Pisau Kekasih 2
Pisau Kekasih Karya Gu Long Bagian 2
itu sama sekali tidak ada orang.
Berdasarkan kemampuan pendengaran Wie Kai dan jarak dengan pohon itu demikian dekat, dia bisa tahu bahwa di atas pohon itu sudah tidak ada orang dan itu membuatnya naik pitam.
Lim Leng-ji sama sekali tidak berkata sepatah kata pun.
^ Bahkan saat itu keinginan Lim Leng-ji untuk mengeluarkan pendapat pun sudah sirna.
Pada teman sejak kecil yang setelah sekian lama baru bertemu kembali, sebenarnya dia sudah berhasrat untuk merencanakan pertemuan kembali.
Tetapi perjumpaannya kali ini telah memadamkan hasrat hatinya.
Wie Kai sangat murka, tanpa menggerakan bahu dan kakinya, tubuhnya melesat melewati kolam tanpa menghindari ranting daun pada pohon.
Lim Leng-ji hanya mendengar suara "aduh"
Yang tiada hentinya dari tengah pohon itu.
Suara ini mau tidak mau membuat sudut mulut nya terangkat.
Liauw Swat-keng merasa jika dia tidak muncul di hadapan Lim Leng-ji, walaupun Wie Kai berbicara sampai langit terang dan bibir bengkak, Lim Leng-ji tidak akan mungkin percaya.
Jika Lim Leng-ji tidak percaya maka dia bukanlah pilnikyang kalah.
Masalah di antara pria dan wanita memang ?aili-rhana seperti itu.
Apakah seorang wanita itu bahagia atau tidak, mencintai atau tidak, memang begitulah cara membedakannya.
Selama di dalam perjalanan dari propinsi Tiang-i m menuju ke kota Koh ini, Liauw Swat-keng sudah mengetahui bagaimana perasaan dirinya terhadap Wie h ai Hanya saja masalah di antara pria dan wanita memang tidak lah sesederhana itu.
Lim Leng-ji menengadah melihat warna langit lalu bi- rkala.
"Sudah larut!"
"Memang, sudah waktunya bagi tamu untuk mengundurkan diri,"
Jawab Wie Kai Apakah seorang tamu sudah waktunya pergi atau belum semuanya tergantung tuan rumah yang memutuskannya.
Jika tuan rumah tidak memutuskan maka tamulah yang membuat kepurusan sendiri.
BAB IV Sebagian besar orang tidak dapat dipungkiri pasti mempunyai perasaan aneh terhadap mereka.
Hweesio Lama (Hweesio Budha dari Tibet) ini sepertinya tidak terlalu menarik perhatian orang, perawakannya juga tidak gemuk, usianya sekitar 50 tahun, dan di wajahnya terlihat ada sedikit senyuman.
Dia berjalan tidak cepat-cepat juga tidak lambat, pastinya dia adalah seorang pengikut Budha yang taat.
Dia memasuki lorong kecil lalu tiba-tiba dia mengangkat kedua alis matanya dan raut wajahnya berubah menjadi berseri-seri.
Begitu membalikkan badannya dan dengan menggunakan ilmu meringan-kan tubuh dalam waktu sekejap mata dia sudah memasuki taman sebelah kiri di dalam sebuah rumah penduduk.
Rumah ini memiliki taman yang luas dan dipenuhi oleh bunga-bunga dan pepohonan.
Sinar lentera yang keluar dari sebuah ruangan kecil menerpa bunga-bunga dan pepohonan yang ada di sekitarnya sehingga membuat taman ini menjadi mem pesona.
Kegelapan malam di tempat ini seakan-akan bermandikan cahaya.
Sewaktu hweesio Lama itu berdiri di depan pintu mangan kecil itu, dia menunduk memberikan hormat.
Di dalam ruangan kecil itu terdapat sebuah dipan (bangku panjang jaman dulu yang menyerupai ranjang) yang di atasnya terdapat seorang wanita separuh baya.
"Maaf Boan-lai mengganggu Ciasicu."
Wanita separuh baya itu membuka matanya seraya menjulurkan tangannya sambil berkata.
"Orang sendiri tidak perlu sungkan."
Padahal dia sendiri tahu bahwa orang yang datang itu adalah hweesio Lama itu, tetapi sampai hweesio Lama itu mengeluarkan suara dia sama sekali tidak menyambutnya.
Hweesio Lama itu masuk ke dalam ruangan kecil itu lalu duduk di kursi yang ada di depan dipan itu dan berkata.
"Apakah ada kabar dari majikan?"
"Masih belum ada, apakah taysu ada keperluan penting dengan majikan?"
Jawab wanita itu.
"Orang she Wie itu kelakuannya benar-benar sangat mencolok mata, bahkan sampai mencari Liauw Kouwnio. Apakah hal ini tidak akan semakin memperburuk keadaan?"
"Majikan juga sudah memperhatikan hal ini."
Pan Lai Lama bertanya lagi.
"Apakah Cia Sicu ada perintah untuk di laksanakan?"
"Mohon Taysu dapat menemukan Siau-keng secepatnya,"
Kata wanita itu. Pan Lai Lama berkata.
"Lo-na (saya) juga sedang mengusahakannya."
Wanita itu menggangguk.
"Taysu sudah tahu dari dulu kalau Siau-keng menghilang?"
"Belum lama."
Jawab Pan Lai Lama "Berapa lama?"
"Tidak sampai sepuluh hari."
"Bagaimana cara Taysu sampai bisa mengetahuinya?"
Pan Lai berkata terus terang.
"Semua hal yang terjadi di desa ini, hanya sedikit yang Lo-na tidak tahu."
Wanita itu tertawa sambil berkata.
"Taysu benar-benar luar biasa."
"Ah, sama sekali tidak."
"Tolong terus beri kabar, kalau bertemu dengan nya langsung bawa dia kembali."
Pan Lai bertanya.
"Jika Liauw Kouwnio bersama-sama dengan orang she Wie itu, bagaimana?"
"Mengapa dia mesti bersama dengan orang itu?"
"Karena mereka memiliki arah tujuan yang sama yaitu dari arah Tiang-ciu menuju kota Koh."
Wanita ini seharusnya merasa senang setelah mendengar berita ini, tetapi raut wajahnya tetap saja ilingin tanpa ekspresi sama sekali bahkan suaranya pun tajam bagaikan pedang. Wanita itu berkata.
"Kalau begitu, maaf merepotkan taysu untuk membawanya pulang kemari."
"Apakah Sicu bermaksud untuk sementara waktu t ii lak ingin bermasalah dengan she Wie ini?"
"Taysu, memangnya perkataan ini harus diulang berapa kali?"
Sekali saja sudah lebih dari cukup, pastinya Pan I ai tidak akan berani untuk bertanya kedua kalinya. Pan Lai berdiri d an memohon pamit. Wanita itu lagi-lagi berkata secara tiba-tiba.
"Soal Cian- thauw-siau-kai (Kai kecil si pem-buru kepala) ini, biar orang-orang di atas yang meng-urusnya, kau dan aku tidak perlu repot-repot meng-urusinya."
"Apakah maksud Sicu itu berarti untuk seterusnya?"
Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hweesio Lama itu baru saja pergi. Di dalam ruangan itu tiba-tiba ada seseorang yang muncul. Bahkan sepertinya orang itu memang sudah ada dari tadi dan berdiri di tengah ruangan itu tanpa disadari.
"Yang di atas memangnya ada kabar apa?"
Nada bicara serta prilaku wanita itu saat ini dengan sewaktu berbicara dengan Pan Lai Lama tadi amat sangatberbeda.
Begitu juga dengan keadaannya, yang dari tadi hanya berbaring saja di atas dipan panjang dan sama sekali tidak bergerak, sekarang tiba-tiba berlutut di atas tanah.
"Tidak perlu memberi hormat secara berlebihan seperti itu!"
Orang yang baru datang itu berkata dengan tegas dan wanita itu langsung segera berdiri.
Terhadap siapa pun dia bisa bersikap tidak peduli dan masa bodoh.
Karena di dalam dunia persilatan, pendekar wanita yang lebih hebat dari dirinya sudah tidak banyak.
Hanya saja begitu bertemu dengan orang yang di atas tentu saja berbeda, apa lagi kalau bukan disebab kan ilmu dan kekuatannya sangat tinggi.
Orang yang berasal dari jajaran atas ini memiliki kekuatan yang misterius.
Sungguh kekuatan yang hebat dan misterius.
Sang majikan itu berkata dengan lemah lembut.
"Kalian suami istri demi masalah Oh-tiap-go (Sarang kupu-kupu), sudah bekerja tiada siang atau pun malam tanpa mengenal lelah, aku sudah menge-tahuinya ilan menyimpannya di dalam hati."
Wanita itu membungkuk sambil berkata.
"Hamba hanya berusaha sekuat tenaga!"
"Berusahalah terus!"
Kata Sang majikan.
"Baik!"
"Cia Peng."
"Ya, Tuan."
"Bagaimana menurutmu tentang Pan Lai?"
"Tuan tentu lebih mengerti Pan Lai daripada aku."
Cia Peng menyahut dengan kesopanan yang tangat dalam juga dengan kata-kata yang sangat menjunjung tinggi.
"Aku justru ingin tahu bagaimana pandangan-mu terhadap dia."
Cia Peng tahu dia tidak bisa tidak bicara, lalu heikata.
"Barusan dia datang kemari. Dia membicarakan masalah yang terjadi di desa ini dan hal yang tidak dia ketahui sangatlah sedikit."
Sang majikan itu sama sekali tidak bergerak.
Cia Peng juga berdiri tanpa bergerak sedikit pun.
Orang yang bisa dipercayai oleh orang ini baru bisa berjaya.
Jika majikan saja langsung datang untuk ber-tanya padanya, itu tandanya dia menaruh kepercayaan padanya.
"Bagaimana menurutmu mengenai orang-orang dari Liok-san-bun (Perkumpulan Enam Kipas)?"
"Sampai saat ini boleh dikatakan masih bisa diandalkan, tetapi tidak cukup waspada."
Sang majikan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata.
"Dalam pandanganku, orang yang tidak cukup waspada tidak ada bedanya dengan orang yang tidak bisa diandalkan."
Perkataan ini sama sekali bukan ditujukan kepada Cia Peng.
"Ya, Tuan."
Tetapi dia tetap saja merasa begitu.
Tiba-tiba Cia Peng dengan hati-hati membuka simpul kancing dari baju luarnya yang terbuat dari kain satin lunak mulai dari bawah dagunya hingga membuka.
Lagipula memang sudah saatnya untuk membicarakan hal yang panas.
Di saat-saat tertentu ada kalanya sinar saja tidak lah cukup, tetap saja harus menyalakan api baru bisa.
Jika kau ingin memberikan bingkisan kepada orang tertentu, tentu saja dibutuhkan suatu kepandaian sehingga pada saat orang tersebut menerima bingkisan atau hadiah itu, dia akan merasa nyaman dan wajar.
Yang paling penting lagi adalah jika diberikan pada waktu yang tepat.
Hanya dua buah kancing saja yang baru terbuka.
Mungkin saja dia hanya merasa panas, atau mungkin merasa agak terlalu ketat.
Akan tetapi gerakan ini sangat jelas artinya dan luar biasa di mata majikannya.
Sang majikan sama sekali ti dak bergerak.
Apakah sang majikan menyadari dua buah kancing bajunya yang sudah terbuka? Cia Peng tidak berani memastikannya.
Pandangan mata Cia Peng menunduk memandang ujung atas sepasang sepatu sulamnya.
Dia juga tahu banyak gadis-gadis muda dari keluarga terpandang yang memiliki kaki yang indah, tetapi tidak pernah diketemukan ada yang memiliki kaki yang lebih indah daripada sepasang kakinya yang mengenakan sepatu bersulam.
Ada juga orang yang pernah memegang kaki-nya yang telanjang.
Orang itu mengelusnya sembari berkata.
"Indah sekali!"
Sayangnya hanya terucap dua patah kata saja.
Walaupun hanya dua patah kata 'indah sekali' saja.
Tapi pada waktu itu hati Cia Peng merasa sangat bangga sekali, bahkan tubuhnya serasa tumbuh sepasang sayap.
Tetapi apa yang sedang dipikirkan oleh Cia Peng sama sekali berbeda dengan situasi yang akan terjadi ??i- karangini.
Tiba-tiba sang majikan berkata dengan suara lembut.
"Aku ingin menyampaikan sebuah pesan, kau dengarkan baik-baik."
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pikiran Cia Peng langsung terfokus jawabnya.
"Baik!"
"Hati keras bagaikan besi, mengantar Budha ke langit barat, tiga hari tidak ada kabar, kapas terbang musim semi sudah berakhir."
Ekspresi yang sebelumnya ada di mata Cia Peng langsung hilang dalam sekejap.
Seperti layaknya tiupan angin musim dingin yang datang menghembus, panas yang ada di dalam tubuh hilang sampai tidak berbekas sedikit pun.
Cia Peng benar-benar bisa merasakan kekuatan yang di atas penalaran manusia.
"Sudah mengerti belum?"
"Ada sebagian sudah mengerti, ada sebagian lagi yang tidak mengerti."
Sang majikan berkata dengan lembut.
"Tidak apa jika tidak mengerti. Jika tidak mengerti tidakboleh berlagak seolah-olah mengerti."
"Baik!"
"Bagian mana yang tidak dimengerti. Coba keluarkan dan tanyakan!"
Nada bicara serta tutur katanya sangat halus sama seperti layaknya perkataan yang d"itujukan kepada orang yang lebih tua saja. Cia Peng berkata.
"Hati keras bagaikan besi, apakah itu menunjuk pada hati besi yang digantungkan?"
Sang majikan menggangguk-anggukkan kepala nya. Cia Peng menengadah memandangi sang majikan sambil berkata lagi.
"Mengenai mengantar Buddha ke langit barat, hamba juga mengerti. Artinya adalah mengantar Buddha pergi."
"Ng!"
"Tapi kalau kapas terbang musim semi sudah berakhir.
"
Dia menengadah menatap sang majikan. Tidak peduli dalam situasi apa pun, dia selalu menengadah menatap sang majikan. Dengan suara lembut sang majikan berkata.
"Kapas terbang itu berasal dari mana?"
Mata Cia Peng langsung bersinar-sinar, reaksi-nya sangatlah cepat.
Tentu saja, kesusastraan Cia Peng walaupun rendah tapi tidaklah jelek.
Dulu Liauw In pernah berkata sambil ber-kelakar bahwa jika membelah kulit perut Cia Peng maka bisa le-.rlihatisi tinta yang ada di dalam perutnya.
Sang majikan berkata dengan lembut.
"Jika belum mengerti masih boleh bertanya!"
Nada bicaranya seperti berbicara kepada anak kecil saja.
"Hamba sudah mengerti! Kapas terbang datang nya dari tempat Yang-liu."
"Ng! Bagus sekali. Kau masih belum mengata-kan mengerti atau tidak tentang kalimat yang ketiga?"
Raut wajah Cia Peng tiba-tiba berubah.
"Tidak mengerti ataukah ada sesuatu yang tidak beres?"
Cia Peng lagi-lagi berlutut sambil menjawab.
"Apakah majikan bisa memberikan kesempatan kepadanya untuk menebus dosa? Sekali saja!"
"Sebenarnya tidak bisa, tetapi melihat kesetiaan kalian berdua suami istri selama ini, aku akan memberikan satu kali kesempatan kepadanya, hanya satu kali ini saja!"
"Terima kasih Tuan."
"Kau tahu kan yang dimaksud dengan satu kali itu apa?"
"Silahkan Tuan jatuhkan hukuman!"
"Jika dalam setengah bulan dari sekarang dia tidak pulang baik-baik untuk mengaku dosa, maka kalian berdua yang akan menanggung akibatnya!"
Begitu Cia Peng menengadah lagi, bayangan dari orang itu sudah tidak ada lagi.
Suasana di paviliun air sangat sunyi.
Malam hari tidak berangin.
Di atas air hampir tidak terdengar suara dari gerakan sirip ikan yang berenang.
Dua cangkir arak ditaruh di atas meja di hadapan dua orang.
Yang seorang adalah Lim Leng-ji dan yang seorang lagi adalah seorang pria yang tampan dan memakai pakaian yang indah, yaitu Loo Cong.
Loo Cong tiba-tiba berkata.
"Dasar Siau-kai! Dia benar-benar telah lupa akan kejadian di masa lalu."
Lim Leng-ji tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Loo Cong lagi-lagi berkata.
"Justu karena aku sudah tahu bahwa dia sudah melupakan semua yang terjadi di masa lalu, maka dari itu tidak bisa dikatakan betapa sedihnya diriku. Maka-nya aku sengaja menyuruh bawahanku untuk mencobanya. Siapa sangka bahkan aku pun tidak diingatnya!"
"Mengapa seseorang tanpa sebab bisa kehilang-an ingatannya?"
Kata Lim Leng-ji.
"Apakah karena ada perasaan memandang hina terhadap orang kaya?"
"Menjadi orang kaya benar-benar serba salah, banyak orang yang memandang hina kepada orang kaya tetapi justru banyak karya tulis terkenal yang berisikan kalimat tentang emas, giok, mutiara, dan barang-barang berharga lainnya. Lalu apa maksud-nya?"
"Leng-ji, kata-kata itu seperti layaknya jarum bertemu d arah."
Lim Leng-ji menghela nafasnya sambil berkata.
"Kita sama sekali tidak membencinya karena dia miskin."
"Bagaimana mungkin?"
Kata Loo Cong.
"Dia nampaknya sangat kecewa."
"Kecewa sih boleh-boleh saja, tetapi jangan menyamaratakan semua orang. Dia sepertinya sudah terjangkit penyakit ini."
"Orang jaman dulu berkata, jika tidak mengendalikan kelahiran maka kelak akan menyusahkan orang, jika tugas penting ditukar dengan kesenangan maka kelak akan kelelahan."
"Leng-ji, di dalam hati aku merasa sangat sedih, terutama ketika mengingat tentang kejadian di masa lalu."
Lim Leng-ji tenggelam dalam pikirannya. Lim Leng-ji lagi-lagi menghela nafasnya dalam-dalam dan berkata.
"Kita harus menolongnya."
"Tentu saja, aku justru sedang berpikir bagaimana cara kita menolongnya."
"Cara untuk menolong orang banyak macamnya."
"Hanya saja kita harus tahu dulu orang yang seperti apa yang mau kita tolong sehingga tahu harus memakai cara apa untuk menolongnya. Kita harus tahu dulu pangkal penyakitnya."
Lim Leng-ji tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tahu penyebab dari penyakitnya."
"Kau tahu? Benar-benar tahu?"
Lim Leng-ji menggangguk-anggukkan kepala "Makanya dari dulu aku selalu menganggap kau sebagai wanita yang genius."
Lim Leng-ji berkata.
"Hanya saja alasannya, ketika kita bertiga m.mi bersama- sama sewaktu masih anak-anak dulu yang menjadi pengantin prianya selalu kau."
Loo Cong terpaku.
"Kau tidak percaya?"
Kata Lim Leng-ji.
"Ucapan dari wanita genius, mana mungkin aku tidak percaya?"
"Apakah menurutmu ini bukan penyebab dari penyakitnya?"
"Bisa jadi, tapi bisa juga bukan,"
Loo Cong menghela nafas dan bertanya.
"Waktu kita bertiga bermain bersama- sama sewaktu masih anak-anak dulu, memangnya dia tidak pernah sekali pun menjadi pengantin prianya?"
Lim Leng-ji menggeleng-gelengkan kepalanya. Loo Cong menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela nafasnya.
"Mengapa kau menghela nafas seperti itu?"
"Aku sedang berpikir, mengapa kau tidak pernah membiarkan dia melakukannya satu kali pun?"
"Bukankah kau yang tidak membolehkannya?"
"Aku sudah tidak bisa mengingatnya lagi."
"Kalian berdua sering berkelahi, tetapi selalu karena diriku."
"Sewaktu kita sering berkelahi, siapa yang sering menang?"
"Masing-masing pernah menang dan kalah."
Loo Cong mengangkat cangkirnya, berkata.
"Mari kita bersulang demi menolong Siau-kai."
Arak sudah habis diminum. Lim Leng-ji pelan menggelengkan kepalanya.
"Aku agak sedikit kesal."
"Kesal kenapa?"
"Jika kita menolongnya, aku takut dia nanti bicara sembarangan di luaran! Jika kita tidak menolong nya, aku juga sedikit tidak tega!"
Wajah Loo Cong memucat, lalu berkata.
"Leng-ji, hubungan persahabatan kita pada dasarnya tidak selaras, betul tidak?"
"Betul!"
"Apa yang dikatakan mungkin hanya mimpi."
"Tentu saja bukan!"
"Bagaimana kalau kita biarkan saja dia mau berkata apa? Lagi pula kita berdua tahu kalau yang dia bicarakan hanya omong kosong belaka."
"Siau-loo, dia mengatakan hal yang kurang ajar seperti itu, apa kau tidak jengkel?"
"Jika mau dikata, sedikit pun tidak. Itu bukan perkataan yang jujur dan terus terang. Tetapi hubung-an di antara kita bertiga memang pada dasarnya benar-benar mengambang."
Kata-kata yang diucapkannya sangat serius dan penuh martabat, serta disusun dengan cermat.
Siapa pun juga hanya dengan sekali pandang pasti akan langsung tahu bahwa dia adalah orang yang setia kawan.
Demi teman dia tidak pernah menghitung untung dan rugi.
Ada orang yang mengatakan ...
menolong teman sendiri mudah, menolong istri dan gundik sulit, menolong pejabat luar biasa sulitnya.
Kata-kata ini walaupun benar adanya tetapi lidak sepenuhnya benar.
Sebenarnya untuk menolong teman sendiri juga tidaklah mudah.
Jika ada orang mengatakan bahwa hubungan kita dengan orang tertentu sangat akrab, kemungkinan besar justru hubungan mereka sama sekali tidak akrab.
Karena hubungan akrab adalah hubungan dengan hati, bukan hubungan di mulut saja.
Yo Lim datang untuk mencari Wie Kai sambil membawa serta seorang anak buahnya.
Yo Lim berkata.
"Hari ini aku ingin bersulang secangkir arak dengan Wie- tayhiap."
Ini adalah kejadian yang langka.
Setiap kali mereka berdua bersama-sama, Yo Lim selalu saja berkata kalau dia baru saja makan.
Tapi Wie Kai bisa mengerti dirinya.
Jika seorang Sun-cian tidak melakukan pemerasan disana-sini, penghasilan bersih setiap bulannya sekitar 10 tail lebih, bagi mereka yang sudah memiliki rumah dan sebagainya, tentunya banyak kesulitan yang harus diatasi alias tidak cukup.
Karena itu Wie Kai berkata.
"Tetap saja aku yangharus mentraktir."
"Tidak... tidak... kali ini biar aku yang membayarnya."
"Apakah hari ini ada sesuatu hal yang menggembirakan bagi Yo-heng?"
"Tidak juga, tahun lalu ada sebuah kasus yang kutangani dengan sangat cekatan dan rapi, dan Pak Bupati sudah melaporkannya ke pusat dan setelah dilakukan pemeriksaan lalu diberi hadiah sebesar 50 tail."
Yo Lim bertanya kepada Wie Kai apakah dia menyukai Ceng-sim-koan (rumah makan Ceng-sim)? Jawaban dari Wie Kai sangat sederhana.
Tempat makan yang bagaimana pun dia suka.
Ketika uang sedang melimpah ruah, dia justru tidak mau pergi ke tempat makan yang terkenal.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika sedang tidak ada uang, justru di mejanya terhidang semangkuk mie dan beberapa jenis daging panggang.
Yo Lim memesan 4-5 macam masakan, benar-benar berubah seperti orang lain saja.
Hanya dengan uang 50 tail saja ternyata sudah bisa membuat seseorang menjadi berubah.
Jika bukan karena uangnya terlalu keras, tentu orangnya lah yang terlalu lemah.
"Yo Sun-cian, kasusnya bagaimana?"
"Kasusnya pasti segera terpecahkan."
"Apakah Cia Peng berhasil ditemukan?"
"Masih belum, apakah Wie-tayhiap sudah menemukannya?"
"Belum."
"Apakah sudah berhasil menemukan suami dan anak perempuan Cia Peng?"
"Belum."
Sesudah Yo Lim meminum araknya, Wie Kai sama sekali tidak bisa melihat ada sesuatu yang disembunyikan pada raut wajahnya.
Ceng-sim-koan waktu tutupnya sampai tengah malam.
Hari ini waktunya untuk tutup sudah sampai, tetapi mereka masih belum meminum habis arak mereka.
Pelayan sudah mulai menutup pintu masuknya, hanya menyisakan sebuah pintu kecil yang masih terbuka.
Pada saat itu tiba-tiba ada sekilas bayangan manusia di luar pintu kecil itu.
Hanya bayangan sekilas, orangnya sama sekali tidak masuk.
Jika ada hal seperti ini, pandangan orang pada umumnya pasti mengarah keluar pintu kecil itu untuk melihatnya.
Pada kenyataannya yang melihat bayangan sekilas itu hanya Wie Kai seorang.
Pada saat dia melihat bayangan orang yang sekilas itu, pada saat yang bersamaan di lantai atas terdengar suara jeritan.
Suara jeritan ini serasa terdengar tidak asing lagi, Wie Kai segera teringat akan Liauw Swat-keng.
Sebelum jeritan itu berakhir, Wie Kai sudah bangkit dari tempat duduknya.
Begitu terdengar jeritan itu, pemilik rumah makan dan pelayannya tentu saja terkejut dan terpana sambil menatap ke lantai atas karena mereka tabu di lantai atas sama sekali tidak ada orang.
Bahkan sebetulnya di lantai atas juga tidak ada lentera sama sekali.
Karena itu mereka sama sekali tidak melihat Wie Kai yang sudah bangkit dari duduknya.
Tetapi Yo Lim yang duduk di kursi di hadapan Wie Kai justru melihatnya dengan jelas sambil berteriak keras.
"Hebat!"
Pada saat Wie Kai hendak sampai di lantai atas, dia menyadari di lantai atas sama sekali tidak ada orang sehingga baru setengah jalan dia langsung kembali menuruni tangga.
Dia melihat pemandangan mengerikan yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya.
Wie Kai pernah membunuh orang bahkan pernah melukai orang, tetapi pemandangan yang dilihat nya benar- benar membuat otot jantungnya serasa dicabut, benar-benar membuatnya mual.
Kepala Yo Lim sudah terlepas dari tubuhnya, sedangkan tubuhnya masih dalam keadaan duduk dan tangan kanannya masih memegang sumpit.
Tentu saja ini taktik membunuh orang dengan mengacaukan suara dari arah yang berlawanan.
Terlebih dulu melintas di pintu luar lalu membuat suara teriakkan di lantai atas.
Lalu kemudian dari arah pintu luar terbanglah sebuah pisau baja.
Punggung Yo Lim menghadap ke pintu luar sehingga dia sama sekali tidak tahu apa pun.
Sialnya pisau baja terbang itu menebas di posisi yang tepat sehingga kepala pun langsung melayang bahkan mulut pun masih menganga.
Karena pada saat dia melihat Wie Kai melesat ke atas dengan ilmu meringankan tubuhnya dan berteriak "hebat", pada saat itu pula kepalanya terpisah dari tubuhnya.
Oleh karena itu seringainya masih terpatri di mukanya.
Tetapi ekspresi itu segera menjadi kaku.
Bahkan berangsur-angsur menghilang.
Darah terlihat mengalir deras jatuh bagaikan arak dari lubang leher pada tubuh mayat itu dan juga pada lubang yang ada di kepala yang tertebas itu.
Pemilik rumah makan dan pelayannya mengeluarkan suara yang aneh, itu adalah suara ringkikan parau ketakutan.
Kalau dulu mereka disuruh mendengarkan suara yang seperti itu, mereka pasti tidak akan meng-akui kalau suara itu adalah suara yang mereka keluarkan dari mulut mereka.
Kepala Yo Lim yang tertebas masih belum jatuh sampai ke tanah dan pisau baja itu baru saja keluar memutar kembali ke arah pintu kecil itu, tubuh Wie Kai sudah melesat ke luar pintu kecil itu.
Pisau yang cepat! Orang yang cepat! Wie Kai cepat, pihak lawan pun cepat.
Karena itu begitu Wie Kai keluar, yang dilihatnya hanyalah bayangan tubuh manusia yang melesat dan meng-hilang di atas atap rumah.
Hujan di tengah malam.
Mendengarkan suara hujan di tengah hutan rimba yang liar di tengah gunung memiliki kesan menarik tersendiri.
Ini adalah sebuah rumah kayu yang terbuat dari kayu gelondongan dari tengah hutan rimba, hanya terdiri dari dua kamar.
Ini adalah tempat berteduh bagi pemburu di kala ingin menghindari angin dan hujan.
Tempat ini dulu dibangun oleh Hong Kie dan Hong Ku ketika masih berburu.
Sekarang Wie Kai dan Hong Kie sedang minum arak.
Hong Ku sedang berjaga-jaga di atas pohon yang ada di luar sana.
Kewaspadaan mereka sangat tinggi.
Sebab jangkauan musuh mereka sangat panjang.
Di dalam rumah kayu itu hanya terdapat sebuah meja dari kayu dan sebuah kursi dari kayu, karena itu Hong Kie minum arak sambil berdiri.
Tidak peduli Wie Kai mengganggapnya sebagai bawahannya atau rekannya, Hong Kie tetap saja menganggap dirinya sendiri sebagai budaknya.
Arak yang mereka minum adalah Cin-lian-hoa-toh, tetapi sayangnya hidangan yang menemaninya hanya ada daging sapi.
Walaupun makanan kecilnya hanyalah kacang, kegembiraan mereka tetap saja tidak berubah.
Hujan jatuh menimpa di atas pepohonan yang ada di hutan rimba itu dan dari atas pohon itu air hujan jatuh ke atas atap dari rumah kayu itu.
Tidak ada yang lebih menarik dari suara jatuhnya air di atap rumah kayu.
Hong Kie berkata.
"Wie-ya (tuan Wie), dulu aku selalu mengira jika tidak berpendidikan justru malah sangat menguntungkan."
"Tidak berpendidikan justru malah sangat menguntungkan?"
Kata Wie Kai "Ya, dulu aku memang selalu berpikir seperti itu karena terlalu banyak membaca buku bagi orang yang belajar ilmu silat juga tidak akan ada gunanya."
"Mengapa?"
"Memangnya Wie-ya pernah bertemu dengan sarjana yang lulus baik dalam bidang pelajaran maupun ilmu silat?"
Wie Kai menjawab.
"Sampai saat ini memang belum pernah."
"Betulkan!"
Hong Kie berkata.
"Tetapi belakangan ini aku baru menyadari bahwa jika tidak berpendidikan tidak ada bedanya dengan orang buta. Jika pendidikannya tidak banyak dan tidak memahami secara mendalam, dia benar- benar seorang yang berpengetahuan dangkal."
"Seseorang memang harus merasakannya dahulu baru dia bisa berkembang,"
Kata Wie Kai.
"Wie-ya, aku mendengar ada seorang yang misterius yang berbicara dengan Cia Peng lalu ber-pesan padanya tentang sesuatu hal, sepertinya sebuah sajak."
Wie Kai tertawa sambil berkata.
"Jika bisa mengerti sajaknya, bagaimana bisa mengatakan dirimu orang yang berpengetahuan dangkal?"
Hong Kie menjawab.
"Aku juga tidak berani memastikan apa sebenar nya yang dikatakan oleh orang misterius itu kepada Cia Peng, hanya saja kalimat itu terdiri dari empat rangkaian kalimat dan aku langsung menebaknya bahwa itu adalah sajak."
"Coba perdengarkan padaku!"
Kata Wie Kai. Hong Kie berpikir sejenak lalu berkata.
"Hati keras bagaikan besi, mengantar Budha ke langit barat, tiga hari tidak ada kabar, kapas terbang musim semi sudah berakhir."
Wie Kai langsung berkata.
"Ini memang sebuah sajak yang menyindir."
"Itulah yang dikatakan oleh orang misterius itu kepada Cia Peng. Cia Peng berhasil menebak tiga rangkaian kalimat, kalimat yang pertama artinya hati besi yang digantungkan."
Wie Kai mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah Wie-ya bisa menebak arti dari tiga kalimat yang selanjutnya?"
Kata Hong Kie.
"Waktu itu di ruangan kecil itu, apalagi yang kaulihat?"
Tanya Wie Kai "Seorang Lama yang bernama Pan Lai datang menemui Cia Peng dan bertingkah laku sangat sopan terhadap Cia Peng."
Kata Hong Kie "Benar kalau begitu! Seharusnya memang ada seorang Lama."
"Mengapa seharusnya memang ada seorang Lama?"
Tanya Hong Ku "Sebab Yo Lim pernah berkata dulu sewaktu Lim hujin memiliki kekasih gelap, yang paling dekat dengannya adalah Liauw In dan Liauw In memiliki hubungan yang misterius dengan seorang Lama."
"Dekatnya hubungan Liauw In dengan Lama itu, apa hubungannya dengan Lim Hujin?"
Tanya Hong Kie.
"Banyak hal-hal yang bisa disimpulkan hanya berdasarkan satu hal saja, lalu segala sesuatunya menjadi jelas."
"Aku tidak mengerti."
"Almarhum Kaisar terdahulu sangat dekat dengan Lama, besar kamungkinan dia mempelajari keahlian mereka, atau mempelajari cara membuat dan memakan pil hidup abadi. Ini semua dipelajari hanya untuk menaklukkan semua wanita yang ada di istana. Tetapi ada kemungkinan besar juga malah jadi pendek umur dan malah ditaklukkan oleh wanita. Sudah banyak Kaisar dalam sejarah yang mati justru karena memakan pil seperti ini."
Hong Kie berkata.
"Apakah maksud Wie-ya, Pan Lai Lama mengajarkan Liauw In cara memakan pil ini?"
"Paling tidak sedikitnya dia sudah mempelajari keahlian para Lama itu."
"Apakah ini alasannya mengapa Lim Hujin bisa jatuh cinta kepadanya?"
Tanya Hong Kie. Wie Kai mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana dugaan Wie-ya selanjutnya?"
"Kalimat yang kedua artinya adalah jika sudah berhasil maka orang tersebut harus disingkirkan."
"Mengantar Buddha ke langit barat, apakah artinya membunuh Lama?"
Wie Kai menganggukkan kepalanya.
"Kalimat yang ke empat mengacu pada pembunuhan Yo Lim, kelihatan sekali kapas terbang musim semi sudah berakhir ditujukan kepada Yo Lim."
"Kalau kalimat yang ketiga?"
Wie Kai menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apakah kalian berhasil menemukan Liauw Swat-keng?"
Hong Ku memasuki ruangan. Hong Kie menyumpit 3-4 lembar daring sapi dan menyuapkannya ke dalam mulut Hong Ku. Sedangkan Wie Kai menuangkan secangkir arak untuknya. Hong Ku berkata dengan mulut yang terisi penuh.
"Aku baru saja melihat bayangan Liauw Swat-keng, dia sangat licin sekali, aku tidak dapat mengejarnya."
Wie Kai berkata sambil menggerutu.
"Sewaktu Swat-keng sedang dalam keadaan bahaya, Cia Peng tetap saja mementingkan keadilan daripada keluarganya."
Hong Kie dan Hong Ku tertegun. Wie Kai berkata lagi.
"Kata "tiga hari' dari kalimat tiga hari tidak ada kabar, bukankah bukankah huruf 'Keng'?" (Dalam huruf kanji 'hari' ditulis dengan huruf 'Jit' yang artinya matahari dan huruf kanji 'Keng' terbentuk dari tiga buah huruf 'jit'). Pada saat yang bersamaan Hong Kie dan Hong Ku menepuk dahi mereka sambil mengerang. Kata Wie Kai.
"Kita harus secepatnya menemukan Liauw Swat-keng, pada dasarnya orang yang pernah di man-faatkan dan juga yang berbahaya karena bisa mem-bocorkan rahasia, mereka semuanya pasti akan di-bunuh."
Hong Ku berkata.
"Hong Kie, kita pergi sekarang juga."
"Makanlah dulu sampai kenyang baru pergi mencarinya,"
Kata Wie Kai. Hong Ku berkata.
"Mau makan apa begitu kita masuk kota?"
Baru saja Hong Ku dan Hong Kie keluar dari rumah kayu itu, belum seberapa jauh. Dari dalam hutan yang gelap, ada sebuah bayangan manusia yang sangat besar seperti segumpal awan yang jatuh dari langit, yang berkelebat di antara pepohonan.
"Hati-hati!"
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teriak Hong Kie.
Serangan tujuh buah pisau lidah api terbang menembus di tengah hujan.
Dan Hong Ku menyambut serangan itu dengan tebasan goloknya.
Terdengar suara teriakkan dan tidak lama kemudian bayangan manusia yang besar itu akhirnya jatuh juga ke tanah.
Hong Ku dan Hong Kie hampir saja menjadi orang yang tidak bernyawa lagi.
"Seorang Lama."
Hong Ku menggunakan kakinya untuk membalikkan mayat itu.
"Dia orangnya,"
Kata Hong Kie "Ilmunya ternyata tidak hebat-hebat amat!"
"Jika di tengah kegelapan tadi tidak ada orang yang turut campur, mungkin sekarang dia masih bisa hidup."
"Apa? Ada orang yang mencelakakan dia secara diam- diam?"
Hong Kie mengarahkan jarinya menunjuk pada pusat urat syaraf yang berada di tengah-tengah punggung mayat itu.
Hong Ku jadi mengamati dengan cermat dan ternyata pada urat syaraf itu terdapat jarum sebesar tulang ikan.
Urat syaraf ini merupakan pusat dari seluruh tubuh yang menghubungkan kinerja antara bagian atas tubuh dengan bagian bawah tubuh, jika urat syaraf ini terkena senjata rahasia maka hubungan antara bagian atas dan bagian bawah tubuh akan terputus.
Hong Kie menghela nafas sambil berkata.
"Benar-benar mengantar Budha ke langit barat." (Dalam agama Budha, langit barat adalah Nirwana).
"Siapa pula yang 'mengantarkan'nya ke langit barat?"
Kata Hong Ku.
"Dia adalah sang majikan,"
Kata Hong Kie. Wie Kai lagi-lagi sedang menuangkan arak. Arak yang di dalam botol arak sudah tidak banyak lagi. Tiba-tiba di luar ada orang yang berseru padanya.
"Jangan dituang, tolong sisakan sedikit untukku!"
Tentu saja Wie Kai segera berhenti menuang-kan arak, bahkan dia segera melompat bangkit dari tempat duduknya. Terdengar suara "Sing"
Sebuah pedang panjang mengarah pada tempat kaki Wie Kai berpijak tadi dan menghantam kursi yang didudukinya tadi, bahkan pedang itu masih terus bergerak sambil menimbulkan suara "wung...wung...".
Wie Kai mendarat tepat di atas batang pedang itu.
Terdapat gelombang air di bola mata Liauw Swat-keng.
Itu adalah salah satu bentuk emosi wanita pada saat ada sesuatu yang tidak mau diungkapkan oleh seorang wanita.
"Jangan suka menyombongkan diri, bisa tidak? Cian- thauw-siau-kai."
Wie Kai malah duduk sambil tetap menuang-kan arak ke dalam cangkir yang tadi dipakai oleh Hong Ku sambil berkata.
"Aku bersulang untukmu."
Liauw Swat-keng berkata.
"Aku sudah mencelakaimu dengan membuat orang lain menyangka kau mengalami sakit ingatan, tapi kau malah tidak membenciku?"
"Mengapa aku harus membencimu?"
"Waktu aku pergi hari itu, Lim Leng-ji sudah menganggapmu sebagai seorang penipu."
Wie Kai tertawa lalu berkata.
"Tidak masalah, yang penting asalkan jangan seumur hidup orang beranggapan bahwa aku adalah seorang penipu."
Liauw Swat-keng menegak arak yang ada di cangkir lalu tertawa masam.
"Kau seharusnya percaya pada kata-kataku."
"Kata-kata apa?"
"Lim Leng-ji adalah saudara kembarmu."
"Mengapa aku harus percaya?"
"Apakah di dunia ini ada orang yang begitu serupa denganmu?"
Liauw Swat-keng hanya menegak arak, berkata.
"Aku rasa tidak semirip itu."
"Matamu kelihatan tidak terlalu jelek,"
Kata Wie Kai.
"Mataku memang tidak jelek."
"Hanya saja kau malah berkata kalau dia tidak mirip denganmu."
Liauw Swat-keng berkata.
"Walaupun ada sedikit kemiripan, apakah pasti bahwa mereka adalah kakak adik? Jika benar demikian, maka di dunia ini akan ada banyak sekali kakak adik!"
"Aneh! Kau malah sama sekali tidak berharap untuk diakui."
"Aneh! Mengapa kau selalu memikirkan urusan orang lain dan tidak memikirkan tentang diri sendiri."
"Diri sendiri? Aku sama sekali tidak kehilangan apa pun!"
"Apakah kau tidak menyadari bagaimana sikap Lim Leng-ji terhadapmu?"
Tentu saja Wie Kai menyadarinya, hanya saja dia tidak begitu mempedulikannya.
Di depan mata Wie Kai lagi-lagi terbayang ilusi yang samar-samar dan kabur.
Di tepian sungai, di bawah naungan pohon-pohonan, dan di atas pematang sawah, terlihat bayang-an tiga orang anak-anak yang sedang berlari dan tertawa, lalu kemudian terlihat bayangan anak-anak itu sedang bermain pengantin- pengantinan atau berkelahi.
Terlintas lagi sebuah bayangan di mana Lim Leng-ji menggunakan sebilah golok kayu menebas ke arah Loo Cong dan Loo Cong membusungkan dadanya serta menerima satu tusukan.
Semua bayangan akan ingatan ini terlihat samar-samar serta seakan-akan sama sekali tidak saling berhubungan.
Lagi pula entah mengapa dia punya perasaan bahwa dia pernah tidur bersama dengan Lim Leng-ji beberapa kali.
Dia memeluk tubuh Lim Leng-ji yang lembut bagaikan tidak bertulang.
Dia pun mencium leher dan dadanya yang empuk itu serta pernah menghitung berapa banyak jumlah bulu matanya.
Tapi terbersit dalam ingatannya sepertinya Lim Leng-ji adalah orang yang mampu menjadi otak dalam hal memeras atau menculik anak orang kaya.
Wie Kai mulai tidak menyukai Lim Leng-ji.
Tapi entah mengapa sepertinya dia pernah menyanggupinya untuk melakukan hal seperti itu.
Mengapa dia bisa memiliki bayangan seperti itu, dalam ingatannya yang bahkan dia sendiri tidak tahu apakah hal itu nyata atau tidak? Bahkan dia sama sekali tidak bisa menghubungkan antara ingatan yang satu dengan yang lainnya.
Walaupun dia tidak bisa menghubungkan satu dengan yang lainnya, tetapi dia juga percaya kalau ini semua bukan ilusi sembarangan, bahkan kejadiannya sepertinya belum lama berselang.
Jika semua ini benar adanya, mengapa dia sama sekali tidak bisa mengingatnya dengan jelas? Apakah penyakit hilang ingatan itu memang seperti ini? Wie Kai, apa yang sedang kau pikirkan?' "Aku sedang berpikir, mengapa kau tidak mengakui saudara kandungmu itu? Aku benar-benar tidak mengerti?"
"Aku menghargai niat baikmu itu, mungkin suatu saatnanti aku akan coba untuk memikirkannya."
Wie Kai menuangkan arak yang terakhir pada-nya dan ketika hendak meminumnya, Wie Kai malah menahan cangkir itu dengan tangannya, berkata.
"Tolong dengarkan dulu nasihatku!"
Liauw Swat-keng berkata dengan tidak sabar.
"Apa sebenarnya maumu dengan mencampuri urusan orang lain?"
"Ada orang yang hendak membunuhmu dan aku hanya ingin memperingatkanmu agar kau lebih berhati-hati. Apakah ini juga termasuk turut campur?"
"Siapa yang menghendaki nyawaku?"
"Cia Peng."
Liauw Swat-keng tertawa dengan suara yang dapat menggetarkan hati orang seperti tawa Lim Leng-ji, walaupun tentu saja belum sebanding dengan tawa Lim Leng-ji.
"Kau sepertinya tidak percaya."
"Tentu saja tidak percaya, lagi pula untuk apa pakai kata 'sepertinya' segala?" Kata-kata Wie Kai memang agak menyindirnya karena dia telah menyaksikan pembunuhan atas Yo Lim dan pendeta Lama itu dengan mata kepalanya sendiri. Liauw Swat-keng tetap saja tidak percaya. Tetapi apakah dia benar-benar percaya atau tidak, tidak seorang pun yang tahu karena hati manusia sukar ditebak. Liauw Swat-keng berkata dengan seenaknya.
"Kalau begini bagaimana?"
"Apa maksudmu dengan bagaimana?"
"Sementara waktu aku akan mengikutimu dulu, untuk membuktikan apakah perkataanmu itu benar atau tidak, setelah itu baru kuputuskan untuk menemui Lim Leng-ji atau tidak."
Wie Kai menghela nafasnya sambil berkata.
"Kalau yang bersangkutan saja tidak peduli, bahkan terhadap hidup dan mati pun hanya dianggap sebagai angin lalu saja, untuk apa aku bersusah payah mengkhawatirkanmu?"
Wie Kai bangkit serta melemaskan rubuhnya lalu mengibaskan tangannya untuk memadamkan lentera.
Jangan berkata bahwa Liauw Swat-keng tidak pernah waspada, sebab waspada sekali pun dia tetap tidak akan bisa menghindar.
Wie Kai menutup pintu lalu melesat pergi dengan menggendong tubuh Liauw Swat-keng.
Wie Kai orang yang percaya bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam orang.
Tetapi dia juga percaya bahwa Lim Leng-ji juga punya pemikiran yang sama seperti dirinya, di dunia ini terdapatbermacam-macam orang.
Lim Leng-ji sudah tertidur.
Maka Wie Kai berdiri di depan pintu kamarnya serta membangunkannya.
Sebenarnya begitu Wie Kai tiba, dia sudah terbangun.
Hanya saja dia tidak mengeluarkan suara ter-lebih dahulu karena menurutnya perempuan itu harus lebih mementingkan etika daripada laki-laki.
Lim Leng-ji menggunakan jubahnya lalu pergi ke luar.
Dia memandanginya dengan tidak sabar, lalu tiba-tiba dia menyadari di atas kursi yang ada di luar sana terdapat sesosok tubuh seorang perempuan.
Tidak terkatakan betapa terkejutnya dia.
Wie Kai berkata.
"Maaf, sudah mengganggumu!"
"Tidak apa-apa."
Lim Leng-ji bertanya.
"Siapa gadis ini?"
"Coba kau perhatikan dulu baik-baik."
Lim Leng-ji berjalan mendekat dan memperhatikan wajah Liauw Swat-keng dengan seksama, lalu tiba-tiba bersuara dengan keras.
"Dia!"
"Mirip tidak denganmu?"
Kata Wie Kai.
"Mirip, sangat mirip! Benar-benar seperti bayanganku saja."
"Dialah orang yang kubawa malam itu dan yang kusuruh untuk bersembunyi dulu di atas pohon, Liauw Swat-keng Kouwnio. Entah mengapa waktu itu dia tiba-tiba pergi lebih dulu."
Lim Leng-ji benar-benar kehilangan kata-kata, dia hanya bisa mengatakan.
"Cepat, bangunkan dia!"
"Aku beritahu, gadis ini benar-benar nakal sekali."
"Bagaimana pun nakalnya, tetap saja bisa tertangkap olehmu, bukan?"
"Kau saja yang tidak tahu!"
Kata Wie Kai.
Tetapi dia akhirnya membuka juga totokan pada Liauw Swat-keng.
Liauw Swat-keng bangun dan duduk sambil mengucek- ngucek matanya.
Dalam sekejap dia langsung tersadar tentang apa yang sedang terjadi.
Bagaimana pun juga dia mau berbuat sesuai dengan caranya, karena itu dia langsung melompat ke samping Lim Leng-ji sambil berkata.
"Cici, cepat tolong aku, dia adalah seorang pria hidung belang."
Wie Kai berkata.
"Liauw Swat-keng, jangan buat ulah lagi! Cepat mengaku, dia adalah saudara kandungmu!"
"Cici, orang ini benar-benar bejat. Belum lama ini dia telah sengaja merobek pakaian bawahku dan sekarang dia menyuruhku untuk mengaku saudara."
Lim Leng-ji sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia memandangi Wie Kai lalu memandangi Liauw Swat-keng. Wie Kai tertawa pahit. Lim Leng-ji tertawa dingin lalu berkata.
"Nona, bagaimana kau bisa membuktikan bahwa dia benar-benar seorang pria hidung belang?"
"Pria hidung belang mudah sekali dikenali, orang seperti itu selalu tersenyum kepada perempuan mana pun dan senyumnya pun sangat memikat hati. Kata-kata yang diucapkannya bisa memabukkan dan gombal. Bahkan dia mengatakan hal yang tidak-tidak tentang hubungannya denganmu."
Lim Leng-ji memberikan tatapan yang tajam sambil berseru.
"Wie Kai!"
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Leng-ji, kau percaya pada kata-katanya?"
"Bagaimana bisa membuktikan kalau kau bukan orang semacam itu?"
"Bukankah dia berkata kalau aku telah sengaja merobek pakaian bawahnya?"
Lim Leng-ji menjulurkan tangannya, menarik Liauw Swat-keng ke dalam kamar sambil berkata.
"Coba ku lihat pakaian bawahmu."
"Cici, untuk apa repot-repot?"
"Untuk membuktikan bahwa seseorang itu tidak bersalah, terpaksa menyusahkanmu sebentar."
"Baik!"
Liauw Swat-keng merenggangkan ke dua kakinya, Lim Leng-ji menundukkan tubuhnya untuk melihatnya dan ternyata di bagian celana panjangnya memangbenar terdapat sobekan.
Lim Leng-ji sedikit naik darah.
Dia benar-benar tidak ingin melihat bukti yang menunjukkan bahwa Wie Kai benar-benar adalah seorang hidung belang.
Loo Cong sudah berkali-kali berpesan supaya jangan karena kehilafan Wie Kai sesaat membuat hubungan persahabatan mereka yang berharga menjadi terputus.
Tetapi kesabarannya benar-benar sudah sampai batasnya.
Dia tidak bisa membiarkan orang bejat seperti dia berada disampingnya.
Wie Kai benar-benar terpana.
Wie Kai merasa perbuatan Liauw Swat-keng kali ini benar-benar keterlaluan.
Maka begitu Lim Leng-ji muncul, walaupun wajahnya menunjukkan kemarahan, tetapi dia tetap tertawa dingin sambil berkata.
"Nona ini benar-benar banyak akalnya."
"Benar, gadis yang banyak akal bulusnya tidak hanya dia seorang."
"Leng-ji, kau tidak mungkin mempercayai semua omong kosong yang dikatakannya, bukan?"
"Sebenarnya siapa yang sedang beromong kosong?"
Lim Leng-ji berkata sambil berdesis marah.
"Memang dari semula aku sudah salah menilaimu!"
"Leng-ji."
"Sejak kau berkata kalau kita sering tinggal bersama dan sudah seperti layaknya suami istri.
"
Wie Kai tiba-tiba merasa orang-orang ini benar-benar aneh.
Dia merasa justru orang-orang inilah yang mungkin hilang ingatannya.
Yang satu tidak bersedia mengakui saudaranya sendiri, malah air susu dibalas dengan air tuba.
Yang satu lagi entah mengapa tiba-tiba menjadi bodoh, sesuatu yang anak kecil pun tidak akan percaya tapi justru dia malah percaya.
Wie Kai tertawa terbahak-bahak.
Wie Kai tertawa sambil berjalan ke luar.
Tidak lama kemudian tawanya tiba-tiba berhenti.
Pada saat itu tiba-tiba ada seseorang yang menghadangnya.
Orang itu adalah Loo Cong.
Sebenarnya dia sudah lupa akan keberadaan orang ini tetapi Lim Leng-ji selalu saja mengingat-kannya sebagai teman sepermainan mereka sewaktu kecil.
"Wie Kai, kau betul-betul tidak ingat padaku sama sekali atau hanya berpura-pura saja?"
Wie Kai sangat gusar. Yang diingatnya pada waktu anak-anak dulu, selalu saja Loo Cong yang memerankan pengantin laki-lakinya. Dia berseru dengan suara keras.
"Minggir!"
Loo Cong malah tidak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Wie Kai mendorong Loo Cong dengan tenaga-nya yang besar tetapi dia bisa berkelit. Loo Cong lagi-lagi menghalanginya, katanya.
"Wie Kai, apakah kau masih ingat akan puisi panjang Tiong-kan-seng'? Walaupun di dalam puisi itu hanya mengisahkan tentang dua orang, dan kita memang ada tiga orang, tetapi kasih sayang serta rasa persahabatan kita di masa lalu jangan sampai terbelah dua hanya karena permasalahan kecil belaka!"
"Minggir!"
"Wie Kai!"
"Kau tanya saja pada Lim Leng-ji."
"Tanya apa padanya?"
"Dia anggap apa Wie Kai ini!"
Loo Cong bertanya dengan suara yang keras.
"Leng-ji, apa yang sebenarnya telah terjadi?"
"Mengapa tidak kau tanyakan sendiri pada gadis ini?"
Jawab Lim Leng-ji "Leng-ji, urusan kita bertiga mengapa harus bertanya pada orang lain?"
"Benar!"
Lim Leng-ji menjawab.
"Hanya saja gadis ini mengatakan Wie Kai telah merusak pakaian bawah gadis ini dan sudah terbukti."
Loo Cong terkejut lalu bertanya.
"Wie Kai, menurutmu apakah kejadian seperti ini bisa terjadi pada dirimu?"
Wie Kai berkata dengan dingin.
"Menurutmu bagaimana?"
Loo Cong berkata dengan suara lantang.
"Walaupun dipukuli sampai mati pun, aku tidak akan bakal percaya!"
Wie Kai tertegun sejenak. Bagaimana pun juga mereka memang teman sepermainan sejak kecil.
"Terima kasih, Loo Cong."
"Asalkan aku percaya padamu, buat apa aku harus meributkan pandangan orang lain terhadapmu?"
"Pandangan Leng-ji terhadapku tidak semantap dirimu."
"Tidak mungkin, tidak ada satu pun yang bisa menghalangi dan mengganggu hubungan di antara kita bertiga!"
Lim Leng-ji berkata dengan acuh tidak acuh.
"Lain dulu lain sekarang, bagaimana bisa disamakan?"
Wie Kai menghela nafas sambil berkata.
"Loo Cong, apakah kau masih ingat akan sajak Couw- ouw- pek?"
Loo Cong berpikir sejenak lalu berkata.
"Ingat! Di mana-mana misteri alam berubah menjadi milikmu, di angkasa orang pintar setiap hari selalu muncul yang baru, sebelumnya meninggalkan perasaan selama 500 tahun, tiba masa 1000 tahun baru tersadar bahwa semuanya sia-sia. Betul kan sajak yang itu?"
"Benar!", sahut Wie Kai.
"Sajak itu memang berbunyi seperti itu yang artinya suka dengan yang baru dan bosan pada yang lama memang sudah menjadi sifat dasar manusia, maka tidak perlu mencela orang lain!"
Loo Cong terpana sejenak lalu berkata.
"Omong kosong, Wie Kai, kau jangan pergi!"
"Mengapa?"
"Sudah susah payah kita bertemu, mengapa kau mau pergi begitu saja?"
"Betul juga, mengapa aku harus pergi?"
"Kalau begitu jangan pergi, malam ini kita minum- minum sampai mabuk."
Dasar Loo Cong, begitu selesai bicara langsung saja bergerak.
"Bisa tidak kau urus dahulu masalah ini sampai tuntas?"
Kata Wie Kai. Kata Loo Cong.
"Nona, sebenarnya apa yang telah terjadi?".
"Dia telah merobek bagian bawah pakaianku, dia benar- benar seorang hidung belang!"
Loo Cong berpikir sejenak lalu ber.
"Jika seseorang telah meminum arak terlalu banyak dan melakukan hal seperti itu dan jika kedua belah pihak saling mengenal, mungkinkah ini adalah ketidak sengajaan?"
"Kau sengaja membuat dalih untuk membela dia!"
Kata Lim Leng-ji.
"Mengapa kau tidak bisa memaafkan teman yang sudah kau kenal sejak kecil malah percaya pada kata-kata orang lain?"
"Asalkan kenyataan yang sebenarnya, kata siapa puri sama saja,"
Kata Lim Leng-ji.
"Leng-ji, apakah kau sudah bertanya padanya dengan jelas mengapa nona ini bisa bersama-sama dengan Wie kai?"
"Dalam situasi apa pun, hidung belang tetaplah hidung belang!"
Loo Cong berkata.
"Nona, apakah kalian saling mengenal?"
"Hanya mengenal sekilas saja."
"Nona, ada pepatah mengatakan bahwa ada kalanya hubungan antara pria dan wanita janganlah terlalu serius."
Liauw Swat-keng gadis ini benar-benar sangat keras kepala. Apa yang dia mau bagaimana pun caranya harus didapatnya. Jika tidak bisa mendapatkannya setidaknya menfitnah pun sudah lumayan. Dia berkata dengan suara keras.
"Demi membela seorang teman, kau tidak peduli seorang wanita telah dirusak. Jika hal ini terjadi pada saudara perempuanmu, apakah kau masih tetap menganggap ringan masalah ini seperti angin lalu?"
Sejenak Loo Cong seperti dihempas oleh angin dingin. Loo Cong tidak bisa mengejar Wie Kai, lalu berkata.
"Leng-ji, kau begitu tidak berperasaan kepada Wie Kai, sungguh membuat orang kecewa. Selamat tinggal!"
Kata Lim Leng-ji.
"Tidak ada yang mencegahmu jika kau ingin pergi. Tetapi kau seharusnya menanyakan dulu dengan jelas duduk perkara yang sebenarnya pada nona ini."
"Aku justru memang ingin bertanya!"
Lim Leng-ji membalikkan tubuhnya, berkata.
"Nona Liauw, masalah ini coba kau.
"
Padahal tadi jelas-jelas orangnya berdiri di belakangnya, tetapi sekarang sudah tidak ada.
"Nona Liauw, nona Liauw.
"
Loo Cong berdiri dengan kaku dan berkata.
"Leng-ji, jangan lupa, celana tidak bisa mewakili orang berbicara juga tidak bisa mewakili orang untuk menghukum."
Kemudian Loo Cong juga pergi. Lim Leng-ji semakin membenci Wie Kai juga semakin menghargai Loo Cong.
"Biarkan aku pergi,"
Kata Wie Kai.
"Kau tidak boleh pergi, juga tidak perlu pergi."
Wie Kai tetap ingin pergi tetapi Loo Cong justru malah menghadangnya.
Wie Kai mengerahkan tenaga dalam dengan telapak tangannya ke arah Loo Cong hingga membuat-nya mundur sampai tiga langkah.
Wie Kai langsung melesat pergi.
Sebetulnya semakin kau setulus hati membantu masalah orang lain, malahan semakin membantu semakin kacau, bahkan sampai menyakiti orang lain.
Begitu Liauw Swat-keng keluar dari kediaman Lim Leng-ji, dia langsung mengejar Wie Kai.
Aktingnya tadi memang hebat, tetapi dia percaya Wie Kai tidak akan terlalu menyimpannya di dalam hati.
Alasan sebenarnya adalah karena dia benar-benar mirip dengan Lim Leng-ji.
Jika Wie Kai benar-benar menyukai Lim Leng-ji, maka tidak ada alasan mengapa tidak menyukai diri-nya.
Liauw Swat-keng percaya dia bisa mengejar Wie Kai.
Tetapi sialnya dia malah bertemu Sang Sin.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bertemu dengan Sang Sin ibaratnya hampir sama dengan bertemu dengan orang tuanya.
Sang Sin adalah orang yang loyal.
Liauw Swat-keng berkata dengan senyum yang dipaksakan.
"Sang Toa-siok, kebetulan sekali!"
Sang Sin berumur sekitar 32-33 tahun, berperawakan kecil tapi tegas, wajahnya agak hijau, benar-benar mirip dengan buah murbei yang belum matang.
"Apa yang kebetulan?"
Tanyanya.
"Aku baru saja mau pulang."
"Kalau begitu kita pulang sama-sama."
"Tetapi aku masih ada urusan yang belum selesai."
"Urusan apa?"
"Aku sungkan membicarakan masalah perem-puan dengan Sang Toa-siok."
"Lebih baik kau jangan banyak bertingkah, lagi pula aku sudah katakan berulang kali kau cukup memanggilku Sang Toako, tidak perlu pakai Toa-siok segala."
Liauw Swat-keng berkata.
"Betul Toa-siok, aku benar-benar ada urusan penting."
"Tidak mau pulang bersamaku?"
"Siapa bilang? Tolong Sang Toa-siok tunggu aku di penginapan semalam, besok aku akan pergi mencarimu dan kita pulang sama-sama."
"Mereka ingin aku membawamu pulang dan aku juga masih ada urusan penting yang harus kulaku-kan. Mengapa kau selalu memanggilku Toa-siok?"
Liauw Swat-keng tentu saja menjawab.
"Melihat perbedaan umur kita, jika aku tidak memanggilmu Toa-siok lalu harus memanggil apa? Untuk apa ayah dan ibuku mencariku? Aku kan bukan-nya belum pernah keluar dari rumah sebelumnya?"
Sambil berkata demikian, matanya mengamati ekspresi wajah dari Sang Sin.
Karena sebelumnya Wie Kai pernah berkata bahwa orang tuanya mencari untuk membunuhnya.
Bagaimana pun juga Liauw Swat-keng sedikit menaruh curiga akan hal ini.
Ini disebabkan dia sedikit banyak percaya dengan perkataan Wie Kai.
Jika benar dia dan Lim Leng-ji adalah saudara kembar, maka mereka adalah anak yang dilahirkan oleh Lim Hujin, dsb...
Sang Sin adalah pendekar sejati.
Dia tidak suka berkata bohong, tapi dia juga mungkin tidak bisa berkata jujur untuk hal ini.
Sang Sin berkata.
"Mereka memanggilmu pulang karena ada urusan penting."
Walaupun Liauw Swat-keng hendak melarikan diri, Sang Sin pasti bisa mengejarnya.
"Sang Ta-siok, semua orang berkata, kau adalah orang yang jujur dan kau melakukan perintah orang tuaku karena demi membalas budi pada mereka."
"Benar!"
"Jika ayah dan ibuku memerintahmu untuk melakukan sesuatu yang jahat, apakah kau juga akan mendengarkan peritah mereka?"
"Sampai saat ini mereka belum pernah menyuruhku untuk melakukan sesuatu yang jahat."
"Tetapi jika aku sampai dibawa pulang, aku pasti akan dibunuh mereka!"
Sang Sin terkejut, ini membuktikan bahwa dia sama sekali tidak tahu menahu akan hal ini.
Pertama kali Sang Sin bertemu dengan Liauw Swat- keng, di wajahnya langsung terlihat berbeda.
Perempuan seperti Lim Leng-ji atau Liauw Swat-keng, lelaki mana yang tidak tergerak hatinya begitu melihatnya? Apa pun rencana Liauw In dan Cia Peng, Liauw Swat- keng adalah miliknya.
Hanya tentu saja dia tidak pernah memper-ingati kedua orang tua Liauw Swat-keng seperti itu.
Dia selalu merasa bahwa rasa sukanya pada Liauw Swat- keng adalah urusan mereka berdua dan dia harus berusaha berjuang sendiri mendapatkannya.
Liauw Swat-keng hanya perlu berkata 'ingin' saja.
Sang Sin akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi keinginannya.
Tetapi sayangnya Liauw Swat-keng sama sekali tidak berniat untuk menikah dengannya.
Bahkan terpikirkan sedikit pun tidak.
"Kau ini bicara apa?"
Kata Sang Sin.
"Betul! Di atas ayahku masih ada majikannya dan kau juga tahu akan hal ini."
"Tahu sedikit."
"Majikannya itulah yang menyuruh ayah dan ibuku untuk membunuhku."
"Mengapa?"
"Dia mengira bahwa aku sudah membocorkan rahasia."
"Rahasia apa?"
"Salah satunya seperti aku dan Lim Leng-ji tidak boleh saling bertemu, dsb.
"
Sang Sin mulai sedikit percaya, lalu berkata.
"Jangan takut, aku akan menanyakan dengan jelas untukmu."
Liauw Swat-keng tertawa dingin.
"Kau? Jangan bercanda. Jika atasannya itu ingin membunuh orang, siapa pun tidak ada yang bisa menghalanginya."
"Aku bisa. Jika aku tidak bisa membunuhnya, aku rela mati."
"Untuk apa kau lakukan itu?"
"Karena ayah ibumu pernah berjanji padaku kalau aku boleh meminangmu."
Liauw Swat-keng terkejut sekali.
Hanya satu yang terlintas di benak Liauw Swat-keng yaitu pria ini memiliki keberanian dan percaya diri yang tinggi.
Perkataan orang tua sangat mutlak, hanya dengan sahi kata saja mereka bisa memberikan anak perempuan mereka untuk menikah dengan pria manapun.
Sang Sin memandangi Liauw Swat-keng untuk melihat reaksinya.
Liauw Swat-keng terpaksa memanfaatkan keadaan ini dan berkata.
"Kau ingin meminangku atau ingin membawa-ku pulang?"
"Aku akan menjamin keselamatanmu, majikan hanya memerintah harus pulang dalam waktu setengah tahun, tidak boleh tidak."
"Kau ingin memilikiku tidak?"
"Apa itu masih perlu ditanyakan lagi?"
"Kalau begitu tunggu aku di penginapan."
"Jika kau tidak pergi ke penginapan?"
"Jika tidak percaya padaku maka tidak ada lagi yang harus dikatakan."
"Aku percaya, tetapi tingkah lakumu itu yang membuat orang tidak tenang."
"Kalau begitu aku tidak akan pulang."
Baru saja dia memutar tubuhnya dan berjalan 20 langkah tiba-tiba dia melesat ke udara.
Sang Sin tertawa dingin dan segera mengejar.
Liauw Swat-keng tidak mungkin bisa lolos dari pengamatannya.
Sang Sin mengejar sampai ke depan pintu gerbang kota Koh, tiba-tiba ada sekelebat bayangan orang yang menghadangnya.
Liauw Swat-keng pun hilang ditelan kegelapan malam.
Sang Sin memandang penghadangnya, ternyata adalah Hong Kie.
Mata Sang Sin melotot sampai hampir keluar, katanya.
"Kau cari mati, ya!"
"Sang-heng, jika aku ingin mati apakah aku akan menyerah padamu?"
"Untung kau tahu diri."
Hong Kie tertawa sambil berkata.
"Apakah di dunia ini ada orang yang lebih tahu diri dibandingkan dengan aku ini?"
Sang Sin berkata dengan ketus.
"Apa maksudmu dengan melepaskannya?"
"Apakah dia sangat penting artinya bagimu?"
Sang Sin langsung ingin bertarung tetapi Hong Kie mengangkat tangannya dan berkata.
"Sang-heng, bisakah kita tidak berkelahi?, Aku janji dia tidak akan bisa kabur."
"Kau berani jamin?"
"Apa yang aku janjikan padamu, kapan pernah tidak kutepati?"
"Itu , tetapi kau pernah tidak menepatinya satu kali."
"Satu kali?"
"Dihianati satu kali saja sudah lebih dari cukup untuk mencelakakan orang."
"Coba kau katakan kapan hal itu terjadi."
"Kau pernah berkata hendak membuat Wie Kai keluar supaya aku dapat menangkapnya hidup-hidup."
Hong Kie menghibas tangannya sambil tertawa dan berkata.
"Aku memang pernah berkata seperti itu, tetapi apakah pernah terpikirkan olehmu bahwa kau bukan-Iah tandingannya?"
"Aku?"
"Kau boleh tidak tahu bagaimana Tuhan meniupkan angin dan menurunkan hujan, tetapi dasar sendiri tentu saja harus tahu."
"Walaupun aku mati di tangannya, apakah orang she Sang akan mengerutkan kening?"
"Memang betul kau bukan orang seperti itu. Maaf ..maaf..."
"Tetapi orangnya telah kabur, lalu bagaimana?"
"Pelankan sedikit suaramu!"
Bisik Hong Kie.
"Aku Sang Sin tidak takut pada apa pun."
Hong Kie berkata dengan suara kecil.
"Di dunia persilatan ini orang yang kau takuti tidaklah banyak."
"Bisa dibilang tidak ada."
"Kau takut tidak pada Liauw In dan Cia Peng?"
"Aku memang berhutang budi pada mereka, bukannya takut!"
"
Baik... baik...! Lalu kau takut tidak pada majikan kalian?"
"Dia? Apa yang kau bicarakan?"
"Sang-heng, kau takut tidak?"
"Takut sih takut, tetapi dia tidak mungkin mem bunuhku."
"Itu sukar untuk di katakan, aku bacakan sebuah sajak untukmu, bagaimana?"
"Apa? Kau juga bisa membaca sajak?"
"Kau terlalu meremehkan aku! Apakah membacakan sajak orang lain juga adalah hal yang aneh?"
"Sajak siapa?"
"Sajak milik majikanmu itu!"
Raut wajah Sang Sin langsung berubah. Boleh dikatakan tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dia takuti, kecuali satu orang. Mata Sang Sin sepertinya benar-benar bakal keluar dari kelopaknya, diaberkata.
"Mengapa kau selalu menyinggung tentang majikanku?"
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukankah kau ingin mendengar sajaknya?"
"Apakah benar sajak itu dari majikanku?"
"Apakah kau pikir aku yang membuatnya?"
"Memang betul juga. Tetapi kau bisa juga meng ingatnya."
"Tentu saja."
Hong Kie berkata lagi.
"Sang-heng pasti bisa mengerti arti dibalik sajak itu."
Wajah hijau Sang Sin terlihat kusam, dia berkata.
"Tentu saja aku tahu, kau juga pasti tahu."
"Tolong Sang-heng jangan tertawa, aku tidak begitu pandai dalam hal belajar, aku bukanlah tipe seorang pelajar."
"Kenapa? Kau juga tidak mengerti?"
"Sang-heng, ditilik dari nada suaramu seperti-nya kau juga tidak mengerti."
"Bagaimana pun kita bukanlah sastrawan!"
"Hati keras bagaikan besi, bukankah mengacu pada kata mati?"
"Benar!"
"Kalimat kedua mengantar Budha ke langit barat, bukankah mengacu pada pembunuhan terhadap Lama?"
"Sialan! Kau tepat sekali. Lalu kalimat ketiga?"
"Kalimat ke tiga adalah tiga hari tidak ada kabar, kata tiga hari mengacu pada huruf 'Keng'. Yang tidak bisa dipercaya adalah majikanmu percaya dia telah membocorkan rahasia dan kau jika suka padanya justru jangan memaksanya untuk pulang."
Sang Sin sama sekali tidak mengeluarkan suara.
"Kalimat ke empat kapas terbang musim semi sudah berakhir, itu mengacu pada pembunuhan terhadap Yo Lim, apakah penafsiranku ini betul atau tidak?" 'Sing' Tiba-tiba Sang Sin melemparkan 9 buah pisau terbang. Pisau-pisau terbang itu disertai dengan tenaga dalam yang dahsyat, jika bukan Hong Kie tidak mung-kin mau melayaninya. Hong Kie adalah salah satu pendekar yang terkenal di dunia persilatan, tentu saja bukan lawan yang mudah dikalahkan oleh Sang Sin. Di jurus ke 20, Hong Kie terluka dan mundur sambil berkata.
"Sang-heng, aku mengaku kalah!"
"Memangnya kau pikir dengan mengaku kalah lalu semuanya beres?"
"Mengaku kalah tidak bisa, lalu kau mau apa?"
"Membunuhmu!"
"Sang-heng, itu tidak layak kau lakukan. Apakah kau masih tidak mengerti? Majikan kalian itu sangat kejam, sesudah seseorang dianggap sudah tidak berguna lagi maka pasti akan dibunuhnya."
"Kau ingin mengelak dan melemparkan kesalah an pada orang lain?"
"Sang-heng, kau adalah orang yang pintar. Apakah kau tidak pernah penasaran akan asal usul nona Liauw dan orang tuanya?"
"Apakah kau pikir ini bisa mengadu domba kami?"
"Sang-heng, apakah kau masih menginginkan nona Liauw?"
"Jika iya lalu kenapa?"
"Aku bisa menjodohkan kalian berdua."
"Kau?"
"Tentu saja, aku lebih mampu daripada orang tuanya."
"Di mana dia sekarang?"
"Hanya aku yang tahu. Dalam waktu 3 hari aku pasti menuntaskan hal ini dengan menyerahkannya ke dalam tangan Sang-heng."
"Hong Kie, jika kau berani mempermainkan aku, hati- hati dengan nyawamu!"
"Sang-heng ternyata sama sekali tidak percaya padaku!"
"Baiklah! Aku tinggal di penginapan Hui-peng."
BAB V Tengah malam.
Ada hujan tetapi tidak ada angin.
Dalam sebuah ruangan, ada seorang setengah baya yang sepertinya terpelajar sedang minum arak.
Parasnya lumayan, hanya saja sorot matanya sedikit mendalam.
Di atas meja hanya terhidang dua macam sayuran saja, dari dalam ruangan dapur terdengar suara seorang gadis yang berkata.
"Ayah, makanlah pelan-pelan, masih ada dua sayur lagi."
"Hong-su, cukup masak saru macam lagi saja, tidak perlu repot-repot, ayah makannya sudah hampir selesai...."
Kata orang setengah baya.
Tiba-tiba di muka pintu berdiri seseorang.
Wajah Lan Ling yang baru saja menampakan senyum, langsung lenyap oleh hawa kematian yang muncul dari raut wajah orang yang baru datang itu.
Lan Ling sendiri juga terlahir sebagai seorang pembunuh.
Seorang pembunuh memang memiliki pembawaan yang lebih menekan dibandingkan dengan orang biasa.
Dari raut wajah dan tangan orang itu sudah dapat ditebak tujuan kedatangannya jelas bukan untuk beramah- tamah.
Lalu untuk apa dia datang kemari? Walaupun dia tahu orang ini bukan datang secara baik- baik, tetapi dia sama sekali tidak terpikir alasan bagi orang ini untuk berbuat jahat padanya.
Lan Ling berdiri dan berkata.
"Kedatanganmu malam ini.
"
"Sengaja datang untuk mengantarmu!"
Suara orang itu sangat pelan dan juga lemah tetapi sangat dingin.
"Mengantarku? Rencana kita masih belum rampung!"
"Bukan kita, kau yang harus segera berangkat dulu, sebab saat ini orang yang menetapkan keputusan sudah berubah dan kita harus mendengar perintah-nya."
"Siapa orang yang bisa mengendalikan kalian?"
"Kau tidak perlu tahu juga tidak boleh tahu. Pengabdianmu dalam membesarkan Hong-su selama beberapa tahun ini sudah cukup sampai di sini."
Dia membuka kepalan tangannya dan langsung melesat sesuatu benda yang terasa dingin.
Uiar besi terbang dengan bebasnya.
Tentu saja bukan benar-benar sebuah uiar besi, tetapi sebilah pisau kecil.
Kepala Lan Ling langsung melayang.
Di dalam mulut Lan Ling sebenarnya masih ada sisa arak yang belum diminumnya.
Begitu kepalanya melayang, arak pun keluar dari mulutnya.
Bola matanya masih terbuka menatap lebar-lebar.
Tubuhnya pun masih berdiri di sebelah meja, ini benar- benar pembunuhan yang sangat cepat.
Akhir kehidupan dari seorang pembunuh memang seperti itu, tetapi dia sama sekali tidak menyangka bakal mati di tangan orang sendiri.
Mereka berdua memang berbicara dengan suara rendah sehingga Lan Hong-su yang sedang memasak di dapur pun sama sekali tidak mendengar apa-apa.
Saat dia selesai memasak satu macam sayur, tiba-tiba terdengar suara PENG....
Dia pergi mengantar sayur sambil melihatnya.
Prang.
Piring yang berisi sayuran itu jatuh berantakan di atas lantai.
"Ayah.
"
Lan Hong-su segera berlari mendekati tubuh jasad Lan Ling. Lan Ling hampir menghabiskan makanannya tetapi seumur hidupnya dia tidak akan pernah bisa menghabiskannya. Lan Hong-su mengenakan baju serba hitam sebagai tanda berkabung.
"A-ih (bibi), mengapa kematian ayah tidak boleh diumumkan?"
Cia Peng duduk di hadapannya juga mengena-kan pakaian serba hitam, berkata.
"Untuk menunjukkan rasa baktimu pada ayahmu, makanya untuk saat ini tidak perlu diumumkan."
"Bibi Cia, aku justru tidak mengerti."
"Hong-su, apakah kau masih tidak bisa menerima kematian ayahmu?"
"Ayahku mati dibunuh orang."
"Hal seperti ini mana boleh disebar luaskan?"
"Tetapi tentang kematian ayahku, lambat laun semua orang pasti akan tahu."
"Tentu saja, di dunia ini tidak ada tembok yang tidak bisa diterpa angin, tetapi kita justru mencari tembok yang tidak bisa diterpa angin."
"Tembok yang tidak bisa diterjang angin? Mengapa?"
Lan Hong-su tentu saja tidak bisa menerimanya begitu saja. Cia Peng berpikir sejenak baru berkata.
"Kematian ayahmu kemungkinan besar ada sangkut pautnya dengan asal usul dirimu."
"Itu hanya omong kosong belaka!"
Bantah Lan Hong-su "Mengapa kau berkata seperti itu?"
"Ayahku pernah berkata bahwa aku seharus-nya seorang Toa-siocia dari keluarga kerabat kerajaan."
"Benar."
"Benar? Mengapa aku bisa jadi seorang nona besar?"
"Mengapa tidak bisa?"
"Jika benar, mengapa aku terlahir dan dibesar-kan di keluarga yang miskin?"
"Tentu saja ada rahasia besar di dalamnya."
"Tetapi selama ini ayah tidak pernah mengata-kan padaku."
"Karena waktunya belum tiba."
"Apakah sekarang sudah tiba waktunya?"
"Benar, sebab aku akan membuatmu menjadi seorang nona besar."
"Sekarang?"
Dia membelalakkan matanya, jantungnya berdegup kencang, dari seorang gadis miskin menjadi seorang nona besar dari keluarga kaya, tentu saja hal ini tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
"Apakah kau tidak ingin melakukannya seka-rang juga?"
"Bibi, aku sama sekali tidak pernah membayangkannya."
"Apakah kau sedikit pun tidak pernah membayangkannya?"
Lan Hong-su mendongakkan kepalanya ber-pikir sebentar, lalu berkata.
"Bibi, ada kalanya aku bermimpi menjadi nona besar dari keluarga kaya, makan enak dan memakai pakaian yang indah, lauk pauknya ada ikan, keluar mengendarai kendaraan, di mana pun ada orang yang melayani. Tetapi aku selalu beranggapan miskin bukan lah suatu kejahatan maka aku tidak pernah merasa malu."
"Benar! Justru karena itu kami ingin merftffeat-mu menjadi seorang nona besar."
"Kami? Bibi, memangnya termasuk siapa lagi?"
"Eng. tentu saja termasuk almarhum ayahmu."
"Memangnya di mana aku hendak dijadikan seorang nona besar keluarga kaya?"
"Tentu saja di rumahmu sendiri."
"Bibi, apakah kau sedang bercanda?"
"Hari ini aku hendak mengatakan sebuah rahasia besar kepadamu Baru saja Liauw Swat-keng kabur dari tempat tinggal Wie Kai malah tertangkap oleh Sang Sin. Dia terpaksa bertaruh mengadu nasib karena Sang Sin yang dulu berbeda dengan Sang Sin yang sekarang. Sang Sin yang dulu bisa diajak berunding, sedangkan Sang Sin yang sekarang kelihatannya tidak bisa diajak kompromi. Karena itu dia juga harus sedikit merubah taktik.
"Sang Toako, aku beruntung bisa berpapasan denganmu."
Sang Sin baru pertama kali ini mendengar dia memanggil dirinya "Toako"
Kali ini yang pertama kali juga dia melihat kegenitan di sinar mata Liauw Swat-keng.
"Swat-keng moi-moi, kau harus ikut aku pergi."
"Apakah aku benar-benar harus ikut denganmu?"
"Ya!"
"Apa tidak bisa ditunda?"
"Tidak bisa! Ini adalah perintah dari atasan."
"Jika kita bisa pergi berduaan ke mana pun kita mau dan tidak peduli pada perintahnya, apa yang bisa diperbuatnya?"
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau!"
"Apa kau bukan seorang lelaki sejati?"
"Memangnya harus bagaimana baru bisa di sebut lelaki sejati?"
"Lelaki sejati itu harus seorang yang punya semangat dan berani."
Sang Sin memandangi Liauw Swat-keng sambil menimbang-nimbang, tentu saja dia bukan orang bodoh hanya saja pintu mata hatinya benar-benar tertutup.
Dia harus menilik-nilik dulu apakah gadis ini benar- benar tertarik padanya atau tidak? Dia juga harus menilik lagi apakah dirinya ini seorang pemberani atau pengecut? Liauw Swat-keng sudah mengeluarkan semua tipu muslihat yang bisa dia buat dan dia berani sampai sejauh ini karena tahu Sang Sin selalu merasa dirinya adalah seorang pemberani.
Hanya saja dia pun harus ekstra hati-hati.
Lalu dia berkata lagi.
"Apakah kau pikir aku tidak mau pergi dengan mu?"
"Kalau begitu apakah kau benar-benar akan menyerahkan semuanya padaku?"
"Lalu aku harus bagaimana agar kau percaya?"
Sang Sin takut Liauw Swat-keng jadi salah paham, buru- buru berkata.
"Maksudku, lebih baik kita menjadi suami istri yang sesungguhnya dulu."
"Suami istri ya suami istri, mana ada yang tidak sungguh-sungguh?"
"Maksudku ....... maksudku......."
Sang Sin berkata terbata-bata. Ada kata yang sukar untuk diucapkannya pada Liauw Swa t-keng. Tidak disangka Liauw Swat-keng mengerti apa yang dimaksudnya.
"Maksudmu melakukan hubungan suami istri?" . Wajah Sang Sin terlihat bersemu merah.
"Tidak perlu jauh-jauh, kita hanya perlu mencari penginapan terdekat dan menyewa sebuah kamar saja."
Sang Sin berkata.
"Baiklah ...baiklah....., semuanya terserah padamu. Pokoknya kita tidak akan menuruti perintah atasan dan juga tidak akan kembali ke rumah orang tuamu."
"Itu tentu saja."
Liauw Swat-keng berkata lagi.
"Bahkan kita berdua tidak akan berpisah selamanya, jika ada orang yang hendak berbuat jahat pada kita, kau harus mati-matian melindungiku."
"Tentu."
"Tetapi kau harus bersikap baik pada teman-temanku juga."
"Terserah padamu. Aku akan menuruti semua kata- katamu."
"Kalau begitu, ayo kita pergi!"
Hari ini bagi Sang Sin merupakan hari yang paling indah dan paling membahagiakan di dalam hidupnya.
Dia merasa langit lebih biru dibandingkan hari-hari sebelumnya dan matahari lebih besar dibanding-kan sebelumnya.
Bahkan segala sesuatu dari segala penjuru serasa lebih indah dan berwarna dibanding sebelum-nya.
Tiba-tiba dia berkata.
"Apakah menurutmu kita harus membuat sepasang baju pengantin?"
"Untuk apa repot-repot? Lagi pula toh nantinya bakal rusak juga."
Mereka sampai di sebuah penginapan dan memesan arak serta hidangannya.
"Hal lain bisa diganti atau dipermudah,"
Kata Liauw Swat-keng.
"Tetapi arak pengantin tetap tidak boleh tidak diminum."
"Swat-keng, tidak disangka kau mengerti akan hal-hal seperti ini."
"Bagaimana pun juga ini adalah hal terbesar dalam hidup seseorang kan? Ayo, kita bersulang!"
Sang Sin langsung meminumnya dalam sekali teguk.
Mereka berdua minum sampai tiga cangkir.
Pengantin lelakinya yang terlihat paling tidak sabar memikirkan hal yang akan terjadi selanjutnya.
Sang Sin sangat percaya bahwa dirinya adalah orang yang sangat berani.
Bahkan beberapa tahun belakangan ini, ter-nyata dia sama sekali tidak salah menilai bahwa Liauw Swat-keng jatuh cinta padanya.
Perempuan adalah mahluk yang aneh, meng-apa perasaan cinta yang begitu besar malah disimpan di dasar hati yang paling dalam.
Liauw Swat-keng membuka pakaian luarnya dan naik ke atas tempat tidur terlebih dahulu.
Baru pertama kali seumur hidupnya Sang Sin merasa tempat tidur adalah benda yang begitu teramat manis.
Dia sama sekali tidak pernah menyadarinya.
Liauw Swat-keng yang berada di atas tempat tidur memandangi Sang Sin.
Di saat seperti ini Sang Sin seharusnya meneteskan air liur.
Tapi dia malah terbengong-bengong.
"Sang Sin.
"
Suara desahan Liauw Swat-keng laksana tali yang bisa menarik segala sesuatu untuk mendekat.
Sang Sin sama sekali tidak bersuara.
Desakan hasrat yang sebelumnya menggebu-gebu tiba- tiba menghilang.
Sang Sin justru sedang berpikir mengapa bisa begitu? Kata orang jika terlalu bernafsu memang kadang bisa seperti itu.
Di depan pengantin perempuan, hal apa pun bisa terjadi, hanya ini yang tidak boleh terjadi.
Tidak mampu adalah aib bagi seorang laki-laki.
"Sang Sin. kau kenapa?"
"Aku .... Aku benar-benar minta maaf! Tidak tahu mengapa, aku tiba-tiba......tiba-tiba "
Wajah hijau Sang Sin tiba-tiba benar-benar sama seperti seperti warna rumput liar. Dia mengerang. Dia benar-benar kesal dan juga benci dirinya yang tidakberguna.
"Sang Sin, apakah kau hendak mengingkari janji?"
"Bukan Swat-keng, tiba-tiba aku sudah tidak ingin lagi."
"Tidak ingin? Kau ingin menelantarkan aku?"
"Tidak ...tidak bagaimana mungkin? Hanya saja tiba-tiba aku kehilangan hasrat lelakiku. Swat-keng, ku mohon maafkan aku."
"Bagaimana mungkin ada kejadian seperti itu?"
"Aku sendiri tidak tahu, mungkin karena terlalu tegang."
"Apa bisa diobati?"
"Tentu saja bisa! Mungkin besok sudah tidak apa-apa."
"Huh! Kau benar-benar mengecewakan! Tapi aku ini tipe orang yang menepati janji. Aku akan menunggu selama 3 bulan."
"3 bulan? bagus sekali!"
Sang Sin berkata dengan penuh percaya diri.
"Sebenarnya tidak perlu 3 bulan, 3-5 hari saja sudah cukup."
Malam yang tenang.
Hembusan angin malam yang lembut.
Sinar lentera membayang di atas permukaan air yang tenang.
Hembusan angin membawa harum semerbak bunga.
Terlihat ada tiga orang sedang duduk di atas kursi.
Raut wajah Lim Leng-ji sangat datar.
Pada Wajah Wie Kai pun tidak terlihat senyuman.
Tapi Loo Cong bersikap di luar kebiasaannya, dia malah terus menampakkan senyuman.
Dia sebenarnya sedang berusaha untuk mencair kan suasana.
Walaupun raut wajah Lim Leng-ji datar tapi memancarkan keadaan yang sangat dingin.
"Wie Kai, kau bersulanglah dengan Leng-ji."
Wie Kai mengangkat cangkirnya, menggerakan nya sebentar lalu menegaknya sekali teguk. Loo Cong menuangkan arak untuk Wie Kai lalu berpaling dan berkata.
"Leng-ji, giliranmu."
Lim Leng-ji melakukan hal yang sama dengan Wie Kai.
"Bagus... .bagus...! Ini baru benar."
Loo Cong juga menuangkan arak pada Lim Leng-ji, lalu berkata.
"Kita bertiga boleh dikatakan teman sejak kecil. Di masa yang akan datang jika ada kesalahpahaman, demi hubungan persahabatan kita yang sudah lama ini, janganlah membuat masalah kecil menjadi besar."
Wie Kai berkata.
"Setiap kali mengingat permainan pengantin- pengantinan, aku jadi marah lagi."
"Pengantin-pengantinan dan pengantin sebenar nya kan tidak sama,"
Kata Loo Cong Lim Leng-ji mendelik padanya baru mengalihkan pandangannya pada Wie Kai. Pandangan itu mengandung banyak pertanyaan, Hanya saja Wie Kai tidak memperhatikannya. Loo Cong mendesah dan berkata.
"Aku sendiri tidak mengerti mengapa waktu itu aku harus selalu menjadi pengantin lelakinya."
"Biar Leng-ji yang menjawabnya."
Kata Wie Kai. Lim Leng-ji mengelus-elus alisnya sambil tertawa berkata.
"Karena Wie Kai sering memukulku sedangkan Loo Cong belum pernah sekali pun."
"Apa benar dia tidak pernah sekali pun memukulmu?"
Kata Wie Kai. Lim Leng-ji menggeieng-gelengkan kepalanya sambil berkata.
"Kan sudah kubilang belum pernah."
"Aku ingat pernah satu kali."
Loo Cong heran. Lim Leng-ji mengangkat alisnya. Wie Kai berkata lagi.
"Pernah satu kali. Kau tidak sengaja telah menjatuhkan orang-orangan dari salju yang dibuatnya dan dia memukul kepalamu sekali."
"Apa benar ada kejadian seperti itu?"
Kata Lim Leng-ji. Pertanyaan ini ditujukannya pada Loo Cong. Loo Cong menggosok-gosokkan kedua lengannya sambil berkata.
"Sepertinya memang ada kejadian seperti itu. Kalau begitu ingatanmu boleh dibilang tidak jelek."
"Lihat aku, ingatanku makin lama makin parah,"
Kata Ling Leng-ji.
"Kau jadi pengantin laki-laki adalah tindakan yang sewenang-wenang, apakah Leng-ji memang betul-betul bersedia?"
Kata Wie Kai. Lim Leng-ji memandangi Loo Cong menunggu jawabannya.
"Jadi kau selama ini mencari gara-gara dengan-ku karena tidak setuju kalau aku yang selalu berperan menjadi pengantin laki-lakinya. ?"
Kata Loo Cong. Loo Cong ada urusan, jadi dia pergi terlebih dahulu. Lim Leng-ji sepertinya tidak ingin cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya, malah berkata.
"Apa kau mau minum beberapa cangkir arak lagi denganku?"
"Mengapa?"
"Anggap saja demi diriku."
"Jika untuk dirimu, aku bersedia melakukan apa pun,"
Kata Wie Kai. Lim Leng-ji mengambil teko arak dan menuangkannya, lalu berkata.
"Benarkah?"
"Benar."
"Apapun?"
"Tentu."
Lim Leng-ji berkata lagi.
"Walaupun demi membela Liauw Kouwnio, aku jadi berselisih paham denganmu, untuk itu aku sudah seharusnya meminta maaf padamu."
Wie Kai berkata dengan heran.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entah sudah berapa lama aku tidak pernah mendengar kata-kata seperti ini."
"Ayo, bersulang!"
Setelah meneguk araknya, Wie Kai menuang-kan arak bagi Lim Leng-ji lalu berkata.
"Sebelum ini aku berpikir kau tidak akan memperdulikan aku lagi selamanya."
"Bagaimana mungkin? Kita sudah bersahabat sekian lama."
"Leng-ji, sikapmu agak lain dengan sebelum-nya."
"Apakah benar tidak sama?"
"Aku hanya bilang agak."
"Malam ini kau juga sama."
"Aku?"
"Waktu itu kau sangat berapi-api, aku kira kau tidak akan menginjakkan kakimu di tempat ini lagi "
"Memang, jika Loo Cong tidak menarikku kemari, aku tidak akan datang."
"Apa kau tahu, supaya aku setuju kau datang ke tempat ini, Loo Cong sampai menumpang makan di sini selama tiga hari?"
Wie Kai terkejut setengah mati.
Malam semakin larut.
Suasana di antara air dan pepohonan semakin senyap.
Kedua orang itu masih terus saling bersulang arak.
Entah sejak kapan, dia sendiri tidak menyadarinya kalau kursi yang diduduki oleh Lim Leng-ji semakin dekat jarak dengan dirinya.
Dia hanya sadar kalau tawa Lim Leng-ji terasa semakin dekat dan indah di telinganya.
"Siau-kai, seberapa jauh yang masih kau ingat tentang masa lalu kita?"
"Hanya masa-masa tertentu yang aku masih kurang jelas mengingatnya."
"Yang mana?"
"Kalau aku katakan, kau janji tidak akan marah?"
"Malam ini, apa pun yang kau katakan tidak akan membuatku marah."
"Benarkah, hal apa pun yang kukatakan tidak akan membuatmu marah?"
"Tidak akan."
"Betul semua hal?"
"Betul, aku berkata sungguh-sungguh, tidak akan ingkar."
Wie Kai menatap raut wajahnya sejenak.
"Aku samar-samar ingat, rasanya sebelum ini aku bukan hanya bebas memeluk dan mendekapmu, kita juga telah melakukan semua hal yang seharusnya dilakukan oleh suami istri!"
Wie Kai menyangka tentu dia akan marah besar, atau setidaknya sedikit.
Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, dia malah tertawa keras.
Tidak tahu apakah dikarenakan arak ataukah hari ini suasana hatinya sedang gembira? Ataukah karena perbuatan Loo Cong yang telah menumpang makan di sini selama 3 hari sehingga merubah suasana hatinya? "Kau ternyata benar-benar tidak marah."
"Bukankah aku sudah janji sebelumnya?"
"Kau benar-benar berbesar hati pada apa yang telah kaujanjikan."
"Ah, tidak juga. Aku orang yang tidak akan mengingkari apa yang telah kujanjikan."
"Nah, sekarang apa pendapatmu tentang ingatanku ini?"
Dia hanya tersenyum tapi tidak menjawab.
"Kau pasti menganggapnya hanya omong kosong belaka, bukan?"
Lim Leng-ji menggelengkan kepala.
"Aku hanya bisa berkata kalau ingatanmu itu tidak bagus. Tidak bagus? "Ya. Contohnya kalau aku bertanya padamu tentang sesuatu yang kau tahu tapi kau sendiri belum tentu tahu."
"Coba saja kau tanyakan."
Lim Leng-ji berpikir sejenak, lalu berkata.
"Dulu kau pernah menyinggung padaku tentang buku silat Pit-kiau-tay-hoat (Ilmu menutup pikiran) dan Kai-kiau- tay-hoat (Ilmu membuka pikiran), kau masih ingat?"
Wie Kai menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sedikit pun tidak ingat?"
"Aku hanya pernah mendengar perkataan orang tentang buku silat aneh ini, tapi tidak pernah melihatnya."
"Dulu kau berkata keluarga kalian memiliki buku silat tentang Pit-kiau-tay-hoat dan Kai-kiau-tay-hoat tetapi tidak tahu ada di mana."
"Apa benar aku pernah mengatakannya?"
"Kalau bukan kau, memangnya aku ber-mimpi?"
Wie Kai mengurut-urut jidatnya sambil berkata.
"Leng-ji, maafkan aku, sepertinya otakku ini benar-benar tidak berguna."
Senyum Lim Leng-ji sangat manis, hanya sayang, senyum itu tidak sampai di matanya.
Wie Kai keluar dari rumah keluarga Lim.
Angin malam yang dingin membuat mabuknya agak menghilang sedikit.
Malam ini dia lagi-lagi telah mengecewakan.
Harapan Lim Leng-ji adalah harapannya juga, hanya saja malam ini dia merasa Lim Leng-ji telah berubah banyak.
Di saat seperti ini di jalan tidak ada seorang pun, bahkan seekor anjing pun tidak ada.
Bulan pun mulai tenggelam di sebelah barat.
Inilah waktunya manusia untuk tidur.
Inilah waktunya hantu bermunculan.
Apakah di dunia ini benar-benar ada hantu? Jika tidak mengapa Wie Kai tidak mendengar suara apa pun padahal ada sesuatu yang berdiri di belakangnya, sesuatu yang berbadan tetapi tidak berkepala.
Tidak, ada lengan dan kaki, ada setengah leher tetapi tidak berkepala, bagaimana mungkin yang begitu bisa disebut orang? Ini pasti hantu.
Wie Kai adalah seorang pemberani, tetapi tetap saja kali ini dia berkeringat dingin dan mundur dengan cepat Wie Kai mundur dengan cepat.
Tetapi pada akhirnya jaraknya tetap tidak berubah, dengan hantu tanpa kepala itu hanya berkisar dua langkah saja.
Kalau ini bukan hantu lalu apa? Wie Kai semakin tersadar dari mabuknya lalu bertanya.
"Siapa kau? Aku tidak percaya di dunia ini ada hantu!"
Ilmu silat Wie Kai boleh dikata sudah termasuk tingkat tinggi.
Ini memang jurus andalannya.
Setiap kali dia mengeluarkan jurus ini, ujung mata pisau berembun seperti es.
Sebenarnya seberapa cepat pisaunya? Begitu pisau ini berembun pasti langsung bertemu kepala.
Hantu itu sambil melangkah mundur, tiba-tiba dari lengan jubah hitamnya keluar sebuah tangan yang pucat dan di tangan itu menggenggam senjata yang berbentuk seperti papan loh yang panjangnya + 17 cm.
Tring.
Keduanya seketika langsung terdorong mundur beberapa langkah.
Begitu Wie Kai mendekat, hantu itu malah mundur.
Bagaimana pun juga jarak antara mereka berdua tetap saja dua langkah.
Jarak mereka berdua terus menerus hanya berbeda dua langkah saja, benar-benar menjengkelkan.
Wie Kai tidak percaya ada kecepatan seperti itu di dunia ini.
Cian-thauw-siau-kai bukanlah julukan semba-rangan dan dia tidak mungkin mempermalukan dirinya lebih jauh lagi.
Dia mengeluarkan pisau yang telah lama tidak dipergunakannya.
Dia sangat percaya akan kemampuannya dalam menggunakan pisau ini.
Karena pisau ini jarang sekali dipakainya dan selama ini pisaunya tidak pernah sekali pun mengecewakan dirinya.
Siapa orang ini sebenarnya? Siapa gerangan dia yang bisa menahan serang an pisaunya? Dia tentu saja tidak percaya kalau lawannya itu adalah hantu.
Orang itu hanya menyembunyikan mukanya di dalam jubah dan setengah leher yang dikeluarkannya hanyalah palsu belaka.
Hal ini tidak bisa menipu mata Wie Kai.
Tetapi yang membuatnya penasaran, pesilat mana di dunia persilatan yang menggunakan senja ta seperti itu? Siapa yang memiliki ilmu silat setinggi itu? Siapa yang memiliki tenaga dalam sehebat itu? Siapa yang memiliki ilmu meringankan tubuh dan gerak cepat yang sehebat itu? Mengenai ilmu meringankan tubuh dan gerak cepat, sepertinya ilmu orang ini jauh di atasnya.
Dia rasa hanya orang dari komplotan penculik bayi yang bisa.
Karena komplotan penculik bayi itulah yang mencuri buku silat Pit-kiau-tay-hoat dan Kai-kiau-tay-hoatitu.
Tetapi malam ini Lim Leng-ji justru bertanya padanya mengenai buku silat Pit-kiau-tay-hoat dan Kai-kiau-tay- hoat.
Malah mengatakan keluarga Wie memiliki buku silat ini.
Kembali ke sebuah kamar kecil.
Begitu masuk langsung tahu bahwa di dalam ruangan ada seseorang.
"Siapa?"
Ruangan itu gelap dan tidak bersuara.
"Bau orang hidup, tidak akan bisa mengelabuiku!"
Terdengar suara tertawa seorang perempuan dan perempuan itu berkata.
"Tidak disangka kemampuan 'pendengaran 1000 li' mu masih ada, hebat.... hebat. !"
"Kau lah yang hebat karena bisa mengetahui kemampuan ini."
Tiba-tiba ruangan itu disinari oleh sinar lentera dan Liauw Swat-keng terlihat duduk di atas ranjang-nya. Di atas meja terdapat sekendi arak dan sebung-kus hidangan yang baunya benar-benar meng-undang seler
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Pedang Inti Es Karya Okt Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung