Pendekar Riang 18
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Bagian 18
"Yaa, sudah pasti dalam keranjang bunganya berisi penuh dengan tahu dan sawi hijau", sambung Ang Nio-cu sambil tertawa.
"Bukan cuma tahu dan sawi hijau saja, masih ada pula arak"
Terdengar suara merdu lain menyambung sambil tertawa.
Si nona kecil itu benar-benar telah kembali, ditangan kirinya membawa keranjang bambu, ditangan kanannya membawa sebuah guci arak, ia berdiri tegak di depan pintu rumah.
Sekarang, dia seperti tidak merasa malu lagi seperti dulu, cuma paras mukanya masih dihiasi warna semu merah.
"Arak ! Arak !"
Ong Tiong segera berseru.
"Tentu saja arak kegirangan"
Jawab si nona cilik sambil tersenyum.
"ketika berada di bawah bukit tadi, kusaksikan mereka berdua amat mesrah, maka aku pun tahu harus membeli arak kegirangan sebagai persiapan."
"Arak kegirangan siapa ?"
Tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya.
"arak kegirangan kami ? Ataukah kalian ?"
Nona cilik itu segera mendesis lirih, kemudian dengan wajah merah padam dia lari masuk ke ruang belakang.
Yan Jit dan Ang Nio-cu yang menyaksikan kejadian itu segera tertawa terpingkal-pingkal kegelian.
Tiba-tiba Lim Tay-peng menghela napas panjang, gumamnya.
"Aku benar-benar tidak habis mengerti, mengapa kalian selalu suka menggoda orang jujur ?"
"Karena orang jujur makin lama semakin sedikit, kalau tidak menggoda sekarang, di kemudian hari pasti tak ada kesempatan lagi."
Inilah kesimpulannya.
Kalau perkawinan tanpa arak, ibaratnya dalam sayur tidak diberi garam.
Tentu saja perkataan ini hanya diucapkan oleh orang pintar, cuma sayang dia lupa melanjutkan kata-kata berikutnya.
Bila dalam perut sudah ada arak, kepala bisa menjadi pusing.
Keesokan harinya, ketika bangun tidur, Kwik Tay-lok merasakan kepalanya pusing tujuh keliling.
Tentu saja dia sudah bukan orang pertama yang bangun lebih dulu...
belum lama berselang dia baru menemukan kalau tidurpun ada kalanya tidak bisa dianggap sebagai hal yang membuang-buang waktu.
Ketika ia bangun tidur, Lim Tay-peng dan si nona kecil itu sudah berada dalam halaman entah apa saja yang dibicarakan.
Tapi yang pasti, entah perkataan apapun yang mereka katakan, kedua orang itu tentu akan merasa tertarik dan gembira.
Walaupun musim semi sudah lewat, bunga-bunga di musim panas pun sudah mulai mekar kembali.
Mereka berdiri di depan kerumunan bunga, sang surya yang baru terbit memancarkan sinarnya menerangi wajah mereka yang bahagia dan gembira.
Keadaan merekapun bagaikan matahari yang baru terbit, penuh dengan pancaran sinar kehidupan serta harapan.
Memandang ke arah mereka berdua, Kwik Tay-lok merasakan kepalanya yang sedang pening seolah-olah telah membaik.
Pelan-pelan Yan Jit berjalan ke sisinya bersandar di tubuhnya, tangan yang satu mempermainkan rambut sendiri, sementara tangan yang lain merangkul lengannya, pancaran sinar gembira dan kebahagiaan terpancar keluar dari balik matanya.
Seluruh jagad serasa menjadi tenang dan penuh kedamaian, kehidupan seperti ini benarbenar pantas untuk diresapi.
Lewat lama kemudian, Yan Jit baru berkata pelan.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang memikirkan dua orang yang lain."
"Siapa ? Ong Tiong dan ......"
Kwik Tay-lok manggut-manggut dan menghela napas.
"Aku sedang berpikir, entah sampai kapankah mereka baru dapat bermesrahan seperti itu", katanya. Yan Jit memperhatikan suaminya lekat-lekat, lama kemudian ia baru berkata dengan lembut.
"Tahukah kau mengapa aku menyukai dirimu ?"
Kwik Tay-lok tidak berbicara, dia sedang menunggu dan mendengarkan dengan seksama. la suka mendengarkan perkataannya. Dengan lembut Yan Jit berkata.
"Karena dikala kau sendiri sedang berbahagia, kau masih memikirkan pula kebahagiaan temanmu, karena kapan saja dan dimana saja, kau tak pernah bisa melupakan temanmu."
"Kau keliru,"
Ucap Kwik Tay-lok sambil mengerdipkan matanya.
"Ada kalanya akupun bisa melupakan mereka,"
"Kapan ?"
"Kemarin malam....."
Bisik pemuda itu. Belum habis ucapan tersebut diutarakan, paras muka Yan Jit telah berubah menjadi merah padam, ia segera menyambar tangannya dan menggigit dengan gemas. Tiba-tiba terdengar Lim Tay-pang berseru sambil tertawa.
"Sungguh tak kusangka Kwik toa-so kita pandai pula menggigit orang...?"
Entah sejak kapan mereka berdua telah membalikkan badannya dan sedang memandang ke arah mereka berdua sambil tersenyum. Kwik Tay-lok turut tertawa, katanya.
"Kalau soal ini kau takkan memahami, lelaki yang belum pernah digigit perempuan, pada hakekatnya tak bisa dianggap sebagai seorang lelaki sungguhan."
"Waah.... teori dari negara mana itu ?"
"Negaraku sendiri, tapi siapa tahu kalau dengan cepat kaupun akan tiba pula di situ?"
Selembar wajah si nona kecil itu segera berubah menjadi merah padam, katanya sambil menundukkan kepala.
"Aku akan pergi menyiapkan sarapan...."
"Yaa, kalau menyiapkan sarapan, harap yang banyakan sedikit, dengan begitu mulut kami baru bisa tersumbat."
Seru Kwik Tay-lok sambil tertawa terbahak-bahak. Sekarang adalah waktunya untuk sarapan. Di bawah langit nan biru, tampak asap putih membubung tinggi ke angkasa... Sambil mendongakkan kepalanya Kwik Tay-lok bergumam.
"Heran, mengapa tempat ini secara tiba-tiba menjadi ramai sekali? Apakah ada banyak penduduk yang pindah ke sekitar tempat ini"
"Tidak ada."
Jawab Lim Tay peng. Kwik Tay-lok memandang lagi ke arah asap putih yang membumbung tinggi di atas puncak bukit itu, kemudian katanya lagi.
"Jika tak ada penduduk, dari mana datangnya asap putih ?"
Lim Tay-peng berpaling dan memandang sekejap, kemudian wajahnya diliputi pula oleh perasaan kaget bercampur keheranan.
"Jika ada penduduk di situ, sudah pasti kemarin malam sudah pindah kesana....."
"Kemarin belum ada ?"
Lim Tay-peng mengamati tempat berasalnya asap putih itu, kemudian sahutnya.
"Kemarin sore aku masih berjalan-jalan disekitar tempat itu, sebuah rumahpun tidak ada.."
Yan Jit termenung pula beberapa saat lamanya, kemudian katanya.
"Sekalipun kemarin malam ada orang pindah kesana, toh tidak mungkin secara tiba-tiba ada begitu banyak orang yang pindah kesana."
"Yaa, apa lagi di sekitar tempat ini memang tiada tempat untuk ditinggali orang."
"Tapi aku rasa di alam terbukapun orang bisa memasang api."
"Tapi mengapa secara tiba-tiba ada begitu banyak orang yang datang ke situ untuk membuat api ? Apakah mereka sudah iseng dan tak ada pekerjaan lagi ?"
Terdengar seseorang berkata dengan perlahan.
"Kalau kalian hanya menduga saja dari sini, sampai tahun depanpun tak akan ada hasil yang bisa diperoleh, mengapa kalian tidak pergi sendiri kesana dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi ?"
Ong Tiong berjalan keluar dari balik pintu dengan langkah lebar, wajahnya masih tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Kwik Tay-lok yang pertama-tama menyongsong kedatangannya, dengan cepat ia bertanya.
"Kau sudah keluar dan memeriksa sendiri"
"Ehmm."
"Darimana datangnya asap itu ?"
"Dari api."
"Siapa yang melepaskan api?"
"Manusia !"
"Manusia macam apa ?"
"Manusia yang mempunyai sepasang kaki"
Kwik Tay-Iok segera menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir.
"Tampaknya bila aku bertanya terus dengan cara begini, sampai tahun depanpun tak akan menghasilkan apa-apa, lebih baik aku pergi melakukan pemeriksaan sendiri."
"Haa, kau memang seharusnya pergi melihat-lihat sendiri.."
Bagian belakang dari perkampungan Hok-kui-san-ceng adalah sebuah tanah perbukitan, pada hakekatnya tiada jalan tembus, tapi di atas bukit dibagian depan, hanya dalam waktu semalam suntuk saja telah didirikan delapan buah tenda besar.
Bentuk tenda-tenda itu istimewa sekali, ada beberapa bagian mirip dengan tenda orang Mongolia sewaktu mengembala ternak, tapi mirip pula tenda-tenda dari pasukan tentara.
Di depan tiap tenda terdapat seonggokan api unggun.
Di atas api tampak seekor kambing gemuk yang sedang di panggang, sebagai alat sunduknya adalah sebatang besi yang dapat diputar pelan-pelan.
Seorang lelaki bertelanjang dada sedang memoleskan bumbu yang telah tersedia di atas badan kambing itu, gerak-geriknya amat lembut tapi seksama, seolah-olah seorang ibu sedang memandikan bayinya.
Bau harum yang tersiar dari daging panggang itu pada hakekatnya jauh lebih harum daripada harumnya bunga.
Di atas meja sarapan juga tersedia daging kambing.
Baru saja mereka berkeliling ditempat luaran, sekarang seharusnya merasa amat lapar.
Tapi kecuali Kwik Tay-lok, orang lain seakan-akan tidak mempunyai napsu lagi untuk bersantap.
Dalam hati mereka semua mengetahui dengan jelas, tentu saja tenda-tenda itu bukan tak mungkin didirikan tanpa alasan.
Kalau dilihat dari kemampuan orang-orang itu untuk mendirikan delapan buah tenda sebesar itu dalam semalam saja, dapat ditarik kesimpulan kalau di dunia ini tiada persoalan yang tak mungkin bisa mereka kerjakan.
Akhirnya Yan Jit menghela napas panjang, katanya.
"Aaai.... tampaknya lagi-lagi ada kesulitan yang datang !"
"Yaa, bahkan kesulitan yang datang kali ini cukup besar"
Sambung Ang Nio-cu dengan wajah murung.
"Entah siapa yang membawa datangnya kesulitan kali ini?"
"Yang pasti bukan aku"
Kwik Tay-lok segera menjawab.
"Sebab aku tak berani mendatangkan kesulitan sebesar ini"
Setelah berhenti sebentar, katanya lebih jauh sambil tertawa.
"Aku selalu hanya mencari kesulitan-kesulitan yang kecil saja, kesulitan besar tak pernah ada"
"Darimana kau bisa tahu kalau kesulitan yang datang kali ini besar atau kecil?"
Seru Yan Jit.
"Bila bukan disebabkan suatu persoalan yang sangat besar, siapa yang kesudian mendirikan delapan buah tenda besar di depan pintu rumah orang...."
"Tapi hingga saat ini, kita belum melihat datangnya kesulitan apa-apa !"
"Kau tak dapat melihatnya ?"
"Orang lain toh hanya mendirikan beberapa buah tenda saja di tanah kosong depan rumah kita, yang di panggang pun daging kambing mereka sendiri, selama tidak mengusik kita, apakah hal ini dinamakan suatu kesulitan buat kita?"
"Jadi kau anggap tak akan ada kesulitan apa-apa ?"
"Ehmmm!"
Yan Jit mengangguk.
"Tadi, siapa yang mengatakan kalau ada kesulitan yang datang ?"
"Aku ?"
"Mengapa pula secara tiba-tiba kau merubah jalan pemikiranmu itu ?"
Yan Jit segera tersenyum.
"Sebab tempat ini amat menyesakkan napas, aku ingin mengajak kau untuk bergurau saja."
"Jika aku mengatakan tak akan ada kesulitan ?"
"Akupun mengatakan ada."
Kwik Tay-lok menghela napas panjang, setelah tertawa getir katanya.
"Agaknya sekalipun aku tak ingin berbeda pendapat denganmu pun tak mungkin bisa."
"Tepat sekali jawabanmu itu"
Yan Jit tertawa.
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bila seorang perempuan ingin mengganggu suaminya, maka dalam setiap detik dia akan menemukan delapan ribu kali kesempatan yang baik.
Tapi mengganggupun ada kalanya bukan suatu perbuatan yang salah, paling tidak bisa mengendorkan ketegangan syaraf orang lain.
Oleh karena itu, ucapan mereka tadi segera menimbulkan gelak tertawa orang lain.
"Benar"
Kata Ang Nio-cu kemudian sambil tertawa.
"bagaimanapun juga, paling tidak orang toh belum datang mencari kita, sekarang buat apa kita mesti menyusahkan diri sendiri?"
Sayang sekali, sekarang mereka tak usah pergi mencari lagi, karena kesulitan sudah memasuki pintu gerbang rumah mereka.
Tampak seseorang pelan-pelan berjalan masuk ke dalam rumah.
Orang itu berperawakan tinggi, lagi kurus, pakaian yang dikenakan adalah sebuah jubah panjang yang berwarna istimewa sekali, yakni berwarna hijau pucat.
Paras mukanya sesuram pakaian yang di kenakan olehnya, sorot matanya redup seperti tak bersinar, lebih mirip dengan sepasang lubang hitam yang tak nampak dasarnya, bahkan mana biji matanya dan mata bola matanya sukar dibedakan, ternyata dia adalah seorang buta.
Namun langkah kakinya enteng sekali, seakan-akan di atas kakinya tumbuh sepasang mata, tak mungkin dia akan terpeleset atau terbentur batu, dia pun tak akan terjatuh ke dalam selokan.
Sambil bergendong tangan pelan-pelan dia berjalan masuk ke dalam, walaupun wajahnya suram dan menyeramkan, namun sikapnya amat ringan dan santai.
Kwik Tay-lok yang pertama-tama tak kuasa menahan diri, segera tegurnya dengan lantang.
"Apakah kalian datang mencari orang? Siapa yang dicari ?"
Orang berbaju hijau itu seakan-akan tidak mendengar sama sekali suara teguran tersebut. Dengan kening berkerut Kwik Tay-lok segera berkata lagi.
"Waaah.... jangan-jangan selain buta, orang inipun seorang yang tuli ?"
Di ujung dinding pekarangan sana adalah kebun bunga, aneka bunga sedang mekar dengan indahnya.
Orang berbaju hijau itu berjalan memasuki kebun bunga itu, kemudian berjalan kembali lagi, setelah itu dia menarik napas dalam-dalam.
Walaupun dia tak dapat menikmati keindahan bunga dengan menggunakan sepasang matanya, namun dia masih dapat mempergunakan hidungnya untuk mengendus bau harumnya bunga.
Mungkin dia dapat meresapi keindahan di sana, sebaliknya orang yang punya mata justru tak dapat meresapinya.
Dengan menelusuri jalan kecil di kebun bunga itu, dia berjalan bolak balik dua kali, tak sepatah katapun yang diucapkan, kemudian pelan-pelan berjalan keluar lagi dari situ.
Sambil menghembuskan napas lega Kwik Tay-lok lantas berkata.
"Tampaknya orang itu sama sekali tidak bermaksud untuk mencari gara-gara dengan kita, dia tak lebih hanya datang kemari untuk mengendus bau harumnya bunga."
"Darimana dia bisa tahu kalau di sini ada bunga ?"
Tanya Yan Jit kemudian dengan cepat.
"Tentu saja hidungnya jauh lebih tajam dari pada hidung kita."
"Tapi, dia datang dari mana?"
Kwik Tay-lok segera tertawa.
"Aku toh tidak kenal dia, darimana aku bisa tahu ?"
Sahutnya.
"Aku tahu!"
Tiba-tiba Ong Tiong menyela.
"Kau tahu?"
Kembali Ong Tiong manggut-manggut.
"Menurut pendapatmu dia datang dari mana ?"
"Dari dalam tenda"
"Darimana kau bisa tahu ?"
Paras muka Ong Tiong sepertinya berubah menjadi berat dan serius, pelan-pelan sahutnya.
"Karena orang lain kini tak mungkin bisa sampai ditempat ini lagi, sedangkan kita pun tak mungkin bisa pergi ke tempat lain"
"Mengapa?"
"Sebab semua jalan tembus yang berada di sini telah ditutup mati oleh ke delapan buah tenda tersebut"
Paras muka Kwik Tay-lok agak berubah, serunya kemudian.
"Maksudmu tujuan mereka mendirikan ke delapan buah tenda tersebut di luar adalah tidak membiarkan orang lain mendatangi tempat ini, dan tidak membiarkan orang-orang yang berada di sini keluar?"
Ong Tiong tidak berbicara lagi, sepasang matanya mengawasi kebun bunga di luar dengan mata tak berkedip, paras mukanya berubah makin berat dan serius.
Tak tahan Kwik Tay-lok juga ikut berpaling dan memandang sekejap ke arah kebun, mendadak paras mukanya turut berubah hebat.
Bunga yang sebenarnya sedang mekar dengan indahnya itu, dalam waktu singkat telah berubah menjadi layu semua.
Putik bunga yang berwarna merah kini berubah menjadi hitam pekat, ketika angin berhembus lewat, putik itu satu demi satu berguguran ke atas tanah.
"Hei, apa yang terjadi?"
Kwik Tay-lok menjerit tertahan.
"Apakah orang tadi telah melepaskan racun ?"
"Hmm !"
Ong Tiong hanya mendengus.
"Masa orang ini adalah seekor ular beracun, asal tempat yang telah dilalui olehnya, maka bunga dan rumput akan menjadi layu ?"
"Mungkin dibandingkan dengan ular beracunpun dia lebih beracun lagi...."
"Betul !"
Kata Yan Jit.
"Sebenarnya aku mengira si ular merah yang tanpa lubangpun bisa menerobos masuk sudah merupakan tokoh paling lihay didalam mempergunakan racun, tapi kalau dibandingkan dengan orang ini, agaknya dia masih selisih banyak sekali."
"Selisih berapa banyak ?"
Tanya Kwik Tay-lok. Pertanyaan itu bukan ditujukan kepada Yan Jit, melainkan kepada Ang Nio-cu. Dengan cepat Ang Nio cu menghela napas panjang, ujarnya.
"Bila si ular merah ingin melepaskan racun dia masih membutuhkan bantuan benda lain, racun itu mesti dicampurkan ke dalam air, arak atau makanan, mungkin juga di atas senjata tajam atau senjata rahasia, sebaliknya orang ini bisa melepaskan racun tanpa berwujud, seakan-akan melalui pernapasanpun dia sanggup untuk meracuni orang sampai mati....."
Kwik Tay-lok tidak bertanya lagi.
Kalau Ang Nio-cu pun mengatakan kalau cara orang ini melepaskan racun jauh lebih hebat dari si ular merah, hal ini berarti persoalan tersebut tak bisa diragukan lagi.
Persoalannya sekarang adalah siapakah orang ini ? Mengapa dia datang ke situ untuk meracuni bunga mereka? Pertanyaan pertama belum sempat terjawab, pertanyaan kedua telah muncul kembali.
Dari luar pintu kembali nampak ada seseorang berjalan masuk ke dalam halaman.
Orang itu pendek dan gemuk, dia mengenakan pakaian berwarna merah menyala, mukanya yang bulat bercahaya merah, seperti juga warna merah pakaian yang dipakainya.
Diapun sedang bergendong tangan sambil berjalan mondar mandir kesana kemari, kalau dilihat gerak-geriknya, ia nampak amat santai.
Kali ini tak ada orang yang bertanya lagi apa maksud kedatangannya, tapi semua orang membelalakkan matanya lebar-lebar dan mengawasinya tanpa berkedip.
Bagaimanapun juga semua bunga yang berada didalam halaman telah mati diracuni, mereka ingin tahu, permainan apa lagi yang hendak dilakukan oleh orang ini.
Orang berbaju merah itupun seakan-akan tak pernah melihat ke arah mereka, dia berjalan mengitari halaman itu satu lingkaran, kemudian berlalu pula dari sana, bukan saja tak mengucapkan sepatah katapun, melakukan permainan apapun tidak pula dilakukan.
Tapi di atas tanah telah bertambah dengan bekas telapak kaki sebanyak satu lingkaran, setiap bekas telapak kaki itu tertera dalam-dalam di atas tanah, seakan-akan diukir dengan pisau.
Sambil menghela napas Kwik Tay-lok berpaling dan memandang sekejap ke arah Yan Jit, kemudian tanyanya.
"Aku lebih suka diinjak-injak oleh gajah daripada diinjak satu kali oleh orang ini, bagaimana dengan kau ?"
"Kalau aku kedua-duanya tak mau."
Tak tahan Kwik Tay-lok segera tertawa.
"Tampaknya kau memang jauh lebih cerdik daripada aku."
Serunya.
Dia tertawa tidak terlalu lama, karena pada saat itulah dari luar pintu kembali muncul seseorang.
Yang datang kali ini adalah seorang manusia berbaju putih, seluruh badannya mengenakan pakaian berwarna putih salju, paras mukanya juga dingin bagaikan salju.
Kalau orang lain selalu berjalan masuk dengan langkah yang pelan, berbeda dengan orang ini.
Tubuhnya enteng bagaikan hembusan angin, ketika segulung angin berhembus lewat, tahutahu orangnya sudah muncul didalam halaman.
Pada saat itulah, mendadak dari luar pintu berkelebat lewat serentetan cahaya pedang berwarna hijau, begitu membubung ke angkasa dan menyambar ranting pohon, tahu-tahu cahaya tadi lenyap kembali tak berbekas.
Seketika itu juga, semua dedaunan yang berada di atas pohon jatuh berguguran bagaikan bunga salju.
Orang berbaju putih itu mendongakkan kepalanya memandang sekejap ke angkasa, kemudian ujung bajunya digetarkan dan menggape ke arah atas.
Daun yang berguguran memenuhi angkasa itu seketika lenyap tak berbekas.
Berbareng itu juga, orangnya juga turut lenyap tak berbekas, seakan-akan terbawa oleh hembusan angin saja.
Pada saat itulah dari luar pintu kembali terdengar seseorang berseru dengan suara dalam.
"Ong Tiong, Ong-cengcu apakah berada di sini?"
Di bawah pohon Pek-yang lebih kurang dua kaki di depan sana, berdiri seorang kakek berambut putih yang memakai baju coklat, di tangannya menggenggam sebuah kartu undangan besar dan sedang mengawasi mereka dengan sorot mata tajam.
Mereka berenam berdiri berjajar di depan pintu, seakan-akan secara khusus berjalan keluar agar terlihat lawan.
Sorot mata kakek berbaju coklat itu perlahan-lahan bergerak memandangi wajah mereka satu persatu, kemudian baru ujarnya dengan suara dalam.
"Siapakah yang bernama Ong cengcu?"
"Aku !"
Sahut Ong Tiong.
"Di sini ada selembar surat undangan yang khusus mengundang Ong-cengcu..."
"Ada orang mengundangku untuk bersantap ?"
"Benar !"
"Kapan ?"
"Malam ini !"
"Dimana ?"
"Di sini !"
"Ooo, itu mah tak usah repot-repot."
"Benar, memang tak usah repot-repot, asal Ong cengcu keluar pintu maka akan tiba di tempat tujuan."
"Siapakah tuan rumahnya?"
"Malam nanti tuan rumah pasti akan menantikan kedatanganmu, sampai waktunya Ong cengcu akan mengetahuinya sendiri."
"Kalau memang begitu, buat apa secara khusus mengirimkan kartu undangan ini ?"
"Tata krama tak boleh dilupakan, undangan toh masih penting artinya, maka silahkan Ong cengcu untuk menerimanya."
Dia lantas mengangkat tangannya, kartu undangan yang berada di tangannyapun pelan-pelan melayang ke hadapan Ong Tiong, kartu itu melayang dengan mantap dan pelan, seolah-olah di bawahnya ada tangan tak berwujud yang menyunggingnya.
Kembali Ong Tiong tertawa, katanya hambar.
"Oooh.... rupanya secara khusus kau datang mengirimkan kartu undangan ini dengan tujuan untuk memamerkan ilmu khikang yang sangat hebat ini...?"
"Ong cengcu jangan mentertawakan"
Kata si kakek berbaju coklat itu dengan suara dingin. Ong Tiong juga menarik wajahnya sambil berseru.
"Barusan masih ada beberapa orang lagi, juga telah mendemontrasikan ilmu silat yang bagus sekali, apakah kau kenal dengan mereka?"
"Kenal"
"Siapakah mereka ?"
"Mengapa Ong cengcu mesti bertanya kepada siapa ?"
"Bukan bertanya kepadamu, lantas harus bertanya kepada siapa ?"
Tiba-tiba kakek berbaju coklat itupun tertawa, sorot matanya seperti sengaja tak sengaja melirik sekejap ke arah Lim Tay-peng.
Kwik Tay-lok sendiripun tanpa terasa memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, sekarang dia baru menjumpai kalau, paras muka Lim Tay-peng pucat pias seperti mayat, keadaannya tak jauh berbeda seperti keadaan Ong Tiong ketika menyaksikan layang-layang tempo hari.
"Mungkin orang-orang itu sengaja datang untuk mencari Lim Tay-peng....?"
Kakek berbaju coklat itu telah pergi.
Ketika dia pergi, Ong Tiong tidak menghalangi, juga tidak bertanya lagi.
Setiap orang dapat melihat sekarang, kedatangan orang-orang tak dikenal pada hari ini jelas ada hubungannya dengan Lim Tay-peng.
Tapi tiada orang yang bertanya kepadanya, bahkan semua orang berusaha untuk menghindarkan diri untuk menyulitkan dirinya...
Bahkan Kwik Tay-lok sengaja bertanya kepada Ong Tong.
"Kau bilang kepandaian yang didemonstrasikan olehnya tadi adalah ilmu Khikang, ilmu macam apakah itu ?"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Khikang yaa Khikang, Khikang hanya ada semacam ?"
"Hanya ada semacam."
"Mengapa hanya ada semacam ?"
"Karena Li- ji-ang sudah merupakan arak paling baik, lagi kalau setiap macam barang hanya ada semacam saja."
"Kalau toh kau sudah memahami teori ini, mengapa masih bertanya lagi kepadaku ?"
Kwik Tay-lok memutar biji matanya, kemudian menjawab.
"Menurut pendapatku, yang paling menakutkan masih terhitung serangan pedang tadi, pada hakekatnya kemampuannya mirip dengan cerita dongeng yang mengatakan bahwa dengan pedang terbang bisa memotong kepala orang yang berada di suatu tempat sejauh seribu li."
"Aaah, masih selisih jauh sekali !"
"Kau pernah melihat ilmu pedang terbang?"
"Belum pernah."
"Lantas darimana kau bisa tahu kalau selisihnya banyak sekali ?"
"Pokoknya aku tahu."
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, ujarnya sambil tertawa getir.
"Mengapa secara tiba-tiba kau berubah menjadi orang yang tak pakai aturan ?"
"Kapan kau pernah menyaksikan aku memakai aturan ?"
"Jarang sekali"
Tentu saja apa yang mereka bicarakan hanya kata-kata kosong yang sama sekali tak ada gunanya, sebab tujuan dari pembicaraan tersebut tak lain hanyalah ingin membuat pikiran Lim Tay-peng lebih santai dan ringan.
Namun wajah Lim Tay-peng masih tetap pucat pias seperti mayat, bahkan sepasang tangannya digenggam menjadi satu dengan wajah tegang, seorang diri ia berjalan berputar-putar didalam halaman, mendadak ia berhenti lalu teriaknya keras-keras.
"Aku mengetahui siapa mereka."
Tiada orang yang memberi komentar, tapi setiap orang mendengarkan dengan seksama. Lim Tay-peng memandang sekejap ke arah bekas telapak kaki di atas tanah, kemudian berkata.
"Orang ini bernama Jiang Liong, dia adalah seorang manusia paling hebat ilmu gwakangnya diantara delapan naga dari luar angkasa"
"Delapan naga dari luar angkasa!"
Ong Tiong mengerutkan kening.
"Apakah tiga orang yang menampakkan diri tadi adalah orang-orang dari Thian-gwa-pat-liong (delapan naga dari angkasa) ?"
"Betul."
"Apakah kau maksudkan Thian-liong-pat-ciang (delapan panglima naga langit) di bawah pimpinan Lok-sang-liong-ong (raja naga dari daratan) ?"
"Thian-gwa-pat-liong hanya ada sejenis."
"Dari mana kau bisa tahu ?"
Ong Tiong memandang sekejap ke arah Kwik Tay-lok, kedua orang itu segera tertawa tergelak.
"Inilah yang dinamakan satu pukulan dibalas dengan satu pukulan, bahkan cepat benar datangnya pembalasan ini."
Seru Kwik Tay-lok. Sebaliknya dari balik mata Lim Tay-peng memancarkan sinar kepedihan, ia menggenggam tangannya kencang-kencang, kemudian berjalan bolak-balik lagi beberapa saat, mendadak ia berhenti lalu berteriak dengan suara yang amat keras.
"Merekapun tahu siapakah aku !"
"Kalau soal itu mah tak usah mereka memberitahukan lagi kepadaku, aku juga tahu."
Seru Kwik Tay-lok sambil tak tahan tertawa lagi. Lim Tay-peng menatapnya lekat-lekat, sorot matanya seperti nampak aneh sekali, serunya cepat.
"Kau benar-benar tahu ?"
"Tentu saja"
"Siapakah aku ?"
Sebenarnya pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan yang sederhana sekali, tetapi Kwik Tay-lok justru dibikin tertegun sampai tak mampu menjawab.
Tiba-tiba Lim Tay-peng menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan penderitaan yang lebih hebat, pelan-pelan katanya.
"Tiada orang yang mengetahui siapakah aku, bahkan aku sendiripun tak ingin tahu."
"Mengapa ?"
Tak tahan Kwik Tay-lok bertanya. Lim Tay-peng memandang tangan sendiri yang menggenggam kencang itu, kemudian jawabnya.
"Karena aku adalah putra kandung dari Lok-sang-liong-ong si raja naga di atas daratan tersebut."
Begitu ucapan tersebut diutarakan, bahkan Ong Tiong pun ikut memperlihatkan rasa kaget dan tercengang yang luar biasa.
Kwik Tay-lok ikut tertegun, rasa kagetnya bagaikan ketika ia mendengar Yan Jit adalah puteri dari Lamkiong Cho.
Ang Nio-cu tertawa paksa, lalu katanya.
"Ayahmu menjagoi seluruh kolong langit, pengaruhnya meluas sampai dimana-mana, siapakah orang persilatan yang tidak menaruh hormat kepadanya....?"
"Aku !"
Tukas Lim Tay-peng secara tiba-tiba dengan suara keras bagaikan geledek.
"Kau?"
Ang Nio-cu tertegun. Lim Tay-peng menggigit bibirnya kencang-kencang, katanya lebih lanjut.
"Aku hanya berharap tidak mempunyai seorang ayah semacam dia !"
"Sekalipun kau merasa tidak puas dengan ikatan perkawinan yang dilakukan olehnya, tidak seharusnya...."
"Bukan dia yang meminangkan bagiku."
Tukas Lim Tay-peng dengan secara tiba-tiba.
"Bukan ?"
Kwik Tay-lok tertegun... Sepasang mata Lim Tay-peng berkaca-kaca, dengan kepala tertunduk ujarnya pelan.
"Ketika aku berusia lima tahun, ia telah meninggalkan kami, sejak itu aku tak pernah bersua lagi dengannya."
"Jadi kau... kau selalu mengikuti ibumu?"
Lim Tay-peng mengangguk, air matanya telah jatuh berlinang membasahi pipinya.
Kwik Tay-lok tak bisa bertanya lagi, diapun tak perlu untuk bertanya lagi.
Ia memandang sekejap ke arah Yan Jit, kedua orang itu merasa segala sesuatunya menjadi jelas, lelaki seperti Lok-sang-liong-ong memang bukan suatu kejadian yang aneh bila ia sampai meninggalkan seorang perempuan.
Tapi jika perempuan yang ditinggalkan adalah ibunya sendiri, sedikit banyak yang menjadi anaknya akan timbul pula suatu perasaan yang tak sedap.
Setiap orang merasa simpatik terhadap Lim Tay-peng, namun perasaan tersebut tak berani diungkapkan keluar, rasa simpatik dan kasihan ada kalanya hanya akan melukai perasaan saja.
Sekarang, satu-satunya orang yang dapat menghibur Lim Tay-peng hanyalah si nona kecil itu.
Semua orang ingin memberi tanda kepadanya, agar tetap tinggal di sana menemani Lim Taypeng, tapi secara tiba-tiba mereka menjumpai paras muka nona kecil itupun tidak jauh berbeda dengan keadaan dari Lim Tay-peng.
Paras mukanya juga pucat pias menakutkan, kepalanya tertunduk rendah-rendah, bibirnya digigit kencang, bahkan bibirnya kelihatan pecah-pecah karena digigit terlampau keras.
Mungkinkah si nona kecil yang polos dan berhati baik inipun mempunyai suatu rahasia yang tak boleh diketahui orang ? Tiba-tiba Lim Tay-peng bergumam seorang diri.
"Kali ini, dia datang kemari tentu ingin memaksa aku pulang.... karena kuatir aku kabur, maka semua jalan lewat ditutup rapat"
"Apa yang hendak kau lakukan?"
Tidak tahan Kwik Tay-lok bertanya. Lim Tay-peng menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang, kemudian menjawab.
"Aku bertekad tak akan pulang bersamanya, sejak dia meninggalkan kami dulu, aku sudah tak mempunyai ayah lagi."
Ia menyeka air matanya dan mendongakkan kepala, wajahnya memperlihatkan kebulatan tekadnya, setelah memandang sekejap ke arah Ong Tiong sekalian, sepatah demi sepatah dia berkata.
"Entah bagaimanapun juga, persoalan ini tiada hubungannya dengan kalian, oleh karena itu, malam nanti kalianpun tak usah pergi menjumpainya, aku...."
"Kau juga tak usah pergi."
Tiba-tiba nona cilik itu berseru. Lim Tay-peng tertegun, ia tertegun sampai lama sekali, kemudian baru tak tahan bertanya.
"Mengapa akupun tak usah pergi ?"
"Karena yang mereka cari juga bukan kau."
"Kalau bukan aku lantas siapa ?"
"Aku !"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, semua orang merasa semakin terperanjat lagi.
Lok-sang liong-ong yang menjagoi seantero jagad, mengapa secara khusus datang kesana untuk mencari seorang nona cilik penjual bunga ? Siapa yang akan mempercayai perkataannya ini ? Tapi, melihat paras muka nona cilik itu, mau tak mau semua orang harus mempercayainya juga.
Dia seakan-akan sudah berubah menjadi orang lain, tidak malu-malu kucing lagi, sorot matanya tertuju ke depan mengawasi Lim Tay-peng tanpa berkedip.
"Tahukah kau, siapakah aku?"
Sebenarnya pertanyaan inipun mudah untuk dijawab, tapi Lim Tay-peng justru dibuat tertegun oleh pertanyaan itu... Si nona cilik memandang sekejap ke arahnya, sekulum senyuman sedih segera tersungging di ujung bibirnya, pelan-pelan dia melanjutkan.
"Tiada orang yang tahu siapakah aku, bahkan aku sendiripun tak ingin tahu..."
Perkataan inipun serupa dengan yang baru saja dikatakan Lim Tay-peng, tapi sekarang dia telah mengulanginya kembali, seharusnya semua orang merasa geli.
Tapi setelah menyaksikan paras mukanya sekarang, siapapun merasa tak sanggup untuk tertawa geli.
Seandainya tiada Yan Jit di situ, hampir saja Kwik Tay-lok akan maju untuk menggenggam tangannya dan bertanya mengapa ia begitu sedih, merasa begitu susah.
Dia masih muda, kehidupannya begitu panjang, persoalan apakah yang tak dapat diselesaikan olehnya? Lim Tay-peng telah maju ke depan dan menggenggam tangannya erat-erat, lalu dengan lembut berkata.
"Perduli siapakah dirimu yang sebenarnya, hal itu bukan masalah bagiku, sebab aku hanya tahu kau adalah kau."
Nona cilik itu membiarkan tangannya yang dingin digenggam olehnya, setelah itu katanya.
"Aku tahu apa yang kau ucapkan adalah kata-kata sejujurnya, cuma saja.... kau sepantasnya bertanya dulu dengan jelas, siapakah aku ini yang sebenarnya."
Lim Tay-peng tertawa paksa.
"Baiklah,"
Ia berkata.
"aku ingin bertanya kepadamu, sebenarnya siapakah kau !"
Nona cilik itu segera memejamkan matanya rapat-rapat, kemudian menjawab pelan.
"Aku adalah calon istrimu, bakal menantu ibumu, tapi ayahmu adalah musuh besarku"
Tiba-tiba Lim Tay-peng merasakan sekujur badannya dingin, kaku, tangannya yang menggenggam tangan nona itupun pelan-pelan dilepaskan, terjulai lemas.
Perasaannya ikut tenggelam, seakan-akan tenggelam ke kolam dingin yang menusuk badan, ia merasa perasaannya amat kalut.
Giok Ling-long ! Ternyata gadis itu adalah Giok Ling-long.
Tak ada orang yang percaya kalau hal ini merupakan suatu kenyataan, tak ada orang yang sudi mempercayainya.
Nona cilik, yang lemah lembut dan berbudi luhur ini ternyata adalah si iblis perempuan yang binal, angkuh, buas dan kejam.
Sorot mata semua orang bersama-sama ditujukan ke atas wajahnya.
Ia menundukkan kepalanya rendah-rendah, rambutnya kusut, hatinya serasa hancur lebur tak karuan.
Tiba-tiba muncul perasaan iba dalam hati Kwik Tay-lok, sambil menghela napas dan tertawa getir, katanya.
"Kau adalah menantu pilihan ibunya, tapi merupakan musuh besar dari ayahnya, mana mungkin di dunia ini terdapat hubungan yang begitu kacau balau tak karuan ? Kau.... kau sudah pasti sedang bergurau."
Tentu saja diapun tahu kalau hal ini bukan gurauan belaka, tapi dia lebih rela untuk mempercayai kalau hal ini bukan sesuatu yang benar-benar telah terjadi. Tertawa Giok Ling-long semakin mengenaskan, katanya lagi dengan wajah sedih.
"Aku memahami maksud baikmu, sayang banyak persoalan di dunia ini justru demikian keadaannya."
"Aku masih tetap tidak percaya."
Giok Ling long menundukkan kepalanya rendah-rendah, kemudian katanya.
"Dendam kesumat antara Lok sang liong ong dengan keluarga Giok kami telah berlangsung banyak tahun, dua puluh tahun berselang dia pernah bersumpah, akan menyaksikan orang terakhir dari keluarga Giok punah dari muka bumi."
"Aaah, kalau begitu ayahmu telah..."
Kwik Tay-lok tak berani melanjutkan pertanyaannya, karena seandainya ayah Giok Ling long benar-benar telah tewas ditangan Lok sang liong ong, maka dendam kesumat karena pembunuhan terhadap ayahnya ini tidak mungkin bisa diselesaikan oleh orang lain.
Giok Ling long segera menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya dengan cepat.
"Ayahku tidak mati di tangannya."
Sorot matanya kembali memancarkan sinar kebencian dan rasa dendam, sambungnya lebih jauh dengan suara dingin.
"Sebab sekalipun dia mempunyai kepandaian yang luar biasa, mustahil ia dapat membunuh seseorang yang telah mati."
Kwik Tay-lok menghembuskan napas lega, tapi tak tahan serunya lagi dengan kening berkerut.
"Ibumu...."
"Ibuku bukan she Giok, dia she Wi."
"She Wi ? Apakah kakak beradik dengan Lim-hujin ?"
Giok Ling-long segera mengangguk.
"Justru karena hubungan ini, maka dia baru melepaskan ibuku, tapi dia sama sekali tak tahu kalau pada waktu itu dalam rahim ibuku sudah terdapat aku, aku masih tetap she Giok !"
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaai... di kemudian hari tentunya dia sudah tahu kalau ada manusia semacam kau, bukan ?"
"Untuk menyembunyikan diri darinya, kalau dia berada di utara, maka aku tak akan pergi ke utara, jika dia di selatan, akupun tak akan pergi ke selatan, nama besarnya jauh lebih termasyhur daripada aku, maka bila aku berusaha menghindarkan diri dari kejarannya, hal ini lebih mudah kulakukan."
Sambil tertawa getir Kwik Tay-lok bergumam.
"Aku sudah lama berkata, bila seseorang terlalu tenar, hal itupun bukan merupakan sesuatu perbuatan yang terlalu baik."
"Tapi juga tidak terlalu jelek."
"Sebenarnya keliru bila ibumu membiarkan kau turut menjadi tenar di dalam dunia persilatan, andaikata kau benar-benar hanya seorang nona kecil yang biasa dan tiada sesuatu yang aneh, mungkin selama hidup dia tak akan berhasil menemukan dirimu."
"Kalau aku harus hidup dalam keadaan seperti ini, maka apa bedanya dengan kematian?"
Sahutnya keras-keras menahan emosi.
"Banyak sekali manusia di dunia ini yang hidup dalam keadaan dan suasana seperti ini, toh mereka dapat hidup dengan senang dan baik."
"Tapi keluarga Giok kami tak pernah terdapat manusia semacam ini, nama besar keluarga Giok juga tak boleh punah dengan begitu saja di tanganku...."
"Dimanakah ibumu sekarang ?"
"Tahun berselang telah meninggal dunia"
Sahut Giok Ling-long dengan wajah murung. Setelah berhenti sejenak, katanya lebih lanjut sambil menggigit bibirnya kencang-kencang.
"Sesaat sebelum meninggal, dia masih kuatir kalau Lok-sang-liong-ong tak akan melepaskan aku, maka sengaja dia datang mencari adik perempuannya."
"Jadi dia yang pergi mencari Lim hujin?"
Giok Ling-long mengangguk.
"Dia berharap Lim-hujin dapat menghapuskan permusuhan diantara kami dua keluarga, sayang sekali Lim-hujin sendiripun tidak mampu berbuat apa-apa, maka...."
"Maka dia baru menjodohkan kau kepada putra tunggalnya, agar dengan ikatan perkawinan ini maka permusuhan antara dua keluarga dapat diakhiri."
"Aku tahu begitulah maksudnya."
Kwik Tay-lok segera melirik sekejap ke arah Lim Tay-peng dengan ekor matanya, kemudian setelah menghela napas panjang katanya.
"Sayang sekali putranya justru tak dapat memahami maksud baik dari ibunya..."
"Ya, generasi yang muda memang mustahil bisa memahami maksud baik angkatan tuanya, begitu pula dengan diriku, sebenarnya akupun enggan untuk menjadi menantunya keluarga Lim mereka."
Dia tak berani memandang langsung ke arah Lim Tay-peng, tapi ujung matanya, toh tanpa terasa mengerling juga ke arah pemuda itu. Sekujur badan Lim Tay-peng segera merasa dingin dan kaku bagaikan diceburkan ke dalam salju, tiba-tiba serunya.
"Kalau memang begitu, mengapa kau datang kemari untuk mencari aku? Mengapa?"
Suara tertawa Giok Ling long semakin sedih dan rawan, dan hanya dengan hati yang pilu.
"Masa kau tidak mengerti ?"
"Tentu saja aku tidak mengerti"
Giok Ling long menggigit bibirnya kencang-kencang untuk menahan agar air matanya jangan meleleh keluar, kemudian tanyanya lagi.
"Kau benar-benar tidak mengerti?"
"Tidak mengerti !"
Sekujur badan Giok Ling long gemetar keras jeritnya kemudian.
"Baik, kuberitahukan kepadamu, aku berbuat demikian karena aku pernah berkata kepadamu, suatu hari kau pasti akan memohon kepadaku agar mau kawin denganmu."
Lim Tay-peng segera merasakan dadanya seperti dihantam orang keras-keras, untuk berdiri tegakpun tak sanggup. Giok Ling long sendiripun hampir roboh ke tanah. Entah berapa saat kemudian, Lim Tay-peng baru berseru lagi sambil menggertak gigi.
"Aku mengerti sekarang... aku sudah mengerti."
Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, mendadak membalikkan badan dan masuk ke dalam kamar sendiri.
"Blaaam !"
Pintu ditutup keras-keras. Giok Ling long tidak memanggilnya, juga tidak memandang ke arahnya, tapi air matanya telah jatuh bercucuran.... (Bersambung
Jilid ke 32)
Jilid 32 MENGAPA sebelum angin badai dan hujan deras akan menjelang tiba, suasana selalu diliputi oleh keheningan yang mencekam? Udara amat bersih, suasana amat cerah.
Tiada badai, tiada hujan deras.
Hujan badai hanya ada didalam hati manusia.
Hanya bencana yang timbul akibat hujan badai semacam inilah baru merupakan keadaan yang benar-benar menakutkan.
Sedemikian heningnya suasana di serambi itu hingga suara dengusan napas Ong Tiong yang berada dalam kamarpun dapat terdengar jelas.
Dengus napasnya amat berat, agaknya ia sudah tertidur pulas.
Orang yang bisa tidur dalam suasana semacam ini memang benar-benar merupakan seorang manusia yang punya kepandaian.
Kwik Tay-lok dan Yan Jit entah telah pergi kemana, gerak gerik pengantin baru memang selalu tampak agak misterius dan penuh diliputi kerahasiaan di hadapan orang lain.
Hanya Ang Nio-cu yang menemani Giok Ling-long, dua orang yang kesepian dengan dua hati yang hancur lebur.
Dengan termangu-mangu Giok Ling-liong, memandang ke tempat kejauhan sana, dikejauhan situ tak ada apa-apa, matanya juga tidak berhasil menyaksikan apa-apa.
Seluruh tubuhnya seakan-akan telah berubah menjadi kosong melompong.
Tiba-tiba Ang Nio-cu menghela napas panjang, kemudian katanya.
"Aku tahu, tadi kau telah berbohong."
"Berbohong?"
Giok Ling-long agak keheranan.
"Kali ini kau datang lagi mencarinya bukan lantaran hendak membalas dendam, kaupun bukan berbuat demikian demi memaksanya untuk berlutut dan memohon kepadamu."
"Aku bukan ?"
"Dulu, mungkin saja kau enggan menjadi menantunya keluarga Lim, tapi sekarang kau bersedia menjadi istrinya Lim Tay-peng, aku dapat menyaksikan kesemuanya itu."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya.
"Tapi aku benar-benar merasa tidak habis mengerti, mengapa kau tidak bersedia memberitahukan kepadanya?"
Giok Ling-long menggigit bibirnya kencang-kencang, kemudian sahutnya cepat.
"Kalau toh kau saja dapat melihatnya, dia pasti dapat melihatnya pula...."
"Aaai.... kau masih belum dapat memahami perasaan orang lelaki,"
Kata Ang Nio cu sambil menghela napas.
"terutama sekali lelaki macam dia, walaupun ia nampaknya lemah-lembut, sesungguhnya berhati keras melebihi siapapun."
"Ooh....."
"Tapi orang yang berhati keras, seringkali merupakan pula orang yang paling lemah, asal orang lain melukai dirinya sedikit saja, maka hatinya akan hancur luluh."
"Kau menganggap aku telah melukai hatinya..?"
"Kau tidak seharusnya berkata demikian kepadanya, sepantasnya jika kau katakan apa adanya, utarakan pula rasa cintamu kepadanya, agar dia tahu kalau kau bersungguh-sungguh, dengan begitu dia baru akan bersungguh-sungguh pula menghadapi dirimu."
Giok Ling-long tertawa rawan.
"Aku cukup memahami ucapanmu itu, sebenarnya akupun ingin berbuat demikian, tapi...."
Ia menundukkan kepalanya rendah-rendah, rendah sekali, kemudian menyambung dengan suara lirih.
"Sekarang, entah apapun yang harus kulakukan, kesemuanya sudah terlalu lambat.."
Ang Nio-cu menatap ke arahnya, dari balik sorot matanya terpancar perasaan kasihan, simpatik dan iba, seakan dari tubuh si nona yang keras kepala ini, dia menyaksikan pula bayangan tubuh dari dirinya sendiri.
Benar, sekarang segala sesuatunya memang sudah terlampau lambat.
Kesempatan baik hanya tersedia dalam waktu singkat, bila kesempatan tersebut telah disiasiakan maka selamanya tak akan datang kembali.
Ang Nio-cu tertawa paksa, lalu katanya.
"Mungkin sekarang masih belum terlambat, mungkin juga kau harus menggunakan sedikit tindakan untuk menghadapinya. Menghadapi seorang lelaki, ada kalanya memang perlu menggunakan suatu tindakan yang tegas, asal ia bersedia mengawinimu, maka kau adalah menantunya keluarga Lim, dan aku rasa Lok-sang-liong-ong juga tak akan...."
Tiba-tiba Giok Ling-long mengangkat kepalanya dan menukas kata-katanya yang belum selesai itu.
"Kau tak usah banyak berbicara lagi, aku sudah mempunyai perhitunganku sendiri, entah bagaimanapun juga, Lok-sang-liong-ong toh tetap seorang manusia, mengapa aku harus merasa takut kepadanya?"
Walaupun wajahnya masih diliputi rasa sedih dan pilu, akan tetapi sorot matanya telah memancarkan kekerasan hati serta keangkuhannya menghadapi kenyataan.
Dia sesungguhnya adalah seorang perempuan keras hati yang enggan tunduk kepada siapapun.
Ang Nio-cu menundukkan kepalanya rendah-rendah, dia tahu dirinya memang tak perlu untuk berkata lebih jauh, dia pun tak dapat berkata lebih lanjut.
Tiba-tiba Giok Ling Long menggenggam tangannya erat-erat, lalu ujarnya dengan suara lembut.
"Entah apapun yang kau katakan, aku masih tetap merasa berterima kasih sekali atas maksud baikmu itu."
"Akupun tahu."
"Tapi ada satu hal yang tidak akan kau pahami."
"Katakanlah."
Giok Ling Long memandang sekejap ke arah jendela kamar Ong Tiong, kemudian pelan-pelan bertanya.
"Kau memang seorang yang pandai sekali menyelami perasaan orang lain, tapi mengapa justru seperti tak dapat menyelami perasaannya."
Ang Nio-cu tertawa, diapun tertawa rawan, lewat lama kemudian baru menghela napas sedih.
"Mungkin hal ini disebabkan dia memang bukan manusia, kalau tidak, mengapa dalam keadaan beginipun dia dapat tertidur?"
"Benarkah Ong Tiong sudah tertidur ?"
Mengapa secara tiba-tiba tidak terdengar lagi suara dengusan napas yang muncul dari dalam kamarnya? Lok-sang-liong-ong bersandar di atas pembaringan berlapiskan kulit harimau, dia sedang menatap Ong Tiong lekat-lekat, seakan-akan ingin membuat dua buah lubang besar di atas wajahnya.
Bahkan Ong Tiong sendiripun merasa wajahnya seakan-akan telah muncul dua buah lubang besar.
Belum pernah ia saksikan sepasang mata manusia yang begitu tajam, ia pun belum pernah menjumpai seorang manusia seperti ini.
Lok sang liong ong yang berada dalam bayangannya, bukanlah seorang manusia seperti ini.
Lantas, Lok sang liong ong seharusnya manusia macam apa? Tentu saja tinggi besar, amat berwibawa, amat gagah, keren, bermuka merah berjenggot panjang, berhidung besar dan bermulut lebar, mungkin rambutnya sudah berubah semua, tapi pinggangnya sudah pasti masih tegap dan lurus, seakan-akan malaikat yang berada dalam lukisan.
Suara pembicaraannya pasti amat keras seperti genta yang dibunyikan bertalu-talu, bisa menggetarkan hati dan memekikkan telinga, bila dia sedang gusar maka lebih baik berusahalah untuk menyingkir dari hadapannya sejauh mungkin.
Bahkan Ong Tiong telah bersiap untuk mendengarkan suara pekikannya yang penuh dengan nada amarah itu.
Tapi apa yang diduga olehnya ternyata sama sekali keliru besar.
Begitu berjumpa dengan Lok-sang-liong-ong, dia segera tahu, entah siapa saja yang ingin membangkitkan amarahnya, jelas hal itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Hanya manusia yang jarang marah baru terhitung benar-benar menakutkan.
Paras mukanya pucat pias seperti mayat, rambutnya amat jarang, jenggotnya juga tidak panjang, rambut serta jenggotnya di sisir dan diatur amat rapi, sepasang tangannya juga di rawat amat baik, membuat orang sukar percaya kalau sepasang tangan itu pernah digunakan untuk membunuh manusia.
Pakaian yang dikenakan amat sederhana, karena dia tahu sudah tak perlu untuk mempergunakan pakaian yang mewah lagi, diapun tak perlu mengenakan barang-barang berharga untuk memamerkan kedudukan serta kekayaannya.
Sewaktu Ong Tiong datang, ia tidak berdiri untuk menyambut.
Entah siapapun yang datang, dia tak mungkin akan bangkit berdiri.
Sekalipun demikian, siapapun tak akan menyalahkan ketidak hormatannya itu.
Sebab dia hanya mempunyai sebelah kaki.
Tokoh silat yang malang melintang dalam kolong langit dan tiada tandingannya di dunia ini ternyata hanya memiliki sebuah kaki yang cacad, kenyataan ini sungguh berada di luar dugaan siapapun.
Dalam tenda yang sangat besar, suasana sepi dan hening, kecuali mereka berdua, tidak dijumpai orang ketiga.
Ong Tiong sudah masuk cukup lama, tapi dia hanya mengucapkan empat patah kata saja.
"Aku adalah Ong Tiong !"
Tapi Lok-sang-liong-ong justru tak mengucapkan sepatah katapun, bila berganti orang lain, dia pasti akan mengira orang itu tidak mendengar apa yang diucapkan.
Tapi Ong Tiong tidak berpendapat demikian.
Ong Tiong tahu, dia pasti sedang menyusun suatu rencana sebelum berbicara.
Ada semacam orang yang selamanya enggan mengucapkan perkataan yang salah, walau hanya sepatah katapun, jelas dia adalah manusia macam itu.
Anehnya, manusia semacam ini justru seringkali mengucapkan selaksa kata keliru...
Ong Tiong masih menunggu, menunggu sambil berdiri.
Akhirnya Lok-sang-liong ong menggerakkan tangannya menunjuk ke sebuah bangku berkulit serigala di hadapannya seraya berkata.
"Duduk !"
Ong Tiong segera duduk. Kembali Lok-sang-liong-ong menuding sebuah cawan emas yang terletak di atas meja, lalu katanya lagi.
"Arak !"
Ong Tiong menggeleng.
"Kau hanya minum arak dengan teman?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Lok-sangliong ong.
"Ada kalanya juga terkecuali."
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kapan ?"
"Bila aku bermaksud untuk menyelesaikan suatu persoalan dengan orang lain. Tapi aku tidak bermaksud berbuat demikian kepadamu."
"Mengapa ?"
"Sebab aku pernah berbuat demikian terhadap orang yang pantas kuhormati."
Lok-sang-liong-ong menatapnya lekat-lekat, lewat lama kemudian ia baru berseru sambil tertawa.
"Kedatanganmu terlampau awal."
"Aku memang bukan datang untuk minum arak."
Lok-sang-liong-ong pelan-pelan mengangguk, katanya.
"Tentu saja kau bukan.."
Dia mengambil cawan kembali yang berada di hadapannya dan pelan-pelan minum seteguk, kemudian dengan sorot mata setajam sembilu ia menatap wajah Ong Tiong lekat-lekat.
"Kau sedang memperhatikan kakiku?"
Serunya.
"Yaa, benar."
"Kau tentu merasa heran bukan, siapa yang telah membacok kakiku ?"
"Benar."
"Inginkah kau untuk mengetahuinya ?"
"Tidak ingin."
"Mengapa ?"
"Sebab entah siapakah orangnya, sudah pasti saat ini orangnya sudah mati...."
Tiba-tiba Lok-sang-liong-ong tertawa.
"Tampaknya kau bukan seorang manusia yang suka banyak bicara."
"Ya, aku memang bukan."
"Aku suka dengan orang yang jarang berbicara, sebab orang yang jarang berbicara biasanya apa yang dikatakan lebih dapat dipercaya..."
"Biasanya memang demikian."
"Bagus, sekarang kau boleh mengutarakan secara berterus terang, apa maksud kedatanganmu saat ini ?"
Tidak menunggu Ong Tiong buka suara, dengan dingin dia melanjutkan kembali.
"Paling baik kalau diutarakan hanya dengan sepatah kata saja."
"Kau tak boleh membunuh Giok Ling-long!"
"Mengapa tidak boleh?"
Lok-sang-liong ong menarik muka.
"Jika kau masih menginginkan Lim Tay-peng hidup, maka kau tak boleh membunuh Giok Linglong."
"Maksudmu bila kubunuh Giok Ling-long, maka Lam Tay-peng akan mati lantaran dia?"
"Kau tidak percaya?"
"Kau percaya ?"
"Bila aku tidak percaya, aku tak datang kemari."
"Kau percaya di dunia ini terdapat orang lain yang bersedia mati demi orang lain ?"
"Bukan saja ada, lagi pula banyak sekali."
"Katakan dua orang diantaranya."
"Lim Tay-peng, aku !"
Tiba-tiba Lok-sang-liong-ong tertawa lebar.
"Kau tidak percaya ?"
Seru Ong Tiong.
"Dan kau percaya ?"
"Kalau memang begitu, bagaimana kalau kita bertaruh ?"
"Bertaruh apa ?"
"Menggunakan selembar nyawaku untuk dipertaruhkan dengan selembar nyawa Giok Linglong."
"Bagaimana caranya bertaruh ?"
"Andaikata Lim Tay-peng tidak bersedia mati demi Giok Ling-long, setiap saat kau boleh membunuh aku."
"Kalau sebaliknya ?"
"Kau boleh segera angkat kaki dari sini, maka menang atau kalah, kau tak akan menderita kerugian apa-apa."
"Tidak menderita kerugian apa-apa?"
Seru Lok-sang-liong-ong sambil tertawa dingin.
"Orang yang bisa berpikir demikian, sudah pasti mempunyai dua buah kaki."
"Sekalipun ada orang memenggal sebuah kakiku, aku hanya akan pergi mencari orangnya, tak akan pergi mencari puterinya."
Sorot mata Lok-sang-liong-ong berubah semakin tajam lagi, lama sekali ia menatap wajahnya tanpa berkedip, kemudian pelan-pelan baru berkata.
"Dapatkah kau buktikan kalau Lim Tay-peng bersedia mati baginya ?"
"Aku tak dapat, tapi kau dapat."
Pelan-pelan dia melanjutkan.
"Tapi aku percaya, dengan cepat dia pasti akan datang pula ke tempat ini"
Benar juga, ada orang yang datang ke situ, tapi yang datang bukan Lim Tay-peng, melainkan Ang Nio-cu, Kwik Tay-lok dan Yan Jit.
Sewaktu mereka masuk ke dalam, Ong Tiong sudah tidak berada didalam tenda lagi.
Melihat mimik wajahnya itu, jelas mereka pun terkejut seperti apa yang dialami Ong Tiong tadi...
Siapapun tidak menduga kalau Lok-sang-liong-ong adalah manusia semacam ini.
Tujuan dari kedatangan mereka kesana seperti juga Ong Tiong, karena terhadap teman merekapun menaruh suatu perasaan yang erat dan rasa percaya yang kuat.
Kepercayaan memang suatu hal yang sangat aneh, seakan-akan tak pernah akan membuat orang kecewa.....
demikian pula persahabatan.
Lim Tay-peng memang tidak membuat mereka merasa kecewa.
Sambil bersandar di atas pembaringannya yang berlapiskan kulit harimau, Lok-sang-liong long mengawasi Lim Tay-peng.
Dia adalah putra kandungnya, putra tunggalnya, sudah hampir lima belas tahun dia tak pernah berjumpa dengannya.
Tapi ketika ia memandang ke arahnya, tidak jauh berbeda sikapnya seperti ketika berjumpa dengan Ong Tiong.
Setelah lewat lama kemudian, dia baru mengulurkan tangannya sambil menuding ke arah bangku berlapiskan kulit serigala yang barusan ditempati Ong Tiong itu.
"Duduk !"
Tapi Lim Tay-peng tidak duduk.
Tubuhnya sudah menjadi kaku, wajahnya turut menjadi kaku, hanya sepasang matanya saja yang berkaca-kaca.
Sekarang dia telah berhadapan dengan ayah kandungnya, ayah kandung yang belum pernah dijumpai selama lima belas tahun lamanya.
Airmatanya tidak dibiarkan meleleh.
Keluarpun sudah terhitung suatu yang tidak mudah.
Paras muka Lok-sang-liong-ong masih tetap kaku tanpa emosi, namun di bawah kelopak matanya tiba-tiba muncul beberapa buah kerutan, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Aai.... kau sudah menginjak menjadi dewasa, tampaknya kau sudah mempunyai pendapatmu sendiri."
Bibir Lim Tay-peng masih tertutup rapat-rapat tanpa mengucapkan sepatah katapun jua.
"Bila kau enggan berbicara, mengapa harus datang kemari ?"
Kembali Lok-sang- liong-ong menegur. Lim Tay-peng termenung lagi beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan baru berkata.
"Aku tahu, selamanya kau enggan mendengarkan kata-kata yang tak ada gunanya."
"Benar."
"Apakah kau bertekad hendak membunuh habis semua anggauta keluarga Giok yang ada di dunia ini ?"
"Benar."
"Sekarang keluarga Giok tinggal seorang"
"Benar."
Lim Tay peng menggenggam tangannya kencang-kencang, kemudian sepatah demi sepatah katanya.
"Bila kau membunuhnya, akupun pasti akan membunuh seorang anggauta keluarga Lim."
"Kau hendak membunuh siapa ?"
Seru Lok sang liong ong sambil menarik muka.
"Diriku sendiri !"
Lok sang liong ong menatapnya tajam-tajam, kerutan pada ujung matanya nampak semakin dalam.
Dia adalah putra kandungnya, darah dagingnya, darah yang mengalir didalam tubuh pemuda itu sama seperti darah yang mengalir dalam tubuhnya, ia sama keras kepalanya, sama angkuhnya.
Siapapun tak dapat merubah kenyataan ini, termasuk dirinya sendiri.
Lok-sang-liong-ong menghela napas panjang, kemudian katanya.
"Kau harus tahu apa yang telah diucapkan keluarga Lim, selamanya tak akan berubah lagi."
"Aku tahu, itulah sebabnya aku baru berkata demikian."
Tiba-tiba dia melanjutkan.
"Aku juga tahu kalau antara dia dengan kau sama sekali tiada ikatan dendam, bahkan berjumpapun tak pernah."
"Apa hubungan perempuan itu denganmu? Mengapa kau menginginkan dia tetap hidup ?"
"Karena selama dia masih hidup, aku baru dapat hidup."
"Sudah sedemikian dalamkah cinta kasih kalian?"
Lim Tay-peng menggigit bibirnya kencang-kencang.
"Sebenarnya akupun tidak tahu...."
"Sejak kapan kau baru tahu ?"
Tukas Lok sang-liong-ong cepat.
"Sejak kau hendak membunuhnya.... benarkah kau akan merasa gembira bila ia telah kau bunuh ?"
Lok-sang-liong-ong tidak bicara apa-apa lagi, dia membungkam dalam seribu bahasa.
"Kau sendiripun tak dapat memutuskannya bukan ?"
Jengek Lim Tay-peng.
"Tapi aku berani menjamin, bila kau telah membunuhnya, maka penderitaan yang bakal kau alami justru akan jauh lebih berat daripada sewaktu kau belum membunuhnya."
"Kau benar-benar bersedia untuk mati baginya?"
Seru Lok-sang-liong-ong sambil menarik muka.
"Mati bukan sesuatu yang gampang, tapi juga bukan sesuatu pekerjaan yang terlalu menyulitkan."
"Bagaimana dengan dia ? Apakah diapun bersedia melakukan hal yang sama ?"
Lim Tay-peng tak sanggup menjawab, dia segera terbungkam dalam seribu bahasa.
"Kaupun tak dapat memastikan bukan ?"
Seru Lok-sang-liong-ong kemudian.
"Mungkin hal ini dikarenakan keluarga mereka tiada bermaksud untuk membunuhku, tidak membawa dendam kesumat dari dua generasi yang lalu ke dalam generasi kami berikutnya."
Kata Lim Tay-peng pelan. Mencorong sinar tajam dari balik mata Lok-sang-liong-ong, tiba-tiba katanya.
"Baik! kululuskan permintaanmu itu, tapi akupun mempunyai syarat."
"Apa syaratmu ?"
"Bila diapun bersedia mengorbankan diri bagimu, hal ini membuktikan kalau hubungan cinta kasih kalian memang benar-benar sudah mendalam, maka akupun akan melepaskan dirinya."
"Kalau tidak?"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau tidak kaupun harus mengerti, pada hakekatnya dia tak pantas untuk kau bela dengan mempertaruhkan selembar jiwamu!"
Lim Tay-peng menggenggam tangannya kencang-kencang, kemudian katanya.
"Apakah kau mengajak aku bertaruh? Menggunakan selembar jiwanya sebagai barang taruhan ?"
"Paling tidak taruhan ini cukup adil, karena entah menang atau kalah dia sendirilah yang menentukan hal ini."
"Dari mana kau bisa tahu kalau hal ini adil?"
"Kujamin kau pasti dapat melihatnya, tapi kaupun harus mengabulkan sebuah permintaanku pula."
Lim Tay-peng tidak berkata apa-apa, dia hanya mendengarkan belaka.
"Sebelum menang kalah ditentukan, kau tak boleh mencampuri urusan ini.... siapa pun tak boleh mencampuri hal ini."
Dengan sorot mata setajam sembilu, sepatah demi sepatah kata dia melanjutkan.
"Kalau tidak, maka kalianlah yang akan dianggap sebagai pihak yang kalah dalam pertaruhan ini !"
Dibalik tenda tampak sebuah tirai yang amat tebal, suasana amat gelap sehingga dari luar orang tak dapat melihat keadaan yang berlangsung di dalam.
Tapi orang yang berada di balik tirai tersebut justru dapat melihat semua kejadian yang berlangsung di depan mata.
Ong Tiong, Ang Nio-cu, Kwik Tay-lok dan Yan Jit berada di sana semua, juga mendengar setiap patah kata dan setiap ucapan yang diutarakan Lim Tay-peng.
Mereka merasa amat terhibur, karena Lim Tay-peng tidak membuat mereka merasa kecewa.
Tapi bagaimana dengan Giok Ling-long ? Sekarang, bukan hanya selembar nyawa sendiri saja yang berada di tangannya, bahkan selembar nyawa Lim Tay-peng pun berada pula di tangannya....
Tapi hal inipun merupakan keputusan yang diambil sendiri oleh Lim Tay-peng, jelas dia sudah menaruh perasaan percaya terhadap gadis itu.
Mungkinkah gadis itu akan membuatnya kecewa ? Mereka dengar Lok-sang-liong-ong sedang bertanya lagi.
"Tahukah kau, dulu dia adalah seorang perempuan macam apa ?"
Jawaban dari Lim Tay-peng ternyata sederhana sekali.
"Itu mah sudah kejadian lampau, sekalipun aku mengetahuinya, sekarang juga telah lupa."
"Ia menggunakan cara apa sih hingga membuat kau begitu percaya kepadanya?"
"Dia telah mempergunakan banyak cara, tapi yang paling manjur hanya satu."
"Cara apa ?"
"la telah berbicara sejujurnya."
Kemudian sepatah demi sepatah dia melanjutkan.
"Sebenarnya dia tak perlu menyatakan kepadaku, juga tak ada orang yang memaksanya, tapi dia telah berbicara sejujurnya."
Entah mengapa, setelah mendengar perkataan itu, tiba-tiba Ang Nio-cu menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Kemudian Lim Tay-peng juga berjalan masuk ke dalam, memandang ke arah mereka, sorot matanya segera memancarkan perasaan berterima-kasih.
Teman-temannya juga tidak membuatnya menjadi kecewa.
Delapan orang berdiri tenang di depan tenda, sedemikian tenangnya ibarat delapan buah patung.
Mereka adalah Thian-liong-pat-ciang di bawah pimpinan Lok-sang-liong-ong, salah seorang saja diantara mereka sudah cukup untuk menggetarkan suatu daerah.
Tapi sorot mata Giok Ling-long justru seakan-akan tidak melihat kehadiran mereka.
Pakaian yang dikenakan masih tetap baju berwarna hijau yang dipakainya sebagai seorang penjual bunga, sambil mengangkat kepala, dia berjalan melalui orang-orang itu dan masuk ke dalam tenda.
Wajahnya masih amat tenang, tapi sorot matanya memancarkan kebulatan tekadnya.
Kemudian diapun melihat Lok-sang-liong ong.
Lok-sang-liong-ong tidak mempersilakan dia duduk, tapi sewaktu memandang ke arahnya, sorot mata itu justru tajam bagaikan pisau.
Giok Ling-long juga tidak menunggu dia buka suara, dengan suara lantang segera serunya.
"Kau tahu siapakah aku ?"
Lok sang liong ong mengangguk.
"Aku adalah keturunan terakhir dari keluarga Giok."
Ujar gadis itu.
"Asal kau dapat membunuhku, maka apa yang kau cita-citakan akan terpenuhi pula."
Lok sang liong ong termenung lama sekali kemudian pelan-pelan baru berkata.
"Hal itu bukan merupakan cita-citaku"
"Bukan ?"
"Yaa, apa yang kau katakan, tak lebih hanya merupakan sepatah kata yang pernah kuucapkan saja."
Kata Lok sang liong ong dengan suara hambar.
"Setiap patah kata yang kau ucapkan telah terpenuhi semua ?"
"Hanya satu hal yang belum sempat aku lakukan"
"Mungkin saat ini kau akan berhasil dengan cepat."
"Mungkin ?"
"Mungkin artinya belum tentu !"
"Masa kau berani bertarung melawan diriku ?"
Giok Ling-long segera tertawa dingin.
"Mengapa tidak berani ? Apakah kau anggap dirimu sudah paling luar biasa sendiri"
Tidak memberi kesempatan kepada Lok-sang-liong-ong buka suara, dengan cepat dia menyambung lebih jauh.
"Bila hidup sebagai seorang manusia, dan tak mengurusi anak istri saja tak sanggup, sekalipun luar biasa juga ada batas-batasnya."
Ternyata Lok-sang-liong-ong tidak menjadi gusar oleh perkataan itu, katanya dengan hambar.
"Mereka toh bisa merawat diri sendiri."
"Itu urusan mereka, bagaimana dengan kau ?"
Giok ling-long tertawa dingin.
"Apakah kau telah melaksanakan tugasmu dengan sebaik-baiknya?. Bila setiap orang yang menjadi ayah dan suami menirukan cara seperti kau, mungkin semua perempuan dan kanak-kanak sudah mati gemas."
Akhirnya wajah Lok-sang-liong-ong berubah menjadi berat juga, sambil menarik muka katanya.
"Apakah kau datang kemari hanya untuk mengucapkan perkataan seperti itu ?"
"Aku hanya memperingatkan kepadamu saja, bahwa kau masih mempunyai seorang isteri dan seorang anak, lebih baik kau jangan sampai melupakan mereka, karena merekapun tidak pernah melupakan dirimu."
"Sekarang kau telah memperingatkan diriku."
Kata Lok-sang-liong-ong dingin. Giok Ling-long menghembuskan napas panjang, katanya.
"Benar, apa yang harus kukatakan memang sudah habis kusampaikan semua...."
Tiba-tiba ia membusungkan dada dan merangkap tangannya menjura, serunya kemudian.
"Silakan !"
Walaupun dengan jelas dia tahu kalau sedang berhadapan muka dengan Lok-sang-liong-ong yang tiada tandingannya di kolong langit, walaupun tahu kalau di luar tenda masih ada Thian-liongpat- ciang yang menggetarkan dunia persilatan, tapi ia sama sekali tidak menunjukkan perasaan takut barang sedikitpun.
Walaupun tubuhnya ramping dan lemah-lembut, namun kebulatan tekad serta keberaniannya benar-benar mengagumkan, apalagi sewaktu menjura sambil membusungkan dada sekarang, lamat-lamat ia memperlihatkan tekadnya untuk melawan kekuatan Lok-sang-liong ong.
Tiba-tiba Lok sang liong ong tertawa, kemudian tanyanya.
"Tahun ini kau sudah berumur berapa ?"
Walaupun Giok Ling long tidak memahami apa sebabnya dia bertanya demikian, toh ia menjawab juga.
"Tujuh belas."
"Sejak berusia berapa tahun kau belajar silat ?"
"Empat tahun."
Sambil tertawa dingin Lok sang liong segera berseru.
"Kau tidak lebih baru melatih diri selama tiga belas tahun, masih berani bertarung melawan diriku ?"
Giok Ling-long juga tertawa dingin.
"Sekalipun aku baru berlatih silat selama satu hari, aku akan tetap datang kemari untuk beradu kepandaian denganmu, sekalipun berbicara soal ilmu silat keluarga Giok masih belum dapat menandingi dirimu, kami bukan manusia berjiwa tempe !"
Tiba-tiba Lok-sang liong-ong mendongakkan kepalanya dan tertawa bergelak.
"Haaah.... haaaah.... haaaah.... bagus sekali, kau memang bersemangat, kau memang bernyali !"
Ditengah gelak tertawanya yang amat nyaring, tiba-tiba tubuhnya melambung dari atas pembaringan, seakan-akan dari bawah tubuhnya terdapat sepasang tangan tak berwujud yang menyungging.
Tanpa terasa Giok Ling Long mundur setengah ke belakang.
Ia kenal jurus serangan ini mirip sekali dengan jurus Kian liong-sang-thian (naga sakti mengapung ke angkasa) dari ilmu Thian-liong-pat-si yang pernah didengarnya.
Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau di dunia ini benar-benar terdapat manusia yang memiliki ilmu meringankan tubuh sesempurna ini.
Siapa tahu meski berada ditengah udara ternyata Lok-sang-liong-ong masih sanggup untuk bersuara, katanya dengan suara dalam.
"Hati-hati dengan jalan darah Cing-tong-hiat di sebelah kiri dan kanan tubuhmu."
Jalan darah Cing-tong-hiat terletak di bawah iga bagian bawah, bilamana kena tertotok maka sepasang lengannya akan lumpuh dan tak bisa digunakan lagi.
Tapi bila kau tidak mengangkat kedua belah tanganmu maka sulit buat orang lain untuk menotok kedua buah jalan darah itu.
Sambil tertawa dingin Giok Ling long segera berpikir.
"Sekalipun aku bukan tandinganmu, tapi bila kau ingin menotok kedua buah jalan darah Cing leng hiat ku, hal ini masih bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang."
Dia bertekad, walau berada dalam keadaan apapun, dia tak akan mengangkat kedua belah tangannya.
Dengan kedudukan Lok sang liong ong setelah dia mengatakan hendak menotok jalan darah Cing leng hiat nya, tentu saja bukan tempat lain yang akan diserangnya lagi.
Pada saat itulah tubuh Lok sang liong ong secara tiba-tiba menyambar ke hadapannya, segulung angin pukulan yang amat keras menggetarkan ujung bajunya..
Dia membalikkan badannya, baru saja hendak menggunakan kesempatan itu untuk memunahkan tenaga yang menggulung tiba itu, mendadak....
"Plookk, Plookk !"
Kedua buah jalan darah Cing-keng-hiat di atas bahunya tahu-tahu sudah kena terhajar telak sehingga kedua belah tangannya tak sanggup diangkat lagi.
Ketika memandang lagi ke arah Lok sang liong ong, tampak orang itu sudah berbaring kembali di atas pembaringannya dengan sikap yang amat santai, siapapun tak akan melihat kalau dia baru saja melancarkan serangan dahsyat.
Saking gelisahnya paras muka Giok Ling long sampai berubah menjadi merah padam, teriaknya keras-keras.
"Jalan darah yang kau totok adalah jalan darah ceng keng hiat, bukan jalan darah cing leng hiat!"
"Tak usah kau peringatkan, jalan darah cian-keng hiat dan jalan darah cing-leng-hiat masih bisa kubedakan dengan jelas."
"Hmmm, tak kusangka ucapan seorang dewasa ternyata tak bisa dipercaya dengan begitu saja."
"Kapan aku bilang kalau jalan darah cing leng hiat mu akan kutotok ?"
"Tadi kau jelas berkata demikian."
"Aku toh hanya suruh kau memperhatikannya saja, bila sedang bertarung melawan orang, setiap jalan darah yang terdapat di atas tubuhmu harus diperhatikan semua."
Setelah berhenti sejenak, dengan suara hambar dia melanjutkan.
"Apalagi dalam soal ilmu silat, yang menjadi pangkal utama adalah caranya menghadapi lawan, kecerdasan maupun kesigapannya merupakan pokok utama yang harus diperhatikan, karena susah menotok jalan darah cing leng hiat di tubuhmu tentu saja aku harus menotok jalan darah cian keng-hiat mu, toh kedua-duanya sama saja kegunaannya yakni membuat lenganmu menjadi lumpuh, buat apa aku mesti bersusah payah mengancam jalan darah yang susah dicapai ? Bila teori semacam inipun tidak kau pahami, sekalipun harus berlatih seratus tiga puluh tahun lagipun kau tak akan pernah berhasil menjadi seorang jago yang tangguh."
Caranya berbicara, bagaikan seorang guru sedang mengajari muridnya, seperti juga seorang ayah sedang memberi pelajaran kepada anaknya.
Saking gusarnya paras muka Giok Ling-long yang memerah kini berubah menjadi pucat pias, sambil menggigit bibir serunya.
"Baik, bunuhlah aku"
"Kau merasa tidak puas ?"
"Sampai matipun tidak puas."
"Baik !"
Begitu ucapan tersebut diutarakan.
"Sreet!"
Entah benda apa yang disambit ke arahnya, tahutahu jalan darah sin-bong- hiat di tubuhnya sudah kena dihajar.
Begitu serangan tersebut menghajar di atas jalan darah tersebut, Giok Ling long segera merasakan tenaganya pulih kembali dan sepasang lengannya dapat bergerak bebas.
Menotok jalan darah lewat udara kosong merupakan suatu kepandaian silat yang sudah langka dalam dunia persilatan, sungguh tak disangka Lok-sang-liong ong pandai pula mempergunakan kepandaian tersebut.
Giok Ling-long menggertak giginya kencang-kencang, sekalipun dia tahu kalau kepandaian silatnya masih bukan tandingan lawan, tapi dia telah bersiap sedia untuk melakukan perlawanan mati-matian.
Siapa tahu belum lagi tubuhnya melambung ke udara dan jurus serangan dilancarkan, mendadak terasa ada segulung tenaga serangan berkelebat lewat, tahu-tahu jalan darah cing-leng hiat di kiri kanan tubuhnya menjadi kaku, kembali tubuhnya melayang jatuh ke tanah dan sepasang lengannya tak sanggup diangkat kembali.
Sedangkan Lok-sang liong ong masih tetap berbaring di atas pembaringannya dengan sikap yang amat santai, seakan dia tak pernah bergeser dari posisinya.
Paras muka Giok Ling long berubah menjadi pucat keabu-abuan.
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekalipun dia tinggi hati, sekarang juga sudah tahu jika Lok sang liong ong ingin merenggut selembar jiwanya, maka hal ini bisa di lakukan dengan suatu cara yang gampang sekali.
Kepandaian silat yang dimiliki dan pernah menggetarkan hati orang banyak itu berada di hadapan Lok sang liong ong ibaratnya telur bertemu dengan batu, kesempatan untuk melancarkan serangan pun tidak dimiliki lagi....
Lok-sang liong-ong memandang sekejap ke arahnya, kemudian tegurnya dengan suara hambar.
"Sekarang, kau sudah takluk belum ?"
"Sudah !"
Jawab Giok Ling-long sambil menarik napas panjang-panjang, kemudian setelah tertawa dingin, dengan cepat sambungnya lebih jauh.
"Tapi aku hanya takluk kepada ilmu silatmu, bukan kepada orangnya...."
"Ooooh......"
"Sekalipun ilmu silatmu sudah tiada tandingannya di dunia ini, tapi kau justru berjiwa sempit dan berpikiran picik, sekalipun kau berhasil memusnahkan semua anggota keluarga Giok, tak akan ada orang lain yang bisa tunduk kepadamu."
"Nona cilik, tajam benar selembar mulutmu ?"
Seru Lok sang liong ong sambil menarik muka.
"Begitu berani kau bersikap kurang ajar di hadapanku."
Giok Ling long, tertawa dingin.
"Mengapa aku tidak berani? Untuk mati saja aku tidak takut, apa lagi yang musti aku takuti ?"
Berkilat sepasang mata Lok-sang liong-ong setelah mendengar perkataan itu gumamnya.
"Benar, bila seseorang sudah tahu kalau dirinya pasti akan mati, perbuatan apa lagi yang tak berani dilakukan ? Perkataan apa lagi yang tak berani diucapkan ?"
Tiba-tiba sekulum senyuman aneh tersungging kembali di ujung bibirnya, dia melanjutkan.
"Tapi bagaimana bila aku bersedia tidak membunuh kau ?"
"Apa.... apa kau bilang ?"
Giok Ling-long tertegun.
"Bukan saja aku tak akan membunuh dirimu, lagi pula tak akan mengganggu seujung rambutmu, budi dendam antara kita dua keluarga pun akan kuhapuskan mulai detik ini."
"Sung.... sungguh ?"
"Tak pernah perkataan yang telah aku ucapkan kupungkiri kembali."
Tiba-tiba Giok Ling long merasakan seluruh badannya menjadi lemas, hampir saja berdiripun tak sanggup lagi.
Tadi, ketika harus berhadapan dengan musuh tangguh yang belum pernah dijumpai selama ini, meski tahu bakal mati, namun hatinya sama sekali tidak merasa gentar.
Tapi sekarang, setelah orang lain menyanggupi untuk tidak membunuhnya, sepasang kakinya malah terasa lemas, hingga sekarang dia baru menyadari, kalau dia sebenarnya belum ingin mati.
Bila seseorang sudah tahu kalau dirinya masih sanggup untuk hidup lebih lanjut, siapa pula yang masih ingin mati? Sorot mata Lok sang long ong yang tajam seakan-akan telah berhasil menembusi hatinya, pelan-pelan dia melanjutkan.
"Asal kaupun bersedia meluluskan sebuah permintaanku, sekarang juga aku akan melepaskan dirimu dan tak akan mencari dirimu lagi."
"Apa permintaanmu itu ?"
Tak tahan Giok Ling-long bertanya.
"Asal mulai sekarang kau jangan menyinggung kembali soal perkawinanmu dengan putraku dan mulai sekarang tak akan berjumpa lagi dengan dirinya..."
Paras muka Giok Ling-long segera berubah hebat, serunya dengan suara gemetar.
"Kau.... kau menyuruh aku mulai sekarang tak akan berjumpa lagi dengannya?"
"Ya, mulai sekarang kau harus menganggap di dunia ini tak pernah ada seorang manusia seperti itu, anggap saja kau belum pernah berjumpa dengannya, maka kau tetap bisa hidup terus dengan amat tenteram.."
Setelah tertawa, kembali lanjutnya.
"Lelaki yang ada di dunia ini banyak sekali jumlahnya, siapa tahu dengan cepat kau akan bisa melupakan dirinya."
Paras muka Giok Ling long pucat pias, tubuhnya kembali gemetar keras, serunya.
"Bila aku tidak mengabulkan permintaanmu ?"
"Mengapa tidak? Setelah mati, bukankah kau tetap tak akan bisa berjumpa dengan dirinya ?"
Pelan-pelan Giok Ling-long menggelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya.
"Tidak sama.... jelas tidak sama."
"Bagaimana tidak samanya ?"
"Kau tak akan mengerti!"
Kata Giok Ling-long sambil tertawa sedih.
"Manusia macam kau tak akan pernah paham untuk selamanya.."
Walaupun tertawanya sangat rawan, namun sorot matanya memancarkan sinar kebahagiaan yang amat misterius.
Sebab dia telah jatuh cinta.
Perasaan semacam ini tak mungkin bisa digantikan dengan keadaan macam apapun, juga tak akan bisa dilarikan oleh siapapun.
Entah cintanya itu manis atau getir, paling tidak ia jauh lebih berbahagia daripada orang yang belum pernah merasakan cinta.
Lok sang-liong-ong memandang mimik wajahnya, agak berubah juga paras muka sendiri, mendadak dari dalam sebuah poci kemala dia menuang secawan arak berwarna hijau, lalu katanya dengan suara hambar.
"Bila kau benar-benar tidak bersedia minumlah arak itu, mulai sekarang kau tak akan merasakan kesulitan apa-apa."
Giok Ling-long menatap arak beracun itu lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah katanya.
"Aku hanya dapat meluluskan sebuah permintaanmu."
"Permintaan apa ?"
Sorot mata Giok Liong long ditujukan ke tempat kejauhan, lalu sepatah demi sepatah katanya.
"Aku tak akan melupakan dia, juga tak mungkin melupakan dia, entah aku dalam keadaan hidup atau mati, dalam hatiku selalu hanya ada dia seorang, entah bagaimanapun lihaynya kau, jangan harap bisa merampas dia dari dalam hatiku."
Tiba-tiba ia menerjang maju ke depan dan meneguk habis arak beracun dalam cawan itu.
Kemudian diapun segera roboh terjengkang ke atas tanah.
Tapi sekulum senyuman bahagia, senyuman yang misterius tersungging di ujung bibirnya.
Karena dia tahu, mulai sekarang entah ada di langit atau di bumi, tak ada orang yang bisa memaksanya untuk melupakan dirinya lagi...
Agaknya Lok-sang-liong-ong tertegun.
Ternyata di dunia ini terdapat juga manusia semacam ini, perasaan semacam ini memang selamanya tak akan bisa dipahami olehnya.
Lim Tay-peng telah menyerbu maju ke muka, menubruk di atas badan Giok Ling-long.
Lok sang liong ong tak tega untuk memandang lagi ke arahnya, dia tak berani memandang lagi ke arahnya.
Entah berapa saat kemudian, Lim Tay-peng baru bangkit berdiri, wajahnya pucat tanpa darah, sepasang matanya merah membara, sambil melotot ke arahnya dia berseru.
"Kau telah meluluskan permintaanku, kau berjanji kepadaku...."
Lok sang liong ong hanya menghela napas panjang, agaknya diapun tak tahu apa yang harus diucapkan.
"Kau telah meluluskan permintaanku."
Seru Lim Tay-peng.
"Semuanya akan kau lakukan dengan adil, tapi sekarang...."
"Ah tahu hal ini bukan sesuatu yang adil."
Tukas Lok sang liong-ong.
"Tapi di dunia ini banyak terdapat persoalan-persoalan yang tidak adil, jika seseorang ingin hidup lebih lanjut, dia sudah seharusnya belajar untuk menahan diri terhadap kejadian semacam ini."
"Aku tak akan bisa mempelajarinya, selamanya tak akan bisa mempelajarinya secara baik...."
Mimik wajahnya mendadak berubah pula menjadi misterius dan sangat aneh, sekulum senyuman seperti apa yang telah diperlihatkan Giok Ling-long tadi tersungging pula di ujung bibirnya, pelan-pelan dia berkata.
"Aku tahu di dunia ini tak pernah ada orang yang bisa menyuruh dia melupakan aku, juga tak akan ada orang yang bisa menyuruh aku melupakan dirinya...."
Berbicara sampai di sini, mimik wajahnya berubah aneh sekali.
Kwik Tay-lok yang menyaksikan kejadian tersebut, merasakan air matanya jatuh bercucuran tanpa terasa.
Ia dapat memahami manusia seperti ini, diapun dapat memahami perasaan seperti ini.
Dia tahu Lim Tay-peng juga tak ingin hidup, tak tahan dia ingin melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan menerjang ke muka.
Tapi entah apa sebabnya, ternyata Ong Tiong mencegah perbuatannya itu seraya berseru dengan suara dalam.
"Tunggu sebentar !"
"Sekarang, apalagi yang harus kita tunggu?"
"Asal kau tunggu sebentar lagi, segala sesuatunya akan menjadi jelas...."
Jawab Ong Tiong sambil mencorong sinar terang dari balik sinar matanya. Tapi pada saat itulah Lim Tay-peng telah menyambar arak beracun ini di meja dan meneguknya sampai habis.
"Akupun telah meluluskan permintaanmu, bila kau membunuhnya, maka akupun akan membunuh seorang anggauta keluarga Lim."
Dia telah menghabisi nyawa sendiri.
Ketika badannya roboh ke tanah, ia roboh disamping tubuh Giok Ling-long.
Ujung bibir mereka berdua sama-sama tersungging sekulum senyuman, senyuman yang aneh dan penuh kebahagiaan.
Sepasang mata Kwik Tay-lok telah berubah menjadi merah, dia ingin mencengkeram tubuh Ong Tiong sambil bertanya mengapa ia disuruh menunggu.
Tapi pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar suara seseorang yang amat menawan bergema memecahkan keheningan.
"Kau kalah !"
Tiba-tiba seseorang munculkan diri dari balik tenda, tubuhnya tinggi semampai dan cantik jelita, ternyata dia adalah Wi hujin ibu kandung Lim Tay-peng.
Sekulum senyuman malah tersungging di ujung bibirnya.
Kwik Tay-lok lagi-lagi dibikin tertegun.
Menyaksikan putranya tewas di hadapan matanya, mengapa dia malah masih bisa tertawa ? Mimik wajah Lok-sang-liong-ong juga istimewa sekali, entah gembira atau menderita bangga atau kecewa ? Lewat lama kemudian pelan-pelan ia baru mengangguk, sahutnya setelah menghela napas panjang.
"Benar, aku kalah !"
"Sekarang, tentunya kau sudah mengerti bukan ? Bukan seperti manusia macam kau hanya hidup untuk kepentingan diri sendiri, sekarang kau juga harus tahu, banyak persoalan di dunia ini yang sesungguhnya jauh lebih penting daripada nyawa sendiri."
Lok-sang liong-ong menundukkan kepalanya lalu tertawa.
"Untung saja aku mengetahui hal ini belum terlalu lambat."
"Belum terlalu lambat?"
Wi hujin menatapnya lekat-lekat, suaranya jauh lebih lembut. Lok-sang liong ong mengangkat kepalanya dan memandangnya pula, kemudian menyahut.
"Yaa, belum terlambat !"
Dibalik sorot mata mereka berdua sama-sama terpancar keluar semacam perasaan yang sangat aneh, tiba-tiba saja mereka saling berpandangan sekejap..
Kesalahpahaman dan perselisihan yang berlangsung banyak tahun diantara mereka berdua, seakan-akan telah punah tak berbekas dalam sekulum senyuman mereka itu.
Sesungguhnya mereka adalah orang yang sudah membekas dihati dan tak akan terlupakan, persoalan apakah yang tak dapat dimaafkan olehnya, dan persoalan apa pula yang tak bisa dipahami olehnya ? Tapi putranya....? Lok-sang-liong-ong masih menatapnya lekat-lekat, kemudian sambil tersenyum katanya.
"Mereka telah meneguk secawan arak paling getir dalam sepanjang hidup mereka, sekarang berilah arak yang manis untuk mereka berdua."
"Yaa, semua orang sudah sepantasnya ikut mencicipi pula arak yang manis itu..."
Ujar Wi hujin lembut. Tiba-tiba ia berpaling kearah Kwik Tay-lok sekalian yang berada dibalik tirai, kemudian sambil tertawa katanya.
"Sekarang, tentunya kalian sudah mengetahui bukan, apa yang sebenarnya telah terjadi, mengapa tidak segera munculkan diri untuk meneguk pula secawan arak manis ?"
Kwik Tay-lok masih tidak mengerti, tapi Yan Jit telah memahaminya.
"Orang pertama yang bertaruh dengan Lok-sang-liong-ong bukan Ong lotoa, melainkan Wi hujin."
Yan Jit menerangkan.
"Demi kebahagiaan hidup putranya, dia memang seharusnya pergi mencari Lok-sang-liongong untuk menantangnya bertaruh."
Sambung Ong Tiong.
"Tampak caranya bertaruh seperti juga cara kita semua, dia tahu di dunia ini terdapat banyak orang yang dapat mengorbankan diri demi orang lain, oleh karena itu dia menang."
Dia memandang ke arah Kwik Tay-lok, sorot matanya memancarkan kelembutan yang amat sangat. Kwik Tay-lok menggenggam tangannya pelan, lalu berkata lembut.
"Benar, orang yang bisa memahami teori ini, selamanya dia tak akan pernah menderita kekalahan."
"Arak yang diberikan Lok-sang-liong-ong kepada mereka, sudah pasti bukan arak beracun."
Kata Ong Tiong pula.
Tentu saja bukan.
Karena Lim Tay-peng dan Giok Ling-long telah bangkit berdiri sekarang, mereka sedang berpelukan dengan mesra.
Sekarang, tiada orang di dunia ini yang sanggup memisahkan mereka lagi, karena mereka mempunyai keberanian untuk meneguk arak yang paling getir dalam hidup mereka itu.
Arak getir, bukan arak beracun.
Tahukah kau di dunia ini terdapat semacam arak yang misterius, yang bisa membuat kau menghindarkan diri sebentar dari dunia ini, kemudian bangkit dan hidup kembali? Tahukah kau di dunia ini sebenarnya terdapat banyak kejadian yang aneh yang khusus ditujukan untuk mereka yang saling mencintai dengan hati yang tulus ? Kwik Tay-lok membalikkan badannya berpaling ke arah Ong Tiong, kemudian ujarnya.
"Tadi kau menahan aku untuk keluar dari tempat persembunyiannya, apakah kau sudah tahu kalau arak itu bukan arak beracun?"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu.... tapi aku tahu, tiada seorang ayah yang tega untuk meracuni putra sendiri, aku percaya asal dia adalah manusia, sudah pasti dia memiliki sifat manusia"
"Kau mempercayainya ?"
"Benar !"
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.
"Aaaai.... tak heran kalau kaupun tak pernah menderita kalah."
Dibalik tirai tinggal Ang Nio-cu dan Ong Tiong. Sambil menundukkan kepalanya Ang Nio-cu berkata.
"Mereka sedang menantimu di luar, mengapa kau tidak keluar ?"
"Dan kau ?"
"Aku.... aku merasa tidak pantas untuk berada bersama mereka."
"Mengapa ?"
Sepasang mata Ang Nio cu berkaca-kaca, katanya dengan kepala tertunduk rendah-rendah.
"Karena akupun seperti Lok sang liong ong, tak pernah kuketahui kalau cinta yang sejati bukan bisa didapat dengan suatu tindakan, bila kau ingin memperoleh cinta suci orang lain, hanya dengan cinta murnimu saja yang bisa mendapatkannya, tak mungkin ada cara yang kedua lagi."
"Tapi sekarang kau sudah tahu bukan?"
Ang Nio cu manggut-manggut.
"Sekarang bisa tahu pun belum terhitung terlambat"
Kata Ong Tiong kemudian. Tiba-tiba Ang Nio cu mengangkat kepalanya memandang wajahnya, dengan sorot mata memancarkan pengharapan katanya.
"Apakah sekarang belum terlalu lambat?"
Ong Tiong juga memandang ke arahnya, tapi suaranya telah berubah menjadi halus dan lembut.
"Belum terlambat, asal kau benar-benar memahami teori ini, selamanya tak pernah akan terlambat."
Digenggamnya tangan perempuan, itu, lalu ujarnya lagi dengan lembut.
"Oleh karena itu kitapun harus ikut bersama mereka untuk meneguk secawan arak manis, arak getir yang kita minum pun sudah terlalu banyak."
Arak itu manis, selain manis juga harum.
Hanya orang yang tahan menghadapi percobaan, tahan menghadapi pelbagai rintangan saja yang pantas merasakan arak ini.
Dan hanya mereka pula yang berhak mencicipinya.
Sambil memegang cawan emasnya, Lok-sang-liong-ong memandang sekejap ke arah putranya dan menantunya, lalu berkata.
"Aku telah menyiksa kalian, maka aku harus membayar kerugian, apa saja yang kalian kehendaki pasti akan kuberi."
"Kami tidak menghendaki apa-apa."
Jawab Lim Tay-peng.
"Mengapa tidak mau ?"
"Sebab yang kami inginkan tak mungkin bisa diberi oleh orang lain, termasuk juga dirimu sendiri."
"Akupun tak dapat memberikan kepada kalian? Lantas siapa yang dapat ?"
Mencorong sinar terang dari balik mata Lim Tay-peng, sahutnya pelan.
"Hanya kami sendiri yang dapat memberikan apa yang kami inginkan."
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan ?"
"Apa yang kami inginkan, sekarang telah kami dapatkan."
Dia menggenggam tangan istrinya dengan penuh kebahagiaan dan kepuasan.
Karena yang mereka inginkan adalah kebebasan, kasih sayang dan kegembiraan.
Dan kini semua telah mereka dapatkan.
Kesemuanya itu tak mungkin bisa diperoleh dari orang lain, juga tiada orang yang dapat memberikan kepada mereka..
Bila kaupun ingin kebebasan, cinta kasih dan kegembiraan, maka carilah dengan ketekadanmu, kepercayaan pada diri sendiri serta rasa cinta, sebab kecuali itu tak mungkin ada cara lain yang bisa mendapatkannya.
Ya, tak mungkin ada.
Justru karena mereka memahami teori ini maka mereka baru memperolehnya.
Maka mereka baru mendapatkan kebahagiaan untuk selamanya.
Siapa bilang seorang enghiong itu kesepian? Bukankah enghiong-enghiong kita selalu riang gembira dan berbahagia dalam kehidupannya ?.
Dengan begitu, berakhir pula cerita "PENDEKAR RIANG"
Ini sampai di sini, semoga pembaca sekalian dapat menarik banyak pelajaran dari pengalaman Kwik Tay-lok sekalian dalam kehidupannya. TAMAT
Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long