Ceritasilat Novel Online

Pahala Anak Berbakti 1


Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien Bagian 1




   
Pahala Anak Berbakti Karya dari Siao Shen Shien

   
Pahala Bagi Anak Berbakti -
Kolektor E-Book
Pahala Bagi Anak Berbakti -
Kolektor E-Book
Pahala bagi anak berbakti Karya.

   Siao Shen Shien //facebook.com/groups/Kolektorebook/ Sumber Pustaka .

   Gunawan AJ Kontributor - Scanner .

   Awie Dermawan OCR convert pdf Text .

   Tan Willy DISCLAIMER
Kolektor E-Book
adalah sebuah wadah nirlaba bagi para pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi pengetahuan dan pengalaman.

   Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan dipasaran dari kpunahan, dengan cara mengalih mediakan dalam bentuk digital.

   Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek alih media diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,maupun kondisi fisik.

   Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital sesua kebutuhan.

   Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.

   Salam pustaka! Team Kolektor Ebook Daftar Isi .

   1.

   Pahala Bagi Anak Berbakti 2.

   Ouw Peh Coa (Siluman Ular Putih Pay Su Chen) 3.

   Gadis yang cerdik lagi perkasa 4.

   Hukuman bagi Anak Durhaka 5.

   CHI KUNG menolong anak berbakti 6.

   Asal Sinci (Papan Roh) 7.

   Hikayat Giok Hong Siang Tee (Asal Mula Perayaan Tahun Baru Imlek) 8.

   CAP GO MEH 9.

   Sembayang CENG BENG 10.

   MA CHO PO (Kisah Dewi Pelindung Pelaut) 11.

   Hikayat PEH CUN 12.

   Riwayat CIO KO (Sembayang Rebutan) 13.

   Perayaan Tiong Ciu Pia 14.

   TANG CHE PAHALA BAGI ANAK BERBAKTI Di atas gunung Lotus (Teratai) yang tak jauh letaknya dan istana Dewi Ong Bu, hidup dua ekor Rase (Rubah) betina yang telah berhasil merampungkan tapanya, hingga berhasil mencapai kesempurnaan hidup.

   Hari itu mereka kumpul bersama dalam suasana menyenangkan.

   "Kudengar di kampung Lu Hua hidup seorang pemuda she (marga) Khu yang jujur lagi amat berbakti terhadap orang tua", kata salah seekor Rase.

   "kemarin ada Dewa yang menyatakan, bahwa pemuda itu akan mengalami musibah, yang kemungkinan dapat membahayakan nyawanya.

   Sebenarnya aku ingin turun ke bumi untuk menolongnya, tapi apa hendak dikata, aku telah disuruh oleh Dewi Ong Bu berangkat ke istana Pak-tauw.

   Dapatkah kau mewakiliku untuk membantu pemuda itu hingga terhindar dan malapetaka, Gin-ho (Rase Perak)?".

   "Baiklah Hua-ho (Rase Bunga), akan kuwakili kau mem-bantunya", sahut Gin-ho.

   Ginho segera naik awan menuju ke kampung Lu Hua.

   Pemuda berbakti yang bertempat tinggal di Desa Lu Hua bernama Khu Hui Goan, telah lama ayahnya meninggal dunia.

   Dia mengandalkan kepandaiannya menulis surat dan mem-buat 'Tui Lian' bagi orang lain, untuk membiayai hidupnya dan ibunya yang telah tua serta buta.

   Setiap harinya, selain mencari penghasilan di luar, Hui Goan harus melayani ibunya makan dan kebutuhan lainnya.

   Dia pula yang melakukan pekerjaan rumah tangga.

   Dia baru beristirahat setelah ibunya tidur.

   Pada suatu hari, sekembalinya dia ke rumah seusai melakukan pekerjaan di luar, Hui Goan bermaksud menanak nasi, tapi didapati tempat berasnya telah kosong.

   Dia bermaksud membeli beras, tapi apa mau dia tak memiliki sebab dalam beberapa hari belakangan ini usahanya agak sepi.

   "Apa yang harus kulakukan sekarang? Ibu tak boleh kelaparan", Hui Goan gugup.

   "sebaiknya kugadai pakaian".

   Dia membuka koper, mencari pakaian yang dianggap masih berharga untuk digadaikan.

   Dalam mencari-cari pakaian, dia telah menemukan selembar surat hutang yang ditanda-tangani oleh Lu Kie.

   "Lu Kie? Bukankah dia orang kaya di kampung ini? Sulit dipercaya dia berhutang pada ayah", gumam Hui Goan sambil membaca surat hutang itu.

   Maka kemudian dia menemui ibunya.

   "Nio, saya telah menemukan surat hutang yang ditanda- tangani Lu Kie ---Bukankah Lu Kie orang Icaya lagi terpandang?".

   "Bila tidak kau tanya aku hampir melupakannya", kata sang ibu.

   "itu terjadi duapuluh tahun yang silam".

   Khubo, ibu Hui Goan mulai bercerita.

   "Pada saat itu keadaan Lu Kie amat miskin, banyak hutangnya.

   Suatu ketika isterinya meninggal, tapi dia tak punya uang untuk pemakamannya.

   Meminjam uang pada orang lain sudah tidak dipercaya lagi, karena belum melunasi hutang lamanya.

   Maka kemudian dia terpaksa menemui ayahmu, mengemukakan kesulitannya.

   Ayahmu merasa kasihan padanya, memberinya 100 tail perak tanpa jaminan apa-apa.

   Lu Kie yang malu hati, sengaja membuat surat hutang.

   Pada mulanya ayahmu tak mau menerima surat itu, tapi Lu Kie terus mendesaknya, hingga ayahmu terpaksa menerimanya juga.

   Ayahmu menyerahkan surat hutang itu padaku.

   Aku menyimpannya di koper dan tak pernah mengingat- ingatnya lagi.

   Tahun berikutnya kau dilahirkan, sejak saat itu usaha ayahmu mulai menurun, mulai berhutang pada orang untuk menutupi ketekorannya.

   Tapi makin lama tambah menumpuk hutangnya, hingga terpaksa menjual sawah dan rumah.

   Mulai saat itu kits menempati rumah tua ini.

   Kegagalan usaha telah membuat ayahmu sering bermurung akhirnya jatuh sakit dan meninggal tak lama kemudian.

   Sejak ditinggal mati ayahmu, ibu harus bekerja keras untuk membiayai hidupmu.

   Tatkala kau telah berusia 16 tahun, ibu telah jadi seorang tuna-netra seperti sekarang ini.

   Menurut kabar, Lu Kie telah menjadi kaya raya berkat melakukan usaha yang tidak halal.

   "Kiranya begitu", kata Hui Goan seusai mendengar penuturan ibunya.

   "setelah kaya, dia tentunya bersedia melunasi hutangnya.

   Akan saya temui dia".

   "Boleh kau coba", kata Khubo.

   Maka Hui Goan pun berangkat ke rumah keluarga Lu.

   Rumah Lu Kie besar lagi mewah.

   Hui Goan menghampiri dua orang penjaga di muka rumah.

   "Siapa kau? Apa maksudmu ke mari?", tegur salah seorang penjaga.

   "Saya Khu Hui Goan, ingin bertemu dengan Lu Wangwa", Hui Goan mengungkapkan maksudnya.

   "Tunggulah kau sebentar, akan kuberitahukan Looya", kata si penjaga sambil masuk.

   Tak lama kemudian dia keluar lagi seraya berkata.

   "Mari masuk".

   Hui Goan mengikuti sang pesuruh, begitu berhadapan dengan tuan rumah, langsung dia menyapa.

   "Paman Lu".

   "Siapa kau? Apa maksudmu menemuiku?".

   "Saya Khu Hui Goan", sahut Hui Goan.

   "ayah saya ber-nama Khu Yun Choan".

   "Khu Yun Choan....

   ya, ingat aku sekarang", Lu Kie mengangguk.

   "bukankah dia telah lama meninggal?".

   "Benar paman".

   "Apa maksudmu ke mari?".

   "Saya ingin memohon bantuan paman untuk melunasi hutangmu belasan tahun yang silam", Hui Goan menerangkan.

   "ini adalah surat hutang yang paman buat dulu itu".

   Lu Kie mengambil surat hutang tersebut, membacanya, seketika berobah wajahnya, segera mengoyak-ngoyaknya.

   "Paman...", Hui Goan membelalakkan mata.

   "Bagaimana mungkin orang kaya sepertiku berhutang seratus tail perak pada ayahmu? Ini jelas merupakan pemerasan!".

   "Tapi itu kan jelas tanda-tangan paman...", kata Hui Goan agak gugup.

   "

   Sungguh besar nyalimu bocah, hingga berani meniru tanda-tanganku", Lu Kie bertambah marah.

   "Dengan mengoyak surat itu, jelas kau tak mau membayar hutang, Lu Kie", mulai panas hati Hui Goan.

   "Lekas usir bocah ini!", Lu Kie menyuruh pembantunya.

   Kedua pembantu Lu Kie segera menyeret Hui Goan, mendorongnya ke luar pintu, kemudian menutupnya cukup keras.

   Khu Hui Goan meninggalkan rumah Lu Kie sambil menunduk lesu.

   "Sungguh memalukan sebagai anak tak dapat menyenangkan orang tua", keluhnya.

   "Apa yang dapat kulakukan sekarang? Kini aku tak memiliki uang, Nio tentu akan mati kelaparan! Dan pada hidup tak dapat menyenangkan orang tua, lebih baik aku mati saja".

   Dilepaskannya ikat pinggang, melibatkannya di dahan pohon.

   Tatkala dia bermaksud menjerat lehernya, mendadak terdengar sebuah suara.

   "Dasar anak yang tidak berbakti --- Kalau kau mati sendiri bukan soal, tapi kau memiliki ibu yang buta, yang perlu kau beri makan dan rawat!".

   Hui Goan membatalkan maksudnya, berpaling ke asal suara, tapi dia tak melihat seorang pun di situ.

   "Aneh, jelas tadi aku mendengar suara orang, tapi di mana orangnya?", gumamnya.

   Tiba-tiba dia melihat tak jauh dari dirinya ada sebuah bungkusan, segera dia menghampiri dan mernungutnya.

   Ketika dibuka, isinya ternyata 10 tail emas.

   "Tampaknya Thian selalu memberi jalan keluar bagi umat-Nya, agar tidak berputus asa", mulai terkembang senyum lagi di wajah Hui Goan.

   "mungkin ini merupakan pemberian Dewa".

   Tapi dia segera balik berpikir.

   "Tak mungkin, uang emas ini pasti ada pemiliknya.

   Aku tak boleh mengambil barang orang, bila tidak akan mencelakai orang lain".

   Hui Goan duduk di bawah pohon.

   "Akan kukembalikan uang ini pada pemiliknya.

   Dia pasti akan datang mencarinya ke mari".

   Tak lama kemudian tampak mendatangi seseorang, yang ternyata seorang gadis berusia 20an.

   Gadis itu celingukan, seakan sedang mencari sesuatu.

   "Benar- benar sedang sial aku", gumam gadis itu kemudian.

   "bila tak berhasil kutemukan, ayahku tentu akan dihajar oleh orang kaya itu".

   "Apa yang nona cari?", tanya Hui Goan.

   Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Saya kehilangan sebungkus uang emas", si gadis menerangkan, sedih benar sikapnya.

   "Uang emas? Berapa tail?".

   "Sepuluh tail", sahut gadis itu.

   "sedianya untuk membayar hutang ayah".

   "Bungkusan ini nona?", Hui Goan rnengeluarkan bungkusan uang itu.

   "Benar", si gadis mengangguk.

   "Coba nona periksa".

   Si gadis membuka bungkusan, menghitung jumlah uang-nya.

   "Benar Kongcu baik sekali.

   Ambillah setail sebagai tanda terima kasihku".

   "Tak usah nona, simpanlah kembali Bukankah ayah-mu hendak membayar hutang?"

   "Aka rela memberikan padamu", ucap si gadis.

   "Maaf nona, bukannya saya tak butuh uang, tapi saya lihat nona lebih membutuhkan uang itu", ajar Hui Goan.

   "hati-hati jangan sampai hilang lagi".

   Hui Goan meninggalkan gadis itu.

   "Dia benar-benar pemuda yang jujur lagi berbakti terhadap orang tua", si gadis memandang kepergian si pemuda.

   Ternyata gadis itu bernama Ouw Siok Goat.

   Sebelumnya dia sempat melihat sikap Hui Goan yang lesu sedih, seperti orang yang berputus asa, menyusul dilihatnya pemuda itu bermaksud membunuh diri, maka dia segera mencegah perbuatan Hui Goan sambil cepat- cepat bersembunyi setelah meletakkan sebungkus sang emas.

   Namun kenyataannya Hui Goan tidak tamak akan harta, walau sesungguhnya dia sangat membutuhkannya.

   Hal itu telah membuat Siok Goat jadi mengagumi watak si pemuda.

   "Tampaknya Khu Kongcu sedang dirundung kegelapan, aku harus membantunya", pikir Siok Goat.

   Di lain fihak, dengan adanya kejadian di atas, Hui Goan jadi membatalkan maksudnya untuk membunuh diri.

   Setiba di rumah, dia memanggil.

   "Nio....".

   Tapi tiada sahutan dari ibunya.

   Tiba-tiba Hui Goan melihat sebuah bungkusan di atas meja, mirip dengan bungkusan milik si gadis yang hilang tadi, yang membuatnya keheranan.

   Ketilca Hui Goan membukanya, isinya ternyata 10 tail emas dan disertai sepucuk surat.

   Isi surat itu berbunyi.

   Kongcu, saya tahu kau sedang mengalami kesulitan keuangan.

   Untuk sementara aku belum membutuhkan uang ini, maka pakailah olehmu.

   Ouw Siok Goat.

   Baru selesai Hui Goan membaca surat itu, telah didengar suara ibunya.

   "Baru pulang Goan-jie!?".

   "Nio...", panggil Hui Goan.

   "Berhasil kau menagih hutang?".

   "Tidak Nio", sahut Hui Goan, lalu menceritakan-apa yang dialaminya di rumah Lu Kie.

   "Bila demikian, kita akan kelaparan, sebab tak ada lagi beras di pendaringan", sang ibu cemas.

   "Tak perlu cemas Nio", Hui Goan berusaha menenangkan ibunya.

   "di tengah perjalanan pulang tadi saya telah bertemu dengan seorang gadis yang baik hati, ketika tahu saya membutuhkan uang, lalu meminjamkan sejumlah uang pada saya".

   "Siapa dia? Di mana tinggalnya?", tanya Khu-bo berturut- turut.

   "Dia hanya memperkenalkan dirinya bernama Ouw Siok Goat", Hui Goan menerangkan.

   "saya ingin membeli beras dulu Nio".

   "Jangan lama-lama nak".

   Saya akan segera kembali Nio".

   *** Tak jauh dari rumah Khu Hui Goan, tampak berjalan beberapa orang; yang berjalan di muka adalah Lu Kie, diiringi oleh Phuy Suya, penasehatnya, dan beberapa orang pembantu lain-nya.

   Mereka sedang mencari lokasi yang dianggap cocok untuk membangun tempat peristirahatan.

   "Tang Ang, 'Hong Sui' di daerah ini baik sekali", kata Phuy Suya pada majikannya.

   "bila tuan membangun vila di lokasi ini, tentu akan membuat Tang Ang tambah kaya".

   (Tang Ang artinya sama dengan Boss zaman sekarang).

   "Benarkah itu?", tanya Lu Kie dengan wajah berseri.

   "Sungguh tuan".

   "Rumah tua di bawah itu milik siapa?", Lu Kie menuding rumah Khu Hui Goan yang dibangun di bawah gunung.

   "Milik Khu Hui Goan, yang ditempatinya bersama ibu- nya", menerangkan salah seorang pembantunya.

   "Ternyata miliknya", kata hati Lu Kie.

   "kalau begitu akan lebih mudah kuselesaikan --- Akan kubeli rumah itu, lalu membangun Vila di sini".

   Dalam pada itu Phuy Suya telah berkata.

   "Tang Ang, saya memiliki cara untuk mengusir mereka tanpa mengeluarkan uang satu Bun pun".

   "Bagaimana caranya?", tanya Lu Kie segera.

   Phuy Suya membisiki sesuatu, kemudian meneruskan.

   "Asal kita berbuat begitu, segalanya pasti beres".

   "Rencana yang bagus", Lu Kie kegirangan.

   "mari kita turun untuk menemui mereka".

   *** Hui Goan sedang berbincang-bincang dengan ibunya ketika mendengar ada yang mengetuk pintu.

   Hui Goan segera membukakannya.

   "Kau...?", dia membelalakkan mata ketika melihat Lu Kie yang berdiri di depan rumahnya.

   "apa maksudmu ke mari?".

   "Kedatanganku ingin memberitahukanmu, bahwa aku ingin mengambil kembali tanah dan rumah ini", kata Lu Kie.

   "tanah ini milikku, sebelumnya aku membiarkan saja kau ternpati.

   Sekarang aku mau pakai, kuberi kau waktu tiga hari untuk mengosongkan rumah ini!".

   "Siapa bilang tanah ini milikmu?", tiba-tiba Khu-bo ber- kata begitu.

   "Nio....".

   "Lu Kie, kau benar-benar seorang yang tak mengenal budi", kata Khubo lagi.

   "bila tempo hari suamiku tidak memberi pinjaman uang, mungkin kau takkan dapat hidup sampai sekarang --- tak sangka, setelah jaya, kau ingin menguasai satu-satunya milik kami.

   Kau benar- benar manusia yang berhati binatang.

   Kau pasti akan mendapat hukum karma nantinya!".

   "Aku telah berbaik hati dengan membiarkan kalian me- nempati rumah ini tanpa memungut sewa", Lu Kie masih berusaha mengakui rumah itu miliknya.

   "sekarang aku ingin membangun villa di daerah ini, maka kalian harus tahu diri untuk pergi dan rumah ini!".

   "Dasar kulit badak, surat tanah dan rumah lengkap di ta-nganku!", ucap Khubo.

   "biar harus berurusan dengan fihak yang berwajib juga, aku tak takut".

   Saking malu belangnya terbuka, Lu Kie berobah jadi ma-rah.

   "Akan kau rasakan akibatnya nanti!", ancamnya.

   "Cara apapun yang kau tempuh, aku tidak takut!", tantang Khubo.

   "sebab rumah ini adalah milikku yang sah".

   "Huh, marl kita pulang!", Lu Kie mengajak anak buahnya.

   Sepergi Lu Kie dan kaki tangannya, Khubo menangis sedih.

   "Kenapa jadi begini nasib kita nak", ucapnya dengan di-selingi sedu-sedan.

   "Jangan bersedih, Nio", Hui Goan berusaha menghibur ibunya.

   "Kau harus hati-hati Goanjie", kata sang ibu.

   "bangsat itu tentunya takkan man menyudahi persoalan ini sampai di situ saja".

   "Saya Nio", Hui Goan mengangguk.

   *** Lu Kie pulang dengan diliputi rasa malu dan dongkol.

   "Benar-benar kurang ajar nenek itu", gerutunya.

   "biar bagaimana juga harus kuberi dia pelajaran pahit".

   "Sabar Tang Ang", kata penasehatnya.

   "saya masih me-miliki cara lain".

   "Cara apa lagi?", Lu Kie penasaran.

   "Malam ini kita suruh orang membakar rumah mereka", Phuy Suya menerangkan.

   "besok pagi kita suruh orang memakamkan jenazah mereka dan memberesi puing- puing".

   "Ha, ha, bagus, bagus", Lu Kie tertawa kegirangan.

   "kau memang penasehatku yang cerdik".

   Sang penasehat tersenyum bangga.

   Lu Kie segera menyuruh beberapa orang bajingan untuk membakar rumah Khu Hui Goan malam itu, dengan memperoleh imbalan yang memadai.

   Setelah kentongan ketiga, tampak beberapa bayangan hi-tam mendekati rumah keluarga Khu.

   Mereka adalah para bajingan yang disuruh membakar rumah Hui Goan.

   Tapi, sebelum mereka tiba di tempat tujuan, di depan me-reka berdiri seorang wanita, yang ternyata Ouw Siok Goat.

   "Kalian ingin ke rumah keluarga Khu?", tanya Siok Goat setelah para bajingan tiba di hadapannya.

   "Kau...", yang jadi pemimpin rombongan menatap heran.

   "bagaimana kau tahu?".

   "Sudah barang tentu aku tahu", kata Siok Goat.

   "kalian telah salah arah".

   Selesai berkata, Siok Goat menggerakkan lengan bajunya.

   Keempat bajingan itu pada menggigil kedinginan, hilang pula akal warasnya.

   "Lekas kalian kembali, setelah menikung, akan tiba di rumah keluarga Khu", kata Ouw Siok Goat.

   Keempat bajingan tersebut patuh, membalikkan tubuh me-ninggalkan tempat itu, tak lama tibalah mereka di muka rumah yang besar mewah.

   Rumah itu sesungguhnya bukan tempat tinggal Khu Hui Goan, tapi rumah keluarga Lu.

   "Ini dia rumahnya", si pemimpin rombongan menuding rumah Lu Kie.

   "Mari kita bakar!", kata satunya.

   "Mari, sambut dua lainnya.

   Mereka berempat bagaikan orang yang kehilangan akal waras, menyalakan obor, mulai membakar rumah Lu Kie.

   Api makin lama berkobar semakin besar, membuat panik para pembantu rumah tangga Lu Kie.

   "Lekas kita laporkan pada Looya", kata salah seorang pembantu Lu Kie.

   "Mari!", sambut temannya.

   Mereka bergegas menemui majikannya.

   "Celaka Looya", kata salah seorang pembantu begitu ber-temu dengan Lu Kie.

   "Ada apa?", Lu Kie keheranan.

   
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada orang yang membakar rumah tuan", sang pembantu memberitahu.

   "Apa?", Lu Kie amat terperanjat, segera mengajak pembantunya keluar.

   Terlihat olehnya beberapa bajingan yang disuruh membakar rumah Hui Goan, malah telah membakar rumahnya.

   Lu Kie langsung menghampiri mereka seraya menghardik.

   "Sudah sintingkah kalian? Kenapa rumahku yang kalian bakar?".

   Dibentak begitu, keempat bajingan itu bagaikan orang yang baru sadar dari mimpinya.

   "Kenapa jadi begini?", si pemimpin rombongan jadi kehe-ranan sendiri.

   Para pembantu Lu Kie sibuk memadamkan api.

   "Aku kan menyuruh kalian membakar rumah Khu Hui Goan", Lu Kie masih belum hilang dongkolnya.

   "kenapa kalian malah membakar rumahku?".

   "Lu Looya, kami...", saking gugupnya, si pemimpin rom- bongan tak dapat meneruskan ucapannya.

   "Kenapa kalian?".

   "Tadi kami telah bertemu seorang gadis yang menunjukkan jalan ke mari.

   Kami seperti telah disihirnya, hingga menuruti saja apa katanya...", menerangkan kepala bajingan.

   "Mungkin mereka telah berternu dengan hantu", kata hati Lu Kie.

   Maka dia segera menghampiri penasehatnya yang kala itu telah pula keluar, untuk melihat kebakaran.

   "Daya apa lagi yang masih kau miliki Phuy Suya!?", tanyanya.

   "Sekarang sebaiknya kita mengeluarkan sejumlah uang untuk mempengaruhi pejabat penegak hukum, Tang Ang", sang penasehat menyarankan.

   Lu Kie segera mengajak sang penasehat untuk menemui pejabat yang dikenalnya.

   Namun sebelum mereka tiba di tempat yang dimaksud, telah terdengar panggilan seseorang.

   "Lu Looya".

   Lu Kie menghentikan Iangkah, berpaling.

   Di belakangnya berdiri seorang gadis cantik.

   Lu Kie langsung tertarik pada kecantikan si gadis.

   "Ada apa nona?", tanyanya sambil cengar-cengir.

   "ada yang dapat Loohu bantu?".

   "Nama saya Ouw Siok Goat, kedua orang tua saya mendadak meninggal dalam waktu bersamaan, sedang saya tak punya uang untuk memakamkan mereka.

   Tolonglah Looya berbuat amal dengan meminjamkan saya sejumlah uang".

   "Jangan sia-siakan kesempatan baik ini, Tang Ang", Phuy Suya membisiki majikannya.

   "Baiklah, aku bersedia membantumu", kata Lu Kie.

   "ajaklah aku ke rumahmu".

   "Mari Looya!", ajak Siok Goat.

   Lu Kie dan Phuy Suya mengikuti.

   Tak berselang lama, tibalah mereka di sebuah rumah kecil.

   Siok Goat mengajak Lu Kie dan Phuy Suya masuk.

   Terlihat sepasang jenazah suami istri berusia setengah baya terbaring di ranjang.

   Siok Goat menangis sedih.

   "Berapa yang nona butuhkan?", tanya Lu Kie.

   Tiada sahutan.

   Ketika Lu Kie dan penasehatnya berpaling ke tempat Siok Goat berada, mereka tak melihat gadis itu lagi.

   "Aneh, ke mana dia?", Lu Kie keheranan.

   "Ya, mendadak hilang", ujar Phuy Suya.

   Tiba-tiba dari sisi mereka terdengar sebuah suara.

   "Kami di sini!".

   Ketika berpaling ke asal suara, jantung mereka seakan mau copot saking kagetnya.

   Kedua jenazah yang semula berbaring di ranjang, mendadak telah berdiri di hadapan mereka.

   "Lekas bayar nyawa kami Lu Kie", kata 'mayat hidup' lelaki.

   "kami terpaksa membunuh diri karena didesak harus melunasi hutang padamu".

   "Ampun...", Lu Kie berteriak ketakutan, menggigil tubuhnya.

   "Dosamu sudah luber, telah tiba saatnya untuk dikirim ke Neraka!", kata sang mayat hidup lagi, sambil bersiap-siap me-nerkam.

   "Jangan...

   ampun...!", teriak Lu Kie lagi.

   Dia segera membalikkan tubuh, bermaksud nenghambur ke luar dengan diikuti oleh penasehatnya.

   Tapi apa hendak dikata, pintu depan dikunci dari luar, membuat mereka tak dapat buron.

   Tiba-tiba tengkuk Lu Kie dan Phuy Suya dipegang oleh tangan yang dingin.

   Mereka terpaksa membalikkan tubuh, terlihat sepasang tangan dan kepala mayat hidup itu telah lepas dari tubuhnya, melayang-layang di tengah ruang.

   Sedangkan tubuh tanpa kepala dan tangan itu menari-nari di lantai.

   Hal itu membuat Lu Kie dan Phuy Suya tambah ketakutan.

   "Ampun...

   hantu...!", Lu Kie dan penasehatnya menjerit bersamaan sambil berlari-lari di dalam ruang, untuk menghindari cengkeraman tangan yang melayang kian ke- mari.

   Rumah itu mendadak lenyap, yang tinggal hanyalah te-riakan ketakutan dari Lu Kie dan penasehatnya di daerah pegunungan yang sepi....

   *** Isteri Lu Kie amat cemas, sampai jauh malam suaminya belum juga kembali.

   Maka dia pun menyuruh para pembantu-nya untuk mencari sang suami.

   Setelah mereka mencari ke sana ke mari, baru berhasil menemukan majikan dan penasehatnya.

   Namun keadaan mereka bagaikan telah kehilangan akal warasnya, berteriak sambil menari-nari di jalan.

   Nyatanya mereka jadi sinting akibat dicekam ketakutan yang amat sangat.

   "Sedang apa Looya di sini?", tanya salah seorang pembantu Lu Kie.

   "Oh, Malaikat utusan Giok Tee telah datang", seru Lu Kie.

   Melihat majikannya dan Phuy Suya telah sinting, para pembantu keluarga Lu mengajak mereka pulang.

   Setiba di rumah, sang pembantu melapor pada nyonya-nya.

   "Looya dan Phuy Suya jadi sinting, Hujin".

   "Sinting?", nyonya Lu terperanjat.

   "lekas panggil Tabib!".

   "Baik Hujin".

   Walau telah diobati, penyakit Lu Kie dan Phuy Suya tak juga sembuh.

   Sepanjang sari mereka mengoceh yang bukan-bukan, tak jarang pula memakan kotoran manusia.

   Sering juga mereka main kuda-kudaan, bagai anak kecil.

   Nyonya Lu yang khawatir sikap mereka dapat memba- hayakan orang lain, segera menyuruh pembantunya untuk mengurung swami dan penasehatnya di gudang.

   Hari-hari selanjutnya terus dilalui oleh Lu Kie dan penase- hatnya dengan ulah yang aneh.

   Sampai pada suatu malam, Lu Kie menghampiri lilin yang sengaja digunakan untuk menerangi ruang, mengambilnya sam-bil tertawa- tawa.

   "Ha, ha, menarik sekali!".

   Lalu dipakainya api lilin untuk menyalakan kayu bakar.

   Dalam sekejap api membesar dan membakar gudang itu.

   Namun Lu Kie dan Phuy Suya bukan saja tidak berusaha untuk meloloskan diri, bahkan memandang kobaran api itu sebagai sesuatu yang menarik.

   Akibatnya mereka mati terbakar.

   Ketika nyonya Lu tahu akan hal itu, segera menyuruh para pembantunya memadamkan api, tapi sudah terlambat.

   Gudang itu musnah dimakan 'si jago merah' berikut suami dan penasehatnya.

   Terpaksa Lu Hujin memakamkan jenazah suami dan penasehatnya yang mati terbakar, Ternyata segalanya itu adalah ulah Ouw Siok Goat, yang telah menggunakan kesaktiannya, menciptakan dua mayat hidup, yang mengakibatkan Lu Kie dan Phuy Suya jadi sinting saking takutnya.

   Berdasarkan kesaktiannya pula, dia mengetahui diri Hui Goan telah terhindar dari mara-bahaya, maka Siok Goat segera menunggang awan untuk kembali ke Surga.

   "Sudah kembali kau, Gin-ho'?", Hua-ho (si Rase Kembang) menyambut kedatangannya.

   "Ya, aku telah menolong anak berbakti itu hingga lolos dari musibah", sahut Siok Goat.

   Siok Goat menggoyangkan tubuh, seketika menjelma kem-bali jadi Rase.

   Tiba-tiba terdengar suara dari angkasa.

   "Gin-ho, Hua-ho, dipanggil oleh ,Ong Bu Nio Nio!".

   Kedua rase sakti itu segera menunggang awan, berangkat ke istana Dewi Ong Bu....

   *** Sejak memperoleh uang emas, hidup Khu Hui Goan jadi tenang, tekun belajar.

   Setelah menganggap cukup kepandaiannya, dia pun pamit pada ibunya untuk mengikuti ujian di kota Raja.

   Sebelum berangkat, dia telah memakai seorang pelayan untuk melayani ibunya.

   Nyatanya Thian selalu memberkahi anak yang berbakti.

   Hui Goa berhasil mencapai gelar Conggoan (Sarjana) dalam ujian Negara.

   Hui Goan bergegas pulang ke kampung halamannya, untuk menyampaikan kabar gembira itu.

   "Untuk selanjutnya kita tak usah khawatir kelaparan lagi Nio", kata Hui Goan pada akhirnya.

   "Kita harus bersyukur pada Thian, juga pada nona Ouw", ucap sang ibu.

   OUW PE CHOA (SILUMAN ULAR PUTIH & ULAR HIJAU) Sejak zaman dulu hingga sekarang, kisah Ouw Pe Choa amat digandrungi orang, maka tidaklah mengherankan bila cerita ini telah diterbitkan ke dalam berbagai bahasa serta telah pula berulang kali dipindahkan ke pita Celluloid, sejak film bisu hingga ke film berteknik unggul seperti sekarang ini.

   Kini, cerita yang memukau ini kami persembahkan bagi anda.

   Selamat membaca, semoga anda puas, lagi meninggalkan kesan yang dalam.

   Di atas gunung Go Bie yang indah menawan panoramanya, hidup dua ekor ular.

   ular putih dan ular hijau.

   Kedua binatang ini telah bertapa lebih dari 1000 tahun, hingga kemudian mereka telah dapat merobah bentuk menjadi dua gadis yang cantik mempesona.

   Sang ular putih menamakan dirinya Pe Siok Chin dan ular hijau menyebut dirinya Siao Cheng.

   Bila sedang berada di dalam masyarakat, mereka berlaku seperti majikan dan pembantu.

   Pe Siok Chin sebagai majikan dan Siao Cheng menjadi pembantunya.

   Telah cukup lama mereka mendengar akan keindahan panorama telaga See-auw, ke situlah mereka menuju.

   Namun setiba di tepi telaga See-auw, mendadak turun hujan lebat sekali.

   "Hujan celaka!", gerutu Siao Cheng.

   "Agak sial nasib kita", kata Pe Siok Chin.

   Keduanya cepat meneduh di bawah pohon.

   Tiba-tiba terlihat seorang pemuda berpayung yang sedang memanggil perahu di tepi telaga.

   "Choan-khe, tolong antarkan aku ke Cheng Po Mui, akan kubayar lebih dari biasa!".

   Si tukang perahu merapatkan perahunya ke tepi telaga.

   Pemuda itu naik.

   "Brengsek", gerutu Khouw Sian, pemuda itu, setelah berada di dalam perahu.

   "pakaian baruku jadi kotor".

   Khouw Sian bekerja di toko obat, dia baru saja berziarah ke makam orang tuanya pada hari Cheng Beng, sekalian menikmati keindahan panorama telaga See-auw yang terkenal itu, tapi apa mau dikata, mendadak telah turun hujan lebat benar.

   Di lain fihak, Siao Cheng berkata.

   "Entah kapan redanya hujan inn, sebaiknya kita naik perahu juga, kak".

   Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pe Siok Chin langsung menyetujuinya.

   Mereka lantas berlari-lari ke tepi telaga.

   "Choan-khe", seru Siao Cheng.

   "tolonglah bawa kami ke Cheng Po Mui".

   Si tukang perahu tak berani mennituskan, bertanya pada Khouw Sian.

   "Kita ajak tidak, Siangkong?".

   "Kasihan mereka, biar kita ajak serta", sahut Khouw Sian.

   "Silakan naik, Jiwie Kouwnio!", si tukang perahu merapatkan perahu ke darat.

   Khouw Sian keluar dari bilik sambil memegang payung, menyilakan kedua gadis itu masuk.

   "Siapa nama Kongcu dan di mana rumahmu?", tanya Siao Cheng setelah mereka duduk.

   "lain waktu kami akan datang ke rumah Kongcu untuk mengucapkan terima kasih".

   "Nama saya Khouw Sian, sejak kecil telah ditinggal mati orang tua, Cici sayalah yang mengasuh saya hingga dewasa", Khouw Sian menerangkan.

   "kini saya bekerja di toko obat".

   "Nona saya she Pe, ayahnya seorang pejabat militer.

   Tapi balk ayah maupun ibunya telah meninggal pada tiga tahun yang silam, kini tinggal saya bersama nona Pe".

   "Oh....".

   Selagi mereka asyik berbincang-bincang, telah terdengar suara si tukang perahu.

   "Kita telah tiba di Cheng Po Mui, Khek-jin".

   Pada saat itu hujan telah agak reda.

   Mereka naik ke darat.

   Siao Cheng yang mendahului mem-bayar sewa perahu, membuat Khouw Sian jadi tak enak perasaannya.

   Khouw Sian mengucapkan terima kasih dan mereka pun berpisah.

   Tapi baru berjalan beberapa langkah, Khouw Sian seakan ingat sesuatu, berpaling, terlihat kedua gadis itu basah kuyup tersiram hujan.

   "Nona Pe!", panggilnya.

   Siao Cheng dan Pe Siok Chin menghentikan langkah, berpaling.

   "Ada apa Kongcu?", tanya Siok Chin, merdu suaranya.

   "Rumah saya tak jauh dari sini", Khouw Sian mengangsurkan payung.

   "pakailah payung ini oleh kalian!".

   Siao Cheng yang menyambut payung itu.

   Sementara Siok Chin telah berkata.

   "Terima kasih Kongcu Saya tinggal di Chi Ong-si (Rumah Abu Ong), tolonglah Kongcu mengambilnya ke rumah saya besok".

   "Baik, besok saya akan mengambilnya", kata Khouw Sian, hati-hati di jalan nona".

   "Terima kasih", ucap Siok Chin.

   "Mari kita ke Chi Ong- si", ajak Siao Cheng pada Siok Chin, seberlalu Khouw Sian.

   "Mari", sambut Siok Chin.

   Beberapa saat kemudian tibalah mereka di tempat yang di-maksud.

   "Rumah abu ini telah lama tak diurus, luas pula bangunan-nya --- Mari kita rapikan", ucap Siok Chin.

   Dengan menggunakan kesaktian, sebentar saja mereka telah berhasil merapikan rumah tua.

   Keesokan harinya Pe Siok Chin menanti kedatangan Khouw Sian sambil memegang payung.

   Tak lama kemudian tampak pemuda she Khouw datang ke Chi Tong-si.

   Untuk sesaat dia berdiri di luar rumah.

   Siao Cheng menyambut kehadirannya.

   "Silakan masuk Khouw Koanjin".

   "Terima kasih", Khouw Sian ikut Siao Cheng masuk.

   Siao Cheng menyediakan hidangan.

   Siok Chin menemani Khouw Sian makan minum.

   "Saya merasa tak enak Koanjin jadi kehujanan gara-gara kami", ucap Siok Chin.

   "mari dicicipi hidangannya".

   "Terima kasih nona".

   Selesai makan, mereka berbincang-bincang, cepat sekali ke-duanya menjadi akrab karena merasa cocok satu dengan lain-nya.

   Kecantikan dan kelamah-lembutan sikap Pe Siok Chin membuat hati Khouw Sian begitu tertarik.

   Kalau saja aku dapat memperisteri wanita secantik dan selembutnya, tentu akan bahagia hidupku", kata hati Khouw Sian seraya memandang Siok Chin penuh arti.

   Sejak itu seringlah Khouw Sian datang ke rumah Pe Siok Chin.

   Benih cinta tambah subur tumbuhnya.

   Beberapa waktu kemudian, merekapun melangsungkan pernikahan.

   Khouw Sian amatlah bahagia dapat mempersunting Pe Siok Chin.

   Selain cantik, Siok Chin pun merupakan isteri yang bijaksana.

   Selang beberapa waktu, Pe Siok Chin berkata pada suami-nya.

   "Ayahku telah mewariskan sejumlah harta, sebaiknya kita gunakan uang itu untuk membuka toko obat, dengan demikian kau tak perlu cape-cape bekerja lagi".

   "Cukup baik memang usulmu", kata Khouw Sian.

   "tapi orang-orang di sini rata-rata tahu kalau aku seorang miskin.

   Bila mendadak aku membuka toko setelah memperisterimu, apa kata orang nanti!?".

   "Hal itu memang telah kupertimbangkan", ucap Siok Chin.

   "sebaiknya kita pindah ke Souw-chiu, membuka toko di sana".

   "Tapi sebagai laki-laki, aku bermaksud membangun usaha dengan kemampuanku sendiri".

   "Janganlah kau kukuh pada pendirianmu", kata Pe Siok Chin.

   "setelah jadi suami isteri, hartaku berarti hartamu juga, dan pada uang itu disimpan saja, kan lebih baik diputarkan".

   "Tapi....".

   "Sebaiknya jangan kau terlalu terpaku pada soal gengsi", desak sang isteri.

   "bila kau merasa berat menerima dariku begitu saja, dapat kau anggap sebagai pinjaman, setelah maju usaha kita nanti, dapat kau kembalikan modalnya padaku".

   Khouw Sian diam, seakan sedang mempertimbangkan usul itu.

   "Baiklah", ucapnya kemudian *** Pada hari kepindahan Khouw Sian bersama isteri ke kota Souw-chiu, kakak dan kakak ipar Khouw Sian mengantar keberangkatan mereka.

   Hampir setahun Khouw Sian membuka toko obat, tapi ja-rang sekali orang yang datang ke toko mereka.

   Keadaan itu membuat Khouw Sian sering merasa murung.

   "Jangan kau bermurung diri Koan-jin", Pe Siok Chin berusaha menghibur suaminya.

   "lazim bagi orang yang baru mem-buka usaha akan begini keadaannya".

   "Tampaknya aku memang bernasib jadi pembantu, tak dapat membuka usaha sendiri", Khouw Sian menghela nafas.

   "Dalam segala hal kita harus sabar dan ulet, tak boleh cepat berputus asa", Siok Chin terus memberi dorongan semangat pada suaminya.

   "Kita kan sudah cukup sabar, tapi nyatanya....".

   "Tabahlah, mungkin tak lama lagi usaha kita akan dapat berkembang"

   Siok Chin merangkul suaminya.

   *** "Kita harus berusaha membantu usahanya, kak", kata Siao Cheng setelah mendengar keterangan Siok Chin prihal Khouw Sian.

   "Dengan cara apa kita membantunya?", tanya Pe Siok Chin bagaikan orang yang kehabisan akal.

   "Kita gunakan kesaktian kita untuk membuat penduduk kota pada sakit", Siao Cheng mengusulkan.

   "Tapi itu,akan melanggar hukum alam, bisa dihukum oleh Thian kita" , Pe Siok Chin kurang setuju akan usul Siao Cheng.

   "Hanya itu satu-satunya jalan keluarnya", ucap Siao Cheng.

   "bila penduduk pada sehat, siapa yang sudi membeli obat?".

   "Tapi....".

   "Cici tak usah ragu, kita laksanakan dulu, akibatnya soal belakang".

   Siok Chin mempertimbangkan sejenak, demi dapat menenangkan dan membahagiakan suami, akhirnya dia menyetujui usul Siao Cheng....

   Beberapa waktu kemudian, di kota Souw-chiu telah ke- jangkitan wabah.

   Orang yang terserang penyakit, nyawanya akan melayang dalam semalam.

   Dalam waktu singkat banyak sudah yang meninggal dunia.

   Keadaan itu membuat para penduduk kota jadi panik.

   Pe Siok Chin mengolah obat untuk menyembuhkan orang yang terserang wabah.

   Bagi orang miskin tidak dipungut bayaran.

   Tapi bagi orang kaya diminta bayaran yang cukup tinggi.

   Dalam waktu relatif singkat, toko obat 'Po Ho Tong' yang dikelola Khouw Sian jadi sangat terkenal, setiap hari ramai dikunjungi pembeli.

   Khouw Sian jadi semakin menyintai isterinya.

   Pada suatu ketika, Hoat Hai Tiangloo, Padri yang memimpin Vihara Kim San-si, datang ke kota Souw-chiu.

   Padri tua itu lewat di muka toko obat milik Khouw Sian dan pada saat itu Khouw Sian sedang berdiri di depan tokonya.

   Sejenak Hoat Hay Tiangloo mengawasi wajah Khouw Sian, kemudian berkata .

   "0 Mi To Hud (Amitaba), dengan muncul-nya siluman, para penduduk jadi terserang wabah".

   "Apa maksud Taysu?", tanya Khouw Sian keheranan.

   "Khouw Sicu, Looceng adalah Hoat Hay dan Kim San-si, Loocang akan mengobati sakitmu".

   "Saya tidak sakit, Taysu", ujar Khouw Sian.

   "Jauh-jauh Looceng datang ke marl karena melihat kota Souw-chiu diliputi hawa siluman", kata Hoat Hay Tiangloo.

   "temyata siluman itu adalah isterimu!".

   "Ngaco, isteriku adalah wanita yang baik lagi bijaksana, tak mungkin ia siluman yang mencelakai penduduk kota....".

   "Looceng yakin tak salah lihat", Hoat Hay Tiangloo tetap pada pendiriannya.

   "Mana buktinya?", Khouw Sian agak dongkol terhadap Hweshio tua itu.

   "Bila kau tak percaya, dapat kau buktikan setibanya hari Toan-yo nanti, isterimu akan memperlihatkan bentuk aslinya!".

   Begitu selesai berkata, Hoat Hay Tiangloo berlalu sambil tertawa besar.

   "Benar-benar brengsek Hweshio ini", gerutu Khouw Sian.

   "Mungkin dia Hweshio sinting", sambut seorang pembantunya.

   "Mungkin juga"

   Khouw Sian sengaja tak menyampaikan apa yang baru dialaminya pada isterinya, khawatir kalau-kalau Pe Siok Chin ber-murung diri.

   Namun kenyataannya, setiba di hari Toan-yo, sikap Pe Siok Chin dan Siao Cheng sangat gelisah.

   Siao Cheng khawatir sewaktu-waktu dirinya akan memperlihatkan bentuk aslinya.

   "Sebaiknya untuk sementara kita bersembunyi, kak", Siao Cheng mengusulkan.

   "Khouw Sian amat menyintaiku, seandainya aku pergi tanpa memberitahukannya, dia tentu akan jadi panik dan berusaha mencariku", kata Pe Siok Chin.

   "aku rasa cukup kuat untuk dapat mempertahankan diri supaya tidak kembali ke bentuk asli kita".

   "Jangan kakak terlampau berani mengambil resiko, kita harus waspada pada 'hari apes' kita", Siao Cheng berusaha mengingatkan Siok Chin.

   "Iebih baik kita pisah sementara dari pada menimbulkan akibat yang tidak kita harapkan nanti".

   "Tapi aku berat untuk pisah dengan Khouw Sian", Pe Siok Chin kukuh pada pendiriannya.

   
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"di samping itu aku yakin dapat mengatasinya".

   "Bila itu juga yang menjadi kehendak Cici, baiklah", kata Siao Cheng.

   "saya akan pergi bersembunyi untuk sementara, sebab saya kurang yakin dapat mengatasi keadaan ini --- Hen- daknya Cici berhati-hati menjaga diri".

   "Pergilah dik", walau Siok Chin merasa berat ditinggal se-mentara oleh Siao Cheng, namun dia lebih berat lagi untuk pisah dengan suami, walau itu hanya untuk sementara.

   Siao Cheng pamit pada Siok Chin.

   Malam hari Toan-yo, Khouw Sian meminta isterinya makan minum bersama.

   Walau agak ragu karena ingat akan 'hari apes'nya, tapi se-bagai isteri yang baik, tak dapat dia menolak ajakan suaminya.

   Dia membatasi meminum arak yang disodorkan suaminya, tapi Khouw Sian mendesaknya minum lebih banyak lagi.

   Pe Sio Chin terpaksa harus berulang-ulang meminum arak, membuat kepalanya terasa pening benar dan matanya mulai ber-kunang- kunang.

   Khouw Sian terus mengisi gelas minum isterinya.

   "Minumlah sedikit lagi", desaknya.

   "Tidak aku...", Siok Chin memegang keningnya.

   Tiba-tiba wajahnya berobah merah.

   Melihat itu, Khouw Sian jadi sangat gugup.

   "Berbaringlah kau sebentar, Nio-cu", Khouw Sian memapah isterinya ke pembaringan.

   "aku akan mengainbil obat".

   "Lekas tinggalkan kamar ini Koan-jin...

   Jangan kau ke mari untuk beberapa waktu".

   Namun Khouw Sian yang khawatir akan keadaan isterinya, bergegas mengambil obat, kemudian kembali lagi ke ruang atas, Terlihat olehnya, kelambu pembaringan telah diturunkan.

   "Nio-cu...

   Nio-cu...", panggilnya sambil menghampiri pembaringan.

   Namun begitu dia menyingkap kelambu, terlihat di atas ranjang melingkar seekor ular putih, bentuk asli Pe Siok Chin! Saking kagetnya, Khouw Sian jatuh terguling, tak sadarkan diri.

   Selepas tengah hari pada keesokan harinya, Siao Cheng yang menganggap waktu apesnya telah lalu, barulah dia berani pulang ke rumah lagi.

   Tapi alangkah kagetnya dia ketika melihat Khouw Sian menggeletak tak bernyawa.

   Sedang ular putih telah berobah bentuknya menjadi Pe Siok Chin kembali, yang kala itu masih terbaring lemah di ranjang.

   "Kak...

   kak Pe!", Siao Cheng menghampiri pembaringan.

   "Oh...

   kau Siao Cheng", Siok Chin memijat-mijat kening-nya.

   "apa yang telah terjadi?".

   "Khouw Sian meninggal kak", Siao Cheng memberitahu.

   "Apa?", Pe Siok Chin melompat bangun.

   Ketika melihat Khouw Sian terbujur kaku di bawah pem-baringan, Siok Chin menangis sedih benar.

   "Gara- gara aku berat pisah dengannya, malah jadi menyelakainya", kata Siok Chin dengan diselingi sedu- sedan.

   "Tak ada gunanya Cici menangis, sebaiknya kita mengurus pemakamannya", Siao Cheng menyarankan.

   Namun Pe Siok Chin tetap menangis sedih benar.

   "Tidak, aku harus menolongnya", air mata terus membasahi wajah Siok Chin.

   "di gunung Kun Lun tumbuh rumput Dewa yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah meninggal".

   Siao Cheng dan Siok Chin mengangkat tubuh Khouw Sian, membaringkannya di ranjang.

   "Aku akan berusaha menolongmu, Koan-jin", Siok Chin memandang jenazah suaminya dengan berderai air mata.

   Setelah memesan Siao Cheng agar menjaga mayat suami-nya, Pe Siok Chin berangkat ke gunung Kun Lun dengan naik awan.

   Cepat sekali dia tiba di tempat yang dituju.

   Di atas gunung itu terdapat sebuah goa yang dihuni Dewa, terlihat seorang bocah yang sedang tidur di mulut goa.

   Pe Siok Chin mengenali, bahwa anak itu adalah Lu Tong (Bocah Rusa), yang ditugaskan menjaga goa Dewa tersebut.

   Pe Siok Chin menggunakan kesempatan selagi bocah itu tidur, menyelinap masuk dan hati-hati sekali dia memetik rumput Dewa, bermaksud meninggalkan tempat tersebut secepatnya.

   Celaka, saking terburu-buru, kakinya tersandung batu, hingga menimbulkan suara cukup keras.

   Lu Tong langsung terjaga dari tidurnya.

   "Hei, kau mencuri rumput Dewa!", hardiknya.

   Tiba-tiba terdengar suara bangau, disusul dengan muncul-nya Hok Tong (Bocah Bangau).

   "Siluman dari mana kau?", bentak Hok Tong sambil memburu ke arah Pe Siok Chin.

   "lekas kembalikan rumput Dewa yang kau curi!".

   Pe Siok Chin segera menyoja.

   "Harap Toa Sian suka ber-baik hati melepaskan saya.

   Saya ingin menyelamatkan nyawa suami saya dengan rumput ini dan saya takkan dapat melupakan budi Toa-sian berdua".

   "Setelah berani mencuri rumput Dewa, jangan harap kau dapat hidup lebih lama lagi siluman!", hardik Hok Tong.

   "Saya....".

   Narnun Hok Tong tak memberi kesempatan Pe Siok Chin bicara lebih jauh, langsung saja menabaskan pedang.

   Pe Siok Chin menyadari, tak ada gunanya baginya memohon lebih jauh, memasukkan rumput Dewa itu ke dalam mulutnya.

   mulai melakukan perlawanan.

   Lu Tong ikut membantu temannya.

   Sinar pedang berkelebat ke sana ke mari, pada mulanya Siok Chin masih dapat mengimbangi serangan-serangan kedua bocah sakti itu, namun berangsur-angsur dirinya mulai terdesak, sampai kemudian tubuhnya kena ditendang Hok Tong hingga jatuh terguling.

   Hok Tong dan Lu Tong mengangkat pedang, bermaksud membunuh Pe Siok Chin.

   Siok Chin telah pasrah menerima kematiannya.

   Namun tiba-tiba terdengar cegahan seseorang.

   "Tahan!".

   Ternyata yang mencegah mereka adalah Lam Khek Sian Ang.

   "Kenapa kau mencuri rumput Dewa?", tanya Lam Khek Sian Ang.

   Pe Siok Chin bercerita perihal dirinya, juga maksudnya menolong suaminya yang mati kaget akibat melihat bentuk aslinya.

   "Kini saya sedang hamil Sian Ang, saya mohon dengan sa-ngat sudilah Sian Ang memenuhi harapan saya", Siok Chin memohon dengan sangat.

   (Sian Ang - Kakek Dewa).

   "Setelah melihat kau begitu menyintai suami, juga sedang mengandung, mau aku mengampuni perbuatanmu --- Kau boleh turun gunung sekarang", ujar Lam Khek Sian Ang.

   "Terima kasih, saya takkan melupakan budi Sian Ang", Pe Siok Chin menyoja sang Dewa, kemudian meninggalkan gu-nung itu dengan naik awan.

   Beberapa waktu kemudian dia tiba kembali di rumah.

   "Sudah pulang kak", sambut Siao Cheng.

   "Untung masih belum terlambat", Siok Chin mengeluarkan rumput Dewa.

   "lekas kau godok Sianco ini!".

   Siao Cheng membawa rumput Dewa ke dapur, menggodoknya.

   Selang beberapa saat Sian Cheng masuk ke kamar Siok Chin lagi sambil membawa godokan rumput Dewa.

   Pe Siok Chin memberi Khouw Sian minum air godokan tersebut.

   Kemudian berangsur-angsur Khouw Sian mulai bernafas.

   Keesokan harinya Khouw Sian mulai sadarkan diri.

   Begitu sadar, dia melihat isterinya sedang tidur nyenyak di sisinya, cepat-cepat turun dari pembaringan, mengenakan pakaian bergegas turun ke tingkat bawah.

   Khouw Sian takkan dapat melupakan apa yang dilihatnya di atas pembaringan di hari Toan-yo itu.

   Makin diingat dia jadi semakin curiga, membuatnya tak berani naik ke tingkat atas.

   Pertemuannya dengan Hoat Hay Tiangloo kembali tergambar jelas dalam benaknya.

   Selagi dia bengong, tiba-tiba pembantunya memberitahu-kan, bahwa di luar ada Hoat Hay Tiangloo yang ingin bertemu dengannya.

   Khouw Sian segera keluar menemui Padri tua itu, sikapnya jauh lebih hormat dari beberapa waktu yang lalu.

   "Apa kabar Taysu?", tanyanya setelah menyilakan sang Padri duduk di ruang tamu.

   "Aku sengaja ke mari untuk menolongmu melepaskan diri dari pengaruh siluman", ucap Hoat Hay Tiangloo tanpa basa-basi lagi.

   "Tapi Taysu...".

   Walau dia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan bentuk asii Siok Chin, tapi toh Pe Siok Chin adalah isterinya, yang selama itu selalu bersikap baik lagi bijaksana.

   "Kenapa meragukan maksud baikku?", Host Hay Tiangloo menatapnya tajam.

   "bukankah kau telah menyaksikan sendiri, bahwa isterimu sesungguhnya adalah siluman ular putih!?".

   "Saya memang telah melihatnya, tapi dia bukan saja tak mencelakai saya, malah selama ini baik sekali sikapnya, bahkan telah menolong saya", kata Khouw Sian.

   "Tapi biar bagaimana pun kau harus berjaga-jaga, sebab begitu timbul sifat binatangnya, kau akan dibunuhnya!", Hoat Hay Tiangloo menerangkan.

   "dapat kukemukakan sebuah contoh di sini, gara-gara ingin melariskan toko obatmu, dia telah sengaja menimbulkan wabah penyakit di kota ini".

   "Saya kurang yakin kalau wabah itu perbuatannya, Taysu", Khouw Sian kurang yakin.

   "sebab saya telah diminta-nya untuk memberikan obat secara cuma-cuma pada fakir mis-kin".

   "Itu hanya merupakan taktiknya saja", kata Hoat Hay Tiangloo.

   "dengan berbuat begitu, dia ingin menghilangkan jejak kalau wabah tersebut adalah perbuatannya.

   Lagi pula, bukankah orang-orang kaya diharuskan membayar harga yang tinggi untuk memperoleh obat itu? Pokoknya, biar bagai-mana juga kau harus hati-hati, agar dirimu tidak sampai dicelakai mereka".

   "Mereka?", Khouw Sian tambah heran.

   "Ya, di samping isterimu, masih ada satu siluman lagi, yang selama ini menyamar sebagai pembantunya".

   "Siao Cheng yang Taysu maksud?", tanya Khouw Sian.

   "Ya", Hoat Hay Tiangloo mengangguk pasti.

   "Lalu apa yang harus saya lakukan Taysu?", Khouw Sian mulai cemas.

   "Membasminya", kata sang Padri tua tegas.

   "Itu tak dapat saya lakukan Taysu", kata Khouw Sian segera.

   "bila kita bunuh mereka, lalu apa bedanya dengan tindakan siluman itu sendiri?".

   "Kita tidak membunuhnya, tapi menangkapnya dan me-ngurungnya di suatu tempat", Hoat Hay Tiangloo menerangkan.

   "Tapi itu berarti kita akan membunuhnya secara perlahan-lahan".

   "Salah sekali penilaianmu", tetap sabar sikap Hoat Hay dalam menerangkan duduk soalnya.

   "siluman itu telah bertapa se-lama ribuan tahun, hanya sayang sebelum tapanya sempurna, mereka telah meninggalkan tempat bersamadhinya dengan me-robah bentuknya menjadi manusia dan ingin mengecap kese- nangan duniawi.

   Dengan kita kurung mereka di suatu tempat, biar tidak diberi makan, mereka bukan saja tidak mati, malah dapat meneruskan tapanya untuk memperoleh kesem-pumaan dan menjadi manusia biasa, bahkan Dewi!".

   "Tapi biar bagaimana juga saya tak sampai hati untuk menangkap mereka", ujar Khouw Sian.

   Sejenak Hoat Hay Tiangloo menatap Khouw Sian, kemudian berkata sambil menghela nafas.

   "Rupanya jodoh kalian masih belum habis Baiklah, untuk sementara ini kau boleh simpan Hu di saku baju, hingga dirimu akan terhindar dari bahaya.

   Hoat Hay Tiangloo memberikan selembar 'Leng Hu' (Ker- tas Jimat) pada Khouw Sian.

   Khouw Sian menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.

   Hoat Hay Tiangloo pamit....

   *** Beruntun beberapa hari Khouw Sian tidak naik ke tingkat atas, untuk menemui isterinya.

   Keadaan itu membuat Pe Siok Chin gelisah, menduga kalau-kalau suaminya telah mulai curiga terhadap dirinya.

   Maka kemudian dia turun dari loteng untuk menemui suaminya.

   Sikap Khouw Sian tampak dingin terhadapnya.

   "Apa yang telah terjadi Koan-jin?", tanya Siok Chin.

   "Tak ada apa-apa, hanya beberapa hari ini aku sibuk hingga tak sempat menemui mu", sahut Khouw Sian.

   Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Biasanya sikapmu tidak begitu", desak Siok Chin.

   Khouw Sian diam.

   "Menurut pembantu kita, beberapa hari yang lalu telah datang ke mari seorang Padri tua Apa maksudnya ke mari? Ingin minta derma?", tanya Siok Chin selanjutnya.

   "Bukan", tetap dingin sikap Khouw Sian.

   "Lalu apa?"

   "Memberitahukanku, bahwa kau dan Siao Cheng adalah siluman ular!", Khouw Sian terpaksa menerangkan dengan me-ngeraskan hati.

   "Pantas tak tenang perasaanku selama beberapa hari ini, tak tahunya gara- gara ulah Hweshio tua itu", kata Siok Chin, bagaikan orang bergumam.

   "Kau kenal dengannya?"

   "Aku pernah melihatnya".

   "Di mana?".

   "Dia telah memusuhi ayahku karena tidak percaya pada ajarannya", Pe Siok Chin menerangkan, mulai basah matanya.

   "tak sangka kini dia ingin memisahkan aku denganmu, benar-benar kejam dia!".

   "Menurutnya, kau adalah siluman ular putih, bila aku tak waspada, suatu ketika kau dan Siao Cheng akan memangsaku", Khouw Sian menerangkan lebih jauh.

   "Kau telah termakan hasutannya", Siok Chin mulai menangis.

   "rupanya dia belum puas sebelum rumah tangga kita beran- takan".

   Khouw Sian kasihan melihat keadaan Siok Chin, apapun yang dituduhkan Hoat Hay Tiangloo terhadapnya, tapi nyata-nya, setelah sekian lama mereka membina rumah tangga, Siok Chin merupakan isteri yang bijaksana, bahkan banyak membantunya meningkatkan usaha.

   Maka dia lebih percaya pada keterangan Siok Chin dan pada Hoat Hay Tiangloo, segera memeluk isterinya.

   "Sudahlah, jangan kau menangis", hiburnya.

   "mulai sekarang aku takkan percaya pada ocehan Hweshio tua itu lagi".

   Kehidupan rumah tangga mereka kembali rukun bahagia seperti sedia kala.

   Hanya manakala Khouw Sian seorang diri, masih sering terbayang olehnya ular putih di atas ranjangnya pada hari Toan-yo itu.

   Ketika hal itu ditanyakan pada isterinya, Siok Chin selalu berusaha mengelak atau paling banter menyatakan, bahwa Khouw Sian telah salah lihat, sebab kala itu dia sedang mabuk! Jawaban sang isteri tidaklah memuaskannya, sebab dia ya-kin betul kalau dirinya tidak salah lihat! Selagi Khouw Sian berada dalam keraguan, terus muncul seorang Hweshio muda, yang menyampaikan pesan Hoat Hay Tiangloo, meminta Khouw Sian segera datang ke Kim San-si, bila tidak, dirinya akan berada dalam bahaya, karma pengaruh siluman ular putih makin dalam merasuk ke dirinya! Khouw Sian mempertimbangkan sejenak, kemudian me-mutuskan untuk menemui Padri tua itu.

   "Bila nyonya menanyakan aku; katakan saja aku pergi ke Tin-kiang, jangan sekali-kali kau beritahukan aku ke Kim San-si", pesannya pada seorang pembantunya sebelum berangkat.

   "Baik tuan", sahut sang pembantu.

   *** Khouw Sian menemui Hoat Hay Tiangloo di Kim San-si.

   "Syukur kau bersedia memenuhi panggilanku, bila tidak, tak lama lagi dirimu akan dijadikan santapan oleh kedua siluman ular itu".

   "Benarkah itu, Taysu?", Khouw Sian ragu.

   "Bukankah telah kau saksikan sendiri ada ular putih di pembaringanmu?".

   "Benar Taysu".

   "Selama dia masih membutuhkanmu, dia akan bersikap baik, tapi begitu dia sudah bosan, kau akan dimangsanya!".

   "Tolonglah saya Taysu", Khouw Sian memohon, sebab di-anggapnya ucapan Hoat Hay Tiangloo cukup beralasan.

   "Sebaiknya kau berdiam beberapa waktu di sini", Hoat Hay Tiangloo menyarankan.

   "Tapi Taysu...", pada saat itu kembali terjadi kontradiksi di diri Khouw Sian.

   Namun Hoat Hay Tiangloo telah meninggalkan ruang itu, menyuruh seorang Hwe-shio mengantar Khouw Sian ke sebuah kamar, menjaganya....

   *** Tak tenang perasaan Pe Siok Chin ketika Khouw Sian tak pulang selama beberapa hari.

   Ketika dia bertanya pada salah seorang pembantunya, barulah diketahui, bahwa Khouw Sian berangkat ke Kim San-si.

   Siok Chin segera memanggil Siao Cheng.

   "Ada apa Cici?", tanya Siao Cheng.

   "Mari kita ke Kim San-si untuk bikin perhitungan dengan Hweshio tua itu, Siao Cheng".

   "Mari kak".

   Keduanya segera berangkat ke Kim San-si.

   Tak lama tibalah mereka di Vihara yang dimaksud, luas lagi indah bangunan itu.

   Siok Chin mengajak Siao Cheng masuk menemui Hoat Hay Tiangloo.

   "Apa maksudmu ke mari, Pe Siok Chin?", tanya Hong Tian (Pimpinan) Vihara tersebut.

   "Maaf saya mengganggu ketenangan Loo Siansu", sabar se-kali sikap Siok Chin.

   "kedatangan saya ke mari, ingin mengajak suami saya pulang".

   "Jangan kau berkhayal yang bukan-bukan, siluman tak dapat membina rumah tangga dengan manusia, hal itu melanggar hukum alam.

   Bila kau paksakan juga, akan malanglah nasib suamimu.

   Maka sebaiknya kau kembali ke tempat tapamu untuk meneruskan Samadhimu.

   Bila telah rampung tapamu, barulah kau dapat menjelma sebagai manusia yang sempurna, tidak seperti sekarang yang diliputi hawa siluman, yang dapat mencelakai orang yang berhubungan denganmu".

   "Kasihanilah saya Loo Siansu, kini saya sedang hamil sem-bilan bulan", Siok Chin memohon.

   "sudilah Loo Siansu mele-paskan suami saya, agar kami dapat hidup bersama lagi".

   "Aku bukannya tak kasihan terhadap kalian, tapi seperti telah kukatakan tadi, hidup bersamanya kalian telah melanggar hukum Thian, bukan saja nantinya akan menyusahkan suami-mu, juga akan menyia-nyiakan tapamu yang telah lebih dan seribu tahun", kata Hoat Hay Tiangloo.

   "Tapi hidup kami selama ini amat bahagia dan saya rela melepaskan jerih payah saya selama lebih dan seribu tahun, asal dapat hidup bersama dengan Khouw Sian.

   Apa lagi di rahim saya sekarang telah ada benihnya".

   "Tidak dapat kupenuhi, apa lagi beberapa waktu yang lalu kau telah membuat wabah, hingga cukup banyak orang yang jadi korban!".

   "Hal itu saya lakukan di luar pertimbangan yang masak dan demi kemajuan usaha Khouw Sian.

   Saya tak menyangka kalau akibatnya akan segawat itu".

   "Untuk perbuatanmu itu, kau harus menerima hukuman yang setimpal, agar nantinya tidak menimbulkan korban lebih banyak lagi".

   "Tapi Loo Siansu....".

   Sebelum Siok Chin sempat menyelesaikan ucapannya, telah dipotong oleh Hoat Hay Tiangloo.

   "Sudah jangan banyak bicara! Kau dapat kumpul lagi dengan suami bila matahari terbit dari Barat!".

   Siauw Cheng yang sejak semula berdiam diri, tak lagi dapat menahan emosi menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Padri tua itu, segera melancarkan serangan, menusuk dengan pedangnya.

   Hoat Hay Tiangloo menangkis dengan tongkatnya.

   Segera terjadi perang tanding yang seru, berangsur- angsur Hoat Hay Tiangloo berada di atas angin.

   Pe Siok Chin yang melihat gelagat yang kurang mengun-tungkan, segera menarik Siao Cheng meninggalkan Vihara itu.

   "Mari kita gunakan kesaktian untuk menenggelamkan Kim San-si", kata Siok Chin.

   Pe Siok Chin mengajak Siao Cheng naik perahu, menggerak- gerakkan panji yang dipegangnya, yang menimbulkan tiupan angin yang amat keras, hingga permukaan sungai bergelombang, makin lama semakin tinggi.

   Menyusul di permukaan air telah tersembul pasukan kura-kura dan kepiting.

   Arus air mengalir deras ke arah Vihara Kim San- si.

   Air yang merendam Vihara itu kian lama semakin tinggi.

   Seorang Hweshio melaporkan hal itu pada pimpinan Vihara.

   Hoat Hay Tiangloo sangat terkejut ketika mendengar laporan tersebut, segera mengajak murid- muridnya naik ke bagian yang lebih tinggi, kemudian berusaha membendung naiknya air dengan menggunakan kesaktiannya.

   Dengan susah payah berhasil juga usahanya.

   Pe Siok Chin dan Siao Cheng menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap masuk ke dalam Vihara, menolong Khouw Sian keluar dari Kim San-si.

   "Maaf sebelumnya aku telah menduga yang bukan- bukan terhadapmu, Nio-cu", kata Khouw Sian setiba mereka di tem-pat yang dirasa aman.

   "Semua ini bukan salahmu Koan-jin, tapi lantaran ulah Hweshio tua itu", ucap Siok Chin.

   Lalu mereka merundingkan langkah selanjutnya, memutus-kan untuk sementara menumpang di rumah kakak Khouw Sian.

   *** Pe Siok Chin melahirkan bayi laki-laki yang montok.

   Khouw Sian dan Siok Chin bersepakat menamakannya 'Beng Yao'.

   Setelah sang anak genap berusia sebulan, Khouw Sian dan isterinya bermaksud merayakannya.

   Namun tiba-tiba telah muncul Hoat Hay Tiangloo, yang tanpa berkata lagi mengangkat jari telunjuknya.

   Dan jari itu keluar sebuah Kim Po (Mangkuk emas), yang langsung menyedot diri Siok Chin ke dalamnya.

   Hoat Hay Tiangloo meninggalkan rumah itu dan membawa mangkuk emas.

   Khouw Sian berusaha mengejarnya sambil membopong puteranya.

   "Kembalikan isteriku Taysu!".

   teriaknya.

   Namun Hoat Hay Tiangloo tidak mempedulikannya, terus saja berlalu.

   Khouw Sian menitipkan anaknya pada kakaknya, kemudian berusaha mengejar Hoat Hay Tiangloo.

   Namun telah terlambat! Hoat Hay Tiangloo telah menggunakan kesaktiannya mengurung diri Pe Siok Chin ke dalam Lui Hong Ta (Pagoda Lui Hong).

   Khouw Sian menangis sedih di bawah pagoda.

   "Nio- cu...

   Entah telah berlalu beberapa saat, terdengar suara Siok Chin.

   "Jangan kau bersedih suamiku, rupanya segalanya ini me-mang sudah takdir, bahwa jodoh kita hanya sampai di sini saja!".

   "Tapi aku tak dapat melupakan Nio-cu...", kata Khouw Sian dengan diselingi sedu sedannya.

   "sungguh malang nasib ki-ta Nio-cu".

   "Jangan kau salahkan nasib".

   suara Siok Chin di dalam pa-goda.

   "memang benar kata Loo Siansu itu, bahwa manusia dan siluman takkan dapat hidup bersama dalam jangka waktu panjang, sebab hal itu akan dapat mencelakai kita.

   Menyesal aku ingin cepat-cepat turun gunung sebelum tapaku rampung, membuatku tak dapat menjadi manusia seutuhnya, yang mengakibatkan kita sama-sama sengsara".

   "Sampai kapan pun akan kutunggu kembalimu, Nio- cu!", tambah sedih Khouw Sian jadinya.

   "Tak usah kau tunggu aku lagi, kemungkinan sampai di akhir hayat juga, aku belum bisa keluar dari tempat ini", suara Pe Siok Chin.

   "yang penting sekarang, rawat dan didiklah anak kita baik-baik, dengan begitu aku sudah merasa puas.

   Kini pulanglah kau Koan-jin, jangan sampai anak kita terlantar".

   "Tapi Nio-cu....".

   "Jangan kau merusak dirimu di sini, pulanglah dan bimbinglah anak kita, agar nantinya dapat berguna bagi nusa dan bangsa!".

   "Baiklah Niocu"

   Perlahan-lahan Khouw Sian bangkit.

   "Selamat jalan Koan-jin!".

   *** Siao Cheng yang sempat lolos dari tangan Hoat Hay Tiang-loo, telah pergi bertapa di gunung yang sepi, berusaha memper-dalam ilmunya.

   Berkat keuletannya, beberapa tahun kemu-dian Siao Cheng telah berhasil merampungkan ilmu 'Hong Hwe Kie' (Panji Angin dan Api).

   Dia segera mendatangi pagoda tempat Pe Siok Chin dikurung.

   Dipukulkannya 'Panji Angin dan Api' ke pagoda itu, segera terdengar suara gemuruh, disusul dengan runtuhnya pagoda Lui Hong dan bebaslah Pe Siok Chin.

   Siok Chin mengajak Siao Cheng melanjutkan tapa mereka, agar mernperoleh kesempurnaan hidup.

   *** ooo *** GADIS YANG CERDIK LAGI PERKASA Di sebuah desa di luar kota Kim Leng, hidup seorang bekas komandan pasukan kerajaan yang bernama Ie Bu.

   Ia hanya memiliki seorang anak perempuan, bernama Hui Ngo, telah berusia 18 tahun dan pandai silat.

   Namun Tan- si, isteri le Bu, menentang anak gadisnya belajar silat, membuatnya sering bertengkar dengan suaminya.

   "Kenapa Looya selalu mengajari Hui Ngo bermain-main dengan senjata tajam?", protes Tan-si pada suaminya.

   "Itu kan baik", kata Ie Bu.

   "dapat menyehatkan tubuh".

   "Jangan kau ikuti ayahmu berlatih silat, Hui Ngo", sekali ini ucapan Tan-si ditujukan pada anaknya.

   "tak pantas seorang gadis belajar silat.

   Lihat ayahmu, cukup tinggi ilmu silat-nya, pernah memegang jabatan cukup penting dalam kerajaan, tapi akhirnya harus bersembunyi ke sana ke mari".

   "Justeru lantaran itu jadi tambah besar hasrat saya untuk belajar silat Nio, sebab selain untuk menyehatkan tubuh, juga dapat menjaga diri".

   "Sifatmu sama saja dengan ayahmu, selalu bikin Nio dong-kol", Tan-si tambah mendongkol.

   
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hati-hati bicaramu Hujin, aku khawatir ada yang mende-ngarkan pembicaraan kita", sela sang suami.

   "Selama sepuluh tahun belakangan ini kita selalu harus menyembunyikan diri, lalu apa gunanya ilmu silat yang kau miliki?", Tan-si tambah sewot.

   "Kenapa kau selalu mengungkat-ungkat soal itu?", Ie Bu berusaha mengingatkan isterinya.

   "Mengapa kita harus bersembunyi, Nio?", tanya Hui Ngo.

   "Semua ini gara-gara ayahmu yang keras kepala, tak sudi mendengar saran Nio, hingga harus meninggalkan jabatannya dan bersembunyi di sini".

   "Dapatkah Nio menjelaskan soal itu?", desak Hui Ngo.

   "Sebaiknya kau tanyakan pada ayahmu", sahut sang ibu.

   "Jangan kau banyak bertanya Hui Ngo", kata Ie Bu kurang senang.

   "Jangan marah Nio, untuk selarijutnya saya takkan belajar silat lagi".

   Hui Ngo yang tak ingin orang tuanya bertengkar, ber-janji pada ibunya untuk tidak mempelajari ilmu silat lagi.

   "Begitulah seharusnya", ujar sang ibu.

   Hui Ngo menyadari, bahwa ayahnya sedang, menghadapi kesulitan, hingga terpaksa harus meninggalkan rumah mereka di kota-raja dan bersembunyi di desa yang sepi seperti sekarang ini.

   Biarpun sejak saat itu Hui Ngo tak lagi belajar silat, tapi dia mulai gemar membaca buku, terutama buku yang sering dibaca oleh ayahnya, yang mengungkapkan siasat perang.

   Namun sang ibu kembali tak senang ketika melihat puteri-nya membaca buku jenis itu.

   "Sifatmu benar-benar seperti laki-laki", ucap sang ibu.

   "Tak bolehkah saya membaca buku Nio?", tanya Hui Ngo, agak penasaran dia.

   "Untuk apa seorang gadis membaca buku semacam ini?".

   "Ini tak boleh, itu dilarang, lalu apa yang harus saya lakukan, Nio?", Hui Ngo mulai penasaran.

   "Seorang gadis sebaiknya belajar menyulam atau memasak", ucap sang ibu.

   "Saya tidak tertarik pada pekerjaan scmacam itu, Nio", kilah Hui Ngo.

   "Itu bukannya pekerjaan, tapi wajib dikuasai wanita".

   "Sejak kecil saya tak suka menjahit atau menyulam, apalagi memasak!", kata Hui Ngo.

   "Jadi kau hanya tertarik membaca buku perang dan belajar silat ?".

   "Saya tahu Thia memiliki banyak musuh, dengan belajar silat, saya jadi dapat menjaga diri..

   "

   Kau seorang gadis, sanggupkah kau menghadapi musuh keluarga kita?", mulai keras bicara Tan-si.

   Melihat ibunya marah, Hui Ngo tak mau membantah lebih jauh.

   "Sudahlah Nio, tak usah kita membicarakan soal itu lagi", katanya.

   "saya akan belajar menyulam".

   "Begitulah seharusnya", mulai terkembang senyuman di wajah sang ibu.

   "agar nantinya kau jadi ibu rumah tangga yang baik dan dicintai suami".

   "Saya tak ingin menikah, Nio", kata Hui Ngo.

   "Wanita yang telah dewasa harus berumah tangga".

   Setiap kali sang ibu menyinggung soal perkawinan, menjadi tak tenang perasaan Hui Ngo.

   Namun demikian, dia mengharap dapat memperoleh suami yang 'Bun Bu Coan Cay' (Pandai dalam bahasa maupun silat).

   Tapi demi dapat menyenangkan perasaan ibunya, Hui Ngo mulai belajar menyulam.

   Sesungguhnyalah dia tak tertarik pada jahit menjahit, apa lagi menyulam, akan tetapi tak berani belajar silat di depan ibu-nya.

   Kemudian dia mendapat ide, menimpukkan jarum sulam-nya ke lalat atau nyamuk.

   Suatu ketika le Bu sempat menyaksikan ulah puterinya.

   "Ha, ha, baik sekali caramu menimpuk", ucapnya.

   "Saya tak suka menyulam Thia", Hui Ngo menerangkan.

   "saya menimpuk lalat atau nyamuk dengan jarum hanya sekedar iseng saja".

   "Timpukanmu sangat jitu", Ie Bu memuji.

   "itu yang dina-makan melontarkan senjata rahasia, cukup banyak orang di kalangan Kang-auw (Sungai telaga) yang pandai menggunakan senjata semacam itu.

   Tapi jarang sekali ada orang sepertimu, yang pandai melontarkan senjata rahasia tanpa bimbingan seorang guru.

   Ayah sangat girang menyaksikan keadaan itu".

   "Siapa sebenarnya musuh ayah? Kenapa Thian begitu takut padanya dan tak melaporkan hal itu pada fihak yang ber- wajib?", tiba-tiba Hui Ngo bertanya begitu.

   "Tak ada gunanya kulaporkan".

   "Pihak yang berwajib takut padanya?".

   "Dia telah bertekad ingin menghancurkanku, tapi tak menyangka kalau aku cepat-cepat menyingkir, hingga sulit baginya untuk menemukan jejakku".

   "Tapi kita tak dapat terus-tnenerus bersembunyi seperti sekarang ini", Hui Ngo mengemukakan pendapat.

   "siapa dia sebenarnya, Thia?".

   "Dia adalah wakil komandan pasukan istana raja, cukup besar pengaruhnya", menerangkan sang ayah.

   "Siapa namanya Thia?", tanya Hui Ngo lagi.

   "Dia she Leng bernama Hong, cukup tinggi kepandaiannya dan kejam, aku harus waspada terhadapnya".

   "Oh...", setelah mendengar penjelasan ayahnya, semakin keras hasrat Ie Hui Ngo untuk memperdalam ilmu silatnya.

   Setiap harinya tambah tekun dia berlatih silat, juga me-lontarkan jarum-jarum sulam ke sasarannya, boleh dikata setiap lontaran jarumnya selalu tepat mengenai sasaran.

   Pada suatu malam.

   selagi dia bersiap- siap tidur, tiba-tiba dia mendengar ada suara langkah di atap rumahnya.

   Diam-diam Hui Ngo keluar dari kamarnya, terlihat seseorang melompat turun dari genteng rumahnya.

   Hui Ngo meraup Tang-ci (uang tembaga), melontarkannya ke 'tamu yang tak diundang'.

   "Aduh!", Ya-heng-jin (Pejalan malam; tamu tak diundang) itu menjerit kesakitan, lalu kabur.

   Kala itu orang tua Hui Ngo telah pula keluar begitu mendengar suara ribut-ribut.

   Ie Bu yang melihat kepandaian 'orang yang tak diundang' itu cukup tinggi, mencegah anaknya untuk mengejarnya.

   "Kenapa Thia mencegah saya untuk menangkapnya?", tanya Hui Ngo.

   "dengan menangkapnya, kita akan tahu siapa se-sungguhnya yang menyuruhnya!?".

   "Kita takkan dapat menangkapnya", sang ayah menerangkan.

   "kepandaian orang itu cukup tinggi Kita tak dapat berdiam lebih lama di sini, lekas kemaskari barang- barang kita untuk berangkat ke kota-raja.

   Setiba di sana, barulah kita berdaya untuk menghadapinya".

   Hai ya _ _ .

   "Akan segera saya kemaskan barangnya", sambut sang isteri.

   "Hubungan Leng Hong amat luas dan kita tak dapat me-remehkan orang-orang dari kalangan Kang-auw", tutur Ie Bu.

   "Begitu menakutkankah fihak lawan, Thia?", Hui Ngo se-akan kurang yakin terhadap keterangan ayahnya.

   "Semula kukira dengan menyembunyikan diri dia takkan menggangguku lagi, tak tahunya...", Ie Bu menghela nafas.

   "Apakah dengan kembalinya kita ke kota-raja, segalanya akan dapat diselesaikan?", tanya Hui Ngo Iebih lanjut.

   "Kini dia telah tahu tempat persembunyianku, tentunya takkan sudi melepaskannya begitu saja", kata Ie Bu.

   "maka kita harus segera meninggalkan tempat ini".

   "Kenapa tidak kita laporkan saja ke fihak yang berwajib?", Hui Ngo masih tampak penasaran.

   "Sudah kubilang sangat besar kekuasaan Leng Hong, pejabat setempat takut padanya".

   Ie Bu mengajak anak isterinya meninggalkan rumahnya, menyuruh para pembantu rumah tangganya kembali ke tempat masing-masing.

   Mereka bergegas menuju ke tepi sungai, naik perahu me-nuju ke kota-raja.

   Ie Bu bermaksud menemui sahabat karibnya untuk mencari jalan pemecahan terbaik.

   Perahu yang ditumpangi oleh Ie Bu bersama anak isterinya mulai menyusuri tepi sungai meninggalkan kota Kim Leng.

   Namun belum lama perahu berlayar, terlihat seorang pe-muda berteriak-teriak di tepi sungai, bermaksud menumpang perahu.

   "Maaf, sebaiknya kau menumpang perahu lainnya", tolak si tukang perahu.

   "Aku ada urusan penting, tolong ajak aku.

   Choan-khe", pemuda yang membawa pedang itu memaksa.

   Ie Bu yang mendengar suara percakapan itu, segera keluar dari dalam perahu, terlihat olehnya seorang pemuda tampan simpatik, sedikit pun tak terlihat tanda-tanda kalau dia seorang penjahat, walaupun membawa senjata tajam.

   "Namaku Lauw Hui, ingin memburu waktu ke kota- raja", kata pemuda itu lagi dengan nada memohon.

   "Maaf", si tukang perahu tetap menolak.

   "Biarkan dia naik, Choan-khe", kata Ie Bu.

   Tukang perahu merapatkan perahu ke darat, membiarkan pemuda itu naik.

   "Kalau boleh aku tahu, ada urusan apa Lauw Kongcu begi-tu bergegas ke kota-raja?", tanya Ie Bu.

   "Sesungguhnya saya sengaja menyusul perahu yang ditum-pangi Loopek", sahut Lauw Hui.

   "Ada apa sesungguhnya?", tanya Ie Bu.

   "Saya telah menyaksikan hal yang tidak wajar, persoalan-nya begini....".

   Lauw Hui pun mulai menceritakan pengalamannya.

   "Ketika saya hendak naik perahu, tiba-tiba telah muncul dua orang lelaki bertampang garang mencegah saya.

   Tunggu!.

   Saya batal naik.

   Laki-laki itu telah berkata pada si tukang perahu.

   Asal kau dapat mengejar perahu di depan itu, akan kubayar 10 kali lipat dari harga biasa.

   Baiklah, silakan Jiwie naik, kata si tukang perahu.

   "Kenapa Loo-heng menyerobot perahu yang akan saya tumpangi?", tanya saya.

   "Jangan banyak bicara kau bocah, Loocu ada urusan penting", sahut salah seorang laki-laki itu, kasar sikapnya.

   "Apa maksud kalian ingin mengejar perahu di depan itu?, tanya saya lagi.

   "Diam kau atau akan melayang nyawamu nanti!"

   Hardik laki-laki bertampang garang itu.

   Mereka naik perahu, memerintahkan tukang perahu segera menjalankan perahunya.

   Saya segera mendapat firasat, bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dan saya tak boleh berpeluk tangan saja.

   Sejak kecil saya telah belajar silat dari ayah, maka saya memanfaatkan ilmu meringankan tubuh untuk mengejar kalian dengan menelusuri tepi sungai".

   Seusai mendengar penuturan Lauw Hui, Ie Bu telah dapat menduga, bahwa kedua orang yang bertampang garang itu tentulah utusan dari fihak lawan.

   "Sebaiknya Loopek meningkatkan kewaspadaan, agar jangan sampai dibokong musuh", Lauw Hui mengingatkan.

   "

   Terserah Loopek mau percaya tidak keterangan saya ini ---Saya pamit Loopek".

   "Loo Chiao amat berterima kasih atas kabar yang saudara sampaikan, semoga di lain waktu aku, Ie Bu, dapat membalas kebaikanmu", ujar le Bu.

   "Ie Bu...? Apakah Loopek bekas Komandan pasukan di kota-raja?", tiba-tiba Lauw Hui bertanya begitu.

   "Bagaimana Lauw Kongcu tahu?", le Bu kaget campur heran.

   "Semasa hidup mendiang ayah saya, Lauw Kok Heng, sering bercerita perihal le Supek, hingga saya tahu jelas mengenai Supek".

   "Gara-gara ingin membasmi kejahatan ditambah dengan watak Loohu yang keras, jadi menimbulkan permusuhan seperti sekarang ini", le Bu menerangkan.

   "tampaknya sulit bagiku untuk menghindar dari kejaran lawan".

   "Jangan khawatir Supek, saya bersedia membantu dengan segenap tenaga dan kemampuan", kata Lauw Hui.

   "Sebaiknya lekaslah kau pergi, agar tidak menimbulkan keruwetan di kemudian hari".

   "Saya tak dapat berpeluk tangan", telah bulat tekad Lauw Hui untuk membantu Ie Bu.

   "Musuh Loohu tak dapat dipandang remeh", Ie Bu masih berusaha mengingatkan si pemuda.

   "Saya pernah belajar silat, dengan beradanya saya di sini, mungkin akan dapat membantu Supek", desak Lauw Hui.

   Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bila itu juga yang kau kehendaki, baiklah", Ie Bu meng-angguk.

   "mari kita berbincang-bincang di dalam".

   Ie Bu mengajak Lauw Hui masuk ke ruang dalam, memper-kenalkannya pada isteri dan anak gadisnya.

   "

   Hujin, ini putera sahabatku, Lauw Kongcu".

   "Terimalah hormat saya, Pek-bo", Lauw Hui menyoja nyonya Ie.

   "Ayahmu telah kembali ke kampung halaman ketika peristiwa ini terjadi, hingga kau tak tahu siapa sesungguhnya musuh Loohu", kata Ie Bu.

   "sebaiknya jangan kau campuri persoalan agar tidak menimbulkan keruwetan bagimu nantinya".

   "Sudah menjadi prinsip hidup saya, untuk membantu setiap orang yang sedang menghadapi kesulitan atau hal- hal yang tak adil, apa pula yang menghadapi persoalan adalah Supek, sahabat karib mendiang ayah saya, tak dapat saya berpeluk ta-ngan saja", kata Lauw Hui.

   "kalau boleh saya tahu, siapa se-benarnya yang mengutus pembunuh bayaran itu!?".

   "Pernahkah kau mendengar nama Leng Hong yang menjadi wakil komandan pasukan pengawal istana?", le Bu balik ber-tanya.

   "Oh dia Kabarnya cukup besar pengaruhnya di ka- langan istana", Lauw Hui mengangguk.

   "Ya, itu sebabnya Loohu bermaksud kembali ke kota-raja ntuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas", Ie Bu menerangkan.

   "Cukup jauh perjalanan ke kota-raja, sedang usia Supek telah lanjut, tentu akan sangat letih setibanya di tempat yang dituju", Lauw Hui agak cemas.

   "Sepuluh tahun sudah Loohu berusaha menyembunyikan diri, tapi nyatanya dia tetap tak sudi melepaskanku", kata Ie Bu.

   "maka satu-satunya jalan, adalah berangkat ke kota-raja untuk mencari penyelesaian terbaik".

   "Saya akan berusaha melindungi agar Supek dapat tiba di kota-raja dengan selamat", Lauw Hui menggenggam pedangnya.

   "saya akan berjaga-jaga di luar".

   "Hati-hatilah kau", pesan Ie Bu sambil mengikuti.

   "akan kutemani kau".

   Ie Bu tak dapat menolak maksud baik si pemuda, menemaninya berjaga-jaga di atas geladak.

   "Kita tetap berdiam di dalam Hui Ngo", kata Tan-si pada anak gadisnya.

   "Saya rasa, dengan adanya bantuan dari Lauw Kongcu, segalanya pasti dapat diatasi", Hui Ngo berusaha menenangkan ibunya.

   "dia seorang yang gagah berani"

   "Dia hanyalah seorang pelajar yang ingin ikut ujian di kota-raja", ucap Tan-si.

   "Lauw Kongcu bukan sekedar seorang pelajar, juga pandai silat", Hui Ngo memberitahukan ibunya.

   "Sudahlah, tak usah kita memperbincangkan soal itu lagi, kita bersembunyi saja di dalam", kata sang ibu.

   "Aku khawatir Lauw Kongcu tak dapat menandingi lawan, aku harus membantunya secara diam-diam", kata hati Hui Ngo.

   Cuaca berangsur gelap.

   Hui Ngo menduga, bahwa para pembantu bayaran itu tentunya akan muncul pada malam hari.

   Bila keadaan mengijinkan, ia akan membantu Lauw Hui dan ayahnya untuk mengusir musuh.

   Dia menanti sampai ibunya tidur, diam-diam keluar ke belakang bilik.

   Dia naik ke atas perahu, bersembunyi di balik layar.

   Terlihat olehnya Lauw Hui dan ayahnya tengah menanti kedatangan lawan.

   "Saya rasa lawan akan segera datang", Lauw Hui mengemukakan dugaan.

   "sebaiknya Supek masuk ke dalam untuk melindungi Pek-bo dan puterimu".

   "Tak usah cemas, dengan adanya anakku di sisi ibunya, perasaanku tenang".

   "Saya rasa sulit bagi puteri Supek dapat melindungi Pek-bo", Lauw Hui meragukan keterangan le Bu.

   "sebaiknya Supek masuk ke ruang dalam".

   "Tapi....".

   "Supek....".

   Sebelum Lauw Hui sempat melanjutkan ucapannya, le Bu telah menuding ke depan "Lihat itu ada perahu datang!".

   Baru le Bu selesai berkata, telah terlihat dua orang bertam-pang garang melompat ke atas perahu mereka.

   "Hati-hati Supek", Lauw Hui memperingati Ie Bu.

   "Apa yang kau lakukan di sini, bocah!?", hardik salah se-orang yang baru muncul pada Lauw Hui.

   "Kaliann telah merebut perahu yang akan kutumpangi, maka terpaksa aku menumpang perahu ini!", sahut Lauw Hui.

   "Lekas enyah kau bocah, jangan coba-coba menghalangi maksudku Loo-cu ada urusan dengan kakek Ie!", kata salah seorang yang berkumis.

   "Kalian diutus oleh Leng Hong?", tanya Ie Bu.

   "Dengan adanya aku di sini, jangan harap kalian dapat ber-buat yang bukan-bukan", sela Lauw Hui.

   "Aku dan saudaraku ditugaskan untuk membereskan diri kakek Ie, maka hendaknya jangan kau coba-coba mencampuri persoalan ini".

   "Huh! Lihat pedang!", Lauw Hui mulai melancarkan serangan.

   "Kau mencari mampus bocah!", si kumis menyampok pe-dang Lauw Hui dengan goloknya, kemudian berpaling pada saudaranya.

   "lekas kau masuk ke dalam Heng-tee, bereskan seluruh keluarga si kakek!".

   Dari atas perahu Hui Ngo dapat menyaksikan dan mende-ngar segalanya dengan jelas sekali.

   "Baik", sahut penjahat satunya.

   Namun sebelum dia sempat berbuat apa-apa, sebelah mata-nya telah ditembus oleh jarum yang dilontarkan Hui Ngo, yang membuatnya menjerit kesakitan.

   "Aduh!".

   "Kenapa Heng-tee?", tanya si kumis sambil menghadapi serangan Lauw Hui.

   Tiba-tiba tangannya terkena serangan senjata gelap juga.

   "Aduh!", jeritnya.

   Lauw Hui keheranan menyaksikan perkembangan di luar dugaan itu.

   Kedua penjahat yang telah terluka itu mem-balikkan diri, melompat ke atas perahu mereka, menyuruh tukang perahu mengayuh meninggalkan tempat tersebut.

   'Mari kita kejar Supek!", ajak Lauw Hui.

   "Tak usah", cegah le Bu.

   "Dengan menangkap mereka, kita jadi tahu siapa yang menyuruh mereka", kata Lauw Hui.

   "Tanpa ditanya juga sudah dapat diketahui, bahwa mereka adalah utusan Leng Hong", ucap Ie Bu.

   "Bila telah pasti mereka diutus Leng Hong, mari kita la- porkan ke fihak yang berwajib untuk melindungi keselamatan Supek sampai ke kota-raja".

   "

   Percuma", kata Ie Bu.

   "Lalu dengan cara apa Supek akan menghadapinya?", tanya Lauw Hui.

   "Setelah tiba di kota-raja barulah kita menentukan sikap", sahut Ie Bu.

   "tapi kita tak boleh ke sana dengan naik perahu".

   "Maksud paman akan menempuh perjalanan darat?".

   Ie Bu masuk ke ruang dalam, meminta isteri dan anaknya ikut ke darat.

   "Kenapa memang?", tanya Tan-si.

   "Kita akan menempuh perjalanan darat, Hujin", Ie Bu menerangkan.

   "Ada satu hal yang membuat saya heran, kenapa kedua penjahat itu bisa mendadak terluka?", tiba- tiba Lauw Hui be, tanya begitu.

   "Aku sendiri heran", ucap Ie Bu.

   "Bila Supek tak turun tangan, lalu siapa yang melakukan-nya?", dalam benak Lauw Hui masih terus diliputi tanda tanya.

   "Mungkin...", Ie Bu melirik anaknya.

   "

   Mungkin kita dibantu oleh Thian, Looya", sela Tan-si.

   "Mungkin begitu", Hui Ngo ikut bicara sambil menunduk.

   "Sudahlah, mari kita mendarat", ajak Lauw Hui.

   "Ya, baiklah kita menunggu perkembangan berikut- nya".

   Mereka meninggalkan perahu, melanjutkan perjalanan le-wat darat.

   Kala itu telah terang cuaca, mereka menuju ke jalan raya.

   Namun belum lama mereka berjalan, telah dihadang oleh dua orang pembunuh bayaran semalam.

   "Semalam Loocu kena dilukai oleh senjata gelapmu, maka sekarang aku ingin bikin perhitungan denganmu dulu bocah", kata penjahat berkumis tebal.

   "Ngaco, aku tak pernah menggunakan senjata gelap".

   "Lalu siapa yang melepaskan senjata rahasia itu?", si ku-mis tampak penasaran.

   "Untuk menghalau kalian cukup dengan pedangku saja, tak perlu aku menggunakan senjata rahasia", Lauw Hui meng-genggam pedangnya.

   "Saudaraku terluka matanya, hari ini biar bagaimana juga harus kubalaskan sakit hatinya", ujar penjahat berkumis itu sambil menunjuk ke temannya yang telah dibalut sebelah mata-nya.

   "Tak perlu kau banyak bicara!", kata Lauw Hui.

   "bila kalian benar-benar berani, majulah!".

   Segera terjadi pertarungan antara Lauw Hui dengan kedua penjahat itu.

   Sementara itu Hui Ngo berkata kepada ibunya.

   "Mari kita bersembunyi di balik semak-semak, Nio".

   Hui Ngo menuntun ibunya ke balik semak-semak, kemudian dia sendiri menuju ke balik pohon, dengan maksud bila diperlukan, dapat membantu Lauw Hui dan ayahnya.

   "Ingin ke mana kau?", tanya sang ibu.

   "Saya ingin menyaksikan pertandingan mereka dari balik pohon", sahut Hui Ngo.

   "Gadis kok suka melihat orang berkelahi? Tak takut terkena sabetan senjata?", sang ibu agak cemas.

   "Jangan khawatir Nio, dengan berdiam di balik pohon, diri saya akan terlindung oleh batang pohon", Hui Ngo berusaha menenangkan ibunya.

   "lekaslah Nio bersembunyi".

   Hui Ngo lantas cepat- cepat menuju ke balik pohon.

   "Jangan ke sana Hui Ngo, berbahaya", sang ibu coba mencegah.

   Namun Hui Ngo tak menghiraukannya, langsung menuju ke balik pohon.

   Kala itu terlihat salah seorang penjahat berlari ke diri ayah-nya sambil mengacungkan goloknya.

   Ie Bu yang telah tua lagi lemah tubuhnya karena sering sakit, masih berusaha melakukan perlawanan, tapi dalam beberapa jurus saja telah jatuh terguling.

   "Akan kucabut nyawamu, tua bangka!", ujar lawannya sambil mengangkat golok, siap ditabaskan ke tubuh Ie Bu.

   Lauw Hui berusaha memburu ke arah itu.

   Sementara itu Hui Ngo telah melontarkan jarum ke arah lawannya.

   Sang lawan menjerit kesakitan dan Lauw Hui datang tepat pada waktunya, menusuk lawannya hingga tewas.

   Seorang lainnya tak berani bertanding lebih lanjut setelah melihat saudara angkatnya meninggal, segera kabur dari situ.

   Kala itu Hui Ngo telah keluar dari balik pohon, memapah bangun ayahnya.

   "Bagaimana keadaan Thia?", tanyanya.

   "Jantungku terasa sakit", sahut sang ayah.

   "rupanya pe-nyakit lamaku kumat lagi".

   "Hati-hati Loopek", Lauw Hui datang membantu.

   Mereka tak berani berdiam lebih lama di situ.

   Lauw Hui memapah Ie Bu dalam melanjutkan perjalan-an, menuju ke kota kecil yang tak jauh dari situ.

   Setiba di kota yang dimaksud, Lauw Hui mencari sebuah penginapan.

   Setelah memperoleh kamar, Lauw Hui segera mengundang tabib untuk mengobati sakit Ie Bu.

   Keadaan le Bu berangsur- angsur Iebih segar dari sebelum-nya, tapi untuk sementara mereka harus menginap di penginapan tersebut.

   Hati-hati lagi penuh kewaspadaan Lauw Hui berjaga- jaga di ruang tamu.

   
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saya rasa tak ada gunanya kita berjaga-jaga sekarang, saudara Lauw", suatu ketika Hui Ngo menghampiri Lauw Hui.

   "Nona ada pendapat lain?".

   "Kita harus memakai siasat 'tonggeret meninggalkan sarang!!".

   "Maksud nona?".

   "Kita seakan-akan berangkat dengan naik kereta kuda", Hui Ngo menerangkan.

   "tapi diam-diam saya bersama kedua orang tua akan naik perahu ke kota-raja, sedang Lauw-heng tetap naik kereta kuda untuk mengalihkan perhatian lawan".

   "Apakah lawan akan termakan siasatmu?".

   "Asal rahasia itu tidak sampai bocor, kemungkinan kita akan selamat tiba di kota-raja", kata Hui Ngo.

   "saya rasa fihak lawan telah memasang kaki tangannya di mana-mana, tanpa siasat akan sulit bagi kita dapat lobos dari tangan mereka"

   "Apakah Supek tahu akan siasatmu?", tanya Lauw Hui.

   "Belum", Hui Ngo menggelengkan kepala.

   "Mari kita meminta pandangan beliau", Lauw Hui menya-rankan.

   Ie Bu sangat setuju akan siasat yang akan dijalankan oleh puterinya.

   "Siasat yang baik", pujinya.

   "dengan cara itu kita baru akan dapat lobos dari perangkap lawan.

   Asal kita lakukan secara hati-hati, tentu akan tiba dengan selamat di kota- raja".

   "Akan saya usahakan kereta kudanya", Lauw Hui mening-galkan kamar Ie Bu.

   "Kembali jadi merepotkan Lauw-heng", ucap Ie Hui Ngo.

   Ketika Lauw Hui keluar kamar dan menyuruh pelayan rumah penginapan memanggil kereta kuda, didapati kenyataan di luar pintu ada dua orang laki-laki yang mengamati dirinya.

   Hal itu sesuai dengan siasat Hai Ngo.

   Mereka memapah Ie Bu naik ke kereta kuda.

   Tak lama kusir melarikan kereta ke luar kota.

   le Bu bersama anak isterinya turun di tempat yang sepi, bersembunyi di batik semak-semak di tepi jalan.

   Sedangkan kereta itu terus meluncur ke muka.

   Tak lama kemudian terlihat seseorang yang berlari-lari mengejar kereta itu.

   le Bu bersama keluarga menyusuri jalan kecil menuju ke tepi sungai, melanjutkan perjalanan ke kota-raja dengan naik pe-rahu layar.

   Di lain fihak, Lauw Hui menyuruh kusir mempercepat lari keretanya.

   Setelah berselang beberapa saat, ketika melihat tak ada yang mengejarnya, dia menyuruh kusir menghentikan kereta, turun dan menghadiahkan sang kusir sejumlah uang, memintanya terus menjalankan kereta ke kota-raja.

   Sedangkan Lauw Hui meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.

   Tak lama kemudian orang yang menguntitnya telah ber-hasil mengejarnya.

   "Tunggu, seru orang itu.

   "Oh!", Lauw Hui menghentikan langkah, berpaling.

   "Bukankah tadi saudara bersama le Bu?", orang itu meng-hampiri Lauw Hui.

   "Benar, tapi aku tak ingin terbawa oleh persoalannya, maka jadi pisah dengannya", sahut Lauw Hui.

   "Kau apanya?".

   "Aku tak ada hubungan apa-apa dengannya, hanya teman seperjalanan saja, sebab kebetulan kami searah".

   "Kabarnya kau telah membunuh salah seorang lawan Ie Bu!?".

   "Benar, sebab kukira dia pencuri", Lauw Hui mengangguk.

   "sebelumnya mereka naik ke perahu Ie Bu, kemudian menghadang di tengah jalan, maka terpaksa aku turun tangan melukai mereka".

   "Tahukah kau siapa yang kau bunuh itu?".

   "Setelah Ie Bu menerarigkan duduk persoalannya, baru kuketahui segalanya, itu sebabnya aku jadi pisah dengannya".

   "Tunggulah kau di sini, dapat kau jelaskan masalahnya pada majikan kami nanti".

   "Boleh", sahut Lauw Hui tanpa gentar sedikit pun.

   Tak lama kemudian terlihat seorang Thaykam yang melari-kan kudanya cepat sekali.

   Di belakangnya mengikuti beberapa orang.

   "Dialah yang melukai saudaramu, Thio Hiong?", tanya sang Thaykam pada pria berkumis.

   "Benar Kongkong", sahut laki-laki berkumis tebal itu.

   "Kau sengaja ingin cari gara-gara dengan orangku, Siaocu?", tanya Thaykam itu.

   "Sebelumnya saya tak tahu duduk soalnya, harap Kong-kong sudi memaafkannya", ujar Lauw Hui.

   "Dia telah pisah dengan Ie Bu, Kongkong", sela pria yang membuntuti Lauw Hui.

   "le Bu telah mencelakai kakakku, sedang kau telah mem-bunuh orangku", kata sang Sida-sida (Thaykam).

   "ayo lekas katakan, di mana Ie Bu sekarang!?".

   "Begitu tahu Ie Bu adalah musuh Kongkong, saya lantas berpisah dengannya", kata Lauw Hui.

   "sekarang dia bersama ke-luarganya sedang menuju ke kota-raja".

   "Untuk selanjutnya kau jangan menyampuri urusan kami lagi", pesan sang Thay-kam.

   "Saya juga tahu, setiba di kota-raja nanti, Ie Bu beserta keluarga akan menginap di penginapan keluarga Thio", kata Lauw Hui lagi.

   "Mari kita kejar le Bu, ujar Leng Hong, sang Thaykam, pada anak buahnya.

   "Baik Kongkong", sahut para pembantunya.

   "Bila tak berhasil mengejarnya, pergilah kalian ke peng-inapan keluarga Thio", perintah Leng Hong.

   (Thaykam = Sida-sida; orang Kebiri yang bertugas di istana Raja).

   Melihat Leng Hong termakan siasat Hui Ngo, Lauw Hui ja-di amat kagum akan kecerdikan gadis itu.

   Kemudian dia masuk ke jalan kecil, menuju ke kota-raja sambil membentangkan Gin-kang (ilmu meringankan tubuh)nya.

   Beberapa waktu kemudian, dia membeli seekor kuda yang baik, yang mempercepat perjalanan selanjutnya.

   Di lain fihak, le Bu bersama keluarganya, telah tiba dengan selamat di kota-raja.

   Mereka menginap di penginapan keluarga Thio.

   Sakit Ie Bu telah berangsur sembuh, tinggal lagi menanti tibanya Lauw Hui.

   "Entah bagaimana keadaan Lauw Kongcu?", kata Tan- si pada anaknya.

   "mudah-mudahan dia bisa sampai dengan selamat".

   "Nio tak usah khawatir, dia pasti selamat", Hui Ngo berusaha menenangkan perasaan ibunya.

   "menurut dugaan saya, kemungkinan Lauw Hui telah tiba di kota-raja, malah telah memberitahukan tempat menginap kita ini pada lawan".

   "Kenapa kau menyuruhnya memberitahukan tempat me-nginap kita pada lawan?", Tan-si tambah cemas.

   "

   Dengan begitu kita baru akan memperoleh bukti, bahwa Leng Hong berusaha memburu dan hendak membunuh kita se-keluarga", Hui Ngo menerangkan.

   Selagi mereka berbincang-bincang, tiba-tiba masuk pemilik penginapan bersama Lauw Hui.

   "Syukurlah Supek selamat tiba di kota-raja", Lauw Hui menyoja Ie Bu.

   "Terima kasih atas bantuanmu", le Bu balas menyoja.

   "Saya hanya sekedar melaksanakan pesan nona le, mudah-mudahan Leng Hong akan ke mari", kata Lauw Hui.

   "Leng Hong pasti akan menyuruh orangnya ke mari", ucap le Bu.

   "Semoga saja dia masuk ke dalam perangkap kita", kata Hui Ngo.

   "Bila demikian, baiklah kita menantinya di sini", ucap Lauw Hui.

   "Loohu tetap mengharapkan bantuan Lauw Kongcu".

   Setelah berbincang-bincang sesaat, Lauw Hui dan pemilik rumah penginapan meninggalkan kamar Ie Bu.

   Ie Hui Ngo menanti kehadiran lawan dengan penuh kewas-padaan.

   Ie Bu dan isterinya agak gelisah, khawatir kalau-kalau ter-jadi hal-hal di luar rencana mereka.

   "Jangan khawatir Thia, mereka pasti akan datang", Hui Ngo berusaha menenangkan perasaan orang tuanya.

   Hui Ngo yakin betul kalau usahanya akan berhasil....

   Malam bertambah larut, tiba-tiba tampak Thio Hiong menerobos masuk melalui jendela sambil menghunus golok.

   Hui Ngo bersiap-siap menjaga segala kemungkinan dengan berdiri di belakang ayahnya.

   Tatkala Thio Hiong mengangkat golok bermaksud membacok Ie Bu, Hui Ngo menggerakkan sepasang tangannya, meluncurlah dua batang jarum ke diri Thio Hiong.

   Golok lepas dari genggaman Thio Hiong.

   "Kiranya kau yang melepaskan senjata rahasia!", kata Thio Hiong sambil meringis menahan sakit.

   "Telah terlambat kau ketahui sekarang", kata Hui Ngo.

   "Jarum itu beracun!?", Thio Hiong terkulai lemah.

   "Yang tempo hari tidak, tapi sekarang beracun", kata Hui Ngo.

   "aku bersedia memberimu penawarnya, tapi ada syarat-nya".

   "Apa syaratnya?", tanya Thio Hiong segera.

   "Kau harus ikut kami ke fihak yang berwajib, mengakui bahwa kau telah disuruh seseorang untuk membunuh kami Bila kau keberatan, aku takkan memberimu penawar racun".

   "Tapi...", Thio Hiong ragu.

   Kala itu Lauw Hui yang mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar Ie Bu, segera menerobos masuk.

   Dia jadi sangat kagum ketika melihat Ie Hui Ngo telah berhasil menawan Thio Hiong.

   "Nona Ie...kau...", dia tak meneruskan ucapannya.

   "Lauw-heng, Thio Hiong dapat memberikan kesaksian di hadapan yang berwajib".

   "Tak sangka nona Ie di samping cerdik juga perkasa, saya benar-benar kagum", kata Lauw Hui pada Ie Bu.

   "Telah beberapa kali dia membantu kita menghalau lawan dengan senjata rahasianya", Ie Bu turut bangga atas kepandaian puterinya.

   Lauw Hui berpaling pada Thio Hiong.

   "Bila kau tak mau memberikan kesaksian, nyawamu akan melayang oleh racun senjata rahasia itu".

   "Baiklah, saya bersedia memberikan kesaksian", Thio Hiong yang takut mati, akhirnya bersedia memberikan kesaksian.

   Ie Bu dan Lauw Hui rnenggiring Thio Hiong ke kantor pihak yang berwajib, untuk menggugat Leng Hong yang bermak-sad mencelakai dirinya beserta keluarga.

   "Tolong Lauw-heng hati-hati menjaga Thio Hiong, agar Leng Hong tak sampai membunuhnya untuk menutup mulut", pesan Hui Ngo sesaat si pemuda akan berlalu.

   "Baik nona le", Lauw Hui mengangguk.

   Setiba di kantor pihak yang berwajib, Thio Hiong mengakui, bahwa Leng Hong telah menyuruhnya untuk membunuh Ie Bu sekeluarga.

   "Kenapa Leng Hong ingin membunuhmu?", tanya pejabat penegak hukum pada Ie Bu.

   "Hal itu erat hubungannya dengan peristiwa sepuluh tahun yang silam", Ie Bu menerangkan.

   "pada saat itu saya jadi ko-mandan pasukan keamanan di kota-raja, sedangkan yang jadi wakil adalah Leng In, kakaknya Leng Hong.

   Sikap Leng In amat tak terpuji, selain sering melakukan pelanggaran disiplin, juga sering menggunakan kekuasaannya untuk memperkosa wanita balk-baik serta kejahatan lainnya.

   Saya melaporkan perbuatannya pada atasan saya, yang membuatnya langsung ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

   Pada saat itu Leng Hong telah jadi Thaykam, tapi belum sebesar sekarang kekuasaannya.

   Begitu mendengar kabar kakaknya dijatuhi hukuman mati, dia segera menemui atasan saya, memohon pengampunan bagi kakaknya.

   Akan tetapi panglima tetap pada keputusannya.

   Menyaksikan kakaknya mati dipancung, Leng Hong jadi dendam pada saya dan mengancam akan membalas dendam.

   Saya menyadari bahwa Leng Hong seorang yang licik lagi keji, untuk menghindari hal-hal yang tak diingini, saya meletakkan jabatan dan mengajak anak isteri meninggalkan kota-raja.

   Saya sengaja tak kembali ke kampung halaman, tapi menyingkir ke luar kota Kim Leng.

   Semula saya kira, hidup saya selanjutnya akan tenang, tapi nyatanya Leng Hong tak dapat melupakan dendamnya.

   Ketika kemudian dia diangkat sebagai wakil pimpinan Thaykam, saya langsung menyadari, bahwa keselamatan saya semakin terancam.

   Dugaan saya ternyata tepat, sebab nyatanya Leng Hong telah menyuruh orang-orang yang berkepandaian tinggi di kalangan Kang-auw untuk menghabisi nyawa saya sekeluarga.

   Untuk jelasnya, sebaiknya Tay-jin mena- nyakan pada Thio Hiong".

   Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Thio Hiong menceritakan, bahwa dia dan saudara angkat-nya dibayar oleh Leng Hong untuk membunuh le Bu beserta anak isteri.

   Kemudian menceritakan juga, bahwa pada saat ini Leng Hong telah pula meninggalkan tugas di istana, memimpin langsung pengejaran terhadap le Bu....

   Seusai mengaku, Thio Hiong lantas minta penawar racun pada Ie Bu.

   


Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Pisau Kekasih Karya Gu Long Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung

Cari Blog Ini