Pendekar Cacad 13
Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 13
im-sicu berkata demikian, rasanya aku si Hwesio tua bertiga tidak boleh cuma berpeluk tangan belaka."
"Soal dendam dan permusuhan yang terjalin di antara kita, sesungguhnya kau harus sudah mulai melancarkan serangan sejak tadi,"
Jengek Sim Tiong-kiu dingin.
Sembari berkata, Sim Tiong-kiu mengulap tangan kirinya ke tengah udara.
Tiga belas orang yang selama ini berdiri mengepung arena itu serentak menyiapkan tombak dan bergerak mempersempit kepungan mereka.
Biarpun langkah ketiga belas orang berbaju hitam itu dilakukan sangat lambat, akan tetapi Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu paras mukanya berubah hebat.
Ternyata dia telah mengetahui ketiga belas orang berbaju hitam yang bersenjata tombak itu rata-rata memiliki kepandaian yang sangat tinggi, bahkan kemampuan mereka rasanya tidak di bawah kemampuan seorang tokoh Bu-lim.
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak ...
dia tahu dalam pertarungan malam ini, sukar bagi pihaknya untuk mengungguli lawan, berarti satu-satunya jalan yang tersedia bagi pihaknya adalah berusaha meloloskan diri dari kepungan.
Berpikir sampai di sini tiba-tiba Bong Thian-gak berbisik kepada Ang Teng-siu.
"Ang-huhoat, dengarkan, tatkala aku menyerang Si-hun-mo-li nanti, kalian harus menghimpun segenap kekuatan untuk melindungi aku agar lolos dari kepungan."
Baru saja perkataan itu selesai, mendadak tampak Sim Tiong-kiu dan Ji-kaucu telah mengundurkan diri ke arah timur, sebagai gantinya ketiga belas orang berbaju hitam bertombak itu membentuk sebuah barisan yang sangat aneh dan mengepung para jagoan di tengah gelanggang.
Mendadak Ji-kaucu yang telah berada di luar arena berteriak aneh.
"Mo-li, mengapa kau tak mengundurkan diri?"
Teriakan itu diutarakan dengan suara tinggi melengking dan menusuk pendengaran, diutarakan dengan sangat lamban.
Tatkala mendengar suara itu, bagi Si-hun-mo-li seruan itu seakan-akan mengandung daya iblis yang luar biasa, sekujur badannya gemetar keras, dengan cepat dia membalikkan badan dan berjalan menuju ke arah Ji-kaucu.
Pada saat itulah tubuh Bong Thian-gak secepat sambaran kilat telah berkelebat ke depan dan mendorong tubuh Si-hunmo- li ke belakang.
Kini Pek-hiat-kiam telah disarungkan kembali.
Bong Thiangak dengan lengan tunggalnya yang lebih cepat daripada kilat dan lebih tajam daripada pedang telah menyambar ke muka.
Sementara itu telapak tangan kanannya sudah menyentuh tiga buah jalan darah penting di punggung Si-hun-mo-li.
Seruan tertahan bergema, jalan darah Mi-bun-hiat di punggung Si-hun-mo-li sudah kena terhajar.
Tapi pukulan itu tidak membuatnya tak sadarkan diri, setelah bergemanya jeritan kaget, Si-hun-mo-li membalikkan badan sambil melepaskan sebuah pukulan pula ke jalan darah Ciang-hiat di dada Bong Thian-gak.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Si-hun-mo-li sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan Hut-hiat-sengmeh- jiu-hoat yang dilepaskan olehnya, dalam tertegunnya lekas dia mengegos ke samping untuk menghindarkan diri.
Tentu saja serangan balasan Si-hun-mo-li mengenai tempat kosong, tapi dia pun segera melompat ke depan dan melayang pergi.
Dalam pada itu empat tombak panjang telah menusuk ke tubuh Bong Thian-gak.
Hong-kong Hwesio beserta kedua muridnya yang gagu dan tuli turut menerima serangan pula, sudah jelas para jago dikepung dalam pusat barisan tiga belas orang berbaju hitam.
Bong Thian-gak memang sudah mengetahui kelihaian ketiga belas orang baju hitam itu, bila mereka sampai terkurung dalam barisan itu, biarpun dia dan Hong-kong Hwesio belum tentu terkena musibah, namun para pelindung hukum perguruannya bakal menemui celaka atau tertumpas sama sekali.
Itulah sebabnya Bong Thian-gak segera membentak keras, secepat kilat tangan kanannya melolos Pek-hiat-kiam, lalu "Trang", percikan bunga api beterbangan ke empat penjuru.
Biarpun keempat tombak itu berhasil ditangkis ke samping, namun sebatang tombak yang lain meluncur ke punggung Bong Thian-gak dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya.
Sedemikian cepatnya tombak itu hingga pada hakikatnya hampir tiada orang yang bisa menghindarkan diri.
Ang Teng-siu yang berada di sisinya segera berteriak kaget.
"Hati-hati Buncu!"
Padahal teriakan Ang Teng-siu itu tidak ada gunanya, biarpun Bong Thian-gak bermaksud menghindar, namun sudah dapat dipastikan ia akan tewas di ujung tombak itu sejak tadi.
Kepandaian silat Bong Thian-gak benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan, tanpa berpaling lagi kaki kirinya maju setengah langkah ke samping, tombak tadi segera menyambar lewat dari bawah ketiaknya.
Jeritan ngerl yang memilukan hati segera berkumandang memecah keheningan, sebutir batok kepala orang berbaju hitam segera terbang ke udara.
Tapi dengan bergemanya suara jeritan itu, secara beruntun bergema pula empat kali jeritan ngeri dan dengusan tertahan lainnya.
Bong Thktn-gak memandang ke arena, ternyata empat orang pelindung hukumnya tertembus oleh empat tombak tajam pada bagian dadanya, darah segar segera berhamburan kemana-mana, jiwa mereka pun lenyap seketika.
Tak terlukiskan rasa kaget Bong Thian-gak, ia segera membentak.
"Ang Teng-siu, kalian tak usah bertarung lagi!"
Di tengah bentakan, Bong Thian-gak melompat mundur, pedang segera diayunkan membabat empat orang berbaju hitam.
Gerakan keempat orang berbaju hitam itu cepat tak terlukiskan, baru saja serangan Bong Thian-gak dilancarkan, tombak mereka sudah dicabut dari tubuh mayat, kemudian serentak diayunkan ke muka untuk menangkis datangnya ancaman pedang Bong Thian-gak itu.
Di satu pihak Bong Thian-gak terancam mara bahaya, di pihak lain Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya juga mengalami nasib yang sama, mereka menghadapi serangan demi serangan dari orang-orang baju hitam dan tombaknya yang menyerang secara gencar.
Sedemikian bertubi-tubinya ancaman yang datang, membuat ketiga orang itu hanya bisa menangkis belaka, pada hakikatnya sudah tidak memiliki kemampuan lagi untuk melancarkan serangan belasan.
Sesungguhnya kepandaian silat Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya sangat hebat, tenaga dalam yang mereka miliki pun mengejutkan orang, tapi serangan tombak musuh amat gencar, ini membuat suasana segera dikuasai lawan.
Jurus-jurus serangan tombak kawanan jago berbaju hitam memang hebat dan tangguh, serangan-serangan mereka atas lawan bukan serangan tunggal yang terpotong-potong, melainkan serangan berantai yang betul-betul hebat.
Setelah tusukan itu lewat, tusukan lain kembali meluncur datang dengan kecepatan tinggi, gerakan mereka yang berantai seakan-akan ada seribu batang tombak yang menyerang tiada hentinya.
Kepandaian silat yang dimiliki Bong Thian-gak termasuk amat lihai, seandainya dia berniat meloloskan diri dari kepungan musuh, hal itu dapat dilakukan secara mudah, tapi dia tak bisa berbuat begitu, dia wajib melindungi keselamatan jiwa keenam anak buahnya yang saat itu sudah terkepung di tengah barisan lawan.
Dalam sengitnya pertarungan yang sedang berlangsung, tiba-tiba Bong Thian-gak mengendus segulung bau harum yang aneh sekali.
Dengan terkejut dia pun segera berteriak.
"Hati-hati dengan racun jahat!"
Baru saja bentakan itu dikumandangkan, Ang Teng-siu berenam sudah bertumbangan ke tanah.
Hong-kong Hwesio dan muridnya turut sempoyongan pula seakan-akan setiap saat bakal roboh.
Dari luar lingkaran pengepungan, dengan cepat bergema gelak tawa menyeramkan dari Ji-kaucu, kemudian ia berseru penuh kebanggaan.
"Untuk membekuk kalian, merupakan pekerjaan yang amat mudah. Hahaha, sekarang seluruh halaman gedung ini telah dipenuhi oleh asap dupa beracun Khi-hiang-gi-tok, akan kulihat siapa lagi yang mampu meninggalkan halaman ini barang selangkah pun."
Sementara itu Bong Thian-gak telah menutup pernapasannya, tapi berhubung dia sudah mengendus segulung bau racun, benaknya mulai terasa kalut dan rasa pusing tiba secara bertubi-tubi.
Diiringi pekik nyaring yang menusuk pendengaran, Bong Thian-gak menghimpun tenaga dalamnya terus melejit ke udara, lalu dengan cepat dia menerjang keluar lingkaran pekarangan.
Bayangan orang segera berkelebat di udara, tiga orang berbaju hitam dengan menyilangkan tiga batang tombak menghadang jalan pergi anak muda itu.
Hawa napsu membunuh telah menyelimuti benak Bong Thian-gak sekarang, pedangnya kontan dibacokkan kian kemari.
Pek-hiat-kiam memancarkan cahaya tajam yang menyilaukan mata, hujan darah pun berhamburan.
Tiga sosok mayat orang berbaju hitam segera rontok dari tengah udara, sedangkan Bong Thian-gak sendiri juga ikut terjatuh.
Ternyata serangan pedang yang dilancarkan Bong Thiangak tadi merupakan serangan hawa pedang tujuh langkah melukai musuh, merupakan ilmu tingkat paling tinggi dalam ilmu pedang.
Begitu serangan pedang dilancarkan, biarpun ada seratus orang terkumpul dalam lingkungan tujuh langkah dari posisinya, semua akan tewas dengan kepala terpenggal dan darah bercucuran, kelihaiannya luar biasa.
Tapi ilmu pedang semacam ini juga boros dalam penggunaan tenaga dalam, itulah sebabnya Bong Thian-gak turut terjatuh.
Dengan mengendorkan hawa murni secara tiba-tiba, Bong Thian-gak kembali menghirup segulung udara.
Pada saat itulah Liu Khi yang berada di sisi arena berseru sambil tertawa.
"Kebenaran satu depa lebih tinggi, satu tombak lebih tebal, biarpun racun dupa harum Ji-kaucu sangat lihai, sayang sekali tidak manjur bagi orang she Liu."
Bong Thian-gak menyaksikan beberapa titik cahaya putih memancar dari tangan Liu Khi dengan kecepatan tinggi.
Dimana cahaya putih berkelebat, jeritan ngeri bergema susul-menyusul.
Dalam pada itu tubuh Bong Thian-gak sudah mulai gontai, namun dia masih dapat menyaksikan sisa kesembilan orang berbaju hitam itu satu demi satu terhajar golok terbang dan tergeletak di atas tanah.
Tenaga dalam Liu Khi yang begitu mengejutkan membuat Bong Thian-gak merasa terperanjat sekali.
"Hahaha, Liu Khi, sekarang tinggal kau seorang. Rasanya kau tak akan mampu menandingi kami, bukan?"
Liu Khi tertawa dingin, balasnya.
"Ji-kaucu, perhitunganmu salah besar, Toa-cengcu Kim-liong-seng-kiam-ceng Mo Huithian serta Han Siau-liong dari partai kami telah sehat walafiat kembali, kekuatan kami cukup untuk bertarung melawan kalian."
Ketika mendengar itu, Bong Thian-gak mendongakkan kepalanya, benar juga Han Siau-liong serta Mo Hui-thian telah bangkit semua. Sambil tertawa dingin Mo Hui-thian berkata.
"Sim Tiongkiu, Ji-gwat-soh-hun-ci (ilmu jari pengunci sukma) tak bisa membunuh orang. Hehehe, padahal kau terlalu percaya pada kemampuanmu sendiri, kau anggap Mo Hui-thian itu siapa? Memangnya bisa dibunuh oleh serangan jarimu itu?"
Sekarang Bong Thian-gak baru sadar bahwa Liu Khi dan Mo Hui-thian memang benar-benar mempunyai tujuan pribadi, rupanya dia dan Hong-kong Hwesio sekalian memang sengaja diatur agar bisa menahan kekuatan Put-gwa-cin-kau paling dulu, kemudian merekalah yang akan menjadi si nelayan mujur yang tinggal memungut hasilnya.
Kelicikan dan kemunafikan orang-orang di dunia persilatan memang sungguh menakutkan.
Secara lamat-lamat Bong Thian-gak menyaksikan pula bagaimana Liu Khi, Mo Hui-thian serta Han Siau-liong sekalian melangsungkan pertarungan sengit melawan Ji-kaucu dan Sim Tiong-kiu sekalian.
Sayang racun dupa sudah semakin menyerang kesadarannya, lambat-laun Bong Thian-gak mulai pudar kesadarannya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Bagaimana hasil pertarungan berdarah antara Liu Khi sekalian dengan Put-gwa-cin-kau? Tentu saja dia tak dapat melihat dengan mata kepala sendiri.
oo Angin berhembus kencang, putaran roda kereta bergema memecah keheningan.
Ketika Bong Thian-gak sadar dari pingsannya, dia lihat keempat anggota badannya sudah dirantai orang, rantai yang amat besar dan berat.
Kini dia sedang berbaring dalam kereta kuda yang gelap-gulita hingga tak nampak kelima jari tangannya.
Tatkala baru mendusin dari pingsannya tadi, Bong Thiangak merasakan sekujur badannya linu dan sakit.
Badannya terasa kaku dan kesemutan, maka itu dia berbaring saja tanpa bergerak untuk sementara waktu, telinganya menangkap suara derap kaki dan roda kereta, segera menyadarkan dia bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan.
Selang beberapa saat, Bong Thian-gak coba untuk menyalurkan hawa murninya mengelilingi badan, ternyata semuanya berjalan normal.
Semua ini membuat hatinya lega.
Dia mencoba untuk duduk, ternyata rantai yang membelenggu anggota tubuhnya diikat pada lantai kereta, karena itu biarpun dia bisa duduk tegap, namun sama sekali tak sanggup menggeser tubuh barang setengah langkah pun.
Dengan mengerahkan ketajaman matanya, Bong Thian-gak mencoba memperhatikan rantai yang besarnya seibu jari itu.
Dia tahu, dengan tenaga dalam yang dimilikinya sulit rasanya untuk mematahkan rantai itu.
Maka setelah menghela napas panjang, terpaksa dia hanya duduk tenang dalam kereta, pikirnya.
"Orang-orang Put-gwacin- kau berhasil membekukku, hendak dibawa kemanakah diriku?"
Membayangkan hal itu, tanpa terasa Bong Thian-gak memicing mata dan mengintip lewat sela-sela lantai kereta.
Yang terlihat olehnya hanya padang rumput yang sangat luas, tiada sesuatu yang aneh atau luar biasa sehingga timbul perasaan jemu bagi siapa pun yang melihatnya.
Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya, mengintip dari sudut lain.
Kali ini dia berhasil melihat kereta yang ditumpanginya dihela oleh enam kuda yang tinggi besar dan gagah, tampak di bagian kusir duduk tiga orang sais.
"Hei, mengapa aku tidak mencoba bertanya kepada mereka?"
Satu ingatan tiba-tiba melintas dalam benaknya.
Belum lenyap ingatan itu, suara bentakan bergema, menyusul terdengar pula suara ringkik kuda.
Kereta kuda yang sedang dipacu kencang itu seketika terhenti.
Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan pandangan matanya keluar celah-celah dinding kereta.
Mendadak dia saksikan dua titik cahaya putih menyambar datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Menyaksikan kedua titik cahaya itu, Bong Thian-gak menjadi amat terkejut, diam-diam dia berpekik dalam hati.
"Golok sakti berlengan tunggal!"
Ternyata dia mengenali kedua titik cahaya putih itu sebagai sambaran pisau terbang milik Liu Khi yang menggetarkan seluruh jagat.
"Bila pisau terbang Liu Khi sudah disambit keluar, sudah pasti kedua kusir di atas kereta akan tewas dalam keadaan mengerikan!"
Pikir Bong Thian-gak dalam hati. Kenyataan suasana di sekeliling tempat itu memang amat sepi dan hening. Tapi selang beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar suara Liu Khi.
"Kalian berdua bisa menghindarkan diri dari sambaran pisau terbangku, ini membuktikan ilmu silatmu pasti luar biasa, ayo cepat sebutkan siapa namamu?"
Bong Thian-gak terkejut bercampur keheranan setelah mendengar ucapan itu, pikirnya.
"Aku sudah pernah menyaksikan kehebatan pisau terbang Liu Khi, kenyataan sekarang kedua kusir itu mampu menghindar dari sambaran pisau terbangnya, terbukti ilmu silat mereka memang hebat."
Dalam pada itu satu di antara kedua kusir kereta itu telah berkata diiringi suara tawanya yang menyeramkan.
"Tampaknya kau adalah Liu Khi."
Bong Thian-gak yang mengintip dari balik celah-celah kereta dapat melihat dengan jelas bahwa di antara jalan raya, berdiri tegak seorang jangkung bertubuh ceking dan berjubah hitam, orang itu jelas Liu Khi adanya.
Cahaya mata yang tajam dan menggidikkan mencorong dari balik mata Liu Khi, diawasinya kedua orang yang berada di atas kereta itu, kemudian setelah tertawa seram, katanya.
"Betul, akulah Liu Khi, kau anggap ada orang yang berani menyaru sebagai diriku?"
Baru selesai perkataan itu, dari atas kereta bergema lagi gelak tawa panjang.
"Sudah lama kudengar pisau terbang Liu Khi konon akan membawa bencana bila dilepaskan, selamanya tidak pernah meleset, tapi kenyataannya pada malam ini ... hahaha ...."
Suara gelak tertawa panjang yang sinis dan mengandung nada penghinaan segera bergema. Sementara itu Liu Khi menanti dengan tenang, sampai gelak tawa mereka reda, dia berkata dengan hambar.
"Biarpun kalian berdua bisa menghindarkan diri dari pisau terbangku, apakah dapat juga menghindarkan diri dari bacokan golok yang terselip di pinggangku sekarang?"
"Silakan saja dibuktikan,"
Ucap orang yang berada di atas kereta itu seram.
"Bagus sekali."
Begitu kata terakhir diutarakan, Liu Khi sudah berkelebat ke depan dengan kecepatan tinggi. Mendadak dari atas kereta berkumandang suara seruan kaget serta jerit kesakitan.
"Blam", diiringi suara benturan keras, papan kereta bagian depan telah jebol sebuah lubang besar, percikan darah segar segera berhamburan dari dalam kereta, menyusul hancuran kayu berserakan kemana-mana. Sekarang Bong Thian-gak bisa menyaksikan wajah Liu Khi yang berdiri di depan kereta dengan lebih jelas, dua sosok mayat yang berlumuran darah kelihatan tergeletak di sisi sebelah kiri. Tampaknya satu di antara mereka belum menemui ajal, dengan suara mengerikan ia berseru.
"Golok saktimu ... sungguh cepat, aku ...."
Sebelum selesai perkataan itu, orangnya sudah menghembuskan napas penghabisan. Bong Thian-gak duduk dalam ruangan kereta tanpa bergerak, rupanya dia pun dibuat terperanjat oleh kecepatan golok Liu Khi.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebenarnya dengan cara bagaimanakah dia menghabisi nyawa kedua orang itu?"
Berbagai ingatan menyelimuti benak Bong Thian-gak.
Pada saat itu Liu Khi masih berdiri tanpa menggenggam goloknya, ini membuktikan setelah ia mencabut senjatanya membunuh kedua lawannya tadi, golok itu disarungkan kembali ke sisi pinggangnya.
Dalam pada itu Liu Khi dengan sorot mata yang menggidikkan juga sedang mengawasi Bong Thian-gak yang berada dalam kereta, ujarnya hambar.
"Bong-buncu, kalau kau sudah sadar, mengapa tidak berusaha melepas dirimu sendiri?"
Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Memangnya kau datang kemari untuk menolongku?"
Dia balik bertanya.
"Aku datang untuk membunuhmu."
"Kalau demikian, mengapa belum juga turun tangan?"
"Aku sedang mencari kesempatan."
"Kini anggota tubuhku dirantai, bukankah kesempatan baik ini sukar dijumpai?"
Ketika mendengar ucapan itu, Liu Khi segera mengawasi badan Bong Thian-gak dengan lebih seksama, kemudian dia baru manggut-manggut seraya ujarnya.
"Aku tidak melihat kaki tanganmu dirantai orang, andaikata kulancarkan serangan dengan membabi-buta tadi, sudah pasti akan kusesali sepanjang zaman."
"Mengapa menyesal?"
"Kau anggap membunuh orang yang sama sekali tak bisa berkutik adalah suatu perbuatan yang membanggakan?"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Kalau dibicarakan soal untung-ruginya, aku rasa hal itu tak perlu diperhatikan lagi."
Mendadak Liu Khi menarik wajah dan berkata dengan suara sedingin es.
"Bong Thian-gak dengarkan baik-baik. Selagi berada dalam kuil Hong-kong-si, kau pernah menyelamatkan jiwaku satu kali, malam ini aku telah membantumu pula lolos dari kesulitan dengan menghabisi nyawa mereka, berarti di antara kita berdua sudah impas, siapa pun tidak berhutang kepada siapa."
"Tapi kau belum membantuku membuang semua belenggu yang membebani tubuhku?"
"Betul!"
Liu Khi tertawa dingin.
"Sekarang juga aku akan memapas kutung rantai itu."
Selesai berkata, cahaya golok kembali berkelebat tiga kali.
Bong Thian-gak merasa kulit badannya tersambar angin dingin, disusul suara gemerincing nyaring, tahu-tahu rantai yang membelenggu kaki tangannya sudah rontok ke atas tanah.
Ketika ia mendongakkan kepala, tampak golok panjang itu sudah tersoreng kembali di pinggang Liu Khi.
Dengan perasaan kaget dan heran Bong Thian-gak menghela napas panjang, katanya.
"Ilmu golokmu benarbenar tidak ada tandingannya, lagi pula golok yang tersoreng di pinggangmu itu sudah pasti senjata mustika yang dulu diandalkan panglima kenamaan."
Sembari berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berdiri dari lantai kereta. Mendadak Liu Khi berkata dengan suara dalam.
"Perhatikan baik-baik, setiap saat aku akan melolos lagi golokku untuk mencabut nyawamu."
"Sungguhkah itu?"
Tanya Bong Thian-gak dengan wajah tertegun.
"Buat apa aku berbohong?"
Liu Khi tertawa dingin. Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, sikapmu yang sebentar bersahabat sebentar bermusuhan, benar-benar membuat aku tidak habis mengerti."
"Asalkan Bong-buncu bersedia mempersembahkan hartakarun itu, aku bersedia bekerja sama dengan pihak kalian,"
Kembali Liu Khi berkata dengan suara hambar.
"Peta harta-karun?"
Bong Thian-gak mengerutkan dahi.
"Kau maksudkan peta harta-karun peninggalan Mo-lay-cinong?"
"Betul, peta harta-karun inilah yang kumaksudkan,"
Liu Khi berkata sambil tertawa dingin.
"Hong-kong Hwesio bilang, benda itu sudah berada di tangan Bong-buncu."
Sambil tertawa Bong Thian-gak menggeleng kepala.
"Liu-sianseng telah dibohongi Hong-kong Hwesio rupanya, aku berani bersumpah tak pernah mendapatkan peta hartakarun itu."
"Bong-buncu adalah orang yang pertama kali datang di kuil Hong-kong-si, kenyataan sekarang peta harta-karun itu tidak berada di tangan Hong-kong Hwesio dan muridnya lagi. Lantas berada di tangan siapa kalau bukan berada di tanganmu?"
Kata Liu Khi. Bong Thian-gak menggeleng kepala lagi.
"Sewaktu berada di kuil Hong-kong-si, bukankah Liusianseng telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana aku terkena racun dupa Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau dan roboh tak sadarkan diri, hingga setengah jam berselang aku baru mendusin dari pingsanku. Ai, apakah Liu-sianseng bersedia menerangkan bagaimana akhir pertarungan di kuil Hong-kongsi?"
"Hong-kong Hwesio, Mo Hui-thian, Han Siau-liong, dan aku berempat berhasil menerjang keluar kepungan,"
Ucap Liu Khi dingin.
"Bagaimana dengan para pelindung hukum perkumpulan kami?"
"Enam orang pelindung hukum bersama kedua murid Hong-kong Hwesio telah menemui ajal dalam pertarungan."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak menghela napas panjang dengan sedih.
"Ai, kerugian yang diderita partai kami semalam betul-betul besar sekali!"
Liu Khi tertawa dingin.
"Kecuali kau dan aku berdua yang tidak menderita luka dalam yang parah, Hong-kong Hwesio beserta Han Siau-liong dan Mo Hui-thian terluka parah."
"Kalau begitu pertolongan yang Liu-sianseng berikan sekarang adalah demi peta harta-karun itu?"
"Boleh dibilang begitu."
"Kalau begitu aku Bersedia mengajakmu pergi mencari peta harta-karun itu."
"Kau hendak membawa aku kemana?"
"Soal ini tak perlu kau tanyakan, kini Hong-kong Hwesio berada dimana?"
"Bong-buncu, bila kau tidak bersedia untuk bekerja sama denganku, jangan salahkan bila aku orang she Liu turun tangan keji kepadamu!"
Ancam Liu Khi sambil tertawa dingin. Bong Thian-gak kembali menghela napas panjang.
"Seandainya peta harta-karun itu benar-benar berada di sakuku, dan aku sudah dibekuk orang sekian lama, kau anggap peta itu masih utuh di sakuku?"
"Betul!"
Liu Khi manggut-manggut.
"Orang-orang Put-gwacin- kau mustahil tidak melakukan penggeledahan atas dirimu, tapi kau pun tak bakal sebodoh ini dengan menyembunyikan peta harta-karun itu dalam sakumu!"
Bong Thian-gak segera menggeleng kepala.sambil tertawa getir.
"Liu-sianseng benar-benar sudah ditipu habis-habisan oleh Hong-kong Hwesio. Bila kau tidak percaya, mari kita bersama-sama berangkat ke tempat tinggalnya untuk menanyakan persoalan ini kepadanya."
"Tidak usah,"
Tampik Liu Khi sambil tertawa dingin. Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, benda mustika di kolong langit hanya dimiliki oleh mereka yang berjodoh, aku sama sekali tidak berniat mendapatkan harta karun itu."
"Hehehe, siapa yang mau percaya ucapanmu itu?"
"Bila Liu-sianseng tidak percaya, aku pun tak bisa berbuat apa-apa."
Mendadak Liu Khi menarik wajah, lalu berkata.
"Sebenarnya aku ingin membunuhmu, tapi aku selalu kuatir tak mampu menghabisi nyawamu dalam sekali ayunan golok."
"Di antara kita berdua boleh dibilang tiada dendam sakit hati apa pun, aku rasa kita tak perlu menyelesaikan persoalan ini dengan mempergunakan kekerasan."
"Tapi bagi umat persilatan pun tidak selalu harus membunuh orang dikarenakan ada hubungan permusuhan ataupun dendam."
"Betul,"
Bong Thian-gak mengangguk.
"tapi aku rasa tiada kepentingan bagi kita berdua melangsungkan duel menentukan mati-hidup."
"Memang begitulah kenyataannya, maka dari itu aku harus mohon diri dulu.". Selesai berkata, Liu Khi segera melejit ke tengah udara dan berlalu dari sana. Mimpi pun Bong Thian-gak tak pernah menyangka kalau Liu Khi bakal angkat kaki begitu selesai mengatakan hendak pergi, sementara dia masih tertegun, bayangan tubuh Liu Khi sudah lenyap dari pandangan mata. Menanti Bong Thian-gak berjalan keluar dari ruang kereta, mendadak muncul seseorang di hadapannya. Di bawah cahaya bintang, tampak orang itu mengenakan pakaian berwarna putih bersih, rambutnya juga berwarna putih, rambut yang panjang itu hampir menyentuh permukaan tanah. Melihat kemunculan orang tak diundang ini, Bong Thiangak merasa amat terperanjat, dia segera menghardik.
"Siapakah kau?"
Bong Thian-gak kuatir lawan itu setan atau sukma gentayangan.
Padahal kemunculan orang itu amat misterius dan sama sekali tidak menimbulkan suara, apalagi rambut putihnya yang terurai hampir menyentuh tanah, membuat bentuk orang itu mirip bayangan setan yang muncul di tengah kegelapan.
Tanpa mengeluarkan sedikit suara pun, orang berambut putih itu berdiri di hadapannya, kendati begitu sepasang matanya memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan, sinar tajam itu mencorong dari matanya yang tertutup rambut putih dan mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera menegur.
"Hei, mengapa kau tidak bersuara?"
Orang berbaju putih itu masih saja membungkam, namun Bong Thian-gak dapat melihat tubuhnya bergerak seperti sukma gentayangan, tubuhnya tidak bergoyang, lututnya tidak menekuk, namun dia bergerak mendekatinya.
Melihat cara lawan menggerakkan tubuh, Bong Thian-gak terkesiap, dia sadar lawan memiliki ilmu silat yang sangat dahsyat.
Dalam terkesiapnya, cepat Bong Thian-gak mengerahkan hawa sakti Tat-mo-khi-kang untuk melindungi seluruh badannya.
Pada saat itulah tiba-tiba orang itu bergerak maju lagi.
Ketika segulung angin berkelebat, rambut putih yang panjang dan terurai ke bawah itu tiba-tiba bergerak dan langsung menggulung ke tubuh anak muda itu.
"Blam", bunyi ledakan yang keras bergema. Rambut panjang yang menggulung datang mengikuti hembusan dingin tadi segera terhajar oleh segulung hawa sakti tanpa wujud yang membuatnya terpental balik. Orang berbaju putih itu segera memutar tubuhnya sebanyak tiga kali seperti gangsingan, lalu jeritnya.
"Siapakah kau?"
"Ban-lau-loan-sin-kang (tenaga lembut selaksa serat) milikmu betul-betul pantas disebut ilmu manunggal di kolong langit,"
Ucap Bong Thian-gak sambil tersenyum.
"Seandainya aku tidak mempersiapkan diri sebelumnya, saat ini tubuhku pasti sudah penuh lubang berdarah dan tewas sejak tadi."
Ternyata sapuan rambut putih yang menggulung cepat tadi merupakan sejenis ilmu silat yang sangat hebat dalam persilatan, ketika lawan melontarkan rambutnya yang lembut tadi, sesungguhnya ibarat beribu-ribu batang jarum lembut dan pedang tajam yang menyapu tiba.
Dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, orang itu segera bertanya.
"Hawa Sin-kang apakah yang telah kau pergunakan untuk mematahkan Ban-si-ciam (selaksa jarum lembut) tadi?"
Sekarang Bong Thian-gak dapat melihat jelas raut wajah lawan, ternyata orang itu berwajah pucat seperti salju, bentuk mukanya mirip monyet dan usianya antara enam puluh tahun. Sambil berkerut kening Bong Thian-gak bertanya.
"Siapakah nama besarmu?"
"Mengapa kau tidak menjawab dulu pertanyaanku?"
Kata orang berambut putih. Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Hm, dilihat dari caramu melancarkan serangan keji tadi, mungkin kau telah mengetahui asal-usulku. Mengapa aku mesti memberitahukan lagi kepadamu?"
Orang berambut putih itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hehehe, betul, kau pasti Jian-ciat-suseng atau si Golok sakti berlengan tunggal, bukan?' "Aku adalah Jian-ciat-suseng,"
Jawab Bong Thian-gak.
"Ehm, aku sendiri adalah Pek Kau-kim (siluman monyet putih) dari gunung Thian-san,"
Orang berambut putih itu memperkenalkan diri.
"Kau bernama Pek Kau-kim?"
Tanya Bong Thian-gak sambil berkerut kening.
"Aku she Pek bernama Kau-kim, kalau tidak bernama Pek Kau-kim, lantas mesti bernama apa?"
"Rasanya di antara kita tak pernah terikat dendam kusumat atau sakit hati apa pun, bukan?"
Tanya Bong Thian-gak. Sekali lagi Pek Kau-kim tertawa terkekeh.
"Kau bukan yang membunuh kedua orang itu?"
"Bukan, bukan aku pembunuhnya,"
Bong Thian-gak menggeleng.
"Kalau bukan kau, lantas siapa yang telah membunuh mereka?"
Tiba-tiba Pek Kau-kim membentak. Bong Thian-gak termenung sebentar, kemudian dia balik bertanya.
"Boleh aku tahu, apa hubungan antara kedua korban itu dengan dirimu?"
"Mereka adalah muridku."
"Aduh celaka!"
Keluh Bong Thian-gak dalam hati.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kedua orang itu adalah muridnya, bisa celaka!"
Berpikir sampai di situ, katanya kemudian sambil menghela napas panjang.
"Locianpwe, murid-muridmu bukan tewas di tanganku, bila kau tidak percaya, silakan meneliti kembali bekas-bekas luka mereka."
Pek Kau-kim tertawa seram.
"Kedua orang muridku ini diam-diam kabur turun gunung ketika aku sedang menutup diri, mereka memang pantas mampus. Cuma dengan kematian mereka, aku harus mencari seorang murid yang lain untuk menggantikan mereka berdua. Hm, Lohu ingin menerima kau sebagai muridku, ayo cepat ikut aku pulang ke gunung!"
Mendongkol bercampur geli Bong Thian-gak setelah mendengar perkataan itu, kemudian ujarnya.
"Walaupun aku merasa sangat gembira dapat menjadi muridmu, tapi hatiku bergidik sendiri melihat sikapmu yang acuh tak acuh dan sama sekali tidak menaruh perasaan iba mengetahui murid-muridmu mati terbunuh."
Mendadak Pek Kau-kim melotot, ia mengawasi Bong Thiangak tanpa berkedip, lalu tanyanya.
"Apakah kau menyuruh aku membalas dendam kematian mereka?"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Bila murid terbunuh, sebagai guru kau wajib membalas dendam bagi kematian muridmu."
"Kalau begitu, kau memang benar-benar harus mati."
Di tengah pembicaraan itu, Pek Kau-kim segera menggetarkan tubuh, rambutnya yang panjang dengan dahsyat dan kecepatan tinggi langsung menusuk Bong Thiangak dari atas ke bawah.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka lawan bakal melancarkan serangan sekali lagi, kali ini dia belum sempat menghimpun hawa murni Tat-mo-khikang untuk melindungi seluruh badan, maka ia terpaksa menghindar.
Tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan dadanya amat sakit, dia menjerit kesakitan.
Bong Thian-gak terguling jatuh dari atas kereta dan tergeletak di atas tanah.
Gelak tertawa yang aneh memanjang dan penuh nada kebanggaan bergema, Pek Kau-kim mendesak maju dengan cepat, tangan kanannya secepat kilat menyambar tubuh Bong Thian-gak sambil bentaknya.
"Aku tidak percaya kau masih bisa meloloskan diri dari serangan jarum serat Pek Kau-kim!"
Baru selesai perkataan itu, Bong Thian-gak yang sudah tergeletak di atas tanah itu, mendadak melompat sambil melepaskan sebuah tendangan dengan kaki kanannya.
Jeritan aneh seperti pekikan monyet segera berkumandang, tubuh Pek Kau-kim mencelat, lalu "blam", roboh terjungkal di tanah.
Pek Kau-kim tak pernah bisa merangkak bangun kembali dari tanah.
Sebaliknya Bong Thian-gak sendiri pun tak mampu merangkak bangun untuk sementara waktu, lengan tunggalnya digunakan untuk memegangi dada, sedangkan wajahnya pucat memperlihatkan rasa kesakitan, dia harus bergerak beberapa kali ke kiri dan kanan sebelum dapat merintih.
Setelah suara rintihan itu, rasa sakit yang menusuk dada Bong Thian-gak pun mereda dengan sendirinya.
Ia sadar bahwa dirinya selamat.
Ternyata setelah terkena babatan rambut panjang Pek Kaukim tadi, ada tujuh-delapan buah jalan darah di dada Bong Thian-gak yang nyaris tersumbat, ini menyebabkan hawa darah yang berada dalam dada berhenti untuk sesaat, napas pun ikut berhenti, membuat anak muda itu nyaris roboh tak sadarkan diri.
Ketika Bong Thian-gak berhasil menghirup udara, mendadak dari kejauhan sana muncul sesosok bayangan manusia.
Belum lagi bayangan tubuhnya berjalan mendekat, bau harum aneh yang amat menusuk penciuman telah berhembus mengikuti angin gunung.
Tatkala Bong Thian-gak menghirup udara lagi, ia sudah merasakan bau harum seperti bau bunga anggrek, air mukanya berubah hebat, dengan cepat ia melompat bangun.
Sorot matanya segera dialihkan ke arah datangnya bau harum bunga anggrek tadi.
Beberapa tombak di hadapannya kini berdiri seorang perempuan cantik bertubuh montok.
Ia mengenakan pakaian puth yang halus, rambutnya disanggul dan di atasnya dilingkari tiga butir mutiara yang memancarkan sinar gemerlapan.
Wajah perempuan itu tampak begitu angker dan serius, angkuh dan berwibawa seperti seorang ratu, terutama sorot matanya yang jeli dan tajam.
Gemetar keras sekujur tubuh Bong Thian-gak menyaksikan kehadiran perempuan itu, serunya dengan suara gemetar.
"Kau ... kau adalah Cong-kaucu."
Bong Thian-gak sudah pernah bersua dengannya, malah bagian lubuhnya yang paling rahasia pun pernah dilihatnya dengan jelas dan nyata, sudah barang tentu dia kenal Congkaucu Put-gwa-cin-kau yang amat termasyhur.
Perempuan cantik itu tertawa, tertawa amat manis.
Setelah itu ia mulai tertawa cekikikan, suaranya kian lama kian jalang, seperti suara pelacur yang sedang memperoleh puncak kenikmatan.
"Jian-ciat-suseng, kau masih mengenali aku, mengapa wajahmu pucat-pias? Hihihi, jangan harap kau dapat meloloskan diri dari cengkeramanku hari ini."
Dengan lemah-gemulai dan pinggul bergoyang, selangkah demi langkah ia berjalan mendekati Bong Thian-gak.
Sekarang Bong Thian-gak sadar, biar dia punya sayap pun, jangan harap bisa lolos dari cengkeramannya.
Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip, ia mengawasi perempuan itu berjalan hingga tiba di hadapannya, mendadak perempuan itu mengayun tangan kanannya.
Tiga jalan darah penting di tubuhnya seketika tertotok, kemudian upa yang terjadi tak teringat lagi olehnya.
Dalam lamat-lamatnya suasana, Bong Thian-gak menangkap suara seorang perempuan yang sedang berkata dengan lembut, merdu dan manis.
"Jian-ciat-suseng, kau telah menelan sebutir pil Siau-hun-wan. Siau-hun-wan merupakan pil dewa bagi manusia, khasiatnya boleh dibilang tak terlukiskan dengan kata-kata."
Dalam keadaan tubuh yang lemah-lunglai dan kesadaran yang masih samar-samar, Bong Thian-gak membuka mata lebar-lebar.
Ternyata dia sedang berbaring di atas ranjang yang terletak dalam sebuah kamar dengan cahaya lentera berwarna merah.
Selembar wajah cantik, tapi memancar senyuman genit dan jalang terpapar tepat di depan mata.
Bong Thian-gak masih mempunyai kesadaran yang jernih, dia dapat mengenali raut wajah itu, Cong-kaucu Put-gwa-cinkau.
Tatkala sinar matanya dialihkan ke bawah, hatinya kembali berdebar, ternyata perempuan itu hanya menutupi tubuhnya yang telanjang dengan selembar kain sutera berwarna putih yang amat tipis.
Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan kembali sorot matanya ke arah lain, tanyanya cepat.
"Obat apa yang telah kau cekokkan kepadaku?"
Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh dengan suaranya yang amat jalang.
"Hihihi, pil Siau-hun-wan. Satu jam kemudian kau akan mengetahui dengan sendirinya manfaat obat itu."
Pucat-pias wajah Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, lalu katanya.
"Kumohon kepadamu, bunuhlah aku!"
Rupanya Bong Thian-gak tahu Siau-hun-wan merupakan sejenis obat perangsang yang bisa mengalutkan orang.
Sebagai orang pandai, sudah tentu dia tahu akibat obat itu bila mulai bekerja, dia bakal menjadi seorang berhati binatang yang kehilangan akal budi, saat itu dia hanya tahu bagaimana melampiaskan napsu birahi.
Sambil tertawa merdu Cong-kaucu kembali berkata.
"Membunuh kau? Oh, tak semudah itu. Aku harus mempermainkan dirimu sampai puas sebelum menghabisi nyawamu, sebab aku kelewat membenci dirimu, boleh dibilang kau adalah lelaki yang paling kubenci di kolong langit dewasa ini."
Dalam keadaan demikian, Bong Thian-gak terbayang kembali bagaimana dia menghina dan mencemooh perempuan itu.
Tiba-tiba Bong Thian-gak meronta bangun, tapi entah mengapa sekujur badannya terasa lemas seolah-olah tak bertenaga, keempat anggota badannya lemas, tak setitik tenaga pun yang tersisa dalam tubuhnya.
Merasakan hal itu, Bong Thian-gak baru tahu segala sesuatunya bakal berakhir.
Diiringi gelak tertawa merdu, Cong-kaucu melanjutkan kata-katanya.
"Tempo hari kau telah membiarkan aku merasakan bagaimana tersiksanya oleh kobaran api birahi, maka hari ini aku pun menyuruh kau merasakan juga bagaimana enaknya penderitaan itu."
"Siau-hun-wan adalah pil perangsang yang akan membuktikan hawa napsu kaum lelaki. Satu jam kemudian obat itu akan mulai bekerja, saat itu kau akan berubah seperti binatang yang sedang birahi, kau hanya tahu bagaimana melampiaskannya, tapi kau tak akan pernah bisa memadamkan kobaran api birahimu itu, sebab Siau-hun-wan adalah sejenis obat perangsang yang mengandung racun jahat, barang siapa berani mengadakan hubungan kelamin denganmu, maka perempuan itu akan mengisap sari racun tubuhmu yang akan berakibat kematian baginya. Oleh karena itu kau harus merasakan penderitaan kobaran api birahi untuk waktu lama tanpa memperoleh kesempatan melampiaskan.
"Penderitaan akan datang berulang-ulang. Saat kau menelan Siau-hun-wan ketiga, api birahi akan merusak semua syarafmu, saat itu kau pun akan berubah menjadi manusia tanpa sukma, tanpa pikiran, kau hanya akan menuruti perintahku, selama hidup akan tunduk dan menuruti perkataanku."
Peluh dingin jatuh bercucuran membasahi badan Bong Thian-gak srtelah mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, lalu kitanya.
"Apakah Thay-kun juga menderita akibat perbuatanmu ini?"
"Benar,"
Cong-kaucu tertawa cekikikan.
"Dia pun pernah merasakan siksaan itu hingga menyebabkan kejernihan otaknya punah."
"Aku kuatir obat beracunmu itu bakal ketemu batunya dan tidak manjur seperti yang kau harapkan,"
Jengek Bong Thiangak sambil tertawa dingin. Sekali lagi Cong-kaucu cekikikan.
"Siau-hun-wan adalah obat mujarab yang diciptakan Gi Jian-cau, khasiatnya luar biasa dan selama hidup tidak akan meleset."
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak menghela napas panjang, biarpun ia belum pernah bersua Gi Jian-cau, tapi dia pun termasuk anggota Hiat-kiam-bun.
Mengapa orang itu bersedia menciptakan obat beracun dan membantu Congkaucu mencelakai umat persilatan? Tiba-tiba Cong-kaucu bangkit, lalu dengan lemah-gemulai beranjak keluar dari dalam kamar.
Bong Thian-gak berbaring di atas pembaringan dengan tenang, sedang benaknya mencari akal bagaimana caranya melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu.
Dia meronta dan berusaha merangkak kabur, akan tetapi sayang sekali tubuhnya lemas dan sama sekali tidak bertenaga.
Mendadak terdengar suara derap kaki manusia mendatangi, Bong Thian-gak segera menoleh.
Dari balik ruangan tiba-tiba muncul tiga orang perempuan, dua gadis berdandan genit dan seorang lagi perempuan berusia empat puluh, tubuhnya montok dan bahenol.
Sorot mata Bong Thian-gak seolah-olah tertarik atas kehadiran perempuan berbaju hijau itu, dia menatap tubuh perempuan itu tanpa berkedip.
Ketika perempuan setengah umur berbaju hijau itu melihat jelas wajah Bong Thian-gak yang berbaring di atas ranjang, dia pun nampak terkejut dan serentak menghentikan langkahnya.
Dalam pada itu kedua gadis berbaju hijau yang genit tadi telah tiba di depan pembaringan Bong Thian-gak, keempat mata mereka melirik sekejap ke wajah anak muda itu dengan pandangan memikat, kemudian tertawa cekikikan.
Setelah itu kedua gadis tadi mulai menari dengan lemahgemulai.
Sambil menari mereka melepas pakaian satu per satu.
Walaupun kedua gadis itu tidak termasuk berwajah cantik, namun potongan badan mereka betul-betul memukau siapa saja.
Apalagi kedua wanita itu membawakan tarian erotik yang sangat menggiurkan, bisa dibayangkan bagaimana menariknya keadaan itu.
Dihidangi pemandangan yang begitu erotik dan merangsang napsu birahi, lambat-laun Bong Thian-gak mulai terpengaruh, suatu perasaan aneh mendadak meliputi dirinya, dia seperti membutuhkan sesuatu yang amat mendesak.
Mendadak Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu membentak.
"Kalian cepat mengenakan pakaian dan mengundurkan diri dari sini, aku telah menelan Siau-hun-wan, tak bisa mengadakan hubungan dengan kalian."
"Mereka memang sudah tahu kau telah menelan Siau-hunwan, tak seorang pun di antara mereka berani mengadakan hubungan dengan dirimu,"
Ucap perempuan berbaju hijau itu hambar. Ketika mendengar perkataan itu, untuk kedua kalinya Bong Thian-gak membuka mata, kali ini dia dapat melihat raut wajah perempuan itu dengan jelas, tanpa terasa jeritnya kaget.
"Kau ... kau adalah Subo."
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, perasaan sedih, duka, marah dan benci dengan cepat menyelimuti perasaannya.
Peristiwa lampau, ketika sepuluh tahun berselang dia dikeluarkan gurunya dari perguruan ...
ketika kaki kirinya berubah menjadi pincang, semua musibah yang menimpa dirinya itu tak lain berkat hasil karya perempuan berbaju hijau itu.
Dia tidak lain adalah istri muda gurunya, almarhum Bu-lim Hengcu, si telapak tangan baja yang menggetarkan jagat Oh Ciong-hu yang bernama Pek Yan-ling.
Dengan emosi Bong Thian-gak berseru.
"Subo, kau masih kenal diriku?"
"Aku masih ingat kau adalah Bong Thian-gak. Sungguh tak kusangka Jian-ciat-suseng adalah kau."
"Dendam sakit hati apakah yang terjalin antara kita berdua? Mengapa kau mencelakai diriku hingga begini rupa?"
Teriak Bong Thian-giik sedih. Sambil berkata, pelan-pelan perempuan itu melepas pakaian yang dikenakannya satu demi satu. Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah menyaksikan pel Istiwa ini, segera hardiknya.
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Bugil, untuk membawakan tarian erotik agar api birahimu bangkit."
"Bunuhlah aku, kalian bunuh aku saja!"
Teriak Bong Thiangak.
Sambil berteriak, Bong Thian-gak segera memejamkan mata.
Pada saat itulah berkumandang dua kali dengusan, untuk kedua kalinya Bong Thian-gak membuka matanya kembali.
Ternyata kedua gadis yang bugil tadi sudah tergeletak lemas di tanah, cairan darah masih nampak meleleh keluar dari ujung bibir mereka.
Sementara Pek Yan-ling sudah menggerakkan tubuhnya dengan cepat mencengkeram dua sosok mayat itu dan diletakkan di sudut ruangan, setelah itu dia mendekati Bong Thian-gak.
Sementara itu Bong Thian-gak merasakan timbulnya gulungan hawa panas di bawah perutnya, hal itu membuat peredaran darah dalam tubuhnya mengalir semakin cepat.
Kendatipun demikian, kesadaran otaknya masih tetap jernih, tiba-tiba ia bertanya.
"Kau yang telah menghabisi nyawa mereka berdua?"
"Betul!"
Pek Yan-ling mengangguk pelan.
"Akulah yang telah membunuh mereka berdua."
"Apa yang hendak kau lakukan atas diriku?"
Tanya Bong Thian-gak lagi dengan kening berkerut. Pek Yan-ling menghela napas sedih.
"Ai, aku ingin menyelamatkan jiwamu. Tindakanku sudah tentu di luar dugaanmu, bukan?"
"Kau hendak menyelamatkan jiwaku?"
Bong Thian-gak membelalakkan mata lebar-lebar mendengar perkataan itu. Dengan sedih Pek Yan-ling berkata.
"Di masa lalu, aku sudah banyak melakukan kesalahan dan kejahatan, dosaku telah berlapis-lapis, biarlah aku mati untuk menolongmu, saat ini kendati kematianku belum tentu dapat menebus semua dosa yang pernah kulakukan, namun setidak-tidaknya dengan menolong jiwamu hari ini, aku bisa mengurangi atau memperingan dosa yang pernah kuperbuat."
Saat itu kejernihan otak Bong Thian-gak sudah makin memudar, perasaannya makin kalut, matanya melotot dan kian memerah, tanyanya.
"Dengan cara apa kau akan menyelamatkan jiwaku?"
Tiba-tiba Pek Yan-ling melepas semua pakaian yang dikenakan hingga telanjang bulat, kemudian katanya pelan.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siau-hun-wan adalah sejenis obat perangsang yang aneh dan luar biasa, kecuali mengorbankan diriku, tiada cara lain untuk menyelamatkan jiwamu dari bahaya anaman maut."
Gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak menyaksikan semua Itu, kembali dia berteriak.
"Kau tidak boleh berbuat begitu untuk menolong aku."
Tapi sayang sekali, pil Siau-hun-wan sudah mulai bekerja dalam tubuh pemuda itu.
Dalam waktu singkat kejernihan otak Bong Thian-gak sudah terbakar oleh nafsu birahi sehingga tak ampun lagi anak muda itu jadi kaap dan kehilangan akal budinya lagi.
Biarpun demikian ia tidak seperti lelaki lain, biarpun nafsu birahi sudah mengusainya, ia belum melakukan sesuatu gerakan apa pun, hanya matanya melotot memandang tubuh Pek Yan-ling yang bugil tanpa berkedip.
Sedangkan Pek Yan-ling sendiri hanya ingin menyelamatkan jiwa Hong Thian-gak, tapi dia melupakan sesuatu, bagaimana pun juga dia adalah Subo Bong Thiangak, istri gurunya.
Bagaimana mungkin Bong Thian-gak bisa melakukan hubungan dengan Subonya sendiri? Bila takdir telah mengatur nasib manusia, siapa pula yang bisa menghindar.
Pek Yan-ling adalah seorang yang tidak bersih perbuatannya dan hari ini kembali dia lakukan kesalahan besar.
Dosa dan kesalahan yang dilakukan hari ini boleh dibilang tak terampuni lagi.
tapi kobaran api birahi membuat orang melupakan segalanya.
Bong Thian-gak telah melupakan siapa dirinya, dia hanya tahu bagaimana melampiaskan nafsu birahinya secepat mungkin.
Ketika hujan badai telah berlalu.
Racun jahat Siau-hun-wan telah terhisap oleh tubuh Pek Yan-ling.
Sekujur tubuh Pek Yan-ling gemetar keras, paras mukanya segera berubah pucat-pias, ternyata bagian bawah perutnya mulai terasa sakit seperti diiris pisau, sedemikian sakitnya membuat dia mulai merintih.
Setelah hujan badai lewat, semua sari racun yang mengeram dalam tubuh Bong Thian-gak telah tersapu lenyap, kobaran api birahi yang padam membuat akal budinya jernih kembali.
Dengan jernihnya pikiran, anggota badannya yang semula lemas tak bertenaga kini telah pulih seperti sedia kala.
Mendadak dia menperdengarkan jeritan kaget yang keras dan penuh nada seram.
Sebuah pukulan dahsyat langsung dilontarkan ke tubuh Pek Yan-ling.
Akibat serangan itu, tubuh Pek Yan-ling yang telanjang segera menjelat ke udara dan terbanting ke tanah.
Pek Yan-ling yang dihantam pemuda itu menjadi terheranheran, ia segera meronta bangun, dengan noda darah membasahi ujung bibirnya dan suara yang gemetar keras, bisiknya.
"Aku ... aku telah menyelamatkan jiwamu, racun keji Siau-hun-wan telah tersalur ke dalam tubuhku, kau ... mengapa kau malah menghajar aku?"
Bong Thian-gak menutupi wajah dengan tangan tunggalnya, mendadak ia menangis tersedu-sedu, katanya.
"Kau ... mengapa kau berbuat demikian? Tahukah kau, siapakah dirimu, kau ini apaku?"
Sekarang Pek Yan-ling baru teringat bahwa Bong Thian-gak adalah seorang lelaki jujur yang mengutamakan budi-pekerti dan tata-krama, dia pun mulai berpikir.
"Ya benar, aku adalah Subonya. Biarpun aku berbuat demikian demi menyelamatkan jiwanya, tapi baginya justru merupakan suatu perbuatan terkutuk, baginya peristiwa ini sama saja berbuat berzina dengan Subonya sendiri ... aduh celaka, andaikata dia memandang serius peristiwa ini, sudah dapat dipastikan dia akan menghabisi nyawanya sendiri."
Berpikir demikian, sambil tertawa pedih Pek Yan-ling segera berkata.
"Pada waktu itu, kejernihan akal budimu telah hilang. Apa pun yang telah kau lakukan tidak perlu kau pertanggungjawabkan."
"Kati telah mencelakai aku. Aku ... aku tak punya muka untuk hidup terus,"
Pekik Bong Thian-gak sedih.
Sambil berteriak, dia segera menyambar pakaiannya dan dikenakan dengan cepat.
Dalam pada itu paras muka Pek Yan-ling telah berubah pucat-pias neperti mayat, tubuhnya gemetar keras, sementara peluh bercucuran lengan deras.
Seakan-akan menahan penderitaan yang luar biasa, akhirnya dia berkata.
"Bong Thian-gak, kau harus hidup terus, kau harus melanjutkan hidupmu di dunia ini, racun jahat Siau-hun-wan telah tersalur ke dalam tubuhku, sekarang aku tak lebih hanya seorang yang sudah mendekati ajal, perbuatanku ini sama sekali tidak keliru, sebab hanya kau seorang di dunia ini yang bisa membunuh iblis perempuan itu, kau harus mempertahankan hidupmu, kalau tidak, pengorbanan nyawaku ini benar-benar pengorbanan yang tak ada artinya."
Bong Thian-gak mengawasi wajah Pek Yan-ling dengan kesedihan yang luar biasa, gumamnya tanpa terasa.
"Betul, kau berbuat demikian karena menolong jiwaku ... bila kau tidak berbuat demikian, aku pasti akan menjadi boneka Congkaucu, aku pasti akan melenyapkan gembong iblis perempuan itu dari muka bumi, kau bukan saja telah menolong aku dengan perbuatanmu tadi, kau pun telah menyelamatkan beribu-ribu jiwa umat persilatan ... tapi dapatkah aku hidup lebih lanjut dalam keadaan seperti ini?"
"Kau dapat melupakan kejadian itu,"
Pek Yan-ling berkata dengan sedih.
"Anggap saja peristiwa ini tidak pernah kau alami."
"Dapatkah aku melupakannya?"
Kata Bong Thian-gak amat pedih.
"Sepuluh tahun lalu kau pernah melakukan hubungan gelap dengan Sam suheng Siau Cu-beng, itu sebabnya kubunuh Sam-suheng, tapi hari ini siapa pula yang akan membunuhku demi membalas aib bagi Suhu."
"Bong Thian-gak, kau sudah tahu aku bukan perempuan baik-baik. Sejak dulu Oh Ciong-hu sudah tidak memiliki istri macam diriku ini,"
Ucap Pek Yan-ling sedih.
"Oleh karena itu aku bukan istri Oh Ciong-hu, juga bukan Subomu ... selain itu kau sudah sejak lama dikeluarkan dari perguruan, kau pun sudah bukan muridnya lagi. Ini berarti di antara kita berdua sama sekali tiada hubungan sebagai ibu guru dan murid lagi, kita adalah sahabat biasa ... aku sama sekali bukan ibu guru seperti apa yang kau sebut, karenanya kau tidak pernah melanggar susila, aku pun tidak pernah melakukan perbuatan yang menyalahi peraturan perguruan."
Memang benar, sepuluh tahun lalu Bong Thian-gak diusir Oh tong hu dari perguruan, jadi Pek Yan-ling sudah bukan Subonya lagi.
Apalagi selama sepuluh tahun ini dia sendiri pun tak pernah menganggap perempuan itu sebagai Subonya, karena itu dia sudah kehilangan haknya untuk dihormati sebagai seorang Subo.
Kendati demikian, dalam hati Bong Thian-gak tersiksa pula oleh penderitaan yang luar biasa.
Dalam pada itu kulit badan Pek Yan-ling yang semula berwarna putih halus, lambat-laun telah berubah menjadi hitam kemerah-merahan, beberapa kali dia bahkan kejangkejang dengan penuh penderitaan.
"Bong Thian-gak"
Kembali dia berkata sambil menahan derita.
"Sekarang isi perutku terasa seperti disayat-sayat, seperti juga ada beribu ekor binatang yang menggerogoti badanku ... ooh sangat menderita ... tolong ... tolong hadiahkan sebuah pukulan kepadaku agar aku cepat mati!"
Rintihan demi rintihan bergema tiada hentinya dari bibir Pek Yan-ling, sambil memegang dada dengan sepasang tangannya, dia mulai bergulingan kian-kemari, keadaannya amat tersiksa dan mengenaskan, membuat siapa pun yang melihat jadi amat terharu.
Bong Thian-gak tak dapat membendung air matanya lagi, dengan penuh duka katanya.
"Thian telah mengatur segala sesuatunya? Mengapa Thian selalu memaksa aku melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak kukehendaki?"
"Bong Thian-gak, ayolah cepat turun tangan,"
Pinta Pek Yan-ling sambil mengangkat wajahnya yang menyeringai seram.
"Dahulu aku telah banyak berbuat dosa kepadamu, sekarang biar kau cincang tubuhku hingga hancur berkepingkeping pun belum tentu bisa membalas luka yang pernah kuberikan kepadamu di masa lalu. Inilah hukum karma bagiku, aku memang pantas mati di bawah telapak tanganmu."
Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu katanya.
"Yang sudah lewat biarlah lewat, aku sama sekali tidak membencimu, bahkan aku amat berterima kasih kepadamu ... karena aku telah berhutang budi kepadamu."
Tatkala kata "kepadamu"
Diucapkan, telapak tangan kanan Bong Thian-gak diayunkan ke depan melancarkan bacokan.
Dimana angin pukulan berkelebat, tubuh Pek Yan-ling mencelat ke belakang untuk kemudian tidak berkutik lagi.
Air mata sekali lagi jatuh bercucuran membasahi wajah Bong Thian-gak, diambilnya kain seprei dari atas pembaringan, lalu dibungkuskan ke atas tubuh Pek Yan-ling yang telanjang dan pemuda itu pun berdiri termangu-mangu untuk beberapa saat lamanya.
Mendadak berkumandang suara langkah kaki manusia, Bong Thian-gak bagaikan baru sadar dari mimpi, dia segera menyelinap ke belakang pintu dengan cepat.
Dalam pada itu dari luar ruangan sudah terdengar seseorang berkata.
"Cap-go-kaucu, Cong-kaucu memerintahkan kepadaku untuk mengantar dua pil Siau-hunwan, dengan pesan dalam dua belas jam mendatang harus mencekokkan pil ketiga kepada Jian-ciat-suseng."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu segera membuka pintu secara tiba-tiba, tampak seorang berbaju kuning berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat.
Tatkala orang berbaju kuning itu menyaksikan Bong Thiangak berdiri di hadapannya dalam keadaan segar-bugar, ia nampak amat terperanjat, mulutnya ternganga dan tak sempat berteriak, tahu-tahu cakar maut yang kuat seperti jepitan telah mencekik tenggorokannya.
"Krak", tulang leher orang berbaju kuning itu tahu-tahu patah, tidak sempat mengeluarkan suara rintihan lagi, orang itu tewas seketika. Selesai membunuh orang itu, Bong Thian-gak segera menyelinap keluar, dengan cepat sorot matanya dialihkan ke sekeliling tempat itu. Apa yang kemudian terlihat membuat Bong Thian-gak merasa sangat terkejut, ternyata dia berada di sebuah ruangan besar dan kosong, dua puluh empat buah tiang penyangga berukir naga emas berjajar tiap sudut, atap ruangan indah dan megah, bangunan itu sangat mentereng. Tempat dimana Bong Thian-gak berdiri sekarang merupakan panggung di ruangan tengah, permadani berwarna merah menghiasi lantai, boleh dibilang dimana-mana dihiasi barang antik yang tak ternilai harganya. Pot bunga berlapiskan emas di sekeliling panggung, delapan belas hu.ih hiolo perak bertebaran di bawah panggung, empat gentong emas, empat pasang kura-kura tembaga dan bangau tembaga turut menghiasi setiap sudut ruangan. Selain itu di tengah ruangan terdapat pula sebuah meja panjang, di atas meja berjajar berbagai peralatan yang terbuat dari tembaga, kemala, dan bahan keramik, di samping intan permata dan mutu manikam yang tak ternilai harganya. Pada hakikatnya bangunan itu ibarat sebuah gudang hartakarun. Pada ujung tumpukan harta-karun yang tak ternilai itu terdapat sebuah kursi yang terbuat dari emas, cahaya kekuning-kuningan memercik ke empat penjuru membuat kursi tadi menyerupai singgasana seorang kaisar. Mata Bong Thian-gak menjadi kabur menyaksikan semua itu, sesaat lamanya dia hanya bisa berdiri termangu-mangu seperti orang kehilangan ingatan. Dia tidak mengetahui tempat apakah itu? Darimana datangnya harta-karun itu? Tiada lentera di dalam ruangan itu, tapi bisa terlihat dengan jelas bahwasanya ruangan itu kosong melompong, tak nampak sesosok bayangan manusia pun, namun Bong Thiangak cukup mengerti, di luar istana itu pasti terdapat pasukan penjaga yang amat ketat dan kuat. Maka sambil menghimpun tenaga dalam untuk berjagajaga atas segala kemungkinan, dia berjalan menuju ke pintu gerbang. Pintu dalam keadaan tertutup rapat, hal ini membuat Bong Thian-gak tertegun, segera pikirnya.
"Kalau dilihat dari pintu gerbang yang tertutup rapat, berarti tiada penjaga yang meronda di luar gedung, tempat ini sungguh merupakan tempat rahasia yang menyeramkan."
Mendadak dari luar terdengar seorang menegur.
"Komandan regukah di situ?"
"Benar!"
Dengan cepat Bong Thian-gak menyahut.
Suara gemuruh yang amat keras segera berkumandang, pintu gerbang terbuka lebar dan dua kepala menongol dari balik pintu.
Secepat sambaran kilat telapak tangan Bong Thian-gak membacok ke bawah.
Tiada jerit kesakitan, tiada suara lain, tahu-tahu kedua orang tadi menghembuskan napas penghabisan.
Dengan gerakan tubuh yang gesit, lincah dan ringan, Bong Thian-gak segera menerobos keluar lewat celah-celah pintu itu.
Di bawah cahaya rembulan, di bawah undak-undakan batu depan pintu gerbang nampak berjajar dua puluh pengawal berbaju kuning, mereka berdiri dengan memegang tombak panjang.
Kemunculan Bong Thian-gak yang secara tiba-tiba membuat mereka tidak sempat melihat dengan jelas siapa pendatang itu.
Dalam sekejap Bong Thian-gak telah sampai di hadapan pengawal pertama.
Tanpa jeritan kaget, tanpa teriakan kesakitan, tahu-tahu orang Mu sudah roboh binasa.
Di saat pengawal baju kuning yang pertama roboh terkapar tadi, tubuh Bong Thian-gak sudah berkelebat di hadapan delapan orang pengawal dan muncul di hadapan pengawal kesembilan.
Di saat para pengawal menyadari datangnya musuh yang menakutkan itu, Bong Thian-gak telah berhasil menghabisi nyawa delapan orang pengawal baju kuning dengan kecepatan dan serangan yang mengerikan.
Serangan yang begitu dahsyat dan cepat ini pada hakikatnya (arang dijumpai di kolong langit.
Tiga orang pengawal baju kuning lainnya yang masih tersisa dengan cepat menyadari datangnya ancaman bahaya, salah seorang di antara mereka segera menghardik.
"Siapa di situ?"
Bong Thian-gak merampas tiga batang tombak dari korbannya yang tewas dan satu-per satu dilontarkan ke depan.
Tombak-tombak itupun menembus jantung tiga orang pengawal yang berada di kejauhan, tanpa penderitaan, tanpa teriak kesakitan, dua puluh empat orang pengawal berbaju kuning tahu-tahu sudah tertumpas habis di tangan Bong Thian-gak.
Kendati Bong Thian-gak telah melakukan pembunuhan dengan gerakan cepat, tindakan yang kejam dan tak membuat pengawal-pengawal itu mengeluarkan suara, namun penjagaan di seputar gedung itu sungguh kelewat ketat.
Dua puluh empat pengawal berbaju kuning yang berada di pintu gerbang sekarang tak lebih hanya sekelompok kekuatan lain yang berada di sekeliling gedung itu.
Mendadak serentetan suitan keras yang tinggi dan melengking dibunyikan orang keras-keras.
Bong Thian-gak segera menyaksikan tiga orang pengawal baju kuning melompat turun dari atas tiga batang pohon Pek
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ yang dan menyongsong kedatangan Bong Thian-gak dengan pedang terhunus.
Bong Thian-gak sadar jejaknya sudah ketahuan, dia semakin tak ingin membuang waktu lagi, maka tubuhnya melejit ke muka dan menyambut datangnya para pengawal yang sedang menerjang datang itu Begitu bayangan kedua belah pihak saling bertemu, terdengarlah suara benturan keras yang sangat nyaring.
Tidak banyak waktu yang terbuang, dalam waktu singkat tiga orang pengawal yang baru muncul itu sudah bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Lengan tunggal Bong Thian-gak kini sudah merampas ketiga batang pedang lawan.
Pada saat itulah dari sisi sebelah kiri ruangan berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan.
"Hehehe, serangan yang sangat hebat dan ganas. Hm ... hm ... selama puluhan tahun terakhir belum pernah kujumpai seorang jagoan yang sedemikian tangguh!"
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera mendongakkan kepala.
Di hadapannya kini sudah muncul delapan orang pengawal berbaju kuning yang mengiringi seorang kakek gemuk pendek, selangkah demi selangkah berjalan mendekatinya.
Dengan ketajaman mata Bong Thian-gak, ia sudah dapat melihat kakek gemuk pendek itu memiliki kepandaian silat yang hebat.
Tiba-tiba saja suara nyaring bergema di angkasa.
Ternyata kedelapan orang berbaju kuning sudah melolos cambuk panjang dari pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat dan lincah mereka mengepung Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak cukup mengetahui bahwa ruyung lemas itu merupakan sejenis senjata yang sangat lihai.
Oleh karena itu Bong Thian-gak tidak membiarkan kedelapan orang pengawal berbaju kuning itu melancarkan serangan lebih dahulu, sambil tertawa dingin tubuhnya berputar seperti angin puyuh dan langsung menggulung ke sisi sebelah barat.
Tatkala Bong Thian-gak berputar dengan kencang tadi, ketiga pedang yang digenggamnya secepat sambaran petir sudah menyambar ke depan.
Tahu-tahu dua pedang di antaranya sudah meluncur ke muka dengan kecepatan tinggi.
Dua kali jerit kesakitan yang memilukan segera bergema.
Empat orang pengawal baju kuning yang menerkam datang dari arah timur dan utara tahu-tahu sudah kehilangan batok kepalanya, tersambar oleh luncuran pedang itu.
Sebilah pedang berhasil membacok dua kepala, ilmu pedang terbang semacam ini benar-benar merupakan suatu kepandaian yang sangat mengejutkan.
Bong Thian-gak sendiri hanya menyambitkan kedua batang pedang dan menyisihkan sebatang baginya, pedang itu mengikuti gerakan tubuhnya berputar ke barat, segera melancarkan serangan pula, di mana cahaya pedang berkelebat, darah segar berhamburan kemana-mana dan isi perut berceceran.
Dua orang pengawal berbaju kuning kena terbabat pinggangnya hingga putus menjadi dua bagian.
Dalam waktu singkat dari delapan pengawal berbaju kuning itu sudah ada enam orang di antaranya yang tewas.
Demonstrasi kekejaman yang terjadi ini sungguh menggidikkan hati siapa pun, kontan saja dua pengawal berbaju kuning yang tersisa serta kakek gemuk pendek itu menghentikan langkah.
Sementara itu Bong Thian-gak yang dalam sekejap mata telah membunuh enam orang, kini maju selangkah demi selangkah menghampiri kakek gemuk pendek itu dengan pedang terhunus.
Sambil tertawa dingin ia berkata.
"Ruyung panjang meski merupakan senjata untuk menandingi pedang atau golok, tapi bila bertemu dengan aku, kalian tetap merupakan rombongan yang bakal berangkat ke akhirat."
"Siapakah kau?"
Bentak kakek gemuk pendek itu dengan wajah lei kejut dan ngeri.
"Ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng!"
Sahut Bong Thiangak sambil tertawa dingin.
Sembari berkata, tiba-tiba saja pemuda itu melompat ke depan dan pedangnya langsung dibacokkan ke tubuh kakek gemuk pendek itu.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serangan pedang itu dilancarkan dengan cepat, akan tetapi gerakan cambuk kakek gemuk pendek itu pun tidak kalah cepatnya.
Bong Thian-gak segera merasakan pergelangan tangannya menjadi kencang, urat nadi pada pergelangan tangannya sudah kena terbelenggu empat lingkaran oleh cambuk lawan, otomatis gerak serangan pedangnya pun mengenai tempat kosong.
Diiringi gelak tawa panjang penuh kebanggaan, kakek gemuk pendek itu segera berkata.
"Cambuk sakti bayangan aneh sudah puluhan tahun lamanya termasyhur di kolong langit. Tak ada orang bisa lolos dari cengkeramanku bila ruyung telah berada dalam genggamanku. Hehehe, Jian-ciatsuseng, lengan tunggalmu ini agaknya akan kutung pula."
Sementara itu Bong Thian-gak merasa ruyung lemas yang membelenggu urat nadinya itu makin lama makin kencang, tulang dan kulitnya terasa sakit seperti remuk.
Bong Thian-gak sadar bila lawan sekali lagi menarik ruyung lemasnya, niscaya lengan tunggalnya itu bakal lenyap tak berbekas.
Sementara ingatan itu melintas dalam benaknya, tubuh Bong Thian-gak telah terbetot oleh cambuk lemas tadi sehingga terbanting ke atas tanah.
Namun ketika Bong Thian-gak bangkit kembali dari atas tanah, suara dengusan tertahan bergema di udara.
Perut kakek gemuk pendek itu tahu-tahu sudah tersambar oleh cahaya pedang sehingga mengucurkan darah segar.
Darah mengalir keluar bersama usus dan isi perut lainnya, meleleh dari balik mulut luka yang lebar dan memanjang itu.
Kulit muka si kakek gemuk pendek itu segera mengejang keras, katanya dengan suara dipaksakan.
"Kau ... kau ... bagaimana caramu bisa meloloskan diri dari belenggu cambuk panjangku?"
Dengan wajah dingin Bong Thian-gak berdiri di hadapannya. Ketika mendengar pertanyaan itu, ia menjawab dingin.
"Permainan ruyungmu memang terhitung cambuk kilat nomor wahid di kolong langit. Tiga puluh tahun berselang, dalam dunia rimba hijau pernah termasyhur seorang pencoleng yang mahir dalam permainan cambuk, konon dia bernama Ruyung sakti bayangan setan Si-bu, mungkin kaulah orangnya?"
Penderitaan yang tebal semakin menghiasi wajah kakek gemuk pendek itu, dia berkata dengan suara gemetar.
"Nama besar Ruyung sakti bayangan setan pada saat ini sudah punah dan tak ada lagi. Jian-ciat-suseng, meski ... meskipun ilmu pedangmu tiada tandingannya di kolong langit, tapi jangan harap kau bisa menandingi kerubutan beratus-ratus pengawal perkumpulan Put-gwa-cin-kau, akhirnya kau ... kau pun akan mengalami nasib yang sama seperti aku, roboh ... roboh ke tanah dan tak akan bangun lagi."
Sampai di situ langkah kakek gemuk pendek itu sudah sempoyongan, akhirnya roboh terjungkal ke atas tanah dan tak pernah merangkak bangun kembali.
Pencoleng nomor wahid di rimba hijau itu, Si-bu, akhirnya harus mampus di ujung pedang Bong Thian-gak.
Setelah menyaksikan Si-bu tewas, pelan-pelan Bong Thiangak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, tapi perasaannya segera terkesiap.
Ternyata pada saat itu seluruh lapangan yang luas di depan ruangan utama telah dikelilingi lautan manusia yang mengepung tempat itu secara berlapis-lapis, begitu rapat pengepungan di sana, hal ini membuat seramnya suasana di bawah sinar rembulan.
Agak bergidik juga Bong Thian-gak menyaksikan keadaan itu, diam-diam pikirnya.
"Bila aku harus membantai orang itu satu demi satu, biar mereka bisa kuhabiskan, akhirnya aku akan kehabisan tenaga dan mampus di tangan mereka ... hari ini lebih baik aku kabur saja dari sini atau melangsungkan pertarungan dan beradu kekuatan dengan pihak Put-gwa-cinkau?"
"Ai, apalagi kawanan pengawal itu hanya diperintah Congkaucu untuk melakukan perbuatan itu, masa aku harus membantai mereka habis-habisan."
Berpikir demikian, tiba-tiba Bong Thian-gak berteriak.
"Dengarkan saudara-saudara sekalian. Aku adalah ketua Hiatkiam- bun saat ini, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Pedang di tanganku sekarang memiliki kekuatan luar biasa, tiga puluh sosok mayat yang tergeletak di atas tanah merupakan bukti yang paling jelas.
"Selain Cong-kaucu kalian yang dapat menyambut beberapa jurus serangan pedangku, kalian boleh dibilang ibarat telur yang beradu dengan batu atau kunang-kunang yang menentang api, hanya mencari kematian bagi diri sendiri.
"Thian maha pengasih dan maha penyayang, aku tak ingin melakukan pembunuhan besar-besaran, karena itu kuanjurkan kepada kalian lebih baik menyingkirkan diri dari sini dan berilah jalan lewat kepadaku, aku tak nanti melukai seorang pun di antara kalian."
Ucapan itu diutarakan dengan suara lantang dan keras, di tengah kegelapan malam suara itu dapat tersiar sampai jauh. Baru selesai dia berkata, mendadak dari kerumunan orang banyak terdengar seorang berseru sambil tertawa dingin.
"Aku tak percaya kau seorang cacat bisa memiliki kepandaian dan kemampuan sedemikian hebatnya."
Dari kerumunan orang banyak sebelah utara segera terjadi kegaduhan, lalu nampak dua orang berjubah hitam diiringi delapan laki-laki yang menyoreng pedang berjalan menuju ke arahnya.
Tatkala mendengar nada suara orang itu, seketika itu juga timbul kobaran api dendam dalam dada Bong Thian-gak, dia segera berteriak.
"Siau Cu-beng, kedatanganmu tepat sekali!"
Sepasang mata Bong Thian-gak telah memancarkan cahaya api yang menggidikkan, dia mengawasi orang berkerudung yang menyoreng sepasang pedang itu tanpa berkedip.
Sementara itu orang berambut panjang yang berada di sebelah kanan, yang berdandan bukan lelaki bukan perempuan itu tertawa seram seraya berkata.
"Aku kira siapakah manusia cacat ini? Hm, ternyata Bong Thian-gak orangnya."
Bong Thian-gak dapat mengenali orang aneh kurus seperti mayat hidup ini adalah Liok-kaucu Put-gwa-cin-kau. Ia tertawa dingin, lalu katanya sambil manggut-manggut.
"Betul, Ko Hong adalah samaranku tiga tahun lalu. Kau sudah merupakan prajurit yang kalah perang di tanganku, hari ini kau lebih-lebih bukanlah tandinganku, hm, aku orang she Bong selalu bisa membedakan mana budi dan mana dendam, kau bukan termasuk orang yang akan kubunuh, asal kau tahu diri dan segera mengundurkan diri, aku bersedia pula mengampuni jiwamu."
Liok-kaucu tertawa seram.
"Tiga tahun berselang, sebuah pukulanmu telah membuat aku berbaring selama tiga bulan. Dendam sakit hati ini tak pernah kulupakan, sungguh tak gampang bertemu lagi dengan kau. Hm! Kau anggap aku akan melepaskan kesempatan yang sangat baik itu begitu saja?"
"Liok-kaucu, panjang amat umurmu,"
Jengek Bong Thiangak dengan suara hambar.
Liok-kaucu tertawa terbahak, suaranya amat menyeramkan, telapak tangan raksasanya mendadak diayunkan ke depan, segulung angin pukulan yang amat dingin segera menyerang ke arah Bong Thian-gak.
Sejak tadi Bong Thian-gak sudah tahu ilmu pukulan lawan merupakan ilmu jahat dan beracun, karena itu secara diamdiam dia telah menyalurkan hawa murni Tat-mo-khi-khang menyelimuti seluruh jalan darahnya.
Dimana angin pukulan menyambar, Bong Thian-gak mendengus tertahan dan sepasang bahunya bergoncang keras.
Pada saat itulah Liok-kaucu tertawa sambil berteriak keras.
"Jian-ciat-suseng, serahkan jiwa anjingmu!"
Dengan suatu gerakan yang amat cepat, dia mendesak ke muka dan melakukan gempuran. Siau Cu-beng yang berada di sisinya segera menyadari hal itu merupakan siasat lawan, dia segera berteriak.
"Hati-hati Liok-kaucu, dia tidak terluka."
Sayang sekali sebelum peringatan itu diutarakan, tubuh Liok-kaucu telah tiba di hadapan Bong Thian-gak, telapak tangannya dipentang lebar-lebar dan mencengkeram dari kiri dan kanan.
Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat.
Menyusul kemudian jeritan keras seperti babi disembelih bergema.
Di tengah sambaran cahaya pedang, sepasang tangan Liokkaucu terbabat kutung dan rontok ke tanah, menyusul di tengah semburan darah segar, pedang Bong Thian-gak menusuk dadanya hingga tembus.
"Liok-kaucu, kali ini kau mati tanpa mengucapkan sepatah katapun?"
Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan nada hambar.
Bersamaan itu pula pedangnya telah dicabut dari atas dada Liok-kaucu.
Darah segar segera menyembur lewat mulut lukanya, Liokkaucu memang tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya membentang matanya lebar-lebar mengawasi Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Akhirnya robohlah tubuh Liok-kaucu ke tanah dan tak pernah bangun lagi.
Jiwanya turut melayang ke angkasa dan kembali ke akhirat.
Dalam satu gebrakan Bong Thian-gak berhasil membunuh Liok-kaucu, walaupun kemenangan yang dia raih berkat taktiknya yang jitu, akan tetapi bagaimana pun juga Liokkaucu mempunyai kepandaian silat sangat tinggi, kenyataannya dia dibunuh orang secara gampang, peristiwa ini benar-benar menggetarkan perasaan setiap orang.
"Siau Cu-beng, mengapa tidak kau lepaskan kain kerudungmu itu?"
Sambil membawa pedangnya yang berlumuran darah dan sikap yang menyeramkan, Bong Thiangak membentak keras. Komandan kedua pasukan pengawal tanpa tanding segera tertawa dingin sambil sahutnya.
"Betul, akulah Siau Cu-beng, tapi aku tidak pernah menyangka kaulah Bong Thian-gak."
Sementara itu dalam benak Bong Thian-gak melintas kembali berbagai kejadian tragis yang telah menimpanya malam ini ... darah bercampur dendam segera mendidih dalam tubuhnya.
"Siau Cu-beng, gara-gara perbuatanmu yang memalukan sepuluh tahun lalu, aku telah menjadi cacat, kaki kiriku pincang, lalu tiga tahun berselang kau pun memotong kutung sebelah lenganku, maka malam ini aku tak tahu bagaimana mesti membalas dendam berdarah ini."
Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat pedangnya dan bersiap melancarkan serangan. Siau Cu-beng segera tertawa ringan, katanya.
"Bong Thiangak, aku hendak mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu, mengapa kau menghajarku sampai jatuh ke dalam jurang pada sepuluh tahun berselang? Hahaha, apakah hal ini dikarenakan kau menangkap basah hubungan gelapku dengan Pek Yan-ling, maka kau lantas hendak membersihkan aib perguruan?"
"Hm, tapi hari ini ... kau pun telah melakukan hubungan gelap dengan Pek Yan-ling, nah, giliranku sekarang untuk bertanya kepadamu, .apakah aku pun harus membunuhmu untuk membalaskan dendam aib yang menimpa perguruan kita?"
Gemetar keras tubuh Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, pedang yang sudah disiapkan tanpa sadar terlepas dan jatuh ke tanah.
"Oh, Thian!"
Diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dengan perasaan amat tersiksa.
"Ternyata Siau Cu-beng telah menyaksikan peristiwa itu, sepuluh tahun lalu aku telah membunuhnya karena ia telah melakukan hubungan gelap dengan Pek Yan-ling."
Perasaan sedih dan menyesal membuat pikiran dan otaknya terganggu.
Pada kesempatan yang sangat baik inilah mendadak Siau Cu-beng mengayun pedang dan tanpa menimbulkan sedikit suara pun dengan cepat menusuk dada Bong Thian-gak.
Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu yang amat singkat.
Cepat tangan kiri Bong Thian-gak diayun ke depan untuk menghantam mata pedang lawan.
Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan segera berlangsung, ternyata Bong Thian-gak berhasil menggetar pedang itu hingga terpental dengan tangan kosong.
Seketika itu juga Siau Cu-beng serta ratusan orang pengawal lainnya tertegun dan berdiri melongo dengan mata terbelalak lebar.
Setelah berhasil mementalkan pedang dengan tangan telanjang, Bong Thian-gak sama sekali tidak melancarkan serangan balasan, dengan cepat dia menengok sekejap ke arah Siau Cu-beng, kemudian berkata dengan hambar.
"Siau Cu-beng, persoalanku bisa kuselesaikan sendiri. Kini aku hanya ingin menanyakan satu persoalan kepadamu, Toasuheng Ho Put-ciang, Ji-suheng Yu Heng-sui dan Sumoay Oh Cian-giok, apakah masih hidup?"
Siau Cu-beng seperti baru tersadar dari impian setelah mendengar itu, dia berseru tertahan, lalu balik bertanya dengan keheranan.
"Dengan cara apakah kau telah menepuk pedangku hingga terpental?"
Bong Thian-gak tidak menjawab, sebaliknya malah membentak lagi dengan suara lantang.
"Aku bertanya kepadamu, bagaimanakah nasib Ho Put-ciang sekalian?"
Tiba-tiba Siau Cu-beng tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, apakah Pek Yan-ling tidak memberitahukan padamu?"
Hati Bong Thian-gak bergetar keras, dia segera berpikir.
"Bagaimana keadaan mereka? Mengapa dia bilang Pek Yanling tidak memberitahukan kepadaku? Apa yang semestinya hendak dikatakan Pek Yan-ling kepadaku?"
Sekali lagi Siau Cu-beng tertawa dingin, suaranya menyeramkan.
"Kalau Pek Yan-ling tidak memberitahukan kepadamu, baiklah biar aku yang memberitahukan kepadamu!"
"Bagaimana keadaan mereka? Cepat katakan!"
Bentak Bong Thian-gak. Siau Cu-beng sengaja berdehem, lalu dengan santai dia berkata.
"Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui telah mengakhiri hidupnya sendiri."
"Bunuh diri? Mengapa mereka bunuh diri?"
Tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.
"Karena tidak punya muka untuk bertemu dengan orang. Hahaha, biar kuceritakan lebih terperinci kepadamu! Pek Yanling adalah Subo mereka, Ho Put-ciang serta Yu Heng-sui pernah pula mempunyai hubungan persahabatan dan hubungan ibu guru. Akhirnya peristiwa yang sangat memalukan ini diketahui oleh Oh Cian-giok, kedua orang itu pun kehilangan muka sehingga akhirnya bunuh diri."
Sekali lagi dada Bong Thian-gak serasa dipukul martil yang berat, nyaris jatuh tak sadarkan diri.
Mimpi pun dia tak menyangka Toa-suheng dan Jisuhengnya telah tewas dalam keadaan begitu mengenaskan dan memedihkan hati.
Dia mengerti sekarang, semua ini bisa terjadi tak lain merupakan siasat membunuh yang paling keji dari perkumpulan Put-gwa-cin-kau.
Mereka tidak membiarkan seorang Enghiong mati dalam keadaan gagah dan perkasa, melainkan membiarkan mereka mati dengan sukma tak tenang dan roh gentayangan.
Perbuatan semacam ini benar-benar merupakan suatu cara membunuh yang sangat kejam dan mengerikan.
Setelah tertawa ringan, dengan suara yang dingin menyeramkan, Siau Cu-beng berkata lagi.
"Tindakan Ho Putciang dan Yu Heng-sui bunuh diri benar-benar Enghiong sejati, mereka adalah pendekar yang berani berbuat berani bertanggung-jawab sehingga bersedia menggorok leher sendiri untuk menebus dosa. Tapi sekarang, kau Bong Thiangak sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mati, aku betul merasa kasihan untukmu!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak mendongakkan kepala berpekik nyaring.
"Siau Cu-beng, serahkan nyawamu!"
Bong Thian-gak memungut pedangnya dari atas tanah dan seperti seekor banteng yang terluka, dia membacok tubuh Siau Cu-beng secara ganas.
Siau Cu-beng tidak menyambut datangnya ancaman, sebaliknya delapan orang lelaki berbaju hitam yang berada di sisinya segera menggerakkan kedelapan pedangnya menciptakan selapis kabut pedang serentak mengurung Bong Thian-gak rapat-rapat.
Ilmu pedang yang dimiliki Bong Thian-gak pada hakikatnya sudah mencapai kesempurnaan, pedangnya seperti membacok kayu bakar saja, kawanan orang berbaju hitam itu dibabat satu demi satu.
Semua serangan yang dilancarkan olehnya terbatas tigaempat bacokan belaka, namun kedelapan lelaki yang semula bergerak segesit naga dan seganas harimau itu sudah roboh terkapar di atas tanah, jangan kata melawan, jerit kesakitan pun tak sempat dikumandangkan.
Siau Cu-beng bergidik menyaksikan peristiwa itu, peluh dingin bercucuran dengan deras, dia cukup mengetahui betapa lihainya ilmu pedang yang dimiliki kedelapan lelaki itu, yang merupakan pengawal andalannya, bahkan kelihaian mereka mencapai tingkatan seorang tokoh persilatan.
Tetapi setelah berjumpa dengan Bong Thian-gak hari ini, keadaan mereka seakan-akan tidak memiliki setitik ilmu silat pun, dengan cara yang begitu mudah mereka terbunuh di tangan lawan.
Peristiwa ini benar-benar mengejutkan.
"Dengarkan saudara sekalian,"
Siau Cu-beng segera berteriak.
"Bila kita biarkan orang ini lolos malam ini, aku tak akan membiarkan kalian hidup terus di dunia ini. Kepung dia sekuat tenaga, kalian boleh membacok dan mencincangnya sampai hancur berkeping-keping!"
Begitu bentakan itu lenyap, kawanan pengawal di tempat itu serentak berteriak dan membentak dengan suara gegap gempita, kemudian bersama-sama mengepung Bong Thiangak.
Sementara itu Bong Thian-gak selesai membunuh kedelapan lelaki berbaju hitam dan menyaksikan Siau Cu-beng hendak mengundurkan diri, dengan suara lantang segera teriaknya.
"Siau Cu-beng, jangan kabur!"
Tubuhnya melejit ke tengah udara dan menerjang ke muka, sebuah tusukan pedang langsung dilontarkan.
Ilmu pedang yang dimiliki Siau Cu-beng pun bukan kepandaian sembarangan.
Sepasang pedangnya dipergunakan bersama, dengan suatu gerakan aneh dan cepat bagaikan sambaran kilat dia tangkis ancaman pedang Bong Thian-gak.
Kemudian tanyanya sambil tertawa dingin.
"Tunggu saja sampai nanti, kita pasti akan berduel untuk menentukan menang kalah!"
Sementara itu serombongan orang telah menggulung datang bagaikan amukan ombak di tengah samudra.
Tombak panjang, pedang, tongkat serta tujuh-delapan macam senjata lainnya menyerang tiba.
Bong Thian-gak meraung keras, pedangnya segera diputar, hawa pedang bagaikan selapis kabut menyelimuti angkasa, djmana hawa dingin berkelebat, jeritan ngeri segera memenuhi seluruh gelanggang.
Dalam waktu singkat puluhan orang telah tewas di ujung pedang Bong Thian-gak yang tajam.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lambat-laun Bong Thian-gak menjadi tidak tega sendiri, dia segera membentak.
"Yang hendak kubunuh sebenarnya bukan kalian, lebih baik kalian mundur saja dari sini, asal aku dapat membunuh Siau Cu-beng, memangnya dia masih dapat menghukum kalian?"
Sementara itu Siau Cu-beng telah mengundurkan diri dari gerombolan orang banyak, Bong Thian-gak melompat naik ke tengah udara, kemudian tubuhnya melayang jauh ke depan dan langsung menerkam Siau Cu-beng.
Tatkala melayang turun, ia telah berada di tengah kerumunan orang banyak, bacokan golok dan pedang serentak ditujukan ke tubuh Bong Thian-gak.
Pada hakikatnya Bong Thian-gak tidak mempunyai cukup waktu untuk melancarkan serangan ke arah Siau Cu-beng, dia sudah kena serangan lebih dahulu oleh kawanan pengawal yang berada di sekeliling tempat itu.
Berada dalam keadaan seperti ini, sekali lagi Bong Thiangak menggerakkan pedangnya melakukan pembantaian besarbesaran.
Ia perkasa seperti Lu Poh, seperti Tio Cu-liong, dimana pedangnya menyambar, seakan tiada seorang pun yang dapat membendungnya.
Jeritan ngeri, teriakan kesakitan bergema tiada hentinya.
Bong Thian-gak seperti orang kalap, darah telah membasahi seluruh pakaiannya.
Dia sendiri tak tahu berapa banyak orang yang telah terbunuh, dia hanya tahu mengayunkan pedangnya melancarkan serangan.
Percikan darah menyembur kemana-mana, isi perut berhamburan di mana-mana, teriakan keras, jeritan ngeri bergema saling susul.
Akhirnya ketika Bong Thian-gak mengayunkan pedangnya, tidak terdengar lagi jeritan kesakitan yang terdengar.
Hal itu bukan disebabkan Bong Thian-gak sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk membunuh orang, melainkan separoh orang-orang di sekelilingnya telah mati terbunuh.
Tapi pedang Bong Thian-gak masih saja melancarkan bacokan.
Hal ini disebabkan pandangan matanya sudah menjadi kabur atau berkunang-kunang, ia seperti tidak tahu bahwa di situ sudah tak terdapat seorang hidup pun.
Bong Thian-gak melancarkan puluhan bacokan lagi secara beruntun sebelum sadar.
Napasnya tersengal, pedangnya terkulai ke bawah, dipandangnya sekejap sekeliling tempat itu, darah yang berceceran di atas tanah telah menganak sungai, mayat bergelimpangan dimana-mana, mayat-mayat itu mencapai ratusan sosok banyaknya.
Untuk beberapa saat Bong Thian-gak menjadi tertegun, segera pikirnya.
"Mana orang-orang yang lain? Kemana mereka telah menyembunyikan diri?"
Rupanya ketika Bong Thian-gak tengah melakukan pembantaian, sebagian besar kawanan pengawal berbaju kuning telah mengundurkan diri secara diam-diam ke empat penjuru. Mendadak Bong Thian-gak seperti teringat akan sesuatu, dia segera berseru tertahan.
"Ah, rupanya mereka telah mengubah taktik!"
Mendadak di tengah kegelapan malam terdengar suara anak panah berhamburan datang dengan hebatnya.
"Aduh celaka!"
Pikir Bong Thian-gak.
"Aku tak boleh berdiri termangu-mangu saja di sini."
Mendadak dia mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khikang, pedangnya dengan cepat memainkan selapis kabut pedang, tubuhnya secepat kilat berlari menuju ke arah utara.
Lapangan di situ cukup luas, di sana sini penuh ditumbuhi pepohonan Siong-pak dan bambu sehingga suasana gelap gulita.
Untuk menembus hutan semacam itu, bagi Bong Thian-gak pada hakikatnya lebih sukar daripada naik ke langit.
Kawanan pengawal Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaan di dalam hutan, dari jarak yang tak begitu jauh mereka dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan anak panah atau senjata rahasia, sebaliknya bila musuh mendekat, mereka pun bisa melancarkan sergapan dengan mempergunakan pedang, golok atau tombak.
Oleh karena itulah baru saja Bong Thian-gak masuk ke dalam hutan, hujan panah sudah menyergap dari belakang, sementara dari kiri dan kanannya menerjang empat batang tombak.
Selama tiga tahun melatih diri di bawah air terjun dahulu, Bong Thian-gak telah berhasil pula melatih ilmu membedakan arah angin serta ilmu tenaga dalam yang menitik-beratkan pada mengatasi gerak di tengah ketenangan, merebut ketenangan di tengah gerak.
Keempat tombak itu dengan cepat dirontokkan oleh sambaran pedangnya, sedangkan hujan panah yang menyerang datang dari belakang punggungnya, melesat ke depan melewati atas punggungnya hanya dengan cara dia membungkukkan badan.
Menyusul terdengar dua kali jeritan ngeri, sekali lagi pedang Bong Thian-gak menunjukkan kehebatannya, dua orang pengawal berbaju kuning yang menyembunyikan diri di belakang pohon kena ditebas kepalanya hingga tewas seketika.
Bong Thian-gak meneruskan perjalanannya menembus hutan itu, jeritan demi jeritan pun bergema saling susul.
Berpuluh bambu ada kalanya ikut terpapas kutung oleh bacokan pedang Bong Thian-gak sehingga roboh ke atas tanah.
Pertempuran berdarah ini betul-betul merupakan pertarungan yang jarang terjadi dalam Bu-lim.
Lewat setengah jam kemudian Bong Thian-gak telah keluar dari balik hutan yang gelap.
Di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, pembunuh yang masih muda ini telah berubah menjadi manusia darah, rambutnya kusut dan pakaiannya robek, pedangnya yang berlumuran darah masih meneteskan titiktitik darah ke atas tanah.
Berapa banyak orangkah yang telah terbunuh di tangan Bong Thian-gak dalam hutan itu? Walaupun pertempuran telah berhenti, sorot mata Bong Thian-gak masih tetap memancarkan hawa membunuh yang amat menggidikkan.
Ternyata dia tahu, pentolan penyamun pembawa bibit bencana dan segala musibah baginya selama ini adalah Siau Cu-beng yang belum menemui ajalnya di ujung pedangnya.
Bong Thian-gak sendiri pun merasa heran, sudah jelas tempat ini merupakan sarang Put-gwa-cin-kau, walau pertarungan berlangsung lama, kawanan jago lihai dari Putgwa- cin-kau yang menampakkan diri tak lebih hanya Siau Cubeng dan Liok-kaucu.
Kemana perginya Cong-kaucu serta Ji-kaucu dan Sim Tiong-kiu sekalian? Apakah mereka semua tidak berada di sini? Walaupun demikian, Bong Thian-gak pun diam-diam bersyukur, harus dia akui bila seorang saja di antara ketiga orang itu menampakkan diri, niscaya dia akan terancam bahaya maut pada malam ini.
Teringat akan hal itu, Bong Thian-gak segera berubah pikiran, dia tidak ingin meninggalkan tempat itu secepatnya, dia masih harus melanjutkan pertarungannya.
Kepalanya segera didongakkan.
Bangunan loteng yang berlapis-lapis, gedung yang megah, berdiri kekar di bawah cahaya rembulan.
Namun anehnya, semua gedung dan bangunan loteng itu berada dalam keadaan gelap, tiada cahaya lentera, tiada bayangan manusia yang nampak.
Sekeliling tempat itu berubah begitu hening, menyeramkan dan menggidikkan.
Hawa napsu membunuh Bong Thian-gak semakin berkobar, namun empat penjuru tidak nampak seorang pun, bagaimana mungkin dia dapat melanjutkan pembantaiannya.
"Siau Cu-beng, mengapa kau tidak menampakkan diri? Kau sudah ketakutan? Siau Cu-beng, ayo cepat menampakkan diri untuk menerima kematian!"
Bong Thian-gak berteriak, sudah barang tentu Siau Cu-beng dapat mendengar suara teriakan itu dengan jelas.
Akan tetapi keperkasaan Bong Thian-gak sudah menggetarkan hatinya, dia sadar pasti dirinya bukan tandingan lawan.
Markas besar Put-gwa-cin-kau yang menyeramkan dengan penjagaan yang begitu ketat, dalam waktu singkat berubah menjadi kuburan yang sepi, suasana amat menyeramkan, bagaikan kota mati ditinggal penghuninya.
Untuk beberapa saat Bong Thian-gak hanya berdiri kaku di tempat, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya sekarang? Mendadak suara jeritan perempuan yang melolong seperti jeritan kuntilanak terdengar bergema dari loteng di depan sana.
Jeritan itu seperti suara jeritan seseorang yang merasakan penderitaan batin yang luar biasa.
Bong Thian-gak berkerut kening, tubuhnya secepat kilat bergerak menuju ke arah bangunan loteng itu.
Sementara itu teriakan dan lengkingan perempuan itu sekali lagi bergema di angkasa.
Suaranya begitu mengerikan, membuat bulu kuduk orang berdiri dan darah serasa mendidih.
Setelah itu terdengar pula seorang dengan suara terputusputus berteriak.
"Lebih baik kalian bunuh aku, kumohon ... kumohon kepada kalian ... janganlah menyiksa aku dengan cara begini."
Setelah itu kembali bergema teriakan seperti suara lolongan serigala di tengah malam buta. Bong Thian-gak sudah terpancing tiba di bawah loteng itu, tibatiba satu ingatan terlintas di benaknya, tanpa sadar pikirnya.
"Jangan-jangan mereka sengaja memasang sebuah perangkap di tempat ini."
Karena ingatan itu, dia segera membatalkan niatnya untuk melompat naik ke atas loteng itu. Tapi ingatan lain terlintas dalam benaknya.
"Betul, jelas perangkap jahat untuk memancingku masuk jebakan ... tapi perempuan itupun sudah jelas seorang korban mereka ... padahal tempat ini sangat berbahaya, aku wajib menyelamatkan jiwanya."
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera melompat naik ke atas loteng itu, menghantam daun jendelanya sehingga terpentang lebar.
Di balik daun jendela merupakan sebuah ruangan yang sangat lebar, terlihat seorang perempuan dalam keadaan bugil terikat kencang pada tonggak kayu di tengah ruangan.
Sedangkan di lantai terlihat ada beberapa ekor ular beracun sedang meliuk-liuk sambil menjulurkan lidahnya yang berwarna merah, dua di antaranya merayap mendekati nona bugil itu.
Perasaan kaget, ngeri dan ketakutan menyelimuti wajah gadis bugil tadi, membuatnya sekali lagi menjerit.
Tatkala perempuan bugil itu melihat Bong Thian-gak muncul di situ, sorot matanya memancarkan sinar permohonan.
"Bedebah!"
Umpat Bong Thian-gak amat gusar.
Tanpa memikirkan bagaimana akibatnya, pemuda itu segera melejit ke tengah udara dan langsung meluncur ke arah tonggak kayu dimana perempuan bugil itu terikat.
Pedangnya segera digetarkan, dan "Crit", persis menusuk di atas tonggak kayu itu.
Dengan tangan kiri menggenggam pedang, Bong Thian-gak menggantungkan diri di atas pedangnya, sementara ujung baju kanannya dikebaskan ke muka.
Akibat babatan ujung bajunya itu, dua ekor ular yang sedang merambat mendekati tonggak kayu itu segera terhajar hingga terputus menjadi beberapa bagian.
Pada saat itulah perempuan bugil yang terikat di atas tonggak kayu beraksi, tubuhnya bagaikan ular menggeliat, lalu ...
"Plak", Bong Thian-gak terhajar telak oleh
Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Hong Lui Bun -- Khu Lung Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen