Pisau Kekasih 5
Pisau Kekasih Karya Gu Long Bagian 5
pun sudah jelas bahwa Siau-liong bukan lah anakku, tetapi aku tetap saja khawatir akan keselamatannya."
"Aku tidak mengerti."
Kata Seebun Long.
"Untuk rencananya, mereka membutuhkan Liu Eng dan Siau-liong di tangan mereka tetapi kurasa mereka pasti akan membereskan Liu Eng terlebih dahulu kaipia dia lebih sukar dikendalikan daripada Siau-liong. Dan masih ada satu lagi, kurasa selain Tonghong Ta-cing dan Suma Hen masih ada satu orang lain lagi dan kurasa orang itu adalah pemimpin mereka."
Suma Hen dan Tonghong Ta-cing sedang duduk saling berhadapan di sebuah meja sambil minum arak.
Kao Hie sedang berjaga-jaga di luar.
Sekarang ini mereka sudah tidak terlalu mempedulikan Kao Hie.
Mungkin mereka sudah sedikit mempercayai Kao Hie.
Kata Tonghong Ta-cing.
"Orang yang kau bakar itu apa benar Wie Kai?"
"Kau tidak percaya?"
"Bukan begitu, hanya saja kita harus benar-benar jelas dalam melaksanakan tugas."
"Pastinya tidak akan ada masalah."
"Ke mana Seebun Long?"
"Aku sudah menyuruh orang untuk mencari-nya, Tonghong-heng seperti sangat tertarik padanya."
"Kalau tidak tertarik, tidak mungkin aku menyebutnya tunanganku!"
Saat ini mereka sebenarnya sedang saling memperebutkan harta Sangguan Lie yang tidak lama lagi akan menjadi milik mereka.
Pimpinan mereka sedang berkonsentrasi untuk menjadikan hal merebut harta orang lain ini sebagai usahanya.
Bahkan sudah sukses entah berapa kali, bahkan mungkin tidak lama lagi dia bisa membuat negaranya sendiri.
Tiba-tiba Tonghong Ta-cing menghunus sebuah pisau kecil lalu ke arahkan ke ulu hati Suma Hen.
Lebar meja itu tidak sampai Vz meter sehingga dalam sekejap mata pisau itu langsung menuju sasaran.
Tapi Suma Hen bukan anak kemarin sore, dia juga orang yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan.
Dia langsung menyapu pisau kecil itu.
"Tidak boleh ada dua harimau di gunung yang sama,"
Kata Tonghong Ta-cing.
"Tetapi jika salah satu harimaunya pincang, maka itu lain soal,"
Kata Suma Hen. Tonghong Ta-cing tiba-tiba menekan perutnya dan berkata terengah-engah.
"Suma Hen, kau menaruh racun di arak ini?"
"Sedikit,"
Kata Suma Hen tertawa dingin. Ada sesosok bayangan memasuki ruangan dan orang itu adalah Kao Hie. Suma Hen melarikan diri dengan melompat keluar melalui jendela. Tonghong Ta-cing menekan lambung dengan kedua tangannya sambil berkata.
"Orang itu meracuniku."
Kao Hie memandangi Tonghong Ta-cing sambil menilai. Orang ini bukanlah orang sembarangan karena itu dia harus ekstra hati-hati.
"Cong-pu-thouw, kau terkena racun apa?"
"Sepertinya racun Kian-soh."(= sejenis rumput yg tumbuh di padang pasir).
"Apakah kau punya penawarnya?"
"Ada.........tapi aku tidak bisa jamin ampuh atau tidak.......,"
Kata Tonghong Ta-cing.
"Cepatlah kau kejar Suma Hen."
"Menolongmu lebih penting daripada mengejarnya."
Tonghong Ta-cing mengeluarkan obat penawar racun dan berkata.
"Obatku belum tentu manjur, lebih baik kau kejar saja dia."
"Baiklah, Cong-pu-thouw, kau harus sabar sedikit, gunakanlah tenaga dalammu untuk mendorong racun itu keluar. Aku akan mengejar orang itu."
Baru saja Kao Hie keluar, ada sesosok bayangan lagi yang memasuki ruangan itu.
Tonghong Ta-cing saling memandang dengan orang itu dan tersenyum.
Orangyang datang itu ternyata Suma Hen.
Kelihatannya Tonghong Ta-cing sama sekali tidak keracunan.
Ternyata tadi itu adalah siasat mereka berdua.
"Tampaknya Kao Hie sangat setia padamu."
"Tampak setia belum cukup,"
Kata Tonghong Ta-cing "Betul juga, kita tidak tahu nanti dia akan bagaimana."
"Begitulah."
"Ternyata bagimu dia masih belum bisa diandalkan."
"Berhati-hati tidak ada salahnya."
Kedua orang itu tertawa bersamaan. Tengah malam tidak berbulan, di dalam sebuah kamar yang tidak berlentera terdapat dua sosok manusia yang sedang bercengkrama.
"Kau rindu tidak pada Siau-liong?"
"Aku kan sudah bilang, aku tetap merindukannya walaupun dia bukan anakku."
"Kalau begitu bagaimana kalau kita pergi melihat dia?"
"Tonghong Ta-cing dan Suma Hen meng-anggap kita telah mati! Masa kita berkeliaran ke sana ke mari?"
"Itu kan kalau kita benar-benar mati!"
"Tetapi coba pikir baik-baik, mereka mengira kita telah mati, kalau ketahuan mereka bisa lebih kejam lagi."
"Benar juga."
"Aku tahu kau bukannya karena rindu ingin melihatnya tetapi kau masih ingin membawanya pergi, betulkan?"
Seebun Long menundukkan kepala tidak bersuara.
"Tebakanku tidak salah kan?"
"Wie Kai, Sangguan Lie sudah mari. Aku sama sekali tidak tenang membiarkan anakku di tangan ibu tirinya."
"Aku juga sama."
Seebun Long menangkap tangan Wie Kai.
"Apa kau bersedia membawa dia kembali?"
"Sekarang juga aku berangkat."
"Aku juga ikut denganmu."
"Tidak perlu! Kau ikut juga percuma, anak itu sama sekali tidak ada perasaan apa pun terhadapmu."
Penjagaan di rumah Sangguan Lie sangat ketat.
Sangguan Siau-liong sudah tertidur dan di wajahnya masih terlihat bekas air mata.
Kamarnya di sinari oleh sinar lentera dan ada seorang inang pengasuh tua yang menemaninya, yang juga tertidur.
Wie Kai memandangi anak itu, tiba-tiba dia merasa bahwa anak itu sangat mirip dengannya.
"Mengapa Seebun Long berkata bahwa dia bukan anakku?"
Dia tiba-tiba merasa Seebun Long tidak berkata jujur padanya.
Tetapi bagaimana pun lebih baik dia tanyakan saja nanti sesudah pulang.
Wie Kai menotok jalan darah inang itu dan juga Siau- liong, barulah setelah itu dia menggendongnya dan melesat pergi.
Tetapi sialnya dia ketahuan karena di sana sini telah diawasi selain oleh pengawal yang ditempatkan oleh Suma Hen juga dari pihak kepolisian.
Dia berhasil merubuhkan 2 orang.
Di saat yang bersamaan ada seseorang muncul dan orang itu adalah Kao Hie.
Awalnya Wie Kai mengira dia bakal selamat.
Tetapi dugaannya ternyata meleset, sebab tidak disangka Kao Hie malah berkata.
"Tinggalkan anak itu dan kau boleh pergi!"
Wie Kai benar-benar bingung, apa mau orang ini sebenarnya.
Kedua orang itu langsung baku hantam di-tambah dengan 3 orang pengawal.
Tidak lama kemudian datang lagi 5-7 orang dan 4 diantaranya berilmu tinggi.
Wie Kai bisa saja lolos asal tidak menggendong seseorang.
Tiba-tiba seseorang berhasil melukainya dan tentu saja membuat dia tidak bisa menahan berat tubuh Siau-liong.
Wie Kai berhasil melukai 2 orang lagi sebelum melesat ke dalam kegelapan malam.
Karena pengejarnya semakin banyak, demi keselamatan anak itu, Wie Kai terpaksa meninggalkannya.
Begitu kembali, Wie Kai langsung naik ke atas ranjang tanpa bersuara.
Seebun Long berkata dengan suara lirih.
"Tidak berhasil?"
Wie Kai tetap tidak bersuara. Seebun Long mengelus wajah Wie Kai, katanya.
"Tidak apa-apa, untuk sekarang ini mereka tidak akan menyakitinya."
"Aku sama sekali tidak berguna!"
"Jangan berkata seperti itu, kau sudah berusaha sekuat tenaga."
"Katakan dengan jujur, apakah dia anakku?"
"Anak. mu?"
Tiba-tiba Wie Kai mencengkram tangan Seebun Long sambil berkata.
"Katakan!"
"Bukan!"
"Kata-katamu sama sekali tidak bisa di-percaya!"
"Wie Kai, perkataan orang lain boleh tidak percaya, tapi kau harus percaya yang satu ini."
"Kau tidak bohong?"
Wie Kai menatap. Seebun Long menggeleng-gelengkan kepalanya dan memeluknya dengan mesra.
"Walaupun bukan anakku tapi aku sudah menganggapnya demikian."
"Bagaimana kalau kita pergi melihatnya sekali lagi?"
"Lebih baik aku saja yang pergi."
"Tidak, aku juga mau ikut. Aku kan bukan seorang wanita biasa, aku bisa menjaga diriku."
Kedua orang itu keluar ke halaman.
Tiba-tiba mereka mendengar ada suara dari dalam kamar.
Mereka berdua bergegas kembali masuk ke dalam kamar dan mereka melihat ada sosok Siau-liong yang sedang berbaring di atas ranjang.
Seebun Long segera menghampiri, memeluk Siau-liong.
Siapa yang telah membawa anak itu kemari? Selain Kao Hie, tidak ada orang lain lagi.
Tadi Kao Hie sedang dihadapkan dengan tugas nya, tentu saja dia tidak bisa bertindak sembarangan.
Sesuatu yang ada di dalam air keruh memang tidak akan terlihat dengan jelas.
Tonghong Ta-cing dan Suma Hen masih berada di kediaman Sangguan Lie.
Pekerjaan mereka sudah berhasil.
Tetapi mereka masih tidak tenang.
Kata Suma Hen.
"Sebenarnya Siau-liong sekarang berada di tangan siapa?"
"Kemungkinan Wie Kai belum mati."
"Belum mati?"
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rasanya tidak salah lagi, tidak ada orang lain yang memiliki ilmu begitu tinggi seperti dia."
"Tetapi hilangnya anak itu jelas-jelas ada kaitan nya dengan orang dalam."
"Karena itulah aku bilang kesetiaan Kao Hie masih harus diuji."
"Pasti dia!"
Kata Suma Hen.
"Jika Wie Kai belum mati, meskipun kita tidak mencarinya, dia pasti dengan sendirinya akan mencari kita."
Suma Hen pucat pasi.
Orang yang tidak tertarik dengan kekayaan, dia tidak akan takut mati dan orang seperti ini sangatlah menakutkan.
Wie Kai tidak tertarik dengan harta atau pun wanita.
Dia bahkan membuang Seebun Long.
Anak pun dia tidak mau.
Bahkan dia sendiri pernah menjadi penculik, itu membuktikan bahwa dia menganggap enteng nyawa-nya, orang seperti ini sangat berbahaya.
"Kita harus lebih berhati-hati,"
Kata Tonghong Ta-cing Liu Eng sedang mandi di dalam sebuah kamar mandi.
Dia benar-benar molek, tubuhnya masih layaknya seorang gadis saja.
Struktur tulangnya terbayang dari balik air mandinya.
Kamar mandi ini tidak berlentera, hanya di-sinari oleh sinar rembulan dari luar.
Tiba-tiba bertiup angin dingin ke dalam kamar mandiitu.
Tanpa disadari sesosok bayangan telah berdiri di sampingnya.
"Siapa?"
"Jangan ribut!"
Orang itu tiba-tiba berkata dari sampingnya. Sebuah pisau yang dingin menempel di tenggorokannya.
"Aku tidak akan teriak! Aku tidak akan teriak!"
"Cepat pakai bajumu!"
"Baik.. .baik, kau mau membawaku kemana?"
"Kau seharusnya tahu, semua orang yang ter-libat dengan kasus penculikan itu mati satu persatu. Tidak lama lagi giliranmu akan tiba."
Kata Liu Eng dengan suara gemetar.
"Kau ingin membunuhku?"
"Jika aku ingin membunuhmu, bukankah pasti sudah kulakukan dari tadi?"
"Iya."
"Mereka sedang berurusan dengan harta Sangguan Lie, sesudah urusan mereka beres, waktumu pun sudah tiba!"
Tiba-tiba dari luar terdengar suara seseorang. Orang itu menyuruh Liu Eng bertanya.
"Siapa?"
"Hujin, hamba Sun Siang-ca."
"Ada apa, Siang-ca?"
Dia adalah orang bawaan Tonghong Ta-cing.
"Hujin, sayang sekali jika Hujin sampai masuk angin."
Pada saat yang bersamaan, terdengar lagi suara rendah di luar sana.
"Siang-ca, kau sedang apa?"
"Eh, Liang....aku hanya ingin....hi..hi. Liang, jika kau mau, kau bisa maju lebih dulu."
"Sialan kau! Dasar cabul!"
"Kita kan orang sendiri, silahkan jika kau mau duluan."
Orang dipanggil Liang berkata dengan suara rendah.
"Hujin, tolong buka pintunya."
Pintu perlahan-lahan terbuka.
Seharusnya mereka masuk satu persatu tetapi mereka tidak sabar sehingga masuk berbarengan.
Belum sempat menikmati, mereka sudah terkena pukulan dan jatuh tersungkur di lantai.
Tonghong Ta-cing dan Suma Hen bersiap menikmati hasil kerja mereka.
Sudah waktunya pembagian harta.
Semua uang sudah berada di atas meja.
Tentu saja masih ada yang terdapat di bank atau tempat lainnya yang belum terambil, tetapi mereka sudah tidak sabar lagi.
Mereka membaginya menjadi tiga bagian.
Tetapi sebelum sempat meraih uangnya, Tonghong Ta- cing segera bertindak.
Hal yang lumrah terjadi saat berhubungan dengan uang.
Tonghong Ta-cing dan Suma Hen saling serang- menyerang memperebutkan uang yang ada di atas meja.
Mereka masing-masing tidak ingin membagi nya dengan siapa pun.
Akhirnya Tonghong Ta-cing berhasil mematahkan 5-6 buah tulang Suma Hen dan memberikan pukulan mematikan ke tubuh Suma Hen.
Tonghong Ta-cing memandangi meja yang penuh dengan uang dan menghembuskan nafas dalam-dalam seakan-akan dengan memeluk semua yang ada di meja ini sama seperti memeluk seluruh dunia.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan masuk ke dalam ruangan.
Orang itu ternyata Kao Hie.
Senyuman yang tadi menghiasi di wajah Tonghong Ta- cing langsung saja lenyap.
Tapi Wie Kai tidak melihat kejadian ini.
Dia membawa Liu Eng langsung meninggalkan kediaman Sangguan Lie.
Liu Eng dan Siau-liong sudah berada dalam genggaman sehingga baik Wie Kai maupun Seebun Long bisa bernafas lega.
Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu.
Seebun Long membuka pintu dan melihat ada seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Lalu dia bertanya.
"Kalian mencari siapa?"
"Apakah Wie-ya ada?"
Tanya yang laki-laki "Kalian siapa?"
"Namaku Hong Kie."
"Hong Kie?"
Seebun Long tertawa.
"Benar, Hong dari kata Hong-hwee (burung api) dan Kie (ayam)."
"Kenapa kau tertawa?"
Tanya Wie Kai.
"Apakah kau pernah makan 'Hong Kie' (=ayam api)?"
Kata Seebun Long.
"Pernah,"
Kata Wie Kai.
"Mengapa kau tiba-tiba bertanya ini?"
Seebun Long menunjuk ke pintu depan.
"Lelaki itu mengatakan namanya Hong Kie."
Wie Kai bengong.
"Hong Kie? Di mana aku mendengar nama ini? Tetapi aku sudah tidak ingat lagi."
Hong Kie masuk ke dalam ruangan berkata.
"Wie-ya, apakah kau tidak ingat lagi pada Hong Kie maupun Hong Ku?"
Wie Kai berpikir keras, dia samar-samar agak sedikit ingat pada Hong Kie tetapi orang ini sama sekali tidak sama dengan Hong Kie yang minum arak satu meja dengannya. Hong Ku menyikut Hong Kie sambil berkata dengan suara pelan.
"Sudah lihat kan? Wie-ya berkelana berduaan dengan Lim Leng-ji dan menelantarkan kita berdua."
"Pasti ada kesalahpahaman,"
Kata Hong Kie.
"Salah paham apa?"
Kata Hong Ku.
"Wie-ya pergi tanpa pamit hingga kita berdua mencarinya setengah mati."
"Apa? Kalian bersusah payah mencariku?"
"Hong Kie, kau dengar kan?"
Hong Kie tahu Wie Kai bukan lah orang yang bisa melupakan teman begitu saja.
Ini pasti ada apa-apa.
Dia melihat Lim Leng-ji sepertinya lebih cantik dari sebelum-sebelumnya.
Di saat seperti ini tiba-tiba ada dua orang yang muncul dari dalam ruangan.
Dan dalam sekejap mereka berdua sudah berada di tengah pekarangan depan.
Dan kedua orang itu ternyata Tonghong Ta-cing dan Kao Hie.
Salah satu pundak Tonghong Ta-cing memanggul Siau-liong.
Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Seebun Long menotok jalan darah yang berada di belakang punggung Wie Kai.
-ooo0dw0oo-
Jilid KE DUA BAGIAN III BAB I "Eng-hong-pie-ya" (Menyambut angin berbeda pekerjaan).
Itu adalah nama yang sangat elegan.
Kau pasti akan menganggap tempat itu adalah tempat di mana para pejabat tinggi bersantai atau tempat pedagang kaya menyimpan istri mudanya.
Tempat itu bersandar ke gunung dan meng-hadap air.
Tidak seperti istana juga tidak seperti dunia Budhis.
Dari balik tembok yang tinggi, terlihat seperti sebuah gunung besar dan megah.
Tapi kalau kau tahu ini tempat auh...
dan tahu siapa yang menjalankan perintah di sini...
dan tahu juga orang- orang di sini berbisnis apa, kau akan mengucurkan keringat dingin, kalau tidak kau adalah orang yang mati rasa.
Hari baru terang.
Lapangan eksekusi yang akan selesai dibangun, berdiri kokoh di bawah pancaran matahari yang baru terbit, terlihat sangat kontras, merah dan putih.
Merah adalah pagar lapangan eksekusi, terbuat dari kain merah menyala.
Putih adalah kain putih yang dilapiskan di bawah lapangan eksekusi.
Panggung eksekusi setinggi 3 tombak lebih.
Pisua pemenggal raksasa masih tertutup oleh kain putih Sekarang pagi hari di awal musim semi...
cuaca tidak hujan juga tidak berangin.
Tapi hari ini agak berbeda dengan hari-hari biasanya Beberapa orang yang memiliki jabatan tengah-tengah pelan-pelan sedang membereskan lapangan eksekusi.
Seorang mandor sedang duduk di sebuah kursi tinggi.
Dengan isyarat tangan dia mengatur pekerjaan yang belum selesai.
Waktu itu seorang pejabat tinggi datang ke arahnya.
Mandor yang sedang duduk di kursi tinggi itu segera turun untuk mendatangi pejabat itu.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang yang sedang bekerja segera bergerak dengan cepat.
Suasana sepi tapi terasa penuh dengan hawa membunuh.
Mandor dengan cepat maju, terhadap pemuda yang belum genap berusia 30 tahun yang gagah dan tenang itu, dia berkata.
"Tuan, kami sudah mengukurnya dan Kong-kong yang duduk di sana, bisa melihat dengan jelas, apa yang terjadi di lapangan eksekusi."
Dengan serius Loo Cong melihat sekeliling, dia hanya menjawab.
"Ya."
Kemudian Loo Cong membalikkan tubuh pergi.
Mandor segera meletakkan alas jok yang dibuat dengan sangat bagus di atas kursi itu.
Tadi dia ingin mencoba tapi dia tidak berani memasangnya Loo Cong adalah seorang pemuda tenang, jujur, dan pendiam.
Sekarang sikapnya serius dan lebih memusat-kan perhatiannya.
Sorot matanya seperti tidak sengaja melihat sekeliling.
Sebenarnya dia sedang memeriksa dengan sangat teliti, sedikit pun tidak ada yang terlewat.
Tapi karena sifat dasarnya tenang, maka tidak terlihat dia sedang tertekan.
Dia berjalan dengan pelan.
Dari satu pekarangan ke pekarangan lain.
Memeriksa semua yang ada dalam pekarangan.
Dia juga memeriksa sumur yang biasanya tidak pernah dia lihat.
Dia juga memeriksa pagar tembok yang tinggi.
Dia juga memeriksa ayunan.
Sampai-sampai mencoba kekuatan ayunan itu.
Semua yang kecil-kecil tidak terlewat dari pengawasannya.
Hari sudah terang.
Semua terlihat lebih jelas.
Dengan teliti dia melihat, di atas genting ada kabut putih.
Dari tempat tinggi jika ingin melihat harus lewat puluhan anak tangga baru bisa ke atas.
Itulah tempat Kong-kong mengawasi pelaksana an hukuman mati Seseorang membawa piring bercorak datang kesana.
Di atas piring terdapat pena, tempat tinta, kertas dan lain-lain.
Seseorang mengikutinya dari belakang.
Walaupun tidak ada yang tahu siapa dia, tapi melihat sikapnya maka akan segera tahu identitasnya, sama dengan Loo Gong.
Namanya adalah Mo Ki-thian.
Dia hanya seorang pemimpin kecil tapi dia kaki tangan yang handal.
Mereka berdua berjalan dengan cepat.
Melewati jalanan di luar dan masuk ke dalam rumah itu.
Matahari baru terbit.
Gunung yang jauh masih tertutup kabut.
Tiba-tiba di pekarangan terjadi perubahan.
Barisan para prajurit dengan tangan memegang golok dan panah berlarian datang.
Mereka dengan sangat lancar dan rapi berada pada posisi penting.
Setelah berdiri dengan rapi mereka tidak bergerak lagi.
Menghabiskan waktu lama untuk melatih seperti ini, sekarang terlihat hasil yang baik.
Di belakang koridor ada sebarisan prajurit mereka dibagi menjadi dua di depan pintu kamar Di dalam kamar ada seorang perempuan dingin dan cantik, berdandan tipis dan berbaju mewah, duduk di depan cermin.
Baju yang dipakainya adalah baju pengantin Dia menusukan konde ke dalam gelumbang rambutnya dengan pelan dan santai.
Walaupun dia seorang pengantin perempuan yang tidak menyukai perkawinan, tidak pantas bersikap seperti itu.
Pelayan berdiri di sisinya, suasana terasa saingat membosankan.
Mo Ki-thian dan seorang pelayan membawa piring tadi, tiba-tiba mereka berjalan masuk ke dalam kamar.
Lim Leng-ji yang sedang duduk di depan cermin hanya melihat mereka sekilas kemudian melanjutkan dan melihat dirinya yang terpantul di dalam cermin.
"Kong-kong berbaik hati menyuruhmu meninggalkan pesan,"
Kata Mo Ki-thian.
Lalu dia memberi isyarat kepada pelayan itu.
Pelayan datang mendekat membawa piring itu dan meletakkannya di depan Leng-ji.
Pelayan mulai menggosok batangan tinta.
Lim Leng-ji menarik pandangannya dari cermin, dia melihat ke arah piring kemudian melihat Mo Ki-thian, dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
Saat menengadahkan kepalanya, mulutnya terlihat sifat pantang tunduk.
Tidak heran, Lim Leng-ji adalah perempuan tercantik di Eng-hong-pie-ya, dia juga paling anggun dan dia berhasil di dapatkan oleh WieKai.
Laki-laki di Eng-hong-pie-ya kecuali Seng Yan-kong yang mempunyai hak sangat tinggi, tidak ada yang bisa menerima hal ini.
Tapi apa isi hati Seng Kong-kong, hanya dia sendiri yang tahu.
Pelayan-pelayan terlihat sangat tegang.
Hanya mereka yang tahu sekarang waktunya untuk melakukan apa, dan tempat ini tempat apa.
Seorang pelayan mendekati Leng-ji, berbisik.
"Nona.
"
Leng-ji tidak menoleh juga tidak menjawab. Sebab di dalam hatinya hanya ada 4 kata.
"Wie-si-ji-ie." (Hanya mati saja) . Orang seperti ini sudah tidak peduli apa yang terjadi di dunia ini. Tiba-tiba dia mengambil pena dan dipegang dengan erat. Di atas kertas dia menulis huruf 'Put-wie' (tidak takut). Dua huruf yang sangat besar. Karena cintanya sampai mati, maka matinya dengan cara seperti itu. Setelah Mo Ki-thian melihat dua kata Put-wie itu, wajahnya terlihat ada tawa mencemooh. Kalau dia tidak mengeluarkan ekspresi mencemooh, dia bukan Mo Ki-thian. Di dalam kamar Wie Kai. Mo Ki-thian membawa pelayan yang membawakan piring itu. Wie Kai sedang berjalan mondar mandir, matanya terlihat tenang dan pintar, tidak terlihat rasa takut nyawanya sedang di ujung tanduk atau dia sudah tahu tapi sudah tidak peduli pada hidup dan matinya. Dia selalu ceria. Baginya walau kepalanya di penggal, itu seperti masalah biasa, bukan masalah besar. Tiba-tiba dia tertawa, tawanya begitu alami dan ramah. Tawanya selalu menarik seperti biasa. Apa lagi baju pengantinnya yang berwarna cerah, kepalanya mengenakan topi pengantin. Orang lain yang melihatnya, akan terlihat dialah pengantin yang berbahagia dan pengantin yang luwes. Pelayan sudah selesai menyiapkan tinta. Teman baiknya, Hong Kie tampak berwajah serius. Wajahnya seperti ada es. Saat Wie Kai memegang pena, di atas kertas dia membuat 2 titik, lalu berhenti menulis.
"Tulisanku jelek, jadi kubuat 2 titik ini saja sudah cukup!"
Katanya sambil tertawa.
Kecuali Wie Kai, yang lain tidak ada ekspresi.
Mo Ki-thian memegang map dan berjalan dengan cepat.
Dia masuk ke kamar Seng Kong-kong.
Seng Yan-kong sedang duduk di kursi.
Loo Cong berdiri di sebelah kirinya.
Orang yang telah dikebiri walaupun berada di rumah bagus dan lingkungan baik, wajahnya tetap putih dan tidak berkumis, otot dan kulit pasti akan kendur, untuk sebagian orang alisnya malah rontok! Mereka selalu memberikan kesan buruk kepada orang lain.
Apalagi sewaktu di depan paduka raja mereka menyebutdiri mereka adalah hamba.
Seorang banci menyebut dirinya hamba.
Mungkin kasim kecil yang baru dikebiri, begitu mendengar akan muntah.
Dengan penuh rasa hormat Mo Ki-thian menyerahkan map itu kepada Seng Kong-kong.
Wajah Seng Yan-kong tidak ada ekspresi.
Tapi begitu dia membuka map itu dan melihat isinya, wajahnya segera berubah.
Dia mengerutkan alis Dia tidak mengira walaupun akan dipenggal tidak bisa membuat bocah itu tunduk.
Ini membuatnya marah, orang yang tidak takut mati baru bisa membuatnya angkat tangan.
Dengan hati-hati Mo Ki-thian berkata.
"Wie Kai tidak menulis apa pun."
"Dia sudah menulisnya!"
Kata Seng Yan-kong dingin. Tentu saja Mo Ki-thian tidak mengerti maksud 'sudah menulis' ini. Loo Cong melihat keluar pintu. Dengan dingin Seng Yan-kong berkata lagi.
"Titik 2 berada di dalam hati!"
Sekarang dia seperti baru sadar Wie Kai lebih galak darinya. Begitu membuka lembaran kedua, Seng Yan-kong terpaku lagi. Karena ada tulisan 'Put-wie'. Tiba-tiba Seng Yan-kong tertawa dingin, dia berkata kepada Loo Cong.
"Apakah semuanya sudah siap?"
"Sudah siap!"
Jawab Loo Cong hormat.
Seng Yan-kong menundukkan kepala tampak berpikir sejenak.
Dia berdiri kemudian menoleh.
Tiba-tiba dinding di belakang kursi di mana dia duduk terbuka dengan sendirinya.
Di sana ada sebuah lukisan sulaman besar dan masih tergantung sebuah golok aneh.
Wajah Loo Cong tampak datar.
Mo Ki-thian kebingungan.
Seng Yan-kong berjalan ke depan golok yang digantung itu.
Suara golok yang dikeluarkan dari sarungnya seperti merobek keheningan.
Setelah golok dikeluarkan dari sarung, Seng Yan-kong tetap tidak bersuara.
Tidak ada yang tahu dia sedang memikirkan apa.
Ingin tahu isi hati seseorang benar-benar sulit.
Ingin tahu isi hati seorang kasim itu lebih sulit lagi karena perasaan mereka sering berubah-ubah.
Kadang kalau mereka mendengar sebuah kalimat 'tidak ada' maka dia akan membenci orang itu seumur hidup.
Golok dimasukkan kembali ke dalam sarung-nya.
Matahari sudah terbit.
Kain merah yang dijadikan pagar ditarik hingga turun, pisau besar untuk memenggal kepala mengeluarkan cahaya berkilau.
Perasaan sekarang ini lebih dingin dari suhu udara subuh tadi.
Di sekeliling hening.
Di sana berdiri 2 orang yang siap dieksekusi.
Panggung hukuman mati khusus dibuat untuk mereka berdua, supaya hukuman mereka bisa bersama-sama dilaksanakan, maka ada 2 lubang pisau.
Mereka berdua berdiri di depan panggung.
Kalau 2 kepala berbarengan dimasukkan ke dalam lubang pisau raksasa itu, begitu pisau diturunkan akan segera membuat mereka mati bersama, tidak ada yang duluan atau belakangan.
Wajah dingin dan cantik Leng-ji tampak datar.
^ Dia melihat Wie Kai, tapi Wie Kai tidak menatapnya.
Hanya saja sikap Wie Kai tidak seperti dirinya.
Dia masih terlihat seperti biasa.
Dia seperti percaya.
Orang yang masih tahu rasa takut berarti dia masih ingin hidup.
Kalau sudah tidak takut mati berarti orang itu sudah mati.
Maka dia terbuka dan bisa santai.
Rasa takut dan mati tidak bisa berada di satu tempat dan waktu.
Suara musik aneh sudah terdengar, suara musik ini membuat orang-orang merasa sesak nafas.
Sekarang Mo Ki-thian berdiri di tempat orang yang membawakan acara.
Detak jantung orang berdebar dengan kencang.
Nafas banyak orang seakan sudah berhenti.
Wie Kai masih saja seperti itu.
Menggunakan kata-kata untuk menggambarkan kematian, seperti pulang ke rumah pun masih sulit.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Mo Ki-thian berteriak.
"Hening dan hikmad!"
Di lapangan itu memang sudah sangat hening.
Sekarang selain suara langkah Seng Kong-kong dan Loo Cong, di lapangan sana kalau ada jarum jatuh pun akan terdengar.
Dengan cepat Seng Yan-kong menaiki anak tangga dan duduk di kursi tinggi itu.
Dia membawa golok aneh yang masih di sarungkan, biasanya dia jarang membawa golok.
Loo Cong berdiri di sebelah kirinya.
Sorot matanya terus melihat benda yang baru pertama kali dilihatnya.
Terkadang sorot matanya melihat hutan yang ada di belakang gunung.
Di panggung eksekusi.
Di sebelah kamar itu ada sebuah kamar rahasia.
Seseorang sedang berada di dalamnya, saat ini dia sedang mengintip keluar.
Keinginan orang itu mungkin sangat bertentangan, dia berharap eksekusi segera dilaksanakan atau selamanya eksekusi tidak perlu dijalankan, pikiran ini terus mengganggunya.
Sorot mata tajam Seng Yan-kong terkadang melihat ke kamar rahasia itu.
Loo Cong yang berada di atas panggung melihat Leng-ji dan Wie Kai.
Tidak ada seorang pun yang bisa menjelaskan arti pandangan mata itu.
Tiba-tiba Seng Yan-kong berteriak.
"Leng-ji!"
"Ada!"
Jawab Leng-ji dengan masa bodoh.
"Wie Kai!"
"Ada... Kong-kong,"
Jawab Wie Kai. Jawaban Wie Kai yang terdengar begitu tidak bersemangat, Leng-ji seperti tidak suka.
"Enam tahun yang lalu, ketika kalian masuk 'Eng-hong- pie-ya' apakah secara suka rela?"
Tanya Seng Yan-kong.
"Benar, Kong-kong!"
Jawab Wie Kai. Sedangkan Leng-ji tidak mengeluarkan suara, ekspresinya sangat dingin.
"Belajar menyanyi dan menari, berlatih ilmu silat dan berjanji seumur hidup tidak akan menjadi suami dan istri, serta mengabdi kepada Pie-ya, apakah itu juga secara sukarela?"
Tanya Seng Yan-kong.
"Benar!"
Jawab Wie Kai. Seng Yan-kong melihat Leng-ji.
"Tapi kalian sudah melanggarnya, melanggar perjanjian, sekarang jangan menyesal!"
Dengan lugas Wie Kai mengangguk.
"Tidak menyesal!"
Leng-ji berkata dingin. Kedua mata Seng Yan-kong terlihat ada kabut dingin. Matahari naik lebih tinggi lagi. Tapi tidak sedikit pun udara terasa hangat. Seng Yan-kong berteriak.
"Eng-hong-pie-ya tidak akan menyiksa muridnya, maka aku sengaja membuatkan baju pengantin untuk kalian, dalam pelaksanaan eksekusi ini supaya kalian bisa bersama- sama pergi ke dunia sana."
Ada seorang perempuan menangis. Di bawah panggung eksekusi ada 2 baris pelayan perempuan. Seng Yan-kong menoleh, tangisan itu segera berhenti. Udara di Pie-ya seperti membeku.
"Mainkan nyanyian pengantin!"
Teriak Seng Yan-kong. Musik aneh itu tiba-tiba berubah nada. Itu bukan musik untuk pengantin. Apakah para pemusik terlalu tegang sehingga mereka memainkan alat musik mereka menjadi fals atau salah nada. Dengan dingin Seng Yan-kong berkata.
"Tundukkan kepala!"
Dengan berani Leng-ji menundukkan kepala.
Saat Wie Kai menundukkan kepala, dia sempat melirik pada Seng Yan-kong.
Tiba-tiba matahari merah terlihat di sebelah timur.
Seorang pelayan membawa sebuah ember kecil bersama sehelai kain putih, mencipratkan air ke leher mereka.
Bersamaan waktu meletakkan 2 keranjang bambu di depan pisau eksekusi.
Keranjang itu disiapkan untuk menampung kepala saat kepala terpenggal oleh pisau eksekusi.
Semua sudah disiapkan dengan sempurna, tidak ada yang tertinggal.
Pelayan mulai membasahi leher mereka dengan air, sebagian air masuk ke dalam mulut mereka berdua.
Dengan pekerjaan seperti itu dia bisa mendapatkan gaji sebesar 100 tail perak.
Air cipratan tertelan.
Pikiran mereka jadi lebih sadar.
Mereka teringat masa lalu.....
Termasuk Lim Hujin yang terbunuh, tiga perempuan yang diam-diam ingin merebut hartanya, semua sudah terbunuh.
Seebun Long dan Lim Leng-ji sangat mirip, sebab dia adalah putri dari Lim Hujin.
Lim Leng-ji adalah nama samarannya.
...
Harta Sangguan Lie yang sangat banyak dirampas, itu bukan berita bohong.
...
Wie Kai berpacaran dengan Leng-ji, itu juga bukan berita bohong.
Hanya ada satu hal yang benar.
dia tidak punya anak.
Itu hanya kebohongan Seng Yan-kong supaya semua orang berpikir seperti itu.
Darah daging pasti dekat dengan orang tua, siapa yang tidak sayang kepada anaknya sendiri? Yang penting mereka sudah melanggar aturan Eng-hong- pie-ya, melarang laki-laki dan perempuan berkencan.
Jika melanggar hanya ada kematian yang menunggu.
Karena Wie Kai selalu tersenyum.
Seng Yan-kong sangat marah.
Walaupun Wie Kai berpura-pura, tapi Seng Yan- kong tetap tidak tahan melihatnya.
Suasana mulai tegang.
Sorot mata tajam milik Loo Cong melihat ke arah panggung eksekusi, juga melihat hutan yang ada di gunung itu.
Pisau eksekusi berkilau.
...
Waktu itu pisau eksekusi siap diturunkan.
...
saat pisau eksekusi yang besar di turunkan, Wie Kai dan Leng-ji bersama-sama menarik kepalanya.
...
Bersamaan itu di atas gunung tiba-tiba jatuh sebongkah batu besar dan kayu gelondongan besar, seperti gunung longsor juga seperti ada tsunami yang terus menimpa tempat eksekusi.
Di pekarangan suasan jadi kacau balau.
Tangan Wie Kai dan Leng-ji masih terikat di belakang, tampak bayangan golok dan pedang, tombak dan kayu yang sedang bertarung.
Hong Kie dan Hong Ku entah keluar dari mana.
Di saat yang tepat mereka melempar senjatanya ke arah Wie Kai dan Leng-ji.
Putri Kao Tong dari Tibet yang ada di ruang rahasia menjadi marah, lalu masuk ke dalam melalui jalan rahasia.
Ratusan orang mengepung Wie Kai, Leng-ji, Hong Kie, dan Hong Ku, mereka pun bertarung.
Matahari mulai naik ke atas.
Cahaya matahari menyinari darah yang berceceran, warnanya tampak lebih berkilau dan menusuk mata dibandingkan dengan kain merah itu.
Di Eng-hong-pie-ya tidak pernah terjadi peristiwa seperti ini.
Lebih-lebih tidak pernah terjadi.
Ketika di lapangan dilaksanakan eksekusi, terpidana bisa lolos.
...
Mungkin belum pernah terjadi hal seperti itu.
...
Mungkin juga tidak pernah ada pesilat tangguh yang bergabung untuk melawan, karena itu walaupun anggota mereka banyak tapi terlihat formasi mereka kacau 4 balau.
Ke empat orang ini adalah para pesilat tangguh Eng- hong-pie-ya.
Tapi walaupun mereka mempunyai ilmu tinggi setelah lama bertarung keadaannya jadi berbahaya.
Sambil bertarung Wie Kai berkata kepada Hong Kie.
"Kalian berdua pergi dulu!"
"Kami tidak akan pergi!"
Jawab Hong Kie. Teriak Leng-ji sambil bertarung.
"Hong Ku, cepat..."
Gulungan golok berkelebat, banyak kepala terjatuh.
Wie Kai melihat gantar yang panjang.
Tapi Hong Kie terlihat masih ragu.
Sebab dia sangat setia kepada Wie Kai dan Leng-ji.
Walaupun mereka anak buahnya tapi Wie Kai dan Leng-ji selalu menganggap mereka sahabat baik.
Arti sahabat adalah demi sahabat mati di saat yang tepat! "Cepat!"
Hong Kie menarik Hong Ku.
"kalau kita masih di sini, mana mungkin meieka berdua mau pergi?"
Akhirnya Hong Kie mengerti, dia bertarung sambil keluar dari Pie-ya.
Perhatian semua orang tertuju pada Wie Kari dan Leng- ji.
Sekarang hanya tinggal Leng-ji dan Wie Kai, mereka seperti per, dalam kekacauan terus meloncat.
Pertarungan bertambah gila.
Seng Kong-kong tidak peduli pada nyawa anak buahnya.
Anak buahnya tahu walaupun akan mati 100 orang, salah satu dari ke empat orang itu tidak akan bisa lolos! Pertumpahan darah sudah bergeser ke pekarangan.
Seng Kong-kong ingin ikut bertarung.
Tapi Wie Kai dan Leng-ji selalu menghindar.
Karena gengsi, Seng Kong-kong jadi mengawasi dari pinggir.
Dia melihat ke dua pemuda dan pemudi itu penuh semangat, setiap kepalan mengandung tenaga penuh, setiap serangan telapak bisa membunuh orang.
Dalam keadaan marah Seng Kong-kong merasa gagal.
Sebab kepandaian mereka adalah dia sendiri yang mengajarkannya.
Dalam perasaan gagalnya, dia lupa pada anak buahnya yang terus berguguran, ada yang tangan dan kakinya patah, ada yang menyemburkan darah.
Ilmu silat anak buahnya ini dia sendiri juga yang melatihnya.
Dia punya kepercayaan diri.
Menurut perkiraannya, dua kelinci kecil itu tidak akan bisa lolos dari Eng-hong-pie-ya.
Pertarungan semakin sengit.
Diawasi oleh Seng Kong- kong, mayat-mayat anak buahnya membangun pagar tembok berdarah.
Tubuh Wie Kai dan Leng-ji pun penuh dengan luka.
Tapi tepat saat Leng-ji meloncat ke atas papan ayunan, seperti jagung di dalam kuali panas, meloncat-loncat dan terbang ke atas genting.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wie Kai pun mengikutinya dari belakang, yang pasti ini adalah rencana mereka.
Seng Kong-kong marah besar, dia meloncat dari tempat duduknya.
Melewati panggung eksekusi dan hampir sampai di sana untuk menghadang.
Bila Kong-kong ikut bertarung, tidak mungkin mereka bisa lolos dari tangan Kong-kong juga dari Eng-hong-pie-ya.
Saat menegangkan ini mereka berhasil mencengkeram tali yang terpasang di tiang.
Seseorang diam-diam telah membantu mereka, tiang itu melengkung, kemudian dilepas dan 2 orang yang ada di sana langsung terlempar ke atas, turun ke gunung sebelah sana yang penuh dengan pohon-pohon.
"Lari... mereka kabur...."
Kaki tangan Seng Kong-kong terus berteriak.
Setiap teriakan seperti menampar wajah Seng Kong- kong.
Matahari naik lebih tinggi lagi.
Eng-hong-pie-ya tidak seperti dulu begitu menakutkan.
Suara rintihan terdengar di mana-mana, yang terluka dan yang mati bergelimpangan di bawah.
Orang yang akan dieksekusi ternyata tidak mati.
Kain putih yang ada di bawah panggung eksekusi penuh dengan darah.
Suara ribut dan kekacauan sudah berhenti.
Seperti angin topan yang datang tiba-tiba, pergi nya pun sangat cepat.
Seng Yan-kong diam berdiri di atas lapangan eksekusi.
Loo Cong dan Mo Ki-thian membungkukkan tubuh seperti sedang minta ampun kepada Seng Kong-kong.
Seng Yan-kong merentangkan kedua tangannya lebar- lebar.
"Harus kulakukan apa lagi ...?' Loo Cong diam tidak menjawab. Mo Ki-thian masih membungkukkan tubuh, dia tidak berani menatap Seng Kong-kong. Tubuh Seng Yan-kong sedikit bergetar. Dia tidak pernah mengalami kejadian seperti ini. Wie Kai adalah seorang pemuda pintar, lincah, dan baik. Leng-ji adalah perempuan suci dan lembut. Mengapa mereka melakukan hal seperti ini? Dia terus berpikir, seharusnya tidak terjadi hal seperti ini. Dia seperti lupa, elang berdiri seperti tertidur, harimau berjalan seperti sedang sakit, tapi itulah cara mereka mencari mangsa! Dengan kepintaran Seng Kong-kong, seharus-nya dia sadar. Hal yang harus dia ketahui tanpa sikap waspada sudah terjadi, maka Seng Yan-kong sangat marah, dia berkata pelan.
"Siapkan undangan, cepat beritahu kepada semua aliran dan perkumpulan!"
"Siap!"
Jawab Mo Ki-thian.
"Pergilah!"
Seng Kong-kong melambaikan tangan.
Beberapa saat yang lalu dia masih duduk di atas panggung eksekusi dengan penuh wibawa.
Sekarang dia terlihat begitu lesu.
Masalah di dunia ini perubahannya begitu cepat.
Seharusnya dia berhati-hati dan waspada.
Tapi dia adalah seorang Seng Yan-kong.
Tiba-tiba dia meraung dan terbang.
Tubuhnya berada di udara, seperti seekor elang membalikkan tubuh, dia menepis lonceng angin yang tergantung di pinggiran atap.
Lonceng itu sebesar semangka.
Dengan sangat tepat dan aneh lonceng itu jatuh ke dalam keranjang yang ada di atas panggung eksekusi.
Sebenarnya keranjang bambu itu disiapkan untuk menampung 2 kepala manusia.
Kuda berlari dengan kencang.
Undangan sudah disebarkan ke mana-mana.
Terdengar suara Seng Kong- kong keluar dari sela-sela giginya.
"Harap jangan menerima mereka, siapa yang menerima mereka, Eng-hong-pie-ya tidak akan mau hidup bersama dengan mereka dalam satu dunia!"
Itu adalah pesan yang tertulis dalam undangan pertama.
...
Jangan menerima mereka, siapa yang menerima mereka pasti akan diserang oleh Eng-hong-pie-ya.
Itulah pesan dalam undangan kedua.
...
Yang memberitahu tentang keberadaan mereka, yang bisa menangkap mereka hidup-hidup, yang bisa menyerahkan mayat mereka, hadiahnya berupa emas seharga sepuluh ribu tail.
Eng-hong-pie-ya akan menunggu.
Itu adalah pesan pada undangan ketiga.
Di dunia persilatan orang yang ingin kaya mendadak sangat banyak.
Hanya saja orang pintar tidak mau kaya dengan cara seperti ini, mereka buru-buru akan menghindar.
Terdengar kuda berlari terburu-buru, kemudian kembali hening.
D sini adalah sebuah rumah kecil yang biasa dibangun pemburu untuk berteduh.
Sangat indah.
Bagi orang yang sedang melarikan diri, semua terlihat lebih indah dan lucu.
Rumah itu berada di atas gunung yang menonjol.
Seperti atap rumah yang keluar mencuat dari bangunan rumah.
Di sini bisa terhindar dari tiupan angin dan hujan deras.
Yang paling penting, tempat ini sangat terpencil dan jarang ada yang tahu.
Wie Kai dan Leng-ji tidur di ranjang yang dianyam dari bambu dan di atas ranjang dialasi oleh rumput kering.
Setelah bertarung mati-matian akhirnya mereka bisa lolos.
Badai kehidupan berlalu untuk sementara.
Rasa tenang yang sangat aneh, mungkin itu ciri-ciri badai kedua yang akan datang.
Leng-ji sedang termangu.
Dalam situasi apa pun.
Senang atau tidak senang, wajahnya selalu tidak ada ekspresi, tetap cantik tapi seperti tidak hidup di dunia ini.
Cantik tapi seperti tidak nyata.
Dengan termangu dia melihat Wie Kai.
Wie Kai sepertinya sudah tertidur.
Dia selalu cerah, selalu tenang dan tidak tergesa-gesa.
Pelan-pelan Leng-ji turun dari ranjang, dia menutupi tubuh Wie Kai dengan sehelai baju.
Dalam kesulitan dan kesusahan, perasaan manusia seperti sehelai kain putih, dia tersenyum, sorot matanya seperti bisa menyulam kain putih itu.
Hong Kie berada di atas pohon, dia sedang berjaga.
Dia selalu mengerjakan pekerjaan yang pantas dia kerjakan.
Inilah perasaan seorang sahabat karib.
Hong Ku sedang mencuci baju di sebuah sungai kecil.
Yang pasti dia juga waspada.
Kalau ada musuh yang datang dia akan pura-pura menjadi elang, mereka adalah pemanah, tidak akan menjadi kelinci.
Di depan Hong Kie ada seekor ular besar sepanjang 3-4 kaki.
Dia sedang menjulurkan lidahnya.
Dia tidak tahu, apakah orang yang ada di depan adalah mnagsanya? Sekarang keadaan ular dan manusia sama, Hong Kie dengan cepat menyerangnya.
Ular tertangkap, di tempatpaling vital.
Ular yang di tangkap, hanya bisa bergerak dengan lemah.
Sekarang Hong Kie menganggap dia adalah seekor ular, tidak sengaja dia memegang lehernya, tapi dia bukan ular, di tubuhnya tidak ada tempat yang berbahaya! Dia bisa mengerti bagaimana rasanya kalau dicekik di tempat vital.
Dia juga selalu teringat pada wajah Seng Kong-kong yang seperti wajah kuda itu.
Dia melempar ular itu ke depan Hong Ku.
Hong Ku terkejut, lalu dia menendang seekor kelinci dan terjatuh di tangan Hong Kie.
Hong Kie mulai memanggang kelinci di bawah pohon.
Leng-ji terlihat sangat lemah.
Keadaannya sekarang sangat berbeda dengan saat dia bertarung di Eng-hong-pie-ya.
Saat diam dia seperti air jernih yang tenang.
Tapi sekarang wajah cantiknya mulai terlihat penuh kekhawatiran.
Bisa melarikan diri itu sangat baik.
Berarti nyawanya bisa dipungutkembali.
Tapi kalau badai datang lagi, keberuntungan belum tentu akan mennjadi milik mereka lagi.
Wie Kai sudah bangun.
Dia duduk di sampingnya.
Dia juga membelai rambut Leng-ji Gerakannya ringan seperti sedang membersihkan air yang ada di pucuk daun muda.
Leng-ji tidak bergerak.
Dia duduk di sisinya, dia merasa aman.
Tapi dengan rasa aman ini apakah bisa melewati patukan elang-elang yang datang seperti gelombang? Ada pepatah mengatakan.
"Harimau pun ada saatnya mengantuk."
Akhirnya Leng-ji melihat dia.
Empat mata beradu, mereka mengerti keadaan lawannya.
Hanya saling menggerakkan mata sudah cukup membuat mereka terhibur! Dalam kesusahan dan kesulitan, bagi sebagian orang akan terasa tersiksa.
Tapi sebagian kecil, mereka merasa itu adalah ranjang hangat tempat berbagi perasaan.
Tiba-tiba mereka saling berpelukan.
Bukan hanya tubuh, hati mereka pun sangat akrab saling berpelukan.
"Apa yang harus kita lakukan?"
Tanya Leng-ji.
"Itu adalah masalah Seng Kong-kong."
Leng-ji tertawa kecut. Dengan santai Wie Kai berkata.
"Eng-hong-pie-ya yang mendapat masalah, bukan kita, yang harus dipikirkan adalah apa yang akan mereka lakukan, bukan kita!"
"Kalau kita sendiri, apa yang akan kita laku-kan?"
Wie Kai selalu terlihat santai.
"Kalau kita sedari pertama pacaran sudah terpikir apa yang harus kita lakukan, waktu itu kita saling jatuh cinta dan membuat kita pusing, sekarang setelah berpikir harus melakukan apa, pasti kita akan pusing lagi, kalau pusing akan tumbuh banyak uban!"
Leng-ji tertawa kecut.
Dia merasa lelah lahir dan batin.
Hanya dengan bersama Wie Kai, hal yang dia khawatirkan bukan hanya tentang dirinya sendiri.
Di kuil La-ma (Tibet) pasti ada La-ma.
Tapi orang yang bukan La-ma masuk ke kuil Lama dan diterima dengan meriah tidak banyak.
Yang dimaksud dengan meriah bukan dipasang permadani mewah, meniup dan memukul alat musik kemudian makan besar-besaran.
Mereka hanya berbaris untuk menyambut kedatangan tamu.
Yang datang adalah Seng Kong-kong yang sudah berambut putih.
Langkahnya cepat dan ringan, tapi wajahnya datar.
Kalau tidak melihat tubuh bagian atasnya, hanya melihat kedua kakinya, semua orang akan mengira dia baru berumur 20 tahun lebih.
Putri raja Kao Tong berpakaian mewah dan berdandan dengan warna mencorong.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dipandang dari segi kecantikan Tibet, dia adalah perempuan yang sangat cantik.
Kecantikan putri raja ini boleh dikatakan sejajar dengan Leng-ji..
Setelah mendengar cerita Seng Kong-kong, tiba-tiba putri Kao Tong berteriak.
"Apa? Mereka berada di Tai-hong-san? Berada di Tai- hong-san?..."
Seng Kong-kong duduk di kursi tamu. Putri raja berdiri untuk bicara. Terlihat mereka sangat akrab, tidak seperti baru 2-3 kali bertemu.
"Keadaan sudah berada di tangan kita!"
Kata Seng Yan- kong.
"Aku harus pergi ke Tai-hong-san!"
Kata putri raja dengan dingin.
"Pergi ke gunung? Putri raja Tibet yang selalu menjaga di kuil La-ma untuk apa ke Tai-hong-san?"
Tidak banyak berpikir, dia langsung menjawab.
"Berburu!"
"Sekarang bukan waktunya untuk berburu, apa lagi orang-orang Eng-hong-pie-ya sedang ke gunung itu, kalau ada yang melihat apa yang akan dikatakan orang-orang?"
Kata Seng Yan-kong.
"Apa kata mereka?"
Tanya putri raja.
"Perkataan apa pun tidak baik bagi kita, Eng-hong-pie-ya dan kuil La-ma hanya bertukar ilmu silat, kalau hubungan ini terlalu erat, akan membuat orang curiga. Putri raja, bukankah karena masalah kecil akan menghancurkan rencana besar?"
Tanya Seng Yan-kong.
"Apa karena masalah kecil... hancur rencana besar?"
Tanya putri Kao Tong.
"Inilah pekerjaan rumah tangga Eng-hong-pie-ya, putri harus percaya, Eng-hong-pie-ya bisa melaksanakannya dengan baik!"
Kata Seng Yan-kong. Hal 337-338 ga ada "Hal apa?"
"Aku ingin melihatmu menari."
"Sekarang mana mungkin ada perasaan yang keluar dari hati?"
"Melihat kau menari selalu ada perasaan!"
Leng-ji tertawa dengan indah dan menarik. Walaupun dia tertawa kecut atau tertawa sambil menangis, tetap terlihat menarik.
"Aku ingin melihat apakah paha depan atau paha belakang yang kau sisakan untukku? Ha ha ha!"
Wie Kai mengambil sebuah paha belakang.
"Sebenarnya paha depan atau paha belakang sama saja, asal sebuah kaki itu sudah cukup! Ha ha ha!"
Tawa lepasnya benar-benar membuat orang iri.
Apakah dia tidak normal? Atau sengaja agar suasana terasa lebih ringan.
Selama ada dia, siapapun akan bertambah selera makannya.
Leng-ji melihatnya, dia ada pikiran lain.
Setelah makan beberapa gigitan daging kelinci, Wie Kai berkata kepada Hong Kie.
"Apakah kau tahu mengapa kau begitu kurus?"
"Karena aku tidak bisa tertawa!"
Hong Kie tertawa tapi tertawa kecut. ^ Tertawa adalah hal yang tidak perlu dibayar malah membuat orang senang juga membuat diri sendiri senang. Tapi belum tentu setiap orang bisa mengguna-kan tawa ini.
"Tertawa bisa membuat orang panjang umur!"
Kata Wie Kai.
"Betul!"
Kata Hong Kie.
"tapi kalau terlalu banyak tertawa malah akan cepat tua."
"Cepat tua?"
Tanya Wie Kai.
"Karena terlalu banyak tertawa akan membuat wajah banyak keriput!"
Jawab Hong Kie. Awalnya Wie Kai bengong kemudian tertawa.
"Betul, betul, tidak kusangka kau punya ilmu awet muda!"
Hong Kie makan daging ular lagi.
Sebenarnya daging ular tidak banyak.
Karena kalau banyak dagingnya, ular tidak akan bisa bergerak lincah.
Seperti dia, kalau tidak kurus, dia tidak akan selincah sekarang dan tidak yakin bisa kabur dari Eng-hong-pie-ya.
"Hong Ku, kau terlihat begitu lelah tapi tubuh-mu tetap gemuk?"
Tanya Wie Kai.
"Karena ini sudah dari sananya, aku memang sudah gemuk!"
"Tidak, karena kau senang tertawa!".
"Mungkin juga aku bisa makan dan tidur enak!"
Mereka berdua tertawa. Hong Ku terus makan sambil tertawa. Tapi Hong Kie tidak tertawa. Leng-ji melihat Wie Kai. Dia seperti tidak mengerti.
"Seng Kong-kong tidak senang melihat laki-laki dan perempuan saling mencintai, dia sangat benci dan marah... karena dia tidak bisa merasakan perasaan antara laki-laki dan perempuan..."
Kata Wie Kai.
Pasti masih banyak kekesalan yang tidak enak untuk diucapkan.
Dalam kurun waktu 10 tahun menjadi kasim saat mandi bukanlah waktu yangmudah dilewati.
Tiga tahun sekali ada perbaikan kecil, 5 tahun sekali ada perbaikan besar.
Bila tidak diperbaiki kalau tunas daging bertumbuh melebihi panjang yang ditentukan akan lebih celaka! Kalau tunas daging tidak diperbaiki akan dipenggal, bukankah yang didapat lebih sedikit dibandingkan yang hilang? "Hong Ku, bagaimana kalau kau menari?"
Usul Wie Kai.
"Tarianku tidak bagus, jangan tertawakan aku!"
Kata Hong Ku.
Hong Ku membersihkan minyak yang ada di tangan dan mulai menari.
Hong Ku sangat terbuka dan ceria, sifatnya kebalikan dari Hong Kie.
Orang yang bersifat sebalik-nya biasanya lebih akur dan akrab.
Tariannya memberikan kesan polos dan perasa-an senang.
Leng-ji bernyanyi pelan-pelan.
HongKu ikut bernyanyi.
Hong Kie tidak menari juga tidak bernyanyi, dia menikmati dalam diam.
Wie Kai memukul mangkuk dengan sumpit untuk dijadikan musik.
Mereka sudah lama tidak merasa sesenang sekarang.
Semakin menari Hong Ku semakin senang, karena dia adalah anak yang masih bertumbuh.
Gadis bermata besar memang tidak spesial, tapi bagi Hong Kie ini berbeda.
Tiba-tiba Hong Kie berlari dia menutup mulut Hong Ku.
Yang pasti menyuruhnya tidak bersuara lagi.
Mereka bertiga segera terpaku.
Hong Kie segera memadamkan api dengan kain usang.
Gerakannya cepat dan lincah.
Suasana menjadi tegang.
Suasana gembira tadi segera menghilang.
Burung yang tertidur di atas pohon karena terkejut dan segera terbang.
Rasa terkejut mencuat dari mata ke empat orang itu.
Kemarahan terlihat dari kerutan alis mereka.
Empat tangan kuat tidak sengaja memegang senjata masing- masing.
Sorot mata mereka sama-sama melihat ke arah pintu.
Sifat galak dan jahat seorang banci dirasakannya.
Di luar rumah kecil di mana tempat pemburu beristirahat muncul bayangan yang terus berkelebat.
Kadang-kadang terdengar suara baju yang mengenai pohon atau daun.
Masih bercampur dengan suara senjata yang dikeluarkan dari sarung.
Tiba-tiba pintu ditendang hingga terbuka.
Daun pintu terjatuh ke bawah.
Loo Cong berkelebat masuk.
Matanya terus melihat ke sekeliling.
Wajah yang kuat dan serius tampak sedikit mengendur.
Tidak lama kemudian putri Kao Tong masuk, dia bertanya.
"Bagaimana?"
"Kita terlambat sedikit, kemarin malam mereka masih di sini!"
Jawab Loo Cong. Dengan marah putri Kao Tong berkata.
"Mereka benar- benar licin!"
Dia masuk dan keluar lagi dari rumah itu, dia juga berusaha menguasai dirinya supaya tidak terlihat kalau dia terburu-buru.
Tapi perasaan yang bergejolak di dalam hati sangat sulit ditutupi.
Jika bisa ditutupi, pasti perasaannya tidak terlalu keras.
Loo Cong melambaikan tangan, dia membawa anak buahnya mencari ke sekeliling.
Putri Kao Tong masuk lagi ke dalam rumah itu.
Dia memeriksa ranjang sederhana itu dengan teliti.
Walaupun ranjang itu sangat sederhana tapi tetap sebuah ranjang.
Tempat orang tidur dan melakukan hal lain.
Tiba-tiba putri Kao Tong memungut sebuah jepit rambut dari atas ranjang itu.
Api kemarahan muncul lagi di matanya.
Tiba-tiba dia membenci ranjang itu, dengan golok beberapa kali dia menusuk ranjang itu.
Dia ingin menghancurkan ranjang itu.
Kemudian dia berlari keluar dengan marah melihat keadaan di luar.
Di sana ada kulit kelinci, tulang kelinci, serta kulit ular dan yang lainnya.
Tempat memanggang daging masih berasap.
Dia menepis jangka untuk membakar daging itu.
Melihat jepit rambut yang ada di tangannya, dia berkata.
"Kalian akan tahu rasanya!"
Jepit rambut ditekan menjadi beberapa bagi an.
Dia tidak ingin melihat bekas barang yang mereka tinggalkan, tapi dia ingin tahu sekarang mereka sedang apa? Bila laki-laki dan perempuan bersama, apa yang akan terjadi? Putri Kao Tong sendiri yang akan mengancam.
Saat dia bersama laki-laki dan laki-laki itu bukan Wie Kai pasti akan terjadi hal seperti itu.
Dia seperti mendengar tawa Wie Kai yang terlepas.
Dia berpikir Leng-ji tentu sedang dalam pelukan Wie Kai.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia berpikir lagi, mereka dengan tubuh telanjang mandi di sungai yang kecil itu.
Dia memungut batu besar lalu dengan marah melemparkannya ke dalam sungai.
Bayangannya yang terpantul di sungai itu jadi menghilang.
Loo Cong kembali lagi.
Dia membawa anak buahnya yang terdiri dari beberapa orang.
Kata Loo Cong.
"Saat kita akan kemari, Kong-kong berpesan bila di Tai- hong-san tidak mendapati jejak mereka, harap Putri kembali ke ibu kota. Biar kami yang akan mencari mereka."
Putri Kao Tong seperti tidak mendengar.
Dia menghentakkan kaki, membawa dua La-ma berjalan ke arah hutan.
Loo Cong tidak bergerak.
Dia melihat jepit rambut yang dihancurkan oleh putri Kao Tong.
Mo Ki-thian tidak bergerak.
Tapi apa yang dipikirkan Mo Ki-thian berbeda dengan Loo Cong.
Di tempat tidak begitu jauh dari sana, terdengar putri Kao Tong membentak.
"Keluar! Kalian tidak akan bisa kabur."
"Keluar... keluar... kalian tidak akan bisa kabur... tidak akan bisa kabur..."
Gema terdengar bergaung di mana-mana, lama baru menghilang.
Di lembah yang penuh dengan kabut, burung yang sedang tertidur sekali lagi beterbangan karena terkejut.
Matahari bersinar dengan terik.
Di gunung tidak ada angin.
Mereka berempat terus berjalan.
Hong Kie berjalanpaling depan.
Dia selalu menjadi orang yang pertama berjalan.
Karena refleknya cepat dan dia lincah.
Hong Ku berada di belakangnya.
Dari luar terlihat dia tidak begitu menghormati Hong Kie.
Tapi ini hanya terlihat dari luar saja, sebenar-nya sorot matanya tidak pernah meninggalkan Hong Kie.
Seperti Wie Kai dan Leng-ji.
Kalau bukan karena perasaan kuat seperti tiang yang menahan mereka, tidak ada orang yang berani melarikan diri dari Eng-hong-pie-ya.
Perasaan inilah yang membuat mereka ber-tahan dan membuat mereka berani menghadapi dewa kematian.
Seorang penebang kayu sedang memikul kayu.
Berjalan dari arah depan.
Hong Kie segera bersiap-siap.
Tangan yang memegang golok segera muncul urat hijau.
Orang yang ada di belakangnya ikut waspada.
Jalan di gunung sangat sempit.
Ke dua belah pihak berpapasan.
Berjalan dengan tempat yang pas-pasan.
Wie Kai tertawa kepada orang itu tapi tawanya tidak alami.
Penebang kayu itu sudah pergi jauh.
Wie Kai melihat Leng-ji.
"Hari-hari dilewati dengan sangat menarik!"
Kata Leng-ji.
"Maksudmu dengan sangat menarik?"
"Apakah kau sudah bosan melewati hari-hari seperti ini?"
"Apakah kau sendiri sudah bosan?"
Leng-ji tertawa, dia selalu baik dan lembut. Wie Kai benar-benar tidak tahu mengapa Leng-ji bisa masuk Li-goan, katanya.
"Leng-ji, bagaimana kalau kita mengobrol tentang dirimu?"
"Mengobrol tentang apa?"
"Banyak, satunya masa lalumu, aku pasti tidak akan bosan-bosan mendengarnya!"
Kata Wie Kai.
"Kau mau tahu tentang apa?"
"Coba ceritakan kehidupan di Li-goan!"
Tiba-tiba Leng-ji tertawa.
"Aku sama sekali belum pernah ke Li-goan."
"Apakah benar?"
Wie Kai terkejut.
"Ya!"
"Kau bukan Seebun Long?"
"Bukan!"
"Lalu siapa Seebun Long itu?"
"Aku tidak tahu!"
"Kau bohong!"
Wie Kai menepuk pundaknya.
"Aku serius!"
"Maksudmu, kau bukan Seebun Long juga tidak tahu siapa Seebun Long?" .
"Benar!"
"Apakah Seebun Long hanya sesosok bayangan bukan benar-benar ada?"
Leng-ji menggelengkan kepala.
"Dia benar-benar ada!"
"Hubunganku dengannya..."
"Kau dan dia tidak ada hubungan apa pun."
"Tidak, aku ingat kami mempunyai hubungan sangat dalam."
"Siau-kai, kau tidak mengerti."
"Aku memang tidak mengerti!"
"Tidak mengerti, jadi jangan sembarangan menebak,"
Kata Leng-ji.
"Tapi aku tidak bisa menyangkal mengenai hubungan dalamku dengannya!"
"Hubungan dalam?"
"Kau seperti ingin menyangkal hubunganku dengannya!"
"Kau hanya ingin bertanggung jawab saja!"
"Apakah salah kalau aku bertanggung jawab?"
"Kau tidak perlu bertanggung jawab, tapi kalau kau mau bertanggung jawab bukankah itu mubajir?"
"Aku tahu, kau hanya ingin aku melepas tanggung jawab ini."
"Kalau kau dan dia benar-benar mempunyai hubungan yang dalam, mengapa dia harus melepaskanmu?"
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"
"Sebenarnya itu adalah ilmu sihir dari Seng Yan-kong."
"Ilmu sihir dari India?"
"Sebenarnya ilmu dari Po-se!"
"Aku tidak mengerti!"
Kata Wie Kai.
"Maksud ilmu sihir ini adalah sebuah ilmu yang sangat dalam dan sulit dimengerti, memang ada yang mengatakan kalau itu sebuah ilmu sesat, tapi orang yang bisa ilmu ini benar-benar tahu kalau itu adalah sebuah ilmu tinggi dan sulit dimengerti. Ada teori ada praktik, setelah menguasai ilmu ini dia bisa membuat orang melakukan hal yang ingin dia lakukan tidak peduli apa pandangan orang lain!"
"Mengapa Seng Kong-kong melakukan ini?"
"Seng Yan-kong ingin membangun inti kepemimpinan dan orang-orang ini akan setia kepada-nya!"
"Siapa mereka ini?"
"Yang pasti kau, aku, Loo Cong, dan Mo Ki-thian, dan di kita, kau dan Loo Cong yang dianggap paling penting."
"Mengapa?"
"Karena selain Seng Kong-kong, kalian berdua mempunyai ilmu silat yang paling tinggi."
"Ilmu silatmu juga lumayan."
"Tapi dia memandang remeh perempuan."
"Mungkin bukan memandang remeh, tapi karena sombong dan selalu merasa rendah diri."
"Singkat kata, dia sangat memandang penting kau dan Loo Cong, tapi kau berada dalam hatinya, tidak seperti Loo Cong yang bisa dipercaya."
"Dia merasa aku tidak bisa dipercaya?"
"Bukan tidak bisa dipercaya, hanya saja kau tidak seperti Loo Cong begitu jujur dan setia."
Wie Kai tertawa.
"Apakah kau tidak percaya?" ^ "Aku percaya maka aku kagum terhadap ilmu pengetahuan orang yang dikuasainya."
"Siau-kai, kau tidak jujur, kau mengatakan sebaliknya."
"Kadang-kadang mengatakan sebaliknya bukan kah sama dengan menghibur diri?"
"Seng Yan-kong menjadikanku sebagai umpan untuk menguji dirimu, dia mencari perempuan yang mirip denganku, orang itu pemain opera karena dia mirip denganku, ditambah sikapmu hangat kepadaku ada kemauan dan khayalan, dia memakai ilmu sihir Seng Yan- kong, kau menganggap Seebun Long adalah aku, Sangguan Siau-liong dianggap sebagai putramu, dan kau juga mengira ada hubungan khusus dengan Seebun Long!"
Wie Kai terkejut. Sejak di panggung eksekusi lehernya terkena air, dia segera jadi teringat semua, rupanya air itu di-beri obat penawar. Tiba-tiba Wie Kai meloncat dan tertawa terbahak-bahak.
"Ada apa denganmu?"
"Apakah kau tidak mengerti mengapa aku begitu senang?"
Leng-ji menggelengkan kepala.
"Kalau aku benar-benar mempunyai hubungan spesial dengan Seebun Long, apakah aku masih layak bersama denganmu?"
"Kalau kau benar-benar mempunyai anak, apakah aku akan merusak perjodohan orang lain?"
Wie Kai menepuk-nepuk dahinya.
"Tidak seperti itu!"
"Tidak, sama sekali tidak!"
"Terima kasih, Tuhan! Aku seperti bermimpi buruk, setelah terbangun jadi merasa sangat beruntung, ternyata hanya mimpi buruk, bukan sebenarnya!"
"Tapi paling sedikit membuktikan kalau hatimu berwarna-warni!"
"Leng-ji, aku hanya menganggapnya dirimu, kalau Siau- liong adalah putra kita, itu akan sangat baik bukan?"
Leng-ji tidak bersuara.
"Tapi kalau benar-benar ada Siau-liong, saat ini kau akan tersiksa! Bagaimana pendapatmu?"
"Paling sedikit lebih baik dibandingkan berada di Eng- hong-pie-ya, sekarang kita bisa secara terang-terangan bersama!"
"Aku merasa tidak enak hati!"
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sendiri rela, untuk apa kau harus merasa tidak enak hati?"
"Aku merasa tidak enak hati justru karena kerelaan hatimu itu!"
Ada sebuah sungai yang menghadang jalan. Hong Kie menarik Hong Ku meloncat bersama-sama. Sebelum turun HongKie mencium HongKu. Setelah turun Hong Ku tertawa sambil marah.
"Apakah kau melihatnya?"
Tanya Wie Kai dari belakang.
"Aku lihat!"
Jawab Leng-ji.
"Apa pendapatmu?"
"Gambaran yang sangat indah!"
Di sini adalah sebuah rumah makan islam.
Mungkin rumah makan itu sudah lama berdagang di sini.
Plang toko sudah menghitam dan hurufnya pun sudah tidak bisa jelas.
Karena rumah makan itu ada tungku untuk memanggang daging, maka di sana sini tampak banyak jelaga.
Tampaknya rumah makan itu memang harus hitam, hitam mengkilat baru nyata, kalau rumah makan itu sudah lama dibuka.
Bangku dan kursi pun tampak hitam mengkilat.
Hanya sarang laba-laba yang ada di bawah genting sudah menjadi seuntai debu hitam, bila tertiup angin tampak melayang-layang.
Di dinding ada catatan menu sayur beserta harganya, ditulis dalam bahasa bangsa Hui, tapi sudah tidak bisa terlihat jelas karena sudah menghitam.
Tamu yang datang sangat banyak.
Koki sedang memotong daging, gerakannya cepat.
Cara memotongnya pun sangat cepat.
Hanya sebentar dia sudah memotong daging ayam, bebek, sapi, dan kambing yang diminta tamu, dan beratnya tidak perlu ditimbang.
Dia tidak akan memberikan timbangan yang kurang, hingga tamu marah-marah, yang pasti dia juga tidak akan memberikan timbangan lebih bisa membuat majikan rumah makan rugi.
Tamu mengelilingnya untuk mengambil daging.
"Aku seperempat kati, aku setengah kati!"
Suara itu terus terdengar.
Sepertinya mereka tidak perlu membayar.
Ada daging yang sudah dipotong tipis-tipis, setelah makan mereka merasa puas.
Orang-orang di sana bersifat sangat terbuka serta kasar.
Tungku untuk memanggang daging bermotif Mongolia, besar seperti gilingan beras.
Di bawah tampak api besar.
Di atasnya tampak orang sedang memanggang daging masing-masing.
Pelayan sibuk mengantarkan arak, hingar bingar dan sibuk seperti di sebuah pasar.
Hong Kie dan Hong Ku masuk.
Mereka melihat sebentar, lalu mencari tempat dipojok dan duduk.
Mereka hanya melirik, tapi tahu apakah akan ada orang yang sedang memperhatikan mereka.
Wie Kai dan Leng-ji sudah masuk.
Mereka duduk di sisi Hong Kie dan Hong Ku.
Hong Kie dan Hong Ku pergi untuk memanggang daging.
Di atas tungku terus terdengar bunyi sendok juga bunyi bumbu yang terbakar api Asap dari tungku dan asap dari daging menu-tupi toko daging bakar itu.
Orang yang agak pendiam mungkin tidak akan bisa makan dengan situasi tidak sedap ini.
Ada orang berjongkok di atas bangku untuk makan.
Ada lagi orang yang mengobrol dengan suara besar tentang kejadian yang dia alami semalaman di tempatpelacuran.
Wie Kai tertawa kepada Leng-ji.
Leng-ji mengerutkan alis.
"Jangan begitu, sebenarnya orang-orang ini sangat manis!"
"Manis?"
"Betul, mereka terus terang dan jujur, ada apa bicara apa, tidak ada yang ditutup-tutupi, lebih-lebih tidak perlu menyusun kalimat dulu baru bicara!"
"Kalau di rumah makan Tiang-an tiba-tiba datang seseorang yang telanjang, dan dia datang dari jaman primitif, apakah kau masih akan merasa kalau mereka manis?"
"Lucu juga!"
Kata Wie Kai. Dengan penuh perhatian Leng-ji menatapnya. Hong Kie dan Hong Ku datang membawa daging yang sudah matang. Lalu Wie Kai makan daging.
"Kau benar-benar cepat menyesuaikan diri!"
Mulut Wie Kai penuh dengan daging, dengan suara tidak jelas bertanya.
"Apa artinya?"
"Cara makanmu manis, sungguh mirip orang primitif!"
Jawab Leng-ji.
"Bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, itu sangat penting?"
Leng-ji mulai makan daging. Sambil makan dia terus melihat Wie Kai.
"Terus melihatmu, itu seperti tidak baik ya?"
"Mengapa?"
"Kau jarang melihatku!"
"Apakah itu penting?"
"Kata orang, bila seseorang terus melihat orang, berarti dia suka kepadanya!"
"Pantas ada orang yang terus melihatku."
"Siapa?"
"Pembunuh dunia persilatan!"
Hong Ku hampir memuntahkan makanannya.
Terlihat mereka seperti sedang asyik makan, tidak ada yang melirik ke pinggir.
Sorot mata mereka seperti tidak fokus, tapi sebenarnya mereka sedang memperhatikan tamu-tamu yang keluar juga masuk.
Walaupun tidak terlihat ada musuh, tapi mereka bisa merasakan, musuh tidak jauh dari mereka.
Mungkin sudah berada di dalam rumah makan itu.
"Aku tidak mau melihatmu sebab begitu melihatmu aku merasa berhutang banyak kepadamu!"
"Ada orang yang mengatakan kalau laki-laki dan perempuan sedang jatuh cinta akan merasa sedang berhutang, itulah suatu perasaan yang tidak bisa dikurangi!"
Jawab Leng-ji pelan-pelan. Wie Kai tertawa. Tiba-tiba Hong Kie dan Hong Ku bergerak. Mereka segera bersiap-siap. Sebuah tangan besar dan berbulu sedang menyodorkan cangkir ke depan Wie Kai.
"Lo-te!" (adik) kata orang itu. Begitu Wie Kai menoleh dia segera mengerti. Sebab dia bisa merasakan hawa membunuh yang keluar dari dirinya. Dia juga bisa membaca sorot mata pembunuh itu Ada bahasa tanpa suara.
"Bisa bertemu hari ini, kami sangat senang, ayo kita bersulang!"
Kata orang pertama.
Orang itu berhidung pesek, tidak beralis, 2 matanya seperti mata kambing mati, kalau malam hari melihatnya, akan mengira telah bertemu dengan vampir! Wie Kai dengan luwes menerima arak dari orang itu.
Dia tidak melihat siapa pun, tidak melihat Hong Kie, Hong Ku, juga Leng-ji.
Dia pura-pura sudah mabuk dan berkata.
"Oh... ini... terima kasih!"
Dia minum arak itu sekaligus. Kata pembunuh pertama dengan suara keras.
"Puas... puas sekali... lihatlah arak itu!"
Maksudnya dengan melihat arak itu, bukan lain menyuruh pelayan mengambil arak.
Orang pertama melemparkan cangkirnya, orang kedua menyambut dan melemparkannya kepada orang ke tiga.
Orang ke tiga melempar kepada orang ke empat dan seterusnya.
Tamu-tamu yang tidak ada hubungan dengan mereka, tiba-tiba seperti sudah ada kesepakatan.
Gelas dilempar hingga orang terakhir, meng-ajak bertaruh.
Arak yang dituang kembali dilempar.
Hong Kie dan Hong Ku sudah siap siaga.
"Permainan ini bukan permainan baru!"
Kata Wie Kai.
Cangkir arak sudah mendekati tangan orang pertama lagi.
Saat orang itu ingin menyambut cangkir arak, cangkir itu sudah berada di dalam tangan Hong Ku.
Tangannya panjang dan indah, cangkir arak berada di punggung telapaknya, arak sama sekali tidak tumpah.
Matanya yang seperti mata kambing mati itu mulai mengeluarkan urat-urat merah.
"Pedagang yang menjual grosiran datang mencari!"
Ada yang berteriak.
Semua orang itu tertawa terbahak-bahak.
Sekarang yang membuat mereka meneteskan air liur bukan karena daging yang ada di dalam piring melainkan dua gadis bermata besar yang datang dari luar daerah.
Sorot mata mereka terlihat merendahkan, Leng-ji dan Hong Ku merasa sorot mata mereka penuh dengan penghinaan dan cabul.
Hong Ku tahu hal ini sudah tidak bisa dihindari lagi.
Terhadap binatang-binatang ini mereka harus memperlihatkan kekuatannya.
Arak tetap berada di punggung telapak Hong Ku.
Dia melihat sekeliling kemudian membalikkan tangannya, cangkir arak masih berada di atas telapak-nya.
Punggung telapak tetap menghadapi ke atas, arak tidak ada yang menetes.
Ada yang berseru, ada yang berteriak, itu adalah ilusi.
Orang pertama tertawa dingin.
"Bukan ilmu yang bagus!"
Orang kedua ikut berteriak.
"Betul! Tidak bagus, bagaimana ilmu di atas ranjangnya?"
Tangan Hong Ku bergetar, secangkir arak terbang ke arah tungku. Tungku segera mengeluarkan api dan asap hijau.
"Kalian mau apa?"
Teriak Hong Ku.
"Hanya ingin menyaksikan ilmu silat dari Eng-hong-pie- ya!"
Kata orang pertama tertawa dingin.
"Apakah kalian benar-benar mau melihat?"
Tanya Hong Ku. Puluhan orang segera mengeluarkan senjata.
"Di sini tidak leluasa!"
Kata Wie Kai. Semua orang itu pelan-pelan mendekat. Seperti sekelompok serigala lapar, dengan lidah terjulur maju mendekati mereka.
"Kalian dari perkumpulan mana?"
Tanya Hong Ku.
"Jangan banyak tanya, setelah kami mendapatkan emasnya, baru kami akan memberi kalian kemudahan!"
Jawab orang pertama. Hong Kie sudah bersiap-siap akan menyerang.
"Ayo kita pergi..."
Ajak Leng-ji.
Dia sudah meloncat.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ilmu meringankan tubuhnya berada di bawah Wie Kai, tapi gerak tubuhnya yang indah tidak bisa di tandingi Wie Kai.
Suara terkejut dan teriakan terdengar.
Leng-ji mengganjal kakinya ke atas tungku, kemudian keluar dari rumah makan itu.
Tungku panas tapi seperti tidak mengeluarkan asap sedikit pun.
Ada yang berteriak.
"Jangan biarkan mereka kabur!"
Wie Kai pun ikut menumpu kakinya ke atas tungku lalu meloncat keluar.
Hong Kie dan Hong Ku menyusul.
Dari kelompok lawan ada yang berteriak 'bagus' saat melihat ilmu meringankan tubuh itu.
Tapi dari pihak lawan juga ada pesilat tangguh.
Mereka mengikuti cara Wie Kai keluar dari tempat itu.
Dia adalah orang pertama.
Orang kedua dan ketiga segera mengikuti.
Tapi ada yang ilmu meringankan tubuhnya kurang bagus, saat menginjak tungku, dia terpeleset karena di sana banyak minyak dan dia pun terjatuh.
Tungku mengeluarkan asap hijau.
Orang itu berteriak dan meloncat.
Tapi sepatunya tampak sudah berasap, dia jatuh di depan pintu.
Setelah itu tidak ada yang berani mengikuti cara ini lagi.
Mereka keluar dari pintu utama.
Di sini adalah rumah yang jarang dipakai.
Lama tidak dipakai maka di mana-mana ter-cium bau apak! Rumah tidak beratap, pintu dan jendela sudah lama menghilang.
Rumput tumbuh tinggi memenuhi pekarangan.
Di sini sangat cocok untuk membunuh orang.
Bagi orang yang akan dibunuh, tempat ini pun merupakan tempat yang bagus.
Paling sedikit anjing yang kelaparan tidak akan datang kemari.
Leng-ji datang lebih dulu, dia berhasil melukai 4 orang.
Awalnya Leng-ji tidak ingin membunuh, tapi lawan tidak mau mengalah, jurus-jurus mereka pun penuh dengan kecabulan, terpaksa Leng-ji melukai orang.
Sekali golok menyapu, ada yang meneteskan darah.
Golok menyapu miring lagi, satu orang terkena sabetan lagi.
Dua orang mundur, tiga orang datang lagi.
Begitu Wie Kai keluar, 6 orang sudah menunggunya.
Kipas besar bergerak menutup dan membuka, ada seorang yang tertendang.
Yang satu lagi wajahnya tergores.
Dia meloncat dan menendang ke pinggir.
Dua orang wajahnya tertendang.
Hong Kie dan Hong Ku pun ikut bekerja.
Tapi Wie Kai berkata.
"Sudahlah! Mereka hanya orang yang melihat uang, tidak bisa membaca Hong-sui!"
Maka Hong Kie dan Hong Ku memasukkan golok dan pedang ke dalam sarungnya. Mereka berempat memang sangat kompak. Wie Kai sengaja membiarkan dirinya dirangkul oleh salah satu pembunuh dari belakang, lalu berteriak.
"Tolong!"
Tiba-tiba tubuhnya membungkuk, memegang pergelangan tangan lawan, lalu dilemparkan ke atas atap, atap yang sudah usang segera ambruk.
Hong Ku meloncat, mengganjal seorang pembunuh lalu menendang kepalanya.
Orang yang ditendang segera roboh.
Kemudian dia meloncat lagi ke arah yang lain, dengan cara sama membuat orang itu roboh.
Hong Kie seperti sedang melatih kepalannya.
Suara PAK, PAK, PAK terdengar.
Semua yang terkena sudah tersungkur.
Tapi orang pertama masih tidak terima, karena dia ingin mendapatkan hadiah besar, maka dia harus melakukan sesuatu.
Tiba-tiba dia menembakkan Piauw berbentuk bintang.
Wie Kai pun tersungkur ke bawah.
Orang pertama mengira dia berhasil maka berteriak.
"Kita harus lebih gesit, supaya mendapat emas lebih banyak, maka akan ada harapan..."
Tapi tiba-tiba Wie Kai bangun, kedua tangan-nya melayang.
' Lima Piauw berbentuk bintang sudah dilemparkan kembali.
Orang pertama kabur.
' Begitu dia kabur yang lain pun ikut kabur.
Tampaknya puluhan ribu tail emas sudah tidak ' diharapkan lagi.
Mereka hanya pembunuh pasaran, sekarang mereka bubar.
Tiba-tiba pundak belakang Wie Kai ada yang menepuk.
Dia membalikkan tubuh dan bersiap.
Ternyata tangan itu milik Leng-ji.
"Jangan melihatku seperti melihat musuh!"
Katanya Belum lagi Wie Kai tertawa, dari luar dinding ada orang yang tertawa.
Tawa ini tidak di kenal.
Mereka berempat terkejut dan menoleh.
Seorang pria setengah baya, berbaju mewah tampak muncul, pinggiran baju dan topinya tidak di-lipat, juga tidak sobek.
Orang ini membawa 5 laki-laki yang terlihat sangat kekar, mereka bukan orang biasa.
Ternyata dia adalah Put-pian-yan-gwa (Harta-wan tidak terbatas).
Dari baju aneh orang itu sudah bisa ditebak identitasnya.
Tentu orang itu punya nama besar.
Bukan seperti orang-orang primitif itu.
Put-pian-yan-gwa berkata sambil tertawa.
"Dua pentolan dari Eng-hong-pie-ya, memang bukan orang biasa!"
Hong Kie sudah bersiap-siap akan menyerang.
"Hong Kie!"
Leng-ji menghadang Hong Kie dan berkata lagi.
"Put-pian-yan-gwa, apakah kau mau ikut campur urusan rumah tangga Eng-hong-pie-ya?"
"Kalau tidak, namaku tidak akan disebut Put-pian-yan- gwa! Apa lagi Seng Kong-kong sudah menyebarkan undangan, ingin menutup sebelah mata pun sudah tidak bisa!"
Hong Kie dan Hong Ku tertawa dingin.
Mereka benci melihat orang dunia persilatan mengambil kesempatan saat orang sedang mengalami kesulitan.
Buat orang dunia persilatan yang sudah punya nama besar, itu tidak akan jadi masalah, Tapi jika dalam keadaan seperti itu ada orang yang tidak ingin mengambil keuntungan, itu benar-benar adalah orang yang terhormat, Emas berharga.
Budi pekerti dan harga diri tidak berharga, Banyak orang dengan barang tidak berharga menukarnya dengan barang berharga.
Mereka tidak tahu kalau itu akan merugikan.
...............................................
Kata Wie Kai dengan luwes.
"Kami sedang melarikan diri, maka kita akan pergi!"
Hong Ku sudah tidak sabar.
"Siau-kai, aku ingin mencoba ilmunya, apakah dia adalah Yu-pian atau Put-pian?"
Wie Kai menggoyangkan tangannya dengan tertawa menghadang.
"Diterima, disembunyikan, ditangkap hidup-hidup atau menyerahkan mayat kalian, silakan kalian pilih sendiri!"
Kata Put-pian-yan-gwa. Wie Kai merentangkan tangannya lebar-lebar. Hong Kie sudah mencabut pedangnya.
"Aku akan membuatmu tidak bisa meraba peti matimu!"
Kata Hong Ku.
"Serang!"
Teriak Leng-ji.
Awalnya Leng-ji dan Hong Ku menghadapi Put-pian- yan-gwa.
Wie Kai dan Hong Kie tidak butuh banyak waktu sudah membereskan 2 anak buah Put-pian-yan-gwa.
Sisa tiga orang masih bisa menahan beberapa kali.
Mereka sangat kompak dalam menyerang musuh.
Kadang Wie Kai menyerang musuh pertama.
Begitu bertukar pandangan, mereka menyerang lagi.
Leng-ji dan Hong Ku di sana terpaksa harus mengeluarkan senjata mereka.
Leng-ji mengandalkan ilmu meringankan tubuh nya menyerang bagian atas musuh.
Hong Ku dengan ilmu pedang yang ganas menyerang bagian bawah.
Terlihat Put-pian-yan-gwa bukan hanya nama saja.
Sebenarnya orang itu lumayan terkenal dan namanya pun tidak buruk.
Tapi mengapa hari ini dia ingin mengambil keuntungan dengan memancing di air keruh.
Wie Kai dan Hong Kie mulai serius.
Walaupun 5 anak buah Put-pian menyerang dengan ganas tapi mereka tetap bisa ditahan.
Wie Kai sudah berlari ke arah Put-pian-yan-gwa.
Hong Kie menyusul dari belakang.
Put-pian-yan-gwa hanya menerima 5-7 jurus tapi tidak kalah.
Tiba-tiba dia naik ke atas dinding dan berkata.
"Anak-anak, pergilah dulu!"
Anak buahnya kalang kabut meloncat melewati dinding lalu pergi.
Hong Kie dan Hong Ku ingin mengejar karena mereka merasa tidak terima.
Mereka tidak percaya dengan bergabungnya 2 orang tidak bisa mengalahkan Put-pian-yan-gwa.
Tentu saja pikiran mereka sangat masuk akal.
Put-pian-yan-gwa sangat mengetahui kekuatan orang Eng-hong-pie-ya.
"Jangan kejar aku, cepat lari selamatkan nyawa kalian!"
Dia pun terbang pergi.
Percaya atau tidak, itu adalah hal lain.
Put-pian-yan-gwa sudah memperagakan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.
Di ketinggian 7 tombak pertama dia meloncat kemudian terbang dengan miring lalu berguling-guling seperti burung elang.
Sangat indah juga terlihat sangat santai.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedikit pun tidak terbawa emosi.
Tinggi atau rendahnya ilmu meringankan tubuh bisa terlihat jelas di sini.
"Put-pian adalah Put-pian!"
Kata Wie Kai.
"Bagaimana kalau dia terus mengganggu kita?"
Tanya Leng-ji.
"Tidak akan!"
Jawab Wie Kai.
"Kalau dia melakukannya, bagaimana?"
Wie Kai tertawa dengan santai. Giginya yang putih dan rapi terlihat jelas, dia berkata.
"Kita akan membuatnya menjadi Yu-pian!" (ada batas). Leng-ji dan Hong Ku tertawa. Di hari-hari yang menyedihkan dan sulit Wie Kai tetap tidak berubah dengan sifat cerianya.
"Apakah kalian tahu, mengapa Put-pian-yan-gwa tiba- tiba pergi?"
Tanya Wie Kai.
"Dia tahu kalau lama-lama bertarung dia akan kalah!"
Jawab Hong Ku. Wie Kai menggelengkan kepala.
"Dia ingin mencoba kekuatan kita,"
Jawab Leng-ji.
"Tidak,"
Ucap Wie Kai.
"dia datang ingin melihat Leng- ji!"
"Melihatku?"
"Benar!"
"Mengapa dia ingin melihatku?"
"Semua orang yang sudah mempunyai nama di dunia persilatan akan tahu kalau di Eng-hong-pie-ya ada seorang gadis bernama Leng-ji, gadis tercantik di dunia ini, maka tidak ada orang yang ingin melepaskan kesempatan ini,"
Jawab Wie Kai.
"Sialan! Sialan! Kau ganti pembicaraan saja!"
"Nona, mungkin kata-kata Siau-kai benar, tapi mengapa Siau-kai bisa tahu?"
Tanya Hong Ku.
"Orang yang bisa membaca buku tidak ber-huruf, dia akan mendapatkan kalimat yang bisa mengejutkan orang, bisa menjawab pertanyaan sulit, maka bisa dikatakan dia orang yang paling pintar."
"Kau sudah menjadi setengah manusia setengah dewa, tinggal menunggu terbang!"
Kata Leng-ji tertawa.
Matahari akan terbenam terlihat sangat indah.
Cahaya matahari seperti memoles gunung menjadi warna kuning emas.
Sebuah kereta dengan roda kayunya berjalan dengan pelan di jalan gunung.
Dua keledai kurus menarik kereta itu terlihat ngos- ngosan.
Kusirnya adalah seorang laki-laki berumur 40 tahun lebih.
Leng-ji dan Wie Kai duduk di dalam kereta.
Wie Kai setengah berbaring.
Leng-ji bersandar di pundaknya.
Leng-ji sedang memainkan rambutnya sendiri.
Mereka berdua sedang memikirkan masalah mereka.
Suara kereta yang berderit terus berbunyi.
Sangat pelan membuat orang menjadi cemas.
Di depan kereta duduk Hong Kie dan Hong Ku.
Hong Kie melihat Hong Ku yang duduk di sisinya.
Tiba-tiba Hong Ku melihat Hong Kie, dia melotot dengan mata besarnya.
"Mengapa melihatku?"
"Bagaimana kalau tidak ada orang yang mau melihatmu?"
"Aku tidak peduli!"
Hong Kie menatap lurus ke depan, pelan Hong Ku bertanya.
"Apakah kau marah?"
"Tidak, aku tidak akan marah kepadamu!"
"Belum tentu, sewaktu aku bersumpah tidak akan berbisnis tanpa modal, aku mengulanginya lagi, aku marah besar!"
Kata Hong Ku.
Hong Kie terdiam.
Memang mereka jarang mengobrol aejak sekarang tapi mereka saling mengerti.
Di dunia ini orang yang paling mengerti Honf Kie adalah Hong Ku.
Dan orang yang paling mengerti Hong Ku adalah HongKie.
Leng-ji menatap Wie Kai lagi.
Tapi Wie Kai tidak balas menatapnya.
Melihat keadaan itu Hong Ku benar-benar merasa karena nonanya diperlakukan tidak adil.
Tapi dia sangat menghormati Wie Kai, maka ia hanya membalikkan kepala dengan sekuat tenaga Leng-ji membereskan rambut di cambang Wu Kai dan bertanya.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Coba kau tebak?"
"Arak atau makanan enak?"
Wie Kai menggelengkan kepala.
"Aku sedang berpikir, bagaimana bisa membuatmu menjadi dewi?"
"Menjadi dewi?"
"Betul! Sebenarnya kau bisa menjadi dewi!"
"Di tempat tinggi sangat dingin, aku tidak mau menjadi dewi!"
"Bila kau sudah menjadi dewi, kau tidak akan selalu merasa khawatir!"
"Sekarang pun aku tidak merasa khawatir."
"Leng-ji, alismu memberitahuku kalau saat ini kau sedang merasa khawatir."
"Kalau begitu, biar aku menjadi dewi! Kalau kau, kau ingin menjadi apa?"
"Aku? Aku tidak takut mati setelah kenyang makan sinar matahari dan bulan, aku akan menjadi kuat dan tidak tembus senjata apa pun, aku akan men-dapat obat dewa dan menyerah ke dalam tanganmu!"
Leng-ji melihatnya.
Wie Kai pura-pura memberi obat dewa kepadanya dan Leng-ji pun pura-pura menerimanya.
Mereka saling memandang dan pelan-pelan mendekat.
Kesulitan ini benar-benar membuat hubungan mereka lebih dekat, lebih tenang, juga lebih kuat.
Dua bibir menempel menjadi satu, tiba-tiba kereta bergoyang dengan kencang.
Setelah bergoyang kereta menjadi miring.
Leng-ji dan Wie Kai berpegangan tangan lalu terbang keluar kereta.
Hong Ku dan Hong Kie juga meloncat.
Ternyata sebuah roda telah terlepas dan menggelinding turun ke bawah gunung.
Kereta pun terguling.
Kusir terjatuh, keledai terkejut lalu meringkik.
"Apakah kau terluka?"
Tanya Wie Kai. Kusir merangkak berdiri.
"Tidak, tapi keretanya hancur! Apa boleh buat!"
Matahari sudah terbenam. Malam akan datang.
"Keretamu adalah kereta tua!"
"Nona, bukan karena keretanya tua melainkan jalannya terlalu kecil dan penumpang terlalu banyak."
Leng-ji menarik nafas.
"Bagaimana kalau kita cari tempat untuk beristirahat?"
Kusir menuntun 2 ekor keledainya. Wie Kai dan Leng-ji menunggang keledai itu. Tapi Wie Kai menunggang dengan posisi terbalik, wajahnya menghadap ke belakang.
"Aku benar-benar iri kau bisa selalu ceria!"
Kata Leng-ji.
"Aku lebih iri kepadamu!"
"Aku?"
"Benar!"
Jawab Wie Kai.
"kau mempunyai seseorang yang ceria yang menjagamu sedangkan aku tidak!"
Leng-ji tertawa. Dia tahu kalau cara duduk Wie Kai seperti itu karena dia sedang mengawasi keadaan musuh. Kusir berjalan sambil berkata.
"Di sebelah kiri ada toko, sampai di sana jangan berteriak, jangan cerewet, uang disimpan baik-baik jangan sampai terlihat oleh orang lain. Apa yang mereka minta turuti saja, kau harus pintar!"
"Benar, Lo-heng, kau punya banyak pengalaman!"
Kata Wie Kai.
"Kalian benar-benar tidak salah mencari orang, aku menjadi kusir sudah 20 tahun lebih..."
Di depan sepertinya ada toko.
Di toko terdapat lampu.
Di sini seperti banyak orang mengawasi.
Ada beberapa orang yang baru lewat.
Tentu saja semua ini tidak bisa membohongi Wie Kai dan lain-lain.
Sudah 20 tahun lebih bekerja seperti ini tapi kusir itu tetap tidak sadar.
Dia seperti tidak salah mencari orang bukan Wie Kai yang tidak salah mencari orang.
Api di tungku sangat besar.
Di toko itu duduk berbagai macam laki-laki.
Lo-pan-nio (Majikan perempuan) duduk di depan kasir dia melihat Wie Kai, Leng-ji dan Dua Hong.
Dia ingin tahu siapa tamunya itu, menduga siapa tamunya adalah sebuah kenikmatan.
Walaupun dia perempuan tapi dia perempuan yang sudah banyak melihat.
Dia pernah melihat banyak laki-laki kasar dan ceroboh.
Dia juga pernah melihat orang jahat dari dunia persilatan..Tapi dia belum pernah melihat ada perempuan begitu cantik.
Seorang perempuan bertemu dengan perempuan cantik lainnya akan membandingkan dirinya dengan perempuan yang ditemuinya.
Biasanya dia akan memberi nilai lebih tinggi untuk dirinya.
Dia akan mencari alasan tepat mengapa mem-beri nilai lebih tinggi.
Seperti Lo-pan-nio itu, dia mengaku dia tidak bisa dibandingkan walau memberi nilai lebih tinggi pun tidak akan ada gunanya.
Kata Kusir pelan-pelan.
Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di meja sana ada 5-7 orang, mereka adalah penjahat... di sebelah sana penjudi... yang lainnya pengangguran... tukang pukul..."
Begitu melihat, terlihat wajah dan pembicaraan mereka, siapa mereka sebenarnya.
"Jangan layani mereka, apa yang mereka kata-kan kita pura-pura tidak mendengar!"
Pesan kusir itu.
Di meja bagian penjahat, seseorang melihat kedatangan Wie Kai dan Leng-ji, mereka seperti pencari pasir emas yang menemukan pertambangan emas.
Di tempat seperti ini melihat perempuan begitu cantik, pantas kalau mereka terkejut dan berteriak.
"Saudara-saudara, lihatlah!"
Semua penjahat itu berbarengan melihat. Seseorang berputar untuk melihat. Leng-ji dan Hong Ku sedang menundukkan kepala untuk makan.
"Yang besar bagianku,"
Kata penjahat pertama.
"Yang kecil milikku!"
Kata penjahat ke dua. Penjahat ketiga ikut bicara.
"Besar atau kecil, semua akan kumakan!"
Mereka tertawa cabul.
Wie Kai dan Leng-ji saling berpandangan, orang lain sangat sulit mengerti apa yang mereka tertawakan.
Orang-oran yang sedang sibuk berjudi mulai bereaksi.
Penjudi pertama meninggalkan meja judi.
Dia membuka mulurnya yang semua giginya kuning, dia berjalan ke depan meja Wie Kai dan Leng-ji lalu berkata.
"Main-main, ayo kita main judi, malam tidak ada pekerjaan, mari kita main judi!"
Mereka bertiga tidak melayani, dia tetap makan kacang.
Hanya Hong Kie yang melihatnya.
Pejudi pertama ini mengira Hong Kie tertarik.
Sebenarnya orang yang senang berjudi bukan demi uang, mereka berjudi karena mereka suka suasana seperti ini, merekahanya berjudi dan berjudi, Apa lagi setelah melihat banyak macam alat judi selalu ingin mencobanya.
Penjudi pertama mendekati Hong Kie.
"Mari, mari, kakak ini.
"
Hong Kie melihatnya dan tetap diam.
Dia jarang mengeluarkan suara, Saat dia melihat orang itu, seperti tukang jual membeli binatang, meneliti gigi dan 4 kaki binatang itu, bisa memastikan umur bintang itu apakah binatang ini adalah binatang yang sehat.
Hong Kie selalu melihat lebih dalam terhadap segala sesuatu.
Kata penjudi pertama itu lagi.
"Mari, mari, tidak perlu sungkan, semua masa-lah hanya awalnya, kalau kalah paling-paling kalah uang. Uangnya adalah cek, yang keras adalah uang, semua berada di sakumu..."
Mata Hong Kie sama sekali tidak berkedip, dia tetap melihat pejudi itu.
Orang itu merasa dia tidak berbuat kesalahan.
Dia merasa dirinya tidak bersalah maka dia mulai merasa risih.
Melihat sorot mata orang itu.
Seperti sedang berada di toko barang
Bulu Merak -- Gu Long Pedang Inti Es Karya Okt Pendekar Baja -- Gu Long