Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 14


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 14



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   "Keadilan telah diinjak-injak keparat Aragani"

   "Itupun bukan salah pa h Aragani melainkan salah para mentri, senopa lain yang membiarkan dia ber ndak begitu. Bukankah di pura Singasari penuh dengan mentri yang pandai bijaksana dan senopati yang gagah perwira?"

   "Enak saja engkau menggoyangkan lidahmu "

   Ejek pertapa itu "tetapi kenyataan, siapa yang berani melawan kekuasaan patih Aragani? Bahkan engkau sendiripun tunduk pada perintahnya"

   Agak merah muka Nararya terkena sen lan itu. Diam2 ia mengagumi ketajaman dan ketetapan orang itu berbicara.

   "Akan kulanjutkan keteranganku tadi"

   Katanya "sungguh tak kusangka bahwa Kuda Panglulut yang sebelumnya telah ditawan oleh anakbuah gunung Butak, setelah bebas lalu ba2 menikam Mahesa Rangkah dari belakang"

   "Keparat si laknat Panglulut itu!"

   Pertapa itu menggeram keras2.

   "Aku tak suka melihat tindakan Kuda Panglulut yang licik itu. Akhirnya kami berbantah dan akupun segera meninggalkan pasukan Singasari"

   "Engkau melarikan diri?"

   "Ya, karena tak setuju kepada sikap dan ulah Kuda Panglulut"

   Tampak Pasirian pejamkan mata dan merenung. Sesaat kemudian ia membuka mata pula.

   "Ki sanak"

   Serunya "kiranya engkau memiliki laku seperti seorang ksatrya. Aku menyukai sikapmu itu. Engkau harus menabas sebelah lenganmu dan segera engkau tinggalkan tempat ini!"

   Nararya terkejut. Dahinya mengerut dalam.

   "Mengapa engkau menghendaki demikian ?"

   Serunya.

   "Karena engkau ikut dalam pasukan Singasari yang menyerang gunung Butak. Dan walaupun secara tak langsung, engkau yang menjadi penyebab gugurnya Mahesa Rangkah, maka engkau harus menggan dengan jiwamu. Tetapi mengingat engkau telah menunjukkan sikap ksatrya dengan nggalkan pasukan Singasari, maka kuringankan hukumanmu. Aku tak mengambil jiwamu melainkan hanya sebelah lenganmu saja. Tidakkah itu sudah suatu kemurahan hatiku?"

   Nararya tertawa panjang.

   "Ki Pasirian"

   Serunya "aku dapat memahami perjuanganmu di gunung Butak.

   Engkau sebagai putera dari Linggapa yang terbunuh raja Singasari, hendak menuntut balas kepada raja Singasari.

   Itu memang layak.

   Tetapi adakah engkau sudah menyelami apa sebab mendiang ayahmu sampai ditumpas raja Wisnuwardaua?"

   "Ayahku tak mau tunduk dibawah kekuasaan Singasari"

   "Itulah, raden Pasirian,"

   Sambut Nararya "se ap orang memang bebas untuk memperjuangkan pendiriannya.

   Tetapi negara harus diatas segala kepen ngan.

   Jika se ap daerah, se ap kadipaten mempunyai pendirian seper ayahmu apakah jadinya dengan kerajaan Singasari? Tidakkah bumi Singasari itu akan terpecah belah menjadi kerajaan kecil2? Tindakan rahyang ramubun Wisnuwardana adalah tepat.

   Andaikata engkau menjadi raja Singasari, pun engkau tentu akan bertindak demikian"

   "Dan karena aku putera dari mendiang ayahku, maka aku hendak menuntut balas ."

   "Baik"

   Sambut Nararya pula "engkau bebas melakukan hal itu.

   Tetapi ingat, urusan negara, tak layak dicampurkan dengan urusan dendam peribadi.

   Kiranya, banyak tentu prajurit ataupun senopa yang gugur dalam peperangan.

   Apakah putera2 mereka harus menuntut balas juga? Jika demikian halnya, dunia ini tentu penuh peristiwa balas membalas yang tiada akhirnya"

   "Persetan dengan kata2mu kosong itu!"

   Teriak Pasirian "aku berhak dan harus membalas dendam kematian ayahku!"

   Nararya tertawa kecil.

   "Raden Pasirian ...."

   "Sudahlah, muak aku mendengar kata2mu yang tiada berfaedah itu!"

   Teriak Pasirian. Namun dengan tenang Nararya tetap berkata "Raden Pasirian, aku hendak mengajukan sebuah pertanyaan lagi. Dan setelah itu, aku bersedia mengiringkan apapun yang menjadi kehendakmu"

   "Hm, yang terakhir"

   Kata Pasirian. Diam2 Nararya tak senang melihat sikap orang yang angkuh dan congkak. Namun ia dapat memaklumi juga tentang perasaan Pasirian yang jiwanya telah dibebani tugas membalas dendam oleh mendiang ayahnya atau mungkin ibunya.

   "Ya"

   Akhirnya ia menjawab "raden Pasirian"

   Katanya dengan nada yang jernih "siapakah yang membunuh mendiang ayahanda raden?"

   "Raja Wisnuwardana dari Singasari"

   "Dan raden hendak menuntut balas, bukan?"

   "Ya"

   "Silahkan raden membunuh raja Wisnuwardana."

   "Hah? Dia sudah mati!"

   "Itu lain soal. Tetapi yang berhutang jiwa kepada ayahanda raden adalah baginda Wisnuwardana. Selayaknya raden harus membalas kepada raja itu"

   "Jangan ber-olok2! "

   Teriak Pasirian.

   "Tidak, aku dak ber-olok2"

   Sahut Nararya "memang kenyataan adalah baginda Wisnuwardana yang membunuh ayahanda raden.

   Maka yang harus raden bunuh, juga raja itu.

   Apabila dia sudah ma , itu terserah kepada raden.

   Ataukah hendak menghapus atau masih tetap hendak melangsungkan balas dendam itu.

   Jika masih, carilah di candi makam baginda"

   "Hutang ayah, anak yang membayar. Jika Wisnuwardana sudah ma , maka Kertan gara yang sekarang masih hidup. Aku hendak menagih hutang ayahnya itu kepadanya"

   "Anak yang dilahirkan, bebas dari segala ikatan orangtuanya. Dia lahir karena kehendak dewata. Bahwa ucapan yang mengatakan 'hutang ayah, anak yang bayar' itu hanyalah suatu tata kehidupan yang dibuat oleh manusia, Tetapi susunan tata kehidupan itu hanya yang menyangkut kelahiran dan kebendaan. Karena pada umumnya, harta benda orangtua tentu jatuh kepada anaknya, maka jika orangtua itu mempunyai hutang, wajiblah anak yang membayarnya. Tetapi harus begitukah Karma? Karma orangtua, anak yang menyandang?"

   "Betapa tidak! "

   Seru Pasirian "bukankah anak pencuri itu akan menjadi pencuri juga!"

   "Tampaknya demikian walaupun dak semua anak pencuri itu tentu akan menjadi pencuri"

   Kata Nararya "lebih tepat apabila raden mengatakan, bahwa anak dari orang jahat atau berdosa, tentu kehidupannya juga sengsara dan penuh kesukaran"

   "Hm"

   Dengus Pasirian.

   "Dalam hal itu, daklah dapat kita melihat kenyataan yang ada, tetapi harus menilai dari asal mula kenyataan itu. Bahwa dia yang dilahirkan sebagai anak dari orang jahat atau berdosa, tentulah termasuk jiwa yang dalam kehidupan atau peni san dahulu, juga seorang yang penuh dosa. Dan sebagai penebus dosa dia dilahirkan ditempat orang yang berdosa ...."

   "Sudahlah, jangan banyak cakap!"

   Seru Pasirian "apakah engkau masih mempunyai pernyataan lain lagi?"

   "Apakah raden masih tetap hendak menuntut balas kepada raja Singasari?"

   "Ya"

   Sahut Pasirian "yang membunuh ayahandaku adalah raja Singasari maka raja Singasari yang harus kubalas"

   "Rajakula Singasari, sri Rajasa sang Amurwabumi atau Ken Arok, tak tahu menahu soal peris wa pembunuhan itu. Dan mungkin baginda tak pernah membayangkan bahwa puteranya, Wisnuwardhana, kelak akan membunuh ayahmu. Adakah misalnya sri Rajasa itu masih hidup, juga harus engkau bebani dengan kesalahan baginda Wisnuwardhana ?"

   "Tiada ada perbedaan. Yang ada hanya se ap raja Singasari, baik dia itupun siapa saja, harus kubalas "

   Seru Pasirian.

   "Jika begitu jelas raden membabi buta !"

   "Apa katamu!"

   Pasirian mulai merah matanya.

   "Kukatakan, raden membabi buta dalam menuntut balas"

   Sahut Nararya.

   "Apa pedulimu, babi!"

   "Aku harus mempedulikan. Jika raden menuntut balas pada rahyang ramuhun Wisnuwardhana, itu hak raden. Tetapi jika raden pun menganggap eyang buyut rahyang ramuhun sri Rajasa itu juga disama-ratakan sebagai musuh yang harus menerima pembalasan raden, maka aku Nararya, bersedia untuk mewakili"

   Mendengar Nararya menyebut eyang buyut kepada sri Rajasa, Pasirian terbeliak. Direntangkan matanya lebar2 untuk memandang pemuda itu. Dan diam2 ia mendapat kesan memang wajah Nararya bersinar terang.

   "Engkau menyebut eyang buyut pada Ken Arok? Siapakah engkau!"

   "Aku Nararya, anak Lembu Tal, cucu Mahesa Campaka dan cicit dari Ken Arok. Aku bersedia untuk mewakili mereka dari pembalasanmu"

   "O, bagus, bagus"

   Seru Pasirian "itukah sebabnya engkau mau membantu pasukan Singasari menyerang gunung Butak?"

   "Tidak!"

   Bantah Nararya "sebagaimana pernyataan raden tadi, akupun berpendirian demikian.

   Sebagai seorang putera Singasari, kawula Singasari, aku akan menentang siapapun yang hendak mengganggu keamanan Singasari.

   Gerombolan gunung Butak memberontak kepada Singasari, andaikata bukan raden yang menjadi pimpinan, akupun tetap akan menentangnya.

   Pendirianku ini dak kudasarkan siapa peribadi raden ini, melainkan siapa yang menjadi pemimpin gerombolan itu"

   "Bagus, Nararya"

   Seru Pasirian "tetapi apakah engkau sudah mempunyai nyawa rangkap untuk menghadapi aku ? Jika engkau tak punya nyawa rangkap tujuh, baiklah engkau menyerah saja. Sia- sia engkau akan melawan aku!"

   Nararya tersinggung akan ucapan yang dianggapnya tekebur itu. Namun ia masih dapat mengendalikan diri dengan tertawa.

   "Nyawa pemberian Dewata agung itu hanya satu. Jika rangkap tentulah nyawa dari jejadian yang jahat. Ma hidup ditangan Hyang Widdhi. Andaikata aku ma , akupun rela karena membela eyang dan eyang buyutku"

   "Baik, jika engkau sanggup bertanding dengan aku dan sanggup pula menerima gada pusakaku, engkau akan kuberitahu sebuah rahasia pen ng. Rahasia yang saat ini menjadi perburuan dari orang Daha dan Singasari"

   Nararya terlejut. Diam2 ia merangkai dugaan apakah gerangan rahasia yang dikatakan sangat penting dan menjadi perburuan Daha dan Singasari itu ? "Ah, apakah rahasia tentang gong pusaka Empu Bharada?"

   Ba2 ha nya tersentak dengan pertanyaan "mungkin juga karena menurut kesan2 dalam penyelidikan selama ini, Mahesa Rangkah dan gunung Butak, ikut campur dalam peristiwa perebutan itu"

   "Rahasia tentang gong pusaka empu Bharada, yang raden maksudkan? "

   Tanyanya untuk menyelidiki. Pasirian terkesiap.

   "Bagaimana engkau dapat menduga. begitu ?"

   "Karena dewasa ini baik orang Daha maupun Singasari memang sedang sibuk mencari gong pusaka Empu Bharada yang hilang"

   "Engkau tahu juga tentang peristiwa itu?"

   "Ya"

   Sahut Nararya "yang mengambil adalah seorang bekel dari Daha tetapi ternyata pusaka itu hilang lagi dan sampai kini belum diketahui berada dimana"

   Pasirian terdiam.

   "Jika kusangkal hal itu?"

   "Rasanya tak mungkin lagi terdapat suatu rahasia yang lebih penting dari peristiwa itu."

   "Mengapa dak? Bukankah pernikahan agung antara puteri raja Kertanagara dengan pangeran Ardaraja dari Daha juga merupakan peristiwa penting?"

   "Tetapi apa hubungannya dengan rahasia yang raden hendak ungkapkan itu?"

   "Jika kuadakan tentu ada. Misalnya, engkau tentu setuju menganggap rahasia itu pen ng karena menyangkut rencana untuk menggagalkan pernikahan anak raja itu"

   "Bagaimana mungkin"

   "Bagaimana tak mungkin? Jika Ardaraja terbunuh, bukankah pernikahan agung itu akan gagal?"

   "Tetapi tak mudah untuk melakukan hal itu. Penjagaan di keraton Daha seketat hutan rimba yang tumbuh tombak dan pedang"

   "Hm"

   Desuh Pasirian "jika kukatakan rahasia itu benar mengenai gong pusaka Bharada ?"

   "Aku akan berterima kasih sekali kepada raden?"

   "Hm, apa yang engkau persembahkan dalam terima kasihmu itu? "

   "Jiwaku"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut Nararya "akan kupertaruhkan"

   "Bagus"

   Seru Pasirian "jika demikian layak kiranya engkau mendapat imbalan rahasia itu"

   "Lalu bagaimana maksud raden ?"

   "Kita keluar di halaman candi ini,"

   Kata Pasirian "tempatnya cukup luas untuk mengadu tenaga"

   Nararya menyetujui dan mengiku orang itu berjalan keluar.

   Keduanya segera tegak berhadapan di halaman candi.

   Saat itu malam hari.

   Suasana disekeliling penjuru hening dan kelam.

   Tetapi bagi kedua orang itu, bukan suatu halangan bahkan lebih leluasa karena lebih dapat mencurahkan segenap pikiran dan tenaga.

   Ada dua macam anggapan yang menghinggapi benak kedua orang itu.

   Nararya tak berani memandang ringan kepada lawan.

   Sebagai pimpinan gerombolan gunung Butak, tentulah Pasirian memiliki suatu kelebihan yang mengagumkan.

   Mungkin kecerdasan tetapi paling mungkin tentulah kedigdayaannya.

   Oleh karena itu ia harus berhati-hati dan mencurahkan segenap semangat dan kepandaiannya untuk menghadapi.

   Pasirian belum faham siapa Nararya.

   Sekalipun sudah mendengar bahwa pemuda itu dapat mengalahkan Mahesa Rangkah, tetapi belumlah suatu hal yang meyakinkan kepadanya bahwa pemuda itu mampu mengalahkannya juga.

   Demikianlah setelah saling memberi pernyataan supaya masing2 siap, keduanya lalu mulai melakukan serangan.

   Serangan pertama yang dibuka Pasirian itu memberi rasa kejut dalam ha Nararya.

   Angin pukulannya lebih dulu telah menimbulkan gelombang keras yang menampar muka Nararya sebelum pukulan itu tiba.

   "Dia memiliki pukulan yang kuat sekali"

   Pikir Nararya. Ia beringsut menghindar ke kanan lalu gerakkan tangan kanan menepis rusuk lawan.

   "Bagus"

   Pasirian berseru "engkau dapat balas menyerang cepat sekali"

   Sekalipun mulut mengatakan begitu namun bekas pimpinan gunung Butak itu tak mau beringsut.

   Bahkan ia ayunkan langkah merapat untuk menerkam leher Nararya.

   Nararya terkejut.

   Jelas lawan menghendaki sama2 kena pukulan.

   Tetapi yang jelas, walaupun tepisan pada rusuk lawan itu menimbulkan sakit tetapi lehernya-pun pasti akan tercekik tangan orang.

   Nararya terpaksa menarik tangan dan tubuhnya mundur ke belakang.

   Demikian dengan awal yang cukup mengejutkan itu, pertempuran melanjut dalam serang menyerang yang keras dan makin cepat.

   Nararya memperha kan bahwa se ap kali lawan tentu mengajak sama2 terpukul.

   Dan lebih banyak pula memberi peluang agar dipukul.

   Iapun mendapat kesan bahwa tata langkah maupun gerak pukulan lawan itu amat teratur dan terarah menurut ilmu kanuragan yang tinggi mutunya.

   Akhirnya Nararya tak dapat menahan diri lebih lama.

   Dia menganggap bahwa lawan bersikap congkak dan terlalu meremehkan dirinya.

   Betapapun Nararya masih muda.

   Seke ka panaslah ha dan darahpun meluap "Ingin kucoba betapa keras kulitnya"

   Demikian Nararya mengambil keputusan dan kesempatan yang diperkirakan akan dapat melaksanakan keputusannya itu dengan berhasil, pun datang.

   Setelah menangkis pukulan Nararya, Pasirian merentang tangan kiri untuk menerkam bahu.

   Dengan begitu jelas dadanya terbuka tak terlindung lagi.

   Kesempatan itu tak disia-siakan Nararya.

   Secepat kilat ia menghunjamkan tinjunya ke dada lawan.

   Keras sekali.

   Duk...

   nju tepat mengenai dada tetapi alangkah kejut Nararya ke ka ia merasa seper meninju sekeping papan yang amat keras sekali.

   Dan lebih terkejut pula ke ka saat itu bahunya dicengkeram tangan lawan yang bertenaga kuat sekali sehingga karena tak tahan, Nararya mengendap ke bawah.

   Namun sebelum Nararya sempat berbuat apa2, tangan orang itu sudah beralih mencekik kerongkongannya sehingga hampir dia tak dapat bernapas.

   Tiba2 tangan kanan Pasirian merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan gada besi kuning, lalu dihantamkan ke kepala Nararya.

   "Mampus engkau ...!" ~dewiKZ~ismoyo~mch~

   Jilid 12 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Nararya terkejut sekali.

   Semangatnya serasa terbang ketika melihat sinar kuning memancar kearah kepalanya.

   Dia sedang berjuang untuk melepaskan tangan lawan yang mencekik lehernya.

   Dan itupun belum berhasil.

   Bagaimana mungkin dia dapat menghadapi sinar kuning itu? Karena tiada berdaya, Nararya pejamkan mata dan meratapkan doa kepada Hyang Widdhi.

   Memaserahkan jiwa raga dan menyerahkan diri akan kehendak Hyang Maha Agung.

   Pasirian menumpahkan seluruh perhatiannya kearah ubun2 kepala Nararya yang hendak dihantam dengan besi kuning itu.

   Dan ia yakin pasti dapat menghancurkan kepala pemuda itu.

   Namun hidup mati manusia itu tak dapat ditentukan oleh manusia.

   Hanya Hyang Widdhi Agung yang kuasa memutuskan.

   Karena dialah sang Maha Pencipta.

   Sekonyong-konyong ubun2 kepala Nararya memancar kepul asap.

   Pasirian terkejut sekali.

   Dalam pandangannya, kepul asap itu berbentuk seperti kuntum bunga putih yang merekah besar.

   Lebih terkejut pula ketika kepul asap berbentuk bunga, yang sesungguhnya merupakan bentuk bunga wijaya, dapat menahan laju besi kuning.

   Dan yang paling mengejutkan Pasirian adalah ketika bahunya dicengkeram sebuah tangan dan disentakkan kuat2 ke belakang.

   "Jangan melakukan pembunuhan disini!"

   Terdengar suara orang membentak keras. Pasirian terhuyung beberapa langkah. Setelah dapat menegakkan keseimbangan tubuh, ia berpaling menghadap orang itu.

   "Setan! Siapa engkau!"

   Hardiknya seraya menatap orang itu.

   Seorang pemuda yang berkulit kuning, berwajah bersih.

   Tubuhnya agak kurus, tiada mengunjukkan seorang yang bertenaga kuat.

   Tetapi jelas dirasakan Pasirian betapa kuat tenaga pemuda itu dikala menyentakkannya ke belakang tadi.

   Pemuda itu berwajah teduh.

   Sikapnya tenang serupa dengan nada suaranya ketika menjawab "Aku Nambi dari puncak gunung Lejar "

   "Mengapa engkau ikut campur urusan ini ? Apakah engkau kenal dengan pemuda itu?"

   Seru Pasirian. Nambi gelengkan kepala "Tidak kenal"

   "Mengapa engkau ikut campur?"

   "Ki sanak"

   Sahut pemuda yang bernama Nambi "untuk menolong seseorang, tidaklah diperlukan harus mengenalnya dulu. Itu sudah suatu wajib dari seorang yang mempunyai sifat kemanusiaan "

   "Hm"

   Pasirian mendesuh.

   "Mengapa engkau hendak membunuh ki sanak itu? Apakah kesalahannya?"

   Nambi berbalik mengajukan pertanyaan.

   "Dia berkali-kali merugikan aku. Bahkan menjadi penyebab dari terbunuhnya seorang sahabatku "

   Nambi beralih pandang kearah Nararya yang sementara itu sudah tegak dengan tenang.

   Ketika beradu pandang, Nambi terkesiap.

   Ia terkejut menyambut pancaran sinar mata Nararya yang teduh tetapi tajam.

   Wajahnya yang memancarkan sinar terang, menimbulkan daya yang aneh agar mematuhi dan mengindahkannya.

   "Ki sanak ...

   "

   "Terima kasih atas pertolonganmu, ki Nambi"

   Nararyapun cepat menanggapi "Aku Nararya. Apa yang dikatakan ki Pasirian tadi memang benar semua. Kini aku sedang mempertanggung jawabkan semua tindakan yang pernah kulakukan kepadanya "

   Nambi diam2 terkejut dan memuji akan kejujuran dan keberanian pemuda itu "Tetapi raden, mengapa dia sampai hendak membunuh raden? Adakah raden telah melakukan sesuatu yang layak menimbulkan kemarahannya sedemikian rupa? "

   Diluar kesadarannya, demi terpesona akan wajah Nararya dan sikapnya yang berlainan dengan pemuda kebanyakan, Nambi telah menggunakan sebutan raden.

   Dia duga, Nararya tentu seorang pemuda yang mempunyai darah keturunan priagung.

   Ia teringat akan pesan gurunya.

   "Masing2 mempunyai penilaian sendiri"

   Jawab Nararya "akan sesuatu yang dilakukan dan dideritanya "

   "Raden"

   Kata Nambi "apabila tiada keberatan sukalah raden melimpahkan keterangan kepadaku tentang peristiwa ini "

   "Sudahlah, jangan banyak cakap!"

   Bentak Pasirian "apakah engkau menganggap dirimu teramat digdaya sehingga berani menempatkan diri sebagai dhyaksa dalam urusanku ini."

   "Bukan kesaktian atau kedigdayaan yang berhak mutlak untuk mencampuri persoalan ini. Bukan pula kekuasaan dan pengaruh yang mempunyai hak khusus tetapi rasa keadilan dan kebenaran, ki sanak "

   Sahut Nambi. Pasirian tertawa mengejek.

   "Ki sanak"

   Serunya "perbuatanmu mencengkeram bahuku dari belakang, tidak sesuai dengan kata-katamu yang segarang itu. Pasirian akan menghadapimu dengan gaya apapun juga."

   Kedua pemuda itu segera saling melangkah berhadapan.

   "Ki Nambi"

   Tiba2 Nararya berseru "urusan ini adalah antara raden Pasirian dengan aku. Sebaiknya, biarlah kuselesaikan sendiri. Aku sangat menghargai sekali perhatian dan bantuanmu, ki Nambi."

   "Raden ...."

   Belum sempat Nambi melanjutkan kata-katanya, Pasirianpun sudah menyerang.

   Nambi masih sempat menghindar.

   Ia marah melihat sikap dan tindakan Pasirian.

   Dan makin cenderung anggapannya bahwa dalam persoalan itu tentulah Pasirian yang difihak salah.

   Karena Pasirian tampaknya tak menghendaki persoalan itu diketahui orang lain.

   Nambi balas menyerang dan keduanya segera terlibat dalam serang menyerang yang seru.

   Nararya agak gugup.

   Ia dibantu Nambi, seharusnya saat itu ia harus membantunya pula.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi dia tahu bahwa tindakan itu akan menimbulkan kesan yang tak layak.

   Pasirian tentu akah menganggap dirinya dikerubuti dua orang.

   Nararya tak menghendaki cara berkelahi yang bersifat tak ksatrya.

   Pun ia tak mcnghendaki tindakan yang mengecewakan Nambi.

   Ia tahu bahwa pantang seorang ksatrya yang tengah berkelahi itu, dibantu orang.

   Pertimbangan2 itu menyebabkan dia terkatung dalam kemanguan.

   Ia tak tahu apa yang harus dilakukan kecuali melihat dengan pandang menunggu.

   Ia sempat memperhatikan bahwa Nambi memang lincah dan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.

   Namun iapun tak dapat menutup kenyataan bahwa sesungguhnya Pasirian lebih unggul setingkat dari lawannya.

   Gerak pimpinan gunung Butak itu lebih hebat, baik jurus2 serangan maupun tenaga pukulannya.

   Nararya tahu bahwa Nambi hanya melakukan tindakan sesuai dengan ajaran2 yang biasa diterima oleh murid seorang resi atau guru yang luhur kebatinannya.

   Tetapi Nambi tak tahu siapa yang dihadapinya.

   Pasirian adalah pemimpin gerombolan gunung Butak yang berilmu sakti dan cakap memimpin.

   Karena tak mungkin orang yang tak mempunyai kewibawaan dan kelebihan-kelebihan akan mampu menghimpun dan menguasai suatu gerombolan yang berjumlah ribuan orang.

   Beberapa saat kemudian mulai timbullah pikiran Nararya untuk mencari kesempatan terjun ke gelanggang.

   Ia merasa Nambi masih belum sesuai sebagai lawan tempur Pasirian.

   Dan kesempatan itu cepat sekali tiba, lebih cepat daripada yang ia duga.

   Sebuah gerak tipu yang dilakukan Pasirian berhasil mengecoh Nambi.

   Nambi gugup hendak loncat menghindar.

   Tetapi kalah cepat.

   Kaki Pasirian mendahului menyapu dan terpelantinglah Nambi ke tanah.

   "Pasirian, akulah musuhmu yang sesungguhnya"

   Seru Nararya seraya melangkah maju demi Pasirian hendak menghampiri Nambi.

   Pasirian terhenti langkah, berputar ke belakang, memandang pemuda berwajah agung itu dengan tatap yang mengembangkan kesan.

   Betapa tadi ia melihat suatu keanehan pada pemuda itu.

   Besi kuning yang hampir mendarat ke kepala pemuda itu, tiba2 tertahan oleh hamburan asap yang berbentuk seperti bunga mekar.

   Bunga itu hampir menyerupai teratai, tetapi jelas bukan bunga teratai.

   Dan diketahuinya bahwa teratai itu lambang padma suci dari kaum Buddha.

   "Adakah pemuda itu seorang guru atau acarya agama Buddha? Mungkin karena telah mencapai kesucian batin, dia dapat memancarkan daya kesaktian semacam itu"

   Pikirnya. Tetapi cepat pikirannya membantah sendiri. Menilik umurnya, tak mungkin pemuda itu mampu mencapai tingkat kesucian yang sakti seperti itu.

   "Jika demikian, adakah dia memang mendapat restu dari dewata sebagai seorang ksatrya linuwih yang kelak akan menjadi manusia besar ?"

   Ia mulai beralih pada lain pemikiran.

   Dan pemikiran itu hampir menembus alam hatinya.

   Namun sekilas naluri akalnya, membantah "Ah, mungkin peristiwa itu hanya suatu khayal dari pandang mataku.

   Aku akan mencobanya pula.

   Apabila terlihat lagi peristiwa semacam itu, barulah aku percaya "

   Perbantahan yang terjadi dalam batin Pasirian menimbulkan gelombang pasang surut pada cahaya mukanya.

   "Adakah sesuatu yang raden hendak utarakan ?"

   Tegur Nararya. Pasirian terbeliak dan gelengkan kepala.

   "Jika demikian marilah kita mulai lagi. Apabila raden Pasirian dapat merubuhkan aku lagi, aku bersedia menyerahkan jiwaku "

   "Baik"

   Kata Pasirian yang membulatkan bekal keputusannya.

   Nararya telah menyadari akan kesalahannya tadi.

   Dia terlalu diburu nafsu sehingga melakukan sesuatu langkah tanpa memperhitungkan langkah lawan.

   Dia telah terkecoh dalam perangkap yang diluangkan lawan.

   Kini dia tak mau melakukan kesalahan itu lagi.

   Pembukaan serangan segera diikuti dengan serangkaian serangan yang gencar.

   Namun tak semudah itu Pasirian dapat dikuasainya.

   Pasirian amat gagah dan perkasa.

   Demikian pertempuran itu berjalan amat seru dan cepat.

   Nambi tercekat menyaksikan pertempuran itu.

   Diam2 ia malu dalam hati.

   Jelas Nararya yang ditolongnya itu memiliki ilmu kedigdayaan yang hebat.

   Juga dalam hati Pasirian diam2 terkejut.

   Saat itu ia menyadari bahwa kemenangan yang direbutnya tadi adalah berkat berhasilnya sebuah siasat yang diumpankan kepada lawan.

   Jelas untuk memenangkan pertempuran itu, dia harus menggunakan siasat lagi.

   Tetapi keadaan saat itu, beda dengan tadi.

   Nararya melakukan serangan yang menggebu- gebu bagaikan arus sungai yang mengalir tiada berkeputusan.

   Hal itu benar2 tak memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan suatu siasat.

   Pasirian terpaksa harus mengimbangi.

   Dia harus bergerak cepat apabila tak menghendaki tinju lawan akan singgah ditubuhnya.

   Namun setelah berlangsung setengah jam tanpa berhenti, dia merasa mulai lelah.

   Memang untuk bergerak cepat, mencurahkan perhatian dan menegangkan uratsyaraf selama setengah jam, bukan suatu pekerjaan yang ringan.

   Kepala dan tubuh mulai bersimbah peluh.

   Memang Nararya menggunakan siasat untuk memeras tenaga lawan.

   Dia tak mau terburu nafsu lagi walaupun beberapa kali ia melihat peluang baik.

   Ia menyadari bahwa lawan memang digdaya.

   Rupanya Pasirian menyadari akan siasat yang dilakukan Nararya.

   Lawan lebih muda, tenaga dan napasnya lebih kuat.

   Apabila dia menuruti siasat lawan, tentulah akhirnya ia harus menderita kekalahan.

   Jika hendak merebut kemenangan dia harus mempercepat pertempuran.

   Adapun kesempatan untuk melaksanakan keputusannya itu, tidak harus ditunggu melainkan harus ditimbulkan.

   Hal itu sesuai dengan perintahnya kepada anakbuah di gunung Butak dahulu "Jika ingin melaksanakan apa yang kita inginkan, kita harus bergerak.

   Jangan menunggu kesempatan itu tiba melainkan harus mencari dan bahkan bila perlu menimbulkan kesempatan"

   Katanya.

   Kini dia menghadapi sesuatu seperti yang pernah ia katakan kepada anakbuahnya.

   Sebagai seorang yang mengajarkan, dia harus lebih dapat melaksanakannya.

   Dalam kesempatan menghindari sebuah pukulan, sebenarnya dia dapat mengirim serangan balasan.

   Tetapi sengaja ia bergerak lamban untuk memancing serangan lawan.

   Nararya tahu akan peluang itu.

   Diapun sudah memperhitungkan bahwa pertempuran yang berlangsung cukup lama dan melelahkan itu tentu sudah mengurangi tenaga dan napas lawan.

   Ia menduga bahwa lawan tentu sengaja melakukan siasat pula.

   Maka kali ini dia hendak melakukan serangan ganda.

   Yang satu hanya suatu gerak tipu untuk mengetahui adakah peluang itu benar-benar dikarenakan lawan sudah kehabisan tenaga ataukah hanya suatu siasat belaka.

   Jika memang karena lawan kehabisan napas, maka iapun akan mengisi gerak tipu itu dengan serangan yang sungguh.

   Tetapi apabila hanya daya tipu maka diapun sudah menjagai dengan sebuah gerak yang lain.

   Perhitungan Nararya memang tepat.

   Pada saat tinjunya menyusup diantara kedua tangan lawan yang terbuka dan langsung menuju ke dada, tiba2 kedua tangan Pasirian mengacip, hendak mengunci.

   Pada saat itu Nararyapun sudah bersiap.

   Sesaat lawan bergerak, diapun segera menyerempaki dengan gerak tangan kiri menerpa bahu orang, krek ....

   Pasirian tak menduga bahwa lawan akan bergerak sedemikian cepat.

   Walaupun ia telah menyentuh tangan kanan lawan, tetapi gerak penguncian yang hendak dilakukannya itu berantakan karena bahunya terasa sakit sekali sehingga lunglai.

   Dan sebelum ia sempat menarik tangannya, Nararyapun sudah menebas bahu lawan yang sebelah lagi.

   Kedua belah bahu ditebang oleh tepi telapak tangan Nararya, sesaat kedua tangan Pasirian lunglai tak bertenaga.

   Apabila Nararya menyusuli pula dengan sebuah pukulan ke dada atau tendangan ke perut, Pasirian tentu akan terpelanting rubuh.

   Pasirian menyadari akan hal itu.

   Ia terkejut dan siap hendak loncat kebelakang tetapi ia terkesiap ketika melihat Nararya hanya memandangnya dengan tersenyum "Silahkan berdiri tegak, raden Pasirian"

   Seru pemuda itu. Pasirian terpukau akan sikap lawan.

   "Mengapa engkau tak menyusuli pula dengan sebuah pukulan ?"

   Serunya.

   "Ah, tidak"

   "Bukankah engkau mengetahui akan kesempatan itu? "

   "Ya"

   "Dan engkau mampu melakukannya, bukan?"

   "Benar"

   "Mengapa lak engkau lakukan? "

   "Mengapa harus kulakukan? Bukankah tidak ksatrya untuk menyerang lawan yang sudah terdesak?"

   Pasirian tersipu-sipu dalam hati.

   Apa yang direncanakan, tak terlaksana.

   Dia tak sempat untuk membuktikan lagi apa yang dilihatnya ketika ubun2 kepala Nararya memancar asap berbentuk bunga mekar.

   Tetapi sikap Nararya itu telah menyentuh hatinya.

   Bahwa yang dihadapinya itu memang seorang pemuda yang memiliki peribadi menonjol dan sifat ksatrya.

   Tiba2 Pasirian tersentak kaget manakala dia teringat akan pemunculan aneh pada waktu ia melakukan semedhi tapabrata dalam kuil.

   Antara sadar dan tak sadar, pada tengah malam yang sunyi senyap, ia seperti melihat seekor burung garuda terbang melayang dan turun dihadapannya.

   Kuatir kalau burung itu akan menyerangnya, diapun mendahului menghantam.

   Tetapi burung itu menerjang dan Pasirianpun rubuh terjerembab.

   "Pasirian, jika aku mau, dapatlah kuhancurkan nyawamu. Tetapi kali ini engkau kuampuni. Hanya engkau harus ingat, entah esok entah lusa, akan datang seorang ksatrya muda kemari. Engkau harus tunduk kepadanya. Dia adalah junjunganku ...

   "

   "Raden Pasirian"

   Tiba2 Nararya menegur sehingga Pasirian gelagapan dan buyarlah lamunannya "apakah engkau sudah bersiap pula untuk melanjutkan pertempuran? "

   "Ya, tentu"

   Karena tak sempat menimang, tanpa disadari Pasirianpun serentak menjawab "mari kita memakai senjata"

   Dan diapun terus mengeluarkan senjatanya, selempeng besi kuning mirip gada. Nararya terkejut. Dia tak membekal senjata apa2.

   "Raden, pakailah pedangku ini"

   Tiba2 Nambi lari memberikan senjata.

   Sebuah pedang yang agak suram matanya.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebenarnya Nararya merasa enggan untuk memakai senjata karena pertempuran dengan memakai senjata, berat sekali akibatnya.

   Namun iapun menyadari bahwa senjata besi kuning dari Pasirian itu bukan senjata biasa melainkan sebuah senjata pusaka.

   Berbahaya apabila dia menghadapi dengan tangan kosong.

   Akhirnya setelah merenung, ia menemukan suatu keputusan.

   Diterimanya angsuran pedang Nambi, kemudian dia tegak bersiap dihadapan Pasirian.

   "Adakah raden benar2 hendak menyelesaikan pertempuran ini dengan senjata?"

   Tegurnya.

   "Apakah engkau kira aku sedang bermain-main seperti anak kecil? "

   "O, raden menghendaki jiwaku?"

   "Aku harus bertanggung jawab atas rintihan ratusan jiwa anakbuah gunung Butak yang telah melayang itu. Sebenarnya masih ringan apabila engkau hanya mengganti dengan sebuah jiwamu "

   "Jika demikian kehendak raden, akupun hanya menurut perintah saja untuk mengiringkan raden"

   Besi kuning yang dimainkan Pasirian itu segera menimbulkan lingkaran sinar kuning yang bergulung-gulung bagai angin prahara.

   Nararya agak tergetar hatinya.

   Namun cepat ia menyadari apa yang harus ia lakukan.

   Pada waktu menerima ajaran ilmu kanuragan dari gurunya, resi Sinamaya dengan tandas memberi pesan.

   Bahwa segala ilmu dan senjata bahkan pusaka sekalipun, hanyalah sekedar sarana dan alat pelengkap.

   Tetapi yang penting adalah diri manusia itu sendiri.

   Tabah, tenang dan cepat dapat menyesuaikan diri pada setiap perobahan.

   Gentar, merupakan pantangan besar.

   Karena rasa gentar itu akan meluapkan rasa takut dan takut akan membuyarkan ketenangan, mengacaukan pikiran sehingga hilanglah segala ilmu yang dimilikinya.

   Nararyapun segera mengendapkan luap rasa gentar kemudian menghapusnya.

   Dia harus menghadapi lawan dengan ketabahan dan ketenangan.

   Setelah memiliki ketenangan mulailah dia dapat meneropong gerak permainan pedang lawan.

   Betapapun cepat dan dahsyat permainan pedang Pasirian namun tak lepas dari tata permainan ilmupedang yang disebut jurus2 gerak.

   Setelah mengetahui gerak sambaran pedang lawan, mulailah ia dapat menyesuaikan diri untuk menghadapi.

   Demikian pertempuran itu berjalan dalam waktu yang cepat dan jurus2 yang dahsyat.

   Berulang kali mereka harus adu senjata.

   Namun keduanya tak sempat meninjau bagaimana tenaga lawan, tak sempat pula memeriksa bagaimana senjata masing2 setiap habis beradu.

   Karena setiap benturan tentu segera disusul dengan tusukan atau sabatan berikutnya.

   Mendapat perlawanan yang gigih dari Nararya, Pasirian makin penasaran.

   Besi kuning itu bukan sembarang besi tetapi sebuah besi yang bertuah.

   Jika teringat akan perjalanan hidupnya sejak ayahnya dibunuh, Pasirian merasa sedih sekali.

   Ia dilarikan oleh seorang pengawal ayahnya, dikejar-kejar oleh prajurit2 Singasari, kemudian ditolong oleh seorang pertapa tua.

   Kemudian dia ikut pada pertapa itu sebagai murid.

   Pertapa tua itu menurunkan ilmu kesaktian kepadanya.

   Tetapi belum sempurna semua ilmu diterimanya, pertapa itu karena usianya yang amat lanjut, sudah keburu meninggal dunia.

   Pasirian terpaksa turun gunung mengembara.

   Banyak sekali penderitaan yang dialaminya sampai pada suatu hari ia nekad bertapa.

   Ia merasa seperti mendapat wangsit untuk menuju ke gunung Butak.

   Di puncak gunung, dia diamanatkan supaya mencari sebuah arca yang memegang gada.

   Gada itu supaya di pecah dan didalamnya akan terdapat sebuah pusaka.

   Pasirian melakukan amanat dari wangsit yang diterimanya itu.

   Tetapi sampai beberapa bulan, dia tak berhasil menemukan barang sebuah arcapun juga.

   Selama berada di puncak gunung Butak dia tinggal di sebuah gua yang berhadapan dengan sebuah air-terjun.

   Curahan air-terjun itu ditampung dalam sebuah telaga kecil yang penuh batu.

   Pada suatu hari karena putus asa, dia sudah mengambil keputusan untuk turun gunung.

   Mungkin wangsit yang diterimanya itu bukan wangsit sesungguhnya.

   Pada malam harinya, seperti biasa tiap malam, ia melakukan semedhi, duduk diatas sebuah batu besar menghadap kearah air- terjun.

   Malam kelam, bulan tak muncul, bintang pun jarang.

   Sunyi senyap diseluruh penjuru.

   Tiba2 terdengar guruh menggelegar di angkasa.

   Rupanya akan hujan.

   Karena sudah cukup lama bersemedhi, iapun membuka mata dan akan menyudahi semedhinya.

   Yang tampak dibadapannya adalah permukaan telaga yang bening airnya.

   Dalam cuaca malam yang gelap, telaga itu tampak makin nyata.

   Tanpa maksud tertentu, ia menyusurkan pandang mata keseluruh tepi telaga, mengikuti lekuk2 yang penuh berkeluk- keluk itu.

   Sesaat tiba pada ujung tepi yang terakhir, dia terkesiap.

   Dalam pandangannya, garis yang dibentuk oleh tepi telaga itu merupakan bentuk seperti sebuah arca.

   Segera ia merentang mata dan mencurah perhatian.

   Dan makin jelas pula bahwa bentuk telaga itu memang menyerupai sebuah arca.

   Serentak ia mencurahkan pandang kearah bagian tangan.

   Seketika dia menjerit.

   Dia menemukan gambaran bentuk tangan dan pada bagian itu memang merupakan suatu lingkaran bentuk sebuah gada.

   Setelah menunggu dengan perasaan tak sabar, akhirnya pagipun tiba.

   Langsung dia turun menuju ke-bagian tangan dari bentuk arca itu.

   Dia tak mendapatkan apa2 kecuali hanya batu terbenam air.

   Setelah merenung sejenak akhirnya ia mengangkat batu2 yang berada di dalam air.

   Ketika mengangkat sebuah batu yang paling besar, dia mendapatkan dibawah batu itu terdapat kutungan arca, kutungan bagian tangan.

   Diambilnya tangan arca batu itu.

   Setelah dihancurkannya ternyata didalamnya berisi sebatang besi kuning.

   Pasirian girang tiada terperikan.

   Untuk mencoba kesaktian besi kuning itu, dihantamkannya pada segunduk batu.

   Batupun hancur berkeping-keping.

   Sejak itu dia mulai mengumpulkan anakbuah di gunung Butak sehingga setelah dipandang cukup kuat, dia mulai mengadakan pengacauan.

   Dia tahu perasaan akuwu dan rakyat Daha terhadap Singasari yang diperintah baginda Kertanagara.

   Ia mengadakan rencana untuk memperuncing hubungan kedua kerajaan itu.

   Apabila mereka berperang maka dialah yang akan mengail di air keruh.

   Demikian sekelumit riwayat Pasirian.

   Besi kuning telah memberi bukti sebagai senjata yang amat ampuh.

   Beberapa anakbuah gunung Butak semula berasal dari para gerombolan, kepala penyamun atau penjahat yang termasyhur kesaktiannya.

   Tetapi Pasirian dapat menundukkan mereka berkat besi kuning yang ampuh itu.

   Senjata itu memiliki daya kesaktian melumpuhkan tenaga lawan.

   Demikian sekelumit sejarah besi kuning yang dimiliki Pasirian itu.

   Tiba2 dia mendapat kesempatan.

   Besi kuning segera diayunkan menghantam lambung.

   Nararya terkejut dan menangkis dengan pedang tetapi agak terlambat.

   Walaupun dapat menjaga tulang rusuknya tak sampai hancur, namun ujung besi kuning sempat pula memukul pinggang Nararya.

   Tidak berapa keras hanya menyentuh saja.

   Pasirian terkejut ketika Nararya tak kurang suatu apa dan masih dapat melanjutkan serangan.

   Selama ini jangankan terkena hantaman, sedang tersentuh saja lawan pasti gemetar dan lumpuh teiaganya.

   Tetapi mengapa Nararya tak kurang suatu apa? "....

   ingat, dia adalah junjunganku ...."

   Seketika terngiang pula suara burung garuda dalam mimpinya itu. Dan iapun dapat mengingat kelanjutan dari kata2 burung garuda itu "berani mengganggunya, nyawamu pasti kucabut ...."

   Pasirian terkesiap.

   Tiga buah hal telah menghantui benaknya.

   Ubun2 kepala Nararya memancarkan asap yang berbentuk bunga mekar, dia tak mempan disabat besi kuning dan mimpi teatang burung garuda.

   Pasirian tercengkam dalam longong yang dalam.

   Plak ...

   tiba2 kaki Nararya berayun tepat mengenai siku lengan Pasirian sehingga besi kuning terlempar jatuh.

   Pasirian gelagapan namun terlambat.

   Ia mengira kalau lawan tentu akan menyerangnya.

   Tetapi diluar dugaan Nararya hentikan gerakannya, memandang kepadanya.

   "Silahkan ambil"

   Seru pemuda itu. Walaupun tahu bahwa kekalahannya itu adalah karena dia sedang terlongong memikirkan beberapa hal, namun Pasirian terkesan akan sikap Nararya.

   "Apakah engkau kira aku kalah?"

   Seru Pasirian.

   "Tidak"

   Nararya gelengkan kepala "tetapi mengapa engkau diam saja? "

   Pasirian menghela napas "Siapakah sesungguhnya engkau ini? Benarkah engkau keturunan dari Wisnuwardana raja Singasari itu? "

   Sebenarnya dalam hati Nararya tidak membenci Pasirian.

   Gerakan Pasirian menghimpun anakbuah dan hendak memberontak adalah demi hendak melakukan balas dendam atas kematian ayahnya yang dibunuh baginda Wisnuwardana.

   Bagi kerajaan Singasari, Pasirian memang seorang pemberontak yang harus dihancurkan.

   Tetapi bagi keluarganya, bagi laku seorang ksatrya, dia telah menetapi kewajibannya.

   Sebagai seorang ksatrya, ia dapat menaruh rasa kagum dan hormat kepada seorang ksatrya lain.

   "Aku putera Lembu Tal, rama Lembu Tal adalah putera Mahesa Campaka atau Batara Narasingamurti. Eyang Batara Narasingamurti adalah putera Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Wonga Teleng adalah putera dari Ken Arok atau baginda Rajasa sang Amurwabhumi dengan eyang buyut puteri Ken Dedes "

   "O"

   Desuh Pasirian "dan siapa baginda Wisnuwardana dan bagaimana silsilah keturunannya? "

   "Baginda Kertanagara yang sekarang ini adalah putera baginda Wisnuwardana. Sebelum dinobatkan sebagai raja baginda Wisnuwardana bernama Rangga Wuni dan putera dari Anusapati. Dan Anusapati adalah putera eyang buyut puteri Ken Dedes dengan Tunggul Ametung "

   "Hm, jika demikian,"

   Kata Pasirian "rama dan eyang-eyangmu itu dari keturunan Ken Dedes "

   "Benar "

   "Engkau dengan raja Kertanagara masih kemanakan dari garis keturunan Ken Dedes "

   "Ya"

   "Sesungguhnya engkaulah keturunan dari Ken Arok dan raja Kertanagara itu keturunan dari Tunggul Ametung "

   "Demikianlah "

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mengapa engkau begitu mati-matian membelanya? "

   "Raden Pasirian"

   Kata Nararya.

   dengan tenang "yang kubela adalah Singasari karena kerajaan itu didirikan oleh eyang buyut sri Rajasa.

   Bahwa ketentuan kodrat saat ini kerajaan Singasari diperintahkan oleh raja keturunan dari Tunggul Ametung dan eyang buyut puteri Ken Dedes, hal itu rupanya memang sudah garis kehendak dewata.

   Eyang Batara Narasingamurti tentu sudah menyadari hal itu dan merelakannya."

   "Engkau salah raden Nararya. Seharusnya engkau berusaha untuk merebut warisan dari sri Rajasa. Engkau lebih berhak."

   "Dewata Agung telah menentukan garis hidup pada kita. Kuserahkan saja kesemuanya itu kepada kehendak Dewata Agung. Yang penting, perjuanganku saat ini adalah menjaga dan membela kerajaan Singasari dari setiap gangguan dari manapun datangnya "

   "Hm"

   Desuh Pasirian "apakah yang engkau harapkan dari aku? "

   "Aku tak berani mengharap terlalu banyak kecuali hanya sebuah harapan yang tak berarti bagi raden tetapi mempunyai arti besar bagi perjuanganku."

   "O, apakah itu? "

   "Aku dapat memaklumi tujuan perjuangan raden. Tetapi kitapun harus mau menerima kenyataan yang telah diberikan oleh Hyang Batara Agung."

   "Tetapi kita manusia harus berusaha"

   "Benar"

   Sambut Nararya "karena Hyang Batara Agung hanya merestui pada manusia yang berusaha.

   Karena manusia yang berusaha adalah manusia yang menetapi dharma kemanusiaannya.

   Tetapi hendaknya kita dapat meningkatkan kecerdasan dan indera kemanusiaan kita pada kenyataan yang diberikan Hyang Batara Agung itu."

   Pasirian merenung.

   "Baiklah"

   Sesaat kemudian ia berkata "aku dapat menerima harapanmu itu. Marilah kita tempuh jalan perjuangan kita masing2. Silahkan engkau melanjutkan perjalananmu "

   "O, raden berkenan menghabiskan pertempuran ini? "

   "Kurasa demikian"

   Jawab Pasirian "karena tiada membawa pengaruh besar pada tujuan perjuanganku."

   "Baik, terima kasih"

   Kata Nararya "sampai jumpa, raden,"

   Dia terus menghampiri Nambi dan menghaturkan terima kasih atas bantuannya. Setelah itu dia terus ayunkan langkah menuruni gunung.

   "Raden Nararya "

   Tiba2 Pasirian berseru.

   "O, apakah raden hendak memberi pesan lagi kepadaku?"

   Nararya hentikan langkah berpaling menghadap ke arah Pasirian.

   "Mengapa engkau tak menagih janji kepadaku ?"

   Tegur Pasirian.

   "Janji? "

   "Bukankah aku telah berjanji, apabila engkau dapat mengalahkan aku, aku bersedia memberitahu tempat penyimpanan gong Prada kepadamu? "

   "O"

   Desuh Nararya "tetapi raden tidak kalah, bagaimana aku mempunyai muka untuk menagih janji? "

   "Aku memang terlongong karena teringat sesuatu. Akibatnya engkau dapat menendang jatuh senjataku. Tetapi itu bukan alasan untuk meniadakan kemenanganmu. Dan hal itu merupakan kesalahanku sendiri. Menurut penilaian, engkau telah memenangkan pertempuran itu ...."

   "Tetapi aku mendapatkannya karena raden sedang termenung bukan karena gerak pertempuran yang sewajarnya "

   "Penilaian pada pertempuran diberikan atas kenyataan dari kesudahannya. Bukan karena alasannya dari kekalahan itu. Kalah adalah kalah dan menang tetap menang. Tanpa alasan "

   "Ah, raden terlalu merendah diri "

   "Bukan merendah diri melainkan mengakui kenyataan. Bukankah engkau meminta kepadaku supaya melihat kenyataan? Jika engkau menyangkal hal itu berarti engkau mengingkari permintaanmu sendiri."

   Nararya menghela napas.

   "Lalu bagaimana kehendak raden?"

   Tanyanya.

   "Sudah tentu aku harus menepati janji."

   "Ah"

   Nararya mendesah kejut.

   "Akan kuberitahu kepadamu dimana sesungguhnya gong pusaka itu berada,"

   Kata Pasirian seraya memberi isyarat agar Nararya mendekat.

   Nararya terkejut, Nambipun kaget.

   Tetapi agak beda perasaan kedua pemuda itu.

   Nararya terkejut karena tak menyangka akan sikap Pasirian.

   Dia tahu bahwa rahasia itu amat penting dan hanya diperuntukkan kepadanya.

   Ia tentu akan membisiki sepelahan mungkin agar supaya Nambi jangan sampai mendengarnya.

   Tiada setitikpun ia menaruh kecurigaan.

   Sedangkan rasa kejut Nambi agak diliputi oleh rasa kecurigaan dan kecemasan.

   Menilik betapa sikap Pasirian beberapa saat tadi, ia cenderung untuk menduga bahwa Pasirian akan melakukan sesuatu yang membawa akibat menguatirkan terhadap Nararya.

   "Raden ...."

   Cepat ia berseru.

   Tetapi Nararya berpaling dan mengangguk sebuah senyuman kepadanya.

   Pandang matanya memberi isyarat bahwa Nambi tak perlu menguatirkan keselamatannya.

   Nararya maju kedekat Pasirian dan Pasirian dengan nada bisik2 berkata "Raden Nararya, sesungguhnya gong pusaka itu memang berada ditanganku.

   Tetapi aku berjanji kepadamu, akan kukembalikan lagi ke tempat semula di Lodoyo "

   Nararya kerutkan dahi.

   "Dapatkah engkau mempercayai janjiku?"

   Seru Pasirian. Tanpa ragu3 Nararya mengangguk "Ya. Aku percaya penuh atas janji raden"

   "Nararya"

   Kata Pasirian "aku merasa malu dalam hati menerima kepercayaanmu. Aku berjanji, demi Batara Agung, tentu akan mengembalikan gong itu."

   "Terima kasih, raden"

   Kata Nararya. Kemudian ia menanyakan lebih lanjut apakah Pasirian masih punya lain2 persoalan yang hendak disampaikan kepadanya.

   "Selamat jalan, raden Nararya"

   Pasirian menyudahi pembicaraan itu seraya masuk pula kedalam kuil. Nararyapun segera hendak lanjutkan perjalanan. Tiba2 ia merasa sesosok bayangan mengikuti dibelakangnya. Ia cepat dapat menduga siapa orang itu.

   "Ki Nambi"

   Serunya "hendak kemanakah tuan?"

   "Aku hendak mengikuti raden ?"

   "Ah"

   Nararya hentikan langkah dan berpaling "mengapa hendak mengikuti langkahku? "

   Sementara itu mereka sudah jauh dari candi tempat Pasirian tadi.

   Nambi menawarkan kepada Nararya untuk duduk beristirahat dibawah sebatang pohon yang tumbuh ditepi jalan "Hari masih gelap dan raden tentu lelah, marilah kita beristirahat sambil ber- cakap2."

   Heran akan sikap orang, diam2 Nararya ingin mengetahui siapakah sesungguhnya pemuda yang bernama Nambi itu.

   Dia mendapat kesan baik terhadap pemuda itu.

   Bukan karena gembira mendapat bantuan melainkan karena menghargai tindakan Nambi tadi.

   Hanya pemuda yang berjiwa ksatrya, berani bertindak melerai sebuah pertempuran yang berbahaya.

   "Baiklah"

   Kata Nararya lalu menghampiri ke arah sebatang pohon yang dimaksud Nambi.

   "Raden"

   Mulailah Nambi membuka percakapan sesaat keduanya duduk dibawah pohon "mungkin raden tentu heran dan ber-tanya2 dalam hati, mengapa aku tiba2 muncul pada saat raden sedang melangsungkan pertempuran dengan Pasirian tadi.

   Dan mengapa pula aku hendak mengikuti perjalanan raden."

   Nararya mengangguk "Benar katamu, ki Nambi. Apabila engkau tak keberatan, sukalah engkau memberi penjelasan kepadaku "

   "Memang demikianlah maksudku, raden,"

   Kata Nambi "ayahku bernama Pranaraja, pernah bekerja sebagai narapraja kerajaan Singasari ketika masih di perintah rahyang ramuhun Wisnuwardana.

   Tetapi pada waktu baginda Kertanagara naik tahta, banyaklah mentri-mentri tua yang dilepas dan dipindah.

   Ayahpun di pindah ke Lumajang.

   Aku tak mau tinggal di Lumajang lalu aku mengembara.

   Walau rama tak bilang apa2, tetapi aku ikut perihatin dan malu atas kepindahan rama itu.

   Berhenti sejenak, Nambi melanjutkan pula.

   "Suatu pemindahan ke daerah, sama dengan suatu pelorotan kedudukan ....

   "

   "Ah, jangan terlalu mengadakan suatu penafsiran yang keliwat tajam "

   Seru Nararya "di manapun, di pura kerajaan, di daerah maupun di puncak gunung, tiadalah berbeda. Karena masih menjadi kawasan kerajaan Singasari dan masih tetap mengabdi kepada Singasari."

   "Benar raden "

   Sabut Nambi "apabila memang demikian tentulah tiada hal2 yang patut disesalkan.

   Sebagai contoh, patih sepuh empu Raganata, dipindah sebagai adhyaksa di Tumapel, tumenggung Wirakreti dijadikan mentri angabaya, demang Wiraraja dipindah ke Sumenep.

   Jelas mentri tua yang setya itu telah disingkiikan dari pura kerajaan "

   "Tetapi bukankah pemindahan2 itu atas titah baginda? "

   Kata Nararya.

   "Titah memang baginda yang melimpahkan tetapi rencana patih Aragani yang merancang. Pembersihan beberapa mentri tua itu, akan memberi peluang pada patih Aragani untuk merebut pengaruh di pura kerajaan. Demikian yang dialami rama."

   Nararya mengangguk. Memang peristiwa itu diapun sudah mendengar.

   "Nambi, demikian pesan rama kepadaku "Nambi melanjutkan penuturannya pula "memang sukarlah menjadi narapraja yang jujur. Lihatlah betapa menyedihkan keakhiran nasib dari empu Raganata, patih sepuh yang amat setya pengabdiannya kepada kerajaan Singasari itu. Hanya karena tak setuju akan tindakan baginda Kertanagara yang hendak meluaskan pengaruh ke tanah seberang, mengirim pasukan Singasari ke Melayu, maka patih empu Raganata telah dilorot dan dipindah ke Tumapel. Rama sudah terlanjur mengabdi sebagai narapraja tetapi engkau Nambi, janganlah engkau mengikuti jejak rama "

   Nararya kerutkan dahi.

   "Bagaimana mungkin seorang narapraja kerajaan akan menasehati puteranya agar jangan menjadi narapraja kerajaan? Bukankah hal itu dapat mengingkari pengabdiaannya? "

   "Benar raden"

   Kata Nambi "tetapi rama tidak mengingkari rasa pengabdian kepada negara. Rama mengatakan, untuk mengabdi kepada negara dan kerajaan, terdapat banyak sekali jalannya. Tidaklah selalu pengabdian itu harus diwujutkan sebagai seorang narapraja"

   Nararya terkesiap lalu mengangguk. Ucapan rama Nambi itu memang benar. Rama dari Nararya sendiri juga tak mau menjadi narapraja melainkah hidup di pertapaan yang sunyi.

   "Aku dapat menghayati makna dari ucapan rama itu"

   Kata Nambi pula "akupun lalu mengembara dengan tujuan hendak menuntut ilmu yang berguna dan kelak dapat kupersembahkan kepada negara. Setelah bertahun2 mengembara, akhirnya aku berguru pada begawan Maya Lejar di puncak gunung Lejar"

   "O"

   Desuh Nararya.

   "Tiba2 kemarin sang begawan memanggil aku menghadap. Dia mengatakan bahwa dalam semedhinya semalam dia melihat sebuah sinar gemilang meluncur dari langit dan tiba di candi lereng gunung ini. Guru menitahkan aku supaya lekas turun gunung."

   Nararya terkesiap.

   "Cahaya yang bundar sebesar buah kelapa dan bersinar terang itu, hanya dua macam. Apabila bukan suatu ndaru atau sinar gaib yang memperlambangkan kebahagiaan atau peristiwa yang besar, tentulah lambang dari seorang yang menjadi kekasih dewata, seorang manusia yang mempunyai sejarah besar. Lekaslah engkau turun gunung, Nambi "

   "Setelah aku berkemas dan menghadap untuk mohon diri, sang begawanpun menyerahkan pedang kepadaku dengan pesan supaya digunakan dalam keadaan yang penting"

   Nararya diam.

   "Pada saat aku turun dari puncak dan menuju ke candi, aku terkejut ketika melihat sinar yang menyilaukan, memancar dari candi itu,"

   Kata Nambi pula "bergegas aku lari menghampiri.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan pada saat itu yang kulihat raden sedang menghadapi serangan Pasirian.

   Betapa kejut hatiku ketika melihat raden hendak dihantam besi kuning oleh Pasirian.

   Sambil berlari akupun meneriakinya supaya menghentikan tindakannya yang ganas itu.

   Demikianlah raden asal mula mengapa aku tiba2 muncul di candi dan menyentakkan bahu Pasirian "

   Nararya terkejut.

   "Dimanakah sinar gemilang itu?"

   Tanyanya.

   Ia teringat akan pesan gurunya untuk mencari wahyu gaib yang akan diturunkan oleh dewata.

   Dengan penuh harap ia menantikan keterangan Nambi.

   Dalam alam pikirannya, benda gemilang yang dilihat oleh begawan Maya Lejar dalam impian dan dilihat dengan mata kepala sendiri oleh Nambi, tentulah benda yang gaib.

   Mungkin wahyu yang hendak dicarinya itu.

   "Sinar terang itu hilang manakala aku melihat raden sedang bertempur dengan Pasirian"

   "Ah"

   Nararya menghela napas. Ketegangan ha tinya melonggar tetapi perasaannya masih kecewa seperti kehilangan sesuatu yang belum pernah dimilikinya "mungkin sinar itu adalah diri Pasirian yang sedang bertapa"

   Akhirnya ia mencetuskan uneg2 dalam hatinya. Nambi kerutkan dahi.

   "Berapa lamakah raden tiba di candi itu ?"

   Tiba2 ia bertanya.

   "Baru malam itu juga "

   "Oh"

   Tiba2 Nambi berteriak "jika demikian, benda bercahaya itu jelas bukan dari diri Pasirian"

   "Bagaimana engkau mengatakan begitu? "

   "Karena guru baru dua hari ini mendapat wangsit gaib itu dan baru kemarin menitahkan aku turun ke candi. Bukankah Pasirian sudah beberapa hari bertapa di candi itu? "

   Nararya terbeliak "Lalu? "

   "Raden "

   Seru Nambi agak tergetar "sinar cahaya itu tentulah pada diri raden sendiri "

   "Nambi ! "

   Nararya melonjak dari duduknya.

   "jangan engkau berkata begitu! "

   Nambi terkejut melihat sikap dan nada ucapan Nararya yang begitu keras.

   Hal itu sungguh diluar dugaan nya.

   Cahaya sinar gaib pada diri orang, merupakan pancaran kewibawan, keagungan dan kebesaran dari peribadi orang itu.

   Tiada sembarang orang akan memancarkan cahaya sedemikian.

   Hanya calon raja, orang besar dan priagung yang berdarah luhur.

   Tidakkah seharusnya Nararya berbangga hati karena memiliki sinar luhuritu? Tetapi mengapa dia bahkan tampak kurang senang? "Raden "

   Seru Nambi "tidakkah hal itu menyatakan bahwa raden kelak....."

   "Nambi! "

   Bentak Nararya makin membengis.

   "jangan mengatakan hal itu lagi! "

   Nambi makin terkejut "

   Maaf, raden, apabila kata-kataku itu menyinggung perasaan raden. Tetapi benar2 aku hanya mengatakan apa yang kulihat tanpa memiliki maksud hendak menyinggung perasaan raden "

   "Ya "

   Sahut Nararya "

   Tetapi kata-katamu tak layak apabila engkau tujukan kepadaku. Apakah diriku ini? Aku hanya seorang pemuda desa, seorang insan biasa. Bagaimana mungkin mempunyai hal2 yang engkau katakan tadi? Nambi "

   Nada Nararya berobah sarat "silahkan engkau melanjutkan perjalananmu. Demikianpun aku. Budi pertolonganmu, kelak tentu akan kubalas."

   "Raden "

   Nambi gopoh berkata "apa yang kukatakan tadi, hanya suatu kesimpulan itu tak selamanya benar.

   Baiklah, apabila raden menolak untuk kesimpulan yang kukatakan tadi, akupun takkan mengucapkan lagi.

   Namun hal itu tetap akan menjadi sesuatu yang membayang dalam keherananku.

   Apakah sesungguhnya sinar yang bercahaya terang itu ? "

   "Hanya dua kemungkinan,"

   Kata Nararya "mungkin sesuatu yang kebetulan memancar pada pandang pikiranmu. Atau, dalam candi itu tersimpan suatu pusaka yang ampuh sekali "

   "O."

   Nambi mendesuh kaget "mungkin ulasan raden itu benar. Mengapa Pasirian bertapa dalam candi itu jika tiada sesuatu yang akan diarahnya ? "

   "Raden"

   Seru Nambi pula "jika demikian kita harus, berusaha untuk menyelidiki hal itu. Siapa tahu pusaka itu benar2 ampuh tiada taranya"

   Nararya gelengkan kepala "Aku masih mempunyai lain urusan yang perlu harus kulakukan. Maaf. Silahkan engkau melakukan ha! itu sendiri "

   "Tetapi raden, bukankah berbahaya apabila Pasirian berhasil mendapatkan pusaka yang ampuh? Bukankah dia bertujuan hendak memusuhi kerajaan Singasari? "

   Nararya terkesiap.

   Apa yang dikatakan Nambi memang perlu mendapat perhatian.

   Jika seorang seperti Pasirian mendapatkan pusaka yang benar2 ampuh, bukah hal itu akan mendorongnya lebih memperkeras perjuangannya? Lepas dari rasa hormat atas perjuangan Pasirian sebagai seorang putera yang hendak menuntut balas ke-matian ramanya, Nararya merasa cemas dan menentang tujuan perjuangan pemuda itu.

   "Bagaimana raden? "

   Nambi mendesak pula manakala melihat Nararya termenung.

   "Nambi "

   Kata Nararya "memang persoalan itu patut mendapat perhatian.

   Tetapi apa yang kukemukakan tadi, pun baru tafsiran, belum suatu kenyataan.

   Kita hanya menduga bahwa dalam candi itu mungkin terdapat pusaka yang keramat.

   Tetapi belum pasti kebenarannya.

   Sedang aku saat ini masih-harus melaksanakan perintah dari rama dan guruku.

   Betapapun aku terpaksa tak dapat tinggal di gunung Lejar ini lebih lama.

   Soal Pasirian mungkin akan mendapat sesuatu yang penting, yah, kuserahkan saja kepada kehendak Batara Agung ....

   "

   "Tidak raden "

   Bantah Nambi "salah apabila kita tahu tetapi tak bertindak.

   Walaupun ramaku menderita perlakuan yang tak adil dari baginda Kertanegara tetapi aku tetap akan mengabdi dengan caraku sendiri kepada Singasari.

   Jika raden masih mempunyai lain kepentingan, silahkan.

   Biarlah aku sendiri yang tinggal di gunung ini untuk menyelidiki gerak gerik Pasirian "

   "Nambi "

   Teriak Nararya dengan penuh haru. Ia memeluk pemuda itu "tiada terlukiskan betapa terima kasih dan hormatku atas keputusanmu itu. Engkau benar2 seorang ksatrya yang benar2 layak menjadi kawan seperjuanganku "

   "Ah, janganlah raden menjunjung diriku setinggi itu,"

   Jawab Nambi "Nambi hanya melakukan kewajiban sebagai seorang kawula negara Singasari "

   Nararya, mengangguk.

   "Raden "

   Kata Nambi pula "jika raden besar-benar menganggap Nambi sebagai seorang sahabat, dapatkah Nambi memohon keterangan tentang langkah yang hendak raden tuju ? "Aku hendak ke candi di Kagenengan "

   "O "

   Seru Nambi "

   Kemudian? "

   "Tergantung dari keadaan. Karena akupun sedang lelanabrata tanpa suatu tempat tujuan tertentu "

   Nambi merenung diam.

   "Raden "

   Katanya sesaat kemudian "sesungguhnya ingin sekali saat ini aku mengikuti raden.

   Aku pun mendapat titah guru untuk melakukan lelanabrata.

   Tetapi karena aku berjanji akan tinggal disini untuk mengawasi gerak gertk Pasilian, terpaksa aku belum dapat mengikuti raden.

   Sudah tentu tugas kita akan berakhir dan pada waktu itu bila dan dimanakah kita dapat berjumpa kembali ? "

   Nararya terhening sejenak kemudian menghela napas "

   Ah, sukar untuk memastikan. Namun selama surya masih menyinari bumi Singasari, kita pasti akan berjumpa lagi "

   "Baiklah raden "

   Akhirnya dengan berat hati Nambi melepas "akupun mempunyai firasat bahwa kelak kita pasti akan jumpa lagi "

   Setelah terang tanah Nararyapun berpisah dengan Nambi.

   la menuruni gunung dan melanjutkan perjalanan pula.

   Ia tak melanjutkan langkah untuk menyusuri jejak perjalanan Ken Arok dahulu.

   Diketahuinya setelah menampakkan diri dari timbunan sampah, para dewa yang sedang bermusyawarah di gunung Lejar merestui Kea Arok sebaga insan yang dipercayakan tugas untuk memerintah Jawadwipa oleh para dewa.

   Dan selanjutnya datanglah seorang pandita sakti bernama Lohgawe dari Jambudwipa, yang mengayuh dan memberi petunjuk Ken Aiok supaya bekerja pada Akuwa Tunggul Ametung hingga menjadi raja Singasari.

   Dalam perjalanan, Nararya masih merenungkan peristiwa2 yang dialaminya selama di gunung Lejar.

   Dan setiap peristiwa tentu melahirkan kesan.

   Diantaranya yang paling berkesan adalah soal diri Pasirian.

   Secara tak sengaja ia telah berjumpa dengan pemimpin gerombolan gunung Butak.

   Hal itu menandakan bahwa gerombolan gunung Butak yang selama ini selalu mengacau keamanan negara, telah berantakan.

   Suatu kebahagiaan bagi, rakyat Singasari.

   Sedangkan gong prada yang selama ini menghebohkan ternyata berada di tangan Pasirian.

   Kemungkinan orang yang melarikan gong ketika terjadi perebutan di gua Polaman itu adalah utusan Pasirian.

   Dengan demikian terkecohlah pangeran Ardaraja yang mengirim Suramenggala dan patih Aragani yang mengirim orangnya.

   Bahwa Pasirian berjanji akan mengembalikan gong pusaka itu ke Lodoyo, sungguh suatu hal yang tak pernah disangka-sangkanya.

   Kelak ia akan menyempatkan waktu untuk meninjau ke Lodoyo.

   Apabila Pasirian benar2 menetapi janji, ia segera akan memanggil demang Kaloka yang tentu masih berada di Daha agar kembali ke Lodoyo.

   Iapun akan meminta kepada demang itu agar peristiwa kembalinya gong Prada ke Lodoyo dirahasiakan.

   Karena jelas gong pusaka itu diincar oleh fihak tertentu untuk dijadikan alat mencapai kepentingannya.

   Kemudian peristiwa kedua yang amat berkesan dalam benak Nararya adalah soal sinar aneh yang gemilang itu.

   Walaupun dihadapan Nambi dengan tegas ia menolak anggapan bahwa sinar ajaib itu berasal dari tubuhnya tetapi sesungguhnya dia tak dapat menolak suatu kenyataan yang diperoleh begawan Maya Lejar dari semedhi dan yang dilihat Nambi dengan mata kepala sendiri.

   Ia mengatakan bahwa sinar gemilang itu tentu berasal dari sebuah pusaka yang amat keramat.

   Tetapi benarkah itu? Apabila memang di candi itu tersimpan sebuah pusaka keramat, mengapa ia tidak melihat sama sekali, juga tidak Pasirian? Pada hal sebuah benda keramat yang memancarkan sinar gemilang tentu dapat diketahui dan dilihat oleh setiap orang.

   Tetapi mengapa yang mengetahui hanya sang begawan dan Nambi? Nararya terkesiap.

   Ia menimang lebih lanjut.

   Mengapa baru sehari sebelum ia datang ke gunung Lejar, begawan Maya Lejar mendapat wangsit dalam semedhinya? Pada hal begawan itu sudah lama menetap di puncak gunung Lejar.

   Apabila dalam candi itu benar tersimpan pusaka yang keramat tentulah sudah dari dulu begawan itu akan memperoleh ilham.

   Kemudian ia teringat akan sikap Pasirian saat bertempur.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia telah dapat dikuasai Pasirian dan Pasirianpun sudah mengeluarkan senjata besi kuning untuk menghantam kepalanya.

   Tetapi mengapa tiba2 Pasirian terhenti.

   Saat itu ia sempat melihat betapa tegang dan kejut wajah Pasirian.

   Seolah orang itu telah melihat sesuatu yang mengguncangkan perasaannya.

   Mengapa ? Mengapa begawan Maya Lejar baru mendapat wangsit sehari sebelum ia tiba di gunung Lejar? Mengapa Pasirian terkejut ketakutan ketika mengayunkan besi kuning ke ubun2 kepalanya? Nararya berusaha untuk menghindarkan diri dari lingkaran peristiwa aneh itu.

   Namun ia tak berhasil menemukan sasaran lain kecuali harus berpaling pada dirinya sendiri.

   "Aku ? "

   Akhirnya keluar tuntutan kepada dirinya "akulah yang .... ah "

   Ia menghela napas dan tak berani melanjutkan kata-katanya.

   Ia berusaha mengendapkan pikiran yang hendak melibatkan dirinya kedalam persoalan itu.

   Ia berhasil tetapi pada dasar dalam endapan hatinya itu ia bertemu pula dengan sebuah lapisan endapan lain yang berupa suatu peristiwa lama.

   Peristiwa yang hampir terlupakan tetapi tak pernah terhapus.

   Kala itu ia sudah berguru di pertapaan Kawi.

   Dalam rangka membuat ramuan obat, gurunya menitahkan dia mencari binatang trenggiling.

   Berhari-hari dia harus menyusup ke daerah pedalaman hutan belantara.

   Akhirnya di sebuah lembah ia berhasil menemukan jejak binatang itu.

   Binatang itu teramat gesit sehingga dia menunggu pada malam hari.

   Dia harus bermalam sampai beberapa malam disebuah gua.

   Pada suatu malam menjelang pagi, dia dikejutkan oleh suara hiruk pikuk yang gemuruh diluar gua.

   Dan ketika ia melongok keluar, kejutnya makin besar.

   Pada malam2 yang lalu, suasana disekitar tempat itu sunyi dan gelap.

   Tetapi mengapa saat itu tampak terang benderang.

   Ia segera beranjak dan melangkah keluar.

   Apa yang disaksikan, benar2 mengejutkan sekali.

   Dihalaman luar gua, kira2 terpisah sepuluhan tombak jauhnya, tampak belasan lelaki tegak berjajar sambil membawa obor.

   Mereka memandang dengan wajah ngeri ke muka gua.

   Ketika Nararya beralih ke arah tempat yang menjadi sasaran orang2 itu, diapun makin terbelalak.

   Di muka gua, tampak segerombolan binatang yang mengerikan.

   Ular, babi hutan, harimau, musang, anjing hutan, kera, tupai, selira dan beberapa jenis binatang kecil, tengah mendekam menghadap kearah gua.

   Kini tahulah Nararya, mengapa orang2 pembawa obor itu tak berani mendekati gua.

   Nararya tahu apa yang terjadi di sekeliling gua tempat ia bermalam tetapi dia tak tahu apa artinya semua itu.

   Orang2 itu riuh bergemuruh ketika melihat Nararya muncul.

   Tetapi binatang2 itu masih mendekam tak bergerak.

   "Hai, siapakah ki sanak sekalian ini? "

   Seru Nararya.

   Tiada terdengar jawaban.

   Orang2 itu saling berbisik dengan kawannya.

   Ketika Nararya mengulangi tegurannya barulah salah seorang diantara mereka menjawab dengan bertanya, siapakah diri Nararya itu.

   Nararya-pun memberi jawaban yang sebenarnya.

   "Kami datang kemari karena melihat cahaya yang memancar terang di tempat ini "

   Orang itu menerangkan.

   "Lalu apa yang kalian dapatkan ? "

   "Ketika tiba di gua ini cahaya itu lenyap dan kami melihat berjenis-jenis binatang tengah mendekam di muka gua ini lalu tuan muncul,"

   Kata orang itu.

   "O, binatang2 ini bukan peliharaan kalian? "

   "Bukan,"

   Sahut orang itu "bagaimana mungkin kami memelihara sekian banyak dan sekian jenis binatang2 itu."

   Nararya heran.

   Sampai saat itu binatang2 di muka gua itu masih mendekam diam.

   Ia memperhatikan beberapa binatang itu masih bergerak, jelas belum mati.

   Ia heran apa sebab binatang2 itu mendekam di muka gua dan apa pula sebabnya binatang2 yang buas itu tidak menyerang masuk ke dalam gua.

   Nararyapun mendapat ilmu dari gurunya untuk menundukkan binatang.

   Betapapun buas binatang itu apabila ia mengucapkan mantra tentulah binatang itu akan menyingkir.

   Maka saat itu Nararyapun segera mengucapkan mantra.

   Satu demi satu binatang-binatang itupun mulai beringsut mundur lalu meninggalkan tempat itu.

   Kembali orang2 itu hingar bingar karena heran tercampur cemas.

   Dengan sumpah orang2 itu mengatakan bahwa mereka memang benar melihat cahaya yang memancar terang di lembah itu dan ternyata ketika beramai-ramai mereka mencarinya, cahaya gemilang itu berasal dari dalam gua.

   Peristiwa aneh itu Nararya ceritakan juga kepada resi Sinamaya.

   Resi tua itu menghela napas "Kodrat dewata sudah menentukan jalan hidupmu.

   Gencarkan tapabrata dan tuntutlah ilmu sedalam- dalamnya untuk mempersiapkan dirimu dalam suatu tugas berat yang dipercayakan dewata kepadamu."

   Hanya itu yang dikatakan resi Sinamaya.

   Ia tahu bahwa gurunya itu selalu berhati-hati dalam menerangkan sesuatu rahasia alam.

   lapun tak mau mendesak lebih lanjut.

   Teringat akan peristiwa itu, tersibak pula endapan yang sudah berada didasar hatinya "Aneh, mengapa dua kali ini aku mengalami peristiwa tentang cahaya terang ?"

   Ia mulai bertanya-tanya tetapi tak dapat menemukan jawaban.

   Jauh dari pikirannya untuk mengaitkan dirinya dalam peristiwa itu namun dua buah peristiwa itu makin berkesan dalam hatinya.

   Diam2 Nararya merasa bahagia karena tak dapat menemukan jawaban sehingga iapun tak dapat menarik kesimpulan.

   Dengan demikian hati pikirannya masih kosong dari segala rasa bangga dan khayal yang berke-larutan.

   "Berbahaya,"

   Diam2 ia berteriak dalam hati "tak boleh pemikiran2 semacam itu menghuni dalam hatiku.

   Hal itu akan menimbulkan rasa ke-akuan yang tinggi pada diriku.

   Pada hal semua itu baru bersifat dugaan dan anggapan.

   Kenyataannya hanyalah kuasa Hyang Widdhi Agung.

   Wajib manusia hanya berusaha, bukan merasa dan menduga-duga "

   Selama dalam perjalanan menuju ke candi makam Kagenengan yang terletak dilingkungan Singasari, banyak pula ia melihat dan mendengar keadaan kehidupan rakyat.

   Di berbagai tempat orang giat membangun candi, vihara dan rumah2 sudharma.

   Seolah pemerintah kerajaan Singasari sedang giat mengembangkan agama.

   Diam2 timbul pertanyaan dalam hati Nararya.

   Adakah negara Singasari itu benar2 sudah aman sejahtera sehingga tampaknya bidang2 pembangunan lain2 tiada perlu dipergiat lagi? Pada hal ia mendapat kesan bahwa dibatas belahan barat, Daha sedang giat mengumpulkan dan memperbesar kekuatan pasukannya.

   Tetapi kecemasannya itu segera terhibur ketika di daerah2 yang makin dekat dengan pura kerajaan, orang ramai mempercakapkan tentang wara-wara yang disebarkan oleh bentara kerajaan Singasari.

   Menurut keterangan dari beberapa penduduk, wara-wara itu berisikan suatu seruan kepada seluruh rakyat khusus kaum muda, agar ikut serta sayembara yang akan diadakan oleh kerajaan.

   "Sayembara? Sayembara apakah yang akan diselenggarakan kerajaan Singasari"

   Ia bertanya lebih lanjut.

   "Sayembara memilih senopati, perwira, bintara dan prajurit "

   Jawab orang itu. Nararya terkejut. Ia meminta penjelasan lebih jauh.

   "Akan diadakan sayembara adu kedigdayaan. Yang menang akan diangkat sebagai senopati. Demikian pula yang tidak beruntung memenangkan sayembara, pun akan diterima dalam pasukan kerajaan "

   "Tetapi apakah maksud kerajaan membuka sayembara demikian? "

   "Ah, anakmuda"

   Kata orang itu, seorang lelaki tua "bagaimana engkau tak tahu akan keadaan pura kerajaan Singasari? Bukankah baginda telah mengutus senopati Kebo Anabrang membawa pasukan Singasari ke tanah Malayu? Dengan demikian kekuatan dalam kerajaan tentu berkurang."

   Nararya mengangguk.

   Diam2 ia gembira.

   Mudah2an bukan hanya paman itu saja yang mengikuti perkembangan keadaan pura kerajaan tetapi setiap kawula Singasaripun demikian.

   Jika keadaan negara diikuti oleh segenap lapisan kawula maka hal itu akan memberi pertanda, rakyat mempunyai rasa tanggung jawab akan keadaan negara.

   Bahkan rasa itu tentu akan meningkat pada suatu ikatan batin dan dicetuskan dalam sikap dan langkah bertanggung jawab.

   Kerajaan adalah raja dan kawula atau negara dan rakyat.

   Kerajaan yang mendapat perhatian rakyat tentu akan mendapat dukungan rakyat.

   Hanya kerajaan yang mendapat dukungan rakyat akan dicintai rakyat dan akan berkembang menjadi kerajaan yang besar dan kuat.

   Oleh karena itu suatu wajib bagi para narapraja yang duduk dalam pemerintahan kerajaan untuk membangkitkan rakyat akan rasa cinta kepada negara dan ikut merasa memiliki kerajaan.

   Hanya dengan rasa cinta dan rasa ikut memiliki itu maka rasa ikut bertanggung jawab akan berkembang dan rasa pengabdian akan dihayati.

   Dibalik kesannya terhadap pembicaraan dengan orang itu, beralihlah pikiran Nararya ke pura kerajaan Singasari.

   Benarkah dalam pemerintahan Singasari telah terjadi perobahan haluan dan pendirian? Bukankah pendirian supaya memperkokoh keadaan dalam negeri, telah dipelopori oleh bekas patih sepuh empu Raganata dan beberapa mentri, telah menimbulkan kemurkaan baginda sehingga mentri2 sepuh itu dilorot dan dipindah dari pura Singasari? Bukankah kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan masih direnggut patih Aragani ? Dan bukankah patih itu menentang pendirian bekas patih Raganata sehingga ia diangkat sebagai penggantinya oleh baginda? Mengapa sekarang kerajaan hendak mengadakan sayembara? Adakah patih Aragani sudah berobah haluan ataukah dalam pusat pemerintahan di Singasari muncul pula seorang tokoh yang kuat pengaruhnya? "Ah"

   Nararya akhirnya menghela napas dalam hati.

   Ia bukan seorang narapraja tetapi seorang kelana yang sedang melakukan lelana-brata untuk melaksanakan titah gurunya.

   Ia selalu jauh dari pura Singasari yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan.

   Bagaimana mungkin ia tahu apa yang terjadi dalam tubuh pemerintahan di pusat? Tetapi betapapun halnya, diam2 ia merasa girang juga mendengar pengumuman dalam wara- wara itu.

   Hal itu berarti satu langkah perobahan yang baik dari kerajaan.

   "Bilakah sayembara itu akan dilangsungkan, paman ? "

   Tanyanya kepada orangtua itu.

   "Nanti pada awal bulan Caitra, masih kurang tiga bulan dari sekarang "

   "Dimana sayembara itu akan diselenggarakan? "

   Tanya Nararya pula.

   "Di alun-alun pura Singasari "

   "Apakah banyak pemuda2 di daerah yang akan ikut serta? "

   "Entahlah "

   Sahut orang itu "kurasa hal itu tergantung pada daerah masing2. Bagaimana kebijaksanaan kepala daerah masing2 memimpin daerahnya "

   Nararya dapat menyetujui ucapan orangtua itu.

   ~dewiKZ~ismoyo~mch~ II Brehaspati Kuning atau hari Kamis Pon, waktu senjakala setelah surya terbenam, ketika orang telah memasang lampu maka sang Amurwabhumi sedang bersantap malam.

   Tiba2 masuklah seorang pengalasan berasal dari desa Batil dengan membawa keris empu Gandring yang amat bertuah.

   Serentak orang Batil itu menusuk sang Amurwabhumi ....

   Gegerlah seluruh istana.

   Orang Batil itupun lari mencari perlindungan kepada Anusapati, putera Ken Dedes dari Tunggul Ametung atau putera tiri dari sang Amurwabhumi.

   "Sudah wafatlah ayahanda baginda oleh hamba,"

   Orang Batil itu menghaturkan laporan dengan cemas2 gembira. Pandang matanya mengharap puji dan ganjaran.

   "Benar? "

   Anusapati menegas.

   "Benar, gusti "

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pengatasan itu menghaturkan sembah.

   "Bagus, terimalah ini penghianat!"

   Anusapati terus menusuk orang Batil itu. Demikian peristiwa pembunuhan yang terjadi pada diri Sri Rajasa sang Amurwabhumi, seperti yang dituturkan ramanya kepada Nararya.

   "Rama, betapa mungkin seorang pengalasan masuk kedalam keraton apabila dia bukan orang dalam, abdi atau bhayangkara ? "

   Saat itu Nararya memberi sanggahan. Lembu Tal mengangguk.

   "Benar, Nararya,"

   Kata pangeran yang mengundurkan diri dari dunia keramaian "tetapi pengalasan itu adalah pengalasan dari pangeran Anusapati."

   "Rama "

   Nararya terkejut "jika demikian ... jika demikian, apakah bukan pangeran Anusapati yang ....

   "

   "Sst "

   Lembu Tal memberi peringatan "jangan keras2 engkau bicara, puteraku. Soal itu menjadi rahasia keraton,"

   Kemudian dengan nada berbisik bisik Lembu Tal berkata "sang Amurwabhumi telah ditusuk dengan keris buatan empu Gandring yang amat bertuah "

   "Ah "

   Desah Nararya. Kemudian ia mengerut dahi "tetapi bagaimana pengalasan itu dapat memperoleh keris bertuah itu ? Bukankan keris itu milik sang Amurwabhumi, rama? "

   "Benar, anakku"

   Kata Lembu Tal tetap tenang "Anusapati telah berhasil mendapatkan keris itu dari ibunya."

   "Eyang buyut puteri Ken Dedes? "

   Seru Nararya.

   "Ya "

   "Adakah eyang buyut puteri sengaja hendak menyuruh puteranya membunuh sang Amurwabhumi? "

   Dengan tenang Lembu Tal lalu bercerita.

   Anusapati merasa bahwa sikap dan perlakuan ayahanda sang Amurwabhumi sangat berbeda terhadap dirinya dengan adinda- adindanya yang lain.

   Keluhan itu disampaikan Anusapati kepida ibundanya Ken Dedes.

   Sebagai seorang ibu, sudah tentu Ken Dedes tersinggung dan sedih atas nasib puteranya.

   Ken Dedes menghela napas duka.

   "Ibu, benarkah hamba ini bukan putera dari ayahanda sang Amurwabhumi?"

   Tiba2 Anusapati mengajukan pertanyaan. Serasa tertikamlah hati Ken Dedes menerima pertanyaan itu "Anusapati, siapakah yang mengatakan demikian?"

   Serunya dengan napas terengah.

   "Inang pengasuh hamba, ibu,"

   Kata Anusapati "tetapi benarkah demikian, ibu ? "

   Ken Dedes tersayat hatinya mendengar keterangan Anusapati tadi bahwa sang Amurwabhumi pilih-kasih dan membeda-bedakan perlakuannya terhadap Anusapati dengan saudara-saudaranya yang lain.

   Walaupun kini Ken Dedes sudah menjadi permaisuri dari sang Amurwabhumi dan sudah mendapat beberapa putera, tetapi sebagai seorang ibu, tentu dia tak mengadakan pilihan kasih terhadap putera-puteranya semua.

   "Tak kusangka bahwa sang Amurwabhumi akan bersikap sedemikian tak adil "

   Pikir Ken Dedes "bukankah sebelum memperisteri aku, dia sudah tahu bahwa aku sedang mengandung calon putera dari Tunggul Ametung? Bukankah dia sudah berjanji akan memperlakukan puteraku dari Tunggul Ametung itu sama seperti putera kandungnya sendiri? Ah, pria memang sukar dipegang janjinya.

   Setelah mendapatkan putera keturunan sendiri, berobahlah sikap sang Amurwabhumi terhadap Anusapati.

   Oh, Anusapati, betapa malang nasibmu, puteraku ....

   "

   Ken Dedes menangis dalam dalam hati.

   "Ibu, bukankah hamba ini putera kandung ibu? "

   Kata Anusapati. Ken Dedes terkesiap "Anusapati, engkau adalah puteraku sejati. Tubuhmu berasal dari dagingku, napasmu dari darahku ....

   "

   "Jika demikian mengapa ibu sampai hati menyiksa hati hamba? Tidakkah lebih baik ibu titahkan supaya hamba dibunuh saja agar jangan berkepanjangan jua kiranya derita yang hamba sandang? "

   "Duh, puteraku Anusapati "

   Rintih Ken Dedes jangan dikau mengucapkan kata2 itu. Kata2mu itu lebih tajam dari ujung keris yang menikam uluhati ibu "

   "Terima kasih ibu,"

   Sahut Anusapati "dengan demikian ibu tak merelakan nyawa hamba merana? "

   "Anusapati"

   Seru Ken Dedes seraya memeluk dan mengecup ubun2 kepala Anusapati "kasih seorang ibu kepada puteranya lebih dari pada nyawanya sendiri.

   Kelahiranmu di mayapada ini kusertai dengan pertaruhan nyawaku, angger.

   Kelak apabila engkau sudah beristeri, engkau baru menghayati betapa maha berat perjuangan isterimu itu dikala melahirkan puteramu.

   Nyawa taruhannya, angger."

   "Jika ibu tak merelakan kematian jiwa hamba, mengapa ibu tak berkenan melindungi raga hamba? "

   "Apa maksudmu, Anusapati."

   "Raga adalah wadah sang nyawa. Raga tersiksa, nyawapun akan merana. Bila ibu menginginkan nyawa hamba tetap hidup, hamba mohon ibu berkenan menyelamatkan raga hamba."

   "Apakah yang engkau inginkan, angger? "

   "Suatu hal yang wajar sekali, bukan hal yang berkelebihan dan takkan memberatkan pikiran ibu. Hamba hanya mohon jawaban ibu, benarkah hamba ini bukan putera kandung dari sang Amurwabhumi? "

   Ken Dedes mengangguk pelahan.

   "Duh bunda sesembahan hamba, lalu siapakah ayahanda hamba itu? Bukankah akuwu Tunggul Ametung?"

   Ken Dedes mengangguk pula.

   "Ah "

   Anusapati mendesah "hamba dengar rama hamba itu telah dibunuh sang Amurwabhumi. Benarkah? "

   Ken Dedes mengangguk.

   "Kemudian sang Amurwabhumi menikahi ibu dan merebut tahta Singasari, benarkah itu ? "

   Ken Dedes mengangguk.

   "Dan ibu menerima sang Amurwabhumi? "

   Ken Dedes terkesiap.

   "Mengapa? Apakah ibu tidak mencintai ramaku? "

   Ken Dedes terbeliak.

   "Tetapi ramamu sudah wafat, Anusapati "

   Kali ini dia memberi pernyataan dengan kata-kata.

   "Tetapi kematian rama karena dibunuh sang Amurwabhumi ....

   "

   "Bukan sang Amurwabhumi tetapi Kebo Ijo "

   Cepat Ken Dedes menukas.

   "Waktu hamba masih kecil, memang setiap dayang pengasuh mengatakan demikian. Tetapi setelah hamba dewasa dan mengerti persoalan dunia ini, barulah hamba dapat menggali keterangan bahwa kematian ratna hamba itu sebenarnya sang Amurwabhumi yang membunuh. Kebo Ijo tertipu dan dijadikan alat belaka "

   "Anusapati ....

   "

   "Ibu belum menjawab pertanyaan hamba,"

   Tukas Anusapati "mengapa ibu merelakan kematian rama dan berkenan menerima pinangan sang Amurwabhumi? Apakah ibu tidak setya kepada rama hamba? "

   Pucat wajah Ken Dedes menderita dakwa puteranya.

   Namun karena hal itu sudah merupakan kenyataan yang telah dimiliki Anusapati maka Ken Dedespun harus memberi keterangan.

   Dan ia menganggap, sudah tiba saatnya untuk mencurahkan kandung hatinya kepada sang putera yang kini sudah akil dewasa.

   Ia menyadari bahwa kenyataan itu tak mungkin dapat ditutupi.

   Kenyataan harus dihadapi dan dicairkan dengan penjelasan.

   "Anusapati "

   Katanya dengan nada tenang.

   Wajahnyapun tampak menggayut kemantapan "mungkin sekarang walaupun belum mengalami tetapi engkau sudah dapat menghayati soal2 hidup dan peristiwa dalam dunia ini, terutama yang menyangkut soal2 hubungan pria dan wanita.

   Anusapati, kiranya engkau pasti menolak apabila ibu pilihkan seorang puteri sebagai isterimu tetapi engkau tak suka pada gadis itu, bukan? "

   Ken Dedes berhenti sejenak.

   "Jika engkau seorang pria dibenarkan untuk melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan suara hatimu, tentulah kaum wanita juga demikian. Walaupun karena tata kehidupan dan adat tak membenarkan wanita menyatakan dan melakukan hal2 seperti pria, namun dalam hati kecilnya, mereka tetap mempunyai perasaan sedemikian pula "

   "Nah. itulah yang taajadi pada diriku"

   Kata Ken Dedes lebih lanjut "akuwu Tunggul Ametung jauh lebih tua dari aku dan sebenarnya tak sesuai menjadi pasanganku ....

   "

   "Tetapi bukankah hal itu sudah terjadi? Bukankah ibu telah menikah dengan rama ? "

   Seru Anusapati.

   "Anusapati "

   Cepat Ken Dedes menanggapi "andaikata engkau jatuh hati pada seorang gadis, entah dia itu puteri siapa, berpangkat atau tidak, pokok asal kawula Singasari, beranikah orang itu tak memberikan puterinya kepadamu ?"

   Anusapati tetap diam. Hanya dahinya agak melipat segurat lipatan.

   "Peristiwa itulah yang ibu alami. Akuwu Tunggul Ametung yang memerintah dan berkuasa di Tumapel. Ketika sedang berburu, beliau melihat aku dan terus jatuh hati. Aku tinggal di desa Panawijen sebelah timur gunung Kawi bersama ramaku, mpu Parwa. Karena tak dapat menahan nafsunya, akuwu terus membawa aku ke Tumapel dan di peristerinya. Aku takut akan kekuasaan akuwu dan terpaksa menuruti kehendaknya. Tetapi rama mpu Parwa murka sekali akan tindakan akuwu yang berbuat sewenang-wenang karena mengandalkan kekuasaan itu. Rama menjatuhkan kutuk agar yang melarikan aku itu tidak selamat hidupnya dan mati tertikam keris ....

   "

   Anusapati terkesiap.

   "Kutuk seorang empu sakti seperti rama Parwa itu amat bertuah sekali. Akhirnya akuwupun mati terbunuh oleh Kebo Ijo ....

   "

   "Atas perintah sang Amurwabhumi! "

   Cepat Anusapati menukas. Ken Dedes menghela napas "siapapun yang membunuh akuwu dengan keris, itu bukan soal. Yang penting karena dia hanya menjadi alat dari terlaksananya kutuk empu Parwa."

   Anusapati tenang2.

   "Demikianlah keteranganku, semoga dapat engkau simpulkan sebagai jawaban atas pertanyaanmu tadi,"

   Kata Ken Dedes "yang jelas, pernikahanku dengan akuwu itu terjadi karena akuwu memaksa secara kekerasan dan aku takut akan kekuasaannya."

   "Karena itukah ibu merelakan kematian rama hamba?"

   Tiba2 Anusapati melancarkan pertanyaan tajam.

   "Telah kukatakan Anusapati "

   Sahut Ken Dedes "segala sesuatu dalam hidup itu timbul dari Sebab dan tenggelam dalam Akibat.

   Engkau berhak dan layak untuk marah karena menganggap ibumu tidak setya.

   Pun rama empu Parwa wajib dan layak untuk marah dan menjatuhkan kutuk kepada akuwu karena menganggap akuwu seorang penguasa yang se-wenang2.

   Aku sendiri tetap menganggap, semua peristiwa itu hanyalah suatu lingkaran Sebab dan Akibat yang telah digariskan oleh kodrat Prakitri.

   Karena engkau menuduh aku tak setya dan rela menerima pinangan sang Amurwabhumi, maka akupun terpaksa membuka suatu rahasia kepadamu."

   Anusapati merentang mata, mempertajam telinga dan memusatkan perhatiannya.

   "Pertama, aku seorang titah dewata. Tak mungkin aku dapat menolak ketentuan yang diberikan Dewata Agung. Dewata telah melimpahkan amanat gaib melalui sebuah wangsit, bahwa jika aku ingin menerima wahyu agung sebagai wanita yang kelak akan menurunkan raja2 besar di Singasari dan Jawadwipa, aku harus menerima pinangan sang Amurwabhumi."

   "Kedua, bukan se-mata2 begitu saja aku menerima pinangannya, tetapi akupun tetap memikirkan engkau. Aku hanya mau diperisteri sang Amurwabhumi apabila kelak yang mengganti duduk di tahta kerajaan itu engkau, angger. Dan demi cintanya yang tulus, sang Amurwabhumi telah menyanggupi."

   Anusapati terkejut.

   Ia merasa cemas dan malu dalam hati karena mengandung anggapan yang tak benar terhadap ibunya.

   Namun pada saat keluhan itu hampir terjadi dalam hatinya, tiba2 ia teringat bahwa dirinya adalah putera akuwu Tunggul Ametung yang dibunuh oleh sang Amurwabhumi.

   sebagai seorang putera, dia wajib menuntut batas.

   Kemudian diapun merasa bahwa dialah yang berhak atas Singasari.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Adakah janji sang Amurwabhumi kepada ibunya, Ken Dedes, dapat dipercaya? Ah, apabila menilik sikap dan perlakuan sang Amurwabhumi terhadap dirinya, rasanya tiada harapan bahwa sang Amurwabhumi betul2 akan menetapi janjinya.

   "Ah, jika ingin memakan buah mangga, harus berusaha mengambilnya dari pohon. Apabila menunggu sampai buah itu jatuh, tentu sudah busuk, mungkin tak dapat dimakan. Hanya mangga yang sudah busuk, luluh dagingnya dan mungkin mengandung ulat, baru jatuh dari pohon,"

   Anusapati menimang.

   Menunggu sampai sang Amurwabhumi wafat baru menerima tahta, sama dengan mengharap sesuatu yang belum tentu.

   Hati manusia mudah berobah, janji mudah berganti.

   Jelas sang Amurwabhumi tentu lebih senang menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya sendiri daripada putera tirinya.

   Demikian Anusapati membolak-balikkan alas hatinya.

   Permukaan hitam, dibaliknyapun hitam.

   Hitam semua.

   Akhirnya tergodalah hati Anusapati untuk mengambil keputusan.

   Keputusan itu berpijak pada tiga landasan yang kokoh.

   Sebagai seorang putera, ia wajib menuntut balas atas kematian ayahandanya.

   Sebagai seorang pewaris tahta, dia harus merebut tahta itu dari genggaman orang.

   Dan sebagai seorang anak tiri, ia akan menghapus perlakuan yang tak adil dari ayah tirinya.

   "Bunda yang hamba hormati "

   Seru Anusapati "hamba mohon bunda perkenankan menghaturkan sebuah permohonan kebawah duli bunda "

   "O, tentu akan ibu kabulkan. Katakanlah apa permohonanmu, angger. Apakah engkau ingin meminang seorang puteri juwita ? "

   Anusapati menghela napas "Ah, bukan itu maksud hamba, ibu "

   "Tetapi engkau sudah dewasa. Sudah layak memangku seorang wanita. Ibunda sudah merindukan menimang seorang cucu, angger."

   Anusapati gelengkan kepala. Ia menjawab dalam batin.

   "Engkau telah memberi beban derita kepada puteramu. Mengapa engkau masih hendak menimbun derita kepada cucumu? Mengapa engkau tak mengharapkan cucu dari puteramu dengan sang Amurwabhumi? Bukankah cucu dari puteramu yang lain itu akan lebih disayang sang Amurwabhumi? "

   "Anusapati, katakanlah angger, mengapa engkau diam saja,"

   Melihat Anusapati termenung, Ken Dsdes puri menegurnya.

   "Hamba takut, ibu. Takut ibu akan marah kepada hamba"

   "Marah? Mengapa angger? Aku takkan marah kepadamu, Anusapati. Karena engkau adalah puteraku."

   Setelah didesak beberapa kali akhirnya Anusapati berkata "Baiklah, ibu, akan hamba katakan permohonan hamba itu. Hamba tak memohon puteri ataupun harta pusaka, melainkan hendak mohon melihat keris empu Gandring yang termasyhur bertuah itu."

   Ken Dedes terkejut.

   "Maksudmu, keris empu Gandring yang pernah digunakaa Kebo Ijo untuk membunuh ramamu? "

   "Hamba dengar, rama akuwu itu juga seorang pria yaig sakti mandraguna tetapi mengapa sampai terlena dengan tusukan Kebo Ijo? Karenanya hamba ingin tahu betapa bentuk keris empu Gandring yang termasyhur itu? "

   Wajah Ken Dedes tampak bergayut kelesian "Anusapati, apakah engkau .... engkau hendak membunuh sang Amurwabhumi? "

   "Membunuh sang Amurwabhumi? Ah, tidak, ibu. Hamba tiada mengandung maksud begitu. Bukankah apabila sang Amurwabhumi wafat, hamba akan berduka karena kehilangan seorang ayah tiri? Bukankah bunda akan kehilangan seorang suami? Dan bukankah saudara- saudara hamba akan kehilangan seorang ayah ? Rakyat Singasari kehilangan junjungan yang gagah perkasa ? Cobalah ibu renungkan, prabu Kertajaya dari Daha yang begitu digdaya, mati juga oleh sang Amurwabhumi. bagaimana mungkin aku Anusapati, mampu melecetkan kulit kakinya saja ? Tidak, ibu, aku hanya ingin melihat keris pusaka itu "

   Setelah mendengar berbanyak- banyak uraian Anusapati, Ken Dedes mengakui bahwa apa yang dikemuka kan Anusapati itu memang benar. Sekalipun bersenjata keris empu Gandring, Anusapati tentu tak mampu membunuh sang Amurwabhumi yang sakti digdaya.

   "Baiklah, angger "

   Dengan pertimbangan agar jangan dipandang puteranya ia mencurigainya dan lebih menaruh perhatian besar kepada sang Amurwabhumi.

   Agar pula untuk menghibur hati Anusapati yang merasa kecewa atas lingkungan hidupnya di keraton, maka Ken Dedespun beranjak dari tempat duduk dan masuk kedalam bilik peraduan.

   Tak berapa lama Ken Dades keluar pula dengan membawa sebuah benda yang tertutup kain sutera "Inilah keris yang ingin engkau lihat itu, puteraku."

   Ken Dedes terus hendak membuka selubung kain penutup keris.

   "Jangan ibu,"

   Cegah Anusapati "rasanya sudah cukup lama hamba menghadap ibu. Hamba kuatir apabila sang Amurwabhumi datang. Beliau tentu murka apabila mengetahui peristiwa ini."

   Ken Dedes kerutkan alis.

   "Lalu bagaimana maksudmu? "

   Serunya.

   "Perkenankanlah hamba membawanya ke bilik hamba barang semalam saja. Agar puas hati hamba meneliti keris pusaka itu. Besok malam pada saat seperti ini, akan hamba haturkan kembali kehadapan bunda. Dan hamba mohon hendaknya jangan ibu menyampaikan hal ini kepada sang Amurwabhumi, agar hamba tak tertimpa kemurkaan beliau."

   Ken Dedes menganggap hal itu tak membahayakan jiwa sang Amurwabhumi dan disamping itu dapatlah ia menyenangkan hati Anusapati.

   "Baiklah, Anusapati. Tetapi ingat, besok malam engkau harus mengembalikan kepada ibu agar jangan sampai diketahui sang Amurwabhumi."

   Dalam ruang tempat tinggalnya, semalam itu Anusapati memeriksa keris buatan empu Gandring yang termasyhur itu.

   Kemudian ia duduk bersila menghadap keris itu dan bersemedhi memohon doa.

   Ia pernah mendengar keterangan dari seorang dayang keraton bahwa tatkala sang Amurwabhumi yang saat itu masih bernama Ken Arok marah lalu menikam empu Gandring maka empu Gandring pun menghembuskan napas.

   Pada detik2 jiwanya melayang, empu itu masih sempat menurunkan kutuk "Engkau Ken Arok, tanpa sebab telah membunuh aku ....

   Kelak keris itu akan meminta jiwa tujuh orang keturunanmu!"

   Maka Anusapatipun berdoa dalam semedhinya "Duh sang empu Gandring yang mulia, hamba Anusapati, putera akuwu Tunggul Ametung yang dibunuh Kebo Ijo dengan keris buatan paduka.

   Kebo Ijo telah membayar dengan jiwanya juga karena ditusuk sang Amurwabhumi.

   Tetapi sang Amurwabhumi sendiri saat ini masih selamat tak kurang suatu apa.

   Paduka empu Gandring, Kebo Ijo dan rama hamba Tunggul Ametung telah mati menjadi korban keganasan Ken Arok.

   Relalah paduka, duh empu Gandring yang bijaksana, membiarkan orang yang telah membunuh paduka itu menikmati kebahagiaan diatas jenasah paduka? Jika paduka berkenan, berilah hamba restu dan keberanian untuk menuntut balas ....

   "

   Lama sekali Anusapati terbenam dalam persembahan doa dan permohonan, tiba2 ia mendengar bunyi yang mula2 pelahan tetapi makin lama makin riuh, macam orang sedang menumbuk sirih dalam tabung.

   Anusapati terkejut dan membuka mata.

   Ia segera melihat benda yang berkelotekan itu tak lain adalah keris pusaka yang dihadapannya.

   Batang keris itu tertarik keatas, ber- guncang2 dalam kerangkanya.

   Anusapati terkejut.

   Mengapa keris itu dapat melolos sendiri ke atas dan ber-gerak2 ? Serentak Anusapati tersentak ketika menarik suatu kesimpulan bahwa kemungkinan arwah empu Gandring-lah yang melakukan itu sebagai suatu isyarat bahwa permohonan Anusapati dikabulkan.

   Demikian tafsiran Anusapati.

   Memang setiap orang yang sedang mengharap, memohon dan men-cita2kan sesuatu dengan sepenuh hati, akan memberi tafsiran kepada sesuatu yang didengar, dilihat dan diketahuinya.

   Pada umumnya, tafsiran itu selalu diarahkan pada tanda2 atau alamat2 yang baik, disesuaikan cita seleranya.

   Setelah merasa mendapat restu, seketika timbul pula rencana untuk melaksanakan maksud hatinya.

   Keesokan harinya Anusapati memanggil seorang pengalasan yang menjadi orang kepercayaannya.

   Orang itu terkejut dan pucat seketika pada saat mendengar perintah Anusapati "Raden ....

   hamba, hamba ....

   takut ....

   "

   "Babi! "

   Hardik Anusapati "pilih, engkau mau mati atau mukti! "

   Pengalasan itu ternganga dengan pandang bertanya.

   "Jika engkau tak mau melakukan perintahku, engkau kubunuh,"

   Kata Anusapati "tetapi kalau engkau menurut perintahku, setelah aku jadi raja, engkau akan kuangkat sebagai buyut Batil dan kuhadiahi uang serta isteri cantik."

   Pengalasan itu berasal dari daerah Batil.

   Ia menuju ke pura Singasari dengan membawa dua macam ke-patahan hati.

   Pertama, keluarganya telah difitnah oleh buyut Batil sehingga ayahnya dihukum dan akhirnya mati.

   Akibatnya keluarganya berantakan hidupnya.

   Kedua, gadis yang dicintai dan sudah memadu janji akan menjadi isterinya, telah direbut oleh putera buyut yang dengan menggunakan kekuasaan ayahnya, berhasil memfitnah keluarga dan merebut gadisnya.

   Waktu meninggalkan Batil, dia bersumpah.

   Kelak pada suatu hari pasti akan menuntut balas pada buyut dan puteranya itu.

   Sesaat mendengar janji Anusapati, orang itu tampak menyala matanya.

   Ia teringat akan keadaan ayahnya yang mati dibunuh, ibunya yang mati bersedih dan saudara-saudaranya yang melarikan diri entah kemana.

   "Benarkah raden akan memegang janji? "

   Tanyanya menegas. Terangsang oleh nafsu hedak melaksanakan rencana pembunuhan itu, tanpa banyak pikir, serentak Anusapati menjawab "Jika aku ingkar janji, biarlah aku mati ditikam keris ....

   "

   Orang Batil itu menerima perintah.

   Ia memilih waktu senja dikala lampu2 telah disulut.

   Menurut rencana, Anusapati akan berada di keraton dan ia akan pura2 memberi keterangan kepada penjaga2 keraton, hendak mencari pangeran Anusapati.

   Dan memang para penjaga keraton tahu bahwa dia adalah pengalasan dari pangeran Anusapati.

   Demikian semuanya telah berjalan sesuai dengan rencana.

   Sang Amurwabhumi tewas ditusuk dengan keris dari empu Gandring.

   Tetapi ketika orang Batil itu lari kepada Anusapati untuk mengabarkan tugasnya yang telah berhasil maka Anusapatipun segera membunuhnya.

   Dengan demikian gemparlah seisi keraton dan seluruh kerajaan Singasari atas berita kematian sang Amurwabhumi.

   Rakyat berkabung atas wafatnya sang Amurwabhumi.

   Merekapun menyanjung Anusapati sebagai pangeran yang gagah berani dan setya kepada ayahanda baginda.

   Atas jasa itulah maka Anusapati lalu naik tahta mengganti sang Amurwabhumi sebagai raja Singasari.

   Anusapati telah mencontoh dan melaksanakan rencana Ken Arok ketika membunuh Tunggul Ametung.

   Ken Arok meminjam tangan Kebo Ijo, Anusapati tangan orang Batil.

   Namun tangan2 itu hanyalah pelaksana dari keris keramat yang telah dinafasi dengan kutuk sang pembuatnya, Empu Gandring.

   Demikian renungan Nararya akan cerita yang pernah dibawakan ramanya beberapa tahun yang lalu.

   "Lalu bagaimana kelanjutan dari pangeran Anusapati, rama? Apakah sumpah seseorang itu tak bertuah?"

   Pada waktu itu, ia bertanya pula kepada ramanya.

   "Sumpah adalah janji, harus dipenuhi karena telah terdengar oleh dewata. Oleh karena itu angger, janganlah engkau mudah menjatuhkan sumpah. Terlebih2 pula engkau tergolong kasta ksatrya "

   Kata Lembu Tal.

   "Anusapati berhasil mengelabuhi seisi keraton bahkan seluruh rakyat Singasari bahwa orang Batil telah membunuh sang Amurwabhumi, bahwa pangeran Anusapati telah membalas membunuh orang Batil itu. Tetapi dewata telah menjadi saksi akan sumpah Anusapati kepada orang Batil itu. Akhirnya Anusapatipun tewas ditikam oleh pangeran Tohjaya, putera sang Amurwabhumi dengan Ken Umang ....

   "

   "Juga dengan keris Empu Gandring, rama? "

   Tukas Nararya.

   "Kutuk seorang empu sakti, takkan luput dari sasarannya, angger,"

   Sahut Lembu Tal "Pangeran Tohjaya mengajak kakanda prabunya menyabung ayam, kemudian meminjam keris Empu Gandring dan terus ditikamkan kepada sang prabu Anusapati."

   Kala itu Nararya masih seorang jejaka tanggung. Ia tertarik sekali mendengar cerita ramanya. Ia menanyakan apakah pangeran Tohjaya juga tewas oleh keris Empu Grandring itu.

   "Tohjaya memerintah tak lama. Raden Rangga Wuni putera Anusapati dan Mahisa Gampaka putera Mahisa Wonga Teleng ....

   "

   "Eyang Mahisa Gampaka? "

   Tiba2 Nararya menukas. Lembu Tal mengangguk "Ya, eyangmu Mahisa Campaka bersekutu dengan raden Rangga Wuni untuk melawan Tohjaya. Akhirnya kedua pemuda itu berhasil mengalahkan Tohjaya."

   "Apakah raja Tohjaya juga terbunuh dengan keris Empu Gandring?"

   Tanya Nararya.

   "Tidak, beliau tertusuk tombak, lolos dari keraton dan akhirnya meninggal di desa Katang Lumbang."

   "Lalu, dimanakah keris Empu Gandring itu? "

   Tanya Nararya. Pemuda itu memang beiotak cerdas. Pertanyaan yang diajukan, menyibukkan ramanya.

   "Keris itu memang menimbulkan keanehan. Setelah Rangga Wuni dan Mahisa Campaka berhasil merebut keraton dan setelah suasana negara aman kembali maka keris itupun tiada kabar beritanya."

   "Mengapa rama ? Apakah eyang Mahisa Campaka tak pernah menceritakan tentang keris itu ? "

   Lembu Tal gelengkan kepala.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Eyangmu Mahesa Campaka pernah menghadapi pertanyaanku seperti yang engkau ajukan tetapi eyangmu hanya mengatakan bahwa kemungkinan keris itu tentu dibawa lari oleh pangeran Tohjaya atau mungkin disimpan oleh Rangga Wuni yang kemudian dinobatkan sebagai raja Wisnuwardarja. Eyangmu enggan untuk bertanya soal keris itu kepada baginda Wisnuwardana, karena dalam hati ejangmu lebih senang apabila keris itu dilenyapkan. Eyangmupun pesan wanti-wanti agar anak cucunya jangan sekali- kali memiliki keinginan untuk mendapatkan keris itu."

   "Mengapa rama? "

   "Karena keris itu berisi kutuk empu Gandring terhadap Ken Arok dan anak cucunya. Kita ini, angger, adalah berasal dari darah keturunan eyang buyut sang Amurwabhumi dan kita tentu dilingkupi oleh bahaya dari kutuk empu Gandring itu."

   "Apakah baginda Wisnuwardana tidak? "

   "Seperti engkau ketahui, baginda Wisnuwardana itu adalah putera dari Ranga Wuni dan Rangga Wuni itu putera Anusapati. Sedang Anusapati adalah putera Ken Dedes dengan Tunggul Ametung maka mungkin anak keturunan mereka terbebas dari kutukan itu."

   Nararya mengangguk.

   Kesemuarya terbayang pula dalam renungan Nararya ketika langkahnya menuju ke candi Kagenengan.

   Candi yang menjadi tempat makam jenasah sri Rajasa sang Amurwabhumi.

   Terlintas pula akan hal yang dialaminya ketika bertapa di candi makam Wengker.

   Di makam eyang Batara Narasinga.

   ia telah mendapat wangsit gaib berupa percakapan dengan segumpal bayangan putih yang mengatakan tentang sang Amurwabhumi menyuruh Rangga Wuni dan Mahesa Campaka memilih buah maja.

   "Jika demikian ada beberapa soal yang hendak kumohonkan penjelasan andaikata aku berhasil bertemu dengan arwah eyang buyut sang Amurwabhumi nanti. Tentang buah maja dan tentang keris empu Gandring "

   Demikian percakapan yang berlangsung dalam hatinya.

   Ketika pertama kakinya menginjak tanah dalam lingkungan candi di desa Kagenengan, Nararya merasakan sesuatu suasana yang atis atau terpencil.

   Pohon2 yang tumbuh di sekeliling halaman candi itu, mekar dengan bebas seolah-olah tak pernah bertuan.

   Semak belukar meranggas subur, bahkan ada pula yang menjalari batang2 pohon.

   Suasana terasa lengang.

   Kemudian ketika melangkah ke halaman dan tiba dimuka candi, ia berdiri tegak.

   Sejenak ia memandang candi itu.

   Ada pula suatu perasaan yang timbul dalam pikirannya.

   Candi di Kagenengan itu merupakan makam dari Sri Rajasa sang Amurwabhumi, rajakula dari kerajaan Singasari.

   Memang candi itu besar dan megah bangunannya.

   Karena, pikir Nararya, demi mengambil hati saudara-saudara tiri atau putera2 dari Ken Dedes dengan sang Amurwabhumi, Anusapati tentu menitahkan pembuatan suatu candi yang mewah dan megah untuk persemayaman arwah sang Amurwabhumi.

   Tetapi kini, setelah terjadi beberapa pergantian dalam tahta kerajaan Singasari, tampaknya candimakam itu kurang mendapat perhatian.

   Dinding candi yang semula terbuat daripada batu warna kelabu dan merah, kini hampir berwarna hitam2 hijau.

   Hitam karena kotoran2 yang tertampung bertahun-tahun dan warna hijau dari pakis yang makin merajalela tumbuhnya.

   "Adakah baginda Kertanagara tak pernah menitahkan untuk membersihkan candi ini? Pernahkah baginda mengunjungi candi ini? "

   Demikian pertanyaan yang timbul dalam hati Nararya.

   Saat itu ia sudah melangkah diambang pintu dan melihat keadaan didalam.

   Serta merta ia berjongkok memberi sembah kepada arca Syiwa yang berada dalam candi itu.

   Arca itu sebagai lambang untuk mengabadikan kebesaran sang Amurwabhumi.

   Setelah itu ia mengelilingkan pandang memeriksa kesekeliling ruang.

   Ternyata keadaan dalam ruang candi itu bersih dan memancarkan suasana yang khidmat.

   Dilihatnya pula didepan altar patung Syiwa itu, tebaran bunga2 yang sudah layu, dan tempat perapian untuk membakar wewangian dikala menghaturkan sesaji.

   "Kiranya masih ada yang menghaturkan sesaji dan membakar wewangian di candi ini "

   Diam2 Nararya mendapat kesan.

   Saat itu surya sudah suram.

   Rembangpun menjelang petang.

   Nararya bersiap hendak memulai semedhi.

   Untuk mencapai ke alam kekosongan dalam pengheningan cipta semedhinya itu, kadang memerlukan waktu yang lama.

   Dan apabila sudah berhasil memanunggal atau menyatukan kesatuan diri dengan alam hampa maka haruslah dipelihara adanya suatu suasana yang tenang.

   Setiap gangguan, betapapun kecilnya, akan menimbulkan kerisauan pikiran.

   Mungkin hanya semalam tetapi mungkin juga sampai dua malam, tiga, empat dan entah berapa malam.

   Hal itu tergantung dari apa yang dialaminya dalam alam kegaiban itu nanti.

   Dan apabila hal itu berlangsung sampai beberapa hari, bukankah patut dicemaskan tentang kemungkinan gangguan yang antara lain berasal dari orang yang datang hendak menghaturkan sesaji ? Nararya memutuskan untuk mencari tempat yang terlindung, demi mengamankan diri dari setiap gangguan yang tak diinginkan.

   Akhirnya ia memilih sebuah tempat di belakang patung Syiwa.

   Malampun makin merayap gelap.

   Saat itu dia belum berhasil menghampakan pikiran.

   Masih banyak peristiwa2 yang melalu lalang dalam benaknya.

   Dan dia-pun tak mau memaksa diri untuk menghapusnya.

   Bahkan setiap peristiwa yang membayang, dia curahkan pikiran untuk menafsirkan, menelaah dan kemudian menarik kesimpulan bahkan kalau perlu memecahkannya.

   Setiap selesai menarik kesimpulan atau memecahkan maka tanpa memaksa diri untuk melupakan, peristiwa itupun lenyap sendiri.

   Dia merasa suatu pemaksaan hanya berhasil mengendapkan saja.

   Dan sesuatu yang mengendap itu bukan berarti hilang tetapi masih.

   Dan sesuatu yang masih tentu mewarnai alam hati pikirannya.

   Setiap warna, belum mencapai pada alam kehampaan yang kosong.

   Ia hendak mencapai pada alam kehampaan itu dengan kekosongan yang bulat.

   Kekosongan itu harus melalui kewajaran, bukan pemaksaan.

   Berjam- jamnya ia bersemedhi mengheningkan cipta.

   Walaupun belum mencapai alam kehampaan yang kosong, namun suasana keheningan tempat disekeiiling, banyak menciptakan pembentukan iklim yang menyerap kerisauan.

   Entah berapa lama, ia merasa indera2 penyerapannya mulai menajam.

   Desir angin lembut, layang daun2 gugur dan bahkan gerak gerik serangga yang meningkah tanah disekeiiling, mulai dapat tertangkap.

   Dari yang dekat, makin lama makin dapat mencapai agak jauh, jauh diluar candi dan di sekeliling rimba belukar.

   Tiba ada sesuatu yang terserap dalam indera pendengarannya.

   Sayup2 ia seperti mendengar derap langkah kaki manusia mendebur tanah.

   Bermula berasal dari gerumbul pohon kemudian makin mendekat, menapak di halaman candi.

   Makin lama makin menghampiri pintu candi dan kemudian melangkah masuk.

   "Dua orang "

   Pikiran Nararya menyeloteh "siapa gerangan mereka? Apa tujuan mereka datang ke candi ini?"

   Pertanyaan itu memang wajar memercik dalam benak Nararya karena bukan suatu hal yang wajar apabila tengah malam orang datang ke candi untuk menghaturkan sesaji "Apakah mereka juga setujuan dengan aku, hendak bersemedhi dalam candi ini?"

   


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong

Cari Blog Ini