Ceritasilat Novel Online

Api Dibukit Menoreh 21


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 21


Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja

   

   Mereka tidak tahu, kapan mereka kehilangan kesadaran dan tidur sambil bersandar dinding.

   "Sekarang,"

   Berkata kedua pengawal yang datang dari Kademangan.

   "bangunkan kawan-kawanmu. Kami memerlukan sebagian dari mereka."

   Sejenak kemudian maka para pengawal yang ada digardu itupun telah terbangun.

   Dengan singkat pengawal yang datang dari regol Kademangan itu menjelaskan apa yang sudah terjadi, dan membawa perintah agar sebagian dari mereka yang ada digardu itu pergi ke Kademangan untuk membantu mengawasi beberapa orang yang tertawan.

   Kabar itupun segera menjalar.

   Gardu-gardu yang terletak jauh dari rumah Ki Demang agaknya tidak tersentuh oleh kekuatan sirep itu.

   Namun merekapun ramai berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi, bahkan merekapun sadar, jika hal itu terulang, maka peristiwa yang mengerikan akan dapat menimpa Kademangan Sangkal Putung.

   Dalam keadaan tidak sadar itu mereka yang ingin berbuat jahat dengan sebilah pedang ditangan mendekati gardu itu, maka ia akan dengan mudah sekali menghunjamkan senjatanya disetiap dada tanpa perlawanan sama sekali.

   Hampir setiap orang di Sangkal Putung memang sudah pernah mendengar ceritera tentang sirep.

   Tetapi seorang penjahat yang melepaskan sirep dengan maksud yang sederhana, mengambil barang milik seseorang, pengaruhnya tidak akan lebih luas dari rumah yang menjadi sasaran itu.

   Tetapi yang terjadi atas rumah Ki Demang Sangkal Putung benar-benar telah menimbulkan kegemparan.

   Ternyata beberapa buah rumah dan gardu telah terkena pengaruhnya, hingga tidak seorangpun yang mengetahui apa yang sudah terjadi di rumah Ki Demang Sangkal Putung itu.

   "Untunglah, bahwa di Sangkal Putung masih ada orang-orang yang dapat melawan sirep itu,"

   Berkata setiap orang didalam hatinya. Dan merekapun menjadi semakin berbangga terhadap Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah, disamping beberapa orang tamu yang kebetulan berada di Kademangan Sangkal Putung.

   "Tanpa mereka kita tidak berdaya sama sekali,"

   Desis seorang pengawal.

   Yang lain hanya mengangguk-angguk saja.

   Namun merekapun telah dihadapkan pada tugas yang berat, mengawasi beberapa orang tawanan yang berilmu tinggi.

   Jika mereka lengah sedikit, maka yang terjadi tentu diluar dugaan sama sekali.

   Bahkan salah seorang pengawal bertanya kepada kawannya.

   "Apakah mereka juga mempunyai ilmu sirep?"

   "Aku tidak tahu. Tetapi setiap saat tentu ada salah seorang yang memiliki keseimbangan ilmu dengan para tawanan itu ikut mengawasi. Mungkin Agung Sedayu, mungkin pula Swandaru atau yang lain."

   Dengan demikian, sejak saat malam penyebaran sirep itu, Sangkal Putung mempunyai beberapa orang tawanan.

   Setap kali Swandaru mencoba untuk mendengar apakah mereka mengerti serba sedikit tentang usaha mereka yang merasa dirinya sebagai pewaris Kerajaan Majapahit itu.

   "Kami benar-benar tidak tahu,"

   Jawab salah seorang dari mereka.

   Sehingga setiap kali, Swandaru harus menahan kecewa.

   Orang-orang itu selalu menjawab tidak tahu.

   Bahkan karena kejengkelan yang meluap, Swandaru telah memanggil seorang demi seorang.

   Dengan kasar dan dengan lemah lembut ia mencoba untuk mengorek keterangan tentang para prajurit Pajang yang telah terseret kedalam kelompok yang sangat berbahaya itu.

   Tetapi usahanya selalu sia-sia.

   Kiai Gringsingpun sudah memberitahukan kepada Swandaru, bahwa mereka sebenarnyalah tidak tahu apa-apa.

   Mereka hanyalah pengikut saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu.

   "Mungkin mereka mendapat perintah untuk menutup mulutnya,"

   Berkata Swandaru pada suatu saat. Kiai Gringsing menggeleng sambil menjawab.

   "Menurut pengamatanku mereka benar-benar tidak tahu. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus mengikuti orang Pesisir Endut itu membawakan dendamnya bagi Agung Sedayu dan Pangeran Benawa. Tapi mereka tidak mengetahui bahwa dendam mereka telah diarahkan bagi keuntungan orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit yang kini tersembunyi di Pajang dan di antara beberapa orang berilmu disekitar Pajang."

   Swandaru tidak menjawab.

   Tetapi masih nampak keragu-raguannya atas kebenaran pendapat gurunya itu.

   Menurut pendapat Swandaru, mereka akan dapat memberikan keterangan serba sedikit tentang yang akan dapat dipergunakan untuk menelusuri jalur yang meskipun paling jauh, menuju kearah yang dikehendakinya.

   Namun akhirnya Swandaru menghentikan usahanya.

   Ia merasa bahwa tidak seorangpun yang mendukung usahanya.

   Agung Sedayu juga tidak.

   "Persetan dengan mereka,"

   Berkata Swandaru didalam hatinya.

   "jika dari mereka tidak akan dapat disadap keterangan apapun, kenapa mereka tidak diserahkan saja kepada Mataram atau Pajang sebagai penjahat apabila kami disini tidak diwenangkan menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan mereka?"

   Tetapi Swandaru tidak dapat memaksakan kehendaknya.

   Ki Demang Sangkal Putung sendiri nampaknya masih membiarkan orang-orang itu menjadi beban yang menjemukan.

   Sementara itu, Ki Waskita menjadi semakin gelisah menanggapi keadaan.

   Nampaknya orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu menjadi semakin garang.

   Mereka mempergunakan kesempatan dan pihak yang manapun juga untuk mencapai maksudnya.

   Yang menjadi sasaran pertamamya adalah Agung Sedayu dan sudah barang tentu orang-orang lain pula kelak yang dianggap membantu tegaknya Mataram.

   "Kiai Gringsing nampaknya masih acuh tidak acuh saja,"

   Berkata Ki Waskita kepada diri sendiri. Akhirnya Ki Waskita tidak tahan lagi. Ia mencari kesempatan untuk dapat bertemu dengan Kiai Gringsing tanpa orang lain.

   "Kiai,"

   Berkata Ki Waskita.

   "rasa-rasanya keadaan menjadi semakin gawat. Apakah Kiai masih belum tertarik untuk berbuat sesuatu?"

   Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.

   "Atau barangkali Kiai masih ingin menyusun ceritera yang lain lagi tentang diri Kiai? Aku sudah mendengar beberapa ceritera tentang diri Kiai."

   Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Ki Waskita. Yang terakhir aku sengaja menghindari pembicaraan tentang diriku. Karena itu aku telah ingkar, justru karena kehadiran Ki Widura. Bukan karena aku tidak percaya kepada Ki Widura, tetapi aku cemas bahwa pada suatu saat Ki Widura mengambil sikap sendiri sebagai bekas seorang prajurit yang tentu mempunyai wawasan dan perhitungan. Mungkin hal itu akan dibicarakan dengan Untara pada suatu saat, sehingga tindakan selanjutnya akan menyulitkan kedudukanku."

   "Jadi bagaimana menurut Kiai?"

   "Akau pernah mengatakan tentang diriku. Aku pernah mengatakan suatu kebenaran. Tetapi aku masih, membatasi diri. Agar hal itu tidak akan sampai ke Pajang lewat siapapun juga, sehingga aku berusaha untuk menghindari orang-orang yang mungkin akan dapat menjadi saluran itu."

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

   Kiai Gringsing memang terlalu lamban.

   Bahkan mungkin Kiai Gringsing benar-benar berusaha menghindarkan diri dari sentuhan masa lampaunya.

   Tetapi Ki Waskita tidak dapat memaksanya.

   Yang menjadi sasaran perhatiannya kemudian adalah Agung Sedayu.

   Anak itu justru mengalami keadaan yang menyulitkannya diluar kehendaknya.

   Dendam dan kebencian seolah-olah tertumpuk kepadanya.

   "Apakah aku dapat membantunya? "

   Pertanyaan itu tiba-tiba saja tumbuh dihatinya.

   "bukan sekedar dalam perkelahian-perkelahian. Tetapi memberikan bekal kepadanya. Namun masih juga tergantung kepada gurunya. Apakah gurunya mengijinkannya." *** Namun dalam pada itu, disebuah padepokan kecil yang terpencil di sela-sela bukit ditepi pantai Lautan Selatan, seseorang sedang dibakar dendam dan kebencian tiada taranya. Ia merasa terhina, bukan saja oleh kematian adik-adiknya selagi mereka berusaha membunuh Agung Sedayu yang oleh karena nasibnya yang buruk telah bertemu dengan Pangeran Benawa, tetapi lebih daripada itu, karena ia sendiri ternyata dapat dikalahkan oleh Agung Sedayu.

   "Kakang terlalu baik hati,"

   Berkata saudara seperguruannya.

   "agaknya kakang menganggap anak muda yang bernama Agung Sedayu itu terlalu enteng, sehingga kelengahan itulah agaknya yang telah menjerumuskan kakang Carang Waja kedalam kekalahan yang menentukan itu."

   Orang yang bernama Carang Waja itu menggeram. Katanya.

   "Sikap itu adalah sikap yang sangat sombong. Dengan sikap itu, aku tidak akan dapat menang melawan Agung Sedayu."

   "Aku tidak tahu maksud kakang."

   "Aku harus merasa bahwa ilmuku benar-benar masih belum menyamai ilmu Agung Sedayu. Bukan karena kelengahan atau sebab apapun. Jika aku tidak mau mengakui kekalahan itu, maka kekalahan-kekalahan berikutnya tentu akan menyusul."

   "Jadi maksud kakang?"

   "Ilmuku harus bertambah sempurna. Atau dengan cara lain. Aku harus melawan Agung Sedayu tidak seorang diri, tetapi dengan kekuatan lain disisiku."

   "Maksud kakang, dengan demikian bukannya dengan perang tanding. Tetapi apakah kakang sudah bersedia merendahkan diri sedemikian untuk menebus kematian kedua anak gila itu? Sementara orang lain telah memanfaatkan dendam yang menyala dihati kakang."

   "Aku tahu,"

   Jawab Carang Waja.

   "orang-orang Pajang yang gila dengan impian mereka tentang warisan Majapahit itu telah memanfaatkan aku. Tetapi aku tidak peduli. Aku hanya membalas dendam. Sementara itu aku masih akan menerima upah."

   "Kedua anak gila yang dibunuh oleh Raden Benawa itu, juga telah terjerat oleh ketamakannya. Mereka menjadi silau melihat upah yang telah ditawarkan kepada mereka oleh orang-orang Pajang, sehingga mereka justru telah mengorbankan nyawa mereka."

   "Aku tidak setamak mereka,"

   Geram Carang Waja.

   "yang akan terjadi kemudian adalah permusuhan dari dua perguruan. Perguruan dari Sangkal Putung itu harus dibinasakan."

   Saudara seperguruannya memandang Carang Waja dengan ragu. Sebelum ia mengatakan sesuatu. Carang Waja sudah menyahut.

   "Aku tahu apa yang akan kau katakan. Dengan Agung Sedayu aku sudah dapat dikalahkan, apalagi dengan gurunya."

   Saudara seperguruannya tidak menyahut.

   "Itu menjadi bahan pertimbanganku. Tetapi bukan mustahil bahwa seorang murid yang sudah sempurna ilmunya, akan dapat melampaui gurunya, meskipun aku tidak berpendapat demikian terhadap Agung Sedayu. Agaknya kemampuan Agung Sedayu memang perlu mendapat penjajagan. Apakah ia sudah berhasil menyamai tingkat gurunya, atau masih berada ditataran yang lebih rendah. Aku memang memerlukan keterangan tentang anak muda itu. Juga tentang beberapa orang lain yang berada di Sangkal Putung, jika sudah mendapatkan keterangan yang cukup tentang tataran ilmu mereka, maka aku akan dapat membuat perhitungan. Aku memang tidak boleh tergesa-gesa. Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Lalu.

   "Tetapi bagaimana dengan Pangeran Benawa?"

   Untuk sesaat Carang Waja terdiam.

   Terbayang dimatanya, seorang Pangeran yang masih muda, namun memiliki ilmu yang hampir sempurna.

   Meskipun demikian.

   Pangeran Benawa kadang-kadang melakukan pengembaraan dengan menyamar diri seperti orang kebanyakan, justru karena kejemuannya terhadap keadaan di istana dan kekecewaannya atas tingkah laku ayahandanya sendiri.

   "Apakah menurut pertimbangan kakang. Agung Sedayu mempunyai kelebihan dari Pangeran Benawa? Jika demikian, maka Agung Sedayu adalah orang yang tidak ada duanya di Pajang."

   Carang Waja menggeleng lemah. Jawabnya.

   "Aku tidak tahu pasti. Aku kira memang sulit untuk mengerti tentang keduanya."

   Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Kemudian katanya.

   "Jadi apakah rencanamu untuk sementara kakang? Apakah kakang ingin berusaha membebaskan orang-orang kita yang tertangkap?"

   "Biar saja mereka tertangkap. Apakah peduliku? Biar mereka dibunuh atau dicincang atau dipicis sekalipun? Mereka tidak akan dapat mengatakan apapun juga tentang aku dan hubunganku dengan orang-orang Pajang."

   "Kakang keliru. Orang-orang itu tentu akan dapat menunjukkan tempat kita sekarang ini. Agung Sedayu berusaha membalas dendam dengan dendam, mungkin ia dapat datang kemari dengan orang-orang pilihan di Sangkal Putung itu. Bahkan mungkin dengan sejumlah pengawal. Akan lebih celaka lagi jika Agung Sedayu berhasil menghubungi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya."

   Carang Waja mengerutkan keningnya. Wajahnya nampak menjadi tegang. Katanya kemudian.

   "sebenarnya tidak sukar bagi mereka untuk menemukan tempat ini. Tetapi aku tidak akan tinggal disini sepeninggal dua anak-anak gila itu. Biarlah Pesisir Endut tetap tinggal seperti saat ini, ditunggui oleh beberapa orang yang tidak berarti. Aku akan tinggal diperguruanku sendiri yang mulai tumbuh dan berkembang. Aku akan membentuk diri menjadi orang yang lebih kuat dari sekarang untuk menghadapi Agung Sedayu."

   "Apakah kakang mengira Agung Sedayu sudah tidak berkembang lagi?"

   "Aku kira ia sudah terlalu puas dengan ilmunya sekarang. Ia tidak sempat lagi menempatkan ilmunya lebih dalam, karena ia banyak terlibat dalam persoalan-persoalan dilingkungannya."

   "Dengan demikian, berapa tahun waktu yang akan kakang perlukan untuk menyempurnakan diri? Dalam waktu yang panjang itu, perubahan yang pesat tentu telah terjadi di Pajang dan Mataram,"

   Saudara seperguruan Carang Waja itu berhenti sejenak lalu.

   "mungkin dalam waktu yang panjang itu. Agung Sedayu telah dibunuh oleh orang-orang Pajang. Oleh orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Majapahit yang merasa dirintangi usahanya untuk menentukan sikap menghadapi Pajang dan Mataram."

   Carang Waja menarik nafas panjang.

   Ia memang dihadapkan kepada keadaan yang saling berkaitan.

   Tetapi dendam dihatinya benar-benar tidak akan dapat dikesampingkan.

   Namun iapun sadar, bahwa dendam itu tidak hanya menyala dihatinya dan membakar perguruannya.

   Tetapi ia pun sadar bahwa kematian-kematian yang terjadi oleh bekas tangan Agung Sedayu di banyak tempat itupun telah membakar dendam pula dimana-mana.

   "Kakang,"

   Berkata saudara seperguruan Carang Waja.

   "jika kakang masih akan menunggu lagi, satu atau dua tahun. Sementara masih menjadi pertanyaan apakah Agung Sedayu tidak pula meningkatkan ilmunya, maka kakang tentu akan ketinggalan. Kecuali jika kakang memang hanya menginginkan kematian Agung Sedayu oleh tangan siapapun, bukan oleh orang-orang perguruan kita sendiri."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku akan membunuhnya,"

   Geram Carang Waja.

   "aku tidak memerlukan waktu yang lama. Tetapi jika perlu, kita akan pergi bersama-sama."

   Saudara seperguruannya mengerutkan keningnya. Lalu katanya dengan nada rendah.

   "Kita memang orang-orang tamak. Kita sadar bahwa orang-orang Pajang telah memanfaatkan dendam dihati kita. Tetapi kita pun dengan sadar menerima segalanya dengan harapan untuk dapat menepuk dua ekor lalat sekaligus. Kematian Agung Sedayu sebagai pelepasan dendam yang membakar jantung, dan upah yang tidak sedikit yang dijanjikan oleh para perwira Pajang itu disamping pangkat dan jabatan yang akan kita terima jika mereka benar-benar mendapatkan kemenangan kelak."

   "Aku mengerti,"

   Jawab Carang Waja.

   "tetapi jangan terlalu diharapkan. Orang-orang Pajang adalah orang-orang licik. Mungkin mereka masih akan datang menemui kita dan berusaha memanfaatkan dendam itu. Tetapi kematian Agung Sedayu dan Benawa justru akan menyeret kita kedalam kesulitan. Kita harus bersedia menghadapi lawan yang lebih besar lagi, karena bagi orang-orang Pajang itu akan lebih mudah membunuh kita, untuk menghilangkan jejak dan mengingkari kesanggupan."

   "Tetapi kenapa mereka tidak melakukan sendiri atas Agung Sedayu?"

   "Agung Sedayu adalah adik Untara. mereka tidak mau menerima akibat buruk, karena jika salah seorang dari mereka tertangkap, maka jalur itu akan membenturkan mereka pada kekuatan Pajang menghancurkan diri sendiri, pasukan Pajang akan sempat mengadakan pembersihan kedalam dengan menangkap orang-orang yang namanya akan dapat ditelusur. Karena itu, perwira-perwira yang licik itu lebih senang mempergunakan orang-orang diluar mereka sendiri. Dengan demikian jalur yang berbahaya itu akan mudah diputuskan. Saudara seperguruan Carang Waja itu mengangguk-angguk. Dimatanya nampak dua api yang menyala didada Carang Waja. Dendam yang tiada taranya atas kematian kedua adiknya serta penghinaan atas kekalahannya, namun yang ternyata juga telah dibumbui oleh hubungan mereka dengan para perwira di Pajang yang menjanjikan upah dan pangkat yang tinggi." *** Dalam pada itu, dua orang yang lain, yang ikut serta mengalami kegagalan di Sangkal Putung, telah melaporkan pula kegagalan itu. Dengan nada tinggi ia berkata.

   "Sejak semula aku sudah tidak setuju dengan caranya."

   Seorang perwira yang lebih tua yang menerima laporan itu dengan kening yang berkerut bertanya.

   "Jika kau sudah tidak setuju dengan caranya, kenapa masih dilakukan juga?"

   "Carang Waja ingin mendapatkan kepuasan oleh dendamnya. Ia ingin membunuh Agung Sedayu langsung dengan tanganya, sehingga ia minta diselenggarakan perang tanding."

   "Dan perang tanding itu berlangsung."

   "Ya, perang tanding itu berlangsung. Ternyata Carang Waja tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu. Meskipun ia berhasil melarikan diri, tetapi kami berdua hampir saja menjadi korban dan tertangkap di Sangkal Putung."

   "Apakah setelah kekalahan Carang Waja, kalian tidak mengambil sikap lain, misalnya bersama-sama membunuh anak muda yang tanpa menghiraukan kedudukan perang karena perang tanding itu dilakukan oleh Carang Waja, tidak oleh kalian."

   Kedua orang perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sebelum mereka mengatakan sesuatu, perwira yang lebih tua itupun mendahului.

   "Agaknya kalian telah mencoba."

   Salah seorang dari kedua orang yang ikut ke Sangkal Putung itu menjawab tersendat-sendat.

   "Ya. Kami sudah mencoba."

   "Tetapi kalian tidak berhasil."

   Perwira itu berhenti sejenak, lalu.

   "Apakah Agung Sedayu benar-benar tidak dapat dikalahkan meskipun oleh dua orang perwira pilihan dari Paiang?"

   "Aku kira Agung Sedayu bukannya anak iblis,"

   Sahut salah seorang perwira yang ikut serta ke Sangkal Putung.

   "tetapi ternyata bahwa selain Agung Sedayu terdapat beberapa orang lain yang memiliki ihnu yang tinggi, termasuk guru Agung Sedayu."

   Perwira yang lebih tua itu mengangguk-angguk.

   Ia dapat menggambarkan seluruh peristiwa yang terjadi di Sangkal Putung.

   Seperti yang diceriterakan oleh kedua perwira yang mengikuti Carang Waja ke Sangkal Putung, seolah-olah terbayang apa yang telah terjadi dalam perang tanding antara Agung Sedayu dan Carang Waja.

   "Agaknya Agung Sedayu benar-benar mempunyai kekuatan iblis. Bagaimana mungkin ia dapat mengalahkan Carang Waja. Jika semula ia sudah hampir mati, dalam benturan terakhir, tiba-tiba saja Carang Waja bagaikan lumpuh dengan sendirinya,"

   Gumam perwira itu. Namun kemudian.

   "Tetapi apakah kalian yakin, bahwa tidak ada kecurangan. Misalnya dengan diam-diam dan tersembunyi gurunya menyerang Carang Waja selagi ia hampir mengakhiri perang tanding itu?"

   Kedua perwira itu menggeleng. Salah seorang menjawab.

   "Aku yakin tidak ada yang membantu Agung Sedayu, Ia memang mempunyai kekuatan tersembunyi yang dapat melumpuhkan lawannya."

   Perwira yang lebih tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian.

   "Ternyata tugas kita akan menjadi sangat berat. Agung Sedayu hanyalah salah seorang saja dari mereka yang harus dibinasakan. Tetapi yang seorang itupun justru telah menelan banyak sekali korban. Kita sudah memanfaatkan dendam bukan saja dari Pesisir Endut, tetapi juga dari orang-orang yang bersangkut paut dengan mereka yang telah dibunuh Agung Sedayu dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Tetapi kita tidak pernah berhasil."

   "Sebenarnya, kenapa kita bersusah payah memikirkan Agung Sedayu?"

   Bertanya salah seorang perwira yang gagal di Sangkal Putung.

   "apakah Agung Sedayu merupakan penghalang utama dari rencana yang agung itu?"

   "Sebenarnya yang harus dibinasakan adalah Raden Sutawijaya dan para pemimpin Mataram lainnya. Tetapi kehadiran Kiai Gringsing dan kedua muridnya akan dapat menimbulkan persoalan-persoalan tersendiri. Terutama yang bernama Agung Sedayu itu. Apakah jarang terjadi bahwa seorang Senopati berhasil membunuh tiga orang Senapati lawan yang setingkat dengan Telengan."

   Perwira itu berhenti sejenak.

   "nah, apakah orang semacam itu tidak harus mendapat perhatian khusus? Kita masih mengharap bahwa sanak kadang atau saudara seperguruan dari mereka yang terbunuh oleh Agung Sedayu itu akan menuntut balas. Kita akan memberikan dorongan dan memanfaatkan mereka seperti Carang Waja. Tetapi ternyata Carang Waja yang dapat mengguncang bumi itupun gagal."

   "Dan kita akan berhenti sampai disini? Atau kita mempergunakan cara lain yang lebih baik?"

   "Apakah cara itu?"

   "Kita membawa pasukan segelar sepapan dengan diam-diam. Sangkal Putung kita hancurkan. Agung Sedayu kita bunuh bersama gurunya dan saudara seperguruannya itu."

   "Cara yang kasar sekali."

   "Kita dapat mempergunakan ciri-ciri perguruan yang pernah mendendam anak muda itu. Kita dapat mempergunakan pertanda padepokan Pesisir Endut misalnya, atau padepokan-padepokan lain. Atau bahkan kita dapat merubah diri menjadi perampok-perampok yang garang tanpa mengenal peri kemanusiaan."

   "Cara yang berbahaya sekali. Tetapi biarlah kita menunggu. Persoalan ini akan segera sampai kepada kakang Panji. Ia mempunyai wawasan yang luas. Bukan sekedar masalah Agung Sedayu. Sultan yang sakit-sakitan itu agaknya menjadi semakin lemah, sementara Sutawijaya menjadi semakin kuat. Bukan saja Mataram, tetapi juga pribadinya. Ia sering hilang dari rumahnya, mengembara unluk merpperdalam dan menyempurnakan ilmunya, sehingga saat ini sulit untuk dapat mengambil perbandingan dari ilmunya seperti juga Pangeran Benawa dan Agung Sedayu. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti tataran ilmu ketiga orang itu. Sementara sikap mereka semakin mencemaskan kalangan kita di Pajang dan di tempat-tempat lain."

   Para perwira itu termangu-mangu.

   Ternyata anak pedepokan kecil itu telah menjadi perhatian kalangan istana Pajang dengan sudut pandang yang berbeda-beda.

   Apalagi ia adalah adik Untara.

   *** Namun dengan demikian, telah berkembang permusuhan diluar kehendak Agung Sedayu sendiri.

   Beberapa pihak telah memusuhinya dengan penuh kebencian.

   Bukan saja karena ia disangkutkan langsung dengan pertumbuhan Mataram yang menjadi semakin kuat, tetapi beberapa pihak ternyata mempunyai persoalan mereka tersendiri.

   Kematian yang pernah terjadi diantara salah satu anggauta perguruan nampaknya tidak dapat dengan mudah dilupakan oleh saudara-saudaranya seperguruan.

   Dalam pada itu, di Sangkal Putung, Swandaru telah benar-benar menjadi jemu terhadap ke empat orang yang menjadi tanggungan para pengawal di Sangkal Putung.

   Rasa-rasanya ingin ia membunuh saja orang itu, sehingga tidak lagi menjadi beban yang menelan tenaga dan waktu yang cukup banyak.

   Akhirnya, ketika Swandaru tidak tahan lagi.

   ia minta kepada ayahnya untuk menyerahkan saja orang itu ke Mataram.

   "Kita titipkan mereka ke Mataram."

   Ki Demang termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia agak segan melakukannya. Tetapi Swandaru mulai mengancam.

   "Jika ayah keberatan menyerahkan mereka ke Mataram, aku akan membunuh saja atau melepaskan mereka. Aku tidak peduli apa akibatnya."

   Ki Demang tidak dapat berbuat lain.

   Demikian pula Agung Sedayu.

   Swandarulah yang bertanggung jawab atas pengamanan mereka.

   Apalagi orang itu sama sekali sudah tidak berarti lagi bagi Sangkal Putung.

   Mereka tidak dapat memberikan keterangan sama sekali tentang dua orang yang telah meninggalkan arena setelah pimpinan mereka.

   Namun demikian, orang orang Sangkal Putung telah dapat menyadap keterangan dari orang-orang itu tentang perguruan Pesisir Endut.

   Mereka dapat menyebutkan bahwa saudara tua dari kakak beradik yang terbunuh bernama Carang Waja.

   Ia mempunyai padepokan tersendiri dan telah membangun sebuah perguruan yang sedang berkembang.

   "Ada tiga orang saudara seperguruannya,"

   Berkata salah seorang dari keempat orang itu.

   Namun bagi Swandaru setelah keterangan tentang Carang Waja itu dikuras habis, maka mereka tidak akan berarti apa-apa lagi, karena yang sebenarnya penting baginya adalah keterangan tentang keterlibatan orang-orang dalam dari keprajuritan Pajang.

   Akhirnya Ki Demang atas persetujuan para bebahu Kademangan Sangkal Putung, telah mengirimkan dua orang pengawal yang telah dikenal oleh orang orang Mataram untuk menghadap Ki Lurah Branjangan.

   Mereka menyampaikan pesan dari Ki Demang untuk menitipkan empat orang tahanan yang barangkali diperlukan oleh Mataram.

   Namun Mataram tidak dapat ingkar.

   Keterlibatan Sangkal Putung dan apalagi Agung Sedayu kedalam persoalan yang berkepanjangan, ada sangkut pautnya dengan perkembangan Mataram.

   Sehingga karena itu, maka Ki Lurah Branjangan pun tidak menolaknya.

   Bahkan setelah hal itu dsampaikan kepada Raden Sutawijaya, maka iapun ingin menerimanya pula.

   Meskipun keempat orang itu kemudian telah tidak ada lagi di Sangkal Putung, namun keterangan dari mereka tentang Carang Waja telah menumbuhkan persoalan tersendiri bagi Agung Sedyu.

   Demikianlah, maka Agung Sedayu telah mengemukakan persoalan yang selalu membayangi perasaannya itu kepada gurunya dan Ki Waskita.

   Kata-kata yang diucapkan oleh saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut yang dibunuh oleh Pangeran Benawa itu seolah-olah masih selalu terngiang.

   Pada satu saat orang itu tentu akan kembali untuk melepaskan dendamnya kepada Agung Sedayu.

   "Suatu peringatan bagimu Agung Sedayu,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "kau harus selalu berhati-hati. Setiap saat kau akan bertemu dengan lawan-lawan yang mungkin sama sekali tidak kau kenal karena ia sekedar terpercik oleh dendam karena kematian sanak kadangnya atau saudara seperguruannya."

   Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

   Agaknya memang sudah menjadi keharusan baginya, bahwa ia telah menempuh jalan hidup yang gelisah.

   Bayangan dendam itu sama sekali tidak akan memberikan ketenangan dihatinya.

   Namun dalam pada itu, Swandaru mempunyai tanggapan yang berbeda mengenai ancaman-ancaman yang setiap saat dapat mencengkam Sangkal Putung, terutama Agung Sedayu.

   Bahkan dengan wajah yang tegang ia berkata.

   "Guru, apakah kita harus menunggu sampai bencana itu datang? Aku condong untuk memilih jalan lain. Kita sudah mendapat petunjuk dari keempat orang itu, dimanakah letaknya Pesisir Endut, atau padepokan kakak dua bersaudara yang terbunuh itu, yang menurut keterangan mereka bernama Carang Waja. Kita juga sudah mendapat gambaran kekuatan yang ada di padepokan itu. Karena itu, daripada kita harus menunggu dengan gelisah untuk waktu yang tidak menentu, sebaiknya kita pergi ke padepokan itu. Tiga bersaudara itu tentu tidak akan melampaui Carang Waja sendiri. Duabelas pengikutnya itupun tentu tidak akan melampaui kemampuan para pengawal di Sangkal Putung. Dengan demikian, kita akan dapat datang dan menghancurkan padepokan itu. Kita mempunyai alasan yang kuat, karena mereka telah lebih dahulu menyerang kita disini."

   Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Swandaru, mungkin kita dapat melakukannya dan mungkin kita dapat memenangkan pertempuran itu.

   Tetapi kita harus membayangkan, bahwa korban akan berjatuhan diantara kita.

   Jika keterangan ke empat orang itu tidak benar, atau mungkin terjadi perubahan di saat terakhir.

   misalnya Carang Waja telah memanggil orang-orang baru, atau perguruan-perguruan lain yang bergabung dengan mereka, atau perubahan-perubahan lain, akan dapat menumbuhkan persoalan yang pelik.

   Apalagi jika diantara mereka terdapat orang-orang dalam dari Pajang yang telah mengotori kedudukan mereka dengan ketamakan itu.

   Atau dalam keadaan yang berbeda, para prajurit Pajang yang setia akan tugasnyapun tentu akan merasa tersinggung, bahwa kita lelah melakukan penyerangan itu diluar pengawasan Pajang karena justru kita berada dibawah lingkup kekuasaan Pajang, seperti Untara yang tersinggung oleh peristiwa lembah diantara Gunung Merapi dan Merbabu itu, yang aku kira bagi Untara masalah itu masih belum dianggapnya selesai.

   Swandaru menarik nafas dalam-dalam.

   Ia tidak dapat menyangkal keterangan gurunya.

   Tetapi rasanya hatinya bagaikan melonjak-lonjak.

   Kenapa Sangkal Putung tidak dapat melindungi dirinya dengan cara yang paling baik yang dapat dilakukan.

   "Jika demikian, maka kedudukan sebuah perguruan jauh lebih baik dari sebuah Kademangan,"

   Berkata Swandaru seakan-akan kepada diri sendiri.

   "Kenapa?"

   Bertanya Kiai Gringsing.

   "Mereka dapat berbuat sesuai dengan keinginannya. Jika mereka merasa terganggu oleh pihak lain, maka perguruan itu akan dapat mengerahkan kekuatannya untuk melakukan perang antara perguruan. Tetapi tidak dengan kita di Kademangan Sangkal Putung,"

   Geram Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam Katanya.

   "Swandaru. Sebenarnya bagi sebuah perguruanpun, berlaku ketentuan-ketentuan yang sama. Mereka tidak dibenarkan melakukan tindakan sendiri sendiri sesuai dengan keinginan mereka. Tetapi karena pada umumnya mereka terbatas pada persoalan diantara mereka, maka persoalan itu tidak diketahui oleh Pajang."

   "Atau Pajang sudah dengan sengaja tidak mau atau bahkan tidak mampu mengawasi semua gejolak yang terjadi didalam wilayah kekuasaannya."

   Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Ki Demang yang tegang. Namun kemudian katanya.

   "Sebaiknya tidak usah melihat kelemahan-kelemahan itu pada siapapun Swandaru, sebaiknya kita bersikap seperti yang seharusnya kita lakukan. Jika kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka perguruan manapun tidak akan dapat menembus dinding pertahanan kita. Di Sangkal Putung secara terbuka terdapat pengawal-pengawal yang jumlahnya dapat berlipat sepuluh atau dua puluh kali dari sebuah perguruan."

   Swandaru tidak menjawab lagi. Betapapun juga hatinya digelitik oleh suatu keinginan untuk melakukan sergapan langsung kepusat jantung lawan, tetapi ternyata gurunya tidak sependapat.

   "Seberapa besar perguruan Pesisir Endut dan Perguruan Carang Waja,"

   Geramnya didalam hati.

   "tentu akan tidak berarti dibanding dengan kekuatan yang ada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu."

   Sementara itu Agung Sedayu sendiri tidak menyatakan pendapatnya.

   Ia lebih banyak diam sambil melihat kedalam dirinya sendiri.

   Bahkan kadang-kadang ia menyesal bahwa ia telah terlibat terlalu jauh kedalam persoalan yang tidak dikehendakinya sendiri.

   Tetapi nampaknya semuanya telah berjalan tanpa dapat dikendalikan.

   Yang tidak banyak mengetahui persoalan yang berkembang di Sangkal Putung itu adalah Glagah Putih.

   Ki Widura dengan sengaja telah membatasinya agar ia tidak terlalu banyak terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan tentang masalah yang belum terjangkau oleh nalarnya.

   Ia lebih banyak berada diantara anak anak muda Sangkal Putung yang nampaknya senang bergaul dengan anak muda yang bertubuh tinggi itu.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun sudah barang tentu bahwa mereka yang berada di Sangkal Putung tidak selamanya akan tetap tinggal di Kademangan itu.

   Ki Waskita, Ki Widura dan bahkan kemudian Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih, merasa sudah cukup lama tinggal.

   setelah pemakaman Ki Sumangkar selesai.

   Ketika mereka menyampaikan hal itu kepada Ki Demang dan Swandaru beserta isteri dan adiknya, maka terasa sesuatu yang bergetar di hati mereka.

   "Aku berada di tempat yang tidak terlalu jauh,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "Aku berharap bahwa padepokan kecil di Jati Anom itu akan dapat berkembang."

   "Tetapi padepokan itu tidak akan dapat memberikan harapan bagi masa datang guru,"

   Sahut Swandaru.

   "sejak semula sudah aku katakan, sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan lain yang lebih baik daripada berada di padepokan terpencil itu."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Tetapi ia tidak menjawab.

   Ia sadar bahwa Swandaru bermaksud mengatakan kepadanya.

   Seperti Sekar Mirah yang pernah menyatakan hal yang sama.

   Tetapi perpisahan itu tidak dapat ditunda lagi.

   Setelah Kiai Gringsing memberikan banyak pesan kepada Swandaru, isterinya dan Sekar Mirah tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam hubungannya dengan perguruan Pesisir Endut itu, maka akhirnya ia berkata.

   "Kau harus bertumpu pada kekuatan seluruh Kademangan. Jika kau merasakan kekuatan sirep seperti yang pernah terjadi itu sekali lagi mencengkam rumah ini, maka kau harus membunyikan isyarat. Kekuatan sirep itu tidak akan dapat menjangkau sejauh bunyi kentongan. Sehingga dalam keadaan yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan, akan datang para pengawal dari luar pengaruh sirep itu.

   "Kekuatan sirep pun terbatas pada kesempatan tertentu. Jika dengan serta merta pengawal itu menjelajahi seluruh sudut yang diperkirakan terpengaruh oleh kekuatan sirep itu, maka mereka yang melepaskannya akan kehilangan kesempatan pemusatan ilmunya, sehingga pengaruhnya akan pecah. Apalagi jika mereka segera terlibat dalam benturan kekuatan, maka mereka tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk melakukannya."

   Swandaru mengangguk-angguk.

   Tetapi didalam hati terbersit kepercayaannya kepada diri sendiri, bahwa ia tentu akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang akan terjadi.

   Apalagi Swandaru yakin, beserta isteri dan adik perempuannya, ia akan dapat menyelesaikan setiap kemungkinan yang akan dapat melanda Sangkal Putung.

   Betapa beratnya, namun akhirnya Sangkal Putung terpaksa melepaskannya beberapa orang yang sangat penting bagi mereka.

   Bagi Sekar Mirah, kepergian Agung Sedayu adalah kesepian yang sekali lagi akan mencengkam jantungnya.

   Tetapi sekali lagi Sekar Mirah bertahan.

   Seolah-olah ia tidak terpengaruh samasekali dengan kepergian Agung Sedayu.

   Bahkan seolah-olah ia melepaskannya dengan hati yang lapang terbuka.

   "Semuanya tergantung kepadamu kakang,"

   Berkata Sekar Mirah.

   "aku sudah cukup memberikan pendapatku bagi hari depan kita."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Ia sadar sepenuhnya yang sebenarnya diharapkan oleh Sekar Mirah adalah jauh daripada apa yang dilakukannya.

   Pandan Wangi tidak banyak memberikan tanggapan atas keberangkatan Kiai Gringsing, Agung Sedayu serta Ki Widura dan Glagah Pulih bahkan Ki Waskita yang akan singgah pula dipadepokan kecil Agung Sedayu itu.

   Meskipun sebenarnya ia masih mengharap agar mereka lebih lama tinggal di Kademangan Sangkal Putung, namun yang terjadi itu adalah wajar sekali.

   Seharusnya sudah dapat diketahui, sejak mereka datang sudah harus diperhitungkan bahwa pada suatu saat mereka akan pergi.

   Yang paling gembira justru adalah Glagah Putih.

   Ia akan mendapat kesempatan lagi untuk mempelajari ilmu bukan saja dari ayahnya sendiri, tetapi dari Agung Sedayu.

   Meskipun Agung Sedayu lebih muda dari ayahnya, tetapi lebih senang baginya belajar pada saudara sepupunya daripada belajar kepada ayahnya sendiri.

   Agung Sedayu lebih sabar dan karena umurnya yang tidak terpaut banyak, maka ia akan dapat lebih leluasa dan tanpa segan untuk menyatakan pendapatnya.

   Demikianlah, maka akhirnya mereka itupun meninggalkan Sangkal Putung.

   Ki Demang yang merasa agak keberatan namun terpaksa melepas mereka sampai keregol halaman, diikuti oleh anak-anak dan menantunya, serta beberapa orang bebahu Kademangannya.

   "Setiap saat kita akan dapat bertemu lagi,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "jarak ini dapat ditempuh dalam waktu yang sangat pendek."

   Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Sangkal Putung.

   Sekali-kali Agung Sedayu masih berpaling.

   Dilihatnya Sekar Mirah berdiri diantara mereka yang melepaskannya di regol halaman.

   Namun ketika mereka sudah lewat sebuah tikungan, maka perjalanan itupun menjadi semakin cepat.

   Tidak ada lagi diantara mereka yang berpaling.

   Ketika iring-iringan itu sudah tidak tampak lagi, Swandaru yang masih ada diregol halaman Kademangan Sangkal Putung berkata.

   "Kita percaya akan kemampuan kita sendiri. Kita tidak perlu cemas, meskipun sebagian dari kekuatan yang ada di Kademangan ini pada saat yang gawat itu kini telah pergi."

   "Ingat-ingatlah pesan gurumu,"

   Sahut ayahnya.

   "kau harus bertumpu pada kekuatan seluruhnya yang ada di Kademangan ini."

   Swandaru tersenyum. Jawabnya.

   "Aku mengerti ayah. Dengan demikian kita masing-masing harus selalu membawa kentongan kemana kita pergi."

   "Ah, tentu bukan begitu maksudnya. Kita masing-masing tidak boleh terlalu sombong untuk menghadapi setiap kesulitan tanpa memberikan isyarat kepada para pengawal. Misalnya, seperti yang terjadi disaat terakhir, ketika rumah ini dan sekitarnya dicengkam oleh kekuatan sirep. Jika saat itu tidak ada Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Widura dan Agung Sedayu, maka kekuatan yang ada di rumah ini tidak akan dapat menghadapi orang-orang yang datang itu. Adalah wajar sekali bahwa dalam keadaan seperti itu, kita memanggil para pengawal seperti yang dipesankan oleh Kiai Gringsing."

   Swandaru mengerutkan dahinya.

   Tetapi ia tidak menjawab lagi.

   Ia tidak mau berbantah dengan ayahnya meskipun sebenarnya ia tidak sependapat.

   Sementara Pandan Wangi hanya dapat menundukkan kepalanya.

   Meskipun ia tidak dapat membenarkan sikap Swandaru dihadapan ayahnya, namun ia tidak berani menegurnya dengan langsung.

   Namun Pandan Wangi itu menjadi berdebar-debar ketika ia tidak melihat lagi Sekar Mirah diantara mereka.

   Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa naik kependapa langsung menuju keruang dalam.

   Sejenak Pandan Wangi termangu-mangu.

   Namun iapun kemudian dengan hati-hati membuka pintu bilik Sekar Mirah.

   Seperti yang diduga, didapatkannya Sekar Mirah menelungkup dipembaringannya.

   Setelah ia bertahan sekuat tenaga dihadapan Agung Sedayu dan Kiai Gringsing untuk mempertahankan sikapnya, maka meledaklah bendungan itu sepeninggal mereka.

   Betapapun kuat hatinya, namun Sekar Mirah adalah tetap seorang gadis.

   Terasa betapa gersang hari depan yang akan dimasukinya.

   Gurunya telah meninggalkannya untuk selamanya, sementara Agung Sedayu yang akan menjadi tempatnya bersandar, adalah seorang anak muda yang seakan-akan hidupnya tanpa cita cita sama sekali.

   Ia menjalani hidup seperti yang dijalani.

   Tenang, tetapi gersang dan tiada harapan.

   Seolah-olah apa yang ada itu adalah bagian yang tersedia tanpa dapat menawar lebih banyak lagi.

   Pandan Wangi perlahan-lahan duduk disisi Sekar Mirah, dibibir pembaringannya.

   Sebagai seorang perempuan Pandan Wangi dapat meraba perasaan Sekar Mirah, meskipun tidak sampai dengan perasaannya.

   Bagi Pandan Wangi, hari depan tidak terletak pada jenjang dan pangkat.

   Tidak pada kedudukan dan ketenaran.

   Tetapi hidup akan lebih mantap jika beralaskan kedamaian hati.

   "Tetapi perbedaan sikap antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah adalah sumbu yang setiap saat dapat menyala dan membakar kedamaian itu sehingga menjadi debu,"

   Berkata Pandan Wangi didalam hatinya. Tetapi yang diucapkan ditelinga Sekar Mirah adalah justru kata-kata yang penuh dengan harapan, seolah-olah bahwa yang nampak pada saat itu dihati Sekar Mirah bukannya sebenarnya akan terjadi.

   "Pada suatu saat hatinya akan terbuka Sekar Mirah,"

   Berkata Pandan Wangi.

   "agaknya Agung Sedayu sedang berusaha untuk mematangkan bekalnya buat masa depan. Ia sudah pandai menguasai sastra dan bahasa. Ia sudah memiliki ilmu kanuragan yang sulit dicari bandingnya. Ia sudah meletakkan dasar hubungan dengan Mataram yang bakal berkembang."

   Sekar Mirah tidak menjawab. Namun isaknya tiba-tiba saja menurun. Pandan Wangi membelai rambutnya yang kusut. Namun diluar sadarnya ia berkata kepada diri sendiri.

   "Agaknya Agung Sedayu telah memilih landasan hidup pada kedamaian hati itu, meskipun dengan banyak persoalan yang melibat dirinya, ia justru terdorong kedalam putaran dendam dan kebencian."

   Pandan Wangi menggeleng lemah, ia tidak mau memandang terlalu jauh kedalam diri Agung Sedayu dan membandingkannya dengan Swandaru untuk menerawang kelebihan dan kekurangannya.

   Sekar Mirah sama sekah tidak menjawab.

   Tetapi isaknya semakin lama menjadi semakin menurun.

   Kata-kata Pandan Wangi sedikit dapat memberikan ketenangan dihatinya yang gelisah.

   Iapun mencoba untuk melihat bahwa Agung Sedayu sedang sibuk untuk mengumpulkan bekal bagi hidupnya dimasa depan.

   Dalam pada itu, iring-iringan yang meninggalkan Sangkal Putung itu pun semakin lama menjadi semakin jauh.

   Mereka sudah memasuki bulak-bulak diantara padukuhan-padukuhan yang terbesar dari Kademangan Sangkal Putung.

   Mereka melintasi tanaman-tanaman yang hijau disawah dan kadang-kadang harus mengang gukkan kepala jika mereka bertemu dengan orang-orang Sangkal Pulung telah mengenal mereka, apalagi Agung Sedayu dan Kiai Gringsing.

   Sementara yang lain masih juga dapat mengenal Widura yang pernah menjadi Senapati prajurit Pajang di Sangkal Putung saat pasukan Tohpati berkeliaran disekitar Kademangan yang subur itu.

   Glagah Putih yang masih belum mengenal Kademangan itu dengan baik, sekali-sekali bertanya kepada Agung Sedayu tentang sawah yang subur, parit yang seakan-akan tidak pernah kering.

   "Swandaru adalah seorang anak muda yang penuh dengan usaha peningkatan tata kehidupan bagi Kademangannya,"

   Jawab Agung Sedayu.

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Ia memang melihat tata kehidupan yang lebih baik di Sangkal Putung dari pada di Kademangan kademangan lainnya.

   Jati Anom yang termasuk Kademangan yang baik, masih harus mengakui kemajuan Sangkal Pulung dalam beberapa hal dapat ditiru.

   "Di Jati Anom. kakang Untaralah yang banyak memegang peranan berkata Glagah Putih didalam hatinya. Dan Glagah Putihpun tahu bahwa Untara bukan bebahu Kademangan. Tetapi ia adalah Senapati Prajurit Pajang yang berada di Kademangan itu. Ketika mereka lewat jalan padukuhan yang melalui beberapa tempat pandai besi sedang bekerja, Glagah Putih semakin terlarik kepada kademangan itu. Sekilas ia melihat betapa sibuknya pandai besi itu menyiapkan alat-alat pertanian. Namun ada diantara mereka yang sedang menempa sebilah pedang panjang.

   "Mereka juga membuat senjata,"

   Hampir diluar sadarnya Glagah Putih bergumam.

   "Ya,"

   Agung Sedayu menyahut.

   "Sangkal Putung adalah Kademangan yang dapat memenuhi segala kebutuhan sendiri. Bahan makan di Sangkal Putung tersedia, bahkan bagaikan melimpah. Pakaian Ssangkal Putung telah membuat sendiri. Beberapa puluh orang menenun di seluruh Kademangan. Sedangkan dari segi lain. Sangkal Putung dapat menjaga dirinya sendiri."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya Sebentar lagi Sangkal Putung tentu akan menjadi sebuah Kademangan yang paling besar didaerah ini. Bukan karena luas wilayahnya, tetapi karena isinya yang berlimpah."

   Agung Sedayu memandang adik sepupunya yang nampaknya dengan sungguh-sungguh memperhatikan kademangan itu.

   Namun ia tidak mengusik angan-angan Glagah Putih yang nampaknya sedang terbang memutari daerah Sangkal Putung yang cukup luas itu.

   Namun kemudian ternyata bahwa Glagah Pulih tidak saja sedang merenungi sawah yang hijau, parit yang mengalir dan jalan jalan yang lebar dan rata.

   Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih juga merenungi peristiwa yang hampir saja menyeretnya kelubang kubur desisi Ki Sumangkar.

   Glagah Putih memandang bulak panjang yang sepi, yang menjadi arena pertempuran antara anak muda yang nampaknya seperti seorang petani kebanyakan, namun yang ternyata adalah Pangeran Benawa melawan dua orang kakak beradik oleh akibat yang gawat di rumah Ki Demang Sangkal Putung.

   "Sayang, tidak ada seorang yang membangunkan aku,"

   Berkata Glagah Putih didalam hatinya.

   "sehingga aku tidak melihat perkelahian yang tentu sangat sengitnya yang terjadi dihalaman rumah Ki Demang."

   Sebenarnyalah Glagah Pulih menyesal bahwa ia tidak dapat melihat apa yang terjadi.

   Ia harus mendengar dari orang lain, bahwa Agung Sedayu telah berhasil memenangkan perang tanding melawan saudara dari kedua kakak beradik yang garang, yang datang dari Peisisir Endut.

   "Siapakah sebenarnya yang lebih tinggi ilmunya,"

   Bertanya Glagah Putih didalam hatinya.

   "kakang Agung Sedayu atau Pangeran Benawa ? Pangeran Benawa berhasil membunuh dua orang kakak beradik itu. Tetapi kakang Agung Sedayu menang dari saudara tua kedua orang itu."

   Diluar sadarnya, Glagah Putih telah membuat perbandingan-perbandingan.

   Ia mencoba melihat diangan-angannya, beberapa orang anak muda yang memiliki kelebihan.

   Agung Sedayu, Swandaru, Untara, Prastawa dan dua orang saudara angkat putera Sultan di Pajang, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.

   "Prastawa agaknya masih ketinggalan,"

   Berkata glagah Pulih didalam hatinya.

   "tetapi yang sulit diduga adalah antara kakang Agung Sedayu, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Agaknya mereka sudah meningkat, sejajar dengan orang-orang tua yang namanya telah menggetarkan sebelumnya."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi Glagah Pulih menggeleng kecil. Katanya didalam hati.

   "Aku tidak tahu. Seandainya tiba-tiba saja kakang Agung Sedayu dipaksa untuk berperang tanding dengan salah seorang dari kesatria itu."

   Sesaat kemudian Glagah Putih telah mulai berangan-angan tentang dirinya.

   Ia justru merasa dirinya semakin kecil diantara saudara sepupunya dan anak-anak muda yang lain.

   Perasaan itulah yang agaknya lelah mendorong kesanggupan di dalam dirinya, ia bukan lagi menjadi anak-anak yang dibiarkan tidur nyenyak saat di halaman terjadi perang tanding yang menentukan hidup atau mati.

   "Aku sudah menjelang anak muda yang dewasa. Umurku tidak terpaut banyak dengan kakang Agung Sedayu. Tetapi rasa-rasanya semua orang masih menganggap aku seperti anak kecil yang hanya pantas bermain bentik daripada memegang hulu pedang."

   Demikianlah maka iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin jauh meninggikan Sangkal Putung.

   Padukuhan yang terakhir dari Kademangan Sangkal Putung sudah lampau, sementara mereka mulai memasuki Kademangan tetangga dari Kademangan Sangkal Putung.

   Namun sejak mereka memasuki bulaknya, maka sudah terasa perbedaan antara kedua Kademangan yang bertetangga itu.

   Agung Sedayu dan Glagah Putih berkuda dipaling depan.

   Beberapa langkah mereka terpisah dari orang-orang tua yang berkuda dibelakang mereka.

   Agaknya mereka sedang asyik berbincang tentang berbagai masalah yang terjadi disaat terakhir.

   Diperjalanan Agung Sedayu sempat berceritera tentang peristiwa yang hampir saja merenggut nyawanya saat ia bersama Untara pergi ke Sangkal Putung dimalam hari dalam hujan yang turun dengan lebatnya.

   Saat mereka tiba-tiba saja bertemu dengan beberapa orang yang berilmu tinggi, pengikut Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.

   Glagah Putih mendengar ceritera itu dengan asyiknya.

   Ia pernah mendengar ceritera itu sebelumnya.

   Tetapi ia tidak pernah menjadi jemu.

   Pada ceritera itu ia melihat, bahwa pada mulanya Agung Sedayu pun adalah seorang anak muda yang lemah bahkan seorang penakut.

   "Aku mulai pada keadaan yang lebih baik dari kakang Agung Sedayu,"

   Berkata Glagah Putih didalam hatinya.

   Diluar sadarnya, maka kuda Glagah Putihpun berlari semakin cepat.

   Agung Sedayu yang hanya mengimbanginya, berpacu pula disisinya menuju kepadepokan kecilnya disebelah kademangan Jati Anom, didaerah pategalan yang semula merupakan daerah yang ditanami palawija.

   Perjalanan itu memang bukannya perjalanan yang terlalu jauh.

   Mereka masih harus menelusuri jalan di tepi sebuah hutan yang tidak terlalu luas.

   Namun kemudian mereka segera melintasi bulak-bulak panjang memasuki Kademangan-kademangan yang lain menuju ke Jati Anom.

   Kedua anak muda itu memperlambat kuda mereka, ketika mereka melihat tiga orang berkuda dari arah yang berlawanan.

   "Tiga orang prajurit,"

   Berkata Glagah Putih.

   Agung Sedayu mengangguk.

   Mereka adalah tiga orang prajurit dari Jati Anom yang sedang meronda.

   Kerena itu, maka Agung Sedayupun membiarkan Glagah Putih berkuda didepannya, tidak lagi disisinya, untuk memberi jalan kepada para prajurit yang berpapasan itu.

   Tetapi ternyata kemudian, bahwa ketiga orang prajurit itu tidak berkuda terus.

   Salah seorang dari ketiganya telah berhenti ditengah jalan sambil mengangkat tangannya.

   "Kitapun harus berhenti,"

   Berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih.

   "Kenapa?,"

   Berkata Glagah Putih.

   "Kita tidak tahu. Tetapi barangkali hanya karena prajurit-prajurit itu ingin berhati-hati dalam keadaan seperti sekarang."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun kemudian menarik kekang kudanya ketika ia sudah berada beberapa langkah dihadapan prajurit itu.

   "Siapa kalian,"

   Bertanya prajurit itu.

   "Agung Sedayu dari Jati Anom,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "Kau berdua berjalan seiring dengan orang-orang berkuda dibelakang kalian itu atau kebetulan saja kalian bersama mereka?"

   "Itu adalah orang tua kami,"

   Jawab Agung Sedayu. Prajurit itu mengerutkan keningnya. Mereka melihat orang-orang tua yang berkuda semakin dekat. Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata.

   "Apakah kalian tidak mengenal kakang Agung Sedayu atau ayahku yang bernama Ki Widura?"

   Ketiga orang prajurit itu menegang sejenak. Salah seorang dari mereka bertanya.

   "Siapakah Agung Sedayu dan siapakah Ki Widura?"

   "Apakah kalian prajurit-prajurit yang belum lama dipindahkan ke Jati Anom?"

   Bertanya Glagah Putih pula.

   "Kenapa ? "

   Prajurit itu ganti bertanya.

   "Jika kalian sudah lama disini, kalian tentu mengenal Agung Sedayu dan Widura."

   Yang tertua dari ketiga prajurit itu tiba-tiba saja tersenyum. Katanya.

   "Menarik sekali. Tetapi sayang anak muda. Aku belum mengenalnya. Aku dan kedua kawanku ini memang orang-orang baru di Jati Anom."

   Glagah Pulih memandang Agung Sedayu yang termangu-mangu. Tetapi ia kecewa karena Agung Sedayu tidak segera menyatakan dirinya. Akhirnya Glagah Putih tidak telaten. Ialah yang kemudian berkata.

   "Kakang Agung Sedayu ini adalah adik kakang Untara. Dan ayahku, Ki Widura adalah bekas seorang perwira yang terakhir mendapat tugas di Sangkal Putung untuk menghadapi sisa-sisa laskar Tohpati."

   Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa.

   "Maafkan kami anak-anak muda. Kami memang belum mengenal kalian, meskipun kami telah mendengar nama Agung Sedayu. Mula mula kami tidak teringat akan nama itu, jika kau tidak mengatakan bahwa Agung Sedayu adalah adik Ki Untara. Dan kamipun hampir-hampir lupa nama Ki Wudura yang sudah lama tidak lagi bertugas menjadi prajurit. Tapi secara pribadi aku memang belum mengenal Ki Widura itu."

   Agung Sedayu sendiri hanya menarik nafas saja.

   Sekilas ia berpaling memandangi wajah Glagah Putih.

   Tetapi nampak di sorot wajah itu, bahwa ia mengatakan semuanya dengan jujur tanpa maksud-maksud tertentu.

   Sementara itu.

   Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjadi semakin dekat.

   Ketika mereka berhenti, maka Widuralah yang maju beberapa langkah mendekati para perwira itu.

   "Aku Widura,"

   Katanya memperkenalkan diri. Dan prajurit itu menjawab.

   "Ya. kami sudah mendengar dari anak muda itu, bahwa diantara kalian adalah Ki Widura."

   Prajurit itu berhenti sejenak, lalu.

   "kami memang tidak bermaksud menghentikan perjalanan kalian. Kami hanya ingin tahu, siapakah kalian yang berkuda bersama-sama dalam kelompok kecil ini."

   "Kami akan kembali ke Jati Anom,"

   Berkata Widura.

   "Kami tahu sekarang,"

   Sahut prajurit-prajurit itu.

   "Kalian tentu datang dari Sangkal Putung, dalam rangka pemakaman Ki Sumangkar. Agaknya kalian berada di kademangan itu beberapa hari."

   Ki Widura termangu-mangu sejenak. Kemudian sambil mengangguk-angguk menjawab.

   "Ya Ki Sanak. Kami memang tinggal beberapa hari di Sangkal Putung agar keluarga Ki Demang tidak merasa terlalu sepi sesaat selelah pemakaman selesai."

   Prajurit itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya.

   "Baiklah. Silahkan melanjutkan perjalanan. Kamipun akan meneruskan tugas kami."

   "Kalian meronda?"

   Bertanya Ki Widura.

   "Ya. Kami meronda Kademangan Jati Anom dan Kademangan-kademangan di sekitarnya."

   "Apakah dirasa perlu sekali untuk meningkatkan perondaan?"

   Prajurit itu tersenyum. Katanya.

   "Tidak. Aku kira yang kami lakukan bukannya suatu peningkatan. Tetapi demikianlah agaknya yang memang harus kita lakukan."

   Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya.

   "Sudahlah. Kami minta diri untuk melanjutkan perjalanan."

   Prajurit-prajurit itu mengangguk dan memberikan jalan kepada kelompok kecil itu untuk meneruskan perjalanan, sementara mereka sendiripun kemudian melanjutkan perjalanan pula kearah yang berlawanan.

   Peristiwa itu tidak banyak menimbulkan persoalan.

   Glagah Putih segera melupakannya.

   Apalagi ketika ia kemudian berpacu mendahului Agung Sedayu dan orang-orang tua yang mengiringi mereka.

   Namun ternyata hal itu telah menimbulkan berbagai macam perhitungan bagi Agung Sedayu dan orang-orang tua yang menyertainya.

   Dengan demikian mereka mengetahui, bahwa di Jati Anom telah terjadi perubahan diantara para prajurit yang bertugas di Jati Anom itu telah dianggap cukup lama sehingga beberapa kelompok diantara mereka telah ditarik kembali ke Pajang dan diganti dengan orang-orang baru.

   "Jika masalahnya hanya sekedar bertukar tugas karena mereka telah terlalu lama tinggal di Kademangan dilereng gunung, itu masih merupakan hal yang biasa,"

   Berkata Ki Widura didalam hatinya.

   "tetapi jika pergantian itu disertai dengan perhitungan-perhitungan tertentu, atau disertai dengan pesan-pesan tertentu dari beberapa orang yang telah mengotori sikap keprajuritan di Pajang, maka masalahnya akan menjadi cukup gawat. Mereka akan membawa pesan dalam tingkah laku dan sikap bagi kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang pada dasarnya mempunyai pamrih pribadi yang berlebih-lebihan."

   "Tapi Untara bukan anak-anak lagi."

   Ki Widura mencoba menenangkan hatinya sendiri.

   "ia akan dapat melihat, apakah prajurit-prajurit yang diperbantukan kepadanya, sesuai dengan sikap dan pendiriannya."

   Ternyata bukan saja Ki Widura yang menjadi cemas melihat keadaan itu.

   Kiai Gringsing justru melihat kemungkinan yang lebih suram lagi.

   Orang-orang yang mempunyai wewenang di Pajang, sementara mereka berusaha dengan segala cara diluar jalur keprajuritan, telah menentukan langkah-langkah yang dapat mempersulitkan kedudukan Untara, justru karena ia berada di daerah yang berhadapan langsung dengan Mataram.

   "Mungkin aku terlalu berprasangka,"

   Berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.

   Sementara itu, kuda-kuda mereka berlari tidak terlalu kencang di bulak-bulak yang memisahkan padukuhan-padukuhan besar dan kecil, seperti semula, mereka tidak berjalan beriringan.

   Tetapi Agung Sedayu mengikuti Glagah Putih yang berpacu didepan.

   sementara orang-orang tua berada agak jauh dibelakang.

   Dalam pada itu, diluar sadarnya Agung Sedayu tiba-tiba saja berpaling.

   Ada sesuatu yang ingin dilihat pada prajurit-prajurit yang baru saja berpapasan.

   Namun terasa hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

   Meskipun sudah agak jauh, namun matanya yang tajam masih sempat melihat, seorang diantara para praiurit itu memisahkan diri.

   "Menarik sekali,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

   Ternyata bahwa sikap Agung Sedayu itu dilihat oleh orang-orang tua yang berkuda dibelakang.

   Hampir serentak merekapun berpaling.

   Seperti Agung Sedayu.

   merekapun melihat seorang dari prajurit prajurit itu telah melintasi jalan simpang, menempuh perjalanan yang terpisah dari kedua orang kawannya.

   Agaknya karena keadaan mereka, maka setiap peristiwa yang agak menyimpang, telah menjadi perhatian mereka.

   Seorang diantara prajurit-prajurit yang memisahkan diri itupun telah menarik perhatian mereka.

   Betapapun Kiai Gringsing mencoba menenangkan hatinya, namun ia tidak dapat mengesampingkan peristiwa yang dilihatnya itu.

   Kecurigaannya mulai tumbuh.

   Ketika ia memandang Ki Widura diluar sadarnya, ia melihat kesan yang sama diwajahnya.

   Bahkan Kiai Gringsing kemudian melihat pula kerut merut di kening Ki Waskita.

   Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun kemudian katanya.

   "Agaknya ada sesuatu yang akan dilakukan oleh prajurit yang memisahkan diri itu."

   Ki Widura mengangguk kecil. Dengan nada datar ia menyahut.

   "Yang terjadi disaat-saat terakhir adalah ketidak pastian, siapakah yang sebenarnya mempunyai maksud-maksud kurang baik khususnya terhadap angger Agung Sedayu. Itulah sebabnya kita mudah mencurigai seseorang. Nampaknya angger Agung Sedayu melihat prajurit yang memisahkan diri itu. sehingga iapun telah disentuh oleh perasaan curiga pula."

   Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula. Sekali lagi ia berpaling. Tetapi prajurit yang memisahkan diri itu sudah hilang dibalik padukuhan.

   "Mudah-mudahan prajurit itu tidak bermaksud buruk,"

   Desisnya. Tiba-tiba saja Kiai Gringsingpun tersenyum. Desisnya.

   "Kita adalah orang-orang tua yang terlalu dihantui oleh bayangan buruk dihati kita sendiri. Ki Widura dan Ki Waskitapun tersenyum pula. Ketika mereka memandang kedepan, mereka melihat Agung Sedayu telah menjadi semakin jauh menyusul Glagah Putih.

   "Hatikulah yang agaknya ditumbuhi bulu-bulu tikus,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "namun tiba-tiba saja aku menjadi khawatir."

   Ki Widura dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Dipandanginya debu putih yang terlempar dari kaki kuda Agung Sedayu. Sambil menarik nafas panjang. Ki Waskita berkata.

   "Adalah wajar sekali jika kita merasa khawatir. Yang telah terjadi di Mataram dan di Sangkal Putung membuat kita seolah-olah selalu dikerumuni oleh orang-orang yang dengan rahasia bermaksud buruk tanpa berani menunjukkan sikap yang jantan. Di Sangkal Putung kakak dari dua bersaudara dari Pesisir Endut itupun sebelumnya telah mencoba melumpuhkan daya tahan Agung Sedayu dengan ilmu sirepnya. Meksipun nampaknya ia dengan jantan menantang perang tanding, tetapi ia berharap bahwa Agung Sedayu telah terpengaruh oleh kekuatan ilmunya, sehingga ia tidak dapat mempergunakan segenap kemampuannya. Tetapi agaknya ia keliru."

   Kiai Gringsing mengangguk-angguk.

   Kecemasannya memang agak sulit untuk disingkirkan dari hatinya.

   Seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, seolah-olah setiap orang telah berusaha untuk menyingkirkan Agung Sedayu dengan cara masing-masing Dalam pada itu, Agung Sedayu memacu kudanya, menyusul Glagah Putih.

   Namun adik sepupunya itu tiba-tiba saja ingin bergurau.

   Ketika ia melihat Agung Sedayu menyusulnya, maka kudanyapun berpacu semakin cepat.

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   Ia tahu Glagah Putih bergurau.

   Tetapi kecurigaannya terhadap prajurit yang memisahkan diri itu telah mengekangnya.

   Ia tidak menyusul Glagah Putih semakin cepat, agar Glagah Putih tidak semakin cepat memacu kudanya.

   Sebenarnyalah bahwa prajurit yang memisahkan diri itu mempunyai niat yang khusus terhadap kehadiran Agung Sedayu.

   Seperti yang diduga, bahwa diantara orang-orang baru yang ada di Jati Anom terdapat beberapa orang yang termasuk jalur kekuatan orang yang disebut kakang Panji di Pajang.

   Dengan tergesa-gesa orang itu kembali ke baraknya.

   Ia tidak melaporkan kepada perwira yang sedang bertugas, tetapi ia langsung mencari seorang perwira yang menjadi salah satu jalur penghubung orang yang disebut kakang Panji.

   "Mereka telah kembali,"

   Prajurit itu melaporkannya. Perwira itu ragu-ragu sejenak. Kemudian katanya.

   "Pergilah. Jangan bodoh. Apakah kau sedang bertugas sehingga kau dapat melihat Agung Sedayu datang kembali ke Jati Anom."

   "Ya. Kami sedang meronda."

   "Itulah kebodohanmu. Cepat, pergilah."

   "Tetapi bukankah Ki Pringgajaya memerintahkan kami untuk mengawasi jika Agung Sedayu kembali ke padepokan kecilnya?"

   "Tetapi jangan bertindak bodoh. Kau sedang nganglang."

   "Dua orang kawan kami meneruskan tugas kami."

   Wajah perwira yang bernama Pringgajaya itu menjadi merah. Sekali lagi ia membentak.

   "Cepat, pergi sebelum aku usir kau dengan kasar."

   Prajurit itu tidak menjawab.

   Tetapi iapun segera pergi meninggalkan Ki Pringgajaya menyusul kawan-kawannya yang sedang nganglang.

   Sejenak Pringgajaya termangu-mangu.

   Tetapi ketika ia tidak melihat orang lain memperhatikannya, maka iapun segera masuk kembali kedalam biliknya.

   Namun dalam pada itu, ketika prajurit yang melaporkannya keluar dari halaman baraknya, seorang kawannya bertanya.

   "Bukankah kau hari ini bertugas di rumah Ki Untara?"

   "Ya. Aku mengambil sesuatu yang tertinggal. Aku sudah mendapat ijin."

   Kawannya tidak menghiraukannya lagi.

   Karena itu, maka prajurit itupun meneruskan perjalanannya.

   Tetapi ketika kudanya meloncat untuk berlari, tiba-tiba saja ia menarik kendalinya ketika mendengar namanya dipanggil.

   Dengan berdebar-debar ia berpaling.

   Dilihatnya seorang prajurit muda berlari-lari menyusulnya.

   "Kenapa kau kembali?"

   "Aku mengambil sesuatu yang tertinggal. Aku sudah mendapat ijin jawabnya."

   "Dari Ki Untara?"

   Bertanya prajurit muda yang berlari-lari itu.

   "Bukan. Dari perwira yang bertugas."

   Tetapi prajurit muda itu tersenyum. Katanya.

   "Bukankah kau baru nganglang? Kau saat ini seharusnya meronda bersama dua orang prajurit."

   "Ya. Karena itu aku sempat singgah sebentar. Sekarang aku akan menyusul mereka. Dari pimpinan kelompok itulah aku mendapat ijin."

   "Kau mengabarkan tentang kehadiran Agung Sedayu?"

   Tiba-tiba saja prajurit muda itu bertanya. Pertanyaan itu telah menampar jantungnya sehingga serasa darahnya terhenti mengalir.

   "Kau tidak usah terkejut. Kau bertemu dengan iring-iringan kecil dari Sangkal Putung. Kemudian kau dengan tergesa-gesa melaporkannya kepada Ki Pringgajaya."

   "Bohong."

   "Jangan ingkar. Aku melihat dari kejauhan tanpa sengaja. Aku berada dirumah kawanku dipinggir padukuhan. Aku berdiri dimulut jalan ketika kau bertemu Agung Sedayu di bulak. Kemudian kau memisahkan diri dari kawan-kawanmu. Kecurigaanku timbul saat itu, sehingga akupun tergesa-gesa kembali."

   "Kenapa kau berada dipadukuhan itu?"

   "Aku libur hari ini setelah kemarin aku bertugas. Nah, apakah kau masih ingkar?"

   "Persetan. Aku dapat membunuhmu dengan tingkah lakumu yang gila itu tanpa meninggalkan jejak."

   "Jangan mengancam. Aku akan menutup mulut jika kau berbaik hati terhadapku."

   "Apa? Apa yang kau kehendaki?"

   Prajurit muda itu tertawa. Katanya.

   "Aku tahu apa yang selama ini kalian lakukan. Meskipun mula-mula secara kebetulan, tetapi akhirnya aku dapat mengambil kesimpulan dari tingkah lakumu."

   Wajah prajurit yang baru saja melaporkan kehadiran Agung Sedayu itu menjadi tegang. Tetapi ia masih tetap menahan diri. Namun tiba-tiba saja prajurit yang melaporkan kedatangan Agung Sedayu itu tertawa. Katanya.

   "Akhirnya aku tahu, bahwa kaulah yang selama ini mengintip tingkah lakuku. Baiklah, aku tidak akan marah. Seandainya kau mengetahui bahwa aku telah memberitahukan kedatangan Agung Sedayu kepada Ki Pringgajaya aku tidak berkeberatan. Apakah salahnya?"

   Prajurit muda yang menyusul itupun mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya.

   "Jangan berpura-pura. Aku tahu latar belakang dari kegiatanmu disini selain karena tugasmu sebagai seorang prajurit."

   "Sebutkan?"

   "Kau bertugas mengamat-amati Agung Sedayu, karena Agung Sedayu adalah seorang yang menurut pihakmu merupakan penghalang yang besar bagi perjuangan mereka. He, apakah bukan begitu? Bukankah kau termasuk salah seorang pengikut dari mereka yang ingin menegakkan warisan dari kerajaan Majapahit lama."

   Wajah prajurit itu menegang. Sorot matanya menjadi merah seolah-olah sedang menyala.

   "Kau memang harus dibunuh,"

   Berkata prajurit itu. Tanpa sesadarnya ia lelah memandang berkeliling. Tetapi ia melihat satu dua orang lewat diujung jalan.

   "He, kau akan membunuh aku sekarang?"

   Bertanya prajurit muda itu. Prajurit yang berada dipunggung kuda menggeram. Katanya.

   "Jika tidak sekarang, maka segera aku akan membunuhmu. Menyeretmu ketempat yang sepi, kemudian menguburmu tanpa diketahui orang lain."

   Prajurit muda itu terlawa sedang yang dipunggung kuda berkata terus.

   "Sebenarnya bagiku tidak terlalu sulit untuk mencari siapakah yang berkhianat jika terjadi sesuatu atasku, aku dapat melaporkan kepada kawan-kawanku, jika terjadi sesuatu dengan aku atau salah seorang kawanku, maka kau akan menjadi sasaran pembalasan."

   "Kau masih mengancam terus. Ketahuilah, bahwa aku tidak akan pernah takut akan ancaman yang bagaimanapun juga. Seandainya terpaksa aku harus berkelahi melawanmu, aku juga tidak takut. Jika kau ingin memfitnah aku, akupun mempunyai tangkisan yang kuat dari sudut pandangan yang manapun."

   Prajurit diatas punggung kuda itupun kemudian menggeram.

   "Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?"

   "Nah, pertanyaan itulah yang seharusnya kita bicarakan."

   "Aku sudah bertanya seperti itu tadi."

   "Baiklah. Dengarlah. Kau adalah salah seorang pengikut dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. Kau tentu ingin Agung Sedayu mati terbunuh."

   Ia berhenti sejenak, lalu.

   "tetapi pesanku, jangan mendahului aku. Maksudku, serahkan saja kepadaku, akulah yang akan menentukan saat-saat kematian Agung Sedayu. Aku adalah orang yang paling mendendam kepada Agung Sedayu."

   "Kenapa?"

   "Ia telah membunuh ayahku."

   Praiurit diatas punggung kuda itu terkejut. Diluar sadarnya ia telah meloncat turun. Dengan ragu-ragu ia bertanya.

   "Siapa ayahmu itu, dan kenapa ia dibunuh oleh Agung Sedayu?"

   Prajurit muda itu tertawa. Katanya.

   "Umurku tentu hampir sebaya dengan Agung Sedayu. Mungkin aku lebih tua satu dua tahun."

   "Aku bertanya siapa ayahmu,"

   Potong prajurit itu.

   "Ayahku adalah Kiai Sabungsanga yang juga dikenal dengan gelar Candramawa. Tetapi banyak orang yang mengenalnya dengan nama Ki Gede Telengan."

   "Telengan,"

   Prajurit itupun berdesis.

   "jadi kau anak Telengan?"

   "Ya. Aku adalah anak Telengan yang mewarisi segala ilmunya. Karena itu jangan mengancam lagi agar kau tidak mati terbakar oleh api yang menyala dari mataku,"

   Berkata prajurit muda itu. Lawannya berbincang itupun menjadi tegang. Ia termangu-mangu ketika prajurit muda itu tertawa. Namun tiba-tiba ia membentak.

   "Jangan menakut-nakuti aku."

   Tetapi suaranya terdengar hambar dan ragu-ragu.

   "Baiklah. Aku tidak menakut-nakutimu. Aku hanya minta, berilah aku kesempatan melepaskan dendam ayahku. Aku harus membunuh Agung Sedayu. Itulah sebabnya, aku menjadi prajurit meskipun yang paling rendah, sengaja untuk mencari kesempatan berada di Jati Anom. Akupun tahu segala persoalan tentang pewarisan Kerajaan Majapahit. Aku menyesal bahwa aku tidak ikut berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu saat itu."

   "Siapa kau sebenarnya."

   "Sudah aku katakan."

   "Maksudku, siapa namamu sebenarnya."

   Prajurit muda itu tersenyum. Jawabnya.

   "Panggil aku seperti kau menyebut namaku sehari-hari. Sabungsari. Itu memang namaku. Tetapi orang-orang dari perguruan Telengan menyebutku Ontang-anting, karena aku adalah anak tunggal Ki Gede Sabungsanga."

   Prajurit yang telah turun dari kudanya itu menjadi berdebar-debar, namun ia masih ragu-ragu, apakah benar yang dihadapinya, itu anak muda yang mempunyai kemampuan melampui prajurit kebanyakan.

   Agaknya anak muda yang bernama Sabungsari itu menyadari, bahwa prajurit itu masih tetap ragu-ragu.

   Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata.

   "He, kau lihat kambing terikat dipohon jarak itu."

   Prajurit itu ragu-ragu. Namun sebelum ia menyahut, maka ia melihat Sabungsari memusatkan inderanya memandang kambing yang terikat itu. Yang terdengar kambing itu memekik, kemudian jatuh terguling ditanah. Mati.

   "Aku hanya bermain-main,"

   Berkata Sabungsari.

   "jika aku bersungguh-sungguh, maka kekuatanku melampaui kekuatan pandangan mata ayahku yang telah terbunuh oleh Agung Sedayu. Ada kekhilafan ayah pada waktu itu. Ayah melupakan landasan jasmaniahnya. Dilembah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi ternyata tidak banyak terdapat kunir yang menjadi makanan pokok ayah dan aku sekarang ini."

   Prajurit yang sudah turun dari kuda itu termangu-mangu. Ia melihat suatu kenyataan yang diluar jangkauan nalarnya. Yang terjadi adalah suatu yang menggetarkan dadanya. Namun demikian prajurit itu berkata.

   "Aku tidak yakin bahwa yang aku lihat itu benar-benar seperti yang terjadi. Mungkin kau adalah seorang yang dapat mengelabui mataku, sehingga seolah-olah aku melihat kambing itu mati."

   "Memang mungkin. Tetapi jika kau ingin meyakinkan, maka kaulah yang akan menjadi sasaran. Kau akan percaya sebelum nyawamu lepas dari tubuhmu."

   Prajurit itu menjadi tegang. Wajahnya merah sekilas. Namun ia tidak berani berbuat apa-apa. Nampaknya anak muda itu benar-benar meyakini kata-katanya.

   "Sekarang, pergilah. Katakan kepada kawan-kawanmu, jangan mengganggu Agung Sedayu. Membunuh Agung Sedayu bagi kalian adalah tugas yang besar. Tetapi bagiku selain tugas juga merupakan tanda bakti seorang anak laki-laki yang sudah diwarisi ilmu kenuragan oleh ayahnya. Aku yakin bahwa bagi kalian, siapapun yang membunuh tidak menjadi soal. Bahkan kalian telah minta tikus-tikus kecil dari Pesisir Endut itu untuk membunuhnya. Tetapi dua orang diantara mereka telah dibunuh oleh Pangeran Benawa yang lemah hati itu."

   "Kau tahu segala-galanya."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku berusaha untuk mengetahui dan aku mempunyai mata dan telinga yang berkeliaran meskipun aku disini."

   "Tetapi, aku sama sekali tidak yakin akan kata-katamu bahwa kau mempunyai makanan pokok sebangsa empon-empon. Aku melihat setiap hari kau makan rangsum seperti kami. Nasi dengan segala lauk pauknya."

   Sabungsari tertawa. Katanya.

   "Aku makan seperti kalian makan. Tetapi disamping itu aku makan sebangsa empon-empon, terutama jenis kunir. Aku juga makan jenis yang lain. Tetapi aku tidak pernah makan daun kangkung dan daun lumbu wungu."

   Prajurit yang baru saja melapor itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun tersentak ketika Sabungsari berkata.

   "Pergilah. Ingat-ingatlah kata-kataku Anggaplah aku akan membantumu daripada kau menunggu orang-orang Pasisir Endut atau orang-orang dari perguruan Carang Waja yang tidak berarti itu."

   "Aku akan menyampaikan kepada Ki Pringgajaya."

   Sabungsari tertawa. Katanya.

   "Pringgajaya memang harus diberi tahu. Hanya diberitahu, bukan minta ijin daripadanya. Juga Untara akan dengan mudah dapat aku bunuh, karena sebenarnya Untara tidak akan dapat mengimbangi kemampuan adiknya. Mungkin dalam ilmu keprajuritan Untara mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Tetapi secara pribadi dalam olah kanuragan Agung Sedayu jelas lebih baik dari kakaknya."

   Lawannya berbicara tidak menjawab lagi. Iapun kemudian meloncat kepunggung kudanya.

   "Aku akan melaporkannya."

   Sabungsari mundur selangkah. Kemudian sambil bertolak pinggang ia melihat prajurit yang sudah berada dipunggung kuda itu siap untuk berpacu.

   "Aku juga akan pergi,"

   Berkata Sabungsari.

   "jika gembala yang mengikat kambing dipohon jarak itu datang dan melihat kambingnya mati, ia akan menangis meraung-raung. Aku tidak akan sampai hati melihatnya, karena aku adalah seseorang yang penuh dengan rasa iba dan belas kasihan."

   Prajurit diatas punggung kuda itu tidak menyahut.

   Tiba-tiba saja ujung kendali kuda itu telah bergetar menyentuh tengkuk, sehingga kuda itu meloncat dan berlari kencang.

   Prajurit muda itu tertawa.

   Ia sadar, bahwa prajurit berkuda itu merasa cemas, bahwa tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan ilmunya yang aneh itu.

   "Bertahun-tahun aku mempelajarinya,"

   Gumam Sabungsari.

   "sayang, aku harus melepas ayah pergi untuk selama-lamanya. Tetapi aku yakin bahwa ilmuku tidak kalah lagi dari ilmunya."

   Prajurit berkuda itu menjadi semakin jauh.

   Sabungsari pun kemudian melangkah pergi.

   Ia pasti, bahwa prajurit itu dan kawan-kawannya, termasuk Pringgajaya tidak akan mengatakan kepada siapapun tentang dirinya.

   Dan iapun pasti, bahwa mereka akan bersenang hati jika ia berhasil membunuh Agung Sedayu.

   "Dendam itu harus aku lepaskan."

   Akhirnya ia menggeram. Dalam pada itu, prajurit berkuda itupun telah memacu kudanya. Ia harus menemui kawan-kawannya ditempat yang sudah ditentukan. Dipinggir kali disebelah pategalan yang luas, di luar Kademangan Jati Anom.

   "Aku bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak kita duga memiliki kemampuan setan,"

   Berkata prajurit itu. Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata.

   "Ceriterakan, apakah kau telah bertemu dengan Ki Pringgajayakan, apa yang telah terjadi setelah ia bertemu dengan Ki Pringgajaya.

   "Ki Pringgajaya menganggap kita sangat bodoh dan telah melakukan kesalahan, justru karena aku datang ke barak disaat aku sedang bertugas. Tetapi kawan-kawan yang lain agaknya tidak menghiraukan. Ada saja yang pernah singgah sejenak di barak saat sedang meronda. Dan akupun berbuat seperti mereka itu. Namun, prajurit baru yang masih muda yang bernama Sabungsari itulah yang gila."

   Prajurit itu menceriterakan apa yang dikehendaki, dan bagaimana ia telah membunuh seekor kambing.

   "Kau tidak disihirnya ?"

   "Tidak. Kambing itu benar-benar mati. Aku kira ia dapat membunuh seseorang dengan cara yang sama. Dan Agung Sedayu akan mati jika ia pada suatu saat bertempur dengan Sabungsari yang juga dipangil Ontang-anting."

   "Kita akan menyampaikannya kepada Ki Pringgajaya."

   "Ia tentu tidak akan berkeberatan,"

   Desis yang seorang.

   Tetapi yang lain menggeleng.

   Katanya belum yakin.

   Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu.

   Nampaknya mereka sedang merenungi peristiwa yang baru saja disaksikan oleh salah seorang dari mereka.

   Nanti malam, setelah tugas kita selesai dan digantikan oleh orang lain, kita akan berbicara dengan Ki Pringgajaya.

   Kita ingin tahu dengan pasti sikapnya, agar kita tidak salah langkah,"

   Berkata salah seorang dari mereka. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Kemudian yang lain berkata.

   "Sekarang kita lanjutkan perjalanan kita. Kita masih harus memutari empat padukuhan lagi."

   Ketiga orang itupun kemudian meneruskan tugas mereka meronda.

   Pada saatnya merekapun segera kembali ke induk pasukan peronda yang sedang bertugas, bertempat dibagian samping halaman rumah Ki Untara, disebelah sebuah gardu yang agak besar dihalaman itu, yang memang dibuat khusus setelah rumah itu dipergunakan oleh prajurit Pajang.

   Tidak banyak yang mereka percakapkan selama mereka bertugas.

   Mereka tidak mengetahui dengan pasti, siapa sajakah yang mempunyai landasan berpijak sesuai dengan tugas mereka.

   Menjelang malam, mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat.

   Tetapi mereka masih harus kembali kehalaman rumah Ki Untara, karena mereka masih harus bertugas dimalam hari.

   Dengan ijin pimpinan mereka, maka ketiga orang itupun meninggalkan halaman itu untuk menemui Ki Pringgajaya dibaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah Ki Uniara.

   "Jangan terlalu lama. Menjelang tengah malam satu kelompok diantara kita akan nganglang. Saat itu kalian harus sudah berada di halaman ini kembali."

   "Kami hanya sebentar Ki Lurah. Mandi kesungai, dan menghirup angin."

   Demikian mereka keluar halaman, maka langkah mereka menjadi cepat. Mereka tidak mau kehilangan waktu agar mereka dapat berbicara agak panjang dengan Ki Pringgajaya.

   "Masuklah kedalam barak. Jika kita bertiga bersama-sama, maka tentu akan menarik perhatian, karena kita bertiga bersama-sama sedang bertugas,"

   Berkata salah seorang dari mereka. Karena itulah, maka yang kemudian masuk kedalam barak hanyalah seorang saja diantara mereka, sehingga kawan-kawannya yang melihat tidak menghiraukannya.

   "Kami bertiga,"

   Berkata prajurit itu setelah ia bertemu dengan Ki Pringgajaya.

   "Kalian memang gila, bodoh dan tidak mempunyai perhitungan."

   "Hanya akulah yang masuk kedalam barak. Yang lain berada diluar, kami sudah mendapat ijin dari Ki Lurah yang bertugas saat ini untuk pergi ke sungai dan berjalan-jalan sebentar."

   Ki Pringgajaya merenung sejenak. Kemudian katanya.

   "Pergilah. Aku akan menyusul kalian."

   "Kami menunggu di pinggir kali, dibawah pohon sukun disudut pategalan itu,"

   Berkata prajurit yang datang menemuinya.

   Demikianlah meka sejenak kemudian, Ki Pringgajaya dan ketiga orang prajurit yang menunggunya, telah duduk melingkar dibawah sebatang pohon sukun yang besar.

   Malam yang semakin gelap telah menyelubungi mereka, sehingga seakan-akan mereka telah menyatu dengan hitamnya kekelaman.

   "Katakan, apa yang kau lihat."

   Salah seorang dari ketiga prajurit itupun segera menceriterakan, bahwa mereka telah melihat Agung Sedayu bersama gurunya dan Ki Widura telah memasuki padepokannya kembali. Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya.

   "Kita harus mengatur langkah-langkah selanjutnya."

   "Tetapi masih ada persoalan yang harus dipertimbangkan,"

   Berkata prajurit itu pula.

   "Semuanya harus dipertimbangkan sebaik baiknya."

   "Maksudku, ada pihak ketiga yang ikut campur dengan persoalan Agung Sedayu."

   "Siapa? "

   Pringgajaya menggeram. Prajurit yang telah bertemu dengan Sabungsari itupun segera menceriterakan tentang prajurit muda itu.

   "Sabungsari, prajurit muda yang baru diangkat itu?"

   Bertanya Pringgajaya.

   "Ya. Ternyata bahwa ia berada didalam lingkungan keprajuritan hanyalah sekedar dipakainya sebagai selubung. Ia mempunyai maksud tertentu dan tugas tersendiri."

   Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian.

   "Kita mempunyai masalah yang lebih luas dari sekedar membalas dendam. Sebenarnya yang penting bagi kita, tersingkirnya Agung Sedayu, siapapun yang melakukannya."

   Pringgajaya berhenti sejenak, lalu.

   "tetapi sudah barang tentu. Agung Sedayu bukannya tujuan dari perjuangan kita. Ia hanya salah satu unsur yang harus disingkirkan. Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan sudah barang tentu orang-orang yang menurut perhitungan akan menguntungkan Mataram. Pada suatu saat, kitapun harus menyapu kekuatan Sangkal Putung."

   Ketiga orang prajurit yang mendengarkannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia melihat perbedaan kepentingan antara Ki Pringgajaya dengan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu.

   "Karena itu,"

   Berkata Pringgajaya selanjutnya.

   "jika memang Sabungsari ingin melakukan balas dendam itu, biarlah ia melakukan. Tugas kita adalah melanjutkan apa yang telah dilakukannya. Kiai Gringsing itupun akan dapat membahayakan kedudukan kita. Bahkan jika perlu Widurapun harus kita singkirkan, jika kita mendapat bukti bahwa ia akan condong kepada Mataram. Untuk menghancurkan Sangkal Putung, kita harus membuat perhitungan tersendiri, karena Sangkal Putungpun mempunyai pengawal yang kuat, yang dapat digerakkan setiap saat, sementara Swandaru selalu berada didalam lingkungan mereka."

   Prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Pringgajaya meneruskan.

   "Jika kita berhasil membunuh mereka dan melumpuhkan Sangkal Putung dengan alasan apapun, maka kita sudah mengurangi kekuatan Mataram. Karena itu, jalan ke Mataram menjadi semakin luas."

   Ketiga prajurit itu hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata bagi Pringgajaya, Sabungsari justru akan dapat memberikan sumbangan pada tugasnya, seperti yang dikatakan oleh Sabungsari sendiri. Dalam pada itu Pringgajayapun meneruskan.

   "karena itu, jangan berbuat apa-apa atas Sabungsari. Kau hanya perlu mengawasinya. Apapun yang dilakukan, biarlah menjadi tanggung jawabnya. Kita masih harus mempersiapkan banyak tugas. Kita yakin bahwa pada suatu saat Pajang dan Mataram tentu akan lenyap bersama. Kitalah yang akan segera berkuasa. Mungkin kakang Panji masih harus mengadakan penertiban kedalam. Orang-orang yang hanya bernafsu untuk mendapatkan upah dan kalenggahan akan disapu bersih seperti Pajang dan Mataram itu sendiri. Oleh karena itu, siapkan diri kalian dalam pengabdian."

   Ketiga prajurit itu mengangguk-angguk.

   "Sekarang kembalilah. Kita akan segera mendengar berita, apakah Agung Sedayu atau justru Sabungsari yang terbunuh. Bagi kita tidak banyak bedanya. Isi padepokan kecil itu pada suatu hari harus bersih. Untara harus mendapat kesan bahwa kematian adiknya adalah karena kesalahan dan tanggung jawab Mataram yang telah melibatkan anak muda itu kedalam suatu persoalan diluar kepentingannya."

   Ketiga prajurit itupun kemudian minta diri untuk kembali ke halaman rumah Agung Sedayu.

   Mereka masih harus bertugas semalam lagi.

   Besok mereka mendapat istirahat sehari penuh.

   Sementara itu.

   Agung Sedayu yang telah berada dipadepokannya kembali, rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu besok atau lusa.

   Bersama anak muda yang menunggui padepokannya, iapun pergi kesawah untuk melihat tamannya yang sudah agak lama ditinggalkannya.

   Ada semacam kerinduan yang menggeliliknya untuk segera dapat berada di tengah tengah sawah dan ladangnya kembali.

   "Aku ikut,"

   Minta Glagah Putih.

   "Besok sajalah,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "aku hanya ingin melihatnya sejenak. Mungkin dimalam hari, air parit itu akan mengalir lebih banyak dibandingkan dengan siang hari, karena dibagian lain tidak banyak dipergunakan orang."

   Tetapi Glagah Pulih tetap memaksa untuk ikut serta. Karena itu maka Agung Sedayu tidak dapat menolaknya. Katanya.

   "Mintalah ijin kepada ayahmu."

   Buku 118

   "AYAH tentu memperbolehkan jika kakang tidak berkeberatan."

   "Aku tidak berkeberatan jika paman Widura mengijinkan."

   "Itu namanya berputar-putar,"

   Glagah Putih bersungut-sungut.

   "tetapi aku akan ikut kakang melihat sawah dan pategalan."

   "Hanya sawah diujung lorong itu,"

   Potong Agung Sedayu.

   "Ya. Sawah diujung lorong."

   Glagah Putih tetap pada pendiriannya.

   Agaknya Ki Widura memang tidak melarangnya, sehingga Glagah Putihpun kemudian ikut bersama dengan Agung Sedayu dan seorang anak muda penunggu padepokannya.

   Sudah agak lama Agung Sedayu meninggalkan sawah dan ladangnya.

   Tetapi nampaknya anak-anak muda yang ditinggalkannya adalah anak-anak muda yang rajin.

   Ternyata bahwa sawah dan ladang mereka nampak terpelihara rapi, seperti halaman dan kebun padepokannya yang nampak bersih dan terawat.

   Udara yang segar rasa-rasanya seakan-akan menyusup lubang kulit sampai ketulang sungsum.

   Daun padi yang subur disentuh angin malam, bagaikan ombak lembut yang mengalir dari ujung sampai keujung bulak yang tidak terlalu panjang.

   "Kau tidak lelah Agung Sedayu,"

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bertanya kawannya yang mengikutinya kesawah.

   "Aku sudah cukup lama beristirahat. Sore tadi aku sempat berbaring sebentar sebelum mandi,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "Aku sama sekali tidak lelah,"

   Berkata Glagah Putih.

   "bukankah aku tinggal duduk saja? Kudanyalah yang mungkin lelah."

   Agung Sedayu menepuk bahu adik sepupunya. Sambil tersenyum ia berkata.

   "Kudanyapun tidak lelah. Kuda terbiasa menempuh jarak yang jauh."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya.

   "Apakah manusia tidak dapat berlatih berjalan seperti seekor kuda? Cepat dan jauh?"

   Agung Sedayu tertawa. Jawabnya.

   "Perbedaan itu sudah ada pada kodratnya. Yang dapat dilakukan oleh manusia adalah berusaha untuk meningkatkan segala yang ada padanya menurut batas yang memang sudah tidak akan dapat dilampauinya lagi. Karena itu, yang dapat kita capai dengan segala macam latihan dan penemuan diri adalah memanfaatkan yang ada pada kita setinggi-tingginya. Bukan saja kemampuan jasmaniah, tetapi yang terutama justru akal budi. Dengan akal kita mampu menimbuni segala macam kekurangan dan kelemahan. Tenaga manusia wajarnya jauh dibawah tenaga seekor lembu jantan. Tetapi justru manusia dapat memanfaatkan lembu bagi keuntungannya. Manusia dapat mempergunakan akalnya dalam banyak segi perbedaan. Tetapi manusia juga dikendalikan oleh budinya. Akal yang terlepas dari kendali budinya, justru akan sangat berbahaya bagi manusia itu sendiri."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengerti kata-kata Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu menepuk bahunya sambil berkata.

   "Jangan risaukan. Pada saatnya kau akan mengerti."

   "Aku sudah mengerti,"

   Jawab Glagah Putih. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya.

   "Jika demikian kau memang cerdas. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan nasehat itu. Tetapi agaknya kau dapat langsung menangkap maksudnya."

   Glagah Putih mengangguk. Katanya.

   "Tidak sulit."

   Agung Sedayu tertawa. Katanya.

   "Baiklah. Kita sekarang sudah sampai diujung lorong. Didepan kita adalah sawah kita yang terakhir kita buka, namun nampaknya air didaerah inipun cukup banyak."

   "Tidak ada bedanya dengan kotak-kotak sawah yang lain,"

   Jawab anak muda yang memelihara sawah dan padepokan Agung Sedayu.

   Agung Sedayupun kemudian berjalan menyusuri pematang diantara tanaman yang hijau subur disawahnya.

   Rasa-rasanya ia telah menemukan ketenangan dan ketenteraman setelah beberapa saat lamanya ia dibayangi oleh kegelisahan dendam orang orang lain terhadapnya.

   Dendam karena peristiwa-peristiwa yang susul menyusul diluar kehendaknya.

   Ternyata Glagah Putihpun senang berada disawah yang terbentang luas.

   Kunang-kunang yang tidak terhitung jumlahnya berterbangan dari daun kedaun.

   Sementara bunyi bilalang berderik-derik memecah sepinya malam.

   Namun dalam pada itu, ketenangan Agung Sedayupun segera terganggu ketika ia melihat bayangan seseorang dilorong yang melintasi daerah persawahan itu.

   Bahkan bayangan itupun kemudian berhenti tidak terlalu jauh diujung pematang.

   Glagah Putihpun melihat bayangan dikeremangan malam itu.

   Karena itu maka iapun berdesis.

   "Siapakah orang itu kakang?"

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   Tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar.

   Apakah di padukuhan terpencil itu ia masih saja selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian? Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membiarkan orang itu berdiri saja mematung tanpa menyapanya.

   Bahkan kemudian katanya didalam hati.

   "Mungkin justru akulah yang terlalu berprasangka."

   Agung Sedayupun kemudian melangkah dipematang mendekati orang yang berdiri tegak itu. Beberapa langkah lagi daripadanya, ia mendengar orang itu berdesis.

   "Apakah aku berhadapan dengan Agung Sedayu?"

   Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Jawabnya.

   "Ya, aku Agung Sedayu."

   Orang itu tertawa kecil. Katanya.

   "Sokurlah. Sebenarnya aku ingin menjumpai kepintu gerbangmu, aku melihat kau keluar dan menyusuri jalan ini. Aku ikuti saja kau dari kejauhan. Dan sekarang aku sudah bertemu denganmu."

   Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi ia melangkah mendekatinya sambil bertanya.

   "Apakah kau mempunyai suatu kepentingan?"

   Orang itu tertawa. Jawabnya.

   "sebenarnya tidak. Aku hanya tahu bahwa kau adalah adik kakang Untara."

   "Ya. Aku adalah adik kakang Untara. Siapa kau?"

   "Namaku Sabungsari. Aku adalah seorang prajurit. Aku belum lama mendapat tugas di Jati Anom."

   "O,"

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   "Ternyata aku tidak begitu sesuai menjadi jemu berada didalam barak. Setiap hari aku bergaul dengan orang-orang yang sama dan melakukan pekerjaan yang serupa saja."

   Agung Sedayu masih mengangguk-angguk.

   "Aku ingin mengenal dan bergaul dengan orang yang berbeda. Aku tahu bahwa kau baru saja kembali dari Sangkal Putung. Karena itu aku sengaja datang kepadepokanmu. Sebenarnyalah aku tidak mempunyai kepentingan apapun selain mencari suasana baru. Aku benar-benar sudah jemu berada di dalam barak."

   Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengerti maksud yang sebenarnya dari prajurit muda yang menyebut dirinya bernama Sabungsari itu. Dalam pada itu. Glagah Putih telah mendekatinya pula sambil bertanya.

   "Apakah kau termasuk anak buah kakang Untara?"

   "Ya. Aku adalah anak buah Ki Untara,"

   Jawab Sabungsari.

   "tetapi siapakah kau?"

   "Glagah Putih. Aku adalah saudara sepupu kakang Agung Sedayu."

   "Kalau begitu kau juga sepupu dengan Ki Untara."

   "Ya."

   Sabungsari mengangguk-angguk. Lalu katanya.

   "Aku ingin mendapat kesempatan untuk datang kepadepokanmu."

   "Datanglah,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "Sudah tentu aku tidak berkeberatan."

   "Terima kasih,"

   Desis Sabungsari.

   "besok, jika aku mendapat hari istirahat setelah bertugas, aku datang kepadepokanmu. Aku ingin mendapat tempat untuk menemukan suasana yang lain dari pada sebuah barak prajurit."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tanpa prasangka apapun ia berkata.

   "Aku menunggu. Aku senang jika kau sudi datang kepadepokan kecil itu."

   Sabungsari tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata.

   "sekarang aku minta diri. Aku tidak banyak mempunyai kesempatan malam ini. Sebentar lagi aku akan bertugas nganglang di Kademangan Jati Anom dan sekitarnya."

   Agung Sedayu melangkah semakin dekat terasa dadanya berdebar-debar ketika ia melihat dalam kegelapan sekilas mata anak muda itu bagaikan bercahaya.

   Tetapi Sabungsari tetap tersenyum.

   Tidak ada tanda-tanda niatnya yang kurang baik, sehingga Agung Sedayupun kemudian berkata.

   "Baiklah. Datanglah kapan saja kau kehendaki."

   Sabungsaripun kemudian minta diri. Ia akan datang disiang hari kepadepokan Agung Sedayu.

   "Mungkin aku datang bersama satu dua orang kawanku,"

   Berkata Sabungsari ketika ia melangkah pergi.

   "Datanglah,"

   Sahut Agung Sedayu.

   "aku senang menerima mereka."

   Kepergian Sabungsari meninggalkan kegembiraan dihati Agung Sedayu. Ia merasa akan mendapat kawan-kawan baru dari lingkungan keprajuritan yang umurnya tidak terpaut banyak daripadanya.

   "Apakah ia benar-benar akan datang?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Aku kira ia benar-benar akan datang."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Tetapi ia sama sekali tidak memikirkannya lagi.

   Bahkan iapun kemudian turun kedalam parit sambil mengayunkan cangkulnya, membuka pintu pematang untuk mengalirkan air kedalam sawah seperti yang sering dilakukan sebelumnya.

   Agung Sedayu memandanginya saja sambil mengangguk-angguk.

   Glagah Putih termasuk seorang anak muda yang rajin, tetapi juga berkemauan keras.

   Dalam pada itu, selagi anak-anak muda bekerja disawah, maka dipadepokan kecil itu Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura sedang berbincang mengenai keadaan terakhir yang dialami oleh Agung Sedayu.

   Solah-olah Agung Sedayu telah menjadi pusat kisaran peristiwa yang menyangkut masalah Mataram dalam hubungannya dengan Pajang dan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit.

   "Aku kira tidak begitu Kiai,"

   Berkata Widura kemudian.

   "kita mungkin menganggap demikian karena kita dekat dengan Agung Sedayu. Kita tidak tahu pasti, peristiwa-peristiwa apa yang menyangkut Raden Sutawijaya, yang menyangkut Sultan Pajang sendiri dan mungkin orang-orang lain yang tidak kita kenal. Mungkin mereka mengalami persoalan-persoalan yang serupa dengan Agung Sedayu atau justru lebih parah lagi. Bahkan mungkin satu dua orang telah jatuh menjadi korban."

   Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya.

   "Mungkin demikian. Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak akan dapat membiarkan kesulitan itu dialami oleh Agung Sedayu meskipun seandainya orang-orang lainpun mengalaminya."

   Ki Waskita justru tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata.

   "Sudah tentu Kiai. Dan kita akan bersama-sama berusaha."

   Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Lalu katanya.

   "Aku justru khawatir bahwa pada suatu saat, Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi dari kesulitan yang menerkamnya. Mungkin dari depan dengan beradu dada. Tetapi mungkin dari belakang langsung menghantam punggung."

   Ki Waskita dan Ki Widura mengetahui yang dimaksud oleh orang tua itu. Sebagai seorang guru maka kekhawatirannya itu dapat dimengerti. Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata.

   "Ketika terakhir kali ia mengalami serangan dari saudara tua orang-orang Pasisir Endut itu, sebenarnyalah ia telah mengalami kesulitan. Carang Waja telah mempergunakan ilmu yang langsung menyerang perasaan Agung Sedayu, sehingga seolah-olah keseimbangannya telah terganggu dengan goncangan-goncangan bumi."

   Ki Widura mengangguk-angguk. Jawabnya.

   "Ia telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Tetapi pengaruh yang lain dari kekuatan Carang Waja, hampir saja mencelakainya. Untunglah, bahwa ia langsung menusuk sumber pancaran ilmu itu dengan rabaan pandangan matanya yang mempunyai nilai raba wadag itu."

   "Itulah sebabnya,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "aku mulai memikirkan kelanjutan ilmu bagi Agung Sedayu. Ia sudah menemukan sendiri betapa besarnya kekuatan yang dapat dipancarkan dari pemusatan indera lewat tatapan matanya. Namun agaknya sudah sampai pula waktunya ia memiliki dasar-dasar ilmu yang langsung dapat mempengaruhi perasaan orang lain lewat getaran indera yang tidak kasat mata, disamping ilmu-ilmu kanuragan yang telah dimilikinya. Ia sudah waktunya mengetahui bagaimana seseorang dapat melepaskan ilmu sirep, ilmu gendam dan ilmu yang akan dapat menjadi perisai dari pengaruh ilmu semacam itu pula, meskipun sekedar bersifat melindungi diri sendiri.. Bukan sebagai alat untuk menyerang."

   Ki Waskita dan Ki Widura mengangguk-angguk.

   Mereka mengakui bahwa meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang tinggi dalam olah kanuragan, tetapi jika ia masih dapat ditembus oleh kegelisahan karena sentuhan langsung pada perasaannya dengan peristiwa-peristiwa semu.

   maka Agung Sedayu masih memiliki kelemahan yang dapat berakibat gawat bagi dirinya.

   Ilmu yang dimiliki oleh Ki Waskita, dengan ujud-ujud semu masih akan dapat memberikan pengaruh bagi ketahanan perasaan Agung Sedayu meskipun ia menyadari keadaan sepenuhnya, karena ia masih belum dapat dengan pasti membedakan, yang manakah yang sebenarnya dihadapinya, dan yang manakah yang sebenarnya hanya sekedar ujud semu.

   Iapun masih dibingungkan oleh peristiwa semu yang seolah-olah bumi telah berguncang dan langit akan runtuh oleh getaran suara tertawa dan teriakan.

   Mungkin rasa-rasanya telinganya akan pecah dan dadanya retak mendengar ilmu yang disebut Gelap Ngampar atau Gelap Sayuta, yang sebenarnya tidak ada yang akan berpengaruh bagi wadagnya.

   Tetapi setiap orang akan dapat melihat, bahwa pengaruh perasaan bagi seseorang, mempunyai akibat yang tidak kalah dahsyatnya dengan pengaruh pada wadagnya.

   Kelumpuhan wadag sebagian dapat terjadi karena kelumpuhan perasaan.

   Dan mereka yang kehilangan pegangan justru akan menjadi korban yang pahit dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diatasi.

   "Ki Waskita,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "aku adalah guru Agung Sedayu dalam olah kanuragan. Aku dapat mengajarinya mempergunakan cambuk sebaik-baiknya. Aku juga dapat mengajarinya ilmu pedang dan senjata-senjata yang lain disamping senjata yang khusus. Aku dapat menuntunnya mempergunakan tenaga cadangan dengan dasar penyaluran nafas dan pemusatan Indera serta membulatkan tekad dalam kedudukannya sebagai kesatuan alam kecil didalam keutuhan alam semesta. Namun aku tidak dapat meletakkan dasar-dasar ilmu yang mengutamakan sentuhan-sentuhan pada perasaan seseorang secara khusus dan mendalam, meskipun sebagai pribadi aku dapat berlindung dibalik kesadaranku menghadapi segalanya itu."

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebenarnya ia merasakan pula segi kelemahan pada diri Agung Sedayu seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing.

   Saat-saat ia menghadapi Panembahan Agung, dan Agung Sedayu sendiri menghadapi Ki Gede Telengan dan terakhir adalah Carang Waja, maka nampak sekali keuletan yang dapat membahayakan dirinya.

   Untunglah bahwa Agung Sedayu memiliki unsur sentuhan wadag pada tatapan matanya.

   Namun pada suatu saat ia akan dapat dibingungkan oleh kelemahan pada perasaannya menghadapi bayangan-bayangan semu dan peristiwa-peristiwa semu.

   Sebelum Kiai Gringsing mengatakan sesuatu kepadanya, maka sudah terasa pada Ki Waskita, bahwa Kiai Gringsing menginginkan.

   untuk memberikan warna pada kemampuan Agung Sedayu, pada segi yang agak berbeda dari ilmu yang sudah diberikan oleh Kiai Gringsing kepada anak muda itu.

   Namun demikian, terkilas di hati Ki Waskita, bagaimanakah murid Kiai Gringsing yang seorang lagi.

   Jika ia hanya memberikan pengetahuan itu kepada salah satu dari murid Kiai Gringsing, apakah itu dapat disebut adil.

   Meskipun demikian.

   Ki Waskita tidak bertanya sesuatu.

   Apalagi Kiai Gringsing masih belum mengatakan kepadanya.

   Sehingga karena itu maka merekapun terdiam untuk beberapa saat.

   Namun ternyata bahwa Kiai Gringsing memang tidak mengatakannya.

   Kiai Gringsing tidak menyerahkan muridnya untuk mendapatkan petunjuk dari Ki Waskita.

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

   Agaknya adalah suatu kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Kiai Gringsing.

   Jika ia menyerahkan Agung Sedayu kepadanya, maka iapun harus berbuat sama terhadap Swandaru, karena kedua-duanya adalah muridnya yang dibinanya bersama.

   Tetapi agaknya Kiai Gringsing telah diganggu oleh sikap dan tingkah laku Swandaru pada saat-saat terakhir, sehingga ia kurang berani untuk mempertanggung jawabkan akibat dari kemampuan yang sangat tinggi pada muridnya yang seorang itu.

   Ki Waskita sendiri ternyata telah melihat bayangan yang buram pada anak muda yang gemuk itu dihari kemudian.

   Meskipun ia juga melihat mendung dihari depan Agung Sedayu, namun arena yang sama-sama kelabu itu mempunyai jiwa yang berbeda.

   Apalagi menilik perkembangan ilmu dari kedua murid Kiai Gringsing itupun nampak berbeda pula.

   Swandaru lebih banyak memperkembangkan kemampuan jasmaniahnya meskipun ia juga menelusuri tenaga cadangannya serta mempelajari ilmu pernafasan sebagai alas menyalurkan segenap kekuatannya.

   Namun dalam pada itu.

   Agung Sedayu lebih banyak melihat unsur-unsur kekuatan yang termuat didalam dirinya dalam hubungannya sebagai kesatuan dengan alam yang besar.

   Dengan matanya Agung Sedayu sudah berhasil menembus kesatuan tempat, sehingga tatapan matanya itupun mempunyai sentuhan wadag.

   Sementara itu cara Agung Sedayu mesu diri, menukik kedalam inti dari kekuatan yang tersimpan didalam dirinya yang bahkan hampir saja menenggelamkan dirinya kedalam kesulitan jasmaniah.

   Karena itu, didalam wawasan Ki Waskita, Agung Sedayu akan lebih mudah mempelajari ilmu seperti yang dimaksud gurunya, yang kebetulan sebagian ada padanya.

   Meskipun ilmu itu tidak banyak berarti bagi mereka yang memiliki kemantapan kepercayaan kepada diri sendiri dan ketahanan jasmaniah yang tinggi.

   Namun ilmu itu pada waktunya akan dapat berguna pula untuk menghadapi saat-saat yang khusus, seperti yang pernah dialami oleh Agung Sedayu.

   Carang Waja adalah salah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia seakan-akan dapat mengguncang bumi dan menghancurkan isi dada.

   Tetapi Kiai Gringsing tidak berkata kepadanya tentang muridnya.

   Itu adalah pertanda bahwa Kiai Gringsing tidak bertindak sesuatu bagi ilmu murid-muridnya.

   Namun Ki Waskita dapat menangkap hubungan peristiwa yang diharapkan terjadi oleh Kiai Gringsing.

   Ki Waskitalah yang sebaiknya atas kehendak sendiri memberikan petunjuk kepada Agung Sedayu.

   Dengan demikian, tidak ada kewajiban Ki Waskita untuk bertindak adil bagi kedua murid Kiai Gringsing, sedangkan Kiai Gringsing-pun tidak pula harus memberikan kemungkinan yang sama bagi kedua muridnya, karena yang terjadi adalah diluar permintaannya.

   Ki Widura yang duduk merenungi pembicaraan mereka yang seolah-olah terputus itupun mengerti pula.

   Karena itu, maka ia sama sekali tidak menyambung pembicaraan itu.

   Ia lebih baik berdiam diri sambil menunggu, apakah yang akan dibicarakan oleh Ki Waskita dan Kiai Gringsing selanjutnya.

   Ketiganya saling berdiam diri sampai malam menjadi semakin larut.

   Nampaknya mereka masing-masing telah terlibat kedalam persoalan dihati sendiri, sehingga mereka melupakan bahwa mereka duduk bersama.

   Baru ketika mereka mendengar seorang penghuni padepokan itu berjalan melintas.

   Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.

   "Malam telah larut,"

   Katanya. Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya.

   "Agung Sedayu belum kembali."

   Ki Widura mengerutkan keningnya.

   Agung Sedayu pergi bersama Glagah Putih.

   Bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas Agung Sedayu dan anaknya seperti yang telah terjadi di Sangkal Putung.

   Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, karena sebentar kemudian Agung Sedayupun telah datang bersama Glagah Putih dan seorang kawannya, anak muda yang ikut menghuni padepokan itu.

   Agung Sedayupun untuk beberapa saat ikut pula duduk bersama orang-orang tua itu.

   sementara Glagah Putih yang sudah mengantuk segera pergi ke pembaringan setelah mencuci kakinya.

   Namun pembicaraan berikutnya tidak berlangsung terlalu lama.

   Merekapun segera meninggalkan ruangan itu kembali kedalam bilik masing-masing untuk beristirahat.

   Ketika matahari kemudian bangkit dihari berikutnya, terasa pagi yang cerah itu memberikan kesegaran lahir dan batin.

   Rasa-rasanya padepokan kecil itu merupakan dunia tersendiri yang penuh ketenangan dan kedamaian.

   Tidak ada persoalan yang menegangkan.

   Nampaknya semua yang diam dan yang bergerak bersama-sama menikmati lahirnya hari baru.

   Yang ada kemudian adalah kerja yang menyenangkan dipadepokan kecil itu.

   Suara sapu lidi dan senggot timba, seolah-olah telah membangunkan irama hidup yang segar dan tenang.

   Agung Sedayu terkejut ketika dipagi hari itu, seorang anak muda muncul diregol padepokannya.

   Yang nampak pertama-tama diwajahnya adalah senyum yang cerah, secerah pagi itu.

   "Apakah kau lupa kepadaku Agung Sedayu?"

   Bertanya anak muda itu. Agung Sedayupun tersenyum. Jawabnya.

   "Meskipun aku bertemu denganmu dimalam hari, tetapi aku tidak lupa. Kaulah yang semalam datang kesawah."

   

   first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pendekar Cacad Karya Gu Long Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong

Cari Blog Ini