Ceritasilat Novel Online

Pendekar Laknat 12


Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong Bagian 12



Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya dari S D Liong

   

   "Saudara ini tentulah Kongsun siau-hiap, bukan?"

   Siau-liong mengiakan lalu minta tanya nama orang itu juga. Lu Bu-ki menerangkan.

   "Saudara Auyang Pa ini, adalah pangcu (ketua) dari 28 kelompok yang tersebar diperairan telaga Pohyang-ou. Kali ini memenuhi undangan Ceng Hi totiang untuk menggempur sarang Iblis-penakluk-dunia."

   Siau-liong menatap Auyang Pa, tanyanya dengan nada serius.

   "Apakah Auyang pangcu belum berjumpa dengan rombongan Ceng Hi totiang? Mengapa tahu kalau aku dan kawan2 berada disini?"

   Sejenak mengeliarkan mata, Auyang Pa menyahut.

   "Karena kuatir ditengah jalan menemui kesulitan, maka Ceng Hi totiang dan rombongan mengambil jalan singkat yaitu melalui jembatan Ngo-tong-kiau, gunung Lok-san lalu mengitari gunung. Aku mendapat perintah supaya menjaga ditempat ini untuk menyelidiki gerak-gerik Iblis-penakluk-dunia. Tak terduga semalam dipuncak Lok-beng-nia aku telah berjumpa dengan seorang cianpwe yang ternama...."

   Siau-liong terbeliak kaget sekali. Serunya gopoh.

   "Auyang pangcu maksudkan...."

   Auyang Pa tertawa.

   "Benar, memang suhumu Tabib-sakti jenggot-naga Kongsun locianpwe!"

   "Dimanakah suhuku sekarang."

   Tenang2 Auyang Pa menjawab.

   "Semalam menjelang tengah malam aku bertemu dengan Kongsun cianpwe dibiara Leng-hun-si dipuncak Lok-beng-nia. Rupanya beliau menderita luka kecil, sedang beristirahat dalam biara itu...."

   Berhenti sejenak ia melanjutkan pula.

   "Beliau minta tolong kepadaku apabila berjumpa dengan Kongsun siau-hiap supaya menyampaikan pesan. Beliau...."

   "Apakah suhu tak ke Gobi?"

   Tanya Siau-liong. Auyang Pa tertawa pula.

   "Beliau mengatakan pasti kesana. Tetapi untuk sementara ini beliau hendak mengerjakan suatu urusan yang penting sekali. Mungkin akan terlambat beberapa waktu, Beliau mengatakan malam nanti akan datang ke Makoan dan minta engkau menunggu disini!"

   Siau-liong kerutkan alis bertanya.

   "Apakah luka suhuku itu tak berbahaya?"

   "Hanya menderita luka ringan. Ketika beristirahat dalam biara, dia tetap tertawa-tawa seperti biasa. Jelas tentu tak apa2." . Siau-liong merenung sejenak. Tiba-tiba dengan mata berkilat-kilat ia mengajukan pertanyaan pula.

   "Apakah suhu tak bilang apa2 lagi? Apakah dia tak mengatakan mengapa suruh aku tunggu disini?"

   Auyang Pa tersenyum menepuk keningnya sendiri.

   "Benar! Kongsun cianpwe mengatakan, karena saat itu keadaannya berbahaya maka suruh engkau cepat2 menuju ke Gobi. Tetapi karena sekarang bahaya itu sudah lewat dan memperhitungkan tak mungkin kedua suami isteri durjana itu akan menyergap di tengah jaian, maka ia minta engkau menunggunya agar dapat bersama-sama ke Gobi. Paderi sakti di puncak Kim-ting itu beradat aneh. Jika bicara kurang sesuai sedikit saja, tentu sukar untuk mendapat tenggoret berkaki tiga itu!"

   Rupanya Lu Bu-ki cepat percaya penuh. Maka menyelutuklah ia.

   "Kalau begitu, kita tunggu saja disini, tetapi...."

   Ia kerutkan dahi lalu berkata pula.

   "eh, mengapa Kongsun cianpwe tahu kalau kita berada di pondok sini?"

   Auyang Pa tertawa.

   "Itu mudah. Aku membawa dua orang pengikut. Sekarang mereka menunggu diluar. Suruh mereka menunggu kedatangan Kongsun cianpwe dijalan."

   Habis berkata ia terus melangkah keluar.

   "Memang kubuktikan sendiri kesaktian Kongsun cianpwe itu. Dan kuyakin dia tentu dapat lolos dari bahaya...."

   Kata Lu Bu-ki dengan gembira. Siau-liong tetap merenung diam. Sudah tentu si tinggi besar heran.

   "Eh, mengapa saudara malah kelihatan kurang senang?"

   "Apakah saudara kenal baik dengan Auyang Pa itu?"

   Siauliong balas menegur. Lu Bu-ki terkesiap, sahutnya.

   "Meskipun tak erat tetapi kami sudah kenal lama. Dan lagi kali ini kami bersama-sama memenuhi undangan Ceng Hi totiang. Dia merupakan seorarg dari berpuluh jago2 ternama yang diundang Ceng Hi totiang. Baru dua hari ini aku berpisah dengan dia.... tentu tak mungkin sampai...."

   "Menilik ucapan dan sikapnya, kurasa ada sesuatu yang tak wajar pada dirinya,"

   Tukas Siau-liong. Lu Bu ki hendak menjawab tetapi tiba-tiba saat itu Auyang Pa melangkah masuk lagi seraya tertawa nyaring.

   "Telah kuatur beres dan juga sudah kusuruh jongos menyediakan hidangan untuk kita. Malam ini aku yang menjadi tuan rumah. Minum sampai puas dulu baru kija berangkat!"

   Begitulah ketika lilin mulai dipasang, si pelayan Tho Thauciang pun masuk membawa dua teratak lilin, ditaruh di meja lalu beringsut-ingsut keluar.

   Tingkah lakunya mirip seperti tikus yang takut keluar.

   Siau-liong memperhatikan bahwa tiada seorang tetamu lagi yang datang ke pondok penginapan situ Auyang Pa bergembira ria, ber-cakap2 sambil minum.

   Sedang Song Ling masih duduk bersandar pada ranjang.

   Gadis itupun memandang tingkah laku Auyang Pa dengan heran.

   Siau-liong lebih dulu mengambilkan makanan untuk Song Ling agar dara itu tak usah turun dari tempat tidur.

   Dan Song Ling pun segera makan.

   Rupanya ia tak senang dengan Auyang Pa maka tak mau ikut campur bicara.

   Si tinggi besar Lu Bu-ki walaupun juga mempunyai sedikit rasa curiga terhadap Auyang Pa, tetapi ia tetap makan dan minum dengan gembira bersama orang itu.

   Auyang Pa tampaknya bersikap lapang dan wajar.

   Tetapi diam-diam pandang matanya tak putus2nya melirik ke arah Siau-liong.

   Siau-liong menuang secawan arak lalu disongsongkan ke muka Auyang Pa.

   "Auyang pangcu termashyur di dunia persilatan tetapi baru pertama kali ini aku beruntung dapat bertemu muka. Maka dalam kesempatan ini aku hendak menghaturkan arak kehormatan kepada Auyang pangcu!"

   Auyang Pa tergopoh menyambuti.

   "Apa yang disohorkan orang itu hanya nama kosong belaka. Aku sendiri merasa malu. Adalah Kongsun siau-hiap yang harus dikagumi. Karena dalam usia semuda itu sudah mendapat warisan ilmu sakti Thian-kong-sin-kang!" habis berkata ia terus meneguk habis cawan arak itu. Siau-liong hanya tertawa dingin. Tiba-tiba ia bertanya dengan serius.

   "Bagaimana Auyang pangcu tahu kalau aku menjadi pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang?"

   Auyang Pa tersentak kaget. sesaat tampak ia agak gugup dan hampir tak dapat menjawab. Akhirnya ia pura-pura batuk dan menyahut dengan ter-sendat2.

   "Aku.... hanya.... mendengar dari Kongsun cianpwe...."

   Siau-liong mengangguk tertawa.

   "O, kiranya begitu...." kemudian ia berpaling kepada Lu Bu-ki lalu bertanya pula kepada Auyang Pa.

   "Apakah Auyang pangcu suruh anak buah menunggu suhuku di tengah jalan?"

   Auyang Pa paksakan tertawa.

   "Benar, asal tahu suhu saudara lewat disini, tentu akan diketahui."

   "Sayang aku segera berangkat, tak sempat menunggunya lagi,"

   Tiba-tiba Siau-liong berkata dengan nada dingin. Auyang Pa terkejut sekali, serunya.

   "Mengapa Kongsun siauhiap hendak buru-buru...." tiba-tiba kisarkan tubuh. Rupanya ia hendak menunggu kesempatan pada saat Siauliong lengah, harus hendak loncat kabur. Siau-liong pura-pura tak melihat dan masih lanjutkan kata2nya.

   "Jika tak mengalami peristiwa semacam diri Ong Tiat-go, mungkin aku tentu dapat engkau kelabuhi!"

   Lu Bu ki mulai curiga.

   "Saudara Kongsun, apakah dia...."

   "Kongsun sauhiap, apa maksudmu!"

   Auyang Pa menukas dengan berteriak keras.

   Dan tiba-tiba ia melesat dari tempat duduknya.

   Tetapi Siau-liong lebih cepat.

   Pada saat Auyang Pa hendak bergerak, ia sudah cepat mencengkeram pergelangan tangan kirinya.

   Seketika itu juga Auyang Pa rasakan lengan kirinya kesemutan.

   sakitnya bukan kepalang....

   Siau-liong tertawa kepada Lu Bu-ki.

   "Pada saat kutanya mengapa suhu tahu kita berada disini, dia gelagapan tak dapat menjawab lancar. Sebenarnya dia tak mungkin tahu kita disini kecuali si pelayan The Thau-ciang itu menjadi kaki tangannya."

   "Brak,"

   Lu Bu-ki menghantam meja dan menggembor.

   "Ya, benar! Mengapa aku tak dapat memikir sampai disitu...."

   Siau-liong mendengus.

   "Kedua kalinya, suhu tak pernah merobah pesan yang telah diberikan, Karena beliau sudah suruh aku lekas ke Gobi, tak mungkin dia akan merobah perintah suruh aku menunggunya disini...."

   Lu Bu-ki berjingkrak seperti orang yang kebakaran jenggot.

   "Keparat, sungguh tak kira kalau si tua ini mau juga menjadi kaki tangan Iblis penakluk-dunia...."

   Tetapi pada lain saat, ia bertanya dengan nada meragu.

   "Tetapi dia adalah ketua dari Poh-yang-pang. Dan baru dua hari aku berpisah dengan dia. Mengapa cepat sekali ia sudah berganti haluan?"

   Sekalipun Auyang Pa itu seorang jago yang dapat digolongkan kelas satu tetapi ditangan Siau-liong, dia tak mampu berkutik sama sekali. Siau-liong menghela napas.

   "Memang Iblis-penakluk-dunia itu benar-benar hendak melaksanakan cita2nya untuk menguasai dunia persilatan dan memiliki ilmu Thian-kong-sinkang. Segala rencana dan siasat akan ditempuhnya!"

   "Apakah Auyang Pa juga terkena ilmu siluman dari Iblispenakluk- dunia?"

   Lu Bu-ki belalakkan matanya lebar2.

   "Belum dapat dipastikan...."

   Kata Siau-liong lalu memandang Auyang Pa dengan cermat, katanya pula.

   "Lebih baik tanya saja padanya!"

   Habis berkata ia terus memijat lebih keras sehingga Auyang Pa menjerit kesakitan dan me-ronta2.

   "Ampun! Ampunilah.... jiwaku!"

   Siau-liong tertawa dingin. Ia hentikan pijatannya.

   "Hayo bilang! Bagaimana engkau dapat bersekutu dengan Iblispenakluk- dunia itu? Apakah engkau sungguh ketemu dengan suhuku? Apakah rencana Iblis-penakluk-dunia mengirim engkau ke mari?"

   Auyang Pa menghela napas.

   "Ah, kalau Kongsun siauhiap tetap tak mau percaya omonganku, akupun tak dapat berbuat apa2. Tetapi apa yang kukatakan tadi memang benar seluruhnya. Sebelum tengah malam nanti, suhu Kongsun siauhiap tentu datang kemari. Nah, saat itu barulah Kongsun siauhiap percaya pada omonganku!"

   Siau-liong tertawa dingin.

   "Aku berani memastikan bahwa engkau tak pernah bertemu dengan suhuku. Coba saja bayangkan. Suhu berhadapan dengan tiga pewaris ilmu sakti. Jika tak menderita luka parah, pun tentu tak dapat lolos dari cengkeraman Iblis-penakluk dunia...."

   Berberang sejenak, ia berkata pula.

   "Kalau kemungkinan itu tidak menimpa pada suhu, pun tak mungkin dia akan berhenti ditengah jalan memberi pesan kepadamu. Suhu tentu sudah melintasi sungai!"

   Seketika pucatlah wajah Auyang Pa. Dia tak dapat membantah lagi dan hanya meratap minta ampun.

   "Plak,"

   Tiba-tiba Lu Bu ki menampar muka Auyang Pa.

   "Apakah engkau masih tak mau bicara terus terang....?"- kemudian orang tinggi besar itu minta idjin kepada Siau-long untuk 'menyelesaikan' Auyang Pa. Dan sebelum Siau-liong sempat buka suara, sitinggi besar sudah mencengkeram bahu Auyang Pa dan dipijit sekeras-kerasnya. Lu Bu ki gunakan ilmu Hun kin jo-kut atau Pencarkan-uratsesatkan- tulang. Waktu ditampar tadi tadi, mulut Auyang Pa mengucur darah dan matanya berkunang-kunang hampir pingsan. Kemudian ketika dipelintir oleh si tinggi besar, seketika ia rasakan sekujur tubuhnya seperti digigiti ribuan ekor semut. Gemetarlah kaki tangannya, giginya pun bercaterukan keras. Keringat berderai-derai membanjir. Beberapa saat kemudian barulah Lu Bu ki membuka jalan darah Auyang Pa lagi lalu membentaknya.

   "Hayo, mau bilang atau tidak!"

   Auyang Pa rasakan tubuhnya seperti setengah mati. Akhirnya ia tak kuat dan berteriak.

   "Ya, ya, aku bilang...."

   Ia melirik Siau-liong dan melanjutkan kata2nya.

   "

   Suhumu Kongsun cianpwe, sudah...."

   Tetapi belum ia menyelesaikan kata2nya, tiba-tiba dari luar jendela melayang setitik sinar kemilau yang langsung menyasar ketenggorokan Auyang Pa.

   Cepat dan tepat sekali senjata rahasia itu menyusup ke dalam tenggorokan Auyang Pa.

   Siau-liong dan Lu Bu-ki terkejut sekali.

   Bahkan Song Ling pun menjerit kaget, terus loncat turun dari ranjang.

   Siau-liong menampar padam lilin.

   Lalu ia memeriksa Auyang Pa.

   Tetapi ternyata ketua Poh-yang-pang itu sudah mati.

   Kematiannya serupa dengan Ong Tiat-go.

   mati terkena panah Ngo-tok-tui-han-cian dari Iblis-penakluk-dunia! "Menilik gelagat, mungkin kedua suami isteri iblis itu sudah mengejar kemari.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jika mereka membawa anak buah, kita tentu sukar lolos!"

   Bisik Siau-liong. Diam-diam ia menyesal karena tak mengindahkan pesan suhunya supaya ia jangan menunda perjalanan ke Gobi. Tiba-tiba Song Ling berbisik kedekat telinga Siau-liong.

   "Yang melepas panah Ngo-tok-tui-hun-cian, kemungkinan tentu anak buah Iblis-penakluk-dunia. Kalau kita tetap berada disini, jelas tentu makin berbahaya. Lebih baik kita menerjang keluar saja!"

   "Apakah engkau dapat bertahan diri?"

   Tanya Siau liong. Si dara tersenyum.

   "Aku hanya menderita serangan angin dingin, Setelah minum obat tadi, dan tidur satu hari penuh, semangatku sudah pulih segar lagi!"

   Siau-liong lega hatinya.

   Kemudian ia membagi tugas.

   Ia yang akan mempelopori menerjang keluar, Lu Bu-ki dan Song Ling supaya mengikuti dari belakang.

   Habis memesan, ia membuka daun jendela terus loncat ke ruang tengah.

   Pada waktu meloncat itu, diam-diam ia sudah kerahkan tenaga-sakti untuk melindungi diri.

   Pikirnya, sekalipun musuh melepas panah beracun, tetap tak dapat melukainya.

   Tetapi diluar dugaan, ternyata ruang tengah sunyi2 saja.

   Tiada terancam serangan panah gelap.

   Siau-liong berhenti sejenak lalu enjot tubuhnya melayang ke puncak rumah.

   Saat itu hampir menjelang tengah malam.

   Sekeliling penjuru pondok penginapan itu gelap dan sunyi.

   Seolah-olah kosong dengan tetamu.

   Sedang di ruang pemilik pondok pun tak kedengaran suara apa2.

   Tetapi Siau-liong tak sempat meneliti.

   Cepat ia melayang turun dan melambai kepada Lu Bu-ki.

   "Hayo, lekas kemari!"

   Demikianlah dengan dipelopori Siau-liong dimuka dan diikuti Lu Bu-ki dan Song Ling dari belakang, mereka lari tinggalkan pondok penginapan itu.

   Tak berapa kejab, merekapun sudah berada diluar kota.

   Setelah tak tampak orang mengejar, Siau-liong longgar hatinya.

   Ia berpaling kepada Song Ling dan Lu Bu-ki.

   "Sungguh diluar dugaan! Orang yang lepaskan panah kepada Auyang Pa tadi, seharusnya menjaga jangan sampai kita lolos. Tetapi mengapa orang itu tak merintangi sama sekali?"

   Lu Bu-ki kerutkan dahi. Ia heran juga atas kejadian itu. Song Ling maju selangkah kesisi Siau liong, katanya.

   "Saat ini kita tetap belum terlepas dari lingkungan jaring Iblispenakluk- dunia. Siapa tahu sembarang saat kita akan diserang. Maka janganlah meninggalkan kewaspadaan!"

   "Benar,"

   Siau liong mengiakan.

   Kini ganti Lu Bu-ki yang menjadi pelopor jalan.

   Mereka bertiga berlarian di sepanjang jalan kecil yang tinggi rendah tak rata.

   Untung luka Song Ling sudah baik.

   Sambil bergandengan tangan dengan Siau-liong, keduanya dapat berlari dengan cepat.

   Tak berapa lama tibalah mereka di tepi sungai.

   Bengawan Bin-kiang amat luas.

   Lu Bu-ki membuat sebuah perahu kecil.

   Setelah selesai mereka bertiga segera naik perahu itu.

   Dengan tenaganya yang besar, Lu Bu-ki dapat mendayung perahu itu hingga mencapai tepi seberang.

   "Dari sini ke Gobi hanya tinggal 30-an li jauhnya!"

   Seru Lu Bu-ki gembira. Baru mereka bertiga naik ke daratan, tiba-tiba tampak sebuah perahu meluncur datang dengan kecepatan yang tinggi. Ditengah perahu itu duduk seorang laki2 tua Belum perahu tiba ditepi, orang itu sudah berseru.

   "Hai, apakah Liong-ji yang berada di daratan situ?"

   Melihat munculnya perahu itu, diam-diam Siau-liong terkejut girang. Apalagi setelah mendengar orang yang berada dalam perahu, ia makin girang sekali.

   "Ya, benar,"

   Sahutnya. Lalu berpaling kepada Song Ling dan Lu Bu-ki.

   "Suhuku datang!"

   Selekas merapat ketepi, orang itu segera loncat kedaratan lalu lemparkan sekeping perak kepada tukang perahu dan suruh tukang perahu pergi.

   Siau-liong tercengang.

   Dilihatnya tukang perahu itu seorang lelaki pertengahan umur, memakai caping dan berpakaian seperti seorang pencari ikan.

   Kongsun Sin-tho bergantian memandang kepada Siau-liong lalu berkata.

   "Sudah sehari semalam mengapa kalian baru tiba disini?"

   "Karena murid...."

   Tetapi tanpa menunggu Siau-liong menyelesaikan kata2nya, Kongsun Sin-tho sudah menukas.

   "Tak apalah, asal aku sudah dapat bertemu kalian di sini, segera akan kuselesaikan hal itu."

   Siau liong tertegun.

   "Apakah suhu terluka dalam pertempuran itu?"

   Kongsun Sin-tho tersenyum.

   "Jika terluka, masakan saat ini aku bisa berada disini?"

   Siau-liong merenung sejenak, lalu bertanya.

   "Apakah suhu bertemu dengan Auyang Pa dan memberi pesan supaya murid menunggu di kota Ma-koan?"

   "Tidak!"

   Sahut Kongsun Sin-tho.

   "apakah kalian bersua sesuatu ditengah jalan?"

   Siau-liong menghela napas.

   "Iblis penakluk-dunia mengirim orangnya pura-pura bertemu suhu dan mengaku menerima perintah supaya aku menunggu kedatangan suhu di Ma-koan,"

   Siau-liong lalu menuturkan pengalamannya dengan Auyang Pa.

   "syukur tipu muslihat itu dapat kuketahui dan dapat murid segera lanjutkan perjalanan lagi!"

   Kongsun Sin-tho menghela napas.

   Ia segera mengajak Siau-liong bertiga untuk melanjutkan perjalanan.

   Karena melihat sikap dan bicara Kongsun Sin-tho dingin, Song Ling dan Lu Bu ki tak berani ikut campur bicara.

   Keduanya hanya mengikuti di belakang Siau-liong saja.

   Saat itu jalanan pun agak datar.

   Kongsun Sin-tho diam saja.

   Setelah berjalan dua li, tiba-tiba ia melintas keseberang dan belok kebarat.

   Sebuah jalan kecil yang kedua tepi penuh ditumbuhi gerumbul pohon lebat.

   "Kongsun cianpwe!"

   Seru Lu Bu-ki seraya maju dua langkah. Tabib sakti itu berhenti dan menanyakan apa maksud sitinggi besar.

   "Aku cukup faham dengan jalanan di daerah sini. Jalan kecil yang cianpwe tempuh ini akan menuju kelain jurusan. Makin lama tentu makin jauh dari Gobi!"

   Kata Lu Bu ki. Siau-liong dan Song Ling terkesiap.

   "Jika Kongsun cianpwe suka percaya padaku, biarlah aku yang menjadi penunjuk jalan!"

   Kata Lu Bu-ki pula. Kongsun Sin-tho tertawa gelak2.

   "Dahulu aku pernah berkeliaran di sini mencari daun obat, Tak mungkin tersesat jalan, hanya...."

   Lu Bu-ki seorang kasar yang berwatak polos. Tanpa menunggu tabib itu habis berkata, ia terus menyelutuk.

   "Tahun yang lalu aku pun lewat dijalanan ini sampai dua kali. Kecuali takkan menuju ke Gobi, pun jalanan ini sunyi dan terasing, penuh dengan tanjakan yang sukar dilalui...."

   Tiba-tiba Kongsun Sin-tho membentaknya.

   "Justeru aku memang hendak mencari tempat yang sunyi untuk menyelesaikan suatu urusan besar. Adakah engkau kira aku benar-benar tak kenal jalan?"

   Lu Bu-ki tergagap tak dapat menyahut. Ter-sipu2 ia tundukkan kepala. Sejenak berdiam diri, tiba-tiba Kongsun Sin-tho berseru.

   "Lu tayhiap!"

   Lu Bu-ki buru-buru mengiakan.

   "Aku hendak bicara dengan muridku dan nona Song mengenai suatu urusan yang penting. Bolehkah kuminta Lu tayhiap menunggu disini saja?"

   Kata Kongsun Sin tho. Lu Bu-ki melirik Siau-liong lalu buru-buru mengiakan.

   "Karena Kongsun cianpwe yang memberi perintah, sudah tentu aku menurut saja!"

   Tabib sakti itu terienyum.

   "Terima kasih atas kesediaan Lu tayhiap " Kemudian ia berkata kepada Siau-liong.

   "Tak jauh dari sini terdapat sebuah pondok. Mari engkau dan nona Song ikut aku kesana untuk merundingkan suatu hal yang penting!"

   Siau-liong heran.

   Tetapi melihat suhunya bersikap sungguh2, ia duga tentu ada suatu urusan penting yang hendak dibicarakan.

   Maka segera ia menarik tangan si dara untuk menyusul Kongsun Sin-tho.

   Jalanan berkelak-kelok naik turun dan ber-biluk2.

   Setelah beberapa saat, mereka melihat sebuah gubuk di atas sebuah bukit kecil yang tak berapa jauh jaraknya.

   Gubuk itu seperti baru saja dibangun.

   Sejenak Kongsun Sin-tho berpaling memandang Siau-liong berdua lalu melangkah kegubuk itu.

   Ternyata gubuk di puncak bukit kecil itu, merupakan tempat peristirahatan dari para pencari kayu dan pemburu yang masuk ke daerah situ.

   Tetapi menilik bahan2nya, gubuk itu tentu belum lama didirikan.

   Dan menilik halamannya, seperti belum pernah didatangi orang.

   Siau-liong resah.

   Tak tahu ia apa yang hendak dibicarakan suhunya nanti.

   Mengapa suhunya begitu serius mengajaknya bicara di tempat yang sesunyi itu? Begitu masuk ke dalam gubuk, Kongsun Sin-tho terus duduk di tanah dan suruh Siau-liong berdua duduk di sampingnya.

   Anak bukit tempat gubuk itu didirikan, ternyata dikelilingi oleh bukit2 kecil yang lebih tinggi dan hutan2 lebat.

   Kongsun Sin-tho menghela napas, ujarnya.

   "Dewasa ini pengaruh kekuatan Iblis penakluk-dunia sukar dilawan. Semalam apabila tak terlindung oleh hujan deras, kemungkinan aku sukar meloloskan diri...."

   Siau-liong diam saja. Ia tahu dan mengakui bahwa dewasa itu Iblis penakluk-dunia memang berhasil menyusun kekuasaan besar. Lam-hay Sin-ni. Randa Bu-san, Jong Leng lojin dan beberapa tokoh sakti sudah dapat dikuasainya. Kongsun Sin-tho berkata pula.

   "Menyelamatkan kehancuran, mempertahankan kelangsungan hidup. Tugas berat itu terletak dibahu kita berdua. Apabila kita ini tertimpah bahaya maka habislah harapan dunia persilatan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya...."

   Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan.

   "Dalam rangka itu, kurasa kepergian kita ke Gobi itu, tidaklah banyak manfaatnya."

   Siau-liong tersentak kaget, serunya gopoh.

   "Adakah suhu kuatir paderi sakti Kim Ting itu tak mau mermberikan Tenggoret-kaki-tiga?"

   Kongsun Sin-tho menghela napas.

   "Itu hanya salah satu sebab. Andaikata ia mau menyerahkan binatang mustika itu, belum tentu pil mujijad Cap-siau-cwan-soh-sin-tan buatanku itu dapat menyembuhkan Lam-hay Sin-ni dan beberapa tokoh rombongannya...."

   Siau liong teringat bahwa ketika dalam biara rusak dahulu, suhunya memang pernah menyatakan hal itu. Ia kerutkan alis, mengepal tangan untuk menekan kegelisahan hatinya.

   "Sekalipun pil buatanku itu mempunyai khasiat untuk menyembuhkan Lam-hay Sin-ni dan kawan2, tetapi pun masih suatu pertanyaan, bagaimanakah cara untuk meminumkan kepada mereka. Apa lagi Iblis penakluk-dunia itu seorang tokoh yang licin dan cerdik sekali. Bukankah dia sudah dapat menangkap pembicaraan kita dalam biara rusak itu? Masakan dia tak segera bersiap mengadakan penjagaan. Maka...."

   Siau-liong terlongong dan berseru geram.

   "Kalau begitu, pertumpahan darah tak mungkin terhindar dalam dunia persilatan lagi!"

   Kongsun Sin-tho tiba-tiba tertawa.

   "Hal2 yang kukatakan tadi hanyalah timbul dari kecemasanku sendiri. Mungkin keadaan tak sedemikian berbahaya. Tetapi...."

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seketika berobahlah wajah tabib sakti itu lalu berkata dengan nada serius.

   "Kusuruh engkau datang kemari ini, adalah justeru hendak merundingkan rencana yang sesuai."

   "Murid bersedia mendengar apapun yang suhu perintahkan!"

   Kongsun Sin-tho merenung sejenak lalu berkata pula Dalam dunia persilatan, hanya ilmu sakti Thian-kong-sin-kang yang engkau miliki itu benar-benar tiada tandingnya.

   Ilmu yang paling ditakuti Iblis-penakluk-dunia! Sayang penemuanmu ilmu sakti itu, terlalu pendek sekali waktunya hingga engkau belum sempat meyakinkan dengan sempurna.

   Paling tidak harus membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mempelajari ilmu itu sampai pada tataran tertentu.

   Tetapi keadaan saat ini, tidaklah menyempatkan engkau melakukan latihan.

   Karena setiap saat keadaan bisa berobah makin memburuk.

   Kita tak sempat menunggu hasilmu...."

   Siau-liong memandang wajah suhunya tanpa berkata sepatahpun juga.

   "Saat ini walaupun kurang tepat kalau menghapus rencana menuju ke gunung Gobi. Tetapi resiko yang kita hadapipun tak kecil. Misalnya sampai terjadi sesuatu digunung itu, katakanlah, kita ini akan kehilangan jiwa di sana. Lalu siapakah yang akan muncul untuk menyelamatkan dunia persilatan dari cengkeraman Iblis-penakluk-dunia nanti? Maka setelah kupertimbangkan lagi dengan seksama, lebih baik kita mengatur persiapan yang tepat lebih dulu...."

   Kongsun Sin tho melirik Song Ling lalu melanjutkan katakatanya.

   "Nona Song mempunyai tulang dan bakat yang amat bagus sekali. Lagi pula berotak cerdas. Disamping itu ia sudah memiliki dasar-dasar latihan ilmu Ya-li sin kang. Menurut pendapatku, baiklah engkau...."

   Tanpa menunggu suhunya selesai bicara, Siau-liong cepat menukas.

   "Bukankah suhu menghendaki supaya kuajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepada nona Song?"

   Wajah Kongsun Sin-tho membesi, ujarnya.

   "Memang begitulah maksudku.... '. Setelah mendapat pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang, sebaiknya nona Song mencari tempat yang tersembunyi untuk meyakinkannya. Paling lambat setengah tahun kemudian, tentu sudah ada hasilnya. Sekalipun andaikata dalam pertemuan Gobi nanti kita sampai terluka atau binasa, nona Song tetap masih ada dan kelak pasti dapat membasmi gerombolan durjana itu!"

   Siau-liong berulang anggukkan kepala, ujarnya.

   "Memang sejak semula aku sudah mengandung maksud begitu. Hanya nona Song masih belum mau...."

   Kongsun Sin tho beralih memandang Song Ling, serunya.

   "Dunia persilatan harus tetap menghidupkan setitik Hawa Murni agar jangan sampai ludas selama-lamanya. Nona juga memikul beban berat, mengapa menolak?"

   Agak tersipu Song Ling memandang ke arah tabib sakti itu, tiba-tiba ia berteriak dengan nada gemetar.

   "Aku tak mau! Aku tak mau lepaskan usahaku untuk menolong ibuku hanya karena mengurusi soal Thian-kong-sin kang. Sekalipun dalam waktu setengah tahun akan berhasil mempelajari, tetapi mungkin pada waktu itu aku sudah tak dapat melihat wajah ibuku lagi."

   Dara itu menangis tersedu-sedu. Tetapi rupanya Kongsun Sin-tho tak menghirau.... Ia membentaknya bengis.

   "Usahaku ini bukan semata-mata hanya untuk menyelamatkan dunia persilatan, pun juga untuk menolong ibumu dan lain-lain tokoh yang sedang menderita dibawah cengkeraman Iblis-penakluk dunia. Ingatlah, apabila pertemuan di Gobi itu sampai gagal dan kita menderita kekalahan, engkaupun takkan mempunyai harapan untuk berjumpa dengan mamahmu untuk selamalamanya!"

   Siau liong pun ikut menghibur dan membujuk Song Ling Sampai lama ia memberi penjelasan panjang lebar, sehingga dara itu agak tenang. Tiba-tiba Kongsun Sin-tho berseru.

   "Waktu sudah tak banyak lagi, hayo segeralah mulai!"

   Memandang kesekeliling penjuru, Siau-liong bertanya.

   "Apakah ditempat ini juga?"

   "Telah kusiapkan penyelidikan yang teliti, ternyata tempat ini yang paling aman. Sudahlah, jangan engkau kuatirkan apa2 lagi dan segeralah engkau turunkan pelajaran itu dengan sepenuh hati!"

   Tiba-tiba terlintas sesuatu pada benak Siau-liong.

   Ia agak bimbang.

   Sejak kecil ia hidup bersama gurunya itu maka ia kenal baik sekali akan adat perangai gurunya Tetapi apa yang dilihatnya saat itu, memberinya kesan bahwa sikap dan tingkah laku gurunya itu agak berbeda dengan biasanya.

   Dan lagi setelah melintasi sungai barulah gurunya itu muncul dengan naik perahu.

   Tetapi mengapa mengatakan kalau sudah lebih dulu tiba di tempat situ dan mempersiapkan tempat dipondok sunyi itu? Bukankah itu membingungkan.

   Diam-diam Siau-liong curiga.

   Melihat pemuda itu masih berayal, Kongsun Sin-tho cepat mendesaknya.

   "Mengapa engkau membuang-buang waktu saja? Mengapa masih tak lekas2 mulai menurunkan pelajaran?"

   Dalam pada berdiam diri itu, Siau-liong diam-diam menimang. Atas teguran suhunya, ia segera menjawab.

   "Jika hendak menurunkan seluruh isi kitab pusaka itu, paling tidak tentu memerlukan waktu empat jam. Mungkin besok pagi baru dapat habis!"

   "Soal waktu, tak jadi apa. Aku akan menjaga disini. Curahkan pikiranmu untuk menurunkan pelajaran, lain-lain hal aku yang mengatur!"

   Siau-liong tak dapat berbuat apa2. Tetapi ia tetap meragu. Tiba-tiba Song Ling mendekati dan berbisik kedekat telinganya.

   "Perhatikanlah sorot mata suhumu itu!"

   Siau-liong terkejut.

   Buru-buru ia menatap wajah suhunya.

   Dilihat sepasang mata Kongsun Sin-tho itu lurus menyorot kemuka.

   Sinarnya memancarkan cahaya yang aneh.

   Seketika hati Siau-liong seperti diguyur es.

   Tubuhnya menggigil.

   Jelas diketahuinya bahwa sorot mata suhunya itu tidak wajar lagi....

   Suatu pancaran sinar yang mengandung keganasan, kelinglungan dan ketololan.

   Suatu keadaan yang Siau-liong tak asing lagi.

   Karena hai itu serupa seperti yang terjadi pada diri Randa Bu-san Siau-liong terkejut dan gelisah.

   Pikirnya.

   "Adakah suhu juga...."

   Tak berani ia melanjutkan dugaannya. Tetapi diam-diam ia kerahkan tenaga untuk bersiap. Tiba-tiba Kongsun Sin tho berpaling dan menegurnya.

   "Bagaimana? Mengapa masih belum mulai?"

   Siau-liong berusaha menekan kegelisahannya. Sahutnya.

   "Murid pertimbangkan lagi Soal ini agaknya.... masih terdapat hal2 yang tak leluasa...."

   Ditatapnya wajah Kongsun Sin-tho, lalu melanjutkan berkata.

   "Kalau suhu sudah mendengar pendapat murid, baiklah soal itu dipertangguhkan saja setelah nanti habis dari Gobi, baru...."

   "Apakah engkau hendak menentang perintahku?"

   Cepat Kongsun Sin tho membentak. Buru-buru Siau-liong menyahut dengan kepala menunduk.

   "Budi suhu kepadaku sedalam lautan. Sekalipun tubuh murid hancur-lebur, murid tentu akan melaksanakan perintah suhu. Tetapi maaf, ilmu Thian-kong sin-kang itu bukanlah suhu yang mengajarkan kepada murid. Dan sejauh yang murid ketahui, rasanya suhu tak pernah memaksa murid untuk mengajarkan suatu ilmu kepada lain orang!"

   Gemetarlah tubuh Kongsun Sin-tho mendengar penyahutan itu. Sepasang matanya ber-kilat2 tajam. Lalu membentak.

   "Muridku! Tampaknya engkau memang sudah tak mau menurut perintahku lagi!"

   Siau-liong hendak menyahut tetapi saat itu tiba-tiba dari jauh terdengar derap langkah orang mendatangi. Dan tak berapa lama terdengar suara parau dari Lu Bu-ki.

   "Kongsun cianpwe.... Kon-sun siauhiap...."

   Siau-liong terkejut. Cepat ia berpaling. Dilihatnya sitinggi besar Lu Bu-ki tengah ber-lari2 mendatangi kepondok itu. Sekonyong-konyong Kongsun Sin-tho berbangkit seraya membentak keras.

   "Berhenti!"

   Lu Bu-ki tertegun tetapi ia tetap melangkah masuk dan berseru.

   "Kongsun cianpwe, dari tepi seberang sungai...."

   Kongsun Sin tho membentak marah dan tiba-tiba ia menghantam Lu Bu-ki! Sitinggi besar terkejut.

   Ia tak menduga sama sekali kalau bakal menerima kemarahan Kongsun Sin-tho.

   Dalam gugup ia tak dapat berusaha menghindari lagi.

   Pun andaikata ia sudah siap.

   juga tak mungkin ia mampu menerima pukulan sakti dari Kongsun Sin-tho itu.

   Dalam keadaan seperti saat itu, tak boleh tidak, sitinggi besar Lu Bu-ki pasti celaka! Untunglah sejak melihat keadaan suhunya tak wajar itu, Siau liong sudah siap2.

   Melihat suhunya menghantam Lu Bu-ki yang tak bersiap-siap itu, kejut Siau-liong bukan kepalang.

   Ia tahu bahwa pukulan ilmu sakti Thian-jim-sin kang dari suhunya itu pasti akan menghancurkan Lu Bu-ki.

   Siau-liong tak banyak berpikir lagi.

   Untuk menyelamatkan tokoh tinggi besar itu, ia harus cepat bertindak.

   Serentak melonjak bangun ia songsongkan tangannya ke arah pukulan suhunya "Bum"....

   terdengar getaran keras.

   Akibatnya gubuk yang baru didirikan itu hancur lebur berantakan.

   Lu Bu-ki tercengang.

   Serunya gopoh.

   "Ini.... ini.... Kongsun siauhiap.... apakah sebenarnya...."

   Tetapi Siau-liong tak sempat menjawab. Segera ia berseru kepada suhunya.

   "Suhu.... engkau.... ini bagaimana? Apakah engkau juga...."

   Akibat dari pukulan dihapus oleh pukulan Siau-liong, tubuh Kongsun Sin-tho agak berguncang. Dipandangnya Siau-liong tajam2 lalu membentaknya.

   "Murid, sungguh tak nyana kalau engkau berani menghantam aku!"

   "Suhu! Murid sungguh terpaksa. Engkau...."

   Air mata Siauliong bercucuran.

   Dipandangnya wajah suhunya.

   Tiba-tiba ia mendapat kesan bahwa sikap suhunya itu berobah seperti asing.

   Jauh sekali bedanya dengan suhunya yang dulu.

   Apa yang dilakukan tadi, benar-benar suatu hal yang tak pernah diimpikan semula.

   Walaupun hal itu terdesak oleh keadaan namun hati Siau-liong seperti diiris-iris rasanya.

   Sambil menatap Siau-liong, Kongsun Sin-tho membentak.

   "Apakah engkau tahu bahwa jika engkau tak mau menurut perintah suhu, hanya jalan kematian yang engkau peroleh?"

   Begitu saling bertatap pandang dengan suhunya, Siau-liong tiba-tiba menangis.

   "Suhu, murid rela mati ditangan suhu! Engkau.... bunuhlah murid! Matipun murid takkan penasaran...."

   Habis berkata, Siau-liong terus berlutut dihadapan Kongsun Sin-tho, tundukkan kepala siap menunggu kematian! Song Ling dan Lu Bu-ki yang berdiri di samping hanya terlongong-longong menyaksikan adegan itu fanpa dapat berbuat sesuatu apa.

   "Apakah engkau benar-benar rela mati?"

   Bentak Kongsun Sin-tho.

   "Benar, mati dibawah tangan suhu, murid merasa ikhlas dan akan mati dengan meram!"

   Kongsun Sin-tho rentangkan kedua matanya lebar2.

   Dipandangnya Siau-liong dan mulailah ia mengangkat tangan kanannya pelahan-lahan ke atas.

   Tetapi wajahnya tiba-tiba memantulkan kesedihan.

   Dan tangan kanannya itupun berhenti di atas saja.

   Sampai lama tak juga dihantamkan ke bawah.

   Karena sampai lama belum juga gurunya memukul, Siauliong pelahan-lahan mengangkat kepala.

   Tepat matanya bertatapan dengan mata suhunya.

   Dilihatnya mata suhunya tiba-tiba mengucurkan beberapa titik air mata.

   Dan air mata itu tepat menetes ke muka Siauliong.

   Siau-liong menghela napas, serunya rawan;

   "Suhu, suhu...."

   "Muridku...."

   Sahut Kongsun Sin-tho dengan iba....

   "Suhu, lebih baik kita menuju ke Gobi dulu,"

   Kembali Siau liong mengulang permintaannya. Tiba-tiba wajah Kongsun Sin-tho berobah lagi dan segera membentaknya bengis.

   "Tetapi engkau lebih dulu engkau harus menurut perintahku untuk memberikan ilmu Thiankong- sin kang itu kepada nona Song."

   Siau liong menghela napas.

   "Suhu, apakah engkau benarbenar juga terkena ilmu siluman dari Iblis-penakluk-dunia...."

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tutup mulutmu!"

   Bentak Kongsun Sin-tho dengan mata berapi-api,.... untuk yang terakhir kali jawablah. Engkau mau menurut perintahku atau tidak?"

   Siau-liong merenung sejenak lalu menyahut tegas.

   "Murid hanya menurut perintah yang sehat. bukan perintah yang kacau! Apabila suhu hendak memaksa murid melakukan perbuatan yang mencelakai dunia persilatan, biar mati murid tetap tak mau menurut!"

   Seketika tegaklah rambut Kongsun Sin-tho.

   Dengan menggembor keras ia mengangkat tangan kanan terus hendak dihantamkan ke arah kepala Siau-liong.

   Song Ling dan Lu Bu-ki sudah siap2.

   Tetapi karena berdiri pada jarak beberapa langkah, mereka tak berdaya membendung pukulan Kongsun Sin-tho yang dilancarkan secepat kilat.

   Bum....

   terdengar letupan dahsyat disertai hamburan debu dan pasir serta ranting2 pohon yang berhamburan keempat penjuru.

   Suatu keadaan yang mirip dengan ledakkan halilintar....

   Song Ling terkejut pucat.

   Dalam hamburan debu yang masih menebal, ia menjerit sekuatnya.

   "Siau-liong! Siauliong...." -terus loncat menyusup ke tempat Siau-liong. Tetapi apa yang disaksikan saat itu, benar-benar membuatnya terlongong-longong. Kongsun Sin-tho berdiri beberapa langkah jauhnya. Wajahnya tenang, terlongong-longong tak bicara apa2. Sedang Siau-liong pun tak kurang suatu apa. Dan sudah bangun berdiri. Disampingnya tampak seorang tua berbaju ungu Orang tua tak dikenal itu tengah tertawa dingin. Karena tak menduga sama sekali, maka Song Ling tak dapat mengetahui kapankah orangtua baju ungu itu munculnya? Tetapi cepat ia dapat menduga bahwa tentulah orangtua baju ungu itu yang telah menyelamatkan jiwa Siauliong. Dandanan orangtua itu memang aneh. Selain pakaiannya yang berwarna ungu, pun mukanya tertutup dengan sutera ungu yang tebal. Dari bayang2 sutera ungu tampak jelas jenggotnya yang putih memanjang sampai keperut Tetapi wajahnya tak tampak jelas. Siau-liong memandang Kongsun Sin-tho lalu memandang ke arah orang tua yang tak dikenal itu. Kemudian memberi hormat.

   "Mohon tanya mengapa lo-cianpwe menolong diriku?"

   Orangtua baju ungu itu tertawa dingin.

   "Ada dua macam kematian. Mati segempar gunung Thaysan rubuh dan mati sepele seperti jatuhnya bulu burung. Mati seperti yang hendak engkau tempuh ini, mati yang tak berharga...."

   Kemudian menuding pada Kongsun Sin tho ia berkata pula.

   "Sekalipun dia merupakan guru yang telah melepas budi besar kepadamu! Tetapi kesadarannya sudah hilang. Apa yang dilakukannya, semata-mata hanya menurut apa yang diperintahkan orang yang menguasainya dengan ilmu hitam. Jika engkau relakan dirimu dihantamnya, bukankah engkau akan mati dengan penasaran?"

   Siau liong merenung ucapan orangtua baju ungu itu dan merasa memang benar.

   Serentak teringatlah ia akan tindakan suhunya ketika berada dalam biara rusak yang lalu.

   Saat itu Kongsun Sin-tho memberi padanya separoh dari pil Cap-siau cwan-soh-sin-tan.

   Mungkin saat itu gurunya sudah menduga akan terjadi kemungkinan yang menimpah dirinya seperti saat ini.

   Maka jelaslah maksudnya, Kongsun Sin-tho menugaskannya ke puncak Kim-ting untuk meminta Terggoret-emas-kaki-tiga kepada paderi sakti.

   Karena hanya binatang pusaka itulah yang harus menjadi campuran ramuan pil Cap-siau-cwan-soh-sin-tan agar benar-benar dapat menjadi obat mujijad untuk menolong suhunya dan sekalian tokoh2 yang dibius Iblis-penakluk-dunia.

   Diam-diam Siau -iong kucurkan keringat dingin.

   Pikirnya.

   "Jika orang tua baju ungu ini tak menolong pada waktu yang tepat, tentulah saat itu dirinya sudah mati. Bukankah aku bakal menjadi seorang yang berdosa karena telah menelantarkan tugas berat yang dipikulnya?"

   Memandang ke arah Kongsun Sin-tho, dilihatnya mata gurunya itu sudah redup.

   Pandang matanya sudah hampa seperti orang tolol.

   Kongsun Sin-tho memandang berkesiap kepada dirinya dan orang tua baju ungu itu.

   Tiba-tiba terdengar lengking suitan ngeri yang menusuk telinga.

   Berasal dari tengah hutan.

   Kumandang suitan itu sampai lama belum hilang.

   Dan serentak terbeliak kagetlah Kongsun Sin-tho mendengar suitan itu.

   Ia memandang kesekeliling penjuru lalu menghela napas.

   Tanpa berkata apa, tiba-tiba ia loncat ke udara.

   Dalam dua tiga loncatan saja, ia sudah menghilang dalam gerumbul pohon yang lebat.

   Siau-liong bercucuran air mata memandang bayangan suhunya.

   sesaat ia berdiri terlongong-longong.

   Tiba-tiba ia berputar tubuh lalu berlutut dihadapan orang tua baju ungu.

   "Terima kasih atas budi pertolongan lo-cianpwe. Bolehkah kumohon tanya nama lo-cianpwe yang mulia?"

   Orang tua baju ungu itu tertawa gelak2. Ia mengangkat bangun Siau-liong, serunya.

   "Karena engkau ini sudah menjadi pewaris ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, tak perlulah engkau menjalankan peradatan begitu.... Aku sungguh2 tak berani menerima...."

   Berhenti sejenak ia melanjutkan berkata.

   "Dahulu rasanya aku pun pernah punya nama. Tetapi karena tinggal dipegunungan sampai belasan tahun, telah kulupakan semua!"

   Siau-liong terkesiap.

   Ia anggap orangtua itu benar-benar seorang aneh.

   Saat itu Lu Bu-ki dan Song Ling pun sudah menghampiri.

   Keduanya serta-merta memberi hormat kepada orang tua aneh itu.

   Orang tua itu mengangguk tertawa lalu membelai rambut Song Ling, tegurnya.

   "Nak, berapakah umurmu sekarang?"

   Song Ling terkesiap, sahutnya.

   "Delapan belas tahun!"

   Orang tua aneh itu tiba-tiba menghela napas, ujarnya.

   "Ah, waktu benar-benar cepat sekali! Dalam sekejab mata saja sudah 15 tahun...."

   Tampaknya dia sayang sekali kepada Song Ling. Sambil mengelus-elus kedua bahu dan pipi si dara, ia berkata.

   "Kuingat ketika melihatmu dulu, engkau baru seorang budak kecil berumur tiga tahun."

   "Lo-cianpwe, apakah engkau tak salah lihat?"

   Seru Song Ling heran. Orangtua baju ungu itu tertawa gelak.

   "Sekalipun burung yang terbang pada 15 tahun berselang, aku pasti masih mengenalinya!"

   Habis berkata tiba-tiba orang tua itu menarik sutera kerudung mukanya....

   Seorang tua yang wajahnya masih merah segar, jenggotnya putih seperti salju tetapi matanya sebelah kiri buta.

   Melihat itu serta-merta Song Ling berlutut dan berseru dengan isak tangis.

   "Ah, kiranya kakek guru.... Pertapa-sakti mata satu!"

   Pertapa-sakti itu menepuk-nepuk bahu si dara dan tertawa gelak2.

   "Nak, engkau seperti ibumu, cerdas sekali!"

   Makin sedih dan air matanya pun berderai-derai seperti banjir. Ia memeluk kaki orang tua itu seraya meratap.

   "Mohon, kakek guru suka menolong ibu. Dia sekarang...."

   Orang tua itu mengangkat si dara bangun, ujarnya.

   "Sudah tentu, sudah tentu.... tetapi...."

   Rupanya orangtua itu tak yakin mampu melakukan hal itu.

   Maka sampai lama sekali ia tak dapat melanjutkan kata2nya.

   Walaupun belum mendengar kesanggupan yang positip, tetapi bertemu dengan kakek gurunya itu, cukup membuat hati Song Ling terhibur.

   Ia berpaling ke arah Sau liong dan suruh anak muda itu menghadap kakek gurunya.

   "Aku yang rendah, menghaturkan hormat kepada locianpwe!"

   Kata Siau liong seraya memberi hormat.

   "Ah, jangan banyak peradatan...."

   Orang tua menganggukkan kepala lalu bertanya.

   "Apakah engkau ini putera dari Tong Gun-liong dan murid dari Kongsun Sin-tho?"

   Siau-liong tertegun, katanya tergagap.

   "Ya benar."

   Ia heran mengapa orang tua itu tahu asal usulnya begitu jelas.

   Jika begitu, kemungkinan orang tua itu tentu tahu juga bagaimana peristiwa yang dialaminya ketika masuk ke dalam pusar bumi dan mendapat rejeki yang luar biasa.

   Song Ling dan Lu Bu-ki pun terperanjat juga.

   Mereka hanya tahu bahwa Siau-liong itu memakai she Kongsun Tak pernah mereka mendengar bahwa penuda itu putera dari Tong Gunliong.

   Setelah tertegun beberapa saat, sitinggi besar Lu Bu-ki maju kehadapan Pertapa-sakti mata-satu itu, memberi hormat.

   "Aku yang rendah Lu Bu-ki, menghadap lo-cianpwe."

   Pertapa-sakti-mata-satu tertawa.

   "Ah, sungguh menggembirakan sekali dapat bertemu dengan Lu tayhiap yang menguasai Rimba Hijau wilayah selatan!"

   "Ah, lo-cianpwe keliwat memuji...."

   Tersipu-sipu sitinggi besar menyahut.

   "Tadi aku telah melihat beberapa sosok bayangan menyusup kegerumbul pohon. Mungkin Iblispenakluk- dunia sudah datang bersama anak buahnya...."

   Pertapa-sakti-mata-satu itu tertawa meloroh.

   "Ah, mungkin mataku yang tinggal satu ini kurang awas. Tetapi aku memang tak melihat seseorang yang bersembunyi disekeliling sini...."

   Sejenak pertapa itu memandang Lu Bu ki lalu Siau-liong. katanya pula.

   "Karena kalian hendak menuju ke Gobi, marilah bersama sama dengan aku kesana!" Habis berkata ia terus menarik tangan Song Ling dan diajak berjalan. Lu Bu ki terlongong sejenak.... Suara suitan tinggi tadi tentulah tanda dari Iblis-penakluk-dunia untuk memanggil Kongsun Sin-tho. Tetapi mengapa pertapa mata-satu itu mengatakan tak melihat orang bersembunyi disekeliling tempat situ? Tetapi walaupun kasar, Lu Bu-ki itu cerdas juga. Ia memperhatikan kilatan mata pertapa-sakti itu seperti memberi isyarat rahasia kepadanya. Maka iapun tak mau banyak bicara. Ia melangkah pelahan-lahan mengikuti Pertapa-sakti-mata satu. Tenang sekali pertapa-sakti itu ayunkan langkah memimpin tangan Song Ling sambil tanya ini itu. Begitu lambat ia berjalan hingga sepenyala dupa lamanya barulah ia keluar dari persimpangan jalan itu lalu belok menuju, kejalanan yang menjurus ke Gobi. Siau-liong masih sedih memikirkan suhunya yang juga telah menjadi korban kehilangan kesadaran pikirannya. Ia berjalan di belakang Pertapa-sakti-mata-satu itu tanpa bicara apa2. Lu Bu-ki tak henti2nya memandang kian kemari. Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap Kecuali deru air sungai yang bergemuruh dari kejauhan, hanya angin yang mendesis-desis menghembus pohon-pohon. Tetapi diam-diam kepala Rimba Hijau wilayah selatan itu sudah menduga bahwa Iblis-penakluk-dunia tentu telah menyembunyikan anak buahnya. Gerak-gerik dan pembicaraan kawan2nya tentu sudah didengar mereka. Tetapi ia memperhatikan betapa tenang Pertapa-saktimata- satu itu berjalan Sedikit pun tak mengacuhkan keadaan di sekelilingnya. Mau tak mau terpengaruh juga hati Lu Bu-ki. Iapun berlaku setenang mungkin. Tiba-tiba Pertapa-sakti-mata-satu percepat langkahnya.... Tak berapa lama gunung Gobi pun sudah tampak dari kejauhan. Lebih kurang hanya tinggal 20-an li jauhnya. Tiba-tiba orang tua aneh itu berhenti lalu terlawa meloroh.

   "Sungguh tak nyana, dalam usia setua ini, aku masih menemani kalian untuk menikmati pemandangan alam yang permai...."

   Sekonyong-konyong orang tua itu berputar tubuh ke arah Lu Bu-ki, serunya.

   "Iblis-penakluk-dunia sudah membawa anak buahnya bersembunyi dalam gerumbul pohon. Berkat peyakinanku selama berpuluh tahun dalam ilmu Hun-yu-thanbi atau Menyiak-sunyi menyusup-kelebatan, aku dapat mendengar suara ulat atau unggas yang bergerak pada jarak 10 li jauhnya. Gerak gerik mereka tak lepas dari pendengaranku. Tetapi aku memang sengaja pura-pura tak mendengar agar dapat mengelabuhi perhatian mereka. Kalau tidak...."

   Ia tersenyum dan berkata pula.

   "Aku tentu tak mampu menghadapi serangan gabungan dari Empat tenaga-sakti!"

   "Apakah ibu juga.... datang?"

   Tanya Song Ling.

   "Datang sih datang tetapi aku tak berdaya menolongnya!"

   Kata Pertapa-sakti-mata-satu.

   Siau-liong memandang ke arah jalan yang dipandang pertapa itu.

   Tiba-tiba ia melihat beberapa sosok bayangan berkelebat dan lenyap lagi.

   Kiranya perkataan Pertapa-sakti-mata-satu itu memang benar.

   Iblis-penakluk-dunia telah datang bersama rombongan anak buahnya.

   Segera Siau-liong berkata kepada orang tua sakti itu.

   "Apakah lo-cianpwe melihat dalam gerumbul pohon itu...."

   Pertapa-sakti-mata-satu tertawa.

   "Sudah kukatakan, setiap ulat dan unggas yang bergerak dalam lingkungan 10 li, tak mungkin lolos dari telingaku...."

   Siau-liong menundukkan kepala tak membantah. Tetapi diam-diam ia merasa orang tua itu terlalu besar omongannya Pikirnya.

   "Biarpun telingamu amat tajam, tak mungkin engkau mampu mendengar gerak-gerik ulat dan burung sejauh 10 li. Apalagi matamu hanya tinggal satu."

   Tiba-tiba Pertapa-sakti-mata saru berkata pula.

   "Memang Iblis-penakluk-dunia agak takut juga kepadaku. Kalau tadi dja tak berani keluar, saat ini pun tentu tak berani mengejar kita."

   Ia tertawa meloroh lalu berseru nyaring.

   "Hayo, kita lanjutkan jalan lagi!" ia terus menggandeng tangan Song Ling dan melangkah kemuka. Siau-liong dan Lu Bu-ki terpaksa mengikuti. Saat itu mereka sudah menyusur jalanan gunung. Puncak Gobi tampak menjulang tinggi kelangit. Gunung yang berselaput rimba hijau, bertaburan dengan gumpal awan putih yang tak henti2nya ber-arak2an kian kemari. Gunung Gobi benar-benar merupakan gunung keramat tempat para dewa yang indah tenang alamnya. Pertapa-sakti-mata-satu itu tetap berjalan pelahan-lahan. Tetapi ternyata langkahnya itu amat cepat sekali sehingga Lu Bu-ki terpaksa harus mengejar dengan berlari agar jangan sampai ketinggalan jauh. Gua Ko-hud-tong itu terletak di belakang gunung. Maka setelah mendaki beberapa waktu, Pertapa-sakti-mata-satu lalu mengajak rombongannya mengitari ke belakang gunung. Walaupun dalam hati ingin sekali segera mendapatkan paderi sakti Kim Ting untuk meminta Tenggoret berkaki-tiga. Tetapi ia tak kenal jalanan dan tak kenal pula pada paderi sakti itu. Oleh karena ia sungkan untuk bertanya kepada Pertapa-sakti-mata-satu, terpaksa ia hanya mengikuti di belakang orang tua itu saja. Hanya diam-diam ia memperhatikan keadaan disekeliling penjuru. Rupanya pertapa sakti itu tahu akan kegelisahan si dara. Tak henti-hentinya ia tertawa-tawa menghibur hati dara itu. Siau-liong tak dapat menangkap apa yarg dikatakan Pertapa-sakti itu kepada Song Ling. Tetapi dilihatnya berulang kali si dara berpaling memandang ke arahnya dan memberi isyarat kicupan mata kepadanya.

   "Sudahlah, jangan mempedulikan dia!"

   Pertapa-sakti-matasatu tertawa.

   "dia memang seorang budak tolol!"

   Ia berpaling memandang Siau liong. Siau-liong tertegun. Cepat2 ia maju selangkah.

   "Apakah lo-cianpwe' hendak bicara kepadaku?"

   Song Ling tertawa mengikik.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah engkau tuli? Kakek guru bilang engkau ini...." -tiba-tiba ia berhenti dan menutup mulutnya yang tertawa. Merah telinga Siau-liong. Ia menunduk diam. Pertapa saktimata- satu itu menganggukkan kepala, katanya.

   "Aku hendak menjelaskan dulu namamu yang sesungguhnya agar dapat memanggil dengan tepat."

   Siau-liong tersipu-sipu tak berani mengangkat muka. Mulutnya tergagap menyambut.

   "Aku sebenarnya memang orang she Tong. Karena hendak menghindari ancaman dunia persilatan dan demi usahaku untuk membalas sakit hati orang tua, maka aku terpaksa berganti memakai she suhuku Kongsun. Tetapi...."

   "Kalau begitu baik tetap kupanggil Kongsun siauhiap sajalah!"' cepat2 orang tua itu menukas.

   "Ah. jangan, lo-cianpwe. Harap lo-cianpwa cukup panggil namaku saja!"

   Pertapa-sakti-mata satu itu tertawa.

   "Thian-kong-sin-kang merupakan ilmu sakti nomor satu di dunia persilatan. Saat ini Kongsun siauhiap merupakan jago nomor satu di dunia. Masakan aku berani berlaku kurang hormat?"

   Sahut pertapamata- satu itu.

   "Ah, masakan aku berani menerima sanjung pujian yang begitu tinggi,"

   Buru-buru Siau-liong berseru. Tetapi orang tua itu tak menghiraukan kata2 Siau-liong, ia menghela napas.

   "Sayang ilmu sakti itu belum dapat engkau pelajari sempurna. Apabila sudah dapat engkau kuasai, Iblispenakluk- dunia dan keempat tokoh ilmu sakti itu, tak mangkin mampu menandingi kesaktianmu. Cukup engkau seorang diri saja, sudah pasti dapat membasmi gerombolan Iblis-penaklukdunia dan menyelamatkan dunia persilatan!"

   Diam-diam Siau-liong menghela napas.

   Ucapan orang tua baju ungu itu memang tak bohong.

   Ia baru mengetahui sedikit tentang ilmu Thian-kong-sin-kang itu tetapi kepandaiannya sudah maju begitu pesat.

   Apalagi kalau ia sudah dapat menguasainya semua.

   Tetapi, ah, sayang ia tak mempunyai kesempatan untuk meyakinkan ilmu itu.

   Dengan nada rawan berkatalah Pertapa sakti-mata-satu itu.

   "Segala apa tergantung takdir. Kita hanya dapat berusaha tetapi Allah yang kuasa...."

   Tiba-tiba mata orang tua yang tinggal sebelah itu berkilatkilat tajam dan berkatalah ia dalam soal lain.

   "Tadi kukatakan bahwa ilmuku Hun-yu-than-bi itu dapat mendengar gerakgerik ulat dan unggas yang bergerak dalam jarak 10 li.... Kongsun siauhiap tentu tak percaya hal itu, bukan?"

   "Ah, mana aku berani tak percaya,"

   Buru-buru Siau-liong berseru.

   "Tapi memang begitulah. Maka hendak kutunjukkan bukti kepadamu...."

   Tiba-tiba orangtua itu menuding kemuka, tanyanya.

   "Apakah Kongsun siauhiap melihat sesuatu?"

   Siau-liong tertegun. Ia memandang ke arah yang ditunjuk pertapa tua itu. Tetapi kecuali puncak gunung yang tinggi menyusup kelangit dan bertutup hutan belantara yang lebat dengan lingkaran jalan2 kecil, Siau-liong tak melihat apa2 lagi.

   "Rasanya aku tak melihat apa2,"

   Kata Siau-liong.

   "Apakah mendengar apa2?"

   Tanya pertapa tua itu pula. Siau-liong pasang telinga mendengari dengan penuh perhatian. Tetapi ia tak mendengar apa2, sahutnya;

   "Yang kudengar hanya deru angin dan desir serangga. Lain tidak!"

   "Kudengar pada jarak tiga li, dua orang sedang berjalan. Mereka mempunyai hubungan dengan engkau!"

   Kata pertapa tua itu. Siau-liong, Lu Bu-ki dan Song Ling terhenti, seketika, memandang orangtua aneh itu.

   "Apakah lo-cianpwe tak bergurau?"

   "Aku tinggal dibalik gunung sana,"

   Orang tua itu menunjuk pada hutan disebelah kiri.

   "setengah jam lagi kita jumpa digua Ko-hud-tong."

   Habis berkata ia terus melangkah pergi.

   "Hai, kakek guru, dia tak kenal jalan."

   Si dara memburunya.

   "Hus, budak perempuan, dia tak tahu jalan apa sangkutpautnya dengan dirimu...."

   Bentak orang tua itu lalu membisiki telinga si dara.

   "setelah gerombolan Iblis-penakluk-dunia tertumpas, kakek tentu akan menjomblangkan perjodohan kalian!"

   Song Ling tersipu-sipu malu.... ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 15 Paderi Kim-ting "Sucou. engkau...."

   Teriak Song Ling. Siau-liong tak mendengar apa pun yang dibisikkan orangtua itu kepada Song Ling, Ia terus melesat pergi.

   "Maaf, akupun akan mengikuti saudara Kongsun."

   Sitinggi besar Lu Bu-ki pun segera memberi hormat kepada Pertapasakti- mata-satu itu terus menyusul Siau-liong.

   Song Ling hanya memandang terlongong ke arah bayangan pemuda itu.

   Walaupun ucapan orang tua itu hanya kata2 menghibur, tetapi tak urung hati dara itu tergerak juga.

   Entah bagaimana saat itu ia merasa seperti dicengkam oleh suatu perasaan yang belum pernah dirasakan selama ini.

   Sejak kecil ia hidup bersama ibunya di gunung Busan yang sepi.

   Selama itu tak pernah ia berkawan dengan anak lelaki.

   Ia berangkat dewasa dalam alam kesunyian.

   Sejak berkenalan dengan Siau-liong, walau pun keduanya saling menjaga kesopanan tetapi tanpa terasa dalam hati dara itu tumbuh semacam perasaan yang aneh.

   Suatu perasaan yang belum pernah dialami seumur hidup.

   Ia merasa takut kalau ditinggal pergi pemuda yang baik budi itu.

   "Nak, apakah engkau sungguh2 suka kepadanya?"

   Tiba-tiba orang tua sakti itu menegurnya.

   Song Ling mendesus lalu tertawa tersipu-sipu.

   Ia tak mau menjawab melainkan mengikuti di belakang kakek gurunya berjalan.

   Sementara itu karena menggunakan ilmu meringankan tubuh, dalam beberapa kejab saja dapatlah Sau-liong mencapai tiga li jauhnya.

   Sambil lari, ia tetap memperhatikan keadaan disekelilingnya.

   Tetapi sampai sejauh itu ia tak melihat barang seorang pun jua.

   Seketika timbullah rasa curiganya.

   "Huh, jangan2 orang tua bermata satu itu hanya mengelabuhi aku supaya pisah dengan Song Ling...."

   Dengan napas terengah-engah, Lu Bu-ki menyusul tiba, serunya.

   "Apakah saudara Kongsun melihat seseorang?"

   "Kita tentu ditipunya. Sampai sepuluh li jauhnya tak kelihatan apa2. Memang di dunia tak mungkin terdapat orang dan ilmu seaneh itu,"

   Sahut Siau-liong. Lu Bu-ki banting2 kaki dan menggembor;

   "Benar! Aku juga tak percaya pada ilmu begitu!"

   Sejenak meragu, Siau-liong lanjutkan larinya lagi.

   Kira-kira dua puluh tombak jauhnya ia tiba dibawah kaki sebuah gunung.

   Kaki gunung itu penuh ditumbuhi gerumbul rumput dan aneka pohon seperti di dalam hutan.

   Tetapi Siau-liong tak mendengar suara dan melihat sesuatu.

   Berpaling ke arah Lu Bu-ki, ia gelengkan kepala terus hendak pergi.

   Tetapi tiba-tiba ia terkejut mendengar bunyi cengkerik dari balik sebuah batu besar.

   Siau-liong dan Lu Bu-ki tertegun.

   Setelah pasang pendengaran barulah mereka mendengar suara orang bicara.

   "Engkau mau pergi atau tidak!"

   Seru seseorang. Seorang wanita menjawab.

   "Ah, aku memang benar-benar tak dapat berjalan lagi!"

   Mendengar suara itu, girang Siau-liong bukan kepalang. Kedua orang yang berbicara dibalik gerumbul itu jelas paderi Liau Hoan dari Thian-san dan pemilik Lembah Semi Poh-Cengin. Terdengar Liau Hoan membentak.

   "Apakah suruh aku menggendongmu?"

   Poh Ceng-in menghela napas panjang, ujarnya.

   "Lebih baik bunuh aku sajalah!"

   Liau Hoan tertawa dingin;

   "Jika memang membunuhmu tak perlu kubawa engkau kian kemari seperti ini!"

   Siau-liong kerutkan dahi. Dilihatnya paderi kurus dari Thian-san itu muncul dari balik batu sambil menjinjing tubuh Poh Ceng-in. Begitu melihat Siau-liong, paderi itu girang sekali. Ia maju menghampiri.

   "Kukira engkau sudah mendaki kepuncak Kimting, tak kira kalau dapat bertemu disini."

   Memandang Poh Ceng-in, berkatalah Siau-liong.

   ""Ah, losiansu tentu payah dalam perjalanan, aku selalu memikirkan...."

   Liau Hoan tertawa.

   "Jika tak punya sandera wanita baju merah ini, mungkin aku sudah celaka dan tak dapat berjumpa lagi!"

   Poh Ceng-in tak mau banyak bicara melainkan memandang Siau-liong dengan penuh dendam.

   Ia tertawa geram lalu pejamkan matanya.

   Siau-liong agak kasihan.

   Dilihatnya kedua tangan wanita itu masih terikat ke belakang, rambutnya terurai kusut, tubuhnya berlumuran kotoran dan napasnya terengah-engah.

   Sejenak meragu, Siau-liong menghampiri kesamping Poh Ceng-in, serunya.

   "Tak perlu engkau mendendam kepadaku. Kalau mau marah, marahlah kepada ayah bundamu...."

   Ia menghela napas lagi, katanya.

   "aku bukan seorang yang kejam tak kenal perikemanusiaan. Hanya karena terpaksa oleh keadaan, dan lagi aku pasti memenuhi janji setahun lagi bertemu digunung Bu-san."

   Poh Ceng-in membuka mata dan mendengus.

   "Hm, tak perlu omong lagi! Karena sudah tahu cara mengobati racun dalam tubuhmu, silahkan bunuh aku.... aku cudah cukup menderita siksaan macam begini!"

   Tiba-tiba wanita pemilik lembah itu tertawa melengking.

   "Pula sekarang aku sudah sadar. Bahwa hubungan laki perempuan itu memang tak dapat dipaksa!"

   Kedua pipi Poh Ceng-in bercucuran air mata.

   Wajahnya rawan.

   Seolah-olah orang yang menyesal.

   Siau -liong terlongong beberapa saat.

   Ia heran mengapa dalam detik-detik menderita kesulitan seperti itu, Poh Ceng-in yang ganas seperti menyadari kesalahannya.

   Siau - liong memang berhati welas asih.

   Diam-diam iapun menyesal telah menyiksa seorang wanita sampai begitu rupa.

   Beberapa saat kemudian, ia berkata kepada paderi Liau Hoan.

   "Selama membawa wanita ini menempuh bahaya maut, tentulah lo-siansu letih dan payah sekali!"

   Liau Hoan tertawa.

   "Ah, tak apa. Karena tahu wanita itu amat penting bagi Kongsun hiapsu, maka aku tetap menjaganya mati-matian."

   "Apakah lo-siansu tak keberatan menyerahkan wanita itu kepadaku?"

   Tanya Siau-liong pula. Liau Hoan tertegun, serunya.

   "Sudah tentu aku menurut saja apa pesan Kongsun siauhiap!"

   Baik sikap dan nada ucapannya, paderi dari Thian-san itu amat menghormati sekali kepada Siau-liong. Siau-liong segera berjongkok dan membuka tali pengikat Poh Ceng-in, memapahnya berdiri lalu berkata hambar.

   "Silahkan pergi!"

   Sepasang mata wanita pemilik Lembah Semi itu memancar sinar heran. Dipandangnya Siau-liong.

   "Engkau lepaskan aku pergi?"

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siau-liong tertawa tawar.

   "Benar, engkau bebas!"

   Lu Bu-ki dan Liau Hoan terkejut sekali, hampir keduanya serempak berseru;

   "Kongsun siau-hiap, wanita siluman itu tak boleh dilepaskan!"

   Liau Hoan maju selangkah, katanya.

   "Aku mengabdikan diri ke dalam gereja. Meskipun tak menyetujui pembunuhan tetapi kejahatan wanita itu benar-benar melebihi takeran. Dan lagi dia telah menguasai jiwa Kongsun siauhiap. Mana boleh...."

   Lu Bu-ki pun sudah mencabut ruyung besi dan menghadang Poh Ceng-in.

   "Betul! wanita siluman itu tak boleh dilepas!"

   Seru Siau-liong tenang.

   "Mati hidup tergantung takdir. Kaya miskin pun sudah suratan nasib. Kalau aku memang sudah ditakdirkan harus mati, bagaimanapun hendak berdaya tentu tak berguna. Apalagi menjadikan seorang perempuan lemah sebagai sandera. Sekalipun dapat mengalahkan Iblis-penaklukdunia, tetapi cara itu bukan ksatrya!"

   Melihat sikap Siau-liong yang jantan itu, mau tak mau Liau Hoan dan Lu Bu-ki mengindahkan juga. Mereka serempak mundur. Tetapi Poh Ceng-in pun tak mau segera pergi. Ia tertegun memandang Siau-liong.

   "Omitohud!"

   Seru Liau Hoan siansu.

   "Kong-sun siauhiap berbudi walas asih dan berwatak ksatrya. Sekalipun sudah 40 tahun lamanya aku mengabdikan diri dalam gereja, tetapi ternyata masih kalah dengan peribudinya!"

   Paderi itu menarik Lu Bu-ki.

   "Lu tayhiap, biarkan dia pergi!"

   Poh Ceng-in rupanya hendak bicara, tetapi sampai sekian lama bibirnya bergerak, belum juga terluncur kata-kata. Tibatiba ia menutup mukanya, berputar tubuh terus melangkah pergi dengan terhuyung-huyung. Sekonyong-konyong Siau-liong loncat memburu.

   "Tunggu dulu!"

   Poh Ceng-in berhenti.

   "Apakah engkau menyesal?"

   Siau-liong tertawa dingin.

   "Kaum persilatan menjunjung tinggi janji. Sekali seorang lelaki berkata, takkan bergoyah seperti gunung yang kokoh. Masakan aku menyesal?"

   Poh Ceng-in berputar diri. Dengan air mata berlinang-linang ia menatap Siau-liong;

   "Kalau begitu, engkau...."

   "Tolong sampaikan pada suami isteri Iblis-penakluk-dunia. Bahwa sejak dahulu sampai sekarang, Kejahatan itu tak mungkin dapat mengalahkan Kebenaran. Dengan siasat keji dan ilmu Hitam, orang tuamu itu hendak menguasai dunia persilatan, meskipun dapat berhasil tetapi tak akan tahan lama. Maka sebelum terlambat, harap lekas sadar agar mereka dapat melewati pada hari tua mereka dengan tenteram. Dan yang kedua kalinya...."

   Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan;

   "Engkau pun harus memegang janji dibarisan Tujuh-maut tempo hari. Jika dalam setahun ini, racun jong-tok itu tak bekerja, besok tahun muka pada pertengahan musim rontok seperti hari ini, aku tentu datang ke Busan."

   Poh Ceng-in menunduk memandang tanah, katanya.

   "Apakah masih ada lain pesanan lagi?"

   "Tak ada, silahkan pergi!"

   "Baik, semuanya kuingat!"

   Kata Poh Ceng-in seraya melangkah pergi. Beberapa saat kemudian, Liau Hoan siansu berkata;

   "Adakah Kongsun siauhiap masih ingat akan janji untuk bersama aku menuju ke Thian-san?"

   Siau-liong tertawa hambar.

   "Kuharap lo-siansu pun dapat mengingat bahwa aku meluluskan hal itu setelah nanti tahun depan pertengahan musim rontok. Pada saat itu apabila aku masih hidup, tentu akan memenuhi janji itu!"

   Liau Hoan tersenyum;

   "Baik akan kutunggu."

   Sejenak memandang keempat penjuru, Siau-liong bertanya kepada kedua orang itu apakah mereka tahu jalan kepuncak Kim-ting. Lu Bu-ki tampil kemuka;

   "Apakah saudara Kongsun tak mau bertemu dengan Tok Bok lojin itu?"

   Siau-liong menghela napas.

   "Saat ini Iblis penakluk-dunia sudah membawa rombongannya. Entah rencana apa yang mereka siapkan. Maka kurasa hendak kepuncak Kim-ting dulu meminta Tenggoret berkaki-tiga kepada paderi sakti itu!"

   Lu Bu-ki menatap Liau Hoan siansu, serunya.

   "Kalau begitu, aku yang menunjukkan jalan!"

   Sitinggi besar itu terus ayunkan langkah mendahului berjalan. Ternyata dia memang faham jalanan disitu. Kira2 sepenanak nasi lamanya, mereka tiba disebuah gunung karang yang menjulang tinggi. Dipuncak gunung itu penuh dengan pohon cemara dan jati.

   "Sudah sampai Puncak itu adalah puncak Kim-ting dari gunung Gobi !"Lu Bu-ki berhenti.

   "Omitohud! Benar2 sebuah tempat yang keramat!"

   Seru Liau Hoan siansu. Rupanya Lu Bu-ki teringat akan sesuatu hal yang penting maka tiba2 ia berseru;

   "Dalam pertempuran diLembah Semi tempo hari, kaum persilatan telah menderita kekalahan. Dengan dapat menguasai dua tokoh pewaris ilmu sakti serta beberapa tokoh sakti lainnya, Iblis-penakluk-dunia dapat mengalahkan Ceng Hi totiang dan Pendekar Laknat. Impiannya untuk menguasai dunia persilatan, rupanya akan segera menjadi kenyataan. Tetapi mengapa tiba-tiba ia mundur lagi dan mengadakan janji kepada Ceng Hi totiang supaya dalam waktu tiga hari datang kepuncak Kim-ting?"

   Siau-liong juga heran. Liau Hoan tertawa gelak2.

   "Sekali pun aku tak berani mengatakan tahu betul rahasia itu, tetapi sedikit banyak aku dapat menduganya ..."

   Ia menunjuk kearah puncak Kim-ting yang tinggi, katanya.

   "Puncak Kim-ting dari Gobi, setelah menjadi tempat pertandingan ilmu pedang dan adu pedang dari Tio Sam-hong dengan paderi Sembilan-jari Sapolo pada seribu tahun yang lalu, maka tempat itu dianggap sebagai tempat keramat oleh kaum persilatan. Beratus-ratus tahun lamanya entah sudah terjadi berapa banyak peristiwa besar dipuncak gunung itu Pemilihan Ketua dunia persilatan angkatan ketiga yang dilangsungkan pada seratus tahun yang lalu, juga diselenggarakan dipuncak itu. Sekalipun sudah dapat mengalahkan Ceng Hi totiang dan menundukkan sebagian besar kaum persilatan, tetapi apabila Iblis-penakluk-dunia tak dapat mengadakan rapat besar di puncak Kim-ting unUk mengumumkan pengangkatannya sebagai Penguasa Dunia persilatan, tentu sukarlah bagi dia hendak menguasai dunia persilatan selama-lamanya."

   "

   Berhenti sebentar, paderi Liau Hoan melanjutkan pula.

   "Yang kedua kalinya, Iblis-penakluk-dunia sudah memperhitungkan bahwa kekuatan dunia persilatan sekarang ini sudah rapuh. Tiada seorang lawan yang mampu menentangnya lagi. Maka ia suruh seluruh tokoh2 persilatan datang ke Kim-ting dimana nanti ia akan mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Penguasa Dunia persilatan. Ia sudah memperhitungkan sekalipun barangkali nanti ada sementara orang yang berani menentangnya, tetapi ia yakin dengan memiliki keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu, ia tentu dapat menghancurkan setiap perintang ....."

   Siau-liong mendengarkan dengan diam.

   Diam2 ia merenungkan suhunya dan Randa Bus-an serta tokoh2 pewaris ilmu sakti yang ditawan Iblis-penakluk-dunia itu.

   Ia menghela napas panjang.

   Sambil memandang Siau liong, Liau Hoan siansu melanjutkan kata-katanya.

   "Iblis-penakluk-dunia mengetahui bahwa Kongsun siauhiap masih belum sempat mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang. Maka untuk saat ini dia tak takut. Tetapi paling lama dalam 10 hari, apabila ia tak dapat merebut kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, ia tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan Kongsun siauhiap!"

   Siau liong menyadari bahwa ucapan paderi itu memang bukan ancaman kosong.

   Tiba2 ia teringat akan ucapan suhunya Kongsun Sin-tho, bahwa kemungkinan Iblis-penaklukdunia sudah dapat mempelajari ilmu sakti Jit-hoa-sin-kang, Cek-ci sin kang dan lain-lainnya.

   Tetapi ia (Siau-liong) sungguh lacur.

   Berulang kali ditawan dan dilepas oleh Iblispenakluk- dunia.

   Dan beberapa kali dikelabuhinya hingga hampir saja ia hendak mengajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepada Song Ling.

   "Saudara Kongsun, mari kita lanjutkan jalan lagi!"

   Tiba2 Lu Bu-ki berseru.

   Siau-liong gelagapan.

   Ia menyadari kalau tadi ia tertegun melamun.

   segera ia mengiakan dan terus mengikuti dibelakang Lu Bu-ki.

   Mereka bertiga menyusur jalan yang berlingkar-lingkar baik.

   Sambil berjalan, Siau liong menghela napas.

   "Entah bagaimana dengan paderi sakti dari puncak Kim-ting itu? Jika ia tak menyerahkan tenggoret ajaib itu, lalu bagaimana kita harus bertindak.....?"

   Berkata Liau Hoan siansu.

   "Sekalipun sempit pengalaman karena jarang keluar ke Tionggoan, tetapi menurut hematku, sejak muda paderi sakti Kim-ting itu sudah masuk ke dalam gereja. Setelah masuk menjadi murid gereja Bik-hun-si yang terletak di bagian depan gunung Gobi, ia lalu pindah mengasingkan diri di puncak Kim-ting ini. Selama 100 tahun terakhir ini, jarang orang melihatnya turun gunung. Mengenai apakah dia sakti dalam ilmu silat atau tidak, mungkin tiada seorangpun yang tahu. Juga berapa usianya sekarang ini, orang pun tak ada yang mengetahui. Tetapi mungkin tak kurang dad 120-an tahun umurnya....."

   Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula.

   "Selama 100 tahun terakhir ini, di puncak Kim-ting pun telah terjadi beberapa peristiwa besar. Tetapi selama itu tak pernah terdengar orang bercerita tentang kehadiran paderi sakti itu. Orang yang mendaki keatas pun kebanyakan jarang dapat menjumpainya Bahkan sedikit sekali kaum persilatan yang tahu manakah paderi sakti itu. Soal apakah dia benar2 memelihara Tenggoret-berkaki-tiga dan apakah dia saat ini masih hidup, aku sendiripun tak jelas!"

   "Jika tak mendengar dari Ceng Hi totiang, akupun tak mengetahui kalau di puncak Kim-ting tinggal seorang paderi ....tetapi karena dia disebut sebagai paderi sakti, tentulah mahir dalam ilmu kesaktian dan tentu amat bijaksana juga. Jika mengetahui babwa binatang ajaib itu dapat menyelamatkan banjir darah dalam dunia persilatan, tentulah ia tak sayang memberikannya!"

   Dalam pada bercakap cakap itu, merekapun sudah mulai mencapai puncak.

   Ternyata di sekeliling barisan puncak gunung itu, terdapat sebuah tanah datar.

   Puncak penuh pohon cemara dan jati yang tinggi serta air terjun dan sumber air terdapat dimana-mana.

   Sungguh sebuah tempat yang mirip tempat dewa2.

   Mereka bertiga terus melintasi hutan dan ketika tiba di ujung hutan, tetap mereka tak menemukan barang sebuah rumah atau biara.

   Sekeliling penjuru hanya gunung belantara yang senyap.

   Sedang di depan gunung itu hanya jurang karang yang amat curam.

   Siau-liong berhenti dan berkata heran.

   "Apakah saudara Lu tak salah?"

   Lu Bu-ki menampar kepalanya.

   "Sekalipun ditengah malam, tak mungkin aku salah jalan!"

   Liau Hoan menyelutuk.

   "Memang paderi sakti Kim-ting itu tinggal didalam gua. Belum tentu tinggal di puncak sini ....."

   Tiba2 sitinggi besar Lu Bu-ki berteriak kaget.

   "Hai, lihatlah ke arah hutan cemara di sebelah kiri itu ....."

   Siau-liong dan Liau Hoan serempak memandang ke arah yang ditunjuk.

   Diatas anak puncak yang bersambung dengan puncak Kim-ting, memang terdapat sebuah hutan pohon cemara.

   Dan di tengah hutan itu tampak beberapa sosok tubuh melintas..

   Oleh karena tertutup oleh hutan yang lebat, maka tak dapat terlihat jelas bagaimana pakaian orang2 itu.

   Tetapi menilik gerakannya yang amat cepat sekali itu, jelaslah kalau mereka itu tentu orang2 persilatan yang berkepandaian tinggi.

   Begitu melesat, kawanan orang itupun lenyap, bersembunyi dalam gerumbul hutan lebat.

   Siau-liong merenung.

   Tiba2 ia berkata.

   "Mereka tentulah rombongan Ceng Hi totiang!" ia terus loncat dua tombak.

   "Hai, benar, kecuali mereka siapa lagi!"

   Seru Lu Bu-ki seraya terus lari menyusul.

   Jalan yang merentang kearah hutan cemara di samping puncak itu, agak menurun kelain puncak yang lebih rendah.

   Luasnya hanya terpaut sedikit dengan puncak Kim-ting, tetapi keadannya lebih berbahaya.

   Penuh dengan karang curam dan gunduk batu aneh yang lebat seperti sebuah hutan.

   Sekalipun para pemburu, juga takkan memilih tempat seperti itu.

   Adalah Siau-liong yang lebih dulu lari menghampiri.

   Dalam beberapa loncatan saja ia sudah tiba di tempat sosok2 tubuh yang muncul lenyap tadi.

   Memandang kedalam hutan.

   memang terlihat beberapa sosok tubuh tadi masih bergerakgerak pelahan.

   Ia girang sekali.

   Jelas rombongan orang itu adalah rombongan yang dipimpin Ceng Hi totiang.

   Segera ia melangkah menghampiri ke tempat mereka.

   Jalanan bermula hanya 3-4 tombak lebarnya, tetapi makin lama makin lebar.

   Dikedua samping jalan, merupakan dua buah puncak gunung yang penuh dengan hutan cemara dan jati.

   Tetapi kira2 seratus tombak lagi, jalan itu terhadang oleh sebuah karang gunung yang tinggi.

   Rupanya karang itu merupakan ujung terakhir lalu disambung jalan lagi yang membiluk ke sebelah kanan.

   Ceng Hi totiang dan rombongannya sedang berhenti dan mondar mandir di bawah karang gunung itu.

   Mereka cepat melihat kedatangan Siau-liong.

   Empat orang imam pengawal Ceng Hi totiang segera maju menghadang dengan pedang melintang.

   "Siapa engkau?"

   Baru Siau-liong hendak menyahut, Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansupun telah tiba. Cepat sitinggi besar loncat kemuka Siauliong dan memberi isyarat kepada keempat imam itu seraya berseru.

   "Orang sendiri, harap kalian jangan salah faham....."

   Kemudian berpaling menunjuk Siau-liong, Lu Bu-ki berkata.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kongsun siauhiap ini, adalah pewaris dari ilmu Thian-kongsin- kang!"

   Ceng Hi totiang bersama lebih kurang 50 tokoh-tokoh persilatan, terkejut ketika mendengar keterangan Lu Bu-ki.

   Mereka serempak memandang kearah Siau-liong.

   Ceng Hi totiang segera maju menghampiri dengan heran.

   Diam2 Siau-liong geli juga.

   Bukan baru pertama kali itu ia berjumpa dengan Ceng Hi totiang.

   Tetapi perjumpaannya dahulu memang bukan sebagai Kongsun Liong, tetapi sebagai Pendekar Laknat.

   Lebih dulu Ceng Hi totiang memberi salam kepada Lu Bu-ki.

   "Ah, saudara Lu tentu lelah!"

   Setelah itu baru ia mengucap Omitohud kepada Liau Hoan siansu. Terhadap Siau-liong, tampaknya Ceng Hi tak begitu menganggap penting. Sehabis balas memberi ucapan salam keagamaan, berkatalah Liau Hoan siansu.

   "Harap totiang jangan menegur aku dulu ... ," ia berpaling kepada Siau-liong dan berkata pula.

   "Kongsun siauhiap Ini telah mendapat rejeki luar biasa. Ia telah memperoleh pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dunia persilatan dari ancaman Iblis-penakluk-dunia, rasanya tiada lain orang lagi kecuali Kongsun siauhiap ini!"

   Ceng Hi terkesiap. Menilik kedudukan dan kebesaran nama Liau Hoan totiang, ia percaya penuh. Maka berpalinglah ia ke arah Siau-liong, serunya.

   "Ah, maaf, aku agak terlambat menghaturkan hormat!"

   Rombongan Ceng Hi totiang itu terdiri dari tokoh-tokoh pilihan yang tergolong jago kelas satu.

   Diantaranya termasuk para ketua partai persilatan dan kepala dari beberapa aliran perguruan silat.

   To Kiu-kong dari partai Kaypang, Pengemistertawa Tio Tay-tong, Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay dan Keempat Su-lo, juga ikut dalam rombongan itu.

   Begitu melihat Siau-liong bersama Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansu tiba2 muncul, To Kiu-kong dan Tio Tay-tong girang sekali.

   Serempak keduanya maju memberi hormat kepada Siau-liong, seraya berseru.

   "Sucou-ya!"

   Terus hendak berlutut dihadapan Siau-liong. Siau-liong cepat mencegah, serunya;

   "Kiu -kong, jangan banyak peradatanlah!"

   Ceng Hi totiang tertawa gelak2.

   "Kongsun siauhiap sungguh seorang pemuda yang luar biasa. Kiranya murid dari Pengemis-tengkorak Siong lo-enghiong. Aku merasa makin kurang menghormat tadi..."

   Berhenti sejenak mengicup mata, Ceng Hi melanjutkan pula.

   "Tetapi tadi saudara Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansu mengatakan bahwa Kongsun siauhiap adalah pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang. Ini sungguh membingungkan. Menurut pengetahuanku ...."

   Kuatir kalau imam tua itu terus mendesak pertanyaan, buru2 Siau-liong menukas.

   "Hanya secara kebetulan saja aku telah mendapatkan suatu cara belajar dari sebuah ilmu sakti. Tetapi mungkin berbeda dengan ilmu Thian-kong-sin-kang. Pun karena belum dapat mempelajari sampai sempurna maka masih sukar untuk menggunakannya....."

   Sepasang mata Ceng Hi totiang berkilat-kilat menatap anak muda itu, serunya.

   "Kongsun siauhiap, apakah ergkau tak keberatan bicara dengan empat mata kepadaku?"

   Siau-liong tahu bahwa imam tua itu mulai curiga.

   Maka ia menyatakan setuju.

   Ceng Hi totiang tersenyum lalu mendahului melangkah kebelakang sebuah batu karang yang besar.

   Siau-liong segera mengikuti.

   Menilik kedudukan Ceng Hi totiang dalam rombongannya, ketika ia bicara dengan Siau-liong tadi, tiada seorang pun yang berani ikut bicara.

   Mereka hanya mengawasi Ceng Hi totiang dan Siau-liong menyelinap kebalik batu.

   Setelah agak jauh dari rombongan tokoh-tokoh persilatan itu, barulah Ceng Hi totiang berhenti.

   Ia anggap disitu aman, takkan didengar orang lagi.

   "Tadi Liau Hoan siansu dan Lu tayhiap mengatakan bahwa Kongsun siauhiap adalah pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang. Kupercaya keterangan itu tentu tak bohong...."

   Ceng Hi totiang mulai membuka pembicaraan. Siau-liong hanya tersenyum tak menjawab. Ceng Hi totiang berhenti sejenak lalu melanjutkan.

   "Sudah ribuan tahun ilmu Thian-kong-sin-kang itu tak muncul didunia. Kaum persilatan dari masa kemasa selalu berusaha untuk mencari ilmu sakti itu. Tetapi tiada seorangpun yang berhasil. Dua bulan yang lalu, munculnya peta pusaka pada Giok-pwe, telah menimbulkan kegemparan besar dikalangan persilatan. Munculnya Iblis-penakluk-dunia ke Tionggoan lagi untuk melaksanakan tujuannya menguasai dunia persilatan, tak lain maksudnya memang hanya akan mencari kitab pusaka Thiankong- sin-kang."

   Melihat imam tua itu tak menyinggung keraguan terhadap dirinya, Siau-liong tak sabar lagi. Ia barus lekas-lekas mendapatkan paderi sakti Kim-ting untuk meminta Tenggoretemas- berkaki-tiga. Ia tak mau membuang waktu maka segera ia menyelutuk.

   "Kalau totiang hendak mengajukan pertanyaan, silahkan. Pokok, aku tak mau membohongi totiang!"

   Dalam keadaan seperti itu, ia cepat dapat menduga bahwa Ceng Hi totiang tentu sudah dapat melihat kelemahannya. Maka Siau-liong pun bersedia untuk memberi keterangan sejujurnya. Ceng Hi agak terkesiap, ujarnya;

   "Tempo hari dalam pertempuran lawan Iblis-penakluk-dunia di Lembah Semi, aku telah menderita kekalahan habis-habisan. Untung saat itu Pendekar Laknat muncul dan dapat menghadapi Jong Leng Lojin serta Lam-hay Sin-ni, sehingga aku dan rombongan dapat terlepas dari kehancuran. Kala itu Pendekar Laknat telah menggunakan ilmu Thian-kong-sin-kang. Pun tampaknya ia baru saja mempelajari ilmu sakti itu hingga belum sempurna. Tetapi kupercaya bahwa kitab pusaka Thian-kong-sin-kang yang sudah lenyap beribu tahun itu telah jatuh ditangan Pendekar Laknat. Sayang, pada malamnya Pendekar Laknat telah menghilang lagi. Dan sampai sekarang belum terdengar kabar beritanya ...."

   Siau-liong kerutkan dahi, hendak mengatakan bahwa "aku....."

   Ceng Hi totiang tertawa panjang.

   "Maaf kalau aku bicara dengan terus terang ini. Pendekar Laknat pada 20 tahun yang lalu, aku pernah kenal dengan baik. Tetapi Pendekar Laknat yang muncul sekarang ini, kecuali wajahnya yang mirip, Ilmu kepandaian dan perawakan tubuhnya, sama sekali berbeda dengan Pendekar Laknat yang dulu, Yang paling mengherankan ialah ilmu Thian-kong-sin-kang itu. Tak mungkin sekali gus akan timbul dua orang Pendekar Laknat, ini...ini....."

   Tiba2 Ceng Hi totiang berhenti dan memandang Siau-liong dan tersenyum. Siau-liong menduga bahwa Ceng Hi totiang telah mengetahui semuanya. Maka setelah batuk2 sebentar, ia berkata.

   "Ah, totiang sungguh awas. Memang aku tak mau bohong ....."

   Kemudian ia menuturkan segala apa yang dialaminya. Dari masa kecil sampai belajar silat di gunung Hongsan sehingga sekarang. Akhirnya ia menutup penuturannya.

   "Adalah karena menjunjung totiang sebagai seorang imam yang sakti maka kuberitahu semua yang mengenai diriku. Kuharap totiang suka menyimpan rahasia itu, jangan diberitahukan kepada lain orang. Apa bila beruntung dapat menindas Iblis-penaklukdunia, aku masih berharap dapat menggunakan sisa hidup dalam satu tahun itu untuk membalas sakit hati ayahku lalu menemui ibuku di seberang laut!"

   Ceng Hi totiang menghela napas panjang. Dengan wajah bersungguh ia berkata.

   "Kongsun siauhiap seorang pemuda gagah yang berhati perwira. Maka tak heranlah kalau mendapat berkah yang luar biasa itu. Arwah nenek guruku Tio Sam-hong tentu akan puas dialam baka. Harap jangan kuatir, aku pasti akan menyimpan rahasia itu ..."

   Berhenti sejenak ia melanjutkan lagi.

   "Apa rencana Kongsun siauhiap tetap akan memenuhi perjanjian mati bersama dengan wanita pemilik Lembah Semi itu?"

   Siau-liong menghela napas.

   "Sekali sudah berjanji, sukar untuk mengingkari. Sekalipun mengenai soal kematian yang penting, tetapi aku tak dapat melanggar janji!"

   Ceng Hi totiang mengangguk hormat.

   "Watak dan tindakan Kongsun siauhiap itu, makin menimbulkan rasa hormatku!"

   Tersipu-sipu Siau-liong membalas hormat. Setelah itu maka Ceng Hi totiang pun segera alihkan pembicaraan tentang soal yang menyangkut kepentingan saat itu.

   "Walaupun paderi sakti dari Kim-ting itu jarang diketahui dunia persilatan tetapi kutahu dia memang seorang tokoh aneh yang jarang muncul diluar. Kedatanganku bersama rombongan tokoh2 persilatan itu tak lain memang hendak memohon supaya orang tua sakti itu mau keluar membantu kami. Tadi telah kukatakan hal itu kepada seorang Sian-thong (murid penjaga guha) untuk menyampaikan pada beliau. Saat ini kukira tentu sudah ada keterangan. Karena Kongsun siauhiap juga akan menemuinya, baiklah kita sama2 menghadap."

   Melihat bahwa Ceng Hi totiang yang sudah berumur 90 tahun lebih itu masih menyebut dengan kata2 yang sungkan 'beliau orang tua' kepada paderi sakti Kim-ting, diam2 makin besarlah rasa hormat Siau-liong.

   Segera ia mengikuti Ceng Hi totiang.

   Di atas karang gunung yang membelok ke sebelah kanan dari lereng puncak, terdapat sebuah guha seluas satu tombak.

   Tetapi guha itu amat dalam.

   Dua orang kacung yang satu berpakaian warna biru dan yang satu putih, sedang menjagu disamping pintu guha dengan pedang terhunus.

   Rombongan orang gagah berhenti beberapa tombak jauhnya dari guha itu Mereka bebisik saling membicarakan pertapa sakti dari Kim-ting itu.

   Tetapi setelah Ceng Hi totiang muncul bersama Siau-liong, merekapun lalu diam dan hanya memandang ke arah kedua orang itu.

   Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si, segera tampil kemuka dan setelah menyebut doa keagamaan.

   "Omitohud! Tingkah lalu paderi sakti ini agak berlebih-lebihan. Bahkan sampai pada kacungnya saja sudah begitu garang ...

   "

   Buru2 Ceng Hi totiang melangkah maju mencegahnya;

   "Harap taysu jangan marah, ketahuilah bahwa paderi sakti ....."

   "Hai, engkau bilang apa!"

   Kedua kacung itu melangkah tiga langkah dan salah seorang membentak Ti Gong taysu.

   Deliki mata dan lintangkan pedang bersikap hendak menyerang.

   Ti Gong taysu terkenal beradat keras.

   Sudan tentu ia tak dapat membiarkan dirinya diperlakukan begitu kasar oleh seorang kacung kecil.

   Serentak ia membentak.

   "Budak sekecil engkau mengapa berani begitu kurang ajar. Tahukah engkau siapa yang datang kesini ini?"

   Kacung baju putih itu mendengus dingin, sahutnya.

   "Tak peduli kalian ini orang apa, kalau Seng-ceng tak mau menemui, tentu tetap tak mau keluar..."

   Seng-ceng adalah sebutan menghormat dari kacung itu kepada paderi sakti Kim-ting. Kacung baju biru pun ikut menghampiri dan membentak.

   "Selamanya tak pernah ada orang yang berani bikin ribut disini. Jika kalian tak lekas angkat kaki, jangan sesalkan kami berlaku kurang ajar!"

   Ti Gong tertawa meloroh.

   "Ho, bagaimana pun juga, aku tetap akan menemui Seng-ceng. Apakah kalian kacung kecil berdua ini mampu mengusir kami?"

   Seketika itu kedua kacung deliki matanya Serentak mereka putar pedang dan menyerang Ti Gong taysu.

   Ketua Siau-lim-si terbeliak kaget.

   Ternyata ilmu permainan pedang kedua kacung itu hebat dan cepat sekali.

   Karena terdesak, ia terpaksa mundur sampai 7- 8 langkah.

   Kedua kacung itu hentikan serangannya.

   membentak.

   "Jika Seng-ceng tak memperbolehkan kami membunuh jiwa, batang kepala yang gundul itu tentu sudah terpisah dari badanmu!"

   Karena marahnya, Ti Gang taysu menguak-nguak seperti kerbau gila. Berpaling kepada Ceng Hi totiang ia berseru.

   "Harap totiang suka maafkan aku. Aku hendak memberi sedikit hajaran kepada kedua budak kecil itu!"

   Tetapi Ceng Hi totiang buru2 mencegah.

   "Jika dalam urusan kecil tak dapat menahan diri, urusan besar tentu akan kacau. Harap taysu suka memikirkan kepentingan kita semua!"

   Ti Gong taysu mendengus-dengus dan mengundurkan diri.

   "Imam hidung kerbau, mau omong apa engkau?"

   Tiba2 kedua kacung itu membentak Ceng Hi. Walaupun dihina begitu, namun dengan tetap tenang Ceng Hi totiang menjawab.

   "Harap siauko berdua jangan marah dulu. Kami beramai-ramai hendak menemui Seng-ceng adalah karena ada urusan yang amat penting sekali."

   Kacung baju biru tertawa.

   "Daripada paderi gemuk bertelinga lebar tadi, rupanya engkau lebih jinak sedikit."

   Ceng Hi totiang tetap tertawa.

   "Harap siauko berdua suka menolongi kepentingan kami dan membujuk supaya Sengceng suka menerima kedatangan kami!"

   Kacung baju biru tiba2 berpaling sejenak kepada kacung baju putih, ujarnya.

   "Harap sute suka menjaga mulut guha sana agar mereka tak menerobos masuk sehingga mengganggu Seng-ceng!"

   "Lebih baik halau mereka pergi dan perlu apa harus meladeni mereka?"

   Seru sikacung baju putih. Ia terus mundur menjaga di mulut guha. Setelah itu barulah kacung baju biru berpaling dan berkata kepada Ceng Hi totiang lagi.

   "Seng-ceng tadi bilang tak dapat menemui. Tak peduli engkau hendak mempunyai urusan apa, tetap tiada gunanya!"

   "Apakah siauko pernah kasih tahu gelaran namaku kepada Seng ceng?"

   Tanya Ceng Hi.

   "Apakah dahulu engkau pernah bertemu dengan Sengceng?"

   Tanya sikacung.

   "Sekali pun belum pernah bertemu muka tetapi sudah lama aku mengagumi namanya. Jika engkau mau menerangkan sedikit kepada Seng-ceng, mungkin beliau orang tua itu tentu akan kenal namaku yang tak berharga itu ...."

   Ceng Hi totiang berhenti sesaat, lalu berkata lagi.

   "Dan lagi kedatanganku kemari bukanlah untuk kepentingan pribadi melainkan demi keselamatan dan kelangsungan hidup dunia persilatan."

   Jawab sikacung.

   "Seng-ceng mengasingkan diri bertapa. Selamanya tak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Kurasa omonganmu tadi percuma saja. Lebih baik kalau kalian segera angkat kaki dari sinilah!"

   "Jika Seng-ceng memang tak mau menemui, akupun tak dapat berbuat apa2. Tetapi harap engkau mengingat jerih payah kami datang kemari dan suka melapor sekali lagi kepada Seng-ceng...."

   Rupanya kacung bajn biru itu tak sabar. Ia membentak bengis.

   "Jika tak mau enyah."

   Dia memandang ke sekeliling lalu melanjutkan.

   "Tentu terpaksa kupanggilkan keempat Suheng yang menjaga guha ini untuk menghadapi kalian!"

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mendengar omongan kacung itu makin lama makin kurang ajar, Ti Gong taysu tak dapat menahan diri lagi. Sambil menyebut Omitohud, ia melangkah keluar, serunya.

   "Murid agama menjunjung welas asih dan perikemanusiaan. Apabila Seng-ceng itu benar2 seorang imam sahid, tak mungkin bertindak begitu kasar. Tentulah kalian sendiri jang menghalang-halangi kami. Nanti setelah kami menerobos masuk menemui Seng-ceng. barulah tahu....."

   Ketua partai Siau lim si itu berpaling kepada Ceng Hi totiang dan berseru lantang.

   "Karena dengan cara baik2 tak berguna, terpaksa kita harus menggunakan kekerasan!"

   Kacung baju biru itu lintangkan pedang dan tertawa dingin..

   Ceng Hi totiang menghela napas.

   Waktu ia hendak membuka mulut tiba2 terdengar suara suitan panjang dari kejauhan.

   Sekalian orang terkejut.

   Dan sebelum sempat menduga apa2, kembali terdengar suara tertawa yang bernada congkak sekali.

   Saat itu barulah semua orang menyadari bahwa suitan dan tertawa itu berasal dari Iblis-penakluk-dunia! Memang Iblis penakluk-dunia itu seorang durjana yang julig dan banyak tipu akal.

   Bahwa secara tiba2 ia muncul disitu, tentulah karena hendak melaksanakan rencananya untuk menguasai dunia persilatan.

   Suara tertawa itu berasal dari puncak Kim-ting.

   Jelaslah bahwa iblis itu tentu sudah berada di puncak itu.

   Hanya teraling dengan hutan lebat dari tempat rombongan Ceng Hi.

   Secepat suara tertawa lenyap, terdengarlah Iblis-penaklukdunia berseru bengis.

   "Kepada Ceng Hi imam tua!"

   Serentak terdengar empat lima suara serempak mengulang kata2 itu.

   "Kepada Ceng Hi imam tua!"

   Sekalian orang tegang tegang dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka mencurahkan pandang mata ke arah Ceng Hi totiang. Tiba2 kacung baju biru itu tertawa.

   "Ih, siapa yang datang lagi itu? Apakah pemimpin kalian?"

   Ceng Hi totiang menyahut gopoh.

   "Yang datang itu adalah durjana iblis yang hendak menimbulkan pertumpahan darah dalam dunia persilatan , ......"

   Ia berputar tubuh dan berkata pelahan kepada rombongan tokoh2 gagah.

   "Saat ini tibalah sudah detik2 yang genting. Harap saudara2 jangan sembarangan bergerak sendiri!"

   Melihat wajah rombongan tetamu itu amat tegang, kacung baju biru tertawa makin keras.

   "Hai, kalian orang2 persilatan itu mengapa suka bermusuhan dan berkelahi untuk cari kemenangan......"

   Kemudian bocah itu menyerut wajah dan berseru pula.

   "Kalau mau berkelahi, pergilah cari tempat di puncak Kim-ting sana. Jika berani mengganggu ketenangan tempat ini, awaslah....."

   Ceng Hi totiang menghela napas lirih.

   Pada saat ia hendak berputar diri untuk menghadapi keadaan saat itu, tiba2 dua sosok tubuh melintas di sebelah muka.

   Seorang kakek mata satu berpakaian ungu muncul dengan memimpin tangan seorang dara baju hijau.

   Sekalian orang amat terkejut sekali! Menilik pandangan mata mereka yang tajam termasuk diri Ceng Hi totiang, setiap gerakan dari suatu apapun.

   tentu tak lepas dari pandangan mereka.

   Tetapi kemunculan kakek bersama itu benar2 tak diketahui sama sekali.

   Saat itu Siau-liong, Liau Hoan siansu dan Lu Bu-ki berdiri di samping.

   Diam2 mereka gelisah melihat sikap keras dari kacung penjaga guha yang menolak memberi laporan kepada Seng-ceng.

   Sedang saat itu Iblis-penakluk-dunia bersama rom-bongannya sudah muncul.

   Ketika melihat Kakek Mata-satu muncul secara tiba2, girang hati Siau-long tak terperikan.

   Cepat ia maju memberi hormat.

   "Lo-cianpwe ... nona Song ....."

   Kakek Mata-satu tersenyum.

   "Apakah Kongsun siauhiap sudah mendapat kedua kawanmu itu?"

   "Lo cianpwe memang sakti sekali. Aku benar2 bertemu dengan mereka!"

   Sahut Siau-liong.

   Sekalian orang dalam rombongan Ceng Hi totiang berdiam diri dan memperhatikan pembicaraan Siau-liong dengan kakek bermata satu itu.

   Setelah merenung beberapa saat, Ceng Hi totiang menganggukkan kepala lalu maju memberi hormat kepada kakek itu.

   "Bukankah cianpwe ini pada 60 tahun yang lalu ....."

   Pertapa-sakti-mata satu goyangkan tangan, tertawa.

   "Tak perlu mengatakan lagi! Asal engkau sudah tahu saja ..."

   Kemudian ia menunjuk kearah matanya yang tinggal satu itu, katanya pula.

   "Kemungkinan mataku yang tinggal sebiji ini lebih dapat diingat lagi orang. Memang tak mengherankan kalau engkau masih memikirkan peristiwa pada 60 tahun yang lampau itu."

   Tersipu sipu Ceng Hi totiang memberi hormat.

   "Ah, ucapan cianpwe itu kelewat berat. Adalah karena kagum dan mengindahkan akan keperwiraan dan keluhuran cianpwe maka sekalipun sudah lewat berpuluh tahun, aku masih tak lupa pada pertapa sakti itu bukan karena melihat matanya yang tinggal satu."

   Tetapi ia pikir, ucapan itu terlalu menyinggung peiasaan orang Maka ia tak mau melanjutkan .... Saat itu kacung baju biru menghampiri, teriaknya.

   "Hai, paman Buta!"

   Ia memandang sipertapa sakti lalu bertanya lagi.

   "Apakah paman kenal pada mereka?"

   Pertapa-sakti-mata satu tertawa.

   "Bukan hanya kenal tetapi mereka adalah sahabatku!"

   Kacung kecil itu terkesiap serunya tertawa.

   "Ah, paman Buta ngaco lagi. Bukankah paman serupa dengan suhuku. Setahun penuh tak mau bertemu orang? Mengapa mendadak sontak mempunyai sekian banyak kawan?"

   Pertapa sakti mata satu tertawa keras, serunya.

   "Kalau begitu, anggap sajalah mereka itu musuh!"

   Ceng Hi totiang terkejut. Kacung baju biru tertawa makin keras. Beberapa saat kemudian baru ia berkata.

   "Kalau begitu, tak usah menghiraukan mereka saja!"

   Sahut Pertapa-sakti-matasatu.

   "Apakah hari ini engkau hendak menantang suhuku bermain catur?"

   Tanya kacung itu pula.

   "Tidak,"

   Jawab si pertapa.

   "hari ini aku sengaja membawa cucu perempuanku bermain-main!"

   Bocah itu tercengang. Dipandangnya Song Ling sejenak, katanya.

   "Hari ini sungguh aneh sekali! Segala apa berobah aneh. Mengapa dulu tak pernah kudengar paman mempunyai seorang cucu perempuan?"

   "Baru berapa tahunkah engkau hidup di dunia? Masakan engkau tahu segala urusan!"

   Pertapa-sakti mata satu tertawa. Kacung baju biru tertawa mengikik.

   "Ah, paman mengandalkan diri sebagai orang tua..

   "Cobalah paman bilang, hari ini paman hendak mengapa?"

   Pertapa-sakti masukkan tangannya kedalam saku. Sampai beberapa saat baru pelahan-lahan ia menariknya keluar. Tetapi tangannya digenggam sehingga tak tahu apa isinya.

   "Hari ini aku membawa sebuah mainan yang aneh untukmu!"

   Bocah itu girang sekali.

   "Terima kasih paman Buta. Apakah barang itu?"

   "Didalam genggamanku ini. Tetapi engkau harus menebaknya. Kalau menebak tepat, baru kuberikan kepadamu!"

   Kacung itu tertawa.

   "Ai, paman hendak mempermainkan orang lagi. Aku tak mau menebaklah dan tak menginginkan benda itu!"

   "Kalau begitu jangan engkau menyesal lho. Mainan ini akan kuberikan kepada sutemu!"

   Kata si pertapa seraya membuka tangannya. Suatu benda yang berkilat-kilat warnanya memancar diantara celah jarinya. Tetapi cepat2 pertapa itu mengatupkan genggamannya lagi.

   "Ya, ya, aku akan menebaknya ....."

   Seru kacung itu gopoh. Ia kerutkan dahi beberapa saat lalu menerka.

   "Tentulah sebutir mutiara Ya-beng cu ......"

   Pertapa-sakti-mata-satu gelengkan kepala;

   "Salah!"

   "Mata kucing!"

   Seru bocah itu pula.

   "Salah!"

   Si pertapa menggeleng. Bocah itu mengerut kening dan mengomel;

   "Ini salah itu salah, lalu bagaimana orang harus menebaknya!"

   Bocah yang menjaga dimulut guha tadi pun rupanya tak sabar. Ia segera menghampiri, serunya.

   "Ah, paman Buta memang berat sebelah. Punya barang baik tak mau memberikan kepadaku."

   Pertapa itu tertawa.

   "Engkau pun boleh ikut menebak. Kalau betul, tentu kuberikan kepadamu."

   Bocah baju putih dan baju biru benar2 saling berebut menebak.

   Tugas untuk menjaga mulut guha hampir dilupakan.

   Pada saat Pertapa-sakti-mata-satu sedang bergurau mengadakan tebakan dengan bocah penjaga guha itu.

   Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah, gelisah.

   Tetapi mereka tak berani campur mulut.

   Untunglah saat itu suara Iblis-penakluk-dunia tak kedengaran lagi.

   Kemudian setelah bocah baju putih yang menjaga di mulut guha itu ikut menimbrung ke tempat pertapa sakti, tahulah Ceng Hi totiang akan maksud dari pertapa sakti itu.

   segera ia lontarkan isyarat mata kepada Siau-liong.

   Siau-liong memang berotak terang.

   Cepat ia dapat menangkap isyarat Ceng Hi totiang.

   Dengan gerakan yang tak mengeluarkan suara dan tak menarik perhatian orang, ia berjengket-jengket mundur menyingkir dari pengawasan mata kedua kacung itu.

   Setelah mendekati mulut guha, cepat ia menyelundup masuk.

   Gerakan Siau-liong itu dilakukan dengan cepat sekali dan tak mengeluarkan suara apa2.

   Walau pun Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah dapat melihat jelas, tetapi kedua bocah penjaga guha itu tak dapat mengetahui sama sekali.

   Setelah tahu Siau-liong sudah menyelundup masuk, Pertapa-sakti-mata-satu tertawa.

   "Hai, mengapa hari ini kalian begitu tolol? Apakah masih tak mampu menebak?"

   Karena berulang kali menebak, si pertapa tetap gelengkan kepala. Akhirnya marahlah sibocah baju putih. serunya geram.

   "Ai, tentu tak lebih hanya sebutir batu!"

   Pertapa-sakti teriawa nyaring.

   "Ho, ternyata engkau yang lebih cerdas dan dapat menebak jitu!" ia membuka genggamannya dan ternyata memang sebutir batu mengkilap. Kedua Bocah itu serempak membentak.

   "Kutahu paman Buta memang tak bermaksud baik dan sengaja hendak mempermainkan kami saja. Tetapi lain kali jangan harap dapat mengingusi kami lagi! Sungguh sial!"

   Pertapa-sakti tertawa.

   "Sedang apakah suhumu saat ini?"

   "Duduk!"

   Sahut kedua bocah itu. Menunjuk pada Ceng Hi totiang dan rombongannya, berkata pula pertapa itu.

   "Mereka hendak bertemu dengan suhu kalian, mengapa kalian tak mau melaporkan?"

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bocah baju biru buru2 menerangkan.

   "Sudah kulaporkan tetapi suhu tak mau menemui!"

   Pertapa-sakti mengangguk tertawa.

   "Kalau begitu kalian tak salah, tetapi....."

   Ia picingkan matanya yang tinggal satu, berkata lagi.

   "Karena tadi kalian hanya mengurus untuk menebak batu dalam genggamanku, andaikata ada orang yang menyelundup masuk kedalam guha. bagaimanakah suhumu akan menghukum kalian?"

   "Yah, ngeri!"

   Seru kedua bocah itu.

   "paling ringan tentu akan suruh kami menghadap tembok sampai 10 hari lamanya!"

   "Mungkin tak memberi makan kami sampai tiga hari."

   Si bocah baju putih menambahi. Pertapa-sakti tertawa.

   "Kalau suhumu hendak memberi hukuman, timpahkan saja segala kesalahan itu padaku!"

   Kedua bocah itu terkejut.

   "Bagaimana? Apakah benar2 ada orang yang menyelundup kedalam?"

   "Ah, sukar dikatakan,"

   Kata pertapa-sakti, karena kalian mempunyai empat biji mata saja tak mampu melihat, apalagi aku yang tinggal satu. Sudah tentu lebih tak kelihatan lagi!"

   Bocah baju biru memandang geram kesekeliling lalu mengawasi Ceng Hi totiang dan rombongannya dengan dendam, serunya.

   "Kukira mereka tentu tak punya keberanian untuk berbuat begitu. Dengan mengandalkan tenaga keempat Su-leng (Empat arwah) yang menjaga guha, sekalipun mereka beramai-ramai masuk semua, tentu tiada seorang pun yang mampu melewati penjagaan ..."

   Tiba2 bocah baju biru itu berpaling kearah kawannya baju putih dan membentak.

   "Suruh engkau menjaga mulut guha dengan ketat, mengapa engkau lari kemari?"

   Bocah baju putih itu tersipu-sipu ketakutan terus kembali ke mulut guha lagi. Sejenak meragu, bocah baju biru itu berkata.

   "Apakah paman Buta tak masuk?"

   Pertapa sakti goyangkan tangan.

   "Pemandangan alam di sini paling indah. Aku bersama cucuku ini akan duduk beristirahat disini sebentar!"

   "Kalau begitu, maaf, kami tak dapat menemani paman disini!"

   Seru bocah itu terus kembali ke mulut guha.

   Keduanya menjaga di kanan kiri guha.

   Pertapa-sakti-mata-satu itupun sungguh mencari tempat duduk.

   Sambil menunjuk kesana sini, ia berkata dengan bisik2 kepada Song Ling.

   Sama sekali ia tak menghiraukan Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah.

   Ceng Hi totiang tegak disamping.

   Sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

   Tiba2 terdengar pula suara teriakan pelahan dari Iblis-penakluk-dunia.

   "Untuk yang kedua kalinya, ditujukan kepada imam tua Ceng Hi!"

   Serentak berturut-turut terdengar suara menyambut-ulang.

   "Untuk yang kedua kalinya, ditujukan kepada imam tua Ceng Hi .....!"

   Beberapa saat lagi, kembali Iblis-penakluk-dunia berseru.

   "Untuk yang kedua kalinya, apabila tidak datang, akan dihukum mati!"

   Riuh rendah suara menyambut dan mengulang seruan itu terdengar dari seluruh penjuru.

   Ceng Hi tertawa masam.

   Saat itu ia belum dapat menentukan keputusan.

   Tengah dalam keadaan gelisah, tiba2 telinganya terngiang oleh suara seseorang yang menggunakan ilmu Menyusup suara.

   "Imam tua tak perlu gelisah. Yang dapat mengatasi malapetaka hari ini tak lain hanyalah pemuda Kongsun yang memiliki ilmu Thian-kong-sinking itu. Aku sendiri sukar memberi bantuan!"

   Ceng Hi totiang cepat dapat mengetahui bahwa yang bicara dengan ilmu Menyusup suara itu tak lain dari Pertapa-saktimata- satu. Ia pun segera menjawab dengan ilmu menyusup suara juga.

   "Terima kasih atas perhatian cianpwe. Tetapi keadaan ini benar2 gawat sekali. Kedua suami isteri iblis itu sudah tiba kemari. Dalam waktu beberapa saat tentu sukar terhindar dari pertempuran berdarah....." ' Pertapa-sakti tertawa.

   "Apakah engkau takut dihukum mati oleh iblis-penakluk-dunia?"

   Ceng Hi totiang menyahut gopoh.

   "Sudah hampir 20 tahun kusarungkan pedang. Jika takut mati, masakan aku mau muncul lagi di dunia persilatan?"

   "Kalau begitu gunakan siasat mengulur waktu sampai beberapa jam. Mungkin Kongsun siauhiap itu sudah dapat keluar dari guha!"

   "Ah, tetapi keadaan sudah sukar diundurkan lagi, kecuali ....."

   Ceng Hi berhenti meragu sejenak. katanya pula.

   "Adakah cianpwe menghendaki supaya aku bertekuk lutut kepada Iblispenakluk dunia?"

   Pertapa-sakti tertawa.

   "Pandai menyesuaikan keadaan, tahu mencari kesempatan pada setiap perobahan. Segala cara dan siasat boleh digunakan!"

   Ceng Hi totiang menghela napas panjang.

   Ia diam.

   Oleh karena pembicaraan itu dilakukan dengan ilmu Menyusup suara, maka sekalian orang tak dapat mendengar.

   Mereka hanya menduga-duga saja apa yang sedang dibicarakan kedua tokoh itu.

   Pada saat itu kembali terdengar teriakan menggeledek dari Iblis-penakluk-dunia.

   "Untuk yang ketiga kali, ditujukan kepada imam tua Ceng Hi!"

   Seperti seruan yang dua kali tadi, dan empat penjuru terdengarlah suara orang mengulang perintah Iblis-penaklukdunia itu.

   Seluruh mata rombongan orang gagah tertumpah pada Ceng Hi totiang.

   Sikap imam sakti itu tenang sekali.

   Dengan suara tenang serius ia berkata.

   "Saat ini kita menghadapi ancaman maut. Karena tak berguna, aku telah menyia-nyiakan kepercayaan saudara2 yang dilimpahkan pada diriku.. Sekali pun mati, aku masih merasa berdosa....."

   Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si, dapat berseru lantang.

   "Soal ini tak dapat menyalahkan totiang. Oleh karena sudah menjadi suratan takdir, kami ikhlas mengorbankan jiwa. Kalau kalah, tetap akan meninggalkan nama harum. Matipun tiada menyesal....."

   Ceng Hi totiang cepat menukas.

   "Mengandalkan keberanian seperti harimau, mengandalkan jumlah banyak seperti air sungai, bukan termasuk keberanian seorang ksatrya sejati. Aku hendak mengajukan pertanyaan kepada saudara2 ..."

   Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay yang berdiri disamping Ceng Hi, pun menyeletuk.

   "Totiang saat ini adalah pemimpin rombongan orang gagah. Apa yang totiang rasa baik, silahkan memberi perintah saja. Masakan totiang kuatir ada orang yang berani menentang?"

   Ceng Hi totiang menghela napas panjang.

   "Apabila saudara percaya padaku. Apa pun yang hendak kulakukan, harap saudara tahankan emosi agar aku leluasa melaksanakan rencanaku."

   Dengan menekan rendah suaranya, berkatalah Ti Gong taysu.

   "Silahkan totiang memberi perintah Kecuali disuruh menyerah pada Iblis-penakluk-dunia, kuyakin tiada seorangpun yang akan menentang perintah totiang!" -habis berkata ketua Siau-lim-si itu memandang kearah rombongan orang gagah. Ceng Hi totiang kerutkan kening lalu gunakan ilmu Menyusup suara kepada Ti Gong taysu.

   "Apa yang kukatakan justeru mengenai soal itu. Demi untuk menyelamatkan kelangsungan hidup dunia persilatan Terpaksa untuk sementara waktu kita harus pura2 menyerah kepada Iblispenakluk- dunia!"

   Bukan kepalang kejut Ti Gong taysu sehingga ia melonjak dan menggerung seperti singa kelaparan.

   "Apakah aku tak salah dengar bahwa ucapan itu berasal dari totiang?"

   Dengan masih gunakan ilmu Menyusup suara, Ceng Hi berkata.

   "Jika dalam soal kecil tak dapat menahan perasaan, tentulah soal2 besar akan gagal, Tadi Kongsun siauhiap sudah menyelundup ke dalam guha menemui Seng-ceng. Menurut perhitunganku, paling tidak dalam beberapa jam tentu sudah membawa laporan. Hanya untuk beberapa waktu itu kita pura2 menyerah, begitu Kongsun siauhiap sudah keluar, kita harus cepat2 berbalik haluan. Jika rencana itu gagal, tiada jalan lagi kecuali harus bertempur sampai mati!"

   


Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id Bara Naga Karya Yin Yong

Cari Blog Ini