Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 29


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 29



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Namun ingin sekali Wijaya mengetahui apa dasar daripada alasan mpu Raganata untuk tidak menyetujui hal itu? "Eyang benar,"

   Kata Wijaya "memang amanat.seri baginda itu adalah laksana hukum negara. Seolah tak boleh diganggu gugat. Namun Wijaya yang masih picik pengetahuan ini, ingin sekali menerima petunjuk eyang mengenai peristiwa itu."

   "Petunjuk apa yang raden maksudkan?"

   "Eyang Raganata,"

   Kata Wijaya "maaf apabila hamba mohon mengajukan pertanyaan."

   "Silakan, raden "

   "Dapatkah kiranya eyang mempercayai hamba?"

   Mpu Rapnata terkesiap "Mengapa raden bertanya demikian? Sudah tentu eyang menaruh kepercayaan sebulat buluh kepada raden. Radenlah satu satunya tumpuan harapan eyang untuk menatar kembali keadaan dalam praja Singasari ini."

   "Terima kasih, eyang,"

   Serta merta Wijaya menghaturkan terima kasih "tak lain hamba hanya ingin mendapat pandangan eyang tentang peris wa itu. Adakah keputusan seri baginda untuk mengirim utusan yang membawa arca Amoghapasa ke Sriwijaya itu suatu langkah yang tepat?"

   Mpu Raganata terdiam sejenak "Sebenarnya keputusan seri baginda itu adalah kelanjutan dari langkah yang terdahulu yalah pengiriman pasukan Singasari ke Malayu.

   Dalam hal itu, memang baginda tepat dalam keputusan itu.

   Karena ketahuilah, raden, bahwa perang itu hanya mendatangkan penderitaan, kesengsaraan dan permusuhan.

   Tak ada negara di dunia ini yang sanggup menduduki negara lain dengan peperangan dan memerintah dengan kekerasan.

   Tak perlu harus mencari jauh-jauh.

   Daha dengan Singasari misalnya.

   Bukankah kedua kerajaan itu terbenam dalam bara dendam permusuhan yang tak pernah berhenti?"

   Mpu tua itu berhen sejenak untuk memulangkan napas "Demikian pula dengan pengiriman pasukan Pamalayu untuk menguasai negara Malayu.

   Apabila pasukan pendudukan Singasari itu ber ndak sewenang-wenang sebagai negara yang menang dan memerintah dengan kekerasan, tentulah pada akhirnya takkan lestari.

   Maka dalam rangka inilah kiranya seri baginda berkenan mengirim utusan yang membawa salam perdamaian, dan persahabatan dengan menghaturkan arca Amogapasa kepada raja Teribuana Mauliwarman dari Sriwijaya."

   Wijaya mengangguk.

   "Tetapi ada dua hal yang eyang cemaskan, raden."

   "O,"

   Wijaya mendesuh kejut "sudilah kiranya eyang memberi petunjuk kepada hamba."

   "Pertama, mengenai keputusan seri baginda Kertanagara itu ,"

   Kata mpu Raganata "memang pengiriman sebuah arca Amogapasa itu tepat dengan suasana kerajaan Sriwijaya yang terkenal sangat giat mengembangkan agama Buddha.

   Kudengar pa h Demang Lebar Daun hampir menghabiskan lumbung harta kerajaan untuk mendirikan dagoba, candi dan arca.

   Demang Lebar Daun telah membangun sebuah candi besar di bukit Siguntang, dengan tujuan akan dijadikan sebuah mandala pusat pengembangan pelajaran agama Buddha Hinayana.

   Didatangkan para acarya yang putus dalam ilmu agama untuk mengajarkan agama itu.

   Dibangun pula asrama-asrama pemondokan untuk mereka yang berasal dari mancanagara dan ingin belajar di Mandala itu."

   Wijaya mengangguk.

   Diam2 ia dapat membayangkan betapa besar beaya yang diperuntukkan pendirian, itu.

   Itulah sebabnya mpu Raganata mengatakan bahwa lumbung kekayaan kerajaan Sriwijaya hampir dihabiskan Demang Lebar Daun untuk keperluan itu.

   Namun Wijaya masih belum mendapat keterangan alasan mpu Raganata dak menyetujui ndakan baginda.

   Bukankah pengiriman sebuah arca Amoghapasa ke Sriwijaya yang sedang giat mengembangkan agama Buddha itu, Suatu tindakan yang tepat? Rupanya mpu Raganata dapat membaca pertanyaan yang terkandung dalam ha Wijaya "Tetapi usaha baginda itu, kemungkinan akan terbentur pada kegagalan."

   "O, mengapa eyang? "

   "Agama Buddha yang dikembangkan di kerajaan Sriwijaya adalah dari faham Hinayana. Demang Lebar Daun dan raja Teribuana Mauliwarman, merupakan pengikut faham Hinayana yang amat patuh. Sedangkan agama yang dianut Singasari adalah Tripaksi, Syiwa-Buddha-Brahma. Agama Buddha di Singasari, bersumber pada paham Mahayana. Dan faham ini dak sesuai dengan iklim agama yang dianut kerajaan Sriwijaya. Maka dakkah pengiriman utusan yang membawa arca Amoghapasa ke Sriwijaya itu akan mendapat sambutan yang hambar? Tidakkah Demang Lebar Daun akan menerima kedatangan utusan Singasari itu dengan rasa kecurigaan bahwa Singasari hendak melancarkan 'serangan halus' dalam bentuk penyebaran faham Mahayana?"

   Wijaya terkesiap.

   Memang uraian mpu Raganata itu mengena pada sasaran.

   Tetapi dia belum menemukan alasan mengapa seri baginda Kertanagara harus ber ndak demikian? Bukankah faham agama itu tak dapat dipaksakan dan harus dari kesadaran dirinya sendiri? "Eyang,"

   Katanya "andaikata kecurigaan Demang Lebar Daun itu benar, apakah tujuan seri baginda melancarkan penyebaran faham Mahayana ke Sriwijaya?"

   "Pertanyaanmu tepat, raden,"

   Sambut mpu Raganata "jikapun ada dalam rencana pengiriman arca Amoghapasa itu maksud seri baginda untuk mempengaruhi rakyat Sriwijaya supaya beralih ke faham Mahayana maka hal itu memang mempunyai pengaruh dan akibat yang besar.

   Dengan berkembangnya faham Mahayana di Sriwijaya maka kedudukan Demang Lebar Daun tentu akan goyah.

   Karena dia seorang penganut faham Hinayana yang gigih.

   Kedua, apabila rakyat Sriwijaya sudah beralih ke faham Mahayana tentu kesetyaan mereka terhadap Demang Lebar Daun dan baginda Teribuana Mauliwarman akan berkurang.

   Pada puncak keakhiran, rakyat Sriwijaya tentu akan berfihak kepada Singasari.

   Tanpa menggunakan kekerasan pasukan, dapatlah Singasari menguasai Sriwijaya.

   Eyang mengatakan bahwa usaha seri baginda tentu akan mendapat rintangan karena Demang Lebar Daun itu seorang ahli praja yang pandai dan tajam pandangannya."

   Wijaya tertegun. Apa yang diuraikan bekas pa h amangkubumi itu memang bukan sesuatu yang mustahil. Namun berat atau ringan, mau tak mau, dia harus melakukan apa yang telah diamanatkan seri baginda.

   "Ah, jika demikian, berat nian tugas yang harus kulaksanakan,"

   Kata Wijaya seper kepada dirinya sendiri.

   "Mengapa raden berkata begitu?"

   Raganata terkejut heran.

   "Karena yang diangkat sebagai kepala perutusan itu adalah hamba sendiri paman."

   "Ah,"

   Desah Raganata. Namun pada lain saat dia tersadar bahwa hal itu sudah menjadi kenyataan yang tak mungkin akan dirobah lagi. Dia harus memberi dorongan semangat kepada Wijaya.

   "Tetapi raden hanyalah seorang utusan nata. Dalam hal ini kurasa daklah ada hal-hal yang perlu raden cemaskan. Melakukan titah raja, merupakan suatu kepercayaan besar."

   "Selain hamba, pun masih terdapat pula sebuah utusan yang dikepalai paman pa h Mahisa Anengah dengan membawa persembahan puteri Tapasi untuk raja Campa."

   Mpu Raganata geleng-geleng kepala "Memang demikian cara yang dianut seri baginda. Seri baginda menggunakan ikatan keluarga dengan negara itu. Dan itupun merupakan salah sebuah cara untuk menguasai negeri orang tanpa menggunakan pasukan."

   Wijaya mengangguk.

   "Bukankah yang menghaturkan saran tentang kedua peristiwa itu patih Aragani, bukan?"

   "Benar eyang "

   "Hm, makin hari makin tampaklah warna si Aragani itu,"

   Kata mpu Raganata "karena menentang maksud seri baginda untuk mengirim pasukan, ke negeri Malayu maka aku dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel.

   Demikian juga demung Wiraraja, dia dipindah ke Madura.

   Kini Aragani maju setapak lagi, menyingkirkan raden Wijaya dan pa h Mahesa Anengah.

   Berbahaya, sungguh amat berbahaya sekali.

   Singasari kosong, penjagaan dalam negeri makin lemah.

   Pada saat itu, apabila musuh, misalnya raja Jayakatwang dari Daha, menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Singasari, siapakah yang akan menanggulangi?"

   "Baginda Kertanagara sendiri, eyang"

   Sahut Wijaya "bukankah baginda seorang raja yang sak mandraguna?"

   Mpu Raganata tertawa hambar "Baginda ibarat harimau yang dimasukkan dalam jaring perangkap sutera madu dan kama.

   Ibarat harimau yang ap hari diberi makan kenyang tentulah harimau itu akan hilang kegairahan hidupnya.

   Dia tentu malas dan lamban, tak tahu keadaan diluar.

   Demikianpun baginda yang ap hari bersenang-senang minum tuak, mendengar keahlian Aragani untuk bermain tutur, mengikat sajak, merangkai puji damba.

   Lama kelamaan akan hilang juga semangat gerak baginda.

   Baginda akan menjadi lemah, pemabuk dan gemar melamun.

   Beliau seolah-olah terpagar dari keadaan luar."

   Berulang-ulang raden Wijaya menganggukkan kepala. Memang yang diulas mpu Raganata itu suatu kenyataan yang sedang berlangsung didalam keraton Singasari.

   "Tetapi eyang,"

   Kata Wijaya sesaat kemudian "masih belum menyentuh rasa kepercayaanku apabila raja Daha akan menyerang Singasari.

   Bukankah puteranya yang bernama Ardaraja itu menjadi putera menantu baginda? Bukankah Daha kini sudah terikat dengan hubungan darah kekeluargaan dengan Singasari?"

   Mpu Raganata mengangguk "Yang memberi mudah melupakan tetapi yang diberi takkan lupa.

   Demikian dengan Singasari dan Daha.

   Singasari berusaha untuk melenyapkan rasa permusuhan yang telah tumbuh berakar sejak berpuluh tahun.

   Baginda Kertanagara telah mengambil langkah untuk coba menghapus dendam antara Singasari dan Daha dengan memungut raden Ardaraja sebagai putera menantu."

   "Itulah eyang,"

   Seru Wijaya "masih belum menyentuh dalam perasaan hamba apabila raja Daha akan sampai hati untuk menyerang Singasari."

   "Raden Wijaya,"

   Kata mpu Raganata "mungkin raja Jayakatwang dan khusus pangeran Ardaraja akan dapat melupakannya tetapi dapatkah para ksatrya dan kawula Daha mengorbankan rasa setya dan cinta negaranya demi kepen ngan pangeran Ardaraja yang sudah menjadi putera menantu baginda Singasari itu?"

   Masih Wijaya diam. Rupanya dia belum menemukan sesuatu yang dapat dijadikan landasan mengokohkan pendiriannya.

   "Raden,"

   Kata mpu Raganata pula "sejak Ken Arok atau raja Rajasa sang Amurwabhumi mengalahkan raja Dandang Gendis atau Kertajaya, keturunan raja Daha dan para kawula mendendam bara kebencian terhadap Singasari.

   Sekalipun raden Ardaraja, putera raja Jayakatwang diambil menantu oleh baginda Kertanagara, namun orang-orang Daha cukup sadar.

   Mereka tahu bahwa maksud baginda Kertanagara mengikat Daha dengan tali kekeluargaan itu tak lain hanya untuk menguasai Daha, untuk memadamkan bara api dendam mereka.

   Tetapi raden, kurasa raja Jayakatwang menerima hal itu hanya sebagai suatu langkah untuk mengimbangi siasat Singasari belaka."

   "O,"

   Desuh Wijaya "bagaimana maksud ucapan eyang? "

   "Raja Jayakatwang memanfaatkan ikatan tali kekeluargaan itu untuk memupuk kekuatan negeri Daha."

   Wijaya terkesiap.

   "Eyang, bagaimana eyang tahu akan hal itu?"

   Serunya sesaat kemudian. Tiba- ba mpu Raganata bergan dengan nada "setengah berbisik."

   "Puteraku si Lembu Mandira, secara diam-diam telah kusuruh untuk mengawasi gerak gerik Daha."

   Wijaya tertegun. Tak pernah ia menyangka bahwa orangtua yang telah disingkirkan ke Tumapel oleh baginda Kertanagara itu ternyata masih giat berusaha memikirkan keselamatan Singasari.

   "Lalu bagaimana hasil pengamatan putera eyang selama ini ?"

   Tanyanya.

   "Raden, Daha tak pernah menghen kan kegiatannya memupuk kekuatan dengan menghimpun prajurit-prajurit baru,"

   Kata mpu Raganata.

   Wijaya terkejut.

   Tiba- ba pula ia teringat akan peris wa yang dialaminya di tengah jalan tadi "Eyang, adakah dalam hubungan itu kakang Ardaraja juga tersangkut? Kalau benar, apakah peran kakang Ardaraja dalam hubungan Daha dengan Singasari eyang?"

   "Si Mandira belum berhasil mendapatkan buk -buk yang jelas. Namun yang diketahuinya yalah raden Ardaraja itu sering pulang ke Daha."

   Tentang hal itu memang Wijaya sudah mengetahui.

   Tetapi memang sukar untuk mencegah seorang anak yang hendak menjenguk ayahandanya.

   Dalam hal ini, seri baginda Kertanagara sendiripun tak leluasa untuk melarang.

   Karena bukankah seri baginda memang hendak menghapus dendam permusuhan kedua kerajaan itu maka haruskah segala rasa curiga ditiadakan lebih dulu.

   Sejenak kemudian Wijaya bertanya "Eyang, menurut hemat eyang, mungkinkah kakang Ardaraja akan berhianat kepada Singasari karena membela ayahandanya raja Jayakatwang?"

   "Suatu kemustahilan yang bukan mustahil, raden, apabila seorang putera membela kepen ngan ayah dan negerinya itu,"

   Kata mpu Raganata lalu menatap wajah Wijiya dan balas bertanya "adakah raden melihat suatu gejala tentang perobahan sikap raden Ardaraja?."

   Wijaya teringat akan peris wa penyerangan gelap yang dialaminya tadi. Namun ia masih belum mau percaya bahwakeduaorang itu benarutusan Ardaraja.

   "Dalam persoalan ini, tak lain hamba hanya ingin mendengar pandangan eyang."

   Sejenak kemudian kembali Wijaya bertanya "Eyang, tadi eyang mengatakan bahwa pa h Aragani mempunyai maksud tersembunyi dalam menyetujui perutusan Singasari ke Sriwijaya itu."

   "Ya."

   "Dengan tujuan apa dan kepada siapakah ia bekerja untuk menggerogo Singasari dari dalam itu?"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mpu Raganata terdiam sejenak lalu menyahut.

   "Yang jelas, ndakan Aragani itu adalah demi kepen ngan dirinya sendiri. Kemurkaan baginda atas diriku, demung Wiraraja dan tumenggung Wirakreti, melambungkan Aragani ke tingkat kedudukan patih-dalam."

   "Tetapi eyang,"

   Sanggah Wijaya "adakah hanya untuk diri peribadinya maka Aragani melancarkan siasat itu ?"

   "Kurasa tidak, raden,"

   Kata mpu Raganata "karena dia seorang diri tentu merasa tak mampu menghadapi suatu rencana gerakan besar. Tak mungkin mentri dan senopati serta kawula Singasari merelakan dia untuk menduduki tahta kerajaan Singasari."

   "Lalu kira-kira dengan siapakah dia mengadakan hubungan kerja, eyang?"

   "Dengan siapa dia mengadakan persekutuan untuk menggerago kewibawaan Singasari dari dalam itu, kemungkinan hanya dua. Pertama, dengan Sriwijaya dan, kedua dengan Daha."

   Wijaya terbeliak.

   "Menurut jarak, lebih cenderung menduga bahwa dia mengadakan hubungan dengan Daha. Namun kalau ditilik betapa gigih dia membela kepentingan Sriwijaya, kemungkinan besar dia bersekutu dengan kerajaan itu. Tetapi baik dengan Daha maupun dengan Sriwijaya, kedua kerajaan itu jelas musuh musuh yang berbahaya bagi Singasari. Kita harus waspada terhadap gerak-gerik Aragani."

   "Benar eyang,"

   Sambut Wijaya "hamba setuju dengan pandangan eyang. Maka dalam rangka inilah hamba perlukan pada malam ini menghadap eyang."

   "O,"

   Kata mpu Raganata "raden, benarkah perutusan Singasari membawa arca Amoghapasa ke Sriwijaya itu sudah menjadi keputusan baginda?"

   "Demikian, eyang."

   "Hebat, benar-benar dia seorang manusia yang hebat,"

   Mpu Raganata memberi tanggapan "tetapi sayang"

   Wijaya heran "Sayang bagaimana yang eyang maksudkan? Apakah sayang karena dia dikuasai oleh nafsu keinginan yang besar itu?"

   "Bukan, raden,"

   Sahut mpu Raganata "sayang bahwa seorang tua yang bernama Raganata masih hidup."

   "Ah,"

   Desah Wijaya "hamba merasa bersyukur kepada Hyang Batara Agung bahwa Singasari masih dikarunia mentri setya seperti eyang."

   Raganata gelengkan kepala "Tetapi jasad Raganata sudah rapuh dimakan usia, raden. Hanya ksatrya-ksatrya muda seperti radenlah yang tepat memanggul beban masakala ini"

   Wijaya mengucapkan kata-kata merendah kemudian berkata dengan nada yang sungguh "Hamba sangat memuliakan penghargaan eyang.

   Dan dalam rangka untuk menunaikan tugas-tugas yang telah terbeban pada bahu hamba maka pada malam ini hamba perlukan menghadap eyang.

   Hamba akan mohon pertolorgan eyang."

   "O,"

   Mpu Raganata terkejut "apakah yang raden inginkan, siahkan bilang. Apabila Raganata mampu melakukan, tentu dengan segala senang hati akan kulakukannya."

   "Sebagai seorang hamba raja, maka hambapun terpaksa harus berangkat ke Sriwijaya. Pada hal sesungguhnya amat berat ha hamba untuk meninggalkan pura Singasari. Tugas kewajiban hamba untuk menyusun pasukan yang sanggup menjaja keselamatan Singasari masih belum selesai, pada hal hamba harus meninggalkan Singasari. Hal inilah yang membuat perasaan hamba cemas. Maka rasanya tiada yang dapat hamba pandang lagi kecuali eyang."

   Mpu Raganata mengerut dahi "Maksud raden ?"

   "Keamanan dan nasib Singasari hamba serahkan kepada eyang."

   Mpu Raganata terbeliak "Eh, bagaimana mungkin raden. Raganata sudah tua dan sudah tak punya kekuasaan lagi. Berat nian tanggung jawab yang raden berikan pada bahu yang sudah tua ini."

   "Eyang Raganata,"

   Kini Wijaya yang bergan mencurah pandang tajam kepada adhyaksa Tumapel "eyang adalah bau reksa penjaga Singasari.

   Eyang masih mempunyai pengaruh dan wibawa di pura kerajaan walaupun eyang sudah dipindahkan ke Tumapel.

   Hamba tahu, bahwa golongan mentri, senopa dan narapraja yang setya serta lapisan rakyat Singasari masih tetap mengenangkan jasa eyang selama eyang menjabat sebagai patih amangkubhumi Singasari."

   "Pemberontakan Mahesa Rangkah meletus karena golongan prajurit bhayangkara itu tak puas melihat ndakan baginda mencopot eyang dari kedudukan pa h,"

   Wijaya melanjutkan pembicaraannya "walaupun pemberontakan itu dapat di ndas tetapi sisa-sisa mereka masih banyak. Kesetyaan mereka kepada eyang masih tetap membara dihati sanubari mereka."

   "Ah, raden Wijaya,"

   Mpu Raganata menghela napas.

   "Eyang, perkenankanlah Wijaya lancang kata untuk mempersembahkan isi ha hamba ke hadapan eyang."

   "Tak apa raden, silahkan."

   "Menurut hemat hamba yang masih muda, kurang pengalaman, picik pengetahuan ini, hamba merasa bahwa mengabdi kepada negara, adalah hak bagi se ap kawula negara dan wajib bagi se ap putera per wi. Banyak ragam dan cara untuk mengabdi kepada negara. Yang secara langsung adalah menjadi narapraja, prajurit kerajaan. Tetapi yang secara tak langsung, dapat dicurahkan menurut kemampuan dan bidang masing-masing Misalnya petanipun golongan yang mengabdi kepada negara. Karena dari kegiatan merekalah maka pangan rakyat dapat terpenuhi, bahaya kelaparan lenyap, kejahatan akibat kurang panganpun hilang."

   "Bahwa eyang dak lagi menjabat sebagai pa h amangkubhumi,"

   Kata Wijaya melanjut "

   Daklah menghilangkan hak eyang serta mengurangi kewajiban eyang untuk mengabdi kepada kerajaan Singasari. Maaf, eyang apabila hamba berlancang kata memberi nasehat kepada eyang."

   "Tidak, raden, dak sama sekali eyang akan marah, malu karena merasa terhina,"

   Mpu Raganata gopoh memberi pernyataan "orang tua, dan muda hanya terdapat perbedaan umur.

   Tetapi tak jarang umur itu hanya penambah ketuaan saja, bukan penambah kesempurnaan lahir ba n dari orang yang bersangkutan.

   Muda sekalipun orang itu, tetapi kalau dia mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang lebih, maka tualah dia itu."

   Wijaya mengucapkan terima kasih. Diam-diam ia makin menaruh hormat kepada adhyaksa tua itu yang mempunyai pandangan hidup lain dari bebanyakan orang-orang tua.

   "Eyang, hamba mohon hendaknya janganlah eyang kecewa ataupu berkecil hati karena tak memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Yang penting yalah dicintai kawula. Apa guna mempunyai kekuasaan kalau dibenci rakyat? Misalnya patih Aragani. Dia mempunyai kekuasaan tetapi tak disukai para kawula. Kawula Singasari masih lebih setya dan taat kepada eyang daripada kepada Aragani. Apabila mereka menurut bukanlah karena setya dan taat, melainkan karena takut akan kekuasaannya belaka. Dan kekuasaannya itu, bukan sesuatu yang bersifat langgeng."

   "Oleh karena itu, ada lain orang yang dapat hamba pandang dan layak hamba serahi keselamatan Singasari kecuali eyang,"

   Kata Wijaya lanjut.

   "Tetapi raden,"

   Sambut mpu Raganata "bagaimana mungkin Raganata yang sudah tua renta dan tak kuasa ini dapat melakukan tugas yang raden serahkan ?"

   "Eyang adhyaksa,"

   Kata Wijaya dengan nada mantap "rasanya eyang tentu jauh lebih berpengalaman dari hamba.

   Seper telah hamba haturkan tadi, bahwa masih banyak kawula Singasari yang setya kepada eyang.

   Pupuklah kesetyaan rakyat itu dalam suatu kesatuan jiwa dan kerahkanlah mereka apabila kerajaan Singasari terancam bahaya dari manapun datangnya."

   Mpu Raganata tampak terlongong-longong mendengar uraian Wijaya.

   Tak pernah ia menyangka bahwa seorang seusia Wijaya mampu mencurahkan kata-kata yang sedemikian berapi-api dan tajam pandangannya.

   Serentak tergugahlah semangat Raganata.

   Rasa malu telah menghanguskan perasaan ketuaannya dan kebangkitan semangatnya menyemikan pula kegairahan jiwa.

   Saat itu ia merasa seolah olah seperti berpuluh tahun yang lampau dimasa ia masih muda.

   "Raden Wijaya,"

   Katanya sesaat kemudian "kata-kata raden telah membangkitkan semangat juang Raganata lagi.

   Baik, raden, walaupun sisa hidupku hanya nggal tak berapa lama namun selama hayat masih dikandung badan, Raganata akan menyerahkan jiwa raga untuk mengadi kepada Singasari."

   "Eyang, terimalah sembah-bak hamba,"

   Serta merta Wijaya menelungkup hendak mencium kaki mpu tua itu tetapi Raganata tersipu-sipu mengangkatnya "ah, raden, seper telah raden katakan tadi, bahwa mengabdi negara itu sudah hak dan wajib bagi seorang kawula.

   Aku hendak melaksanakan hal itu, mengapa raden menghaturkan terima kasih kepadaku?"

   "Tak lain eyang, karena hamba sangat terharu atas dharma-bakti eyang yang sedemikian besar kepada Singasari,"

   Kata Wijaya "eyang, hamba akan tinggalkan beberapa orang kadehan hamba di Singasari agar dapat mengadakan hubungan dan membantu eyang.

   Antara lain mereka yalah Sora, Nambi, Lembu Peteng, Medang Dangdi, Gajah Pagon dan Pamandana.

   Akan hamba pesan agar mereka taat pada petunjuk eyang."

   Demikian setelah pembicaraan selesai, ternyata belum juga Wijaya minta diri.

   Kiranya dia masih mempunyai persoalan yang perlu meminta petunjuk dari mpu Raganata "Eyang, bagaimana pendapat eyang apabila dalam kunjungan ke negara Malayu itu, aku singgah ke Sriwijaya."

   Mpu Raganata terbeliak "Maaf raden, rupanya telinga eyang yang sudah berkurang tajam ini, agak kacau. Kemanakah maksud baginda mengirimkan arca Amoghapasa itu? Ke Sriwijaya atau ke Malayu?"

   "Baginda menitahkan supaya arca itu dikirimkan kepada raja Warmadewa di Malayu."

   "O,"

   Desuh Raganata "jika demikian, kelirulah penangkapan eyang tadi. Eyang kira kalau arca itu akan dikirim kepada raja Teribuana Mauliwarman di Darmasraya, Sriwijaya. Karena Sriwijaya itu terletak di Swarnadwipa. Demikian pula dengan negara Malayu."

   Setelah mengulang pula tentang tujuan arca itu akan dikirimkan maka Wijaya meminta pendapat mpu Raganata, bagaimana kiranya kalau dia singgah juga ke Sriwijaya "

   "Tetapi apa tujuan raden ke sana? "

   "Akan kubuktikan betapakah keadaan kerajaan itu sebenarnya. Syukur hamba dapat menemukan jejak hubungan patih Aragani dengan Sriwijaya. Masih menimbulkan keheranan hamba eyang, mengapa patih Aragani sedemikian gigih mempertahankan pendiriannya agar kerajaan Sriwijaya jangan sampai diganggu oleh pasukan Singasari."

   "Suatu langkah yang bagus, raden,"

   Seru mpu Raganata "dan bilamana raden ada mempunyai dalih untuk menyelidiki kerajaan itu, eyang dapat menunjukkan sebuah jalan yang bagus"

   "Terima kasih, eyang, harap eyang memberi petunjuk,"

   Pinta Wijaya. Sejenak mpu tua itu berdeham untuk melonggarkan kerongkongannya yang kering. Setelah itu berkata.

   "Raden, raja Sriwijaya, Teribuana Mauliwarman, mempunyai dua orang puteri yang can k dan pandai. Dengan dalih hendak meminangkan kedua puteri itu untuk seri baginda Kertanagara, tentulah mereka akan menyambut raden dengan upacara kebesaran."

   Wijaya terkejut. Meminangkan puteri raja Sriwijaya untuk baginda Kertanagara? Ia bergumam mengulang kata-kata itu.

   "Tetapi eyang Raganata,"

   Akhirnya ia tertumbuk pada suatu batu karang yang menghalang rencana itu.

   "tidakkah hal itu akan membawa akibat yang buruk?"

   "Akibat buruk bagaimanakah yang raden maksudkan?"

   "Pertama, hamba berani mendahului suatu ndakan yang belum diamanatkan seri baginda, bahkan membicarakan saja bagindapun belum pernah. Tidakkah hal itu akan memberi peluang kepada pa h Aragani untuk mempersembahkan permohonan kepada seri baginda agar menjatuhkan hukuman kepada diri hamba?"

   "Soal itu eyang rasa dak,"

   Sahut mpu Raganata.

   "karena raden dapat menghaturkan alasan kehadapan seri baginda, bahwa maksud raden itu tak lain hanyalah untuk mengikat persahabatan dengan Sriwijaya. Dan raden-pun dapat menambah keterangan bahwa soal kedua puteri baginda Sriwijaya itu, adalah kehendak raja itu sendiri yang hendak menyerahkan kepada seri baginda Kertanagara."

   "Ah,"

   Wijaya mendesah kejut "tidakkah hal itu berarti suatu tindak bohong terhadap raja?"

   "Mungkin raden lupa bagaimana pendirian seri baginda selama ini terhadap kerajaan-kerajaan yang dianggap memusuhi Singasari. Bukankah ndakan seri baginda untuk memungut pangeran Ardaraja dari Daha sebagai putera menantu itu agar Daha melepaskan dendam permusuhan terhadap Singasari ? Bukankah pula pengiriman puteri baginda, dewi Tapasi kepada raja Campa juga, suatu langkah untuk mengikat kerajaan Campa kedalam cita2 baginda untuk mempersatukan seluruh nusantara?"

   "Dengan landaian pendirian itu. apabila raden menghaturkan alasan bahwa peminangan puteri Sriwijaya untuk baginda itu akan merupakan salah sebuah mata rantai rencana besar baginda untuk menguasai seluruh Swarnadwipa tanpa pertumpahan darah, pas lah seri baginda akan berkenan menerima dengan gembira."

   "Apakah seri baginda takkan murka?"

   "Tidak, raden,"

   Kata mpu Raganata dengan nada yakin "seri baginda takkan murka. Pertama, karena raden mendukung rencana yang terkandung dalam cita-cita baginda. Dan kedua, raden adalah calon putera menantu baginda."

   "Tidakkah patih Aragani akan dapat mempengaruhi seri baginda?"

   "Dalam persoalan ini, eyang rasa baginda tak mungkin menerima bujukan Aragani. Karena bukankah seri baginda akan senang sekali apabila dapat mempersun ng seorang puteri yang masih muda belia dan termasyhur cantik? "

   "Tetapi adakah hal itu layak mengingat usia baginda tentu terpaut jauh dengan puteri Sriwijaya itu?"

   "Dalam soal itu, kaum pria dak mengenal usia. Terutama bagi seorang nata binatara seper seri baginda Kertanagara, hal itu lebih dapat menyemarakkan keharuman keraton Singasari."

   Wijaya merenung.

   Sesungguhnya ia memang sudah lama mendengar tentang kecan kan puteri- puteri raja Sriwijaya itu.

   Sebagai seorang pria muda, nalurinya merin h-rin h ingin mendapat kesempatan untuk berhadapan dengan puteri jelita itu.

   Sebagai seorang senopa baru yang bertugas untuk menyusun kekuatan pasukan di pura Singasari, memang Wijaya amat sibuk sekali.

   Dan cepat pula namanya menjadi buah bibir seluruh lapisan kawula pura Singasari.

   Apabila kebetulan dia berkuda menjelajah lorong-lorong di pura untuk meninjau keadaan kehidupan para kawula dan mengadakan pembicaraan langsung dengan rakyat, baik mengenai keadaan kehidupan, keamanan dan kepen ngan mereka, maka pintu-pintu rumah terbuka lebar, di sana sini gadis-gadis dan wanita-wanita muda sengaja berdiri di muka pintu untuk menyambut senopa muda itu.

   Disepanjang jalan yang dilaluinya seolah berpagar dengan wanita dan gadis-gadis can k.

   Bahkan banyak ibu-ibu rumahtangga yang mempunyai anak perawan, memberanikan diri untuk memohon agar raden Wijaya berkenan singgah di rumah mereka.

   Memang siapakah orangtua yang tak mengharapkan seorang putera menantu yang cakap, gagah, berpangkat seper raden Wijaya? Siapakah anak gadis, dara jelita yang tak ingin dipersun ng oleh seorang senopati cakap seperti Wijaya? Demikian pula halnya dengan pangeran Ardaraja.

   Ardaraja dengan Wijaya merupakan sepasang teruna priagung yang menjadi pujaan para gadis dan dara-dara jelita.

   Tetapi dalam persaingan yang sebenarnya dak disengaja dan tak dikehendaki baik oleh Ardaraja maupun Wijaya, ternyata Wijaya lebih menang.

   Pertama karena para orangtua yang mempunyai anak gadis itu tahu bahwa pangeran Ardaraja sudah beristeri, puteri seri baginda.

   Sedangkan Wijaya masih hanya calon putera menantu.

   Mereka tahu bahwa baik Ardaraja maupun Wijaya, tak mungkin akan mempersun ng anak gadis mereka sebagai isteri.

   Kalau persembahan keinginan mereka supaya anak gadis mereka diterima, tentulah hanya sebagai selir.

   Hal ini sudah mereka sadari tetapi mereka tetap senang asal yang menerima itu raden Wijaya, bukan pangeran Ardaraja.

   Mengapa? Karena orangtua orangtua di pura Singasari itu tahu bahwa Ardaraja adalah pangeran Daha, putera raja Jayakatwang.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sedangkan Wijaya adalah putera keturunan dari raja Singasari.

   Maka mereka lebih senang Wijaya daripada Ardaraja.

   Rupanya demikian pula alam pikiran gadis-gadis, dan anak perawan di pura Singasari.

   Mereka segan terhadap Ardaraja tetapi bermanja senyum kepada Wijaya.

   Itulah sebabnya maka apabila hal itu dapat dianggap sebagai suatu persaingan, maka Ardaraja kalah.

   Hal itupun dirasakan juga oleh Ardaraja.

   Diam-diam dia merasa iri dan geram terhadap Wijaya.

   ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ III Mpu Raganata tersenyum ke ka melepas Wijaya dari pintu gedung adhyaksa.

   Senopa muda itu menyetujui saran mpu Raganata.

   Kelak apabila ba di kerajaan Malayu, dia hendak singgah pula ke Sriwijaya.

   Dengan dalih membicarakan soal peminangan puteri raja Sriwijaya untuk seri baginda Kertanagara, dia hendak meninjau dari dekat bagaimana sebenarnya keadaan kerajaan yang pernah mencapai puncak kemasyhuran kejayaan itu.

   Mpu Raganata menutup pintu dan masuk kedalam pula "Hm, anakmuda tentu tak lepas dari gelora darah muda.

   Betapa bercahaya sinar matanya ke ka ia mempunyai kesempatan untuk mengunjungi kerajaan Sriwijaya.

   Ah, mudah-mudahan dia dak melupakan tujuan semula untuk menyelidiki keadaan kerajaan itu dan mencari jejak hubungan antara pa h Aragani dengan Sriwijaya.

   Mudah-mudahan dia tak terbuai dengan kecan kan kedua puteri raja Tribuana Mauliwarman yang termasyhur kecantikannya itu."

   Tiba- ba pandang mata empu tua itu tertumbuk akan segunduk tubuh kurus yang tegak di ruang tengah. Namun cepat dia dapat mengenali siapa orang itu "Sonto, engkau ?"

   Tegurnya.

   "Benar, gusti."

   "Mengapa belum tidur? "

   "Hamba menunggu gusti,"

   Sahut Sonto sambil menundukkan kepala.

   "Hm,"

   Mpu Raganata mengangguk dalam hati.

   Ia memuji kesetyaan bujang tua itu.

   Sejak dia masih menjabat sebagai patih amangkubhumi kerajaan sampai kemudian dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel, bujang itu tak pernah menunjukkan sikap kurang setya kepada tuannya.

   "Sonto, buatkan wedang jeruk nipis dan bawalah ke sanggar pamujan,"

   Katanya.

   "Apakah gusti hendak berjaga? "

   "Aku belum dapat tidur. Tidurlah setelah menyediakan minuman itu."

   Setelah Sonto pergi, mpu Raganata menuju ke sanggar pamujan, tempat ia melakukan semedhi apabila menghadapi suatu persoalan.

   Sebuah ruang yang dibangun tersendiri disamping pendapa agung.

   Dipagari dengan beraneka pohon bunga yang asri yang menyerbak keharuman.

   Tak berapa lama Sontopun mabuk membawa penampan minuman "Baik, Sonto, nggalkan aku dan tidurlah."

   "Tidak, mpu, hamba belum ngantuk"

   "Hm, gejala orang yang sudah berumur lanjut. Sukar dur. Terutama kalau memikirkan sesuatu,"

   Gumam mpu Raganata.

   Karena sudah berpuluh tahun berhamba kepada keluarga Raganata maka Sonto itu sudah seper warga keluarga.

   Hampir tak tampak suatu garis perbedaan yang tajam antara sang tuan dengan bujangnya.

   Apalagi mpu Raganata memang tak menyukai adat is adat yang membedakan antara manusia dengan manusia.

   Dia seorang penganut buddha.

   "Gusti sedang risau pikiran?"

   Tanya Sonto. Raganata mengangguk.

   "Jika demikian, silakan mpu minum dulu. Hamba campuri sedikit bubukan pala untuk menenangkan pikiran."

   "O, engkau amat memperha kan diriku, Sonto,"

   Kata mpu Raganata seraya mengangkat cawan dan meneguknya sampai habis setengah "ah, agak beda rasanya wedang ini ...."

   "Minumlah lagi mpu, agar pikiran gus tenang,"

   Kata Sonto. Dan ia tersenyum gembira ke ka melihat mpu Raganata meneguk cawan sampai habis.

   "Pergilah, Sonto, aku ingin seorang diri,"

   Kata mpu Raganata seraya memberikan cawan yang sudah kosong kepada Sonto.

   Hamba tua itupun segera tinggalkan sanggar.

   Beberapa saat kemudian tiba-tiba mpu Raganata rasakan kepalanya agak pening.

   Makin lama makin terasa berat.

   Pandang matanyapun makin kabur.

   Ia merasa ada sesuatu yang tak wajar "Sonto,"

   Teriaknya memanggil bujang tua Sonto. Sonto muncul dengan wajah berseri "Bagaimana, gus ? Apakah pikiran gus masih belum tenang? "

   "Sonto, Sonto, kepalaku pening sekali ....eh, ruang ini seper berputar-putar .... Sonto, engkau campurkan apa dalam minuman tadi ...."

   "Obat penenang supaya gusti tidur dan melupakan kerisauan,"

   Sonto tersenyum menyeringai.

   "Uh, Sonto . .. Sonto ... engkau .... Uh...

   "

   Mpu Raganata tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kepalanya melentuk terkulai dan tak sadarkan diri lagi. Sonto memeriksa tubuh mpu Raganata lalu tertawa "Bagus, macan tua, akhirnya engkau harus menyerah jua ....

   "

   Ba- ba dia menegakkan tubuhnya yang bungkuk, mencabut kumis xlan janggutnya yang pu h dan menyiak rambutnya.

   Seke ka berobahlah bujang tua itu menjadi seorang lelaki yang tegap.

   Dia bukan Sonto si bujang tua tetapi seorang yang tak dikenal.

   Cepat ia mengikat kaki dan tangan mpu Raganata lalu membungkus tubuhnya dengan selimut kemudian dipanggul dan dibawa keluar.

   Tak berapa lama dia lenyap dalam kegelapan malam.

   Gedung keadhyaksan Tumapel sunyi senyap.

   Penghuni penghuninya masih dur nyenyak.

   Mereka tak tahu sama sekali akan peris wa yang terjadi dalam gedung itu.

   Karena tahu bahwa Sonto yang menemani mpu Raganata, maka keluarga mpupun tak menaruh ke-kua ran suatu apa.

   Memang demikianlah adat kebiasaan Sonto yang selalu melayani tuannya hingga larut malam.

   Sudah tentu mereka tak pernah menduga bahwa Sonto malam itu bukanlah Sonto yang aseli.

   Sonto yang sesungguhnya saat itu sedang menderita siksaan juga.

   Kaki tangannya diikat pada pohon dalam hutan diluar gedung, mulut disumbat kain.

   Para penjaga gedung dharmadhyaksapun terlena tidur semua.

   Keesokan harinya penghuni gedung agak heran karena tak melihat mpu Raganata dan Sonto.

   Pikir mereka, tentulah adhyaksa bersama Sonto pergi ke lain tempat.

   Mereka baru hiruk ketika pada hari ketiga dari peristiwa malam itu, putera adhyaksa Raganata pulang.

   "Mana rama?"

   Tegur pemuda itu.

   Dia adalah Lembu Mandira, putera tunggal dari mpu Raganata, seperti yang pernah dituturkan mpu Raganata kepada Wijaya.

   Isteri mpu Raganata sudah meninggal.

   Dia hidup bersama puteranya dan beberapa bujang.

   Puterinya, ayunda Lembu Mandira sudah menikah dan ikut suaminya.

   "Mana rama!"

   Ulang Lembu Mandira ke ka tak mendapat jawaban dan para bujang itu pucat, saling berpandang-pandangan.

   Salah seorang bujang tua lalu menuturkan apa yang mereka ketahui.

   Bahwa ga hari yang lalu, waktu malam hari mpu telah menerima kunjungan raden Wijaya.

   Setelah raden Wijaya pergi maka mpu dilayani Sonto.

   Tetapi keesokan harinya dan sampai hari itu, mpu Raganata dan Sonto tak tampak lagi.

   "Raden Wijaya, senopati Singasari yang baru itu?"

   Lembu Mandira menegas.

   "Ya."

   "Apakah rama pergi ke pura Singasari untuk menemui raden Wijaya?"

   Kata Lembu Mandira seorang diri.

   Tetapi pertanyaan itu segera dihapusnya.

   Bukan-kah raden Wijaya sudah berkunjung kesitu, tak mungkin rama akan menemuinya lagi ke Singasari.

   Lembu Mandira makin gugup.

   Dia segera memerintah supaya mencari keseluruh gedung.

   Tetapi tak berhasil menemukan jejak mpu Raganata dan Sonto.

   "Apakah kamu tak salah lihat bahwa raden Wijaya membawa serta rama ke Singasari?"

   Tanya Mandira. Tengah Lembu Mandira gelisah memikirkan kepergian ramanya, seorang bujang masuk menghadap "Raden,"

   Serunya terengah "diluar seorang penduduk mohon menghadap raden "

   "Mau apa? "

   "Katanya dia menemukan mbah Sonto,"

   Lembu Mandira segera keluar. Beberapa penduduk tampak menunggu di pendapa "Raden, ke ka kami mencari kayu di hutan, kami menemukan paman Sonto terikat pada sebatang pohon. Mulutnya disumbat kain,"

   Beberapa lelaki itu memberi laporan.

   Adhyaksa Raganata terkenal di Tumapei.

   Bukan karena kekuasaannya sebagai penguasa tertinggi di daerah itu tetapi karena Raganata seorang yang jujur, bijaksana dan dekat dengan kawula.

   Rakyat Tumapei setya dan membela Raganata dalam peristiwa dengan seri baginda.

   Mereka mendukung pendirian Raganata.

   Andaikata tak dicegah mpu tua itu, tentulah mereka sudah memberontak menuntut keadilan untuk Raganata yang diperlakukan sewenang-wenang oleh seri baginda.

   Sebagai curahan amarah yang tak dapat dihamburkan itu, mereka menumpahkan kebencian kepada patih Aragani.

   Lembu Mandira terkejut mendengar laporan itu.

   Cepat dia minta diantar ke tempat itu.

   Tiba di hutan yang terletak di luar pura, mereka membawa Lembu Mandira kebalik gerumbul pohon yang rimbun.

   "Sonto ....

   "

   Teriak Lembu Mandira dengan suara tertahan ke ka mendapatkan bujang tua yang setya itu sudah lemas ke ka tali pengikatnya dibuka.

   Tiga hari ga malam tak makan, menyebabkan bujang tua itu mati lemas.

   Lembu Mandira menangis.

   Bujarg Sonto adalah yang momong dan mengasuhnya sejak ia kecil sehingga sampai berangkat menjadi seorang pemuda dewasa.

   Ia berlutut dan menyembah jenasah bujang itu "Sonto, aku bersumpah akan menuntut balas kematianrnu."

   Ramai-ramai penduduk segera rrengargkut jenasah Sonto pulang dan dikubur dengan mendapat perha an besar.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hampir seluruh rakyat Tumapel ikut melayat dan bela sungkawa atas kepergian Sonto.

   Mereka pun marah dan berjanji akan mencincang pembunuh kejam itu.

   Lembu Mandira tak berhasil mendapat keterangan dari bujang Sonto yang sudah ma itu.

   Tetapi ia menarik kesimpulan bahwa dalam peris wa lenyapnya ramanya itu tentu terjadi suatu hal yang tak wajar.

   Jelas ramanya bukan menuju ke Singasari tetapi tentu dibawa orang.

   Dan orang itulah yang menganiaya Sonto.

   "Siapakah musuh rama?"

   Mulailah ia merenungkan segala sesuatu yang memungkinkan untuk memulai mencari jejak musuh itu "Pa h Aragani? "

   Renungannya segera berlabuh pada diri pa h yang pernah menjerumuskan ramanya sehingga dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel.

   Diantara mentri dan narapraja kerajaan Singasari, memang kemungkinan besar pa h Araganilah yang cenderung untuk diduga melakukan hal itu "Masih belum puaskah Aragani hendak menganiaya rama? Bukankah rama sudah dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel? Bukankah dia sudah mencapai cita-citanya menjadi pa h Singasari?"

   Susul menyusul pertanyaan mbul tenggelam dalam benak Lembu Mandira, dikala dia duduk merenungkan musibah yang telah menimpa rumah tangganya.

   "Ah, seburuk-buruk manusia tentulah masih memiliki sepercik ha nurani yang baik. Mungkinkah pa h Aragani masih hendak menganiaya rama yang sudah dijatuhkan dari tangga pimpinan pemerintah kerajaan itu? mbul perbantahan dalam ha nya. Di masih muda belia dan berangkat dewasa dalam ajaran yang ditanamkan ramanya tentang sfat manusia luhur. Kemudian renungannya beralih pada kunjungan raden Wijaya yang pada malam terjadinya peris wa itu telah berkunjung menghadap ramanya.

   "Mengapa pada waktu selarut malam itu raden Wijaya datang menemui rama? Adakah terjadi suatu persoalan yang pen ng yang menyangkut diri rama? Mungkinkah raden Wijaya hendak memberitahukan rama tentang bahaya yang akan mengancam rama?"

   Tiba pada renungan itu mulailah pikirannya menyelam lebih jauh untuk mengungkap maksud dan arti kunjungan raden Wijaya.

   Makin jauh dia merenung makin banyak kemungkinan-kemungkinan yang dijelajahinya, antara lain dia berusaha untuk membayangkan suasana dalam pemerintahan di pura Singasari "Menilik raden Wijaya berhubungan akrab dengan rama, bukan mustahil kalau hal itu menimbulkan kecurigaan pa h Aragani atau musuh-musuh rama.

   Bukan mustahil pula, mereka takut apabila raden Wijaya, dalam kedudukannya sebagai calon menantu raja, akan menarik rama pula untuk menjabat kedudukan pen ng di pura Singasari.

   Maka mereka lalu mendahului ber ndak untuk menculik rama."

   Lembu Mandira tersentak dari lamunan ke ka tertumbuk pada renungan itu "Ya, benar, memang pangkat dan kekuasaan itu dapat merobah pikiran manusia sebuas seiigala."

   Akhirnya ia memutuskan untuk menemui raden Wijaya di Singasari. Pertama untuk melaporkan tentang lenyapnya ramanya. Kedua, untuk menyelidiki suasana, siapa-siapa kiranya yang patut diduga melakukan perbuatan itu.

   "Ah, kemungkinan musuh tentu takkan kepalang tanggung ber ndak. Setelah rama di ndak, mungkin mereka juga akan mengarah diriku,"

   Ba- ba pnla Lembu Mandira mendapat pemikiran.

   Untuk mengamankan langkah perjalanannya, ia lalu menyamar sebagai seorang tua.

   Tiba di pura Singasari, ia terkejut melihat suasana di pura kerajaan tampak kesibukan-kesibukan yang tegang.

   Setelah mencari keterangan, barulah ia tahu bahwa pada hari itu kerajaan Singasarri akan menerima rombongan utusan dari maharaja Kubilai Khan.

   "Ah, raden Wijaya tentu sibuk. Kurang tepat untuk mengganggu waktunya saat ini,"

   Ia menunda maksudnya lalu mencari pondokan untuk bermalam.

   Ke ka sedang berjalan di sebuah lorong yang a-gak sepi, ba- ba muncul dua orang lelaki.

   Lembu Mandira berusaha untuk menyingkir ke tepi jalan.

   Dia memang tak ingin menimbulkan kecurigaan orang.

   Tetapi kedua lelaki itu tetap mengawasi dirinya.

   Bahkan salah seorang dari mereka menegurnya "

   Hai, ki sanak, berhenti dulu "

   Lembu Mandira terkejut namun ditenangkannya ha nya "Mengapa? "

   Ia menyahut seraya hentikan langkah. Salah seorang dari kedua orang itupun maju menghampiri "Siapa engkau ! "

   Tegurnya agak keras "Hendak kemana pada hari semalam ini? "

   "Pulang,"

   Jawab Lembu Mandira.

   "Pulang? Dimana rumahmu? Dari mana engkau?"

   Pertanyaan yang seolah bersifat suatu pemeriksaan dari petugas keamanan negara itu, menyebabkan Lembu Mandira tak puas "

   Eh, siapakah engkau ini? Apakah wewenangmu mengajukan pertayaan sedemikian rupa kepadaku? Adakah engkau anggap aku ini seorang penjahat?"

   "Aku Nambi, bekel prajurit yang sedang bertugas melakukan ronda keamanan pura. Hari ini kerajaan Singasari menerima utusan dari maharaja Kubilai Khan maka keamanan pura dijaga keras."

   Lembu Mandia agak terkesiap namun dia menjawab juga "O, tetapi aku rakyat baik-baik. Aku hendak pulang."

   "Dari mana engkau dan dimana rumahmu?,"

   Masih Nambi mendesak pertanyaan.

   "Aku habis membeli barang di pekan pasara dan karena hari sudah petang aku bergegas pulang."

   "Pekan pasara? Pekan pasara dimana? "Sudah tentu pekan pasara di pura ini,"

   Lembu Mandira makin geram.

   "Hari apakah sekarang ini ?"

   Tanya Nambi pula.

   "Soma merah,"

   Jawab Lembu Mandira. Soma merah sama dengan Senin Pahing.

   "Benar,"

   Seru Nambi serentak "dan jelas engkau bohong! Pekan pasara di Singasari jatuh ap hari Brehaspati (Kamis). Hari Soma tak ada pasara! "

   Lembu Mandira terkesiap. Nambi memandang tajam "Hm, engkau tentu bukan penduduk pura, serahkan dirimu ! "

   Lembu Mandira makin terkejut. Dia tak mengira kalau terperosok dalam jaring pertanyaan Nambi. Tetapi seketika timbullah perasaannya yang meronta.

   "Mengapa aku harus serahkan diri ?"

   Serunya.

   "Engkau kutangkap,"

   Kata Nambi "kalau dalam pemeriksaan nan engkau memang orang baik, tentu kulepas lagi."

   Lembu Mandira menghamburkan tawa kemarahan.

   "Tidak ki bekel. Aku merasa tak melanggar undang-undang negara, dak pula aku merasa telah melakukan suatu kesalahan."

   "Engkau bohong! "

   "Bohong ? "

   "Ya, engkau mengaku kawula pura kerajaan tatapi jelas bukan."

   Lembu Mandira terkejut dalam ha .

   Memang ia tak menyangka bahwa jawabannya tadi telah memperosokkan dirinya dalam jaring kecurigaan orang "Jangan engkau mengada-ada kesalahan orang.

   Yang pen ng aku ini seorang kawula baik-baik.

   Undang-undang memberikan hak kebebasan kepada kawulanya, asal dak melanggar hukum undang-undang itu.

   Sudahlah lah, ki bekel, jangan mengusik diriku."

   Nambi makin besar kecurigaannya.

   Bicara orang itu tangkas dan cerdas.

   Tentu bukan seorang kawula biasa "Ki sanak, aku seorang petugas yang sedang melakukan tugas menjaga keamanan pura.

   Ikutlah aku.

   Kalau engkau memang orang baik-baik, tentu akan kami lepas."

   Lembu Mandira gelengkan kepala menolak "Aku harus pulang. Anak isteriku tentu sudah cemas menunggu kedatanganku."

   "Engkau meminta aku harus menggunakan kekerasan ?"

   Karena merasa dirinya hendak ditangkap, Lembu Mandira marah.

   Sebenarnya ia bersedia dibawa bekel itu untuk diperiksa.

   Tetapi ia kua r, dirinya akan ditahan sampai beberapa waktu yang ada ketentuannya.

   Dan kedua kali, iapun kua r, mereka akan membuka penyamarannya.

   Ia tak kenal siapa bekel itu.

   Adakah dia anakbuah raden Wijaya ataukah orang pengalasan patih Aragani.

   "Ki bekel, percayalah. Aku ini seorang penduduk baik-baik."

   "Jika begitu apa keberatanmu kubawa untuk diperiksa kebenaran keteranganmu itu ?"

   "Anak isteriku tentu cemas. Aku harus pulang."

   "Alasan itu tak dapat kuterima,"

   Kata Nambi "kata-katamu menimbulkan kecurigaan. Sudahlah, lebih baik engkau ikut aku dari pada aku harus bertindak dengan kekerasan."

   "Ki bekel,"

   Masih Lembu Mandira berusaha untuk meredakan suasana "kalau engkau tak percaya, marilah ikut aku pulang ke rumahku."

   Dengan kata-kata itu Lembu Mandira memaksa diri untuk merangkai suatu undangan agar bekel itu mau percaya.

   "Aku seorang petugas yang sedang melakukan tugas. Aku tak puya waktu untuk mengantarkan engkau pulang"

   "O, engkau tetap hendak menangkap aku?"

   "Kalau engkau mau menyerahkan diri, akan kubawa ke markas keamanan. Tetapi kalau engkau membangkang, terpaksa aku akan bertindak dengan kekerasan."

   Karena merasa menghadapi jalan buntu dimana segala alasan dan keterangan tak dapat diterima maka Lembu Mandirapun memutuskan untuk melepaskan diri dari penangkapan yang dikua rkan akan membawa akibat yang kurang menguntungkan dalam rencana kunjungannya ke pura kerajaan itu.

   "Baik, ki bekel, engkau bebas melakukan tugasmu walaupun caramu menolak segala keterangan secara membabi buta itu kurang bijaksana. Tetapi akupun akan menggunakan hakku untuk membela kebebasan diriku"

   "Hm, akhirnya engkau menunjukkan dirimu yang sebenarnya, ki sanak. Engkau tentu seorang telik-sandi yang hendak mengadakan pengacauan di pura kerajaan,"

   Nambi, menutup kata-katanya dengan sebuah gerak mencengkeram bahu Lembu Mandira.

   Tetapi dia terkejut ke ka Lembu Mandira menghindar ke samping.

   Nambi diam-diam terkejut.

   Menilik gerak langkahnya, orang itu memiliki ilmu ulah kanuragan yang baik.

   Nambi panas ha nya.

   Ia mengulangi gerakannya.

   Tetapi kali ini bukan gerak mencengkeram melainkan menghunjamkan pukulan yang keras.

   Dan ternyata Lembu Mandira masih mampu menghindar.

   Sampai ga kali Nambi bergerak tetapi tetap tak berhasil.

   Jangankan mengenai tubuh, bahkan menyentuh pakaian Lembu Mandirapun tak mampu.

   Nambi sebenarnya lebih berwatak sabar dari Lembu Sora.

   Tetapi saat itu, ia benar-benar malu karena tak mampu mengalahkan seorang pak tua.

   Dan rasa malu itupun segera berkembang menjadi perasaan marah.

   Diterjangnya Lembu Mandira dengan serangan yang gencar sekali sehingga pemuda yang menyamar sebagai seorang lelaki tua itu sibuk juga untuk menghadapinya.

   Apabila Nambi melancarkan serangan dahsyat karena malu dan marah, Lembu Mandirapun juga menimang dalam ha "Ah, bekel ini makin panas ha nya.

   Kalau dia terus menerus menyerang segencar ini, sekali aku lengah atau lambat menghindar, tentulah aku akan celaka."

   Iapun teringat akan tujuannya datang ke pura Singasari. Ia hendak mencari raden Wijaya dan bukan hendak mencari permusuhan dengan bekel prajurit Singasari.

   "Hm, apa boleh buat, dia menjalankan tugas, tetapi akupun juga mempunyai kepen ngan sendiri. Pertempuran ini lak boleh berlarut-larut berkepanjangan. Aku harus cepat menyelesaikan dan cepat melanjutkan perjalanan masuk kedalam pura,"

   Pikirnya.

   Sejak kecil Lembu Mandira telah digula-wentah atau ditempa ilmu tata kanuragaan oleh ayahandanya, empu Raganata "Mandira, perjalanan hidup seorang anak laki itu penuh dengan peris wa-peris wa yang sukar diduga.

   Dan engkau sebagai seorang ksatrya, harus mengabdi kepada kerajaan.

   Dalam mengabdi kepada kepen ngan negara maupun kepada kepen ngan keadilan dan kebenaran, ataupun dalam menghadapi percobaan-percobaan sewaktu melakukan dharma seorang ksatrya, bukan suatu hal yang mustahil dan mengherankan apabila engkau harus dihadapkan dengan tantangan yang menghendaki penyelesaian secara kekerasan.

   Oleh karena itu, perlulah bagi seorang anakmuda untuk memiliki bekal ilmu tata kanuragan dan jaya kawijayan.

   Hanya ingat,"

   Kata mpu Raganata "bahwa segala ilmu tata kanuragan dan jaya kawijayaan itu harus diamalkan pada kepen ngan yang benar.

   Jangan sekali-kali untuk menghias dirimu dengan rasa kebanggaan supaya ditaku orang ataupun engkau gunakan dalam jalan yang sesat dan sewenang- wenang terhadap orang "

   Namun rupanya mpu Raganata masih belum puas dengan apa yang telah diberikan kepada puteranya.

   Ia menyadari pada suatu pandangan jauh dari suasana masakala yang akan datang.

   Raganata seorang pemeluk agama Syiwa dan Buddha.

   Bahkan dipelajarinya juga agama Wisnu.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia tekun mempelajari kitab-kitab veda agama itu yang disebut kitab Purana.

   Menurut kitab Purana, kehidupan dunia ini dibagi dalam empat yuga atau jeman, yani.

   Kreta, Dvapara, Treta dan Kaliyuga.

   Dalam jeman Kretayuga, segala mahluk bertingkah laku baik.

   Kemudian dalam yuga-yuga berikutnya, keadaan manusia makin jelek.

   Dan sampai pada jeman Kaliyuga sekarang ini, kejahatan merajalela.

   ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~

   Jilid 25 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Dalam menanggapi kemarahan puteranya, Lembu Mandira, atas ndakan seri baginda Kertanagara yang dengan semena-mena telah melorot kedudukan ayahandanya dari pa h amangkubhumi menjadi adhyaksa di Tumapel, mpu Raganata mengingatkan akan kodrat masakala.

   "Angger,"

   Kata mpu Raganata "bagi seorang tua seper rama yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan di dunia ini, hal yang menimpa diri rama itu bukanlah suatu hal yang harus kita getuni dan sesali.

   Ketahuilah angger, bagi seorang yang sudah bening pikiran dan mengendap segala kegemaran sad-indriyanya, daklah akan terpengaruh oleh segala perobahan dalam kehidupannya.

   Termasuk kedudukan, jabatan, kekayaan, kekuasaan dan bahkan raga kita ini, semua hanya merupakan barang pan dari Hyang Isywara.

   Se ap saat apabila dikehendakiNYA, kita harus rela menyerahkan."

   Lembu Mandira kerutkan dahi.

   "Tetapi rama"

   Katanya sesaat kemudian "pandangan rama adalah pandangan dari seorang tua yang sudah mendalami ilmu keba nan yang nggi. Tetapi bagi nama keluarga kita, terutama bagi diri hamba, tidakkah hal itu berarti mencontreng arang pada muka Lembu Mandira?"

   "Sepintas memang benar demikian, anakku,"

   Kata mpu Raganata "engkau tentu merasa malu, dendam dan marah. Tetapi rama akan memperingatkan engkau pada dua buah hal yang baku ... .."

   Berhen sejenak untuk mengatur napas, mpu Raganata melanjutkan pula "Pertama, akan kuberikan kepadamu tentang kodrat masakala seper yang tertera dalam kitab Purana.

   Kehidupan manusia itu dibagi dalam empat yuga atau jeman, yani Kretayuga, Dvapara, Treta dan Kaliyuga.

   Dalam jeman Kretayuga, segala mahluk ber ngkah laku baik.

   Kemudian dalam yuga-yuga berikutnya keadaan manusia makin buruk.

   Dan sekarang, kita sudah menjelang pada jeman Kaliyuga.

   Jeman dimana segala kejahatan, kemunafikan dan kekacauan merajalela.

   Yang emas disangka loyang yang loyang disangka emas "

   "Kodrat masakala tak dapat dipungkiri, anakku,"

   Kata mpu Raganata pula "tetapi manusia dapat menghindarinya apabila selalu sadar dan waspada, ber ngkah jujur dan suci.

   Manusia-manusia yang memiliki bekal itulah yang akan menerima anugerah Hyang Widhi Agung.

   Jangan engkau kuatir takkan menerima bagian dari anugerah agung itu karena Hyang Purbeng gesang itu maha kuasa, maha adil.

   Barang siapa yang menjalankan tahNYA, tentu akan mendapat anugerah.

   Banyak sarana dan jalan yang tak tersangka-sangka dari anugerah Hyang Widhi itu.

   Asal engkau dapat mengendalikan diri dan sabar, jangan memburu nafsu, grusa-grusu kebingungan sehingga mengacaukan pancaran tekadmu."

   Sejenak mpu Raganata mengambil napas pula lalu melanjutkan "Yang engkau cemaskan, sesalkan dan bahkan rasakan sebagai suatu hinaan bagi keluarga kita, adalah disebabkan engkau berdiri dalam kedudukanmu sebagai seorang ksatrya, bukan?"

   "Demikian perasaan hamba, rama."

   "Baik, anakku,"

   Kata mpu Raganata rasa cemas, sesal, malu, mbul dari suatu rasa angan-angan.

   Angan-angan yang terpengaruh oleh penyerapan, kesan dan kesimpulan lingkungan hidupnya.

   Engkau merasa sebagai seorang putera pa h amangkubhumi kerajaan Singasari.

   Engkau menyerapi lingkungan hidupmu sebagai putera seorang priagung yang luhur.

   Lalu engkau berkesan, bahwa keluhuran itu harus engkau pertahankan dan bela kema -ma an.

   Kemudian mbullah kesimpulan, betapa aib dan memalukan kalau ramamu dilorot kedudukannya, dari seorang pa h kerajaan menjadi seorang adhyaksa.

   Inilah, anakku, yang menyebabkan mbulnya angan-angan perasaan dalam hatimu.

   Tetapi angger,"

   Mpu Raganata berhen lagi, lalu "kesemuanya itu dak benar.

   Engkau marah, menyesal dan malu karena engkau dibayang-bayangi oleh perasaanmu sendiri.

   Perasaanmu yang dicengkam dalam lingkungan hidupmu Orang tentu akan mencemoh, menghina bahkan mentertawakan dirimu, demikian angan-angan yang engkau ciptakan sendiri itu akan membentuk suatu belenggu kecemasan yang mengikat perasaanmu.

   Pada hal, hidup seorang manusia itu, bukan ditentukan oleh nggi rendahnya kedudukan, luhur hinanya keturunan, kaya papanya keadaan, besar kecilnya pangkat, melainkan pada amal dharmanya.

   Yang dianggap ksatrya, menurut hematku, bukan ditentukan dari golongan kastanya, bukan dari bentuk wajahnya.

   Misalnya, rama sering mendongengkan tentang kaum Korawa dan Pandawa, serta Ramayana.

   Korawa, menurut kastanya adalah ksatrya, mereka putera-putera raja.

   Tetapi dari ulah ngkah dan keba nannya yang penuh nafsu angkara murka itu, dapatkah kita namakan mereka ksatrya yang seja ? Lalu Kumbakarna, adik dari prabu Rahwanaraja.

   Walaupun dia seorang yang berwajah raksasa, tetapi dia adalah seorang ksatrya yang setya pada dharmanya."

   "Maka Mandira, jangan engkau membiarkan dirimu terbelenggu dalam ikatan kegemaran dan perasaan akan alam lingkungan hidupmu. Jangan pula engkau menggantungkan hidup dan alam pikiranmu pada anggapan orang. Bebaskanlah segala itu dan hiduplah sebagaimana engkau adalah engkau sendiri. Setelah engkau terbebas dari belenggu2 perasaan itu, batulah engkau dapat memandang dan menghaya ar daripada keluhuran seorang ksatrya seja . Dharma seorang ksatrya adalah untuk 'mangayu hayuning bawana', menegakkan keadilan dan kebenaran, mendanakan kasih sayang dan menjunjung keluhuran budi dan peker . Seorang ksatrya harus 'sepi ing pamrih, ramai ing gawe'. Dalam mengamalkan dharma bhak nya kepada negara, seorang ksatrya dak terikat akan tempat dan waktu, dak terpengaruh oleh nafsu keinginan akan pangkat dan kedudukan. Yang penting adalah amal, kesetyaan dan pengabdiannya terhadap negara."

   "Rama sudah tua,"

   Kata mpu Raganata lebih lanjut "rama tak merasa dendam atau malu karena dilorot kedudukan rama.

   Bagi rama, angger, kesejahteraan negara dan kawula Singasari adalah tujuan hidup rama.

   Jangankan dilorot sebagai adhyaksa, sekalipun rama dak memegang suatu jabatan apa-apa, pun rama tetap akan mengabdikan hidup rama ini kepada Singasari.

   Seorang ksatrya pantang pamrih.

   Oleh karena itu seorang ksatryapun kurang layak apabila karena dak mendapat imbalan atas jasa dan pengorbanan, pengabdian dan perjuangannya, lalu menyesal dan sakit hati.

   Mandira, dapatkah engkau menghayati pendirian rama ini ?"

   Serta merta Lembu Mandira menjatuhkan diri menelungkupi kaki ramanya "Duh, rama, maa an hamba. Rama telah menyalakan pula semangat hidup hamba. Rama telah menerangi pula jalan ke arah keluhuran ksatrya yang harus hamba tempuh."

   Demikian Lembu Mandira mohon diri untuk kembali ke tempat pertapaan gurunya, mpu Santasmer .

   Peris wa itu terjadi pada waktu Lembu Mandira mendengar tentang keputusan baginda yang melorot ramanya menjadi adhyaksa di Tumapel.

   Dia pulang dengan membekal dendam kemarahan yang menyala-nyala, namun setelah mendapat wejangan dari ramanya, dia kembali ke gunung dengan ha yang lapang dan tekad yang lebih mantap untuk menuntut ilmu agar kelak dapat melaksanakan pesan ramanya, menjadi seorang ksatrya yang luhur.

   Demikian sekelumit kisah Lembu Mandira, yang setelah diidinkan gurunya untuk pulang karena dianggap sudah banyak ilmu yang telah dipelajarinya, telah mengalami suatu peris wa yang mengejutkan atas lenyapnya ramandanya, mpu Raganata.

   Dan karena tetamu yang datang pada malam itu adalah raden Wijaya, maka iapun hendak menemui senopa Wijaya.

   Tetapi karena hari itu kerajaaan Singasari sedang menerima utusan dari raja Kubilai Khan, terpaksa dia akan mencari penginapan dulu.

   Pada waktu dia sedang menyusur lorong yang sepi, bertemulah dia dengan dua orang, Nambi dan Sora, yang kebetulan pula sedang bertugas untuk melakukan ronda keamanan malam.

   Nambi terkejut ke ka mengetahui bahwa orang yang mengaku sebagai penduduk pura dan mengatakan saat itu hendak pulang, ternyata memiliki krida kanuragan yang tinggi.

   Andaikata Lembu Mandira mau mengatakan siapa sesungguhnya dirinya itu, tentulah perkelahian itu tak perlu terjadi.

   Karena Nambi kenal akan mpu Raganata dan menaruh perindahan atas kebesaran jiwa dan kesetyaan bekas patih kerajaan Singasari itu.

   Pun Lembu Mandira juga tak tahu bahwa kedua orang itu ternyata kadehan dari raden Wijaya.

   Ia tahu bahwa suasana dalam pura Singasari sedang bergolak.

   Walaupun tampaknya tenang tetapi sesungguhnya secara diam-diam sedang berlangsung perebutan pengaruh dan kekuasaan dari beberapa golongan.

   Yang jelas ada ga golongan yang sedang berlomba untuk mencari kekuatan dan pengaruh, yalah golongan pa h Aragani, golongan pa h Kebo Anengah dan golongan pangeran Ardaraja.

   Disamping masih terdapat sisa-sisa golongan penganut mpu Raganata, Wirakre dan Wiraraja.

   Golongan penganut mpu Raganata ini kecil jumlahnya tetapi mereka adalah mentri dan nara praja yang setya kepada kerajaaan Singasari.

   Kehadiran Wijaya sebagai senopati baru dan sekaligus juga menjadi calon menantu baginda, menimbulkan berbagai tanggapan dari golongan-golongan itu.

   Mereka saling berusaha untuk menarik Wijaya ke dalam fihaknya.

   Namun Wijaya sangat berhati-hati menghadapi mereka dan menentukan langkah.

   Setelah mempelajari suasana pemerintahan pura Singasari, iapun mulai terang akan keadaan dalam pemerintahan Singasari.

   Dan dia memutuskan bahwa golongan yang akan dimasukinya adalah golongan yang setya kepada kerajaan Singasari.

   Baginya, kepentingan negara Singasari, di atas semua golongan.

   Dalam hal ini dia lebih cenderung untuk bergaul dekat dengan mpu Raganata.

   Dari mpu itulah dia banyak mendapat pengetahuan dan pengalaman dalam pemerintahan dan cara-cara untuk mengatur pemerintahan.

   Kembali pada Lembu Mandira yang saat itu sedang bertempur dengan Nambi, diam2 putera mpu Raganata itu tak sabar lagi.

   Dia harus lekas-lekas menyelesaikan pertempuran itu agar jangan terlalu lama terlibat.

   Dan untuk melaksanakan hal itu, dia harus mengerahkan ilmu keperwiraannya.

   "Krakkkkk,"

   Dalam sebuah kesempatan setelah menghindar terjangan Nambi, dia segera kerahkan tenaga dari Cakram Manipura atau perut, menangkis pukulan Nambi.

   Benturan pukulan itu menimbulkan bunyi yang keras sehingga keduanya sama-sama terbeliak.

   Nambi tersurut selangkah, Lembu Mandirapun tergetar keras tangannya.

   "Bagus, ki sanak, kiranya engkau berisi,"

   Seru Nambi seraya maju, membuka serangan lagi.

   Kali ini diapun berlaku ha -ha .

   Serangannya dak segencar tadi tetapi lebih mantap dan lebih berisi tenaga keras.

   Lembu Mandirapun melayani dengan makin gairah.

   Diam-diam diapun terkejut heran bahwa seorang petugas ronda keamanan ternyata memiliki ilmu kanuragan yang sedemikian tangguh.

   Pertarungan berlangsung seru, lama dan cukup memeras tenaga keduanya.

   Tetapi betapapun Lembu Mandira lebih muda.

   Beberapa waktu kemudian tampak Nambi mulai mengunjuk tanda-tanda kehabisan napas.

   Serangannya makin lamban dan gerak kakinyapun mulai mengapung.

   Hal itu tak terlepas dari pengamatan Lembu Mandira.

   Sengaja ia memberikan dada ke muka seper tak terlindung sehingga Nambi terpancing.

   Dihantamnya dada anakmuda itu dengan sekuat tenaga.

   "Uh ...

   "

   Seketika mendesuhlah mulut Nambi ketika tubuh lawan tiba2 lenyap dari pandang mata dan sebelum ia sempat menarik kembali tinjunya, kakinya terasa terkait oleh sebuah kaki yang kuat, terangkat ke atas sehingga ia kehilangan tempat berpijak dan berayunlah tubuhnya melayang ke muka, bum ...

   ia jatuh bertiarap menyusur ke tanah.

   Namun cepat ia dapat menyadari apa yang akan dideritanya apabila mukanya sampai membentur tanah.

   Kesadaran itu segera disusul dengan suatu langkah, menggerakkan kedua tangan untuk menebah tanah, kemudian dengan tenaga tekanan pada tanah itu, ia mengantar tubuhnya melenting, berjungkir balik dan tegak berdiri berdiri pula.

   Serentak ia berputar tubuh hendak menyerang lagi tetapi ternyata saat itu Lembu Mandira sudah berbaku hantam dengan Lembu Sora.

   "Hm, orang itu hebat sekali kepandaiannya. Aku kua r kakang Sora tak dapat mengatasinya,"

   Setelah mengiku jalannya pertempuran beberapa jenak, Nambi memutuskan untuk membantu Sora menangkap orang itu.

   Namun walaupun harus menghadapi dua lawan yang digdaya, Lembu Mandira tetap gesit dan tangkas, baik menghindar, menangkis maupun balas menyerang.

   Sora terkejut juga.

   Belum pernah ia berhadapan dengan seorang yang mampu mengimbangi serangannya.

   Apalagi Nambi ikut maju.

   Makin lama Sora makin gemas juga.

   Rasa telah membangkitkan suatu luapan kemarahan.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kemarahan dari sepasang matanya yang menyala merah, ingin menyaksikan darah lawan.

   "Krakkkkk ....

   "

   Sebuah pukulan yang dilambari dengan menghimpun segenap kekuatan, telah dilancarkan Sora.

   Lembu Mandira terkejut.

   Karena tak sempat menghindar, terpaksa dia menangkis.

   Ketika kedua pukulan saling beradu, terdengarlah bunyi letupan yang keras dan keduanya sama-sama tersurut ke belakang.

   Hanya kalau Lembu Mandira terpental sampai tiga langkah, Sora hanya selangkah.

   Memang betapapun Lembu Mandira masih muda belia.

   Walaupun dia telah putus dalam bermacam ilmu kanuragan dan jaya-kawijayan yang diberikan mpu Santasmer , pujangga keraton Singasari yang karena tak tahan melihat suasana keraton Singasari makin dilipu awan gelap, lalu mohon berhen dan menjadi pertapa di gunung.

   Hal itu juga sebagai sanggahan atas ndakan seri baginda Krrtanegara yang telah melorot dan memindahkan ga mentri wreda yani mpu Raganata, Wirakreti dan Wiraraja.

   "Mandira, segala ilmu yang kumiliki telah kuturunkan kepadamu. Tetapi ilmu itu harus digeladi se ap hari agar engkau dapat meningkatkannya ke arah tataran yang sempurna,"

   Demikian pesan mpu Santasmer di kala melepas Lembu Mandira turun gunung.

   Ia tahu bahwa yang kurang pada muridnya itu hanya kesempurnaan latihan dan pengalaman.

   Sedangkan Sora, sudah lebih matang dalam pengalaman dan pencapaian ilmu yang dikuasainya.

   Memang dalam hal tenaga, Sora amat kuat.

   Pukulannya mantap dan keras.

   Sebenarnya Lembu Mandira hanya kalah kematangan la han dan pengalaman belaka.

   Apalagi dia harus menghadapi dua orang lawan yang tangguh, Sora dan Nambi.

   Sebelum itu, diapun sudah terkuras tenaganya dalam menghadapi Nambi tadi.

   Sebelum Lembu Mandira sempat berdiri tegak, Nambipun sudah loncat menerkamnya.

   Lembu Mandira terkejut.

   Karena gugup dia terus jatuhkan diri berguling-guling ke tanah.

   Maksudnya hendak menyingkir jauh dan kemudian baru melen ng bangun pula.

   Tetapi alangkah kejut yang dideritanya ke ka ia rasakan punggungnya telah diinjak oleh sebuah kaki yang kuat.

   Kiranya yang menginyak itu adalah Sora Melihat lawan berguling-guling di tanah, seper sesosok bayangan, Sorapun loncat mengikuti dan menginjak punggung Lembu Mandiia.

   Lembu Mandira menahan napas seraya menhimpun tenaga lalu meronta sekuat-kuatnya.

   Tetapi kembali dia mendesus kejut ke ka kedua kakinya ditangkap oleh sepasang tangan yang kuat.

   Itulah Nambi.

   Dia juga cepat memburu ke tempat Lembu Mandira lalu meringkus kedua kaki pemuda itu.

   "Setan alas, sekarang rasakan tanganku,"

   Rupanya Nambi masih geram karena dikait jatuh oleh Lembu Mandira tadi. Walaupun pemuda itu sudah tak dapat bergerak, namun Nambi masih belum puas dan hendak menghadiahi sebuah pukulan lagi.

   "Uh ... uh ...

   "

   Ba- ba terdengar mulut Nambi dan Sora mendesuh kejut dan tubuh keduanya- pun terjerembab ke belakang.

   Tanpa diketahui bila dan bagaimana asai mulanya, tahu-tahu sesosok tubuh telah berada di belakang Nambi dan Sora lalu mencengkeram bahu kedua orang itu dan disentakkan sekuat- kuatnya ke belakang sehingga Sora dan Nambi terpelanting.

   "O, raden Wijaya ..."

   Ke ka Sora dan Nambi.

   sempat melonjak berdiri dan memandang siapa yang telah menyentakkan keduanya itu, serempak berteriak kaget.

   Namun saat itu, orang yang diteriakinya itu tengah mengangkat bangun Lembu Mandira.

   Ternyata orang itu memang Wijaya.

   Setelah melihat bahwa Lembu Mandira tak menderita luka, barulah dengan tenang Wijaya berputar tubuh menatap kedua kadehannya itu dengan mata menyalang geram "Sora, Nambi, hm, benar-benar tak tahu malu kalian! Mengapa kalian menganiaya seorang tua? Apakah salahnya?"

   Serta mejta Sora dan Nambi mengunjuk lembah memohon maaf "Maafkan raden, dalam keadaan terpaksa, kami berdua telah melakukan hal itu. Kami hendak menangkapnya tetapi dia melawan."

   "Mengapa kalian hendak menangkapnya?"

   "Waktu kami sedang melakukan ronda, bertemulah kami dengan orang itu lalu kami tegur. Karena jawabnya mencurigakan maka hendak kami bawa dia ke markas tetapi dia menolak. Terpaksa kami mengambil tindakan keras."

   Wijaya tak memberi tanggapan suatu apa melainkan berpaling ke arah Lembu Mandira.

   Belum sempat ia menyapa.

   Lembu Mandira sudah mendahului "O, apakah andika raden Wijaya ...

   ya, benar, benar, andika tentulah raden Wijaya yang sering berkunjung ke rumah rama."

   Wijaya terbeliak heran "Siapakah engkau?"

   Tegurnya. Lembu Mandira segera mencabut kumis, janggut dan rambut pu h pada muka dan kepalanya. Serentak bergan lah wajah orangtua itu menjadi seorang pemuda yang cakap dan gagah "Aku Lembu Mandira, kakang."

   "O, engkau putera eyang Raganata?"

   Seru Wijaya setelah melihat perwujutan Lembu Mandira yang sebenarnya.

   "Benar,"

   Lembu Mandira mengiakan.

   "Mengapa engkau tiba di sini?"

   "Aku hendak masuk ke pura."

   "Mengapa? "

   "Mencari kakang Wijaya."

   "Mencari aku? Mengapa?"

   Wijaya makin terkejut.

   "Akan menyampaikan sebuah berita yang amat penting tentang rama,"

   Sahut Lembu Mmdira.

   "O,"

   Wjaya mendesuh kaget. Ia memandang Sora dan Nambi "Sora, Nambi, inilah putera mpu Raganata, adhyaksa di Tumapel. Hayo, engkau harus minta maaf kepadanya."

   Sora dan Nambi segera minta maaf kepada Lembu Mandira "Raden, maa an perbuatan kami tadi."

   "Ah, kakang berdua tak salah karena menjalankan tugas. Yang salah sesungguhnya aku sendiri,"

   Kata Lembu Mandira.

   "Apabila raden memberitahukan siapa diri raden, tentulah kami berdua tak berani berlaku kurang tata."

   "Mandira tak salah karena belum kenal kalian berdua,"

   Wijaya menyelutuk kemudian berkata kepada Mandira "Mandira, marilah kita pulang.

   Di sini bukan tempat yang tepat untuk bercakap- cakap".

   Lembu Mandira diajak pulang ke rumah kediaman Wijaya.

   Sebagai seorang senopa , Wijaya mendiami sebuah gedung yang besar, lengkap dengan penjaga-penjaga gedung.

   "Nah, Mandira, silakan engkau bicara apa yang hendak engkau katakan kepadaku,"

   Kata Wijaya setelah mengajak Lembu Mandira duduk di pendapa.

   Sora dan Nambi juga ikut hadir.

   Memang walaupun hanya kadehan, tetapi Sora dan Nambi itu seolah merupakan tangan kanan dan tangan kiri Wijaya.

   Wijaya memperlakukan kedua orang itu bukan sebagai kadehan bawahannya tetapi seolah sebagai kawan perjuangan.

   Namun Sora dan Nambipun tahu kedudukan diri.

   Keduanya tetap bersikap menghormat kepada Wijaya.

   "Kudengar bahwa hari ini kerajaan Singasari telah menerima kunjungan utusan dari raja Kubilai Khan, benarkah itu, kakang?"

   Bukan langsung menceritakan persoalan yang hendak disampaikan kepada Wijaya, tetapi Lembu Mandira membuka pembicaraan dengan pertanyaan itu. Wijaya mengiakan.

   "Apakah kakang juga hadir dalam upacara penyambutan itu ?"

   Tanya Lembu Mandira pula.

   Diam-diam Wijaya heran mengapa Lembu Mandira bukan mengajukan persoalan yang dibawanya melainkan pertanyaan lain.

   Namun sebagai seorang tuan-rumah, ia harus bersikap ramah "Ya, sebagai senopa yang bertanggung jawab akan keamanan pura Singasari, seri baginda telah menitahkan aku supaya hadir dalam perapatan agung itu."

   "Lalu bagaimana hasilnya, raden?"

   Tiba-tiba Sora mcnyelutuk pertanyaan. Wijaya menghela napas bernada agak geram "Hm, andaikata tak kucegah tentulah sudah terjadi peristiwa hebat yang akibatnya tak terperikan."

   "O,"

   Sora terkejut "peris wa apakah yang telah terjadi dalam perapatan agung di istana itu, raden?"

   "Yang datang sebagai utusan raja Tartar itu seorang hulubalang bernama Tomulo yang menyampaikan surat raja Kubilai Khan ke hadapan baginda Kertanagara. Dalam surat itu raja Kubilai Khan meminta agar pasukan Singasari yang berada di Malayu, jangan menguasai bandar- bandar di negeri itu dan jangan memungut cukai pada perahu serta kapal yang singgah di bandar."

   "O,"

   Sora terkejut "lalu bagaimana sikap Seri baginda ?"

   "Seri baginda menolak."

   "Bagus,"

   Seru Sora "sungguh bijak dan tegas sekali seri baginda kita."

   "Ya, memang selayaknya demikian,"

   Sambut Wijaya "asal jangan berlebih-lebihan seper sikap patih Aragani."

   "O, apakah pa h Aragani menganjurkan seri baginda supaya menerima permintaan raja Kubilai Khan?"

   "Tidak,"

   Jawab Wijaya "dia setuju atas ndakan seri baginda bahkan lebih dari itu, dia menganjurkan agar seri baginda bertindak keras kepada Kubilai Khan."

   Sora terkesiap "Maksud patih Aragani supaya menindak utusan itu?"

   "Ya."

   "Tetapi dia hanya utusan nata saja. Mengapa patih Aragani menghendaki demikian ?"

   "Alasannya,"

   Kata Wijaya "dengan berani mengirim surat yang berisi permintaan semacam itu, jelas raja Kubilai Khan meremehkan kewibawaan seri baginda kita dan hendak memberantas kekuasaan Singasari di Malayu maka patutlah seri baginda membalas hinaan itu dengan cara menghukum utusannya."

   "Apakah seri baginda setuju ?"

   Sora terkejut.

   "Ya,"

   Jawab Wijaya "untunglah rakryan Ramapa mentri yang mengurus hubungan dengan mancanagara, cepat mencegah.

   Seorang utusan hanya sebagai pelaksana apa yaag di tahkan tuannya.

   Jika hal itu dianggap menghina maka yang menghina adalah raja Kubilai Khan, bukan utusan itu.

   Pendapat rakryan Ramapa itu kudukung sepenuhnya, demikian pula segenap mentri senopati yang hadir saat itu."

   "Apakah seri baginda meluluskan ?"

   "Akhirnya seri bagindapun setuju. Kepada utusan Kubilai Khan itu baginda memberi pesan agar disampaikan kepada maharaja Kubilai Khan, meminta demi hubungan persahabatan, agar maharaja Tartar itu jangan mencampuri urusan kerajaan Singasari, sebagaimana pula Singasaripun takkan mencampuri urusan pemerintahan kerajaan Kubilai Khan. Dengan dasar saling hormat menghorma kedaulatan masing-masing, maka seri baginda Kertanagara akan gembira sekali untuk mengadakan hubungan dengan raja Tartar."

   "Keputusan seri baginda sungguh bijak sekali,"

   Kata Sora "dan bagaimana tanggapan pa h Aragani?"

   "Sungguh berbahaya."

   Seru Wijaya "jika anjuran patih itu dilaksanakan, pastilah akan membawa akibat yang luas sekali.

   Raja Kubilai Khan tentu akan murka apabila utusannya dihina, lalu mengirim pasukan untuk menyerang Singasari.

   Bukankah hal itu akan menjerumuskan Singasari ke dalam kancah peperangan yang berbahaya?"

   "Ya, memang demikian,"

   Sambut Sora "tetapi apabila raja Kubilai Khan tetap hendak mencampuri urusan pemerintahan Singasari, bukankah kita harus mengangkat senjata untuk melawannya?"

   "Kalau memang raja Kubilai Khan menyerang Singasari, memang ada lain jalan kecuali harus demikian"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Wijaya. Sesaat ia mengerut dahi "tetapi kuharap peris wa itu jangan sampai terjadi."

   Sora, Nambi bahkan Lembu Mandira tertegun dan serempak mencurah pandang ke arah Wijaya. Wijaya tahu isi hati mereka.

   "Inti pasukan Singasari telah dibawa rakryan senopati Kebo Anabrang ke Malayu. Saat ini, kita belum berhasil menyusun pasukan yang kuat untuk menjaga keselamatan Singasari. Dan lagi ... dan lagi ...

   "

   "Dan lagi apa, raden ?"

   Tanya Sora.

   "Keadaan dalam negeri masih merupakan kemelut dalam cerobong. Di luar tampak tak terjadi suatu apa, tetapi di dalam, asap sedang berkecamuk."

   "Maksud raden ...."

   "Ah, sudahlah Sora, yang penting kita harus menaruh kewaspadaan tinggi terhadap segala kemungkinan yang mungkin terjadi dalam negeri ini. Maka apabila Kubilai Khan saat ini datang menggempur kita, bukankah kita akan keripuhan sekali ? Ketahuilah, bahwa menilik rombongan utusan yang menghadap di istana siang tadi, tentulah raja Kubilai Khan itu sangat kuat kekuasaan dan kekuatan negaranya. Untuk menghadapi musuh dari luar itu, kita sudah repot apalagi kalau dari dalam, mereka yang memusuhi atau mendendam kepada Singasari, akan menggunakan kesempatan itu untuk menikam dari belakang. Bukankah kita akan patah berantakan ?"

   Sora dan Nambi mengangguk.

   Keduanya tahu siapa yang dimaksud Wijaya sebagai musuh dalam negeri itu.

   Diam-diam keduanya memuji ketajaman Wijaya menilai keadaan.

   Pandangannya jauh dan luas.

   Dalam memperjuangkan kepentingan negara, bukan hanya berdasar pada keberanian dan kekuatan serta kemarahan, tetapi harus dengan per mbangan yang cermat dan pikiran yang dingin.

   "Tetapi mengapa rakryan pa h Aragani menganjurkan ndakan itu kepada seri baginda, raden?"

   Kini Nambi yang bertanya.

   "Itulah yang masih perlu kuselidiki,"

   Sahut Wijaya "naif apabila dia tak tahu apa akibat dari tindakan menghina utusan Tartar itu. Tetapi mengapa dia menganjurkannya?"

   "Dia ingin mencari muka kepada seri baginda,"

   Kata Sora.

   Wijaya terdiam sejenak, lalu katanya "Kalau hanya itu tujuannya, bukankah sekarang dia sudah menjadi orang kepercayaan baginda ? Bukankah dia sudah menikma kedudukan, pengaruh dan kekuasaan yang nggi di kerajaan Singasari ? Tidakkah dia akan takut kehilangan kesemuanya itu apabila Singasari sampai dikalahkan pasukan raja Kubilai Khan ?"

   Sora tertegun. Memang yang dikatakan Wijaya itu tepat dengan kenyataan. Nambi pun menganggap demikian namun ia tak menemukan ciri-ciri daripada sikap pa h Aragani dalam mengetengahkan anjurannya itu.

   "Mungkin dia mempunyai tujuan lain dari itu, kakang Wjjaya,"

   Ba- ba Lembu Mandira yang terbawa oleh pembicaraan mereka, ikut menyatakan pendapat. Wijaya terkejut "Lalu apa menurut pendapatmu?"

   "Kemungkinan dia tentu mempunyai hubungan dengan kerajaan lain yang menjanjikan pangkat lebih tinggi dari sekarang, apabila dia dapat mengusahakan kehancuran Singasari."

   "Ah,"

   Sora dan Nambi serempak mendesah kejut. Tetapi Wijaya mengangguk tenang -tenang.

   "Tetapi raden Mandira,"

   Seru Sora "atas apakah dasar raden memiliki dugaan begitu?"

   "Seper yang dikatakan kakang Wijaya tadi,"

   Jawab Lembu Mandira "saat ini dia telah mencapai kedudukan dan pengaruh nggi di pemerintahan Singasari, rasanya hanya dibawah seri baginda saja.

   Mengapa dia menganjurkan seri baginda menindak utusan raja Tartar yang akibatnya tentu akan terjadi peperangan antara kedua negara itu ? "

   "Kalau penilaianku tak keliru,"

   Kata putera mpu Raganata itu pula "rupanya rakryan patih Aragani merasakan suatu kekuatiran akan goyahnya kedudukan dan pengaruhnya di kerajaan Singasari.

   Pertama, kehadiran pangerai Ardaraja sebagai putera menantu baginda dan kehadiran kakang Wijaya sebagai senopati baru dan juga calon putera menantu baginda.

   Kekuatiran itu makin menjadi kecemasan sehingga dia berusaha untuk mempertahankan- kedudukannya itu."

   "Jika mempertahankan, seharusnya dia tak menganjurkan saran itu kepada seri baginda,"

   Sanggah Sora "maka kukatakan kalau dia memang bertujuan untuk mencari muka kepada seri baginda agar kedudukannya tetap bertahan."

   Mandira gelengkan kepala "Tidak, kakang Sora, jelas akibat dari serangan raja Kubilai Khan tentu akan membawa akibat yang besar kepada Singasari.

   Aku sependapat dengan kakang Wijaya.

   Bukan karena aku membesar besarkan kekuatan Kubilai Khan dan meremehkan kekuatan kita sendiri tetapi aku bicara atas dasar kenyataan.

   Kenyataan yang terasa pada suasana Singasari selama ini.

   Adalah karena membela pendirian tentang kenyataan bahwa keadaan dalam negeri Singasari masih belum aman seluruhnya dari ancaman musuh dalam negeri, maka ramaku telah dipecat baginda.

   Dan bukan pula karena aku putera rama maka aku mendukung pendirian beliau."

   "Tidak, kakang,"

   Sambung Lembu Mandira dengan nada tandas "aku mendukung atas pendirian itu karena benar, bukan karena memandang itu pendirian ramaku.

   Menilik betapa besar nafsu pa h Aragani untuk berkuasa, maka setelah melihat perkembangan suasana yang kurang menyenangkan, dia lalu bersiap-siap lagi membuat rencana lain.

   Dan rencana itu, tak lain hanya mengadakan hubungan dengan kerajaan lain yang mau menyetujui perjanjian, bahwa apabila kelak Singasari jatuh ke dalam kekuasaan kerajaan itu maka pa h Aragani harus tetap menjadi pa h atau akuwu."

   Wijaya terkejut mendengar uraian Lembu Mandira yang masih muda itu "Ah, benar-benar dia mewarisi darah ramanya sebagai seorang ahli praja yang pandai,"

   Katanya dalam hati.

   "Tetapi raden Mandira,"

   Kata Nambi yang sejak tadi hanya sedikit sekali ikut dalam pembicaraan "menilik gelagat bahwa pa h Aragani dak rapat hubungannya dengan pangeran Ardaraja, bahkan kalau menurut penilaian raden tadi, pa h Aragani mencemaskan kekuasaan pangeran Ardaraja akan makin membesar, tentulah pa h itu dak mengadakan hubungan dengan Daha.

   Lalu dengan kerajaan mana kiranya dia hendak berhubungan ?"

   "Justeru itulah yang menjadi buah pemikiranku, kakang,"

   Wijaya menanggapi "namun ada berita- berita yang masih perlu dikaji kebenarannya, bahwa pa h Aragani mengadakan hubungan dengan Demang Lebar Daun."

   "Demang Lebar Daun, patih mangkubumi dari kerajaan Sriwijaya ?"

   Sora menegas kejut.

   "Begitulah kata orang,"

   Kata Wijaya "tetapi seper kukatakan, berita itu masih belum meyakinkan dan masih perlu dikaji kebenarannya. Apapun halnya, memang ndakan pa h Aragani menganjurkan seri baginda supaya menghukum utusan Tartar siang tadi, layak untuk dicurigai."

   "Syukur seri baginda akhirnya tak menerima anjuran patih Aragani,"

   Seru Nambi.

   Wijaya menghela napas "Tetapi dak mudah untuk mempengaruhi baginda merobah ndakannya itu.

   Adalah karena menghadapi keserempakan dari para mentri, gus , tanda, senopa yang hampir melipu seluruh dari yang hadir, barulah seri baginda berkenan membatalkan keputusannya."

   "Kurasa,"

   Kata Sora "tentulah ada lain sebab yang mempengaruhi seri baginda."

   "Apa ?"

   "Karena pangeran Ardaraja dan raden sendiri juga menentang anjuran patih Aragani itu ...."

   "Ya, engkau menduga tepat,"

   Sahut Wijaya "tetapi tidak seluruhnya benar "

   "Apakah pangeran Ardaraja juga tidak menentang anjuran patih Aragani itu?"

   Sora terkejut.

   "Setuju juga dak, tetapi menentangpun juga dak. Kakangmas pangeran Ardaraja hanya diam saja."

   "Ah,"

   Sora mendesah yang disusul oleh Nambi "mengapa pangeran bersikap demikian?"

   "Di situlah kekuatan sang pangeran, Sora,"

   Kata Wijaya "dia lebih banyak bersikap diam daripada banyak bicara."

   "Apakah dalam segala hal memang demikian sikapnya?"

   "Ya,"

   Wijaya menghela napas pula "persoalan itu sudah selesai. Sekarang,"

   Ia berpaling ke arah Lembu Mandira "adi Mandira, apakah yang hendak engkau sampaikan kepadaku?"

   "Kakang Wijaya,"

   Seru Lembu Mandira dengan wajah berobah pucat "ada suatu berita yang menyedihkan yang perlu kuhaturkan."

   "Hm, katakanlah."

   "Benarkah pada dua hari yang lalu kakang berkunjung ke tempat kadhyaksan di Tumapel ?"

   "Ya."

   "Kakang bertemu dengan rama ?"

   "Ya."

   "Bagaimana keadaan rama saat itu?"

   "Maksudmu? "

   "Apakah beliau tampak sakit?"

   "Tidak "

   "Maa an kelancanganku, kakang,"

   Kata Lembu Mandira "berkenankah kakang mengatakan, apa yang kakang bicarakan dengan rama saat itu ?"

   "Soal keputusan seri baginda untuk menitahkan aku mengepalai utusan ke Malayu dan menghadiahkan patung Aksobya kepada raja Malayu."

   "O, apakah selama dalam pembicaraan itu, rama mengatakan kepada raden hendak pergi menghadap baginda di Singasari atau ke lain tempat?"

   "Tidak,"

   Sahut Wijaya, lalu balas bertanya "sebenarnya telah terjadi peris wa apakah pada diri ramamu?"

   "Rama hilang dari Tumapel!"

   "Hai,"

   Serentak Wijaya berteriak kaget "apa katamu? Eyang Raganata hilang?"

   "Ya,"

   Lembu Mandira mengangguk "setelah malam itu menyambut kunjungan kakang, keesokan harinya bujang2 kadhyaksan tak mendapatkan rama lagi.

   Lebih kurang sepuluh hari yang lalu aku menjenguk guruku yang kabarnya sakit.

   Dan ke ka aku pulang, peris wa lenyapnya rama itu sudah dua hari berselang.

   Para bujang tak dapat memberi keterangan kemanakah rama pergi.

   Semula kuduga rama tentu menuju ke Singasari untuk menemui kakang Wijaya.

   Tetapi saat itu datanglah beberapa penduduk yang mengatakan telah menemukan paman Sonto, bujang kami yang tua dan sudah berpuluh tahun ikut pada rama, terikat pada sebatang pohon dalam hutan.

   Aku segera ke sana.

   Ternyata paman Sonto sudah ma lemas dan kelaparan.

   Kedua kaki dan tangannya diikat dan mulut disumbat sobekan kain."

   Wijaya, Sora dan Nambi terbeliak mendengar peristiwa itu.

   "Itulah sebabnya maka aku bergegas menuju ke Singasari untuk menemui kakang Wijaya,"

   Kata Lembu Mandira "adakah kakang bertemu dengan rama? "

   "Tidak, adi."

   "Hm,"

   Lembu Mandira merenung, kemudian berkata "adakah pada waktu ber-cakap2 dengan kakang, rama pernah mengatakan akan pergi ke suatu tempat?"

   "Tidak "

   "Apakah rama tak menyinggung suatu rencana tentang dirinya?"

   "Juga tidak,"

   Sahut Wijaya.

   "Jika demikian,"

   Kata Lembu Mandira dengan nada geram2 cemas "jelas rama tentu diculik orang! "

   Kemudian Lembu Mandira melekatkan pandang mata kepada Wijaya untuk minta petunjuk. Wijaya segera menuturkan tentang permufakatannya dengan mpu Raganata mengenai keamanan Singasari apabila kelak Wijaya dan patih Mahesa Anengah pergi ke tanah Malayu.

   "Aneh,"

   Katanya heran "padahal tiada seorangpun yang hadir di tempat itu kecuali kami berdua,"

   Ia balas menatap pandang Lembu Mandira lalu bertanya "Adi Mandira, siapakah kira2 diantara hamba dalam kadhyaksan yang patut dicurigai ?"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak ada, kakang Wijaya,"

   Kata Lembu Mandira dengan mantap "pelakunya tentulah bukan orang dalam gedung kadhyaksan, melainkan dari orang luar. Lebih dulu dia menawan paman Sonto lalu dia menyamar paman Sonto, menyelundup ke dalam rumah dan berhasil menculik rama."

   "Tetapi Mandira, eyang Raganata cukup sak , masakan semudah itu beliau ditawan orang ?"

   Bantah Wijaya.

   "Menurut bekas-bekas yang kami dapatkan didapur, rupanya pada malam itu rama meminta minuman kepada paman Sonto. Tentulah paman Sonto itu, bukan yang aseli melainkan penjahat itu. Dia tentu mencampurkan ramuan bius ke dalam minuman sehingga rama tak sadarkan diri."

   Wijaya mengangguk "Hm, makin jelaslah betapa musuh akan berusaha menghancurkan Singasari. Ah ..."

   Suasana hening sejenak.

   "Raden,"

   Tiba-tiba Sora berseru "peristiwa ini suatu peristwa yang berani, kurangajar dan gawat.

   Hilangnya sang adhyaksa mpu Raganata harus kita tanggapi sebagai suatu pertanda dari kekuatan musuh yang berani menyusup ke dalam pura Singasari.

   Kita harus lekas bertindak, raden."

   "Benar, Sora,"

   Sahut Wijaya "memang hal itu harus kita tangani secara sunggguh-sungguh pula.Tetapi engkau tentu sudah tahu, bahwa dalam beberapa hari lagi aku segera akan berangkat ke Malayu, Apabila eyang Raganata tak berhasil kita ketemukan, lalu siapa yang dapat kuserahi menjaga keselamatan Singasari ? Hatiku benar-benar pepat sekali, Sora."

   "Raden Wijaya,"

   Serempak Sora dan Nambi berseru "kami mengabdi kepada raden adalah dengan tujuan untuk mengabdi kepada Singasari. Memang jika sang adhyaksa dapat diketemukan, itu baik sekali. Tetapi kalau tidak, raden harus membatalkan kepergian raden ke Malayu."

   Wijaya gelengkan kepala "Titah raja, tak mungkin dapat dibantah."

   "Benar kakang Wijaya,"

   Seru Lembu Mandira "seri baginda tentu akan bertanya apa alasan kakang Wijaya tak ingin ke Malayu. Dalam bal itu, tentulah nan seri baginda akan tahu peris wa hilangnya rama dari Tumapel."

   "Tetapi bukankah itu lebih baik, raden Mandira?"

   Seru Nambi "bukankah seri baginda segera menurunkan amanat untuk mengerahkan pasukan mencari sang adhyaksa?"

   "Tidak, kakang Nambi,"

   Sahut Lembu Mandira "itu kurang baik"

   "Mengapa raden ?"

   Nambi heran.

   "Pada hematku begini,"

   Kata Lembu Mandira "apabila peris wa itu sampai diketahui seri baginda, seri baginda pas akan menitahkan pasukan untuk mencari penjahat itu.

   Hal itu akan membawa dua akibat yang tak menguntungkan.

   Pertama, dengan berani menculik seorang adhyaksa, tentulah penjahat itu memiliki kekuatan dan jumlah orang yang cukup banyak.

   Selekas mendengar keputusan seri baginda, mereka tentu akan melarikan diri dengan membawa rama.

   Kedua, apabila mereka sudah terputus jalan untuk meloloskan diri dari pengejaran pasukan kerajaan, satu-satunya jalan yang terbaik adalah membunuh rama untuk menghilangkan jejak."

   Nambi terkejut mendengar pandangan anakmuda putera mpu Raganata yang sedemikian tajam. Dia sendiri tak sampai menjangkau pada pemikiran sejauh itu. Demikian Wijaya dan Sora. Diam- diam keduanya juga terkejut dan kagum atas kecerdasan anakmuda itu.

   "Lalu bagaimana tindakan, raden ?"

   Tanya Nambi sesaat kemudian.

   "Kita harus mencarinya sendiri. Pertama, agar musuh dak tahu ndakan kita sehingga dak buru-buru melarikan diri atau membunuh rama. Dan kedua, kita akan dapat mengetahui lebih jelas, siapakah musuh itu? Adakah dia itu termasuk salah satu dari sekian banyak golongan yang sedang berebut pengaruh dalam pemerintahan Singasari ataukah memang digerakkan dari kekuasaan lain kerajaan."

   "Aku setuju, raden Mandira,"

   Cepat Sora menyambut, kemudian dia beralih kepada Wijaya "raden Wijaya, kami adalah abdi Singasari.

   Apabila raden percaya, berikanlah tugas menjaga keamanan Singasari itu kepada kami.

   Kami bersumpah, demi Batara Agung, akan menyerahkan jiwa raga kami untuk menjaga keselamatan Singasari."

   "Bagus, Sora,"

   Seru Wijaya. Ia cukup kenal akan perangai dan kesetyaan Sora "memang engkau dan Nambi akan kuminta membantu eyang Raganata."

   "Karena rama tak ada, maka akulah yang mewakili,"

   Ba- ba pula Lembu Mandira memberi pernyataan.

   "Mandira,"

   Wijaya terkejut "tetapi engkau harus mencari ramamu. Bagaimana mungkin engkau ....

   "

   "Kakang Wijaya,"

   Tukas Lembu Mandira "memang bagaimanapun yang akan terjadi, aku tetap akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari rama.

   Aku bersumpah, demi Dewata Agung, untuk membebaskan rama.

   Dan jika sampai terjadi sesuatu yang tak kuinginkan pada rama, musuh itu akan kurobek-robek tubuhnya."

   Bernyala-nyala sinar mata Lembu Mandira dikala melantangkan sumpahnya itu. Wijaya, Sora dan Nambi memuji akan anakmuda yang berbhakti terhadap orangtuanya itu.

   "Hilangnya rama jelas mempunyai hubungan dengan keselamatan Singasari, Tetapi walaupun mpu Raganata tak ada, masih ada puteranya, Lembu Mandira ini, yang siap menjadi tumbal Singasari!"

   Serta merta Wijaya memeluk Lembu Mandira.

   Ia benar-benar terharu mendengar pernyataan Lembu Mandira itu "Mandira, berbahagialah kiranya Singasari mempunyai putera seper dikau.

   Selama masih ada putera-putera yang berjiwa seper engkau, tak mungkin Singasari akan runtuh selama-lamanya!"

   Kemudian Wijaya mulai mengatur rencana.

   Pimpinan menjaga keselamatan negeri Singasari tetap berada di tangan mpu Raganata yang diwakili Lembu Mandira.

   Lembu Mandira disertai dengan pembantu-pembantu Sora, Nambi, Lembu Peteng, Medang Dangdi dan beberapa orang pula, Mereka harus dapat membentuk suatu kesatuan dari tenaga-tenaga yang telah terla h, agar se ap waktu yang diperlukan dimana Singasari benar-benar terancam bahaya, dapat menghadapi musuh.

   "Mengenai eyang Raganata,"

   Wijaya menambahkan pula "mari sekarang kita usahakan. Apabila belum berhasil dan aku sudah keburu berangkat ke Malayu, kuminta kalian tetap melanjutkan usaha itu sampai eyang adhyaksa dapat diketemukan."

   "Sora, Nambi,"

   Kata Wijaya lebih jauh "ingatlah pesanku. Kalian dan kawan-kawan harus tunduk pada pimpinan adi Lembu Mandira ini. Walaupun dia masih muda, tetapi dia memiliki pandangan- pandangan yang baik. Peliharalah peraturan, ketertiban dan kesatuan."

   "Baik, raden,"

   Kata Sora "kami taat pada pimpinan bukan karena memandang siapa orangnya, berapa usianya dan bagaimana keturunannya, melainkan atas dasar suatu peraturan yang berlaku dalam keprajuritan. Setiap bawahan harus taat kepada pimpinan."

   Pada saat mereka berbincang-bincang itu, ba- ba masuklah seorang hamba, melaporkan tentang kunjungan dua orang tetamu yang aneh "Mereka mengenakan busana keprajuritan tetapi jelas bukan prajurit Singasari.

   Potongan tubuh dan wajah merekapun lain dari kita terutama matanya yang sipit, raden,"

   Hamba itu memberi keterangan atas pertanyaan Wijaya.

   Dengan diiring oleh Sora, Nambi dan Lembu Mandira, Wijaya segera keluar untuk menyambut.

   Agak terkejut ia ke ka melihat dua orang prajurit yang dikenalnya sebagai prajurit dalam rombongan pengawal utusan raja Kubilai Khan di istana pagi tadi.

   Kedua prajurit Tartar itu tegak berdiri di halaman pendapa.

   Sora, Nambi dan Lembu Mandira juga terkejut.

   Mereka segera bersiap-siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

   "Siapa mereka, kakang Wijaya,"

   Bisik Lembu Mandira.

   Sebelum Wijaya sempat menjawab, tampak kedua prajurit Tartar itu membungkukkan tubuh sebagai tanda-memberi hormat kepada Wijaya.

   Wijayapun agak surut kecurigaannya.

   Diapun segera balas memberi hormat lalu mempersilakan meieka masuk.

   "Kedatangan kami di gedung kediaman tuan, adalah atas perintah panglima kami Tomulo, untuk menghaturkan persembahan surat kepada tuan,"

   Kata salah seorang prajurit itu dengan bahasa kawi yang tersendat-sendat.

   "O, surat? Surat apakah itu?"

   Wijaya, agak terkejut.

   "Surat piagam sebagai tanda, persahabatan kepada tuan,"

   Kata prajurit itu pula. Wijaya terkesiap heran. Mengapa panglima Tartar hendak memberi surat piagam tanda persahabatan kepadanya? "Ah,"

   Desah Wijaya dalam ha . Ia merasa serba sukar. Apabila menerimanya, bukankah dia akan dianggap sebagai sahabat dengan orang Tartar ? Tidakkah seri baginda Kertanagara akan murka apabila mendengar berita itu ? "Ah, namun jika kutolak,"

   Pikir Wijaya lebih lanjut "

   Dakkah hal itu akan dianggap sebagai suatu penghinaan kepada panglima Tartar?"

   Setelah menimang beberapa saat, akhirnya Wijaya mengambil keputusan.

   Saat itu negeri Tartar belum resmi menjadi musuh Singasari.

   Dengan demikian panglima Tomulo itu masih dalam kedudukan sebagai seorang tetamu.

   Kiranya takkan mencemarkan kepentingan Singasari apabila ia menerima piagam itu.

   Bahkan dengan itu, tentulah panglima Tomulo akan mempunyai kesan baik terhadap Singasari sehingga kelak apabila pulang dapat memberi laporan kepada junjungannya, maharaja Kubilai Khan, bahwa rakyat Singasari adalah rakyat yang ramah dan suka bersahabat.

   Mungkin pula, Tomulo akan mencegah apabila Kubilai Khan bermaksud hendak menggunakan kekerasan kepada Singasari.

   "Mengapa panglima Tomulo memerlukan memberi piagam ini kepadaku ?"

   Tanya Wijaya.

   "Panglima kami amat menghargai sikap tuan dalam sidang penyambutan utusan raja kami di keraton kerajaan Singasari pagi tadi. Kelak di kemudian hari apabila tuan sempat berkunjung ke negeri kami atau bertemu dengan pasukan Tartar, dengan menunjukkan surat piagam ini, mereka tentu akan menghormat tuan,"

   Prajurit Tartar itu menjelaskan.

   "O, baiklah,"

   Wijaya segera menyambuti piagam itu kemudian memeriksanya. Ia tak mengerti apa ar daripada gores2 tulisan pada piagam itu yang tertulis dalam bahasa Cina. Namun ia percaya akan keterangan kedua prajurit Tartar itu.

   "Harap tunggu sebentar,"

   Kata Wijaya lalu masuk ke dalam gedung. Tak lama ia keluar lagi dengan membawa sebilah cundrik "Sampaikan salam dan terima kasihku kepada panglima Tomulo. Dan ini,"

   Ia mengangsurkan cundrik "akupun hendak menghaturkan sebuah benda sebagai balas yang menyatakan tanda persahabatan diantara ksatrya Singasari dengan panglima Tomulo."

   Prajurit itu menyambuti cundrik itu, memberi hormat lalu memohon diri.

   "Raden, mengapa raden menerima piagam persahabatan itu? Bukankah apabila didengar baginda, raden dapat dimurkai?"

   Tanya Sora. Wijaya menerangkan semua hal yang telah diper mbangkannya "Sora, sekarang kita belum resmi bermusuhan. Tak baik apabila menolak uluran persahabatan orang."

   "Tetapi bagaimana kalau seri baginda Kertanagara murka kepada raden ?"

   "Akan kujelaskan pendirianku. Kurasa seri baginda tentu cukup bijaksana untuk dapat memaklumi pendirianku ini."

   "Bagaimana kalau kelak, misalnya, maharaja Kubilai Khan mengirim pasukan untuk menyerang Singasari ?"

   Tanya Sora pula "Akan kuhancurkan piagam ini,"

   Jawab Wijaya. Kemudian mereka merundingkan lagi tentang rencana untuk mencari jejak mpu Raganata.

   "Dalam peris wa hilangnya eyang Raganata ini,"

   Kata Wijaya "ada dua fihak yang patut kita curigai. Fihak pa h Aragani dan kedua, fihak Daha. Keberangkatanku ke Malayu masih setengah candra lagi. Maka masih ada waktu untuk mencari eyang adhyaksa."

   "Sekarang kita pecah diri menjadi dua rombongan,"

   Kata Wijaya melanjut "rombongan pertama, menyelidiki ke Daha. Rombongan kedua, menyelidiki tempat kediaman patih Aragani."

   "Kurasa masih perlu ditambah dengan sebuah rombongan lagi, raden,"

   Kata Nambi.

   "Untuk apa? "

   "Menyelidiki kediaman pangeran Ardaraja,"

   Jawab Nambi "karena sebagai laporan yang perlu kami haturkan kepada raden, waktu raden memberi perintah kepada kami untuk mengiku jejak kedua penyerang yang menyergap raden di tengah jalan tempo hari, ternyata kedua orang itu menuju ke gedung pangeran Ardaraja.

   Dengan begitu jelas, bahwa kedua penyerang itu adalah orang suruhan pangeran Ardaraja untuk membunuh raden."

   Wijaya menyetujui.

   "Masih ada sedikit tambahan,"

   Seru Lembu Mandira "agar peris wa hilangnya rama itu jangan sampai tersiar keluar. Kita harus merahasiakan hal itu agar jangan menimbulkan kegelisahan para pengikut rama dan para kawula."

   Wijaya menyetujui pula.

   Demikian mereka lalu membagi kerja.

   Tiga kelompok segera dibentuk.

   Kelompok pertama yang bertugas menyelidiki tempat kediaman patih Aragani, terdiri dari dari Wijaya sendiri dengan Lembu Peteng.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kelompok kedua yang menyelidiki tempat kediaman pangeran Ardaraja, Sora dan Nambi.

   Sedang yang mencari berita ke Daha adalah Lembu Mandira dengan Gajah Pagon.

   Sementara Pamandana yang memiliki perawakan seperti mpu Raganata diminta supaya menyamar sebagai mpu Raganata dan tinggal di gedung kadhyaksan Tumapel.

   ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Malam kelam tak berbintang.

   Sayup sayup terdengar derap langkah orang yang ringan.

   Sedemikian ringan sehingga hampir tak menimbulkan suara.

   Se up angin malam berhembus membawa kelembaban hawa malam yang dingin.

   Sunyi senyap di seluruh penjuru.

   Gelap gelita membias pandang mata sehingga sekeliling penjuru hanya penuh dengan gunduk-gunduk hitam yang beraneka bentuknya.

   Berselang- seling terdengar bunyi burung kulik menyeruak kesunyian malam.

   Menambah keseraman suasana malam yang sepi makin seram.

   Langkah kaki yang ringan itu berasal dari dua sosok tubuh yang mengenakan pakaian hitam, sesuai dengan kekelaman malam itu.

   Mereka menuju ke sebuah bangunan yang besar.

   Sebuah gedung yang dikelilingi pagar tembok kokoh.

   "Setan, mengapa burung kulik itu tak hen -hen nya berbunyi ? Apakah dia hendak memberi tanda kepada penjaga gedung kepatihan?,"

   Gumam salah satu dari kedua orang itu.

   "Jangan mengada-ada, Lembu Peteng,"

   Kata kawannya "burung hantu, burung kulik, memang keluar berkeliaran mencari mangsa pada malam hari."

   "Tetapi kata orang-orang tua, burung kulik itu dapat memberi tanda tentang datangnya pencuri dan penjahat, raden,"

   Kata yang disebut Lembu Peteng.

   Ternyata kedua orang itu memang Wijaya dengan Lembu Peteng.

   Sesuai dengan rencana yang telah diputuskan, mereka berdua bertugas menyelidiki gedung kepa han.

   Wijaya memilih malam yang gelap itu untuk melakukan penyelidikan.

   Keduanya mengenakan pakaian serba hitam dan menutup muka dengan kain hitam juga.

   Hanya pada bagian mata yang diberi lubang.

   Dalam keadaan seperti itu, apabila orang bersua dengan mereka, tentulah orang itu akan menjerit dan lari ketakutan karena mengira telah bertemu dengan bangsa setan malam.

   Tetapi malam itu sudah larut dan gelap pula.

   Tak mungkin orang ke luar rumah.

   "Dan engkau percaya ? "

   Tanya Wijaya.

   "Buktinya, mengapa malam ini burung kulik itu berbunyi gencar?"

   Sahut Lembu Peteng.

   "Hm, benar, mungkin secara kebetulan malam ini kita memang melakukan sesuatu yang dapat dianggap seper pencuri. Coba sajalah besok malam kita keluar lagi tetapi tanpa tujuan hendak menyelidiki rumah orang. Apakah engkau juga akan mendengar suara burung kulik atau tidak."

   "Jarang, raden,"

   Kata Lembu Peteng "aku sering juga keluar malam tetapi jarang mendengar suara burung kulik."

   "Tetapi malam ini engkau mendengarnya?"

   "Bukanlah yang berbunyi dengan suara menukik-nukik itu burung kulik, raden ?"

   "Ya, baiklah. Katakan penuturan orang-orang tua yang engkau dengar itu memang benar,"

   Kata Wijaya "apa katamu kalau engkau menjadi penghuni atau penjaga gedung kepa han itu ? Bukankah engkau akan berterima kasib kepada burung itu ?"

   Wijaya tersenyum "dan kita, fihak yang dirugikan oleh burung kulik, apakah hanya cukup dengan menyumpahi burung itu? Kita manusia, apakah harus menyerah kalah kepada bangsa burung?"

   "Memang tidak, raden,"

   Lembu Peteng agak tersipu-sipu "lalu bagaimana kehendak raden?"

   "Masakan kita harus kalah dengan burung kulik,"

   Kata Wijaya "kalau burung kulik itu hendak memberi berita kepada para penjaga gedung kepatihan, kita-pun harus dapat mengatasinya?"

   "Bagaimana caranya, raden ?"

   "Gunakanlah aji penyirep agar penghuni dan para penjaga gedung kepa han itu ter dur,"

   Kata Wijaya.

   "O, baiklah, raden."

   "Cobalah engkau lancarkan aji sirep Begananda, Lembu Peteng,"

   Bisik Wijaya.

   Lembu Peteng mengiakan.

   Ia segera mengheningkan cipta mengucapkan dalam ba n aji mantra Begananda, sebuah ilmu aji penyirep yang dapat membuat orang terlena pulas.

   Beberapa saat kemudian, Lembu Peteng menyudahi aji mantranya lalu.

   menjemput sebu r batu kerikil dan dilemparkan ke dalam halaman gedung.

   Ia hendak menyelidiki apakah aji penyirapnya berhasil atau tidak.

   Batu kerikil itu mengeluarkan bunyi yang jelas ke ka tepat menimpa atap pendapa muka.

   Tetapi tak terdengar suara orang yang menanggapi lemparan batu kerikil itu.

   "Rupanya penjaga-penjaga itu sudah ter dur,"

   Kata Lembu Peteng setelah beberapa saat tak mendengar suara manusia dalam gedung itu.

   "Baik, sekarang mari kita masuk,"

   Kata Wijaya memandang pagar tembok yang se nggi ga tombak. Ia agak meragu.

   "Lembu Peteng, dapatkah engkau memanjat sampai ke puncak tembok ini ?"

   Tanyanya. Lembu Petengpun memandang sampai ke tembok teratas. Mulutnya berdecak-decak "Wah, nggi benar puncaknya. Mungkin aku tak mampu mencapainya."

   "Tetapi jalan yang terbaik hanya melalui pagar tembok ini. Jika lewat pintu gapura tentu akan diketahui penjaga,"

   Kata Wijaya.

   "Tetapi raden, bukankah mereka sudah termakan sirap ?"

   "Ya, tetapi kita harus menjaga se ap kemungkinan,"

   Jawab Wijaya "bukankah engkau sudah membayangkan tentang burung kulik itu? Andaikata para penjaga itu juga mempunyai pikiran yang serupa dengan engkau bahwa burung kulik itu memberi tanda akan datangnya pencuri, dakkah mereka akan bersiap-siap? Ingat, Lembu Peteng, diantara para penjaga gedung kepa han tentulah terdapat yang berilmu.

   Pa h Aragani tentu memilih orang-orang yang berisi untuk menjaga keselamatan tempat kediamannya."

   Lembu Peteng mengiakan.

   "Apakah engkau membekal tali ?"

   Tanya Wijaya.

   "Ya."

   "Bagus, kita dapat mencapai puncak pagar tembok ini,"

   Wijaya menyuruh Lembu Peteng berdiri tegak "akan kulontarkan tubuhmu ke atas, berusahalah untuk meraih puncak tembok itu."

   Lembu Peteng dapat menangkap maksud Wijaya.

   Ia berdiri diam, menahan napas, mengosongkan diri agar tubuh ringan.

   Wijaya mengangkat tubuh Lembu Peteng lalu dilemparkan sekuatnya ke atas.

   Lembu Petengpun bergeliatan melayang ke atas dan cepat meraih tepi puncak tembok lalu mengangkat tubuhnya.

   Berhasillah dia hinggap di atas puncak tembok itu.

   Kemudian ia mengeluarkan tali dan dilemparkan ke bawah "Raden, silakan memegang ujung tali erat-erat, akan kutarik ke atas."

   


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pendekar Cacad Karya Gu Long Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id

Cari Blog Ini