Ceritasilat Novel Online

Durhaka 3


Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Bagian 3



Durhaka Karya dari Boe Beng Tjoe

   

   Inilah ia bnfap batui.

   Maka diam2 hatinja girang.

   Sore itu habis Siauw Sek Tauw bersantap, dia dipanggil In Tiong Hiap dan diberikan uang, diperintahkan turun untuk berbelandja.

   Dia menurut, lantas dia pergi.

   Djie Kang berada sendirian didalam kamarnja, tetapi segera ia didatangi Tjiauw Kiang.

   Dia ini menjesal dan berduka.

   Tiga hari dia mengaburkan kudanja, buat pulang kerumah, guna menjampaikan kabar berita jang dia rasa pasti bakai menggirangkan gurunja, siapa tahu, dia djusteru ketjele.

   Maka dia djadi penasaran dan menggerutu.

   "Looya aneh."

   Kaianja.

   "Anaknja membalaskan sakit hatnija, bukan dia girang, sebaliknja tak senang hati! Tjoba bila tidak ada djasa sianak, seumur hidupnnja tak nanti dia dapat melampiaskan sakit hatinja itu! Djangan kata Lauw Beng Liong sendiri, anak perempuannja djuga tidak dapat dibuat permainan. Aku pertjaja, urusan sakit hati itu akan pandjang lakonnja, mereka kedua pihak tentu akan terus menerus saling mendendam dan saling membalas. Kau tahu, gadisnja Beng Liong, jang bernama Lauw Kie Go, mempunjai gelaran Kim-Kiong Giok-Kiam, jaitu Busur Emas Pedang Kumala. Tidakkah nama dan gelaran itu bagus? Mustahil sinona akan membiarkan kebinasaan ajahnja itu? Apakah selandjutnja looya bakal dapat tinggal dengan aman digunung ini?"

   "Siapa tahu kalau nona itu djeri akan nama besar Pek Ma Looya?"

   Kata Djie Kang.

   "Tak mungkin! Ajah gagah, anak tentu perkasa! Beng Liong tidak mempunjai anak lelaki, mesti anak psrempuannja jang membalas untuknja, apapula anaknja itu gagah. Mungkin siauwya tidak sanggup melawannja. Hanja, kalau pemuda bertemu dengan pemudi, mungkin mereka tidak sampai mengadu djiwa... Siauwya tampan, dia romantis. Ditengah djalan djuga, kalau dia tidak melihat seorang tjantik, sudah dari siang2 kami pulang dari Hoa Im... Siauwya tjerdas, mengenai antjaman dari pihak puterinja Beng Liong itu, mungkin dia ada dajanja. Nama In Tiong Hiap, gelar Pek Ma Looya, sangat kesohor, tetapi nama dan gelar itu tidak dapat melawan usia landjut; sepak terdjangnja sekarang membual orang menjesal"

   Benar2 murid ini merdjadi berduka, lenjap kegembiraannja. Maka ia kata pada Djie Kang, ingin ia pergi kelain tempat, buat berusaha, supaja ia tak usah tinggal lebih lama digunung ini.

   "Aku djuga."

   Berkata Djie Kang, vaku hendak menantikan kembalinja siauwya dari Hoa Im, hendak aku mentjari sebuah tempat lain dimana aku dapat membuat sebuah bengkel untuk membikin gunting dan golok.

   Aku pertjaja dengan membuka bengkel, dapat aku melewatkan hari2 mendatang.."Apakah kau dapat membuat pedang jang tadjam itu?"

   Uinja Tjiauw Kiang, jang hatinya sangat tertarik.

   "Djikalau kau bisa, baiklah kau bikin banjak-banjak, lantas kau djual, tentu lakunja bukan main, tentu kau bakal lekas dapat mengumpulkan banjak uang!"

   Djie Kang terperandjat sampai dia berdjingkrak.

   "Tidak bisa!"

   Katanja.

   "Aku tidak bisa membuat pedang sematjam itu!"

   Ia berhenti sebentar, lalu ia tertawa dan kata pula .

   "Tak dapat sembarang orang membuat pedang tadjam sematjam itu! Sekalipun guruku, seumurnja dia baru membuat itu satu batang!"

   Tidak lama maka pulanglah Siauw Sek Tauw. Tjiauw Kiang lantas tanja apa sadja jang dibeli.

   "Arak dan hio wangi,"

   Sahut si Batu Ketjil.

   "Entah buat apa looya dengan semua barang itu..."

   Malam itu tak nampak In Tiong Hiap berlatih silat, begitu djuga besoknja.

   Ia nampak tidak gembira, ia seperti tawar sudah terhadap ilmu silat.

   Sebaliknja dengan Siauw Sek Tauw, dia terus beladjar dengan radjin bersama-sama Tjie Eng dan Tjiauw Kiang, dia madju pesat, hingga beberapa kali dia dapat menjerang mereka itu walaupun mereka bertubuh lebih tinggi dan tenaganja lebih besar.

   Melihat demikian, Djie Kang pertjaja, kelak botjah ini bakal djadi liehay.

   Katanja diflalam hati .

   "Hanja barang siapa terus hidup didalam dunia Kang Ouw, seumurnja dia tak dapat bakal madju ..Maka ia lantas mengambil keputusan, jaitu kalau nanti sakit hati Nie Keng Giauw sudah selesai dibalaskan, dari uang tiga ribu tail perak itu, separuh ia mau pakai mengamal guna menolong orang2 melarat, tua dan lemah serta orang2 buta buat mengamal untuk gurunja dan jang lainnja buat membantu Siauw Sek Tauw beladjar surat, untuk membangun rumah tangga. Buat ia sendiri, ia merasa tjukup hanja dengan beberapa puluh tail perak, buat membangun bengkelnja, sebab selandjutnja ia dapat mengandalkan hasil bengkelnja itu. Ia bersedia hidup ketjil, asal djangan sampai kedinginan dan kelaparan. Hanja tentang tjita2nja ini ia tak beritahukan si Batu Ketjil. Siauw Sek Tauw radjin. Djarang dia keluar rumah. Ada sadja jang dikerdiakan, guna membantu Nie Toa. Maka dialah orang jang paling bunjak bergerak dirumab itu. Sebaliknja dengan In Tiong Hiap jang djadi semakin malas, jang selalu nampak berduka. Sering Siauw Sek Tauw pergi keruang utara, buat mengintai In Tiong Hiap. Satu kali dia lari kekamar barat, menemui Lie Djie Kang, wadjahnja gelisah. Katan ja dengan lantas .

   "Pek Ma Looya menjinpkan medja abu dikamarnja dan selalu ia memasang hio wangi. Jang ia hormati jalah itu dua potong gelang kumala jang sudah rusak. Entah apa maksudnja itu... Mungkinkah otak looya telah tergerak?"

   Djie Kang berpikir.

   "Tak mungkin,"

   Katanja menggojang kepala.

   "Menurut aku sebabnja mesti begini. Looya gagah perkasa, dia djudjur, dia mengutamakan keadilan dan kehormatan, dia tentu menjesal atas kematian ketjewa dari Lauw Beng Liong ditangan puteranja, tak peduli Beng Liong itu musuhnja. Meski Lauw Beng Liong telah membinasakan putera sulungnja, dia tetap menghormati musuhnja itu. Tidak demikian sepak terdjangnja puteranja jang nomor dua ini, jang berkelahi setjara tjurang. Rupanja Looya menjesal maka ia menghormati arwahnja Lauw Beng Liong itu"

   Berkata begitu, Djie Kang menghela napas.

   "Pek Ma Looya laki-laki sedjati, tapi puteranja buruk,"

   Katanja pula.

   "Selama dua hari ini hatiku terus tidak tenang, aku kuatir Bong Hiap gagal, djangan-djangan setibanja dia diHoa Im, bukan dia menuntut balas, hanja dia melakukan hal-hal jang memalukan. Lihat sadja perbuatannja terhadap Hek Bian Kwie, bukan dia menangkap, dia hanja membunuh! Bukankah itu berarti menentang perintah ajahnja? Terang dia selalu membawa adatnja sendiri! Apakah orang sematjam dia dapat membuat orang lain berhati tenteram?"

   "Kita lihat sadja,"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Masih ada tempo beberapa hari baginja untuk pulang. Selelah dia pulang, baru kita akan ketahui pasti bagaimana sepak terdjangnja lebih djauh. Andai kata dia pergi untuk pelesir, apa pun sadja tak dapat dia lakukan! Kalau itu sampai terdjadi, tak apalah, masih ada aku. Aku sudah beladjar silat, mustahil tidak sanggup membereskan d iwa si-haksoe tua-bangka itu?"

   Djie Keng menggeleng kepalanja berulang-ulang.

   "Itulah bukan pekerdjaan mudah,"

   Katanja.

   Mereka berhenti bitjara.

   Keduanja bersabar.

   Lewat beberapa hari, Bong Hiap tetap belum pulang.

   Selama itu, dua kali telah turun hudjan, maka hawa udara tambah dingin.

   In Tiong Hiap baik hati.

   Ia memberikan badju kapas pada masing-masing Lie Djie Kang dan Siauw Sek Tauw.

   Mungkin itulah badju almarhum puteranja jang pertama.

   "Heran Bong Hiap!"

   Katanja, menjesal dan mendongkol.

   "Kenapa dia masih belum pulang djuga?"

   Hati Djie Kang tidak enak sendirinja.

   "Kalau terdjadi sesuatu atas siauwya, semua itu salahku ... ."

   Katanja didalam hati.

   Lewat lagi beberapa hari, selagi turun hudjan rintik2, Djie Kang dan Siauw Sek Tauw berdiam didalam kamarnja.

   Mereka tidak bergembira.

   Djusteru itu, mereka dikagetkan suara ketukan jang keras.

   Sek Tauw lompat, untuk pergi membuka pintu tanpa menghiraukan hudjan.

   Itulah Tio Tay Tjun jang pulang, jang pakaiannja kujup, sambil menuntun kudanja, dia bertindak masuk.

   "Kenapa kau pulang sendirian sadja?"

   Tanja Siauw Sek Tauw.

   "Mana djie siauwya?"

   Tay Tjun menggeleng kepala.

   "Dia tidak pulang,"

   Sahutnja ringkas.

   "Kau kuntji pintu!"

   Siauw Sek Tauw heran. Aneh romannja Tay Tjun. Sambil mengikat kudanja, kemudian Tay Tjun tanja.

   "Apa siorang she Lie masih ada?"

   Siauw Sek Tauw menundjuk kerumah kiri. Dengan tindakan tjepat, Tay Tjun pergi kekamar jang ditundjuk itu. Segera ia menemukan Djie Kang. Dia ini sebaliknja, jang setelah melihat orang datang, mendahului memberi hormat sambil menjapa.

   "Banjak tjapai! Apakah djie-siauwya masih di tengah d jalan?"

   Tay Tjun mengawasi, ia tidak mendjawab pertanjaan itu hanja berkata dengan sungguh sungguh.

   "Lekas kau turun gunung dan lari pergi!"

   Bukan main herannja Djte Kang, sampai dia melengak.

   "Ada apakah?"' tanjanja.

   "Kenapakah?"

   "Segera Ong Bong Hiap bakal pulang!"

   Sahut Tay Tjun.

   "Setibanja dia disini, pasti dia tak akan memberi ampun padamu!"

   Kakinja Djie Kang gemetar, mukanja mendjadi putjat. Ia mendjublak sadja. Akun terapi Siauw Sek Tauw, jang berdiri dibelakang Tay Tjun, mengepal tangannja.

   "Kenapakah?"

   Tanjanja, sengit. Ia heran dan mendongkol.

   "Bukankah djie-siauwya pergi karena titahnja looya nntuk mewakilkan Lie Toako membalaskan sakit hati Nu Thay Po jang setia kepada negara? Mungkinkah dia telah tidak lakukan perintah ajahnia itu? Kenapa dia pulang dan berniat membunuh Lie Toako?"

   Tay Tjun djuga memperlihatkan wadjah penasaran.

   "Kenapakah?"

   Dia balik menanja.

   "Ia tidak melakukan tugasnja untuk membereskan urusanmu! Bahkan ajahnja sendiri, ia tidak perdulikan lagi! Sekarang ini ia tjuma kenal harta, pedang, kuda djempolan dan paras elok! Hendak aku menemui suhu! Kamu sendiri, lekas kamu menjingkir! Lekas kamu berkemas, lantas kamu pergi."

   Begitu berkala, ia bertindak kearah dalam kearah ruang utara.

   Siauw Sek Tauw penasaran, ingin ia ketahui duduknia hal, maka ia lari menjusul Tay Tjun, untuk mendengar laporannja kepada Pek Ma Kie Hiap.

   Djie Kang sebaliknia sangat berduka dan pepat pikiranja, hingga ia memukuli dadanja.

   In Tiong Hiap telah mendengar suara berisik diluar itu, ia menduga djelek.

   Segera sesampainja Tay Tjun didepannja, ia mendahului menegur.

   "Kenapa Bong Hiap tteak pulang bersama. Apakah dia telah melakukan tugasnja?"

   Tay Tjun bingung, ia berduka.

   "Menjesal suhu, aku tidak berdaja membudjuk dan menasehati djie-siauwya,"

   Katanja.

   "Selama kami turun gunung, sikap djie-siawya biasa sadja. dia suku bitjarra dan tertawa, hanja setelah sampai ditepi sungai, habis dia membunuh Hek Bian Kwie, mendadak tabiatnja berubah. Inilah disebabkan dia telah mendapatkan pedang mustika itu. Sambil menunggang kuda, dia mendjadi temberang, selama ditengah d jalan, suka dia mentjari gata-gara. Tjiauw Kiang kewalahan, dia diperlakukan sebagai budak, berulangkali dia ditjambuki. Lalu aku dipaksa turut ia pergi ke Tjiangtjiu, dimana djie-siauwya telah membinasakan Lauw Beng Liong. Tiba diketjamatan Peng-liok ia paksa menjuruh aku pulang ..."

   "Bitjara terus!"

   In Tiong Hiap menjela.

   "Lekas!"

   "Oleh karena suhu telah memesan mesti menemani djie- siauwya, aku terpaksa menurut padanja,"

   Si murid bertjerita lebih djauh.

   "Begitulah kami tiba di Hoa Im. Telah aku pikir, bertempur dengan Lauw Beng Liong, sudah selajaknja djiesiauwya berlaku terang-terangan, sebagai seorang gagah-perkasa, sebaliknja terhadap keluarga Tjong, kita dapat lakukan pelbagai daja. Tjong Haksu adalah seorang manusia busuk dan banjak pahlawannja. Lagi pula Hoa Im kota besar, disana kita mesti bekerdja tjepat, kalau tertangkap, kita harus mengganti djiwa"

   "Lekas! Lekas!"

   In Tiong Hiap mendesak.

   "Djie-siauwya telah bertindak putar balik. Setibanja di Hoa Im, siang hari bolong, ia lantas menjateroni gedungnja Tjong Haksu di Djalan Tjonggoan Tay. Lantas sadia ia menghundjuk kepandaiannja. Dengan pedangnja, ia membabat kutung pelbagai matjam sendjata lawan, sampai Sam-siauwya dan Biauw Hiong Tjay djeri, semuania menjembunjikan diri didalam gedung. Ada orang polisi jang datang tetapi mereka djuga tidak berdaja. Kebetulan itu waktu ada anggauta keluarga wanita dari Tjong Haksu jang pulang habis berkundjung kepada sanaknja. Karena kekatjauan didepan rumah, nona itu lompat turun dari kereta dan terus lari kedalam. Kebetulan siauwya melihat wanita itu, tiba-tiba menghentikan tindakan permusuhannja, terus ia mentjari tahu bagaimana keadaan wanita itu, masih nona merdeka atau tunangan orang. Kelakuan siauwya dilihat Samsiauwya. rupanja dia menduga Siauwya gemar paras elok, lantas ia keluar, untuk menemui dengan hormat dan merendah, buat mengadjak bitjara. Sebagai kesudahan dari itu, siauwya masuk kedalam gedung dengan sikapnja sebagai seorang sahabat"

   Mendengar sampai disitu, In Tiong Hiap menendang kursi didepannja hingga kursi itu terpental terbalik-balik. Tay Tjun terkedjut akan tetapi dia meneruskan keterangannja.

   "Semasuknja Siauwya, sampai dua hari ia belum keluar lagi. Pada hari ke tiga, aku djadi berkuatir, maka aku menunggu sampai malam, lalu setjara bersembunji aku menjelundup masuk ke ualam gedung Tjong Haksu. Dengan lantas aku menjaksikan hal jang membuat aku kaget. Di sana siauwya tidak kurang suatu apa, bahkan ia tengah duduk bersama-sama sam-siauwya dan Biauw Hiong Tjay, dengan gembira mereka minum arak dan memasang omong di dalam taman bunga. Beberapa orang wanita menemani mereka, di antaranja ada si tjaniik-manis jang kemarin ini dilihat di depan gedung. Kemudian aku mendapat tahu nona itu bernama Lee Tiap, tadinja dia seorang budak, lantaran dia tjantik dan bisa bekerdja, oleh Tjong Haksu dia lantas diakui sebagai anak-angkat, maka para budak lainnja memanggil dia Kian Siotjia, artinja nona anak-pungut. Tjong Haksu menggunakan anak-pungutnja itu untuk melibat siauwya. Sekarang siauwya dipanggil Kian-kouwya, artinja baba mantu. Bukan siauwya membunuh Tjong Haksu, sebaliknja ia mendjadi seperti pahlawan. Aku berdiam di atas genting, aku kesalahan memperdengarkan suara, siauwya mendapat tahu, lartas ia lompat naik ke atas genting dan menawan aku. Siukur aku keburu berteriak menjerukan namaku, kalau tidak, bisa-bisa aku mati ditikam siauwya. Lantas aku dihadjar siauwya, setelah mana, aku diusir pergi, dititahkan membawa surat untuk suhu"

   In Tiong Hiap gusar sekali.

   "Mana suratnja?"

   Tanjanja dengan bengis. Tay Tjun merogo sakunja.

   "Setelah mendjadi baba mantu, siauwya lanias bekerdja untuk Tjong Haksu."

   Ia meneruskan tjeritanja.

   "Pertama- lama ia menjateroni bengkelnja Oey Loo Sit, jang ia labrak. Kemudian ja menjateroni Kwee Kee Tun di mana ia hampir membinasakan anak-isteri almarhum Kwee Hay Peng. Selandjutnja setiap hari siauwya berpelesiran bersama samsiauwya dan Biauw Hiong Tjay, berpakaian mewah dan bersantap lezat, selalu menenggak arak wangi. Ia memakai uang bagaikan air jang mengalir deras. Sekarang ini siauwya sangat terkenal akan pedang dan kuda putihnja. Ia tetap tinggal di gedung Tjong Haksu dengan ditemani si nona. Ketika siauwya menjuruh aku pulang, ia memesan untuk menawan Lie Djie Kang, untuk ditahan sampai ia pulang. Mungkin ia akan pulang satu bulan lagi. Katanja ia hendak membinasakan sendiri pada Djie Kang..."

   Bukan main gusarnja In Tiong Hap.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Anak durhaka! Anak tjelaka!"

   Dampratnja. Lantas ia pergi keluar diri ruang dalam, untuk membeber suratnja Bong Hiap, untuk dibatja. Selagi membeber itu tangannja bergemetar. Beginilah anak itu menulis pada ajalinja.

   "Ajah jang tertjinta! Dengan ini aku hendak beritahukan bahwa keluarga kita tidak bermusuhan dengan keluarga Tjong, oleh karena itu, kenapa kita biarkan diri kita dipermainkan Lie Djie Kang, jang memutar balikkan kedudukan persoalan? Hampir aku melakukan perbuatan jang tidak pantas. Sjukur Tjong Haksu baik budi. Ajah tahu, Haksu sangat menghormati aah, jang ia pudji tinggi, sedang aku, ia pudji untuk kegagahan dan kepintaranku. Dengan lantas Lee Tiap anak-pungutnja, untuk mendjadi isteriku. Inilah djodoh jang bagus sekali, kalau ajah sudah mengetahui, tentu ajah bakal djadi sangat girang. Sekarang ini aku mendapat tahu bahwa Lie Djie Kang itu salah seorang buaja darat, sedangkan Kwee Hay Peng asulnja seorang pendjahat kaum Kang Ouw. Semua dusta belaka ketika mereka bilang hendak membalaskan sakit hatmja Nie Thay Po. Mereka berbuat begitu sebab mereka bersakit hati karena gagal hendak memeras keluarga Tjong. Tentang pedang mestika Lie Djie Kang djuga mendusta. Pedang itu bukan buatan gurunja. Gurunja jalah seorang buta! Bagaimana seorang buta dapat membuat pedang, apapula pedang mustika? Kerena itu, Lie Djie Kang mesti disingkirkan, kalau tidak dia dapat melakukan kedjahatan lain. Tapi aku perlu mendengar keterangannja, maka itu, tolong ajah bekuk dan tahan padanja sampai aku pulang. Harap didjaga supaja dia djangan buron. Aku akan pulang pada achir bulan ini, untuk menjambut ajah, buat kita tinggal berkumpul di kota Hoa In. Ajah sudah lama hidup merantau, sekarang ajah hidup menjepi, inilah tidak selajaknja. Seharusnja ajah hidup senang dan merdeka di kota besar dan ramai. Lauw Beng Liong sudah disingkirkan, tak ada lagi jang diberati ajah. Ajah, Tjong Haksu mengirim hormatnja pada ajah. Begitu djuga Sam-siauwya. Biauw Hiong Tjay pun mengagumi ajah dan sekalian mengirim hormat djuga. Demikian ajah, Hormat dari anakmu, Bong Hiap."

   In Tiong Hiap berd jingkrak habis membatja surat itu, terus ia robek-robek dan melemparkan ke lantai.

   Sementara itu Lie Djie Kang telah datang pada tuan rumahnja di depan siapa ia berlutut sambil menangis, sampai ia tak menghiraukan hudjan jang lebat.

   In Tiong Hiap pimpin bangun pemuda itu, buat diadjak masuk ke dalam.

   Ia menghela napas dan kata.

   "Inilah kekeliruanku. Aku tidak sangka bahwa anak itu telah mendurhaka! Karena ia telah menjeleweng dan menantang aku, ia tak akan dapat ampun lagi! Akupun akan pergi sendiri, guna membuktikan djandjiku tigapuluh tahun jang lampau itu. Ja, sekarang djuga aku berangkat!"

   "Looya, aku turut!"

   Kata Siauw Sek Tauw sambil mengangkat kepala dan berdiri tegak. Tapi Tio Tay Tjun mentjegah.

   "Suhu!"

   Katanja.

   "Djangan suhu turun gunung!"

   Guru itu menatap mendelik kepada muridnja.

   "Kenapakah?"

   Tanjanja.

   "Sebenarnja aku tidak berani mengatakannja akan tetapi terpaksa,"

   Sahut murid itu.

   "Suhu, hampir sadja aku tidak dapat pulang! Bukannja djie-siauwya jang mengedjar aku hanja putrinja Lauw Beng Liong, jaitu nona Lauw Kie Go. Nona itu sudah sampai di ketjamatan Peng-liok. Dia hendak menuntut balas untuk ajahnja!"

   In Tiong Hiap terkedjut.

   "Bagus, inilah kebetulan!"

   Katanja.

   "Memangnja aku telah berniat pregi menemui dia, untuk mendjelaskan perbuatan busuk dari Bong Hiap terhadap ajahnja, bahwa perbuatan itu bukanlah maksudku. Hendak aku mengadjak dia mentjari anakku, agar dia dapat melakukan pembalasannja. Selekasnja dia berhasil mentjari balas untuk ajahnja itu, aku akan pergi ke kuburan ajahnja di depan mana aku akan membunuh diri, supaja arwah ajahnja dan dia sendiri ketahui aku laki-laki sedjati atau bukan!"

   Djie Kang berlutut di depan djago itu.

   "Djangan, looya!"

   Katanja. Ia menangis.

   "Ja, djangan, suhu!"

   Tjiauw Kiang turut bitjara."

   Putri Lauw Beng Liong itu tidak dapat dipandang ringan! Dialah jang dipanggil Kim-Kiong Giok-Kiam Lau Kie Go!"

   In Tiong Hiap tertawa dingin.

   "Aku akan tak sepandangan seperti dia!"

   Katanja.

   "Kalau nanti aku mati, arwahku akan pergi mentjari arwahnja Lauw Beng Liong, lebih dahulu aku akan menghaturkan maaf, sesudah itu, baru aku mengadjak dia mengadu silat kami akan mengadu kepandaian kami diruang pendopo Giam Lo Tian!"

   Begitu berkata, djago ini memutar tubuh, untuk masuk kedalam.

   Tidak ada orang jang berani menjusul masuk, mereka djadi berdiri diam saling mengawasi, semuanja bingung tak berdaja.

   Tidak lama, muntjullah djago tua itu.

   Dia sudah berdandan dan menggendol sebuah pauwhok atau buntalan, tangannja mentjekal pedang, kepalanja ditutup dengan topi rumput jang lebar.

   Tjiauw Kiang dan Tio Tay Tjun berdua madju menghampiri gurunja.

   "Bagaimana, suhu?"

   Tanja mereka.

   "Apakah benar2 suhu mau berangkat sekarang djuga?"

   "Djikalau aku tidak berangkat, habis aku mau apa?"

   Balik tanja guru itu mendongkol. Lalu dia memandang Djie Kang, sambil memberi hormat, dia kata .

   "Saudara Lie, aku minta sukalah kau menanti dirumahku ini sampai aku pulang lagi beberapa hari."

   Lalu, tanpa menanti djawaban, dia bertindak lebar menudju keluar.

   Tjie Eng dari luar datang masuk untuk mentjegah.

   Dari dalam Tay Tjun bersama Tjiauw Kiang dan Nie Toa menjusul, guna membantu meng-halang2-i.

   Mereka membudjuk, sampai mereka memegang tangan guru mereka itu.

   "Tidak!"

   Kata siguru gusar, dan tangannja bekerdja.

   Tjiauw Kiang bersama Tay Tjun dan Tjie Eng kena tertindju hingga mereka terpelanting roboh, sedang Nie Toa kena didupak hingga terdjungkal.

   Guru itu terus pergi keluar, menghampiri kudanja, untuk membuka tambatannja.

   Siauw Sek Tauw lari kepintu pekarangan untuk mementang pintu itu.

   In Tiong Hiap lompat naik keatas kudanja, jang ia terus petjut, untuk dilarikan keluar.

   Maka kaburlah ia.

   Didalam tempo pendek, ia sudah tak nampak pula, ketjuali masih terdengar derap kudanja, makin lama makin samar, lalu lenjap ...

   Tay Tjun jang paling dulu merajap bangun, tak peduli tangannja kotor dengan tanah lumpur, lari kekudanja, membuka tambatannja, terus lompat kepunggung binatang itu, untuk melarikannja dan menjusul gurunja.

   Tjie Eng bersama Tjiauw Kiang dan Nie Toa berbangkit dengan hati mereka mentjelos.

   Tak tahu mereka harus berbuat apa.

   Siauw Sek Tauw sebaliknja bergirang luar biasa.

   Dia bersorak dan berkata .

   "Dengan kepergiannja looya ini, dia tentu akan berhasil membereskan urusannja Lie Toako!"

   Djie Kang sebaliknja sangat pepat hati.

   Ia kembali kekamar barat.

   Selagi berdjalan, selagi hudjan belum berhenti, mendadak ia merasa matanja gelap dan kepalapusing, tiba2 sadja ia muntah darah, hingga merahlah tanah dan lumpur didepannja 1 Siauw Sek Tauw kaget, ia lari untuk mempepajang.

   "Kau kenapa, toako?"

   Tanja dia. Djie Kang tidak dapat mendjawab. melainkan tubuhnja ter-hujung2. Kalau ia tidak dipegang kawannja, tentulah ia sudah roboh. Dengan tindakan sangat berat, ia masuk kekamarnja.

   "Pertjuma kau bergusar tidak keruan,"

   Siauw Sek Tauw membudjuk.

   "Sekarang ini kau harus menjabarkan diri untuk menantikan kembalinja Pek Ma Looya. Sampai itu waktu baru djelaslah segala apa."

   Ketika itu mendadak terdengar njanjiannja Tjiauw Kiang, jang suaranja keras sekali.

   Itulah njanjian jang umum untuk tempat tersebut.

   Karna sangat berduka, ia melegakan hati dengan bernjanji.

   Pikiran Tjiauw Kiang berubah dengan tjepat.

   Tanpa sang guru, ia mendjadi merdeka.

   Begitulah ia bernjanji, guna menjenangkan diri.

   Bahkan ia kata.

   "Nie Toako, bukannja aku meremehkan persoalan ! Bukannja aku ngatjo-belo! Dengan kepergiannja ini, pasti suhu tidak bakal mendapatkan hal jang memberuntungi dia! Tjoba pikir, suhu dipanggil Pek Ma Looya akan tetapi sekarang ia menunggang kuda bulu hitam! Bukankah itu alamat buruk?"

   Djie Kang didalam kamarnja terkedjut mendengar tafsirannja orang she Tjiauw itu.

   la lantas mendjadi berkuatir.

   Maka bertambahlah kedukaannja.

   Tidak lama, sang sore mulai datang.

   Tjie Eng masuk kekamar si orang she Lie, untuk menghibur dan memberi nasihat, supaja dia besok pagi lekas berangkat pergi.

   Iapun menasehati Siauw Sek Tauw lurut menjingkirkan diri.

   Tak dapat mereka menanti sampai tibanja Ong Bong Hiap, itulah berbahaja, katanja.

   "Tjie Toako, kau baik sekali, terima kasih!"

   Berkala Djie Kang.

   "Akan tetapi, tidak dapat aku pergi, tidak peduli djiesiauwya hendak membunuh aku. Djikalau aku mau pergi, mesti aku menunggu dulu kembalinja Pek Ma Looya! Tak senang aku kalau karena urusanku, Pek Ma Looya ajah dan anak mendjadi bentrok! Disamping itu, biar bagaimana djuga, aku mesti dapat pulang pedang mustikaku itu! Tak seharusnja pedang itu djatuh ketangan manusia jg. tak punja rasa prikemanusiaan!"

   Tjie Eng djudjur, mendengar itu, ia tidak puas. Maka ia kata .

   "Kau tidak mengerti ilmu silat sama sekali, pedang itu untukmu berlebihan! Djikalau kau berkeras hendak menantikan Pek Ma Looya, supaja kau mendapatkan pulang pedangmu itu, ja, apa boleh buat, aku tidak berdaja menolongmu! Baiklah aku djelaskan padamu, kalau nanti Ong Bong Hiap pulang, terhadapmu tidak ada minatnja jang baik! Tidak nanti dia mau pertjaja apabila kau berkata bahwa kau tidak mampu membikin pedang sematjam itu! Dia djusteru takut kau membuat lagi pedang demikian dan pedang itu nanti djatuh ditangan orang lain. Djikalau ilu sampai terdjadi, dia akan merasa ketjewa dan menjesal, sebab pedangnja mendjadi tidak ada harganja. ..."

   Djie Kang djeri, hingga ia berdiam sadja.

   Tjie Eng lantas ngelojor keluar sedang Tjiauw Kiang tidak bernjanji lagi.

   Diluar udara gelap, angin bertiup santer mendatangkan hudjan besar.

   Halilintar jang samber- menjamber, selalu diiringi suara guntur.

   Hudjan djauh terlebih hebat daripada malam itu waktu siguru buta hendak membunuh muridnja itu.

   Siauw Sek Tauw mendekati telinga orang.

   "Sebenarnja pedangmu itu buatanmu sendiri atau bukan?"

   Tanjanja berbisik.

   "Ah, saudara ketjil!"

   Sahut Djie Kang menghela napas.

   "Kau pikir sadja! Kalau pedang itu buatanku sendiri, kalau sampai hilang, buat apa aku bergelisah begini rupa? Bukankah mudah untukku membuatnja pula?"

   Siauw Sek Tauw berdiam. Itulah benar. Tapi lewat sedjenak, dia tanja .

   "Mustahil kau tidak dapat mentjoba? Ketika gurumu membuat pedangnja, apakah kau tidak mentjuri lihat untuk mempeladjarinja?"

   "Selagi membuatnja, dia tidak mengidjinkan orang lain melihatnja,"

   Sahut Djie Kang.

   "Legi pula, tak dapat orang mempeladjari itu dengan hanja satu atau dua kali lihat sadja!"

   Siauw Sek Tauw pertjaja alasan itu, maka ia berdiam, hatinja mendjadi tidak tenteram.

   Ia merasa bahwa iapun mendjadi tidak aman.

   Toh ia meng-harap2 pulangnja In Tiong Hiap.

   Kalau djago itu berhasil mendapatkan pedang mustika, lewatlah antjaman bahaja, ia ichlas apabila mesti terbinasa ...

   Malam itu terus Djie Kang berkuatir, tetap hatinja bergelisah.

   Habis muntah darah, ia merasa hatinja njeri.

   Maka itu, besoknja, ia djatuh sakit.

   Hudjan masih belum berhenti.

   Siauw Sek Tauw berkuatir, ia pindjam uang dari Nie Toa, dengan memakai tudung dan mantel rumput, ia pergi turun gunung untuk membeli obat.

   Begitu pulang, ia tanja .

   "Siapa jang memberitahukan hal siauwya bakal pulang kepada nona dirimba pohon heng itu? Barusan aku melihat nona itu. Dia berdandan rapih dan perlente sekali, dengan tangan memegang pajung, dia berdiri didepan pintu rumahnja, matanja mengawasi sadja djauh kedepan. Rupa-rupanja dia sedang menantikan pulangnja djiesiauwya."

   Tjiauw Kiang tertawa.

   "Di Hoa Im, djie-siauwya telah mendjadi hoe-ma !"

   Katanja.

   "Disana ada jang djauh terlebih tjantik dan berharta, mana dia menjukai orang sematjam dia itu? Dia mirip dengan buah heng jang sudah busuk! Sekalipun aku, aku tak menjukai dia ! Paling benar, Siauw Sek Tauw, kaulah jang menikah dengannja!"

   Si Batu Ketjil memonjongkan mulutnja.

   "Siapa jang menghendaki wanita?"

   Katanja.

   "Bukankah dia seperti mentjari mati sendiri? Lihat sadja bukti dalam dirinja djie-siauwya! Kalau dia tak roboh kedalam Bie Djin Kee keluarga Tjong, mustahil looya mendjadi begini gusar?" * Hoe-ma jalah menantu radja. Siauw Sek Tauw masih muda tetapi dapat dia menjebul tentang "Bie Djin Kee,"

   Jaitu akal-muslihat menggunakan pengaruh ketjantikan wanita guna merobohkan hati seorang pria.

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Habis berkata begitu, botjah ini lantas pergi bekerdja, untuk mematangi godokan air djahe buat Lie Djie Kang, jang sekalian disuruh minum obat pulung guna mengobati muntahnja itu.

   Telaten sekali ia merawat pemuda itu.

   Djie Kang merasa sangat bersjukur.

   Ia melihat, meskipun masih ketjil, Siauw Sek Tauw bertubuh sehat dan tjetdas, dia pula mengerti sedikit ilmu silat.

   Ia pikir, kalau ia sampai mati, botjah itu dapat mewakilkan ia mengurus tugasnja itu.

   Sek Tauw masih polos, dia belum mengenal asmara, tak mungkin dia kena dipengaruhi paras elok.

   Maka itu, timbullah harapannja.

   Tiga hari Djie Kang dapat beristirahat, selama itu, hudjanpun telah berhenti turun.

   Ia merasa sakitnja berkurang banjak.

   Demikian hari itu tengah hari dapat ia bersantap bareng bersama Siauw Sek Tauw, Tjie Eng, Tjiauw Kiang dan Nie Toa.

   Tengah mereka bersantap, tiba2 mereka dikedjutkan suara keras dari arah luar.

   "Lekas "Itulah suaranja djie-siauwya! "

   Kata Tjie Eng dengan kaget. Mukanja Djie Kang mendjadi putjat sekali, hatinja memukul.

   "Heran!"

   Berseru Siauw Sek Tauw sambil berdjingkrak bangun.

   "Kenapa Looya belum pulang dan dia mendahuluinja? Nanti aku tanja padanja "

   Tjie Eng menolak tubuh orang.

   "Buat apa kau pergi menanja dia?"

   Katanja.

   "Apakah kau mau tjari mampus? Lekas kau adjak saudara Djie Kang pergi bersembunji!"

   Tjiauw Kiang sebaliknja bergirang. Kata dia.

   "Tentulah djie-siauwya membawa pekerjaan untukku! Dia tentu datang untuk menjambut aku!"

   Lantas dia berseru, memberi tahu, bahwa tuan rumah tidak ada dirumah! Sementara itu orang di luar itu, jang minta dibukai pintu, sudah tidak sabaran.

   Dia lompat naik keatas tembok, dengan djalan itu dia lompat masuk kedalam.

   Dia benar2 Djie-siauwya Ong Bong Hiap.

   Jang menarik perhatian jalah pakaiannja mentereng dan mewah, terbuat dari sutera, sedangkan ikat pinggangnja berwarna mentereng, pada mana djuga tergantung sebatang pedang pedang Pek Kong Kiam.

   Djie Kang mengenali baik pedang mustika itu, jang terikat dengan pita sutera merah dan sarungnja sarung kulit ikan tjutjut jang berlapis emas.

   Melihat pedang itu, semaugatnja mendjadi terbangun, hingga ia lupa kepada antjaman bahaja.

   Ia berlompat bangun, untuk lari menghampiri tuan rumah jang muda itu, sambil ia berkata njaring.

   "Djie-siauwya! Aku Lie Djie Kang hendak bitjara dengan siauwja"

   Ong Bong Hiap tidak perdulikan pandai besi itu.

   Setelah masuk kedalam, dia lari kepintu pekarangan untuk membukanja maka dari luar masuklah seorang, jang bukan lain daripada Ok-Bong Biauw Hiong Tjay si Ular naga Djahat ! Mengenali tukang pukul Keluarga Tjong, darah Djie Kang mendjadi mendidih.

   "Biauw Hiong Tjay!"

   Bentaknja.

   "Kau berani datang kemari? Apakah kau kenal aku?"

   Biauw Hiong Tjay menoleh, ia melirik pada pemuda itu, ia menjeringai.

   la bertindak terus, tangannja menuntun dua ekor kuda.

   Jang seekor jalah si kuda putih dari In Tiong Hiap hanja sekarang, kuda itu telah menukar pelana dengan jang baru dan indah sekali.

   Kuda jang lain, kuda Hiong Tjay sendiri, digantungi tombaknja jang pandjang dan beruntje hitam.

   Itulah tombak "Ok Bong"

   Atau "Ularnaga Hitam"

   Jang memberi gelarannja. Ia loloskan tombak itu, untuk terus dipakai mengantjam orang dan membentaknja.

   "Tahan dulu!"

   Mentjegah Bong Hiap. Tjiauw Kiang madju menghampiri.

   "Siauwya!"

   Tegurnja tertawa.

   "tahukah siauwya bahwa looya telah turun gunung mentjari siauwya? Tay Tjun turut bersama"

   "Tadinja aku tidak tahu, aku baru ketahui sesudah baru sadja bertemu Nona Hoa dibawah pohon heng itu,"

   Sahut Bong Hiap.

   "Sekarang aku mendapat tahu, bahwa semua ini jalah gara2nja orang she Lie ini, keluarga kami jang tidak mempunjai urusan, mendjadi mempunjai urusan!"

   "Tetapi djiesiauwya!"

   Berkata Djie Kang.

   "Tahukah engkau bahwa urusan ini disebabkan pada tigapuluh tabun jang lalu waktu ajahmu telah memberikan djandjinja kepada Kwee Hay Peng, Bukankah kamu ajah dan anak, semuanja orang-orang gagah kaum Kang Ouw?"

   Mendadak Bong Hiap menghunus pedangnja.

   "Lagi satu kali kau mengutjapkan itu, aku akan bunuh padamu!"

   Teriaknia, matanja melotot.

   "Aku tidak pertjaja tubuhmu terlebih kuat daripada besi atau kuningan! Benarkah kau tidak tahu takut? Kau menjebut-njebut Kwee Hay Peng! Telah aku pergi kerumahnja. Ternjata anak dia itu mirip dengan kantung nasi! Hanja anak perempuannja, jang boleh djuga, sajang dia masih terlalu ketjil!"

   Lie Djie Kang mendongkol hingga tubuhnja menggigil.

   "Ah!"

   Serunja.

   "Kenapakah kau ....kau tertarik pula oleh Nona Siauw Hosn? Sungguh kaulah si rakus paras elok! Kau membikin runtuh nama In Tiong Hiap!"

   Dimaki begitu, Bong Hiap djusteru tertawa.

   "Orang she Lie!"

   Katanja.

   "Sekarang hanja terbuka dua djalan untuk kau pilih ! Jang satu jaitu djalan hidup. Telah aku mentjari keterangan djelas. Kakak seperguruanmu, jalah Oey Loo Sit, dan Tjoei Koay Tjoei, telah omong padaku, katanja pedang mustika ini dibikin oleh gurumu dengan dibantu kau, karena itu pasti sekali kau dapat membuatnja!"

   Djie Kang kaget, lantas dia menggeleng kepalanja. Bong Hiap mengawasi dergan sinar mata bengis. la tertawa dan berkata dengan njaring.

   "Asal kau mengangguk, kau bersedia untuk membuat beberapa buah lagi, tjukupp kau membuatnja tak sebagus ini ! Itu artinja kau hidup, kau bakal mendapat banjak uang!"

   Djie Kang menggeleng kepala pula.

   "Tak dapat!"

   Katanja membandel.

   "Djangan kata aku memangnja tidak sanggup membuatnja, taruh kata aku sanggup, tidak nanti aku membuatnja untuk orang sematjam kau! Orang busuk, lekas kembalikan pedang itu padaku!"

   Dalam murkanja Djie Kang madju, berniat merampas. Bong Hiap mengangkat pedangnja.

   "Oh! Kau benar2 mau tjari mampus?"

   B nlaknja.

   "Djikalau aku bunuh kau maka pedangku ini bakal tiada lawannja lagi"

   Ketika itu, Biauw Hiong Tjay jang galak mendadak telah menikam Djie Kang.

   Tjie Eng berada disamping mereka, ia melihat gelagat buruk, ia telah menjiapkan goloknja, maka itu, waktu Djie Kang ditikam, ia segera menangkis tombak si Ularnaga djahat.

   Bong Hiap djuga gusar, ia menggeraki tangannja jang mentjekal pedang, atau dari belakang ia, Siauw Sek Tauw mendjambret memegang lengannja.

   Botjah itu berlontjat sambil berteriak .

   "Djangar, siauwya! Djangan!"

   "Ooo, Siauw Sek Tauw!"

   Kata sipemuda koseu ."Kau berani"

   Siauw Sek Tauw memotong kata2 orang "Lie Toako, lekas lari! Larilah! Asal kau selamat, sakit hati Nie Thay-Po tak sukar untuk dilampiaskan!"

   Nie Toa djuga tidak senang terhadap Hiong Tjay, ia membantu Tjie Eng mendesak, djagonja Tjong Haksoe hingga dia mepet ketembok.

   Tjiauw Kiang menjaksikan semua itu, ia mendjadi serba salah.

   Dengan terpaksa, ia mengundurkan diri untuk tidak mentjampuri pertengkaran.

   Siauw Sek Tauw ketjil tetapi renaganja besar terus memegang tangan kanan Bong Hiap hingga pemuda itu gagal dengan serangannja.

   Lie Djie Kang mengerti bahaja, ia sadar, tidak ajal lagi, ia lari keluar, terus turun gunung.

   Siauw Sek Tauw pun ber-seru2.

   "Lie Toako, lekas lekas! Lekas lari "

   Tapi ia tidak memegang tangan orang buat se- lama2nja, selekasnja orang sudah pergi djauh, ia pun turut mengangkat kaki! Bong Hiap gusar, sambil membawa pedangnja, ia mengedjar.

   Dengan lekas Djie Kang sudah melewati rumah dimana adu pohon heng di mana tinggal sinona jang nampak tjentil, nona mana mendengar suara berisik, maka dia lantus muntjul diluar pagar pekarangannja, bahkan dia menghadang Siauw Sek Tauw, jang tiba didepannja.

   Botjuh itu mendonikol, ia memapaki si nona dengan tindju.

   "Aduh!"

   Nona itu berteriak, tubuhnja terus roboh terguling. Ketika Bong Hiap tiba, ia lantas membangunkan nona itu. Siauw Sek Tauw lari terus sekuat-kuatnja, ia berhasil menjandak Djie Kang, tangan siapa ia lantas tarik, sedang mulutnja bersuara.

   "Lekas! Hajo lekas"

   La menarik tanpa menghiraukan orang dapat lari keras atau tidak. Keduanja lari turun gunung, lalu mengikuti djalan umum, kabur selandjutnja kearah timur. Mereka masih sadja lari meski sudah melewati sebuah rumah berhala tua serta sebuah bio rusak.

   "Ada apa?"

   Achirnja mereka ditegur beberapa orang jang berlalu lintas.

   "Kamu kenapa?"

   "Ada pendjahat mengedjar kami!"

   Sahut Siauw Sek Tauw jang tjerdik.

   "Kalau kamu menemui mereka dan mereka menanja tentang kami, kamu bilang sadja tidak tahu!"

   Ia menarik Djie Kang, buat kabur terus. (Bersambung) DURHAKA

   Jilid . 03 Dituturkan Oleh . Boe Beng Tjoe //facebook.com/groups/Kolektorebook/ __________________________________ "Bruk!"

   Mendadak Djie Kang roboh saking lelahnja! Siauw Sek Tauw kaget, ia lekas membangunkannja untuk mengadjak lari pula. Ia pun takut, maka ia menoleh kebelakang. Ia mendjadi sangat kaget.

   "Tjelaka!"

   Serunia.

   "Dia menunggang kuda, dia mengedjar kita!"

   Djie Kang merajap bangun, dengan menguatkan hati dan tenaga, ia ikut lari.

   Ketika itu, mereka tiba didjalan jang kedua sisinja merupakan ladang gandum dan padi, dimana pohonnja bergojang tertiup angin.

   Dibelakang mereka, derap kuda Bong Hiap mulai terdengar.

   "Mari!"

   Berseru Siauw Sek Tauw, jang menarik tangan kawannja, buat diadjak lari keladang gandum, untuk menjelusup diantara pohon2 gandum itu, buat menjembunjikan diri, hingga tubuh mereka lenjap bagaikan ditelan.

   Keduanja mendjatuhkan diri rebah mendekam tanpa berkutik.

   Tapi mereka memasang telinga dan mata, untuk mendengarkan derap kuda dan mengintai.

   Ong Bong Hiap datang dengan tjepat.

   Itu ternjata dari suara kaki kudanja, jang terdengar semakin tegas.

   Tak lama, terlihatlah tubuhnja jang berdiri tegak dialas kuda putihnja, romannja gagah dan keren.

   Dia mentjekal pedang mustikanja jang terhunus.

   "Djangan takut,"

   Siauw Sek Tauw berbisik pada kawannja, jang takut bukan main.

   "Tapi kita tidak dapat berdiam lama disini. Setelah lewat, dia segera akan kembali. Kalau dia tidak melihat kita disebelah depan, dia mesti tjuriga. Dia tierdik."

   Djie Kang berdiam, napasnja masih memburu.

   "Biarpun aku dapat lolos tetapi hatiku tidak puas,"

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanja kemudian.

   "Aku ingin dapat menemui In Tiong Hiap.."Menurut aku sekarang ini kau tidak boleh mengharap banjak dari dia,"

   Kata Siauw Sek Tau.

   "Didalam perdjalanan ini, ajah dan anak itu tidak bertemu satu dengan lain, mungkin disebabkan siajah menukar kuda bulu hitam. Ia benar gagah dan djudjur, tetapi ia menghadapi anaknja sendiri, tak peduli anak itu durhaka. Mungkinkah benar ia akan membunuh anaknja? Dapatkah ia membalaskan sakit hati Nie Thay Po? Aku pikir baiklah kita menjingkir dari sini, untuk berdaja bagaimana baiknja nanti ..."

   Djie Kang mengangguk. Sebenarnja ia putus asa.

   "Asal kau beserta aku, saudara, hatiku tenang,"

   Katanja. Ia pertjaja botjah ini, jang tadi terbukti mau membantu dan menolongnja sungguh2. Habis berkata, pandai besi ini berbangkit. Paling dulu, ia meraba pinggangnja. Dengan lega hati, ia mendapat kenjataan uangnja tidak lenjap.

   "Mari!"

   Mengadjak Siauw Sek Tauw.

   Mereka tidak terus keluar dari ladang gandum, sebaliknja, mereka njelusup lebih djauh ketempat jang lebih lebat.

   Mereka mengambil lain arah, supaja Bong Hiap apabila dia mentjari kembali tak dapat menemukannja.

   Mereka tak menghiraukan gangguannja daun atau tjabang2 gandum jang tadjam, hingga lengan mereka ter- baret2 luka.

   Dengan tanah Siauw Sek Tauw memborehkan lukanja itu.

   Iapun membuka badjunja, jang ia dapat dari Pek Ma Looya, sebab badju itu membuat ia gagah.

   Djie Kang mengikuti si botjah jang menuntunnja.

   Sesudah sekian lama, baru mereka muntjul dari dalam ladang.

   Siauw Sek Tauw mendapat kenjataan bahwa mereka berdua berada didjalan besar jang sama, hanja gunung Ong Ok San, jang berada disebelah belakang mereka, sudah terpisah djauh.

   Berada didjalan umum, hati si pandai besi masih berdebaran.

   "Djangan takut,"

   Siauw Sek Tauw menghibur.

   "Sekarang ini tentunja Ong Bong Hiap sudah pulang kegunungnja. Kita djalan per-lahan2 sadja."

   Djie Kang menghela napas.

   "Sjukur Tjie Eng dan Mie Toa menolong,"

   Kata ia bersjukur.

   "Mereka telah menghalangi Biauw Hiong Tjay, kalau tidak, habislah kita ..."

   "Merekalah murid2nja Pek Ma Looya,"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "merekapun tahu kau diperlakukan baik oleh Looya, karena itu, bagaimana mereka dapat membiarkan sadja kau dibunuh manusia djahat itu? Sendirian sadja aku berani melawan dia! Dahulu hatiku ketjil, setelah naik gunung dimana Looya sering bitjara banjak padaku dan mempeladjari aku silat, hatiku mendjadi berani. Aku tidak djeri sekalipun terhadap Tjam Liong Tjongsu!"

   Mereka berdjalan terus.

   Tudjuan mereka jalah arah utara.

   Selewatnja dua lie, mereka memasuki djalan jang mulai sempit dan banjak tikungannja.

   Disitu tidak ada orang lain.

   Tanahpun basah.

   Kemudian mereka mendengar keritjiknja air.

   Itulah sebuah solokan, atau kali ketjil, jang airnja djernih dan dalamnja tjuma lima atau enam kaki, sehingga tampak dasarnja dan terlihat didasar itu batu2 hidjau.

   Dikedua tepian tumbuh banjak pohon, jaitu pohon yang-liu jang tjabang2 dan daunnja merojot turun keair, bagus dipandangnja.

   Di situ terdengar suara burung2 dan tonggeret serta tertampak kawanan tjetjapung dan kupu2 beterbangan.

   Ada sebuah djembatan ketjil, jang menghubungi kedua tepian, maka diatas itu Djie Kang berdua berdjalan, untuk melintasinja, Siauw Sek Tauw gembira sekali, hingga ia lompat berd jingkrak, sampai kawannja kuatir ia nanti terdjeblos djatuh.

   "Kau lihat, saudara, bagaimana indah tempat ini!"

   Kata si botjah.

   "Mirip dengan gambar lukisan! Tempo aku masih magang, pernah aku disuruh pergi kerumah seorang hartawan, dirumah itu aku melihat banjak lukisan seperti ini, antaranja lukisan para nelajan tukang kaju, petani dan peladjar, semua itu tak ada jang seindah ini ..."

   Djie Kang lagi memikir lain, ia tidak perhatikan kata2 kawannja itu.

   Lewat dari djembatan, mereka menudju terus keutara.

   Djalanan masih basah tetapi tikungau sudah berkurang.

   Baru mereka djalan kira setengah lie, mendadak Djie Kang merandak, wadjahnja menggambarkan ketakutan.

   "Lihat disana !"

   Katanja, suaranja tidak tegas.

   "Bukankah itu seorang jang menunggang kuda putih?"

   Siauw Sek Tauw memandang kearah jang ditundjuk itu. Iapun mendjadi kaget.

   "Benar!"

   Sahutnja.

   "Dialah Ong Bong Hiap. jang lagi berdjalan pulang! Lihat pedangnja jang berkeredepan! O, anak tjelaka !"

   "Bagaimana sekarang?"

   Djie Kang tanja, bingung.

   "Djangan takut,"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Mari kita kembali ! Didjembatan sana, akan aku lajani dia! Biar dia pandai silat dan menggunakan pedang, akan tetapi disungai Hong Hoo, aku telah mempeladjari ilmu berenang!"

   "Tetapi, adik, Kau masih terlalu ketjil..."

   Kata Djie Kang berkuatir.

   "Tidak apa, djangan takut!"

   Kata botjah itu. jang njalinja besar.

   "Mari!"

   Mereka lantas balik. Dengan lekas mereka sampai pula didjembatan tadi. Djie Kang letih sekali, napasnja memburu pula.

   "Saudara, kau bersembunji disini,"

   Kata Siauw Sek Tauw, jang mengadjak kawannja ketepian utara, dibalik sebuah pohon yangliu jang besar. Disitu, dikiri kanan dan belakang, penuh dengan pohon yangliu jang lebat, hingga sulit untuk orang melihat mereka.

   "Kaupun bersembunji disini, adik,"

   Kata sipandai besi.

   "Tidak!"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Aku tidak mau bersembunji, aku djusteru mau menempur dia! Tanpa melawan, tidak dapat kita menjingkir dari sini. Asal Biauw Hiong Tjay menjusul kemari, tjelakalah kita ... Kau lihat sebentar, selagi aku melajani dia, kau lari keutara sana, selewatnja bukit, kau lari kebarat, untuk pergi keketjamatan Kiok-yauw. Dikota itu kau tjari Gang Kwee Seng dimana tinggal Tjin Loo situkang warung arak. Nona mantunja, jang bernama Hie Koh, mendjadi kakak- misanku. Maka disana kau boleh sebut namaku, Siauw Sek Tauw dari keluarga Tan. Kau boleh sebut djuga pamanku sebagai sisetan pendjudi, tentu mereka kenal dan mereka suka menerima padamu, sedikitnja untuk beberapa hari. Atau kalau mereka menampik, kau tjari lain pondokan sadja, tetapi setiap hari kau mesti mundar-mandir didepan warung araknja, sampai nanti aku datang menjusulmu. Sampai itu waktu barulah kita akan berdaja pula."

   Terpaksa, Djie Kang menerima baik pikiran sahabat ini, sahabat baru jang telah mendjadi sahabat karib, jang mirip sandara-angkat. Ia sampai mengeluarkan air mata karena perasaan bersjukur, dan terharu sekali.

   "Hanja, adik,"

   Katanja.

   "bagaimana kalau sampai terdjadi sesuatu atas dirimu?"

   "Tidak apa, kau djangan kuatir,"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Kau tunggu aku sampai sepuluh hari, selewatnja itu, apabila aku tetap tidak dalang, nah, kau berdajalah sendiri. Tak dapatkah kau pergi sendirian ke kota radja?"

   Djie Kang berdiam.

   Itulah benar.

   Ketika itu, penunggang kuda putih tadi sudah mendatangi semakin dekat.

   Siauw Sek Tauw meninggalkan kawannja, ia lari kedjembatan.

   Ia mendjatuhkan diri, untuk mendekam, hingga lagaknja mirip seekor kera.

   Selagi penunggang kuda mendekati djembatan, hati Djie Kang memukul.

   Hatinja tegang sekali.

   Ia kuatir untuk si Batu Ketjil, jang njalinja demikian besar.

   Dari tempat sembunjinja, ia terus memasang mata.

   Ia bisa melihat dengan leluasa.

   Segera djuga penunggang kuda putih itu sudah sampai dimuka djembatan.

   Dia benar Ong Bong Hiap, putera In Tiong Hiap.

   Diapun telah melihat dan mengenali si Batu Ketjil.

   Dia mendjadi gusar.

   Dia lompat turun dari kudanja, untuk menghampirinja.

   "He, Siauw Sek Tauw, botjah tjilik, apakah kau tjari mampus?"

   Tegurnja sengit.

   "Lekas katakan padaku, kemana larinja Lie Djie Kang!"

   "Aku djusteru mau tanja kau!"

   Siauw Sek Tauw menjahut.

   "

   Apakah benar2 kau hendak membunuhnja? Kau harus ketahui, kalau nanti Pek Ma Looya pulang, hendak aku tuturkan semua peristiwa ini "

   "Hm, machluk tjilik!"

   Kata Bong Hiap sambil tertawa tawar.

   "Kau berani menentang aku? Djikalau aku hendak membunuh kau, dapat aku lakukan dengan mudah seperti aku menjembelih seekor ajam sadja!"

   Siauw Sek Tauw berbangkit berdiri, dia mengangkat kepala dan dadanja. Dia menepuk2 dadanja jang digelembungkan itu.

   "Aku tidak pertjaja!"

   Katanja gagah.

   "Aku tidak pertjaja kau berani membunuh aku! Tjam Liong Tjongsoe, kaulah manusia tjelaka, manusia hina-dina! Tuan ketjilmu tidak takut padamu!"

   Bukan kepalang gusarnja Bong Hiap. Ia lantas menuntun kudanja dengan tangan kirinja, dengan tangan kanannja, ia mentjekal keras pedangnja. Lantas ia mendaki djembatan ketjil itu. Siauw Sek Tauw mundur dengan perlahan-lahan.

   "Kau tidak tahu diri!"

   Katanja mengedjek.

   "Di Hoa Im, kau telah membikin malu keluargamu! Disana orang menggunakan anak angkatnja, membikin kau terdjebak, hingga kau membuat ajahmu mendongkol! Sekarang disini, dengan pedang mustikamu, kau menggertak aku! Tidak tahu malu!"

   "Anak tjelaka!"

   Bong Hiaplmendamprat dalam murkanja jang sangat.

   Ia madju terus, wadjahnja bengis.

   Mendadak ia madju sambil menusuk.

   Siauw Sek Tauw tidak menangkis atau berkelit, ia hanja terdjun kekali, untuk terus selulup kedasar sungai, guna mengambil beberapa bidji batu.

   Karena itu, kakinja djadi muntjul dipermukaan air.

   Bong Hiap berdjongkok, ia menikam kaki orang itu.

   Siauw Sek Tauw tahu bahwa ia akan ditusuk, maka setelah memegang batu, ia lantas menarik kakinja, untuk timbul dimuka air, dan terus menimpuk djago muda itu.

   Bong Hiap kaget, ia merasa sakit.

   Sebuah batu mengenai mukanja, sebab serangan itu diluar dugaannja.

   Seranganpun datang dari djarak dekat dan sangat pesat.

   Ia sampai mesti mengusap-usap mukanja.

   Habis menimpuk, Siauw Sek Tauw berenang ketepi, untuk naik kedarat, dan lari kedjembatan, untuk mengusir kuda putih.

   Binatang itu kaget, dia berdjingkrak.

   Bong Hiappun kaget.

   Ia memegang tali les maka tali itu kena tertarik, hingga sendirinja, ia tertarik pula.

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia bertahan, toh tubuhnja terhujung.

   Siauw Sek Takw berani sekali, dia lompat sambil menindju punggung orang.

   Bong Hiap mentjoba berkelit, untuk menangkis, tetapi tnbuhnja telah kena dibentur, sehingga ia terhujung djuga.

   Ketika ia mendjambret botjah itu, sibotjah menariknja lantas ketjemplung kedalam kali.

   Suara air mendjubjar njaring dan airpun muntjrat tinggi.

   Didalam air Siauw Sek Tauw lantas bekerdja.

   Bong Hiap tidak mau melepaskan pedangnja, hal itu menjulitkan perlawanannja.

   Ia pun gelagapan, karena air lantas menjerang matanja dan masuk kedalam mulutnja.

   Pedangnja tidak dapat digunakan.

   Ia dipegang pada kepalanja, untuk dilelapkan.

   Tapi ia djuga bisa berenang, ia dapat mengangkat kepalanja, keluar dari permukaan air.

   Si Batu Ketjil berkutat terus, tapi ia tidak melupakan kawannja.

   Satu kali selagi ia keluar dari dalam air lantas ia berseru.

   "Lie Toako, lekas pergi! Lekas pergi!"

   Djie Kang terperandjat.

   Baru sekarang ia sadar.

   Tadinja ia mengintai terus, hatinja gontjang keras.

   Ia menguatirkan keselamatan kawan tjilik jang gagah berani itu.

   Karena sangat terpaksa, ia keluar dari tempat sembunjinja untuk lari pergi.

   Ia lari kentara, sedang kuda putih kabur keselatan.

   ia tidak dapat lari tjepat, sering2 ia menoleh kebelakang, untuk melihat Siauw Sek Tauw.

   "Mana dapat dia melawan Bong Hiap ?"

   Pikitnja, bingung.

   "Kalau diamati, apa artinja hidupku seorang diri? Aku mesti merasa malu sendiri!"

   Toh ia lari terus, makin lama makin djauh.

   Beberapa kali ia menghela napas, menjesalkan diri sendiri.

   Karena alpa, ia membikin dirinja terdjebak, hingga pedangnja lenjap.

   Ia sangat takut pedang itu djatuh ditangan orang djahai, sebab itu berarti dosanja.

   "Kalau begini,"

   Katanja.

   "aku mesti membuat pedang lain, guna melawan pedang Pek Kong Kiam itu. Untuk itu, perlu aku hidup terus. Aku mesti mnnebus dosa. Aku mesti membuat pedang, guna mewudjudkan pembalasan sakit hati itu! Kalau tidak sia-sialah pesan guruku"

   Memikir demikian, Djie Kang djadi dapat semangat, maka sekuat tenaga ia lari terus, ia menudju langsung keutara, sampai belasan lie.

   Achirnja, ia tiba dikaki gunung Hoo San dimana ada sebuah tempat jang ramai, Ia mampir, untuk paling dahulu menangsal perut.

   Ia lapar dan dahaga, ia letih bukan main.

   Dengan beristirahat dan sesudah dahar, per-lahan2 pulih kembali tenaganja.

   Habis bersantap, ia mentjari rumah penginapan.

   Maka pada malam itu dapat ia beristirahat.

   Besoknja pagi2, ia sudah bangun dan pergi keluar, untuk djalan mundar-mandir didjalan besar.

   Sampai setengah hari ia putar-kajun, ia tidak melihat Siauw Sek Tauw.

   "Mungkirkah dia tak lolos?"

   Pikirnja.

   Maka ia djadi berkuatir dan berduka.

   Kebetulan waktu itu ada seiombongan saudagar jang hendak melewati gunung untuk pergi kebarat, Djie Kang ikut dibelakang mereka itu, hingga ia dapat melewati d jalan gunung Hoo San jang bet-liku2 itu.

   Disepandjang djalan, ia me-nanja2, hingga tahulah ia, bahwa kalau ia djalan terus, ia akan sampai diketjamatan Kiok-yauw.

   Ia berdjalan terus tanpa menjewa kereta.

   Sekarang ia memusatkan pikiran pada gurunja, pada saat guru itu mcmbuat pedang.

   Ia hendak membikin pedang mustika, maka ia mesti ingat baik2 tjara kerdja gurunja itu, sehingga sering ia mengotjeh seorang diri .

   "Ukuran dapur mesti sebegini besarnja dan mulutnja sebesar itu..."

   Ia memetakan dengan kedua tangannja. Iapun memungut batu, untuk dipakai memukul seperti djuga ia lagi menggunakan martil. Pikirnja .

   "Aku mesti gunai tenaga sebesar ini... ."

   "Biarlah, Ong Bong Hiap!"

   Kemudian dia ngelamun terlebih djauh.

   "Biarlah kau memilik pedang Pek Kong Kiam itu! Aku akan membuatnja sepasang jang lain, aiau mungkin sepaluh buah, jah, seratus buah, untuk menentangmu! Dapatkah kau membela terus sihaksoe tua djahat itu? Tidak! Tidak!"

   Pada waktu demikian, mata pandai besi mengeluarkan sinar bertjahaja! Malam itu Djie Kang singgah disebuah dusun, jang bernama dusun Po In Sie. Ia senang dengan nama dusun itu.

   "Po In"

   Berarti "membalas budi."

   Memang tjita2nja untuk membalas budi gurunja. Ditempat perginapan, iapun berkenalan dengan seorang tetamu, seorang sioetjay, tamu itu ditenpat mondoknja tidak melupakan kitabnja, dia membatjanja diluar kepala per-lahan2.

   "Mungkin dia mau pergi kekota radja untuk turut dalam udjian ilmu surat,"

   Pikirnja.

   "Baik aku minta perlolongannja, buat menuliskan surat, buat menitipkan surat itu djuga padanja. Ia mau memesan ringkas sadja, julah .

   "Hay Pang dari Hay Kauw sudah menutup mara semua, karena itu aku harap Hay Auw djangan melupakan djandji dahulu hari itu."

   Akan tetapi, waktu ia bitjara dengan sioetjay, ia ketjele. Orang bukan mau pergi ke Pakkhia hanja ke Thaygoan, untuk menempuh udjian kiediin.

   "Sajung,"

   Katanja didalam hati.

   Karena nja, mereka djadi bitjara sadja mengenai lain hal.

   Sioetjay itu mengira sahabat ini gemar ilmu surat, tetapi karena miskinnja dia mendjadi tidak memperoleh kesempatan untuk beladjar, maka ia lantas mengandjurkan orang bersabar dan beladjar dengan perlahan2 sadja.

   Tadi Djie Kang mendengar sisioetjay me-njebut2

   "Tjie Tian"

   Dan "Tjeng Song"

   Jang berarti "Kilat merah"

   "dan Es hidjau"

   Ia tidak mengerti itu, maka ia tanju kenalannja ini.

   "Itulah namanja dua buah pedang didjaman dahulu kala,"

   Menerangkan sisioetjay.

   "0, begitu,"

   Kata pandai besi ini. ia lantas ingat suatu apa. Tidak ajal lagi, ia minta sahabatnja itu tolong menulissannja pada sehelai kertas.

   "Untuk apakah itu?"

   Tanja sisioetjay heran.

   "O, tidak, tidak buat apa?,"

   Djie Kang menggos.

   "Aku tjuma senang mendengar nama jang bagus itu."

   Sioetjay itu menuliskan, atas nama Djie Kang mengutjapkan terima kasih Ketika ia masuk kekamarnja, ia menjin pan baik2 tjatatan itu, ditjampur dengan tjeknja.

   Besoknja pagi, Djie Kang melandjutkan perdjalanannja kebarat.

   Dekat sore hari, ia tiba di Kiok-yauw.

   Mudah sadja untuknja mentjari Gang Kwee Seng didalam kota, itulah sebuah gang disebuah d jalan besar.

   Disitu pula tjuma terdapat beberapa buah warung, jang lainnja rumah tinggal semua, ia menghampiri sebuah warung arak, jang sudah menurunkan mereknja.

   Disitu orang tengah menjalakan api.

   "Mungkin Siauw Sek Tauw tidak ada disini..."

   Pikirnja ragu2.

   "Apa aku mesti bilang apabila aku menemui sanaknja ini ?"

   Ia lantas mengambil Keputusan. Ia bertindak masuk, buat ber-pura2 mendjadi seorang tamu. Ia melihat tidak ada tamu lainnja, sedangkan kursi dan medja sudah tua. Seorang njonja muda mendjaga warung itu.

   "Dia tentulah Hie Koh, kakaknja Siauw Sek Tauw,"

   Pikir Djie Kang. Ia mengangguk hormat pada njonja itu.

   "Tuan mau minum arak ?"

   Sinjonja tanja ramah.

   "Benar,"

   Sahut sipandai besi mengargguk.

   "Aku Sekalian hendak menanjakan satu orang, jaitu Siauw Sek Tauw. Dia menjuruh aku dayang lebih dahulu disini untuk menantikannja..."

   Meski ia berkata begitu, Djie Kang tidak berani mengharap orang sudah berada didalam warung arak itu. Sinjonja sebaliknja, mendengar disebutnja nama Siauw Sek Tauw, lantas mengawasi ia setelah mana, dia menoleh kedalam, untuk mendengarkan suaranja.

   "Siauw Sek Tauw, mari! Ada orang mentjarimu."

   Hanja dalam sedetik itu, Djie Kang mengalami ber- djenis2 perasaan. Ia heran, ia girang, iapun bersangsi.

   "Benarkah Siauw Sek Tauw sudah sampai terlebih dahulu? ..."

   Pikirnja.

   Maka ia pun mengawasi ke dalam.

   Bagian dalam warung itu remang remang.

   Segera terdengar tindakan kaki jang berat tetapi tjepat, lantas tertampak muntjulnja satu orang.

   Benar2 dialah Siauw Sek Tauw, si botjah.

   Dia puan telah melihat tetamunja.

   "Lie Toako!"

   Dia berseru sambil berlompat, berlari keluar. Dia menjamber tangan orang, untuk dipegang dengan keras.

   "O, toako!"

   Tapi dia tertawa, karena dia girang sekali.

   Sebaliknja dengan Djie Kang.

   Pandai besi ini mengutjurkan air mata, karena sangat terharunja.

   Toh ia pun girang.

   Siauw Sek Tauw tidak kurang suatu apa, lebih2 tubuhnja terlihat tegas sekali, sebab dia tidak mengenakan badju.

   Djangan kata luka, letjetpun tidak.

   "Hai, adik!"

   Katanja, gembira.

   "Bagaimana kau dapat sampai terlebih dahulu?"

   "Itulah disebabkan karena di sepandjang djaian,"

   Sahut Siauw Sek Tauw.

   "apabila aku lagi gembira, aku lari se- keras2nja, atau aku membontjeng setjara diam-diam di belakang kereta orang ... Eh, toako,"

   Dia menambahkan dengan suara perlahan2 kau masih mempunjai uang atau tidak?"

   Djie Kang mengangguk.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada, masih banjak,"

   Sahutnja terusterang. Mendadak Siauw Sek Tauw berkala dengan keras.

   "Toako, mari kau berikan aku uang! Hendak aku membeli daging dan lainnja, supaja kau dapat mendjamu tamu? Kau mesti undang sekalian semua sanakku!"

   Djusteru itu dari dalam muntjul dua orarg, pria dan wanita, jang usianja sudah enampuluh lebih masing2.

   Mereka itu mengawasi tamunja.

   Siauw Sek Tauw segera saling mengenalkan.

   Mereka ilulah mertuanja si njonja muda.

   Djie Kang merogo sakunja, mengeluarkan uang beberapa tahil, jang ia serahkan pada Siauw Sek Tauw, botjah itu lantas lari keluar, untuk pergi berbelandja.

   "Djangan beli banjak2!"

   Kata kedua orang tua itu.

   "Kami sudah dahar ..."

   "Djangan sungkan, loo tia dan loo-ma,"

   Berkata Siauw Sek Tauw.

   "Lie Toakoku ini datang dari tempat djauh dan aku pun harus menggunakan uangnja untuk mejambut padanja, hanja sebentar, kalau daging datang, aku mohon kakakku bertjapai sedikit untuk mematangkannja, supaja kami dapat bersantap!"

   "Boleh, boleh!"

   Berkata si orang tua.

   "Nah, Lie Toako, silahkan duduk! Mau minum arak dulu, sekalian kau beristirahat!"

   Djie Kang berlaku hormat, ia mendjura.

   "Terima kasih, loope,"

   Katanja.

   "Aku dengan Siauw Sek Tauw ada bagaikan saudara kandung, maka itu aku datang kemari dengan niat bersama dia mengusahakan sesuatu. Mungkin kami bakal mengganggu lerbih djauh kepada loope."

   Orang iua itu tertawa.

   "Tidak apa!"

   Katanja.

   "Selandjutnja baiklah kita memandang diri kita sebagai sesama orang sekeluarga."

   Selagi Siauw Sek Tauw pergi, si empe menjuruh menantunja menjuguhkan arak serta dua piring lauk pauknja sebagai temannja minuman keras itu.

   Djie Kang mengutjapkan terima kasih.

   Ia tidak minum arak, hendak ia menantikan dulu Siauw Sek Tauw.

   Ia lantas merasa tak leluasa sendirinja karena tuan dan njonja rumah, berikut si njonja muda, berlaku sangat manis kepadanja.

   Tidak lama, Siauw Sek Tauw sudah kembali.

   Selain daging, ia membeli ketjap, minjak, bawang, peijay dan bumbu lainnja, jang semuanja diserahkan pada kakak misannja dengan permintaan tolong agar si kakak mematangkannja.

   Hie Koh gembira, seorang diri ia bekerdja didapur, sedang empe Tjin dan isterinja kembali kedalam.

   Dengan begitu, Djie Kang djadi duduk berdua sadja dengan Sek Tauw, sambil berbitjara, mereka minum arak perlahan- lahan.

   Mereka djuga bitjara dengan perlahan sekali.

   "Ketika aku datang kemari, hampir aku gagal,"

   Kau? si botjah.

   "Inilah disebabkan soal uang, soal harta! Kau tahu, Tjin Loo dan isterinja berpura pura tidak mengenali aku, sedang kakakku berlaku dingin sekali. Dia kata aku mirip pamanku, kalau aku sudah meludaskan harta dimedja djudi tentu aku habis membuat onar. Aku berkata bahwa aku menantikan sahabat, mereka tidak pertjaja. Iparku tidak ada di rumah, dia lagi berdagang di luar. Aku hendak membantu mengurus warung araknja ini, mereka pun berkeberatan. Maka itu, selama dua hari, untuk makanku, aku mesti mentjari sendiri diluaran, aku membantu membersihkan kereta atau meroskam kuda, tak pernah aku dahar nasi mereka. Disini aku melainkan menumpang bermalam. Tapi sekarang, kau lihat sendiri, dengan datangmu, sikap mereka lantas berubah, bahkan aku, aku diperlakukan manis. Inilah pengaruh uang! Tidakkah itu menjebalkan?"

   Djie Kang menghela napas.

   "Sekarang, adikku, tjoba kau tjeritakan, bagaimana kau dapat meloloskan diri?"

   Dia tanja.

   "Bagaimana dengan Bong Hiap?"

   Lantas tampak Siauw Sek Tauw penasaran sekali.

   "Bitjara dari hal ilmu berenang, aku menang unggul!"

   Katanja sengit.

   Hanja dalam hal ilmu silat dan tenaga, aku kalah d jauh.

   Aku hendak merampas Pek Kong Kiam, tetapi gagal.

   Dia memegangnja keras sekali.

   Selagi kita berkutat terus, aku melihat Biauw Hiong Tjay mendatangi, terpaksa aku meninggalkannja kabur.

   Aku lari dengan berenang terus mengikuti aliran air."

   "Sajang!"

   Kata Djie Kang.

   "Bagaimana kau rasa, apakah mungkin mereka dapat menjusul kita datang kemari?"

   Siauw Sek Tauw menggeleng kepala.

   "Tidak nanti!"

   Sahutnja."Mereka tahu kau mau ke Pakkhia, itu berarti kau mesti menudju ketimur, siapa tahu, kita djusteru berada diarah barat ini.

   Ini pula merupakan sebuah ketjamatan ketjil, tak nanti mereka mentjari kita kesini.

   Maka aku pikir, sebaiknja kita beristirahat disini beberapa hari sambil memikirkan daja upaja."

   "Aku telah memikirkan sesuatu, aku melainkan membutuhkan bantuanmu, adik."

   "Apakah itu, toako? Tak usah toako menjebutkannja, pasti aku bersedia membantumu!"

   Berkata begitu, si Batu Ketjil mengangkat kepalanja.

   Djie Kang berdiam, ia menenggak araknja.

   Sebentar lagi, Hie Koh muntjul membawa barang makanannja.

   Siauw Sek Tauw lantas memisahkan sedikit, bersama araknja, ia bawa kedalam untuk disuguhkan kepada Empe Tjin dan isterinja.

   Untuk kakaknja, ia minta si kakak mngambil sendiri.

   Habis itu, baru ia be dahar berdua Djie Kang.

   Sekarang Siauw Sek Tauw mendapat kenjataan warung arak itu sepi.

   Pantas iparnja pergi mentjari pekerdjaan lain.

   Selama ia berada be sama Djie Kang tjuma seorang nona datang membeli arak dua tahil dan dua orang duduk minum sambil pasang emong, minumnjapun sedikit.

   Pantas Empe Tjin murung sekali.

   Besok paginja, Djie Kang bitjara dengan Empe Tiin.

   Ia kata hendak menjewa rumah belakaag si empe, untuk membuka bengkel besi.

   Ia menawarkan harga sewa jang baik hingga si empe lantas menerimanja dengan senang.

   Dia kata, djangan kata rumahnja dibuat bengkel, buat apa lainnja pun terserah pada sipenjewa.

   Djie Kang lartas mengeluarkan uang dan minta Siauw Sek Tauw jang pergi belandja, membeli martil, sapit, besi landasan, tahang air, besi hantjuran, kaju, arang batu dan lainnja keperluan bengkel besi.

   Dua hari sudah Siauw Sek Tauw bekerdja diluaran, ia telah kenal banjak orang, maka itu, selama tiga hari, ia dapat membeli segala barang jang dibutuhkan Djie Kang.

   Kemudian ia diminta membeli tanah, pasir dan batu bara untuk membuat dapur.

   Djie Kang bekerdja keras, Lima kali sesudah ia merubah dapurnja, ia baru dapat membuat tempat pembakaran jang sama seperti pembakaran Gouw Bok Ya mendiang gurunja, begitu pan hongkoeinja, jaitu alat tiupnja.

   Maka itu, pada saat lain, ia sudah mulai menjalakan api.

   Siauw Sek Tauw jang mendapat tugas membuat api mendjadi marong, bagaimana api harus dimainkan mendjadi besar, ketjil dan sedang.

   Setelah itu, Djie Kang mulai membakar besi dan badjanja, untuk dibikin lembek.

   Sesudah hawa api panas, pintu ditutup pula rapat-rapat, maka mereka berdua bermandikan keringat.

   Djie Kang sudah biasa, akan tetapi matanja masih mengeluarkan air.

   Ketika ia mulai, diam-diam Djie Kang berdoa, memudji kepada arwah gurunja.

   "Suhu, Kwee Soe-siok dan Nie Thay Peng jang setia, inilah Lie Djie Kang, murid dan keponakanmu! Para malaikat jang sedang lewat, harap kamu djuga mengetahuinja! Mengingat kesetiaanku, aku mohon supaja dibantu agar berhasil membuat pedang mustika! Aku membuat pedang bukan untuk maksud djahat, hanja guna menentang pedang Pek Kong Kiam, agar pedang Pek Kong Kiam itu tidak sampai digunakan untuk maksud djahat dan kedji! Hem. aku membuat sepasang pedang jang selama- lamanja nanti membela keadilan daa perikemanusiaan!"

   Seperti gurunja dulu hari, Djie Kang mula2 membuat besi mendjadi sebatang tongkat.

   Ia membakar, ia memalu, ia merendam dan membakar dan memalu pula, demikian tak hentinja, saling ganti berganti.

   Maka djuga, setiap kali ia memalu, suaranja berisik sekali.

   Selain sepasang pedang ia djuga sekalian membikin sebuah golok ketjil dan pendek, pandjangnja tidak sampai lima dim.

   Ia memalu, membakar dan mentjelup sama seperti gerak gerik gurunja.

   Ia menelad benar-benar.

   Ia pun senang melihat Siauw Sek Tauw membantunja sungguh sungguh.

   Botjah itu tjerdas dan lekas mengerti.

   Dua batang besi itu serta sebilah golok ketjil rampung dalam tempo lima malam.

   Ketika ditjoba, golok ketjil itu tadjam luar biasa, dapat dipakai menabas putung besi besi potongan.

   Bukan main girangnja si botjah, hingga ia berdjingkrakan.

   "Kan simpanlah baik-baik,"

   Pesan Djie Kang.

   "Djangan kau sembarang pertundjukkan ini dimuka orang banjak."

   Djie Kang sendiri djuga girang bukan buatan.

   Tahulah ia bahwa ia bakal berhasil membuat sepasang pedangnja, jang ia sudah terapkan akan beri nama Tjie Tian dan Tjeng Song, atau lengkapnja Tjie Tian Kiam dan Tjeng Song Kiam.

   Sekarang ia msrubah tjara kerdjanja.

   Untuk membuat pedang ia bekerdja pada waktu malam.

   Pada waktu siang, ia membikin gunting dan golok biasa, jang ia suruh Siauw Sek Tauw mendjualnja atau ia kirim diwarung arak.

   Didalam tempo pendek, gunting dan goloknja djadi terkenal, lantas banjak pembeli datang sendiri kebengkelnja.

   Melihat banjaknja orang, ia mendjadi djeri sendirinja.

   Bukankah ia lagi menjembunjikan diri? Lekas ia merubah pembuatan gunting dan goloknjn itu.

   Sekarang buatannja mendjadi djelek, sampai ada pembeli jang membajarnja pulang.

   "Kenapa buatanmu makin lama makin buruk?"

   Demikian orang menegur.

   Djie Kang diam sadja.

   Diam diam ia bergirang.

   Selama itu, dua sahabat ini hidup dengan tjara hemat sekali.

   Kadang-kadang sadja mereka membeli daging dan membagi sebagian pada Empe Tjin.

   Siauw Sek Tauw diam- diam suka membelikan pupur dan yantjie buat Hie Koh.

   Uang sewa rumah sebaliknja tak pernah diabaikan.

   Keluarga Tjin itu berkesan baik terhadap mereka, Maka tidak ada jang menggerutu karena Djie Kang bekerdja malam hingga berisiklah suara hongkoei dan tingtong nya.

   Setiap sore, pintu sudah ditutup rapat-rapat dan api diketjilkan, sebaliknja dari djendela sering terlihat letikan2 api.

   Tanpa diketahui siapa djuga, ketjuali mereka sendiri berdua, Djie Kang sudah membikin kedua buah pedangnja, jang sudah mulai berbentuk pedang, sehingga selandjutnja tinggal mengetuk pinggirannja sadja untuk dibikin mendjadi tadjam dan halus.

   Dengan tekun ia membakar, mengetuk dan merendam dan mengetuk pula, merendam lagi, mengulanginja membakar.

   Demikian seterusnja.

   Ia sabar dan ber-hati2.

   Sang tempo berdjalan lekas, dua bulan sudah lewat seperti tanpa terasa.

   Dekat tanggal limabelas bulan delapan, Djie Kang sudah membikin pedangnja rampung sembilanpuluh bagian.

   Maka satu hari sebelum itu, ia kata pada Siauw Sek Tauw.

   "Kita harus beristirahat dua hari. Habis hari raja, baru kita bekerdja pula."

   Siauw Sek Tauw menurut sadja.

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kedua pedang jang belum rampung itu disimpan dengan dimasukkan kedalam dapur, serta api dapurpun dipadamkan.

   Untuk tidak menganggur, sibotjah menggosok gunting dan golok jang belum laku, jang ia djual satu hari sebelum hari raja Tiong Tjiu.

   Hari itu ramai sekali.

   Banjak orang jang merdjual daging dan buah dan lainnja.

   Karena itu, Siauw Sek Tauw memikir waktu pulang, ia mau belandja, membeli buah-buahan dan kuwe untuk sebagian bagikan kepada Empe Tjin supaja tuan rumah itu girang.

   Hie Koh pun harus dibikin senang, sebab suaminja tidak pulang tetapi dia harus dapat djuga makan kuwe.

   Hanja hari itu tidak ada orang jang mau beli gunting atau golok, ia tidak putus asa, ia putar-kajun terus, tiap2 kali ia menawarkan gunting dan goloknja itu.

   Sampai sang magrib tiba, ia masih belum pulang2 golok atau guntingnja belum laku djuga.

   "Gunting! Gunting!"

   Ia berteriakan.

   "Golok! Hajo, siapa mau beli gunting dan golok murah?"

   Lapan mengetuk gunting dan goloknja, membikin suaranja njaring. Dengan djenaka, ia djalan berdjingkrakan, hnja sekarang ia berdjalan menudju pulang.

   "Siauw Sek Tauw! Siauw Sek Tauw !"

   Tiba2 terdengar suara memanggil dari arah belakang.

   Ketika itu, Siauw Sek Tauw belum sampai di Gang Kwee Seng.

   Suara iturada dalam dan seperti dikenal.

   Dengan tiba-tiba ia berhenti bertindak, lalu menoleh kebelukang.

   Ia melihat seorang jang bertubuh tinggi dan besar menjingkit kesampng tembok dimana keadaan ada gelap.

   Ia heran kali.

   "Siapa ?"

   Ia tanja.

   "Siapa memanggil aku?"

   Iapun berdjalan untuk menghampiri orang itu. Waktu ia sudah datang dekat, ia medjadi terperandjat.

   "Oh. Pek Ma "

   Serunja tertahan. Orang itu segera berkata .

   "Djangan bersuara keras! Djangan kau menangis!"

   Dia menoleh kckiri dan kanan, untuk melibat ada siapa di-dekat2 mereka. Siauw Sek Tauw berdiam, akan tetapi ia lantas memberi hormat.

   "Kenapa Looya berada disini?"

   Tanjanja tetap heran.

   "Aku baru sadja sampai,"

   Sahut orang itu, jalah In Tiong Hiap alau Pek Ma Looya.

   "Kau tinggal bersama siapa?"

   "Aku tinggal bersama Lie Djie Kang, Looya...

   "

   "Apakah tempat itu sepi?"

   In Tiong Hiap tanja pula. Siauw Sek Tauw mengangguk.

   "Sepi djuga,"

   Sahutnja.

   "Kami tinggal di rumah Empe Tjin, hanja di ruangan lain. Tuan rumah itu pernah sanakku."

   "Djikalau aku pergi ke rumahmu itu untuk menumpang satu malam, apakah sanakmu itu dapat menutup mulutnja?"

   Siauw Sek Tauw berdiam. Ia heran sekali. Tak mengarti ia maksud djago ini. Kenapa orang djadi bersikap demikian rupa, seperti orang jang ketakutan atau sangat berhati hati.

   "Dapat dia menutup mulut,"

   Katanja.

   "Hanja tolong Looya berikan aku sedikit uang guna aku membeli kuwe tiongtjiu, untuk menjumpai mulutnja. Aku tanggung mulutnja akan tertutup rapat sekali."

   In Tiong Hiap merogo kesakunja, mengeluarkan sepotong perak. Ketika itu tangannja menjentuh goloknja hingga sendjata itu bersuara njaring. Siauw Sek Tauw menjambuti uang itu.

   "Rumahku didalam Gang Kwee Seng itu,"

   Katanja sambil menundjuk.

   "Silahkan Looya menanti disana, aku lekas akan menjusul. Rumah itu jalah sebuah warung arak."

   "Aku mengerti,"

   Kata In Tiong Hiap.

   "Aku akan pergi kesana dan menunggu kau, asal kau lekas sedikit."

   Botjah itu mengangguk. Lantas ia mengawasi djago tua itu pergi kearah Gang Kwee Seng.

   "Heran!"

   Pikir botjah ini.

   Sang waktu lewat terus.

   Sang sore telah tiba.

   Si Puteri Malampun mulai muntjul.

   Lekas2 Siauw Sek Tauw pergi kewarung terdekat, jang sedang mulai ditutup.

   Ia membeli dua kati tiongtjioe-phia.

   Setelah membajar dan menerima uang kembaliannja, lekas2 ia berdjalan pulang.

   Baru dua tindak ia memasuki gang, atau ia mendengar derap kuda dibelakangnja.

   Ia lantas berpaling.

   Itulah dua orang penunggang kuda, jang berdjalan didjalan besar, melewati muka gang, menudju terus ke utara.

   Siauw Sek Tauw melihat dua orang itu, terutama jang disebelah belakang .

   Seorang wanita.

   Ia heran, wanita itu dapat naik atas punggung seekor kuda jang tinggi dan besar sekali.

   Karenanja, ia lari kemuka gang, untuk melihat lebih tegas.

   Ketika itu, kedua penunggang kuda itu masih belum lewat djauh.

   Dari siwanita hanja teriihat kundainja jang besar.

   "Ah, biarlah,"

   Pikirnja.

   Maka ia berdjaian pulang.

   Ia tidak kenal siwanita atau temannja, ia tidak mempunjai sangkut paut denjan mereka itu.

   Ia sekarang heran dan girang.

   Heran sebab bertemu In Tiong Hiap inilah diluar dugaannja.

   Ia girang untuk pertemuan itu sendiri.

   Apa jang ia bisa duga jalah mungkin Pek Ma Looya sudah berkelahi dan telah membunuh orang, karena itu dia hendak menjingkir dari tangan alat2 negara.

   Kapan ia ingat Lie Djie Kang serta pedang jang lagi dibikin, ia berkuatir.

   Bagaimana kalau Pek Ma Looya mampir pada mereka dan rumah mereka digerebeg ? Pasti gagal pekerdjaannja Djie Kang membuat pedang mustika.

   Dilain pihak, kebetulan sekali tibanja djago tua itu, sebab sekalian sadja pedang mustika dapat diserahkan padanja, guna dipakai menentang Pek Kong Kiam.

   Dengan begitu, In Tiong Hiap bakal berhasil membalaskan sakit hatinja Nie Thay-Po.

   Siauw Sok Tauw berdjalan dengan tjepat.

   "Siauw Sek Tauw!"

   Tiba2 ia mendengar panggilan, sekarang dari arah depannja.

   "Kau sudah kembali?"

   Itulah suaranja In Tiong Hiap. Girang Siauw Sek Tauw, ia mempertjepat langkahnja.

   "Pek Ma Looya!"

   Katanja.

   "Sst, djangan bitjara keras!"

   Berkata djago tua itu. Sibotjah heran. Ia lantas melihat kesekitarnja. Didalam gang itu tidak ada lain orang ketjuali mereka berdua. Lekas2 ia datang dekat.

   "Looya datang darimana ?"

   Tanjanja perlahan. Ia dongak, untuk mengawasi wadjah djago tua itu. Paras In Tiong Hiap putjat, kumisnja kusut.

   "Hm! Hm!"

   Ia mendengarkan suaranja tidak lebih.

   Ia mengulur sebelah tangannja, memegang tangan botjah didepannja.

   Kembali Siauw Sek Tauw heran.

   Ia merasakan tangan looya itu gemetar, ia mengawasi.

   Sekarang ia melihat lengan kiri orang terluka, badjunja berdarah.

   Ia kaget, herannja bertambah, ia tidak berani menanja, maka ia terus mengawasi sadja.

   "Mari, looya!"

   Kaianja sedjenak kemudian. Ia menuntun djago tua itu Ke rumah Empe Tjin.

   "Inikah rumahmu?"

   Tanja Pek Ma KieHiap.

   "Ja,"

   Sahut sibotjah. Pintu sudah dikuntji, dari dalam tak nampak sinar api. Tapi ia mendekati djendela, ia mengulur sebelah tangannja. Disitu ada udjung Dalang pintu, maka dengan palangnja ditarik, pintu lantas terbuka.

   "Mari masuk, Looya!"

   Katanja. In Tiong Hiap tidak melihat orang. Dari djendela, sinar rembulan masuk kedalam.

   "Kau kuntji pintu!"

   Katanja, sedang ia sendiri menarik medja, untuk dipakai menggandjal. Siauw Sek Tauw mengadjak d jago itu kebelakang, kekamarnja sendiri. Dije Kang ada didalam kamar, jang apinja terang.

   "Lie Toako, mari keluar!"

   Si botjah memanggil, ia menolak pintu, untuk melongok dengan separuh tubuhnja.

   "Pek Ma Looya datang!"

   Baru sekarang Sek Tauw bertindak masuk.

   Paling dulu ia meletakkan gunting dan goloknja, sidang kuwenja terus dibawa kekamar Emnpe Tjin.

   Ia kembali dengan lekas.

   Ia melihat In Tiong Hiap lagi berdiri mengawasi dapur dan lainnja, sedang Lie Djie Kang berdiri dengan hormat dipinggiran.

   Rupanja mereka itu belum sempat bitjara satu dengan lain.

   "Silahkan duduk, Looya!"

   Siauw Sek Tauw mempersilahkan., In Tiong Hiap mengangguk, ia tidak lantas duduk, hanja ia mengawasi sipandai besi.

   "Aku tidak sangka kaulah seorang laki2 sedjati!"

   Kata ia selang sesaat.

   "Kau menerima pesan, kau mentjoba melakukannja dengan seksama, kau berani dan ulet, tak takut kepada kesukaran dan antjaman bahaja. Sungguh, kau membuatnja aku malu sendiri ... Dahulu hari aku telah menerima baik permintaannja Kim Tjie Taypeng Sim Kioe, akan tetapi selama tiga puluh tahun, aku membiarkan sadja, sampai sekarang ini djusteru anakku telah menjeleweng, dia djusteru pergi membantu musuh! Ah ..."

   Ia membanting kaki.

   "Tak ada muka untukku hidup lebih lam pula didalam dunia ini! Sekarang ada seorang musuh, hendak membunuh aku, itulah bagus sekali. Tjuma aku masih belum mewudjudkan djandjiku, kalau aku mati tak puas hatiku ..."

   Siauw Sek Tauw terkedjut, ia bertambah heran.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada perkara apakah, Looya?"

   Tanjanja. Djago tua itu tertiwa likat, ia tidak mendjawab. Ia lantas berduduk, dari pinggangnja, ia mengeluarkan sebuah golok pendek ia terus menjodorkannja.

   "Tolong kau gosok biar tadjaai!"

   Katanja pada si botjah.

   "Makin lekas makin baik!"

   Siauw Se Tauw menjambuti, tangannja gemetar.

   "Looya,"

   Katanja, tidak lantjar.

   "apakah Looya bertemu musuh? Siapakah jang berani menentang Looya?"

   Djago tua itu mengangguk. Ia merabakanja.

   "Tidak apa, perkara ketjil,"

   Katanja. Ia mentjoba bertenjum.

   "Kebetulan sadja aku lewat disini, bukannja maksudku buat menjingkir atau menjembunjikan diri"

   Ia berdiam sebentar, lalu menambahkan dengan gembira.

   "Bukankah ini warung arak? Apakah araknja masih ada?"

   "Ada, ada,"

   Sahut Siauw Sek Tauw lekas.

   "Arak disini jalah arak Hon-tjioe, rasanja tak dapat ditjela."

   "Tolong kau ambilkan satu potji. Aku mau minum arak. Aku rasakan hawa dingin sekali. Haha!"

   Ia tertawa.

   "Aku Ong Kong Pik, pernah merantau selama empatpuluh tahun, siapa sargka sekarang, hatiku mendjadi ketjil ... Lekas ambilkan arak, hendak aku minum, buat membesarkan hati!"

   Siauw Sek Tauw heran. Aneh kelakuan djago tua ini, Djie Kang pun terus berdiam sadja sedjak tadi. Dengan lekas sibotjah pergi mengambil arak.

   "Looya,"

   Kata Djie Kang kemudian.

   "sedjak hari itu aku menerima budi kebaikan looya"

   In Tiong Hiap mengulapkan tangan, maka pandai besi itu berhenti bitjara. Ia mengawasi. Tak kurang herannja. Karena djago tua itu berdiam sadja, ia berkata pula .

   "Aku datang kemari karena sangat menjesal. Lantaran alpa, aku membikin pedang guruku lenjap. Sjukur selama aku turut sehoe, pernah aku beladjar membuat pedang, maka itu sekarang, aku lagi mentjoba membikin dua buah, jang sudah hampir selesai"

   "Tjukup!"

   Kata In Tiong Hiap, jang mengulapkan tangan.

   "Aku telah duga, kau tentu dapat membuat pedang. Aku bersjukur jang kau menghargai aku, sehingga kau suka omong terus terang padaku."

   Djie Kang ingin menundjukkan pedangnja.

   "Tunggu!"

   Kata sidjago tua sambil mentjegah, lalu ia pergi kedjendela buat melihat keluar. Setelah kembali ia kata perlahan .

   "Kau mau apa? Apakah kau mau mengambil pedangmu jang belum rampung itu buat ditundjukkan pakaku? Tak usah! Taruhkata kau serahkan pedang padaku, sekarang tak dapat aku membalaskan sakit hati Nie Thay-Po. Kau tahu, sekarang ini djiwaku sendiri sukar diluputkan dari bahaja...

   "

   Djie Kang mengawasi.

   "Looya"

   Akupun menduga Looya sedang didesak orang,"

   Kata ia.

   "Djusteru itu. hendak aku mengeluarkan pedangku, buat looya pilih satu diantaranja. Malam ini djuga hendak kurampungkan pedang-itu, supaja besok pagi dapat Looya bawa, untuk digunakan melawan musuh!"

   In Tiong Hiap menggeleng kepala. Ia toh bersenjum.

   "Tidak ada gunanja!"

   Katanja.

   "Kalau aku mau pergi ke Hoa Im buat mentjari anakku jang durhaka itu, atau aku pergi mentjari Tjong Haksoe, baru pedangmu itu dapat aku pindjam pakai. Hanja sekarang."

   Tiba2 terdengar suara pintu berbunji. In Tiong Hiap lantas berbangkit, untuk berpaling kepintu, atau ia melihat Siauw Sek Tauw kembali dengan potji dan tjawan arak. Ia berduduk pala, untuk melandjutkan kata2nja.

   "Aku meninggalkan rumah, turun dari Ong Ok San, maksudku ialah i untuk mentjari anakku, guna menghukum padanja. Anakku itu sudah menjeleweng, selain menentang aku, dia djuga membuat aku malu sekali. Diluar sangkaku, ditengah djalan, aku bertemu dengan Lauw Kie Go, puteri Lauw Beng Liong. Dia bersama SinKoen Tiat-Pang Ngo Hoa Kiat, murid Beng Liong. Dapat aku melawan dua orang itu, apa pula Ngo Hoa Kiat, jang masih hidjau. Akan tetapi tak dapat aku melajani mereka, Lebih2 Nona Kie Go. Ajah dia terbinasa ditangan anakku. Dalam hal itu, kesalahan ada dipihakku. Buat melajani sadja, tanganku rasanja lemas. Aku sudah tua, mana pantas aku melajani seorang gadis muda belia? Apa kata orang banjak nanti? Aku bermusuh dengan ajahnja, sekarang ajahnja sudah mati, mana dapat aku melukai dia djuga, atau membinasakannja? Itulah bukan perbuatan satu enghiong, itu perbuatan pengetjut! Lagi pula aku menjajangi nona itu. Dia telah mewariskan kepandaian ajahnja, terutama ilmu menggunakan panah. Tio Tay Tjoen telah kena dipanahnja sampai Tay Tjoen djatuh terdjung kal kesolokau. Aku sendiri... tiba2 ia menepuk lengan kirinja .

   "Lihat, lenganku djuga kena dilukai empat batang anak panahnja, semua anak panah mana aku tjabut dan buang ditengah belukar! Tak dapat ia memanah lain anggota tubuhku. Kau lihat walaupun sudah terluka, masih dapat kugerakkan lenganku ini....Ja, aku bilang terus terang, lebih suka aku mengalah dan menjingkir dari dia, atau aku berikan kepalaku kepadanja, dari pada aku menempur dia!"

   Ketika itu Siauw Sek Tauw sudah menuang arak kedalam tjangkir, dia mengangsurkannja sambil mempersilahkan orang meninumnja. In Tiong Hiap menjambuti, ia terus menghirup itu.

   "Looya,"

   Kata sibotjah.

   "ketika tadi aku membeli tiongtjioe-phia, aku melihat dua orang peunggang kuda, jang satu pria, jang lainnja wanita..."

   Mmdadak In Tiong Hiap membuka mata nja lebar2.

   "Benarkah?"

   Ia tanja. Siauw Sek Tanw mengangguk. Ia berkata pula .

   "Aku tidak melihat tegas pada mereka itu. Aku melihatnja sesudah mereka lewat. Hanja jang wanita aku melihat kundainja besar... ."

   "Itulah dia, Lauw Kie Go!"

   Kata ln Tiong Hiap.

   "Aku tidak sangka dia dapat menjusul sampai disini! Hahaha!"

   Mendadak ia berhenti tertawa, berganti dengan wadjah gusar. Ia mengangguk dan kata pua.

   "Aku baru sadja kena dipanah hingga aku mengundurkan diri kesini. Mereka menunggang kuda, pantas mereka dapat lekas tiba, hanja mereka toh terlambat, mereka tak berhasil menjandak aku. Itu pula tandanja bahwa mereka belum tjukup liehay."

   Siauw Sek Tauw tidak senang, dia panas hatinja.

   "Looya!"

   Berkata dia .

   "Baik Looya djangan pedulikan mereka itu! Kalau Looya tidak sudi melajani mereka, baik aku"

   "Tak dapat aku melajani nona itu!"

   Ln Tiong Hiap menjela.

   "Kalau nanti aku pulang kelain dunia, mana ada mukaku untuk menemui ajahnja, musuhku itu ?"

   "Tapi aku lain. Looya! Hendak aku tjari dia! Tentu sekarang mereka berada disalah sebuah penginapan. Aku mempunjai golok mustika untuk meiawannja"

   "Sudahlah!"

   Ia Tioug Hiap memotong.

   "Lekas kau gosok golokku! Kau botjah tjilik, mengapa kau tidak memikir untuk melakukan sesuatu jang terhormat."

   Siauw Sek Tauw tunduk, ia berduka dan mendongkol, hampir ia mewek.

   Terus ia menggosok golok djago tua itu.

   Ia memikir menjerahkan goloknja ssndii tetapi golok itu terlalu ketjil dan pendek buat In Tiong Hiap.

   Orangpun tentu tak sudi menerimanja.

   In Tiong Hiap sudah menenggak pula setjangkir arak.

   "Lauw Kie Go telah menjusul aku, tidak dapat aku menjingkir lebih djauh dari dirinja,"

   Katanja kemudian.

   "Kalau tidak, akan terlihat bagaimana aku djeri terhadapnja. Mendiang ajahuja, ditanah baka, tentu akan menertawakan aku"

   "Aku pikir, Looya,"

   Kala Djie Kang.

   "baik Looya berdiam beberapa hari bersama kami disini. Perlu Looya merawat dulu luka dilenganmu, supaja mendjadi sembuh. Aku pertjaja nona itu tidak akan berhasil mentjari Looya. Looya pula perlu bekerdja terus buat kebaikan umum. Didalam dunia ini ada banjak peristiwa2 jang tak adil dan tak pantas."

   Djago tua itu menjeringai, agaknja dia berduka.

   "Apakah jang bisa kubikin? Sampaipun anak sendiri, tidak sanggup aku mengekangnja..."

   Ia minum pula satu tjangkir. Kelihatan arak dapat membantu meringankan hatinja jang tertindih.

   "Looya, aku sangat membutuhkan bantuanmu,"

   Berkata Djie Kang, jang airmatanja meleleh keluar.

   "Disana masih ada sakit hati Nie Thay-Po dan Kwee Hay Peng serta penasarannja Gouw Bok Ya, guruku. Tjuma Kie Hay Auw dan Looya sendiri jang dapat membalaskannja. Entah bagaimana dengan oiang she Kie itu, sebab aku masih belum sampai dikota radja. Taruh kata aku dapat sampai disana, belum tentu aku berhasil mentjarinja. Dengan Looya lain. Kami di sini bertemu dengan Looya, maka itu, aku minta, sukalah Looya jang membereskan sakit hati itu."

   Ong Kong Pek menghela napas.

   "Aku malu kepada diriku sendiri, aku menjesal,"

   Katanja berduka.

   "Aku telah menjia-njiakan djandjiku sendiri, aku telah melalaikan tugasku. Tjelakanja, anakku-pun telah mendurhaka, sehingga dia membikin hatiku sangat tawar dan menjesal sekali. Sekalipun aku mati, hatiku tidak tenang."

   Ia menghela napas pula. Lalu ia menghampiri Siauw Sek Tauw.

   "Mari!"

   Ia meminta goloknja, terus ia mengosoknja sendiri, beberapa kali.

   "Tjukup!"

   Katanja pula, atas mana golok itu diselipkan dipinggangnja. Ia memberi hormat pada Djie Kang seraja berkata.

   "Sampai bertemu pula! Selama aku masih hidup, satu kali mesti aku pergi ke Hoa Im!"

   Ia lantas bertindak keluar. Djie Karg dan Siauw S k Tauw bingung mereka menjusul, akan tetapi tubuh mereka dihalangi tangan jang kuat djago tua itu, jang terus berdongak akan melihat Puteri Malam. Ia tertawa dingin dan kata.

   "Lauw Kie Go telah datang, bagaimana dapat aku tidak menemui nja? Bagaimana aku dapat membiarkannja untuk mentjari aku disini?"

   "DjikaJau pasti kau mau pergi, Looya, hendak aku turut!"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Lebih baik Looya djangan pergi!"

   Kata Djie Kang, bingung.

   Akan tetapi In Tiong Hiap sudah lompat naik keatas genting dirnana ia lenjap dalam seketika.

   Siauw Sek Tauw lari kedalam, buat mengambil goloknja, lantas ia lari keluar pula, ia menabrak Djie Kang hingga si pandai besi hampir terguling.

   "Adik, benarkah kau mau pergi membantu?"

   Djie Kang tanja.

   "Bagaimana aku dapat membiarkan Pek Ma Looya mendapat tjelaka?"

   Sahut si Botjah.

   "Kau tunggu aku, adik, aku turut!"

   Kata Djie Kang achirnja.

   "Djangan pergi, toako!"

   Siauw Sek Tauw mentjegah.

   "Tak gunanja kau turut kami! Aku pun tidak dapat melindungi kau!"

   Ia membuka pintu dan keluar. Masih ia kata.

   


Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini