Ceritasilat Novel Online

Pendekar Riang 12


Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Bagian 12




   Paras muka Yan Jit sedikitpun tidak dihiasi senyuman, malah ujarnya dengan suara dalam.

   "Kau mengira kembang api itu cuma dipasang sebagai mainan ?"

   "Memangnya bukan ?"

   Yan Jit menghela napas panjang, sahutnya.

   "Tampaknya kau benar-benar tidak mengerti urusan tentang segala permainan busuk yang ada didalam dunia persilatan."

   "Aku memang bukan seorang jago kawakan."

   "Seandainya kita hendak menghadapi seseorang, kau berada di sini menunggu dia, sedang aku berada di bawah bukit, jika kau sudah memperoleh berita, dengan cara apakah kau memberi kabar kepadaku ?"

   "Tidak mungkin !"

   "Tidak mungkin? Apa maksudmu?"

   "Maksudnya, keadaan semacam ini, tak mungkin bisa terjadi."

   "Kenapa ?"

   "Sebab bila kau berjaga-jaga di bawah bukit, maka aku pasti berada di bawah bukit juga"

   Dari balik mata Yan Jit segera terpancar keluar sinar mata yang amat lembut, tapi mukanya dengan membesi berseru.

   "Sekarang kita sedang berbicara serius, dapatkah kau berbicara agak serius sedikit?"

   "Dapat !"

   Setelah berpikir sebentar, dia baru melanjutkan.

   "Jarak dari atas gunung dengan bawah gunung tidak dekat, sekalipun aku berteriak-teriak, belum tentu kau akan mendengarnya."

   "Pintar, pintar, kau memang benar-benar sangat pintar"

   Kata Yan Jit dingin. Kwik Tay-lok tertawa lebar, setelah berpikir sebentar, dia baru berkata.

   "Aku toh bisa menyuruh orang untuk memberi kabar kepadamu."

   "Andaikata tiada orang lain ?"

   "Aku sendiri yang akan turun gunung."

   Yan Jit mendelik besar, sambil cemberut serunya.

   "Aku heran, sebetulnya isi benakmu itu apa? Rumput atau kayu ?"

   "Kecuali rumput dan kayu, aku masih memiliki akal muslihat yang bisa membangkitkan kemarahanmu"

   Kata Kwik Tay-lok sambil tertawa.

   "sebab aku selalu merasa, bila kau lagi marah maka tampangmu persis seperti seorang nona cilik yang berusia tujuh-delapan belas tahunan."

   Ia tidak membiarkan Yan Jit buka suara, kembali ucapnya.

   "Padahal aku sudah memahami maksudmu, kau menganggap kembang api itupun persis seperti layang-layang, yakni tanda rahasia yang dipakai orang persilatan untuk menyampaikan kabar."

   Yan Jit masih melotot besar, lewat lama kemudian dia baru menghembuskan napas panjang.

   "Aaaai suatu ketika, aku benar-benar bakal mati karena mendongkol."

   Pada saat itulah tiba-tiba meluncur kembali kembang api dari bawah bukit sana. Dengan wajah berubah menjadi amat serius, Kwik Tay-lok berkata.

   "Menurut pendapatmu, ada jago persilatan yang telah berkunjung kemari?"

   "Bahkan bukan cuma satu orang"

   Yan Jit menambahkan.

   "Kau menganggap mereka datang untuk menghadapi Ang Nio cu ?"

   "Aku tidak tahu, tapi Ong lotoa sudah pasti berpendapat demikian, sebab itu dia memburu ke sana."

   Paras muka Kwik Tay-lok agak berubah, katanya kemudian.

   "Kalau memang begitu, apa pula yang sedang kita tunggu di sini ?"

   "Aku masih harus merundingkan satu hal denganmu."

   "Soal apa ?"

   "Kali ini, dapatkah kau berdiam di sini saja, tak usah turut aku, biarkan aku pergi seorang diri...."

   Belum habis dia berkata, Kwik Tay-lok. sudah menggelengkan kepalanya berulang tali.

   "Tidak bisa !"

   "Bila kita pergi semua, siapa yang akan berada di sini menemani siau-Lim ?"

   Seru Yan Jit dengan kening berkerut.

   Tentu saja mereka tak dapat meninggalkan Lim Tay-peng seorang diri.

   Setelah memperoleh pelajaran yang cukup lumayan dimasa lalu, sekarang mereka selalu bertindak sangat berhati-hati, entah dalam menghadapi persoalan apapun.

   Kwik Tay-lok termenung sejenak, kemudian berkata.

   "Kali ini, dapatkah kau tinggal di sini, biar aku saja yang pergi ?"

   "Tidak bisa !"

   Yan Jit segera menggelengkan kepalanya berulang kali.

   "Kenapa ?"

   Tiba-tiba suara Yan Jit berubah menjadi lembut sekali, sahutnya.

   "Lukamu belum sembuh betul, apalagi kaupun orangnya nekad setengah mati, belum sampai lukanya sembuh, diam-diam sudah ngeloyor turun gunung minum arak..."

   "Siapa yang bilang aku ngeloyor pergi secara diam-diam. Memangnya sewaktu pulang aku tidak membawa arak....."

   "Perduli bagaimanapun juga, pokoknya sekarang kau masih belum boleh bertarung dengan orang lain."

   Kata Yan Jit sambil menarik muka.

   "Siapa yang bilang?"

   "Aku yang bilang tidak puas!."

   Seru Yan Jit.

   "Aku.... aku...."

   "Kalau kau tidak puas, bagaimana kalau berkelahi dulu denganku?"

   Kwik Tay-lok segera merentangkan tangannya sambil tertawa getir.

   "Siapa bilang aku tidak puas ? Aku puasnya setengah mati."

   Sambil merentangkan kembali papan catur gumamnya.

   "Cepatlah pergi, aku akan mencari siau-Lim untuk diajak bermain catur, kebetulan sekali permainan catur kencing anjingnya masih agak seimbang dengan kepandaianku."

   Yan Jit memperhatikan dia berjalan lewat, sorot matanya kembali berubah menjadi lembut sekali, selembut angin musim semi yang mencairkan lapisan salju.

   Sekarang adalah musim semi.

   Musim semi adalah musim yang paling indah untuk muda mudi.

   Musim semi bukan musimnya orang membunuh orang.

   Musim semi lebih cocok untuk mendengarkan kicauan burung dan bisikan syahdu, bukan mendengar cerita jeritan ngeri yang memilukan hati.

   Tapi pada saat itulah mendengar suara jeritan ngeri.

   Suara jeritan seseorang yang hampir mendekati ajalnya.

   Di ujung golok selamanya tak pernah ada musim semi.

   Di tengah genangan darah juga tidak ada.

   Seseorang tergeletak di tengah genangan darah, napasnya telah berhenti, jeritan ngeri menjelang saat kematiannya juga telah putus.

   Golok masih digenggamnya erat-erat.

   Sebilah golok kepala setan yang amat tajam, buas dan berat.

   Sembilan orang dengan sembilan bilah golok.

   Sembilan orang manusia, sambil menggenggam goloknya sedang mengerubuti Ang Nio-cu.

   Sembilan orang manusia baju hitam yang kekar, gesit dan bersinar mata buas...

   seseorang diantaranya terkapar di atas genangan darah.

   Ang Nio-cu sedang memperhatikan mereka, wajahnya kembali menunjukkan senyuman genitnya yang khas, jari tangannya yang lentik sedang menuding ke tengah genangan darah, lalu tegurnya sambil tertawa.

   "Dia adalah saudara ke berapa?"

   Tujuh orang itu menggertak giginya kencang, hanya seorang lelaki baju hitam yang paling kurus yang menjawab.

   "Lo-pat!"

   "Bagus sekali, orang pertama yang mampus duluan adalah lo-liok, kemudian loji, lo-kiu, lo sip, ditambah lo-pat.... aaaai, tiga belas jago golok besar, kini tinggal delapan orang"

   "Betul, tiga belas saudara kami sudah ada lima orang yang tewas di tangan kalian."

   Dari tenggorokannya segera berkumandang suara raungan seperti suara binatang, kemudian bentaknya.

   "Tapi delapan orangpun masih lebih dari cukup untuk mencincang tubuhmu sehingga hancur berkeping keping!"

   Ang Nio-cu segera tertawa, suara tertawanya merdu bagaikan suara keleningan. Dari antara delapan orang itu, ada tiga orang diantaranya yang tanpa sadar mundur setengah langkah ke belakang. Kembali Ang Nio-cu tertawa merdu, katanya.

   "Perempuan cantik baru kelihatan keindahannya bila masih segar bugar, apakah tidak terlampau sayang bila perempuan secantik dan sesegar aku ini dicincang sehingga hancur berkeping-keping ?"

   Dengan biji matanya yang jeli dia mengerling sekejap ketiga orang yang mundur ketakutan itu, kemudian dengan genit katanya.

   "Tentunya kalian juga tahu apakah kegunaanku, kenapa tidak diberitahukan kepada saudara saudaramu? Kalian benar-benar egois... kalau orang mati tak dapat berbicara, memangnya kalian juga tak bisa?"

   Paras muka ke tiga orang itu berubah hebat, mendadak mereka ayunkan goloknya sambil menubruk ke depan.

   "Tahan!"

   Tiba-tiba lelaki kurus itu menghardik. Jelas dia adalah pemimpin atau lotoa dari ketiga belas jago tersebut, begitu bentakan berkumandang, serentak ketiga orang itu menghentikan serangannya di tengah jalan.

   "Coba kalian lihat"

   Kata Ang Nio-cu lagi sambil tertawa.

   "aku sudah tahu kalau Tio lotoa kalian itu tak lega untuk membunuh diriku, walaupun dia bukan seorang lelaki yang menyayangi perempuan, tapi baik buruknya perempuan paling tidak masih dipahami olehnya"

   Tio lotoa menarik mukanya sambil mendengus dingin.

   "Kau memang betul sekali, aku pun tak lega membunuhmu, sebab aku tak ingin membiarkan kau mampus terlampau cepat!"

   Ang Nio-cu memutar biji matanya dan tertawa makin genit, katanya dengan lembut.

   "Kau menginginkan aku mati kapan, aku pun akan mati kapan, kau menginginkan aku mati dengan cara apa, akupun akan mati dengan cara apa, tahukah kau, persoalan apapun aku bersedia melakukannya bagimu."

   "Bagus, bagus sekali !"

   Sebagaimana seorang lotoa, memang tidak seharusnya terlalu banyak berbicara.

   Karena semakin sedikit seseorang berbicara, kata-kata yang diucapkan baru semakin berharga.

   Tio lotoa juga bukan seseorang yang suka banyak berbicara, apa yang diucapkan selalu berharga.

   "Kau telah membunuh lima orang saudara kami, kamipun akan membacok lima kali di atas tubuhmu, dengan begitu hutang piutang diantara kitapun dianggap impas."

   "Hanya lima bacokan ?"

   Ang Nio cu mengerdipkan matanya.

   "Ehmmm...."

   "Kalian tak akan mengambil sekalian bunganya?"

   "Ehmmm..."

   Ang Nio cu segera menghela napas panjang.

   "Aaaai.... kalau dibilang sesungguhnya tak bisa dibilang kurang adil, aku pun amat ingin meluluskannya, apalagi sekarang kalian sembilan orang menghadapi aku seorang, sekalipun aku tak ingin meluluskan pun juga tak bisa."

   "Jika kau sudah mengerti, itu lebih baik."

   "Walaupun aku telah memahaminya, sayang masih ada satu hal."

   "Soal apa ?"

   "Aku takut sakit !"

   Setelah memperhatikan golok ditangan mereka wajahnya segera menunjukkan perasaan patut dikasihani, katanya lebih lanjut.

   "Golok itu begitu besar, jika kena dibacok, sudah pasti sakit sekali rasanya !"

   "Tidak sakit !"

   "Betul tidak sakit ?"

   "Paling tidak pada bacokan yang kedua tak akan terasa sakit lagi"

   Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ang Nio-cu seperti tidak memahami ucapan tersebut, kembali dia berseru menegaskan.

   "Kau jamin?"

   "Yaaa, aku jamin !"

   "Asal kau bersedia menjamin, tentu saja akupun merasa lega, tapi akupun ada syarat"

   "Katakan !"

   "Bacokan yang pertama ini harus kau sendiri yang melakukannya"

   Dengan sepasang matanya yang jeli dia awasi Tio lotoa, kemudian melanjutkan.

   "Sebab aku tidak percaya kepada orang lain, aku hanya percaya kepada dirimu saja!"

   "Baik !"

   Pelan-pelan ia berjalan ke depan, langkahnya amat berat, hampir terdengar suara langkah kakinya yang menginjak di atas permukaan tanah.

   Golok itu masih dihadapkan ke bawah.

   Tangannya lebar tapi kurus, otot-otot hijau pada punggung telapak tangannya pada menongol keluar semua.

   Tampaknya dia mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya....

   "Bacokan yang kedua pasti tak akan sakit!"

   Bila bacokan tersebut terayun ke bawah, siapapun tak akan merasakan kesakitan lagi... tak mungkin akan merasakan suatu siksaan atau penderitaan apapun. Ternyata Ang Nio-cu memejamkan matanya, malah sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya.

   "Marilah, hayo cepat !"

   Demikian dia berseru.

   Cahaya golok berkelebat lewat, angin bacokan yang tajam serasa memekakkan telinga.

   Mendadak Ang Nio cu menerobos dari bawah cahaya golok itu, diantara kilatan sinar terang, rambut yang hitam berterbangan kemana-mana.

   Sebagian besar rambutnya telah terpapas putus dan tersebar di seluruh tempat.

   Tapi tangannya justru menyungging sikut Tio lotoa, sedangkan tangannya yang lain menekan di atas jalan darah di bawah iganya.

   Tak ada yang tahu jalan darah apakah itu tapi setiap orang tahu, jalan darah tersebut sudah pasti adalah jalan darah kematian.

   Paras muka setiap orang berubah hebat, keadaan mereka bagaikan seseorang yang perutnya kena ditendang keras-keras.

   Ang Nio-cu masih saja tertawa, semacam tertawa yang merenggut sukma...

   Sambil tertawa merdu katanya.

   "Sekarang tentunya kau mengerti bukan, mengapa aku menginginkan kau yang turun tangan, sebab sedari tadi aku sudah tahu kalau kau tak akan tega, aku tahu kalau kau sudah tertarik kepadaku."

   Tio lotoa tentu saja bukan merasa tak tega, tangannya juga tidak lemas tak bertenaga, bahkan bacokan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa dan kebuasan yang mengerikan.

   Cuma saja, ketika golok itu dibacokkan ke bawah, dia telah melupakan titik kelemahan di bawah goloknya berada di hadapan seorang perempuan yang memejamkan mata sambil menanti saat kematiannya, siapapun pasti akan berubah menjadi teledor dan gegabah.

   Kembali dia memperoleh suatu pelajaran.

   "Bila kau ingin membunuh orang, maka setiap detik setiap saat kau harus berjaga pula orang lain datang membunuhmu."

   Tentu saja keadaan semacam ini bukanlah suatu keadaan yang terlampau menggembirakan.

   "Bila kau hendak membunuh orang, maka persiapkan dulu suatu penghidupan sepanjang masa yang penuh ketegangan."

   Tio lotoa menghela napas panjang, katanya kemudian.

   "Kau ingin apa ?"

   Ang Nio-cu tertawa.

   "Aku tak ingin apa-apa, aku hanya ingin mengajak kau untuk membicarakan suatu transaksi."

   "Transaksi apa ?"

   "Mempergunakan selembar nyawamu ditukar dengan selembar nyawaku...."

   "Bagaimana cara menukarnya ?"

   "Sederhana sekali."

   Jawab Ang Nio-cu sambil tertawa.

   "bila aku mati, kaupun jangan harap bisa hidup."

   "Bila aku telah mati ?"

   Ang Nio-cu segera tertawa manis.

   "Bila kau telah mati, tentu saja akupun tak bisa hidup lebih lanjut, tapi bagaimana mungkin aku akan membiarkan kau mati ?"

   Tio lotoa berpikir sebentar, lalu katanya.

   "Baik !"

   Siapapun tak dapat memahami apa artinya dari kata "baik"

   Itu, mereka hanya menyaksikan golok di tangannya mendadak dibacokkan ke bawah.

   Bacokan golok itu mengarah batok kepala sendiri.

   Ang Nio cu adalah seorang jago kawakan.

   Bila seorang jago kawakan memegangi tangan seseorang, tentu saja dia telah memperhitungkan kalau golok yang berada di tangannya itu tak mungkin bisa melukai orang.

   Perhitungan dari Ang Nio-cu itu memang sangat tepat, cuma saja dia melupakan satu hal.

   Walaupun golok yang berada ditangan Tio Lo-toa tak bisa membacok ke arahnya, tapi masih bisa dibengkokkan untuk membacok diri sendiri.

   Dia hanya memikirkan untuk melindungi diri sendiri, tapi lupa untuk melindungi nyawa orang lain.

   Dia mengira orang lain pun sama seperti dia, lebih mementingkan keselamatan diri sendiri dari pada keselamatan orang lain.

   Tapi dia lupa, kadangkala ada sementara orang yang demi cinta atau dendam kesumat, seringkali melupakan keselamatan diri sendiri.

   Kekuatan yang timbul karena cinta atau dendam kesumat, seringkali jauh lebih besar dari pada segalanya.

   Sedemikian besarnya sehingga tak akan bisa dibayangkan perkataan apapun.

   Darah segar berhamburan kemana-mana.

   Cairan darah yang berwarna merah gelap diantara titik cahaya putih susu memancar ke luar ke empat penjuru, dan seperti hujan gerimis menodai wajah Ang Nio cu.

   Sepasang mata Ang Nio cu tertutup oleh cahaya darah....

   Dia hanya menyaksikan sepasang mata Tio lotoa yang memancarkan rasa dendam, benci dan marah itu tiba-tiba melotot keluar seperti mata ikan, kemudian iapun tertutup sama sekali oleh cahaya darah.

   Seketika itu juga ia mendengar suara auman kaget, marah dan benci seakan-akan ada sekelompok binatang buas terjerumus ke dalam perangkap.

   Angin sambaran golok yang tajam berhamburan tiba dari empat arah delapan penjuru, bersama-sama membacok ke arah tubuhnya.

   Apa yang terpikirkan oleh seseorang saat kematiannya.

   Pertanyaan ini mungkin tak akan terjawab oleh siapa saja.

   Karena dalam keadaan demikian, apa yang terbayang oleh setiap orang selalu berbeda.

   Yang dia pikirkan sekarang adalah Ong Tiong, teringat akan paras muka Ong Tiong yang dingin seperti es, juga teringat akan perasaan Ong Tiong yang membara seperti api.

   Pada saat itulah, mendadak ia mendengar suara pekikan panjang yang sangat nyaring.

   Tiba-tiba sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya, dia seperti merasa, asal bisa mendengar pekikan tersebut, soal mati atau hidup sudah tidak menjadi persoalan lagi.

   Pekikan itu sangat nyaring, seperti seekor burung elang yang berpekik di angkasa dan menyambar ke bawah.

   Seluruh tubuh Ang Nio-cu telah tenggelam ke bawah.

   Dia melompat bangun, berusaha menghindar dan memaksakan diri untuk membuka sepasang matanya.

   Tapi, jangankan manusia, bahkan cahaya golokpun tidak nampak, dia hanya bisa melihat selapis cahaya darah yang berwarna merah.

   Dia melompat bangun lagi terasa kakinya menjadi dingin, sepertinya tidak terlalu sakit, akan tetapi kekuatan di atas paha itu tiba-tiba saja lenyap tak berbekas.

   Seketika itu juga badannya terjerumus ke bawah.

   Dia tahu, bila badannya terjerumus ke bawah, maka dia akan segera tenggelam ke kegelapan yang tiada taranya.

   Anehnya, dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, hanya merasakan semacam kepedihan yang aneh dan sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Mendadak ia teringat kembali akan diri Ong Tiong.

   Mendadak ia merasa suatu perasaan yang sangat lega, ia merasa dirinya sudah terlepas dari segala-galanya, karena segala persoalan sudah tidak menjadi masalah baginya sekarang.

   Diapun tenggelam dengan begitu saja, roboh terkapar di atas tanah, bahkan sepasang matanya pun enggan dipentangkan.

   Andaikata ia menyaksikan keadaan yang dihadapinya sekarang, bukan cuma hatinya akan hancur lebur, mungkin ususnya akan putus dan nyalinya akan pecah.

   Cahaya golok yang berkilauan berkumpul menjadi satu titik dan membacok ke atas badan Ang Nio-cu.

   Mendadak, seseorang membawa pekikan yang nyaring menerjang datang dari balik hutan, langsung menyerbu ke dalam lingkaran cahaya golok.

   Agaknya dia sudah lupa kalau dirinya adalah seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging, juga lupa kalau golok itu bisa dipakai untuk membunuh orang.

   Dia menerjang masuk ke balik lingkaran cahaya golok dengan begitu saja....

   Diantara kelihatan cahaya golok, kembali tampak percikan darah berhamburan ke empat penjuru, kemudian, terdengar ada orang menjerit kaget.

   "Eng-tiong-ong....!"

   "Eng-tiong-ong belum mampus !"

   "Sekarang juga kita akan membuatnya mampus !"

   Ada orang memaki dengan gusar.

   Tentu saja Ong Tiong tak akan mati, soal ini dia cukup mengerti.

   Tapi dia tahu, asal dia hidup tak akan ada orang bisa membunuh Ang Nio cu lagi di hadapannya.

   Dengan badannya sendiri ia telah menahan golok pembunuh lawan yang sedang diayunkan ke bawah, menahan di hadapan Ang Nio-cu.

   Sekalipun golok itu tajam dan berat, namun dia tak mundur barang selangkahpun.

   Keberanian semacam ini bukan saja patut dihormati, lagi pula menakutkan, sangat menakutkan sekali.

   Ketika Yan Jit tiba di sana, tubuhnya telah bertambah dengan tujuh-delapan buah bacokan golok, dari setiap mulut lukanya itu darah sedang mengucur keluar dengan derasnya.

   Keberanian, siapapun kadangkala turut meluntur bersama mengalirnya darah dari badan.

   Tapi ia tidak ! Ketika Yan Jit menyaksikan keadaannya, itu, meski hati tidak hancur, usus tidak putus, namun darah segar telah menerjang sampai di atas batok kepala, menerjang tenggorokan.

   Dalam detik itu, mendadak dia seperti melupakan pula akan mati hidup dirinya.

   Darimana datangnya keberanian.

   Ada kalanya lantaran kebanggaan, ada kalanya lantaran dendam kesumat, ada kalanya lantaran cinta, adakalanya lantaran teman.

   Entah dari manapun datangnya keberanian tersebut, semuanya pantas untuk dihormati, pantas untuk dihargai ! Kwik Tay-lok juga telah datang.

   Entah karena apapun, entah betapa dalam keadaan apapun, dia tidak akan membiarkan temannya pergi beradu jiwa, sedang dia sendiri bermain catur didalam rumah.

   Cuma sayang, ketika ia sampai ditempat tujuan, pertarungan berdarah telah berakhir.

   Di atas tanah cuma menggeletak sembilan bilah golok.

   Ada yang menancap ditengah genangan darah, ada yang menancap di atas pohon, ada yang mata goloknya sudah melengkung, ada pula goloknya yang sudah patah.

   Ong Tiong sedang memeriksa mulut luka di atas paha Ang Nio-cu, dia seolah-olah sudah melupakan luka yang berada di atas tubuh sendiri.

   Yan Jit hanya memperhatikan mereka dengan tenang, sinar matanya entah memancarkan cahaya gembira, ataukah kesedihan.

   Pelan-pelan Kwik Tay-lok menghampirinya, kemudian berbisik.

   "Mana orangnya ?"

   "Orangnya?"

   Yan Jit turut bergumam.

   "Siapa yang kau tanyakan ?"

   "Siau-lim !"

   "Tentu saja aku tak akan membiarkan Siau-lim berada didalam rumah seorang diri."

   "Kau telah membawanya datang kemari?"

   Kwik Tay-lok mengangguk, sahutnya.

   "Itu dia, dia sedang duduk di atas pohon besar itu."

   Dari atas pohon besar itu, orang dapat menyaksikan semua gerak gerik ditempat ini dengan jelas, sebaliknya orang yang berada di sini tak dapat melihat ke sana.

   Bersembunyi bukan saja harus mempunyai tehnik yang jitu, juga harus pandai memanfaatkan keadaan yang berada disekitar sana.

   "Pada saat yang tepat, mencari tempat yang tepat!"

   Itulah merupakan teori penting bagi ilmu "menyembunyikan diri".

   "Yang kutanyakan adalah orang-orang yang membawa golok itu"

   
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Kwik Tay-lok.

   "Mereka telah pergi semua."

   Kwik Tay-lok membungkukkan badannya dan memungut sebilah golok, menimangnya sebentar, lalu katanya sambil tertawa.

   "Tak heran kalau mereka tinggalkan semua golok tersebut di sini, dengan membawa golok seberat ini, memang larinya tak akan bisa terlampau cepat...."

   "Betul, karena mereka sebetulnya memang tidak sering melarikan diri."

   "Kau kenal dengan mereka !"

   "Tidak kenal, tapi aku tahu tiga belas bilah golok sakti merupakan orang-orang yang termasyhur namanya baik di luar perbatasan maupun didalam garis perbatasan."

   "Perampok-perampok kenamaan ?"

   "Juga merupakan lelaki-lelaki keras yang tersohor."

   "Tapi laki-laki keras yang kabur kali ini..."

   "Kau anggap mereka takut mampus ?"

   "Kalau tidak takut mampus, kenapa harus melarikan diri ?"

   Yan Jit memandang sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian sahutnya.

   "Yang mereka takuti bukanlah kematian, melainkan semacam keberanian yang dimiliki sementara orang sehingga mau tak mau menimbulkan perasaan ngeri didalam hatinya."

   Pelan-pelan dia melanjutkan.

   "Mungkin mereka sama sekali tidak takut melainkan terharu..... mereka juga orang, setiap orang kemungkinan besar akan dibikin terharu oleh orang lain."

   Kwik Tay-lok termenung beberapa saat lamanya, mendadak dia bertanya lagi.

   "Dari mana mereka bisa tahu kalau Ang Nio-cu berada di sini ?"

   "Berita tentang matinya Cui-mia-hu sekalian ditempat ini sudah diketahui banyak jago persilatan."

   Mendengar itu Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.

   "Aaai... kabar berita yang tersiar dalam dunia persilatan betul-betul cepat sekali"

   "Ketajaman pendengaran dari orang persilatan memang selalu mengagumkan, apalagi bagi orang yang mempunyai dendam, seringkali ketajaman pendengaran mereka jauh melebihi siapapun."

   "Begitu dalamkah rasa dendam mereka terhadapnya ?"

   "Tiga belas bilah golok sakti dengan Cui-mia-hu sebetulnya boleh dibilang termasuk dalam satu kelompok, tapi Ang Nio-cu telah menghianati mereka. Suatu ketika, sewaktu mereka sedang dikepung orang, ternyata Ang Nio-cu...."

   Maka Kwik Tay-lok menukas pembicaraannya yang belum selesai itu.

   "Soal anjing menggigit anjing semacam itu, segan aku untuk mendengarkannya."

   "Lantas kau ingin mendengarkan soal apa?"

   Kwik Tay-lok memandang sekejap ke arah Ong Tiong dan Ang Nio-cu, sorot matanya lambat laun berubah lembut kembali, katanya.

   "Sekarang, aku hanya ingin mendengarkan sedikit kejadian yang dapat menimbulkan kegembiraan dihati orang, seperti misalnya...."

   Yan Jit turut memandang ke arahnya, sorot mata yang terpancar keluar lambat laun menjadi lembut, katanya.

   "Misalnya apa ?"

   "Misalnya, berita tentang datangnya musim semi."

   "Kau tak usah menanyakan tentang berita datangnya musim semi lagi."

   Kata Yan Jit.

   "Kenapa ?"

   "Sebab musim semi telah tiba."

   "Sudah tiba ? Dimana ? Kenapa aku tidak melihatnya ?"

   Yan Jit mengalihkan pandangan matanya ke arah Ong Tiong dan Ang Nio-cu, lalu sahutnya lembut.

   "Kau seharusnya sudah melihatnya, karena dia berada di sini."

   "Yaa, benar, mereka memang berada di sini."

   Bisik Kwik Tay-lok makin lembut.

   Dia memandang ke arah Yan Jit.

   Tiba-tiba ia menemukan mata Yan Jit seakan-akan berubah bagaikan di musim semi.

   Manusia macam apakah yang dinamakan orang berpenyakit ? Pertanyaan ini mungkin seperti juga pertanyaan lainnya, mempunyai penjelasan yang beraneka ragam.

   Ada yang menjelaskan.

   Orang sakit adalah seseorang menderita suatu penyakit.

   Tentu saja penjelasan seperti ini bisa diterima dengan akal sehat, akan tetapi belum bisa dianggap sangat tepat.

   Ada kalanya, orang yang menderita suatu penyakit pun disebut orang sakit.

   Misalnya, orang yang terluka, atau orang yang keracunan, dapatkah kau anggap mereka sebagai orang yang menderita suatu penyakit ? Tentu saja tidak.

   * * * Bulan ketiga, musim semi, rumput tumbuh amat subur, burung beterbangan dengan riang gembira.

   Salju telah mencair, seluruh permukaan bumi berubah menjadi hijau, di atas bukitpun semuanya nampak hijau.

   Kwik Tay-lok sedang duduk di bawah rimbunnya pohon sambil termangu-mangu...

   Ia betul-betul lagi termangu, karena kedatangan Yan Jit pun tidak diperhatikan olehnya.

   Sebenarnya Yan Jit dapat mengejutkannya, sebetulnya ingin membuat pemuda itu terkejut.

   Tapi setelah menyaksikan keadaannya, Yan Jit menjadi tak tega untuk mengejutkan dirinya.

   Bagaimanakah tampangnya itu ? Wajahnya kurus seperti kurang makan, letih seperti kurang tidur, lagi pula badannya lebih bertambah ceking.

   Yan Jit menghela napas panjang, pelan-pelan menghampirinya, berjalan ke hadapannya dan sekulum senyum segera menghiasi ujung bibirnya, ia bertanya.

   "Hei, kenapa kau duduk termangu ?"

   Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya, memandang wajahnya sampai lama, tiba-tiba ia berkata.

   "Tahukah kau, manusia macam apakah yang dinamakan orang sakit itu ?"

   "Tentu saja orang yang berpenyakit."

   Kwik Tay-lok menggelengkan kepalanya.

   "Tidak betul ?"

   Tanya Yan Jit.

   "Paling tidak belum seluruhnya betul."

   "Apa yang harus kukatakan baru bisa di katakan benar keseluruhannya....?"

   Kwik Tay-lok berpikir sebentar, lalu sahutnya.

   "Dalam pandangan seorang bocah, asal seseorang yang berbaring di atas pembaringan dan tak bisa berkutik, orang itu disebut sakit, padahal manusia macam begini belum tentu mengidap suatu penyakit."

   "Lagi pula kau bukan seorang bocah"

   Sela Yan Jit. Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.

   "Didalam pandanganku, orang sakit tak lebih hanyalah sejenis manusia yang luar biasa pandainya menghambur-hamburkan uang."

   "Apa maksudmu ?"

   "Itulah kata-kataku yang sesungguhnya."

   Ia memang berbicara sesungguhnya. Walaupun orang sakit tak bisa minum arak, tapi dia harus minum obat. Bukan cuma harus minum obat saja, lagi pula harus makan segala macam obat penambah tenaga.

   "biasanya barang-barang semacam itu harganya lebih tinggi dari pada arak. Tentu saja Yan Jit juga tahu kalau ucapan semacam itu adalah kata-kata yang sejujurnya, sebab di sana sekarang ada tiga orang sedang menderita sakit. Luka yang diderita Lim Tay-peng belum lagi sembuh, sekarang bertambah lagi dengan Ang Nio-cu serta Ong Tiong. Sambil menarik muka, Yan Jit berseru.

   "Sekalipun perkataanmu adalah perkataan yang sejujurnya, tidak seharusnya kau berkata demikian."

   "Yaa, aku memang tidak seharusnya berkata demikian, tapi mau tak mau aku harus mengutarakannya juga!"

   Kata Kwik Tay-lok.

   "Kenapa ?"

   "Sebab sekarang, aku sudah hampir berubah menjadi orang mati."

   "Orang mati ?"

   Kwik Tay-lok memperhatikan sekejap setumpuk barang di hadapannya, lalu berkata sambil tertawa getir.

   "Kalau keadaan begini dibiarkan berlangsung terus, tak sampai dua hari lagi, sekalipun aku tidak melompat ke dalam sungai juga tak dapat..."

   Yang tertumpuk di hadapannya tak lain adalah tumpukan bon berhutang. Bon hutang artinya secarik kertas yang biasanya dipakai orang untuk menagih hutang. Kwik Tay lok mencabut selembar diantara bon-bon tersebut, kemudian membacakannya.

   "Yan-oh paling baik lima tahil, harga dua belas tahil perak."

   Dengan gemas dia membanting bon tersebut ke atas tanah, kemudian gumamnya sambil menghela napas panjang.

   "Tahu kalau sarang burungpun bisa dijual dengan harga semahal ini, lebih enakan kita jadi burung saja, dari pada didesak-desak orang terus untuk membayar hutang."

   Yan Jit segera tertawa.

   "Siapa bilang kalau kau bukan seekor burung, kau memang seekor burung tolol."

   Helaan napas Kwik Tay-lok semakin memanjang.

   "Aaaai.... aku percaya, sekalipun aku benar-benar adalah seekor burung tolol, juga tak akan mengurusi hutang-hutang ini."

   "Siapa yang suruh kau mengurusi hutang?"

   Kwik Tay-lok segera menuding ke hidung sendiri sambil menjawab.

   "Aku.... aku si burung tolol."

   Memang kenyataannya dia sendiri yang berebut untuk mengurusi hutang-hutang tersebut.

   Lim Tay-peng, Ang Nio-cu serta Ong Tiong sudah tak dapat berkutik tanpa dia dan Yan Jit berdua, pekerjaan yang harus mereka lakukan otomatis juga bertambah banyak.

   Yan Jit kembali bertanya kepadanya.

   "Sebetulnya kau hendak mengurusi rumah atau mengurusi hutang ?"

   Tanpa berpikir panjang, Kwik Tay-lok segera menjawab.

   "Mengurusi hutang."

   Dalam anggapannya, mengurusi hutang jauh lebih gampang dan gembira dari pada mengurusi orang sakit, seperti memasak bubur, memasak obat dan lain sebagainya.

   Sekarang dia baru tahu kalau dirinya keliru, malah merupakan suatu kekeliruan yang amat besar.

   Sambil tertawa getir Kwik Tay-lok lantas berkata.

   "Sebenarnya aku mengira di dunia ini sudah tiada persoalan lain yang jauh lebih gampang dari pada mengurusi hutang-hutang."

   "Ooooohhh....."

   "Karena dulu selama beberapa bulan, kita sama sekali tak pernah mengurusi soal hutang."

   "Sekalipun ada hutang, juga hutang yang tak jelas asal-usulnya."

   Sambung Yan Jit sambit tertawa.

   "Yaa, betul, tepat sekali."

   Sesudah menghela napas panjang, sambungnya lebih jauh.

   "Waktu itu kita punya uang, makan agak baikan, minum agak baikan, kalau tak punya uang, seharian tidak makan tidak minum juga tidak menjadi soal."

   "Paling tidak, waktu itu kita bisa keluar bersama untuk mencari uang, atau mencari akal bersama untuk memperoleh uang."

   "Yaa, tapi sekarang keadaan berbeda."

   Pelan-pelan Yan Jit turut mengangguk, tanpa terasa dia turut menghela napas.

   "Yaa, sekarang keadaannya memang jauh berbeda."

   Orang sakit selain tak boleh kelaparan, lebih-lebih tak boleh tak minum obat.

   Oleh sebab itu, entah mereka mempunyai uang atau tak punya uang, setiap hari sudah ada target pengeluaran tetap yang tak bisa dihindari lagi.

   Pengeluaran tersebut memang tidak kecil jumlahnya.

   Sebaliknya orang yang mengeluarkan ide untuk mencari uang, justru seorangpun tak ada.

   Yan Jit repot untuk mengurusi orang-orang yang sakit, sedangkan Kwik Tay-lok harus memeras otak untuk mengurusi hutang-hutangnya.

   "Aku hanya mengherankan sesuatu."

   Kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas panjang.

   "Soal apa ?"

   "Sekalipun aku belum bergerak dalam dunia persilatan, tapi seringkali mendengar cerita tentang orang-orang gagah di dalam dunia persilatan, tapi herannya belum pernah kudengar kalau orang-orang itu pernah menjumpai kesulitan uang ?"

   Sesudah tertawa getir lanjutnya.

   "Orang-orang itu sepertinya setiap saat bisa memperoleh uang yang banyak dan menghambur-hamburkan seenak hatinya sendiri, padahal mereka tidak bekerja apa-apa, memangnya uang itu bisa jatuh dari atas langit ?"

   Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yan Jit berpikir sebentar, lalu sahutnya.

   "Di kemudian hari, bila ada orang yang menceritakan kisah kita, sudah barang tentu merekapun tak akan menceritakan kalau kita tak pernah murung karena kesulitan uang."

   "Kenapa ?"

   "Sebab si pengarang cerita biasanya mengira orang lain tak suka mendengarkan cerita semacam ini."

   "Tapi ini toh suatu kenyataan."

   "Sekalipun kejadian ini merupakan suatu kenyataan, tapi orang yang berani berbicara jujur di dunia ini tidak banyak jumlahnya."

   "Kenapa tak berani mengatakannya ? Apa yang mesti ditakuti?"

   "Takut kalau orang lain tidak mendengarnya."

   "Memangnya orang-orang yang mengarang cerita semuanya goblok? Apakah mereka tidak tahu kalau ada sementara orang lebih suka mendengarkan cerita yang menyinggung suatu kenyataan?"

   Sesudah berpikir sebentar, dia melanjutkan.

   "Mungkin cerita yang berbau dongeng jauh lebih mantap kedengarannya daripada suatu kenyataan, tapi kenyataan sudah pasti akan lebih mengharukan hati orang, hanya cerita yang dapat mengharukan hati orang saja yang akan selalu berada dihati orang."

   Yan Jit segera tertawa, serunya.

   "Kata-katamu itu lebih baik disampaikan kepada si empunya cerita saja...."

   "Kaupun enggan untuk mendengarkannya"

   "Betul."

   "Lantas apa yang ingin kau dengar.

   "Aku hanya ingin mendengar, sebetulnya sekarang kita sudah berhutang berapa ?"

   "Tidak banyak...."

   Sahut Kwik Tay-lok sambil menghela napas, panjang.

   "belum sampai selaksa tahil."

   Dalam pandangan sementara orang, selaksa tahil perak memang tak bisa dianggap amat banyak, tapi buat pandangan Kwik Tay-lok yang sepeser uangpun tak punya, hutang tersebut sudah mencapai setinggi langit.

   Persoalannya sekarang sudah bukan berapa yang kau hutang, melainkan berapa yang kau miliki.

   "Apakah nota hutang sebesar selaksa tahil perak ini harus dibayar semua secepatnya?"

   Tanya Yan Jit.

   "Para penagih hutang sudah mendesakku sampai menceburkan diri ke sungai, bayangkan sendiri hutang itu musti dibayar secepatnya atau tidak ?"

   "Lantas, beberapa yang masih kita punyai sekarang ?"

   Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.

   "Tidak banyak, kalau ditambah tiga mata uang lagi, maka sudah cukup menjadi satu tahil perak"

   Yan Jit mulai tertegun.

   Satu tahil perak bila dibandingkan dengan selaksa tahil perak, maka terasa besar sekali selisihnya, sebab kekurangannya berarti mencapai sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan tahil perak.

   Nota hutang semacam ini sudah pasti tak akan dilepaskan oleh para penagihnya.

   Maka Yan Jit hanya bisa berdiri tertegun.

   Setelah tertegun beberapa saat lamanya, dia baru menghela napas panjang, katanya.

   "Sekarang aku.... aku baru dapat memahami apa artinya kemiskinan."

   "Sampai sekarangkah kau baru mengerti?"

   Yan Jit mengangguk.

   "Karena dulu, meski kita tak punya uang, kitapun tak pernah berhutang kepada orang lain, maka saat itu kita masih belum bisa dianggap benar-benar miskin."

   "Aaaai..... sekarang aku hanya berharap jangan berhutang kepada orang lain, aku lebih suka merangkak selama tiga hari tiga malam daripada harus berhutang kepada orang."

   "Sayang, sekalipun kau merangkak selama tiga tahunpun, tak akan muncul selaksa tahil perak di hadapanmu."

   "Tak perlu selaksa tahil perak, asal ada sembilan ribu sembilan ratus tahil perakpun sudah cukup."

   "Persoalannya sekarang, dari mana kau bisa dapatkan ke sembilan ribu sembilan ratus tahil perak tersebut ?"

   "Aku tak punya akal."

   Kwik Tay-lok tertawa getir.

   "Aku juga tak punya."

   "Kenapa kita tak bisa menjadi perampok?"

   "Karena kita bukan perampok."

   "Manusia macam apakah baru bisa menjadi perampok ?"

   "Manusia yang bukan termasuk seorang manusia."

   "Dapatkah kita mencuri yang kaya untuk menolong fakir miskin ?"

   "Tidak dapat !"

   "Mengapa tidak dapat? Mencuri yang kaya untuk menolong fakir miskin toh bukan perbuatan seorang perampok, kalau akan dianggap sebagai perampok maka perampok macam itu disebut perampok budiman, seorang enghiong."

   "Kau hendak mencuri barang milik siapa?"

   "Tentu saja para saudagar yang berhati licik, pembesar korup yang memeras rakyat."

   "Setelah mendapat hasil curian, harta itu akan kau bagikan kepada siapa saja?"

   "Tentu saja untuk menolong kebutuhan kita yang mendesak, menolong kita sebagai fakir miskin."

   "Itu bukan enghiong namanya, tapi anjing beruang !"

   Sesudah berhenti sebentar, dia melanjutkan.

   "Justru karena di dunia ini banyak terdapat manusia yang mempunyai cara berpikir macam anjing beruang, maka jadinya banyak sekali perampok dan pencoleng yang meraja lela di dalam dunia ini."

   Mungkin kebanyakan orang yang menjadi perampok atau pencoleng, mulai berkarir dengan cara menipu diri sendiri, lagaknya saja untuk menolong orang, padahal di dalam kenyataannya kantung sendiri yang ditolong paling dulu.

   Kwik Tay-lok berpikir sejenak, lalu tertawa getir.

   "Lantas kalau menurut pembicaraanmu itu tampaknya kita hanya bisa menempuh dengan sebuah jalan saja."

   "Jalan yang bagaimana ?"

   "Tidak membayar hutang !"

   "Tahukah kau manusia macam apakah baru tak mau membayar hutangnya...."

   Tentu saja Kwik Tay-lok tahu dengan pasti, maka dia menghela napas panjang.

   "Tentu saja manusia yang tak tahu malu!"

   Sahutnya lirih.

   "Dapatkah kau menunggak hutang dan tidak membayarnya ?"

   "Tidak dapat !"

   Apalagi sekalipun dia tak ingin membayar hutang juga tak mungkin dilaksanakan.

   Luka yang diderita Ong Tiong, Ang Nio-cu serta Lim Tay-peng belum sembuh seratus persen, mereka masih membutuhkan obat untuk diminum, masih membutuhkan obat penambah darah, obat kuat penambah tenaga serta bahan makanan untuk melanjutkan hidupnya.

   Betul kali ini kau bisa menunggak hutang itu dan tak mau membayarnya, tapi bagaimana selanjutnya ? Siapa lagi yang bersedia memberi hutang kepadamu kemudian hari ? Kalau sampai demikian, lantas bagaimana dengan Ong Tiong, Ang Nio-cu serta Lim Tay-peng yang belum sembuh dari lukanya? Betul- betul suatu masalah yang pelik.

   (Bersambung

   Jilid 21)

   Jilid 21 KEMBALI Kwik Tay-lok menghela napas panjang katanya.

   "Kalau begitu, bukankah kita betul-betul sudah menemui jalan buntu ?"

   "Siapa bilang kalau kita sudah menemui jalan buntu ? Jalan itu kegunaannya untuk membawa orang keluar dari kesulitan, asal kau punya tekad yang besar, asal kau bersedia melakukannya sudah pasti akan kau jumpai jalanan tersebut."

   "Aku mengerti akan teori tersebut, lagi pula pernah pula kukatakan kepada orang lain, tapi sekarang..."

   "Sekarang, apakah kepada dirimu sendiripun kau tidak percaya?"

   "Sekarang aku hanya mempercayai satu hal."

   "Soal apa ?"

   "Seandainya kita tidak membayar hutang tersebut pada hari ini, maka mulai hari ini juga kita tak bisa makan."

   Memang banyak terdapat teori bagus di dunia ini..Cuma sayangnya, bagaimanapun baiknya teori tersebut, tak akan bisa memperoleh uang sebesar sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan tahil perak.

   Bahkan setahil perakpun tidak laku.

   Kalau tadi cuma seorang yang tertegun, maka sekarang berubah menjadi dua orang.

   Kalau sampai ada dua orang yang tertegun, maka keadaannya pasti jauh lebih menderita dari pada hanya seorang saja.

   Pada hakekatnya Kwik Tay-lok sudah tak kuasa menahan diri, dia bangkit berdiri dan berputarputar sampai tujuh-delapan belas kali, mendadak teriaknya.

   "Aku jadi teringat akan sepatah kata !"

   "Sepatah kata yang mana?"

   Tanya Yan Jit sambil mengerling sekejap ke arahnya.

   "Sepatah kata yang amat berguna."

   "Apa gunanya ?"

   "Paling tidak bisa dipakai untuk menolong keadaan yang amat mendesak ini."

   "Kalau memang begitu, aku bersedia untuk mendengarnya."

   "Sahabat mempunyai kegunaan sebagai pelancar harta, tentunya kau pernah mendengar tentang perkataan ini bukan ?"

   "Maksudmu, kau hendak mencari orang lain untuk meminjam uang?"

   "Bukan mencari orang lain, tapi mencari teman."

   "Di dunia ini hanya ada semacam manusia yang paling sedikit berteman, tahukah kau manusia semacam apakah itu ?"

   "Manusia macam apa ?"

   "Yakni orang yang ingin mencari teman untuk meminjam uang."

   "Akupun tak akan pergi mencari teman yang terlalu banyak, aku hanya akan pergi mencari seorang saja."

   "Menanti kau berhasil menemukan temanmu itu dan mengemukakan maksudmu untuk meminjam uang, mungkin kau akan segera menemukan bahwa seorang temanpun sesungguhnya tidak kau miliki."

   "Tapi seperti teman macam kita...."

   "Kalau teman semacam kita ini, pada hakekatnya tak usah kau buka suara, ia sudah tahu sendiri."

   "Maka kau lantas beranggapan bahwa di dunia ini tiada seorang temanpun yang ada, jika kau sudah membuka mulut untuk meminjam uang ?"

   "Yaa, seorangpun tak ada."

   "Tapi aku justru kenal seseorang."

   "Siapa ?"

   "Swan Bwe-thong !"

   Yan Jit segera menarik muka, sepatah katapun tak diucapkan.

   "Aku toh bukan menyuruh kau yang buka suara, aku boleh pergi sendiri, toh bagaimana pun juga aku pernah membantunya."

   Kata Kwik Tay-lok lebih lanjut. Tiba-tiba Yan Jit tertawa dingin.

   "Di dunia inipun hanya ada sejenis manusia yang bisa mencari orang perempuan untuk meminjam uang."

   "Kau maksudkan manusia macam apa ?"

   "Orang bodoh !"

   Sahut Yan Jit dingin.

   "hanya seorang bodoh yang akan percaya bila ada seorang perempuan bersedia meminjamkan selaksa tahil perak kepadanya."

   "Akupun tahu kalau jalan pikiran seorang perempuan jauh lebih sempit ketimbang seorang lelaki, tapi dalam pandangannya, selaksa tahil perak seharusnya bukan suatu jumlah yang sangat besar."

   "Yaa, memang bukan termasuk jumlah yang luar biasa, cuma paling banter selaksa tahil perak belaka"

   "Tapi dia toh bukan seorang yang sempit jalan pikirannya."

   "Sesupel-supelnya seorang perempuan, tak nanti dia akan meminjamkan uangnya kepada orang lelaki."

   "Kenapa ?"

   "Sebab jalan pemikiran orang perempuan berbeda."

   "Bagaimana bedanya ?"

   "Mereka selalu beranggapan hanya lelaki tak becus saja yang bersedia membuka mulut untuk meminjam uang kepada orang perempuan! Sedangkan perempuan yang bersedia meminjamkan uang kepada lelaki juga sama-sama tak becusnya"

   
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kwik Tay-lok tertegun beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia tertawa dan berkata.

   "Padahal bagaimanakah jalan pemikiran seorang perempuan, hanya kaum wanita saja yang tahu, kau toh bukan seorang wanita."

   "Tentu saja aku bukan"

   Sahut Yan Jit sambil menarik muka. Kwik Tay-lok segera tertawa.

   "Oleh karena itu kaupun tidak tahu, maka akupun masih tetap akan mencobanya."

   "Seandainya kau sampai kebentur pada batunya ?"

   Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.

   "Sekalipun bakal terbentur batunya, yang terbentur paling-paling cuma batu, daripada terbentur besi atau paku, kan mendingan cuma batu."

   Tiba-tiba dia tertawa, lalu gumamnya.

   "Seandainya di dunia ini terdapat paku emas atau paku perak, aku mah bersedia untuk membenturnya beberapa kali."

   Mendadak mencorong sinar tajam dari balik mata Yan Jit, sambil melompat bangun teriak keras-keras.

   "Aaaah.... akhirnya dia mengucapkan juga sepatah kata yang ada gunanya...!"

   Sikap rekannya ini malah membuat Kwik Tay-lok tertegun, serunya kemudian agak tergagap.

   "Apa yang telah kukatakan. Apa gunanya?"

   "Bukan saja ucapanmu sangat berguna, lagi pula benar-benar ada nilainya."

   Kwik Tay-lok semakin dibuat tak habis mengerti. Tiba-tiba Yan Jit mengambil tujuh delapan biji batu dari atas tanah, lalu katanya lagi.

   "Tahukah kau bagaimana dengan ilmu menyambit senjata rahasia yang kumiliki ?"

   Kwik Tay-lok menggeleng.

   "Tidak tahu, kau toh belum pernah menggunakan senjata rahasia untuk menghadapi aku."

   "Bila kuhadapi kau dengan senjata rahasia, sanggupkah kau untuk menerimanya?"

   "Belum tentu."

   "Kau ingin mencobanya ?"

   "Tidak ingin."

   "Tidak inginpun harus ingin, pokoknya kau harus mencobanya."

   Tiba-tiba, batu yang berada di tangannya itu disambit ke arah Kwik Tay-lok dengan gerakan Boan-thian-hoa-yu (bunga hujan memenuhi langit).

   Dari sekian banyak ilmu melepaskan senjata rahasia, terdapat semacam cara yang dinamakan Boan-thian-hoa yu, hampir setiap orang dalam dunia persilatan tahu akan hal ini dan pernah mendengar tentang persoalan ini...

   Tapi orang yang benar-benar pernah menyaksikan kepandaian semacam itu, tidak banyak jumlahnya, tentu saja orang yang bisa mempergunakan kepandaian semacam itu, jauh lebih sedikit lagi.

   Sekarang, Kwik Tay-lok telah dapat melihatnya.

   Bukan saja Yan Jit bisa menggunakan kepandaian tersebut, lagi pula penggunaannya sangat indah.

   Tujuh delapan biji batu bagaikan hujan badai bersama-sama dilontarkan ke tubuh Kwik Taylok.

   Dengan cepat Kwik Tay-lok membalikkan badan, menggeser langkah dan menghindari tiga biji batu yang menyambar datang, lalu menggeliatkan tangannya menangkap tiga empat biji lainnya, tapi masih ada satu dua biji yang menghajar di atas tubuhnya, membuat pemuda itu menjerit kesakitan.

   Sambil mendelik ke arah Yan Jit, segera teriaknya keras-keras.

   "Hei, apa maksudmu yang sesungguhnya?"

   "Sebetulnya tiada maksud lain."

   Jawab Yan Jit sambil tertawa.

   "aku tak lebih hanya berharap agar kau bisa mencari untung berapa ribu tahil perak dan membawanya pulang."

   "Mendapatkannya dengan cara apa ?"

   Sekali lagi Kwik Tay-lok bertanya dengan wajah tertegun.

   "Menggunakan tanganmu !"

   Setelah tertawa, lanjutnya.

   "Tanganmu sudah cukup cekatan, tidak banyak orang yang sanggup menerima empat batang senjata rahasiaku, asal berlatih beberapa kali lagi, untuk mencari untung berapa ribu tahil perak sudah lebih gampang daripada membalikkan telapak tangan sendiri."

   Kwik Tay-lok memperhatikan tangan sendiri, makin dilihat dia merasa semakin tercengang.

   Ia tak bisa melihat dengan mengandalkan apakah sepasang tangannya itu bisa mendapat untung berapa ribu tahil perak....

   seandainya tangan ini hendak dipakai untuk mengalahkan berapa ribu tahil perak, maka hal ini bisa dilakukannya dengan gampang, sekali bagaikan membalikkan telapak tangan sendiri saja.

   Hanya di dalam sekali lemparan gundu saja dia bisa mengalahkan berapa ribu tahil perak.

   Sementara itu, Yan Jit telah mengambil batu lagi dari atas tanah.

   Tak tahan Kwik Tay-lok segera bertanya.

   "Sebenarnya kau menyuruh aku melakukan apa? Melempar dadu untuk membohongi uang orang ?"

   "Kalau hanya melempar dadu, memangnya kau bisa membohongi uang siapa ? Kau sudah pasti akan menjadi raja diraja dari kekalahan."

   "Kecuali melempar dadu, masih ada cara apa lagi yang lebih cepat ?"

   "Cara untuk kalah lebih cepat memang tidak ada, kali ini aku minta kau pergi untuk menang !"

   "Aaaah.... seorang raja diraja dari kekalahan mana mungkin bisa merajai kemenangan?"

   "Asal kau sanggup untuk menyambut senjata rahasiaku sekaligus, maka aku tanggung kau pasti akan memperoleh kemenangan"

   "Seandainya aku kalah? Apa yang harus kupakai untuk menebus kekalahan itu ?"

   Yan Jit segera menghela napas panjang.

   "Aaai... jika kali ini kau masih kalah, mungkin selembar jiwamu pun akan turut di gadaikan"

   "Tampaknya aku cuma mempunyai selembar nyawa saja yang bisa digadaikan..."

   Kata Kwik Tay-lok sambil tertawa getir.

   "Itulah sebabnya, kau harus mencari akal untuk menyambut semua senjata rahasia ini, bila tanganmu tak sanggup untuk menerimanya semua, gunakan mulutmu untuk menggigit...."

   Untuk menyambut senjata rahasia yang dipancarkan menggunakan ilmu Boan thian-hoa yu, memang bukan merupakan suatu pekerjaan yang sangat gampang.

   Kwik Tay-lok sudah tiga kali menyambutnya, alhasil tujuh tempat di atas tubuhnya kena terhajar, betul tidak terlalu berat, namun cukup membuat tulang belulangnya lamat-lamat terasa sakit.

   Kali ini Yan Jit tidak menaruh belas kasihan barang sedikitpun jua, kembali dia mengambil batu untuk melancarkan serangan.

   Kwik Tay-lok hanya bisa memandang kesemuanya itu dengan wajah tertegun....

   Sampai sekarang, dia masih belum mengerti dengan pasti, obat koyo apakah yang sebenarnya sedang dijual Yan Jit, seandainya berganti orang lain, mungkin sedari tadi dia sudah tak mau melakukannya.

   Tapi dia percaya kepada Yan Jit.

   Dia percaya sekalipun semua orang yang berada di dunia ini berniat untuk mempermainkan dirinya, sudah pasti Yan Jit tak akan membantu orang lain.

   Batu yang berada dalam halaman itu tidak banyak, walaupun Yan Jit membawa setumpuk juga masih belum cukup, maka dia lari ke sudut tembok pekarangan sana untuk mengumpulkan kembali.

   Sedang Kwik Tay-lok meraba bahunya yang linu dan sakit itu sambil tak tahan menghela napas panjang.

   Seandainya dia harus menyambut begitu banyak senjata rahasia, ia benar-benar merasa tak yakin lagi.

   Angin berhembus lewat membawa harumnya bunga, bunga Tho di depan sana telah mulai mekar.

   Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya, mendadak ia melihat Ong Tiong duduk di depan jendela sambil menggapai ke arahnya.

   Menanti Yan Jit telah mengumpulkan batu dan berjalan kembali, dia telah menghampiri Ong Tiong, dua orang itu seorang di dalam jendela, seorang lagi di luar jendela, mereka berdua menuding kesana kemari sambil berbicara tiada hentinya entah ada saja yang sedang di bicarakan.

   Terpaksa Yan Jit harus menunggu.

   Sudah setengah harian lamanya ia menunggu, ketika Kwik Tay-lok muncul kembali sambil bergendong tangan, wajahnya kelihatan seperti merasa bangga sekali.

   Ong Tiong masih duduk di depan jendela sambil mengawasi ke arah mereka, wajahnya juga dihiasi senyuman, sekulum yang amat misterius sekali.

   Tak tahan lagi Yan Jit segera bertanya.

   "Sebetulnya permainan setan apakah yang kalian berdua lakukan...?"

   "Siapa yang kau maksudkan sebagai berdua?"

   Tanya Kwik Tay-lok sambil mengerdipkan matanya.

   "Kau dan Ong Tiong"

   "Ooooh.... kau maksudkan Ong Tiong? Dia hanya memberitahukan kepadaku agar disampaikan kepadamu bahwa malam ini dia ingin makan tulang bay-kut masak lobak"

   Setiap orang dapat melihat kalau ia sedang berbohong. Bila Kwik Tay-lok sedang berbohong, maka di atas wajahnya seakan-akan memasang merek. Yan Jit segera mendelik sekejap ke arahnya, lalu berkata dengan dingin.

   "Orang yang berbohong hati-hati dengan giginya, takut kalau sampai kena disambit rontok orang lain."

   "Silahkan dicoba,"

   Kata Kwik Tay-lok sambil tertawa cekikikan.

   "Baik !"

   Kali ini, bukan saja batu yang dipergunakan jauh lebih banyak, lagi pula tenaga yang dipergunakan juga jauh lebih besar.

   Dengan tenaga yang lebih besar, otomatis batu yang meluncur datangpun jauh lebih cepat dan tajam.

   Kwik Tay-lok segera memutar badannya, tahu-tahu dalam genggamannya telah bertambah dengan dua macam benda yang memancarkan sinar keperak-perakan, bentuknya persis seperti jala kecil yang dipakai anak kecil untuk menangkap kecubong.

   Belasan biji batu yang meluncur datang dengan cepatnya itu, bagaikan kecubong saja, hampir semuanya kena disambar masuk ke dalam jala tersebut.

   Yang terlepas dari sambaran jaring itu paling banter cuma dua tiga biji, itupun bisa dihindari Kwik Tay-lok dengan gampang.

   Kali ini Yan Jit membelalakkan matanya lebar-lebar, dengan setengah melotot serunya.

   "Permainan apakah itu?"

   Kwik Tay-lok tertawa cekikikan.

   "Coba kau lihat permainan macam apakah ini? Kagum tidak?"

   "Apakah Ong lotoa yang barusan mengajarkan kepadamu?"

   "Sekalipun dia yang mengajarkan kepadaku, hanya orang pintar seperti aku pula yang dapat menguasainya dengan cepat,"

   Sahut Kwik Tay-lok dengan bangga. Yan Jit segera mencibirkan bibirnya.

   "Sedari kapan sih kau menjadi pintar?"

   "Sebetulnya aku memang tak boleh, asal ada permainan bagus, sebentar saja aku telah bisa menguasainya."

   "Bawa kemari !"

   Seru Yan Jit sambil mengulurkan tangannya ke muka.

   "Tidak boleh!"

   Cepat-cepat menyembunyikan tangannya ke belakang.

   "Kenapa tidak boleh?"

   "Sebab Ong lotoa bilang, rahasia langit tak boleh bocor."

   "Baik, kalau begitu cobalah sekali lagi"

   Kali ini senjata rahasia itu dilepaskan dengan kecepatan yang lebih hebat dan ancaman yang lebih mengerikan.

   Belasan buah batu kecil seakan-akan berubah menjadi hidup semua, seperti tumbuh sayapnya dan punya mata, justru ancamannya mengarah bagian yang paling lemah di tubuh Kwik Tay-lok.

   Siapa tahu dua lembar jaring yang berada ditangan Kwik Tay-lok seakan-akan sudah menunggu di situ.

   Belasan buah batu itu sudah termakan semua ke dalam jaring, malah yang terlepas hanya ada sebiji saja.

   Sambil tertawa terbahak-bahak Kwik Tay-lok segera berseru.

   "Sekarang, tentunya kau sudah mengagumi diriku bukan ?"

   Yan Jit melotot besar, tapi akhirnya dia tersenyum juga.

   "Kelihatannya kau memang tidak bodoh!"

   Kwik Tay lok semakin bangga lagi, katanya.

   "Terus terang saja, ilmu menyambut senjata rahasia memang tak pernah kupelajari secara baik dulunya, hal ini dikarenakan.... dikarenakan apa? Coba kau terka ?"

   "Aku tak bisa menerkanya."

   "Karena tanganku sesungguhnya jauh lebih cepat, mataku juga jauh lebih tajam daripada orang lain, maka hakekatnya tak perlu di latih lagi....!"

   "Maka kaupun baru terkena pagutan kelabang besar itu,"

   Sambut Yan Jit dengan hambar. Ternyata paras muka Kwik Tay-lok sedikitpun tidak menjadi merah, malahan ujarnya sambil tertawa.

   "Kalau kejadian itu sih tidak masuk hitungan, sekarang cobalah sekali lagi !"

   Seraya memutar biji matanya dia berkata lagi sambil tertawa.

   "Konon setiap jagoan yang berada didalam dunia persilatan selalu mempunyai julukan yang mentereng, maka sekarang akupun ingin mencari sebuah julukan yang cocok untuk kugunakan."

   "Apakah julukanmu itu ?"

   "Jian pit-ji-lay, Kui-im cu-mo put-cok, Kuay-jiu-tay-ciu-hiap (Ji-lay bertangan seribu, bayangan setan yang tak teraba, pendekar pemabuk bertangan kilat)!"

   Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yan Jit tak dapat menahan diri dan segera tertawa tergelak, katanya kemudian.

   "Aku juga mempunyai suatu julukan yang rasanya jauh lebih tepat untuk kau gunakan."

   "Coba katakan."

   "Pun-jiu-pun-ciok, Cin-liau-boan-tee-pa, Sut-ong-ci-ong-toa-po-nio (Otak bebal tangan lamban, merangkak setelah mabuk, burung dogol si raja di raja kekalahan), coba kau katakan, cocok tidak julukan ini untuk kau gunakan ?" * * * Pintu gerbang bangunan rumah itu menghadap ke selatan, sepasang gelang pintunya memancarkan cahaya keemas-emasan di bawah sorot cahaya matahari. Baru saja masuk ke dalam lorong tersebut, Kwik Tay-lok sudah menyaksikan sepasang gelang pintu itu. Lewat lama kemudian, sepasang matanya masih menatap pintu itu tak berkedip, seakan-akan selama hidup belum pernah menyaksikan gelang pintu. Dalam kenyataannya, sepanjang hidupnya dia memang jarang sekali mendapat kesempatan untuk menyaksikan kejadian aneh semacam itu. Setiap bangunan rumah pasti ada pintu gerbangnya, di atas pintu gerbang pasti ada gelang pintunya. Hal itu sedikitpun tidak aneh atau mengherankan. Yang mengherankan adalah gelang pintu rumah ini ternyata ini terbuat dari emas murni. Ketika Kwik Tay-lok sedang memperhatikan gelang pintu itu, Yan Jit sedang memandang ke arahnya. Belakangan ini, di atas tubuh mereka berdua seakan-akan terdapat seutas tali yang telah membelenggu mereka menjadi satu, dimana Kwik Tay-lok berada, di situ Yan Jit turut hadir. Lewat lama kemudian, Kwik Tay-lok baru menghela napas sambil bergumam.

   "Orang ini, pasti orang kaya mendadak"

   "Orang kaya mendadak ?"

   "Yaa, hanya orang kaya mendadak baru akan melakukan perbuatan semacam ini"

   "Perbuatan macam apa?"

   "Perbuatan yang hakekatnya bisa membikin gigi orang pada copot saking gelinya"

   "Kau keliru"

   "Bagian mana yang keliru?"

   "Keluarga ini bukan saja tidak kaya mendadak, bahkan dia masih termasuk salah satu dari beberapa keluarga persilatan kenamaan yang berada dalam dunia persilatan"

   Meskipun membuat gelang pintu dari emas merupakan suatu perbuatan yang tak biasa dan menggelikan, tapi perbuatannya ini tak pernah menimbulkan perasaan geli dihati orang"

   "Tapi aku merasa geli sekali."

   "Hal ini dikarenakan kau belum tahu siapakah dia."

   "Aku tahu."

   "Kau benar-benar tahu ?"

   "Dia adalah seorang manusia, seorang manusia yang penuh dengan perak bau, kekayaan yang melimpah dan kuatir orang lain tak tahu kalau dia adalah seorang kaya."

   "Manusia macam ini bukan saja aku tak ingin kenal dengannya akupun tak ingin berteman dengannya. Apapun yang dilakukan orang ini, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan diriku."

   Yan Jit segera tertawa.

   "Cuma sayang orang semacam itu justru sekarang ada sedikit hubungannya dengan dirimu."

   "Tentunya kau bukan menyuruh aku untuk datang merampas gelang pintunya bukan?"

   Kata Kwik Tay-lok sambil memandang ke arahnya. Yan Jit tertawa.

   "Itu sih tidak, kita masih belum sampai semiskin itu."

   Kwik Tay-lok segera menghembuskan napas lega.

   "Kalau begitu, setelah kau suruh aku menempuh perjalanan setengah harian lebih dan sampai kemari, apa tujuannya hanya untuk melihat gelang pintu ini?"

   "Juga bukan !"

   Kwik Tay-lok kelihatan merasa agak kuatir, ditatapnya Yan Jit sekejap kemudian.

   "Aku tahu kau pasti tidak mempunyai suatu ide bagus, maka selama ini tak pernah mau berbicara terus terang kepadaku."

   "Jangan kuatir."

   Sahut Yan Jit sambil tertawa.

   "paling tidak, aku tak akan menjual kau kepada orang lain, aku masih merasa berat hati untuk melakukannya."

   Setelah menjawab perkataan tersebut, wajahnya kelihatan berubah agak memerah. Kwik Tay-lok kelihatan makin bertambah kuatir, kembali katanya.

   "Jika seseorang tidak melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar suara hati sendiri, kenapa mukanya berubah menjadi merah?"

   "Muka siapa yang menjadi merah ?"

   "Kau"

   Yan Jit segera berpaling ke arah lain, kemudian katanya.

   "Aku lihat matamu betul-betul sudah melamur!"

   Tiba-tiba Kwik Tay-lok memutar biji matanya, lalu berkata.

   "Aku mengerti sekarang"

   "Kau mengerti soal apa?"

   "Sudah pasti ada seorang perawan tua yang tidak laku kawin ingin mencari jodoh, maka kau menggunakan siasat lelaki tampan untuk makankan aku kepadanya"

   Mendengar perkataan itu, tak tahan lagi Yan Jit tertawa cekikikan.

   "Apakah kau merasa dirimu sangat tampan?"

   "Sekalipun tidak terlalu tampan, paling tidak aku adalah type lelaki yang disukai setiap orang perempuan""

   Yan Jit menghela napas panjang, katanya.

   "Kau betul-betul tak tahu diri, tampang macam begitupun dikatakan sebagai tampang yang menarik."

   Kwik Tay-lok juga menghela napas panjang.

   "Sayang kau bukan perempuan, kalau tidak, sudah pasti kau akan tertarik kepadaku!"

   Paras muka Yan Jit kelihatan agak memerah lagi tapi sengaja dia menarik muka sambil berseru.

   "Andaikata aku adalah seorang perempuan, sekarang juga aku sudah menendangmu hingga tercebur ke dalam pecomberan !"

   "Perduli apapun yang kau katakan, pokoknya kali ini aku tak mau termakan oleh perangkapmu."

   "Siapa yang menipumu ?"

   "Nona perawan tua itu pasti jelek dan kukoay, siapa tahu mukanya penuh dengan burik, maka dia baru tak laku kawin, sekalipun ada mas kawin delapan ratus laksa tahil perak juga jangan harap menyuruhku kawin dengannya."

   Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya, kemudian berkata dengan suara dingin.

   "Seandainya dia masih muda dan cakap?"

   "Itu mah bisa dirundingkan lagi,"

   Sahut Kwik Tay-lok sambil tertawa.

   "siapa suruh kalian adalah sobat-sobatku ? Demi sahabat, perbuatan apapun bersedia kulakukan."

   "Sekarang aku hanya ingin kau melakukan sesuatu, entah bersediakah kau untuk melakukannya?"

   "Coba katakan."

   "Aku hanya berharap kau suka menuju ke depan pecomberan sana dan bercermin, kemudian belilah tahu yang sudah membusuk dan hantamkan ke atas kepalamu biar mampus."

   Lorong itu sangat lebar, mendadak muncul sebuah kereta kuda besar yang ditarik empat ekor kuda, dengan cepatnya kereta itu menyerbu masuk ke dalam lorong tersebut.

   Walaupun lorong itu sangat lebar, tapi seandainya Kwik Tay-lok dan Yan Jit tidak menghindar dengan cepat, tak urung mereka akan tertumbuk juga.

   Sambil melotot ke arah kereta yang sudah menyambar lewat itu, Kwik Tay-lok berseru dengan gemas.

   "Jalanan ini toh bukan miliknya seorang, atas dasar apa dia berani mengambil tindakan yang semena-mena ?"

   "Hanya mengandalkan satu hal."

   "Hal yang mana ?"

   "Cukup mengandalkan kalau lorong ini adalah miliknya seorang". Kwik Tay-lok menjadi tertegun, sekarang dia baru menemukan kalau lorong tersebut memang cuma ada dia sekeluarga. Kereta itu sudah berhenti di depan pintu gerbang, pintu yang semula sunyi senyap kini sudah bermunculan belasan orang dengan langkah cepat, malah ada berapa orang diantaranya dengan menggunakan kecepatan yang luar biasa menahan larinya kuda sementara beberapa orang lainnya mendorong kereta itu naik ke atas tangga, dan mendorongnya masuk ke dalam gedung. Dari balik jendela seperti kelihatan ada orang melongok ke luar jendela kereta dan memandang Kwik Tay-lok sekejap. Kwik Tay-lok tidak melihat jelas paras muka orang itu, dia hanya merasa bahwa matanya jauh lebih tajam daripada mata orang biasa.

   "Tampaknya Kim Toa-say telah kembali."

   "Siapa Kim Toay-say tersebut ?"

   "Dialah orang yang kau katakan sebagai orang kaya mendadak itu."

   "Nah, itulah dia, coba kau lihat, tidak salah bukan perkataanku tadi ?"

   Setelah tertawa dingin kembali katanya.

   "Kim Toa-say, hemmm. Cukup didengar dari namanya saja semestinya sudah dapat diketahui manusia macam apakah dirinya itu."

   "Orang yang punya uang belum tentu semuanya orang jahat."

   "Tapi atas datar apa dia menyebut dirinya sebagai Toa-say (jendral)....?"

   "Pertama karena dia memang mempunyai kewibawaan sebagai seorang jendral, kedua karena orang lain suka memanggilnya sebagai Toa-say"

   "Tampaknya kau seperti merasa kagum sekali kepadanya?"

   "Dapatkah aku mengaguminya?"

   "Dapat, tentu saja dapat.... tapi bolehkah aku tidak mengaguminya....?"

   "Tidak dapat."

   "Mengapa tidak dapat ?"

   "Bukankah kau selalu mengagumi dirimu sendiri ?"

   "Hehhmm.... heehhmm...."

   "Maka kaupun seharusnya mengagumi dia, sebab dia persis seperti dirimu, juga gagah, sosial dan sangat Tay-lok ( lapang dada maksudnya )...."

   "Ehmm... ehmm..."

   "Apa artinya ehmm... ehmm....?"

   "Ehmm ehmm artinya aku tidak percaya."

   "Bila kau telah bertemu dengannya, kau pasti akan percaya dengan sendirinya."

   "Aku tak akan menjumpai dirinya."

   "Tapi kau harus pergi menjumpainya.".

   "Kenapa ?"

   "Sebab bila kita kau tidak pergi menjumpainya, maka kau terpaksa harus berhadapan dengan tampang-tampang si penagih hutang itu."

   Ya, di dunia ini ada tampang manusia macam apa lagi yang tak lebih sedap dilihat daripada tampang seorang penagih hutang? Begitu teringat orang-orang itu, sepasang alis mata Kwik Tay-lok segera berkenyit, katanya tergagap.

   "Apakah kau..... kau suruh meminjam uang kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal ?"

   "Aku tahu kulit mukamu masih belum setebal kulit badak"

   "Lantas kau suruh aku pergi ke sana untuk berbuat apa ?"

   Yan Jit termenung sebentar, lalu bertanya.

   "Didalam dunia persilatan terdapat banyak sekali orang aneh, misalkan saja ayah dari Swan Bwe-thong tersebut."

   "Kau maksudkan locianpwe yang bernama Sik-sin (dewa batu) itu ?"

   Yan Jit mengangguk.

   "Tahukah kau, dari mana datangnya nama Sik-sin tersebut ?"

   "Karena dia hanya menggunakan senjata tajam terbuat dari batu, lagi pula bisa mempergunakannya secara sangat baik-baik."

   "Tepat sekali jawabanmu itu !"

   Setelah berhenti sebentar, kembalikan dia melanjutkan.

   "Tapi senjata batu sebetulnya merupakan senjata yang paling kuno, sebab pada waktu itu orang masih belum mengerti cara menggunakan besi, sekarang saja senjata tajam apapun ada, tapi dia justru lebih suka menggunakan senjata batu yang berat dan tak leluasa digunakan, coba katakanlah dia adalah seorang manusia aneh ?"

   "Benar. Cuma.... apa pula bedanya dengan Kim Toa-say ?"

   "Kim Toa-say pun sama seperti dia, ia juga seorang manusia aneh, senjata yang dipergunakan juga sangat aneh."

   "Senjata apa yang dia pergunakan?"

   "Dia hanya menggunakan senjata yang terbuat dari emas, lagi pula semuanya terbuat dari emas murni."

   Kwik Tay-lok mengerdipkan matanya berulang kali, agaknya sudah mulai memahami maksudnya. Terdengar Yan Jit berkata lebih jauh.

   "Senjata tajam yang paling diandalkan olehnya adalah Kim-kiong-sin-tan (gendewa emas peluru sakti), secara beruntun dia bisa melepaskan dua puluh satu biji peluru, jarang sekali ada orang dalam dunia persilatan yang sanggup menghindari serangannya itu."

   "Apakah pelurunya tersebut dari emas?"

   "Yaa, emas murni."

   "Oooh, jadi kau suruh aku bertarung melawannya, menyambut serangan peluru emasnya dan kemudian membawanya pulang untuk membayar hutang?"

   Yan Jit tertawa.

   "Konon peluru emas yang dipergunakan olehnya, setiap butirnya paling tidak mencapai beberapa tahil beratnya, lagi pula sekaligus dua puluh satu biji, asal kau dapat menerima tiga empat biji saja, kau tak usah kuatir bertemu dengan tampang-tampang si penagih hutang lagi."

   "Aku tak mau melakukannya, perbuatan semacam ini aku tak mau melakukannya !"

   "Kenapa ?"

   "Tidak kenapa-napa, pokoknya tidak mau yaa tidak mau."

   Yan Jit memutar biji matanya berulang kali, kemudian sambil tertawa hambar katanya.

   "Oooohh.... aku mengerti sekarang, rupanya kau takut...."

   "Aku takut apa ?"

   Kwik Tay-lok segera berteriak keras.

   
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tentu saja kau tidak takut kepadanya, kau tak-lebih hanya takut menjadi gemuk."

   "Takut menjadi gemuk ?"

   Seru Kwik Tay-lok tertegun.

   "Sekalipun emas lebih lunak daripada besi, tapi jika sebutir peluru emas yang lima-enam tahil beratnya sampai bersarang dibadan, toh akan menimbulkan sakit juga."

   "Hmm !"

   "Setelah sakit badan pasti akan menjadi bengkak, kalau sudah membengkak, kau sudah pasti jelek sekali tampangnya."

   Kembali dia tertawa hambar, kemudian melanjutkan.

   "Oleh sebab itu, kendatipun kau tak mau pergi, aku juga-tak akan menyalahkan dirimu, seandainya kau gemuk secara mendadak, siapa kalau orang lain mengira kau telah makan obat penggemuk babi ?"

   Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya, lalu sambil menarik muka, dia berseru.

   "Lucu, lucu, betul-betul lucunya setengah mati."

   "Bila seseorang mendadak menjadi gemuk itu baru lucu namanya."

   Sekali lagi Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya, lalu tanpa banyak berbicara lagi dia membalikkan badan dan berlalu.

   "Hei, mau kemana kau ?"

   Tegur Yan Jit.

   "Belakangan ini aku sangat kelaparan sampai badanku terlampau kurus, aku memang sedang mencari akal bagaimana caranya untuk menggemukkan sedikit badanku."

   Yan Jit tersenyum.

   "Apakah kau akan menyerbu ke dalam dengan begitu saja, lantas mencari orang dan menantangnya untuk berkelahi ?"

   "Cara apa pula yang bisa kugunakan untuk berkelahi dengan orang ? Apakah kau menyuruh aku berlutut dan memohon kepadanya?"

   Kembali Yan Jit tertawa.

   "Sekalipun kau sungguh-sungguh berlutut dan memohon kepadanya, belum tentu dia mau turun tangan."

   Katanya.

   "Oooh....?"

   "Dua puluh satu biji peluru emas mempunyai suatu nilai yang cukup besar, dia toh belum edan, kenapa harus menggunakan peluru-peluru emasnya untuk sembarangan memukul orang? Lagi pula, seandainya sampai memukul mati orang, toh bukan suatu kejadian yang bagus"

   Hampir berteriak Kwik Tay lok saking penasarannya, segera serunya keras-keras.

   "Barusan, kau yang memaksaku untuk pergi, sekarang kau pula yang menghalangi aku pergi, sebetulnya permainan setan apakah yang sedang kau rencanakan?"

   "Aku bukannya menyuruh kau jangan pergi, cuma untuk mencari Kim Toa-say serta menantangnya bertarung, kau musti menggunakan akal."

   "Akal apa ?"

   "Coba bayangkan sendiri, manusia macam apa saja yang bisa memaksa Kim Toa say untuk turun tangan ?"

   "Aku tak bisa melihatnya, juga ogah untuk memikirkannya."

   "Hanya ada dua macam manusia !"

   Yan Jit menerangkan.

   "Dua macam yang mana ?"

   "Macam yang pertama tentu saja musuh besarnya, andai kata musuh besarnya datang mencari gara-gara, tentu saja dia akan segera turun tangan, cuma sayang... kau sama sekali tiada ikatan dendam atau sakit hati dengannya"

   Dia menghela napas panjang, seakan-akan menganggap kejadian itu sebagai suatu kejadian yang amat menyesalkan.

   "Apakah hendak kau menyuruh aku untuk merampas bininya lebih dulu, agar mengikat tali permusuhan dengannya"

   Seru Kwik Taylok sambil menarik muka. Yan Jit segera tertawa cikikikan.

   "Konon bininya mana gembrot seperti babi, jelek lagi tampangnya malah kata orang galaknya bagaikan harimau betina, seandainya kau benar-benar melarikannya, siapa tahu Kim Toa-say malahan akan sangat berterima kasih kepadamu"

   "Hmm, hmm, lucu... benar-benar sangat lucu."

   "Untung saja selain cara itu, masih ada sebuah cara lagi."

   "Hmmmm !"

   "Setiap orang persilatan paling enggan untuk takluk ataupun menunjukkan kelemahannya kepada orang lain, maka dari itu, seandainya ada orang yang datang ke rumahnya secara terangterangan dan menantangnya untuk beradu kepandaian, maka ia tak akan mampu untuk menampik lagi."

   Tiba-tiba ia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna merah, kemudian katanya lagi sambil tertawa.

   "Tapi orang itu tentu saja harus punya nama yang besar dan mentereng juga, misalnya seperti julukanmu Pun-jiu-pun-ciok Cui-liau-hoan-tee-pa Sut-ong-ciong Toa-po- nio (Otak bebal tangan lamban, merangkak setelah mabuk, burung dogol si raja di raja kekalahan ) betul bukan ?"

   Kartu nama yang berwarna merah jambu itu sungguh indah dan anggun bentuknya. Di atas kartu nama itu tercantumkan beberapa huruf yang mentereng berbunyi.

   "Jian-pit-ji-lay, Kui-im-cu-mo-put-cok, Kuoy-jiu-tay-cui-hiap (Jilay bertangan seribu, bayangan setan tak teraba, pendekar pemabuk bertangan kilat) Kwik Tay-lok."

   Pengurus gedung keluarga Kim sudah berusia lanjut, mukanya licik sekali, setelah menerima kartu nama itu, dibacanya sekejap lebih dulu, wajahnya sedikitpun tidak nampak terkejut, dengan hambar dia bertanya ?".

   "Dimanakah Kwik Tayhiap itu sekarang?"

   "Disini !"

   Jawab Kwik Tay-lok cepat. Pengurus gedung keluarga Kim itu baru mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arahnya, kemudian sambil tertawa kering berseru.

   "Oaah. rupanya kau adalah Kwik Tayhiap, maaf, maaf !"

   "Hmm !"

   Dengan senyum tak senyum, pengurus itu memandang lagi ke arahnya, kemudian berkata lebih jauh.

   "Kwik tayhiap, apakah kau datang kemari untuk mengajak loya kami beradu senjata rahasia ?"

   "Dari mana kau bisa tahu ?"

   Suara tertawa pengurus itu persis seperti seekor rase tua, katanya lagi sambil tersenyum.

   "Tiap bulan pasti ada beberapa orang tayhiap yang datang kemari, bila aku tak dapat menebak maksud kedatanganmu, baru aneh namanya."

   "Kalau memang sudah tahu akan maksud tujuanku, kenapa tidak lekas-lekas masuk untuk memberi laporan ?"

   Seru Kwik Tay-lok lagi sambil menarik muka. Pengurus itu memperhatikan tamunya dari atas sampai ke bawah beberapa kali, kemudian baru katanya.

   "Tampaknya hari ini Kwik tayhiap belum mabuk ?"

   "Sekalipun namanya pendekar pemabuk, toh bukan berarti setiap hari harus mabuk,"

   Seru Kwik Tay-lok dingin.

   "Kalau begitu, kuanjurkan kepada Kwik tayhiap lebih baik cepat-cepat pulang saja."

   "Kenapa....?"

   Suara tertawa pengurus gedung keluarga Kim itu semakin menggemaskan hati, sahutnya hambar.

   "Sebab tayhiap yang datang kemari sungguh sudah terlampau banyak, loya kami bilang, asal bertemu dengan tayhiap kepalanya lantas pusing, maka ia telah berpesan kepadaku, manusia macam apapun tak akan dijumpai, bahkan cucu kura-kura atau pencolengpun boleh masuk ke dalam, tapi asal tayhiap... heeehhh.... heeehhh.... heeehhh.... dia sih tak sudi untuk menjumpai lagi."

   Kartu nama itu telah terjatuh kembali ke tangan Yan Jit. Dengan wajah membesi karena gemas, Kwik Tay-lok mengomel.

   "Semuanya ini adalah gara-gara ide bagusmu itu, selama hidup belum pernah aku mendapat malu seperti hari ini, terutama sekali menghadapi rase tua tersebut, lagaknya saja seakan-akan menganggap aku ini pencoleng atau pembohong besar, terutama senyum tak senyum yang menggemaskan itu, sungguh bikin hati mendongkolnya setengah mati."

   "Mengapa kau tidak memberi dua tamparan yang keras kepadanya ?"

   Tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya.

   "Sebab aku memang sebenarnya seorang pencoleng, aku mempunyai tujuan yang tak benar, orang tidak menggaplok aku saja sudah terhitung sungkan, mana aku bisa menggaplok orang ?"

   Yan Jit segera tertawa.

   Tentu saja senyumannya jauh lebih manis dan sedap dipandang daripada senyum tak senyum dari pengurus keluarga Kim itu.

   Menyaksikan senyumannya, kobaran api amarah Kwik Tay-lok segera menjadi mereda.

   Kata Yan Jit sambil tertawa.

   "Rupanya kulit mukamu tidak terlampau tebal, kalau dibandingkan dengan dinding tembok yaa lebih tipis sedikit"

   Kwik Tay-lok menghela napas panjang katanya sambil tertawa getir.

   "Oleh sebab itu sekarang, aku hanya pergi dari sini, makin cepat semakin baik."

   Tapi Yan Jit segera menarik tangannya sembari berseru.

   "Kenapa kau mesti terburu napsu ? Aku masih mempunyai sebuah jalan lain."

   Kwik Tay-lok seperti terperanjat mendengar perkataan itu, dengan wajah meringis dia berseru.

   "Dapatkah kau tak usah mencari akal lain?"

   "Tidak dapat !"

   Kwik Tay-lok segera menutup telinganya dengan kedua belah tangannya.

   "Dapatkah aku tidak mendengarkan?"

   Kembali serunya.

   "Tidak dapat !"

   Dia menarik tangan Kwik Tay-lok dan melepaskannya dari atas telinga, kemudian sambil tertawa cekikikan katanya lagi.

   "Idemu yang tidak terlalu baik saja sudah hampir menjual segenap harga diriku, apa lagi ide bagusmu, aku bisa habis."

   "Betulkah kau menganggap perbuatan semacam ini adalah suatu perbuatan yang memalukan ?"

   Kwik Tay-lok cuma menghela napas. Kembali Yan Jit berkata.

   "Aku ingin bertanya kepadamu, ketika si kelabang besar menyambitmu dengan senjata rahasia, andaikata kau sanggup untuk menerimanya, mungkinkah kau akan mengembalikannya lagi kepadanya ?"

   "Aku belum gila, mengapa harus kukembalikan kepadanya? Apakah ingin menyuruh dia menghajar tubuhku lagi ?"

   "Nah, kalau begitu benar sudah."

   "Benar bagaimana ?"

   "Bila seseorang suka menggunakan emas sebagai senjata rahasianya, asal dia senang, siapa yang akan mengurusnya, betul bukan?"

   "Betul !"

   "Bila dia menggunakan senjata rahasia untuk menghajar kita, asal kita mampu untuk menyambut senjata rahasia, hal ini merupakan kepandaian kita sendiri, betul bukan?"

   "Betul !"

   "Bila seseorang mencari uang dengan mengandalkan kepandaiannya sendiri, maka hal ini bukan merupakan suatu perbuatan yang memalukan, betul bukan ?"

   "Betul !"

   "Sampai sekarang, sudah ada berapa hal yang kau katakan sebagai sesuatu yang benar?"

   "Tiga !"

   "Lantas, apa pula yang hendak kau katakan lagi kepadaku tentang soal ini?"

   "Tidak ada lagi !"

   "Masih inginkah kau untuk mendengarkan pendapatku yang lain ?"

   Sekali lagi Kwik Tay-lok menghela napas panjang, sahutnya sambil tertawa getir.

   "Bukan cuma ingin saja, pada hakekatnya inginku setengah mati... kau tahu apa artinya setengah mati ?"

   Padahal dia juga tahu, menunggak hutang padahal tak punya uang untuk membayarnya adalah suatu perbuatan yang sangat memalukan sekali.

   Tapi Kwik Tay-lok mau tak mau harus pergi berhutang dan berhutang terus, meski tunggakan hutangnya makin menumpuk.

   Sebenarnya dia adalah seorang yang amat menjaga gengsi, tapi mengapa ia sampai melakukan perbuatan semacam ini ? Tentu saja demi sahabat.

   Siapa saja, bila dalam hidupnya bisa berteman dengan seorang sahabat yang bersedia berkorban baginya, maka sekalipun sampai mati, diapun tak merasa penasaran.

   Kwik Tay-lok bukan seorang yang suka memaki orang, juga tidak terlalu pandai memaki orang, tapi begitu ia mulai mencaci maki, suaranya menjadi keras sekali seperti geledek.

   Dia berdiri di depan pintu gerbang keluarga Kim sambil mencaci maki orang, bahkan Yan Jit yang berada di luar lorongpun dapat mendengarkan suara makiannya dengan jelas.

   Dimulut gang ada sebuah pohon pek-yang besar, di bawah pohon terdapat sebuah gundukan tanah yang tinggi.

   Yan Jit duduk di atas gundukan tanah itu sambil mendengarkan Kwik Tay-lok memaki orang, mukanya menunjukkan suatu mimik wajah yang puas, seakan-akan sedang menikmati seorang penyanyi sedang mengalunkan lagu yang merdu.

   Sebab yang menjadi sasaran makian Kwik Tay-lok bukan dia.

   Yang dicaci maki Kwik Tay-lok adalah Kim Toa-say.

   "Orang she Kim, sudah terang kau seorang manusia, mengapa selalu menyembunyikan diri dalam rumah macam cucu kura-kura? Apa yang kau takuti, apakah hidupmu sudah hancur karena dijotos orang makanya kamu tidak berani keluar untuk bertemu orang ?"

   Makin didengar Yan Jit semakin bangga, sebab semua kata-kata makian itu adalah ajarannya dia kepada Kwik Tay-lok.

   "Kalau toh Kim Toa-say enggan bertemu denganmu, berdiri saja di depan pintu rumahnya dan memaki dia sampai keluar rumah."

   Cara semacam ini dinamakan taktik memaki, sebenarnya suatu taktik bertempur yang kuno sekali, lagi pula biasanya manjur sekali.

   Bila ada dua pasukan sedang berhadapan asal salah satu pihak bertahan dan tidak keluar maka pihak yang lain pasti akan mengirim orang untuk mencaci maki, memaki sampai lawannya tidak tahan dan keluar dari benteng untuk menerima tantangan mereka.

   Konon Cu-kat Liang atau Khong Beng pernah menggunakan taktik seperti ini untuk mencaci maki Cho Cho.

   Sebenarnya Kwik Tay-lok enggan berbuat demikian, tapi sepatah kata dari Yan Jit telah menggerakkan hatinya.

   "Bahkan Cu-kat Liang yang begitu tersohor namanya pun menggunakan siasat tersebut, mengapa kau tak mau menggunakannya?"

   Kalau toh sebagai sebuah taktik untuk bertarung, itu berarti cara itu halal dan bukan sesuatu yang tak boleh dicoba, maka Kwik Tay lok pun pergi mencaci maki, lagi pula makian-makiannya mantap dan tepat.

   Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Asal Kim Toa-say dapat mendengar makian itu, kalau dia tak sampai keluar dari rumahnya, itu baru aneh namanya.

   Kejadian aneh tiap tahun selalu ada.

   Suara makian Kwik Tay-lok begitu kerasnya, sampai semua orang yang berada di sekeliling tempat itu dapat mendengarnya semua.

   Tapi dari balik pintu terbang keluarga Kim justru sama sekali tak ada sesuatu gerakan apapun, bahkan reaksimu tak ada.

   Jangan-jangan Kim Toa-say adalah seorang yang tuli ? Belum lagi orang yang dimaki menampakkan diri, Kwik Tay-lok sendiri malah dibikin habis kesabarannya lebih dahulu.

   Semua kata makian yang diajarkan Yan Jit kepadanya telah diulangi sampai beberapa kali, orang lain belum jemu mendengarnya, dia sudah jemu memakinya lebih dulu, dia ingin mencari beberapa patah kata lain yang lebih sedap untuk melanjutkan makiannya, apa mau dikata justru tiada kata-kata yang tepat yang teringat olehnya.

   Pada saat itulah, si pengurus rumah gedung Kim telah menampakkan diri dari balik pintu, di tangannya masih menggotong sebuah kursi.

   Sebuah kursi yang nyaman sekali tampaknya.

   Rase tua itu membawa kursi tadi ke hadapan Kwik Tay-lok, meletakkannya ke lantai dan wajahnya tetap menunjukkan sikap senyum tak senyumnya yang khas, sedikitpun tidak nampak menjadi marah atau mendongkol.

   Kwik Tay-lok agak tertegun sejenak, kemudian tak tahan tegurnya dengan nada tercengang.

   "Hei, mau apa kau ?"

   Sambil tertawa terkekeh-kekeh sahut pengurus tua itu.

   "Kursi ini adalah suruhan khusus dari loya kami untukmu !"

   "Sebetulnya ia sudah mendengar caci makiku atau tidak ?"

   "Sekalipun loya kami sudah banyak umur namun sepasang telinganya belum tuli."

   "Dia suruh kau menghantar kursi ini untuk apa ?"

   "Dia kuatir Kwik Tayhiap kecapaian kalau memaki sambil berdiri, maka dipersilahkan kepada Kwik tayhiap untuk memaki sambil duduk, malah pesannya, jika Kwik Tayhiap merasa haus nanti, mau minta air teh atau arak silahkan di utarakan, aku akan segera menghantarnya buat Kwik tayhiap."

   Sesudah tertawa, dia melanjutkan.

   "Walaupun tayhiap yang datang kemari sangat banyak, tapi belum ada seorang manusia pun yang bisa memaki lebih bagus dan lebih seru dari pada makian-makian Kwik tayhiap, oleh sebab itu loya kami berharap agar Kwik-tayhiap bisa memaki lebih lama lagi, kalau kau bisa memaki lebih keras pula, hal ini alangkah baiknya."

   Kwik Tay-lok memperhatikan kursi itu sambil termangu-mangu, setengah harian kemudian, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia membalikkan badan dan berlalu dari situ.

   Suara si pengurus tua itu masih kedengaran bersama dari belakang diiringi gelak tertawa yang keras.

   "Apakah Kwik tayhiap hendak pergi? Tidak dihantar, tidak dihantar, bila lain kali ada waktu, silahkan Kwik tayhiap datang setiap waktu, di sini selalu ada air teh juga ada arak, khusus sebagai obat penyembuh sakit tenggorokan."

   Hampir meledak dada Kwik Tay-lok saking mendongkolnya. Sambil memandang ke arahnya, Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali katanya.

   "Aku menyuruh kau pergi membuat orang gemas, kau sendiri malah menjadi gemas setengah mati, apakah gunanya?"

   "Bila kau menyaksikan tampang dari rase tua itu, aneh bila kau tak sampai mampus karena kegusaran,"

   Seru Kwik Tay-lok dengan gemas.

   "Apapun yang dia katakan, kau harus menganggapnya sebagai kentut, dengan begitu bukankah kau tak akan menjadi kheki ?"

   "Kau keliru, dia yang telah menganggap setiap perkataanku sebagai kentut bau !"

   "Ia benar-benar memakimu sedang berkentut?"

   Seru Yan Jit sambil mengerdipkan matanya.

   "Walaupun tidak ia katakan, tapi tampangnya lebih jauh menggemaskan dari pada mengatakannya keluar !"

   "Dan kau ternyata tidak tahu, tak tahupun harus ditahan."

   "Kenapa ?"

   "Karena akupun memangnya lagi berkentut."

   Yan Jit segera tertawa. Tentu saja tertawanya jauh lebih sedap di pandang daripada senyuman pengurus tua itu, cuma saja sudah tidak sebagus dahulu lagi.

   "Kwik Tay-lok menatap wajahnya, lalu sambi menarik muka berkata.

   "Sebetulnya kau masih mempunyai berapa banyak idea lagi ? Lebih baik sekaligus kau katakan semuanya."

   "Kau masih ingin mendengarkan ?"

   "Dengarkan sampai mampus lebih bagus lagi, mati satu berkurang satu...."

   Tiba-tiba Yan Jit terus menghela napas, katanya sambil tertawa getir.

   "Cuma sayang aku sudah tak punya idea lagi."

   "Aaah, masa manusia yang mempunyai bakat bagus semacam kaupun berubah menjadi tak punya ide lagi ?"

   Kata Kwik Tay-lok dengan suara dingin. Yan Jit menghela napas panjang.

   "Aaai.... kau bilang pengurus tua itu seorang rase tua, menurut pendapatku, justru Kim Toa say lah baru benar-benar seorang rase tua."

   "Bukankah kau selalu bilang dia seorang yang supel, mana terbuka lagi orangnya?"

   Ejek Kwik Tay-lok dingin.

   "Seandainya dia sampai benar-benar bertarung melawanmu, bila tak berhasil mengenai badanmu, berarti dia bakal rugi beberapa ratus tahil emas, seandainya kalau sampai melukai dirimu, diapun harus memberi beberapa ratus tahil perak sebagai ongkos pengobatanmu."

   Setelah menghela napas panjang, katanya lebih jauh.

   "Aku lihat, belakangan ini Kim Toa-say tentu sudah tertipu berulang kali, maka lama-kelamaan ia menjadi semakin berpengalaman, oleh sebab itu sudah barang tentu dia tak akan sudi tertipu lagi."

   "Yaa, dia memang tidak tertipu, tapi aku yang tertipu."

   Yan Jit segera tersenyum.

   "Padahal kau pun tak bisa dikatakan tertipu, bagaimanapun juga kau toh sudah berhasil memaki seseorang habis-habisan."

   "Dapatkah aku memaki orang sekali lagi?"

   "Siapa yang hendak kau maki kali ini ?"

   "Kau !?"

   Tiba-tiba dari kejauhan sana muncul seekor kuda yang dilarikan kencang-kencang.

   Waktu itu, Kwik Tay-lok sudah sedemikian khekinya sampai persoalan apapun segan diurusi, diapun enggan untuk berpaling walau pun memandang sekejappun.

   Yan Jit yang berada di hadapannya menunduk rendah-rendah, seakan-akan segan diketahui penunggang kuda itu.

   Siapa tahu justru penunggang kuda itu bermata tajam.

   Baru saja kuda itu menerjang masuk ke dalam lorong, tiba-tiba binatang itu meringkik panjang sambil mengangkat kaki depannya ke atas.

   Hebat sekali kepandaian menunggang kuda yang dimiliki orang itu, sambil menarik tali les kuda, ia berjumpalitan dan melayang turun tepat di hadapan Kwik Tay-lok, bajunya lebih merah dari bunga bwe, merahnya amat menyolok mata.

   Swan Bwe-thong.

   Bwe Ji-lam.

   Kwik Tay lok segera merasakan matanya mencorong sinar terang, serunya tertahan.

   "Hei kau, kenapa kau sampai di sini?"

   "Aku lagi ingin bertanya kepada kalian, kenapa kamu berdua datang ke sini?"

   Sahut Bwe Ji-lam sambil tertawa.

   "Kau bisa datang, mengapa kami tak bisa datang?"

   Sela Yan Jit.

   "Mau apa kalian datang ke sini ? Kenapa kamu berdiri tertegun saja di sini ?"

   "Kami sedang menunggu kau."

   "Darimana kau bisa tahu kalau aku akan kemari ?"

   "Aku bisa meramal"

   Bwe Ji-lam tertawa cekikikan, sambil memukulnya pelan, katanya sambil tertawa cekikikan.

   "Aaah kau ini, tak sepotong katapun yang akan kupercayai, karena kau adalah....."

   Mendadak Yan Jit mendekap mulutnya, agak memerah paras mukanya itu, lalu berseru dengan gelisah.

   "Bila kau berani bicara sembarangan, lihatlah, akan kurobek mulutmu itu !"

   Kwik Tay-lok yang menyaksikan dengan tersebut menjadi tertegun.

   Sudah terang Yan Jit telah menolak pinangan dari Swan Bwe-thong, sepantasnya kalau Swan Bwe-thong membencinya setengah mati.

   Tapi.....

   kenapa dia orang tampak begitu mesrah setelah saling jumpa muka ? Bwe Ji-lam tampak-sedang memutar biji matanya, sebentar memandang ke arahnya, sebentar memandang pula ke arah Yan Jit, lalu sambil menutup bibirnya dan tertawa dia berkata.

Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Duri Bunga Ju -- Gu Long Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini