Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 5


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 5



Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja

   

   Namun janji di dalam hati justru akan dapat mengikatnya tanpa batas kesaksian orang lain"

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian "Yang dapat aku lakukan hanyalah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Pemurah. Sebagai orang tua, aku tidak boleh menutup mata atas kenyataan ini"

   Dalam pada itu, selagi Ki Selabajra merenung anak gadisnya, maka Mahisa Bungalan masih saja dicengkam oleh kegelisahan.

   Bahkan kemudian iapun keluar lagi dari biliknya, dan berjalan dengan ragu-ragu ke Sanggar.Dengan kegelisahannya, ia menunggui murid-murid Ki Selabajra yang sedang melatih diri.

   Mereka mengulang apa yang pernah mereka pelajari.

   Mereka mencoba mengembangkan apa yang telah mereka sadap dari gurunya, Ki Selabajra.

   Kehadiran Mahisa Bungalan membuat mereka menjadi segan.

   Tetapi Mahisa Bungalan berkata "Teruskan.

   Jangan hiraukan aku.

   Anggaplah bahwa aku tidak ada di dalam sanggar ini"

   Murid-murid Ki Selabajra itu saling berpandangan sejenak. Namun keseganan itu agaknya masih belum mereke singkirkan dari hati mereka.

   "Teruskanlah. Aku juga pernah pada suatu saat seperti kalian. Belajar dan mencoba mengulang-ulang, kemudian mencari bentuk perkembangannya"

   Betapapun segan dan canggungnya, namun akhirnya merekapun talah melanjutkan latihan mereka.

   Mula-mula dengan ragu-ragu, namun perlahan-lahan mereka dapat mengesampingkan perasaan itu, sehingga latihan itupun menjadi semakin lama semakin cepat pula.

   Tetapi ternyata bahwa latihan itu tidak dapat merampas seluruh perhatian Mahisa Bungalan.

   Meskipun ia tetap berada di dalam sanggar, namun angan-angannya kadang- kadang telah terbang jauh ke dalam dunia harapan.

   Karena itulah, maka ia seolah-olah terkejut ketika tiba-tiba saja latihan-latihan itu telah berakhir di malam yang telah larut.

   Semalam suntuk Mahisa Bungalan harus menunggu dengan gelisah di dalam biliknya.

   Ia menjadi berdebar- debar ketika terdengar kokok ayam jantan menjelang fajar menyingsing.Namun ia sudah membulatkan tekadnya untuk pergi ke Watu Kendeng.

   Ia tidak ingin berada terlalu lama di padepokan Kenanga.

   Bagaimanapun juga, ia harus menjaga agar hubungannya dengan Ken Padmi yang seolah-olah telah mereka akui tanpa kata-kata, dapat menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, sehingga mungkin akan dapat mengurangi penilaian mereka terhadap keluhuran budi anak perempuan Ki Selabajra, yang bagi orang-orang di padepokan Kenanga dan sekitarnya, Ki Salabajra merupakan orang yang paling mereka hormati di samping Ki Buyut.

   'Demikianlah, maka Mahisa Bungalanpun kemudian mempersiapkan bukan saja badannya, tetapi juga hatinya.

   Ia harus minta diri dan pergi ke padepokan Watu Kendeng.

   Apapun yang akan dialaminya di Watu Kendeng, akan diterimanya sejauh dapat dilakukannya.

   Ia akan menjadi anak yang baik bagi Ki Watu Kendeng, meskipun sejak semula Mahisa Bungalan harus meyakinkan, bahwa ia tidak akan dapat tinggal terlalu lama di padepokan itu.

   Ketika kemudian Mahisa Bungalan duduk bersama KI Selabajra di pendapa, setelah mereka selesai dengan membenahi diri masing-masing, maka Mahisa Bungalanpun segera mengutarakan maksudnya untuk minta diri meninggalkan padepokan Kenanga.

   "Demikian tergesa-gesa?"

   Bertanya Ki Selabajra.

   "Aku harus memenuhi kesanggupanku. Aku akan pergi ke Watu Kendeng agar Ki Watu Kendeng tidak terlalu lama menunggu"

   Jawab Mah%a Bungalan.

   Ki Selabajra tidak dapat menahan Mahisa Bungalan terlalu lama.

   Ia sendiri mendengar, betapa Ki Watu Kendeng yang kehilangan anak dan adiknya itu menginginkan Mahisa Bungalan untuk menggantikan anaknya yang terbunuh itu.

   Karena itu, maka Ki Selabajrapun telah melepaskan Mahisa Bungalan dengan hati yang berat.

   Setiap kali ia selalu teringat kepada anak gadisnya yang tentu akan menjadi gelisah pula sepeninggal Mahisa Bungalan.

   "Mungkin untuk satu dua hari saja"

   Berkata Ki Selabajra di dalam hatinya "tetapi mungkin pula berbulan-bulan. Bahkan ia akan tetap menunggu untuk waktu yang tidak tertentu"

   Namun bagaimanapun juga akhirnya Mahisa Bungalanpun minta diri untuk meninggalkan padepokan itu.

   Kepada Makerti, kepada Gemak Werdi dan kepada para murid, para cantrik dan seluruh penghuni padepokan, termasuk Ken Padmi, Mahisa Bungalanpun kemudian minta diri.

   "Apakah kau memerlukan seorang penunjuk jalan"

   Bertanya Ki Selabajra.

   "Tidak"

   Jawab Mahisa Bungalan "petunjuk arah yang aku terima sudah cukup bagiku. Aku akan dapat segera menemukannya"

   Tetapi agaknya Ki Selabajra tidak ingin membiarkan Mahisa Bungalan berjalan kaki.

   Karena itu, maka iapun kemudian menyerahkan seekor kuda yang paling baik yang ada di padepokan itu untuk dipergunakan oleh Mahisa Bungalan.

   Meskipun Mahisa Bungalan lebih senang untuk meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki sambil mengamati keadaan di sepanjang jalan yang dilaluinya, sesuai dengan keinginannya untuk melihat sebanyak- banyaknya sebelum ia mengikat diri dalam tugas kewajibanyang lebih mapan, namun ia tidak menolak pemberian Ki Selabajra.

   Karena itulah, maka iapun kemudian meninggalkan padepokan Kenanga dengan berkuda.

   Tetapi juga dengan hati yang sangat berat.

   Ketika kudanya mulai berderap, sekali lagi ia berpaling.

   Ia hampir tidak melihat orang-orang yang berdiri berjajar di muka regol.

   Yang dilihatnya adalah Ken Padmi yang berdiri bersandar uger-uger pintu regol memandanginya dengan wajah yang muram.

   Namun sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan itupun mempercepat lari kudanya, meskipun ia tidak berpacu terlalu kencang.

   Demikian Mahisa Bungalan keluar dari batas dinding padepokan, tiba-tiba saja ia telah teringat kepada ceritera tentang ibunda Anusapatj yang bernama Ken Dedes.

   Permaisuri Tunggul Ametung, yang kemudian men jadi permaisuri Ken Arok yang memecah tahta Kediri itupun mulanya adalah seorang gadis padepokan.

   Betapa gadis yang bernama Ken Dedes itupun pernah menumbuhkan banyak persoalan diantara anak-anak muda bukan saja dari padepokan, tetapi juga anak-anak muda dari daerah yang jauh.

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Ceritera tentang Ken Dedes memang tidak dapat disembunyikan lagi.

   Bagaimana Akuwu Tunggul Ametung telah memaksa gadis itu dan membawanya ke Tumapel.

   Meskipun semula hal itu dilakukan karena pengaruh seorang anak muda yang bernama Kuda Sempana, namun akhirnya Ken Dedes itu menjadi permaisuri di Tumapel.

   "Ah"

   Desah Mahisa Bungalan. Namun iapun melihat, bahwa gadis padepokan Kenanga itupun telah memancingpersoalan diantara anak-anak muda meskipun diluar kehendaknya sendiri.

   "Agaknya akupun telah terlibat pula ke dalamnya"

   Berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Seolah- oleh ia melihat dua peristiwa yang berbeda, tatapi mempunyai latar belakang yang hampir sama.

   "Apakah peristiwa semacam itu terjadi di seluruh sudut bumi dan terjadi di segala jaman?"

   Pertanyaan itu telah timbul di hati Mahisa Bungalan. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia. bergumam "Selagi masih ada manusia dengan segala sifat- sifatnya, maka persoalan antara mereka masih akan tetap terjadi"

   Mahisa Bungalanpun kemudian mencoba menghapus angan-angannya tentang peristiwa yang menggelisahkan itu, serta tentang gadis padepokan Kenanga yang seolah- olah telah mencengkam hatinya.

   Ia mencoba memperhatikan alam yang cerah di sekitarnya.

   Matahari yang bersinar dengan terang memandikan pepohonan dan dedaunan yang hijau segar.

   Angin lembut yang mangguncang pepohonan perlahan-lahan.

   Di antara dahan- dahan terdengar burung liar berkicau dengan riang, seriang anak-anak yang berlari-larian di pematang.

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Dilintasinya jalan di bulak yang panjang di antara hijaunya tanaman.

   Dalam pada itu, di padepokan Kenanga, sepeninggal Mahisa Bungalan, Ken Padmi telah masuk ke dalam biliknya.

   Meskipun ia tidak berbaring di pembaringan, namun ia lebih banyak duduk sambil marenung.

   Ia benar-benar tidak dapat ingkar dari kenyataan di dalam dirinya.

   Kepergian Mahisa Bungalan yang kedua kalinya itu benar- benar telah membuat hatinya terasa pedih.

   Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.

   Ia tidak kuasa untuk menahannya, dan apalagi minta agar Mahisa Bungalan tetap tinggal di padepokannya.

   Ki Selabajrapun melihat keadaan anak gadisnya.

   Ia ikut merasakan kepedihan karena perpisahan itu.

   Tetapi ia pun tidak ingin mendahului segala-galanya.

   Ia tetap diam dan menunggu perkembangan berikutnya, meskipun ia akan selalu memperhatikan keadaan anaknya dengan seksama.

   Tidak seorang pun dari penghuni padepokan Kenanga yang menegur Ken Padmi dengan tingkah lakunya itu.

   Ki Selabajra yang memasuki biliknya dan mencoba untuk mengajaknya makan barsama tidak berhasil mendorong gadis itu keluar dari biliknya.

   "Kepalaku pening ayah"

   Berkata Ken Padmi.

   "Jika demikian, berbaringlah. Kau harus minum obat pipisan, agar kau segera sambuh"

   Berkata ayahnya. Tetapi Ken Padmi menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku tidak ingin minum obat. Nanti akan sembuh dengan sendirinya"

   Ki Selabajra tidak memaksanya.

   Namun keadaan anak gadisnya itu cukup menggelisahkannya pula.

   Apalagi ia tidak akan dapat memperhitungkan apa yang akan dilakukan Mahisa Bungalan.

   Jika Mahisa Bungalan itu seorang anak muda yang tinggal di padukuhan atau padepokan yang tidak terlalu jauh, maka kemungkinan kelanjutan dari hubungannya dengan anak gadisnya masih dapat diharapkan.

   Tetapi Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang berasal dari daerah yang jauh, yangmerantau tanpa tujuan, sekedar untuk memperluas pengalamannya.

   Jika anak muda itu kembali ke asalnya, apakah ia masih akan ingat lagi kepada padepokan- padepokan terpencil ini.

   Apakah ia masih tetap mengenangkan seorang gadis padepokan yang bodoh dan tidak berpengetahuan.

   "Kasihan anakku"

   Tiba-tiba saja di luar sadarnya orang tua itu berdesis kepada diri sendiri.

   Sementara itu Mahisa Bungalan pun semakin jauh dari padepokan Kenanga.

   Sebagai seorang perantau yang berpengalaman, maka petunjuk yang diterimanya di Padepokan Kenanga, arah jalan menuju ke padepokan Watu Kendeng, telah cukup baginya.

   Ia tidak menemui kesulitan sama sekali.

   Beberapa ciri yang diberitahukan kepadanya oleh orang-orang padepokan Kenanga segera dikenalnya.

   Namun demikian, semakin dekat Mahisa Bungalan dengan padepokan Kenanga, hatinya manjadi semakin berdebar-debar.

   Seolah-olah ia sedang menuju ke sebuah pintu gerbang dari daerah asing yang akan menjadi tempat tinggalnya, meskipun hanya sementara.

   "Aku akan memasuki daerah yang mendebarkan"

   Berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

   Tetapi akhirnya kudanyapun berderap mendekati regol sebuah padepokan yang tidak banyak berbeda dengan padepokan Kenanga.

   Padepokan kecil yang bagi lingkungannya merupakan daerah yang cukup menjadi pusat perhatian.

   Padukuhan padukuhan di sekitar padepokan Watu Kendeng, seperti juga padepokan Kenanga, menganggap pemimpin padepokan itu sebagai seorang yang terhormat dan memiliki kelebihan dari orang- orang kebanyakan.Ketika Mahisa Bungalan mendekati pintu gerbang, rasa- rasanya ia masih menyentuh perasaan duka yang sangat mendalam dari isi padepokan itu.

   Beberapa orang penghuni padepokan Watu Kendeng yang melihat seseorang mendekati regol segera menyongsongnya.

   Mereka yang tidak ikut pergi ke padepokan Kenanga masih belum pernah melihat anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.

   Karena itu, mereka menganggap seorang asing telah datang ke padepokan mereka.

   Tetapi ketika salah seorang yang ikut ke Padepokan Kenanga melihat kehadirannya, maka dengan tergesa-gesa manyampaikan hal itu kepada Ki Watu Kendeng.

   "Anak itu sudah datang?"

   Bertanya Ki Watu Kendeng.

   "Ya Kiai. Ia sudah datang"

   Jawab orang yang melaporkan.

   "Dengan siapa?"

   "Sendiri "

   "Sendiri?"

   Ki Watu Kendeng mengulang. Namun ia pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke pendapa. Mahisa Bungalan masih berdiri termangu-mangu sambil memegangi kendali kudanya. Ketika ia melihat Ki Watu Kendeng, maka iapun segera membungkuk hormat"

   "Terimalah kudanya, he, terimalah kuda anakku"

   Berkata Ki Watu Kendeng kepada seorang cantrik yang berdiri termangu-mangu di halaman. Dengan tergesa-gesa cantrik itupun menerima kendali kuda Mahisa Bungalan dan menuntunnya ke belakang."Marilah Mahisa Bungalan"

   Ki Watu Kendeng mempersilahkan "akhirnya kau datang juga ke rumah yang buruk ini"

   Mahisa Bungalan tidak menjawab.

   Tetapi iapun kemudian naik kependapa dan duduk diatas sehelai tikar pandan yang putih yang terbentang di antara tiang-tiangnya yang berukir, meskipun sederhana.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam pada itu nampaklah betapa gembiranya hati Ki Watu Kendeng dalam saat-saat ia berkabung, sepeninggal anak dan adiknya.

   Kedatangan Mahisa Bungalan dapat menjadi sedikit penawar, meskipun bagaimana juga, nilainya tidak akan dapat mengimbangi anaknya sendiri bagi Ki Watu Kendeng.

   Meskipun segala sesuatunya pada Mahisa Bungalan berlipat ganda dari Kuda Pramuja, tetapi bagi Ki Watu Kendeng, Kuda Pramuja adalah anak muda yang paling berharga baginya, karena anak itu adalah belahan kulit dagingnya sendiri.

   Namun kehadiran Mahisa Bungalan akan dapat menjadi sekedar pengisi kekosongan di relung hatinya.

   Seperti kebiasaan, maka Ki Watu Kendeng itupun bertanya tentang keselamatan Mahisa Bungalan dan orang- orang yang ditinggalkan di padepokan Kenanga.

   Kemudian baru ia bertanya tentang kaadaan padepokan itu karena peristiwa terakhir yang telah terjadi.

   Mahisa Bungalan kemudian menceriterakan dengan singkat, apa yang telah terjadi.

   Ia meninggalkan padepokan Kenanga setelah semuanya dapat dianggap selesai.

   "Tinggalah di sini Mahisa Bungalan"

   Berkata Ki Watu Kandang "kau akan mendapat tempat seperti kau tinggal di rumahmu sendiri.

   Meskipun barangkali rumah ini lebih buruk dari rumahmu, den apalagi rumah-rumah yang lain di Kota Raja, tetapi hendaknya kau kerasan tinggal di sini"Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Tantu ia tidak akan membantah.

   Tetapi ia menjadi cemas, bahwa kelak ia akan sulit untuk meninggalkan padepokan itu.

   Ia dapat saja memaksa pergi, tetapi jika hal itu akan membuat hati orang itu pedih maka iapun akan menjadi ragu-ragu pula.

   "Biarlah akan aku pikirkan kelak"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

   Demikianlah, maka sejak saat itu, Mahisa Bungalan berada di padepokan Watu Kendeng.

   Seperti di padepokan Kenanga, maka padepokan itupun tidak banyak dipengaruhi oleh masalah-masalah yang rumit seperti yang dikenalnya di Singasari.

   Orang-orang Watu Kendeng perhatiannya tidak berkisar terlalu jauh dari sawah, pategalan, ternak dan sedikit masalah mengenai pakaian.

   Selebihnya, bebeberapa orang telah mempelajari olah kanuragan.

   Seperti Ki Selabajra maka Ki Watu Kendeng adalah orang pertama di padepokannya serta daerah di sekitarnya.

   "Kau dapat berbuat banyak di sini apabila kau sempat"

   Berkata Ki Watu Kendeng "kau mempunyai ilmu linuwih. Mungkin sehitamnya kuku dapat kau berikan kepada orang- orang Watu Kendeng"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Permintaan itu memang wajar sekali.

   Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun selalu saja dibayangi oleh keinginannya untuk meneruskan perantauannya.

   Ia ingin menjelajahi daerah yang luas.

   Pada saatnya ia akan kembali ke Singasari, kepada ayah dan keluarganya.

   Kemudian menerima pengangkatannya menjadi seorang prajurit di Singasari.Dalam pada itu, selama berada di padepokan Watu Kendeng, Mahisa Bungalan telah berusaha menyesuaikan dirinya.

   Seperti para murid dan para cantrik, pagi-pagi benar ia sudah bangun dan mengerjakan pekerjaan sehari- hari.

   Jika matahari naik, seperti penghuni-penghuni yang lain, Mahisa Bungalanpun pergi pula ke sawah dan pategalan.

   Adalah diluar dugaan, bahwa pada suatu ketika, selagi Mahisa Bungalan berada di sawah, Ki Selabajra telah berada di padepokan Watu Kendeng, Tidak banyak yang dibicarakan, karena Ki Selabajrapun tidak lama berada di padepokan Watu Kendeng.

   Ketika Mahisa Bungalan kembali dari sawah, ia mendapatkan Ki Selabajra sudah hampir minta diri untuk kembali ke padepokan Kenanga berkata Ki Selabajra.

   "Terima kasih"

   Jawab Mahisa Bungalan "Ternyata Ki Selabajra masih ingat kepadaku"

   Ki Selabajra tertawa. Katanya "Bagaimana aku dapat melupakanmu. Kau adalah orang yang pertama-tama mengalahkan aku. Hampir saja aku menjadi mata gelap. Untunglah aku segera menyadari kesalahanku"

   "Apa yang kalian bicarakan?"

   Bertanya Ki Watu Kendeng. Ki Selabajra tertawa. Katanya "Kedatangannya hampir saja membuatku marah tanpa terkendali. Tetapi akhirnya aku menjadi sangat malu kepada diriku sendiri. Apalagi setelah Mahisa Bungalan dapat mengalahkan Gagak Branang"

   "Ah"

   Desah Mahisa Bungalan "Ki Selabajra hanya sekedar bermain-main"

   "Bermain-main?"

   Bertanya Ki Selabajra "kau kira bahwa aku tidak sudah mengerahkan seganap kemampuan lahir dan batin, sementara kaulah yang hanya bermain"Mahisa Bungalan tersenyum.

   Ketika ia memandang wajah Ki Watu Kendeng yang keheran-heranan, hampir ia tidak dapat menahan tertawanya.

   "Suatu permainan yang kurang menarik"

   Tiba-tiba Ki Selabajra berdesis "tetapi kesannya tidak akan terlupakan sepanjang umurku"

   "Aku tidak mengerti"

   Desis Ki Watu Kendeng.

   "Kelak kau akan mengerti"

   Sahut Ki Selabajra.

   Mahisa Bungalan hanya tersenyum-senyum saja menyaksikan wajah Ki Watu Kandeng.

   Agaknya ia benar- benar heran mendengar pembicaraan Ki Selabajra dengan Mahisa Bungalan.

   Namun dalam pada itu, Ki Selabajrapun kemudian minta diri.

   Keperluannya datang ke Watu Kendeng agaknya telah selesai sepeninggal Ki Selabajra, Mahisa Bungalan hampir diluar sadarnya bertanya "Apakah ada kepentingan khusus, sehingga Ki Selabajra telah datang ke padepokan ini?"

   Ki Watu Kendeng menggeleng. Jawabnya "Tidak Bungalan. Dan kau sudah mendengar sendiri, bahwa ia datang karena ia ingin sekedar menengokmu"

   Mahisa Bungalan tidak bertanya lebih banyak lagi.

   Seandainya ada keperluan lain dari Ki Selabajra, maka nampaknya keduanya menganggap bahwa Mahisa Bungalan tidak perlu mengetahui persoalan itu.

   Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan tidak bertanya lebih banyak lagi.

   Ia menganggap bahwa ia tidak berkepentingan apapun dengan kedatangan Ki Selabajra itu.

   Ternyata bahwa Ki Watu Kendeng memang tidak memberitahukan apapun juga kepadanya.

   Sepeninggal KiSelabajra, seolah-olah tidak terjadi suatu pembicaraan apapun antara keduanya, sehingga tidak ada kesan yang dapat dibacanya pada sikap maupun wajah Watu Kendeng.

   Mahisa Bungalanpun tidak menghiraukan ketika Ki Watu Kendeng memanggil beberapa orang pembantunya untuk berbicara di dalam sanggarnya.

   Seolah-olah pembicaraan mereka sekedar pembicaraen yang tidak, terlalu penting, yang menyangkut masalah padepokan Watu Kendeng itu.

   Ternyata pula bahwa disaat berikutnya Ki Watu Kendeng tidak mengatakan sesuatu kepadanya.

   Bahkan sampai hari berikutnya.

   Ki Watu Kendeng bersikap seperti biasanya tanpa menyebut sama sekali pembicaraannya dengan Ki Salabajra.

   Namun, ketika matahari turun ke Barat, dan Watu Kendeng mulai dibayangi oleh malam yang gelap, Ki Watu Kendeng telah memanggil Mahisa Bungalan di pendapa.

   Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.

   Ia sudah hampir melupakan kunjungan Ki Selabajra.

   Namun agaknya kedatangan itu bukan tanpa tujuan apapun juga, seperti yang sudah diduganya.

   Ketika Mahisa Bungalan sudah duduk di pendapa, maka rasa-rasanya ia dihadapkan pada suatu sikap yang sangat kaku, yang belum pernah nampak pada Ki Watu Kendeng.

   Sejenak Ki Watu Kendeng duduk diam menghadapi semangkuk minuman hangat.

   Bahkan ketika ia berbicara, yang diucapkannya hanyalah kata-kata pendek "Minumlah Mahisa Bungalan"

   Mahisa Bungalan yang juga menghadapi semangkuk minumanpun telah mengangkat mangkuknya pula danmeneguknya.

   Namun rasa-rasanya iapun menjadi gelisah, justru karena sikap Ki Watu Kendeng.

   Setelah minum seteguk, ia masih, harus menunggu beberapa saat pula, karena Ki Watu Kendeng rasa-rasanya baru mengatur kata-kata yang akan diucapkannya.

   Baru kemudian terdengar suaranya dalam "Mahisa Bungalan.

   Memang ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu.

   Sebagai seorang ayah yang ingin berbicara dengan anaknya"

   Debar jantung Mahisa Bungalan terasa semakin cepat memukul dinding hatinya. Sekilas dipandanginya wajah Ki Watu Kendeng yang tunduk. Namun kemudian Mahisa Bungalanpun menundukkan kepalanya pula.

   "Mahisa Bungalan"

   Berkata Ki Watu Kendeng pula "sebelumnya aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau sudah dapat menempatkan dirimu, benar-benar seperti anakku sendiri?"

   Mahisa Bungalan menjadi bingung. Untuk sejenak ia diam termangu-mangu. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu.

   "Maksudku, apakah kau benar-benar menerima aku sebagai ayah angkatmu dengan ikhlas?"

   Betapapun juga akhirnya Mahisa Bungalan menjawab "Ya Ki Watu Kendeng. Aku, menerima kebaikan hati Ki Watu Kendeng dengan ikhlas"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam ia melenjutkan "Terima kasih atas sikapmu itu Mahisa Bungalan"

   Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu.

   Namun untuk beberapa saat Ki Watu Kendeng justru terdiam.Agaknya ada kegelisahan juga di dalam hatinya.

   Untuk beberapa saat lamanya keduanya justru saling berdiam diri.

   Keduanya menundukkan kepala memandangi air hangat di dalam mangkuk masing-masing.

   Sekali-sekali tangan Mahisa Bungalan menyentuh mangkuknya.

   Namun ia tidak mengangkatnya dan meneguknya lagi.

   Jantung Mahisa Bungalan justru merasa semakin cepat berdentang justru dalam kediaman.

   Rasa-rasanya pendapa itu menjadi sangat tegang.

   Kediaman Ki Watu Kendeng menimbulkan berbagai macam tanggapan.

   Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak dapat menebak, apa yang sedang dipikirkan oleh Ki Watu Kendeng.

   Namun ia mencoba untuk menghubungkannya dengan kedatangan Ki Selabajra di padepokan itu.

   Untuk sejenak keduanya masih berdiam diri.

   Namun akhirnya setelah Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam- dalam, akhirnya ia berkata "Mahisa Bungalan.

   Ada yang penting yang ingin aku katakan kepadamu sebagai seorang ayah kepada anaknya.

   Aku tidak dapat ingkar, bahwa kedatangan Ki Selabajra bukannya tanpa masalah.

   Aku telah lebih dahulu datang ke padepokan Kenanga tanpa setahumu.

   Sehari kemudian, Ki Selabajra telah datang pula ke padepokan ini"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   "Dengarlah"

   Berkata Ki Watu Kendeng "sebagai orang tua, maka aku mempunyai keinginan-keinginan tertentu.

   Beberapa saat yang lampau, aku pernah datang kepada Ki Selabajra, untuk menyampaikan niatku yang pernah aku katakan sebelumnya meskipun saat itu tidak bersungguh- sungguh.

   Aku ingin mengikat hubungan antara padepokan ini dengan padepokan Kenanga dengan ikatan kekeluargaan.

   Tetapi kau tahu sendiri, apakah yang telah terjadi dengan anakku dan adikku"Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya dalam- dalam.

   "Tetapi keinginan itu tidak pernah pudar dari dadaku. Itulah sebabnya, maka aku telah datang pula ke padepokan Kenanga untuk melanjutkah pembicaraan itu"

   Mahisa Bungalan menjadi heran. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Ia masih ingin mendengarkan saja kelanjutannya keterangan Ki Watu Kendeng.

   "Mahisa Bungalan"

   Berkata Ki Watu Kendeng "ketika aku mendapat keyakinan bahwa niat itu tentu akan dapat dilanjutkan, maka pembicaraanku dengan Ki Selabajra pun menjadi bersungguh-sungguh.

   Setelah aku datang sekali kepadanya, ia telah membalas kunjunganku dengan membawa kemungkinan yang sangat menggembirakan"

   Sejenak Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya. Namun wajah itu pun telah tertunduk lagi.

   "Mahisa Bungalan"

   Berkata Ki Watu Kendeng kemudian "ternyata bahwa niat kami untuk mengikat kedua padepokan ini dengan ikatan kekeluargaan, telah kita setujui bersama.

   Karena itu, aku akan datang sekali lagi ke padepokan Kenanga untuk melamar anak gadisnya yang bernama Ken Padmi itu"

   Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dadanya berdebar semakin cepat. Hampir di luar sadarnya ia bertanya "Tetapi, apakah Kuda Pramuja masih mampunyai saudara laki-laki?"

   "Aku masih mempunyai seorang anak laki-laki Mahisa Bungalan"

   Jawab Ki Watu Kendeng. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, samantara Ki Watu Kendeng berkata selanjutnya "Agaknya kali ini KenPadmi tidak akan menolak seperti yang pernah dilakukannya atas Kuda Pramuja"

   Terasa keringat dingin mulai mengalir di punggung Mahisa Bungalan.

   Tetapi ia masih menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Ki Watu Kendeng seterusnya.

   Ternyata dugaan Mahisa Bungalan tidak meleset.

   Dengan suara sendat, akhirnya Ki Watu Kendeng berkata "Mahisa Bungalan.

   Aku akan datang ke padepokan Kenanga untuk melamar Kan Padmi bagi anak angkatku"

   Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah meskipun ia sudah menduganya. Sejenak ia tarbungkam oleh gejolak di dalam dadanya. Ada sepercik kegirangan melonjak di hatinya. Betapapun juga, ia tidak dapat ingkar, bahwa ia memang tertarik kepada gadis itu.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mahisa Bungalan"

   Berkata Ki Watu Kendeng kemudian "aku sudah mempersiapkan segalanya yang sebenarnya memang sudah siap sejak Kuda Pramuja masih hidup.

   Lusa aku akan pergi ke padepokan Kenanga bersama beberapa orang tua serta membawa kau serta.

   Sekali lagi aku akan melamar anak Ki Selabajra.

   Dan kali ini, aku yakin, bahwa segalanya akan berlangsung dengan baik"

   Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Ia mulai memikirkan hal itu dengan sungguh-sungguh. Ia mulai menilai dirinya, menilai keadaannya dalam keseluruhan.

   "Jangan terlalu banyak pertimbangan"

   Berkata Ki Watu Kendeng "kau sudah dewasa penuh.

   Kau adalah seorang anak muda yang tidak ada duanya.

   Karena itu, maka sudah sepantasnya kau mempunyai sisihan, dan akupun akan melangsungkan niatku untuk menyelenggarakan peralatan perkawinan anakku dengan penuh kegembiraan"Mahisa Bungalan tidak menjawab.

   Tetapi keringat dinginnya semakin deras mengalir.

   Pertimbangan- pertimbangannya justru menjadi semakin banyak.

   Ia tidak ingin berbuat suatu kesalahan yang akan berakibat pahit baginya.

   "Kau diam saja Mahisa Bungalan. Meskipun aku sudah dapat menebak perasaanmu, tetapi kau wajib mengatakan. Dengan mendengar jawabmu, hatiku akan menjadi lapang. Dan yang kemudian akan aku kerjakan, tentu menjadi semakin lancar pula"

   Mahisa Bungalan beringsut setapak. Dengan nada yang berat ia menjawab "Aku mengucapkan terima kasih Ki Watu Kendeng"

   "Kau tidak usah mengatakannya"

   Potong Ki Watu Kendeng "aku hanya ingin mendengar, apakah lusa kau bersedia pergi bersama kami"

   Mahisa Bungelan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya "Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih"

   Ia berhenti sejenak, lalu "tetapi aku minta maaf yang tiada taranya.

   Sebenarnya aku akan sangat berbesar hati akan kebaikan hati dan kesempatan itu.

   Tetapi, adalah di luar kuasaku untuk dapat langsung menerimanya.

   Karena itu, aku mohon untuk dapat dipertimbangkan sebaik- baiknya"

   Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Katanya kemudian "Apakah yang harus dipertimbangkan lagi?"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Ia melihat keheranan membayang di wajah Ki Watu Kendeng.

   Agaknya sikapnya sama sekali tidak dapat dimengerti.

   Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah dapat menebak seluruhnya.

   Apakah yang sebenarnya telah terjadi.

   Ki WatuKendeng dan Ki Selabajra tentu sudah membicarakan hubungannya dengan Ken Padmi.

   Mungkin Ki Selabajra pernah melihat atau mendengarnya.

   Apakah hal itu didengarnya dari para penghuni padepokan Kenanga, ataukah karena hal itu telah dilihatnya sendiri, atau justru karena pengakuan Ken Padmi.

   Dengan demikian, maka baik Ki Selabajra maupun Ki Watu Kendeng tentu menganggap bahwa persoalannya akan dapat dilaksanakan dengan lancar tanpa kesulitan apapun juga.

   Namun Mahisa Bungalan mempunyai pertimbangan lain.

   Betapa beratnya ia menyatakan pertimbangannya, karena ia sadar, bahwa hal itu tentu akan sangat mengecewakan kedua orang tua yang pada saat-saat terakhir bersikap sangat baik kepadanya.

   Bahkan Ki Watu Kendeng telah dengan penuh harapan, mengangkatnya sebagai anak setelah anak laki-lakinya terbunuh karena perbuatan pamannya.

   Karena Mahisa Bungalan tidak segera menjawab, maka Ki Watu Kendeng mendesaknya "Mahisa Bungalan.

   Coba katakan, apakah yang harus dipertimbangkan lagi?"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Dipandanginya wajah orang tua itu sejenak.

   Namun kemudian sambil menundukkan kepalanya ia berkata "Ki Watu Kendeng.

   Berulang kali aku katakan, bahwa aku sangat berterima kasih atas perhatian Ki Watu Kendeng kepadaku.

   Tetapi menyangkut masalah hidup berkeluarga, maka aku tidak akan dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tergesa-gesa"

   Wajah Ki Watu Kendeng menegang.

   Sejenak ia justru terdiam, namun kemudian Katanya "Mahisa Bunglan, aku memang sudah mengira, bahwa kau menghormatihubungan kekeluargaan ini dengan Sungguh-sungguh.

   Kau bukan semacam orang yang dengan mudah membiarkan perasaan mengembara tanpa kendali.

   Tetapi dalam hal ini, kami yang tua-tuapun sudah mempertimbangkan sebaik- baiknya.

   Bahkan kami yang tua-tua ini tidak melepaskan perasaan anak-anak muda yang akan langsung terlibat di dalam masalah ini.

   Karena itulah maka kami telah berbuat dengan hati-hati dan penuh pertimbangan"

   Mahisa Bungalan menarik keningnya. Ketegangan yang mencengkam dadanya rasa-rasanya menjadi semakin menghunjam jantung.

   "Mahisa Bungalan"

   Berkata Ki Watu Kendeng kemudian "Seperti yang aku katakan.

   Aku sudah bertemu dengan Ki Selabajra.

   Aku sudah berbicara panjang tentang hubungan antara kedua padepokan ini.

   Tentang anak gadisnya, dan tentang dirimu sendiri.

   Menurut pembicaraan kami, maka rasa-rasanya tidak akan ada masalah yang akan dapat menghambat persoalan ini"

   Mahisa Bungalan menjadi semakin gelisah. Tetapi betapapun juga beratnya, akhirnya ia berkata "Ki Watu Kendeng. Sekali lagi aku mohon maaf. Bukan berarti aku menolak, tetapi sebaiknya kita tidak tergesa-gesa membicarakan masalah ini"

   Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya.

   Dengan tajam ia memandang wajah Mahisa Bunglaan yang tunduk.

   Kemudian dengan nada suara keheranan ia berkata "Aku tidak mengerti, Mahisa Bungalan.

   Aku tidak mengerti.

   Aku membicarakan masalah ini dengan Ki Selabajra seperti aku membicarakannya tentang anak kandungku sendiri.

   Aku sama sekali tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang dicar-cari atau sekedar mengisi kekosongan hati.

   Tetapi aku bersungguh-sungguh seperti Ki Selabajra bersungguh- sungguh.

   Sebab Ki Selabajra akan melepaskan anakperempuannya yang akan menjalani masa hidupnya yang panjang di kemudian hari"

   Mahisa Bungalan beringsut setapak. Sementara Ki Watu Kendeng berkata "Apakah masih ada keragu-raguanmu. bahwa kau masih belum benar-benar menempatkan dirimu sebagai anakku di sini?"

   "Bukan, bukan itu Ki Watu Kendeng"

   Dengan serta merta Mahisa Bungalan menjawab "aku tidak bermaksud demikian"

   Ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi Ki Watu Kendeng, perkenankanlah aku berbicara tentang diriku.

   Aku adalah seorang anak laki-laki yang meningkat dewasa.

   Yang meninggalkan rumah dan keluargaku karena aku ingin merantau untuk mencari bekal bagi hari depanku.

   Karena itu, bagaimanapun juga, aku tidak akan dapat melepaskan diri dari hubungan keluarga dengan ayah bundaku sendiri.

   Dalam hubungan yang besar dan suci ini, aku harus berbicara dahulu dengan ayah dan seluruh keluargaku, dan pamanku berdua, yang dalam perjalanan hidupku, mempunyai arti yang sangat penting.

   Itulah sebabnya, mengapa aku menjadi ragu-ragu.

   Aku sama sekali tidak akan menolak.

   Terus terang, bahwa aku dan Ken Padmi memang telah terjalin hubungan halus yang tidak terucapkan dengan kata-kata.

   Tetapi justru karena masalahnya adalah masalah yang besar, itulah sebabnya, aku harus menjadi sangat barhati-hati"

   Wajah Ki Watu Kendeng menengang sejenak. Tetapi kemudian orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apakah aku akan gagal lagi?"

   "Bukan begitu Ki Watu Kendeng"

   Sahut Mahisa Bungalan "tetapi aku mohon, perasaanku ini dapat dimengerti.

   Aku masih mempunyai keluarga dan orang tua.

   Kepada mereka aku harus minta ijin dan restunya"Ki Watu Kendeng memandang Mahisa Bungalan dengan mata yang sayu.

   Tetapi ia pun kemudian mengangguh-angguk.

   Katanya "Aku mengerti Mahisa Bungalan.

   Dan akupun merasa, bahwa aku hanyalah orang yang sekedar menumpang mengaku anak.

   Hakku memang berbeda dengan hak orang tuamu sendiri"

   Dada Mahisa Bungalan bergetar.

   Ia melihat kekecewaan yang sangat membayang di wajahnya.

   Baru saja hatinya teluka oleh sikap adiknya, yang menyebabkan kematian anak laki-lakinya.

   Kini ia dikecewakan oleh sikap anak angkatnya.

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat lain.

   Jika ia menerima maksud Ki Watu Kendeng, membawanya ke padepokan Kenanga dan melamar Ken Padmi, maka jika hal itu didengar oleh ayahnya, maka ayahnyapun akan menjadi sangat kecewa.

   Ia tahu, bahwa ayahnya tidak akan bersikap keras terhadapnya, apalagi melarangnya.

   Meskipun hatinya kecewa, tetapi ia tentu tidak akan mengurungkannya.

   Namun dengan demikian, maka ia adalah seorang anak yang tidak mengerti akan dirinya.

   Ia adalah anak yang melukai hati orang tuanya.

   Dalam hal itu ternyata Mahisa Bungalan masih sempat memperhitungkan, yang manakah yang lebih baik baginya.

   Apakah ia mengecewakan Ki Watu Kendeng atau ia harus mengecewakan orang tuanya sendiri.

   Sementara itu, karena Mahisa Bungalan tidak menjawab, bahwa menundukkan kepalanya dalam-dalam, Ki Watu Kendeng berkata "Angger Mahisa Bungalan.

   Jika kau berkeberatan, biarlah aku sendiri datang ke padepokan Kenanga.

   Aku akan menyampaikan keberatanmu kepada Ki Selabajra yang tentu akan menjadi sangat kecewa pula.

   Bahkan mungkin, ia akan menjadi putus asa dan kehilangan harapan""Ki Watu Kendeng"

   Jawab Mahisa Bungaien kemudian "aku mohon, Ki Selabajra dapat mendengai alasanku. Aku sama sekali tidak menentang maksud itu. Bahkan aku sendiri menginginkannya. Tetapi aku tidak dapat meninggalkan orang tuaku"

   Mahisa Bungalan berhenti sejenak, lalu "bahkan jika diperlukan segera, aku akan menghubungi orang tuaku untuk menyampaikan masalah ini langsung kepada Ki Selabajra"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.

   Terasa betapa hatinya menjadi sangat kecewa.

   Dengan nada yang dalam ia berkata "Ya, Mahisa Bungalan.

   Agaknya memang orantuamulah yang berhak melakukannya.

   Karena itu, agar Ki Selabajra tidak terlalu gelisah menunggu, aku akan datang kepadanya besok, dan menyampaikan kepadanya, bahwa kau tidak dapat memenuhi permintaanku kali ini"

   "Tetapi Ki Watu Kendeng"

   Berkata Mahisa Bungalan dengan serta merta "aku mohon, agar alasan yang aku kemukakan akan dapat disampaikan selengkapnya, sehingga Ki Selabajra tidak akan salah mengerti"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk.

   Betapapun wajahnya dibayangi oleh perasaannya yang kecewa, namun ia mengangguk sambil menjawab "Baiklah Mahisa Bungalan.

   Aku akan berusaha agar aku dapat menyebutkan alasanmu seperti yang kau maksudkan.

   Mudah-mudahan tidak ada salah paham dan salah mengerti.

   Dan mudah- mudahan tidak ada parasaan kecewa dan sakit hati"

   Dada Mahisa Bungalan terasa semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka katanya kemudian "

   Ki Watu Kendeng. Sekali lagi aku mohon maaf. Dan akupun mohon maaf kepada Ki Selabajra, bahwa aku terpaksa menunda masalah ini"

   Ki Watu Kendeng mengangguk lemah. Katanya "Aku akan mencoba""Tetapi sama sekali aku tidak akan mengingkarinya"

   Sambung Mahisa Bungalan.

   "Ya. Aku mengerti. Aku mengerti"

   Suara Ki Watu kendeng menjadi parau.

   Mahisa Bungalan menjadi semakin tunduk.

   Ia tidak sampai hati memandang wajah orang tua yang kecewa itu.

   Tetapi ia sama sakali tidak kuasa merubah sikap dan pendiriannya, karena hal itu akan menyangkut hubungannya sebagai anak terhadap orang tuanya.

   Sejenak keduanya saling berdiam diri, sehingga pendapa itu menjadi sepi.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Angin yang lembut semilir melintas pendapa mengusap kulit.

   Sejenak kemudian, maka Ki Watu Kendengpun berkata dengan suara yang dalam "Mahisa Bungalan.

   Yang ingin aku sampaikan sudah aku sampaikan.

   Dan kaupun sudah mengatakan apa yang harus kau katakan.

   Karena itu, jika kau ingin beristirahat, beristirahatlah.

   Besok aku akan pergi ke padepokan Kenanga untuk menyampaikan persoalanmu kepada Ki Selabajra.

   Mudah-mudahan aku dapat mengatakan seluruh pengertian dari kata-katamu.

   Dan mudah-mudahan Ki Selabajra dapat mengertinya pula"

   Mahisa Bungalan mengangguk dalam-dalam. Katanya "Sampaikan permohonan maafku. Jika hal ini harus terjadi, sebenarnya hanyalah penundaan sesaat saja. Segalanya akan segera aku selesaikan seperti yang Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra kehendaki"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Akumangerti"

   Mahisa Bungalanpun kemudian minta diri.

   Dengan hati yang bergejolak ia memasuki biliknya.

   Namun agaknyamatanya sama sekali tidak dapat dipejamkannya.

   Kegelisahan yang sangat terasa menyesak di dadanya.

   Malam yang kelam terasa terlelu lama berjalan.

   Betapa malasnya suara ayam jantan yang berkokok menjelang fajar.

   Namun akhirnya mataharipun mulai mengusik gelapnya malam.

   Ketika langit menjadi merah di timur, Mahisa Bungalan seperti biasanya, keluar dari biliknya dan melakukan kerja separti yang dilakukan oleh para penghuni padepokan yang lain.

   Tetapi, nampaknya anak muda itu tidak gembira seperti biasanya.

   Ada semacam kemuraman yang nampak di wajahnya.

   Namun setiap kali Mahisa Bungalan selalu, mencoba menyembunyikannya di balik senyumnya yang.

   buram.

   Seperti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng semalam, maka ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, orang tua itupun telah bersiap-siap untuk pergi ke padepokan Kenanga.

   Dua orang muridnya yang terpercaya telah dibawanya untuk menemaninya di perjalanan.

   Bukan karena Ki Watu Kendeng cemas bahwa ia akan bertemu dengan kawan- kawan atau saudara-saudara seperguruan adiknya yang telah terbunuh, karena agaknya kematiannya tidak menumbuhkan goncangan dikalangan perguruannya, justru karena adiknya telah melepaskan diri dari ikatan perguruannya setelah ia merasa cukup dewasa dengan ilmunya, tetapi Ki Watu Kendeng memerlukan kawan berbincang di sepanjang jalan, karena kadang-kadang teraba bahwa dadanya menjadi sesak oleh kekecewaan yang tidak dapat diatasinya dengan sikap apapun juga, justru karena iapun dapat mengerti, alasan Mahisa Bungalan sebagai seorang anak yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tuanya.

   Di samping perasaan kecewa dan pahit, Iapunmemuji, di dalam hatinya, betapa anak muda itu mampu menempatkan dirinya, benar-benar sebagai seorang anak yang dapat diharapkan oleh kedua orang tuanya.

   Seorang anak yang setia, mengerti dan bakti.

   Betapa ia digoncang oleh perasaannya sebagai seorang anak muda, sementara kesempatan telah terbuka baginya, namun ia masih ingat kewajiban seorang anak kepada orang tuanya.

   Namun demikian, Ki Watu Kendengpun digelisahkan oleh pertemuan yang segera akan dilakukannya dengan Ki Selabajra di padepokan Kenanga.

   Masalah yang nampaknya sudah selesai dan matang itu, ternyata telah men jadi pecah berserakan.

   Mahisa Bungalan yang ikut melepas Ki Watu Kendeng sampai diregol halaman, melihat, betapa suramnya wajah Ki Watu Kendeng, meskipun seperti dirinya sendiri, orang tua itu masih juga mencoba tersenyum.

   "Aku akan mencoba menjelaskan alasanmu seperti yang kau katakan kepadaku"

   Berkata Ki Watu Kendeng ketika ia sudah siap meninggalkan padepokannya.

   "Terima kasih"

   Desis Mahisa Bungalan dengan hati yang berdebar-debar.

   Sepeninggal Ki watu Kendeng, Mahisa Bungalan selalu berdoa di dalam hati, agar tidak terjadi salah paham antara Ki Selabajra dengan Ki Watu Kendeng, yang selama ini nampaknya telah menjadi dua orang sahabat yang baik.

   "Tetapi aku tidak kuasa untuk mengambil keputusan yang lain"

   Berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

   Sepeninggal Ki Watu Kendeng, Mahisa Bungalan berusaha melupakan kegelisahannya dengan melakukan kerja sehari-hari.

   Namun setiap kali ia masih saja selalu diganggu oleh bayangan dan angan-angan tentangperjalanan Ki Watu Kendeng.

   Namun kadang-kadang angan-angannyapun membumbung kedunia khayalan yang baur antara senyum Ken Padmi yang bening dengan wajah Ki Selabajra yang kecewa dan marah.

   Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat apapun juga, kecuali sekedar menunggu.

   Dan iapun dengan gelisah telah menunggu di padepokan Watu Kendeng.

   Dalam pada itu, di perjalanan ke padepokan Kenanga.

   Ki Watu Kendeng telah dibebani oleh kegelisahan perasaan pula.

   Ia dengan susah payah berusaha menyusun kata-kata, bagimana ia akan menyampaikan masalah yang sedang dihadapinya itu kepada Ki Selabajra yang semula sudah sepakat untuk menyusun suatu acara yang menurut orang- orang tua itu, paling baik bagi Mahisa Bungalan dan Ken Padmi.

   Namun yang ternyata rencana itu harus dibatalkannya.

   Sekali-sekali KI Watu Kendeng berbincang pula dengan pengiringnya yang berduka di sampingnya.

   Tetapi pengiring nya itu lebih banyak hanya mengangguk-angguk, mengiakan dan kadang-kadang berdesah seperti dirinya sendiri.

   Karena itu, maka ia tidak menemukan jalan lain yang dapat ditempuhnya.

   Semakin dekat perjalanan mereka dengan padepokan Kenanga maka hati Ki Watu Kendeng manjadi semakin gelisah.

   Tetapi ia tidak dapat mengingkari kewajiban yang harus dilakukannya.

   Ia telah melakukan pembicaraan sebagai ayah angkat Mahisa Bungalan.

   Dan kini iapun akan datang ke padepokan Kenanga sebagai ayah angkat anak muda itu.

   Namun betapapun juga kegelisahhan mencengkam jantungnya, akhirnya kuda Ki Watu Kendeng telahmemasuki regol padepokan Kenanga.

   Bersama para pengiringnya mereka meloncat turun dan kemudian menuntun kuda mereka melintasi halaman.

   Beberapa orang cantrik padepokan Kenanga itupun dengan tergesa-gesa menyongsoongnya.

   Menerima kendali kuda mereka dan menambatkannya pada tonggak yang tersedia di pinggir halaman padepokan itu.

   Ki Selabajra yang kemudian diberitahu akan kehadiran Ki Watu Kendeng itupun dengan tergesa-gesa telah keluar ke pendapa.

   la terkejut, karena kedatangan Ki Watu Kendeng ternyata lebih cepat dari yang sudah mereka bicarakan.

   "Marilah, silahkan Ki Watu Kendeng "Ki Selabajra mempersilahkan "kedatanganmu telah mengejutkan aku. Tetapi duduklah lebih dahulu"

   Ki Watu Kendengpun kemudian duduk di pendapa bersama kedua pengiringnya.

   Sejenak mereka saling bertanya tentang keselamatan masing-masing, sementara minuman dan makananpun telah dihidangkan.

   Baru kemudian, setelah para tamu itu minum seteguk dan makan makanan sepotong, Ki Watu Rendeng berkata "Aku memang datang lebih awal dari yang kita sepakati bersama"

   "Itulah yang mengejutkan aku"

   Jawab Ki Selabajra "nampaknya ada sesuatu yang penting yang akan kau sampaikan kepadaku sebelum hari yang kita tentukan itu tiba"

   Ki Watu Kendeng mengangguk.

   Tetapi rasa-rasanya bibirnya menjadi sangat berat untuk mengatakan, apakah keperluannya yang sebenarnya datang kepadepokan itu.

   Ki Selabajra heran melihat sikap Ki Watu Kendeng.

   Bahkankemudian mulai terasa, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.

   Karena itu, maka Ki Selabajrapun kemudian bertanya "Ki Watu Kendeng.

   Agaknya ada sesuatu yang telah terjadi, yang tidak sesuai dengan pembicaraan yang pernah kita buat sebelumnya"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "Agaknya memang demikian. Tetapi sebenarnya aku agak sulit untuk menyampaikannya, karena hal itu sama sekali berada diluar dugaanku"

   Ki Selabajra memandang wajah Ki Watu Kendeng dengan tajamnya.

   Mulai terasa debar jantungnya seolah- olah menjadi semakin cepat.

   Dengan nada datar ia berkata "Katakanlah Ki Watu Kendeng Aku ingin segera mendengarnya.

   Apapun yang akan kau katakan, agaknya lebih baik segera aku dengar daripada membuat jantungku berdentangan"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.

   Kemudian dengan hati-hati ia berkata "Ki Selabajra.

   Yang sudah kita bicarakan, sudah aku sampaikan kepada Mahisa Bungalan.

   Aku telah merencanakan membawanya kepada mu.

   Aku kira ia akan menjadi sangat gembira dan berterima kasih kepadaku.

   Tetapi ternyata ia berbuat lain meskipun tidak menolaknya"

   Wajah Ki Selabajra menjadi tegang. Dengan bimbang ia bertanya "jadi anak muda itu tidak menjadi gembira karenanya? Apakah sebenarnya yang dikehendakinya?"

   "Aku melihat secerah harapan di wajahnya. Tetapi ternyata ia adalah anak muda yang terlalu baik. Betapapun inginnya ia menerima tawaranku, tetapi ia akhirnya terpaksa menolaknya. Bukan persoalan pokoknya, tetapi sekedar soal pelaksanaannya""Apakah yang diinginkannya"

   Bertanya Ki Selabajra "Ia merasa dirinya seorang anak yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tuanya. Karena itulah, maka segala sesuatunya, harus dibicarakannya lebih dahulu dengan orang tuanya sendiri. Bukan orang tua angkat seperti aku"

   Wajah Ki Selabajra menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia bertanya "Jadi, kita harus menunggu orang tuanya datang kepadamu kemudian datang kepadaku?"

   "Agaknya ia bermaksud demikian"

   Jawab Ki Watu Kendeng.

   "Ah"

   Desah Ki Selabajra "apakah benar ia bersikap seperti yang dikatakannya? Apakah ia tidak sekedar mencari alasan untuk ingkar?"

   "Bagaimana mungkin ia akan ingkar. Bukankah ia sendiri merasa terikat hatinya di padepokan ini? Hanya karena perasaan bakti seorang anak terhadap orang tuanya sajalah yang telah menghambatnya, sehingga ia tidak dengan serta-merta menerima ajakanku datang ke padepokan ini"

   Wajah Ki Selabajra menjadi semakin tegang.

   Dengan suara yang tersendat-sendat ia berkata "Ki Watu Kendeng.

   Aku tahu, bahwa kau adalah orang yang terlalu baik.

   Kau dengan penuh pengertian menghadapi kenyataan, anakku masih belum dapat menerima lamaran anakmu pada waktu itu.

   Kau sama sekali tidak menjadi sakit hati, apalagi berusaha memaksakan kehendakmu tentang hal itu.

   Kaupun akhirnya memaafkan adikmu yang menyebabkan kematian anak laki-lakimu setelah ia meninggal dengan menyelenggarakan mayatnya sebaik-baiknya.

   Adalah jarang dijumpai didunia ini orang yang berhati longgar seluas lautan seperti kau""Aku tidak tahu apa hubungannya dengan Mahisa Bungalan.

   Justru kau memuji aku dengan berlebih-lebihan.

   Apakah kau bermaksud mengangkat aku setinggi ujung pohon kelapa, kemudian membantingkan aku jatuh di atas batu hitam?"

   "Tidak. Bukan maksudku"

   Jawab Ki Selabajra dengan serta-merta "aku hanya ingin mengatakan, bahwa agaknya kau sudah berbuat terlalu baik pula atas Mahisa Bungalan.

   Mungkin ia tidak bersikap seperti yang kau katakan.

   Mungkin ia memang tidak ingin datang bersamamu untuk melamar anakku.

   Kebaikan hatimulah yang menyusun alasan, seolah-olah Mahisa Bungalanlah orang yang sangat baik hati itu, yang sangat setia dan bakti kepada orang tuanya"

   "Ah itu tidak Ki Selabajra. Aku tidak mengada-ada. Yang aku katakan, adalah apa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan kepadaku"

   Sahut Ki Watu Kendeng.

   "Jika demikian Ki Watu Kendeng maka sekali lagi adalah justru karena kau orang yang sangat baik. Karena kau tidak pernah berkata tidak jujur, maka kau anggap setiap orangpun jujur pula seperti kau sendiri"

   "Aku tidak tahu maksudmu, Ki Selabajra. Kau masih saja selalu memuji aku, sehingga aku menjadi bingung karenanya"

   Demikian, itu bukan berarti bahwa lahir dan batinnya sejalan. Mungkin ia berkata seperti apa yang kau katakan. Tetapi sebenarnya ia hanyalah ingin mengingkarinya saja tanpa menyakiti hatimu"

   "Jangan berprasangka buruk Ki Selabajra. Mahisa Bungalan adalah anak yang baik. Yang menurut pendapatku, ia tidak akan dengan sengaja menipu aku. Aku melihat kejujuran pada nada kata-katanya seperti pada sorot matanya""Karena itu, apakah kita harus menunggu sampai kapan anak itu kembali kerumahnya, menemui orang tuanya, kemudian membawanya kemari?"

   Bertanya Ki Selabajra. Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia menjawab "Agaknya memang begitu Ki Selabajra"

   "Waktu yang diperlukan itu kira-kira berapa tahun? Atau bahkan melampaui sisa umurku yang masih ada?"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.

   Ia mengerti, betapa Ki Selabajra menjadi sangat kecewa akan peristiwa itu.

   Menurut keterangannya, saat Ki Selabajra bertemu dengannya beberapa waktu yang lewat, hubungan antara Ken Padmi dan Mahisa Bungalan nampaknya tidak akan diragukan lagi.

   Sepeninggal Kuda Pramuja, maka sebaiknya gadis yang sudah dewasa itu segera mendapatkan jodohnya, agar tidak terjadi persoalan yang dapat menumbuhkan benturan kekerasan pula.

   Karena Ki Selabajra sadar, bahwa jika anak gadisnya itu masih saja hidup sendiri, maka kemungkinan-kemungkinan yang menggelisahkan masih saja dapat terjadi.

   Tetapi jika anak gadisnya sudah tidak lagi seorang gadis yang meningkat dewasa, seperti bunga yang sedang mekar, maka kemungkinan itu tidak akan terjadi lagi.

   Tetapi tiba-tiba harapan yang sudah teranyam itu telah pecah sama sekali karena sikap Mahisa Bungalan yang tidak terduga sebelumnya.

   Dalam pada itu, Ki Watu Kendeng pun kemudian berkata "Ki Selabajra.

   Aku kira ia tidak memerlukan waktu yang lama.

   Seperti yang kau katakan, aku merasakan pengakuannya, bahwa ia merasa dirinya terikat oleh anak gadismu.

   Karena itu, iapun tentu akan berusaha menyelesaikan persoalannya secepat mungkin""Jika orang tuanya tidak setuju? Atau orang tuanya telah menentukan celon isterinya?"

   Bertanya Ki Selabajra.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.

   Jika demikian, maka persoalannya menjadi lain.

   Dan Ki Watu, Kendeng tidak berani memberikan tanggapan, karena hal itu akan dengan mudah menimbulkan salah paham.

   Karena Ki Watu Kendeng tidak menjawab, maka Ki Selabajrapun berkata pula "Karena itu, Ki Watu Kendeng.

   Sebaiknya aku tidak usah menunggu.

   Ki Watu Kendeng akan dapat bertanya kepadanya, apakah ia bersedia atau tidak.

   Jika ia memang bersedia, biarlah ia datang.

   Jika ia tidak bersedia datang, maka aku tidak akan terikat sama sekali dengan anak muda itu"

   Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya.

   Tetapi, sebelum ia menjawab, tiba-tiba saja pintu berderit.

   Kedua orang tua itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat Ken Padmi berdiri di muka pintu dengan wajah yang merah.

   Dengan suara lantang ia berkata "Ayah tidak adil.

   Ayah memberi kesempatan laki-laki itu menyatakan pendapatnya.

   Tetapi ayah tidak bertanya lebih dahulu kepadaku, seperti yang pernah terjadi, saat Kuda Pramuja datang melamarku"

   Ki Selabajra tergagap. Ia tidak mengira bahwa anak gadisnya mendengar, dan bahkan langsung mencampuri persoalan itu.

   "Ken Padmi"

   Berkata Ki Selabajra "berikan kesempatan kepadaku untuk membicarakan sesuatu yang paling baik bagimu dan bagi masa depanmu"

   "Ayah sudah bersikap benar pada saat Kuda Pramuja datang melamar. Ayah saat itu bertanya kepadaku, bagaimana tanggapanku atas lamaran itu. Dan aku saat itumenjawab, bahwa aku masih belum merasa tertarik pada hidup berkeluarga"

   "Ya, ya. Tetapi jangan kau ulang-ulang lagi hal itu"

   "Aku tahu, bahwa ingatan itu pahit bagi Ki Watu Kendeng. Tetapi aku hanya ingin memperbandingkan sikap ayah dengan sikap ayah sekarang. Seharusnva ayah bertanya kepadaku"

   Sambung Ken Padmi.

   "Aku tidak mengerti maksudmu"

   Sahut ayahnya.

   "Seharusnya ayah bertanya kepadaku. Bukan memutuskan masalah ini sendiri"

   "Aku sudah mengetahui sikapmu Ken Padmi, sehingga karena itu aku merasa tidak perlu bertanya kepadamu lagi"

   "Tidak. Ayah tidak mengetahui sikapku yang sebenarnya"

   Berkata Ken Padmi. Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya "Kemarilah Ken Padmi. Duduklah. Dan katakanlah maksudmu yang sebenarnya"

   Ken Padmi pun kemudian datang mendekat dan duduk di samping ayahnya. Dengan suara bergetar iapun kemudian berkata "Ayah. Seharusnya ayah bertanya kepadaku, apakah aku bersedia menerimanya jika anak muda itu pada saatnya datang kemari"

   "Ken Padmi. Apakah aku masih harus bertanya?"

   "Tentu ayah"

   Sahut Ken Padmi "Dan jika ayah bertanya kepadaku, maka aku akan menjawab, bahwa aku masih tetap berpendirian seperti saat Kuda Pramuja melamarku.

   Aku sama sekali belum tertarik untuk hidup berkeluarga.

   Dan bahkan mungkin aku akan menentukan sikapku lebih tegas lagi.

   Aku tidak akan menerima lamaran Mahisa Bungalan seandainya ia datang""Ken Padmi"

   Desis ayahnya.

   Ken Padmi justru terdiam.

   Namun nampak di wajahnya ketegangan yang memuncak.

   Bahkan kemudian dengan suara yang parah ia berkata "Ayah tidak adil.

   Kenapa ayah membicarakan masalah itu di luar pengetahuanku.

   Ayah mengharap anak muda itu datang, tetapi ayah tidak tahu, betapa hatiku menjadi sakit.

   Aku tidak mempunyai perasaan apapun terhadapnya.

   Dan aku menolak seandainya ia benar-benar datang"

   Ayahnya menarik nafas dalam-dalam.

   Namun dalam pada itu, Ken Pedmi pun segera bangkit berdiri dan berlari ke ruang dalam, langsung masuk ke dalam biliknya.

   Dibantingnya dirinya di pembaringannya.

   Betapapun ia bertahan, namun akhirnya tangisnya pun telah meledak.

   Ki Selabajra yang menyusul anak gadisnya itu pun kemudian duduk di sisinya dengan wajah menunduk.

   Untuk beberapa saat ia duduk berdiam diri.

   Dibiarkannya tamunya duduk di pendapa.

   Tetapi tamunyapun mengerti, sehingga karena itu, maka Ki Watu Kendengpun telah menunggu dengan gelisah.

   Bukan karena ia ditinggalkan oleh Ki Selabajra, tetapi iapun ikut memikirkan sikap Ken Padmi yang kurang dimengertinya.

   Dalam pada itu, maka Ki Selabajrapun mencoba untuk menenangkan anaknya yang terisak "Ken Padmi.

   Katakanlah yang sebenarnya.

   Apakah yang kau kehendaki"

   "Sudah aku katakan, ayah"

   Jawab Ken Padmi"

   Aku tidak mau menerima seandainya Mahisa Bungalan datang melamarku"

   "Itulah yang membingungkan aku"

   "Agaknya ayah sudah membicarakan dengan Ki Watu Kendeng sebelum ayah bertanya kepadaku. Dan apakahjustru ayah telah menawarkan aku kepada Ki Selabajra yang baru saja kehilangan anaknya, agar ia datang membawa Mahisa Bungalan kemari?"

   "Kau salah paham Ken Padmi. Yang aku lakukan justru karena aku melihat, bahwa kau telah berhubungan batin dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu"

   "Itu tidak benar "

   Ken Padmi hampir berteriak.

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Ia sadar bahwa Ken Padmi tentu sudah tersinggung oleh sikap Mahisa Bungalan.

   Seandainya Mahisa Bungalan tidak bersikap demikian, dan ia benar-benar datang pada hari yang ditentukan, Ki Selabajra yakin, bahwa Ken Padmi tentu akan menerimanya dengan senang hati.

   Tetapi semuanya telah terlanjur.

   Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi atas sikap anak gadisnya.

   Dan agaknya Ken Padmipun akan tetap berpendirian demikian, jika kelak Mahisa Bungalan benar-benar datang bersama orang tuanya.

   Dalam kegelisahan itu, Ki Selabajra masih mencoba meredakan ledakan Perasaan Ken Padmi "Ken Padmi.

   Cobalah kau menguasai perasaanmu.

   Cobalah kau timbang buruk dan baiknya, untung dan ruginya.

   Aku memang tidak dapat berbuat apa-apa jika memang kau sudah mengambil keputusan.

   Yang aku harapkan adalah, bahwa kau jangan tergesa-gesa menentukan sikap.

   Aku mengerti, bahwa perasaanmu sedang bergejolak.

   Lebih baik kau menenangkan hatimu dan baru kemudian menentukan sikap"

   "Aku tidak sedang bingung ayah. Hatiku jernih. Dan aku memang tidak mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang. Aku tidak akan menerimanya kapapun juga ia datang"Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Jika sedang dalam keadaan demikian, ia tidak akan dapat berbicara apapun juga dengan anak gadisnya itu. Karena itulah, maka iapun kemudian berkata "Ken Padmi. Aku masih mempunyai tamu di pendapa. Bagaimanapun juga aku berharap kau bersikap dewasa menghadapi setiap keadaan"

   Ken Padmi tidak menjawab.

   Tetapi isaknya sama sekali masih belum mereda.

   Bahkan ketika ayahnya kemudian hilang di balik pintu, maka tangisnya telah meledak kembali, betapapun gadis itu mencoba bertahan.

   Ki selabajra yang kembali ke pendapa menarik nafas dalam-dalam.

   Kepada Ki Watu Kendeng ia berkata "Gadis itu mendengar percakapan kita.

   Ia merasa tersinggung akan sikap Mahisa Bungalan, karena seolah-olah Mahisa Bungalan tidak memperhatikannya"

   "Aku mohon maaf Ki Selabajra"

   Berkata Ki Watu Kendeng "kedatanganku telah membuat hati gadismu menjadi gelap"

   "Bukan salahmu Ki Watu Kendeng. Bahkan yang kau lakukan menurut pertimbanganku justru sudah benar. Kau memberitahukan hal itu kepadaku, sebelum sampai waktunya. Dengan demikian kami sudah mengetahuinya lebih dahulu, sehingga kami tidak tersentak olah peristiwa ini. Hati kami tentu akan menjadi lebih parah, jika baru pada saat yang sudah ditentukan, kau memberitahu akan hal ini"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk.

   Katanya kemudian "Tetapi bagaimanapun juga, aku merasa bersalah.

   Aku kurang memperhatikan sikap dan warna hati Mahisa Bungalan yang sebenarnya.

   Aku merasa ia adalah anakku sendiri""Akulah yang paling bersalah dalam hal ini"

   Sahut Ki Selabajra "

   Akulah yang menganggap bahwa masalahnya demikian mudahnya.

   Aku mengira bahwa hubungan antara kedua orang anak muda itu sudah pasti.

   Ternyata bahwa Mahisa Bungalan mempunyai pertimbangan lain meskipun seperti yang aku ketahui, hatinya mamang sudah tertambat kepada Ken Padmi"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Tetapi bagaimanakah pertimbanganmu, jika datang saatnya Mahisa Bugalan bersama orang tuanya berkunjung ke padepokan ini?"

   "Itulah yang masih harus dipertimbangkan sebaik- baiknya. Saat ini Ken Padmi benar-benar belum dapat diajak berpikir. Ia tenggelam dalam arus perasaannya. Mudah-mudahan pada saatnya aku akan dapat melunakkan hatinya, karena aku tahu perasaannya yang sebenarnya"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Masih ada waktu untuk mencobanya. Mudah-mudahan hatinya tidak mengeras dan tidak dapat diluluhkan kembali"

   "Aku masih mempunyai harapan Ki Watu Kandeng"

   Jawab Ki Selabajra "mudah-mudahan aku berhasil. Ia adalah anakku. Dan aku ingin akan terjadi jalan kehidupan yang paling baik baginya. Bagi masa yang masih panjang"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Suaranya dengan nada datar "Mudah-mudahan. Aku menyesal bahwa hal ini sudah terjadi"

   "Kita akan berdoa. Namun aku mohon hal ini dapat disampaikan kepada Mahisa Bungalan dengan hati-hati, sehingga tidak menimbulkan salah paham. Ia harus mengerti, dan aku harap ia tidak tersinggung pula seperti Ken Padmi"Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Pada saat Ki Selabajra menyadari, bahwa anak gadisnya telah tersinggung pula, maka ia justru dapat mengendalikan perasaan sendiri. Seperti Mahisa Bungalan, maka Ki Selabajrapun berpesan, agar yang terjadi itu tidak menyinggung perasaan pihak yang lain. Agaknya ada penyesalan juga di hati Ki Selabajra bahwa ia tidak mengendalikan diri, sehingga pembicaraannya dengan Ki Watu Kendeng telah terdengar oleh anak gadisnya. Sejenak kemudian, maka Ki Watu Kendeng pun minta diri. Sekali lagi ia minta maaf, bahwa yang telah mereka rencanakan bersama terpaksa tidak dapat berlangsung saparti yang mereka harapkan.

   "Kita telah bersama-sama melakukan kesalahan"

   Berkata Ki Selabajra.

   "Mudah-mudahan pada suatu saat, kesalahan kita akan dapat kita perbaiki"

   Jawab Ki Watu Kendeng "aku kira masih ada kesempatan. Jika gejolak hati sudah mereda, mudah-mudahan kita semuanya akan dapat mempergunakan pikiran yang jernih dan tidak tergesa-gesa"

   Ki Selabajra mengangguk-angguk.

   Namun masih nampak kekecewaan membayang di wajahnya.

   Sejenak Ki Watu Kendeng masih termangu-mangu.

   Tatapi kemudian bersama pengiringnya, mereka meninggalkan padepokan Kenanga yang menjadi muram karenanya.

   Di perjalanan pulang, Ki Watu Kendeng tidak banyak berbicara.

   Sekali-kali terdengar ia berdesah.

   Rasa-rasanya kegelisahannya terlalu dalam mencengkam jantungnya.Sepeninggal Ki Watu Kandeng, maka rasa-rasanya padepokan Kenanga benar-benar disaput oleh keburaman Ken Padmi masih berada di dalam biliknya sambil menangis.

   Sementara para murid Ki Selabajra yang lain dan para cantrik serta penghuni lainnya, telah salng memperbincangkan apa yang telah terjadi di padepokan itu.

   Dalam keburaman itu, maka Ki Selabajra telah memanggil murid-muridnya yang lelah meninggalkan perguruannya, tetapi yang pada soal itu masih berada di padepokan Kenanga sejak mereka dipanggil untuk membantu mengatasi kesulilan, sejak Ki Selabajra diancam olah Gagak Branang.

   Maskipun Ki Salabajrapun mengerti, bahwa kedua muridnya itu telah mendengar pula apa yang terjadi, tetapi ia masih juga menceriterakan pembicaraannya dengan Ki Watu Kandeng.

   Untuk beberapa saat lamanya, Makerti dan Gemak Werdi masih tetap berada di padepokan Kenanga.

   Ki Selabajra masih memperhitungkan kemungkinan yang pahit, jika masih ada saudara seperguruan Gagak Branang yang ingin menuntut balas kematiannya di padepokan Kananga.

   Makerti dan Gamak Werdi pun telah mondengor peristiwa yang telah terjadi.

   Bahwa pembicaraan antara Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra yang seolah-olah sudah matang itu, ternyata telah pecah berserakan.

   Dengan kepala runduk keduanya menghadap Ki Salabajra yang masih dicengkam kegelisahan.

   "Apa katamu Makerti?"

   Bertanya Ki Selabajra.

   Makerti menarik nafas dalam-dalam.

   Kemudian Katanya "Aku tidak melihat maksud buruk dari Mahisa Bungalan, guru.

   Justru ia telah membuktikan, bahwa ia adalah anakyang berbakti kepada orang tuanya.

   Anak yang demikian, pada dasarnya adalah anak yang setia, tahu diri dan mengerti sangkan paran kehadirannya di dunia"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Sambil mengangguk-angguk ia berkata "Mungkin kau benar.

   Tetapi nalarku agaknya terlampau sulit untuk mengimbangi kekecewaanku.

   Kenapa ia tidak melakukannya seperti yang diminta oleh ayah angkatnya, Ki Watu Kendeng.

   Baru kemudian ia menyampaikannya kepada orang tuanya"

   "Guru benar"

   Sahut Gemak Werdi "sebaiknya Mahisa Bungalan datang memenuhi rencana yang sudah tersusun itu.

   Baru kemudian ia datang kepada orang tuanya sendiri, menyampaikan persoalannya.

   Jika orang tuanya mendengar penjelasannya tanpa ada yang disembunyikan, maka orang tuanya tentu tidak akan menolaknya"

   Makarti mengerutkan keningnya, sementara Gamak Werdi meneruskan "Guru, apakah hal itu bukannya sekedar alasan Mahisa Bungalan untuk menolak rencana yang sudah tersusun itu"

   "Aku kira tidak Gemak Werdi"

   Potong Makerti "Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang jujur.

   Jika ia tidak menghendaki, maka ia akan dapat barkata berterus terang.

   Apa yang ditakutkan? Ia memiliki kelebihan dari kita semuanya.

   Apakah kita akan dapat marah kepadanya, dan memaksakan kehendak kita atasnya? Jika kita mencoba berbuat demikian, maka kitalah yang harus mengalami nasib seperti Gagak Branang"

   "Bukan begitu"

   Jawab Gamak Werdi "ia masih segan mempergunakan kelebihan itu.

   Jika mungkin, ia tentu akan ingkar tanpa menimbulkan benturan kekerasan, meskipun ia mempunyai keyakinan untuk menang.

   Dengan demikian,jika ia pada suatu saat berubah pendirian, maka ia masih sempat untuk datang dan memperbaiki sikapnya itu"

   "Kau terlalu berprasangka buruk Gemak Wardi"

   Sahut Makerti.

   "Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Aku mangatakan sesuai dengan perhitungan. Mudah-mudahan aku keliru"

   Berkata Gemak Werdi selanjutnya.

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Katenya "Sudahlah.

   Kita memang dapat menilai sesuai dengan tanggapan kita masing-masing, yang satu dengan lainnya akan berbeda.

   Tetapi biarlah kita melihat perkembangan sikap Ken Padmi.

   Ia agaknya tersinggung sekali sehingga hatinya bagaikan patah sama sekali.

   Makerti manarik nafas dalam-dalam.

   Ia melihat kebenaran sikap Mahisa Bungalan.

   Ki Watu Kendeng memang bukan orang tuanya.

   Iapun mengerti, bahwa Ki Watu Kendeng ingin sedikit menghibur hatinya yang pahit, dengan memberikan usulan yang menurut perhitungan akan sangat menyenangkan hati Mahisa Bungalan.

   Tetapi ternyata bahwa ada yang dilupakan.

   Mahisa Bungalan adalah seorang anak yang terikat hubungan keluarga yang erat dengan orang tuanya sendiri.

   Karena itu, yang terjadi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra.

   Ken Padmi ternyata telah benar-benar tersinggung, sehingga hatinya bagaikan patah.

   Dalam pada itu, Ki Selabajrapun kemudian berkata "Beristirahatlah.

   Kita akan berdoa, agar yang terjadi kemudian adalah hal yang baik saja.

   Satu-satunya harapan kita untuk dapat merubah keadaan adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Penyayang.

   Karana kita sandiri tidak melihat jalan apapun juga yang dapat kita tempuh"Makerti dan Gemak Werdipun kemudian meninggalkan Ki Selabajra yang masih beberapa saat lamanya duduk sendiri menghadapi semangkuk minuman hangat.

   Dipandanginya minuman yang mangkuknya kadang- kadang diguncangkannya dengan jari-jarinya.

   Di air yang gelisah itu, ia seolah-olah melihat hatinya yang gelisah pula.

   Dalam pada itu, Gemak Werdi yang pargi ke gandok bersama Makerti bergumam seolah-olah kepada dirinya sendiri "Aku memang sudah mengira"

   Makerti berpaling kepadanya. Dengan nada datar ia bertanya "Apa yang telah kau duga?"

   "Mahisa Bungalan"

   Jawabnya pendek.

   "Kenapa dengan Mahisa Bungalan?"

   Bertanya Makerti pula.

   "Ia menganggap kita semuanya tidak lebih dari permainan yang menyenangkan"

   Makerti mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya "Kenapa kau menganggap demikian?"

   "Sejak ia melihat aku pertama kali, ia sudah mempermainkan aku dengan sikapnya yang aneh-aneh. Ia membiarkan aku tersudut Kemudian ia membantu dengan membebaskan aku dari kesulitan. Dengan demikian setiap orang akan menganggap aku orang yang paling buruk, paling malang dan barangkali perlu dikasihani. Ialah yang datang dengan kejutan yang mendebarkan jantung. Seorang yang nampaknya sangat lemah, miskin dan hampir kelaparan, tiba-tiba telah menjadi seorang kesatria yang menyelamatkan aku dengan belas kasihan"

   Makerti menarik nafus dalam-dalam.

   Katanya "Kau memang seorang perasa Gemak Werdi.

   Tetapi aku kira, sama sekali bukan maksudnya.

   Ia memang perantau.

   Iaingin mangetahui kehidupan ini apa adanya.

   Tanpa menimbulkan persoalan-persoalan baru dan goncangan- angan yang tidak diinginkannya.

   Tetapi ia tidak dapat berdiam diri melihat peristiwa yang terjadi atasmu saat itu"

   Gemak Werdi memandang Makerti sekilas.

   Namun iapun kemudian memalingkan wajahnya.

   Meskipun ia tidak lagi mengatakan sesuatu tentang Mahisa Bungalan, namun Makerti dapat membawa gejolak perasaan anak muda itu.

   Ia pun pernah tersinggung karena sikap Mahisa Bungalan.

   Lebih dari itu, Makertipun mengerti, bahwa sebenarnya Gemak Werdi pun selalu memperhatikan Ken Padmi sejak ia masih berada di padepokan itu.

   Tetapi Makerti tidak menyebutnya.

   Ia mencoba menahan diri, karena ia adalah orang yang lebih tua dari Gemak Werdi, sehingga iapun harus dapat menjaga perasaan anak muda itu.

   Meskipun demikian, Makerti menjadi cemas juga melihat pertumbuhan perasaan Gemak Werdi itu.

   Jika perasaan itu kemudian berkembang tanpa kendali, maka hal itu akan dapat menyulitkan dirinya sendiri.

   Apalagi apabila pada suatu saat, keresahan hati Ken Padmi menjadi reda, dan ia dapat menerima kehadiran Mahisa Bungalan kembali di hatinya, maka Gemak Werdi akan mendapatkan goncangan yang sulit untuk diobatinya.

   Ia akun dapat terseret oleh arus perasaannya seperti Gagak Branang meskipun dalam bentuk yang berbeda "Mudah-mudahan kecemasanku tidak beralasan"

   Berkata Makerti kepada diri sendiri.

   Sementara itu, sesaat setelah Ki Watu Kendeng sampai di padepokannya, dan setelah ia beristirahat sejenak, maka iapun memanggil Mahisa Bungalan untuk memperbincangkan keadaannya.Rasa-rasanya ia tidak lagi dapat menahan persoalan itu di dalam dadanya yang menjadi pepat.

   Apapun akibatnya, ia ingin segera menumpahkan sesak jantungnya kepada orang yang berkepentingan.

   Mahisa Bungalan pun menjadi berdebar-debar melihat ketegangan di wajah Ki Watu Kendeng.

   Ia sudah menduga, bahwa hal itu akan dapat menumbuhkan salah paham.

   Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali yang telah dikatakannya kepada Ki Watu Kendeng.

   Jika benar ia menuruti permintaan Ki Watu Kendeng, datang melamar Ken Padmi tanpa setahu ayahnya Mahendra, maka akibatnya akan dapat kurang baik baginya.

   Meskipun mungkin Mahendra hanya akan mengangguk-angguk sambil berdesah, tetapi akan terbayang betapa orang tua itu kecewa, bahwa anaknya tidak lagi minta pertimbangannya untuk menentukan peristiwa yang sangat penting di dalam hidupnya.

   Sejenak Mahisa Bungalan duduk termangu-mangu sambil menundukkan wajahnya.

   Dengan gelisah ia menunggu, apakah yang telah terjadi di padepokan Kenanga "Mahisa Bungalan"

   Berkata Ki Watu Kendeng kemudian "aku sudah sampai di Padepokan Kenanga dan bartemu dengan Ki Selabajra"

   Mahisa Bungalan monjadi semakin tunduk.

   Dengan gelisah ia menunggu, apa yang akan dikatakan olah Ki Watu Kendeng itu selanjutnya.

   Ki Watu Kendengpun terdiam sejenak.

   Melihat sikap Mahisa Bungalan, maka Ki Watu Kendeng tidak akan dapat menuduhnya, bahwa sengaja berbuat demikian karena maksud yang kurang baik.

   Dugaannya justru semakin kuat bahwa Mahisa Bungalan adalah benar-benar anak muda yang tahu diri dan berbakti kepada orang tuanya.Karena itu, Ki Watu Kandeng justru menjadi bimbang.

   Apakah yang akan dikatakannya kepada Mahisa Bungalan.

   Tetapi Ki Watu Kendengpun sadar, bahwa ia tidak boleh hanya berdiam diri dan membiarkan Mahisa Bungalan berteka-teki.

   Karena itu, maka katanya kemudian "Angger Mahisa Bungalan.

   Aku sudah menemui Ki Selabajra.

   Aku mengatakan apa yang kau pesankan dengan hati-hati"

   Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya sejenak.

   Namun kemudian ia menunduk kembali.

   Dalam pada itu, Ki Watu Kendengpun mengatakan apa yang telah disampaikannya kapada Ki Selabajra.

   Dengan hati-hati ia menceriterakan akibat dari keterangannya.

   Bahkan ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan tentang Ken Padmi.

   Menurut Ki Watu Kendeng, hal itu memang lebih baik diketahui sama sekali oleh Mahisa Bungalan, agar ia dapat mempersiapkan diri menghadapi masa datangnya.

   Jika ia tidak mengetahuinya, dan pada suatu saat ia akan terbentur pada kenyataan yang demikian, maka hatinya tentu akan menjadi lebih sakit lagi.

   Apalagi apabila ia sudah datang bersama orang tuanya.

   Mahisa Bungalan mendengarkan keterangan Ki Watu Kandeng dengan hati yang berdebar-debar.

   Meskipun ia sudah menyangka, namun sikap Ken Padmi telah membuat hatinya menjadi pedih.

   Betapapun juga, jika benar hati gadis itu menjadi patah orang, ia tentu akan merasa kehilangan.

   Jika ia tidak dapat datang ke padepokan Kenanga itu bukannya karena ia bermaksud buruk, apalagi sekedar mempermainkan perasaan gadis itu dengan sikap pura-pura atau sekedar mengisi kekosongan hati.

   Tetapi Mahisa Bungalan harus menerima akibat itu.

   In sadar, bahwa ia memang harus tetap pada sikapnya,menunda lamarman itu sampai saatnya sampai ayahnya sendiri akan melakukannya.

   "Mahisa Bungalan"

   Berkata Ki Watu Kendeng "aku sudah mencoba mengatakan dengan baik dan sesuai dengan tanggapanku atas sikapmu.

   Tetapi gadis yang kecawa itu agaknya telah salah paham.

   Namun aku berdoa, mudah- mudahan hatinya akan menjadi luluh dan menerima hal ini justru dari sisi yang baik"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya "Mudah-mudahan Ki Watu Kendeng.

   Salah paham memang mudah terjadi dalam hal seperti ini.

   Aku menyesal apabila mereka tetap menganggap bahwa aku telah mempermainkan perasaan mereka.

   Terutama Ken Padmi sendiri"

   "Aku mengerti"

   Sahut Ki Watu Kendeng.

   "Namun pada saatnya aku akan menjelaskan apabila mereka masih bersedia mendengarkan"

   "Hal itu agaknya memang perlu kau lakukan Mahisa Bungalan. Tetapi jangan sekarang. Hati mereka masih panas. Mungkin justru akan memperdalam kesalah- pahaman ini"

   "Ya, Ki Watu Kendeng. Aku akan datang pada saat yang aku anggap baik. Tetapi aku tidak tahu, kapan hal itu akan aku lakukan"

   "Kau memang harus sabar ngger. Kau harus menunggu sampai badai ini menjadi reda. Tetapi kelak kaupun harus membuktikan bahwa kau tidak sekedar menghembuskan angin yang akan lenyap tanpa bekas"

   Mahisa Bungalan mengangguk dalam-dalam.

   Katanya "Aku akan membuktikan, Ki Watu Kendeng"Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk.

   Meskipun ia masih tetap digelisahkan oleh hubungan yang rasa-rasanya menjadi agak renggang dengan padepokan Kenanga.

   Namun ia masih mempunyai harapan bahwa segala sesuatunya akan dapat diperbaiki"

   "Aku percaya"

   Berkata Ki Watu Kendeng kemudian, bahwa semuanya masih belum terlambat. Waktu akan mendinginkan hati gadis itu. Jika tidak ada pihak yang ikut campur, maka segalanya akan menjadi baik lagi"

   Mahisa Bungalan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam Tetapi ia tidak menjawab.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sejenak keduanya hanya berdiam diri.

   Dengan penuh pengertian Ki Watu Kendeng memandangi anak muda yang menunduk itu.

   Betapa hatinya menjadi pedih menghadapi kenyataan yang pahit, la tidak dapat menempuh jalan sesuai dengan sekedar menyenangkan diri sendiri.

   Baru sejenak kemudian Ki Watu Kendeng berkata "Tabahkan hatimu Mahisa Bungalan.

   Kau bukan seorang gadis seperti Ken Padmi.

   Karena itu, hatimu tentu tidak akan sehalus perasaan Kan Padmi yang mudah tersentuh"

   Mahisa Bungalan mengangguk sambil berkata "Aku akan mencoba mengerti apa yang telah terjadi Ki Watu Kendang"

   "Sekarang, beristirahatlah. Aku harap, bahwa kau tetap kerasan di sini"

   Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Namun mulai timbul pertanyaan di dalam hatinya "Sampai kapan aku harus barada di sini?"

   Tetapi pertanyaan itu masih disimpannya di dalam hatinya.

   Meskipun ia sadar, bahwa pada suatu saatpertanyaan itu tentu akan terlontar, karena ia masih mengemban kewajiban yang dibebankan oleh dirinya sendiri, menjelang tugas yang lain yang akan diembannya pada suatu saat.

   Sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalanpun meninggalkan Ki Watu Kendeng yang kemudian duduk sendiri.

   Batapapun juga peristiwa itu tidak dapat begitu saja lewat dari perasaannya.

   Untuk waktu yang lama Mahisa Bungalan tentu akan masih dibayangi oleh peristiwa itu.

   Bahkan ia sudah bertekad untuk memulihkan hubungannya dengan gadis padepokan Kenanga itu.

   Ketika satu dua hari lewat, rasa-rasanya kegelisahan Mahisa Bungalan menjadi semakin mencengkam jantungnya.

   Meskipun demikian ia masih tetap berusaha untuk menahan diri.

   Ia masih berusaha untuk tetap tinggal di padepokan Watu Kendeng, betapapun keadaannya.

   Di malam hari matanya bagaikan tidak dapat terpejam.

   Di siang hari, rasa-rasanya ia selalu diburu oleh ketegangan dan kegelisahan.

   Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian muncoba menenggelamkan diri ke dalam kerja di padepokan itu.

   Dengan sungguh-sungguh ia belajar berbagai macam pekerjaan anyaman.

   Dari anyaman belarak kelapa sampai ke anyaman bambu yang diserut halus.

   Dari membuat icir untuk menangkap ikan, sampai pada membuat tanong tempat makanan dan ceting tempat nasi.

   Sementara itu, di padepokan Kenanga, Ken Padmi tidak dapat menyembunyikan luka di hatinya.

   Di pagi hari, ketika ia bangun dari tidur, nampak matanya yang kemerah- merahan bagaikan membengkak.

   Sanyumnya sama sekali telah lenyap dari bibirnya, dan sebagian waktunya telah di habiskannya di dalam biliknya saja.

   Namun di sore hari, ketika senja mulai membayang, ia telah hilang di balik pintusanggar yang diselaraknya dari dalam.

   Ia seolah-olah tidak memberi kesempatan lagi kepada murid-murid Ki Selabajra di sore hari, karena Kan Padmi melepaskan luka di hatinya dengan mesu diri dan berlatih olah kanuragan.

   Ki Selabajra menjadi sangat cemas melihat keadaan anakknya.

   Ia sadar bahwa anaknya menjadi kacewa.

   Tetapi ia cemas bahwa hatinya telah dibakar oleh dendam, sehingga olah kanuragan akan menjadi cara yang tidak terpuji untuk melepaskan sakit hatinya.

   Tetapi untuk beberapa saat, Ki Selabujru membiarkun anak gadisnya berlaku demikian.

   Bahkan iapun berpesan kepada murid-muridnya yang lain, agar mereka tidak mengganggunya dan mencari tempat lain untuk berlatih.

   Sementara itu, Gemak Werdi dan Makerti yang masih berada di padepokan menjadi cemas pula.

   Makerti mula- mula telah menyatakan keinginannya kepada Gemak Werdi untuk kembali.

   Tetapi agaknya Gemak Werdi masih belum sampai hati meninggalkan gurunya dalam keadaan yang demikian.

   "Kegelisahannya itu dapat membuatnya kehilangan akal"

   Berkata Gemak Werdi kepada Makerti. Makerti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya "Aku kira Ki Selabajra cukup dewasa. Tetapi jika kau menganggap bahwa sebaliknya kita menemaninya untuk berapa hari lagi, akupun tidak berkeberatan"

   "Kita akan melihat perkembangan keadaan. Satu atau dua hari saja lagi"

   Sahut Gemak Werdi.

   Dalam pada itu, agaknya Gemak Werdi telah mempunyai rencana sendiri.

   Selagi Ken Padmi terlempar dari angan-angan dan harapan yang melambung tinggi, danjatuh terbanting ke dalam jurang yang dalam, maka iapun berusaha hadir di dalam kehidupan batin gadis itu.

   Ada saja yang dilakukannya untuk menarik perhatian Ken Padmi yang sedang murung.

   Kadang-kadang, seolah- olah diluar kehendaknya, Gemak Werdi berpapasan di muka longkangan dengan Ken Padmi yang akan pergi ke pakiwan.

   Kadang-kadang mereka bertemu di tempat lain.

   pada saat yang berbeda.

   Adalah seakan-akan tidak sengaja, ketika Ken Padmi pergi ke Sanggar, tiba-tiba saja ia terkejut.

   Ketika ia akan menyelarak pintu dari dalam, ternyata Gemak Werdi sudah berada di dalam sanggar.

   "Apa kerjamu disitu?"

   Bertanya Ken Padmi dengan suara datar.

   "Aku mencoba mendalami ilmuku Selama ini aku tidak pernah mendalami ilmuku. aku hanya mempergunakannya saja sesuai dengan apa adanya"

   "Aku akan mempergunakan sanggar ini, sendiri"

   Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam, sambil mengangguk ia berkata "Silahkan, aku mempergunakannya sebelum soalnya kau pergunakan"

   "Terima kasih"

   Berkata Ken Padmi singkat.

   "Tetapi"

   Kata-kata Gemak Werdi penuh keragu-raguan "menurut pendapatku, berlatih sendiri dan berpasangan, akan jauh berbeda.

   Hasilnya lebih mantap jika tidak berlatih seorang diri.

   Biasanya aku berlatih dengan paman Makerti.

   Tatapi saat ini paman Makerti sedang letih.

   Karena itu, aku berlatih seorang diri"

   Ken Padmi tidak tertarik sama sekali kepada keterangan itu. Jawabnya "Aku lebih senang berlatih sendiri"Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Baiklah, aku akan pergi"

   Gemak Werdipun kemudian meninggalkan sanggar itu, dan membiarkan Ken Padmi barlatih sendiri.

   Tetapi Gemak Werdi tidak pernah mundur.

   Ada saja usahanya untuk dapat bertemu dan berbicara satu dua patah kata.

   Sikapnya yang lembut dan kata-katanya yang ramah lambat laun terasa menyentuh perasaan Ken Padmi yang sedang pedih.

   Diluar sadarnya, maka Ken Padmipun mulai berbincang satu dua kata dengan Gemak Werdi mengenai ilmu pudepokun Kenanga.

   Seolah-olah mereka tidak sesuai pendirian.

   Namun Gemak Werdi sudah mengalah dan seakan-akan ia menyadari kesalahannya.

   Bahkan ia seakan- akan selalu mengakui dan minta maaf akan kesalahannya.

   Makerti yang melihat sikap Gemak Werdi itu menjadi berdebar-debar.

   Ia mangerti, bahwa perasaan itu memeng sudah tersimpan di hati Gemak Werdi sejak mereka belum mengenal anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.

   Namun Gemak Werdi merasa dirinya masih belum saatnya untuk berbuat sesuatu..

   Kehadiran Mahisa Bungalan telah agak menjauhkannya dari angan-angan itu.

   Namun angan- angan itu kini rasa-rasanya telah tumbuh kembali di hatinya.

   Meskipun pembicaraan yang satu dan dua kali dilakukan oleh Gemak Werdi dan Ken Padmi itu selalu berkisar pada ilmu yang sedang mereka pelajari, namun kesempatan yang demikian itu telah membesarkan hati Gemak Werdi.

   Bahkan pada suatu saat, Ken Padmi tidak menolak ketika Gemak Werdi bersedia untuk membantunya berlatih kanuragan di dalam sanggar.

   Makerti yang melihat perkembangan itu menjadi semakin gelisah, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.Sekali ia pernah mencoba untuk memberikan nasehat kepada Gemak Werdi, agar ia tidak kehilangan akal.

   Namun Gemak Werdi sambil tersenyum menjawab "Aku tidak berbuat apa-apa paman.

   Ia adalah murid terbaik di padepokan ini.

   Bukankah dengan demikian aku akan dapat ikut meningkatkan ilmuku pula"

   Alasan itu memang wajar sekali nampaknya.

   Tetapi Makerti mengerti, bahwa sebenarnya Gemak Werdi sama sekali bukan mementingkan peningkatan ilmunya.

   Tetapi kesempatan untuk bersama Ken Padmi yang sedang mengalami goncangan batin itulah yang menjadi tujuan utamanya.

   Gemak Werdi yang dalam olah kanuragan berada di tataran yang lebih rendah dari Ken Padmi, berusaha untuk dapat berbuat sebaik-baiknya.

   Dengan sungguh-sungguh ia membantu Ken Padmi dalam latihan-latihan yang dilakukannya untuk mengisi kesepian di hatinya.

   Namun seperti yang di katakannya, kecuali kesempatan untuk berada bersama-sama dengan Ken Padmi di sanggar, maka iapun dapat memanfaatkan saat-saat itu untuk mematangkan ilmunya pula.

   Kegelisahan Makerti tidak tertahankan lagi melihat perkembangan keadaan itu.

   Seolah-olah ingin menghadap Ki Selabajra dan menyampaikan kegelisahannya itu kepadanya Tetapi ia masih mampu menahan diri.

   Ia mencoba untuk mencari jalan lain yang sebaik-baiknya.

   Karena itulah, maka sekali lagi ia mencari kesempatan untuk berbicara dengan Gemak Werdi.

   "Paman, aku sudah cukup dewasa. Aku sudah dapat menilai, apakah yang sebaiknya aku lakukan"

   BerkataGemak Werdi ketika Makerti berusaha untuk memberinya peringatan.

   "Benar, Gemak Werdi. Kau memang sudah cukup dewasa, tetapi apakah setiap orang yang sudah cukup dewasa tidak pernah melakukan suatu kekhilafan"

   Jawab Makerti.

   "Aku sudah mempelajari baik-baik, apakah yang aku lakukan sekarang. Aku menganggap bahwa yang aku lakukan itulah yang sebaik-baiknya"

   "Kau harus menyadari, bahwa hubungan antara Ken Padmi dan Mahisa Bungalan adalah hubungan yang mendasar. Karena itu, maka hubungan yang damikian akan tidak mudah mereka lupakan. Seandainya ada kabut yang membayanginya, tetapi itu sifatnya tentu hanya sementara"

   "Aku tidak akan mengganggu hubungan itu paman. Aku sedang memperdalam ilmu kanuragan yang pernah aku pelajari di padepokan ini"

   "Jangan selalu menghindari keadaan yang sebenarnya Gemak Werdi. Aku ingin berbicara dengan sungguh- sungguh Karena itu, maka marilah kita berpangkal kepada keadaan yang sebenarnya"

   Berkata Makerti kemudian. Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya "Paman. Sebaiknya paman tidak usah ikut serta berbicara tentang diriku"

   "Gemak Werdi"

   Berkata Makerti "aku selalu memberimu peringatan meskipun kau tidak pernah mendengarkannya.

   Ketika kau pergi ke Watan untuk menghalau Ki Lambun, akupun sudah memberimu peringatan.

   Tatapi kau tidak mengacuhkannya, sehingga hampir saja kau menjadi korban karenanya.

   Untunglah bahwa saat itu hadir seorang anak muda yang bernamaMahisa Bungalan.

   Dan kau sekarang justru telah melakukan kesalahan yang lebih besar.

   Bukankah kau melihat, apa yang telah terjadi atas Gagak Branang?"

   Gemak Werdi tertawa. Katanya "Jika ingin pulang, pulanglah. Segala yang terjadi akan menjadi tanggung jawabku"

   "Kau benar-benar sudah menjadi gila"

   "Tidak paman. Hubungan antara Mahisa Bungalan dengan Ken Padmi sudah putus. Ken Padmi sudah mengatakan, bahwa ia tidak akan dapat menerima Mahisa Bungalan dengan alasan apapun juga"

   "Itulah yang sedang dicari jalan"

   Berkata Makerti "orang-orang tua berusaha untuk memulihkan hubungan itu, kau sedang mencari keuntungan dari peristiwa itu. Kau ingin mendapatkan ikannya disaat air sedang keruh"

   Makerti menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Gemak Werdi justru tertawa.

   Katanya "Paman menganggap aku masih kanak-anak.

   Biarkan saja apa yang aku lakukan.

   Aku mengerti sepenuhnya, jangan menasehati aku saperti paman menasehati para cantrik yang baru datang di padepokan ini"

   "Gemak Werdi"

   Berkata Makerti dengan nada dalam dan datar "jangan merusak usaha orang-orang tua untuk memulihkan kembali hubungan antara Mahisa Bungalan dan Ken Padmi"

   "Siapa yang merusak? Aku sedang berusaha membuat hati gadis itu menjadi jernih. Aku harus melakukan sesuatu agar Ken Padmi tidak membunuh diri. Tidak kehilangan akal dan nalar. Tidak menjudi gila atau mengalami peristiwa-peristiwa lain yang mengerikan""Bukan itu Gemak Werdi"

   Makerti menggeleng "kau masih saja berusaha mengelabui aku. Aku sudah melihat apa yang sebenarnya kau lakukan. Itulah yang aku keberatan"

   Gemak Werdi menggelengkan kepalanya.

   Katanya "Aku berbuat atas pertimbangan yang masak.

   Sudahlah paman.

   Pulanglah.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang sudah waktunya kau meninggalkan padepokan ini.

   Biarlah aku tetap di sini untuk sementara, sehingga karena itu.

   maka ilmuku akan meningkat dengan pesat"

   Makerti menarik nafas dalam-dalam.

   Ia mengerti, bahwa Gemak Werdi yang sudah diracuni olah perasaan yang tidak terkendali, sulit untuk diajak menilai tingkah lakunya sendiri.

   Karena itu, betapapun berat hatinya, ia terpaksa melepaskan usahanya, karana jika ia ingin memaksakan pendapatnya, maka ia tentu akan berselisih dengan Gemak Werdi, sehingga akan dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendakinya.

   Dengan demikian, maka Makerti seolah-olah merasa tidak ikut mencampuri persoalan itu.

   Ia lebih baik menghindar dan tidak terlibat dalam kaadaan yang bagaimanapun juga.

   -oo0dw0oo-

   Jilid 05

   "Gemak Werdi"

   Berkata Makerti kemudian "aku sudah berusaha.

   Tetapi pengaruhku atasmu memang sangat terbatas.

   Kau sudah merasa cukup dewasa, sehingga aku tidak perlu lagi mencampuri persoalanmu, seperti juga pernah kau katakan sebelum kau pergi ke Watan""Setiap kali kau selalu berbicara tentang Watan.

   Aku sudah mengakui, bahwa Mahisa Bungalanlah yang telah menyelamatkan aku.

   Akupun mengerti, bahwa Mahisa Bungalan telah menyelamatkan padepokan ini.

   Tetapi apa yang dapat kita katakan atas orang yang tidak menghiraukan padepokan ini lagi? Yang telah pergi jauh tanpa berpaling? Apakah kau kira sebaiknya Ken Padmi datang kepadanya, merunduk dan menangisi kepergian anak muda itu, dan membasuh kakinya dengan air mata?"

   Makerti menggeleng lemah.

   Katanya "Kau mengerti yang aku maksudkan.

   Tetapi kau sengaja membaurkannya dengan pengertian yang berbeda.

   Karena itu, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi.

   Terserah kepadamu yang telah cukup dewasa.

   Yang telah dapat mengetahui baik dan buruk, dan yang telah dapat berdiri di atas sikap yang bertanggung jawab"

   "Terima kasih. Jika kau tidak mengganggu aku lagi, maka kau benar-benar seorang yang mengerti tentang aku"

   "Aku mengerti tentang kau"

   Sahut Makerti "tentang sikapmu dan tentang kekacauan pikiranmu. Aku mengerti bahwa kau telah memberikan arti yang lain terhadap penilaianku atas sikapmu"

   "Terserah kepada paman. Apapun yang kau katakan, aku tidak akan berkeberatan. Tetapi aku akan tetap tinggal di sini seperti saat aku belum meninggalkan padepokan ini. Meskipun aku sudah menyelesaikan masa berguru dengan menyadap semua ilmu guru, tetapi aku baru mengenalnya dan belum memahaminya. Karena itulah maka aku tidak dapat berbuat banyak ketika aku berada di Watan"

   "Apapun yang kau katakan, tidak mengubah penilaianku atas dirimu. Akupun mengerti bahwa kau tidakmempedulikan lagi penilaian orang lain atas dirimu. Tetapi akupun berhak berbuat seperti yang kau lakukan"

   Gemak Werdi justru tertawa. Katanya "Terima kasih. Kapan kau akan kembali?"

   "Aku akan kembali secepatnya. Aku masih mempunyai pekerjaan di rumah"

   Jawab Makerti.

   "Secepatnya. Kapan secepatnya itu?"

   "Dua atau tiga pekan lagi"

   Jawab Makerti.

   "Kau gila. Dua atau tiga pekan adalah waktu yang sangat panjang"

   "Ah, jangan bermain-main. Tiga empat atau lima pekan adalah waktu yang sama sekali tidak berarti bagiku. Aku tentu sudah tidak letih lagi. Dan aku akan berpacu kembali Semalam aku akan menginap di rumah Ki Buyut di perjalanan"

   Wajah Gemak Werdi menjadi tegang. Katanya Kau jangan mencoba mengganggu aku paman"

   "Jangan hiraukan aku. Aku dapat menentukan diriku sendiri, sesuai dengan kehendakku dan yang paling baik bagiku sendiri. Kita masing-masing dapat menentukan sikap tanpa keterikatan. Kita masing-masing dapat menilai apa saja tanpa saling membicarakan dan saling menegur"

   Gemak Werdi menggeram.

   Ia mengerti, bahwa Makerti sudah kehilangan kesabaran.

   Tetapi iapun menjadi semakin keras menghadapi sikap itu, ia tidak mau mundur lagi barang selangkah.

   Karena itu, maka Katanya "Baik paman.

   Kita akan menempuh jalan kita masing-masing.

   Aku menempuh jalanku sendiri, dan kau menempuh jalanmu.

   Tetapijika kau berusaha membentur aku, maka akupun akan berbuat apa saja menurut kehendakku pula"

   Makerti menarik nafas dalam-dalam. Ia masih menyadari keadaannya dan hubungan kadang yang ada. Karena itu, maka sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata "Kita akan menempuh jalan kita masing-masing"

   Gemak Werdipun kemudian tidak menjawab lagi.

   Ditinggalkannya Makerti yang kecewa.

   Namun Gemak Werdi tidak akan berubah sikapnya.

   Ia tidak melihat jalan lain yang dapat dilaluinya.

   Seolah-olah ia melihat pintu yang sudah terbuka, sehingga ia tinggal melangkah masuk, meloncati tlundak yang rendah.

   Makerti hanya dapat menekan dadanya yang serasa pepat.

   ia merasa tidak ada perlunya lagi berada di padepokan Kenanga.

   Ia tidak mau selalu digelisahkan melihat sikap Gemak Werdi.

   Tetapi iapun tidak ingin mengkhianatinya dengan menghubungi langsung Ki Selabajra dan memberikan beberapa keterangan yang akan dapat menimbulkan kakecewaan yang mendalam pada Gemak Werdi.

   Karena itu, maka tidak seperti yang dikatakannya, maka dihari berikutnya, Makerti telah menghadap Ki Salabajra untuk minta diri.

   Gemak Werdi menjadi heran mendengar Makerti minta diri secepatnya.

   Perubahan sikap itu telah menumbuhkan berbagai macam tanggapan.

   Dengan gelisah Gemak Werdi mencoba menebak, apa yang akan dilakukan oleh Makerti selanjutnya.

   ""Apakah ia akan menemui Mahisa Bungalan di padepokan Watu Kendeng?"

   Pertanyaan itu telah mengganggunya.Sementara itu, maka Ki Selabajra telah bertanya telah bertanya pula kepadanya "Gemak Werdi. Apakah kau juga akan kembali?"

   Gemak Werdi termangu-mangu sejenak.

   Namun kemudian jawabnya "Guru.

   jika guru berkenan, aku masih akan tinggal beberapa hari lagi di padepokan ini.

   Pengalaman yang baru saja terjadi telah memaksa aku untuk berpikir, agar aku mencari kesempatan mematangkan ilmuku yang semula dengan bodoh aku anggap sudah cukup, aku berniat untuk menekuninya lebih lama lagi"

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya "Bagus Gemak Werdi.

   Kau masih muda.

   Kau masih mempunyai kesempatan yang panjang.

   Sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa yang kau miliki baru dasar-dasar ilmu perguruan ini.

   Ketika kau bertemu dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan, maka kau merasa bahwa ilmumu itu terlampau kecil dibandingkan dengan ilmu yang dimilikinya.

   Bahkan Gagak Branangpun telah berhasil mengejutkan kau dan juga aku.

   Karena sebenarnyalah bahwa ilmu yang ada padaku, tidak akan dapat menjangkau bahkan hanya mendekati ilmu anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu"

   Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam.

   ternyata gurunya sama sekali tidak berkeberatan bahwa ia tetap tinggal di padepokan itu untuk beberapa saat, seperti pada saat ia masih berguru.

   Makerti yang duduk dengan kepala tunduk hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

   Namun demikian dadanya menjadi bagaikan pepat.

   Ia mengerti ketidak jujuran Gemak Werdi.

   Tetapi ia tidak dapat mengatakannya karena beberapa macam sebab."Mudah-mudahan pada suatu saat ki Selabajra dapat melihat dan mengambil sikap.

   Tetapi jika Gemak Werdi kemudian dapat diterima baik, oleh Ken Padmi dan Ki Selabajra, maka biarlah segalanya itu terjadi.

   Tetapi jika hal itu dilakukan dengan licik, maka malanglaj nasib gadis padepokan Kenanga itu"

   Berkata Makerti kepada diri sendiri.

   Ia sudah memutuskan untuk tidak mencampurinya lebih jauh.

   Ia tidak ingin terlibat dalam persoalan yang sangat pribadi itu.

   Baik atau buruk.

   Karena itu, maka Makertipun berniat benar-benar untuk meninggalkan padepokan itu dengan segera.

   Beberapa orang murid padepokan Kenanga dan bahkan Ken Padmi sendiri, masih mencoba menahannya.

   Tetapi Makerti sudah berniat bulat untuk kembali ke rumahnya.

   Dengan setengah hati, Makerlipun kemudian minta diri kepada Gemak Werdi yang masih akan tinggal.

   Tetapi ia sama sekali tidak memberikan pesan apapun juga.

   Ia sudah bertekad untuk tidak mencampuri persoalannya, apapun yang akan dilakukan.

   Ketika Makerti meninggalkan padepokan Kenanga, ada juga niatnya untuk singgah kepadukuhan Watu Kendeng.

   Namun niat itupun diurungkannya.

   Ia akan menjadi bingung jika pada suatu ketika Mahisa Bungalan bertanya tentang Ken Padmi yang sedang tersinggung perasaannya itu.

   Karena itu, maka terdorong oleh keburaman hati.

   maka Makertipun segera berpacu.

   Ia tidak ingin bemalam di perjalanan.

   Meskipun ia harus menempuh perjalanan hampir sehari semalam, ia akan melakukannya.

   Tetapi Makerti tidak ingin menyiksa kudanya.

   Ia justru lebih memperhatikan kudanya daripada dirinya sendiri.

   Karena itu, maka di-saat-saat tertentu, iapun berhenti untukmemberi kesempatan agar kudanya dapat beristirahat, makan secukupnya dan minum air jernih.

   Sementara Makerti dalam perjalanan kembali ke padepokan Kenanga, Mahisa Bungalan telah dicengkam pula oleh kegelisahan.

   Untuk sementara ia masih dapat memaksa diri tinggal di padepokan Watu Kendeng.

   Tetapi keinginannya untuk meneruskan perjalanan sulit untuk dibendungnya lagi.

   Apalagi ia telah didesak oleh suatu keinginan untuk menyampaikan persoalannya kepada ayahnya, Mahendra.

   Bahwa ia telah berhubungan dengan seorang gadis dari padepokan kecil bernama Ken Padmi.

   "Mudah-mudahan aku masih mendapat kesempatan"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "aku akan mohon agar Ki Watu Kendeng sempat menyampaikan pesan, bahwa sebenarnya Mahisa Bungalan hanya sekedar mohon penundaan waktu"

   "Tetapi Jika hatinya telah patah, maka sulit untuk dapat direkat kembali"

   Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Tetapi ia masih tetap berpengharapan, bahwa hal itu akan dapat terjadi kelak"

   Namun demikian dengan hati berdebar-debar ia berkata kepada diri sendiri "Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang merenggutnya dengan cara apapun juga"

   Namun betapapun juga ia mencoba menahan diri, akhirnya sampai juga pada saatnya, ia harus minta diri.

   Dengan ragu-ragu iapun menyampaikan niatnya untuk melanjutkan perantauannya sebelum ia harus kembal ke Singasari.

   Dengan memaksa diri iapun telah menyampaikan pesannya, bahwa ia masih berharap untuk dapat kembali ke padepokan Kenanga dengan orang tuanya seperti yang dikatakannya, meskipun ia tidak akan melupakan Ki Watu Kendengpun akan menyertainya.Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.

   Iapun mengerti bahwa saat yang demikian tentu akan datang.

   Jika Mahisa Bungalan bersedia tinggal beberapa saat di Padepokannya, itupun telah membuatnya berbesar hati.

   Karena itu maka ia tidak akan dapat menahannya lagi.

   Selama Mahisa Bungalan berada di padepokannya, ia sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya, bahkan ia berusaha untuk membuatnya berbesar hati pula dengan pembicaraannya tentang gadis padepokan Kenanga.

   Tetapi yang justru berakhir dengan kesalah pahaman.

   Namun demikian, Ki Watu Kendeng masih juga bersedia untuk berbicara dengan Ki Selabajra.

   Ia ingin sekali lagi menjelaskan persoalan yang sebenarnya tentang Mahisa Bungalan.

   "Mudah-mudah Ken Padmi dapat mengerti "

   Berkata Ki Watu Kendeng.

   "Aku mohon maaf, bahwa itu harus terjadi. Tetapi aku benar-benar berniat baik. Karena aku adalah seorang anak yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tuaku"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Aku mengerti Mahisa Bungalan"

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawab Ki Watu Kendeng "karena itu, akupun akan berusaha"

   Dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun kemudian minta diri, meninggalkan padepokan Watu Kendeng, melanjutkan perantauannya seperti yang ingin dilakukannya sejak ia meninggalkan Singasari.

   Tetapi sebelum ia berangkat, maka langkahnya tertegun ketika seekor kuda memasuki halaman padepokan Watu Kendeng."Gemak Werdi"

   Desis Mahisa Bungalan. Ki Watu Kendeng yang telah mengenal anak muda itupun kemudian memersilahkannya naik ke pendapa.

   "Apakah kau akan pergi Mahisa Bungalan?"

   Bertanya Gemak Werdi setelah ia duduk di pendapa.

   "Ya Gemak Werdi. Aku akan meninggalkan padepokan Watu Kendeng"

   Jawab Mahisa Bungalan.

   "Bukankah ia memang seorang perantau"

   Sahut Ki Watu Kendeng. Gemak Werdi mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Jika demikian maka dugaan kami memang benar"

   Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Dugaan tentang apa ngger?"

   "Mahisa Bungalan memang tidak bersungguh-sungguh"

   Jawab Gemak Werdi. Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Sambil beringsut setapak ia bertanya "Apakah membawa pesan dari Ki Selabajra?"

   "Ya Ki Watu Kendeng. Berdasarkan atas pertimbangan yang matang, maka aku diutusnya datang kemari. Lebih baik segalanya menjadi jelas daripada masih merupakan teka-teki yang tidak tertebak"

   "Aku tidak mengerti"

   Desis Ki Watu Kendeng. Gemak Werdi termenung sejenak. Kemudian katanya "Ki Watu Kendeng. Aku datang untuk menyampaikan sebuah keputusan"

   "Keputusan tentang apa ngger?"

   Bertanya Ki Watu kendeng.

   "Tentang Mahisa Bungalan"

   Jawab Gemak Werdi.Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.

   Tetapi ia tidak mendahului Ki Watu Kendeng.

   Betapapun juga ia menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Ki Watu Kendeng kepada Gemak Werdi.

   Apakah yang akan kau katakan tentang Mahisa Bungalan itu ngger? Aku kira masalahnya demikian penting, sehingga apakah Ki Selabajra menganggap, bahwa kau seorang diri sudah cukup untuk mewakilinya?"

   Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Kemudian Katanya "Kenapa kau bertanya demikian Ki Watu Kendeng. Aku adalah muridnya. Apakah aku tidak berhak menjadi utusannya dalam segala hal"

   Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya "Mungkin demikian ngger. Tetapi baiklah, apakah yang akan kau sampaikan?"

   "Ki watu Kendeng. Masalahnya sebenarnya tidak terlalu penting. Aku mendapat pesan dari Ki Selabajra atas permintaan anaknya Ken Padmi, agar segala hubungan diputuskan. Masing-masing tidak usah saling berharap dan menganggap bahwa antara keduanya, maksudku Mahisa Bungalan dan Ken Padmi adalah sebagai dua orang bersaudara. Kakak beradik. Tanpa hubungan yang lain lagi"

   Berkata Gemak Werdi kemudian.

   Wajah Mahisa Bungalan terasa menjadi panas.

   Tetapi ia masih saja menahan diri.

   dan membiarkan Ki Watu Kendeng menjawab "Angger Gemak Werdi.

   Menurut penerimaanku, hal ini adalah hal yang penting.

   Bukannya tidak penting seperti yang angger katakan"

   "Maksudku Ki Watu Kendeng, bahwa yang aku sempaikan ini bukannya persoalan yang perlu diperbincangkan lagi. Adalah berbeda dengan persoalan yang justru baru mulai dibicarakan. Itu adalah hal yangsangat penting. Tetapi sekedar menyampaikan sebuah keputusan yang seolah-olah telah disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak, maka persoalannya tidaklah sepenting persoalan yang pertama"

   "Angger keliru"

   Berkata Ki Watu Kendeng "tidak ada yang telah menyepakati hal itu.

   Bahwa Ken Padmi menjadi salah paham, itu sudah ketahui.

   Tetapi antara aku dan Ki Selabajra masih terikat suatu kesediaan untuk saling berbicara tentang hal ini.

   Itulah yang agak mengharapkan, kenapa tiba-tiba saja ia mengutus seorang muridnya.

   Meskipun aku tidak menolak pembicaraan yang disampaikan lewat angger Gemak Werdi"

   Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku mohon maaf Ki Watu Kendeng. Tetapi pesan guruku sudah jelas. Bahwa tidak ada pembicaraan apapun lagi. Yang ada adalah hubungan keluarga yang lebih akrab. Hubungan antara kakak beradik"

   Ketika Mahisa Bungalan beringsut setapak, maka dengan tergesa-gesa Ki Watu Kendang berkata "Angger Mahisa Bungalan.

   Aku harap, angger tidak cepat salah paham seperti Ken Padmi, karena justru Ken Padmi adalah seorang gadis.

   Bagaimanapun juga, aku masih merasa berkewajiban untuk berbicara dengan Ki Selabajra"

   Mahisa Bungalan yang sudah hampir menyahut, seakan- akan harus menelan kata-katanya kembali ke dalam ke rongkongannya. Namun justru karena itu, maka dadanya serasa menjadi sesak.

   "Angger Gemak Werdi"

   Berkata Ki Watu Kendeng kemudian "aku telah menerima angger dengan senang hati.

   Semua pesan telah aku terima dan aku mengerti.

   Namun demikian, pada suatu saat aku akan mohon waktu kepadaKi Selabajra untuk dapat sekedar berbicara tentang masalah yang pelik ini"

   Wajah Gemak Werdi justru menegang. Dengan sungguh-sungguh ia berkata "Tidak akan ada gunanya. Ki Selabajra sudah memutuskan. Karena itu, agaknya tidak akan dapat ditarik kembali"

   Jawaban itu justru sangat menarik perhatian Mahisa Bungalan.

   Semula ia sudah hampir kehilangan pengamatan diri dan akan terperosok ke dalam sikap yang gelap.

   Namun justru karena sikap Gemak Werdi, maka tiba-tiba saja ia berkata "Gemak Werdi, aku mohon maaf bahwa akupun akan ikut berbicara"

   Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya.

   Tetapi ketika ia melihat wajah Mahisa Bungalan yang jernih, ia membiarkan saja anak muda itu berkata "Aku adalah orang yang paling berkepentingan dengan pesan Ki Selabajra.

   Aku mengerti, betapa hati seorang gadis cepat menjadi patah.

   


Pendekar Bloon Karya SD Liong Lembah Nirmala -- Khu Lung Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung

Cari Blog Ini