Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 16


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 16


tertawa.

   "Aku she Bu bernama Seng."

   Begitu si kakek bungkuk menyebut namanya, Tio Tian-seng segera berbisik lirih.

   "Ah, dia adalah si pukulan tanpa wujud Bu Seng."

   "Tio-pangcu apakah dia adalah pukulan tanpa wujud Bu Seng yang angkat nama bersama guruku Thi-ciang-kan-kunhoan Oh Ciong-hu pada empat puluh tahun berselang?"

   Tanya Bong Thian-gak. Tio Tian-seng mengangguk membenarkan.

   "Betul, kalau dibilang siapa-siapa saja yang termasyhur dalam Bu-lim karena ilmu pukulannya, maka orang pertama adalah gurumu Oh Hong hu almarhum, kemudian Bu Seng. Sungguh tak kusangka Bu Seng masih hidup."

   Sementara itu setelah kakek bungkuk itu menyebut namanya, sambil tersenyum gadis Biau itu berkata.

   "Pukulan tanpa wujud Bu Seng memang termasyhur dalam persilatan, namun malam ini di sini masih hadir pula seorang yang mempunyai nama besar lebih termasyhur daripadamu dan orang itu sudah menjadi pengawalku sekarang."

   Mendengar itu, si kakek bungkuk tertawa terbahak-bahak.

   "Siapa nama besar pengawal nona itu?"

   Agaknya dia belum percaya atas perkataan gadis Biau itu. Sesungguhnya berapa orangkah yang mempunyai nama dan kedudukan yang lebih tinggi daripada dirinya saat ini? "Si tua Bu, rupanya kau tidak percaya perkataanku ini,"

   Seru gadis itu sambil tertawa.

   "Coba jawab, cukup tenarkah nama besar Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng dalam dunia persilatan?"

   Mendengar kata-katanya itu, Bong Thian-gak segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng. Tampak Tio Tian-seng menggeleng kepala sambil tertawa getir.

   "Wah, agaknya dia telah menganggap kita berdua sebagai pengawalnya."

   Sementara itu si kakek bungkuk sudah dibuat serba salah oleh perkataan lawan, dengan wajah meringis katanya.

   "Tio Tian-seng adalah Kay-pang Pangcu, masakah dia pengawalmu? Benar-benar melantur dan tak bisa dipercaya."

   "Hei, si tua Bu, bagaimana kalau kita bertaruh?"

   Tantang si gadis suku Biau itu dengan suara merdu.

   "Bagaimana caranya bertaruh?"

   "Seandainya Tio Tian-seng adalah benar-benar pengawalku, kau mesti segera mengundurkan diri dan tidak lagi mencari gara-gara kepada nonamu ini, setuju?"

   Kakek bungkuk itu tertawa keras.

   "Hahaha, bagaimana caramu membuktikan bahwa Tio Tian-seng adalah pengawalmu? Apakah cuma mengandalkan bibirmu yang pandai bicara itu?"

   "Oh, soal itu mudah untuk dibuktikan. Asal aku mau, dapat kuperintahkan Tio Tian-seng menuruti perintahku."

   "Bagaimana seandainya kau yang kalah?"

   "Kalau aku kalah, maka terserah kepada perintahmu, aku tak akan melawan sedikit pun juga."

   Kakek bungkuk itu memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, lalu ujarnya.

   "Nona, kau sudah kalah."

   "Mau bertaruh atau tidak, terserah pada keputusanmu sendiri,"

   Jengek si nona Biau sambil tertawa dingin.

   "Nona telah membunuh delapan orang anak buahku, aku tak sudi bergurau denganmu lagi,"

   Tukas si kakek bungkuk itu ketus.

   "Aku tahu, sepasang telapak tanganmu itu lihai dan tiada tandingannya. Sekali turun tangan, maka sudah pasti aku akan tewas di tanganmu."

   Sampai di situ, tiba-tiba ia menghentikan perkataannya. Sudah jelas perkataan itu memang sengaja diucapkan agar terdengar oleh Tio Tian-seng. Pada saat itulah dengan suara lirih Bong Thian-gak bertanya.

   "Tio-pangcu, bagaimana keputusanmu?"

   "Tampaknya ia sudah tahu kita telah menyembunyikan diri di sekitar sini, maksud tujuannya jelas hendak memaksa kita menampakkan diri."

   "Tio-pangcu adalah seorang terhormat dengan kedudukan mulia, kau tak boleh memberi kesan kepada orang lain bahwa dirimu adalah pengawalnya. Biar Boanpwe saja yang tampil melihat keadaan."

   Selesai berkata, pemuda itu segera melompat ke udara dan melayang turun di sisi kiri gadis Biau itu bagaikan malaikat yang turun dan kahyangan, setibanya di situ dia membungkam.

   Diam-diam si kakek bungkuk itu terkejut menyaksikan gerakan Bong Thian-gak yang amat sempurna, diawasinya pemuda itu beberapa saat.

   kemudian tegurnya.

   "Apakah orang ini adalah pengawalmu?"

   Dengan matanya yang jeli, gadis Biau mengerling sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu dengan senyuman bangga yang menghiasi ujung bibirnya ia menyahut.

   "Benar, dia adalah pengawalku!"

   "Kalau begitu biar kubunuh pengawalmu ini terlebih dahulu,"

   Seru si kakek bungkuk sambil tertawa dingin.

   Tiba-tiba si kakek bungkuk mengayun telapak tangan kanannya ke depan, segulung angin pukulan yang tak berwujud bagaikan amukan ombak di tengah samudra langsung menggulung ke arah anak muda itu.

   Bong Thian-gak tidak menyangka lawan segera melepas serangan begitu selesai mengatakan akan turun tangan.

   Sambil mendengus pemuda itu mengayun lengan tunggalnya menyambut datangnya ancaman kakek bungkuk itu dengan keras melawan keras.

   Sementara itu dalam pikiran si kakek bungkuk ia justru kuatir apabila Bong Thian-gak berkelit dan tak berani menyongsong datangnya serangannya dengan kekerasan.

   Maka begitu melihat lawannya menyambut ancaman itu dengan kekerasan, ia segera berpikir sambil tertawa geli.

   "Bocah keparat, kau sudah ingin mampus rupanya."

   Belum habis ingatan itu melintas, dua gulung angin pukulan tanpa wujud sudah saling bentur.

   Gelombang angin pukulan yang saling bentur itu seketika menimbulkan pusaran serta desingan angin tajam yang mengerikan dan melontarkan pasir serta debu hingga memenuhi angkasa.

   Akibat benturan yang amat keras itu sepasang bahu kakek itu bergetar keras hingga tak dapat dicegah lagi tubuhnya terdorong mundur sejauh tiga langkah.

   Sebaliknya Bong Thian-gak juga mendengus tertahan, lalu secara beruntun dia mundur tiga langkah dengan sempoyongan.

   Ketika kakek bungkuk itu melihat Bong Thian-gak masih berdiri segar bugar di tempat, paras mukanya kontan berubah hebat, setelah tertawa dingin katanya.

   "Ehm, dari kemampuanmu menyambut seranganku tadi, bisa kuduga tenaga dalam yang kau miliki benar-benar amat sempurna."

   Pada saat itu Bong Thian-gak harus menerima semuanya itu tanpa menjawab, karena itu dia berlagak bisu dan tuli serta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sesudah tertawa bangga, gadis suku Biau itu berkata kembali.

   "He, si tua Bu, kau jangan keburu bangga dulu dengan mengira ilmu pukulanmu sudah tiada taranya di dunia ini. Ketahuilah pada malam ini kau telah bertemu dengan lawan tandingmu, tentunya kemampuan yang dimiliki anak buahku itu tidak lebih lemah daripada kemampuan yang kau miliki bukan?"

   Sebenarnya kakek bungkuk ini memang agak bergidik dibuatnya, tapi di luar ia tetap berkata sambil tertawa dingin.

   "Siapa nama besar pengawalmu ini?"

   Gadis suku Biau itu tersenyum.

   "Jika kusebut namanya, besar kemungkinan kau akan terperanjat."

   Sekali lagi si kakek bungkuk mengawasi Bong Thian-gak sekejap, lalu dengan kening berkerut katanya.

   "Jangan kuatir, nyaliku cukup besar, coba katakan orang ternama darimanakah pengawalmu itu hingga rela bertekuk lutut menjadi budak orang."

   Bong Thian-gak kontan mengerut dahi, hawa napsu membunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya. Kembali gadis suku Biau itu berkata sambil tersenyum.

   "Dia adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak, pernah kau dengar nama orang ini?"

   Berubah hebat paras muka si kakek bungkuk itu, segera ia berpaling ke arah Bong Thian-gak dan bertanya.

   "Benarkah kau adalah Jian-ciat-suseng?"

   "Benar, akulah orangnya,"

   Untuk pertama kalinya Bong Thian-gak bersuara dan menjawab dengan suara hambar. Tiba-tiba kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, kemudian serunya lantang.

   "Aku dengar kau telah mendirikan sebuah partai yang dinamakan Hiat-kiam-bun. Sungguh tak kusangka malam ini kau justru mengikat hubungan dengan perempuan liar ini, bahkan bersedia menjadi budaknya. Peristiwa ini benar-benar tidak kusangka."

   "Apa yang hendak kuperbuat, lebih baik kau tak usah ikut campur,"

   Kata Bong Thian-gak dengan suara dingin.

   "Bagaimana pun juga malam ini, Jian-ciat-suseng tak akan mengizinkan kau melukainya barang seujung rambut pun."

   Sekali lagi kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak.

   "Sudah puluhan tahun aku belum pernah bertemu seorang lawan tanding. Malam ini Jian-ciat-suseng memang perlu merasakan kemampuan sepasang telapak tanganku ini."

   "Bu Seng, ilmu pukulan tanpa wujudmu meski sudah termasyhur di seluruh kolong langit belum tentu aku bukan tandinganmu, tapi malam ini orang yang melindungi keselamatannya bukan cuma aku seorang. Oleh sebab itu kuanjurkan kepada Bu-locianpwe agar segera mengundurkan diri, kesempatan bagi kita untuk bertarung di kemudian han masih cukup banyak."

   "Siapa lagi yang berada di sini?"

   Desak kakek bungkuk itu cepat. Dengan suara dalam Bong Thian-gak menjawab.

   "Jangan kau tanya siapa orangnya, yang jelas dia adalah seorang tokoh sakti dari persilatan yang memiliki ilmu silat lebih tangguh daripada aku."

   "Tahukah kau apa yang menjadi sengketa antara diriku dengan perempuan itu?"

   Tegur si kakek bungkuk lagi.

   "Walaupun aku tak tahu, namun kuharap Bu-locianpwe sudi memberi muka untuk kali ini saja, di kemudian hari aku pasti akan memohon maaf kepada Locianpwe."

   Kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak.

   "Baiklah kalau begitu, aku mengundurkan diri untuk sementara waktu."

   Selesai berkata, dia lantas mengulap tangan, kedelapan lelaki berbaju hitam tadi serentak menggotong jenazah rekanrekannya dan berlalu mengikut di belakang kakek bungkuk itu.

   Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap di balik kegelapan sana.

   Pada saat itulah dari bawah rindangnya pepohonan pelanpelan berjalan keluar Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng.

   Dengan suara rendah dan berat, Bong Thian-gak segera berkata kepada gadis suku Biau itu.

   "Nona, sekarang aku hendak bicara secara blak-blakan padamu. Kami bersedia membantumu menghadapi musuh mana pun, tetapi enggan menuruti perintah dan menjalankan tugas yang kau berikan."

   "Tentunya nona tahu meskipun aku dan Tio-pangcu sudah keracunan, namun masih memiliki kekuatan untuk bertempur melawan musuh mana pun juga, tetapi demi keselamatan kami berdua, besar kemungkinan kami akan berbuat sewenang-wenang terhadapmu."

   Biau-kosiu tertawa.

   "Kau menyebut diri sebagai pendekar, apakah kalian benar-benar akan turun tangan keji terhadap seseorang yang sama sekali tidak ada ikatan dendam maupun sakit hati terhadap dirimu?"

   "Nona tak sudi menolong orang yang sedang susah, tiada setia kawan serta ingkar janji. Apakah kami pun akan membiarkan kau bertindak sewenang-wenang untuk keuntungan dirimu sendiri?"

   Tiba-tiba Biau-kosiu menghela napas panjang.

   "Ai, semua itu gara-gara aku telah cerewet sehingga membocorkan kepada kalian bahwa aku dapat menyembuhkan racun sengatan nyamuk penghancur darah."

   "Bila nona bersedia membantu kami, Bong Thian-gak tak akan melupakan budi kebaikanmu itu."

   "Baiklah, aku bersedia menghadiahkan obat penawar racun untuk kalian berdua,"

   Ucap Biau-kosiu kemudian.

   "Apakah obat penawar racun berada di rumah penginapan?"

   "Ya, silakan kalian ikut aku kembali ke rumah penginapan Ban-heng!"

   Rumah penginapan Ban-heng adalah rumah penginapan terbesar di kota Lok-yang, bangunan rumahnya bersusunsusun dan kamarnya terdiri dari ratusan bilik, letaknya di sebelah barat dekat dinding kota.

   Oleh karena itu Bong Thian-gak, Tio Tian-seng dan Biaukosiu menelusuri dinding kota menuju ke bagian barat, kemudian melompati dinding benteng dan melayang masuk ke halaman rumah penginapan Ban-heng.

   Waktu itu kentongan kelima baru saja bergema, bintang dan rembulan telah tenggelam, langit dicekam kegelapan.

   Dengan gerakan tubuh yang enteng, Biau-kosiu menelusuri halaman menuju gedung lapisan kedua dan pada akhirnya melayang turun ke muka sebuah pintu.

   Baru saja mereka muncul, dari balik gedung sudah terdengar seorang perempuan menegur tapi penuh kasih sayang.

   "Anak Siu di situ?"

   Menyusul cahaya lentera menerangi ruangan kamar.

   "Nenek, Siu-ji yang datang,"

   Biau-kosiu berseru manja. Dari balik ruangan terdengar perempuan tua itu menegur lagi.

   "Siapakah kedua orang lainnya?"

   Ketika mendengar teguran itu, paras muka Tio Tian-seng dan Hong Thian-gak sama-sama berubah hebat, pikir mereka.

   "Hebat, tajam dan cekatan benar pendengaran perempuan itu, padahal langkah kami sudah diusahakan seringan mungkin, sudah tidak menimbulkan sedikit suara pun, tapi anehnya mengapa pihak lawan bisa membedakan berapa orang yang telah datang?"

   Dapatlah diduga perempuan di dalam ruangan itu adalah seorang jagoan yang berilmu sangat tinggi.

   Diam-diam Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng jadi kuatir, andaikata Biau-kosiu ingkar janji dan tak bersedia menyerahkan obat penawar racun, sanggupkah mereka berdua menandingi Biau-kosiu beserta perempuan tua itu? Dalam pada itu Biau-kosiu termenung sesaat, tidak langsung menjawab, mendadak dari kegelapan muncul bayangan orang, tahu-tahu ada tiga orang telah mengurung Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng.

   Ketiga orang itu terdiri dari seorang nenek berambut putih berwajah merah, membawa toya kepala setan yang besarnya selengan bocah dan berwarna hitam pekat.

   Di sisi nenek itu adalah seorang perempuan setengah umur yang tinggi kekar bermata tunggal berparas jelek serta bertelanjang kaki yang bentuknya sebesar gajah.

   Sedang di sebelah kanannya adalah seorang lelaki kekar setengah umur yang hitam dan jelek, bermata tunggal dan berperawakan tinggi kekar, dia pun bertelanjang kaki.

   Pada hakikatnya kedua orang terakhir ini merupakan pasangan yang amat serasi, baik lelaki maupun yang perempuan sama-sama berwajah bengis, buas, bermata tunggal dan bertelanjang kaki.

   Dari kemampuan ketiga orang yang muncul tanpa menimbulkan sedikit suara, bahkan sanggup menyelinap dengan kecepatan tinggi, jelas kemampuan mereka sungguh hebat dan tak bisa dianggap enteng.

   Seketika itu juga Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng dicekam oleh ketegangan yang luar biasa.

   Sementara itu Biau-kosiu telah bersandar dalam pelukan si nenek berambut putih itu sambil berkata dengan manja.

   "Nenek, berilah dua butir pil penawar nyamuk beracun untukku, anak Siu telah berjanji akan menghadiahkan untuk mereka berdua."

   Dengan penuh kasih sayang nenek berambut putih itu membelai rambut Biau-kosiu, lalu katanya.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Anak Siu, siapa kedua orang ini? Mengapa kau berjanji hendak menghadiahkan pil penawar nyamuk beracun itu kepada mereka?"

   "Nenek janganlah bertanya terus, Siu-ji telah berjanji, tentu saja aku tidak ingin ingkar janji. Nenek, ayolah ambil pil itu!"

   Tampaknya nenek berambut putih itu sangat menyayangi Biau-kosiu, ia segera menjawab.

   "Baik, nenek akan memberikan dua butir untuk mereka."

   Seusai berkata, tiba-tiba nenek berambut putih itu mengeluarkan dua pil berwarna merah dari dalam sebuah botol berwarna putih porselen, kemudian diserahkan ke tangan nona itu.

   Setelah menerima pil itu, Biau-kosiu segera menyerahkan kepada Bong Thian-gak sambil ujarnya manja.

   "Cepat kalian telan pil itu dan tinggalkan tempat ini secepatnya!"

   Bong Thian-gak menerima pil itu, baru saja hendak mengucapkan beberapa patah kata merendah, nona itu di bawah bimbingan si nenek berambut putih dan diikuti sepasang laki perempuan bermata tunggal itu sudah berlalu dari sana.

   Bong Thian-gak hanya bisa menghela napas dan menyerahkan sebutir pil ke tangan Tio Tian-seng, kemudian mereka menelan pil itu.

   Begitu pil itu masuk ke dalam mulut, bau harum semerbak memancar kemana-mana, pil segera mencair dan membaur dengan liur mengalir ke dalam perut.

   Tak lama kemudian mereka berdua merasakan semangatnya berkobar kembali, dada terasa lapang dan segar.

   Tio Tian-seng pun menarik Bong Thian-gak untuk diajak pergi dari situ.

   "Kita hendak kemana?"

   Tanya Bong Thian-gak.

   "Mari kita memesan kamar dan tinggal di rumah penginapan ini."

   Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng pun menginap di rumah penginapan Ban-heng, jaraknya dari situ ke gedung yang ditempati Biau-kosiu sekalian cuma selisih sebuah beranda lebar.

   Di dalam gedung yang mereka pesan terdapat dua buah kamar dengan bagian tengahnya merupakan ruang tamu.

   Ketika Tio Tian-seng pergi meninggalkan penginapan, dalam ruangan itu tinggal Bong Thian-gak seorang.

   Perjalanan yang jauh semalam suntuk membuat Bong Thian-gak merasa agak lelah, ketika ia bersiap-siap masuk ke dalam kamar untuk beristirahat, mendadak dari halaman muka bergema suara langkah kaki, lalu seseorang berkelebat dan di muka pintu sudah berdiri seorang sastrawan berbaju putih.

   Dengan terkejut Bong Thian-gak menegur.

   "Kau mencari siapa?"

   Tampang sastrawan berbaju putih itu ganteng, mata jeli dan hidung mancung, mukanya putih bersih, ia menggenggam kipas putih dan menggembol sebilah pedang di punggungnya.

   Dengan sorot mata tajam ia mengawasi wajah Bong Thiangak lekat-lekat.

   Sekulum senyuman yang angkuh menghiasi ujung bibirnya, ia ganti menegur dengan lantang.

   "Kau yang bernama Jian-ciat-suseng?"

   "Benar,"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Ada urusan apa kau datang mencariku?"

   Sastrawan berbaju putih itu tersenyum.

   "Aku she Liong bernama Oh-im."

   Sekalipun Bong Thian-gak merasa agak bingung dan heran atas kedatangan tamu tak diundang ini, namun ia segera menyahut dengan nada gembira.

   "Oh, rupanya Liong-heng. Silakan duduk."

   Tanpa sungkan sastrawan berbaju putih Liong Oh-im melangkah masuk ke dalam dan duduk di kursi tamu. Bong Thian-gak menuang secangkir teh untuk tamunya, kemudian baru bertanya lagi.

   "Apakah Liong-heng mencari aku?"

   "Benar,"

   Liong Oh-im tertawa dingin.

   "Adapun kedatanganku tak lain adalah menanyakan beberapa persoalan kepada Bong-tayhiap."

   "Liong-heng ada urusan apa, silakan saja utarakan secara terus terang,"

   Jawab Bong Thian-gak tertegun. Kembali Liong Oh-im tertawa.

   "Sebenarnya kita memang tidak saling mengenal. Karenanya bila kedatanganku telah mengganggu Bongtayhiap, harap sudi memaafkan."

   "Ah, empat penjuru adalah tetangga, empat samudra adalah saudara."

   Tiba-tiba sastrawan berbaju putih merendahkan suara, kemudian berbisik.

   "Bong-tayhiap, sebenarnya persoalan yang hendak kutanyakan adalah masalah yang menyangkut hubungan Bong-tayhiap dengan Biau-kosiu."

   "Kau maksudkan gadis suku Biau itu?"

   Tanya Bong Thiangak terperanjat. Liong Oh-im tersenyum.

   "Konon Bong-tayhiap menjadi salah satu pengawal Biaukosiu? Apa benar kabar ini?"

   Bong Thian-gak tidak langsung menjawab, ia termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian balik bertanya.

   "Ada urusan apa Liongheng menanyakan hal ini?"

   Kembali Liong Oh-im tertawa kering.

   "Aku hanya ingin tahu, benarkah Bong-tayhiap sudah menjadi pengawalnya?"

   "Tidak,"

   Bong Thian-gak menggeleng dengan tegas.

   "Kalau memang Bong-heng bukan pengawal Biau-kosiu, buat apa kau tetap berada di sini untuk menyerempet bahaya?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Dengan berdiam dalam rumah penginapan ini, mungkinkah aku akan menjumpai ancaman maut?"

   "Sudah banyak jago-jago lihai persilatan yang beranggapan bahwa Bong-tayhiap adalah orang Biau-kosiu. Dengan tetap berada di sini, bukankah sama artinya menjajakan diri menjadi sasaran kemarahan orang?"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya.

   "Apakah kau berasal dari satu aliran dengan si pukulan tanpa wujud Bu Seng?"

   "Betul, Bu Seng si tua itu tak lebih adalah panglima andalanku."

   Bong Thian-gak sangat terkejut, segera pikirnya.

   "Jadi dia adalah anak buahnya? Lantas orang macam apakah Liong Ohim?"

   Bu Seng adalah tokoh silat yang pernah menggemparkan Bu-lim pada empat puluh tahun berselang, tapi sekarang dia tak lebih cuma seorang anak buah Liong Oh-im yang masih begitu muda.

   Tentu Liong Oh-im adalah seorang yang mempunyai asalusul luar biasa.

   Bong Thian-gak berpikir beberapa saat, kemudian katanya sambil tersenyum.

   "Apakah kau hendak membuat perhitungan dengan Biau-kosiu serta rombongannya?"

   "Boleh dibilang begitu,"

   Sahut Liong Oh-im sambil tertawa ringan. Bong Thian-gak segera tertawa.

   "Aku rasa Biau-kosiu bukan manusia yang mudah dihadapi, lagi pula di sekelilingnya dilindungi oleh beberapa jago silat berilmu tinggi. Untuk menghadapi perempuan itu, kau mesti banyak membuang tenaga dan pikiran."

   "Justru karena agak sulit dihadapi, maka aku sengaja datang menjumpai Bong-tayhiap dan berharap kau tidak mencampuri urusan ini,"

   Kata Liong Oh-im sambil tertawa. Bong Thian-gak juga tertawa.

   "Ah, aku cukup terang pikiran untuk membedakan mana budi dan mana dendam. Bila ada orang melepas budi kepadaku, aku pun akan membalas kebaikan kepadanya, tapi bila orang memberi kejahatan padaku, aku pun bersumpah akan menuntut balas. Jika persoalan tiada sangkut-paut dengan budi dan dendam, maka aku pun akan berpeluk tangan."

   Liong Oh-im terbahak-bahak.

   "Jika Bong-tayhiap memang benar memegang ketat perkataanmu itu, aku pun tak usah kuatir lagi. Baiklah, aku mohon diri lebih dulu."

   Selesai berkata, dia lantas berdiri, memberi hormat dan segera membalikkan badan berlalu dari situ. Bong Thian-gak mengawasi bayangan Liong Oh-im lenyap dari pandangan, kemudian menghela napas seraya bergumam.

   "Sebenarnya orang macam apakah Liong Oh-im? Dilihat dari gerak-geriknya, dia seperti memiliki jiwa seorang pemimpin. Mungkinkah dia benar-benar seorang tokoh terkenal yang memiliki kedudukan tinggi?"

   Belum habis ingatan itu melintas, tiba-tiba dari luar pintu sudah muncul Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng. Begitu memasuki ruangan, Tio Tian-seng segera bertanya.

   "Bong-laute, apakah ada tamu yang telah berkunjung kemari?"

   Sekali lagi Bong Thian-gak tertegun, kemudian baru jawabnya.

   "Ya, memang ada seorang tamu tak diundang yang telah berkunjung kemari. Dia mendatangkan kebimbangan, kecurigaan dan kemisteriusan bagiku."

   "Oya? Tamu macam apakah dia?"

   "Seorang sastrawan berbaju putih yang berusia dua puluh tujuh-delapan tahun, dia mengaku bernama Liong Oh-im."

   Mendengar nama itu, paras Tio Tian-seng berubah, kemudian serunya terkejut.

   "Liong Oh-im? Dia adalah Giokgan- suseng (sastrawan berwajah kemala) Liong Oh-im yang namanya amat tersohor di seputar wilayah Se-ih."

   Bong Thian-gak belum pernah mendengar tentang Giokgan- suseng. Oleh sebab itu dia tidak terpengaruh oleh nama ini, malah tanyanya.

   "Menakutkankah orang itu, Tio-pangcu?"

   "Mungkin Bong-laute belum begitu mengenal dan belum pernah mendengar tentang Giok-gan-suseng Liong Oh-im ini. Ketahuilah, sejak delapan belas tahun berselang, nama besar Giok-gan-suseng sudah amat termasyhur, bahkan amat menggetarkan wilayah Se-ih."

   "Delapan belas tahun berselang?"

   Bong Thian-gak terkejut.

   "Tapi aku rasa Liong Oh-im masih berusia dua puluh delapan tahunan. Ah, mana mungkin? Masakah sejak usia sepuluh tahun sudah terkenal dan menggemparkan persilatan?"

   "Bong-laute, kau salah taksir. Liong Oh-im tidak terhitung anak muda lagi, usianya sekarang sekitar empat puluh tahunan, tapi oleh karena dia telah memakan obat mustika yang disebut Ho-siu-uh yang berusia seribu tahun, maka wajahnya tetap awet muda dan menyerupai anak muda berusia dua puluh tahun, ditambah lagi parasnya memang termasuk tampan. Itulah sebabnya orang menyebut Giok-gansuseng kepadanya."

   "Ah, masakah di dunia ini benar-benar terdapat sejenis obat mustika yang bisa membuat orang awet muda?"

   Seru Bong Thian-gak heran.

   "Barusan aku telah berkunjung ke kantor cabang perkumpulan di l.ok-yang dan mendapat tahu bahwa Lok-yang telah dijadikan arena perkumpulan jago lihai dari seluruh kolong langit, seakan-akan bakal terjadi suatu peristiwa yang mengerikan di kota Lok-yang ini."

   Bong Thian-gak menghela napas ringan.

   "Setelah mendengar perkataan Liong Oh-im tadi, kemudian dicocokkan dengan perkataanmu barusan, maka aku rasa berkumpulnya para jago persilatan di kota Lok-yang ini bisa jadi hendak mencari gara-gara kepada pihak Biau-kosiu."

   Secara ringkas lantas Bong Thian-gak menceritakan apa yang dibicarakannya bersama Liong Oh-im belum lama berselang. Kata Tio Tian-seng dengan suara dalam.

   "Bong-laute, untuk menghadapi seorang Hek-mo-ong saja kita sudah cukup dibuat pusing dan kewalahan. Apakah kau hendak menanam bibit bencana lagi dengan mencari musuh baru macam Giokgan- suseng Liong Oh-im?"

   "Biau-kosiu telah melepas budi pertolongan kepada kita berdua, apakah kita harus berpeluk tangan membiarkan dia dipermainkan dan dianiaya orang lain?"

   "Bong-laute,"

   Tio Tian-seng berkata.

   "pernahkah kau bayangkan siapakah sebenarnya orang yang telah menyergap kita dengan nyamuk-nyamuk penghancur darah itu?"

   "Apakah hasil perbuatan Hek-mo-ong?"

   Tio Tian-seng menggeleng kepala berulang-kali.

   "Aku rasa bukan Hek-mo-ong, melainkan perbuatan Biaukosiu."

   "Bagaimana penjelasanmu tentang persoalan ini? Antara kita dengan Biau-kosiu sama sekali tidak terikat dendam sakit hati apa pun?"

   "Apabila perbuatan Hek-mo-ong, maka dia pasti tidak hanya melepaskan nyamuk penghancur darah saja dan lebihlebih tidak akan mengizinkan Biau-kosiu menyelamatkan jiwa kita. Sekarang kota Lok-yang sudah menjadi pusat jagoan dari bermacam-macam aliran dan kedatangan mereka pun untuk membuat gara-gara kepada Biau-kosiu serta rombongannya, posisi Biau-kosiu sudah terjepit dan menghadapi ancaman dari mana-mana. Betul, dia masih dilindungi nenek berambut putih serta laki-perempuan bermata tunggal itu, tapi mungkinkah baginya membendung serangan Liong Oh-im bersama kawanan jago lihai lainnya?"

   "Oleh sebab itu Biau-kosiu yang licik dan banyak tipu muslihat itu melepas nyamuk-nyamuk penghancur darah untuk mencelakai kita, kemudian menguntit dan memaksa kita menjadi pengawalnya."

   "Entah bagaimanakah pendapat Bong-laute tentang keteranganku ini? Apakah masih dapat diterima?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, apabila Tiopangcu tidak mengatakan lebih dahulu bahwa Hek-mo-ong bisa menyergap kita berdua, aku pun menduga seperti apa yang baru saja kau kemukakan. Cuma peristiwa ini sudah lewat, entah Biau-kosiu benar-benar melepas nyamuk-nyamuk penghancur darah secara sengaja untuk mencelakai kita atau tidak, Boanpwe sudah tidak mengingat lagi masalah itu dalam hati."

   "Bong-laute, hari ini kita masih berdiam di Lok-yang karena menunggu kabar Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing. Kita hanya secara kebetulan bertemu perselisihan antara golongan Biaukosiu dengan Giok-gan-suseng Liong Oh-im. Perkataan Bonglaute terhadap Liong Ohi m kunilai tepat sekali, kita memang tak usah mencampuri urusan orang lain, lebih baik berpeluk tangan menyaksikan mereka saling gontok."

   "Tio-pangcu,"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya.

   "sekarang aku makin bingung. Betulkah dalam Bu-lim terdapat seorang tokoh yang disebut Hek-mo-ong?"

   "Tak heran Bong-laute merasa ragu dan sangsi terhadap peristiwa Ini. Nama Hek-mo-ong memang tidak diketahui oleh sebagian besar umat persilatan, seperti pula keberhasilan perkumpulan Put-gwa-cin-kau menguasai dunia persilatan. Hal ini pun disebabkan kemisteriusan yang menyelimuti setiap tokoh mereka."

   "Tio-pangcu, kau mempunyai dugaan atas empat orang yang kemungkinan besar adalah Hek-mo-ong, bolehkah kuketahui keempat orang yang manakah menurut kau kemungkinan besar adalah Hek-mo-ong ?"

   Tio Tian-seng termenung dan berpikir sesaat lamanya, kemudian buru menjawab.

   "Keempat orang yang mencurigakan itu adalah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, si tabib sakti Gi Jian-cau, Giok-gan-suseng Liong Oh-im serta Topit- coat-to Liu Khi,"

   Sebab hanya keempat orang inilah yang memiliki kepandaian silat cukup tangguh untuk memegang peranan sebagai Hek-mo-ong."

   "Tio-pangcu, mengapa kau mencantumkan nama wakil ketuamu, Liu Khi, dalam daftar orang-orang yang kau curigai?"

   Tanya Bong Thian-gak- "Ya, setiap orang yang kucurigai sesungguhnya mempunyai alasan dan bukti yang cukup kuat,"

   Kata Tio Tian-seng seraya manggut-manggut.

   "Walaupun Liu Khi sempat memangku jabatan sebagai wakil ketua Kay-pang, namun gerak-gerik, ilmu silat dan kecerdasannya, rasanya lebih dari cukup untuk memegang peranan sebagai Hek-mo-ong."

   Bong Thian-gak menghela napas.

   "Ai, keempat orang yang Tio-pangcu sebutkan tak begitu kukenal secara akrab. Oleh sebab itu aku tak herani berkomentar apa-apa tentang mereka, cuma Gi Jian-cau seorang yang hingga kini belum pernah kulihat raut wajahnya, seperti apakah wajah si tabib sakti Gi Jian-cau?"

   "Saat-saat Hek-mo-ong tampil mungkin tidak akan terlalu lama lagi, sebab orang yang paling dia segani satu per satu telah disingkirkan olehnya. Pada akhirnya Hek-mo-ong yang asli akan segera diketahui orangnya."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tio-pangcu,"

   Bong Thian-gak bertanya.

   "hingga sekarang aku masih belum tahu asal-usul Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau. Dapatkah Tio-pangcu memberi keterangan kepadaku?"

   Berubah paras Tio Tian-seng, dia nampak ragu, tapi akhirnya berkata.

   "Bong-laute, aku telah bersumpah takkan membocorkan asal-usulnya selama hidup. Sebagai umat persilatan yang memegang janji, aku tak ingin mengingkari sumpahku sendiri. Benar, aku berdiri pada pihak yang bermusuhan dengan dirinya, tapi aku tak bisa melanggar sumpahku."

   Bong Thian-gak tertegun, katanya.

   "Ai, sungguh tak kusangka Tio-pangcu begini memegang janji."

   "Harap Bong-laute sudi memaafkan,"

   Suara Tio Tian-seng amat sedih dan pilu.

   "Boanpwe tak akan menyalahkan dirimu, bagaimana pun juga aku telah menyaksikan paras asli Cong-kaucu."

   "Kehadiran Cong-kaucu dalam Kangouw, sedikit banyak masih dapat menandingi gerak-gerik Hek-mo-ong. Oleh sebab itu hingga sekarang kau belum melihat perlunya bentrokan secara langsung pihak mereka dan di sinilah letak hubungan yang sensitif di antara kami."

   Bong Thian-gak menjadi bingung, tanyanya kemudian.

   "Hek-mo-ong adalah otak di belakang layar yang mengatur semua perbuatan dan tindakan orang-orang Put-gwa-cin-kau, hanya Hek-mo-ong yang dapat memberi perintah kepada Cong-kaucu. Mengapa kau mengatakan Cong-kaucu justru merupakan biji catur yang sanggup menghadapi Hek-mo-ong serta membatasi gerak-geriknya?"

   "Keadaan ini tak ubahnya seperti keadaanku yang mencurigai Liu Khi, biarpun Cong-kaucu hanya seorang anak buah Hek-mo-ong, namun sesungguhnya Cong-kaucu pun punya kemungkinan merebut jabatan pimpinan tertinggi."

   Bong Thian-gak setengah mengerti arti kata-katanya itu, katanya pula.

   "Sejak dulu berapa banyak menteri setia yang akhirnya berontak terhadap kaisar dan merebut kedudukan terhormat itu. Apabila dunia persilatan memang dipenuhi berbagai orang yang berambisi besar, siapa bilang keadaan demikian tak akan terjadi?"

   Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya.

   "Ai, ambisi dan rasa lak puas seseorang memang tak bisa dipenuhi untuk selamanya. Banyak peristiwa sedih dan tragis yang terjadi di dunia selama ini, bukankah sebagian besar disebabkan oleh watak manusia yang serakah, berambisi dan perasaan tak puas?"

   Semangat Tio Tian-seng berkobar, segera katanya.

   "Bila Hek-mo-ong telah disingkirkan, aku akan segera mengumumkan kepada seluruh umat persilatan bahwa aku akan mengundurkan diri dari keramaian dan selama hidup tidak akan mencampuri urusan duniawi lagi."

   Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Selama ini Boanpwe pun tidak mempunyai ambisi untuk menjadi pimpinan besar dunia persilatan atau pun ambisi untuk menguasai eluruh jagat. Asal dendam sakit hati perguruanku sudah terbalas dan Put-gwa-cin-kau bubar, Boanpwe pun berniat mengasingkan diri di suatu tempat terpencil dan tak akan lagi mencampuri urusan dunia ramai lagi."

   "Bong-laute, mari kita beristirahat. Kemungkinan besar kita akan disuguhi pertunjukan bagus malam nanti, kita tak boleh ketinggalan menyemarakkan keramaian itu."

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Benar, siang hari memang merupakan waktu beristirahat bagi orang persilatan, mari kita beristirahat."

   Maka kedua orang itu pun kembali ke kamar masingmasing untuk beristirahat.

   Bagi manusia-manusia yang berilmu tinggi seperti Tio Tianseng dan Bong Thian-gak, duduk bersemedi pun sudah cukup bagi mereka untuk menggantikan tidur, terutama Tio Tianseng yang mempunyai dasar tenaga dalam yang amat sempurna, baginya setiap hari hanya cukup bersemedi dua jam saja untuk menggantikan tidur semalam suntuk.

   Demikianlah mereka duduk bersemedi, dua jam sudah berlalu tanpa terasa.

   Waktu itu Bong Thian-gak sudah berada dalam keadaan lupa akan segalanya, hawa murni beredar dengan lancar dan napas berembus sangat beraturan.

   Tiba-tiba di luar jendela muncul seseorang, seorang gadis berbaju hijau telah menyusup masuk dari jendela.

   Ilmu yang dipelajari Bong Thian-gak adalah Tat-mo-khikang.

   Selama ia duduk bersemedi, indra perasaannya amat sensitif dan tajam, sejak nona berbaju hijau muncul di luar jendela, dia telah mengetahui kehadirannya.

   Pemuda itu membuka mata, sedang si nona berbaju hijau segera menempelkan jari tangannya di depan mulut memberi tanda agar jangan bersuara, kemudian dia mengayun tangan kirinya melemparkan sepucuk surat ke arah Bong Thian-gak, setelah itu si nona melompat keluar jendela dan lenyap di balik wuwungan rumah sana.

   Bong Thian-gak tertegun, kemudian mengawasi surat yang dilemparkan ke arahnya dengan termangu, pikirnya.

   "Aneh, siapakah perempuan ini? Mengapa dia datang menyampaikan surat untukku?"

   Pemuda itu segera memungut surat itu dan membukanya, di atas surat berwarna biru tertera tiga baris tulisan hitam, gaya tulisannya indah dan lembut, sudah jelas tulisan seorang wanita. Di atas surat itu tertera tulisan.

   "Ditujukan kepada Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Surat ini disampaikan oleh seorang kepercayaanku. Harap setelah menerimanya Siangkong segera berangkat keluar kota dan menjumpai seorang perempuan berbaju hijau di sebuah kuil dewa gunung yang terletak tiga li dari barat kota."

   Selesai membaca surat itu, Bong Thian-gak merasa ragu sejenak, kemudian setelah merobek-robek surat itu hingga hancur berkeping-keping, ia berpikir.

   "Aku sudah menerima budi pertolongan darinya, berarti aku harus membantunya."

   Bong Thian-gak segera turun dari pembaringan dan menuju ke pintu. Pada saat itulah dari ruang tengah terdengar suara Tio Tian-seng menegur.

   "Bong-laute, kau sudah bangun?"

   "Ya, sudah bangun!"

   Pemuda itu mengiakan. Ia membuka pintu kamar dan menuju ke ruang tengah. Tio Tian-seng sedang duduk di ruang tengah, dia menengok sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu bertanya.

   "Apakah Bong-laute telah menjumpai seseorang memasuki tempat tinggal kita?"

   Bong Thian-gak terkesiap, tapi buru-buru menjawab.

   "Oh, dia adalah nona berbaju hijau, tapi dengan cepat telah meninggalkan tempat ini."

   Sementara itu paras muka Tio Tian-seng diliputi hawa dingin, pelan-pelan ia mengeluarkan sepucuk surat sampul putih dari dalam sakunya dan diserahkan kepada Bong Thiangak sambil berkata.

   "Hek-mo-ong telah mengirim kartu undangan kematian buat kita."

   "Kartu undangan kematian?"

   Bong Thian-gak bertanya dengan kening berkerut.

   "Kartu itu berada di dalam sampul surat ini, lihatlah sendiri!"

   Bong Thian-gak membuka sampul itu dan mengeluarkan isinya yang ternyata berupa dua lembar kartu undangan berwarna putih pula. Pada bagian tengah kartu itu, tertera huruf-huruf besar. Yang satu berbunyi.

   "Dipersembahkan untuk Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."

   Sedangkan yang lain berbunyi.

   "Dipersembahkan untuk Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng."

   Tulisan itu dibuat dari tinta merah darah, sehingga kelihatannya amat menyolok pandangan mata. Bong Thian-gak membuka sampul undangan yang ditujukan kepadanya dan membaca isinya, ternyata isinya berupa sebuah kalimat dengan tulisan berwarna merah.

   "Usia Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak akan berakhir pada tahun Sim-cho, bulan delapan, tanggal delapan tengah hari tepat."

   Sedangkan bagian bawahnya tertera sebuah lambang tengkorak berwarna putih. Sambil tersenyum Bong Thian-gak segera berkata.

   "Tiopangcu, apa yang tertera pada undanganmu itu?"

   "Dia menetapkan usiaku akan berakhir pada bulan delapan tanggal sembilan persis selisih sehari darimu."

   Sekali lagi Bong Thian-gak tertawa.

   "Hari ini baru bulan delapan tanggal lima menjelang tengah hari, wah, kalau begitu usiaku masih ada tiga hari enam jam."

   "Bong-laute, selama ini kartu kematian dari Hek-mo-ong bukanlah gurauan,"

   Kata Tio Tian-seng serius.

   "Selama puluhan tahun belakangan ini, setiap orang yang telah menerima undangan kematian Hek-mo-ong belum pernah dapat hidup melebihi batas waktu yang ditentukannya di dalam kartu undangan itu."

   Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Kapan Tiopangcu mendapatkan kartu undangan ini?"

   "Di saat aku sedang keluar ruangan tadi, kutemukan sampul undangan itu di atas meja."

   "Kalau begitu tunggu saja sampai saatnya tiba nanti."

   "Bong-laute, tampaknya kau tidak terlalu serius menghadapi kartu undangan kematian ini?"

   Keluh Tio Tianseng sambil menggeleng kepala dan menghela napas.

   "Sebenarnya kartu undangan kematian Hek-mo-ong ini sangat kuharapkan, sebab dengan demikian aku dapat mengenali manusia macam apakah Hek-mo-ong itu, ingin kulihat apakah benar-benar seorang yang berkepala tiga berlengan enam."

   "Selamanya Hek-mo-ong tak perlu menunjukkan wujudnya saat hendak membunuh orang,"

   Kata Tio Tian-seng lagi dengan suara dalam.

   "Bila kau melihat kemunculannya, berarti ajalmu sudah berada di depan mata, oleh sebab itulah sampai sekarang belum ada seorang pun yang mengetahui macam apakah wajah Hek-mo-ong yang sesungguhnya."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sekarang aku ingin keluar sebentar, tak ada salahnya Tiopangcu memanfaatkan kesempatan ini untuk menyusun cara guna menghadapi lawan."

   "Kau hendak pergi kemana?"

   "Mau jalan-jalan ke kota."

   Sekali lagi Tio Tian-seng berkata dengan suara dalam.

   "Di saat Hek-mo-ong mengirimkan kartu undangan kematian itu, dia sudah lama menguntit gerak-gerik kita. Tiap saat dia menanti datangnya kesempatan baik untuk turun tangan keji terhadap kita. Bong-laute, bila kau tidak ada urusan yang penting, lebih baik tak usah keluar rumah dulu."

   "Maksudmu selama batas waktu yang ditentukan belum lewat, kita harus tetap berdiam di sini dan tak boleh meninggalkan ruangan barang selangkah pun?"

   "Satu-satunya cara untuk menghadapi ancaman kartu undangan kematian itu adalah mulai sekarang kita berdua mengurung diri di dalam ruangan dan jangan keluar dulu untuk sementara waktu, kita pun tak usah makan, minum atau pun tidur sampai batas waktu yang ditentukan lewat."

   "Ah, Boanpwe tak percaya dengan segala macam takhayul,"

   Seru Bong Thian-gak menggeleng berulang-kali.

   "Cara membunuh orang yang paling diandalkan oleh Hekmo- ong adalah membunuh dengan jalan meracuni. Selama puluhan tahun terakhir ini, setiap saat aku selalu putar otak dan berdaya upaya untuk mencari jalan guna menghadapi Hek-mo-ong, namun usahaku selama ini lak memberikan hasil yang diharapkan."

   Menyaksikan keseriusan, kekuatiran, sikap tegang dan berat yang menyelimuti wajah Tio Tian-seng, diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Betulkah Hek-mo-ong sedemikian hebatnya?"

   Sementara itu, Tio Tian-seng segera berkata lagi sambil menghela napas sedih.

   "Aku kuatir Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing lah Hek-mo-ong. Kalau tidak, caraku menutup diri menantikan kedatangannya ini pasti berhasil mendesak Hekmo- ong menampakkan diri."

   "Batas waktu yang ditentukan bagi kematianku masih sehari lebih cepat ketimbang Tio-pangcu. Andai kata aku benar-benar tewas, Tio-pangcu pun masih mempunyai waktu satu hari satu malam untuk bersiap menghadapinya. Buat apa kau mesti gelisah dan panik mulai sekarang?"

   Tio Tian-seng menghela napas panjang.

   "Ai, apabila Bonglaute tidak percaya perkataanku ini, aku kuatir kau akan dimanfaatkan oleh Hek-mo-ong."

   "Tak usah kuatir, Boanpwe pasti sanggup menghadapinya dengan hati-hati. Bagaimana pun juga aku tak punya rencana untuk menutup diri menantikan datangnya saat kematian. Bisa juga sebelum batas waktu bulan delapan tanggal delapan tiba, aku telah tewas dibunuh Hek-mo-ong."

   Seusai berkata, pemuda itu segera membalik badan dan beranjak keluar ruangan.

   Sepeninggalnya dari penginapan Ban-heng, dia langsung menuju ke barat kota.

   Tatkala ia melangkah keluar rumah penginapan Ban-heng, Bong Thian-gak yang cekatan dan teliti segera merasakan bahwa dirinya sedang dikuntit seseorang.

   Tapi Bong Thian-gak berlagak seolah-olah tak merasa jejaknya diikuti, dengan langkah tetap dan tenang dia melanjutkan perjalanan menuju ke kota bagian barat.

   Tak selang beberapa saat ia sudah tiba di pintu kota sebelah barat.

   Sekeluarnya dari pintu kota, Bong Thian-gak menelusuri dinding kota menuju ke arah utara, benar juga ia saksikan seseorang sedang mengikutinya di belakang sana.

   Diam-diam ia tertawa dingin, mendadak di depan situ muncul sebuah tikungan yang menjorok ke dalam, maka Bong Thian-gak segera mempercepat langkahnya melewati tikungan itu, kemudian melompat naik ke atas dinding kota, dari situ ia berlari balik, kemudian dari dalam dia melompat keluar dinding kota itu.

   Seperti malaikat sakti yang turun dari kahyangan, dengan tepat Bong Thian-gak melayang turun di hadapan si penguntit.

   Kemunculannya yang mendadak ini tentu saja membuat si penguntit gugup dan gelagapan, kemudian ia mundur selangkah dan mengawasi lawannya dengan wajah kaget, gugup, panik dan cemas.

   Bong Thian-gak mengamatinya sekejap, dia adalah seorang laki-laki setengah umur bertubuh ceking dan bertampang seperti monyet, tidak nampak membawa senjata.

   Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak menegur.

   "Sejak dari rumah penginapan Ban-heng kau telah mengikuti diriku sampai di sini. Ingin kuketahui siapa yang telah mengirimmu untuk mengikuti diriku?"

   Dalam anggapan Bong Thian-gak orang ini paling cuma seorang kurcaci yang dibayar seseorang untuk mengikutinya, oleh karenanya dia tidak segera turun tangan membekuknya.

   Lelaki setengah umur berwajah monyet itu melototkan sepasang matanya yang kecil dan memperhatikan Bong Thiangak sekejap, kemudian tanyanya kebingungan.

   "Toaya, apa kau bilang?"

   "Hm, aku menuduh kau telah mengikuti diriku,"

   Dengus Bong Thian-gak dingin. Tiba-tiba lelaki itu tertawa cekikikan, lalu serunya.

   "Toaya gemar bergurau, jalan yang kulewati kan jalan pemerintah, memangnya orang lain tak boleh mempergunakannya selain kau seorang?"

   "Tajam benar mulut orang ini,"

   Pikir Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Lalu katanya.

   "Kalau memang benar jalan ini adalah jalan raya milik pemerintah. Silakan kau segera angkat kaki dari sini!"

   Ucapannya ini segera membikin lelaki itu tertegun, kemudian sambil menggeleng kepalanya yang gundul dia pun mengeluyur pergi ke arah utara.

   Bong Thian-gak masih tetap berdiri di tempat sambil mengawasi orang itu pergi, kemudian baru ia menyelinap ke balik tikungan dan mengerahkan Ginkangnya menuju keluar kota.

   Dengan Ginkangnya yang sempurna sekalipun lelaki itu membalik badan dan menguntitnya lagi juga belum tentu dapat menyusulnya.

   Padahal Bong Thian-gak tidak pernah menyangka lelaki itu sesungguhnya bukan orang sembarangan, dia adalah Jian-likau (monyet seribu li) Cu Ciong yang amat termasyhur namanya di Kangouw.

   Di balik sebuah hutan waru yang sangat lebat, Bong Thiangak melihat sebuah bangunan kuil kecil.

   Kuil itu berdiri di antara bebatuan yang berserakan, daun kering berceceran, rumput ilalang memenuhi halaman, tampaknya kuil itu sudah lama terbengkalai dan tak pernah dijamah manusia lagi.

   Dengan langkah pelan Bong Thian-gak menuju ke ruang kuil, dia lihat sarang laba-laba memenuhi setiap sudut ruangan, debu menebal, dinding tembok banyak yang rontok, sedang ruang kuil itu kosong tak nampak sesosok bayangan pun.

   Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berpikir.

   "Ah, tak mungkin Biau-kosiu sengaja mengajakku bergurau. Mungkin orang itu Mi i m datang."

   Tiba-tiba dari arah hutan terdengar suara langkah menginjak tumpukan daun kering.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan cepat Bong Thian-gak membalik badan memandang kemuka.

   Tampak seorang perempuan cantik berbaju hijau berperawakan badan aduhai muncul di hadapannya dan berjalan menuju ke hadapan Bong Thian-gak dengan langkah lemah-gemulai.

   Dengan suara lantang Bong Thian-gak segera berkata.

   "Aku Bong Thian-gak, Biau-kosiu yang memintaku datang menjumpai perempuan berbaju hijau, apakah kau?"

   Perempuan itu tidak membiarkan Bong Thian-gak menyelesaikan perkataannya, dengan cepat ia menukas.

   "Begitu lambat kau sampai di sini, apakah sudah terjadi sesuatu di tengah jalan?"

   "Ya, karena ada persoalan pribadi aku datang agak terlambat. Harap nyonya sudi memaafkan."

   Tiba-tiba perempuan itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah gulungan yang di luarnya dibungkus dengan kain hijau, dilihat dari bentuknya mirip kitab atau lukisan. Dengan wajah serius perempuan itu berkata.

   "Tolong serahkan benda itu kepada nona, jangan sampai hilang atau direbut orang."

   Bong Thian-gak menerima benda itu dan dipandang sekejap, kemudian katanya.

   "Tampaknya bungkusan ini berisi se

   Jilid kitab!"

   Perempuan berbaju hijau itu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya dengan suara dalam.

   "Cepat kau simpan ke dalam saku. Selain nona seorang, jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada orang lain."

   "Tak usah kuatir, aku pasti menyerahkan sendiri benda ini ke tangan Biau-kosiu."

   Dengan cepat ia masukkan gulungan kitab itu ke dalam sakunya. Perempuan itu memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya lagi.

   "Berdiam lebih lama di sini berarti menambah ancaman bahaya, cepatlah kau pergi meninggalkan tempat ini!"

   "Apakah nyonya tidak mempunyai pesan-pesan lain?"

   "Tidak ada."

   "Kalau begitu aku mohon diri lebih dulu."

   Setelah memberi hormat, ia membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu. Sambil berjalan Bong Thian-gak berpikir.

   "Mungkin kitab yang dititipkan padaku ini adalah kitab pusaka, tapi mengapa Biau-kosiu tidak datang mengambil sendiri? Atau si perempuan berbaju hijau ini mengantarkan sendiri sampai ke dalam kota?"

   Bong Thian-gak benar-benar tidak mengerti apa sebabnya secara begitu misterius Biau-kosiu meminta padanya untuk mengambil kitab itu, mendapat pesan berarti diberi kepercayaan orang itu, maka pemuda itu berpikir lagi.

   "Ah, buat apa aku memikirkan hal itu? Pokoknya kuserahkan kitab ini ke tangan Biau-kosiu, urusan kan beres."

   Tiba-tiba pemuda itu menghentikan langkah.

   Ternyata di hadapannya telah muncul seseorang menghadang jalan perginya, seorang lelaki setengah umur bertubuh ceking, berbaju abu-abu dan bertampang seperti monyet, ia mengawasi sambil tertawa bodoh.

   Berjumpa kembali orang ini, hati Bong Thian-gak bergetar keras, pikirnya.

   "Aduh celaka, barusan aku telah salah melihat, tampaknya orang ini memiliki ilmu silat yang amat tangguh."

   Bong Thian-gak mendengus dingin seraya katanya.

   "Sungguh tak kusangka kita bersua kembali."

   Lelaki bermuka monyet tertawa dingin.

   "Bumi itu bulat, aku pun tidak menyangka kita bersua kembali di sini."

   Bong Thian-gak tertawa dingin pula.

   "Tadi aku benar-benar telah salah melihat, boleh aku tahu siapakah kau?"

   "Cu Ciong,"

   Sahut lelaki itu sambil tertawa kering penuh ejek. Bong Thian-gak berseru kaget.

   "Ah, tak kusangka kau adalah seorang kenamaan."

   Cu Ciong tertawa seram lagi.

   "Di hadapan orang yang mengerti, lebih baik bicara blak-blakan. Boleh kau tunjukkan benda yang baru saja diserahkan kepadamu?"

   Diam-diam Bong Thian-gak dibuat terperanjat, pikirnya.

   "Wah, ternyata dia telah menyaksikan semua peristiwa tadi, tapi mengapa aku tak menemukan jejaknya?"

   Sambil tersenyum dia lantas berkata.

   "Aku benar-benar tidak mengerti perkataanmu itu."

   Cu Ciong menarik muka, kemudian dengan nada serius katanya.

   "Kau berada di luar persoalan ini, aku tak mengerti mengapa kau melibatkan diri?"

   "Hei, semakin bicara aku semakin bingung dan tidak mengerti perkataanmu itu."

   Cu Ciong tertawa seram lagi.

   "Barusan nyonya berbaju hijau telah menyerahkan bungkusan kepadamu, maka aku cuma berharap kau mengeluarkan bungkusan itu, serahkan padaku dan segala urusan tidak ada sangkut-pautnya lagi denganmu."

   Bong Thian-gak tahu semua sudah diketahui lawan, maka sambil tertawa dingin katanya.

   "Ehm, tak kusangka kau memiliki mata yang amat jeli, aku betul-betul merasa kagum kepadamu. Cuma gulungan kitab itu sudah di sakuku, bila kau menginginkannya silakan datangi kemari mengambilnya sendiri."

   Sekarang Bong Thian-gak teringat pesan wanti-wanti perempuafll berbaju hijau itu, pikirnya kemudian.

   "Sekarang dia telah mengetahui semua persoalan ini, maka aku tak boleh membiarkan dia pergi dari sini dalam keadaan hidup."

   Apalagi lawan bermaksud merampas kitab itu dengan kekerasan, pemuda itu bertekad akan membunuhnya bilamana perlu. Cu Ciong memutar matanya yang bulat kecil, lalu setelah tertawa licik, ia bertanya.

   "Tahukah kau benda apakah itu?"

   "Aku tidak tahu dan aku pun tak ingin tahu, yang kuketahui! hanya menyerahkan benda itu kepada orang yang berhak."

   "Kau hendak menyerahkan itu kepada Biau-kosiu rupanya?"

   "Benar."

   Cu Ciong terbahak-bahak.

   "Apabila kau tidak segera menyerahkan! kitab itu kepadaku, aku yakin kau tak akan berhasil memasuki kota Lok-yang dalam keadaan hidup. Percaya atau tidak?"

   "Aku bisa membuktikannya sendiri nanti!"

   Bong Thian-gak membusungkan dada dan melangkah ke depan.

   "Berhenti!"

   Dengan suara keras seperti guntur membelah bumi di tengah hari bolong Cu Ciong membentak, tubuhnya bergerak maju dan menghadang di hadapan Bong Thian-gak. Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Di tengah hari bolong pun kau berniat merampok aku?"

   Cu Ciong tertawa seram.

   "Membunuh, membakar atau merampok merupakan kejadian lumrah di dunia persilatan. Sekarang aku hendak memberitahu kepadamu, di sekeliling kota Lok-yang telah berkumpul ratusan jago persilatan. Sekalipun kau berhasil melewati diriku, jangan harap kau bisa lolos dari cegatan rombongan jago lihai lainnya."

   "Kau sudah melepaskan tanda bahaya?"

   Tanya Bong Thiangak sambil mengerutkan dahi.

   "Benar, sewaktu masih berada di hutan tadi, aku telah melepaskan merpati pos mengabarkan kejadian yang telah berlangsung di sini kepada mereka."

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Sebenarnya aku tidak berniat membunuhmu, tetapi sekarang tampaknya mau tak mau aku harus menghabisi nyawamu."

   Begitu selesai berkata, lengan tunggal Bong Thian-gak sudah membacok ke arah depan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Angin pukulan yang maha dahsyat langsung menggulung ke depan dengan sangat hebatnya, ancaman itu membuat Cu Ciong yang kurus dan ceking terlempar ke udara bagai layanglayang putus benang.

   Ia terguling sampai tiga kali di tengah udara, namun ketika melayang turun, ternyata tidak mengalami apa-apa, kecuali mukanya sedikit berubah.

   Gagal dengan serangan dahsyatnya, Bong Thian-gak tertawa dingin, lalu katanya.

   "Aku benar-benar merasa kagum dengan Ginkangmu yang lihai, tak nyana kau sanggup menghindarkan diri dari sergapanku tadi."

   Cu Ciong tertawa aneh.

   "Kedahsyatan dan kehebatan angin pukulanmu tidak kalah dari kemampuan Bu Seng. Tapi bila kau berniat membunuhku, ini bukan suatu pekerjaan yang gampang bagimu."

   Selesai berkata Cu Ciong menerjang maju pula dengan kecepatan luar biasa dan langsung menyerang Bong Thiangak.

   Bagi tokoh sakti yang sedang bertarung, dalam satu gebrakan saja akan diketahui sampai dimana kemampuan seseorang, ketika Bong Thian-gak lihat musuh bisa menghindar dan langsung menerjang ke depan, ia segera sadar musuh adalah seorang jago lihai yang berilmu tinggi.

   Jika dia tidak melancarkan serangan mematikan, sulit rasanya menaklukkan musuhnya itu.

   Oleh sebab itu di kala Bong Thian-gak menyaksikan musuh menerjang datang, dia sama sekali tidak menghindar atau menyingkir.

   Ditunggunya serangan lawan hingga di depan dada, saat itulah Bong Thian-gak mencabut pedangnya serta melepaskan babatan, pedang Pek-hiat-kiam telah menyambar.

   Dimana cahaya pedang itu berkelebat, jerit kesakitan yang memilukan segera berkumandang.

   Tubuh Cu Ciong yang sedang melayang di udara terbanting jatuh ke tanah dan tidak berkutik lagi, percikan darah segar menggenangi permukaan tanah padang rumput itu.

   Siapa jago di Kangouw saat ini yang paling cepat mencabut dan melepaskan serangan? Mungkin serangan yang dilancarkan Bong Thian-gak barusan dapat menandingi kemampuan Liu Khi.

   Ketika Bong Thian-gak selesai membacok mati Cu Ciong, Pek-hiat-kiam telah kembali ke dalam sarungnya.

   Ketika Bong Thian-gak mendongakkan kepala, Giok-gansuseng Liong Oh-im yang berwajah kereng dan gagah sudah berada di hadapannya.

   Sepasang mata Liong Oh-im yang amat tajam sedang mengawati genangan darah segar yang mengucur dari tubuh Cu Ciong, kemudian katanya.

   "Benar-benar tak kusangka, Cu Ciong yang termasyhur karena kehebatan Ginkangnya ternyata tak berhasil lolos dari bacokan pedang Jian-ciatsuseng. Peristiwa ini benar-benar mengejutkan!"

   Begitu bertemu Liong Oh-im, paras muka Bong Thian-gak segera berubah hebat. Sementara itu Liong Oh-im itu sudah memberi hormat, kemudian ujarnya lantang.

   "Bong-tayhiap, kita telah bersua kembali, aku pun dapat melihat kecepatan dan kehebatan permainan pedang Bong-tayhiap, aku benar-benar kagum sekali."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Kedatangan Liong-sianseng sungguh teramat cepat."

   Liong Oh-im kembali tertawa ringan.

   "Bong-tayhiap,"

   Katanya.

   "diam-diam kita pun rasanya tak usah menyembunyikan sesuatu lagi, kedatanganku sesungguhnya karena mendapat surat yang dikirim Cu Ciong dengan merpati posnya."

   Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak berlagak seolah-olah terkejut, ujarnya kemudian.

   "Oh, tidak kusangka Cu Ciong satu aliran dengan Liong-sianseng."

   Tiba-tiba Liong Oh-im menarik muka dan berkata dengan hambar.

   "Cu Ciong adalah salah seorang pengawal andalanku, sayang sekali dia mati terlampau cepat."

   "Apakah Liong-sianseng berniat membuat perhitungan padaku atas kematiannya?"

   Liong Oh-im tersenyum.

   "Soal itu tergantung sikap Bong-tayhiap sendiri, aku ingin melihat bagaimana sikapmu terhadap diriku!"

   "Apa maksudmu?"

   "Kematian Cu Ciong disebabkan kitab pusaka Kui-hok-khiliok, apabila Bong-tayhiap bersedia menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, maka kematian Cu Ciong pun tidak perlu disesalkan lagi."

   "Jadi Biau-kosiu adalah ahli waris Mi-tiong-bun?"

   Tanya Bong Thian-gak terkejut.

   "Aku pun ahli waris Mi-tiong-bun, boleh dibilang aku dan Biau-kosiu adalah sesama saudara seperguruan."

   Sekarang Bong Thian-gak baru tahu asal-usul perguruan mereka, tapi yang membuatnya tidak mengerti adalah sebagai sesama saudara seperguruan, mengapa mereka berebut kitab pusaka perguruannya. Bong Thian-gak berkata.

   "Kalau Liong-sianseng berasal satu perguruan dengan Biau-kosiu, maka bila kitab pusaka Kui-hok-khi-liok ini diserahkan ke tangannya atau di tanganmu kan sama saja, apa bedanya?"

   "Aku telah menjelaskan asal-usul kami berdua, maka ingin kuingatkan bahwa perselisihanku dengan Biau-kosiu tidak lebih hanya perselisihan sesama anggota Mi-tiong-bun, oleh karena itu kuharap Hong-tayhiap berada di luar garis, tak usah melibatkan diri pula dalam persoalan ini."

   "Sebagai orang luar, tentu saja aku tidak berhak mencampuri urusan perguruan kalian, aku memang tidak berhasrat mencampurinya."

   "Kalau demikian, Bong-tayhiap harap mengambil keputusan yang cepat dan pintar."

   "Liong-sianseng, harap kau suka memaafkan kesulitan yang sedang kuhadapi, aku tak dapat menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok ini kepadamu."

   Berubah paras muka Liong Oh-im, tapi sejenak kemudian telah pulih menjadi lembut dan ramah, katanya kemudian dengan suari tenang dan kalem.

   "Rupanya Bong-tayhiap masih belum mengetahui kitab pusaka macam apakah Kuihok- khi-liok itu?"

   "Benar, aku sama sekali tidak mengetahui tentang kitab itu, namun aku pun tidak ingin mengetahuinya."

   "Andaikata kau mengetahui kitab macam apakah Kui-hokkhi- liok itu, kau tentu akan menyerahkannya kepadaku."

   "Ah, belum tentu demikian."

   Liong Oh-im menghela napas sedih, kemudian katanya.

   "Apabila Bong-tayhiap menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khiliok itu kepada Biau-kosiu, maka Mi-tiong-bun kami akan terancam bahaya maut."

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. Sekali lagi Liong Oh-im menghela napas panjang.

   "Sebenarnya pesoalan ini merupakan rahasia pribadi Mi-tiongbun kami, aku tidak ingin mengutarakan kepada orang lain."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Saat itu dalam hati Bong Thian-gak mulai muncul kebimbanga andaikata apa yang dikatakan Liong Oh-im itu memang sunggu sungguh dan benar, maka dia memang seharusnya menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya, tapi....

   Tampaknya Liong Oh-im dapat mengetahui suara hati Bo Thian-gak, kembali dia menghela napas sedih sambil melanjutkan "Apabila Bong-tayhiap menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku, maka bagimu sama sekali tak akan menimbulkan kerugian apa-apa, malah sebaliknya tanpa kau sadari, kau telah menyelamatku jiwa banyak anggota Mitiong- bun yang terancam maut.

   Budi dan jasa semacam ini boleh dibilang tiada taranya, segenap anggota Mi-tiong-bun pasti akan berterima kasih kepadamu dan tak akan melupakan jasa jasamu itu untuk selamanya."

   Perkataan yang terakhir ini benar-benar mengandung daya tarik yang amat besar, tanpa disadari Bong Thian-gak merogoh ke dalam saku untuk mempersembahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya. Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.

   "Siangkong, kau harus memegang teguh kepercayaan orang yang meminta tolong padamu, jangan kau serahkan kitab itu kepada orang lain."

   Saat Bong Thian-gak mendongakkan kepala, dia lihat perempuan cantik berbaju hijau sedang berlari mendekat, bau harum semerbak berhembus, ia telah berdiri di samping anak muda itu.

   Ketika Liong Oh-im bertemu nyonya cantik berbaju hijau ini, paras mukanya segera berubah menjadi amat tak sedap dipandang, rasa gusar dan mendongkol menyelimuti seluruh wajahnya.

   Andaikata perempuan itu tidak muncul tepat pada waktunya, niscaya Bong Thian-gak telah menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya.

   Dengan sorot mata tajam Liong Oh-im mengawasi perempuan itu lekat-lekat, kemudian setelah mendengus dingin, tegurnya.

   "Thamcu, kau berani mengkhianati aku?"

   "Aku tidak berani mengkhianati Liong-huhoat,"

   Jawab perempuan itu merdu. Liong Oh-im segera tertawa dingin.

   "Selama puluhan tahun ini, aku telah mencari dirimu kemana-mana dan menelusuri semua pelosok tempat, tidak kusangka ternyata kau berada di Lok-yang."

   "Apakah dikarenakan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok inilah Liong-huhoat mencari jejakku kemana-mana?"

   Dari pembicaraan kedua orang itu, Bong Thian-gak mengambil kesimpulan bahwa kedua orang itu bukan saja sudah saling mengenal, juga berasal dari satu perguruan yang sama.

   Bong Thian-gak benar-benar tak mengerti persoalan apakah yang sebenarnya menjadi pangkal perselisihan mereka sebagai sesama anggota Mi-tiong-bun? Pikirnya kemudian.

   "Kalau aku terlibat dalam persoalan semacam Ini, wah, tidak ada harganya sama sekali."

   Sementara itu Liong Oh-im telah berkata sambil tertawa dingin.

   "Thamcu, sudah belasan tahun kau menghindari diriku, tujuanmu hanya ingin melindungi kitab pusaka Kui-hok-khi-liok agar tidak sampai aku dapatkan, tapi hari ini aku justru minta kepadamu untuk menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku, mengerti?"

   Perempuan itu tertawa cekikikan.

   "Sayang sekali kedatangan liong-huhoat terlambat satu langkah, kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu sudah tidak berada di dalam sakuku lagi."

   "Aku akan memerintahkan kepadamu untuk meminta kembali kitab itu dari tangannya."

   Perempuan itu tertawa cekikikan.

   "Kecuali Kui-kok Buncu hidup kembali. Kalau tidak, tiada seorang pun yang dapat memberi perintah kepadaku!"

   "Oh, jadi kau tak percaya kalau aku sanggup memberi perintah kepadamu?"

   Tanya Liong Oh-im sambil tersenyum. Selesai berkata, tiba-tiba ia mengeluarkan tongkat naga kemala putih dari sakunya dan diangkat tinggi-tinggi, kemudian bentaknya.

   "Thamcu, coba kau lihat benda apakah ini?"

   Menyaksikan tongkat kemala putih itu, gemetar keras sekujur badan perempuan itu, tiba-tiba saja dia menjatuhkan diri berlutut ke atas tanah dan katanya dengan suara gemetar keras.

   "Benda kekuasaan Buncu ... tongkat naga kemala putih."

   Dengan perasaan ingin tahu Bong Thian-gak memperhatikan pula tongkat kemala itu dengan penuh perhatian, tongkat sebesar lengan anak-anak, di atas tongkat terukir seekor naga darah kecil dalam gaya siap terbang ke angkasa.

   Sekilas pandang saja ia dapat mengetahui bahwa tongkat naga kemala putih itu amat berharga dan tak ternilai harganya, tapi Bong Thian-gak tidak menyangka tongkat naga kemala itu memiliki daya pengaruh yang begitu besar sehingga perempuan berbaju hijau itu segera menjatuhkan diri berlutut setelah melihat tongkat tadi.

   Sambil mengangkat tongkat naga itu tinggi-tinggi, Liong Oh-im membentak.

   "Thamcu, sekarang kuperintahkan padamu untuk merebut kembali kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dari tangannya."

   Bong Thian-gak menjadi terperanjat, pada saat itulah perempuan cantik berbaju hijau melompat bangun dan mengayun telapak tangannya membabat dada Bong Thiangak.

   Serangan yang dilancarkan itu amat cepat dan gencar, benar-benar ancaman yang berbahaya.

   Serta-merta Bong Thian-gak menghindar ke samping.

   Meski begitu, nyaris tubuhnya termakan juga oleh bacokannya ini, maka bentaknya.

   "Nyonya, benarkah kau ingin meminta kembali kitab pusaka Kui hok-khi-liok itu?"

   Nyonya itu tidak menjawab, namun wajahnya menunjukkan penderitaan dan kegelisahan yang luar biasa, kembali telapak tangan kirinya diayunkan ke depan menghajar Bong Thiangak.

   Berada dalam keadaan begini, Bong Thian-gak benar-benar tidak tahu bagaimana dia mesti bertindak, namun dari mimik perempuan itu dapat diketahui bahwa dia telah didesak oleh keadaan sehingga terpaksa dan mau tak mau harus menyerang dirinya.

   Kepandaian silat yang dimiliki perempuan itu benar-benar lihai, jurusnya aneh tapi sakti, biarpun Bong Thian-gak berhasil menghindar dari ketiga serangannya, namun ia dapat melihat musuh sama sekali tidak menggunakan tenaga penuh.

   Pada saat itulah kembali terdengar Liong Oh-im membentak lagi.

   "Thamcu, kuperintahkan padamu untuk menaklukkan lawan hanya dalam sepuluh gebrakan saja."

   "Terima perintah,"

   Jawab perempuan itu cepat.

   Tiba-tiba permainan pukulannya berubah seperti kupu-kupu yang berterbangan di antara aneka bunga, serangan demi serangan dilancarkan secara beruntun dan tiada hentinya.

   Dalam waktu singkat tampak bayangan telapak tangan berlapis-lapis, begitu dahsyat dan gencarnya serangan itu, membuat Bong Thian-gak harus mundur berulang kali.

   Bong Thian-gak terkejut oleh keanehan dan kehebatan jurus serangan lawan, dalam waktu singkat perempuan itu sudah melancarkan sembilan serangan berantai.

   Mendadak ia menghentikan gerakannya, namun sepasang telapak tangannya disiapkan satu di muka dan yang lain di belakang dengan posisi menyerang dan bertahan.

   Bong Thian-gak memandang perempuan itu sekejap, wajahnya yang semula cantik jelita tiba-tiba dilapisi cahaya berkilau, sementara matanya yang jeli mengawasi wajah pemuda itu lekat-lekat.

   Sudah jelas dia sedang memberi kode agar Bong Thian-gak secepatnya pergi meninggalkan tempat ini.

   Pada saat itulah suara Liong Oh-im menggelegar kembali.

   "Thamcu, kalau kau sudah menghimpun tenaga saktimu. Mengapa tidak kau lancarkan?"

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak membentak keras.

   "Lio Oh-im, cepat suruh dia menghentikan serangannya. Bila ada persoalan kita rundingkan secara baik-baik."

   Belum selesai berkata, perempuan itu sudah mendesis dan mengayunkan telapak tangannya.

   Serangan yang dilepaskan olehnya itu dilancarkan amat sederhana dan enteng, bagaikan segulung angin hangat yang berhembus.

   Tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasakan sekujur badann gemetar lemas, sepasang bahunya bergetar keras dan tanpa terasa dan mundur selangkah.

   Sebaliknya perempuan cantik berbaju hijau itu seakan-akan kehabisan tenaga dan segenap tulang belulangnya terlepas, ia terduduk di atas tanah dengan tubuh lemas tidak bertenaga, cahaya merah yang menyinari wajahnya telah hilang, pucatpias menghiasi mukanya.

   Dalam kesepuluh jurus serangan itu, Bong Thian-gak sama sek tidak melancarkan serangan balasan.

   Sekulum senyuman bangga menghiasi wajah Liong Oh-im di sisi arena, pelan-pelan ia berkata.

   "Bong-tayhiap, kau sudah terkena ilmu pukulan Sau-yang-sin-kang."

   Mendengar "Sau-yang-sin-kang", berubah paras muka Bong Thia gak, ia mengangkat kepala memandang sekejap ke arah perempuan berbaju hijau itu.

   Sementara itu mata perempuan itu sudah dipenuhi oleh air mata dia seperti merasa bersalah terhadap Bong Thian-gak sehingga membu ia sedih dan pedih.

   Bong Thian-gak menghela napas sedih, lalu katanya.

   "Konon Sau yang-sin-kang adalah semacam ilmu pukulan yang teramat hebat, yang khusus melukai delapan nadi penting di tubuh manusia, korbannya tidak dapat hidup melebihi dua belas jam. Kalau begitu, aku pun tak jauh dari lembah kematian."

   Liong Oh-im tertawa terbahak-bahak, sahutnya.

   "Bongtayhiap setelah mengetahui umurmu hampir berakhir, mengapa kau tidak mempersembahkan kitab pusaka Kui-hokkhi- liok itu kepadaku?"

   Bong Thian-gak menarik muka dan menjawab dingin.

   "Apabila kuserahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu sekarang juga, maka kematianku akan sama sekali tak ada artinya lagi."

   Liong Oh-im kembali tertawa.

   "Memangnya kau masih dapat lolos dari cengkeramanku?"

   Sementara itu hawa membunuh menyelimuti wajah Bong Thian-gak, katanya tiba-tiba dengan dingin.

   "Liong-sianseng, bila kau yakin dapat merampas kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dari tanganku, silakan saja mencoba!"

   Liong Oh-im berpaling dan memandang sekejap ke arah perempuan itu, kemudian tanyanya.

   "Thamcu, sudahkah kau lukai kedelapan nadi pentingnya dengan ilmu pukulan Sauyang- sin-kang?"

   "Liong-huhoat,"

   Kata perempuan cantik berbaju hijau itu penuh penderitaan.

   "Kau telah memaksaku mencelakai seseorang yang sama sekali tiada sakit hati ataupun dendam kesumat denganku."

   Liong Oh-im kembali tertawa dengan suara keras.

   "Thamcu dapat membunuh Jian-ciat-suseng yang termasyhur, engkau telah menjadi pahlawan Mi-tiong-bun. Mengapa kau malah sedih dan menyesal?"

   Sembari bicara, langkah demi langkah Liong Oh-im menghampiri Bong Thian-gak, kemudian terusnya.

   "Barang siapa sudah terhajar oleh Sau-yang-sin-kang hingga terluka delapan nadi pentingnya, maka hawa darah dalam Mi-bun-hiat akan pudar dan tenaga murni akan musnah. Bong Thian-gak, kau sudah tak mampu menghimpun tenaga dalammu."

   Mendadak ia mengayunkan telapak tangannya dan langsung dibacokkan ke tubuh Bong Thian-gak.

   Baru saja angin pukulannya berhembus ke depan, Bong Thian-gak lelah melolos Pek-hiat-kiam, cahaya pedang bagaikan bianglala dan hawa pedang bagaikan sayatan, serentak menggulung ke muka.

   Barang siapa dapat melihat hawa pedang yang terpancar dari erangan itu, dia akan mengetahui Bong Thian-gak sama sekali tidak terluka oleh pukulan Sau-yang-sin-kang.

   Ketika perempuan berbaju hijau melihat itu, wajahnya segera nampak berseri dan amat gembira.

   Sebaliknya Liong Oh-im menjerit kaget dan cepat menerobos keluar dari lapisan hawa pedang seperti seekor burung walet.

   Setelah melayang turun, ia baru berkata.

   "Ilmu pedang yang amat bagus, aku benar-benar dibikin melek dan bertambah pengetahuan. Gagal dengan serangan pedangnya, Bong Thian-gak melayang turun dengan bahu agak bergetar, katanya kemudian dengan suara dingin.

   "Apakah kau ingin mencoba serangan pedangku yang kedua?"

   "Oh, tentu saja,"

   Jawab Liong Oh-im sambil tertawa paksa. Bong Thian-gak menyarungkan kembali Pek-hiat-kiam, kemudian katanya.

   "Maaf."

   Lalu dia melompat ke depan dan melesat cepat ke depan sana.

   Liong Oh-im tertawa terbahak-bahak, bagaikan kuda terbang di angkasa, dia melesat ke depan dan mengejar dari belakang dengan ketat.

   Sejak awal Bong Thian-gak sudah menduga Liong Oh-im bakal melakukan pengejaran, maka ketika berada di udara dia melolos pedangnya, cahaya bianglala yang amat tajam secepat kilat langsung menusuk ke tubuh Liong Oh-im.

   Berada di tengah udara, Liong Oh-im mengebas ujung bajunya ke depan, segulung angin pukulan tak berwujud yang sangat kuat segera menyapu ke muka.

   Siapa tahu serangan yang dilancarkan oleh Bong Thian-gak cuma serangan tipuan, di saat angin pukulan Liong Oh-im yang maha dahsyat itu menyapu tiba, dia sudah menarik kembali senjatanya dan melompat ke muka.

   Lompatannya atas bantuan angin serangan Liong Oh-im yang kuat, tak heran gerakannya sangat cepat dan selisih jarak di antara mereka pun semakin bertambah jauh.

   Setelah menjejak tanah sekali lagi, Bong Thian-gak melompat ke depan, dalam waktu singkat ia sudah puluhan tombak di depan sana, lalu lenyap.

   Menyadari dirinya tertipu oleh siasat musuh, Liong Oh-im merasa sangat jengkel dan mendongkol sekali, dia mendepakdepakkan kakinya berulang kali ke atas tanah, lalu serunya sambil tertawa seram.

   "Bocah keparat, tidak kusangka hari ini aku Liong Oh-im bakal dipecundangi anak muda macam kau. Hm, ingin kulihat dengan cara apa kau hendak menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepada Biau-kosiu."

   Seusai berkata ia memandang sekejap ke arah perempuan berbaju hijau, kemudian membalikkan badan dan mengejar ke arah Lok-yang.

   Sementara itu Bong Thian-gak mengerti bahwa Liong Ohim pasti midah menyiapkan jaring dan perangkap untuk menghalangi dirinya memasuki rumah penginapan Ban-heng, karena itu setelah masuk ke dalam kota, ia tidak menuju ke rumah penginapan itu, melainkan pergi ke kota sebelah selatan.

   Sesudah keluar pintu kota sebelah selatan dan tiba di tanah pekuburan yang terpencil dan sepi, dia memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, lalu sambil duduk bersila, gumamnya.

   "Setelah terluka oleh pukulan Sau-yang-sin-kang, mungkin sekali jiwaku tak akan tertolong lagi. Ai, saat ini dari kedelapan nadi pentingku, ada dua di antaranya yang secara lamat-lamat mulai terasa sakit."

   Bong Thian-gak duduk di depan sebuah batu nisan sambil mendongakkan kepala memperhatikan awan di angkasa, hatinya teramat masgul.

   "Ai, sebenarnya kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu berisi apa?"

   Berpikir begitu, tanpa terasa dia mengeluarkan kitab itu dari dalam sakunya, tapi setelah berpikir sebentar, pemuda itu memasukkan kembali gulungan kitab itu ke dalam sakunya.

   Matahari sudah tenggelam ke langit barat, Bong Thian-gak hampir satu jam lamanya duduk di kuburan itu.

   Selama satu jam dia sudah mencoba untuk mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, namun yang aneh sama ekali dia tidak merasakan cidera atau luka apa pun pada nadi-nadi penting di dalam tubuhnya, bahkan rasa sakit yang semula mencekam tubuhnya pun lambat-laun lenyap.

   Rasa gembiranya ini membuat Bong Thian-gak segera melompat bangun dari atas tanah dan berseru.

   "Aha, ternyata aku tidak menderita luka apa pun oleh serangan Sau-yang-sinkang itu."

   Sekonyong-konyong terdengar suara dingin dan menyeramkan di belakangnya.

   "Sekalipun Sau-yang-sin-kang tidak melukaimu, namun ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang akan merenggut selembar nyawamu."

   Ucapan itu bagaikan guntur yang membelah bumi di siang hari bolong, dengan terperanjat Bong Thian-gak segera berpaling ke samping.

   Tapi dengan cepat dia dibuat tertegun.

   Di belakang tubuhnya, di depan sebuah kuburan yang amat besar, telah berdiri seorang perempuan cantik bagai bidadari dari kahyangan berbaju biru.

   Perempuan itu bukan lain adalah Si-hun-mo-li Thay-kun.

   Di samping Si-hun-mo-li Thay-kun, berdiri pula seorang berbaju hijau.

   Orang berbaju hijau itu berwajah pucat-pias, dingin, kaku dan sama sekali tiada warna darah, bahkan tiada berbau hawa manusia.

   Bong Thian-gak berkerut kening, rasanya orang berbaju hijau itu mengenakan topeng kulit manusia sehingga menutupi wajah aslinya.

   Tapi siapakah orang itu? Bong Thian-gak kaget, tercengang, bingung dan tidak habis mengerti.

   Mengapa ia bisa berada bersama Si-hun-mo-li Thaykun? Bong Thian-gak memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, cahaya matahari yang berwarna kuning keemas-emasan menyinari tanah pekuburan itu, namun di sana tidak nampak manusia lain kecuali mereka berdua.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bong Thian-gak telah memperoleh sebutir pil Hui-hun-wan dan persoalan pertama yang ingin segera diselesaikan olehnya adalah menemukan Si-hun-mo-li dan memberi pil Hui-hun-wan itu kepadanya agar Thay-kun bisa memperoleh kembali pikiran dan kesadarannya seperti semula.

   Sekarang Thay-kun sudah berada di depan mata, asal dia menelan pil Hui-hun-wan, berarti usahanya akan berhasil.

   Namun hal ini bukanlah perbuatan yang amat gampang.

   Dia tahu untuk menyelesaikan tugas itu, kemungkinan besar dia harus membayar mahal, bahkan bisa kehilangan selembar nyawanya.

   Orang berbaju hijau yang berada di hadapannya sekarang terlalu menyeramkan dan menggidikkan.

   Mungkinkah orang ini adalah Hek-mo-ong? Berpikir sampai di sini, Bong Thian-gak segera menghimpun pikiran dan perhatian mengawasi gerak-gerik orang berbaju hijau itu.

   Orang itu tertawa dingin, ujarnya.

   "Apabila kau ingin meloloskan diri dari ancaman kematian, lebih baik serahkan saja kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku."

   Tertegun Bong Thian-gak, segera tanyanya.

   "Apa? Jadi kau pun menghendaki kitab pusaka Kui-hok-khi-liok dari Mi-tiongbun?"

   Paras muka orang berbaju hijau itu masih tetap tenang tanpa perubahan sedikit pun, sahutnya.

   "Apabila kau mengerti rahasia kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, setiap orang yang berada di dunia ini rasanya ingin mendapatkannya."

   "Siapakah kau?"

   Tanya Bong Thian-gak sambil tersenyum.

   "Kau tak perlu mengetahui siapakah aku. Yang penting bagimu hanya memilih dua jalan yang kutawarkan kepadamu, mau hidup atau mati, silakan segera tentukan!"

   "Aku ingin mengetahui lebih dulu dengan mengandalkan ilmu silat apakah kau hendak menghukum mati diriku?"

   "Serangan Si-hun-mo-li dan sergapan mendadak yang kulancarkan nanti!"

   Bong Thian-gak kembali tersenyum.

   "Yakinkah kau pasti akan dapat merenggut nyawaku?"

   "Bila kau yakin dapat meloloskan diri dari cengkeraman mautku, maka kau tak perlu mengeluarkan kitab pusaka Kuihok- khi-liok."

   Bong Thian-gak termenung dan berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia bertanya.

   "Dari kemampuanmu memberi perintah kepada Si-hun-mo-li, tentunya kau pun dapat membuat Sihun- mo-li jatuh tak sadarkan diri bukan?"

   "Apa maksudmu?"

   "Oh, itu rahasia pribadiku dan merupakan syarat yang hendak kuajukan sebagai pertukaran."

   "Harap kau suka memberi penjelasan secara terperinci."

   "Boleh saja kuserahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok kepadamu, namun kau harus dapat merobohkan Si-hun-mo-li lebih dulu hingga tak sadar kan diri."

   "Setelah Si-hun-mo-li tak sadarkan diri, maka kau bisa menandingi diriku bukan?"

   "Ya, terpaksa harus dicoba,"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Kitab pusaka Kui-hok-khi-liok sudah berada di sakumu, aku bisa turun tangan merampasnya dari tanganmu."

   "Kau tetap harus menguatirkan sesuatu."

   "Apa yang mesti kukuatirkan?"

   "Kekalahan."

   Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.

   "Ehm, nampaknya kau masih mempunyai sedikit otak untuk berpikir."

   "Ah, seandainya tiada suatu yang dikuatirkan, sedari tadi kau telah turun tangan merebutnya dari tanganku."

   "Kau keliru besar,"

   Ujar orang berbaju hijau itu sambil tertawa seram.

   "Yang kukuatirkan justru tindakanmu menghancurkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok sebelum penyerahan nanti, itulah sebabnya aku tidak turun tangan hingga detik ini."

   "Terima kasih banyak atas petunjukmu itu,"

   Bong Thiangak tertawa.

   "Aku benar-benar tak berpikir begitu."

   Orang berbaju hijau itu mendengus dingin.

   "Hm, belum pernah aku bicara sebanyak ini dengan orang lain, kau harus mengambil keputusan secepatnya?"

   "Aku yang mesti mengambil keputusan sendiri ataukah kau yang menyuruh aku mengambil keputusan?"

   "Baiklah, aku akan menuruti keinginanmu dengan merobohkan Si hun-mo-li hingga tak sadarkan diri, tapi pada saat bersamaan kau harus melemparkan kitab pusaka Kui-hokkhi- liok jauh ke sana."

   "Baik, aku setuju dengan usulmu itu."

   "Masih ada satu hal lagi, apakah kau sudah melihat kitab pusakm Kui-hok-khi-liok?"

   "Belum."

   "Bagus sekali, sekarang aku akan menghitung sampai angkal sepuluh dan kau harus melemparkan kitab pusaka Kuihok- khi-liok itul ke depan sana."

   "Di saat kulihat Si-hun-mo-li roboh tak sadarkan diri nanti, aku pasti akan melemparkan kitab pusaka itu ke depan."

   "Aku akan menghitung sampai angka sepuluh, saat itu Sihun- mo li pasti sudah roboh tak sadarkan diri!"

   Demi menyelamatkan selembar jiwa Thay-kun, Bong Thiangak telah mengambil keputusan hendak mengingkari janjinya dengan Biau-kosiu.

   Biarpun saat ini kitab pusaka Kui-hok-khiliok diserahkan kepada lawan, namun ia yakin masih memiliki kemampuan untuk merebutnya kembali.

   Sebaliknya bila Si-hun-mo-li kabur lagi, usahanya menyelamatkan jiwa perempuan itu akan menemui kesulitan yang lebih banyak lagi.

   Itulah sebabnya Bong Thian-gak mengambil keputusan akan mengingkari janji terhadap Biau-kosiu.

   Tiba-tiba sepasang mata orang berbaju hijau itu memancarkan cahaya dingin kehijau-hijauan, pelan-pelan dia mulai memanggil.

   "Si-hun-mo-li!"

   Panggilan itu penuh diliputi nada menyeramkan, aneh dan menggidikkan.

   Ketika mendengar suara yang menggidikkan itu, pelanpelan Si-hun-mo-li membalik badan, namun ketika sinar matanya saling bentur dengan sorot mata orang berbaju hijau itu, ia nampak seperti tersengat lebah.

   Seketika itu juga sukma dan pikirannya seolah-olah terbetot oleh pandangan mata itu, dia berdiri melongo seperti sebuah patung.

   Sementara itu orang berbaju hijau sudah menghitung dengan cara melengking tapi lambat.

   "Satu ... dua ... tiga ... empat...."

   Pada saat itulah dari balik kuburan tiba-tiba muncul seseorang yang menerjang ke punggung orang berbaju hijau dengan kecepatan tinggi.

   Dengan sorot mata Bong Thian-gak yang amat tajam, ia sudah melihat dengan jelas bahwa orang yang baru saja muncul itu bukan lain adalah perempuan berbaju hijau yang menyerahkan kitab pusaka Kui-hok khi-liok kepadanya itu.

   Kemunculannya yang sangat mendadak ini segera menggetarkan perasaan Bong Thian-gak, ia tahu persoalan bakal runyam.

   Belum habis ingatan itu, suara orang berbaju hijau yang sedang menghitung itu pun terhenti secara mendadak.

   Kemudian secepat kilat dia membalik badan seraya melancarkan bacokan kilat ke depan.

   Angin pukulan yang kuat dan tajam secara telak menghantam tubuh perempuan berbaju hijau itu.

   Jerit kesakitan bergema, tubuh perempuan berbaju hijau itu segera terlempar bagaikan layang-layang yang putus benang.

   Dengan cepat Bong Thian-gak melejit ke udara dan melayang turun di hadapan perempuan berbaju hijau itu.

   Sementara itu paras muka perempuan berbaju hijau itu sudah berubah pucat-pias seperti mayat, darah segar muntah dari mulutnya.

   Dengan cepat Bong Thian-gak membimbing bangun, kemudian menempelkan telapak tangannya di atas jalan darah Mi-bun-hiat di punggungnya.

   Segulung hawa panas segera menyusup ke tubuh perempuan itu melalui jalan darah Mi-bun-hiat, hawa darah bergolak dengan kuat dalam tubuhnya, perempuan itu pun segera berkata.

   "Bong-siangkong, kau tak boleh menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepada orang lain, kau tak boleh mengingkari janjimu terhadap Biau-kosiu."

   "Ai, harap kau sudi memaafkan aku,"

   Ujar Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang. Saat itu Bong Thian-gak benar-benar menyesal dan tidak keruan rasanya. Perempuan berbaju hijau itu memandang sekejap ke arahnya, kemudian dengan air mata bercucuran katanya.

   "Bong-siangkong, kemungkinan besar aku akan segera mati. Sebelum ajalku tiba, aku minta kau bersedia menyanggupi keinginanku, kau harus melindungi kitab Kui-hok-khi-liok itu hingga diserahkan terhadap Biau-kosiu. Apabila kau tak mampu menyerahkan kepadanya, tolong hancurkan dan musnahkan kitab itu."

   Paras muka perempuan berbaju hijau itu pucat-pias seperti mayat, dari balik matanya memancar sinar permohonan, ditatapnya wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.

   Dia hendak menanti jawaban Bong Thian-gak, sebab dia tahu asalkan pemuda yang berada di hadapannya sudah menganggukkan kepala memberikan persetujuan, biar langit ambruk pun, pendiriannya tak pernah akan berubah.

   Tapi Bong Thian-gak masih tetap termenung dan sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.

   Sebab perasaan dan pikirannya saat ini sangat kalut, dia tak bisa mengambil keputusan dengan segera, bagaimana pun menyelamatkan Thay-kun merupakan harapannya yang terbesar.

   Sekarang dia telah mendapat kesempatan baik yang tak mungkin bisa dijumpai lagi di kemudian hari.

   Apakah dia harus melepaskan kesempatan yang sangat baik itu begitu saja? Melihat pemuda itu hanya membungkam tanpa menjawab, perempuan berbaju hijau itu menjadi sangat kecewa, air matanya segera bercucuran membasahi wajahnya.

   Diiringi jeritan yang memilukan, perempuan berbaju hijau itu sekali lagi memuntahkan darah segar, tiba-tiba saja dia tewas dalam keadaan penuh kecewa.

   Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak, sementara dia masih tertegun, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar orang berbaju hijau itu berkata dengan dingin.

   "Dia bukan mati karena mendongkol kepadamu. Ketahuilah, barang siapa sudah termakan oleh pukulanku, maka dia tak akan mampu hidup lebih seperempat jam."

   Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan dan menatap orang itu lekat-lekat, kemudian ujarnya.

   "Tenaga pukulan yang kau miliki memang benar-benar amat dahsyat dan tajam, tapi yakinkah kau bahwa seranganmu pasti dapat menghabisi nyawaku?"

   "Sebelum mendapatkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu, aku tak nanti turun tangan melukaimu."

   "Sekarang aku sudah berubah pikiran,"

   Ucap Bong Thiangak dengan suara dingin.

   "Aku tak jadi menyerahkan kitab pusaka itu kepadamu, akan kulindungi kitab Kui-hok-khi-liok ini hingga saat penyerahan nanti."

   Orang itu tertawa seram mendengar perkataan itu.

   "Bagus sekali, kau mencari jalan kematian bagi dirimu sendiri."

   Mendadak Bong Thian-gak melolos Pek-hiat-kiam, kemudian berkata.

   "Apabila kau bermaksud mencabut nyawaku, maka tak ada salahnya kau mencoba menerima beberapa buah tusukanku ini."

   Pemuda itu melompat ke muka dan melepaskan sebuah tusukan kilat.

   Sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata segera berkelebat ke depan.

   Orang itu sama sekali tidak menggeser badan menghindarkan diri, sebaliknya Si-hun-mo-li yang berada di sisinya bagaikan sesosok arwah gentayangan telah menyelinap ke depan dan menghadang di hadapan orang itu, sementara telapak tangannya yang putih bersih ditolakkan ke muka menghantam mata pedang itu.

   Sebenarnya Bong Thian-gak bisa saja berganti jurus dengan membacok pergelangan tangannya, namun ia sama sekali tidak berbuat demikian.

   Menghadapi ancaman itu, dia menarik balik pedangnya.

   Si-hun-mo-li sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk banyak bertindak, kembali tubuhnya berkelebat maju dan menerjang sisi kiri Bong Thian-gak, sementara telapak tangannya yang lain segera dihantamkan ke bahu kiri anak muda itu.

   Sejak bertemu Si-hun-mo-li, ilmu silat yang dimiliki Bong Thian-gak seolah-olah mengalami kemunduran yang amat pesat.

   Dalam keadaan demikian, seharusnya ia dapat menggerakkan pedangnya untuk melepaskan tusukan, namun ia tidak berbuat demikian, tubuhnya malah melompat mundur untuk menghindarkan diri dari ancaman itu.

   Siapa tahu pada saat itulah telapak tangan kiri Si-hun-mo-li telah diayun ke depan dan membacok tubuh Bong Thian-gak dengan mempergunakan Soh-li-jian-yang-sin-kang.

   Cahaya tajam yang berwarna merah darah segera menyambar, pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat bagaikan putaran roda kereta langsung menggulung ke muka.

   Bong Thian-gak segera membentak, mendadak Pek-hiatkiam diputar kencang menciptakan kabut pedang yang tebal, bukannya mundur dia malah maju.

   Ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan ilmu pukulan yang maha dahsyat dan amat termasyhur dalam Bulim.

   Mimpi pun orang berbaju hijau itu tak mengira permainan kabut pedang yang diciptakan Bong Thian-gak itu mampu mementalkan sergapan tenaga Sinkang itu.

   Benar-benar di luar dugaannya, serangan maut yang begitu tajam dan dahsyat dari Soh-li-jian-yang-sin-kang berhasil dipunahkan begitu saja oleh putaran hawa pedang Bong Thian-gak.

   Sebaliknya tubuh Bong Thian-gak sendiri berputar ke hadapan Si-hun-mo-li dengan kecepatan luar biasa, lalu kaki kanan Bong Thian-gak diayunkan ke muka dan menendang jalan darah kaku di pinggang Si-hun-mo-li.

   Tendangan yang dilancarkan olehnya itu benar-benar dilepaskan secara jitu dan manis, diikuti jeritan tertahan, tubuh Si-hun-mo-li segera roboh terjungkal ke atas tanah.

   Pada saat itulah Bong Thian-gak membuang Pek-hiat-kiam, lalu mementang kelima jari tangannya, dia cengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li.

   Bong Thian-gak tahu ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang yang dimiliki Si-hun-mo-li terletak pada tangan kirinya, oleh sebab itu ia langsung mencengkeram bagian vital itu dengan harapan dapat mengendalikan gerak-gerik perempuan itu.

   Sejak Bong Thian-gak memutar pedang sambil mendesak maju hingga dia merobohkan Si-hun-mo-li dengan tendangan, beberapa gerakan itu dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat dan dilakukan secara beruntun.

   Menanti orang berbaju hijau tahu Si-hun-mo-li tak mungkin mampu menghadapi serangan Bong Thian-gak, urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li sudah berhasil dicengkeraman Bong Thian-gak.

   Orang berbaju hijau itu mendengus penuh amarah, dari kejauhan dia lepaskan bacokan maut ke tubuh pemuda itu.

   Tapi Bong Thian-gak dengan membopong tubuh Si-hunmo- li malah melompati dua buah kuburan besar untuk menghindarkan diri.

   Ketika tenaga pukulan yang dilancarkan orang berbaju hijau itu menghantam batu nisan, terjadilah suara ledakan yang amat keras disusul robohnya batu nisan dan debu pasir beterbangan ke udara.

   Gagal dengan serangan mautnya, orang itu bagaikan sukma gentayangan mendesak maju, sewaktu berada di muka Bong Thian-gak, kembali tangan kanannya diayunkan siap melepaskan pukulan maut lagi.

   Padahal Bong Thian-gak baru saja berhasil berdiri tegak ketika musuh telah berdiri di hadapannya, gerakan tubuh yang sedemikian cepatnya ini membuat anak muda itu tertegun.

   Sambil tertawa dingin, orang berbaju hijau itu berkata.

   "Asal kau berani menggerakkan tubuhmu, tenaga pukulan yang telah kuhimpun ini secepat kilat akan menghajar tubuhmu."

   Waktu itu tangan Bong Thian-gak sedang mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li. Ketika mendengar ancaman itu, ia segera tertawa dingin sambil ujarnya.

   "Tenaga pukulanmu itu mungkin akan menghajar Sihun- mo-li."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Agaknya rahasia hati orang berbaju hijau itu berhasil ditebak Bong Thian-gak secara tepat. Ia segera berpikir beberapa saat, setelah itu baru ujarnya dengan suara dingin.

   "Apa yang ingin kau lakukan terhadap dirinya?"

   "Mencabut nyawanya."

   "Bila dia mati, kau pun jangan harap bisa hidup lebih lama,"

   Ancam orang berbaju hijau itu segera.

   "Betul, itulah sebabnya tak ada salahnya bila kita bertukar syarat."

   "Apa syaratmu?"

   Bong Thian-gak berpikir sejenak, kemudian katanya dengan wajah bersungguh-sungguh.

   "Harap kau segera mundur dari sini! Aku tak akan mengganggu keselamatan jiwanya."

   "Sekarang segenap tenaga pukulanku telah terhimpun di telapak tangan, sesungguhnya yang mendapat ancaman bukan aku, melainkan kau,"

   Ucap orang berbaju hijau itu dengan nada menyeramkan.

   "Aku tahu. Meski tenaga pukulanmu amat tajam dan menakutkan, namun belum tentu dapat melukaiku."

   "Setiap kali melepas pukulan, belum pernah pukulanku meleset."

   "Bukankah ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang Si-hunmo- li pun belum pernah meleset, tapi terbukti sudah bahwa ia tak mampu melukai aku."

   Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.

   "Hm, aku memang tidak mengerti apa sebabnya kabut pedang yang kau ciptakan tadi bisa mematahkan ancaman Soh-li-jian-yang-sin-kang yang begitu hebat."

   "Karena sebenarnya aku telah berhasil melatih semacam ilmu sakti yang dapat menandingi pengaruh Soh-li-jian-yangsin- kang itu,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tersenyum. Tampaknya orang itu seperti berhasil menebak, dengan terkejut ia segera bertanya.

   "Apakah tenaga sakti yang kau pergunakan barusan adalah Tat-mo-khi-kang?"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Ya benar, memang Tat-mo-khi-kang. Itulah sebabnya berani aku katakan tadi, bahwa tenaga seranganmu belum tentu dapat melukai diriku."

   "Sekalipun mempelajari Tat-mo-khi-kang, bukan berarti sudah tiada tandingan di kolong langit?"

   "Tapi paling tidak kan aku sanggup menerima serangan mautmu tanpa kuatir terancam keselamatan jiwaku."

   "Sekarang aku tidak ingin lagi melancarkan serangan lebih dahulu kepadamu, lebih baik kita saling bertahan pada posisi demikian saja!"

   Yang paling menjengkelkan dan membingungkan Bong Thian-gak sekarang adalah dia tidak memiliki tangan kanan sehingga sama sekali tak mampu mengeluarkan pil Hui-hunwan itu dan dicekokkan ke mulut Si-hun-mo-li.

   Kabut malam sudah makin menyelimuti angkasa, sementara sang surya sudah tenggelam ke langit barat, tanah pekuburan itu mulai dicekam kegelapan.

   Mendadak dari balik tanah pekuburan berkumandang suara orang bicara.

   "Apabila keadaan saling bertahan semacam ini berlangsung lebih lama, akhirnya Jian-ciat-suseng akan menderita kekalahan sebelum pertarungan dimulai."

   Mendengar perkataan itu, hati Bong Thian-gak bergetar.

   "Siapa di situ?"

   Bentak orang berbaju hijau itu dingin.

   Dari balik sebuah kuburan besar muncul seorang berjubah panjang warna hitam, lengan kanan o


Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long

Cari Blog Ini