Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 5


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 5


wasi Bong Thian-gak dari ujung kepala sampai ujung kakinya, Kemudian menegur dengan dingin.

   "Kaukah yang bernama Ko Hong?"

   "Ya, akulah orangnya!"

   Jawab Bong Thian-gak hambar.

   Sejak tiba di situ, sikap maupun gerak-gerik orang berkerudung itu amat angkuh, jumawa dan tidak pernah memandang sebelah mata terhadap orang lain, tapi jawaban Bong Thian-gak sekarang justru terasa pula amat menghina dan memandang rendah lawan.

   Kontan dia tertawa terkekeh-kekeh seram, kemudian menegur lagi.

   "Aku dengar Sam-kaucu tewas di tanganmu, benarkah itu?"

   "Semua iblis dan siluman yang bergabung dalam Put-gwacin- kau bakal mampus di telapak tanganku!"

   Ucapan itu segera disambut orang berkerudung dengan gelak tawa.

   "Sudahkah kau mendengar suara jeritan ngeri dan lolong kesakitan yang berkumandang dari luar sana? Hahaha, tahukah kau malam ini gedung Bu-lim Bengcu akan berubah menjadi gedung mati!"

   Sementara itu suara bentrokan nyaring, jeritan ngeri dan rintih kesakitan masih berkumandang tidak hentinya dari luar sana, jelas halaman depan gedung sudah berubah menjadi ajang pertarungan yang amat sengit.

   Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam.

   "Ho-bengcu, Thia-tayhiap, cepat keluar membantu rekanrekan lain, serahkan orang itu kepadaku!"

   Ho Put-ciang sudah mendengar jeritan ngeri dan rintih kesakitan yang berkumandang dari kawanan jago di luar ruangan, namun dia kuatir musuh yang dihadapinya ini berilmu silat kelewat tinggi hingga Thia Leng-juan tak mampu menghadapinya, itulah sebabnya dia tak berani gegabah.

   Kini mendengar ucapan itu, segera ujarnya kepada Thia Leng-juan.

   "Thia-heng, kau tetap tinggal di sini membantu Kosiauhiap, aku akan keluar membantu mereka!"

   Seusai berkata, Ho Put-ciang segera melompat ke udara dan menerobos keluar melalui pintu gerbang utama.

   Di dalam ruang gedung bertingkat itu sekarang tinggal Thia Leng-juan, Bong Thian-gak dan orang berkerudung berbaju hitam.

   Sementara itu Bong Thian-gak sudah melangkah turun dari anak tangga, kemudian tegurnya dengan suara dingin.

   "Ada urusan apa kau hendak berjumpa dengan Ku-lo Sinceng?"

   Dengan sepasang pedang terhunus, orang berkerudung berdiri tegak di tempat, dia menjawab.

   "Aku hendak memeriksanya, apakah dia benar-benar Ku-lo Sinceng ataukah bukan!"

   "Dia adalah Ku-lo Sinceng yang keasliannya terjamin, sedikit pun tak bakal salah!"

   "Kau mengatakan Ku-lo Hwesio telah mati, sekarang dimanakah jenazahnya?"

   "Jenazah Sinceng tidak boleh dipertontonkan di hadapan kaum kurcaci dan sampah masyarakat seperti kau."

   Orang berkerudung tertawa seram.

   "Hehehe, aku tak percaya kau mampu menghalangi jalan pergiku."

   Bicara sampai di situ pedang pendek di tangan kirinya segera diayun menciptakan beribu bayangan pedang, sementara pedang di tangan kanannya secepat kilat menusuk ke dada Bong Thian-gak.

   Dua jurus serangan pedang yang amat dahsyat digunakan secara bersamaan, kedahsyatannya benar-benar tak boleh dianggap enteng.

   Bong Thian-gak menyaksikan jurus pedang itu dengan berkerut kening, kemudian serunya sambil tertawa dingin.

   "Mundur!"

   Dia bukannya mundur, namun malah maju, tangan kanan diayunkan ke depan menyongsong datangnya tusukan pedang kanan orang berkerudung, sementara tangan kiri secepat kilat mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri lawan.

   Sekali pun serangannya dilancarkan belakangan, tetapi sampai sasaran lebih dahulu, berbareng badannya turut menerobos maju.

   Tatkala Thia Leng-juan menyaksikan orang berkerudung itu melancarkan serangan tadi, sesungguhnya dia pun hendak turun tangan mengerubut, akan tetapi setelah menyaksikan jurus serangan yang digunakan Bong Thian-gak ternyata jauh lebih tangguh dari lawan, dia malah tertegun.

   Tampaknya orang berkerudung cukup tahu kelihaian serangan itu, cepat dia menarik kembali sepasang pedangnya sambil mundur.

   Dengan sinar mata mencorong, rasa kaget dan tercengang, ia segera bertanya.

   "Ilmu silat apakah ini?"

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Hehehe, inilah ilmu Tatmo- boan-sian-jiu dari Siau-lim-pay. Hari ini jangan harap kau bisa meloloskan diri dari maut."

   Seusai berkata, tubuh Bong Thian-gak bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya langsung menerjang ke depan, sepasang telapak tangannya diayun berulang kali melepaskan tiga serangan berantai.

   Ketiga serangan itu seluruhnya gerakan yang aneh dan sakti, seperti pukulan telapak tangan dan juga bagai ilmu mencengkeram Kim-na-jiu yang amat dahsyat.

   Orang berkerudung membentak dingin, sepasang pedangnya meluncur ke depan dengan pancaran sinar tajam yang membias kemana-mana, dengan pedang mengunci telapak tangan, secara beruntun dia melancarkan tiga bacokan berantai dan maha dahsyat.

   Gerak serangan yang digunakan kedua orang itu samasama dilakukan dengan kecepatan luar biasa, sekali pun tenaga dalam Thia Leng-juan amat sempurna, masih susah untuk melihat perubahan jurus yang digunakan mereka.

   Kedua orang itu telah beralih dua kali dari posisi semula.

   Mendadak terdengar orang berkerudung mendengus tertahan, sambil menarik kembali pedang, ia mundur empat langkah, sepasang matanya memancarkan rasa kaget dan tercengang.

   Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan Oh Cian-giok yang sedang berbaring tak berkutik di sisi kiri anak tangga, dalam kagetnya dia segera menyelinap ke depan sana sambil bertanya.

   "Thia-tayhiap, mengapa dengan nona Oh?"

   Setelah ditegur, Thia Leng-juan baru teringat pada Oh Cian-giok yang terluka parah, segera sahutnya.

   "Nona telah dihantam musuh hingga terluka parah!"

   Oh Cian-giok adalah adik seperguruan Bong Thian-gak, sejak kecil mereka dibesarkan bersama dalam gedung Bengcu, hubungan batin kedua insan ini pun boleh dibilang cukup mendalam.

   Maka sewaktu Bong Thian-gak menyaksikan gadis itu tergeletak tak berkutik di atas tanah dengan wajah pucat dan noda darah membasahi bibir, dia menjadi sangat gelisah.

   "Siapa yang telah melukainya?"

   Ia menegur.

   Dalam pada itu tangan kanan Bong Thian-gak sudah memegang nadi pergelangan tangan Oh Cian-giok, sembari memeriksa denyut nadinya, dengan sorot mata penuh amarah dia pelototi wajah orang berkerudung tanpa berkedip, hawa membunuh menyelimuti wajahnya.

   Tiba-tiba orang berkerudung berpekik nyaring, dengan sepasang pedangnya diluruskan ke depan, secepat sambaran petir ia menerjang ke arah Bong Thian-gak.

   Perubahan yang amat mendadak dan di luar dugaan ini sungguh membuat Thia Leng-juan tertegun dan dalam posisi tak memungkinkan hakikatnya mustahil baginya memberikan bantuan.

   Dalam terperanjatnya, jagoan ini segera berteriak.

   "Koheng! Terdengar Bong Thian-gak mendengus tertahan, bahu kirinya yang tak sempat menghindar kena tertusuk pedang lawan, darah segera memancar keluar bagaikan semburan mata air. Tapi di saat bersamaan tangan kanan Bong Thian-gak diayunkan pula ke depan melancarkan sebuah pukulan dahsyat. Kembali terdengar dengus tertahan menggema. Pedang pendek orang itu terlepas, sementara tubuhnya terpental ke belakang dan darah segar muntah dari mulutnya. Kemudian dengan sepasang bahu yang gemetar keras dan tubuhnya yang sempoyongan, mendadak ia membalikkan badan dan kabur dari ruangan itu. Sebenarnya Thia Leng-juan ingin mengejar, namun berhubung dia sangat menguatirkan luka yang diderita Bong Thian-gak, maka dengan cepat dihampirinya anak muda itu sembari menegur.

   "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?"

   Darah kental mengucur dari bahu kiri Bong Thian-gak dan membasahi lantai, sudah jelas luka yang dideritanya itu cukup parah.

   Dengan cepat Bong Thian-gak menggunakan jarinya menotok beberapa jalan darah penting di tubuh sendiri, setelah menghentikan darah yang mengalir, sahutnya sambil tertawa rawan.

   "Thia-heng, aku tidak apa-apa, dia berilmu tinggi dan sangat hebat, bila sampai keluar dari sini, sudah pasti tiada orang yang mampu menahannya, tolong kau jaga baik-baik nona Oh, aku hendak keluar menghadapi musuh."

   Jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang susulmenyusul di luar sana, jelas orang berkerudung sedang melakukan pembantaian secara besar-besaran di sana.

   Thia Leng-juan yang menyaksikan luka Bong Thian-gak amat parah menjadi gelisah, serunya lagi.

   "Ko-heng, luka pedang itu sangat parah, harap kau balut dahulu luka itu, biar aku saja yang menyambut serangan mereka."

   Sementara itu Bong Thian-gak sudah bangkit, mendengar ucapan itu dia segera menggeleng, kemudian katanya dengan suara nyaring.

   "Kini darah sudah berhenti mengalir, luka ini pun tak akan merenggut nyawaku."

   Tidak sampai selesai perkataan itu diutarakan, tubuhnya sudah melompat keluar dari ruangan, ketika memandang ke depan ....

   Di tengah lapangan sedang berlangsung beberapa kelompok pertarungan, sementara di atas tanah tergeletak mayat-mayat para pengawal gedung Bu-lim Bengcu, darah yang menganak sungai, mayat membukit, membuat pemandangan di situ tampak sangat mengerikan.

   Sementara itu di luar lapangan sedang berlangsung pertarungan yang amat seru.

   Ho Put-ciang sedang bertarung melawan seorang gadis berbaju merah, dia adalah Kiu-kaucu Ni Kiu-yu.

   Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay sedang bertarung melawan seorang lelaki berbaju perlente.

   Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay dan Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay bersama-sama menghadapi lelaki berbaju perlente lainnya.

   Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay bertarung seorang diri melawan orang aneh berambut panjang, dialah Liok-kaucu Put-gwa-cin-kau.

   Sementara di luar arena pertarungan, di sekeliling lapangan berdiri berlapis-lapis para pengawal gedung bersenjata lengkap, namun waktu itu orang berkerudung berbaju hitam sudah menerjang masuk ke dalam kelompok pengawal gedung, pedang pendeknya yang tinggal sebelah membabat kian kemari tanpa tandingan, jeritan ngeri dan lolong kesakitan bergema silih berganti, darah segar pun bercucuran menganak sungai.

   Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi gusar sekali, sambil berpekik nyaring ia melejit ke udara seperti burung alap-alap dan melayang turun di depan orang berkerudung.

   Melihat munculnya pemuda sakti ini, orang berkerudung menjadi ketakutan, cepat dia berteriak dengan keras.

   "Liokkaucu, Kiu-kaucu ... semuanya mundur!"

   Begitu perintah diturunkan, dia segera melejit lebih dulu dan melarikan diri dengan terbirit-birit dari tempat itu.

   "Mau kabur kemana kau?"

   Bentak Bong Thian-gak dengan suara menggeledek.

   Tubuhnya segera melejit ke udara dan melakukan pengejaran.

   Siapa tahu pada saat itulah berkumandang suara dengusan tertahan, tertampak Ui Hiok Totiang dari Bu-tong-pay yang sedang bertarung melawan Liok-kaucu kena dihajar oleh musuh sehingga mencelat ke udara dan langsung menumbuk tubuh Bong Thian-gak.

   Bong Thian-gak berjumpalitan, tangan kanannya dengan cepat menyambar ke muka mencengkeram tubuh Ui-hok Totiang, kemudian melayang turun ke permukaan tanah dengan tenang.

   Tampak paras muka Ui-hok Totiang pucat seperti mayat, kulit wajahnya mengejang penuh penderitaan, teriaknya dengan suara parau.

   "Terima kasih banyak, Ko-siauhiap ...."

   Belum habis dia berkata, orangnya sudah roboh tak sadarkan diri di atas tanah. Mendadak terdengar Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berseru dengan suara lantang.

   "Biarkan musuh mengundurkan diri, jangan dikejar!"

   Dengan cepat Bong Thian-gak meletakkan Ui-hok Totiang ke tanah, baru saja dia akan melakukan pengejaran, ketika mendongakkan kepala, ternyata kawanan musuh yang sedang bertarung sengit sudah membubarkan diri, pertarungan telah berhenti, di bawah sinar kegelapan nampak para musuh sedang melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

   Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap.

   Kemudian dia saksikan Ho Put-ciang sedang berjalan mendekat dengan langkah sempoyongan, lalu ujarnya kepada Bong Thian-gak.

   "Ai ... korban yang berjatuhan kelewat banyak ... korban yang berjatuhan kelewat banyak...."

   Hanya ucapan itu saja yang mampu diucapkan, sementara air matanya berderai dengan deras.

   Ya, siapa bilang Enghiong tidak bisa mengucurkan air mata? Hanya saat bersedih saja ....

   Ketika jumlah korban dihitung ...

   ternyata tujuh puluh enam pengawal mendapat celaka, dua puluh lima orang menderita luka termasuk Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Oh Cian-giok dan lainnya, semuanya mencapai seratus tujuh orang.

   Lima musuh ternyata dalam waktu satu jam berhasil menciptakan korban seratus tujuh orang, prestasi itu benarbenar merupakan suatu peristiwa yang memilukan.

   Paras muka Bong Thian-gak pucat-pias seperti mayat, dia mengangkat kepala dan memandang sekejap tumpukan mayat yang berserakan dimana-mana, mendadak mencorong sinar tajam dan buas penuh dendam dari balik matanya, ia berdiri tegak di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

   Yu Ciang-hong, Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam bersama-sama berjalan mendekat pula dengan kepala tertunduk sedih.

   Untuk beberapa saat suasana di situ diliputi kesedihan yang tebal.

   Helaan napas sedih bergema memecah keheningan, Thia Leng-juan berjalan keluar dari balik ruang loteng dengan langkah perlahan, katanya.

   "Hari ini seandainya Ko-heng tidak berada di sini dan memukul mundur lawan, korban yang berjatuhan dalam gedung Bengcu sudah pasti akan lebih banyak."

   Benar, lima orang musuh dari Put-gwa-cin-kau yang muncul itu, terutama orang berkerudung berbaju hitam benarbenar berkepandaian silat amat tinggi, pada hakikatnya tiada orang yang mampu memberikan perlawanan.

   Andaikata bukan Bong Thian-gak yang memukul mundur, akibat yang timbul sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Selang beberapa saat kemudian, pelan-pelan Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berhasil menenangkan kembali gejolak perasaan sedih yang mencekam hatinya, melihat darah bercucuran dengan derasnya dari bahu kiri Bong Thian-gak, buru-buru dia menegur.

   "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?"

   "Gara-gara mengurusi nona Oh, Ko-heng telah kena ditusuk musuh,"

   Seru Thia Leng-juan dari samping.

   "Namun pihak lawan pun terkena pukulan Ko-heng, nampaknya tidak ringan luka dalam yang dideritanya, dia kabur sambil muntah darah."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, walaupun orang itu terkena pukulanku hingga muntah darah, namun luka pada sisi perutnya tidak seberapa parah, ai ... kawanan siluman dari Put-gwa-cin-kau memang tangguh dan rata-rata berilmu tinggi, kenyataan ini di luar dugaan siapa pun."

   Sementara itu Ho Put-ciang telah berseru kepada para pengawal dengan suara nyaring.

   "Kalian harap segera membereskan jenazah rekan-rekan lain, usahakan menolong dan menyelamatkan jiwa mereka yang terluka terlebih dulu."

   Selewatnya pertempuran itu, kekuatan gedung Bu-lim Bengcu benar-benar menderita kerugian besar.

   Setelah memperoleh pengobatan dan perawatan yang tekun, Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay berhasil diselamatkan jiwanya.

   Hanya Oh Cian-giok yang menderita luka agak parah, sehingga meski sudah memperoleh pengobatan, ternyata belum sadar.

   Dalam pada itu para jago sudah berkumpul di bawah loteng.

   Dengan seksama Bong Thian-gak memeriksa denyut nadi Oh Cian-giok, kemudian ia bertanya lirih.

   "Dia terluka di tangan siapa?"

   "Cian-giok dan Ui-hok Totiang sama-sama terluka di bawah pukulan Liok-kaucu,"

   Jawab Ho Put-ciang cepat.

   "Dasar tenaga dalam nona Oh amat cetek, pukulan musuh telah melukai isi perutnya, bila ingin menyadarkan dia, kita membutuhkan seorang jago bertenaga dalam sempurna, dengan pengerahan tenaga melalui jalan darah Ciang-tay-hiat, gumpalan darah yang menyumbat dalam tubuhnya baru akan terbebaskan."

   "Ciang-tay-hiat terletak hanya dua inci di bawah puting susu orang, padahal Oh Cian-giok adalah seorang perawan, tentu saja sulit bagi seorang pemuda untuk memberi pertolongan."

   Tentu saja Ho Put-ciang cukup mengetahui pantangan itu, tapi dengan suara dalam dia berkata.

   "Demi menyelamatkan jiwa Sumoayku, harap kalian tak usah mempersoalkan pantangan lagi."

   "Ho-bengcu, nona Oh adalah adik seperguruanmu, paling baik bila Ho-bengcu sebagai Toasuhengnya yang turun tangan memberikan pertolongan,"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Usul Bong Thian-gak cepat. Ucapan itu menyulitkan Ho Put-ciang.

   "Aku tidak pandai ilmu pengobatan, bagaimana seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan?"

   Serunya.

   "Nona Oh sudah dijodohkan dengan Yu-sute, seandainya luka yang diderita Yu-sute bisa cepat sembuh dan pulih, hal ini lebih baik lagi,"

   Sambung Thia Leng-juan.

   Mengetahui Oh Cian-giok sudah bertunangan dengan Yu Heng-sui, Bong Thian-gak menjadi sedih, murung dan kosong pikirannya.

   Di samping Suheng-moay sekalian, hanya Bong Thian-gak yang berhubungan agak rapat dengan Oh Cian-giok.

   Sejak kecil mereka sudah bermain dan bergurau bersama, di antara kedua orang itu sesungguhnya sudah tertanam semacam perasaan.

   Betul di antara mereka terjalin hubungan cinta, namun semacam perasaan senang tertanam juga di dalam hati kecil masing-masing.

   Seandainya Bong Thian-gak tidak diusir dari perguruan, tentu saja antara Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak sudah merupakan sepasang kekasih ideal.

   Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng kepala sambil berkata.

   "Yu-sute masih terluka, sekali pun bisa disembuhkan namun paling tidak masih membutuhkan waktu tiga-empat hari, apalagi tenaga dalamnya kurang sempurna, aku pikir lebih baik kita memohon bantuan Ko-siauhiap saja untuk mengobati Sumoay, cuma Ko-siauhiap menderita luka pada bahu kirinya ... apakah kau mampu memberikan pertolongan?"

   Bong Thian-gak segera menggeleng kepala berulang-kali.

   "Sampai besok aku baru bisa mengerahkan tenaga dalamku, namun luka nona Oh amat parah dan harus diobati sekarang juga, apabila tidak dilakukan pencegahan, bisa jadi keadaan lukanya akan mengalami perubahan."

   Ho Put-ciang berkata lagi.

   "Ai, walaupun antara kaum lelaki dan wanita dibatasi norma kesusilaan, namun tabib dan sebangsanya tidak terkena batasan itu, harap Ko-siauhiap sudi memberi pertolongan!"

   Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas.

   "Ai, keselamatan nona Oh berada di ujung tanduk dan memang tak bisa ditunda-tunda lagi, baiklah harap Ho-bengcu suka mengundang dua orang dayang untuk membantu!"

   Tentu saja semua orang tahu maksud Bong Thian-gak memanggil dua orang dayang itu. Ho Put-ciang manggut-manggut sembari berkata.

   "Sebelumnya atas nama Sumoayku, kuucapkan banyak terima kasih atas bantuan Ko-siauhiap!"

   Maka di bawah bimbingan beberapa orang dayang, Oh Cian-giok diantar menuju sebuah ruangan dan dibaringkan di atas ranjang, kemudian kecuali menahan Siau Kiok dan Siau Hiang, dua orang dayang kepercayaan Oh Cian-giok, para dayang lainnya segera diperintahkan meninggalkan tempat itu.

   Kedua dayang ini merupakan dayang-dayang cilik yang pernah melayani Oh Ciong-hu dahulu, tentu saja Bong Thiangak kenal mereka berdua.

   Dengan suara lirih Bong Thian-gak berkata kepada Siau Kiok dan Siau Hiang.

   "Sekarang harap kalian melepaskan dulu pakaian luar nona."

   "Ko-siangkong, luka yang kau derita amat parah, apakah tidak beristirahat terlebih dahulu?"

   Seru Siau Kiok merdu. Bong Thian-gak menggeleng.

   "Ah, hanya luka luar yang tak seberapa tidak menjadi soal."

   Siau Kiok mengedipkan mata setelah memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, katanya.

   "Ko-siangkong, kau mirip sekali dengan seseorang."

   "Mirip siapa?"

   "Su-suheng nona!"

   Bong Thian-gak terkejut sekali, dia tak menyangka Siau Kiok memiliki ketajaman mata luar biasa, untuk menutupi rasa kagetnya itu, dia tertawa tergelak.

   "Ah, jangan bergurau lagi, ayo kita segera turun tangan."

   Tiba-tiba Siau Kiok menghela napas sedih, kembali katanya.

   "Ai, sudahlah! Seandainya Bong Thian-gak masih hidup, mungkin Yu Heng-sui akan bersedih."

   Ucapan itu segera menggigilkan sekujur tubuh Bong Thiangak, diam-diam dia berpikir.

   "Entah apa maksud Siau Kiok berkata demikian? Mungkinkah Sumoay selalu teringat akan diriku?"

   Terbayang bagaimana dia dan Sumoaynya hidup berdampingan sejak kecil...

   segala sesuatunya terasa syahdu dan nyaman ....

   Bong Thian-gak masih ingat, suatu ketika ia bersama Sumoaynya bermain jadi pengantin, mereka berdua bersamasama tidur dalam gua yang dijadikan kamar pengantin mereka ....

   "Siangkong, apa yang sedang kau pikirkan? Pakaian luar nona sudah dilepas."

   Seperti baru tersadar dari impian, Bong Thian-gak berpaling.

   Tampaklah tubuh bugil Oh Cian-giok muncul di depan mata, kulit yang halus dan putih itu membuat gairah setiap pria ....

   Buru-buru Bong Thian-gak memejamkan mata rapat-rapat, lalu berkata lagi.

   "Sekarang lepas pakaian dalamnya, kemudian letakkan tangan kananku di atas jalan darah Ciangtay- hiat di atas payudaranya."

   "Ah, Siangkong benar-benar lelaki jujur,"

   Puji Siau Kiok. Sementara itu Bong Thian-gak telah memejamkan mata dan duduk bersila di sisi pembaringan, segenap perhatian terpusat menjadi satu, sementara hawa murninya dihimpun. Selang beberapa saat kemudian Bong Thian-gak bertanya.

   "Sudah siap?"

   "Sudah siap."

   "Kalau begitu, lakukan seperti apa yang kukatakan tadi!"

   Siau Hiang segera mengangkat telapak tangan kanan Bong Thian-gak dan pelan-pelan diletakkan di atas puting susu payudara sebelah kanan Oh Cian-giok.

   Hati Bong Thian-gak tergetar begitu tangannya menyentuh tubuh Oh Cian-giok.

   Untung Bong Thian-gak memiliki tenaga dalam sempurna, buru-buru dia memusatkan seluruh perhatiannya mengerahkan tenaga dalam.

   Tak selang lama kemudian, dari dasar telapak tangannya muncul segumpal bola api yang bergetar, membakar seputar payudara si nona.

   Telapak tangannya menggosok dan memijit payudara sebelah kanan si nona hampir seperempat jam lamanya, baru kemudian beralih ke atas jalan darah Ciang-tay-hiat pada payudara sebelah kiri.

   Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar Oh Cian-giok merintih.

   Bong Thian-gak terkejut, buru-buru dia menarik tangannya dan turun dari pembaringan, bisiknya cepat.

   "Sebentar dia akan sadar, cepat kenakan pakaiannya, harap kalian jangan memberitahu kepadanya bahwa aku telah menyembuhkan lukanya."

   Selesai berkata, masih dalam keadaan terperanjat, dengan cepat Bong Thian-gak membuka pintu kamar dan berlalu dari situ. Tak lama setelah Bong Thian-gak keluar ruangan, Oh Ciangiok membuka mata sambil berkata dengan sedih.

   "Siau Kiok, barusan apakah Ko-siangkong?"

   Siau Kiok serta Siau Hiang sama-sama terperanjat, serentak berseru tertahan.

   "Nona telah sadar kembali?"

   Sambil tetap berbaring, Oh Cian-giok manggut-manggut.

   "Ya, sebelum dia berlalu tadi, aku telah mendusin, Ai! Dia benar-benar seorang Kuncu sejati."

   "Nona, enci Kiok bilang dia mirip sekali dengan Bong Thiangak,"

   Tiba-tiba Siau Hiang berkata. Perih hati Oh Cian-giok mendengar perkataan itu, tanyanya.

   "Bong Thian-gak? Maksudmu Suheng Bong Thiangak?"

   Siau Kiok mengerling sekejap ke arah Siau Hiang, kemudian buru-buru katanya.

   "Budak hanya merasa dia agak mirip dengan Bong-siangkong, aku pun hanya iseng bertanya saja!"

   "Lantas bagaimana jawabnya?"

   Tanya Oh Cian-giok gelisah.

   "Dia tidak menjawab."

   Mendadak Oh Cian-giok berseru tertahan, katanya.

   "Ya, ya, teringat aku sekarang, waktu dia baru datang ke gedung ini tempo hari, aku pun merasa seperti raut wajahnya kukenal, seperti pernah kujumpai di suatu tempat, namun tak bisa kuingat lagi. Ya, betul! Dia memang agak mirip dengan Susuheng Bong Thian-gak."

   Setitik sinar terang itu segera mengalutkan pikiran dan perasaan Oh Cian-giok, untuk beberapa saat dia melamun seorang diri.

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah meninggalkan ruangan kecil dan menuju ke ruang tengah.

   Di sana para jago sudah menunggu untuk merundingkan suatu masalah besar.

   Pa-ong-kiong Ho Put-ciang yang pertama-tama berdiri lebih dulu, segera tegurnya.

   "Apakah Oh-sumoay telah mendusin?"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "Ya, gumpalan darahnya telah hilang, sekarang kesehatannya sudah tidak membahayakan lagi."

   "Ko-siauhiap pasti sudah banyak kehilangan tenaga murni, silakan segera beristirahat!"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Kesegaranku masih baik, bukankah begitu?"

   Sambil berkata dia lantas menatap orang-orang dengan sorot mata berkilauan, sedikit pun tidak menunjukkan keletihan. Hanya paras mukanya saja yang memang berwarna kuning pucat macam orang penyakitan. Thia Leng-juan memuji.

   "Ko-heng, sungguh amat sempurna tenaga dalammu, membuat orang kagum."

   "Ai, tampaknya tenaga dalamku telah memperoleh kemajuan pesat dalam sehari saja,"

   Ucap Bong Thian-gak sedih.

   "Padahal semua ini pemberian Ku-lo Sinceng."

   Bicara sampai di situ, Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Sebelum menghembuskan napas penghabisan, Kulo Sinceng telah membantuku menembus urat mati hidupku, sehingga taraf tenaga dalamku mencapai suatu keadaan yang luar biasa. Budi kebaikan yang ditanam Sinceng kepadaku benar-benar tak terlupakan selamanya."

   "Ai, sekarang aku masih ada satu persoalan penting yang hendak kusampaikan kepada kalian."

   "Persoalan apa? Harap Ko-siauhiap suka menerangkan secara langsung,"

   Kata Ho Put-ciang.

   "Jit-kaucu belum mati!"

   Ucapan itu bagaikan guntur di siang hari bolong, seketika saja menggetarkan hati setiap orang yang hadir dalam ruangan itu.

   "Bukankah kematian Ku-lo Supek merupakan pengorbanan yang sia-sia,"

   Teriak Thia Leng-juan dengan suara menggeledek.

   "Sebenarnya luka Ku-lo Sinceng masih bisa disembuhkan, tetapi untuk membantu ilmu silatku, dia telah mengorbankan diri."

   "Ai, waktu itu luka yang diderita Sinceng amat parah, lagi pula dia menganggap Jit-kaucu sudah tewas di bawah pukulan Tat-mo-khi-kang, maka aku tak berani memberitahu yang sebenarnya kepada dia."

   "Tindakan yang diambil Ko-siauhiap memang benar, bagi orang yang berlatih silat, jika mengetahui kegagalan yang dideritanya, maka kekecewaan dan kesedihan yang dirasakan saat itu mungkin jauh lebih parah daripada mati,"

   Kata Ho Putciang. Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Sudah tujuh-delapan tahun lamanya Sinceng melatih diri untuk menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang, tujuannya tidak lain adalah untuk mematahkan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Jit-kaucu."

   "Ai, apa mau dikata, Soh-li-jian-yang-sin-kang terlalu sempurna, sedangkan Tat-mo-khi-kang Sinceng baru mencapai tingkat ketiga, itulah sebabnya Ku-lo Sinceng mengalami kekalahan."

   Maka secara ringkas Bong Thian-gak mengisahkan pertarungan Ku-lo Sinceng melawan Jit-kaucu Thay-kun. Selesai mendengar kisah itu, dengan wajah serius, Ho Putciang berkata.

   "Dengan masih hidupnya Jit-kaucu, berarti dunia persilatan tak akan memperoleh ketenangan untuk selamanya!"

   Bong Thian-gak termenung sambil berpikir sejenak, kemudian katanya.

   "Bibit bencana yang sebenarnya bagi umat persilatan sekarang sesungguhnya bukan Jit-kaucu!"

   "Apa maksudmu?"

   Maka Bong Thian-gak menceritakan bagaimana dia menggali liang kubur, bagaimana bertarung dan berbincang dengan. Mendengar kisah itu, Thia Leng-juan lantas bertanya.

   "Koheng, menurut kau, Jit-kaucu adalah murid Jian-bin-hu-li Ban Li-biau?"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "Benar, pada usia lima tahun dia telah memperoleh warisan ilmu silat guruku yang kedua."

   "Lantas atas dasar apa Ko-heng mengatakan bibit bencana bagi dunia persilatan bukan Jit-kaucu?"

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat lamanya, kemudian haru berkata.

   "Dari pembicaraan Jit-kaucu, pentolan atau dalang semua bencana di Bu-lim dewasa ini adalah orang yang mengajarkan ilmu silat kepadanya saat ini, yakni gurunya, Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau!"

   "Ucapan Ko-siauhiap memang benar,"

   Ho Put-ciang manggut-manggut.

   "Tentang ilmu silat, kemungkinan besar ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang Jit-kaucu sudah jauh melampaui Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, tapi dari tindakan Jit-kaucu yang memberi petunjuk kepada Ko-siauhiap agar mengobati penyakit yang diderita Ku-lo Sinceng serta pertanyaan kepada Ko-siauhiap apakah dia adalah utusan rahasia Cong-kaucu ... hal itu membuktikan watak Jit-kaucu yang sebenarnya adalah saleh dan baik, dia terpaksa membunuh orang atas petunjuk serta desakan orang lain."

   "Apabila dugaanku tidak salah, tiap kali Jit-kaucu membunuh orang, hatinya merasa menyesal."

   Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah semua orang, kemudian katanya.

   "Kalau dihitung, Jit-kaucu masih terhitung Sumoayku, aku berkewajiban menyelamatkannya dari jurang kehancuran, seandainya ia tak bisa dididik jadi baik, aku yakin masih mampu menandinginya."

   Bong Thian-gak berhenti sejenak, kemudian baru sambungnya.

   "Padahal hampir setiap orang yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau memiliki ilmu silat yang sangat lihai, dari kepandaian silat kelima orang itu boleh dibilang mereka adalah gembong-gembong iblis berilmu tinggi."

   "Kemampuan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau untuk menaklukkan serta mengendalikan kaum iblis di bawah kekuasaannya, bisa diduga sampai dimanakah kemampuannya? Ai ... apa yang diucapkan Ku-lo Sinceng memang benar, musuh paling tangguh bagi kita sesungguhnya adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau ... Ku-lo Taysu adalah tokoh agung dari Siau-lim-pay, mungkin dia telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kita."

   Ho Put-ciang manggut-manggut membenarkan.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ucapan Ko-siauhiap memang benar, beberapa hari berselang Sinceng memang telah memberi dua buah kantung kepadaku dan berpesan agar yang satu untuk Ko-siauhiap dan satu untukku. Dia orang tua berpesan kantung hanya boleh diserahkan kepada Ko-siauhiap, bila dia sudah berpulang alam baka. Tadi oleh karena ada serangan musuh tangguh, aku telah melupakan hal ini."

   Mendengar ucapan itu, segera terlintas rasa girang di wajah Bong Thian-gak, serunya dengan cepat.

   "Ah, rupanya dugaanku memang benar, Sinceng telah menyiapkan segala sesuatunya."

   Sementara itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang sudah merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan dua buah kantung yang terbuat dari kain yang amat indah. Ho Put-ciang mengambil satu di antaranya dan diserahkan kepada Bong Thian-gak, sambil berkata.

   "Yang ini buat Ko-siauhiap!"

   Bong Thian-gak menyambut kantung itu, lalu bertanya.

   "Apakah Ho-bengcu telah memeriksa isi kantung itu?"

   "Belum, Ku-lo Sinceng telah berpesan, apabila ia sudah kembali ke alam baka, isi kantung itu baru boleh dibuka, maka aku masih belum mengetahui apa isinya."

   "Sekarang mungkin kau sudah boleh membukanya, bukan?"

   Bong Thian-gak segera merogoh ke dalam kantung itu dan mengeluarkan isinya, ternyata di situ terdapat tiga pucuk sampul surat yang dilipat menjadi empat persegi, di antara sampul tertera huruf satu, dua dan tiga secara berurutan.

   Bong Thian-gak mengambil sampul surat pertama, kemudian membaca tulisan di atasnya.

   "Saat membuka sampul pertama, Sinceng sudah kembali ke alam baka."

   Pelan-pelan Bong Thian-gak merobek sampul itu, tampak di atas kertas dalam sampul tertulis beberapa huruf yang berbunyi.

   "Selamatkan Jit-kaucu!"

   Di sisi sebelah kiri ditulis nama, tertera pula dua deret kalimat yang ditulis dalam huruf kecil.

   "Bila Jit-kaucu sudah tewas sebelum kematian Pinceng, isi surat ini batal"

   Membaca petunjuk itu, untuk beberapa saat Bong Thiangak termenung dan mengerut dahi, dia seperti tidak memahami apa arti petunjuk itu.

   Waktu itu kendati para jago lain terdorong oleh rasa ingin tahu ingin turut membaca apa isi surat Ku-lo Sinceng, namun oleh karena bong Thian-gak bungkam seribu bahasa, maka tak seorang pun yang berani bertanya.

   Semua orang hanya mengawasi Bong Thian-gak dengan wajah termangu-mangu.

   Bong Thian-gak termenung sampai lama sekali, akhirnya dia meletakkan surat itu ke atas meja sembari berkata.

   "Silakan kalian baca isi surat itu, kemudian pikirkan apa artinya?"

   Sementara itu para jago sudah dapat melihat jelas tulisan itu, kontan semua orang mengerut dahi. Thia Leng-juan pun tidak habis mengerti, katanya kemudian.

   "Menyelamatkan Jit-kaucu? Tulisan itu mengandung dua arti yang berbeda, satu di antaranya adalah menyelamatkan roh atau jiwanya dan yang lain berarti menjaga keselamatannya."

   "Apa pula bedanya antara roh, jiwa dan keselamatan?"

   Tanya Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay keheranan.

   "Menyelamatkan roh atau jiwanya, berati Jit-kaucu sudah terlalu banyak membunuh orang, banyak melakukan kejahatan sehingga kita diharuskan membawanya dari jalan sesat kembali ke jalan yang benar serta tidak melakukan kejahatan lagi."

   "Kalau menolong keselamatannya berarti keselamatan jiwa Jit-kaucu terancam bahaya dan kita harus menolongnya, jangan sampai dia tewas terbunuh oleh orang lain."

   "Penjelasan Thia-tayhiap tepat sekali!"

   Seru Ang Thong-lam pula.

   "Memang tulisan itu bisa punya dua maksud, tapi dengan kedudukan Jit-kaucu sekarang, kecuali kita hendak membunuhnya, masa ada orang lain yang hendak membunuhnya pula?"

   "Ku-lo Supek adalah seorang pintar dan pandai menganalisa suatu keadaan, perintahnya memang mengandung arti mendalam, sehingga aku sendiri pun tak dapat memastikan."

   "Tulisan 'Selamatkan Jit-kaucu' memang mengandung arti yang dalam, untuk sementara waktu sulit bagi kita menduganya, aku rasa kita turuti saja perintahnya dan menyelamatkan Jit-kaucu,"

   Sela Ho Put-ciang. Sementara itu Bong Thian-gak sedang memejamkan mata sambil memutar otak memikirkan sesuatu. Setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, perintah Ku-lo Sinceng ini memang benar-benar sukar dipahami pikiran kita, ya, mungkin cuma waktulah yang bisa membuktikan hal ini!"

   "Kantung berisi surat yang ditinggalkan Ku-lo Supek untukku belum sempat kubuka, siapa tahu surat itu menyinggung tentang hal ini?"

   Kata Ho Put-ciang tiba-tiba. Selesai berkata dia segera mengambil kantung yang ditujukan kepadanya itu. Dalam kantung hanya tersimpan sepucuk surat saja, di atas sampul surat tertulis.

   "Surat wasiat Siau-lim Ku-lo."

   Membaca tulisan itu, hati semua orang bergetar keras, mereka berpikir.

   "Ternyata Ku-lo Hwesio telah mengetahui tentang kematiannya, maka dia sengaja menulis surat wasiatnya."

   Pelan-pelan Ho Put-ciang mengeluarkan surat dari dalam sampul dan membaca isinya yang berbunyi.

   "Siancayl Kehidupan di jagad ini berlangsung karena perputaran bumi, pertemuan antara unsur Im dan Yang serta perputaran lima unsur Ngo-heng, maka terwujudlah kehidupan yang ada di alam semesta ini dengan kehadiran manusia yang berakal budi. Takdir menetapkan kehidupan Ku-lo harus berakhir pada tahun Kau bulan Sin hari Cu dan saat Yu. Itulah sebabnya kematian Pinceng merupakan kemauan takdir. Ku-lo tahu pertempuran melawan Jit-kaucu akan lebih banyak bahayanya daripada keberuntungan, andaikata beruntung Pinceng bisa merenggut nyawa Jit-kaucu, maka pasti ia akan mati pada hari ini, kemungkinan besar situasi dunia persilatan akan berubah menjadi semakin tidak menguntungkan bagi kita. Sebaliknya jika Jit-kaucu tidak mati, sedang Ku-lo mati lebih dulu, hal ini bisa berakibat munculnya suatu perubahan besar. Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil menciptakan seorang tokoh tangguh seperti Jit-kaucu dengan bekal ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, bila ilmu itu mencapai tingkat kesepuluh, maka orang akan menjadi kebal dan tahan pukul maupun dibacok. Saat itulah bisa jadi Jit-kaucu akan menjadi seorang jagoan yang tak ada tandingannya di kolong langit. Itulah sebabnya bila Pinceng meninggal, sudah pasti Congkaucu Put-gwa-cin-kau akan berusaha keras melenyapkan Jit-kaucu guna menghilangkan bibit bencana di kemudian hari. Demi perubahan situasi dalam Bu-lim, terutama bagi keuntungan pihak kita, kalian harus berusaha sekuat tenaga untuk melindungi keselamatan jiwa jit-kaucu. Saat ini Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil mempelajari berbagai macam ilmu sakti, hanya ilmu Soh-lijian- yang-sin-kang serta Tat-mo-khi-kang saja yang mampu membunuh biang keladi itu. Oleh sebab itu tugas pertama kalian adalah menyelamatkan Jit-kaucu terlebih dahulu. Ingati Ingati Dapatkah dunia persilatan kita dipertahankan? Semuanya tergantung pada tindakan ini."

   Setelah para jago membaca isi surat Ku-lo Hwesio, hampir semuanya terkejut bercampur kagum.

   Sudah jelas terbukti sekarang bahwa dalam pertarungan Ku-lo Hwesio melawan Jit-kaucu, agaknya pendeta itu tidak bermaksud membinasakan perempuan itu.

   Dengan kening berkerut Ho Put-ciang berkata.

   "Ku-lo Supek pandai ilmu rahasia langit, dari isi surat wasiatnya, bisa diduga dia sudah tahu siapa gerangan Cong-kaucu Put-gwacin- kau itu."

   "Ai, tak perlu ditebak lagi,"

   Ujar Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang.

   "Mungkin dia orang tua sudah mengetahui dengan jelas segala sesuatu tentang Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau itu."

   Mendadak Thia Leng-juan berkata.

   "Bukankah Ku-lo Supek masih memberi dua pucuk surat lagi untuk Ko-siauhiap? Bagaimana kalau Ko-siauhiap keluarkan surat itu dan sekalian diperiksa isinya?"

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera membuka sampul kedua dan sampul ketiga, namun di atas sampul itu ternyata sudah dicantumkan saatnya untuk membuka. Di atas sampul kedua ditulis dengan jelas saat untuk membuka surat itu.

   "Surat ini dibuka saat Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng muncul."

   Sedangkan sampul ketiga bertuliskan.

   "Di buka saat hendak menaklukkan Cong-kaucu Put-gwacin- kau."

   Di samping lain sampul surat itu dicantumkan pula peringatan agar jangan membuka surat itu apabila saatnya belum sampai.

   Bong Thian-gak tentu saja tak berani melanggar peringatan itu, maka pemuda itu menyimpan kembali kedua pucuk surat itu.

   Mendadak Thia Leng-juan berseru tertahan.

   "Ah, mungkinkah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah Mo-kiam-sinkun Tio Tian-seng?"

   "Dari surat wasiat Ku-lo Supek, tampaknya Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau agak mirip dengan Tio Tian-seng,"

   Sahut Ho Put-ciang.

   "Aku rasa bukan Tio Tian-seng,"

   Seru Bong Thian-gak.

   "Atas dasar apa Ko-heng mengatakan bukan dia?"

   Tanya Thia Leng-juan cepat.

   "Seandainya orang itu adalah Tio Tian-seng, tak mungkin Ku-lo Sinceng jual mahal pada kita. Ai ... siapakah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau? Cepat atau lambat kita akan mengetahui juga. Persoalan paling penting yang harus kita hadapi sekarang adalah bagaimana caranya melaksanakan perintah Sinceng serta menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."

   Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong yang selama ini hanya membungkam mendadak berkata.

   "Ah, agaknya Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau akan mulai melaksanakan rencananya membunuh Jit-kaucu begitu mendengar berita kematian Sinceng, bisa jadi saat ini Cong-kaucu sudah berada di kota Kay-hong."

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Ya, benar! Tujuan yang sesungguhnya serbuan musuh ke gedung bu-lim Bengcu hari ini adalah untuk mencari tahu mati-hidup Ku-lo Sinceng, ya ... segala sesuatunya memang berjalan seperti apa yang di tulis Sinceng dalam surat wasiatnya, kalau begitu kita tak boleh ayal dalam usaha kita menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."

   "Tapi tindakan apakah yang harus kita ambil? Harap kalian semua sudi mengajukan pendapat,"

   Seru Ho Put-ciang. Dengan suara berat Thia Leng-juan berkata.

   "Ku-lo Supek telah menyerahkan isi kantung itu kepada Ko-heng, jelas tugas ini hanya Ko-heng seorang yang mampu memikulnya, mana mungkin orang lain bisa mencampurinya."

   Seperti menyadari sesuatu, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berkata, betul, tampaknya Ku-lo Supek sudah tahu Jit-kaucu pun ahli waris Jian-bin hu-li Ban Li-biau seperti juga halnya Ko-siauhiap."

   "Ai, Ku-lo Sinceng benar-benar merupakan tokoh sakti yang luar biasa,"

   Kata Bong Thian-gak.

   "Tampaknya ia sudah tahu asal-usul semua lnknh di Bu-lim."

   "Ai, kematiannya benar-benar merupakan suatu kerugian besar bagi dunia persilatan."

   "Dalam surat wasiatnya, Ku-lo Supek berpesan bahwa kematian merupakan kemauan takdir, apakah seorang kaisar bisa memperpanjang usianya bila saat ajalnya sudah tiba? Kosiauhiap, aku rasa kau tak perlu bersedih karena kematiannya!"

   "Jika begitu aku harus segera mencari Jit-kaucu sekarang juga."

   "Aku rasa persoalan ini pun tak perlu dikerjakan terlalu tergesa-gesa, kini luka pada bahu kiri Ko-siauhiap masih belum sembuh, lagi pula telah berjuang sehari semalam, tak ada salahnya kau beristirahat dulu selama tiga-empat hari sebelum melakukan sesuatu tindakan."

   "Luka yang kuderita tidak jadi soal. Yang kukuatirkan sekarang seandainya orang-orang Put-gwa-cin-kau melakukan penyerbuan sekali lagi kemari."

   Ho Put-ciang tertawa sedih.

   "Walaupun pada pertempuran hari ini pihak gedung Bengcu menderita kerugian besar, tapi asalkan yang datang bukan Cong-kaucu atau Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau, gedung Bengcu yakin masih bisa mempertahankan diri."

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian katanya pelan-pelan.

   "Ho-bengcu, ada satu hal perlu kuingatkan kepadamu, ketahuilah bahwa dalam gedung Bu-lim Bengcu sekarang bersembunyi seorang pentolan Put-gwa-cinkau, kalau tak salah pentolan itu adalah Cap-go-kaucu! Aku harap kau bertindak lebih waspada."

   "Sekarang orang yang menjadi kekuatan inti gedung Bu-lim Bengcu adalah Ko-siauhiap, Thia Leng-juan Laute, Angtayhiap, Goan-ko Taysu, Ui-hok Totiang beserta kami Suhengte. Semua rahasia yang kita ketahui tak mungkin bocor ke telinga orang lain, bila rahasia itu sampai bocor, berarti Capgo- kaucu Put-gwa-cin-kau berada di antara kita bersembilan dalam gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimana pendapat kalian?"

   Kata Ho Put-ciang.

   "Betul,"

   Ujar Thia Leng-juan cepat.

   "apa yang kita bicarakan hari ini menyangkut keselamatan dunia persilatan, jelas siapa pun dilarang membocorkan keluar."

   Yu Ciang-hong, Ang Thong-lam dan Goan-ko Taysu sekalian segera bersumpah pula untuk memegang rahasia itu rapat-rapat.

   Malam itu lewat tanpa kejadian, para jago pun kembali ke kamar masing-masing untuk mengatur pernapasan dan merawat luka.

   Keesokan harinya, luka yang diderita Ui-hok Totiang serta Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui telah sembuh, sementara luka yang diderita Oh Cian-giok sudah jauh membaik.

   Bong Thian-gak dan Thia Leng-juan bersama-sama tidur di loteng sebelah barat, pada hari ketiga luka tusukan pada bahu kiri Bong Thian-gak pun telah sembuh.

   Selama tiga hari itu dari pihak Bu-lim Bengcu telah mengirim banyak mata-mata untuk menyelidiki keadaan serta gerak-gerik orang-orang Put-gwa-cin-kau, anehnya puluhan li di seputar kota Kay-hong ternyata tidak dijumpai satu pun orang persilatan, tentu saja tidak diketahui pula gerak-gerik orang-orang Put-gwa-cin-kau.

   Keadaan itu tentu saja mendatangkan perasaan tak tenang bagi para jago yang berkumpul dalam gedung Bu-lim Bengcu.

   Setiap orang tahu, sebelum datangnya hujan badai biasanya didahului oleh suasana sunyi senyap yang aneh.

   Tengah hari itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bersama pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak bertiga berkumpul di ruangan tengah bangunan loteng sebelah barat.

   "Ho-toako, menurut pendapatmu mungkinkah orang-orang Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri secara diam-diam dari kota Kay-hong?"

   Pertanyaan itu ditujukan kepada Ho Put-ciang dengan suara lantang. Ho Put-ciang menggeleng.

   "Dalam tiga hari ini suasana memang terasa kurang beres. Jika orang-orang Put-gwa-cin-kau masih berada di kota Kay

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ hong, mata-mata yang kita kirim paling tidak akan menemukan jejak mereka."

   "Aku pikir Jit-kaucu tak mungkin meninggalkan tempat ini begitu cepat,"

   Seru Bong Thian-gak pula.

   "Ko-heng, apa maksudmu?"

   Tanya Thia Leng-juan cepat.

   "Jit-kaucu mendapat tugas menghancurkan gedung Bu-lim bengcu, sebelum tugas yang dibebankan ke atas pundaknya diselesaikan, bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan kota Kay-hong? Menurut dugaanku, Put-gwa-cin-kau masih akan melakukan penyerangan secara besar-besaran terhadap gedung Bu-lim Bengcu kita!"

   "Bagaimana Ko-heng bisa berkata demikan? Kalau dibilang Jit-kaucu mendapat perintah untuk menghancurkan gedung Bu-lim Bengcu, apa sebabnya pada penyerbuan musuh tempo hari kita tak menjumpai Jit-kaucu?"

   "Sebab rencana penyerbuan gedung Bengcu yang terjadi dua hari lalu bukan atas prakarsa Jit-kaucu."

   "Kalau bukan diprakarsai dia, lantas siapa?"

   "Orang berkerudung berbaju hitam itu!"

   Tiba-tiba Thia Leng-juan berseru tertahan, sambil berpaling ke arah Ho Put-ciang katanya.

   "Ho-toako, orang berkerudung itu pernah memperkenalkan diri. Katanya dia adalah pentolan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau, dengan kepandaian silatnya yang hebat serta sikapnya yang angkuh, mestinya pasukan pengawal tanpa tanding mempunyai kedudukan tinggi dalam Put-gwa-cin-kau."

   "Bisa jadi pasukan pengawal tanpa tanding merupakan pelindung Kaucu Put-gwa-cin-kau,"

   Pendapat Ho Put-ciang.

   "Benar, pasukan pengawal tanpa tanding adalah para pelindung Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."

   Thia Leng-juan segera termenung sambil berpikir sejenak, lalu katanya.

   "Perkataan Ko-heng memang benar, kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau akan melakukan serbuan kedua terhadap gedung Bu-lim Bengcu kita ini."

   "Tapi anehnya mengapa hingga kini belum juga dilakukan?"

   Tanya Ho Put-ciang dengan kening berkerut.

   "Sebuah pukulan dahsyat Ko-heng yang bersarang tepat di tubuh orang berkerudung berbaju hitam itu menyebabkan mereka tak berani menganggap enteng kekuatan kita,"

   Kata Thia Leng-juan mengemukakan pendapatnya.

   "Selain itu, nampaknya mereka masih menaruh curiga terhadap kematian Ku-lo Supek."

   Ho Put-ciang manggut-manggut.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar, Jit-kaucu pun terhajar hingga terluka oleh Ku-lo Supek dan dengan jumlah anggota Put-gwa-cin-kau yang berada di kota Kay-hong + -sekarang, mereka memang belum berani melakukan penyerbuan lagi. Kemungkinan mereka belum berani berkutik dalam beberapa hari mendatang, bisa jadi sedang minta bala bantuan sambil menyiapkan serangan berikutnya."

   "Ai, tapi yang pasti, orang yang memimpin penyerbuan kedua ini pun pasti bukan Jit-kaucu!"

   Kata Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang.

   "Ko-heng, siapa menurut dugaanmu?"

   "Kemungkinan besar Cong-kaucu yang akan memimpin secara langsung penyerangan ini."

   Paras muka Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berubah hebat mendengar perkataan itu, katanya cepat.

   "Lantas bagaimana cara kita menghadapi?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, hari ini aku baru menemukan gelagat kurang baik, bila kita hendak meminta bantuan orang sembilan partai besar, aku rasa air yang berada di tempat jauh tak mungkin bisa memadamkan api di depan mata!"

   "Tapi kita bisa membendung air bah, kita hadapi serbuan lawan dengan kekuatan, asal kita bertekad berjuang sampai titik darah penghabisan, aku rasa kekuatan musuh masih dapat kita imbangi."

   "Aku pikir lebih baik kita mundur saja dari gedung ini sambil melindungi kekuatan yang tersisa,"

   Ucap Bong Thian-gak dengan wajah serius. Belum habis perkataan Bong Thian-gak, mendadak dari bawah anak tangga sana terdengar suara langkah kaki, disusul kemudian munculnya Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui.

   "Yu-sute, ada urusan penting apa?"

   Ho Put-ciang segera berpaling dan menegur. Dengan suara lantang Yu Heng-sui menyahut.

   "Seorang mata-mata yang kita utus untuk mencari berita telah berjumpa dengan seorang perempuan misterius di luar kota Kay-hong sebelah barat. Perempuan itu telah menitipkan sepucuk surat kepada mata-mata kita supaya diampaikan kepada Kosiauhiap."

   Sembari berkata, dari dalam sakunya dia mengeluarkan sepucuk iiiiat berwarna biru. Bong Thian-gak segera menerima surat itu, di atas sampul tertera beberapa huruf dengan gaya tulisan yang sangat indah.

   "Ditujukan khusus untuk Ko Hong."

   Bong Thian-gak berkerut kening, setelah berpikir sebentar, lalu tanyanya.

   "Siapakah perempuan itu?"

   Terus saja ia merobek sampul surat itu dan membacanya isinya.

   "Tidak mudah untuk mempertahankan hidup ini, cepat pergi dari sini untuk hidup seratus tahun lagi."

   Di bawah surat tidak dicantumkan tanda tangan. Selesai membaca, Bong Thian-gak segera menyerahkan surat itu kepada Ho Put-ciang serta Thia Leng-juan sekalian.

   "Siapa penulis surat ini?"

   Thia Leng-juan bertanya kemudian.

   "Jit-kaucu,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang. Ho Put-ciang menghela napas pula.

   "Kejadian ini semakin membuktikan dugaan kita tak salah, Put-gwa-cin-kau memang sudah mempersiapkan diri memusnahkan gedung kita."

   "Ai, belum tentu begitu, kemungkinan juga sasaran mereka hanya aku seorang."

   "Bukankah dia sudah memberi peringatan kepada Ko-heng? Tak mungkin dia turun tangan keji terhadap Ko-heng!"

   Kata Thia Leng-juan lagi.

   "Jit-kaucu adalah seorang gadis yang berwatak aneh, senang gusarnya tidak menentu, lagi pula semua gerakgeriknya seakan-akan sudah berada di bawah cengkeraman Cong-kaucu."

   Ho Put-ciang bertanya kepada Yu Heng-sui.

   "Yu-sute, siapakah mata-mata itu? Cepat kau panggil dia agar menghadap kemari."

   "Baik!"

   Sahut Toan-jong-hong-Iiu Yu Heng-sui dari bawah loteng.

   Tak selang lama kemudian Yu Heng-sui telah muncul kembali diikuti seorang lelaki berbaju hitam.

   Begitu melihat raut wajah lelaki itu, Pa-ong-kiong Ho Putciang segera mengetahui dia adalah komandan pasukan matamata angkatan kedelapan yang bernama Tan Thiam-ka.

   Sesudah memberi hormat kepada semua orang, Tan Thiam-ka segera berdiri di samping dengan kedua tangan diluruskan ke bawah.

   "Komandan Tan, darimana kau dapatkan surat ini?"

   Ho Putciang berkata dengan suara nyaring.

   "Di sebelah barat kota Kay-hong, lebih kurang empat-lima li di luar kota."

   "Macam apakah bentuk wajah orang yang menyerahkan surat itu kepadamu?"

   Sela Thia Leng-juan.

   "Dia adalah seorang gadis yang berusia enam-tujuh belas tahunan, berwajah jelek tapi bersuara amat merdu dan manis. Awalnya dia bertanya kepadaku apakah merupakan anggota gedung Bengcu, setelah itu ujarnya lagi, katanya dia ada surat yang hendak diserahkan kepada Ko Hong Siauhiap, maka surat itu pun diserahkan kepada hamba sebelum pergi meninggalkan tempat itu."

   Mendengar penjelasan itu, paras muka Ho Put-ciang sekalian segera berubah hebat, dalam hati mereka berpikir.

   "Berwajah jelek? Kalau begitu orang itu bukan Jit-kaucu?"

   Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekalian belum pernah menyaksikan raut wajah Jit-kaucu, namun Bong Thiangak pernah melukiskan paras mukanya yang cantik ibarat bidadari yang baru turun dari kahyangan, lagi pula usianya juga tidak cocok.

   "Komandan Tan, apakah kau tidak salah melihat?"

   Ho Putciang segera bertanya.

   "Tecu tak bakal salah melihat."

   Ho Put-ciang manggut-manggut. 'Baiklah kalau begitu, komandan Tan dan Yu-sute boleh mengundurkan diri dari sini."

   "Baik!"

   Seru mereka berdua bersama-sama. Seusai berkata, mereka membalikkan badan siap meninggalkan Irmpat itu.

   "Tunggu sebentar!"

   Mendadak Bong Thian-gak berseru.

   "Ada urusan apa Ko-siauhiap?"

   Ho Put-ciang segera bertanya.

   "Ho-bengcu, aku ingin membawa komandan Tan berkunjung ke tempat penyerahan surat itu."

   "Apakah luka Ko-siauhiap telah sembuh?"

   "Tak usah kuatir, Bengcu, lukaku sudah tak jadi masalah lagi."

   "Apakah Ko-siauhiap kenal si pengantar surat itu?"

   "Tidak!"

   Bong Thian-gak menggeleng.

   "Belum pernah kujumpai wanita itu."

   "Musuh kita amat licik dan mempunyai banyak tipu muslihat, mungkinkah kepergian Ko-siauhiap akan terjebak siasat licik mereka?"

   "Apa maksud perkataanmu itu?"

   "Aku kuatir Ko-siauhiap salah menduga akan si pengirim surat itu."

   "Andaikan musuh menantangmu secara terang-terangan untuk berduel, mereka kuatir kita mempersiapkan diri lebih dahulu, maka dia sengaja mengirim surat itu untuk memancing rasa ingin tahumu hingga kau melakukan penyelidikan seorang diri. Akhirnya kau termakan oleh tipu muslihat mereka."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak tersenyum.

   "Untuk mewujudkan tugas yang dibebankan Ku-lo Sinceng kepadaku, sudah seharusnya aku mulai bertindak sekarang."

   "Kalau begitu apakah Ko-siauhiap membutuhkan bantuan orang kami?"

   "Tidak usah,"

   Bong Thian-gak menampik sambil menggeleng.

   "Sekarang juga aku akan berangkat."

   Ho Put-ciang lantas berpaling ke arah lelaki berbaju hitam itu sambil berpesan.

   "Komandan Tan, dampingi Ko-siauhiap, kau harus menuruti semua petunjuk dan perintah Ko-siauhiap tanpa membantah."

   "Baik!"

   Sahut Tan Thiam-ka dengan hormat. Setelah berkata, dia lalu berpaling ke arah Bong Thian-gak sambil bertanya.

   "Ko-siauhiap, apakah akan berangkat sekarang juga?"

   Bong Thian-gak berkata kepada Ho Put-ciang sekalian.

   "Setiap saat aku akan mengadakan kontak dengan kalian, harap Bengcu tak usah kuatir, kami segera akan berangkat."

   Selesai berkata Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka segera pula berangkat meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu. Setelah perjalanan selama setengah jam lebih, sampailah Tan Thiam-ka dan Bong Thian-gak di depan sebuah hutan buah-buahan.

   "Di sinikah kau bertemu dengan gadis berwajah jelek itu?"

   Bong Thian-gak bertanya.

   "Ya, waktu itu hamba sedang duduk beristirahat di bawah pohon kelengkeng, mendadak muncul perempuan berwajah jelek itu."

   Bong Thian-gak mendongakkan kepala memandang sekejap ke arah hutan buah-buahan itu.

   Kebun buah-buahan itu luas sekali, mungkin mencapai belasan hektar lebih.

   Empat penjuru dikelilingi pagar pendek terbuat dari bambu, jelas tempat itu merupakan kebun buahbuahan yang dijaga orang.

   Bong Thian-gak bertanya.

   "Apakah sekeliling tempat ini terdapat perkampungan atau dusun?"

   "Dua li dari sini terdapat sebuah dusun kecil, hanya sekitar dua puluh kepala keluarga."

   "Apa hasil penyelidikanmu terhadap dusun itu?"

   Tan Thiam-ka termenung sejenak, kemudian sahutnya.

   "Di tempat itu tidak kutemukan sesuatu, pada pagi dan siang hari kebanyakan rumah petani tutup, hanya ada beberapa anak kecil bermain di luar pagar rumah, benar-benar suasana dusun kaum petani."

   Pada saat itulah mendadak dalam kebun buah-buahan itu berkumandang suara bentakan serta caci-maki. Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berkata.

   "Mari kita tengok!"

   Suara bentakan itu berasal setengah li dari tempat itu, suaranya tidak begitu keras.

   Buru-buru Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka berputar ke kebun buah sebelah utara, di situ mereka menyaksikan sekelompok orang mengerubuti seseorang.

   Menyaksikan itu, hati Bong Thian-gak terkesiap.

   Rombongan itu terdiri dari tiga belas orang, mereka mengenakan baju hijau penuh tambalan, tak usah ditanya lagi mereka adalah orang-orang Kay-pang.

   Orang yang sedang dikepung ketiga belas orang Kay-pang itu adalah seorang gadis berbaju hitam.

   Bong Thian-gak dapat melihat pula raut wajah gadis berbaju hitam ttu dengan jelas, dia berkulit hitam dengan hidung besar, mulut lebar dan mata melotot.

   Tampang semacam itu benar-benar jelek setengah mati.

   Bong Thian-gak terkejut, sambil menarik tangan Tan Thiam-ka menuju ke tempat peristiwa itu, bisiknya lirih.

   "Komandan Tan, coba kau perhatikan, diakah yang menyampaikan surat itu kepadamu?"

   Setelah melihat jelas paras muka gadis berbaju hitam itu, Tan Thiam-ka berseru tertahan.

   "Ah, betul! Ko-siauhiap, dialah orangnya."

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Bagus sekali, mari kita lihat keadaan dan berpeluk tangan dulu."

   Sementara itu kawanan pengemis Kay-pang dan gadis berwajah jelek itu sudah melihat pula kehadiran Bong Thiangak serta Tan Thiam-ka.

   Sebenarnya orang-orang Kay-pang itu mengira Bong Thiangak dan Tan Thiam-ka adalah teman gadis berwajah jelek itu, mereka baru menyadari kesalahan itu setelah menyaksikan kedua orang itu berhenti.

   Mendadak terdengar gadis berwajah jelek itu tertawa, kemudian menegur.

   "Kalian kawanan pengemis tak tahu diri, di siang hari bolong begini pun berani membegal aku?"

   Salah seorang di antara pengemis itu, yang berusia agak lanjut, tertawa aneh.

   "Hehehe, bocah perempuan jelek, pentang matamu lebar-lebar, kami anggota Kay-pang bukan manusia yang membiarkan diri dihina orang semaunya sendiri. Sekarang aku si pengemis tua hanya ingin bertanya saja kepadamu, siapa dua orang gadis yang baru saja kau bunuh itu?"

   Gadis berparas jelek itu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Hehehe, kalian kawanan pengemis rudin, untuk mencari makan sehari tiga kali saja sudah sulit, ternyata berani mencampuri urusan orang lain. Aku cuma menasehatimu secara baik-baik, kalau mau hidup langgeng, lebih baik cepat tinggalkan tempat ini dan jangan ceritakan apa yang telah kau lihat tadi, kalau tidak, kalian akan mampus di sini tanpa liang kubur."

   Mendadak pengemis tua itu membentak gusar.

   "Bocah perempuan jelek, kenalkah kau dengan Lohu?"

   "Kau tak lebih dari seorang pelindung hukum ruang siksa Kay-pang?"

   Kata si nona hambar. Pengemis tua itu tertawa dingin.

   "Seorang pelindung hukum ruang siksa Kay-pang mempunyai hak menurunkan perintah membantai setiap musuh yang dijumpai. Bila tahu diri, lebih baik cepat sebutkan identitas serta asal-usul kedua orang itu."

   Mendadak gadis yang berwajah jelek itu menarik muka dan mencorongkan sinar membunuh dari balik matanya, dengan suara dingin dia berkata.

   "Sekarang kalian sudah mengetahui rahasiaku membunuh orang, kukira sudah sepantasnya bila kubunuh kalian agar rahasia ini tidak bocor ke orang lain, hm, belum lagi aku melakukan pembunuhan itu, sungguh tak nyana kalian telah memojokkan aku dengan perkataanmu itu."

   Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian ini berpikir dalam hati.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aduh celaka, gadis ini sudah diliputi hawa membunuh."

   Sementara dia berpikir, pengemis tua telah berteriak.

   "Bagus sekali! Arak kehormatan tidak mau, kau justru memilih arak hukuman. Pengawal! Tangkap dulu budak jelek itu!"

   Begitu bentakan dilontarkan, empat orang anggota Kaypang segera menerjang ke depan sambil memutar tongkat bambu mereka.

   Siapa tahu, dengan satu lejitan tahu-tahu gadis berwajah jelek itu sudah menyongsong kedatangan keempat orang itu.

   Menyusul "Plak! Plokl Plak! Plok!", empat kali tamparan nyaring berkumandang memecah keheningan.

   Keempat orang pengemis yang melakukan terjangan itu masing-masing mendengus tertahan, kemudian tergeletak di tanah dan tidak berkutik lagi.

   Ilmu pukulan yang demikian cepat dan luar biasa ini membuat Hong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu mengerut dahi.

   Sementara para pengemis Kay-pang diliputi perasaan kaget, ngeri dan tertegun.

   Agaknya gadis berwajah jelek itu sudah didorong nafsu untuk melakukan pembunuhan secara besar-besaran guna melenyapkan semua saksi hidup, dengan suatu gerakan yang amat cepat dia menyerbu ke tengah kerumuman orang banyak.

   Segera berkumandang jeritan kaget tertahan serta jerit kesakitan disana-sini.

   Bayangan orang mencelat dan berkelebat ke sana kemari, dalam waktu singkat telah ada dua belas orang anggota Kay-pang tergeletak di tanah.

   Dalam keadaan seperti ini, Bong Thian-gak tidak mengetahui apakah dia harus mencampuri urusan ini atau tidak? Sementara itu si nona berwajah jelek sudah berjalan menuju ke depan pengemis tua itu begitu berhasil membinasakan kedua belas anggota Kay-pang tadi.

   Mendadak Bong Thian-gak membentak nyaring.

   "Tahan!"

   Waktu itu si nona berwajah jelek sudah mengangkat telapak tangan siap melancarkan serangan maut, ketika mendengar suara bentakan itu, gerakannya segera dihentikan.

   Dengan suatu gerakan cepat Bong Thian-gak menghampiri nona berwajah jelek itu, kemudian katanya.

   "Nona, jangan kau lakukan pembantaian secara besar-besaran."

   "Ko-siangkong, harap menyingkir dulu,"

   Kata gadis berwajah jelek itu pelan.

   "Sekarang aku telah membinasakan dua belas orang anggota partainya dan aku tak boleh membiarkan dia kabur untuk membocorkan rahasia ini."

   Paras muka Bong Thian-gak berubah hebat sesudah mendengar perkataan itu, ujarnya.

   "Nona, kepandaian silat yang kau miliki lihai sekali, justru karena aku tak bisa mengambil keputusan dengan cepat, akibatnya aku tak sempat mencegah perbuatan kejimu."

   "Siangkong, apabila kau menghalangi perbuatanku ini, maka kau bakal menyesal sepanjang masa. Harap kau segera menyingkir."

   Dalam pada itu si pengemis tua masih berdiri di situ dengan wajah termangu. Bong Thian-gak yang menyaksikan hal itu segera membentak.

   "Hei, mengapa kau tak segera melarikan diri? Kau hendak menunggu sampai kapan?"

   Pengemis tua itu terkejut sesudah mendengar seruan itu. Dia segera membalikkan badan dan melarikan diri. Mendadak gadis itu mengayunkan pergelangan tangan kanan.

   "Sret", setitik cahaya bintang yang terang bagaikan sambaran petir dengan cepat menyambar ke belakang tubuh si pengemis tua itu. Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira gadis berwajah jelek itu bakal melancarkan serangan dengan menggunakan senjata rahasianya, ia membentak keras, telapak tangan kirinya segera diayun ke depan melepaskan pukulan kosong membabat ke titik cahaya bintang itu. Walaupun dia bertindak agak terlambat, senjata rahasia tadi tersapu juga oleh sambaran angin pukulannya, dengan begitu kekuatan serangannya menjadi berkurang dan tak menyeramkan lagi.

   "Aduh!"

   Berkumandang jerit kesakitan yang memilukan hati.

   Pengemis tua itu sempoyongan, lalu melarikan diri makin cepat meninggalkan tempat itu.

   Di saat Bong Thian-gak mengayunkan telapak tangan kirinya melancarkan serangan tadi, tangan kanannya juga secepat kilat menghantam bahu gadis berwajah jelek itu.

   Dengan cekatan gadis berwajah jelek itu mundur tigaempat langkah, ujarnya setelah menghela napas sedih.

   "Siangkong, dengan perbuatanmu ini hanya akan menambah kesulitanku saja, bahkan bisa jadi akan mempengaruhi situasi dunia persilatan."

   "Mengapa?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   "Siangkong, tahukah kau siapakah kawanan pengemis itu?"

   Tanya gadis berwajah jelek itu sambil menghela napas sedih.

   "Para anggota Kay-pang!"

   "Kay-pang adalah perkumpulan paling besar di Bu-lim dewasa ini. Pengaruh organisasi itu meliputi hampir setiap pelosok dunia persilatan, kini kau telah membiarkan pengemis tua itu melarikan diri, mungkin tidak sampai dua belas jam kemudian, pihak Kay-pang sudah akan mengutus jagojagonya datang kemari mencari balas."

   "Nona, kalau kau tak ingin disusahkan oleh orang-orang Kay-pang, mengapa pula kau membunuh anggota mereka?"

   Dengan polos gadis berwajah jelek itu menjawab.

   "Asalkan kau tidak menghalangiku tadi, maka aku akan berhasil membunuh mereka semua, perbuatanku ini tak akan diketahui siapa pun, bahkan aku bisa mengalihkan balas dendam mereka ke arah yang salah. Bukankah ini justru akan mendatangkan keuntungan bagi diriku?"

   "Nona kau berasal dari perguruan atau aliran mana?"

   Tanya Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut. Gadis berwajah jelek itu tertawa cekikikan.

   "Aku tidak punya perguruan maupun partai."

   "Bukankah nona yang menyuruh dia mengantar surat untukku?"

   I.inya Bong Thian-gak lagi dengan suara dalam. Sembari berkata dia menunding ke arah Tan Thiam-ka yang berdiri di samping.

   "Betul! Aku yang menitipkan surat itu kepadanya,"

   Gadis berwajah jelek itu membenarkan.

   "Seingatku belum pernah berjumpa atau berkenalan dengan nona, darimana nona mengenali diriku? Apa pula maksud nona mengirim surat itu kepadaku?"

   "Walaupun aku tidak kenal padamu, tapi besar kemungkinan majikan kami kenal Ko-siangkong."

   "Ai, apakah kau masih mempunyai majikan? Siapakah nama majikan kalian itu?"

   "Aku juga tidak mengetahui siapa nama majikan kami."

   Kali ini Bong Thian-gak benar-benar dibikin bingung dan tak habis mengerti, sebenarnya dia mengira Jit-kaucu Thay-kun yang menyuruh gadis ini menyampaikan surat kepadanya, siapa tahu kenyataan sama sekali berbeda dengan apa yang diduganya semula.

   Lantas siapakah majikannya? Ilmu silat gadis berwajah jelek itu kelihatan amat aneh dan istimewa, boleh dibilang Bong Thian-gak sama sekali tak mengenalinya.

   Setelah termenung dan memutar otak, Bong Thian-gak bertanya.

   "Nona, dapatkah kau mengajakku pergi menjumpai majikanmu?"

   "Tentu saja boleh, cuma aku kuatir majikan tidak bersedia bertemu denganmu."

   Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, katanya.

   "Dalam surat itu, dia menyuruh aku datang menjumpainya."

   "Kau tidak bohong?"

   Gadis berwajah jelek itu menegas.

   "Tidak!"

   Gadis itu memandang ke arah Tan Thiam-ka sekejap, kemudian katanya.

   "Majikan kami tak mengizinkan orang lain menjumpainya."

   Tentu saja Bong Thian-gak cukup memahami maksud ucapannya itu, maka katanya kepada Tan Thiam-ka.

   "Komandan Tan, kau boleh pulang lebih dulu."

   "Baik!"

   Sahut Tan Thiam-ka. Dengan mengerahkan Ginkang, dia lantas kembali ke gedung Bu-lim Bengcu. Sepeninggal Tan Thiam-ka, gadis itu baru berkata sambil tersenyum.

   "Siangkong, mari kita berangkat!"

   Selesai berkata dia lantas membalik badan dan berangkat ke arah utara. Bong Thian-gak juga tidak banyak bicara, dengan ketat dia mengikut di samping kiri gadis bermuka jelek itu. Mendadak gadis itu berkata.

   "Siangkong, apakah kau tidak mencurigai diriku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau?"

   "Ehm, aku sudah menduga ke situ,"

   Sahut Bong Thian-gak dengan suara hambar.

   "Seandainya aku benar-benar anggota Put-gwa-cin-kau, apa yang hendak Siangkong lakukan?"

   "Akan kubunuh dirimu sekarang juga!"

   Gadis bermuka jelek itu tertawa cekikikan.

   "Tak usah kuatir,"

   Katanya.

   "kedua gadis yang kubunuh tadi tak lain adalah anggota Put-gwa-cin-kau."

   "Mengapa kau membinasakan mereka,"

   Tanya si pemuda dengan terkejut bercampur keheranan.

   "Sebab aku sedang melaksanakan perintah majikan!"

   "Sesungguhnya siapa majikanmu itu?"

   Desak Bong Thiangak tiba-tiba sambil menghela napas.

   "Bagaimana pun juga kau bakal bertemu dengannya, setelah bersua nanti kau akan tahu dengan sendirinya."

   "Majikanmu itu seorang lelaki atau perempuan?"

   "Seorang perempuan."

   Kini Bong Thian-gak diliputi perasaan bimbang, tidak habis mengerti dan curiga, namun dia tidak berdaya mengatasi kecurigaan itu, maka selain membuang jauh-jauh pikiran itu untuk sementara waktu, sorot matanya dialihkan ke sekeliling tempat itu sambil mengawasi pemandangan alam.

   Lambat-laun matahari tenggelam di langit barat, senja pun menjelang tiba.

   Suasana tengah malam yang sepi berlapiskan cahaya keemas-emasan yang sangat indah.

   Akhirnya sampailah mereka di depan sebuah hutan kecil, dari balik hutan lamat-lamat nampak sebuah kuil.

   "Kita sudah hampir sampai,"

   Bisik gadis itu tiba-tiba.

   "Apakah kuil di depan sana?"

   Pemuda itu bertanya.

   "Ya, kuil kaum Nikoh!"

   Sementara pembicaraan berlangsung, mereka berdua sudah memasuki halaman muka kuil itu. Saat itulah si nona yang bermuka jelek itu baru menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah Bong Thiangak, katanya.

   "Harap kau suka menunggu sebentar di luar kuil!"

   Tidak menanti jawaban Bong Thian-gak, dia sudah menerobos ke balik pintu gerbang kuil itu.

   Meminjam sinar senja berwarna keemas-emasan, Bong Thian-gak mencoba mengawasi kuil itu, ternyata kuil itu bernama Keng-tim-an.

   Kuil Keng-tim-an tidak terhitung besar, namun juga tidak kecil.

   Seluruh bangunan terdiri dari lima lapis halaman.

   Waktu itu di ruang tengah amat sepi dan tidak nampak sesosok bayangan orang pun.

   Suasana diliputi oleh keheningan, kesepian yang luar biasa.

   Diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Andaikata tempat ini hanya merupakan suatu perangkap Put-gwa-cin-kau, bagaimana caraku menghadapi mereka dan meloloskan diri?"

   Belum habis dia berpikir, tiba-tiba nampak gadis bermuka jelek itu sudah berjalan keluar dari ruang tengah, kemudian katanya dengan suara dingin.

   "Siangkong, kau pandai berbohong. Dalam suratnya, majikan kami tidak mengundangmu kemari!"

   "Tak usah marah-marah, nona, sesungguhnya terdorong oleh rasa ingin tahuku, maka aku kemari ingin berjumpa dengan majikan kalian."

   "Gara-gara ulahmu itu, akibatnya aku yang didamprat majikan habis-habisan. Untung majikan mempunyai pandangan lain kepadamu sehingga dia bersedia bertemu dengan kau."

   "Terima kasih banyak atas bantuan nona, harap kau suka membawaku masuk ke dalam!"

   "Setelah masuk ke dalam kuil nanti, harap kau jangan mengusik para Nikoh."

   "Apakah ada Nikoh yang berdiam di sini?"

   "Ya, mereka adalah Nikoh yang menjalani pantangan berat, jumlahnya mencapai tujuh puluhan orang."

   Sementara berbicara, gadis itu sudah berjalan lebih dahulu untuk menunjukkan jalan.

   Sesudah memasuki pintu kuil, benar juga pada sisi pagar bangunan itu nampak ada puluhan orang Nikoh sedang menyirami bunga, menanam sayur dan membabat rumput.

   Mereka langsung menuju ke ruang tengah.

   Di depan patung Buddha di ruang tengah, nampak asap dupa mengepul memenuhi angkasa, tiga orang Nikoh sedang berdoa di situ dengan khidmat.

   Gadis bermuka jelek itu langsung mengajak Bong Thiangak menuju ke halaman lapis keempat.

   Waktu itu dalam semua kamar di masing-masing halaman telah diterangi cahaya lentera.

   Gadis berwajah jelek itu membawa Bong Thian-gak menuju ke depan sebuah rumah yang terpencil di tengah halaman.

   Dari luar tampak sesosok bayangan orang sedang duduk di tepi jendela.

   Bayangan tubuh seorang perempuan cantik dan menarik, Bong Thian-gak seakan-akan pernah mengenalinya di suatu tempat.

   Pada saat itulah, gadis itu berkata dengan sikap hormat.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Lapor majikan, Ko-siangkong telah tiba."

   Dari dalam ruangan segera berkumandang suara merdu dan lembut.

   "Silakan Siangkong masuk!"

   "Siangkong, silakan masuk!"

   Kata gadis itu. Sekali pun Bong Thian-gak diliputi perasaan bingung dan penuh curiga, namun terdorong rasa ingin tahunya yang besar, ia segera beranjak memasuki ruangan itu. Setibanya dalam ruangan dia mendongakkan kepala.

   "Ah, kau!"

   Bong Thian-gak segera menjerit kaget. Di bawah cahaya lentera yang terang-benderang, seraut wajah yang cantik jelita muncul di hadapannya. Waktu itu Jit-kaucu tidak menampilkan perasaan girang, gusar maupun murung, dia hanya berkata hambar.

   "Suheng, silakan duduk."

   Dipanggil "Suheng"

   Oleh gadis itu, Bong Thian-gak merasakan suatu perasaan canggung.

   Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia lantas mengambil tempat duduk.

   Pelan-pelan Jit-kaucu Thay-kun bangkit dan menuang secawan air teh, kemudian disodorkan ke hadapan Bong Thian-gak, katanya.

   "Silakan minum air teh!"

   Memandang kesepuluh jari tangannya yang putih dan ramping, tanpa terasa Bong Thian-gak menerima angsuran cawan teh itu dengan cepat, namun tidak segera meneguknya. Beberapa saat sesudah termenung, pemuda itu baru berkata.

   "Jadi kau yang menulis surat itu?"

   "Ya, aku yang menulis,"

   Jit-kaucu Thay-kun mengangguk.

   "Tindak-tandukmu sungguh membuat aku bingung dan merasa tak habis mengerti."

   Jit-kaucu menarik wajah, kemudian berkata.

   "Cong-kaucu telah menurunkan perintah agar aku membinasakan dirimu."

   "Cepat atau lambat perintah ini akan diturunkan juga!"

   "Kau memang tolol,"

   Tegur Jit-kaucu dingin.

   "Memang kau harus memperlihatkan kebolehanmu? Seandainya pada tiga hari lalu kau tidak melukai komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding, tak nanti Cong-kaucu memandang serius dirimu."

   Mendapat teguran itu, timbul perasaan aneh dalam hati Bong Thian-gak, dia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaannya waktu itu, karenanya dia hanya menerima teguran itu dengan mulut bungkam. Kembali Jit-kaucu Thay-kun berkata.

   "Sembilan hari lagi, Cong-kaucu akan datang sendiri ke kota Kay-hong ini."

   "Kalau begitu sembilan hari lagi merupakan saat ajal bagimu,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Paras muka Jit-kaucu Thay-kun lantas saja berubah hebat, serunya tanpa terasa.

   "Apa maksud perkataanmu itu?"

   "Setelah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memerintahkan kau membunuh Ku-lo Hwesio dan aku, maka sasaran ketiga adalah dirimu sendiri! Sesungguhnya kehadirannya di kota Kay-hong tak lain adalah untuk membunuhmu!"

   "Ku-lo Sinceng benar-benar telah meninggal dunia?"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "Ya, sudah meninggal dunia! Tapi dia bukan mati lantaran terhajar oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang."

   "Ai, dunia persilatan telah kehilangan seorang tokoh yang luar biasa,"

   Gumam Jit-kaucu sedih.

   "Sumoay,"

   Bisik Bong Thian-gak lirih. Dia hanya mampu menyebut itu saja, kemudian paras mukanya berubah merah padam dan tak mampu berkata lebih lanjut. Jit-kaucu sendiri paras mukanya mengunjuk suatu perubahan sangat aneh mendengar panggilan "Sumoay"

   Itu. Sepasang mata mereka saling pandang tanpa berkedip ... lama-lama ... lebih kurang sepeminunan teh kemudian Bong Thian-gak baru melanjutkan kata-katanya.

   "Semua perkataanku bukan cuma bualan belaka."

   Jit-kaucu Thay-kun berkerut kening, lalu gumamnya.

   "Dengan susah-payah Suhu mendidikku selama dua puluh tahun lebih, entah berapa banyak pikiran dan tenaga yang telah dikorbankan untukku, mungkinkah dia akan ...."

   Bicara sampai di situ, mendadak gadis itu menghentikan gumamannya dan tidak dilanjutkan. Bong Thian-gak menghela napas sedih, ujarnya.

   "Dari dulu hingga sekarang, banyak benggolan dunia persilatan yang cuma mengutamakan keuntungan dan keberhasilan pribadi mereka, seakan sudah kehilangan hati nurani, bahkan terhadap anak kandung sendiri pun tega untuk di korbankan."

   "Suhu mendidik dan membinaku justru karena ingin mewujudkan cita-citanya menguasai dunia Kangouw, kenapa dia harus melenyapkan aku?"

   "Untuk mencapai ambisi gilanya, dia telah mengubah kau dari seorang gadis biasa menjadi luar biasa, tujuannya tak lain adalah untuk menjadikan kau sebagai alatnya dalam menaklukkan dunia persilatan. Kini orang yang dia segani dan takuti telah mati semua, maka dia pun tidak memerlukan alat itu lagi, bila alat yang lihai ini dibiarkan hidup terus, hal itu akan menimbulkan ketidak-tenangannya di masa-masa mendatang."

   "Mengapa bisa begitu?"

   "Alasan yang terutama adalah karena ilmu Soh-li-jian-yangsin- kang yang kau miliki justru merupakan tandingan kepandaian silatnya."

   Jit-kaucu Thay-kun berkerut kening.

   "Darimana kau tahu Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan tandingan segenap kepandaian sakti guruku? Apakah kau sudah mengetahui asalusul Cong-kaucu?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai ... aku memang tidak jelas tentang asal-usul Cong-kaucu, namun persoalan ini diketahui Ku-lo Sinceng sesaat sebelum dia meninggal dunia."

   Thay-kun tertawa dingin.

   "Begini cara sembilan partai besar dari daratan Tionggoan mengadu domba kekuatan kami?"

   Ejeknya. Bong Thian-gak menarik muka dan berkata dengan wajah serius.

   "Semua perkataan yang kuucapkan hari ini adalah sejujurnya, kuucapkan dengan maksud dan tujuan baik."

   Mendadak Jit-kaucu Thay-kun bertanya.

   "Apakah si jelek telah menyampaikan sesuatu kepadamu?"

   "Si jelek? Si jelek yang mana?"

   "Gadis yang membawamu kemari itu."

   Bong Thian-gak menggeleng.

   "Tidak!"

   "Mengapa kau tidak menyayangi keselamatan jiwamu sendiri?"

   Pelan-pelan Jit-kaucu Thay-kun bertanya.

   "Dilahirkan saja sukar, siapa bilang aku tidak menyayangi jiwaku?"

   "Sekarang Cong-kaucu sudah berhasrat melenyapkan kau dari muka bumi, apa rencanamu untuk menghadapinya?"

   "Melawan sampai titik darah penghabisan."

   "Kau harus tahu, Put-gwa-cin-kau memiliki kekuatan luar biasa, mengertikah kau akan hal ini?"

   "Kecuali kau, aku yakin masih mampu menghadapi yang lain."

   "Tampaknya kau menaruh kepercayaan yang kelewat besar terhadap kemampuan ilmu silatmu?"

   "Aku sudah pernah mengalahkan beberapa orang jago lihai Put-gwa-cin-kau."

   "Bagaimana menurut pendapatmu tentang ilmu silat komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding itu?"

   "Lihai sekali."

   "Sampai dimanakah taraf kelihaianmu?"

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian baru berkata.

   "Jauh lebih lihai daripada Sam-kaucu, tapi aku yakin masih bisa mengalahkan dia, bahkan sekalian mencabut jiwanya."

   Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih.

   "Ai, orang itu merupakan salah seorang jago muda yang berhasil dididik Cong-kaucu hanya dalam tujuh tahun. Dari tingkat ilmu silat orang itu, tentunya kau bisa membayangkan bukan sampai taraf macam apakah kepandaian silat Cong-kaucu!"

   "Selain Cong-kaucu, ilmu silat Ji-kaucu (ketua kedua) serta komandan nomor satu pasukan pengawal tanpa tanding juga luar biasa hebatnya, sampai dimanakah kehebatan mereka bahkan aku sendiri pun tak bisa menduganya secara tepat."

   "Terutama Ji-kaucu, bukan saja ilmu silatnya sangat lihai, dia pun memiliki berbagai ilmu hitam dan ilmu sesat lainnya yang mengerikan. Dia menjabat sebagai Kunsu (juru pikir) Put-gwa-cin-kau, semua rencana dan ide keluar dari benak orang ini, aku benar-benar kuatir dia datang ke kota Kay-hong ini."

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu diam-diam terperanjat, tapi rasa terkejut tidak diperlihatkan di mukanya.

   "Dapatkah kau sebutkan nama mereka?"

   Tanyanya kemudian dengan suara lembut. Paras muka Jit-kaucu Thay-kun bertambah berat, tegasnya dengan nada dingin,"Sudah terlalu banyak rahasia yang kuutarakan kepadamu."

   "Terima kasih banyak, Sumoay!"

   "Untuk menyelamatkan jiwamu, hari ini aku telah menitahkan si jelek untuk membunuh anggota Put-gwa-cinkau. Dengan matinya mereka, untuk sementara rahasia pertemuan kita dapat dipertahankan, oleh sebab itu dalam sembilan hari kau harus menghindarkan diri, kau harus menghindari pengejaran dan usaha pembunuhan orang-orang Put-gwa-cin-kau."

   Bong Thian-gak menghela napas pelan.

   "Sumoay, belakangan ini gara-gara aku, kau telah mengkhianati Put-gwa-cin-kau, mengapa kau tidak melepaskan jalan sesat untuk kembali ke jalan yang benar saja?"

   Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih.

   "Aku harus menanti...."

   Sampai di situ dia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya.

   "Sumoay, apa yang sedang kau nantikan?"

   "Aku tidak percaya Cong-kaucu adalah seorang yang tidak berdarah dan berdaging, masakah dia sama sekali tak berperasaan."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak jadi girang, pikirnya.

   "Dari kata-katanya, bukankah terbukti dia sudah punya perasaan tidak percaya terhadap Cong-kaucu .... Kalau sekarang dia masih belum menantangnya secara langsung dan terang-terangan, sesungguhnya kejadian ini pun merupakan peristiwa yang lumrah. Bagaimana pun juga Cong-kaucu adalah gurunya, penolong yang telah memelihara dan mendidiknya hingga dewasa. Perasaan itu memang lebih dalam daripada samudra dan mustahil bisa dilupakan orang begitu saja. Oleh sebab itu kendati dia tahu pada akhirnya Cong-kaucu hendak turun tangan keji kepadanya, tapi untuk membuktikan hal ini terpaksa dia harus menanti sampai Congkaucu benar-benar memperlihatkan wajah yang sesungguhnya."

   Kemudian Bong Thian-gak bertanya.

   "Apakah kuil Kengtim- an ini merupakan salah satu markas besar Put-gwa-cinkau?"

   Jit-kaucu Thay-kun menggeleng.

   "Put-gwa-cin-kau sama sekali tidak tahu aku sedang berada di kuil Nikoh ini."

   "Siapakah Hongtiang (ketua) kuil Keng-tim-an ini?"

   "Suhunya si jelek."

   "Mengapa si jelek menyebutmu sebagai majikan?"

   Jit-kaucu Thay-kun mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian dia tersenyum sambil berkata.

   "Aku adalah majikan kuil Keng-tim-an ini, termasuk Hongtiangnya, mereka memanggilku sebagai majikan."

   "Aku tidak mengerti,"

   Kata Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala dengan perasaan tidak mengerti. Jit-kaucu Thay-kun termenung sejenak, katanya.

   "Sekarang masih belum waktunya, aku tak ingin membongkar rahasia ini lebih dulu. Sebentar akan kuperkenalkan dirimu dengan Kengtim Suthay, apabila kau menemui kesulitan di kemudian hari, mereka akan membantumu."

   Jit-kaucu Thay-kun segera bangkit, setelah mengangkat kepala memandang cuaca, dia pun berbisik lirih.

   "Waktu sudah tidak pagi, aku tak bisa berdiam lebih lama di sini."

   Baru selesai dia berkata, mendadak dari luar ruangan terdengar suara langkah kaki berkumandang datang, menyusul terdengar seorang berkata dengan suara yang lembut dan manis.

   "Lapor majikan, apakah akan bersantap di sini?"

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera tahu orang yang berada di luar sana adalah si nona muka jelek.

   "Tidak usah,"

   Jawab Jit-kaucu Thay-kun dengan suara merdu.

   "Aku akan segera pergi meninggalkan tempat ini, lebih baik kau sediakan hidangan malam untuk Ko-siangkong saja."

   Bong Thian-gak ikut bangkit, katanya.

   "Tidak usah, aku harus buru-buru kembali."

   Tidak menanti Bong Thian-gak berkata lebih jauh, Jit-kaucu Thay-kun menukas.

   "Si jelek, apakah Keng-tim Suthay telah menyelesaikan semedinya?"

   "Ibu telah menyelesaikan sembahyang malamnya,"

   Jawab nona itu dengan hormat, dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan pelan.

   "Jika begitu harap kau mengundangnya kemari,"

   Perintah Jit-kaucu.

   "Baik!"

   Sahut si nona. Dia segera membalikkan badan dan berlalu dari ruangan itu. Sepeninggal nona bermuka jelek, Jit-kaucu berkata kepada Bong Thian-gak.

   "Suheng, tak ada salahnya kau bersantap malam dulu di sini sebelum pergi, kau pun perlu berbincangbincang dengan Keng-tim Sulhay dan si jelek agar kedua belah pihak saling kenal lebih mendalam."

   Sesungguhnya Bong Thian-gak memang menaruh perasaan bingung, curiga dan ingin tahu terhadap kuil Keng-tim-an.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam hati pemuda itu bersedia tetap tinggal di situ melakukan penyelidikan.

   Selang beberapa saat kemudian dari luar ruangan terdengar lagi nara langkah kaki manusia, dengan cepat muncul bayangan orang dari luar ruangan.

   Tampak seorang Nikoh setengah umur yang mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, membawa tasbih di tangan, berdiri di depan pintu, di belakangnya mengikut si nona bermuka jelek itu.

   Dengan sorot mata tajam Nikoh setengah umur itu memandang sekejap wajah Bong Thian-gak, kemudian dia merangkap tangan dan memberi hormat kepada Jit-kaucu Thay-kun.

   "Pinni sedang bersemedi dalam ruangan hingga tak mengetahui kedatangan majikan di sini, bilamana tak menyambut kedatanganmu harap majikan sudi memaafkan."

   Sekarang Bong Thian-gak baru sempat melihat wajah Nikoh setengah umur itu, mukanya bulat dengan kulit putih bersih, panca indranya sempurna dan memancarkan keanggunan. Menyaksikan hal itu, tanpa terasa dia berpikir.

   "Mungkinkah dia adalah ibu si jelek?"

   Lalu ia memperkenalkan diri.

   "Namaku Ko Hong, harap Suthay sudi banyak memberi petunjuk."

   Jit-kaucu Thay-kun menuding ke arah Nikoh setengah umur itu sembari berkata.

   "Dia adalah Hongtiang kuil ini, Keng-tim Suthay, sedang ini adalah Ko-siauhiap."

   Keng-tim Suthay tersenyum dan manggut-manggut, katanya.

   "Ko-siauhiap, belakangan ini nama besarmu menggetarkan dunia persilatan, sudah lama Pinni mendengar nama besarmu."

   "Ah, aku hanya seorang pemuda yang baru terjun ke dunia persilatan, Suthay terlampau memuji!"

   "Keng-tim Suthay,"

   Kata Jit-kaucu pula.

   "harap kalian menemani Ko-siangkong berbincang-bincang, bilamana Siangkong membutuhkan bantuan kalian di kemudian hari, harap kalian suka membantu sepenuh tenaga. Maaf, aku harus segera pergi."

   "Apakah majikan masih akan meninggalkan pesan lain?"

   "Sembilan hari lagi, bila aku belum kembali di kuil Kengtim- an ini, kau boleh menyampaikan semua petunjuk itu kepada Siangkong."

   Selesai berkata ia segera berkelebat dan tanpa menimbulkan sedikit suara pun berlalu dari situ. Menyaksikan ilmu meringankan tubuh Jit-kaucu Thay-kun ya begitu sempurna, diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Kepandai silatnya benar-benar sudah mencapai puncak kesempurnaan."

   Sementara dia masih termenung, Keng-tim Suthay berkata dengan suara lembut.

   "Siangkong, harap minum air teh."

   Sembari berkata, nona bermuka jelek dan Keng-tim Suthay masing-masing mengambil tempat duduk, kemudian memenuhi cawan Bong Thian-gak dengan air teh baru. Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Suthay, ucapannya sebelum pergi tadi sungguh membuat hati orang merasa kuatir."

   Keng-tim Suthay tersenyum.

   "Ko-sicu tak usah murung. Segala sesuatunya telah diatur oleh takdir."

   "Suthay, aku mempunyai beberapa persoalan yang tak kupahami, bersediakah kau memberi petunjuk?"

   Tanya Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut. Keng-tim Suthay tertawa.

   "Majikan telah berpesan, oleh karena saatnya belum tiba, kurang baik untuk membongkar rahasia itu. Maaf apabila Pinni tak bisa banyak membantumu."

   Mendengar ucapan itu, kembali Bong Thian-gak berpikir.

   "Kalau dilihat dari kemampuan si nona bermuka jelek dalam melakukan pembunuhan atas kedua belas orang anggota Kaypang itu, sudah dapat diketahui dia adalah seorang jago lihai yang berilmu tinggi, sedangkan Keng-tim Suthay juga bermata amat tajam, tampaknya kesempurnaan tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan. Dengan bekal kepandaian ilmu silat yang begitu tinggi, nyatanya sikap mereka terhadap Jit-kaucu Thay-kun begitu hormat, sesungguhnya hubungan apakah yang terjalin di antara mereka bertiga?"

   Sementara dia termenung memikirkan persoalan itu, mendadak tampak paras muka Keng-tim Suthay berubah hebat, kemudian tanyanya dengan lirih.

   "Siangkong, apakah kau datang bersama sahabatmu?"

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera pasang telinga baik-baik, segera ia tahu di atas atap rumah telah kedatangan dua orang pejalan malam.

   Bong Thian-gak agak kuatir kalau mereka adalah anggota gedung Ilu-lim Bengcu, siapa tahu mereka tidak tega membiarkan dia pergi seorang diri, maka secara diam-diam mengutus orang menguntit.

   Maka untuk beberapa saat dia tidak mampu menjawab pertanyaan Keng-tim Suthay.

   Sementara itu Keng-tim Suthay sudah membentak dengan suara dalam.

   "Sicu darimanakah yang telah mengganggu ketenangan kami? Mengapa tidak segera turun?"

   "Hehehe,"

   Suara tawa menyeramkan berkumandang memecah keheningan malam.

   Kemudian "Sret", di tengah halaman telah bertambah dengan dua sosok manusia.

   Dengan suatu lompatan kilat, Bong Thian-gak menyusup keluar melalui jendela, sementara Keng-tim Suthay dan nona bermuka jelek itu pun telah keluar ruangan.

   Di bawah cahaya lentera yang memancar keluar dari dalam ruangan, tampak dua orang aneh berbaju putih telah berdiri di tengah halaman, jubah putih mereka diberi beberapa tambalan dari kain kuning.

   Begitu melihat siapa gerangan dua orang tamu tak diundang itu, diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dalam hati.

   "Aduh celaka! Rupanya anggota Kay-pang yang telah kemari."

   Sementara itu si nona bermuka jelek pun mengeluh dalam hati. Dalam pada itu Keng-tim Suthay telah merangkap tangan di depan dada sambil menegur.

   "Omitohud, apakah Sicu berdua adalah anggota Kay-pang?"

   Kedua orang lelaki berbaju putih itu berusia empat puluh tahunan, orang di sebelah kiri berperawakan tinggi kekar, memelihara jenggot pendek.

   Sedangkan orang di sebelah kanan berwajah bersih tapi mencorong tajam sinar matanya, jelas dia lebih cekatan dan hebat.

   Sejak menampakkan diri di situ, mereka berdua dengan tajam mengawasi nona bermuka jelek dan Bong Thian-gak tanpa berkedip, wajah mereka dihiasi hawa amarah yang amat tebal.

   Mendadak terdengar lelaki berwajah bersih menyahut sambil tertawa dingin.

   "Benar, kami berdua adalah Hiangcu ruang hukuman Kay-pang."

   Dari mimik wajah mereka yang kurang cerah, Keng-tim Suthay tahu kedatangan mereka disebabkan suatu persoalan, dia merangkap tangan kembali, tanyanya.

   "Entah ada urusan apa Hiangcu berdua berkunjung ke kuil kami?"

   "Hm, tanyakan kepadanya bila ingin tahu,"

   Seru lelaki bermuka bersih sambil menunjuk ke arah nona bermuka jelek itu. Keng-tim Suthay berpaling dan memandang sekejap ke arah nona bermuka jelek itu, tanyanya pula.

   "Si jelek, apa yang telah kau lakukan sehingga membuat marah mereka berdua? Ayo cepat minta maaf kepada kedua Sicu ini!"

   "Minta maaf?"

   Jengek lelaki bertubuh kekar itu ketus.

   "Hm, tak segampang itu urusan bisa dibikin selesai."

   "Ibu, aku telah membunuh dua belas orang mereka,"

   Bisik nona bermuka jelek itu lirih. Setelah mengetahui duduk persoalannya, Keng-tim Suthay baru menyadari betapa gawatnya persoalan itu, dengan suara dalam dia lantas menegur.

   "Si jelek, mengapa kau melakukan perbuatan tolol itu?"

   Bong Thian-gak tahu semua kesulitan itu gara-garanya, coba kalau dia memberi kesempatan nona bermuka jelek itu menghabisi nyawa pengemis terakhir tadi, sudah pasti tak akan terjadi kesulitan seperti ini.

   Kay-pang merupakan perkumpulan terbesar yang mempunyai kekuasaan paling luas dalam Bu-lim, jago-jago lihainya banyak, tak bisa dihitung, cara kerja mereka pun antara sesat dan lurus, baik golongan putih maupun hitam biasanya suka mengalah terhadap masalah-masalah yang melibatkan pihak kaum pengemis.

   Menghadapi situasi saat ini mau tak mau Bong Thian-gak harus memutar otak mencari akal.

   Mendadak terdengar lelaki berwajah bersih itu berkata dengan suara dingin.

   "Hutang uang bayar uang hutang nyawa harus dibayar nyawa, kami akan pergi dari sini bila pembunuhnya telah diserahkan!"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak maju sembari menjura, kemudian katanya.

   "Saudara berdua, peristiwa terbunuhnya beberapa orang anggota perkumpulan kalian di tangan nona ini, di kemudian hari aku pasti akan berkunjung sendiri ke markas besar kalian di Sucwan untuk memberikan keadilan kepada kalian. Bagaimana kalau kalian berdua menyudahi persoalan sampai di sini dulu?"

   Lelaki berwajah bersih itu tertawa dingin.

   "Siapa namamu? Apakah dengan bekal beberapa katakatamu itu kami harus menghabisi dendam kesumat sedalam lautan begitu saja?"

   "Aku she Ko bernama Hong. Harap kau sudi memberi petunjuk,"

   Kata Bong Thian-gak menahan sabar. Nama "Ko Hong"

   Ini sudah berubah menjadi nama yang amat termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini, paras muka kedua orang Hiangcu Kay-pang itu segera berubah hebat.

   "Bagus!"

   Seru lelaki bertubuh kekar sambil tertawa tergelak.

   "Ji-siauya partai kami Giok-bin-giam-lo (Raja akhirat berwajah pualam) To Siau-hou pernah menyinggung nama besarmu setelah sadar dari pingsannya tempo hari, katanya bila ingin mengetahui Put-gwa-cin-kau paling baik menemukan dirimu. Hari ini kau harus mengikuti kami pergi dari sini."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sebetulnya aku bersedia mengikuti kalian pergi dari sini, sayang aku masih ada urusan penting lainnya yang harus segera diselesaikan, hingga...."

   "Kuanjurkan kepada saudara, lebih baik jangan mengikat tali permusuhan d


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Pendekar Setia Karya Gan KL Elang Pemburu -- Gu Long /Tjan Id

Cari Blog Ini