Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 21


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 21



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Kuda Panglulut serentak berkata dengan cerah "Soal itu sudah hamba pikirkan, rama. Sudah tentu hamba takkan melibatkan diri rama, juga diri hamba"

   "Maksudmu orang2 yang akan melaksanakan rencana itu, orang dari luar?"

   Aragani menegas.

   "Demikianlah, rama"

   Kata Panglulut "demang Krucil mempunyai seorang pengalasan yang digdaya"

   "Siapa demang Krucil itu?"

   "Orang kepercayaan hamba, rama"

   Aragani terkesiap "Mengapa pengalasan itu tak dihaturkan Kepadaku ? Bukankah jika dia memang sakti, akupun dapat menerimanya?"

   "Orang itu agak aneh perangainya, rama,"

   Kata Kuda Panglulut "dia dak nggal bersama demang Krucil melainkan nggal bersama lurah Siung Pupuh di desa Karangpala. Dia menjadi saudara angkat dari lurah Siung Pupuh"

   "O "desuh Aragani pula "bagaimana perangainya yang engkau katakan aneh itu?"

   "Pada suatu hari ke ka demang Krucil berkunjung ke tempat kediaman lurah Siung Pupuh, ia tertarik akan seorang lelaki muda yang tengah memanggul sebatang pohon ke rumah lurah Siung Pupuh. Pohon itu pohon ja yang besarnya sepemeluk tangan orang dan panjang hampir dua tombak. Demang Krucil terheran-heran menyaksikan kekuatan orang itu. Dia mendapat keterangan dari lurah Siung Pupuh bahwa orang itu adalah saudara angkatnya yang bernama Sima. Lurah Siung Pupuh mendapat saudara angkat itu melalui perkelahian yang seru. Siung Pupuh kalah dan menyerah tetapi Sima tak mau membunuhnya melainkan hanya ingin menjadi saudara angkat dari Siung Pupuh. Sudah tentu Siung Pupuh girang sekali. Dan sejak itu dia nggal di rumah lurah Siung Pupuh"

   "Memang aneh orang itu "gumam Aragani.

   "Demang Krucil menyatakan ingin mengambil Sima menjadi pengalasan di kademangan tetapi Sima menolak demikian pula ke ka demang Krucil menyatakan keinginannya hendak menghaturkan Sima kehadapan hamba agar diterima menjadi prajurit, diapun menolak. Dia ingin hidup tenteram di desa."

   Aragani mengangguk-angguk lalu bertanya "Lalu bagaimana maksudmu?"

   "Hamba hendak menemui lurah Siung Pupuh dan menyatakan rencana hamba untuk merampas kaca itu dari tangan Kuti. Hamba, yakin lurah Siung Pupuh dan Sima itu tentu mampu mengalahkan Kuti"

   "Tetapi Kuti tentu dilindungi prajurit2 pilihan, angger"

   Kuda Panglulut maju kedekat rama mentuanya dan membisikkan beberapa patah kata, Aragani mengangguk-angguk dan menyetujui rencana menantunya.

   Kuda Panglulut mohon diri lalu bergegas menuju ke tempat kediaman lurah Siung Pupuh.

   Lurah itu termasuk lima kadehannya yang paling dipercaya.

   Dalam penyerbuan ke gunung Butak yang lalu, Kuda Panglulutpun mengikut sertakan lurah itu.

   Siung Pupuh terkejut ke ka menerima kunjungan Kuda Panglulut yang tak terduga-duga itu.

   Setelah mempersilakan tetamunya masuk dan dijamu minuman maka Siung Pupuhpun minta keterangan tentang maksud kedatangan Kuda Panglulut.

   "Ki lurah"

   Kuda Panglulut membuka pembicaraan "memang ada suatu keperluan pen ng yang kubicarakan dengan engkau"

   "O, tentu saja hamba girang sekali mendapat kepercayaan raden"

   Sambut lurah Siung Pupuh yang lalu minta Kuda Panglulut memberitahukan persoalannya.

   "Engkau tentu sudah mendengar tentang kehebohan yang terjadi dalam keraton Singasari, bukan?"

   "Peristiwa apa, raden?"

   "Bahwa belum lama berselang, puri keputren telah dibobol penjahat yang berhasil mencuri kaca wasiat milik gusti puteri Teribuana"

   "O, hamba memang secara selen ngan pernah mendengar berita itu tetapi ada seorang yang dapat memberikan kepastian tentang peristiwa itu"

   "Benar ki lurah"

   Kata Kuda Panglulut "memang peris wa itu dirahasiakan agar.

   dak tersiar.

   Tetapi, hal itu bukan berar fihak keraton tak berusaha untuk menangkap penjahat itu.

   Berbagai cara telah ditempuh, mengerahkan seluruh kekuatan pasukan, mengundang beberapa resi dan pandita yang pandai, namun benda dan penjahat itu hilang seperti ditelan bumi...

   "

   "O"

   Lurah Siung Pupuh terkejut "jika demikian penjahat itu tentu sakti mandraguna"

   Kuda Panglulut tertawa dalam ha tetapi dia tetap pura-pura bersikap sungguh "Memang.

   Tetapi baru-baru ini ada seorang muda yang bernama Ku menghadap rama Aragani dan mengatakan bahwa dia sanggup menemukan kaca itu, mohon rama pa h suka menghaturkannya kehadapan haginda.

   Orang itu mengajukan permohonan agar diperkenankan menghadap gus puteri Teribuana dan agar dilindungi dengan sepasukan prajurit pilihan.

   Ah, pokoknya dia menuntut bermacam-macam"

   "Apakah baginda meluluskan?"

   "Karena baginda amat sayang kepada tuan puteri terpaksa baginda meluluskan tetapi dengan syarat apabila orang itu gagal menemukan kaca wasiat, akan dipenggal kepalanya"

   "Apakah orang itu sanggup?"

   "Sanggup. Dia sangat yakin sekali tentu dapat menemukan benda itu"

   "O, lalu maksud raden ?"

   "Bagaimana kesanmu terhadap orang itu ?"

   Lurah Siung Pupuh menghela napas "Hamba belum pernah bertemu dengan orang itu, sukar untuk memberi penilaian. Lalu bagaimana penilaian raden?"

   "Aku mempunyai dugaan bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang mencuri kaca wasiat itu hingga dia begitu yakin dengan berani menghaturkan kepalanya sebagai tebusan apabila dia gagal"

   Lurah Siung Pupuh tertegun. Dia merenungkan peristiwa itu.

   "Begini ki lurah"

   Kata Kuda Panglulut pula "aku hendak memberi tugas kepadamu. Eh, kudengar engkau mempunyai seorang kawan yang digdaya, benarkah itu?"

   "Ya, bahkan telah hamba jadikan saudara angkat. Namanya, Sima, bertenaga besar sekali"

   "Bagus"

   Seru Kuda Panglulut "kuminta engkau dan Sima merampas kaca wasiat itu dari tangan si Kuti ...."

   "Raden!"

   Lurah Siung Pupuh memekik kejut.

   "Jangan kua r, ki lurah"

   Cepat Kuda Panglulut menukas "kalian berdua menyamar sebagai orang yang tak dikenal, terserah saja mau mengenakan penyamaran bagaimana tetapi setelah berhasil merebut kaca, kalian terus lari keluar dari pintu gapura selatan.

   Aku dan rombongan prajurit keamanan akan menunggu disitu.

   Nan aku menyergapmu dan engkau pura2 kalah, serahkan kaca wasiat itu dan terus saja kalian melarikan diri"

   "O"

   Desuh lurah Siung Pupuh.

   "Menilik engkau bertenaga kuat dan kawanmu itu juga digdaya, rasanya tentu mampu menangkap Kuti"

   "Kalau perlu, bunuhlah dia"

   Kata Kuda Panglulut "ingat, apabila engkau berhasil menunaikan tugas ini, besar sekali ganjaranmu, ki lurah. Akan kuusulkan kepada rama pa h agar engkau dinaikkan pangkat sebagai demang"

   Siung Pupuh menghela napas "Ah, tetapi raden, bagaimana kalau hamba dan kawan hamba sampai gagal melakukan tugas itu?"

   "Jangan memikirkan kegagalan dulu tetapi lakukan tugas itu sekuat tenagamu, ki lurah"

   Kata Kuda Panglulut dan tanpa memberi kesempatan orang hendak mengutarakan pendapat, dia terus melanjut "malam ini juga kalian harus lekas bersiap.

   Tunggullah di bawah pohon brahmastana di muka keraton, nan akan kuperintahkan orang untuk memberitahukan dimana Ku malam itu mencari kaca wasiat"

   Kuda Panglulut terus beranjak dari tempat duduk "Maaf, ki lurah, aku tak dapat lama2 berada disini. Akupun hendak mengatur rombongan yang akan kuajak meronda malam ini. Jangan lupa, larilah ke pintu gapura selatan"

   Sepeninggal Kuda Panglulut, lurah Siung Pupuh menghempaskan diri ke kursi "Ah, sungguh suatu tugas yang berat.

   Heran, mengapa tak hen -hen nya raden Kuda Panglulut merangkai bermacam- macam rencana.

   Entah, apakah sesungguhnya yang hendak dicari raden itu ? Dia sudah menjadi putera menantu gus pa h Aragani yang berkuasa dan berpengaruh, mengapa masih hendak mencari lain sasaran lagi?"

   "Kakang lurah"

   Ba2 Siung Pupuh terkejut ke ka mendengar seseorang menegur. Cepat ia menggeliat duduk "o, engkau adi Sima"

   Sima, seorang muda yang berwajah keras. Sinar matanya amat tajam, tubuh kekar. Dia mengulum senyum seraya duduk dihadapan Siung Pupuh "Kakang lurah, mengapa engkau tampak kesal dan menghela napas sedih?"

   "Ya, beginilah nasib seorang hamba kerajaan, adi.

   "kata Siung Pupuh "se ap saat harus melakukan tugas yang berat"

   "Ya, kutahu"

   Kata Sima.

   "Apa katamu?"

   Lurah Siung Pupuh terbeliak "engkau sudah tahu hai itu?"

   "Maaf, kakang lurah"

   Kata Sima "aku hendak masuk ke dalam rumah, tanpa sengaja ba2 kudengar percakapan antara kakang dengan seorang tetamu, pria muda yang cakap tadi"

   "Itulah raden Kuda Panglulut, putera menantu gusti patih Aragani, adi"

   "O seru Kuda Panglulut "lalu apakah kakang takkan melaksanakan perintahnya?"

   "Bagaimana mungkin aku berani menolak, adi."

   Siung Pupuh setengah mengeluh "saat ini gus pa h Aragani adalah mentri yang paling berpengaruh dalam keraton Singasari. Jika membangkang perintahnya, tak mungkin kita dapat melihat sinar surya lagi"

   "Tetapi bukankah raden itu yang memberi perintah ? Adakah perintah itu juga berasal dari gus patih ?"

   "Raden Panglulut memang tak mengatakan bahwa tugas itu berasal atau paling dak telah direstui gus pa h Aragani. Dan raden Panglulut itu merupakan, putera menantu yang paling dikasihi gusti patih. Jika raden mengadu kepada rama mentuanya, kitapun tentu celaka"

   "Lalu bukankah kakang bersiap hendak melaksanakannya?"

   "Ah"

   Siung Pupuh menghela napas "dalam hal ini terpaksa aku harus melibatkan dirimu, adi. Ternyata raden sudah mendengar juga perihal dirimu maka diapun minta agar aku membawamu ikut serta dalam rencana itu, ah ... ."

   "Mangapa kakang lurah tampak bersedih ?"

   "Bukankah aku menyusahkan engkau, adi ?"

   "Tidak sama sekali kakang lurah"

   Diluar dugaan Sima berseru "aku senang sekali membantu kakang dalam tugas itu"

   Lurah Siung Pupuh tercengang. Ia tak mengira bahwa Sima akan memberi pernyataan begitu "Benarkah itu, adi?"

   "Mengapa dak, kakang lurah ? Lihat, sekarang akupun sudah siap berangkat bersama kakang lurah"

   "Baik, adi"

   Lurah Siung Pupuh menyambut gembira. Ia segera masuk ke dalam untuk berkemas dan tak berapa lama muncul lagi lalu mengajak Sima berangkat.

   "Adi "ditengah perjalanan, Siung Pupuh menghangatkan suasana kesunyian dengan mengajak barcakap-cakap "apakah yang menjadi dasar daripada kesediaanmu untuk membantu aku melakukan tugas yang berat ini?"

   Tampak Sima agak berobah cahaya wajahnya tetapi cepat dia dapat mengendap tenang kembali "Memang amat menarik sekali peris wa itu, kakang lurah.

   Bahwa puri keputren keraton Singasari kebobolan penjahat yang berhasil mencuri kaca wasiat gus puteri Tribuana, benar2 merupakan suatu peristiwa besar yang apabila tersiar tentu akan menggemparkan seluruh kerajaan Singasari"

   "Ya"

   "Apa yang dikatakan raden Penglulut tadi menimbulkan suatu pemikiran kepadaku. Jika seluruh nayaka, prajurit dan ksatrya andalan keraton Singasari telah dikerahkan, para resi, pandita, ahlinujum telah diundang, namun dak ada yang mampu mengetahui, apalagi menemukan, kaca wasiat itu, jelas penjahat itu tentu seorang yang sak mandraguna sekali. Bahwa pemuda yang bernama Ku itu berani menghadap baginda dan mempertaruhkan batang kepalanya untuk kesanggupannya menemukan benda wasiat itu, jelas dia mengundang perha an dan kecurigaan, kakang lurah"

   "Maksudmu dialah yang mencuri sendiri ?"

   "Aku cenderung membenarkan dugaan raden Panglulut tadi bahwa Ku itulah yang harus dicurigai. Oleh karenanya, jika memang dia yang berbuat, memang layak ndakan raden Panglulut untuk merebut kaca itu. Bahkan kalau menurut pendapatku, lebih baik kita tangkap Ku sekalian agar dapat kita periksa benarkah dia yang melakukan pencurian itu"

   "Benar, adi "seru lurah Siung Pupuh serentak "tetapi ... mungkin dak semudah yang kita inginkan, adi"

   "Maksud kakang lurah sukar untuk menangkapnya?"

   "Bukankah engkau mengatakan dia tentulah seorang pemuda yang sakti mandraguna ?"

   "Itulah yang menarik seleraku, kakang lurah,"

   Seru Sirra "menjadi kegemaranku sejak masih muda belia untuk mendapat pengalaman bertempur dengan orang yang terkenal digdaya. Bertempur merupakan latihan yang nyata untuk mencapai kesempurnaan ilmu kanuragan"

   "O, engkau gemar berkelahi, adi ?"

   "Berkelahi dan berkelahi ada dua, kakang lurah "jawab Sima "orang berkelahi pada umumnya karena marah dan ingin menghajar lawan. Tetapi aku dak mempunyai pemikiran begitu. Aku berkelahi karena untuk mencari pengalaman guna menyempurnakan kekurangan2 yang ada pada diriku. Soal kalah atau menang, tak kuhiraukan. Bahkan aku kecewa kalau aku lebih unggul"

   "Hm, manusia aneh"

   Gumam lurah Siung Pupuh dalam hati.

   Namun dia hanya tertawa.

   Saat itu mereka sudah ba di alun-alun keraton Singasari dan langsung menuju ke pohon brahmastana yang tumbuh di muka pendapa keraton.

   Tak berapa lama mereka menunggu, muncullah seorang lelaki langsung menghampiri "Pemuda dan sepasukan prajurit menuju ke tembok belakang keraton.

   Mereka berkerumun di sekeliling pohon brahmastana"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah menyampaikan pesan, orang itupun terus berlalu. Siung Pupuh dan Sima segera menuju ketempat yang ditunjuk itu. Saat itu sudah makin gelap dan keduanya mengenakan pakaian serba hitam.

   "Adi "

   Ba2 Siung Pupuh menyerahkan sehelai kain hitam kepada Sima "apabila kita ber ndak, pakailah kain hitam ini untuk menutup muka"

   Mereka memilih sebuah persembunyian dibalik gerumbul pohon yang tak berapa jauh dari tempat sasaran.

   Tampak beberapa belas prajurit tegak berjajar mengelilingi sebatang pohon brahmastana.

   Karena hari malam, keduanya tak dapat melihat jelas dimana saat itu Kuti sedang berada..

   "Bilakah kita akan bergerak, kakang lurah? "bisik Sima.

   "Tunggu setelah nan terjadi serangan kepada pasukan penjaga keamanan itu, baru kita menyerbu mencari Kuti"

   Malam merayap-rayap dalam kegelapan.

   Bintang kemintang bertaburan, mengerumuni bulan temaram.

   Suasana makin sunyi, sesekali angin berhembus mengguncang ran ng dan daun.

   Terdengar sangkakala melengking- lengking nggi dari arah asrama prajurit di lingkungan keraton.

   Demikian yang terdengar se ap malam.

   Mengabarkan kedamaian dan ketenangan suasana pura kerajaan kepada segenap kawula.

   "Sangkakala sudah berulang kali meraung, mengapa belum juga terdapat tanda2 sesuatu gerakan, kakang lurah? "bisik Sima.

   "Sabarlah, adi "hibur Siung Pupuh "raden Panglulut tentu akan melaksanakan rencana itu"

   "Kakang lurah "kata Sima pula "bagaimana misalnya raden Panglulut dak mengadakan serangan itu?"

   Siung Pupuh terkesiap "Ah, jangan mencemaskan hal itu. Sejauh yang kuketahui, tak pernah raden Panglulut mengingkari apa yang telah dijanjikan"

   "Ini hanya pengandaian, kakang lurah. Tetapi siapa tahu kalau hal itu mungkin terjadi juga. Misalnya karena suatu alasan tertentu ataupun karena terjadi suatu halangan pada diri raden itu, lalu bagaimana tindakan kita ? Apakah kita tetap melangsungkan perintah raden itu atau membatalkannya?"

   "Hm, kita harus melihat gelagat dulu, adi"

   "Gelagat bagaimana maksud kakang lurah ?"

   "Yah "Siung Pupuh menghela napas atas desakan itu "kalau kita anggap kesempatan mengidinkan untuk bergerak, kita langsungkan saja rencana itu. Kalau keadaan tak mengidinkan terpaksa kita harus mundur"

   Sima gelengkan kepala "Salah kakang lurah. Se ap perintah dari atasan, harus dilaksanakan tanpa atau dengan bantuan yang dijanjikan. Demikian tata peraturan dalam keprajuritan"

   Siung Pupuh terlongong "Adakah adi pernah menjadi prajurit?"

   "Untuk mengetahui tata ter b dalam kalangan keprajuritan, orang tak perlu harus masuk menjadi prajurit, kakang lurah. Aku mempunyai beberapa kawan yang menjadi prajurit maka akupun tahu akan tata-ter b keprajuritan yang mereka menyatakan dengan sumpah untuk melaksanakannya"

   "Hm, ya "akhirnya Siung Pupuh mengakui "tetapi dakkah hal itu akan berar sebagai 'anai-anai menerjang api', apabila kita nekad menyerbu mereka?"

   "Tidak, kakang lurah "bantah Sima "bukan begitu yang kumaksudkan. Menjalankan perintah bukan semata-mata menjalankannya secara mentah2. Misalnya kakang diperintah untuk menyerbu kubu2 musuh, jika kakang secara mentah2 terus menyerbu, memang kakang hanya mengantar jiwa saja"

   "Lalu? "Siung Pupuh kerutkan dahi. Lurah yang bertubuh nggi besar itu memang hanya memiliki keberanian dan tenaga besar tetapi kurang dalam kecerdasan.

   "Perintah itu merupakan tujuan. Untuk mencapai tujuan kita harus berusaha mencari jalan. Menerjang musuh secara membabi buta, bukan merupakan cara yang baik, bahkan menghancurkan perintah itu. Demikian pula dengan perintah yang kita terima dari raden Kuda Panglulut. Kita sudah sanggup menerima, harus sanggup pula melaksanakan, dengan atau tanpa bantuan dari raden Panglulut, kakang lurah"

   Siung Pupuh mengangguk "Lalu bagaimana menurut pendapatmu, adi ?"

   "Begini, kakang lurah "kata Sima "andaikata bala bantuan dari raden Panglulut itu tak kunjung muncul, terpaksa kita harus ber ndak sendiri. Kita harus membagi tugas, yang seorang menyerang pasukan penjaga itu, memancing mereka supaya meninggalkan tempat itu. Dan yang seorang harus terus menyerang Kuti"

   "O, benar, benar "Siung Pupuh menyambut baik tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa kedua tugas itu tak mudah dilakukan. Baik menyerang pasukan penjaga yang terdiri dari belasan prajurit pilihan maupun menyerang Kuti yang digdaya itu.

   "Nah, terserah saja kepada kakang lurah hendak memilih tugas yang mana. Menyerang prajurit penjaga atau Kuti "akhirnya yang dicemaskan Siung Pupuh terhambur juga dari mulut Sima.

   "Ah "Siung Pupuh mendesah lalu geleng2 kepala.

   "Mengapa kakang lurah?"

   "Kepalaku pening memikirkan hal itu. Bukankah itu hanya suatu pengandaian yang belum pas . Mengapa saat ini sudah kita pikirkan, adi?"

   Sima tertawa pelahan. Saat itu malam makin tinggi. Tiba2 terdengar suara burung kulik terbang melalang di udara.

   "Kulik itu mengapa berbunyi tak henti-hentinya ? "seru Siung Pupuh.

   "Bersiap-siaplah kakang lurah. Engkau yang menyerbu prajurit2 penjaga, usahakan untuk memancing mereka supaya meninggalkan tempat dan mengejar kakang. Aku yang menyerang Kuti"

   "Eh, kenapa begitu tegang, adi ? Apakah karena suara burung kulik itu? "Siung Pupuh terkejut.

   "Adakah kakang lurah menganggap itu suara burung kulik?"

   "Hah? "Siung Pupuh terbeliak "apakah bukan burung kulik yang berbunyi itu?"

   "Yang pertama terdengar memang suara burung kulik tetapi selanjutnya bukan"

   "Kalau bukan burung kulik, lalu siapa?"

   "Suara orang yang menggunakan bunyi burung kulik sebagai pertandaan rahasia. Umumnya tentu gerombolan-gerombolan penjahat atau penyamun"

   "Adi ...."

   "Kakang, waktu amat berharga. Kalau tak ber ndak sekarang, mungkin kita tentu didahului lain orang"

   "O "desuh Siung Pupuh makin kaget "apakah disekeliling tempat ini terdapat lain kelompok yang setujuan dengan kita ?"

   "Kurasa begitu "

   Kata Sima lalu mendesak "kakang lurah, marilah kita segera ber ndak "habis berkata ia terus bergerak maju menghampiri ke tempat prajurit2 penjaga itu. Siung Pupuh terpaksa mengikuti.

   "kakang lurah, ambillah jalan mengitar ke utara lalu seranglah prajurit2 itu"

   Dalam saat seperti itu, Siung Pupuh tak sempat berpikir lagi.

   Dia terus melakukan apa yang dikatakan Sima.

   Dan Sima pun terus merangkak maju.

   Saat itu Siung Pupuh sudah berhasil menyusup ke sebelah utara.

   Tetapi pada saat dia hendak loncat keluar, tiba2 dalam cahaya keremangan malam, berhamburan beberapa belas gunduk2 hitam yang berbentuk tubuh manusia, lari menyerbu prajurit2.

   Dan pada lain saat terdengarlah dering gemerincing dari senjata yang beradu.

   Siung Pupuh menduga tentulah orang2 raden Kuda Panglulut yang mengadakan serbuan itu.

   Tergerak ha Siung Pupuh untuk ikut dalam penyerangan itu.

   Tetapi baru dia melangkah keluar, tiba2 kawanan penyerbu itu terdesak mundur oleh para prajurit.

   "Ah "Siung Pupuh tersadar "pengalasan2 raden Panglulut itu tentu sengaja mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku untuk menyerang Kuti"

   Cepat Siung Pupuh kembali ketempat Sima.

   Ia.

   hendak memberitahukan hal itu kepada Sima dan terus diajaknya menyerbu.

   Tetapi ia terkejut ke ka tak mendapatkan Sima dak berada ditempat persembunyiannya tadi.

   Memang Sima sudah bergerak maju untuk menyergap Ku .

   Tetapi sebelum ba didekat pohon brahmastana, ba2 ia melihat beberapa sosok bayangan manusia berhamburan menyerbu kearah pohon brahmastana itu.

   Sima terkejut.

   Jelas terdapat lain kelompok yang juga bertujuan hendak menangkap Ku .

   Ia tertegun berhen untuk menentukan langkah, akan menyerbu kawanan orang itu atau tunggu bagaimana hasil kesudahan mereka terhadap Kuti.

   Remang2 ia dapat melihat seseorang tengah menghadapi kerubutan dari beberapa sosok bayangan hitam itu.

   Ia duga orang itu tentu Ku .

   Iapun melihat enam orang yang menyerang Ku itu tak mampu merobohkannya.

   Sekonyong-konyong muncul dua orang yang terjun dalam pertempuran dengan langsung menyerang Kuti.

   Keenam orang yang menyerang pertama itu heran melihat dua orang tak dikenal muncul dan menyerang Kuti.

   "Enyah kalian semua "

   Ba2 salah seorang dari kedua pendatang itu menghardik rombongan keenam orang.

   "Gila, siapa engkau ! "salah seorang dari keenam orang itu balas menghardik.

   "Tak usah bertanya. Cukup asal kalian menyingkir supaya tak mengganggu ndakanku menangkap orang ini "

   Seru pula salah seorang dari kedua pendatang itu.

   "Jangan tekebur dulu, ki sanak"

   Salah seorang dari rombongan enam orang itu berseru "memang kami hendak menangkap Kuti dan kalian pun harus mengakui dengan jujur bahwa kalian juga bermaksud begitu.

   Sekarang jangan kita bertengkar dulu tetapi kita ringkus Kuti, setelah itu baru kita memperebutkannya"

   "Jahanam"

   Ba2 Ku berteriak marah "apakah kamu anggap aku ini kambing yang hendak kalian perebutkan"

   Ia menutup kata-katanya dengan menerjang kedua orang tadi.

   Kedua orang itupun terpaksa melayani.

   Dan keenam orang itupun juga menyerbu Ku .

   Terjadilah pertempuran yang acak-acakan.

   Ku memang digdaya sekali.

   Ia dapat meroboh dua orang lawan, kemudian mengamuk laksana seekor banteng ketaton.

   Kedua orang dan keenam orang yang tinggal empat itu terkejut kagum menyaksikan tandang Kuti.

   Dua orang rubuh lagi sehingga tinggal empat orang, masing2 dari rombongan yang pertama datang dan dua orang yang datang belakangan.

   Rupanya keempat orang itu memang menonjol sekali.

   Kedua orang dari rombongan pertama itu bertubuh tinggi besar dan memiliki tenaga pukulan yang kuat sekali.

   Tetapi mereka terdesak oleh serangan2 Kuti yang lebih dahsyat.

   Hanya kedua orang dari rombongan yang datang belakangan itu yang mampu mengimbangi kesaktian Kuti.

   "Auh ...

   "

   Ba2 Ku menjerit kesakitan ke ka kakinya tertusuk ujung pedang dari salah seorang korban yang sudah rebah ditanah.

   Orang itu walaupun menderita luka tetapi pikirannya masih sadar.

   Ke ka melihat Ku berdiri didekatnya, ia mencabut pedang dan menusuk kaki Ku .

   Pada saat Ku terkulai karena rasa sakit pada kakinya, kedua orang dari rombongan yang datang belakangan itu sudah mendaratkan njunya, masing2 ke dada dan leher Ku .

   Betapapun kuat dan kesak an Ku tetapi karena dia terluka dan dihantam oleh dua orang yang bertenaga kuat, akhirnya ia tak dapat mempertahankan diri lagi dan rubuh terkulai tak kabarkan diri.

   Orang yang menendang itu hendak menghampiri ke tempat Ku tetapi kedua orang yang datang belakangan itu segera membentaknya "Jangan menyentuhnya!"

   Orang itupun terpaksa hen kan gerakannya karena kedua orang itupun sudah loncat di belakangnya. Cepat ia berputar tubuh menghadapinya "Ki sanak, bagaimana kehendakmu ?"

   "Bukankah tadi engkau mengatakan bahwa setelah orang itu rubuh, baru kita perebutkan siapa yang berhak menguasainya ?"

   "Benar "sahut orang dari rombongan yang pertama datang.

   "Bagaimana caranya ?"

   "Kebetulan rombongan kami hanya nggal kami berdua dan kalianpun juga dua. Marilah kita bertempur seorang lawan seorang untuk menentukan siapa yang berhak memiliki Kuti"

   "Ho, bagus sekali. Mari kita segera mulai saja"

   Sahut salah seorang dari kedua pendatang itu seraya terus maju menyerang.

   Pertempuran berjalan seru tetapi makin lama makin tampak siapa yang lebih unggul.

   Kedua orang yang datang belakangan itu lebih hebat sehingga kedua lawannya terdesak mundur.

   Makin lama mereka makin terpisah jauh dari tempat Kuti menggeletak.

   Rupanya lurah Siung Pupuh sejak tadi bersembunyi dibalik gerumbul menyaksikan pertempuran dari orang2 yang tak diketahui dari fihak mana.

   Setelah melihat keempat orang yang bertempur itu meninggalkan tempat itu, dia terus menyelinap keluar dan langsung menghampiri Kuti.

   "Jika kawanan anjing berebut tulang, serigalalah yang akan kejatuhan rejeki "dengan semangat yang menyala-nyala gembira, lurah Siung Pupuh lari menuju ke tempat Ku . Hampir kegirangannya meluap-luap ke ka ia sudah menyusup kan kedua tangannya ke punggung dan kaki Ku siap hendak diangkatnya. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh hitam menyelimpat dari balik gerumbul dan dengan gerak loncatan macam kucing, dia sudah berada dibelakang Siung Pupuh dan krak .... auh, Siung Pupuh menjerit ke ka tengkuknya dihantam pukulan yang keras sekali, la terjerembab jatuh pingsan seketika.

   "Hm "desuh orang itu lalu dengan sigap segera mengangkat tubuh Ku dan terus menghilang dike-gelapan malam. Tak berapa lama kedua orang yang datang belakangan tadi bergegas lari mendatangi "Hilang!"

   Teriak salah seorang "kemanakah gerangan orang itu kakang Nambi?"

   "Dia rebah disini. Hai, siapa ini"

   Orang yang dipanggil Nambi itu terkejut ke ka melihat tubuh lurah Siung Pupuh menggeletak di tempat itu.

   "Siapa? "seru kawannya.

   "Entahlah "kata Nambi lalu membalikkan tubuh Siung Pupuh "ah, bukan dia. Entah siapa orang ini! "Aneh "kawannya bergumam "mengapa dia menghilang? Apakah dia sudah sadarkan diri dan terus lolos?"

   "Mungkin"

   Sahut Nambi "tetapi apakah engkau yakin pukulanmu tadi dapat meremukkan tulang tengkuknya, Sora?"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tentu "sahut Sora "kuhantamnya dengan sekuat tenaga. Batu karangpun tentu hancur menerima pukulanku itu masakan tulang tengkuknya terbuat dari baja"

   Nambi merenung sejenak "Sora, mari kita kejar. Kuduga tentu ada orang lain yang memancing di air keruh. Kita yang berkelahi, dia yang memetik buahnya"

   "Engkau maksudkan ada orang lain lagi yang muncul di tempat ini ...."Sora terkejut ketika melihat Nambi sudah lari. Tetapi belum sempat ia menyusul, tiba-tiba Nambi terantuk dan tersungkur jatuh ke tanah "Kakang Nambi "Sora terkejut dan cepat memburu. Tetapi sebelum ia sempat menolongnya, Nambi sudah menggeliat bangun "Bedebah, kakiku terantuk tubuh manusia "ia memandang ke arah waktu kakinya terantuk tadi dan melihat sesosok tubuh menggeletak melintang.

   "Dia masih merin h "Sora cepat menghampiri orang itu. Tiba2 Sora mbul keinginan untuk mengetahui siapa orang itu "hai, engkau mau mati atau minta hidup?"

   "Uh .... jangan bunuh aku ...."

   "Katakan terus terang, siapa engkau! "hardik Sora.

   "Aku ... aku ..."

   "Siapa!"

   "Engkau berjanji takkan membunuh aku?"

   "Ya, asal engkau berkata dengan jujur"

   "Dapatkah kupercaya janjimu?"

   "Hm, aku seorang lelaki. Tak mungkin aku menarik kembali apa yang telah kujanjikan"

   "Baik "orang itu menghela napas "aku sebenarnya rombongan dari Daha ...."

   Sora dan Nambi terkejut.

   "Benarkah itu? "Sora menegas.

   "Akupun seorang lelaki, apa yang kukatakan tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya"

   "Hm "

   Desuh Sora "lalu mengapa engkau datang kemari hendak merebut Kuti?"

   "Atas perintah pimpinanku"

   "Siapa?"

   "Ki demang Bango Dolok"

   "Bango Dolok? "Sora mengerut dahi mengingat nama itu "siapa Bango Dolok?"

   "Seorang nayaka yang dipercaya gusti patih Kebo Mundarang, patih Daha"

   "Di mana sekarang dia?"

   "Di Singasari ...."

   Lembu Sora bertukar pandang dengan Nambi. Tiba- ba Nambi bertutur ramah"Ki sanak, lekas engkau bawa kawan-kawanmu menyingkir. Sebentar lagi prajurit2 penjaga keamanan itu tentu akan datang"

   "O, benar "sahut orang itu. Dia terus menolong ke ga kawannya dan merekapun terus meninggalkan tempat itu. Tepat pada saat itu terdengar gemuruh langkah kaki yang mendatangi "Sora, mari kitapun juga pergi"

   "Dan yang seorang itu? "tanya Sora sembari menunjuk pada lurah Siung Pupuh yang masih menggeletak pingsan.

   "Biarkan dia"

   "Jangan kakang "sahut Sora "lebih baik kita bawa dan kita tanya keterangannya"

   Sejenak merenung dengan cepat Nambipun menyetujui.

   Sora segera mengangkat tubuh Siung Pupuh dan sebelum prajurit2 itu tiba, merekapun sudah pergi.

   Sora dan Nambi mencari tempat yang sunyi dan mereka beris rahat disitu.

   Setelah menyadarkan Siung Pupuh maka bertanyalah Sora "Ki sanak, siapa engkau?"

   Siung Pupuh gelagapan. Rasanya belum hilang rasa nyeri pada tengkuk yang menyebabkan pandang matanya gelap. Sambil mengusap-usap tengkuk, ia membelalak memandang kedua orang yang berada dihadap-annya.

   "Ki sanak, kami kebetulan lalu dan melihat engkau mengggeletak di bawah pohon brahmastana. Kami segera membawamu kemari "kata Nambi dengan tutur ramah. Masih mata lurah Siung Pupuh menegas pandang untuk menyelidik "Engkau lewat di jalan itu?"

   Nambi mengangguk.

   "Apakah engkau tak ditangkap prajurit2 keamanan yang berjaga disitu?"

   "Prajurit? "Nambi kerutkan dahi "tak ada seorangpun di tempat itu. Sora terkesiap mendengar kata2 Nambi. Tetapi dia tak mau membantah. Ia tahu bahwa se ap tindakan Nambi tentu mempunyai tujuan. Ia akan menunggu apa yang akan diarah Nambi.

   "O "rupanya Siung Pupuh terpengaruh oleh kesungguhan wajah dan nada ucapan Nambi "jika demikian, aku harus berterima kasih kepada ki sanak berdua"

   "Ah, sudah jamak adat hidup itu tolong menolong"

   Sahut Nambi "tetapi mengapa ki sanak rebah tak sadarkan diri di tempat dan saat begini gelap? Adakah ki sanak mendapat kecelakaan atau diganggu penjahat?"

   Siung Pupuh menghela napas "Ya, aku memang ter mpa kecelakaan. Entah siapa yang melakukan, tiba2 tengkukku dihantam orang"

   "Hai "teriak Nambi "tentu penjahat. Lalu benda apa saja milik ki sanak yang dirampas penjahat itu?"

   Siung Pupuh terdesak "Ah, tidak ada ...."

   "Tidak kehilangan apa-apa? Aneh benar "seru Nambi "lalu apakah yang dikehendaki orang itu? Mungkinkah penjahat itu hendak mengarah nyawa ki sanak?"

   "Mungkin "Siung Pupuh mengangkat bahu.

   "Adakah ki sanak merasa mempunyai musuh?"

   "Tidak"

   Nambi garuk2 kepala "Jika dak .... eh, dari manakah ki sanak pada waktu tengah malam ini berjalan di tempat itu?"

   Karena terus menerus didesak pertanyaan, sebenarnya Siung Pupuh kurang senang. Tetapi mengingat kedua orang itu telah menyelamatkan jiwanya terpaksa dia menerangkan walaupun tidak seluruhnya "Aku habis dari kepatihan"

   "O "seru Nambi "ki sanak tentu seorang narapraja kerajaan ?"

   "Hanya seorang lurah rendahan"

   "O, ki lurah, maa an kami "seru Nambi "kami tak tahu apabila tuan seorang lurah. Adakah ki lurah bekerja pada gusti patih ...."

   "Bukan "cepat Siung Pupuh menyahut "aku menjadi bawahan dari raden Kuda Panglulut, putera menantu gusti patih Aragani"

   "Ah "Nambi terkejut "kiranya ki lurah ini bekerja pada raden Panglulut. Lalu kemanakah ki lurah hendak menuju"

   "Pulang "kata Siung Pupuh. Nambi dan Sora tertawa dalam ha . Keduanya tahu bahwa Siung Pupuh tetap merahasiakan diri tetapi bahwa lurah itu telah menerangkan hubungannya dengan Kuda Panglulut, cukuplah sudah bagi kedua orang itu.

   "Bagaimana keadaan sakit ki lurah?"

   "Sudah agak baik"

   "Jika ki lurah idinkan, kami bersedia mengantar pulang ke tempat kediaman ki lurah"

   "Terima kasih, ki sanak, tetapi aku dapat pulang sendiri. Silakan jika kalian hendak melanjutkan perjalanan. Tetapi hati-hatilah. Jika bertemu dengan petugas2 ronda keamanan, tentulah kalian akan mendapat kesulitan"

   "Terima kasih, ki lurah. Kami akan menjaga diri dan menghindari dari mereka "setelah memberi hormat Nambi segera mengajak Sora melanjutkan perjalanan.

   "Kemana kita akan menuju, kakang Nambi?"

   Tanya Sora setelah berada di jalan.

   "Mari kita coba untuk mengejar jejak orang yang melarikan Kuti itu"

   "Tetapi kita tak tahu arahnya yang jelas, tidakkah akan sia-sia belaka usaha kita ini?"

   "Kita coba saja"

   Sahut Nambi "kalau memang tak berhasil terpaksa kita kembali menghadap pangeran Ardaraja.

   Demikian keduanya segera menyusur jalan untuk mengejar jejak orang itu.

   Tetapi karena cuaca gelap, mereka telah mengambil jalan ke utara.

   ~dewikz~ismoyo~mch~ Sementara itu disepanjang jalan sunyi yang merentang ke barat, tampak sesosok tubuh manusia sedang berlari dengan memanggul sesosok tubuh.

   Ternyata dialah yang menghantam tengkuk lurah Siung Pupuh lalu melarikan Kuti yang masih pingsan.

   Dalam perjalanan itu iapun menimang-nimang bagaimana yang harus dilakukan "Baiklah kubunuh saja orang ini dan mayatnya kulemparkan ke dalam hutan"

   Pikirnya.

   "Ah, mengapa harus banyak repot"

   Bantahnya sendiri "lebih baik kulempar saja ke dalam bengawan"

   Malampun kian nggi tetapi orang itu ternyata bertenaga kuat sekali.

   Walaupun memanggul orang, dia masih dapat berlari.

   Beberapa waktu kemudian dia terkilas pula oleh lain bayang2 pemikiran "Bagaimana dengan Siung Pupuh ? Bagaimana kalau Kuda Panglulut bertanya kepadaku? Ah, tak perlu dirisiaukan.

   Asal aku tak kembali kepada mereka, tentulah aku tak perlu harus menghadapi pertanyaan2 mereka"

   "Ah"

   Ba2 dibantahnya pula pikiran tadi "tetapi kalau aku pergi, tentu hanya sampai di sini saja ndakanku untuk mengiku perkembangan di Singasari.

   Memang benda yang berada pada orang ini, cukup berharga tetapi tiada pengaruh apa2 dalam tujuanku lebih jauh ."

   Karena terjadi perbantahan dalam pikirannya, maka langkah orang itupun agak lambat.

   Terutama waktu memikirkan bagaimana sebaiknya langkah yaug akan ditempuh, meninggalkan Singasari atau kembali pada Siung Pupuh, iapun hentikan larinya dan berjalan.

   Ia merasa jalanan mulai menanjak.

   Tak berapa jauh ia melihat jalan makin menanjak nggi, menyerupai jalan bukit.

   Mudah-mudahan setelah menuruni tanjakan itu, ia akan ba di lembah bengawan.

   Tetapi lamunan, harapan dan keinginannya ba2 terusik oleh derap kaki kuda yang tengah lari mendaki tanjakan dari arah muka.

   Ia terkejut.

   Jika berpapasan orang dan melihat dia sedang memanggul sesosok tubuh orang, tentulah akan menimbulkan pertanyaan.

   Tetapi memandang ke sekeliling, kanan dan kiri jalan, merupakan tanah bulak yang tak bertumbuh pohon.

   Jika hendak menyembunyikan diri ia harus balik lari turun lagi.

   Diperhitungkannya ndakan itu takkan memberi hasil.

   Sebelum ia mencapai gerumbul pohon dibawah, tentulah penunggang kuda itu sudah dapat menyusulnya.

   Belum sempat ia memperoleh pikiran bagaimana harus menyingkir, maka dari puncak tanah tanjakan itupun sudah muncul dua orang penunggang kuda "Ah, apa boleh buat.

   Aku harus pandai memberi alasan apabila mereka bertanya"

   Akhirnya ia menghibur diri.

   Dan beberapa saat kemudian kedua penunggang kuda itupun sudah turun dari tanjakan dan mencongklang kearah tempatnya.

   Ia terkejut.

   Dalam keremang-an malam, samar2 ia seperti melihat anak muda yang menunggang kuda hitam mulus itu pernah dikenalnya.

   Sedang yang seorang, berumur lebih kurang empatpuluhan tahun, mengenakan busana indah, ia belum kenal.

   Mungkin seorang priagung, pikirnya.

   Apa yang dicemaskan berbuk .

   Kedua penunggang kuda itu hen kan kudanya "Ki sanak "tegur salah seorang yang mengenakan busana indah "apa yang ki sanak panggul itu?"

   "Ah, saudaraku ini sakit "sahut orang itu "hendak kubawa kepada seorang dukun yang nggal di lembah bengawan"

   "Rupanya parah juga saudaramu itu, ki sanak"

   "Ah, tidak. Dia memang sering kambuh dari penyakit yang sudah lama diidapkan"

   "Tetapi dia tak sadarkan diri, ki sanak "kata lelaki berbusana indah pula.

   "Memang, kalau angot penyakitnya dia tentu pingsan"

   "Ki sanak, mari kubantu ki sanak ke tempat dukun itu "tiba2 pemuda yang berkuda hitam itu menawarkan jasa. Ia turun dari kuda dan menghampiri. Orang itu terkejut namun dia cepat menekan kegugupannya "Terima kasih, ki sanak. Sudah tak berapa jauh dari tempat dukun, aku dapat membawanya sendiri"

   "Ki sanak "pemuda berkuda hitam itu heran "menolong jiwa manusia adalah sepen ng orang memadamkan kebakaran. Jika tak lekas ditolong, tentu akan berbahaya. Mari, ki sanak, aku bersedia membantumu"

   Pemuda itu melangkah menghampiri. Orang itu makin gugup dan diluar kesadarannya dia menyurut mundur "Telah kukatakan, aku dapat membawa saudaraku sendiri. Tak perlu meminta bantuanmu"

   Pemuda berkuda hitam itu terkesiap.

   Ia heran mengapa orang menolak tawaran bantuannya.

   Menembuskan pandang mata dalam kegelapan, ia melihat perawakan orang itu langsing dan tegap, sedang orang yang dipanggulnya itu terkulai tak berkutik.

   Diam-diam ia memperhatikan bahwa orang yang dipanggul itu mengenakan pakaian yang baik, bukan seperti orang desa.

   Kecurigaannya mulai bertebaran.

   Lewat tengah malam, seorang diri berjalan dijalan pegunungan dengan memanggul orang, mengundang kecurigaan.

   Bahwa orang itu menolak tawaran bantuan yang akan memperingan dan mempercepat pertolongan, lebih menimbulkan prasangka.

   "Wijaya"

   Ba2 lelaki berpakaian seper pria-gung, berseru "jika dia tak mau menerima bantuan, lebih baik kita lanjutkan perjalanan saja"

   Tetapi pemuda yang disebut Wijaya itu tak menanggapi seruan kawannya melainkan maju makin mendekat ke tempat orang itu "Ki sanak . ...

   "baru dia berkata sepatah, ba2 orang itu telah mengayunkan kaki ke perut Wijaya. Wijaya terkejut. Ia hendak menghindar tetapi terlambat. Pinggangnya termakan ujung kaki dan diapun terseok-seok mendekap perut kebelakang.

   "Hai, hendak lari kemana engkau"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lelaki yang masih menunggang kuda berteriak.

   Ia terkejut melihat orang itu menyerang Wijaya.

   Dilarikannya kuda untuk mengejar orang itu.

   Ternyata setelah berhasil menendang Wijaya, orang itupun terus loncat dan lari melintas bulak.

   Lelaki berbusana bagus itu ayunkan cambuk menghajar tetapi ia terkejut ke ka orang itu dengan tangkas menyongsongkan tubuh kawannya yang dipanggul, tar ....

   dan sebelum lelaki berkuda itu sempat menarik cambuk, orang itupun sudah mendahului menyambar kaki lalu menyorongkan ke samping.

   "Uh ...."lelaki berkuda itu mendesuh kejut ke ka tubuhnya terpelan ng dari kuda. Setelah berhasil merobohkan kedua penunggang kuda, orang itupun terus lari tetapi alangkah kejutnya ketika pemuda yang disebut Wijaya tadi sudah menghadang di muka.

   "Keparat, enyah"

   Orang itu memutar tubuh kawannya untuk menghantam Wijaya.

   Wijaya terkejut menyaksikan keperkasaan orang itu.

   Ia tak berani menangkis atau balas menyerang karena kua r akan melukai orang yang sakit itu.

   Kini dia makin yakin bahwa orang itu memberi keterangan bohong.

   Tak mungkin seorang saudara akan melakukan ndakan begitu, membolang- balingkan tubuh saudaranya yang pingsan untuk senjata menyerang.

   Dan tiada ada alasan mengapa dia harus marah dan mengamuk karena Wijaya menawarkan jasa baik untuk memberi pertolongan.

   "Hm, ada udang dibalik batu pada orang ini "gumam Wijaya dalam ha "dia tentu ber ndak tidak baik"

   Bulak itu merupakan ladang yang berair sehingga tanahnya berlumpur.

   Bertempur di tempat semacam itu memang menghambat gerak Wijaya, untuk menghindar atau loncat mundur.

   Sedang orang itu dengan gagah perkasa terus maju mendesaknya.

   Dan yang menambah kesulitan Wijaya yalah dia tak berani balas memukul karena kuatir akan mencelakai orang yang dijadikan senjata itu.

   Sembari menghindar, diam2 ia memutar otak untuk mencari akal.

   Cepat sekali Wijaya menemukan akal.

   Setelah loncat mundur, ia berjongkok.

   Ke ka orang itu maju membolang- balingkan tubuh kawannya, ba2 Wijaya melontarkan segenggam lumpur ke muka orang itu, plok ....

   "Uh'....

   "mulut orang itu mendesuh kejut ke ka muka dan kedua matanya tercampak segumpal lumpur. Kesempatan itu tak disia-siakan Wijaya yang loncat hendak menyelesaikan pertempuran dengan pukulan yang menentukan.

   "Keparat, serahkan dirimu ! "

   Ba2 dari arah belakang lelaki berbusana indah itu setelah berbangkit lalu mencabut pedang dan memburu ke tempat orang itu.

   Rupanya orang itupun menyadari bahaya yang akan menimpa dirinya.

   Dalam menentukan pilihan meloloskan diri dan nggalkan orang tawanannya atau nekad bertahan dan terancam bahaya, ia memilih yang tersebut duluan.

   Sekonyong-konyong ia menggeram keras lalu lontarkan tubuh Kuti ke arah Wijaya yang tengah maju menerjang.

   "Uh ....

   "karena tak menyangka-nyangka akan menerima lontaran itu, Wijaya tak sempat menangkis maupun menghindar. Walaupun ia masih berusaha untuk menyambu tetapi kalah cepat. Tubuh korban itu membentur dadanya dan robohlah Wijaya bersama korban itu. Setelah berhasil merobohkan Wijaya, orang itu pun cepat2 loncat dan melarikan diri. Lelaki berbusana indah terkejut sekali. Ia hendak mengejar tetapi orang itu sudah jauh maka lebih penting ia menolong Wijaya.

   "Bagaimana engkau, Wijaya?"

   Tegurnya setelah Wijaya berbangkit berdiri.

   "Tak apa2, paman tumenggung "Wijaya terus mengangkat tubuh orang yang tengkurap di lumpur lalu dibawanya ke jalan.

   "Ku ....

   "sekonyong-konyong lelaki berbusana indah yang disebut paman tumenggung itu berteriak kaget ketika melihat jelas wajah orang yang pingsan itu.

   "Siapa Kuti ?"

   "Dia adalah adik seperguruanku"

   Kata tumenggung itu yang tak lain adalah tumenggung Bandupoyo.

   Langkah Bandupoyo untuk mencari Wijaya ke telatah gunung Kawi memang beruntung.

   Di tengah jalan dia berpapasan dengan Wijaya yang tengah mengendarai seekor kuda hitam.

   Dalam percakapan yang cukup padat, dapatlah Wijaya menerima anjuran tumenggung Bandupoyo untuk ikut serta dalam sayembara.

   Sebenarnya Wijaya hendak merahasiakan siapa dirinya tetapi setelah didesak Bandupoyo dan melihat kesungguhan ha tumenggung itu hendak membantunya, akhirnya Wijayapun mau juga menerangkan tentang dirinya.

   "O, kiranya raden masih keturunan priagung luhur "

   Bandupoyo terkejut girang.

   Diam2 makin mantap keinginannya untuk mengangkat pemuda itu ke arah kedudukan yang tinggi dalam pasukan Singasari.

   Keduanya segera kembali ke Singasari.

   Mereka ingin lekas mencapai pura kerajaan sehingga malam itu merekapun masih melanjutkan perjalanan.

   Dan secara tak sengaja mereka berjumpa dengan orang yang melarikan Kuti.

   Mendengar penuturan tumenggung Bandupoyo, Wijaya gopoh memberi pertolongan.

   Ke ka ia mengurut-urut dada membersihkan pakaian Ku yang berlumuran lumpur, ia terkejut ke ka sebuah benda jatuh dari dada baju Kuti.

   "Ah, kaca"

   Serunya seraya menyerahkan kepada tumenggung Bandupoyo "bagus sekali buatan kaca ini, paman tumenggung"

   Setelah menyambu dan memeriksa kaca itu, teganglah wajah tumenggung Bandupoyo "Hah, kalau tak salah inilah sebuah kaca pusaka ... ah, apakah kaca ini bukan ...."

   "Bukan kaca apa, paman tumenggung? "Wijaya heran.

   "Mari kita tolong Ku supaya sadar "

   Tumenggung Bandupoyopun membantu mengurut-urut tubuh Ku . Usahanya berhasil. Tak berapa lama, Ku tampak merin h pelahan. Ke ka membuka mata ia membelalak dan berseru "Siapa kalian ...."

   "Tenanglah Kuti "kata Bandupoyo "aku Bandupoyo. Beristirahatlah memulangkan tenagamu"

   Ku pun duduk lalu pejamkan mata untuk bersemedhi memulangkan napas dan tenaga. Lebih kurang sepeminum teh lamanya, wajahnya tampak segar dan ia membuka mata "Kakang Bandupoyo, dimanakah saat ini aku berada?"

   "Di tengah jalan pegunungan, adi"

   "O, bagaimana kau dapat berada di sini ? "Dengan singkat tumenggung Bandupoyo lalu menceritakan apa yang telah terjadi di jalan itu.

   "Siapa yang menolong aku ? "Kuti membelalak memandang Wijaya.

   "Wijaya ini, adi "tumenggung Bandupoyo menunjuk pada Wijaya.

   "Dia? "serentak Ku berbangkit dan menatap Wijaya dengan pandang berkilat-kilat "

   Dak! Mengapa dia berani menolong aku !"

   Bandupoyo terkejut. Ia heran mengapa bukan mengucap terima kasih kebalikannya Ku malah tampak marah sekali kepada Wijaya.

   "Maa an, ki sanak atas kelancanganku menolongmu. Tetapi percayalah, bahwa aku sama sekali tak mengandung maksud buruk terhadapmu"

   Kata Wijaya dengan nada ramah.

   "Tidak! "teriak Ku "aku tak sudi menerima pertolonganmu. Aku lebih suka ditawan orang itu daripada engkau tolong!"

   Wijaya termangu-mangu. Tak tahu bagaimana ia harus berkata. Sedangkan tumenggung Bandupoyo tak kuasa lagi menahan keheranannya "Ku , apakah sebenarnya yang telah terjadi. Mengapa engkau malah marah2 kepada orang yang memberi pertolongan kepadamu"

   "Tidak, kakang Bandu "seru Kuti "aku benar2 menyesal mengapa dia berani menolong aku"

   "Paman tumenggung"

   Akhirnya Wijaya berusaha untuk menjernihkan suasana "ki lurah Ku itu dahulu memang pernah bertempur dengan aku ...."

   "O "desuh tumenggung Bandupoyo "dan dia menderita kekalahan sehingga mendendam kepadamu?"

   "Tidak "sahut Wijaya tandas "dia tak kalah. Seharusnya akulah yang kalah tetapi entah bagaimana ketika itu tiba2 dia hentikan pukulannya dan terus pergi"

   "Kuti, benarkah itu?"

   "Yang menang, mudah untuk menghilangkan kemenangan itu. Tetapi yang kalah tak mungkin akan menghapus kekalahannya"

   Sahut Kuti.

   "Ah"

   Tumenggung Bandupoyo menghela napas. Rupanya dia mulai dapat marangkai dugaan "adi, kalah menang dalam pertempuran itu sudah wajar ...."

   "Aku sudah berjanji kepadanya untuk mengadu kedigdayaan dua tahun lagi. Tetapi setelah dua tahun ternyata dia ingkar janji. Dia tak berada di tempat kediamannya di gunung Kawi"

   "Ah, ki Kuti, anggaplah aku takut dan engkaulah yang menang "kata Wijaya.

   "Tidak semudah itu"

   Jawab Ku "karena kebetulan kita berjumpa disini, marilah kita selesaikan persoalan itu sekarang dan di tempat ini juga"

   Kemudian Ku berpaling ke arah Bandupoyo "kakang Bandu, kuminta engkau menjadi saksi"

   "Ah, ki sanak, mengapa engkau tetap bersikeras hendak melanjutkan pertempuran itu? Sudah kukatakan aku mengaku kalah "kata Wijaya tenang.

   "Benar, adi "Bandupoyopun ikut memberi suara "hapuskanlah dendam pemusuhan itu dan jadikanlah persahabatan yang akrab"

   "Baik, aku dapat menerima anjuran kakang"

   "Bagus, adi, itulah sifat seorang ksatrya"

   "Tetapi aku menginginkan, suatu cara yang harus dilakukan"

   "Cara bagaimana ? "tanya Bandupoyo.

   "Dia harus menyembah di bawah kakiku. Setelah itu kuhapuskan segala dendam yang terlanjur membakar hatiku"

   "Kuti! "teriak Bandupoyo.

   "Paman tumenggung"

   Tukas Wijaya "tak apalah paman. Aku akan melaksanakan keinginannya"

   "Jangan Wijaya"

   Teriak Bandupoyo "aku tak setuju dengan cara yang di minta Ku "

   Kemudian dia berpaling menatap Ku "adi, guru pernah mengajar kita tentang laku seorang ksatrya utama. Jika seseorang sudah menghaturkan maaf dan mengaku kalah, wajiblah kita memberi ampun dan menghapus segala dendam kebencian"

   "Guru memang benar"

   Sahut Kuti "tetapi kurasa akupun tak salah"

   Bandupoyo terkesiap "apa maksud kata-katamu itu?"

   "Guru memang telah melimpahkan wejangan2 yang berharga. Tentang laku seorang ksatrya, tentang duduknya seseorang di masyarakat, tentang dharma untuk membela kebenaran dan keadilan, dan lain-lain. Tetapi gurupun pernah mengajarkan kepada kita bahwa hendaknya janganlah kita mudah percaya pada yang dikatakan orang, naluri; isi kitab-kitab dan bahkan ucapan guru kita sendiri. Yang pen ng harus kita per mbangkan dan teli sendiri. Jika hal itu baik dan berguna, maka lakukanlah"

   "Hm, maksudmu, engkau hendak mengatakan bahwa menurut per mbanganmu, memberi maaf dan menghapus dendam itu tidak baik dan tidak berguna bagimu ?"

   "Kakang Bandu "sahut Ku "se ap orang mempunyai persoalan dan liku2 sumber persoalan itu- sendiri. Memandang dan menilai persoalan dengan pandangan dan anggapan yang sama, kurang benar"

   "Tidak Ku "bantah Bandupoyo "sumber, liku2 dan persoalan2 itu memang berbeda-beda dan beraneka corak ragamnya, tetapi sumbernya tetap satu, yani Kebenaran dan Keadilan. Hanya orang2 itu sendiri yang menuntut dan menganggap kebenaran itu menurut pandangannya sendiri2 sehingga menimbulkan Kebenaran yang semrawut, Kebenaran yang dipaksakan menurut kehendak hati dan dirangkai menurut anggapannya"

   "Lalu bagaimana Kebenaran yang mutlak itu?,"

   "Kebenaran yang mutlak yalah kebenaran yang berdasarkan kesucian yang murni, kesucian yang manembah pada keagungan Hyang Widdhi dan berlandaskan peri-kemanusiaan yang manunggal, manunggalnya rasa dan kepen ngan, kehadiran dan kebanggaan ke-aku-an kedalam keagungan dan kebesaran Sanghyang Paramartha, inti hakekat kebenaran itu"

   Ku tertawa, setengah mencemoh "Aku seorang manusia biasa, kakang Bandu.

   Aku bukan resi, pandita dan dewa.

   Dan akupun tak ingin memanusiakan kemanusiawianku dalam ngkat tataran ke-dewa-an yang se nggi langit, langit yang tampak tapi sukar diketahui batas ujungnya itu.

   Akan kubatasi diriku dalam batas2 alam kemanusiawian yang serba kekurangan namun penuh kenyataan itu.

   Aku ingin menjadi diriku, aku ingin hidup dalam kenyataan hidup!"

   "Ki Ku "

   Ba2 Wijaya yang sejak tadi diam menyelutuk "adakah sudah ma niat ki sanak untuk menyelesaikan persoalan dahulu itu dengan kekerasan? Tidakkah tak ada jalan lain lagi? "

   "Ada "sahut Kuti dengan nada angkuh "seperti yang telah kukatakan tadi ".

   "Haruskah dengan jalan itu ?"

   Wijaya menegas.

   "Hm "sahut Kuti "aku tak pernah menjilat ludah yang sudah kusemburkan"

   "Baik "sahut Wijaya.

   "Tidak, Wijaya, jangan melakukan hal itu"

   Teriak Bandupoyo seraya loncat turun dari kuda "adi Ku , karena guru sudah wafat, maka sebagai saudara seperguruan yang lebih tua, aku mewajibkan diri untuk memberi nasehat kepadamu. Perbuatanmu itu melanggar undang2 perguruan kita"

   "Lalu maksud kakang?"

   "Sebagai saudara seperguruan yang lebih tua, kuminta janganlah engkau melanjutkan tindakanmu itu"

   Ku tertawa "Memang kakang Bandu benar, karena kakang dak mengalami penderitaan ba n seper yang kurasakan.

   Dapat dimenger , Sekarang idinkanlah aku bertanya kepada kakang tumenggung Bandupoyo.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Aku peribadi, memang dak keberatan untuk menerima permintaan maaf itu.

   Tetapi ingat kakang, aku adalah murid dari guru resi Brahmacaya di gunung Bromo.

   Apa yang kualami, merupakan hinaan bagi perguruan bapa guru.

   Tidakkah kakang mengidinkan hinaan itu berlangsung ataukah kakang wajib membersihkan nama baik dari perguruan kita?"

   "Hm ..."

   Bandupoyo mendesuh panjang "tetapi Wijaya sudah menghaturkan maaf kepadamu dan mengaku kalah. Tidakkah hal itu sudah cukup untuk membersihkan nama baik perguruan kita ?"

   "Tetapi kakang ...."

   "Ku , lihat, apa yang kupegang ini! "

   Ba2 Bandupoyo mengacungkan kaca wasiat yang tergenggam dalam tangannya. Kuti terbeliak mundur selangkah.

   "Bukankahini penting bagimu? "seru Bandupoyo.

   "Dari mana kakang memperoleh kaca itu ? ".

   "Ke ka kami menolongmu, mengurut-urut tubuhmu, kaca inipun jatuh dari dalam bajumu. Bukankah ini kaca wasiat milik gusti puteri Teribuana yang hilang dan dapat engkau temukan itu?"

   "Benar, kakang"

   "Engkau tentu menginginkannya, bukan? Karena dengan membawa kaca ini engkau tentu akan memperoleh ganjaran besar dari baginda"

   Kuti mengangguk "Ya, lalu bagaimana maksud kakang Bandu?"

   "Akan kukembalikan kepadamu..."

   "Terima kasih, kakang "cepat2 Kuti menukas.

   "Nan dulu "

   Sahut Bandupoyo "jangan cepat2 engkau mengucap terima kasih, dengarkan bicaraku dulu. Akan kukembalikan kaca ini kepadamu tetapi dengan beberapa syarat"

   "Kakang hendak mengajukan syarat kepadaku?"

   "Ya "

   Jawab Bandupoyo "tetapi ringan sekali dan engkau pasti dapat melakukan"

   "Baik, kakang katakanlah"

   "Pertama "kata Bandupoyo "engkau harus hapuskan dendam permusuhan dengan Wijaya. Dan kedua engkau harus mengakui bahwa Wijaya telah menyelamatkan jiwamu"

   Berobah cahaya muka Ku seke ka tetapi beberapa jenak kemudian ia tampak tenang "Baik, untuk saat ini, aku takkan membicarakan soal balas dendam kepada pemuda itu. Kedua, kuakui memang dia yang menolong jiwaku walaupun aku tak menginginkan"

   Bandupoyo mendengarkan dengan penuh perha an, kemudian katanya "Baik, walaupun hanya dengan setengah ha , tetapi karena engkau bersedia menghapus dendam permusuhan itu untuk hari ini, aku dapat menyetujui.

   Tetapi ingat, Ku , jangan engkau menganggap bahwa gunung itu yang paling nggi karena diatas gunung masih terdapat langit yang sukar diukur berapa ngginya.

   Dan kedua, karena engkau mengaku telah menerima pertolongan orang, apakah pernyataanmu, adi Kuti?"

   "Kakang tumenggung menghendaki pernyataan apa dari Ku ? apakah Ku harus menghaturkan sembah terima kasih kepadanya?"

   "Ah "

   Mulut Bandupoyo berdecak-decak "tak perlu. Wijaya bukanlah seorang pemuda yaag gila hormat. Cukup asal engkau tahu dan mengingatnya sajalah"

   "Hm, baik "suara Kuti agak sarat. Bandupoyo pun menyerahkan kaca wasiat itu kepada Kuti. Saat itu hari sudah remang2 menjelang terang tanah.

   "Ku "

   Kata Bandupoyo pula "kami hendak kembali ke pura Singasari, marilah engkau bersama- sama naik kuda dengan aku"

   Kuti gelengkan kepala "Silakan kakang berjalan lebih dulu. Aku hendak beristirahat di sini barang beberapa waktu"

   "O, mengapa?"

   "Merenungkan peris wa yang kualami hari ini. Mengapa dibawah lindungan pasukan kerajaan, tetap ada gerombolan yang berani menyerang aku"

   "Oleh karena itu marilah kita kembali ke pura kerajaan dan menyelidiki peristiwa itu"

   "Tidak, kakang tumenggung. Aku mempunyai cara sendiri untuk merenungkan peristiwa itu"

   Karena Ku menolak maka tumenggung Bandupoyo mengajak Wijaya melanjutkan perjalanan lagi.

   "Paman tumenggung"

   Di tengah perjalanan Wijaya berkata "idinkanlah hamba mengajukan beberapa permohonan kepada paman tumenggung"

   "O, silakan"

   "Paman tumenggung"

   Kata Wijaya "hamba menghaturkan terima kasih atas perha an paman tumenggung yang menginginkan hamba untuk ikut serta dalam sayembara itu.

   Tetapi adakah paman tumenggung menaruh kepercayaan atas diri hamba akan mampu memenangkan sayembara itu ? Disamping tentu banyak sekali ksatrya2 sak yang ikut, masih pula terdapat seorang sak seperti ki Kuti itu.

   Dan bukankah dia itu adik seperguruan paman tumenggung?"

   "Raden Wijaya"

   Jawab tumenggung Bandupoyo "apa yang paman dapat lakukan hanyalah berusaha.

   Dan kepercayaan itu didalam hati raden tempatnya.

   Percaya pada diri sendiri merupakan kekuatan sak yang menjadi lambaran untuk mencapai cita-cita.

   Sayembara itu, namanya saja untuk memilih senopa , sudah layak kalau banyak ksatrya sak yang akan ikut.

   Dalam hal ini, kepercayaan pada diri sendiri merupakan senjata pamungkas untuk mengatasi kesemuanya itu"

   Berhen sejenak tumenggung Bandupoyo berkata pula "Raden Wijaya, soal Ku , janganlah engkau hubungkan dengan diri paman.

   Seper engkau tadi telah mendengar dan mengetahui sendiri, betapa pendirian Ku itu amat berlawanan dengan pendirianku.

   Apabila ada kaca wasiat itu, mungkin sukar untuk menundukkan kemauannya.

   Dan tak dapat kukatakan bagaimana kesudahannya tadi"

   Wijaya lalu menuturkan tentang peris wa yang pernah terjadi antara dirinya dengan Ku pada waktu Kuti menjadi bekel pasukan Wengker. Dia menyatakan penyesalannya tentang peristiwa itu.

   "Tak ada yang harus engkau sesalkan, raden "kata. Bandupoyo "dalam pertempuran beradu ilmu kanuragan, keunggulan ilmu dan kesempurnaan la han, merupakan hal yang menentukan. Jika dia kalah, yang salah bukan engkau tetapi harus dicari pada dirinya sendiri akan sebab2 kekalahan itu"

   "Dia pernah berjanji, dua tahun lagi akan mencari aku untuk menghimpaskan kekalahan itu"

   Bandupoyo mengangguk "Memang demikianlah perangai Ku sejak dulu waktu masih di perguruan. Se ap melihat guru menurunkan ilmu pelajaran baru kepadaku, dia tentu iri dan minta aku supaya mengajarkan kepadanya"

   Demikian keduanya bercakap-cakap untuk mengisi kekosongan yang lelap dalam perjalanan itu.

   Menjelang surya terbit, mereka sudah melihat pura Singasari tampak dari kejauhan.

   ~dewikz^ismoyo^mch~ II Wijaya tak ikut tumenggung Bandupoyo masuk kedalam keraton.

   Dengan alasan bahwa agar jangan menimbulkan kesan kepada orang terutama para ksatrya yang ikut serta dalam sayembara bahwa seolah-olah tumenggung Bandupoyo telah memilih seorang calon.

   Agar pula hilang prasangka orang bahwa tumenggung Bandupoyo secara diam2 tentu memberi bantuan kepada Wijaya yang dicalonkan itu agar menang dalam sayembara.

   Bandupoyopun menyetujui permintaan Wijaya.

   "Di samping itu hambapun hendak menemu beberapa kawan hamba yang tentu mengharap- harap cemas akan kedatangan hamba"

   Wijaya dengan singkat menuturkan tentang kuda hitam yang dinaikinya itu.

   "O, baiklah "Bandupoyo mengangguk "apabila, mungkin, kumpulkan beberapa anakmuda yang engkau anggap mempunyai rasa cinta kepada negara, bertanggung jawab dan setya mengabdi kepada kerajaan Singasari"

   "Baik, paman "kata Wijaya. Wijaya menimang-nimang, kemana ia hendak tujukan langkah. Tujuh hari lamanya ia meninggalkan Singasari. Kemanakah Podang? Kemana pula pemilik kuda yang bertubuh tinggi itu? Ia turun dari kuda hitam dan duduk beris rahat dibawah sebatang pohon. Ia mengenangkan peristiwa yang dialaminya selama tujuh hari itu .... Setelah berhasil naik kuda hitam, kuda itu terus lari. Ia berusaha untuk menghen kan tetapi ia terkejut ke ka merasa betapa kuat tenaga kuda hitam itu. Bermula ia cemas dan memikirkan Podang dan orang2 yang tentu masih menunggu di tanah lapang. Saat itu hari sudah malam dan kuda hitam tetap lari tak berhenti.

   "Hm, aneh benar kuda ini "pikirnya "

   Dakkah berbahaya apabila kubiarkan dia terus membawa aku lari tanpa arah tujuan ini ?"

   Serentak dia berkemas hendak memaksa kuda hitam berhenti.

   Tetapi pada lain kilas ia mendapat perasaan bahwa kuda itu hanya berlari sekencang angin tetapi dak mengadakan suatu gerakan yang membahayakan penunggangnya.

   Penemuan itu segera dikaitkan lagi dengan ngkah ulah kuda ke ka di lapangan tadi.

   Beberapa orang telah disengkelit jatuh dan hanya ke ka dia yang mengendarai, kuda itu tampak tenang dan menurut.

   Juga menurut keterangan pemiliknya, kuda itu seekor kuda gagu, tak pernah meringkik atau mengeluarkan suara.

   Ternyata ke ka ia perintahkan berbunyi, kuda itupun mau meringkik.

   Kesemuanya itu memberi bahan pemikiran kepadanya, bahwa kuda itu memang seekor kuda yang aneh.

   Kesimpulan itu segera menimbulkan rasa ingin tahu kemanakah gerangan kuda itu hendak membawanya.

   Akhirnya ia memutuskan, membiarkan saja kuda itu lari.

   Pada saatnya, binatang itu tentu akan berhenti sendiri.

   Selama diayun di atas punggung kuda, Wijaya hanya merasa seper melintas bayang2 hitam yang nggi, gunduk2 dan tanah lapang yang gelap.

   Ia tak pernah terbang maka tak tahulah ia adakah ia sedang dibawa lari kencang oleh kuda hitam itu atau diterbangkan.

   Semalam suntuk kuda itu menempuh perjalanan.

   Kemana arahnya Wijayapun tak tahu.

   Hanya ke ka hari mulai meremang tanah, ia terkejut ke ka melihat jauh disebelah depan tampak gumpalan awan pu h yang mengandung warna kebiru-biruan "Hai, apakah aku dibawa terbang ke langit ? "terhenyaklah ia dari rasa kantuk.

   Tetapi beberapa saat kemudian ia mendengar suara gemuruh seperti gelombang ombak di laut.

   "Ombak laut atau gemuruh di langit?"

   Pikirnya. Tepat pada waktu fajar, kuda itupun berhen di-sebuah tempat yang penuh dengan gunduk2 karang. Kuda itupun segera menekuk kaki dan mendumprah di tanah. Wijaya terpaksa turun "Laut"

   Seru Wijaya, ke ka memandang ke muka.

   Kini ia jelas apa yang tampak sebagai gumpalan awan pu h kebiru-biruan itu.

   Ternyata laut yang berselimut kabut pagi.

   Memandang kesekeliling, ia tak melihat barang sebuah rumah ataupun pohon.

   Semuanya hanya gunduk2 karang "Daerah bukit karang"

   Pikirnya.

   Setelah memandang keadaan sekeliling tempat, lalu ia berpaling kepada kuda hitam itu.

   Ingin ia mengetahui apa sebab binatang itu membawanya ke tempat itu.

   Tetapi ia agak kecewa karena melihat kuda itu pejamkan mata seper dur "Aneh "gumamnya "apa maksudnya membawa aku kemari?"

   Akhirnya diapun meneliti tempat itu.

   Dia juga ingin beristirahat.

   Tiba2 pandang matanya tertumbuk segunduk batu karang yang aneh bentuknya.

   Ditengahi batu karang itu terdapat sebuah celah yang memanjang dari atas sampai bawah, seperti terbelah.

   Segera ia menghampiri dan meneli .

   Mengintai lubang celah itu, ia melihat dibagian dalamnya berlubang besar "Gua? "pikirnya.

   Dan mulailah ia me-ngisar batu penutup itu namun tak berhasil.

   Semalam tak dur dan harus mengeluarkan tenaga, menyebabkan Wijaya lunglai.

   Terpaksa dia hentikan usahanya dan merebahkan diri.

   Entah berapa lama ia ter dur hanya sesaat tersadar ia merasa mukanya dijilat-jilat lidah yang panjang.

   Ke ka membuka mata, ia cepat melonjak bangun.

   Ternyata kuda hitam itulah yang menjilat-jilat mukanya untuk membangunkannya.

   Saat itu hari sudah sore.

   Kuda itu meringkik dan menghunjam-hunjamkan kaki depannya ke tanah.

   Wijaya tak tahu apa maksud binatang itu.

   Tetapi setelah kuda itu menekuk kaki mengendapkan tubuh barulah Wijaya mengerti.

   Cepat ia naik ke punggungnya dan kuda itu segera lari "Aneh benar kuda ini, kemana lagi aku hendak dibawanya?"

   La terkejut girang ke ka kuda itu membawanya ke sebuah aliran sungai.

   Airnya bening, sejuk dan sekelilingnya ditumbuhi beberapa pohon.

   Wijaya segera meneguk air dan meme k pupus muda untuk makanan.

   Beberapa saat kemudian, ia rasakan semangatnya segar.

   Kuda itu ber ngkah seper tadi lagi, meringkik dan menggentak-gentakkan kakinya ke tanah.

   Kali ini Wijaya menger maksudnya, la segera naik ke punggung binatang itu.

   Ternyata ia dibawa lagi ke gua tadi.

   Kini Wijaya mulai menghantam pintu gua itu.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akhirnya terbukalah sebuah celah yang cukup dimasuki tubuhnya.

   "Sukra"

   Ia berpaling kepada kuda hitam. Untuk memperinga bahwa ia mendapatkan kuda itu pada hari Sukra atau Jumat, maka ia menamakannya Sukra "engkau disini, aku hendak masuk"

   Rupanya kuda hitam itu senang mendapat nama Sukra.

   Ia meringkik.

   Wijaya segera masuk kedalam gua.

   Ternyata gua itu di bagian dalam amat luas.

   Ia terkejut ke ka, melihat ruang dibagian dalam itu terang seperti memakai pelita.

   Hasratnya antuk menyelidiki keadaan gua itu makin besar.

   Tersirap darahnya ke ka ia melihat sebuah pemandangan yang menyeramkan.

   Pada dinding ruang tengah, tampak sesosok kerangka tengah duduk bersila, mengenakan kain cawat dan menggenggam sebuah gada.

   Wijaya berjingkat-jingkat maju menghampiri.

   Dua ga langkah dari tempat kerangka itu, dia berhen dan memandang tajam2 untuk meneli .

   Ia mengangguk, membenarkan dugaannya bahwa kerangka itu memang seperangkat tulang belulang dari seorang manusia yang sudah ma .

   Dihadapannya tampak sebuah penampan batu yang memancarkan api.

   Kiranya penerangan dalam ruang itu berasal dari api yang memancar dari penampan batu itu.

   "Siapakah gerangan orang ini?"

   Wijaya melangkah mendekat.

   Menilik kerangkanya yang nggi besar, tentulah dahulu orang itu seorang lelaki.

   Dan menilik senjatanya sebuah gada panjang, dia tentu seorang lelaki gagah, mungkin prajurit.

   Wijaya menimang-nimang, apakah ia akan meninggalkan kerangka manusia itu ataukah menguburkannya.

   Ia ingin tahu siapa gerangan orang itu.

   Bahwa pada lengan orang itu masih terdapat gelang, kemungkinan besar dia tentu seorang prajurit atau seorang nayaka.

   Ia mendeka perapian itu.

   Heran juga ia melihatnya bahwa api itu bukan pelita atau sebangsa lampu yang menggunakan minyak.

   Api menyembur dari penampan batu yang tengahnya berlubang.

   Dengan begitu jelas api itu berada dibawah tanah.

   "Aneh, mengapa api ini tak kunjung padam?"

   Pikirnya. Iapun menjamah gada yang menggeletak di samping kaki kerangka itu tetapi secepat itu iapun segera menarik kembali tangannya "Ada getaran keras pada gada itu"

   Serunya seorang diri.

   Dan serentak ia teringat akan keterangan gurunya, resi Sinamaya, bahwa senjata yang memancarkan getaran itu tergolong sebuah wesi-aji, pusaka yang bertuah.

   Kemudian ia merabah kain cawat, ah ....sesaat tersentuh jari, kain itupun berhamburan hancur.

   Ia tak melanjutkan lagi.

   Saat itu sunyi senyap.

   Berada seorang diri dalam sebuah gua yang berisi sesosok tengkorak manusia, memang menimbulkan rasa tegang dan seram.

   Tetapi karena sudah terlanjur berada disitu, Wijayapun tabahkan nyali.

   Tak mungkin sesosok kerangka manusia akan bergerak menyerangnya, pikirnya.

   Setelah beberapa waktu meneli keadaan ruang itu, akhirnya Wijaya beris rahat.

   Sambil menyandar pada dinding gua, ia mulai merangkai kesimpulan dalam peris wa aneh yang dialaminya saat itu.

   Mengapa kuda hitam membawanya ke tempat itu.

   Mengapa dalam gua terdapat sesosok kerangka manusia.

   Dan pertanyaan2 itu mulai membangkitkan keinginannya untuk menyingkap asal usul kerangka manusia itu.

   Dan untuk mencapai hal itu ada lain jalan kecuali ia harus bersemedhi mengheningkan cipta untuk memohon agar ia dapat bertemu dengan arwah orang itu.

   Dua kali ia telah melakukan semedhi yaitu di candi Wengker dan bertemu dengan arwah eyang Mahisa Campaka atau Batara Narasinghamur .

   Kemudian di candi Kagenengan dan bertemu dengan arwah eyang sri Rajasa sang Amurwabhumi atau Ken Arok.

   Mengapa ia tak mencoba lagi untuk menemui arwah dari kerangka manusia dalam gua itu? Setelah bulat keputusannya maka diapun lalu duduk bersemedhi mengheningkan cipta, mema kan seluruh indriya.

   Entah berapa lama, dua atau ga hari, dalam keadaan ma -raga itu akhrinya pada malam itu, ia seperti melihat suatu pemandangan yang aneh ....

   Ditengah gelombang lautan yang mendampar dahsyat, dibawa oleh bergulung-gulung ombak yang naik turun, berkejar- kejaran ke pantai, ia melihat seorang lelaki berdiri diatas gelombang.

   Wajahnya memancarkan cahaya dan sikapnya amat tenang.

   Selekas mendarat di pesisir, lelaki itupun berjalan menuju ke gua.

   Makin jelas cahaya wajah pemuda itu memancarkan sinar yang gilang gemilang dan semerbak bau yang mempesona.

   Pintu gua lenyap seke ka ke ka lelaki tampan itu melangkah masuk.

   Dan suatu peris wa gaibpun telah terjadi ke ka ba2 sosok tulang kerangka itu bergerak-gerak dan ba2 berubah menjadi seorang manusia yang nggi besar.

   Demi melihat kehadiran lelaki tampan itu, serta merta ia berlutut mencium kaki lelaki itu "Duh, gusti junjungan hamba, ampunilah dosa hamba, gusti"

   Lelaki berparas gemilang itu tersenyum "Girisa, angkau masih ingat siapa aku?"

   Orang tinggi besar itu gemetar "Hamba Girisa, gusti ?"

   "Ya, pada jeman engkau menjadi manusia yang bernama Girisa"

   "Duh, gus junjungan hamba yang mulia, paduka sang prabu Sanjaya yang agung ...

   "

   Orang nggi besar itu menyembah.

   "Benar, Girisa, kesetyaanmu menghadapi serangan adinda Balaputera-dewa, takkan kulupakan"

   "Gus junjungan hamba yang agung. Dipermuliakan kiranya sabda paduka. Memang tekad hamba tak lain hanya ingin mengabdi kepada paduka sepanjang masa, gusti ...."

   "Watudara "

   Ba2 pemuda tampan itu berujar. Lelaki nggi besar terbeliak kejut "Hamba .... hamba ..."

   "Engkau bernama Watudara ketika menjadi senopatiku di kerajaan Medang"

   "O "orang berubuh nggi besar itu mendesuh kejut dan kembali dia menungkul mencium kaki pemuda "duh, gusti junjungan hamba sang prabu Dharmawangsa yang mulia ....

   "Watudara, mengapa engkau melarikan diri dan bertapa di gua ini ?"

   "Ampun beribu ampun, gus "sembah orang nggi besar itu "hamba telah terkepung oleh pasukan raja Wurawari, seluruh anakbuah hamba telah habis dibinasakan musuh. Hambapun menderita luka2 parah dan terpaksa melarikan diri dan lolos ke dalam hutan. Beberapa waktu kemudian hamba hendak kembali ke pura kerajaan paduka, tetapi apa yang hamba saksikan benar2 menyayat hati hamba. Hamba menangis sehingga mengucurkan airmata darah, gusti ...."

   "Apa yang engkau lihat, Watudara?"

   "Keraton paduka telah hancur dibakar pasukan raja Wurawari. Saat itu pula hamba menjatuhkan sumpah, pada suatu hari hamba pas akan menuntut balas kepada musuh. Dan hambapun bersumpah takkan keluar dari persumbunyian, apabila hamba belum memperoleh tah-gaib dari dewata. Hambapun menjatuhkan kutuk kepada anak keturunan hamba supaya ma tak berkubur apabila bekerja pada musuh"

   "Watudara "

   Seru lelaki tampan itu "aku tak meragukan kesetyaanmu. Dan apakah engkau sudah menerima wangsit dari dewata?"

   "Demikianlah, gus "

   Kata lelaki nggi besar itu "hamba di tahkan supaya menunggu di sini sampai nanti datang seorang manusia yang kelak akan menjadi calon raja besar."

   "O, lalu apa bhakti persembahanmu kepada caIon raja itu ?"

   "Dewata menitahkan hamba supaya menghaturkan gada pusaka hamba ini demikian pula tenaga-kekuatan yang hamba miliki"

   "Engkau rela, Watudara ?"

   "Hamba rela setulus hati hamba, gusti "

   Orang itu mencium kaki lelaki tampan.

   "Baik, Watudara, kuterima persembahanmu. Cobalah engkau duduk yang tegak dan pandanglah aku"

   Orang nggi besar itupun menurut perintah. Ke ka ia mengangkat muka dan memandang wajah junjungannya serentak ia memekik "Gusti.....gusti anakmuda yang berada dalam gua ini...."

   "Untuk bhak persembahanmu, Watudara, kelak akan kumohonkan kepada dewata agar engkau dapat menitis menjadi salah seorang kadehanku"

   "Terima kasih, gusti "

   Kembali orang tinggi besar itu mencium kaki lelaki tampan.

   "Lekas lakukan janjimu, Watudara ....

   "

   Lelaki tinggi besar itu terus menubruk dan memeluk Wijaya. Wijaya terkejut dan terjaga seketika. Hatinya berdebar-debar keras "Aku bermimpi "

   Katanya dalam hati. Memandang pada rerangka yang berada di tengah ruangan ternyata tulang belulang itu sudah berantakan dan menumpuk jadi satu "Aneh "

   Wijaya makin terkejut. Jelas dilihatnya bahwa ga hari yang lalu kerangka tulang itu masih utuh dalam sikap duduk.

   "Apakah yang terjadi? "mulai mbul pertanyaan dalam ha nya "o, aku bermimpi "

   Ia lalu berusaha untuk mengingat kembali mimpinya itu tetapi ia heran sekali mengapa ia tak ingat mimpi itu lagi.

   "Aneh, aneh "

   Tak putus-putusnya ia bergumam "jelas aku bermimpi tetapi mengapa aku lupa sama sekali ....

   "

   Setelah gagal mengingat mimpinya akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan gua itu. Tiba2 terlintas sesuatu dalam pikirannya "Ah, kasihan orang ini. Akan kusempurnakan saja"

   Ia segera mengumpulkan tulang belulang itu lalu dibakarnya. Setelah menjadi abu ia segera melepas ikat kain kepalanya untuk membungkus abu itu. Setelah mengambil gada, iapun keluar.

   "Akan kuhanyutkan saja dalam laut agar sempurna"

   Katanya lalu menuju ke tepi laut.

   Ia menunggu air laut pasang lalu melontarkan bungkusan abu dalam kain kepala itu ke laut.

   Kain kepala itupun segera dibawa air surut ke tengah.

   Ia menghela napas longgar karena merasa telah menunaikan sesuatu untuk orang yang tak dikenal itu.

   Saat itu hari sudah petang.

   Terpaksa ia bermalam lagi ditempat itu.

   Ada suatu perasaan yang dirasakan aneh bahwa saat itu dia tak merasa lapar maupun haus serta kantuk.

   Semangat terasa penuh, tenaganya segar.

   Wijaya duduk bersemedhi menghadap ke laut yang bebas lepas.

   Ombak yang dahsyat, menderu-deru laksana ribuan pasukan kuda yang menyerbu di medan perang.

   Gegap gempita bagaikan prajurit yang bertampik sorak di medan laga.

   Dahsyat, ganas, menghancurkan segala rintangan, berkejar-kejaran mencapai pantai laksana pasukan kapal perang yang hendak mendarat di dataran musuh.

   Laut, tak kenal lelah, siang dan malam, hujan dan terang, gelap dan cerah.

   Apakah tujuan mereka? Mengapa di dunia terbentang tujuh samudera raksasa ? Mengapa ....

   mengapa? Terusik dengan macam2 pertanyaan itu, bergolak-lah pikiran Wijaya sehingga sukar untuk mencapai ketenangan.

   Dan karena sukar mengendapkan pikiran maka iapun tak mau memaksa diri.

   Dibiarkannya pikiran merana dalam pengembaraan sang Keinginan.

   Memikirkan tentang ombak di samudera yang tak pernah berhen , diapun merangkaikannya dengan kehidupan yang tak kenal tenang.

   Dan unsur daripada kehidupan itu tak lain adalah mahluk2 penghuni jagad raya ini.

   Diantara mahluk2 itu adalah manusia merupakan mahluk yang tertinggi, mahluk yang dikasihi dewata dengan serba lengkap, jasad dan pikiran.

   Meningkatkan renungan lebih lanjut, ia merasa tersengat keterkejutan.

   Teringat ia akan salah sebuah ajaran dari bapa gurunya bahwa dunia ini merupakan buana besar dan tubuh kita ini merupakan buana alit atau kecil.

   Unsur pen ng dari jagad ini adalah Hawa, air dan api.

   Demikian pula dengan buana-alit pada jasad manusia.

   Hawa, merupakan pernapasan.

   Air, merupakan darah dan api adalah pikiran dengan seribu macam keinginan.

   Demikian pula dengan laut samudera.

   Tanpa air, dunia akan kering, gersang dan layu.

   Merenungkan unsur kehidupan dan kebesaran alam yang serba lengkap sempurna itu, Wijaya menengadahkan kepala mendambakan puji syukur, doa pengagungan akan ke maha-keagungan dan maha-kebesaran sang Hyang Widdhi Tunggal.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kesadaran itu cepat menyadarkan dirinya, betapa kecil arti dirinya dihadapan sang Hyang Maha Tunggal itu ....Beberapa waktu ia menyerahkan persembahan diri kehadapan sang Pencipta, kemudian terasa longgarlah perasaan sanubarinya.

   Iapun mendengar lagi deru ombak samudera mendebur-debur, seper darah dalam tubuhnya yang tak hen -hen nya mengalir.

   Iapun merasakan pula betapa bersemangat gelombang ombak itu berkejar-kejaran menuju ke pantai, semisal gejolak ha nya yang ingin mencapai cita2.

   "Ah "

   Ba2 ia mendesah dalam menemukan sesuatu "hidup itu tak ubah seper gerak ombak samudera yang tak kenal berhen .

   Apa tujuan mereka, mungkin mereka tak tahu.

   Ombak itu bergerak karena digerakkan oleh kekuatan alam untuk melakukan gerak gelombang.

   Demikian pula dengan manusia.

   Hidup itu hanya suatu dhatma-hidup yang dititahkan oleh sang Pencipta Agung"

   Menginjak pada penemuan itu, bergeloralah semangat Wijaya.

   Bahwa dia harus bersemangat seper ombak di samudera yang tak kenal berhen , tak kenal lelah dan yang pen ng tak kenal pamrih untuk mengetahui bagaimana kesudahan daripada gerak-wajibnya i-tu.

   Hidup itu suatu dharma dalam arti yang seluas-luasnya.

   Saat itu rembulan pucat memudar disebelah barat.

   Permukaan lautpun terbungkus oleh kabut putih.

   Cuaca masih meremang gelap.

   Tiba2 pandang matanya tertumbuk akan sebuah benda yang aneh.

   Sebuah benda yang bersinar seperti sepetik api.

   Benda itu mula2 muncul di kejauhan tengah laut.

   Makin lama makin terbawa ombak dan makin mendekati ke pantai.

   Sudaji kodrat watak manusia untuk mengetahui sesuatu yang dirasa aneh.

   Demikian pula dengan Wijaya.

   Ia benar2 heran dan ingin tahu benda apakah yang bersinar itu.

   Maka setelah berbangkit iapun segera lari menuju ke pantai.

   Tepat pada saat itu, benda bersinar dihempas air pasang maka Wijayapun terus terjun untuk menyambarnya.

   Tetapi pada saat dia berhasil menangkap benda itu, air lautpun menyurut sehingga Wijaya terbawa ombak ke tengah.

   "Ma aku "keluh Wijaya. Jika dia harus berjuang mempertahankan diri, terpaksa dia harus melepaskan benda itu. Apabila dia masih tetap mendekapnya, dia tentu akan ma ditelan ombak. Entah bagaimana, saat itu ia merasa mempunyai suatu keinginan keras untuk tetap mendekap benda itu "Kalau harus mati, biarlah aku mati "demikian kebulatan tekadnya. Dengan sebelah tangan ia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan diri agar jangan ditelan kebawah air. Dan tanpa disadari, tenaganya saat itu memang bertambah kuat sekali. Mungkin hal itu dia tak tahu dan mungkin dia tak pernah membayangkan bahwa andaikata beberapa hari yang lalu dia dicengkeram ombak sedahsyat itu, tentulah dia sudah binasa tenggelam di dalam laut. Ombak samudera selatan memang bukan olah-olah dahsyatnya. Memang cukup dahsyat perjuangan Wijaya melawan ombak tetapi lama kelamaan, ia merasa tenaganya mulai menurun. Berulang kali ia harus minum air dan terutama kedua matanya makin pedas. Tiba2 kakinya serasa tersedot oleh kisaran angin yang amat kuat sekali "Uh ....

   "ia menjerit dalam ha "ma aku sekarang ....

   "tubuhnya pun ikut tertarik ke bawah dan tak tahu lagi apa yang telah terjadi selanjutnya. Rupanya Wijaya masih belum ditakdirkan harus ma dalam laut. Pada saat dia sudah pingsan dan mulai tenggelam, ba2 gelombang besar mulai berkejar-kejaran datang dan menghempaskannya, membawanya ke pantai. Air pasang telah mendampar tubuhnya ke pesisir. Ke ka Wijaya terjun ke laut, sebenarnya kuda hitam sudah meringkik-ringkik. Kemudian pada waktu Wijaya terbawa air surut, kuda itu melonjak-lonjak seper kebingungan. Lebih2 sesaat tubuh Wijaya tenggelam, kuda itu melonjak-lonjak dan meringkik-ringkik seper kalap. Dia lari kian kemari seper kuda liar. Tiba2 ia melihat tubuh Wijaya terdampar lagi oleh air surut maka kuda itupun cepat lari menghampiri dan menggigit ikat pinggang lalu membawanya ke daratan. Entah berselang berapa lama tampak Wijaya mulai sadar dan bergerak-gerak. Ia menggeliat bangun, muntah2 beberapa kali. Ia segera duduk bersila untuk memulangkan pernapasan. Tak berapa lama, semangatnya mulai segar kembali. Serentak ia teringat akan benda yang didekapnya di tengah laut tadi "Ah"

   Ia mendesuh longgar ke ka melihat benda itu masih berada disampingnya.

   Tetapi kelonggaran ha nya itu segera bergan dengan rasa kejut2 kecewa ke ka mendapatkan bahwa benda yang didekapnya secara kemati-matian itu tak lain hanya sebutir buah kelapa hijau.

   Ia menghela napas dan geleng2 kepala "Jika tahu hanya sebuah kelapa hijau, lebih baik kulepaskan saja di tengah laut "

   Katanya.

   Ia segera berbangkit dan menuju ke gua untuk beristirahat.

   Beberapa saat kemudian ia segera menghampiri ke tempat kuda hitam lalu loncat menaikinya.

   Ia memutuskan hendak segera tinggalkan tempat itu.

   Tetapi alangkah kejutnya ketika kuda hitam itu tak mau berjalan.

   Beberapa kali ditepuk kepalanya, dijepit pinggangnya bahkan ditamparnya, tetap kuda itu tak mau jalan.

   Akhirnya ia turun dan hendak menuntun saja.

   Ia pikir kuda itu mungkin letih.

   Tetapi untuk kedua kalinya dia harus terkejut lagi ketika kuda hitam itu tetap mogok jalan.

   "Aneh benar kuda ini "pikirnya "dia yang membawa aku kemari tetapi mengapa sekarang tak mau kuajak pergi"

   "Ah, mungkin kuda ini masih lelah. Terpaksa aku harus bermalam lagi disini. Mudah-mudahan besok dia sudah segar lagi "pikirnya. Malampun makin gelap. Wijaya duduk bersemedhi. Suatu hal yang dilakukan se ap malam sebelum tidur. Kebiasaan itu sudah hampir menjadi darah daging sejak dia berguru di gunung Kawi.

   "Ilmu semedhi itu amat berguna sekali untuk kesehatan tubuh dan ketenangan pikiran. Apabila engkau rajin berlatih ilmu itu, engkau pasti akan dapat merasakan buahnya yang tak ternilai. Makin meningkat ilmu semedhi yang engkau lakukan itu, makin banyak hal2 yang akan engkau ketahui. Aku tak dapat mengatakan apa2 karena dikuatirkan pikiranmu akan menyerap hal2 yang kukatakan itu dan apa yang engkau dapatkan dalam semedhi itu tak lain adalah cipta kesan daripada apa yang kukatakan. Maka lakukanlah sendiri dan alamilah sendiri keadaan dunia gaib dalam jelajah semedhimu itu. Satu hal yang harus engkau ingat, jangan paksakan diri dan jangan terkesan oleh keterangan orang melainkan rasakan dan temuilah sendiri secara wajar dan bebas"

   Kata resi Sinamaya.

   Memang banyak hal2 yang bermanfaat dari la han semedhi yang selalu dikerjakan oleh Wijaya selama bertahun tahun ini.

   Ia merasakan tubuhnya makin sehat, pikiran makin terang, penglihatan dan pendengaran serta lain2 indriya, makin tajam.

   Ia pun makin tenang, ketenangan yang memancarkan rasa kepercayaan terhadap diri sendiri.

   Demikian malam itu ke ka bulan susut sudah naik nggi dikekelaman malam tak berbintang, Wijaya sedang tenggelam dalam alam semedhi yang kosong.

   Pada saat cipta-semedhinya itu hampir mencapai ke alam kehampaan yang lelap, ba2 alat pendengarannya terusik oleh sebuah suara ledakan yang keras.

   Maka berangsur-angsur alam ke nggian yang sedang dicapainya itupun mulai meluncur turun dan berhamburan mengendap dalam alam sadar pula.

   Karena tak ingin memaksa diri untuk menekan rasa ingintahu dari suara ledakan tadi, diapun segera membuka kelopak mata.

   "Ah ....

   "pikirannya mendesah ke ka serabut2 halus ha nya tergetar oleh rasa kejut manakala mata melihat sesuatu yang menyengat pandang. Sebuah benda yang terpisah lebih kurang berpuluh tombak dari tempat ia duduk, tampak memancarkan sinar yang menyilau mata. Sinar itu berwarna pu h kebiru-biruan, gilang-gemilang. Ia mempertajam pandang mata lebih lanjut dan ba2 pula ia terkejut "Benarkah benda itu ?"

   Ia bertanya dalam hati.

   Pertanyaan itu tak berjawab.

   Dan memenuhi tuntutan ha yang ingin tahu, serentak dia berbangkit lalu ayunkan langkah menuju ke tempat benda yang memancarkan sinar kemilau itu.

   Tetapi alangkah kejutnya ke ka hampir mendeka benda itu, cahaya berkilau gemilang itu ba2 lenyap tetapi benda yang memancarkan cahaya sinar itu masih menggunduk di tanah dekat pesisir.

   "Buah kelapa "katanya pula ketika jaraknya makin dekas. Dan saat itu tiba2 di depan benda itu, ia makin membenarkan dugaannya. Memang benda berbentuk bundar yang terletak di tanah itu tak lain adalah kelapa hijau yang siang tadi dilemparkan di situ.

   "Ah "ia mendesuh kecewa "lagi2 buah kelapa ini yang mengganggu ketenangan semedhiku "untuk penyalur rasa kekecewaan ha nya, ia mengambil buah kelapa itu dan terus dilemparkan ke laut. Tetapi pada saat itu air sedang pasang. Buah kelapa itupun terdampar ombak dan terlempar ke pesisir lagi. Namun setelah membuang buah kelapa, Wijayapun berputar tubuh dan terus kembali ke gua karang. Dia tak mau menghiraukan lagi bagaimana dengan kelapa itu. Dia hendak melanjutkan semedhi yang terputus setengah jalan. Karena rasa kejut dan rasa ingin tahu sudah terpenuhi maka dalam waktu yang singkat, semedhi Wijayapun cepat memasuki alam ke hampaan. Sayup2 sesosok tubuh dari seorang insan manusia yang masih muda muncul di bumi, berjalan menuju ke pantai. Entah dia itu berasal dari mana dan hendak menuju ke mana. Hanya tampak berjalan ke pantai laut. Tiba2 ia berhenti dan tertegun ketika melihat dari tengah laut seorang manusia baju putih tengah berjalan diatas permukaan air. Cepat sekali orang itu sudah berada di muka orang muda tadi. Ternyata orang yang muncul dan berjalan di permukaan laut itu seorang kakek tua yang rambutnya memanjang dan mulut tertutup oleh gumpalan rambut yang sudah putih. Dari rambut, alis, kumis, janggut dan bahkan pakaiannyapun putih semua.

   "Anakmuda"

   Tiba2 kakek itu menegur "hendak kemana engkau ?"

   "O, siapa eyang ini?"

   Balas orang muda itu.

   "Apa yang engkau lihat pada diriku ?"

   "Eyang seorang kakek yang tua, berambut putih dan berpakaian putih "

   "Begitulah keadaanku, menurut apapun yang tampak oleh orang"

   Sahut kakek tua dengan nada yang aneh.

   "Lalu siapakah nama eyang?"

   "Nama itu hanya suatu tanda yang diciptakan. manusia untuk semua benda dan mahluk di arcapada. Karena aku tidak tinggal di arcapada, akupun tak memerlukan nama"

   "Tetapi setiap orang tentu ...."

   "Terserah kepada orang yang hendak memberi nama apa saja. Yang jelas, aku membawa ciri pengenal yani warna pu h. Warna dari kesucian dan kehampaan. Sudahlah, anakmuda, jangan mempersoalkan nama. Terserah saja apa yang hendak engkau berikan"

   "Baik, eyang"

   Kata anakmuda itu "lalu dakkah eyang takkan keberatan mengidinkan hamba untuk bertanya apa gerangan maksud eyang datang kepada hamba? "

   "Kulihat engkau seorang ksatrya, anakmuda"

   Seru kakek berjubah putih "bukankah demikian?"

   "Benar, eyang. Hamba ingin menjadi seorang ksatrya luhur"

   "Baik sekali keinginanmu itu, anakmuda "kakek berjubah pu h tertawa "lalu sudahkah engkau lakukan dharma sebagai seorang ksatrya"

   "Hamba telah melaksanakan petuah2 dan wejangan-wejangan serta isi2 kitab veda yang memuat tentang perilaku seorang ksatrya"

   "Engkau telah melaksanakan? "agak menyelip rasa heran dalam nada pertanyaan kakek berjubah putih "apa saja yang telah engkau lakukan itu ?"

   "Seorang ksatrya harus menolong yang lemah dan memberantas yang lalim. Membela keadilan, menentang kesewenang- wenangan. Menjunjung kebenaran, menghancurkan kejahatan. Kesemuanya itu telah hamba lakukan, eyang"

   Kakek berjubah pu h tertawa pula "Bagus, anakmuda. Tetapi kesemuanya itu baru merupakan akal dan okol, pikiran dan ke-aku-an seorang ksatrya dalam libatan ilmu jaya-kawijayan. Usaha untuk menyejahterakan alam keduniawian"

   Anakmuka itu terbeliak "Adakah masih terdapat kekurangan lagi dalam dharma seorang ksatrya itu ?"

   "Ya "kakek berjubah pu h mengangguk "masih ada. Banyak. Terutama yang menyangkut ha dan batin, kesucian dan keluhuran"

   "O "anak muda itu tertegun "jika demikian hamba mohon eyang suka memberi petunjuk2"

   "Petunjuk, ilmu dan wejangan2, memang perlu "

   Kata kakek berjubah pu h "tetapi kesemuanya itu hanya merupakan kelengkapan.

   Ibarat orang yang hendak menempuh perjalanan jauh, semua bekal kelengkapan sudah cukup tetapi dia takkan mencapai tujuan yang dicita-citakan apabila dak melaksanakan perjalanan itu.

   Dia akan tetap berada di tempatnya semula, asyik menikma segala bekal kelengkapannya dengan rasa puas"

   Anakmuda itu termangu.

   "Oleh karena itu, jika engkau ingin meminta petunjuk, akupun dengan gembira akan memberikannya, asal engkau benar2 mau melaksanakan"

   "Hamba akan melakukannya, eyang"

   "Benar, anakmuda?"

   "Ya"

   "Engkau menyadari makna ucapan seorang ksatrya ?"

   "Janji adalah kehormatannya"

   "Baik "sahut kakek berjubah pu h "pernahkah selama ini engkau memberi dana kepada orang yang benar2 membutuhkan pertolongan ?"

   "Pernah"

   "Apa saja yang pernah engkau danakan?"

   "Apa yang dimintanya dan hamba berikan benda apa saja yang hamba miliki"

   "Pernah seseorang meminta lebih dari itu?"

   "Apa yang eyang maksudkan?"

   "Misalnya, minta supaya engkau menyerahkan isteri, saudara perempuan dan lain2 keluargamu?"

   "Belum pernah hamba bersua dengan orang yang meminta demikian"

   "Pernahkah engkau bertemu dengan orang yang meminta engkau suka berkorban diri"

   "Belum pernah, eyang"

   "Kalau engkau berhadapan dengan orang begitu, dapatkah engkau memberi pengorbanan itu ?"

   "Pengorbanan bagaimana yang eyang maksudkan? "

   "Pengorbanan diri"

   "Pengorbanan diri? Apa alasannya?"

   "Misalnya dia sakit dan hanya dengan memakan dagingmu baru dia dapat hidup. Dapatkah engkau memberikannya ?"

   "Ah "anakmuda itu tertawa "tak mungkin terdapat orang yang mengajukan permohonan demikian"

   "Jika mungkin ada, bagaimana sikapmu ?"

   "Sukar untuk mempertimbangkan sesuatu yang kuanggap tak mungkin, eyang"

   "Jika ada, maukah engkau meluluskan?"

   "Tetapi hal itu tak mungkin ada"

   "Jangan memperebutkan ada atau tak ada. Yang pen ng bagaimana pendirianmu apabila menghadapi hal begitu?"

   "Jika memang dia benar2 membutuhkan demi keselamatan jiwanya, hambapun rela memberikan. Tetapi tak mungkin terdapat orang itu "

   "Ada"

   "Mana?"

   "Disini"

   "Siapa?"

   "Aku"

   Orang muda itu menyurut mundur beberapa langkah. Matanya membelalak memandang kakek jubah putih "Apa kata eyang? "ia mengulang penuh kejut.

   "Akulah orang itu, anakmuda. Jika aku tak makan dagingmu, maka aku pas ma . Ketahuilah, aku adalah penunggu samudera ini. Makananku daging manusia dan khewan. Sudah beberapa hari tak makan. Rasanya aku pasti mati"

   Berhadapan dengan mahluk pemakan daging itu, anakmuda itupun tak mau menghorma nya lagi "Hai, mengapa engkau tak mencari saja ke hutan"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kakek jubah pu h itu gelengkan kepala "Dewata telah menghukum aku menjadi mahluk yang makan khewan atau manusia. Tetapi tak boleh mencari kemana-mana melainkan harus menunggu setiap kali ada manusia atau binatang yang tiba di tepi laut ini"

   Menggigil anak muda itu dalam ha .

   Timbul pertentangan dalam ba n.

   Antara janji dan kenyataan.

   Ia telah berjanji hendak memberikan tubuhnya sebagai korban.

   Tetapi iapun melihat kenyataan bahwa mahluk aneh yang menjelma dalam bentuk seorang kakek berjubah pu h.

   Dipandangnya kakek itu dan ba2 mbullah rasa kejut yang mengeri manakala ia melihat wajah kakek itu ba2 berobah menyeramkan.

   Giginya menonjol dan berhias sepasang caling yang panjang dan runcing.

   "Engkau setan "

   Serunya seraya bersiap-siap hendak menempurnya. Kakek jubah pu h itu tertawa "Aku manusia atau setan, hanya tercipta dari getaran ha mu. Karena engkau ngeri mendengar kata-kataku maka wajahkupun bcrobah menyeramkan seper setan"

   "Hm "anak muda itu mendengus.

   "Apa engkau hendak ingkar janji, anakmuda? Kepada setanpun seorang ksatrya harus menetapi janji yang telah dikatakan"

   "Hm, engkau hendak mempedayai aku"

   "Sama sekali dak "sahut kakek jubah pu h itu "jangan kua r, anakmuda. Kalau engkau rela memberikan daging tubuhmu, engkau akan kuberi imbalan yang tiada tara nilainya"

   "Hm, jangan mempedayai aku lagi, setan"

   "Walaupun engkau mengatakan aku setan, tetapi akupun bukan seorang setan yang tak kenal budi. Atas kerelaanmu memberikan dirimu kumakan, maka akupun akan menghadiahkan sebuah benda yang tak ada kedua di arcapada ini"

   "Katakan!"

   Tiba2 kakek jubah pu h itu menggerakkan tangannya dan kelapa yang terletak di pesisir itupun terbang melayang kearahnya "Kelapa ini, bukan sembarang kelapa melainkan kelapa mus ka anugerah dewata. Berisi wahyu-agung ...."

   "Wahyu-agung? "tanpa sadar anakmuda itti mengulang.

   "Ya, wahyu-agung. Barang siapa yang meminum airnya sampai habis, dia kelak akan menjadi raja besar"

   Mata anakmuda itu berkilat-kilat memancar sinar tetapi sesaat kemudian redup kembali "Tidak, aku tak menginginkan ganjaran dari engkau"

   "Karena engkau hendak ingkar janji?"

   "Tidak "

   Jawab anakmuda itu dengan mantap "aku takkan ingkar janji.

   Aku akan menetapi keutamaan seorang ksatrya.

   Bahwa aku menolong engkau bukan karena mempunyai pamrih untuk mendapat imbalan kelapa yang berisi wahyu-agung seper keteranganmu itu.

   Ambil dan minumlah sendiri agar kelak engkau jadi raja"

   Kakek jubah pu h itu tertawa "Baik, engkau memang seorang ksatrya utama. Nah, bersiaplah, aku segera hendak memakan dagingmu. Tetapi karena engkau sudah rela menyerahkan dirimu, engkaupun harus menurut perintahku"

   "Perintah yang bagaimana? Adakah engkau masih belum puas memakan dagingku?"

   "Perintah itu berkaitan dengan tindakanku memakanmu. Agar rasa dagingmu makin enak"

   "Hm"

   "Apakah engkau masih menghiraukan apa2 lagi setelah dagingmu kumakan?"

   Anakmuda itu gelengkan kepala tak menyahut.

   "Baik, bukalah baju, aku segera hendak memakanmu "kata kakek jubah pu h itu. Anakmuda itupun seper paserah. la melakukan apa yang diperintahnya, Tiba2 tangan kakek jubah pu h itu mengulur dan mencengkeram punggung anakmuda itu. Segenggam daging yang masih berlumuran darah berada dalam tangannya lalu dimasukkan kedalam mulut. Kemudian ia mengulangi lagi sampai habis daging di punggung lalu berganti memakan daging dada. Suatu perasaan aneh dan heran menghinggapi benak anakmuda itu. Walaupun jelas dagingnya telah dicabik lepas dari tubuh, tetapi anakmuda itu tak merasa sakit kecuali hanya agak perih. Dan diapun heran mengapa tak mati. Beberapa waktu kemudian habislah sudah daging pada tubuh anakmuda itu dikupas sehingga saat itu hanya tinggal seperangkat kerangka tulang belulang.

   "Sekarang, minumlah air kelapa ini agar tulang belulangmu lunak dan sedap kumakan "

   Ba2 kakek jubah putih itu mengangsurkan kelapa tadi. Anakmuda itupun sudah tak mempunyai tanggapan lain kecuali paserah. Ia menyambu dan meminum air kelapa itu sampai habis.

   "Sudah engkau habiskan, anakmuda? "seru kakek jubah putih.

   "Hm, sudah"

   "Baik, sekarang aku hendak mengganyang tulang belulangmu. Apa pesanmu sebelum engkau mati ?"

   Anakmuda itu geleng2 kepala "Tidak ada "sahutnya hambar.

   "Engkau rela mati?"

   "Kata-kataku hanya satu kali, tak perlu harus diulang beberapa kali"

   "Terima kasih, anakmuda. Engkau telah menghidupi jiwaku, akupun akan membalasmu ...."

   "Jangan banyak bicara, lekas makanlah aku! "

   Bentak anakmuda itu.

   Kakek jubah pu h itu merentang kedua tangan.

   Tiba2 saja kuku2 jarinya bertumbuh panjang dan runcing macam cakar burung garuda.

   Dan mulutnyapun dingangakan lebar2 sehingga gigi2 dan caling tampak mencuat keluar mengerikan.

   Kemudian dia terus menerkam kepala anakmuda itu dan menggigit kapalanya.

   "Ahhhh "

   Wijaya menggeliat dan rubuh.

   Ia merasa dirinya sebagai anakmuda yang hendak dimakan kakek itu.

   Iapun merasakan suatu kesakitan yang hebat hingga ia rubuh dan pingsan di depan pintu gua.

   Malam lalu dalam kesunyian.

   Dan tak berapa lama bergegas membenahi diri untuk menghapus selimut hitam yang menutup alam.

   Di ufuk timur, telah merekah semburat warna kuning.

   Wijaya membuka mata.

   Dihadapan pandang matanya terbentang laut biru "Ah, laut"

   Bibirnya menggetar kata2

   "o, bukan, bukan laut"

   Tiba2 ia menggeliat bangun. Ia terkejut karena dapat melihat, merasa dapat berpikir, dapat membedakan laut atau bukan "Apakah aku masih hidup?"

   Ia menggigit lidah dan menyeringai kesakitan "Benarkah aku masih hidup? "ia masih meragu.

   Memandang kearah selatan, dilihatnya ombak bergulung- gulung mendampar ke pantai.

   Tiba2 ia dikejutkan karena tengkuknya dijilat oleh suatu benda lunak yang basah.

   Cepat ia berpaling "Ah, engkau Sukra"

   Ia menepuk muka kuda hitam yang menghampiri ke tempatnya. Kemudian ia melonjak bangun "Benar, aku memang masih hidup"

   Tiba2 pandang matanya tertumbuk akan buah kelapa yang masih terletak di dekat pantai.

   Iapun lari menghampiri dan memugutnya "Ah, kosong "ia terkejut ke ka melihat buah kelapa itu berlubang dan airnya sudah kosong.

   Pada hal jelas kemarin buah itu masih utuh.

   Wijaya tegak terlongong-longong memandang ke laut biru.

   Ia teringat akan peristiwa semalam.

   Ia masih dapat membayangkan wajah kakek jubah putih yang tiba2 berobah menjadi setan yang menyeramkan.

   Ia ingat kakek itu memakan daging tubuhnya, lalu menyuruh minum air kelapa hijau lalu menerkamnya sehingga dia rubuh pingsan.

   Semua peristiwa itu masih membekas segar dalam ingatannya.

   Hanya suatu hal yang tak diingatnya lagi.

   Yalah ucapan kakek jubah putih itu mengenai makna isi dan air buah kelapa hijau.

   Dia sama sekali tak ingat.

   Dia merasa kakek itu tak mengucap apa2 tentang air kelapa hijau itu.

   "Apakah makna peris wa semalam itu?"

   Ia bertanya-tanya dalam pikirannya.

   Siapakah kakek jubah pu h itu.

   Adakah dia penjelmaan dari kerangka manusia yang mengaku bernama Watudara itu ? Angin pagi berhembus sejuk, membelai wajah Wijaya.

   Perasaannya makin tenang dan mulailah ia teringat akan dirinya.

   Sudah beberapa hari dia dibawa lari kuda hitam itu ke pesisir laut situ.

   Podang dan pemilik kuda tentu mengharap-harap.

   Memang banyak sekali peris wa yang dialami selama berada di pesisir laut selatan itu.

   Tetapi yang nyata, dia telah mendapatkan senjata gada dari kerangka manusia dalam gua.

   Yang lain2 dia merasa tak ada sesuatu yang harus dan layak dihiraukan.

   Demikian dia segera naik kuda hitam lagi.

   Dan kali ini binatang itupun menurut.

   Di tengah perjalanan, dia berjumpa dengan tumenggung Bandupoyo.

   Pertemuan itu menimbulkan suasana kejut2 girang.

   Bermula Wijaya merasa tak sanggup untuk memenuhi harapan tumenggung Bandupoyo agar dia dapat memenangkan sayembara pilih senopa itu.

   Tetapi Bandupoyo menyanggupkan bantuan yang diperlukan kepada pemuda itu.

   "Menurut gusti, adakah hamba mampu untuk memenangkan sayembara itu?"

   "Engkau harus percaya kepada dirimu sendiri, Wijaya"

   Kata tumenggung Bandupoyo "dewa pun tak sanggup memberi bantuan apabila engkau tak mau membantu dirimu sendiri. Demikian aku"

   "Tetapi gusti ...."

   "Bagi seorang ksatrya muda, dak ada lain kata kecuali hanya kesanggupan untuk melaksanakan cita-citanya. Apa yang engkau gentarkan, Wijaya?"

   "Dalam sayembara itu tentu banyak sekali ksatrya2 yang sakti mandraguna, gusti "

   "Tentu"

   Sahut Bandupoyo "karena itulah syarat yang diperlukan bagi seorang senopa . Tidakkah engkau juga seorang ksatrya, Wijaya?"

   "Ah "Wijaya mendesuh "hamba hanya anak gunung, gusti"

   Bandupoyo menatap pemuda itu dengan tajam. Lana sekali seolah hendak menjelajahi seluruh tubuh dan indriya Wijaya "Wijaya, engkau tentu tahu bahwa seorang ksatrya itu pantang berbohong, bukan ?"

   Wijaya mengiakan.

   "Aku hendak bertanya kepadamu, Wijaya, Dan kuminta engkau menjawab dengan sejujurnya"

   "Baik, gusti"

   "Siapakah sesungguhnya engkau ini, Wijaya ?"

   Wijaya berobah cahaya mukanya. Hanya sebentar diapun sudah tenang kembali "Adakah hal itu penting harus hamba katakan?"

   "Pen ng "

   Sahut tumenggung Bandupoyo "hal' itu akan membawa pengaruh besar untuk memantapkan pilihan senopati".

   "Maksud paduka, pilihan senopa itu mengandung unsur lain daripada ilmu kedigdayaan dan ilmu kesaktian seorang ksatrya?"

   "Kukatakan, bahwa syarat mutlak memang ilmu kesak an dan kedigdayaan "kata Bandupoyo "' tetapi unsur2 asal usul itu akan lebih memantapkan lagi "

   "Jika demikian "

   Ba2 nada Wijaya bergan agak hambar "hamba takkan mengatakan asal usul diri hamba. Hamba akan berjuang dalam sayembara itu sebagai diri hamba, lepas dari asal usul keturunan hamba"

   Bandupoyo terkejut mendengar kata2 anakmuda itu.

   Ia mengakui bahwa pernyataan Wijaya itu memang tepat.

   Pilihan senopa harus berdasar pada kemampuan dan kesak annya, bukan karena asal usul dirinya.

   Hampir tumenggung yang menjabat sebagai pengawal pendamping baginda Kertanagara itu menyesal telah memberi pernyataan tadi.

   Tetapi ba2 terpercik suatu kesan lain, bahwa dengan ucapan Wijaya itu jelas menyatakan bahwa pemuda itu memang menyembunyikan asal usul dirinya.

   Dan menilik wajah, sikap, ulah dan peribadinya, ia cenderung menduga bahwa Wijaya itu tentu berasal dari keturunan yang tinggi.

   "Wijaya"

   Katanya setelah mendapat pikiran "memang benar sayembara memilih senopati itu harus ditempuh dan dimenangkan dengan ilmu kedigdayaan. Itu benar "ia memberi penegasan "tetapi aku peribadi mempunyai penilaian lain"

   Wijaya terkesiap. Dipandangnya tumenggung itu dengan pandang penuh tanya.

   "Aku mengabdi kerajaan Singasari, bukan semata-mata mengejar pangkat dan kemuliaan tetapi aku mempunyai cita-cita dan pendirian hidup. Sebagai seorang putera Singasari, wajiblah aku mengabdi kepada negara. Sebagai seorang prajurit, aku harus menyerahkan jiwa raga kepada negara dan sebagai seorang pejuang aku wajib mendukung sepenuh ha kepada baginda Kertanegara. Karena selama menjadi pengawal pendamping baginda, kutahu bagaimana cita-cita dan kebijaksanaan baginda dalam mengemudikan negara. Beliau adalah seorang raja besar yang bercita-cita besar. Baginda ingin mempersatukan nusantara, ingin meningkatkan martabat kerajaan sebagai kerajaan besar"

   Wijaya hanya diam memperhatikan.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bahwa dalam tindakan yang dilakukan baginda selama terdapat kelemahan2, memang dapat dimaklumi. Seorang raja yang bercita-cita besar tentu tak terhindar dari rasa kebanggaan dan keangkuhan, ketinggian hati dan keakuan. Tetapi hal itupun tercipta karena suasana yang terdapat dalam pusat pemerintahan. Baginda dimanjakan sanjung puji oleh sementara mentri2 yang ingin merebut pengaruh dalam pemerintahan. Beberapa mentri tua dan setya telah disingkirkan hanya karena mereka berani menentang kehendak baginda yang terlampau besar dan kurang disesuaikan dengan kenyataan dalam kerajaan"

   Diam2 Wijaya tahu siapa yang dimaksudkan dengan mentri yang menghambur sanjung puji untuk mengambil hati baginda dan siapa2 yang menentang baginda itu.

   "Aku sebagai orang-dalam, tahu kesemua itu. Aku amat perihatin sekali. Aku tak mau kecewa dan putus asa atas segala ndakan baginda itu. Karena kecewa dan putus asa itu hanya memberi peluang bagi mentri2 yang dak jujur itu untuk lebih leluasa menggerogo kekuatan negara. Tidak, Wijaya. Aku harus berusaha untuk memperbaiki yang rusak, memperkuat yang lemah dan menambah yang kurang. Demikian yang kurang. Demikian pendirian hidupku sesuai dengan suara hati nuraniku dalam mengabdi kepada negara"

   Wijaya mulai timbul perhatian.

   "Dalam sayembara senopa ini"

   Kata tumenggung Bandupoyo dengan nada makin mantap "memang akulah yang mengusulkan.

   Dengan berbagai upaya dan alasan akhirnya dapatlah hal itu diidinkan baginda.

   Pada pokoknya, sayembara itu kecuali untuk memilih senopa , pun juga untuk menerima prajurit2, perwira dan bintara baru guna membentuk pasukan lagi untuk mengisi kekosongan pertahanan pura kerajaan"

   Wijaya mengiakan dalam hati.

   "Dalam memilih senopa , kuanggap dialah yang menjadi jiwa dari pasukan yang akan bertanggung jawab atas keselamatan pura Singasari. Oleh karena itu, Wijaya, senopa yang kuidam-idamkan itu bukan hanya bersyaratkan pada kedigdayaan, pun juga harus mempunyai jiwa pengabdian yang nggi, kesetyaan yang tulus dan kewibawaan yang besar serta sifat kepemimpinan yang bijaksana dan tegas"

   Kali ini Wijaya mengangguk-anggukkan kepala. Walaupun mulut tak berkata tetapi ha nya sangat memuji akan pandangan tumenggung itu.

   "Sudah jelaskah engkau Wijaya akan penilaianku tentang sayembara pilih senopati itu ?"

   "Sudah, gusti menggung"

   "Jika demikian apakah engkau masih keberatan untuk mengatakan asal usul dirimu? "Mengapa paduka menghendaki demikian?"

   "Karena kudapatkan dalam dirimu, syarat2 yang kuharapkan itu telah terpenuhi semua"

   "Ah "Wijaya mendesah "

   Dak gus menggung, hamba hanya seorang anak desa. Bagaimana mungkin hamba mampu memenuhi harapan paduka"

   "Wijaya"

   Tiba2 wajah dan nada tumenggung Bandupoyo berobah sarat "engkau ini orang mana?"

   "Hamba kawula Singasari "

   "Engkau kawula Singasari, engkaupun seorang ksatrya, tetapi mengapa engkau mengingkari janjimu sebagai kawula dan sebagai seorang ksatrya? Bukankah saat ini Singasari sedang membutuhkan tenaga putera dan para ksatryanya untuk tampil menjaga keselamatannya ? Mengapa engkau bersikap seper bukan seorang ksatrya? Atau apakah engkau tak percaya kepada Bandupoyo"

   


Delapan Kitab Pusaka Iblis Karya Rajakelana Bara Naga Karya Yin Yong Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long

Cari Blog Ini