Ceritasilat Novel Online

Pedang Bengis Sutra Merah 5


Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin Bagian 5



Pedang Bengis Sutra Merah Karya dari See Yan Tjin Djin

   

   "aku tidak ingin mendapatkan apa-apa, aku hanya ingin memberi, dan kau dapat menerima. Itu sudah cukup."

   Pui Cie mabuk dalam kata-lata cinta yang indah ini.

   Tapi masih tercampur sedikit sedih, dia bukan bangsa bufiya, dia punya perasaan, dia sudah tidak berhak mencintai lagi wanita lain.

   Bagaimanapun juga dia sudah mempunyai istri.

   Suara batuk kering tiba-tiba mambangunkan mimpi indah yang tidak bertepi ini, kedua orang ini tiba-tiba memisahkan diri.

   Tamu yang tidak diundang ini ternyata adalah Thu Sing Sien.

   Muka Pui Cie terasa panas, dengan memberi hormat dengan malu berkata.

   "Ternyata Cianpwe. Apa kabar?"

   Thu Sing Sien mendehem, matanya bolak balik memandangi kedua orang ini lama sekali. Baru berkata.

   "Kelakuanmu sangat memalukan!' Pui Cie tersegak, dengan amat kikuk dia berkata.

   "Cianpwe, Wanpwe.. tidak melakukan apa-apa.."

   Thu Sing Sien lalu berkata.

   "Apa mata kakekmu sudah buta, sehingga salah lihat?"

   Yipha Yauci dengan sikap dingin berkata.

   "Cinta bisa terjadi dimana saja, asal hati tetap suci, yang dilihat mata belum tentu benar, anda juga tidak perlu menuding sampai begitu."

   Habis berkata itu mulutnya tersenyum. Thu Sing Sien menarik nafas berkata.

   "Liu Siang E, kau pintar sekali bicara!"

   Yipha Yauci dengan santai berkata.

   "Apakah anda adalah pencuri ulung Thu Sing Sien yang kesohor itu?"

   Mata Thu Sing Sien bercahaya.

   "Betul akulah orangnya!"

   Habis berkata begitu dia memandang Pui Cie, secara ketus berkata.

   "Pui Cie, pikir-pikirlah akibatnya, kalau kau tidak mau namamu hancur dan memalukan leluhurmu!"

   Pui Cie menggigit giginya berkata.

   "Wanpwe bisa menjaga diri. Jangan kuaur."

   Thu Sing Sien seperti marah sekali dengan suara ngap-ngapan berkata.

   "Harap kau jangan bermain api yang bisa membakarmu sendiri."

   Yipha Yauci berkata.

   "Aku bukan api, Pui Cie juga bukan orang yang suka main api."

   Pui Cie menyambung.

   "Berawal dari kasih sayang berakhir dengan peraturan, semua Wanpwe masih ingat."

   Thu Sing Sien berkata.

   "Didunia ada berapa banyak orang yang tahu aturan? Kalau dari awal tidak dicegah, akan seperti api besar yang tak bisa dipadamkan lagi!"

   Tu Sing Sien adalah teman karib ayahnya semasa hidup, Pui Cie mendengar nasihat, yang dikatakan Thu Sing Sien memang masuk akal. Perasaan memang aneh, sekali mulai sulit diakhiri. Pui Cie tidak mengerti aturan ini. Thu Sing Sien berkata lagi.

   "Orang bukan rumput bukan kayu, mana bisa tidak berperasan, di dunia ini yang paling susah diprediksi adalah cinta. Kau sudah melihat dan mendengar banyak percintaan yang kusut sukar di atasi. Masa belum cukup untuk dibuat contoh? Pui Cie bergidik, cerita yang dekat dan yang terjadi didepan mata, San Chai Men Cu dan Kim Hong Ni gara-gara cinta terjadi tragedi yang menyedihkan. Pui Cie segera membungkukkan badan berkata.

   "

   Wanpwe menerima nasihat!"

   Thu Sing Sien mulut berbunyi.

   "Hem", langsung mengganti topik pembicaraan "Kali ini persoalanmu yang gagal dengan menyamar masuk ke Shin Kiam Pang, aku sudah tahu semua. Sekarang timbul masalah yang lebih membingungkan. Nona Liu pernah menjadi penasihat Shin Kiam Pang, mungkin bisa memberi penjelasan?"

   Yipha Yauci masih kesal atas nasihat yang panjang lebar dari Pencuri Ulung, maka secara dingin menjawab.

   "Coba anda ceritakan!"

   Thu Sing Sien lihat sana sini, dengan suara rendah berkata.

   "Bagiaman asal usul Pengurus Utama Shin Kiam Pang, yaitu Kui Siu Chai Ti Kuang Beng?"

   Yipha Yauci berpikir sebentar berkata.

   "Ti Kaung Beng adalah salah satu jagoan dari daerah selatan. Tahun lalu dengan cara terkutuk telah membunuh raja pejagal Law Cong dengan dua belas anak buahnya yang tangguh. Karena penampilannya menonjol, dia terbujuk dan masuk menjadi pengurus Shin Kiam Pang. Pui Cie diam-diam menagngguk, pejagal Law Cong pernah membantu merampas Pedang Raja, waktu itu dia dihantam sampai cedera oleh orang bertopeng, si baju abu-abu Ke Co Ing, bersumpah mau membalas, tidak disangka malah mati ditangan Ti Kuang Beng. Thu Sing Sien berkata.

   "Yang aku maksud dengan asal usulnya, apa dia ada sangkut pautnya dengan salah satu perkumpulan di dunia persilatan?"

   "Kalau soal ini aku tidak tahu menahu."

   Pui Cie menyambung.

   "Kenapa Cianpwe mau menyelidik asal-usul Ti Kuang Beng?"

   Thu Sing Sien dengan nada rendah berkata.

   "Menurut berita pasti yang aku dapat belum lama, perkumpulan itu sewaktu mengejar tuan Chang Hua Ma Gwe Kiaw dan Ke Co Ing di pegunungan pinus. Ti Kuang Beng diam-diam membunuh Guan Cen Ce yang menjabat sebagai komandan. Yipha Yauci dengan kaget berkata.

   "Ada kejadian begitu? Shin Kiam Pangcu mengira itu adalah perbuatannya Ma Gwe Kiaw..."

   Thu Sing Sien berkata.

   "Menurut penilaianku, semua mungkin karena perebutan kekuasaan atau dendam pribadi."

   Tergerak hati Pui Cie, dengan spontan berkata,"Banyak yang bisa dipelajari."

   Thu Sing Sien terkejut, lalu bertanya ."Bagaiman menurut pikiranmu?"

   Peui Cie menceritakan kembali bagaimana Ti Kuang Beng membunuh kepala cabang dan menolong dirinya.

   Diam-diam beritahu bahwa Penasihat Utama Thong Tih Chiu membawa pusaka, diluar rumah petani sengaja melanggar janji membantu Thong Thih Chiu sehingga akhirnya terbunuh.

   "Wanpwe sampai sekarang belum mengerti mengapa Ti Kuang Beng makan dalam bantu luar. Apa maksudnya?"

   Yipha Yauci bengong karena kaget, semua kejadian aneh ini diluar dugaan. Thu Sing Sien menarik napas dan berkata.

   "Benar-benar aneh, dan di luar dugaan kita, kenapa Ti Kuang Beng berbuat begini?"

   Sesudah berpikir-pikir Pui Cie berkata.

   "Mungkin dia adalah utusan musuh Shin Kiam Pang yang menjadi mata-mata?"

   Yipha Yauci berkata.

   "Shin Kiam Pangcu orangnya sangat cerdik, tidak begitu gampang tertipu."

   Thu Sing Sien memandangi Pui Cie lalu berkata.

   "Anak muda, hayo ikut aku untuk mengurus suatu urusan."

   Hati Pui Cie tersentak, berkata.

   "Urusan apa?"

   Thu Sing Sien berkata, Rahasia langit tidak boleh bocor, pokoknya urusan besar. Sampai waktunya nanti aku baru akan memberitahumu. Sekarang mari kita berangkat."

   Yipha Yauci mukanya berubah.

   "Bagaimana dengan bagianku?"

   Thu Sing Sien berkata.

   "Maaf, ini adalah urusan pribadi."

   Mata Yipha Yauci berkedip-kedip berkata.

   "Apakah anda sengaja mau memisahkan kami?"

   "Ha., ha., ha..", Thu Sing Sien berkata.

   "Kakek tidak pernah mencurangi anak kecil, sama sekali tidak, kau jangan kuatir."

   Hati Pui Cie sedikit risau, pelan-pelan berkata.

   "Siang E, kalau begitu., kita bertemu di lain waktu."

   Tentu saja Yipha Yauci seratus kali tidak mau, tapi dia tidak bisa menahan Pui Cie, juga tidak bisa memaksa ikut, dengan susah dia berkata.

   "Kita., kapan bisa bertemu lagi?"

   Pui Cie juga sangat berat berpisah.

   "Waktu bertemu masih banyak..."

   Yipha Yauci dengan sedih berkata.

   "Siapa yang tahu lain kali kita bertemu seperti apa?' Thu Sing Sien mendesak berkata.

   "Ayolah jalan, kalau terlambat bisa celaka."

   Sambil berkata begitu badannya mulai bergerak. Pui Ciemengigit bibir berkata.

   "Siang E, kau hati-hati ya! Habis berkata dia ikut lari pergi. , Yipha Yauci tinggal sendiri didalam hutan yang kosong. Bingung. Bengong sendiri. Saat ini mendadak muncul satu bayangan orang. Seperti roh muncul di belakang Yipha Yauci. -- Cinta membawa sengsara Saat itu Yipha Yauci sedang sedih dan merenung, dia sama seklai tidak mengetahui sudah ada orang di belakang badannya. Yang datang adalah seorang wanita setengah baya. Saat ini kalau dia mau mencabut nyawa Yipha Yauci sangat mudah sekali. Tangannya sudah diangkat, tapi dia tunda lagi. Secara dingin berkata.

   "Liu Siang E, putar badanmu kemari!"

   Hati Yipha Yauci kaget luar biasa, sebagai seorang pesilat selalu mempunyai cara tersendiri terhadap sesuatu yang mendadak, badan langsung menghindar, lompat sampai sejauh empat meteran baru membalikan badannya.

   Phipa di tangannya siap dipukulkan.

   Mulut menggertak.

   "Siapa?"

   Orang yang muncul ternyata adalah bibi perempuan Pui Cie yang bernama Nam Kong Phang Theng dengan penampilan dingin seperti es Nam Kong Theng berkata.

   "Kau tak usah tahu aku siapa. Aku khusus kemari mau beritahumu supaya menjauh dari Pui Cie."

   Mula-mula Yipha Yauci terkejut, berikutnya dia tertawa geli.

   "Lucu, kau., apa dasarnya?"

   Secara ketus Nam Kong Phang Theng berkata.

   "Karena aku adalah angkatan tua Pui Cie!"

   "Angkatan tua?"

   "Ya!"

   Keinginanmu bagaimana?"

   "Aku tidak mau lihat dia hancur di tanganmu!"

   "Lucu benar, aku., bisa menghancurkan dia?"

   "Kau tahu dia sudah berumah tangga, kenapa masih mau menggangunya?"

   "Itu urusan pribadiku."

   "Liu Siang E, kita sama-sama perempuan, bertindak apa-apa harus ada batas- batasnya, melihat wajahmu tidak usah takut tidak mendapat jodoh, kenapa mau menjadi wanita murahan?"

   "Murahan?"

   "Kau menyukai orang yang sudah beristri, selain merusak kebahagiaan orang lain, apa yang bisa kau dapatkan?"

   Yipha Yauci alisnya terangkat berkata.

   "Kau juga wanita, kalau kau sudah jatuh cinta kepada seseorang, kau akan tahu apa itu cinta."

   Nam kong Phang Theng dengan kecut berkata.

   "Aku tidak mau berdebat denganmu, aku hanya mau menasehatimu, kalau kau tetap bersikeras begitu, nanti kau akan menyesal."

   Yipha Yauci tertawa berturut-turut. Lalu berkata.

   "Hatiku ada didalam, aku cinta siapa. Siapapun tidak bisa melarang."

   Dengan sikap amat dingin Nam Kong Phang Theng berkata.

   "Kalau kau tetap menganggu Pui Ciu, aku akan bertindak."

   Yipha Yauci berkata.

   "Kenapa tidak sekarang saja mencobanya?"

   Dalam hati Nam Kong Phang Theng muncul hasrat untuk membunuh, berkata.

   "Kalau kau belum melihat besarnya sungai kuning (Huang Hoo)hatimu tentu penasaran?"

   Yipha Yauci sedikitpun tidak mau mengalah, berkata.

   "Ya, Aku tidak percaya."

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nam Khong Phang Theng berkata.

   "Aku bisa membuatmu percaya!"tangannya yang putih dengan jari tengahnya menunjuk kepada Yipha Yauci. Aneh. Tidak ada suara desisan diudara. Yipha Yauci bukan orang sembarangan. Hatinya berpikir dengan reflek langsung menjaga ulu hatinya dengan phipanya. Suara 'Chiang' terdengar keluar. Yipha Yauci terdorong mundur dua langkah besar, hatinya menjadi gentar sekali. Dia memekik.

   "Bo Ya Chai!" (Jari Tanpa Bayangan) Nam Khong Phang Theng berkata.

   "kau sudah mengenalinya. Ayo silahkan coba lagi!"

   Kata-kata belum habis dua telapak tangannya sudah melayang.

   Membuat lingkaran dan menggaris orangnya aneh sekali.

   Memukau dan menakutkan.

   Hati Yipha Yauci sangat gentar, dia mengumpulkan semua tenaga pada phipanya .menggoyang, menyetem, mengayun dan memercik, menyerang yang harus diserang.

   "poopp! Poopp!"

   Dua kali getaran terjadi.

   Angin keras menyebar ke empat penjuru.

   Yipha Yauci terdorong mundur lagi dua langkah.

   Sekarang dia harus mengambil inisiatif.

   Badannya digoyangkan.

   Phipanya langsung dihantamkan.

   Sesudah di tengah jalan dia segera merobah posisinya menjadi menyilang.

   Gayanya aneh dan keras, sangat menakutkan.

   Pesilat yang biasa-biasa saja pasti tak mampu menghadapinya.

   Nam kong Phang Theng adalah penerus orang yang paling menakutkan, yaitu Pek Bo Tan (Bunga Botan Putih), kekebatan ilmunya sudah tak perlu dikatakan lagi, badannya berputar berturut-turut sudah menyerang tiga kali, gerakan dan posisinya semua diluar dari kebiasaan seorang pesilat.

   Dari posisi yang sama sekali tidak mungkin, menyerang bagian-bagian yang tidak terduga.

   Yipha Yauci kewalahan, tidak terasa mundur terus.

   Nam Kong Phang Theng tidak mau mengalah.

   Seperti barang dengan bayangan menjulurkan lagi lima jari-jarinya.

   Terdengar suara mengaduh, Yipha Yauci sudah terduduk di tanah.

   Nam kong Phang Theng telapak tangan sudah berada di atas kepala Yipha Yauci dengan sikap yang sangat dingin berkata, * Liu Siang E, sekali aku mengeluarkan tenaga, kau tahu akibatnya apa?"

   Pucat sekali muka Yipha Yauci mengigit bibir dia berkata.

   "Lakukanlah!"

   "Aku akan melepaskan kau bila kau menyanggupi aku satu syarat."

   "Syarat apa?"

   "Jangan menggangu Pui Cie lagi!"

   "Tidak bisa!"

   "Kalau begitu kau lebih suka mati dengan kepala pecah?"

   Yipha Yauci berkata keras.

   "Manusia hidup harus ada cita-cita, mati karena cita- cita kenapa harus disesalkan?"

   Nam Kong Phang Theng berkata lagi.

   "Menggangu laki-laki yang sudah beristri, inikah cita-citamu?"

   Yipha Yauci berkata.

   "Aku hanya tahu aku cinta apa yang aku suka, yang lain aku tidak perduli."

   Nam Kong Phang Theng dengan suara gemetar.

   "Kalau sudah kehilangan nyawa apa masih bisa mencintai apa yang kau suka?"

   "Aku takkan meminta ampun supaya kau tidak membunuh aku. Tapi aku juga takkan melepas cita-citaku."

   "Kalau begitu kau memaksa aku membunuhmu?"

   "Tidak apa-apa karena ilmu silatmu lebih hebat."

   "Kau benar-benar tidak takut mati?"

   "Aku hanya ingin ketenangan hati, yang lain tidak perlu aku takuti." Pantaskah?"

   "Tentu saja pantas, apa yang wanita kejar? Kalau tidak dapat diraih, hidup dan mati tidak ada bedanya."

   Nam Kong phang Theng pelan-pelan mengeluarkan tenaga, mendesak nadi di atas kepala. Mengalirlah darah dari mulut Yipha Yauci. Nam kong Phang Theng dengan suara keras bertanya.

   "Mau tidak menerima tawaranku?"

   Yipha Yauci menjerit.

   "Tidak, tidak bisa!"

   Guguplah Nam Kong Phang theng.

   Dia juga seorang perempuan, dia bisa merasakan bila seorang perempuan mencintai laki-laki hasratnya sulit digoyahkan, tapi dia adalah bibinya Pui Cie, dia memaksa menjodohkan Pui Cie dan Li Se Kian akhirnya menjadi tragedi yang menyedihkan, dia menyesal sekali., dia tidak bisa tidak perduli.

   Kalau tidak Hie Ki Hong akan seperti Li Se Kain lagi, dia mengambil keputusan berkata.

   "Kau yang mendesak aku membunuhmu!"

   Yipha Yauci dengan sedih berkata.

   "Asal Pui Cie tahu saja kenapa aku mati, aku cukup puas."

   Nam Kong Phang Theng tersentak, kalau dia membunuhnya apa reaksi dari Pui Cie? Jangan-jangan malah bertambah salah, malah akan menjadikan perpecahan antara Pui Cie dengan Hie Ki Hong. Dia mulai goyah... Yipha Yauci berkata.

   "Kau berkata kau angkatan tuanya?"

   "Ya!"

   "Angkatan bagaimana?"

   "Aku bibinya."

   "Ow! bibi., bagus, kau boleh mulai membunuhku!"

   "Kau sampai matipun tak mau berubah?"

   "Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi!"

   Saat itu, muncul ah seorang yang mungil dan cantik. Nam Kong Phang Theng melihatnya, dengan terharu berkata.

   "Mirip sekali dengan Li Se Kian. Kau tentu Hie Ki Hong?"

   "Li Ki Hong, aku sekarang tidak bermarga Hie!"

   "Ya, kau., memang bermarga Li. Kita baru pertama kali bertemu, dulu aku mengira kau Li Se Kian. Ki Hong, apa kau kenal aku?"

   "Aku harus panggil anda bibi, harap lepaskanlah dia."

   "Apa?"

   Bibi tidak boleh membunuhnya!"

   "Kenapa?"

   "Dia mencintai Pui Cie. Pui Cie juga mencintainya."

   "Ki Hong, kau., kaukan istrinya Pui Cie?" , Li Ki Hong mengeleng-gelengkan kepala, dengan muram berkata.

   "Tidak, itu hanya nama saja. Dia membenciku..."

   Nam Kong Phang Theng dengan suara gemetar berkata.

   "Tidak mungkin, dulu memang banyak salah paham maka jadi begini, sekarang asal usulmu sudah jelas, dia tidak mungkin membencimu lagi!"

   Li Ki Hong menggelengkan kepala lagi.

   "Semua tidak ada yang berobah, dia tetap membenciku malah, seharusnya dia., harusnya milik kakakku!' Li Ki Hong menarik nafas.

   "Ki Hong, apa kau mau ibumu mati penasaran?"

   Li Ki Hong memelas, dari sudut matanya mulai berair, sedapat mungkin mengigit bibir, lalu berkata.

   "Bibi, sudahlah!"

   Nam Kong Phang Theng terpaksa menarik tangannya, dan mundur beberapa langkah. Yipha Yauci pelan-pelan bangun, menghapus nda darah di bibirnya, sambil mengigit bibir bawah dia berkata.

   "Aku tidak akan merebut suamimu, harap kau tahu."

   Pelan-pelan Li Ki Hong berkata.

   "Aku pernah berkata kepadamu, kalau kau mencintainya, teruskan saja mungkin kau bisa memberinya kebahagiaan!"

   Nam Kong Phang Theng menyentak dengan keras.

   "Ki Hong, kau gila! Apa artinya kau berbuat begini?"

   Li Ki Hong berkata.

   "Bibi, aku tidak gila. Aku., hanya menerima kenyataan, tidak mau membohongi diri sendiri."

   Nam Kong Phang Theng dengan kesal berkata.

   "Jangan tolol, kau adalah menantu keluarga Nam Kong. Kenyataan ini tidak bisa dibantah."

   Air mata Li Ki Hong akhirnya jatuh ke pipi, dia memutar badannya kepada Yipha Yauci berkata.

   "Kenapa kau masih belum mau pergi?"

   Bibir mungil Yipha Yauci bergerak, mau berkata tapi tidak jadi, sampai terakhir tetap tidak berkata apa-apa, badannya sekali melenting masuk dalam kegelapan malam.

   Pergi melalui hutan.

   Nam Kong Phang Theng maju memegang pundak Li ki Hong dengan suara gemetar berkata.

   "Kau salah! Kau tidak boleh begitu!"

   Li Ki Hong dengan penuh air mata berkata sambil ketawa kecut.

   "Semua sudah nasib, tidak menerima juga tidak boleh. Bibi, aku., harus mencari kakak."

   Nam Kong Phang Theng mengangguk.

   "Mari kita pergi mencari bersama-sama, aku., aih.. aku malu terhadap ibumu, oya, kau masih kembali ke San Chai Mui?"

   Li Ki Hong mengigit mulut berkata.

   "Aku tak bisa membalas dendam kepada Hie Bun Cun, tapi budi dan dendam ini tak bisa dihilangkan begitu saja. Aku sudah ganti marga, sudah putus hubungan dengan San Chai Mui. Nam Kong Phang Theng mengangguk lalu berkata.

   "Mari kita berangkat!" -- Thu Sing Sien dan Pui Cie pergi bersama, diperjalanan Pui Cie mengingat suara Li Ki Hong yang berkata kepada Yipha Yauci,".. kau cintailah dia, aku takkan melarang... aku sudah tidak mau meneruskan perkawinan yang menyedihkan ini., perkawinanku dengan Pui Cie adalah sebuah kekeliruan..."

   Kesusahan yang tidak jelas mencekamnya dalam-dalam, tidak terasa dia menghela nafas. Thu Sing Sien dengan keras berkata.

   "Mengapa menghela napas? Masih tidak bisa melupakan wanita siluman itu?"

   Pui Cie sengaja membelokan perkataan,"Cianpwe kita mau pergi mengurus apa?"

   "Sebuah urusan besar!"

   "Urusan besar apa?"

   "Menyelesaikan perkara Lau Hou Ji tentang terbunuhnya lima tua dan tiga muda dari perkumpulan kami!"

   Darah Pui Cie tiba-tiba terasa mengalir lebih cepat.

   Amat gelisah gara-gara pusaka tak terhingga anak buah kelas atas Khang Khang Mui Yi Ce Jen dibunuh masai.

   Pembunuhnya melakukan dengan memakai nama Pui Cie.

   Mencelakai dirinya menanggung beban ini.

   Berpikir begitu bersuara keras bertanya ,"sudah ketemu pembunuhnya?"

   "boleh dibilang begitu."

   "siapa dia?"

   "sesudah melihat kamu pasti tahu!"

   "kalau begitu., kecurigaan terhadap Wanpwe sudah boleh dihapus?"

   "hem!"

   Jam empat subuh sudah mau liwat.

   Di jalan tidak ada orang.

   Dari kejauhan sudah terdengar ayam berkokok yang bersahut-sahutan.

   Di depan mata sekarang terlihat sebuah pekuburan yang tidak teratur.

   Kunang-kunang terlihat beterbangan yang menjadikan tempat itu menjadi begitu seram.

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dibagian tengah tempat yang agak tinggi, berdiri sebuah kelenteng kecil.

   Thu Sing Sien menunjuknya.

   ",Itu di kelenteng kecil."

   Hati Pui Cie menggerutu, kenapa mengunakan tempat seperti ini?"

   Berdua mereka melalui kuburan yang tidak beraturan, akhirnya sampailah mereka di depan kelenteng kecil.

   Sebuah papan nama butut yang sudah terkelupas cat emasnya, samar-samar masih bisa terbaca Ling Kuan Bio tiga huruf.

   Didepan pintu terdapat dua pohon kering, tidak berdaun, dibawah sinar bulan yang hampir tenggelam, kelihatan sangat menyedihkan, pintunya terbuka tapi tak ada satu manusiapun.

   Siapa yang mau tinggal di tempat seperti ini seperti bertetangga dengan hantu.

   Begitu masuk ke dalam ada satu ruangan utama dan satu ruangan lain di dalam.

   Thu Sing Sien langsung masuk ke ruangan dalam.

   Pui Cie juga mengikutinya.

   Begitu masuk dalam hatinya timbul perasaan ngeri, didalam ruangan penuh dengan sarang laba-laba.

   Ada juga beberapa buah peti mati yang terbuat dari kayu putih, entah titipan atau menunggu untuk dikubur tidak ada yang tahu.

   Dengan dingin Thu Sing Sien berkata.

   "Peti mati ini semua kosong, sumbangan dari orang baik hati yang disimpan khusus untuk mengubur mayat-mayat yang tidak ada keluarganya. Sekarang, kau buka peti kedua di sebelah kanan."

   Ceritanya memang begitu, tapi orang tetap merasa tidak nyaman melihatnya.

   Pui Cie tidak mau banyak bertanya, dia menurut saja pergi membuka tutup peti, yang hanya diletakan begitu saja tutupnya sedikitpun tidak susah untuk dibuka, begitu melihat Pui Cie mundur tiga langkah sambil memekik dengan keras.

   "Kenapa seorang nenek tua?"

   Thu Sing Sien terkejut, dengan suara gemetar dia bertanya.

   "Apa katamu?"

   "Yang berbaring dalam peti itu adalah seorang nenek tua."

   "Nenek tua? Tidak mungkin!., coba kau lihat lagi yang jelas!"

   "Jelas sekali, sedikitpun tak salah!"

   Thu Sing Sien sekali loncat sampai disisi peti itu, begitu melihat dia tersentak. Pui Cie dengan aneh bertanya.

   "Cianpwe, bagaimana ini?"

   Thu Sing Sien dengan gemas berkata.

   "Kenapa bisa jadi seorang nenek tua? Kemana Orangnya?"

   Pui Cie dengan bingung bertanya.

   "Orangnya! Memang tadinya siapa disitu?"

   Thu Sing Sien berkata.

   "Orang muda bertopeng berbaju putih, mengaku dirinya Pui Cie."

   Pui Cie terkaget, spontan berkata.

   "Mungkin dia Bo Ta Su Seng!"

   Thu Sing Sien tidak pikir lagi langsung menjawab.

   "Bukan dia!"

   Bukankah Bo Ta Su Seng pergi ke Tian Ceng Tong mencari obat untuk Yipha Yauci, jika dihitung waktunya tidak mungkin begitu cepat kembali.

   Pui Cie tidak dipikir lagi langsung berkata.

   Begitu dengar Thu Sing Sien menjawab dia merasa aneh, bukankah mereka sama sekali belum pernah bertemu, dengan mata membelalak dia bertanya.

   "Apakah Cianpwe juga kenal dengan Bo Ta Su Seng?"

   Thu Sing Sien terdiam sebentar berkata.

   "Pernah bertemu!"

   "Siapa yang ditangkap Cianpwe dalam peti mati itu?"

   "Dia mengaku sebagai Pui Cie."

   "Karena ini urursan yang aneh, maka aku sudah menangkapnya dan mencarimu untuk menjernihkan kebenarannya."

   "Kenapa disebut urusan aneh?"

   "Dia membawa barang bukti."

   "Barang bukti?"

   "Ya! Kau lihat sendiri!"

   Sambil mengambil sesuatu dalam bajunya, lalu diberikan kepada Pui Cie.

   Pui Cie menerima barang itu dan diletakan di dalam telapak tangannya, begitu dilihat dia menjadi kaget luar biasa.

   Seperti pembuluh darahnya membuka, terharu sampai gemetaran.

   Thu Sing Sien bertanya.

   "Bagaimana?" -- BAB 21 Mencari musuh mengejar pembunuh Barang bukti itu ternyata papan agung Bok Yang Mui. Pui Cie terharu sampai tak bisa berkata-kata. Lama sekali baru berkata.

   "Ini siasat Shin Kiam pangcu Phei Cen!"

   Thu Sing Sien mata bersinar-sinar.

   "Darimana kelihatannya?"

   Pui Cie berkata.

   "Waktu itu Wanpwe menyamar menjadi si Baju Ungu, menyelinap masuk ke markas Shin Kiam Pang tapi ketahuan dan ditangkap, papan nama ini digeledah Phei Cen dan dirampas. Jadi ini tentu siasat Phei Chen, melihat gelagatnya, pasti ada maksudnya."

   Thu Sing Sien menghentakaan kaki berkata.

   "Aku sangat bodoh! Orang tua dibohongi anak-anak yang mengaku adik seperguruanku!"

   Pui Cie menggertak giginya berkata.

   "Wanpwe mengerti Phei Cen ingin membuat lagi seorang anak didik Bu Lim Ce Cun agar orang-orang di persilatan menjadi bingung, dia ingin mengganti posisiku. Agar dikemudian hari bila dia muncul dengan wajah asli tidak menjadi masalah."

   Dengan marah Thu Sing Sien berkata.

   "Siasat jahat dan kejam!"

   Mata Pui Cie memandang ke peti mati dan berkata.

   "Kenapa bisa menjadi nenek tua?"

   Thu Sing Sien mendekat ke peti mati itu setelah diteliti lalu memekik.

   "Ini Tua Nio pengurus rumah tangga Li!"

   Seperti dipentung, badan Pui Cie jadi gontai.

   Tangannya memegang peti mati.

   Betul, ternyata betul Tua Nio.

   Tangannya sudah keras dan dingin, kemarahannya seperti mau meledakkan dadanya.

   Tu Lau Tie baru dibunuh Ti Kuang Beng.

   Tu Toa Nio juga bernasib sama.

   Thian tidak adil.

   Tu Toa Nio berjanji mau menjagakan rumah keluarga li.

   Kenapa sekarang bisa terbunuh disini? Orang yang menyamar sebagai Pui Cie sudah tertangkap sekarang kenapa masih bisa kabur?"

   Thu Sing Sien yang cerdik dan banyak akal. Sekarang menjadi bengong, dengan mata penuh air berkata.

   "aku telah salah bertindak. Seharusnya yang menyamar ditindak langsung saja!"

   Pui Cie dengan gemetar berkata.

   "Kenapa Tu Toa Nio bisa celaka disini? Heran.."

   Langit sudah terang, tapi hati Pui Cie tetap gelap gulita. Thu Sing Sien dengan suara terbatuk berkata.

   "Kita kubur dulu yang sudah meninggal, nanti baru mencari tahu apa sebenarnya terjadi!"

   Pui Cie dengan gereget berkata.

   "Tidak salah lagi. Ini pasti perbuatan Shi Kiam Pang. Cianpwe apakah baru-baru ini pernah ke rumah keluarga li di Siang Yang?"

   Thu Sing Sien menggelengkan kepala berkata.

   "Tidak, kenapa?"

   Lalu Pui Cie menceritakan soal Tu Lau Tie yang datang kerumah Li dan meninggal itu. Thu Sing Sien berpikir dan berkata.

   "Pantas Tu Toa Nio ingin membalas dendam suaminya, dan meninggalkan rumah keluarga Li, hanya sayang dia bernasib sial. Tapi siapakah yang membunuh dan yang menolong orang yang berada di dalam peti?"

   Pui Cie berkata.

   "Cianpwe kapan menangkap orang yang menyamar Wanpwe itu?"

   "Kemarin sore."

   "Kalau waktu itu di nterogasi dulu..."

   "Celakanya karena papan nama hitam ini, aku sampai percaya dia adalah adik seperguruanmu. Hai! Siapa yang sangka! Tempat yang seram begini bisa ada orang!"

   Memdapatkan kembali papan namanya, adalah hasil besar luar dugaan Pui Cie.

   Tapi semuanya kemudian terhapus oleh dendam terbunuhnya Tu Toa Nio.

   Ti Kuang Beng membunuh Tu Lau Tie motifnya belum jelas, Tu Lau Tie terakhir sebelum mati berkata, yang paling jahat adalah hati wanita.

   Perkataan ini tidak ada ujung ada pangkalnya juga merupakan sebuah teka-teki.

   Tu Lau Tie adalah kakak seperguruan Ke Co Ing.

   Ke Co Ing dan Phei Cen ada ganjelan karena merebut istri.

   Ini dan itu semua berkaitan dengan Phei Cen.

   Tapi Ti Kuang Beng diam-diam membunuh orang sendiri bagaimana ceritanya?"

   Dua orang itu bekerja sama, di belakang kelenteng menggali dan menguburkan Tu Toa Nio dengan alat yang ada. Sesudah selesai hari sudah tampak sore. Pui Cie memikir ulang semua kejadian, lalu berkata.

   "Cianpwe, menurut pandangan Wanpwe mereka setelah berbuat begini tentu akan datang lagi melihat hasilnya. Cianpwe pergilah ke dekat-dekat sini dengan meninggalkan jejak, Wanpwe mengintip disini. Mudah-mudahan ada titik terang."

   Thu Sing Sien mengangguk dan berkata.

   "Ini ide yang cukup bagus, Biaklah, aku segera pergi."

   Sesudah Thu Sing Sien berkata, dia langsung berjalan pergi.

   Pui Cie kembali lagi ke dalam kelenteng menyembunyikan diri di ruangan besar menunggu sesuatu yang belum pasti.

   Diluar dan di dalam sunyi senyap.

   Pui Cie dengan sabar menunggu, pikiran melayang.

   Dia terpikir lagi Yipha Yauci, Li Se Kian, dan yang sudah merobah marga aslinya Li Ki Hong satu persatu dipikirnya, semangkin dipikir semangkin bertambah kusut hatinya dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi tiga wanita yang berbeda keinginan ini.

   Matahari masih menyorot shingga berkurang rasa serem dalam kelenteng itu.

   Waktu terasa panjang, perutnya mulai terasa lapar.

   Pui Cie sudah merasa tidak tahan.

   TiBa-tiba dia melihat bayangan orang sekelebat lewat.

   Bayangannya tersorot matahari terlihat di dinding kelenteng, hati mendadak bergetar.

   Dia tahu sudah ada orang datang, dia segera mendekat ke jendela dari lubang yang kertasnya sobek dia melihat keluar.

   Begitu melihat darah seperti mendidih, nafsu untuk membunuh bergelora.

   Yang muncul ternyata Pengurus Utama Shin Kiam Pang Kui Siu Chai Ti Kuang Beng.

   Dia sedang berdiri diluar pintu ruangan dalam, mukanya penuh perasaan aneh.

   Hanya Ti Kuang Beng seorang? Alangkah baiknya kalau Phei Cen juga muncul.

   Belum habis berpikir terlihat satu orang kampung berlari-lari masuk ke dalam kelenteng seraya bersoja pada Ti Kuang Beng lalu berkata.

   "Hamba Yi Ping Nam memberi hormat kepada Pengurus Utama!"

   Ti Kuang Beng menggoyangkan tangannya berkata.

   "Tidak usah memberi hormat, kau penanggung jawab daerah sini?"

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya!"

   "Kemana peti matinya?"

   "Dikubur orang!"

   "Siapa?"

   "Pui Cie dan seorang tua yang kurus."

   Ti Kuang Beng terkejut. Dengan suara gemetar berkata.

   "Pui Cie sudah kesini?"

   "Ya!"

   "Mana orangnya?"

   "Mungkin sudah pergi!"

   "Mungkin., apa artinya?"

   "Maafkan Pengurus Utama, hamba ceroboh, hamba hanya melihat yang tua pergi. Sudah ada setengah hari tidak ada perubahan apa-apa. Mungkin Pui Cie pergi kearah yang lain. Tidak usah ditanya, orang kampung tadi adalah mata-mata Shin kiam Pang. Tak disangka pihak lawan masih belum mau melepaskan pengawasan terhadap daerah ini. Pui Cie sekali meluncur sudah muncul diluar ruangan utama. Ti Kuang Beng dan mata-mata itu sama-sama memekik.

   "Pui Cie!"

   Pui Cie mendekat kehadapannya kira-kira tiga meteran. Dengan sikap amat dingin berkata.

   "Orang yang bermarga Ti, selamat bertemu lagi."

   Mata-mata yang bernama Yi Ping Nam itu merasa takut sekali dan mundur terus sampai punggungnya menempel ke pintu ruangan. Ti Kuang Beng berusaha tenang dan berkata.

   "Ha., ha., ha., kebetulan sekali!"

   Mata-mata tadi tiba-tiba meluncurkan tubuhnya.. Pui Cie siap-siap mau menghalangi...

   "Aa..!"

   Berbarengan dengan pekikan itu.

   Mata-mata yang tadi mau kabur sudah roboh di halaman, yang melakukan adalah Ti Kuang Beng.

   sadis sekali.

   Orang itu belum sempat bersuara sudah putus napas.

   Pui Cie tercengang sekali, dia memandang Ti Kuang Beng tidak berkata apa-apa.

   Ini adalah ketiga kalinya Ti Kuang Beng membunuh orang sendiri.

   Kenapa? Ti Kuang Beng melihat lagi mayat itu dengan santai berkata.

   "Ada petunjuk apa?"

   Pui Cir berusaha menenangkan diri baru berkata.

   "Mengapa harus membunuhnya?"

   Ti Kuang Beng berkata.

   "Biar kita lebih leluasa bicara!"

   Pui Cie diam-diam merasa ngeri sendiri. Panjangnya pikiran, jahatnya perbuatan. Kejinya hati susah dicari tandingannya. Dia spontan berkata.

   "Anda tidak satu kali saja menghabisi orang sendiri. Apa maksud sebenarnya?"

   Ti Kuang Beng dengan sikap dingin berkata.

   "Demi keselamatan diri sendiri kadang-kadang tidak boleh terlalu baik."

   "Aku tidak mengerti."

   "Kau tidak perlu menegrti."

   "Kalau perbuatan anda diketahui oleh orang satu perkumpulan.."

   "Itu urusanku."

   Pui Cie menghela nafas, dia merasa kesal. Dengan suara rendah berkata.

   "Baiklah, kita bicarakan yang penting saja. Kita selesaikan satu persatu, kau membunuh orang tua yang bernama Tu Yi He (Tu Lau Tie)?"

   Ti Kuang Beng dengan lantang menjawab.

   "Ya!"

   "Apa sebabnya?"

   "Sebabnya tak perlu tahu, aku menjalankan perintah atasan membasmi pengkhianat."

   "Betul sekali!"

   Pui Cie juga merasa kaget, tidak disangka Tu Lau Tie juga orang Shin kiam Pang.

   Apa betul yang dikatakannya? perbuatan Ti Kuang Beng yang mengkhianati.

   Dia malah dikatakan menjalankan peraturan perkumpulan.

   Dia sebenarnya orang yang bagaimana? Lalu dengan kecut dia bertanya lagi.

   "Persoalan ini sementara ditunda dulu. Kalau Tu Toa Nio yang ditaro dalam peti mati itu siapa yang membunuhnya?"

   Ti Kuang Beng menjawab.

   "Itu bukan perbuatan aku. Aku tak bersedia untuk menjawab."

   Mata Pui Cie bersinar bertanya.

   "lalu perbuatan siapa?"

   "Tidak tahu. Aku tidak ada di tempat wakti pembunuhan terjadi."

   "Benar?"

   "Benar!"

   "Bagus. Aku tanya lagi padamu siapa yang membawa papan nama hitam untuk mengaku seperguruanku?"

   "Orang kepercayaan Pangcu!"

   "Apa maksud mereka?"

   "Harus tanya Pangcu pribadi."

   "Siapa yang menolong anak itu!"

   "Tidak ditolong, masih ada disni tapi sudah tidak bisa bicara."

   "Dimana?"

   "Didalam peti mati dalam ruangan."

   "Pui Cie kaget, dengan mengigit bibirnya, dia mencabut Pa Kiam dengan keras berkata.

   "Buka petinya. Buktikan!"

   Ti Kuang Beng mengangkat bahunya, membalik badannya menuju ruangan dalam, membuka tutup peti. Pui Cie mengikuti teus dibelakang. Begitu dilihat memang terbaring. Seorang penuda umur dua puluhan. Berbaju putih. Ti Kuang Beng berkata ."Betulkan?"

   "Siapa yang membunuhnya?"

   "Orang-orang pengawas, sebab dia gagal menjalankan tugas."

   "Kejam benar, orang sendiripun tak ada pengecualian! Aku tanya lagi yang terakhir kalinya, dulu di Lau Hou Ji ada lima orang tua dan tiga anak muda yang dibunuh menggunakan namaku. Siapa yang berbuat?"

   Muka Ti Kuang Beng berobah, tapi segera kembali lagi jadi dingin, dia menggelengkan kepala berkata.

   "Aku sama sekali tidak tahu tentang urusan ini."

   Saat ini muncul sebuah suara yang keras,"Kui Siu Chai, bagus benar kau membantahnya. Tapi sayang bagaimanapun rapinya perbuatanmu, tetap ada mata-mata yang mengetahui perbuatanmu!"

   Suaranya yang sudah tak asing. Pui Cie sangat terharu. Dia segera teringat orang tua yang hanya terdengar suaranya tapi orangnya tak pernah muncul, tak disangka dia muncul disini saat ini. Muka Ti Kuang Beng berobah, dengan suara gemetar bertanya.

   "Siapa?"

   Orang tua itu berkata.

   "Kau belum pantas bertanya aku siapa. Dua orang tua keluarga Tu dan anak dalam peti mati semuanya dibunuh olehmu, kau jangan menyangkal!"

   Badan Ti Kuang Beng bergerak. Pui Cie mengangkat Pa Kiam, memekik keras.

   "Jangan harap lolos!"

   Ti Kuang Beng sekarang mundur kesebelah dinding, bagaimanapun kejamnya dia, sekarang dia juga merasa panik. Gemas sekali Pui Cie berkata.

   "Ti Kuang Beng, hayo katakan yang sebenarnya!"

   Ti Kuang Beng yang licin, memekik keras.

   "Kalau berani keluarlah untuk berhadapan!"menyerang orang dari belakang bukan ciri seorang jagoan!"

   Orang itu berkata.

   "Kui Siu Chai, apa perlu aku ceritakan semuanya?"

   Suaranya terasa sangat jauh tidak tahu datang dari arah mana. Ti Kuang Beng dengan gemas berkata.

   "Ceritakanlah! Suara itu tertawa.

   "Ha., ha., ha..!"

   Orang itu lalu berkata.

   "Dengarkan baik-baik, anak itu menerima tugas menyamar sebagai penerus Bu Lim Ce Cun dan sengaja memperlihatkan barang bukti Bok Yang Mui, dan mengaku dirinya adik seperguruan Pui Cie. Kau secara diam-diam telah mengaturnya, tapi dia gagal dan tertangkap dibawa ke kelenteng Kuan Im Bio ini. Kebetulan kau juga mengikuti Tu Toa Nio yang datang mau membalas dendam atas kematian suaminya, kau kemudian membunuh Tu Toa Nio juga. Sayang nenek Tu beburu mati. Aku tak keburu untuk menolongnya.."

   Ti Kuang Beng berkata.

   "Omong kosong!"

   Suara orang tua itu terus berkata.

   "Apa maksudmu yang sebenarnya? Setelah menotok nadi matinya lalu menukar mayatnya. Kau tidak menyangkal kenyataan ini kan?"

   Pui Cie melayangkan Pa Kiamnya dengan nafsu membunuh yang bergelora berkata.

   "Hai orang yang bermarga Ti, cepat katakan yang sebenarnya atau aku tidak seji lagi padamu!"

   Kulit muka Ti Kuang Beng mengkerut, dengan keras berkata.

   "

   Pui Cie, jangan lupa budiku, kalau bukan aku yang diam-diam menolongmu apa kau masih bisa hidup sampai sekarang?"

   Pui Cie terdiam, apa yang dikatakan Ti Kuang Beng memang kenyataan, pertama, saat Pui Cie tiba-tiba ditotok Yipha Yauci dan tidak keburu dibuka tatakannya dan tertangkap.

   Dia telah membunuh seorang ketua cabang menolongnya lolos, kedua kali.

   Dia sengaja tidak membantu Thong Tih Chiu mengeroyok dirinya, apa sebabnya tidak diketahui, tapi tak bisa disangkal.

   Berpikir begitu dia spontan berkata.

   "Aku tidak menyangkal, tapi apa tujuanmu berbuat begitu?"

   Ti Kuang Beng melihat hati Pui Cie sudah goyah, dengan suara rendah dia berkata.

   "Kau tak perlu tahu apa maksudku, tapi budi baikku menolongmu itu kenyataan."

   Suara orang tua berkata.

   "Niat srigala sulit ditebak, Pui Cie, kau harus tegas jangan seperti perempuan. Ada orang datang."

   Hati Pui Cie tersentak, dia melihat keluar, beberapa orang melompat ke dalam kelenteng.

   Yang pertama baju indah bertopeng.

   Ternyata dialah orang yang dicari-cari selama ini, Shin Kiam Pangcu Phei Cen.

   Di belakangnya ada tujuh atau delapan orang tua muda jagoan tangguh yang mengikutinya.

   Mendadak Pui Cie merasa pembuluh darahnya membesar, kebenciannya naik sampai ubun-ubun.

   "Phang!"

   Ti Kuang Beng sudah menerobos jendela belakang dan melayang pergi. Sekarang Pui Cie tidak perduli lagi dengan Ti Kuang Beng, dengan membawa Pa Kiam dia keluar ruangan.

   "Pui Cie!"

   Anak buah pengikut Phei Cen berseru.

   Phei Cen menengadah ketawa terbahak-bahak.

   Pembuluh darah disekujur tubuh Pui Cie seperti mau pecah.

   Mukanya yang tampan menjadi kebiru-biruan, tubuhnya karena mendongkol menjadi gemetaran.

   -- Hari akhir sang jagoan Phei Cen sudah berhenti ketawa dan berkata.

   "Pui Cie, hari ini semua urusan harus dibereskan."

   Sepasang mata Pui Cie menjadi merah. Dengan gemes sekali dia berkata.

   "Phei Cen, Couwsu memberkati. Hari ini adalah hari terakhirmu!"

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Para pengikut yang tangguh-tangguh segera berpencar dan berjaga-jaga, diatas wuwung rumah, diatas pagar tembok, tiba-tiba bermunculan orang-orang yang banyak sekali, seluruh kelenteng sudah dikepungnya.

   Pui Cie sama sekali tidak perduli dengan keadaan sekitarnya, tujuannya adalah Phei Cen.

   Ti Kuang Beng juga sudah kembali masuk dari pintu kelenteng, berkumpul dengan para pengawal yang tangguh.

   Pui Cien dengan sinis berkata.

   "Pui Cie, kau berani kurang ajar pada orang yang lebih tua?"

   Mata Pui Cie menyorot dan berkata,"kurang ajar pada yang lebih tua? Ha., ha., ha..

   "

   Dia tidak tahan menjadi tertawa. Phei Cen memekik keras.

   "Berhenti! Apanya yang lucu?"

   Pui Cie berhenti tertawa dengan gemas berkata.

   "Menggelikan sekali, kata-kata ini bisa keluar dari mulut orang membunuh guru sendiri!"

   Phei Cen berkata lagi,"Pui Cie, kau sudah dipengaruhi oleh guru keparat itu, sehingga percaya saja kata-kata putih menjadi hitam. Betul menjadi salah. Dialah yang membunuh guru.."

   Pui Cie marah sampai mukanya yang tampan jadi membiru, dia memekik dengan keras.

   "Phei Cen, kau orang yang tidak berprikemanusiaan, kau bukan orang! Kau binatang!"

   Phei Cen menjadi marah juga menggertak.

   "aku sebagai sesepuhmu, aku berhak menghukummu karena bersikap kurang ajar!"

   Phei Cen dengan seenaknya balik-balikan salah dan benar membuat Pui Cie gemes luar biasa. Diayunkan Pa Kiamnya dengan keras berkata.

   "Phei Cen, aku hendak memakai darahmu untuk mencuci dosamu yang sudah setinggi gunung!"

   Phei Cen dengan sikap dingin berkata,"tunggu dulu!"

   Dia lalu mencari Ti Kuang Beng dan berkata.

   "Pengurus Utama!"

   Ti Kuang Beng dengan membungkukan badan berkata.

   "Hamba disini!"

   Phei Cen berkata/Mengapa utusan khususku belum muncul?"

   Pui Cie merasa aneh. Utusan khusus? Siapa gerangan? Ti Kuang Beng melirik kepada Pui Cie, lalu baru dengan nada sengit berkata.

   "Lapor Pangcu, utusan khusus sudah mati terbunuh, mayatnya ada didalam peti mati, di ruangan dalam."

   Pui Cie mengerti, yang dimaksud utusan khusus adalah anak yang menyamar sebagai adik seperguruannya, tampaknya Phei Cen belum tahu anak itu telah dibunuh Ti Kuang Beng. Pui Cien sangat kaget dan memekik,"Mati?... perbuatan siapa?"

   Ti Kuang Beng berkata,"Pui Cie!"

   Mata Pui Cie terbelalak bersinar-sinar penuh emosi melotot kepada Ti Kuang Beng.

   Dia betul-betul tidak mengerti orang yang kejam ini, sebenarnya apa yang dikehendak? Sudah berbuat jahat malah terang-terangan menuding di depan orangnya, berkata bohong sedikitpun tidak malu! Phei Cen memandang mayat mata-mata yang tergeletak di tanah berkata.

   "Apakah ini juga perbuatannya?"

   Ti Kuang Beng berkata.

   "Ya!"

   Mata Phei Cen dengan kejam berkata.

   "Kau sendiri tidak cedera?"

   Ternyata Pangcu Shin Kiam Pang ini jalan pikirannya sangat teliti, Ti Kuang Beng membungkukkan badan berkata.

   "Tadi hamba sedang menghadapinya, untung Pangcu cepat datang."

   Pui Cie mendehem, dia malas membongkar kebohongannya. Phei Cen mencabut pedang panjangnya, dan berseru.

   "Serang!"

   Ti Kuang Beng bersama sembilan orang jagoan tangguh maju, masing-masing mengeluarkan senjata, mengambil posisi untuk menyerang bersama.

   Nafsu membunuh Pui Cie sudah penuh sekali.

   Mengambil pengalaman ynag telah lama dia tidak mau berada di posisi bertahan, dia harus bergerak cepat kalau tidak dia akan didahulu orang.

   Hati berpikir mulut bersuara.

   Pa Kiam nya langsung menyerang Phei Cen.

   Terdengar suara besi beradu, kedua belah pihak masing-masing terdorong mundur satu langkah.

   Tiba-tiba Pui Cie sadar ada sesuatu yang tidak beres, dia melihat posisi kesembilan jagoan yang mengurung berdiri dengan teratur, mereka telah menyusun barisan pedang.

   Semua tidak memberikan dia banyak berpikir.

   Phei Cen kembali sudah menggerakan pedang menyerang.

   Phei Cen pernah menyandang gelar Pedang Nomor Satu.

   Tentu saja ilmu pedangnya tidak sembarangan.

   Gerakan pedangnya begitu dimainkan seperti air sungai besar bergulung-gulung.

   Sangat menakutkan arahnya sukar diduga.

   Pa kiamnya Pui Cie juga beda dengan aliran biasa, memang hanya satu jurus tapi perubahannya banyak sekali.

   Dua orang ahli pedang yang luar biasa, mulai melakukan pertarungan hidup dan mati.

   Yang satu menjalankan tugas amanah perguruan untuk menertibkan anggotanya yang menyeleweng, yang satu lagi ingin mencabut duri yang menusuk, pedang bergerak ganas, tiap pukulan mendebarkan.

   Setiap gaya menakutkan.

   Dua belah pihak hanya berambisi menang.

   Barisan pedang belum bergerak, sepertinya sedang menunggu kesempatan.

   Suasana keras dan mengerikan angin berlapis-lapis muncul.

   Mengikat kencang hati semua orang yang berada disitu.

   Pui Cie tahu ini adalah pertarungan yang menentukan hidup dan mati.

   "musuh banyak aku sendiri, maka harus hati-hati menghadapinya."

   Menuggu kesempatan menggunakan jurus aneh baru bisa meraih kemenangan.

   Setelah tiga puluh jurus berlalu, Pui Cie mulai tidak sabar karena tenaganya terus terkuras, akibatnya tentu akan fatal.

   Karena ini bukan pergumulan satu lawan satu, gerakan pedang Phei Cen sangat cermat dan tajam, sementara belum ada kelemahan yang bisa dimanfaatkan.

   Barisan pedang sudah dibentukkan, tapi belum juga digerakkan.

   Phei Cen dengan kedudukannya yang tinggi dan bernama besar.

   Di bawah sorotan mata banyak orang bagaimanapun juga harus menjaga gengsi dirinya, sebelum keadaan terlalu mendesak, dia takkan menggunakan barisan pedangnya.

   Ilmu silat kedua orang ini seimbang.

   Pui Cie, kalah karena pihak lawan unggul dalam jumlah, jika kedua belah pihak tenaganya sudah terkuras habis, Phei Cen pasti akan memerintah anak buahnya untuk menyerang bersama-sama.

   Sebentar saja sepuluh jurus berlalu lagi.

   Pui Cie merasa semua ini tidak boleh ditunda lagi.

   Kondisinya tambah tidak menguntungkan seiring dengan waktu yang berjalan.

   Dia merubah jurusnya, dengan sekuat tenaga dia mengeluarkan jurus yang menentukan.

   Keadaan yang mengerikan segera muncul, seperti bara api dibolak balik dan diaduk-aduk sinar pedang menyorot kemana-mana.

   Terdengar suara pedang beradu terus menerus dan sambung menyambung.

   Dalam satu serangan pedang kedua belah pedang sudah bentrok puluhan kali.

   Sekarang mulai masuk jurus kedua.

   Orang-orang yang menonton dilapangan bernafaspun terasa sulit.

   Menyambung lagi ke jurus ketiga.

   Orang melihat sinar pedang seperti mau putus, tiba-tiba muncul teriakan keras.

   Penutup muka Phei Cen robek dan tersingkap.

   Orangnya terdorong kebelakang keluar dari barisan pedang.

   Pui Cie sedikitpun tidak mempunyai waktu untuk menarik nafas, segera setelah Phei cen mundur, barisan pedang pun mulai bergerak.

   Sinar pedang yang menakjubkan terbang berseliweran.

   Kerjasamanya begitu kompak, maju mundur cepat lambat, seperti biji bunga kapas berterbangan ditiup angin kencang.

   Pui Cie mengayunkan satu sabetan, ditahan oleh tiga buah pedang, pedang- pedang lawan yang lain menyerang dari posisi yang berbeda.

   Posisi yang mungkin diserang semua diserang, sebentar saja posisi Pui Cie menjadi gawat.

   Barisan pedang mengutamakan kekompakan isi atau kosong, saling mengisi saling bertahan, sembilan orang itu bisa menggerakan pedang dengan otomatis.

   Pui Cie sedikitpun tidak boleh lengah.

   Kalau tidak dia bisa cedera atau mati.

   Barisan pedang yang terdiri dari Ti Kuang Beng dan kawan-kawannya sangat tangguh, kehebatannya sudah tak perlu diragukan lagi.

   Pertarungan sengit berjalan terus.

   Pui Cie dilibat dalam gelombang pedang yang dahsyat.

   Pelan-pelan posisinya menjadi bertahan, gerakan pedangnya tak bisa dikembangkan lagi.

   Kesal dan marah menggangu pikirannya.

   Kondisi ini membuat dia bertambah tidak menguntungkan.

   Manusia hanya terdiri darah dan daging.

   Memerlukan tenaga dan bernatas, bisa ditebak akhirnya dia akan mati kelelahan.

   Bertambah, waktu bahaya semakin mendekat.

   Pui Cie sudah berada di posisi tersulit.

   Bajunya sudah basah kuyup oleh keringat.

   Mukanya yang tampan menjadi merah.

   Mati.

   sedikitpun dia tak takut.

   Tapi dia tidak bisa menerima cara mati konyol seperti ini.

   See Yan Tjin Djin Dalam kondisi yang gawat, tiba-tiba terdengar suara dentingan phipa yang cukup nyaring memecah di udara, seperti suara geledek yang menakutkan.

   Mendengar suara phipa itu semangat Pui Cie menjadi terpacu, dia melihat Yipha Yauci telah datang, hal ini memberi dorongan yang luar biasa, tenaganya yang terkuras habis mendadak seperti muncul lagi, gerakan Pa kiamnya menjadi hebat lagi.

   Pengawal yang berilmu biasa dari Shin Kiam Pang yang barada dibagian garis luar tidak tahan dengan suara phipa yang menusuk hati menggetarkan jiwa, semua menjadi gaduh, dari atap rumah dan atas tembok pagar satu persatu roboh berjatuhan, barisan pedang pun menjadi kacau balau.

   Phei Cen segera mengejar ke arah suara...

   "Aa...P terdengar suara jeritan yang memilukan hati, seorang jagoan tangguh dari barisan pedang tidak tahu kenapa sudah roboh terjungkal. Dalam kesempatan yang langka ini. Pui Cie menggunakan semua tenaganya menyabetkan Pa Kiamnya. Suara jeritan menggoyahkan lapangan. Dua orang jagoan patah tangan, yang satu kepala nya terbang, barisan pedangpun menjadi hancur. Suara phipa tiba-tiba berhenti, tapi tidak ada orang yang muncul. Pui Cie tidak ada waktu memkikir yang lain. Pa Kiamnya langsung ditodongkan pada Kui Siu Chai Ti Kuang Beng yang mencoba membalikan badan berusaha kabur, terdengar suara rintihan yang memilukan dari Ti Kuang Beng yang melarikan diri. Sisa hempasan Pa Kiam tadi masih mengena seorang jagoan. Tajamnya seperti pisau mengenai dadanya. Dia roboh dan memuncratkan darah segar. Seluruh lapangan seperti mendidih. Orang berseliweran lari mencari keselamatan. Ti Kuang Beng benar-benar cerdik, dalam kondisi kacau itu entah dia sudah lari kemana. Pui Cie tiba-tiba menemukan Phei Cen sudah tidak ada di tempatnya. Dia merasa risaunya luar biasa, kalau dia kabur lagi untuk menemukannya lagi sulit sekali. Jerit kesakitan yang memilukan berulang lagi. Dua orang lagi tumbang, tapi aneh tidak tampak siapa yang melakukan. Semua pikiran Pui Cie hanya terpusat pada Phei Cen, dia segera melompat naik ke atas genteng kelenteng, melihat sekelilingnya. Selain pesilat yang lari tidak karuan tidak tampak bayangan Phei Cen, apakah dalam sekejap saja dia See Yan Tjin Djin naik ke langit? Di hari yang masih terang semua yang ada di atas bukit sekali lihat tampak semua... Di halaman jeritan masih ada, orang masih berliaran keluar pintu kelenteng, sekejap yang bisa bergerak sudah pergi semua. Yang tersisa hanya dua puluh mayat. Pui Cie sedang bingung belum mendapat akal. Tiba-tiba terdengar suara orang tua misteri yang keras itu.

   "Anak muda, hayo cepat turun! Orangnya berada di ruangan dalam!"

   Tanpa berpikir panjang Pui Cie langsung melayang ke dalam halaman, sekejap suda berada di depan pintu ruangan dalam.

   "Kembalilah! bersayap pun kau takkan bisa kabur lagi!"terdengar suara bentakan seorang perempuan keluar dari ruangan dalam. Berikut terdengar suara barang yang beradu. Pui Cie merasa kaget, dengan membawa pedang menerobos masuk ke ruangan dalam. Dari jendela yang bolong pertama yang dia lihat adalah muka seorang wanita, Ternyata itu adalah Nam Kong Phang Teng. Dia segera sadar tadi yang diam-diam yang menolong dia membunuh pengikut Phei Cen adalah bibinya. Jendela bolong itu baru saja pecah karena diterjang oleh Ti Kuang Beng waktu kabur. Nam Kong Phang Teng berteriak.

   "Awas sebelah kirimu!"

   Begitu Pui Cie melirik ke kiri, pembuluh darah sekujur tubuhnya seperti mau pecah.

   Di belakang peti mati sebelah kiri muncul setengah badan Phei Cen, memang tidak salah orang tua itu menyampaikan suara.

   Bajingan ini memang belum kabur.

   Phei Cen dengan muka bengis melotot kepada Pui Cie.

   Pui Cie mengigit bibirnya berkata.

   "Phei Cen, hari ini aku akan menghukummu sesuai dengan peraturan. Intik perbuatanmu mati seratus kalipun tidak cukup unutk membayarnya!"

   Phei Cen ketawa aneh lalu berkata.

   "Kau bermimpi!"

   Nam Kong Phang Teng masuk menerobos jendela, berdiri disamping Pui Cie sambil menunjuk Phei Cen.

   "Kau sampah persilatan orang hina, orang kecil, aku mau mencincangmu menjadi berpuluh ribu potong, membakar tulangmu menjadi abu!"

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suaranya begitu menyayat hati. Kulit muka Phei Cen mengkerut berkata,"

   Siapa dirimu?"

   "Dengar yang jelas!"

   Nam Kong Phang Teng memekik.

   "Kau dulu dengan cara yang keji menggunakan perempuan yang tidak patut Chu Ni Hiang, membujuk Toa Hong Kim, Ke Chu Hun mencuri buku ilmu pedang gurunya, yaitu Guan Thong Kao Teng, sampai akhirnya kau mendapatkan gelar Pedang Pertama Sejagat. Mencelakai guru Chu Hun dan muridnya mati secara mengenaskan di gunung Bu Tong.."

   Dua mata Phei Cen melotot, dengan suara gemetar memekik.

   "Sebenarnya kau siapa?"

   Nam Kong Phang Teng matanya seperti mau pecah berkata.

   "Aku adalah istrinya Chu Hun!"

   Badan Phei Cen gemetar, dengan kejam berkata.

   "Kau mau membalas dendam suamimu?"

   Dengan gemas Nam Kong Phang Teng berkata.

   "Sedikitpun tidak salah!"

   Pui Cie dengan terharu berkata.

   "

   Bibi, biar aku yang membereskannya!"

   Phei Cen mendadak ketawa keras.

   "Lucu! Ternyata kau keponakannya!"

   Pui Cie bawa pedang mendesak ke depan... Phei Cen memkik keras.

   "Jangan bergerak!"

   Peti mati ditendangnya.

   Pui Cie tersentak, ketika mata dia memandang, hati dan pikirannya bergetar, mukanya menjadi pucat.

   Yipha Yauci duduk mematung di depan Phei Cen.

   barusan tidak kelihatan karena terhalang oleh peti mati.

   Dia terkejut.

   Tidak disangka Phei Cen telah menyandera Yipha Yauci.

   Ternyata dia mainkan phipanya di ruangan dalam.

   Phei Cen melintangkan pedang di leher Yipha Yauci dengan keji berkata.

   "Bagaimana, mau membicarakan syaratnya?"

   Nam Kong Phang Teng dengan keras berkata.

   "Keji, hina! Pedang pertama Nonor SatuShin Kiam Pangcu, ternyata perbuatannya begitu kotor! Silahkan kau bunuh, tidak ada yang perlu dibicarakan."

   Phei Cen dengan sinis berkata.

   "Belum tentu, ada orang yang berhutang budi ingin menolong nyawanya. Tak mungkin mau mengorbankannya.."

   Pui Cie marah besar, sekujur tubuhnya bergetar terus, seperti mau menyemburkan darah.

   Seorang pesilat sejati, yang mempunyai nama baik tentu tahu aturan persilatan dia berutang budi jiwa atas pertolongan Yipha Yauci.

   Tentu saja dia tidak bisa melihat dia begitu saja menjadi korban.

   Tapi Phei Cen bagaimanapun juga tak akan melepaskan dia begitu saja.

   Berpikir begitu, dia menggigit mulut berkata.

   "Apa syaratnya?"

   Phei Cen mengangkat alisnya berkata.

   "Gampang saja, dia antar aku keluar kelenteng. Kalian berdua tetap di tempat."

   Nam Kong Phang Teng dengan kecus berkata.

   "Pui Cie, kalau kau menerimanya, aku takkan memaafkanmu!"

   Pui Cie mengigit mulut lagi, dia tidak bisa ambil keputusan. Nam Kong Phang Teng dengan keras berkata.

   "Mari kita maju, Pui Cie! Jangan Kau membela seorang wanita siluman melepaskan setan ini! Dia sudah tidak ada kesempatan lolos lagi. Kau tidak mau menyesal seumur hidup, kan?"

   Pui Cie tersentak lagi. Benar, nanti mungkin sudah tidak ada kesempatan lagi! Phei Cen pelan-pelan berkata.

   "Ayolah jangan ragu-ragu majulah, bila kubunuh dia juga tetap bisa lolos dengan sempurna, kalau tidak percaya coba saja. Semua pikiran Pui Cie menjadi kusud. Hidup mati Yipha Yauci hanya tergantung pada putusannya. Bukan karena cinta juga bukan karena kecantikannya, tapi dia tidak mau menjadi orang yang tidak tahu membalas budi. Hari ini Yipha Yauci datang untuk membantunya. Kalau dia tidak perduli semuanya, apa bedanya dia dengan Phei Cen? Saat ini dia sangat mengharapkan munculnya orang tua yang misterius, yang bersuara tanpa ada orangnya untuk menolong kesulitannya, tapi ini hanya angan-angan saja, dari pengalaman yang sudah-sudah orang tua tidak pernah muncul. Nam Kong Phang Teng menggerakkan kaki... Mata Phei Cen menyorot sinar nafsu membunuh pedang di tangan seperti mau bergerak. Pui Cie spontan berteriak.

   "Nanti dulu!"

   Nam Kong Phang Teng berhenti dengan geram melolot Pui Cie dan berkata.

   "Kau benar tidak tega terhadap perempuan siluman itu? Pui Cie kau mengecewakan banyak orang!"

   Pui Cie berteriak setengah memekik.

   "Bibi, biarkan aku berpikir lagi!"

   Nam Kong Phang Teng dengan tegas berkata.

   "Kau pikir saja sendiri. Kita ambil jalan masing-masing jalan. Pamanmu sedang menunggu bajingan ini menyerahkan kepalanya."

   Sesudah itu dia melangkah lagi. Pui Cie ingin melarang tapi tidak digubris, Yipha Yauci akan menjadi korban sia-sia... Saat ini tiba-tiba sebuah bayangan seperti kilat melayang masuk ke ruangan dalam mendarat di sisi Phei Cen dan berkata.

   "Pangcu! Ini hamba!"

   Tadinya Phei Cen mau mengayunkan pedang, mendengar suara itu menjadi berhenti, tapi tangannya tetap menekan di atas leher Yipha Yauci.

   Pui Cie juga terkejut, bayangan orang yang datang ternyata adalah Kui Ciu Chai Ti Kuang Beng.

   Nam Kong Phang Teng juga kaget dan berhenti mendesak.

   Ti Kuang Beng memandang Nam Kong Phang Teng dan Pui Cie, dengan pelan berkata.

   "Pangcu, bawalah sandera, hamba yang menahan serangan sesudah keluar ruangan baru bicara lagi."

   Mata Phei Cen berputar, dengan keji berkata,"Orang ini tak perlu dibawa, bunuh saja! Kita lawan mereka!"

   "Peng!"

   Pada saat yang menegangkan tiba-tiba satu pukulan Ti Kuang Beng mengenai Phei Cen.

   Sesudah membokong dia langsung menjauhkan diri.

   Perubahan yang mendadak ini di luar dugaan siapapun.

   Ti Kuang Beng terang- terangan memberontak.

   Phei Cen mimpipun tidak menduga Ti Kuang Beng bisa melakukan hal begini pada dirinya.

   Dengan spontan dia mengayunkan pedang menusuk...

   Ti Kuang Beng menjauhkan diri sampai tiga meteran.

   Sambil berteriak.

   "Cepat tolong orangnya!"

   Nam Kong Phang Teng yang paling dekat dengan Phei Cen segera mengangkat sepasang telapak tangannya seperti kilat memukul, terdengar suara mengaduh, Phei Cen terdorong gelombang pukulan sampai kepinggir tembok.

   Pui Cie juga bergerak reflek sekali, badannya bergerak sambil melayangkan pedangnya kepada Phei Cen yang tubuhnya belum tetap, secepat kilat pedangnya tahu-tahu sudah sampai di depan mata, dengan tergesa-gesa dia mengangkat pedangnya menangkis.

   Dalam suara gemuruh besi beradu, Phei Cen terdorong lagi.

   Ditambah lagi dia sudah terkena satu pukulan dari Nam Kong Phang Teng.

   Suara mengaduh terdengar lagi, tubuh Phei Cen sudah limbung.

   Ti Kuang Beng sudah kabur entah kemana.

   Kungfu Phei Cen memang hebat dalam keadaan limbung ujung kakinya sekuat tenaga menjejak, badannya seperti roket meluncur keluar ruangan.

   Pui Cie dengan memegang Pa Kiam memburu, tapi meleset.

   "Chass!"

   Pedang menghantam peti mati yang menjadi sontak sisinya.

   Nam Kong Phang Teng secepat kilat mengejar, dia melirik Yipha Yauci yang belum sempat terbuka totokannya, Phei Cen jadi tertahan oleh Nam Kong Phang Teng, Pui Cie pun langsung menyerangnya.

   Phei Cen memekik keras lalu mengeluarkan satu serangan aneh untuk menahan pedang Pui Cie, dia sama sekali tidak ragu-ragu lagi, secepat kilat meluncurkan badannya ingin melarikan diri.

   Nam Kong Phang Teng melihat Pui Cie menyabetkan pedang karena takut menghalangi gerakan pedang dia sudah mundur semeteran, kekosongan ini memberi Phei Cen kesempatan untuk kabur.

   Bibi dan keponakan sama-sama mengejar.

   Siang hari keadaan jelas.

   Diatas bukit tidak ada pohon menghalangi.

   Kaki Phei Cen bergerak menginjak nisan kuburan, begitu menginjak langsung meluncur lagi.

   Sekali meluncur bisa menjauh beberapa meter, seperti roket meluncur menurun bukit.

   Bibi dan keponakan itu terus mengejar, seperti bintang menyusul bulan.

   Setelah turun dari bukit tidak berapa jauh ada sebuah sungai melintang di depan mata.

   Phei Cen menjadi menemui jalan buntu tapi dia tidak ada pilihan lain, dia langsung melompat mencoba menyeberangi sungai.

   Tapi sungai terlalu lebar dia tidak bisa menjangkau ke seberang, diapun jatuh ke dalam air, begitu bangkit dari air dia lari ke tepi sungai.

   Tapi pedang di tangannya sudah terjatuh ke dalam air.

   Waktu bersamaan Pui Cie juga melintas sungai, dia juga tidak bisa menjangkau tepi sungai, dia mendarat di pinggir sungai yang dangkal tapi tidak jatuh selangkah di belakang Phei Cen yang sedang naik ke darat.

   Nam Kong Phang Teng lebih berpikir panjang, dengan melawan arus dia lari beberapa meter, mencari jarak yang paling dekat baru meloncat, aksinya belakangan tapi malah sampai duluan.

   Phei Cen belum sempat menarik napas sudah kembali terhadang.

   Pui Cie juga tiba, dia mengambil posisi diujung.

   Sekujur tubuh Phei Cen basah kuyup.

   Seperti ayam masak kuah, karena jatuh ke sungai jadi dia terbatuk-batuk oleh air yang masuk ke tenggorokan.

   Napasnya menjadi sesak karena batuk terus-terusan.

   Pui Cie mengayunkan pedang mendesak sampai tiga meter didekatnya.

   Dengan suara keras dia berkata.

   "Phei Cen! ajalmu hanya sampai disini!"

   Phei Cen yang kehilangan pedang sudah tentu bukan lawannya Pui Cie, apalagi ada Nam Kong Phang Teng sebagai ahli waris Pek Bo Tan, orang yang paling menakutkan ketika sedang berjaya di dunia persilatan, bayangan kematian sudah memenuhi hatinya.

   Tapi jagoan dunia persilatan ini menpunyai semacam keangkuhan.

   Mana mau hanya diam menunggu mati? Mata berputar-putar cepat- cepat mencari akal untuk meloloskan diri.

   Pui Cie berkata lagi.

   "Phei Cen, kau membunuh kakek guru, meracuni guru. Dosanya tak dapat diampuni. Sekarang aku menjalankan perintah almarhum guru menghukum orang yang melanggar peraturan perguruan, apa masih ada yang mau kau sampaikan? Sepertinya Phei Cen sudah tahu untuk lolos sudah tidak ada harapan lagi, dia melolong keras menubruk Pui Cie. Maksudnya ingin bergumul mati-matian. Pui Cie mengayunkan Pa Kiamnya. Phei Cen tidak berani menghadapi tajamnya pedang Pui Cie, dengan gerakan aneh dia berputar. Pui Cie seperti bayangan mengikuti terus gerakannya, jurus mautnya dikeluarkan lagi. Serangan Pa Kiam sejak dulu sudah terkenal kedahsyatannya. Phei Cen tidak keburu menghindar. Punggungnya tergores sekitar tiga puluh senti menjadikan sebuah lubang yang besar, darah segar segera mengalir keluar, dia membalikan badannya, kedua telapak tangannya langsung memukul. Pui Cie melompat kesamping sambil menyimpan pedang. Mengangkat telapak tangannya dan berkata.

   "Aku akan menghukummu dengan ilmu silat perguruanku sendiri!"

   Kedua belah pihak maju dan melayangkan telapak tangan Chiet Kim Cang (Telapak Tangan Pemotong Emas) Nam Kong Phang Teng tidak ikut campur, dia berdiri di pinggir kalangan dengan gemas, dia berjaga-jaga agar Phei Cen tidak dapat meloloskan diri lagi.."Phang!"

   Terdengar satu suara keras, kedua belah pihak mundur selangkah.

   Tapi begitu berpisah segera mendekat lagi.

   pertarungan dengan tangan kosong ini adalah ilmu tingkat tinggi di dunia persilatan dan terlihat sangat mengerikan.

   Tubuh Phei Cen yang cedera oleh sabetan pedang, darahnya tidak berhenti terus, hanya karena hawa nafsu saja dia dapat terus melawan, tapi walau bagaimana juga dia tidak bisa terus bertahan 1

   "Phang"

   Kembali terdengar kedua belah tangan beradu, kali ini dibarengi dengan suara rintihan.

   Mulut Phei Cen telah menyembur darah, dia jatuh tertelungkup, dia menahan diri, mencoba bangun lagi.

   Mukanya sudah tak berbentuk seperti hantu, Pui Cie menghantam lagi dengan satu pukulan, dengan mengaduh lagi Phei Cen terjungkal kembali.

   Pui Cie dengan gemas memandanginya.

   Bangun, jatuh lagi.

   Sepertinya dia sudah lemas dan tidak bisa bangun lagi.

   -- BAB 23 Semua pasti Nam Kong Phang Teng menghampiri dengan suara keras berkata.

   "Kau mau dia mati secara perlahan-lahan!"

   Sambil mendekati. Pui Cie cepat-cepat menghadang berkata.

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bibi, mohon ijinkan keponakan untuk menghukumn dia sesuai dengan aturan perguruan."

   Mendengar itu Phei Cen memekik keras, dia mengangkat tangan ingin memukul kepala sendiri..

   Pui Cie segera menotoknya, tangan Phei Cien yang sudah menjulur kembali turun ke bawah.

   Pui Cie mengeluarkan papan nama hitam dari balik bajunya.

   Diangkatnya lebih tinggi dari atas kepala, dengan berlutut ke arah utara, berkata.

   "Arwah kakek guru dan guru, murid hari ini akan menyelesaikan perintahmu, menghukum Phei Cen si pengkhianat, harap maklum dan bisa diterima!"

   Selesai berdoa dia bangun mukanya berat seperti besi. Dengan gemes Nam Kong Phang Teng berkata.

   "Kau tidak mengizinkan aku membunuhnya?"

   Pui Cie berkata.

   "Bibi, orang mati hanya satu kali biarpun dia telah berbuat dosa sebanyak apapun dengan mati, dosanya akan terhapus semua. Dia murid Pek Bo Tan angkatan kedua, mohon mengizinkan keponakan menjalankan tugas perguruan, agar tidak diejek orang didunia persilatan. Keponakan tahu dendam dalam hati Bibi. Tidak usah berebut turun tangan, menyaksikan juga sama saja."

   Nam Kong Phang Teng terdiam, sepertinya bisa menerima sarannya. Pui Cie memandang tegas Phei Cen berkata.

   "Phei Cen, dosamu terlalu banyak susah disebut satu persatu. Biarpun memilih yang manapun kau tetap tidak akan bisa membayarnya. Sayang kau hanya bisa mati satu kali, kalau tidak kau...?"

   Phei Cen masih meronta ingin bangun.

   Tapi tenaganya sudah tidak bisa mengikuti keinginan, hanya bisa bangun setengah lalu terduduk kembali, dari mulutnya menyemburkan darah segar.

   Kulit muka terus-terusan mengerut.

   Keangkuhannya mulai lenyap, terakhir dengan lesu dia berkata.

   "Dosa yang telah kuperbuat adalah tanggung jawabku sendiri, aku hanya minta satu, jangan merusak mayatku, kuburkanlah aku di sekitar sini. Silahkan bertindak!""

   Pui Cie dengan mata berkaca-kaca berkata.

   "Kau di Lau Hou Ci membunuh lima orang tua tiga orang anak muda, merampok buku pusaka ilmu silat yang tiada tara, buku keduanya juga kau rampas dari tubuhku, Kau harus menyerahkannya kembali. Sebelum membereskan permasalahan ini!"

   Sepasang mata Phei Cen membelalak, dengan pedih berkata.

   "Pembunuhan lima orang tua dan tiga anak muda di Lao Hou Ci adalah perbuatan Ke Co Ing dan Ma Gwe Kiau. Jangan diperhitungkan denganku. Buku kedua ada disini, ambilah!"

   Dari balik baju dia mengeluarkan setengah buku ilmu silat lalu dia melemparkan ke tanah. Pui Cie mengambilnya dan memasukan kedalam sakunya, dengan suara keras berkata.

   "Apakah benar semua adalah perbuatan Ke Co Ing dan Ma Gwe Kiau?"

   "Ya!"

   "Tapi Ke Co Ing telah kau dorong masuk jurang dan mati disana.."

   "Ma Gwe Kiau masih hidup!"

   Pui Cie gigit mulut berkata.

   "Aku akan mencarinya!"

   Phei Cen menengadah ke langit sambil tertawa keras lalu badannya gemetar keras. Nam Kong Phang Teng menjerit dan berkata.

   "Dia sudah memutuskan urat nadinya!"

   Pui Cie juga tahu kejadian ini tapi sudah tidak keburu mencegah. Mulut dan hidung Phei Cen sudah mengeluarkan darah, tubuhnya kemudian jatuh tertelungkup dan tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Nam Kong Phang Teng tiba-tiba melayangkan tangan.

   "Aku mau menghancurkan tulangnya untuk dihancurkan menjadi abu!"

   Pui Cie menahan dengan badannya.

   "Bibi, jika orang sudah mati maka utang piutangpun menjadi impas, keponakan tadi sudah menyetujui dia mati dengan tubuh utuh." 1 Nam Kong Phang Teng mendongkol sekali. Karena tidak dapat turun tangan. Pui Cie menggunakan tenaga dalamnya, membuat sebuah lubang yang cukup besar di tempat itu untuk mengubur Phei Cen, kuburannya tidak dibuatkan nisan. Sebab seorang pengkhianat dalam aturan perguruan tidak boleh meninggalkan nama. Nam Kong Phang Teng menangis karena sedih, matanya menatap langit dan bergumam sendiri.

   "kakak Hun, urusan sudah selesai, sekarang kau sudah bisa tenang di alam sana!"

   Habis berkata itu, tiba-tiba dia membalikan badannya kepada Pui Cie, berkata.

   "Aneh, kenapa Ti Kuang Beng memberontak kepada Phei Cen? Kalau tidak ada bantuannya kita belum tentu bisa berhasil menangkap Phei Cen, sedikitnya Yipha Yauci akan menjadi korban.."

   Dahi Pui Cie bergerak seperti berpikir, berkata.

   "Aku juga tidak habis pikir, dia sudah beberapa kali diam-diam membantu aku."

   Nam Kong Phang Teng berkata.

   "hanya ada satu kemungkinan, dia masuk ke Shin Kiam Pang mungkin untuk membalas dendam. Tapi dendam ini tidak langsung berhubungan dengan dia. Maka Phei Cen tidak mencurigainya."

   Pui Cie berpikir lalu berkata.

   "Aku harus kembali ke Kuan In Bio. Berbahaya sekali meninggalkan Yipha Yauci yang totokannya belum dibuka, kalau ada orang Shin Kiam Pang datang, dia tak bisa hidup..."

   Saat ini ada seseorang orang dengan gerakan cepat mendatangi, sesudah dekat baru kelihatan yang datang ternyata adalah Tu Sing Sien. Pui Cie yang merisaukan hidup matinya Yipha Yauci sudah tidak tahan berlama-lama di tempat itu cepat-cepat berkata.

   "

   Bibi, aku mau pergi dulu sebentar..."

   Kuan In Bio sekarang sudah kembali tenang seperti semula lagi, hanya masih banyak mayat-mayat yang tidak terurus di tempat itu.

   Pui Cie tergesa-gesa menerobos masuk ke ruangan dalam, begitu masuk dia menjadi bengong.

   Yipha Yauci, Liu Siang E ternyata sudah tidak berada disana, apakah dia sudah bisa membuka totokannya sendiri atau sudah mendapat kecelakaan? Sebuah bayangan biru muncul depan pintu.

   Pui Cie dapat merasakan, kontan dia mengangkat kepalanya sampai terkejut, berkata.

   "Oo!"

   Ternyata yang muncul adalah Bo Ta Su Seng, cepat-cepat mendekat, mengangkat tangan dan bersoja.

   "Adik, kenapa bisa ada kesini?"

   Bo Ta Su Seng balas bersoja.

   "Siaute merasa Twako pasti kembali lagi, maka siaute menunggu terus disini!"

   Pui Cie sudah tidak sabar bertanya.

   "Aku mau menanyakan tentang nona Liu Siang E?"

   "Dia sudah pergi!"

   "Dia tidak apa-apa?"

   "Tidak apa-apa."

   "Apakah adik yang membukakan totokannya?"

   "O, bukan, tapi seorang Cianpwe yang menolongnya."

   Pui Cie spontan terbayang orang tua misterius yang suaranya setiap saat terdengar tapi orangnya tidak pernah muncul itu. Dengan sendirinya dia bertanya.

   "Cianpwe itu seperti apa?"

   Bo Ta Su Seng tidak menjawab malah bertanya.

   "Apakah Twako dan bibi berhasil menggejar Shin Kiam Pangcu?"

   Pui Cie terkejut berkata.

   "Bagaimana kau bisa tahu?"

   Bo Ta Su Seng balik bertanya.

   "Bagaimana hasilnya?"

   Pui Cie menghela napas dalm-dalam dengan berat berkata.

   "Mulai sekarang dunia persilatan takkan ada lagi orang yang disebut Pedang Pertama Sejagat."

   Bo Ta Su Seng mengangkat alis bertanya.

   "Bagaimana dengan peristiwa pembunuhan di Lau Hou Ji?"

   Pui Cie terkejut dengan mata membesar memandang Bo Ta Su Seng lama sekali baru dengan suara keras bertanya.

   "Adik kau sebenarnya siapa?"

   Bo Ta Su Seng dengan raut muka menjadi serius berkata.

   "Twako Pui, siaute akan berterus terang. Pembunuhan yang terjadi di Lau Hou Ji bukankah Twako yang menjadi tersangka. Aku diperintah guruku untuk untuk menyelidiki kasus ini dan mencari pembunuh yang sebenarnya."

   Berhenti sebentar berkata lagi.

   "Harap Twako memberi tahu hasilnya."

   Pui Cie baru sadar ternyata Bo Ta Su Seng sengaja merendahkan diri dan berkenalan dengan dirinya demi menyelidik kasus berdarah ini. Spontan dia bertanya.

   "Apakah kau murid Khang-Khang Mui?"

   "Ya!"

   "Siapa gurumu?..."

   "Beliau adalah ketua yang sekarang, kakak tentd tidak asing dengan suara orang tua itu."

   "O!.. Jadi Cianpwe misterius yang hanya terdengar suaranya, tidak tampak orangnya itu.."

   "Benar, ketika Twako didesak oleh Shin Kiam Pangcu sampai jatuh ke jurang, gurulah yang telah mengulurkan rotan."

   Pui Cie sangat terharu, pelan-pelan berkata.

   "Tidak disangka... yang menolongku keluar dari jurang adalah gurumu., siapa namanya?"

   Bo Ta Su Seng tersenyum-senyum berkata.

   "Maaf, karena terikat oleh peraturan perguruan aku tidak bisa memberi tahu. Masalah.."

   Pui Cie menarik napas panjang, kemudian menceritakan apa yang dikatakan Phei Cien waktu sekarat. Bo Ta Su Seng dengan mata bersinar lalu berkata.

   "Orang yang mau mati biasanya berkata jujur, kalau itu benar perbuatan Ke Co Ing dan Ma Gwe Kiau, berarti peristiwa itu memang tidak ada hubungan dengan twako, jadi kami akan urus sendiri."

   Pui Cie hatinya merasa lega dan berkata.

   "Betul, Giok Ju Yi itu.."

   Bo Ta Su Seng dengan wajah muram berkata.

   "Sudah siaute kembalikan kepada paman gurumu Bo Yu Sien Ce!"

   Saat itu ada dua orang berturut-turut masuk ke halaman kelenteng. Pui Cie dan Bo Ta Su Seng segera menghampirinya, ternyata yang datang adalah Thu Sing Sien, Nam Kong Phang Teng. Thu Sing Sien berkata-kata dengan keras.

   "Aku orang tua berlari sampai mau putus rasanya kaki ini demi mencari orang. Lumayan, sekarang semuanya sudah beres!"

   Pui Cie memberi salam pada tiap orang. Yan Phei Ling maju ke depan berkata.

   "sute, kau pergilah mengurus masalahmu dengan bibi Theng."

   Pui Cie tersentak.

   "Masalah apa?"

   Nam Kong Phang Teng berkata.

   "Ada kabar penting yang didapat Suci mu, kita segera berangkat kalau tidak, bisa terlambat."

   Pui Cie tidak tahu ada masalah penting apa tapi dia terpaksa berpamitan pada semua orang kemudian pergi mengikut Nam Kong Phang Teng. Di jalan Pui Cie tidak tahan bertanya lagi. Nam Kong Phang Teng yang terdesak menjawab.

   "Kita pergi menemui Se Kian!"

   Perasaan Pui Cie mendadak menjadi risau sekali, dengan tidak tenang dia berkata.

   "Pergi menemui Se Kian?"

   "Ya!"

   "Dimana?"

   "Kho Tek An, kau pun pernah kesana!"

   Kho Tek An! mukanya Pui Cie mengambang perasaan yang susah.

   "Apa mungkin.. Se Kian.."

   "Dia sudah menjadi biarawati, rambutnya sudah habis."

   Hati Pui Cie sakit seperti tertusuk, Li Se Kian memotong rambutnya lalu pergi meninggalkan rumah.

   Ternyata benar-benar dia masuk ke biara, drama kesedihan tidak terhindarkan.

   Apakah ini kesedihannya atau aku? -- Kho Tek An, adalah sebuah biara, keadaannya tetap seperti dulu ketika Pui Cie pernah datang, kalau ada perbedaan hanya perasaan orang saja yang berbeda.

   Bibi dan keponakan itu sudah berdiri di depan biara.

   Perasan Pui Cie dari kacau menjadi seperti orang linglung, dia merasa takut menemui Li Se Kian.

   kalau boleh tidak bertemu saja? Dia ingin sekali bersembunyi, bersembunyi di tempat yang tidak ada orang.

   Setelah mengetuk pintu terdengar ada jawaban dari dalam biara "Krak!"

   Pintu biara terbuka, seluruh tubuh Pui Cie menjadi gemetar. Dari dalam biara keluarlah seorang biarawati muda, yang menundukkan kepala. Kedua belah telapak tangannya menempel di depan dadanya sambil berkata.

   "Amitaba!"

   Nam Kong Phang Teng dengan sedih berkata.

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Se Kian!"

   Suara menjadi tersendat. Lie Se Kian menundukkan kepalanya berkata.

   "Aku sudah menjadi biarawati!"

   Suara yang gemetar, tiap patah kata seperti jarum menusuk hati Pui Cie.

   Lie Se Kian pelan-pelan mengangkat kepala memandang kepada Pui Cie.

   Empat mata bentrok.

   Roh Pui Cie seperti melayang keluar dari badannya, dia gemetar mulutnya seperti tersumbat.

   Pandangan yang mengharukan.

   Dengan suara yang lirih Nam Kong Phang Teng berkata.

   "Aku yang salah., telah., mencelakai kalian!"

   Mata Lie Se Kian air matanya mengambang. Dia menahan diri dengan sekuat tenaga, pelan-pelan dia berkata.

   "Semua sudah menjadi takdir, siapapun tidak dapat disalahkan, kalian berdua sudah datang, kalau aku berkata terus mengenai persoalan lama, tentu tidak akan selesai-selesai. Li Ki Hong juga bernasib buruk, harap tuan muda Nam kong membuka hati menuruti pesan almarhum ibu untuk tinggal selamanya dengan dia. Apakah tuan muda setuju?"

   Pui Cie terdiam, setelah mencapai suatu keputusan bulat, tidak terasa lagi dia mengangguk.

   "Amitaba, urusan duniawi sekarang sudah selesai, aku akan merasa tenang menjalani hidup ini."

   Pintu biara ditutup lagi, orangnya pun menghilang.

   Pui Cie terhuyung-huyung sepertinya sudah tidak bisa menampung kesedihan yang menimpanya.

   Orang, kalau sudah masuk biara menjadi beginilah Lama sekali Nam Kong Phang Teng menghela napas, dengan bercucuran air mata berkata.

   "Anak, Li Ki Hong sudah pulang ke Siang Yang, kau., sekarang juga harus pulang."

   Dengan tidak ada semangat Pui Cie berkata.

   "Pulang?"

   Dengan suara keras Nam Kong Phang Teng berkata.

   "Kuberitahu padamu sesuatu hal, sebenarnya sekarang Li Ki Hong sekarang sudah hamil dan itu adalah darah daging dari keluarga Nam Kong!"

   Pui Cie seperti tersambar petir, badannya bergoyang-goyang bergumam.

   "Apa dia., sudah hamil?..."

   Saat itu sebuah bayangan manusia muncul, kecil mungil berbaju merah, perlahan-lahan berjalan keluar dari balik pepohonan bambu.

   Yipha Yauci Liu Siang E, dengan wajahnya yang cantik tampak senyum menyedihkan, dia kelihatan pucat dan lesu.

   Dia berdiri berhadapan dengan Pui Cie, hati dan tubuh Pui Cie seperti melayang.

   Untuk apa dia datang? Dengan wajah dingin Nam Kong Phang Teng menyentak.

   "Liu Siang E, aku pernah mempermgatimu. Kalau kau.."

   Yipha Yauci seperti mau marah, tapi akhirnya dapat menahan diri, dia berkata.

   "Bertemu muka satu kali saja apa tidak boleh?"

   Dengan kasar Nam Kong Phang Teng berkata.

   "Kalau kau mau menggangu dia lagi aku tidak akan memaafkanmu!"

   Yipha Yauci memandang Pui Cie berkata.

   "Kakak Cie, kau pernah berkata menyukaiku. Aku akan ingat selamanya perkataanmu, percintaan kita hanya ada di awal..."

   Nam Kong Phang Teng menggertak.

   "Tutup mulutmu, berani benar kau.."

   Yipha Yauci tidak perduli, dia meneruskan perkataannya.

   "Entah kapan kita bisa bertemu lagi, semoga bayangan diriku selalu berada didalam hatimu, kuharap kau memberikan satu sisi tempat khusus untuk bayanganku. Jaga dirimu, aku., mau pergi!"

   Habis berkata, pelan-pelan dia membalikan badannya melangkah pergi.

   Air mata sudah jatuh sewaktu dia mulai menggerakan kakinya.

   Pui Cie tidak melihatnya dia menangis, dia ingin sekali memanggilnya, tapi itu hanya ada dalam pikirannya saja.

   dia tidak punya keberanian, rasanya juga lebih baik begitu.

   Selendang sutra merah melambai-lambai mengikuti gerakan tubuhnya yang munggil, akhirnya menghilang di balik pohon bambu.

   Pui Cie spontan bergumam.

   "Cinta ada permulaan.. tapi tiada akhir."

   Nam Kong Phang Teng menghela napas berkata.

   "Anak, mari kita pulang ke Siang Yang."

   Pui Cie mengangguk dengan tidak bersemangat.

   Akhirnya mereka berdua pergi juga.

   Meninggalkan pintu biara yang sunyi dengan seorang gadis yang tidak beruntung yang telah melepaskan kebahagiaan dunianya.

   TAMAT Bandung, 25 Mei 2006 Salam hormat ( See Yan Tjin Djin )

   

   

   

   

Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Pendekar Kembar Karya Gan KL Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini