Ceritasilat Novel Online

Angkin Sulam Piauw Perak 1


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Bagian 1



Angkin Sulam Piauw Perak Karya dari Wang Du Lu

   
SIU TAY GIN PIAUW ANDY MULL AWIE DERMAWAN ADITYA INDRA JAYA
Kolektor E-Book
Pdf Maker . Oz SIU TAY GIN PIAUW ANDY MULL AWIE DERMAWAN ADITYA INDRA JAYA
Kolektor E-Book
Pdf Maker .

   Oz I Dalam umur lima belas tahun, Lauw Tek Hui sudah tidak punya ayah atau ibu, ia pun belum mengerti apa-apa, maka dengan tenang ia ikut pamannya, Lauw Toa Put-cu, seorang penjual arang batu.

   Mulanya ia melainkan tuntun tali les onta, yang pamannya pakai untuk angkut arang, kemudian ia bantu angkuti arang batu.

   akan dikasih naik ke bebokongnya "perahu daratan dari padang pasir - demikian biasanya orang namakan onta - akan turunkan itu ke tempat pembeli, buat ditumpuk dengan rapi.

   Kebiasaan setiap hari membikin tenaganya kumpul menjadi satu kekuatan, sampai ia sangup panggul karung arang beratnya dua ratus kati, hingga ia mirip dengan onta saja.

   Buat pekerjaan kasar macam ini, Tek Hui selamanya pakai pakaian rombeng dan dekil, kopiah pun ia tidak punya,dan arang batu bikin tangannya, kakinya, pun mukanya menjadi kotor.

   Demikian, orang sampai panggil dia Bwee-hek- cu, si Arang Hitam.

   Hingga orang tidak tahu ia sebenarnya cakap atau tidak.

   Hidupnya kacung ini lebih daripada sederhana.

   Saban hari ia mengharap arang pamannya laku, karena itu berarti ia bisa - di waktu pulang - mampir di warung thee di pintu Ciang-gie-mui, pintu bahagian dalam.

   Di situ ia bisa makan kuwe dan minum thee 4 pasaran.

   Ia tidak isap huncwee, ia tidak doyan arak, ia pun tidak suka adu peruntungan.

   Ia bukan beberapa kawannya, yang mukanya dekil tetapi masih mengharap main perempuan.

   Demikian hari itu Tek Hui ikut pamannya, menuntun onta.

   Paman itu punya empat ekor, lima sama anak onta, yang sedang belajar jalan.

   Muatannya semua tiga ribu kati beratnya.

   Cuaca waktu itu masih gelap, angin utara dingin bukan buatan.

   Sesampainya di Ciang-gie-mui, langit baru mulai terang.

   Hari itu peruntungannya Lauw Toa Put-cu bagus, baru saja ia sampai di pintu kota, lantas ia ketemu pembeli, satu orang yang dandan sebagal bujang, yang terus ajak ia masuk ke dalam kota, ke dalam entah gang apa, sampai di depannya satu rumah dengan pekarangan besar yang pintunya ditutup.

   "Sudah sampai!"

   Kata bujang itu.

   "Sekarang mari masuk, lihat dahulu tempat di mana arang mesti ditaruh, baru kau orang angkuti!"

   Tek Hui manggut, ia ikut waktu ia diajak masuk.

   Toa Put-cu sudah tambah umur, laginya gondokan di punduknya telah bertambah besar sampai tunduk saja sukar untuk dia.

   Maka itu, sudah sekian lama ia tidak pernah panggul arang, dan kerjaan itu ia wakilkan pada keponakannya yang kuat.

   Maka itu, sang keponakan yang periksa tempat taruh arang itu.

   Sang bujang ajak bocah tukang arang ini masuk di pintu pekarangan, jalan di tangga, melewati langkan, masuk di pintu besar, masuk di pintu kedua, pintu kedua, pintu Sui-hoa-mui, pintu Pan-jie-mui, lewati lataran dalam, jalan terus, sampai suatu pojokan.

   "Nah, di sini semua arang mesti ditaruh, kata bujang itu. Tek Hui sudah lantas bekerja, ia tidak kata apa- apa, akan tetapi di dalam hatinya ia menggerutu sendiri, karena tempat angkut itu jauh. Sekarung demi sekarung ia panggul, ia tuang isinya, yang ia tumpuk. Ia tidak tahu gedung itu rumah siapa, ia hanya tahu di situ banyak bujangnya, lelaki dan perempuan, malah banyak orang perempuannya, yang semua pakaiannya "tak sembarangan. Satu kali ia mendeluh waktu seorang bujang perempuan kata padanya.

   "Eh, tukang arang, hati-hati ya! Kau dengar atau tidak?"

   Di dalam hatinya ia kata.

   "Tak usah juga kau pesan!"

   Sebentar saja arang batu telah bertumpuk sebagai bukit kecil dan karung-karung kosong pun bertumpuk di pinggiran. Ia bekerja dengan mantap, tidak nakal, tidak mengucap suatu apa.

   "Eh, eh! Kenapa tukang arangnya masih bocah. Aih, dia kuat betul!"

   Kemudian riuh terdengar suara tertawanya orang-orang perempuan.

   Tek Hui menoleh, Ia tidak lihat orang yang berkata dan tertawa-tawa itu.

   Maka ia kerja terus, sampai selesai angkut tiga ribu kati arang semua.

   Ketika ia berhenti, ia susuti mukanya, yang keringatan dan banyak arangnya.

   6 Tiba-tiba ia dengar suara barang jatuh, waktu ia berpaling, ia lihat didekatnya menggeletak sebuah buah apel yang merah warnanya dan besar sekali.

   "Eh, siapa main-main sama aku?"

   Pikir dia. Apel itu terkena pecahan batu arang, jadi lecet dan sedikit kotor. Sebab tertarik, Tek Hui menjumput. Ia belum pernah lihat apel begitu besar dan menarik, hingga timbul nafsunya akan geragot itu.

   "Apakah apel ini untuk aku?"

   Ia tanya, tetapi ia tidak tahu ia bicara sama siapa.

   Jawaban tidak ada, hanya dari dalam jendela terdengar suara tertawa lagi.

   Tanpa merasa, Tek Hui geragot apel itu, hingga segera ia merasai buah yang manis, renyah dan adem.

   Maka selanjutnya ia terus makan itu, sembari keluar dengan panggul susunan karung kosong.

   Di pintu kedua, tiba-tiba ia dipegat dua orang.

   "Eh, bocah, dari mana kau dapat apel itu?"

   Menegur yang satu.

   "Aku boleh beli,"

   Sahut Tek Hui dengan tak sengaja.

   Tapi jawaban ini bikin dua orang itu dari curiga menjadi gusar.

   Yang berdiri di sebelah belakang memakai pakaian sutra, dandanannya mirip dengan satu "looya, cuma ia tidak mirip-miripnya dengan seorang berpangkat.

   Ia bertubuh besar dan lebar, matanya besar dan bundar, brewokan, kulitnya hitam dan mengkilap.

   Ia barangkali baru berumur tiga puluh tahun.

   Dilihat dari romannya ia mirip dengan patung Ciu Cong di dalam Kwan-tee-bio.

   Orang yang menegur juga punya roman sebagai iblis.

   7 Tapi Tek Hui tidak kelihatan takut, malah sebaliknya, ia tertawa.

   "Apakah kau pandang rendah padaku?"

   Katanya.

   "Apa kau kira aku tak kuat beli apel ini?"

   Dan ia geragot lagi apelnya itu.

   Tiba-tiba sebelah tangannya si iblis melayang, mampir di pipinya Tek Hui sambil terbitkan suara nyaring, disusul sama jeritannya bocah itu, apel di mulut siapa sampal lompat muncrat, hingga sambil meringis, dia tutupi pipinya itu.

   "Kurang ajar!"

   Ia berteriak, seraya ia jambak orang itu.

   "Kenapa kau pukul aku? Apa salahku? Aku tidak curi buah apel!"

   Ia gujeng orang itu dengan tenaganya yang besar, sampai orang itu jatuh, terus ia tindihkan.

   "Kau pukul aku, sedang aku tak beersalah, aku mesti hajar kau!"

   Dan ia benar-benar memukul.

   "Binatang, kau berani pukul aku!"

   Berteriak orang itu.

   "Kurang ajar!"

   Tapi dia, yang tubuhnya besar, tidak bisa melawan atau berontak. Maka orang yang beroman sebagal Ciu Cong lantas tarik Tek Hui.

   "Tidak apa kau makan apel itu,"

   Katanya.

   "tapi kau mesti omong terus terang, siapa kasih kau apel ini? Ini apel istimewa, tidak bisa dapat dibeli di luaran! Apel ini baru kemarin oang antar padaku, masih ada lagi, nanti aku bagi kau satu lagi! Jangan kau bilang apel ini kau beli, sebab meski kau punya uang, kau tak dapat beli itu! Aku juga tidak mau tuduh kau mencuri! Boleh jadi ada orang yang bagi kau, atau kau boleh dapat pungut. Nah, coba kau kasih tahu hal yang sebenarnya! Jangan takut, tidak apa-apa. 8

   "Kau tanya saja orang di dalam rumahmu,"

   Tek Hui jawab.

   "Tadi aku angkut arang, ada orang lemparkan apel ini dari jendela, aku tidak tahu siapa, aku pungut dan makan. Aku tidak mencuri tapi aku dipukul, aku tidak mau mengerti!"

   Ia mau samperi si muka iblis, tapi si Ciu Cong tahan padanya.

   "Sudah, sudah,"

   Kata si Ciu Cong, yang romannya bengis tapi bicaranya sabar.

   "Ia telah pukul kau, tapi kau sudah hajar padanya, sudah saja! Aku mengerti sekarang, anak kecil di dalam jendela yang kasihkan kau apel ini."

   "Bukannya anak kecil,"

   Tek Hui bilang.

   "itulah orang-orang perempuan, sebab sehabis melemparkan apel, aku dengar suara tertawa geli."

   Mendengar demikian, mukanya si hitam jadi merah padam.

   "Sudahlah,"

   Kata dia demikian.

   "kau dapat satu apel tidak apa! Sekarang kau boleh pergi!"

   "Lacur!"

   Kata si muka iblis.

   "Aku jatuh pamor di tangannya bocah tukang arang!"

   "Sudah!"

   Kata si Ciu Cong yang goyang-goyangi tangan.

   Tek Hui sudah bertindak keluar, bebokongnya menggendol karung, tangannya memegangi karung, tangannya memegangi apelnya, mukanya separuh meringis, sebab muka itu merah dan bengkak.

   Toa Put-cu sedang hitung uang arang waktu keponakannya keluar, ia tidak lihat orang punya muka mewek, adalah setelah selesai terima uang, baru ia dapat lihat hingga ia kaget dan heran.

   9

   "Eh, kau kenapa?"

   Ia tanya.

   "Siapa pukul kau? Mukamu bengkak dan matang biru!"

   "Ya, orang telah pukul aku,"

   Sahut Tek Hui. Ia ceritakan sebabnya. Lauw Toa-put-cu jadi tidak senang.

   "Terlalu! ia berseru.

   "Masa karena sebuah apel, keponakanku dipukul sampai begini? Hayo angkat pula arang kita, jangan jual padanya!"

   Bujang yang membayar uang nampaknya terperanjat.

   "Apa begini caranya orang dagang?"

   Ia kata.

   "Bukannya aku hendak menangkan majikanku, tetapi looya-ku, Kim Samya, bukan biasanya tukang menghina orang lain. Mustahil ia mau layani satu bocah? Di sini mesti ada sebabnya....."

   "Aku tahu "dah!"

   Kata Toa Put-cu.

   Apel dikasihkan pada keponakanku oleh satu nyonya, lantas Kim Samya cemburuan.

   Tapi jangan lihat saja tubuhnya keponakanku ini, meski ia sudah besar kelihatannya, ia sebenarnya baru berumur lima belas! Mustahil ia sudah bisa keteki orang perempuan? Masa karena apel saja, orang hajar dia? Terlalu!"

   "Sabar, sabar,"

   Si bujang kata pula.

   "Sebagai orang dagang kau kudu sabar. Laginya keponakanmu ini sudah kena dihajar sedang perkara tidak ditarik panjang. Harap kau bikin habis perkara ini, kita berlangganan, selanjutnya aku tidak beli arang dari orang lain. Perkara harga, aku pun tidak mau tawar- tawar."

   Toa Put-cu kelihatan bisa dikasih mengerti.

   "Mana aku berani datang pula membawa arang kemari!"

   Ia kata dengan masih mendongkol. 10

   "Sekarang baru keponakanku digaplok, lain kali barangkali aku yang dibacoki! Sudahlah, aku tidak berani lagi, kau orang di sini adalah bangsa okpa!"

   Lantas saja Toa Put-cu berlalu, dengan masih mendongkol terus. Tek Hui tuntun ontanya semua, apelnya sudah habis digeragoti. Tidak jauh di sebelah barat hoo-tong itu ada sebuah warung thee yang besar.

   "Tunda onta kita di situ,"

   Kata Toa Put-cu. Mari kita mampir di warung! Kau hendak dahar apa?"

   Warung thee itu kalah besar sedikit sama warung di Ciang-gie-mui, tapi tukang warungnya dikenal mereka.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oh, Toa Put-cu, sudah lama tak tahu ketemu!"

   Tuan rumah segera menyambut. Tapi ia melongo kapan ia lihat mukanya Tek Hui.

   "Kenapa, eh? Apa ia berkelahi?"

   Warung itu sedang ramai, di antaranya ada beberapa orang, yang bawa-bawa burung dalam kurungan. Mereka ini menoleh waktu mereka dengar suaranya tuan rumah, semua mengawasi Tek Hui.

   "Itu orang yang tinggal dalam hoo-tong, dia seperti okpa saja!"

   Kata Lauw Toa Put-cu dengan sengit.

   "Dia seperti Giam Loo Ong! Dengan tidak salah dosa, keponakanku ini telah digaplok, sedang sebabnya perkara kecil sekali!"

   Ia ceritakan halnya Tek Hui dianiaya. Semua orang dengar keterangan itu, ada yang ketawa, ada yang penasaran. Kejadian itu lantas jadi buah bibir mereka, masing-masing ada anggapannya sendiri-sendiri. 11

   "Itulah rumahnya Han Kim Kong!"

   Kata satu orang.

   "Dia itu memang tidak kenal aturan!"

   Kelihatan nama itu terkenal baik, sebab sekarang dia lantas jadi buah bibir.

   "Dia telah bisa tempel Uy Loo Kong si orang kebiri,"

   Kata seorang.

   "karena itu, dia telah diterima sebagai calon sie-wie, hingga lantas laganya melebihi laganya Tiong-tong, ia suka sekali ganggu orang lain!"

   Tiong-tong berarti Perdana Menteri.

   "Bukankah baru pada musim panas ia telah beli si cantik jelita dari rombongan wajah Lee Cun-pan untuk harga lima ratus tail?"

   Kata seorang lain lagi.

   "Kau belum tahu semua!"

   Lain suara nimbrung.

   "Paling belakang dia sudah gunai pengaruh uang terhadap empeh Siang Kiu si penjual tauwhu, anak perawan siapa yang umurnya baru enam belas tahun, ia telah beli dengan paksa, untuk dijadikan gundik entah yang ke berapa! Dia adalah raja iblis keelokan!"

   Lauw Toa Put-cu dengar semua, tetapi ia tidak perdulikan. Tek Hui makan kuwe dengan susah-payah, karena mulutnya bengkak dan sakit. Tiba-tiba seorang hampirkan bocah itu.

   "Saudara kecil, dahar saja pelahan-lahan,"

   Dia kata.

   "Sebentar kau pergi pada Han Kim Kong. Aku nanti tanya orang she Han itu agar kau tidak teraniaya dengan cuma-cuma...! Paman dan keponakan tunda kuwe mereka dan mereka awasi orang bicara itu, umur siapa kira-kira tiga puluh tahun, romannya bukan roman orang sembarangan, pakaiannya rapi, dia mirip seorang yang mengerti silat, hanya, dipandang lebih jauh, dia itu 12 mirip buaya darat, tangannya menyekal pie-yan-hu, di pinggangnya terselip pisau belati.

   "Tidak apa, tuan,"

   Kata Lauw Toa Put-cu, yang sebaliknya menjadi kuncup karena ada orang hendak belakan mereka.

   "Kam mesti pergi urus onta dan arang batu, tidak ada tempo untuk urusi urusan itu saja."

   "Benar tuan!"

   Kata Tek Hui sebaliknya.

   "Benar, kau harus bawa aku pada mereka itu! Lihat, tuan- tuan, mukaku makin bengkak, sampai aku susah buka mulutku! Dia mesti mengganti kerugian padaku!"

   Habis kata begitu, Tek Hui nampaknya mau mewek.

   "Jangan nangis!"

   Mencegah orang asing itu.

   "Siapa nangis, dia bukannya hoohan! Kita bukannya mau peras Han Kim Kong, tetapi ia mesti mengganti uang obat! Di sini kotaraja, di sini memang ada orang- orang suka menghina si miskin dan lemah! Sekarang baru mukamu digaplok, nanti lain kali ontamu dirampas! Perkara kau ini tidak boleh diantap! Nah, mari ikut aku!"

   Satu jongos berada di antara mereka, dia lantas tertawa.

   "Bagus!"

   Ia kata.

   "Pheng Jie-ya mau campur perkara ini, bagus!"

   Dari suaranya jongos itu, rupanya Pheng Jie ini terkenal dan dihorrnati.

   Lauw Tek Hui tidak kenal orang ini, tetapi ia suka turut.

   Toa Put-cu takut perkara jadi panjang, tetapi ia mengharap uang penggantian kerugian.

   Ia pun tidak ingin tukang arang diperhina semua, maka ia kata.

   "Baik, kau boleh pergi, aku akan tunggu di sini! 13 Sedikitnya dia mesti mengganti lima tail - tidak, sepuluh tail! Malah harus dijelaskan, kalau keponakanku sampai di rumah dan ia kenapa-napa, dia mesti tanggung jiwa!"

   Ucapan itu tidak ada yang gubris, sebab semua mata dipakai mengawasi Pheng Jie, yang telah pergi sambil menuntun Lauw Tek Hui.

   "Giok-bin Lo Cia pergi cari Han Kim Kong, bagus!"

   Kata satu orang.

   "Sedikitnya mereka akan bertempur! Mari kita orang nonton!"

   Adalah ucapan ini yang tarik perhatian, karena beberapa orang segera bergerak.

   "Mari!"

   Kata mereka itu.

   Maka juga, Pheng Jie dan Tek Hui seperti ada yang iring, dari jauh.

   Tidak lama, mereka sudah sampai di tempat kejadian tadi.

   Kebetulan sekali, di depan pintu pekarangan ada dua buah kereta, dan orang yang mirip dengan Ciu Cong lagi mau naik kereta bersama- sama seorang perempuan yang mukanya paka pupur dan yancie, entah ke mana mereka mau pergi.

   "Haya, tunggu sebentar!"

   Pheng Jie memanggil seraya ia menghampirkan, sebelah tangannva menuntun Lauw Tek Hui, siapa segera juga ia tunjuk.

   "Siapa yang gaplok mukanya bocah ini sampai bengkak begitu rupa? Itulah keterlaluan!" *** 14 II Han Kim Kong demikian orang dengan roman Ciu Cong itu menoleh untuk lantas jadi tercengang. Ia kenal baik Giok bin Lo Cia ini yang dahulu adalah piauwsu, malah pada dua tahun berselang, ruman mereka berdua adalah piauw-tiam, baru belakangan saja mereka sama-sama ubah cara hidup. Pheng Jie gemar minum arak dan berjudi, sampai ia jadi rudin, hanya tabiatnya tetap keras, sifatnya jujur, kejahatan ada musuhnya, sebagaimana sekarang ia mau belakan Lauw Tek Hui. Di pihak lain Han Kim kong, yang kenal thaykam yang berpengaruh yang ia angkat jadi ayah pungut, lantas berubah menjadi orang senang. Dengan perantaraan si thaykam, Han Kim Kong bisa tempel sanak raja, yang dipanggil Uy Tay Cu, yang ia pun angkat jadi ayah angkat. Maka dengan pertotongan dua ayah angkat ini, ia segera dicaloni menjadi "Gie- cian Sie-wie atau "serdadu pembela diri dari raja. Demikian, ia jadi punya banyak uang, punya rumah gedung, piara banyak bujang atau budak, punyakan banyak kaki tangan dan punyakan juga isteri dan beberapa gundik, karena buat dapati gundik ia berani rogoh saku akan keluarkan banyak uang, akan merampas gadis orang juga. 15 Di istana, ia kenal banyak thaykam. Selanjutnya orang tidak panggil dia Han Kim Kong saja, hanya Kim Samya. Karena kedudukannya ini, perhubungannya sama Pheng Jie menjadi seperti putus. Ia jadi angkuh terhadap kawan atau sahabat, yang tak mau mengekor padanya. Di luar sangkaan Han Kim Kong. hari itu ia ngalami lelakon si bocah tukang arang serta apelnya. Kejadian itu bikin ia mendongkol. Itupun kejadian, yang ia ingin tak sampai teruwar. Ia memang tak puas dengan beberapa gundiknya yang ia anggap bersifat "air dan bunga, gampang berubah hatinya, dengan ia tak mau pikir bahwa ia telah dapati mereka dengan jalan tak selayaknya. Coba kejadian ini terjadi beberapa tahun yang sudah, niscaya ia tak akan kasih hati pada si bocah, tak perduli kesalahan ada di pihak orangnya sendiri. Karena ia mendongkol dan tak dapat jalan untuk lampiaskan itu, ia mau ajak gundiknya pesiar ke Lothian-sie, sebuah kuil di luar kota, untuk berdiam di sana beberapa hari. Siapa nyana, selagi ia mau "menyingkir, si bocah tukang aran datang pula, bersama-sama Pheng Jie. Di dalam kemendongkolan yang bertambah- tambah, Han Kim Kong masih bisa kendalikan diri. Buat apa berkelit dalam urusan seperti itu? Ia toh seorang Gie-cian Sie-wie, pahlawan raja! Di sebelah 16 itu, ia pun mesti hadapi Giok-bin Lo Cia, yang ia tahu tak boleh dibuat permainan. Maka akhirnya, Kim Samya ini unjuk air muka terang,senyuman yang manis.

   "Loo Jie,"

   Katanya.

   "sudah lama kita tak pernah bertemu. Sebenarnya aku berniat undang kau, untuk kita makan dan minum, sayang aku senantiasa repot, sedang pekerjaan kau, aku tahu, pun repot sekali! Begitulah, perhubungan kita nampaknya jadi seperti renggang, sementara hal yang sebenarnya, tidak demikian! Halnya ini bocah, kau tidak tahu. Bukannya aku yang hajar dia. Ia pun selainnya telah digaplok, sudah balas memukul orang......"

   "Bukan maksudku akan campur tahu urusan orang lain,"

   Pheng Jie memotong.

   "tetapi aku anggap kejadian itu ketertaluan. Mustahil sebab sebuah apel yang ia bukan curi, hanya orang perempuan yang berikan padanya."

   Baru mendengar sampai di situ, mukanya Han Kim Kong telah berubah jadi sangat marah, karena ia malu dan mendongkol dengan berbareng.

   "Lo Han,"

   Pheng Jie teruskan.

   "aku tidak bisa panggil kau Kim Samya, aku panggil kau secara biasa, sebab aku tidak perduli kau ada jadi Gie-cian Sie-wie, dan aku pun tidak takut yang ayah-ayah angkatmu semua berpengaruh! Kau telah menjadi mewah, itu pun bukan urusanku! Ya, aku kenal kau sebagai Han Kim Kong, bahwa dulu kita orang pernah hidup 17 galang-gulung, malah pada suatu hari di harian tiong- ciu, selagi kau tidak mampu bayar hutangmu, aku yang tolong bayarkan! Aku pun ingat betul waktu Toa Loo Tiauw, Kim Gan Hauw, Lek Mo Khauw dan kawan- kawannya hendak bereskan kau, akulah yang tolong kau pecahkan kurungan! Tapi sekarang kau mewah, kau tidak kenal aku si Pheng Jie! Sebaliknya, aku tahu benar hal kau, hal rumah tanggamu juga yang kusut, tentang gundikmu yang bawa lelakon busuk! Tetapi semua itu, aku tak gubris! Hanya dalam hal kau gunai pengaruh uang untuk menghina, untuk menganiaya orang lemah, inilah aku tak bisa antapi, aku rnesti campur tahu!"

   Air mukanya Han Kim Kong dari merah menjadi biru dan gelap, memangnya ia berkulit hitam. Bukan main ia mendongkol dan panas hati. Tapi, selagi gusar, ia telah tuding Lauw Tek Hui.

   "Hayo bilang, siapa yang kasih apel pada kau!"

   Ia kata dengan bengis. Sambil tunjuk si nona manis, yang mau diajak pergi ke kuil, Tek Hui menyahut.

   "Kalau tidak salah, dia ini....."

   Bukan kepalang murkanya Han Kim Kong, hingga dengan tak dapat cegah meluapnya hawa amarah, ia hajar Lauw Tek Hui.

   Bocah ini berkelit, ia lolos dari kepalan, tetapi susulan dupakan dari Kim Samya bikin ia rubuh terguling, hanya apa mau ia jatuh menimpa si nona 18 manis, siapa punya tubuh turut rubuh juga, sambil mulutnya kasih dengar jeritan.

   "Aduh......!"

   Dua tubuh telah beruyalan menjadi satu, hingga pakaian yang indah dari si nona menjadi kotor dengan tanah, dengan arang dan tubuhnya si bocah tukang arang batu.

   Kejadian itu banyak orang yang saksikan, bukannya orang kaget, mereka justeru tertawa riuh.

   Selagi Kim Samya tercengang.

   Pheng Jie sudah maju akan jambak padanya, dengan sebelah tangannya piauwsu ini menghunus pisau belatinya.

   "Han Kim Kong, kau jangan hajar si bocah!"

   Ia kata, seraya menantang. Marilah kita saja yang bertempur! Kalau kau bisa bunuh aku, kau tidak usah takut, karena kau punya uang dan pengaruh. Sebaliknya aku, jika kau binasa di tanganku, aku akan mengganti jiwa!"

   Han Kim Kong geraki tangannya untuk merampas pisau belati, tetapi lengannya segera dicekal dengan keras, hingga ia batalkan niatannya itu.

   Ia tahu Pheng Jie liehay dan kalau ia melawan keras, ia bisa jatuh merk, sedang untuk mencari balas adalah hal yang sukar.

   Maka akhirnya ia menghela napas.

   "Pheng Jie ko,"

   Kata ia dengan sabar.

   "apa mesti kita orang kebentrok secara ini? Kau tahu aku belum pernah ganggu kau, aku belum pernah lakukan apa- apa yang tak menyenangkan padamu. Pheng Jie ko, 19 mari masuk kalau perlu, mari kita bicara di dalam. Bagaimana kita mesti bicara secara begini, di depan pintu? Inilah hebat bagiku."

   Pheng Jie lepaskan cekalannya apabila ia dengar perkataan ia. Ia manggut. Lauw Tek Hui sudah merayap bangun, sedang si manis sudah lantas dipimpin masuk oleh bujang- bujang pengiringnya.

   "Marilah Jie ko,"

   Kim Samya mengundang.

   Pheng Jie ikut dengan tuntun Tek Hui.

   Ia pimpin ke ruangan tetamu, di mana dengan cara hormat dan manis ia dipersilahkan duduk.

   Tuan rumah berlaku sangat open, air mukanya selalu tersungging dengan senyuman.

   Keinginan Pheng Jie adalah supaya Han Kim Kong jangan terlalu jumawa dan dengan uangnya baiklah dia berbuat amal, jangan cuma utamakan gundik.

   Ia tambahkan.

   "Kita dahulu bersahabat, maka itu sekarang aku datang padamu karena aku lihat kau terlalu merdeka, sampai kau terbitkan perasaan tidak puas pada banyak orang. Aku harap kau nanti bisa ubah sedikit sepak-terjangmu. Bagus adalah aku yang datang mencari kau, kalau orang lain, apa nanti jadinya!"

   Ucapan ini adalah nasehat yang mengandung ancaman. Han Kim Kong terima itu sambil manggut- manggut dan menyahut.

   "Ya, ya,"

   Saja. 20

   "Dan aku harap kau nanti tak menampik andaikata aku ada keperluan untuk menolong anak- anak yatim piatu, janda-janda yang melarat atau orang-orang terlantar asal lain kampung,"

   Pheng Jie tambahkan.

   "Tentu saja aku tidak inginkan jumlah yang besar, cukup dengan tiga sampai lima tail saban kali minta......"

   Kembali Han Kim kong mangut-manggut.

   "Dan bocah ini bengkak mukanya, kau harus keluarkan sejumlah uang untuk ongkos beli koyo,"

   Pheng Jie kata pula.

   "lnilah gampang,"

   Kata Kim Samya yang terus panggil bujangnya, disuruh ambil uang sepuluh tail buat Lauw Tek Hui.

   Melihat mana, Pheng Jie merasa puas, hingga ia tidak minta apa-apa lagi.

   Han Kim Kong kemudian jamu sahabat ini, sebagai juga di antara mereka tidak ada urusan apa- apa, bahwa mereka tetap sahabat-sahabat karib.

   Tek Hui, di samping, heran melihat sikapnya dua orang itu.

   Tapi Pheng Jie tidak mau duduk lama.

   Ia keringi cawan cuma satu kali dan sumpit sayuran beberapa kali, lantas ia berbangkit seraya angkat kedua tangannya.

   "Sampai ketemu pula!"

   Ia kata.

   Lalu dengan tuntun Tek Hui ia bertindak pergi dengan cepat, sampai Han Kim Kong tidak sempat antar mereka.

   21 Ketika berdua mereka sampai di warung thee tadi, di sana orang telah dapat tahu yang Han Kim Kong telah kena dipengaruhi, maka semua oang nampaknya agak puas.

   Hanya Toa Put-cu, yang mengharap keponakannya lekas kembali, barulah lega hati kapan ia lihat bocah pembantunya itu.

   "lnilah kuwemu, kau hendak dahar lagi atau tidak?"

   Tanya sang paman.

   Tek Hui tidak menyahut, ia hanya hajar sisa kuwenya.

   Ia sekarang bisa dahar dengan leluasa, meskipun bengkaknya belum lenyap.

   Pheng Jie duduk di samping, ia sodorkan uangnya Han Kim Kong pada paman itu.

   Lauw Toa Put-cu girang bukan main, ia tertawa sampai pundaknya bergerak-gerak.

   "Untuk beli obat, aku tak perlu uang begini banyak!"

   Ia kata.

   "Bengkaknya keponakanku tidak berarti."

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ini pun untuk pelampiasan hati saja"

   Pheng Jie bilang. Sebenarnya, keponakanmu pun telah menghajar orang."

   Ia tertawa.

   "Aku suka keponakan kau ini, sayang kalau dia tetap diperintah tuntun- tuntun onta dan angkut arang. Harapan apa dia punya?"

   "Terpaksa Jie ya,"

   Sahut Toa Put-cu.

   "Kalau dia tidak bekerja dia nganggur saja, aku mana kuat piara ia terus-terusan...." 22

   "Kalau begitu, baik kau serahkan dia padaku,"

   Pheng Jie bilang. Aku nanti ajarkan dia ilmu silat dan dagang apa saja, makan dan pakaiannya aku akan tanggung semua, malah aku akan berikan dia setiap bulan lima tail, uang mana ia nanti serahkan pada kau!"

   "Sampai begitu, tidak usah!"

   Kata Toa Put-cu sambil goyang-goyang tangan, tetapi dia tertawa.

   "Dengan uang lima tail, aku bisa beli dua ekor onta dan aku bisa pakai kuli!"

   "Baiklah, kita sudah bicara pasti,"

   Pheng Jie bilang.

   "Mulai hari ini keponakanmu ini turut aku. Tentu saja, setiap waktu kau boleh tengok dia. Aku tinggal di Thian-tay Piauw-tiam di timur sana. Semua orang di warung thee ini kenal aku!"

   "Jie ya, tidak usah kau terangkan itu, aku pun tahu kau!"

   Kata Toa Put-cu dengan tertawa girang.

   "Dengan keponakanku ini ikut kau, itu lebih baik daripada dia ikut aku menjual arang. Dengan ikut aku, cuma-cuma saja orang telah hinakannya. Sekarang pun aku merasa puas pada ayahnya, ialah aku punya engko almarhum."

   Toa Put-cu bergirang berbareng terharu. Tek Hui sendiri pun girang sekali.

   "Bagus!"

   Ia ngelamun dalam hati.

   "Selanjutnya aku tidak usah tuntun-tuntun onta lagi, tidak usah angkat-angkat arang batu, dan aku akan ikut Pheng Jie ya ini yang gagah, akan belajar silat dari dia! Aku 23 nanti yakinkan ilmu golok, tumbak, pedang, kampak, gaetan dan lain-lain! Aku nanti menjadi piauwsu! Aku akan kumpul uang! Siapa nanti berani perhinakan aku lagi?"

   Bahna girang, Tek Hui sampa tak sanggup habiskan kuwenya yang besar, ia sampai lupakan mukanya yang bengap. Secara demikian, Lauw Tek Hui telah menjadi muridnya Pheng Jie, maka beberapa orang di dekat mereka pada haturkan selamat pada piauwsu itu.

   "Aku harap tuan-tuan nanti sudi tolong perhatikan muridku ini"

   Kata Pheng Jie pada mereka seraya ia tunjuk Tek Hui. Ia menghela napas, ia melanjuti.

   "Aku belum tua, tetapi aku sudah bosan merantau, maka aku pikir untuk beristirahat. Ketika dahulu aku telah bekerja keras sekali, maka aku tidak puas kalau kepandaianku tersia-sia, karena ini sudah sekian lama aku inginkan murid yang bisa menjadi ahil warisku, agar selanjutnya aku boleh cuci tangan. Dan anak ini, kau orang jangan tidak lihat! Ia bertubuh besar, asal ia dapat pengunjukan sempurna, ia bisa wariskan kepandaianku! Ia juga jujur, maka kalau nanti usianya telah bertambah, ia tidak akan rusaki namanya dan namaku juga!"

   Kemudian Pheng Jie membayar uang kuwe dan air thee, berikut yang dimakan oleh Toa Put-cu. Sembari tertawa, ia kata pula.

   "Sekarang sudah tidak apa-apa lagi! Sebentar kau pulang, kau boleh tuntun 24 sendiri ontamu! Setiap waktu kau ingat keponakanmu, kau boleh tengok dia di Thian-tay Piauw-tiam. Ingat, jangan kau anggap dia telah dikasihkan padaku atau aku telah beli, itu keliru!"

   "Cukup Pheng Jie, cukup,"

   Kata Toa Put-cu.

   "Aku tahu Jie ya siapa, mustahil aku sangsikan kau!"

   Pheng Jie tertawa, lantas ia ajak Tek Hui pergi ke piauw-tiamnya.

   Di Thian-tay Piauw-tiam, Pheng Jie jadi toa- piauw-tauw.

   Kuasa atau pemilik piauw-tiam, Cie Ciangkui, ada seorang dagang tulen.

   Ia tidak mengerti ilmu silat, ia hanya punya banyak uang.

   Banyak uang ada syarat utama buat piauw-tiam, sebab umpama antaran piauw gagal, yang pertama dilakukan adalah mengganti kerugian.

   Syukur buat Cie Ciangkui, ia belum pernah mengganti.

   Bagi dia, namanya Pheng Jie menjadi tanggungan.

   Malah piauw-tiamnya maju sekali.

   Tapi, meski demikian, sebenarnya Pheng Jie tidak berbuat apa-apa, ia tidur dan bangun dan keloyoran, tidak ada gawenya.

   Piauw boleh pergi, ke tempat jauh juga, ia belum pernah turut mengantar dan selama namanya dipakai, belum pernah terdapat gangguan.

   Demikian hari itu Pheng Jie pulang ke piauw- tiam sesudah ia tindih pengaruh Han Kim Kong.

   Ia pulang dengan ajak Tek Hui.

   Sebab ia lihat muka orang kotor dan pakaian tua, a terus minta uang 25 beberapa tail pada kasir.

   Dengan bawa itu, ia ajak muridnya pergi, akan mandi, akan cukur, buat beli pakaian dan sepatu, kopiah juga, maka sebentar saja bocah ini balik ke piauw-tiam, ia seperti sudah salin rupa.

   Ia bermuka putih, romannya cakap dan gagah, hingga ia bukan lagi si arang hitam, ia mirip siauwya.

   Cuma pipinya maslh sedikit bengap dan merah bekas gaplokan, tetapi di muka yang putih, cahaya merah itu laksana cahaya dadu dan buah apel.

   Giok-bin Lo Cia girang melihat romannya murid ini.

   Maka malam itu ia pesan makanan, ia undang beberapa sahabat, buat bikin pesta kecil sebagai tanda bahwa ia telah dapat murid.

   Ia pun atur meja sembahyang, di depan mana Tek Hui diperintah berlutut, akan jalankan upacara sebagai murid terhadap gurunya.

   Ia sendiri dihormati, karena ia tidak punya isteri, tak punya murid-murid lain.

   Orang bergembira, Pheng Jie dikasih selamat oleh sahabat-sahabatnya.

   Mulai besoknya, hari ke dua, Pheng Jie mulai ajar silat pada Tek Hui, siapa diperintah bangun pagi- pagi.

   Sebagai permulaan Tek Hui diperintah main batu besar dan lempar-lemparkan karung terisi hancuran besi.

   Ia sudah kuat, tetapi sekarang tenaganya mau diatur menurut tingkatan.

   Malah segala kerjaan berat di piauw-tiam, Pheng Jie paksa si murid lakukan, 26 hingga untuk pertama kali, Tek Hui merasa belajar silat jauh terlebih berat daripada tuntun onta dan panggul batu arang.

   Adalah malamnya, baru Pheng Jie berikan pelajaran ilmu silat, mulai dengan pasang kuda-kuda dan jurus pertama.

   "Karena kau telah berusia belasan, tulang dan uratmu sudah kaku,"

   Pheng Jie kasih tahu.

   "maka itu, buat belalar entengi tubuh dan lari keras, apapula buat lari di atas genteng, kau sudah kelambatan. Tetapi meski demikian, asal kau sungguh-sungguh dan rajin masih belum kasep. Tentang ilmu lari keras di atas genteng, kau jangan anggap itu sebagal pelajaran maling. Itu justeru pelajaran yang penting. Kau masih bisa yakin itu, kendati belum tentu dengan sempurna. Kau bertubuh kuat dan tenagamu besar, asal kau ulet, kekerasan akan dapat lawan kelembekan. Tek Hui perhatikan keterangan ini, ia tidak jadi putus asa, sebaliknya ia anggap gurunya benar liehay, ia ingin bisa wariskan semua kepandaaan guru itu, hingga ia bersemangat. Demikian ia belajar dengan rajin, ia tidak takut cape, ia bisa belajar dengan cepat hingga gurunya pun jadi girang dan mau mengajarnya dengan gembira. Sebagai piauwsu, Pheng Jie berhak buat dahar sama-sama di dalam piauw-tiam dan Tek Hui satu mulut tidak menjadi halangan. Meski begitu kalau mau dahar, guru ini ajak muridnya pergi ke rumah makan 27 atau warung nasi, tidak perduli angin besar atau hujan lebat, atau ia suruh Tek Hui pergi sendiri. Ia mau jaga nama, agar orang tidak mencelanya. Dengan lewatnya sang tempo, kecuali tenaganya besar, Tek Hui pun doyan makan, maka selanjutnya Pheng Jie mulal merasa bahwa ia mesti rogoh saku semakin dalam, sedang di lain pihak tunjangannya pada Lauw Toa Put-cu tidak ia kurangkan. Dalam hal keuangan ia mulai keteter, tetapi ia tidak menggerutu. Di lain pihak, pada kasir ia tidak mau minta lebih daripada seharusnya.

   "Untuk amalku, aku mesti bertindak lain,"

   Pikir Pheng Jie akhirnya.

   Ia ingat perjanjiannya sama Han Kim Kong.

   Dan janji ini ia tagih.

   Begitu ia sering perintah Tek Hui pergi ke Kim Samya, untuk minta uang tiga tail atau lima tail.

   Dan Han Kim Kong juga menepati janji.

   Ia selalu serahkan uang yang diminta itu.

   Karena ini, lama-lama Tek Hui jadi kenal banyak orang di rumahnya Gie-cian Sie-wie, tapi mereka itu kebanyakan sudah tidak kenalkan dia sebagai si bocah tukang arang yang pernah digaplok karena pungut buah apel.

   Karena sekarang ia telah beroman lain.

   Ia masih muda sekali, tetapi ia nampaknya seperti pemuda dewasa, karena bagusnya pertumbuhan tubuhnya.

   Ia pun tidak bermuka dekil lagi dan pakaiannya tidak tua, rerombengan dan penuh mehong.

   28 Tek Hui tadinya tidak kenal apa yang dinamai cinta, hanya selama di piauw-tiam, sebab dengar ocehannya banyak kawan, ia jadi tahu itu.

   Bertambahnya usianya pun ada satu soal lain.*** *Oz* Sang tempo lewat dengan cepat, tahu-tahu hampir empat tahun selama Tek Hui ikuti Pheng Jie.

   Kalau ia jadi pemuda cakap dan gagah, adalah pamannya, Toa Put-cu, jadi makin tua dan lemah, malah hidupnya pun sukar karena ontanya habis.

   Maka syukur buat dia, Pheng Jie masih terus menyokongnya.

   Adat Pheng Jie makin berubah.

   Ia memang tidak jumawa, malah ia sabar luar biasa.

   Ia pun tidak bertingkah dalam hal dandan.

   Ia belum tua, tapi ia kelihatan seperti sudah berusia tinggi.

   Dengan sendirinya, ia kalah aksi dengan orang-orang baru.

   Ia tidak pernah jatuh merk, tapi ia jadi kurang pergaulan.

   Dengan Han Kim Kong ia bersahabat pula tetapi tidak bergaul, cuma kadang-kadang ia suruh Tek Hui minta uang, guna lanjuti pekerjaannya mengamal.

   Tek Hui suka pergi ke rumahnya Gie-cian Sie- wie itu, hanya kapan ia sampai di depan pintu, air mukanya lantas berubah menjadi merah, karena 29 dengan tentu-tentu ia ingat lelakonnya sebagai bocah tukang arang.

   Beda dengan Pheng Jie, yang seperti merosot turun, adalah Kim Samya yang naik terus.

   Bintangnya sedang bercahaya benar-benar, gundiknya pun telah bertambah.

   Jarang Tek Hui bertemu dengan Han Kim Kong kalau ia datang minta uang, tetapi setiap datang tiga atau lima tail, belum pernah tak diterimanya, karena kasirnya Kim Samya selalu siap sedia akan berikan jumlah yang diminta itu.

   Lama-lama, Tek Hui jadi sungkan datang meminta uang lagi pada Han Kim Kong.

   Meski ia tahu, uang itu untuk amal, ia toh merasa bahwa permintaan ini adalah sebagai juga semacam pemerasan.

   Ia malu sendirinya.

   Dan ia pun jengah kalau ia bertemu si nona manis, yang dahulu memberikannya apel, yang ia pernah langgar hingga mereka jatuh berduaan.

   Sekarang Tek Hui tahu siapa adanya si manis itu, yang ternyata ada Go-ie Thay-thay, gundik ke lima dari Han Kim Kong, orang panggil Siauw Hong.

   Ia merasa bagaimana si manis itu taruh hati padanya.

   Hanya sekarang ia lihat kalau mereka kebetulan bertemu si nona lesu, sebagai juga dia sudah tak dicinta lagi oleh Han Kim Kong.

   Hanya si manis ini merdeka buat pergi ke mana ia suka.

   Hanya mereka belum pernah bicara satu pada lain, Tek Hui malu, si manis rupanya tak berani menegur terleblh dahulu.

   30 Pheng Jie sekarang telah piara kumis, hingga romannya jadi terlebih tua dan lesu.

   Ia telah kena didesak oleh Twie-hun-cio Gouw Po si Tumbak Pengejar Roh, piauw-tauw ternama yang Cie Ciangkui baru undang.

   Sebab pengusaha piauw-tiam ini mengharap kemajuan lebih pesat dari piauw-tiamnya, sedang sepak-terjangnya Giok-bin Lo Cia ia mulai sangsikan.

   Kalau Gouw Po garang, Pheng Jie merendah.

   Ada orang yang anjuri Pheng Jie akan piebu dengan Gouw Po, ia menolak.

   Sudah kalah pergaulan, dia pun tidak suka berebut pengaruh.

   Ia kata.

   "Bagaimana jadinya andaikata aku kalah?"

   Sebenarnya, kepandaian silat Tek Hui sudah maju, ia boleh wakilkan gurunya belajar memegang pimpinan, apa mau gurunya tidak mengasih ijin.

   Ada beberapa piauw-tiam lain yang mengundang, tetapi Tek Hui tampik, sebab waktu ia bicara dengan gurunya akan meminta perkenan, Pheng Jie berkata.

   "Buat apa jadi piauw-tauw? Apa kau sangka kerjaan piauw-tauw baik? Baik kau tetap yakin pelajaranmu, belajar dengan sungguh-sungguh. Ilmu silat adalah untuk kesehatan diri, menjaga diri, guna tolong dan bantu orang lain yang membutuhkan kegagahan. Ilmu silat bukan untuk menghina orang dan memperoleh hasil!"

   Tek Hui hargakan guru itu, yang ia sayang sebagai ayah sendiri.

   Guru itu pandang ia sebagai adik 31 saja, melebihi daripada murid.

   Maka itu, mereka menyayang dan menghargai satu pada lain.

   Apa mau, namanya Pheng Jie terus merosot, keuangannya pun tidak lagi leluasa, maka satu kali, karena membelai seorang miskin, ia ditangkap dan ditahan sampai setengah bulan di dalam penjara.

   Waktu ia dilepas dan pulang.

   Ia jatuh sakit.

   Sejak itu Han Kim Kong, yang katanya lakukan perjalanan dinas keluar kota-raja, menolak akan memberi tunjangan terlebih jauh.

   Kebetulan sekali, dalam satu bulan itu, Toa Put-cu tidak datang untuk minta uang tunjangan.

   Rongrongan hebat, yang bikin Tek Hui panas, adalah kecongkakan dari Gouw Po, Karena tidak ada yang layani piauw-tauw baru ini yang katak, yang banyak kenalannya, sebab ia suka diumpak dan berbareng pun pandai bermuka-muka jadi tidak mengenal batas.

   Demikian Twie-hun-chio berani menghina.

   "Apa itu Giok-bin Lo Cia? Masa julukan itu surup? Dia bawa-bawa murid, apa dia kira muridnya ada orang piauw-tiam ini? Lihat, dalam tempo satu bulan, aku nanti bikin ia angkat kaki dari sini! Atau dengan tumbakku, nanti guru dan muridnya itu aku tikam dan lemparkan dengan tumbakku ini!"

   Satu kali Tek Hui sudah samber pedang, tapi Pheng Jie yang lagi sakit, tarik padanya. 32

   "Buat apa layani dia? Itulah tak tepat!"

   Kata guru ini dengan sabar luar biasa.

   "Dia pun bukannya pengusaha piauw-tiam ini? Umpamanya Cie Ciangkui yang berhentikan kita, dalam sekejap aku akan angkat kaki dari sini! Jangan perdulikan dia, aku tidak kenal padanya! Aku tidak mau layani seorang yang tingkatannya lebih muda! Aku akan berdiam terus di sini! Umpama ia benar berani tikam aku, nah, tunggulah sampai ia buktikan ocehannya itu!"

   Bukan main mendongkolnya Tek Hui, karena sekarang ia mesti pendam itu, akan turuti kesabarannya si guru.

   Maka untuk legakan hati, ia terus bertatih diri, ia yakini ilmu silatnya yang memang telah maju pesat.

   Pada suatu hari, Gouw Po muncul di depan kamarnya Pheng Jie.

   Ia bawa ia punya tumbak Twie- hun-chio.

   Ia rupanya mau buktikan ancamannya.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia panggil Tek Hui keluar dan kata pada murid ini.

   "Kau mesti serahkan kamar yang kau dan gurumu pakai! Sekarang telah datang anggota-anggota keluargaku! Tentang ini aku sudah bicara sama Cie Ciangkui dan ia suruh aku wakilkan kasih tahu kau orang supaya kau orang pindah hari ini juga! Kau tahu, sebenarnya, selama dua tahun ini, gurumu sudah tidak ada gawenya di sini, belum pernah ia bantu urusan piauw, maka kau sudah tidak punya hak apa-apa lagi di sini. Sekarang kau orang boleh siap dan pergi! Jangan kau katakan aku si orang she Gouw tidak kenal 33 persahabatan, tetapi sekarang temponya sudah cukup!"

   Tek Hui mukanya menjadi merah, tapi sebelum ada suara dari gurunya, ia mesti sabarkan diri.

   "Sekarang suhu lagi sakit,"

   Ia kata.

   "Apa kau tidak bisa tunggu sampai suhu sudah sembuh? Aku pun mau ketemu dahulu sama Cie Ciangkui....."

   "Tidak bisa!"

   Gouw Po rnembentak.

   "Cie Ciangkui sedang menagih ke Po-teng-hu, sampai belasan hari dia baru bisa pulang. Selama ini, aku jadi wakil ciangkui!"

   "Kau jadi ciangkui? Hm!"

   Tek Hui menyindir. Gouw Po berjingkrak.

   "Kurang ajar! Kau berani sindirkan Gouw Toa- thayya?"

   Ia berteriak.

   "Hm, Toa-thayya angin busuk!"

   Tek Hui mengejek. Dalam murkanya, Gouw Po menusuk, tetapi baru tangannya bergerak, Tek Hui sudah loncat masuk ke dalam kamar. Ia bersenjata panjang, ia tidak leluasa bergerak di dalam kamar, maka ia tidak menyusul.

   "Mari keluar, binatang!"

   Ia menantang dan mendamprat.

   Ia menghina, seraya tusuk daun pintu berulang- ulang.

   Tek Hui darahnya naik, ia hunus pedangnya yang tajam, tapi sebelum ia bertindak keluar, tiba-tiba 34 gurunya, yang lagi rebah saja karena sakitnya, mencelat turun dari pembaringan, dengan tak pakai sepatunya lagi, guru ini mau bertindak keluar.

   "Suhu, suhu! Tek Hui rnencegah "Suhu rebah saja, kau lagi sakit! Kasih aku yang ladeni manusia rendah itu! Kenapa orang semacam dia dikasih ijin akan menghina kita?"

   Ia mau keluar, tetapi Giok-bin Lo Cia telah duluinya. Gouw Po heran lihat Pheng Jie muncul dengan tubuh sakit, cuma sekarang ia lihat sepasang mata orang yang tajam, roman cukup keren kendati air mukanya pucat.

   "Gouw Po, apa begini kelakuannya seorang Kangouw? Pheng Jie menegur.

   "Apa kau tidak kenal kehormatan? Belum pernah aku ganggu kau, kenapa kau menghina aku sampai begini? Selalu aku bersabar tapi jangan kau kelewatan!"

   "Kau keliru!"

   Gouw Po membentak.

   "Sekarang piauw-tiam ini hanya mengandal pada aku seorang! Kau dan muridmu, bukannya sahabatku, kita tidak punya hubungan satu pada lain! Apa kau hendak gegares perdio saja di sini?"

   Pheng Jie tertawa.

   "Baik!"

   Ia jawab.

   "Mulai hari ini, sepeser pun aku tidak akan pakai uang piauw-tiam!"

   Tapi Gouw Po goyang kepala.

   "ltulah belum cukup!"

   Ia berseru. 35

   "Kenapa tidak?"

   Tanya Pheng Jie dengan mata melotot.

   "Aku inginkan kau sekarang keluar dari sini!"

   Gouw Po kasih tahu.

   "Aku akan lemparkan kau keluar dengan tumbakku ini!"

   Benar saja, ucapan itu ditutup dengan tusukannya yang liehay.

   Pheng Jie berkelit, kedua tangannya diulur dengan niatan samber tumbak itu, tapi Gouw Po bermata celi dan gesit, ia tarik pulang tumbaknya, akan segera dipakai menusuk pula.

   Pantas dia dijuluki Twie-hun-chio, kiranya ia kejam sekali.

   Tek Hui sengit bukan main, ia lompat maju, akan tangkis tumbak guna lindungi gurunya, setelah mana ia terus terjang piauw-tiauw busuk itu, hingga berdua mereka jadi bertempur.

   Segera juga Gouw Po merasa bahwa bocah itu, kecuali pedangnya liehay, tenaganya pun besar, hingga ia mesti berkelahi dengan sungguh-sungguh.

   Ia tadinya sangka Pheng Jie tersohor nama melulu, sebab orang agaknya pengecut dan ia ingin rubuhkan piauwsu yang lagi sakit itu.

   Siapa nyana, murid orang saja bikin hatinya berdebaran.

   "Tek Hui, kau mundur!"

   Pheng Jie teriaki muridnya.

   "Aku masih sanggup layani dia ini. Nah, orang she Gouw, kau maju, kau boleh tetap gunai tumbakmu!"

   Tek Hui mundur.

   36 Gouw Po awasi Pheng Jie, dengan bersenyum ewah.

   Tempo-tempo ia masih lirik orang punya murid, yang ia kuatir nanti bokong dia.

   Sebelum mereka bertempur pula, lantas maju beberapa orang dari piauw-tiam, yang memisahkan, yang minta mereka berdamai.

   Tapi datangnya juru pemisah cuma bikin Gouw Po jadi tambah mangkak.

   "Saudara-saudara, baik kau orang jadi saksi, aku hendak tempur orang she Pheng ini! Kalau aku tidak bisa lempar ia keluar, aku nanti angkat kaki sendiri dari sini! Kita sama-sama piauwsu, kita toh tidak saling curang! Kita nanti bertempur dengan andali bugee masing-masing! Kita orang setimpal, aku masih muda, dia belum tua! Memang benar, tubuh mereka berimbang sama tinggi, sama besarnya cuma Gouw Po lupa, Giok-bin Lo Cia lagi sakit, mukanya pucat, tubuhnya kurus. Ia pun tidak mau lawani Tek Hui, yang ia kata bukan tandingannya....

   "Sudahlah"

   Kata pula juru pemisah.

   "Tidak!"

   Gouw Po membentak.

   "Bagaimana kalau dia dikasih tempo satu hari, sampai besok?"

   Kata seorang.

   "Besok pertandingan dilakukan di suatu tempat dan pada jam yang ditentukan?"

   "Baik!"

   Pheng Jie mendahulukan menjawab.

   "Aku tidak mau berlalu dari piauw-tiam ini, yang aku telah rawat belasan tahun lamanya, tapi aku juga 37 tidak mau bikin piauw-tiam ini dapat susah! Gouw Po, katau kau tidak puas, baik cari satu tempat di mana malam ini juga kita bisa bertanding! "Cari tempat?"

   Gouw Po jawab.

   "Baik! Bagaimana di Kho-liang-kio. di luar Say-tit-mui? Kau berani pergi ke sana? Tapi jangan kau ajak muridmu, aku tidak sudi ladeni dia!"

   "Baik, di Kho-liang-kio!"

   Pheng Jie terima tempat yang ditunjuk.

   "Jangan kata muridku, lain orang siapa juga, aku tak akan ijinkan bantu aku! Kalau ada oang bantu aku, aku bukannya manusia!"

   Kesabarannya Pheng Jie telah sampai di puncaknya.

   "Bagus!"

   Berseru Gouw Po.

   "Sampai sebentar jam enam! Siapa tidak pergi, dia bangsa tikus yang nyalinya kecil!"

   Lantas dengan aksi dibikin-bikin, Twie-hun-chio angkat kaki.

   Beberapa kawannya ikut ia berlalu.

   Pheng Jie awaskan orang pergi, akan sebentar kemudian, ia bisa tenangkan diri.

   Ia pandang muridnya, dengan air muka duka, romannya lesu, maka Tek Hui, dengan pindahkan pedangnya ke tangan kiri, lantas pegangi ia, akan masuk ke dalam.

   "Aku tidak nyana bahwa orang telah berani menghina aku secara begini,"

   Kata guru itu kemudian.

   "Sampai pun akan rawat penyakitku, aku tidak bisa....." 38

   "Justeru karena suhu sakit, dia berani datang menghina!"

   Kata Tek Hui dengan mendongkol.

   "Aku percaya, di hari-hari biasa, dia tak nanti berani bertingkah sebagai barusan! Suhu kenapa kau hendak layani manusia rendah itu? Baik suhu rawat diri, sebentar kasih aku yang pergi, aku nanti ketemui dia di Kho-liang-kio!"

   Pheng Jie bersenyum, tetapi ia goyang kepala.

   "Kau memang bermaksud baik, ia bilang.

   "Kau adalah seumpama anak kerbau yang tidak takut harimau. Aku menyesal bahwa aku masih belum sempurnakan pelajaranmu."

   "Sudah cukup, suhu, aku rasa sudah cukup!"

   Tek Hui bilang.

   "Orang seperti Gouw Po itu, jangan kata baru satu, sepuluh pun aku tidak takut! Biarlah sebentar aku hajar dia, supaya ia jumpalitan ke kolong jembatan!"

   Pheng Jie lagi rebah tetapi ia berbangkit dan duduk sambil tertawa.

   "Kau benar-benar satu bocah!"

   Ia kata.

   "Biar bagaimana, Gouw Po mesti dianggap seorang gagah, sedang kawannya pun banyak dan mesti ada banyak di antara kawan-kawannya itu yang berkepandaian tinggi. Aku tidak tahu, sebentar ada berapa banyak orang yang akan bantu dia......."

   "Aku nanti bantu kau, suhu!"

   Kata Tek Hui dengan sengit. 39

   "Apa kau tidak dengar apa kataku tadi pada Gouw Po?"

   Tanya Pheng Jie dengan sungguh-sungguh.

   "Aku tak ingin orang bantu aku, tidak juga kau! Dengan jalan ini, aku hendak angkat pula namaku! Sebenarnya, kau sudah bosan sama cara hidupku, aku hendak mundur, siapa tahu Gouw Po keterlaluan. Maka sebentar, justeru aku lagi sakit, aku hendak layani padanya, supaya orang tahu bahwa Giok-bin Lo Cia masih berdiri! Aku ingin bangun, supaya kau pun turut dapat nama. Jangan terlalu bangga, Tek Hui, kepandaian kau belum sempurna, kau masih perlu belajar lagi dua tahun, waktu itu aku nanti ajak kau bikin perjalanan, akan kunjungi satu rumah dengan satu rumah, akan perkenalkan kau, supaya sesuatu guru silat, sesuatu locianpwe, kenal kau. Itu waktu ada waktunya buat kau berdiri sendiri dan aku bisa lepaskan kau dengan hati lega! Sekarang, kau mesti dengar perkataanku, kau diam di rumah, jangan bantu aku, dengan kau bantu aku, orang justeru akan tertawakan aku! Orang tentu akan jengeki aku sebab aku bawa-bawa murid yang belum lulus....

   "Tapi, suhu, kau lagi sakit dan sakitmu berat,"

   Ia kata.

   "Cara bagaimana selagi sakit kau mesti berkelahi?"

   "Tidak usah kau perhatikan aku sampai demikian!"

   Pheng Jie bilang.

   "Di kalangan Kangouw, jiwa tak berarti, yang penting adalah nama baik! Kalau kau sudah lulus, kau ada merdeka, tapi sekarang kau 40 mesti dengar aku. Umpama kata aku binasa, aku larang kau tangiskan aku! Siapa belajar silat, pikirannya tidak boleh terbagi, pikirannya mesti dipusatkan. Selama ini aku lihat kau seperti suka pikirkan suatu apa, itu sebabnya kenapa aku tidak suka suruh kau pergi lagi ke rumahnya Han Kim Kong."

   Mendengar demikian, mukanya Tek Hui menjadi merah. Ia lantas tutup mulut. Ia tidak sangka bahwa gurunya sudah menduga jitu tentang hatinya. Ia jadi jengah. Pheng Jie kemudian kata pula, dengan pendek.

   "Andainya kau tidak dengar perkataanku dan sebentar kau paksa turut aku dengan membantu aku, selanjutnya putuslah hubungan di antara kita sebagai guru dan murid! Aku tidak mau kenal lagi kau sebagai muridku!"

   Tek Hui menjublek.

   Belum pernah gurunya omong keras sebagai itu.

   Ia percaya, guru itu dipengaruhi oleh penyakitnya, hingga pikirannya pun jadi kurang benar.*** III Pheng Jie tidak rebah lagi, hanya ia berbangkit untuk dandan.

   Ia pun kantongi uang.

   Di bagian luar, tubuhnya ia kerebongi dengan mantel kuilt kambing.

   "Kau tunggu rumah!"

   Ia kata pada muridnya.

   "Kalau kau mau bersantap malam, kau pergi beli kuwe, uangnya kau ambil di bawah tikar. kau boleh ambil sesukamu!"

   Tek Hui manggu seraya menyahuti "Ya,"

   Ia awasi guru itu bertindak keluar. Ia mendelong, pikirannya kusut. Ia tidak tega melihat gurunya, muka siapa merah tanda bahwa hawa panas lagi menyerangnya pula.

   "Dengan tubuh sakit, bagaimana suhu bisa lawan Gouw Po dan kawan-kawannya?"

   Pikir ia.

   "Suhu larang aku pergi bantu dia, apa larangan ini aku mesti turut? Suhu melarang selagi hatinya panas, apa aku mesti perdulikan itu? Apa aku mesti diam saja, antap orang kemplang mampus suhu, hingga ia mesti binasa secara kecewa? Apa aku harus biarkan orang perhina suhu? Tidak! Gouw Po tentu belum pergi, baik aku satroni dia di rumahnya, akan dahulukan suhu!"

   Percaya bahwa gurunya sudah pergi jauh, Tek Hui lantas ambli pedangnya dan bawa itu akan pergi tengok Gouw Po.

   Apa mau piauw-tiam sudah sunyi, katanya Gouw Po sekalian sudah pergi, di situ hanya ada si juru tulis yang lagi nyanyi dengan suara seperti menggerutu.

   42

   "Eh, kau mau pergi nonton?"

   Menegur juru tulis itu.

   "Aku anggap baik kau ajak gurumu pulang! Buat apa layani Gouw Po? Dia sekarang punya nama lebih tersohor dari nama gurumu dan bugeenya pun lebih tinggi dari bugee kau orang! Aku tahu, kalau nanti Ciangkui kita pulang, meski pihakmu lebih benar, aku percaya tidak nanti kau orang dapat muka!"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tek Hui tidak gubris ocehan itu.

   "Coba kasih tahu aku, di mana letaknya Kho- liang-kio?"

   Ia tanya.

   "Kau, tukang tuntun onta, kau tidak tahu Kho- liang-kio?"

   Kata juru tulis itu sambil bersenyum.

   "Kau pergi keluar dari Say-tit-mui, di Kwan-siang. Di sana memang biasa orang piebu!"

   Dengan tidak balik lagi ke kamarnya, Tek Hui menuju ke tempat yang ditunjuk. Ketika ia lewati tukang kuwe, yang menjadi langganannya sejak beberapa tahun, tukang kuwe itu panggil dia.

   "Eh, Siauw Lauw, kau mau kuwe atau tidak? Kalau mau, aku nanti tinggali."

   "Tidak usah, tidak usah"

   Sahut Tek Hui sambil jalan terus.

   Ia tahu di mana letaknya Say-tit-mui, maka ia motong jalan.

   Kendati begitu, ia mesti jalan satu jam baru ia sampai di luar kota Kwan-siang.

   Di situ ada sebuah kali, yang airnya beku dan jembatan Kho-liang-kio melintang di atas kali itu.

   Daerah dekat situ adalah sawah-sawah dan sedikit pepohonan.

   Dari situ, di kejauhan, kelihatan bukit See-san yang nampaknya hijau kehijauan.

   43 Di akhir chia-gwee, hawa udara dingin sekali, angin utara meniup keras, membikin orang gemetaran.

   Tatkala itu sudah jam lima, tapi di situ tak ada orang.

   "Kenapa tidak ada orang?"

   Kata Tek Hui dalam hatinya.

   "Apa suhu belum datang? Apa Gouw Po sekalian juga belum muncul? Atau mereka sudah selesai bertempur dan telah pada pulang lagi? Atau mereka tukar tempat?"

   Tek Hui lantas menantikan dengan hati tak sabaran.

   Ia jalan mundar-mandar, ia sampal pikir, buat pergi saja, baiknya sebelum ia pergi, tiba-tiba ia lihat serombongan orang mendatangi dari jurusan selatan.

   Ia kenalkan Gouw Po dan orang-orangnya, yang semua romannya garang dan angkuh.

   Hampir Tek Hui samperi mereka, buat terus menerjang agar a bisa lantas lihat gurunya di antara rombongan itu.

   Gurunya, dengan tumbak di tangan, kelihatannya gagah juga.

   Rupanya kedua pihak bertemu di tengah jalan atau mereka mampir dulu di warung thee, baru mereka jalan sama-sama.

   Karena kuatir gurunya gusar, malah sedikitnya ia akan didamprat, Tek Hui lekas menyingkir ke belakang kuburan sedikit jauh dari situ.

   Dari sini ia mengawasi, tangannya siap dengan pedangnya.

   Ia lihat orang telah sampai dan lantas berhenti dan Pheng Jie segera seperti dikurung.

   Ia bingung juga, sebab ia berada cukup jauh dari mereka, suara mereka ia tidak dengar nyata dan kalau perlu adalah sukar untuk dia tolongi gurunya.

   44 Sebentar kemudian, Pheng Jie dan Gouw Po telah berdiri berhadapan, semua orangnya Gouw Po menyingkir sedikit jauh.

   Mereka berhadapan tidak lama, lantas Gouw Po mulai menerjang dengan tikamannya.

   Tumbaknya Gouw Po mengkilap, runcenya bagus, tapi tumbaknya Pheng Jie sudah tua, runcenya gerumpungan, entah dari mana Giok-bin Lo Cia dapatkan tumbak sisa itu.

   Kelihatannya mereka ada berimbang, meski dari roman, Gouw Po nyata lebih garang.

   Tek Hui tidak mengerti kenapa gurunya gunai tumbak.

   Selama tiga tahun lebih ia turut gurunya, belum pernah guru itu omong perihal tumbak sebagai gegamannya, tapi sekarang ilmu tumbak gurunya adalah liehay.

   Ia hanya tahu, gurunya bisa mainkan delapan belas rupa senjata dan ia pun pernah diajarkan.

   Kemudian Tek Hui lihat gurunya gunai "Poan- liong-chio atau Ilmu tumbak "Naga Melingkar.

   Itu adalah ilmu bukan untuk rebut kemenangan, hanya guna menjaga diri.

   Dengan cara ini, Pheng Jie bisa layani Gouw Po, ilmu tumbak siapa benar-benar liehay.

   Lama-lama, kelihatan Pheng Jie terdesak.

   Itulah tidak heran, karena kecuali ia bukan biasanya menggunai tumbak, ia pun sedang sakit dan penyakit yang bikin tenaga dan keuletannya menjadi kurang.

   "Celaka, inilah berbahaya"

   Pikir Tek Hui, yang bisa lihat nyata bagaimana gurunya sudah didesak hebat, hingga saban saat guru itu yang tidak mau mundur bisa jadi korban tumbak. 45

   "Hayo! Desak terus! Hayo, Gouw Lauw-tee! Bikin habis saja si Pheng Jie ini!"

   Demikian orang-orangnya Gouw Po berteriak-teriak, akan anjuri piauwsu mereka.

   Mereka kelihatannya sangat bersemangat.

   Tek Hui lupakan pesanan gurunya, karena ia tidak ingin guru itu terluka atau binasa.

   Ia anggap kekalahan si guru sangat mengecewakan, sedang Gouw Po sudah terang telah berlaku curang, beraninya terhadap orang yang lagi sakit.

   Lantas ia memburu menghampirkan seraya kasih dengar teriakannya.

   "Kau semua orang-orang curang! Kau tahu guruku sedang sakit! Mari maju, kau boleh layani aku!"

   Selagi pihak Gouw Po terperanjat, Pheng Jie pun lihat muridnya, suara siapa ia dengar nyata.

   "Mundur! Jangan kau perdulikan aku!"

   Mengusir guru itu. Tapi suaranya guru ini sudah terlambat, sebab Tek Hui telah datang luar biasa cepat dan Gouw Po sudah mulai diserang.

   "Kurang ajar! Kau jadinya mau hantar mampus gurumu!"

   Menghina piauwsu itu. Segera Gouw Po bikin perlawanan, ia menyerang dengan hebat, seperti tadi ia desak Pheng Jie. Ketika ujung tumbak menuju pada tenggorokannya, Tek Hui tidak berkelit, hanya dengan pedangnya ia menangkis dengan keras.

   "Trang!" demikian suara beradunya kedua senjata, berbareng dengan mana Gouw Po rasai kedua tangannya tergetar. Ia jadi penasaran, maka dengan tidak kurang sebatnya ia menusuk pula ini kali ke arah perut. 46

   "Trang!" kembali suara dua senjata beradu, sebab dengan cepat Tek Hui sudah menangkis pula dengan keras. Sekali ini tidak saja tangannya Gouw Po tergetar, malah tumbaknya pun terpental, terlepas dari tangannya, hingga ia kaget bukan kepalang. Beruntung bagi dia, sebelum pedangnya si anak muda menyambar, semua kawannya segera meluruk maju, akan kepung Tek Hui, hingga dia terpaksa layani mereka semua. Sebagai seorang harimau, Tek Hui layani belasan musuh itu. Gouw Po telah pungut tumbaknya, ia maju pula, bukan untuk menyerang, hanya buat berteriak-teriak, katanya.

   "Berhenti! Berhenti! Pheng Jie sudah janji akan tidak ijinkan muridnya bantu dia, tetapi sekarang muridnya membantui, maka dengan sendirinya ia sudah keok! Tidak, kita orang tidak boleh bertempur terlebih jauh! Jikalau Pheng Jie punya muka, selanjutnya dia tidak akan ketemu orang lagi, sebab ia tak boleh dipercaya, dia bukannya enghiong atau hoohan! Ia lebih mirip seorang perempuan! Sudah, kita orang jangan tempur lagi Pheng Jie, terutama tidak dengan muridnya, sebab muridnya ini bukan tandingan kita, kecewa kalau kita menangkan dia!"

   Gouw Po telah perdengarkan ucapan yang tajam, karena ini adalah jalannya yang curang.

   Ia tahu benar, adalah sukar akan mereka layani Tek Hui, meskipun anak muda itu bersendirian.

   Selama ia bicara saja semua kawannya sudah kena dirangsek, dua-tiga antaranya telah rebah sambil menjerit atau mengeluh "Aduh, aduh.....!" 47 Di saat Tek Hui mau menyerang pula si piauwsu yang mulutnya berbisa itu, Pheng Jie menyelak.

   "Pergi, pergi!"

   Guru ini mengusir.

   "Di sini tidak ada urusan kau! Pergi!"

   Tek Hui hormati gurunya, tetapi karena ia sangat gusar, waktu ia putar tubuhnya akan berlalu, ia masih awasi Gouw Po dengan mata mendelik.

   Ia jalan dengan gurunya ikuti dia.

   Ia dengar bagaimana di belakang dia, Gouw Po dan orang-orangnya telah bersurak, akan ketawakan dia.

   Bahna mendongkol, hampir-hampir Tek Hui menangis.

   "Kau pulanglah lebih dahulu!"

   Kata sang guru dengan dingin dan keras.

   Belum pernah Tek Hui dengar perkataan demikian, dengan suara demikian dingin dari gurunya itu.

   Dan sehabis kata begitu, Pheng Jie bertindak ke jurusan timur.

   Tek Hui mau tahan gurunya, ia tidak berani, maka terpaksa ia jalan terus.

   Ia mendongkol dan puas dengan berbareng.

   "Nyata pelajaranku sudah sempurna,"

   Ia pikir.

   "Gouw Po dan orang-orannya semua tak punya guna! Aku telah tentangi kehendak suhu, tapi aku puas, kalau aku tidak datang, suhu pasti jadi korban kecurangannya Gouw Po! Aku percaya, biar dilahir ia tak senang, suhu tentunya puas melihat caranya aku berkelahi."

   Hari sudah menjadi gelap ketika Tek Hui sampai di Thian-tay Piauw-tiam.

   Lampu dan lilin telah dinyalakan.

   Selagi lewat di ruangan besar, ia dengar 48 suara berisik dari Gouw Po dan orang-orangnya.

   Nyata mereka telah pulang lebih dahulu dan terus adakan pesta, karena mereka anggap mereka sudah menang.

   Sebab Pheng Jie kena dijengeki dan mundur sendiri.

   Bukan main herannya Tek Hui.

   "Benar aneh!"

   Pikir dia.

   "Mereka yang kalah tapi sekarang mereka yang berpesta besar! Apa artinya ini? Apa mereka bukannya sengaja, akan kocok kita lebih jauh? Baik! Tunggu saja nanti! Tunggu sampai nanti suhu sudah tidak usil pula terhadap aku, kita nanti bertemu pula!"

   Ia jalan terus ke kamarnya, pedangnya ia gantung. Ia pun segera nyalahkan api. Ia tetap mendongkol. Tidak lama, Pheng Jie pulang.

   "Suhu baru pulang,"

   Tek Hui sambut gurunya sambil ia tertawa.

   "Baik suhu rebahkan diri."

   Tapi Pheng Jie goyang tangan pada muridnya itu.

   "Sejak hari ini, kita bukan lagi guru dan murid!"

   Ia kata. Tek Hui melongo mengawasi guru itu.

   "Ya, kita bukan lagi guru dan muriid!"

   Pheng Jie tegaskan.

   "Kau jangan sesalkan aku! Kau telah tidak turut perkataanku, kau bikin orang tertawakan aku, sebab aku dipandang lenyapkan kepercayaan! Aku malu. Aku mau lantas pergi! Tadi aku telah ketemu Gouw Po, aku mengaku bahwa aku sudah kalah, anggap saja dengan tumbaknya ia telah lemparkan aku! Mulai malam ini aku tidak akan tinggal di kamar ini lagi!" 49 Tek Hui bukan main jengkelnya, air mukanya guram sekali.

   "Suhu, jangan gusar"

   Ia bilang.

   "Suhu, ampuni aku ini sekali, aku mengaku salah....."

   Pheng Jie goyangi tangan.

   "Tidak, kau tidak salah,"

   Kata ia.

   "Kau melulu bikin aku lenyapkan kepercayaan dan aku tidak ada muka akan ketemui orang lagi!"

   "Kalau suhu mau pergi, ijinkan aku ikut......."

   Kata Tek Hui. Mau atau tidak, air matanya meleleh turun.

   "Suhu, aku ingin ikut kau......"

   Mendadakan, Pheng Jie tertawa berkakakan. Tapi sekejap kemudian, mukanya berubah, merah padam tanda kegusaran.

   "Apakah kau ingin aku tetap piara kau? Tidak. Kau sudah besar, kau mesti belajar berdiri sendiri! Dengan selamanya ikuti aku, apa jadinya? Kau mesti cari daya sendiri, untuk hidupmu atau kau kembali pada pamanmu, membawa onta pula! Kau bisa lakukan apa saja, untuk piara dirimu! Cuma kau mesti dengar pesanku! Pertama-tama, kau tidak boleh mencuri! Kedua, kau tidak boleh cari lagi Han Kim Kong, akan ambil uang atas namaku! Ketiga, kau boleh lakukan apa kau suka, asal yang tak menodakan nama baikku!"

   Sehabis kata begitu, Pheng Jie lantas bebenah, setelah beres ia bertindak keluar. Tek Hui, yang sedari tadi diam saja mengawasi guru itu, lantas maju, akan pegang tangannya guru itu.

   "Suhu, aku ikut kau.........."

   Ia kata. 50

   "Siapa mau kau ikuti aku?"

   Guru itu kata sambil melotot.

   "Kalau kau ikut aku, sekeluarnya dari pintu depan, aku nanti bunuh kau!"

   Tek Hui kaget, tetapi ia tekuk lututnya.

   "Suhu..............."

   Tapi guru itu mendupak, seraya membentak.

   "Kedua lututmu begini lemas, kau bukannya muridku! Untuk selanjutnya, kita berdua tidak boleh ketemu lagi satu pada lain!"

   Dan ia lantas bertindak terus. Tek Hui merayap bangun, air matanya meleleh.

   "Suhu sangat keras kepala, baiklah,"

   Ia pikir akhirnya.

   "Percuma aku meratap pada suhu, sebab benar seperti katanya, aku sudah besar, aku mesti berdiri sendiri! Semua ini gara-garanya Gouw Po, baik aku cari piauwsu celaka itu! Ia sudah sambar pedangnya, ketika ia berbalik pikir.

   "Baru suhu larang aku cemarkan namanya, kenapa sekarang aku mesti cari Gouw Po? Aku mesti sabar! Aku tidak mau berlalu dari Pak-khia, nanti juga datang ketika yang baik!"

   Ia lepaskan pedangnya.

   "Suhu sudah pergi, aku juga mesti pergi dari sini,"

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia pikir, sesudah pikirannya jadi lebih sabar.

   "Kalau aku tetap berdiam di sini, Gouw Po tidak akan bisa ganggu aku tetapi buat apa membandel? Ini pun bisa merusak nama suhu. Ya, Twie-hun-chio Gouw Po, lain kali saja kita nanti bikin perhitungan!"

   Ia lantas benahkan buntalannya, berikut uang yang Pheng Jie tinggalkan. Tempo ia bertindak keluar kamar, kedua tangannya menenteng pedang dan buntalan, air matanya meleleh pula. 51

   "Eh, apa perlunya ini!"

   Tiba-tiba ia kata seorang diri. Dan air matanya lantas saja berhenti.

   "Kenapa aku mesti menangis? Apa air matanya satu laki-laki gampang-gampang dikucurkan? Tidak!"

   Maka ia terus keluar dari kamarnya. Ia sekarang ingat buat cari pondokan.

   "Ke mana aku mesti pergi?"

   Ia tanya dirinya sendiri.

   "Aku tak punya sahabat. Aku tidak mau cari sahabat suhu. Baik aku pergi ke depan, pada si tukang kuwe she Thio."

   Nyata di warung kuwe Tek Hui dapat sambutan hangat, yang ia tidak sangka-sangka, semua orang tahu hal ia dan gurunya dan semua orang itu pada merasa tidak puas.

   "Samperi saja, aku nanti bantu kau!"

   Kata Thio Put Ceng, yang tinggal di situ.

   "Aku rasa Pheng Jie sudah sampai hari naasnya"

   Kata Tan Moa-cu.

   "Bagaimana ia boleh marahkan muridnya, sedang si murid telah bantu dia, malah dia telah ditolong dari bahaya.....!"

   "Nah, kau tinggallah sama aku di sini"

   Kata Thio si tua.

   "Perlahan-lahan saja kau cari pekerjaan. Umpama kau tidak berhasil, kau boleh pilih nanti, kau pulang akan bawa onta lagi atau kau magang sama kita di sini, belajar membikin kuwe. Jangan kau kuatir, asal kau suka bantu kita, kau akan dapat makan secukupnya, tidak apa kau punya uang atau tidak, itu perkara kecil."

   Tek Hui girang berbareng terharu, ia terima tawaran itu sambil menghaturkan terima kasih. Karena ia sudah dapat ketetapan, ia kembali ke 52 piauw-tiam, akan kasih tahu wakil Cie Ciangkui tentang niatannya untuk pindah. Ia kata.

   "Suhu sudah pindah dari sini, aku juga mau pindah, tetapi aku hendak jelaskan, aku pindah bukan karena takut atau sudah diusir oleh Gouw Po! Dia tak nanti punyakan kepandaian akan usir kami! Kami mau keluar dengan sengaja!"

   Wakilnya Cie Ciangkui manggut.

   Ia sudah tahu duduknya perkara dan ia takuti pengaruhnya Gouw Po, maka itu ia antap pemuda itu pindah.

   Maka dengan bawa pedang dan buntalannya, ia lantas pergi ke warung kuwenya si orang she Thio.

   Dengan tinggal di warung kuwe, Tek Hui kenal banyak orang, tetapi di sini ia tidak bisa merasa ketenangan seperti di piauw-tiam, di mana suasana tenteram.

   Di sini setiap waktu ada datang orang belanja dan suaranya berisik, dan kamar pun sempit.

   Benar hawanya tidak panas tetapi ia sukar berlatih di situ, apalupa buat lompat tinggi dan naik ke atas genteng, sedang hawa bau dan di waktu tidur, ia mesti berdesak-desakan dengan Tan Moa-cu.

   Selama menjadi si tukang arang, Tek Hui biasa tidur sembarangan, tetapi selama ia ikut Pheng Jie, cara hidupnya telah berubah, maka sekarang, merasai kesukaran ini, ia bisa derita itu.

   Ia merasa seperti baru tidur sekejap, lantas pada tengah malam, ia sudah mesti mendusin, karena Thio Put Ceng, Phang Toa dan muridnya Phang Toa ini sudah pada bangun, akan lantas kerja membikin kuwe dan lain-lain, terus mereka berisik sampai terang tanah.

   53 Asap bikin Tek Hui sukar buka mata dan berulang-ulang ia batuk-batuk.

   Kemudian, datanglah banyak pembeli, dengan suaranya yang berisik juga, atau orang kongkouw sama Thio Put Ceng yang gerece.

   Sebagai orang tahu diri, Tek Hui tidak berani terus rebahkan diri, sebagaimana dia merdeka akan lakukan di dalam piauw-tiam.

   Untuk dahar kuwe dan lain-lain, ia pun rogoh sakunya buat membayar, karena ia mau pegang nama, sedang sebenarnya, Thio Put Ceng, Tan Moa-cu, semua bilang ia tak usah bayar.

   Ia senggang, dan kalau dia lihat Gouw Po atau orang-orang lain dari piauw-tiam di depan, ia mendongkol bukan main, matanya jadi merah.

   Ia terkenang pada gurunya, ia coba cari keterangan, tetapi tak ada orang yang ketahui ke mana gurunya sudah pergi.

   Pheng Jie telah menghilang.

   Satu kali Lauw Toa Put-cu telah datang cari keponakannya.

   Mula-mula ia ini pergi ke piauw-tiam, di sana orang kasi ia keterangan di mana keponakannya berdiam, maka ia menyusul ke warung kuwe.

   Melihat pamannya itu, Tek Hui sangat bersusah hati.

   Paman ini sedang terganggu kesehatannya dan juga sakunya.

   Semua onta telah aku jual, aku sekarang hidup membantu di warung thee, dengan nyalahkan api dan seduh thee, buat dapati makan dua kali sehari,"

   Kata paman itu. Meski demikian, Toa Put-cu tidak minta uang. Hanya, di waktu mau pulang, paman ini kata.

   "Baiklah satu kali kau pulang. Tetangga kita si Tio punya lima puluh ekor lebih onta dan ia hendak cari 54 kuli, kau bertenaga besar, kau tentu bisa dipakai. Kerjaan kita, begitu mulanya, begitu juga akhirnya. Pheng Jie ajarkan kau sedikit ilmu silat, sekarang ia tidak gubris lagi padamu, maka apa dengan bugee kau, kau bisa cari makan? Kau tidak bisa terus tinggal nganggur di sini, kau pun tidak jualan."

   Tek Hui tidak kata apa-apa atas ucapan paman itu yang berlalunya ia awasi dengan hati pepat. Tapi sekarang ia jadi dapat pikiran.

   "Aku mesti cari piauw-tiam, di mana aku harus bekerja."

   Pikir ia.

   Ia tahu di Pak-khia ada puluhan piauw-tiam dan sahabat gurunya pun banyak, cuma dulu-dulunya ia tidak pernah bergaul sama mereka itu, tapi sekarang terpaksa ia hendak coba cari mereka itu.

   Untuk permulaan, ia puas asal dapat tempat dan makan.

   Tapi Thie-tian-ong Sie Ngo, si Raja Langit Besi dari Lie-hap Piuw-tiam, kata padanya.

   "Sekarang ini semua piauw-tiam lagi ngalami kesukaran, yang sudah jatuh lain perkara, yang masih bekerja pun tidak bisa cari pegawai baru."

   Dan Tong Kim Houw dari Hoat-wan Piauw-tiam kata.

   "Kau tidak bisa! Kau belum lulus dari perguruan! Pelajaranmu belum sempurna, bagaimana kau bisa masuk ke dalam pintu piauw-tiam?"

   Ketika Tek Hui cari Kian-mo Say-cu Ciu Toa Cay, si Singa Rintik, paman ini justeru tegur padanya, katanya.

   "Bagus benar! Sudah kau bikin malu gurumu, sekarang kau datang cari aku, buat kemudian bikin 55 aku juga mendapat muka tak terang! Jangan kata aku memangnya tidak mau cari kau, taruh kau cari aku, aku pun tidak mau perdulikan kau! Lebih baik kau cari Twie-hun-chio Gouw Po, akan musuhkan padanya, akan tanam bibit permusuhan hebat! Gouw Po itu ada bersama-sama Thay-swee-to Han Po, si Golok Dato, Poan-koan-pit Siauw Lo Cong, Hek-houw-pian Ciauw Tay, Siang-kan Leng-koan Tan Hong, Hek-uy-tiong Ma Hong dan Kim-gan Ya-cee. Mereka ini semua saudara sehidup semati dari Gouw Po, maka satu kali kau dapat salah dari Gouw Po, lantas kau dapat salah dari mereka itu semua! Gurumu sendiri tidak bisa tancap kaki, dia sudah kabur! Maka itu, bukannya kau turut gurumu kabur, apa perlunya kau masih berdiam lama- lama di kota ini? Kau berniat jadi piauwsu? Hm! Ah, bocah cilik, kau keliru, janganlah kau pikir yang bukan-bukan!"

   Bukan main mendeluhnya Tek Hui, hampir ia tak dapat kendalikan diri.

   Dengan tidak kata apa-apa, ia balik kemball ke warung kuwe Thio Ciangkui.

   Di sini, di luar dugaannya ia juga tak dapat tinggal terlebih lama lagi.

   Sebab tadi, selagi ia keluar, Gouw Po sudah datangi Thio Put Ceng dengan kata.

   "Kau kasih Lauw Tek Hui tinggal di sini, di hadapan piauw-tiam, itu sama saja seperti kau juga hendak satrukan aku! Sekarang aku kasih tahu, dengan segera kau mesti usir bocah itu, jikalau tidak, dengan tumbakku, aku nanti ubrak-abrik warungmu ini!" 56 Sehabis berikan ancaman itu, Gouw Po lantas berlalu. Thio Put Ceng adalah seorang yang berani.

   "Biar dia ubrak-abrik warungku!"

   Kata ia dengan mendongkol, sebab buat lawan Twie-hun-chio, ia tidak ungkulan.

   "Biar dia ganggu aku, aku nanti pergi pada pembesar negeri, akan mengadu, akan minta keadilan! Aku nanti pertaruhkan jiwaku! Kau, Tek Hui, kau boleh tinggal tetap sama aku!"

   Tapi di sebelah Thio Ciangkui, Phang Toa dan sahabatnya si orang tua she Gak, ketakutan, malah Phang Toa sudah lantas mau bebenah, akan angkat kaki, supaya ia tidak usah saksikan Gouw Po nanti datang serbu warung itu.

   Menampak demikian, Tek Hui, yang bisa berpikir, lantas ambil putusannya.

   Ia anggap adalah tidak seharusnya karena dia, lain orang mesti mendapat susah, sedang orang itu baik hati.

   Maka ia mesti ambil putusan untuk mengalah.

   Buat dia tidak ada halangannya andaikata ia mesti rebah di tengah jalan di waktu malam.

   Tapi Tan Moa-cu tidak tega akan antap pemuda ini terlantar, ia telah berdaya mencarikan pondokan, ialah sebuah kuil tua, kuil Kwan-tee-bio, tidak jauh dari situ.

   Di situ, beberapa pendopo oleh imam penjaganya sengaja disewakan pada beberapa 57 pedagang kecil, yang hidup bercampur baur, sebab mereka asal dari luar kota.

   Setiap tahun di musim Ciu mereka datang ke Pak-khia, untuk berdagang rupa-rupa.

   dan setiap musim Cun mereka pulang ke masing-masing desanya buat bercocok tanam, sampai lain musim Ciu, baru mereka merantau pula ke kota-raja.

   Yang dijual kebanyakan ada tauwhu rupa-rupa, ikan asap, mie dan put-put, semua makanan yang penduduk Pak-khia doyan.

   Mereka pun semua orang- orang lelaki sebatang kara, tidak ada orang perempuannya.

   Di sini Tek Hui diajar kenal sama Kang Su, penjual ikan asap, yang tinggal sama-sama tujuh kawannya, ia bayar sewa dua bun setiap harinya, sebab kamar itu Kang Su yang borong.

   Tempat tidak resik, tapi Tek Hui penuju dengan pekarangan yang lebar dan genteng bio yang kuat, hingga ia boleh loncat naik dan turun di situ dengan merdeka.

   Hanya pintu bio, siang dan malam, tidak pernah dikunci, sebab ada pedagang-pedagang yang jualan sampai jauh malam.

   Sesudah dapat pondokan, kesukaran Tek Hui lenyap.

   Sekarang ia merasai keputusan uang, sampai dahar ia kurangi.

   Ia tetap tidak mau unjuk bahwa ia sebenarnya melarat...

   Kota-raja tetap ramai, tambah ramai.*** 58 IV Di antara lima kawannya, Siang Kiu adalah paling tua, usianya sudah enam puluh lebih.

   Katanya ia berdagang loo-tauwhu sejak umur belasan tahun, bahwa ia pernah menikah dan punya anak, bahwa ia pernah beruntung tapi jatuh akan akhirnya sekarang ia berdagang seorang diri, setiap hari ia keluar memikul keranjangnya.

   "Jangan lihat Siang Kiu dari macamnya saja,"

   Kata seorang.

   "Dia punya gadis lebih indah daripada bunga yang menjadi gundiknya seorang hartawan besar, dan anak itu suka datang mengantari uang. Tegasnya, Siang Kiu hidup lebih senang daripada kita!"

   Tek Hui dengar omongan itu, ia tak begitu perhatikan.

   Ia lebih perhatikan makannya, juga loo- tauwhu, yang ia doyan.

   Itu adalah tauwhu yang direbus lembek atau digoreng dengan banyak campurannya, kecap, minyak, sayuran dan lain-lain.

   Sesudah mundur sampai di bio tua, Tek Hui masih saja dapat gangguan.

   Pada suatu hari, ia didatangi pegawai piauw-tiam yang ia kenal.

   Dia ini datang atas titahnya Gouw Po.

   Dia kata.

   "Siauw Lauw, jangan kau tinggal di sini! Sekalipun gurumu, karena tidak sanggup layani Gouw Po, sudah angkat kaki! 59 Kenapa mesti tetap berdiam di sini, merupakan duri di matanya Twie-hun-chio? Kau tidak boleh harap apa- apa lagi! Sekarang Thian-tay Piauw-tiam adalah seperti kepunyaan Gouw Po seorang, dia telah undang beberapa orang yang gagah! Bagaimana kau bisa main gila terhadap dia? Aku kasih nasehat pada kau, baik kau pergi merantau, ke mana saja! Aku kasih tahu, Gouw Po tidak puas yang kau masih tinggal di sini, ia kandung maksud jelek terhadap dirimu!"

   Mendengar itu, Tek Hui manggut-manggut dan bersenyum.

   "Balklah, lagi dua hari aku nanti pergi dari sini!"

   Ia berikan jawabannya.

   "Selanjutnya aku barangkali tidak akan tinggal lagi di Pak-khia ini."

   "Benar!"

   Kata si sahabat.

   "Memang, penghidupan di lain tempat pun tidak kekurangan. Umpama Pheng Jie ya, ia barangkall sudah pergi ke In-lam Selatan atau Utara dan barangkali sudah beruntung! Pergi kau merantau, selang delapan atau sepuluh tahun, baru kau kembali ke sini, itu waktu barangkaii kau sudah jadi lebih mewah daripada Han Kim Kong! Hanya, sebisa-bisa kau mesti menyingkir dari Twie-hun-chio Gouw Po. Ia benar-benar tak boleh dibuat permainan!"

   Kembali Tek Hui manggut. Ia nampaknya jadi jinak, seumpama onta. Ketika si sahabat pergi, ia menghela napas tapi akhirnya ia kata seorang diri.

   "Suhu, aku tidak bisa dengar lagi perkataan kau! Aku 60 mesti bikin perhitungan sama Twie-hun-chio Gouw Po! Aku mestl bikin perhitungan juga sama segala okpa di kota ini!"

   Lantas ia bertindak keluar dari bio, akan kemudian dengar Thian Tay Piauw Tiam akan lakukan perjalanan ke Thio-kee-kauw dan yang diangkat adalah uang atau barang berharga besar, terdiri dari sejumlah kereta yang muat juga si saudagar dan pembesar negeri, bahwa piauw itu telah diperebuti oleh beberapa piauw-tiam, tetapi yang dapat adalah Gouw Po yang berpengaruh.

   Orang kata, Gouw Po akan jadi berharta besar karena angkut piauw itu.

   Tek Hui dengar orang cerita selagi ia makan kuwe, ia terus dahar sampai kenyang dan ketika ia pulang, ia pun membawa bekal.

   Malam itu ia hampir tidak bisa tidur betul, karena hebatnya kerjanya jantungnya.

   Besoknya pagi-pagi ia mendusin buat terus hajar habis dua mangkok loo-tauwhu dari Siang Kiu yang kebetulan belum keluar, sedang kuwe bekalnya tadi sore, ia bikin habis juga.

   Ia tidak bayar uangnya Siang Kiu, ia kata uangnya tinggal dua bun dan itu untuk bayar sewa kamar.

   "Tidak apa"

   Kata Siang Kiu, yang hatinya baik.

   "kau boleh bayar kapan saja, bila kau punya uang!"

   Maka Itu Tek Hua bersyukur pada empeh pedagang itu.

   61 Sekarang Tek Hui rasa tubuhnya sehat, semangatnya terbangun.

   Ia gusar kapan ia ingat Gouw Po yang jahat, yang telah ganggu gurunya dan dia sendiri.

   Dengan bawa pedangnya, ia bertindak keluar dari kuil tua dan menuju langsung ke Thian-tay Piauw- tiam.

   Matahari baru saja keluar, sang waktu masih pagi, tetapi di depan piauw-tiam sudah ramai, karena hari itu Gouw Po akan antar piauw istimewa berharga, cuma buat pegang nama, ia tidak pergi sendiri.

   Ia mau keluar sendiri kalau nanti ada piauw yang jauh terlebih besar.

   Sekarang ia utus Thay-swee-too Han Pa, suteenya dan engko angkat Say-uy-tiong Ma Hong, serta seorang undangan istimewa dari Tay-tong-hu ialah Lo Cong yang terkenal, sebab dia ini masih muda, tubuhnya kate dampak, tapi di kalangan Kangouw sudah dipanggil Siauw Lo Cong.

   Sedang gegamannya adalah istimewa juga, ialah poan-koan- pit.

   Dia ini adalah yang dibuat andalan.

   Cuma waktu itu Lo Cong belum muncul, tadi malam ia nginap di rumah pelesiran dan kesiangan.

   Belasan kereta kosong lagi berbaris, tinggal tunggu Lo Cong, muatannya akan dikasih naik.

   Selain tukang-tukang kereta berebut mulut tentang muatan mereka, yang mesti dibagi rata, juga tukang-tukang kuwe dan lain-lain repot layani orang belanja.

   Katanya lerotan akan berangkat pada jam sembilan, mulai dari depan piauw-chung Lie Tong 62 Seng, tetapi waktu itu jam enam orang sudah berkumpul.

   Semua orang piauw-tiam, dari piauwsu sampai pegawai biasa, dandan dengan rapi dan mentereng kellhatannya, dan ikat pinggang mereka menunjukkan mereka adalah orang-orang yang mengerti silat.

   Ketika Tek Hui, dari jurusan barat, mendatangi seorang diri, sudah lantas ada yang lihat padanya.

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eh, bocah itu toh belum mampus kelaparan!"

   Kata seorang sambil menuding, sembari tertawa tawar.

   "Katanya dalam satu hari dia cuma makan satu kali! Heran, orang makan satu kali satu hari, tetapi tidak lantas mati!"

   "Tapi, eh, dia bawa-bawa pedang!"

   Kata yang lain.

   "Mau apa dia bawa-bawa-pedang? Apa karena kelaparan, dia jadi edan, dia jadi mau cari musuh? Kalau benar, kita harus hati-hati! bocah itu besar tenaganya!"

   Lantas ada pegawai yang mau lari ke dalam, untuk kasih kabar pada Gouw Po.

   "Eh, apa kau mau?"

   Mencegah kawannya.

   "Mustahil buat urusan begini kecil kita mesti mengabarkan pada Gouw Toaya? Lihat saja, apa dia bisa bikin!"

   Selama itu, Tek Hui sudah sampai di depan pintu. 63

   "Eh, Siauw Lauw, pagi-pagi kau sudah bangun?"

   Seorang segera menegur.

   "Apa kau mau makan bubur?"

   Seperti orang tuli, Tek Hui bertindak terus, akan masuk ke dalam.

   Menampak demikian, dua piauwsu pembantu, yang lagi makan bubur, menunda mangkoknya untuk maju dan mencegah, Tetapi Tek Hui sambut mereka dengan bogem mentah dan dupakan dengan berbareng, maka kalau yang satu sempoyongan dengan muka bengkak, yang satunya lagi rubuh jumpalitan, keduanya dengan berbareng kasih dengar jeritan.

   "Aduh!"

   Di saat Tek Hui bertindak masuk, Thay-swee-too Han Pa, yang lihat padanya, segera sambar golok Pok- too dan maju menghalangi.

   "Eh, Lauw Tek Hui, kau mau apa?"

   Ia menegur.

   "Jangan kau masuk terus kalau kau perlu bicara, hayo bicara sama aku!"

   Tek Hui awasi piauwsu itu dengan mata melotot dan urat-urat di jidatnya pada melingkar.

   "Aku tidak mau bicara sama kau!"

   Ia jawab dengan kaku.

   "Aku mau cari Gouw Po! Suruh dia keluar, akan bayar hutangnya!"

   "Bilang dulu, Gouw Toaya hutang apa?"

   Tanya Han Pa. 64

   "Ia hutang banyak sekali!"

   Jawab Tek Hui dengan sengit. Ia telah hinakan kami guru dan murid! Ia telah bikin guruku pergi bahna mendongkol......"

   "Tapi gurumu, Pheng Jie, angkat kaki dengan suka sendiri!"

   Han Pa bilang.

   "Ia tidak bisa hidup pula di kotaraja ini! Ia tidak punya sangkutan dengan Gouw Toaya!"

   "Aku tinggal sama tukang kuwe di depan, kenapa Gouw Po ancam tukang kuwe itu suruh aku pindah!"

   Tanya Tek Hui.

   "Aku tinggal di bio, kenapa dia suruh orang kasih tahu aku supaya aku angkat kaki dari Pak-khia ini? Kau tahu, sampai di batas mana dia menghina aku!"

   Itu waktu Ma Hong berbangkit. Dia belum kenal Tek Hui yang ia melainkan dengar nama. Ia menyelak.

   "Tidak, kau keliru,"

   Ia kata.

   "Gouw Toaya repot setiap hari, dari pagi sampai malam, dia mana punya kesempatan akan ganggu kau! Aku harap kau tidak kasih dirimu kena orang justakan!"

   Tek Hui tidak perdulikan dua orang ini, ia mau maju terus.

   "Eh, tunggu!"

   Ma Hong membujuk pula.

   "Kau dengar aku. Segala urusan bisa didamaikan! Uang tiga sampal lima renceng, tidak ada artinya! Kami tentu bisa bantu kau!"

   Tapi Tek Hui menyemprot. 65

   "Siapa mau minta bantuan uangmu?!"

   Ia membentak.

   "Aku hendak cari Gouw Po, buat suruh dia bayar hutangnya padaku!"

   Gouw Po sebenarnya ada di dalam, ia lagi cuci muka, sedari tadi ia telah dengar orang bicara di luar, sampai waktu itu ia tak tahan sabar lagi. Ia buka pintu dan tongolkan kepalanya.

   "Binatang, kau kurang ajar!"

   Ia kasih dengar suaranya yang kasar.

   "Kau berani main gila terhadap aku? Hayo, mana orang! Gusur dia keluar!"

   Waktu itu dari dalam piauw-tiam keluar beberapa orang, di antaranya ada Hek-houw-pian Ciauw Tay dan Kim-gan Ya-cee Cian Lok, mereka semua bekal senjata, sedang dari luar pekarangan ada yang lain-lain, yang menutupi pintu dengan mereka berdiri berbaris di situ.

   Semua alat, senjata bersinar berkeredepan.

   Tek Hui adalah sendirian, dengan pedang di tangan ia tidak unjuk bahwa ia jeri.

   Sebaliknya ia jadi lebih sengit.

   "Gouw Po!"

   Dia berteriak.

   "kau bukannya laki- laki dan orang gagah! Kau mestinya keluar sendiri! Gouw Po, hayo keluar, kakek moyangmu hendak uji kau punya Twie-hun-chio!"

   Dari dalam kamarnya, Gouw Po kasih dengar tertawa mengejek.

   "Maju!"

   Ia mengasih titah. 66 Atas itu majulah delapan orang, yang mau kurung dan serang Tek Hul. Dia ini tidak takut, malah ia siap akan menyambut serangan. Justeru itu, Cie Ciangkui lari keluar.

   "Tahan, tahan!"

   Ia berteriak-teriak.

   "Jangan berkelahi! Tek Hui, mari ikut aku, aku mau bicara sama kau! Gurumu adalah sahabatku, ia telah bantu bukan sedikit padaku, maka aku menyesal selagi aku tidak ada di rumah, ia sudah berlalu. Sampai sekarang, aku masih cari dia. Tek Hui, keponakanku yang baik, mari ikut aku! Segala apa juga, kau boleh bicarakan sama aku, tetapi janganlah kau terbitkan onar di sini!"

   Mendengar begitu, Tek Hui manggut.

   "Baik!"

   Ia berkata, seraya ia terus menuding ke dalam rumah.

   "Twie-hun-chio Gouw Po, binatang, kau lekas keluar! Mari kita bikin perhitungan di luar!"

   Segera juga orang-orang yang memegat di pintu pada tertawa.

   "Eh, bocah ini pandai cari alasan,"

   Mereka kata pula dengan ejekan mereka.

   "Dia tahu dia tidak bisa bikin suatu apa, lantas dia mau ngeloyor sendirinya!"

   Meski demikian, mereka ini tidak rintangi pemuda itu, hingga Tek Hui bisa keluar dengan merdeka. Sampai di luar, ia berdiri di tengah jalan besar, tubuhnya ia putar akan hadapkan piau-tiam.

   "Gouw Po, binatang, mari sini!"

   Ia menantang pula. 67

   "Sudah, Tek Hui, sudah,"

   Kata pula Cie Ciangkui, yang belum masuk ke dalam.

   "Sekarang piauw belum berangkat, harap kau tidak bikin onar di sini."

   Sementara itu Thay-swee-too Han Pa menjadi sangat gusar, karena ialah yang bertanggung jawab atas piauw itu.

   "Piauw kita belum berangkat, kenapa datang binatang cilik ini yang ganggu kita!"

   Katanya dengan sengit.

   "Kalau terhadap dia seorang kita tidak berdaya, bagaimana kita mampu antar piauw ini? Tentu sesampainya di luaran, sembarang orang bisa hinakan kita! Apakah langganan-langganan kita bisa tenteram hatinya? Maka binatang ini mesti dihajar sampai mampus, tidak bisa lain!"

   Lantas dengan dia yang mulai, Han Pa memburu keluar.

   Tetapi Tek Hui juga tidak kurang sengitnya, tidak tunggu sampai musuh datang dekat padanya, ia memburu, akan menapaki Thay-swee-too dengan tusukan pedangnya! Han Pa bersenjata Pok-too, dengan goloknya itu, ia tangkis tusukan itu, tetapi ini melulu menambah sengitnya anak muda kita.

   Baru tiga jurus, Han Pa segera dapat kenyataan meski pedangnya Tek Hui enteng, tetapi tenaganya besar dan jalannya pedang pun berbahaya, maka mau atau tidak, ia lantas kena didesak, hingga ia jadi mundur sampai tiga atau empat tindak.

   68 Menampak demikian, Ciauw Tay maju dengan geraki ia punya pian besi dan Cian Lok dengan tumbak cagak kong-cee sudah siap akan membantu.

   Di mana mereka bertempur di tengah jalan besar, sekejap saja perhubungan jadi putus.

   Kendaraan-kendaraan pada mandek dan orang-orang yang jalan kaki pada berhenti akan terus menonton.

   Sebentaran saja, orang bekerumun ramai.

   Pertempuran di muka piauw-tiam memang hal lumrah dan lumrah juga kalau orang suka rnenonton.

   Begitulah, dari segala jurusan, orang datang berdesak-desak, sampai pun rombongan tukang kuwe pun muncul! Hek-houw Ciauw Tay, si Harimau Hitam, punya dada lebar dan pinggang ceking, dengan kulit muka hitam, ia nampaknya bengis, hingga julukannya surup sekali.

   Ia punya cit-ciat-kong-pian juga berat, dari beberapa puluh kati.

   Orang ngeri buat Tek Hui kalau orang bandingkan pian itu dengan pedang yang kecli dan enteng.

   Tapi Tek Hui tidak perdulikan senjata lawan yang berat, dengan kegesitan, dengan kepandaiannya, ia bisa melayani dengan leluasa.

   Selang empat jurus, Si Harimau Hitam yang romannya saja bengis, lantas jadi sibuk, hingga lenyaplah roman garangnya.

   Han Pa sudah lantas lihat keteternya kawan itu, ia segera maju pula akan membantu, dengan begitu, Tek Hui jadi kena dikerubuti.

   69 Tapi pemuda ini tidak takut, dengan kesebatan ia melayani, tubuhnya bergerak-gerak dengan cepat, seperti pedangnya berulang-ulang menangkis dan menikam atau membabat.

   Ia tak mau bikin musuh bisa rapati dia, adalah dia sendiri yang kadang-kadang merangsek secara hebat.

   Kim-gan Ya-cee Cian Lok penasaran melihat dua kawannya tidak berdaya, dengan geraki Sam-kouw Kong-cee, ia lantas lompat maju akan menerjang.

   Ia berlaku garang, cagaknya saban-saban ditujukan kepada tengorokan lawan.

   Dikepung bertiga, Tek Hui masih tak mau menyerah, malah kesengitannya jadi bertambah- tambah.

   Satu kali ia sampok kong-cee sampai terpental, di waktu mana cit-ciat kong-pian barengi menimpah ia.

   Ia tidak mau tangkis senjata berat ini, ia berkelit ke pinggir.

   Apa mau, pok-too dari Thay-swee- too Han Pa membacok pinggulnya, karena mana terpaksa ia mesti berkelit dengan mundur.

   Justeru itu Siang-kiam Leng-koan Tan Hong, yang berada di sebelah belakang dia, sudah membarengi menyerang padanya dengan sepasang pedangnya yang besar dan berat.

   Pedang yang satu menyamber penggang, pedang yang kedua mengarah pundak.

   Tapi Tek Hui ketahui datangnya bahaya, dengan loncat ke samping, ia loloskan diri dari sepasang pedang itu.

   70 Say-uy-tiong Ma Hong tidak senang melihat begitu banyak orang tidak mampu bikin suatu apa pada bocah itu.

   Lupa bahwa mengepung adalah perbuatan hina, ia pun maju, malah dengan cara membokong, dengan goloknya yang panjang dan besar, dengan tiba-tiba ia membacok selagi si "bocah"

   Itu lompat berkelit.

   Dengan jalan ini ia mau rintangkan orang menyingkir dari kepungan.

   Tapi Tek Hui tidak kasih dirinya dijadikan korban kecurangan itu.

   Ia berlaku awas dan tetap gesit, pedangnya bergerak-gerak dengan cepat tetapi rapi.

   Adalah di waktu itu, Twie-hun-chio Gouw Po muncul dengan tumbaknya di tangan.

   "Maju semua!"

   Ia berseru dalam kemurkaan.

   "Celaka betul! Mustahil kita semua tidak mampu bereskan satu bocah seperti ini?!"

   Tapi, meski ia perdengarkan seruannya, ia sendiri tidak loncat maju, ia cuma banting-banting kaki.

   Melihat keluarnya toa-piauw-tauw itu, Ma Hong semua jadi bersemangat, maka semua mereka lantas mendesak.

   Begitulah, golok, pian cagak, semua bergerak menyerang dari empat penjuru.

   Pertempuran itu adalah ganjil, karena satu orang dikepung beramai-ramai.

   "Tidak pantas! Tidak pantas!"

   Demikian suara cerita di kedua tepi jalanan. Sekalian penonton merasakan tak adilnya itu.

   "Tidak pantas! Curang!" 71 Dengan mata jelilatan, Gouw Po mengawasi ke sekitarnya, tetapi ia tak dapat lihat orang-orang yang mencela pihaknya itu, sebaliknya di antara kereta- kereta yang terhalang jalannya, ia kenalkan beberapa buah sebagai kepunyaannya sahabat-sahabatnya, seperti Tan Bun An dari Gie-su Gee-mui yang tinggal di luar kota, dan Louw Thian Hiong dari Keng-bu Piauw-tiam, hingga ia jadi jengah sendirinya.

   "Satu bocah tak ternama saja tidak bisa dirubuhkan, bagaimana kita bisa antar piauw dalam jumlah besar,"

   Demikian ia pikir.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kemudian ia lihat sebuah kereta, dalam mana duduk seorang nyonya muda, yang sedang empo anak kecil, dan ia kenalkan, nyonya itu adalah Ie-thay-thay dari Han Kim Kong, juga sahabatnya.

   Ia tak mengerti, kenapa nyonya itu bukan titahkan keretanya lekas disingkirkan, malah si nyonya sendiri turut nonton sambi singkap tenda.

   "Han Sha-ko tak punya aturan rumah tangga!"

   Demikian ia pikir.

   "Kenapa ia punya Ie-thay-thay berani tontonkan diri sebagai ini?"

   Gouw Po juga lihat bagaimana banyak mata ditujukan kepadanya, sedang dengan lewatnya sang tempo, tempo untuk berangkatnya piauw telah datang makin dekat, hingga pekerjaannya bisa gagal.

   Ia lantas jadi sibuk sendirinya.

   Dan kapan ia saksikan pertempuran, ia jadi mendeluh bukan main.

   Dengan goloknya, dengan 72 pedangnya, dengan cagaknya, Han Pa berlima masih tak mampu desak Tek Hui, jangan kata untuk membikin rubuh dia.

   Di pihak lain, muridnya Giok-bin Lo Cia Pheng Jie tetap unjuk kegesitan tubuhnya, kepesatan pedangnya, ketabahan hatinya yang mantap.

   "Tidak bisa tidak, aku mesti turun tangan sendiri,"

   Pikir ia akhirnya. Maka ia terus berseru.

   "Kau orang semua mundur! Kasihlah aku sendiri yang layani bocah ini!"

   Sehabis berseru, ia lantas maju.

   Majunya ini piauwsu besar adalah yang menyebabkan kehebatan.

   Selama ia masih jadi penonton, dengan muka merah padam karena jengahnya, pertempuran tetap berjalan dengan Tek Hui melainkan pertunjuki kepandaiannya, akan layani main-main pada lima musuhnya.

   Anak muda ini kuatir terbit perkara darah dan ia tak suka berurusan sama pembesar negeri.

   Tapi, begitu lekas ia lihat Gouw Pa maju, di sebelahnya insaf akan bahaya yang mengancam, darahnya pun naik.

   Itulah dia, musuh yang ia benci.

   Maka juga, ia lantas rubah caranya berkelahi.

   Dengan satu tikaman, Say-uy-tiong Ma Hong rubuh dengan golok besarnya terlepas dan terlempar jatuh, sebab ujung pedang telah mampir di dadanya yang kanan.

   Selagi ia rebah, si anak muda enjot tubuh akan loncat lewati dia, akan terjang Kim-gan Ya-cee 73 Cian Lok si Iblis Mata Mas.

   Tapi iblis ini, yang kaget, lompat lari bersama-sama gaetannya.

   Hek-houw Ciauw Tay lihat kawannya terancam bahaya, ia lompat maju, akan menghalangi Tek Hui, tetapi si "bocah yang sengit, justeru jadikan dia sebagai bulan-bulan.

   Dengan kecepatan luar biasa, pedangnya Tek Hui menyamber lengan kanan dari si Harimau hitam, atas mana, sembari menjerit Ciauw Tay rubuh dengan kong-piannya terlepas jatuh, tubuhnya sendiri rebah di jalan besar.

   Adalah saat itu, Twie-hun-chio Gouw Po sampai pada musuh si bocah, yang ia tidak lihat mata, yang ia terus serang dengan kalang-kabutan, akan akhirnya ujung "Tumbak Pengejar Roh"

   Menyamber ulu hatinya.

   Tek Hui lihat datangnya serangan, dengan pedangnya ia tangkis tumbak itu, setelah mana ia balas menikam.

   Ia unjuk kesebatan luar biasa, sebab ia tahu, ia berhadapan sama satu piauwsu yang sangat disohorkan, sedang di lain pihak, ia berlaku sangat sengit, karena ini adalah piauwsu yang ia paling benci.

   Gouw Po merasa tenaga orang yang besar, ia lantas melawan dengan sungguh-sungguh.

   Tapi celaka baginya, ia menghadapi pemuda sebagai si "anak kerbau yang tak kenal takut, yang tak takuti sekalipun harimau.

   Maka baru saja beberapa jurus ia sudah kena desak.

   74 Thay-swee-to Han Pa lihat toa-piauw-tauw itu keteter, ia lompat maju akan membantui, tetapi datangnya melulu membangkitkan hawa amarah Lauw Tek Hui, siapa dalam sengitnya lantas hajar ia dengan hebat.

   Dari itu, dua-tiga jurus kemudian si Golok Dato lantas saja terluka dan rubuh terguling.

   Ketika itu, Kim-gan Ya-cee Cian Lok sudah lari balik ke dalam "barisannya, ia tidak mau muncul pula akan membantu kawan-kawannya, dari itu di situ tinggal Siang-kiam Leng-koan Tan Hong yang masih membantui Gouw Po, siapa mesti berkelahi sungguh- sungguh akan belai pamornya.

   Biar bagaimana, Gouw Po dan Tan Hong bukan tandingan bagi Tek Hui, orang banyak lihat mereka keteter, maka orang banyak itu lantas saja bersurak- surak, mereka bertepuk-tepuk tangan sambil menjerit-jerit, hingga suara mereka merupakan suatu anjuran bagi si anak muda.

   Sekalipun sedang layani dua musuh, Tek Hui masih dapat kesempatan akan lihat si nyonya di atas kereta, buat kegirangannya, dia kenali Siauw Hong ialah nyonya yang dulu telah lemparkan buah apel kepadanya hingga semangatnya jadi bertambah- tambah bangun, hingga seperti dengan sendirinya, tenaganya telah bertambah.

   Ia putar pedangnya sampai angin menderu-deru, Gouw Po telah mundur ke belakang, hingga Tan Hong berada di depannya, 75

   "Kalau tidak sekarang aku balas sakit hati, aku mau tunggu kapan lagi?"

   Pikir Tek Hui.

   "Tiga orang sudah terluka, maka perkara tak dapat dicegah pula! Kenapa aku tak mau bikin Gouw Po juga terima bagiannya?"

   Lantas saja Tek Hui desak Gouw Po, siapa kendati keteter, masih bisa membela diri, tumbaknya masih bisa digerak-geraki akan lindungi tubuhnya dari ujung pedang.

   Ia jadi bingung, mana bahaya mengancam, mana ia tak bisa angkat kaki, kecuali kalau dia ingin namanya rubuh dengan sekejap.

   Adalah selagi Gouw Po bingung benar, bintang penolong datang untuk dia.

   Bintang itu adalah seorang muda umur kira-kira dua puluh, tubuhnya kecil tapi gesit, tangannya menyekal sepasang senjata luar biasa yang mirip dengan pit, terbikin dan besi, panjangnya dua kali lebih, roman anteronya sebagi ruyung atau toya pendek, ujungnya runcing.

   Tek Hui lihat senjata itu, yang ia duga adalah Poan-koan-pit, ia tidak takut.

   Tan Hong dan Gouw Po lantas mundur, akan kasih ketika buat anak muda ini maju.

   Dia ini adalah Poan-koan-pit Siauw Lo Cong dari Tay-tong, yang baharu pulang habis mondok di rumah pelesiran.

   Dia pulang buat tengok piauw, siapa tahu, ia saksikan pertempuran yang membawa kurugian bagi pihaknya, maka ia majukan diri.

   76 Tek Hui layani tandingan baru ini dengan tidak kata apa-apa.

   Ia tidak perduli yang Lo Cong adalah jago kesohor dari Tay-tong-hu dan jago muda buat di Utara.

   Ia gunai pedangnya akan tungkuli sepasang senjata istimewa dari musuh itu.

   Semua penonton jadi kagum, sampai mereka tercengang.

   Thio Put Ceng inginkan Tek Hui bisa tikam mata orang.

   Ia berada di pihaknya pemuda itu, seperti banyak orang lain, yang sedari tadi tidak puas sebab Tek Hui sendirian dikepung oleh banyak orang.

   Siauw Hong berkuatir sampai ia ingin turun dari keretanya, akan bantu anak muda itu, sayang ia lemah dan tak punya guna.

   Maka mukanya saja yang sebentar pucat dan sebentar merah.

   Gouw Po yang sekarang jadi penonton, menjadi kagum berbareng mendongkol dan berkuatir, sedang tadinya ia sangka dengan datangnya Lo Cong musuh dengan gampang bisa dirubuhkan atau dipukul mundur, siapa tahu berdua mereka ini merupakan tandingan setimpal.

   Coba Tek Hui tidak telah dikerubuti duluan, belum tahu apa Siauw Lo Cong bisa layani dia demikian seru.

   "Aku tidak sangka bocah ini begini gagah,"

   Pikir dia.

   "Selama ia ada di sini, tak dapat tidak, pintunya Thian-tay Piauw-tiam mesti ditutup, bakul nasiku mesti terbalik." 77 Lantas ia kumpuli semua orangnya, berikut yang tak mengerti silat.

   "Kau orang semua mesti kepung bocah itu, hajar ia sampai mampus, perkaranya aku yang tanggung!"

   Ia kata dengan sengit.

   Ia sendiri tapinya tetap tak mau maju.

   Sernua orang piauw-tiauw siapkan senjata, lantas mereka maju, tetapi mereka cuma maju, bukan menyerang, sebab untuk dekati Tek Hui, tidak ada satu yang nyalinya cukup besar.

   Mereka cuma bersikap mengepung.

   Gouw Po mendongkol bukan main, sampai ia menjerit-jerit.

   "Maju, maju!"

   Berseru ia, yang terpaksa turut maju juga.

   "Maju semua!"

   Lo Cong dan Tek Hui terus bertempur dengan seru, masih saja belum ada tanda-tanda bahwa salah satu mau menyerah kalah.

   Selagi serunya pertempuran, mendadakan ada rusuh di antara orang banyak yang lagi menonton dengan asik.

   Mereka ini pada menyingkir lari, diturut oleh beberapa kereta, yang berhenti di tengah jalan dan menyebabkan terhentinya perhubungan.

   Segera ternyata, bahwa Gie-su Gee-mui dari kota luar telah kirim sejumlah opas, mereka ini dengan gunai cambuk telah hajar kalang kabutan pada orang banyak, supaya mereka bisa masuk ke dalam kalangan.

   78 Siauw Lo Cong tidak mau jadi orang tawanan, dengan licin ia tinggalkan musuhnya akan lari ke dalam piauw-tiam.

   Tek Hui juga tidak bodoh, selagi musuh tinggalkan dia, dia juga segera angkat kaki akan menyingkir dari tempat berbahaya itu, maka sebentar kemudian, jalan besar di muka piauw-tiam lantas jadi sepi, malah tukang-tukang kereta piauw juga turut pada menyingkir, karena mereka kuatir kerembet- rembet, hingga ketinggalan saja kereta-kereta piauw yang masih kosong.

   Selagi Gouw Po sangat mendongkol karena gangguannya Lauw Tek Hui, lantas ia terima dua utusan yang dikirim oleh sekalian langganannya, yang piauwnya ia hendak antar.

   Kedua utusan ini kata.

   "Sekarang tidak jadi berangkat, lihat saja beberapa hari lagi! Piauw belum berangkat, di depan piauw-tiam sudah terbit onar! Semua orang punya hati jadi tidak tetap! Sudah begitu, Gouw Po pun repot menyambut hamba-hamba dari Gie-su Gee-mui, yang menanyakan duduknya perkara, hingga ia mesti undang mereka duduk di dalam. Semua orang yang luka, ialah Ma Hong, Ciauw Tay dan Han Pa, telah digotong ke dalam dan mereka diperlihatkan kepada hamba-hamba negeri itu.

   "Penyerang itu adalah Lauw Tek Hui, dia mesti ditangkap!"

   Kata Gouw Po pada sekalian hamba wet 79 itu.

   "Dia muridnya Pheng Jie, maka itu mestinya Pheng Jie masih ada di dalam kota ini dan dialah yang ojok- ojok muridnya akan terbitkan onar ini! Maka baik Pheng Jie dibekuk sekalian!"

   Tapi kepala polisi kata pada piauwsu ini.

   "Ini adalah perkara perkelahian, maka kalau perkara mau tarik panjang, kau orang mesti menghadap berbareng dua-dua pihak! Syukur tidak terjadi perkara jiwa, maka aku pikir perkara baik dibikin habis saja."

   Gouw Po bungkam, hatinya mendongkol bukan main.

   Siauw Lo Cong juga tidak mau perkara ditarik panjang, hanya kalau perlu, ia lebih suka tempur pula Tek Hui, karena ia penasaran yang ia tidak sanggup rubuhkan tandingan itu.

   Sampai di situ, semua hamba wet itu lantas berlalu.

   Tek Hui sendiri sudah lari pulang ke kuil, di sini hatinya berdebaran.

   Tentu saja sebentar ada hamba negeri yang datang buat tangkap aku,"

   Pikir ia.

   Ia pun tidak takut, ia hanya tidak puas dengan pertempuran barusan itu.

   Ia dapat kenyataan ia belum bisa rubuhkan Gouw Po, hingga Gouw Po tetap akan jadi piauwsu, hingga gurunya belum bisa kembali, sedang dia sendiri, dia terus tak mempunyai uang.

   


Pohon Kramat Karya Khu Lung Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung

Cari Blog Ini