ia masih sempat dengan sengaja tertawa untuk menakut- nakuti orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng.

   Saudara-saudara seperguruannya masih sempat menghitung pendok dan timang emas bertretes berlian.

   Masih terbayang, bagaimana bibirnya mencibir kemampuan orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng.

   Kini mereka sudah terbaring diam.

   Menjadi mayat.

   Hentakan-hentakan perasaan-perasaan itu bergelora di dalam dadanya.

   Kengerian, kecemasan bahkan ketakutan telah bercampur baur.

   Apalagi cahaya sorot mata Mahisa Bungalan yang marah.

   Dalam keremangan cahaya obor, nampak mata itu bagaikan marahnya bara yang menyala dalam kegelapan.Dengan keris di tangan Mahisa Bungalan melangkah mendekat.

   Tanpa meninggalkan kewaspadaan, Mahisa Bungalan mengacukan kerisnya.

   Ia sadar, bahwa lawannya mempergunakan senjata panjang.

   Tetapi dengan keris di tangannya, ia telah mengalahkan dua orang dari orang- orang yang ingin mengguncang ketenangan padenokan Kenanga dan Watu Kendeng.

   "Setan"

   Geram saudara-saudara Seperguruan Gagak Branang itu "kau harus mampus"

   Mahisa Bungalan tidak menjawab.

   Tetapi setapak demi setapak ia maju terus.

   Matanya masih bercahayakan kemarahannya.

   Lawannya yang bingung dan cemas itu melangkah surut.

   Dalam gejolak perasaan yang menghentak-hentak, wajah itu seakan-akan menjadi kabur, dan bahkan telah berubah.

   Mata itu menjadi semakin merah.

   Bahkan bayangan kehitaman di lekuk-lekuk wajah Mahisa Bungalan seolah- olah membayangkan lobang-lobang pada tulang tengkoraknya.

   "Gila"

   Orang itu berteriak.

   Tetapi Mahisa Bungalan masih melangkah maju.

   Ketakutan yang tidak terkendali telah mencengkam hati orang itu.

   Perlahan-lahan wajah Mahisa Bungalan dipandangan mata lawannya telah berubah menjadi wajah hantu yang sangat mengerikan.

   Lubang-Lubang tengkorak yang kehitam-hitaman.

   Gigi yang menjorok putih dan bara yang menyala disela-sela Lubang-Lubang tengkorak itu.

   "Pergi, pergi"

   Tiba-tiba orang itu berteriak semakin keras "kau hantu keparat.

   Pergi atau aku akan memcahkan tengkorakmu itu"Mahisa Bungalan tidak mengerti, apa yang bergejolak di dalam hati lawannya.

   Karena itu, dengan keris teracu dan sikap yang penuh kewaspadaan ia masih melangkah maju juslru karena lawannya melangkah surut.

   "Pergi hantu keparat. He, iblis, kenapa kau mengganggu aku he, selagi aku akan membunuh orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng"

   Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjawab.

   Ia masih melangkah maju.

   Tetapi ia tertegun ketika ia melihat perubagan wajah lawannya yang nampak benar-benar nampak ketakutan.

   Dengan teriakan yang semakin keras ia berkata "Jangan ganggu aku iblis.

   Aku akan menumpas orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng.

   Pergi ke sarangmu.

   Pergi, pergi"

   Suaranya menggelegar di kelamnya malam, seolah-olah telah mengguncang langit. Wajannya nampak menjadi semakin ketakutan sementara padangnya menjadi gemetar.

   "Kenapa kau berteriak"

   Tiba-tiba saja Mnhisa Bungalan bertanya.

   Jawaban itu terdengar bagaikan guruh yang meledak di tengkorak iblis yang berdiri di hadapannya.

   Karene itu, maka orang itu justru menjadi semakin ketakutan.

   Sambil mengayunkan pedangnya tanpa arah ia berteriak "Jangan mendekat"

   "He, apa yang kau lihat?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Kau, kau"

   Teriak orang itu "kau iblis yang bangkit dari neraka yang paling jahanam. He, apakah orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng adalah sahabat- sahabat iblis keparat ini?""Lihatlah, siapa aku"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Kau ibljs. Iblis yang paling laknat"

   Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.

   Ia melihat wajah lawannya benar-benar dibayangi oleh ketakutan dan kengerian yang tiada taranya.

   Karena itu, Mahisa Bungalan justru menjadi ragu-ragu.

   Selangkah ia maju mendekat sambil berkata "Kau dibayangi oleh ketakutan yang amat sangat.

   Kenapa kau tidak menyerah saja?"

   "Gila. Gila. He, jangan ganggu aku. Jangan ganggu aku. Aku tidak pernah mengganggumu. Aku bertempur dengan jantan melawan orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng"

   "Aku orang padepokan Kenanga"

   Desis Mahisa Bungalan.

   "O, jadi kau iblis dari padepokan Kenanga? Jadi padepkoan ini ditunggui iblis tengkorak seperti kau ini?"

   Mahisa Bungalan masih akan menjawab.

   Tetapi orang- orang itu benar-benar telah dicengkam oleh ketakutan dan kengerian tiada taranya.

   Karena itu, tanpa menyadari keadaan dirinya, iapun segera berputar dan melangkah untuk melarikan diri.

   Tetapi malang baginya, kakinya tiba-tiba telah menyentuh tubuh kawannya yang telah terbaring di tanah.

   Demikian terkejutnya, sehingga iapun meloncat tanpa pengendalian dirim sehingga, seolah-olah ia telah terpelanting beberapa langkah.

   Ketika kemudian terdengar jerit menyayat, maka semua orang bagaikan mematung memandangi tubuh itu menggeliat.

   Ternyata tanpa dikehendakinya, senjatanya telah menghunjam di tubuhnya sendiri di saat ia terpelanting jatuh.Di pendapa Ken Padmi mematung, sejenak ia berdiri tanpa berbuat sesuatu.

   Dipandanginya mayat-mayat yang berserakan di halaman.

   Namun sejenak kemudian, ketika ia melihat ayahnya berdiri di bawah tangga, tiba-tiba saja ia berlari sambil memekik "Ayah, ayah"

   Ki Selabajra berpaling, ia terkejut ketika ia tiba-tiba saja anaknya sudah memeluknya sambil menangis. Diantara sedu sedannya ia berkakta "Ayah, kenapa semuanya ini harus terjadi?"

   Ki Selabajra membelai kepala anaknya. Ia mengerti persoalan apakah yang bergejolak di dalam dada anak gadisnya itu.

   "Ayah"

   Ken Padmi meneruskan "Aku sudah membunuh mereka. Langsung atau tidak langsung"

   "Sudahlah"

   Ayahnya mencoba menenangkannya.

   "Jangan menyalahkan diri sendiri, yang terjadi adalah suatu akibat. Kita akan dapat mencari sebabnya. Tetapi sebab itu, tentu bukannya yang bersumber pada karunia yang kau terima tanpa kau kehendaki. Jika kau menyalahkan dirimu sendiri, maka kau telah bersalah kepada Sang Penciptamu, yang telah menciptakan seluruh isi alam ini"

   Ken Padmi tidak menyahut. Tetapi ia tidak sependapat dengan ayahya sepenuhnya. Karena itu, maka tangisnyapun tidak segera mereda.

   "Marilah"

   Berkata Ki Selabajra kemudian "Kita akan mengurai peristiwa ini pada kesempatan lain.

   Sekarang biarlah kita menyelesaikan masalah yang kita hadapi.

   Yang nampak dimatma kita sekarang ini.

   Yang terbunuh itu harus mendapat perawatan"Ken Padmi justru terisak semakin dalam.

   Ia justru tidak berani lagi memandang ke halaman.

   Meskipun ia sendiri menyandang pedang di lambung, namun rasa-rasanya yang terjadi itu memang sangat mengerikan.

   "Bawalah ia masuk"

   Berkata Ki Selabajra kepada kemanakannya "panggillah pemomongnya. Biarlah ia mencoba membujuknya agar ia melihat yang telah terjadi dengan tenang"

   Saudara sepupu Ken Padmipun kemudian menuntunnya masuk ke ruang dalam.

   Setelah Ken Padmi berbaring di pembaringannya, maka saudara sepupunya itupun memanggil seorang perempuan tua yang menjaga dan melayani Ken Padmi sejak masih kanak-kanak.

   Tetapi ternyata perempuan tua itupun menjadi ketakutan, sehingga suaranyapun gemetar.

   Ken Padmi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara pemomongnya yang gemetar dan ketakutan itu.

   Sejenak ia termangu-mangu.

   Namun gadis itupun kemudian mengusap air matanya sambil duduk di bibir pembaringannya.

   "Jangan takut bibi"

   Desisnya. Masih terdengar isaknya disela-sela kata-katanya "tidak ada yang perlu di cemaskan lagi"

   "Ya, ya ngger"

   Sahut perempuan itu "kau seharusnya tidak menangis. Aku menjadi semakin ketakutan.

   "Aku tidak menangis bibi"

   Sahut Ken Padmi.

   "Ah"

   Perempuan tua itu beringsut "tetapi baiklah. Kau memang tidak menangis"

   Ken Padmi termangu-mangu sejenak.

   Namun iapun kemudian mengusap matanya yang masih saja basah.Seolah-olah air matanya masih saja mengembun di pelupuknya, betapapun ia berusaha menahannya sehingga demikian ia mengusap, pelupuknya telah menjadi basah kembali.

   Sementara itu, di pendapa, orang-orang padepokan Watu Kendeng telah dipersilahkan untuk naik.

   Dengan kepala, tunduk, Ki Watu Kendeng mengangkat anaknya dan membaringkannya di pendapa, sementara orang-orang padepokan Kenanga telah menyelenggarakan empat sosok mayat yang lain.

   "Aku telah kehilangan banyak sekali malam ini"

   Berkata Ki Watu Kendeng dengan kepala tunduk "anakku telah mati, sementara adikkupun telah terbunuh"

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.

   Namun kepalanyapun kemudian tertunduk dalam-dalam.

   Tetapi Ki Watu Kendeng melanjutkan "Tetapi iu adalah kesalahanku.

   Aku telah menjadi sangat dungu dengan sikapku.

   Agaknya Kuda Pramuja telah dibujuk oleh pamannya untuk berbuat diluar kehendaknya sendiri.

   Sehingga karena itu, aku telah kehilangan kedua-duanya.

   Aku sama sekali tidak mengira bahwa adikku telah terbius dengan sikap iblis itu.

   Bahkan ia telah menyeret saudara- saudara seperguruannya ke padepokan ini"

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menemukan kalimat apapun juga untuk menanggapi. Karena itu, maka ia tidak mengatakan sesuatu selain memandang tubuh Kuda Pramuja dengan sedih.

   "Ki Selabajra"

   Berkata Ki Watu Kendeng kemudian "biarlah aku kembali ke padepokan dengan membawa anakku yang terbunuh.

   Aku akan mengurusnya sebagaimana seharusnya.

   Keluargaku tentu akan terkejut dan bersedih.

   Tetapi mereka akan mengetahui sebab-sebabnya.

   Aku tidak akan menutupi apa yang telah terjadi sebenarnya"

   Ia berhenti sejenak, lalu "sementara adikkupun akan aku bawa pula ke padepokan Watu Kendeng.

   Sedangkan yang lain, apabila Ki Selabajra juga berkeberatan untuk mengurusnya, kami akan membawanya pula ke Watu Kendeng, karena sumber peristiwa ini adalah aku dan adikku"

   Ki Selabajra beringsut setapak.

   Kemudian Katanya "Biarlah kami mengurusnya di sini Ki Watu Kendeng.

   Hanya apabila kau kehendaki, biarlah putera dan adikmu sajalah yang kau bawa kembali sebagai keluargamu, sementara yang lain, akan kami selenggarakan sebaik- baiknya di padepokan ini"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab "Terima kasih. Hatimu memang sangat lapang"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam Namun kemudian iapun berpaling memandang Mahisa Bungalan yang masih tertunduk dalam-dalam.

   Sejenak Ki Watu Kendeng memandang Mahisa Bungalan yang gelisah.

   Dengan nada dalam orang itu berkata "Ki Sanak.

   Kau adalah orang luar biasa.

   Kau telah membunuh adikku dan beberapa orang saudara seperguruannya"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Justru karena darahnya telah mulai teratur seperti dentang jantungnya yang mereda, maka ia mulai melihat, apa yang telah dilakukannya.

   Karena itu, maka katanya tersendat "Aku mohon maaf, Ki Watu Kendeng.

   Dalam keadaan yang demikian, sulitlah bagiku untuk mengendalikan diri, sehingga aku terpaksa membunuh orang-orang yang barangkali masih dapat diperbaiki sifat dan tabiatnya""Kau tidak bersalah"

   Berkata Ki Watu Kendeng kemudian "kau sudah berbuat sebaik-baiknya.

   Tidak ada seorangpun yang akan dapat menghindarkan diri.

   dari gejolak perasaan menghadapi peristiwa seperti ini.

   Seandainya aku mampu, akulah yang akan membunuhnya.

   Tetapi ia terlalu berat bagiku, sehingga aku tidak mampu berbuat apa-apa atas adikku sendiri yang ternyata telah menempuh jalan sesat.

   Aku tidak banyak mengetahui umurnya yang memang sudah dewasa.

   Namun ternyata bahwa ia telah hidup dalam dunia yang kelam dan penuh noda"

   Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam.

   "Tetapi, biarlah aku tidak selalu dibayangi oleh teka-teki. Sebelum aku kembali ke Watu Kendeng, perkenankanlah aku bertanya, siapakah anak muda ini sebenarnya. Apakah benar ia pekatik padepokan Kenanga seperti yang dikatakannya. Jika benar demikian, alangkah kuncaranya padepokan ini, yang mempunyai seorang pekatik yang memiliki kemampuan yang tidak ada tandingnya"

   Mahisa Bungalan tidak menjawab.

   Tetapi kepalanya tertunduk semakin dalam.

   Dalam pada itu, Ki Selabajrapun kemudian menyahut "Akupun menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja ia sudah berada di padepokan ini.

   Beberapa hari yang lalu, ia sudah minta diri dan meninggalkan padepokan ini untuk tujuan yang tidak tentu.

   Namun tiba-tiba saja ia berada di padepokan ini lagi, pada saat yang tepat"

   Mahisa Bungalan tidak segera menjawab.

   Wajahnya nampak ragu-ragu.

   Perlahan-lahan ia mencoba memandang orang-orang yang berada di sekitarnya.

   Makerti, Gemak Werdi, para murid di padepokan Kenanga dan WatuKendeng.

   Ternyata mereka semuanya sedang memandanginya dengan penuh keheranan.

   "Ah"

   Ia berdesah di dalam hati.

   "Angger Mahisa. Bungalan"

   Berkata Ki Selabajra kemudian "bagaimana ceriteranya, bahwa angger telah berada di sini pada saat yang gawat ini"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya sambil menunduk "Hanya secara kebetulan saja, Ki Selabajra"

   Tetapi Ki Selabajra berkata "Kebetulan yang sangat kebetulan.

   Nyawa kami telah kau selamatkan, meskipun angger Kuda Pramuja harus menjadi korban.

   Tetapi jika tidak secara kebetulan kau berada di padepokan ini, maka korban akan menjadi semakin banyak.

   Mungkin orang- orang padepokan Watu Kendeng dan padepokan Kenanga telah habis ditumpas oleh orang-orang yang sangat garang itu"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam "Tetapi pertanyaan masih belum terjawab"

   Berkata Ki Watu Kendeng "siapakah anak muda itu sebenarnya"

   "Bertanyalah kepadanya"

   Sahut Ki Selabajra "aku kira dalam keadaan seperti ini, ia tidak akan mengingkari dirinya sendiri"

   Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya sejenak.

   Ketika dipandanginya wajah Ki Selabajra, dilihatnya orang tua mengangguk kecil.

   Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.

   Namun kemudian iapun tidak dapat ingkar lagi.

   Diceriterakannya bagaimana ia berada di padepokan itu kembali setelah ia meninggalkan beberapa hari yang lalu.

   Iapun menyinggung serba sedikit tentang dirinya meskipun tidak seluruhnya."Mengagumkan"

   Desis Ki Watu Kendeng.

   Lalu "Ki Selabajra.

   Biarlah aku mendahului mengatakan niatku yang tiba-tiba saja muncul di rongga dadaku.

   Malam ini aku telah kehilangan anakku.

   Satu-satunya anak laki-laki.

   Karena itu, biarlah aku menuntut ganti.

   Aku akan memohon kepada anak muda yang bernama Mahisa Bungalan ini, agar ia bersedia aku anggap sebagai pengganti anakku yang hilang"

   Mahisa Bungalan terkejut.

   Sesaat ia mengangkat kepalanya tegak-tegak sambil memandang Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra berganti-ganti.

   Namun kemudian kepalanya itupun tertunduk lagi.

   Sementara itu, terdengar Ki Selabajra berkata "Semuanya terserah kepada angger Mahisa Bungalan.

   Jika ia bersedia, maka beruntunglah Ki Watu Kendeng, karena kau akan mendapatkan ganti, meskipun nilainya berbeda"

   "Aku ingin mendengar, apakah anak muda itu bersedia menjadi anakku"

   Gumam Ki Watu Kendeng.

   Mahisa Bungalan masih tetap termangu-mangu.

   Namun ia tidak akan sampai menyakiti hati orang tua yang baru saja kehilangan anak laki-lakinya itu.

   Karena itu, maka iapun kemudian berkata "Ki Watu Kendeng.

   Aku mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Kiai terhadapku, dengan mengambil aku sebagai anak angkat.

   Mudah-mudahan Kiai tidak akan kecewa di hari kemudian, karena aku adalah seorang perantau yang tidak berhari sama sekali, yang sebenarnya tidak pantas untuk menjadi keluarga Ki Watu Kendeng"

   "Kau jangan terlalu merendahkan diri"

   Sahut Ki Watu Kendeng "tetapi kesediaanmu telah sedikit menghapus duka hati ini"Mahisa Bungalan tidak segera menyahut.

   Tetapi ia mulai memikirkan akibat dari kesediaannya itu.

   Apakah maksud Ki Watu Kendeng itu hanya sekedar mengakunya sebagai anak, atau bahkan dengan akibat yang lebih luas.

   Misalnya, ia harus tinggal bersamanya, dan berbuat benar-benar seperti anaknya.

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa ingin mendapatkan ketegasan, karena hal itu akan dapat dibicarakannya kemudian.

   Namun yang menjadi pikirannya kemudian, bagaimana ia harus bersikap terhadap Ki Selabajra.

   Mahisa Bungalan tidak dapat ingkar lagi, bahwa ada sesuatu yang membelit hatinya di padepokan itu.

   Ken Padmi baginya, merupakan seorang gadis yang lain dengan gadis-gadis yang pernah dikenalnya.

   Di Singasari ia mengenal banyak gadis-gadis, bahkan gadis-gadis yang tinggal di istana sekalipun.

   Tetapi ia tidak pernah merasakan suatu sentuhan batin seperti yang dialaminya di padepokan itu.

   Tetapi segalanya itu masih saja disimpannya di dalam hati.

   Pada saatnya ia akan menentukan sikap, sesuai dengan keadaan yang akan dihadapinya.

   Dalam pada itu, maka Ki Watu Kendengpun kemudian minta diri.

   Ia merasa didesak oleh keadaan yang tidak dikehendaiknya itu untuk segera kembali dan menyelesaikan penyelenggaraan mayat anak dan adiknya.

   "Apakah tidak sebaiknya besok pagi saja Ki Watu Kendeng?"

   Bertanya Ki Selabajra.

   "Mumpung malam hari. Tidak banyak orang yang akan melihat bahwa kami telah membawa dua tubuh yang sudah membeku"

   Jawab Ki Watu Kendeng.Ki Selabajra tidak dapat menahannya lagi. Karena itu maka katanya Terserahlah kepada kebijaksanaan Ki Watu Kendeng. Aku nanya dapat menyatakan ikut berduka cita atas segala yang telah terjadi, di luar keinginan kami pula"

   "Agaknya nasib benar-benar tidak akan dapat dihindari"

   Sahut Ki Watu Kendeng "tetapi aku tidak boleh kehilangan akal karenanya. Aku pun tidak boleh meratapi tanpa henti, sehingga dengan demikian seolah-olah aku tidak mau mengerti maksud Tuhan Yang Maha Kuasa"

   "Ki Watu Kendeng benar-benar seorang yang berjiwa samodera. Dengan demikian, maka Ki Watu Kendeng akan menerima ketenangan di dalam hidupnya"

   Gumam Ki Selabajra "selebihnya aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan. Biarlah ketiga mayat yang lain akan kami selenggarakan di sini sesuai dengan seharusnya"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Namun kemudian Katanya "Sesuai dengan permohonanku, apakah Mahisa Bungalan dapat ikut bersamaku?"

   Wajah Ki Selabajra menegang sejenak. Namun kemudian ia berpaling kepada Mahisa Bungalan. Katanya "Terserahlah kepada angger Mahisa Bungalan"

   Jantung Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.

   Ia masih ingin tetap berada di padepokan Kenanga.

   Meskipun ia sudah meninggalkan padepokan itu, dan kemudian kembali dengan diam-diam pada saat yang gawat itu, namun rasa-rasanya jika ia jujur terhadap dirinya sendiri, maka ia masih ingin berada di padepokan itu.

   Karena itu, maka ia pun menjadi bingung.

   Apakah jawab yang paling baik yang harus dikatakannya.

   Dalam pada itu, Ki Watu Kendeng telah mendesaknya "Bagaimana pendapatmu Mahisa Bungalan? Bukankahwajar jika kau kembali bersama kami ke padepokan Watu Kendeng? Dengan demikian, maka kau sudah menampung sebagian dari kepahitan perasaan kami, seisi padepokan Watu Kendeng"

   Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu.

   Namun kemudian ia terpaksa menjawab "Ki Watu Kendeng.

   Aku mengucapkan terima kasih.

   Tetapi perkenankan aku tinggal di padepokan ini.

   Aku masih harus membantu Ki Selabajra untuk menyelenggarakan ketiga sosok mayat itu.

   Bagaimana pun juga, aku ikut bertanggung jawab atas kematian mereka"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada datar "Baiklah. Jika kau masih belum dapat pulang bersama kami, aku harap kau akan segera menyusul. Jangan biarkan kepedihan kami semakin berlaruti-larut"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mahisa Bungalan menjadi bingung.

   Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa ia akan menjadi penghuni padepokan Watu Kendeng, sehingga dengan demikian akan bertentangan dengan niatnya untuk melihat daerah yang luas sebelum ia kembali ke Singasari, mengikat diri ke dalam satu Lingkungan.

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak mempersoalkannya itu.

   Saat Ki Watu Kendeng masih diliputi oleh kegelapan hati karena peristiwa yang bagaikan telah merobek dadanva itu.

   Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Watu Kendengpun minta diri.

   Ken Padmi yang berada di dalam biliknya, dipanggil ke pendapa untuk melepas kepergian Ki Watu Kendeng sambil membawa mayat anak dan adiknya.

   "Bebaskan hatimu dari peristiwa ini, Ken Padmi. Bagaimanapun juga, kau sama sekali tidak bersalah. Yang sebenarnya terjadi adalah pergolakan yang kelam di dalam lingkungan keluargaku sendiri. Sayang sekali, bahwa kau justru terlibat di dalamnya di luar kehendakmu sendiri"berkata Ki Watu Kendeng saat ia minta diri "Mudah- mudahan kau akan tetap hidup dengan tenang dan wajar di hari mendatang"

   Ken Padmi menundukkan kepalanya.

   Pesan itu justru hampir saya memecahkan bendungan air matanya kembali.

   Namun ia bertahan sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.

   DALAM pada itu, maka Ki Watu.

   Kendeng dan para pengiringnyapun telah bersiap-siap untuk kembali ke padepokan mereka dengan hati yang sangat pedih.

   Kematian adiknya tidak terlalu terasa menyengat jantung.

   Tetapi kematian Kuda Pramuja benar-benar telah meremas perasaan.

   Ketika semuanya sudah siap, maka iring-iringan itupun mulai bergerak.

   Gelap malam sama sekali tidak menghalangi mereka.

   Kedua sosok tubuh yang beku itupun telah diletakkan diatas punggung kuda pula.

   Kuda-kuda mereka sendiri, yang saat mereka berangkat keduanya masih dapat memegang kendali sendiri.

   Tetapi ketika kembali ke padepokan, maka kedua ekor kuda itu harus dituntun oleh orang lain.

   Orang-orang padepokan Kenangapun melepas mereka dengan hati yang trenyuh.

   Mereka mengerti betapa pedihnya hati Ki Watu Kendeng.

   Selain kehilangan anak dan adiknya, maka iapun tentu merasa sangat pahit menghadapi peristiwa yang tidak diperhitungkannya.

   Tiba- tiba adik laki-lakinya itu telah kehilangan pertimbangan, sehingga ia telah melakukan perbuatan yang tercela.

   Sepeninggal orang-orang dari padepokan Watu Kendeng, maka orang-orang padepokan Kenangapun telah sibuk dengan kewajiban mereka.

   Meskipun saudara-saudara seperguruan Gagak Branang itu di masa hidup mereka, telah menumbuhkan bencana yang sangat besar, terutama dengan kematian Kuda Pramuja namun setelah merekamenjadi mayat, maka seolah-olah semua hutang itupun telah lunas mereka bayar.

   Sementara para murid dan cantrik dari padepokan Kenanga sibuk dengan ketiga sosok mayat itu, Mahisa Bungalan yang termangu-mangu duduk diatas bebatur gandok kanan.

   Dengan kening yang berkerut ia memandang orang-orang yang sibuk di bawah cahaya obor yang hilir mudik dibawa para cantrik yang ikut membantu mengurus mayat-mayat itu.

   "Kematian yang sia-sia"

   Desis Mahisa Bungalan.

   Di luar sadarnya ia telah memandang ketangannya.

   Jari-jarinya yang berkembang masih dinodai dengan titik-titik darah yang membeku.

   Tetapi keris yang dipergunakannya telah dikembalikannya kepada Makerti.

   Dalam saat ia masih termangu-mangu, Mahisa Bungalan itu terkejut ketika ia melihat bayangan seseorang di atas tanah yang memanjang, bergerak mendekatinya.

   Ketika itu ia berpaling, dilihatnya Ken Padmi berdiri termangu-mangu "O"

   Desis Mahisa Bungalan sambil bangkit berdiri.

   "Apakah yang kau renungkan?"

   Bertanya Ken Padmi di luar sadarnya, sekali lagi Mahisa Bungalan memandang noda-noda darah di tangannya.

   "Kau belum membasuh tangan dan kakimu?"

   Bertanya Ken Padmi.

   "Belum Ken Padmi. Mungkin aku masih akan membantu mereka yang mengurus mayat itu. Karena itu, aku masih belum membersihkan diri"

   Ken Padmi mengangguk-angguk.

   "Aku masih dilekati oleh keringat dan debu. Lebih dari itu, aku masih dikotori oleh noda-noda darah"

   Desis Mahisa Bungalan kemudian.Ken Padmi mengerutkan keningnya.

   Namun diluar dugaan Mahisa Bungalan, tiba-tiba saja Ken Padmi menunduk sambil berdesis "Aku minta maaf Mahisa Bungalan.

   Jika kau merasa ternoda oleh kematian mereka, maka akulah yang bersalah"

   Mahisa Bungalan terkejut Dengan serta merta ia menjawab "Bukan maksudku"

   "Mungkin kau memang tidak bermaksud mengatakan demikian. Tetapi akulah yang wajib merasa. Kau telah terseret dalam persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentinganmu. Untunglah bahwa tidak terjadi sesuatu dengan kau. Jika sekiranya, kau mengalami sesuau, maka akulah sumber dari malapetaka itu"

   "Tidak. Tidak Ken Padmi. Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan demikian. Aku benar-benar ingin mengatakan, bahwa aku masih belum membersihkan diri sehingga tubuhku menjadi kotor. Tidak ada sangkut pautnya dengan siapakah yang bersalah, dalam hal ini"

   Ken Padmi justru menjadi semakin tunduk. Dengan nada yang dalam dan tertahan-tahan ia berkata "Aku memang terlalu bodoh untuk mengerti. Sekali lagi aku minta maaf Mahisa Bungalan"

   Mahisa Bungalan benar-benar menjadi bingung, la tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.

   Karena itu, maka iapun kemudian hanya berdiri saja tegak seperti patung.

   Untuk sesaat keduanya saling berdiam diri.

   Ken Padmi berdiri dengan kepala tunduk, sedangkan Mahisa Bungalan menjadi sangat gelisah oleh ketidak tahuannya atas sikap Ken Padmi.

   Baru sejenak kemudian Ken Padmi berkata "Sudahfah.

   Aku akan kembali ke ruang dalam.

   Jika kau sudah selesai,mandilah agar kau tidak merasa bernoda darah dan kematian"

   Hampir saja Mahisa Bungalan.

   menjawab.

   Untunglah bahwa ia segera menyadari, bahwa jawabnya itu akan dapat menyinggung perasaan Ken Padmi.

   Karena itu, ia hanya berkata di dalam hati "Noda darah dan kematian tidak akan terhapus meskipun aku akan mandi seribu kali sehari"

   Tetapi yang terucap dari mulutnya adalah "Silahkan Ken Padmi.

   Kau memang memerlukan istirahat badan dan jiwani.

   Seperti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng, lupakan segalanya, karena yang terjadi benar-benar diluar kehendak dan kuasamu untuk menghindarinya.

   Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam.

   Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya.

   Namun ketika ia memandang wajah Mahisa Bungalan, anak muda itupun sedang memandanginya.

   Cepat-cepat Ken Padmi melemparkan pandangannya.

   Bahkan kemudian iapun segera meninggalkan Mahisa Bungalan yang termangu-mangu.

   Sejenak Mahisa Bungalan berdiri mematung.

   Dipandanginya saja Ken Padmi yang kemudian hilang di balik sudut gandok.

   Beberapa lama ia masih tetap berdiri.

   Terasa debar jantungnya bagaikan semakin.

   cepat.

   Ada kesan yang khusus di dalam hatinya dari sikap gadis itu.

   Meskipun Ken Padmi menyandang pedang, tetapi ia benar- benar seorang gadis perasa.

   Dalam pada itu, di luar sadarnya, dari jarak yang agak jauh Gemak Werdi memandanginya dengan tajam.

   Tetapi anak muda itu kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah.

   Rasa-rasanya ia sedang melepaskan sebuah gelembung getah jarak yang terbang dihanyutkan angin.Gemak Werdi terkejut ketika pundaknya digamit oleh Makerti.

   Sejenak keduanya berpandangan.

   Namun kemudian Gemak Werdi melangkah meninggalkan tempatnya.

   Makerti yang lebih tua daripadanya menarik nafas panjang.

   Ia mengerti perasaan yang bergejolak di dalam hati Gemak Werdi dan Mahisa Bungalan.

   Makertipun mengerti, kenapa tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berada di padepokan itu, meskipun ia tidak mengerti bagaimana hal itu terjadi.

   Yang diketahuinya adalah bahwa Mahisa Bungalan tidak dapat meninggalkan Ken Padmi dengan ikhlas.

   Karena itu, seolah-olah ia masih saja selalu membayanginya meskipun ia sudah minta ijin meninggalkan padepokan itu.

   Dengan demikian Mahisa Bungalan masih sempat mengetahui dan melihat, apa yang telah terjadi.

   Sejenak Makertilah yang kemudian termangu-mangu.

   Ia melihat Mahisa Bungalan melangkah ke belakang, dan hilang dibalik sudut belakang rumah padepokan.

   Para cantrik sudah selesai membaringkan ketiga sosok mayat di pendapa.

   Besok jika hari menjadi terang, maka ketiga sosok mayat itu akan diselenggarakan sebagaimana seharusnya.

   Makertipun kemudian meninggalkan tempatnya pula.

   Ia pun segera membersihkan diri seperti para penghuni padepokan itu yang lain.

   Diantara mereka adalah Mahisa Bungalan yang sejak saat itu telah berada di padepokan Kenanga kembali.

   Mahisa Bungalan yang kemudian berada di pendapa bersama beberapa orang yang lain, menunggui mayat yang terbaring bergeser setapak, ketika Makerti duduk di sebelahnya.

   Beberapa saat mereka berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

   Separti pendapat orang-orang padepokan itu yang lain.

   Padepokan Kenanga tentu sudah menjadi karang abang, jika Mahisa Bungalan tidak tiba-tiba raja berada di antara mereka.

   "Sudahlah"

   Desis Mahisa Bungalan "jangan sebut itu lagi"

   Makerti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia justru berkata "Bagaimana dengan Ki Watu Kendeng? Bukankah ia mengharap kau datang ke padepokannya?"

   Mahisa Bungalan merenung sejenak.

   Ia memang harus mulai memikirkan suatu sikap tentang kesediaannya menjadi anak angkat Ki Watu Kendeng.

   Kesediaannya itu akan membawa suatu akibat sikap dan perbuatan.

   Tiba-tiba saja ada perasaan segan yang mencengkamnya untuk meninggalkan padepokan Kenanga.

   Betapa pun ia mencoba untuk ingkar terhadap dirinya sendiri, namun akhirnya ia harus mengakui bahwa hatinya telah tertambat kepada gadis yang bernama Ken Padmi itu, sehingga seolah-olah ia pun telah terikat pula oleh padepokan Kenanga yang hampir saja mengalami bencana itu.

   Ketika kemudian Ki Selabajra pun ikut duduk di pendapa, maka pembicaraan mereka telah berkisar.

   Mereka kembali membicarakan peristiwa yang menggetarkan jantung, yang telah menjamah padepokan yang terhitung tenang itu.

   Beberapa saat lamanya, meraka masih berbincang di pendapa.

   Namun menjelang matahari terbit, beberapa orang dipersilahkan untuk beristirahat Hanya beberapa orang murid dan cantrik sajalah yang masih menunggui mayat di pendapa.

   "Apakah mereka masih mempunyai saudara-saudara seperguruan?"

   Bertanya salah seorang cantrik."Mungkin sekali"

   Jawab kawannya.

   "Bukankah masih ada kemungkinan saudara-saudara seperguruannya itu mendendam kita di sini? "Mungkin sakali"

   Jawab kawannya lagi.

   "Apakah tidak mungkin pada suatu saat mereka datang dengan kekuatan berlipat?"

   Kawannya bertanya pula.

   "Mungkin sekali"

   "He, apakah kau tidak mempunyai jawaban lain?"

   Kawannya tiba-tiba membentak.

   "Kenapa kau marah? Aku menjawab sebenarnya. Mungkin sekali. Mungkin sekali semua itu dilakukan. Bahkan bukan saja saudara-saudara seperguruan, tetapi gurunya dapat berbuat demikian pula"

   "Guru Gagak Branang?"

   Cantrik itu menjadi tegang. Katanya "Jika benar demikian, apakah anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu akan dapat mengimbangi kemampuan guru Gagak Branang itu"

   "He, kau kira anak muda itu tidak mempunyai guru? Jika ia merasa tidak mungkin mengimbangi seseorang, ia tentu akan mengadu kepada gurunya"

   "Itu kalau sempat. Kalau tidak?"

   "Kalau tidak, iapun terbujur di pendapa seperti itu"

   "Ah"

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Geram kawannya "kau gila. Apakah hal itu akan dapat terjadi atas anak muda itu?"

   "Mungkin sekali"

   "Apalagi yang mungkin sekali?"Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak berbicara lagi. Diluar sadar, mereka memandang ketiga sosok mayat yang terbaring diam itu. Ketika kemudian matahari terbit, maka orang-orang padepokan Kenanga telah menjadi sibuk. Mereka pada hari itu juga akan mengadakan upacara menyelenggara kan ketiga sosok mayat itu sebaik-baiknya meskipun dengan sederhana. Namun pada hari itu juga. Padepokan Watu Kendengpun menjadi sibuk. Merekapun akan menyelenggarakan upacara menyelenggarakan kedua sosok mayat. Bagaimana juga, setelah maninggal, Ki Watu Kendeng tidak sampai hati menyia-nyiakan adiknya. Bahkan sejauh-jauh mungkin Ki Watu Kendeng masih berusaha menutupi kekurangan adiknya. Namun yang buruk itu ternyata cepat sekali di dengar oleh banyak orang. Betapapun Ki Watu Kendeng berusaha menutupinya, namun orang-orang yang mengiringinya ke Padepokan Kenanga telah menyaksikan dan mengerti, apa yang telah terjadi. Sedangkan mereka tidak dapat menahan diri untuk menceriterakan apa yang mereka saksikan itu kepada kawan-kawannya, kepada saudara-saudaranya, dan bahkan kepada siapapun y ang mereka temui. Karena itu, bagaimanapun juga, maka sikap orang padepokan Watu Kendeng dan orang-orang padukuhan di sekitarnya terhadap kedua sosok mayat itu jauh berbeda. Mereka menghormati mayat Kuda Pramuja, tetapi mereka memandangpun segan terhadap mayat Gagak Branang. Demikianlah, maka padepokan Watu Kendeng diliputi oleh suasana berkabung. Agak berbeda dengan suasanayang diliputi padepokan Kenanga. Meskipun kedua padepokan itu sama-sama menyelenggarakan beberapa sosok mayat, namun dalam ikatan dan keadaan yang berlainan. Bagi padepokan Watu Kendeng, maka yang terjadi itu benar-benar merupakan peristiwa yang pahit, sementara bagi padepokan Kenanga ada sepercik kebanggaan karena kehadiran Mahisa Bungalan yang telah berhasil mengalahkan orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang tanpa Mahisa Bungalan akan dengan mudah menghancurkan padepokan mereka. Ketika kemudian matahari turun ke Barat, setelah kesibukan di padepokan Kenanga selesai, maka mereka dengan segera melupakan apa yang telah terjadi. Para cantrik sudah dapat bergurau lagi diantara mereka. Bahkan murid-murid Ki Selabajrapun sudah sempat lagi berada di dalam sanggar untuk meneruskan latihan-latihan mereka. Sedangkan pada saat yang sama, orang-orang padepokan Watu Kendeng masih tetap berada dalam suasana berkabung. Setiap penghuni padepokan Watu Kendeng masih tetap menundukkan kepala dengan sedih. Mahisa Bungalan yang masih berada di padepokan Kenanga melihat suasana yang cepat berubah itu. Namun nampaknya agak lain dengan Ken Padmi. Gadis itu masih tetap diliputi oleh suasana yang muram. Meskipun kematian yang terjadi itu tidak menyangkut sanak kadangnya, tetapi Ken Padmi masih saja merasa di bayangi oleh kesalahan. Ia merasa menjadi penyebab, bahwa semuanya itu telah terjadi. Namun selain merasa bersalah, ada sesuatu perasaan yang terselip di hatinya. Jika ia sadar, bahwa Mahisa Bungalan masih berada di padepokan Kenanga, maka tiba-tiba hatinya serasa menjadi sejuk. Ia tidak mengerti dengan pasti, apakah ia memang telah tertarik kepada anak muda itu. Namun sebagai seorang gadis ia selalu menghindari pertanyaan itu meskipun tumbuh di hatinya sendiri. Ketika diluar kehendaknya, ia berpapasan dengan Mahisa Bungalan di longkangan, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika Mahisa Bungalan kemudian ternyata berhenti sambil memandangnya. Rasa-rasanya kaki Ken Padmi menjadi sangat berat. Hampir diluar sadarnya iapun telah berhenti pula. Sejenak keduanya termangu-mangu. Keringat dingin telah mengalir di tengkuk Ken Padmi. Dan bahkan Mahisa Bungalan untuk sejenak telah menjadi kebingungan, apakah yang akan dilakukannya. Namun akhirnya ia berhasil menguasai perasaannya. Dengan nada yang dalam ia berkata "Apakah kau sudah sempat beristirahat Ken Padmi?"

   Ken Padmi memandang Mahisa Bungalan hanya sekilas. Jawabnya "Kaulah yang harus beristirahat. Kaulah yang telah banyak berbuat bagi kami seisi padepokan ini"

   Mahisa Bungalan tersenyum. Betapapun gelisah hatinya. Katanya "Aku tidak berbuat apa-apa. Tetapi kaulah yang nampak letih sejak semalam"

   "Aku tidak letih"

   Sahut gadis itu singkat. Untuk sejenak Mahisa Bungalan seolah-olah telah kehilangan kalimat untuk mulai lagi dengan sebuah pembicaraan. Namun tiba-tiba saja ia berkata "Ken Padmi, agaknya aku tidak akan dapat lama di padepokan ini"

   Ken Padmi terkejut. Diluar sadarnya ia memandang Mahisa Bungalan dengan kerut merut di keningnya."Apakah kau akan segera pergi lagi seperti beberapa waktu yang lampau?"

   Bertanya Kan Padmi.

   "Seharusnya aku memang pergi seperti yang aku lakukan selama ini. Aku adalah seorang perantau"

   Jawab Mahisa Bungalan "tetapi agaknya aku harus tinggal beberapa lamanya di padepokan Watu Kendeng"

   "Kenapa?"

   Bertanya Ken Padmi.

   "Bukankah kau sudah mendengar pula, bahwa aku telah diangkat menjadi anak Ki Watu Kendeng menggantikan Kuda Pramuja? Aku mengerti, betapa sakitnya hati orang tua itu. Karena itu, aku tidak sampai hati menolaknya. Dan akupun akan berada di padepokannya untuk beberapa saat selama ia masih berduka"

   Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam.

   Ia mengerti, bahwa Mahisa Bungalan memang sudah menyediakan dirinya untuk diangkat sebagai anak oleh Ki Watu Kendeng.

   Demikian dalam pengertiannya, bahwa orang tua itu sedang berduka, karena ia telah kehilangan anaknya.

   Kematian Kuda Pramuja bukannya kematian yang sewajarnya seperti kebanyakan kematian-kematian yang pernah terjadi.

   Tetapi kematian Kuda Pramuja adalah karena persoalan yang justru merupakan noda yang kelam bagi keluarga Ki Watu Kendeng.

   "Ken Padmi"

   Tiba-tiba saja terdengar Mahisa Bungalan berdesis "aku besok akan mohon diri kepada Ki Selabajra. Kepada Makerti, kepada pemak Werdi dan kepadamu"

   Ken Padmi menundukkan kepalanya.

   Dengan nada yang dalam ia menjawab "Mudah-mudahan jarak dari Watu Kendeng tidak akan menjadi lebih panjang lagi, Mahisa Bungalan, ada kecemasan di dalam hatiku, bahwa setelah Watu Kendeng, kau akan berjalan semakin jauh lagi"Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Dengan suara yang datar ia menjawab "Seharusnya aku memang akan berjalan semakin jauh Ken Padmi.

   Aku akan menjauhi segala tempat.

   Aku akan mendekati segala tempat pula.

   Karena itu, aku akan berada di mana-mana, tetapi juga tidak berada di mana-mana"

   "Setiap katamu membuat aku semakin bingung. Tetapi kau dengar suara hatiku meskipun aku tidak mengatakannya"

   Mahisa Bungalan menahan nafasnya.

   Kata-kata itu telah mendebarkan jantungnya.

   Namun dalam pada itu, ketika Ken Padmi menyadari pengakuannya, meskipun samar-samar wajahnya menjadi merah.

   Sebagai seorang gadis ia telah berkata terlalu jauh dalam hubungan antara manusia.

   Karena itu, maka wajahnya menjadi semakin tunduk.

   Keringat dinginnya telah mengalir membasahi segenap tubuhnya.

   Mahisa Bungalan melihat kegelisahan itu.

   Meskipun ia sendiri merasa canggung, namun ia tidak dapat membiarkan perasaan gelisah itu mencengkam perasaan Ken Padmi semakin dalam-dalam.

   "Ken Padmi"

   Berkata Mahisa Bungalan "aku dengar suara hatimu. Namun suara itu telah luluh dengan suara hatiku sendiri"

   "Ah"

   Ken Padmi berdesah.

   Tidak ada yang dapat dikatakannya lagi.

   Bahkan kemudian iapun berlari masuk di longkangan itu.

   Baru kemudian Mahisa Bungalan melangka meninggalkan tempatnya memasuki biliknya di gandokTetapi ternyata bahwa ia tidak dapat duduk dengan tenang.

   Pembicaraaanaya yang singkat dengan Ken Padmi telah menggelisahkan hatinya.

   Tetapi adalah diluar pengetahuan Mahisa Bungaian, bahwa Ki Selabajra telah melihat pembicaraan itu dari sela- sela pintu seketeng, bagian belakang.

   Meskipun hanya sekilas, dan tidak ada keinginannya untuk melihat dan mendengarkan pembicaraan kedua anak muda itu, namun Ki Selabajra telah mendapat keyakinan, bahwa ada sesuatu yang saling menyentuh pada kedua anak muda itu.

   "Aku tidak tahu, apakah aku menjadi senang atau justru gelisah dan cemas"

   Berkata Ki Selabajra kepada diri sendiri "aku senang jika benar-benar keduanya pada suatu ketika akan bertemu dalam hidup kekeluargaan.

   Mahisa Bungalan adalah anak muda yang luar biasa.

   Anak muda yeng memiliki ilmu yang tinggi, tetapi tetap rendah hati dan berusaha menempuh jalan hidupnya yang lurus.

   Tetapi aku menjadi gelisah dan cemas, bahwa dalam perantauannya, Mahisa Bungalan akan menemukan paristiwa yang dapat mengaburkan perasaan itu, apalagi kemudian terhapus sama sekali, sementara Ken Padmi masih tetap terikat kepada kesetiaan akan janji meskipun baru diucapkan di dalam hatinya sendiri.

   


Lembah Nirmala -- Khu Lung Pedang Inti Es Karya Okt Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung

Cari Blog Ini