Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 27


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 27



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   "Ah, gusti patih ...."

   "Paman patih, raden"

   Cepat patih Aragani mengingatkan.

   "Paman pa h"

   Wijayapun menurut "walaupun dengan rasa berat ha namun hambapun menghaturkan sembah terima kasih atas perha an paman terhadap diri hamba.

   Namun agar Wijaya mempunyai pegangan yang lebih mantap untuk mengingat budi kebaikan paman pa h, hamba mohon penjelasan, apakah kiranya yang paman patih hendak limpahkan atas diri hamba."

   Pa h Aragani tertawa "Tak sesuatu maksud yang terkandung dalam ha paman, kecuali hanya ingin mengakrabkan hubungan dengan raden. Raden Wijaya,"

   Sejenak berhen pa h Araganipun melanjut pula "beberapa hari lagi raden akan diwisuda sebagai senopa pura Singasari.

   Dan mengingat bahwa raden masih mempunyai hubungan darah dengan seri baginda, tentulah raden akan mendapat tugas yang penting dari seri baginda."

   "Ah,"

   Wijaya mendesah "berat nian ha hamba akan menerima tugas itu.

   Adakah layak pengetahuan dan pengalaman Wijaya yang mesih sepicik ini akan menerima kepercayaan sedemikian besar dari seri baginda yang mulia? Tidakkah hal itu akan menimbulkan rasa kecewa pada seri baginda serta cemoh dari seluruh kawula Singasari?"

   "Jangan merendah diri, raden,"

   Ujar pa h Aragani "raden sudah merupakan saringan dari segenap ksatrya yang ikut dalam sayembara besar ini. Kiranya raden pas akan mampu memikul beban tugas keraj san itu."

   "Paman pa h,"

   Kembali Wijaya berkata "tak lain hamba hanya mohon bimbingan dan petunjuk paman pa h, agar hamba tak mengecewakan kepercayaan seri baginda dan harapan kawula Singasari."

   "Ah, tentu raden, tentu paman akan bersedia untuk membantumu,"

   Pa h Aragani bergelak gembira "karena kita semua adalah mengabdi kepada junjungan kita yang mulia seri baginda Kertanagara dan kerajaan Singasari."

   Sora dan Nambi agak bercekat dalam ha .

   Mereka agak heran mengapa raden Wijaya menginginkan bahkan meminta bantuan pa h Aragani.

   Namun, karena kata sudah terucap, merekapun terpaksa harus menanti lebih lanjut dari perkembangan pembicaraan patih Aragani.

   "Terima kasih, paman patih,"

   Ucap Wijaya.

   "Ah, janganlah raden menganggap hal sekecil itu sebagai suatu budi dari paman,"

   Kata pa h Aragani "anggaplah bahwa kesediaan paman itu sebagai suatu wajib dari seorang wredha mentri terhadap sesama mentri senopa .

   Dan yang pen ng pula, sebagai suatu pernyataan akan kesungguhan ha paman untuk membangun hubungan kerjasama yang erat dengan raden.

   Apakah raden bersedia?"

   "Sudah tentu hamba akan mentaa petunjuk paman,"

   Raden Wijaya memberi pernyataan "karena telah hamba akui bahwa dalam rangka tugas-tugas pemerintahan, hamba tak memiliki pengalaman."

   "Itulah yang paman harapkan raden,"

   Pa h Aragani makin gembira. Kemudian pa h berpaling dan bertepuk tangan "pengawal, lekas siapkan hidangan untuk gustimu senopati yang baru."

   Cepat sekali beberapa dayang keluar dengan membawa hidangan dan minuman. Dan berkatalah pa h Aragani dengan gembira "Untuk merayakan persahabatan kita, idinkanlah paman untuk menghaturkan tuak kehormatan kepada raden."

   Pa h Aragani lalu menuang guci tuak ke dalam dua buah piala tembikar yang indah, kemudian memberikan kepada Wijaya "Raden, piala tembikar ini berasal dari utusan raja Kubilai Khan yang mempersembahkan tanda mata ke hadapan seri baginda Kertanagara sebagai tanda persahabatan.

   Banyak sekali jumlah tembikar yang dihaturkan kepada seri baginda.

   Dan seri baginda berkenan menganugerahkan seperangkat perabot minum dari tembikar itu kepadaku.

   Tuak yang tertuang dalam piala tembikar itu memang berobah lain rasanya, lebih sedap dan lebih memikat selera."

   Sambil mengangkat piala tembikar yang dihadapannya, pa h Aragani berkata pula "Tuak inipun bukan sembarang tuak, raden. Dari brem Bali yang sudah diperam beberapa tahun."

   Memang menikam lidah rasa tuak yang dihidangkan pa h Aragani itu.

   Dan Wijayapun meneguknya habis.

   Ke ka pa h Aragani hendak menuang lagi, Wijaya minta agar raden Kuda Panglulut diberi lebih dulu.

   Demikian Kuda Panglulut dan Sora serta Nambipun diberi tuak oleh patih Aragani.

   "Raden,"

   Kata pa h Aragani setelah berulang kali meieguk tuak "akan paman ceritakan tentang keadaan dalam pusat pemerintahan kerajaan. Mudah-mudahan raden akan mendapat gambaran yang jelas demi kepentingan tugas-tugas yang akan raden langkahkan."

   Wijaya menghaturkan terima kasih.

   "Seri baginda Kertanagara pamanda raden, junjungan seluruh kawula kerajaan Singasari, seorang nata yang putus akan segala ilmu. Baik tentang ilmu keprajaan maupun ilmu agama. Putus dalam falsafah, tata bahasa dan segala seluk beluk ilmu keba nan. Terutama tantra Subu , diselaminya merasuk dalam ha . Di antara raja-raja sebelumnya, rasanya ada seorang raja yang setara, dengan seri baginda."

   "Kebesaran jiwa seri baginda dan kebijaksanaan, kepandaian, kesak an dan luasnya segala ilmu ajaran, yang telah dimiliki seri baginda, dirasakan terlampau berkelebihan bagi bumi kerajaan Singasari yang sempit. Oleh karena itu maka seri baginda memulai cita-citanya yang besar untuk mempersatukan seluruh kawasan nusantara, ke dalam naungan perlindungannya. Dalam rangka melaksanakan hal itu maka seri baginda puri segera mengirim pasukan Singasari ke Malayu karena laporan-laporan yang berada pada baginda, memberikan suatu gambaran yang mencemaskan "

   "Raja-raja di Malayu tidak tunduk lagi kepada kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya sendiri pada hakekatnya memang sudah turun dari gemilang jaman keemasannya. Raja Tribuana Mauliwarman sudah tak menjalankan pemerintahan lagi. Kekuasaan kerajaan sudah dikuasai oleh patih Demang Lebar Daun ...

   "

   "Demang Lebar Daun ?"

   "Ya"

   Sahut patih Aragani "apa maksud raden ?"

   "Ah, tiada maksud apa-apa kecuali agak heran dengan nama itu."

   Pa h Aragani tertawa "Memang itu bukan namanya yang aseli melainkan sebuah gelar.

   Kemungkinan karena dia memiliki daun telinga yang luar biasa lebar dan panjangnya maka dia disongsong dengan gelar itu.

   Ada pula yang mengatakan, gelar itu dilahirkan karena Demang itu gemar makan hidangan di atas daun lebar."

   Wijaya tersenyum "Siapakah namanya yang aseli? "

   "Paman kurang jelas,"

   Sahut pa h Aragani "paman hanya mengetahui bahwa dia bukan orang Swarnadwipa aseli melainkan keturunan bangsa Funisia dan Arya dari Jambudwipa.

   Tubuhnya nggi kurus, kulit kuning, mata bersinar tajam, hidung mancung dan berjambang lebat dengan kumis yang indah."

   Wijaya kerutkan dahi "Jika dia bukan seorang putera Swarnadwipa, bagaimana dia dapat diangkat sebagai seorang mahapatih kerajaan Sriwijaya?"

   "Sepanjang yang paman ketahui,"

   Kata pa h Aragani "pada masa kerajaan Sriwijaya diperintah baginda Culamaniwarman, maka ayah Demang Lebar Daun itu berkenalan baik dengan baginda.

   Karena dia seorang cendekia, putus dalam soal tatapraja dan berbagai ilmu maka baginda mengangkat sebagai mahapa h.

   Kemudian setelah baginda Culamaniwarman mangkat maka kedudukan ayah Demang itupun diturunkan kepada Demang Lebar Daun.

   Dan pada masa baginda Tribuana Mauliwarman menggan kan ayahandanya yang mangkat itu, Demang Lebar Daunpun diangkat sebagai patih mangkubumi dengan gelar Demang."

   "Menurut paman pa h tadi, raja-raja di Malayu dak tunduk lagi kepada kerajaan Sriwijaya. Raja Tribuana Mauliwarman sudah tak menjalankan pemerintahan dan kekuasaan kerajaan berada di tangan Demang Lebar Daun. Bagaimana hal itu dapat terjadi?,"

   Tanya Wijaya.

   "Kesemuanya tak lain bersumber pada kepercayaan agama yang berkembang dalam bumi Swarnadwipa. Demang Lebar Daun seorang penganut faham Hinayana demikian pula baginda Tribuana Mauliwarman, Pada hal faham itu sudah mulai terdesak oleh aliran Mahayana, baik di bumi Swarnadwipa maupun di Jawa-dwipa terutama di kerajaan Singasari ini. Pertentangan- pertentangan menimbulkan kerusuhan dimana-mana. Maka Demang Lebar Daun yang cemas akan keselamatan diri Raja Tribuana, segera membangun sebuah negeri baru yang aman dan jauh dari kerusuhan yaitu di Dharmasraya di Sungai Langsat."

   "Istana kerajaan baru di Dharmasraya itu dibangun secara besar-besaran. Cobalah raden bayangkan, istana di Dharmasraya itu memakan waktu duapuluh tahun lamanya, bangunan istana itu luasnya seperdua kota kerajaan, dihias dengan berpuluh candi dan beratus arca yang indah indah. Sedemikian hebat baginda dan Demang itu mengagungkan faham Hinayana sehingga keadaan dalam istana pura Dharmasraya itu melebihi negeri Gangga di Jambudwipa, sumber dari agama itu sendiri."

   "Dan untuk mengembangkan agama Hinayana itu, Demang Lebar Daun mendirikan sebuah mandala perguruan nggi ilmu Buddha Hinayana di Sriwijaya. Berlimpah ruah para siswa dari berbagai mancanegara datang ke Sriwijaya untuk menuntut ilmu. Dibangun enampuluh buah asrama untuk para siswa itu dan didatangkan pula para guru yang termasyhur dalam ilmu ajaran Hinayana."

   "Ah,"

   Tiba-tiba Wijaya mendesis.

   "Bagaimana raden?,"

   Tegur patih Aragani.

   "Demang Lebar Daun sungguh hebat dan bijaksana sekali."

   "Benar, raden, memang bijaksana bahkan terlampau bijaksana,"

   Seru pa h Aragani "kesemuanya itu dibeayai dengan harta dari perbendaharaan kerajaan.

   Sama sekali rakyat dak dipungut dana, bahkan Demang itu telah menghapus segala macam pungutan cukai, upe dan lain-lain beban yang memberatkan rakyat.

   Maka rakyat njerasa bersyukur, sayang, taat dan kagum terhadap demang itu."

   "Tetapi paman pa h,"

   Sanggah Wijaya "

   Dakkah suatu pemerintahan yang baik itu pemerintahan yang dicintai dan ditaati para kawulanya?"

   "Benar,"

   Sambut patih Aragani "tetapi Demang Lebar Daun itu terlampau asyik masyuk dengan agama yang dipujanya, sesuai dengan faham ajaran agama yang dianutnya maka undang-undang kerajaan-pun diatur secara sedemikian rupa yaitu tak ada tingkatan derajat manusia.

   Baik yang kaya, yang berpangkat dan yang miskin dan hina, semua sama hak dalam undang-undang.

   Tetapi dia tak melihat kenyataan dari kelangsungan suatu roda pemerintahan.

   Bahwa pemerintahan itu harus didukung oleh seluruh kawula dengan pengabdian jiwa raga, harta dan benda.

   Demang Lebar Daun tak menghiraukan pemasukan pendapatan perbendaharaan kerajaan yang hanya menggantungkan hasil perniagaan dan bandar-bandar dengan mancanegara.

   Dia hanya ingin membangun sebuah kerajaan Sriwijaya sebagai lambang suar kebesaran agama Buddha-Hinayana sehingga makin lemahlah keadaan harta perbendaharaan kerajaan Sriwijaya."

   "Maaf raden,"

   Kata pa h Aragani pula "paman bukan mencela bahwa usaha Demang Lebar Daun untuk mengembangkan agama ilu tidak baik.

   Melainkan paman hanya ingin mengemukakan, bahwa tegaknya sebuah negara kerajaan apabila roda pemerintahannya berjalan lancar.

   Dan kelancaran roda pemerintahan itu tak lepas dari kaitannya dengan pengaturan yang sesuai dari hasil pendapatan negara.

   Jelasnya, semua sarana ke arah pembangunan, keamanan dan kekuatan kerajian itu, harus dilandasi dengan lambaran beaya."

   Wijaya termenung. Diam-diam ia merenungkan uraian patih itu dengan seksama.

   "Dan tahukah raden bagaimana akibatnya dari kebijaksanaan Demang Lrbar Daun itu?"

   "Hamba tak tahu, paman patih."

   "Dalam keadaan yang sudah makin lemah kekuatan itu maka raja Kala nandola dari Jambudwipa telah mengirim pasukan untuk menyerang Sriwijaya. Peris wa itu makin melemahkan kekuatan Sriwijaya."

   Pa h Aragani berhen untuk meneguk tuak.

   Karena tadi berulang kali dia menawari Wijaya untuk minum lagi tetapi Wijaya selalu menolak, maka patih itupun minum sendiri.

   Wijaya merenungkan penuturan patih Aragani.

   Berbagai kesan dan kesimpulan timbul dalam benaknya.

   Kiranya memang tak mudah menjalankan pusara negara itu.

   Demang Lebar Daun memang amat bijaksana.

   Dia tak mau membebani rakyat Sriwijaya dengan berbagai cukai dan upeti.

   Diapun telah berjasa untuk mengembangkan agama karena dengan sendi-sendi dasar ajaran agama yang luhur tentulah kerajaan akan lebih aman dan sejahtera.

   Tetapi Demang itu kurang memperhitungkan keadaan negara dan negara-negara di sekeliling dan di mancanegara.

   Demang itu tak ingin mencampuri atau menduduki wilayah negara lain tetapi kerajaan lain yang karena melihat Sriwijaya mengabaikan kekuatan pertahanan negara, lalu menyerangnya.

   "Paman pa h,"

   Ada sesuatu yang ingin diketahuinya "adakah semua ndakan Demang itu tak mendapat persetujuan raja Tribuana ?"

   Pa h Aragani gelengkan kepala "Tidak, raden. Raja Tribuana telah dipersilakan hidup tenang di istana Dharmasraya dan Demang Lebar Daun tetap memerintah di Sriwijaya. Segala sesuatu diputuskan oleh Demang sendiri "

   "Ah, mengapa raja sedemikian besar memberi kekuasaan kepada Demang itu ?"

   "Mengapa dak ?"

   Balas pa h Aragani "karena Demang mempunyai pengaruh besar terhadap rajanya."

   "Pengaruh bagaimana yang paman patih maksudkan ?"

   "Hubungan keluarga."

   "Hubungan keluarga? Apakah hubungan antara Demang dengan raja Tribuana ? "

   "Demang itu adalah ayah mentua raja Tribuana. Permaisuri raja, puteri Wan Sendari adalah puteri Demang Lebar Daun."

   "O,"

   Desuh Wijaya "jika demikian .... tetapi paman pa h, walaupun Demang itu ayah mentua raja, tetapi kekuasaan haruslah tetap pada baginda."

   "Yah,"

   Pa h Aragani mengangkat bahu lalu meneguk tuak "kenyataan memang begitu.

   Mungkin saja raja Tribuana menganggap bahwa Demang itu seorang ahli negara yang pandai maka dia memberi kepercayaan penuh.

   Paling dak dalam pikiran raja Tribuana, tentulah sebagai seorang ayah mentua, Demang Lebar takkan berbuat yang merugikan raja dan kerajaan Sriwijaya."

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wijaya dapat menerima hal itu. Kemudian dia bertanya pula "Dan lalu seri baginda Kertanagara mengirim pasukan untuk menguasai Sriwijaya ?"

   "Raden,"

   Kata patih Aragani "berapakah jumlah matahari yang menyinari bumi itu?"

   Walaupun heran atas pertanyaan itu namun Wijaya menjawab juga "Hanya satu, paman patih."

   "Raja adalah junjungan seluruh kawula, pelindung dan pengayom serta yang memberi sinar kesejahteraan kepada bumi kerajaan dan seluruh kawula. Bagi kerajaan, raja ibarat surya. Maka demikianlah pendirian seri baginda Kertanagara bahwa di nusantara ini, sebagai di bumi hanya terdapat sebuah matahari, pun hanya harus mempunyai seorang raja."

   "Ah."

   "O, mengapa raden mendesah? Salahkah cita2 pendirian seri baginda itu, raden?"

   Tegur Aragani.

   "Hamba dak bermaksud memberi penilaian salah atau benar,"

   Jawab Wijaya "hamba mendesah karena dengan pengiriman pasukan Singasari ke Malayu itu tentu akan terjadi peperangan yang menelan korban jiwa dan darah, kerusakan dan kehancuran."

   "Bukan kehancuran yang binasa raden,"

   Sanggah pa h Aragani "tetapi kehancuran yang akan bangun kembali dengan wajah yang lebih cemerlang dan tujuan yang lebih kuat."

   "Tetapi tidakkah kerajaan Sriwijaya itu sebuah kerajaan yang menjunjung ajaran agama?"

   "Maksud raden ?"

   "Bahwa se ap kerajaan yang berdiri di atas landasan ajaran agama, tentulah negara itu beradab tinggi dan berbudaya luhur."

   "Tidakkah junjungan kita seri baginda Kertanagara itu juga seorang yang putus akan ajaran agama, bahkan telah melakukan pentahbisan sebagai seorang Jnana yang suci ? Tentulah Singasari akan membawa ajaran agama yang lebih baik lagi bagi Sriwijaya."

   "Adakah demikian tujuan seri baginda untuk mengirim pasukan Singasari ke Malayu itu ?"

   "Hal itu termasuk salah satu landasan baginda untuk menitahkan senopa Kebo Anabrang membawa pasukan Singasari ke Malayu. Lupakah raden akan cerita paman tadi?"

   Wijaya terkesiap. Ia merenung, mengingat-ingat sejenak, namun tak bersua suatu apa "Maaf, hamba memang pelupa sekali, paman patih. Apakah kiranya yang paman patih maksudkan ?"

   "Bukankah paman tadi menyinggung tentang ndakan dari raja Kalamandola dari Jambudwipa yang telah mengirim pasukan untuk menyerang Sriwijaya?"

   "Ah,"

   Desah Wijaya "paman pa h maksudkan bahwa ndakan seri baginda Kertanagara mengirim pasukan ke Malayu itu juga mempunyai kaitan dengan serangan raja Kalamandola ke Sriwijaya itu?"

   "Raden cerdas benar,"

   Seru pa h Aragani.

   "memang demikianlah yang terkandung dalam keputusan seri baginda junjungan kita. Tetapi pun disamping itu masih ada soal yang lebih gawat pula."

   Tanpa sadar Wijaya makin terpikat dalam pembicaraan dengan patih Aragani mengenai peristiwa itu.

   "Paman pa h, Wijaya memang seorang anak dari gunung yang buta pengetahuan tentang ubah- musiknya keadaan negara Singasari dan mancanegara. Mohon kiranya paman pa h memberi petunjuk kepada hamba."

   Dikobarkan oleh daya tuak yang seolah membanjir ke dalam tubuh, perangai pa h Aragani yung pandai mengambil ha baginda Kertanagara dengan segala sanjung pujian, pun ternyata juga gemar menerima sanjung pujian dari orang.

   Perasaan bangga karena Wijaya, calon senopa Singasari yang baru, begitu patuh akan kata-katanya dan bahkan mohon petunjuk kepadanya, membuat hati patih itu menggunduk setinggi bukit.

   Ia tertawa gembira.

   "Ah, janganlah raden merendah diri. Sudah tentu paman akan merasa senang sekali untuk memberikan apa-apa yang paman ketahui kepada raden. Apalagi raden kerabat baginda, sudah layak kalau paman melayani raden,"

   Katanya.

   "Yang menjadi duri dalam daging bagi seri baginda junjungan kita, bukanlah soal raja Kalamandola dari Jambudwipa tetapi ada lagi seorang raja baru yang mengangkat diri sebagi maharaja-di-raja di benua utara. Raja Tartar Kubilai Klian telah bangkit sebagai naga yang hendak menelan kerajaan-kerajaan disamudera selatan, termasuk Malayu dan Sriwijaya. Cobajah raden renungkan, apa maksud gerangan raja Tartar itu mengirim utusan ke Singasari dengan tujuan hendak memperkokoh persahabatan tetapi pun menghendaki agar seri baginda Kertanagara mengirim upeti kepadanya ?"

   "O,"

   Desuh Wijaya terkejut "adakah raja Kubilai Khan hendak ...."

   "Jelas hendak menguasai Singasari dan seluruh Jawadwipa."

   "Lalu bagaimana pendirian seri baginda?"

   "Seri baginda Kertanagara juga seorang maharaja yang sak , pandai dan berkuasa, bercita-cita hendak mempersatukan seluruh nusantara. Singasari kerajaan besar yang jaya dan kuat. Tidakkah layak apabila seri baginda mengirim pasukan untuk mengamankan dan melindungi tanah Malayu serta Sriwijaya dari ancaman serangan Kubilai Khan ?"

   Wijaya terkesiap.

   "Seri baginda Kertanagara dak bermaksud menjajah karena Malayu dan Sriwijaya itu termasuk kawasan nusantara. Tetapi seri baginda hendak mempersatukan nusantara agar bersatu, kuat, jaya dau mampu menahan segala serangan dari mancanegara, baik dari Jambudwipa maupun dari raja Kubilai Khan yang haus kekuasaan itu."

   Wijaya mengangguk -angguk.

   Ia mengakui bahwa ndakan seri baginda Kertanagara sebagaimana dipaparkan pi h Aragani itu memang tepat.

   Namun ada sesuatu yang mengganjal dalam ha nya dan bertanyalah dia "Paman pa h, adakah keadaan dalam negeri Singasari sudah sedemikian mengidinkan sehingga perlu untuk melaksanakan hal itu?"

   "Tentu saja, raden,"

   Sahut pa h Aragani dengan penuh yakin "siapakah yang akan menentang seri baginda Kertanagara yang arif bijaksana, sakti mandraguna dan berkuasa besar itu?"

   "Tetapi paman pa h. Tidakkah sayembara pilih senopa dimana hamba secara kebetulan beruntung dapat lulus itu, diperuntukkan untuk mengisi kekosongan kekuatan pertahanan pura Singasrri ?"

   "Ya, memang demikian."

   "Dengan begitu, dakkah berar bahwa seri baginda juga cenderung untuk merasa perlu memperkuat penjagaan dalam kerajaan? Dan kecenderungan itu, dakkah berar bahwa seri baginda masih melibat adanya suatu gejala dalam negeri yang perlu harus dijaga?"

   "Itulah jalan pikiran bekas pa h Raganata, tumenggung Wirakre dan bupa Vviraraja,"

   Kata pa h Aragani "yang menentang ndakan baginda mengirimkan pasukan ke Malayu sehingga seri baginda murka."

   "Tetapi mengapa akhirnya diadakan juga sayembara itu, paman patih?"

   "Itupun dari anjuran tumenggung Bandupoyo yang membayang-bayangi seri baginda akan ancaman dari dalam negeri belaka."

   "O, maaf, paman pa h apabila hamba lancang ucap,"

   Kata Wijaya "tetapi bagaimanakah pendapat paman patih tentang sayembara ini?"

   Pa h Aragani agak terkesiap. Jika ia mengatakan bahwa dia tak setuju, berar akan memberi tamparan pada muka Wijaya. Hal itu bertentangan dengan langkahnya untuk mengikat pemuda itu ke dalam fihaknya.

   "Walaupun hal itu mbul karena bayang- bayang kecemasan tetapi semisal tubuh kita, lebih baik kita jaga kesehatan daripada harus mengoba apabila terkena penyakit. Terutama apabila penyakit lama, supaya jangan kambuh pula."

   "Penyakit lama?"

   Ulang Wijaya yang kemudian meminta keterangan lebih jelas apa yang dimaksud patih Aragani dengari penyakit lama itu.

   "Raden,"

   Kata pa h Aragani "bukan paman seorang yang penuh prasangka dan curiga tetapi kenyataan telah membukakan mata pikiran paman.

   Tindakan baginda untuk mengambil pangeran Ardaraja sebagai putera menantu, memang benar dalam jangka pendek.

   Dengan ndakan itu dapatlah seri baginda mengikat raja Daha dengan tali kekeluargaan sehingga apabila raja Daha mengandung maksud buruk terhadap Singasari maka maksud itupun akan lenyap."

   "Tetapi,"

   Kata pa h Aragani pula "dalam jangka panjang, akhirnya ndakan baginda itu akan mengalami kegagalan."

   "O,"

   Wijaya terbeliak.

   "Pangeran Ardaraja adalah putera mahkota Daha. Jika kelak pada waktunya seri baginda Kertanagara pulang ke Haripada, dakkah Singasari itu akan diperintahkan oleh pangeran Ardaraja ? Betapapun ke-setyaan seorang putera menantu terhadap ayahanda mentuanya, tentu lebih setya pula terhadap ayahandanya sendiri raja Daha. Tidakkah kepen ngan Daha akan lebih ditampilkan daripada Singasari? Tidakkah pangeran Ardaraja akan menyebut dirinya sebagai raja Daha daripada raja Singasari?"

   Wijaya terkesiap.

   "Lalu bagaimana maksud paman patih?"

   Setelah beberapa saat merenung, Wijayapun bertanya.

   "Waktu sekarang akan menciptakan waktu besok. Sekarang yang menanam, kelak yang akan memetik hasilnya,"

   Kata patih Aragani "terus terang raden, maksud paman mengundang raden kemari tak lain, kecuali hendak mengadakan perkenalan pun paman hendak menguraikan isi hati paman kepada raden.

   Dan kesemuanya itu tak lain adalah demi kepentingan pengabdian dan kesetyaan kita kepada Singasari."

   "Terima kasih, paman pa h. Hamba akan merasa berbahagia sekali karena mendapat kepercayaan paman patih."

   "Paman sudah tua, tak punya cita-cita dan keinginan lagi kecuali hanya ingin mengabdi kepada seri baginda junjungan kita. Untunglah selama ini seri baginda telah berkenan melimpahkan kepercayaan atas diri paman sehingga hampir seluruh waktu paman telah tersita dalam melayani kehendak seri baginda."

   Wijaya mengangguk.

   "Memang bahagialah mendapat kepercayaan seri baginda itu. Tetapi pamanpun merasa cemas karena paman hampir tiada waktu untuk mengikuti dan mengawasi perkembangan keadaan dalam keraton. Raden,"

   Kata patih Aragani dengan nada sarat "apabila raden berkenan membantu paman, paman tentu amat bersyukur sekali kepada raden."

   Wijaya terkejut "Apakah kiranya yang paman hendak perintahkan, silakan paman mengatakan. Hamba pasti senang melakukan."

   "Terima kasih raden,"

   Kata pa h Aragani "bantuan raden itu tak lain hanyalah, supaya raden dapat ikut memawas para mentri senopa dalam pura, terutama terhadap gerak gerik pangeran Ardaraja.

   Apabila raden mengetahui dan merasa bahwa ada sesuatu pada sikap mereka, segera raden memberitahukan kepada paman.

   Nan kita rundingkan langkah-langkah yang diperlukan, demi kepentingan dan pengabdian kita kepada kerajaan."

   "Ah, sudah tentu hamba akan melakukannya, paman pa h. Karena hal itu sudah menjadi kewajiban hamba sebagai senopati yang mendapat tugas untuk menjaga keamanan pura kerajaan."

   "Terimakasih raden,"

   Pa h Aragani menyambut gembira "masih ada sebuah hal lagi yang ingin paman kemukakan."

   "O, silakan."

   "Putera menantu paman, Kuda Panglulut, saat ini diserahi tugas sebagai pembantu ki pa h Kebo Arema untuk menjaga keamanan pura. Dia masih muda dan kurang pengalaman maka haraplah raden suka membimbingnya."

   Wijaya menyatakan kesediaannya.

   Demikian pertemuan dengan pa h Aragani telah beilangsung dengan gembira.

   Pa h Aragani telah mendapat apa yang direncanakan, mengikat Wijaya ke dalam fihaknya.

   Wijayapun menganggap hal itu sudah wajar kalau ia menerimanya.

   Selesai berbicara dengan Wijaya, pa h Aragani ba- ba beralih memandang Sora dan Nambi "Hai, ki sanak, siapa nama kalian?"

   "Hamba Sora."

   "Hamba Nambi."

   "Kulihat kalian orang muda yang bertubuh kekar dan tentu memiliki kedigdayaan. Tetapi mengapa kalian tak ikut dalam sayembara ?"

   "Tidak gusti patih,"

   Kata Sora.

   "Mengapa? "

   "Tidak apa-apa, gus pa h. Karena hamba merasa tak mempunyai kemampuan berhadapan dengan para ksatrya yang ikut dalam sayembara itu."

   "Lalu mengapa kalian menyertai raden Wijaya?"

   "Hamba ingin berhamba kepada raden Wijaya, gusti patih,"

   Kata Sora.

   "Ingin berhamba kepada raden Wijaya?"

   Seru patih Aragani "kalian tahu siapa raden Wijaya itu?"

   "Raden Wijaya adalah senopati baru dari kerajaan Singasari, gusti patih."

   "Hm, senopa itu seorang manggala Yudha. Lalu apakah bekal kalian ingin berhamba pada seorang senopati itu ?"

   "Kesetyaan, gusti patih."

   "Ah, dak cukup hanya kesetyaan. Bagaimana kalian hendak melindungi keselamatan seorang senopati apabila kalian tak memiliki ilmu kedigdayaan."

   "Hamba tak berani mengatakan ilmu kedigdayaan karena apa yang hamba miliki hanya sekedar ilmu yang tak berarti apa-apa."

   "Baik,"

   Kata pa h Aragani "karena raden Wijaya telah berkenan meluluskan untuk membantu aku, maka akupun hendak membantu raden Wijaya dalam menentukan pengawal-pengawal yang akan menyertai raden Wijaya."

   Sora dan Nambi terkejut.

   Demikian pula Wijaya.

   Tetapi sebelum dia sempat, membuka mulut, pa h Aragani sudah mendahului pula "Aku hendak menguji ilmu kepandaianmu.

   Kalau kalian lulus, kalian kuidin-menjadi pengawal raden Wijaya, tetapi kalau kalian gagal, kalian harus bekerja di kepatihan sini sebagai pengalasan."

   "Panglulut, panggil Sargula kemari! "

   Seru patih Aragani.

   "Baik, rama,"

   Kata Kuda Panglulut yang tak berapa saat telah membawa seorang lelaki nggi besar ke hadapan patih Aragani.

   "Sargula,"

   Seru pa h Aragani "ujilah kesak an kedua orang itu. Tetapi jangan sampai tewas, cukup engkau rubuhkan mereka saja."

   "Baik, gus pa h,"

   Sargula menghaturkan sembah lalu menghampiri ke tengah pendapa "Hai, ki sanak berdua, atas tah gus pa h, aku diperintahkan menguji kesak an kalian. Hayo, majulah kalian kemari."

   Sora dan Nambi saling bertukar pandang sejenak "Aku saja yang menghadapinya,"

   Bisik Sora lalu berbangkit dan melangkah ke tempat Sargula.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wijaya terkejut atas ndakan pa h-Aragani terhadap Sora.

   Apa maksud pa h itu ber ndak demikian ? Karena belum lama, baru setelah hendak dibawa para pengawal ke dalam Balai Witana dia berjumpa dengan kedua pemuda itu, maka tak sempat ia bertanya perihal diri mereka selama berada di pura Singasari.

   Ia teringat akan ucapan patih Aragani kepada Sora dan Nambi.

   Bahwa apabila kedua orang muda itu gagal mengalahkan lurah Sargula yang rupanya menjadi pengawal kepercayaan patih Aragani, Sora dan Nambi harus menjadi pengalasan di kepatihan.

   Tidakkah soal pengawal itu selayaknya dia sendiri yang menentukan.

   Mengapa patih Aragani mencampuri hal itu? Bukankah tindakan patih Aragani itu seolah menunjukkan suatu pengaruh kekuasaan pada dirinya? Demikian Wijaya menimang-nimang.

   "Ah "

   Terakhir ia.

   mendesuh dalam ha .

   ke ka bertemu pada suatu kesan bahwa pa h Aragani mengandung maksud tertentu di balik undangannya untuk menawarkan kerja sama itu.

   Dan maksud tersembunyi itu tak jauh kiranya suatu rencana untuk menanam pengaruh atas dirinya "suatu permulaan yang tak menyenangkan dalam kedudukanku,"

   Ia menarik kesimpulan. Belum sempat ia melacak kesimpulan lebih lanjut lagi, ba- ba ia terhenyak sadar ke ka melihat Sora sudah melakukan serang menyerang dengan lurah Sargula.

   "Uh,"

   Mulut lurah Sargula mendesis kaget ketika sebuah tinju yang dilayangkan ke arah kepala lawan dengan keyakinan pasti akan kena, ternyata luput.

   Hariya terpisah sejari dari sasarannya ketika Sora mengisar kepalanya agak miring ke samping.

   Wijaya sendiripun hampir berteriak karena mengira Sora tentu terkena pukulan lawan.

   Kedudukan Sora memang lemah.

   Pukulan tangan kanan tertahan oleh tangan kiri Sargula, kemudian Sargula maju merapat dan menghantam kepala Sora.

   Semua yang berada dalam pendapa, menyangka Sora tentu akan rubuh.

   Tetapi sebelum persangkaan itu menjadi kenyataaan, mbul pula suatu peris wa yang merobah persangkaan itu menjadi kejutan.

   Tetapi peris wa itu berlangsung amat cepat sekali sehingga orang tak tahu bagaimana hal itu terjadi namun tahu-tahu mereka melihat tubuh Sora mengisar ke belakang dan tubuh lurah Sargula yang nggi besar itupun terangkat naik ke punggung Sora lalu terbanting ke lantai, bluk ....

   Terdengar pekik dan jerit kaget dari sekalian orang, bahkan pa h Aragani yang tengah mengangkat piala ke mulut pun memekik sehingga piala terlepas dari tangan dan tuak tumpah ke pangkuannya.

   Memang dapat dimaklumi rasa kejut yang menggetar pa h itu.

   Ia sudah yakin bahwa pengawal kepercayaannya, lurah Sargula pas dapat menghantam rubuh Sora.

   Bahwa ternyata jagonya sendiri yang terban ng sedemikian keras ke lantai, benar-benar merenggut seluruh perasaan patih itu.

   Beberapa pengawal kepa han serempak menghampiri ke tengah gelanggang untuk menolong lurah mereka.

   Tetapi Sargula tak dapat bangun karena pingsan maka terpaksa merekapun mengangkatnya.

   "Tangkap orang itu! "

   Tiba-tiba patih Aragani berteriak dengan marah.

   Beberapa prajurit kepa han yang berada di pendapa, serempak maju menyerbu Sora.

   Wijaya terkejut.

   Jelas peris wa itu akan menjadi besar dan gawat apabila Sora sampai melawan.

   Serentak dia maju ke muka Sora dan mengangkat tangan memberi isyarat agar prajurit-prajurit itu berhen .

   Kemudian Wijaya berpaling ke arah patih Aragani.

   "Paman pa h, hamba mohon jangan paman pa h menindak Sora, Segala kesalahannya, hambalah yang menanggung, paman patih."

   Pa h Aragani terkesiap.

   Sebelum ia sempat membuka mulut, ba- ba Kuda Panglulutpun maju ke hadapannya "Rama, kakang Wijaya benar, hamba mohon supaya rama berkenan mengampuni Sora.

   Hamba tahu bahwa dalam pertarungan, memang sukar dihindari hal-hal yang tak diinginkan.

   Andaikata Sargula berhasil menghantam ki sanak ini, bukankah dia juga akan rubuh? Maka hamba mohon rama dapat memberi keringanan, mengingat bahwa Sargulapun hanya pingsan tetapi tak menderita luka yang membahayakan jiwanya."

   Pa h Aragani memang cerdik.

   Dalam menghadapi sesuatu masalah, ia cepat dapat menyesuaikan keadaan.

   Memang apabila dia berkeras memerintahkan supaya Sora ditangkap, tentulah akan menimbulkan peris wa yang kurang enak.

   Paling dak Wijaya tentu akan mempunyai kesan yang tak baik terhadap dirinya.

   Dengan memberi ampun, ada dua keuntungan yang akan diperolehnya.

   Pertama, ia dapat mengambil ha Wijaya.

   Kedua, ia dapat merapatkan hubungan Kuda Panglulut dengan Wijaya dan selanjutnya Wijaya tentu akan memberi kepercayaan kepada Panglulut.

   "Baik, Panglulut,"

   Akhirnya ia berkata "dengan memandang kepada raden Wijaya dan karena engkaupun sependapat dengan permintaan raden Wijaya maka akupun meluluskan. Tetapi benarkah Si Sargula tak menderita cidera yang berbahaya?"

   "Tidak, rama,"

   Kata Kuda Panglulut. Demikian agar dak menyinggung perasaan pa h Aragani maka Wijayapun menghaturkan terima kasih. Demikian pula Sora.

   "Sekarang engkau,"

   Seru patih Aragani kepada Nambi.

   Nambi terkejut.

   Ia sudah mendapat pengalaman dari peris wa yarg dialami Sora.

   Apabila dalam pertarungan nan diapun melakukan hal yang sama seper Sora, dakkah pa h Aragani akan marah juga.

   Namun apabila dia menolak untuk diuji kesak annya tentulah pa h Aragani akan menggunakan kekuasaannya untuk menahan dan mengharuskan dia bekerja di kepatihan.

   Nambi berbangkit lalu memberi hormat kehadapan pa h Aragani "Gus pa h, hamba akan mentaa tah paduka.

   Tetapi hamba mohon agar paduka melimpahkan keterangan, bagaimanakah kiranya hamba harus menghadapi ki lurah yang hendak menguji diri hamba itu? "

   Pa h Aragani terkesiap.

   Ia sudah melihat bagaimana kesak an Sora yang telah mampu memban ng Sargula tadi.

   Ia masih mempunyai seorang pengawal yang baru saja diperolehnya.

   Orang itu bernama Sampang berasal dari Sumenep.

   Seorang lelaki yang gagah perkasa, berjampang tebal, kumis lebat, simbar dada.

   Walaupun perawakan dak se nggi besar Sargula tetapi lebih kekar dan kuat.

   Walaupun tampaknya ia menerima dengan senang akan permintaan Wijaya tadi, tetapi dalam ha sebenarnya dia masih mendendam penasaran.

   Betapapun dia merasa malu karena Sargula, pengawal kepercayaannya, dapat diban ng pingsan oleh Sora..

   Apabila hal itu tersiar keluar, bukankah ia malu karena kewibawaannya sebagai seorang patih kerajaan tersinggung ?.

   Dendam penasaran yang bersumber pada rasa keangkuhan sebagai seorang pa h, telah merangsang, pa h Aragani untuk menebus kekalahan itu.

   Diperha kannya bahwa tubuh Nambi itu lebih kurus dari Sora, demikian sikap dan gaya kelahirannya dak menunjukkan bahwa Nambi itu memiliki tenaga yang kuat.

   Ia tak tahu bagaimana dengan ilmu kesak an Nambi tetapi yang jelas ia harus mengambil kelemahan Nambi, menurut kenyataan yang dilihatnya.

   "Tak perlu adu ulah kanuragan karena hal itu akan membawa akibat yang kurang baik,"

   Katanya dengan nada seolah dia bermaksud baik "cukup kalian adu kekuatan, dorong mendorong, cengkam mencengkam dan kait mengait dengan kaki. Siapa yang jatuh dia kalah. Tetapi tak boleh pukul memukul."

   Nambi tersenyum dalam ha . Walaupun dia menertawakan akan kelicikan siasat yang diatur pa h itu namun diam-diam diapun memuji juga akan ketajaman pandangan pa h Aragani "Terima kasih gusti patih, hamba akan melaksanakan titah paduka."

   "Suruh Sampang maju,"

   Seru pa h Aragani.

   Seorang lelaki, yang bermewah jambang, kumis dan bulu dada, segera tampil ke hadapan Nambi.

   Lelaki yang bernama Sampang itu memakai sepasang gelang akar bahar.

   Wijaya agak terkejut setelah menyaksikan kedua orang itu tampil.

   Ia tahu bahwa dalam ulah kanuragan Nambi memang cukup diandalkan.

   Tetapi dalam pertarungan yang seluruhnya menggunakan kekuatan tenaga itu ia masih belum yakin akan kemampuan Nambi.

   Namun ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyertakan doa kemenangan dalam mengikuti pertarungan itu.

   Demikian pertarungan segera dimulai.

   Ke ka Sampang mengulurkan kedua tangan hendak mencengkeram bahu Nambi maka Nambipun segera menyambutnya dengan kedua tangan.

   Mereka kini mulai saling mendorong.

   Sampang tampak beringas dan bernafsu sekali untuk mendorong Nambi ke belakang tetapi Nambi tetap hanya bertahan.

   Suasana dalam pendapa sunyi senyap.

   Sekalian mata dan perha an tertumpah ruah pada kedua lelaki yang tengah adu tenaga itu.

   Tampak urat-urat pada dahi Sampang menonjol melingkar- lingkar, kedua matanya merentang tegang, bahkan kumisnya yang lebat itupun mulai meregang tegak.

   Namun dia tetap tak mampu mendorong Nambi walaupun hanya setengah langkah saja.

   Pa h Aragani terbelalak menyaksikan hal itu.

   Ia hampir tak percaya bahwa Sampang yang pernah mampu mengangkat sebuah arca batu penunggu pintu regol kepa han di hadapannya ke ka pertama kali Sampang hendak diterima masuk menjadi pengawal kepa han, ternyata kini tak mampu mendorong Nambi yang jauh lebih kurus itu.

   Rupanya Sampang tahu bahwa dirinya mendapat sorotan tajam dari pa h Aragani "Hm, apabila aku tak mampu merobohkan orang ini, gus pa h tentu marah kepadaku.

   Mungkin aku akan dipecat,"

   Pikirnya.

   Setelah menentukan keputusan, ba- ba dia menarik kedua tangannya dan secepat kilat terus mencengkam pinggang Nambi lalu diangkatnya.

   Terkejut sekalian orang atas perobahan siasat yang dilakukan Sampang itu.

   Tetapi rasa kejut yang bertebaran di pendapa itu berwarna dua.

   Kejut, yang diderita pengawal dan prajurit kepa han, terutama pa h Aragani, adalah kejut yang gembira karena menyangka bahwa Sampang telah dapat menguasai Nambi.

   Sedang kejut yang menyerap ke dalam perasaan Wijaya dan Sora adalah kejut kecemasan.

   Se pis perbedaan antara kejut gembira dan kejut cemas itu pun kedua rasa kejut itupun cepat sekali berobah-robah keadaannya.

   Hal itu terjadi manakala terdengar mulut Sampang mendesis keras waktu mengangkat tubuh Nambi.

   Rupanya seluruh kekuatan telah dikerahkan, urat-urat bayu diregang, nafsu bertegang, namun tak dapat lelaki gagah dari Madura itu dapat mengangkat tubuh Nambi.

   Kaki Nambi seolah-olah telah tumbuh akar terpaku di lantai.

   Dan tampaknya pula Nambi sengaja membiarkan dirinya diangkat.

   Dia tak berusaha untuk mendorong maupun menyiak lawan.

   "Aji Pengantepan yang hebat,"

   Seru Kuda Panglulut.

   Dia berseru pelahan dan diluar kesadaran, namun kata-kata itu tertangkap juga oleh Wijaya.

   Diam-diam Wijaya membenarkan dan memuji Nambi.

   Karena merasa gagal dalam usaha hendak mengangkat tubuh Nambi, Sampang hendak bergan siasat.

   Ia hendak menggerakkan kaki untuk mengait kaki Nambi.

   Apabila diserempaki dengan dorongan ke belakang tentulah Nambi akan terpelanting; Memang bagus sekali langkah yang direncanakan Sampang itu.

   Mungkin karena waktu dicengkam pinggangnya Nambi diam saja maka Sampangpun memperhitungkan Nambi tentu akan bersikap demikian lagi.

   Tetapi dia lupa bahwa Nambi itu seorang manusia yang berpikiran hidup dan tahu akan bahaya.

   Maka pada saat kaki Sampang melingkar ke belakang be snya, Nambipun sudah mendahului dengan menggerakkan kedua tangannya mencengkeram kedua bahu Sampang lalu dipijatnya sekuat tenaga.

   "Auhhhh"

   Terdengar mulut Sampang mendesis pula.

   Hanya bedanya jika tadi dalam usahanya mengangkat tubuh Nambi dia mendesis geram, kini desis mulutnya itu bernada kesakitan.

   Bahu merupakan bagian tubuh yang rawan.

   Apabila ditebas ataupun dicengkeram sekeras- kerasnya, tentu lengan akan lunglai dan tenagapun ikut merana disamping menimbulkan juga rasa sakit yang cukup menyiksa.

   Hal itupun dialami Sampang.

   Rasa sakit yang menyerang hebat, menghanyutkan pikiran ke arah satu tujuan yani menahan rasa sakit itu.

   Dia seolah tak ingat pula bagaimana cara untuk menghalau sumber yang menyebabkan rasa sakit itu.

   Seolah tenaganya sudah merana dalam kelunglaian.

   Ternyata setelah berhasil menguasai kedua bahu Sampang, disamping mencengkeram sekeras- kerasnyapun Nambi juga menekan tubuh orang itu ke bawah sehingga Sampang tenggelam ke bawah, duduk berjongkok.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sesaat Nambi melepaskan cengkeramannya dengan lebih dulu mendorong tubuh Sampang ke belakang maka lelaki dari Sumenep itupun jatuh terjerembab ke lantai.

   Pada se ap pertandingan adu ulah kanuragan maupun dalam pertempuran yang mengadu jiwa, se ap kekalahan dari salah seorang yang bertempur itu tentu akan disambut dengan sorak sorai oleh pengikut dari fihak yang menang.

   Tetapi lain hal pula yang terjadi di pendapa kepa han saat itu.

   Kekalahan Sampang dak disambut dengan pekik sorak dari fihak Nambi, karena baik Wijaya maupun Sora hanya tenang-tenang saja melihat kesudahan itu.

   Memang terdengar juga pekik dari para pengawal dan prajurit kepa han yang berada di pendapa itu tetapi bukan pekik kegembiraan melainkan pekik keterkejutan yang keras.

   Bahkan pa h Araganipun tampak menyalangkan mata dan terlongong-lorigong.

   "Keparat,"

   Sekonyong-konyong Sampang melen ng bangun dan dengan sebuah gaya harimau menerkam, dia loncat menerkam Nambi yang saat itu sedang berjalan hendak kembali ke tempatnya.

   Wijaya dan Sora terkejut sehingga keduanya menggeliat bangun dan Sorapun sudah berseru "Nambi ...."

   Sora tak melanjutkan kata-kata peringatannya karena terpukau oleh apa yang terjadi di tengah pendapa.

   Nambi berkisar mencondongkan tubuh ke samping tetapi sebelah kakinya masih dilintangkan.

   Gerak penghindaran Nambi itu memang tepat sekali pada waktunya.

   Hampir serempak dia berkisar, Sampangpun sudah menerjang disampingnya.

   Akibatnya, menimbulkan kehebohan yang menghiraukan.

   Kaki Nambi yang melintang itu karena diterjang Sampang, menyebabkan rasa sakit pada betis belakang dan menyebabkan pula kakinya terpental sehingga Nambi terhuyung-huyung, namun tak sampai jatuh.

   Sedangkan Sampang karena terkait kaki Nambi, telah kehilangan keseimbangan diri.

   Seperti laju seekor babi hutan yang menerjang lawan, Sampangpun terus melaju ke muka.

   Walaupun tak tahu jelas siapa yang akan diterjangnya itu namun pikirannya masih sadar bahwa kelompok orang yang berada di depannya itu adalah kawan-kawan prajurit kepatihan.

   Namun karena kehilangan keseimbangan, dia tak kuasa untuk menghentikan laju tubuhnya.

   Plak, terdengar sebuah pukulan mendarat di tubuh yang keras dan tubuh Sampangpun segera berputar ke samping dan rubuh ke lantai.

   "Ahhhh,"

   Terdengar pekik kejut dari beberapa prajurit kepa han. Dua orang prajurit bergegas memburu ke tempat Sampang untuk memberi pertolongan. Ternyata Sampang pingsan dan harus digotong keluar.

   "Panglulut,"

   Sesaat memperoleh kesadarannya kembali pa h Araganipun berseru kepada putera menantunya.

   "Hamba terpaksa, rama,"

   Kata Kuda Panglulut "karena kalau hamba tak menerpa lehernya, hambalah yang akan menderita terjangan Sampang."

   "Ya, tetapi dia tak sengaja bermaksud hendak menerjangmu."

   "Rama, hambapun terkejut. Karena laju gerak Sampang sedemikian cepat sehingga tahu-tahu sudah hampir menerjang diri hamba, hambapun tak sempat menghindar dan terpaksa berusaha untuk menghalaunya."

   Pa h Aragani cepat dapat menyadari bahwa hal itu memang bukan kesalahan putera menantunya.

   Diapun cepat pula dapat mencari dalih untuk menghilangkan rasa malu dan penasaran yang dideritanya karena seorang pengawal kepercayaan harus menelan kekalahan lagi "Ya, engkau benar, Panglulut.

   Memang Sampang amat sembrono sekali.

   Besok akan ku berinya hukuman."

   Terkejut Wijaya mendengar ucapan patih itu. Serta merta diapun mempersembahkan kata.

   "Paman patih, maaf atas kelancangan hamba. Bukan maksud hamba hendak mencampuri kekuasaan paman patih terhadap hamba sahaya paman patih. Namun dalam peristiwa ki Sampang ini, hamba memberanikan diri untuk mengajukan permohonan agar paman patih berkenan untuk membebaskan dia dari hukuman."

   "O, mengapa?"

   "Karena sudah lazim dalam suatu pengujian ilmu, baik ilmu ajaran agama maupun ilmu tata ulah kanuragan, bahwa kesudahannya tentu ada yang menang dan yang kalah. Terutama dalam tata ulah kanuragan itu, menurut pendapat hamba, belum tentu suatu kekalahan itu berarti kalah unggul ilmu kepandaiannya. Banyak hal yang menyebabkan kekalahan itu, antara lain kurang pengalaman, kurang perhatian dan lengah. Kalah atau menang dalam pertempuran itu, bukan semata ditentukan oleh tinggi rendahnya kepandaian, pun yang penting adalah dapat menentukan langkah dan menyesuaikan keadaan dengan cepat dan tepat. Hamba tetap menganggap bahwa ki Sampang seorang yang gagah dan berani. Apabila bertempur dengan tata olah kanuragan, belum tentulah dia akan kalah."

   Pa h Aragani seorang ahli dalam menyanjung dan mengambil ha orang terutama seri baginda.

   Sudah tentu dia tertawa dalam ha mendengar ucapan Wijaya itu.

   Ia tahu bahwa Wijaya hanya bermaksud hendak mengambil ha nya agar dia tak marah dan penasaran atas kekalahan yang diderita oleh kedua pengawal kepercayaannya.

   Pa h Araganipun seorang dedengkot dalam menghadapi se ap masalah dan berhadapan dengan orang.

   Cepat ia menghapus kerut-kerut kemarahan pada dahinya dan digan dengan senyum yang ramah.

   "Baik, raden, karena raden yang memintakan pengampunan, maka Sampang kubebaskan dari hukuman."

   "Terima kasih paman."

   Namun sekalipun mulut menerima permintaan Wijaya daklah berar bahwa rasa malu dan penasaran dalam ha pa h Aragani itupun ikut hapus.

   Dia adalah pa h yang sedang menjulang kedudukannya.

   Sebagai seorang pa h-dalam, dia amat dekat dengan baginda Kertanagara.

   Seorang yang sedang dijenjang pangkat dan kekuasaan, mudah terlelap dalam rasa keangkuhan diri.

   Dan ciri-ciri daripada sifat keangkuhan itu, membentuk suatu nilai ke-Aku-an.

   Timbulnya nilai ke-Aku-an akan membawa orang itu ke arah suatu rasa nggi ha .

   Ke Aku-an duduk di atas persada kepangkatan, bermahkota kesombongan yang megah, berpagar duri kekuasaan yang sewenang- wenang, membentuk lingkaran pemisah antara Sira dengan Ingsun atau Engkau dan Aku.

   Demikian perkembangan jiwa yang tengah dinikma pa h Aragani dewasa itu.

   Sifat-sifat dari manusia yang membentuk diri dalam lingkungan itu, tentu cepat dan mudah tersinggung perasaannya.

   Segala apa yang ada padanya, yang dimilikinya, dari gedung, perhiasan, kekayaan sampai pada orang bawahannya harus lebih unggul dari lain orang.

   Bahwa dua orang pengawal kepercayaan telah kalah dalam pertandingan menguji kepandaian dengan dua orang pengikut Wijaya, benar benar takkan terhapus dalam ha pa h itu.

   Dan karena sudah terlanjur menghadapi saat-saat seperti itu, diapun tak mau kepalang tanggung lagi.

   Suatu angan-angan yang aneh memercik dalam benaknya dan segera terbentuklah sebuah rencana dengan landasan yang menguntungkan.

   Dia akan menampilkan putera menantunya, Kuda Panglulut, untuk berhadapan dengan Wijaya.

   Ia sudah memperhitungkan, Wijaya tentu tak berani melukai Panglulut karena tentu memandang kepadanya.

   Dan apabila Panglulut beruntung dapat memenangkan ujian itu, apabila hal itu tersiar, tentu akan menimbulkan kegemparan.

   Derajat putera menantunya tentu akan naik, demikian pula dia sebagai ayah mentuanya, sedang penilaian orang terhadap Wijaya tentu akan merosot.

   Pun andaikata Kuda Panglulut kalah, hal itu tentu takkan menimbulkan akibat suatu apa.

   Orang hanya menganggapnya wajar karena Wijaya adalah senopati yang telah lulus dari sayembara.

   Demikian perhitungan pa h Aragani.

   Jelas bagi fihaknya, hal itu lebih menguntungkan daripada merugikan.

   Wijaya tentu berada dalam kedudukan yang sulit.

   Dan dia tahu bahwa putera menantunya itupun memiliki kesaktian yang mengesankan.

   Setelah memperhitungkan masak-masak maka dalam nada yang ringan seolah tak mengandung maksud yang bersungguh ha , berkatalah pa h Aragani "Raden, malam ini paman merasa benar- benar merasa gembira sekali.

   Disamping itu pamanpun merasa bersyukur ha karena beberapa pengawal kepatihan telah mendapat pelajaran yang bermanfaat dari pengikut raden."

   "Ah, janganlah hendaknya paman pa h beranggapan demikian. Apa yang terjadi tadi, hamba mohon janganlah paman mengambil di ha , karena hal itu hanya sekedar tukar pengalaman diantara sesama kawan."

   Patih Aragani tertawa gelak-gelak "Benar raden, benar. Tepat sekali kiranya ucapan raden itu. Memang demikianlah anggapan paman."

   "Terima kasih, paman patih "

   "Raden,"

   Ba- ba pa h Aragani beralih dengan nada yang agak bersungguh "maukah kiranya raden menyempurnakan rasa syukur paman terhadap kesediaan raden membantu usaha paman ?"

   Wijaya tertegun "Mohon paman pa h melimpahkan penjelasan, apa kiranya yang paman pa h menghendaki tenaga hamba."

   Kembali pa h Aragani tertawa "Begini raden, sesungguhnya pikiran paman ini agak gila.

   Mungkin karena umur paman yang sudah makin lanjut.

   Bahwa se ap angan-angan paman yang tak sempat tercurah, tentu akan menjadi sesuatu yang mengusik ketenangan hati paman.

   Oleh karena itu maka pamanpun terpaksa hendak mencurahkannya."

   "O, baiklah paman patih. Hamba bersedia mendengarkan dengan senang hati."

   "Baiklah raden,"

   Kata pa h Aragani "maksud paman sesungguhnya tak lain hanyalah hendak meminta bantuan raden untuk melimpahkan pengalaman dan ajaran ilmu kesak an raden kepada anak menantu paman Kuda Panglulut itu."

   Wijaya terkesiap. Ia hampir dapat menduga tetapi masih meragukan adakah dugaannya itu benar. Maka bertanyalah dia "Bagaimanakah yang paman inginkan?"

   "Anak menantu paman itu memang memiliki beberapa ilmu tata ulah kanuragan. Kata gurunya, ilmu yang telah dimiliki Kuda Panglulut itu sudah memadai. Tetapi hal itu belum pernah mendapat kesempatan untuk membuktikan kebenaran akan kata gurunya itu. Karena selama ini, memang Kuda Panglulut pernah bertempur tetapi lawan-lawannya hanyalah orang-orang yang tidak berilmu tinggi. Kini paman melihat suatu kesempatan yang berbahagia atas kehadiran raden ....

   "

   "Paman patih ....

   "

   "Ah, janganlah raden menolak permintaan paman. Dan janganlah raden merendah diri. Benar- benar paman tak bermaksud apa-apa kecuali hanya menginginkan agar anak menantu paman itu mendapat pengalaman yang berguna."

   Makin keras dugaan Wijaya akan maksud pa h Aragani, namun ia masih menegas pula "Maksud paman pa h, adakah hamba harus memberi ajaran ilmu ulah kanuragan kepada putera paman patih, raden Kuda Panglulut ?"

   "Ar nya memang begitu tetapi caranya bukanlah raden harus menjadi guru yang se ap hari mengajar kepadanya, cukuplah apabila raden bermain-main dengan dia agar raden dapat mengetahui mana-mana kekurangan pada ilmu kanuragannya dan dapatlah raden memberi petunjuk kepadanya."

   Wijaya mendesuh kejut "Ah,"

   Kemudian menghela napas dalam-dalam dan menggetarkan renungannya "akhirnya memang benar tafsiranku tadi.

   Tetapi apakah maksudnya hendak melangsungkan hal itu? Apakah dia benar-benar hendak mengusahakan kebaikan untuk putera menantunya? Ah, rasanya dak,"

   Ia membantah sendiri "Atau mungkinkah dia hendak menguji aku? Jika benar demikian, apakah tujuannya?"

   Ia termenung sejenak "Kemungkinan hanya ada dua tujuan.

   Dia hendak membersihkan rasa malu atas kekalahan yang diderita dari kedua pengawalnya tadi.

   Dia hendak mempersulit kedudukanku dengan memperhitungkan bahwa aku tentu memberi muka kepada putera menantunya itu dengan jalan mengalah."

   Akhirnya setelah menyadari bahwa permintaan pa h Aragani itu tentu sukar dielakkan lagi, ia mengambil keputusan akan menerima tetapi pun akan mengalah agar pa h itu dak malu dan mendendam kepadanya.

   Sora dan Nambipun terkejut mendengar permintaan pa h Aragani itu.

   Keduanyapun tahu akan sifat Wijaya yang dalam banyak hal lebih suka mengalah daripada menonjolkan diri.

   Dan karenanya, mereka dapat membayangkan bagaimana nan Wijaya akan menghadapi Kuda Panglulut.

   "Hm, raden Wijaya tentu akan mengalah untuk, memberi muka patih Aragani,"

   Pikir Nambi. Beda dengan pemikiran Sora yang lebih keras dan tegas.

   "Berbahaya apabila raden sampai mengalah. Patih Aragani tentu akan menyiarkan peristiwa ini sehingga keluhuran nama raden tentu tercemohkan."

   Sora yang berwatak berani dan tak dapat menyimpan kandungan ha , serentak menghatur sembah ke hadapan pauh Aragani "Gus pa h, hamba mohon maaf apabila persembahan kata hamba ini tak berkenan di ha paduka.

   Raden Wijaya adalah senopa kerajaan Singasari.

   Sudah selayaknya apabila seluruh kawula dan segenap narapraja Singasari meluhurkan namanya.

   Bukan sebagai raden Wijaya peribadi tetapi raden Wijaya sebagai senopa Singasari.

   Apabila dalam ndak atau perilaku raden mengalami peris wa yang kurang sesuai dengan kedudukannya, bukan raden Wijaya peribadi tetapi senopa kerajaan Singasarilah yang akan menderita cemar.

   Hal itu akan membawa akibat yang kurang layak bagi kewibawaan Singasari."

   "Singkatkan kata-katamu. Apa maksudmu?"

   Tukas patih Aragani dengan nada keras.

   "Hamba mohon agar hamba diperkenankan untuk mewakili raden Wijaya, menghadapi raden Kuda Panglulut."

   Merah muka patih Aragani seketika "Engkau congkak sekali! "

   "Tidak, gus pa h,"

   Serta merta Sora membantah "bukan maksud hamba hendak mengagulkan diri, tetapi hamba rasa kurang layak apabila seorang senopa harus diuji kesak annya.

   Maka hamba merelakan diri untuk menjadi bulan-bulan sasaran kesak an tangan raden Kuda Panglulut yang hamba percaya pasti ampuh."

   "Apa engkau tuli ?"

   Hardik pa h Aragani "siapa yang akan menguji raden Wijaya? Bukankah aku yang hendak minta pertolongannya untuk memberi petunjuk dalam ilmu kanuragan kepada putera menantuku!"

   "Ampun gus pa h yang hamba muliakan,"

   Seru Sora tanpa gentar "maksud hamba, agar dalam perjamuan yang paduka adakan demi menghormat dan mengadakan perkenalan dengan senopa kerajaan yang baru ini, .

   janganlah terjadi sesuatu yang hanya akan menimbulkan hal- hal yang kurang enak bagi paduka dan raden Wijaya.

   Namun apabila paduka tetap menginginkan hal itu; hamba memberanikan diri untuk melaksanakan titah paduka, gusti patih."

   "Engkau hendak memberi petunjuk kepada putera menantuku, hah?"

   "Mungkiri hamba dak sehebat raden Wijaya tetapi hamba rasa pun pas takkan mengecewakan titah paduka."

   "Huh, apa pangkatmu? Engkau tak layak berhadapan dengan putera menantuku!"

   "Apabila hamba sampai gagal memenuhi tah paduka, hamba menghaturkan batang leher hamba ke hadapan putusan paduka."

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Merah muka pa h Aragani mendengar kesanggupan Sora.

   Ucapan Sora itu diar kan sebagai suatu tantangan "Manusia liar tak tahu adat! Kalau engkau menantang supaya kepalamu dipenggal, sekarang juga aku akan memerintahkan tanpa engkau harus berhadapan dengan putera menantuku."

   "Ah, hamba tidak mengandung maksud begitu."

   "Tutup mulutmu ! Pengawal, tangkap orang itu dari. berilah hukuman rangket limapuluh kali!,"

   Tiba-tiba patih Aragani memberi perintah.

   Beberapa prajurit kepa han serentak hendak melakukan perintah tetapi saat itu juga Wijaya segera bangkit dan memberi isyarat agar mereka berhen , kemudian menghadap pa h Aragani "Paman pa h, hamba mohon supaya paduka melimpahkan pengampunan kepada pengikut hamba itu.

   Baik, paman pa h, hamba bersedia memenuhi keinginan paduka untuk bermain-main dengan raden Kuda Panglulut.

   Tetapi hamba mohon diperkenankan untuk menghaturkan syarat."

   "O, apakah yang raden kehendaki?"

   Nada patih Aragani mulai berangsur tenang.

   "Hamba mohon paduka mengampuni kesalahan pengikut hamba itu, baru hamba dapat memenuhi titah paman patih."

   Paman patih mengangguk "Baiklah raden. Tetapi paman tak dapat mengampuni seluruhnya. Paman bebaskan dari hukuman rangket tetapi dia harus enyah dari kepatihan ini.

   "

   Wijaya tertegun. Hampir dia tak dapat menguasai perasaan ha nya. Jika Sora sudah berani menunjukkan kesetyaannya untuk melindungi dirinya, mengapa dia tak berani ber ndak melindunginya.

   "Terima kasih, gusti patih,"

   Sora memberi sembah lalu berbangkit.

   "raden, biarlah hamba keluar. Jangan raden merusak suasana perjamuan ini. Hanya hamba mohon supaya raden dapat menanggapi pendirian hamba tadi,"

   Katanya dengan berbisik.

   Sebenarnya Nambipun hendak meninggalkan pendapa itu juga, mengiku jejak Sora, tetapi pada lain kilas, ia teringat bahwa apabila dia ber ndak demikian tentulah raden Wijaya akan seorang diri.

   Maka dia-pun membatalkan niatnya dan tetap berada di pendapa.

   Tekadnya, ia akan mempertaruhkan jiwa raganya apabila terjadi sesuatu pada diri raden Wijaya.

   "Raden Panglulut, silakan tampil kemari. Kita bermain-main sekedarnya,"

   Kata Wijaya dengan nada yang ramah.

   "Panglulut, jangan sungkan, raden Wijaya hendak memberi petunjuk kepadamu. Unjukkanlah seluruh kepandaianmu agar dapat diketahui mana-mana yang masih kurang sempurna,"

   Seru pa h Aragani. Kuda Panglulut dapat menanggapi perintah rama mentuanya itu. Ia mentafsirkan bahwa rama mertuanya menghendaki agar dia melakukan pertandingan dengan Wijaya secara sungguh- suagguh.

   "Baiklah, kakang Wijaya,"

   Sahut Kuda Panglulut seraya melangkah ke tengah pendapa "kuharap kakang jangan bermain keras-keras dan memberi petunjuk kepadaku."

   Wijaya tertawa.

   Ia menertawakan sikap kepura-puraan dari Kuda Panglulut sebagaimana yang terselip dalam kata katanya itu.

   Demikian, setelah berbasa basi dalam kata, mulailah keduanya siap.

   Pun dalam soal siapa yang menyerang lebih dulu harus terjadi perbedaan pendapat tetapi akhirnya mau juga Kuda Panglulut mengalah untuk menyerang lebih dulu, dalam kedudukan dia lebih muda dan lebih rendah pangkatnya dengan Wijaya.

   Kuda Panglulut membuka serangan pertama dengan melancarkan sebuah pukulan ke dada Wijaya.

   Namun pukulan itu hanya merupakan suatu penjajagan sehingga gerakannyapun dak disertai dengan tenaga penuh.

   Maksudnya bila Wijaya mengadakan gerak menangkis atau menghindar, barulah Kuda Panglulut menyusuli dengan gerak kedua yang akan merupakan serangan sungguh-sungguh.

   Namun ia terkejut ke ka dilihatnya Wijaya tegak dengan tenang, tubuh tak tampak hendak mengadakan gerakan mengisar, tangan tetap menjulai dan mata tak berkedip memandangnya.

   Kuda Panglulut heran tetapi kemudian dapat menduga pikiran orang.

   Wijaya tentu sudah tahu bahwa lawan menyerang dengan suatu gerak pancingan maka dia menghadapinya dengan berdiam diri "Ah, jika begitu, baiklah kuteruskan tanganku untuk memukulnya.

   Dia tentu tak menduga bahwa gerak serangan menggertak itu akan kurobah menjadi sebuah serangan yang sesungguhnya,"

   Demikian ia menimang dan cepat menentukan keputusan. Pelaksanaan daripada keputusan itu segera diwujutkan dengan sebuah gerak melangkah maju seraya melangsungkan pukulannya "Uh,"

   Kembali dia mendesuh kejut ke ka tubuh Wijaya yang sudah hampir disentuh tinjunya, tiba-tiba lenyap ke samping.

   Merah muka Kuda Panglulut seke ka.

   Walaupun hal itu sudah menjadi hak Wijaya untuk berusaha menghindar atau menangkis serangannya, tetapi dia tersinggung juga karena merasa dirinya telah disiasati Wijaya.

   "Baik, aku akan menyerangnya dengan gerak cepat,"

   Akhirnya ia menentukan langkah. Dan serentak mulailah serangan-serangan dilancarkan seperti gelombang mendampar. Sampai pada saat itu tampak Wijaya masih belum mau balas menyerang. Dia hanya menghindar, mengelak dan ada kalanya loncat mundur.

   "Jangan memperolok aku, kakang Wijaya,"

   Dalam suatu kesempatan bersimpang tubuh dengan Wijaya, dia berseru pelahan.

   "Ah, tidak raden,"

   Wijaya berbisik menyahut.

   "kita hanya bermain-main belaka."

   Namun Wijayapun menimang juga. Apabila dia tetap bersikap demikian, memang dapat menimbulkan kesan tak baik bagi Kuda Panglulut. Putera menantu pa h itu tentu akan menganggap dia memperolokkannya.

   "Baiklah aku juga harus balas menyerang,"

   Katanya dalam hati.

   Kini mulailah pertandingan itu berjalan menarik.

   Tidak lagi berat sebelah seper tadi karena keduanya sama melakukan serangan dan pembelaan.

   Kuda Panglulut tampak gembira dan makin bersemangat.

   Diam-diam diapun memang hendak menjajal sampai dimanakah kesak an raden Wijaya yang telah memenangkan sayembara itu.

   Wijaya makin lama makin terkejut ke ka harus menghadapi serangan Kuda Panglulut yang makin lama bukan makin mengendor tetapi bahkan makin keras daa deras.

   Terpaksa dia harus mengeluarkan ilmu kepandaian juga untuk mengimbangi.

   Tetapi ternyata kesadaran itu agak terlambat.

   Kuda Panglulut telah melancarkan serangkaian serangan dari ilmu tata kanuragan yang sak .

   Ilmu itu membentuk sebuah rantai serangan yang susul menyusul sampai beberapa saat.

   Wijaya benar-benar terdesak karena tak sempat lagi untuk memperbaiki kedudukannya.

   "Maaf, kakang,"

   Ba- ba pada lain saat Kuda Panglulut berteriak seraya melayangkan nju ke kepala Wijaya. Saat itu dia berhasil mendesak rapat ke hadapan Wijaya yang terbuka dari perlindungan.

   "Ah,"

   Wijaya mendesah.

   Tetapi suaranya hampir tak terdengar karena tenggelam dalam pekik sekat dari sekalian orang yang berada dalam pendapa.

   Mereka menyaksikan jelas, bagaimana tangan Kuda Panglulut telah menyambar kepala Wijaya dan tubuh Wijayapun bergeliat menyurut mundur beberapa langkah.

   Pekik yang menegangkan itu segera berobah menjadi curahan sorak yang menghambur dari mulut mereka ke ka melihat kain ikat kepala Wijaya telah jatuh di lantai.

   Dengan demikian jelaslah bahwa Kuda Panglulut berhasil mempedayakan Wijaya dengan sebuah kemenangan yang menggembirakan.

   Sudah barang tentu yang paling gembira atas kesudahan itu adalah pa h Aragani.

   Walaupun Wijaya dak sampai rubuh atau menderita luka, tetapi kain kepala sampai tertampar jatuh, cukup menikam kehormatan seorang kesatrya.

   Hal itu lebih menyakitkan hati daripada sebuah kekalahan.

   Pa h Aragani benar-benar bangga atas kemenangan putera menantunya.

   Kekalahan dari dua orang pengawal kepercayaannya, sekali gus dapat terhapus dengan kemenangan itu.

   Sedemikian gembira pa h Aragani sehingga saat itu pula dia terus berseru "

   "Panglulut, berhen lah. Dan segera engkau minta maaf kepada raden Wijaya karena engkau telah membuat malu kepadanya."

   Kuda Panglulut mengangguk dan menghampiri kain kepala Wijaya, memungutnya dan segera menghaturkan kepada Wijaya.

   "Maa an, kakang Wijaya, hamba tak sengaja hendak menghina kakang."

   Wijaya tersenyum "Terima kasih raden. Ilmu kanuragan yang engkau miliki sudah amat tinggi. Tak ada yang dapat kuberikan petunjuk lagi kepadamu."

   "Terima kasih, kakang,"

   Kata Kuda Panglulut berbangga senyum. Dalam ha dia mencemoh "Hm? kiranya hanya begitulah ilmu kesaktian dari ksatrya yang akan menjadi senopati Singasari."

   Kemudian keduanya kembali duduk-menghadap pa h Aragani. Sikap pa h Aragani berobah amat ramah, murah-senyum bermanja tawa "Raden, maa an putera menantuku si Panglulut yang kurang tata,"

   Katanya seraya menuang tuak kedalam sebuah piala.

   "Raden, paman hendak menghaturkan tuak ini sebagai tanda permintaan maaf paman."

   "Ah, mengapa paman terlalu mengambil di hati soal sekecil itu."

   "Tetapi raden,"

   Kata pa h Aragani "benar-benar si Panglulut itu tak tahu adat. Mengapa dia sampai berani menampar jatuh kain kepala raden ? Pada hal kain kepala itu adalah penutup kepala dan kepala adalah lambang kehormatan seorang ksatrya.'' "Ah,"

   Wijaya tetap tersenyum "memang dalam suatu pertempuran, sukar untuk menghindarkan hal-hal yang tak diinginkan. Itulah sebabnya maka hamba tadi memberanikan diri untuk meminta pangampunan atas kesalahan pengikut hamba kakang Sora dan Nambi."

   "Ah, mereka hanya lurah-lurah berpangkat kecil. Lain halnya dengan raden sebagai seorang senopati."

   Jelas bahwa patih Aragani sengaja merangkai kata- kata untuk mencemohkan Wijaya dengan ulasan yang indah didengar. Wijaya tahu akan hal itu tetapi dia tetap bersikap tenang.

   "Panglulut, hayo, engkaupun harus menghaturkan permohonan maaf kepada raden Wijaya dengan persembahan tuak,"

   Seru patih Aragani.

   Panglulut gopoh melakukan perintah rama mentuanya.

   Dia mengulangi pula kata-kata permintaan maaf..

   Setelah meneguk tuak pemberian dari Panglulu, maka Wijayapun berkata "Kiranya kurang adil apabila aku yang menderita kekalahan diberi tuak tetapi raden Panglulut yang m;nang dak mendapat kehormatan suatu apa ia menuang tuak dalam piala lalu menghaturkan ke hadapan Panglulut.

   Raden, akupun menghaturkan tuak kepadamu sebagai tanda menghormat kemenanganmu."

   "Benar, Panglulut, terimalah pemberian tuak dari senopati kita yang baru. Itu suatu kehormatan besar bagimu,"

   Seru patih Aragani dengan gembira. Setelah memberi tuak kepada Kuda Panglulut maka Wijayapun menghaturkan tuak kepada pa h Aragani.

   "Paman patih, hamba mohon pamanpun berkenan menerima persembahan tuak ini."

   "Atas nama apakah pemberian raden itu?"

   Aragani tersenyum.

   "Suatu tanda pernyataan selamat yang hamba haturkan kepada paman pa h karena putera menantu paman patih benar-benar sakti mandraguna."

   "Ah, terima kasih, raden, terima kasih,"

   Dengan tertawa- tawa pa h Aragani menyambu piala dan sekali teguk habislah isinya.

   Selesai itu maka Wijayapun menyatakan mohon diri "Rasanya sudah larut malam, paman pa h, maka hamba mohon hendak ke dalam keraton agar paman tumenggung Bandupoyo tidak cemas."

   Karena rencana dan keinginan sudah terlakiana semua maka pa h Araganipun meluluskan.

   Ia mengantar Wijaya dengan suatu pesan "Raden, hamba benar-benar bahagia bahwa radenlah yang diangkat sebagai senopa kerajaan Singasari.

   Pamanpun percaya bahwa hubungan kita akan makin erat dan kerjasama antara paman dengan raden akan berjalan lancar, demi keagungan seri baginda Kertanagara dan kejayaan kerajaan Singasari yang kita abdi."

   Demikian Wijaya dan Nambi segera meninggalkan pendapa.

   Prajurit keraton yang mengantarkannya tadi ternyata sudah siap menunggu di halaman.

   Kuda Panglulut hendak mengantar sampai ke pintu regol tetapi Wijaya menolak dan minta dia supaya tetap berada di pendapa menemani rama mentuanya.

   Selama berlangsung pertempuran antara Wijaya dengan Kuda Panglulut, kemudian saling menghaturkan tuak sehingga berjalan keluar meninggalkan perjamuan, sebenarnya Nambi hendak mencari kesempatan untuk berbicara kepada Wijaya.

   Ia benar-benar tak menger mengapa selama berlangsung hatur menghaturkan tuak, Wijaya tetap bersikap tenang.

   Mengapa Wijaya seolah tak merasa tersinggung atas peris wa kekalahan yang diderita dari Kuda Panglulut.

   Mengapa? Demikian pertanyaan yang menyesakkan dada Nambi.

   Karena Wijaya tak memberi keterangan suatu apa, hampir saja Nambi tak kuasa lagi untuk menahan keinginan ha nya.

   Tetapi waktu ia hendak bertanya, ternyata saat itu rombongannya sudah ba di pintu regol kepa han.

   Prajurit penjaga pintu kepa han segera tegak memberi hormat.

   Rupanya mereka tahu siapa Wijaya.

   "Kakang prajurit,"

   Ba- ba Wijaya berhen sejenak di hadapan seorang prajurit kepa han "dapatkah aku meminta bantuanmu?"

   Prajurit yang bertubuh tegap itu tertegun heran dan terkejut.

   "O, tentu raden. Apakah yang raden hendak titahkan kepada hamba?"

   "Ah, hanya soal yang tak pen ng,"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Wijaya "tolonglah kakang haturkan kalung dada ini ke hadapan gusti patih."

   "O, tentu akan hamba lakukan, raden."

   "Katakan bahwa tadi aku lupa mengembalikan kepada raden Kuda Panglulut. Kalung dada ini milik raden Panglulut. Dan sampaikan rasa maafku kehadapan gusti patih dan raden Panglulut."

   "Baik raden,"

   Kata prajurit itu seraya menyambu kalung dari Wijaya.

   Kemudian setelah Wijaya meninggalkan kepa han, prajurit itu pesan kepada kawannya "Tunggulah di sini, aku hendak melangsungkan pesan raden tadi ke hadapan gus pa h.

   Jika terlambat, mungkin gus pa h sudah masuk ke peraduan."

   Saat itu pa h Aragani masih dihadap putera menantunya, Kuda Panglulut. Kedua masih minum tuak sambil berbincang-bincang "Panglulut, kali ini engkau benar-benar telah berjasa mengembalikan kewibawaan rama."

   "Ah, kesemuanya Itu tak lain adalah berkat pengestu rama."

   "Panglulut,"

   Kata pa h Aragani "tahukah engkau bagaimana ar dari peris wamu dengan raden Wijaya itu?"

   "Mohon paduka memberi petunjuk kepada hamba."

   "Besok akan kusebar orang untuk menyiarkan peris wa yang terjadi di pendapa kepa han malam ini. Agar seluruh mentri, narapraja dan kawula pura Singasari mengetahui hal itu."

   "Tetapi rama,"

   Sanggah Kuda Panglulut "

   Dakkah hal itu akan menyinggung perasaan kakang Wijaya?"

   "Memang begitulah maksud rama."

   "Tetapi apakah rama sudah mempertimbangkan akibat dari hal itu?"

   "Tentu akan mbul kegemparan di seluruh pura. Nama Wijaya tentu akan merosot dalam pandangan mereka."

   "Dan apakah hasil hal itu bagi kita, rama ? Bukankah kakang Wijaya akan mendendam kepada kita?"

   Aragani tertawa lebar "Hal itu memang sudah kuperhitungkan, angger. Disitulah rama akan melaksanakan rencana rama untuk menguasai Wijaya."

   "O,"

   Kuda Panglulut terkesiap "benarkah itu, rama? Tetapi hamba benar-benar belum menger bagaimana yang rama maksudkan."

   Aragani mendapat piala yang sudah dituang penuh dengan tuak lalu meneguknya habis.

   Kemudian baru berkata "Sudah tentu seru baginda akan menyangsikan kesungguhan dari hasil sayembara itu.

   Seri bagindapun akan memper mbangkan lagi kepercayaan yang sudah siap hendak dilimpahkan kepada Wijaya."

   "Maksud rama, agar sayembara itu diulang lagi?"

   Aragani gelengkan kepala "Tidak, angger. Karena hal itu amat mustahil. Akan membawa akibat besar bagi kewibawaan kerajaan dalam pandangan para kawula."

   "Adakah rama bermaksud ...."

   Kuda Panglulut tak melanjutkan kata-katanya melainkan menjelangkan pandang ke hadapan patih Aragani.

   Aragani gelengkan kepala "Tidak, rama tak bermaksud memohon kepada seri baginda agar engkau diadu dengan Wijaya dihadapan para mentri senopa untuk membuk kan kebenaran berira yang tersiar itu."

   "Ah,"

   Kuda Panglulut menghela napas.

   Tepat benar pa h Aragani dapat menduga isi ha nya.

   Memang kalau hal itu akan dilakukan rama mentuanya, akibatnya tentu berbalik akan memberi cemar bagi rama mentuanya.

   Ia kuatir tak yakin dapat mengalahkan kesaktian Wijaya.

   "Rama sungguh bijaksana,"

   Serunya pula "memang, hamba tak menginginkan hal itu terjadi dan ternyata ramapun sependapat dengan pikiran hamba. Lalu bagaimana rencana hendak menguasai kakang Wijaya seperti yang rama katakan tadi?"

   "Akulah yang akan menghaturkan permohonan ke hadapan seri baginda bahwa Wijaya harus tetap diangkat sebagai senopa . Segala kepercayaan yang hendak dilimpahkan seri baginda, hendaknya agar tetap dilaksanakan. Hendaknya janganlah seri baginda mengurangi kepercayaan atas diri Wijaya. Dan akulah, Panglulut, yang akan menjamin dan mempertanggung jawabkan segala hal yang terjadi pada diri Wijaya."

   "O,"

   Panglulut tertegun.

   Ia terkejut mendengar uraian rama mentuanya.

   Ia tak pernah menduga bahwa rama mentuanya memiliki perhitungan yang sedemikian.

   Namun untuk lebih meyakinkan rasa kagumnya terhadap rama mentuanya, iapun meminta penjelasan lebih lanjut "Tetapi rama, apakah hasil yang rama akan peroleh dari tindakan rama itu?"

   "Itu sudah jeias, angger,"

   Kata Aragani dengan nada bangga "bahwa Wijaya tentu merasa berhutang budi kebaikan dari aku. Dengan begitu dia tentu akan setya dan bersungguh-sungguh membantu aku, demi untuk membalas budi."

   "O,"

   Kuda Panglulut mendesuh kejut2 kagum.

   "Panglulut,"

   Kata Aragani pula "menguasai orang memang banyak sekali caranya.

   Menguasai dengan kekuatan, kekuasaan dan pengaruh memang dapat menguasai orang tetapi hanya pikiran bukan jiwanya.

   Artinya, karena takut, sungkan ataupun karena sekedar tata kelayakan, maka dia akan menurut.

   Tetapi ketaatan yang setengah terpaksa."

   "Ketaatan semacam itu, tidaklah mulus dan penuh,"

   Kata patih Aragani "beda dengan ketaatan yang berlambarkan sentuhan rasa hati atau jiwa.

   Lebih mulus dan penuh.

   Dan ketaatan ini hanya dapat diperoleh dengan tindakan-tindakan yang dapat menggetarkan hati sanubari.

   Antaranya, merasa telah menerima budi pertolongan, mengagumi kebesaran jiwa dan peribadi seseorang.

   Dan tindakan pertama yang kulangkahkan yalah mengetuk ketaatan hati raden Wijaya dengan suatu pernyataan membela dirinya dalam saat-saat nama dan kedudukannya terancam kehancuran.

   Pernyataan yang kuhaturkan secara penuh kesungguhan kehadapan seri baginda itu tentu akan menyentuh perasaan hati raden Wijaya dengan rasa telah menerima budi pertolonganku.

   Tidakkah seorang ksatrya itu akan menjunjung budi pertolongan orang?"

   "Ah,"

   Kuda Panglulut menghela napas longgar "rama benar-benar arif dan bijak, pandai segala pengetahuan bahkan dalam hal kejiwaan orang."

   Pa h Aragani tertawa. Pada saat dia hendak membuka mulut ba- ba dilihatnya seorang prajurit masuk dan berjalan dengan berjongkok menghampiri ke hadapannya. Prajurit itu lalu menghaturkan sembah.

   "Ho, engkau prajurit kepatihan?"

   Tegur patih Aragani.

   "Demikian keluhuran sabda paduka, gusti patih, Hamba prajurit penjaga regol kepatihan."

   "Mengapa engkau berani menghadap kemari tanpa titahku?"

   Prajurit itu menghaturkan sembah "Mohon gus berkenan melimpahkan ampun atas kelancangan hamba. Hamba hanya melaksanakan permintaan gus senopa yang baru berkunjung tadi, untuk menghaturkan pesannya."

   "Apa? Gusti senopati yang baru berkunjung tadi, katamu?"

   Patih Aragani menegas.

   "Demikian gusti "

   "Dia menyuruh engkau menghaturkan pesan ke hadapanku? Apa pesannya?"

   "Tak lain kamba dititahkan untuk menghaturkan kalung, dada ini kehadapan paduka."

   Patih Aragani terkejut "Lekas haturkan kemari."

   Piajurit itupun gopoh melakukan perintah. Ia menghaturkan kalung penghias dada kehadapan pa h Aragani "Gus senopa tadi menitahkan hamba, agar hamba menyampaikah pernyataan maaf dari gusti senopati kehadapan paduka."

   "Kalung ini ....siapa pemiliknya?"

   Seru patih Aragani.

   "Menurut gusti senopati, kalung penghias dada itu adalah milik raden Kuda Panglulut."

   Seke ka gemetarlah tubuh pa h Aragani "Panglulut, benarkah ini milikmu?"

   Serunya seraya menyerahkan benda itu kepada Kuda Panglulut. Dan setelah menerima serta memeriksa, Kuda Panglulutpun menghaturkan jawab "Benar, rama, kalung penghias dada ini adalah milik hamba."

   "Dan mengapa berada di tangan Wijaya!"

   Seru patih Aragani makin getar.

   Kuda Panglulut tergugu tak dapat menjawab.

   Namun dia tahu apa artinya hal itu.

   Tentulah dalam pertempuran tadi, Wijaya telah menyambar dan memutuskan kalung dada itu.

   Seketika timbul bayangan yang meregangkan buluroma "Aku dapat menampar kain kepala, semua orang tahu dan diapun mengerti.

   Tetapi dia mencabut kalung penghias dadaku, tak ada orang yang sempat melihat bahkan aku sendiripun tak merasa, ah"

   "Aku hanya berhasil menampar jatuh kain kepala tetapi dia mampu menyambar kalung dadaku. Apabila dia benar-benar hendak merenggut nyawaku atau sekurang-kurang hendak membuat aku malu, bukankah dia akan memukul dadaku sehingga remuk ? Dan cukup apabila dia menebah dadaku saja, bukankah aku akan terpelanting jatuh?"

   Seke ka terasa darah dalam tubuh Kuda Panglulut mendampar keras, jantung berdenyut dan kepalapun nanar karena membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang dahsyat apabila Wijaya benar-benar mau melakukan "Uh "

   Sesaat uluha nya serasa terhantam palu godam ke ka ia membayangkan betapa sikap yang diunjukkan ke ka ia menganggap telah mengalahkan Wijaya karena telah menampar jatuh kain kepalanya.

   Betapa dia tersenyum bangga, betapa ia berucap lantang dan gembira, betapa ia merasa dirinya amat besar saat itu, betapa dia ....

   bayang-bayang mengenangkan ngkah laku dan sikapnya itu, Kuda Panglulut merasa seper dihantui oleh bayang bayang perwujudan khayal dalam berbagai bentuk raut wajah yang mencemoh, mengejek dan menyeringai sindir kearahnya.

   "Ah,"

   Ia cepat mendekap mukanya dengan kedua tangan, seolah ingin membebaskan diri dari muka-muka mahluk khayalan yang telah mengelilingi dirinya saat itu.

   Perasaan ha pa h Araganipun tak kurang deritanya.

   Dia merasa seper seorang yang berada di puncak tangga yang nggi, ba- ba dihempaskan jatuh ketanah yang keras.

   Ia yang cerdik, pun dapat membayangkan seper Kuda Panglulut membayangkan betapalah kiranya andaikata Wijaya benar-benar hendak mencelakai Kuda Panglulut saat itu.

   Kemudian pa h itupun menderita rasa nyeri kesakitan yang hebat.

   Kursi yang didudukinya seper tumbuh beribu-ribu jarum tajam yang menusuk pantatnya.

   Wajah, dada, punggung dan seluruh tubuhnya serasa ditusuki beribu-ribu jarum pula, manakala ia teringat akan ulah dan sikapnya ke ka menerima kemenangan Kuda Panglulut tadi.

   Terngiang-ngiang pula kata-kata yang sengaja diucapkan untuk mengejek Wijaya kala itu.

   Teringat hal itu, pa h Aragani benar-benar tak kuat menderita siksa ba nnya lagi.

   Serentak tanpa berkata apa-apa, ia terus masuk ke dalam.

   ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Nambi tak ikut Wijaya kedalam keraton.

   Namun untuk melepaskan kesesakan, yang menghimpit dada, di tengah perjalanan dia memberanikan diri, bertanya "Raden, adakah kalung penutup dada yang raden hendak berikan kepada patih Aragani itu milik putera menantunya?"

   "Ya "

   "Dari mana raden memperolehnya?"

   "Dari leher pemiliknya."

   "O, apakah hal itu terjadi pada waktu Kuda Panglulut menampar kain kepala raden ?"

   "Sebelumnya."

   "Ah,"

   Nambi mendesah kejut "tetapi mengapa raden tak lekas menyerahkan benda itu kepada pemiliknya? Bukankah hal itu akan dapat mencegah dia untuk melanjutkan pertempuran? Bukankah demikian raden tak perlu harus menderita lepas kain kepala?"

   Wijaya tersenyum "Aku ingin mengetahui dua buah hal dari raden Kuda Panglulut. Pertama, ilmu kesaktiannya. Kedua, sifat ksatryaannya."

   "O, dan raden memperoleh kesan apa?"

   "Ternyata dia tak tahu dan tak merasa bahwa kalung yang melingkar di leher dadanya telah kutarik."

   "Ah, mengapa raden tak mau menebah dadanya saja agar dia jatuh?"

   "Tidak, kakang Nambi,"

   Kata Wijaya "pa h Aragani begitu ngotot hendak menguji aku.

   Pada hal dia tahu bahwa perbuatan itu sungguh tak layak dilakukannya terhadap seorang senopa kerajaan.

   Dia marah karena Sora telah mengupas ndakannya itu.

   Dengan begitu jelas dia mengandung suatu maksud tersembunyi."

   "Benar, raden,"

   Tukas Nambi "dia tentu hendak melampiaskan dendam penasarannya atas kekalahan yang diderita kedua pengawal kepa han itu. Dan sekalian dia hendak menjatuhkan nama raden."

   "Engkau benar Nambi,"

   Seru Wijaya "tetapi masih ada sebuah hai yang lebih penting lagi."

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "O, apakah itu, raden?"

   "Untuk melaksanakan rencananya menggenggam aku."

   "Hah ?"

   "Engkau tentu menyaksikan betapa gembira sekali paman patih Aragani waktu mengira aku telah menderita kekalahan. Tentulah dalam waktu singkat peristiwa di kepatihan itu akan tersiar di pura kerajaan. Lalu aku akan menghadapi dua pilihan. Pertama, aku malu dan terus mengajukan permohonan mengundurkan diri dari kelungguhan senopati."

   "Hm,"

   Nambi menggeram. Dalam ha dia menyumpahi pa h Aragani "licik sekali, lalu apakah yang kedua, raden ?"

   "Jika aku ketakutan karena temaha akan kedudukan dan pangkat itu, aku tentu buru-buru menghadap pa h Aragani dan minta supaya berita-berita yang tersiar itu diberantas dan melarangnya."

   "Dan patih Aragani lalu meminta imbalan agar raden mau bekerja sama dengan dia."

   "Begitulah."

   "Andaikata hal itu akan terjadi sungguh, bagaimanakah tindakan raden?."

   "Tentu aku akan memilih yang pertama, mengundurkan diri dan kembali ke gunung untuk menimba ilmu."

   "Tidak, raden,"

   Ba- ba Nambi bicara tegas "raden tak boleh mengundurkan diri hanya karena fitnah pa h itu.

   Raden harus memberi penjelasan, apabila seri baginda atau gus pa h Kebo Arema, mempersoalkan hal itu.

   Seyogyanya raden mohon, apabila mereka meragukan keterangan raden, supaya diadu kesaktian dengan Kuda Panglulut"

   "Ah, Nambi, mengapa aku harus ber ndak demikian? Bukankah mereka akan menuduh aku sebagai seorang ksatrya yang tak punya malu?"

   "Raden,"

   Kata Nambi "dalam persoalan itu bukan terletak pada punya atau tak punya rasa malu.

   Tetapi pandangan kita harus tercurah pada kepen ngan negara Singasari.

   Bukankan maksud kerajaan membuka sayembara, itu karena hendak mengisi kekuatan pura Singasari yang kosong karena sebagian besar palsukan Singasari telah dikirim ke Malayu?"

   "Ah, Nambi,"

   Wijaya tersenyum "bukankah selain aku, masih banyak ksatrya-ksatrya yang ikut dalam sayembara itu yang layak diangkat sebagai senopati?"

   "Ksatrya-ksatrya yang ikut dalam sayembara itu,"

   Kata Nambi "memang mungkin dalam ilmu kesak an, memang layak memangku kedudukan senopa .

   Tetapi mereka berasal dari lain telatah.

   Bagaimana akibatnya apabila ksatrya dari Bali yang menang? Atau ksatrya dari kerajaan Pejajaran ataupun dari Daha yang diangkat sebagai senopati? Tidakkah kita harus peri-hatin sekali?"

   "Mengapa harus perihatin?"

   "Kesetyaan mereka, raden, wajib menjadi pertimbangan yang meragukan. Terus terang raden, apabila pada saat itu raden tak ikut dalam sayembara maka aku dan kakang Sora akan tampil ke gelanggang. Tak ada lain pilihan senopati kerajaan Singasari yang sreg dihati kami kecuali raden."

   Wijaya geleng-geleng kepala.

   "Oleh karenanya,"

   Kata Nambi pula "kami tetap akan berusaha keras untuk mempertahankan kedudukan raden sebagai senopati Singasari.

   Aku bertemu dan melihat beberapa ksatrya muda yang datang ke pura ini.

   Mereka adalah ksatrya-ksatrya yang ingin mengabdikan diri untuk membela kerajaan Singasari.

   Yang penting adalah menampung dan menghimpun mereka dalam suatu wadah yang dipimpin oleh seorang pimpinan yang kami taati."

   Wijaya diam merenungkan kata-kata Nambi.

   "Sesungguhnya keadaan kerajaan Singasari ini ibarat api dalam sekam. Diluar tampak tenang tetapi didalam membara. Aku mempunyai kesan bahwa Daha masih belum padam dari keinginan terhadap Singasari. Demikian pula ancaman dari mancanegara, terutama dari raja Kubilai Khan di Tartar masih membayangkan kecemasan. Pada hal kekuatan dalam pura kosong dan lemah. Tidakkah ini amat berbahaya? Adakah hanya karena ulah seorang pa h yang ingin menjatuhkan nama baik raden, raden lalu patah hati?"

   "Engkau benar, Nambi,"

   Akhirnya Wijaya berkata "mari kita bersyukur kepada Dewata Agung bahwa kesemuanya itu hanya suatu pengandaian. Karena kenyataan, saat ini patih Aragani tentu akan terpukul kejut oleh persembahan kalung dada putera menantunya."

   "Maksud raden patih Aragani tentu takkan berani menyiarkan peristiwa di kepatihan tadi?"

   "Mungkin tak ada orang yang segila itu, menyiarkan malu yang dideritanya kepada orang lain, bukan?."

   Wijaya tertawa. Tiba tiba dia beralih tanya "Eh, kemanakah kakang Sora?"

   Saat itu rombongan Wijaya sudah ba di gapura keraton.

   Namun selama dalam perjalanan, mereka tak bersua dengan Sora.

   Nambi seper disadarkan.

   Karena dia belum resmi menjadi kadehan Wijaya, maka diapun tentu tak diperkenan masuk kedalam keraton.

   Oleh karena itu diapun mohon diri kepada Wijaya.

   "Hamba akan mencari kakang Sora, Medang Dangdi, Jangkung, Pamot dan bebetapa kawan lagi,"

   Jawab Nambi atas pertanyaan Wijaya.

   Sementara itu tumenggung Bandupoyo amat bersukacita menyambut kedatangan Wijaya.

   Ia mengajak Wijaya masuk kedalam balai Witana "Paman benar-benar cemas mengapa hampir hidangan mulai dingin cuaca makin gelap, raden tak datang.

   Paman telah memerintahkan beberapa prajurit untuk mencari raden."

   "Maaf paman, atas keterlambatan hamba."

   "Tetapi dari mana sajakah raden tadi?"

   Sebenarnya Wijaya tak leluasa untuk menerangkan yang dialaminya.

   Dia hanya mengatakan kalau bertemu dengan beberapa kawan di tengah jalan.

   Tetapi karena tumenggung Bandupoyo mendesak dengan nada kurang percaya atas jawaban itu, terpaksalah Wijaya mengatakan "Paman patih Aragani telah berkenan mengundang hamba ke kepatihan."

   "O,"

   Agak terkejut tumenggung Bandupoyo mendesuh "apakah kiranya maksud ki pa h mengundang raden ?"

   "Ah, dak ada sesuatu yang pen ng paman tumenggung, kecuali hanya sekedar memberi selamat atas kemenangan hamba dan pendekatan dalam perkenalan belaka."

   Tumenggung Bandupoyo tertawa dalam nada yang sukar ditafsirkan Wijaya "Tahukah ki pa h Aragani tentang diri raden ?"

   Wijaya mengiakan. Tumenggung Bandupoyo mengangguk-angguk "Dan tahukah pula beliau siapa kiranya puteri yang hendak dianugerahkan seri baginda kepada raden ?"

   "Hamba rasa dalam pembicaraan tadi, paman pa h Aragani tak menyinggung-nyinggung soal itu. Mungkin belum tahu."

   "Tetapi mungkin tahu pula, raden. Karena pa h Aragani itu amat dekat dan dikasihi seri baginda."

   Wijaya tertegun kemudian bertanya "Tetapi paman tumenggung, apakah kaitannya hal itu dengan paman patih Aragani?"

   Tumenggung Bandupoyo tersenyum.

   "Kerajaan Singasari pada waktu rahyang ramuhun Wisnuwardhana memegang pusara pemerintahan, tentulah tak sama dengan seri baginda Kertanagara yang sekarang. Pada. waktu wreddha mentri mpu Raganata masih menjabat pa h, tentulah tak sama dengan sekarang pada waktu yang menjadi pa h ki Kebo Arema dan Aragani. Kedudukan dan pangkat sama tetapi orangnya berlainan, maka berlainan pula cara menjalankan pemerintahan. Jelas kiranya, bahwa sesungguhnya itu kelainan daripada segala benda, soal, kedudukan dan sebagainya, bersumber pada orang yang melaksanakan."

   "Persoalan siapa puteri yang akan dianugerahkan seri baginda kepada raden tentulah sama orangnya. Baik pada waktu seri baginda melimpahkan keterangan kepada pa h Aragani atau kepadaku atau kepada gus mentri yang lain. Tetapi persoalan gus puteri itu akan menjadi lain dalam tanggapan mentri masing-masing. Tentu beda tanggapanku dengan penerimaan ki pa h Aragani. Dan letak perbedaan itu adalah pada sifat dan sikap orang yang bersangkutan. Oleh karena itu jika raden bertanya maka pamanpun berani mengatakan, memang ada kaitannya masalah puteri itu dengan patih Aragani."

   "O, mohon paman memberi penjelasan kepada hamba."

   "Begini raden, kemungkinan besar pa h Aragani tentu sudah mengetahui hal itu, oleh karena itu tentu terkandung suatu maksud tertentu, mengapa pa h Aragani berkenan mengundang raden. Lepas dari maksud untuk mengucapkan selamat dan berkenalan tentulah ada maksud yang lebih lanjut,"

   Sejenak melirik ke wajah Wijaya, tumenggung Bandupoyo mendapat kesan akan suatu kerut yang melipat pada dahi Wijaya. dan hal itu cukup bagi tumenggung Bandupoyo untuk menyelami hati Wijaya bahwa pemuda itu tentu menyembunyikan sesuatu kepadanya.

   "Tetapi baiklah, raden, paman anggap pa h Aragani memang benar-benar bermaksud hanya seper yang raden katakan,"

   Setelah menyadari bahwa kemungkinan Wijaya memang tak suka untuk mengatakan sesuatu yang tak baik dari pa h Aragani. Ia dapat memaklumi sifat seorang ksatrya yang berbudi luhur seperti Wijaya.

   "Ah, janganlah paman salah faham kepada hamba. Dalam pembicaraan yang hamba terima dari paman patih Aragani, memang paman patih mengharapkan agar kelak hamba dapat bekerja sama memelihara hubungan yang baik dengan paman patih."

   Wijaya menyadari pula bahwa tumenggung Bandupoyo telah mangetahui isi hatinya. Iapun lalu mengatakan pokok- pokok yang penting dari pembicaraan patih Aragani.

   "Terima kasih raden,"

   Kata tumenggung Bandupoyo "memang sudah selayaknya bahwa raden sebagai senopa harus memelihara hubungan dan kerja sama yang baik dengan pa h Aragani yang berkuasa itu. Hanya perkenankanlah paman menghaturkan sekedar pandangan kepada raden."

   "O, tentu paman tumenggung, hamba akan berterima kasih apabila paman tumenggung berkenan memberi petunjuk kepada hamba."

   "Maksud paman bukanlah suatu petunjuk melainkan suatu pandangan yang mungkin raden dapat menerimanya sebagai pegangan,"

   Kata tumenggung Bandupoyo "bahwa hubungan dan kerjasama itu memang wajib serta layak, asal jangan lepas daripada kerangka kepen ngan yang murni demi kepentingan kerajaan Singasari dan para kawula."

   Wijaya terkesiap. Diam-diam ia kagum atas naluri tumenggung Bandupoyo yang tajam.

   "Hubungan dan kerjasama yang menyimpang dari kerangka tujuan itu, baiklah kita abaikan,"

   Kata tumenggung Bandupoyo pula.

   "Terima kasih, paman tumenggung. Hamba akan mencantumkan pesan paman tumenggung itu dalam hati sanubari hamba. Semoga Batara Agung berkenan melimpahkan penerangan dan pengayoman agar hamba selalu dikaruniai kesadaran."

   Tumenggung Bandupoyo tersenyum puas karena sudah dapat menanamkan suatu penger an tentang hal-hal yang mungkin akan merupakan kerikil tajam dalam jenjang perjalanannya sebagai senopati Singasari.

   "Paman tumenggung,"

   Berkata Wijaya pula "sebenarnya tak layaklah apabila hamba mengajukan pertanyaan ini. Tetapi rasanya ada sesuatu yang wajib hamba ketahui agar dapatlah ha hamba merasa tenang."

   "O, apakah hal itu? Silakan raden bertanya."

   "Tak lain sehubungan dengan ganjaran puteri yang seri baginda hendak melimpahkan kepada hamba. Namun hamba mohon hendaknya paman tumenggung akan menganggap bahwa hamba lancang ucap dan menginginkan sesuatu."

   "Baik raden, paman selalu percaya kepada raden,"

   Jawab tumenggung Bandupoyo "mengenai puteri itu, apabila paman tak salah, rasanya seri baginda akan menganugerahkan gus puteri Teribuana dan gusti puteri Gayatri kepada raden."

   Walaupun ada k- k dugaan yang dimiliki perasaan Wijaya tentang hal itu, namun ia terkejut juga dikala mendengar keterangan tumenggung Bandupoyo "Paman tumenggung ....

   "

   "Memang demikianlah raden, apa yang paman ketahui dari kehendak seri baginda,"

   Cepat tumenggung Bandupoyo menukas "karena seri baginda telah memper mbangkan hal itu dengan penuh kebijaksanaan.

   Pertama, seri baginda hendak menetapi kewibawaan dari ucapan sabda pandita ratu'.

   Kedua, karena seri baginda berkenan membahagiakan keinginan ha kedua puteri baginda.

   Dan ke ga karena seri baginda berharap agar raden kelak dapat mengabdikan jiwa dan raga kepada kerajaan Singasari sebagaimana dahulu eyang raden, rahyang ramuhun Batara Narasingamur telah melakukannya.

   Dan keempat, tetapi ini hanya tafsiran paman sendiri, agar hubungan ba n dan darah dari rahyang ramuhun Wisnuwardhana dengan Batara Narasingamur dapat tersambung pula pada putera dan cucu keturunannya yang sekarang."

   Wijaya menghela napas makin panjang sehingga membuat Bandupoyo heran "Raden, mengapa raden menghela napas? Tidakkah selayaknya raden bergembira karena berita itu ?"

   "Benar paman tumenggung,"

   Jawab Wijaya "memang selayaknya aku bersyukur atas ganjaran yang dianugerahkan seri baginda kepada diri hamba.

   Demikian pula hambapun wajib menghaturkan terima kasih tak terhingga atas bantuan paman tumenggung yang telah berusaha sedemikian rupa hingga hamba dapat menikmati hasil yang sekarang ini."

   "Ah, janganlah raden mengambil di ha benar karena pamanpun ber k tolak pada kepen ngan kerajaan Singasari,"

   Jawab tumenggung Bandupoyo "tetapi rasanya paman mendapat kesan bahwa bukan soal itu yang meresahkan ha raden. Sesungguhnya apakah yang menyebabkan raden tampak murung ?"

   Wijaya menganggap bahwa bagaimanapun hendak disembunyikannya tetapi persoalan itu akhirnya tentu akan terjadi juga.

   Dan ia menganggap kiranya hanya tumenggung Bandupoyo yang layak menjadi tempat ia merangkai perundingan.

   Karena tumenggung itulah yang banyak melibatkan diri dan langsung mengetahui persoalan yang akan dihadapinya.

   "Baik, paman,"

   Akhirnya ia berkata juga "sesungguhnya keresahan ha itu adalah terletak pada janji yang telah hamba berikan kepada Ku pada saat hamba melangsungkan pertandingan yang terakhir dengan dia."

   "O, apa sajakah yang telah raden janjikan kepadanya ?"

   Wijaya lalu menuturkan tentang saat-saat terakhir ketika ia berhasil memukul bagian pengapesan pada paha Kuti, Kuti pun lunglai rubuh.

   Saat itu Kuti sudah nekad hendak bunuh diri atau minta kepada Wijaya supaya membunuhnya saja.

   Karena sayang akan kesaktian Kuti, Wijaya menghiburnya dan menganjurkan agar Kuti jangan kecewa atau putus asa hanya karena kalah dalam pertandingan itu, karena kerajaan Singasari tetap akan menerima pengabdiannya.

   Bukan soal pangkat dan kedudukan tetapi yang penting adalah pengabdiannya.

   Demikian kata- kata yang diucapkan Wijaya kala itu untuk membangkitkan keruntuhan semangat Kuti.

   Namun Ku menolak dan tetap minta ma .

   Dia tak ingin hidup dan tak ingin mengabdi kepada Singasari karena tujuannya memasuki sayembara itu bukanlah karena hendak meraih kelungguhan senopati melainkan ...."

   "Karena hendak mempersun ng puteri Gayatri, paman,"

   Demikikian Wijaya memberi keterangan kepada Bandupoyo.

   "O,"

   Seru tumenggung Bandupoyo "memang hal itulah yang kita kua rkan sehingga paman berusaha agar raden dapat mengalahkan dia."

   "Tetapi paman tumenggung."

   "Tetapi bagaimana raden? Dia kalah, dia takkan menjadi senopati Singasari ....

   "

   "Dia tak menginginkannya, paman."

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Diapun takkan menerima ganjaran puteri dari seri baginda."

   "Itulah yang menyebabkan semangat hidupnya mati walaupun raganya masih hidup."

   "Tetapi itu sudah menjadi rangkaian ganjaran dalam sayembara"

   "Benar, paman, tetapi ksatrya seperti Kuti, harus kita selamatkan dari kehancuran jiwa. Bukankah tujuan Sayembara itu hendak menghimpun kekuatan guna menjaga kerajaan Singasari? Banyak nian ancaman ancaman yang menghantui Singasari, diantaranya kekuatan raja Kubilai Khan yang ingin memaksa Singasari supaya berlindung dibawah naungannya dan mengirim upe kepadanya. Tidakkah ksatrya seperti Kuti itu harus kita bawa kedalam kubu kekuatan Singasari?"

   "Ya,"

   Tumenggung Bandupoyo mengakui "tetapi sayembara itu sudah mempunyai ketentuan yang tak dapat dirobah, raden."

   "Apakah paman tumenggung maksudkan dengan ganjaran puteri itu?"

   "Kelungguhan senopati dan ganjaran puteri."

   "Dapatkah hamba memberikan pula puteri yang telah dianugerahkan seri baginda itu kepada lain orang?"

   "Semisal kelungguhan senopa tak mungkin raden lorotkan kepada orang lain, demikian pula dengan ganjaran puteri itu."

   "Tetapi paman tumenggung, bukankah hal itu sudah menjadi hak hamba?"

   "Hak yang dianugerahkan raja tak boleh sembarangan diberikan kepada orang lain, raden. Kelungguhan senopa dan ganjaran puteri adalah anugerah resmi dari seri baginda yang diperuntukkan hanya kepada raden."

   "Ah."

   Tumenggung Bandupoyo terkejut ke ka mendengar Wijaya mendesah seper orang berputus asa "Tetapi apakah yang terjadi, raden? Mengapa raden mempersoalkan kedua hal itu ?"

   "Kelungguhan senopa , bukan soal lagi. Tetapi puteri yang hendak dianugerahkan seri baginda kepada diri hamba itu, paman."

   "Ya, kenapa?"

   "Hamba telah berjanji ....

   "

   "Berjanji bagaimana? Berjanji kepada Kuti?"

   "Hamba telah berjanji kepada Ku bahwa apabila seri baginda menganugerahkan puteri Gayatri kepada hamba maka hamba hendak memberikan puteri Gayatri kepada Kuti."

   "Raden !"

   Teriak tumenggung Bandupoyo seperti dipagut ular "raden, engkau .... engkau ....

   "

   "Benar, paman tumenggung,"

   Kata Wijaya yang kebalikannya saat itu malah bersikap tenang dan mantap "hamba telah menjanjikan hal itu kepada Kuti karena hamba hendak menyelamatkan Kuti dari kehancuran semangat hidupnya.

   Karena hamba memandang, ksatrya- ksatrya seperti Kuti itu harus kita himpun untuk kekuatan Singasari, paman tumenggung."

   "Ah,"

   Tumenggung Bandupoyo menghela napas panjang "bagaimana hal itu mungkin terjadi, raden.

   Tidakkah seri baginda akan murka karena menganggap raden tidak meluhurkan ganjarannya? Tidakkah gusti puteri Gayatri juga akan murka dan menolak karena hal itu dianggap suatu penghinaan kepada diri puteri ? Ketahuilah raden, puteri baginda itu harus berjodoh dengan raja, ksatrya yang berasal dari keturunan priagung luhur ataupun ksatrya yang berpangkat tinggi.

   Tetapi mengapa raden hendak memberikan puteri kepada seorang ksatrya biasa seperti diri Kuti itu?"

   Wijaya tertegun.

   Apa yang diuraikan tumenggung Bandupoyo memang tepat.

   Pada waktu memberikan janji kepada Kuti, dia belum sampai pada alasan itu.

   Yang menebar dalam benaknya saat itu hanyalah, bahwa dia harus menyelamatkan Kuti demi kepentingan kekuatan Singasari.

   Dan bahwa puteri yang telah dianugerahkan seri baginda itu adalah sudah menjadi wewenangnya penuh sehingga tidaklah akan menjadi suatu persoalan besar apabila dia memberikannya kepada Kuti.

   Bahwa ternyata pertimbangannya itu menjadi lemah dan berantakan setelah dibentur oleh dalih yang dikemukakan tumenggung Bandupoyo, benar-benar membuat Wijaya termangu-mangu.

   "Raden, dapatkah aku mempercayai janji raden ?"

   Tiba- ba terngiang suara Ku sesaat menerima janji Wijaya pada saat itu. Dan suara itu makin memberisik mendenging-denging dalam anak telinga Wijaya, menggetar-getarkan dinding ha nya "Ah, seorang ksatrya harus memegang janji,"

   Akhirnya ia meregangkan semangat dan seke ka lenyaplah denging suara yang mencengkam perasaannya itu.

   "Benar, paman tumenggung,"

   Akhirnya pula ia menenangkan ha dan menjawab pertanyaan tumenggung Bandupoyo "apa yang paman tumenggung uraikan, hamba akui kebenarannya.

   Dan hambapun merasa telah khilaf.

   Tetapi paman, hambapun takkan ingkar dari janji yang telah hamba berikan.

   Lebih baik Wijaya tumpas daripada harus mengingkari janji."

   Tumenggung Bandupoyo tak memberi tanggapan.

   Dia termenung diam.

   Rupanya dia tengah mengasah pikiran untuk menembus kegelapan yang menelungkupi peristiwa diri Wijaya.

   Ia menyadari bahwa soal yang dihadapinya, memang gawat.

   Salah langkah akan membawa kesudahan yang sukar dibayangkan.

   Betapa seri baginda akan murka, betapa puteri-puteri baginda akan malu, betapa Wijaya akan terhalau dari kedudukan yang telah diperjuangkan dengan semangat dan jiwa raga.

   Dan yang penting, betapa gelisah seluruh kawula Singasari apabila hal-hal dari akibat persoalan itu sampai berlangsung.

   Dan yang lebih penting pula betapa berantakan rencana untuk mempersiapkan kekuatan negeri Singasari.

   Kemudian yang paling penting, betapa derita yang akan timbul bagi kepentingan Singasari.

   Dalam penyerapan ke alam per mbangan lebih lanjut, tumenggung Bandupoyo melihat dua gunduk karang yang kokoh menghalang dihadapannya.

   Keputusan sayembara dan ketetapan ganjaran dari seri baginda, merupakan salah sebuah karang yang kokoh itu.

   Dilain seberang pun menjulang karang yang keras dari sifat keutamaan seorang ksatrya yang dimiliki Wijaya.

   Kedua karang itu melintang dan sukar untuk dirobohkan salah satu.

   Dan kedua karang itu diakui sebagai karang yang hampir tak mungkin ditumbangkan karena masing-masing berdiri pada landasan yang benar.

   Suasana dalam ruang pertemuan di Balai Witana itu tampak sunyi senyap.

   Hidangan dan minuman yang terbentang di meja dan sedianya akan memeriahkan suasana pertemuan antara tumenggung Bandupoyo dengan sang calon senopati, ikut perihatin walaupun harus merintih-rintih kedinginan karena tak lekas dijamah oleh tangan-tangan yang hangat.

   Benda-benda itu berusaha untuk menghamburkan bau-bau yang sedap dan, harum, agar selera orang yang duduk mengelilingi mereka lekas tertusuk dan bangkit.

   Namun kesedapan bau hidangan, keharuman bau tuak, bagaikan angin malam yang menggigilkan kedinginan, berhembus lalu tanpa suatu persinggahan.

   Dingin angin di kemalaman hari, mulai menyejukkan tubuh, menjernihkan pikiran.

   Setelah bebefapa saat termenung-menung dalam renungan, akhirnya tumenggung Bandupoyo melihat sepercik sinar yang menerangi kegelapan ha nya.

   Kecil sekalipun percik sinar itu tetapi kuasa menguasai kegelapan itu.

   Dan gelap yang memudar kearah keremangan itu, menguraikan kerut- kerut urat yang melingkar-lingkar di permukaan dahi sang tumenggung.

   Makin lama makin terorak kepermukaan yang datar lenyap dalam ketenangan.

   "Raden,"

   Katanya dalam nada yang sudah tak membekas rasa gejolak ha "bagaimana kiranya raden hendak menghadapi persoalan ini?"

   Memang Wijayapun tak kurang-kurang memeras otak untuk mencari jalan penyelesaian dari peris wa yang dihadapinya itu. Namun ia tak berhasil menemukan k terang sebagai arah yang harus ditempuhnya.

   "Maaf, paman,"

   Kata Wijaya agak tersekat "hamba tak menemukan suatu jalan kecuali hanya suatu perasaan."

   "Perasaan apakah yang raden rasakan?"

   "Perasaan salah, paman,"

   Kata Wijaya "karena hamba telah berani melakukan ndakan yang melanggar amanat baginda dan kerajaan. Dan karena itu hambapun menyerahkan diri, jiwa dan raga hamba untuk menerima pidana yang akan dilimpahkan seri baginda atas diri hamba."

   "Ah, tak perlu raden,"

   Kata tumenggung Bandupoyo "segala sesuatu tergantung pada langkah raden. Apabila raden menghapus janji raden kepada Kuti, bukankah kesemuanya akan selesai?"

   "Maaf, paman. Hamba tak berani mengingkari janji itu. Karena mengingkari hal itu berar hamba mengingkari diri peribadi hamba sendiri. Lebih berat ba n tersiksa daripada raga menerima pidana."

   "Jadi raden tetap pada pendirian memegang janji kepada Kuti?"

   "Maaf, paman tumenggung, hamba tak dapat memperkosa ba n hamba maka hamba terpaksa harus tunduk pada putusan seri baginda dan rela menerima pidana apapun yang akan dilimpahkan seri baginda."

   "Benarkah sedemikian teguh pendirian raden untuk melaksanakan janji kepada Kuti?"

   "Kata telah hamba ucapkan. Tekad hamba sepas sang surya akan terbit dari brang wetan pada esok pagi, paman."

   Merah muka tumenggung Bandupoyo.

   Wijaya pun tercekat dalam ha .

   Ia menduga tumenggung itu pas menyesal dan kecewa atas pendiriannya.

   Dan iapun merasa bersalah karena telah mengecewakan bantuan-bantuan tumenggung Bandupoyo yang sedimikian gigih dan besar selama ini.

   Tetapi bagaimanapun kesemuanya itu terasa bagai ujung pedang yang menggurat-gurat ulu- ha nya, tetapi nurani tetap tak goyah dari persada yang menjunjung mahkota keksatryaan.

   Iapun menunduk.

   Tiba- ba terdengar suara tertawa riang dan lepas.

   Wijaya terkejut.

   Ia kenal suara tawa itu tawa Bandupoyo.

   Maka cepat- cepat ia mengangkat muka memandang ke arah tumenggung Bandupoyo.

   Dan memang benar sang tumenggung tengah tertawa gembira.

   "Paman tumenggung, maa an apabila hamba memberanikan untuk mohon bertanya, apakah sebab paman tertawa. Adakah paman tumenggung menertawakan diri hamba yang keras kepala ini?"

   "Raden Wijaya,"

   Ba- ba pula nada tumenggung Bandupoyo bergan dengan nada penuh kesungguhan "memang benar paman menertawakan pendirian raden itu.

   Tetapi tawa paman bukan tawa mencemoh melainkan tawa gembira dan memuji keberanian serta pendirian raden sebagai seorang ksatrya utama."

   Wijaya terbelalak "

   Paman....."

   "Raden Wijaya,"

   Kata tumenggung Bandupoyo pula "paman tertawa karena amat gembira, bahagia dan bangga bahwa nyata-nyata pilihan paman dak keliru.

   Bahwa benar-benar raden seorang ksatrya yang luhur dan perwira.

   Raden tak berkedip menghadapi bayang-bayang ancaman pidana, tak undur setapak dari kubu pendirian, tak goyah dilanda badai kemusnahan duniawi.

   Baik, raden, paman setuju akan pendirian raden."

   


Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini