Ceritasilat Novel Online

Pendekar Laknat 1


Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong Bagian 1



Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya dari S D Liong

   


   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com Pendekar Laknat Judul Lama . Pendekar 3 Jaman Saduran . SD Liong

   Jilid 1 Pusar bumi.

   MENGAPA? MENGAPA? MENGAPA? Demikian pertanyaan yang selalu menghuni dalam benak Siau-liong, jejaka berumur 16 tahun yang sedang belajar pada Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsin To.

   Mengapa gurunya melarang ia untuk menuntut balas atas kematian ayahnya....? Kata gurunya, larangan itu adalah pesan terakhir dari ayahnya, pada saat hendak menghembuskan napas terakhir.

   Mengapa mendiang ayahnya berpesan begitu? Dan mengapa pula gurunya melarang ia berkeliaran ke balik gunung? Sudah 10 tahun lamanya, pertanyaan itu mencengkam pikirannya, tanpa penyelesaian.

   Saat itu gurunya sedang pergi memetik daun obat kelain tempat.

   Sebelumnya, Siau-liong telah dipesan supaya jangan berkeliaran ke balik gunung dan supaya tiap hari giat berlatih silat saja.

   Entah bagaimana saat itu, timbullah keinginan Siau-liong untuk mengetahui apakah dibalik rahasia dari larangan gurunya itu.

   Tentang kematian ayahnya, menurut keterangan gurunya, telah dibunuh oleh To Hun-ki, ketua partai Kong tong-pay.

   Tong Gun-liong, demikian nama ayah Siau-liong, adalah murid kesayangan To Hun-ki.

   Demikian keterangan sekedar yang diberikan gurunya Siauliong, mengenai kematian ayahnya.

   Tetapi mengapa ayah Siau-liong sampai dibunuh oleh gurunya sendiri, Kongsun Sinto tak tahu.

   Diam-diam Siau-liong, berjanji dalam hati, kelak akan menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya itu sampai jelas.

   Rupanya memang sudah menjadi sifat manusia.

   Makin dilarang makin ingin tahu.

   Dan pada usia menjenjang dewasa itu, darah Siau-liong memang panas-panasnya.

   Serentak ia memutuskan untuk meninjau tempat dibalik gunung itu.

   Ternyata jalan di bagian belakang gunung yang didiami itu, merupakan sebuah jalan buntu.

   Terputus oleh sebuah jurang yang curam.

   Setelah puas meninjau keadaan sekeliling tempat itu, karena hari sudah sore, iapun pulang.

   Pada keesokan harinya, barulah ia datang lagi dan mulai melakukan penyelidikan.

   Disitu terdapat sebuah mulut gua.

   Bentuknya macam kerucut, atas sempit bawah lebar.

   Ketika mengamati, ia terkejut.

   Di atas mulut gua terdapat tiga buah ukiran huruf.

   "Lembah penasaran"

   Kini Siau-liong menyadari apa sebab gurunya melarangnya kesitu.

   Tetapi Siau-liong makin tertarik.

   Adakah gua itu dihuni orang? Ia hendak memasuki gua itu.

   Tiba diambang mulut gua, sehembus angin dingin meniup sehingga ia menggigil.

   Teringat akan pesan gurunya, ia bergegas hendak keluar.

   Tetapi ia tertegun ketika melihat kedua sisi pintu gua terdapat beberapa ukiran huruf, berbunyi.

   "Laut dendam, sukar ditimbuni. Siapa masuk tentu mati". Sesaat ia gemetar tetapi pada lain saat bangkitlah kepanasan hatinya. Sombong dan kejam benar orang itu. Demikian anggapannya. Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh gelak tawa yang menggeledek. Serentak angin kuat menabur Siau-liong sehingga anak itu terhuyung beberapa langkah ke belakang. Buru-buru ia berusaha untuk menenangkan darahnya yang mendebur keras. Setelah tenang ia memandang kemuka. Ah, ternyata gua itu mempunyai penghuni. Setombak di atas mulut gua, terdapat sebuah lubang besar. Ditengah lubang duduk seorang tua aneh tengah tertawa. Tangannya mencekal sekerat daging yang masih berlumur darah. Tampak ia menikmati daging itu dengan lahapnya.... Orang aneh itu berbangkit dan menghampiri kepintu gua. Siau-liong makin menggigil. Perwujutan orang itu amat menyeramkan sekali. Manusia tetapi menyerupai iblis. Iblis tetapi ternyata manusia. Mungkin di dunia tiada manusia yang lebih seram dari dia. Dan Walaupun berdiri, tetapi orang aneh itu hanya setinggi orang biasa sedang duduk. Pahanya pendek sekali tetapi telapak kakinya amat lebar. sepasang tangannya menjulur ke bawah sampai hampir mencapai lutut. Dadanya bidang, leher pendek dan kepala besar. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam hampir tertutup oleh rambutnya yang kusut masai.

   "Uh, sial, lebih baik pulang saja,"

   Gerutu Siau-liong seraya hendak ayunkan langkah.

   Tiba-tiba orang aneh itu menampar dan setiup angin keras melanda Siau-liong sehingga ia terdampar ke belakang lagi.

   Punggungnya terasa sakit.

   Sebelum ia sempat berdiri tegak, orang aneh itu sudah melayang kehadapannya.

   "Ha. ha. ha' Seorang penghuni baru lagi! Sekali Raja Akhirat datang, jangan harap dapat minta tempo. Budak, lihatlah tanganku!"

   Orang aneh itu julurkan sepasang tangannya.

   Bermula warnanya putih tetapi segera berobah merah lalu didorongkan.

   Setiup angin berbau anyir, menghambur ke arah Siau-liong.

   Siau-liong menghindar ke samping.

   Dess....

   tiba-tiba batu yang berada di belakang, mendesus seperti hangus terbakar api dan pecah berantakan.

   "Heh, heh...."

   Orang aneh itu tertawa mengekeh.

   Lalu lepaskan empat buah pukulan lagi.

   Siau-liong terpaksa mundur dan tanpa disadari ia telah masuk ke dalam lingkungan batu-batu yang berserakan.

   Dar, dar, dar, delapan buah pukulan dilepaskan orang aneh itu lagi.

   Untunglah Siau-liong dapat menghindari.

   Tetapi batubatu yang tak menentu bentuknya itu pecah berhamburan ke segenap penjuru! Jelas orang aneh itu memang tak bermaksud menghancurkan Siau-liong.

   Setiap kali tentu memberi kesempatan supaya anak itu dapat menghindar.

   Siau-liong menyadari juga hal itu.

   Tetapi lama kelamaan, marah ia.

   Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam, siap mengadu kekerasan.

   Rupanya orang aneh itu mengetahui maksud Siau-liong.

   Diluar dugaan, ia berhenti memukul dan tertawa memanjang....

   Siau-liong makin marah.

   Tetapi ketika memandang ke muka, ia terkejut.

   "Celaka, mati aku sekarang!"

   Ternyata dalam pandangannya, orang aneh itu telah pecah menjadi empat orang yang berdiri diempat penjuru.

   Tangannya yang merah, mengacung ke atas dalam sikap hendak memukul.

   Tetapi anak itu sudah bertekad mengadu jiwa.

   Dihantamnya orang aneh itu.

   Hai....

   ia ter-longong2.

   Hampir ia tak percaya apa yang dilihatnya.

   Hantamannya itu mengenai segunduk batu besar dan batu itu pecah berantakan.

   Dan orang aneh itupun lenyap.

   Sebelum tahu apa yang terjadi, tahu-tahu bahunya sebelah kanan terasa panas sekali.

   Cepat ia mengendap lalu berputar mundur ke belakang.

   Ah.

   kiranya orang aneh itu sudah berada di belakang! "Budak, engkau adalah calon setan.

   Kematianmu sudah hampir tiba.

   Tetapi rupanya engkau masih penasaran kalau belum mengadu pukulan!"

   Seru orang aneh itu tertawa menyeringai.

   Lalu pe-lahan2 ulurkan tangan kiri.

   Telapak tangannya yang berwarna hitam, menimbulkan rasa ngeri.

   Siau-liong menggigil.

   Tetapi Kenekatannya pun bangkit.

   Dess....

   ia menghantam.

   Tetapi pukulannya itu seperti jatuh ke dalam laut.

   Hilang lenyap dayanya.

   Siau-liong terkejut.

   Tiba-tiba setiup angin keras melanda dirinya.

   Angin itu ternyata berasal-asal dari refleksi pukulannya tadi.

   Uh, uh, uh....

   mulutnya mendesus ketika tubuhnya, terpental beberapa langkah ke belakang.

   "Bluk", ia jatuh terduduk dan muntah darah. Orang aneh itu tertawa mengukuk.

   "Budak, mengapa engkau tak berguna sekali? Hayo, bangunlah!"

   Siau-liong membulatkan tekad. Kalau mati, ia harus mati secara kesatria.

   "Wut", sekali tangannya menekan tanah, ia melenting ke udara. Hai.... ia merasa tentu menderita luka tetapi mengapa sedikitpun tak merasa sakit? Orang aneh itu maju menghampiri dan Siau-liong terpaksa mundur. Tetapi saat itu ia sudah terdesak sampai di tepi telaga yang terbentang di belakang lembah itu.

   "LAUT PENASARAN"

   Demikian bunyi tiga huruf yang terbentang di tepi telaga itu. Siau-liong terbeliak kaget. Teringat ia akan kata-kata orang aneh itu.

   "Laut Penasaran, sukar ditimbuni...."

   "Adakah dia hendak lemparkan aku ke dalam telaga ini?"

   Pikirnya. Orang aneh itu tertawa mengekeh.

   "Hai, budak, engkau ingin mati atau tidak?"

   Menyadari bahwa dirinya takkan terluput dari kematian, semangat Siau-liong malah menyala. Dia tak takut mati. Dengan berani ia menatap orang aneh itu, serunya.

   "Setan tua, engkau ingin mati atau tidak?"

   Jawaban Siau-liong itu membuat si orang aneh tertawa gelak-gelak.

   "

   Bagus, bagus, tepat sekali jawabanmu itu!"

   Siau-liong terkesiap.

   "Budak, engkau berbakat hebat sekali. Jika tidak. engkau tentu sudah mampus termakan pukulanku tadi...."

   Seru orang aneh pula.

   "pukulanku Bu-kek-sin-kang tadi, mengandung tenaga keras campur lunak. Jika engkau bukan seorang perjaka tulen, jangan harap engkau mampu menerimanya!"

   "Aku benci semua manusia di dunia!"

   Seru orang itu lagi.

   "tetapi hari ini aku benar-benar bingung. Betapapun halnya engkau tak boleh merusak peraturan lembah ini. Ya, engkau harus mati satu kali!"

   Melihat sinar mata orang aneh itu agak ramah, nyali Siauliong makin bertambah. Serunya.

   "Setan tua, aku benci kepada orang yang telah membunuh ayahku! Katakanlah, bukankah engkau juga harus ku benci "

   "Jangan bermulut tajam!"

   Hardik orang aneh itu.

   "kusuka akan perangaimu yang baik. Engkau dengar tidak? Aku hanya menyuruhmu mati satu kali saja!"

   "Setan tua, masakan aku dapat mati beberapa kali?"

   Teriak Siau-liong.

   "Bagus! Engkau memanggil aku setan tua dan kupanggilmu budak kecil. Kita sama-sama tidak merugikan,"

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata orang aneh itu.

   "budak kecil, sudah tentu orang hanya mati satu kali saja."

   "Sekali mati, habislah riwayatnya!"

   Seru Siau-liong.

   "Belum tentu,"

   Sahut si orang aneh.

   "mungkin masih mempunyai kesempatan hidup lagi!"

   "Aku tak mengerti ucapanmu."

   Siau-liong kurang senang. Sejenak orang aneh itu merenung, lalu berkata.

   "Pertama, engkau harus terjun ke dalam Laut Penasaran itu. Bukan untuk menimbuni karena kupercaya engkau dapat muncul kembali. Kedua, akan kuberimu ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang. Dan ketiga, engkau tak boleh menanyakan diriku siapa. Dan jangan menceritakan diriku kepada siapapun juga, bahkan kepada gurumu!"

   "Locianpwe,"

   Karena melihat orangtua aneh itu ternyata tidak buas, maka Siau-liongpun berganti dengan menyebut locianpwe.

   "yang pertama aku dapat menerima. Tetapi yang kedua, aku tak sanggup!"

   Orang aneh itu kerutkan kening lalu tertawa lebar.

   "Hm, sekarang engkau berganti nada. Memang tak salah penilaianku bahwa engkau ini seorang anak muda yang berguna. Kusenang akan kejujuranmu. Kutahu si tua Kongsun itu gurumu. Maka engkau segan berguru pada lain orang. Jangan kuatir, akupun tak ingin mengambil murid engkau. Melainkan hendak memberimu sebuah ilmu pukulan sakti!"

   "Tetapi itu berarti suatu ikatan guru dan murid. Ah, tak mau!"

   Siau-liong menolak.

   "Bagus, aku suka akan kekerasan kepalamu!"

   Seru si orang aneh.

   "aku sendiri seorang yang keras kepala. Sekarang bertemu dengan seorang budak yang keras kepala. Apakah ini bukan jodoh namanya."

   Orang aneh itu sebenarnya seorang momok durjana yang terkenal. Ia membunuh jiwa manusia seperti memitas nyamuk-nyamuk saja. Tetapi anehnya, berhadapan dengan seorang anak yang berani, cerdik dan berbakat bagus, seketika timbullah rasa suka.

   "Baiklah,"

   Katanya.

   "kita tinggalkan dulu syarat kedua itu. Sekarang kita laksanakan syarat yang pertama!"

   Entah bagaimana, Siau-liong berganti kesan kepada orang aneh itu. Segera ia hendak membuka baju. Tetapi orang aneh itu cepat mencegahnya.

   "Tunggu dulu Akan kusaluri tenaga dalam dulu kepadamu. Jika tidak, jangan harap engkau dapat muncul ke daratan lagi!"

   "Tidak."

   Siau-liong menolak.

   "beritahukan saja apa yang harus kulakukan dalam telaga itu. Segera aku hendak mencebur kesana."

   "Budak, engkau ingin mati tidak?"

   Tegur orang aneh itu dengan mata memberingas.

   "Setan tua, engkau benar-benar menusuk perasaanku. Lebih baik aku mati dari pada dihina."

   "Jangan tergesa-gesa,"

   Kata orang aneh itu.

   "Laut itu merupakan mulut sebuah gunung berapi yang sudah padam. Lahar yang membeku selama ratusan tahun, telah memancarkan sumber air yang luar biasa dinginnya. Orang pasti kaku seketika apabila menyilam disitu."

   "Aku?"

   "Banyak perjaka tetapi jarang yang tubuhnya mengandung hawa Tun-yang seperti engkau. Bagimu, tidaklah sukar untuk menghadapi tempat semacam itu. Tetapi dengan kepandaian yang engkau miliki sekarang ini, jangan harap engkau mampu ke dasar bumi untuk mengambil pusaka yang tak ada tandingannya di dunia persilatan!"

   "Pusaka?"

   "Berpuluh tahun aku bersembunyi disini, hanyalah karena hendak menunggu pusaka itu. Sejenis binatang bersisik, mirip dengan Kilin (warak) dan naga. Aku sendiri belum jelas. Binatang itu telah menerima sari sinar matahari dan rembulan, ditambah pula dengan menghisap hawa Im dan Yang dalam kerak bumi. Apabila muncul, binatang itu memancarkan sinar pelangi yang menyilaukan, Tetapi dia gesit sekali hingga aku selalu gagal menangkapnya!"

   "Benarkah?"

   Siau-liong menegas.

   "Benar! Apa engkau pernah melihat juga?"

   "Sepuluh hari yang lalu, kulihatnya sinar kemilau itu memancar dari kawah gunung!"

   Orang aneh itu menghela napas.

   "Ah, saat itu dia terlalu cepat sekali. Begitu muncul terus lenyap lagi. Ah, jika aku berhasil memperoleh mustika dalam mulutnya, di dunia tentu tiada yang dapat menandingi aku lagi. Akan kutumpas semua manusia yang kubenci!"

   "Ah, lebih baik kalau engkau jangan menemukannya!"

   "Mengapa?"

   Orang aneh itu heran.

   "Aku tak mau mencarinya "

   Sahut Siau-liong.

   "Heh, engkau lupa?"

   Orang aneh itu menggeram buas.

   "Lupa apa?"

   "Siapa masuk lembah ini harus mati!"

   Siau-liong tertawa.

   "Sama sekali tidak lupa. Tetapi lebih baik aku yang mati seorang daripada menelan banyak korban."

   "Engkau seorang budak kecil tetapi nyalimu besar sekali. Baiklah. aku mengalah. Turunlah ke dalam laut itu. Berhasil mendapatkan mustika itu atau tidak, aku takkan menyesalimu. Nah, bagaimana?"

   Siau-liong setuju.

   Orang aneh itu segera menyuruhnya duduk bersila Kemudian ia lekatkan tangannya kepunggung Siau-liong.

   Seketika itu Siau-liong rasakan sekujur tubuhnya dijalari hawa hangat.

   Makin lama makin panas sampai mandi keringat.

   Tiba-tiba orang aneh itu menyepak pinggangnya.

   Huak....

   Siau-liong muntah darah dan pingsan.

   Orang aneh itu cepat mengurut dan menyalurkan hawa murni ke tubuh Siau-liong.

   Lebih kurang sejam lamanya, baru ia berhenti.

   Tubuhnya mandi keringat, napas terengah-engah.

   Duduklah ia bersemedhi.

   Ketika sadar, Siau-liong terkejut melihat keadaan orang aneh itu.

   Tak lama kemudian orang aneh itupan membuka mata.

   Ia tampak lelah.

   "Seumur hidup, baru kali ini aku melakukan kebaikan. Sejak saat ini, matipun aku takkan penasaran,"

   Ujar orang itu pelahan.

   "Cianpwe, engkau mengapa?"

   Siau-liong heran.

   "Sekarang pergilah engkau mengambil mustika itu. Walaupun berhasil mendapatkan, tetapi akupun bukan tokoh yang tiada tandingannya di dunia "

   Mendadak timbul rasa iba dihati Siau-liong. Serunya rawan.

   "Cianpwe, apakah maksud ucapanmu itu?"

   "Tadi telah kusalurkan hawa-sakti ke dalam tubuh sehingga jalan-darah Tok-djinmu terbuka. Tak kepalang tanggung, kuberimu ilmu sakti Bu-kek-sin-kang juga."

   Siau-liong terbeliak kaget. Sesaat ia termenung-menung. Baru saat itu ia menemukan peribadi yang sesungguhnya dari orang aneh itu. Ternyata baik dan luhur budi. Serta-merta ia berlutut memberi hormat.

   "Suhu, Siau-liong akan mencari mustika itu."

   Orang aneh itu mengangguk puas. Siau-liong segera loncat ke dalam Laut Penasaran.

   "blung"

   Ia menggigil.

   Andaikata ia belum mendapat saluran tenagasakti orang aneh itu, pasti ia akan mati kedinginan.

   Air dalam telaga yang dinamakan Laut Penasaran itu, memang luar biasa dinginnya.

   Pertama-tama matanya tertumbuk akan suatu pemandangan yang ngeri.

   Berpuluh tengkorak manusia berserakan di dalam telaga....

   Adakah mereka mati sendiri atau dilempar kesitu oleh si orang aneh? Telaga itu hanya dua tiga puluh tombak lebarnya.

   Tetapi amat dalam sekali.

   Makin ke bawah, makin sempit, Kira-kira 100 tombak dalamnya, terdapat sebuah gua.

   Aneh! Gua itu kering tiada airnya sama sekali....

   Siau-liong menghampiri gua itu.

   Hawanya dingin sekali dan terdapat penerangannya pula.

   Beberapa tumbuh-tumbuhan terdapat hidup digua itu.

   Menilik susunannya.

   tentulah ditanam orang.

   Jenis tanaman yang tumbuh disitu, jarang terdapat di dunia.

   Daunnya ada yang biru ke-hijau2an seperti batu kumala.

   Batangnya seperti jenggot naga dan bentuk daunnya menyerupai ekor burung cenderawasih.

   Bunganya seperti butir2 mutiara....

   Tampak sebuah cekung berisi air jernih.

   Penuh dengan benda-benda warna merah zamrud yang tak henti-hentinya lalu lalang kian kemari.

   Siau-liong teruskan langkah kemuka.

   Tak berapa jauh, ia tiba disebuah gua lagi.

   ia makin terkejut.

   Dalam gua itu penuh dengan lentera yang ber-gerak2 naik turun, mendekat dan menjauh.

   Siau-liong menyambar lentera yang kebetulan menghampiri ke arahnya.

   Tetapi selalu luput.

   Lentera-lentera itu bagaikan jinak-jinak merpati.

   Dihampiri, menjauh.

   Dijauhi, mendekat....

   Gua makin menanjak ke atas.

   Setelah berjalan agak lama, ia memperhitungkan, tentu sudah berada diluar Lembah Penasaran.

   Tiba-tiba suasana terang benderang.

   Ia tiba di sebuah ruangan yang terang.

   Begitu masuk ia terbeliak kaget.

   Di atas sebuah ranjang batu duduk bersemedhi sesosok tengkorak.

   Lehernya terlingkar seutas rantai perak dengan sebuah tongpay (lencana) berukir tengkorak bersemedhi.

   Pada dinding di belakang tengkorak itu terdapat empat buah huruf.

   Ilmu pukulan Thay-siang-ciang.

   Dibawahnya tertera lima buah gurat2 lukisan.

   Kemudian ditengah ruangan, tampak sebuah tambur batu yang besar.

   Permukaan tambur batu penuh dengan guratan huruf yang bersembunyi.

   "Barang siapa masuk kemari, tanda berjodoh. Selain tongpay dan ilmu pukulan Thay-siang ciang, pun di atas permukaan batu ini tumbuh sebiji buah Im-yang-som. Dapat menambah panjang umur dan tenaga-sakti. Buah itu tak boleh dibiarkan sampai masak. Harus cepat dimakan. Dan hanya diperuntukkan orang yang benar-benar berjodoh". Terlintas dalam benak Siau-liong. Andaikata tak berhasil memperoleh mustika. asal mendapat buah ajaib itu, iapun dapat menolong memulihkan tenaga si orang aneh.... Tambur batu tak kurang dari seribu kati beratnya. Dengan kerahkan tenaga, ia mendorong. Terdengar bunyi gemuruh menggetarkan bumi dan tiba-tiba pintu gua itu tertutup rapat. Ternyata tambur batu itu merupakan alat penutup dan pembuka pintu gua. Dibawah tambur terdapat pula beberapa tulisan.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pintu gua telah tertutup. Tetapi jangan takut. Gua ini penuh persedian makanan. Yakinkanlah ilmu pukulan Thaysiang- ciang sampai sempurna, tentu dapat membuka lantai batu ini dan dapatkan buah Im-yang-som. Setelah makan, tenagamu tentu bertambah sakti. Hancurkan pintu gua dan engkau pasti akan menjagoi dunia"

   Siau-liong gelisah sekali.

   Sampai beberapa lamakah ia harus tinggal dalam gua situ? Tetapi apa daya.

   Satu-satunya jalan, ia harus menurut apa yang tertera dalam tulisan itu.

   360 hari lamanya, Siau-liong tinggal dalam gua.

   Tak disangkanya bahwa walaupun hanya terdiri dari lima jurus, tetapi ternyata ilmu pukulan Thay-siang-ciang itu memerlukan waktu setahun untuk meyakinkan.

   Untung sebelumnya ia sudah mendapat saluran tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dari orang aneh itu.

   Kalau tidak, entah berapa tahun lagi ia baru berhasil mempelajarinya.

   Kini ia meningkat 16 tahun umurnya.

   Bertubuh tinggi besar, sehat dan kuat.

   Pada hari terakhir setelah mengerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, ia melenting dan lontarkan pukulan Thay-lo-kim-kong.

   "Pyur", amblonglah lantai batu yang menutupi buah ajaib itu. Lubang dibawah lantai hanya beberapa meter dalamnya. Tampak sebuah benda menyerupai pohon Sian-jin-ciang atau Telapak Dewa. Daunnya hanya dua helai, berwarna biru kehijau-hijauan. Pada batang pohon terdapat dua biji buah sebesar telur burung. Satu merah, satu putih. Buah itu memancarkan sinar gemilang dan bau yang harum sekali. Buah yang merah mengandung tenaga Yang dan buah yang putih tenaga Im. Hanya ditempat yang disaluri air pusar bumi, barulah buah itu dapat tumbuh. Segera dipetiknya terus dimakan. Seketika ia rasakan tubuhnya hangat dan semangat segar. Kemudian ia duduk bersemedhi menyalurkan darah. Beberapa waktu kemudian, ia loncat bangun dan menghantam pintu gua. Dar.... pintu jebol dan terbukalah sebuah lubang. Girangnya bukan kepalang.

   "Suhu!"

   Serta-merta ia berlutut memberi hormat kepada tengkorak yang duduk di ranjang batu itu.

   Setelah itu baru ia menerobos keluar.

   Ia terkejut ketika melihat seekor makhluk yang berkemilau dan menyiarkan bau luar biasa wanginya.

   Cepat ia memburu keluar.

   Seekor binatang yang agak lebih kecil dari kuda, bersisik dan bertanduk satu, menyerupai binatang Kilin, tengah muncul dan menyadap bulir-bulir mutiara dalam air.

   "Wut". Siau-liong cepat ayunkan tubuh kepunggung. Tetapi binatang itupun luar biasa gesitnya. Secepat kilat binatang itupun menyusup ke dalam pusar bumi.... Siau-liong terus mengejar sampai disebuah tempat yang dindingnya gilang gemilang. Tetapi hampir setengah hari ia ber-putar2 menjelajahi sekeliling tempat itu, tetap tak dapat menemukan binatang aneh tadi. Ia memutuskan harus dapat memperoleh binatang itu. Kalau gagal, orang aneh yang telah melepas budi kepadanya itu tentu tetap sengsara. Mati atau hidup, binatang itu harus dapat ditangkapnya. Dengan kerahkan tenaga ia mulai menghantam. Dinding yang mengkilap macam es hancur berantakan, tetapi sebelum ia memukul lagi, tiba-tiba binatang aneh itu muncul terus menyerbunya. Siau-liong cepat menghindar seraya menyambar tanduk binatang itu. Binatang itu berontak sekuatkuatnya. Kedua kakinya melentik-lentik tubuh orang. Terpaksa Siau-liong lepaskan tanduk dan berputar menyambar ekor binatang itu. Tetapi sekali kibas, ekor itu menghilang dan tahu2 binatang itu menyepakkan kaki ke belakang kepunggung lawan. Pertempuran seorang manusia dengan seekor binatang aneh dalam kerak bumi, telah berlangsung seru sekali. Binatang itu memiliki tanduk dan gigi yang runcing. Begitu pula kaki dan ekornya. Merupakan senjata yang berbahaya. Sekali kena, orang tentu hancur tubuhnya. Tiba-tiba Siau-liong mendapat akal. Cara bertempur semacam itu, tak mungkin ia dapat menundukkan lawan. Ia berganti siasat. Tiba-tiba ia menyelundup ke bawah perut binatang lalu menjepit perut binatang itu dengan kedua kakinya. Binatang itu terkejut dan meronta melepaskan diri. Tetapi tak mampu. Akhirnya binatang itu gulinglan diri ke tanah. Tetapi Siau-liong tak mau kalah pintar. Dengan gunakan jurus Ikan-melenting-ke udara, ia melambung ke udara terus hendak menginjak binatang itu. Tetapi ternyata binatang itu luar biasa gesit dan cekatannya. Sesaat kemudian Siau-liong lepaskan cekalannya, secepat itu pula ia menggeliat bangun dan menyusup ke dalam ruang es.... Siau-liong mengejarnya. Lorong makin lama makin sulit dilalui. Naik turun, berkeluk-keluk. Dan ketika ia hampir berhasil menyusul, tiba-tiba binatang itu kibaskan ekor menyabat dinding ruang.

   "Pyur....!"

   Dinding hancur dan Siau-liong terpaksa hentikan larinya.

   Tiba-tiba binatang itu mengangakan mulut Sebutir benda merah meluncur keluar.

   Warnanya gilang gemilang indah sekali! Itulah mustika yang dikatakan si orang aneh tempo hari.

   Siau-liong putar otak untuk merancang siasat.

   Tiba-tiba serangkum angin panas dan mustika itu melayang ke arahnya.

   Siau-liong menyongsong dengan jurus Thay-lo-kim-kang.

   Hendak disambarnya mustika itu tetapi ternyata benda itu seolah-olah mempunyai mata.

   Hantaman Siau-liong bahkan menambah kedahsyatan mustika itu yang melaju pesat sekali ke arah Siau-liong.

   Siau-liong cepat mengganti dengan jadi pukulan.

   Setelah mustika itu agak pelahan, ia loncat kesamping.

   "Bum...."

   Sebuah tiang ruangan hancur terkena pukuluan Siau-liong. Langit ruangan berhamburan gugur dan binatang aneh itupun loncat ke belakang. Dan ketika Siau-liong menukik turun, mustika menyambarnya lagi. Siau-liong menggeram dan menamparnya.

   "Bum", mustika mengendap ke bawah menghantam lantai. Lantai hancur berlubang dan mustika itu membal ke atas dan melanda Siau-liong yang saat itu masih berada di udara. Sudah tentu Siau-liong sukar menghindar. Cepat ia menghantam dengan jurus ilmu pukulan Thay-siangciang. Mustika itu jatuh membentur lantai lagi dan membal ke atas lagi. Celaka sekali binatang aneh itu. Karena mustika beberapa kali kena hantaman Siau-liong, binatang itupun meringkikringkik kesakitan. Cepat ia menyedot kembali mustikanya dan menyelinap keluar. Terjadi kejar mengejar yang tegang. Tetapi akhirnya Siauliong ketinggalan berpuluh tombak dibelakang. Binatang aneh itu lari ke Laut Penasaran.

   "Blung...."

   Baru Siau-liong muncul dipermukaan telaga, sesosok tubuh meluncur jatuh ke dalam telaga.

   Siau-liong terkejut karena air berobah merah warnanya.

   Ah, tentu seorang persilatan dijadikan korban penimbunan Laut Penasaran' Tetapi Siau-liong tak dapat menghiraukan nasib orang itu karena dari arah Lembah Penasaran terdengar jeritan seram.

   Rupanya di Lembah Penasaran terdjadi pertempuran dahsyat.

   "Blung"........ lagi sesosok tubuh terlempar jatuh ke dalam laut. Mayatnya meluncur ke dasar air. Setelah pandang matanya biasa mengadapi cahaya matahari, barulah Siau-liong dapat melihat jelas. Dalam lembah tampak tiga empat puluh jago2 silat tengah mengepung binatang itu. Diantaranya terdapat paderi, imam dan jago-jago silat. Mereka tengah bersiap menunggu kesempatan untuk menyergap binatang aneh itu, Dua orang yang tak dapat mengendalikan nafsu, segera loncat menerjang. Tetapi binatang aneh itu segera merangsangnya sehingga mereka terlempar ke dalam Laut Penasaran. Binatang itu segera meliar di dalam lembah. Puluhan jago silat itu tengah mengepung dengan senjata masing-masing. Seluruh perhatian mereka tercurah pada binatang aneh itu sehingga tak mengetahui kehadiran Siau-liong. Tiba-tiba binatang itu lari ke dinding karang gunung. Beberapa jago silat segera gunakan ilmu Cicak merayap atau Pik-hou-kang. Punggung dilekatkan pada dinding karang lalu meluncur ke atas dan taburkan senjata rahasia kemata binatang aneh itu. Tetapi binatang itu tak mengacuhkan. Semua senjata rahasia, terpental dan jatuh ke dalam air. Dua orang yang hebat ilmu meringankan tubuh atau ginkang, mereka melambung ke udara dan coba membacok ekor binatang itu Tetapi binatang itu teramat gesit. Sekali menggeliat ia dapat lolos dari kepungan. Kedua jago silat yang loncat ke udara untuk membacok ekor binatang itu. Tetapi luput.... Terpaksa mereka meluncur turun ke bumi lagi. Begitu tiba di tanah, binatang aneh itu sudah menanduknya.

   "

   "Blung...."

   Salah seorang terpelanting jatuh ke dalam telaga Penasaran lagi.

   Rupanya binatang itu masih belum puas.

   Ia menyerang lagi pada seorang lain.

   Siau-liong cepat loncat dari permukaan air seraya menghantam.

   Karena pernah dikalahkan, rupanya binatang itu jeri.

   Ia hendak melarikan diri tetapi kalah cepat dengan Siau-liong yang sudah loncat di punggungnya dan memeluknya erat-erat.

   Gemparlah tokoh2 yang berada dalam lembah situ.

   Mereka mengira kalau siluman air, tetapi ternyata hanya seorang pemuda.

   Mereka datang ke Lembah Penasaran, bukan berombongan, melainkan perseorangan dan tak kenal satu sama lain.

   Mereka datang untuk memburu binatang aneh yang memiliki mustika.

   Melihat Siau-liong menguasai binatang itu, timbullah kekuatiran mereka.

   Pemuda itu harus dihancurkan! Delapan jago silat segera menyerbu Siau-liong dengan senjata dan pukulan.

   Karena sedang memeluk binatang itu, terpaksa Siau-liong harus menderita luka2 berdarah akibat serangan itu.

   Anehnya, binatang itu mempunyai perasaan kasihan terhadap Siau-liong.

   Tak mau ia meronta.

   Siau-liong mengira kedelapan penyerangnya itu tentu salah turun tangan.

   Yang di arah si binatang tetapi mengenai dirinya.

   Maka ia memberi isyarat agar mereka berhati-hati jangan sampai menyerang dirinya lagi.

   Sudah tentu mereka tak mau menghiraukan.

   Bagaikan delapan ekor harimau, mereka menyerang Siau-liong.

   "Wut...."

   Tiba-tiba binatang aneh itu sapukan ekornya sehingga beberapa penyerang itu loncat mundur.

   Masih ada beberapa orang yang berhasil menyusup, dapat memberi beberapa tusukan kepada Siau-liong.

   Darah makin deras, sakitnya bukan kepalang.

   Namun ia seorang anak yang keras hati.

   Bukan melepaskan sebaliknya ia malah memeluk tubuh binatang itu makin kencang.

   Mulutnya menggigit tanduk.

   Rupanya binatang itu marah.

   Ia hendak membela Siau-liong.

   Dengan beringas, diterjangnya kawanan penyerangnya itu.

   Siau-liong marah juga.

   Ia kerahkan tenaga-sakti Bu-keksin- kang.

   Begitu mengangkat tangan telapaknya yang berwarna merah.

   Seketika menjeritlah sekalian jago2 itu.

   "Bukek- sin-kang! Bu-kek-sin-kang...."

   Siau-liong terkejut sendiri.

   Ia tak menduga kalau pukulannya begitu dahsyat.

   Sembilan sosok tubuh kecemplung ke dalam telaga! Siau-liong kesima.

   Bukankah ketika bertempur dengan binatang aneh tadi, ia belum memiliki pukulan sedahsyat itu? Memang hal itu terjadi diluar pengetahuannya.

   Ketika menghadapi serbuan jago-jago silat tadi, ia terpaksa menelungkup memeluk binatang itu erat-erat.

   Untuk menjaga keseimbangan tubuh, mulutnya menggigit tanduk binatang itu.

   Tanpa disadari, ia telah menghisap darah kepala binatang itu.

   Darah itu disebut Ceng-hiat.

   Merupakan obat luar biasa yang terdapat di dunia.

   Khasiatnya dapat menambah tenagadalam.

   Setelah sekalian penyerangnya lari, Siau-liong teringat sesuatu.

   Cepat2 ia meluncur turun dari punggung binatang itu.

   Binatang aneh itupun segera meluncur ke dalam Laut Penasaran lagi.

   Kiranya Siau-liong teringat akan Koay suhu atau orang aneh yang secara tak resmi telah menjadi gurunya.

   Ia bergegas lari ke gua tempat kediaman orang aneh itu.

   Tetapi ketika melintasi gunduk2 batu yang bertebaran di halaman gua, ia terkejut menyaksikan pemandangan yang mengerikan.

   Batu-batu berlumuran darah, disana-sini bertebaran kerat2 kecil daging manusia dan sesosok tubuh membujur di atas tanah....

   "Suhu!"

   Siau-liong menjerit serentak.

   Ia bersimpuh dihadapan mayat itu yang ternyata memang si orang aneh yang disebut Siau-liong sebagai Koay suhu.

   Siau-liong menangis tersedu-sedu.

   Hatinya pilu sekali.

   Jika Koay suhu tak menyalurkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang kepadanya, dia tentu tak sampai kehabisan tenaga dan musuh tentu tak mungkin dapat membunuhnya.

   Dengan demikian walaupun dia yang bukan turun tangan membunuh tetapi secara tak langsung, dialah yang menyebabkan kematian orang aneh itu.

   Puas menangis, Siau-liong memeriksa keadaan mayat Koay suhu.

   Pada bagian dadanya hancur, berlubang besar sampai kepunggung.

   Hanya pukulan sakti atau cengkeraman maut Ngo-ci-tongjoang yang mampu meninggalkan luka semacam itu! "Hm, sudah mengasingkan diri dalam gua yang terpencil seperti ini, ternyata orang masih mengejar dan membunuhnya secara ganas.

   Sungguh tak dapat dimaafkan perbuatan itu, Siau-liong menggeram.

   Dan rasa sesalnya karena membunuh beberapa orang tadi lenyap seketika.

   Ia mengubur jenazah Koay suhu baik2.

   Setelah memberi hormat terakhir dihadapan kuburan Koay suhu, ia ayunkan langkah dengan tekad yang bulat.

   Ia pasti akan menuntut balas atas kematian Koay suhu.

   Lebih dulu ia menuju kegua kediaman Koay suhu untuk mengemasi barang2 peninggalan suhu itu.

   Di atas tempat tidur batu, terdapat dua buah topeng terbuat daripada kulit manusia.

   Ketika hendak mengambilnya, tiba-tiba ia melihat pada kedua samping dinding, terdapat beberapa guratan huruf yang berbunyi.

   "Anak! Seumur hidup baru satu kali ini aku melakukan kebaikan menurunkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang kepadamu. Tetapipun juga mencelakakan dirimu. Karena engkau tentu takkan kembali lagi. Adakah memang Tuhan tak mengijinkan aku berbuat kebaikan....? Nak, kulihat wajahmu bukan orang yang bernasib malang. Tetapi, ah, hampir setahun kuhanya kutunggu, mayatmu tak terapung dipermukaan air. Tetapi kutetap percaya engkau takkan mati. Dalam beberapa hari ini sudah mondar-mandir disekeliling tempat ini. Maut rupanya sudah menjenguk di guaku...."

   Kemudian Siau-liong membaca tulisan didinding sebelah kiri.

   "Nak, aku mempunyai firasat bahwa kematianku sudah datang. Jika aku mati, engkau harus melakukan tiga buah pesanku ini. Pertama. jangan mengatakan tentang diriku kepada siapapun juga. Dan engkau pun telah menyanggupi. Kedua. Bunuhlah semua orang yang kubenci dan engkau benci! Ketiga. Besok tahun muka pada malam Tiong-Chiu, pergilah ke-gunung Bu-san, mewakili aku dalam pertempuran. Si tua Kongsun beberapa kali tampak dipuncak gunung, rupanya dia mencarimu...."

   Sampai disitu, tulisan tak lanjut.

   Rupanya musuh sudah datang dan orang aneh itu terpaksa harus hentikan tulisannya.

   Berderai-derai air mata Siau-liong membanjir karena mengenang budi orang aneh itu.

   Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara letupan dahsyat.

   Lembah terasa tergelar keras.

   Siauliong terkejut sekali ketika memandang keluar gua.

   Lembah telah berobah menjadi lautan api.

   Ledakan dahsyat susul menyusul memekakkan telinga.

   Segera ia lari keluar.

   Ternyata tokoh persilatan yang gagal menangkap binatang aneh tadi telah menumpahkan kemarahannya.

   Dari puncak lembah mereka lontarkan potongan batang pohon untuk umpan api.

   Potongan kayu itu makin lama makin dekat pada gua.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siau-liong terkejut jika mulut gua sampai tertutup api, tak mungkin ia dapat keluar lagi.

   Cepat ia bertindak.

   Menyambar sehelai baju peninggalan Koay suhu, ia terus menerjang keluar.

   Sekali loncat ia hinggap pada sebatang pohon.

   Dengan baju, ia menghalau api.

   Kemudian ia melayang ke atas sebuah cekung karang lalu untuk yang terakhir kalinya, ia melayang kepuncak lembah....

   Jago2 persilatan yang berada di atas puncak lembah, terkejut melihat anak itu dapat menerobos dari lautan api.

   Mereka hentikan lontaran kayu dan berganti menghujani anak itu dan senjata rahasia.

   Siau-liong sedang melayang ke atas.

   Tak mungkin ia dapat menghindari serangan itu.

   Dalam gugupnya ia putar baju Koysuhu laksana kitiran.

   Diluar dugaan, putaran baju itu menimbulkan tenaga yang dapat menampar jatuh ber-puluh2 buah senjata rahasia.

   Ia marah sekali kepada mereka.

   Selekas kakinya menginjak tepi puncak, ia lemparkan baju dan lontarkan sebuah pukulan yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.

   Melihat telapak tangan anak itu merah membara, sekalian orang menjerit kaget dan lari tunggang langgang.

   Enam orang yang terlambat lari, menjerit ngeri dan rubuh tak bernyawa.

   Sisanya lari ke dalam hutan.

   Siau-liong menanggalkan kedok muka.

   Ia menghela napas.

   Ia menyesal telah membunuh orang.

   Tetapi ia tak dapat berbuat lain karena kemarahannya atas tindakan tokoh-tokoh persilatan yang begitu ganas.

   Setelah beberapa saat termenung-menung, akhirnya ia pulang ketempat kediamannya.

   Hampir setahun, ia tak berjumpa dengan Kongsun Sin-tho.

   Ia merasa rindu kepada suhunya itu.

   "Suhu!"

   Serta-merta ia karena tak mengindahkan berseru penuh rasa menyesal nasihat suhunya supaya jangan berjalan2 ke belakang gunung.

   Tetapi alangkah kejutnya ketika didapatinya gua itu kosong.

   Masih ada menyangka tentulah suhunya sedang keluar untuk mencarinya.

   Tiba-tiba ia melihat beberapa guratan huruf pada dinding gua.

   Jelas itu tulisan suhunya yang berbunyi.

   "Liong-ji, aku sudah pulang beberapa bulan. Sia-sia kucarimu ke-mana2. Lebih cemas pula hatiku karena dewasa ini dunia persilatan telah timbul desas-desus bahwa ibumu telah muncul kembali. Dunia persilatan terancam pertumpahan darah lagi. Kuputuskan turun gunung mencarimu, sekalian untuk mencari ibumu. Berhasil atau tidak, setengah tahun kemudian aku pasti kembali kesini"

   Dari tanggal yang tertera dibawahnya, jelas bahwa kepergian Kongsun sin-to itu baru lebih 10 hari yang lalu.

   Siau-liong berkemas-kemas untuk mencari suhunya.

   Keesokan harinya, ia menuju kemakam ayahnya untuk minta diri.

   Tengah ia berlutut mengucapkan doa, tiba-tiba didengarnya suara orang berbicara.

   Gunung Hong-san jarang dikunjungi orang.

   Dan peristiwa berdarah kemarin, menyebabkan Siau-liong harus berhati-hati terhadap orang.

   Cepat ia menyembunyikan diri.

   Tak berapa lama muncullah empat orang tua dari dalam hutan.

   Salah seorang berkata.

   "Menurut pendapat kalian, yang manakah sesungguhnya Bu-tek Gong-mo itu? Lelaki tua yang dibunuh Soh-beng-kiu-su atau orang yang muncul dari Laut Penasaran?"

   Mendengar itu, Siau-liong hampir menjerit.

   Kiranya orang aneh yang menurunkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu adalah BU-KEK-GONG-MO atau pendekar LAKNAT yang termasyhur.

   Dan yang membunuhnya adalah Soh-beng Ki-su.' "Mungkin kedua-duanya, mungkin bukan semua,"

   Sahut kawannya.

   "Maksudmu?"

   Orang pertama yang bicara itu menegas.

   "Memang lelaki tua yang dibunuh itu mirip dengan Pendekar Laknat. Tetapi anehnya dia tak memiliki ilmu sakti Bu-kek-sin-kang. Sedang yang muncul dari dalam laut itu, gerak-geriknya tidak menyerupai Pendekar Laknat tetapi dapat melepaskan pukulan Bu-kek-sin-kang. Maka kesimpulanku, keduanya mungkin Pendekar Laknat tetapi mungkin bukan semua,"

   Jawab orang yang kedua.

   Dari pembicaraan itu dapatlah Siau-liong menarik kesimpulan bahwa tokoh-tokoh yang datang ke Lembah Penasaran itu belum tahu pasti tentang mati-hidupnya Pendekar Laknat.

   Mengintai dari cela2 tempat persembunyiannya, Siau-liong terperanjat.

   Keempat orang tua itu tengah berdiri tegak dihadapan makam ayahnya.

   "Uh, mengapa mereka tegak didepan makam ayah? Apakah mereka itu sahabat2 ayah?"

   Tanya Siau-liong dalam hati.

   Dugaan anak itu memang tepat.

   Keempat lelaki tua itu memang paman guru dari Tong Gun-liong, ayah Siau-liong.

   Yang paling tua bergelar Tang Siau-seng.

   Kedua, Se Ki-su.

   Ketiga, Lam Kek-ong.

   Mereka dikenal sebagai Kong-tong Su-lo atau empat tokoh tua dari partay Kong-tong-pay.

   Mereka tegak berdiri dimakam Tong Gun-liong dengan dengan penuh pertanyaan.

   Mengapa Tong Gun-liong, murid kemenakan mereka mati.

   Siapakah pembunuhnya dan siapa pulalah yang membuatkan batu nisan disitu? Apakah Siauliong, putera Tong Gun-liong itu, masih hidup? Isteri Tong Gun-liong yang bergelar Coa-sik Se-si atau sicantik Se-si yang berbisa, muncul kembali di dunia persilatan.

   Apabila wanita itu mengetahui suaminya telah dibunuh orang dan dikubur dipuncak Hong-san, tentulah ia akan makin mendendam kepada partay Kong-tong-pay.

   Tiba-tiba keempat jago tua itu berpaling dan tersiraplah darah mereka seketika.

   Beberapa langkah di belakang mereka, tegak seorang tua yang berwajah buruk amat menyeramkan sekali.

   Rambutnya memanjang sampai kebahu.

   Sepasang alis menggumpal lebat sekali.

   Hidung merah, sepasang matanya menonjol keluar.

   Mulut merekah darah.

   Berpakaian jubah berlengan besar yang compang-camping.

   Walaupun hanya setombak di belakang keempat jago2 tua itu, namun mereka sama sekali tak mengetahui kedatangan orang aneh itu.

   Inilah yang mengejutkan Kong-tong Su-lo! "Siapakah nama tuan-tuan!"

   Tiba-tiba orang berwajah buruk itu sambil memberi hormat. Tokoh kesatu dari Kong-tong-pay, Tang Siau-seng sejenak berusaha menenangkan diri lalu menyahut dengan tertawa nyaring.

   "Kami yang rendah Kong-tong Su-lo dan siapakah tuan ini?"

   Tubuh orang berwajah buruk itu menggigil.

   Kedua tangan yang diangkat untuk memberi hormat tadi, dilepaskan ke bawah.

   Seketika serangkum angin tajam menyambar keempat jago Kong-tong.

   Kong-tong Su-lo terkejut melihat orang berwajah buruk itu bersikap bermusuhan.

   Mereka siap sedia untuk beramai-ramai menghadapinya.

   Tiba-tiba kepalan tangan orang yang berwajah buruk yang sudah siap dilontarkan itu ditarik kembali.

   Berputar tubuh ia meraung-raung dan lari menuruni gunung! Keempat Kong-tong Su-lo terkejut heran.

   Siapakah gerangan orang berwajah buruk itu? Mengapa orang aneh itu hendak menerjang mereka? Tak mungkin keempat jago tua itu tak mampu mengetahui rahasia orang aneh itu.

   Karena setitikpun mereka tentu tak menyangka bahwa orang berwajah buruk itu ternyata hanya seorang bocah yang baru berumur 15 tahun.

   Ya, memang benar.

   Siau-lionglah yang menyaru sebagai orang tua berwajah seram itu....

   Karena melihat keempat orang tua itu lama sekali tegak dihadapan makam ayahnya, Siau-liong ingin tahu siapakah mereka itu.

   Ia segera mengenakan kedok dan pakaian peninggalan Koay-suhunya lalu melangkah keluar.

   Dikala mendapat jawaban bahwa mereka adalah Kong-tong Su-lo, seketika meluaplah amarah Siau-liong.

   Sedianya ia sudah mengerahkan tenaga-sakti Bu-kek-sinkang hendak menghabiskan mereka.

   Tetapi tiba-tiba matanya tertumbuk pada gunduk tanah makam ayahnya....

   Seketika ia teringat akan pesan ayahnya yang disampaikan oleh Kong-sun Sin-tho.

   Terpaksa ia batalkan pukulannya.

   Untuk melampiaskan nafsu kemarahan yang telah membakar rongga dadanya, ia meraung-raung lari menuruni gunung.....Mengapa ayahnya melarang ia menuntut balas kepada musuh yang telah membinasakanya? Tentu tersembunyi suatu rahasia dibalik larangan ayahnya itu.

   Ia memutuskan untuk turun gunung dan mengembara di dunia persilatan.

   Ia hendak mencari ibunya.

   Ia hendak meminta penjelasan kepada ibunya.

   Iapun hendak mencari Kong-tong Sin-tho, guru berbudi yang telah merawat dan mendidiknya selama belasan tahun.

   Ya, hanya dengan demikian baru ia dapat memecahkan rasa dendam kegelisahan yang selalu mencengkam hatinya.

   ---ooo0dw0ooo--- GUNUNG HONGSAN terletak dihulu sungai Kim-set-kiang.

   Ombak sungai itu deras sekali sehingga tiada tukang perahu yang berani mengusahakan penyeberangan.

   Maka daerah perairan disitu jarang dikunjungi orang.

   Berhari-hari Siau-liong menyusur tepi sungai.

   Jika lelah ia duduk di tepi sungai.

   Dikala ter-menung2 memandang deras arus sungai, pikirannya melayang.

   Ia teringat akan nasibnya, terkenang akan kehidupan manusia.

   Kehidupan tak ubah seperti arus sungai.

   Mengalir, terus mengalir tanpa mengetahui apa yang akan dihadapinya....

   Apabila tiba pada lamunan itu maka berkesanlah ia pada suatu kesimpulan.

   Tanpa rintangan, air takkan mengerahkan kekuatannya.

   Tanpa aral rintangan, manusia takkan kuat lahirbatinnya.

   Kesimpulan itu merupakan pelajaran berharga bagi Siauliong.

   Tiba-tiba ia mendengar derap kaki orang.

   Kemudian sesosok tubuh yang roboh ke tanah dan suara erang kesakilan.

   Datangnya dari dalam hutan tak jauh dari tempatnya.

   Cepat-cepat ia loncat bangun dan lari ke dalam hutan itu.

   Tak berapa lama ia melihat seorang gadis menggeletak di tanah.

   Disisinya terdapat sebilah pedang, Siau-liong cepat menghampiri.

   Baru saja ia menjemput pedang dan mengangkat tubuh gadis itu, tiba-tiba terdengar derap kaki orang berlari menghampiri.

   Ia duga mereka tentulah musuhmusuh yang hendak mengejar gadis itu.

   Tanpa ayal, ia membawa lari gadis itu.

   Kira-kira sepuluh li jauhnya, ia melihat sebuah biara kecil.

   Gadis itu pucat wajahnya dan pejamkan mata.

   Siau-liong tahu bahwa ia tentu menderita luka berat.

   Harus ditolong secepatnya.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cepat-cepat ia lari kebiara kecil itu.

   Ruang depan biara sempit sekali.

   Terpaksa Siau-liong menuju keruang belakang.

   Tetapi disitu pun tak cukup untuk tempat orang dua.

   Apa boleh buat, Siau liohg letakkan gadis itu dipangkuannya.

   Selama ikut pada Kong-sun Sin-tho, selain ilmu silat....

   Siau-liong pun mendapat pelajaran tentang ilmu pengobatan.

   Menurut pemeriksaannya, jalan darah gadis itu sudah tak normal lagi.

   Ia membekal pil mujarab tetapi ia kuatir pil itu tak dapat menyembuhkan si nona.

   Jalan satu-satunya untuk menyembuhkan nona itu.

   Penyaluran itu harus dilakukan empat kali.

   Setiap kali memerlukan waktu empat jam.

   Selama pengobatan berlangsung, tak boleh diganggu orang.

   Sedikit saja terganggu, nona itu pasti akan cacad seumur hidup.

   Bahkan bisa juga, keduanya mati semua! Demi menolong jiwa nona itu, Siau-Iiong tak menghiraukan segala resiko.

   Ia mengambil 9 butir pil, disusupkan kemulut si nona.

   Karena mulut nona itu terkancing, terpaksa Siau-liong tempelkan bibirnya kemulut si nona lalu meniup pil itu.

   Setelah berhasil memasukkan pil kemulut si nona, Siauliong mulai mengurut seluruh jalan darah ditubuh si nona.

   Untunglah dalam usianya yang sudah menjenjang kedewasaan itu, Siau-liong belum mengerti tentang hubungan wanita dan pria.

   Pokok, ia sungguh-sungguh dan wajar.

   Tak berapa lama, nona itu sadar.

   Ia menggeliat dan merintih pelahan.

   "Jangan takut, harap nona kerahkan semangat, Kubantu mengobati luka nona,"

   Buru-buru Siau-liong memberi penjelasan.

   Saat itu si nona masih letih sekali.

   Ia tak dapat bicara melainkan mendengus.

   Dan Siau-liong segera lekatkan kedua tangannya pada perut nona itu.

   Ia mulai menyalurkan tenaga murni ke tubuh nona itu.

   Karena peredaran darah nona itu tidak normal, maka Siauliong harus bekerja keras.

   Dua jam lamanya, baru ia berhasil dapat menggabungkan darah nona itu dengan tenaga murninya dan berhasillah ia mengembalikan peredaran darah si nona.

   Tiba-tiba nona itu menjerit, suatu tanda bahwa perasaannya sudah hidup kembali.

   Siau-liong makin memperkeras penyalurannya.

   Dua jam lagi barulah ia hentikan penyaluran.

   Saat itu hari mulai petang.

   Keadaan si nona bertambah baik.

   "Siapakah nama nona yang mulia?"

   Kini Siau-liong mulai mengajak bicara. Dengan suara lemah, nona itu menyahut.

   "Namaku Tiau Bok-kun, tuan siapa...."

   Siau-liong menyadari bahwa kini ibunya sudah muncul kembali di dunia persilatan. Jika ia memberitahukan namanya yang asli, dikuatirkan kesulitan yang tak diinginkan. Maka ia menjawab sekenanya.

   "Namaku Kongsun Liong, panggil saja aku Siau-liong?"

   Dikala mereka asyik bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar derap langkah orang berhenti dimuka biara.

   Siau-liong terkejut....

   Ia memandang kepintu dengan penuh perhatian.

   Tak berapa lama, muncullah lima orang tua.

   yang empat, Siau-liong mengenali sebagai Kong-tong Su-lo.

   Tetapi yang seorang, ia tak tahu.

   Rupanya kelima orang itu habis melakukan pertempuran seru.

   Napas mereka terengah-engah, dahinya penuh keringat.

   Begitu masuk, mereka terus duduk bersemedhi.

   Rupanya mereka hendak memulangkan tenaga untuk menghadapi musuh lagi.

   Saat itu hari makin malam.

   Siau-liong terkejut.

   Didapatinya peredaran darah nona itu yang sudah mulai berjalan normal.

   Tentulah nona itu terganggu pikirannya karena kedatangar kelima orang itu.

   Apabila dibiarkan jiwa nona itu pasti terancam.

   Buru-buru Siau-liong memberi isyarat supaya nona itu tenangkan pikiran.

   Sedang iapun segera menyalurkan tenaga murni lagi.

   Sejam kemudian, kelima orang tua itupun membuka mata.

   Dalam ruang yang gelap, tampak sinar mata mereka itu memancar tajam sekali.

   "Suheng, Tang Gun-liong yang terlempar ke dalam lembah Hok-liong-koh, tentu mati atau terluka berat. Tetapi entah siapa yang menolongnya dan membawanya kegunung Hongsan. Kini dia telah meninggal dan dikubur dipuncak Hong-san dan Siau-liong anaknya itu, entah berada dimana,"

   Kata Tang Siu-seng, jago kesatu dari Kong-tong Su-lo. Orang tua kelima yang tak dikenal Siau-liong itu, kedengaran menjawab.

   "Kalau Gun-liong sudah mati, anaknya tentu sudah mati juga."

   Karena Tang Siu-seng memanggil orang itu dengan sebutan suheng, Siau-liong menduga orang itu tentulah suhu dari ayahnya yang bernama Toh Hun-ki gelar Kian-thian-ihsoh! Dari nadanya, jelas bahwa Kian-thian-ih-soh Toh Hun-ki sama sekali tak berduka atas kematian Tang Gun-liong dan lenyapnya Siau-liong.

   Padahal Tang Gun-liong adalah murid pewarisnya.

   Seharusnya Toh Hun-ki menyelidiki atau sekurang-kurangnya berduka atas kematian sang murid.

   Sesungguhnya Toh Hun ki bukan jahat.

   Adalah karena ia fanatik sekali terhadap gengsi maka ia meminta kematian Tang Gun-liong dan melukai isteri muridnya itu.

   Kong-tong-pay termasuk salah sebuah partai persilatan yang besar.

   Tyoa-sek Se-si Ki Ih, isteri Tang Gun-liong itu, berasal dari seberang laut.

   Wanita itu gemar membunuh sehingga menimbulkan bentrokan dengan partai-partai persilatan lain.

   Dan sebelum resmi menikah dengan Tang Gun-liong, ia sudah melahirkan anak.

   Sebagai ketua Kongtong- pay, Toh Hun-ki malu terhadap perbuatan muridnya.

   Terpaksa ia membunuh Tang Gun-liong dan melukai isterinya.

   Siapa tahu, tindakan itu telah menimbulkan salah faham besar.

   Karena tak tahu persoalannya, sudah tentu Siau-liong mendendam sekali atas kematian ayahnya, Tetapi karena ayahnya telah memesan supaya ia jangan menuntut balas, Siau-liong tak mau meminta bertanggungan jawab partai Kong-tong-pay.

   Selang dua jam lamanya, Siau-liong hentikan penyaluran tenaga dalam.

   Ia menduga nona Tiau Bok-kun itu tentu hendak dibunuh Toh Hun-ki dan Su-lo dari Kong tong-pay.

   Ia tak tahu apa persoalannya tetapi yang jelas tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu bertindak kejam terhadap seorang nona.

   Seketika meluaplah kemarahan Siau-liong terhadap partai itu.

   Hutang jiwa, bayar jiwa.

   Demikian ketetapan hatinya.

   Tetapi karena amarahnya meluap.

   darahnya bergolak keras.

   Maka sampai beberapa saat ia belum dapat melanjutkan pengobatannya kepada nona itu.

   Memandang kepintu muka, Siau-liong terkesiap kaget.

   Entah kapan, tahu-tahu diambang pintu muncul seorang lelaki bertubuh kurus kering.

   Raut wajahnya seperti muka kuda, memelihara kuncir.

   Pakaiannya mirip paderi bukan paderi, orang biasa bukan orang biasa.

   Punggungnya menyanggul sebuah senjata.

   "Ho, ho,"

   Orang itu tertawa meloroh.

   "Toh tua, lekas serahkan barang yang hendak engkau jual itu. Ingat dibawah tangan Ki-su tiada makhluk yang bernyawa lagi!"

   Kian-thian-it-soh Toh Hun-ki tetap duduk tenang.

   "Setan tua, bukankah engkau Soh-beng Ki-su? Kalau engkau menghendaki jiwa, disini tersedia lima lembar. Tetapi kalau menginginkan barang penjualan, jangan mimpi!"

   Soh-beng Ki-su atau Pertapa pencabut nyawa tertawa kering.

   "Jika tak mengingat engkau seorang ketua partai persilatan, tentu sudah kucabut nyawamu. Kalau tak mau menyerahkan barang itu, jangan salahkan aku seorang ganas!"

   Soh-beng Ki-su inilah yang telah membunuh Koay suhu atau Bu-kek-gong-mo.

   Siau-liong hendak menerjang keluar dan menghajar orang itu.

   Tetapi karena ia sedang menenangkan darahnya yang bergolak, terpaksa ia tahan sabar.

   Toh Hun-ki keempat Su-lo serempak bersiap-siap.

   Mereka merencanakan barisan Ngo-heng-tin untuk menghadapi tokoh ganas itu.

   Ngo-heng-tin, merupakan barisan yang rapat ketat, dahsyat dan sukar diduga gerak perobahannya.

   Di dalam menyerang, pun menjaga.

   Dalam bertahan, juga menyerang.

   Tetapi Toh Hun-ki dan keempat Su-lo bergerak, Soh-beng Ki-su sudah mendahului melesat dan mencengkeram Toh Hun ki.

   Tetapi diapun kenal akan kehebatan barisan itu.

   Tiba-tiba cengkeramannya ditarik tengah jalan karena dia harus melindungi diri dari serangan kelima musuh, Dengan demikian, pertempuran berjalan seru dan dahsyat.

   Biara kecil itu seolah-olah tergetar karena angin pukulan mereka.

   Siau-liong terkejut ketika Tiau Bok-kun terdengar mengerang.

   Cepat-cepat didekapnya mulut si nona itu.

   Tetapi terlambat.

   Tokoh-tokoh yang bertempur telah mendengarnya.

   Soh-beng Ki-su loncat keluar dari kepungan, Ia tertawa aneh.

   "Bagus Budak perempuan itu ternyata berada disini. Jika kalian tetap tak mau menyerahkan, tentu dia segera kubunuh. Mendapat separoh dulu, baru kita bicara lagi."

   Dengan menggerung keras, kelima tokoh Kong-tong-pay itu loncat berbaris dimuka biara, menghadang Soh-beng Ki-su.

   Tetapi dengan bertempur cara berhadap-hadapan itu, posisi kelima tokoh Kong-tong-pay itu lebih tak menguntungkan.

   Soh-beng Ki-su perdengarkan ketawanya yang mirip dengan burung hantu merintih-rintih ditengah malam.

   Tibatiba ia mengangkat kedua tinjunya.

   Tulang-tulang jarinya yang panjang runcing, mirip dengan cakar burung garuda.

   Sesaat terdengar suara mendesis-desis.

   Jari-jarinya seperti mengeluarkan asap dingin.

   Ternyata tokoh aneh itu telah mengerahkan ilmu tenaga dalam Pek-kut-kang.

   Secepat kilat ia menghantam kelima musuhnya.

   "Dess...."

   Kelima tokoh Kong-tong-pay serempak memukul untuk menangkis.

   Terjadi benturan tenaga dalam dan hasilnya segera dapat diketahui siapa yang lebih unggul.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Soh-beng Kisu tetap tenang tetapi kelima jago Kong-tong-pay itu mengerang tertahan.

   Jelas mereka menderita tekanan yang hebat.

   Tring, tring....

   terdengar senjata berdering-dering.

   Kelima jago Kong-tong-pay telah mencabut pedangnya.

   "Bagus, bagus, hayo majulah semua!"

   Soh-beng Ki-su tertawa meringkik.

   Iapun mencabut senjata yang berada dipunggung.

   Orangnya aneh, senjatapun aneh.

   Mirip dengan cempuling, mirip pula dengan pisau terbang.

   Sekali dikibaskan, senjata meluncur ke udara.

   Dan sekali tangannya mengacung, senjata itupun meluncur kembali ke dalam tangannya.

   Pertempuran dengan senjata segera berlangsung seru.

   Untung mereka bertempur diluar, andaikata di dalam tentulah biara kecil itu akan ambruk.

   Saat itu hari mulai terang tanah.

   Karena sudah dua jam, Siau-liong hentikan penyaluran tenaga dalamnya.

   Ia menghela napas panjang Keadaan Tiau Bok-kun sudah banyak kemajuan.

   Ia hendak mengangkat kepala tetapi Siau-liong mencegahnya dan minta nona itu beristirahat lagi.

   "Toh tua, diruang depan ini sempit sekali. Hayo kita bertempur diluar saja.... Jika kalian menang, budak perempuan itu boleh kalian ambil separoh. Tetapi kalau kalah, hm, hm, lima lembar jiwamu pun menjadi milikku!"

   Seru Sohbeng Ki-su.

   Kelima tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu segera mengikuti Soh-beng Ki-su keluar.

   Karena masih memerlukan empat jam lagi, maka Siau-liong segera mulai menyalurkan tenaga dalam lagi.

   Karena sudah dapat menerima penyaluran, Tiau Bok-kun pun segera menyalurkannnya keseluruh tubuh.

   Dari sinar matahari yang menyusup dicelah-celah dinding.

   barulah Siau-liong melihat jelas muka gadis itu.

   Seorang nona yang memiliki wajah cantik dan riang.

   Tiau Bok-kunpun sempat juga untuk memandang penolongnya.

   Seorang pemuda yang gagah dan jujur.

   Tibatiba sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan cepat palingkan muka.

   "In-jin."

   Beberapa saat kemudian Tiau Bok-kun dapat berseru pelahan. In-jin artinya orang yang melepas budi.

   "Nona Tiau,"

   Sahut Siau-liong.

   Hanya dua patah kata terluncur dari mulut kedua mudamudi itu.

   Namun sudah melebihi ribuan kata-kata yang penuh arti....

   Setiba diluar, Soh-beng Ki-su bertempur lagi dengan kelima tokoh Kong-tong-pay.

   Gemerincing senjata beradu, mengejutkan kedua anak muda itu.

   Ia memandang keluar.

   Tampak kelima pedang bercampur-baur dengan sinar cempuling.

   Diam-diam Siau-liong menyesalkan cara bertempur dari kelima orang itu.

   Jelas kelima tokoh Kong-tong-pay itu kalah tinggi tenaga dalamnya dengan Soh-beng Ki-su, mengapa mereka berani mengadu kekerasan? Tiba-tiba Siau-liong teringat sesuatu dan bertanialah ia kepada Tiau Bok-kun.

   "Benda apakah yang dikatakan oleh Soh-beng Ki-su itu?"

   Sekonyong-konyong nona itu mencekal tangan kiri Siauliong lalu dilekatkan kedada, ujar-nya.

   "Rabahlah Giok-pwe ini.'"

   Ternyata nona itu menyimpan sebuah Giok-pwe atau Lencana-kumala didadanya. Menjamah dada si nona, jengahlah muka Siau-liong. Buru-buru ia menarik tangannya.

   "Untuk apakah benda itu?"

   Tanyanya.

   "Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Tetapi yang jelas, separoh bagian kusimpan dan yang separoh bagian ada pada Toh Hun-ki. Maka mereka hendak merebut milikku ini!"

   "Kalau begitu, siapapun dari mereka yang menang, tak menguntungkan engkau?"

   Tiau Bok-kun hanya mendengus.

   "Siapakah yang melukai engkau?"

   Tanya Siau-liong pula.

   "Soh-beng Ki-su...."

   Alangkah inginnya Siau-liong saat itu keluar untuk membunuh Soh-beng Ki-su, orang yang telah membunuh Koay suhu dan melukai nona itu.

   Tetapi ia tak dapat meninggalkan si nona begitu saja.

   Ia memandang keluar.

   Tokoh-tokoh itu masih bertempur gigih sekali.

   Tetapi jarak tempat pertempuran makin menjauh dari biara.

   "Mudah-mudahan mereka bertempur terus saja,"

   Diamdiam Siau-liong mengharap.

   Kini untuk yang terakhir, ia harus memberi penyaluran tenaga dalam lagi.

   Ketika memandang Tiau-Bok-kun, ia heran.

   Wajah nona itu tampak merah.

   Pada hal tadi sewaktu diberi penyaluran tenaga-dalam, wajahnya tak sedemikian merahnya.

   "Bagaimana lukamu?"

   Tanya cemas. Tiau Bok-kun mendesis pelahan.

   "Mengapa engkau, nona Tiau?"

   Tanya Siau-liong. Nona itu makin merah wajahnya dan tersipu-sipu tundukan kepala.

   "Kita.... laksana air bertemu telaga. Ini...."

   Serunya pelahan dan tak lanjut.

   "Ini bagaimana?"

   Desak Siau-liong. Setelah lukanya berangsur baik, kesadaran nona itupun mulai kembali lagi. Duduk merapat dengan seorang pemuda yang tak dikenal, mau tak mau sebagai seorang gadis yang masih suci, Tiau Bok-kun merasa malu sekali.

   "Besok saja kuterangkan,"

   Sahut nona itu.

   "Tetapi apakah yang hendak engkau katakan?"

   Siau-liong mendesak lagi.

   Buru-buru Tiau Bok-kun melengos.

   Setelah cukup beristirahat, Siau-liongpun menyalurkan tenaga dalam lagi ke tubuh si nona.

   Penyaluran itu merupakan pengobatan yang terakhir.

   Karenanya merupakan detik-detik berbahaya.

   Tiba-tiba tokoh-tokoh yang bertempur tadi, terdengar diluar pintu biara lagi.

   Dengan pendengarannya yang tajam, Siauliong dapat memperhitungkan mereka tentu dapat bertempur sampai dua jam lagi.

   Tetapi ia menyadari bahwa setiap saat, pertempuran akan mengalami perobahan.

   Maka iapun tingkatkan kewaspadaan untuk menghadapi segala kemungkinan.

   Selama pertempuran berjalan seru, Tiau Bok-kun pun makin bertambah baik keadaannya.

   Wajahnya mulai berseri makin segar laksana kuntum mekar dihari pagi.

   Tiba-tiba Siau-liong dikejutkan oleh sebuah jeritan ngeri.

   Ketika memandang keluar, dilihatnya sinar pedang mulai kacau-balau.

   Jelas bahwa tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu sudah mulai terancam bahaya.

   Asal salah satu ada yang rubuh maka berantakan barisan mereka.

   Tring....

   terdengar gemerincing senjata beradu keras.

   Serempak dengan letikan bunga api, sebuah pedang telah terpental jatuh ke dalam biara.

   Dari keempat Su-lo, yang dua jakni Lam-kek-sian dan Pakkek- ong sudah duduk bersemedhi di tanah.

   Tentulah mereka terluka.

   Yang masih bertahan tinggal dua orang Su-lo dan Toh Hun-ki.

   Dalam pada itu, Siau-liong masih memerlukan setengah jam lagi untuk menyalurkan tenaga dalam.

   Asal setengah jam itu dapat berlangsung tanpa gangguan, Tiau Bok kun pasti akan sembuh sama sekali.

   Tetapi kalau sampai terganggu, siasia sajalah jerih payahnya selama enam belas jam itu.

   Tiba-tiba terdengar sebuah jeritan ngeri lagi! "Celaka! Kong-tong-pay tinggal seorang saja....

   Tentu tak dapat bertahan lagi,"

   Diam-diam Siau-liong mengeluh.

   Tempo amat berharga sekali.

   Buru-buru ia kerahkan seluruh tenaga dalam untuk mempercepat penyaluran tenaga dalamnya.

   Tetapi alangkah kejutnya ketika ia mendengar Sohbeng Ki-su tertawa nyaring....

   Pada lain saat terdengarlah suara senjata jatuh bergerontangan disusul dengan suara orang menahan kesakitan.

   "Celaka, habislah sudah jerih payahku selama sehari semalam,"

   Siau-liong mengeluh.

   Kiranya suara orang itu berasal dari Toh Hun-ki.

   Pedangnya terlepas dan dadanya menerima sebuah pukulan maka rubuhlah ketua Kong-tong-pay itu di tanah....

   Melihat itu dengan teriakan mendengkung-dengkung macam katak, jari tangan Soh-beng Ki-su yang tajam mencengkeram Tohl Hun-ki....

   Pada detik-detik maut hendak merenggut jiwa ketua Kangtong- pay itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring.

   "Bangsat tua, lihat senjataku!"

   "Hai, apakah engkau bukan Coa-sik Se-si....!"

   Soh-beng Kisu berteriak kaget.

   Mendengar itu terkejutlah Siau-liong.

   Ingin sekali ia memanggil ibunya itu tetapi karena sedang mengobati si nona terpaksa ia tahankan hati.

   Memang pendatang itu adalah Ki Ih atau yang digelari orang sebagai Coa-sik Se-si (si cantik Se-si yang berbisa).

   "Ah, kiranya engkau belum pikun, Seharusnya engkau tahu bahwa kelima bangsat tua dari Kong-tong-pay itu adalah musuhku besar. Mengapa engkau berani lancang hendak membunuhnya? Biarkan mereka beristirahat memulihkan tenaga dulu baru nanti kujadikan setan2 tanpa kepala! Nah, selagi mereka beristirahat, marilah kita isi kekosongan ini untuk membereskan perhitungan kita tempo dahulu!"

   "Bagus, memang aku belum puas hanya mencabut lima Perempuan siluman, lihat seranganku!"

   Seru Soh-beng Ki-su.

   Sinar pedang berhamburan, angin menderu-deru.

   Pertempuran kali ini lebih dahsyat dari tadi, Kedua tokoh itu makin lama kian jauh dari biara dan akhirnya tiada kedengaran suaranya lagi.

   Saat itu Siau-liong berhasil menyelesaikan penyaluran tenaga dalam yang terakhir.

   Bergegas-gegas ia memberi pil kepada nona itu.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Minumlah dan setelah beristirahat beberapa waktu, tenagamu tentu pulih.... Sampai jumpa lagi, selamat tinggal...."

   "In-jin....!"

   Tiau Bok-kun memanggil.

   Tetapi pemuda itu sudah lenyap.

   Berlinang-linang airmata nona itu.

   Ingin ia menyusul In-jin atau Penolongnya itu, tetapi tenaganya masih belum mengijinkan.

   Begitu keluar dari biara, Siau-liong tak menghiraukan kelima tokoh Kong-tong-pay yang masih duduk bersemedhi itu.

   Ia lari menuju ke arah tempat ibunya.

   Tetapi seratus li telah ditempuh, tetap ia tak berhasil menemukan ibunya dan Soh-beng Ki-su.

   Dua hari lamanya Siau-liong berkeliran mencari ibunya.

   Karena lupa makan lupa tidur dan habis menyalurkan tenaga dalam kepada si nona, Siau-liong merasa letih sekali, Maka ketika tiba di kota Siok-ciu, ia segera mencari sebuah rumah makan.

   Rencananya, setelah makan ia hendak membeli pakaian baru.

   Suasana dalam kota terang-benderang, rumah dihias dengan lampu tenglong warna-warni.

   Jalan penuh orang pesiar.

   Ah, tiba-tiba ia teringat bahwa malam itu adalah malam Tiong-ciu atau pertengahan musim rontok.

   Rembulan purnama-sidhi.

   Rumah2 mengadakan sesaji dengan kuweh Tiong-jiu-pia.

   Tengah ia berjalan, serombongan anak2 laki segera mengerumuni, menyoraki dan melempari tali serta menggodanya.

   Siok-ciu termasuk wilayah Su-jwan.

   Menurut adat kebiasaan daerah itu, pada malam Tiong-ciu anak-anak diberi kebebasan untuk bersuka-ria bahkan berkelahi.

   Mereka menggunakan tali dan bandringan.

   Benda itu berat tetapi tak melukai.

   Siau-liong menyambar seutas tali yang dilempar seorang anak.

   Anak itu segera menarik sekuat-kuatnya tetapi sampai mukanya merah padam dan menangis, tetap tak mampu.

   Karena hendak lekas-lekas melanjutkan perjalanan, Siau-liong lepaskan tali itu.

   Uh, uh....

   bocah itu pontang-panting jatuh terjerembab.

   Kepalanya benjul terbentur tanah dan menangislah ia gerung-gerung.

   Melihat itu kawanan anak-anak nakal segera mengepung Siau-liong.

   Siau-liong jengkel.

   Kalau didiamkan mereka makin liar.

   Siau-liong tak mau cari perkara.

   Ia diam saja dan akhirnya anak2 itu kesal sendiri.

   Pada saat itu Siau-liong menyiak dua anak lalu menerobos keluar.

   Walaupun tak menggunakan tenaga tetapi gerakan Siau-liong itu membuat kedua anak terpelanting jatuh.

   Hu, hu, huuu....

   menangislah mereka.

   "Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!"

   Hiruk-pikuk kawanan anak nakal itu berteriak-teriak sambil mengejar.

   Tetapi Siau-liong sudah jauh.

   Ia terhindar dari gangguan anak2 nakal tetapi ia gagal membeli makanan dan pakaian.

   Saat itu ia duduk disebuah batu dalam hutan.

   Sambil melepaskan lelah, ia mengusapusap lencana Tengkorak didadanya dengan menyeringai.

   Lencana itu berasal dari leher Tengkorak yang berada dalam gua tempo hari.

   Siau-liong termenung-menung memikirkan nasibnya.

   Jika lain orang pada malam purnama itu duduk menikmati kuweh Tiong-ciu-pia, adalah dia duduk seorang diri dalam hutan! Tetapi perutnya merintih-rintih minta isi.

   Memandang jauh kemuka, tampak dikaki gunung sebuah bangunan besar yang terang-benderang penerangannya.

   Segera ia menuju kesana.

   Tiba ditempat itu ia terkejut dan ragu2 memasuki.

   Papan nama yang tergantung pada pintu rumah itu bertuliskan Tayhud- si atau gereja Buddha besar.

   Pada kedua samping titian dihalaman gereja itu tampak empat orang lelaki berdiri tegak tanpa baju.

   Pada leher mereka melingkar kalung Lencana Tengkorak.

   Melihat mereka tak berbaju, hilanglah rasa malu Siau-liong yang bajunya compang camping.

   Tanpa banyak pikir, ia segera naik ketitian....

   Sebenarnya keempat penjaga itu tentu melihatnya tetapi entah bagaimana mereka diam saja.

   Dan Siau-liong pun juga tak mempedulikan mereka.

   Ia terus melangkah ke dalam pintu.

   Di belakang pintu ternyata merupakan sebuah halaman luas.

   Ujung halaman terdapat sebuah bangunan gedung besar.

   Beratus-ratus orang memenuhi halaman dan gedung.

   Rupanya disitu sedang diselenggarakan perjamuan besar.

   Yang mengherankan Siau-liong ialah semua orang yang hadir disitu sama tidak mengenakan baju dan sama berkalung lencana tengkorak.

   Pada umumnya mereka bertubuh kurus kering, celana kumal dan baunya busuk.

   Siau-liong tak menghiraukan siapa mereka.

   Paling penting ia hendak ikut duduk menyantap hidangan.

   Tiba-tiba dua lelaki pincang muncul.

   Dengan mencekal tongkat, mereka menghampiri Siau-liong.

   Muka mereka kotor, rambut kusut masai dan tubuh kurus sekali.

   Hanya kedua matanya yang bersinar tajam.

   Yang seorang kakinya kiri yang pincang.

   Yang seorang, kakinya kanan yang pincang.

   "Budak, darimana engkau?"

   Tegur mereka. Siau-liong terkesiap. Tak tahu ia siapa mereka dan tempat apa itu. Dengan singkat ia menyahut.

   "Hong-san!"

   Kedua lelaki pincang itu tertegun. Mata mereka berkilatkilat memandang Siau-liong, tanyanya pula.

   "Hendak kemana?"

   "Mencari.... .

   "

   Baru Siau-liong hendak mengatakan 'Mencari ibu', ia merasa kelepasan omong dan cepat mengganti dengan ucapan.

   "Menuju ketempat tujuan."

   Kedua lelaki pincang itu terkesiap heran. Pertanyaan pertama, dijawab salah. Tetapi pertanyaan kedua dijawab betul.

   "Dari mana engkau mendapat petunjuk?"

   Tanya mereka.

   "Dari dalam laut!"

   "Kapan susou-ya datang?"

   Tanya mereka lagi. Siau-liong sebal mendengar pertanyaan yang2 tiada artinya itu. Cepat ia menukas.

   "Entah! Aku lapar, jangan bertanya lagi!"

   "Silahkan!"

   Diluar dugaan kedua lelaki pincang itu berputar tubuh dan berjalan lebih dulu.

   Pucuk dicinta ulam tiba.

   Perut lapar, malah diundang makan.

   Demikian anggapan Siau-liong.

   Segera ia mengikuti kedua lelaki pincang itu menuju ke dalam gedung besar.

   Semua hadirin diam saja.

   Beratus-ratus mata mencurah ke arah Siau-liong.

   Tiba diujung ruangan kedua lelaki pincang itu berlutut didepan seorang tua yang rambut dan alisnya sudah putih semua.

   Jenggotnya yang berkilat-kilat seperti perak, menjulai sampai keperut.

   Tetapi wajahnya masih segar seperti kanak-kanak.

   "Seorang budak liar telah menyelundup dengan menyamar sebagai anggauta kita. Harap bapak ketua memeriksanya,"

   Kata lelaki yang pincang kaki kiri.

   Orang tua yang disebut bapak ketua atau pangcu itu, mendengus.

   Kedua lelaki pincang bangun dan berdiri disampingnya.

   Mata orang tua itu berkilat-kilat menatap Siau-liong.

   Akan tetapi ketika pandang matanya tertumbuk pada lencana Tengkorak yang melingkar dileher Siau-liong, ia terbeliak kaget! Serentak berbangkitlah ia pelahan-lahan.

   Dengan mencekal sebatang tongkat kumala hijau, ia menghampiri Siau-liong.

   Pemuda itu terkesiap.

   Orang tua itu ditaksir sudah 80 tahun umurnya tetapi masih gagah....

   Tetapi mengapa sikapnya seperti bermusuhan? Begitu dekat, orang tua itu segera putar tongkatnya.

   Seketika tubuh Siau-liong dikurung oleh ribuan sinar hijau kemilau.

   Seluruh hadirin terkejut.

   Mereka tak mengerti mengapa bapak ketua tiba-tiba menyerang seorang bocah liar dengan jurus sakti Ciong-lo-ban-jio? Semula Siau-liong terkejut.

   Tetapi diam-diam ia merasa agak paham juga tentang jurus serangan itu.

   Dalam taburan hujan sinar tongkat, ia dapat mengetahui dimana letak kelemahannya.

   Maka bergeraklah ia dengan langkah yang aneh dan tahu2 ia sudah menerobos keluar dari lingkaran sinar tongkat.

   Pak tua itu tertegun sejenak.

   Tetapi pada lain saat ia lancarkan lagi dua buah serangan dahsyat.

   Tetapi lagi-lagi Siau-liong dapat meloloskan diri.

   Kini sekalian hadirin benar-benar terperanjat.

   Setelah tiga kali serangannya gagal, tiba-tiba pak tua itu membungkuk badan memberi hormat kepada Siau-liong.

   Kemudian mempersilahkannya masuk ke dalam ruangan besar.

   Tiba-tiba orang tua itu mengacungkan tongkat kumala ke atas dan serempak sekalian hadirin berlutut dengan khidmat.

   "Cousu-ya telah datang! Dirgahayu! Dirgahayu!"

   Teriak orang tua itu dengan nyaring.

   "Dirgahayu! Semoga panjang usia!"

   Bergemuruhlah ruang gedung dan halaman menyambut pernyataan pak tua itu.

   Tiba-tiba pak tua itu berlutut di tanah.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Suasana hening seketika.

   Tiada seorangpun yang berani mengangkat muka.

   Sambil mencekal tongkat kumaia dengan kedua tangan, pak tua itu berseru pula.

   "Ketua partai Kay-pang dari Kanglam, Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong serta seluruh anak murid, mohon maaf karena tak mengetahui akan kunjungan causu-ya!"

   Diperlakukan sedemikian hormat dan disebut-sebut sebagai causu-ya atau kakek guru, bukan kepalang kejut Siau-liong.

   Masakan dirinya dianggap sebagai causu dari Kay-pang atau partai kaum pengemis! Namun sia-sialah Siau-liong hendak memberi penjelasan.

   Mereka tentu tak percaya.

   Apa boleh buat, terpaksa ia berseru.

   "Bangunlah! Bangunlah!"

   Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong ternyata ketua partai Kay-pang cabang Kanglam Dia memberi hormat lalu bangun.

   Ia mengumumkan kepada hadirin bahwa Cousu-ya dari partai Kay-pang yang sudah berpuluh tahun tak muncul, sekarang berkunjung kesitu.

   Seketika terdengar sambutan para hadirin, bersorak dengan gegap gempita....

   Tetapi diam-diam mereka kurang yakin.

   Benarkah sousu-ya dari partai Kay-pang yang disohorkan sakti itu hanya seorang pemuda yang baru berumur belasan tahun? Perjamuan berjalan terus.

   Pengemis-jenggot-perak duduk menemani Siau-liong.

   Kedua pengemis pincang tadipun diperkenalkan kepada Siau-liong.

   Yang pincang kakinya kiri bernama Tio Thou bergelar Thiat-koay-co atau Tongkat-besikiri.

   Sedang yang pincang kakinya kanan bernama Li Ji gelar Thiat-koay-yu atau Tongkat-besi-kanan.

   Keduanya menjabat pengurus besar partai Kay-pang wilayah Kanglam.

   Selesai perjamuan, To Kiu-kong menuturkan keadaan dan pergolakan dunia persilatan selama ini.

   Terutama hal perkembangan partai Kay-pang.

   Kay-pang termasuk Ceng-pay atau partai golongan Putih.

   Merupakan sebuah partai yang kemasyhurannya sejajar dengan lain-lain partai persilatan.

   Kay-pang didirikan oleh Kiu-ci-sin-kay atau Pengemis-saktijari- sembilan Ang Jit-kong pada akhir ahala Song.

   Tetapi kemudian partai itu pecah menjadi dua.

   Yang satu didaerah selatan dan menamakan diri sebagai Kanglam Kay-pang.

   Yang satu didaerah utara dengan nama Kangpak Kay-pang.

   Kedua partay Kay-pang itu bentrok dan saling bermusuhan.

   Akhirnya dicapai persetujuan, mengajukan calon ketua.

   Tiap tiga tahun bertemu dipuncak Lok-gan-hong gunung Hoasan, untuk bertanding memperebutkan kedudukan ketua Kay-pang dari Kanglam dan Kangpak.

   Yang kalah harus tunduk pada perintahnya.

   Tokoh pertama yang menjabat sebagai ketua Kanglam Kaypang adalah Song Thian-kun bergelar Ko-lo-sin-kay atau Pengemis Tengkorak-sakti.

   Dalam pertandingan di Hoasan, dia berhasil mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang yang bernama Yong Jim.

   Gelar Tengkorak-sakti itu diberikan kepada Song Thian-kun karena tubuhnya yang kurus kering seperti tulang terbungkus kulit.

   Setelah menjabat ketua umum kedua golongan partay Kay-pang itu, ia membuat lencana tengkorak sebagai tanda pengenal diri.

   Lencana pengenal itu diperuntukkan apabila ia mengeluarkan pengumuman, memanggil rapat, memanggil seorang pengurus partai dan lain-lain yang menyangkut kepentingan organisasi Kay-pang.

   Berkat kesaktiannya, Song Thian-kun telah berhasil tiga kali mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang.

   Dengan begitu, ia dapat menjabat sebagai ketua umum selama 9 tahun.

   Pada tahun kedua dalam jabatannya yang ketiga kali sebagai ketua umum partai Kay-pang, di dunia persilatan muncullah lima orang durjana besar.

   Dunia persilatan menggelari mereka dengan istilah singkat.

   Thian, Te, Liong, Hou dan Bu-kek-gong-mo.

   Mereka berlima memusuhi partai2 persilatan yang ternama.

   "Huh, partai2 persilatan yang membanggakan diri sebagai golongan Putih itu tak lain tak bukan hanya gerombolan manusia2 busuk!"

   Demikian ejekan yang dilontarkan kelima durjana itu.

   Pada saat partai2 besar sedang kewalahan menghadapi gangguan keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou, tiba-tiba muncul pula Bu-kek-gong-mo atau si Pendekar Laknat! Pendekar Laknat ini lebih gila lagi.

   Dia gemar membunuh.

   Jiwa manusia dianggap seperti jiwa ayam saja.

   Oleh karena tak mampu mengatasi, akhirnya partai2 besar itu tak mampu bertindak lagi.

   Mereka menutup diri, masing-masing menjaga keselamatan tempatnya sendiri2.

   Hanya Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun satusatunya tokoh yang berani menentang kawanan durjana ganas itu.

   Ia mencari Pendekar Laknat dan bertempur selama tiga hari tiga malam.

   Tetapi tetap tak ada yang menang dan kalah.

   Keunggulan Pendekar Laknat terletak pada ilmu tenagasakti Bu-kek-sin-kang.

   Sedang keistimewaan Pengemis tengkorak-sakti pada ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang sakti.

   Akhirnya karena agak lengah, Pengemis Tengkorak-sakti tersapu oleh sebuah pukulan Pendekar Laknat.

   Tetapi durjana itupun terhunjam sebuah hantaman dari Pengemis Tengkoraksakti.

   Kedua-duanya sama-sama terluka parah! Sejak itu Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun melenyapkan diri....

   Sedang Pendekar Laknat kabarnya pun dikeroyok oleh keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou.

   Tetapi keempat durjana itu gagal membunuh Pendekar Laknat.

   Mereka menderita luka dan menyembunyikan diri.

   Demi mengenangkan jasa Pengemis Tengkorak-sakti.

   Song Thay-kun, partai Kay-pang wilayah Kanglam telah menyempurnakan susunan organisasinya.

   Menurut tinggi rendahnya kedudukan, Setiap anggauta mengenakan lencana Tengkorak yang bentuknya berlainan.

   Menentukan sandi2 pertanyaan rahasia untuk menghadapi orang yang tak dikenal.

   Sandi pertanyaan itu diajukan kedua pengemis pincang tadi ketika menyambul Siau-liong.

   Dan pada saat melihat anak itu berkalung lencana tengkorak, To Kiu-kong segera mengenalinya, sebagai benda keramat peninggalan Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun.

   Kemudian untuk menguji benarkah anak itu murid pewaris dari Song Thay-kun maka To Kiu-kong telah gunakan jurus Ciong-lo-ban-jio menyerangnya........

   Lenyapnya Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun dari dunia persilatan, ikut hilang pula ilmu pukulan sakti Thaysiang- ciang yang menjadi kebanggaan partai Kay-pang di Kanglam.

   Kini hanya tinggal ilmu tongkat Ji-thau-ciang hwat saja yang turun temurun diajarkan dikalangan anak murid Kay-pang.

   Jurus Ciong-lo-ban-jio atau Ribuan-gajah-menginjak, merupakan jurus yang paling istimewa dalam ilmu tongkat Jithau- ciang-hwat atau Pengemis-minta-tongkat.

   Tetapi jurus itu masih kalah unggul dengan jurus Thay-siang-bu-kek, salah satu jurus dari pukulan sakti Thay-siang-ciang.

   Maka tadi begitu diserang, Siau-liong segera tahu gerakan lawan dan terus gunakan jurus Thay-siang-bu-kek.

   Dengan mudah ia dapat menghindari ketiga buah serangan To Kiukong.

   Pada saat itulah Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong baru benar-benar memastikan bahwa Siau-liong adalah pewaris dari cousu-ya Kay-pang.

   Dengan begitu berarti Pengemis Tengkorak-sakti Song-thay-kun muncul kembali.

   Girang To Kiu-kong sukar dilukiskan! Tahun ini Hoasan akan dilangsungkan pertandingan untuk merebut kedudukan Ketua Umum Kay-pang.

   Maka berkumpullah seluruh tokoh-tokoh penting dari murid2 Kaypang didaerah Kanglam.

   Mereka hendak merundingkan dan menentukan jago yang hendak diajukan ke Hoasan.

   Untuk menghadang penyelundupan orang luar maka setiap anggauta yang datang harus buka baju dan mengenakan kalung berlencana tengkorak.

   Demikian To Kiu-kong mengakhiri penuturannya.

   Saat itu Siau-liong benar-benar tercengkam oleh berbagai perasaan.

   Heran, terkejut, girang, sedih, cemas campur-aduk memenuhi rongga kalbunya.

   Dia menjadi pewaris dari Pengemis Tengkorak-sakti Song Thian-kun.

   Tetapi pun menjadi murid dari Koay suhu atau si Pendekar Laknat.

   Padahal kedua tokoh itu semasa hidupnya, saling bermusuhan.

   Diapun ternyata putera dari si wanita cantik Ki Ih yang dimusuhi oleh partay-partai persilatan.

   Lalu sebagai pewaris Pengemis Tengkorak sakti Song Thay-kun, dia dianggap sebagai ketua partai Kay-pang daerah Kanglam.

   Ia bersahabat dengan partai2 persilatan dan bermusuhan dengan partai Kaypang daerah Kangpak.

   Tetapi sebagai murid dari Pendekar Laknat dan putera dari Ki Ih, ia harus memusuhi semua manusia di dunia! Ah, bagaimanakah ia harus bertindak....? Kepada orang2 Kay-pang, ia mengaku bernama Kongsun Liong.

   Ia menuturkan juga pengalamannya masuk ke dalam perut bumi dan memperoleh ilmu pukulan sakti Thay-siangciang....

   Hanya mengenai pertemuannya dengan Koay suhu si Pendekar Laknat, ia tak menceritakan kepada mereka.

   Kini sekalian anggauta Kay-pang menyadari bahwa ketua mereka yang sakti Pengemis Tengkorak-sakti Song Thian-kun sudah meninggal.

   Dan percaya pula bahwa pemuda itu memang benar-benar menerima ilmu warisan dari Song Thaykun.

   Dengan demikian partai Kay-pang daerah Kang-lam akan jaya kembali.

   Mereka telah memperoleh pengganti ketua yang baru! Sejak ber-tahun2 belum pernah pesta pertemuan anggauta Kay-pang wilayah Kanglam, semeriah dan segembira seperti saat itu.

   Hiruk-pikuk kegembiraan berkumandang jauh sampai diluar biara....

   Sekonyong-konyong dari luar pintu biara terdengar sebuah tertawa gemercik.

   Sebuah nada yang berciri khas tersendiri.

   "Ah, dia datang,"

   To Tiu-kong tertawa.

   "Siapa?"

   Tanya Siau-liong.

   "Salah seorang anggauta pengurus besar partai kita Siaukay To Tay-tong."

   Siau-kay atau Pengemis tertawa Tio Tay-tong melangkah masuk dan memberi hormat kepada To Kiu-kong lalu tiba-tiba berseru.

   "Dunia kacau! Dunia kacau balau."

   "Memang kuduga engkau membawa berita luar biasa. Hayo, cepat beri hormat kepada cousu-ya dulu!"

   Seru To Kuikong.

   Memandang Siau-liong, Pengemis-tertawa itu terbeliak.

   Tetapi ketika melihat lencana tengkorak didada Siau-liong, cepat ia berlutut memberi hormat.

   Siau-liong merasa kikuk.

   Ia minta jangan dipanggil Cousuya atau kakek guru.

   Tetapi To Kiu-kong mengatakan bahwa sebutan itu memang diberikan kepada mendiang Pengemis Tengkorak-sakti.

   Karena Siau-liong dianggap sebagai penggantinya maka harus menerima sebutan itu.

   Kemudian To Kiu-kong minta penjelasan kepada Pengemistertawa.

   "Apa maksudmu. mengatakan dunia kacau-balau tadi?"

   Pengemis-tertawa Tio Tay-tong tertawa nyaring sekali, sahutnya.

   "Dengan munculnya Cousu-ya, pasti akan lebih ramai lagi!"

   "Lekas katakanlah!"

   Tukas To Kiu-kong.

   "Semua dedongkot2 persilatan sama muncul lagi. Dunia persilatan pasti akan dilanda banjir darah pula! Bukankah dunia kacau-balau?"

   Seru Pengemis-tertawa itu. Sekalian orang terperanjat. Bahkan ada yang menggigil gemetar.

   "Konon kabarnya si Cantik-beracun Ki Ih muncul didaerah Siok-ciu. Kelima durjana besar pada jaman 20-an tahun berselang yakni Thian, Te, Liong, Hou dan Pendekar Laknat muncul lagi. Kay-se Thian-mo dan Te-gak Lo-sat kabarnya tampakkan diri digunung Thian-san. Keng-san Siat-liong dan Hou-pik Kau-hun, unjuk diri di Se-pak. Lalu Pendekar Laknat timbul digunung Hoa-san. Menurut kabar, begitu muncul Pendekar Laknat dengan dua kali pukulan saja telah menghancurkan belasan tokoh2 lihay. Coba katakanlah, apakah dunia takkan kacau-balau?"

   "Hongsan? Bukankah Cousu-ya juga datang dari gunung itu? Apakah cousu-ya mengetahui hal itu?"

   Tanya To Kiu-kong kepada Siau-liong.

   "Hal ini.... karena hampir setahun aku berada dibawah gunung maka tak pernah kudengar apa2,"

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Siau-liong.

   Suasana perjamuan yang gembira-ria, mendadak berobah menjadi tegang regang, cemas gelisah.

   Tengah sekalian orang gelisah, tiba-tiba di udara menggema lagi sebuah tertawa gelak2 yang amat nyaring.

   Sekalian orang terkejut.

   Mereka memandang kesekeliling penjuru tetapi tak tampak suatu apa.

   Siau-liong dan beberapa tokoh Kay-pang segera melangkah keluar.

   Dibawah sinar bulan purnama, tampak seorang aneh berdiri di atas puncak rumah.

   Orang itu mengenakan pakaian warna biru.

   Mukanya ditutup kain selubung hitam.

   Siau-liong cepat loncat kewuwungan disusul To Kiu-kong, Pengemis-tertawa, Tongkat-besi-kiri Tio Thau, Tongkat-besikanan Li Ji dan lain-lain.

   Siau-liong terkejut melihat pendatang yang serba misterius itu.

   Pada saat ia hendak menegur, tiba-tiba orang aneh itu sudah lancarkan dua buah pukulan kepadanya.

   Tangan kiri memukul dengan jurus Toh-beng-han-kong atau Sinar-dinginmerenggut- nyawa.

   Tangan kanan menghantam dengan jurus Kian-gun-it-biat atau pukulan Panglebur-jagad! Siau-liong terpaksa mundur selangkah, Melihat serangan itu begitu hebat, ia duga orang itu tentu bukan tokoh sembarangan.

   Ingin ia menyapa tetapi kembali orang itu menyerangnya lagi.

   Dua buah tangannya susul menyusul melontarkan hantaman dengan jurus yang aneh dan dahsyat.

   Dalam sekejab saja, sembilan buah pukulan berantai dan enam buah tendangan, telah diserangkan.

   Siau-liong tak sempat bertanya lagi.

   Ia mengkal sekali kepada keberandalan orang itu.

   Segera ia balas menyerang dengan ilmu pukulan Gun-go-ciang ajaran gurunya Kongsun Sin-to yang terdiri dari 36 jurus.

   Namun orang misterius itu memiliki kelincahan yang mengagumkan sekali.

   Jurus2 pukulannya sangat aneh, penuh perobahan yang sukar diduga.

   Baru lebih kurang sejam dinobatkan sebagai ketua Kaypang, Siau-liong sudah mendapat ujian berat.

   Diam-diam ia mengagumi kesaktian orang itu.

   Tetapi diam-diam ia malu terhadap anak buah Kay-pang karena sudah bertempur 100 jurus masih belum dapat mengalahkan lawan.

   Rasa malu itu membangkitkan kemarahan Siau-liong....

   ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 02 Kilat Lawan Tengkorak TO KIU-KONG terkesiap.

   Dahulu ilmu pukulan Thay-siangciang yang dimainkan mendiang Pengemis Tengkorak, tidaklah sedahsyat yang dilancarkan Siau-liong saat itu.

   Tetapi kesaktian orang berkerudung itupun bukan olaholah.

   Memang pada saat menghadapi taburan Thay-lo-kimkong- ciang, ia terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.

   Tetapi setelah itu, ia loncat menerjang maju lagi.

   Siau-liong marah.

   Cepat ia melambung ke udara.

   Setelah berputar-putar, ia menukik dan siap lancarkan jurus kedua.

   Siu-lo-pan-cha.

   Ketika melihat sepasang telapak tangan Siau-liong berkilat2 merah, To Kiu-kong dan kawan-kawannya memekik kaget.

   Bu-kek-sin-kang! Sebenarnya Siau-liong tak mau menggunakan ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang itu.

   Karena hal itu akan mengakibatkan dirinya diketahui orang.

   Tetapi karena musuh terlampau sakti, terpaksa ia mengeluarkan pukulan tenaga-sakti itu.

   To Kiu-kong terkejut.

   Ia duga orang berkerudung itu tentu hancur.

   Tetapi diluar dugaan orang misterius itu malah tertawa melengking menghindar kesamping dan menyongsong pukulan Siau-liong dari samping.

   Dess....

   kembali terjadi benturan antara tenaga-sakti keras lawan tenaga-sakti lunak.

   Dan pukulan Siau-liong itupun buyar....

   Siau-liong makin heran.

   Alangkah hebatnya kepandaian orang itu! Diam-diam Siau-liong seperti pernah mengenal ketawa dan gerak-gerik orang itu.

   Tetapi entah dimana, ia lupa.

   Dan yang terutama membuat Siau-liong terpukau ialah tenaga-lunak yang dimiliki orang itu.

   Benar-benar ia belum pernah menyaksikan.

   To Kiu-kong dan rombongannya terkejut karena melihat Siau-liong tertegun diam.

   Tetapi sebelum mereka bertindak, orang aneh itu sudah buang diri berjumpalitan beberapa tombak ke belakang.

   Kemudian dengan tiga kali locatan, ia sudah lolos.

   Siau-liong cepat mengejar.

   To Kiu-kong gelagapan.

   Sungguh berbahaya membiarkan ketua mereka mengejar seorang diri.

   Segera ia ajak anak buahnya menyusul.

   Tetapi walaupun menyusup hutan melintasi gunung, mereka tak dapat menemukan ketua mereka dan orang aneh itu.

   Tiba-tiba dari arah tenggara terdengar suitan nyaring.

   To Kiu-kong dan anak buahnya segera menuju kesana.

   Mereka tiba di sebuah kuil kecil dipinggir kaki gunung.

   Sekelilingnya penuh pohon cemara dan hutan bambu.

   Rakyat menamakan Thing-si-poh atau kuil Penyimpan Peti-mati.

   Suitan tadi jelas berasal dari kuil itu.

   Saat itu rembulan sudah condong kebarat.

   Suasana disekeliling kuil, amat seram.

   Bahkan seorang jago sakti seperti To Kiu-kong, diam-diam pun menggigil dalam hati.

   Tetapi rasa seram itu segera lenyap ketika menyadari bahwa suitan nyaring tadi jelas tentu dari jago silat yang memiliki lwekang sakti.

   To Kiu-kong segera menghampiri kuil itu.

   Dan ketika mengintai ke dalam kuil, hampir saja To Kiukong dan anak buahnya terkejut pingsan....

   Soh-beng Ki-su yang berwajah seperti mayat, tengah berputar-putar diantara peti mati karena hendak menerkam si dara cantik Tiau Bokkun! Dalam ruang kuil itu terdapat tak kurang dari 200 buah peti mati.

   Tiau Bok-kun termasyhur memiliki ilmu meringankan tubuh yang sakti.

   Karena itu kaum persilatan menyanjungnya dengan gelar Dewi Kilat.

   Entah bagaimana mulanya Tiau Bok-kun dikejar-kejar Sohbeng Ki-su dalam kuil situ.

   Untung berkat ginkangnya yang sakti, nona itu dapat berlincahan menyelundup diantara selasela peti-mati sehingga Soh beng Ki-su meraung-raung seperti singa kelaparan.

   Seharusnya To Kiu kong tak dapat berpeluk tangan mengawasi nona itu diancam Soh-beng Ki-su yang termasyhur sebagai Hwat-giam-lo-ong atau Giam-lo-ong hidup (Raja Akhirat).

   Tetapi ketua Kay-pang itupun menyadari bahwa jika sekali pukul tak dapat membinasakan Soh-beng Ki-su, akibatnya berbahaya.

   Kay-pang tentu akan tambah mendapat seorang musuh yang ganas.

   Tampak Soh-beng Ki-su mengamuk sekali.

   Kesepuluh jarinya yang runcing macam cakar garuda, mendesis-desis mengeluarkan asap Pek-kut-kang atau ilmu sakti Tulang-putih mulai dilancarkan! Dibawah taburan ilmu-sakti Pek-kut-kang itulah dahulu Tiau Bok-kun pernah menderita luka.

   Untung pada waktu itu ia ketemu dan ditolong Siau-liong.

   Seketika pucatlah wajah Tiau Bok-kun.

   Cress....

   tiba-tiba Soh beng Ki-su mencengkeram.

   Dan serempak dengan itu, To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa segera hendak loncat menerjang untuk menolong Tiau Bokkun.

   Tetapi, uh....

   terpaksa mereka hentikan gerakannya.' Ternyata cengkeraman Soh-beng Ki-su itu tidak ditujukan pada Tiau Bok-kun tetapi kesebuah peti-mati yang berada di samping kanannya.

   Krak....

   kayu penutup peti hancur lebur beterbangan keempat penjuru....

   Kiranya tujuan Soh-beng Ki-su hanya hendak memamerkan betapa dahsyat tenaga cengkeramannya itu agar si nona menyerah saja.

   Demikian dugaan To Kiu-kong.

   Tetapi ternyata dugaan itu meleset.

   Setelah menghancurkan tutup peti, jari Soh-beng Ki-su tetap memancarkan aliran tenaga-sakti ke dalam peti.

   Tibatiba mayat dalam peti itu pun bangun.

   Dalam kuil di tengah hutan dengan berisi 200 buah peti mati, sudah cukup membuat nyali copot.

   Apalagi sesosok mayat dapat bangun dan duduk.

   To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa hampir jatuh kelenger....

   Karena takutnya Tiau Bok-kun menjerit.

   Tetapi karena Sohbeng Ki-su menghadang dimuka, terpaksa ia menyelinap mundur ke belakang dua buah peti mati.

   Soh-beng Ki-su mengangkat tangan dan tengkorak itupun berdiri lalu loncat keluar dari peti matinya.

   Hai! Adakah Soh-beng Ki-su memiliki ilmu sihir? Tidak! Ilmu itu disebut tenaga-sakti Pek-kut-kang atau ilmu Tulang Putih.

   Ilmu tersebut didasarkan pada latihan menyedot hawa phosporus mayat-mayat yang sudah menjadi tengkorak.

   Dengan latihan itu dapatlah Soh beng Ki-su menggerakkan mayat dan diperintah menurut sekehendak hatinya.

   Antara lain disuruh bersilat dan menyerang orang! Berturut-turut Soh-beng Ki-su menghidupkan tengkorak2 lalu diperintahkannya mengepung Tiau Bok-kun.

   Diantara mayat2 yang dihidupkan itu, terdapat beberapa kerangka tengkorak yang masih belum hancur dagingnya.

   Selain ujutnya mengerikan, pun baunya bukan alang kepalang....

   Tiau Bok-kun menggigil.

   Gerahamnya berkerenyut keras.

   Sambil kepalkan tinju dan memegang pedang erat-erat, ia bersiap-siap.

   Setelah menghidupkan tengkorak2 itu, Soh-beng Ki-su pun segera berseru memberi perintah.

   Sesosok tengkorak segera mainkan kedua tulang tangannya menyerang Tiau Bok-kun.

   Nona itu tak gentar.

   Ia mainkan pedangnya dalam jurus Angin-puyuh.

   Tetapi pada saat sepasang tulang lengan tengkorak itu akan tertabas, tiba-tiba Soh-beng Ki-su gerakkan tangan kiri dan berseru memberi komando.

   "Si-heng pianyap...."

   Tengkorak disebelah kiri yang kerat dagingnya masih melekat, segera menyerang Tiau Bok-kun.

   Bau busuk berhamburan memenuhi ruang.

   Hebat dan ngeri sekali! Dibawah perintah gerakan tangan Soh-beng Ki-su, tengkorak yang masih berdaging itu dapat menyerang dengan ilmu pukulan Pek-kut-kang yang hebat.

   Nona itu tak keburu menangkis.

   Untung ia memiliki ginkang yang hebat dan otak yang tajam, Sekonyong konyog ia bertekuk tubuh ke belakang sampai punggung mendatar dengan tanah.

   Pedang dilintangkan untuk menjaga tubuh.

   Kemudian dengan menjaga tubuh.

   Kemudian dengan sebuah gerakan yang luar biasa, ia melenting kemuka dan menerobos kepungan, melalui celah dua sosok tengkorak.

   Tetapi usaha nona itu tak banyak menolong.

   Hanya beberapa detik ia dapat bernapas legah atau ia terkejut karena dapatkan dibelakangnya itu merupakan dinding kuil.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tak mungkin ia dapat loncat mundur lagi.

   Sedang kelima tengkorak itu hanya dengan dua tiga kali loncatan, sudah berjajar menghadang Tiau Bok-kun.

   Walaupun tengkoraktengkorak itu sudah tak bermata lagi tetapi muka mereka yang tertuju kepada si nona, tak ubah seperti orang yang dapat melihat.

   Pada saat Tiau Bok-kun sedang terpojok, Soh beng Ki-su pun giat menghancurkan tutup beberapa peti-mati lagi.

   Berpuluh-puluh tengkorak loncat keluar dari peti masingmasing.

   Ada yang mukanya hancur tetapi hidungnya complong tetapi mulut masih melekat dengan jenggot yang memanjang lebat.

   Pendek kata, barang siapa menyaksikan pemandangan saat itu, tentu akan pingsan atau mati kaku! Berpuluh-puluh mayat dan tengkorak yang tak keruan ujutnya itu, berkerumun mengepung Tiau Bok-kun.

   Betapapun hebat ilmu ginkang nona itu, namun kiranya tak mungkin ia mampu lolos dari kepungan barisan Si-mo-tin atau barisan Tengk-rak itu.

   To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa mempunyai rencana sama.

   Satu2nya jalan untuk menolong si nona.

   hanyalah dengan meringkus Soh-beng Ki-su.

   Namun keduanya menyadari bahwa sekalipun keduanya maju serempak, belum tentu dapat mengalahkan Soh-beng Kisu.

   To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa benar-benar tersiksa batinnya.

   Tidak menolong, tak sampai hati.

   Namun menolong pun belum tentu berhasil.

   Dan kegagalan itu berakibat besar bagi partai Kay-pang.

   Namun dapatkah mereka hanya berpeluk tangan saja? Ah, perbuatan itu berlawanan dengan jiwa seorang ksatrya! Tetapi sebelum keduanya bertindak, tiba-tiba lima sosok bayangan melayang masuk dari atas tembok dan berjajar di belakang Soh-beng Ki-su.

   Mereka bukan lain adalah ketua Kong tong-pay To Hun-ki dan keempat Kong-tong Su-lo.

   Serentak Soh-beng Ki-su berputar tubuh.

   "Oho, disurga terbentang jalan lebar, kamu malah pilih masuk ke Neraka. Bangsat tua, serahkan jiwamu!"

   Soh-beng Ki-su atau Pertapa Pencabut-nyawa itu gerakkan sepasang jari tangannya yang runcing.

   8eketika ribuan cakar putih berhamburan ke arah kelima tokoh partai Kong-tong-pay itu.

   Kui-ing-tong-tong atau Bayangan-setan-lalu-lalang, demikian jurus yang dimainkan pertapa gila itu.

   Tiau Bok-kun tak mau men-sia2kan kesempatan sebagus itu.

   Pada saat Soh-beng Ki-su sibuk menghadapi kelima tokoh Kong-tong-pay, nona itu segera mainkan pedang dalam jurus Sip-hong-sip-u atau Sepuluh-angin-sepuluh-hujan untuk membobol kepungan barisan tengkorak yang tak berkomando.

   Tetapi gerak gerik nona itu tak luput dari pengawasan sipertapa ganas.

   Seperti tumbuh mata pada punggungnya, Soh-beng Ki-su segera memberi perintah kepada barisan Tengkorak.

   "Cui-si-kui-gok."

   Mendengar perintah Cui-si-kui-gok atau Mayat hancur-iblismenangis itu, barisan Tengkorak segera menyerbu Tiau Bokkun lagi.

   Dan anehnya, tengkorak yang mempelopori penyerangan itu dapat menghindar apabila Tiau Bok-kun menabasnya.

   Mereka tetap merangsang maju.

   Tiau Bok-kun makin gugup.

   Ia mainkan jurus Hong-u-putthou atau tak-tembus-hujan-angin untuk melindungi diri....

   Dalam pada itu To Hun-ki dan keempat Su-lo, dengan susah payah dapat menghindari serangan pertapa ganas itu.

   Tetapi belum sempat balas menyerang, Soh-beng Ki-su sudah menyerangnya sambil memberi komando kepada barisan Tengkorak.

   Tetapi karena perhatiannya agak terpecah dalam memberi komando dan menyerang sendiri, mala berkuranglah kedahsyatan serangan barisan Tengkorak maupun Soh-beng Ki-su sendiri.

   Dengan begitu Tiau Bok-kun dapat bertahan beberapa saat.

   Seperti telah dituturkan dibagian muka, pada saat menghadapi siwanita cantik Ki Ih, Soh-beng Ki-su terpaksa mundur dan melarikan diri ke dalam kuil itu.

   Sebenarnya ia hendak mempersiapkan barisan Tengkorak untuk membunuh wanita itu.

   Tetapi tak ter-duga2, Tiau--Bok-kun melangkah masuk.

   Melihat itu iapun terus menerkam si nona....

   Mendiang ayah nona itu telah meninggalkan sebuah Giokpwe atau Pending Kumala.

   Nona itu tak menyangka sama sekali bahwa Giok-pwe itu ternyata sebuah tempat penyimpanan pusaka.

   To Hun-ki sudah memperoleh separoh bagian.

   Jika ia dapat merebut separoh bagian yang menjadi milik Tiau Bok-kun, tentulah ia dapat menemukan tempat penyimpanan pusaka itu.

   Apabila berhasil, bukan saja wanita cantik Ki Ih, bahkan kelima durjana yang termasyhur itu, pun dapat ditundukkan.

   Demi membangun pamor kejayaan Kong-tong-pay dan nasib dunia persilatan maka To Hun-ki berusaha keras untuk memperoleh Giok-pwe itu....

   Apabila benda itu sampai jatuh ketangan si Pertapa Pencabut-nyawa, akibatnya ngeri sekali.

   Soh-beng Ki-su seperti harimau tumbuh sayap.

   Tetapi Tiau Bok-kun pun mati2an mempertahankan peninggalan orangtuanya.

   Maka terjadilah peristiwa kejar mengejar yang seru itu.

   Pertempuran antara Tiau Bok-kun lawan barisan Tengkorak dan kelima tokoh Kong-tong-pay lawan Pertapa Pencabutnyawa, telah berlangsung sampai beberapa puluh jurus To Hun-ki tak mungkin menang dan Tiau Bok-kun pun tak mungkin lari.

   Adakah To Hun-ki tak menyadari kedudukaannya? Tidak! To Hun-ki tahu bahwa ia tak mungkin menang.

   Tetapi ia tetap bertempur karena supaya dapat memberi kesempatan Tiau Bok-kun lolos.

   Apabila nona itu lolos, kelak ia tentu masih mempunyai kesempatan untuk merebut Giokpwe.

   Untuk memberi kesempatan lari kepada si nona, To Hun-ki memancing lawan supaya bertanding diluar kuil.

   Tetapi pertapa ganas itu tak mau disiasati.

   Ia tertawa mengekeh dan tetap merangsang kelima tokoh Kong-tong-pay.

   To Hun-ki teringat tempo bertempur seorang diri melawan pertapa itu, ia dapat bertahan sampai 30 jurus.

   Segera ia mengambil keputusan.

   Keempat Su-lo disuruh membantu si nona meloloskan diri dari kepungan barisan Tengkorak.

   Sedang Soh-beng Ki-su hendak dihadapinya sendiri.

   Tetapi berhadapan dengan manusia licin macam Soh beng Ki-su, To Hun-ki benar-benar mati kutu.

   Sebelum sempat menjalankan rencananya, Soh-beng Ki-su sudah mendesak kelima tokoh Kong-tong-pay itu dengan gencar dan menggiring mereka ke dalam barisan Tengkorak.

   Melihat suasana pertempuran, To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa tak dapat tinggal diam lagi.

   Tetapi sebelum mereka bertindak, lagi2 muncul pula seorang wanita baju putih, memakai kerudung warna hitam dan mencekal sebatang pedang San-tiam-kaim.

   "Ki Ih si Ular cantik!"

   Serentak sekalian orang berteriak kaget dalam hati.

   Hanya Tiau Bok-kun yang tak kenal siapa wanita aneh itu.

   Belum wanita itu berdiri tegak, pedangnya sudah menghambur ke arah barisan Tengkorak.

   Dua tiga sosok tengkorak, hancur berantakan....

   Soh-beng Ki-su cepat mencabut senjatanya yang berbentuk piau atau passer untuk menyambut.

   Sepuluh tahun yang lalu, ilmu pedang San-tiam-kiam atau Pedang Kilat dari Ki Ih sudah termasyhur.

   Kini setelah berselang 10 tahun, tentulah jauh lebih hebat lagi.

   Ilmu pedang itu selalu berlawanan geraknya dengan ilmu pedang biasa.

   Gerakan yang kosong ternyata gerakan sesungguhnya dan gerakan yang tampak sungguh kiranya kosong.

   Gelombang sinar pedang dan deru angin yang dahsyat makin menguasai sinar senjata Soh-beng Ki-su.

   Namun pertapa itu bukanlah lawan yang empuk.

   Dengan ilmu Pekkut- kang, ia dapat memberi perintah kepada barisan Tengkorak supaya memecah diri dalam kelompok kecil untuk mengurung setiap lawan Dengan mendapat bantuan barisan Tengkorak itu, Soh-beng Ki-su dapat memperbaiki kedudukannya yang terdesak.

   Ki Ih memang lihay tetapi betapa pun ia seorang wanita.

   Berhadapan dengan tengkorak2 yang amat menyeramkan, hatinya ngeri juga sehingga mengakibatkan permainan pedangnya agak lamban.

   Melihat permainan pedang Ki Ih tak begitu mantap lagi, Soh-beng Ki-su segera pergencar serangannya dan berhasil menguasai permainan lawan.

   Ki Ih terdesak tetapi di sana, Tiau Bok-kun dan kelima tokoh Kong-tong-pay berhasil merubuhkan tujuh delapan sosok tengkorak.

   Soh-beng Ki-su mulai cemas Kalau Tiau Bokkun sampai lolos, berantakanlah rencananya.

   Memikirkan hal itu, perhatiannya agak terpecah.

   Keadaan itu tak lepas dari pengamatan Ki Ih.

   Dengan beberapa serangan dapatlah ia merobah kedudukannya.

   Dari yang diserang menjadi penyerang.

   Soh-beng Ki-su benar-benar gelisah.

   Buru-buru ia bolangbalingkan cakarnya ke arah deretan peti mati.

   Tak kurang dari 30 buah peti mati hancur tutupnya dan mayat2 di dalamnya segera berloncatan keluar menyerbu musuh.

   Pertapa Pencabut-nyawa itu tertawa seram dan barisan Tengkorak lalu meraung-raung, menangis macam iblis merintih-rintih....

   Dengan munculnya barisan bantuan itu, Ki Ih dan rombongan Kong-tong-pay terdesak lagi.

   Mereka lebih banyak bertahan daripada menyerang....

   Sekonyong konyong terdengar suara tertawa menggeledek.

   Dikala sekalian orang terkesiap, sesosok tubuh dalam jubah gerombyongan, melayang masuk ke dalam ruang.

   Gerakannya gesit dan tak mengeluarkan suara apa-apa....

   Sekalian orang terkejut dan yang paling terperanjat sendiri adalah Soh-beng Ki-su.

   Hampir ia tak percaya pada apa yang dilihatnya.

   "Ah, tak mungkin.' Bukankah dia sudah kuhantam mati di lembah gunung Hongsan? Mustahil orang mati dapat hidup kembali."

   Bantahnya dalam hati.

   "Siapakah engkau, hai!"

   Tegurnya bengis untuk menenangkan getar hatinya. Wut.... orang aneh itu menjawab dengan kebutkan lengan jubahnya.... Secercah sinar merah berkilat dan dua tiga puluh tengkorak segera hancur menjadi abu....

   "Pendekar Laknat!"

   Seru Soh-beng Ki-su terkejut.

   "Hm, benar Memang orang yang kau bunuh itu tidak mati!"

   Sahut orang aneh itu.

   "Lalu siapa yang mati itu?"

   Orang aneh itu tertegun sejenak, sahutnya.

   "seorang tua yang tak berdosa!"

   Soh-beng Ki-su makin gentar. Akhirnya ia berseru kalap.

   "Mau apa engkau kemari?"

   Orang aneh itu tertawa nyaring. Ruang kuil bergetaran.

   "Aku hendak menuntut balas atas kematian orang tua itu!"

   Katanya seraya mendorong dengan kedua tangannya.

   Segulung hawa panas melanda dan hancurlah sisa-sisa barisan Tengkorak....

   Tiau Bok-kun tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

   Cepat ia menyelinap keluar.

   To Hun-ki dan keempat Su-lo mengikuti lolos.

   Melihat ketua Kong-tong-pay kabur, Ki Ih cepat mengejar....

   To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang menyaksikan di atas tembok kuil, diam-diam merasa heran.

   Rasanya dahulu Pendekar Laknat itu tidak sedemikian tinggi besar.

   Namun kalau menilik ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang yang dilancarkan itu, memang benar Pendekar Laknat.

   Memang hal itu dapat dimengerti karena kedua tokoh pengemis itu tentu tak dapat membayangkan bahwa Pendekar Laknat yang muncul saat itu bukan lain adalah Siau-liong sendiri.

   Itulah yang kedua kalinya ia menyamar sebagai Pendekar Laknat.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan untuk yang kedua kalinya pula berjumpa dengan ibunya.

   Sayang ia tak tahu bahwa wanita berkerudung muka adalah Ki Ih, ibunya sendiri.

   Tetapi andaikata tahu, pun ia tentu tak leluasa bicara karena masih menyamar sebagai Pendekar Laknat....

   Setelah mereka pergi, barulah Siau-liong terkesiap.

   Ia curiga akan gerak-gerik wanita berkerudung tadi.

   Cepat ia memutuskan, bunuh dulu Pertapa Pencabut-nyawa itu, baru mengejar wanita berkerudung yang diduga tentulah ibunya.

   Diserangnya Soh-beng Ki-su dengan jurus Sin-liong-thaysan atau Naga-sakti-gunung-Thaysan.

   Tetapi Pertapa itu bukan tokoh lemah.

   Tak mau ia gunakan senjata melainkan dengan tangannya yang mirip cakar burung garuda.

   Ia menakar pukulan lawan dengan sepuluh jari yang disaluri tenaga-sakti Pek-kut-kang atau Tulang-putih.

   Siau-liong masih belum dapat menguasai lwekang Bu-keksin- kang.

   Ia hanya tahu menggunakan tenaga-sakti itu dengan cara keras.

   Akibatnya ia menderita.

   Ia terhuyung-huyung mundur sampai empat langkah.

   


Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Lentera Maut -- Khu Lung Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id

Cari Blog Ini