Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 22


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 22



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Melihat wajah tumenggung itu menampil kemarahan dan nadanya keras, Wijayapun tergetar ha .

   Tetapi hal itu dak berar dia gentar melainkan tersentuh akan pertanyaan tumenggung itu.

   Setelah mendengar panjang lebar keterangan dan uraian tumenggung Bandupoyo tentang pendiriannya mengabdi kepada Singasari dan tentang tujuannya mengadakan sayembara serta penilaiannya untuk senopa yang diidam-idamkan itu, Wijaya merasa bahwa tumenggung itu seorang pejuang negara yang besar.

   Timbulnya penilaian itu segera disusul dengan merekahnya suatu perasaan dalam ha .

   Perasaan malu dalam ha .

   Tidakkah perjalanannya turun gunung itu karena melakukan tah gurunya untuk ikut menyongsong turunnya wahyu agung dari dewata? Tidakkah wahyu agung itu suatu wahyu yang akan menyangkut keadaan negara? Tidakkah sayembara pilih senopa itu juga suatu kepen ngan untuk keselamatan negara? Tidakkah .....

   dakkah ....

   ah, bermacam- macam pertanyaan tidakkah segera meluap-luap menggenangi lubuk hatinya.

   "Siapa diriku, bagaimana kepen nganku, sangat kecil ar nya bila dibandingkan dengan keselamatan negara"

   Akhirnya memancarlah suatu penerangan yang menyinari sanubarinya. Kemudian ia memutuskan untuk memberi tahukan siapa dirinya kepada tumenggung yang penuh pengabdian itu.

   "Ampun gus menggung"

   Katanya meminta maaf "bukan hamba hendak merahasiakan diri hamba karena memiliki suatu rasa ketakutan.

   Bukan.

   Melainkan karena hamba tak ingin asal usul keturunan hamba itu akan mempengaruhi penilaian orang terhadap diri hamba.

   Hamba hendak memperjuangkan cita2 hamba, dengan peribadi, tenaga dan usaha hamba sendiri, lepas dari asal usul keturunan hamba"

   "Bagus, Wijaya "seru Bandupoyo "tetapi dalam peris wa yang kita hadapi kali ini memang benar2 membutuhkan kerelaan untuk memberitahukan hal itu. Jika engkau kua r hal itu akan mempengaruhi penilaian orang, baiklah, aku berjanji takkan memberitahukan rahasia dirimu sebelum mendapat persetujuanmu"

   Mendapat janji tumenggung Bandupoyo akhirnya mau juga Wijaya untuk memberitahukan asal usul dirinya.

   "Ah, raden"

   Serta merta tumenggung Bandupoyo memberi hormat demi mendengar siapa sesungguhnya Wijaya itu "jika demikian raden adalah keturunan priagung luhur"

   Bergegas Wijaya balas memberi sembah dan minta agar tumenggung itu jangan bersikap demikian kepadanya.

   "Dengan begitu raden masih mempunyai hubungan keluarga dengan baginda sekarang"

   "Gusti menggung ...."

   "Raden Wijaya, jangan menyebut begitu. Sebutlah paman sajalah"

   Teriak Bandupoyo gopoh.

   "Dan pamanpun jangan menyebut aku raden"

   "Bagaimana tidak?"

   Bandupoyo mengerut dahi.

   "Bukankah paman sudah berjanji takkan memberitahukan asal usulku kepada orang lain. Sebutlah seperti paman telah biasa memanggil aku. Tak perlu dengan sebutan raden"

   Akhirnya Bandupoyo mau menurut. Kemudian dia menguraikan tentang rencananya "Paman benar2 sangat gembira dan mantap sekali agar engkau yang kelak terpilih sebagai senopati"

   "Akupun hendak berusaha, paman. Namun ksatrya-ksatrya yang ikut serta dalam sayembara itu tentulah juga akan berjuang sekuat tenaga"

   Demikian peris wa yang telah dialami Wijaya selama ia dibawa lari kuda hitam hingga beberapa hari kemudian baru ba kembali di pura Singasari.

   Kepada tumenggung Bandupoyo diapun tak menceritakan tentang pengalamannya selama berada di pesisir laut selatan.

   Karena hari sudah malam dan dia tak mempunyai kenalan dalam pura, terpaksa dia bermalam di candi Bentar, sebuah candi yang besar.

   Gandi itu dikepalai oleh maharesi Dewadanda.

   Mempunyai murid beratus orang.

   Wijaya tak berani mengganggu ketenangan para murid2 pandita yang tengah melakukan doa malam, menyanyikan puji mantra dan mendengarkan sang maharesi menguraikan pelajaran.

   Ia menambatkan kuda di sebuah gerumbul pohon, jauh dari candi.

   Dan diapun hanya beris rahat didekat patung yang menghias pintu candi.

   Saat itu bintang2 mulai bertaburan menghias langit.

   Kesunyian malam dan kesyahduan doa2 dan mantra yang dibawakan oleh murid2 sang maharesi, menimbulkan suatu suasana kedamaian dan ketenangan yang tersendiri.

   Seolah Wijaya berada di suatu dunia lain, jauh dari kesibukan, kehirukan dan kegelisahan.

   Hal itupun pernah dialaminya ketika ia masih berguru pada resi Sinamaya di puncak gunung Kawi.

   Setelah itu dia duduk bersila menghening indriya.

   Dengan pancaran cipta, diapun ingin mengiku pembacaan doa dan nyanyian2 malam yang beralun dalam irama kedamaian itu.

   Damai di ha , damai di bumi, damailah semesta alam jagad raya ....

   Entah berapa lama dia terhanyut dalam suasana kedamaian itu, ba2 ketenangan ha nya tersibak oleh debur2 langkah kaki orang yang menggetarkan bumi.

   Serentak berhamburan keheningan cipta semedhinya.

   Ia membuka mata dan melihat dua sosok tubuh bergegas jalan menuju ke pintu candi.

   Ia terkejut.

   Tetapi belum sempat memikirkan langkah yang hendak diambil, kedua orang itupun sudah ba.

   Untunglah karena teraling oleh bayangan patung, kedua pendatang itu tak sempat memperhatikannya.

   Kedua orang itu mengenakan jubah panjang dan kain penutup kepala sehingga mukanya tak tampak jelas Begitu tiba di pintu, keduanya disambut oleh seorang murid pandita.

   Kedua tetamu itu dipersilakan menunggu.

   Tak berapa lama, muncullah seorang pandita tua.

   Rambut dan janggutnya sudah putih.

   "Adakah hamba berhadapan dengan yang mulia maharesi Dewadanda?"

   Salah seorang dari kedua tetamu itu segera maju, memberi hormat dan bertanya.

   "Ya "sahut resi tua itu "siapakah ki sanak berdua dan mengapa pada waktu malam begini memerlukah berkunjung ke candi ini?"

   Pendatang itu mengambil sebuah benda dari baju, sepucuk surat lalu diserahkan kepada resi Dewadanda "Hamba pengalasan dari kepa han yang diutus gus pa h untuk menghaturkan surat ini ke hadapan maharesi"

   "Kepatihan ? Siapa gustimu patih ?"

   "Gusti patih Aragani, maharesi"

   "O,-baiklah, kuterima"

   Maharesi itu menyambuti surat "apa pesan gustimu lagi?"

   "Gus pa h menitahkan hamba menyampaikan pesan kepada maharesi. Bahwa sayembara itu dua hari lagi sudah dimulai. Oleh karena itu mohon paduka segera meluluskan harapan gus pa h dalam surat itu"

   "Baik "kata maharesi Dewadanda. Kemudian kedua pengalasan itupun,mohon diri dan maharesi masuk kembali kedalam candi. Wijaya terkejut menyaksikan hal itu. Jelas ia mendengar percakapan pengalasan dengan maharesi candi Bentar itu "Adakah maharesi candi ini mempunyai hubungan dengan pa h Aragani?"

   Dia tak dapat lagi melanjutkan semedhi.

   Pikirannya, terpaku pada peris wa yang baru saja disaksikan.

   Berbagai pertanyaan dan tafsiran menghambur dalam benaknya.

   Dari beberapa fihak, ia pernah mendengar bahwa pa h Aragani memang makin hari makin besar pengaruhnya.

   Kekuasaan yang diraih melalui kelemasan lidahnya bermain kata, menjunjung, menyanjung dan mengambil muka kepada baginda, makin meningkatkan kekuasaannya dalam keraton.

   Tentulah pengaruh itu melipu mentri, senopa dan narapraja di kalangan pemerintahan kerajaan.

   Tetapi benar2 tak pernah disangkanya bahwa pa h itupun mempunyai hubungan pula dengan candi Bentar.

   Adakah para pandita dan brahmana di pura kerajaanpun dapat dipengaruhi oleh patih itu? Apakah sesungguhnya tujuan pa h Aragani itu? Usahanya untuk menyingkirkan pa h sepuh Raganatha, tumenggung Wirakre dan demung Wiraraja, telah berhasil.

   Dan kini kedudukannya makin menjulang.

   Tetapi adakah hanya kedudukan, kekuasaan dan kemuliaan hidup yang dituntutnya? Tidakkah patih itu mempunyai lain tujuan yang lebih lanjut lagi? "Ah"

   Wijaya mendesah dalam ha "kini baru kuketahui bahwa dunia ini memang penuh dengan pergolakan hidup.

   Terutama di pura kerajaan dan tempat-tempat yang besar, manusia makin gelisah hidupnya.

   Ah, betapa tenteram dan damai hidupku ke ka masih berada di gunung Kawi dahulu "ia membayangkan kehidupannya selama berguru pada resi Sinamaya.

   Setelah habis seluruh kenangannya tercurah dalam lamunan yang lampau, ba2 terpercik sekilas kata dari wejangan gurunya "Angger, dunia itu dak langgeng, demikian dengan kehidupan manusia"

   "Tetapi rama resi, tidakkah kehidupan seperti yang rama kenyam ini amat tenteram dan damai?"

   "Dalam ar kata jauh dari keramaian dan kesibukan keduniawian, memang begitu, angger. Tetapi ketahuilah, bahwa sesungguhnya letak ketenangan, ketenteraman dan kedamaian itu, bukan di dunia, bukan di pertapaan, bukan di tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian, melainkan dalam jagad kecil yang berupa diri kita, jiwa dan ha kita sendiri angger. Engkau katakan bahwa hidup di pertapaan dan menjadi pertapa, pandita atau brahmana seper yang kutuntut ini tenang dan damai. Tidak, anakku, hal itu belum menjamin akan ketenangan dan kedamaian itu, apabila pikiran dan hatiku masih tersibak oleh nafsu dan keinginan ...."

   Wijaya mengangguk-anggukkan kepala.

   "Kebalikannya, lihatlah para petani dan para kawula lapisan bawah yang tetap hidup dalam dunia keramaian. Mereka dapat hidup tenang, damai dan bahagia. Apa sebabnya, angger?"

   "Karena mereka sudah paserah rama resi"

   "Benar, angger"

   Kata resi Sinamaya "tetapi paserah dan paserahpun ada dua macam.

   Paserah yang disertai dengan kepercayaan penuh kepada kodrat pra-kitri yang dianugerahkan Hyang Widdhi dan paserah yang masih dipaksa oleh keadaan.

   Artinya, karena gagal mengejar keinginan, dia lalu paserah.

   Namun kepaserahan itu hanya bersifat sementara karena keinginannya masih tetap tumbuh dalam hati.

   Pada suatu kesempatan, dia tentu akan menyiak kepaserahan itu dan akan menuntut pula keinginannya itu"

   "Baik rama resi "kata Wijaya "lalu apakah kita harus paserah kepada kodrat hidup yang belum diketahui itu ?"

   "Memang secara keduniawian atau kelahiran, dak dibenarkan untuk paserah kepada kodrat atau nasib, karena hal itu belum diketahui sebelum kehidupan itu dijalani. Tetapi memang ada, angger, suatu kepaserahan yang mulus tetapi tidak semua orang dapat melakukannya"

   "Bagaimanakah yang rama resi maksudkan?"

   "Kepaserahan yang tulus dan mulus itu tak lain hanya menghilangkan semua keinginan ha dan mengendapkan pikiran2 menyepikan segala indriya tubuh kita. Jika keinginan itu sudah padam, tidakkah kita akan menemukan ketenangan dan kedamaian yang lestari?"

   "Ah "saat itu Wijaya mendesah. Dan saat itu pula resi Sinamaya segera menyusuli kata-kata lagi "Tetapi aku hanya mengatakan tentang ketenangan dan kedamaian dan pelaksanaannya, angger. Dan akupun takkan mengingkari akan garis hidup masing2 insan. Bagimu, Nararya, engkau seorang ksatrya yang membawa garis ketentuan lain. Tugasmu adalah mangayu hayuning praja dan bawana. Dan tugas itu, angger, juga merupakan dharma hidup yang kelak tinggi juga pahalanya"

   Melamun pada pembicaraan yang pernah dilakukannya dengan guru Sinamaya ke ka masih di gunung Kawi, memang dapat menimbulkan sesuatu kekuatan yang sukar dikata tetapi terasa.

   Kekuatan yang memateri hati sanubari.

   Agak menyimpang lamunan itu dari kesan yang diserapnya pada peristiwa di candi beberapa waktu tadi.

   Memang pikiran yang melamun itu maha binal dan tak kenal batas.

   Sekonyong-konyong keheningan cipta lamunannya tersibak pula oleh derap kaki yang mendebur tanah.

   Asalnya dari dalam candi.

   Dan pada lain saat muncullah dua sosok tubuh yang terbungkus dalam jubah, menutup kepala hingga sampai ke bawah lutut.

   Perhatian Wijayapun bergolak.

   Dipandangnya kedua sosok tubuh yang keluar dari candi itu dan berjalan menyusur halaman yang diselubungi kegelapan malam.

   Entah kemana tetapi yang jelas mereka tentu menuju ke suatu tempat "Aneh "gumam Wijaya dalam ha "mengapa tengah malam pandita itu ke luar dari candi ? Hendak kemanakah mereka ?"

   Sekali terpercik oleh rasa heran maka mbullah segera rasa keinginan tahu dalam ha Wijaya. Serentak berhamburanlah reka dugaan "Ah mungkin mereka melakukan suatu tugas keagamaan atau sesuatu hal yang. penting"

   Pikirnya. Hampir saja ia mengendapkan keinginan untuk mengetahui langkah kedua pandita itu.

   "Tak baik mengiku secara diam2 perjalanan orang. Pikirnya."

   Dan iapun hendak pejamkan mata untuk melanjutkan semedhi lagi.

   Tiba2 terlintas dalam benak sekilas peris wa yang dilihatnya dalam candi tadi.

   Kedua pengalasan dari pa h Aragani menyerahkan surat kepada kepala pandita candi Bentar itu dan menyampaikan pesan dari patih Aragani.

   "Tidakkah kepergian kedua pandita pada waktu tengah malam itu mempunyai kaitan dengan surat dari pa h Aragani? "seke ka meluap pula ketegangan ha nya dan serentak memancarlah rasa ingin tahu akan langkah kedua pandita itu. Wijaya tak dapat menahan luap keinginannya. Serentak dia berbangkit lalu ayunkan langkah mengikuti jejak kedua pandita itu. ~^dewikz^Ismoyo^mch^~

   Jilid 19 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Langit kelabu.

   Malampun hampa.

   Betapa gelap dunia.

   Betapa sunyi alam semesta.

   Segala nafsu keinginan manusiawi seolah terlelap.

   Kasih sayang, dendam, dengki, marah, sedih, gembira dan lain2 getar serabut permadani beludu hati merunduk dalam alam bawah sadar.

   Damai di bumi, damai di ha .

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi dak damai dalam ha ga insan yang mendeburkan langkah di malam sunyi itu.

   Bagi mereka seolah malam merupakan kesibukan keinginan ha mereka.

   Dua dari ke ga insan itu adalah pandita dari candi Bentar yang sedang menyusup dalam kegelapan malam.

   Dan yang seorang tak lain adalah Wijaya sendiri yang terbujuk ha nya untuk mengikuti langkah kedua pandita itu.

   Wijaya makin terseret dalam keraguan ke ka mengetahui kedua anak murid dari candi Bentar yang tersohor itu menuju ke luar gapura.

   Makin berha - a ia mengatur langkah untuk membawa jarak tertentu agar bebas dari penangkapan pendengaran kedua pandita itu.

   Dalam keremangan malam kelam, tampak menggunduli bayang2 yang diselimu pagar pohon.

   Langkah kedua pandita ditujukan ke tempat itu.

   Wijaya terkejut.

   Tempat itu berbentuk seper bangunan rumah yang lebih menyerupai bentuk pesanggrahan dari pada sebuah asrama para pandita.

   Mengapa pandita itu menuju ke situ? Wijaya berdebar.

   Tetapi pada lain kilas ia teringat akan kedudukan dirinya.

   Ia sedang mengiku secara diam-diam langkah orang.

   Suatu perbuatan yang dirasakannya, kurang layak.

   Bahwa apabila ndakannya itu dak diketahui mereka, ia sudah bersyukur dalam ha .

   Mengapa ia masih mengharapkan lebih jauh untuk mengetahui maksud mereka? Kecuali ia langsung menghampiri dan meminta keterangan kepada mereka, barulah ia dapat mengetahui jelas.

   Tetapi hal itu terang tak mungkin.

   Dan serentak mengendaplah debar2 yang menggelisahkan hati Wijaya.

   Wijaya menyelinap ke balik pohon dan menempatkan diri di bawah bayang2 kegelapan gerumbul pohon yang mengaling.

   Dari tempat itu dia dapat melihat gerak gerik kedua pandita iiu.

   Ia heran mengapa kedua pandita itu dak menghampiri pintu rumah melainkan setelah memasuki halaman lalu berjalan mengitari samping rumah dan menuju ke belakang.

   Wijaya terpaksa merayap-rayap diantara gunduk2 bayangan gelap dari pohon2 yang memagari halaman rumah itu.

   Ia makin heran sesaat melihat kedua orang pandita itu menuju ke sebuah sumur yang terletak di belakang rumah.

   Tampak kedua pandita itu merogoh ke dalam jubah lalu tangannya bergerak- gerak sepera menaburkan sesuatu ke dalam sumur itu.

   Beberapa saat kemudian merekapun lalu tinggalkan tempat itu.

   Kepergian kedua pandita itu meninggalkan beberapa persoalan yang berkemelut dalam ha Wijaya.

   Apakah yang harus ia ndakkan? Mengiku kedua pandita ita lalu langsung menegur, apa gerangan yang mereka lakukan di pondok tadi? Ataukah ia tetap nggal di tempat itu untuk mengetahui apa yang akan terjadi dengan penghuni2 rumah itu? "Ah, harus kutegur kedua pandita itu"

   Sekilas mbul keinginan dalam ha nya "tetapi berhak dan layakkah aku berbuat begitu? Layak"

   Jawabnya "tengah malam buta menebarkan sesuatu ke dalam sumur, tentu mempunyai maksud yang tak baik."

   Hampir ia ayunkan langkah untuk mengejar kedua pandita itu.

   Tetapi pada lain kilas, mbul pula suatu sanggahan "ah, berdosalah aku ini karena mempunyai prasangka yang tak baik terhadap pandita.

   Bukankah candi Bentar itu merupakan candi besar yang mempunyai murid sampai ribuan jumlahnya.

   Bukankah hal itu merupakan pengakuan bahwa candi tersebut sebuah candi suci dan terhormat ?"

   Sanggahan itu membuat luluh semangat Wijaya untuk melanjutkan langkahnya.

   Namun ia gagal berusaha untuk menghibur diri dengan hal2 yang mencemerlangkan nama candi itu.

   Tak dapat ia menghapus bersih keraguan yang masih mencengkam ha nya.

   Masih ada sepercik rasa aneh dan heran atas ndakan kedua pandita itu.

   Percik keraguan itu dibayangi oleh kenyataan yang dilihatnya waktu berada di candi itu.

   Yalah dengan kedatangan dua orang pengalasan dari pa h Aragani yang kemudian disusul dengan kemunculan dua orang pandita candi itu pada waktu tengah malam ke tempat itu.

   Wijaya pejamkan mata untuk mengheningkan pikirannya yang bergolak-golak bagai air bening yang tersibak.

   Beberapa saat kemudian pikirannyapun mulai tenang.

   Ia memutuskan untuk berada di tempat itu agar dapat mengetahui apa yang akan terjadi.

   Apabila penghuni2 rumah itu ter mpa oleh sesuatu, maka masih belum terlambat kiranya ia akan memberitahu kepada mereka tentang yang dilihatnya malam itu.

   Begitulah dia laki menyingkir dari lingkungan rumah itu dan mencari tempat bermalam di sebuah tempat yang sunyi.

   Ia duduk di bawah sebatang pohon, mengheningkan cipta.

   Waktu, merayap-rayap bagai kura2 di atas pasir.

   Lambat, lambat sekali.

   Seakan-akan tak mau maju,malah melingkar-lingkar, mengitari suatu k, penderitaan.

   Penderitaan ba n yang resah dihembus bermacam keraguan dan pikiran.

   Seolah mandala ha Wijaya.

   sedang menjadi medan laga antara kenyataan dan keraguan.

   Kenyataan akan nama yang tersohor dari candi Bentar dengan keraguan atas tingkah laku kedua anak murid candi itu.

   Siksa.

   Ia merasakan perasaan siksa itu dalam hatinya.

   Sesekali terdengar burung malam menyanyi ngeri.

   Mendendangkan bunyi yang meregang buluroma, mencekik ketenangan hati.

   "Jahat"

   Pikirnya manakala teringat akan ajaran gurunya "prasangka, menimbulkan keraguan. Keraguan itu melahirkan siksa. Benar sabda bapa guru itu. Ah, mengapa aku harus mengandung prasangka terhadap sesuatu yang belum nyata? "

   Ia segera mengalihkan perha an kepada bunyi burung maram itu.

   Tetapi pelarian itu, pun tak mengurangi ketersibakan pikirannya.

   Ia merasakan suatu keanehan dalam bunyi yang didendangkan burung malam itu.

   Mengapa burung itu menyanyi di kala alam semesta terlelap dalam keheningan hampa? Adakah ia hendak membangunkan unggas agar bertebaran dan mengepak-ngepak sayap karena terkejut? Mungkin.

   Karena dengari tanda2 suara dari gerak-gerik para unggas itu, burung malam akan dapat menghampiri dan menerkamnya.

   "Ah"

   Keluhnya "ternyata bukan manusia belaka yang terancam oleh ketakutan dan kengerian dalam alam kehidupan.

   Pun bangsa unggas dan burung, juga tak lepas dari derita ancaman itu.

   Bukankah burung2 itu seharusnya bangun di fajar hari, mendendangkan nyanyian penyambut surya pagi? Tetapi mengapa Hyang Purbawisesa menciptakan pula jenis burung yang mengarungi kehidupan hanya pada malam hari? Tidakkah hal itu merupakan suatu amanat, bahwa hidup ini penuh dengan ancaman dan derita ? "

   "Benar"

   Kata hati Wijaya "memang demikian."

   "Benar"

   Kata ha Wijaya "

   Tah dewata harus menjunjung amanat itu sehingga mereka selalu waspada dan dapat membentuk usaha melindungi keselamatan diri. Tanpa ancaman, mereka akan lengah dibuai kesenangan dan kebodohan "

   Cukup lama Wijaya terjerat dalam lilitan renung yang melingkar-lingkar.

   Hampir kemelut pikirannya itu berangsur-angsur mengendap atau sayup2 ia mendengar bunyi aneh yang terbawa angin malam.

   Bunyi mendering disertai suara orang menghardik.

   Malam sunyi dan keheningan cipta Wijaya hampir mencapai ketenangan sehingga dapatlah ia menangkap bunyi suara yang betapapun halusnya.

   Walaupun agak jauh namun sayup2 ia dapat juga mendengar suara itu.

   Dan ketenangan pikirannyapun mulai tersibak pula.

   Ia cenderung untuk mengua rkan bahwa bunyi dering dan hardik itu berasal dari suatu perkelahian.

   Serentak tergugahlah pikiran Wijaya.

   Semangatnyapun mbul, keinginan merangsang untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi.

   Tengah malam mbul perkelahian tentu bersumber pada sesuatu yang berbahaya.

   Serentak ia melonjak bangun dan terus lari menuju ke arah suara itu.

   Kiranya suara itu berasal dari dalam gapura-kota.

   Dan makin jelas mendengar bunyi suara itu makin benar dugaannya.

   Setelah memasuki gapura, ia menyaksikan beberapa sosok bayangan tengah bergerak-gerak saling baku hantam.

   "Ah"

   Ia terkejut ke ka dengan gerak menyeIimpat diantara keteduhan bayang2 pohon, ia dapat mendeka ke tempat mereka dan menyaksikan jelas kedua orang pandita yang tadi sedang bertempur melawan tiga orang.

   Wijaya berindap-indap menghampiri dan menempatkan diri di balik alingan gerumbul pohon tak jauh dari tempat pertempuran itu.

   Diperha kannya bahwa ke ga lawan dari kedua pandita itu mulai terdesak.

   Hanya seorang dari mereka ber ga yang masih tampak perkasa untuk menghadapi lawan.

   Sedang kedua kawannya yang menghadapi seorang pandita mulai sibuk.

   Setelah mencurah dan mempertajam pandang matanya ke arah kedua orang yang menghadapi seorang pandita itu, Wijaya terbelalak, menyalangkan mata.

   Sejak semula ia sudah tertarik perha an akan kedua orang itu.

   Yang seorang bertubuh nggi dan yang seorang pendek seper masih jejaka muda.

   Timbul dugaan dan kecenderungan tentang kedua orang itu.

   Dan kini setelah mempertajam pandang mata, ia tak ragu lagi.

   Itulah Podang dan Jangkung, pemilik kuda hitam.

   "Aduh ....

   "

   Tepiat pada saat Wijaya bersua pada penemuan itu, terdengarlah jerit yang disusul dengan robohnya Podang.

   Dan dengan kecepatan yang memadai sambaran angin, Jangkungpun terpelanting akibat lambungnya dapat diterpa lawan.

   Rupanya pandita itu masih belum puas hanya merobohkan.

   Dia maju menghampiri dan mengayunkan kaki ke arah Podang "Hen kan !"

   Ba2 terdengar sebuah suara yang meraung kegeraman. Pandita itupun terkejut. Cepat ia berputar tubuh. Beberapa langkah dari hadapannya, tegak seorang pemuda yang. cakap berseri wajahnya, memandang dengan tajam.

   "Siapa engkau!"

   Tegur pandita itu.

   "Seorang yang hendak melihat-lihat keramaian pura kerajaan"

   Sahut Wijaya "mengapa engkau, menganiaya orang?"

   "Hm"

   Desuh pandita itu "mereka kawanan penjahat yang berkeliaran pada malam hari "

   Wijaya tertawa dalam hati "Bagaimana ki pandita tahu kalau mereka orang jahat? "

   "Mereka menghentikan kami dan memaksa kami menanggalkan jubah "

   "O, terlalu memang"

   Desuh Wijaya "tetapi mengapa ki pandita juga keluar pada waktu malam begini? Tidakkah tempat tuan di vihara? "

   Sebelum pandita itu menjawab, ba2, Wijaya teringat bahwa pandita yang seorang masih bertanding dengan lelaki muda itu.

   Ia tak tahu siapa lelaki muda itu tetapi karena dia bersama dengan Podang dan Jangkung, tentulah kawannya.

   Serentak ia berbalik tubuh dan berseru "Ki sanak, berhentilah dulu"

   Yang bertempur melawan pandita itu tak lain adalah Medang Dangdi.

   Walaupun ia tak kenal Wijaya, tetapi ia merasa bahwa dalam nada suara Wijaya itu memancarkan wibawa yang memaksa ketaatan.

   Ada suatu pengaruh yang dirasakannya.

   Dan iapun menghen kan serangannya "Uh ...."

   Ba2 ia mendesus tertahan ke ka pandita itu masih menghantamnya.

   Untung ia masih dapat beringsut ke samping.

   Namun bahunya terlanggar juga dan iapun terhuyung selangkah ke belakang.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Medang Dangdi marah atas kelicikan pandita itu.

   Ia hendak menyerang lagi tetapi kembali Wijaya mencegahnya "Jangan ki sanak ! "

   "Dia curang! "

   "Tak apa"

   Seru Wijaya "itu menandakan engkau lebih perwira"

   Medang Dangdi terkesan sekali akan ucapan itu. Tetapi pandita itu tersipu-sipu merah mukanya.

   "Bagaimana, ki pandita? Dapatkah tuan memberi keterangan kepadaku?"

   Tanya Wijaya kepada pandita yang melawan Podang dan Jangkung tadi.

   "Memang kami sedang pulang ke vihara "

   "Habis melakukan kunjungan tugas?"

   "Ya "

   "Ke? "

   "Sebuah tempat di luar pura "

   "Apakah tugas yang tuan lakukan? "

   "Hm, terlampau jauh engkau bertanya, ki sanak. Cukup kukatakan tadi "

   "Baik"

   Kata Wijaya walaupun dalam ha tertawa "tuan seorang pandita, mengapa tuan berkelahi dengan mereka?"

   "Hm, bukankah sudah kukatakan bahwa mereka hendak menahan dan menggeledah aku? "

   "Tuan dapat memberi keterangan dan minta mereka mengantarkan tuan ke vihara. Mengapa tuan menggunakan sikap keras ? "

   "Merekalah yang mendesak "

   "Dan tuan melayani? "

   "Membela diri ? "

   "O"

   Desuh Wijaya "memang se ap mahluk wajib membela keselamatan diri, termasuk kaum brahmana dan pandita. Ya, tuanlah yang benar "

   "Hm "

   "Tetapi aneh"

   Gumam Wijaya.

   "Aneh? Mengapa engkau merasa aneh? "

   "Ingin ha ku menerima keterangan tuan tetapi pikiranku membantah karena mendapat kesaksian dari indriya penglihatanku"

   "Apa maksudmu? "Kulihat tuan masih hendak melakukan penganiayaan lebih lanjut ke ka kedua orang itu rubuh. Adakah begitu cara tuan membela diri ? "

   "Orang jahat harus diberi pengajaran "

   "Berulang kali ki pandita menuduh mereka orang jahat. Kejahatan apakah yang mereka lakukan kepada tuan? Hanya karena hendak menggeledah? Bukankah kalau benar mereka itu penjahat, mereka tentu menyadari bahwa kaum brahmana dan pandita itu tak memiliki harta yang berharga? Jika mereka hendak menggeledah diri tuan, tentulah disebabkan karena suatu tugas yang sedang mereka lakukan "

   Merah wajah pandita itu menerima sanggahan tajam dari Wijaya "Ki sanak, sebenarnya sudah kulaksanakan tata santun dan kesabaran sebagai seorang pandita terhadap engkau.

   Tetapi nyata2 engkau telah menyerang aku dengan kata2 yang tajam.

   Apakah maksudmu ?"

   "Aku melihat sesuatu yang tidak ..."

   "Jangan mencampuri urusan ini!"

   Ba2 pandita yang menjadi lawan Medang Dangdi tadi menghambur "apa hakmu untuk menuduh kami! "

   "Kebenaran memberi hak kepadaku dan se ap orang untuk menyatakan pendapat"

   Sahut Wijaya pulai "Hm"

   Desuh pandita itu seraya maju menghampiri "rupanya engkau memang bermaksud hendak menghadang kami. Baiklah, anak murid candi Bentar takkan mundur menghadapi kawanan penjahat"

   "Sayang"

   Gumam Wijaya.

   "Mengapa?"

   Pandita yang seorang tertegun.

   "Bahwa anak murid candi Bentar yang termasyhur saleh, beribadah dan menjunjung welas asih, ternyata masih dicengkeram oleh nafsu2 keinginan yang kotor "

   "Oh"

   Pandita itu mengeluh geram "semakin keji dan kotor engkau menghina kami kaum pandita "

   "Sama sekali aku tidak menghina, ki pandita "

   "Tetapi bukankah kata-katamu itu bermakna demikian ? "

   "Tidak"

   Seru Wijaya.

   "Lalu apa maksudmu ? "

   Wijaya menghela napas "Ah, janganlah tuan mendesak aku untuk mengatakan hal itu. Karena kurasa tuan tentu sudah memaklumi sendiri apa yang tuan lakukan sebelum berada disini"

   "Hah? Apa katamu?"

   Pandita yang menjadi lawan Medang Dangdi menyalangkan mata, seolah hendak menelan Wijaya.

   "Aku telah mengikuti perjalanan tuan sejak tuan keluar dari candi Bentar, hingga ....

   "

   "Bedebah"

   Pandita itu terus menerjang Wijaya dengan sebuah tepisan telapak tangan ke dada kemudian diserempaki pula dengan tusukan kelima jari ke kerongkongan.

   "Curang!"

   Teriak Medang Dangdi seraya hendak bergerak maju.

   Namun karena ia berada pada jarak beberapa langkah dari tempat Wijaya, terlambatlah ia hendak memberi pertolongan.

   Walaupun sudah bersiap-siap, namun Wijaya tak menduga bahwa pandita itu akan melancarkan serangan sedahsyat dan secepat itu.

   Dalam keadaan berbahaya ia sempat melenting diri ke belakang.

   Namun belum sempat ia berdiii tegak, pandita itu pun sudah loncat menerkam.

   Kali ini serangannya makin ganas.

   Kelima jarinya diluncurkan untuk menusuk kedua biji mata Wijaya.

   "Krakkk"

   Terdengar dua kerat tulang saling beradu keras ke ka Wijaya gerakkan tangan untuk menyongsong jari lawan.

   Karena kakinya masih belum kokoh berdiri, ia telah menderita.

   Jari pandita itu terasa amat keras sekali sehingga njunya serasa bergetar, menimbulkan rasa sakit yang mengalir ke lengan, ke bahu terus ke dada.

   Ia tersurut mundur dua langkah.

   Tetapi pandita itupun terhen .

   Ia heran atas hasil tusukan jarinya itu.

   Pada hal sudah bertahun- tahun ia mela h jarinya sedemikian rupa sehingga dapat mencengkeram atau menusuk tembus pokok kayu.

   Bukankah tinju Wijaya itu terbuat dari tulang dan daging? "Kita lanjutkan pertempuran yang belum selesai tadi"

   Ba2 Medang Dangdi berseru seraya menghampiri pandeta itu. Tetapi pada saat itu, bahunya telah disiak oleh Wijaya "Ki sanak, harap menyisih dulu. Berilah kesempatan kepadaku untuk menghadapinya. Aku belum kalah "

   Medang Dangdi terkejut ke ka merasakan tangan Wijaya mengandung tenaga kekuatan yang kuat sekali.

   Kemudian, diapun teringat bahwa memang kurang layak apabila dia harus menggan kan Wijaya sebelum Wijaya kalah.

   Hal itu dapat menimbulkan anggapan yang kurang baik, seolah dia menganggap dirinya lebih unggul dari Wijaya.

   Selekas ia menyisih ke samping maka berhadapanlah ia dengan pandita yang seorang "Ki pandita, hentikan kawanmu itu"

   Pandita yang itupun sudah menyadari bahwa.

   Wijaya, menurut pengakuannya, sudah mengetahui gerak gerik mereka ke ka menebarkan bubuk kedalam sumur serentak ia melancarkan serangan dengan teramat cepat serta gencar, Wijaya tak sempat pula untuk menangkis.

   Satu- satunya cara yang dapat ditempuh hanyalah menolong agar dadanya tak sampai pecah berantakan karena pukulan lawan.

   Ia beringsut menelungkupkan bahu agar bahunya yang menyongsong.

   "Duk"

   Terdengar suara menggedebug laksana palu jatuh ke tanah dan Wijayapun terseok-seok seper kura2 hendak bertelur.

   Namun secepat itu pula ia dapat menguasai keseimbangan tubuh untuk berdiri tegak pula.

   Ia melakukan pernapasan secara singkat.

   Diketahuinya bahwa walaupun pada bahunya terasa denyut sakit tetapi daklah mempengaruhi pada sumber tenaga Cakram Manipura atau pusar dan Cakram Ana Hata atau di dada.

   Diapun cepat menimang.

   Bahwa menilik hubungan candi Bentar dengan pa h Aragani, ia mempunyai dugaan bahwa candi itu telah dikuasai pengaruh pa h Aragani untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan susila.

   Baik susila secara keksatryaan maupun susila menurut perundang-undangan.

   Apa yang disaksikan dari sikap dan gerak-gerik kedua anakmurid candi itu makin menguatkan dugaannya.

   Wijaya teringat bahwa dosa besarlah apabila menghina ataupun melukai, membunuh bahkan tak menghormat kepada kaum brahmana dan pandita.

   Mereka merupakan golongan yang terhormat dan mempunyai kasta kedudukan dalam masyarakat yang ter nggi.

   Penilaian itu bukan didasarkan karena mereka berharta atau berpangkat, berpengaruh ataupun berkuasa.

   Tetapi karena mereka merupakan golongan yang menjalankan ibadah ajaran yang suci.

   Menuntut kehidupan yang suci pula.

   Suci itu bermakna Benar.

   Tak ada suci yang tak benar.

   Dan benar itupun tentu adil, arif, asih dan amarta.

   Nilai2 dari seorang brahmana atau pandita bukan terletak daripada cara berpakaian mereka.

   Bukan pula terletak karena mereka tekun mempelajari ajaran agama.

   Bukan karena mereka melakukan doa2 parita.

   Bukan pula karena mereka berada dalam vihara, candi dan asrama2 dan grehasta2.

   Tetapi nilai itu pada peribadi, peribadi yang benar2 melaksanakan segala ajaran itu dalam mandala kehidupannya.

   Bahwa kedua pandita murid dari candi Bentar itu, telah menebarkan sesuatu ke dalam sumur dari rumah orang.

   Bahwa merekapun telah berkelahi dengan Podang dan Jangkung serta seorang kawannya.

   Bahwa mereka hendak menggasak pula Podang dan Jangkung yang sudah rubuh.

   Bahwa merekapun menyerang dirinya dengan sikap yang bengis, cukup untuk membentuk suatu kesimpulan bahwa jelas kedua pandita itu memang bukan pandita yang layak dijunjung dengan kehormatan dan perindahan..

   "Ki pandita"

   Serentak Wijaya bangkit semangatnya sebagai seorang ksatrya "dua kali sudah tuan menyerang aku secara kalap seolah tuan takut menghadapi perbuatan2 tuan yang telah diketahui orang.

   Baik, ki pandita, kiranya sudah cukup kesabaranku.

   Apa yang tuan inginkan? "

   "Satu pertanyaan yang harus engkau jawab dengan sejujurnya?"

   "Baik "

   "Benarkah engkau mengikuti perjalanan kami sejak kami keluar dari candi Bentar? "

   "Benar. Saat itu aku hendak bermalam. Tetapi karena takut mengganggu ketenangan suasana malam di candi, aku terpaksa duduk di muka pintu candi. Dan pada tengah malam tadi, aku terbangun karena mendengar langkah kaki tuan keluar dari candi"

   "Dan engkau lalu mengikuti ? "

   "Ya" .

   "Mengapa ? "

   "Karena merasa heran dan ingin tahu saja "

   "Hm"

   Anak murid candi Bentar itu menggeram "bukankah ada kepen nganmu untuk mengetahui apa yang akan kami lakukan? Bukankah suatu perbuatan tercela apabila mengiku langkah orang secara bersembunyi? "

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar, memang semuanya itu benar"

   Jawab Wijaya "pikiranku mengatakan demikian tetapi perasaan ha ku menuntut keheranan.

   Dan aku terpaksa memenuhi tuntutan ha ku untuk mengetahui sesuatu yang tak sewajarnya itu.

   Bukankah langkah tuan2 keluar pada tengah malam itu merupakan hal yang tak wajar? "

   "Hm, baiklah"

   Kata pandita itu "akupun takkan menyangkal semua hal yang engkau saksikan. Tetapi karena perbuatanmu itu bersifat mencuri, maka aku hendak mengambil kembali apa yang engkau curi itu."

   Wijaya tertegun "Apa yang engkau kehendaki ? "

   "Kembalikan semua yang engkau curi!" .

   "Apa yang telah kucuri?"

   "Penglihatan yang engkau ketahui itu "

   "O"

   Desuh Wijaya "rupanya tuan hendak mengada-ada, bukan?"

   "Mengikuti orang untuk mengetahui apa yang dilakukan-orang itu, termasuk perbuatan mencuri tahu. Mencuri bukan hanya mencuri benda, pun juga mencuri dengar, mencuri lihat, mencuri tahu dan lain2 yang di luar pengetahuan,dan idin dari orang, termasuk tindak mencuri. Nah, sekarang hendak kuminta kembali kesaksian yang engkau curi itu "

   "Ha, ha"

   Akhirnya Wijaya tertawa "kiranya begitukah yang tuan maksudkan? Jika takut diketahui orang, janganlah berbuat hal yang tak baik.

   Andaikata, tadi tuan benar2 mengunjungi sebuah asrama di luar pura ataupun melakukan sesuatu yang bersifat baik, tentulah tuan takkan sedemikian marah kepada diriku.

   Kemarahan tuan itu hanya untuk menutupi ketakutan tuan atas perbuatan yang tuan lakukan"

   "Jangan banyak mulut."

   Hardik pandita itu. Dia bertubuh lebih nggi dari kawannya "engkau mau mengembalikan apa yang engkau curi itu atau tidak? "

   "Jika tidak ? "

   "Terpaksa aku akan mengambilnya dengan paksa"

   "Jika akan kukembalikan, bagaimanakah caranya?"

   "Alat untuk bicara adalah lidah, Maka akan kuambil lidahmu atau engkau sendirilah yang memotongnya "

   "Ah, terlalu berat nian perintah tuan itu"

   Keluh Wijaya "tuan seorang pandita yang menjunjung keluhuran budi dan welas asih. Mengapa seberat itu cara hendak mencelakai diriku? Tidakkah ada lain cara untuk memenuhi kehendak tuan? "

   Pandita itu tertegun, kemudian mengerling ke arah kawannya "Bagaimana Pancaka? "

   Pandita yang menjadi lawan Medang Dangdi dari disebut Pancaka itu menyahut "Suruh dia bersumpah, kakang."

   Pandita U ungka mengangguk lalu berkata kepada Wijaya "Engkau harus bersumpah bahwa engkau takkan memberitahukan kepada siapapun apa yang engkau saksikan malam ini "

   Wijaya termenung beberapa saat.

   Ia menimang-nimang dan akhirnya berkata "Tidak, ki pandita.

   Aku hanya mau bersumpah untuk Kebenaran yang kuyakin.

   Aku tak tahu apa yang tuan tebarkan kedalam sumur itu.

   Akupun tak tahu siapa penghuni di rumah itu.

   Lebih tak tahu pula apa tujuan tuan ber ndak demikian.

   Kecuali tuan memberitahukan kepadaku dengan jujur akan hal2 yang tuan2 lakukan, apabila hal itu kuanggap sejalan dengan garis2 Kebenaran yang lurus, aku bersedia untuk mengucapkan sumpah "

   "Terlalu banyak cakap benar, engkau ini"

   Seru pandita yang disebut Pancaka tadi "Jika engkau menghendaki keterangan2 itu, marilah ikut kami ke candi Bentar"

   "Jangan ra ...."

   Kakang "

   Ba2 terdengar sebuah lengking teriakan. Dan ke ka Wijaya berpaling, ternyata Podang sudah sadar dari pingsan dan menghampirinya.

   "Engkau Podang"

   Sambut Wijaya gembira "tolonglah kakang Jangkung dulu "

   "Baik"

   Kata Podang "tetapi janganlah kakang ter pu oleh kedua pandita durhaka itu"

   Diapun terus menghampiri Jangkung untuk memberi pertolongan.

   "Kakang, sudah cukup lama kita membuang waktu. Mari kita bereskan kurcaci2 ini"

   Kata Pancaka.

   Pandita yang lebih tua itu mengangguk.

   Ia melolos kalung tasbih dari lehernya "Anakmuda rasanya takkan selesai pembicaraan ini.

   Mari.

   kita sudahi dengan cara lain.

   Menilik sikap dan nada bicaramu, engkau tentu seorang ksatrya.

   Silakan engkau mau menggunakan senjata apapun "

   "Ah, kiranya kaum pandita juga gemar menggunakan kekerasan"

   Kata Wijaya "apakah itu merupakan jalan utama untuk memecahkan persoalan ini? "

   "Terserah kepadamu"

   Kata pandita itu "apabila engkau menerima salah satu dari ke ga permintaan kami, potong lidah, bersumpah atau ikut ke candi Bentar, maka persoalan inipun selesai "

   "Potong lidah, perbuatan yang kejam. Seolah tuan berhak untuk menentukan mati hidupku. Sumpah, pun aku tak dapat menerima karena belum meyakini kebenaran hal yang harus kujunjung dengan sumpah. Ikut ke candi Bentar, pun aku tak dapat menerima karena aku bebas pergi ke mana saja. Dan akupun masih mempunyai suatu urusan penting lain lagi "

   "Jika demikian, engkau harus menerima cara penyelesaian yang terakhir ini "

   "Yah"

   Wijaya menghela napas enggan "kalau memang demikian yang tuan kehendaki, akupun terpaksa harus menurut saja.

   Tetapi sebelumnya aku hendak meminta penjelasan.

   Pertama, apakah pertempuran ini harus sampai ada yang ma ? Kedua bagaimanakah penyelesaiannya setelah ada yang kalah? "

   "Pertempuran dilakukan setelah ada yang mengaku kalah barulah dihen kan. Jika aku kalah, segala tuntutanku kepadamu kubebaskan dan aku akan angkat kaki dari sini "

   "Baik"

   Sahut Wijaya "jika aku yang kalah, aku bersedia ikut ke candi Bentar"

   "Lekas cabut senjatamu "

   "Silakan, ki pandita. Aku akan menghadapi tuan dengan kedua tanganku "

   Podang bersama Jangkung yang saat itu sudah menghampiri, tampak pucat.

   Medang Dangdipun tegang.

   Dia belum kenal siapa Wijaya itu.

   Tetapi dari kesan yang diperolehnya waktu bertempur dengan pandita yang lebih muda tadi, ia merasa bahwa pandita anakmurid candi Bentar itu memang memiliki ilmu kesaktian yang mengejutkan.

   Tidakkah mencemaskan apabila pemuda itu hendak menghadapi pandita yang akan menggunakan tasbih, dengan tangan kosong ? Bukankah tadi dua kali pemuda itu menderita pukulan dari pandita itu ? Medang Dangdi berpaling hendak meminta Podang menganjurkan supaya pemuda itu menggunakan senjata juga.

   Tetapi terlambat.

   Saat itu pandita sudah memutar-mutar tasbihnya mengancam pemuda itu.

   Medang Dangdi makin terkejut ke ka menyaksikan permainan tasbih dari pandita nggi itu.

   Serentak terdengar angin menderu-deru tajam ke ka tasbih itu bergerak cepat dalam perputaran yang melingkar-lingkar, makin lama makin menelungkupi kepala Wijaya.

   Wijaya tak gentar.

   Ia ingat akan pesan gurunya bahwa dalam menghadapi suatu pertempuran, janganlah pikiran kacau ha gentar tetapi harus tenang dan meningkatkah kewaspadaan.

   Selekas tasbih menimpah ke atas kepala, iapun loncat menyelinap ke samping lawan.

   Dan dengan gerak yang secepat kilat, ia menerpa lengan pandita itu, untuk melumpuhkan tangan yang memegang tasbih.

   Tetapi ia terkejut sekali ke ka pandita itu berputar diri dan menyerang pula kepalanya.

   Hal itu diulang sampai dua ga kali.

   Se ap kali Wijaya menyelinap, se ap kali itu pula ia harus dikejutkan oleh gerak, lawan yang menguasai dirinya.

   Demikian pertempuran itu berjalan amat seru.

   Wijaya selalu difihak yang terdesak.

   Dia hanya dapat bertahan tak mampu balas menyerang.

   Podang, Jangkung mulai bercucuran keringat.

   Medang Dangdipun bersiap-siap untuk memberi pertolongan apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

   Bum ....

   terdengar letupan dan hamburan debu tebal ke ka tasbih pandita itu karena luput menghantam Wijaya mendapat sasaran tanah.

   Merah muka pandita itu.

   Ia makin bernafsu untuk menghancurkan Wijaya.

   Kini gaya serangannya bergan .

   Tidak lagi ia menyerang kepala tetapi langsung menyerang tubuh.

   Namun sampai beberapa saat Wijaya masih mampu bertahan walaupun harus pontang panting menghindar.

   Tetapi menghadapi serangan yang gencar dan dahsyat dari pandita itu, ketahanan Wijayapun mulai goyah.

   Puncak daripada ketegangan terjadi ke ka dengan suatu siasat yang tak terduga, pandita itu berhasil mengait kaki Wijaya.

   Wijaya yang mencurah perha an untuk menghadapi serangan tasbih, telah terlena akan pertahanan dibagian bawah.

   Akibatnya ia jatuh terjerembab.

   Dan saat itu tak disia-siakan pula oleh pandita yang dengan gerak harimau menerkam, loncat seraya menghantamkan tasbih kepada lawan.

   Podang menjerit, Jangkung melonjak dan Medang Dangdipun terus loncat hendak menolong.

   Tetapi terlambat.

   Tasbih pandita itu jauh lebih cepat.

   Seke ka terdengar bunyi logam mende ng dan ba2 pandita itu menjerit sekeras-kerasnya seraya terseok-seok mundur dengan mendekap mukanya, ia meraung-raung dan terus lari tinggalkan tempat itu.

   "Kakang Uttungka, kenapa engkau"

   Teriak pandita Pancaka yang lari menyusul kawannya.

   "Kakang Jaya"

   Podang lari menghampiri. Demikian pula Jangkung dan Medang Dangdi. Wijaya pun berbangkit, mengebas-ngebaskan pakaiannya yang berlumur debu.

   "Engkau tak kena apa-apa, raden.... kakang?"

   Seru Podang bergopoh ketegangan. Wijaya gelengkan kepala "Aku selamat tak kurang suatu apa "

   "Tetapi bukankah pandita itu menghantammu dengan tasbih?"

   "Lalu mengapa dia menjerit dan melarikan diri? "

   "Tidakkah engkau men-dengar bunyi benda keras yang mendering tadi ?"

   "Ya "

   "Aku sendiripun tak tahu. Hanya ke ka tasbih itu hendak menghantam mukaku, aku berusaha miringkan tubuh untuk menghindar. Tasbih itu menghantam pinggangku dan ba2 pandita itu menjerit kesakitan seraya mendekap mukanya "

   "Dan engkau tak menderita luka? "

   Wijaya gelengkan kepalanya "Tidak"

   Ia meraba pinggangnya dan serentak tangannya menyentuh gada yang diperoleh di gua pesisir laut kidul itu.

   "Ah"

   Ia menghela napas.

   "Mengapa kakang? "

   "Mungkin benda inilah yang telah menyelamatkan jiwaku. Tasbih pandita itu tentu pecah dan percikannya memancar kemukanya sehingga ia menjerit kesakitan "

   "Apakah benda itu, kakang? "

   "Entahlah, semacam gada yang kuperoleh dari gua di tepi laut"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Wijaya. Medang Dangdi menghela napas longgar "Ah"

   Mendengar itu barulah Wijaya sadar bahwa ia belum mengenal pemuda itu "Maaf, ki sanak, aku Wijaya, kawan dari adi Podang dan kakang Jangkung ini. Bukankah ki sanak juga berkawan dengan mereka?"

   Medang Dangdi memberi hormat "Aku bernama Medang Dangdi. Benar, aku memang berkawan dengan mereka berdua "

   "Hai, ki sanak, mana kuda hitamku itu?"

   Tiba2 Jangkung teringat akan kuda hitam. Wijaya tertawa dan menerangkan bahwa kuda hitam itu ia tambatkan pada sebuah tempat di luar pura "Besok kuantar ke sana"

   "Ah, tidak. Aku hanya bertanya saja. Kuda itu milikmu, raden "

   "Bagaimana mungkin? Itu. milikmu, aku hanya sekedar mencobanya saja" .

   "Sudahlah, raden, jangan menolak. Apakah engkau hendak menghina aku ?"

   Wijaya terkejut mendengar kata-kata Jangkung "Mengapa engkau mengatakan aku menghinamu ?"

   "Di hadapan orang banyak yang berada di lapangan, aku sudah menyatakan bahwa barangsiapa dapat mengendarai kuda hitam itu, dialah yang berhak memilikinya. Jika raden menolak, bukankah raden mencemohkan diriku? Aku juga seorang lelaki, raden, apa yang sudah kukatakan, tentu akan kulaksanakan !"

   Wijaya tertawa "Baiklah"

   Ia mengangguk dan menghaturkan terima, kasih. Kemudian dia bertanya mengapa mereka ber ga ba di tempat itu dan sampai berkelahi dengan kedua pandita tadi..

   "Raden, eh, kakang .... mari kita duduk di bawah pohon itu sambil bercakap-cakap ?"

   Kata Podang seraya menunjuk pada sebuah gerumbul pohon tak jauh dari tempat mereka. Mereka setuju. Setelah duduk maka Wijaya mengulang pula pertanyaan tadi "Kami ber ga sedang meronda"

   Kata Jangkung.

   "Meronda? Siapa yang suruh kalian meronda? "

   Wijaya heran.

   "Pangeran Ardaraja, raden "

   "Hah ?"

   Wijaya makin terbeliak "pangeran Ardaraja berada di Singasari ? Bagaimana kalian dapat berhubungan dengan pangeran itu dan ditugaskan untuk meronda ? "

   "Ee, kami ...."

   Ba2 Jangkung dan Podang serempak membuka mulut dan mengucapkan kata2 yang sama sehingga keduanya berhenti, saling pandang.

   "Sudahlah, biar adi Dangdi saja yang memberi keterangan"

   Akhirnya Jangkung menghela napas.

   Medang Dangdi lalu menceritakan semua peris wa yang telah dialami mereka.

   Dimulai dari tah gurunya untuk turun gunung, ia melihat Jangkung dan Podang didera oleh seorang ksatrya yang mengaku berasal dari tanah Pajajaran.

   Ia bertempur dan dengan bantuan Podang serta Jangkung, akhirnya ksatrya dari Pajajaran itupun dapat dikalahkan.

   Kemudian mereka ber ga masuk ke dalam pura dan kebentur dengan prajurit2 pengawal raden Kuda Panglulut.

   Hampir saja terjadi pertumpahan darah hebat manakala rombongan pangeran Ardaraja tak muncul.

   Pada saat itu muncul pula dua orang yang bernama Nambi dan Lembu Sora tampil memberi kesaksian bahwa yang bersalah adalah fihak prajurit2 pengawal raden Kuda Panglulut.

   Penyelesaian dari ribut2 itu, Ardaraja hanya mempersilakan rombongan raden Kuda Panglulut supaya melanjutkan perjalanan sedang pangeran Ardaraja lalu mengajak Medang Dangdi ber ga dan juga Lembu Sora serta Nambi ke keraton.

   "Siapa nama kedua pemuda yang tampil memberi kesaksian itu?"

   Wijaya terkejut dan menyela.

   "Yang bertubuh agak kurus bernama Nambi dan yang berperawakan tegap Lembu Sora "

   "Ah"

   Wijaya mendesuh kejut "jika tak salah aku sudah kenal dengan keduanya "

   "Benarkah? "

   "Dimana mereka sekarang? "

   "Masih di tempat kediaman pangeran Ardarja "

   "Masih disana ? Adakah kalian sudah bekerja pada pangeran Ardaraja?"

   Medang Dangdi gelengkan kepala "Bukan, raden. Tujuan kami bukan hendak mengabdi kepada pangeran itu"

   Ia lalu menceritakan maksud2 tersembunyi dari pangeran Ardaraja yang menginginkan agar mereka berlima tetap mau bekerja padanya.

   Juga diberitakannya tentang perintah Ardaraja kepada Nambi dan Lembu Sora untuk menyergap Ku yang akan mendapatkan kaca wasiat milik puteri Teribuana.

   "Dan apakah usaha kedua kakang itu berhasil?"

   Tanya Wijaya.

   "Tidak"

   Sahut Medang Dangdi "mereka melaporkan kepada pangeran bahwa Ku pada malam itu telah dilarikan orang. Oleh karena itu maka malam ini kamilah yang ditugaskan pangeran untuk melakukan ronda, menjaga kemungkinan Kuti akan muncul kembali ke dalam pura "

   "Dan kalian lalu berjumpa dengan kedua pandita itu? "

   "Benar"

   Kata Medang Dangdi "karena mereka berjalan di tengah malam, kami tegur dan hen kan kemudian kami periksa. Tetapi mereka menolak dan akhirnya terjadilah pertempuran tadi"

   Wijaya mengangguk-angguk. Kini dia mulai jelas tentang keadaan dalam pura selama ia tinggalkan beberapa hari itu.

   "Memang benar"

   Katanya "Kuti telah dilarikan orang. Entah apa tujuan orang itu"

   "O, raden tahu hal itu ? "

   "Ya, karena aku berpapasan dengan orang itu "

   "Ah, jika begitu, radenpun harus menceritakan pengalaman raden selama ini kepada kami"

   Teriak Jangkung.

   Dengan ringkas tetapi jelas, Wijaya lalu menuturkan semua pengalaman yang dialaminya sejak dia dibawa lari oleh kuda hitam, hingga sampai berjumpa dengan tumenggung Bandupoyo.

   Dalam perjalanan ke pura Singasari, ia telah berjumpa dengan seorang yang memanggul sesosok tubuh.

   Bukan saja orang itu menolak bantuan, pun bahkan menyerang dari melarikan diri.

   Untunglah orang itu dapat dihalau dan melarikan diri walaupun harus terpaksa meninggalkan orang yang dipanggulnya itu.

   "Dia tentu Kuti"

   Teriak Podang.

   "Benar, memang orang itu Kuti "

   "Apakah dia benar membawa kaca wasiat, raden ?"

   Tanya Medang Dangdi. Wijaya mengangguk "Ya, kebetulan tumenggung Bandupoyo yang memungut kaca wasiat itu di tanah. Kaca itu jatuh dari dalam baju Kuti "

   "Lalu apakah kaca itu diserahkan kepada Kuti lagi? "

   "Yah"

   Wijaya menghela napas "kalau tiada kaca itu Kuti tentu tak mau melepaskan aku "

   Medang Dangdi dan Podang terkesiap "Mengapa, raden ? "

   "Ah"

   Wijaya mendesah "dia masih mendendam kepadaku"

   Ia lalu menuturkan peris wa pertempurannya dengan Kuti dahulu.

   "Lalu apakah kaca wasiat itu diserahkan kepada Kuti? "

   "Ya"

   Kata Wijaya "berkat kebijaksanaan tumenggung Bandupoyo, Ku rela menerima kaca wasiat itu dan melepaskan aku "

   "Hm"

   Desuh Podang "Kuti memang amat congkak. Mungkin dia mengira kakang takut kepadanya "

   Medang Dangdi bertanya pula mengapa Wijaya pada saat itu berada ditempat pertempuran tadi.

   Wijayapun memberi keterangan, dimana waktu dia sedang bermalam di luar pintu candi, ia melihat kedua pandita itu keluar.

   Lalu ia mengiku nya dan ternyata pandita itu telah menuju ke sebuah rumah di luar pura "Dan mereka menebarkan sesuatu ke dalam sumur rumah itu"

   Wijaya mengakhiri keterangannya.

   "O"

   Seru Medang Dangdi "jelas mereka tentu bermaksud buruk. Mungkin mereka menebarkan bubuk beracun untuk membunuh penghuni rumah itu "

   "Tetapi siapakah penghuninya ?"

   Tanya Jangkung.

   "Aku belum sempat menyelidiki"

   Kata Wijaya "nan setelah terang tanah aku hendak ke sana. Jika terjadi sesuatu dengan penghuni rumah itu, akan kuberitahukan tentang bahaya yang terdapat didalam sumur mereka "

   "Benar"

   Sahut Jangkung "jika mereka menderita sesuatu, jelas tentu perbuatan dari anakmurid candi Bentar. Kita adukan saja perbuatan mereka kepada yang bertugas menjaga keamanan "

   Demikian mereka melanjutkan percakapan hingga terdengar ayam berkokok. Tak berapa lama kemudian fajarpun tiba.

   "Kakang Jangkung dan ki Dangdi, hendak kemanakah kalian sekarang?"

   Kata Wijaya.

   "Ikut raden"

   Seru Jangkung merentak.

   "Bukankah kakang sedang melakukan tugas dari pangeran Ardaraja? "

   "Huh, peduli"

   Jangkung menggeram "masakan dia hendak merampas kebebasan orang "

   Medang Dangdipun mengiku pernyataan Jangkung, dengan menambah keterangan pula "Agaknya pangeran memang benar2 mempunyai maksud untuk memaksa kami bekerja kepadanya.

   Kesimpulan itu kuperoleh dari caranya dia membagi tugas.

   Kemarin malam kami ber ga yang diperintahkan tetap nggal di asrama, sedang kakang Nambi dan Sora diperintahkan keluar mengiku jejak Ku .

   Dan semalam, mereka berdua yang ditahan di asrama sementara kami ber ga yang diperintah untuk meronda keluar.

   Dengan demikian selalu ada kawan yang ditahan di asrama "

   "Hm"

   Wijaya mengangguk "memang pangeran itu gemar sekali mengumpulkan pemuda2 yang gagah untuk pengawal. Maka jika ki Dangdi dan kakang Jangkung hendak ikut aku, bukankah pangeran akan murka? "

   "Biar dia marah, aku bukan hamba sahayanya"

   Geram Jangkung.

   "Ya"

   Sambut Wijaya "tetapi engkau harus mengingat diri kakang Nambi dan Sora. Jika kalian bertiga tak kembali ke asrama, kedua kawan kita itu tentu akan disekap seketat-ketatnya "

   Medang Dangdi, Jangkung dan Podang dapat merasakan ucapan Wijaya itu.

   Diam2 mereka mengakui hal itu.

   Tetapi merekapun tak tahu bagaimana harus ber ndak untuk membebaskan diri dari penguasaan pangeran Ardaraja.

   Adakah selamanya aku harus mengiku perintah pangeran itu?"

   Jangkung mulai bersungut- sungut "kedatanganku ke pura Singasari ini hanya untuk mencari orang yang mampu menguasai kuda hitam itu. Aku tak ingin menjadi sentana kerajaan, lebih dak ingin pula menjadi abdi seorang pangeran "

   Pernyataan Jangkung itu tak bersambut. Rupanya keempat anakmuda itu tengah merenung pikiran, mencari jalan keluar.

   "Begini sajalah, kawan sekalian"

   Akhirnya Wijaya mendahului berkata "pertama-tama, ingin kuminta keterangan dari kawan2, bagaimanakah tujuan dan kehendak kalian ini "

   "Aku ke pura Singasari karena hendak mencari orang yang tepat menjadi tuan dari kuda hitam itu"

   Jangkung mengulang pula.

   "Bukan itu yang kumaksudkan, kakang Jangkung"

   Wijaya menanggapi "soal itu sudah selesai.

   Yang ingin kuketahui, bagaimanakah sikap dan pendirian kalian dalam menghadapi suasana pura Singasari yang sedang dilanda kekosongan kekuatan ini? Jelasnya, adakah kalian mengandung maksud untuk mengabdi kepada negara? "

   "Kemana kakang pergi, aku akan ikut selalu"

   Podang memberi pernyataan.

   "Itu bukan pendirian yang tegas, Podang. Apakah engkau mempunyai tujuan hendak mengabdi kepada negara Singasari? "

   "Ya"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawab Podang "sebagai seorang kawula Singasari aku harus mengabdikan tenaga dan jiwaku kepada negara. Tetapi aku mempunyai cara tersendiri."

   "Apa dan bagaimana caramu itu ? "

   "Ikut pada raden, eh, kakang Jaya "

   Wijaya terkesiap, dipandangnya anakmuda itu tajam2

   "Podang, mengapa engkau mempunyai anggapan begitu? "

   "Entahlah"

   Sahut Podang "tetapi aku mempunyai perasaan demikian."

   "Bukankah aku ini hanya seorang kelana ? Bukankah aku ini bukan penguasa negara? "

   "Ya, kutahu"

   Kata Podang "tetapi suara hatiku mengatakan demikian. Aku harus mentaatinya "

   Wijaya geleng2 kepala "Kakang Jangkung, bagaimana pendirianmu ?"

   Tanyanya kepada Jangkung.

   "Aneh"

   Gumam orang nggi itu "bermula aku memang heran mendengar pernyataan Podang. Tetapi ketika aku harus memberi jawaban ini, tiba2 hatiku juga berkata demikian, raden "

   "Ah, engkau hanya mengada-ada, kakang Jangkung"

   Wijaya setengah mengeluh "bukankah sebelumnya engkau tak bermaksud demikian? "

   "Memang"

   Jawab orang nggi itu "dengan terus terang aku tak mengandung tujuan apa2. Tetapi entah bagaimana, setelah kuda hitam itu menghambakan diri kepadamu, raden, diapun menyuruh aku juga ikut pada raden "

   "Kuda hitam itu menyuruhmu ?"

   Wijaya terbeliak. Jangkung garuk2 kepalanya "Jika kukatakan, mungkin orang takkan percaya. Tetapi kalau tak kukatakan, sebenarnya aku memang mengalami hal itu "

   "Apakah maksudmu, kakang Jangkung? "

   "Ah, mungkin raden akan menertawakan aku. Tetapi demi Batara Agung aku berani bersumpah bahwa aku memang benar2 mendapat impian itu "

   "Mimpi? Apakah impianmu itu ? "

   "Aku bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang berkulit hitam sekali. Tanpa berkata sepatah kata, dia terus menerkam aku dan hendak membunuhku. Aku heran dan bertanya, apakah dosaku? Dia mengatakan, aku telah memperlakukannya dengan sia2. Sudah tentu aku terkejut dan meminta keterangan siapakah sesungguhnya orang itu. Bukan menjawab dia malah membentakku. Pokok, aku mau hidup atau minta mati. Minta hidup, kataku. Kalau ingin hidup, aku harus mengikuti dia terus. Kemana, tanyaku. Kemanapun juga, katanya. Dia mengancam, apabila aku ingkar janji, dia tentu akan menggigit leherku "

   "Engkau gemar menggigit orang?"

   Dalam mimpi itu aku bertanya penuh keheranan.

   "Ya"

   Jawab orang hitam itu "gigiku mempunyai bisa, engkau tidak mati tetapi akan gagu "

   "Gila"

   Aku menjerit "siapakah engkau ? "

   "Orang hitam itu tertawa mengekeh. Tiba2 ia meringkik sekeras-kerasnya dan seke ka kulihat dia berobah menjadi kuda hitam itu. Itulah raden maka aku harus ikut engkau "

   "Tidak, kakang Jangkung"

   Wijaya menolak "aku tak dapat menerima engkau karena maksudmu itu bukan keluar dari ha sanubarimu sendiri, melainkan karena engkau takut pada impianmu. Lebih baik engkau pulang ke desamu saja"

   Jangkung terlongong.

   "Huh, dak, raden"

   Akhirnya ia gopoh berkata "bukan karena impian itu tetapi memang ada sesuatu yang terasa dalam ha ku, agar aku mengiku raden, Jadikan apa sajalah diriku ini raden, abdi, tukang kuda atau pengalasan atau apa sajalah.

   Aku bersedia mengabdi dengan setulus hati "

   "Aku seorang kelana, bagaimana aku dapat memelihara seorang abdi? "

   "Biar, raden, aku akan cari makan sendiri"

   Teriak Jangkung dengan wajah memberingas kesungguhan hati.

   "Raden, terimalah kakang Jangkung"

   Podang ikut memintakan.

   "Hm, aku hendak bertanya kepada kalian berdua"

   Kata Wijaya "adakah kalian sanggup menderita ? "

   "Sanggup!"

   Serempak Podang dan Jangkung berteriak.

   "Hm"

   Wijaya mendesuh lalu berpaling kepada Medang Dangdi. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, Medang Dangdipun sudah memberi pernyataan "Akupun hendak mohon agar raden menerima diriku"

   Wijaya menyalang mata "Eh, mengapa kakang Dangdi memiliki perasaan demikian? Bukankah kakang hendak ikut dalam sayembara? "

   "Semula memang begitu tetapi kini dak lagi"

   Sahut Medang Dangdi "aku akan berusaha agar raden dapat memenangkan sayembara itu "

   "Ah"

   Wijaya menghela napas "kalian benar2 telah menyudutkan diriku.

   Jika kalian berkeras hendak ikut kepadaku, akupun tak dapat menolak.

   Tetapi sebelumnya hendak kuberi peringatan agar kalian camkan dengan sungguh-sungguh.

   Pertama, kita berjuang demi kepen ngan negara kerajaan Singasari.

   Kedua, harus setya-kawan dan ke ga, harus bersikap, ber ndak, berucap dan berpikiran dalam Kebenaran dan Keadilan.

   Keempat, harus berani berkorban jiwa-raga demi kepen ngan negara.

   Dan kelima, dalam ber ndak dan berbuat sesuatu, harus sepi dari pamrih peribadi.

   Dapatkah kalian menerima kelima hal itu? "

   Medang Dangdi terkesiap.

   Diam2 ia makin kagum akan keperibadian ksatrya muda itu.

   Sejak pertama kali melihat dan berkenalan, ia mendapat kesan bahwa dalam diri anakmuda itu terpancar suatu daya perbawa kepemimpinan yang besar.

   Serempak ia dan kedua kawannya menyatakan menerima hal2 yang dikatakan Wijaya itu.

   Saat itu hari makin terang.

   Suryapun sudah mulai menyembul dari balik gunung timur.

   "Sekarang marilah kita membagi tugas"

   Kata Wijaya "kalian ber ga, kuminta tetap kembali ke tempat pangeran Ardaraja ....

   "

   "Tidak!"

   Teriak Jangkung serentak "raden seorang ksatrya, mengapa hendak ingkar janji? Bukankah raden telah menerima kami bertiga? Mengapa sekarang raden hendak suruh kami balik kembali kepada pangeran itu ?"

   Wijaya tertawa "Jangan diburu nafsu dulu, kakang Jangkung.

   Perjuangan, memang berliku-liku jalannya.

   Tidak tentu suatu perjuangan itu dapat berjalan lurus dan lancar.

   Berjuang itu sendiri, sudah mengandung makna berusaha dan berdaya upaya.

   Berjuang lain ar nya dengan bertempur.

   Jika kita bertempur, kita langsung menghantam atau dihantam lawan.

   Tetapi berjuang, bukan demikian.

   Ada kalanya harus bertempur, tetapi ada kalanya juga dak harus melalui pertempuran tetapi menggunakan pikiran atau cara dan siasat "

   "Demikian pula yang kukatakan tadi"

   Wijaya melanjut "jika kalian ber ga terus saat ini ikut aku dan tak mau kembali kepada pangeran Ardaraja, bagaimana dengan nasib kakang Nambi dan Sora ? Bukan mereka akan lebih dijaga keras?"

   "O"

   Jangkung mendesus.

   "Maka kuminta kalian bertiga kembali dulu kepada pangeran. Nanti apabila tiba waktunya, kalian boleh lolos. Tapi ingat, jika hendak meloloskan diri, hendaknya harus berlima. Jangan ada yang masih ketinggalan "

   "O, ya benar"

   Akhirnya Jangkung dapat menyadari "tetapi bagaimana dengan raden? Kemanakah raden hendak pergi? "

   "Aku akan kembali ke rumah di luar pura itu. Apabila penghuni di situ tak kurang suatu apa, aku pun akan masuk ke dalam pura lagi. Aku akan mencari tempat beris rahat untuk mempersiapkan diri menghadapi sayembara yang akan dilangsungkan esok hari "

   "Lalu bila dan dimanakah kita akan bertemu lagi, raden?"

   Tanya Jangkung pula.

   "Usahakan supaya kalian berlima dapat menghadiri sayembara itu. Kurasa, tentu bakal terjadi sesuatu dalam sayembara itu. Ingat, bertindaklah menurut kelima garis yang kukatakan tadi "

   Demikian setelah tak ada yang diperbincangkan lagi, walaupun dengan berat ha namun Jangkung bertiga lalu mohon diri dan kembali ke asrama di tempat kediaman pangeran Ardaraja.

   Sementara Wijayapun menuju ke rumah di luar pura.

   Ia agak heran.

   Ternyata rumah itu merupakan sebuah asrama yang ditempati oleh orang2 Daha.

   Karena sudah sering berada di Daha maka dapatlah ia membedakan cara berpakaian orang Daha dengan orang Singasari.

   "Adakah Daha juga mengirim orang untuk ikut serta dalam sayembara ini?"

   Pikirnya. Serentak ia tersengat dalam ketegangan kejut "ah, sungguh berbahaya. Apabila kedudukan senopa Singasari jatuh ke-tangan orang Daha, bukankah ...."

   Ia membayangkan beberapa kemungkinan mengenai hal itu dan berakhir dengan kesimpulan bahwa hal itu pasti takkan menguntungkan kerajaan Singasari.

   "Tetapi Daha tentu tahu bahwa sayembara itu terbuka sifatnya. Se ap orang boleh ikut. Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan sayembara itu, tentu tak dapat menolak kehadiran seorang ksatrya dari Daha. Dan apabila Daha berkeinginan untuk merebut kedudukan senopa itu, pas lah mereka akan mengirim ksatrya2 pilihan"

   Ia menimang-nimang lebih lanjut.

   Sekilas mbullah keinginannya untuk mengetahui siapa kiranya yang dikirim Daha dan nggal dalam asrama itu.

   Iapun ayunkan langkah menghampiri.

   Tampak kesibukan2 dalam pondok asrama itu.

   Rupanya para penghuni asrama sudah bangun dan sibuk mempersiapkan keperluan2 pagi itu.

   Tiba2 dari pintu pagar, muncul dua orang lelaki.

   Wijaya terkejut dan hendak menyingkir tetapi salah seorang dari mereka cepat menyapanya "Hai, berhenti dulu, ki sanak "

   Wijaya terpaksa berhenti. Jika ia teruskan langkah tentu akan menimbulkan kecurigaan orang.

   "Engkau siapa dan hendak ke mana? Mengapa hari sepagi ini engkau berada di asrama kami?"

   Tegur orang itu.

   Seorang lelaki yang bertubuh kekar dan berkumis lebat.

   Karena langkahnya terlanjur diketahui, Wijaya memberi jawaban bahwa dia hendak menuju ke luar pura.

   Orang itu memandang Wijaya lekat2.

   Dari ujung kaki sampai ke atas kepala, ditelusurinya dengan pandang yang tajam.

   Tiba2 kawannya mendekat dan membisiki sesuatu ke dekat telinga orang itu.

   "Anak muda"

   Seru prajurit berkumis lebat itu pula "menilik pakaian dan perawakanmu, engkau tentu seorang ksatrya, putera seorang berpangkat dalam kerajaan Singasari.

   Pada waktu hari masih sesepi ini, engkau seorang diri berkeliaran di sekitar tempat kami.

   Apakah maksudmu, katakanlah! "

   Wijaya terkejut dalam ha . Ia tak menyangka bahwa langkahnya untuk menyelidiki pondok asrama itu akan menimbulkan ekor yang panjang. Harus pandai merangkai jawaban agar tak terlibat dalam peristiwa yang tak diinginkan.

   "Ki sanak"

   Katanya dalam nada ramah "apakah yang ki sanak kehendaki jawaban dari aku ? Aku telah memberi jawaban seperti yang kukatakan tadi "

   "Bohong !"

   Tiba2 lelaki yang lebih muda dari lelaki berkumis lebat, melantang hardikan.

   Wijaya sejenak mengalih pandang kepada orang itu.

   Seorang lelaki yang bertubuh kekar, lebih muda usia dan berkumis pis.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cepat ia merangkai kesan bahwa kedua orang itu layaknya tentu kaum prajurit.

   Walaupun saat itu mereka mengenakan pakaian biasa tetapi daklah mengurangkan sikap, ucap dan ngkah seper prajurit "Ki sanak, memang mudah untuk menuduh.

   Tetapi apakah dasar dan alasan yang engkau lambarkan pada tuduhanmu itu?"

   "Wajah dan sikapmu, bukan seorang pemuda biasa "

   "O"

   Seru Wijaya mulai mengendap ketegangannya "memang benar.

   Se ap kali aku harus mengalami kesulitan bahkan terkadang petaka, hanya karena wajahku ini.

   Orang mengira aku putera priagung atau orang berpangkat.

   Betapa senang ha ku apabila hal itu memang benar.

   Tetapi nyatanya aku tak lebih dan tak kurang hanya anak dari gunung belaka.

   Jangan menilai peribadi seseorang dari wajah, ki sanak.

   Banyak terdapat wajah2 bagus tetapi ha nya berduri.

   Kebalikannya, wajah2 jelek itu belum tentu kalau hati budinya juga ikut buruk ....

   "

   "Bicaramu, pengupasanmu tentang sesuatu hal, makin membuk kan bahwa engkau bukan pemuda sembarangan"

   Tukas lelaki berkumis pis "engkau memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang tinggi "

   "Ya, kalau engkau anggap begitu, terserah"

   Sahut Wijaya "Tetapi salahkah jika seseorang memiliki kecerdasan dan pengetahuan itu? "

   "Ya"

   Sahut lelaki itu "karena engkau berada di sini "

   "Mengapa?"

   Wijaya terbeliak. Namun diam2 ia sudah merangkai isi hati orang.

   "Engkau tahu di sini tempat apa?"

   Wijaya gelengkan kepala.

   "Hm, ini asrama rombongan dari Daha. Engkau tentu sengaja hendak mencari sisik melik, menyelidiki tempat ini "

   "Jangan menuduh semena-mena, ki sanak "

   "Pertama, engkau orang Singasari. Engkau akui atau tidak kalau engkau seorang ksatrya, tetapi yang jelas engkau tentu bukan pemuda sembarangan. Kedua, pada waktu sepagi ini engkau seorang diri berkeliaran di lingkungan tempat ini. Ketiga, jika engkau benar2 hendak ke desa di luar pura, tidak seharusnya mengambil jalan ini. Ini jalan buntu, bukan jalan yang menuju ke lain daerah. Dengan tiga hal itu, jelas engkau tentu seorang mata-mata, paling tidak tentu mempunyai maksud tertentu "

   "Hm, benar"

   Seru lelaki berkumis lebat "jika engkau mengaku sejujurnya, akan kubawa engkau ke hadapan ki demang Bango Dolog. Tetapi kalau engkau berbohong, terpaksa kami akan menindakmu dengan kekerasan "

   Wijaya agak terkejut dalam ha .

   Ia seper pernah mendengar tentang nama demang Bango Dolog sebagai salah seorang dari perwira prajurit Daha yang sak .

   Ingin ia menyerahkan diri agar dibawa ke hadapan Bango Dolog dan menyelidiki apa rencana mereka.

   Tetapi pada lain kilas, ia memperhitungkan bahwa besok, sayembara sudah dimulai.

   Apabila ia terlibat dalam kesukaran dengan orang2 Daha itu, bukankah ia akan terhalang ikut dalam sayembara itu.

   Pada hal ia sudah memberikan janjinya kepada tumenggung Bandupoyo.

   "Maaf, ki sanak"

   Akhirnya ia memberi alasan penolakan "aku akan melanjutkan perjalanan "

   Tiba2 prajurit berkumis lebat itu tertawa "Ha, ha, dak semudah engkau datang tadi jika engkau hendak pergi dari sini, ki sanak "

   "O"

   Seru Wijaya terkejut "adakah ki sanak hendak mempersulit diriku ? "

   "Ha, ha"

   Lelaki berkumis lebat itu tertawa "engkau sendiri yang mencari kesulitan dan sekarang engkau mendapatkannya. Mengapa engkau terkejut dan gelisah? "

   Wijaya menghela napas dalam ha .

   Maksud kedatangannya yang pokok yalah untuk mengetahui bagaimana keadaan para penghuni asrama itu.

   Apabila terjadi apa2 dengan mereka, ia bersiap hendak memberi-tahu tentang sumur di belakang asrama.

   Tetapi kini ia malah terlibat dalam kesulitan dengan kedua lelaki yang diduga tentu prajurit rombongan demang Bango Dolog.

   Wijaya tak mau terlibat dalam kesulitan lagi.

   Diam-diam ia memutuskan untuk lolos.

   Tetapi ia terkejut ketika melihat kedua lelaki itu sudah bergerak mengepungnya dari muka dan belakang.

   "Apakah engkau tak mau menyerah?"

   Rupanya mereka masih memberi kesempatan.

   "Aku tak mengerti untuk apa aku harus menyerahkan diri. Aku tak merasa bersalah kepada kalian "

   "Hm, engkau memang keras kepala"

   Ba2 lelaki berkumis lebat yang berada di sebelah muka terus ulurkan tangan hendak mencengkeram dada Wijaya.

   Wijaya tak terkejut karena dia sudah menduga hal itu.

   Diapun tahu bahwa di belakangnya telah siap lelaki berkumis pis.

   Apabila dia menyurut mundur, tentulah orang yang di belakang itu akan menerkamnya.

   Ia tak mau terlibat terlalu lama di tempat itu.

   Ia harus mengakhiri cepat-cepat keadaan yang dihadapinya maka diapun menggunakan siasat.

   Ia pura-pura gugup dan ketakutan lalu mundur.

   Lelaki berkumis lebat itu maju selangkah untuk mengejarkan cengkeramannya.

   Hal itu sudah diperhitungkan Wijaya.

   Diapun tahu bahwa kalau ia mundur selangkah lagi, orang di belakang tentu akan menerkamnya.

   Ia melaksanakan siasatnya.

   Ia mundur lagi dan pada saat orang berkumis lebat maju pula, dengan gerak yang tak terduga-duga, ia beringsut langkah ke samping dan serempak berputar tubuh, ia gerakkan kedua tangannya untuk menebas lengan kedua orang itu.

   "Uh"

   Kedua lelaki itu terkejut ke ka tangan mereka terpukul ke bawah sehingga tubuh pun ikut condong menelungkup.

   Sebelum sempat menegakkan diri, tengkuk mereka telah ditepis sekeras- kerasnya.

   Hanya desuh mulut menahan kesakitan yang terdengar sejenak dan setelah itu mereka berduapun roboh tak sadarkan diri.

   Setelah memeriksa bahwa kedua orang itu hanya pingsan tetapi jiwanya tak berbahaya, barulah Wijaya bergegas nggalkan tempat itu.

   Ia tak mau masuk ke-dalam pura, melainkan menuju ke tempat ia menambatkan kuda hitam.

   Kuda Hitam itu menyambut kedatangannya dengan meringkik bingar, seolah gembira.

   Beberapa saat Wijaya mengelus-elus kepala kuda itu, kemudian dia menaikinya.

   Entah ke mana.

   ia harus menuju.

   Hanya keinginannya ia hendak mencari tempat yang sepi untuk beristirahat, mengheningkan pikiran, memulangkan semangat dan menghimpun tenaga.

   Wijaya membiarkan dirinya dibawa kuda hitam itu.

   Entah ke mana cukup ia telah membisiki telinga kuda akan keinginannya mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat.

   Kuda hitam itu mendaki puncak gunung, melintas-hutan dan akhirnya menuju kesebuah lembah dan beberapa saat kemudian berhenti disebuah tempat.

   Sejenak mengeliarkan pandang, Wijaya lalu turun dan ayunkan langkah menuju ke sebuah gunduk karang.

   Di situ tumbuh sebatang pohon randu alas yang tinggi dan rindang.

   Wijaya duduk beristirahat di bawah pohon itu.

   ~dewikz~ismoyo~mch~ II Terik surya pagi yang makin menyengat, tak dihiraukan oleh beribu-ribu rakyat yang berdesak- desak disekeliling alun-alun keraton Singasari.

   Tepat dimuka pendapa agung keraton, telah dibangun sebuah bangsal besar yang dihias dengan aneka warna rumbai2, umbul2 dan tak ketinggalan pula warnasari hiasan janur dalam bentuk berbagai corak dan ragam.

   Seni hias di kerajaan Singasari memang mengagumkan.

   Janur dapat dibentak dalam berbagai corak, sesuai dengan keperluan yang diinginkan.

   Demikian pula dengan daun lontar dan daun brahmastana, selalu tak ketinggalan dalam setiap perayaan dan upacara.

   Tepat di muka bangsal, diluangkan sebuah tanah lapang yang cukup luas.

   Empat penjuru dipagar dengan tonggak2 bambu,dan dihias dengan panji2 dan umbul2.

   Setiap satu tombak, dijaga oleh seorang prajurit bersenjata tombak.

   Rakyat tegak berjajar-jajar, desak mendesak untuk mencari tempat peluang pandang.

   Hanya di muka bangsal itu diluangkan sebuah jalan, rakyat dilarang berjajar disitu.

   Hari itu balah saat yang dinan -nan oleh seluruh rakyat Singasari.

   Sayembara memilih senopa dan mencari prajurit.

   Bukan melainkan hampir seluruh kawula kerajaan, pun bahkan dari berbagai daerah luar pura, telah berbondong-bondong datang ke pura Singasari untuk menyaksikan sayembara itu.

   Sejak berpuluh tahun baginda Kertanagara memegang tampuk kerajaan, memang pura Singasari sering mengalami kesibukan2 yang luar biasa.

   Penobatan baginda Kertanagara sebagai raja menggan kan ayahandanya baginda Wisnuwardhana.

   Penerimaan beberapa utusan dari mancanagara, termasuk utusan dari kerajaan Cina.

   Pemberangkatan pasukan Singasari ke tanah Malayu atau yang disebut pasukan Pamalayu dan lain2.

   Tetapi kesemuanya itu hanya bersifat suatu upacara, sekalipun upacara kenegaraan yang diselenggarakan secara besar-besaran.

   Jarang seper kali ini, sayembara memilih senopa .

   Tentulah acara2 yang akan terjadi dalam suasana sayembara itu, jauh bedanya dengan segala tata upacara penobatan dan penerimaan utusan.

   Sayembara pilih senopa mempunyai daya tarik besar dan mengandung ar tersendiri dalam ha para kawula.

   Sejak pengiriman pasukan Pamalayu, memang terasa suatu kekosongan kepemimpinan dalam hal pertahanan dan keamanan.

   Sebagian rakyat merasa cemas melihat dua kenyataan, Singasari kosong sedang Daha membangun pasukan.

   Dan hampir seluruh kawula merasakan pula gangguan2 keamanan di beberapa daerah.

   Tetapi mereka hanya kawula kecil.

   Merasakan tetapi tak dapat berdaya apa2.

   Jalan yang dapat mereka tempuh hanyalah membentuk kelompok ronda keamanan dalam lingkungan tempat tinggal masing2.

   Rasa tak percaya akan kesanggupan pimpinan keamanan pura, makin membesar dan meluas.

   Sayembara pilih senopa merupakan angin segar dalam kecamuk suasana yang mendung.

   Para kawula mendambakan seorang senopa yang gagah dan cakap memimpin keamanan, mampu mengembalikan kewibawaan kekuatan negara Singasari.

   Karena itulah mereka berbondong- bondong bak lebah dionggok sarangnya, menuju ke alun-alun tempat sayembara itu akan diselenggarakan.

   Rakyat ingin menyaksikan bagaimana wajah, peribadi dan kegagahan calon senopa harapannya itu.

   Hari itu pekan sepi, jalan2 pun senyap.

   Pura Singasari seolah sedang menghadapi suatu upacara besar-besaran, sebobot dengan penobatan raja.

   Pada kursi yang berderat-deret di lapisan bawah dari bangsal agung itu, duduk para nayaka yang berpangkat, buyut, demang dan para tanda.

   Sedang deretan kedua diisi mentri2 berpangkat tumenggung, adipa , akuwu, wadana dan para juru.

   Lapisan an yang ke ga, duduk para rakryan ripakirakiran yani pa h Kebo Anengah, pa h Aragani, demung Mapanji Wipaksa, rakryan Kanuruhan Mapanji Anurida.

   Ke ga mentri Katrini yani rakryan mentri Ino, mentri Sirikan dan mentri Alu tak tampak hadir.

   Demikian pula baginda.

   Rakyat mencurah pandang kearah para mentri, senopa dan narapraja kerajaan Singasari.

   Kesempatan seper itu memang jarang terjadi.

   Suasana dalam tanah lapang dan bangsal agung itu tampak bergemuruh seper lebah keluar dari sarang.

   Tak hen -hen nya para kawula berbisik-bisik memperbincangkan se ap mentri, senopa yang hadir di bangsal agung itu.

   Mereka menilai nilai.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Buruk atau baiknya setiap gusti mentri dan senopati, tergantung dari selera masing2.

   Tiba2 terdengar bende berdentum-dentum.

   Serentak siraplah suasana yang hiruk itu.

   Seorang pengacara, segera berseru lantang "Para gus putera puteri seri baginda yang mulia, berkenan hadir untuk menyaksikan sayembara "

   Serombongan prajurit bhayangkara berjalan dengan langkah yang tegap di muka sebuah iring- iringan para inang dan para dayang keraton yang mengiring ga buah tandu.

   Tandu pertama berhen dan bersoraklah segenap rakyat ke ka dari dalam tandu itu muncul beberapa puteri.

   Kemudian tandu kedua dan sekali lagi gegap gempita sorak sorai para kawula ke ka menyaksikan pangeran Ardaraja dan permaisurinya turun.

   Puncak kedahsyatan sorak yang seolah-olah menggetarkan bumi alun-alun Singasari yang luas itu adalah ke ka dari tandu ke ga muncul puteri baginda yang paling termasyhur, yani sang dyah ayu puteri Teribuana dan sang dyah ayu puteri Gayatri.

   "Dirgahayu, puteri Teribuana, surya kencana kerajaan Singasari"

   "Dirgahayu puteri Gayatri, mustika keraton Singasari! "

   Demikian sorak sorai menggelegar sedahsyat gunung roboh, sambutan para rakyat Singasari menjelang atas kehadiran kedua puteri yang cantik jelita itu.

   Memang puteri Teribuana dan puteri Gayatri amat termasyhur dan mendapat tempat dihati para kawula pura Singasari.

   Bukan melainkan karena kecantikannya yang gilang-gemilang, pun karena rakyat menghormati kedua puteri yang agung dan luhur budi itu.

   Para prajurit penjaga keamanan tak kuasa lagi mencegah desikan rakyat yang maju ke tengah gelanggang hanya karena hendak menghaturkan sembah ke hadapan kedua puteri yang duduk di deretan teratas dari bangsal agung itu.

   Suasana hampir tak dapat ter-kendalikan lagi.

   Hiruk pikuk memekakkan telinga.

   Puteri Teribuana dan Gayatri membalas hormat para kawula dengan melambaikan tangannya yang halus, disertai dengan senyum dikulum yang penuh keharuan.

   Hanya pangeran Ardaraja yang diam seper patung.

   Walaupun wajahnya tetap tenang tetapi dalam ha pangeran itu mbul gejolak yang menggetarkan ha sanubarinya.

   Saat itu ia baru menyadari betapa kasih dan hormat para kawula terhadap kedua puteri baginda.

   Dan diam2 pangeran itupun merasakan suatu kesan.

   Kesan yang menebar kesadarannya, bahwa kedudukannya di Singasari lain dengan di Daha.

   Di Daha, ia seorang putera mahkota yang dielu-elu para kawula dengan tumpuan harap dan kepercayaan agar kelak ia akan menjadi penggan raja di Daha yang akan membawa kerajaan Daha kearah kejayaan dan kebesaran.

   Tetapi di Singasari, dia tak lebih dan tak kurang hanya seorang putera menantu baginda.

   Dengan sikap dan tumpahan hormat para kawula yang melimpah ruah kepada kedua puteri Teribuana dan Gayatri itu, ia mendapat kesan bahwa segenap kawula Singasari tetap setya mengharapkan kedua puteri baginda itu kelak yang akan memegang tampuk mahligai kerajaan Singasari.

   Tetapi pangeran Ardaraja tak dapat melanjutkan pengembaraan lamunan hatinya karena saat itu terdengarlah bende meraung-raung bagaikan canang panggilan perang.

   Dan seke ka suasana yang hiruk pikuk itupun terobek berkeping-keping, berhamburan ditelan laut keheningan yang sirap.

   Rakyat dahulu mendahului mencari tempat di kedua samping gelanggang.

   Memang bende itu canang tanda akan dimulaikannya upacara yang mendahului acara2 sayembara.

   Seke ka suasana sunyi menyerap seluruh perha an rakyat dan para mentri, senopa yang berada di bangsal agung.

   Setelah bende berhen maka tampillah tumenggung Wirakre dalam kedudukannya yang sekarang yani sebagai mentri Angabaya.

   Tumenggung Wirakre tegak di hadapan bangsal, memberi hormat secara keprajuritan kepada para hadirin agung, kemudian membacakan sebuah pengumuman dari daun lontar.

   Berbahagialah, segala kemuliaan bagi Syiwa.

   Pada hari ini bulan Kartika tithi lima cuklapaksa, hari Sukra pancawarna, ke ka bintang berkedudukan di selatan, dalam perumahan-bulan Puspa, berlindung dibawah dewata Jiwa, maka turunlah tah, seri Maha-raja, seri Lokawijaya, penguasa bumi dan yang menjadi pujian, yang ada tara dalam keberanian sebagai pahlawan yang mulia dan yang telah bertegak nama rajabhiseka Kertanagara.

   Dan tah itu ditampung ke ga rakryan Katrini kemudian turun kepada rakryan Paratanda bagi pelbagai urusan, yaitu rakryan pa h Kebo Anengah.

   Isi titah.

   Untuk melaksanakan tah Seri Maharaja dalam menyusun dan memperkokoh ketahanan dan pertahanan, keamanan dan pengamanan bagi seluruh bumi kerajaan Singasari yang besar dan jaya, maka diserukan kepada seluruh ksatrya, muda-muda serta seluruh kawula yang ingin membak kan pengabdiannya kepada kerajaan untuk ikut serta dalam sayembara keprajuritan, untuk memilih calon2 prajurit, tamtama, perwira dan senopa penindih perang yang akan diserahi panji2 kewibawaan pasukan kerajaan Singasari yang jaya ....

   Demikian segala tah seri Maharaja yang mulia telah dilaksanakan dengan penuh kepatuhan dan kesetyaan oleh rakryan pa h kerajaan Singasari dengan menghaturkan laporan bahwa segala sesuatu persiapan sayembara itu telah selesai pada saatnya.

   Semoga Hyang Batara Agung melimpahkan perlindungan berkah yang ada taranya! Sorak sorai dan tepuk tangan menggelegar bagai gunung roboh menyambut kata pembukaan yang diucapkan oleh tumenggung Wirakreti itu.

   Seusai tumenggung Wirakre turun dari bangsal persada maka tampillah demang Widura yang bertindak sebagai pa- ujar atau pengacara.

   Dipilihnya demang itu sebagal pengacara memang tepat.

   Orangnya gagah perkasa, suaranya seperti geledek dan nadanya tandas tegas.

   Setelah mempersembahkan hormat kebahagiaan kepada para priagung, kemudian menghaturkan selamat datang kepada ksatrya2 yang akan ikut dalam lomba keprajuritan nan maka demang itupun mengumumkan tentang acara yang akan dipertandingkan dalam sayembara.

   Menurut demang Widura, acara sayembara itu terdiri dari lima macam lomba yang amat menarik.

   Pada garis besarnya dibagi dalam ga bidang yani ilmu ketangkasan keprajuritan, kesaktian dan kecerdasan.

   Mengenai susunan lomba sayembara maka berkatalah demang Widura "Pertama, ketangkasan naik kuda dan bertanding dengan lawan dengan menggunakan tombak kayu.

   Barangsiapa yang tertusuk jatuh dari kuda, dia kalah.

   Kedua, adu ketangkasan memanah.

   Ketiga, menguji kekuatan dengan merentang busur pusaka.

   Keempat, adu ilmu kanuragan dan kelima, ujian kecerdasan.

   "

   Tepuk sorak menyambut pengumuman itu, seolah menggetarkan alun-alun Singasari. Rakyat amat bersu-kacita akan menyaksikan suatu lomba sayembara yang amat menarik.

   "Tidak mudah memikul tanggung jawab sebagai seorang senopa palaga. Selain harus memiliki kegagahan yang perkasa, pun dituntut pula kecerdasan yang nggi untuk meliputkan kewibawaan dan kekuasaannya pada anak pasukan. Itulah sebabnya maka lomba yang akan dilaksanakan terdiri dari beberapa macam"

   Kata demang Widura pula dengan lantang.

   Kembali bumi alun2 Singasari bergetar-getar digempa oleh sorak sorai yang meluap-luap dari segenap rakyat.

   Jelas bahwa para kawula Singasari memang benar2 merindukan seorang senopa yang gagah dan berwibawa serta dapat menjadi pengayoman bagi keselamatan para kawula.

   Diam2 pangeran Ardaraja membayang kesan, membanding-bandingkan semangat rakyat Daha dengan kawula Singasari.

   Gairah dan gelora semangat mereka memang tak banyak berbeda.

   Tetapi ia dapat menyelami suatu penghayatan lain.

   Bahwa gelora semangat rakyat Daha itu bernada kebangkitan akan kejayaan negara Daha.

   Sedang semangat kawula Singasari itu hanya bernapas suatu keinginan dan harapan akan keselamatan dan keamanan negara belaka.

   Tipis hampir garis perbedaan antara kedua sifat itu, namun tetap terdapat suatu warna pemisahan yang tajam.

   Demang Widura segera menutup pengumuman dengan suatu pernyataan bahwa acara pertama lomba sayembara itu dimulai.

   Alun-alun Singasari seper menjadi lautan manusia ke ka rakyat berjajar-jajar disepanjang tepi yang telah dipagari dengan tonggak2.

   Ternyata yang ikut dalam lomba sayembara itu cukup banyak.

   Tak kurang dari duapuluh ksatrya muda yang siap diatas pelana kuda.

   Agar menyingkat waktu, maka keduapuluh orang itupun dibagi menjadi dua kelompok, masing2 terdiri dari sepuluh penunggang kuda.

   Kelompok kesatu ditempatkan di sudut barat alun-alun, kelompok kedua ditempatkan di sudut timur.

   Setelah bende dipalu maka berderaplah keduapuluh ekor kuda itu membawa tuannya menuju ke tengah alun-alun.

   Setiap penunggang kuda membawa sebatang tombak kayu.

   Rakyat bersorak riuh rendah ke ka kesepuluh pasang penunggang kuda itu memperlihatkan kemahiran naik kuda dan serang menyerang dengan lawan.

   Cepat sekali dalam waktu yang singkat, beberapa penunggang kuda telah terjungkal jatuh dari kuda karena terhunjam tombak lawan.

   Setiap robohnya seorang ksatrya dari kudanya, selalu diiringi oleh sorak sorai yang bergemuruh dari sekalian penonton.

   Suasana di tengah gelanggang benar2 menyerupai sebuah medan laga dimana rombongan pasukan berkuda sedang bertempur dengan dahsyat.

   "Hm, tidak mudah menjadi senopati"

   Seru seorang penonton kepada kawan disebelahnya.

   "Hm, sedang jadi prajurit saja susah, apalagi senopati"

   Gumam kawannya.

   "Huh, mengapa susah ? Asal berbadan sehat, kekar dan berani berperang, tentu dapat diterima menjadi prajurit. Bukankah prajurit itu ngkat yang paling kerucuk sendiri?"

   Kata orang yang buka suara pertama tadi.

   "Hm, jangan memandang ringan se ap pekerjaan, kakang Jalak"

   Kata kawan itu pula "orangpun akan mengatakan bahwa pekerjaanmu sebagai pandai besi itu amat mudah.

   Asal orang mempunyai tenaga kuat, tentu dapat mengerjakannya.

   Tetapi nyatanya dak semua orang dapat menjadi pandai-besi.

   Demikian pula diantara sekian banyak pandai-besi, hasil pekerjaanmulah yang paling digemari orang "

   "Itu memang"

   Jawab orang yang disebut Jalak "karena pandai-besi bukan sekedar hanya bertenaga kuat pun juga harus tahu waktu dan cara besi yang membara itu harus ditempa. Dan tahu pula akan selera seni karya "

   "Apakah dak demikian dengan prajurit? "sanggah kawannya "

   Dak sembarang orang dapat dan mampu menjadi prajurit. Karena prajurit itu terikat pada sumpah prajurit yang berat"

   "Apakah sumpahnya? "

   "Setya membela negara dan rakyat. Setya pada tugas dan pimpinan. Jujur dan dapat dipercaya. Memegang teguh tata ter b keprajuritan. Berani menghadapi segala kesukaran dan lain2. Apa jika sudah dapat berbaris, berperang dan mengenakan pakaian keprajuritan, lalu jadilah dia seorang prajurit? Tidak, kakang. Kesemuanya itu hanya tata-cara peraturan. Semisal yang engkau katakan dengan seni karya dalam bidang pandai- besi, demikian pula prajuritpun harus memiliki jiwa keprajuritan yang sejati "

   "Uh"

   Desuh Jalak "begitu sukar kiranya menjadi prajurit itu "

   "Memang"

   Kata kawannya pula"

   Segala bidang pekerjaan, apabila dilakukan sesuai dengan seni atau jiwa pekerjaan itu, memang sukar. Tetapi hasilnya pasti merupakan pilihan, misalnya prajurit pilihan, pandai besi pilihan ....

   "

   Tiba2 kata2 orang itu ditelan oleh tepuk sorak yang bergemuruh ke ka di gelanggang tampak beberapa penunggang kuda terjungkal rubuh.

   Ada seorang penunggang kuda yang cepat memikat perha an sekalian rakyat.

   Kudanya berbulu hitam mulus, tegar dan tangkas.

   Penunggangnya seorang ksatrya muda yang bercahaya wajahnya.

   Cara dia menjatuhkan lawanpun menarik hati.

   Penunggang kuda hitam itu dak memakai tombak kayu seper yang lain.

   Dalam menghadapi terjangan lawan, dia selalu menggunakan cara menghindar dalam bermacam-macam gaya.

   Mengendapkan tubuh lekat2 pada pelana, menggelincir ke samping perut kuda, merebahkan diri ke belakang lalu dengan gerak yang tak terduga-duga menyambar tombak lawan atau kaki lawan, kemudian didorongnya jatuh.

   Masih ada pula sesuatu yang memikat ha para penonton.

   Kuda hitam itu seolah-olah menger akan kehendak tuannya.

   Tanpa diperintah tuannya, kuda itu melonjak keatas, loncat ke muka, berputar-putar dan lain2 gerak untuk menghindar dari serangan tombak lawan.

   Sorak sorai seluruh penonton tertumpah pada ksatrya dengan kuda hitam itu.

   Cepat sekali hati segenap penonton tercurah kepada ksatrya muda itu.

   Saat itu hanya tinggal empat penunggang kuda yang masih berada di tengah gelanggang.

   Ksatrya berkuda hitam bertanding lawan seorang ksatrya Bali yang naik kuda merah.

   Sedang seorang ksatrya bertubuh ramping dengan berkuda bulu putih, lawan seorang pemuda tak memakai baju, naik kuda dawuk tanpa pelana.

   Setelah berulang kali ksatrya Bali itu tak berhasil menusuk ksatrya berkuda hitam, ia menggeram dan lemparkan tombak kayu "Ksatrya muda, akan kulawanmu dengan tangan kosong juga"

   Pertempuran adu pukulan diatas kuda, harus (kayaknya ada kata2 terputus) "Apakah ksatrya berkuda hitam itu bukan raden Wijaya, kakang Nambi?"

   Dari deretan penonton di sebelah barat, diantara kerumun manusia terdengar seorang lelaki bertubuh padat berkata kepada kawan di sebelahnya.

   "Ya"

   Orang yang dipanggil Nambi itu meng-iakan "memang raden Wijaya "

   "Jika begitu, kita harus meloloskan diri dan bergabung dengan raden "

   Nambi mengiakan pula "Kita harus memberitahukan kepada ketiga kawan kita. Dimanakah mereka ? "

   "Agar tak menarik perha an orang bawahan pangeran Ardaraja, mereka berpencar. Tetapi kita berjanji akan bertemu di gapura barat setelah pertandingan selesai "

   "Akupun mengua rkan hal itu"

   Kata Nambi "sepulang dari menghadiri pertandingan ini pangeran tentu akan mendapat laporan tentang lolos kita dari tempat kediamannya "

   "Apakah tak ada kemungkinan pangeran akan menitahkan orangnya untuk menangkap kita ? "

   "Memang kemungkinan itu dapat saja terjadi. Oleh karena itu kita harus berhati-hati "

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kawan bicara Nambi itu adalah Lembu Sora.

   Setelah mendengar bahwa pangeran Ardaraja menghadiri pembukaan sayembara, ia dan Nambi segera lolos dari asrama lingkungan keraton, tempat kediaman pangeran.

   Ardaraja.

   Medang Dangdi, Jangkung dan Podangpun mengiku jejak mereka Mereka telah bersepakat, agar jangan diketahui orang2 sebawahan pangeran, mereka akan menyaru sebagai rakyat biasa, berpencar memisah diri dan akan bertemu di luar gapura barat.

   "Sora"

   Bisik Nambi "rupanya ksatrya yang menjadi lawan raden itu tangkas dan perkasa sekali "

   "Ya. Rasanya dia dari Bali. Menilik ulahnya dia tentu seorang perwira prajurit yang hebat "

   "Menurut penilaianmu, dapatkah raden mengatasi ksatrya itu ?"

   "Sukar dikata"

   Sahut Sora "menurut penilaian, ilmu bertempur di atas kuda dari ksatrya Bali itu lebih nggi. Tetapi kelebihan raden adalah pada Kuda Hitam itu. Andai bukan kuda itu, tentulah raden sudah jatuh "

   "Hm"

   Nambi mendesuh. Diam2 ia sependapat dengan Sora. Kemudian dia bertanya "Siapakah kedua ksatrya berkuda putih dan berkuda dawuk itu ? "

   "Secara kebetulan saja aku mendengar dari seorang penonton bahwa yang bertubuh kurus naik kuda putih itu bernama Kuti ...."

   "Kuti yang pangeran menitahkan kita untuk menyelidiki pada dua malam yang lalu itu? "

   "Mungkin"

   "Dan lawannya? "

   "Entahlah "

   "Bagaimana penilaianmu? "

   "Hampir setanding tetapi ksatrya desa berkuda dawuk itu lebih unggul dalam ketangkasan bermain tombak. Berulang kali Kuti terpaksa harus menghindar dari serangannya "

   Terdengar pekik tertahan setengah jalan dari para penonton ke ka di gelanggang terjadi suatu adegan yang mendebarkan.

   Karena beberapa waktu yang cukup lama belum juga berhasil menerkam lawan, maka ksatrya Bali itu telah melakukan sebuah serangan yang menegangkan ha .

   Tiba2 ia merapatkan kudanya dan terus ayunkan tubuh loncat menerkam Wijaya.

   Gerakan itu dilakukan secara tak terduga- duga dan dengan kecepatan yang nggi sehingga Wijaya tak mempunyai kesempatan untuk meloncatkan kudanya menghindar ke muka.

   Dia terpaksa songsongkan kedua tangan untuk menyiak terkaman lawan.

   Krakkkh ....

   Terdengar dua pasang tulang tangan beradu keras.

   Ksatrya Bali itu terdampar jatuh ke bawah tetapi pada saat dia jatuh, dia sempat pula menyambar kaki Wijaya sehingga keduanya sama2 jatuh ke tanah.

   "Curang"

   Teriak sekelompok rakyat yang berpihak kepada Wijaya. Mereka berhimpit-himpitan ke muka ketika beberapa orang memaksa menyiak jalan hendak maju ke gelanggang.

   "Hai, jangan mengacau!"

   Teriak beberapa orang yang terhimpit dari belakang dan membentur ang sehingga ang itu roboh.

   Dengan kasar prajurit, yang berjaga di tempat itu serentak melintangkan tombak dan mendorong mereka mundur.

   Dorong mendorong dan himpit menghimpit itu meningkat menjadi pukul memukul.

   Beberapa orang yang memaksa untuk menyiak maju tadi telah dipukul oleh orang2.

   Timbul kericuhan., Untung prajurit penjaga dapat ber ndak tegas.

   Ia menyeret dua orang kedalam gelanggang lalu dibawanya keluar.

   Sementara itu pertandingan antara Ku dengan ksatrya yang berkuda dawuk, juga mencapai babak penyelesaian.

   Ku dapat ditusuk jatuh dari kudanya tetapi Ku membalas menusuk pantat kuda dawuk.

   Kuda terkejut, loncat ke muka sehingga penunggangnya terlempar jatuh.

   "Curang! Curang!"

   Terdengar gemuruh teriakan penonton di seberang tepi.

   Kemudian sekelompok orang berhasil menerjang maju kedalam gelanggang.

   Mereka hendak menghajar Ku yang dianggap curang itu.

   Beberapa prajurit penjaga terpaksa melakukan tindakan untuk mencegah mereka.

   "Dia curang! Sudah jatuh masih memukul kuda lawan!"

   Orang2 itu berteriak-teriak seraya mengacungkan tinju.

   "Sudahlah, jangan ber ndak main hakim sendiri. Sudah ada petugas yang akan menilainya"

   Beberapa prajurit penjaga itu berusaha untuk menyabarkan kemarahan rakyat.

   Bende berdentum-dentum, disusul dengan pengumuman bahwa lomba adu ketangkasan bertempur di atas kuda telah selesai.

   Acara lomba berikutnya, adu ilmu memanah segera akan dimulai.

   Masih kesan2 dalam lomba pertempuran diatas kuda itu menjadi bahan pembicaraan dikalangan penonton.

   Dibalik dari suara2 yang cenderung mendukung Wijaya, terdapat pula kelompok yang mengetengahkan ksatrya berkuda dawuk tadi.

   Bahkan terjadi perbantahan kecil yang meningkat menjadi pertengkaran dan nyaris perkelahian diantara beberapa penonton yang saling ngotot memuji jagonya dan mencela jago yang lain.

   Sementara persiapan2 dari lomba kedua itu, pun telah selesai.

   Di sebelah barat, dipancang sebuah tonggak dari kayu randu yang diukir seperti bentuk orang.

   Setelah bende bertalu dan pengumuman terdengar maka berpuluh ksatrya menuju ke sebelah barat.

   Di situ telah siap enam orang prajurit.

   Yang tiga membawa busur dan yang tiga membawa anakpanah.

   Para ksatrya pengikut lomba panah itupun tegak berjajar jajar di hadapan kelompok prajurit itu.

   Seorang lurah prajurit tampil, mempersilakan seorang pengikut untuk memulai.

   Ksatrya itu di silakan memilih busur dan anakpanah.

   Setelah itu dia segera bersiap, tegak memasang anakpanah dan merentang busur.

   Setelah membidikkan pandang mata dan mencurah perha an, ksatrya itu melepaskan tali busur.

   Anakpanah meluncur cepat dan hinggap pada tubuh sasaran.

   Terdengar tepuk sorak yang ramai, diseling dengan teriakan "Sayang, badannya yang kena! "

   Kemudian ksatrya yang kedua, maju. Busur dilepas, disambut dengan sorak nyaring dari para penonton "Kena dada! "

   Demikian dilakukan berturut-turut oleh duapuluh ksatrya yang ikut lomba panah itu.

   Ternyata jumlah pengikutnya lebih banyak dari yang ikut dalam lomba bertempur naik kuda tadi.

   Jarak sasaran orang-orangan dengan yang memanah, cukup jauh, kira2 sepemanah jauhnya.

   Namun hanya seorang dua orang yang gagal.

   Kebanyakan telah berhasil mengenai sasaran.

   Habis sudah tubuh orang-orangan itu bertabur anakpanah.

   Namun sampai sebegitu jauh, belum ada yang mampu mengenai tenggorokan sasaran itu.

   Padahal pemenang lomba panah itu, mereka yang dapat memanah tepat tenggorokan sasaran.

   Pertandingan dihen kan sebentar untuk menggan orang-orangan.

   Agar dapat diketahui jelas, maka orang-orangan yang sudah penuh dengan anakpanah itu diganti dengan yang baru.

   Penonton bersorak sorai ke ka melihat seorang pemanah yang mereka kenal sebagai ksatrya Bali yang ikut dalam pertandingan naik kuda tadi, berhasil memanah mulut orang-orangan.

   "Hebat benar orang Bali itu. Sayang kurang turun sedikit lagi"

   Seru beberapa penonton. Sorak sorai yang menurun sirap itu, mbul menggelegar lagi ke ka seorang ksatrya muda yang dari dandanannya jelas bukan orang Majapahit, berhasil menyarangkan anakpanahnya ke dada sasaran.

   "Sayang kurang naik sedikit"

   Teriak rakyat yang menonton.

   Dalam saat seper itu, mereka tak memiliki rasa membedakan siapa pemanah itu dan dari mana asalnya.

   Pokok, rakyat telah terangsang hasratnya untuk melihat seorang ksatrya yang mampu memanah tenggorokan orang- orangan itu.

   Setelah melalui beberapa ksatrya yang dapat memanah kepala, mata, hidung orang-orangan itu maka rakyat mulai menyalangkan mata ke ka melihat seorang ksatrya bertubuh kurus tampil merentang busur.

   "O, dia yang curang dalam pertempuran naik kuda tadi"

   Dari sekelompok penonton terdengar orang berteriak.

   Memang benar, kali ini yang tampil adalah Kuti.

   Rupanya beberapa penonton masih mendendam rasa tak puas atas ulahnya dalam pertandingan naik kuda tadi.

   Ku melangkah dengan tenang, penuh keyakinan akan kemampuan diri.

   Waktu terjadi keributan para penonton yang meneriakinya curang dan beberapa orang hendak menyerbu kedalam gelanggang tadi, Ku sempat pula mendengarkan.

   Tampaknya ia tak mau terkecoh dengan kemarahan penonton.

   Ia harus menenangkan diri untuk menguasai pemusatan pikirannya "Bukan rakyat yang menilai.

   Mereka hanya penonton.

   Mengapa aku harus terpengaruh oleh mereka"

   Katanya membekali diri ketika melangkah ke tempat yang diperuntukkan untuk memanah.

   Dengan penuh perha an diapun memilih busur, mencobanya merentang-rentang tali se ap busur baru kemudian memilih sebuah busur yang mencocoki selera ha nya.

   Tidak ke nggalan pula ke ka hendak mengambil anakpanah.

   Ia memilih dengan teli , menekuk-nekuk batang anakpanah sebelum ia menjatuhkan pilihan.

   Setelah mendapatkan busur dan anakpanah yang sesuai, dia lalu tegak di tempat.

   Tidak langsung memasang anakpanah kepada busur, melainkan tegak memandang kearah sasaran yang terpancang beberapa puluh tombak jauhnya.

   "Gayanya boleh juga orang itu"

   Terdengar suara2 sumbang diantara kerumun penonton.

   "Mungkin dia akan bermain curang lagi "

   "Gila! Bagaimana mungkin dia akan berbuat curang lagi? "

   "Siapa tahu sekaligus dia akan melepas dua batang anakpanah! "

   "Hus, jangan terlalu memfitnah orang! "

   Demikian sahut menyahut mbul dari mulut beberapa penonton yang usil.

   Rupanya kesan mereka terhadap ulah Kuti tadi masih buruk.

   Setelah beberapa jenak melepas bidikan mata dan menanamkan gambaran orang-orangan itu kedalam pikirannya, pelahan-lahan Ku mulai mengangkat busur dan memasang anakpanah.

   Sekali lagi dia menggunakan waktu yang agak lama saat merentang busur.

   Memang Ku sedang merangkaikan suatu renungan.

   Renungan jarak dari sasaran, perwujudan dari orang-orangan itu dengan persesuaian daya layang dan kecepatan anakpanah yang akan dilepaskan.

   Terakhir, direnungkannya pula pengerahan tenaga serta berapa ukuran lebar busur yang akan direntang hingga mampu memancar daya tembak yang dapat mengantarkan anakpanah mencapai sasarannya.

   Setelah itu dilengkapi pula pemusatan cipta untuk mengarah tenggorokan orang-orangan itu.

   Hampir sepengerakit sirih lamanya belum juga Ku melepaskan anakpanahnya.

   Beberapa penonton tak sabar menunggu dan mulai berteriak-teriak dak puas.

   Di beberapa tempat, mulai terdengar bisik yang hiruk.

   Namun Ku tak menghiraukan, la sudah mencapai penyatuan dari daya bidik yang melipu tenaga perentangan busur, pelepasan anakpanah dan pemusatan titik sasaran.

   Tiba2 sret ....

   Seke ka terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dari empat penjuru rakyat, ke ka mereka melihat peris wa yang diharap-harap telah terjadi.

   Tenggok atau tenggorokan orang-orangan itu telah tertancap anakpanah Kuti sehingga orang-orangan itu berguncang-guncang ..'..

   "Hebat benar ksatrya itu!"

   Teriak beberapa penonton.

   Bahkan diantaranya terdapat mereka yang dalam lomba bertempur di atas kuda tadi marah2 karena menuduh Kuti curang.

   Memang rakyat terpesona oleh peristiwa yang mereka harap-harapkan.

   Mereka cepat melupakan apa yang telah terjadi tadi.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sekaligus, pamor Kutipun naik di mata rakyat yang memenuhi alun-alun Singasari saat itu.

   Mereka melihat bahwa diantara calon pengikut lomba memanah itu hanya tinggal tiga orang.

   Mungkinkah diantara mereka mampu melebihi hasil yang telah dicapai Kuti ? Suasana menjadi sepi kembali tatkala seorang ksatrya tampil untuk memanah.

   Rakyatpun mengiku dengan penuh debar dan perha an.

   Sesaat panah dilepas, melayang dan hinggap pada tubuh sasaran, terdengar sorak yang ramai.

   Tetapi bukan sorak yang menggemparkan dan bernada kejut pujian seper yang di-songsongkan kepada Ku tadi melainkan lebih banyak bernada kekecewaan, bahkan terselip pula nada yang setengahnya mengejek.

   Anakpanah ksatrya itu hanya mengenai dada sasarannya.

   Juga hal itu terulang pada ksatrya kedua yang terakhir.

   Memang anakpanah ksatrya itu tepat mengenai kepala sasarannya tetapi menurut penilaian, masih dibawah nilai dari Kuti.

   Harapan dari para rakyat yang sudah mulai menurun itu, tampak meriah pula ke ka mereka melihat ksatrya yang berseri wajahnya, tampil di gelanggang.

   Ksatrya itu mereka kenal sebagai ksatrya yang dalam lomba pertama, naik seekor kuda hitam.

   Dan ksatrya itu pulalah-yang dalam lomba bertempur di atas kuda tadi, telah menawan hati rakyat.

   Kesan terhadap ksatrya berkuda hitam itu masih menyegar dalam hati rakyat.

   Setiap kesan baik akan menimbulkan harapan dan pujian yang baik pula.

   Demikian perasaan sebagian besar rakyat yang memenuhi alun2 keraton Singasari saat itu.

   Percik harapan dan doa2 puji rakyat secara wajar dan tanpa diminta, mulai berhamburan mengalir kepada ksatrya muda itu yang tak lain adalah raden Wijaya.

   Memang aneh untuk dikata.

   Tetapi penampilan Wijaya sebagai peserta yang terakhir, mengundang kecamuk perasaan dalam ha para penonton.

   Antara kecemasan dan keraguan atas kemampuan Wijaya untuk mengatasi hasil gemilang dari Ku dengan harapan dan keinginan ha supaya ksatrya itulah yang akan keluar sebagai pemenang.

   Antara kecemasan dengan harapan, kekuatiran dengan keinginan, meletupkan kemelut dalam hati rakyat.

   Tampaknya kekua ran dan keraguan rakyat lebih membesar ke ka mereka melihat sikap Wijaya dalam memilih busur dan anakpanah.

   Dengan tenang Wijaya mengambil busur dan sebatang anakpanak.

   Tidak seper yang dilakukan Ku tadi, selekas tegak di tempat, Wijaya terus memasang anakpanah pada tali busur dan mereritangnya.

   Merekapun melihat Wijaya diam dan sejenak pejamkan mata lalu mengambil arah.

   Ksatrya itu begitu cepat menentukan pilihan pada busur dan anakpanah.

   Begitu cepat pula terus mengambil arah bidikan.

   Seolah tanpa suatu perenungan yang meyakinkan.

   Dapatkah dia mencapai sasaran yang diharuskan sebagai persyaratan yang menang ? Demikian keragu-raguan yang mulai bertebaran dalam hati rakyat yang mempunyai kesah baik terhadap pemuda itu.

   Memang mereka dak mengetahui bahwa sesungguhnya Wijaya tak kurang periha n.

   Setelah melihat keberhasilan Ku yang gemilang, Wijaya sudah merasa gelisah dalam ha .

   Beruntung dia jatuh sebagai calon yang tampil terakhir sehingga dia masih mempunyai waktu untuk membenahi diri.

   Dipergunakannya kesempatan itu, untuk merenungkan cipta, mengenang kembali pada waktu ia menerima ajaran ilmu memanah dan gurunya di puncak Kawi dahulu.

   "Aji Danurwenda yang kuajarkan ini, merupakan ilmu memanah yang sak perbawanya"

   Kata resi Sinamaya "in daripada ilmu itu terletak pada pengheningan seluruh indriya ke arah pemusatan cipta manunggal pada jarak dan k sasaran yang akan dipanah.

   Memang akan kuajarkan juga mantra dari aji itu.

   Mantra hanya suatu kekuatan yang akan menimbulkan daya gaib.

   Tetapi daya gaib itu akan sia2 bila pada diri orang itu ada persiapan untuk menyambut dan menyatukannya.

   


Golok Bulan Sabit -- Khu Lung /Tjan Id Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini