Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 10


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   Ketika perempuan itu sudah menyusulnya diikuti oleh suaminya, maka perempuan itupun berkata.

   Tunggu sebentar ngger. Aku harus, mengembalikan sekeping."

   ""

   Bibi, matahari sudah hampir terbenam. Sebentar lagi senja akan turun. Aku harus melanjutkan perjalanan."

   "Itulah yang ingin aku katakan, ngger. Kenapa kau tidak bermalam saja di sini."

   "Bermalam di rumah kita? - bertanya laki-laki itu. Dengan jujur dan tanpa maksud apa-apa laki-lajki itu berkata - Rumah kita terlalu kecil. Kecuali jika"

   Mereka berdua bersedia tidur di kedai. Di lincak bambu itu."

   Tetapi Glagah Putih menjawab - Terima kasih, paman dan bibi. Kami ingin melanjutkan perjalanan saja. Kami dapat bermalam dimana-mana."

   "Tetapi bukankah lebih baik jika kalian bermalam di tempat yang lebih mapan? sahut perempuan itu.

   "Terima kasih, bibi. Kami minta diri. Yang sekeping itu biarlah aku tinggalkan saja. Bibi dan paman tidak usah mengembalikan kepadaku."

   "Tunggu, ngger. Tunggu."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat kesan, bahwa perempuan itu sengaja mengulur waktu.

   Sedangkan laki-laki yang berwajah kasar dan bermata liar itupun berkata - Apa lagi yang harus mereka tunggu; mboke.

   Sebentar lagi senja turun.

   Biarlah mereka melanjutkan perjalanan mereka."

   "Bodoh, kau - bentak isterinya - apa salahnya kita berbuat baik kepada kedua orang pengembara itu?"

   "Berbuat baik? Aku setuju saja jika kita ingin berbuat baik. Tetapi keduanya justru akan merasa terhambat dengan sikapmu itu."

   Perempuan itu nampak sangat gelisah.

   Setiap kali, ia memandangi tikungan di sebelah kedainya.

   Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah mencurigainya itupun ikut pula memandang kearah pandang perempuan itu.

   Tiba-tiba saja dari balik tikungan muncul beberapa orang laki-laki.

   Mereka melewati kedai yang masih terbuka itu langsung melangkah dengan cepat, mendekali perempuan penjual nasi megana itu.

   "Kau sampaikan pesan itu kepadaku, Nyi?"

   "Ya,Ki Bekel."

   "Yang manakah orang yang mencurigakan itu? "

   Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Lalu bertanya - Suami isteri ini, Ki Bekel"

   "Mencurigakan? "

   Bertanya laki-laki berwajah kasar itu - apa yang mencurigakan? Mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka makan dan minum di kedai kita dengan membayar. Bahkan berlebih seperti yang kau katakan?"

   "Diam kau dungu - bentak isterinya. Laki-laki itu memang terdiam. Sementara itu Ki Bekel sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Tetapi dengan hampir tidak berkedip dipandanginya Rara Wulan yang berdiri di sebelah Glagah Putih.

   "Aku terpaksa menahan kalian berdua - berkata orang yang disebut Ki Bekel itu. Orangnya masih muda Wajahnya nampak bersih. Kumisnya terpelihara rapi. Demikian pula pakaiannyapun nampak rapi [ ula.

   "Apa salah kami? - bertanya Glagah Putih.

   "Kalian adalah orang-orang yang pantas dicurigai."

   "Kenapa? Apakah yang telah kami lakukan sehingga kami harus dicurigai."

   Ki Bekel itu melangkah mendekati Glagah Putih sambil berkata -Kalian "orang asing bagi kami."

   "Kami memang tidak pernah lewat jalan ini. Tetapi bukan berarti bahwa Ki Bekel dapat begitu saja mencurigai kami."

   "Katakan nanti kepada Ki Jagabaya yang akan memeriksamu. Jika kalian dapat meyakinkan kepada Ki Jagabaya bahwa kalian tidak bersalah, maka kalian akan dilepaskan."

   Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya - Sekarang, kami akan dibawa kemana?"

   "Kalian akan dibawa ke banjar."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara seorang di-antara mereka yang datang bersama Ki Bekel itu bertanya - Apa yang kau bawa itu?"

   "Kau lihat, yang aku bawa adalah sebuah peti kayu."

   "Apa isinya?"

   "Tidak apa-apa. Sedikit obat-obatan dan sebuah kitab tentang silsilahku dan silsilah istriku."

   Ketika laki-laki itu melangkah mendekati Glagah Putih Ki Bekelpun berkata - Biarkan saja. Segala sesuatunya akan di urus oleh Ki Jagabaya."

   Orang itu mengurungkan niatnya untuk merampas peti kecil itu.

   "Sekarang, pergilah ke banjar padukuhan."

   "Dimana letaknya? "

   Bertanya Glagah Putih. Ki Bekelpun kemudian memerintahkan kepada orang-orangnya -Bawa laki-laki itu ke banjar. Tetapi keduanya harus di tahan di tempat yang berbeda."

   "Lalu, kemana perempuan ini harus kami bawa?"

   Ki Bekel itu berpikir sejenak. Namun kemudian iapun berkata -Tahan perempuan itu di rumahku."

   Namun sebelum orang-orang itu bergerak, terdengar Glagah Putih berkata sambil tertawa pendek - Nah, ternyata dugaaj ku tepat."

   Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun bertanya - Apa yang kau duga?"

   "Ki Bekel. Ternyata tindakanmu kasar sekali. Apakah kau tidak dapat berbuat dengan sedikit terselubung sehingga tidak justru menodai kewibawaanmu sendiri."

   "Apa maksudmu? "

   Bentak Ki Bekel.

   "Jangan ganggu kami. Biarkan kami meneruskan perjalanan kami. Kami tidak mau kaujadikan korban kebuasaanmu itu."

   "Iblis kau. Kau tahu, aku Bekel disini."

   "Ya"

   "Kenapa kau berani menentang perintahku. Bahkan berani menghinaku."

   "Bukan aku yang menghinamu. Tetapi kau sendirilah yang telah menghina dirimu sendiri. Menghina kedudukanmu dan menghina wibawamu. Kau juga telah merendahkan kepercayaan rakyat pedukuhan ini kepadamu."

   "Tutup mulutmu. Aku dapat berbuat apa saja terhadap kalim berdua. Aku berkuasa disini."

   "Kau salah menerjemahkan arti kekuasaan itu."

   "Diam kau. Aku dapat membunuhmu."

   "Aku tidak terkejut mendengar ancamanmu. Bahkan seandainya kau benar-benar melakukannya terhadap seseorang karena kau menginginkan sesuatu dari orang itu. Bukankah itu sama artinya bahwa kau telah merampok. Derajatmu tidak lebih dari seorang penyamun yang menunggu mangsanya di bulak-bulak yang sepi. Bedanya, kau melakukannya justru di pedukuhanmu. Kau manfaatkan perempuan penjual nasi megana itu untuk memberikan isyarat jika ada orang yang lewat dan pantas kaujadikan sasaran perampok. Kau pergunakan kuasamu bagi kepentinganmu. Kepentingan pribadimu."

   "Cukup - teriak Ki Bekel - tidak pernah ada orang yang berani menentangku. Tidak pernah ada yang berani menolak keinginanku."

   "Ki Bekel aku dapat membayangkan, bahwa pedukuhan ini merupakan neraka bagi perempuan yang mempunyai harga diri yang tinggi. Perawan-perawan yang tumbuh dewasa akan selalu bersembunyi agar tidak kau lihat keberadaannya. Istri-istri muda akan selalu gelisah jika mereka berpapasan dengan kau di jalan pedukuhan. Bahkan mereka yang sudah mempunyai satu dua anak, akan berusaha menghindar jika mereka bertemu dengan kau. Bekel yang seharusnya melindungi mereka"

   Wajah Ki Bekel menjadi merah. Dengan geram iapun berkata -Aku bunuh kau, iblis."

   Ki Bekel tidak menunggu lama lagi.

   Tiba-tiba saja ia telah meloncat menerkam leher Glagah Putih.

   Agaknya Ki Bekel yang snagat marah itu ingin mencekiknya.

   Tetapi tangannya tidak sempat menyentuh leher Glagah Putih.

   Dengan cepat Glagah Putih bergeser menghindar.

   Sementara Rara Wulanpun surut beberapa langkah.

   Kemarahan Ki Bekel semakin membakar jantungnya.

   Dengan lantang iapun berkata kepada tiga orang pengikutnya.- Jangan beri kesempatan orang ini melarikan diri.

   Aku akan mencincangnya sampai"lumat.

   Itu berarti bahwa orang mi telah menghina kuasa dan kedudukanku."

   Ketiga orang pengiring Ki Bekel itupun segera menebar. Mereka telah mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri beberapa langkah dibelakang.

   "Aku peringatkan. Jangan melibatkan diri - berkata Glagah Putih kepada para pengiring Ki Bekel itu. Tetapi seorang diantara para pengiring itu membentaknya - bodoh kau. Aku adalah salah seorang pengawal Ki Bekel. Bagaimana mungkin kau dapat memperingatkan aku, agar aku tidak melibatkan diri."

   "Seharusnya kau tahu, kepada siapakah kau mengabdi. Keseti-aanmu kepada seorang yang berjalan sesat, adalah kesetiaan yang terbuang."

   "Persetan kau - geram Ki Beke; Lalu katanya - Kita akan menangkapnya. Hidup atau mati."

   "Perintah orang gila - sahut Glagah Putih - perintahmu itu mempunyai sasaran timbal balik. Justru karena perintahmu itu akupun akan menundukkanmu. Hidup atau mati."

   "Cepat - teriak Ki Bekel - jangan beri kesempatan untuk berbicara lagi. Orang-orang Ki Bekel itupun segera bergeser. Sementara Glagah Putih telah memberikan peti kecilnya kepada Rara Wulan.

   "Kakang - berkata Rara Wulan - agaknya perhatian mereka tertuju kepadamu. Karena itu, biarlah kau saja yang menanggapi mereka."

   Glagah Putih mengerutkan dahinya.

   Namun kemudian ia tersenyum.

   Ia teringat kepada kalimatnya sendiri saat Rara Wulan harus menghadapi anak-anak muda bengal yang mengganggunya.

   Dalam pada itu, ketiga orang pengikut Ki Bekel itupun telah bergerak.

   Mereka serentak menyerang dari arah yang berbeda.

   Namun serangan mereka itu tidak berarti apa-apa.

   Dengan mudah Glagah Putih menghindar.

   Bahkan kemudian kakinya yang bergerak melingkar telah melemparkan dua orang di antara ketiga *ang yang menyerangnya itu.

   Kedua orang yang terpelanting itupun dengan cepat bangkit berdiri.

   Namun demikian keduanya bergeser mendekat, maka yang seoranglah yang kemudian terdorong beberapa langkah surut.

   Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangannya.

   Namun akhirnya orang itupun terjatuh pula.

   Sementara itu kedua orang yang lain telah bersiap pula menyerang Glagah Putih dari arah yang berbeda.

   Pertempuran diantara merekapun menjadi semakin sengit setelah ketiga orang itu menyadari, bahwa lawan mereka mempunyai ilmu yang tinggi.

   Dengan demikian, maka ketiga orang pengawal Ki Bekel itu segera meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.

   Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, bahkan ketika ketiga orang Ki Bekel itu menjadi semakin tidak berdaya, maka Ki Bekel mengarahkan pandangan matanya kepada perempuan yang membawa peti kecil itu.

   Agaknya peti kecil itu mempunyai arti yang tinggi.

   Selebihnya,-perempuan itu sendiri tentu akan dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada laki-laki yang ternyata tidak dapat dikalahkan oleh ketiga orang pengawalnya itu.

   Sejenak kemudian, tiba-tiba saja Ki Bekel telah meloncat menerkam Rara Wulan.

   Kedua tangannya terjulur lurus mengarah ke lehernya.

   Ki Bekel berniat untuk menguasai Rara Wulan dan memaksa Glagah Putih untuk menyerah.

   Perempuan itu sendiri serta peti kecil yang berada di tangannya itu akan dapat menjadi taruhannya.

   Namun Ki Bekel itu terkejut bukan buatan.

   Kedua tangannya yang menggapai leher Rara Wulan itu tidak menyentuhnya.

   Rara Wulan itu bergeser selangkah kesamping.

   Kemudian dengan sebelah tangannya.

   Rara Wulan itu memukul punggung Ki Bekel yang agak terdorong oleh kekuatannya sendiri itu.

   Ternyata pukulan Rara Wulan bagaikan meretakkan tulang punggungnya.

   Bahkan Ki Bekel itupun terhuyung-huyung beberapa langkah sebelum Ki Bekel itu jatuh terjerembab.

   Ki Bekel mencoba untuk segera bangkit.

   Namun dalam pada itu, dua orang pengawalnya telah terlempar dengan derasnya.

   Seorang di-antara mereka membentur dinding halaman di pinggir jalan.

   Seorang terbanting jatuh 'i tanah.

   Yang seorangpun menjadi ragu-ragu.

   Namun ia tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh lawannya yang masih terhitung muda itu ketika tiba-tiba saja ia terlempar dan justru menimpa Ki Bekel yang baru saja bangkit itu, sehingga keduanya jatuh pula bergulir bersama-sama.

   Terdengar Ki bekel yang kumisnya tertata rapi itu mengumpat.

   "Setan kau. Dimana matamu, he?"

   "Tetapi, tetapi, bukan maksudku - jautab pengikutnya demikian keduanya bangkit. Ki Bekel itupun menyeringai menahan sakit di punggungnya. Selain karena ia tertimpa oleh seorang pengawalnya, Ki Bekel memang jatuh tertelungkup dengan kerasnya karena pukulan Rara Wulan di punggungnya.

   "Marilah Ki Bekel - berkata Rara Wulan - bukankah itu yang kau inginkan. Marilah, bangunlah. Ki Bekel memang sudah berdiri Tetapi ia masih belum siap untuk bertempur. Karena itu, maka dengan kedua tangannya, Ki Bekel menekan pinggangnya.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau perempuan iblis - geram Ki Bekel. Namun ternyata ketiga pengawalnya sudah tidak bangkit lagi. Sebenarnya seorang diantara mereka, yang menimpa Ki Bekel, masih belum terlalu parah. Tetapi ia sengaja berpura-pura tidak dapat bangun lagi, karena punggungnya sakit. Sambil melangkah mendekat Rara Wulanpun berkata - Nah, Ki Bekel. Kau sekarang sendiri. Apakah kau akan mampu melawan kami berdua?"

   Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya. Wajahnya menjadi pucat dan tubuhnyapun menjadi gemetar.

   "Sekarang, kami berdualah yang akan membunuhmu. Kau akan mati. Kau sendirilah yang pertama-tama mengucapkan kata-kata itu. Sebenarnya kami tidak ingin membunuh siapapun. Tetapi karena kau sudah melakukannya, maka kamipun akan melakukannya pula. Kami berdua akan mencincangmu. Kami akan membunuhmu dengan cara kami."

   Tiba-tiba saja Ki Bekel itu berlutut - Ampun. Ampunilah aku. Aku tidak benar-benar ingin membunuh."

   "Omong kosong. Jika kau dan orang-orangmu itu mampu kau tentu akan melakukannya."

   "Tidak. Sumpah demi langit dan bumi."

   Rara Wulan tertawa. Katanya - Apakah masih ada orang yang menghagai sumpahmu? Sumpahmu tidak lebih dari sampah."

   "Aku bersungguh-sungguh, bersumpah. Berjanji demi nyawaku."

   "Nyawamu yang akan aku cabut sekarang."

   "Jangan, Jangan Ki Sanak. Aku minta ampun."

   Ki Bekel itupun kemudian bagaikan merangkak mendekati Glagah Putih sambil merengek - Aku minta ampun."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata - Jika kau mampu, kami berdua sekarang tentu sudah terbunuh disini. Nah, sekarang kamilah yang mampu melakukannya."

   "Ampun. Aku mohon ampun."

   Glagah Putih tidak menjawab. Namun ketika ia memandang perempuan penjual nasi megana, maka perempuan itupun segera menjatuhkan dirinya pula di hadapan Glagah Putih - Aku juga memohon ampun."

   "Bukan aku yang kau rendahkan. Tetapi istriku. Seorang perempuan seperti kau."

   "Aku khilaf. Aku mohon ampun."

   Jika kau menghina seorang perempuan, itu berarti bahwa kau telah menghina dirimu sendiri."

   "Aku menyesal sekali, ngger Aku tidak akan melakukannya lagi"

   "Kau hargai keping-keping uang lebih dari harga diri seorang perempuan, harga dirimu sendiri."

   "Ya, ya, ngger. Aku mohon ampun."

   "Kau harus minta maaf kepadanya."

   Perempuan itu beringsut. Iapun berjongkok di depan Rara Wulan sambil merengek - Aku mohon ampun ngger. Aku mohon ampun."

   Rara Wulan termangu-mangu sejenak.

   Namun Rara Wulanpun kemudian justru beringsut dari tempatnya sambil berkata - Aku ingin memberimu sedikit peringatan bibi.

   Aku tidak mendendammu.

   Aku akan memaafkanmu.

   Tetapi aku tidak ingin peristiwa seperti ini terulang lagi.

   Kedaimu itu harus dimusnahkan.

   Kedaimu itu adalah modal perbuatan terkutukmu itu."

   "Apa yang akan kau lakukan, ngger?"

   Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati kedai yang berada beberapa puluh langkah dihadapannya.

   "Siapa yang berada didalam kedai, keluarlah - berkata Rara Wulan lantang. Tidak ada seorangpun yang berada didalam kedai. Sementara itu, orang-orang yang berada di tempat itu memandanginya dengan terheran-heran.

   "Apa yang akan dilakukan oleh perempuan itu?"

   Ketika Glagah Putih mendekatinya, diserahkannya peti kecil itu sambil berkata - Sedikit cambuk bagi perempuan itu."

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   Rara Wulan tidak menjawab.

   Tetapi perempuan itu telah memusatkan nalar budinya.

   Kemudian dilontarkannya ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce dengan sasaran kedai di pinggir jalan itu.

   Ketika Rara Wulan melontarkan ilmunya, maka terdengar tulang-tulang bambu dari kedai itu berderak.

   Kedai itu bagaikan diguncang oleh angin prahara yang tertiup dari samodra.

   Ketika kemudian, Rara Wulan melontarkan ilmunya sekali lagi, maka kedai itupun tidak saja terguncang.

   Atapnya yang terbuat dari ketepe daun kelapa yang sudah kenng itu menyentuh api yang masih menyala di kedai itu untuk merebus air.

   Maka sejenak kemudian, kedai yang roboh itu mulai terbakar.

   "Kedaiku-kedaiku."

   Ketika perempuan itu akan berlari ke kedainya yang sudah terbakar, dengan cepat suaminyapun menangkap lengannya. Kemudian memeganginya erat-erat.

   "Kedaiku terbakar."

   "Biarlah kedaimu itu terbakar. Ternyata kedai itu kau gunakan untuk menimbun dosa."

   "Aku sudah menyesali perbuatanku."

   "Tetapi apa yang terdapat didalam kedai itu semua sudah kau lumuri-dengan perbuatan nista. Karena itu, biarlah kedaimu itu terbakar sejalan dengan penyesalan yang menyala di hatimu. Jika api itu nanti padam dengan sendirinya, itu juga akan berarti bahwa noda-noda didalam hatimu juga sudah dibersihkan."

   "Tetapi dosa itu bersumber dari dosa-dosa yang dipercikkan oleh Ki Bekel"

   Laki-laki yang berwajah kasar dan bermata liar, tetapi berhati bersih itu berkata.

   - Kau jangan menimpakan kesalahan kepada orang lain.

   Biarkan Ki Bekel memikul dosanya sendiri.

   Jika saja kau tidak lepas dari pegangan, maka kau tidak akan dapat dipengaruhinya sehingga kaupun berbuat nista."

   Isterinya tidak menjawab lagi.

   Dipandanginya api yang menelan kedainya.

   Sementara langit menjadi semakin buram, maka nyala api itupun menjadi semakin merah.

   Sejenak kemudian, maka disekitar kedai yang terbakar itu, telah berkerumun penghuni padukuhan itu.

   Mereka melihat kedai yang terbakar, tetapi tidak seorangpun yang telah mengambil sikap.

   Tidak ada se-orangpun yang mencoba memadamkan api yang berkobar itu.

   Apinya memang tidak terlalu besar.

   Tidak menggapai mega-mega yang melintas.

   Bangunan yang terbakar hanyalah bangunan yang kecil saja yang dibuat dari bahan-bahan yang terhitung lunak.

   Bambu, ketepe daun kelapa dan sedikit kayu.

   Apalagi bangunan itu terpisah dari bangunan induk serta bangunan yang lain, sehingga tidak dicemaskan bahwa api akan menjalar kemana-mana.

   Sementara itu Ki Bekel benar-benar telah menjadi ketakutan.

   Keti- ka api sudah hampir padam.

   Glagah Putihpun berkata kepada orang- orang yang berkerumun - Ki Sanak.

   Kalian lihat, apa yang telah terjadi dengan pemimpin kalian.

   Tetapi jangan mengambil tindakan apa-apa la- gi.

   Kenyataan ini sudah merupakan hukuman yang pahit baginya.

   Selan- jutnya, ia harus berubah.

   Inilah yang pantas kalian tuntut.

   Jika wataknya belum berubah beberapa saat lagi, pada saat aku lewat jalan ini, maka aku akan mengambil langkah-langkah yang lebih pantas untuk seorang Bekel yang keras kepala.

   " _ Tidak terdengar suara seorangpun diantara mereka yang berkeru mun. Namun menilik wajah mereka, kata-kata Glagah Putih itu sangat menarik perhatian mereka Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putihpun berkata pula -Aku sekarang akan pergi. Tetapi aku akan kembali pada kesempatan lain. Aku dapat mengambil langkah-langkah yang perlu. Bahkan untuk menangkap seorang Bekel atau Demang sekalipun yang berbuat salah. Disingkapkannya bajunya sehingga timangnya nampak berkilat memantulkan cahaya api yang merah - Lihat. Aku membawa pertanda keprajuritan Mataram. Pertanda ini adalah lambang wewenang yang ada di tanganku."

   Ki Bekel yang sudah menjadi sangat cemas itu terkejut.

   Ia menjadi semakin cemas ketika Glagah Putih mengaku sebagai seorang yang mempunyai wewenang dalam lingkungan keprajuritan Mataram.

   Apalagi setelah Ki Bekel melihat pertanda diikat pinggang Glagah Putih, maka iapun menjadi semakin ketakutan.

   "Aku mohon ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun - berkata Ki Bekel berulang kali. Namun Glagah Putih tidak langsung menjawabnya. Katanya - Kau sudah dengar apa yang aku katakan. Terserah kepadamu. Jika kelak terjadi malapetaka bagimu, itu karena tingkahmu sendiri."

   "Aku sudah jera. Aku tidak akan mengulanginya."

   "Jangan hanya dalam kata-kata saja. Tetapi harus tercermin dalam perbuatan."

   "Aku akan membuktikannya."

   Glagah Putihpun kemudian berkata kepada Rara Wulan "

   Marilah, kita meneruskan perjalanan."

   "Tetapi hari sudah mulai malam, ngger - berkata laki-laki yang berwajah kasar - Jika saja angger sudi bermalam di rumahku yang kotor itu."

   "Terima kasih, paman. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk berhenti dan bermalas-malasan bermalam di rumah seseorang. Sekarang aku minta diri - lalu kepada orang banyak yang berkerumun -Aku minta diri. Hati-hatilah kalian dengan Bekelmu sekarang. Awasi apakah ia masih saja menyalah gunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya. Justru untuk melindungi perbuatannya yang paling buruk dan seorang yang seharusnya melindungi rakyatnya."

   Tidak seorangpun yang menyahut. Tetapi dari sorot mata mereka yang berkilat-kilat di cahaya api yang sudah hampir padam, Glagah Putih melihat, ungkapan selamat jalan yang mereka berikan kepadanya dan kepada Rara Wulan.

   "Kau benar-benar akan pergi ngger? "

   Bertanya suami penjual nasi megana itu."

   "Ya, paman. Selamat tinggal. Aku berharap bibi akan benar-benar menjadi baik."

   "Mudah-mudahan ngger. Mudah-mudahan apa yang terjadi ini menjadi peringatan bagi keluarga kami."

   "Aku yakin, paman akan dapat mengatasinya. Sekarang aku minta diri."

   Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan menyibak, maka orang-orang itupun segera melangkah surut untuk memberikan jalan bagi keduanya.

   Sejenak kemudian, keduanya sudah berada agak jauh di luar padukuhan.

   Keduanya masih berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi atas seorang perempuan penjual nasi megana itu.

   Namun akhirnya Rara Wulanpun berkata - Kita akan bermalam di mana malam ini, kakang?"

   Glagah Putih menarik nafas panjang."

   Keduanya masih berjalan terus. Malam menjadi semakin gelap. Dengan nada dalam Glagah Putihpun berkata - Kita akan bermalam di tempat terbuka."

   Rara Wulan mengangguk. Namun kemudian iapun berkata -Bagaimana dengan padukuhan di depan ?"

   "Maksudmu, bermalam di banjar?"

   "Ya. Glagah Putih mengangguk pula. Katanya - Dapat kita coba Rara. Kita pergi ke pedukuhan itu. Tetapi jika kita melihat kemungkinan yang rumit, maka sebaiknya kita berjalan terus."

   "Aku setuju kakang. Kita melihat suasananya saja lebih dahulu. Nampaknya padukuhan itu merupakan padukuhan yang agak besar."

   "Perjalanan kitapun terasa semakin menurun. Kita sudah membelakangi puncak Gunung Merapi."

   "Bukankah kita berjalan ke arah Barat?"

   "Ya. Ketika matahari terbenam tadi, menunjukkan kepada kita arah Barat itu."

   Rara Wulan mengangguk-angguk.

   "Tetapi lebih jelas lagi kita akan melihat Lintang Gubug Penceng nanti sebentar, jika awan yang agak tebal itu berlalu."

   Keduanyapun berjalan lebih cepat menuju ke padukuhan yang berada di hadapan mereka.

   Padukuhan banjar panjang, membujur ke Utara.

   Semakin mereka dekat, maka merekapun mulai melihat beberapa buah oncor yang di pasang di regol halaman "Padukuhan itu kecuali besar agaknya juga ramai, kakang -berkata Rara Wulan "Nampaknya memang begitu.

   Tetapi semakin besar dan ramai sebuah padukuhan, maka penduduknyapun tentu semakin beraneka tingkah polahnya."

   Rara Wulan tersenyum. Katanya - Kedai nasi megana itu tidak terletak di padukuhan yang besar. Tetapi kita temui orang-orang yang tingkah polahnya memuakkan."

   Glagah Putih tersenyum.

   Keduanyapun kemudian menjadi semakin dekat dengan pintu ger-bang"padukuhan.

   Dua buah oncor menyala di sebelah menyebelah gerbang itu.

   Ketika mereka berdua memasuki jalan utama padukuhan itu, mereka memang merasa agak ragu.

   Namun kemudian merekapun mendengar suara gamelan yang mengalun dengan irama yang keras.

   "Ada keramaian, kakang - desis Rara Wulan "Ya."

   Merekapun harus menepi ketika sekelompok anak muda berjalan bergeg.

   mendahului mereka.

   Agaknya anak-anak muda itupun akan pergi mencoba menonton keramaian.

   Suara gamelan itu agaknya telah memanggil mereka untuk bergegas pergi ke tempat keramaian itu.

   Dari regol halaman di sebelah-menyebelah jalanpun beberapa orang telah melangkah keluar.

   Mereka semuanya pergi ke arah yang sama.

   Ke suara gamelan itu.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Marilah kita lihat keramaian itu - berkata Glagah Putih. Rara Wulan mengangguk.

   "Mungkin kita akan melewati banjar padukuhan ini "

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mengikuti beberapa orang yang berjalan di depan mereka.

   Bahkan semakin lama jalan yang dilaluinya itu terasa menjadi semakin ramai.

   Anak ;nak remaja, anak-anak muda laki-laki dan perempuan.

   Bahkan orang-orang tua.

   Gadis-gadis yang biasanya lebih banyak berada di rumah justu karena umurnya yang menginjak dewasa, telah keluar pula dari halaman rumahnya, meskipun pada umumnya disertai keluarganya, untuk pergi ke arah suara itu."

   "Ada keramaian apa Ki Sanak? - bertanya Glagah Putih kepada dua anak-anak muda yang berjalan di sebelahnya.

   "Pertarungan antara orang berilmu tinggi."

   "Pertarungan apa maksudmu?"

   "Beberapa orang berilmu tinggi akan bertarung di halaman banjar. Siapa yang menang akan mendapat hadiah uang dari Ki Bekel."

   "Hadiah uang? darimana Ki Bekel mendapatkan uang itu?"

   "Dari mereka yang bertaruh."

   "Bertaruh?"

   "Ya."

   "Jadi ada pertarungan manusia untuk taruhan?"

   "Kau bukan orang dari daerah di sekitar padukuhan ini, Ki Sanak? "

   Bertanya anak muda itu.

   "Bukan."

   "Itulah sebabnya kau tidak tahu. Permainan seperti ini sudah pernah dilakukan dua atau tiga kali sebelumnya. Sangat menarik."

   Glagah Putih tidak menjawab. Rara Wulanlah yang berdesis - Kau benar kakang. Semakin besar dan ramai sebuah padukuhan, maka penduduknya tentu menjadi semakin beraneka solah tingkahnya"

   "Ya - Glagah Putih tertawa tertahan. Sedangkan Rara Wulanpun tertawa pula. Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah berada di halaman banjar padukuhan. Banjar itu memang terhitung banjar yang besar, sesuai dengan lingkungan padukuhan yang lebih besar dan ramai itu dibanding dengan padukuhan-padukuhan yang lain. Di tengah-tengah halaman itu terdapat sebuah kalangan dengan gawar tampar ijuk. Disekitar gawar itu telah banyak berkerumun orang-orang yang ingin menyaksikan, pertarungan antara beberapa orang yang berilmu tinggi- "Permainan gila - desis Glagah Putih. Di tangga pendapa berdiri sekelompok orang yang agaknya orang-orang yang sedang bertaruh itu. Di tengah-tengah, Ki Bekel berdiri diapit oleh dua orang bebahu. Ki Jagabaya dan Ki Kebayan. Sedangkan diatas pendapa itu terdapat seperangkat gamelan yang tidak lengkap. Hanya be- berapa saja, ditabuh dengan irama yang ingar-bingar. Beberapa saat kemudian, maka suara gamelan itupun berhenti. Ki Bekel yang berdiri di tangga pendapa itupun berkata lantang kepada orang-orang yang berada disekitar arena - Saudara-saudaraku. Dalam keadaan yang terasa semakin gawat sekarang ini, kita perlu memiliki sekelompok orang yang berilmu tinggi untuk menjaga ketenangan padukuhan kita. Karena itu, kita sekarang berupaya untuk mengetahui siapa sajakah diantara kita yang pantas untuk menjadi pengawal padukuhan yang akan berada langsung dibawah perintah Ki Jagabaya. Untuk itu, maka aku telah memutuskan untuk menyelenggarakan permainan ini, pertarungan diantara orang-orang yang berilmu tinggi di padukuhan. Karena itu, yang akan ikut dalam permainan ini adalah orang-orang dari padukuhan kita sendiri. Namun kemudian untuk membuat perbandingan dengan kekuatan yang ada di luar padukuhan kita, maka ada beberapa orang diperkenankan untuk ikut serta dalam permainan ini pada tahap-tahap terakhir saja. Segala sesuatunya hams diselesaikan lebih dahulu. Urusannya di pegang oleh Ki Kamituwa. Silahkan."

   Glagah Putih dan Rara Wulan ikut berdiri berdesakan di antara mereka yang berkerumun itu.

   ""

   Bekel ini licik sekali - desis Rara Wulan.

   "Ya. Bekel ini sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari Bekel di padukuhan yang tadi kita lewati. Yang didalamnya terdapat sebuah kedai nasi megana."

   "Ya. Nampaknya memang begitu. Kita lihat saja apa yang akan dilakukan nanti."

   Sejenak kemudian, maka Ki Bekel itupun berkata selanjutnya - Kita akan segera mulai.

   Peraturan yang berlaku dalam gelanggang permainan ini sama seperti permainan yang baru lalu.

   Nah, Ki Kamituwa akan segera memanggil urutan mereka yang akan memasuki gelanggang permainan ini.

   Ingat, bukan maksud permainan ini untuk saling membunuh."

   Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Kamituwa itupun telah memanggil dua orang yang akan terlibat dalam pertarungan di gelanggang yang dilingkari oleh gawar tampar ijuk itu.

   API-IV-58 Sejenak kemudian, dua orangpun telah berkelahi.

   Tidak terlalu lama.

   Seorang diantara merekapun segera terpelanting jatuh.

   Ketika ia mencoba untuk bangkit, maka mulutnyapun menyeringai menahan skait.

   Agaknya tulang punggungnyalah yang mengalami cidera.

   Dengan demikian, maka yang masih tetap berdiri tegak itupun dinyatakan sebagai pemenang.

   Orang iu mengangkat kedua tangannya sambil meloncat-loncat gembira.

   Demikianlah, maka Ki Kamituwapun segera memanggil dua orang yang mendapat giliran berikutnya.

   Ketika seorang dikalahkan, maka datang giliran pasangan yang lain.

   "Ternyata banyak pula yang tertarik untuk ikut - desis Glagah Putih.

   "Ya. Nampaknya mereka tertarik untuk dikagumi atau tertarik oleh uang hadiahnya yang besar."

   "

   Atau kedua-duanya."

   Rara Wulan mengangguk-angguk.

   Sepasang demi sepasang orang-orang yang merasa dirinya berilmu itupun telah memasuki gelanggang.

   Demikian pasangan-pasangan itu berakhir, sebelum mereka memasuki babak berikutnya yang masih akan diundi, maka para peserta dari luar padukuhan ituLJi yang akan tampil.

   Pasangan-pasanganpun diturunkan digelanggang.

   Tidak terlalu banyak.

   Nampaknya Ki Bekel ingin mendapatkan orang terbaik dari padukuhannya yang akan diadu dengan seorang yang terbaik diantara mereka yang datang dari luar padukuhan.

   Ketika pertarungan memauki babak kedua, maka pertarunganpun menjadi semakin seru.

   Orang-orang yang teri "ail dari babak pertama sajalah yang dapat memasuki babak kedua.

   Apalagi pada babak-babak berikutnya.

   Akhirnya, di arena itu akan bertempur orang-orang terbaik saja.

   Ampat orang dari padukuhan itu dan ampat orang dari luar padukuhan.

   Diantara mereka akan diambil dua orang dari masing-masing kelompok.

   Dua orang itu masing-masing akan dipertandingkan.

   Terakhir akan bertarung orang yang terbaik dari semuanya.

   Glagah Putih dan Rara Wulan masih melihat pertarungan itu.

   Bagi keduanya, tidak ada yang menarik.

   Meskipun demikian, mereka masih saja berniat untuk menyelesaikan sampai orang yang terakhir.

   Pertarungan-pertarungan yang kemudian terjadi menjadi semakin seru.

   Mereka mulai melepaskan ilmu terbaik mereka masing-masing.

   Namun di arena itu mulai terjadi peristiwa yang mendebarkan.

   Ada diantara mereka yang ikut serta dalam pertarungan itu menjadi pingsan.

   Ada yang giginya tanggal dan mulutnya berdarah.

   Tetapi ada yang tulangnya menjadi retak.

   i Glagah Putih mulai tersentuh ketika pertarungan sudah sampai pada tahap-tahap terakhir.

   Seorang yang datang dari luar padukuhan itu ternyata bertempur dengan penuh keyakinan.

   Nampaknya orang itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi.

   Dengan tidak banyak mengalami kesulitan ia berhasil mengalahkan lawan-lawannya sampai pada pertarungan puncak.

   Namun seorang yang lain, yang agaknya juga bukan orang padukuhan itu, bertempur dengan sombongnya.

   Bahkan sikapnya kepada Ki Jagabaya dan kepada Ki Bekelpun tidak sewajarnya.

   Setiap kali ia berteriak-teriak di arena menantang lawan-lawannya.

   Ketika pertarungan itu sampai pada tahap akhir, sehingga "yang tinggal di arena hanyalah ampat orang saja, maka orang yang sombong itu telah dihadapkan dengan seorang dari padukuhan itu yang telah memenangkan pertarungan-pertarungan sebelumnya.

   Namun Glagah Putih menjadi cemas.

   Menurut pengamatannya, orang yang muncul sebagai pemenang dari padukuhan itu, akan mengalami kesulitan untuk menghadapi orang kasar yang sombong itu.

   Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat berbuat apa-apa.

   Apalagi orang padukuhan itu sendiri yang juga sulit melihat kenyataan, tentang lawannya.

   Bahkan ketika lawannya bersikap sombong, iapun mencoba untuk mengimbangi kesombongan itu.

   Beberapa saat kemudian, maka Ki Jagabayapun berdiri di tangga pendapa sambil berkata lantang.

   "Saudara-saudaraku. Yang akan turun ke arena adalah dua orang yang mempunyai ilmu yang tinggi. Yang seorang berasal dari Gunung Gandar di pinggir hutan itu. Yang seorang adalah leiangga kita sendiri yang lelah memenangkan pertarungan-pertarungan sebelumnya. Kita akan melihat, siapakah yang terkuat diantara mereka. Sedangkan nanti, setelah pertarungan ini, akan menyusul pertarungan yang seru pula. Seorang dari padukuhan Ricik, sedangkan lawannya adalah tetangga kita yang lain. Terakhir adalah para pemenang dari kedua pertarungan ini. Mungkin kedua-duanya tetangga kita. Mungkin seorang saja diantara mereka yang lolos ,atau bahkan kedua-duanya orang lain. Terdengar orang-orang yang berada di halaman itu bertepuk tangan. Sementara itu, nampaknya pertarungan masih cukup lama, justru yang tertinggal diantara mereka adalah orang-orang yang terbaik. Beberapa saat kemudian, maka perkelahian antara orang yang sombong melawan seorang penghuni padukuhan itupun segera dimulai diiringi sorak-sorai para penontonnya untuk memberikan dukungan kepada salah seorang tetangga mereka yang masih mampu bertahan. Demikian tanda bahwa pertarungan itu dapat dimulai, keduanyapun segera bergeser saling mendekat. Malam itu keduanya telah bertarung beberapa kali. Baru setelah mereka mengalahkan lawan-lawan mereka, maka barulah mereka sampai pada babak yang hampir menentukan itu. Pertarungan itupun semakin lama menjadi semakin seru. Orang yang sombong dan bertempur dengan kasarnya itu semakin lama semakin menguasai arena. Penghuni padukuhan itu yang berhasil mewakili kawan-kawannya itu, setiap kali terlempar dan terpelanting jatuh. Serangan-serangannya tidak terlalu banyak dapat menggapai sasarannya, tetapi orang yang kasar lan sombong yang datang dari Bukit Gandar itu, justru lebih sering dapat mengenai lawannya. Semakin lama, semakin nampak bahwa orang dari Gunung Gandar itu memang memiliki beberapa kelebihan selain kekasarannya. Semakin lama wakil dari padukuhan itupun menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan bwannya semakin sering mengenainya. Ketika kaki lawannya itu mengenai dadanya, maka orang padukuhan itupun tepelant ing jatuh. Begitu ia bangkit, maka lawannya telah berdiri didepannya Digapainya bajunya, ditariknya dengan hentakkan yang kuat. Kemudian tangannyapun terayun deras sekali menghantam dagunya. Sekali lagi orang itu terlempar jatuh. Ketika ia berusaha berdiri, maka sebelum ia berhasil tegak, maka kaki lawannya yang meloncat sambil berputar, telah menyambar keningnya. Orang itupun terjatuh dengan derasnya. Punggungnya serasa patah, sehingga orang itu tidak lagi mampu untuk bangkit berdiri. Ketika ia mencoba bertelekan kedua tangannya, orang itu gagal. Namun ternyata lawannya tidak membiarkannya. Dengan kasarnya orang itu ditariknya berdiri. Ketika orang itu dilepaskannya, maka iapun menjadi terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan. Pada saat yang demikian, maka orang dari Bukit Gandar itu justru mengambil ancang-ancang. Dengan derasnya ia meloncat sambil menjulurkan kakinya tepat mengarah ke dada. Orang yang terhuyung-huyung itu tidak mampu lagi mengelak atau menangkis serangan itu. Ketika kaki lawannya itu menghantam dadanya, maka terdengar ia mengaduh tertahan. Tubuhnya terlempar beberapa langkah menyangkut gawar tampar ijuk. Kemudian terjatuh di pinggir arena. Tetapi orang yang kasar itu agaknya masih belum puas. Iapun meloncat menerkam lawannya yang sudah tidak berdaya.

   "Cukup. Cukup,"

   Teriak Ki Jagabaya sambil meloncat untuk melerai perkelahian itu.

   "Aku masih belum puas,"

   Geramnya. Tetapi Ki Jagabaya mendorongnya sambil berkata "

   Kau sudah menang. Jika dalam pertarungan terakhir kau dapat menang lagi, maka kaulah yang akan mendapat hadiah itu."

   Orang itu bergeser surut. Sementara dua orang yang lain memasuki arena untuk menolong orang yang telah dikalahkannya. Justru penghuni padukuhan itu sendiri.

   "Kau harus beristirahat sebaik-baiknya. Kau tidak perlu membuang-buang tenaga, karena kau masih akan bertarung lagi. Justru melawan orang yang terbaik."

   "Akulah yang terbaik."

   "Kau masih harus membuktikannya, seorang yafig akan bertarung nanli adalah seorang yang sudah tiga kali berturut-turut memenangkan permainan ini. Sejak kita membuka permainan ini untuk yang pertama kali, orang itulah yang memenangkannya.

   "Mana orang itu? Aku akan memilin lehernya. Jika ia mati, itu bukan salahku."

   "Arena ini adalah arena permainan. Bukan arena pembunuhan."

   "Kematian adalah kemungkinan wajar yang terjadi dalam arena seperti ini."

   "r Beristirahatlah. Sekarang akan turun ke gelanggang pasangan terakhir. Yang menang akan bertarung melawanmu. Orang itupun melangkah menepi. Sejenak kemudian, maka telah turun ke arena pertarungan itu dua orang yang akan bertarung terakhir sebelum pertarungan yang menentukan, siapakah pemenang dari permainan itu. Pemenang yang akan mendapatkan h ah uang yang cukup banyak."

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu di tempatnya, diantara para penonton yang melingkari arena pertarungan itu.

   Ternyata beberapa orang yang menonton itupun mulai bertaruh diantara mereka.

   Sementara itu, orang-orang yang berada di tanggapun telah mengumpulkan uang taruhan pula.

   Justru para perabot pa I id iban itulah yang melayani mereka.

   Dua orang yang turun ke arena itu sudah mempersiapkan diri.

   Seorang diantaranya adalah penduduk padukuhan itu sendiri.

   Penghuni padukuhan itu yang dalam kehidupannya sehari-hari memang sangat disegani oleh tetangga-tetangganya.

   Tetangga-tetangganya itu percaya, bahwa orang itu memiliki berbagai macam benda-benda keramat sebagai jimat yang dapat membuatnya memiliki kelebihan dari orang lain.

   Pada arena pertarungan sebelumnya, orang itu belum pernah ikut serta.

   Ia tidak mau merendahkan dirinya dengan permainan semacam itu.

   Tetapi akhirnya ia tergoda pula untuk memenangkan hadiah yang cukup ' besar.

   Dengan demikian, maka pada musim pertarungan ini, orang itu telah melibatkan dirinya.

   API - IV - 58 ' Sedikit lewat tengah malam, maka dua orang telah berada di arena.

   Ketika terdengar isyarat, maka keduanyapun segera bergeser.

   Justru penghuni padukuhan itulah yang nampak lebih garang dari lawannya, yang telah memenangkan permainan seperti itu beberapa kd i berturut-turut.

   "Aku akan menunjukkan kepadamu, bahwa penghuni padukuhan ini bukanlah orang-orang yang lemah, yang dapat kau kalahkan dan kau anggap tidak berdaya."

   Orang yang memenangkan pertarungan seperti itu beberapa kali berturut-turut itupun menjawab "

   Aku tidak pernah mempunyai anggapan seperti itu. Akupun tidak menolak kemungkinan bahwa kali ini aku, dikalahkan."

   "Ya. Kau akan dikalahkan."

   Sejenak kemudian, maka pertarungan segera dimulai.

   Orang padukuhan itu, yang baru pertama kalinya mengikuti permainan yang tidak kurang dari sebuah arena pertaruhan besar-besaran, telah mulai menyerang.

   Tetapi serangannya itu ternyata masih dapat dielakkan, sehingga sama sekali tidak menyentuh sasarannya.

   Orang itupun menggeram.

   Dengan tangkasnya iapun segera mengulangi serangannya.

   Namun sekali lagi lawannya mampu mengelak.

   Tetapi lawannya, orang dari padukuhan Ricik itu tidak membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran serangan serangan.

   Iapun segera berganti menyerang.

   Dengan demikian, maka pertarungan itupun menjadi seru.

   Keduanya saling menyerang dan bertahan.

   Dalam pada itu, ketajaman penglihatan Glagah Putih dan Rara Wulan, sempat melihat, bahwa sebenarnyalah orang yang disebut dari padukuhan Ricik itu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi ia tidak mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak.

   Ia sekedar mengimbangi kemampuan lawannya, orang dari padukuhan itu sendiri.

   Dengan demikian, maka dimata orang-orang yang menyaksikannya, kemampuan keduanya justru seimbang.

   "Orang itu memang berilmu tinggi "

   Bisik Glagah Putih.

   "Ya "

   Sahut Rara Wulan "

   Kenapa ia merendahkan dirinya, terjun dalam permainan yang kotor itu?"

   "Agaknya ia tertarik pada sejumlah uang yang diterimanya sebagai hadiah kemenangannya. Tiga kali berturut-turut ia memenangkan pertarungan seperti ini. Itu berarti bahwa ia sudah menerima hadiah uang tiga kali berturut-turut."

   Rara Wulan mengangguk-angguk.

   Keduanyapun memperhatikan pertarungan itu dengan saksama.

   Banyak kesempatan orang padukuhan Ricik itu yang tidak dipergunakannya.

   Seandainya ia mau, maka pertarungan itu sudah dapat diselesaikan jauh sebelumnya Agaknya orang dari Ricik itu menunggu la.wannnya menjadi kelelahan.

   Karena itu, yang dilakukannya hanyalah banyak memancing lawannya untuk mengerahkan tenaga dan kekuatannya.

   Sekali-sekali benturan kekuatan.

   Namun sekali-sekali sedikit loncatan menjauhinya agar lawannya itu memburunya dan menyerang sejadi-jadinya.

   Sebenarnyalah akhirnya lawannya itupun menjadi kelelahan.

   Tidak banyak lagi yang dapat dilakukan.

   Beberapa kali orang Ricik itu justru menyerang dan mengenainya.

   Akhirnya, orang padukuhan itu, satu-satunya orang yang mampu mewakili pertarungan sampai yang terakhir dengan berpengharapan, telah dikalahkan.

   Pada saat nafasnya hampir putus, orang itu sudah tidak mampu lagi untuk meneruskan perkelahian.

   Apalagi setelah beberapa kali lawannya menyakitinya.

   Sentuhan-sentuhan serangannya membuatnya semakin tidak berdaya.

   Demikianlah, ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, maka pertarungan itu telah sampai ke puncaknya.

   Yang akan turun ke arena adalah dua orang yang kedua-duanya justru bukan orang dan padukuhan itu sendiri.

   Seorang dari padukuhan Ricik, se.

   cang lagi dari Bukit Gandar.

   Demikian orang padukuhan yang dikalahkan oleh orang Ricik itu dipapah keluar dari arena, maka orang dari Bukit Gandar itupun segera meloncat memasuki arena.

   Terdengar ia berteriak.

   "Marilah orang Ricik. API - IV - 58 Kua adalah pelaku terakhir dari pertarungan ini. Aku tantang kau bertarung sampai seorang diantara kita mati."

   "Tidak.

   "teriak Ki Jagabaya "

   Jika terjadi pembunuhan di arena, maka kita akan kehilangan kemungkinan untuk membuat permainan seperti ini lagi.

   Jika ada yang memberikan laporan tentang kematian, maka akan datang petugas yang akan mengusut peristiwa ini, peristiwa yang kita lakukan tanpa ijin ini.

   Ini pelangaran.

   Jika ada yang mati, maka pelanggaran itu akan berlipat-lipat.

   Sementara itu, permainan ini kita rencanakan akan kita lakukan berkata.

   Setiap kali ada kemungkinan untuk melakukannya, kita akan melakukannya."

   Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan geram iapun kemudian berkata.

   "Aku akan menggabungkan permainan ini dengan persoalan pribadi kamf. Aku mendendam orang dari Ricik itu. Aku tantang ia berperang tanding. Dengan demikian tanggung jawabnya akan terletak di pundak kami Kalian tidak akan terpercik oleh darah kami. Karena apa yang terjadi adalah kesepakatan kami berdua."

   "Kenapa kau mendendamnya?"

   "Itu adalah urusan kami. Orang lain tidak perlu mengetahuinya.

   Tetapi kematian itu akan terjadi disini, di arena permainan ini.

   "Itu bukan soal. Perang tanding tidak memilih tempat. Di sawah, di jalan di halaman atau balikan di banjar padukuhan seperti ini."

   "Terserahlah kepada kesepakatan kalian. Tetapi kematian yang akan terjadi di arena ini. bukan tanggung jawab kami. Semua orang hadir disini akan menjadi saksi, bahwa kematian salah seorang di antara kahar terjadi dalam perang tanding."

   Namun tiba-tiba orang dari padukuhan Ricik itu menyela.

   "Bagaimana kalau aku tidak menerima tantangan perang tanding? "Pengecut,"

   Teriak orang dari Gunung Gandar di pinggir hutan itu "

   Jika kau menolak, maka kau harus mengundurkan diri. Akulah pemenangnya dan akulah yang berhak menerima hadiah itu."

   Orang dari padukuhan Ricik itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu iapun bertanya "

   Kenapa permainan ini tidak diteruskan sesuai dengan ketentuannya ? Tidak dengan perang tanding ?"

   "Persetan kau pengecut,"

   Teriak orang dari Gunung Gandar itu. Orang dari padukuhan Ricik itu termangu-mangu sejenak. Dalam pada itu Glagah Putihpun berdesis "

   Nampaknya orang dari Gunung Gandar itu orang yang sudah berendam di dunia yang hitam. Mungkin ia seorang gegedug, mungkin seorang penyamun."

   "Ya. Bahkan mungkin seorang pembunuh upahan."

   "Mungkin sekali. Ia mendapat tugas untuk membunuh orang yang sudah tiga kali berturut-turut memenangkan permainan ini, agar membuka peluang bagi orang yang mengupahnya di permainan mendatang."

   "Jika demikian, maka orang itu tentu orang yang bodoh. Di permainan mendatang, pembunuh bayaran itu tentu akan tampil lagi. -"

   "Kalau setiap kali orang yang mengupahnya memberi uang lebih banyak dari uang yang didapatnya sebagai pemenang?"

   "Lalu pamrihnya?"

   "Namanya akan menjulang. Ia akan ditakuti orang.

   Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang ketika ia mendengar orang padukuhan RLik itu akhirnya menjawab "

   Aku terima tantangannya."

   "Bagus,"

   Teriak orang Bukit Gandar "

   Kita akan menyelesaikan persoalan pribadi kita."

   "Jangan berkata begitu. Aku tidak mempunyai persoalan pribadi dengamu. Bahkan aku merasa belum pernah mengenalmu. Jika kau ingin mendapat kemenangan mutlak dengan membunuh lawanmu di pertarungan ini, kau tidak perlu mencari-cari alasan, seolah-olah kit.i mempunyai persoalan pribadi."

   Orang dari Bukit Gandar itu dengan serta-merta menjawab "

   Kau memang pengecut dan licik. Kau membuat kesan seolah-olah tidak ada persoalan diantara kita. Kau tentu berusaha keras untuk mengurungkan perang tanding itu."

   "Tidak. Bukan itu persoalannya. Tetapi aku tidak mau kau berpijak pada alasan-alasan palsu. Jika kau ingin bertarung sampai tuntas, kita akan melakukannya. Bahkan tanpa sebab sekalipun."

   "Persetan dengan fitnahmu. Tetapi aku tetap saja akan membunuhmu. Bahkan jika tidak berada di arena sekalipun."

   "Sudah aku katakan. Aku menerima tantanganmu."

   Ketika keduanya berdiri di arena, maka orang-orang yang melingkari arena itupun menjadi sangat tegang.

   Mereka pernah menyaksikan pertarungan yang sengit.

   Tetapi bukan perkelahian sampai mati.

   Ki Bekellah yang kemudian berkata lantang kepada orang-orang yang berada disekitar arena "

   Kalian menjadi saksi. Bahwa tanggung jawab atas kematian yang terjadi di arena ini, ada dipundak mereka berdua."

   Demikianlah, maka pertarungan antara kedua orang yang berhasil memanjat sampai ke puncak permainan itupun segera dimulai.

   Kedua belah pihak nampak berhati-hati.

   Mereka bergeser saling mendekati.

   Tiba-tiba saja orang Bukit Gandar itupun mel' ncat menyerang dengan garangnya.

   Tetapi dengan tangkas orang padukuhan Ricik itupun menghindar.

   Serangan orang Bukit Gandar itu tidak mengenainya.

   Tetapi orang Bukit Gandar itu tidak melepaskannya.

   Dengan cepat orang itu meloncat sambil mengayunkan tangannya mendatar.

   Tetapi begitu ia bergerak dan mengangkat tangannya, maka kaki orang padukuhan Ricik itu telah terjulur lurus.

   Orang Bukit Gandar itu terkejut.

   Dengan cepat itu bergeser menghindar.

   Tetapi ternyata gerak orang padukuhan Ricik itu lebih cepat.

   Kakinya sem) at mengenai lambungnya.

   Orang dari Bukit Gandar itu terdorong beberapa langkah surut.

   Tetapi ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya.

   Orang dari Bukit Gandar itu mengumpat kasar.

   Serangan-serangannya-pun kemudian datang beruntun dengan garangnya.

   Tetapi orang dari padukuhan Ricik itu ingin membungkam kesombongan lawannya dengan segera.

   Berbeda dengan pertarungan yang baru saja diselesaikan melawan orang padukuhan itu.

   Ia mengalahkannya dengan cara yang tidak terlalu menyakitkan hati.

   Tetapi orang Bukit Gandar itu adalah orang yang sombong, kasar dan bahkan mungkin sekali ia adalah seorang yang berasal dari gerombolan yang berada di bawah pengaruh kuasa kegelapan.

   Karena itu, maka orang dari padukuhan Ricik itu tidak menunda-nunda setiap kesempatan.

   Glagah Putih dan Rara Wulan memandang pertarungan itu dengan jantung yang berdebaran.

   Ternyata orang dari padukuhan Ricik itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi.

   Dalam waktu yang singkat, bahkan lebih singkat dari dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, orang dari padukuhan Ricik itu telah berhasil menguasai arena.

   Serangan-serangannya yang datang beruntun tidak lagi dapat dielakkan.

   Tangannya yang terjulur lurus, telah menyambar dada orang Bukit Gandar itu sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

   Namun orang dari Ricik itu tidak melepaskannya.

   Iapun segera meloncat sambil memutar tibuh-nya.

   Kakinya yang terayun mendatar telah menampar kening lawannya.

   Orang dari Bukit Gandar itu terdorong beberapa langkah surut.

   Namun ia masih mencoba untuk mempertahankan keseimbangannya.

   Tetapi serangan berikutnya telah datang pula.

   Sekali lagi kaki orang padukuhan Ricik itu terayun pada saat tubuhnya berputar.

   Sekali lagi kaki orang itu menyambar kening lawannya.

   Orang dari Bukit gandar itu terlempar beberapa langkah surut.

   Ia tidak mampu lagi bertahan untuk tetap berdiri tegak.

   Bahkan tubuhnya itupun terpelanting jatuh menimpa gawar tali ijuk yang mengelilingi arena, kemudian terpental dan jatuh menelungkup.

   Orang itu masih berusaha untuk bangkit.

   Tetapi ia tidak lagi dapat berdiri tegak.

   Tubuhnya terhuyung-huyung seperti orang yang sedang mabuk tuak.

   Orang padukuhan Ricik itu tidak membiarkannya.

   Ia mengambil ancang-ancang beberapa langkah.

   Kemudian orang itupun meloncat dengan derasnya.

   Kedua kakinyapun menghantam dada lawannya itu dengan kerasnya.

   Terdengar orang itu mengaduh.

   Tubuhnya terlempar sekali lagi, bukan menyambar gawar, namun justru terlempar melampaui gaw r itu keluar dari arena.

   Orang itu masih menggeliat.

   Tetapi ia tidak lagi mampu untuk bangkit.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang padukuhan Ricik itupun memburunya, Iapun meloncati gawar tali ijuk itu.

   Ditariknya baju orang Bukit Gandar itu sehingga berdiri, meskipun kedua kakinya seakan-akan tidak berdaya lagi.

   "Saatnya untuk mengakhiri pertarungan ini. Bukankah kau yang menginginkan bahwa kita akan bertarung sampai tuntas."

   Wajah orang itu menjadi pucat. Ia masih juga berusaha untuk berdiri.

   "Kau harus menyiapkan dirimu untuk menyongsong kematianmu. Orang dari Gunung Gandar itu tidak menjawab. Tetapi tubuhnya menjadi gemetar.

   "Apakah kau sudah siap? Aku akan memilin lehermu sampai patah. Aku tidak menyakitimu terlalu lama. Kematian akan terjadi dalam sekejap."

   Ketika orang dari padukuhan Ricik itu melepaskannya, maka prang itupun jatuh terduduk.

   Orang dari padukuhan Ricik itupun kemudian berdiri dibelakangnya.

   Kedua tangannya memegang kepala orang Gunung Gandar itu pada ubun-ubun dan pada dagunya.

   Ia sudah siap mematahkan leher orang yang sombong dan iar dari Gunung Gandar.

   Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang.

   Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

   Keduanya sudah bersepakat untuk berperang tanding, sehingga segala sesuatunya akan menjadi tanggung-jawab mereka sendiri.

   Namun tiba-tiba orang padukuhan Ricik itu melepaskan kepala orang dari Gunung Gandar itu.

   Sambil mendorong sehingga orang Gunung Gandar itu jatuh tertelungkup, orang Ricik itu berkata "

   Kali ini aku tidak berminat membunuhmu.

   Aku tahu, bahwa apapun alasannya, ke-matian di arena ini akan dapat menjadi persoalan.

   Dengan demikian maka pertarungan seperti ini akan dilarang.

   Padahal aku masih ingin memenangkan pertarungan seperti ini sedikitnya sepuluh kali sebelum pada su-atu hari datang petugas untuk melarangnya."

   Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Agaknya banyak pula orang yang menjadi lega atas sikap orang padukuhan Ricik itu. Tetapi ada juga anak-anak muda yang berteriak.

   "Bunuh saja, Bunuh saja."

   "Aku bukan pembunuh "

   Berkata orang dari padukuhan Ricik itu"

   Aku adalah ayam aduan yang ingin mendapatkan hadiah dari kemenanganku."

   "Terimakasih atas sikapmu itu, Ki Sanak.

   "berkata Ki Bekel "

   Kau akan menerima hadiah.

   Hadiahmu seperti yang dijanjikan bagi mereka yang menang.

   Tetapi kau akan mendapat sedikit tambahan karena kau sudah meringankan tugas kami.

   Jika ada kematian di pertarungan ini meskipun dalam perang tanding, namun kami tentu akan mendapat kesulitan.

   Orang dari padukuhan Ricik itupun kemudian telah menerima hadiahnya.

   Orang-orang yang berdiri disekitar arena itupun bertepuk tangan.

   Sampai musim pertarungan terakhir sejak pertarungan yang pertama, orang dari padukuhan Ricik itu belum pernah dikalahkan.

   Sejenak kemudian, maka orang padukuhan Ricik itupun bergeser surut sambil berkata "

   Aku minta diri. Aku akan pulang."

   "Ki Sanak akan pulang ke Ricik?"

   "Ya. Aku akan pulang. Terima kasih atas kesempatan ini. Lain kali jika diadakan pertarungan lagi, aku akan ikut pula untuk meramaikannya. Mudah-mudahan aku akan dapat menang lagi."

   Dalam pada itu, Glagah Putihpun telah menggamit Rara Wulan sambil berkata "

   Kita temui orang itu?"

   "Untuk apa?"

   "Aku ingin tahu, kenapa ia memerlukan ikut dalam permainan seperti ini. Orang Ricik itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Ia memiliki ilmu dan rumit. Agaknya sulit untuk dapat mengalahkannya. Di pertarungan mendatahgpun orang itu tentu akan menang lagi, sehingga ia akan mendapat uang lagi dari kemenangannya itu. Yang aku ingin tahu, kenapa ia melakukannya."

   Rara Wulan roengangguk-anggguk letapi iapun kemudian berkata "

   Tetapi tanpa orang Ricik itu, agaknya di arena itu sudah jatuh korban. Orang dari Gunung Gandar itu te?itu akan membunuh orang yang melawannya di pertandingan punaik untuk niceb kemen gan.

   "Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan dapat mencegahnya."

   "Tetapi jika terjadi kesepakatan perang tanding seperti itu tadi?"

   Glagah Putih mengangguk. Katanya "

   R Ya. Memang mungkin sekali telah terjadi korban jiwa."

   Namun keduanya tidak sempat berbicara lebih panjang lagi.

   Keduanyapun segera keluar dari kerumunan orang-orang yang baru saja menonton pertarungan itu.

   Orang-orang yang bertaruhpun mulai menghitung kemenangan mereka.

   Sementara itu yang lainpun mulai meninggalkan banjar.

   Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mau kehilangan orang padukuhan Ricik itu.

   Iapun mengikutinya dari jarak yang tidak terlalu dekat.

   Ketika orang padukuhan Ricik itu sampai di bulak panjang, agaknya ia menyadari, bahwa dua orang sedang mengikutinya.

   Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu berhenti, berbalik dan berkata lantang.

   "Ki Sanak. Jangan mengendap-endap seperti mengintip kelinci. Jika kalian memerlukan aku, katakan saja."

   Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah terus mendekati orang itu. Beberapa langkah dihadapannya keduanya berhenti.

   "Seorang diantara kalian berdua adalah seorang perempuan "

   Berkata orang itu sambil memandang Rara Wulan yang mengenakan pakaian seorang pe/ompuan sewajarnya.

   "Ya, Ki Sanak.

   "Glagah Putihlah yang menjawab.

   "Kenapa kalian berdua mengikuti aku? "Kami berdua menjadi penasaran karena Ki Sanak telah turun ke dalam gelanggang pertarungan itu."

   "Kenapa? Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab "

   Menurut pendapatku, Ki Sanak tidak pantas memasuki arena pertarungan seperti itu. Ki Sanak adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tidak setataran dengan orang.

   "orang lain yang ikut dalam pertarungan itu. Bahkan orang dari Gunung Gandar itu sekalipun.

   "K an siapa mencampuri urusanku?"

   "Kami adalah dua orang sami istri yang mengembara. Ketika kami melewati padukuhan ini, kebetulan di padukuhan ini sedang terjadi pertarungan yang menurut pendapatku, sekedar menjadi alat orang-orang yang uangnya berlebih itu bertaruh. Seperti orang yang mengadu ayam. Nah. dalam lingkaran perjudian itu, Ki Sanak hadir sebagai salah satu diantara mereka yang bertarung di arena."

   "Ya. Aku sadari. Tetapi aku tidak peduli. Aku memerlukan uang. Kemenanganku itu menghasilkan uang bagiku. Cukup banyak. Satu panenan sawahku yang beberapa patok itu, tidak akan menghasilkan sebanyak hadiah dari kemenanganku ini."

   "Tetapi pantaskah Ki Sanak mempergunakan kemampuan Ki Sanak untuk turun ke arena pertarungan seperti ini?"

   "Kau lihat orang Gunung Gandar itu?"

   "Ya"

   "Aku turun untuk meredam kekejiannya."

   "Itukah alasan Ki Sanak?"

   Orang dari padukuhan Ricik itu terdiam sejenak. Namun kemudian iapun menjawab "

   Ya."

   "Ki Sanak berbohong. Sebelumnya, menurut pendengaranku, orang Gunung Gandar Ku belum ikut dalam pertarungan ini. Tetapi waktu Ki Sanak sudah ikut dan memenangkan pertarungan pula. Bahkan berturut-turut."

   "Ya. Sudah aku katakan. Aku akan memenangkan pertarungan seperti ini sepuluh kali lagi."

   "Itulah yang ingin aku tanyakan, Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak turun ke gelanggang pertarungan seperti itu. Aku masih dapat mengerti seandainya Ki Sanak menjadi pelerai, yang mencegah tindakan luar para peserta, seperti orang dari Gunung Gandar itu."

   "Sudahlah Ki Sanak. Jangan campuri urusanku. Aku akan pulang. Sudah hampir pagi. Sebaiknya al. i berada di rumah sebelum matahari terbit."

   "

   Jawab pertanyaanku, Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak ikut dalam pertarungan seperti itu.

   "Apakah menurut pendapatmu aku tidak pantas ikut?"

   "Ya. Ki Sanak akan dapat menodai perguruan Ki Sanak sendiri."

   "Kenapa?"

   "Kau pergunakan ilmu yang kau warisi dari perguruanmu untuk memenangkan perjudian."

   "Bukan aku yang berjudi."

   "Apa bedanya ?"

   "Aku hanya menginginkan hadiahnya. Hadiah yang pantas aku terima sebagai hakku karena kemenanganku."

   "Ki Sanak. Dalam pertarungan itu, aku melihat Ki Sanak sebagai seorang yang telah memasuki usia dewasa berkelahi dengan anak-anak yang baru mulai belajar berjalan."

   "Kau merendahkan aku Ki Sanak. Aku belum pernah mengenalmu. Tetapi dalam pertemuan pertama kau sudah menghinaku."

   "Bukan aku yang merendahkanmu. Bukan aku yang menghinamu. Tetapi kau sendiri. Kau rendahkan dan bahkan kau hinakan perguruanmu sendiri dengan perbuatanmu itu."

   "Cukup. Aku tidak mengenalmu dan kau tidak mengenalku. Jangan campuri urusanku dan aku tidak akan mencampuri, urusanmu."

   "Tidak, Ki Sanak. Aku tidak akan mencampurinya. Aku hanya penasaran saja. Aku ingin tahu, kenapa Ki Sanak melakukan pekerjaan yang justru dapat menodai nama Ki Sanak dan perguruan Ki Sanak-itu sendiri.

   "Persetan dengan penasaranmu. Aku akan pulang ke Ricik.

   Aku akan ikut bersama Ki Sanak.

   "Kau gila."

   "Ki Sanak.

   "berkata Rara Wulan kemudian "

   Apakah sebenarnya keberatan Ki Sanak, jika Ki Sanak mengatakan alasan Ki Sanak untuk ikut dalam pertarungan yang menjadi ajang perjudian itu?"

   "Cukup. Cukup. Jangan kejar aku dengan pertanyaan itu."

   "Baiklah Ki Sanak.

   "berkata Glagah Putih kemudian "

   Jika Ki Sanak berkeberatan untuk mengatakan, maka aku akan ikut Ki Sanak pulang. Mungkin dengan melihat rumah dan keluarga Ki Sanak, aku akan mendapat jawabannya."

   "Kau sudah memasuki rsoalan pribadiku."

   "Bukan maksudku."

   "Aku peringatkan kau berdua. Jangan mengganggu aku.

   " ? \ "Karena itu jawab pertanyaanku. Seterusnya aku tidak akan mengganggumu."

   "Tidak. Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu. Kita tidak mempunyai sangkut paut. Apalagi mewajibkan aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu."

   "Jika demikian, aku tidak akan meninggalkan Ki Sanak."

   "

   Aku akan terpaksa mengusir kalian berdua dengan kekerasan. Aku akan memperlakukan kalian seperti aku memperlakukan orang dari Gunung Gandar."

   "Aku berbeda dengan orang itu, Ki Sanak."

   Orang itu termangu-mangu sejenak. Katanya "

   Ya.

   Kau tentu berbe- .

   da.

   Kau tidak berada di arena pertarungan.

   Kau juga tidak menantang aku berperang tanding.

   Selebihnya, aku yakin bahwa kau merasa memiliki ilmu yang tinggi, karena kau berani menantangku dengan caramu.

   Kau sudah melihat bagaimana aku mengalahkan lawan-lawanku.

   Tetapi kau tidak merasa ce as sama sekali."

   "Ya."

   "Tetapi kau akan menyesal. Apa yang kau lihat bukan puncak kemampuanku. Masih ada beberapa lapis yang tersimpan. Karena itu, jan-~ gan mencoba melawanku dengan patokan dasar kemampuanku sebagaimana kau lihat di arena."

   "Pengakuanmu semakin mendorongku untuk mengetahui alasanmu yang sebenarnya. Kenapa kau tidak merasa segan turun ke arena seperti itu. Kau pergunakan ilmumu yang menurut penglihatanku ilmu yang bersih itu, untuk mencari uang di arena perjudian." - "

   Itu urusanku. Itu urusanku."

   Tetapi Glagah Putih tidak beranjak dari tempatnya.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bahkan ketika orang padukuhan Ricik itu bergeser surut, Glagah Putihpun melangkah setapak maju "Jika demikian, bersiaplah.

   Aku akan terpaksa mengusirmu atau membuatmu tidak berdaya sehingga tidak dapat mengikutiku."

   "Baik Ki Sanak.

   "jawab Glagah Putih "

   Aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya- Aku akan mencoba melawan. Aku justru akan membayangkan, seandainya aku ikut dalam pertarungan di arena itu."

   Keduanyapun segera bergeser.

   Rara Wulan melangkah surut agar ke-.

   beradaanya tidak mengganggu mereka yang akan bertempur.

   Sejenak kemudian, maka orang Ricik itupun telah meloncat menyerang.

   Sementara itu, Glagah Putihpun dengan tangkasnya menghindar.

   Namun Glagah Putih dengan sengaja ingin menunjukkan kepada lawannya, bahwaiapun memiliki bekal yang cukup untuk melawannya, bahkan dalam perang tanding sekalipun.

   Orang Ricik itu memang terkejut.

   Meskipun ia sudah mengira bahwa orang yang mengikutinya itu memiliki ilmu yang tinggi, tetapi kecepatan gerak Glagah Putih benar-benar mengejutkannya.

   Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah bertempur semakin sengit.

   Orang Ricik itu benar-benar harus mengerahkan kemampuannya.

   Lawannya itu memang tidak sekedar seperti orang Gunung Gandar.

   Tetapi tataran ilmunya berada jauh di atasnya.

   Tidak hanya selapis.

   Tetapi berlapis-lapis.

   Bahkanjketika orang Ricik itu sudah sampai kepuncak kemampuannya, ia mafcih saja mengalami kesulitan.

   Sebenarnyalah Glagah Putih memang ingin dengan cepat menghentikan perlawanan orang padukuhan Ricik itu.

   Karena itu, maka sejenak kemudian, Glagah Putih sudah melibatnya seperti angin prahara.

   Glagah Putih memang sangat mengejutkan lawannya.

   Ilmunya seolah-olah berada di luar jangkauan nalar orang dari padukuhan Ricik itu.

   Orang yang telah memenangkan pertarungan beberapa kali berturut-turut dan yang terakhir telah mengalahkan orang dari gunung Gandar yang buas dan liar itu.

   Tetapi berhadapan dengan orang yang masih terhitung muda itu, orang dari padukuhan Ricik itu merasa seakan-akan tidak berdaya sama sekali.

   Beberapa kali orang dari padukuhan Ricik itu terlempar jatuh.

   Demikian ia bangkit, menimpa tanggul parit dan bahkan kemudian terguling kedalam parit yang sedang mengalir.

   Orang dari padukuhan Ricik itu menjadi basah kuyup.

   Suasananya menjadi sangat berbeda dengan suasana di arena pertarungan.

   Orangorang di arena pertarungan itu bersorak-sorak dan bertepuk tangan memuji dan mengaguminya- Ketika ia menerima hadiah, arena itu bagaikan akan meledak.

   Tetapi di jalan bulak yang sepi, tubuhnya bagaikan dilemparkan, dibanting dan dihentak-hentakkan oleh kemampuan orang yang masih terhitung muda itu.

   Akhirnya, orang dari padukuhan Ricik itu harus mengakui kenyataan yang dihadapinya.

   Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan.

   Tenaganya seolah-olah telah terperas habis.

   Ketika orang padukuhan Ricik itu terduduk di tanggul parit sambil menyeringai menahan nyeri didadanya, Glagah Putih mendekatinya sambil berkata "

   Marilah. Masih ada waktu. Matahari belum terbit.

   "Apa yang sebenarnya kau inginkan ? Apakah kau menghendaki mengambil hadiah yang baru saja aku terima?"

   "Tidak.

   "jawab Glagah Putih "

   Aku mempunyai uang lebih banyak dari hadiah yang kau terima"

   "Jadi apa maumu sebenarnya?"

   "Sudah aku katakan, aku ingin tahu alasanmu, kenapa kau harus turun ke arena pertarungan seperti itu. Arena yang menjadi ajang pertaruhan. Aku ingin tahu, kenapa kau sudah merendahkan dirimu sendiri serta perguruanmu."

   Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata "

   Baiklah. Marilah. Ikut aku ke Ricik.^-"

   "Kau ingin menjebak kami?"

   "Tidak ada kekuatan yang dapat menahanmu di Ricik. Aku adalah orang yang terbaik. Disini aku sudah kau kalahkan, sehingga tidak ada lagi yang dapat mengalahkanmu. Akupun yakin, bahwa perempuan itu, yang kau katakan isterimu, tentu juga mempunyai kemampuan yang tinggi-"

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu orang Ricik itupun berkata "

   Kau akan melihat keadaan padukuhanku. Buikan tempat yang baik untuk menjebak seseorang. Jangankan yang berilmu tinggi, sedang orang kebanyakanpun tidak akan tertahan oleh g-orang Ricik kecuali aku."

   "Haiklah. Kami berdua akan mengikutimu. Kami memang ingin tahu, latar belakang kehidupanmu sehingga kau telah mengorbankan harga dirimu untuk melakukan pertarungan di arena perjudian."

   Orang itu tidak menjawab. Dengan susah payah iapun berusaha untuk bangkit. Kemudian menggeliat sambil berkata "

   Marilah. Tetapi aku tidak dapat berjalan cepat. Kau patahkan tulang-tulangku."

   "Tidak. Hanya terasa nyeri. Tetapi tulang-tulangmu tidak apa-apa.

   Orang Ricik itupun kemudian berjalan dengan langkah yang sedikit pincang. Dibelakangnya Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya. Ketika matahari terbit, orang Ricik itupun berkata "

   Kau basahi pakaianku. Tentu akan menarik perhatian."

   "Aku minta maaf."

   "Kita mengambil jalan pintas. Lewat pematang dan tanggul-tanggul parit.

   "Terserah kepadamu."

   Ketiganyapun kemudian telah meloncati parit dan berjalan di sepanjang pematang untuk menghindar agar tidak terlalu sering bertemu dengan orang lewat.

   Ketika matahari menjadi semakin tinggi, serta sinarnya mulai menggatalkan kulit, merekapun melintas ditanggul parit.

   Dengan nada datar orang Ricik itupun berkata "

   Itulah padukuhanku. Di sebelah gumuk di kaki Gunung Merapi itu."

   Glagah Putih menarik nafas panjang.

   Ketiganyapun kemudian mulai melintas di padang perdu berbatu-batu padas.

   Kemudian turun ke dataran yang nampaknya kering dan gersang.

   Sementara itu, pakaian orang padukuhan Ricik itupun mulai menjadi kering, meskipun nampak kusut dan kotor.

   Tetapi ketika ia berkelahi di arena, pakaiannya memang sudah menjadi kusut dan kotor.

   "Inilah lingkunganku, Ki Sanak.

   "berkata orang Ricik itu "

   Kau lihat, lingkunganku adalah lingkungan yang kering dan gersang. Padukuhan Ricik adalah padukuhan yang miskin. Sangat miskin."

   Keuka mereka memasuki padukuhan Ricik, maka Glagah Putih dan Rara Wulan langsung melihat kemiskinan yang mencekam padukuhan itu.

   Rumah-rumah bambu yang kecil beratap ilalang.

   Orang-orang yang nampak sedang menyapu halaman adalah orang-orang yang bertubuh kurus dan mengenakan pakaian yang sudah hampir kumal.

   "Lihat. Inilah Ricik."

   "Rumahmu dimana "

   Bertanya Glagah Putih."

   "Aku memang sedang mengajak kalian bedua ke rumahku."

   Ketiga orang itupun berjalan terus di jalan utama padukuhan Ricik Setiap orang yang bertemu dengan orang yang memenangkan pertarungan itu mengangguk hormat. Bahkan hormat sekali."

   "- Sokurlah, bapak pulang dengan selamat "

   Desis seseorang.

   "Bukankah aku katakan, bahwa aku akan segera pulang.

   "Ya, bapak. Kami, seluruh penghuni padukuhan ini berdoa untuk bapak."

   "Terima kasih "

   Jawab orang yang menang dalam pertarungan itu. Bahkan orang-orang yang rambutnya sudah-ubananpun menyebut orang itu Bapak.

   "Aku dituakan disini."

   "Biasanya seseorang yang dituakan dipanggil Ki atau Kiai."

   "Aku tidak pantas disebut Kiai. Aku seorang yang hidup dalam dunia kekerasan. Berkelahi dan bertarung di arena perjudian seperti yang kau lihat."

   Glagah Putih menarik nafas panjang.

   Beberapa saat kemudian, orang itupun berhenti di sebuah regol halaman yang terhitung luas.

   Rumahnyapun terhitung besar, meskipun juga terbuat dari bambu.

   Bertiang bambu dan berdinding bambu.

   Namun atapnya terbuat dari ijuk.

   Bukan dari ilalang.

   "Inilah rumahku. Aku terhitung orang terpandang di padukuhan ini.

   "Jadi kau bertarung untuk mempertahankan martabatmu di mata tetangga\tetanggamu yang miskin? Kau ingin tetap dianggap orang terkaya di padukuhan Ricik."

   Orang itu menarik nalas panjang. Dengan nada dalam iapun menjawab "

   Kau kelirlulKiisanak. Marilah. Aty tunjukkan, siapa-siapa yang ada dirumahku.

   " / Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun mengikuti orang yang mendapat hadiah itu memasuki regol halaman rumahnya. Yang mula-mula mereka lihat dihalaman adalah beberapa orang anak kecil yang sedang bermain. Anak-anak kecil yang bertubuh kurus. L'"hCTHpa orang nampak sakit-sakitan dan yang lain tubuhnya dikerumuni lalat karena ditubuhnya terdapat luka-luka yang nampaknya sudah agak lama tidak dapat sembuh. Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun. Hampir diluar sadarnya Rara Wulanpun bertanya "

   Siapakah mereka itu ?"

   Sebelum orang itu menjawab, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat seorang perempuan tua keluar dari pintu samping.

   Sedangkan seorang yang lain berjalan tertatih-tatih dari kebun.

   Orang yang telah memenangkan pertarungan itupun kemudian berkata dengan nada dalam "

   Itu adalah sebagian dari penghuni rumahku ini, Ki Sanak."

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara orang itupun berkata "

   Marilah. Aku tunjukkan kepadamu, saudara-saudaraku yang tinggal serumah dengan aku."

   Ketika orang itu melangkah ke pintu rumahnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya di belakang.

   Jantung mereka berdebaran ketika mereka melihat beberapa orang yang berada di rumah orang yang memenangkan pertarungan itu.

   Beberapa orang laki-laki perempuan tua yang sudah tidak berdaya.

   Tubuh mereka nampak kurus.

   Wajahnya ceking sedangkan matanya nampak redup.

   Sedangkan beberapa orang anak-anak berpenampilan agak berbeda.

   Ada diantara mereka yang tersenyum-senyum dengan wajah yang agak ceria.

   Namun ada pula yang nampak pucat dengan pancaran mata yang sendu.

   \ "Inilah keluargaku, Ki Sanak."

   Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Terasa sentuhan yang lembut telah mengusik hati mereka.

   "Marilah, silahkan duduk didalam "

   Orang Ricik itu mempersi-lahkan. Mereka bertigapun kemudian duduk di ruang dalam. Di sebuah amben , API-IV-58 bambu yang besar, di alasi dengan galar. Diatasnya terbentang tikar mei. dong yang bergaris-garis biru.

   "Ki Sanak.

   "berkata orang itu "

   Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku ingin tahu. siapakah Ki Sanak berdua sebenarnya?"

   "Aku tinggal di Tanah Perdikan Menoreh "

   Jawab Glagah Putih. Orang itu mengangguk-angguk. Katanya "

   Aku sudah beberapa kali lewat di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah Tanah Perdikan itu dipimpin oleh Ki Gede Argapati?"

   "Ya."

   "Tanah Perdikan yang besar dan kokoh. Siapakah nama Ki Sanak? "Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah isteriku.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang itu mengangguk-angguk.

   "Barangkali aku boleh mengetahui namamu, Ki Sanak?"

   "Namaku Wirasana."

   "Kau memang orang padukuhan ini sejak lahir?"

   "Ya."

   "Kenapa kau berbeda dengan orang lain di padukuhan Ricik ini? "

   Aku pergi dari rumah orang tuaku sejak menjelang remaja. Aku pergi mengembara bersama seorang yang masih mempunyai hubungan darah dengan ayahku."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   "Ketika aku pulang, aku mendapatkan padukuhan ini masih sama saja sebagaimana saat aku pergi. Padukuhan yang miskin diatas tanah yang gersang."

   "Apa yang kau lakukan dalam pengembaraan?"

   "Aku telah mendapatkan tuntunan tentang olah kanuragan. Kami, maksudku aku dan paman, berada di sebuah padepokan untuk beberapa tahun. Kemudian kami berdua telah mengembara kembali, sehingga pada suatu saat aku rindu untuk pulang."

   "Lalu siapa saja anak-anak dan orang-orang tua yang ada di rumahmu ini?"

   "Seperti yang aku katakan. Ketika aku pulang, aku dapati padukuhan ini masih saja sebagaimana aku tinggalkan. Aku melihat anak-anak yang kelaparan. Orang-orang tua yang seakan-akan tidak mempunyai tempat untuk berlindung. Mereka yang ikut anak-anak mereka yang miskin, mendapat perlakuan yang kurang memadai. Bukan karena anak-anak mereka menjadi durhaka, tetapi mereka benar-benar telah dihimpit oleh keadaan."

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya "

   Sekarang aku mengerti.

   Kau berusaha untuk membantu mereka dengan caramu.

   Untuk memenuhi kebutuhan, maka kau ikut dalam pertarungan itu.

   Jika kau menang, maka kau akan mendapat hadiah.

   Dan hadiah itu dapat kau pakai untuk menambah pendapatanmu menunjang usahamu menolong orang-orang miskin di padukuhan ini.

   "Ya."

   "Tetapi dengan demikian kau sudah mengorbankan harga dirimu. Kau korbankan namamu dan nama keluargamu. Kau, Wirasana, seorang yang mempunyai mata pencaharian bertarung di arena perjudian."

   "Ya. Aku memang telah mengorbankan harga diriku. Tetapi aku berusaha menyembunyikan lingkungan dan vTguruanku."

   "Akhirnya akan terkuak pula. Siapakah kau dan dimana kau pernah berguru."

   "Apakah kau yang memiliki ilmu yang sangat tinggi mengetahui, dimana aku berguru?"

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Sambil menggeleng iapun menjawab "

   Tidak."

   "Nah, aku harap orang lainpun tidak mengetahuinya. Aku sudah berusaha untuk menyamarkan ilmuku dengan mengaburkannya dengan berbagai ilmu yang pernah aku pelajari.

   "Tetapi bukankah seharusnya bukan orang-orang sepe ' -au yang turun ke gelanggang pertarungan seperti itu."

   Aku tahu. Tetapi aku memerlukan uang. Anak-anak dan orang-orang jompo itu harus makan, meskipun seadanya. Karena itu, aku korbankan apa saja yang ada padaku. Termasuk harga diriku. Bahkan , nyawaku seandainya itu mampu membahagiakan mereka."

   Namun Glagah Putih segera menyahut - Ki wirasana. Bagi seorang kesatria, harga diri adalah sama dengan nyawanya."

   API - IV - 58

   "Aku bukan seorang kesatria Ki Sanak. Meskipun demikian, jika ada orang yang menyinggung harga diriku dalam hubungannya dengan aku pribadi, maka aku akan mempertaruhkan nyawaku. Tetapi untuk makan dan minum mereka, selembar pakaian mereka yang paling buruk, serta kelangsungan hidup mereka, aku akan mengorbankan apa saja yang aku punya. Seperti yang aku katakan, jika itu dapat memberikan kebahagiaan bagi mereka, akan aku berikan nyawaku."

   "Ki Wirasana. Kenapa kau tidak berusaha dengan cara yang lain?"

   "Cara lain yang mana? Ketika aku pulang, maka aku tidak memiliki apa-apa. Aku tidak memiliki ketrampilan. Aku tidak memiliki ilmu dan pengetahuan apapun selain berkelahi. Karena itu, maka cara satu-satunya yang dapat aku pergunakan untuk mempertahankan hidup mereka adalah berkelahi. Mungkin menurutmu ada cara yang lebih terhormat dari cara yang aku tempuh. Tanpa mengorbankan harga diriku. Tetapi bagiku, tidak ada jalan lain. Aku memang sudah memikirkan satu kemungkinkan yang agaknya dapat aku jalani. Merampok, menyamun, merampas dan membunuh. Aku memiliki bekal untuk itu. Tetapi aku tidak dapat melakukannya. It u bertentangan dengan pesan perguruanku. Glagah Putih termangu-mangu sejenak, sementara orang itu berkata selanjutnya - Karena itu, maka aku telah memilih cara yang aku lakukan sekarang. Bukankah aku tidak membunuh siapa-siapa? Bukankah aku mendapatkan uang dengan cara yang terbuka dan disaksikan oleh banyak orang. Aku sendiri tidak ikut dalam perjudian itu. Aku tidak peduli. Aku bertanding dan aku mengalahkan lawan-lawanku dengan cara yang sah. Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian - Bukan dengan merampok. Aku sependapat dengan Ki Wirasana, bahwa jalan yang kasar dan melanggar paugeran serta memusuhi sesama itu tidak dapat dibenarkannya"

   "Jadi bagaimana? Apakah aku harus mengemis? Membawa tempurung dan duduk di pintu gerbang pasar?"

   "Bukan begitu Ki Sanak."

   "Lalu jalan apa lagi yang dapat aku tempuh? Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak mempunyai bekal ilmu dan kemampuan lain kecuali berkelahi. Karena itu, ketika jalan terbuka, maka akupun ikut berkelahi."

   "Kau dapat berbuat sesuatu tanpa berkelahi, Ki Wirasana. Tanpa merendahkan diri sebagaimana yang kau lakukan. Mengais rejeki di arena perjudian.

   "Katakan cara itu kepadaku. Jika aku mampu, aku akan melakukannya. Apapun asal tidak melanggar pesan-pesan kemanusiaan yang aku terima dari guruku."

   "Tidak. Aku yakin itu. Justru akan sangat mendukung pesan-pesan kemanusiaan itu. Lebih mendasar daripada sekedar berkelahi untuk menerima upah dari hasil perjudian."

   "Katakan."

   "Menurut pendapatku tanah di padukuhan ini bukannya tidak subur. Seharusnya Ki Wirasana mengetahui itu . Jika musim hujan dan sawah itu dapat ditanami, apakah hasil tanamannya tidak cukup memadai.?"

   Ki Wirasana termangu-mangu sejenak.

   "Apakah tanaman disawah itu menjadi kerdil dan tidak menghasilkan buah?"

   "Bukan begitu, Ki Sanak.

   "berkata orang itu - di musim hujan tanaman kami memang nampak subur. Hasilnyapun baik. Tetapi di musim kering, kau lihat sendiri, apakah mungkin kami menanam sesuatu di sawah kami? Palawijapun tidak akan mungkin dapat tumbuh dan di petik hasilnya."

   "Kalian harus berusaha - berkata Glagah Putih.

   "Berusaha apa?"

   "Mencari air."

   "Maksudmu?"

   "Di daerah ini tentu ada sungai besar atau kecil. Di lereng bukit yang nampak itu tentu ada mata air."

   "Kami harus mencari air ke tempat-tempat itu?"

   "Ya"

   "Seberapa tenaga kami untuk mengusung air dari sungai disebelah hutan itu? Untuk mendapatkan sebumbung air kami harus berjalan dari pagi sampai siang. Seandainya kami berniat melakukannya, mengambil air bagi sawah kami, maka akan sulit bagi kami untuk melaksanakannya."

   "Tentu tidak beriring-iringan membawa lodong bambu untuk mengambil air. Tetapi air itulah yang harus digiring kemari.

   " / "Bagaimana aku harus menggiring air kemari?"

   "Panggil semua laki laki sejak remaja yang sudah mulai bertenaga, sampai kakek-kakek yang masih mempunyai tenaga. Bendung kali itu dan buatlah parit sampai ke bentangan sawah yang kering itu. Sawah itu tentu akan menjadi basah"

   W - Ki Wirasana itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya -Aku membayangkan, apakah mungkin cara itu aku tempuh? Kau lihat orang-orang padukuhan Ricik adalah orang-orang miskin, kurus dan tidak bertenaga."

   "Kau sudah menjadi kendala bagi dirimu sendiri. Kerja itu belum dimulai. Masih ada waktu untuk menilainya."

   Ki Wirasana menarik nafas panjang.

   Sementara Glagah Putihpun berkata - Kau harus mencobanya.

   Kau harus dapat memberi mereka pengharapan dengan kerja yang mereka lakukan.

   Kau harus dapat meyakinkan mereka, hasjl^yang-Hikan mereka peroleh jika mereka melakukannya.

   Bekerja keras meskipun, kurang tenaga.

   Namun pengharapan mereka akan memberikan tenaga baru bagi mereka."

   Ki wirasanapun mengangguk-angguk sambil menjawab - Aku akan mencoba."

   "Jika kau berhasil, kau tidak perlu merendahkan dirimu, mengorek tempat perjudian untuk mendapatkan upah."

   Orang itupun mengangguk-angguk. Katanya - Aku mengerti."

   "Nah, Ki Wirasana. Jika kau sependapat, kau akan dapat segera memulainya, Semakin cepat semakin baik."

   "Aku akan bertemu dengan bebahu padukuhan ini. Biasanya mereka mau mendengarkan pendapatku dan mencoba mengetrap-kannya di padukuhan ini. Padukuhan yang miskin, kering dan gersang sebagai kau lihat."

   "Sokurlah. Mudah-mudahan Ki Bekel mendukung rencana itu."

   Ki Wirasana menarik nafas panjang.

   Namun dalam pada itu, Glagah Putihpun berkata - Ki Sanak.

   Adalah kebetulan bahwa aku sempat singgah dipadukuhan Ricik.

   Karena aku berbicara dengan orang berilmu, maka akuo tidak merasa perlu untuk berbelit-belit.

   Dalam perjalananku ini, aku i memerlukan tempat untuk menginap barang tiga atau ampat hari.

   ] Aku sedang menjajagi kedalaman ilmuku dan isteriku.

   Selama ini j aku dan isteriku, tidak tahu pasti, seberapa jauh kemampuan kami I berdua.

   Perkiraan itu perlu bagi kami berdua yang sedang I melakukan pengembaraan yang panjang.

   Jika kami bertemu dengan ' orang-orang yang berniat buruk di jalan, kami dapat mengukur, apakah kami harus berhadapan langsung atau kami memerlukan "

   Mencari jalan lain."

   "Baik Ki Sanak.

   "jawab Ki Wirasana - bukan hal yang rumit. Aku jamin, Ki Bekel akan dapat meminjamkan banjar kami yang sederhana. Kalian dapat memakainya bukan hanya untuk tiga atau ampat hari. Tetapi mungkin tiga atau ampat pekan sekalipun.

   "Terima kasih. Meskipun demikian, bukankah ijin itu harus datang dari Ki ekel?"

   "Ya. Tetapi aku menjamin,"

   "Kapan kau dapat bertemu dengan Ki Bekel?"

   "Hari ini. Seandainya, hanya seandainya kalian mengalami kesulitan untuk berada di banjar ampat atau lima hari, maka kau dapat tinggal di rumahku. Aku akan dapat menyediakan satu bilik khusus, meskipun tidak memenuhi kebutuhan sebagaimana satu ruangan didalam sanggar.

   "Terima kasih. Apapun yang disediakan bagi kami, tentu cukup memadai,"

   "

   Baiklah, Glagah Putih. Aku persilahkan kau beristirahat disini bersama Nyi Glagah Putih. Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel. Aku akan menyampaikan keinginanmu untuk bermalam disini sekitar ampat atau lima hari."

   "Terima kasih - sahut Glagah Putih. - "Aku persilahkan kau melihat-lihat keluarga besarku. Mungkin kau tertarik untuk berkenalan dengan mereka. Mendengarkan keluhan-keluhan mereka serta keinginan-keinginan mereka.

   "Baik, Ki Wirasana. Aku akan memperkenalkan diri kepada anggauta keluargamu."

   Namun Rara Wulan kemudian bertanya - Kalau aku boleh tahu, dimanakah Nyi Wirasana?"

   Ki Wirasana menarik nafas panjang.

   Katanya - Isteriku terbunuh diperjalanan ketika kami sedang bepergian.

   Waktu itu aku masih terhitung muda.

   Kami belum lama menikah ketika dalam perjalanan beberapa orang penyamun menghentikan kami.

   Aku mencoba melawan.

   Tetapi para penyamun itu licik.

   Ada diantara mereka yang menyerang isteriku.

   Isteriku tidak memiliki kemampuan olah kanuragan, sehingga karena itu maka dengan mudah penyamun itu membunuhnya.

   Kemarahanku tidak tertahankan lagi.

   Aku membunuh ampat diantara lima orang penyamun.

   Yang seorang berhasil lolos pada saat aku sibuk membunuh kawan-kawannya."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi Rara Wulan itupun bertanya pula - Setelah itu, Ki Wirasana tidak menikah lagi?"

   "Tidak. Aku tidak menikah lagi. Akupun ke udian hidup diantara anggauta-anggauta keluargaku sekarang ini,"

   Rara Wulan memandang wajah Ki Wirasana yang sendu itu sekilas. Dengan nada dalam Rara Wulan berkata - Aku ikut berpri-hatin atas peristiwa itu."

   "Itu sudah terjadi beberapa waktu yang lalu. Aku berusaha melupakannya. Aku mencurahkan semuj perhatianku kepada anakanak yang akan menjadi isi dari masa depan. Meskipun aku juga memperhatikan orang-orang tua yang terlantar, namun masa depan dunia ini kelak berada di tangan mereka yang sekarang masih kanak-kanak."

   "Aku sangat menghargainya, Ki Wirasana."

   "Nah, sekarang duduklah, beristirahatlah. Aku akan menemui Ki Bekel. Ki Wirasana kemudian meninggalkan rumahnya, pergi menemui Ki Bekel. Ki Wirasana ingin berbicara dengan Ki Bekel tentang hari depan padukuhan mereka. Tentang kerja keras untuk membangun harapan bagi para penghuni padukuhan itu. Tetapi Ki Wirasana juga ingin menyampaikan permintaan Glagah Putih dan isterinya untuk tinggal di padukuhan mereka beberapa hari. Ki Bekel mendengarkan keterangan Ki Wirasana dengan sungguh-sungguh. Seperti biasanya, Ki Bekel jarang sekali atau bahkan tidak pernah meflolak petunjuk dan pendapat Ki Wirasana. Bagi Ki Bekel, Ki Wirasana adalah seorang yang benar-benar memikirkan nasib orang-orangnya yang miskin. Orang-orangnya yang kekurangan dan kelaparan . Ki Wirasana telah berbuat apa saja untuk membantu tetangga-tetangganya yang tidak dapat makan kenyang sehari-harinya. Anak-anak dan bahkan orang-orang tua.

   "Apakah Ki Wirasana yakin bahwa usaha,itu akan berhasil?"

   "Aku yakin Ki Bekel. Tetapi tentu saja tidak dapat seketika. Mungkin satu musim atau dua musim. Dalam waktu dekat, mungkin aku masih mampu mencari uang di lingkaran perjudian itu. Tetapi sejak pertarungan kali ini, arena itu sudah dibayangi maut. Ada orang dari Gunung Gandar yang menantang agar dalam pertarungan akhir, dilakukan pertarungan sampai tuntas. Salah seorang dari mereka yang masuk ke arena akan mati."

   "Kalau begitu. Ki Wirasana telah membunuh?"

   "Tidak. Aku tidak membunuh. Aku memenangkan pertarungan, tapi aku biarkan lawanku hidup. Mungkin dengan demikian ia \ merasa terhina, sehingga orang itu mendendamku. Tetapi arena itu memang bukan arena untuk membunuh. Tetapi arena untuk bertarung. Untuk menunjukkan kemampuan saja. Yang memang akan mendapat hadiah."

   "Apa pertarungan sampai mati itu diijinkan?"

   "Seharusnya tidak. Tetapi orang Gunung Gandar itu membuat seribu alasan, sehingga memungkinkannya menantang perang tanding. Nah, pertarungan untuk memperebutkan hadiah itu sudah diwarnai dengan perang tanding sampai mati. Tetapi aku tidak ingin membunuh. Aku hanya ingin mendapat hadiah."

   "Dan Ki Wirasana mendapat hadiah itu?"

   "Ya. Aku adalah pemenangnya yang terakhir.

   Ki Bekel itu mengangguk-angguk.

   "Karena itu - berkata Ki Wirasana lebih lanjut - aku tidak dapat membayangkan kemungkinan mendatang. Jika pada akhirnya aku benar-benar mati di arena, karena semakin banyak orang yang mendengarnya, akan semakin banyak orang berilmu tinggi yang datang, t aka sawah yang kering itu sudah dapat ditanami dimusim ketiga."

   Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya - baiklah. Aku sendirilah yang akan memimpin kerja itu. Aku berharap dapat terlaksana dengan lancar dan benar-benar menghasilkan.

   "Tentu, Ki Bekel. Tentu menghasilkan.

   "Menurut Ki Wirasana, kapan kita akan mulai menggiring air itu?"

   "Semakin cepat semakin baik."

   "Besok aku akan datang mengumpulkan para bebahu untuk membicarakannya."

   "Terima kasih atas persetujuan Ki Bekel."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku harap Ki Wirasana untuk datang esok pagi,-r^ "Bagaimana dengan kedua orang suami isteri itu? " * "Jika mereka bersedia, bukankah kita tidak berkeberatan?"

   "Aku kira mereka tidak akan berkeberatan. Selebihnya bagaimana dengan permintaannya untuk dapat tinggal di padukuhan ini dalam waktu tiga atau empat hari?"

   "Tentu kita tidak keberatan. Tetapi di rumah siapa mereka akan tinggal?"

   "Agaknya mereka tidak memilih tempat, Ki Bekel. Mereka dapat berada dimana saja. Aku sudah memberikan ancar-ancar, maaf Ki Bekel jika aku mendahului, bahwa mereka dapat berada h' banjar."

   "Ya. Tentu. Mere.ka akan kita tempatkan di banjar padukuhan. Tetapi banjar padukuhan itu adalah bangunan yang sederhana saja, Ki Wirasana.

   "Nampaknya mereka bukan orang yang mempunyai banyak tuntutan. Mereka adalah orang yang rendah hati dan dapat menerima sesuai dengan keadaan."

   "Syukurlah. Jika demikian, bawa saja mereka ke banjar sejak malam nanti. Bukankah di rumah Ki Wirasana dipenuhi oleh kanak-kanak dan orang-orang tua yang sebagian ada yang sudah pikun?"

   "Ya, Ki Bekel."

   "Karena itu, maka banjar adalah tempat terbaik bagi mereka berdua."

   Ki Wirasana itupun kemudian telah minta diri. Demikian ia sampai di rumah, maka Ki Wirasana telah menyampaikan hasil pertemuannya dengan Ki Bekel.

   "Sudah aku katk'an, biasanya pendapat dan usul-usulku tidak pernah ditolak.

   "Ki Bekel tahu, apa saja yang sudah kau lakukan. Kau tentu sudah memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat padukuhan ini dengan cara apapun juga, tetapi tidak berhasil, sehingga kaupun akhirnya merendahkan diri turun ke dalam arena pertarungan untuk memenangkan pertarungan itu.

   "Ya. Itulah yang sudah aku lakukan."

   "Pada akhirnya kau akan berhenti. Segala sesuatu tergantung kepada usaha kalian. Apakah harapan itu akan datang cepat atau lambat."

   Ki Wirasana mengangguk-angguk.

   Katanya kemudian - Ki Sanak.

   Besok Ki Bekel akan memanggil para bebahu.

   Aku diminta untuk hadir dan memberikan penjelasan tentang rencana sesuai dengan gagasanmu.

   Menurut pendapatku, alangkah baiknya jika Ki Sanak berdua juga hadir dalam pertemuan itu.

   Ki Sanak dapat berbicara langsung dengan para bebahu, sehingga menurut pendapatku, Ki Sanak akan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengharapan itu.

   "Baiklah. Besok aku akan datang.

   "Terima kasih."

   "Lalu, bagaimana tanggapan Ki Bekel tentang permohonanku untuk tinggal di padukuhan ini barang tiga atau ampat hari?"

   "Tentu saja Ki Bekel tidak berkeberatan. Bahkan selama itu, Ki Sanak berdua akan sempat memberikan petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan gagasan yang Ki Sanak sampaikan itu."

   Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu iapun berkata - Ki Wirasana. Aku memerlukan waktu untuk menilai ilmu. Karena itu, aku dan isteriku akan menutup -diri dalam waktu tiga atau ampat hari itu."

   Ki Wirasanapun menarik nafas panjang. Katanya - Ya, ya. Aku mengerti."

   "Begini saja Ki Sanak. Pada hari yang pertama sampai hari yang ketiga, aku akan bersama-sama para bebahu melihat kemungkinan yang dapat kita lakukan untuk menggiring air. Kemudian setelah itu, aku minta waktu tiga atau ampat hari. Dengan demikian aku akan berada di padukuhan ini sekitar dua pekan."

   "Ki Bekel tentu tidak berkeberatan, Ki Sanak. Aku menjamin. Ki Bekel justru akan merasa senang akan keberadaan Ki Sanak disini."

   "Terima kasih, Ki Wirasana."

   "Seisi padukuhan ini tentu juga akan mengucapkan terima kasih kepada Ki Sanak berdua."

   Sebenarnyalah, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan API-rV-58i Seakan-akan telah mengikatkan diri dengan padukuhan itu.

   Sejak malam pertama mereka bermalam di padukuhan itu, keduanya telah ditempatkan di banjar.

   Ki Wirasana mendapat beban untuk mengirim makan dan minum kedua orang yang akan tinggal di padukuhan itu untuk sekitar dua pekan.

   Dihari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berbaur dengan rakyat padukuhan Ricik yang miskin itu.

   Glagah Putih mencoba menjelaskan gagasannya tentang menggiring air.

   Membuat parit di lengkeh Gunung, di sela-sela bukit-bukit kecil dan tebing yang kadang-kadang terjal.

   "Kerja yang berat- berkata Glagah Putih - tetapi jika kita berhasil, maka hasilnya itu tentu memadai. Berbahu-bahu s.awah akan mendapat air di segala musim. Tidak hanya dimusim hujan. Ternyata Glagah Putih berhasil meyakinkan para bebahu' untuk merencanakan satu kerja yang terhitung besar. Orang-orang Ricik itu harus menggiring air yang melimpah di pinggir hutan pegunungan kekotak-kotak sawah yang kering dan gersang. Selama tiga hari Glagah Putih bersama para bebahu melihat medan. Memang ada berbagai kesulitan. Tetapi GlagahPutih dan para bebahu itu berharap bahwa kesulitan-kesulitan itu akan dapat teratasi.

   "Baiklah Ki Sanak.

   "berkata Ki Bekel - kami benar-benar akan mencoba mewujudkan gagasan Ki Sanak. Kerja ini akan memberikan pengharapan kepada seisi padukuhan Ricik. Mereka tidak lagi merasa bahwa mereka tidak memiliki masa depan lagi.^ - Demikianlah, maka di hari berikutnya, Olagah Putih dan Rara Wulan tidak pergi ke medan kerja rakyat padukuhan Ricik. Glagah Putih dan Rara Wulan tetap berada di banjar. Mereka berada di serambi belakang, agar mereka tidak terganggu jika ada orang yang mengunjungi banjar itu. Glagah Putih dan Rara Wulanpun mulai mempelajari isi kitab yang disimpan di dalam peti itu. Tidak terlalu banyak. Namun isi kitab itu telah mengarahkan mereka yang sudah mempunyai lan-dasan dasar ilmu yang tinggi untuk memahami satu jenis ilmu yang sangat tinggi. API-IV-58.

   "Ilmu ini seakan-akan memang diperuntukkan bagi kita, Rara - Desis Glagah Putih.

   "Ya. Tetapi aku kira umur kitab ini jauh lebih tua dari umur kita. Bahkan umur orang tua kita. Glagah Putih mengangguk-angguk . Katanya - Meski, kitab ini nampaknya masih baik dan jarang di sentuh tangan, namun ada pertanda bahwa kitab ini adalah kitab tua. Bentuk huruf-hurufnya. Cara menulisnya serta bahan yang dipergunakannya."

   Rara Wulan mengangguk-angguk.

   "Rara - berkata Glagah Putih - selain ilmu yang diperuntukkan bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan, di dalam kitab ini juga terdapat sejenis ilmu yang harus kita pelajari bersama. Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada dalam iapun berkata - Jika kita tertarik untuk menguasai ilmu itu, kakan.. Kita harus menjalani laku."

   "Ya"

   "Laku yang berat."

   "Tergantung kepada kita berdua. Apakah kita berdua berniat menguasai ilmu sebagaimana tersebut dalam kitab itu, atau tidak. Jika kita berniat, maka kita harus menyediakan waktu yang khusus. Kita tidak dapat mendua selama kita menjalani laku itu. Apalagi beberapa hari terakhir.

   "Kakang. Kita perlu memikirkannya masak-masak."

   "Kita mempunyai waktu tiga atau ampat hari untuk mempelajari isi kitab ini sebaik-baiknya, Rara. Kita dapat mempelajari setiap langkah di dalam laku untuk menguasai ilmu ini. Didalam kitab ini tentu disebut tapak demi tapak."

   "Ya, kakang. Kita harus mempelajari sebaik-baiknya sebelum kita melangkah. Jika kita gagal di tengah jalan, maka kita hanya akan membuang-buang waktu saja."

   "Tetapi jika kita berhasil, maka kita akan menguasai ilmu yang memadai."

   "Asal kita tidak menjadi lupa diri, sehingga jalan yang kita lalui telah menyimpang dari jalan kebenaran."

   "Ya. Kita harus selalu ingat pesan yang terkandung di dalam ilmu itu."

   "Baiklah, kakang. Kita akan mempelajarinya sebaik-baiknya dalam tiga ampat hari mendatang. Bukankah kita sudah diberi waktu'.'"

   Glagah Putih mengangguk-angguk., Sebenarnyalah dalam waktu tiga hari Glagah Putih dan Rara Wulan menelaah isi kitab itu.

   Langkah yang harus dilewati dalam menjalani laku.

   Latihan-latihan kewadagan dan kejiwaan Kesadaran diri seria hubungannya dengan Yang Maha Agung.

   Ketika tiga hari telah lewat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah dapat memahami jalur-jalur laku yang harus dijalani jika mereka ingin menguasai kemampuan sebagaimana tersebut di dalam kitab itu.

   Bahkan kemampuan yang dapat digapai oleh mereka yang beruntung menguasai kitab itu dan menjalani laku sebagaimana diisyaratkan, akan dapat membayangi kemampuan terbaik yang dapat dicapai oleh seseorang.

   Namun di dalam kitab itu juga tersirat bahwa tidak ada kemampuan yang tidak mempunyai kelemahan.

   Bagaimanapun tinggi ilmu seseorang, namun padanya tentu terdapat kelemahan yang dapat menjebaknya kedalam kehancuran.

   "Kita akan memikirkannya, Rara - berkata Glagah Putih.

   "Ya, kakang. Kita mempunyai banyak waktu. Kita harus memikirkan baik-baik, apakah kita akan menjalani laku atau tidak. Jika kita memutuskan untuk menjalani laku itu, maka kita memerlukan suasana yang mendukung. Selama kita menjalani itu terputus meskipun hanya sehari, kita harus mengulanginya dari permulaan."

   "Ja(di kita akan memikirkannya sambil meneruskan perjalanan ke Barat?"

   "Ya. Mungkin di sepanjang jalan kita menemukan tempat yang suasana dan lingkungannya cukup mendukung."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kenu^dian-Baiklah. Tetapi kita masih akan tetap tinggal disini untuk sepekan lagi. Kita akan membantu rakyat padukuhan Ricik yang miskin ini untuk menggiring air."

   "Baik, Kakang."

   "Nilai dari perbuatan kita sekarang ini tidak akan kalah nilainya dengan usaha kita mencari Ki Saba Lintang meskipun pada sisi yang berbeda dari putaran kehidupan ini."

   "Ya, kakang."

   Sebenarnyalah, maka setelah tiga hari Glagah Putih dan Rara Wulan berusaha mempelajari isi kitab itu, maka merekapun mulai melibatkan diri lagi didalam kesibukan rakyat Ricik untuk menggiring air.

   Ternyata rakyat Ricik yang miskin itu bukan orang yang malas.

   Justru mereka telah ditempa oleh kemiskinan itu sendiri, sehingga mereka terbiasa bekerja keras untuk dapat mempertahankan hidup mereka.

   Karena mereka meyakini penghargaan yang diuraikan oleh Glagah Putih, maka merekapun serentak angkit untuk melaksanakannya.

   Kerja yang mereka lakukan ternyata melampaui dugaan.

   Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Meskipun belum berwujud, tetapi parit itu sudah mulai membayang.

   Patok-patok bambu yang dipasang semakin meyakinkan mereka, bahwa mereka akan berhasil.

   Untuk beberapa hari Glagah Putih dan Rara Wulan melibatkan diri dalam kerja itu.

   Namun setelah mereka sepekan ikut bekerja keras, maka merekapun segera minta diri.

   "Ki Sanak Herdua akan meninggalkan kami? " - "Bukankah semuanya sudah menjadi-jelas. Pant itu sudah seakan-akan berwujud, meskipun baru jalurnya. Tetapi bukankah dengan demikian Ki Bekel dan rakyat Ricik sudah yakin, bahwa kalian akan berhasil?"

   "Kami akan berhasil, Ki Sanak.

   "Kalian harus bekerja keras sambil berdoa, agar parit itu benar-benar pada suatu hari mengalirkan air yang dapat mengairi sawah dan ladang kalian yang sekarang kering kerontang. Apalagi di musim kemarau. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin menunda perjalanannya. Bukan saja karena tugas mereka, tetapi mereka ingin membicarakan kemungkinan-kemungkinan untuk menjalani laku sebagaimana tersebut dalam kitab yang ditemukannya di rumah yang hampir runtuh itu. Rumah yang masih tetap diselimuti kabut rahasia bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Bekel dan rakyat Ricik serta Ki Wiratama merasa kehilangan. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan baru beberapa pekan saja tinggal bersama mereka, namun keduanya ternyata sangat berarti bagi mereka, sebagaimana Ki Wiratana .yang telah menyerahkan seluruh hidupnya bagi rakyat padukuhan Ricik yang miskin. Dipagi hari, sebelum matahari terbit, saat Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan banjar, maka para bebahu serta sebagian rakyat Ricik telah melepasnya sampai ke gerbang padukuhan. Glagah Putih dan Rara Wulan memang menjadi terharu. Kepada mereka Glagah Putihpun berkata - Mudah-mudahan aku dapat terdampar sampai kepadukuhan ini lagi."

   "Kami menunggu, Ki Sanak."

   Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin lama semakin jauh meninggalkan padukuhan Ricik.

   Ketika matahari menjadi semakin tinggi menggapai puncak langit, Glagah Putih dan Rara Wulan memerlukan berhenti dibawah sebatang pohon yang rindang.

   Keduanya menyempatkan diri untuk berbincang tentang laku yang harus dijalani jika mereka ingin menguasai ilmu sebagaimana disebutkan didalam kitab.

   "Jika kita akan menjalani laku itu Rara, kita harus mencari tempat yang memadai. Kita harus menjalani Tapa Ngidang sepekan. Kita harus menjalani Tapa Ngalong sepakan. Kemudian berendam di air sepekan . Disamping laku itu, kita harus mempelajari unsur-unsur dari ilmu itu. Unsur gerak, unsur pernafasan, unsur kajiwan dan kita harus mempersiapkan unsur kewadagan.

   "Bukankah laku yang tiga pekan itu merupakan laku untuk mempersiapkan unsur kewadagan?"

   "Ya. Tetapi juga unsur kajiwan. Ketahanan badani dan keta-hana jiwani."

   "Kemudian setelah itu, kita masih menjalani laku untuk menguasai getar dari unsur-unsur yang ada didalam ujud kewada-gan kita. Rara Wulan mengangguk-angguk.

   "Kita memerlukan waktu sedikitnya tujuh pekan untuk menjalani laku. Kemudian terakhir kita harus melakukan patigeni. Jika kita beruntung menemukan Tuk Kawarna Susuhing Sarpa, maka kita akan dapat menjadi kebal bisa dan racun seperti Kakang Agung Sedayu. Rara Wulan mengangguk-angguk."

   "Rara - berkata Glagah Putih - laku itu adalah laku yang sangat berat. Tetapi yang paling berat bagimu adalah justru Tapa Ngidang."

   "Kenapa?"

   "Kau baca sendiri perincian tatanan Tapa Ngidang itu."

   "Katakan pokok-pokoknya saja kakang. Biarlah kelak saja aku membacanya."

   "Sebelum kita mulai menjalani laku, aku harus sudah membacanya sampai tuntas."

   "Ya. Aku mengerti. Tetapi katakan tatanan Tapa Ngidang "Tapa Ngidanc adalah laku yang harus dijalani sebagaimana seek n kijang."

   "Berada di hutan?"

   "Ya, berada di hutan."

   "Makan dedaunan?"

   "Ya, makan dedaunan."

   "Kenapa justru yang terberat? Bagaimana dengan Tapa Ngalong dan berendam di air?"

   "Tapa Ngalong dan berendam di air juga merupakan laku yang berat. Tetapi tidak seberat Tapa Ngidang. Terutama bagimu."

   "Aku tidak mengerti. Aku tidak akan merasa berat untuk hidup dihulan dengan makan dedaunan dalam sepekan."

   "Kau belum berbicara tentang pakaian."

   "He? Kita harus berpakaian seperti kijang yang berkeliaran di hutan."

   "Ya"

   "Ah"

   "Sudah aku katakan, itu adalah laku yang terberat yang harus kau jalani."

   "B" . -benar seperti kijang? " ' "Ya."

   "Tidak ada cara lain? " i "Tetapi bukankah kita berada di tengah-tengah hutan yang lebat sehingga kita tidak akan bertemu dengan seorangpun?"

   Rara Wulan terdiam. Sementara itu Glagah Putihpun berkata -Setelah itu, kita masih harus menjalani laku. Tetapi laku yang tidak akan menjadi beban bagi kita. Tapa Ngrame."

   "Itu bukan masalah - desis Rara Wulan - bukankah sudah 1 seharusnya kita menolong setiap orang yang memerlukan pertolongan kita. Apakah pada saat kita menjalani laku atau tidak."

   "Ya."

   "Aku akan berpikir tentang Tapa Ngidang."

   "Kita masih mempunyai banyak waktu untuk mengambil keputusan. Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Terik matahari terasa semakin menyerat kulit. Meskipun terasa angin berhembus menyisir batang-batang padi di sawah, namun keringat mereka masih saja membasahi pakaian TIK reka. Ketika mereka mendekati sebuah padukuhan, maka keduanyapun telah berpapasan dengan tiga orang yang berjalan tergesa-gesa. Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun sejenak ketika mereka melihat seorang diantara mereka.

   "Orang Gunung Gandar yang ikut dalam pertarungan untuk memperebutkan hadiah itu - desis Glagah Putih.

   "Ya. Agaknya memang orang itu. Glagah Putih dan Rara Wulan tennangu-mangu sejenak. Namun kemudian Rara Wulanpun bertanya - Kenapa mereka begitu tergesa-gesa?"

   "Ya. Nampaknya ada sesuatu yang menarik perhatian mereka."

   "Apakah kita akan melihat, apa yang menarik perhatian mereka?"

   "Glagah Putih merenung sejenak. Namun kemudian katanya - Mudah-mudahan mereka tidak bermaksud buruk " * Rara Wulan menarik nafas panjang. Meskipun demikian ia masih saja berdesis - Apakah ia mendendam orang padukuhan Ricik itu?"

   "Ki Wirasana telah berbaik hati dengan tidak membunuhnya diperang tanding itu meskipun ia dapat melakukan. Jika orang itu masih mempunyai jantung, maka ia akan menganggap bahwa ia berhu|ta|ng ! nyawa kepada Ki Wirasana. Rara Wulan mengangguk-angguk. Karena itulah, maka keduanyapun kemudian segera melanjutkan perjalanan. Mereka tidak berniat untuk mengikuti orang Gunung Gandar, meskipun sikap orang Gunung Gandar itu membuat Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi curiga. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah memasuki sebuah padukuhan yang terhitung besar. Mereka masih menemukan kedai yang terbuka di dekat sebuah pasar yang sepi. Yang tinggal dipasar hanyalah beberapa orang pedagang yang membenahi dagangan mereka, serta para petugas yang menjaga keamanan dan yang bertugas membersihkan pasar itu. Tetapi di kedai yang masih terbuka, nampak beberapa orang masih berada didalamnya. Keduanyapun segera memasuki sebuah kedai yang terhitung besar dibandingkan dengan beberapa kedai yang lain. Didalam kedai itu sudah duduk beberapa orang yang datang lebih dahulu. Tetapi agaknya mereka sudah terbiasa duduk dikedai itu, sehingga mereka sama sekali tidak menghiraukan siapakah yang datang dan siapakah yang pergi meninggalkan kedai itu. Rara Wulanpun kemudian memesan makan dan minum bagi mereka berdua. Merekapun kemudian memilih tempat disudut kedai itu, sehingga dari tempat mereka, keduanya dapat melihat seluruh ruang . Mereka dapat melihat siapa saja yang berada di dalam kedai itu. Sejenak kemudian, maka pelayan kedai itupun telah menghidangkan minum dan maka-i sebagaimana dipesan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Untuk beberapa lama Glagah Putih dan Rara Wulan duduk dengan tenang di kedai itu sambil menikmati minum dan makan yang dipesannya. Nasi dengan jangan asem dan sambal terasi. Tempe goreng garit serta bothok mlandingan. Orang-orang yang berada di dalam kedai itupun sibuk menikmati makanan dan minuman yang telah dihidangkan bagi mereka. Beberapa orang yang sudah selesai makan , tetapi masih ingin duduk beristirahat masih berbicang-bincang yang satu dengan yang lain.

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini