Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 15


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 15



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Berbisik pula pikiran Nararya.

   "Bantar,"

   Tiba2 terdengar salah seorang berkata.

   Walaupun hanya pelahan tetapi dalam keheningan malam yang lengang, suaranya menggema keras.

   Jantung Nararya terasa seperti didebur "sebelum kita bertindak lebih lanjut, aku hendak meminta penegasanmu.

   Benarkah ceritamu itu? "

   "Benar kakang"

   Sahut yang ditanya "sebelum eyang meninggal, aku pernah mendapat ceritanya bahwa keris empu Gandring itu telah ditanam bersama abu jenasah sang Amurwabhumi "

   "Mengapa begitu? Pernah engkau bertanya kepada eyangmu?"

   Kata kawannya pula.

   "Eyang buyutku bernama Kebo Randi, putera dari eyang Kebo Ijo, telah diangkat sebagai pekatik oleh sang Amurwabhumi. Maka eyang buyut Kebo-Randi tahu juga akan beberapa rahasia dalam keraton Singasari."

   Mendengar itu mau tak mau, penyatuan cipta Nararya yang hampir mencapai pengendapan, bertebaran bagai daun kering tertiup badai.

   "Hm, eyangmu Kebo Randi memang seorang yang paserah dan bodoh. Ayahnya, Kebo Ijo, dibunuh Ken Arok tetapi kemudian dia masih mau mengabdi kepada baginda sri Rajasa sebagai pekatik. Jarang sekali orang yang mempunyai pendirian seperti dia."

   "Ah, mungkin eyang buyut Kebo Randi menyadari akan keadaan masa itu. Sri Rajasa sang Amurwabhumi adalah titah yang telah direstui dewa sebagai wadah dari Batara Wisnu yang akan mengejawantah di dunia, mengukuhkan kerajaan di Jawadwipa ini. Melawan garis kepastian dewa, sama dengan menentang surya."

   "Suatu pembelaan yang baik, Bantaran,"

   Seru orang yang kedua itu pula "yang sudah mati memang mati.

   Kebo Ijo, sang Amurwabhumi, Anusapati dan Panji Tohjaya, mati karena keris empu Gandring.

   Jika eyangmu Kebo Randi merelakan ayahnya, Kebo Ijo, mati ditikam keris bertuah itu, itu urusan eyangmu Kebo Randi.

   Tetapi ramaku selalu memberi pesan kepada puteranya supaya selalu ingat akan kematian Panji Tohjaya yang dibunuh Rangga Wuni, anak Anusapati itu."

   "Tetapi bukankah Panji Tohjaya juga telah membunuh Anusapati, ayah Rangga Wuni "

   "Benar, karena Panji Tohjaya tak merelakan kematian sang Amurwabhumi yang dibunuh oleh pengalasan dari Anusapati "

   "Tetapi sang Amurwabhumipun telah menitahkan eyang buyut Kebo Ijo untuk membunuh akuwu Tunggul Ametung, ayah dari Anusapati "

   "Yang membunuh Tunggul Ametung adalah Kebo Ijo "

   Bantah orang itu.

   "Atas perintah sang Amurwabhumi "

   Sahut yang bernama Bantaran "dan Ken Arok atau sang Amurwabhumi itu telah membunuh empu Gandring yang membuatkan keris untuknya maka empu Gandring lalu menjatuhkan kutuk"

   "Berapa jiwa yang harus mati oleh keris itu? "

   "Tujuh orang "

   "Dan sudah berapa yang mati? "

   "Empu Gandring, Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Ken Arok, Anusapati, lima orang "

   "Bukankah yang dimaksud kutuk itu, anak keturunan Ken Arok?"

   "Jika demikian baru Ken Arok seorang. Bisa juga ditambah dengan Anusapati."

   "Jika demikian masih kurang banyak."

   "Ya "

   Sahut Bantaran "

   Itulah sebabnya maka Panji Tohjaya telah memberi perintah rahasia agar keris itu ditanam dicandi makam sang Amurwabhumi ini "

   "Tetapi mengapa rama tak tahu ? "

   "Rama siapa? Apakah ramamu? "

   Cepat Bantaran menanggapi karena heran mendengar pernyataan kawannya. Rupanya orang itu merasa telah kelepasan omong. Ia merenung sejenak kemudian mengangguk "Ya, ramaku"

   "Ramamu? Siapa? "

   Bantaran terbeliak.

   "Putera Panji Tohjaya."

   "Hai !"

   Bantaran berteriak sehingga kumandangnya bagai dengung gong yang menggetarkan ruang candi itu "menurut eyang buyut, Panji Tohjaya tak berputera "

   "Memang dari isteri pertama, Panji Tohjaya belum berputera. Tetapi dari garwa ampil, ketika keraton diserang oleh Rangga Wuni dan Mahisa Gampaka yang membawa lasykar orang2 Rajasa dan Sindir, Panji Tohjaya lolos dari keraton. Dia terluka parah. Saat itu dia menitahkan supaya seorang hamba yang dipercaya menyelamatkan jiwa garwa ampil yang sedang mengandung itu, ketempat yang tak mungkin dikejar oleh musuh. Ketika tiba saatnya, garwa ampil itupun melahirkan seorang putera."

   "O "

   Bantaran mendesah.

   "Untuk mengenal keturunan Panji Tohjaya maka semua anak cucunya memakai nama Toh. Putera yang lahir dari ibu garwa ampil itu bernama Tohnyawa, kemudian dia berputera Tohpati."

   "Kakang Katang, bagaimana engkau tahu sejelas itu? Seolah engkau mengalami sendiri hal itu "

   "Memang benar "

   "Apa katamu, kakang Katang? Engkau mengalami sendiri? Apakah engkau putera dari Tohnyawa? "

   "Hm "

   Sahut Katang "engkau pandai menduga "

   "Engkau puteranya? Engkau Tohpati? "

   Teriak Bantaran terkejut sekali.

   "Ya "

   "Tetapi bukankah engkau bernama Katang Lumbang ? "

   Bantaran menegas.

   "Itupun benar "

   Sahut Tohpati "aku memang menggunakan nama itu dikala masuk menjadi prajurit Singasari dahulu"

   "O "

   Desuh Bantaran.

   "Engkau tahu apa sebab kupakai nama itu? "

   "Untuk menyamar agar jangan diketahui orang siapa dirimu "

   "Ya, itu juga benar "

   Sahut Tohpati "tetapi yang penting nama itu mempunyai arti yang besar kepadaku."

   Bantaran membelalak dengan pandang heran.

   "Katang Lumbang adalah nama desa dimana dahulu Panji Tohjaya karena luka-lukanya telah meninggal. Maka kupakai nama itu agar aku selalu teringat akan peristiwa itu."

   "O "

   Bantaran mendesuh pula.

   "Sudahlah, Bantaran "

   Kata Tohpati "jangan membuka rahasia itu kepada siapapun juga. Tetap panggil, namaku Katang Lumbang sajalah."

   Bantaran mengiakan.

   "Telah kukatakan kepadamu, Bantaran,"

   Kata Katang Lumbang yang tak mau memakai nama Tohpati.

   "bahwa kita berdua ini keturunan orang yang terlibat dalam peristiwa bunuh membunuh di Singasari akibat kutuk empu Gandring. Kita senasib."

   Bantaran mengangguk pula.

   "Maka apabila rahasia yang engkau ketahui tentang keris empu Gandring itu benar dan kita dapat menemukannya di candi ini, maka sejarah kerajaan Singasari akan berobah."

   "Maksud kakang? "

   "Bila kudapatkan keris bertuah itu, akan kubunuh baginda Kertanagara."

   "Kakang Katang! "

   Bantaran berteriak kaget.

   "mengapa engkau mengandung cita2 itu? "

   "Yang membunuh Panji Tohjaya adalah Rangga Wuni. baginda Kertanagara sekarang ini adalah putera dari Rangga Wuni. Aku akan menuntut balas atas kematian eyangku Panji Tohjaya "

   "O "

   Desuh Bantaran untuk yang kesekian kali.

   "bukankah baru2 ini kakang diangkat menjadi bhayangkara keraton. Mengapa tak kakang laksanakan maksud kakang itu ? Mengapa harus menunggu sampai berhasil mendapatkan keris empu Gandring ? "

   Katang Lumbang tertawa pelahan.

   "Ketahuilah Bantaran,"

   Katanya "baginda Kertanagara itu seorang raja yang sakti mandraguna.

   Mungkinkah aku mampu membunuhnya? Tidak, Bantaran, aku tak mau mempertaruhkan nyawaku untuk suatu hal yang aku tak yakin akan berhasil.

   Aku harus mendapatkan keris empu Gandring itu.

   Hanya keris bertuah itulah yang pasti mampu melenyapkan jiwa baginda! "

   "Ah "

   Desah Bantaran "tidakkah kakang akan ditangkap dan dibunuh ? Tidakkah pura Singasari akan kacau? Tidakkah kerajaan Singasari akan goncang? "

   Katang Lumbang mendengus "Hm, jika memikirkan soal2 dalam pertanyaanmu itu, lebih baik aku tidur dan membuat impian bercengkerama di taman loka yang indah dengan puteri2 yang cantik.

   Bukankah hati kita akan terhibur dengan khayal2 dalam impian itu walaupun sesungguhnya tidak nyata? Engkaupun demikian, Bantaran.

   Engkau boleh menciptakan impian menjadi raja yang dikelilingi oleh puteri-puteri cantik.

   Atau kalau ingin lebih hebat lagi, engkau boleh membuat impian menjadi dewa yang bersenang-senang di kahyangan."

   "Ah, kakang Katang,"

   Sela Bantaran "bukan maksudku begitu tetapi aku memikirkan nasib kakang karena akibat pembunuhan itu."

   "Setiap tindakan tentu akan menimbulkan akibat, baik atau buruk,"

   Jawab Katang Lumbang "tetapi aku merasa mempunyai tugas batin yang selalu menuntut perasaanku.

   Hutang jiwa harus bayar jiwa.

   Jika tidak demikian aku berani menuduh bahwa dewata itu tidak adil.

   Betapapun aku harus menagih hutang jiwa eyangku kepada baginda Kertanagara."

   "Kakang "

   Seru Bantaran "percayalah, Hyang Batara Agung itu adil dan maha kuasa. Tetapi adakah harus kakang yang menagih hutang jiwa itu? Bukankah tanpa kakang bertindak, nanti tentu tiba masanya hutang itu akan terhimpas oleh kodrat hidup? "

   "Bantaran,"

   Seru Katang Lumbang "ramaku gagal melaksanakan pembalasan itu.

   Dimana rama gagal, aku harus berhasil.

   Apakah aku harus mengharapkan anakku yang melaksanakan pembalasan itu? Kemudian anakku, mengharapkan puteranya dan puteranya mengharapkan puteranya lagi, sehingga tak berkeputusan harap itu berlangsung dari anak, cucu sampai ke buyut.

   Tidak, Bantaran, sekarang juga aku harus melaksanakan.

   Semua akibat telah kupikirkan dan nyawaku taruhannya."

   "Jika demikian kehendak kakang, akupun tak dapat berkata apa2 lagi."

   "Tetapi engkau harus berkata lagi Bantaran."

   Bantaran terkesiap.

   "Engkau harus berkata kepadaku, bersediakah engkau membantu aku? Lebih tandas lagi, sanggupkah engkau bekerja- sama dengan aku untuk melaksanakan karya besar ini ? "

   Bantaran berobah cahaya mukanya. Ia tampak pucat dan agak gemetar.

   "Bagaimana Bantaran ?"

   Desak Katang Lumbang.

   "Ya, baiklah "

   Jawab Bantaran. Tetapi Katang Lumbang tahu bahwa Bantaran ragu2 karena takut. Wajahnya yang pucat dan suaranya yang tergetar, memancirkan isi hatinya.

   "Ya, baiklah "

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katang Lumbang mengiakan tetapi dalan hati dia timbul rencana lain terhadap Bantaran.

   Dia menganggap sikap Bantaran yang yang ragu2 dan ketakutan itu berbahaya.

   Ia harus bertindak menumpas bahaya itu sebelum bahaya itu menghancurkan dirinya.

   Kemudian Katang Lumbang mengajak Bantaran mulai bekerja.

   Keduanya mencari letak tempat penanaman abu jenajah.

   Tiba2 Katang Lumbang menyulut api untuk menyuluhi persada batu yang berada didepan patung Syiwa.

   Dari sinar api yang dinyalakan Katang Lumbang itu, Nararya berhasil mengintai melalui celah2 kaki patung Syiwa bagaimana raut wajib kedua orang itu.

   Namun sebelum sempat melihat jelas, apipun sudah padam.

   "Bantaran, lekas engkau gali persada ini. Mungkin disinilah tempatnya,"

   Seru Katang Lumbang.

   Rupanya Bantaran menurut karena sesaat kemudian terdengar suara batu persada di depan patung Syiwa itu dihunjam dengan senjata tajam.

   Bantaran mulai bekerja.

   Ditempat persembunyiannya, Nararya berpikir keras mencari akal untuk menggagalkan tindakan kedua orang yang tak bertanggung jawab itu.

   Pertama, kedua orang itu merupakan persekutuan jahat yang hendak melenyapkan jiwa baginda Kertanagara.

   Bahwa Katang Lumbang ingin menuntut balas atas kematian eyangnya, Panji Tohjaya, itu persoalan dia.

   Tetapi yang jelas, tindakan itu tentu akan menimbulkan geger dan malapetaka besar kepada kerajaan Singasari.

   Tahta kerajaan goncang, daerah2 akan timbul pembangkangan.

   Dan yang jelas, Daha akan menggunakan kesempatan itu untuk melaksanakan rencananya.

   "Berbahaya "

   Tersentak pikiran Nararya manakala membayangkan akibat2 itu.

   Dan makin keras ia mencari akal untuk memberantas perbuatan kedua orang itu.

   Suasana dalam ruang candi itu gelap dan hal itu menguntungkan Nararya untuk melaksanakan rencana yang sudah diperolehnya.

   Ia tak membekal senjata apa2 kecuali hanya sebilah pisau yang sebenarnya diperuntukkan memotong dan mengupas buah-buahan manakala dia harus mencari makanan di hutan.

   Segera diambilnya pisau itu lalu dengan hati2 agar jangan menimbulkan suara, ia berbangkit.

   Setelah menentukan arah tempat Katang Lumbang yang saat itu membelakangi Bantaran karena sedang memeriksa tempat sekitar persada patung maka Nararya lalu menaburkan pisaunya diarahkan ke punggung.

   "Aah ....

   "

   Katang Lambang menjerit, meliuk- liuk tubuh dan meringis kesakitan karena punggungnya terobek pisau. Darahpun bercucuran mengalirkan rasa sakit yang nyeri.

   "Keparat, engkau berani menghianati aku, Bantaran! "

   Teriak Katang Lumbang seraya menerkam Bantaran, mencekik lehernya dan membenturkan kepalanya pada batu persada, prak ....

   Jidad Bantaran pecah, tubuh menggelepar dan orangnyapun tak dapat berkuiik lagi.

   Rupanya Katang Lumbang atau Tohpati mewarisi perangai eyangnya, Panji Tohjaya, yang berangasan dan banyak curiga.

   Kesan buruk terhadap Bantaran yang dianggapnya ragu2 dan takut, melahirkan pula kesimpulan bahwa tentulah Bantaran yang manikamnya dari belakang.

   Adalah karena ketakutan atau mungkin tak setuju maka Bantaran hendak membunuhnya.

   Demikian anggapan yang memenuhi benak Katang Lumbang.

   Ia merencanakan, setelah berhasil mendapatkan keris empu Gandring, akan melenyapkan Bantaran maka ia menilai Bantaranpun memiliki rencana begitu juga.

   Demikian alam pikiran seorang yang penuh prasangka apabila merencanakan perbuatan jahat.

   Katang Lumbang dengan cepat segera menuduh Bantaran yang menikamnya.

   Maka tanpa memberi kesempatan bicara lagi kepada Bantaran, dia terus menerkam, mencekik dan membenturkan muka Bantaran ke batu persada.

   Dahi Bantaran pecah, darah berlumuran dan terus tak dapat bergerak, entah mati entah hidup.

   Katang Lumbang beristirahat sejenak untuk mengusap darah dipunggungnya.

   Ia mencari sawang atau sarang galagasi untuk melumuri lukanya agar berhenti dari pendarahan.

   Sesaat selesai mengenakan baju lagi, tiba2 ia mendengar kokok ayam di kejauhan.

   Ia terkejut.

   Jika ia tetap berada di candi itu, dikuatirkan penjaga atau mungkin penduduk di sekeliling tempat itu akan mengetahui tentang pembunuhan yang dilakukannya.

   Kemarahan dapat menimbulkan kegelapan pikiran, dapat melakukan perbuatan apa saja pun yang dapat melonggarkan luap amarah itu.

   Tetapi setelah hawa amarah reda, kejernihan hatipun mulai memancar maka timbullah rasa takut, sesal akan apa yang telah dilakukannya.

   Demikian Katang Lumbang.

   Saat itu ia menyadari kalau membunuh kawannya dan kesadaran itu membangkitkan rasa takut apabila perbuatannya diketahui orang.

   "Lebih baik kukubur saja agar tiada yang tahu jejaknya,"

   Serentak timbul pikirannya.

   Lalu diangkatnya tubuh Bantaran, dibawa keluar.

   Dibawah sebatang pohon weru, dia segera menggali lubang.

   Tetapi menggali liang dengan senjata pedang, memang memakan waktu lama.

   Dan baru lebih kurang selengan dalamnya, ayam hutanpun berkokok makin gencar.

   Cuaca mulai meremang terang.

   "Ah, hari makin mendekat pagi. Apabila ada orang yang melihat apa yang kulakukan, pasti celakalah aku,"

   Ia makin cemas.

   Akhirnya ia menyeret tubuh Bantaran kedalam liang yang masih dangkal lalu ditimbuni dengan tanah dan daun.

   Asal tertutup sajalah, tak sempat lagi untuk menimbuni secara padat.

   Setelah itu bergegas ia meninggalkan tempat itu.

   Ia harus cepat2 mencapai asrama agar tiada diketahui kawan2 yang lain bahwa malam itu dia pergi.

   Saat itu juga muncul sesosok tubuh yang langsung menuju ke timbunan tanah lalu mulai membongkar tanah dan timbunan daun.

   Dia bekerja cekatan sekali.

   Tak lama tubuh Bantaranpun segera dikeluarkan dari liang.

   Orang memeriksa dada Bantaran, ternyata masih terasa hangat dan jantungnya masih mendebur pelahan.

   "Untung aku keburu mengeluarkannya sehingga dia tak sampai dikubur hidup- hidupan,"

   Gumam orang itu.

   Setelah diurut-urut beberapa waktu, Bantaran dapat menggeliat dan merintih.

   Orang itu segera mencari daun kemlanding, dilumat lalu dilumurkan pada dahi orang yang telah pecah.

   Kemudian diapun mencari air dan diminumkan orang itu.

   Setengah jam kemudian, orang itu dapat sadar.

   Dia memang belum mati tetapi hanya pingsan.

   "Siapa engkau .....

   "

   Serunya lemah kepada penolongnya.

   "Aku Nararya "

   Jawab orang yang menolong itu "jangan banyak bergerak dulu. Lukamu masih belum merapat."

   Orang itu mengangguk lalu pejamkan mata lagi. Lewat tengah hari beristirahat, Bantaran makin kuat. Ia membuka mata dan memandang Nararya.

   "Apakah yang telah terjadi pada diriku? "

   Tanyanya kepada Nararya. Nararya terpaksa berbohong. Ia mengatakan bahwa ia sebenarnya hendak berkunjung ke candi untuk memanjatkan doa. Tetapi ia terkejut ketika melihat dua orang sedang menabas batu persada patung Syiwa.

   "Itulah aku dan Katang Lumbang "

   Kata Bantaran.

   "O "

   Desuh Nararya "sebenarnya aku hendak masuk dan menegur perbuatan kalian.

   Tetapi tiba2 kudengar kawanmu menjerit kesakitan sembari mendekap punggungnya.

   Dan entah bagaimana tiba2 dia menerkam engkau lalu membenturkan mukamu pada batu persada.

   Kemudian dia membawamu keluar dan menanam tubuhmu dalam liang ini."

   "Oh, dimana dia sekarang? "

   Seru Bantaran.

   "Sudah pergi,"

   Sahut Nararya "sebenarnya aku hendak mengejarnya tetapi kurasa lebih perlu menolongmu "

   "Terima kasih, ki sanak,"

   Kata Bantaran "budi pertolonganmu pasti kuingat selamanya."

   "Ki Bantaran"

   Kata Nararya "bagaimanakah rencanamu sekarang? Apakah engkau hendak pulang dan mengadukan perbuatan kawanmu itu."

   Bantaran terdiam.

   "Bagaimana baiknya kalau menurut ki sanak."

   Bantaran meminta pendapat "nyawaku engkau yang menghidupkan maka akupun menurut apa yang engkau perintahkan."

   Nararya meminta keterangan apa maksud kedatangan Bantaran dan kawannya ke candi situ.

   Sebenarnya dia sudah tahu tetapi agar jangan diketahui bahwa sebenarnya dia bersembunyi di belakang patung Syiwa, maka sengaja ia bertanya keterangan.

   Dengan jujur Bantaran menceritakan semua yang terjadi.

   Diam2 Nararya menaruh kepercayaan bahwa Bantaran seorang jujur.

   "Bantaran,"

   Kata Nararya "aku hendak bertanya kepadamu dengan sejujurnya. Benarkah keris empu Gandring itu tertanam dalam candimakam sang Amurwabhumi?"

   "Aku sendiri juga belum yakin sungguh2. Hanya ayah yang mengatakan hal itu dan ayahpun mendengar keterangan dari eyang "

   "Ki Bantaran,"

   Kata Nararya dengan nada sarat "adakah keris itu berada di candi ini, masih belum pasti.

   Dan dengan bekal yang belum pasti itu, engkau hendak merusak sebuah candi makam dari seorang raja besar yang mendirikan kerajaan Singasari.

   Apakah engkau tak takut akan kemarahan rakyat bila perbuatanmu itu diketahui mereka? Kedua, apakah kau tak takut akan tulah keramat dari arwah sang Amurwabhumi yang menjadi titisan Hyang Wisnu? Ketiga, apakah engkau tak berdosa karena akan memunculkan kembali sebuah keris yang berisikan kutuk Empu Gandring ? Walaupun eyang buyutmu ki Kebo Ijo telah terbunuh, tetapi sang Amurwabhumi telah membalas jasanya dengan mengangkat puteranya, Kebo Randi menjadi pengalasan keraton dan selanjutnya anak keturunannya tetap diberi pangkat sebagai pekatik.

   Tindakan budi yang telah dilimpahkan oleh sang Amurwabhumi dan kerajaan Singasari kepada kakek moyangmu sudah cukup untuk menghimpas peristiwa itu? Tidakkah dengan membantu Katang Lumbang untuk mendapatkan keris itu, berarti engkau ikut serta dalam perbuatan jahat untuk membunuh baginda Kertanagara yang berarti juga engkau akan mengacaukan keamanan dan ketenteraman pura Singasari? Kakek, ayah dan engkau adalah rakyat Singasari.

   Tidakkah sudah layak bagi seorang kawula untuk mengabdikan diri dengan pengorbanan jiwa seperti yang dilakukan oleh eyangmu Kebo Ijo itu? Tidakkah engkau berarti akan membantu lain kerajaan untuk menyerang Singasari apabila kerajaan itu geger akibat baginda Kertanagara terbunuh? "

   Dihujani dengan pertanyaan yang menggebu-gebu itu, Bantaran terlongong-longong tak dapat menjawab.

   "Aku hanya menurut apapun yang hendak engkau perintahkan, ki Nararya,"

   Akhirnya dia hanya memaserahkan diri.

   "Baik, Bantaran "

   Kata Nararya "sebenarnya pantang bagiku untuk mengungkai- ungkat saal budi dan pertolongan.

   Karena pertolongan yang kuberikan kepadamu ini, kuanggap sebagai wajib dari dharma hidupku.

   Tetapi apabila engkau bermaksud hendak membalas budi pertolonganku itu.

   Aku merasa berterima kasih dan menganggap engkau benar2 sudah membalas budi kepadaku apabila engkau tak melanjutkan rencana untuk mencari keris empu Gandring itu.

   Lepaskanlah tanganmu dari pusaka yang berlumuran darah.

   Maukah engkau Bantaran? "

   Bantaran merasa bahwa ia telah menerima budi pertolongan yang tiada taranya dari pemuda itu.

   Dia menyadari bahwa Katang Lumbang seorang kawan yang berbahaya.

   Apa yang diuraikan Nararya memang benar.

   Sebagai seorang kawula Singasari, dia harus dapat memisahkan kepentingan keluarga dengan negara.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Apalagi peristiwa itu terjadi antara eyangnya, Kebo Ijo, dengan sang Amurwabhumi.

   Sedang baginda Kertanagara yang sekarang adalah keturunan dari Tunggul Ametung.

   "Baik ki Nararya,"

   Akhirnya ia memberi pernyataan "kurasa keris itu memang mengandung tulah yang berbahaya. Biarlah dia lenyap dari muka bumi agar jangan menimbulkan malapetaka."

   "Terima kasih, Bantaran,"

   Kata Nararya "lalu bagaimana rencanamu sekarang ? "

   "Inilah ki Nararya "

   Kata Bantaran "yang meresahkan hatiku. Aku memang masih bingung menentukan langkah, kembali ke Singasari atau menyembunyikan diri. Bagaimanakah pendapat tuan? "

   "Jika tahu engkau masih hidup, Katang Lumbang tentu terkejut,"

   Kata Nararya "dan ketakutan pula. Oieh karena itu dia tentu berusaha untuk membunuhmu lagi agar rahasianya jangan sampai terdengar orang."

   "Hm, benar "

   "Maka lebih baik jangan engkau kembali ke pura dulu. Tetapi apakah engkau mempunyai tempat meneduh? "

   Bantaran mengatakan bahwa ia mempunyai seorang paman yang tinggal didesa.

   Kesanalah dia akan menetap.

   Nararya menyetujui dan Bantaranpun segera berpisah untuk menuju ke tempat pamannya.

   Sementara Nararya kembali masuk kedalam candi.

   Peristiwa Katang Lumbang dan Bantaran itu menyerap waktu yang lama dalam renungannya.

   Makin mengenang kembali ke masa lampau, makin banyak peristiwa yang menimbulkan renungan.

   Berdirinya kerajaan Singasari tak lepas dari sejarah kehidupan seorang manusia bernama Ken Arok.

   Baik sejarah asal keturunan maupun kissah sepanjang masa mudanya, penuh dengan hal2 yang luar biasa.

   Seorang bayi yang tak diakui ibunya dan dibuang di kuburan, seorang pemuda yang terjerumus dalam kehidupan di lembah hitam.

   Judi, mencuri, menyamun, mengganggu wanita dan lain2.

   Tetapi yang jelas pemuda itu memiliki kecerdasan dan keberanian, kesaktian dan keperibadian yang menonjol.

   Mungkin Ken Arok memang seorang manusia yang dikasihi dewa dan mendapat wahyu agung untuk mengemban tugas besar memerintah kerajaan Singasari.

   Tetapi yang jelas, dia tentu menempuh perjalanan panjang itu dengan penuh penderitaan dan ketabahan.

   Untuk mencapai kejenjang puncak yang gemilang bukanlah suatu perjalanan diatas alas beludru yang lunak, melainkan disepanjang jalan yang penuh dengan kerikil tajam, bahkan bertabur duri dan onak, berpagar tombak dan pedang.

   "Lepas dari segala perbuatannya semasa masih muda, sang Amurwabhumi memang seorang manusia besar. Jika tidak tak mungkin seorang pemuda yang berasal dari keturunan bawah, mampu menjadi seorang raja besar yang menguasai kerajaan Singasari,"

   Bagai lapisan awan yang berarak di angkasa, maka berarak-arak pula lapisan kesan dalam hati Nararya.

   Makin lama makin tebal, makin cerah.

   Dia makin menghayati hakekat dari perjuangan.

   Jer basuki mawa bea.

   Tiada kebahagiaan tanpa penderitaan.

   Sekali pun Ken Arok itu benar menjadi kekasih dewa, menjadi insan yang telah dipilih dewa untuk menenteramkan kerajaan dijawadwipa, tetapi tidaklah begitu saja dewa menganugerahkan kebesaran hidup kepadanya.

   Dia masih harus berusaha dan berjuang keras, masih harus membuktikan bahwa dialah insan pilihan dewa yang tepat.

   Dengan renungan2 itu mulai mantap, mulai menyatu dan mulai mengarahlah pikiran Nararya kedalam suatu jalur pemusatan.

   Lambat tetapi tertentu mulai mengalir kearah suatu muara laut, makin lama makin luas dan luas.

   Tiada ujung tiada tepi, tiada lagi batas antara air dan bumi, bumi dan langit.

   Semua telah bersatu dalam suatu kekosongan yang penuh tetapi hampa, hampa tetapi penuh.....

   Nararya telah kehilangan diri.

   Dia tak tahu berada di mana, karena dia telah kehilangan daya pengetahuan, daya pengenal dan daya pemikir.

   Dia tak merasakan dirinya itu masih atau hilang, karena dia tak mempunyai daya rasa itu.

   Dia tahu dalam tak-tahu.

   Dia tak tahu dalam tahu.

   Diapun merasa dalam tak-merasa.

   Diapun tak merasa dalam merasa.

   Dia hanya merasa berada dalam suatu kehampaan alam raya tetapi dia tak tahu dirinya berada dimana dalam alam kosong raya itu.....

   Sayup2 ia seperti mendengar suara isak tangis seorang gadis, yang menebarkan bau harum dan tangannya yang halus mengguncang-guncang kakinya "Raden ....

   raden bagus ....

   tolonglah hamba raden ....hamba dikejar orang jahat....."

   Namun Nararya sudah hilang ditelan kehampaan.

   Semua indera perasa, pemikir, telah hilang.

   Bahkan dirinya, isi dirinya atau yang bisa disebut aku dalam dirinya, pun sudah tiada lagi padanya.

   Dia laksana sebuah patung dalam sila semedhi ....

   Suara perawan ayu merintih-rintih pertolongan itupun hilang lenyap.

   Beberapa saat2 kemudian ia merasa seperti dipegang oleh sebuah tangan yang berbulu, jari2 kasar sebesar pisang, meraba- raba leher seperti hendak mencekiknya.

   Tetapi kehilangan yang diberikan Nararya adalah suatu penyerahan, suatu pemaserahan bulat.

   Sehingga tiada lagi indera2 dalam dirinya itu dapat memancarkan daya.

   Dia sudah kehilangan daya penyerap, pemikir dan perasa.

   Maka sia2 pula gangguan tangan berbulu dan jari besar yang mengerikan itu kepadanya.

   "Ho, inilah manusia yang menjadi gara2 candi ini seperti dibakar api. Hayo, kita bunuh dia! "

   Serentak terdengar bunyi yang aneh, macam benda berat merayap di tanah dan bau yang luar biasa anyir, menghampiri Nararya. ~dewiKZ~ismoyo~mch~

   Jilid 13 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor.

   MCH I Nararya telah mendapat pelajaran Hatha-yoga dari gurunya, resi Sinamaya di gunung Kawi.

   Tujuan daripada ilmu pelajaran itu satu tepi mempunyai landasan yang luas dan tinggi.

   Satu, yani untuk mencapai alam bahagia, nirwana dan moksa, mencapai in hakekat kebenaran, menjelang manunggalnya jiwa kepada kebenaran atau para-murtha.

   Disitulah tujuan utama dari hubungan jiwa dengan Sanghyang Widdhi.

   Landasan yang luas dan nggi karena sarana2 yang wajib ditempuh melalui ngkat2 la han melepaskan pengaruh nafsu dasendriya atau sepuluh indera dan panca tanmatra atau bayangan nafsu dalam linggasarira, dari alat2 lapis badan manusia.

   Sehingga pengaruh nafsu dari alat2 lapisan badan itu terlepas dan tidak berpengaruh lagi terhadap gerakan jiwa.

   Sesungguhnya samadhi itu merupakan ngkat terakhir dimana telah dapat mencapai alam bahagia, nirwana dan moksa, manunggal dengan Sang Hyang Widdhi dalam alam Anandasarira.

   Hatha-yoga yang dipelajari Nararya, belumlah mencapai ngkat yang ter nggi.

   Namun berkat kemauan dan tekad yang keras, ia telah mampu mencapai Dharana, ngkat kelima dari ngkat2 yang berjumlah delapan buah.

   Demikian yang dilakukan di candi-makam Kagenangan.

   Ia telah mulai dapat mengalahkan rayas dan telah dapat menguasai semangat bathin serta memusatkan kepada suatu tempat atau tujuan tertentu.

   Tujuannya tak lain hendak mohon wangsit dari eyang buyut sang Rajasa Amurwabhumi.

   Sedemikian teguh dan paserah semangat bathin Nararya, sehingga ia telah berhasil keluar dari Lingga-sarira, tempat rayas berkuasa mereka-reka sifat kama.

   Pikiran, bathin dan perasaannya sudah 'ma ' dari segala daya-reka sehingga apapun yang bertubi-tubi mengganggunya, tiada bersambut dalam perasaan.

   Setelah tangis gadis ayu yang merin h-rih h minta tolong, membujuk rayu dengan bisikan- bisikan yang syahdu, kemudian tangan berbulu dan jari2 kasar yang meraba-raba leher seper hendak mencekik, suara2 beraneka nada yang seram, mengancam, tak bersambut, maka muncul mahluk yang merayap menghampirinya dengan membiaskan hawa yang luar biasa anyirnya.

   Mahluk itu berwujut sebagai seekor ular besar yang terus melilit tubuh dan leher Nararya.

   Bahkan terasa seolah mulut ular besar itu menganga hendak mencaplok kepala.

   Namun pemaserahan Nararya sudah bulat.

   Pikiran, bathin, jiwa dan kesepuluh indera, telah dileburkan dalam kekosongan yang hampa.

   Sehingga semua godaan itu berguguran lenyap.

   Nararya telah membebaskan diri dari rayas2 Lingga-sarira, mematikan daya-reka kama.

   Dalam keadaan alam kehampaan yang suwung itu, sayup2 seper terdengar suara halus yang menyusup ketelinga "Kulup, mengapa engkau mengganggu aku ..."

   Nararya seolah tersentuh oleh suara itu.

   Dan sesaat itu sebuah benda kecil mulai memercik di alam yang suwung.

   Makin lama percik benda itu makin membesar, membesar dan akhirnya meletus, membaurkan gulung asap pu h.

   Pelahan-lahan asap itu mulai mengumpul, menggunduk, makin tebal, tebal, dan akhirnya menjadi suatu perwujutan dari seorang lelaki yang perkasa, mengenakan sebuah mahkota.

   "Kulup ...

   "

   Seru orang itu.

   "hentikan semedhimu"

   Nararya seperti terperangah.

   "Siapa engkau kulup ? "

   Seru orang itu.

   "Hamba Nararya pukulun ...

   "

   Nararya seper menyahut. Tidak dengan mulut melainkan dengan rasa batin.

   "Nararya? Siapa Nararya? Menilik wajahmu yang bercahaya terang, engkau tentu berasal dari keturunan satrya"

   "Hamba hanya putera dari rama Lembu Tal. Dan Lembu Tal adalah putera dari Batara Narasingamur atau Mahesa Campaka. Mahesa Campaka putera dari Mahesa Wonga Teleng dan Mahesa ..."

   "Cukup"

   Seru lelaki itu "kutahu siapa Mahesa Wonga Teleng. Jadi engkau ini keturunan Mahesa Wonga Teleng"

   "Demikian, pukulun."

   "Aku bukan dewa, tak perlu engkau menyebut pukulun kepadaku ..."

   "Oh, maafkan. Lalu siapakah paduka ini ?"

   "Engkau tak kenal kepadaku ?"

   "Tidak."

   "Tidakkah ramamu pernah berceritera tentang leluhurnya?" .

   "Rama hamba sering bercerita begitu "

   "Siapakah cikal bakal leluhurnya?"

   "Eyang buyut Ken Arok yang kemudian menjadi raja Kula Singasari bergelar sri Rajasa sang Amurwabhumi"

   "Pernahkah engkau melihat wajah sang Amurwabhumi? "' "Hamba pernah melihat patung sang Amurwabhumi yang terdapat di beberapa candi."

   "Cobalah engkau pandang diriku ..."

   Nararya memang serasa melayang-layang dalam alam kesemuan. Antara kosong dan isi, nyata dan semu. Mendengar tah itu, serentak ia mencurahkan pandang mata dan menatap wajah orang itu dengan sepenuh perhatian.

   "Duh, eyang buyut sang Amurwabhumi, ..."

   Serta merta Nararya menghadap, menghaturkan sembah sekhidmat-khidmatnya "ampunilah hamba yang tak tahu adat."

   "Jadi engkau sudah tahu diriku?"

   "Demikian, eyang baginda yang mulia"

   "Dan apa maksudmu bersemedhi memantek aji Panuwun untuk menemui aku? Ketahuilah, bahwa tempatku bersemayam, di alam kelanggengan yang amat jauh sekali. Bukan suatu perjalanan yang mudah untuk kembali kesana. Hanya karena pancaran semedhiimi yang keras laksana sinar surya menembus bumi itu, maka panaslah tempat persemayamanku itu. Adakah engkau mempunyai keperluan yang amat pen ng sekali sehingga engkau berani mengusik ketenanganku?"

   Kembali Nararya tersipu-sipu menghaturkan sembah sujut sedalam-dalamnya "Eyang baginda yang hamba junjung dialas segala kemuliaan hamba.

   Hamba mohon ampun atas tindakan hamba yang kurang beradap terhadap paduka.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hamba hanya menyerahkan jiwa dan raga hamba kebawah duli paduka apabila paduka hendak mencabut nyawa hamba .."

   "Hm"

   Desuh bayang2 yang menurut pengakuan yang tak dinyatakannya, adalah arwah sri Rajasa sang Amurwabhumi "soal itu tergantung dari keteranganmu nan . Adakah soal yang hendak engkau haturkan itu sesuai dengan tindakanmu mengusik ketenangaaku"

   "Jika paduka idinkan"

   Kata Nararya "hamba akan mempersembahkan peris wa2 yang menyangkut kedatangan hamba kemari"

   "Katakanlah"

   Nararya lalu mulai menuturkan sejak ia mendapat anjuran dari kedua orang yang paling dihorma nya yani ramanya Lembu Tal dan gurunya, resi Sinamaya.

   Menurut wawasan gaib yang terasa pada sentuhan syahdu dalam kesuwungan semedhi purna, ada petunjuk gaib bahwa pada waktu yang tak lama lagi, Hyang Jagadnata akan menurunkan wahyu agung, wahyu yang akan menyinari persada bumi Jawadwipa sebagai tempat yang akan melindungi, mengembangkan dan menyuarkan cahaya purnama raya, bagi para tah dewata, kesejahteraan kehidupan dan kemakmuran negara.

   Demikian pula akan menjadi penampung dan pengemban tugas kehendak dewata untuk menyiarkan agama.

   "Atas anjuran guru sang resi Sinamaya, hamba-pun bertapa di candimakam eyang Batara Narasingamur di Wengker. Berkat kemurahan dewata, hamba-pun diperkenankan berjumpa dengan eyang Batara Nara-singamurti .. ."

   Kemudian Nararya lalu menuturkan percakapan yang terjadi antara Batara Narasingamur dengan dirinya.

   "Eyang Batara Narasingamur yang waktu itu masih bernama Mahisa Campaka mengatakan bihwa beliau pernah bersemedhi di makam paduka sini dan paduka berkenan menemui eyang . .." ' "Pada kesempatan bercakap-cakap, eyang Batara Narasingamur mohon kehadapan paduka untuk bersama eyang Rangga Wuni melawan eyang Tohjaya"

   "Hm"

   "Paduka melimpahkan sabda bahwa eyang Tohjaya tak lama menduduki tahta Singasari, karena menurut kodrat yang telah digaris Hyang Batara Agung, bukanlah eyang Tohjaya yang layak menjadi raja Singasari"

   "Hm"

   "Kemudian padukapun telah menitah eyang Narasingamur untuk memilih lima bu r buah maja. Yang ga untuk eyang Narasingamur dan yang dua untuk eyang Rangga Wuni. Buah maja yang manis rasanya, lambang wahyu kerajaan. Akhirnya, dari ga bu r maja, eyang Narasingamur hanya mendapat sebu r yang manis. Yang dua pahit rasanya. Sedang dua bu r maja untuk eyang Rangga Wuni ternyata manis semua. Dengan demikian keturunan eyang Rangga Wunilah yang berhak menduduki tahta kerajaan lebih dahulu"

   "Hm"

   "Namun menurut eyang Narasinga, dua bu r maja manis yang jatuh pada eyang Rangga Wuni itu adalah berar eyang Rangga Wuni sendiri dan putera-nya. Setelah itu, jika memang petunjuk parduka itu benar, maka keturunan, eyang Narasingamur lah yang akan menggan di tahta Singasari"

   "Hm"

   "Demikianlah apa yang hamba terima dari pesan gaib di makam eyang Narasingamurti"

   "Adakah engkau meragukan pesan Eyangmu itu ? "

   Kali ini bertanyalah bayang2 itu.

   "Duh, eyang prabu yang hamba muliakan "

   Kata Nararya "bukan soal keraguan ataupun percaya atau tak percaya yang mendorong hamba menghadap paduka, melainkan keinginan itu mbul dari hati sanubari hamba sendiri, hendak mohon menghadap paduka."

   Dengan jawaban itu Nararya menghindarkan diri dari kesan bahwa dia masih ragu2 akan keterangan arwah Batara Narasingamur .

   Karena apabila mengunjukkan kesan ke dak- percayaan terhadap pesan gaib itu, mungkin arwah sri Rajasa sang Amurwabhumi ini akan merasa kurang puas.

   Ke dak-puasan itu mbul dari penilaian bahwa pemuda itu tak mempercayai percakapan gaib dengan arwah seseorang yang telah ada.

   Entah itu eyangnya Batara Narasingamur , entah sri Rajasa sendiri.

   Apabila tercipta lingkungan alam kesimpulan begitu, niscaya sang Amurwabhumi tak mau memberi petunjuk apa-apa."

   "Apa yang engkau kehendaki?"

   Seru arwah sang Amurwabhumi.

   "Duh, eyang prabu, tak lain hamba hanya akan mohon petunjuk kepada paduka agar diri hamba dalam menempatkan diri di dalam masyarakat ramai, di negara dan di alam kehidupan sebagai pelaksanaan dari dharma-hidup hamba itu, dapatlah hamba mempunyai pegangan. Agar terhindarlah diri hamba dari keadaan seperti perahu lepas kemudi di tengah samudera raya ...."

   "Hm"

   Tampak bayangan arwah sang Amurwabhumi mengangguk-angguk "engkau s dalam mengarah tujuan, tatas dalam merangkai kata dan s dalam melaksanakan kewajiban. Siapakah namamu yang lengkap?"

   "Nararya Sanggramawijaya"

   "Nama yang baik"

   Kata arwah sang Amurwabhumi "akan kukabulkan permohonanmu.

   Karena daklah mudah dewata akan meluluskan permohonan cipta-semedhi seseorang, terutama apabila cipta itu diarahkan kepada arwah yang sudah moksa dalam alam kelanggengan.

   Hanya insan yang memiliki rejeki besar dan dikasihi dewata, baru dapat diterima persembahan ciptanya itu .."

   Diam2 Nararya terkejut mendengar ucapan arwah sang Amurwabhumi.

   Namun ia tak mau mengikat diri kedalam pengaruh sesuatu yang walaupun luar biasa tetapi masih belum meyakinkan.

   Ia kua r pengikatan diri pada hal itu akan menimbulkan gejala yang kurang bermanfaat kepada dirinya dalam menempuh perjalanan hidupnya.

   Karena hal itu dapat menimbulkan rasa besar diri, rasa bangga dan segala rasa ke-aku-an yang tak selayaknya.

   "Memang benar apa yang dikatakan eyangmu Mahisa Campaka dalam percakapan melalui pertemuan gaib dengan engkau itu,"

   Kata arwah sang Amurwabhumi pula "telah kuberikan lima bu r buah maja kepadanya.

   Dan karena dia keturunanku sendiri maka kuberikan ga bu r kepadanya sedang Rangga Wuni hanya dua bu r.

   Tetapi kodrat dewata tak dapat ditolak lagi.

   Dia mendapat ga bu r tetapi yang manis hanya sebu r.

   Sedang Rangga Wunilah yang direstui dewata menjadi raja Singasari.

   Setelah itu lalu puteranya"

   "Maaf, eyang prabu"

   Kata Nararya "bukankah yang dimaksud putera dari eyang Rangga Wuni itu adalah baginda Kertanagara yang sekarang ini?"

   "Hm, benar,"

   Sahut arwah sang Amurwabhumi "Kertanagara yang sekarang ini adalah kelanjutan dari buah maja manis yang kedua untuk Rangga Wuni itu"

   "Setelah itu ?"

   "Karena terbatas hanya dua bu r maja, maka kemulyaan keturunan Rangga Wunipun akan usai dan akan tiba giliran keturunan Mahisa Campaka?"

   "Demikianlah, eyang prabu. Dan eyang Mahisa Campaka itu adalah keturunan paduka juga"

   "Hm"

   Desuh arwah sang Amurwabhumi "aku memikirkan keturunanku, tetapi bukanlah itu yang menjadi landasan utama dari hidupku dahulu.

   Yang pen ng adalah negara Singasari karena kepercayaan dewa2 kepadaku dahulu, seper yang kudengar ke ka dewa2 mengadakan musyawarah di gunung Lejar, adalah hendak memelihara, mengembangkan dan memperkokoh suatu tempat atau negara untuk memelihara kesejahteraan tah dan kelestarian agama sebagai tujuan hidup manusia."

   "Bisa saja para dewa2 memilih putera akuwu Tumapel Tunggul Ametung atau putera dari raja2 di lain kerajaan. Tetapi mengapa menjatuhkan pilihan atas diriku. Bukankah mereka menganggap bahwa diriku ini layak menjadi wadah dari pengejawantahan sang Hyang Wisnu? Dan ketahuilah, bahwa manusia yang dipilih menjadi wadah dari penjelmaan Hyang Wisnu itu tentu telah dinilai memiliki kelebihan dan kelainan dari tah lain. Oleh karena itu, haruslah manusia yang terpilih itu membuktikan diri benar2 bahwa dia memang layak untuk pilihan itu"

   "Jadi jelas bukan soal keturunan, melainkan diri peribadi manusia itu yang akan dinilai oleh dewata,"

   Kata arwah sang Amurwabhumi "kutahu kemana arah tujuan ucapanmu itu. Jika Mahisa Campaka i|u keturunanku, engkaupun juga keturunanku karena engkau cucu dari Mahisa Campaka"

   Tersipu- sipu dalam hati Nararya mendengar pengungkapan itu.

   "Keturunan itu memang pen ng tetapi bukan mutlak utama,"

   Kata arwah sang Amurwabhumi pula "Hyang Wisnu takkan meni s dalam suatu tempat yang sama. Pernahkah eyangmu atau ramamu bercerita tentang prabu Batara Kresna yang termasyhur itu ?"

   "Pernah,"

   Sahut Nararya "tetapi entah bagian mana yarg paduka maksudkan"

   "Sri Batara Kresna adalah san dari Hyang Wisnu, seharusnya wahyu agung yang diturunkan dewata, diberikan kepada puteranya yang bernama raden Somba. Walaupun Sri Kresna telah menetapi peraturan yang telah digariskan dewata, dengan menyuruh puteranya ikut berkecimpung dalam usaha untuk mengarah turunnya wahyu agung dari dewata, namun selelah berhasil mendapatkannya, tetap wahyu itu hilang dari tangannya. Karena apa? Karena raden Somba tak kuat menahan goda rayuan dari seorang wanita can k. Dengan begitu jelas sudah, bahwa bukan keturunan seorang raja agung seper Sri Kresna yang layak dan harus menerima wahyu agung juga, melainkan atas dasar diri peribadi dan sifat batinnya. Jelaskah engkau?"

   "Terima kasih, eyang prabu"

   Nararya menghaturkan sembah.

   "Demikian pula berlaku pada anak cucu keturunanku. Walaupun eyangmu Mahisa Campaka memiliki sebu r buah maja yang manis, tetapi kemanisan itu bukan ba dari langit dm sekali-kali jangan yakin pas akan mendapatkannya. Melainkan harus ditebus dengan usaha keras yang berlandaskan keluhuran budi dan kesucian batin"

   Kembali Nararya menghaturkan sembah.

   "Entah siapa diantara kalian yang masih hidup akan memperoleh wahyu itu. Yang pen ng eyangmu Mahisa Campaka telah memperoleh sebu r buah maja yang manis, maka berusahalah kalian termasuk engkau, kulup, untuk mewujutkan anugerah yang telah dijanjikan dewa kepada lingkungan keturunanmu. Dan yang paling benar pula, janganlah engkau mengarah dan menggantungkan buah maja manis yang diterima Mahisa Campaka itu. Lebih seyogya kalau engkau tak memiliki pengetahuan tentang hal itu. Kosongkan pikiranmu dengan segala sesuatu rasa pas . Tetapi bersihkan ba nmu untuk memperjuangkan yang belum pas itu akan menjadi pas . Jangan engkau mengandalkan dirimu ini anak Lembu Tal cucu Narasingamur . Jangan pula engkau menyandarkan perjuangan itu hanya pada asal keturunanmu. Tetapi lepaskan, kosongkan dirimu dari segala kecenderungan yang bersifat mengandalkan itu. Engkau adalah engkau. Hadapkan dan arahkan sembah harapan dan sujud permohonanmu ke duli Hyang Widdhi Tunggal. Sertakan sembah sujudmu dengan ha yang suci, nafaskan kesungguhan dan kesetyaan kepada perjuanganmu. Jangan mencemarkan semangat dan jiwa perjuanganmu itu dengan suatu rasa milik akan hasilnya. Karena se ap perjuangan yang dicemari rasa milik akan hasilnya itu, pas akan kecewa. Kecewa apabila dak berhasil dan kecewa pula kalau berhasil, kecewa yang dipancarkan dari sifat rasa milik yang tak kenal puas. Serahkan kesemuanya itu kepada Hyang Widdhi karena hanya Dialah yang kuasa menentukan"

   "Duh eyang prabu, rasanya ada ilmu apapun yang dapat menjadikan kekuatan diri hamba, serta ada harta benda yang lebih menggirangkan ha hamba, kecuali wejangan paduka ini. Hamba seper orang dahaga yang mendapat air, seper orang berjalan di tengah malam gelap yang mendapat pelita"

   "Jangan cepat2 bergirang dan jangan pula cepat2 mendambakan sesuatu. Agar engkau jangan terlena dalam imbauan kata2 atau pengaruh. Karena bukan wejangan atau siapa yang memberi wejangan, dewa sekalipun, yang akan menentukan hasil atau dak perjuanganmu itu. Tetapi kesemuanya itu hanya tergantung pada dirimu sendiri. Wejangan atau guru maupun orang atau dewa yang engkau dambakan itu, hanya sanggup memberi petunjuk. Ibarat hanya memberi penyuluh. Sedang untuk melintasi perjalanan malam yang kelam mencapai tempat yang engkau tuju itu, semua tergantung pada langkah dan kesungguhan serta kewaspadaanmu sendiri. Dapatkah engkau menghayati maksud ucapanku ini, kulup ?"

   "Akan hamba simpan dalam kalbu dan mendarahkannya dalam jiwa raga hamba, eyang prabu."

   "Ingat, kulup, hanya engkau sendiri yang mampu menjadikan engkau ini engkau atau engkau ini bukan engkau. Nah, apakah engkau sudah cukup dengan pertanyaanmu ?"

   "Jiwa dan ha hamba sudah teramat kenyang setelah mendengar wejangan paduka,"

   Kata Nararya "namun pikiran hamba masih memercik keinginan untuk mengetahui sesuatu. Dapatkah eyang prabu berkenan menjernihkan bintik2 yang menebar dalam pikiran hamba ini?"

   "Katakanlah"

   "Pertama, hamba mohon petunjuk,"

   Kata Nararya "apakah dasarnya maka eyang prabu berkenan memberi lima bu r buah maja, yang ga bu r untuk eyang Mahisa Campaka dan yang dua bu r untuk eyang Rangga Wuni.

   Maksud hamba, sekalipun eyang Mahisa Campaka hanya mendapat sebu r yang manis, tetapi eyang Mahisa Campaka tetap memperoleh.

   Berar eyang Mahisa Campaka punya harapan.

   Sedangkan eyang Rangga Wuni memperoleh manis semua.

   Jelas bahwa antara eyang Mahisa Campaka dan eyang Rangga Wuni itu sudah mempunyai garis akan mendapatkan tahta.

   Apakah hal itu memang kodrat yang telah digariskan dewata Agung ataukah disebabkan eyang prabu memang merelakan demikian?"

   "Telah kukatakan bahwa aku tak meni k-beratkan pada keturunan dan menyerahkan kesemuanya itu pada kehendak Hyang Widdhi"

   "Tetapi menurut percakapan gaib antara eyang Narasingamur dengan hamba, eyang prabu telah terikat janji dengan eyang ratu Ken Dedes ...."

   "Hm, benar,"

   Sahut sang Amurwabhumi "memang demikianlah peris wa itu terjadi ke ka aku meminang Ken Dedes.

   Kala itu aku masih muda, penuai dendam berahi kepadanya.

   Janganlah hanya soal tahta, bahkan apabila dia menghendaki lebih dari itu misalnya busana dan perhiasan bidadari, pun tentu akan kulaksanakan juga.

   Kelak engkau tentu akan merasakan betapa rasa dendam berahi seorang pria itu terhadap wanita yang menjadi idamannya.

   Kedua, Ken Dedes adalah seorang puteri yang memiliki sifat seorang nariswari.

   Barangsiapa yang memperisterikannya, kelak tentu akan menjadi raja-diraja ...."

   "Eyang prabu ....

   "

   Tiba2 Nararya berteriak kaget.

   "Mengapa kulup?"

   "Adakah eyang prabu berhasil dinobatkan sebagai raja Singasari itu berkat dari kejayaan diri eyang puteri Ken Dedes?"

   "Tidak, kulup "

   Rupanya arwah sang Amurwabhumi menyadari apa makna pertanyaan Nararya "ketahuilah, kulup.

   Semua peristiwa itu hanyalah merupakan akibat dari rangkaian kesatuan.

   Hawa, air, api, surya, rembulan dan seluruh unsur merupakan rangkaian kesatuan dari kehidupan jagat ini.

   Demikian dengan peris wa yang terjadi pada diriku.

   Aku diserahi kepercayaan para dewa tentulah dewa juga sudah mengatur segala sesuatunya.

   Ken Dedes menjadi isteriku dan kemudian aku berhasil mendirikan kerajaan Singasari, tak lain merupakan suatu rangkaian daripada kesatuan kodrat yang telah digariskan dewata.

   Dapatkah engkau menghayati ucapanku ini, kulup"

   "Apapun yang paduka sabdakan selain menjadi penyuluh yang menerangi pikiran hamba. Tetapi masih ada sepercik kabut yang masih menutup bumi hati hamba. Jika demikian halnya, mengapa paduka rela meluluskan permintaan eyang puteri Ken Dedes menyjlagkut tahta kerajaan untuk anak cucu paduka ?"

   "Engkau maksudkan perjanjianku dengan eyangmu puteri Ken Dedes itu?"

   "Demikianlah, eyang prabu"

   "Ha, ha "

   Sang Amurwabhumi tertawa renyah "aku beruntung mendengar pembicaraan dalam musyawarah para dewa di gunung Lejar itu, sebenarnya termasuk suatu pantangan.

   Tetapi kebetulan, aku telah berkenan menjadi pilihan para dewa, sehingga aku terhindar dari siku- denda.

   Sekalipun begitu, apa yang kudengar dan kuingat dalam hati mengenai pembicaraanku dengan para dewa itu, seturun dari gunung, telah hilang lenyap tak berbekas dalam ingatanku.

   Aku tak ingat suatu apa lagi.

   Dewa telah memancarkan kesaktian untuk menghapus segula ingatanku tentang peristiwa di gunung Lejar itu.

   Itulah sebabnya, kulup, maka aku meluluskan permintaan Ken Dedes bahwa yang akan menggantikan tahta kerajaan Singasari, apabila kelak aku wafat, adalah putera Ken Dedes dengan Tunggul Ametung.

   Karena sudah berjanji maka sudah selayaknya apabila berturut-turut dua kali anak dan cucu dari Anusapati yang menduduki tahta Singasari"

   "Ingat, kulup, jangan sembarangan engkau menjatuhkan janji karena se ap janji tentu akan disaksikan oleh dewa. Demikian pula dengan janjiku kepada Ken Dedes. Dewa telah menjadi saksi sehingga harus demikianlah perputaran sejarah"

   "Eyang prabu ...."

   "Tak usah engkau tanyakan aku sudah tahu. Seper engkau akan tahu dan mengalami, bahwa se ap anak muda tentu berdarah panas, bercita-cita nggi dan keras ha . Kesemua pembawaan masa muda itu akan menumpah dan meletus apabila dia dimabuk rindu kepayang deaigan wanita can k. Ada dua hal yang mendorong aku melupakan segala apa dan mudah untuk menurunkan janji. Pertama-tama cita-citaku untuk membangun negara Singasari dari kekuasaan Tunggul Ametung yang tak mampu membangun negara, serta menolong derita kaum pandita brahmana dari kecongkakan, prabu Kertajaya yang menganggap dirinya lebih nggi dari kasta brahmana dan memaksa para pandita tunduk kepadanya. Dan yang kedua, keinginanku sebagai seorang pria yang harus mempersun ng seorang wanita yang disebut nariswari. Wanita yang bukan saja amat indah rupawan pun merupakan mus ka dari wanita yang ada keduanya di nuswantara ini. Demikian unsur2 yang mendorong aku terpaksa mengabulkan permintaan Ken Dedes. Jelaskah engkau, kulup?"

   Nararya mengangguk.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah masih ada hal lain lagi yang hendak engkau tanyakan?"

   "Masih eyang prabu dan yang terakhir"

   "Katakan"

   Nararya lalu menceritakan tentang peris wa kedua orang, Tohpa putera dari panji Tohjaya dengan Bantaran cicit dari Kebo Ijo, yang bersekutu hendak menggali makam baginda sang Amurwabhumi, karena akan mencari keris bertuah buatan empu Gandring.

   "Eyang prabu, hal itulah yang hendak hamba mohonkan ke hadapan paduka tentang penjelasannya"

   "O "

   Desuh sang Amurwabhumi "mengapa engkau ingin tahu tentang keris itu ?"

   "Hamba teringat akan cerita rama hamba tentang keris itu. Bahwa empu Gandring telah mempersenyawakan kehadiran keris itu di dunia dengan kutuk yang mengerikan. Kutuk yang tertuju kepada paduka dan anak cucu paduka"

   "O, karena engkau termasuk keturunanku maka engkau khawatir akan kutuk itu?"

   "Demikianlah eyang prabu"

   "Engkau salah, kulup,"

   Seru sang Amurwabhumi "kutuk empu Gandring itu hanya berlaku pada manusia yang telah berbuat dosa kejahatan.

   Tunggul Ametung mati dengan keris itu karena dia melarikan Ken Dedes dan dikutuk empu Parwa.

   Kebo Ijo mati dengan keris itu karena dia membunuh Tunggul Ametung.

   Dan akupun mati oleh keris itu karena telah membunuh Kebo Ijo.

   Pengalasan orang Batil mati ditikam keris itu karena membunuh sang Amurwabhumi.

   Anusapatipun juga harus memberikan jiwanya kepada keris itu karena telah membunuh orang Batil.

   Enam jiwa telah mati menjadi korban keris itu"

   "Apakah tidak lima orang jumlahnya, eyang prabu ?"

   "Tidak"

   Sahut sang Amurwabhumi.

   "enam jiwa. Mereka berlima dan ditambah yang pertama menjadi korban yani pembuatnya sendiri."

   "Empu Gandring ?"

   "Ya"

   "Jika demikian bukankah masih kurang seorang jiwa yang harus menjadi korban lagi ?"

   "Tidak!"

   Sahut sang Amurwabhumi "sudah cukup"

   "Sudah cukup? Apakah hanya enam orang itu?"

   "Tujuh"

   Nararya terbeliak. Kemudian ia menghaturkan sembah dan memohon penjelasan.

   "Korban yang ketujuh adalah Tohjaya"

   "Tetapi eyang prabu,"

   Kata Nararya "menurut cerita rama hamba, eyang Tohjaya itu wafat karena menderita luka tertusuk tombak, bukan karena keris empu Gandring itu"i "Hm"

   Desuh sang Amurwabhumi "Tohjaya anak yang kuperoleh dari Ken Umang itu memang berwatak berangasan dan pemberang.

   Dia pun memiliki rasa curiga yang besar terhadap orang.

   Adalah karena wataknya itu maka sampai Rangga Wuni dan Mahisa Campaka bersekutu untuk memberontak kepadanya"

   Nararya mengangguk.

   "Memang benar dalam pertempuran dengan Rangga Wuni dan Mahisa Campaka yang membawa pasukan orang Sinelir dan orang Rajasa, Tohjaya telah memderita luka dan terpaksa lolos dari keraton. Di tengah jalan, di desa Katang Lumbang, karena banyak mengeluarkan darah, jiwanya tak tertolong lagi. Tetapi pada de k-de k terakhir rupanya ia mempunyai kesadaran yang nggi. Bahwa selama keris empu Gandring itu masih muncul di dunia, serta sebelum kutuk empu Gandring itu lunas, tentulah keris keramat itu akan selalu mendatangkan bencana pada keturunan baginda Rajasa sang Amurwabhumi. Tohjaya merasa bahwa dirinya memang tak direstui dewata untuk menggan kan tahta kerajaan. Tetapi dia tak putus asa dan berharap agar anak cucu keturunan ayahnya, sang Amurwabhumi, tanpa membedakan dari keturunan lain ibu dapat menjadi raja Singasari"

   "Keinsyafan itulah"

   Kata sang Amurwabhumi pula "yang menggugah jiwanya.

   Dalam saat2 yang terakhir, dia telah melakukan suatu ndakan yang baik.

   Ia berpesan kepada pengiringnya supaya apabila dia sampai meninggal, maka keris empu Gandring yang ikut dibawanya itu, supaya dibuang ke bengawan Brantas.

   Juga kepada isterinya ia meninggalkan pesan demikian.

   Apabila mereka tak melaksanakan pesan itu, akan mendapat kutuk ma diujung keris itu.

   Setelah meninggalkan pesan, ia mencabut keris itu dan menusuk dirinya.

   Dengan demikian keris itu berar telah memperoleh korbannya yang ke tujuh.

   Karena keadaannya sudah gawat, sekalipun tanpa disertai tusukan keris empu Gandring, dia tetap akan meninggal.

   Tindakan Tohjaya itu hanya sekedar menolak bala dari kutuk empu Gandring yang amat bertuah"

   "O"

   Nararya mendesuh panjang dan tergetar rasa kejut.

   "Dengan demikian kutuk empu Gandring harus dianggap himpas"

   "Jadi keris itu telah dilabuh ke bengawan, eyang prabu?"

   "Hm"

   "Tetapi mengapa Tohpati dan Bantaran berdua hendak mencari keris itu di makam ini?"

   "Soal keris empu Gandring itu memang sangat dirahasiakan sekali. Dan setelah melenyapkannya maka sengaja disiarkan desas desus bahwa keris itu berada di makam ini agar menyesatkan perhatian orang"

   "Terima kasih eyang prabu,"

   Nararya menghaturkan sembah "rasanya sudah cukup hal2 yang menghuni dalam ha pikiran hamba selama ini. Sekarang apabila paduka berkenan, sudilah kiranya paduka melimpahkan petunjuk kepada hamba"

   "Kulup "

   Kata sang Amurwabhumi "rasanya sudah cukup lama aku turun ke arcapada. Aku harus lekas kembali. Sebelum itu, aku hendak memberimu beberapa hal"

   Serta merta Nararya menghaturkan sembah sebagai tanda terima kasih dan mengindahkan.

   "Pertama, sejak saat ini, jangan engkau memakai nama Nararya tetapi pakailah namamu yang terakhir yani Wijaya. Yang berar jaya atas musuh-musuh, baik yang dari luar maupun dari dalam batinmu"

   "Terima kasih eyang prabu "

   Nararya bersujut sembah "akan hamba laksanakan titah paduka"

   "Kedua, ingat selalu dan laksanakan apa yang kukatakan kepadamu tadi semuanya"

   "Akan hamba cantumkan dalam ha sanubari hamba dan laksanakan dalam amal perbuatan hamba segala petunjuk dan wejangan eyang prabu"

   "Ke ga, sebagai kenangan bahwa hanya engkau seorang dari sekian banyak anak cucu keturunanku yang mampu dan berhasil mengarah cipta-semedhi untuk menghadap aku, maka akan kuberikan mahkota diatas mustakamu ini kepadamu"

   "Eyang prabu ...

   "

   Nararya menjerit. Tetapi saat itu sang Amurwabhumi sudah membuka mahkotanya dan diangsurkan ke muka Nararya "Terimalah"

   Nararya terkejut. Sesaat ia meragu tetapi karena arwah sang Amurwabhumi itu memancarkan kewibawaan yang menimbulkan ketaatan, Nararya atau yang sekarang telah bergan nama Wijaya, mengangsurkan kedua tangan menerimanya.

   "Wijaya, engkau ingat semua pesanku? "

   Wijaya mengiakan.

   "Wijaya, aku harus kembali ke alam kelanggengan lagi. Nah, periksalah mahkota itu ... ."

   Wijaya menunduk mengamati dengan cermat apa yang dikatakan mahkota dari sang Amurwabhumi itu. Tetapi dia terkejut ketika mendapatkan bahwa mahkota itu tak lain hanya serangkai bunga putih. Ia heran. Adakah harus mengenakannya di kepala.

   "Eyang ....

   "

   Ia mengangkat rnuka memandang kedepan.

   Tetapi alangkah kejutnya ketika gumpalan awan putih yang menyerupai bentuk sang Amurwabhumi tadi sudah lenyap.

   Sebenarnya ia hendak bertanya keterangan tentang mahkota itu.

   Karena sang Amurwabhumi sudah lenyap, ia menunduk pula untuk memeriksa mahkota itu pula.

   Ah, memang benar.

   Mahkota itu tak lain hanya seuntai bunga putih yang dirangkai dalam suatu lingkar yang menyerupai, mahkota.

   Karena eyang prabu telah memberikan kepadaku, mahkota ini walau apapun wujutnya, harus kupakai. Pikirnya.

   Ia segera mengangkat mahkota itu dengan kedua tangan dan pelahan-lahan dikenakannya pada kepala.

   Sesaat mahkota itu melekat pada kepala, sekonyong-konyong Wijaya rasakan kepalanya amat berat.

   Sedemikian rasa berat itu mencengkam kepalanya seperti gelang besi yang menjepit "Uh ....

   "

   Ia mendesuh dan terus rubuh.

   ~dewiKZ~ismoyo~mch~ Entah berapa lama, ke ka tersadar, Wijaya merasa seper berada dalam suatu tempat yang aneh sekali.

   Ia merasa seper bergerak walaupun dia tak merasa bergerak.

   Bahkan gerak yang dirasakan itu seperti orang berjalan pesat.

   Memandang ke atas, ia tak melihat suatu apa.

   Hitam gelap.

   Berpaling ke kanan, kiri dan memandang ke muka, gelap semua.

   Ada suatu perbedaan antara saat itu dengan tadi.

   Tadi dia tak merasa, tak melihat dan tak mengetahui apa2.

   Entah dimana dan bagaimana.

   Seluruhnya merupakan kekosongan yang suwung.

   Kemudian terdengar letusan, asap bertebaran, bergulung gulung mengumpul pula, kemudian berbentuk seperti sesosok tubuh manusia.

   Gumpalan asap putih yang berbentuk manusia itu mengaku sebagai baginda sri Rajasa sang Amurwabhumi yang telah lama wafat.

   Kemudian terjadi percakapan dengan gumpalan asap sang Amurwabhumi.

   Lama sekali.

   Terakhir sang Amurwabhumi memberinya sebuah mahkota lalu dipakainya dan dia terus pingsan.

   "Ah "

   Ba2 Wijaya terbeliak "kini aku mempunyai daya ingatan lagi. Apakah aku ini masih hidup? Ah, mungkin sudah berada di alam lain barangkali."

   Orang yang baru mengalami peris wa seper Wijaya memang sukar untuk membedakan antara kenyataan dan kehampaan, ada dan tiada, hidup dan mati. Tiba2 ia mendapat akal. Ia menggigit bibirnya keras2

   "Uh"

   Ia mendesis kesakitan dan serentak timbullah kesadaran pikirannya "jelas aku masih hidup. Tak mungkin orang mati merasa sakit"

   Dengan bekal perasaan itu, ia berusaha untuk menggeliat bangun. Uh .... ba2 ia merasa di sebelah kanan dan kiri terhimpit oleh benda yang lunak, sepanjang tubuhnya. Cepat ia berpaling.

   "Hai ....!"

   Menjeritlah ia sekeras-kerasnya ke ka tepat disebelah mukanya, hampir berhadapan muka dengan muka, sebuah muka manusia lelaki setengah tua, berkumis lebat, kedua mata terkancing rapat.

   "Siapa engkau, ki sanak "

   Serunya setelah ketegangan ha nya mereda. Tetapi orang itu diam dan tak membuka mata.

   "Mengapa aku dur bersama seorang lelaki ini? "

   Pikir Wijaya. Kemudian ia menggeliat hendak bangun, Tetapi "uh ...."

   Kembali ia mendesuh kejut ke ka tangan kirinya terasa melanggar sesosok tubuh manusia. Cepat ia berpaling pula "uh ...."

   Ia memekik karena di sebelah kiri, seper pula di sebelah kanan tadi, mukanya tengah berhadapan dengan muka seseorang. Kali ini seorang lelaki tua.

   "Dimanakah aku ini? Siapakah mereka?"

   Bertanyalah Wijaya kepada dirinya. Kemudian ia menumpahkan pertanyaan itu kepada lelaki tua "paman siapa? "

   Tetapi lelaki tua itu juga diam dan tetap pejamkan mata. Dan kali ini hidung Wijaya terbaur bau yang busuk, bau seperti mayat.

   "Apakah mereka orang ma ? "

   Keheranan Wijaya memuncak dan merangsang tangannya untuk menghimpaskan himpitan kedua sosok tubuh di sebelah kanan kirinya.

   Kemudian ia menyentakkan diri untuk bangun, duk ...

   kepalanya terantuk benda keras yang menyerupai atap.

   Karena tempat gelap ia tak mengetahui bahwa diatas, terpisah hanya beberapa kilan, terdapat suatu perintang yang berbentuk benda keras.

   Bukan karena sakit yang dideritanya karena kepala membentur benda keras itu melainkan karena rasa kejut yang tak terhinggalah yang melontarkan dirinya jatuh rebah kembali.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Saat itu terasa pula guncangan yang keras sehingga tubuhnya ikut tersentak-sentak bagai dikocok.

   Kedua lelaki yang dur di sebelah kanan dan kirinya tadipun ikut tergentak dan menumpang tindih tubuhnya "Uh, .."

   Serentak berdiri bulu kuduk Wijaya ke ka merasa tubuh kedua lelaki itu dingin dan kaku. Cepat ia meronta dan menyiak mereka.

   "Tempat apakah ini?"

   Makin keras keinginan tahunya akan keadaan diri dan tempat ia berada.

   "Setan engkau, Bubak!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang memaki.

   Wijaya terkejut.

   Jelas itu suara manusia.

   Dan diperha kan pula bahwa suara itu berasal dari sebelah belakang.

   Bahkan saat itu ia merasa gerak yang membawa dirinya itu berhenti.

   Terdengar suara orang mendesuh dan benda berat yang bergerodakan.

   Kembali Wijaya rasakan tubuhnya seperti dibanting.

   "Kenapa tanpa bilang engkau lepaskan saja pikulanmu ?"

   Terdengar suara seseorang menegur keras.

   "Keparat "

   Seru seorang dari belakang tadi.

   "mengapa engkau hendak mencelakai aku ?"

   "Mencelakai ?"

   "Sudah tahu tanah berlubang, mengapa engkau tak memberi tahu sehingga aku terperosok,"

   Seru orang dari belakang tadi. Diam sebentar. Kemudian orang di sebelah muka berseru lagi.

   "Siapa suruh engkau tak melihat jalan ?"

   "Babi "

   Orang yang di belakang itu makin marah.

   "engkau berani menyalahkan aku?"

   "Habis siapa yang menjerumuskan kakimu ke dalam liang kalau bukan engkau sendiri?"

   Sahut orang yang di muka.

   "Engkau, jahanam!"

   Teriak orang di sebelah belakang "jika engkau mau memberitahu, tentulah kakiku tak sampai terkilir begini"

   "Sukra"

   Seru orang itu "jangan seenakmu sendiri saja menghambur makian. Apa pangkatmu berani memperlakukan aku seperti seorang hamba sahayamu?"

   "Bubak, sejak lama kuperha kan engkau memang mendendam kepadaku. Sebenarnya apabila Krisak tidak sakit, aku tak mau menerima bantuanmu."

   "Siapa sudi membantumu ?"

   Sahut orang di sebelah muka.

   "ini adalah perintah ki bekel. Andai tidak, akupun tak sudi bersama engkau."

   "Hm, dengan begitu jelas sudah,"

   Kata orang di belakang yang disebut Sukra itu "bahwa engkau memang sengaja hendak mencelakai aku."

   "Sebenarnya aku sendiri juga tak tahu kalau di belakang tadi terdapat lubang karena saat ini cuaca malam begini gelap. Tetapi percuma saja aku memberi alasan, karena engkau tentu tak percaya,"

   Kata Bubak.

   "maka bagaimana kehendakmu sekarang, aku siap melayani!"

   Sebenarnya Sukra hanya ingin menumpahkan kemarahannya. Andai Bubak diam, mungkin diapun takkan menarik urusan itu lebih panjang lagi. Tetapi demi mendengar kata2 Bubak yang bernada menantang, seketika meluaplah kemarahan Sukra.

   "Hm, sekarang jelaslah sudah isi ha mu, Bubak. Baik, mumpung kita berada di tengah perjalanan yang sunyi, marilah kita lampiaskan segala uneg2 yang terkandung dalam hati kita."

   "Baik, Sukra "

   Sambut Bubak.

   Wijaya terkejut mendengar percakapan itu.

   Jelas itu suatu tantangan perkelahian.

   Ia menduga-duga siapakah kedua orang itu.

   Mereka tentulah kawan tetapi mengapa tiba2 berkelahi.

   Yang satu menuduh kawannya memang sengaja membiarkan kawannya terperosok dalam lubang.

   "Jika demikian mereka itu tentu sedang berjalan di sepanjang jalan. Dan jika demikian, mereka tentu membawa aku dan kedua lelaki disampingku ini. Hm, menilik tempat yang gelap dengan keping benda yang keras, mungkin aku berada dialam sebuah tandu tertutup "

   Wijaya mereka-reka dugaan. Kemudian ia teringat lebih lanjut bahwa, dari percakapan tadi, kedua orang itu saling mengungkat soal dendam. Dengan demikian dapatlah diduga bahwa mereka tentulah sekelompok kawan yang bekerja dalam lapangan yang sama.

   "Tetapi siapakah mereka itu ? "

   Akhirnya tiba Wijaya pada suatu titik untuk menarik kesimpulan. Tiba2 pikirannya direnggut oleh suara getaran tanah dari tubuh yang berloncatan, disusul dengan bunyi gedebak-gedebuk dari tinju yang mendarat ditubuh orang.

   "Mampus engkau Bubak Picik "

   Terdengar suara Sukra menghambur kemarahan. Rupanya dia berhasil menghunjamkan pukulan ketubuh Bubak. Tetapi apakah bunyi berdepak yang sekeras itu ? Bukankah itu bunyi sebuah tendangan yang tepat mengenai sasarannya? "Uh ...."

   Terdengar sebuah suara mendesuh menahan kesakitan dan kemudian kesiur tubuh yang loncat menerjang.

   Ternyata perkelahian itu telah mencapai titik yang gawat.

   Sukra berhasil mendaratkan tinjunya ke dada Bubak tetapi Bubak sempat melayangkan kakinya ke perut lawan.

   Karena tak menduga Bubak masih mampu melakukan serangan balasan itu, apalagi jarak amat rapat, Sukra termakan tendangan dan mengaduh, terseok-seok mundur sambil mendekap perut.

   Rupanya Bubak tak memberi kesempatan lagi.

   Ia loncat menerjang sehingga Sukra terjerembab.

   Bagai harimau kelaparan, Bubak menerkam lawan dan mencekik lehernya.

   "Uh ....ah ....

   "

   Sukra melupakan rasa Sakit pada perutnya.

   Ia berusaha untuk mengorak tangan Sukra yang menjepit lehernya.

   Namun karena tenaganya lemas akibat tendangan tadi, Sukra tak mampu menyiak tangan Bubak.

   Bahkan tangan Bubak yang mencekiknya sekeras jepitan besi itu makin menyesakkan pernapasan dan makin melenyapkan daya kekuatan-annya.

   Sukra mulai lemas dan dan makin lemah.

   Pelahan-Iahan ia terkulai.

   Hanya sepasang matanya yang masih dapat memandang Bubak dengan pandang penuh dendam kebencian.

   Wijaya terkejut.

   Ia memperhatikan bahwa perkelahian itu sudah berhenti tetapi sebagai gantinya terdengar suara napas yang berat dan mulut yang tersekat-sekat.

   Ia terkejut.

   Jelas bahwa perkelahian itu sedang mencapai k yang berbahaya.

   Salah seorang kemungkinan besar tentu Bubak, berhasil menerkam lawan dan mencekiknya.

   "Berbahaya,"

   Pikirnya.

   Walaupun ia sendiri belum tahu keadaan dirinya, tetapi rasa sebagai seorang ksatrya yang wajib memberi pertolongan, bangkit serempak.

   Pertolongan, bukan harus membantu salah satu fihak karena ia belum jelas siapa mereka dan bagaimana peris wa yang terjadi diantara mereka.

   Melainkan ia harus mencegah suatu pembunuhan.

   Brakkk ....

   Tiba2 keping papan yang menutup sebuah pe terlempar ke udara, melayang jatuh beberapa tombak, menimbulkan deburan debu dan guguran daun ke ka keping papan itu menghantam tanah yang bertumbuh semak.

   Kemudian Wijayapun melen ng keluar.

   Selekas berdiri tegak segera ia menyaksikan dua orang lelaki tengah bergumul.

   Yang seorang tertelentang di tanah sedang yang seorang menindih dan tengah mencekik leher lawan.

   Bubak terkejut ke ka mendengar suara menggerodak keras.

   Ke ka ia berpaling ba2 sesosok tubuh sudah berdiri di belakangnya dan sebelum sempat mengetahui siapa orang itu, bahunyapun sudah dicengkeram dan disentakkan ke belakang "Uh ...

   "

   Bubak mendesuh kaget karena tak kuasa mempertahankan tubuhnya yang terlempar ke belakang dan jatuh terguling-guling. Cepat ia melenting bangun "Keparat, siapa engkau!"

   Wijaya tak sempat menolong orang yang masih rebah di tanah, ia berputar tubuh menghadapi Bubak.

   Dipandangnya orang itu lekat2.

   Dalam kegelapan malam ia masih dapat melihat bahwa orang yang disebut dengan nama Bubak itu mengenakan pakaian seorang prajurit.

   "Siapa engkau! "

   Bentak Bubak pula dengan suara makin keras, bahkan maju selangkah menghampiri.

   "Aku orang dari dalam peti itu,"

   Seru Wijaya "bukankah engkau yang membawa peti itu ?"

   "Engkau...? "

   Bubak terbelalak agak gemetar suaranya.

   "Bukankah engkau yang membawa peti itu? "

   Kali ini Wijaya yang mengulang tanya.

   "Engkau ... sudah mati .... mengapa hidup lagi ?"

   Kini Wijaya mempunyai pegangan kuat.

   Bahwa memang Bubak dan kawannya tadi yang membawa pe itu.

   Ia marah terhadap perbuatan orang itu.

   Namun pada lain kilas, ia menyadari bahwa kemarahan hanya menimbulkan peris wa yang tak diinginkan.

   Yang pen ng ia ingin mengetahui apa sebab kedua prajurit itu memasukkan kedalam pe atau tandu yang tertutup.

   Apakah maksud mereka dan hendak dibawa kemanakah sebenarnya ia nanti.

   "Benar,"

   Sahutnya dengan nada agak tenang "aku memang yang berada dalam pe tandu itu. Aku belum mati"

   "O "

   Desuh Bubak.

   "Siapa engkau ini ? "

   Tanya Wijaya.

   "Aku prajurit Bubak dari Singasari"

   "Dari Singasari ? "

   Wijaya terkesiap "mengapa engkau memasukkan aku kedalam peti tandu itu ?"

   "Kami mendapat perintah untuk mencari mayat"

   "Hah ? "

   Wijaya makin terbeliak "mencari mayat? Siapa yang memberi perintah begitu?"

   "Orang atasan kami, demang Srubung"

   "Mengapa kalian disuruh mencari mayat ?"

   "Titah itu dari istana"

   "Dari istana Singasari?"

   Wijaya makin terkejut. Sesaat kemudian ia tenang kembali.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"ki prajurit, jawablah yang benar. Jangan bicara tak keruan"

   "Siapa bicara tak keruan "

   Sahut Bubak "siapa sudi mencari mayat kalau tak karena terpaksa melakukan perintah"

   "Untuk apa ? "

   Wijaya memperha kan bahwa sikap dan kata2 Bubak itu memang sungguh- sungguh tampaknya.

   "Aku tak tahu. Perintah itu hanya untuk dijalankan bukan untuk diselidiki keterangannya"

   "Hm "

   Desuh Wijaya. Ia mendapat kesan bahwa Bubak itu seorang prajurit yang kasar "mengapa engkau angkut diriku juga? Apakah aku ini sudah mati?"

   "Ketika kami meneduh dari hujan di candi Kagenengan, kami melihat tubuhmu terkapar di lantai candi. Kami kira engkau sudah mati karena berulang kali kami bangunkan engkau tetap diam saja. Maka kami angkut dan masukkan kedalam peti"

   "Dan siapa kedua orang yang berada-dalam peti. dengan aku itu ? "

   Seru Wijaya pula.

   "Mereka orang mati yang kami ambil dari keluarganya"

   "Orang ma ? "

   Teriak Wijaya terkejut sekali. Perasaan ngeri dan muak segera menguak ha nya "jadi selama beberapa jam ini engkau campurkan diriku dengan majat?"

   "Apakah harus kuberimu tempat lain apabila kukira engkau inipun juga sebuah mayat?"

   Balas Bubak dengan nada mengejek. Kini rasa kejut dan seram bahwa orang yang dikira sudah mati tetapi dapat hidup lagi, mulai hilang. Karena jelas yang dihadapinya itu memang seorang manusia yang masih hidup.

   "Hm"

   "Jangan banyak cakap,"

   Bentak Bubak "kembalilah lagi kedalam peti itu"

   "Hah ? Apa katamu? "

   Wijaya terbelalak.

   "Engkau sudah kuanggap mati"

   "Ki sanak, jangan engkau kegila-gilaan begitu,"

   Kata W jaya. Walaupun nadanya tenang tetapi jelas ketenangan yang berasal dari tekanan kemarahan sehingga nadanya menggelombangkan alun getaran.

   "Siapa yang kegila-gilaan?"

   "Engkau! Masakan aku masih hidup hendak engkau suruh masuk ke dalam pe dan dur bersama mayat?"

   "Telah kukatakan bahwa engkau sudah kuanggap mati"

   "Engkau gila! Aku manusia hidup"

   "Itu anggapanmu, mungkin juga benar. Buk nya engkau dapat bicara dan berani membantah perintahku. Tetapi bagiku, engkau sudah ma maka engkau harus masuk ke dalam pe itu lagi atau terpaksa kumasukkan"

   Saat itu Wijaya tak kuasa lagi menahan kemarahannya.. Berhadapan dengan seorang macam Bubak rasanya sukar untuk bicara dengan damai.

   "Jika aku menolak?"serunya.

   "Engkau memang berhak menolak tetapi engkau tak mampu mempertahankan penolakanmu itu"

   "Maksudmu? " .

   "Akan kujidikan engkau sebuah mayat lalu kumasukkan lagi ke dalam peti itu"

   "Engkau hendak membunuh aku?"

   "Tidak "

   Sahut Bubak "karena telah kukatakan engkau sudah kuanggap mati"

   "Gila"

   Teriak Wijaya "engkau seorang prajurit kerajaan Singasari. Seharusnya engkau wajib melindungi rakyat. Bukan seperti ulahmu yang begitu gila. Masakan orang yang masih hidup engkau anggap sudah mati dan harus menjadi mayat"

   "Jangan banyak mulut!"

   Bentak Bubak.

   "engkau mau masuk ke dalam peti atau harus kupaksa?"

   Wijaya menyurut setengah langkah. Jelas sudah baginya bahwa prajurit itu tak dapat diajak bicara dengan bahasa mulut "apakah engkau merasa yakin pasti dapat memayatkan diriku?"

   "Sombong!"

   Teriak Bubak terus loncat menghantam.

   Memang Bubak seorang prajurit yang nggi besar, gagah perkasa.

   Dengan memelihara sepasang kumis yang lebat macam sarang burung pipit, dilengkapi pula dada bidang dan sepasang lengan yang berhias urat2 yang melingkar-lingkar bagai akar pohon brahmastana, dia memang amat sembada sekali.

   Sejak bertapa menyatukan cipta semedhi di candi-makam Kagenengan, sudah beberapa hari Wijaya hampir tak makan dan minum.

   Itulah sebabnya mengapa ke ka ia pingsan, prajurit itu mengira kalau sudah ma .

   Dalam menghadapi kebuasan seorang prajurit nggi besar seper Bubak, seharusnya ia merasa gentar.

   Karena kurang makan dan minum, tenaganya lemas, bagaimana mungkin dia mampu menghadapi Bubak? Namun ia selalu ingat akan pesan gurunya dikala menurunkan ilmu kanuragan dan jaya kawijayan.

   "Angger Nararya,"

   Kata resi Sinamaya "semua ilmu kanuragan dan jaya kawijayan yang kuberikan kepadamu ini, hanyalah suatu alat pelengkap, terutama adalah untuk membela diri.

   Dan kedua, apabila perlu, harus untuk menolong mereka yang terancam oleh orang jahat dan lalim.

   Dapat atau dak engkau melaksanakan segala tata ilmu kanuragan tergantung pada dirimu sendiri.

   Yang pen ng, engkau harus mengemasi dirimu dengan ketenangan dan ketabahan.

   Yang kumaksud dengan ketenangan yalah, janganlah engkau lekas gugup karena terpengaruh dengan gerak serangan lawan.

   Dan ketabahan itu bermaksud, jangan engkau gentar atau takut menghadapi lawanmu, tak peduli siapapun dia.

   Adakah dia seorang yang nggi besar gagah perkasa, ataukah dia membawa senjata atau pusaka ampuh, jangan engkau hiraukan.

   Anggaplah engkau berhadapan dengan seorang lawan yang pasti dapat engkau kalahkan"

   Wijaya masih dan selalu ingat akan pesan ajaran gurunya itu.

   Maka dalam menghadapi seorang lawan macam prajurit Bubak, diapun tak gentar.

   Kelunglaian tenaga karena beberapa hari tak makan itu, sirna dilindas oleh tekadnya yang menyala-nyala, bahwa betapapun, ia harus menundukkan Bubak yang liar itu.

   Secepat nju Bubak melayang, secepat itu pula Wijaya menghindar ke samping.

   Ia terkejut karena merasa gerak tubuhnya amat ringan sekali.

   Dan apa yang diperha kan beberapa saat tadi, kini baru dia dapat merasakan,.

   bahwa saat itu daya penglihatan dan pendengarannya amat terang sekali.

   Dalam cuaca malam yang gelap, ia dapat memperha kan betapa terkejut pandang mata dan muka Bubak ketika tinjunya memukul tempat kosong.

   Cepat prajurit nggi besar itu berputar langkah hendak menyerang lagi.

   Tetapi Wijaya sudah mendahului loncat kebelakang dan tiba-tiba ia menepis tengkuk Bubak, plak ....

   "Uh ....

   "

   Bubak terhuyung-huyung ke ka tengkuknya terasa seper dipukul palu.

   Dan sebelum ia sempat berdiri tegak, punggungnyapun kembali menerima sebuah pukulan yang membuatnya terseok- seok seperti kura2 mau bertelur.

   Wijaya hendak memburu untuk memberi hajaran kepada prajurit yang tak kenal tata itu tetapi ba2 dari arah belakang terdengar suara orang berseru "

   Ki sanak, jangan dikejar. Biarkan dia lari membawa kesakitan ... ."

   Wijaya hen kan langkah dan berpaling. Ternyata yang bicara itu adalah kawan Bubak yang dicekiknya tadi. Orang itu sudah berdiri, menghampiri Wijaya.

   "O, engkau sudah sadar? "

   Wijaya mendahului bertanya. Orang itu mengangguk "Terima kasih. Berkat pertolongan tuan, aku tak sampai mati"

   Juga orang itu mengenakan busana sebagai seorang prajurit. Hanya bedanya, dia tak memiliki wajah yang bengis dan perawakan yang nggi besar gagah perkasa seper Bubak. Tampaknya dia lebih ramah.

   "Ah, jangan engkau ingat soal sekecil itu. Sudah wajib orang hidup tolong menolong "

   Kata Wijaya.

   "Terima kasih "

   Kata orang itu "tetapi memang demikian kenyataannya. Apabila tuan tak datang... tepat pada saatnya, tentulah aku sudah menjadi mayat"

   "Siapakah engkau, ki sanak,"

   Wijaya meminta keterangan.

   "Aku kawan Bubak, juga prajurit Singasari"

   "O "

   Desuh Wijaya "engkau juga dititahkan untuk mencari mayat?"

   "Ah, tuan baru habis berkelahi, tentu lelah. Marilah kita duduk dibawah pohon itu sambil bercakap-cakap dengan tenang,"

   Kata prajurit itu. Waktu sedang dirangsang oleh kemarahan dan berkelahi memang Wijaya tak merasa apa-apa. Tetapi setelah perkelahian itu usai dan prajurit yang seorang itu mengingatkan akan keadaan dirinya, tiba2 ia merasa lelah dan lunglai.

   "Baiklah "

   Sahut Wijaya. Keduanya segera duduk dibawah sebatang pohon. Tiba- ba prajurit itu mengambil kampil atau kantong air, kemudian dihaturkan kepada Wijaya "Raden, silahkan minum. Engkau tentu lelah"

   Setelah berhadapan dekat, orang itu makin jelas akan wajah Wijaya.

   Dalam cuaca malam gelap, wajah pemuda itu tampak bercahaya terang.

   Walaupun tampaknya pucat tetapi sinar wajahnya memancarkan keturunan priagung.

   Wijaya mengucap terima kasih, menyambuti kampil air lalu meneguknya.

   Beberapa hari tak menyuap sebutir nasi dan tak.

   meminum seteguk air, saat itu Wijaya rasakan suatu kenikmatan yang luar biasa ketika mulutnya terbasah air.

   Walaupun pada hari2 biasa, ia minum air tetapi tanpa mengenyam rasa air yang diminumnya itu.

   Namun saat itu baru ia terkejut karena sesuatu yang didapatinya.

   Yang diminumnya itu jelas air biasa.

   Tetapi dikala membasahi kerongkongan dan mengalir kedalam perut, ia benar2 merasa nikmat sekali.

   Belum pernah ia merasakan suatu minuman yang sedemikian nikmat seperti saat itu.

   Masih kalah kiranya rasa segar dan nikmat dari segala minuman yang pernah diteguknya selama ini, baik dikediaman ramanya maupun di tempat pertapaan resi Sinamaya.

   Air merupakan sumber kehidupan.

   Seke ka itu ia teringat akan sari pelajaran yang pernah diberikan gurunya mengenai air yang disebutnya sebagai Tirta Amerta, air kehidupan.

   Memang karena setiap hari, tiap jam bahkan tiap detik, orang sudah terbiasa dengan minum, maka tiadalah orang tahu akan kenikmatan air yang diminumnya itu.

   Bahkan mereka merasa air yang diminum tiap hari itu hambar rasanya.

   Orangpun segera beralih untuk mencari-cari jenis minuman lain yang lebih enak, antara lain, minuman daun jeruk kingkit, nira dan kemudian tuak dari beberapa bahan tanaman.

   "Manusia memang tak kenal puas,"

   Pikir Wijaya "minum air masih kurang dan mencari lain minuman, yang lebih nikmat, lebih keras.

   Tetapi sesungguhnya, ada minuman yang lebih berkhasiat dan menghidupkan daripada air.

   Air adalah sari bumi yang telah bersenyawa dengan hawa.

   Sari dari segala kehidupan"

   Wijaya benar2 dapat menikma dan merasakan daya khasiat gaib dari air. Setelah minum beberapa teguk tenaga dan semangatnyapun pulih segar. Cahaya mukanya yang pucat, kini tampak bersinar pula.

   "Terima kasih, ki prajurit,"

   Katanya seraya menyerahkan kampil air itu kepada Sukra. Setelah beberapa jenak kemudian, barulah mereka memulai percakapan. Atas pertanyaan Wijaya, Sukra memperkenalkan diri dan namanya.

   "Kami memang dititahkan demang Srubung untuk mencari mayat "

   Kata Sukra.

   "Untuk apa?"tanya Wijaya.

   "Menurut kabar yang kami dengar"

   Kata Sukra "baginda Kertanagara hendak mempersiapkan diri menerima pentahbisan sebagai Jina dari agama Bairawa. Dalam upacara itu, baginda akan duduk di atas sebuah lapangan mayat"

   "Oh "

   Desuh Wijaya terkejut "mengapa pentahbisan itu harus dilakukan di atas lapangan mayat?"

   "Hamba sendiri juga kurang jelas, raden"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Sukra "hanya menurut cerita orang, baginda Kertanagara itu menganut dua aliran., Buddha dan Syiwa.

   Syiwa yang dimaksud disini adalah dalam bentuk Hari-hara yang setengah Syiwa dan setengah Wisnu.

   Atau boleh pula dewa ganda yang mempunyai sifat Wisnu dan Syiwa.

   Syiwa-bhairawa namanya"

   "O"

   "Baginda Kertanagara hendak melaksanakan upacara pentahbisan sebagai Jina. Oleh karena yang dianut baginda Kertanagara itu aliran Syiwa-bhairawa yani Bhairawi dewa yang khas daripala lapangan mayat daa khusus dengan tabiat Aksobhya, maka upacara pentahbisan itu harus dilakukan diatas lapangan mayat"

   "Dimanakah upacara pentahbisan itu akan dilangsungkan? "

   Tanya Wijaya.

   "Di kuburan Wurare"

   "Bila?"

   "Pada thi masa awal kresnapaksa, bulan Phalguna, dikala bintang Kar ka memancar di barat, pada hari Buddha cemeng"

   "O, kalau tak salah hanya tinggal setengah warsa lagi dari sekarang "

   Kata Wijaya.

   "Benar "

   Sukra mengiakan.

   "Dan karena itu maka engkau mendapat perintah untuk mencari mayat? "

   Tanya Wijaya pula.

   "Demikianlah, raden"

   Jawab Sukra "kami diharuskan mendapatkan mayat2 itu, baik yang sudah lama maupun yang baru meninggal.

   Jika tak berhasil maka kami akan menerima pidana berat.

   Tetapi kalau dapat membawa mayat dalam jumlah besar, kami akan mendapat hadiah kenaikan pangkat dan uang"

   "O, itukah sebabnya maka kawanmu tadi ngotot hendak menjadikan diriku sebuah mayat?"

   Sukra mengiakan.

   "Biasanya aku pergi dengan seorang kawan lain. Karena kebetulan kawanku itu sakit maka Bubak yang menggan kan. Dia sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan mayat se-banyak2nya. Bahkan dia mengatakan kepadaku, apabila tiada mayat yang dapat kita peroleh, dia akan membuat mayat"

   "O, membuat mayat? Mau membunuh orang?"

   Wijaya terkejut.

   "Ya"

   Kata Sukra "karena dia takut pidana yang akan diterimanya apabila tak berhasil memperoleh sebuah mayatpun juga"

   "Hm, tentu dak begitu yang dikehendaki baginda"

   Gumam Wijaya.

   Namun sekilas ia teringat bahwa untuk mengumpulkan ber-puluh2 mayat, tentulah bukan suatu pekerjaan yaag mudah.

   Bukan mustahil bahwa prajurit, pergalasan dan mereka2 yang di tugaskan untuk mencari mayat itu terpaksa harus menyimpang dari tujuan perintah itu.

   Demi membebaskan diri dari pidana, mungkin mereka dapat melakukan pembunuhan.

   Saat itu Wijaya mendapat kesan baru bahwa se ap perintah dari atasan, mempunyai kemungkinan untuk berobah sifat dan tujuannya apabila sampai pada lapisan bawahan.

   "Kakang Sukra"

   Tanya Wijaya pula "dari manakah engkau memperoleh kedua mayat itu?"

   "Yang pertama memang secara terang2an kami minta kepada keluarganya dengan janji bahwa sehabis upacara itu, mayatnya akan kami kubur dengan sebaik2nya sebagai jasanya kepada raja. Yang kedua, memang terpaksa dicuri oleh Bubak dari liang kubur"

   "Mengapa harus sekarang sudah mengumpulkan mayat? Tidakah setengah warsa kemudian mayal2 itu akan sudah membujuk?"

   "Benar "

   Kata Sukra "tetapi kami mempunyai ramuan untuk mengawetkan mayat itu sehingga dapat tahan sampai sewarsa dua warsa"

   Wijiya mengangguk, kemudian bertanya "Lalu bagaimana maksudmu sekarang? Adakah engkau juga seperti pendirian kawanmu tadi?"

   "Maksud raden?"

   "Mengenai diriku, apakah engkau tetap hendak memayatkan diriku?"

   "Ah, dak raden,"

   Kata Sukra "sesungguhnya kami hanya diharuskan mendapat sebuah mayat.

   Boleh lebih tak boleh kurang.

   Dengan kedua mayat itu, kiranya sudah cukup untuk jatah wajib kami berdua.

   Karena bernafsu untuk mendapat hadiah maka Bubak memperlakukan raden begitu tak layak"

   "Hm, terima kasih kakang Sukra"

   Kata Wijaya "sebenarnya aku tak ingin mengganggu dan merugikan kepen nganmu. Tetapi apa boleh buat, karena masih hidup sudah tentu aku harus menolak akan dijadikan mayat. Lalu bagaimana cara kakang hendak mengangkut peti itu ?"

   "Yah,"

   Desah Sukra "terpaksa akan kupanggul sendiri"

   "Akan kubantumu, kakang Sukra"

   "Raden?"

   "Rasanya aku tertarik hendak menyaksikan upacara pentahbisan baginda. Peris wa itu tentu merupakan peristiwa yang amat penting dan besar dalam kerajaan Singasari "

   "Benar, raden "

   Kata Sukra "memang dengan pentasbihan sebagai Jina itu, derajat baginda akan terangkat naik. Pamor kerajaan Singasari pas akan lebih gemilang karena diperintah oleh sang Harihara atau Syiwa Buddha"

   "Apakah hal itu mempunyai sangkut paut dengan kerajaan? "

   Tanya Wijaya.

   "Dalam suatu kesempatan, pernah kudengar ki demang Srubung bercakap-cakap dengan seorang tetamu yani tumenggung atasannya, mempersoalkan langkah baginda untuk melakukan upacara pentahbisan itu"

   "O "

   Wijaya mulai mengemas perhatian.

   "Antara lain ki tumenggung mengatakan bahwa keputusan baginda untuk menyelenggarakan upacara pentahbisan sebagai Jina itu akan membawa pengaruh besar, bukan saja didalam kerajaan Singasari, Daha, pun akan meluas sampai ke Bali dan kerajaan Malayu. Hal itu akan menapaskan suatu kewibawaan pada pasukan Singasari yang dikirim baginda ke Malayu"

   Wijaya terkejut.

   Kiranya sedemikian pen ng dan luas pengaruh daripada pentahbisan baginda itu terhadap pengokohan kedudukannya sebagai raja maupun cita-citanya untuk menguasai tanah Malayu dan seluruh Nuswantara.

   Diam2 makin tertarik ha Wijaya untuk menyaksikan upacara pentahbisan yang jarang terjadi di kerajaan Singasari.

   Tiba2 ia teringat sesuatu, tanyanya "Ki Sukra, kenalkah engkau akan seorang prajurit bhayangkara keraton Singasari yang bernama Katang Lumbang?"

   "Katang Lumbang ?"

   Ulang Sukra seraya kerutkan dahi "belum, aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin dia tergabung dari pasukan lain. Aku berada dibawah perintah demang Srubung. Mengapa raden tanyakan orang itu?"

   Adalah teringat akan peris wa Katang Lumbang dan Bantaran yang mencari keris empu Gandring maka Wijaya bertanya soal bhayangkara Katang Lumbang.

   Apabila ia mengetahuinya, dapatlah dia merancang rencana bagaimana harus ber ndak apabila kelak dalam upacara pentahbisan baginda itu terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

   Oleh karena Sukra tak tahu maka Wijaya pun menghentikan pembicaraan.

   Tak mau ia berterus terang menceritakan tentang peristiwa Katang Lumbang hendak membunuh baginda.

   Karena apabila hal itu sampai tersiar, tentulah kemungkinan Katang Lumbang akan mendengar.

   Dan karena tahu rencananya diketahui, dia tentu akan membatalkan.

   Memang suatu hal yang menggembirakan apabila Katang Lambang membatalkan rencananya itu.

   Tetapi Wijaya dapat menarik kesimpulan dari pembicaraan mereka, bahwa Katang Lumbang tetap akan melakukan pembunuhan kepada baginda.

   Pembatalan rencana pembunuhan di pekuburan Wurare nan hanyalah bersifat penundaan sementara waktu.

   Bukan berar Katang Lumbang akan benar2 menghapus rencananya yang jahat itu.

   Tentulah prajurit bhayangkara putera Tohjaya itu akan tetap mencari kesempatan untuk melampiaskan dendam kesumatnya.

   "Berbahaya"

   Kata Wijaya dalam hati "lebih baik rencana itu dilaksanakannya ditempat upacara pentahbisan sehingga dia lekas tertangkap.

   Demikian rencana yang diangan-angankan Wijaya.

   Tiba2 ia mempunyai pikiran lain "ah, baiklah aku ikut prajurit Sukra ini ke pura kerajaan"

   "Raden"

   Ba2 Sukra menegur ke ka melihat Wijaya diam merenung "mengapa raden hendak membantu aku mengangkut pe itu ? Jika raden mempunyai kepen ngan lain, harap raden jangan sibuk membantu aku. Aku dapat mencari orang desa untuk membantu memikul peti itu"

   "Kakang Sukra "

   Kata Wijaya "sesungguhnya aku berasal dari laladan Kawi, tujuanku hendak berkelana, melihat-lihat pura kerajaan Singasari yang termasyhur agar dapatlah rasa cinta tanah air dan kerajaan, makin berkembang dalam hati sanubariku"

   "O "

   Desuh Sukra "maksud raden hendak melihat-lihat pura Singasari ?"

   "Benar kakang "

   Sahut Wijaya "itulah sebabnya aku bersedia membantumu untuk membawa pe itu"

   "Raden"

   Tiba2 Sukra berkata "apakah raden bermaksud hendak masuk menjadi prajurit?"

   "Bagaimana maksud kakang Sukra?"

   "Saat ini Singasari memang benar-benar membutuhkan prajurit karena dengan diberangkatkannya sejumlah besar pasukan ke Malayu, pura Singasaripun seperti kosong"

   "O "

   Desuh Wijaya "

   Dakkah baginda menyadari bahwa pengiriman pasukan ke Malayu itu akan melemahkan kekuatan Singasari?"

   "Itulah salah satu sebab mengapa gus pa h Raganata digeser sebagai adhyaksa di Tumapel karena gus pa h tak menyetujui rencana itu. Kemudian gus pa h Aragani yang mendukung rencana itu telah diangkat menjadi pa h-dalam, sedang gus pa h Kebo Arema menjadi pa h- luar"

   "Lalu bagaimana tindakan baginda untuk melindungi pura kerajaan?"

   Prajurit sekalipun Sukra itu, tetapi dia juga ikut memikirkan kepen ngan negara. Ia menghela napas "Baginda amat yakin akan kekuasaan dan kewibawaannya sehingga tak merisaukan soal dalam pura kerajaan"

   "Tidakkah kakang pernah mendengar dalam-percakapan diantara para demang dan tumenggung serta lain2 narapraja mengenai hubungan antara Singasari dengan Daha?"

   "Secara langsung dak "

   Jawab Sukra "tetapi hanya secara mereka-reka kesan, kira2 aku dapat merasakan bahwa suasana di kalangan narapraja pura Singasari, memang dilipu oleh rasa tak tenang"

   "Mengapa ? "

   Wijaya terkejut.

   "Pertama, tentang keadaan pertahanan pura yang terasa amat kurang. Dan kedua, tentang pengaruh patih Aragani yang makin menonjol, makin mendapat kepercayaan baginda"

   "Tetapi urusan tentara tentu diurus oleh. seorang mentri hulubalang atau mentri angabaya. Siapakah yang berkuasa dalam pasukan Singasari ?"

   "Seharusnya gusti patih Kebo Arema"

   "Lalu apakah ada yang tidak seharusnya?"

   "Ada "

   Jawab Sukra "banyak hal2 yang ganjil telah terjadi di pemerintahan. Pengangkatan yang dak tepat orang dengan bidangnya, kecakapan dengan tugasnya. Yang pen ng, siapa yang pandai mengambil hati kepada atasan, dialah yang akan memperoleh kedudukan"

   Wijaya terkesiap.

   Ia tak menyangka bahwa seorang prajurit seper Sukra dapat memberi ulasan yang sedemikian tajam terhadap pemerintahan.

   Dengan begitu, diam2 ia mencatat dalam ha , bahwa pemerintahan itu suatu hal yang peka.

   Tidak mudah untuk mengatur secara bijaksana.

   Karena pemerintahan adalah alat pengatur dari sebuah negara, sebuah kerajaan.

   Dimana bukan hanya baginda yang memiliki kepen ngan besar, pun rakyat sebagai in dari suatu perumahan negara atau kerajaan, merupakan suatu unsur utama yang diurus dan ikut mengurus, yang diatur dan ikut mengatur, yang ditentukan dan ikut serta menentukan.

   Diam2 pula Wijaya memperoleh bayang2 kesan bahwa kerajaan Singasari dewasa itu sedang diselubungi kemelut.

   Kemelut wibawa, kemelut pengaruh, kemelut kedudukan.

   Kemelut Wibawa, mbul dari ndakan baginda yang merasa bahwa kerajaan Singasari sebuah kerajaan besar dan kuat.

   Patut menguasai seluruh nuswantara.

   Bagindapun merasa, bahwa dirinya seorang maha- diraja dalam arcapada, seorang Jina yang telah mencapai ngkat bhumityaga, lepas dari bumi, pemenang atas hal2 keduniawian.

   Kemelut pengaruh, karena dipusat pemerintahan kerajaan, mbul perebutan pengaruh antara fihak yang dipimpin pa h Aragani dengan kelompok2 penganut bekas pa h sepuh empu Raganata, demung Wiraraja dan tumenggung Wirakreti.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kemelut kedudukan, karena terjadi pergeseran-pergeseran dikalangan mentri, senopa dan narapraja sehingga terasa suatu demam ketakutan yang mencengkam di kalangan mereka.

   Akibatnya dari kemelut2 itu maka mbullah kemelut luas, yani kemelut ba n di kalangan para kawula.

   Kemelut ba n dari rakyat yang melihat, mendengar dan merasakan keadaan kerajaan Singasari.

   Prajurit Sukra termasuk salah seorang yang menderita kemelut ba n di dalam merasakan keadaan kerajaan Singasari.

   "Kakang Sukra"

   Kata Wijaya sesaat kemudian "lalu bagaimanakah ndakan kerajaan untuk menutup kelemahan2 pasukan dalam pura ?"

   "Baru2 ini kerajaan telah mengumumkan wara-wara untuk membuka sayembara, menerima prajurit dan memilih senopati"

   "Ya "

   Wijaya mengangguk karena ia sudah mendengar perihal itu "adakah langkah itu mbul dari kebijaksanaan baginda ataukah saran dari patih Aragani?"

   "Entah raden"

   Kata Sukra "tetapi menurut perasaanku sendiri, setelah berlangsung pernikahan antara puteri baginda dengan pangeran Ardaraja putera raja Daha, rasanya baginda makin tenang dan makin yakin bahwa keadaan dalam kerajaan pas tenteram dan damai.

   Tentulah ada salah seorang mentri yang mengajukan saran itu kehadapan baginda.

   Dan diantara mentri2 yang mempunyai kemungkinan untuk mengajukan saran itu, kiranya hanya ga orang, yani gus pa h Aragani, gusti patih Kebo Arema dan gusti tumenggung Bandupoyo" .

   "Tumenggung Bandupoyo? Siapakah tumenggung itu?"

   Tanya Wijaya. Akan kedua orang pa h itu dia sudah pernah mendengar. Hanya tumenggung Bandupoyo yang belum.

   "Tumenggung Bandupoyo adalah senopa pendamping dari baginda. Dia cukup berpengaruh dalam keraton"

   "Lalu siapa diantara ketiga mentri yang menanyai kemungkinan besar mengajukan saran itu?"

   "Entahlah raden "

   Jawab Sukra "tetapi hamba percaya pasti bukan gusti patih Aragani"

   "Ki demang Srubung itu termasuk bawahan siapa ?"

   "Termasuk bawahan senopa Mahesa Bungalan yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan gusti patih Kebo Arema atau Kebo Anengah" . Wijaya tak menyatakan apa2 tetapi dalam ba n ia merangkai suatu angan2. Bahwa senopa Kebo Bungalan itu tentulah bukan orang patih Aragani. Demikian percakapan itu berlangsung sampai hampir larut malam dan tak berapa lama terdengar kokok ayam hutan bersahut-sahutan.

   "Ah, hari sudah menjelang fajar"

   Kata Wijaya.

   "baiklah kita beris rahat beberapa waktu menunggu sampai terang tanah"

   Setelah cuaca terang, merekapun berangkat menuju ke pura Singasari.

   Dalam perjalanan itu Wijaya minta agar Sukra menganggapnya sebagai seorang pemuda desa dan jangan memanggilnya dengan sebutan raden.

   Ia akan memakai nama Jaya.

   Ke ka siang itu ba di sebuah desa, Sukra dan Wijaya singgah ditempat rumah seorang penduduk.

   Yang empunya rumah amat bersuka cita menerima kedatangan Wijaya.

   Sudah tentu Wijaya heran dibuatnya, ke ka ia dijamu dengan hidangan yang mewah.

   Sedemikian sibuk Srono, yang empunya rumah, menyembelih kambing, ayam dan mengundang beberapa tetangga untuk bantu menyiapkan hidangan.

   Seolah seperti orang yang punya hajat kerja.

   "Kang Srono"

   Tegur salah seorang tetangga.

   "mengapa engkau tampak begitu sibuk benar mempersiapkan hidangan ? Siapakah tetamu yang berkunjung kerumahmu ?"

   Bermula Srono tak mengaku tetapi setelah didesak ia menerangkan bahwa tetamu itu memang tepat seperti yang dilihatnya dalam mimpi.

   Beberapa hari yang lalu ia bermimpi bertemu dengan seorang kakek tua berambut putih.

   Kakek berambut putih itu mengatakan, janganlah dia bersedih hati memikirkan kelakuan anaknya yang pemalas dan tak mau disuruh mengerjakan kebun dan ladang.

   Nanti beberapa hari engkau akan kedatangan seorang tetamu seorang priagung yang kelak akan menjadi orang besar.

   Nah, sambutlah dia dengan sebaik baiknya, usahakan supaya anaknya ikut kepadanya.

   Demikian pesan orangtua berambut putih itu.

   Demikian meluap kegembiraan Srono ke ka hari itu benar2 ia menerima kedatangan dua orang tetamu.

   Yang seorang prajurit dan seorang pemuda berwajah terang.

   Menganggap bahwa pemuda Wijaya itulah tentu yang dimaksudkan orangtua dalam mimpinya, maka Srono pun mengadakan sambutan dengan meriah.

   "Ki bagus "

   Kata Srono waktu selesai menjamu dan duduk bercakap-cakap dengan Wijaya "paman mohon maaf, apabila pembicaraan paman ini tak berkenan diha ki bagus.

   Sebenarnya paman hendak minta tolong sesuatu kepada ki bagus tetapi paman kuatir ki bagus akan menolak"

   "Ah, adat hidup wajib tolong menolong. Dimana aku dapat memberi bantuan, tentu dengan segala senang hati aku akan melaksanakan permintaan paman,"

   Kata Wijaya.

   "Podang. anakku yang sudah jejaka itu malasnya bukan main. Tak mau kerja melainkan suka berjudi dan main2 sepanjang hari. Dia sudah besar dan paman kewalahan untuk mengajarnya. Apabila ki bagus dapat menolong paman hendak meni pkan Podang kepada ki bagus agar dia mau bekerja di pura Singasari. Kerja apa saja, pokoknya bekerja. Gajihpun tak menjadi soal. Yang penting biarlah anak itu dapat merobah sifatnya yang malas dan mau bekerja"

   "O, tetapi ..."

   "Ah, ki bagus,"

   Cepat Srono menukas "betapa rasa terima kasih paman apabila ki bagus mau memberi pertolongan untuk menyadarkan anak itu supaya kembali ke jalan yang benar"

   Maksud Wijaya bukanlah hendak menolak melainkan hendak menerangkan bahwa dirinya sendiri juga seorang kelana.

   Bagaimana mungkin ia akan mencarikan suatu pekerjaan yang sesuai untuk Podang.

   Namun ketika yang empunya rumah begitu bersungguh mendesak minta tolong, bangkitlah semangat Wijaya.

   "Dharma seorang ksatrya adalah menolong kepada yang benar2 membutuhkan pertolongan. Memberi air bagi orang yang haus, memberi perlindungan kepada yang lemah dan mengayu hayuning bawa,"

   Demikian gurunya, resi Sinamaya pernah menguraikan dharma dari seorang ksatrya. Dan Wijaya selalu mengingatnya.

   "Paman ini telah meminta pertolongan"

   Pikir Wijaya "dan aku wajib memberinya. Akan kuusahakan agar puteranya mendapat pekerjaan di pura ataupun dimana saja, asal dapat menjadikan anak itu baik"

   "Paman"

   Akhirnya ia berkata "baiklah, akan kubawa putera paman itu. Tetapi apakah paman dapat menyetujui andai dia masuk menjadi prajurit kerajaan?"

   "Aku gembira sekali, ki bagus,"

   Seru Srono "apabila puteraku dapat membak kan diri untuk Singasari"

   "Dimanakah dia sekarang?"

   "Ah, telah kukatakan, sehari-harian kerjanya tak lain dari bermain dan berjudi dengan kawan- kawannya. Sejak pagi ke luar rumah, sampai sekarang belum pulang"

   Wijaya hanya mengangguk.

   Namun diam2 ia mendapat suatu gambaran tentang hubungan orangtua dengan anak.

   Dalam kehidupan ini, banyak corak dan ragam keadaan rumahtangga.

   Dan setiap rumahtangga tentu mempunyai persoalan sendiri2.

   Entah tentang kehidupan, entah tentang anak dan keluarga, entah tentang hubungan dengan luar.

   Diantara persoalan2 itu, yang menarik adalah persoalan anak.

   Karena persoalan itu merupakan soal tanggung jawab orangtua maka soal itu menjadi persoalan yang banyak memakan hati dan pikiran.

   Dalam menghadapi persoalan anak, orangtua harus menghadapi dua jenis persoalan.

   Terhadap anak perempuan dan anak laki.

   Dalam kedua jenis anak itupun, para orangtua juga menghadapi dua macam soal.

   Pemikiran terhadap anak perempuan lebih disertai rasa perihatin akan masa remaja dan soal perjodohannya.

   Betapa hancur dan pedih hati seorang orangtua apabila melihat anak perempuannya yang sudah dewasa masih belum juga memperoleh jodoh.

   Apalagi kalau sampai kasip tidak mendapat jodoh.

   Pemikiran terhadap anak lelaki juga memerlukan suatu pengarahan.

   Mereka menyadari bahwa anak lelaki itu lebih besar tanggung jawabnya, lebih berat beban pikulannya.

   Kelak mereka yang akan menjadi ang rumahtangga.

   Menjelang beban dan tanggung jawab itu, hendaknya anak laki itu dipersiapkan dengan bekal-bekal ilmu kepandaian yang kelak berguna untuk kehidupannya.

   Ada sementara adat-kata yang mengatakan bahwa anak laki itu lebih mudah.

   Betapapun kelak mereka tentu dapat hidup dan berkeluarga.

   Dimana surya bersinar, disitu tentu terdapat pangan.

   Ayampun dapat mencari makan, masakan manusia kalah dengan ayam.

   Maka lebih mudah dan lebih enak mempunyai anak laki dari pada anak perempuan.

   Memang benar karena orang2 yang memiliki pandangan demikian, mempersamakan anaknya seper ayam.

   Merendahkan martabat dan derajat anak tetesan darahnya sendiri, se ngkat dengan ayam.

   Orang2 tua yang memiliki pandangan begitu, pada hakekatnya merendahkan dirinya sendiri.

   Menyamakan nilai anaknya seper bangsa ayam, sama pula menyamakan dirinya juga sejenis dengan ayam.

   Ayam manusia atau manusia ayam.

   Entah apa is lahnya yang tepat.

   Kedua, dalam ngkat pertanggungan jawab, sebenarnya dia seorang orangtua yang hendak menghindar dari tanggung jawab.

   Maka terkesanlah Wijaya akan ndakan Srono yang beresah-resah ha memikirkan keadaan puteranya si Podang.

   Srono seorang desa yang menurut ukuran hidup di desa situ, termasuk orang berada.

   Memiliki sawah, ladang dan kebun yang luas.

   Hidupnya serba kecukupan.

   Tetapi dia tetap menghendaki puteranya jangan menjadi pemalas yang kelak hanya tumbuh sebagai benalu.

   Walaupun mendapat harta peninggalan yang besar jumlahnya, tentu akan ludas juga akhirnya.

   Srono termasuk salah seorang orangtua yang berpikiran maju.

   Ia rela anaknya bekerja pada lain orang di lain tempat.

   Ia rela anaknya menjadi prajurit untuk membela negara.

   Ia menginginkah agar anaknya kelak menjadi manusia yang berguna dalam hidupnya.

   Bukan menjadi ayam yang hanya dipelihara orang, disabung dan akhirnya disembelih.

   "Ah, mengapa pikiranku berkelarutan memikirkan persoalan rumahtangga,"

   Tanya Wijaya dalam ha .

   Namun lain kilasan benaknya mengatakan bahwa rumahtangga itu merupakan sendi utama dari masyarakat dan perumahan besar atau negara.

   Dalam hal ini Wijaya makin mendapat pengertian tentang soal-soal dalam kehidupan yang lebih luas.

   Ternyata sampai petang, belum juga Podang pulang.

   Wijaya dan Sukra terpaksa menunggu.

   "Ki bagus "

   Kata Srono "kuharap ki bagus bermalam di rumah kami. Menempuh perjalanan pada malam hari, kurang layak. Lebih baik, besok pagi2 berangkat. Sekalian dapat membawa Podang"

   "Tetapi malam ini dia tentu pulang, bukan ?"

   "Ya."

   Karena keadaan itu terpaksa Wijaya dan Sukra menunda perjalanan.

   Tetapi sampai makan malam masih juga Podang belum muncul.

   Srono mulai gelisah.

   Ia menyuruh beberapa orang mencari Podang tetapi tak bertemu.

   Suasana di pedesaan amat sepi apabila malam mulai tiba.

   Kehidupan di desa, dimulai pada pagi2 bahkan pada dinihari tetapi hanya berakhir di penghujung petang.

   Selekas malam gelap, suasanapun sepi.

   Dalam suasana yang hening dikesepian malam, Wijaya yang duduk bersemedhi dalam bilik yang disediakan untuknya, sayup2 mendengar derap kuda berlari.

   Makin lama makin jelas dan makin dekat.

   Ia terkejut.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siapakah gerangan penunggang2 kuda yang menempuh perjalanan pada malam itu ? Peningkatan dari ketajaman indera yang tersatu dalam semedhinya itu, mengalami getaran hebat ke ka mendengar bahwa dari bunyi derap langkahnya, jelas yang datang itu suatu rombongan, paling dak terdiri dari empat ekor kuda.

   Dan rombongan itu serempak berhen di halaman rumah Srono.

   Sronopun mendengar juga dan bergegas melangkah keluar.

   "Podang, engkau "

   Teriak Srono.

   "Pak "

   Kata seorang pemuda yang naik ke serambi "prajurit2 dari Singasari ini karena kemalaman hendak bermalam disini. Harap bapak menyediakan hidangan untuk mereka"

   "Hih? "

   Srono terkesiap. Empat orang prajurit bertubuh kekar dan bengis, menghampiri "Kami butuh tempat bermalam dan makan. Cepat sediakan"

   Srono terkejut kemudian marah.

   Jauh bedanya keempat prajurit itu dengan Wijaya dan Sukra yang juga prajurit Singasari.

   Betapa sopan dan hormat Wijaya menghadapinya.

   Betapa berkali-kali harus didesak barulah Wijaya dan Sukra mau menerima hidangan dan mau bermalam di rumahnya.

   Tetapi keempat prajurit ini seolah hendak menunjukkan kekuasaannya untuk memaksa dan bersikap kasar.

   "Tetapi hari sudah begini malam, bagaimana kami dapat menyediakan hidangan? "

   Kata Sror o.

   "Jangan pakai alasan,"

   Seru salah seorang bertubuh agak pendek, gempal dan bercambang bauk "apakah engkau berani tak menghormati prajurit kerajaan? "Ya "

   Sambut yang seorang lagi "jika ada orang2 seper kami yang menyabung nyawa melindungi kalian dari serangan musuh, apakah engkau mampu menikma kehidupan yang begini enak?"

   "Tetapi kami benar2 bingung untuk menyediakan makanan pada malam begini "

   Bantah Srono.

   


Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long Amanat Marga -- Khu Lung Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini