Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 19


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 19


rupakan tindakan yang paling tepat,"

   Kata orang berbaju hijau dingin.

   "Tan-locianpwe,"

   Kata Thay-kun sambil tertawa.

   "tindakan yang kau ambil sekarang hanya akan mendatangkan keburukan dan tiada keuntungan bagimu."

   Orang berbaju hijau tertawa dingin.

   "Bila kubunuh dirimu, maka Tio Tian-seng dan Jian-ciat-suseng bakal mati juga. Apakah hal semacam ini tidak akan menguntungkan bagiku?"

   "Tan-locianpwe, tahukah kau mengapa Hek-mo-ong tak berani menampilkan diri? Dia takut kita bekerja sama menghadapinya."

   "Tapi jika kau membunuhku sekarang, maka kau pun jangan harap bisa lolos dari hutan bambu Ban-jian-bong ini dalam keadaan selamat."

   "Masih ada satu hal lagi aku beritahukan kepadamu, tusukan pedangmu itu belum tentu bisa membunuhku. Sekalipun kau bisa membunuhku, di saat kau belummencabut pedangmu dari tubuhku, kau sendiri pun akan mati terbunuh di ujung pedang Suhengku."

   Sesudah mendengar itu, orang berbaju hijau nampak agak ragu-ragu, tiba-tiba ia menarik pedangnya dan berkata dingin.

   "Aku tidak percaya Hek-mo-ong akan menerima syarat yang kau ajukan itu."

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah menggeser tubuh secepat kilat ke sisi Thay-kun dan berdiri penuh siap siaga dengan senjata terhunus, tiba-tiba Thay-kun berkata lagi dengan merendahkan suara.

   "Betul, belum tentu Hek-mo-ong akan menerima syarat yang kuajukan."

   "Tapi aku pun akan memberitahukan satu hal kepada kalian, Hek-mo-ong cukup mengerti bahwa di antara kalian bertiga sebenarnya terjalin hubungan permusuhan dan dendam kesumat yang tak bisa diselesaikan dengan sepatah dua patah kata. Oleh sebab itu dia selalu menggunakan tipumuslihat dan tipu-daya untuk mengadu-domba kalian agar saling gontok dan bunuh."

   "Apabila kalian bertiga benar-benar saling gontok, maka secara sadar kalian terkena rencana keji Hek-mo-ong."

   "Lantas mengapa Hek-mo-ong menggunakan siasat mengadu domba dan sebaliknya tidak berusaha melenyapkan kalian secara terang-terangan, hal ini disebabkan karena Hekmo- ong tahu kalian memiliki kepandaian silat hebat, ia pun sadar bahwa ilmu pukulan tengkorak mautnya belum tentu akan membinasakan kalian dalam satu gebrakan."

   "Oleh sebab itu ia berusaha memancing kalian berjumpa di Ban jian-bong agar kalian bertiga saling bertarung, sedang dia bersembunyi di samping menonton, mengamati jurus-jurus serangan yang kali miliki serta berusaha mencari pemecahannya."

   Tio Tian-seng, Liu Khi dan Tan Sam-cing yang mendeng perkataan itu diam-diam berpikir.

   "Benar juga, mengapa Hekmo- ong tidak mau menyerang kami secara terang-terangan?"

   Sesudah berhenti sejenak Thay-kun kembali melanjutkan ka katanya.

   "Di samping itu masih ada alasan lain, bisa jadi Hek-mo-o adalah seorang gila ilmu silat, di saat dia belum berhasil mempelajari ilmu silat yang dimiliki seseorang, maka dia tak akan membinasakan korbannya."

   "Oleh sebab itu bilamana kalian bertiga berusaha menghindar dari serangan Hek-mo-ong yang mematikan, paling baik jika kalian kurangi kesempatan memperlihatkan jurus serangan yang kalian andalkan."

   "Tapi siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya?"

   Tiba-tiba Liu bertanya. Thay-kun menengok sekejap ke arahnya, lalu bertanya.

   "Siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya? Cepat atau lambat kalian pasti akan mengetahui dengan sendirinya. Bila kuutarakan kepada kalian sekarang, maka aku yakin tak seorang pun di antara kalian yang mau percaya dengan perkataanku. Ini merupakan suatu kenyataan, itulah sebabnya untuk sementara waktu aku belum ingin mengungkapkan."

   Atas perkataan Thay-kun itu, Liu Khi, Tio Tian-seng dan Tan Sam-ring bertiga merasa sangsi. Sambil tertawa dingin Tan Sam-cing berkata.

   "Pembahasanmu barusan sungguh membuat orang merasa tidak percaya."

   "Bila kalian tak mau percaya, aku sendiri pun tak dapat berbuat apa-apa,"

   Kata Thay-kun sambil menghela napas.

   "Namun kuanjurkan kepada kalian agar secepatnya meninggalkan tempat ini, sebab tetap bercokol di tempat ini merupakan tindakan yang berbahaya."

   Sampai di sini gadis itu segera berpaling ke arah Bong Thian-gak sambil berkata.

   "Bong-suheng, mari kita pergi saja!"

   Baru saja Thay-kun membalikkan badan, dilihatnya selembar kain putih diikat pada sebuah dahan bambu di hadapannya.

   Baru saja kain putih itu digantungkan, kebetulan pula Thaykun menyaksikan sesosok bayangan hijau sedang berkelebat dan lenyap di balik pepohonan sebelah depan sana.

   Dalam pada itu Tio Tian-seng, Liu Khi dan Bong Thian-gak pun sudah melihat kain putih itu.

   Orang berbaju hijau mendengus dingin, secepat kilat menerjang ke depan menembus hutan bambu dan mengejar ke arah bayangan hijau ladi melenyapkan diri.

   Thay-kun terkejut sekali, segera teriaknya.

   "Tan-locianpwe, jangan dikejar Tan Sam-cing yang termasyhur karena Ginkangnya sudah lenyap dari pandangan mata. Dengan cemas Thay-kun segera berseru.

   "Tio-pangcu, Liutayhiap, apakah tenaga dalam yang kalian miliki telah pulih? Mari cepat tengok ke depan sana."

   Ternyata pada saat itu Tio Tian-seng dan Liu Khi telah bangkit semua. Terdengar suara jeritan ngeri yang menyayat hati dari seorang wanita berkumandang datang dari kejauhan. Menyusul terdengar pula Tan Sam-cing berteriak penuh amarah.

   "Hek-mo-ong...."

   Hanya suara bentakan itu saja yang terdengar, untuk kemudian suasana di sekeliling tempat itu kembali hening.

   Bong Thian-gak, Thay-kun, Tio Tian-seng dan Liu Khi secepat kilat menyusul pula ke depan.

   Mendadak mereka lihat di bawah hutan bambu, di depan sebuah peti mati bobrok, duduk seorang perempuan berambut panjang berbaju hijau, dadanya ditembus sebilah pedang pendek sampai ke punggung, darah segar masih bercucuran dengan derasnya membasahi pakaian serta dedaunan kering yang berserakan di atas tanah.

   Pedang pendek itu tepat menembus jantungnya, perempuan itu sudah mampus, namun matanya melotot besar, mengawasi seorang yang berada di hadapannya.

   Orang yang berada di mukanya itu tentu saja pembunuh yang telah menghabisi nyawanya...

   Tan Sam-cing.

   Namun Tan Sam-cing sendiri memejamkan mata, noda darah masih membasahi ujung bibirnya, dia sedang duduk bersila di atas tanah tanpa bergerak.

   Perubahan yang berlangsung secara tiba-tiba ini membuat para jago terperanjat.

   Bong Thian-gak yang pertama-tama menerjang ke hadapan Tan Sam-cing sambil menegur.

   "Tan-locianpwe... Tanlocianpwe..."

   Pelan-pelan Tan Sam-cing membuka mata dan memandang pemuda itu sekejap, kemudian dipejamkan kembali tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

   Tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berkata dengan suara dalam "Bong-laute, jangan kau usik dirinya.

   Dia sedang bersemedi mengobati luka yang dideritanya."

   Sementara itu Liu Khi sedang memandang kain putih yang tergantung di batang bambu, ternyata di atas kain itu tertera beberapa huruf besar warna merah darah. Tulisan disertai pula lambang tengkorak besar.

   "Undangan kematian tengkorak."

   "Mengundang dengan sangat kematian Liu Khi pada bulan delapan tanggal tujuh tengah malam tepat". Liu Khi yang menyaksikan tulisan itu segera mendengus dingin dan siap melompat ke atas untuk menyambarnya. Tapi Thay-kun segera berseru keras.

   "Liu-tayhiap jangan bertindak sembarangan daripada terjebak perangkap keji pihak lawan."

   Permainan setan Hek-mo-ong memang sudah menggetarkan hati siapa saja, kendatipun Liu Khi merasa gusar, namun setelah melihat Tan Sam-cing menderita luka parah, sedikit banyak hatinya dibuat keder juga.

   Sementara itu Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak pun sudah menyaksikan pula tulisan yang tertera di atas kain putih itu.

   Sambil menghela napas panjang, Thay-kun berkata.

   "Akhirnya Hek-mo-ong mengirim juga kartu kematian untuk Liu-tayhiap."

   Sambil tertawa dingin Liu Khi berkata.

   "Bulan delapan tanggal tujuh, akan kubuktikan dengan cara bagaimana dia hendak menghabisi nyawaku."

   "Setiap kali Hek-mo-ong mengirim kartu kematian, dia sudah berhasil menelusuri semua ilmu silat orang itu dan mempunyai keyakinan untuk dapat merenggut nyawa musuhnya,"

   Kata Thay-kun sambil menghela napas panjang.

   "Ai, seandainya Liu-tayhiap tidak melangsungkan pertarungan sengit melawan Tio-pangcu hari ini, aku rasa belum tentu Hekmo- ong akan memberikan kartu kematian kepadamu."

   Tio Tian-seng menghela napas panjang, ucapnya.

   "Agaknya nona sudah mempunyai keterangan yang jelas tentang segala sesuatu yang menyangkut Hek-mo-ong?"

   "Asal-usul Hek-mo-ong pun baru hari ini berhasil kuraba sedikit demi sedikit."

   Mendadak Bong Thian-gak berkata sambil tertawa.

   "Hekmo- ong telah mengirim kartu kematian kepadaku serta Tiopangcu dan Liu-tayhiap. Seandainya mulai sekarang kita bertiga selalu berkumpul, tiga hari mendatang akan kulihat dengan cara apakah Hek-mo-ong akan membunuh kita."

   "Bong-suheng dan Tio-pangcu sudah terkena obat beracun dari Hek-mo-ong!"

   Kata Thay-kun sambil menghela napas.

   "Asal waktunya sudah sampai, maka racun itu akan mulai bekerja menggerogoti tubuh kalian. Dalam hal ini Hek-mo-ong tak perlu menampakkan diri untuk mencelakai kalian!"

   Selesai mendengar penjelasan Thay-kun, paras muka Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng segera berubah hebat, mereka membungkam. Dari perubahan wajah kedua orang itu, Thay-kun mengetahui apa yang sedang mereka pikirkan, sambil tersenyum manis ujarnya.

   "Kalian tak usah kuatir, aku tak akan membiarkan kalian tewas dalam keadaan mengerikan."

   "Apakah nona telah menemukan cara untuk membebaskan kami dari pengaruh racun itu?"

   Tanya Tio Tian-seng cepat.

   "Asalkan kalian berdua tak menelan pil mustika yang dihadiahkan Hek-mo-ong kepada kalian, aku yakin daya kerja racun yang mengeram dalam tubuh kalian tak akan merenggut nyawa."

   "Apakah pil itu pun merupakan obat racun?"

   Tanya Bong Thian-gak segera.

   "Bukan obat racun, tapi pil itu justru dapat membangkitkan daya kerja racun yang telah kalian telan sebelumnya dan membaurnya kedua pil itu akan menyebabkan kematian yang mengenaskan."

   "Thay-kun, darimana kau bisa mengetahui sedemikian jelasnya?"

   "Orang yang paling pandai, paling sempurna dalam pembuatan obat di dunia saat ini adalah tabib sakti Ci Jiancau, padahal ilmu menggunakan racun yang dipakai Hek-moong untuk mencelakai orang dipelajarinya dari Ci Jian-cau, sedangkan aku sendiri pun pernah mempelajari cara yang sama dari Gi Jian-cau pribadi, sudah barang tentu aku mengetahui jelas teknik yang dipakai Hek-mo-ong."

   "Nona, aku merasa kurang mengerti,"

   Kata Tio Tian-seng dengan kening berkerut.

   "Pil mustika yang diberikan Hek-moong kepadamu, kau katakan sebagai obat yang akan memancing bekerjanya racun keji yang sudah mengeram dalam tubuhku, tapi darimana pula Hek-mo-ong bisa tahu kami bakal menelan pil yang dia berikan kepada kami?"

   "Di sinilah letak kunci semua peristiwa itu, tatkala Hek-moong memberikan pil yang kedua itu kepada kalian, dia tentu berkata kepada kalian bahwa obat itu adalah pemunah racun, sudah barang tentu kalian tak bakal mempercayai perkataannya begitu saja serta tak akan kalian telan pil itu."

   "Akan tetapi bila batas waktu kerjanya racun di dalam tubuh kalian sudah tiba dan kalian merasakan penderitaan serta siksaan yang luar biasa di dalam tubuh kalian, pada waktu itu kalian tentu akan salah mengira bahwa racun itu benar-benar sudah bekerja dan kalian pun pasti akan teringat pada obat penawar racun palsu, yang sesungguhnya akan menjadi alat membunuh sebenarnya bagi keselamatan kalian berdua."

   "Akibatnya kalian benar-benar akan terkecoh dan mendapat serangan racun yang jauh lebih keji sehingga akibatnya tewas dalam keadaan mengerikan."

   Tio Tian-seng segera menjadi paham, katanya sambil menghela napas panjang.

   "Benar-benar teknik meracuni yang hebat. Seandainya nona tidak memberi penjelasan, siapa pun pasti tak akan berhasil lolos dari serangan semacam itu."

   Thay-kun segera menghela napas panjang.

   "Seandainya aku tidak berhasil mengetahui asal-usul Hekmo- ong hari ini, aku pun tak teringat cara meracuni orang yang biasa digunakan Gi Jian-cau."

   "Apakah Hek-mo-ong adalah Gi Jian-cau?"

   Tanya Bong Thian-gak kemudian dengan perasaan tergerak. Thay-kun memandang sekejap ke arahnya, lalu menggeleng, katanya.

   "Bukan, Gi Jian-cau bukanlah Hek-moong. Bila waktunya tiba, tentu akan kuberitahukan rahasia ini kepada kalian."

   Setelah mendengarkan penjelasan Thay-kun, Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak pun secara lamat-lamat merasa keselamatan jiwanya tidak begitu terancam lagi, tanpa terasa semangatnya segera berkobar.

   Hanya Liu Khi seorang yang masih tetap mengerut dahi dengan perasaan berat.

   Thay-kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Liu Khi, kemudian ujarnya.

   "Aku tak tahu dengan cara apa Hekmo- ong hendak mecelakai Liu-tayhiap, sehingga sulit juga bagiku memikirkan sesuatu cara untuk mengunggulinya, aku rasa jalan yang terbaik adalah Liu-tayhiap jangan meninggalkan kami untuk sementara waktu. Aku pikir asal kita mau bekerja sama meningkatkan kewaspadaan masingmasing, biarpun Hek-mo-ong lebih licik tak nanti bisa berbuat banyak."

   Sementara itu para jago merasa kagum atas kecerdikan dan ketelitian Thay-kun dalam menghadapi persoalan serius, kendati Tio Tian-seng dan Liu Khi merupakan orang-orang angkuh dan berjiwa tinggi, namun terhadap tindakan yang diambil Thay-kun sekarang ternyata menurut dan sama sekali tidak membantah.

   Pada saat itulah mendadak Tan Sam-cing memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali.

   Tapi sesudah itu Tan Sam-cing sudah dapat bicara lagi, katanya.

   "Oh, sungguh berbahaya. Hampir saja nyawaku hilang percuma!"

   Dengan cepat Thay-kun segera memburu ke depan, lalu tanyanya dengan merdu.

   "Apakah Tan-locianpwe sudah bertempur dengan Hek-mo-ong?"

   Tiba-tiba Tan Sam-cing melepas topeng kulit manusia yang dikenakan olehnya dan membesut noda darah dari ujung bibirnya, kemudian sahutnya pelan.

   "Ya, kami sudah saling bertarung."

   "Dapatkah Tan-locianpwe menjelaskan situasi pertarungan yang telah kau alami tadi?"

   Tan Sam-cing termenung beberapa saat, kemudian sahutnya.

   "Hek-mo-ong benar-benar manusia licik dan berhati busuk. Ai, tatkala aku sedang mengejar nona berbaju hijau tadi, mendadak dari balik peti mati berkelebat seseorang secepat kilat, lalu bergema suara jeritan ngeri yang memilukan, ternyata dada si nona berbaju hijau itu sudah ditusuk pedang oleh orang itu hingga tembus ke punggung."

   "Tindakan yang sama sekali di luar dugaan ini kontan membuat perhatianku bercabang, pada saat inilah dengan gerakan cepat orang itu melepaskan pukulan ke hulu hatiku, sedemikian cepat gerakan ini membuat aku teringat akan Hekmo- ong. Aku pun segera membentak gusar dan mempergunakan jurus seranganku yang paling tangguh untuk melancarkan serangan balasan menimpukkan pedang pendek itu ke depan."

   "Aku tidak tahu apakah seranganku itu berhasil menghaj musuh, sebab dada kiriku terasa sakit sekali, hampir membuatku jatuh pingsan, sementara darah segar muncrat dari mulutku."

   "Tatkala aku berusaha memusatkan perhatian untuk melihat jelas raut wajahnya, bayangan iblis itu sudah hilang lenyap tak berbekas, malahan pedang pendekku turut hilang."

   Ketika selesai mendengarkan penuturan itu, pelan-pelan Thay-kun berkata.

   "Nona berbaju hijau itu sudah ketahuan jejaknya sehingga mustahil baginya untuk menghilangkan jejak. Itulah sebabnya Hek-mo-ong segera bertindak membunuh dirinya, tapi tindakan Hek-mo-ong pun di luar dugaan sehingga tidak heran perhatian Tan-locianpwe menjadi bercabang, akibatnya jurus pedang Tan-locianpwe yang paling lihai pun tak sanggup membendung pukulan tengkorak Hekmo- ong."

   "Tapi dengan serangannya itu sudah berhasil menggagalkan jurus pedang Tio-locianpwe yang terhebat, maka aku duga dalam serangan ilmu tengkorak yang dilancarkan Hek-mo-ong untuk kedua kalinya, kemungkinan besar Tan-locianpwe tidak akan mampu melawan lagi."

   Beberapa patah kata Thay-kun segera mendatangkan perasaan tak puas bagi Tan Sam-cing, dia tertawa dingin sambil katanya.

   "Serangan pedangku cepat dan dahsyat. Aku tidak percaya Hek-mo-ong dapat memahami kelihaian jurus pedang itu dalam sekilas pandang saja. Hm, bukankah Hekmo- ong sendiri pun sudah terkena serangan pedangku?"

   "Betul, Hek-mo-ong pun terkena tusukan Tan-locianpwe, bahkan tertusuk sangat dalam sehingga pedangmu tidak terjatuh ke tanah melainkan dibawa lari Hek-mo-ong, namun bagian tubuh yang terkena tusukan itu sudah pasti bukan bagian yang mematikan, karena serangan itu tidak berhasil merobohkan Hek-mo-ong, kendati demikian aku percaya kesombongan dan kejumawaan Hek-mo-ong pasti akan berkurang setelah mengalami peristiwa ini."

   Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing yang mendengar perkataan itu juga gembira, segera katanya.

   "Pembahasan nona benar-benar sangat teliti dan jitu. Sungguh membuat hati orang menjadi sangat kagum."

   Thay-kun berpaling sekejap ke arahnya, kemudian katanya sambil tersenyum.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tapi mengenai perkataan Tan-locianpwe yang mengatakan bahwa bentrokan itu berlangsung sangat cepat dan belum tentu Hek-mo-ini dapat memahami rahasia seranganmu, aku rasa Locianpwe tidak boleh bertindak kelewat gegabah."

   "Perlu kau ketahui, Hek-mo-ong mempunyai ketajaman mata luar biasa, dia pun mempunyai daya kemampuan melebihi siapa pun, itulah sebabnya dia dapat mempelajari segenap ilmu silat dari berbagai partai dan perguruan."

   Tan Sam-cing tertawa terbahak-bahak.

   "Di kolong langit ini, rasanya hanya seorang saja yang memiliki kemampuan seperti apa yang kau lukiskan barusan, orang itu adalah Thio Kimciok."

   Mendadak Tan Sam-cing seperti teringat persoalan yang amat mengerikan, dengan wajah berubah hebat dia segera menghentikan perkataannya, matanya terbelalak lebar dan mulutnya agak melongo.

   Tampaknya semua jago yang hadir di arena pun seakanakan teringat persoalan yang maha besar, serentak mereka berseru kaget dan mengalihkan sinar matanya ke wajah Thaykun.

   "Apakah kalian teringat akan dia?"

   Tanya Thay-kun kembali sambil tersenyum.

   "Mungkinkah Hek-mo-ong adalah dia?"

   Tanya Liu Khi agak emosi.

   "Betul, dia adalah Thio Kim-ciok."

   Ucapan itu benar-benar membuat hati setiap orang bergetar keras. Dengan suara dalam Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng berseru.

   "Thio Kim-ciok sudah mati tiga puluh tahun lalu, bagaimana mungkin bisa bangkit dari liang kubur? Apakah nona sedang bergurau?"

   "Sekarang aku ingin bertanya dengan Locianpwe, pernahkah kau mewariskan ilmu pedang terbangmu kepada seseorang? Kalau pernah, siapakah orang itu?"

   "Hanya Thio Kim-ciok yang pernah mendapat warisan ilmu pedang itu,"

   Jawab Tan Sam-cing.

   "Sewaktu kau berjumpa Sam-cing Totiang dari kuil Samcing- koan yang menyaru sebagai dirimu di tanah pekuburan luar kota tempo hari, bukankah dia telah menggunakan pula ilmu pedang Pat-kiam-hui-hiang? Bukankah jurus serangannya persis ilmu pedang andalanmu itu?"

   "Benar, caranya persis sama, hanya kurang sempurna saja,"

   Jawab Tan Sam-cing dengan suara keras.

   "Sekarang aku mau menanyakannya satu hal yang sama, semua pembicaraan yang dilakukan Hek-mo-ong mempergunakan ilmu Jian-li-hwe-ing, padahal orang yang pandai mempergunakan ilmu itu di kolong langit hanya Kuikok Sianseng seorang. Kecuali diwariskan kepada Thio Kimciok, pernahkah Kui-kok Sianseng mewariskan kepandaian itu kepada orang lain?"

   "Selain itu, Hek-mo-ong juga pandai dalam ilmu racun, selain tabib sakti Gi Jian-cau, siapa lagi yang bisa mempergunakan ilmu itu lebih sempurna darinya? Kemudian ilmu menyaru muka Hek-mo-ong berasal dari Song-ciu."

   "Dengan berbagai kepandaian sakti yang dimiliki Hek-moong, coba bayangkan, kecuali Thio Kim-ciok, siapa lagi yang mampu mempelajari begitu banyak ilmu sakti sekaligus?"

   Pelan-pelan Thay-kun mengawasi wajah orang itu, lalu lanjutnya.

   "Sejak dulu hingga sekarang, bila ada seorang ganas dan buas melakukan perbuatan terkutuk yang merugikan orang banyak, maka orang itu pasti mempunyai maksud tujuan tertentu."

   "Hek-mo-ong menantang perang terhadap sepuluh tokoh sakti persilatan, sebenarnya apa maksudnya?"

   "Apakah dia hendak menguasai dunia persilatan, menjadi pemimpin umat persilatan?"

   "Tentu saja tidak."

   "Dia hendak membalas dendam."

   "Karena sepuluh tokoh persilatan menyeleweng dengan istrinya, berbuat mesum dengan bininya, selain itu membunuh pula ratusan anak buahnya, maka dia harus membalas dendam, membunuh kesepuluh jago persilatan itu."

   Perkataan Thay-kun ini segera membuat orang terbelalak dengan mulut melongo, perasaan ngeri segera timbul dalam hati, membuat bulu kuduk berdiri.

   Semua fakta dan bukti sudah di depan mata, semua itu dapat diterima dengan akal sehat.

   Selain Thio Kim-ciok, rasanya memang tiada orang kedua yang kemungkinan besar menjadi Hek-mo-ong.

   Tapi Thio Kim-ciok sudah mati tiga puluh tahun lalu, mayatnya telah tenggelam di dasar telaga.

   Bagaimana mungkin dia bisa hidup kembali? Oleh karena itulah Tio Tian-seng, Liu Khi serta Tan Samcing tidak percaya kalau Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok.

   Setelah mneghela napas, Tio Tian-seng berkata.

   "Meskipun apa yang diduga nona masuk akal, akan tetapi Thio Kim-ciok sudah mati, jenazahnya sudah tenggelam di dasar telaga dan hal ini merupakan kenyataan. Orang yang sudah mati masakah bias hidup kembali? Hal ini benar-benar sukar diterima akal sehat."

   "Dengan cara bagaimana Thio Kim-ciok hidup kembali memang sama sekali tidak kuketahui,"

   Pelan-pelan Thay-kun berkata.

   "Namun aku tahu, bangkitnya Thio Kim-ciok sudah pasti mempunyai hubungan sangat erat dengan Gi Jian-cau."

   "Apabila kalian ingin membuktikan benarkah Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok, aku rasa bila si tabib sakti dapat ditemukan, maka semua duduk persoalan akan menjadi jelas."

   "Bukankah menurut nona Thay-kun, Gi Jian-cau bersembunyi di dalam Ban-jian-bong ini?"

   "Benar,"

   Thay-kun mengangguk.

   "Gi Jian-cau berada di Ban-jian-bong."

   "Kalau begitu untuk menyingkap tabir peristiwa ini, bagaimana pun juga kita harus mencari si tabib sakti sampai ketemu,"

   Ujar Liu Khi. Thay-kun memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian ujarnya.

   "Sekarang baru mendekati tengah hari, mari kita berpencar melakukan pemeriksaan, bilamana salah seorang di antara kita menemukan jejak musuh atau menemukan Gi Jiancau, gunakanlah tiga kali pekikan panjang sebagai tanda untuk berkumpul. Ingat, bagaimana pun juga kita harus menghindari pertarungan secara kekerasan. Sebelum matahari terbenam nanti, kita berkumpul kembali di pintu masuk Banjian- bong sebelah timur."

   Mimpi pun Tio Tian-seng, Liu Khi serta Tan Sam-cing tidak menyangka hari ini harus menuruti perintah seorang bocah perempuan.

   Sekalipun dalam hati segera timbul perasaan tak enak, namun mereka melaksanakan juga perintah itu tanpa membantah.

   Maka berangkatlah Tio Tian-seng, Tan Sam-cing dan Liu Khi menuju ke arah timur, barat dan selatan.

   Sedangkan Bong Thian-gak dan Thay-kun berangkat menuju ke arah utara.

   Ban-jian-bong memang pekuburan yang amat menyeramkan, gua-gua gelap, liang-liang merekah dan peti mati berserakan dimana-mana membuat suasana di tempat itu benar-benar amat menggidikkan.

   Baru saja Bong Thian-gak dan Thay-kun berangkat, mendadak mereka menyaksikan di bawah kerumunan pepohonan yang rindang berdiri tiga orang Hwesio berbaju kuning.

   Dengan ketajaman mata Thay-kun, sekilas pandang saja ia segera mengenali Hwesio setengah umur yang bertubuh gemuk itu adalah Hwesio yang bertanggung-jawab pada pekuburan halaman sembilan.

   Dia berdiri di situ dengan tangan memegang tasbih, tangan kanan disilangkan di depan dada, sepasang matanya terpejam, wajahnya kelihatan kereng dan serius.

   Di sebelah kiri kanannya masing-masing berdiri Hwesio jangkung dan pendek, keduanya bertubuh ceking tinggal kulit pembungkus tulang.

   Kedua orang itu pun memegang tasbih, hanya sorot mata mereka yang tajam mengawasi wajah Thaykun dan Bong Thian-gak.

   Hati Bong Thian-gak bergetar keras, diam-diam pikirnya.

   "Dari sorot mata ketiga Hwesio itu, jelas sudah bahwa mereka adalah jago persilatan berilmu tinggi, sungguh tak disangka para Hwesio yang berjaga di Ban-jian-bong memiliki kepandaian silat begitu hebat."

   Sementara dia masih termenung, Hwesio setengah umur itu sudah membuka mata dan menegur dengan suara lantang.

   "Omitohud, Sicu berdua hendak pergi kemana?"

   Sambil tertawa Thay-kun menjawab.

   "Sejak pagi tadi, aku sudah merasa bahwa Taysu berbeda dengan kebanyakan orang, ternyata dugaanku memang benar, nyatanya Taysu adalah seorang jago silat berilmu tinggi!"

   "Omitohud!"

   Kembali Hwesio itu berkata.

   "Ban-jian-bong ini merupakan pekuburan yang diperuntukkan bagi mereka yang telah mati untuk beristirahat tenang. Karena itu Pinceng menganjurkan kepada Sicu berdua agar jangan menimbulkan pembunuhan dalam Ban-jian-bong."

   "Ah, ucapan Taysu terlalu serius,"

   Thay-kun tersenyum.

   "Kami hanya ingin mencari seorang sahabat lama di Ban-jianbong ini. Bila Taysu bersedia memberi petunjuk, tentu kami akan menemukannya dengan cepat."

   Mendadak mencorong sinar tajam dari mata Hwesio gemuk itu, katanya kemudian.

   "Apabila kalian berdua enggan menuruti nasehatku dan secepatnya meninggalkan Ban-jianbong, maka dalam Ban-jian-bong ini kemungkinan besar akan bertambah lagi dengan dua liang kubur baru."

   "Bukan hanya dua liang kubur baru yang akan bertambah di Ban-jian-bong ini,"

   Jengek Thay-kun tertawa dingin. Sementara itu kedua Hwesio ceking yang berdiri di belakang Hwesio gemuk itu sudah menunjukkan wajah gusar dan hawa napsu membunuh yang berkobar-kobar. Dengan suara dingin Hwesio gemuk itu menegur.

   "Li-sicu telah membuat onar di sini. Apakah perbuatan itu tidak keterlaluan?"

   Tiba-tiba paras Thay-kun berubah menjadi dingin, lalu katanya ketus.

   "Oh, rupanya Taysu sekalian sudah mengetahui peristiwa yang terjadi di tanah pekuburan ini? Kalau begitu Taysu sudah mengetahui asal-usul kami bukan? Apabila Taysu seorang pintar, maka secepatnya beritahukan kepada Gi Jian-cau, katakan kalau ada seorang rekannya yang bernama Thay-kun datang berkunjung."

   Berubah paras Hwesio gemuk itu, katanya.

   "Perkataan Lisicu , tiada ujung pangkalnya, sungguh membuat orang tidak habis mengerti."

   Kembali Thay-kun tertawa dingin.

   "Taysu harap dengarkan baik-baik, persembunyian Gi Jiancau di Ban-jian-bong sudah bukan rahasia lagi. Sekalipun kami tak mencarinya, pihak Hek-mo-ong pasti akan mencarinya dan membinasakannya."

   "Hari ini kami sengaja mencari Gi Jian-cau hendak mengajaknya merundingkan bagaimana cara menghadapi Hek-mo-ong. Nah, semua sudah kuutarakan, harap Taysu mengambil keputusan secepatnya."

   Dengan paras muka berubah hebat Hwesio gemuk itu membentak.

   "Apabila kalian tidak segera mengundurkan diri dari Ban-jian-bong, jangan salahkan bila Pinceng bertindak keji."

   Bong Thian-gak yang selama ini hanya berdiam di samping, berkata sambil tertawa dingin.

   "Sebenarnya jurus tangguh macam apakah yang kau miliki? Tak ada salahnya kau gunakan di hadapanku."

   Sambil berkata pemuda itu segera maju ke muka dan menghadang di depan Thay-kun. Hwesio gemuk itu benar-benar gusar, dengan suara menggele dia membentak.

   "Bagi mereka yang tak mau sadar, hanya jalan kematian yang paling cocok baginya. Sute berdua kalian mundur dulu."

   Begitu diberi perintah, kedua Hwesio itu segera membalikkan badan dan mundur ke belakang.

   "Berhenti!"

   Bong Thian-gak segera membentak.

   Dengan gerakan sangat cepat dia menerjang ke depan.

   Pada saat Bong Thian-gak menggerakkan tubuh, ketiga Hwesio itu melejit ke tengah udara, lalu memisahkan diri.

   Thay-kun yang berada di belakang dan menyaksikan peristiwa itu segera mengerti bahwa ketiga Hwesio itu sama sekali tidak bermaksud melarikan diri, maka dia segera berseru dengan suara merdu.

   "Hati-hati, mereka membalikkan badan sambil melancarkan serangan balasan."

   Belum selesai dia berkata, benar juga tampak Hwesio gemuk itu membalikkan badan, kemudian berkata dengan suara dingin.

   "Sayang keadaan sudah terlambat."

   Sambil bicara dia mengayunkan tangan ke depan.

   Sebiji tasbih yang berada di tangan kirinya sudah disambitkan ke depan dengan kecepatan luar biasa.

   Berbareng kedua Hwesio jangkung dan pendek yang memisahkan diri tadi, masing-masing membidikkan pula sebiji tasbih ke arah Bong Thian-gak.

   Dengan kepandaian silat Bong Thian-gak, sudah barang tentu serangan senjata rahasia biasa tak nanti bias melukai dirinya.

   Thay-kun yang berdiri di sisi arena dapat menyaksikan peristiwa itu dengan jelas, dia lihat ketiga biji tasbih itu bukan tertuju ke arah Bong Thian-gak, sebaliknya ditujukan ke satu titik yang sama untuk saling bertumbukan satu sama lain.

   Dengan cepat Thay-kun menyadari bahwa di balik semua itu tentu ada sesuatu yang tidak beres, cepat dia membentak.

   "Bong-suheng cepat mundur, tampaknya senjata rahasia itu ada sesuatu yang tidak beres!"

   Belum selesai dia berkata, ketiga biji tasbih yang meluncur dari tiga arah yang berbeda itu sudah saling tumbuk.

   Suatu ledakan keras segera berkumandang.

   Rupanya ketiga biji tasbih kecil itu telah berubah menjadi tiga buah letusan api yang meledak bersama di hadapan Bong Thian-gak.

   Jilatan api yang sangat besar segera menyebar bersamaan dengan gulungan angin berpusing yang menderu.

   Jerit kesakitan bergema, tahu-tahu tubuh Bong Thian-gak sudah terpental.

   Thay-kun dapat menyaksikan kejadian itu dengan jelas, tubuh Bong Thian-gak sudah bermandikan darah dan tergeletak di atas tanah.

   Sambil menjerit kaget, Thay-kun segera menerjang ke muka sambil berkata.

   "Bong-suheng!"

   Sementara ketiga Hwesio itu sudah menerjang kembali, tampak dalam genggaman mereka masing-masing membawa sebiji tasbih.

   Sudah jelas bukan tasbih biasa, melainkan peluru api Lenghwe- tan..Bong Thian-gak masih tergeletak di atas tanah, tapi saat itu dia j berpekik panjang seraya berseru keras.

   "Sumoay, aku belum mati. Kau cepatlah mundur, peluru Leng-hwe-tan itu sangat lihai."

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah melolos Pek-hiat-kiam dan melompat bangun dari atas tanah, kemudian langsung menyongsong datangnya Hwesio gemuk itu.

   Peluru Leng-hwe-tan ketiga Hwesio itu kembali meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa.

   Namun gerakan pedang Bong Thian-gak pun tak kalah cepatnya.

   Tampak cahaya pedang berkelebat bagaikan cahaya bianglala, angin tajam pun membelah angkasa.

   Tak sempat mengeluarkan jeritannya lagi, pinggang Hwesio gemuk itu terbabat kutung menjadi dua bagian.

   Pada saat bersamaan terjadi kembali ledakan keras, ketiga biji Leng-hwe-tan kembali meletus di belakang Bong Thiangak.

   , Ketika berhasil membinasakan Hwesio gemuk itu, Bong Thian-gak dengan tubuh menempel di atas tanah segera berputar ke arah lain, sekali lagi terdengar pekikan nyaring menggema, tahu-tahu cahaya pedang menyambar ke arah Hwesio bertubuh jangkung.

   Ketika melihat Hwesio gemuk tewas di ujung pedang Bong Thian-gak, kedua Hwesio jangkung dan cebol sudah dibuat ketakutan dan masing-masing melompat mundur.

   Berbareng satu dari timur dan yang lain dari barat, mereka bersamasama menyambitkan kembali dua biji leng-hwe-tan ke arah Bong Thian-gak.

   Sudah barang tentu Bong Thian-gak bukan pemuda bodoh yang cuma berdiri mematung di tempat.

   Oleh sebab itu di saat Leng-hwe-tan meledak di belakang tubuhnya, sudah tak mampu untuk melukai dirinya lagi.

   Ketika ledakan menggelegar, pedang Bong Thian-gak menyambar pula ke leher si Hwesio jangkung.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Suara jeritan ngeri bergema kembali, percikan darah segar pun menyembur kemana-mana.

   Menyaksikan gelagat tidak menguntungkan, Hwesio pendek segera membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit masuk ke balik hutan bambu.

   Dari jarak jauh Bong Thian-gak menyambitkan Pek-hiatkiam ke depan.

   Cahaya pedang memercik di angkasa dan meluncur dengan kecepatan luar biasa.

   Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi bergema di angkasa.

   Si Hwesio bertubuh pendek tahu-tahu sudah tertusuk pedang dan tewas di balik hutan bambu.

   Setelah berhasil membunuh ketiga Hwesio secara beruntun, Bong Thlnn-gak ikut roboh terjengkang ke atas tanah.

   Walaupun dalam usahanya membunuh ketiga Hwesio tadi ia telah menggunakan beberapa macam kepandaian yang berbeda, namun berhubung gerakannya dilakukan dalam kecepatan luar biasa dan lagi diselesaikan dalam satu gebrakan saja, hal itu membuat Thay-kun sendiri pun tak sempat memberikan bantuan kepadanya.

   Thay-kun segera menerjang ke muka dan membangunkan tubuh Bong Thian-gak.

   Terdengar si anak muda itu merintih pelan.

   "Sumoay, di balik peluru api itu tersimpan jarum lembut, kini dadaku telah terkena jarum yang amat lembut itu. Aku ... mungkin aku sudah tak tertolong lagi Memandang dadanya yang basah oleh darah dan keadaannya begitu mengerikan, air mata Thay-kun bercucuran dengan derasnya, sehingga membasahi wajah Bong Thiangak, ujarnya sambil menahan isak tangis.

   "Suheng, bila jarum lembut itu beracun, mana mungkin jiwamu tertolong."

   Bong Thian-gak tertawa getir.

   "Sekalipun jarum-jarum lembut itu tidak beracun, namun jarum itu amat lembut. Apabila tertusuk ke dalam nadi, maka jarum tadi akan mengalir masuk mengikuti gerakan darah. Dalam keadaan begini, sekalipun ada dewa yang turun dari kahyangan pun belum tentu jiwaku dapat diselamatkan."

   "Ai, sungguh tidak kusangka, biji tasbih ketiga Hwesio itu tersimpan peluru api yang berisi jarum lembut begitu beracun. Senjata rahasia semacam ini biasanya berasal dari keluarga Tong di propinsi Sucwan."

   "Suheng, kau tak usah banyak bicara lagi,"

   Tukas Thay-kun dengan air mata bercucuran.

   "Bila aku bisa mendapatkan sepotong besi sembrani sekarang, jiwamu tentu akan tertolong."

   Bong Thian-gak menggeleng kepala sambil menghela napas.

   "Aku tahu jiwaku sudah tak akan tertolong lagi, ai...."

   Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan.

   "Sumoay, mumpung aku saat ini masih dapat berbicara, aku ingin sekali memberitahukan satu hal kepadamu."

   Waktu itu pikiran Thay-kun sudah amat kalut, sambil menahan isak tangis dia berkata.

   "Suheng, soal apa yang hendak kau beritahukan kepadaku, cepatlah kau utarakan!"

   "Aku ingin berkata kepadamu, aku cinta padamu,"

   Bisik Bong Thian-gak sambil tertawa rawan.

   "Suheng, tahukah kau bahwa aku pun selalu mencintaimu?"

   Kata Thay-kun kemudian. Hati Bong Thian-gak bergetar keras, dengan gembira serunya.

   "Kau ... kau tidak membohongi aku?"

   "Tidak, aku tak membohongimu, orang yang diam-diam kucintai itu tak lain adalah kau, tapi berhubung kau sudah mendapatkan Song Leng-hui, maka aku ... aku sengaja berbohong kepadamu."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berteriak.

   "Aku tidak boleh mati, aku ... aku ingin hidup lebih lama."

   Mendengar kata-kata itu, mendadak Thay-kun menangis tersedu-sedu. Sebab pada saat itu dia menyaksikan kekasih hatinya sedang terancam kematian, cakar maut yang hendak merenggut nyawanya dan dia ternyata tak mampu berbuat apa-apa.

   "Oh Thian, apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan jiwanya?"

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang amat kaku dan mengerikan.

   Rasa sedih yang kelewat batas membuat Thay-kun kehilangan perasaannya.

   Dia seakan-akan sama sekali tidak mendengar suara lerlawa dingin itu, padahal sekalipun mendengar juga dia tak akan memalingkan kepala.

   Sekarang dia hanya tahu memeluk kekasihnya, memeluknya dengan kencang.

   Sebaliknya Bong Thian-gak segera melihat empat sosok bayangan telah muncul di sisi tubuhnya.

   Mereka terdiri dari seorang nenek berambut putih, perempuan dan lelaki kekar bermata tunggal serta seorang gadis cantik jelita dan genit.

   Tanpa terasa Bong Thian-gak berseru kaget.

   "Ah, Biaukosiu!"

   Setelah mendengar suara seruan Bong Thian-gak, Thaykun baru sadar dari impiannya, dia segera memandang keempat orang itu sekejap, lalu pelan-pelan berkata.

   "Cepat amat kedatangan kalian. Bila kau ingin membunuh kami, sekarang tak usah banyak waktu dan tenaga lagi."

   Biau-kosiu tertawa dingin, tanyanya.

   "Bukankah dia sudah terkena jarum beracun ekor lebah dari peluru api?"

   Mendengar pertanyaan itu, Thay-kun segera menghela napas sedih.

   "Ai, sungguh tak disangka jarum ekor lebah itu mengandung racun jahat."

   Sesudah menghela napas panjang, dia menghentikan katakatanya dan tidak berbicara lebih jauh. Dengan suara dingin Biau-kosiu berkata.

   "Setiap orang yang sudah terluka jarum beracun ekor lebah keluarga Tong, maka dalam tiga jam, racun jahat itu akan menyerang jantung. Bila keadaan sudah begini, biar ada obat dewa pun jangan harap bisa menyelamatkan jiwanya."

   Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Thay-kun, segera tanyanya penuh harapan.

   "Jadi kau dapat menolongnya?"

   Sekali lagi Biau-kosiu tertawa dingin.

   "Aku hanya dapat mengeluarkan jarum beracun dari tubuhnya, namun tidak mampu menyembuhkan luka beracun dalam tubuhnya."

   Mendengar sampai di situ, dengan nada memohon Thaykun berkata.

   "Biau-kosiu, kumohon kepadamu, tolonglah dia dan sembuhkan luka yang dia derita. Apa pun syarat yang kau ajukan, pasti aku akan menyetujui."

   Biau-kosiu tertawa dingin.

   "Racun yang terkandung pada jarum ekor lebah keluarga Tong di propinsi Sucwan bukanlah racun sembarang racun. Sekalipun aku berhasil mengeluarkan jarum beracun itu dari dalam tubuhnya, sulit juga baginya untuk mempertahankan hidup."

   "Padahal dia sudah terkena racun jahat dari Hek-mo-ong, cepat atau lambat dia pasti akan mati juga."

   Thay-kun menangis terisak.

   "Nona Biau, aku tahu kau sanggup menyelamatkan jiwanya, apalagi racun Hek-mo-ong pun disampaikan kepadanya melalui tanganmu. Sekalipun Hek-mo-ong membenci seluruh jago lihai yang ada di dunia persilatan, tapi Jian-ciat-suseng sama sekali tak punya jalinan dendam atau pun sakit hati apa pun dengannya. Apakah kalian benar-benar hendak membinasakan dirinya?"

   Berubah paras muka Biau-kosiu, dengan suara dingin ia berkata.

   "Darimana kau tahu racun dari Hek-mo-ong diterima olehnya melalui tanganku?"

   "Karena kau adalah anak buah Hek-mo-ong."

   "Kau seorang yang sangat pintar dan bisa menduga semua persoalan secara tepat dan pasti. Tapi dugaanmu kali ini keliru, aku sama sekali bukan anak buah Hek-mo-ong."

   Thay-kun tertawa rawan.

   "Apabila kau bukan anak buah Hek-mo-ong, maka aku pun merasa lega."

   "Tidak usah banyak bicara lagi,"

   Tukas Biau-kosiu dengan suara dingin.

   "Bila berniat menyelamatkan jiwanya, satusatunya jalan adalah menemukan Gi Jian-cau. Biarpun membawa besi sembrani, keselamatan jiwanya masih tetap terancam."

   Selesai berkata, Biau-kosiu segera merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sepotong besi berwarna hitam yang segera dilontarkan kehadapan Thay-kun, katanya lagi.

   "Untuk sementara waktu kupinjamkan besi sembrani padamu. Silakan kau turun tangan mengisap jarum-jarum beracun itu dari mulut lukanya!"

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar nenek berambut putih itu menimbrung.

   "Anak Siu, mengapa kau harus membantunya?"

   Biau-kosiu menghela napas, sahutnya.

   "Nenek, aku merasa berhutang budi padanya karena dia telah membantuku merebut kembali kitab pusaka Kui-kok-khi-liok, jadi aku merasa wajib membantunya."

   Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi.

   "Nenek, mari kita pergi."

   Selesai berkata Biau-kosiu bersama nenek berambut putih, lelaki dan perempuan kekar bermata tunggal membalikkan badan dan segera berlalu dari situ.

   Thay-kun memungut besi sembrani itu sambil mengawasi bayangan tubuh keempat orang itu berlalu dari sana.

   Memandang bayangan punggung mereka yang memasuki hutan bambu, dia menggeleng kepala sambil bergumam.

   "Sungguh tak nyana dia akan meminjamkan besi sembrani, ai.."

   Sejak kedatangan Biau-kosiu, Bong Thian-gak memejamkan mata. Saat itu tiba-tiba dia berkata sambil menghela napas.

   "Tindak-tanduknya yang sebentar bermusuhan dan bersahabat ini sungguh membuat orang merasa bingung dan tak habis mengerti. Ai! Sumoay, kau tak usah bersusah payah lagi, sekalipun jarum-jarum beracun itu berhasil kau luap, namun sari racunnya telah menyusup ke dalam tubuhku dengan mengikuti aliran darah, akhirnya aku bakal tewas juga."

   "Suheng, kau tak boleh mati,"

   Kata Thay-kun dengan lembut.

   "Kita tentu akan berhasil menemukan Gi Jian-cau. Sekarang berbaringlah dahulu dengan tenang, biar kucoba mengisap keluar jarum-jarum beracun itu dengan besi sembrani ini."

   Selesai berkata dia segera membaringkan tubuh Bong Thian-gak fce alas tanah, kemudian turun tangan melepas pakaian bagian atasnya.

   Tampak pada dada sebelah kiri dekat puting susu, kulit daging berdarah, bahkan di beberapa tempat terbakar hangus.

   Sekarang noda darah itu sudah mengering, karena itu Thay-kun harus bersusah-payah membersihkan noda darah mengering itu, membiarkan darah segar meleleh kembali.

   Kemudian Thay-kun menempelkan besi sembrani di tangan kanannya itu ke atas mulut luka.

   Ketika diangkat kembali, pada ujung besi sembrani itu sudah menempel tujuh batang jarum yang amat lembut, jarum-jarum lembut itu tak lain adalah jarum ekor lebah yang berwarna hitam pekat.

   Dengan cepat Thay-kun mencabut jarum-jarum ekor lebah itu dari atas besi sembrani, kemudian mencari lagi di sekitar mulut luka itu.

   Lebih kurang sepeminuman teh, seluruhnya Thay-kun berhasil mengangkat tiga belas batang jarum beracun.

   Sambil menghela napas Thay-kun berkata.

   "Meskipun jarum ini sangat lembut dan kecil, untung kekuatannya tak seberapa besar hingga tak mampu menembus badan lebih dalam lagi. Jika jarum beracun itu sampai memasuki nadi darah, wah, apa jadinya."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak melompat bangun dan duduk, lalu katanya sambil tertawa getir.

   "Racun jahat jarum itu sudah telanjur memasuki aliran darah, cepat atau lambat akhirnya aku bakal mati juga."

   Thay-kun segera membersihkan besi sembrani itu dari noda darah, lalu disimpan kembali ke dalam sakunya. Setelah itu dia bertanya dengan lembut.

   "Bagaimana rasanya sekarang?"

   "Mulut luka itu masih terasa panas, agaknya sudah menunjukkan gejala keracunan."

   "Mari kubimbing kau pergi dari sini, kita harus secepatnya mencari si tabib sakti."

   "Tidak ada gunanya,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil menggeleng.

   "Kini aku hanya berharap kau bisa menemaniku selama tiga jam. Berilah kesempatan padaku untuk bicara padamu."

   "Suheng, aku tak bisa hidup tanpa kau, seandainya kau mati, maka aku pun tak ingin hidup seorang diri, oleh sebab itu kau harus hidup,"

   Kata Thay-kun dengan suara amat lembut Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Semutpun ingin hidup, apalagi manusia. Ai, tapi empat samudra begini luas, dimanakah si tabib sakti berada? Ai, sekalipun dia benar-benar bersembunyi dalam Ban-jian-bong ini, kemanakah kita harus pergi mencarinya? Sekalipun berhasil ditemukan, belum tentu ia bersedia menyelamatkan jiwaku."

   "Tiga jam adalah waktu yang singkat dan segera akan lewat dalam sekejap, lagi pula mungkin aku akan jatuh pingsan tak lama lagi."

   "Suheng, sekarang aku mendapatkan firasat yang mengatakan si tabib sakti berada tak jauh dari sini, secepatnya kita akan berhasil menemukan dirinya."

   Bong Thian-gak mengerut dahi, kemudian berkata.

   "Sungguh aneh, sewaktu aku bertarung melawan ketiga Hwesio tadi, aku sudah menperdengarkan tiga kali suara pekikan panjang. Mengapa hingga sekarang belum tampak juga Tio Tian-seng sekalian datang kemari?"

   "Dalam keadaan begini aku tak mempunyai hasrat dan niat lagi memikirkan persoalan itu. Suheng, apakah kau ingin menyerah begitu saja menerima kematian?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, baiklah! Aku akan mengikutimu mencarinya."

   Selesai berkata, di bawah bimbingan Thay-kun dengan perlahan-lahan pemuda itu berdiri. Siapa tahu baru saja ia berdiri, sekujur tubuhnya segera gemetar keras.

   "Aduh,"

   Keluhnya pelan, paras mukanya segera berubah pucat-pasi, bibirnya menghijau dan kulit badannya mengejang keras, wajahnya mencerminkan penderitaan luar biasa. Dengan terkejut Thay-kun segera bertanya.

   "Suheng, mengapa kau?"

   "Aku, mungkin aku sudah tak jauh dari kematian,"

   Bisik Bong Thian-gak dengan suara gemetar.

   "Dadaku terasa sakit, kepalaku terasa amat pening."

   Thay-kun merentangkan tangan memeluk tubuh pemuda itu, katanya.

   "Suheng, bagaimana kalau kubopong dirimu menuju ke bawah pohon yang rindang di depan sana?"

   Dengan membopong tubuh anak muda itu, Thay-kun tiba di bawah pohon rindang, di atas gundukan tanah berumput, di situlah mereka duduk.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bong Thian-gak berbaring dalam pelukannya dengan wajah pucatpasi, seluruh badannya mengejang keras, agaknya penderitaan dan siksaan yang dialaminya bukannya berkurang, malah sebaliknya semakin bertambah.

   Akhirnya pemuda itu mulai merintih.

   "Oh Sumoay, sekarang anggota badanku sakit dan linu, sekujur badanku seperti hancur."

   "Ah!"

   Thay-kun menjerit kaget.

   "Mungkin racun jarum ekor lebah itu telah memancing bekerjanya racun Hek-mo-ong sebelum waktunya."

   "Bila dua macam racun itu bekerja pada saat bersamaan, sudah dapat dipastikan aku akan mati secara mengenaskan. Oh, Thay-kun, aku ingin menyampaikan beberapa persoalan kepadamu."

   "Setelah aku mati nanti, tolong bawalah jenazahku ini ke sebuah lembah terpencil di puncak Cui-im-hong di bukit Bongsan dan kuburkanlah aku di situ, istriku Song Leng-hui berdiam di situ."

   "Kedua, tolonglah Oh Cian-giok, putri Oh Ciong-hu, dari sekapan musuh, dia telah ditangkap oleh Ho Lan-hiang, Congkaucu Put-gwa-cin-kau dan entah disekap dimana?"

   Perkataan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan suara lirih, seolah-olah merupakan pesan terakhir menjelang ajal, begitu pilu dan pedih suaranya sehingga membuat suasana tercekam dalam suasana penuh haru.

   Dengan air mata bercucuran dan suara tersengguk menahan isak-tangis, Thay-kun berseru.

   "Oh Suheng, kau tak boleh mati, kau tak akan mati. Kau harus mengobarkan semangatmu untuk hidup terus, bukankah beberapa kali kau bisa lolos dari ancaman bahaya maut? Bukankah dua kali kau bisa mempertahankan hidupmu? Mengapa kau tidak mampu untuk ketiga kalinya?"

   "Aku rasa kali ini belum tentu aku beruntung. Aii, sekarang aku rela mati, karena selama ini aku bertekad untuk hidup terus demi membalas dendam bagi kematian guruku, Oh Ciong-hu, sekarang aku sudah tahu Oh Ciong-hu telah tewas di tangan Hek-mo-ong dan mereka saling bunuh karena perselisihan berantai, rasanya aku tak usah melibatkan diri lagi dalam pertentangan itu."

   "Thay-kun, sesungguhnya aku adalah anak buangan yang tak berayah dan beribu. Sejak dua puluh tahun berselang, aku seharusnya sudah mati kelaparan, mati kedinginan ... dan kini aku sudah bisa hidup selama dua puluh tahun lagi, aku sudah cukup puas, aku pun tak menyesal untuk mati sekarang."

   "Thay-kun, kau tak usah bersedih, kehidupan manusia di dunia ini ibarat sebuah impian, tiada orang yang tetap berkumpul dan tak pernah berpisah. Aku ... aku akan menunggumu di alam baka."

   Sampai di situ, suara Bong Thian-gak makin lirih dan kecil, akhirnya dia tak sadarkan diri. Menyaksikan itu, Thay-kun berteriak.

   "Suheng ... Suheng!"

   Cepat ia memeriksa napasnya, ternyata napas pemuda itu semakin lemah.

   Ketika diperiksa denyut nadinya, detak jantung pemuda itupun belum berhenti, ia segera tahu pemuda itu belum mati, dia hanya jatuh pingsan saja.

   Karenanya Thay-kun merasa hatinya sedikit lega.

   Pikirnya kemudian.

   "Bagaimana pun juga aku harus berhasil menemukan si tabib sakti, sebab di kolong langit ini hanya dia seorang yang mampu menolong Bong Thian-gak."

   Kemudian ia pun berpikir lebih jauh.

   "Bong Thian-gak sudah terkena jarum ekor lebah keluarga Tong yang termasyhur karena keganasannya, seharusnya racun jahat itu baru akan mulai menyerang ke jantung setelah tiga jam, tapi sekarang racun itu sudah membangkitkan racun Hek-mo-ong yang telah mengeram dalam tubuhnya, diserang oleh dua racun pada saat yang bersamaan. Entah berapa lama Bong Thian-gak dapat mempertahankan hidup?"

   Mendadak tampak bayangan orang berkelebat, Thay-kun segera menyaksikan dari berbagai arah bermunculan dua puluhan Hwesio berbaju kuning.

   Kawanan Hwesio itu sama sekali tidak mirip tampang seorang Hwesio, bukan saja wajah mereka gemuk dan penuh daging, matanya memancarkan pula sinar kebuasan yang mengerikan, masing-masing menggenggam senjata tajam menyerupai tombak pendek.

   Tatkala kawanan Hwesio itu menjumpai jenazah ketiga Hwesio lain yang tergeletak di atas tanah, sekilas perasaan kaget dan ngeri segera menghiasi wajah mereka, langsung mereka menghentikan langkah.

   Sebaliknya Thay-kun yang melihat kawanan Hwesio itu segera berpikir.

   "Untuk menemukan si tabib sakti, rasanya hanya bisa dicari dari mulut mereka."

   Menurut pendapat Thay-kun, kawanan Hwesio ini seharusnya tak dipengaruhi jago persilatan dan apabila Gi Jian-cau benar bersembunyi di tempat ini, maka kepandaian silat yang dimiliki orang-orang itu pasti merupakan didikan Gi Jian-cau, otomatis kepandaian silat yang dibina olehnya ini secara khusus hendak digunakan untuk menghadapi Hek-moong yang hendak mencari balas kepadanya.

   Saat inipun Thay-kun juga sudah tahu kawanan Hwesio itu tidak lebih hanya jago-jago kelas tiga.

   Itulah sebabnya, sewaktu mereka saksikan ketiga sosok mayat Hwesio yang dibunuh Bong Thian-gak tadi, timbul perasaan takut dalam hati.

   Sebab ketiga orang yang terbunuh itu merupakan jago lihai kelas satu dalam Ban-jian-bong.

   Kawanan Hwesio bermuka bengis itu tampak ragu-ragu sejenak, tiba-tiba mereka menyerbu ke depan.

   Sudah jelas di sekitar tempat itu tak tampak orang lain, kecuali dua orang di hadapannya, padahal yang lelaki sudah terluka parah sedang yang perempuan tidak perlu ditakuti.

   Itulah sebabnya nyali mereka semakin bertambah besar.

   "Berhenti!"

   Thay-kun membentak nyaring.

   Kawanan Hwesio yang mengurung menjadi terkejut dan serentak menghentikan langkah.

   Waktu itu Thay-kun telah membaringkan Bong Thian-gak di atas tanah berumput dan dia berdiri di depan gundukan tanah itu dengan wajah memancarkan sinar kewibawaan yang membuat hati orang bergidik, sorot matanya yang tajam mengawasi kawanan Hwesio itu tanpa berkedip.

   Dalam waktu singkat kawanan Hwesio itu dapat merasakan bahwa perempuan cantik bak bidadari dari kahyangan di hadapan mereka ini bukanlah perempuan lemah, sebaliknya justru merupakani harimau ganas dan menakutkan.

   Seorang Hwesio bermuka hitam dan agak gemuk, tampaknya merupakan pemimpin gerombolan itu tertawa licik, kemudian dengan suara parau dia berkata.

   "Bocah perempuan, kau tak usah mencari kematian, kau cukup menjawab beberapa buah pertanyaan yang kuajukan, tak nanti aku menyusahkan dirimu."

   "Aku pun hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu, usul kau pun bersedia menjawab beberapa buah pertanyaanku, tentu k.ilian bisa hidup terus. Kalau tidak, hm, kalian akan mati konyol di sini."

   Selesai berkata Thay-kun segera mengayun telapak tangan kirinya ke depan dan melepaskan sebuah pukulan.

   Tanpa menimbulkan sedikit suara pun tahu-tahu tiga Hwesio berbaju kuning yang berdiri di sebelah utara sudah roboh terjengkang ke ulas tanah dan tewas oleh pukulan Sohli- jian-yang-sin-kang yang sangat lihai.

   Tiba-tiba hati Thay-kun bergetar keras melihat ketiga orang Hwesio itu roboh binasa, pikirnya.

   "Heran, mengapa tenaga dalamku bisa tumbuh begitu tangguhnya? Padahal jaraknya cukup jauh, namun kenyataan seranganku berhasil merenggut nyawa mereka sekaligus. Hal Ini benar-benar tak terduga."

   Thay-kun benar-benar diliputi perasaan kaget dan gembira, padahal dia hanya bermaksud melepas pukulan untuk menggetar mundur para Hwesio itu agar mereka takut dan mundur teratur.

   Siapa sangka pukulan itu ternyata mengandung tenaga begitu dahsyat hingga mencabut nyawa lawan.

   Tenaga dalamnya sekarang telah meningkat dua kali lipat daripada sebelumnya "Ah! Ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang telah berhasil mencapai ke tingkat sepuluh."

   "Aku ... aku sudah mampu membunuh Cong-kaucu Putgwa- cin-kau."

   Mendadak Thay-kun mengayun tangannya dan sekali lagi melancarkan pukulan maut.

   Tanpa disertai desingan angin pukulan sedikit pun, tahutahu tujuh Hwesio yang berada di sebelah selatan roboh bergelimpangan tanpa nyawa lagi.

   Suara bentakan dan teriakan panik segera berkumandang, kawanan Hwesio itu segera membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit, malah saking takutnya ada di antara mereka yang terkencing-kencing.

   "Mau kabur kemana?"

   Bentak Thay-kun Dengan gerakan tubuh ringan dia berkelebat maju, lalu tangan kanannya menyambar dan mencengkeram baju bagian belakang si Hwesio gemuk itu.

   Perawakan Hwesio gemuk jauh lebih berat daripada rekanrekannya.

   Mesti begitu ketika bajunya kena dicengkeram, dia segera berhenti dan tidak sanggup beranjak barang setengah langkah pun.

   Saking takutnya, kontan dia berkaok-kaok.

   "Dewi yang mulia, ampunilah nyawaku, ampunilah jiwaku ini!"

   Thay-kun tertawa dingin, mendadak ia membanting tubuhnya ke atas tanah, bentaknya.

   "Boleh saja kuampuni jiwamu, cuma kau mesti menjawab beberapa pertanyaanku secara baik."

   Pelan-pelan Hwesio itu merangkak bangun, ia merasakan suasana di sekeliling tempat itu sunyi-senyap, rekan-rekannya sudah mampus atau melarikan diri, kini tinggal dia seorang yang berada di situ ditemani rekan-rekannya yang telah menjadi mayat.

   Dengan perasaan sangat takut, Hwesio itu berlutut di atas tanah dan menganggukkan kepala berulang kali seraya berkata.

   "Apa yang ingin dewi tanyakan, tentu akan kujawab, aku takkan berbohong."

   "Siapakah nama pemimpin kalian? Ayo jawab secepatnya,"

   Tanya Thay-kun segera.

   "Pemimpin kami adalah Hongtiang ruang ketujuh kuburan ini, Ci-kim-kong Hwesio."

   "Lalu siapakah ketiga orang Hwesio itu?"

   Tanya Thay-kun dengan kening berkerut.

   "Apakah dewi tanyakan ketiga Hwesio bertasbih itu? Mereka adalah Hwesio yang bertugas di tanah pekuburan ini, bersama Ci-kim-kong Hwesio, mereka disebut sepuluh orang Toa-kim-kong."

   "Bagaimanakah tampang Ci-kim-kong Hwesio?"

   Kembali Thay-kun bertanya. Sebelum perkataan itu selesai diutarakan, tiba-tiba terdengar suara menyeramkan berkumandang.

   "Hud-ya telah datang. Bagaimanakah tampang mukaku boleh perhatikan sendiri dengan jelas."

   Tiba-tiba terdengar jeritan lengking yang memilukan, rupanya jeritan seperti babi disembelih itu berasal dari si Hwesio bermuka hitam.

   Tampak Hwesio bermuka hitam itu bergulingan di atas tanah beberapa kali sebelum akhirnya sama sekali tidak berkutik lagi.

   Dengan ketajaman mata Thay-kun, sekilas pandang saja ia sudah melihat di atas tengkuk Hwesio bermuka hitam itu tertancap sebatang anak panah kecil.

   Anak panah itu meluncur tanpa menimbulkan sedikit suara pun dan tepat menghajar belakang kepala si Hwesio bermuka hitam itu secara telak, nyata orang yang melepaskan anak panah itu memiliki kepandaian silat luar biasa.

   Pelan-pelan Thay-kun memandang ke depan.

   Entah sedari kapan di hadapannya telah muncul tujuh Hwesio berperawakan tinggi pendek tak menentu, namun di tangan kiri masing-masing memegang tasbih yang sama.

   Tak salah lagi biji tasbih itu tentulah Leng-hwe-tan yang berisi jarum beracun ekor lebah.

   Di antara ketujuh Hwesio itu, berdiri Hwesio tinggi besar berjenggot hitam sepanjang dada dan berwajah merah, mungkin orang Inilah yang menjadi pimpinan pasukan keamanan Ban-jian-bong, Ci-kim-kong Hwesio.

   Sambil tertawa dingin, Thay-kun segera bertanya.

   "Kaukah yang bernama Ci-kim-kong Hwesio?"

   Hwesio itu tertawa licik.

   "Betul, Hud-ya orangnya."

   Semula Thay-kun mengira nama Ci-kim-kong Hwesio adalah nama samaran Gi Jian-cau, sekarang dia merasa kecewa mendengar jawaban itu, katanya kemudian dengan suara dingin.

   "Kedatanganmu nangat tepat, ada satu persoalan ingin kutanyakan kepadamu."

   "Apakah kau ingin bertanya kepadaku, dimanakah Gi Jiancau berada?"

   Ujar Ci-kim-kong Hwesio dengan suara menyeramkan. Thay-kun dibuat tertegun.

   "Darimana kau bisa tahu?"

   "Barusan, sudah ada tiga orang yang mengajukan pertanyaan yang sama kepadaku."

   "Apakah kau sudah memberitahukan kepada mereka?"

   Cikim- kong Hwesio tertawa bangga.

   "Sebenarnya Hud-ya ingin mengajak mereka pergi menjumpai Gi Jian-cau, tapi sayang ketiga orang itu sudah tak mampu bergerak lagi, oleh sebab itu Hud-ya pun tidak jadi membawa mereka."

   Thay-kun menjadi terkejut sekali mendengar perkataan itu, dia segera bertanya.

   "Jadi kalian telah melukai mereka bertiga?"

   Dengan bangga Ci-kim-kong Hwesio tertawa terbahak.

   "Baik Mo-kiam-sin-kun maupun Liu Khi dan Pat-kiam-huihiang, semuanya tak ada yang lolos, mereka sudah terluka."

   Berada dalam suasana dan keadaan seperti ini, mau tak mau Thay-kun harus membuat penilaian baru terhadap kepandaian silat Ci-kim-kong Hwesio.

   Kepandaian silat Tio Tian-seng bertiga sudah terhitung sangat tangguh dan hebat, bagaimana mungkin mereka dapat dilukai secara mudah? Tapi kenyataan Ci-kim-kong Hwesio sanggup melukai mereka bertiga, terbukti betapa lihainya kepandaian silat orang ini.

   "Apakah mereka bertiga terluka oleh Leng-hwe-tan?"

   Tanya Thay-kun.

   "Benar, mereka memang terluka oleh Leng-hwe-tan dalam biji tasbih ini,"

   Jawaban Ci-kim-kong Hwesio terdengar amat dingin dan menyeramkan. Thay-kun segera tersenyum.

   "Kalau begitu Tio Tian-seng bertiga terluka karena memandang enteng kemampuanmu, bukan karena kau bisa mengungguli mereka dengan mengandalkan kepandaian sejati. Sekalipun peluru Leng-hwe-tan sangat lihai, tapi bukankah sudah kau saksikan sendiri, ketiga Hwesio yang membawa Leng-hwe-tan pun tak berhasil meloloskan diri dari kematian."

   Paras muka Ci-kim-kong Hwesio berubah hebat, segera ujarnya dingin.

   "Jadi ketiga Kim-kong Hwesio itu tewas di tanganmu?"

   "Bukan, mereka mati dibunuh oleh Jian-ciat-suseng."

   Sambil menarik muka Ci-kim-kong Hwesio kembali berkata.

   "Kalau memang bukan mati di tanganmu, Hud-ya pun tak ingin menyusahkan dirimu. Segera kau boleh meninggalkan Ban-jian-bong!"

   Thay-kun tersenyum.

   "Sebelum bertemu Gi Jian-cau, aku tak akan mengundurkan diri dari Ban-jian-bong begitu saja."

   "Bila kau tak segera mengundurkkan diri dari Ban-jianbong, maka hanya jalan kematian yang akan kau hadapi."

   Ketika Thay-kun menyaksikan keenam Hwesio lainnya telah bersiap melancarkan serangan, mendadak ia berseru.

   "Tunggu dulu!"

   "Apakah kau hendak mengundurkan diri dari Ban-jianbong?"

   "Aku tidak ingin melukai orang terlalu banyak,"

   Kata Thaykun dengan suara dingin.

   "Aku tak lebih hanya ingin bertemu Gi Jian-cau serta memohon kepadanya untuk menyelamatkan jiwa Jian-ciat-suseng, soal lain aku tidak mengharapkan apaapa."

   "Hud-ya pun tidak mengharapkan apa-apa darimu, aku hanya berharap kau suka mengundurkan diri dari Ban-jianbong dengan segera."

   "Percayakah kau, sebelum kalian sempat melepaskan Lenghwe- tan yang pertama, aku sanggup membinasakan kalian semua?"

   Kata Thay-kun. Tiba-tiba Ci-kim-kong Hwesio membentak.

   "Bunga salju terbang di angkasa!"

   Sebagai seorang jago persilatan yang berpengalaman luas, Thay-kun segera tahu pihak lawan sedang menurunkan perintah untuk melancarkan serangan.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah mendengar suara bentakan itu, maka dia pun segera membentak dan mengayunkan telapak tangan kirinya melepaskan sebuah pukulan.

   Segulung tenaga pukulan yang sangat kuat dan mengandung tenaga Soh-li-jian-yang-sin-kang segera meluncur ke depan secepat kilat dan menerjang seorang Kimkong Hwesio yang berdiri di sudut paling kiri.

   Serangan itu segera meluncur ke muka tanpa menimbulkan sedikit suara, tahu-tahu saja Kim-kong Hwesio itu roboh terjungkal, kemudian tanpa menimbulkan suara keluhan apa pun, dia terkulai dan tak pernah merangkak bangun kembali.

   Ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Thay-kun yang maha dahsyat itu dengan cepat mengejutkan semua Kim-kong Hwesio lain.

   Dengan begitu dia tak punya kesempatan lagi melukai Hwesio kedua.

   Tiga dengungan keras yang memekakkan telinga berkumandang, lalu secepat kilat menyelimuti seluruh arena pertarungan itu.

   Ternyata keenam Kim-kong Hwesio itu telah melepaskan biji tasbihnya secara beruntun ke angkasa dengan ilmu melepaskan senjata rahasia yang khusus.

   Dalam waktu singkat biji-biji tasbih itu menari-nari di angkasa seperti bunga salju beterbangan di udara.

   Dalam waktu singkat seluruh badan Thay-kun sudah terjerumus ke dalam lautan api, dia seperti seekor burung dalam sangkar yang dibikin ketakutan, terbang ke sana kemari, namun selalu gagal melepaskan diri dari kepungan.

   Thay-kun benar-benar terkejut setelah menghadapi kejadian ini, dia bukannya takut terluka di tangan musuh, tapi dia kuatir Bong Thian-gak yang masih tak sadarkan diri itu akan terluka lagi oleh serangan Leng-hwe-tan lawan.

   Baru saja pikirannya bercabang, tiba-tiba dua biji Lenghwe- tan sudah saling tumbuk di hadapannya dan menimbulkan ledakan yang keras.

   Ibarat daun berguguran dari atas ranting, Thay-kun segera bergulingan di atas tanah.

   Biarpun gerakannya ini berhasil menyelamatkannya dari ancaman j tiga puluh jarum beracun ekor lebah, namun gagal menghindari sergapan bara api, dalam waktu singkat pakaiannya sudah terbakar hangus.

   Biji tasbih berpeluru Leng-hwe-tan itu memang benar-benar senjata rahasia yang tiada taranya, apalagi dipancarkan oleh enam Kim-kong Hwesio pada saat bersamaan, kekuatannya luar biasa.

   Kobaran api yang membumbung tinggi ke angkasa serta kilatan guntur yang menggelegar membuat Thay-kun seperti sasaran yang diincar setiap orang, pada hakikatnya sama sekali tidak tersisa sedikit kemampuan pun untuk melancarkan serangan balasan.

   Mendadak dari luar lingkaran kepungan, terdengar Ci-kimkong Hwesio membentak.

   Tahu-tahu Hwesio itu sudah mendesak maju, tangan kanannya segera diayunkan ke muka dan sebatang anak panah segera meluncur ke depan bagai sambaran kilat.

   Tahu-tahu senjata itu sudah mengancam dada Thay-kun.

   Di bawah serangan Leng-hwe-tan yang menimbulkan kobaran api dan asap tebal ini, siapa saja pasti akan merasakan kepala pening dan mata berkunang-kunang, pikiran kalut dan perasaan kacau-balau tak keruan.

   Dalam keadaan demikian, siapa pun pasti tak akan mampu menghindarkan diri dari serangan anak panah yang demikian cepatnya.

   Dalam anggapan Ci-kim-kong Hwesio, Thay-kun sudah pasti akan terkena sasaran anak panahnya pula.

   Seringkah kenyataan memang berada di luar dugaan siapa saja, sementara Thay-kun menjerit kaget, dia telah membalik pergelangan tangan kanannya menangkap anak panah itu, lalu balik menyambitkan ke depan.

   Jeritan ngeri yang menyayat hati seperti jeritan babi disembelih segera berkumandang.

   Seorang Kim-kong Hwesio yang kebetulan berdiri di hadapannya terkena sambitan anak panah itu tepat pada matanya hingga roboh binasa.

   Ci-kim-kong Hwesio terkesiap, cepat dia berteriak.

   "Lepaskan lagi Leng-hwe-tan, gunakan 'Lautan api membakar langit', binasakan orang ini!"

   Sementara itu Thay-kun sudah merasakan betapa dahsyat dan hebatnya Leng-hwe-tan, ia tak berani melancarkan serangan ke arah lawan secara gegabah lagi, badannya segera bergerak dan melompat ke samping tubuh Bong Thian-gak, kemudian dengan cekatan membopong tubuh pemuda itu.

   Rentetan Leng-hwe-tan yang dilancarkan secara bertubitubi ke arahnya segera berledakan dimana-mana serta menimbulkan suara gemuruh.

   Thay-kun membentak sambil membopong tubuh Bong Thian-gak, dia segera melejit ke tengah udara.

   Tenaga dalam yang dimilikinya saat ini membuat orang tak berani mempercayainya, sekali lompatan saja dia telah berhasil melompati hutan bambu.

   Menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang begitu hebat dan luar biasa, untuk sesaat Ci-kim-kong Hwesio menjadi kaget dan lupa untuk melepas Leng-hwe-tan serta melakukan pengejaran, dia hanya berdiri termangu di tempat dengan mata terbelalak, bayangan Thay-kun sudah lenyap di balik hutan bambu.

   Thay-kun sambil membopong Bong Thian-gak berlari menyusuri hutan bambu itu sejauh satu li lebih, mendadak sepasang matanya bersinar tajam, rupanya dia sudah keluar dari hutan bambu yang begitu rapat di Ban-jian-bong itu.

   Tanpa terasa Thay-kun menghentikan langkah, lalu memandang sekejap sekeliling tempat itu, ternyata dia sudah berada di sebelah barat laut pekuburan itu, sepanjang mata memandang hanya padang rumput yang luas tanpa tepian.

   Tanpa berbicara ataupun mengeluarkan sedikit suara pun, Thay-kun berjalan menyusuri padang rumput yang sangat luas itu.

   Kemanakah dia hendak pergi? Cahaya matahari yang mendekati senja memancarkan sinarnya yang merah ke atas tubuhnya, beberapa bagian pakaian yang dikenakan telah hangus terbakar, membuat pakaiannya sangat kusut dan wajahnya amat layu.

   Angin berhembus menerbangkan rambutnya yang panjang dan membentuk perpaduan pemandangan memilukan dan mengenaskan.

   "Engkoh Gak, engkoh Gak, dimanakah engkau berada, engkoh Gak Angin barat berhembus, seakan ada panggilan yang menyayat hati.

   "Engkoh Gak, dimanakah engkau berada? Engkoh Gak Suara panggilan yang muncul sangat mendadak dan bernada memilukan itu segera menyadarkan Thay-kun dari pikiran kusut dan murung. Dengan cepat dia memandang sekejap ke arah padang rumput yang membentang tak bertepian di depan matanya, namun tak kelihatan sesosok bayangan orang pun di sana.

   "Jelas itu suara panggilan seorang perempuan,"

   Gumam Thay-kun dengan suara lirih.

   "Dia sedang mencari engkoh Gak, siapakah engkoh Gak itu?"

   Thay-kun berdiri tegak di situ dengan tenang, menanti datangnya suara panggilan itu sekali lagi. Namun suasana amat hening, sepi, bahkan suara panggilan tadi tak terdengar lagi. Tiba-tiba Thay-kun menghela napas, lalu bergumam.

   "Mungkinkah aku telah salah mendengar?"

   "Ai! Mengapa aku harus berjalan menuju ke padang rumput yang tak bertepian ini?"

   "Kini keselamatan jiwa Bong Thian-gak sedang terancam bahaya, mengapa aku membuang waktu yang berharga begitu saja?"

   "Si tabib sakti Gi Jian-cau berada dalam Ban-jian-bong, bagaimana pun aku harus dapat menemukannya dan memaksanya menyelamatkan jiwa Bong Thian-gak. Aku harus secepatnya kembali ke Ban-jian-bong."

   Tadi berhubung Thay-kun diserang Leng-hwe-tan oleh Cikim- kong sekalian secara bertubi-tubi, merasa sudah tak ada harapan lagi mengungguli musuh, kemudian harapannya untuk menemukan si tabib lakti Gi Jian-cau pun sudah lenyap, dia menjadi putus asa, sedih dan kecewa sekali.

   Pukulan batin yang sangat berat itu membuat pikirannya menjadi sangat kalut, sehingga tanpa disadari dia berjalan menuju ke padang rumput tanpa tujuan.

   Sekarang dia dapat menenangkan pikiran, dengan perasaan lebih tenang dan otak lebih dingin, dia mulai merasa bahwa kondisi Bong Thlun-gak sangat lemah, dia sangat membutuhkan pertolongan si tabib takti, maka dia pun memutuskan balik ke Ban-jian-bong.

   Dengan membopong tubuh Bong Thian-gak, berangkatlah Thay-kun kembali ke Ban-jian-bong.

   Tidak sampai setengah jam kemudian, Thay-kun sudah tiba di mulut barat laut Ban-jian-bong.

   Thay-kun berpikir, dalam perjalanan memasuki Ban-jianbong kali llil, ia tak akan bisa menghindari suatu pertarungan berdarah lagi.

   Bong Thian-gak yang berada dalam bopongannya akan semakin terancam lagi oleh bahaya maut.

   Karena itu Thay-kun mencari pohon Siong besar, membaringkan Bong Thian-gak di situ, lalu katanya dengan lembut.

   "Bong-suheng, terbaringlah di sini dengan tenang, aku akan segera kembali."

   Bong Thian-gak sudah berada dalam keadaan tak sadar, sudah barang tentu dia tak mampu menjawab pertanyaan itu.

   Thay-kun menggeleng sambil menghela napas sedih, kemudian baru membalikkan badan dan mengerahkan Ginkangnya menerobos ke dalam hutan bambu di Ban-jianbong.

   Ban-jian-bong yang sangat menyeramkan dan menggidikkan masih dicekam keheningan.

   Secara beruntun Thay-kun menembus enam-tujuh lapis kuburan, namun tak sesosok bayangan pun yang berhasil ditemukan.

   Thay-kun makin gelisah, apalagi melihat senja semakin mendekat.

   Bila dia berdiam terus-menerus hingga membiarkan malam menjelang tiba, berarti usahanya menemukan si tabib sakti akan semakin menemui kesulitan.

   Pikir punya pikir, tanpa terasa Thay-kun mulai berteriak.

   "Ci-kim-kong Hwesio, berada dimanakah kau? Nonamu hendak menantangmu bertarung tiga ratus gebrakan."

   Bagaikan seorang yang sudah kalap, kembali Thay-kun berteriak.

   "Tabib sakti Gi-locianpwe, kau bersembunyi dimana? Gi-locianpwe, Thay-kun tahu kau bersembunyi di dalam Banjian- bong ini. Ayo cepat keluar!"

   Suara teriakannya yang sangat keras segera menggema di seluruh hutan bambu itu.

   Namun suasana dalam Ban-jian-bong tetap hening, sepi dan sama sekali tak terdengar sedikit suara pun.

   Gelak tawa Thay-kun yang keras dan tajam itu akhirnya berubah seperti orang gila.

   "Badannya berputar-putar dalam hutan bambu secepat sambaran kilat, pukulan demi pukulan dilancarkan berulang kali ke sana kemari membuat peti mati hancur berantakan dan tulang belulang beterbangan di angkasa. Mendadak terdengar dua kali desingan angin tajam. Thay-kun segera mengenali suara itu, desingan senjata rahasia, maka sepasang tangannya segera digetarkan dan tubuhnya melejit ke tengah udara. Pada saat itulah terdengar suara ledakan keras, jilatan api menyambar dari bawah kakinya. Tubuh Thay-kun bagaikan seekor burung walet yang terbang di angkasa segera meluncur ke arah hutan bambu di hadapannya, di mana angin pukulan menyambar, seorang Hwesio berbaju kuning segera roboh terjengkang ke atas tanah. Setelah berhasil membinasakan seorang musuh, sekali lagi Thay-kun melejit ke udara dan menerjang lagi ke dalam hutan bambu. Baru saja kakinya melayang turun ke atas tanah, sesosok bayangan muncul dari balik pepohonan bambu yang rindang. Thay-kun segera membentak.

   "Hendak kabur kemana kau!"

   Telapak tangan kirinya segera melepaskan sebuah bacokan maut ke depan.

   Dimana angin pukulan menyambar, bayangan orang segera rontok dari tengah udara dan tak pernah merangkak bangun kembali.

   Tenaga pukulan Thay-kun benar-benar sangat dahsyat dan tajam, membuat siapa pun yang melihat akan bergidik.

   Sementara suara desingan senjata rahasia kembali terdengar.

   Thay-kun mulai memutar otak dan menghitung sisa Kimkong Hwesio yang masih tersisa, Bong Thian-gak telah membunuh tiga orang, barusan ia telah membunuh tiga orang dan kini membunuh lagi dua orang, berarti masih tersisa tiga orang saja.

   Dengan gerakan tubuh yang enteng seperti burung walet, Thay-kun meluncur ke udara, lalu seganas harimau dia menerkam ke arah hutan bambu di hadapannya.

   Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi berkumandang, dari balik peti mati mencelat keluar sesosok tubuh yang kemudian tergeletak di tanah sebagai mayat.

   "Pelacur busuk, Hud-ya akan mengadu jiwa denganmu!"

   Di tengah bentakan keras, Ci-kim-kong Hwesio dan Kimkong Hwesio yang terakhir muncul dari balik gundukan tanah.

   Sebatang anak panah kecil disertai dua desingan angin pukulan yang sangat kuat segera menyergap datang dari arah belakang.

   Thay-kun tertawa terkekeh-kekeh, lalu bentaknya.

   "Sesungguhnya kalian mesti muncul diri sejak tadi!"

   Dengan cepat Thay-kun melompat ke muka dan melayang turun di belakang kedua Hwesio itu dengan sangat ringan.

   Tibatiba terdengar seseorang membentak.

   Telapak tangan kiri Thay-kun sudah keburu diayunkan ke depan dengan kecepatan luar biasa.

   Salah seorang dari Kim-kong Hwesio itu segera mendengus tertahan, lalu tubuhnya roboh terjengkang ke belakang dan binasa dalam keadaan mengenaskan.

   Dengan cepat tiga sosok bayangan telah melayang datang dan turun di samping tubuh Ci-kim-kong Hwesio.

   Setelah mengetahui jelas siapa ketiga orang itu, dengan perasaan girang Thay-kun segera berseru.

   "Ci-kim-kong adalah satu-satunya sumber berita untuk kita, harap kalian jangan melukai dirinya!"

   Ternyata ketiga orang yang baru saja muncul adalah Tio Tian-seng, Liu Khi serta Tan Sam-cing. Sewaktu Ci-kim-kong Hwesio menyaksikan ketiga orang itu, dia justru menarik muka sambil membentak.

   "Kalian bertiga cepat turun tangan dan bekuk perempuan rendah itu!"

   Thay-kun jadi tertegun, ditatapnya Tio Tian-seng bertiga dengan termangu, dia ingin tahu bagaimanakah reaksi rekanrekannya itu? Tampak olehnya Tio Tian-seng, Liu Khi dan Tan Sam-cing segera berkelebat ke muka dan dengan cepat membentuk posisi mengurung dari posisi tiga sudut, dengan begitu perempuan itu terkurung rapat.

   Thay-kun berkerut kening, lalu serunya lantang.

   "Tiopangcu, sejak kapan kalian bertiga berubah pendirian serta bersedia menuruti perintahnya?"

   "Nona Thay-kun,"

   Dengan suara dalam Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng berkata.

   "kami telah berjumpa si tabib sakti Gi Jiancau. Demi persatuan kami untuk bersama-sama menghadapi Hek-mo-ong, maka kami telah mengambil keputusan untuk tetap tinggal di Ban-jian-bong sambil berjaga-jaga di sini."

   "Mulai sekarang setiap orang dilarang memasuki daerah Ban-jian-bong lagi. Oleh sebab itu kami berharap nona Thaykun bersedia mengundurkan diri dari sini secepatnya."

   Thay-kun berkerut kening, lalu dengan hawa napsu membunuh menyelimuti wajahnya, dia berkata.

   "Sebelum berhasil menjumpai Gi Jian-cau, aku tak akan mengundurkan diri dari Ban-jianbong."

   "Nona,"

   Kata Liu Khi dengan ketus.

   "bilamana kau bersikeras tak mau mengundurkan diri, terpaksa kau harus terlibat dalam suatu pertarungan sengit melawan kami!"

   Pelan-pelan Thay-kun mengalihkan sorot matanya ke wajah Tan Sam-cing, kemudian tanyanya pula.

   "Apakah Tanlocianpwe juga sudah berpihak kepada mereka?"

   Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing mendengus dingin, kemudian katanya.

   "Berbagai perubahan yang mendadak seringkali terjadi dalam Kangouw. Nona Thay-kun, kuanjurkan padamu lebih baik pergi dari Ban-jian-bong ini secepatnya, kalau tidak, kau akan tertimpa bencana kematian."

   Thay-kun segera tertawa dingin.

   "Bagus, bagus sekali. Cuaca gampang berubah, urusan dunia pun selalu berubah tak menentu. Jika memang demikian aku ingin terkubur dalam Ban-jian-bong ini daripada mengundurkan diri dari sini."

   Tiba-tiba Ci-kim-kong Hwesio yang berada di sisinya berkata pula dengan suara berat.

   "Dia telah membinasakan sembilan orang Kim-kong Hwesio, apakah aku harus membiarkan dia pergi dari sini begitu saja?"

   Tio Tian-seng memandang sekejap ke arah Ci-kim-kong Hwesio, kemudian katanya.

   "Taysu, si tabib sakti ada perintah membiarkan dia mengundurkan diri dari Ban-jian-bong. Bila dia tidak mau mundur, kita baru berusaha membunuhnya."

   "Aku tidak percaya si tabib sakti benar-benar berbuat demikian,"

   Teriak Ci-kim-kong Hwesio. Thay-kun tertawa dingin, kemudian teriaknya secara tibatiba.

   "Hwesio bajingan, biar kubunuh dirimu lebih dulu."

   Thay-kun segera mengayun telapak tangan kirinya, kemudian mendesak ke depan menghampiri Ci-kim-kong Hwesio.

   Siapa tahu baru saja tubuhnya bergerak, tiba-tiba dua bilah pedang dan sebilah golok panjang telah menghadang jalan pergi Thay-kun dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Tio Tian-seng, Tan Sam-cing serta Liu Khi adalah tiga jago persilatan berilmu silat tinggi dalam Kangouw dewasa ini.

   Setelah mereka bekerja sama, siapa yang sanggup menghadapinya? Dalam kejutnya, Thay-kun segera mundur tiga langkah, kemudian ujarnya dingin.

   "Benarkah kalian bertiga akan mencampuri urusanku dan menghalangi niatku ini?"

   Dengan suara dalam Tio Tian-seng berkata.

   "Tabib sakti berpesan kepada kami bahwa Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak yang terkena jarum beracun ekor lebah dari Leng-hwe-tan tak bakal mati. Apakah nona masih ingin membuat keonaran lagi?"

   "Apakah dia berkata demikian? Benarkah Jian-ciat-suseng tak akan mati?"

   Tanya Thay-kun dengan perasaan bergetar keras. Tio Tian-seng menghela napas panjang.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ai, tadi pun aku sudah terkena racun jarum ekor lebah Leng-hwe-tan, bekerjanya racun itu telah memancing bekerjanya racun dari Hek-mo-ong yang terkandung dalam badanku. Tapi kenyataan aku tak mampus."

   "Tapi kau sudah memperoleh perawatan dan pengobatan tabib sakti, itulah sebabnya kau tak mampus!"

   Tiba-tiba Tio Tian-seng bertanya.

   "Nona, pernahkah kau tahu tentang teori dalam ilmu pertabiban yang dinamakan "dengan racun melawan racun'?"

   "Walaupun Jian-ciat-suseng sudah terkena jarum ekor lebah yang amat beracun, bukan saja dia tak akan mati, bahkan akan memusnahkan racun dari Hek-mo-ong yang ditanamkan di dalam tubuhnya, sekarang dia hanya pingsan selama beberapa jam, jiwanya tak akan terancam."

   "Sungguhkah perkataanmu itu?"

   Tanya Thay-kun dengan terkejut bercampur heran.

   "Aku tak perlu membohongimu."

   Thay-kun segera tertawa dingin.

   "Apabila kalian berani membohongi aku, selama hidup aku bersumpah tak akan hidup berdampingan dengan kalian secara damai."

   Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ. Tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berkata lagi.

   "Harap nona mengingatnya baik-baik, sekali lagi jangan kau memasuki daerah Ban-jian-bong ini."

   Thay-kun yang sudah jauh segera menyahut dengan suara merdu.

   "Bila Jian-ciat-suseng selamat dari ancaman bahaya, kemungkinan besar kami akan mengundurkan diri untuk selamanya dari keramaian dunia persilatan."

   Bayangan tubuh Thay-kun pun segera lenyap di balik remang-remangnya cuaca.

   Matahari sudah lama tenggelam, yang tersisa tinggal secercali sinar yang sangat redup.

   Di padang rumput yang hening, tiada hentinya berkumandang suara panggilan yang memilukan dan memedihkan hati.

   "Bong-suheng, dimana kau? Bong-suheng Seorang perempuan yang berpakaian compang-camping dan berwajah kusut berlarian di padang rumput seperti orang kalap.

   "Bong Thian-gak, dimanakah kau? Mengapa kau meninggalkan aku begitu saja?"

   Tiada hentinya perempuan berbaju biru itu berteriak dan menjerit sekerasnya. Padang rumput yang tampak begitu sepi, hening dan mengerikan. Sebelum matahari terbenam tadi, di angkasa terdengar orang yang berteriak.

   "Engkoh Gak, engkoh Gak, dimanakah kau?"

   Dan sekarang ketika magrib tiba, kembali suasana hening dipecahkan oleh teriakan.

   "Bong-suheng, Bong-suheng, dimanakah kau?"

   Sama-sama teriakan pilu seorang perempuan, sama-sama bernada cemas dan sedih, namun berasal dari dua orang perempuan yang berbeda.

   Ternyata ketika Thay-kun berlari keluar dari Ban-jian-bong dan kembali ke bawah pohon yang rindang itu, bayangan tubuh Bong Thian-gak sudah lenyap.

   Tidak meninggalkan bekas apa-apa, tak mungkin pemuda itu diserang binatang liar atau menjumpai suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan.

   Tapi tubuh Bong Thian-gak lenyap begitu saja.

   Jelas dia sudah mendusin sendiri dari pingsannya, kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

   Kepergian Bong Thian-gak tanpa pamit membuat Thay-kun merasa sedih.

   Sejak dia menelan pil penghilang sukma hingga syarafnya menderita luka, keadaan badannya menjadi sangat lemah, akibatnya pukulan batin yang amat besar ini segera membuat jalan pikirannya menjadi lamban dan tidak jelas.

   Bagaikan orang gila, dia mulai berlarian sambil memanggil nama Bong Thian-gak, dia berlari menyusuri setiap sudut padang rumput yang dilewatinya.

   Malam sangat kelam.

   Di sudut padang rumput berdiri sebuah gedung bobrok, sepi dan menyeramkan.

   Tiba-tiba muncul seorang perempuan muda berambut panjang yang mengenakan baju putih, perempuan muda itu berwajah cantik, usianya antara dua puluh tahunan, namun perutnya besar sekali, jelas dia sedang mengandung.

   Di atas perutnya yang sudah besar dan kandungan berusia lima-enam bulan ini berbaring seorang lelaki dalam keadaan tak sadar, hal ini membuat perempuan muda itu nampak lebih lemah dan mengenaskan.

   Seluruh wajah perempuan muda itu diliputi perasaan sedih dan pedih, ia memandang sekejap sekeliling gedung itu, lalu gumamnya.

   "Mungkin gedung ini tak ada penghuninya?"

   Sembari bergumam dengan cepat ia membopong lelaki itu dan masuk ke dalam gedung.

   Nyonya muda itu mengetik batu api, sekilas cahaya api menerangi sekeliling tempat itu, ternyata sebuah ruangan besar, perabotnya komplit dan di atas dinding tergantung beberapa lukisan pemandangan dan orang, sementara lantainya bersih tak berdebu, jelas ada penghuninya.

   Dengan terkejut perempuan muda itu mengundurkan diri dari pintu ruangan, kemudian serunya lembut.

   "Adakah seseorang di sini?"

   Pertanyaan itu diulang beberapa kali, namun tak terdengar suara apa pun. Akhirnya nyonya muda itu bergumam.

   "Mungkin pemilik rumah sedang keluar, pintu luar tidak dikunci, jelas dia tak pergi jauh. Ai, luka yang diderita engkoh Gak begini parah, aku perlu mengobati luka itu secepatnya. Ya sudahlah, terpaksa aku meminjam ruangan ini...."

   Sekali lagi nyonya muda itu masuk ke dalam ruangan, lalu menyulut tiga batang lilin yang ada dalam ruangan itu, cahaya api segera menerangi seluruh penjuru ruangan itu.

   Kali ini nyonya muda itu dapat melihat jelas ruangan itu diatur sangat rapi dan mewah, terutama lukisan di atas dinding, pada hakikatnya semua lukisan itu berasal dari pelukis kenamaan.

   Tapi nyonya muda itu seperti tak ada waktu untuk menikmati lukisan-lukisan itu, dengan cepat ia membaringkan lelaki dalam bopongannya itu ke atas sebuah meja pendek di tengah ruangan.

   Kemudian dia melepas pakaian bagian dadanya dan diperiksa dengan seksama semua luka yang dideritanya, kemudian dia memegang urat nadinya dan memeriksa lebih kurang sepeminuman teh lamanya.

   Kemudian nyonya muda itu baru menghela napas panjang, mengambil kursi dan mengeluarkan sebuah kotak kemala persegi panjang yang segera diletakkan di atas kursi tadi.

   Ketika penutup kotak itu terbuka, selapis cahaya emas dan perak segera memancar dari balik kotak itu.

   Sinar emas dan perak itu sangat kuat dan menusuk pandangan mata, sehingga sinar lilin yang semula menyinari ruangan itu pun terasa menjadi redup.

   Dengan cepat nyonya muda berbaju putih itu mengeluarkan isi kotak kemala itu, ternyata isinya adalah jarum emas dan perak.

   Jarum-jarum itu lembut seperti bulu kerbau, setiap batang jarum memancarkan sinar yang sangat kuat.

   Dengan sangat teratur, perempuan berbaju putih itu menjajarkan jarum-jarum itu di atas bangku, ternyata jarum itu terdiri dari dua belas batang jarum emas dan dua belas jarum perak.

   Ketika semua persiapan telah selesai, perempuan berbaju putih baru menarik napas panjang, dengan tangan kanan memegang sebatang jarum emas, tangan kiri memegang sebatang jarum perak, serentak dia tusuk jalan darah penting di dada pemuda itu dengan cepat.

   Gerakan yang dilakukan nyonya muda itu sangat cepat, sepasang tangannya bekerja bersama secara bergantian.

   Dalam waktu singkat, dari dua puluh empat batang jarum emas dan perak itu tinggal dua batang yang belum ditancapkan.

   Saat itu dia telah menggenggam kedua batang jarum emas dan perak terakhir.

   Mendadak dari luar berkumandang suara panggilan yang keras dan memekakkan telinga.

   "Bong-suheng, dimanakah kau berada?"

   Ketika mendengar teriakan itu, nyonya muda berbaju putih itu nampak tertegun, namun dengan cepat kedua batang jarum emas dan perak itu ditancapkan ke atas dada pemuda itu.

   Mendadak sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam ruangan gedung.

   Seorang perempuan berbaju biru yang compang-camping, dengan cepat sudah berdiri di ruang tengah.

   Ketika menyaksikan orang yang tergeletak di atas meja rendah itu, teriaknya.

   "Jangan kau lukai dia!"

   Dengan gerakan sangat cepat dia mendesak maju, lalu cahaya merah memancar dari tangan kirinya, tahu-tahu sebuah pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang telah dilontarkan.

   Nyonya muda berbaju putih itu memandang sekejap ke arahnya, namun kedua batang jarum emas dan perak itu masih dilanjutkan menusuk ke jalan darah pemuda itu.

   Berada dalam keadaan seperti ini, sudah barang tentu mustahil bagi nyonya muda berbaju putih itu untuk menangkis datangnya ancaman serangan perempuan itu, apalagi serangan itu merupakan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang ganas dan mematikan.

   Tampaknya nyonya cantik berbaju putih itu segera akan tewas di tangan lawan.

   Siapa tahu pada saat itulah dari belakang tubuh nyonya berbaju putih itu muncul sebuah tangan yang mendahului pukulan dahsyat tadi dengan mendorong tubuh perempuan berbaju putih itu hingga mundur tiga-empat langkah.

   Thay-kun tak pernah menyangka ilmu pukulan Soh-li-jianyang- sin-kang akan mengenai tempat kosong.

   Meskipun saat itu dia pun melihat orang yang mendorong perempuan berbaju putih itu, namun tak sempat lagi melepaskan serangannya, dengan cepat dia hendak memeluk orang yang berbaring di atas meja itu.

   Melihat perbuatan itu, nyonya muda berbaju putih itu segera berteriak.

   "Jangan kau sentuh dia!"

   Jangan dilihat badannya lemah-gemulai seperti tak bertenaga, ternyata gerakannya cepat dan sama sekali di luar dugaan.

   Tahu-tahu sebuah pukulan telah dilontarkan ke depan.

   Telapak tangan kanan nyonya berbaju putih itu menghantam di atas bahu kanan Thay-kun.

   Akibatnya Thay-kun tidak mampu menahan diri lagi, dengan sempoyongan dia terdorong mundur tiga-empat langkah, kemudian memuntahkan darah segar.

   Selapis hawa membunuh yang sangat menggidikkan segera memancar dari mata Thay-kun, pelan-pelan dia mengangkat telapak tangan kirinya.

   Mendadak terdengar suara seorang kakek.

   "Tahan!"

   Suara itu terlambat, pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang Thay-kun telah dilontarkan ke depan.

   Nyonya berbaju putih mendengus tertahan, lalu sambil memeluk perutnya yang besar dia terjongkok dan duduk di tanah.

   Saat itulah Thay-kun baru melihat lawan adalah seorang perempuan yang sedang mengandung.

   Dia menjadi tertegun, kemudian kakinya menjadi lemas dan akhirnya jatuh terduduk di atas tanah.

   Paras muka nyonya muda berbaju putih pucat-pias seperti mayat.

   Mukanya mengejang keras, dengan suara penuh penderitaan dia berkata.

   "Empek, tolong bantu aku melindunginya, dia segera akan mendusin."

   Ternyata di dalam ruangan itu telah bertambah dengan seorang kakek berbaju hijau.

   Kakek itu mempunyai wajah yang keras, alis matanya berwarna putih, telinga besar, namun tampaknya seperti sedang menderita sesuatu penyakit sehingga mukanya kuning kepucat-pucatan.

   Kendatipun demikian, hal itu sama sekali tidak menutupi kegagahan serta kewibawaannya.

   Kakek berbaju hijau memandang sekejap ke arah nyonya muda berbaju putih, lalu tanyanya dengan ramah.

   "Parahkah luka yang kau derita?"

   "Parah sekali, telah menggoncang rahimku!"

   Dalam pada itu Thay-kun sudah mulai sadar, secara lamatlamat tindakan yang dilakukan perempuan muda berbaju putih tadi bukan bermaksud hendak mencelakai Bong Thian-gak, melainkan sedang mengobati lukanya dengan ilmu tusuk jarum yang sangat hebat.

   Thay-kun benar-benar menyesal, menyesal atas kecerobohannya.

   Dengan cepat ia meronta bangun dari atas tanah, lalu tanyanya agak gemetar.

   "Si... siapakah kau?"

   Dengan wajah murung dan suara merintih, nyonya muda berbaju putih itu berbisik pelan.

   "Mungkin ... mungkin kau telah mencelakai jiwa anakku yang masih dalam kandungan."

   "Ai, aku ... aku benar-benar telah khilaf. Aku ... aku kelewat ceroboh,"

   Keluh Thay-kun sambil menghela napas sedih. Kakek berbaju hijau berjalan mendekat, lalu mengeluarkan sebuah botol obat menuju ke hadapan nyonya muda itu. Dengan cepat dia mengeluarkan tiga butir pil, ujarnya dengan lembut.

   "Cepat kau telan pil ini. Pil itu adalah Kiu-coan-bingwan, bisa jadi akan menekan goncangan pada rahimmu."

   Dengan cepat nyonya muda berbaju putih menerima pemberian itu dan sekaligus menelan ketiga butir pil itu.

   Betul juga, ketika pil itu masuk ke dalam mulut, terasa harum semerbak memancar kemana-mana.

   Rasa sakit dalam perut juga semakin berkurang.

   Tiba-tiba Thay-kun membimbing nyonya muda berbaju putih itu, kemudian bisiknya.

   "Cici, maafkanlah aku!"

   Setelah menelan pil tadi, rasa sakit yang melilit perut nyonya muda berbaju putih itu pun semakin berkurang, dengan kening berkerut dia segera bertanya.

   "Siapakah kau? Mengapa kau kenal padanya?"

   "Apakah Cici kenal padanya?"

   Thay-kun balik bertanya dengan terkesiap.

   "Dia adalah suamiku,"

   Jawab si nyonya muda itu dengan suara pedih. Thay-kun benar-benar terkejut sekali.

   "Ah, kalau begitu kau adalah ... adalah Song Leng-hui!"

   Agaknya nyonya muda berbaju putih itu sama sekali tak mengira Thay-kun bisa menyebut namanya dengan tepat, selapis sinar duka dan murung segera memancar dari balik matanya, pelan-pelan dia bertanya.

   "Siapakah namamu?"

   "Aku bernama Thay-kun, aku adalah adik seperguruannya."

   Ternyata nyonya muda berbaju putih itu adalah Song Lenghui.

   Sejak Bong Thian-gak meninggalkannya untuk turun gunung, dia hidup seorang diri di tengah pegunungan yang terpencil sambil merindukan suaminya, rasa rindu itu kian hari kian bertambah.

   Setiap pagi maupun senja, dia selalu berdiri di puncak bukit sambil menunggu suaminya pulang.

   Pada bulan kedua, Song Leng-hui merasa ada perubahan pada dirinya.

   Perut pun makin hari makin membesar, dia tahu hubungan intim yang mereka lakukan pada malam ini telah menghasilkan benih dalam rahimnya.

   Kejadian itu membuat Song Leng-hui semakin mengharapkan suaminya pulang, dia ingin turun gunung, tapi pesan orang tuanya sebelum meninggal membuatnya tak berani membangkang sumpah untuk turun gunung.

   Tapi rasa rindu yang menyiksa dirinya serta perut yang semakin bertambah besar, membuat perempuan itu tak bisa berdiam diri lagi, akhirnya tanpa berpikir lebih jauh, ia segera turun gunung.

   Setelah turun gunung, dia pun mulai menyusuri jejak Bong Thian-gak sepanjang jalan.

   Dia pergi ke Ho-pak, lalu ke Holam, sebulan lebih dia menderita dan mengembara, namun jejak Bong Thian-gak belum juga ditemukan.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam sedih dan tekanan batin yang sangat berat, akhirnya terjadi perubahan pada dirinya.

   Setiap senja mulai menjelang tiba, dia mulai menyusuri tempat terpencil dan meneriakkan nama.

   "Engkoh Gak ...engkoh Gak."

   Akhirnya dia berhasil juga menemukan Bong Thian-gak.

   Ia tergeletak di bawah pohon dalam keadaan sangat kritis, maka sambil membopong tubuhnya dan menyusuri jalanan sejauh satu li lebih, akhirnya dia berhasil menemukan gedung itu.

   Song Leng-hui menghela na


Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Rahasia Mo-kau Kaucu -- Khu Lung

Cari Blog Ini