Angkin Sulam Piauw Perak 6
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Bagian 6
Angkin Sulam Piauw Perak Karya dari Wang Du Lu
"Hayo, kau boleh bilang itu sekarang!"
Dengan ulur tangannya, nona Louw dorong si anak muda, dengan maksud suruh dia loncat turun, tetapi tubuhnya Lauw Tek Hui tidak bergeming, tubuh itu berdiri tegak di tempatnya berdiri.
Ketika itu, di bawah Thian Hiong sudah suruh isterinya masuk, katanya tidak apa-apa, kemudian ia menggape-gape ke atas genteng.
"Tek Hui, aku memang telah duga kau akan datang!"
Ia berkata.
"Tek Hui, aku memang sedang tunggui kau! Silahkan kau turun! Jangan kau omong keras-keras, nanti orang-orang di depan mendusin dan mereka akan datang menggerecok. Mari turun, mari kita bicara secara baik-baik. Kau seorang 406 kangouw, kau adalah saudaraku, marilah! Di sini aku sedia air thee, mari kita minum!"
Tek Hui seperti sedang pikir apa-apa, ia diam saja, sampai Po Go tolak pula tubuhnya.
"Kau turunlah, dan bicara sama pamanku!"
Kata nona ini.
"Takut apa? Kita tidak atur tentara bay-hok!"
Masih saja Tek Hui bersangsi, tapi setelah berpikir pula sekian lama, baru ia loncat turun.
Po Go menyusul dengan lantas.
Di atas meja, Tek Hui letaki cangkir yang tadi ia sambuti, dengan pedangnya ia tidak lepas ia kasih hormat pada Louw Thian Hiong.
"Silahkan duduk, di kursi ini,"
Thian Hiong mengundang.
"Apa kau baik? Jangan seejie, kita adalah sahabat satu pada lain. Kendati juga bukan sahabat, kalau ada orang kunjungi aku, aku girang sekali. Ini keponakanku, kau sudah kenal satu sama lain. Silahkan duduk! Apa kau gerah? Di sini ada kipas, kau boleh pakai."
Ia pun lekas tuangi thee. Po Go nampaknya likat, ia berdiri diam di samping pamannya. Tek Hui duduk di kursi, pedangnya tidak diletaki. Ia menghela napas.
"Aku datang tengah malam, inilah tidak pantas,"
Ia kata kemudian.
"Tapi aku punya urusan yang hendak dibicarakan sama kau." 407
"Silahkan bicara, Tek Hui, aku bersedia akan mendengari, sekali pun yang tak sedap bagi telinga,"
Kata tuan rumah.
"Jangan lupa, kita adalah orang- orang sendiri."
"Aku tidak sanggup lawan kau, aku tolol,"
Tek Hui kata.
"Kau justeru piauwsu istimewa bagi Pak-khia, hiantit,"
Thian Hiong memuji.
"Dalam hal pengalaman, kau memang masih kekurangan, tetapi untuk kegagahan, seorang diri kau sanggup layani semua piauwsu dari Thian-tay Piauw- tiam, di Ma Put-cu Nia kau tempur Poan-koan-pit! Seorang diri kau sudah antar piauw ke Thio-kee- kauw! Jikalau kau bilang kau tolol, kau terlalu merendahkan diri. Yang benar adalah kau terlalu jujur! Coba kau tidak jujur, mana aku kesudian belajar kenal sama kau? Mana aku hendak hormati padamu?"
Tek Hui angkat tangannya, untuk diulap-ulapkan.
"Mari kita bicara urusan kita,"
Ia kata.
"Kau harus tahu, yang sekarang aku utamakan adalah urusan guruku dan kedua baru urusan Siauw Hong."
"Pheng Jie itu, gurumu, ada sahabatku juga,"
Thian Hiong kata.
"Kau jangan kuatirkan perihal gurumu, kendati ia berada dalam penjara! Andaikata Pheng Jie sampai menderita di tempat tahanannya, percuma aku telah berusaha dua puluh tahun lebih di sini. Di kantor mana saja, aku bisa bicara, kalau tidak aku mesti merasa malu!" 408
"Bagaimana dengan Siauw Hong?"
Tek Hui tanya.
"Apa benar ia sudah mati? Atau ia masih hidup? Kau tahu di mana ia berada atau tidak?"
"Dibilang ia masih hidup, ia tapinya mirip dengan sudah mati!"
Kata Po Go, yang nyeletuk dari samping.
"Dibilang kami tahu di mana adanya dia, tetapi kami tidak mau mengasih tahu dan kau tak akan mampu cari dia!"
Tek Hui gusar hingga ia berbangkit, tetapi Thian Hiong segera samperi ia untuk menghalangi.
"Kau bicara sama aku, kau jangan perdulikan dia,"
Ia kata.
"Biar bagaimana ia tetap satu nona, seorang perempuan. Dan kita adalah sahabat-sahabat orang- orang kangouw. Aku kasih tahu, kau boleh tenangkan hati,"
Ia tambahkan.
"Nona Siauw Hong itu belum mati, bukannya kami yang sembunyikan dia, bukannya kami sengaja tak hendak beritahukan di mana ia berada sekarang. Hanya, Tek Hui, kau mesti jelaskan lagi sekali padaku tentang pembicaraan kita tadi pagi di Lo-thian-sie. Bukankah tadi kau telah berjanji, bahwa kalau Siauw Hong dapat diketemukan, kau akan minta keponakanku sebagai isterimu? Kau aku atau tidak janjimu itu?"
"Tentu saja aku akui!"
Sahut Tek Hui.
"Bagus kalau begitu!"
Kata Thian Hiong.
"Sekarang aku hendak tanya lagi, kapan kau hendak rayakan 409 pernikahanmu dan kapan kau hendak ketemui Siauw Hong?"
"Sekarang juga aku mau ketemui Siauw Hong."
"Andaikata kau ketemu Siauw Hong, lantas kau sangkal janjimu? Bagaimana?"
"Apa seorang yang langgar janji ada satu enghiong? Aku bukannya orang macam demikian! Sebenarnya, sesudah tahu Siauw Hong belum mati, tidak terlalu sukar untuk aku cari dia!"
"Tek Hui, jangan kau ngebul!"
Po Go membentak.
"Boleh jadi gampang untuk kau cari dia, tetapi kau mesti mengerti, di saat kau dapat cari dia, golokku pasti akan mendahului kau membikin ia menjadi dua potong! Kau akan cuma ketemui ia yang sudah mati, tidak ia yang masih hidup!"
"Sebenarnya ia bermusuh apakah dengan kau?"
Tanya Tek Hui, sambil bersenyum ewah.
"Ia bukanlah musuhku, kami tak bermusuhan sedikit juga!"
Sahut nona hitam manis itu.
"Tetapi aku mendongkol - kemendongkolan yang hampir bikin aku mati! Kenapakah dia - satu gundik orang - bikin kau sampai tergila-gila sebagai sekarang? Aku......"
Dan ia menangis.
"Dan kau telah bertunangan sama aku. Aku pernah tolongi dia, beberapa kali aku telah tolong kau sendiri, tetapi terhadap aku, kau tak punya perasaan sedikit jua!"
Tek Hui menjublek. 410
"Aku punya satu jalan,"
Thian Hiong menyelak pula.
"Kita atur begini saja, di saat kau terima Po Go sebagai bakal isterimu, di saat itu juga kau ketemu sama Siauw Hong."
Bukan main mendongkolnya Tek Hui.
Ia tahu terang, bahwa ia sedang dipermainkan oleh orang she Louw ini, yang telah berkonco sama keponakannya, akan pedayakan dan desak ia.
Terang Siauw Hong telah diculik dan disembunyikan oleh mereka ini, untuk paksa dia.
"Inilah hebat! Orang telah perhinakan aku! Entah di mana adanya Siauw Hong. Entah bagaimana hebat ia menderita."
Hampir Tek Hui tidak sanggup kendalikan diri lagi dan serang Thian Hiong, akan bikin mampus padanya. Keras niatannya akan bunuh Po Go juga.
"Tidak, sekarang belum waktunya buat berlaku nekat- nekatan,"
Kemudian ia bisa berpikir tenang.
"Kalau mereka bunuh Siauw Hong, jangan kata menolongi, tahu pun aku tidak. Kasihan kalau Siauw Hong sampai terbinasa secara demikian. Rupanya kita benar-benar tidak berjodoh."
Hampir Tek Hui kucurkan air mata, bahna jengkel.
"Baiklah!"
Kata ia kemudian.
"Sekarang carilah Siauw Hong, kasihlah ia bertemu sama aku, nanti aku lamar keponakanmu!"
Mendengar begitu, Po Go putar tubuhnya, entah malu, entah sangat girang. 411
"Jangan terlalu terburu, anak muda,"
Kata Thian Hiong, yang sabar luar biasa. Ia suruh Pui-ma tuang thee.
"Tek Hui, minum dulu. Aku kira aku boleh panggil kau sun-say. Aku ingin terangkan pada kau, dalam hal ini bukannya kami hendak paksa kau, hanya. Tapi sudah cukup rasanya, kita baik jangan ulur-ulur lebih jauh. Melainkan aku harap, sesudah kita menjadi sanak, kau berdua nanti hidup rukun dan manis sampai di hari tua! Untuk pernikahan, kita harus siap sedia, segala apa mesti serba baru, kita tidak boleh sembarangan saja, nanti orang tak pandang mata pada kita! Tentang engkoku, umpama kata ia tidak bisa datang sendiri dari Thio-kee-kauw, tetapi ensoku tentu bisa wakilkan ia. Ia pasti tidak bisa tidak sembarangan menikahkan anaknya perempuan yang cuma satu-satunya. Kami dua saudara sudah lama berusaha piauw, sahabat kami sangat banyak, kita mesti pegang derajad, dari itu kita mesti bikin pesta besar, kita mesti undang banyak orang, agar mereka semua orang tahu tentang perikatan jodoh yang sah ini. Untuk kau, cara besar- besaran ini pun ada baiknya, karena kau boleh sekalian berkenalan sama banyak orang."
Tek Hui mendelong, ia menghela napas.
"Guruku masih mendekam dalam penjara dan aku menikah!"
Ia kata.
"Kenapa kau bilang demikian?"
Tanya Thian hiong, yang merasa tidak puas.
"Gurumu toh cuma ajar silat 412 pada kau, bukannya ia mesti kuasai kau seumur hidup? Kau toh tahu, kalau sudah besar, anak lelaki dan perempuan, mesti menikah. Pun pernikahan adalah perkara baik, di dalam penjara kalau ia dengar ini, Pheng Jie tentu bergirang."
"Tetapi guruku suruh aku menikah sama Siauw Hong, sekarang aku mesti nikah orang lain."
"Kau terlalu kukuh, Tek Hui. Nikah siapa toh sama saja? Mustahil guru kau mesti pengaruhkan kau juga dalam urusan pernikahanmu? Aku kenal guru kau, juga adatnya. Ia tidak menikah seumur hidupnya, sebabnya ialah ia tidak pernah ketemu sama seorang perempuan gagah. Perempuan gagah adalah orang yang ia paling kagumi. Percaya aku, apabila ia dengar kau menikah, dan menikahnya sama gadisnya Louw Thian hiap, ia punya sahabat baik, ia pasti akan bergirang!"
Tek Hui tidak menjawab, ia diam saja. Po Go menjadi tidak sabar, ia putar tubuhnya.
"Cukup, sudah cukup!"
Ia kata dengan sengit.
"Siokhu, buat apa capekan lidah lagi? Buat ia, selaksa ucapan kau tidak sama dengan sepatah kata gurunya! Tidak bisa lain, kita mesti cari putusan! Aku pun tidak sudi menikah kalau karena ia terpaksa! Nah, Tek Hui, mari kita ambil putusan! Kau berani atau tidak?"
"Berani apa?"
Tek Hui jawab.
"Ke mana kau hendak pergi?" 413
"Ke gedung Gie-su! Bukan untuk bongkar penjara, hanya untuk ketemu guru kau! Kita mesti tanya putusan gurumu itu!"
"Aku setuju!"
Tek Hui berikan jawabannya.
"Jangan, jangan!"
Thian Hiong mencegah.
"Itulah berbahaya! Jangan kau bikin celaka pada Thio Tauw- jie!"
"Kalau sampai terbit onar, aku yang tanggung!"
Kata Tek Hui, seraya tepuk dada.
"Aku memang menyesal tak mampu gantikan guruku."
Thian Hiong kedipi mata pada keponakannya, tetapi Po Go tak ambil perduli, ia hanya lari ke dalam akan rapikan pakaiannya, akan tukar sepatu dengan yang lemas. Ia keluar pula dengan cepat.
"Tek Hui, hayo kita pergi!"
Ia mengajak.
"Tidak usah bawa- bawa pedangmu."
"Baik!"
Dan Tek Hui lempar pedangnya, sampai pedang itu terbitkan suara nyaring, la menoleh pada Thian Hiong.
"Aku akan kembali,"
Ia kasih tahu.
Sampai di situ, Tek Hui loncat naik ke atas genteng, ke mana Po Go sudah mendahului ia, maka sekejap mata, keduanya sudah menghilang di tempat gelap.
Thian Hiong menghela napas, ia rebahkan pula dirinya di kursi malas, sambil mengipas.
Po Go sementara itu telah jalan di depan, di jalanan ganggang yang gelap dan kecil, Tek Hui senantiasa mengintil di belakangnya.
Si nona agaknya kurang kenal jalanan, beberapa kali ia merandek atau 414 berhenti berlari, malah pun pernah ia cekal tangannya Tek Hui dan tanya dengan pelahan.
"Jalanan mana kita mesti ambil?"
Selagi begitu, mereka berdiri berendeng dekat sekali satu pada lain.
Di rambutnya, ia pakai bunga yang nyentang hidungnya Tek Hui.
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangannya menyekal keras, hawanya tangan itu panas.
Tek Hui kenal jalanan, maka ia adalah seumpama penunjuk.
Tidak lama mereka sampai di depan kantor Gie-su, yang besar dan terang bagian depannya, penjaga- penjaganya bersenjatakan golok dan thie-cu, yang meronda jalan mundar-mandir.
Rupa-rupanya di waktu begitu, Gie-su masih bekerja.
"Pergilah pulang,"
Kata Tek Hui.
"Tidak seharusnya kau datang ke tempat macam ini."
Mereka sembunyi di tembok yang gelap.
"Tapi kau bikin aku mendongkol!"
Kata si nona.
"Kalau begitu, kau tunggu di sini, nanti aku sendiri yang ketemui guruku,"
Tek Hui usulkan.
"Kenapa begitu? Tidak! Kita mesti pergi bersama- sama! Bagaimana kalau gurumu setuju, tetapi kau justakan aku? Kita mesti menyaksikan sendiri!"
Tek Hui menghela napas, ia didesak.
Buat ia, soal menikah adalah soal lain, yang penting adalah ia bisa melihat gurunya.
Po Go tidak mau kawan itu berdiam saja, ia lantas menarik ke suatu gang kecil di samping gedung.
Itu 415 adalah suatu gang buntu, yang ada pintunya, tetapi pintu itu terkunci keras.
"Mari!"
Kata ia, yang terus enjot tubuh, akan loncat naik ke tembok. Mau atau tidak, Tek Hui turut loncat naik. Tembok itu ditabur beling tetapi tidak menjadikan halangan bagi mereka. Tek Hui hendak bantu Po Go, tetapi nona ini menolak.
"Tak usah perdulikan aku!"
Ia kata, sambil menolak. Tek Hui merasa pasti, nona itu yang memakai sepatu lemas, sudah jadi korbannya beling.
"Sekarang kita loncat turun,"
Kata Po Go, sesampainya mereka di belakang.
"Tapi ingat, kita cari gurumu untuk dengar jawabannya, bukannya buat urusan lain lagi, maka setelah ketemu sama guru, kau tidak boleh ngobrol! Ingat, kita ada di kantor, kita jangan terbitkan onar!"
Habis kata begitu, nona Louw loncat turun.
Tek Hui mengikuti, dengan merasa kagum lihat kepandaiannya nona itu, yang rupanya kenal baik keadaan dalam penjara, boleh jadi berkat pengalamannya di kalangan Sungai-Telaga, selama si nona ikuti ayahnya mengurus piauw-tiam.
Boleh jadi sekali, nona ini, atau ia ikut ayahnya, pernah masuk ke dalam penjara untuk tolong sahabat atau tengok kenalan.
416 Penjara, atau lebih benar kamar-kamar tahanan, di kantor Gie-su adalah kecil.
Di sini orang biasa ditahan untuk beberapa hari saja, lantas orang dikirim ke penjara Heng-pou.
Penjagaan pun tidak keras.
Begitulah Po Go sampai di muka penjara, di mana ia hadapi trali besi.
Di jendela yang berjeruji besi Po Go bersuit dengan pelahan.
Suitan pertama ini tidak mengasih hasil, maka selang beberapa detik, ia perdengarkan yang kedua kali.
Sekali ini lantas ada tubuh yang berbangkit, yang menghampirkan jendela.
Kamar adalah gelap, sinar rembulan tidak ada, maka tubuh itu kelihatan sangat samar-samar, hingga sukar kenali orangnya.
Tetapi Tek Hui merasa, dia itu bukannya Pheng Jie, gurunya.
Di antara jeruji jendela, Po Go dan orang tahanan itu sudah mulai lantas bicara, suara mereka pelahan.
Tek Hui mendengari, tetapi ia kecele, karena ia tidak mengerti.
Berbareng dengan ini, ia mesti kagumi Po Go, sebab si nona telah bicara dengan bahasa rahasia dari kalangan Sungai-Telaga.
Ia sendiri belum sempat belajar itu dari gurunya.
Hanya belakangan, baru si nona omong dengan jelas.
"Kau pergi, kau bukannya sahabatku! Aku hanya cari Giok-bin Lo Cia Pheng Jie. Pergi bilangi, bahwa aku hendak bicara. Jangan kau tidak ladeni aku, aku bisa menyerbu ke dalam, akan paling dulu bunuh 417 mampus kau! Kau tidak kenal aku, tetapi aku tahu kau siapa!"
Orang tahanan itu tertawa.
"Nyatalah aku kebogehan!"
Demikian katanya.
"Kalau kau hendak minta tolong, bicaralah dengan baik, jangan keras-keras. Bukankah kita satu golongan?"
"Lekas pergi, jangan banyak omong!"
Po Go membentak.
"Jangan bikin aku hilang sabar, aku nanti hajar kau dengan piauw!"
Tek Hui tercengang untuk sikap orang yang garang itu.*** 418 XV Penjahat itu mendapat harapan.
Orang cari Pheng Jie, niscaya Pheng Jie itu hendak diajak minggat.
Ia anggap, kalau Pheng Jie kabur, ia bisa turut.
Maka dengan tidak hiraukan kegarangannya si nona, ia lantas cari Pheng Jie, untuk kasih tahu ada orang cari dia.
Sementara itu, Tek Hui merasa kuatir.
Ia telah dengar kentongan, suatu tanda bahwa orang ronda lagi mendatangi.
Juga dari kamar jaga, dengan tiba- tiba terdengar suara orang menyanyi.
"Dengan kuda meninggalkan daerah See-keng..................."
"Itu gurumu datang!"
Mendadak ia dengar suara Po Go di sampingnya.
"Lantas menanya! Habis kau tanya, kita mesti segera angkat kaki."
Tek Hui maju, ia pegangi jeruji jendela. Hampir di waktu itu, ia dengar suara dari dalam, suara yang lain daripada suara yang tadi, tetapi suara ini ia kenali.
"Siapa? Nona Louw? Oh, kau juga, Tek Hui? Mau apa kau datang kemari?"
Rupanya dari dalam orang bisa juga melihat tegas keluar.
"Lekas tanya, lekas!"
Po Go mendesak. Tek Hui berdiam, karena gurunya agak tertegun.
"Suhu.....,"
Ia kata, hatinya seperti hancur, air matanya 419 mengembang.
"Aku bukan gurumu! Lekas kau pergi!"
Sekonyong- konyong suara dari dalam.
"Pheng Jie-cek, Pheng Jie-cek!"
Berkata Po Go.
"Aku Po Go, gadisnya Thian Hiap, keponakannya Thian Hiong."
"Aku tahu,"
Kata Pheng Jie.
"Kau memang liehay, tetapi tidak seharusnya kau ajak Tek Hui kemari! Aku gurunya, aku didik Tek Hui sebagai orang jujur dan gagah, hingga ia tak usah membantu aku! Buat aku, akan kabur dari sini adalah gampang seperti aku balik telapakan tanganku! Tapi aku tidak mau berbuat demikian. Terima kasih untuk kebaikan kau! Sampaikan terima kasihku pada Thian Hiong!"
"Kau keliru anggap, Jie-cek!"
Kata Po Go.
"Aku ajak Tek Hui kemari untuk ia dengar sepatah kata dari kau."
"Ah! Urusan apakah itu?"
Po Go cekal tangannya Tek Hui dan pencet, kakinya pun membentur kaki orang, maksudnya adalah menganjurkan Tek Hui bicara.
"Suhu.....,"
Kata pula pemuda kita, yang bersangsi hingga si nona desak pula padanya.
"Suhu.....,"
Ia kata pula.
"Suhu, kau inginkan aku nikah Siauw Hong atau Po Go?"
Dari dalam terdengar suara pasti dari Pheng Jie.
"Kau nikah Siauw Hong! Kalau Siauw Hong mati, kau 420 tak boleh nikah pula orang lain! Selanjutnya kau mesti jadi orang baik-baik, jangan kau campur Thian Hiap dan Thian Hiong, jangan belajar jadi orang buruk! Aku sudah bicara, pergilah kau, lekas!"
Po Go begitu mendongkol dan gusar, hingga ia enjot tubuhnya, loncat naik ke atas genteng.
"Tapi, suhu, aku telah berjanji.......,"
Kata Tek Hui pula, tangannya masih menyekal jeruji. Suaranya lemah, sebagai orang menyesal. Suaranya Pheng Jie tidak ada, sebagai gantinya ada suara si orang tahanan tadi.
"Eh sahabat, lekaslah berdaya! Bikinlah aku bisa keluar dari sini! Mari kita bersahabat! Kalau kau merdeka, aku nanti curi seekor bebek, untuk mengantar pada kau! Lekas sahabat, aku telah bantu kau, maka kau harus bantu aku. Eh, kau hendak pergi?"
Dengan sebenarnya, Tek Hui telah undurkan diri.
Seperti di belakang ia, ia dengar suara kentongan makin dekat.
Tanda waktu telah berbunyi empat kali! Rembulan, yang guram sekali sudah doyong ke barat.
Maka Tek Hui mesti segera loncat naik ke atas genteng untuk melenyapkan diri.
Seharusnya Tek Hui berlalu dengan cepat, tetapi kesudahannya ia main ayal-ayalan.
Ia mesti perhatikan gang, supaya tidak kesasar, dan sambil berbuat begitu, ia celingkukan mencari Po Go, yang telah lenyap dari pemandangan matanya.
Ia menyesal 421 buat si nona, tetapi ia toh girang mendengar jawaban gurunya.
"Biar bagaimana, aku mesti kembali ke tempatnya Thian Hiong"
Ia pikir kemudian.
"sesudah cari Siauw Hong."
Maka di antara cuaca fajar, Tek Hui kembali ke Keng-bu Piauw-tiam.
Ia sampai buat terus loncati pekarangan, menuju langsung ke bagian belakang.
Ia memang tidak niat bikin piauwsu-piauwsu di sebelah depan ketahui kedatangannya.
Tempo ia sampai di tempat tadi, di situ tidak ada barang satu orang, hanya pedangnya yang menggeletak di jubin.
"Thian Hiong tentu sudah tidur,"
Pikir ia.
"Apa Po Go belum kembali?"
Ia memikir, baik ia bercokol di kursi akan tunggui Thian Hiong bangun, akan bicara sama piauwsu itu, tetapi belum ia sempat loncat turun, tiba-tiba dari depan datang lima atau enam orang sambil berlari- lari, suara kaki mereka sangat berisik.
"Eh, sahabat, mari turun!"
Kata mereka itu tiba- tiba, sambil menggape-gapekan tangan.
"Kami telah lihat bagaimana tadi kau loncat naik ke genteng!"
"Ya, baba mantu Tek Hui, kau turunlah!"
Kata yang lain.
"Ciangkui kami sudah tunggu kau lama juga, sampai ia tidak tahan dan pergi masuk tidur! Mari turun! Kami hendak makan nasi untuk sarapan pagi, sebab sebentar jam tujuh kami mesti antar piauw ke Thio-kee-kauw." 422 Berdiri diam di atas genteng, Tek Hui merasa tak enak, maka ia loncat turun, kasih dirinya dirubung oleh mereka itu.
"Tadi Ciangkui banguni kami,"
Kata pula beberapa piauwsu itu.
"Katanya baba mantu sedang berpergian dan akan lekas kembali, maka kami diperintah siap akan sambut dan temani kau."
Tek Hui pungut pedangnya, alisnya mengkerut.
"Apakah nona kau sudah pulang?"
Ia tanya.
"Aku tidak tahu"
Jawab yang satu.
"Nona kami baru datang kemarin sore, seterusnya kami tidak lihat ia keluar pula"
Jawab yang lain.
"Boleh jadi sekarang ia sedang tidur. Kalau kau nikah nona kami, Lauw Kouwya, kau akan jadi senang dan beruntung, dan piauw-tiam kita ini pasti akan makmur!"
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tek Hui tidak gubris ocehan itu.
"Coba kasih bangun ciangkuimu, aku hendak bicara sama dia"
Ia kata.
"Ciangkui baru masuk tidur, siapa berani panggil ia bangun? Kesehatannya memang kurang baik, malah pada tahun yang sudah ia hampir dapat sakit lumpuh. Ini sebabnya kenapa ia sudah tawar mengurus piauw- tiam! Kami sendiri - buat omong terus terang - bugee kami tidak ada artinya. Inilah sebabnya, Lauw Kouwya, maka ia ingin ambil mantu kau. Ciangkui sudah bilang, asal kau yang urus perusahaan ini, kemajuannya sudah pasti! Piauw-tiam ini selanjutnya 423 akan jadi kepunyaan kau sendiri, hingga kau pun akan jadi Ciangkui kami."
Tek Hui tidak suka dengar ocehan itu, tapi ia tidak bisa gusari sekalian piauwsu ini.
"Silahkan masuk, kouwya,"
Kata mereka, yang mengundang masuk ke thia dalam, ke kantor piauw- tiam.
Api bercahaya di situ.
Di pinggiran ada beberapa orang tidur rebah.
Justeru itu, di luar terdengar suara kereta datang, ada orang menggedor pintu, satu tanda benar orang lagi repot buat satu perjalanan.
Dua piauwsu, yang bertanggung jawab, romannya kucel.
Tek Hui percaya dua orang itu tidak berbugee tinggi.
Di antara surat- surat ada sepucuk yang pakai sampul besar yang dialamatkan pada Louw Thian Hiap.
"Ini adalah surat kegirangan!"
Kata mereka satu pada lain, sambil tertawa, ketika mereka baca alamatnya surat itu. Diam- diam mereka pun lirik pemuda kita. Tek Hui lihat bagaimana semua orang nampaknya kegirangan. Ia jadi merasa tak enak sendirinya.
"Salah satu di antara kau, tolong kasih tahu Ciangkui atau nona"
Ia lalu kata.
"Aku tidak perdulikan urusan lain, aku hanya hendak dapat tahu di mana beradanya Siauw Hong, habis perkara, kalau tidak aku akan tak mau mengerti". 424
"Siauw Hong!"
Mengulangi satu piauwsu.
"Siauw Hong gundiknya Han Kim Kong "
"Aku tahu Siauw Hong,"
Kata seorang lain.
"Aku pernah lihat ia. Ia sangat cantik! Cuma sayang ia berperuntungan bintang Pek-houw-chee, siapa dekati ia, nasibnya celaka. Lihat saja Siang Kiu, ayahnya! Lihat Han Kim Kong sendiri - satu Gie-cian Sie-wie, toh binasa terbunuh!"
"Dan orang-orang golongan kita, kaum piauwsu pun turut bernasib buruk,"
Kata orang lain lagi.
"Pheng Jie bunuh orang, ia mesti mengganti jiwa. Han Kim Kong sekarang habis rumah tangganya, sebab gundiknya, dengan menggondol barang-barang, kabur sebelum peti mati dikubur. Adiknya telah digondol oleh Gouw Po, yang terus kangkangi harta benda orang. Dan korban-korban lainnya lagi adalah Siang-kan Leng-kwan Tan Hong, Say-uy-tiong Ma Hong, Thong Loo-thayswee dan Lauw Lo Liong, yang terluka, sedang Toa Lo Tay mesti kehilangan jiwa. Gouw Po masuki pengaduan pada pembesar negeri, tetapi ia tidak mendesak atas ditangkapnya si penyerang atau pembunuh, ia sendiri tidak berikhtiar akan mencari balas, cuma ia sesumbar guna bikin pembalasan. Katanya ia telah undang Toa-too Ong dari Tit-lee Selatan."
"Belum tentu Toa-too Ong sudi datang kemari!"
Kata orang yang ke-empat, secara menjengeki.
"Gouw Po tidak bersahabat sama Toa-too Ong dan Toa-too 425 Ong sendiri adalah Hiap-kek dari lima propinsi di Utara, ia gagah dan berbudi, ia gemar menolong orang, sebaliknya ia benci orang-orang jahat. Batasnya Toa-too Ong mengantar barang di Utara cuma sampai di Po-teng, ia tidak pernah sampai ke Pak-khia ini, karena ia tidak mau bikin piauwsu- piauwsu di sini jadi kecil hati. Aku percaya, Gouw Po berjusta!"
"Tapi benar Gouw Po telah undang Toa-too Ong,"
Kata piauwsu yang hendak berangkat ke Thio-kee- kauw.
"Sekarang Gouw Po lagi atur perhubungan luas, ia sering pergi ke Gie-su Gee-mui. Semua orang polisi kenal baik padanya. Di luar ia manis, di dalam ia jahat. Kalau Toa-too Ong datang, tentu rahasianya akan terbuka. Kalau Toa-too Ong datang kita bisa terancam bahaya, juga baba mantu kita. Ia sangat liehay, Ciangkui kita sangat berkuatir terhadap ia. Kau tahu, sebab liehaynya Gouw Po tentu akan hasut Toa- too Ong, umpama bahwa Lauw Tek Hui bawa minggat gundiknya Han Kim Kong, bahwa Pheng Jie sengaja bunuh Han Kim Kong karena Tek Hui adalah muridnya, bahwa di Louw-kauw-kio Tek Hui sudah lukai banyak orang dan membunuh juga. Bisa jadi Toa-too Ong akan ditempel oleh pihak Lo dan kambrat-kambratnya untuk musuhkan baba mantu. Kita sendiri barangkali ke Thio-kee-kauw bukan melulu untuk menyampaikan kabar girang, hanya buat minta bala bantuan." 426 Obrolan berhenti ketika barang-barang santapan disajikan, semua orang lantas dahar. Tek Hui diundang bersantap sama- sama, ia menampik. Ia terus duduk diam, menunggui. Tapi ia menunggu dengan sia-sia, sampai siang baik Thian Hiong mau pun Po Go tidak ada yang muncul, waktu ia minta orang pergi ke dalam, orang itu balik dengan keterangan bahwa Thian Hiong sedang tidur, sampai isterinya tidak berani mengasih bangun.
"Kouwya, baik kau pulang dahulu,"
Kata seorang, yang diminta tolong paling belakang.
"Nona lagi ngambek, bukan saja ia tidak mau ketemu kau, pamannya pun ia larang keluar. Kalau kau pulang, kau boleh tunggu sampai kau disambut."
Tek Hui jadi bingung, sedang buat ngamuk, ia tak pikir.
Akhirnya ia berbangkit, dengan tidak kata apa- apa, ia keluar dari Keng-bu Piauw-tiam.
Ia bawa pedangnya.
Ia tidak gembira.
Ia jalan tidak keruan junterungan, sampai ia pikir baik ia pergi ke rumahnya Lu Tong Pin, sahabat gurunya.
Mukanya kotor, juga pakaiannya.
Begitu sampai di rumahnya si tukang tenung, sambil nunjuk Lu Tong Pin lantas kata padanya.
"Cahaya mukamu guram, kau beralamat tidak baik, kau terancam bahaya. Kau akan terlibat dalam urusan perempuan. Coba kau ambil sebatang ciam-sie, nanti aku itung-itungi!"
Tek Hui diam saja, ia jatuhkan dirinya di kursi dan duduk nyender di situ. 427 Lu Tong Pin menghampirkan akan bicara dengan pelahan. Nyata ia ketahui banyak hal, umpama kebinasaannya Han Kim Kong di rumah makan dan ditangkapnya Pheng Jie.
"Lebih baik kau buron, jangan kau pikirkan lagi gurumu,"
Ia kasih nasehat.
"Buat gurumu, penjara adalah sebagai hotel. Kau adalah lain, kau tidak punya pengalaman, kalau pembesar negeri bekuk kau, benar-benar kau tak bisa berdaya. Juga Louw Po Go, di belakang hari ia mesti berurusan sama pembesar negeri, karena di Louw-kauw-kio ia telah lukai banyak orang, sampai ada yang binasa. Aku nanti berikan kau surat jimat, supaya kau lolos dari bencana. Cuma kau perlu membayar padaku, tidak ada tiga tail, kau tak akan dapat surat jimat itu. Dengan bawa surat jimat, di mana kau sampai, kau akan ketemu tuan penolong."
"Nanti saja, sekarang aku mau mengaso,"
Sahut Tek Hui. Ia berdiam, kedua matanya ia rapati. Sebenarnya ia sedang bingung, ia mencoba akan tenangkan diri.
"Baiklah aku tunggu Toa-too Ong, akan tempur padanya, akan terbit kegemparan pula di Pak-khia, kemudian aku tolongi guruku, akan akhirnya cari Siauw Hong! Aku tidak bisa berdiam lama di sini, kerjaannya Lu Tong Pin sepi, kalau ia keluar, ia mesti kunci pintu, karena ia tak punyai pegawai. Ia akan bikin aku berabe!" 428 Lu Tong Pin benar mengharap bantuan, baru orang sampai, ia sudah serahkan kunci rumahnya yang sempit.
"Tolong tunggui rumahku ini,"
Ia kata.
"Kalau ada orang datang, minta ia duduk menunggu, bilang aku akan lekas pulang. Jagalah supaya jangan ada tamu yang pergi lagi sebelum aku kembali."
Ia terus ngeloyor, sampai setengah hari ia belum kembali.
Tek Hui pun tidur, karena tidak ada tamu juga yang datang untuk meramalkan diri.
Ia kunci pintu dari dalam.
Ketika ia mendusin, ia merasa lapar.
Lu Tong Pin masih saja belum pulang.
Maka terpaksa ia kunci pintu, ia pergi cari barang makanan.
Sampai ia pulang, tuan rumah tetap belum kembali.
Tek Hui tidak takut kehilangan barang, karena perabotan adalah perabotan peranti meramalkan dan tak ada yang berharga.
Lu Tong Pin hampir tidak punya tamu, tetapi di luar ia seperti punyakan banyak langganan.
Ia sering pergi, hingga Tek Hui mesti jadi penunggu rumah.
Dari omongan ahli nujum ini, terang ia punya kenalan di segala kantor negeri, di piauw-tiam dan lain-lain.
"Toa-too Ong, orang paling kosen di Tit-lee Selatan, akan datang kemari lagi satu atau dua hari,"
Demikian satu kali Lu Tong Pin membawa kabar.
"Kau harus hati-hati, anak, katanya ia datang kemari untuk cari kau. Terutama ingat, jangan kau bertarung di sini, nanti perusahaanku celaka." 429 Tek Hui gusar akan dengar warta ini.
"Biarlah ia datang, aku nanti lebih dahulu layani dia, baru aku urus kepentinganku,"
Pikir anak muda ini. Pada Lu Tong Pin, ia tidak kata apa-apa. Di hari kedua, Lu Tong Pin keluar pagi-pagi dan tengah- hari ia baru pulang.
"Apa tidak ada orang yang cari aku?"
Pertama-tama ia tanya Tek Hui.
"Tidak,"
Sahut Tek Hui dengan tak perduli. Tukang tenung itu tertawa, ia urut-urut kumisnya yang putih.
"Kau orang muda tak berguna, sedikit saja kau putus asa!"
Ia kata.
"Lihat aku, asal ke luar, aku bisa pinjam uang, aku bisa rekoki sahabat-sahabat, aku bisa dengar banyak kabaran!"
"Kabar apa kau dapat?"
Tanya Tek Hui. Ia tidak gubris urusannya si tukang tenung, tetapi ia ketarik sama kabaran. Lu Tong Pin tertawa.
"Sekarang aku belum bisa kasih keterangan pada kau! Ini adalah urusan baik, yang buat sekarang baik kau duga-duga saja. Kau akan lekas dapatkan isteri!"
Hampir Tek Hui menjotos, bahna mendeluh, baiknya ia bisa berpikir.
Ia kuatir tukang tenung ini binasa karena jotosannya.
Sekarang ia tahu, orang tua 430 ini bukan tukang tenung saja, hanya orang kangouw yang ulung.
Setahu kenapa, Lu Tong Pin jadi gembira, hingga ia nyanyikan lagu jie-hong.
Tiba-tiba terdenar suara gerudukannya roda-roda kereta, yang berhenti di depan rumah.
"Ada kangtauw!"
Kata Lu Tong Pin, yang melongok keluar.
Buru-buru ia sisir rapi kumis dan jenggotnya, ia segera duduk di kursinya, dengan sikap sebagai seorang berilmu yang suci.
Benar ada tamu yang hendak meramalkan diri.
Ia seorang perempuan, baju dan celananya dadu dan tersulam indah.
Tek Hui tidak melihat nyata, karena ia sudah lantas menyingkir.
Lu Tong Pin lantas beraksi sebagai ahli nujum, mulutnya mengoceh menyebut-nyebut bahagian- bahagian dari Pat-kwa.
"Kau hendak tanya apa, nona?"
Akhirnya ia tanya.
"Aku hendak tanya satu orang, ia akan datang atau tidak,"
Sahut suaranya seorang perempuan, suaranya pelahan dan halus.
Tapi Tek Hui rasa ia kenal suara itu, maka ia pergi mengintip.
Hampir ia tidak kenalkan Po Go, kedatangan siapa ke situ bikin ia heran.
Nona itu pakai pupur, alisnya disipat, pipi dan bibirnya dipulas yancie, hingga ia tidak lagi hitam, hingga ia mentereng 431 melebihi Siauw Hong.
Nona hitam manis itu sebagai juga salin rupa.
Ia bukan lagi seperti piauwsu, ia mirip dengan nona dari kalangan atas, yang lemah lembut sikapnya.
Setelah membayar, nona Louw itu lantas berlalu.
Sambil mainkan uangnya, Lu Tong Pin samperi Tek Hui.
"Apa kau tidak kenali tamuku barusan?"
Ia kata.
"Aku dengar, kau justeru bersahabat! Kenapa barusan kau tidak ketemui nona itu? Aku tahu ia gagah, kau barangkali tidak sanggup layani ia, karena sekali pun gurumu puji nona itu! Ia datang untuk meramalkan satu orang akan datang atau tidak. Kau tahu, siapa orang itu? Aku bade dia adalah Toa-too Ong."
Mukanya Tek Hui berubah merah.
"Jangan kau cemburuan!"
Kata Lu Tong Pin sembari bersenyum.
"Toa-too Ong adalah jago dari Tit-lee Selatan, ia jarang sekali datang kemari, meski pun demikian, namanya seperti sudah menindih seluruh Pak-khia, di sini tidak ada orang yang berani terhadap dia. Semua piauw-tiam, seperti Thian Tay dan Keng Bu, telah terdesak mundur. Katanya Toa-too Ong hendak cari Louw Thian Hiong untuk bikin perhitungan, karena ia dengar Thian Hiong belai Pheng Jie dan muridnya. Menurut Toa-too Ong, Pheng Jie sudah langgar azas-azas suci dari kaum kangouw, dari itu ia tak mau kasih hati pada Louw Thian Hiong. Karena ini, aku dengar nona yang barusan sudah 432 pesan belasan piauw, yang ukurannya lebih besar dan timbangannya lebih berat dari biasanya, guna hadapi Toa-too Ong. Nona itu hendak unjuk kepandaiannya, akan bela kehormatannya. Dan kau, anak, baik diam sama aku, jangan kau keluar-keluar, kita saksikan saja Louw Po Go tempur Toa-too Ong. Umpama Toa- too Ong yang menang, aku nanti ajak kau pergi ketemu ia, untuk kau angkat dia menjadi guru. Sebaliknya, kalau Po Go yang menang, itu terlebih baik lagi, aku nanti segera berdaya akan bicara sama Louw Thian Hiong, supaya nona itu dirangkap jodohnya menjadi isteri kau."
Tidak kepalang mendongkolnya Tek Hui akan dengari ocehannya khoa-miah sinshe ini. Hampir ia tak dapat kendalikan diri. Baiknya ia ingat Toa-too Ong akan lekas datang dan ia anggap baiknya ia sabar saja.
"Aku nanti tempur jago Tit-lee Selatan itu! Aku tak sudi Po Go bantu aku!"
Begitu pemuda ini pikir.
Karena itu, selanjutnya ia tak gubris si tukang tenung, yang godai ia.
Ia lalu tetapkan rencananya, pertama, tempur Toa-too Ong.
Kedua, tolong Siauw Hong.
Dan ketiga, tolongi gurunya.
Buat dapat kepastian tentang kedatangannya Toa-too Ong, pemuda ini minta Lu Tong Pin tolong dengar-dengar kabar, ia sendiri pun keluar, tetapi tidak ada orang yang mau dekati ia, sebab ia terus bawa-bawa 433 pedangnya.
Juga si tukang tenung tidak peroleh kabar apa-apa.
Tek Hui berduka kalau ia ingat Siauw Hong, yang ia tak tahu di mana adanya.
Di hari ketiga, belum lama sejak keluarnya Lu Tong Pin, tukang tenung ini kembali dengan tersipu-sipu.
"Tek Hui, lekas, lekas!"
Ia kata.
"Lekas kau lihat gurumu, ia mau dibawa ke kantor Heng-pou! Banyak orang yang menemui ia!"
Tek Hui terperanjat, dengan tidak kata apa-apa lagi ia lari ke luar, terus ke kantor Gie-su.
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika ia sampai, di sana sudah berkumpul banyak orang, antaranya ada mereka yang membawa makanan dan arak untuk Pheng Jie, siapa dari kantor Gie-su hendak diserahkan pada kantor Heng-pou.
Di sini perkaranya Giok-bin Lo Cia akan mendapat keputusan.
Pheng Jie berada di dalam kerangkeng, keretanya sedang dikasih jalan keluar, pengiringnya banyak dan semua bersenjata.
Nyata Louw Thian Hiong dan beberapa orang lagi sudah jamu Pheng Jie.
Ketika Tek Hui memburu kerangkeng, dengan air mata mengembeng, Thian Hiong perintah orang menghalangi.
"Apa? Kau berani rintangi aku?"
Tek Hui mendelik.
"Tek Hui, sabar!"
Thian Hiong maju sendiri.
"Gurumu mau dipindahkan, ini adalah kejadian yang menggirangkan. Di Heng-pou perkaranya akan lantas diperiksa, putusan akan segera keluar. Jangan kau 434 kuatir. Ceng-tong Tayjin maha adil, kalau ia tahu gurumu menyingkirkan orang jahat, ia akan dapat ampun, atau sedikit-dikitnya keringanan hukuman. Siapa tahu, kalau gurumu segera akan dimerdekakan? Tadi kami sudah kasih selamat pada gurumu, kami telah jamu padanya. Lihat, yang datang di sini semua sahabat-sahabat baik! Gurumu pun girang, ia minum banyak arak. Aku telah tanya gurumu, bagaimana pikirannya tentang jodoh dengan Po Go, ia nyatakan akur!"
"Aku tidak percaya!"
"Kalau kau tidak percaya, pergi susul gurumu dan kau tanyakan sendiri! Kau tahu, sekarang semua orang sudah ketahui urusan perjodohan kau ini, kalau kau hendak langgar janji, itu terserah pada kau!"
Tek Hui tidak menyahut, ia hanya lari ke kereta. Ia berhasil menyandak, sebab kereta jalan pelahan. Ketika ia mau datang dekat, pengiring-pengiring menjaga ia. Tapi Thio Tauw-jie, yang duduk di atas kereta, segera melarang.
"Jangan usir dia! Dia muridnya Pheng Jie! Kasihlah mereka bicara!"
Oleh karena ini, Tek Hui bisa maju dekat.
"Suhu!"
Kata ia, suaranya pelahan dan serak.
Pheng Jie numprah di dalam kerangkeng dalam keadaan mirip dengan seorang gila.
Kaki dan tangannya dirantai, pakaiannya tidak keruan, 435 rambutnya kusut.
Ia pun jauh terlebih kurus daripada biasanya.
Ia tunduk saja.
Dari tampang mukanya, nyata ia telah tenggak banyak air kata-kata.
Nampaknya ia seperti sedang sakit.
"Suhu! Suhu!"
Pheng Jie angkat kepalanya, matanya dibuka lebar.
"Mau apa kau datang kemari?"
Ia bentak muridnya, yang ia kenalkan.
"Suhu.......!"
Meratap murid itu.
"Aku akan belai kau..."
Sang guru berdiam.
"Suhu, apa benar kau suruh aku nikah Po Go?"
Mendengar itu, Thio Tauw-jie tertawa.
"Benar,"
Ia talangi menyahut.
"Tadi aku dengar gurumu kata demikian pada Louw Thian Hiong. Lihat di sana, bakal isterimu, bagaimana cantik ia itu! Ia hitam manis, begitu boto, sebagai buah bouwtan hitam saja."
Tek Hui tidak meladeni, ia bertindak terus ikuti kereta.
"Bagaimana suhu?"
Ia tanya pula.
"Aku nikah Siauw Hong atau Po Go?"
Tiba-tiba Pheng Jie tertawa, tapi sedetik saja, lantas air mukanya jadi keren.
"Kau masih tanya aku, kau yang sudah begini besar?"
Ia kata dengan bengis.
"Orang bilang kau telah berjanji, maka aku tak sudi punyai murid yang tak punyai kepercayaan. Itu urusanmu sendiri, pergilah 436 kau urus sendiri juga! Jangan kau perdulikan aku, cukup jikalau kau selanjutnya tidak bikin tercemar namaku, sebagai gurumu!"
Tek Hui bersedih bukan main, sampai ia berdiri diam di tengah jalan, hingga ia seperti tidak tahu yang kereta sudah pergi jauh. Kereta-kereta lain menyingkir buat ia. Ia baru sadar, ketika Po Go berlari-lari padanya, akan tarik tangannya.
"Buat apa kau berdiri saja di sini?"
Kata nona itu.
"Mari pulang!"
Dengan mata mengembeng, Tek Hui awaskan kereta yang sudah pergi jauh.
"Lagi dua hari, kita nanti tengok ia di kamar tahanan. Mari! Kau tahu, katanya Toa-too Ong sudah datang!"
Mendengar namanya Toa-too Ong, Tek Hui sebagai tersadar.
"Apa, Toa-too Ong sudah datang?"
Ia tanya.
"Di mana ia sekarang?"
"Mustahil aku justakan kau,"
Po Go tertawa.
"Ia berdiam di Thian-tay Piauw-tiam."
"Bagus! Ia tidak usah cari aku, aku yang nanti cari dia! Tapi ingat, aku tak ingin orang bantui aku!"
"Masa bodoh!"
Kata Po Go.
"Tapi aku ingin menyaksikan, kalau tidak hatiku tidak tetap."
Lantas Tek Hui putar tubuhnya akan berlalu. Thian Hiong dan orang-orangnya lalu menghalang. 437
"Tek Hui!"
Ia kata.
"Kau telah dengar gurumu, bukan? Maka marilah kau ikut kami. Kau tahu, selama dua hari ini aku telah selesai bersiap! Rumah semua telah dirias baru, perabotan semua sudah lengkap. Hari ini, hari baik, mari kau turut aku! Semua sahabat sudah berkumpul buat berpesta! Satu laki-laki mesti pegang ucapannya, jangan kau menyesal. Kau mau ketemu Toa- too Ong, baik, tetapi karena dia pun satu jago, kau tidak usah adu jiwa, cukup dengan adu kepandaian. Aku nanti undang ia datang ke rumahku, supaya kau bisa berkenalan dan ikat tali persahabatan! Percaya aku, hari ini kau nikah Po Go, lantas aku akan pertemukan kau dengan Siauw Hong!"
Namanya Siauw Hong adalah sebagai penawar bagi Tek Hui, lantas saja semangatnya terbangun.
"Baiklah,"
Ia kata.
"Sekarang aku hendak pulang dulu."
Ia lalu bertindak menuju ke sarangnya Lu Tong Pin. Ia tidak menoleh lagi ke belakang, ia tidak tahu ada orang ikuti ia atau tidak. Lu Tong Pin papak pemuda itu dengan roman baik.
"Apa kau dapat ketemu sama gurumu?"
Tegur si tukang tenung.
"Apa kau ketemu sama Thian Hiong, dan nona Louw? Apa kata gurumu?"
Tapi Tek Hui tidak menyahuti, ia masuk ke dalam akan ambil pedangnya.
"Kalau kau mau pergi, tolong kunci pintu"
Kata Lu Tong Pin.
"Aku hendak keluar lebih dahulu." 438 Ia beleseki rantai dan kunci pada anak muda itu, terus ia ngeloyor pergi. Tek Hui melongo, ia awasi sinshe itu berlalu, kemudian ia pun bertindak ke arah selatan, sampai mendadak ia berhenti di satu tikungan. Nyata ia pegangi rantai dan kunci, rumah orang ia lupa kuncikan.
"Tapi di gubuk itu tidak ada barang yang berharga, apa aku perduli!"
Pikir ia kemudian.
Maka ia jalan terus.
Tidak lama Tek Hui sampai di Toa-kay, jalanan yang besar.
Dari sini ia belok ke Barat, maka sebentar kemudian ia sudah dapat lihat Thian-tay Piauw-tiam.
Di depan itu ada warung kuwe yang ia kenal, sebab warung itu sudah dibuka pula dan Tan Moa- cu, si pemilik baru, lagi berdiri di muka pintu.
"Mari, mari!"
Kata tukang kuwe itu.
Tek Hui manggut, tapi ia masuk ke dalam piauw- tiam.*** 439 XVI Baru dibuka beberapa hari, nampaknya Thian-tay Piauw- tiam telah peroleh kemajuan.
Di dalam pekarangan ada banyak orang dan banyak kuda juga.
Beberapa orang kelihatan lagi angkat barang makanan dan arak.
Karena adanya banyak orang, tidak heran jikalau orang lantas dapat lihat pemuda she Lauw itu, maka satu orang segera lari ke dalam untuk mengasih kabar, sedang yang lain-lain segera siap, dandan dan cari senjatanya masing-masing.
Gouw Po sudah lantas muncul.
Ia sekarang mewariskan harta bendanya Han Kim Kong, ia jadi hidup mewah, pakaiannya sutera, aksinya pun baik.
Melihat Tek Hui, ia angkat kedua tangannya.
"Kau datang, Tek Hui, bagus!"
Ia kata.
"Aku justeru hendak kirim orang untuk undang kau! Di sini ada datang seorang sahabat kekal. Silahkan masuk!"
"Aku tidak mau masuk!"
Sahut Tek Hui, yang geleng kepala.
"Toa-too Ong keluar, aku ingin ketemu sama dia!"
Tidak usah sampai diundang, Toa-too Ong pun telah muncul, karena sedari tadi ia mengawasi saja dari antara jendela.
Tek Hui mengawasi apabila ia lihat datangnya seorang anak muda umur dua puluh lebih, tubuhnya 440 kekar, mukanya persegi, romannya cakap, sikapnya gagah.
"Aku kira Tek Hui itu siapa, kiranya kau!"
Kata anak muda itu.
"Kau jadinya Toa-too Ong?"
Tek Hui menegur.
"Baiklah! Kau ambil golokmu, di sini kita boleh mulai main-main!"
Toa-too Ong bersenyum sindir.
"Aku jarang datang kemari, atau kalau datang, aku tidak bergaulan"
Ia kata.
"Tempatku adalah Tit-lee Selatan, di sana daerahku luas, hingga aku tak perlu punya banyak sahabat di Pak-khia ini. Beberapa orang telah undang aku, aku tidak ladeni, sebab aku menyangka di sini orang semua kenal persahabatan. Adalah belakangan ini, aku baru dengar orang sebut- sebut kau, Tek Hui. Kepandaian aku, aku tidak tahu, tetapi perbuatan kau, sungguh memalukan, sungguh merendahkan kaum kangouw! Kau telah binasakan Han Kim Kong, buat melulu rampas gundiknya!"
"Ngaco!"
Berteriak Tek Hui, seraya ayun pedangnya.
"Dan kemarin, di tengah jalan aku dengar lelakon lain dari kau,"
Kata pula Toa-too Ong.
"Kau sudah terima tangannya nona Louw, habis kau sangkal itu!"
"Celaka!"
Berteriak Tek Hui.
"Kau tak tahu duduknya hal!"
"Kenapa aku tidak tahu?"
Toa-too Ong baliki.
"Aku adalah tukang urus manusia yang put jin, put gie, put 441 tiong dan put sin! Untuk rampas gundik orang, kau bunuh Han Kim Kong, itu namanya put jin! Kau rampas Siauw Hong, lantas kau sembunyikan, itu namanya put gie! Kau terbitkan onar untuk Tong Kim Houw, lantas kau buron, itu namanya put tiong!"
"Kau tidak tahu duduknya perkara, kau tertipu oleh Gouw Po!"
Tek Hui berteriak bahna gusarnya. Ia meluap darah akan dengar orang katakan ia kejam, keji dan hina dina, tidak setia.
"Tapi tadi pagi, begitu sampai di sini, aku telah dengar segala perbuatan kau!"
Kata Toa-too Ong.
"Louw Thian Hiong adalah sahabatku, begitu sampai aku telah kunjungi ia. Di situ aku dengar bagaimana kau langgar janjimu, dengan sangkal perjodohan kau dengan nona Louw. Ini namanya perbuatan put sin, tidak punya kepercayaan! Maka itu, bagaimana kau berani menjagoi di sini? Maka aku datang untuk beri hajaran pada kau!"
Dari sana-sini lantas terdengar jengekan.
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Put jin, put gie, put tiong, put sin!"
Tek Hui gusar sampai tubuhnya gemetaran, urat- uratnya pada keluar, dengan satu loncatan ia tusuk Toa-too Ong.
Jago Tit-lee Selatan itu loncat minggir, salah satu orangnya segera serahkan goloknya yang besar, yang lebih panjang dan berat daripada golok atau toa-too biasa.
442
"Kita tidak bermusuhan, sebenarnya cukup kita adu silat saja,"
Kata jago ini.
"tetapi karena kau datang gunai pedang, terpaksa aku mesti layani kau. Alat senjata tidak ada matanya, maka kita baik jelaskan dahulu, siapa kalah atau celaka, ia jangan menyesal, atau ia mesti sesali diri sendiri."
"Jangan banyak omong!"
Membentak Tek Hui, yang kembali menyerang.
Toa-too Ong angkat goloknya untuk menangkis dengan keras, hingga kedua senjata jadi bertempur dan menerbitkan suara sangat nyaring.
Pihaknya Toa- too Ong duga, pedang akan terlepas dan terpental, tetapi tidak tahunya, senjatanya Tek Hui tidak bergeming dari cekalannya, malah jago Pak-khia ini kembali telah menyerang pula! Dengan gerakan dari samping, Toa-too Ong kembali menangkis, tetapi Tek Hui menyerang lagi dengan sama hebatnya.
Ia mendek ke samping, dari sini ia menyabet, sembari membacok ia loncat bangun hingga pedangnya bisa menjuju leher lawan.
Sambil loncat mundur, dengan golok menangkis Toa-too Ong loloskan diri dari bahaya, kemudian sambil berbareng memutar tubuh ia membacok.
Atas ini, setelah Tek Hui menangkis, berdua mereka lantas bertarung hebat.
Sama-sama muda dan sama-sama gagah, kedua orang ini menjadi tandingan yang setimpal.
Senjata mereka tidak berimbang, tetapi Tek Hui punya tenaga 443 kuat dan kepandaian main pedang, itu tidak menjadi rintangan.
Toa-too Ong gagah, senjatanya antap, tetapi Tek Hui gagah dan gesit.
Mereka adalah laksana seekor harimau dan seekor singa.
Tek Hui berkelahi dengan sengit, karena kembali ia dengar dari samping orang jengeki dia put gie, put sin.
"Tunggu, aku nanti kasih hajaran pada kau!"
Ia mengancam dalam hatinya.
Toa-too Ong tidak mau mundur, ia pun penasaran.
Malah ia merangsek.
Lama mereka bertempur, sampai ketika kedua senjata mau beradu, mendadakan keduanya loncat mundur, karena senjata mereka masing-masing kesamber sebuah piauw, hingga mereka terperanjat.
Berbareng dengan itu, Po Go loncat ke tengah- tengah di antara mereka, sebab si nonalah yang gunai piauw akan pisahkan kedua jago itu.
Kapan Tek Hui lihat nona itu, tidak tempo lagi ia loncat pula akan menyerang lagi pada Toa-too Ong, siapa hendak melawan tetapi Po Go segera menyelak pula.
"Jangan, jangan bertempur lebih jauh!"
Ia berteriak-teriak dengan cegahannya.
Ketika itu pun muncul Louw Thian Hiong, yang diikuti oleh Gouw Po, yang maju memisahkan, terutama untuk menahan Toa- too Ong.
Tempo Tek 444 Hui maju pula, Po Go segera menghadang di depannya, tangannya dipegangi.
"Sudah, sudah cukup!"
Berseru Thian Hiong.
"Ya, sudah cukup!"
Po Go pun berkata, malah ia tarik pemuda kita.
"Mari pergi!"
Ia kata.
"Tidak, aku tidak mau pergi!"
Sahut Tek Hui.
"Sudah cukup, hiantit,"
Kata Thian Hiong yang menghampirkan.
"Siauw Hong sudah ada di dalam kota, ia sekarang berada di rumahku, di sana ia sedang tunggui kau."
Mendengar Siauw Hong, panasnya Tek Hui lumer dengan tiba-tiba.
"Mari, lekas!"
Kata Po Go, yang lihat perubahan sikap orang.
"Mari!"
Tek Hui putar tubuhnya, ia berlalu dengan cepat, nona Louw ikuti ia. Thian Hiong pun turut. Di luar piauw-tiam sudah menunggu dua buah kereta.
"Di sini, hiantit, di sini!"
Kata Thian Hiong, dan ia tarik Tek Hui akan naik di sebuah kereta, sedang Po Go loncat naik ke kereta yang lain, malah kereta itu segera dikasih lari terlebih dulu.
Thian Hiong duduk berendeng sama Tek Hui.
Kedua kereta menuju ke Keng-bu Piauw-tiam, begitu masuk di gang Lee-hie Hoo-tong, mereka lantas sudah sampai.
Di muka piauw-tiam ramai, banyak orang, kapan mereka lihat Thian Hiong, mereka menyambut sambil memberi selamat, kemudian semua mata ditujukan kepada Lauw Tek Hui.
445
"Mari, hiantit, mari masuk!"
Thian Hiong mengundang.
Tek Hui bertindak masuk dengan pedang tetap di tengannya, air mukanya masih perlihatkan sorot gusar atau mendongkol.
Dalam pekarangan ada dipasang tetarap yang tinggi, beberapa tukang masih merias pajangan.
Tek Hui heran melihat persiapan itu.
"Mari, hiantit!"
Kata Thian Hiong sambil tertawa.
"Jangan kau bergusar lagi. Toa-too Ong itu adalah sahabatku, ia datang kemari atas undanganku, bukan untuk tempur kau, hanya buat merubah sedikit keangkuhan kau. Manusia hidup di kolong dunia, apapula kita bangsa piauwsu, mesti bisa pegang kepercayaan, inilah yang aku harap dari kau. Juga Lu Tong Pin bekerja untuk aku, ia bekerja banyak, dan segala apa adalah buah pikirannya. Sebentar lagi ia akan datang bersama-sama Tong Kim Houw dan sahabat-sahabat lain, untuk memberi selamat kepada kita. Tentang Gouw Po, kau jangan pikir lagi, tidak usah kau layani dia. Sekarang ia berharta, punyakan isteri juga, ia urus piauw, biar ia bawa caranya sendiri. Kau sekarang mulai masuk di jalan yang benar, maka hayolah kau letaki senjatamu. Buat apa kau masih cekali rantai dan kunci itu?"
Tek Hui berdiri bingung.
Baru sekarang ia ketahui bahwa ia sebenarnya berada dalam genggamannya Louw Thian Hiong yang liehay.
Sedang maksudnya 446 Thian Hiong ini tidak lain agar ia menikah sama Po Go, supaya piauw-tiam dari keluarga Louw jadi makmur.
Ia mendongkol, kalau ingat bagaimana orang permaini ia, maka itu ia tidak mau lepaskan pedangnya.
"Mari lihat di dalam, Tek Hui,"
Kata pula Thian Hiong, yang terus membujuki.
"Lihat, bagaimana kami telah atur persiapan! Kau boleh lihat kamar pengantin! Semua itu Po Go yang atur, untuk kau! Ia telah berbuat sangat banyak. Tak gampang buat dapat pasangan sebagai dia. Nanti, sesudah menikah sekian lama, barulah kau akan mengerti semua. Sebagai anak muda, kau akan merasa puas dengan kesudahan ini. Kau muda dan gagah, kau telah bikin banyak orang rubuh di tangan namamu! Toa-too Ong sendiri kagumi kau, karena tadi ia telah buktikan sendiri kegagahanmu. Eh, apa kau masih belum mau letaki pedangmu? Baik, silahkan masuk, biarlah kemantin kau yang ambil senjatamu itu. Bukankah itu satu kehormatan?"
Thian Hiong tarik orang punya tangan. Tek Hui mengikuti, dengan mata celingukan. Ia dibawa ke dalam satu kamar yang terhias indah, la lihat huruf "HIE yang besar dan mentereng.
"Bagaimana kau lihat kamar ini?"
Kata Thian Hiong. Tapi kamar itu kosong, tidak ada orangnya.
"Kalau kamar ini kurang besar, sabar, lain waktu aku nanti tukar!"
Thian Hiong kata pula.
"Di sini kau akan dapat satu bujang tua dan satu bujang muda, 447 untuk diperintah-perintah. Lihat bagaimana kuat kamar ini, asal kau kunci, kau jangan kuatir nanti ada orang bisa datang ganggu kau. Sebentar pun tidak akan datang orang-orang yang mengganggu pengantin, sampai budak perempuan aku telah usir pergi."
Tek Hui berdiam saja, ia seperti kena pengaruh. Pikirannya ruwet, sampai ia tak mampu berpikir.
"Sekarang, mari kita lihat Po Go!"
Kata Thian Hiong kemudian. Mereka keluar dari kamar itu. Sekarang Tek Hui dengar tetabuhan, suara terompet yang nyaring. Di pojok barat ada meja abu, ada orang yang sedang bakar dupa.
"Perayaan hari ini adalah kesusu, segala apa tidak sempurna,"
Kata pula Louw Thian Hiong, yang ada saja yang dibicarakan.
"Toh sebenarnya aku telah mengatur sejak lama, aku telah tunggui kedatangannya Toa-too Ong, sesudah ia bertempur seri sama kau, aku ingin pernikahan segera dirayakan. Ini adalah kejadian yang menjadi buah-tutur, sampai kau berusia tinggi. Aku punya toako sudah datang, tetapi ia keluar sebentar, sebentar lagi ia akan datang, maka kalau kau sudah paykui padanya dan panggil ia entia, lantas kita pun jadi sanak.........."
Sembari bicara, Tek Hui dibawa ke kamar sebelah utara. Di situ ada beberapa tamu perempuan. 448 Di situ Po Go sedang diriaskan, selagi ia mau tukar sepatu, Tek Hui datang, lekas-lekas ia tunduk.
"Po Go, inilah bakal suamimu,"
Kata Thian hiong.
"Jodoh kau adalah jodoh piauw dan pedang, ini jodoh yang sukar direkoki, toh akhirnya aku bisa carikan kau pasangan yang kau cita-citakan, muda dan gagah! Jangan kau malu-malu, mari sambut bakal suamimu, terutama sambutlah pedangnya, ikat pinggangnya, agar ia bisa salin buat jadi baba pengantin!"
Selagi Tek Hui tercengang, Po Go telah samperi ia untuk loloskan angkinnya. Itu adalah angkin sulam dari Siauw Hong, yang sudah kotor, yang sudah ada yang pecah. Ia terperanjat, ia mundur.
"Jangan rabah itu!"
Ia berseru. Ia mundur, kemudian ia bertindak keluar. Po Go jadi kebogehan, mukanya menjadi merah.
"Eh, apa artinya ini?"
Tanya Thian Hiong.
"Mustahil di dalam kamar pengantin kau tetap hendak bawa- bawa pedang?"
Tek Hui geleng kepala.
"Aku nanti lepaskan pedangku ini,"
Ia kata.
"tapi kau harus menepati janjimu dulu! Mana Siauw Hong? Sebelum melihat dia, pedangku tidak akan diletaki! Kalau tidak ada Siauw Hong, janjiku bukannya janji lagi! Aku pun tidak mau berdiam di sini lebih lama, aku mesti pergi ke tempat lain, akan cari padanya! Dengan pedang ini aku juga mau cari Toa-too Ong!" 449 Tek Hui jadi sengit, ia seperti kalap. Ia manda orang permainkan ia untuk lihat Siauw Hong, tetapi siapa tahu, Thian Hiong rupanya hendak terus pedayakan ia. Tapi Thian Hiong pun agaknya tidak senang.
"Belum pernah aku ketemu orang dengan adat seperti kau ini,"
Ia kata.
"Baiklah, aku nanti kasih kau ketemu sama Siauw Hong! Jikalau Siauw Hong tidak ada di sini, mustahil aku mau ajak kau datang kemari? Aku tidak akan langgar janji! Kau hendak lihat Siauw Hong? Mari ikut aku, dia ada di sini!"
Dengan mendongkol, Thian Hiong ajak pemuda itu ke luar.
Biar bagaimana, Tek Hui toh terperanjat.
Ia tidak sangka, bahwa Siauw Hong benar-benar ada sama orang she Louw ini.
Maka ia segera mengikuti.
Mereka pergi ke sebelah selatan piauw-tiam, di situ ada sebuah rumah kate dan kecil, mirip sebagai gubuk.
"Masuk!"
Kata Thian hiong, yang terus berdiri di samping pintu.
Tek Hui bertindak masuk untuk lantas berdiri tertegun.
Di dalam gubuk itu, duduk atas sebuah bangku, ada seorang perempuan muda sedang tunduk dan menangis, pakaiannya adalah pakaian berkabung.
Dan perempuan itu, setelah diawasi, benar Siauw Hong.
450 Dari luar segera terdengar suaranya Louw Thian Hiong.
"Di dalam kalangan kangouw orang bukan cuma mesti setia dan terhormat, ia juga mesti hargakan adat-istiadat! Tapi kau ternyata sudah lupa, Tek Hui! Siauw Hong gundiknya Han Kim Kong, sekarang Han Kim Kong telah mati, maka itu Siauw Hong telah menjadi janda."
Sementara itu Siauw Hong sudah berbangkit, ia hampirkan Tek Hui, yang ia terus tubruk dan peluk, air matanya turun deras, mulutnya sesenggukan.
"Bagus, aku bisa ketemu sama kau ,"
Kata si nona, dengan menangis terus.
"Akhir-akhirnya, aku ketemu juga pada kau..... Aku nanti kasih keterangan, sesudah itu kendati mesti mati, aku senang.........."
"Jangan menangis,"
Membujuk Tek Hui.
"Coba kau cerita, kenapa kau pergi dari kuil dan ke mana kau telah pergi. Kau tahu, aku telah cari kau ubek- ubekan."
"Malam itu, bahna menderita, aku keluar sendirian,"
Menutur si nona, sesudah ia kuras air matanya dan hatinya sedikit lega.
"Langit sudah gelap, tetapi aku jalan terus, aku ingin mati saja. Aku telah pikir untuk buang diri ke sungai, apa mau hatiku kecil dan aku batalkan pikiran pendek itu. Aku jalan terus mengikuti gili-gili, sembari menangis. Beberapa kali aku mau berlaku nekat, saban-saban batal sendirinya. Akhirnya aku numprah di tepi sungai, sambil menangis terus. Kira-kira fajar, aku lihat Louw Po Go. Ia kata ia 451 sedang cari aku. Ia kata bahwa kau kena ditangkap. Aku kaget dan kuatir, aku jadi ibuk. Karena ini, aku tidak memikir untuk cari mati. Tapi Po Go omong terus. Ia bilang, sebab matinya Han Kim Kong, aku pun sedang dicari buat ditangkap. Maka ia ajak aku menyingkirkan diri. Ia bawa aku ke warung di Pak- ouw-cun di mana tuan rumah ada seorang tua serta satu nona.........."
"Aku tahu,"
Tek Hui memotong.
"aku kenal warung itu. Habis di sana apa yang Po Go bikin?"
"Ia suruh aku berdiam di dalam, ia larang aku keluar,"
Siauw Hong menangis pula.
"Louw Thian Hiong pun pernah datang ke sana, ia ancam aku, ia suruh aku terus umpatkan diri. Ia bilang, kalau aku muncul dari warung, jikalau bukannya aku ditangkap oleh polisi, tentu aku akan dibinasakan oleh orangnya Han Kim Kong. Selama dua hari, aku saban-saban didatangi oleh orang-orangnya Thian Hiong dan Po Go, setiap datangnya aku digertak."
Tek Hui jadi sangat gusar.
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Celaka!"
Ia kertak gigi.
"Sungguh kurang ajar!"
"Sebenarnya tidak apa jikalau aku mati,"
Siauw Hong kata pula.
"hanya aku pikirkan kau. Aku kuatir kau dipaksa untuk ganti jiwa Han Kim Kong. Aku telah minta si empeh tukang warung tuliskan surat buat aku punya dua encie angkat, agar mereka berdaya menolong kau, dua kali surat ditulis, semua 452 diserahkan pada Po Go, buat ia tolong bawa ke dalam kota pada Ouw Sam-thay-thay. Po Go bilang jawaban tidak ada. Kau tahu sendiri, berapa besar ketakutanku, aku takut sekali."
Ia berhenti, untuk menangis.
"Kemudian?"
Tek Hui tanya.
"Kemudian, tadi pagi, baru saja terang tanah, dengan menunggang kuda Po Go datang kemari,"
Sahut Siauw Hong.
"Ia bawa sebuah kereta dan beberapa orang. Pertama-tama ia serahkan pakaian berkabung padaku, ia paksa aku pakai, katanya sebab Han Kim Kong telah binasa aku mesti berkabung. Ia bilang aku toh orangnya Han Kim Kong. Aku coba membantah, tapi Po Go ancam aku dengan golok. Ia kata bahwa ia sudah tolongi kau dari penjara, bahwa kau akan nikah aku, maka itu ia mau ajak aku pergi dari warung itu. Aku bilang, dengan berkabung mana aku bisa menikah? Atas itu ia bilang, tidak apa, sebab aku orangnya Han Kim Kong, selama sebelum upacara, aku mesti terus pakai putih. Ia pun bilang, sebentar di kota, sesudah ketemu Tek Hui, aku akan mengerti semua. Ia ancam akan bunuh aku bila aku membantah. Sebab terpaksa, aku turut Po Go. Begitulah aku dipaksa naik kereta, dibawa pergi, tenda semua ditutup rapat. Po Go sendiri jalan di depan "
"Sungguh keterlaluan!"
Berteriak Tek Hui.
"Po Go sungguh kejam! Louw Thian Hiong pun tak tahu malu!" 453 Tiba-tiba pintu dipentang dan Thian Hiong berdiri di pintu.
"Tek Hui, jangan kau dengarkan saja perempuan itu!"
Kata piauwsu dari Keng-bu Piauw-tiam.
"Jangan kau anggap keterangan satu pihak saja! Sebenarnya kami yang tolongi dia dan tempatkan dia di warung di Pak-ouw-cun. Kami pun tidak paksa ia berkabung, ini adalah keinginannya sendiri."
Siauw Hong tepuk-tepuk dada.
"Justa!"
Ia menjerit. Ia menangis.
"Bicaralah dengan liangsim...!"
Po Go, dengan dandan sebagai pengantin, pun lantas muncul.
"Ada apa, eh?"
Ia tanya dengan berpura-pura.
"Oh, Siauw Hong, apa benar kau tidak mau mengalah? Apa kau tetap hendak bikin rusak ikhtiarku? Apa kau tidak bisa berbuat baik?"
Sebelum Siauw Hong menyahut, Thian Hiong telah teriaki orang-orangnya.
"Saudara-saudara, tutuplah pintu pekarangan! Minta semua tamu yang hendak mengasih selamat, menunggu sebentaran! Jangan kasih siapa juga keluar dari sini!"
Tapi Tek Hui, dengan tuntun Siauw Hong, bertindak keluar. Sementara itu, di luar rumah dua atau tiga puluh orangnya Louw Thian Hiong dengan senjata lengkap sudah siap juga. Po Go banting-banting kaki. 454
"Apa artinya ini?"
Ia berteriak.
"Tek Hui, Tek Hui! Aku memang berlaku tidak pantas terhadap Siauw Hong, tetapi itu semua karena kau, buat kau juga! Lihat, aku toh tidak bikin ia celaka? Sekarang kau telah ketemu sama ia, apa ini belum cukup? Oh, Siauw Hong, kau juga kejam! Kenapa kau ganggu saat kegiranganku ini? Hayolah bicara, seperti aku sudah ajarkan!"
Tetapi gadisnya Siang Kiu geleng kepala.
"Aku tidak bisa bicara,"
Ia kata.
"Tek Hui kepunyaanku. Sudah sejak lima tahun kami berkenalan!"
Dalam suasana berisik dan segenting itu, isterinya Thian Hiong pun datang menyaksikan, ia ada diikuti oleh bujang- bujang perempuan, tukang masak semua, sehingga mereka menerbitkan suara berisik sekali.
Kuli-kuli pun datang merubung.
LouwThian Hiong sembat tumbak, ia maju.
"Mundur!"
Ia berseru.
"Semua minggir!"
Lantas ia hadapkan Tek Hui, akan menegur.
"Tek Hui, cukup! Kita sekarang jangan bicara perkara pernikahan lagi! Aku hendak tanya kau, kau punya kepercayaan atau tidak? Di hadapan orang banyak ini, bilang, kenapa kau percaya obrolannya orang perempuan ini? Kami telah tolongi dia, kami tempatkan dia di Pak-ouw-cun, lantas dengan kereta kami sambut dia kemari, untuk dipertemukan sama kau! Lihat juga semua perlakuanku terhadap kau, semua itu untuk angkat 455 kau. Kenapa sekarang kau jadi begitu? Orang semacam kau, Pheng Jie tentu tak mau aku sebagai muridnya!"
"Ngaco!"
Membentak Tek Hui.
"Kau ngaco belo! Guru pun suruh aku nikah Siauw Hong, adalah kau sendiri yang terbitkan lelakon, kau paksa keponakanmu dengan tak malu menikah aku!"
Mukanya Po Go menjadi merah padam.
"Jangan caci aku!"
Ia menjerit.
"Jikalau kau tidak mau menjalankan upacara nikah, sudah, jangan kau perintah aku!"
Siauw Hong menangis, bahna bingung dan takut.
"Aku telah tuturkan semua, sudah,"
Ia berkata.
"Tek Hui, lepas tanganku, kasih aku pergi! Pergilah kau menikah, kau jangan bikin gusar semua orang jahat ini!"
Tapi Tek Hui justeru cekal keras tangan Siauw Hong, urat- urat di jidatnya pada keluar. Ia goyang- goyang kepala.
"Tidak, kau tidak boleh berlalu dari aku!"
Ia bilang dengan keras.
"Guruku perintah aku nikah kau, bukannya Po Go! Aku tak mau hilangkan kepercayaanku terhadap kau! Aku tak sudi perdulikan semua mereka ini, mereka semua bermulut lain dan berhati lain!"
Thian Hiong begitu sengit, hingga ia menusuk dengan tumbaknya, tetapi Tek Hui menyamber dengan pedangnya, akan tangkis terpental tumbak itu! 456
"Aduh!"
Menjerit Siauw Hong, yang kaget dan ketakutan. Po Go lompat maju, akan mengadang di depan pamannya.
"Jangan!"
Ia berteriak.
"Jangan!"
Justeru itu, Tek Hui tarik tangannya Siauw Hong, buat dibawa lari ke dalam, la tidak mundur ke gubuk, hanya lari terus ke kamar pengantin, la bisa lari dengan leluasa, karena tidak ada orang yang kejar mereka.
Ia sebenarnya niat loncat naik ke atas rumah, tetapi waktu itu masih siang, sedang di sekitar ia banyak orang-orangnya Thian Hiong.
Coba ia tidak beserta Siauw Hong, ia tidak takut siapa juga.
Maka ia masuk ke dalam kamar, pintunya ia segera kunci.
Po Go telah memburu, ia kaget tapi tidak berdaya.
Sekarang ia jadi sangat gusar dan sengit.
"Tak tahu malu, tak tahu malu!"
Ia mendamprat.
"Bagaimana kau berani duduki kamarku?"
Ia samber tumbak dari tangan pamannya, yang ikuti ia, dengan itu ia menusuk ke jendela.
Tapi, meski pun jendela bolong, tumbaknya itu tidak mengenai orang.
Di dalam, Tek Hui suruh Siauw Hong duduk di atas pembaringan, ia sendiri duduk di sampingnya, pikirannya bekerja keras, la hendak cari daya akan keluar dari kamar itu.
457 Tiba-tiba terdengar suara di jendela, sebatang piauw menyamber masuk.
Dengan sebat Tek Hui sambuti piauw itu, kemudian ia samber meja, yang ia terus baliki, pasang di muka pembaringan, hingga meja itu merupakan tameng.
Beberapa piauw menyambar, semua nancap di papan meja.
Kaca pecah dan menerbitkan suara berisik.
Siauw Hong ketakutan, ia peluki Tek Hui.
"Jangan takut"
Menghibur anak muda ini.
"Jangan takut, ada aku! Kita ada di dalam kamar, apa mereka bisa bikin?"
Suara tangisan dari Po Go terdengar, sebagai orang kalap ia bacoki pintu yang kekar, dengan tidak ada hasilnya.
"Tek Hui, kau enghiong macam apa? Siauw Hong, kau tak tahu malu!"
Kembali ia menimpuk sama piauw, kembali senjata itu nancap di atas meja.
"Sudah, sabar,"
Terdengar suaranya Thian Hiong.
"Mereka ngeram di dalam kamar, ini bagus, mereka tentu tidak mampu kabur! Tek Hui,"
Ia tambahkan.
"kau sekarang bisa berpikir dengan tenang. Perbuatan kau ini tak ada gunanya, kau tolol. Kau justeru cemarkan nama gurumu, habislah hari kemudianmu! Kau keram diri di dalam, baik, kau boleh keram diri seumur hidupmu! Tapi jangan kau harap bisa keluar, 458 kalau kau keluar, kau mesti bikin perhitungan, kau mesti jalankan upacara nikah."
"Kau, Po Go, pergi masuk,"
Kemudian terdengar pula suaranya, terhadap keponakannya.
"Kau jangan marah! Dialah yang tak tahu malu, bukannya kita! Mustahil dia bisa terus berdiam di dalam kamar ini? Pergi kau ngaso. Dan kau, pergi kau undurkan diri."
Lebih jauh terdengar suaranya piauwsu itu pada orang-orangnya.
"Mereka berada di dalam, mereka tidak bisa keluar lagi, maka kau tidak usah berkumpul di sini. Sayang engkoku datang dan ia terus keluar pula, hingga ia tidak tahu kejadian ini. Celaka adalah Lu Tong Pin, sekali ini ramalannya ngaco! Ia kata jodoh keponakanku adalah Tek Hui, habisnya terjadi begini rupa. Coba tidak ada ramalannya itu, siapa kesudian ambil tindakan yang memalukan ini? Dasar celaka!"
Lu Tong Pin ada beserta, ia diam saja, ia hanya samperi jendela buat bujuki Tek Hui, tetapi anak muda itu tulikan kuping, ia tidak gubris.
"Orang hina, orang tak tahu malu!"
Begitu beberapa suara mencaci.
Juga suara ini tidak menyebabkan Tek Hui loncat keluar dari kamar, sebab ia bisa kendalikan diri dan Siauw Hong pun pegangi ia dengan keras.
Dengan jalannya sang waktu, di luar kemudian terdengar suaranya Toa-too Ong.
Ia ini bujuki Tek Hui, 459 yang ia angkat, yang ia coba ejek, tetapi di dalam kamar bungkam dalam segala bahasa.
Maka di akhirnya, di dalam sunyi, di luar sepi.
Thian Hiong ajak semua orang ke depan dan Po Go masuk ke dalam kamar sebelah utara.
Melainkan matahari, yang nampaknya seperti berjalan turun ke barat, hingga dengan tak terasa sang magrib telah datang menggantikan sang siang.
Tek Hui dan Siauw Hong di dalam kamar merasa lapar, mereka dahar tiamsim yang tersedia di kamar pengantin itu, hanya air mereka tidak punya.
Di mana lampu tidak ada, kamar menjadi lebih cepat gelap.
Hingga kamar pengantin berubah menjadi seperti gua.
Dengan datangnya sang malam, Tek Hui jadi bersemangat, pikirannya jadi terang.
Di sampingnya tidak lagi ada encie Siauw Hong, hanya bakal isterinya.
"Kalau sekarang aku binasa, aku puas,"
Kata Siauw Hong, sambil sesenggukan dengan pelahan. Di antara mereka, segala apa sudah jadi terang, mereka mengerti satu pada lain.
"Ini adalah rumah orang, tidak bisa kita selamanya berdiam di sini,"
Kata si nona kemudian.
"Di sini kita tidak bisa dahar, tidak bisa minum."
"Jangan takut!"
Kata Tek Hui.
"Mereka yang undang kita kemari, bukan kita datang dengan suka kita."
"Tapi kita terkurung."
"Kau punya daya apa?" 460
"Bukankah kau pandai bugee? Kenapa kau tidak mau tobloskan kurungan? Kau gendong aku dan loncat naik ke genteng! Kau bisa bertindak sebagai dahulu kau tolongi aku dari rumahnya Han Kim Kong. Asal kita bisa lolos dari sini, semua gampang, kita pergi pada Ouw Sam-thay-thay, kemudian ia dan Kie Jie- thay-thay akan berdamai guna tolong kita lebih jauh."
"Minta bantuannya nyonya-nyonya pembesar bukan perbuatannya satu enghiong."
"Habis bagaimana? Mereka adalah encie angkatku, sedang ibunya Kie Jie-thay-thay adalah ibu pungutku. Sayang selama di Pak-ouw-cun, suratku tidak ada yang sampai pada mereka, coba tidak, tidak nanti Thian Hiong berani berbuat begini rupa."
Tek Hui berdiam, ia berpikir.
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang sepi, Tek Hui, mereka tentu sudah pada tidur,"
Kata Siauw Hong, ketika sang waktu lewat terus.
"Baik sekarang kau menerjang keluar."
Tek Hui goyang kepala.
"Tidak nanti mereka gampang-gampang tidur,"
Ia kata.
"Musuh kita cuma Po Go seorang, mustahil yang lain-lain turut usilan semua? Kalau mereka lihat kita di atas genteng, barangkali mereka berpura-pura tak tahu. Po Go batal jadi kemantin, ia gusar dan lelah, sekarang ia tentu lagi tidur pulas."
Tek Hui bukannya tidak pikir jalan ini, ia hanya mau tunggu waktu. 461
"Baik, kau boleh siap,"
Ia kata kemudian.
"Peluk aku dengan keras. Asal kita lolos dari Po Go, bahaya sudah tidak ada lagi. Piauwnya liehay."
Tek Hui rapikan pakaiannya, ia pergi ke pintu.
Ia pasang kuping, ia buka kunci.
Siauw Hong mengintil di belakangnya.
Mereka keluar dari kamar, mereka tak lihat sang rembulan.
Di sekitar mereka segala apa sunyi.
Penjaga tetapi sedang rebah sambil menggeros keras.
Untuk maju lebih jauh, Tek Hui mulai gendong Siauw Hong, siapa menggemblok di belakangnya dengan kedua kaki menjepit pinggang dan kedua tangan merangkul leher.
Begitu ia sampai di samping tetarap, di mana ada genteng, ia enjot tubuhnya akan loncat naik ke atas.
Ia tidak berani ambil jalan dari pintu, sebab pintu tentu terjaga keras.
Apa mau ia kena langgar ujung tetarap dan itu menerbitkan suara.
"Siapa?"
Segera terdengar teguran. Tek Hui kaget, karena ia kenali suaranya Po Go. Tapi ia berani, karena ia sudah ada di atas genteng, maka ia menyahuti.
"Po Go, sampai ketemu pula!"
Satu tubuh berkelebat, berjingkrak.
"Oh, kau berani minggat!"
Berteriak Po Go.
"Lihat!"
Satu piauw berkelebat, tapi Tek Hui bisa sampok itu. Siauw Hong kaget, ia menjerit.
"Kau kenapa?"
Tanya Tek Hui.
"Oh, tidak.........." 462 Suara mereka telah menyadarkan semua orang. Thian Hiong dan Thian Hiap muncul paling dulu, di belakangnya ikut Lu Tong Pin. Banyak orang datang dengan lentera, yang lainnya dengan bersenjata. Pengepungan lantas terjadi. Thian Hiong, Thian Hiap dan Po Go loncat naik ke atas genteng. Tek Hui lari ke jurusan belakang, tapi karena ia menggendol orang, larinya kalah pesat. Thian Hiap merangsek, ia menusuk, tapi Tek Hui tangkis ia, begitu keras sampai goloknya terpental, bahna kaget ia menjerit. Apa celaka, kakinya terpleset, ia terus jatuh bergelindingan ke bawah. Thian Hiong kaget, ia lantas menerjang. Di belakangnya menyusul Po Go. Tek Hui benci orang yang licin itu, maka ia menangkis dengan sengit, ia balik menyerang dengan seru, hingga ia bisa mendesak mundur. Thian Hiong juga penasaran karena cape-lelahnya akan tidak ada hasilnya. Ia melawan dengan sungguh- sungguh, tidak perduli musuh gagah. Ia percaya, dengan berkawan banyak, pihaknya akan menang. Po Go tidak dapat kesempatan akan gunai piauwnya. Ia pun tidak mau berlaku sembrono dengan senjata rahasianya. Tek Hui sengit sekali, ia mainkan pedangnya dengan hebat.
"Inilah bagianmu, orang licin!"
Berseru si anak muda, ketika ia menusuk.
463 Thian Hiong terperanjat, ia cepat menangkis.
Apa mau tusukan itu adalah gertakan saja, selagi orang menangkis, Tek Hui dengan sebat tarik pulang tangannya, buat terus diayun naik dipakai membabat, dari atas ke bawah.
"Trang!"
Demikian suaranya senjata beradu.
Hampir Thian Hiong menjerit ketika goloknya kena terpukul keras sampai ia rasai telapakan tangannya kesakitan dan gemetar.
Karena ini, waktu ujung pedang lewat terus menyamber ia, ia tidak mampu tarik pulang goloknya untuk dipakai menangkis.
Ia menjerit bahna kaget, ia egos tubuhnya, tetapi kakinya salah injak genteng, tubuhnya ikut terpeleset, justeru ujung pedang sampai, maka lagi sekali ia menjerit, tubuhnya terus rubuh jatuh ke tanah.
Ia rubuh terbanting dan darah mengalir dari lukanya di iga.
Dalam kagetnya, Po Go menjadi gusar.
"Celaka!"
Ia berseru, seraya ia menyerang.
Waktu itu dari bawah ada loncat naik satu orang lagi, yang Tek Hui kenalkan adalah Toa-too Ong.
Pemuda kita jemu terhadap jago Tit-lee Selatan ini, ia tidak takut, tetapi menyesal ia sedang gendong Siauw Hong, sedang Po Go terus rangsek ia.
Melawan dua musuh yang tangguh, Tek Hui terpaksa berkelahi sambil mundur.
Ia benar-benar merasai bandulannya Siauw Hong, hingga ia sukar bergerak dengan merdeka.
464 Toa-too Ong merangsek, dengan tidak banyak omong goloknya membulang-baling secara mengancam sekali.
Senjatanya Po Go pun bergerak tidak kurang hebatnya.
Di pihak lain, Tek Hui mesti awas juga terhadap piauwnya si nona, yang tergila-gila begitu terhadap dia, sampai ia ini melupai malu.
Sembari berkelahi, beberapa kali Tek Hui ambil ketika akan melihat ke belakang.
Ia mundur terus, ia telah mendekati akhirnya genteng.
Inilah hebat.
Dalam keadaan biasa, inilah yang ia ingin, dengan gampang ia bisa mencelat ke tembok akan kabur, tetapi sekarang, dengan membawa Siauw Hong, ia ngeri akan loncat ke tembok, kecuali ia bisa bersiap terlebih dahulu.
Sekarang dua musuh sedang desak ia, selagi layani musuh, ia berkuatir juga.
Ia tidak boleh meleng, kecuali ia ingin jadi korban dari kedua pengepung itu.
Sekarang mereka datang dekat sekali pada payon, selagi Tek Hui bingung dan memikir akan loncat ke samping, tiba-tiba Siauw Hong menjerit, tubuhnya menarik, karena nona ini keraskan jepitan dan rangkulannya.
Tidak tempo lagi, tubuhnya Tek Hui jadi limbung, waktu ia tarik kaki kirinya ke belakang, kaki itu injak bukannya genteng, hanya tempat kosong! Jadinya ia kejeblos.
"Celaka!"
Ia berseru dalam hatinya.
465 Ia tahu, kalau ia jatuh berdua tubuh mereka akan terbanting.
Kalau ia jatuh di bawah, ia akan celaka, tapi kalau ia yang tindih Siauw Hong, nona itu pasti akan habis jiwa.
Cuma sedetik, ia lakukan percobaan yang terakhir.
Dengan andali kaki kanan, yang masih injak genteng, ia coba menjejek akan buang diri dengan jumpalitan.
Thian saja yang ketahui hatinya.
Sungguh beruntung, justeru kakinya sampai di bawah, kaki Tek Hui itu menginjak tanah, hingga berdua mereka tidak jatuh terbanting, cuma sekejap saja si pemuda sedikit limbung.
Selagi ia tetapkan diri, orang-orangnya Thian Hiap lantas memburu ke jurusannya.
Po Go pun loncat turun akan menyusul.
Ia sangka pemuda itu rubuh, maka ia kecele, akan lihat orang tidak kurang suatu apa.
Toa-too Ong juga loncat turun.
"Kepung dia!"
Po Go mengasih titah.
Di atas tanah, Tek Hui bisa bergerak lebih leluasa, hanya apa lacur, di sini ia dikepung oleh banyak orang, yang senjatanya menyerang bergantian atau berbareng secara tak ketentuan.
Ia pun bingung akan menyingkir ke jurusan mana.
Di depan ada penjagaan, di belakang pun pasti ada.
Terpaksa, dalam keadaan seperti itu, ia nyelempet ke tembok, supaya orang tidak bisa kurung ia dari seputarnya, 466 supaya sang tembok talangi ia lindungi Siauw Hong.
Semua senjata, dari depan dan samping, kiri dan kanan, ia bisa lihat datangnya, ia bisa tangkis, tidak perduli ia mesti gunai tangan istimewa karenanya.
Ia juga mesti pentang mata lebar-lebar akan setiap saat pasang mata terhadap Po Go.
Dalam kepungan sebagai itu, adalah sukar untuk Tek Hui singkirkan diri.
Di kiri dan kanan, di depan, orang berlapis mengurung ia.
Ia gagah, lama-lama ia toh kewalahan.
Coba tidak ada Siauw Hong, dengan gampang ia bisa menerjang akan buka jalan, atau labrak orang dari Keng-bu Piauw-tiam itu.
Siauw Hong berdiam saja, mukanya ia tempel rapat pada pundaknya Tek Hui.
Dalam saat hebat seperti itu, dalam ketakutannya, ia paserah diri pada nasib.
Desakannya Po Go dan Toa-too Ong hebat, ini yang bikin jago muda itu hampir tidak bisa berkutik, ia terus mesti mepet pada tembok.
Lama-lama ia merasa kuatir juga, sebab satu kali tenaganya habis, lenyaplah harapannya, jangan kata tolongi Siauw Hong, menolong diri pun ia tidak mampu.
Bagaimana kalau ia telah habis tenaga? Lalu Tek Hui menjadi nekat, sambil menangkis Po Go dan Toa-too Ong, ia mendesak ke kiri, di mana hanya ada orang- orang piauw-tiam, yang ia paksa pukul mundur, kendati pun dengan pelahan.
Ia mengharap bisa sampai di pintu depan, ia harap di sana, ia nanti bisa buka pintu, akan noblos keluar.
467 Po Go dan Toa-too Ong bisa duga maksudnya, mereka lantas teriaki akan awas di pintu depan.
Si nona juga teriaki orang-orangnya akan merangsek dari sebelah kiri, hingga karena ini desakannya Tek Hui lantas bisa dirintangkan.
"Tinggalkan aku......,"
Siauw Hong kata, dengan pelahan.
"Pergi kau menyingkir sendiri "
Tapi Tek Hui menyahuti.
"Tidak! Jangan kau putus asa!"
Meski demikian, anak muda ini ibuk juga.
Ia sekarang telah mandi keringat, napasnya sudah mulai memburu.
Ia mengerti, setelah keluarkan keringat terlalu banyak, ia akan jadi lelah, dan kalau selama itu ia tetap terkurung, benar-benar ia tidak punya harapan lagi.
Ia tidak bisa harap pertolongan siapa juga.
Dulu di rumahnya Han Kim Kong ada Po Go yang tolong ia scara diam-diam, sekarang si nona gagah justeru ada musuhnya! Dari Tong Kim Houw ia tak harap suatu apa, begitu juga dari Lu Tong Pin, orang yang ternyata mainkan peranan juga dalam lelakonnya ini.
Dari gurunya pun ia tak punya pengharapan karena Giok-bin Lo Cia Pheng Jie terkurung di antara trali dalam penjara Heng-pou.
"Tinggalkan aku......,"
Berbisik pula Siauw Hong.
"Tidak......!" 468 Dalam keadaan yang berbahaya itu, mendadak terdengar suara berisik di bagian belakang dari pihak pengepung, kemudian kepungan pecah di sebelah kiri, hingga bisa kelihatan seorang dengan pakaian dan roman tidak keruan, yang mainkan sebatang pedang dengan dahsyat. Semua orang menjadi terperanjat.
"Minggir!"
Teriak Toa-too Ong, yang segera lompat maju, akan tempur penyerang yang tidak dikenal itu, yang terang hendak menolongi Tek Hui.
Po Go pun terperanjat, tetapi ia terus desak Tek Hui.
Sebaliknya, Tek Hui menjadi dapat harapan, terutama apabila ia sudah perhatikan penyerang itu, roman siapa segera berpeta di depan matanya.
"Suhu!"
Ia berteriak, dengan tiba-tiba.
"Ya, Tek Hui! Jangan kuatir, bukalah jalanmu sendiri!"
Demikian jawaban penolong itu.
Tek Hui benar-benar balik mendesak Po Go, selagi si nona terpaksa mundur, ia menyerbu ke kiri akan buka jalan.
Po Go kemudian rangsek ia pula, tapi sementara itu ia telah peroleh kemajuan.
Lagi sekali ia desak nona itu, akan kemudian lagi-lagi ia loncat menerjang ke kiri.
Saban ia menerjang, tentu musuh terpukul mundur, sedang jumlah pengepung jadi berkurang, karena ada saja yang terluka atau mesti mundur sebab senjatanya terpental atau tangannya sakit.
469 Pheng Jie juga kena dikurung, Toa-too Ong rangsek ia, tetapi ia bisa pertahankan diri, setiap musuh yang merangsek ia bikin senjatanya terlepas atau orangnya rubuh sambil menjerit.
Cuma Toa-too Ong, yang tidak bisa dipukul mundur.
Dalam sengit, Po Go menyerang Tek Hui secara mati- matian.
"Orang tak punya kepercayaan!"
Ia mencaci.
Tapi Tek Hui tidak mau adu omong, ia hanya adu senjata.
Ia tidak mau kasih ketika akan si nona desak ia.
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makin lama Tek Hui datang makin dekat pada pintu, di sebelah kirinya musuh telah menjadi makin tipis, hingga akhir-akhirnya ia bisa bergerak lebih leluasa.
Ketika akhirnya ia bisa sampai di pintu, dengan satu sontekan sama pedangnya ia bisa bikin palangan pintu terpental dan kedua daun pintu menjeblak.
"Suhu, mari!"
Ia berseru seraya loncat keluar.
"Jangan lari!"
Berseru Po Go, yang lompat menerjang.
Justeru di saat itu, Pheng Jie telah berhasil pecahkan penyerangannya Toa-too Ong, golok siapa ia bisa bikin tersampok terpental, jeriji siapa ia dapat bikin terluka, sedang satu dupakan menyebabkan jago Tit-lee Selatan itu terjungkel sambil keluarkan jeritan kaget dan kesakitan! 470
"Lekas, Tek Hui!"
Berseru pula sang guru, yang pun terus menyingkir ke pintu.
Ia ingin talangi muridnya mencegah rangsekan, agar murid itu dapat ketika akan lari dengan bebas.
Dalam maksudnya ini, ia mendapat hasil, karena lewat di pintu, ia bisa pegat orang-orangnya Keng-bu Piauw-tiam.
Matanya Po Go bersinar merah, apabila ia lihat mangsanya akan lolos, lantas saja ia merogoh ia punya kantong piauw.
"Tek Hui, orang put sin, terimalah ini!"
Ia berseru, seraya tangannya mengayun.
Tek Hui tahu yang si nona hendak lepaskan piauw, maka dengan tak menunggu senjata rahasia, ia mencelat ke pinggir, pedangnya diputar untuk menangkis.
Hampir berbareng sama seruannya Po Go itu, suara keras dari beradunya senjata kedengaran, disusul sama jeritan hebat dari seorang perempuan.
Kapan Tek Hui menoleh, ia heran dan terkejut akan saksikan Po Go rubuh, karena si nona adalah orang yang menjerit itu.
Justeru itu, Pheng Jie lompat mendekati.
"Lekas!"
Ia serukan muridnya.
"Lekas, mari kita menyingkir!"
Tek Hui menurut, ia lantas lari.
Sekarang tidak ada lagi pengejar di belakang mereka, sebab orang-orangnya Thian Hiong memburu pada Po Go, tidak ada yang memikir atau berani 471 menguber.
Nona Louw segera digotong buat dibawa ke dalam, sebab ternyata lehernya tertancap piauw dan dari situ mengalir darah.
Tek Hui lari terus, Pheng Jie ikuti ia.
Di waktu fajar menyingsing, mereka sudah terpisah jauh dari tempat kejadian, karena tidak ada yang kejar, mereka bisa merasa aman.
Meski begitu, Pheng Jie terus cari kereta, untuk ia dan muridnya dan si nona juga, kabur terus untuk berlalu dari kota-raja.
"Ke mana kita pergi, suhu?"
Tek Hui tanya.
"Kau ikut saja aku!"
Sahut sang guru.
Di dalam kereta, mereka tidak banyak omong.
Si guru, dengan kedipkan mata, melarang buat banyak bicara.
Pheng Jie duduk di depan bersama kusir, dan Tek Hui temani Siauw Hong, yang rebahkan tubuh di kereta, karena nona ini merasa sangat lelah.
*** 472 PENUTUP Di sebuah rumah atap, dalam satu lembah, berkumpul tiga orang, seorang nyonya muda, seorang anak muda, dan seorang setengah tua.
Mereka adalah Siauw Hong, Lauw Tek Hui si anak bekas tukang arang, dan gurunya, Giok-bin Lo Cia Pheng Jie.
Di sini, jauh dari kota, bebas dari segala apa, mereka hidup aman dan berbahagia.
Pheng Jie tidak lagi beroman sebagai orang gila, malah ia dandan rapi meski pun tidak mewah.
Sekarang, Tek Hui dan Siauw Hong tahu segala apa yang mengenai atau berhubung sama diri mereka bertiga.
Pheng Jie datang di saat yang kebetulan, la tidak sudi ganti jiwa buat Han Kim Kong, maka hari itu setelah dikurung dalam penjara Heng-pou, ia ambil putusan, ia atur rencananya.
Ia tunggu datangnya sang malam.
Dalam gelap gulita, ia bertindak menurut rencananya.
Setelah loloskan kaki dan tangan, ia paksa dobrak pintu.
Ia cari pedang, lantas ia angkat kaki dari gedung Heng-pou.
Tidak ada penjaga atau opas ketahui ia minggat, kecuali di waktu peronda datang memeriksa kamar, tapi sudah kasep.
Dari kantor Heng-pou, ia menuju langsung ke Keng-bu Piauw-tiam, karena ia percaya Tek Hui ada di 473 sana.
Ia ingin tengok muridnya itu.
Maka kebetulan sekali, di waktu ia sampai, Tek Hui lagi dikepung, dari itu ia terus turun tangan akan bantu muridnya itu.
Tapi ia tidak mau kucurkan banyak darah atau meminta jiwa, dari itu ia tidak bikin Toa-too Ong menjadi celaka.
Kalau Po Go binasa, itu bukan salahnya, itu karena sang takdir atau nasib.
Ia seorang kangouw ulung, ia pernah banyak merantau dan mengembara, maka ia tahu ke mana ia harus pergi buat tinggal menyendiri.
Begitu ia ajak Tek Hui dan Siauw Hong ke lembah yang sunyi-senyap itu.
Di sini ia tinggal dengan tidak kuatir hamba negeri cari ia.
Sebaliknya dengan menyamar, ia kadang-kadang suka pergi ke kota, untuk mendengar- dengar segala kabaran.
Segala apa yang ia dengar, ia sampaikan pada muridnya, pada nyonya mantu muridnya.
Po Go telah menutup mata karena lukanya.
Ia bukan bunuh diri, hanya piauwnya makan tuan! Ketika ia timpuk Tek Hui, Pheng Jie lihat itu dan menangkis untuk tolong muridnya.
Piauw tersampok keras, mental balik dengan kebetulan ujungnya menyambar tenggorokannya si nona, hingga ia menemui ajalnya, hingga tamatlah lelakonnya.
Thian Hiap dan Thian Hiong telah menjadi orang- orang bercacat.
Karena jatuh terbanting, Thian Hiap dapat luka di dalam tubuh dan meroyan.
Thian Hiong patah tulang iganya bekas tusukan pedang, ia pun 474 terbanting hebat, sampai tangannya salah urat.
Ketika lukanya baik, tangannya terus bengkok sebelah.
Kasihan adalah Toa-too Ong, meski pun ia sembuh bekas dupakan, pamornya telah jatuh.
Juga Gouw Po tidak berhasil pertahankan penghidupan mewah.
Mula-mula ia bisa kangkangi adiknya Han Kim Kong dan harta bendanya juga, tetapi belakangan sahabat-sahabatnya Han Kim Kong turun tangan, ia dibekuk dan dijebloskan dalam penjara, di mana ia mesti mendekam.
Beginilah akhirnya cerita atau lelakon SIU TAY - angkin sulam dan GIN PIAUW - piauw perak.
TAMAT Pojokdukuh, 04 April 2019, 08.35 WIB SIU TAY GIN PIAUW ANDY MULL AWIE DERMAWAN ADITYA INDRA JAYA
Kolektor E-Book
Pdf Maker . Oz SIU TAY GIN PIAUW ANDY MULL AWIE DERMAWAN ADITYA INDRA JAYA
Kolektor E-Book
Pdf Maker . Oz
Naga Kemala Putih -- Gu Long Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pendekar Cacad Karya Gu Long