Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 3


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 3


elah mengetahui kedatangannya, dia menggoyang sedikit kepalanya untuk berpaling, sementara tubuhnya masih tetap duduk di kursi.

   Setelah berdehem pelan, Bong Thian-gak segera menyapa.

   "Jit-kaucu di dalam?"

   Perempuan cantik di balik jendela tidak bergerak, tapi terdengar ia menegur dengan suara sedingin es.

   "Kau adalah berandal hidung htingor, besar betul nyalimu!"

   "Jit-kaucu, aku bukan berandal cabul...."

   Tidak menanti Bong Thian-gak menyelesaikan katakatanya, kembali perempuan itu mengumpat.

   "Kalau kau bukan berandal cabul hidung bangor, mengapa di tengah malam buta mengintip kamar tidur kaum wanita?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, pada peristiwa kemarin dulu, biar kujelaskan nanti secara pelanpelan, malam ini aku ..."

   "Ada urusan apa?"

   "Aku ingin bertanya kepada Jit-kaucu, dengan ilmu pukulan apakah kau melukai Giok-bin-giam-lo?"

   "Dia belum mampus?"

   Tanya perempuan itu hambar.

   "Belum, tapi sudah tak jauh dari ambang pintu kematian."

   "Kalau sudah mampus lebih baik lagi, buat apa kau menanyakan ilmu pukulan yang kupakai untuk membunuhnya?"

   Bong Thian-gak mengerut dahi, lalu menjawab dengan suara dalam.

   "Mengapa kau memandang enteng nyawa manusia? Ketahuilah, Thian menciptakan manusia dengan harapan banyak berbuat kebajikan, kegemaran Jit-kaucu membunuh orang benar-benar telah melanggar perintah Thian."

   Tiba-tiba perempuan cantik itu tertawa dingin, suaranya amat menyeramkan penuh dengan nada membunuh, membuat orang yang mendengar berdiri bulu kuduknya. Mendadak suara tawa itu sirap, lalu terdengar perempuan cantik itu bertanya lagi dengan hambar.

   "Kau berani masuk kemari?"

   Terkesiap hati Bong Thian-gak, segera sahutnya.

   "Mengapa tidak?"

   Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berjalan menuju ke pintu dan mendorongnya.

   Pintu itu tidak terkunci dan segera terbuka ketika didorong, Bong Thian-gak yang berilmu tinggi dan bernyali besar segera melangkah masuk dengan dada dibusungkan.

   Waktu itu Jit-kaucu sedang duduk membelakangi pintu, sekali pun tahu Bong Thian-gak masuk, namun sama sekali ia tidak berpaling, hanya tangan kirinya yang putih bersih menuding ke sebuah kursi bulat di sampingnya, katanya.

   "Duduklah!"

   Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memandang sekejap kursi bulat itu, setelah tidak melihat sesuatu gejala aneh, dia pun menurut dan berduduk.

   Kini separoh wajah nona yang cantik sudah kelihatan dengan jelas.

   Di bawah cahaya lentera, terlihat jelas perempuan itu memang berwajah cantik jelita, kecantikannya ibarat bidadari yang baru turun dari kahyangan.

   Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas, pikirnya.

   "Dengan wajah yang begitu cantik, mengapa justru dilahirkan dengan hati yang busuk, jelek dan jahat? Ai, benar-benar patut disayangkan!"

   Mendadak terdengar Jit-kaucu menegur.

   "Hei, apa yang sedang kau pikirkan?"

   Suaranya merdu bagai kicau burung nuri, sungguh mempesona hati siapa pun.

   Entah sedari kapan Jit-kaucu telah membalikkan badan, kini jarak kedua orang itu dekat sekali, ketika angin berhembus, terendus bau harum semerbak yang membuat hati menjadi mabuk.

   Bong Thian-gak menarik napas, kemudian berkata dengan suara nyaring.

   "Aku sedang berpikir, mengapa Kaucu berwajah begitu cantik."

   "Dan kau pun sedang berpikir, mengapa hatiku begitu kejam tak kenal perasaan begitu, bukan?"

   Sela Jit-kaucu sambil tersenyum. Bong Thian-gak tertegun, kemudian ujarnya.

   "Benar-benar amat lihai! Darimana kau tahu akan jalan pikiranku?"

   Tiba-tiba paras muka Jit-kaucu berubah hebat, serunya lagi.

   "Nyalimu sungguh besar, mungkin di kolong langit dewasa ini belum ada orang kedua yang berani duduk sedemikian dekat denganku."

   "Bila Jit-kaucu hendak turun tangan keji kepadaku, tadi kau sudah turun tangan!"

   Jit-kaucu segera bangkit, lalu pelan-pelan berjalan menuju ke depan pintu, dia mendongakkan kepala memandang kegelapan malam, sambil membetulkan rambutnya yang panjang terurai ia berjalan kembali.

   Langkah kakinya yang lemah gemulai itu sangat menawan dan mendatangkan daya pikat, pada hakikatnya kecantikan maupun gerak-gerik perempuan itu dapat membuat orang lupa daratan.

   Pelan-pelan dia berjalan ke hadapan Bong Thian-gak, kemudian secara tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke jalan darah Pek-kwe-hiat di ubun-ubun Bong Thian-gak.

   Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Jit-kaucu menyingkirkan kembali telapak tangannya, lalu berkata.

   "Ko Hong, sebelumnya kau sudah tahu bila aku tidak berniat membunuhmu, maka kau bersikap begini tenang dan bernyali!"

   "Apa maksud perkataanmu itu?"

   "Ketika di hutan depan kuil, bukankah kau telah mendengar banyak rahasia perkumpulan kami?"

   Mendengar itu, Bong Thian-gak menjadi terkejut, pikirnya.

   "Kalau begitu dia sudah tahu aku sudah menyadap pembicaraannya dari dalam hutan! Jadi kematian Lo Gi, pelindung Sam-kaucu adalah gara-gara perbuatanku ."

   Sementara itu Jit-kaucu telah berkata lagi sambil tersenyum.

   "Kalau kau sudah mendengar sebagian besar rahasia kami, maka sekarang hanya ada dua jalan yang bisa kau pilih, pertama adalah jalan kematian, sedang kedua adalah masuk menjadi anggota Put-gwa-cin-kau. Asal kau bersedia, aku dapat memberi kedudukan sebagai seorang Kaucu."

   "Kau mengundang aku masuk menjadi anggota Put-gwacin- kau, apakah kau tidak kuatir aku akan menyusahkan dirimu?"

   "Apa maksudmu?"

   "Kau belum tentu tahu riwayat hidupku dan lagi setelah menjadi anggota perkumpulan, belum tentu aku setia pada perkumpulan dengan tulus hati, apalagi menyuruh aku mencapai Put-gwa (tanpa aku)?"

   Jit-kaucu manggut-manggut.

   "Benar, kalau begitu kau hanya ingin menempuh jalan kematian?"

   Kembali Bong Thian-gak tersenyum.

   "Dari dulu hingga kini tiada seorang pun yang bisa lolos dari kematian, apa yang kutakuti? Cuma ...."

   "Cuma kenapa?"

   "Aku tak akan mati muda,"

   Sahut Bong Thian-gak dengan sinar mata mencorong tajam. Mendadak Jit-kaucu menatap wajah Bong Thian-gak lekatlekat. Bong Thian-gak tertegun, lalu berpikir.

   "Mungkinkah dia akan turun tangan keji kepadaku?"

   Maka secara diam-diam dia lantas menghimpun tenaga dalamnya untuk bersiap. Lewat setengah jam kemudian, terdengar Jit-kaucu berkata lagi dengan suara hambar.

   "Hampir saja aku kena kau kelabui, rupanya wajahmu telah kau ubah dengan obat penyamar, kalau begitu Ko Hong pun bukan namamu yang sebenarnya!"

   Bong Thian-gak merasa perempuan ini lihai sekali.

   "Padahal obat penyaruan yang kugunakan merupakan obat paling baik di dunia, malah penyaruanku amat sempurna, buktinya Ku-lo Hwesio dan Toa-suheng serta para jago tiada yang tahu, tak nyana dia berhasil mengetahui sekali pandang saja."

   Jit-kaucu berkata.

   "Sebenarnya kau telah melakukan perbuatan apa yang malu diketahui orang hingga tak berani memperlihatkan raut wajah aslimu?"

   "Bukankah Jit-kaucu pun demikian?"

   Jit-kaucu tertegun, lalu serunya.

   "Tapi aku tidak menyaru!"

   "Walaupun kau tak menyaru, tapi gerak-gerikmu sangat rahasia, tanpa nama, tanpa asal-usul, bukankah kau pun sudah melakukan suatu perbuatan yang takut diketahui orang?"

   "Siapa bilang aku tak punya nama?"

   Teriak Jit-kaucu gusar.

   "Kalau begitu siapa namamu?"

   "Kau tidak berhak mengetahui namaku."

   Mendadak Bong Thian-gak menunjukkan wajah serius, katanya.

   "Apa nama ilmu pukulanmu?"

   "Buat apa kau menanyakan soal ini?"

   "Aku hendak mengobati luka To Siau-hou."

   Mendengar itu, Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Kau anggap setelah mengetahui ilmu pukulanku, maka nyawa To Siau-hou bisa diselamatkan? Hehehe, kalau begitu kuberitahu kepadamu!"

   "Apa namanya?"

   Kembali Bong Thian-gak bertanya dengan cemas.

   "Itulah pukulan Jian-yang-ciang (Pukulan cacat) salah satu jurus dari ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang!"

   "Soh-li-jian-yang-sin-kang,"

   Seru Bong Thian-gak terkejut.

   Dengan wajah berubah hebat dia melompat bangun, kemudian bagaikan burung walet menembusi jendela, dia lantas berlalu.

   Bong Thian-gak tidak menunjukkan pertanda hendak berlalu, ditambah pula gerakan tubuhnya kelewat cepat, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya tahu-tahu sudah lenyap.

   Jit-kaucu yang menyaksikan kejadian itu tertegun dan duduk melongo, seperti merasa kehilangan sesuatu dia duduk dengan wajah bingung.

   Sementara itu Bong Thian-gak dengan suatu gerakan yang amat cepat telah meninggalkan loteng itu, dia segera mengembangkan ilmu meringankan tubuhnya keluar kota Kayhong langsung menuju ke pinggir kota.

   Malam sudah semakin kelam, tengah malam pun sudah menjelang tiba, di tengah keheningan yang mencekam terasa suatu kemisteriusan yang menyeramkan.

   Dengan hati risau dan gelisah Bong Thian-gak menuju tempat persembunyian To Siau-hou, siapa tahu suasana di sekeliling tempat itu sangat hening dan tak nampak bayangan orang pun.

   Dengan kening berkerut dan sorot mata tajam, Bong Thiangak memandang sekejap sekeliling tempat itu.

   Angin malam berhembus menggoyang rumput dan dedaunan, kecuali bunyi jangkrik dan binatang kecil, suasana di situ amat hening hingga terasa menakutkan, ternyata tak nampak bayangan To Siau-hou.

   Bong Thian-gak menjadi amat gelisah, segera teriaknya.

   "To-heng! Dimana kau?"

   Ia berteriak berulang kali, tapi malam tetap hening, tiada jawaban.

   Bong Thian-gak tahu To Siau-hou sudah menderita luka sangat parah, mustahil dia bisa meninggalkan tempat itu, maka dia mulai berjalan mengelilingi tempat itu melakukan pencarian dengan seksama.

   Aneh! Sudah beberapa kali dia melakukan pencarian, tapi tetap tak nampak bayangan To Siau-hou? "Jangan-jangan dia sudah ditolong orang?"

   "Tapi siapakah yang menolongnya?"

   Bong Thian-gak memeras otak memikirkan ini.

   Pencarian pun kembali dilakukan ke sekeliling tempat itu.

   Akhirnya di atas sebuah batu cadas di pinggir jalan, Bong Thian-gak menemukan sesosok bayangan sedang duduk bersila di sana.

   Dengan dua kali lompat saja Bong Thian-gak sudah mencapai depan batu cadas itu.

   Ternyata adalah Hwesio tua berbaju abu-abu, sepasang kakinya tertekuk membentuk sikap bersila, di atas lututnya terletak sebuah Hud-tim, sedang di atas dadanya tergantung seuntai tasbih.

   Waktu itu si Hwesio duduk sambil memejamkan mata rapat-rapat, tubuhnya sama sekali tidak bergerak.

   Sesudah melihat jelas raut wajah Hwesio tua itu, Bong Thian-gak mefnbatin.

   "Ah, Ku-lo Sinceng."

   Ternyata Hwesio tua yang duduk di atas batu cadas itu adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay. Dia menjadi teringat peringatan To Siau-hou.

   "Ku-lo Hwesio telah menurunkan perintah untuk membunuhmu". Dengan terkesiap dan tanpa mengucap sepatah kata pun, Bong Thian-gak segera membalikkan badan dan berlalu dari situ.

   "Omitohud! Harap Sicu tunggu sebentar,"

   Suara sapaan lembut berkumandang. Bong Thian-gak membalikkan badan dengan kecepatan bagaikan kilat. Tampak mencorong sinar lembut dari balik mata Hwesio tua itu, meski lembut tapi tajam sekali hingga menggetarkan perasaan orang.

   "Sinceng ada petunjuk apa?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan suara nyaring. Hwesio tua itu tetap duduk di atas batu cadas tanpa bergerak, tapi wajahnya agak bergetar, ujarnya.

   "Sicu, usiamu masih muda, tapi tenaga dalammu sudah sampai puncak kesempurnaan, tolong tanya, Siauhiap berasal dari perguruan mana?"

   Bong Thian-gak tertegun, kemudian jawabnya.

   "Taysu, maaf bila Wanpwe mempunyai kesulitan yang tak dapat diutarakan."

   Hwesio tua itu termenung sebentar, lalu sambil mengelus jenggot putihnya dia bertanya lagi.

   "Sicu, apakah kau sedang mencari To-siauhiap dari Kay-pang?"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "Tolong tanya apa Taysu melihat jejaknya?"

   "To-siauhiap telah menderita luka yang cukup parah, nyawanya dalam keadaan gawat, Lolap telah memerintahkan dua orang muridku untuk mengirimnya ke suatu tempat yang tenang guna memperoleh perawatan dan pengobatan yang diperlukan."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasa agak lega, buru-buru dia bertanya lagi.

   "Tolong tanya, apakah luka yang diderita To-siauhiap makin parah?"

   "Ketika Lolap menemukannya, dia sudah pingsan, nyawanya berada di ujung tanduk. Sicu, dapatkah kau terangkan To-siauhiap terluka oleh pukulan apa?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Dia terkena pukulan Jit-kaucu, ai! Mungkin luka itu sukar untuk disembuhkan!"

   Mendengar perkataan itu, paras si Hwesio berubah hebat.

   "Kalau begitu, To-siauhiap telah terkena pukulan Jian-yangciang dari Soh-li-jian-yang-sin-kang?"

   Dengan terkesiap Bong Thian-gak segera berpikir.

   "Sungguh lihai sekali Hwesio ini, ternyata dia pun mengetahui tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, mungkinkah dia sudah bertemu dengan Jit-kaucu?"

   Berpikir demikian, sahutnya kemudian sambil menghela napas.

   "Benar, To-siauhiap memang terkena pukulan Jianyang- ciang dari Jit-kaucu!"

   Mendengar ucapan itu, tiba-tiba mencorong tajam mata Hwesio tua itu, ia menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat, kemudian bertanya pula.

   "Sicu, darimana kau bisa mengetahui ilmu pukulan Jian-yang-ciang?"

   "Wanpwe mengetahui hal ini dari mulut Jit-kaucu sendiri."

   Rasa kaget dan tercengang segera menghias wajah Hwesio tua itu, segera tegurnya dengan suara dalam.

   "Sicu, sebenarnya siapa kau?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Taysu, tidak usah menaruh curiga terhadap Wanpwe, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau!"

   Hwesio tua itu semakin terperanjat, kembali dia berkata.

   "Sicu, agaknya kau telah mengetahui banyak rahasia, dari sembilan partai persilatan dewasa ini, kecuali Lolap seorang, boleh dibilang tidak banyak orang yang mengetahui Put-gwacin- kau?"

   Sampai di situ Ku-lo Hwesio berhenti sejenak, seolah termenung beberapa saat, dia pun melanjutkan.

   "Sicu, kau enggan menyebut nama perguruanmu, tapi bersedia menyebutkan namamu bukan?"

   Bong Thian-gak tertegun, lalu sahutnya.

   "Aku bernama Ko Hong, buat apa Sinceng mesti menaruh prasangka jelek kepadaku?"

   Terlintas cahaya tajam dari balik mata Hwesio tua itu, tibatiba dia berkata.

   "Siancay! Siancay! Lolap baru pertama kali ini berjumpa dengan Sicu, sebelum malam ini kita tak pernah berjumpa, mengapa Lolap mesti berprasangka buruk terhadap Sicu? Tapi setiap ucapan Sicu justru merupakan rahasia yang sedang diselidiki semua umat persilatan, apakah hal ini tak membuat Lolap terperanjat?"

   Ucapan itu membuat Bong Thian-gak tertegun, serunya kemudian dengan wajah tercengang.

   "Sinceng, mengapa kau mengatakan malam ini adalah perjumpaan kita yang pertama kali?"

   Secara tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasa apa yang diucapkan Ku-lo Hwesio malam ini terdapat banyak keanehan, tindak-tanduk maupun gerak-geriknya berbeda dengan tempo hari.

   Mungkinkah dia bukan Ku-lo Hwesio pendeta agung dari Siau-lim-si? "Omitohud! Sicu, apakah kau tahu siapakah Loceng?"

   Tanya Hwesio tua itu tiba-tiba. Bong Thian-gak tertegun.

   "Wanpwe justru ingin menanyakan nama Sinceng!"

   Serunya cepat.

   Bong Thian-gak tidak percaya kalau matanya telah salah melihat orang, meski dia dan Ku-lo Hwesio hanya bersua secara sepintas saja, jika berjumpa kembali pada waktu yang sangat lama, bisa saja kekeliruan itu terjadi.

   Tetapi dia baru saja berpisah dengan Ku-lo Hwesio pagi ini, lagi pula raut wajah pendeta itu sekali pun dia diharuskan melukis dengan mata terpejam pun, pemuda itu sanggup melakukannya, bagaimana mungkin bisa keliru.

   Hwesio tua ini sudah jelas adalah Ku-lo Hwesio dari Siaulim- pay.

   Tatkala Hwesio tua itu menyaksikan paras muka Bong Thian-gak berubah tak menentu, pelan-pelan dia berkata.

   "Lolap adalah Ku-lo dari Siau-lim-si...."

   "Benar! Kau memang Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si!"

   Pekik Bong Thian-gak dalam hati. Sementara itu Hwesio tua itu telah melanjutkan kembali katakatanya setelah berhenti sejenak.

   "Sejak delapan tahun lalu, Pinceng selalu menutup diri di dalam kuil Siau-lim-si, baru belakangan ini Pinceng menyelesaikan semediku dan buruburu menuju ke Kay-hong, sampai di sini pun paling baru beberapa jam lalu, mengapa Lolap tak boleh mengatakan pertemuanku dengan Sicu pada malam ini adalah pertemuan kita yang pertama kali?"

   Benak Bong Thian-gak mendengung keras sesudah mendengar ucapan itu, pikirnya.

   "Aneh, mengapa bisa muncul dua orang Ku-lo Sinceng? Yang satu sudah tiba di gedung Bulim Bengcu sejak tiga hari berselang, sedang yang lain baru tiba di Kay-hong pada malam ini, padahal raut wajah mereka berdua persis seperti pinang dibelah dua, lantas yang manakah baru Ku-lo Sinceng yang asli?"

   Benar-benar merupakan suatu peristiwa besar, munculnya Ku-lo Sinceng ganda menandakan pula betapa berbahayanya situasi dalam Bu-lim dewasa ini.

   Diam-diam Bong Thian-gak membayangkan gerak-gerik Hwesio tua itu serta membandingkan dengan gerak-gerik Kulo Hwesio yang dijumpainya dalam gedung Bu-lim Bengcu.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menjerit kaget.

   "Ah! Kalau begitu dia adalah Kaucu ...."

   Paras muka Bong Thian-gak pada saat itu benar-benar berubah hebat sekali. Sementara Hwesio tua itu pun seakan-akan telah menyadari akan datangnya ancaman bahaya, dengan wajah serius ujarnya.

   "Sicu telah menemukan masalah besar apa?"

   "Celaka!"

   Seru Bong Thian-gak dengan gelisah.

   "Keselamatan jiwa para jago yang berada dalam gedung Bulim Bengcu terancam oleh bahaya maut."

   "Bagaimana penjelasan Sicu tentang perkataan ini?"

   Dengan sinar mata berkilat Bong Thian-gak menatap wajah Hwesio tua itu lekat-lekat, kemudian katanya.

   "Taysu, aku ingin tahu bagaimana caramu membuktikan bahwa kau benarbenar Ku-lo Sianceng dari Siau-lim-si?"

   "Apakah di Bu-lim muncul seorang Ku-lo lagi?"

   Tanya Hwesio tua itu dengan paras muka berubah. Bong Thian-gak segera manggut-manggut.

   "Benar, bahkan kalian berdua mempunyai wajah dan bentuk badan yang persis sama, bahkan perawakan tubuh kalian pun tidak berbeda."

   Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Hwesio tua itu memejamkan mata sambil termenung, tiba-tiba wajahnya berubah kembali.

   "Siancay! Siancay! Sungguh tak disangka peristiwa yang terjadi pada delapan tahun berselang kini telah berkembang menjadi suatu ancaman besar yang mengerikan."

   Sampai di situ, dia memejamkan kembali matanya sambil termenung seorang diri. Kurang lebih setengah peminuman teh kemudian Hwesio itu baru membuka mata, setelah menghela napas sedih, katanya.

   "Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau sudah melakukan pembunuhan terhadap jago-jago persilatan, setelah melewati delapan tahun yang panjang, perkembangan mereka sudah benar-benar mencapai titik yang paling berbahaya untuk keselamatan dunia persilatan."

   "Ai! Andaikata Pinceng dapat menyadari akibatnya semenjak delapan tahun berselang, lalu mengambil tindakan pengamanan, niscaya keadaan tak akan berkembang menjadi begini. Oh Ciong-hu pun tak sampai terbunuh."

   Bong Thian-gak berkerut kening mendengar perkataan itu.

   Melalui berbagai dugaan dan analisanya, dia yakin Hwesio tua di hadapannya sekarang benar-benar adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si, tapi dia tak habis mengerti mengapa Ku-lo Hwesio yang asli ini baru keluar dari masa semedinya hari ini? Sebab kalau didengar dari pembicaraannya, pendeta itu seperti sudah mengetahui gejala pergerakan Put-gwa-cin-kau, mengapa dia tak berusaha menghalangi penyebaran pengaruh Put-gwa-cin-kau? Berpikir demikian, dengan penuh emosi Bong Thian-gak berkata.

   "Seandainya sejak delapan tahun lalu Sinceng tahu pergerakan Put-gwa-cin-kau, mengapa kau biarkan berkembang lebih jauh?"

   Ku-lo Hwesio menghela napas panjang mendengar teguran Bong Thian-gak itu, ucapnya.

   "Sicu jangan emosi, sebenarnya hingga sekarang punn Pinceng belum mengetahui keadaan yang sesungguhnya Put-gwa-cin-kau itu, delapan tahun berselang aku pun tak lebih hanya berjumpa seorang anak perempuan dari Put-gwa-cin-kau."

   Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, Hwesio itu menyambung lebih jauh.

   "Bercerita tentang kejadian delapan tahun berselang, suatu malam bulan purnama, Pinceng sedang membaca doa di ruang belakang kuil Siau-lim-si, tiba-tiba muncul seorang gadis muda di hadapanku, gadis itu berusia empat belas tahunan, berparas cantik, senyumnya menawan hati dan membuat orang terkesima. Sejak hari itulah setiap malam selama empat puluh sembilan hari berturut-turut gadis itu selalu muncul di bukit bagian belakang untuk menyaksikan Pinceng berlatih, selama itu dia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun, pada malam kelima puluh itulah untuk pertama kalinya dia berbicara dengan Pinceng."

   Dengan perasaan tercengang Bong Thian-gak bertanya.

   "Apa yang dia katakan kepada Sinceng?"

   "Dia bilang, dia murid Put-gwa-cin-kau, berhubung mendapat perintah Cong-kaucu untuk mencelakai Pinceng, maka dia minta Pinceng berbuat bajik dengan menyerahkan jiwaku kepadanya."

   "Lantas bagaimana jawaban Taysu?"

   "Mendengar perkataan bocah perempuan yang lucu dan sama sekali tidak membawa hawa sesat itu Pinceng cuma tersenyum, apalagi aku belum pernah mendengar di Bu-lim terdapat Put-gwa-cin-kau, Pinceng anggap ucapan itu hanya perkataan bocah kecil, itulah sebabnya Pinceng pun menjawab, 'Bila kau menginginkan jiwa Pinceng, baiklah akan Pinceng serahkan kepadamu!'."

   "Maka bocah perempuan itu pun turun tangan terhadap Taysu?"

   Kembali Ku-lo mengangguk.

   "Benar, bocah perempuan itu segera berjalan mendekat dan memukul punggung Pinceng sebanyak empat kali, kemudian ujarnya kepadaku bahwa dia telah menggunakan ilmu pukulan untuk melukai delapan nadi penting dalam tubuhku, biasanya orang lain akan tewas pada hari ketujuh, tapi berhubung tenaga dalam Pinceng sempurna, maka saat kematiannya dapat diundur."

   "Selesai mengucapkan perkataan itu, bocah perempuan itu segera pergi, sedangkan Pinceng pun tidak mengingat kejadian itu lagi, sebab pukulan bocah perempuan itu di atas punggungku amat pelan, bukan saja tak bertenaga dalam, tenaga sedikit pun tak ada. Ai, siapa tahu ilmu silat yang ada di kolong langit memang sukar diduga sebelumnya."

   "Apakah Taysu menderita luka?"

   Tanya Bong Thian-gak keheranan bercampur kaget. Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Sejak itulah Pinceng merasakan peredaran darahku tidak lancar, terutama bila sampai pada delapan nadi pentingku, segera akan terasa sumbatan pada aliran darahku, lambat-laun sumbatan itu terasa makin berat dan parah, saat itulah Pinceng baru merasa terperanjat sekali."

   Bicara sampai di situ, dia menghela napas panjang, lanjutnya.

   "Semua jago yang ada di kolong langit, termasuk juga anak murid partai kami, siapa yang menduga pengumuman pengunduran diri Pinceng pada delapan tahun berselang sesungguhnya untuk mengobati luka dalamku?"

   Bong Thian-gak benar-benar terperanjat sekali.

   "Hanya dengan empat tepukan ringan si bocah perempuan itu, Pinceng harus berbaring delapan tahun di atas ranjang?"

   Serunya.

   "Dalam masa delapan tahun duduk bersila menghadap dinding, Pinceng menyadari pukulan maut itu tak lain adalah Soh-li-jian-yang-sin-kang, tentunya Ko-siauhiap bisa membayangkan sampai dimanakah kelihaian pukulan sakti itu."

   "Masa gadis cilik itu memiliki kepandaian sakti yang begitu jahat? Kalau begitu dia adalah Jit-kaucu!"

   Seru Bong Thian-gak terperanjat.

   "Dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan salah satu di antara tiga ilmu pukulan sakti, kepandaian semacam ini tidak setiap orang bisa mempelajari. Konon untuk berlatih kepandaian itu, dia harus berlatih sejak berusia tiga tahun, sampai latihan itu berhasil, keperawanannya tak boleh hilang. Ketika kuperiksa keadaan luka yang diderita To-sicu dari Kay-pang tadi, segera kubuktikan bahwa dia terluka akibat pukulan Jian-yang-ciang, menurut dugaan Pinceng, orang yang telah mencelakai Tosicu itu kemungkinan besar adalah si bocah perempuan yang pernah Pinceng jumpai pada delapan tahun berselang."

   Mencoba memperkirakan usia Jit-kaucu, katanya.

   "Betul, Jit-kaucu adalah si bocah perempuan itu."

   "Setelah delapan tahun bersemedi untuk mengobati luka yang kuderita, Pinceng telah memahami bagaimana cara mengobati luka itu, Pinceng rasa nyawa To-sicu dari Kay-pang itu tak akan terancam lagi, namun ilmu silatnya sulit pulih kembali seperti sedia kala!"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, menurut catatan dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan pukulan yang tak terobati, sekali pun To Siau-hou harus kehilangan ilmu silatnya, bisa selamat dari ancaman kematian pun telah terhitung luar biasa, ai ... tampaknya di antara orang-orang Put-gwa-cin-kau, Jit-kaucu merupakan musuh paling tangguh bagi dunia persilatan."

   "Bila dihitung bocah perempuan itu mulai berlatih ilmu Sohli- jian-yang-sin-kang mulai berusia tiga tahun, hingga hari ini mungkin sudah ada dua puluh tahun hasil latihannya, ia sudah berlatih hingga mencapai tingkat kesembilan, bila dibiarkan mendalami ilmu itu selama tiga tahun lagi, maka dia akan menyelesaikan kepandaian itu, saat itu tubuhnya akan kebal dan tiada orang yang bisa menandinginya lagi."

   Ketika berbicara sampai di situ, sepintas rasa pedih melintas pada wajah Ku-lo Sinceng.

   Walaupun Bong Thian-gak tidak memahami seluk-beluk ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, tapi dari sebuah kitab dia pernah membaca catatan tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sinkang dan ilmu itu memang merupakan ilmu paling sesat dan paling dahsyat di kolong langit ini.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam.

   "Tolong tanya Taysu, apakah di dunia saat ini sudah tiada orang yang bisa melawan Soh-li-jian-yang-sin-kang lagi?"

   Sambil menggeleng kepala Ku-lo Siceng menghela napas panjang.

   "Hingga kini Lolap belum berjumpa lagi dengan Jitkaucu, aku pun belum begitu jelas sampai tingkat berapakah ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kangnya, andai benar telah mencapai tingkat kesembilan, maka hal ini benar-benar gawat."

   "Jauh hari sebelum Pinceng keluar dari pengasingan, telah kuutus jago-jago dari kuil kami untuk menyelidiki situasi dalam Bu-lim serta organisasi Put-gwa-cin-kau yang makin berkembang. Menurut hasil penyelidikan, Kaucu pertama sampai Kaucu kesembilan Put-gwa-cin-kau boleh dibilang merupakan jago-jago berilmu tinggi, persoalan yang paling rumit dewasa ini adalah asal-usul serta gerakan yang dilakukan kesembilan orang Kaucu itu."

   "Situasi dunia persilatan sekarang, musuh berada di tempat gelap sedang kita di tempat terang, bila umat persilatan ingin mengubah situasi, maka harus mengubah diri ke tempat gelap, dengan cara gelap lawan gelap itulah usaha kita untuk menyelamatkan dunia persilatan baru akan mendatangkan hasil yang diinginkan."

   "Apa yang dimaksud dengan siasat gelap melawan gelap?"

   "Yang dimaksud siasat gelap lawan gelap adalah di luar lingkaran sembilan partai persilatan daratan Tionggoan, kita harus membentuk suatu organisasi penyerang yang tangguh dan khusus untuk menjegal gerak-gerik musuh."

   Sesudah mendengar ucapan Ku-lo Hwesio ini, Bong Thiangak merasa Hwesio tua ini agaknya sudah mempunyai suatu rencana yang matang untuk menghadapi pertarungan melawan Put-gwa-cin-kau di masa mendatang.

   Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau telah turun tangan keji terhadap Ku-lo Hwesio, rencana busuk mereka ini boleh dibilang keji sekali.

   Dunia persilatan dewasa ini terdapat dua pemimpin yang paling berkuasa, mereka adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si serta Oh Ciong-hu, Bengcu dunia persilatan.

   Bila dua orang ini sampai terbunuh, secara otomatis dunia persilatan akan kehilangan pemimpin mereka.

   Sekarang Put-gwa-cin-kau telah mengutus orang untuk menyamar sebagai Ku-lo Hwesio dan menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu Dari tindakan mereka ini, tampaknya orang-orang Put-gwa-cin-kau menyangka Ku-lo Hwesio telah tewas.

   Justru karena peristiwa ini, asal umat persilatan menggunakan siasat melawan siasat, kemudian menangkap Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio, bisa jadi orang itu akan tertangkap basah.

   Maka setelah melalui pemikiran yang mendalam, Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam.

   "Taysu, Wanpwe hendak memberitahu satu hal kepadamu, Put-gwa-cin-kau telah mengutus Sam-kaucu menyaru sebagai Sinceng dan kini menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu."

   Secara ringkas dia lantas menceritakan semua peristiwa yang terjadi belakangan ini kepada Ku-lo Hwesio, hanya soal asal-usulnya saja yang tetap dia rahasiakan.

   Sehabis mendengar keterangan itu, Ku-lo Hwesio berkerut kening, lalu menghela napas dengan sedih, katanya.

   "Hanya untuk menjaga jangan sampai mengacau situasi dunia, Pinceng muncul agak terlambat, terhadap mata-mata yang menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tidak melakukan suatu tindakan apa pun, ai, siapa tahu tindakanku ini justru mengakibatkan kematian Kongsun-sicu, ai ...."

   "Dari berita Ko-sicu tadi, berarti musuh yang menyusup ke dalam Bu-lim Bengcu sekarang adalah Sam-kaucu (ketua ketiga) serta Cap-go-kaucu yang telah diketahui, tapi siapa pula Cap-go-kaucu itu?"

   "Soal ini Wanpwe kurang begitu jelas,"

   Kata Bong Thiangak sambil menggeleng kepala. Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan serius.

   "Kosicu adalah pemuda berbudi luhur, gagah dan perkasa, sudah pasti bukan pesilat kasaran, bagaimana pun Pinceng memeras otak, tidak pernah berhasil mengetahui asal-usul Sicu, bersediakah Sicu menjelaskan asal-usulmu yang sebenarnya agar umat persilatan pun tidak menaruh curiga kepadamu?"

   Dengan wajah sedih Bong Thian-gak Thian-gak menghela napas panjang, sahutnya.

   "Wanpwe tak dapat menerangkan asal-usulku karena aku benar-benar mempunyai kesulitan yang tak dapat diterangkan, sebenarnya Wanpwe ingin menjauhi masalah ini dan mengasingkan diri dari dunia persilatan, tetapi dendam berdarah atas kematian guruku belum terbalas, sehingga sulit bagiku untuk mengundurkan diri begitu saja."

   "Siapakah musuh besar Ko-sicu?"

   "Put-gwa-cin-kau, tapi belum kuketahui siapa yang melakukan."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Ai, Ho Put-ciang Sutit selalu murung karena tidak mengetahui asal-usul Kosicu, dia telah minta kepada Pinceng menyelidiki persoalan ini, tetapi bila Sicu mempunyai kesulitan, ya tak usah dibicarakan lagi."

   "Oh, jadi Bengcu dan Taysu ...."

   Agaknya Ku-lo Hwesio telah mengetahui apa yang hendak dia tanyakan, dengan cepat dia menjawab.

   "Ho Put-ciang Sutit telah tahu pihak lawan telah menyaru sebagai Pinceng."

   Mendengar perkataan itu Bong Thian-gak menjadi gembira, segera serunya.

   "Bagus sekali bila begitu, dengan demikian kita pun tak usah menyampaikan kabar itu kepada Ho-tayhiap, kalau tidak, entah berapa banyak tenaga dan waktu yang harus kita butuhkan lagi?"

   "Ko-sicu, Pinceng hendak minta bantuanmu, bersediakah kau mengabulkannya?"

   "Biar mati pun Wanpwe bersedia."

   "Pinceng rasa Sicu tentu sudah mengerti, apa sebabnya aku tak menampilkan diri untuk sementara waktu, cuma gedung Bu-lim Bengcu saat ini berbahaya sekali, Pinceng kuatir Hohiantit yang berada di situ sendirian tak mampu menghadapi situasi yang semakin gawat, oleh karena itu Pinceng mohon bantuan Sicu membantu mereka."

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak berkerut kening, lalu ujarnya.

   "Wanpwe pernah bertempur melawan para pendekar, Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau sekalian juga telah mengenali wajah asliku, entah bantuan macam apakah yang bisa Wanpwe berikan untuk Ho-tayhiap? Harap Taysu sudi memberi petunjuk."

   Ku-lo Hwesio termenung sebentar, kemudian ujarnya.

   "Bantuan yang Pinceng harapkan dari Ko-sicu adalah membantu Ho Put-ciang Hiantit membekuk Sam-kaucu."

   "Mengapa Sinceng tidak langsung mengambil tindakan saja?"

   Kembali Ku-lo Hwesio menghela napas.

   "Gerak-gerik Putgwa- cin-kau dalam Bu-lim amat rahasia, hingga saat ini bahan yang berhasil Pinceng kumpulkan tentang perkumpulan ini masih sedikit, oleh sebab itu Lolap dan Ho-hiantit telah memutuskan untuk sementara jangan menggebuk rumput mengejutkan ular."

   "Sam-kaucu yang menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu saat ini telah melaksanakan siasat keji membunuh para jago persilatan satu per satu, apabila orang semacam ini dibiarkan mengendon terus di situ, kemungkinan besar akan lebih banyak jago persilatan dalam gedung bengcu yang akan menjadi korban."

   Ku-lo Hwesio manggut-manggut.

   "Pinceng merasa serba salah, ai, cepat atau lambat kita pasti akan bentrok juga secara kekerasan dengan pihak Put-gwa-cin-kau, tapi yang membikin Pinceng ngeri adalah tidak diketahuinya berapa banyak mata-mata Put-gwa-cin-kau yang telah diselundupkan ke berbagai perguruan dewasa ini, seandainya kita melakukan suatu tindakan, mungkinkah pihak lawan akan segera melancarkan pembantaian secara besar-besaran lewat matamata mereka itu?"

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasakan pula betapa gawatnya situasi yang mereka hadapi, tampaknya kekuatan serta pengaruh Put-gwa-cin-kau telah menguasai seluruh dunia persilatan dan mendesak umat persilatan, tak heran sejak awal sampai akhir Ku-lo Hwesio selalu menunjukkan sikap amat tegang dan serius.

   Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, ujarnya kemudian dengan suara nyaring.

   "Taysu, mengapa kita tidak mencoba membekuk salah seorang anggota mereka, lalu disiksa agar mengungkapkan segala persoalan yang ada?"

   Ku-lo Hwesio menghela napas.

   "Pusat kekuatan dan kekuasaan yang sebenarnya dari Put-gwa-cin-kau sebagian besar terletak di tangan Kaucunya, hal ini tak akan mengungkap banyak berita penting yang berguna untuk kita."

   "Ah, betul! Mengapa Wanpwe tidak mencoba membekuk Jit-kaucu saja?"

   Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang kali.

   "Jit-kaucu memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat, lebih baik Ko-sicu tak usah mengusik dirinya."

   "Jit-kaucu sangat telengas, membunuh tanpa berkedip, bila perempuan itu tidak dibasmi, dunia persilatan tak akan bisa tenang."

   "Ko-sicu, aku minta kau jangan bertindak secara gegabah,"

   Ucap Ku-lo Hwesio.

   "Bukan Pinceng sengaja mengagulkan lawan dengan merendahkan kegagahan sendiri, tapi hingga kini sudah ada puluhan jago lihai persilatan yang tewas oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang, delapan tahun lalu Pinceng telah merasakan empat kali pukulannya dan harus berbaring selama bertahun-tahun, hingga kini pun penyakit itu belum sembuh seratus persen, oleh sebab itu Pinceng anjurkan kepada Sicu, lebih baik jangan terlalu menuruti emosi sendiri."

   Dengan perasaan apa boleh buat Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ya sudahlah, kalau begitu Wanpwe akan melaksanakan seperti apa yang Taysu perintahkan."

   Ku-lo Hwesio berkata.

   "Ko-sicu, Pinceng telah berkeputusan untuk turun tangan lebih dahulu terhadap Sam-kaucu, harus diketahui, kita tak boleh mengorbankan lebih banyak jago persilatan lagi di tangannya!"

   Dengan berseri Bong Thian-gak bertepuk tangan kegirangan.

   "Keputusan ini memang paling bagus, penyaruan Sam-kaucu atas diri Sinceng boleh dibilang demikian miripnya sehingga sukar dibedakan lagi mana yang asli dan mana yang palsu, maka Sinceng pun dapat memanfaatkan peluang itu untuk menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau."

   Diam-diam Ku-lo Hwesio terkejut mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian sambil menghela napas.

   "Kecerdasan otak Sicu sungguh mengagumkan, sebenarnya Pinceng telah berkeputusan untuk melakukan tindakan ini, tapi berhubung Ho-hiantit sekalian menolak, maka hingga malam baru bisa dilakukan."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak merasa bahwa Ku-lo Hwesio merupakan pemimpin pasukan penyergap dunia persilatan, apabila dia sudah menyusup ke dalam barisan musuh, lalu siapa yang akan memimpin pasukan? Apalagi menyusup ke sarang harimau merupakan suatu tindakan yang berbahaya sekali.

   Berpikir sampai di sini, dengan cemas Bong Thian-gak berkata.

   "Taysu, aku rasa keputusan ini...."

   Sebelum anak muda itu menyelesaikan perkataannya, Ku-lo Hwesio telah menukas.

   "Ko-sicu tak usah ragu-ragu, Pinceng sudah lama menyusun rencana dengan rapi untuk penyusupan ke tubuh lawan, sedang mengenai tugas Pinceng selama ini pun telah kuatur semuanya dengan rapi, yang paling penting buat Ko-sicu adalah besok pukul lima sore harap kau datang di pagoda Leng-im-po-tah yang terletak tiga li di tenggara kota Kay-hong untuk bergabung dengan seorang pendekar lagi, kemudian kita bersama-sama membasmi Sam-kaucu dari muka bumi. Sekarang Pinceng masih ada urusan penting lainnya untuk segera diselesaikan sehingga tak mungkin memberi penjelasan lebih jauh."

   "Baiklah, kita berpisah sampai di sini dulu, segala sesuatunya besok harap Sicu bersedia menuruti perkataan pendekar itu saja."

   Selesai berkata Ku-lo Hwesio segera bangkit, tampaknya persoalan sudah tak bisa ditunda-tunda lagi, dia mengebaskan ujung bajunya dan melompat turun dari atas batu cadas.

   "Wanpwe akan mengikuti petunjuk Locianpwe!"

   Seru Bong Thian-gak lantang, sementara Ku-lo Hwesio sudah pergi jauh.

   Setelah menempuh perjalanan sehari penuh, Bong Thiangak merasa lelah, maka malam itu dia menginap di dalam kota Kay-hong, semalaman dilewatkan dengan tenang.

   Ketika menjelang kentongan kelima, seperti apa yang dipesan Ku-lo Hwesio, Bong Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya menuju ke arah tenggara, setelah berjalan tiga-empat li, betul juga ada sebuah pagoda yang tinggi menjulang ke angkasa, di bawah sinar rembulan bangunan itu nampak megah dan mentereng.

   Bong Thian-gak baru saja mendekati bukit kecil itu, mendadak dari atas pagoda di samping kiri melayang turun sesosok bayangan orang menyongsong kedatangannya, kemudian menegur.

   "Apakah Ko-cuangsu?" ' "Betul, aku Ko Hong, siapakah saudara?"

   Di bawah cahaya malam terlihat seorang pemuda berdandan sastrawan, dia mengenakan pakaian berwarna biru, memegang sebuah kipas di tangan kirinya dan bersikap amat lembut, siapa menduga kalau pemuda sastrawan ini sebenarnya merupakan seorang pendekar besar yang menggetarkan sungai telaga? Sastrawan berbaju biru itu memperhatikan Bong Thian-gak beberapa kejap, lalu katanya.

   "Aku Thia Leng-juan, atas pesan Ku-lo Sinceng khusus datang kemari untuk menanti kedatangan Ko-cuangsu."

   Begitu mendengar nama "Thia Leng-juan", timbul perasaan hormat dalam hati Bong Thian-gak, buru-buru sahutnya dengan hormat.

   "O, rupanya Im-ciu-tay-ji-hiap, sudah lama kudengar nama besarmu, maaf bila kau menunggu terlampau lama."

   Tay-ji-hiap (pendekar sastrawan) Thia Leng-juan dari kota Im-ciu termasyhur belakangan ini, Bong Thian-gak sama sekali tak menyangka dia seperti sastrawan lemah yang berusia tiga puluh tahunan, namun merupakan seorang pendekar yang disegani orang.

   Thia Leng-juan menjura, kemudian katanya.

   "Ko-cuangsu tak perlu sungkan, persoalan yang dipesankan Ku-lo Sinceng tentunya telah Ko-heng pahami bukan?"

   "Ya, aku siap menunggu perintah Thia-tayhiap."

   "Ku-lo Sinceng berpesan agar kita bekerja sama dengan Ho-tayhengcu untuk bersama-sama menaklukkan Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau, Ku-lo Sinceng juga berpesan agar gempuran ini harus berhasil, tak boleh gagal, itulah sebabnya kita perlu merundingkan suatu cara untuk menghadapi dirinya."

   "Apakah Thia-tayhiap sudah mengatur persiapan?"

   Im-ciu-tay-ji-hiap Thia Leng-juan mendongak memandang cuaca, lalu katanya.

   "Menjelang tengah malam masih ada satu jam, tak ada salahnya kita naik dahulu ke atas pagoda dan berunding di sana, sambari berunding kita pun bisa mengawasi gerak-gerik di sekeliling tempat itu dengan jelas."

   "Ucapan Thia-tayhiap memang benar."

   Seusai berkata, mereka berdua segera berjalan menuju ke arah pagoda itu.

   "Mari kita berada di sebelah kiri pagoda saja,"

   Ajak Thia Leng-juan kemudian.

   Selesai berkata dia melompat naik ke atas lebih dahulu.

   Lompatannya mencapai empat depa tingginya, lalu tampak Thia Leng-juan berjumpalitan sekali dan tangan kanan menekan di atas atap rumah pagoda tingkat empat.

   Dengan meminjam tenaga tekanan itulah tubuhnya seenteng bulu melayang kembali tiga depa dan melayang turun pada tingkat teratas.

   Demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna itu segera menimbulkan rasa kagum Bong Thian-gak, dengan cepat dia ikut menyusul dari belakang, namun naik setingkat demi setingkat.

   Gerakan tubuh yang digunakan pemuda itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa, hanya dalam beberapa kejap saja Bong Thian-gak pun sudah tiba pula di puncak pagoda itu.

   Thia Leng-juan agak tertegun melihat kepandaiannya itu sehingga tanpa terasa tegurnya.

   "Ko-heng, apakah ilmu meringankan tubuh yang kau gunakan itu adalah Im-ti-peng (Lari di awan)?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Masih selisih jauh, belum berhasil mencapai ilmu lari di awan, harap Thia-tayhiap jangan menertawakan."

   Walaupun dari Ku-lo Sinceng Thia Leng-juan sudah mendengar ilmu silat Bong Thian-gak lihai sekali, tapi waktu berjumpa dengan Bong Thian-gak untuk pertama kalinya tadi, sedikit banyak timbul juga rasa tak percaya di dalam hatinya.

   Tapi sekarang setelah menyaksikan dia mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang bergitu hebat, baru ia terperanjat.

   "Ternyata pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian amat tangguh,"

   Dia berpikir.

   "Sudah jelas ilmu Im-ti-peng yang digunakan barusan sudah mencapai tingkatan yang amat sempurna, dari tingkatan ilmu meringankan tubuhnya itu seandainya dia mau melompat, mungkin sekali lompat saja dapat mencapai ketinggian empat depa!"

   Berpikir sampai di situ, dia lantas berkata sambil tertawa ringan.

   "Ko-heng bisa merahasiakan kelihaian, sungguh luar biasa, tampaknya Ku-lo Sinceng memang tak salah memilih."

   "Pujian Thia-tayhiap benar-benar membuat aku malu sendiri."

   Thia Leng-juan tertawa.

   "Ko-heng, mari kita duduk di atas wuwungan saja,"

   Ajaknya kemudian. Mereka berdua pun duduk saling berhadapan.

   "Thia-tayhiap,"

   Ujar Bong Thian-gak kemudian.

   "Sam-kaucu adalah seorang licik bagai rase, seandainya dia mengetahui titik kelemahan dalam rencana kita ini, mungkin dia tidak datang bersama Ho-bengcu, apa yang harus kita lakukan?"

   "Rencana untuk menyingkirkan Sam-kaucu merupakan rencana yang ditetapkan Ku-lo Sinceng semalam, hanya Hobengcu, Ko-heng dan aku saja yang mengetahui rencana ini, jadi aku pikir tak mungkin rahasia ini bocor, Ho-bengcu sendiri pun tak mungkin membocorkan rahasia itu, jadi menurut pendapatku, yang perlu kita kuatirkan sekarang adalah seandainya Sam-kaucu berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri."

   "Walaupun ilmu silat Sam-kaucu sangat lihai, namun Hobengcu sendiri pun bukan orang sembarangan, apalagi dibantu Thia-tayhiap, aku pikir sekali pun musuh adalah makhluk berkepala tiga berlengan enam belum tentu sanggup mempertahankan diri."

   Thia Leng-juan manggut-manggut, ujarnya pula.

   "Ya, semoga saja sesuatunya berjalan lancar, kalau tidak, entah bagaimana akibatnya? Cuma untuk menjaga segala hal yang tidak diinginkan, kita perlu merundingkan sesuatu rencana yang matang untuk menghadapi lawan."

   "Ya, memang seharusnya begitu,"

   Bong Thian-gak mengangguk. Thia Leng-juan termenung beberapa saat, ujarnya kembali.

   "Sebentar bila Ho-bengcu dan Sam-kaucu tiba di pagoda Leng-im-po-tah nanti, Ho-bengcu akan membuka kartu Samkaucu dan membongkar rahasia lawan, maka pertarungan pasti segara berkobar, seandainya Ho-bengcu tidak sanggup mempertahankan diri, saat itulah aku akan terjun ke dalam arena untuk bersama-sama mengembut Sam-kaucu, sedang Ko-heng bertanggung jawab menghadang musuh yang mencoba melarikan diri, atau seandainya aku dan Ho-bengcu tidak sanggup mempertahankan diri dari gempuran lawan, harap Ko-heng segera tampil dan ikut terjun ke dalam pengerubutan itu."

   "Thia-tayhiap, aku ingin bertukar tugas dengan dirimu, apakah kau bersedia?"

   "Ya, begitu pun boleh juga."

   "Bila Sam-kaucu sudah sampai di sini nanti, aku ingin segera muncul dan bertarung dengannya jauh sebelum Hobengcu bertarung lebih dahulu dengannya, karena Ho Putciang adalah seorang Bengcu dunia persilatan, tidak baik jika dia dibiarkan bertempur begitu saja."

   Thia Leng-juan memanggut.

   "Perkataan Ko-heng memang benar, cuma hal ini akan merepotkan dirimu!"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku ada dendam kesumat sedalam lautan dengan Put-gwa-cin-kau, merupakan musuh besarku pula, maka aku telah bertekad membasmi mereka sampai ke akar-akarnya."

   "Ko-heng, sekarang harap kau periksa dulu sekeliling tempat ini, kemudian pilihlah tempat untuk menyembunyikan diri, sampai saat ini waktu yang dijanjikan tinggal tiga perempat jam saja."

   "Menurut pendapatku, Thia-tayhiap lebih baik berjaga di sini saja, perlu diketahui, seandainya Sam-kaucu melarikan diri, kemungkinan besar dia akan memilih ruang kosong, maka andaikata dia kabur menuju ke arah tiga bagian dari pagoda lainnya, aku akan mencegatnya dari sebelah kanan pagoda, kita perlu berebut waktu dengannya."

   Thia Leng-juan memanggut.

   "Penjelasan Ko-heng memang tepat, aku yakin Sam-kaucu tak akan bisa lolos dari cengkeraman kita."

   "Sekarang saatnya sudah hampir tiba, mumpung mereka belum datang, aku harus bersembunyi dulu di sebelah kanan pagoda daripada Sam-kaucu melihat jejak kita dari kejauhan."

   Selesai berkata dia lantas melompat turun dan menggelinding ke arah belakang, kemudian bergerak menuju ke sebelah kanan pagoda dan duduk bersila di balik kegelapan di depan pagoda itu.

   Thia Leng-juan yang berada di atas secara lamat-lamat dapat menyaksikan bayangan tubuh Bong Thian-gak.

   Sementara itu suasana di sekeliling tempat itu amat sepi, malam itu tiada rembulan, hanya bintang yang bertaburan di angkasa, seluruh jagad hanya dikilapi oleh setitik sinar.

   Walaupun waktu bergerak amat lambat, akhirnya tengah malam menjelang juga.

   Mendadak Bong Thian-gak mendengar ada suara orang berjalan di atas tanah di kejauhan sana.

   Dengan cepat dia membuka mata, tak lama kemudian dari depan pintu pagoda muncul dua sosok bayangan orang.

   Orang yang berada di sebelah depan mengenakan jubah berwarna abu-abu dengan sebuah tasbih tergantung di depan dada, tangan kanan menggenggam sebuah kebutan.

   Tak bisa disangkal lagi, dia adalah Sam-kaucu Put-gwa-cinkau yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio.

   Di belakangnya mengikut seorang lelaki setengah umur yang berbadan kekar, Bong Thian-gak dapat mengenali sebagai Toa-suhengnya, si Busur raja lalim Ho Put-ciang.

   Tampaknya Ho Put-ciang sudah menyusun suatu rencana yang masak, maka begitu masuk ke dalam pintu, dia segera memperlambat gerak tubuhnya untuk mencegat jalan pergi Hwesio gadungan itu.

   Ternyata Sam-kaucu cukup cekatan, setelah maju beberapa langkah, mendadak dia berhenti sambari membalik tubuh, lalu menegur.

   "Ho-hiantit, ada urusan apa kau mengajak Pinceng kemari?"

   Sebelum Ho Put-ciang sempat menjawab, dengan cepat Bong Thian-gak melompat ke arah mereka, sahutnya.

   "Hobengcu sengaja mengajakmu kemari untuk bertemu denganku."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika selesai berkata, Bong Thian-gak sudah berada beberapa kaki saja di hadapan Sam-kaucu. Sam-kaucu yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio nampak agak tertegun, kemudian serunya.

   "Oh, rupanya Ko-sicu, Pinceng dan Ho-bengcu memang sedang mencarimu."

   Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, Samkaucu kau tak usah berlagak sok alim lagi, Ku-lo Taysu dari Siau-lim-si belum wafat, malam ini ada baiknya kalau kau memperlihatkan wajah aslimu, daripada harus merasakan siksaan hidup."

   Beberapa patah perkataannya membuat paras muka Samkaucu berubah hebat, tanpa terasa dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Ho Put-ciang, dengan cepat dia merasa gelagat tak menguntungkan.

   Walaupun begitu, dia masih bersikap tenang, katanya dengan suara lembut.

   "Ko Hong apa kau katakan? Pinceng sedikit pun tidak mengerti...."

   "Sam-kaucu,"

   Saat itulah Ho Put-ciang buka suara.

   "Asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan, kami pun belum tentu akan membunuhmu, tentang penyaruanmu sebagai Ku-lo Sinceng, sudah lama aku orang she Ho mengetahuinya."

   Sekarang Sam-kaucu sadar bahwa rahasianya sudah terbongkar dan kini terperangkap dalam jebakan orang.

   Tapi nampaknya dia sama sekali tidak memandang sebelah mata terhadap dua jago lihai yang berada di hadapannya sekarang, dengan tenang dia tertawa seram.

   "Hehehe, bagus sekali!"

   "Aku tahu, cepat atau lambat akhirnya kita bakal bentrok juga, Kaucu memang ditugaskan untuk memusnahkan persekutuan dunia persilatan, untuk mewujudkan tugasku ini, terpaksa harus menghabisi pemimpinnya lebih dahulu."

   "Sam-kaucu, dengar baik-baik, siapa Cong-kaucu Put-gwacin- kau?"

   Bentak Ho Put-ciang dengan suara kereng. Sam-kaucu tertawa seram.

   "Tanyakan sendiri kepada raja akhirat, dia pasti akan memberitahukan semua itu kepadamu."

   Ho Put-ciang kembali mengerut dahi.

   "Urusan sudah begini, apakah kau masih tetap belum sadar? Malam ini kami sengaja membuka kartu, karena kami telah bertekad akan membinasakan kau, tak nanti kami izinkan kau melarikan diri, bila kau bersedia bekerja sama, mungkin aku masih dapat mempertimbangkan mengampuni jiwamu."

   "Hm, hanya mengandalkan kekuatan kalian berdua?"

   Jengek Sam-kaucu sinis.

   "Aku rasa kemampuan kalian masih belum cukup untuk mengendalikan gerak-gerik serta kebebasanku."

   Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, mana, mana, tak ada salahnya kita mencoba kemampuan masing-masing."

   Sementara itu sepasang mata Sam-kaucu yang tajam memandang sekejap ke empat penjuru dengan cepat, dari perubahan wajahnya jelas dia tidak berhasil menemukan bayangan orang lain. Sekali lagi Ho Put-ciang membentak dengan suara keras.

   "Siapa Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau? Ayo cepat jawab."

   "Bila kalian mengetahui namanya berarti kalian tak bisa hidup melewati kentongan kelima, lebih baik tak usah disebut,"

   Jawab Sam-kaucu hambar. Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Hehehe, aku justru tidak percaya dengan segala takhayul, ayo katakan saja!"

   Dengan sepasang matanya yang tajam, Sam-kaucu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya.

   "Dasar ilmu silat yang kau miliki amat sempurna, sebenarnya Kaucu pun bermaksud mengajakmu bergabung dengan perkumpulan kami dan memangku kedudukan tinggi, sekarang kau masih punya waktu untuk mempertimbangkan tawaranku ini, jangan kau sia-siakan kesempatan baik ini."

   Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, semalam aku sudah mengetahui hal ini dari mulut seorang pelindung hukum Sam-kaucu, Jit-kaucu juga telah menyinggung masalah itu kepadaku, tapi aku menampik tawaran ini, karena aku ingin mengetahui siapa orang yang berhak memerintah diriku."

   Paras muka Sam-kaucu segera berubah menjadi dingin dan kaku, katanya kemudian.

   "Tampaknya banyak rahasia perkumpulan kami yang telah kau ketahui, bila kau tidak bersedia bergabung dengan kami, berarti hanya ada jalan kematian untukmu."

   "Mengapa kau tidak menguatirkan keselamatanmu sendiri?"

   "Tidak sampai setengah jam, wilayah seluas sepuluh li di sekitar sini akan dipenuhi oleh anak murid perkumpulan kami, mereka akan mengepung tempat ini secara berlapis-lapis, coba bayangkan, bagaimana caranya kalian meloloskan diri?"

   Ketika mendengar ucapan itu, Ho Put-ciang berkerut kening, lalu tegurnya.

   "Apakah kau tidak berbohong?"

   Sam-kaucu tertawa.

   "Tentu saja bukan gertak sambal."

   "Ho-tayhiap, jangan kau percayai perkataannya itu,"

   Bong Thian-gak berseru lantang. Sam-kaucu terbahak-bahak.

   "Hahaha, niat untuk berjagajaga tak boleh tiada. Ketika aku dan Ho-heng datang kemari tadi, jejak kita sudah dibuntuti anak buah kami secara diamdiam, oleh karena itu kedatanganku ke tempat ini pun tak pernah lolos dari pengamatan mereka. Di sinilah kelebihan Put-gwa-cin-kau, juga kekurangan Put-gwa-cin-kau kami."

   "Kelebihan dan kekurangan? Apa maksudmu?"

   Tanya Bong Thian-gak tertegun.

   "Kelebihannya adalah dapat berkomunikasi terus secara utuh dan tiada putus-putusnya, setiap saat kami bisa mengadakan kontak secara terus-menerus, dapat pula berjaga-jaga agar tidak terperangkap ke dalam jebakan musuh. Kekurangannya adalah tidak adanya perasaan saling percaya mempercayai antara segenap anggota Put-gwa-cinkau, sehingga mereka harus saling awas-mengawasi."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Put-gwa-cin-kau menggunakan nama Put-gwa atau tiada aku, artinya setiap orang yang bergabung dalam perkumpulan ini, dia harus mempersembahan jiwa dan raganya untuk perkumpulan sehingga mencapai keadaan 'Tanpa aku' (Put-gwa). Tapi sekarang kau berani melancarkan kritik terhadap prinsip perkumpulan, hal ini membuktikan kau merasa tak puas dengan keadaan itu, kalau memang begitu mengapa kau tak memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan jalan sesat dan kembali ke jalan benar?"

   Mendengar ucapan itu, paras muka Sam-kaucu berubah hebat.

   "Tutup mulut!"

   Bentaknya keras.

   "Kini kedudukanku adalah Sam-kaucu dalam Put-gwa-cin-kau, kedudukanku amat tinggi dan menguasai segenap jago persilatan, kekuasaanku hanya di bawah satu orang tapi di alas laksaan orang, aku pun memegang hak hidup banyak orang, siapa hilang aku tidak puas?"

   "Bila demikian, terpaksa kami harus turun tangan."

   Selesai berkata, Bong Thian-gak segera turun tangan, sepasang telapak tangannya secepat kilat meluncur ke depan melepas pukulan dahsyat.

   Dimana serangan ini dilepaskan, segulung angin tajam yang menggiriskan dengan membawa deru angin yang mengerikan, bagaikan amukan gelombang dahsyat segera meluncur dan menyapu ke tubuh lawan.

   Serangan Bong Thian-gak dilancarkan secepat sambaran petir, bahkan sebelumnya tidak pernah memperlihatkan suatu gejala apa pun, bagaimana pun lihai dan liciknya Sam-kaucu, tidak urung dibikin kelabakan juga oleh datangnya ancaman itu.

   Menanti Sam-kaucu menyadari datangnya bahaya, angin pukulan yang kuat bagaikan baja itu secepat petir sudah menekan tiba.

   Menghadapi situasi seperti ini, terpaksa dia harus menyambut datangnya ancaman itu dengan keras lawan keras.

   Diiringi suara bentakan nyaring, Sam-kaucu segera merangkap sepasang telapak tangannya di depan dada, kemudian bersama-sama dilontarkan ke depan.

   Suara ledakan keras yang memekakkan telinga berkumandang memecah keheningan.

   Tubuh Sam-kaucu mencelat ke tengah udara melewati kepala Bong Thian-gak dan seperti seekor burung bangau langsung kabur ke atas pagoda.

   Tampak Bong Thian-gak seperti sudah menduga pihak lawan akan memanfaatkan datangnya angin pukulan itu untuk melejit ke tengah udara dan melarikan diri.

   Entah sedari kapan, tahu-tahu dalam genggaman Bong Thian-gak telah bertambah dengan sebilah pedang yang memancarkan cahaya tajam berkilauan.

   Tampak cahaya pelangi hawa pedang secepat petir mengejar ke atas, lalu diiringi suara dentingan nyaring terciptalah beribu bayangan pedang yang segera menyebar ke empat penjuru.

   Terkurung oleh cahaya pedang itu, tubuh Sam-kaucu yang sedang melejit ke udara itu segera berputar balik dan melayang turun ke bawah.

   Cahaya pelangi segera sirap dan Bong Thian-gak dengan pedang terhunus sudah menghadang di depan Sam-kaucu.

   Paras muka Sam-kaucu kini diliputi perasaan kaget bercampur tercengang, sepasang matanya tanpa berkedip mengawasi wajah Bong Thian-gak, mungkin keampuhan dan kelihaian ilmu silat Bong Thian-gak sama sekali di luar dugaannya.

   Selama hidup belum pernah dia menjumpai suasana tegang, seram dan terancam keselamatan jiwanya seperti apa yang dialaminya hari ini.

   Semenjak gempuran kekerasan itu disambut dengan keras lawan keras, dia sadar tenaga dalam musuh masih tiga bagian lebih tangguh daripada kemampuan sendiri, terutama serangan pedangnya yang amat lihai itu, kalau tadi dia tidak berkelit dengan cepat, niscaya dia sudah keok sejak tadi.

   Bukan itu saja, di situ masih hadir Ho Put-ciang yang sudah diketahui ketangguhan ilmu silatnya.

   Bagaimana caranya meloloskan diri dari situasi yang berbahaya ini? Berbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya.

   Tentu saja Bong Thian-gak tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir, kembali dia bergerak melancarkan serangan dahsyat.

   Pelan-pelan pedangnya digetarkan, lalu ditujukan ke arah jalan darah Sim-kan-hiat di tubuh Sam-kaucu.

   Sepintas serangan pedang itu nampaknya amat sederhana dan seakan-akan tidak disertai tenaga, padahal di balik semua itu tersimpan suatu perubahan jurus yang amat jahat, perubahan yang tak terhingga banyaknya.

   Sam-kaucu bukan manusia sembarangan, tentu saja dia tahu ancaman itu amat serius, maka setelah menyaksikan gerakan itu, dia segera berdiri kaku sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.

   Melihat musuh tidak terpancing oleh jurus pedangnya, maka dia lantas mengubah gerakan dan melepaskan tusukan secepat kilat.

   Hawa tajam memancar ke depan, bayangan orang berkelebat, yahu-tahu Sam-kaucu itu sudah meloloskan diri dari ancaman lawan.

   Bong Thian-gak memang memiliki ilmu silat yang mengerikan, begitu jurus serangan dilancarkan, semua dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, di antara perputaran pergelangan tangannya, hawa pedang menderu-deru, ia melancarkan serangkaian serangan ke atas maupun ke bawah.

   Sam-kaucu yang kena didahului lawan jangankan melancarkan serangan balasan, untuk menghindarkan diri dari babatan pedang musuh pun sulit bukan kepalang.

   Tampak dia merangkap telapak tangan di depan dada, lalu menggenggam tasbih di lehernya, berkelit ke kiri menghindar ke kanan, secara beruntun dia sudah meloloskan diri dari ketiga belas jurus serangan pedang Bong Thian-gak.

   Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah bergebrak belasan jurus, hal ini membuat Ho Put-ciang dan pendekar sastrawan Thia Leng-juan yang bersembunyi di balik pagoda merasa terperanjat.

   Mereka berdua merasa kelihaian ilmu pedang Bong Thiangak pada hakikatnya sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, sebaliknya Sam-kaucu pun merupakan musuh tangguh yang tak boleh dianggap remeh.

   Sementara kedua orang masih bertarung dengan serunya, dari sisi pinggangnya Ho Put-ciang telah melolos busur besi baja andalannya, bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.

   Tatkala dia menyaksikan ketujuh belas jurus serangan pedang Bong Thian-gak semuanya mengenai sasaran kosong, tanpa terasa ia berteriak nyaring.

   "Ko-siauhiap, apakah kau memerlukan bantuan?"

   Ho Put-ciang kuatir Bong Thian-gak tak senang bila dibantu orang, maka hingga kini dia belum turun tangan. Mendengar seruan itu, Bong Thian-gak segera menyahut dengan suara lantang.

   "Ho-bengcu, silakan turun tangan, kita harus berlomba dengan waktu menyelesaikan pertarungan ini secepat mungkin."

   Menggunakan kesempatan di saat Bong Thian-gak bicara hingga pikirannya bercabang, Sam-kaucu tertawa seram, tasbihnya diayunkan ke depan.

   Seratus delapan biji tasbih bagai peluru besi segera berhamburan di angkasa dan bersama-sama menyambar ke tubuh Bong Thian-gak.

   Serangan senjata rahasia yang amat dahsyat itu benarbenar luar biasa, betapa pun lihai ilmu silat seseorang, sulit rasanya untuk menghindarkan diri dari sergapan seratus delapan biji tasbih yang dilepaskan dari jarak dekat.

   Tak terlukiskan rasa kaget Ho Put-ciang melihat keadaan itu, segera teriaknya.

   "Ko-siauhiap ...."

   Selanjutnya dia membungkam, namun panah baja tanpa bulu yang sudah disiapkan di busurnya serentak dibidikkan ke depan.

   Busur Pa-ong-cian Ho Put-ciang termasyhur di kolong langit sebagai salah satu kepandaian yang tangguh di dunia ini, begitu panah dibidikkan, sulit bagi orang menangkap bayangannya, kecepatannya pun sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Begitu melepaskan serangan biji tasbih tadi, Sam-kaucu mengegos ke sebelah kanan dengan gerakan cepat, tapi kelitannya itu belum berhasil juga meloloskan diri dari ancaman Pa-ong-cian Ho Put-ciang.

   Dengusan tertahan segera berkumandang memecah keheningan, panah baja tanpa bulu yang kuat itu menyambar pinggang sebelah kiri Sam-kaucu hingga tembus pinggang bagian depan, darah segar segera menyembur membasahi seluruh jubahnya.

   Kendati bidikan panah itu tidak mengenai bagian tubuh yang mematikan, namun cukup membuat Sam-kaucu terluka parah.

   Di saat Sam-kaucu mendengus tertahan itulah bahu kiri Bong Thian-gak juga kena terhajar oleh dua biji tasbih sehingga tembus ke dalam, darah muncrat, pedang di tangan kanannya juga kena terhajar liga biji tasbih hingga terlepas dan mencelat jauh.

   Menyaksikan Bong Thian-gak terancam bahaya maut, buruburu Ho Put-ciang berseru.

   "Ko-siauhiap, bagaimana keadaan lukamu?"

   "Ho-bengcu, aku tidak apa-apa, cepat halangi musuh melarikan diri,"

   Bentak Bong Thian-gak cepat.

   Ternyata pada saat itulah Sam-kaucu sudah melejit ke tengah udara, lantas kabur menuju ke arah sebelah kiri pagoda.

   Pada saat itulah Thia Leng-juan yang bersembunyi di sebelah kiri pagoda segera berpekik nyaring, secepat kilat dia menerjang turun ke bawah dan menyongsong kedatangan Sam-kaucu.

   Mimpi pun Sam-kaucu tidak menyangka seorang musuh tangguh bersembunyi di atas pagoda, padahal tadi ia sudah memperhatikan ke.idaan sekeliling tempat itu, maka di saat keselamatan jiwanya terancam, terpaksa dia harus melancarkan serangan sekuat tenaga.

   Tampak Sam-kaucu meletik di tengah udara, kemudian sepasang telapak tangannya didorong ke depan melepaskan pula dua pukulan maha dahsyat.

   Empat gulung angin pukulan maha dahsyat diiringi suara ledakan yang memekakkan telinga saling bentur.

   Untuk kedua kalinya Sam-kaucu mendengus tertahan, tubuhnya bagai layang-layang putus benang meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.

   Sebaliknya Thia Leng-juan sendiri pun merasa hawa darah di dalam dada bergolak keras akibat benturan yang maha dahsyat itu, tanpa terasa dia berjumpalitan beberapa kali di tengah udara.

   Ketika tubuh Sam-kaucu terjun ke bawah tadi, ternyata sepasang kakinya masih sempat mencapai tanah dengan mantap.

   Wajahnya menyeringai seram sekali, darah menodai ujung bibirnya, sepasang matanya merah membara, dengan penuh gusar dia melotot ke arah Ho Put-ciang dan Bong Thian-gak yang mulai mengurungnya dari sisi kiri dan kanan.

   Sementara itu Thia Leng-juan juga telah melayang turun, dia mengambil posisi di belakang Sam-kaucu.

   Agaknya Sam-kaucu menyadari jiwanya terancam mara bahaya, bagaimana pun tangguhnya dia, jangan harap bisa lolos dari gencetan dan kerubutan tiga orang jago lihai sekaligus.

   Tiba-tiba ia mendongakkan kepala, lalu memperdengarkan suara gelak tertawa keras yang memekakkan telinga, suara tawanya itu amat tak sedap didengar, bagai lolongan srigala di tengah malam buta.

   Dengan suatu gerakan yang amat cepat Sam-kaucu melejit ke tengah udara, lalu secara ganas menerjang ke arah Bong Thian-gak.

   Rupanya dia berpendapat Bong Thian-gak sudah terhajar oleh tasbihnya, berarti dia adalah kunci terlemah di antara ketiga orang itu, maka sekali pun dia harus binasa hari ini, paling tidak dia pun harus membunuh salah seorang lawan untuk mendapatkan kembali modalnya.

   Itulah sebabnya terjangannya terhadap Bong Thian-gak boleh dibilang dilakukan dengan ganas dan luar biasa.

   Tampaknya Ho Put-ciang sudah menduga sejak tadi bahwa Sam-kaucu bakal menerjang ke arah Bong Thian-gak, oleh sebab itu baru saja pihak lawan menggerakkan tubuh, kembali Ho Put-ciang menggetarkan busur bajanya dan melakukan babatan melintang ke depan.

   Walau Sam-kaucu menyerang seperti banteng terluka, melihat datangnya busur baja yang begitu kuat dan dahsyat, sepasang telapak tangannya segera dibalikkan, lalu mencengkeram busur baja itu.

   "Pletaak", iga kiri Sam-kaucu kena terhajar oleh sapuan dahsyat busur baja Ho Put-ciang hingga patah sepotong. Pada saat itu Sam-kaucu melancarkan serangan balasan yang mematikan, telapak tangan kanannya bagaikan seekor ular sakti langsung membacok ke dada sebelah kiri Ho Putciang. Segulung tenaga pukulan tak berwujud menggetarkan tangan Ho Put-ciang sehingga busur besinya terlepas dan badannya terlempar. Begitu berhasil mendesak mundur Ho Put-ciang, dengan langkah lebar Sam-kaucu segera menerjang ke arah Bong Thian-gak, sepasang lelapak tangannya disilangkan ke depan dan memancarkan berlapis-lapis angin puyuh disertai kekuatan dahsyat menerjang ke arah depan. Bong Thian-gak terkesiap menyaksikan jurus serangan mengadu |iwa yang digunakan Sam-kaucu, tapi Bong Thiangak yang pada dasarnya keras kepala tak sudi menyerah begitu saja. Dia tahu musuh sudah nekat dan ancamannya tak boleh disambut dengan kekerasan, namun dia bukannya berkelit, sebaliknya malah memutar sepasang telapak tangannya membentuk satu jalur sinar herbentuk busur, lalu menyongsong datangnya ancaman itu. Benturan keras lawan ini tampaknya merupakan saat paling sial bagi Sam-kaucu. Keunggulan Bong Thian-gak justru terletak pada permainan telapak tangannya, apalagi serangan itu dilepaskan dengan tenaga pukulan maha dahsyat, pada hakikatnya bagaikan amukan gelombang dahsyat di tengah samudra yang sedang dilanda angin puyuh. Dalam bentrokan keras yang pertama ini kedua belah pihak sama-sama tetap berdiri tegak tanpa berkutik. Tatkala benturan keras terjadi untuk kedua kalinya, kedua belah pihak sama-sama mundur tiga langkah. Ketika untuk ketiga kalinya mereka akan beradu kekuatan. Mendadak Sam-kaucu menyilangkan tangan kiri dan kanannya membentuk gerakan salib, lalu pelan-pelan didorong ke depan. Sebaliknya Bong Thian-gak membentak keras, tangan kanannya setengah mengepal seperti bacokan seperti juga pukulan langsung diayun ke depan. Dengusan tertahan bergema, dengan tubuh sempoyongan Bong Thian-gak mundur lima langkah, mukanya pucat, tubuhnya langsung jatuh terduduk di atas tanah. Sebaliknya Sam-kaucu masih tetap berdiri tegak, sepasang telapak tangannya yang membuat gerakan salib masih belum sempat ditarik, sementara sepasang matanya melotot bulat seperti mata kerbau. Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan kejadian ini bersama-sama membentak keras, lalu serentak menubruk ke muka, bekerja sama menyerang Sam-kaucu. Siapa tahu baru saja tubuh mereka menerjang ke depan dan belum lagi melancarkan serangan, tubuh Sam-kaucu yang masih berdiri tegak tak berkutik itu tahu-tahu roboh terjungkal ke tanah dalam posisi kaku. Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan baru sempat melihat noda darah yang membasahi wajah, kulit dan lengan Sam-kaucu, darah kental seakan memancar keluar dari beriburibu pori kulit badannya. Kenyataan ini kontan membuat kedua orang itu tertegun, siapa pun tidak menyangka Sam-kaucu menemui ajal di tangan Bong Thian-gak dalam bentrokan yang terakhir tadi. Kepandaian silat apakah yang telah dipergunakan Bong Thian-gak dalam melancarkan serangannya itu? Mengapa dia bisa menghajar tubuh Sam-kaucu hingga darah segar memancar dari pori-pori badannya? Walaupun pertempuran sengit telah berhenti, tapi keseraman pertarungan itu menggidikkan hati, kenekatan dan keberanian Sam-kaucu bertarung sampai titik darah penghabisan membuat hati mereka menciut. Akhirnya suara helaan napas panjang berkumandang memecah keheningan, pelan-pelan Ho Put-ciang berjalan ke hadapan Bong Thian-gak, kemudian sambil menjura dalamdalam ia berkata.

   "Hari ini seandainya tiada bantuan Kosiauhiap yang berilmu tinggi, mungkin tak akan mudah bagi kami untuk membereskan nyawa Sam-kaucu, aku orang she Ho benar-benar sangat berterima kasih atas bantuan ini. Entah bagaimana dengan keadaan luka Ko-siauhiap?"

   Walaupun paras muka Bong Thian-gak pada saat ini pucatpias seperti mayat, tapi dengan cepat dia melompat bangun, kemudian balas memberi hormat.

   "Ho-bengcu, harap kau jangan berkata begitu,"

   Serunya.

   "Ai ... sungguh tak pernah kusangka Sam-kaucu Put-gwa-cinkau ternyata begini perkasa, seandainya hari ini tiada bantuan Ho-bengcu dan Thia-tayhiap, tak mungkin bagiku bisa menandingi keampuhannya."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ucapan itu segera membuat paras muka semua orang berubah serius, kemurungan dan kesedihan pun menyelimuti wajah mereka.

   Keperkasaan Sam-kaucu telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, kalau Sam-kaucu saja begini tangguh, dapat dibayangkan bagaimana tangguhnya Kaucu-kaucu lain, hal ini merupakan ancaman serius bagi keamanan serta keselamatan dunia persilatan.

   Thia Leng-juan tertawa getir, kemudian katanya.

   "Akhirnya rencana kita pada hari ini berhasil dilaksanakan dengan sukses, apakah Ho-bengcu menghendaki kepunahan jenazah Sam-kaucu?"

   "Ya, tolong Thia-heng suka mengerjakannya."

   Dari dalam saku Thia Leng-juan mengeluarkan sebuah botol kecil porselen putih, lalu membuka tutupnya dan menaburkan sedikit bubuk hijau di atas mayat itu.

   Baik Ho Put-ciang maupun Bong Thian-gak keduanya tahu di Bu-lim terdapat semacam obat yang dinamakan Siau-kuthua- si-san (Bubuk pelenyap tulang pelumat jenazah), maka mereka tak memberikan reaksi apa-apa.

   Setelah Thia Leng-juan menaburkan bubuk obat itu ke atas jenazah itu, tak lama kemudian jenazah Sam-kaucu yang kaku mulai melumat dan menyusut.

   Mayat telah melumat menjadi segumpal darah, yang tersisa hnggal kuku, rambut dan pakaian.

   Kedahsyatan daya kerja obat itu benar-benar mengerikan.

   Setelah melumerkan jenazah Sam-kaucu, Thia Leng-juan segera membakar pakaian dan benda lainnya hingga tak berbekas.

   Thia Leng-juan menghela napas panjang, katanya.

   "Sekarang Samkaucu sudah dimusnahkan, tapi kita belum berhasil mengumpulkan sedikit pun bahan tentang Put-gwacin- kau, apakah kita akan tetap melanjutkan rencana menyelundupkan Ku-lo Locianpwe menggantikan kedudukan Sam-kaucu?"

   "Soal ini perlu kita pertimbangkan lagi masak-masak,"

   Jawab Ho Put-ciang dengan suara dalam.

   "Kini Ku-lo Locianpwe sudah berada dalam gedung Bu-lim Bengcu, apa salahnya kita berunding di sana?"

   "Aku tidak setuju bila harus mengirim Ku-lo Locianpwe memasuki Put-gwa-cin-kau, sebab tindakan semacam ini terlampau berbahaya,"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru dengan suara lantang.

   "Mengapa Ko-heng tidak setuju?"

   "Seandainya Ku-lo Locianpwe harus menyaru sebagai Samkaucu dan menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau, maka cepat atau lambat jejaknya tentu akan ketahuan, bisa jadi jiwanya akan terancam malah, cuma kita boleh saja membiarkan Sinceng berada dalam gedung untuk sementara waktu, agar ia berhubungan terus dengan mata-mata musuh yang menyelundup dalam gedung Bengcu, dengan demikian kita bisa melanjutkan usaha menyingkirkan semua mata-mata yang berada dalam gedung itu."

   "Asal semua mata-mata dalam gedung Bu-lim Bengcu berhasil dimusnahkan, kita pun boleh secara terang-terangan menantang Put-gwa-cin-kau untuk menyelesaikan persoalan secara kekerasan."

   Ho Put-ciang manggut-manggut.

   "Pendapat Ko-siauhiap memang bagus, kita memang harus bertindak lebih dulu, cuma Ku-lo Locianpwe mengatakan, kita hanya sedikit tahu hal yang ada sangkut-pautnya dengan Put-gwa-cin-kau, seandainya Put-gwa-cin-kau segera menarik kekuatannya, maka umat persilatan di daratan Tionggoan pun akan kehilangan titik terang."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Rencana Put-gwa-cin-kau menguasai dunia persilatan dan menteror umat persilatan akan dipersiapkan dalam satu dua hari, tak mungkin mereka menarik seluruh pasukannya hanya karena kematian Samkaucu mereka yang diselundupkan ke dalam gedung Bengcu sebagai mata-mata, menurut perhitunganku, justru karena peristiwa ini Put-gwa-cin-kau akan mempercepat rencana melakukan serangan secara terang-terangan."

   "Apa yang diucapkan Ko-heng memang masuk akal,"

   Kata Thia Leng-juan.

   "tapi menurut pendapatku, persoalan paling penting yang harus kita lakukan sekarang adalah membersihkan dulu gedung Bengcu dari unsur-unsur lawan serta mata-mata yang sengaja diselundupkan ke pihak kita, mari kita bergerak dulu ke persoalan itu."

   Mendadak Ho Put-ciang seperti teringat akan sesuatu, dia berseru tertahan.

   "Sebelum tewas Sam-kaucu telah berkata bahwa anggota Put-gwa-cin-kau selalu menguntit di belakangnya untuk memperoleh berita, entah ucapannya itu benar atau tidak?"

   "Tadi aku bersembunyi di atas pagoda, dari ketinggian aku bisa memperhatikan semua gerakan di seputar tempat ini dengan jelas, tadi aku tidak menjumpai adanya bayangan orang di sekeliling tempat ini."

   "Aku rasa apa yang dikatakan Sam-kaucu tadi tak lebih hanya bermaksud mengulur waktu saja sambil mencari akal untuk meloloskan diri, Ho-bengcu, buat apa kau terus memikirkan persoalan itu?"

   Kata Bong Thian-gak pula sambil tertawa.

   "Orang-orang yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau merupakan kawanan orang yang tangguh, tiada lubang yang tak bisa mereka terobos, lagi pula gerak-gerik mereka amat rahasia, membuat hati orang bergidik, sebelum aku dan dia datang kemari, telah kuperhatikan di sekeliling tempat itu tiada orang yang menguntit, ya, mungkin saja dia hanya menggertak saja."

   Siapa tahu baru saja dia selesai berkata, mendadak terdengar Bong Thian-gak berkata dengan ilmu menyampaikan suara dengan nada gelisah sekali.

   "Aduh celaka! Ternyata benar-benar ada musuh yang menguntit sampai di sini, kini di sisi kiri tingkat keempat pagoda itu terdapat seorang musuh yang menyembunyikan diri, sekarang lebih baik kita jangan bersuara dulu, secepatnya mengundurkan diri dari sini, kemudian balik lagi dengan posisi segi tiga dan kepung orang itu rapat-rapat, jangan biarkan musuh meloloskan diri."

   Ucapan ini kontan saja membuat Thia Leng-juan dan Ho Put-ciang terperanjat, kedua orang ini pun tidak berani celingukan memeriksa keadaan. Sementara mereka berpikir, Bong Thian-gak berkata lagi dengan suara nyaring.

   "Ho-bengcu, sekarang sudah siang, kita harus segera kembali ke gedung Bu-lim Bengcu!"

   "Mari kita berangkat!"

   Seru Thia Leng-juan dan Ho Putciang bersama-sama.

   Mereka bertiga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan keluar dari pintu pagoda dengan cepat, setelah itu menjauh dengan kecepatan tinggi.

   Setelah cukup jauh, Thia Leng-juan baru berani bertanya dengan nada cemas.

   "Ko-heng, benarkah ada jejak musuh?"

   "Ya, pihak lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna, entah sejak kapan ia sudah mendekam di atas pagoda itu, jika tanpa sengaja aku tidak mendongakkan kepala dan menangkap dua titik cahaya putih, tak mungkin kutemukan jejak musuh itu."

   Ho Put-ciang terperanjat, serunya dengan gelisah.

   "Wah, kalau begitu kita kan tak bisa melaksanakan langkah berikutnya?"

   "Itulah sebabnya bagaimana pun juga kita tak boleh membiarkan orang itu lolos! Sekarang kita harus pergi menjauh setengah li lagi, kemudian serentak berpencar dan balik ke Leng-im-po-tah, usahakan agar mengepung orang itu rapat-rapat."

   Sementara itu mereka bertiga sudah berlari sejauh setengah li, mendadak Bong Thian-gak putar badan dan balik ke arah semula dari sudut barat daya.

   Ho Put-ciang berputar melalui timur laut dan Thia Lengjuan menelusuri jalanan semula.

   Ginkang ketiga orang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan, maka setengah li perjalanan balik yang mereka tempuh dicapai dalam waktu singkat.

   Dipimpin oleh Thia Leng-juan, dengan cepatnya mereka sudah balik ke depan pagoda Leng-im-po-tah.

   Sedangkan Bong Thian-gak, Ho Put-ciang datang hanya selisih sedikit sekali, mereka menerobos masuk melalui arah barat daya serta timur laut.

   Di bawah cahaya rembulan, betul juga, di tengah lapangan tampak berdiri sesosok bayangan tubuh yang langsing dan ramping.

   Ketika dilihatnya Bong Thian-gak bertiga muncul kembali di situ tanpa menimbulkan sedikit suara pun, wajahnya kelihatan tertegun, peristiwa ini sama sekali di luar dugaannya.

   Dengan wajah termangu-mangu, dia mengawasi ketiga orang itu berjalan mendekat ke arahnya.

   Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan harus mengagumi dan memuji ketajaman mata Bong Thian-gak, sesungguhnya mereka masih setengah percaya mendengar perkataan Bong Thian-gak tadi, namun kenyataannya musuh memang muncul di tempat itu, inilah yang membuat hati mereka terkejut bercampur tercengang.

   Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan yang ramping itu tak lain adalah seorang gadis berbaju merah, rambutnya yang disisir kepang dua terurai di belakang bahu, wajahnya bersih, cantik dan usianya antara lima-enam belas tahun, mukanya masih kekanak-kanakan.

   Menyaksikan kemunculan Ho Put-ciang bertiga, dia gerakkan sepasang matanya yang bulat dan jeli memperhatikan mereka sekejap, sambil tersenyum ujarnya.

   "Selamat berjumpa Hiapsu bertiga!"

   "Selamat berjumpa nona,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.

   "Entah karena persoalan apakah kau bersembunyi di tempat kegelapan sebelah kiri pagoda pada tingkat keempat?"

   Mendengar pertanyaan itu, nona berbaju merah tertawa, sahutnya.

   "Engkoh ini betul-betul memiliki ketajaman mata yang mengagumkan, ketika kau sedang melancarkan serangan ketiga untuk membinasakan orang, aku naik ke atas pagoda melalui belakang bangunan."

   "Nona seorang yang pintar, hari ini kau sampai di sini dan menyaksikan terbunuhnya Sam-kaucu di tangan kami, kau anggota Put-gwa-cin-kau atau bukan, yang jelas kami tak akan membiarkan kau pergi begitu saja dari tempat ini."

   Gadis berbaju merah mengedipkan matanya yang bulat besar, lalu serunya.

   "Dengan cara apakah kalian hendak menghadapi diriku?"

   Sementara itu paras muka Ho Put-ciang telah berubah serius, pelan-pelan dia berkata.

   "Pertama, kami ingin mengetahui lebih dahulu siapakah nona dan berasal darimana?"

   "Aku she Ni bernama Kiu-yu, rumahku ada di selatan propinsi Kamsiok, tak punya ayah dan ibu lagi, hanya ada seorang nenek yang hidup bersamaku."

   Selain lincah dan genit, gadis ini pun tanpa ragu mengutarakan nama serta asal-usulnya.

   Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan hal ini segera mengerut dahinya rapat-rapat.

   Hanya Bong Thian-gak seorang yang mengawasi terus gerak-gerik si nona berbaju merah lekat-lekat, sementara mulutnya membungkam.

   Sekali lagi Ho Put-ciang bertanya.

   "Siapakah nama nenekmu?"

   "Hei, banyak amat yang kalian tanyakan,"

   Omel gadis berbaju merah.

   "Nenekku she Kang, setelah kawin dengan kakek, dia bernama Ni-hong!"

   "Siapa yang mewariskan ilmu silat kepada nona?"

   "Wah, wah, wah ... kalian betul-betul cerewet, tahu begini, aku tak akan kemari menonton keramaian."

   "Nona Ni, dengarkan baik-baik,"

   Kata Ho Put-ciang dengan wajah serius.

   "Hari ini kau telah terlibat dalam peristiwa ini dan mendatangkan bencana bagi diri sendiri, seandainya kau tidak bersedia menjawab dengan sejujurnya, lebih baik salah membunuh satu orang daripada membiarkan kau pergi begitu saja."

   "Bukankah kalian jago-jago persilatan yang berjiwa ksatria? Masa kalian akan menganiyaya seorang bocah perempuan seperti aku?"

   Pertanyaan yang tajam dan mengena ini kontan saja membuat paras muka Ho Put-ciang tersipu-sipu karena malu, sesaat lamanya dia tak mampu menjawab. Thia Leng-juan menyela.

   "Sekarang ucapan kami sudah diutarakan cukup jelas, paling baik nona Ni bersedia menjawab dengan sejujurnya."

   Nona berbaju merah menghela napas sedih.

   "Ai, sudahlah, anggap saja memang lagi apes, ilmu silat ini kuperoleh dari nenekku, nah, sudah cukup bukan?"

   Sementara itu hawa membunuh telah menyelimuti seluruh wajah Bong Thian-gak, sambil tertawa dingin serunya.

   "Nona Ni, kau adalah anggota Put-gwa-cin-kau, sudahlah lebih baik tak usah berpura-pura lagi!"

   Melihat Bong Thian-gak menuduh dengan nada serius dan bersungguh-sungguh, mau tak mau Ho Put-ciang bertanya.

   "Ko-siauhiap, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"

   "Perempuan ini masih muda belia, tapi memiliki keberanian luar biasa, tak mungkin orang biasa memiliki kelebihan seperti apa yang dia miliki itu!"

   Si nona berbaju merah mendengus dingin.

   "Hm, kalian bukan setan iblis atau siluman yang berwajah menakutkan? Mengapa aku harus takut kepada kalian?"

   "Nona bisa tak kuatir terhadap kami, tentu saja karena punya kemampuan yang bisa dijadikan pegangan, tapi bila kau ingin melarikan diri dari sini dengan mudah, aku pikir hal itu akan jauh lebih sukar daripada memanjat ke langit, kalau tak percaya silakan dicoba."

   Nona berbaju merah tertawa.

   "Kau menghendaki aku mengaku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau? Baiklah, kalau begitu kuakui!"

   "Tentu saja kau anggota Put-gwa-cin-kau, bahkan kedudukanmu di dalam perkumpulan itu pasti amat penting ...."

   "Darimana kau bisa tahu?"

   "Semacam perasaan halus!"

   Mendadak nona berbaju merah tertawa cekikikan.

   "Kau telah salah melihat, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau, tetapi aku tahu sedikit mengenai Put-gwa-cin-kau itu."

   "Apa yang nona Ni ketahui?"

   Buru-buru Ho Put-ciang bertanya.

   "Aku tahu kalian telah membunuh Sam-kaucu Put-gwa-cinkau dan orang-orang dari Put-gwa-cin-kau tak melepas kalian begitu saja."

   Dengan perasaan dongkol bercampur geli, Ho Put-ciang berkata.

   "Soal ini tak usah kau katakan, kami pun sudah mengetahui dengan amat jelas!"

   "Kalau kalian telah tahu Put-gwa-cin-kau hendak melancarkan balas dendam, mengapa kalian tidak segera kabur menyelamatkan diri?"

   Mendadak Bong Thian-gak menukas sambil membentak nyaring.

   "Tak usah banyak bicara lagi, sekarang hanya ada dua jalan yang bisa kau pilih, pertama ikut bersama kami kembali ke gedung Bengcu atau ingin mampus dibunuh?"

   "Membunuh aku? Hm!"

   Nona berbaju merah mendengus dingin.

   "Tak akan semudah apa yang kau bayangkan, bila tak percaya silakan dicoba sekarang!"

   "Baik, kalau begitu sambutlah seranganku!"

   Seru Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.

   Bong Thian-gak bergerak secara aneh dan menerjang ke sisi kanan gadis berbaju merah dengan kecepatan luar biasa, kemudian telapak tangan kirinya secara aneh diayun ke depan langsung menghantam ke wajah gadis berbaju merah itu.

   Menyaksikan datangnya ancaman yang begitu dahsyat, nona berbaju merah tak berani ayal, cepat kaki kirinya berputar ke dalam, sementara telapak tangan kanan menyapu keluar langsung membacok urat nadi pergelangan tangan kiri Bong Thian-gak.

   Agaknya Bong Thian-gak tahu gadis itu memiliki kepandaian silat yang sangat lihai, maka begitu turun tangan jurus-jurus serangan yang dipergunakan diselipi suatu ancaman yang berbahaya.

   Sementara itu telapak tangan kirinya disodokkan, membentuk gerakan setengah busur di udara, tangan kirinya seperti ular sakti menerobos melalui lubang kosong di antara tangkisan tangan kanan gadis berbaju merah dan secepat kilat menotok jalan darah Khi-hay-hiat.

   Serangan ini selain ganas dan sakti, juga aneh bukan kepalang.

   Paras muka gadis berbaju merah berubah hebat, kakinya segera memainkan langkah tujuh bintang, dalam waktu singkat dia sudah mundur sejauh beberapa kaki.

   Begitu nona berbaju merah mundur, dia sama sekali tak memberi peluang bagi Bong Thian-gak untuk menguasai keadaan lagi, telapak tangannya diayunkan ke depan, kesepuluh jari tangannya dibentangkan dan langsung menyentil ke depan, secara tepat dia menerjang ke muka dan mengancam sepuluh jalan darah penting di tubuh Bong Thiangak.

   Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Bong Thian-gak menjerit kaget, tubuhnya segera berkelit ke samping secara aneh, kemudian mundur sejauh tujuhdelapan kaki.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah nona anak murid Mi-tiong-bun?"

   Serunya dengan wajah terperanjat. Nona berbaju merah tersenyum.

   "Tadi sewaktu kau melepaskan pukulan untuk membinasakan Sam-kaucu, aku lihat di balik pukulanmu itu kau sembunyikan juga ilmu sakti dari Mi-tiong-bun yang disebut Tat-lay Lhama Sin-kang, kalau begitu kau pun anak murid Mi-tiong-bun dari Tibet?"

   Bong Thian-gak benar-benar terkejut, segera tanyanya dengan suara dalam.

   "Sebenarnya nona murid siapa? Cepat utarakan atau aku akan turun tangan keji kepadamu."

   "Sekali pun kau berhasil mencuri belajar ilmu Tat-lay Lhama Sin-kang dari Mi-tiong-bun, bukan berarti kau pasti dapat membunuhku, buat apa kau mendesak orang terus-menerus?"

   Setelah menyaksikan dua gebrakan yang barusan berlangsung dan mendengarkan tanya-jawab kedua orang itu, paras muka Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan berubah hebat.

   Perlu diketahui, ilmu silat Mi-tiong-bun dari Tibet selamanya hanya diwariskan kepada kaum Lhama, selama ratusan tahun ini mereka tak pernah menurunkan kepandaian itu kepada orang lain.

   Tapi kenyataan hari ini ada dua orang preman yang dapat mempergunakan ilmu sakti Mi-tiong-bun, tidak heran mereka jadi terperanjat bercampur keheranan.

   Bong Thian-gak sendiri semenjak mengetahui gadis berbaju merah memiliki kepandaian silat ajaran Mi-tiong-bun, paras mukanya segera berubah menjadi serius dan berat.

   Dalam waktu singkat sepasang tangannya sudah disilangkan di depan pusar, kemudian sambil memejamkan mata rapat-rapat dia berdiri diam.

   Sebenarnya gadis berbaju merah itu pun bersikap acuh tak acuh, namun setelah menyaksikan cara Bong Thian-gak itu, rasa tegangnya segera menyelimuti wajahnya, cepat telapak tangannya satu di depan yang lain di belakang disilangkan di depan dada, sementara kakinya pun Iurus bergeser ke arah samping kiri, sementara sorot matanya yang tajam tiada hentinya mengawasi wajah Bong Thian-gak.

   Dari sikap Bong Thian-gak yang berdiri tegak bagai batu karang, Hu Put-ciang dan Thia Leng-juan segera tahu serangan yang hendak dilancarkan pemuda itu pasti semacam kepandaian sakti yang maha dahsyat.

   Ketika memandang pula ke arah gadis berbaju merah itu, dia pun teIah menghimpun seluruh kekuatan dan tenaganya untuk bersiap sedia, tampaknya dia tahu jurus serangan yang hendak dilepaskan Bong Thian-gak itu merupakan jurus serangan yang menakutkan.

   Bong Thian-gak memejamkan mata, tetapi ia terus mengikuti pergeseran badan si gadis berbaju merah itu, tampaknya dia sudah mengincar korbannya secara jitu dan telak.

   Suasana tempat itu diliputi keheningan, hawa membunuh yang mengerikan membuat suasana terasa menegangkan.

   Sepasang kaki nona berbaju merah sudah saling silang, bagaikan siput yang berjalan saja, pelan-pelan dia bergeser menuju ke arah sebelah kiri, wajahnya telah basah oleh butiran keringat sebesar kacang kedelai.

   Tampaknya gerakan semacam itu cukup memeras tenaga maupun pikiran kedua belah pihak.

   Mendadak terdengar gadis berbaju merah menghela napas sedih, kemudian ujarnya.

   "Sudahlah, kita tak usah bertarung lebih jauh, aku mengaku kalah saja!"

   Sembari berkata dia segera menarik kembali sepasang telapak tangannya.

   Akan tetapi Bong Thian-gak masih tetap memejamkan mata rapat-rapat.

   Seluruh pikiran, perasaan dan hawa murninya telah terhimpun menjadi satu, dia tak menjawab atau pun bergerak.

   Menyaksikan keadaan itu, paras nona berbaju merah itu berubah hebat, tampaknya dia terkejut bercampur takut, segera serunya lagi.

   "Untuk bertanding, biasanya orang hanya membatasi sampai saling menutul saja, apakah kau baru puas setelah membinasakan diriku?"

   Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang mendengar perkataan itu mengerut dahinya rapat-rapat, mereka berdua saling pandang sekejap, kemudian bibir bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu diurungkan.

   Keadaan Bong Thian-gak waktu itu tak jauh berbeda dengan seorang pendeta yang sedang bersemedi dan lupa segala-galanya, dia seperti tidak mendengar perkataan gadis berbaju merah itu.

   Melihat hal itu, nona berbaju merah terkejut bercampur gugup, mendadak saking gelisahnya, dia langsung menangis tersedu-sedu, serunya dengan suara iba.

   "Kau jangan membunuh aku, kau jangan membunuh diriku ... cepat kau tarik kembali seranganmu itu ...."

   Perubahan ini membuat Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bingung setengah mati.

   "Benarkah Bong Thian-gak hendak membunuhnya? Sekali pun nona ini adalah anggota Put-gwacin- kau, tidak seharusnya dia membinasakan dirinya?"

   Isak tangis nona berbaju merah makin memilukan, bagaimana pun juga suara tangisan gadis cilik memang gampang membangkitkan perasaan iba orang lain.

   Siapa pun yang menyaksikan kejadian ini, lambat-laun hatinya akan menjadi lembek juga.

   Akhirnya Ho Put-ciang menghela napas panjang, serunya.

   "Ko-siauhiap, tariklah kembali ilmumu itu!"

   Ketika mendengar suara Ho Put-ciang itulah Bong Thiangak membuka kembali sepasang matanya.

   Tapi di saat yang sangat singkat itulah mendadak nona berbaju merah melejit ke tengah udara, kemudian dengan gerakan yang amat cepat bagaikan sambaran kilat dia berkelebat melalui atas kepala Thia Leng-juan dan melarikan diri dari situ.

   Bong Thian-gak membentak, sepasang telapak tangannya dari kiri kanan segera diayun ke tengah udara melepaskan pukulan dahsyat.

   Terasa segulung angin lembut berhembus, tahu-tahu gadis berbaju merah sudah berada sejauh tujuh-delapan tombak, kemudian dengan sekali lompatan, bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan sana.

   Bong Thian-gak menjadi gusar, segera ia menyumpah.

   "Aku sudah tahu dia bakal kabur, ternyata akhirnya termakan juga oleh siasat busuknya!"

   Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekali lagi saling pandang sekejap, mereka saling membungkam, sementara paras mukanya dilapisi rasa malu dan menyesal. Setelah menghela napas panjang, kata Ho Put-ciang.

   "Semuanya gara-gara aku, coba kalau aku tidak iba, tak mungkin dia dapat lolos dari sini, aku benar-benar telah berbuat salah, aku telah membuat Ko-siauhiap kecewa."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang, setelah ditatapnya wajah Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekejap, katanya kemudian.

   "Ho-hengcu tak usah terlalu menyalahkan diri sendiri, ya, sesungguhnya rengekannya memang amat memelas hati, sekali pun orang yang berhati baja pun pasti akan iba mendengarnya, ai ... tiap anggota Put-gwa-cin-kau rata-rata licik bagaikan rase, nampaknya dunia persilatan benar-benar sudah terancam oleh mara bahaya besar."

   "Ko-heng, apa kau yakin perempuan tadi anggota Put-gwacin- kau?"

   Tanya Thia Leng-juan dengan wajah serius. Bong Thian-gak menggeleng.

   "Aku tak berani memastikan, tapi sembilan puluh persen dia adalah orang penting dalam Put-gwa-cin-kau, bila dugaanku tidak keliru, gadis berbaju merah yang masih muda belia tadi adalah Kiu-kaucu."

   Thia Leng-juan menghela napas.

   "Ai, kalau begitu percuma saja kita membunuh Sam-kaucu, mata-mata dalam Bu-lim Bengcu-hu juga tak bisa dibasmi secara tuntas!"

   Bong Thian-gak turut menghela napas.

   "Ai, semua ini garagara diriku yang kurang tegas, coba kalau aku tega melancarkan serangan ganas, tak mungkin dia kabur dari sini. Yang penting sek


Hong Lui Bun -- Khu Lung Kait Perpisahan -- Gu Long Pedang Inti Es Karya Okt

Cari Blog Ini