Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 10


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 10



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Ia masih mempunyai banyak kesempatan untuk merebut kembali pengaruhnya dalam pasukan bhayangkara.

   Kedatangan utusan Kubilai Khan tak lain hanya meminta agar baginda Kertanagara mengirim utusan menghadap maharaja Kubilai Klian.

   Dan baginda akan mempertimbangkan permintaan itu.

   Beberapa waktu setelah peristiwa itu maka baginda pun membuka pasewakan agung untuk membicarakan tentang permintaan Kubilai Khan.

   Dengan tandas baginda menyatakan bahwa Singasari menolak untuk menghadap raja Kubilai Khan.

   Apabila hubungan itu berdasar saling hormat-menghormati kedaulatan masing2 dan bersifat persahabatan maka Singasari bersedia.

   Tetapi apabila bersifat suatu pengakuan terhadap kerajaan Kubilai Khan sebagai yang lebih tinggi dan tiap tahun Singasari harus menghaturkan bulubekti, gelondong pengareng-areng Singasari menolak keras dan bersedia menghadapi segala akibat dari tindakan yang akan diambil oleh Kubilai Khan.

   "Untuk menegaskan sikap kerajaan Singasari hendaknya paduka berkenan mengadakan persekutuan dengan Sriwijaya dan kerajaan2 tanah Malayu."

   "Benar"

   Ujar baginda Kertanagara "tetapi masih kurang tepat, engkau patih Aragani!."

   Apanji Aragani terkesiap. Bergegas ia menghaturkan sembah untuk memohon petunjuk baginda.

   "Bukan bersekutu"

   Seru baginda "tetapi mempersatukan mereka kedalam lindungan Singasari. Bukankah Singasari itu lebih besar dari Sriwijaya?."

   "Benar, gus "

   Seru pa h Aragani yang pandai mengiku hembusan angin "ibarat surya, sekarang surya di langit Sriwijaya itu sudah pudar karena hampir silam.

   Dan surya pagi yang gemilang mulai muncul dari celah2 gunung Meru, memancarkan sinar yang gemilang di bumi Singasari."

   Baginda Kertanagara tertawa gembira sekali.

   Dan sekalian mentri senopa yang sama menghadap hanya terlongong-longong dalam damparan gelombang yang menghilangkan segala kesadaran dan per mbangan pikiran mereka.

   Ada beberapa mentri yang tahu akan hal itu namun mereka masih jeri apabila teringat akan nasib wreddha mentri pa h empu Raganata, demung Banyak Wide dan tumenggung Wirakreti.

   Bahkan ke ga mahamentri kerajaan yani rakryan mentri Ino, rakryan mentri Sirikan dan rakryan mentri Alu.

   Rakryan2 pratanda yani pa h Kebo Arema atau Kebo Anengah, demung Mapanji Wipaksa, rakryan kanuruhan Mapanji Anurida, juga tak mengemukakan pendapat sesuatu apa.

   Beberapa saat kemudian barulah sang Ramapa pimpinan dari ke ga kementrian yani pa h, demung dan kanuruhan, menghaturkan kata.

   "Perkenankanlah hamba, Ramapati menghaturkan sembah kata2 yang picik kebawah duli paduka"

   Kata Ramapati "dimuliakan kiranya oleh dewata, keinginan paduka untuk meluaskan kewibawaan kerajaan Singasari sampai ke Sriwijaya dan tanah Malayu.

   Tetapi gusti sesembahan para kawula Singasari, jina dari Tantrayana yang agung.

   Dalam menyusun kekuatan untuk menghadapi kekuatan dari maharaja Kubilai Khan itu, hendaklah langkah paduka mengarah pada arahan yang tepat.

   Sehingga janganlah tujuan yang baik rusak karena cara yang kurang sesuai."

   "O"

   Desuh baginda Kertanagara "katakanlah paman Ramapa , apa2 yang paman kandung. Agar lebih sempurnalah Singasari melangkah kearah kejayaan."

   "Gus "

   Kata kepala dari ke ga kementrian itu "betapa turun surya krjayua kerajaan Sriwijaya, namun Sriwijaya masih tegak.

   Dan dikerajaan itu masih terdapat seorang pa h yang pandai yani pa h Demang Daun Lebar.

   Apabila paduka menggunakan kekerasan, tentulah akan mbul pertumpahan darah.

   Hamba percaya bahwa pasukan Singasari tentu dapat mengalahkan Sriwijaya, tetapi hamba tak percaya bahwa baik fihak yang menang maupun yang kalah, takkan berkurang kekuatannya.

   Bagaimana akibatnya, apabila dalam keadaan kedua fihak sedang menderita luka parah maka raja Kubilai Khan lalu mengirim pasukan untuk menyerang? Tidakkah kita yang akan menderita kerugian?."

   Baginda mengangguk-angguk.

   "Pendapat paman Ramapa itu memang tepat"

   Ujar baginda "lalu dengan cara bagaimana kita akan bertindak agar terhindar dari akibat2 itu?."

   "Gus junjungan hamba yang mulia"

   Ba2 pa h Aragani berdatang sembah "mohon dimaa an apabila hamba lancang untuk menghaturkan sembah kata2 ini."

   "Bicaralah"

   Seru baginda.

   "Pasukan Singasari berjumlah besar dan kuat serta mempunyai senopati2 yang digdaya sakti. Bahwa pengiriman utusan dari raja Kubilai Khan itu jelas mengandung tekanan supaya kerajaan Singasari manungkul dan mengakui kekuasaan kerajaan Tartar. Kerajaan Singasari diwajibkan menghadap dan menghaturkan bulu upeti kepada Kubilai Khan. Hamba bukan seorang senopati atau prajurit perang. Tetapi lebih baik hamba berkalang tanah daripada bercermin bangkai. Lebih baik hamba menjadi bangkai daripada melihat Singasari harus menyembah kepada Kubilai Khan."

   Hiruk suasana sidang agung di balairung ketika mendengar kata2 patih Aragani. Baginda Kertanagara pun bergeliat dari tahta singgasana.

   "Pasukan Singasari bertumpah ruah memenuhi pura kerajaan. Mereka siap untuk melaksanakan amanat paduka. Semangat mereka sedang dalam puncaknya, apabila mereka dibiarkan memenuhi pura, tentulah akan menimbulkan akibat2 yang kurang layak bagi keamanan"

   Kata pa h Aragani"

   Dan menurut hemat pa k yang picik ini, ada suatu pedoman dalam keprajuritan bahwa penjagaan yang terbaik adalah penyerangan yang terbaik.

   Apabila pasukan Singasari telah menduduki tanah Malayu dan Sriwijaya, bukankah bala tentara Kubilai Khan dapat kita hancurkan di tengah perjalanan sehingga pura Singasari tak menderita kerusakan apa2."

   Bagindapun mengangguk.

   "Hamba bukan bermaksud mencegah pengiriman pasukan Singasari ke Malayu, melainkan hamba hanya mempersembahkan pendapat, alangkah baiknya apabila kedatangan pasukan Singasari itu membawa suatu kedamaian dan persahabatan dengan mereka, terutama dengan kerajaan Sriwijaya. Rasa persahabatan itu tentu akan mengikat mereka untuk membantu perjuangan Singasari apabila Kubilai Khan benar2 mengirim bala tentara. Maksud persembahan kata hamba tak lain, janganlah kita terpecah belah sendiri sehingga mudah dihancurkan oleh musuh dari kerajaan Tartar itu."

   Baginda Kertanagara menyetujui pendapat kedua mentri itu dan memutuskan.

   Bahwa pertama- tama, Singasari akan datang dengan mengulurkan tangan persahabatan dan kedamaian.

   Apabila hal itu gagal barulah menggunakan kekerasan untuk menguasai mereka.

   Ke ka Baginda meminta pendapat siapa2 senopa yang layak memimpin pasukan Singasari ke Malayu itu maka pa h Aragani segera berdatang sembah "Menurut hemat hamba, rasanya ada seorang senopati yang lebih cakap, lebih gagah perkasa daripada ki patih Kebo Arema sendiri."

   Terkejutlah sekalian mentri dan senopa mendengar usul pa h Aragani itu. Demikian pula yang tersangkut atau patih Kebo Arema sendiri.

   "Mohon paduka melimpahkan ampun yang sebesar-besarnya kepada diri Kebo Anengah, gus "

   Sembah pa h itu "jauh dari pikiran hamba untuk menolak tah paduka, ada pula se k noda yang walaupun bagaimana kecilnya dalam ha hamba, bahwa hamba mengandung ha tak setya kepada kerajaan paduka.

   Tetapi justeru karena memiliki rasa tanggung jawab akan keselamatan dan kewibawaan kerajaan paduka, maka hamba memberanikan diri untuk menghaturkan kata2 ini.

   Untuk melaksanakan tah paduka, rasanya ada yang lebih tepat daripada senopa Kebo Anabrang.

   Selain memiliki pengalaman luas, gagah berani, tegas dan mempunyai kewibawaan dalam kalangan prajurit, pun Kebo Anabrang sangat terpuji dalam menghadapi perundingan2 dengan kepala kerajaan lain dan mengatur serta menentukan langkah.

   Hamba percaya, gus , bahwa ditangan Kebo Anabrang, amanat paduka itu akan terlaksana dengan tepat dan berhasil dengan gemilang."

   "Hamba setuju dengan hatur sembah"

   Kata pa h Kebo Anengah, gus "

   Ba2 rakryan Rama pari berkata "pa h Kebo Anengah memang perlu sekali untuk menegakkan keamanan dalam kerajaan paduka.

   Hamba mendengar bahwa sisa dari Linggapa di Mahibit yang pernah dibasmi oleh rahyang ramuhun Kertarajasa, mulai bergerak untuk menyusun kekuatan di gunung Butak.

   Juga sisa2 pengikut dari pangeran Kanuruhan di Glagah Arum, masih mencari kesempatan untuk menimbulkan kekacauan.

   Dan disamping itu gus , hendaknya paduka jangan mengabaikan pengawasan kepada Daha"

   Keterangan Ramapa itu telah menyadarkan sekalian mentri dan senopa , betapa masih rawan keamanan dalam telatah kerajaan Singasari itu.

   Beberapa mentri antara lain demung Mapanji Anurida, juga mendukung pernyataan Ramapati.

   Setelah mendengar pernyataan dari beberapa mentri akhirnya baginda memutuskan untuk mengangkat senopa Kebo Anabrang sebagai pemimpin pasukan Singasari yang akan dikirim ke Malayu.

   Kepada Kebo Anabrang diperintahkan supaya segera menyusun pasukan, itu.

   Dalam waktu singkat baginda akan memberi amanat tentang keberangkatannya.

   Demikian perapatan agung telah paripurna dan pada malam harinya baginda menitahkan supaya patih Aragani datang menghadap ke keraton.

   "Aragani"

   Tegur baginda "aku merasa gembira sekali atas perapatan agung pagi tadi. Para mentri senopa seia-sekata setya melakukan cita aku meluaskan pengaruh Singasari sampai ke tanah Malayu."

   "Benar, gus "

   Kata pa h Aragani "perbedaan hanya pada soal cara tetapi tujuan sama. Kesatuan dan persatuan dari para mentri hulubalang, senopa dan prajurit Singasari, merupakan tanda dari suatu jaman baru yang akan disinari oleh kewibawaan dan kejayaan Singasari."

   Baginda Kertanagara tertawa gembira.

   "Engkau tahu, Aragani, mengapa engkau ku tahkan datang menghadap ke keraton ?"

   Ujar baginda.

   "Hamba mohon ampun, gus , manakala kata2 hamba ini tak berkenan pada paduka. Paduka tentu merasa le h sehabis menghadiri perapatan agung hari ini dan paduka perlu dengan hiburan2 yang dapat melenyapkan kelelahan pikiran dan tenaga itu."

   "Pintar sekali engkau, Aragani"

   Seru baginda "bagaimana engkau dapat mengetahui isi ha ku, Aragani ? Jika begitu engkau ini manusia berbahaya, ha, ha, ha"

   Baginda tertawa gelak2.

   Sebenarnya hampir terasa berhen darah Aragani tatkala, baginda mengatakan dia seorang manusia berbahaya.

   Tetapi bagai air mencurah dari bendungan yang bobol, maka lepas banglaslah perasaan Aragani ke ka baginda menutup kata2 itu dengan tertawa gelak2.

   Jelas baginda hanya berolok-olok.

   "Namun hamba persembahkan kebawah duli baginda atas ucapan2 hamba yang tak senonoh itu, gus "

   Kata pa h Aragani dengan merangkai kata2 yang mengambil ha "hamba memang merasakan hal2 semacam itu pada diri hamba.

   Entah karena usia, entah karena memang kegemaran hamba.

   Se ap hamba dipontang-pan ngkan oleh keresahan, kegelisahan dan kelelahan bekerja, tentu hamba akan lari kepada sumber yang dapat memberi kesegaran kepada semangat dan jiwa hamba, gusti."

   "O"

   Desuh baginda terkejut "sumber apakah itu?."

   "Mungkin bagi lain orang menganggap sumber itu sebagai air racun yang akan membinasakan raga tetapi bagi hamba sendiri, gus . Sumber itu merupakan seper Tirta Amerta, Air Kehidupan yang besar daya khasiatnya terhadap diri hamba"

   "Katakanlah, Aragani."

   "Apakah paduka takkan murka kepada diri hamba dan menganggap bahwa hamba ini seorang mentri lapuk?."

   "Aneh"

   Gumam baginda "aku belum mendengar apa yang hendak engkau katakan mengapa engkau ketakutan sendiri ?."

   "Karena pada umumnya, orang menganggap demikian, gusti."

   "Adakah engkau percaya bahwa aku juga memiliki anggapan seper kebanyakan orang itu, Aragani ?."

   Tersipu-sipu patih Aragani menghatur sembah.

   "Ampun, gus junjungan hamba"

   Katanya "bukanlah demikian yang hamba maksudkan. Karena paduka gus , adalah nata binatara dari kerajaan Singasari yang besar, seorang jinah dari agama yang agung. Tentulah beda, sebagai langit dengan bumi, kebijaksanaan baginda."

   Baginda tertawa. Girang ia mendengar sanjung pujian yang dilontarkan pa h Aragani. Kemudian ia menitahkan patih Aragani segera mengatakan hal itu.

   "Bagi diri hamba peribadi gus , se ap kelelahan kericuhan pikiran, tentu hamba segarkan dengan air sari nipah atau sari singkong atau jemelai. Air sari itu benar mempunyai daya khasiat yang besar."

   "Tuak ?."

   "Demikianlah, gusti"

   Sembah patih Aragani.

   "Ah, mengatakan tuak saja mengapa engkau harus melingkar-lingkar sedemikian jauh, Aragani."

   "Mohon paduka melimpahkan ampun kepada, diri hamba, gusti."

   "Apa yang harus kuberi ampun"

   Ujar baginda "kegemaran itu adalah kebebasan peribadi dari se ap orang. Yang pen ng, dari kegemaran itu, engkau memperoleh kesegaran semangat, jiwa dan pikiran untuk dapat disumbangkan kepada kepentingan kerajaan."

   "Demikian gusti."

   "Banyak nian macam dan ragam orang mendambakan kegemaran. Dan janganlah engkau mengekang diri dari-keinginan yang bergejolak dalam ha mu. Mengekang itu suatu pemaksaan, bukan suatu pelepasan. Mungkin hari ini, besok atau lusa engkau mampu mempertahankan pengekanganmu itu, tetapi karena engkau tak menemui pelepasannya, pada suatu saat tentu akan meletus pula. Beda dengan suatu pelepasan. Apabila sudah lepas, maka engkau takkan resah dan melekatkan pikiranmu lagi. Engkau dapat memusatkan pikiran dan perha anmu pada tugas2 kerajaan."

   Serta merta pa h Aragani menyembah ke bawah kaki baginda "Jayalah Singasari karena dipertuan oleh seorang junjungan yang arif bijaksana bagaikan Hyang Wairocana menjelma di bumi."

   "Ah, jangan terlalu nggi engkau menyanjung, Aragani"

   Tegur baginda agak tersipu "kembalilah pada persoalan tuak atau sumber Tirta Amerta yang engkau katakan tadi. Benarkah air itu mempunyai daya khasiat yang sedemikian besar?."

   "Demikianlah yang hamba lakukan sejak bertahun-tahun. Kata orang air itu dapat membinasakan raga, menumpulkan otak. Tetapi ternyata dak demikian dengan diri hamba. Hamba bertambah segar dan pikiran hambapun bertambah terang sehingga paduka berkenan melimpahkan kepercayaan yang makin besar kepada diri hamba"

   "O, adakah Tirta Amerta itu yang menghidupkan engkau, Aragani? Benarkah itu?."

   "Demi Batara Agung, demi kehormatan hamba si tua Apanji Aragani ini"

   Kata pa h itu dengan nada dan wajah bersungguh.

   "Pernah juga kuteguk air itu tetapi bukan kesegaran melainkan kepeningan yang kurasakan"

   Ujar baginda.

   "Ah, mohon paduka melimpahkan ampun gus "

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sembah pa h Aragani"

   Sudah bertahun-tahun hamba meneguk sumber air itu, sudah pula menjadi darah pada tubuh hamba. Seolah se ap tetes darah dan butir keringat hamba adalah cucuran dari sumber air itu."

   "Aneh"

   Gumam baginda "adakah tubuhmu memiliki kelebihan dari aku?" ' "Bukan, gus "

   Sembah Aragani "bagaimana mungkin tubuh seorang jnana seper paduka, takkan memiliki kesucian yang lebih agung dari diri hamba. Karena makin berada pada tubuh yang agung, makin sumber air itu memancarkan daya khasiat yang lebih cemerlang."

   "Aragani"

   Ujar baginda "katakanlah yang harus engkau haturkan kepadaku."

   "Menurut hemat hamba, kemungkinan hanya terdapat dua hal yang belum terlaksana"

   Kata pa h Aragani "pertama, memang pada mulanya sumber itu akan membuat kepala pening dan pikiran merana.

   Tetapi setelah beberapa waktu membiasakan meneguk, rasa pening dan merana itu akan ba pada suatu alam yang tak pernah kita temukan di dunia kecuali di In-draloka tempat para dewa2."

   "Dan yang kedua, antara sumber air daklah sama. Ada sumber air yang benar2 memiliki daya khasiat dan ada pula yang kurang memiliki daya khasiat. Oleh karena itu haruslah dipilih sumber air yang murni"

   "O, maksudmu, tuak itu berbeda-beda khasiatnya ?."

   "Demikianlah gusti."

   "Lalu apakah engkau mempunyai sumber air yang murni?."

   "Oleh karena sumber, air itu merupakan sumber hidup tenaga, raga dan jiwa. hamha maka hambapun memilihnya dengan cermat sekali. Bahkan ramuannya adalah menurut peninggalan kakek moyang hamba turun temurun."

   "Jika demikian"

   Kata baginda "cobalah engkau haturkan sumber air milikmu itu kepadaku."

   "Baik, gus "

   Aragani segera menghaturkan piala kecil yang terbungkus dengan kulit rusa "sesungguhnya hamba ingin menghaturkan kebawah duli paduka tetapi hamba takut paduka akan murka kepada hamba."

   "Mengapa murka ?."

   "Karena banyak orang yang menganggap tuak adalah sumber kebinasaan raga dan jiwa. Walaupun mereka kurang menghayati khasiat yang sesungguhnya dari tuak itu."

   Baginda segera menyambuti dan meneguknya "Ah, harum benar, menyegarkan semangat."

   Aragani menambahkan pula bahwa rasa dan khasiat dari tuak itu jauh lebih hebat lagi daripada baunya yang harum.

   Beberapa saat kemudian baginda berujar bahwa memang ia merasakan semangatnya lebih segar dan pikirannya lebih lepas, seolah segala keletihan pikiran dan tubuh, hilang semua.

   Sejak itu baginda berkenan menitahkan pa h Aragani untuk membuatkan ramuan tuak.

   Hubungan antara raja dan pa hpun makin erat.

   Melalui tuak, keduanya telah mencapai k persamaan dalam kenikmatan tuak yang oleh patih Aragani disanjung sebagai sumber air.

   Pada suatu hari maka baginda ber tah bahwa baginda hendak melangsungkan niatnya memungut pangeran Ardaraja sebagai menantu.

   Diam2 Aragani terkejut.

   Tidakkah hal itu akan memberi peluang bagi akuwu Jayakatwang menanamkan pengaruhnya memalui puteranya itu? Dari dakkah pula.

   hal itu akan melengahkan peihatian baginda terhadap pengawasannya kepada Daha? Makin merenungkan hal itu makin dibayang pula pikiran pa h Aragani akan hal yang mencemaskan hatinya.

   Berbahaya.

   Akhirnya ia bertemu pada kesimpulan yang menyeramkan.

   Tetapi patih itu memang seorang yang licin dan licik.

   Walaupun di hati tak setuju tetapi ia harus memaksa mulutnya tertawa menyetujui.

   Apabila ia menentang, kemungkinan ia akan mengalami nasib seperti empu Raganata, Banyak Wide dan Wirakreti.

   Pohon jati, keras dan kokoh, tak mudah dilanda angin.

   Tetapi kekerasan dan kekokohan itu memerlukan suatu keimbangan antara akar dan batang.

   Adakah ia memiliki kedua syarat itu? Tidak.

   Ia tidak mempunyai akar atau pengaruh.

   Tidak pula memiliki batang keras atau kekuatan yang menguasai kalangan narapraja maupun pasukan.

   Oleh karena itu ia lebih menyukai memilih sifat rumput yang ikut rebah kemanapun angin meniup.

   Lemas tetapi ulet tak mudah patah.

   Makin ditiup angin makin subur.

   "Bagaimanakah sikap akuwu Jayakatwang terutama pangeran Ardaraja sendiri, gus ?"

   Ia hanya dapat mengadakan pertanyaan.

   "Sudah tentu akuwu Daha dan puteranya akan girang dan bersyukur menerima anugerahku itu."

   "Adakah para mentri dan senopati paduka juga demikian ?."

   "Mereka patuh dan setya akan titah raja. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Aragani?."

   "Suatu langkah yang amat bijaksana, gus . Dengan ikatan keluarga itu tentulah Daha takkan mengandung maksud untuk melepaskan diri dari kerajaan paduka. Dan akan berakhirlah naluri permusuhan turun temurun antara Singasari-Daha dalam suatu mahligai kedamaian yang bahagia. Dan hambalah yang paling bahagia sendiri, gusti."

   "Mengapa ?."

   "Karena hamba tentu akan menikmati tuak istimewa. Bukankah dalam peralatan pernikahan agung itu, tentu akan paduka titahkan suatu perjamuan yang mewah ?."

   Baginda tertawa gelak2.

   Demikian kelicinan patih Aragani.

   Walaupun dalam hati menentang tetapi mulut setuju.

   Tiba di rumah, ia merenungkan peristiwa itu sampai malam.

   Ia membayangkan bahwa kedudukannya sebagai patih tentu akan terancam.

   Paling tidak pangeran Ardaraja tentu akan mendapat tempat di hati baginda.

   Dan menurut keyakinannya, tak mungkin pangeran itu akan mendambakan kesetyaannya kepada ayahanda mertuanya lebih besar daripada ayahnya sendiri.

   Betapapun akuwu Jayakatwang itu adalah ayahnya sendiri.

   Dalam hubungan itu tentulah dia akan mendapat tekanan dari ayahnya.

   Membayangkan kemungkinan itu, pa h Aragani makin cernas.

   Ia mendapat laporan dari mata2 yang ditugaskan untuk mengawasi gerak gerik akuwu Daha, bahwa Daha saat ini sedang giat memperbesar pasukannya.

   Apa maksud akuwu Jayakatwang? Bukankah sebagai bawahan dari Singasari, Daha harus mempercayakan soal keamanan kepada Singasari ? Pernah pada suatu kali ia berhasil menganjurkan baginda untuk menegur ndakan Daha.

   Tetapi dengan cerdik akuwu Daha memberi alasan bahwa ndakannya itu justeru sebagai pernyataan setya kepada Singasari.

   Apabila Daha sudah mampu untuk menjaga keamanan daerahnya, bukankah Singasari dapat menggunakan pasukannya untuk melaksanakan cita-citanya meluaskan pengaruh ke tanah seberang.

   Soal Daha tak perlu dikua rkan karena akuwu Jayakatwang selalu mengingat budi baginda Kertanagara yang telah menobatkan dia menjadi raja Daha.

   Demikian alasan Jayakatwang yang dipersembahkan kehadapan baginda Kertanagara.

   Sekonyong-konyong terdengar suara hiruk pikuk di belakang.

   Bahkan terdengar pula suara tangis.

   Aragani terpaksa beranjak dari tempatnya dan menuju ke tempat itu.

   Ternyata suara itu berasal dari ruang tempat nggal Panca, hamba tua yang sudah ikut padanya selama berpuluh tahun.

   Panca menjadi orang kepercayaan yang diserahi untuk mengurus rumahtangga kepatihan.

   "Mengapa ?"

   Tegur Aragani kepada isteri Panca yang saat itu sedang menelungkupi Panca. Panca rebah di pembaringan, dikerumuni oleh beberapa bujang.

   "Paman Panca ..... meninggal, gusti"

   Seorang bujang lelaki segera memberi keterangan.

   "Panca meninggal ?"

   Aragani terkejut "kenapa?."

   "Menurut keterangan bibi Panca, paman telah minum tuak."

   Aragani makin terkejut "Hai, nyi Panca, mengapa suamimu meninggal?."

   Dengan menahan isak, perempuan itu memberi keterangan "Benar, gusti, memang suami hamba telah meninggal secara aneh. Pada hal siang tadi dia masih segar bugar."

   "Meninggal secara aneh ? Apa yang aneh ?."

   "Dari lubang hidung, mulut dan telinganya telah mengucurkan darah."

   "Apa sebabnya ?."

   Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, dia sempat mengatakan bahwa ia telah minum tuak."

   "Dimana ?."

   "Di ruang tempat simpanan tuak paduka, gusti."

   "O"

   Aragani mendesuh kejut.

   Ia segera memerintahkan supaya membuka kain yang menutup muka Panca.

   Ke ka melihat muka Panca, ngeri juga perasaan Aragani.

   Hidung, mulut dan telinga bujang tua itu memang berlumuran darah.

   Aragani segera menitahkan supaya Panca dirawat baik2, kemudian ia menuju ke ruang penyimpanan tuak.

   Setelah memeriksa ia makin terkejut, Ternyata tuak yang berwarna merah dan disimpan dalam sebuah kotak tersendiri telah terbuka dan isinyapun berkurang.

   "Ah"

   Ia mendesuh panjang "dia tentu minum tuak yang ini. Mengapa dia tak mau mengatakan kepadaku ?."

   Tuak itu bukan tuak biasa melainkan tuak yang mengandung ramuan racun.

   Barang siapa meminumnya tentu mati.

   Tetapi apabila hanya dituang sedikit untuk dicampurkan kepada tuak lain maka orang yang minum itu dak akan sampai ma melainkan lama kelamaan daya pikirannya akan tumpul.

   Dengan tuak itulah ia hendak mencampurkan kedalam tuak yang dipersembahkan kepada baginda.

   "Karena minum terlalu banyak, maka pecahlah urat nadi Panca"

   Diam2 ia merangkai dugaan.

   Tetapi diam2 iapun terkejut atas keganasan daya tuak beracun itu.

   Serentak iapun teringat akan orang yang telah memberikan tuak beracun itu.

   Empu Kanda yang nggal dipuncak gunung Argapura, terkenal dengan kepandaiannya membuat ramuan jamu, termasuk jamu2 yang beracun.

   Empu itu seorang pawang ular yang termasyhur.

   Pada suatu hari Aragani berkunjung ke tempat empu Kanda dan menyatakan maksudnya hendak meminta ramuan obat beracun yang daya kerjanya lambat.

   Supaya ramuan racun itu dibuat sebagai tuak dan dapat dicampurkan kedalam tuak.

   "Tuak ini beracun sekali. Apabila diminum secawan penuh. Orang tentu akan ma dengan ngeri. Kelima indera lubangnya akan mengucurkan darah"

   Kata empu Kanda pada saat menyerahkan tuak beracun itu "tetapi kalau sedikit dan dicampurkan kedalam tuak, orang yang meminumnya akan kehilangan daya pikirannya dan lama kelamaan akan tumpul ingatannya."

   Ternyata yang dikatakan empu itu memang benar.

   Bujang tua Panca karena mungkin melihat tuak itu terus mbul seleranya.

   Dicurinya tuak itu lalu diteguknya sampai puas.

   Memang rasa tuak itu harum dan nikmat.

   Baunya saja sudah memikat selera minum.

   Tetapi karena minum terlalu banyak, Panca harus menemui ajalnya secara mengenaskan.

   "Ya, benar"

   Ba2 pa h Aragani terlintas sesuatu gagasan "aku harus menemui empu Kanda, Apabila mendapat tuak atau ramuan racun yang bekerja secara halus, tentulah dapat kulenyapkan pangeran Ardaraja."

   Serentak terbetiklah suatu rencana jahat dalam hati patih itu.

   "Tetapi"

   Beberapa saat kemudian ia terbentur pada lain pikiran "harus kulihat dulu bagaimana perkembangannya.

   Apabila pangeran itu bersikap baik dan bersahabat dengan aku, tak perlu aku harus menindaknya.

   Dia dapat kuperalat untuk menguasai kedua pemerintahan Singasari dan Daha."

   Karena mbulnya gagasan baru itu, maka Aragani menunda pula rencananya untuk menuju ke gunung Penanggungan.

   "Tetapi karena tuak merah hampir habis, baiklah kuperintahkan seorang pengalasan untuk meminta lagi kepada empu itu."

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Demikian setelah diper mbangkan dengan masak dengan dasar bahwa pekerjaan dalam kerajaan Singasari sukar untuk di nggal, begitu pula apabila ia tak berada dalam pura Singasari tentu cepat menarik perha an para mentri terutama baginda Kertanagara, maka ia memutuskan mengirim seorang pengalasan.

   Pengalasan itu diperintahkan menghadap empu Kanda di puncak gunung Penanggungan untuk menyerahkan suratnya.

   Keesokan harinya ia segera memanggil seorang pengalasan yang dipercaya, menyerahkan sepucuk surat dan menyuruhnya segera berkuda menuju ke puncak Penanggungan, menghadap empu Kanda.

   Beberapa hari kemudian, baginda telah memanggilnya "Paman pa h"

   Ujarnya baginda "rasanya tiada lain mentri yang layak kuserahi tugas ini daripada engkau.."

   "O, apakah yang paduka hendak tahkan kepada Aragani, pas akan hamba lakukan dengan sepenuh jiwa raga hamba, gusti."

   "Engkau pandai bicara, mahir merangkai kata,"

   Ujar baginda "engkau kuutus ke Daha, menghadap Jayakatwang dan membicarakan tentang pernikahan pangeran Ardaraja dengan salah seorang puteriku.."

   Aragani terkesiap. Ia tak menduga bahwa sedemikian cepat baginda melaksanakan rencananya untuk memungut menantu pada pangeran Ardaraja. Namun kesiap itu cepat dihapusnya dengan mencerahkan airmukanya.

   "Baik gusti. Mana2 titah paduka pasti akan hamba laksanakan."

   "Tetapi rangkailah kata2 dalam pembicaraanmu, agar Jayakatwang jangan mempunyai kesan bahwa aku mempunyai maksud lain dalam menjodohkan puteranya dengan puteriku, kecuali hanya bersifat lebih memantapkan hubungan antara Singasari dengan Daha.."

   Serta merta pa h Aragani menghaturkan sembah sebagai pertanyaan akan melaksanakan tah baginda.

   Hari keberangkatan utusan yang dipimpin pa h Aragani itu ditetapkan dua hari lagi.

   Pa h Aragani dititahkan pula untuk memilih rombongan pengikutnya.

   Segera berita tentang maklumat baginda itu tersiar luas di seluruh pura Singasari.

   Dari kalangan mentri senopa di pemerintah sampai pada para kawula, semua membicarakan, hal itu.

   Banyak yang was-was, banyak pula yang tak setuju tetapi tak kurang yang memuji langkah baginda sebagai ndakan yang amat bijak.

   Tetapi pada umumnya, yang setuju dan memuji ndakan baginda itu, lebih besar jumlahnya.

   Malam itu patih Aragani dikejutkan dengan kedatangan seorang tetamu.

   Prajurit keputihan yang menghaturkan laporan tak kenal pada tetamu itu.

   Tetapi dia mengatakan bahwa tetamu itu mempunyai urusan penting hendak menghadap patih.

   "Siapkan prajurit lengkap untuk menjaga segala kemungkinan,"

   Perintah pa h Aragani.

   Ia memang agak syak mendapat kunjungan seorang tetamu yang tak mau memberitahukan namanya.

   Kemudian ia suruh prajurit membawa tetamu itu masuk menghadapnya.

   Ia agak terkejut ke ka melihat seorang pertapa setengah tua melangkah masuk dengan membawa sebatang tongkat.

   Langkahnya agak terseok.

   Atas pertanyaan Aragani, pertapa itu mengatakan bernama begawan Rangki.

   "Hamba hendak membicarakan suatu masalah pen ng dengan gus pa h. Mohon gus pa h menitahkan para pengawal berjaga diluar."

   "Hamba guru dari Mahesa Rangkah dan kedatangan hamba menghadap ki pa h tak lain karena terdorong oleh rasa berat ha menolong penderitaan murid hamba,"

   Kata pertapa setelah para pengawal patih Aragani menyingkir keluar.

   "Apakah yang terjadi dengan Mahesa Rangkah?"

   Patih Aragani agak heran.

   "Beberapa hari yang lalu, Mahesa Rangkah telah menemui hamba dan menangis, menyerahkan jiwa raganya kepada hamba. Waktu hamba tanya, dia mengatakan bahwa dia sedang menderita kehancuran ha . Dia menyatakan tak mau lagi bekerja sebagai bhayangkara keraton Singasari dan akan mengasingkan diri mengikuti jejak hamba sebagai pertapa."

   "Ah, tentu ada sesuatu yang penting sekali sehingga dia sampai sedemikian putus asa."

   Pertapa itu menghela napas.

   "Anakmuda memang terlalu tinggi cita- citanya, terlalu besar keinginannya. Rasanya ingin hatinya memeluk gunung apabila tangan sampai."

   "Hm"

   Desuh pa h Aragani "ki begawan belum menerangkan persoalan itu dengan jelas"

   Ia memberi peringatan lagi.

   "Sebelumnya hamba mohon ampun apabila kata2 yang hamba persembahkan ini tak berkenan diha ki pa h"

   Kata begawan itu "tetapi memang beginilah beratnya menjadi seorang guru menghadapi tangis muridnya."

   "Ki begawan"

   Kata Aragani "apakah sesungguhnya yang hendak tuan bawa kemari ?."

   "Benarkah bahwa baginda Kertanagara telah memutuskan untuk menikahkan puterinya dengan pangeran Ardaraja dari Daha?."

   Patih Aragani mengiakan.

   "Puteri yang manakah akan baginda kenankan menjadi isteri pangeran itu?."

   "Belum tahu"

   Kata Aragani "baginda mempunyai beberapa orang puteri."

   "Bukankah puteri yang sulung bernama Dyah Ayu Tribuwana?"

   Begawan itu menegas pula.

   "Ya."

   "Tentulah puteri sulung yang akan dianugerahkan baginda kepada pangeran itu ?."

   "Ya"

   Kata pa h Aragani "hak baginda untuk memutuskan puteri yang mana yang akan dianugerahkan kepada pangeran Ardaraja.."

   "Ki pa h"

   Kata begawan Rangki "

   Dakkah tuan tahu bahwa sebenarnya dalam keputren keraton Singasari itu telah berkecamuk bara asmara yang hangat?."

   Patih Aragani terkesiap.

   "Apakah yang ki begawan maksudkan?."

   "Dalam lingkungan dinding keraton yang dijaga ketat oleh puluhan tombak dan pedang prajurit bhayangkara dan dikungkung oleh adat is adat keraton yang keras, lelatu itu mbul, membara dan menyalakan api asmara diantara dua insan yang digariskan sebagai dwi-tunggal kehidupan oleh dewata tetapi dipisahkan oleh derajat dan pangkat oleh kehidupan."

   Pa h Aragani merentang mata, menatap begawan itu lekat2, ujarnya "Ki begawan, benar2 aku tak menger apa yang engkau maksudkan. Ki begawan datang kemari hendak membawa keterangan ataukah hendak menimbulkan kebingungan?."

   Begawan Rangki tertawa.

   "Api itu telah menyala di dada seorang bhayangkara muda dan sanubari seorang puteri keraton."

   "Siapa?"

   Seru patih Aragani.

   "Tidakkah tuan dapat merangkaikan hal itu dengan kedatanganku menghadap kemari ?"

   Tanya begawan Rangki.

   "Mahesa Rangkah murid ki begawan itu?"

   Seru Aragani. Begawan Rangki mengangguk.

   "Benar, ki pa h. Muridku si Rangkah itu memang tak tahu diri dan tak kenal pada nasibnya sehingga berani bermain api asmara dengan salah seorang puteri baginda.."

   "Siapa?"

   Kembali patih Aragani bertanya.

   "Sang puteri ayu Tribuwana, ki patih."

   "Hai"

   Teriak Aragani "Mahesa Rangkah berani menggoda puteri baginda ?."

   Begawan Rangki berkata dengan tenang.

   "Jangan tuan menuduh anak itu menggoda. Asmara bukan digoda, bukan pula dikobarkan. Karena api itu tumbuh dan membara sendiri.."

   Pa h Aragani memandang begawan itu dengan tajam, serunya.

   "Begawan, kesalahan murid ki begawan, menjadi tanggung jawab ki begawan pula. Layakkah seorang prajurit bhayangkara berani bermain asmara dengan puteri raja ?."

   Begawan Rangki tertawa ringan.

   "Asmara adalah perasaan ha yang paling suci dan agung. Kesuciannya bagaikan bunga padma yang tetap pu h bersih walaupun hidup dalam kolam lumpur. Keagungannya bagai sinar sang surya yang menerangi alam jagad raya tanpa membedakan si kaya dan si miskin, raja dengan sudra. Berdosakah Ken Arok bermain asmara dengan Ken dedes yang telah menjadi isteri akuwu Tumapel itu ?."

   Patih Aragani tertegun.

   "Dalam segala hal, aku sanggup bertanggung jawab atas ngkah laku muridku si Rangkah, tetapi dalam hal asmara, aku tak kuasa mencegahnya. Haruskah Mahesa Rangkah kubunuh karena berani bermain asmara dengan puteri ayu Tribuwana?."

   "Tuan seorang begawan yang telah mendambakan diri dalam kesucian. Mengapa masih mencampuri urusan keduniawian ?"

   Tegur patih Aragani.

   "Kedatanganku kemari tak lain hanya atas permintaan muridku agar peris wa itu dihaturkan ke hadapan ki patih."

   "Lalu apa maksudnya memberitahukan hal itu kepadaku?"

   Tanya Aragani.

   "Bagi si Rangkah yang telah mabuk kepayang itu, lebih baik ma daripada hidup ada bersanding dengan sang puteri."

   "Hm"

   Dengus Aragani "adakah dia bermaksud hendak merampas gusti puteri?."

   "Jika demikian"

   Kata begawan Rangki "tentu Rangkah tak meminta aku menghadap kemari. Dia dapat langsung melaksanakan rencana itu.."

   Patih Aragani kerutkan dahi.

   "Lalu apa maksudnya?."

   "Dia hendak menghaturkan permohonan agar tuan berkenan menerimanya sebagai anakbuah pengiring tuan ke Daha.."

   "Itukah keinginannya?"

   Begawan Rangki mengiakan.

   "Apa maksudnya ?."

   "Ia akan membunuh pangeran Ardaraja ..." ' "Gila!"

   Teriak patih Aragani "dengan begitu jelas dia hendak mencelakai diriku !."

   "Bagaimana tuan dapat mengatakan begitu ?."

   "Jika pangeran Ardaraja terbunuh, bukankah baginda Kertanagara dan raja Jayakatwang akan mempertanggung jawabkan peristiwa itu kepadaku ?."

   "Tidak"

   Begawan Rangki gelengkan kepala "ki pa h takkan terlibat dalam peris wa itu. Rangkah akan melakukan rencana itu seorang diri. Dia akan mencari kesempatan untuk menyelundup ke dalam keraton Daha dan membunuh pangeran itu.."

   "Bagaimana mungkin?."

   "Tentu tuan masih meragukan kedigdayaan Rangkah. Tetapi seluruh ilmuku telah kuturunkan kepadanya. Dia dapat memancarkan aji Penyirepan dan sanggup berhadapan dengan berpuluh prajurit.."

   "Tetapi dengan cara bagaimanakah dia akan melepaskan diriku dari tanggung jawab atas pembunuhan itu ?"

   Masih Aragani menegas.

   "Sudah tentu dia mempunyai cara tersendiri"

   Kata begawan Rangki "dia takkan ber ndak sebagai seorang anakbuah pengiring tuan tetapi sebagai seorang pemuda lain.."

   "Adakah ki begawan merelakan dia membunuh pangeran Ardaraja ?"

   Ba2 pa h Aragani mengajukan pertanyaaan yang tajam.

   "Membunuh termasuk salah satu perbuatan yang dikutuk dalam agama kami dan agama lain"

   Sahut begawan Rangki "tak kurang pula nasehat yang kutanamkan dalam ha anak itu namun dia tetap tak mengendap keputusannya."

   "Tetapi dia masih bertugas dalam keraton,"

   Kata patih Aragani pula.

   "Dia akan minta idin untuk pulang menjenguk ibunya yang sakit atau memakai alasan lain yang dapat diterima oleh ki patih Kebo Anengah."

   "Baik"

   Akhirnya Aragani menyanggupi "dia boleh menggabungkan diri dalam rombongan pengiringku. Tetapi harus dijaga janganlah dia sebagai Mahesa Rangkah melainkan sebagai seorang lain."

   Demikian setelah persepakatan telah dicapai, begawan itupun minta diri.

   Begawan itu bergegas menuju ke luar pura.

   Dan ditempat yang sunyi dia segera menyelundup ke dalam sebuah gerumbul pohon.

   Tak berapa lama ia muncul lagi, bukan sebagai begawan melainkan sebagai Mahesa Rangkah.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata begawan yang diakunya sebagai guru itu tak lain adalah dirinya sendiri.

   Karena hanya dengan jalan itu, dapatlah ia mengiringkan patih Aragani untuk masuk ke keraton Daha.

   Ia bergegas menuju ke pura dan terus menyiapkan segala sesuatu agar dua hari lagi ia sudah dapat meninggalkan tugas dan ikut pada rombongan patih Aragani.

   Dalam pada itu, pa h Aragani masih duduk termenung-menung mengenangkan pembicaraannya dengan begawan Rangki tadi.

   "Hm, lancang benar Mahesa Rangkah,"

   Gumamnya dalam ha "dia berani memikat puteri Tribuana, berani pula menyanggupi untuk membunuh pangeran Ardaraja.."

   Tiba2 pula pa h Aragani teringat akan beberapa peris wa.

   Kedatangan pemuda yang membawa surat dari pangeran Ardaraja supaya diserahkan kepada bekel Kalingga.

   Tetapi bekel itu menolak untuk memberi keterangan kepada siapa surat itu harus ia serahkan kemudian karena mendapat tekanan akhirnya mengaku kalau surat itu sedianya akan ia berikan kepada Kebo Anengah.

   Dan ternyata setelah Kuda Panglulut menemui pa h Kebo Anengah di Blambangan, ternyata pa h itu menyangkal sekeras-kerasnya bahkan marah sekali.

   Dengan demikian jelas, bekel Kalingga berbohong.

   Kemudian tentang hilangnya bekel Lingga yang disuruhnya melaksanakan rencana untuk memancing beberapa orang Daha yang terlibat dalam peris wa hilangnya gong pusaka Empu Bharada itu.

   Lalu yang terakhir, munculnya secara aneh, gong kerajaan Singasari yang dijadikan umpan oleh kedua pengalasan yang diutusnya yani Seta Arang dan bekel Lingga.

   Gong itu terletak di halaman keraton tanpa diketahui oleh seorang prajurit penjaga.

   Pada hal jelas prajurit2 pengawal keraton itu tak melihat barang seorang luar yang masuk kcdaiam keraton.

   Merangkaikan beberapa peris wa itu dengan ngkah ulah Mahesa Rangkah, hampir renungan Aragani menjurus kearah bekel bhayangkara itu.

   "Bukankah dia yang harus menerima surat dari pangeran Ardaraja itu ? Bukankah dia yang menyembunyikan bekel Lingga? Bukankah dia pula yang meletakkan gong itu di halaman keraton ?."

   Sesaat ia menumpahkan pertanyaan2 yang menuduh Mahesa Rangkah.Beberapa saat kemudian baru berpikir.

   "Jika dia bersekutu dengan pangeran Ardaraja, mengapa dia berkeras hendak membunuh pangeran itu ?"

   Pertanyaan pertama mendapat tantangan dari jawaban yang dirangkainya.

   Dan terbenturlah tuduhan pertama itu pada karang yang keras.

   Serentak tuduhan itupun berantakan.

   Untuk kecurigaan yang kedua, iapun sukar untuk menemukan jawaban, mengapa Mahesa Rungkah harus menyembunyikan bekel Lingga.

   Apakah kepentingannya ia melakukan hal itu.

   Demikian pula dengan tuduhan ke ga.

   Dari mana Mahesa Rangkah memperoleh gong kerajaan Singasari sehingga dapat diletakkan dalam halaman keraton? Bukankah menurut keterangan Seta Arang, gong itu telah hilang ketika di lembah gunung Polaman ? Makin merenung, makin kacaulah benaknya.

   Makin ingin menyingkap peris wa itu makin terbenamlah ia dalam alam kegelapan.

   Sekonyong-konyong ia terkejut mendengar derap langkah kaki di luar pintu.

   Cepat ia berpaling dan serempak pada saat itu pintupun terbuka dan "O, engkau Kuda Panglulut"

   Seru pa h Aragani ketika melihat siapa yang datang. Kuda Panglulut segera menghadap rama mentuanya.

   "Tentu membawa urusan pen ng engkau sampai menghadap rama pada saat semalam ini"

   Kata patih Aragani pula.

   "Benar, rama"

   Kuda Panglulut memberi hormat "mohon rama memaa an kelancangan hamba ini."

   "Ah, tak apa, anakku"

   Kata Aragani.

   "untuk se ap berita yang pen ng, terutama dari engkau anakku, rama selalu siap menerima.."

   "Dari seorang anakbuah hamba yang kebetulan habis, datang dari Tumapel ...."

   "Mengapa dia keTumapel?"tukas Aragani.

   "Dalam rangka untuk menyelidiki jejak bekel Lingga, rama."

   "O, benar, benar"

   Patih Aragani mengangguk.

   "lalu bagaimana laporannya ?."

   "Anakbuah hamba itu melaporkan bahwa di gedung kediaman dharmadhyaksa seperti tertampak seseorang yang menyerupai bekel Lingga."

   "Oh"

   Desuh pa h Aragani "jika demikian bawalah pasukan dan geledah rumah dharmadhyaksa itu."

   Kuda Panglulut menghela napas.

   "Rama"

   Katanya "apabila memang nyata demikian, tentulah hamba akan membawa pasukan untuk meminta kepada dharmadhyaksa empu Raganata supaya menyerahkan bekel Lingga.

   Tetapi hamba masih bersangsi, rama.

   Benarkah orang itu bekel Lingga, masih belum diketahui jelas.

   Se ap ndakan yang tergesa-gesa tentu akan menimbulkan rasa kurang senang pada dharmadhyaksa empu Raganata.."

   "Hm"

   Dengus Aragani "tetapi masakan dia berani melawan, kekuasaan kerajaan?."

   Terdengar Kuda Panglulut menghela napas pula.

   "Tetapi rama"

   Ujarnya "persoalan ini ada sangkut pautnya dengan kerajaan.

   Apabila baginda mendengar, urusan bahkan akan berlarut lebih panjang.

   Bukankah bekel Lingga rama tahkan untuk membawa gong kerajaan Singasari ke Daha? Dan bukankah gong itu telah hilang di lembah Polaman? Jika baginda mendengar hal itu, kurang baiklah akibatnya bagi rama."

   Aragani tertegun lalu mengangguk kepala.

   "Lalu bagaimana rencanamu ?"

   Tanyanya sesaat kemudian.

   "Hamba akan melakukan penyelidikan secara terselubung. Ar nya, hamba akan masuk ke gedung kediaman dharmadhyaksa empu Raganata secara sembunyi. Apabila hamba berhasil membuk kan bahwa orang itu benar bekel Lingga, barulah hamba akan membawa pasukan untuk memintanya kepada empu Raganata."

   Aragani menghela napas.

   "Memang cara itu baik sekali"

   Katanya "tetapi engkau harus tahu,Panglulut, bagaimana perangai dedongkot tua Raganata itu. Dia seorang yang keras kepala dan kukuh. Apabila dia memang telah melindungi bekel Lingga ....."

   "Hamba rasa bukan melindungi, rama"

   Tukas Kuda Panglulut "tetapi menahan bekel Lingga."

   "Menahan ?."

   "Ya"

   Sahut Kuda Panglulut "kemungkinan dia tentu menerima permintaan dari seseorang untuk menahan bekel Lingga disitu.."

   "O, maksudmu bekel Lingga ditawan?."

   Kuda Panglulut mengangguk "Ya. Karena apabila tak dikekang kebebasannya tentulah bekel itu sudah menghadap rama.."

   "Tetapi angger"

   Masih Aragani cemas "

   Dakkah berbahaya sekali memasuki gedung kediaman empu tua itu ? Ketahuilah, Panglulut, walaupun Raganata itu seorang tua tetapi dia memiliki kedigdayaan yang mengejutkan.."

   "Ya, benar,"

   Kata Kuda Panglulut "hamba-pun mendengar keterangan orang tentang diri empu tua itu. Tetapi hambapun mendapat laporan bahwa gedung kediaman empu tua itu tak dijaga prajurit maka agak mudahlah untuk memasukinya.."

   "Ah"

   Aragani menghela napas "tetapi lebih baik suruh salah satu seorang anakbuah kepercayaanmu untuk memasuki kediaman empu tua itu. Jangan engkau terburu nafsu untuk bertindak sendiri.."

   Kuda Panglulut tahu bahwa ayah mentuanya itu mencemaskan keselamatannya.

   Pada waktu2 biasa, memang pa h Aragani sangat kasih kepadanya.

   Ia tak tahu apakah kasih pa h itu memang ditujukan kepada dirinya ataukah demi kepen ngan puterinya yang menjadi isterinya itu.

   Karena patih Aragani sangat memanjakan sekali kepada puterinya itu.

   "Tetapi rama"

   Kata Panglulut "rasanya hanya hamba yang mampu memasuki gedung kediaman empu Raganata.."

   "Lebih baik diatur begini, angger"

   Kata Aragani "suruh salah seorang anakbuahmu masuk.

   Apabila dia tak muncul lagi, segeralah engkau bawa anak pasukan untuk meminta kepada empu Raganata.

   Dalam hal ini engkau mempunyai landasan kuat ber ndak atas nama pasukan Singasari yang hendak menolong seorang anakbuahnya.."

   Setelah merenung akhirnya Kuda Panglulut setuju.

   Ia segera minta diri dari hadapan rama mentuanya dan langsung menuju ke tempat rombongan prajurit.

   Oleh pa h Kebo Anengah, dia diberi tugas untuk mengepalai pasukan keamanan dalam pura Singasari.

   Ia memiliki seratus prajurit.

   Sebenarnya keselamatan pura Singasari berada di-bawah penilikan tumenggung Wirakre yang diangkat sebagai mentri angabaya.

   Tetapi karena sungkan dengan pa h Aragani maka pa h Kebo Anengah pun membentuk sebuah pasukan keamanan pura yang bertugas untuk meronda keamanan.

   Sedang pasukan yang menjaga pura Singasari tetap di bawah pimpinan tumenggung Wirakerti.

   Kuda Panglulut membawa duapuluh prajurit menuju ke Tumapel.

   Memang wewenangnya meliputi keamanan Singasari dan Tumapel.

   Ia memerintahkan rombongan prajurit yang berkuda itu turun dan berjalan menuju ke gedung kediaman empu Raganata, adhyaksa Tumapel.

   "Kepung gedung adhyaksa dari jarak agak jauh,"

   Perintahnya pula. Kemudian ia memanggil seorang prajurit "Kamal, bawalah tiga orang kawan menghadap adhyaksa Raganata.."

   Prajurit itu mengiakan dan mengundurkan diri.

   "Saprang"

   Ia memanggil seorang prajurit yang bertubuh agak pendek "bawalah seorang kawan dan masuklah ke dalam gedung adhyaksa dari pintu sebelah belakang.."

   Sesaat Kamal menghadap pula bersama ga orang prajurit "Tanyakanlah kepada adhyaksa apakah bekel Lingga berada disitu.

   Usahakan supaya engkau dapat melibat adhyaksa dalam pembicaraan yang lama supaya memberi waktu bagi Saprang masuk dari pintu belakang.."

   Setelah menerima perintah, Kamal dan ber ga kawannya segera berangkat, kemudian Saprang bersama seorang prajurit.

   Saat itu hampir menjelang tengah .

   malam.

   Keadaan gedung kediaman adhyaksa empu Raganata sunyi senyap.

   Tentulah penghuni gedung sudah tidur semua.

   Namun karena mendapat perintah, Kamal tak menghiraukan hal itu.

   Ia mendebur pintu berulang kuli.

   Beberapa saat kemudian terdengar palang pintu dibuka orang dan pada lain saat daun pintu pun terentang.

   Seorang lelaki tua muncul sambil mengusap-usap mata.

   Rupanya pandang matanya masih kabur dibuai tidur lelap.

   "Siapakah yang tengah malam begini mendebur pintu ?"

   Tegur lelaki tua itu dengan suara parau.

   "Gus , hamba prajurit keamanan yang sedang meronda"

   Kata Kamal "hamba melihat seorang lelaki yang menyerupai bekel Lingga masuk ke dalam gedung ini.."

   "Apa ?"

   Lelaki tua itu rentangkan mata lebar2.

   "Hamba melihat seorang lelaki yang gerak geriknya mencurigakan telah menyelundup masuk ke dalam gedung paduka, gus ."

   Kamal mengulang kata-katanya. Ia tahu bahwa empu Raganata itu bekas seorang patih kerajaan maka ia tetap berbahasa gusti' kepadanya.

   "Engkau keliru melihat,"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut lelaki tua itu "sejak siang tadi kami tak menerima tetamu barang seorang pun juga. Gusti adhyaksapun tiada di rumah.."

   "Ha ?"

   Kamal terbeliak "apakah engkau bukan gusti adhyaksa Raganata?."

   "Lihat yang jelas, masakan diriku layak menjadi gusti adhyaksa."

   "Dan siapakah engkau ?."

   "Aku bujang tua Sonto."

   "Setan !"

   Hardik Kamal "jika tahu begitu, tak perlu kupanggil engkau gus . Lalu kemanakah gustimu ?."

   "Gustiku sedang ke Singasari."

   "Jika demikian engkau tentu dapat memberi keterangan"

   Kata Kamal "dimanakah bekel Lingga bersembunyi?."

   Bujang Sonto seorang tua yang jujur. Waktu mendengar pertanyaan itu wajahnya agak berobah. Tetapi cepat ia menyahut "Aku tak tahu dan memang tak ada orang yang datang kesini.."

   Kamal yang bermata tajam segera dapat mengetahui perobahan airmuka Sonto "Hm, bohong engkau! Jika engkau tak mau memberi keterangan yang benar, terpaksa aku harus menggeledah gedung ini."

   "Apa ?"

   Sonto terbelalak "engkau berani memasuki dan menggeledah gedung kediaman gus adhyaksa Raganata ?."

   "Aku adalah anakbuah pasukan keamanan Singasari. Aku hendak mencari bekel Lingga yang hilang dan menurut keterangan salah seorang kawan, dia tampak berada dalam gedung ini.."

   "Tidak!"

   Teriak hamba tua itu "jika engkau mau menggeledah, engkau harus tunggu dan minta idin kepada gusti adhyaksa.."

   "Dia tidak dirumah."

   "Tunggu saja,"

   Sonto terus hendak mengatubkan daun pintu tetapi saat itu Kamal sudah maju dan mendorong daun pintu sehingga Sonto agak terjerembab ke belakang.

   "Ringkus dia"

   Kamal memberi perintah dan seorang kawannya segera mengikat hamba tua itu.

   Tetapi tua sekalipun umurnya, Sonto juga tak mau menyerah begitu saja.

   Ia meronta, memukul prajurit itu dan terus lari kedalam.

   Kamal berempat mengejarnya.

   Sonto muncul dengan membawa golok.

   "Jika kalian tak mau pergi, aku akan mengamuk !."

   Kamal tertawa seraya maju menghampiri "Cobalah engkau tabas dadaku ini"

   Ia membusungkan dada menantang. Sonto terkesiap. Ia sudah tua dan tak pernah berkelahi. Tetapi menghadapi ngkah laku kawanan prajurit yang liar itu, ia nekad. Tetapi waktu Ramal song-songkan dada menantang supaya dibacok, Sonto terkesiap.

   "Jangan memaksa aku membunuhmu"

   Teriak kakek itu "lekas enyah dan datanglah besok saja apabila gusti adhyaksa sudah berada di rumah."

   "Ha, ha. ha"

   Kamal tertawa "tanganmu gemetar, engkau takut melihat darah, lebih baik engkau berikan golok itu kepadaku,"

   Sambil berkata Kamal ulurkan tangannya.

   "Apakah engkau benar2 tak mau mendengar kata-kataku ?'."

   "Berikan golokmu itu !"

   Ba2 dengan sebuah gerak yang amat cepat, tangan Kamal sudah menyambar lengan Sonto dan dicengkeramnya keras2.

   "Auh"

   Sonto mengerang kesakitan dan lepaskan goloknya.

   Rupanya tak puas Kamal hanya merebut golok Sonto, karena setelah berhasil mencengkeram lengan bujang tua itu, ia terus memelin rnya ke belakang sehingga tubuh Sonto ikut berputar.

   Kini tangannya telah diteliku Kamal, dilekatkan pada punggungnya.

   "Katakan, dimana orang itu"

   Kata Karnal seraya mengisar lengan Sonto agak naik keatas punggung sehingga Sonto meraung kesakitan. Dahi bujang tua itu mulai bercucuran keringat. Namun ia tetap tak mau bicara.

   "Eh, kakek, apakah engkau benar2 tak mau mengatakan. Jika begitu, akan kupatahkan tulang lenganmu ...."

   Kamal terus hendak menyorongkan lengan Sonto keatas bahu.

   "Lepaskan!"

   Sekonyong-konyong Kamal dan ke ga kawannya terkejut mendengar sebuah lengking teriakan yang nyaring, penuh kemarahan.

   Ke ka mereka berpaling ternyata dari dalam sebuah ruang, muncul seorang anak lelaki berusia lebih kurang duabelas tahun.

   Wajahnya yang cakap tetapi sepasang matanya tampak merah dan berkilat-kilat.

   Anak itu menghampiri ketempat Kamal.

   Melihat anak itu Sonto terkejut dan ketakutan.

   "Raden, jangan kesini, pergilah raden ...."

   Tetapi anak laki itu tetap menghampiri dan menuding Kamal "Lepaskan! Apa engkau tak dengar ?."

   Entah bagaimana, suara anak laki itu dan terutama sikapnya yang berani, terasa mempunyai perbawa yang membuat Kamal lepaskan tangan Sonto "Siapa engkau ?"

   Seru Kamal seraya menghadapi anak itu.

   "Aku Mandira."

   "Putera gusti Raganata?."

   "Ya"

   Sahut anak laki itu "siapa kalian dan mau apa kalian datang kemari ?."

   "Kami prajurit peronda keamanan dari Singasari. Kami melihat bekel Lingga memasuki gedung ini maka kami hendak membawanya."

   "Siapa bekel Lingga ?"

   Tanya anak itu. Rupanya dia tak tahu kalau ramanya, Raganata, telah menerima Lingga berlindung disitu.

   "Bekel bhayangkara keraton Singasari"

   Sahut Kamal.

   "Tidak ada"

   Jawab Mandira "disini tak pernah terdapat orang luar yang masuk."

   Sejenak Kamal terkesiap tetapi pada lain saat ia berkata pula "Ah, raden, janganlah raden melindungi orang yang bersalah. Dia mendapat tugas dari gus pa h Aragani tetapi kemudian melarikan diri dan bersembunyi disini.."

   "Hm"

   Mandira mendengus.

   "jangan sembarang menuduh. Apa wewenangmu untuk memasuki rumah ini pada waktu malam begini.."

   "Kami pasukan peronda keamanan. Dimana terlihat sesuatu yang mencurigakan, kami berhak untuk bertindak.."

   "Tetapi disini tak ada orang yang engkau cari itu !."

   "Terpaksa kami akan melakukan penggeledahan, raden,"

   Kata Kamal "jika memang tak ada, kamipun segera akan tinggalkan tempat ini.."

   "Tetapi kalian baru menduga, belum pas . Tidak layak kalau ber ndak pada waktu begini malam"

   Kata Mandira pula. Kamal tertawa "Bukankah raden putera dari gus Raganata? Jika demikian tentulah raden dapat mewakili gusti Raganata untuk menyaksikan kami melakukan penggeledahan."

   "Besok rama pulang"

   Jawab pemuda kecil itu dengan nada lancar "lebih baik kalian datang besok saja. Aku tak berani lancang memberi idin.."

   "Hm"

   Desuh Kamal "jika raden yakin bahwa dalam gedung ini ada bekel Lingga, mengapa raden takut meluluskan permintaan kami ?."

   "Bukan karena takut"

   Sahut Mandira "tetapi karena perbuatan kalian ini melampaui batas kelayakan.

   Rama adalah dharmadhyaksa Tumapel, bekas pa h kerajaan Singasari dan kalian hanya rombongan peronda keamanan.

   Bagaimana berani kalian hendak melakukan penggeledahan kediaman rama pada tengah malam begini?."

   Kamal terkesiap. Ia mendapat kesan bahwa pemuda kecil itu memang berani dan pandai bicara.

   "Raden, tugas keamanan dak membedakan mentri dengan rakyat, kaya dengan miskin. Dimana tempat kami menaruh kecurigaan, disitulah kami akan bertindak."

   "Jika hal itu memang sudah nyata, kalian boleh bertindak"

   Sahut Mandira "tetapi baru dugaan, belum pasti. Maka lebih baik kalian datang kembali besok pagi, jangan pada tengah malam begini.."

   "Tidak bisa"

   Seru Kamal "waktu amat berharga, siapa tahu bekel itu akan melarikan diri malam ini."

   "Kalian boleh menjaga rapat disekeliling gedung ini !"

   Seru Mandira pula.

   "Kakang Kamal"

   Ba2 salah seorang prajurit maju menghampiri Kamal "rasanya tak perlu kakang membuang waktu. Lebih baik kita bertindak."

   "Raden"

   Kata Kamal "harap memberi idin."

   "Tidak!"

   Mandira berteriak seraya menghadang dengan bercekak pinggang "ini rumahku, jangan engkau bertindak sekehendakmu."

   Kamal berpaling ke ka kawannya yang berada di-samping, menggamitnya. Ia memberi anggukan kepala. Dan prajurit itu segera melangkah maju kehadapan Jaka Mandira "Raden, jika engkau tak mau memberi idin, terpaksa kami hendak bertindak."

   Prajurit itu ulurkan tangan hendak menyiak pemuda kecil itu.

   Sekonyong-konyong Mandira songsongkan tangan menebas.

   Yang diarah adalah pergelangan siku lengan orang.

   Prak ....

   prajurit itu menjerit kesakitan.

   Lengannya serasa dijalari suatu aliran tenaga keras sehingga lunglai.

   Pada saat tubuhnya ikut mengendap ke-bawah, Mandira menyerempaki pula dengan sebuah tebasan ke leher.

   "Auh ...."

   Prajurit itu mengerang kesakitan dan terseok-seok ke belakang. Peris wa itu mengejutkan Kamal dan kedua kawannya yang lain. Mereka tak menduga bahwa anak sekecil itu mampu merubuhkan kawannya.

   "Tangkap!"

   Kamal memberi perintah dan kedua prajurit itupun segera menerjang.

   Tetapi Mandira sanggup menghadapi mereka.

   Dia bergerak kian kemari, menghindar dan balas memukul sehingga kedua prajurit itu hampir kewalahan.

   Kamal makin terkejut.

   Ia memperha kan bahwa putera empu Raganata itu memiliki ilmu kanuragan yang baik.

   Andaikata tenaganya sudah mencapai tataran nggi, tentulah kedua prajurit itu akan rubuh.

   "Memalukan"

   Diam2 Kamal mengeluh dalam ha "apa kata Kuda Panglulut apabila aku dan ketiga kawanku gagal karena dikalahkan oleh seorang pemuda kecil."

   Kamal memperha kan gerak putera Raganata itu.

   Pada saat pemuda kecil itu membelakanginya dan tengah menangkis serangan kedua prajurit, ba2 Kamal ber ndak.

   Dengan sebuah gerak yang tak terduga-duga dan cepat sekali, ia segera menghantam tengkuk Mandira sekeras-kerasnya, krak.....

   "Jangan!"

   Teriak Kamal ke ka melihat kedua kawannya hendak memukul tubuh Mandira yang rubuh.

   "dia sudah pingsan."

   "Kakang Kamal"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru prajurit yang dikalahkan Mandira tadi "lebih baik kita bunuh saja bersama bujang tua itu. Jika kita nggalkan mereka hidup, mereka tentu akan mengadu kepada empu Raganata dan empu tentu akan melapor kehadapan baginda"

   Kamal bersangsi.

   "Benar, kakang Kamal"

   Kata pula prajurit yang lain"

   Jika kita lenyapkan mereka, empu tentu tak tahu siapa yang telah membunuh puteranya."

   "Tetapi raden Kuda Panglulut dak memberi perintah kita untuk melakukan pembunuhan"

   Kata Kamal "lebih baik kita ikat dia saja. Kita nanti laporkan pada raden Panglulut."

   Mandira pingsan.

   Tangan dan kakinya diikat.

   Demikian pula bujang tua Sonto.

   Setelah itu Kamal dan ke ga kawannya lalu masuk ke dalam.

   Mereka bertemu dengan Saprang dan kawannya "Empu Raganata tak berada di rumah, engkau dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa,"

   Kata Kamal kepada Saprang. Kawanan prajurit itu segera menggeledah gedung kediaman adhyaksa. Tetapi mereka tak menemukan suatu apa. Akhirnya mereka kembali ke ruang depan "Mungkin kawan yang melihat bekel Lingga berada di gedung ini, salah lihat,"

   Kata Kamal.

   "Bagaimana dengan anak dan bujang tua ini ?"

   Tanya Saprang "jika mereka sadar, tentu dapat melapor pada empu Raganata."

   "Kalian tunggu disini"

   Kata Kamal "aku hendak menemui raden Kuda Panglulut. Kalau dia memerintahkan supaya dibunuh, kita bunuh."

   Kamal segera bergegas meninggalkan gedung kediaman adhyaksa empu Raganata.

   Ia menghadap Kuda Panglulut dan melaporkan peristiwa yang terjadi.

   Setelah merenung beberapa saat, Kuda Panglulut berkata "Memang benar.

   Anak dan bujang tua itu pasti dapat menimbulkan bahaya bagi kita.

   Lebih baik selesaikan saja mereka."

   Bergegas Kamal kembali ke gedung adhyaksa, disambut dengan pandang penuh penan an oleh beberapa kawannya.

   Ayam sudah berkokok, mereka harus lekas2 tinggalkan gedung itu.

   Memang dharmadhyaksa empu Raganata hidup dengan sepi.

   Walaupun dia bekas pa h kerajaan dan kini menjadi adhyaksa di Tumapel, tetapi dia tak mau menerima penjaga, baik pemberian dari kerajaan sebagai pengawal atas kedudukannya, maupun memelihara sendiri.

   Ia seorang tua yang jujur dan sederhana.

   Iapun seorang mentri yang setya kepada kerajaan.

   Karena kesetyaannya, ia rela dicopot sebagai pa h daripada menutup mulut melihat ndakan2 baginda Kertanagara yang dianggapnya bersifat ahangkara.

   Bukan pangkat yang menjadi ukuran pengabdiannya kepada kerajaan.

   Ia tak malu atau kecewa karena ndakan baginda terhadap dirinya itu.

   Selama masih menjadi narapraja, bahkan sebagai kawula biasapun, ia tetap akan membaktikan tenaga dan pikirannya untuk kepentingan Singasari.

   Dalam rumah, ia hanya memelihara seorang bujang tua Sonto, yang sudah ikut padanya sejak muda.

   Sonto mempunyai isteri yang ikut nggal dalam gedung adhyaksa.

   Empu Raganata hanya mempunyai seorang putera yang baru berumur duabelas tahun.

   Memang agak terlambat empu Raganata menikah.

   Pada usia empat-puluh lima tabun, baru ia menikah dan ke ka isterinya melahirkan putera, isteri itupun meninggal.

   Puteranya bernama Lembu Mandira.

   Walaupun hanya berputera satu tetapi empu Raganata tak mau memanjakannya.

   Ia mendidik Mandira dengan keras.

   Bahkan dikirimnya putera itu kepada seorang resi yang nggal di gunung Arjuna untuk mengaji ilmu.

   Ia sendiri merasa tak sempat untuk mendidik dan mengajar puteranya itu.

   "Bagaimana kakang Kamal"

   Teriak beberapa prajurit yang menunggu dengan tak sabar.

   "Raden Panglulut memerintahkan supaya mereka dibunuh"

   Kata Kamal.

   "Siapa yang ditugaskan membunuh?"

   Seru prajurit itu pula seraya memandang kepada kawan- kawannya.

   Tadi mereka amat bernafsu untuk membunuh putera dan bujang tua dari adhyaksa Raganata.

   Tetapi kini mereka tampak gelisah.

   Rupanya dalam waktu beberapa jenak pada saat kepergian Kamal tadi, mereka menyadari bahwa membunuh putera empu Ruganara itu bukan hal yang sepele.

   Besar sekali akibatnya.

   "Raden Panglulut dak menunjuk siapa2 tetapi kurasa engkau saja,"

   Kata Kamal kepada prajurit yang menjadi kawan rombongannya.

   "Aku ?"

   Prajurit itu terbeliak "ah, lebih baik Kawung ini"

   Ia menunjuk kawannya.

   "Tidak"

   Sahut Kawung "lebih tepat kalau kalau kakang Kamal."

   "Hm, pengecut"

   Dengus Kamal "mengapa harus aku?."

   Diam sejenak. Rupanya mbul ketegangan untuk saling melimpahkan tugas diantara Kamal dan ketiga kawannya.

   "Kawan-kawan"

   Tiba2 Saprang berkata "lebih baik begini.

   Kita bawa kedua orang ini ke kebun belakang.

   Kita hantam kepala mereka sampai remuk dan letakkan dibawah pohon.

   Kemudian kita patahkan cabang pohon dan kita atur seolah-olah mereka mendapat kecelakaan, jatuh dari pohon."

   Usul Saprang itu mendapat sambutan yang hangat.

   Berarnai-ramai mereka segera menggotong Mandira dan Sonto ke kebun belakang.

   Mereka mencari sebatang pohon mangga yang besar.

   Setelah meletakkan tubuh ke dua orang itu merekapun bersangsi pula.

   Siapa yang harus menghantam kepala kedua korban itu ? Akhirnya Saprang lagi yang berkata "Kita semua beramai-ramai turun tangan.

   Carilah batang pohon atau batu untuk menghantam."

   Beberapa saat kemudian keenam prajurit itupun sudah siap.

   Yang ga akan menghantam Mandira dan yang ga akan membereskan Sonto.

   Pada saat mereka hendak mulai mengayunkan pokok kayu dan batu kearah kepala Mandira, sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru nyaring "Hai, berhenti."

   Terkejutlah sekalian prajurit itu. Batang dan pokok kayu serta batu yang sedang terangkat pun berhenti di atas kepala rnasing2. Mereka serentak berpaling kearah suara itu.

   "Bekel Lingga!"

   Teriak mereka hiruk. Dan tanpa menghiraukan kedua korban itu mereka serempak berhamburan menghampiri pendatang itu. Dengan masih mencekal batang dan pokok kayu serta batu, mereka mengepung orang itu.

   "Engkau bekel Lingga ?"

   Teriak Saprang.

   "Ya"

   Sahut orang itu "bukankah engkau hendak mencari aku?."

   "Benar."

   "Aku mau menyerahkan diri dengan syarat"

   Kata bekel Lingga.

   "Syarat?"

   Saprang mengulang setengah mengejek "adakah engkau masih berhak berkata demikian?."

   "Hm, prajurit"

   Kata bekel Lingga. Ia tak kenal dengan Saprang, Kamal dan beberapa prajurit itu "engkau kira aku tak dapat membebaskan diri ?."

   Saprang tertawa "Andaikata engkau mampu mengalahkan kami berenam, tetapi diluar masih terdapat raden Kuda Panglulut dengan berpuluh prajurit."

   "Jika aku gagal menerobos kepungan kalian, kalianpun hanya dapat memperoleh mayatku saja"

   Kata bekel Lingga. Rupanya Kamal lebih menyadari bahwa dalam keadaan yang menguntungkan fihaknya, baiklah dia bersikap agak lunak agar dapat membawa bekel itu sebagai tawanan "Ki bekel"

   Serunya "apakah syarat yang andika hendak ajukan?."

   "Hm"

   Desuh bekel Lingga menghembuskan kesesakan dadanya "sebenarnya hal yang akan kuajukan amat sederhana sekali. Tetapi pun tergantung kepada kalian."

   "Silahkan ki bekel mengatakan."

   "Aku akan menyerahkan diri tetapi kuminta kalian jangan mengganggu putera dan bujang tua dari empu Raganata. Hanya begitu."

   "O"

   Desuh Kamal kemudian merenung sejenak.

   Pikirannya, yang pen ng bekel Lingga sudah tertangkap, andai putera dan bujang tua itu mengadu kepada empu Raganata, tentulah empu Raganata tak berani menghadap baginda karena kenyataan telah melindungi seorang bekel yang melalaikan tugas.

   Dan menilik luka yang diderita, baik putera empu Raganata maupun bujang tua itu, hanya pingsan dan tak menderita luka yang berbahaya "baik, kami dapat menerima permintaan ki bekel.

   Dan apakah sekarang kita dapat berangkat menghadap gusti patih Aragani ?."

   "Ya"

   Sahut bekel Lingga. Setelah terlebih dulu minta agar tali ikatan pada tangan dan kaki Mandira dan Sonto dibuka, baru ia ikut rombongan Kamal.

   "Ho, engkau bekel Lingga"

   Seru Kuda Panglulut saat melihat kedatangan bekel itu "mengapa engkau bersembunyi di tempat adhyaksa Raganata?."

   "Raden"

   Kata bekel Lingga dengan tenang "bawalah hamba kehadapan gus pa h. Hamba akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan hamba."

   Demikian bekel Lingga segera dibawa ke Singasari untuk dihadapkan kepada pa h Aragani.

   Tampaknya bekel itu tenang2 saja.

   Dan selama dalam perjalanan dia tak mau bicara apa2.

   Hari masih pagi ke ka penjaga menghadap dan menghaturkan laporan kepada pa h Aragani bahwa raden Kuda Panglulut hendak menghadap.

   Pa h itu segera menitahkan supaya putera menantunya menunggu di pendapa.

   Kesan pertama saat pa h Aragani melangkah ke pendapa besar, adalah hadirnya bekel Lingga yang duduk bersila dibelakang Kuda Panglulut.

   "Rama, hamba berhasil menangkap bekel Lingga yang bersembunyi di gedung adhyaksa Tumapel"

   Kuda Panglulut membuka pembicaraan "saat ini hamba haturkan bekel itu kehadapan rama."

   "Bagus, puteraku"

   Seru patih Aragani kemudian segera memerintahkan agar bekel Lingga masuk. Setelah menghaturkan sembah maka berkatalah bekel Lingga "Hamba tetap setya akan sumpah hamba, gusti patih."

   "Hm, mengapa engkau melarikan diri dan bersembunyi ditempat adhyaksa Tumapel?"

   Tegur patih Aragani.

   "Gus "

   Sembah pula bekel Lingga itu "karena hal ini menyangkut tugas rahasia yang hamba harus merahasiakan, maka hamba mohon agar hamba diperkenankan untuk bicara dihadapan gusti sendiri."

   Pa h Aragani mengerut dahi. Ia memang menaruh kepercayaan besar terhadap orang itu. Maka ia terkejut ke ka mendapat laporan bahwa orang itu telah menghilang lalu bersembunyi di tempat adhyaksa Tumapel "Baiklah"

   Kemudian ia meminta agar Kuda Panglulut menjaga diluar.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kuda Panglulut tampak kurang senang air muka mengapa rama mentuanya lebih percaya pada bekel itu daripada dirinya.

   Namun setelah melihat isyarat kicupan mata dari pa h Aragani, akhirnya mau juga pemuda itu meninggalkan pendapa.

   "Nah, sekarang bicaralah"

   Perintah patih Aragani.

   "Kepercayaan paduka yang memilih diri hamba untuk menyaru menjadi bekel Lingga telah berjalan baik sekali, gusti"

   Bekel itu memulai pembicaraannya.

   "Karena wajahmu mirip dengan bekel Lingga maka kujadikan dirimu sebagai penggan bekel itu agar jangan terjadi kegoncangan dalam keraton. Bukankah anakbuahmu para prajurit bhayangkara itu tak mencurigai dirimu?"

   Tegur patih Aragani.

   "Berkat restu paduka gus , hamba telah dapat menjalankan peran hamba sebagai bekel Lingga dengan baik."

   Diam2 pa h Aragani agak terhibur ha nya.

   Ia teringat di kala bekel Lingga ma digigit ular weling yang berada dalam kotak yang telah di bawa bekel Kalingga, bingung juga ia mencari akal bagaimana ia dapat mengatasi persoalan itu agar jangan sampai menimbulkan kehebohan dalam keraton karena hilangnya dua orang bekel, Lingga dan Kalingga.

   Akhirnya ia teringat bahwa seorang pengalasan kepa han yang bertugas sebagai peka k atau pakuda mempunyai perawakan dan wajah yang mirip bekel Lingga.

   Segera dipanggilnya tukang rawat kuda itu menghadap.

   Setelah diberi petunjuk bagaimana harus berulah dan bergaya sebagai bekel Lingga, akhirnya pakuda itu disuruh menggan sebagai bekel Lingga.

   Karena dia jarang dikenal di lingkungan kepa han maka ada seorangpun yang tahu demikian pula kemiripan wajahnya dengan bekel Lingga, ada menimbulkan kecurigaan para prajurit bhayangkara bawahannya.

   Kemudian dengan alasan yang dapat diterima, pa h Aragani meminta kepada pa h Kebo Anengah agar untuk sementara bekel Lingga itu diperbantukan di kepa han.

   Setelah itu ia menugaskan bekel Lingga palsu itu bersama Seta Arang membawa gong keraton Singasari menuju ke Daha untuk memancing orang2 Daha yang terlibat dalam pencurian gong pusaka empu Bharada itu datang ke lembah Polaman.

   "Bajubang"

   Tegur patih Aragani "mengapa gong keraton Singasari hilang ?."

   Bajubang, demikian nama orang yang menjadi bekel Lingga segera menuturkan semua peris wa yang terjadi di lembah Polaman. Penuturannya sesuai dengan apa yang dipersembahkan Seta Arang.

   "Lalu mengapa engkau tak lekas menghadap aku?."

   "Harap gus memberi ampun yang sebesar-besarnya kepada diri hamba,"

   Bajubang atau bekel Lingga menghaturkan sembah "hamba telah berhadapan dengan suatu peris wa yang tak hamba sangka2."

   "Apakah itu ?."

   "Dalam keadaan terluka sebenarnya hamba hendak menghadap paduka tetapi di tengah jalan hamba dihadang seorang lelaki berkuda. Karena hamba sangka dia penyamun maka hamba masuk hutan. Hamba pancing supaya dia mengejar, kemudian hamba akan mengambil kudanya dan membawanya kabur. Siasat hamba berhasil tetapi pada saat hamba naik kepunggung kuda, ba2 dia menerjang hamba. Terjadilah pergumulan. Hambapun hampir berhasil mencekiknya ma tetapi ba2 dia dapat menendang perut hamba sehingga hamba terjerembab. Dia memberingas hendak membunuh hamba tetapi hamba cepat mengenal orang itu dan berteriak menghentikannya."

   "Siapakah orang itu?."

   "Bekel Mahesa Rangkah, gusti."

   "O"

   Desuh patih Aragani "lalu?."

   "Karena diancam terpaksa hamba menuturkan semua perjalanan hamba dari Daha."

   "Juga tentang hilangnya gong keraton Singasari?"

   Tegur Aragani mulai terkejut.

   "Ya."

   "Juga engkau katakan kalau aku yang menitahkan engkau ?."

   "Ya."

   "Bedebah, engkau Bajubang !"

   Karena marah pa h menampar muka pengalasan itu. Namun Bajubang diam saja bahkan tersenyum.

   "Hai, engkau berani mengejek aku?"

   Teriak patih Aragani makin marah.

   "Bukan, gus "

   Sahut Bajubang "karena paduka tergesa memukul hamba sebelum hamba menyelesaikan cerita hamba."

   "Hm"

   Desuh pa h Aragani "teruskan"

   Ia segera mengambil pedang dan diletakkan diatas pangkuannya "apabila nyata2 engkau lelah menyimpang ke-arah jalan hianat, akan kupenggal lehermu."

   Bajubang tak terpengaruh oleh ancaman itu, ia melanjutkan pula "Adalah karena hamba berbicara dengan terus terang itu maka bekel Rangkah pun percaya penuh dan mengeluarkan isi ha nya.

   Dia menaseha hamba supaya jangan kembali kepada paduka dan dia-pun sanggup untuk melindungi hamba lalu menitipkan hamba ditempat kediaman adhyaksa Tumapel."

   "Dan engkau menurut?"

   Patih Aragani membelalak bengis.

   "Ya."

   "Penghianat"

   Pa h Aragani menyambar pedang terus hendak ditabaskan kearah kepala Bajubang.

   Bukan takut, kebalikannya Bajubang bahkan menyorongkan batang lehernya "jika paduka tak menginginkan keterangan hamba selengkapnya, silahkan paduka memenggal leher hamba, gusti."

   Pa h Aragani terkesiap. Diam2 ia menyadari akan ndakannya yang terburu nafsu dan mulai mengetahui bakat terpendam yang dimiliki Bajubang "Hm, mengapa engkau selalu menurut saja kepada Mahesa Rangkah ?."

   "Gusti"

   Kata Bajubang "adakah bekel Rangkah itu fihak yang memusuhi paduka ?."

   Pa h Aragani terkesiap.

   Pertanyaan yang dilontarkan Bajubang itu memang tepat.

   Bajubang seorang pakuda, tentu tak tahu liku2 suasana dalam keraton Singasari.

   Dan memang sejauh itu, ia belum melihat buk 2 yang jelas dari ndakan bekel Rangkah yang sedemikian itu.

   "Aku belum melihat sesuatu padanya yang cenderung kearah itu."

   "Adakah gusti masih memperkenankan hamba melanjutkan penuturan hamba?"

   Tanya Bajubang. Pa h Aragani terkesiap. Ia segera menyadari kalau tangannya masih mengangkat pedang. Pedangpun diturunkan dan menganggukkan kepala.

   "Ada dua per mbangan yang hamba lakukan pada saat itu mengapa hamba menurut anjuran bekel Rangkah"

   Kata Bajubang "pertama, rupanya bekel Rangkah mengira bahwa hamba ini memang benar-benar bekel Lingga.

   Dia tampak marah dan hendak menuntut balas atas kema an bekel Kalingga.

   Oleh karena itu hamba terpaksa menyerah saja pada anjurannya.

   Dan kedua, hamba pikir dengan mengiku langkah yang ditentukannya, hamba akan dapat lebih menyelidiki siapa dan bagaimana sesungguhnya bekel Mahesa Rangkah itu."

   "O"

   Pa h Aragani terbeliak sehingga terjerembab pada sadaran kursi. Ia tak menyangka bahwa seorang tukang kuda ternyata memiliki pemikiran yang begitu hebat "teruskan ceritamu, Bajubang"

   Serunya gopoh.

   "Dalam perjalanan ke Tumapel hamba berusaha untuk menanyakan tentang hubungannya dengan bekel Kalingga, apa sebab dia begitu marah sekali atas kematian bekel Kalingga."

   "Benar, benar"

   Seru patih Aragani "lalu bagaimana keterangannya ?."

   "Walaupun dak langsung mengakui tetapi hamba mendapat kesimpulan bahwa dia memang mempunyai hubungan dengan bekel Kalingga ....."

   "Jika begitu"

   Teriak pa h Aragani serentak "adakah surat dari pangeran Ardaraja itu harus diterimakan kepadanya ?."

   Bajupang diam.

   "Bagaimana Bajubang?"

   Tegur patih Aragani.

   "Hamba hanya seorang pakuda, gus . Apa yang terjadi sesungguhnya hamba tak tahu. Yang hamba ketahui, menurut kesan hamba, bekel Rangkah memang mempunyai hubungan dengan bekel Kalingga. Hanya sampai disitu pikiran hamba."

   "Lanjutkan lagi ceritamu"

   Seru Aragani.

   "Hambapun bertanya, sampai berapa lama hamba harus bersembunyi di rumah kediaman adhyaksa Tumapel?"

   Bajubang melanjutkan "dia mengatakan, setelah dapat mengumpulkan buk 2 lengkap, dia akan menggunakan hamba sebagai saksi untuk mengadu kehadapan baginda tentang tindakan gusti membunuh Kalingga dan meghilangkan gong keraton."

   "Bedebah si Rangkah"

   Teriak pa h Aragani seraya mengacungkan nju "dia berani melawan aku, Panji Aragani?."

   Bajubang diam saja, membiarkan patih itu meluapkan kemarahannya.

   "Bagaimana dengan ulah adhyaksa Raganata?"

   Beberapa saat setelah tenang, pa h Aragani bertanya pula.

   "Dia memperlakukan hamba dengan baik tetapi jarang bicara dengan hamba. Dan diapun jarang menerima tetamu. Sulit untuk mengetahui gerak geriknya. Yang jelas, dia tampak lebih suka menenangkan diri dalam ruang pemujaan."

   "Hm"

   Desus pa h Aragani "tetapi mengapa engkau tak mau meloloskan diri dan menghadap kepadaku ?."

   "Gus "

   Kata Bajubang "sudah menjadi kebiasaan hamba apabila bekerja tentu tak mau kepalang tanggung.

   Demikian pula dengan peris wa itu.

   Hamba sudah terlanjur menghanyutkan diri dalam langkah yang diatur bekel Rangkah, hamba akan membiarkan diri hamba terhanyut sampai nan mencapai tepian.

   Hamba ingin tahu apakah yang hendak dilakukan bekel Rangkah terhadap paduka."

   "Bukankah dia siap2 hendak mengadukan aku kehadapan baginda."

   "Pada saat itulah, gus "

   Kata Bajubang dengan nada sarat "hambapun akan membongkar segala ndakan bekel Rangkah yang telah menekan hamba dan menculik hamba disembunyikan di Tumapel."

   "Bagus, Bajubang!"

   Teriak pa h Aragani "sungguh tak kukira bahwa engkau dapat memiliki akal budi yang begitu pintar.

   Besar sekali ganjaran yang akan kuberikan kepadamu, kelak setelah aku kembali dari Daha.

   Sekarang engkau harus bersembunyi di kepa han.

   Jangan sampai jejakmu terlihat orang."

   Serta merta Bajubang memberi hormat lalu mengundurkan diri dari hadapan patih itu.

   "Hm"

   Pa h Aragani masih merenung seorang diri "kiranya Mahesa Rangkahlah yang mengacau di keraton. Jika demikian ......."

   Ia mengerut dahi "bukan mustahil, ya, bahkan kemungkinan besar tentu dia yang meletakkan gong keraton itu di halaman keraton!."

   "Hm, berbahaya"

   Ia mendesuh "benar2 berbahaya. Jelas ia mempunyai rencana untuk menjatuhkan aku, paling dak menggeser kekuasaanku. Kemudian dalam arah lain, ia masih berusaha untuk memikat ha gus puteri Tribuwana, celaka !"

   Ba2 ia tersentak dari duduknya ke ka terlintas suatu bayang2 kesimpulan "jika dia berhasil memikat puteri Tribuwana, sebagai menantu raja dia tentu akan makin sombong dan makin besar nafsunya untuk mendepak aku."

   Patih Aragani berhenti sejenak untuk melonggarkan dadanya yang diamuk kemarahan.

   "Celaka"

   Serunya pula "mengapa baru sekarang kuketahui tentang diri bekel Rangkah itu. Aku hanya memusatkan pikiranku kepada Kebo Anengah dan mentri2 serta senopa 2 saja sehingga melupakan diri seorang bekel bhayangkara."

   "Jika dia orang yang mempunyai kemungkinan untuk menerima surat dari pangeran Ardaraja, mengapa dia meminta gurunya untuk menyampaikan permohonan kepadaku supaya diperkenankan ikut dalam rombongan pengiringku demi rencananya hendak membunuh pangeran Ardaraja?"

   Tiba pada pertanyaan itu agak bingung patih Aragani untuk menemukan jawaban.

   Ia teringat bahwa masuknya Mahesa Rangkah menjadi bekel bhayangkara-dalam puri keraton adalah pada masa empu Raganata, Banyak Wide dan Wirakreti masih berkuasa dalam pemerintahan kerajaan.

   Mungkin dia termasuk salah seorang pengikut dari ketiga orang itu ? Ya, benar.

   Menilik dia dapat menitipkan bekel Lingga atau Bajubang kepada adhyaksa Tumapel, jelas,dia mempunyai hubungan dengan Raganata.

   Jika demikian, sisa2 kekuatan Raganata dalam pura kerajaan masirl ada.

   "Dedongkot sudah terbasmi tetapi anakbuahnya masih merajalela. Harus dibersihkan"

   Kata patih Aragani seraya mengepal tinju.

   Sedemikian tegang dan bernafsu pa h itu berperang dalam ha nya sehingga ia lupa untuk memanggil putera menantunya, Kuda Panglulut, yang masih berjaga di luar.

   Karena sudah terlalu lama menunggu belum juga dipanggil.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kuda Panglulut terpaksa masuk.

   Tetapi demi melihat betapa tegang wajah rama mentuanya saat itu, ia tertegun.

   Kemudian ia terkejut ke ka pa h Aragani tengah mengepalkan nju, mengacungkannya seraya berseru "Keparat, enyah engkau ...."

   Kuda Panglulut terkejut karena mengira dirinya yang dimaksudkan.

   Tergesa-gesa ia melangkah keluar dengan mengucurkan keringat dingin.

   Ia tak tahu apa salahnya mengapa ba2 rama mentuanya marah kepadanya.

   Pada hal saat itu, kemarahan pa h Aragani tertumpah pada diri bekel Mahesa Rangkah dan rencana2 yang telah dirancang untuk melenyapkan bekel itu.

   Diluar halaman, Kuda Panglulut masih mendengar rama mentuanya berteriak-teriak, kemudian tertawa gelak-gelak ....

   -oo~dwkz^ismoyo^mch~oo-

   Jilid 9 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor Teks .

   MCH I Editor .

   MCH Dendam merupakan siksa ba n yang paling menyiksa.

   Jika ditekan, akan merupakan api dalam sekam.

   Bila diluapkan, akan menjadi lahar dahsyat dari gunung berapi.

   Dalam menghadapi sesuatu, terutama yang menyangkut soal perasaan, entah sedih, entah benci ataupun dendam kesumat dari kemarahan dan kebencian, kita hanya menempuh dua jalan.

   Menekan atau meletuskan perasaan yang tengah membara itu.

   Pada hal akibat dari kedua jalan itu hanya suatu penundaan dari peletusan.

   Menekan rasa dendam hanya suatu penundaan waktu, suatu penghindaran dari kenyataan.

   Sifatnya hanya seperti api dalam sekam.

   Diluar tenang, didalam membara.

   Meluapkannya, menimbulkan bahaya bermacam akibat.

   Akibat yang memungkinkan segala macam kemungkinan yang tak mungkin.

   Semisal lahar gunung berapi ataupun air bah.

   Segala kemungkinan bencana, mungkin terjadi.

   Dimana pikiran cerah berkabut, maka berarak-araklah awan gelap perasaan ha .

   Dan tak lama awan mendung itu akan berhamburan sebagai hujan lebat.

   Halilintarpun akan memekik-mekik seolah merobek angkasa, membelah bumi.

   Bencana, tetapi alam menghendaki.

   Demikian pula dengan rasa dendam kemarahan atau kesumat.

   Bencana, tetapi manusia tetap menghendaki, bahkan menikmati dengan senang.

   Hujan menyegarkan bumi, menyejukkan udara, memeriahkan suasana alam.

   Adakah rasa dendam juga demikian akibatnya terhadap alam pikiran dan bumi hati manusia ? Hujan termasuk unsur Air yang menghidupkan alam semesta.

   Tanpa air, alam akan gersang, kering dan binasa.

   Dendam, termasuk unsur Nafsu yang menghayat dalam sifat kemanusiawian manusia.

   Adakah tanpa dendam, manusia akan gersang, kering dan binasa? Tidak.

   Kebalikannya, karena dendam dan nafsu2 itulah manusia menderita kegersangan dan kebinasaan.

   Gersang karena panas bara dendam, kesadaran pikiran dan ketenangan hati akan binasa.

   Apabila sudah mengetahui dan menyadari hakiki daripada rasa dendam itu, mengapa manusia masih menyambut, memiliki dan bahkan menggemarinya? Aneh memang manusia itu tetapi memang demikian manusia.

   Manusia yang mempunyai pikiran dan pikiran yang maha binal sifatnya.

   Pikiranlah yang menjadi sumber terciptanya segala macam perasaan, termasuk rasa dendam yang berbahaya itu.

   Untuk meniadakan rasa dendam, sumbernya harus kita cari pada pikiran.

   Mencari dalam arti kata menyelidiki, menelaah dan memecahkan sumber persoalan yang menimbulkan rasa dendam itu.

   Menyelidiki, menelaah dan memecahkan persoalan, suatu cara yang berani menghadapi kenyataan.

   Beda dengan menghindari, menekannya.

   Dengan dalih harus memiliki kesabaran dan pertimbangan2 yang baik, kita berusaha untuk menghindari dan menekan rasa dendam kemarahan ataupun dendam kesumat.

   Dan berhasillah rasa dendam itu terkuasai dan diendapkan.

   Tetapi hal itu bukan berarti menjamin bahwa rasa dendam itu sudah lenyap, melainkan hanya terkuasai dan mengendap dalam dasar hati kita.

   Dan sesuatu yang terkuasai ataupun mengendap, pada suatu saat, mempunyai kemungkinan untuk masih dapat meletus pula.

   Semisal dengan gunung berapi.

   Lain pula halnya apabila rasa dendam itu sudah kita selidiki sebab musababnya, kita telah tahu asal mulanya dan kemudian kita pecahkan persoalannya, maka rasa dendam itupun akan lenyap tanpa bekas.

   Memang sukar untuk menyelidiki, menelaah dan memecahkan soal rasa dendam itu.

   Karena pemecahan itu harus berlandaskan pada kesadaran rasa dan pikiran Kasih sayang, Welas- asih dan kesucian.

   Unsur yang sebenarnya terdapat dalam diri insan manusia.

   Bahkan merupakan unsur in dari sifat kemanusiawian manusia.

   Tanpa in -unsur itu, sukarlah dibedakan kelainan manusia dengan segala jenis mahluk lainnya.

   Panji Aragani, sang pa h dari kerajaan Singasari itu, memanjakan diri dalam genangan nafsu.

   Nafsu keinginan untuk meraih kedudukan nggi, pangkat dan kekuasaan dalam pemerintahan Singasari.

   Dan nafsu2 itulah yang mempunyai bayang2 dari dendam kemarahan dan dendam kebencian, terhadap orang yang tak mencocoki seleranya terutama yang berani menentangnya.

   Harus diakui bahwa Panji Aragani itu seorang yang cerdik.

   Tetapi karena pikiran dan ha berisikan nafsu2 keinginan besar, maka kecerdikannya itupun hanya ditumpahkan pada segala sesuatu yang berlumuran nafsu keinginan.

   Dengan kecerdikan pikirannya yang tajam, dia dapat menemukan bahwa bekel Mahesa Rangkah lah yang telah melakukan pengacauan selama ini.

   Bahwa bekel itu seorang manusia yang berbahaya yang melintang di tengah perjalanannya menaiki tangga kedudukan nggi.

   Maka iapun segera memutuskan, bekel itu harus dilenyapkan.

   Dan dengan kecerdikannya, segera ia dapat menemukan cara untuk melaksanakan keputusannya terhadap bekel itu.

   Keesokan harinya maka berangkatlah pa h Aragani beserta rombongan pengiring, menuju ke Daha.

   Diantara prajurit2 pengiring itu terdapat pula Mahesa Rangkah.

   Dia dak mengenakan pakaian sebagai seorang bekel, melainkan sebagai seorang prajurit biasa.

   Pa h Aragani tersenyum seram dalam hati.

   Pa h Aragani diterima prabu Jayakatwang dengan penuh kebesaran dan resmi.

   Mentri2 dan senopa lengkap hadir dalam penyambutan itu.

   Pa h Aragani merupakan utusan sang nata Singasari yang membawahi Daha maka sudah selayaknya apabila diterima dengan penuh kehormatan.

   Setelah menerima persembahan kata dari pa h Aragani tentang maksud baginda Kertanagara, maka raja Jayakatwangpun mengerut dahi, kemudian tertawa.

   "Ah, sungguh besar dan ada putus-putusnya seri baginda Kertanagara melimpahkan budi kepada Jayakatwang"

   Ujar akuwu dari Daha itu "benar2 suatu anugerah yang tak pernah kuimpikan bahwa seri baginda berkenan akan memungut menantu kepada Ardaraja."

   "Semoga dengan tali pernikahan itu, Daha dan Singasari akan lebih sejahtera dan jaya, gus "

   Seru patih Aragani.

   "Benar, ki pa h"

   Ujar Jayakatwang pula "tetapi benar2 berat sekali ha ku menerima budi kebaikan seri baginda yang sedemikian besar itu."

   "Ah, gusti "

   Kata Aragani "tetapi hamba rasa perjodohan itu memang tepat sekali.

   Pangeran Ardaraja amat tampan, luhur budi, perwira dan gagah perkasa.

   Sudah tentu seri baginda amat berkenan sekali.

   Karena seri baginda tidak berputera melainkan puteri2 dan sudah tentu kelak putera menantu baginda itulah yang akan dilimpahi kepercayaan baginda untuk memegang tampuk pimpinan kerajaan."

   Akuwu Jayakatwang mengangguk. Wajahnya cerah dan mulut tersenyum penuh ar . Sinar matanya berkilat-kilat memancarkan cahaya pelangi. Pelangi yang mengandung tujuh unsur warna dan perasaan.

   "Ki patih"

   Ujarnya sesaat kemudian "apabila seri baginda berkenan melimpahkan anugerah yang sedemikian mulia kepada Ardaraja, sudah tentu aku amat bersyukur sekali.

   Rasanya tiada kutemukan rangkaian kata2 untuk menghaturkan sembah terima kasihku ke bawah duli seri baginda.

   Hanya ....."

   Akuwu Jayakatwang berhen sejenak. Pa h Araganipun tak terpancing untuk mendesak pertanyaan. Dengan sabar ia menunggu sampai akuwu itu melanjutkan pula.

   "Hanya"

   Kembali Jayakatwang memulai pula dengan mengulang kata-katanya tadi "kiranya puteri seri baginda yang manakah yang hendak seri baginda anugerahkan kepada puteraku itu ?."

   Patih Aragani kerutkan dahi.

   "Gus "

   Sembahnya kemudian "hamba sendiri juga belum diberitahu seri baginda tentang gus puteri yang manakah yang hendak dijodohkan dengan pangeran raden Ardaraja.

   Karena seri baginda berputera beberapa orang.

   Selain dari gus ratu yang sekarang, sebelumnyapun dari gus ratu yang terdahulu yang telah wafat.

   Tetapi hamba percaya, gus , bahwa seri baginda tentu takkan mengecewakan harapan pangeran Ardaraja."

   Akuwu Jayakatwang mengangguk.

   "Baiklah, ki pa h"

   Katanya "sebagai raja bawahan dari Singasari, sudah tentu aku harus tunduk apapun yang dititahkan seri baginda Singasari."

   "Ah, hamba mohon jangan gus mengadakan perbedaan perasaan semacam itu. Dengan ikatan keluarga itu, kedudukan Daha dengan Singasari akan duduk sama rendah, berdiri sama nggi"

   Kata patih Aragani. Akuwu Jayakatwang tertawa. Nadanya penuh teka teki. Antara riang dan resah, cerah dan cemoh.

   "Memang aku ingin sekali melupakan perasaan bahwa Daha ini menjadi bawahan Singasari selama dua puluh tahun, ki patih "

   Kata akuwu Jayakatwang tertawa renyah.

   Diam2 patih Aragani terkejut ketika mendengar betapa tandas dan tajam nada akuwu Daha itu ketika mengucapkan masa penjajahan Singasari atas Daha.

   Kata2 itupun berarti bahwa Jayakatwang selalu ingat akan keadaan itu maka ia menyatakan ingin sekali menghapus.

   Namun Ingin itu hanya suatu maksud hati dan maksud hati itu belum menjamin pasti akan mampu melaksanakannya.

   Dengan demikian pula, jelaslah sudah bahwa akuwu Jayakatwang masih tetap mendendam akan peristiwa itu.

   Diam2 patih Aragani melayangkan pikirannya jauh kesuatu angan2.

   Kesan bahwa akuwu Jayakatwang itu masih tak dapat melupakan peristiwa Singasari menjajah Daha, memberi dorongan hatinya untuk merangkai rencana.

   Diam2 ia girang karena memperoleh kesan itu.

   Bukankah apabila Jayakatwang karena dimabuk kegirangan puteranya akan diambil menantu seri baginda Kertanagara lalu melupakan dendam terhadap Singasari, akan berbahaya akibatnya terhadap Singasari maupun terhadap dirinya ? Bukankah dengan kesan itu, ia dapat memperuncing hubungan antara Jayakatwang dengan seri baginda Kertanagara? "Gus "

   Cepat ia mendapat akal "memang sebagai keturunan dari raja2 di Daha yang berkuasa dan berwibawa, paduka tentu tak dapat melupakan peris wa2 yang dialami Daha dari fihak Singasari.

   Karena pada hakekatnya, negara Panjalu itu harus dibagi dua, Daha dan Singasari, dengan kedudukan yang sama ngginya.

   Jika ada satu yang merasa lebih nggi atau bahkan telah menginjak-injak kedaulatan yang lainnya, tentu akan menimbulkan dendam yang menyala-nyala.

   Itu memang harus dan sudah selayaknya."

   Panji Aragani berhenti sejenak untuk menyelidiki kesan pada cahaya wajah akuwu Jayakatwang.

   "Tetapi gusti"

   Kata patih Aragani "kenyataan2 itu harus kita terima, hadapi.

   Mengingkari kenyataan, sama dengan mengingkari garam itu asin dan madu itu manis.

   Menerima kenyataan berarti kita berani menghadapi dan berani pula berusaha untuk merobah supaya sesuai dengan kehendak kita."

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akuwu Jayakatwang terkejut karena merasa bahwa pa h Singasari itu telah mengungkap isi hatinya. Cepat ia tenangkan pula perasaannya dan teduhkan cahaya mukanya.

   "Kodrat Prakitri itu tak kekal sifatnya"

   Sebelum akuwu dari Daha itu sempat membuka suara, patih Aragani sudah mendahului pula "surya terbit, surya terang dan surya silam.

   Tumbuh, jaya dan tenggelam.

   Demikian kehidupan alam, manusia dan negara.

   Jika hal itu sudah menjadi kenyataan, mengapa paduka harus berduka nestapa mengenang jaman yang telah lampau ?."

   Akuwu Jayakatwang terkesiap. Ia makin berdebar karena jelas pa h Singasari itu tahu akan kandungan hatinya.

   "Ki patih"

   Ujar akuwu Daha itu "waktu itu merupakan unsur yang membentuk kehidupan manusia.

   Sukar rasanya untuk melepaskan masa lampau yang telah menjadi sebagian dari hidup kita.

   Jika engkau menitik beratkan pada kenyataan tadi, tidaklah masa lampau itu suatu kenyataan pula?."

   "Benar, gusti "

   Kata patih Aragani "masa lampau memang menjadi salah satu bagian dari kehidupan kita.

   Tetapi kurang perlu kita harus mengenangkannya dengan rasa sesal dan duka.

   Mengenangkan dengan penuh keperihatinan akan masa lampau, tak ubah seperti kita yang sudah menjadi orang tua ini hendak melamunkan pula kesenangan menjadi anak kecil, masa yang paling menggembirakan dari kehidupan kita.

   Diantara hal yang tak mungkin dalam kehidupan kita, ingin kembali menjadi anak kecil lagi, merupakan salah satu hal yang paling tak mungkin diantara yang tak mungkin itu, gusti."

   Akuwu Jayakatwang tertawa.

   "Ki patih "ujarnya "memang kata-katamu itu benar untuk satu hal tetapi tidak untuk semua hal."

   "Dalam hal apa, gusti, kata-kata hamba itu yang tak dapat diserapkan kebenarannya ?."

   "Orangtua memang tak mungkin akan kembali menjadi anak lagi"

   Kata Jayakatwang "tetapi negara bukan suatu hal yang tak mungkin, untuk kembali ke masa kejayaannya. Hari ini surya tenggelam, tetapi bukankah esok surya akan terbit kembali?."

   Diam2 makin jelas patih Aragani akan isi hati akuwu Daha itu "Benar, gusti "katanya "surya akan terbit dan silam, timbul dan tenggelam.

   Demikian pula dengan negara dan kerajaan.

   Tetapi masa itu tak dapat dipungkiri kenyataannya, gusti.

   Bahwa kini, surya sedang bercahaya gilang gemilang dilangit Singasari, dapatkah surya itu dipaksa dipindahkan ke lain kerajaan? "Jika demikian, ki pa h "

   Ujar akuwu Jayakatwang "adakah surya itu hanya bersinar di langit telatah Singasari belaka ?."

   "Tidak, gus "

   Kata pa h Aragani "surya akan memancarkan sinarnya ke seluruh buana. Tetapi surya tak dapat dipaksakan harus mengunjungi daerah lain apabila belum tiba waktunya"

   "Jika demikian, ki pa h"

   Ujar Jayakatwang .

   "akan sia2 belakakah segala jerih payah usaha itu? Tidakkah kita serahkan saja pada kodrat dan masa?."

   "Usaha itu wajib manusia, gus "

   Sanggah pa h Aragani "manusia yang tak berusaha, berar mengabaikan wajib hidupnya, mengingkari wajib kemanusiawiannya. Tetapi keputusan, tergantung kepada Hyang Widdhi Tunggal. Bukankah kini surya mulai beralih memancarkan sinarnya ke Daha?."

   "Maksudmu ? ".

   "Keputusan seri baginda Kertanagara untuk memungut putrra menantu kepada pangeran Ardaraja hamba artikan sebagai titik tolak dari arah surya yang akan menyinari bumi Daha."

   Akuwu Jayakatwang tertawa hambar.

   "Benar, ki pa h. Mudah-mudahan begitulah "

   Ujarnya "tetapi pernahkah engkau mendengar sebuah cerita yang sederhana tetapi cukup menarik?."

   "Cerita apa, gusti?."

   "Cerita tentang seorang puteri yang tengah ngidam dan meminta sesuatu kepada suaminya, seorang ksatria."

   Patih Aragani terkesiap.

   Menilik nada tawa dan seri wajah akuwu Daha, ia dapat menduga bahwa akuwu itu tentu tak puas dalam ha .

   Dan kini bertanya pula tentang sebuah cerita, tentulah cerita itu mengandung tamsil yang mencerminkan isi ha nya.

   Maka pa h Araganipun segera mengatakan bahwa ia belum pernah mendengar cerita itu.

   "Dahulu "

   Akuwu Jayakatwang mulai bercerita "hidup seorang puteri yang cantik, anak seorang begawan.

   Pada suatu hari pangeran putera mahkota kerajaan di negeri itu berburu dan singgah di rumah sang begawan.

   Ketika melihat puteri itu, ia jatuh cinta dan akhirnya menikah.

   Pada hal pangeran telah dijodohkan oleh rama prabunya kepada seorang puteri dari kerajaan lain.

   Oleh karena itu, terpaksa pangeran tak berani membawa anak begawan pulang ke keraton.

   Dan puteri begawan itupun seorang wanita yang luhur budi.

   Dia mau menikah dengan pangeran bukan karena pangeran itu bakal menjadi raja, melainkan demi cintanya.

   Bahkan ia tak tahu bahwa suaminya itu seorang putera raja ....."

   "Pada suatu hari gadis itu mulai mengandung dan ngidam. Ingin sekali ia makan daging ikan bader yang berasal dari telaga. Pangeran itupun juga menyanggupi dan terus berangkat mencari idam-idaman isterinya. Tiba di sebuah telaga, ia segera hendak meneli dan mengetahui bahwa dalam telaga itu terdapat ikan bader. Namun sebagai seorang putera raja, ia tak pernah mencari ikan, apalagi telaga itu cukup dalam airnya. Ia termenung-menung duduk di tepi telaga, memikirkan bagaimana cara untuk menangkap ikan bader itu. Girang pangeran itu bukan kepalang. Ia mengatakan keinginannya untuk mendapatkan ikan bader dalam telaga itu. Serta merta penangkap ikan itu segera mengambil segenggam ikan bader dari lukah tempat ikan yang dibekalnya dan diserahkan kepada pangeran itu. Dia menolak ketika pangeran itu hendak memberi uang.

   "Dengan gembira pangeran itu pulang dan memberikan ikan bader itu kepada isterinya. Isterinyapun segera menanaknya. Tetapi ke ka dimakan ia muntah-muntah "Duh, kakangmas, dari manakah gerangan kakang mendapatkan ikan bader itu ? "

   "Dari telaga, yayi "sahut pangeran.

   "Bagaimana cara kakangmas mendapatkannya?."

   Dengan sejujurnya pangeran menceritakan bahwa ikan bader itu pemberian dari seorang tukang tangkap ikan.

   Mendengar itu seke ka puteri begawan itu menangis "O, dakkah mengherankan apabila putera paduka menolak makanan itu.

   Jelas putera paduka itu kelak akan menjadi seorang ksatrya yang luhur perwira.

   Dia tak mau makan barang yang berasal dari pemberian orang."

   "Lalu bagaimana kehendakmu, yayi?."

   "Jika paduka cinta akan putera paduka, carikan-lah ikan bader itu pula untuk dinda,"

   Kata puteri begawan.

   Pangeranpun kembali pula ke telaga.

   Tetap ia duduk termenung-menung mencari akal untuk menangkap ikan bader.

   Ia masih jeri untuk terjun ke dalam telaga.

   Ia tak pandai berenang dan kuatir akan tenggelam.

   Penangkap ikan itupun tak muncul.

   Pangeran makin gelisah.

   Akhirnya ia mendapat akal.

   Ia menuju ke pedesaan didekat telaga itu dan berhasil mendapatkan penangkap ikan kemarin.

   Ia menyerahkan sejumlah uang dan minta penangkap ikan itu untuk menangkapkan ikan bader di telaga.

   Penangkap ikan itupun segera melakukan perintah dan pulanglah pangeran itu dengan membawa ikan bader."

   Puteri begawanpun segera menanaknya. Waktu memakannya, kembali ia muntah2

   "Ah, betapa anyir ikan bader ini."

   Pangeran terlongong-longong.

   "Bagaimanakah pangeran mendapatkan ikan bader itu ?"

   Tanya puteri begawan itu.

   "Aku mengupah seorang penangkap ikan untuk mencarikannya, yayi." '"Ah, itulah sebabnya putera paduka menolak makan ikan itu, kakang."

   "Tetapi itu bukan pemberian orang. Aku membayar upah kepadanya. Aku membelinya dengan uang, yayi "

   Sanggah pangeran.

   Puteri begawan gelengkan kepala "Putera paduka itu memang ksatrya utama, kakang.

   Dia menolak makanan pemberian orang.

   Dia pun tak menyukai cara memperoleh makanan yang diidamkannya itu dengan mengandalkan kekuasaan uang.

   Dia menghendakinya secara ksatrya."

   "Apa yang engkau maksudkan dengan cara ksatrya itu, yayi ?."

   "Seorang ksatrya harus menetapi dharma keksatryaannya. Apabila berjanji hendak mencarikan sesuatu harus dengan jerih payahnya sendiri. Tidak mengandalkan pada bantuan orang, pengaruh uang dan pemberian orang."

   Pangeran berangkat pula.

   Sampai beberapa waktu ia masih duduk termenung-menung di tepi telaga.

   Ha nya penuh berkabut kesangsian.

   Antara takut ma tenggelam dan permintaan jabang bayi dalam kandungan isterinya.

   Betapa kejutnya ke ka menyadari bahwa surya sudah hampir tenggelam di balik gunung sebelah barat.

   '"Aku seorang pangeran, aku putera raja yang kelak menggan kan rama prabu.

   Jika mencebur ke dalam telaga saja aku takut, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi berbagai masalah dan persoalan besar, bahkan bahaya2 yang mengancam negara.

   Ma ? Biarlah kalau memang dewata menakdirkan aku harus ma tenggelam di telaga, akupun akan rela menerima kema an itu, akhirnya bangkitlah semangat pangeran itu.

   Ia terus terjun ke dalam telaga.

   Memang pertama kali ia harus mbul tenggelam minum air, tetapi dengan kemauan keras dan tekad yang membaja akhirnya ia dapat mengatasi kesukaran itu dan berhasil menangkap seekor ikan bader."

   "Yayi, aku hanya berhasil mendapatkan seekor saja"

   Pangeran mengeluh. Isterinya tak mengatakan apa2 terus memasaknya "Ah, betapa nikmat dan lezat ikan bader ini, kakang. Puas rasa putera paduka menikmati ikan yang diidam-idamkan itu.."

   "Tetapi aku hanya mendapatkan seekor saja, yayi."

   "Bukan soal seekor atau dua tiga ekor, kakang. Tetapi nilai daripada ikan itu terletak pada cara memperolehnya. Walaupun sepuluh, dua puluh ekor, tetapi pemberian orang, sama sekali tiada bernilai. Walaupun seratus dua ratus tetapi karena mengupah orang untuk mencarinya, pun juga tiada nilainya. Sedang sekalipun hanya seekor tetapi hasil dari jerih payah tenaga sendiri, nilainya tiada tertara."

   "Demikian akhir ceritaku itu, ki pa h"

   Akuwu Jayakatwang menutup ceritanya "jelas sudah bahwa sesuatu yang kita peroleh dari pemberian dan bantuan orang, daklah memadai nilainya dengan hasil yang kita capai dengan perjuangan tenaga kita sendiri."

   Debar jantung pa h Aragani sedemikian keras sehingga ia pucat karena kua r kalau terdengar oleh raja Daha.

   "Sungguh tepat dan tinggilah suri tauladan yang terkandung dalam cerita paduka itu, gusti "

   Akhirnya cepat2 ia menghambur kata agar jangan raja Daha mengetahui perobahan wajahnya "tetapi hambapun teringat akan sebuah ujar2 bahwa seorang ksatrya itu layak disebut ksatrya bukan hanya karena sifat kegagah-annya, keberaniannya dan keteguhan tekadnya untuk melaksanakan cita2 dan kewajibannya, semisal dengan pangeran yang akhirnya membenamkan tekadnya untuk mencari ikan bader ke dalam telaga itu.

   Pun yang terutama harus memiliki jiwa dan budi yang luhur, berlapang dada untuk memaafkan yang salah, jujur dan tiada pendendam.

   Terutama seorang ksatrya harus tahu menghargai budi.."

   Terkejut akuwu Jayakatwang ke ka mendengar kata2 pa h Aragani.

   Secara tak langsung, pa h itu telah memberi jawaban atas isi ha nya.

   Jika demikian, jelas pa h itu tentu tahu kemana arah maksud ceritaku tadi ? Pikirnya.

   Hanya dalam renungan beberapa jenak, Jayakatwang segera dapat melihat suatu sinar yang menerangi pikirannya Ia kagum atas kecerdikan pa h Singasari itu tetapi di samping itu iapun kua r pa h itu akan mencatat dalam ha , apa yang didengarnya tadi.

   Tidakkah pa h itu dapat mengadu kepada seri baginda Kertanagara? Dan bukankah konon kabarnya pa h Aragani itu sangat dekat dan dipercaya oleh baginda Singasari ? "Hm "

   Desuhnya dalam hati.

   "Ki pa h "

   Ujarnya dengan wajah ramah "kuminta ki pa h dan rombongan suka bermalam barang beberapa hari di Daha agar aku dapat memberikan penyambutan2 yang sesuai dengan keluhuran utusan baginda "' Pa h Aragani diam-diam menimang.

   Ia memang ingin mengetahui dan melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana sesungguhnya keadaan dan suasana di Daha itu.

   Maka dengan kata- kata merendah patih Aragani pun menghaturkan terima kasih atas kebaikan raja Jayakatwang.

   Demikian malam itu pa h Aragani dan rombongannya menginap di keraton Daha dan ditempatkan dalam sebuah bangsal agung.

   Hal itu sesuai dengan kedudukan pa h Aragani yang saat itu sebagai duta baginda Kertanagara.

   Malam harinya rombongan utusan Singasari itupun dijamu.

   Dalam kesempatan itu dapatlah patih Aragani berkenalan iebih rapat dengan pangeran Ardaraja dan beberapa mentri Daha.

   Sempat pula patih itu memperhatikan dari dekat siapa-siapakah diantara mentri Daha yang paling menonjol dan perlu mendapat perhatian.

   Diam-diam ia mencatat patih Kebo Mundarang, mentri Sagara Winotan, Jangkung Angilo, Kebo Rubuh dan Mahesa Antaka.

   Dari barisan senopati yang perlu mendapat perhatian antara lain senopati Jaran Guyang, Bango Dolok, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung dan Kampinis.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Rupanya merekalah yang menjadi tulang punggung kekuatan balapeka atau angkatan darat Daha.

   Diam2 pa h Aragani terkejut mengetahui jumlah dari senopa Daha yang begitu besar.

   Sikap mereka yang perkasa dan berwibawa, menunjukkan suatu sikap yang patuh akan tata ter b keprajuritan.

   Hubungan mereka yang begitu akrab, penuh dengan rasa setya-kawan dan tanggung jawab.

   Selama dalam perjamuan, pa h Aragani sempat memperha kan nada pembicaraan mereka selalu mengarah akan kekuatan dan kebangkitan kerajaan Daha yang jaya.

   "Hm, hebat benar Jayakatwang menghimpun kekuatan"

   Diam2 patih Aragani menimang dalam hati.

   Kemudian pikirannya beralih melintas ke Singasari.

   Sejak jatuhnya empu Raganata, Banyak Wide dan Tumenggung Wirakreti dari tampuk pimpinan pemerintahan, suasana dalam kerajaan Singasari makin semrawut.

   Belum tampak suatu keseragaman ucap, sikap dan tindak dari segenap mentri dan senopati dalam menegakikan kerajaan Singasari, Bahkan tampak gejala2 untuk saling berebut pengaruh "Ah"

   Tiba2 patih Aragani tersipu-sipu merah mukanya ketika teringat akan dirinya sendiri.

   Bukankah dia juga salah seorang yang haus akan kekuasaan itu ? Perjamuan berlangsung dengan gembira dan meriah.

   Akuwu Jayakatwang dak hadir tetapi diwakili oleh pangeran Ardaraja dan mentri2 serta senopati Daha.

   "Gus pangeran"

   Ba2 dari deretan tempat duduk para senopa Daha terdengar seseorang berseru kepada pangeran Ardaraja "saat2 perjamuan seper malam ini, rasanya jarang sekali terjadi dalam sejarah kerajaan Daha.

   Demi merayakan hari yang bersejarah ini, dakkah pangeran memperkenankan harapan hamba agar dalam perjamuan ini dipertunjukkan pula beberapa acara yang menarik?."

   Pangeran Ardaraja terkesiap.

   Yang bicara itu adalah senopa Pencok Sahang.

   Sebelum ia sempat bertanya, terdengar pula dari deretan tempat duduk para mentri, seseorang berkata "Benar, raden.

   Paman setuju akan usul tumenggung Pencok Sahang.

   Kita harus menghormat utusan seri baginda Kertanagara."

   Pangeran Ardaraja berpaling dan dilihatnya yang bicara itu tak lain adalah mentri Kebo Rubuh.

   "Apakah yang paman tumenggung dan paman Kebo Rubuh maksudkan dengan acara itu? "

   Akhirnya pangeran Ardaraja bertanya.

   "Biasanya dalam perjamuan tentu akan dihidangkan acara tari- tarian "

   Kata Pencok Sahang "tetapi karena yang hadir disini para mentri serta senopa Daha, maka baiklah acara yang akan kami hidangkan itu sesuai dengan martabat seorang prajurit."

   "O "

   Desuh pangeran Ardaraja "paman maksudkan acara2 yang sering dipertunjukkan dalam kalangan prajurit?."

   


Rahasia Mo-kau Kaucu -- Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini