Pendekar Riang 10
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Bagian 10
"dia pasti akan merasa gatal tangannya setelah melihat bayangan manusia."
"Kemudian ?"
"Kitapun menunggu di luar, asal tangannya mulai gatal, maka kitapun gunakan akal untuk menghadapinya."
Yan Jit termenung sebentar, lalu sahutnya hambar.
"Kau anggap caramu itu sangat bagus ?"
"Sekalipun tidak bagus juga tak ada salahnya untuk dicoba, kita toh tak bisa menunggu saat kematian di sini, bagaimanapun juga tak ada salahnya bila kita gunakan akal untuk menggoda mereka."
"Jangan lupa, orang-orangan jerami itu tak bisa melukainya."
"Bagaimanapun juga, orang-orangan dari jerami itu toh benda mati, bagaimanapun juga rasanya jauh lebih muda dihadapi dari pada orang hidup"
Yan Jit segera menghela napas panjang.
"Baiklah !"
Katanya kemudian.
"untuk kali ini aku akan menuruti perkataanmu, coba lihat saja nanti apakah akalmu itu akan berhasil atau tidak."
Kwik Tay-lok tertawa.
"Akal yang bodoh paling tidak toh jauh lebih baik dari sama sekali tak punya akal"
Bayangan dari orang-orangan dari jerami masih terhias di atas jendela, dilihat dari luar memang mirip sekali dengan orang sungguhan.
Sebab, bukan saja orang-orangan itu memakai baju, juga memakai topi.
Malam sudah semakin kelam, angin yang berhembus lewat membawa udara yang dingin yang menyayat badan.
Walaupun Kwik Tay-lok dan Yan Jit telah menyembunyikan diri dibalik wuwungan rumah yang terhindar dari hembusan angin, namun masih terasa kedinginan sampai menggigil badannya.
Mendadak Yan Jit berkata.
"Sekarang kalau ada sedikit arak untuk diminum, sudah barang tentu kita tak akan kedinginan seperti ini."
"Oooh.... tidak kusangka suatu ketika kaupun ingin minum arak...."
Kata Kwik Tay-lok sambil tertawa.
"Aaai.... inilah yang dinamakan dekat tinta jadi hitam, dekat gincu jadi merah, bila seseorang bergaul dengan setan arak tiap harinya, cepat atau lambat diapun akan berubah menjadi seorang setan arak."
"Itulah sebabnya cepat atau lambat kaupun tak akan membenci orang perempuan."
Sambung Kwik Tay-lok sambil tertawa. Mendadak Yan Jit menarik muka dan tidak berbicara lagi. Lewat beberapa saat kemudian, Kwik Tay lok baru berkata kembali.
"Aku selalu tidak habis mengerti, manusia macam Ong lotoa mengapa bisa mengikat tali permusuhan dengan si kelabang besar, si ular bergaris merah dan lain-lainnya ? Lagi pula permusuhan mereka itu tampaknya mendalam sekali."
"Kalau tidak habis mengerti, lebih baik jangan dipikirkan !"
Jawab Yan Jit dingin.
"Apakah kau tidak merasa keheranan ?"
"Tidak!"
"Kenapa ?"
"Sebab aku tak pernah bermaksud untuk menyelidiki rahasia orang lain, terutama rahasia teman."
Terpaksa Kwik Tay-lok membungkam dan tidak berbicara lagi. Lewat lama kemudian, mendadak terdengar bunyi....
"Krooooookkk!"
Dengan wajah berubah Yan Jit segera berbisik.
"Bunyi apakah itu ?"
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, sahutnya sambil tertawa getir.
"Perutku yang berbunyi karena lapar !"
Dia memang merasa kelaparan setengah mati. Lewat lama kemudian, tiba-tiba terdengar, lagi bunyi aneh...
"Kroook .... krooookkk!"
"Bunyi apa lagi kali ini ?"
Bisik Kwik Tay-lok.
"Gigiku lagi saling beradu !"
Jawab Yan Jit sambil menggigit bibirnya kencang-kencang. Rupanya saking kedinginan sampai giginya saling bergemerutukan dengan kerasnya.
"Kalau memang kedinginan, mengapa tidak bersandar saja di tubuhku ?"
Usul Kwik Tay-lok.
"Ehmmm....!"
"Ehmm itu apa maksudnya ?"
"Ehmm artinya kau jangan berisik, bila mulutnya, nyerocos terus, mana mungkin kelabang besar itu berani muncul ?"
Kwik Tay-lok tak berani bersuara lagi.
Terhadap persoalan apa saja dia tak takut, diapun tidak takut kepada mereka, yang ditakuti adalah mereka tak berani datang.
Bila mereka berdua harus menanti terus dalam keadaan begini, lama kelamaan mereka pun tak akan tahan.
Yang paling tidak tahan adalah siapapun tak tahu sampai kapan orang-orang itu baru munculkan diri, mungkin harus menunggu beberapa hari lagi, mungkin juga sedetik kemudian....
Kwik Tay-lok sedang bersiap-siap menyelimuti tubuh Yan Jit dengan jala ikan yang berada di tangannya.
Jala itu enteng dan lembut, tapi kuatnya bukan kepalang, entah terbuat dari bahan apa ? Lim Tay-peng sengaja membawanya pulang dan Kwik Tay-lok bersiap-slap mempergunakannya untuk menghadapi si kelabang besar.
Dia telah bersiap-siap untuk menggunakan gigi membalas gigi, dengan mata membalas mata.
Meski jaring itu enteng, tapi dalam hati Yan Jit merasa amat hangat dan mesra.
Mendadak tampak sesosok bayangan manusia meluncur masuk lewat dinding pekarangan sebelah depan, sesudah berjumpalitan ditengah udara, cahaya tajam segera berkilauan memenuhi seluruh angkasa, ada tiga empat puluh macam senjata rahasia yang disambitkan ke dalam jendela bagaikan hujan deras.
Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, tapi sambitan senjata rahasianya jauh lebih cepat.
Baik Kwik Tay-lok maupun Yan Jit ternyata tak sempat menyaksikan bagaimana caranya senjata rahasia itu dipancarkan ke depan.
Begitu senjata rahasia itu disambit ke depan, orang itu pun menutulkan ujung kakinya ke tanah dan segera meluncur ke atas siap-siap kabur ke atas wuwungan rumah.
Baru saja orang itu melayang ke atas, mendadak ia menemukan ada sebuah jala yang amat besar menyongsong kedatangannya, pada hal dia sedang meluncur ke atas, keadaan ini ibaratnya dia sedang menyongsong datangnya jala itu.
Dalam kejutnya dia ingin meronta, tapi jaring itu bagaikan sarang laba-laba segera membelenggu tubuhnya.
Dengan kegirangan Kwik Tay-lok segera berteriak.
"Lihat kau, akan kabur kemana lagi ?"
Yan Jit juga telah menerjang ke muka, kakinya langsung menendang jalan darah Hiat hay di pinggang orang itu.
Siapa tahu, pada saat itulah dari balik jaring tersebut kembali memancar keluar berpuluh puluh titik cahaya tajam yang meluncur ke depan bagaikan hujan deras.
Kali ini giliran Kwik Tay-lok dan Yan Jit yang merasa terkejut.
Pada saat itu pula dari luar dinding mendadak melayang datang sebuah kaitan yang segera menggaet jaring tersebut.
Tentu saja di ujung kaitan itu terdapat seutas tali.
Tentu pula tali itu sedang ditarik seseorang.
Dengan demikian, jaring itupun segera tertarik ke atas.
Sewaktu jaring itu ditarik kembali, Kwik Tay-lok dan Yan Jit telah menubruk datang.
Walaupun dia dan Yan Jit sama-sama merasa terkejut, tapi senjata rahasia tersebut sama sekali tidak disambitkan ke arah mereka berdua secara bersamaan waktu.
Semua senjata rahasia tersebut ditujukan hanya pada tubuh Yan Jit seorang.
Maka Kwik Tay-lok lebih kaget dan lebih gelisah dari pada Yan Jit.
Meskipun dia tak tahu bagaimana caranya untuk menghadapi keadaan tersebut, namun tubuhnya telah menubruk ke arah Yan Jit, menubruk tubuh Yan Jit.
Dengan cepat kedua orang itu bergulingan di atas tanah.
Kwik Tay-lok hanya merasakan badannya menjadi sakit, tiba-tiba sekujur badannya menjadi kaku.
Sedemikian kakunya sampai perasaan dan kesadarannya pun ikut menjadi kaku.
Ia tak sempat menyaksikan jaring itu ditarik orang, pun tidak menyaksikan orang dalam jaring itu melompat ke atas.
Dalam keadaan sadar tak sadar, dia hanya mendengar dua kali jeritan, sebuah jeritan kaget, sedang yang lain jeritan kesakitan.
Tapi dia sudah tak dapat membedakan lagi siapa yang menjerit kaget dan siapa pula yang menjerit kesakitan.
Dia hanya tahu dirinya tak sempat menjerit apa-apa, sebab giginya sedang saling menggertak.
Ada sementara orang mungkin akan menjerit keras dihari biasa, tapi dikala sedang menderita, dia tak akan mendengus atau merintih.
Tak disangkal lagi Kwik Tay-lok adalah manusia seperti itu.
Ada sementara orang menjadi lupa akan keselamatan jiwa sendiri sewaktu menyaksikan temannya sedang terancam oleh bahaya.
Tak disangkal, Kwik Tay-lok juga manusia seperti ini.
Asal dia sudah menerjang ke depan, pada hakekatnya dia tak akan memperdulikan mati hidupnya lagi.
Jeritan kaget itu seakan-akan makin jauh, makin tak terdengar lagi....
Tapi, suara apakah ini ? Betulkah ada orang sedang menangis ? Pelan-pelan Kwi Tay-lok membuka matanya, dia lantas menyaksikan butiran air mata di atas wajah Yan Jit.
Ketika Yan Jit melihat matanya terbuka lebar, tak tahan diapun berteriak keras dengan penuh kegirangan.
"Dia telah sadar kembali !"
Dari sisinya segera terdengar seseorang menyambung.
"Kalau orang baik tidak berumur panjang bencana akan berlangsung seribu tahun, aku sudah tahu kalau dia pasti tak akan mati."
Itulah suara dari Ong Tiong.
Suara itu sebenarnya hambar, tapi sekarang kedengarannya agak gemetar.
Kemudian, Kwik Tay-lok baru menyaksikan raut wajahnya.
Selembar wajah yang dingin dan hambar itu sekarang diliputi rasa girang, berseri dan agak emosi.
Sambil tertawa Kwik Tay-lok lalu berkata.
"Apakah kalian mengira aku sudah mampus."
Ia memang lagi tertawa, tapi tampangnya sewaktu tertawa jauh lebih mirip menangis. Sebab begitu tertawa, sekujur badannya segera terasa sakit. Diam-diam Yan Jit menyeka air matanya, lalu berbisik.
"Baik-baiklah berbaring, jangan pergi-pergi dan jangan berbicara apa-apa !"
"Baik !"
"Sepatah katapun tak boleh bicara"
Kata Yan Jit lagi. Kwik Tay-lok mengangguk.
"Juga tak boleh mengangguk, pokoknya bergerak sedikitpun tidak boleh....!"
Kwik Tay-lok benar-benar tidak berkutik lagi, hanya sepasang matanya saja yang terbelalak lebar sambil mengawasi Yan Jit. Yan Jit menghela napas panjang, katanya dengan lembut.
"Tubuhmu sudah terkena sebatang paku Siang-bun-teng, sebatang panah pendek, ditambah lagi dengan dua batang jarum beracun, hakekatnya selembar nyawamu itu berhasil di pungut kembali, maka kau harus baik-baik menyayangi dirimu."
Sewaktu berbicara, sepasang matanya kembali menjadi merah. Ong Tiong juga menghela napas, katanya.
"Bila kau melarang dia berbicara, mungkin dia akan lebih menderita lagi."
"Betul!"
Seru Kwik Tay-lok cepat-cepat. Yan Jit segera melotot sekejap ke arahnya, serunya.
"Tampaknya aku benar-benar menjadi bibir orang ini !"
"Kalau aku sedang berbicara, badanku tidak terasa sakit."
"Masa benar ?"
"Benar !"
Dia ingin tertawa tapi ditahan, pelan-pelan terusnya.
"Sebab kalau aku sedang berbicara, maka semua rasa sakit itu baru akan kulupakan!"
Yan Jit memandangnya, sinar mata itu entah memancarkan rasa sayang ? Atau mengomel ? Atau perasaan cinta yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Paras mukanya pucat pias seperti mayat, lebih pucat dari pada kertas jendela di depan sana.
Fajar telah menyingsing, sinar sang surya telah memancar masuk lewat balik jendela.
Walaupun malam ini mereka lewatkan dengan penuh penderitaan, toh akhirnya dilewatkan juga.
Tak tahan lagi Kwik Tay-lok lantas bertanya.
"Bagaimana dengan si kelabang besar itu?"
"Sekarang telah berubah menjadi seekor kelabang mampus !"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Yan Jit cepat. Rupanya jeritan ngeri yang terdengar oleh Kwik Tay-lok adalah jeritan dari mulutnya. Tapi kata orang, ulat yang berkaki seratus matipun tidak kaku, maka Kwik Tay-lok bertanya lebih jauh.
"Benar-benar mampus ? sudah mampus seutuhnya ?"
Yan Jit tidak menjawab, yang menjawab adalah Lim Tay-peng.
"Kujamin dia sudah mampus, mampus sampai keakar-akarnya !"
"Kau kah yang membunuhnya ?"
Lim Tay-peng menggeleng.
"Yan Jit yang melakukan !"
Sahutnya. Tiba-tiba ia tertawa dan lanjutnya.
"Apakah, kau tak pernah menyangka kalau dalam keadaan seperti itu, dia masih sempat membalaskan dendam bagimu ?"
Kwik Tay-lok memang tak pernah menyangka, sebab pada waktu itu sudah jelas dia sedang menindihi tubuh Yan Jit. Dia ingin bertanya kepada Yan Jit, tapi Yan Jit sudah melengos ke arah lain. Lim Tay-peng pun berkata lagi.
"Akupun tidak menyangka sampai di situ, tapi aku dapat menyaksikan ketika si kelabang besar itu baru melompat bangun, ada sebilah pisau telah menembusi tenggorokannya, akupun dapat melihat darah yang bercucuran di tanah."
"Di tanah cuma ada darahnya ? Kemana orangnya ?"
"Sudah pergi, kabur sambil membawa pisau tersebut."
"Masa orang mati juga masih bisa berjalan?"
"Karena orang mati ini masih memiliki sisa tenaganya yang sedikit, paling banter juga sekali hembusan napas saja !"
Kwik Tay-lok segera menghembuskan pula napasnya yang mengganjal didalam dada, dengan wajah berseri katanya.
"Tampaknya kita masih belum terlalu rugi!"
"Betul, sekarang kita akan menghadapi mereka berempat dengan empat orang pula,"
Kata Kwik Tay-lok sambil tertawa getir. Tiba-tiba Ong Tiong berkata.
"Mereka tak lebih hanya tinggal tiga orang saja."
"Mana mungkin tinggal tiga ?"
"Ang-nio-cu, ular bergaris merah dan Cui- mia-hu !"
"Apakah kau lupa dengan It-hui-ciong thian Eng Tiong-ong ?"
"Aku tak akan melupakannya !"
Mendadak mimik wajahnya berubah menjadi aneh sekali, sorot matanya seakan-akan sedang memandang suatu tempat yang jauh sekali.
"Hong-nio-cu, Ci-lion-cua, Cui mia hu di tambah pula dengan Eng tiong ong, bukankah jumlah mereka menjadi empat orang ?"
"Tiga tambah satukan menjadi empat kenapa masih tiga?"
Pandangan Ong Tiong terasa kosong, entah apa yang sedang dilihat, dan entah apa pula yang sedang dipikirkan, wajahnya hanya kosong dan hambar... Sampai lama sekali, sepatah demi sepatah dia baru berkata.
"Karena akulah It-hui-ciong-thian eng- tiong ong !"
Tak seorangpun yang menanyakan masa lalu Ong Tiong, sebab mereka dapat menghormati hak setiap orang untuk menyimpan rahasia pribadinya.
Kalau Ong Tiong tidak berkata, merekapun tak akan bertanya.
Rahasia dari Ong Tiong hanya Ong Tiong sendiri yang berhak untuk membicarakannya.
Ong Tiong bukanlah seseorang yang tidak suka bergerak semenjak dilahirkan.
Sewaktu masih kecil dulu, bukan saja gemar bergerak, bahkan sukanya setengah mati dan bergeraknya luar biasa.
Sejak berusia enam tahun, dia sudah pandai memanjat pohon.
Ia pernah memanjat pelbagai macam pohon, maka diapun pernah terjatuh dari pelbagai macam pohon.
Jatuh dengan posisi serta gaya yang beraneka macam.
Yang paling parah adalah sewaktu batok kepalanya mencium tanah lebih dulu, hampir saja batok kepalanya putus jadi dua.
Menanti ia sudah mulai dapat bergelantungan di atas pohon macam monyet, dia baru tidak memanjat pohon lagi.
Karena memanjat pohon baginya sudah seaman tidur didalam balik selimut saja, sama sekali tidak mendatangkan rangsangan.
Sejak itu pula, setiap hari ayah ibunya harus mengirim segenap pembantunya untuk mencari dia kemana-mana.
Waktu itu meski keluarganya sudah jatuh pailit, tapi pembantunya, masih ada beberapa orang.
Setiap kali mereka berhasil menemukannya kembali, keadaannya pasti kecapaian setengah mati, seakan-akan didorong dengan ujung jaripun besar kemungkinan akan roboh.
Tapi dia masih tetap melompat-lompat dengan segarnya, bagaikan udang yang baru keluar dari air.
Sampai pada akhirnya siapapun enggan untuk pergi mencarinya.
Lebih baik memotong kayu bakar delapan ratus kati dari pada disuruh menemukan dirinya.
Lebih baik membersihkan jalan raya dari pada disuruh mencari jejaknya....
Oleh karena itu orang tuanyapun terpaksa harus menyingkirkan ingatan tersebut, terpaksa mereka membiarkan dia bermain sekehendak hatinya dan selama dia suka.
Untung saja setiap dua-tiga hari dia masih mau pulang satu kali.
Pulang untuk mandi, makan, ganti pakaian, Pulang untuk meminta uang jajan.
Sebab pada waktu itu dia masih berusia tiga empat belas tahunan, dia masih merasa minta uang kepada orang tuanya masih merupakan suatu kewajiban yang lumrah.
Menanti dia sudah menginjak dewasa, dan merasa sudah saatnya untuk berdiri sendiri, sulitlah bagi orang tuanya untuk bersua muka lagi dengannya.
Lo-sianseng dan Lo-tay-tay ini entah sudah berapa kali bersumpah didalam hatinya.
"Bila ia pulang nanti, akan kurantai kaki dan tangannya dengan rantai yang besar, akan kuhajar kakinya sampai putus, coba lihat apakah dia masih bisa kelayapan lagi atau tidak."
Tapi menanti dia pulang ke rumah, menyaksikan tubuhnya yang kurus dan kelaparan, mukanya kuning dan mengenaskan, hati Lo-sianseng pun menjadi lemah dan paling banter dia hanya dipanggil masuk ke kamar baca untuk dia beri pelajaran dan nasehat.
Sementara Lo-tay-tay pun sudah turun ke dapur dan buatkan kuah ayam, belum habis nasehat dari Lo-sianseng, paha ayam sudah di jejalkan ke mulut anaknya.
Mungkin di dunia ini hanya orang tua berputera tunggal yang dapat memahami perasaan mereka waktu itu.
Mereka yang menjadi anaknya, tak pernah akan mengerti perasaan dari orang tuanya.
Ong Tiong pun tidak terkecuali.
Dia hanya mengerti, bila seorang lelaki sudah menginjak dewasa, dia harus berkelana untuk membangun dunianya sendiri.
Maka diapun mulai berpetualangan untuk berusaha membangun dunianya sendiri.
Ketika itu dia baru berusia tujuh belas tahun.
Seperti pula pemuda-pemuda berusia tujuh delapan tahun lainnya di dunia ini, sewaktu Ong Tiong pertama kali meninggalkan rumahnya, dia hanya merasakan semangat yang menyala-nyala serta ambisi dan cita-cita yang setinggi langit.
Tapi bila dua hari kemudian, dikala perut sudah mulai lapar, lambat laun diapun mulai teringat akan rumah.
Kemudian diapun akan merasakan hatinya menjadi kosong, merasa amat kesepian.
Dalam keadaan begini, diapun akan berusaha keras untuk berkenalan dengan teman baru, tentu saja seorang teman perempuan yang paling baik.
Pemuda berusia tujuh delapan belas tahunan manakah yang tidak mengharapkan cinta? Tidak mengkhayalkah dia ? Menanti dia sudah merasa kesepian setengah mati itulah, si Ang-nio-cu yang suka menolong kesulitan dan penderitaan orangpun muncul di depan mata.
Perempuan itu dapat memahami ambisinya, memahami pula penderitaan serta kemurungan yang mencekam perasaannya.
Dia menghibur hatinya, menganjurkan kepadanya untuk melakukan pelbagai urusan.
"Bila seorang lelaki sejati mau hidup di dunia ini, maka pekerjaan macam apapun harus dicoba, perbuatan apapun harus dilakukan."
Dalam pandangan Ong Tiong waktu itu, setiap patah katanya seakan-akan merupakan suatu firman.
"Bila seseorang ingin hidup maka dia harus punya uang, punya nama, sebab kehidupan seseorang di dunia ini sesungguhnya adalah demi kenikmatan, serta kebahagiaan."
Waktu itu dia masih belum tahu, kalau dalam kehidupan seseorang selain kenikmatan masih terdapat pula lebih banyak perbuatan yang lebih bermakna.
Oleh karena itu untuk berhasil mendapat nama, dia tak segan-segannya untuk melakukan perbuatan apapun.
Akhirnya diapun menjadi tenar.
Waktu itu umurnya belum mencapai dua puluh tahun, tapi dia telah menjadi Raja elang yang sekali terbang menembusi langit! Ternama memang merupakan suatu peristiwa yang menggembirakan.
Dengan sebisanya dia melakukan banyak pekerjaan, dengan begitu saja menjadi tenar.
Pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang termahal, arak yang diminumpun merupakan arak wangi yang harganya tiga tahil perak sekatinya.
Dia sudah mengerti untuk memilih tukang jahit yang paling baik.
Hidangan Hi-sit yang masak kurang matang sedikit saja, dia segera akan menumpahkannya di atas wajah koki.
Bukan saja dia mengerti untuk mencari kenikmatan, lagi pula kenikmatan yang dirasakan pun luar biasa sekali.
Sebenarnya dia merasa puas sekali.
Tapi entah apa sebabnya, mendadak ia merasa agak menderita, agak murung, lagi pula jauh lebih murung daripada dahulu.
Sebenarnya setiap kali kepalanya menempel bantal, dia lantas tertidur nyenyak, tapi sekarang dia seringkali tak bisa tidur.
Bila sudah tak bisa tidur, diapun seringkali bertanya kepada diri sendiri.
"Semua perbuatan yang kulakukan, sebenarnya pantaskah ku lakukan ?"
"Teman-teman yang kujalin selama ini, sebenarnya betulkah merupakan teman sejati.?"
"Seseorang selain mencari kenikmatan buat diri sendiri, apakah harus memikirkan pula urusan yang lain ?"
Tiba-tiba ia mulai teringat rumah, teringat orang tuanya.
Di dunia ini memang terdapat banyak sekali koki-koki kenamaan, tapi tak akan mampu membuat kuah ayam seperti yang dibuat oleh ibunya.
Kata-kata sanjungan dan muluk-muluk diterimanya selama ini, lambat laun terasa kurang menarik bila dibandingkan dengan kata-kata nasehat dari ayahnya.
Bahkan cumbu rayu dari Ang Nio-cu yang manis dan mesra pun kedengarannya tidak lebih menarik daripada kata-kata yang pernah didengarnya dulu.
Kesemuanya itu masih belum terhitung penting.
Yang paling penting lagi adalah secara tiba-tiba dia ingin menjadi seorang manusia yang normal.
Seseorang yang tiap malam bisa tidur dengan hati yang aman tenteram....
Maka diapun mulai menyusun rencana untuk meninggalkan penghidupan semacam itu, meninggalkan teman-teman seperti itu.
Tentu saja diapun tahu bahwa mereka tak akan melepaskannya pergi dengan begitu saja.
Pertama.
Karena mereka masih membutuhkan dirinya.
Kedua.
Karena banyak rahasia yang dia ketahui.
Satu-satunya yang masih mujur adalah selama berada di hadapan mereka, ia tak pernah menyinggung soal rumahnya dan orang tuanya.
Hal ini entah dikarenakan dia takut orang tuanya kehilangan dia, atau dia takut kehilangan orang tuanya.
(Bersambung
Jilid 17)
Jilid 17 ORANG TUANYA bukanlah seseorang yang luar biasa. Teman-temannya juga tak pernah menanyakan soal keluarganya dan soal orang tuanya, mereka hanya berkata.
"Darimana kau latih ilmu silatmu itu?"
Ilmu silatnya ia latih sewaktu masih kecil dulu....
seorang kakek yang amat misterius tiap hari menunggu kedatangannya dalam hutan dan memaksanya untuk berlatih tekun.
Sampai sekarang dia tak tahu siapakah kakek itu, juga tidak tahu seberapa tinggi ilmu silat yang dia wariskan kepadanya.
Sampai dia berkelahi untuk pertama kalinya, dia baru tahu dengan pasti.
Itulah pengalaman aneh baginya.
Yaa aneh, yaa misterius Maka dia tak pernah membicarakan persoalan ini di depan orang lain, sebab walaupun dia katakan orang lain belum tentu akan mempercayainya....
Bahkan kadangkala dia sendiripun tidak terlalu percaya.
Setiap orang tentu mempunyai masa lalu.
Setiap orang tak bisa dihindari pasti pernah membicarakan masa lalunya di depan teman akrabnya.
Ada kalanya keadaan tersebut bagaikan sedang mengisahkan suatu cerita saja.
Kisah cerita semacam ini sering kali tidak menarik perhatian orang lain....
dari pada mendengarkan orang lain mengibul, lebih baik dirinya sendiri yang mengibul.
Tapi entah persoalan apa, saja tentu ada pengecualiannya.
Ketika Ong Tiong sedang berbicara, setiap orang mendengarkan dengan mata terbelalak, bahkan menukaspun tidak.
Orang pertama yang menimbrung cerita itu tentu saja Kwik Tay-lok.
Dalam kenyataan sudah lama dia menahan diri, setelah mendengarkan sampai di situ dia baru tak tahan untuk menimbrung.
Dia menghembuskan napas panjang lebih dulu, kemudian baru bertanya.
"Apakah tiap hari orang tua itu pasti menunggumu ?"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yaa, setiap hari pasti menungguku dalam hutan belakang dekat tanah pekuburan itu"
Sahut Ong Tiong.
"Dan setiap hari kau pasti pergi !"
"Baik hujan deras, atau hujan badai, tak seharipun aku absen...."
"Jadi seluruhnya kau telah pergi berapa lama ?"
"Jumlah seluruhnya tiga tahun empat bulan...."
Kwik Tay-lok segera menghembuskan napas panjang, gumamnya.
"Waaah.... bukankah jumlahnya menjadi seribu kali lebih ?"
Ong Tiong manggut-manggut.
"Aku dengar, bila belajarmu agak lamban maka kau akan menerima gebukan, bahkan tidak enteng gebuknya?"
Kata Kwik Tay-Iok.
"Sejak tahun itu, aku hampir jarang sekali tidak kena digebuk !"
"Kalau toh setiap hari kena digebuk, kenapa kau masih tetap pergi....?"
"Sebab waktu itu aku merasa perbuatan bukan cuma misterius saja, lagi pula segar dan merangsang."
Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian katanya sambil tertawa.
"Seandainya berganti aku, akupun tetap akan datang !"
Lim Tay-peng juga tak kuasa menahan diri, dia lantas bertanya.
"Apakah kau belum pernah menanyakan nama dari orang tua itu ?"
"Aku sudah bertanya berapa ratus kali !"
"Tahukah kau dia berasal dari mana ?"
Ong Tiong menggeleng.
"Setiap kali aku datang kesana, dia selalu sampai duluan."
"Kenapa kau tidak mendahuluinya ?"
"Bagaimanapun awalnya aku datang, dia selalu sampai duluan ditempat itu."
"Kenapa tidak kau kuntil dirinya, coba lihat dia pulang ke mana?"
Tanya Kwik Tay-lok dengan kening berkerut. Ong Tiong tertawa getir.
"Tentu saja sudah kucoba !"
Sahutnya.
"Bagaimana hasilnya ?"
"Hasilnya tiap kali pasti kena digebuk setengah mati, kemudian pulang seorang diri tanpa banyak membantah!"
Kening Kwik Tay-lok berkerut makin kencang, lalu gumamnya.
"Setiap kali dia menunggu kedatanganmu di sana, setiap kali memaksa kau untuk berlatih silat, tapi ia enggan membiarkan kau tahu siapakah dia yang sebenarnya, betul-betul mengherankan !"
"Masih ada yang lebih mengherankan lagi yakni diapun tak pernah bertanya siapakah aku ?"
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.
"Kejadian aneh semacam ini memang jarang terjadi di dunia ini, tampaknya hanya manusia aneh semacam kau saja yang bisa bertemu dengan kejadian aneh seperti itu."
Tiba-tiba Yan Jit turut bertanya.
"Ketika kau bersiap-siap hendak meninggalkan rekan-rekanmu, apakah Ang Nio-cu pun tidak tahu ?"
"Aku tak pernah membicarakan hal ini di hadapan siapa saja."
"Tapi Ang Nio-cu.... bukankah ia sangat baik kepadamu ?"
Paras muka Ong Tiong berubah semakin tak sedap dipandang, lewat lama sekali dia baru berkata dengan dingin.
"Kepada banyak orang pun dia selalu baik!"
Agaknya Yan Jit baru merasa kalau dia telah salah berbicara, segera dia mengalihkan pokok pembicaraannya ke soal lain, ujarnya kemudian.
"Selanjutnya dengan cara apakah kau melarikan diri ?"
"Suatu ketika mereka sedang bersiap-siap untuk mencuri kitab didalam kuil Siau-lim-si, mereka suruh aku mencari info terlebih dahulu maka aku pun manfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri."
Yan Jit segera menghembuskan napas panjang katanya.
"Beberapa orang itu berani juga membuat keonaran didalam kuil Siau-lim-si, nyatanya nyali mereka tidak kecil !"
"Setelah kau melarikan diri, apakah mereka tak pernah menemukan dirimu?"
"Tak pernah !"
Mendadak dia bangkit berdiri dan menghampiri jendela. Malam itu sangat gelap, lagi pula dingin sekali. Dia berdiri kaku di depan jendela, berdiri termangu-mangu sampai lama sekali, kemudian baru pelan-pelan melanjutkan.
"Sekembalinya ke rumah, aku jarang keluar."
"Apakah secara tiba-tiba kau telah berubah menjadi tak ingin bergerak lagi?"
"Aku memang telah berubah, berubah sangat cepat, berubah sangat banyak...."
Suaranya menjadi parau dan sedih sekali, lanjutnya.
"Karena sekembalinya kemari, aku baru tahu bahwa tahun kedua setelah kepergianku, ibuku telah...."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Sepasang kepalannya telah di genggam kencang-kencang, sekujur badannya gemetar dan ia tak mampu untuk melanjutkan kembali kata-katanya.
Kali ini, bahkan Kwik Tay-lok pun tidak bertanya lagi, ia tak tega untuk bertanya, juga tak perlu bertanya.
Semua orang sudah mengetahui musibah yang menimpa Ong Tiong, juga memahami perasaannya.
Menanti dia pulang untuk membalas budi kebaikan ayah ibunya, keadaan sudah terlambat.
Kenapa setiap orang baru memahami perasaan orang tuanya dikala keadaan sudah terlambat? Lim Tay-peng menundukkan kepalanya, sepasang matanya seperti basah oleh air mata.
Kwik Tay-lok merasakan pula hatinya menjadi kecut, sepasang matanya berubah menjadi merah membara.
Sekarang dia baru tahu, mengapa Ong Tiong bisa berubah menjadi begini miskin, begitu malas dan begitu aneh.
Sebab dia merasa amat sedih dan menyesal.
Dia sedang menghukum dirinya sendiri.
Seandainya kau hendak mengatakan bahwa dia sedang berusaha menghindarkan diri, maka yang dihindari bukanlah Ang Nio-cu, juga bukan ular bergaris merah, lebih-lebih bukan yang lainnya.
Yang dihindari sesungguhnya adalah diri sendiri.
Membayangkan kembali ketika untuk pertama kalinya dia menyaksikan orang itu berbaring seorang diri dalam kegelapan, membiarkan tubuhnya dibuat bermainnya tikus, tanpa terasa Kwik Tay-lok menghela napas panjang...
Seandainya seseorang tidak kehilangan semangatnya, sekalipun bisa menahan lapar, dia tak akan tahan membiarkan tikus bermain di atas badannya.
Malam itu, seandainya Kwik Tay-lok tidak menyerbu ke sana dan tanpa sengaja bersahabat dengannya, entah dia masih bisa hidup sampai hari ini atau tidak ? Pertanyaan semacam ini bahkan dipikirkan pun Kwik Tay lok tidak berani.
Akhirnya Ong Tiong berpaling, kemudian katanya.
"Aku sudah pulang tiga tahun, selama tiga tahun ini mereka pasti tiada hentinya mencari aku."
Kwik Tay lok tertawa paksa, katanya.
"Tentu saja mereka agak susah menemukan dirimu, siapakah yang akan menyangka kalau si raja elang It hui ciong thian Eng-tiong-ong bisa berdiam ditempat semacam ini dan melewati penghidupan seperti ini ?"
"Tapi aku sudah tahu, cepat atau lambat suatu hari mereka pasti akan berhasil menemukan diriku."
Yan Jit segera mengerdipkan matanya berulang kali, lalu katanya.
"Sudah lewat sekian lama, kenapa mereka masih belum mau juga lepas tangan ?"
"Karena perhitungan hutang piutang antara mereka denganku masih belum diselesaikan."
"Sudahkah kau perhitungkan sendiri? Adalah kau yang berhutang kepada mereka ataukah mereka yang berhutang kepadamu?"
Ong Tiong termenung agak lama, kemudian baru sahutnya.
"Ada sementara hutang piutang yang siapapun tak dapat memperhitungkannya sampai beres."
"Kenapa ?".
"Sebab setiap orang tentu mempunyai cara perhitungan setiap orang selalu tidak sama."
Paras mukanya segera berubah makin serius dan berat, pelan-pelan sambungnya.
"Didalam pandangan mereka, hutang piutang ini hanya bisa diselesaikan dengan suatu cara."
"Cara yang mana ?"
"Kau harus mengerti cara yang manakah itu"
Yan Jit berbicara lagi, tapi dia mengetahui dengan jelas.
Ada sementara hutang yang cuma bisa di perhitungkan dengan darah, sebab hanya darahlah yang bisa menyelesaikannya.
Setetes darah masih tidak cukup, yang diperlukan adalah sejumlah darah yang cukup banyak.
Kalau darah satu orang saja tidak cukup yang dibutuhkan adalah darah banyak.
Yan Jit memandang sekejap mulut luka di tubuh Kwik Tay-lok, lewat lama dia baru berkata sambil menghela napas.
"Tampaknya hutang piutang ini makin lama semakin sukar untuk diperhitungkan, entah sampai kapankah perhitungan ini baru bisa diselesaikan ?"
"Jangan kuatir,"
Sahut Ong Tiong sambil menghela napas.
"sudah pasti kita tak usah menunggu terlalu lama lagi sebab...."
Mendadak ia menutup mulutnya rapat- rapat.
Setiap orang menutup mulut, bahkan napaspun seakan-akan ikut berhenti.
Sebab setiap orang seperti mendengar suara langkah kaki.
Suara langkah kaki itu sangat enteng, sedang berjalan menembusi halaman yang bersalju dengan langkah yang sangat lamban.
"Siapa yang telah datang ?"
"Apakah saat ini sudah tiba pada saatnya untuk membuat perhitungan...?"
Lim Tay-peng ingin meronta sambil menerjang keluar dari pintu, namun niat itu kembali diurungkan.
Kwik Tay-lok menunjuk keluar jendela, sedang Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali.
Hanya sebuah langkah kaki....
Orang itu sedang menaiki anak tangga dan berjalan menuju ke pintu sebelah luar.
Mendadak terdengar orang itu mengetuk pintu.
Ternyata orang tersebut datang sambil mengetuk, datang secara terang-terangan, kejadian ini benar-benar sama sekali di luar dugaan mereka.
Akhirnya Ong Tiong menegur.
"Siapa ?"
"Aku !"
Jawab orang diluar itu pelan.
"Siapakah kau ?"
Tiba-tiba orang di luar itu tertawa, suara tertawanya merdu seperti keliningan, malah jauh lebih merdu dan menarik hati.
"Masa suaraku saja tidak kau kenali, kau benar-benar seorang bocah yang tak punya liang sim !"
Ternyata orang yang munculkan diri itu adalah seorang perempuan.
Seorang perempuan yang merdu suaranya dan tampaknya masih sangat muda lagi.
Menyaksikan mimik muka Ong Tiong, setiap orang sudah dapat menduga siapa gerangan perempuan itu..
Paras muka Ong Tiong lebih pucat dari pada mayat.
Yan Jit segera menepuk bahunya, kemudian setelah menuding pintu depan, dia menuding pula pintu belakang.
"Maksudnya... Bila kau tak ingin berjumpa dengannya, lebih baik menghindarlah lewat pintu belakang, aku akan menghadapinya untuk merintangi kedatangannya."
Tentu saja Ong Tiong memahami pula ucapannya itu, hanya dia menggelengkan kepalanya berulang kali.
Dia jauh lebih memahami keadaan diri sendiri daripada orang lain.
Dia telah mundur sampai langkah yang terakhir.
Artinya dia sudah tak dapat mundur lagi, lagi pula diapun tak ingin mundur kembali.
"Mengapa kau belum keluar untuk membuka pintu ?"
Siapapun belum pernah bertemu dengan perempuan yang bernama Ang Nio cu itu, tapi kalau di dengar dari suaranya, entah siapa saja pasti akan membayangkan bahwa dia adalah seorang perempuan yang sedemikian cantik serta mempesonakan hati.
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah didalam rumahmu masih ada perempuan lain, maka kau takut bertemu denganku? Kau harus tahu, aku tidak seperti kau yang begitu pencemburu"
Mendadak Ong Tiong maju ke muka dengan langkah lebar, tapi kemudian berhenti lagi, serunya dengan suara dalam.
"Pintu itu tidak terkunci !"
Hanya didorong pelan saja, pintu itu segera terbuka.
Seseorang berdiri di depan pintu, lagi pula menyongsong sorotan cahaya lampu yang memancar keluar dari dalam ruangan.
Segenap sinar lentera seakan telah terpusatkan di atas tubuhnya seorang, sinar mata setiap orang tentu terpusatkan pula di atas tubuhnya.
Dari atas badannya seakan-akan memancarkan pula serentetan cahaya.
Semacam cahaya merah yang menyilaukan mata dan membuat jantung orang serasa berdebar.
"Pakaian yang dikenakan Ang-Nio-cu sudah barang tentu berwarna merah, tapi sinar tersebut bukan memancar keluar dari bajunya itu. Dalam kenyataan, selain pakaiannya, dari setiap bagian tubuhnya itu seakan-akan terpancar keluar cahaya yang menyilaukan mata. Terutama sekali sepasang matanya dan senyumannya. Setiap orang merasa bahwa sorot matanya itu seakan-akan sedang memandang ke arahnya merasa seakan-akan dia sedang tertawa kepadanya. Andaikata orang bilang dibalik senyuman terdapat daya tarik yang membetot sukma, maka sudah pasti senyuman yang dimaksudkan semacam inilah. Yan Jit menggeserkan sedikit tubuhnya, seperti sengaja tak sengaja dia menghalangi pandangan Kwik Tay-lok. Entah bagiamanapun juga, dia tak akan membiarkan temannya itu menyaksikan senyuman maut dari perempuan semacam itu, maka daripada membiarkan dia melihatnya, lebih baik tidak membiarkan dia menyaksikannya. Bukankah setiap orang selalu berusaha untuk membawa temannya menjauhi segala dosa? Ang Nio-cu memutar sepasang biji matanya yang jeli, tiba-tiba dia berkata.
"Kalian orang lelaki, mengapa selalu bersikap macam maknya...."
Itulah kata-katanya yang pertama. Ketika berbicara sampai di situ, mendadak dia berhenti sebentar, seakan-akan sengaja hendak membuat kata "Maknya"
Nya itu berkesan sekali didalam benak lelaki-lelaki itu....
Seakan-akan dia tahu kalau setiap lelaki yang berada dalam ruangan itu senang sekali mendengarkan kata-katanya itu, juga senang mendengarkan kata-kata semacam itu muncul dari balik bibirnya.
Sebab kata semacam itu memang mendatangkan suatu perasaan yang lain dari pada yang lain bila muncul dari mulutnya.
Pada saat dia sedang berhenti sejenak inilah, terdengar seorang tak tahan sedang bertanya.
"Kau bilang, kami lelaki adalah manusia maknya macam apa?"
Suara itu muncul dari belakang tubuh Yan Jit. Dia bisa saja menghalangi pandangan mata Kwik Tay-lok, namun tak akan dapat menghalangi telinganya, juga tak dapat menghalangi mulutnya untuk berbicara. Ang Nio-cu segera berkata.
"Kenapa sikap kalian macam bertemu dengan setan saja bila bertemu dengan perempuan yang menarik hati? Bahkan sampai berkentut pun tidak dapat ?"
Dia mengerutkan hidungnya, lalu memperlihatkan kembali sekulum senyuman yang Yan Jit tak ingin membiarkan Kwik Tay-lok sampai melihatnya itu, kemudian baru sahutnya dengan pelan.
"Diantara kalian semua, paling tidak harus ada satu orang yang mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam lebih dahulu"
Dalam kenyataannya, sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, dia sudah melangkah ke dalam ruangan.
Setelah orang di dalam ruangan itu mengetahui siapakah dia, juga tahu mau apa dia datang ke situ, ketika menyaksikan perempuan itu benar-benar masuk ke dalam, semua orang seharusnya merasa sangat gusar dan merasa sangat tegang.
Tapi, secara tiba-tiba Yan Jit menemukan bahwa dibalik sorot mata Kwik Tay-lok serta Lim Tay-peng bukan saja sama sekali tiada rasa dendam atau tegang, malahan sebaliknya tampak sekulum senyuman.
Bahkan Yan Jit sendiripun sudah mulai tergoda pikirannya dan mulai curiga.
Didalam anggapannya semula, Ang Nio-cu tidak seharusnya adalah manusia semacam itu.
Sejak dia mengucapkan kata "Mak-nya"
Tadi, suasana didalam ruangan itu seakan-akan sama sekali telah berubah, kesan orang lain terhadapnya pun sama sekali berubah juga.
Seorang perempuan siluman yang berhati keji seperti ular, tidak seharusnya mengucapkan kata-katanya dengan perkataan semacam itu....
Sampai detik itulah, Yan Jit baru menemukan bahwa di tangannya masih membawa sebuah keranjang sayur yang besar sekali.
Dia meletakkan keranjang sayur itu ke atas meja, kemudian meluruskan tangannya dan menghela napas panjang, katanya.
"Seorang perempuan, hanya demi membawakan sedikit makanan buat kalian, bukan saja harus membawa keranjang yang berat, lagi pula harus menempuh perjalanan selama setengah jam lebih, sampai lengan seperti hampir putus rasanya, apakah kalian sama sekali tidak merasa berterima kasih barang sedikit pun jua kepadaku". Mendadak Ong Tiong berkata dengan suara dingin.
"Tak ada orang yang menyuruh kau mengirim makanan kemari, pada hakekatnya tak seorang manusiapun yang menyuruh kau datang kemari !"
Hingga kini, Ang Nio-cu baru mengerling sekejap ke arahnya dengan ujung matanya, lalu dengan marah tak marah, tertawa tak tertawa sambil menggigit bibirnya dia berkata.
"Aku ingin bertanya kepadamu, apakah orang-orang ini semua adalah sahabatmu?"
"Benar !"
Ang Nio-cu segera menghela napas panjang, katanya lagi.
"Dapatkah kau menyaksikan teman-temanmu kelaparan ? Kau bisa tapi aku tak dapat."
"Apakah mereka sedang kelaparan atau tidak, denganmu sama sekali tak ada sangkut pautnya."
"Mengapa tak ada sangkut pautnya ? Temanmu adalah temanku juga, seperti seorang enso, mana tega menyaksikan saudara-saudaranya menderita kelaparan ?"
Kata Ang Nio-cu.
"Siapa sih enso itu ?"
Tanya Yan Jit tak tahan. Ang Nio-cu segera tertawa.
"Kalian adalah teman baiknya Ong lotoa, mengapa dengan enso Ong pun tidak kenal ?"
Dia lantas menyingkap kain yang menutupi keranjang besarnya itu, kemudian berkata lagi sambil tertawa.
"Hari ini ensomu akan menjamu kalian, dan aku minta kalianpun tak usah sungkan-sungkan, tidak di makanpun sia-sia saja tak dimakan....."
"Setelah dimakan ?"
"Setelah di makanpun kalian akan makan dengan gratis !"
Yan Jit segera tertawa dingin, serunya.
"Orang yang makan gratis, biasanya tak akan berumur panjang !"
Ang Nio-cu melotot ke arahnya, kalau dilihat tampangnya itu seakan-akan baru saja dia kena ditempeleng orang. Lewat lama kemudian, dia baru berpaling ke arah Ong Tiong sembari katanya lagi.
"Apakah kalian beranggapan bahwa makanan yang ku bawa itu semuanya beracun?"
"Benar !"
"Kau mengira kedatangan kami ini adalah bertujuan untuk meracuni kalian semua ?"
"Benar !"
"Bukan saja meracuni orang lain, juga meracuni pula dirimu ?"
"Benar !"
Sepasang Ang Nio-cu seakan-akan berubah menjadi merah, mendadak dia berpaling ke arah lain dan mengeluarkan sepotong paha ayam dari dalam keranjangnya, lalu serunya lagi.
"Kalau begitu kau mengatakan dalam paha ayam inipun tentunya ada racunnya juga bukan?"
"Kemungkinan besar !"
"Baik, baik....."
Dia menggigit paha ayam itu dan ditelannya, kemudian mengambil sebotol arak dan berkata lagi.
"Apa didalam arakpun ada racunnya juga?"
"Besar kemungkinannya.!"
"Baik !"
Kembali perempuan itu meneguk arak tersebut dari dalam botol araknya.... Pokoknya perempuan itu telah makan setiap hidangan yang berada di keranjangnya itu satu demi satu, kemudian baru mendongakkan kepalanya dan melotot ke arah Ong Tiong, tanyanya.
"Sekarang, bagaimana pendapatmu ?"
Tanpa berpikir lagi, Ong Tiong segera menjawab.
"Seperti dengan jawabanku tadi."
"Kau masih menganggapnya beracun ?"
"Benar !"
Air mata telah jatuh bercucuran membasahi wajah Ang Nio-cu, tapi dia berusaha menahan diri, lewat lama kemudian dia baru pelan-pelan mengangguk, katanya dengan sedih.
"Aku sudah memahami sekarang dengan jalan pemikiranmu itu."
"Seharusnya kau dapat memahaminya semenjak dulu!"
"Kau menganggap sebelumnya aku telah makan obat penawarnya dulu baru datang kemari ?"
"Hmmm !"
Dengan sedih kembali Ang Nio-cu berkata.
"Kau selalu menganggap aku sebagai seorang perempuan yang berhati keji bagaikan racun kala, selalu menganggap aku hanya berbaik kepadamu karena ingin memperalat dirimu ?"
Ketika berbicara sampai di situ, tidak tahan lagi air matanya jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Ketika mendengar sampai di situ, baik Kwik Tay-lok maupun Lim Tay-peng sudah merasakan hatinya bertambah lunak, meski dimulut dia tidak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya mulai berpikir kenapa sikap Ong Tiong kepadanya bisa begitu keras ? Tidakkah tindakan tersebut kelewat batas ? Bagaimanapun juga, dahulu mereka toh pernah terikat dalam suatu hubungan percintaan yang cukup mesra.
Andaikata berganti dengan Kwik Tay-lok mungkin sekali dia sudah memeluk perempuan itu ke dalam pelukannya.
Tapi wajah Ong Tiong masih belum menunjukkan perubahan apa-apa.
Perasaan orang ini seakan-akan terbuat dari baja asli.
Tampak Ang Nio-cu memasukkan kembali hidangan yang telah dikeluarkannya itu ke dalam keranjang, kemudian sambil menggigit bibir dia berkata.
"Baik, kalau toh kau beranggapan bahwa makanan itu beracun semua, aku akan membawanya pergi."
"Memang paling baik kalau kau cepat-cepat kau bawa pergi."
Sekujur badan Ang Nio-cu telah gemetar keras, sambil menggigil serunya lagi.
"Bila kau menganggap aku tak pernah berpikiran baik kepadamu, selanjutnya akupun dapat menghindari dirimu sedapatnya."
"Kau sudah seharusnya tidak datang kemari dan berjumpa dengan diriku...."
"Aku.... aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu...."
Mendadak ia menerjang kehadapan Ong Tiong, lalu teriaknya keras-keras.
"Aku ingin bertanya kepadamu, sejak kau berkenalan denganku, pernahkah aku melakukan suatu perbuatan yang menyalahi dirimu atau merugikan dirimu ?"
Tiba-tiba Ong Tiong tak dapat berbicara. Ang Nio-cu mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, masih dengan sekujur badan yang gemetar keras, teriaknya lagi.
"Betul aku memang bukan seorang perempuan baik-baik, aku memang sudah pernah mencelakai banyak sekali lelaki yang lain, tapi sikapku kepadamu.... kapan aku pernah mencelakai ? Katakan! Hayo cepat katakan !"
"Sekarang, diantara kita sudah tiada perkataan lain yang bisa dibicarakan Lagi !"
Ujar Ong Tiong dingin. Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan mengangguk, katanya dengan sedih.
"Baik, aku akan pergi, aku akan pergi.... tak usah kuatir, kali ini aku akan pergi, selama hidup aku tak akan datang mencari dirimu lagi...."
Pelan-pelan dia membalikkan badannya, mengambil keranjang dan pelan-pelan berjalan keluar dari situ.
Memandang bayangan punggungnya yang kesepian, kurus dan mengenaskan itu menuju ke halaman yang dingin dan gelap, Kwik Tay-lok merasakan hatinya turut menjadi duka.....
Angin di halaman luar berhembus kencang, bunga salju berterbangan dan menyebar kemanamana, suasana terasa amat mengenaskan sekali.
Bukankah perasaan manusia pun seperti keadaan tersebut? Cinta kasih yang telah terjalin selama banyak tahun, kadangkala seperti juga tumpukan salju di atas pohon, bila angin berhembus lewat, maka salju itu akan berguguran dan tersebar entah kemana.
Kwik Tay-lok merasakan hatinya menjadi pilu dan kecut, dia cuma berharap perasaan Ong Tiong bisa turut menjadi lembek dan bisa menahan perempuan yang mengenaskan itu agar jangan pergi.
Tapi hati Ong Tiong tampak lebih keras daripada baja, dia hanya menyaksikan kepergian perempuan tersebut dengan begitu saja, matanya melotot besar dan sama sekali tidak menunjukkan perubahan sikap apapun juga...
Menyaksikan Ang Nio-cu sudah melangkah keluar dari pintu, hampir saja Kwik Tay-lok tidak tahan untuk mewakili Ong Tiong menahannya di situ....
Mendadak, sekujur badan Ang Nio-cu mengejang keras, seakan-akan seseorang yang kena di cambuk secara tiba-tiba.
Kemudian tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah.
Begitu mencium tanah, ke empat anggota badannya segera mengejang lagi dengan kerasnya, paras mukanya yang putih bersihpun berubah menjadi hitam pekat, sepasang matanya melotot ke atas, buih putih tiada hentinya keluar dari ujung bibirnya.
Dibalik buih putih itu masih terlihat noda darah.
Dengan paras muka berubah Yan Jit segera berseru.
"Aaaah.... rupanya makanan yang dia bawa itu benar-benar ada racunnya...!"
"Tapi dia sendiri pasti tidak tahu"
Sambung Kwik Tay-lok dengan cepat.
"kalau tidak, mengapa dia sendiri bisa keracunan?"
Ong Tiong masih berdiri di situ bagaikan sebuah patung arca, bergerak sedikitpun tidak, seakan-akan dia sama sekali tidak menyaksikan peristiwa itu. Bahkan Yan Jit sendiripun merasa agak gelisah, tak tahan dia lantas berseru.
"Ong lotoa, bagaimanapun juga seharusnya pergi menengok keadaannya..."
"Melihat apa ?"
"Periksalah dulu apakah dia keracunan atau tidak ? Apakah masih bisa tertolong atau tidak ?"
"Tiada sesuatu yang perlu dilihat lagi."
Jawab Ong Tiong dengan suara dingin. Kwik Tay-lok yang mendengar jawaban tersebut, tak tahan lagi segera berteriak.
"Bagaimana sih kamu ini? Mengapa kau sama sekali tidak berperikemanusiaan ?"
Seandainya Yan Jit tidak menekan tubuhnya, mungkin dia sudah meronta dan merangkak bangun. Tampak Ang Nio-cu tiada hentinya mengejang keras, terengah-engah dan berseru tiada hentinya.
"Ong Tiong.... Ong Tiong...."
Akhirnya Ong Tiong tak tahan juga untuk menghela napas panjang, katanya lirih.
"Aku berada di sini"
Ang Nio-cu segera meronta dan mengulurkan tangannya seraya berseru kembali.
"Kau... kau kemarilah.... aku mohon kepadamu datanglah menjumpai aku...."
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ong Tiong menggigit bibirnya kencang-kencang, lalu berkata.
"Jika kau ingin mengucapkan sesuatu, sekarang katakan saja, aku dapat mendengarnya dari sini."
"Aku tidak tahu.... benar-benar tidak tahu kalau makanan tersebut ada racunnya, aku benarbenar bukan datang kemari untuk mencelakai dirimu, kau.... kau seharusnya percaya kepadaku."
Ong Tiong belum juga menjawab. Tapi Kwik Tay-lok sudah tak kuasa menahan diri lagi, dia segera berteriak-keras.
"Aku percaya kepadamu, kami semua percaya kepadamu."
Ang Nio-cu tertawa sedih, katanya lagi.
"Walaupun ular bergaris merah sekalian beranggapan bahwa kau telah berbuat sesuatu yang menyalahi mereka, meski mereka ingin membinasakan dirimu, tapi aku... aku sama sekali tidak bermaksud demikian."
Kembali dia mengejang keras, peluh dingin telah membasahi sekujur badannya sambil meronta, kembali katanya.
"Walaupun aku bukan seorang perempuan baik-baik, tapi sikapku kepadamu selalu bersungguh hati. Asal kau dapat memahami perasaanku, aku.... sekalipun aku harus mati juga rela, aku rela berkorban demi dirimu...."
Ketika habis mengucapkan perkataan itu, tampaknya dia telah mempergunakan segenap tenaga yang dimilikinya, sehingga tenaga untuk merontapun sudah tidak dimilikinya lagi.
Kwik Tay-lok yang menyaksikan keadaan tersebut, tanpa terasa matanya ikut menjadi basah, sambil menggigit bibir katanya.
"Ong lotoa, sudah kau dengarkah perkataannya?"
Ong Tiong manggut-manggut. Kembali Kwik Tay-lak berseru sambil menggigit bibir.
"Kalau sudah kau dengar, mengapa masih berdiri tak berkutik ditempat itu ?"
"Gerakan apa yang harus kulakukan?"
"Demi kau, dia telah berubah menjadi begitu, apakah kau tak bisa mencarikan akal untuk menyelamatkan jiwanya ?"
"Kau suruh aku menolongnya dengan cara apa ?"
Tiba-tiba Lim Tay-peng berkata.
"Kalau toh kau bisa memunahkan racun senjata rahasia yang bersarang di tubuh Siau Kwik, seharusnya kaupun bisa memunahkan racun yang mengeram didalam tubuhnya sekarang."
Ong Tiong segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Itu mah berbeda, sama sekali berbeda !"
Katanya.
"Apa perbedaannya?"
Seru Kwik Tay-lok.
Tiba-tiba Ong Tiong tidak berbicara lagi.
Walaupun dia masih berusaha keras untuk mengendalikan diri, tapi dibalik sorot matanya itu seakan terpancar sinar air mata, bukan air mata kesedihan, melainkan rasa gusar yang tampaknya sudah mulai meluap...
Jari tangannyapun turut gemetar keras.
Yan Jit termenung sebentar, lalu ujarnya.
"Andaikata Ong lotoa tak dapat memunahkan racun didalam tubuhnya, maka di dunia ini hanya ada satu orang yang bisa memunahkan racunnya itu..."
"Siapa ?"
"Si ular bergaris merah !"
"Betul !"
Teriak Kwik Tay-lok.
"kita harus minta si ular bergaris merah itu menyerahkan obat pemunahnya."
"Aku kuatir inipun sulit"
Kata Yan Jit sambil menghela napas panjang.
"Ingin meminta obat penawar dari ular bergaris merah, hakekatnya keadaan tersebut sama sulitnya dengan meminta harimau untuk menguliti kulitnya sendiri."
Tentu saja Kwik Tay-lok juga menyadari akan teori tersebut. Sementara itu dengusan napas Ang Niocu makin lama semakin lemah, tapi dia masih tiada hentinya memanggil nama Ong Tiong.
"Ong Tiong.... Ong Tiong..."
Suara panggilannya makin lama semakin lemah, Kwik Tay-lok yang mendengarkan suara tersebut merasakan hatinya seperti hancur lebur tak tahan dia berteriak keras.
"Kalau memang kalian tak bisa menolongnya dan tak mau memintanya obat penawar dari si ular bergaris merah, apakah kalian akan menyaksikan orang itu mati di hadapan kalian ? Sebetulnya kalian ini manusia atau bukan ?"
Yan Jit menghela napas pula, sahutnya.
"Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan ?"
"Sekalipun si ular bergaris merah sendiri, diapun tidak akan membiarkan ia mati karena keracunan, kalian...."
Selama ini Lim Tay-peng hanya duduk di situ sambil termangu-mangu, pada saat itulah mendadak ia menukas perkataannya sambil berteriak keras.
"Benar, ular bergaris merah juga tak akan membiarkan dia mati dengan begitu saja, oleh sebab itu kita harus menghantarnya pulang."
Walaupun cara ini kurang baik, tapi tak bisa dianggap sebagai suatu cara yang jelek. Dengan kening berkerut Yan Jit lantas berkata.
"Persoalannya sekarang, siapa yang menghantarnya pulang kesana ?"
"Hmm ..... !"
Kwik Tay-lok mendengus.
Walaupun dia tidak mengatakan apa-apa, namun ujung matanya sedang melihat Ong Tiong.
Tentu saja dia merasa Ong Tiong yang berkewajiban untuk menghantarnya pulang.
Asal orang ini masih memiliki sedikit liang-sim, dia tak akan membiarkan perempuan itu mati di sana...
Siapa tahu Ong Tiong tidak menunjukkan reaksi apa-apa, bahkan sepasang matanyapun tidak berkedip, seakan-akan ia tidak mendengar apa-apa, atau sekalipun mendengar seolah-olah tidak memahami apa artinya, dia mirip sekali dengan seseorang yang lemah ingatan..
Tentu saja Ong Tiong bukan seseorang yang lemah ingatan.
Dia tak lebih cuma berlagak seolah-olah bodoh.
Tak tahan Kwik Tay-lok segera berteriak keras.
"Baik, kalian tak mau menghantarnya pulang, biar aku saja yang menghantarnya !"
Dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, dia melompat bangun.
Dengan cepat Yan Jit memeluknya kencang-kencang.
Ong Tiong berpaling memandang sekejap ke arah mereka, sorot matanya memancarkan rasa sedih dan kasihan.
Siapapun tak ada yang tahu, sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan...
Lewat lama kemudian, akhirnya dia mendepak-depakkan kakinya ke atas tanah seraya berseru.
"Baik, aku akan menghantarkanmu pulang!"
Dia membalikkan badan dan maju ke depan baru saja akan membopong tubuh Ang Nio cu....
Mendadak Lim Tay-peng melompat maju ke depan, sekuat tenaga dia menumbuknya sehingga orang itu mundur tujuh-delapan depa dan jatuh di sudut dinding sana.
Pada saat itulah Lim Tay-peng telah membopong tubuh Ang Nio-cu dari atas tanah.
Mendadak paras muka Ong Tiong berubah hebat, teriaknya keras-keras.
"Hei, apa yang hendak kau lakukan ?"
Lim Tay-peng segera menukas perkataannya itu.
"Hanya aku seorang yang dapat mengantarnya pulang, Yan Jit harus merawat siau Kwik, kau adalah duri dalam mata baginya, bila kau yang pergi maka mereka tak akan melepaskan dirimu."
Sambil berkata dia sudah melayang keluar dari situ. Ong Tiong segera melompat bangun dan menerjang ke depan kecepatan luar biasa, bentaknya keras-keras.
"Cepat lepaskan dia, cepat...."
Di tengah bentakan keras, mendadak terdengar Lim Tay-peng menjerit kaget.
Ang Nio-cu yang sudah kempas-kempis napasnya itu mendadak melompat bangun dari bopongannya seperti seekor ular berbisa, kemudian melambung tiga kaki ke tengah udara, berjumpalitan beberapa kali dan sekejap mata kemudian lenyap dibalik kegelapan sana.
Terdengar suara tertawa merdu seperti keleningan bergema dari kejauhan sana.
"Telur busuk she Ong, kau melihat orang yang mau mati tak sudi menolong, kau betul-betul seorang manusia yang tak punya liangsim, kau betul-betul seorang makhluk yang tak punya perasaan."
Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, orangnya sudah pergi jauh sekali.
Yang tersisa hanyalah suara tertawanya yang merdu dan lengking seperti suara kehilangan itu menggema dari kejauhan sana.
Itulah suara tertawa yang merdu seperti keleningan perenggut nyawa.
Lim Tay-peng sudah tergeletak di atas permukaan salju di atas dadanya telah bertambah dengan setitik bekas merah yang berwarna ke hitam-hitaman....
Tak ada orang yang bergerak.
Tak ada orang yang berbicara.
Bahkan sekulum senyuman manisnya yang terakhirpun akhirnya terbuyar oleh hembusan angin dingin.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Ong Tiong berjalan keluar dengan langkah pelan.
kemudian membopong tubuh Lim Tay-peng dan dibawa kembali.
Wajahnya jauh lebih dingin daripada hembusan angin, lebih gelap dari cahaya malam.
Air mata Kwik Tay-lok telah jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
Yan Jit sedang memandang ke arahnya, air mata pun telah membasahi seluruh wajahnya dengan lembut dia berkata.
"Kau tak usah berkecil hati, soal inipun tak dapat menyalahkan dirimu!"
Seandainya dia tidak mengucapkan perkataan itu, keadaannya masih mendingan, begitu ucapan tersebut diutarakan, Kwik Tay-lok tak dapat menahan rasa sedihnya lagi.
Mendadak seperti seorang anak kecil saja, dia menangis tersedu-sedu....
Entah berapa lama sudah lewat, pelan-pelan Ong Tiong baru mendongakkan kepalanya seraya berkata.
"Dia belum mati !"
Kejut dan girang Yan Jit setelah mendengar perkataan itu, serunya tertahan.
"Apakah dia masih bisa tertolong ?"
Ong Tiong manggut-manggut.
"Apa yang harus dilakukan sehingga dia baru bisa tertolong ?"
Tanya Yan Jit lagi.
Begitu ucapan itu diutarakan, sekali paras mukanya berubah hebat.
Karena dia telah menduga apa yang bakal terjadi, sebab di dunia ini hanya ada satu cara yang bisa menolong jiwa Lim Tay-peng.
Itulah suatu cara yang benar-benar menakutkan sekali.
Dia memandang ke arah Ong Tiong, sorot matanya pun tanpa terasa memancarkan rasa takut yang luar biasa, sebab dia sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Ong Tiong.
Tentu saja Ong Tiong juga tahu apa yang sedang dia pikirkan, paras mukanya justru kelihatan sangat tenang sekali, katanya dengan suara hambar.
"Kau harus tahu apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan jiwanya..."
Cepat-cepat Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali, serunya.
"Cara ini tak bisa kau lakukan."
"Tidak bisa !"
Teriak Yan Jit dengan suara lantang.
"Tidak bisa juga harus bisa, sebab kita sudah tidak memiliki pilihan yang lain."
Mendadak Yan Jit roboh ke bawah, roboh di atas kursi dan duduk lemas, seolah-olah dia sudah tak sanggup lagi untuk mempertahankan diri.
Kwik Tay-lok sedang mengawasi mereka dengan mata melotot besar, noda air mata masih membasahi wajahnya, tak tahan diapun bertanya.
"Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan ?"
Tiada orang yang menjawab, tiada orang yang buka suara. Dengan gelisah Kwik Tay-lok berseru kembali.
"Mengapa kalian tak mau memberitahukan kepadaku ?"
Yan Jit menghela napas pelan, sahutnya.
"Sekalipun kau tahu juga sama sekali tak ada gunanya!"
"Kenapa tak ada gunanya? Kalau bukan aku yang mengajukan usul tersebut, Lim Tay-peng tak akan berubah menjadi begitu rupa, aku lebih sedih dari pada siapapun, lebih gelisah dan ingin menolong dirinya daripada siapa pun."
"Sekarang kau hanya bisa menolong seseorang."
Kata Ong Tiong dengan suara dingin.
"Siapa ?"
"Kau sendiri !"
"Luka yang kau derita tidak ringan, bila pikiran sampai melayang kemana-mana, mungkin nyawamu sendiripun tak bisa dipertahankan."
Bujuk Yan Jit dengan lembut. Kwik Tay-lok melototi sekejap ke arah arang-orang itu, mendadak katanya.
"Senjata rahasia yang terkena di tubuhku apakah juga beracun?"
"Benar !"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang telah menolongku ?"
"Ong lotoa !"
"Kalau toh Ong lotoa bisa memunahkan racun yang bersarang di tubuhku, mengapa dia tak dapat memunahkan racun di tubuh Lim Tay peng ?"
Yan Jit tidak menjawab. Kembali Kwik Tay-lok berkata.
"Racun yang mereka poleskan di ujung senjata rahasia mereka seharusnya berasal dari satu aliran, bukankah begitu ?"
Yan Jit termenung lagi sampai lama sekali, kemudian baru menghela napas panjang.
"Kenapa kau harus menanyakan kesemuanya itu sampai sedemikian jelasnya?"
"Kenapa aku tak boleh bertanya sejelas-jelasnya ?"
Seru Kwik Tay-lok dengan suara keras.
"bila kalian tidak memberitahukan lagi kepadaku, aku akan.... aku akan..."
Sekuat tenaga dia memukul-mukul pinggiran pembaringan, saking mendongkolnya dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Sambil menggigit bibir, Yan Jit segera berseru.
"Baik aku akan memberitahukan kepadamu, racun yang bersarang di tubuhmu serta racun yang bersarang di tubuh Lim Tay-peng, kedua-duanya adalah racun khusus dari si ular garis merah, oleh sebab itu hanya obat penawar khusus darinya yang bisa menolong jiwamu."
"Tapi Ong lotoa...."
"Ketika Ong lotoa bersiap-siap hendak meninggalkan mereka, secara diam-diam dia telah mencuri sedikit obat pemunah khusus dari ular garis merah dan menyembunyikannya, maksudnya adalah sebagai persediaan untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan".
"Lantas dimana obat penawarnya ?"
"Telah dipakai sampai habis sewaktu menolongmu!"
Jawab Yan Jit sepatah demi sepatah.
"Sudah dipakai sampai habis ?"
Kwik Tay lok berseru tertahan.
"Yaa, sedikitpun sudah tak ada sisanya lagi."
Sambil menggigit bibir, pelan-pelan katanya lagi.
"Sebetulnya obat penawar itu dipersiapkan untuk menolong dirinya sendiri, tapi sekarang telah digunakan semua untuk menolongmu. Sebetulnya aku mengira dia masih meninggalkannya sedikit, siapa tahu karena dia takut kau keracunan hebat dan takut kadar obat pemunahnya kurang, maka...."
Berbicara sampai di situ, sepasang matanya menjadi merah dan ia tak sanggup melanjutkan kembali, sebetulnya persoalan ini hanya dia seorang yang tahu, sebab waktu itu Lim Tay-peng sedang berjaga ditempat luaran..
Kwik Tay-lok mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, peluh dingin membasahi sekujur badannya, lewat lama sekali dia baru bergumam.
"Akulah yang telah mencelakai Lim Tay-peng, obat pemunah yang bisa menyelamatkan diapun telah kupergunakan sampai habis, aku betul-betul hebat, betul-betul luar biasa...."
"Kejadian ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian yang sama sekali tak terduga oleh siapapun, kau sama sekali tidak...."
"Betul, aku sama sekali tidak meminta kepada kalian untuk menolongku."
Seru Kwik Tay-lok "kalian sendiri yang harus berbuat demikian untuk menolongku, tapi mengapa kalian tidak pikirkan, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin bisa membuat aku hidup dengan hati yang lega dan tenteram....?"
"Kau harus hidup terus,"
Ujar Ong Tiong dengan wajah membesi.
"setelah aku menolongmu, sekalipun kau ingin mati juga tak bisa."
"Tapi Lim Tay-peng...."
"Kau tak perlu menguatirkan dirinya,""
Ujar Ong Tiong dengan suara dalam.
"kalau toh aku bisa menolongmu, tentu saja akupun mempunyai akal untuk menolong dirinya."
"Sekarang aku telah mengerti cara apakah yang hendak kau pergunakan itu."
Ujar Kwik Taylok sambil menggigit bibirnya.
"Kau hendak meminta obat penawar kepada ular garis merah, bukankah begitu?"
Setelah menggertak bibir, kembali serunya.
"Tadi kau tak mau pergi, lantaran kau terlalu memahami watak Ang Nio-cu, tapi sekarang, demi Lim Tay-peng, sekalipun harus mengorbankan jiwa untuk memperoleh obat penawar itu, mau tak mau kau harus pergi juga."
Ong Tiong tertawa hambar.
"Kau anggap It-hui-ciong-thian eng-tiong ong adalah seorang manusia baik-baik ?"
"Aku tidak kenal siapa itu eng-tiong-ong, aku hanya kenal dengan Ong Tiong, akupun memahami manusia macam apakah Ong Tiong itu."
"Ooooohhh....?"
Sepasang mata Kwik Tay-lok kembali berkaca-kaca, katanya.
"Manusia yang bernama Ong Tiong itu meski dingin dan kaku mukanya, padahal dia berhati lebih lunak daripada tahu, lebih panas daripada kobaran api."
Ong Tiong termenung beberapa saat lamanya, kemudian diapun berkata.
"Kalau toh kau sangat memahami diriku, tentunya kau juga harus tahu, apabila aku sudah ingin melakukan sesuatu, maka siapa saja tak akan sanggup untuk menghalangi niatku itu."
"Kau juga harus memahami diriku"
Kata Kwik Tay-lok pula.
"bila aku ingin melakukan suatu pekerjaan, tak seorangpun yang dapat menghalangi diriku !"
"Kau ingin melakukan apa ?"
"Pergi mencari si ular garis merah untuk meminta obat penawar darinya...."
"Kau mana boleh pergi ?"
Seru Yan Jit berubah.
"Kenapa aku tak boleh pergi? Pokoknya aku akan pergi, lagi pula hanya aku seorang yang dapat pergi."
"Tapi lukamu...."
"Justru karena aku terluka, maka kalian lebih-lebih harus membiarkan aku pergi."
Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara, dia melanjutkan kembali.
"Sekarang kita sudah tinggal dua orang, bila dua orang harus menghadapi tiga orang, maka jelas hal ini parah keadaannya, oleh sebab itu kalian tak boleh terluka lagi, kalau tidak kita semua hanya akan menemukan jalan kematian belaka."
"Walaupun perkataanmu ada benarnya juga. tapi....."
Kwik Tay-lok segera menukas kata-katanya itu.
"Tapi kami pun tak dapat membiarkan Lim Tay-peng mati keracunan, oleh sebab itu hanya aku seorang yang boleh pergi, bagaimanapun juga aku toh sudah terluka, dan tak mampu menyumbang tenaga lagi, apa lagi..."
Setelah tertawa.
"Paling tidak si ular garis merah sekalian juga masih terhitung manusia, bagaimanapun juga mereka tak akan turun tangan keji terhadap seseorang yang sudah tidak memiliki kemampuan untuk melawan bukan?"
Ong Tiong segera tertawa dingin.
"Kau anggap mereka tak dapat membunuhmu?"
Jengeknya.
"Aku rasa tidak"
"Kau yang lebih memahami mereka? Atau aku ?"
"Kalau begitu aku dapat memberitahukan kepadamu, mereka hanya tidak membunuh semacam manusia"
"Manusia macam apa ?"
"Orang yang sudah mati!"
Mendadak serentetan suara tertawa yang merdu bagaikan keleningan berkumandang datang terbawa angin.
Yan Jit menerjang ke muka, diapun menyaksikan sebuah layang-layang berwarna kuning sedang melayang turun dengan amat pelannya ditengah kegelapan malam.
Layang-layang itu berbentuk segi empat diatasnya tertera pula lukisan yang me-liuk-liuk seperti cacing.
Sekarang Yan Jit sudah tahu, layang-layang tersebut bukan suatu layang-layang biasa, melainkan sebuah tanda pembetot nyawa yang mematikan bagi siapapun yang melihatnya.
Tulisan apakah yang tertera di atas tanda pembetot nyawa itu? Siapapun tidak memahaminya.
Hanya manusia yang pernah mendatangi neraka saja yang dapat memahami tulisan tersebut.
Ong Tiong juga memahaminya.
Di atas layang-layang berwarna kuning itu penuh berisikan gambaran Hu yang berwarna merah, merahnya seperti darah, seperti pula kobaran api dari neraka.
Ong Tiong mengawasinya lekat-lekat, dari balik sorot matanya yang dingin terpancar keluar cahaya ngeri dan ketakutan yang luar biasa.
Yan Jit tidak memperhatikan layang-layang tersebut, dia hanya memperhatikan sepasang mata Ong Tiong....
walaupun ia tidak mengerti makna dari gambaran Hu di atas layang-layang tersebut, namun dia memahami apa arti dari sorot mata Ong Tiong tersebut.
Tak tahan lagi dia bertanya.
"Tulisan apakah yang tertera di atas layang-layang tersebut?"
Ong Tiong termenung sampai lama sekali tanpa menjawab, dia malah membuka jendela dan memandang kegelapan malam yang mencekam.
Bintang makin redup, malampun sudah mendekati akhir.
Ditengah kegelapan malam, kembali tampak sebuah layang-layang dinaikkan ke tengah udara.
Ong Tiong menghela napas panjang, gumamnya.
"Fajar kembali sudah menyingsing!"
"Langit tentu akan menjadi, terang !"
Sambung Yan Jit.
"Akupun tentu akan pergi !"
Ong Tiong menambahkan. (BERSAMBUNG
Jilid 18)
Jilid 18 KENAPA ? Tanya Yan Jit dengan paras muka berubah menjadi pucat pias seperti mayat.
"Sebab sebelum fajar menyingsing nanti, bila aku masih belum sampai di bawah Layanglayang tersebut, maka Lim Tay-peng akan mati!"
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, wajahnya tampak murung dan sedih sekali.
Yan Jit juga tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya membungkam seribu bahasa.
Dia tahu, apabila Ong Tiong telah berkata demikian, maka yang diucapkan itu sudah pasti tak bakal salah lagi.
Sebab bagaimanapun juga Ong Tiong jauh lebih memahami keadaan dari pada dirinya.
Langit sudah hampir terang tanah.
Datangnya fajar selalu membawa kecemerlangan, kegembiraan serta harapan bagi siapapun juga.
Tapi sekarang, yang diberikan untuk Ong Tiong sekalian hanyalah kematian.
Sebelum fajar menyingsing, bila Ong Tiong tidak berdiri di bawah layang-layang tersebut, Lim Tay-peng akan mati ! Itulah arti dari pada tulisan yang tertera diatas, layang-layang tersebut....
Artinya, bagaimanapun juga Ong Tiong harus ke situ, dia harus mengorbankan jiwanya.
Dengan suara lantang Kwik Tay-lok berseru.
"Aku toh sedari dulu sudah bilang, hanya aku seorang yang dapat ke situ, siapa saja jangan harap bisa menghalangi diriku !"
"Baik, kau boleh pergi"
Kata Ong Tiong dengan hambar.
"tapi perduli kau akan pergi atau tidak, aku tetap akan pergi juga."
"Kalau aku toh sudah pergi, kenapa kau musti pergi juga ?"
"Sebab yang mereka cari bukan kau, melainkan aku !"
"Sekalipun kau pergi kesana, belum tentu mereka akan berikan obat penawar itu kepadamu, tentunya dalam hal ini kau lebih jelas daripada diriku bukan ?"
Seru Yan Jit.
"Yaa aku mengerti."
"Apa yang mereka lakukan tidak lebih hanya merupakan siasat untuk memancing kedatanganmu, cuma satu perangkap yang menanti kau masuk jebakan, sudah pasti mereka telah mempersiapkan diri di sana dan menunggu kau masuk perangkap."
"Soal ini aku jauh lebih mengerti daripada dirimu."
"Tapi kau masih bersikeras hendak pergi juga kesana ?"
"Apakah kau harus membiarkan aku menyaksikan kematian Lim Tay-peng...?"
Napas Lim Tay-peng sudah makin lemah, sepasang giginya saling menggertak keras, wajahnya juga menunjukkan warna abu-abu, itulah suatu warna kematian.
Entah siapapun juga, setiap orang dapat melihat bahwa jaraknya dengan kematian sudah tidak jauh lagi.
Dengan sedih Yan Jit berkata.
"Kami tak dapat menyaksikan dia mati, tapi juga tak dapat membiarkan kau pergi mati !"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ong Tiong segera tertawa-tawa ujarnya.
"Dari mana kau bisa tahu kalau kepergianku kali ini adalah menghantar kematian ?"
"Siapa tahu kalau dengan cepat aku telah kembali lagi sambil membawa obat penawar!"
Yan Jit, segera melompat sekejap ke arahnya, kemudian berkata.
"Sebetulnya kau lagi menipu kami? ataukah sedang membohongi dirimu sendiri ?"
Akhirnya Ong Tiong menghela napas panjang.
"Aku sendiripun tahu kalau harapanku untuk kembali dengan selamat tidak besar, tapi asal masih ada setitik harapan, aku tetap akan mencobanya...."
"Seandainya setitik harapanpun tak ada?"
"Aku masih tetap akan mendatanginya juga."
Perkataan itu diucapkan dengan kata-kata yang tegas dan bersungguh-sungguh. Tiba-tiba Yan-Jit bangkit berdiri, kemudian berseru dengan suara lantang.
"Baik, kalau kau ingin pergi, akupun akan menemani dirimu."
Pelan-pelan Ong Tiong mengangguk.
"Ai, kau boleh pergi, siapa saja yang bisa pergi boleh pergi ! Biarkan mereka yang tak bisa pergi tetap tinggal di sini, menunggu orang lain datang untuk menjaganya."
Yan Jit tak mampu berbicara lagi.
"Hei, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan ?"
Tiba-tiba Kwik Tay-lok berseru tak tahan.
"kenapa tidak diucapkan saja secara berterus terang ?"
"Aku akan pergi seorang diri,"
Kata Ong Tiong.
"sedang kalian dengan membawa Lim Taypeng menunggu aku di bawah bukit sana."
"Kemudian ?"
"Kemudian kalian usahakan sebuah kereta untuk menunggu di situ, entah mencuri atau merampas, aku pasti akan berusaha untuk mendapatkan obat pemunah itu."
"Kemudian ?"
"Kemudian kalian duduk dalam kereta dan menunggu kedatanganku, sebelum matahari terbenam nanti, bila aku belum datang juga mencari kalian, maka tinggalkanlah tempat ini."
"Setelah meninggalkan tempat ini, kami harus pergi kemana?"
Tanya Kwik Tay-lok pula. Ong Tiong segera tertawa, meski suara tertawanya agak menyedihkan.
"Dunia ini sangat luas, masa kalian tak tahu kemana harus pergi ?"
Kwik Tay lok juga pelan-pelan mengangguk, katanya.
"Bagus, suatu ide yang sangat bagus, ide semacam ini tak nyana bisa juga kau dapatkan."
"Walaupun ide ini tidak terhitung suatu ide yang bagus, tapi inilah merupakan satu-satunya ide yang baik."
"Bagus sekali, kau demi Lim Tay-peng pergi beradu jiwa, sedang kami harus sembunyikan ekor macam anjing untuk melarikan diri, kau adalah seorang teman baik, tapi kami harus menjadi binatang."
"Apakah kau masih mempunyai cara lain yang lebih baik lagi ?"
Serunya dengan lantang.
"Aku hanya punya satu akal."
"Katakan !"
"Jika ingin hidup, kita harus hidup bersama dengan riang gembira, kalau ingin mati maka kita pun harus mati bersama dengan riang gembira...."
Kwik Tay-lok tetap adalah Kwik Tay-lok, dia bukan Ong Tiong, juga bukan Yan Jit.
Mungkin dia tidak memiliki ketenangan Ong Tiong, mungkin tidak memiliki kecerdasan Yan Jit.
Tapi orang ini justru selalu berpikir menurut perasaan, apa yang diucapkanpun selalu berbobot.
Ketika angin berhembus lewat, kabut yang kelabu baru saja muncul dari tanah pekuburan.
Api setan juga lenyap dibalik kabut.
Siapa bilang di dunia ini tiada setan, Siapa yang bilang ? Yang sedang melayang dibalik kabut sekarang, bukankah merupakan sukma gentayangan yang tak diterima dalam neraka ? Siapapun tak dapat melihat jelas paras mukanya.
Karena paras mukanya berwarna kelabu, seakan-akan telah melebur menjadi satu dengan kabut dingin yang tebal, hidungnya sudah melebur dengan kabut, mulutnya juga telah melebur dengan kabut.
Yang tersisa tinggal sepasang mata setannya yang berwarna merah seperti api.
Dibalik mata tiada sinar, juga tak bisa mana yang hitam mana yang putih, tapi penuh berisikan sinar kebengisan seakan-akan sedang menyumpahi seluruh orang dan seluruh kejadian yang berada di dunia ini....
Entah tempat manapun yang dipandang oleh sorot mata tersebut, di tempat itu segera akan muncul suatu alamat yang tidak menguntungkan.
Ang Nio-cu segera mengerlingkan matanya yang jeli, kemudian berkata lagi.
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang?"
"Menurut kau ?"
Sukma gentayangan itu balik bertanya.
"Kenapa harus aku yang menjawab ?"
"Sebab kau toh lebih memahami tentang dirinya daripada kami !"
Dengan lemah gemulai Ang Nio-cu maju menghampirinya, kemudian mengerling sekejap ke arahnya sembari berkata.
"Sekarang kau masih cemburu ?"
"Hmmm!"
Sukma gentayangan itu mendengus.
"Kau anggap aku benar-benar menaruh perhatian kepadanya."
Sorot mata dari sukma gentayangan itu memancarkan rasa benci yang jauh lebih dalam, katanya.
"Selama ada dia, belum pernah kau menemani aku barang seharipun juga...."
Sekarang, sorot mata itu sedang mengawasi daerah di sebelah barat, setiap kuburan setiap tumpukan salju, tak ada yang tertinggal olehnya.
Kemudian sorot mata itu baru memperlihatkan sinar yang penuh dengan senyuman.
Siapa saja tak dapat menduga betapa keji dan menakutkannya senyuman semacam itu.
Pada saat itulah, dari balik kabut yang tebal kembali berkumandang suara tertawa yang merdu seperti keleningan.
Bukan keliningan yang merdu, melainkan suara keleningan yang mengandung hawa pembetot sukma.
Bagaikan bayangan sukma saja Ang Niocu muncul dari balik kabut tebal, sambil tertawa katanya.
"Segala sesuatunya telah dipersiapkan?"
Sukma gentayangan itu pelan-pelan mengangguk.
"Kecuali orang itu tidak datang, kalau tidak jangan harap dia bisa pulang dalam keadaan hidup !"
"Apakah kau sudah lupa siapa yang suruh aku berbuat demikian?"
Sukma gentayangan itu tidak berbicara lagi. Ang Nio-cu tertawa dingin, kembali katanya.
"Untuk berhasil merangkulnya agar berpihak kepada kita, kau suruh aku pergi menemaninya tidur, sekarang kau malahan menyalahkan aku, sebenarnya kau punya liangsim tidak?"
"Tidak !"
Kembali Ang Nio-cu tertawa, katanya.
"Sungguh tak kusangka kaupun bisa mengucapkan sepatah kata yang jujur...."
"Dan kau ?"
"Selama berada di hadapanmu, aku selalu berbicara dengan sejujurnya...."
Sahut perempuan itu.
"Bila aku tidak menyuruhmu menemaninya tidur, apakah kau tak akan pergi?"
"Aku tetap akan pergi."
"Kenapa ?"
Ang Nio-cu tersenyum.
"Karena aku suka menemani orang lelaki tidur."
Sukma gentayangan itu segera menggertak giginya kencang-kencang, serunya lagi.
"Menemani tidur lelaki macam apa ?"
"Kecuali kau, lelaki macam apapun aku suka !"
Sorot mata sukma gentayangan yang penuh rasa benci itu telah berubah menjadi surut penderitaan, tapi sinar matanya justru berubah menjadi terang. Ang Nio-cu mengawasi matanya itu, lalu katanya.
"Sudah habiskah pertanyaanmu itu ?"
Mendadak sukma gentayangan itu menjambak rambutnya kemudian menempeleng wajahnya keras-keras, teriaknya.
"Kau perempuan rendah !"
Ang Nio-cu tidak merasa terkejut atau takut, juga tidak merasa gusar, malah senyumannya bertambah manis.
"Sebenarnya aku memang seorang perempuan rendah, tapi kau lebih rendah daripadaku."
Kembali sukma gentayangan itu menempeleng wajahnya keras-keras. Ang Nio-cu masih saja tertawa, katanya.
"Bukan saja kau suka kalau melihat aku pergi menemani lelaki lain tidur, suka pula bertanya kepadaku, tiap hari bertanya kepadaku, pertanyaan seperti ini entah sudah betapa kali kau tanyakan kepadaku !"
Tidak membiarkan si sukma gentayangan itu membuka suara, kembali dia berkata lagi.
"Karena kau suka mendengarkan perkataan semacam ini, suka menyiksa aku, hanya dikala aku sedang tersiksa, kau baru menjadi orang, kau baru merasa bahagia."
Sukma gentayangan itu mendesis lirih, sekuat tenaga menariknya keras-keras. Ang Nio-cu segera tertawa cekikikan.
"Apakah kau ingin..."
Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara dingin.
"Sekarang bukan saatnya buat kalian untuk berpacaran !"
Suara itu lebih dingin daripada es. Karena suara tersebut memang datangnya dari bawah lapisan salju yang amat tebal. Ang Nio-cu segera tertawa, serunya.
"Rupanya kau telah menyusup ke dalam lapisan salju !"
Selembar wajah tiba-tiba muncul dari balik tumpukan salju yang tebal di atas permukaan tanah. Itulah selembar wajah yang lebih menakutkan daripada wajah orang mati...
"Bagaimana keadaan di bawah ?"
Ang Nio-cu bertanya.
"Nyaman sekali"
Sahut ular garis merah. Kembali Ang Nio-cu tertawa.
"Di dunia ini memang sulit untuk mencari tempat kedua yang jauh lebih segar dari pada tempat kau berada sekarang."
"Apakah kaupun ingin menerobos masuk kemari untuk menemani aku tidur....?"
"Asal kau punya kesabaran untuk menungguku di bawah, cepat atau lambat aku pasti akan menembus ke bawah."
"Cuma sayang dia tak punya napsu terhadap dirimu"
Dengus si sukma gentayangan sambil tertawa dingin. Si ular garis merah memandang sekejap keadaan cuaca, tiba-tiba dia berkata.
"Waktu sudah tidak pagi, lebih baik kau pergi mampus saja."
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang ?"
"Pasti akan datang"
Sahut Ang Nio cu dengan cepat.
"Kenapa ?"
"Sebab kecuali terhadap kita, terhadap sahabatnya selalu baik dan bersedia berkorban"
Sukma gentayangan itu mendongakkan kepalanya dan memandang pula keadaan cuaca. Fajar sudah mulai menyingsing. Sukma gentayangan atau setan penasaran kebanyakan akan pulang ke rumahnya jika fajar telah menyingsing.
"Aku akan pergi mati !"
Kata sukma gentayangan itu kemudian.
"Kalau begitu cepatlah pergi mati !"
Kata Ang Nio-cu.
Pelan-pelan sukma gentayangan itu berjalan ke samping sebuah kuburan, mengeluarkan sebuah botol porselen dan meletakkannya ke atas kuburan tersebut.
Kemudian diapun secara tiba-tiba lenyap didalam kuburan tadi.
Ang Nio cu menghembuskan napas panjang, lalu bergumam.
"Seandainya dia tak akan muncul untuk selamanya, betapa indahnya waktu itu."
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana indahnya ?"
Tanya si ular garis merah. Sambil menundukkan kepala, Ang Nio-cu memandang sekejap ke arahnya, sepasang matanya yang jeli dan bening itu menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata dengan lembut.
"Kalau tinggal kita berdua, bukankah keadaan tersebut lebih baik lagi...?"
"Kalau ingin begitu, paling tidak kita harus menunggu sampai semua perempuan yang ada di dunia ini sudah pada mampus semua."
Kata si ular garis merah dingin. Ang Nio-cu segera menerjang ke muka dan meludah di atas wajahnya, dengan gemas dia berteriak.
"Sebetulnya kau ini manusia atau bukan?"
"Bukan !"
Jawab si ular bergaris merah sambil tertawa seram.
Belum habis dia berkata, wajahnya itu sudah lenyap kembali dibalik lapisan salju.
Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, mendadak saja dia seperti mempunyai banyak pikiran.
Lewat lama kemudian, tubuhnya baru berkelebat ke depan..
Dengan cepat bayangan tubuhnya lenyap pula dibalik kabut yang teramat tebal itu.
Layang-layang itu sudah diturunkan.
Langit hanya berwarna putih kelabu, kecuali itu tiada sesuatu yang tampak.
Ong Tiong sedang berjalan dengan sangat lamban, wajahnya masih tetap dingin tanpa emosi.
Sekalipun dalam hatinya merasa takut, perasaan tersebut tak akan dia perlihatkan di atas wajahnya.
Entah siapa saja yang pernah merasakan penderitaan dan siksaan, dia seharusnya dapat menyembunyikan perasaan tersebut didalam hatinya.
Pelbagai perasaan harus disembunyikan didalam hati.
Tapi perasaan ibaratnya arak.
Semakin dalam kau simpan, semakin lama kau simpan, justru akan semakin tebal dan keras.
Sekarang dia cuma seorang diri.
Teman-temannya tiada seorangpun yang datang.
Apakah mereka telah menghianatinya, ataukah dia telah berhasil menundukkan perasaan mereka ? Siapa saja tidak tahu.
Siapapun tak dapat membaca kesemuanya itu dari perubahan mimik wajahnya.
Tapi semua orang tahu, di dunia ini tiada perjamuan yang tak bubar, bagaimanapun akrabnya suatu persahabatan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan berpisah juga.
Kehidupan manusia memang serba tak menentu, kadangkala berkumpul kadang kala berpisah, tapi berkumpul juga baik, mengapa harus terlampau serius.
Langit masih remang-remang, tapi untung saja masih ada setitik cahaya terang.
Walaupun langkahnya sangat lamban, tapi akhirnya sampai juga ditempat tujuan.
Manusia hidup memang demikian, banyak urusan memang selalu begitu, kenapa pula harus terlampau tergesa-gesa ? Angin masih terasa sangat dingin, dingin bagaikan sebilah pisau, pisau yang menyayat wajahnya.
Pelan-pelan dia berjalan menembusi tanah pekuburan, diam-diam menghitung jumlah batu nisan yang berserakan di situ.
Batu nisan itu ada yang tumbang ada yang sudah lapuk dimakan cuaca, bahkan tulisannya pun sukar dibaca.
Siapakah yang beristirahat didalam kuburan itu? Tiada orang yang memperhatikan lagi.
Dikala mereka masih hidup, bukankah merekapun mempunyai kebanggaan, kenis-taan, gembira dan sedih ? Tapi sekarang, mereka tidak memiliki apa-apa.
Kalau toh sudah tahu begini, mengapa pula kau selalu memikirkan kebanggaan maupun kenistaan dirimu didalam hati ? Ong Tiong menghela napas panjang, mendadak ia berhenti berjalan.
Sebab dia telah mendengar suara tertawa dari Ang Nio-cu.
Ang Nio-cu sedang tertawa cekikikan dengan suaranya yang merdu bagaikan keleningan.
"Aku sudah tahu bahwa kau pasti datang, ternyata kau benar-benar telah datang."
"Yaa, aku telah datang."
Dia telah melihatnya, perempuan itu telah berdiri di bawah sebatang pohon yang gundul di atas permukaan salju, pakaiannya masih berwarna merah darah, seakan-akan masih tetap seperti ketika mereka bersua untuk pertama kalinya dulu.
Tapi waktu yang sudah lewat tak pernah akan kembali lagi, kegembiraan dan kesedihan yang sudah lewat pun akan segera terlupakan.
Sekalipun sekarang belum terlupakan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan terlupakan juga.
Ang Nio-cu sedang berdiri di sana sambil mengawasi dirinya, dibalik sinar matanya itu entah terpancar rasa-marah atau murung? Cinta atau benci? Dia mau cinta juga boleh, benci juga boleh, sebab kesemuanya itu tak menjadi soal.
Akhirnya Ang Nio-cu tertawa.
"Betulkah kau datang untuk mengambil obat penawar bagi Lim Tay-peng ?"
Tanyanya.
"Benar !"
"Kalau demi aku, kau tak akan sudi kemari?"
Kata Ang Nio-cu sambil menggigit bibir.
"Yaa, tak sudi."
Ang-Nio-cu tertawa amat sedih.
"Mengapa sikapmu terhadap teman selalu lebih baik daripada sikap kepadaku ?"
"Sebab kau bukan temanku."
"Aku bukan temanmu? Apakah kau sudah lupa ketika kami sedang berkumpul dulu, betapa besarnya perhatianku kepadamu?"
"Aku sudah melupakannya."
Ang Nio-cu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Bagaimanapun kerasnya ucapanmu itu, aku tahu dalam hati kecilmu, kau tak pernah akan melupakannya."
Sinar matanya bagaikan kabut, dengan sedih lanjutnya.
"Masih ingatkah kau, suatu ketika sewaktu kita sedang berbaring di puncak bukit Hoa-san, menggunakan awan putih sebagai selimut, menggunakan bumi sebagai ranjang, di dunia ini, seolah-olah tinggal kita berdua saja."
Suaranya makin lama makin rendah, semakin lembut, kemudian lanjutnya lebih jauh.
"Suatu ketika, kita berbaring ditengah gurun pasir yang tiada tepian, waktu itu kita menghitung jumlah bintang yang ada diangkasa sampai sekujur tubuh kita berdua terbenam di tengah pasir.... semua kejadian itu masih ingatkah kau ?"
Ong Tiong tidak berbicara.
Kejadian semacam itu memang tak akan dilupakan oleh siapapun juga.
Benarkah dia dapat melupakannya ? Berhadapan muka dengan orang pertama yang dicintainya, benarkah perasaan hatinya bisa dingin dan tenang ? Ang Nio-cu menatapnya lekat-lekat, dari balik matanya nampak air mata berkaca kaca, lanjutnya.
"Semua kejadian seperti itu tak akan kulupakan untuk selamanya, oleh karena itu aku baru membencimu, membenci diriku karena kau pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun kepadaku, membenci dirimu sehingga menginginkan kematianmu, tapi.."
Dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Asal kau bersedia untuk balik kembali seperti sedia kala, asal kau bersedia mengucapkan sepatah kata saja, sekarang juga aku bersedia pergi mengikuti dirimu, entah ke ujung langit sekalipun, aku akan selalu mengikuti dirimu."
"Ke manapun aku tak akan pergi !"
Tiba-tiba Ong Tiong berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya sangat keras, seakan-akan hendak menyadarkan kembali dirinya dari impian. Sambil menggigit bibir Ang Nio cu berkata.
"Kalau tempat manapun tak akan kau datangi, mengapa pula kau datang kemari ?"
"Aku datang untuk mengambil obat penawar !"
Sahut Ong Tiong dingin dan ketus.
"Selain itu, tiada alasan lainnya ?"
"Tidak ada !"
"Kau tak ingin datang untuk menengokku."
"Tidak !"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl