Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 9


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 9


nya?"

   Bong Thian-gak tertegun sejenak, lalu balik bertanya.

   "Dimana kau temukan jenazahnya?"

   "Di dalam kamar nomor tujuh, Thia Leng-juan yang mengutus orang datang mengabarkan musibah ini."

   "Menurut Thia Leng-juan, siapakah pembunuhnya?"

   "Kau, Jian-ciat-suseng!"

   Jawaban Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun ini amat dingin dan hambar.

   "Apakah Ji-hubuncu percaya dengan perkataan Thia Leng-juan?"

   Dengan tenang Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku memang rada tak percaya!"

   Yu Hong-hong yang mendengar perkataan itu segera menyahut.

   "Kalau tidak percaya, mengapa kau menuduh Hwecu kami sebagai pembunuhnya?"

   "Aku tidak mengatakan aku sama sekali tidak percaya,"

   Kata Jihubuncu dengan suara dingin.

   "Terus terang saja kukatakan padamu, di saat Kau-hubuncu partai kalian tewas secara mengenaskan, aku orang she Bong memang hadir di arena, tapi bukan aku pembunuhnya, percaya atau tidak, terserah kepadamu."

   "Mengapa tidak kau katakan siapa pembunuhnya?"

   Bong Thian-gak menghela napas sedih, sahutnya kemudian.

   "Ai, aku hanya berharap kau percaya bahwa pembunuhnya bukan aku."

   "Bila tak kau katakan siapa pembunuhnya, berarti kau pembunuh Kau-hubuncu kami,"

   Ujar Ji-hubuncu dengan suara menyeramkan.

   "Karenanya kau harus meninggalkan selembar nyawamu hari ini."

   Kembali Bong Thian-gak tersenyum.

   "Jika kalian ingin menahanku, maka hal ini harus kalian lakukan dengan membayar sangat mahal."

   Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun manggut-manggut, sahutnya.

   "Ya, ucapanmu memang benar, itulah sebabnya sampai sekarang aku masih belum menurunkan perintah untuk menyerang,"

   "Kau tidak memerintahkan penyerangan, karena kau ingin tahu lebih dulu rahasia apakah yang berhasil diselidiki oleh Kau-hubuncu, bukankah demikian?"

   Bong Thian-gak tersenyum. Ucapan itu mengejutkan Ji-hubuncu, namun ia mengangguk juga.

   "Dugaanmu benar, aku memang ingin mengetahui rahasia itu."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Sayang sekali aku sendiri pun tak mengetahui rahasia itu, kecuali kau katakan dulu masalah apakah yang kau perintahkan kepada Kau-hubuncu untuk diselidiki, dari sana mungkin aku bisa menebaknya."

   Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun termenung beberapa saat, kemudian ujarnya.

   "Aku memerintahkan Kau-hubuncu kami untuk menyelidiki jejak Buncu kami."

   Kembali Bong Thian-gak berkerut kening.

   "Dia sedang mencari jejak ketua Hiat-kiam-bun?"

   Ji-hubuncu itu mengangguk.

   "Benar, Hiat-kiam-bun tak boleh tiada ketua, semenjak tiga tahun berselang setiap saat kami selalu mencari jejak ketua kami itu, namun hingga kini masih merupakan tanda tanya besar, oleh sebab itu aku bersikap sungkan kepadamu hari ini tak lain adalah berharap agar kau mau bicara sejelas-jelasnya, agar rahasia yang ditemukan Kau-hubuncu diketahui pula oleh kami, dari situ mungkin kami bisa menemukan jejak Buncu Hiat-kiam-bun."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpikir.

   "Kalau begitu Thia Leng-juan mengetahui jejak ketua Hiatkiam- bun, kalau tidak, mengapa Kau-hubuncu itu mencarinya untuk berbicara?"

   Mendadak pemuda itu bertanya.

   "Siapakah nama ketua kalian? Bersediakah kalian ungkapkan, apakah kukenal dengannya atau tidak."

   "Sebelum jejak ketua kami diketahui, tak akan kami sebutkan namanya,"

   Jawab Ji-hubuncu tegas. Bong Thian Gak menghela napas panjang.

   "Ai, tampaknya aku pun tak dapat membantu kalian."

   Dengan suara berat dan dalam Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun berkata lagi.

   "Bicara soal ilmu silat Jian-ciat-suseng memang sangat lihai, tapi jika segenap jago lihai Hiat-kiam-bun mengepungmu, biar kau punya sayap pun jangan harap bisa terbang meninggalkan ruangan ini, maka kunasehati, berpikirlah tiga kali sebelum bertindak."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku merasa logat bicara nona sangat kukenal, seperti pernah berjumpa di suatu tempat, bersediakah kau melepas kain kerudungmu agar dapat kulihat raut wajah aslimu?"

   Tergerak hati Ji-hubuncu, katanya pula.

   "Betul, nada suaramu serta potongan badanmu seperti pernah kujumpai di suatu tempat, namun tak dapat kuingat secara pasti."

   "Benar, mungkin tiga tahun lalu nona pernah bersua denganku,"

   Kata Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   "Dan mungkin juga aku pun pernah bersua denganmu, cuma sekarang masing-masing merahasiakan paras muka yang dulu, maka biarpun sekarang bersua kembali, kedua belah pihak sama-sama tidak mengetahui siapakah lawan."

   "Tak usah banyak bicara lagi,"

   Tukas Ji-hubuncu dingin.

   "Hari ini kau akan mati ataukah ingin hidup?"

   "Tentu saja masih ingin hidup,"

   Jawab Bong Thian-gak dengan suara hambar.

   "Kalau ingin hidup, cepat katakan siapa pembunuh Kauhubuncu kami?"

   "Boleh saja,"

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Cuma kau harus memperlihatkan dulu paras mukamu."

   Ji-hubuncu mendengus dingin.

   "Selamanya aku tak pernah bertukar syarat dengan orang lain."

   Mendadak Bong Thian-gak bangkit, kemudian katanya.

   "Kalau begitu terpaksa aku mohon diri lebih dulu."

   Yu Hong-hong turut bangkit, kemudian bersama Bong Thian-gak membalikkan badan dan berjalan keluar ruangan itu. Tiba-tiba Ji-hubuncu membentak nyaring.

   "Berhenti!"

   Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan, mendadak ia menyaksikan Ji-hubuncu sudah melolos pedang.

   Pedang berwarna merah darah, jauh lebih menyolok daripada pedang-pedang lainnya, seolah-olah sebilah pedang yang baru saja digunakan membunuh orang dan masih berlepotan darah.

   Dengan pedang itu Ji-hubuncu menuding ke langit sambil melakukan gerakan-gerakan aneh, menyusul gerakan itu, tiga orang aneh yang berdiri di belakangnya mengawasi pedang darah itu dengan sorot mata yang mengerikan dan menggidikkan.

   Tampaknya apabila pedang Ji-hubuncu itu menunjuk ke depan, maka tiga orang aneh itu akan melaksanakan perintahnya seperti orang kalap.

   Sambil tertawa dingin Ji-hubuncu berkata.

   "Hiat-kiam-bun bisa menggetarkan seluruh kolong langit antara lain karena kami ditunjang oleh lima algojo yang tangguh, bila pedang darah ini kutudingkan ke arahmu, maka penjagal-penjagal berbaju merah ini akan membunuhmu secara keji dan kalap."

   "Algojo-algojo berbaju merah ini bukan manusia, melainkan setan iblis, biarpun kau Jian-ciat-suseng mempunyai kepandaian silat yang lebih hebat pun, jangan harap bisa membunuhnya, karena mereka mempunyai beribu lembar jiwa, mati satu tumbuh seribu dan setiap kali mati mereka bisa hidup kembali."

   Setengah percaya setengah tidak, Bong Thian-gak tanpa terasa bertanya.

   "Sungguhkah itu?"

   "Aku tidak bohong."

   Tiba-tiba Yu Hong-hong melolos pedang dan berdiri di sisi kiri Bong Thian-gak dengan siap siaga.

   "Aku tak ingin bermusuhan dengan Hiat-kiam-bun, aku pun tak ingin mencoba kekuatan algojo-algojo berbaju merah itu, namun bila Ji-hubuncu mendesak terus, terpaksa kami harus membela diri sepenuh tenaga."

   Sembari berkata dia mundur ke belakang selangkah demi selangkah, sedangkan Yu Hong-hong yang berada di sisi kirinya ikut mundur pula dengan hati-hati dan tak berani gegabah.

   Menyaksikan hal ini, ujung pedang darah Ji-buncu Hiatkiam- bun yang menuding ke langit pun pelan-pelan digerakkan turun ke bawah.

   Tiga pasang mata orang berjubah merah itu pelan-pelan bergerak pula ke bawah mengikuti gerakan pedang darah itu.

   Mendadak Ji-hubuncu berteriak keras.

   "Ma Kong, bunuh mereka!"

   Berbareng dengan teriakan itu, pedang darahnya segera menuding ke arah Bong Thian-gak.

   Jeritan keras seperti teriakan setan segera berkumandang.

   Orang berjubah merah yang berada di posisi tengah melejit ke depan secepat terbang, kemudian dengan cepat menerkam tubuh Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong.

   Yang mengerikan adalah gerak-gerik orang berjubah merah itu sedikit pun tidak mirip manusia, gayanya sewaktu menerkam seolah-olah sedang terbang.

   Yu Hong-hong membentak nyaring, pedangnya menciptakan titik cahaya bintang segera membacok tubuh orang berjubah merah itu.

   Mendadak orang berjubah merah itu memutar lengan kanan menangkis datangnya bacokan pedang itu.

   "Cring", Yu Hong-hong merasa pergelangan tangan kanannya sakit, senjatanya tahu-tahu sudah dipukul mental oleh tangkisan lawan. Kejadian ini benar-benar menggidikkan, ternyata lengan si orang berjubah merah itu tidak mempan ditusuk atau pun dibacok, Selesai mementalkan pedang lawan, orang berjubah merah itu segera mengayunkan pula telapak tangan kanannya mencengkeram tubuh Yu Hong-hong. Yu Hong-hong segera melejit ke samping dan memutar tubuh, sekali lagi pedangnya melancarkan tusukan ke depan.

   "Cring", bunyi dentingan nyaring kembali bergema. Kali ini tusukan pedang Yu Hong-hong persis menusuk ke lambungnya, tapi pedang yang terbuat dari baja asli itu malah patah menjadi dua bagian. Rupanya sekujur tubuh si algojo berbaju merah itu kebal tusukan senjata, kejadian ini kontan membuat Yu Hong-hong tertegun, dia lupa cakar kanan orang sudah berada tiga inci di depan tenggorokannya. Bong Thian-gak yang menyaksikan mara bahaya itu segera membentak, secepat kilat tangan kirinya menyambar pinggang Yu Hong-hong sambil melompat mundur, dengan gerakan manis dia telah menyelamatkan si nona dari cengkeraman maut lawan. Gagal dengan cengkeraman mautnya, orang berjubah merah itu menjerit aneh, kali ini dia menerkam Bong Thiangak . Bong Thian-gak sudah menduga musuh akan menerkam ke arahnya, cepat dia menurunkan Yu Hong-hong. Sambil membentak gusar, segulung tenaga pukulan yang amat dahsyat segera dilontarkan.

   "Blam", ledakan keras yang memekakkan telinga berkumandang. Dada si orang berjubah merah terhajar telak, sedemikian dahsyat serangan itu membuat orang aneh itu terdorong mundur tiga-empat langkah. Bong Thian-gak berkerut kening menyaksikan itu, padahal kekuatan tadi mengandung ribuan kati, betapa pun hebatnya seorang tokoh persilatan mustahil bisa menyambut dengan kekerasan. Tapi kenyataan lawan malah menerima serangannya itu sambil membusungkan dada tanpa takut. Agaknya pukulan yang maha dahsyat tadi telah mengobarkan api kebuasan dan keganasan orang berjubah merah itu, sambil berpekik keras, sekali lagi dia menyerang Bong Thian-gak. Kali ini Bong Thian-gak sudah menggenggam gagang pedang kayunya, apabila orang berjubah merah itu menyerang lagi, dia akan membalas dengan mempergunakan jurus pedangnya. Sejak Bong Thian-gak muncul di Bu-lim, belum pernah ada orang yang sanggup menerima jurus serangannya, maka setiap kali pedangnya digunakan, korban pasti berjatuhan. Betul pedangnya hanya terbuat dari kayu, namun disaluri tenaga dalam yang sangat sempurna, pada hakikatnya pedang itu lebih tajam daripada pedang mestika. Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam.

   "Hong-hong, di bahumu masih terdapat sebilah pedang lain, cepat cabut keluar apabila pedangku tidak mendatangkan manfaat yang kuharapkan, terpaksa aku harus meminjam pedangmu itu."

   Mendengar perkataan itu, dengan cepat Yu Hong-hong melolos pedangnya yang tersoreng di bahu. Sementara itu si orang berjubah merah sudah menjerit keras dan menerkam dengan ganas. Diiringi bentakan nyaring, Bong Thian-gak melolos pedangnya.

   "Crit", desingan tajam mendesis, kemudian bergema teriakan setan yang menggidikkan hati. Pedang kayu Bong Thian-gak telah menembus tiga inci di bawah pusar orang berjubah merah itu hingga tembus, menyusul dengan suatu gerakan cepat kaki kanan Bong Thiangak melepaskan tendangan yang membuat tubuh musuh mencelat. Orang berjubah merah itu tewas, namun dari mulut lukanya tiada cairan darah yang meleleh keluar. Mencorong sinar aneh dari balik mata Ji-hubuncu Hiatkiam- bun, tiba-tiba ujarnya.

   "Benar-benar jurus pedang yang luar biasa, tak nyana tubuh si algojo berbaju merah pun tembus. Namun jangan keburu bangga, sebentar lagi Ma Kong akan bangkit kembali, sekarang dia cuma jatuh semaput."

   Paras muka Bong Thian-gak segera berubah serius, serunya.

   "Hong-hong, berikan pedangmu kepadaku."

   Ternyata tusukan pedang kayu Bong Thian-gak dengan cepat sudah ditarik dan dimasukkan ke sarungnya, sementara lengannya menerima angsuran pedang dari Yu Hong-hong. Setelah menggenggam pedang baja, ia berseru lantang.

   "Ji-hubuncu, kau adalah seorang yang cerdik, pedang kayuku saja bisa menembus tubuh si algojo berbaju merah itu apalagi dengan pedang baja di tangan. Aku orang she Bong percaya masih bisa mematahkan seluruh bagian tubuhnya. Aku tidak percaya bila seseorang sudah tercincahg menjadi tujuhdelapan bagian, dia masih dapat hidup kembali."

   Sambil tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata lebih lanjut.

   "Untuk mendididk dan melatih lima algojo berbaju merah ini, aku yakin pihak Hiat-kiam-bun telah banyak mengeluarkan pikiran dan tenaga, bila Ji-hubuncu menginginkan kerja kerasmu selama ini porak-poranda dalam sekejap mata, maka terpaksa aku akan memusnahkan mereka dari muka bumi."

   "Padahal sesungguhnya, antara aku orang she Bong dengan perguruan kalian tidak mempunyai ikatan dendam ataupun sakit hati, aku pun tak ingin melenyapkan algojoalgojo kalian itu, nah Ji-hubuncu, aku sudah cukup memberi penjelasan, harap kau jangan mendesak diriku lebih jauh."

   Setelah itu Bong Thian-gak berkata kepada Yu Hong-hong.

   "Ayo kita segera mundur dari sini!"

   Mendadak kesembilan gadis berkerudung merah yang berdiri di depan pintu menggerakkan senjata dan maju menyambut kedatangan mereka. Tiba-tiba terdengar Ji-hubuncu berseru nyaring.

   "Mundur, biarkan mereka mengundurkan diri dari sini!"

   Mendapat perintah itu, kesembilan gadis berkerudung merah segera menyingkir ke kiri dan ke kanan. Dengan suara lantang Bong Thian-gak berseru.

   "Terima kasih Ji-hubuncu atas kemurahan hatimu, sampai jumpa di lain waktu."

   Dia membuka pintu dan bersama Yu Hong-hong mengundurkan diri dari situ. Setibanya di luar pagar halaman, Yu Hong-hong mendongakkan kepala memandang matahari yang bersinar terik, tak tahan lagi gumamnya.

   "Ai, seperti baru saja bermimpi buruk!"

   "Siapa bilang bermimpi buruk? Kita mengalami semua sebagai kenyataan,"

   Kata Bong Thian-gak sambil mengembalikan pedang baja gadis itu.

   "Tapi hakikatnya melebihi setan iblis dari neraka, benarbenar menggidikkan,"

   Bisik Yu Hong-hong dengan jantung masih berdebar. Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, seandainya tidak kusaksikan dengan mata kepalaku, aku benar-benar tak percaya akan peristiwa yang mengerikan ini."

   Yu Hong-hong bertanya pula dengan polos.

   "Hwecu, bukankah kau dapat memusnahkan kelima setan iblis itu? Mengapa kau tidak memanfaatkan kesempatan tadi untuk membinasakan mereka?"

   Bong Thian-gak kembali menghela napas panjang.

   "Tadi sebenarnya aku sendiri pun tidak yakin akan berhasil memotong-motong tubuh mereka dengan menggunakan pedangmu, sesungguhnya Ji-hubuncu termakan oleh gertak sambalku."

   Yu Hong-hong mengedipkan mata berulang-kali, lalu bertanya lagi.

   "Bukankah pedang kayu Hwecu berhasil menembus tubuh setan iblis itu? Bila diganti dengan sebilah pedang baja, masakah tak mampu mencabik-cabik tubuh mereka? Bong Thian-gak menggeleng kepala.

   "Untuk mengerahkan tenaga melepaskan tusukan, tenaga yang kita gunakan akan jauh lebih besar, terutama bagi seorang jago yang bertenaga dalam sempurna, memakai pedang kayu atau pedang sungguhan sebenarnya tidak berbeda jauh, kecuali pedang yang kita pergunakan adalah sebilah pedang mustika yang dapat mematahkan benda apa saja."

   "Wah, jika di kemudian hari Hiat-kiam-bun melepas kelima algojonya malang-melintang dalam Bu-lim, bukankah akan tercipta bibit bencana besar bagi umat persilatan."

   "Sekarang aku sedang berusaha menanggulangi kejadian itu, untung saja kita diberi kesempatan mengetahui rahasia Hiat-kiam-bun itu, kalau tidak, akibatnya di kemudian hari tentu akan semakin serius."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bicara punya bicara, Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong sudah sampai di halaman kamar nomor tiga puluh enam.

   oo Malam semakin kelam, suasana amat sepi dan tidak terdengar suara apa pun.

   Cahaya lentera masih memancar keluar dari bilik kamar nomor tiga puluh enam.

   Bong Thian-gak duduk di depan meja sambil terpekur dan merenung seorang diri.

   Tiba-tiba di luar kamar terdengar suara gemerisik yang amat lirih.

   Biarpun ada daun kering yang rontok terhembus angin pun tidak akan lolos dari pendengaran Bong Thian-gak, apalagi suara gemerisik yang mengundang kecurigaan.

   "Siapa di situ?"

   Sambil membentak sorot mata Bong Thiangak dialihkan keluar jendela dengan cepat. Mendadak ia menyaksikan sesosok bayangan tubuh yang ramping dan indah berdiri di tengah halaman. Bagaikan disambar geledek Bong Thian-gak membatin.

   "Ah! Si-hun-mo-li! Ia benar-benar telah datang."

   Sementara itu bayangan indah di luar jendela masih diam tak bergerak, namun sepasang matanya yang jeli justru memancarkan cahaya tajam yang indah, sorot mata itu sedang mengawasi Bong Thian-gak yang berada di balik jendela tanpa berkedip.

   Dengan suara rendah Bong Thian-gak menegur.

   "Kalau sudah datang, mengapa tidak masuk? Pintu tidak ditutup!"

   V Siapa tahu baru selesai perkataan itu diucapkan, terdengar suara cekikikan merdu, lalu bayangan indah di luar sana lenyap.

   Bong Thian-gak terkejut, dengan cepat dia melompat keluar melalui jendela dan naik ke atas wuwungan rumah.

   Di bawah cahaya bintang dan rembulan, tampak sesosok bayangan tubuh indah sedang bergerak di ujung atap rumah sebelah sana.

   Bong Thian-gak mengembangkan Ginkangnya dan melakukan pengejaran secara ketat.

   "Bagaimana pun juga aku tak boleh membiarkan dia lolos dari pengejaranku."

   Inilah keputusan yang diambil Bong Thian-gak, oleh karena ia tak sempat melihat jelas paras muka Si-hun-mo-li, maka tidak diketahui olehnya apakah Si-hun-mo-li itu benar Thaykun atau bukan.

   Pengejaran dilakukan Bong Thian-gak dengan kecepatan bagaikan sambaran petir.

   Bayangan indah di depan sana pun berlari tak kalah cepatnya.

   Dalam waktu singkat keduanya sudah berada di luar kota, akan tetapi Bong Thian-gak belum juga berhasil memperpendek jarak di antara mereka.

   Sekarang pemuda itu baru terperanjat, segera pikirnya.

   "Ai, tak nyana ilmu meringankan tubuh yang dia miliki begitu cepat, tapi aku tak boleh kehilangan jejak, tidak gampang mengundang kehadirannya ... bila kali ini aku tak berhasil menjumpainya, maka selamanya tak akan berjumpa lagi."

   Sementara berbagai ingatan berkecamuk dalam benak Bong Thian-gak, ia semakin mempercepat gerak tubuhnya, seperti sedang terbang saja kaki tidak menempel tanah.

   Akhirnya jarak antara mereka berhasil diperpendek.

   Di hadapan mereka tiba-tiba muncul sebuah gedung berloteng yang amat megah.

   Bayangan langsing di depan sana menerobos masuk ke dalam rumah yang berlapis-lapis itu dan sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap.

   Bong Thian-gak menerjang masuk ke dalam bangunan itu, namun suasana di sekeliling sana sepi dan hening, seolah-olah sebuah kota mati saja.

   Tentu saja bayangan Si-hun-mo-li turut lenyap, dia seolaholah tertelan oleh kegelapan malam.

   Ketika Bong Thian-gak menginjak daun-daun kering yang berserakan di tanah, segera disadari olehnya bahwa di perkampungan itu sudah lama ditinggalkan orang dan tak berpenghuni lagi.

   Si-hun-mo-li tentu bersembunyi di dalam sana ...

   ya, dia pasti berada di dalam gedung itu.

   Bong Thian-gak tidak putus-asa, pelan-pelan dia menelusuri bangunan itu dan melakukan pencarian dengan seksama.

   "Heran, mengapa Si-hun-mo-li tak berani menjumpai diriku? Ya, dia sudah mengenali aku ... kalau begitu dia tentu Jit-kaucu Thay-kun."

   Teringat akan Thay-kun, dalam benak Bong Thian-gak terlintas kembali pengalamannya pada tiga tahun lalu, di kaki bukit Cui-im-hong di luar kota Lok-yang, dimana mereka berdua sama-sama mengunjungi rumah si tabib sakti Gi Jiancau.

   "Ai, bila Thay-kun sampai tertimpa sesuatu musibah, tanggungjawabku akan bertambah berat."

   Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas, sementara tubuhnya sudah melalui tiga lapis halaman dan hampir setiap ruangan sudah diperiksa dengan seksama, namun ia belum juga menemukan bayangan perempuan itu.

   Biarpun saat ini Bong Thian-gak sudah jadi suami Song Leng-hui, namun dalam hati masih tetap dipenuhi bayangan Thay-kun.

   Semua peristiwa yang dialami, tubuhnya yang indah dan cantik, serta pesan wanti-wanti Ku-lo Sinceng, pendeta agung Siau-lim-si itu.

   Biarpun suasana dalam Bu-lim dewasa ini sudah mengalami perubahan besar, tapi Bong Thian-gak percaya Put-gwa-cinkau tak akan lenyap begitu saja.

   Selama tiga bulan terakhir ini, dia sudah menyelidiki keadaan dunia persilatan secara diam-diam, Bong Thian-gak tahu Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memang telah berkunjung ke markas besar Kay-pang di wilayah Sucwan.

   Itulah sebabnya tersiar berita yang mengatakan Congkaucu Put-gwa-cin-kau telah dikalahkan oleh Pangcu kaum pengemis dalam suatu duel yang sengit, akibatnya dia terikat dan tak berani mengembangkan sayapnya lagi.

   Ikatan itu adalah pihak Put-gwa-cin-kau wajib mengasingkan diri dan tak boleh muncul kembali di Bu-lim.

   Bisa jadi ikatan itu berlaku dalam batas waktu tiga tahun.

   Sebab dari kemunculan Si-hun-mo-li yang baru tiga bulan, Bong Thian-gak mengambil kesimpulan bahwa Si-hun-mo-li bisa jadi adalah salah satu alat Put-gwa-cin-kau untuk melenyapkan umat persilatan dari dunia ini.

   Pada tiga tahun berselang, Thay-kun telah ditangkap oleh Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau.

   Tak mungkin Cong-kaucu melepaskan Thay-kun begitu saja, bisa jadi Thay-kun dijadikan iblis wanita pembetot sukma.

   Walaupun semua peristiwa itu merupakan dugaan Bong Thian-gak, namun apa yang diduganya itu memang cukup beralasan, untuk membuktikan kebenaran dugaannya itu terpaksa dia harus menemui Si-hun-mo-li.

   Gedung itu sangat besar, bisa jadi pemiliknya di masa lampau adalah seorang pembesar kaya, biarpun sudah lama gedung itu ditinggal penghuninya, namun semua gununggunungan, gardu, loteng dan pagar, masih mencerminkan keindahan dan kemegahan seperti dulu.

   Setiap sudut bangunan telah diperiksa Bong Thian-gak dengan seksama, namun dia tak berhasil menemukan bayangan perempuan itu.

   Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, bagaikan sukma gentayangan Bong Thian-gak melompat naik ke atas loteng tertinggi, kemudian menyembunyikan diri di situ.

   Pemandangan di bawah loteng terbentang luas, ia dapat dengan jelas mengawasi setiap gerak-gerik sekeliling bangunan itu.

   Mendadak Bong Thian-gak seperti mengendus selapis bau harum bunga anggrek yang amat tipis.

   Bau harum itu seolah-olah datangnya dari ujung langit sana yang menyebar kemana-mana.

   Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, namun di seputar sana tiada bunga anggrek, tiada pula bunga lain, tapi bau harum itu makin lama makin tajam, Bong Thian-gak merasa seolah-olah pernah mengendus bau harum itu.

   Mendadak pula paras muka Bong Thian-gak berubah hebat.

   Ia teringat sekarang, bau anggrek itu pernah diendusnya tiga tahun berselang, tatkala dia berada di kaki bukit Cui-im-hong di luar kota Lok-yang, tepatnya di rumah tabib sakti Gi Jian-cau.

   Waktu itu Congkaucu Put-gwa-cin-kau muncul.

   Belum habis ingatan itu lewat, Bong Thian-gak telah menyaksikan munculnya sebuah tandu besar di tengah kebun di depan sana, tandu itu berhenti di atas sebuah gardu.

   Apa yang dilihat sekarang sungguh mengejutkan Bong Thian-gak hingga jantungnya berdebar keras.

   "Mungkin Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau muncul."

   Dendam kusumat yang dipendam sejak tiga tahun lalu segera berkobar kembali, Bong Thian-gak merasakan darah dalam tubuhnya mendidih, hampir saja dia hendak menerkam ke depan.

   Untung selama tiga tahun melatih diri secara tekun di bukit terpencil membuat wataknya lebih tenang dan pandai mengendalikan diri, akhirnya ia berhasil mengendalikan gejolak perasaan benci dan dendam yang berada di dalam dadanya.

   Rupanya pada saat itu Bong Thian-gak menyaksikan munculnya berpuluh sosok bayangan orang di sekeliling tandu.

   Biarpun ilmu silat Bong Thian-gak sekarang sudah mencapai tingkat yang luar biasa, namun dia belum yakin dapat menandingi kekuatan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, apalagi musuh berjumlah lebih banyak, ia semakin tak berani bertindak gegabah.

   Tiga tahun berselang, hampir saja ia tewas di tangan lawan.

   Sungguh tak disangka kemunculan kembali tiga tahun kemudian dengan cepat mempertemukan dia dengan Congkaucu Put-gwa-cin-kau.

   Tiba-tiba dari balik tandu besar berkumandang suara seseorang dengan nada merdu.

   "Sam-kaucu, selama tiga bulan ini, tugas yang kau laksanakan amat memuaskan hatiku, bertambahnya pembantu semacam kau di dalam Put-gwa-cin-kau, hakikatnya seperti harimau tumbuh sayap."

   Mendengar panggilan "Sam-kaucu", Bong Thian-gak terkejut, pikirnya.

   "Bukankah Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau sudah terbunuh tiga tahun lalu di pagoda Leng-im-po-tah di luar kota Kay-hong? Waktu itu aku bersama Toa-suheng Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang melaksanakan pembunuhan ini, dimana jenazahnya dihancurkan Thia Lengjuan dengan obat penghancur mayat. Mengapa bisa muncul Sam-kaucu lagi sekarang? Jangan-jangan dia adalah Samkaucu baru yang belum lama bergabung dengan mereka."

   Berpikir sampai di sini, Bong Thian-gak segera mengarahkan pandangan matanya ke arah depan sana. Di muka tandu besar itu berlutut seorang berperawakan biasa sedang menjura pada Cong-kaucu yang berada di dalam tandu besar, lalu katanya dengan hormat.

   "Terima kasih, Cong-kaucu."

   Mendengar logat suara orang itu, Bong Thian-gak tertegun, pikirnya dalam hati.

   "Heran, suara ini amat kukenal, sebenarnya siapakah Sam-kaucu yang baru itu?"

   Sementara itu Cong-kaucu yang berada di dalam tandu telah berkata kembali.

   "Sam-kaucu, mengenai tugas yang kau lakukan di kota terlarang, sudah sebagian besar kau rampungkan, saat ini sebagian jago lihai dari berbagai perguruan telah muncul di dalam kota, yang masih tersisa pun tinggal beberapa pentolan saja, mungkin tak sampai setengah bulan lagi, sebagian besar akan berkumpul di wilayah Hopak ini."

   "Bukan suatu tugas yang sederhana bagi Put-gwa-cin-kau kita menghadapi jago lihai sedemikian banyak, maka aku sengaja berkunjung ke wilayah Hopak untuk memberi komando inti kekuatan Put-gwa-cin-kau kita. Ji-kaucu serta komandan pertama pasukan pengawal tanpa tanding sekalian dalam waktu singkat akan datang semua ke Hopak, sampai waktunya orang yang akan memberi komando adalah aku, Jikaucu, Sam-kaucu, komandan pertama pasukan pengawal tanpa tanding serta komandan kedua pasukan tanpa tanding."

   "Baik, terima kasih banyak atas perhatian Cong-kaucu yang telah mencantumkan pula diri hamba dalam kelompok komandan,"

   Jawab Sam-kaucu dengan hormat. Kembali Cong-kaucu berkata.

   "Sam-kaucu, belakangan ini di Bu-lim telah muncul Jian-ciat-suseng, apakah kau tahu asalusul orang itu?"

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu menjadi amat terperanjat, segera pikirnya.

   "Benar-benar tak kusangka Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah menaruh perhatian kepadaku."

   Sementara itu Sam-kaucu termenung sejenak, kemudian sahutnya.

   "Lapor Cong-kaucu, malam ini Si-hun-mo-li berangkat mengunjungi Jian-ciat-suseng, hamba rasa dia tak akan lolos dari cengkeraman Si-hun-mo-li."

   Mendengar perkataan itu, pelan-pelan Cong-kaucu menyahut.

   "Sam-kaucu, dalam melaksanakan pekerjaanmu kali ini kau bertindak kelewat gegabah dan menyerempet bahaya, dewasa ini Jian-ciat-suseng sudah termasuk di antara deretan jago lihai dalam Bu-lim, sebelum kau selidiki dengan jelas asal-usul Jian-ciat-suseng, sudah kau utus Si-hun-mo-li menghadapinya, jika Si-hun-mo-li tak mampu menyelesaikan tugasnya atau menemui celaka di tangan Jian-ciat-suseng, bukankah usaha kita selama ini akan sia-sia belaka."

   Teguran itu membuat Sam-kaucu menundukkan kepala, tanpa menjawab ia berdiri kaku di tempat. Setelah berhenti sesaat, Cong-kaucu berkata lagi.

   "Samkaucu, aku tahu, kau percaya setiap lelaki yang bertemu Sihun- mo-li, dia tak akan mampu memberi perlawanan, bukankah demikian?"

   "Lapor Cong-kaucu, hamba memang berpendapat begitu,"

   Jawab Sam-kaucu agak tergagap.

   "Tak heran Sam-kaucu mempunyai pendapat begitu, terus terang kukatakan, sepasang mata Si-hun-mo-li sebetulnya sudah melatih ilmu Si-hun-tay-hoat (Ilmu pembetot sukma) yang merupakan kepandaian rahasia perguruan Mi-tiong-bun di Tibet, setiap umat persilatan yang memandang sepasang matanya pasti akan terpikat dan terpengaruh pikirannya, tapi di Bu-lim ini masih terdapat dua tokoh silat yang memiliki kemampuan untuk mematahkan pengaruh Si-hun-tay-hoat itu."

   "Siapakah kedua orang itu?"

   Tiba-tiba Sam-kaucu bertanya.

   "Dia adalah Kay-pang Pangcu dan Cengcu Kim-liong-kiansan- ceng!"

   Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan.

   "Aku rasa Jian-ciat-suseng pun bisa jadi memiliki kemampuan untuk mematahkan pengaruh Si-hun-tay-hoat itu."

   "Darimana Cong-kaucu bisa tahu Jian-ciat-suseng memiliki kemampuan itu?"

   Tanya Sam-kaucu Cong-kaucu termenung sejenak, kemudian ujarnya.

   "Senjata yang digunakan Jian-ciat-suseng adalah pedang, bagi seorang jago lihai ahli pedang, kepandaian yang harus dilatih terlebih dahulu adalah melatih ketajaman mata dan ketepatan hati, ditinjau dari kemampuan Jian-ciat-suseng mengalahkan begitu banyak jago lihai dalam tiga bulan terakhir ini, sudah jelas ilmu pedangnya tidak kalah dibanding ilmu pedang Cengcu Kim-liong-kian-san-ceng Mo Hui-thian dan Kay-pang Pangcu. Ketiga orang ini sama-sama mengandalkan ilmu pedang mereka yang lihai."

   "Biarpun aku belum tahu dengan jelas asal-usul Jian-ciatsuseng, namun aku memuji kehebatan ilmu pedangnya, dia merupakan salah satu musuh tangguh Put-gwa-cin-kau kita."

   "Nasehat Cong-kaucu akan hamba camkan dalam hati,"

   Sahut Sam-kaucu dengan hormat Tiba-tiba Cong-kaucu bertanya lagi.

   "Beberapa bulan lalu, Sam-kaucu pernah mengatakan bahwa perkampungan ini punya peralatan lengkap dan bisa digunakan sebagai kantor cabang perkumpulan kita di wilayah Hopak, harap Sam-kaucu mengajak diriku melihat-lihat keadaan di sekitar sini!"

   "Perkampungan ini adalah bekas istana raja muda Mo-laycing- ong di masa lampau, biarpun bangunan megah ini enak dipandang, namun belum merupakan yang terhebat, karena bangunan utama terletak di bawah tanah."

   Pelan-pelan Cong-kaucu berkata pula.

   "Raja muda Mo-laycing- ong, adik sepupu kaisar Ching Ko-cou, orang ini berotak cerdas dan kepandaiannya jauh melampaui kaisar Ching Kocou sendiri. Tatkala kaisar Ching Ko-cou melakukan pembersihan terhadap bekas-bekas pembesar setianya, hanya Mo-lay-cing-ong yang lolos dari pembersihan itu, ia tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi di dalam istana bawah tanah ini?"

   "Cong-kaucu memang cerdas dan cermat, jauh melampau siapa pun, betul waktu itu Mo-lay-cing-ong bersembunyi di istana bawah tanah ini."

   "Aku pernah berkunjung ke dalam istana itu serta menemukan delapan belas sosok kerangka, satu di antaranya berperawakan tinggi besar, sedang yang lain berperawakan kecil dan lembut, kemungkinan adalah kerangka raja Mo-laycing- ong beserta ketujuh belas selirnya."

   "Aku dengar kekayaan raja muda Mo-lay-cing-ong tiada taranya, apakah Sam-kaucu berhasil menemukan sesuatu di bawah istana sana?"

   "Menurut daftar yang dibuat kaisar Ching Ko-cou atas orang-orang yang dikehendakinya, nama raja muda Mo-laycing- ong terdaftar sebagai musuh nomor satu, konon yang paling menakutkan adalah harta kekayaan raja muda itu."

   "Setelah kusaksikan bangunan istana dalam perkampungan ini, terpikir olehku bisa jadi semua harta kekayaan raja muda Mo-lay-cing-ong berada di istana bawah tanahnya, tapi karena istana itu dilengkapi alat rahasia, aku belum sempat menggeledah setiap ruangan yang berada di situ, itulah sebabnya hingga kini aku belum menemukan harta karun peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong itu."

   "Sam-kaucu tak usah kuatir, aku telah mengundang seorang ahli bangunan dan ilmu tanah untuk menangani persoalan ini, mungkin dalam beberapa hari mendatang rahasia istana tanah Mo-lay-cing-ong akan berhasil kita temukan."

   "Cong-kaucu telah mengundang seorang ahli bangunan dan ilmu tanah?"

   Baru selesai ucapan itu diutarakan, mendadak terdengar seseorang menyambung dengan suara dingin.

   "Aku Jikauculah orangnya!"

   Bersama dengan selesainya ucapan itu, dari balik bangunan lain tiba-tiba muncul sekelompok bayangan orang yang langsung berjalan menuju ke arah gardu itu.

   "Oh, cepat amat kedatangan Ji-kaucu!"

   Cong-kaucu yang berada dalam tandu berseru kegirangan.

   "Aku malah menduga besok malam Ji-kaucu baru akan tiba di Hopak, tak disangka kau bisa datang sehari lebih awal, mari ... mari ... mari ... Sam-kaucu belum pernah bicara dengan Jikaucu, biar kuperkenalkan dahulu kalian berdua."

   Sementara pembicaraan berlangsung, Ji-kaucu beserta ketujuh-delapan anak buahnya telah berkumpul di depan tandu besar itu. Ji-kaucu memberi hormat lebih dulu kepada tandu besar itu, ujarnya.

   "Ji-kaucu menyampaikan salam sejahtera untuk Cong-kaucu."

   "Tak usah banyak adat, kedatangan Ji-kaucu memang sangat kebetulan, baru saja aku tiba di Hopak dan belum mencari tempat pemondokan, harap Ji-kaucu mencarikan sebuah ruangan dalam istana ini sebagai tempat pemondokan."

   Sementara itu Sam-kaucu telah memberi hormat kepada Jikaucu.

   "Sam-kaucu menyampaikan selamat bertemu pada Jikaucu."

   "Tak usah banyak adat,"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Ji-kaucu pula dingin.

   "Sudah begini lama Cong-kaucu tiba di sini, mengapa Sam-kaucu belum mencarikan tempat pemondokan bagi Cong-kaucu?"

   "Hamba memang mengundang Cong-kaucu untuk memasuki ruang bawah istana."

   "Mengapa Sam-kaucu masih belum menunjuk jalan?"

   Tegur Ji-kaucu dingin.

   "Kalau begitu dipersilakan Cong-kaucu dan Ji-kaucu mengikuti diriku."

   Selesai berkata, dia beranjak lebih dulu menuju ruangan sebelah barat.

   Tandu besar serta kedua puluh orang serentak mengikut di belakangnya, tak selang beberapa saat kemudian bayangan mereka telah lenyap di balik kegelapan sana.

   Dengan menyembunyikan diri di atas wuwungan loteng, Bong Thian-gak dapat menyaksikan rombongan itu memasuki sebuah ruangan gedung kecil di tengah halaman lapis keempat.

   Sementara itu cahaya lentera memancar keluar dari gedung tadi.

   Menyaksikan rahasia besar itu, berbagai pertanyaan yang mencurigakan dan tidak dipahami olehnya bermunculan menyelimuti benak anak muda itu.

   Sebenarnya siapakah Sam-kaucu itu? Mengapa suaranya begitu dikenal? Berhubungan jarak mereka kelewatan jauh, maka Bong Thian-gak tidak sempat menyaksikan dengan jelas paras muka setiap orang yang hadir di sana.

   Dari pembicaraan mereka, bisa jadi Si-hun-mo-li, si momok perempuan yang disegani dan ditakuti setiap umat persilatan tak lain adalah Jit-kaucu Thay-kun.

   Tapi mengapa Thay-kun bisa berubah jadi manusia seperti itu? Tatkala Jit-kaucu Thay-kun belum mengkhianati Put-gwacin- kau, kedudukannya dalam partai begitu tinggi dan terhormat sehingga pada hakikatnya hanya berada pada urutan kedua setelah Cong-kaucu, tapi kini dia justru dikendalikan oleh Sam-kaucu, dari sini dapat disimpulkan bahwa gadis itu memang sudah dicelakai oleh ketuanya sendiri.

   Bila jadi Thay-kun yang sekarang hanya robot hidup tanpa pikiran dan kesadaran.

   Yang paling mengejutkan Bong Thian-gak adalah di gedung itu ternyata masih terdapat sebuah istana yang konon sangat megah.

   Mo-lay-cing-ong adalah seorang panglima perang kenamaan ketika tentara Ching menyerbu daratan Tionggoan, konon sewaktu raja muda Mo-lay-cing-ong membawa tentara menyerbu daratan, dia telah merampok semua harta kekayaan rakyat kecil hingga dalam waktu singkat dia telah menjadi panglima perang terkaya di seluruh negeri.

   Ketika Ching Ko-cou naik tahta, dia mendapat laporan bahwa raja muda Mo-lay-cing-ong sedang mencari tentara dan membeli kuda dengan niat melakukan pemberontakan, kejadian ini mengejutkan sang raja sehingga dia bertindak lebih dulu dengan menjatuhi hukuman pancung kepala atas semua keluarga raja muda itu.

   Tapi kaisar Ching Ko-cou tak pernah berhasil membunuh raja muda Mo-lay-cing-ong, karena tak seorang pun yang tahu dimanakah dia menyembunyikan diri.

   Ketika Mo-lay-cing-ong hilang, tahta kerajaan waktu itu telah beralih ke tangan kaisar Yong Cing, ini membuat sang kaisar tak pernah tenang dan memerintahkan anak buahnya lebih giat melakukan pencariannya atas jejak si raja muda itu.

   Dari pembicaraan Cong-kaucu dengan Sam-kaucu, tampaknya raja muda Mo-lay-cing-ong telah menyembunyikan diri di istana bawah tanahnya ketika itu.

   Bila rahasia besar ini sampai tersiar, bisa dibayangkan betapa gemparnya seluruh dunia.

   Intan permata dan emas perak hasil rampokan raja muda Mo-lay-cing-ong dari rakyat bangsa Han bisa jadi disimpan juga di dalam istana bawah tanah ini, siapakah yang tidak silau menyaksikan harta karun yang tak ternilai harganya itu? Barang siapa berhasil menemukan harta karun itu, dia akan segera menjadi jutawan yang tiada bandingannya di seluruh negeri.

   Bila harta karun itu sampai dikuasai pihak Put-gwa-cin-kau, maka Put-gwa-cin-kau akan segera menguasai seluruh dunia persilatan dan menjadi pemimpin dunia.

   Itu berarti kekacauan dan kekalutan akan merajarela di seluruh negeri, hidup rakyat kecil tak pernah tenang, bencana manusia pun akan muncul berulang-ulang.

   Bong Thian-gak segera menyadari betapa beratnya kewajiban dan tugasnya setelah berhasil menyadap rahasia besar itu, karena bukan cuma menyangkut dunia persilatan saja, tapi sudah mencapai kolong langit.

   Bagaimana pun juga, dia tak boleh membiarkan pihak Putgwa- cin-kau mendapatkan harta karun raja muda Mo-lay-cingong itu.

   Dia pun tak dapat membiarkan harta karun itu jatuh ke tangan kerajaan Ching.

   Sebab harta karun itu milik bangsa Han, hasil rampokan raja muda Mo-lay-cing-ong dari rakyat bangsa Han ketika dia menyerbu daratan Tionggoan dulu.

   Sekarang dia sebagai bangsa Han wajib melindungi keutuhan harta karun milik rakyatnya, sehingga tidak dikangkangi pihak kerajaan Ching.

   Harta karun itu sudah sewajarnya dikembalikan kepada rakyat yang berhak memilikinya, rakyat bumi putera anak keturunan kaisar Hong Te.

   Dalam waktu singkat Bong Thian-gak merasa darah yang mengalir dalam tubuhnya mendidih, pikirannya kalut, dia telah mengambil keputusan melakukan usaha besar bagi umat persilatan.

   Mendadak terdengar beberapa kali jerit kesakitan berkumandang dari arah gedung kecil di sebelah barat.

   Perubahan ini terjadi sangat mendadak, sama sekali di luar dugaan, untuk beberapa saat Bong Thian-gak tidak mengetahui apa gerangan yang telah terjadi? Dengan cepat pemuda itu menengok ke arah sumber suara.

   Tiba-tiba tiga sosok bayangan orang meluncur keluar dari balik gedung kecil itu dengan kecepatan tinggi.

   Salah seorang di antaranya bergerak cepat dan gesit, bagaikan sambaran petir dia melampaui dua orang yang lain dan langsung meluncur ke arah Bong Thian-gak berada.

   Bersamaan dengan berkelebatnya tiga sosok bayangan orang itu, dari arah belakang muncul pula seorang berbaju hijau yang melakukan pengejaran dengan pedang terhunus.

   Gerakan tubuh orang itu pada hakikatnya jauh lebih cepat daripada gerakan burung elang, tampak dia melejit dengan enteng dan tahu-tahu sudah melewati kepala kedua orang berbaju hitam di mukanya.

   Cahaya pedang berkelebat, dua kali jeritan ngeri yang menyayat hati bergema memecah keheningan malam.

   Tahu-tahu kedua orang berbaju hitam itu sudah kena tusukan pedang dan roboh terjengkang ke atas tanah.

   Selesai membunuh kedua orang itu, orang tadi mengangkat kepala memandang ke depan, ketika dilihatnya korban ketiga sudah kabur ke depan sana, ia tertawa dingin, lalu sambil melejit dia melakukan pengejaran secepat kilat.

   Ilmu meringankan tubuh orang itu benar-benar sangat lihai, di saat sang korban sudah kabur ke gedung dimana Bong Thian-gak menyembunyikan diri, orang itu sudah bisa melampaui orang berbaju hitam dan melayang turun di mukanya, sementara pedangnya langsung dibabatkan ke muka.

   Tampaknya kepandaian silat orang berbaju hitam itu tidak lemah, melihat jalan perginya dihadang orang, tubuhnya yang hampir menumbuk orang itu segera berputar setengah lingkaran dan berhenti, dengan begitu dia pun berhasil lolos dari tusukan pedang orang itu.

   Bong Thian-gak dapat melihat dengan jelas bahwasanya orang itu tak lain adalah Ji-kaucu.

   Sedangkan orang berbaju hitam yang sedang melarikan diri itu adalah seorang kakek kurus kering.

   Bertemu Ji-kaucu, kakek berbaju hitam tadi nampak sedikit tegang, gugup dan ketakutan, tapi sebagai seorang jago kawakan Bu-lim, dengan cepat pula dia berhasil mengendalikan perasaan dan bersikap tenang kembali.

   "Permainan pedangmu sungguh cepat dan buas!"

   Jengeknya sambil tertawa dingin.

   "Tujuh anak buahku mati di tanganmu!"

   Paras muka Ji-kaucu dingin menyeramkan, sama sekali tak nampak perubahan apa pun, katanya kaku.

   "Kau pun jangan harap bisa lolos dari kematian!"

   Mendadak kakek berbaju hitam itu tertawa seram.

   "Kau adalah satu-satunya orang paling buas dan kejam yang pernah aku orang she Long jumpai sepanjang hidup."

   "Hm, Hek-ki-to-cu Long Jit-seng terhitung seorang buas dan keji pula di sekitar kepulauan di laut timur."

   Mendengar perkataan itu, kakek berbaju hitam itu nampak terkejut dan berubah paras mukanya.

   "Tajam amat pandangan matamu, ternyata kau masih mampu mengenali diriku."

   "Ilmu silat Hek-ki-to-cu Long Jit-seng hanya biasa saja, namun ilmu lain seperti iNgo-heng-pat-kwa, ilmu perbintangan dan ilmu bangunan, ilmu tanah dan ilmu membaca peta justru termasyhur di seluruh kolong langit."

   Bong Thian-gak yang menyadap pembicaraan itu dari atas wuwungan rumah dapat menangkap semua pembicaraan itu dengan jelas, dia memang pernah juga mendengar nama besar Long Jit-seng sebagai seorang ahli dalam ilmu-ilmu itu.

   Padahal Long Jit-seng berdiam di pulau Hek-ki-to yang berada di tengah lautan timur, jauh-jauh dia mendatangi kota terlarang dan muncul di gedung penuh rahasia itu, sebagai orang yang cerdas Bong Thian-gak segera dapat menebak maksud dan tujuan.

   Jangan-jangan Long Jit-seng sendiri pun mengetahui juga tentang rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong? Sementara itu Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, kau terlampau memuji, biarpun ilmu kepandaian itu amat kukuasai, sayang masih belum cukup untuk melindungi keselamatan jiwaku sendiri."

   Ji-kaucu tertawa dingin.

   "Ai, jika kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku dengan sebaik-baiknya, bisa jadi ilmu yang kau miliki itu dapat menjamin pula keselamatan jiwamu."

   "Pertanyaan apa yang hendak kau ajukan? Cepat diutarakan!"

   "Kau mendapat perintah dari siapa untuk menyusup ke dalam istana bawah tanah?"

   Long Jit-seng tertawa tergelak.

   "Selama hidup belum pernah Long Jit-seng diperintah orang, apalagi tunduk di bawah lutut orang lain."

   Ketika mendengar perkataan itu, mencorong sinar membunuh dari balik wajah Ji-kaucu, kembali dia berkata dengan suara sedingin salju.

   "Rahasia istana bawah tanah Mo

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ lay-cing-ong ditemukan oleh Sam-kaucu perkumpulan kami, kecuali dia membocorkan rahasia itu, mustahil ada orang bisa mengetahui."

   "Mengapa kau tidak menuduh Sam-kaucu kalian yang telah bersekongkol denganku?"

   "Sam-kaucu baru saja menggabungkan diri dengan perkumpulan kami, Cong-kaucu sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan aku pun amat percaya kepadanya."

   "Jika demikian, mengapa kau masih curiga?"

   Ji-kaucu tertawa dingin.

   "Lantas darimanakah pihak Hek-ki-to memperoleh rahasia ini?"

   "Harta karun Mo-lay-cing-ong sudah diketahui orang seantero jagad. Hehehe, apalagi ketika Mo-lay-cing-ong membangun istana bawah tanah ini, dia telah mengundang seorang ahli tukang kayu."

   "Siapakah orang itu?"

   Tukas Ji-kaucu.

   "Dia adalah Susiok-co, adik kakek!"

   "Jadi karena itu kau mengetahui rahasia itu?"

   "Betul, sejak tiga puluh tahun berselang aku sudah mengetahui rahasia itu."

   "Lantas mengapa kau tidak melakukan pencarian sejak dulu, namun hari ini baru dilakukan?"

   "Ilmu bangunan Susiok-co tiada bandingan di dunia ini, terutama ilmu alat rahasia, ya, boleh dibilang tiada kemungkinan bagi orang lain untuk memecahkan."

   "Jadi maksudmu, alat rahasia dalam bangunan istana bawah tanah itu cuma dia seorang yang bisa membuka dan mencapai dimana harta karun itu tersimpan?"

   Seru Ji-kaucu sambil tertawa dingin tiada hentinya. Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, kalau dilihat dari kemampuan menemukan alat rahasia dalam ruang gedung begitu masuk tadi... terbukti kau pun seorang yang mahir di dalam ilmu bangunan, hehehe ... cuma saja bila kau ingin membuka kedelapan puluh satu bilik bawah tanah serta keempat puluh sembilan lorong rahasianya, aku pikir seumur hidup tak akan dapat kau lakukan."

   "Kau telah membantuku melaksanakan sebagian besar tugasku, rasanya aku tak perlu banyak membuang tenaga lagi dengan percuma,"

   Jengek Ji-kaucu dingin. Paras muka Long Jit-seng berubah hebat mendengar perkataan itu, segera tanyanya.

   "Apa maksud ucapanmu?"

   "Aku tahu kau sudah membuang banyak tenaga dan pikiran untuk meraba peta dasar bangunan bawah tanah itu, asal kuperoleh peta rahasia yang telah kau persiapkan itu, bukankah aku bisa membuka setiap bilik dan lorong rahasia itu secara mudah dan cepat?"

   Ucapan itu mengejutkan Long Jit-seng, namun paras mukanya sama sekali tak berubah, katanya cepat sambil tertawa dingin.

   "Kau benar-benar sangat lihai, betul aku memang sudah mempersiapkan sebuah peta lengkap tentang seluruh bangunan istana bawah tanah itu, namun peta itu tak berada di sakuku sekarang."

   "Peta itu pasti ada di sakumu,"

   Seru Ji-kaucu. Long Jit-seng sadar, bilamana dia ingin meloloskan diri dari cengkeraman maut Ji-kaucu, kuncinya terletak pada peta itu. Menyadari hal itu, Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, engkau selalu yakin tebakanmu selamanya tepat, namun kau gagal menebak secara tepat kali ini?"

   "Bila aku berani membunuhmu, buat apa banyak bicara hal-hal yang tak berguna denganmu?"

   "Jadi mati-hidupku tergantung pada keputusanku bersedia bekerja sama atau tidak?"

   Long Ji Seng tertawa semakin keras.

   "Hek-ki-to-cu termasyhur sebagai manusia licik dan banyak akal muslihatnya, tentu saja kau dapat membedakan bukan, mana yang menguntungkan dan yang merugikan sebelum mengambil keputusan yang menguntungkan bagi dirimu sendiri."

   Long Jit-seng kembali tertawa terbahak-bahak.

   "Kau amat licik, berhati busuk dan berbahaya, bila tujuanmu sudah tercapai, akhirnya aku bakal mati juga di tanganmu."

   "Tapi sedikit banyak kau bisa hidup lebih lama."

   Dari pembicaraan kedua orang itu, bisa diketahui betapa licik dan berbahayanya kedua orang ini, mereka sama-sama cerdas dan bertujuan dalam, kedua belah pihak sama-sama tidak saling percaya.

   Ibarat dua ekor rusa bertemu, mereka saling menipu, saling memasang perangkap untuk menjebak lawan.

   Sudah barang tentu Long Jit-seng berada pada posisi yang tidak menguntungkan, sebab dia tahu, bagaimana pun juga kepandaian silatnya masih belum sanggup menandingi lawan.

   Dalam sekali gebrakan saja pihak lawan mampu menghabisi ketujuh anak buahnya yang berilmu tinggi, peristiwa ini sudah menggidikkan hati Long Jit-seng, apalagi dalam istana bawah tanah masih terdapat begitu banyak jagojago lihai.

   Andaikata pihak Put-gwa-cin-kau benar-benar menghabisi nyawa Long Jit-seng, biarpun dia hendak kabur ke ujung langit pun jangan harap bisa lolos dalam keadaan selamat.

   Bong Thian-gak yang mengamati semua peristiwa itu dari atas wuwungan rumah dengan cepat dapat menebak jalan manakah yang bakal dipilih Long Jit-seng.

   Sudah jelas jalan "kehidupan"

   Yang bakal dipilih olehnya.

   Mendadak Bong Thian-gak memperdengarkan suara dinginnya yang menggidikkan dari atas wuwungan rumah.

   Tertawa seram itu muncul sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan orang, seketika itu juga Ji-kaucu dibuat terkesiap dan kaget setengah mati.

   Mimpi pun dia tak pernah menyangka kalau di situ bakal hadir pihak ketiga yang bersembunyi di atas wuwungan rumah yang berjarak sedemikian dekat dengannya tanpa disadari.

   Padahal ia percaya pada ketajaman mata maupun pendengaran sendiri, daun rontok pada jarak sepuluh tombak pun takkan lolos dari pendengarannya, suasana gelap gulita pun bisa dilihat olehnya dengan jelas, tapi mengapa ia tak menangkap suara apa pun? Nyatanya orang itu dapat lolos dari pendengaran maupun penglihatannya, dari sini bisa diketahui bahwa ilmu silat lawan betul-betul sangat lihai.

   "Jago lihai darimanakah yang bersembunyi di atas? Harap segera menampilkan diri."

   Dengan suara menyeramkan dan mata bersinar tajam Jikaucu mengawasi wuwungan dengan pandangan tak berkedip.

   "Mengapa Ji-kaucu tidak berani naik ke atas?"

   Sahut Bong Thian-gak dingin.

   "Jadi engkau tak berani turun?"

   Jengeknya.

   "Siapa bilang aku tak berani?"

   Selesai bicara, tubuh Bong Thian-gak segera meluncur turun dari wuwungan rumah, langsung menerkam Ji-kaucu.

   Tubrukan Bong Thian-gak dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat, dalam sekejap tubuhnya sudah sampai di atas kepala Ji-kaucu, segulung tenaga maha dahsyat langsung menekan ke atas kepala lawan.

   Sesungguhnya ilmu silat Ji-kaucu sangat lihai, namun sekarang dia pun tak mempunyai keyakinan untuk berhasil lolos dari ancaman maut itu.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam keadaan begini, Ji-kaucu segera memutar pedangnya menciptakan selapis kabut pedang melindungi batok kepalanya, lalu secepat kilat tubuhnya menyingkir ke samping.

   Long Jit-seng adalah seorang cerdas, dia tak mau membuang kesempatan yang sangat baik ini untuk meloloskan diri, secepat kilat dia melejit dan kabur dari tempat itu.

   Sesungguhnya tujuan Bong Thian-gak menampakkan diri tadi adalah memberi kesempatan kepada Long Jit-seng untuk melarikan diri, maka dia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Ji-kaucu untuk berganti napas, angin pukulan kedua kembali dilontarkan dengan kekuatan luar biasa.

   Cepat Ji-kaucu melejit ke samping, tapi angin pukulan lain tahu-tahu sudah menyambar datang dari arah kiri.

   Ji-kaucu benar-benar tidak menduga gerakan lawan begitu cepat, aneh dan luar biasa.

   Pada serangan pertama, ancaman datang dari atas ke bawah, maka pada serangan kedua dia telah mengubah arah dengan menerjang dari sisi kiri.

   Ji-kaucu tertawa dingin, kali ini dia tidak menghindar, segulung angin pukulan dilepaskan dari sisi kiri untuk menyongsong datangnya ancaman lawan.

   "Blam", kedua gulung angin pukulan itu saling bentur, terjadilah angin berputar yang menerbangkan dedaunan kering dan debu. Akibat bentrokan ini, sepasang kaki Ji-kaucu goyah dan mundur liga langkah secara beruntun. Sepanjang hidup belum pernah dia menghadapi pukulan dahsyat seampuh ini, dalam gusarnya Ji-kaucu segera melolos pedang dan melejit ke arah sisi lawan sambil melancarkan sebuah tusukan. Reaksinya cukup cepat, tapi gerakan tubuh Bong Thian-gak jauh lebih cepat lagi. Bong Thian-gak menjejakkan kaki kanannya dan melompat ke atas wuwungan rumah, dengan demikian cahaya pedang Ji-kaucu hanya menyambar lewat di bawah kakinya saja. Gagal dengan serangan pedangnya, Ji-kaucu dongkol setengah mati, sambil menjejakkan kaki dia mengejar ke atas wuwungan rumah. Tapi gerakan Bong Thian-gak jauh lebih cepat, begitu tubuhnya berkelebat, tahu-tahu dia sudah berada jauh di sana.

   "Hei, kalau jantan kenapa tidak kau hentikan langkahmu?"

   Bentak Ji-kaucu mendongkol.

   Sambil membentak dia mengejar terus secara cepat.

   Dalam pada itu dari arah gedung bermunculan beberapa sosok bayangan orang, tampaknya orang itu dibuat terkejut oleh ledakan! dahsyat akibat benturan dua kekuatan angin pukulan tadi.

   Di antara bayangan-bayangan itu, nampak sesosok bayangan orang bergerak paling cepat, langsung hendak menghadang di depan Bong Thian-gak.

   Sayang sekali gerakan tubuh Bong Thian-gak masih jauh lebih cepat lagi, ia tak sampai terhadang oleh lawan.

   Sementara itu Ji-kaucu telah menyusul pula ke sana, mendadak dia berteriak keras.

   "Sam-kaucu, tak usah dikejar lagi"

   Ternyata bayangan orang yang mengejar paling cepat adalah Sam-kaucu, ia menghentikan gerakan tubuhnya begitu memperoleh perintah, tapi segera tegurnya.

   "Ji-kaucu, mengapa kita biarkan musuh kabur begitu saja?"

   Ji-kaucu tertawa dingin.

   "Ilmu meringankan tubuh orang itu amat cepat, yakinkah Sam-kaucu berhasil menyusulnya?"

   Sam-kaucu mendongakkan kepala, empat penjuru amat sepi tak terdengar suara apa pun, sementara bayangan tubuh Bong Thian-gak yang semula berada di depan sana, kini sudah lenyap. Dengan wajah tertegun Sam-kaucu berkata.

   "Wah, cepat benar gerakan tubuh orang itu, siapakah dia? Paras muka Ji-kaucu berubah sangat tak sedap dilihat, namun dia menjawab dengan suara dingin.

   "Jika dilihat dari ujung lengan baju kanannya yang kosong terhembus angin, tampaknya dia adalah seorang berlengan tunggal."

   Walaupun saat kejar mengejar tadi Ji-kaucu belum berhasil melihat raut wajah lawan, namun bayangan tubuh Bong Thian-gak, terutama ujung lengan baju kanannya yang kosong dapat terlihat olehnya dengan nyata.

   "Ah, dia adalah Jian-ciat-suseng!"

   Seru Sam-kaucu tanpa terasa dengan paras muka berubah.

   "Sam-kaucu, bukankah kau mendapat perintah untuk menyusun persiapan besar di wilayah Hopak, bagaimana persiapan yang telah kau lakukan hingga jejak kita dapat dibuntuti lawan?"

   "Selama aku berada di kota terlarang, yakin belum ada seorang pun yang menemukan jejakku, apalagi identitasku."

   "Lantas bagaimana Jian-ciat-suseng bisa sampai di gedung ini?"

   "Barusan kulihat Si-hun-mo-li kembali ke istana bawah tanah, bisa ditebak Si-hun-mo-li gagal dalam tugasnya dan justru dialah yang memancing kehadiran Jian-ciat-suseng."

   Berubah hebat air muka Ji-kaucu.

   "Kalau begitu pembicaraanmu dengan Cong-kaucu serta segala macam rahasia kita telah diketahui oleh Jian-ciatsuseng!"

   "Tentang masalah itu, kita baru bisa menganalisanya setelah tahu bagaimana cerita Ji-kaucu sampai menemukan jejak Jian-ciat-suseng."

   Ji-kaucu tertawa dingin.

   "Sam-kaucu mengapa kau tidak berterus terang saja mengatakan bahwa aku pun turut terkecoh oleh kehadiran Jian-ciat-suseng sehingga gerak-geriknya tidak kuketahui sama sekali?"

   "Tidak berani, aku tak berani berpendapat demikian."

   "Sam-kaucu, apakah kau mengetahui tempat tinggal Jianciat- suseng?"

   Tiba-tiba Ji-kaucu menegur dengan suara dingin menyeramkan.

   "Kamar nomor tiga puluh enam Hong-tok-ciu-lau."

   "Dalam tiga hari, Sam-kaucu harus berhasil membunuh Jian-ciat-suseng dengan cara apa pun."

   "Cong-kaucu telah berpesan, sementara kita tak akan membunuh Jian-ciat-suseng."

   Ji-kaucu segera menarik muka mendengar perkataan itu, katanya kemudian.

   "Kalau begitu segera kubicarakan masalah ini dengan Cong-kaucu, mungkin saja dia mau berubah pikiran."

   Selesai berkata dia lantas meluncur turun dari atas wuwungan rumah dan langsung menuju ke gedung kecil tadi, Sam-kaucu mengikut di belakangnya. Mendadak Ji-kaucu berpaling seraya berkata.

   "Long Jitseng telah melarikan diri, harap Sam-kaucu segera mengirim orang mengejarnya, bila gagal membekuknya hidup-hidup, mati pun tak apalah."

   "Harap Ji-kaucu mengutus orang untuk membantuku,"

   Sahut Sam-kaucu cepat. Sementara itu enam orang berjubah hijau telah bermunculan dari balik gedung. Mendadak Ji-kaucu berseru kepada seorang berjubah hijau yang gemuk pendek.

   "Ang Teng-siu, lekas bawa tiga orang dan bersama Samkaucu pergi mengejar Long Jit-seng!"

   "Baik!"

   Jawab orang gemuk pendek itu dengan sikap hormat. Dengan cepatnya dia telah memilih tiga orang rekan untuk mendampinginya, lalu sambil berjalan ke depan Sam-kaucu dia berkata dengan lantaYig.

   "Ang Teng-siu siap menerima komando Sam-kaucu!"

   "Tak usah banyak bicara, ayo kita berangkat,"

   Seru Samkaucu.

   Kelima orang jago lihai Put-gwa-cin-kau itu dengan cepat berangkat meninggalkan gedung itu mengejar Long Jit-seng.

   Long Jit-seng keluar dari gedung dengan kecepatan luar biasa, ia kabur secepatnya meninggalkan tempat itu.

   Long Jit-seng mengerti, bila orang-orang Put-gwa-cin-kau telah berhasil membunuh orang yang membantunya, dengan cepat mereka akan mengejarnya kemari, maka dia memilih daerah yang sepi di barat kota untuk menyelamatkan diri.

   Sesudah menempuh perjalanan setengah jam dengan kecepatan tinggi, sampailah dia di tanah kuburan di sebelah barat kota, di situlah Long Jit-seng baru menghentikan perjalanannya.

   Suasana di kompleks pekuburan itu hening, sepi dan mengerikan..Batu-batu nisan yang terbengkalai porak-poranda menjadikan sekeliling sana sebagai tempat persembunyian yang paling ideal.

   Dengan langkah mantap Long Jit-seng langsung menerobos masuk ke dalam kompleks tanah kuburan itu.

   Mendadak dari atas sebuah batu nisan Long Jit-seng menyaksikan munculnya sesosok bayangan orang.

   Long Jit-seng terperanjat, cepat ia mendongakkan kepala.

   Orang itu berperawakan jangkung dengan wajah cakap, termasuk seorang pemuda yang bermata tajam.

   Sebilah pedang tersoreng di pinggangnya, sementara lengan baju kanannya nampak kosong, mengikuti hembusan angin malam, ujung baju itu bergoyang tiada hentinya.

   Waktu itu dia sedang memandang ke wajahnya dengan senyum di kulum.

   Seandainya tiada senyumannya yang ramah, niscaya Long Jit-seng akan menyangka dia sebagai setan gentayangan di tanah kuburan itu.

   Dengan terkesiap dan jantung berdebar keras Long Jit-seng menegur.

   "Kau ini sebetulnya manusia atau setan?"

   "Manusia,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil tersenyum.

   "Kalau begitu kau ini musuh atau sahabat?"

   "Musuh atau sahabat tergantung pada keputusanmu."

   Paras muka Long Jit-seng berubah hebat, tanyanya lagi dengan gemetar.

   "Jadi kau adalah anggota Put-gwa-cin-kau?"

   "Tidak, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau."

   Rupanya Hek-ki-to-cu menjadi ketakutan setengah mati karena mengira Bong Thian-gak adalah anak buah Put-gwacin- kau, hatinya baru merasa lega setelah mengetahui dugaannya meleset. Sambil menghela napas pelan-pelan dia bertanya.

   "Ada urusan apa kau menghadang jalan pergiku?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Baru saja aku mendirikan sebuah perkumpulan baru dan sekarang sedang 'mencari umat persilatan yang bisa diterima sebagai anggota baru perkumpulan, aku tertarik denganmu."

   Tergerak hati Long Jit-seng mendengar tawaran itu, segera tanyanya.

   "Apa nama perkumpulan itu? Siapa pemimpinnya?"

   "Tiong-yang-hwe, akulah Hwecunya."

   Mendadak Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, kau tahu siapakah aku?"

   "Long Jit-seng dari lautan timur, seorang tokoh persilatan mahir banyak ilmu."

   "Ah, jadi engkau yang membantu meloloskan diriku tadi?"

   Long Jit-seng terkejut. Kembali Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku tak ingin melihat kau terbunuh atau diperalat Jikaucu."

   "Hahaha, mengapa tidak kau katakan bahwa kau tak ingin melihat harta karun raja muda Mo-lay-cin-ong terjatuh ke tangan orang-orang Put-gwa-cin-kau?"

   Long Jit-seng tergelak makin keras. Tiba-tiba Bong Thian-gak menarik muka, kemudian berkata.

   "Orang-orang Put-gwa-cin-kau tak akan melepas dirimu begitu saja, orang yang menurunkan perintah membunuh atas dirimu adalah Ji-kaucu. Padahal jagoan berilmu tinggi seperti Ji-kaucu banyak terdapat dalam Putgwa- cin-kau, sedang anak buahmu? Adakah jagoan dari Hekki- to yang memiliki kepandaian untuk menandingi Ji-kaucu?"

   "Perkataanmu memang benar,"

   Long Jit-seng tertawa.

   "tapi sayang, biarpun aku bergabung dengan perkumpulan kalian pun sulit rasanya untuk meloloskan diri dari kematian."

   Mencorong sinar tajam dari mata Bong Thian-gak, ujarnya dengan suara nyaring.

   "Biarpun Tiong-yang-hwe belum berkekuatan untuk melawan kekuasaan Put-gwa-cin-kau, namun aku yakin masih sanggup melindungi keselamatan jiwamu."

   "Engkaukah Jian-ciat-suseng yang belakangan ini termasyhur namanya dalam Bu-lim?"

   "Betul,"

   Bong Thian-gak tertawa.

   "aku memang seorang cacat."

   Tiba-tiba Long Jit-seng berkata lagi.

   "Sepanjang hidupku, aku hanya tahu menurunkan perintah dan memerintah orang lain, belum pernah kuperoleh perintah orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Oleh sebab itu, aku ingin melihat dahulu kepandaianmu."

   Bong Thian-gak tertawa.

   "Bila kau bersedia menggabungkan diri dengan Tiong-yanghwe, berarti kau adalah Kunsu (juru pikir) Tiong-yang-hwe, hal ini sama artinya kau hanya memberi perintah kepada orang lain dan bukan orang lain yang memberi perintah kepadamu."

   Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.

   "Kau adalah ketua Tiong-yang-hwe, berarti seorang Kunsu masih tetap di bawah tingkatan seorang Hwecu bukan?"

   "Long-kunsu,"

   Bong Thian-gak tertawa.

   "kau ingin mencoba keistimewaanku? Boleh saja, cuma dibanding kecerdasan otak dan akal muslihatmu, aku mengaku kalah darimu."

   Long Jit-seng tertawa nyaring.

   "Soal mengatur siasat dan menyiapkan tipu muslihat, tentu saja bidang itu merupakan pekerjaan seorang Kunsu. Sedangkan sebagai ketua, syarat yang dibutuhkan selain ilmu silat yang tinggi dia mesti memiliki budi pekerti yang baik. Sebab biarpun ilmu silat seseorang sangat tinggi, bila dia tidak memiliki kemampuan seorang pemimpin dan kebajikan serta budi pekerti yang baik, jadinya sebuah perkumpulan yang kaku, sebuah perkumpulan tanpa nyawa, biasanya perkumpulan semacam ini tak pernah bisa menggetarkan dunia persilatan."

   "Aku mempunyai semacam kemampuan untuk menilai orang dari wajah seseorang dan aku mengerti kau memang memiliki budi pekerti serta kewibawaan sebagai seorang pemimpin. Yang belum kuketahui sekarang adalah kepandaian hebat yang kau miliki."

   "Dengan cara apa Kunsu hendak mencoba kepandaian silatku?"

   Tanya Bong Thian-gak sambil tersenyum. Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.

   "Sesungguhnya bidang ilmu silat tak perlu dicoba lagi, sebab dengan nama besar Jian-ciat-suseng, rasanya sudah lebih dari cukup untuk menggetarkan seluruh dunia persilatan."

   "Sungguh tak kusangka begitu cepat Long Jit-seng bersedia menggabungkan diri dengan Tiong-yang-hwe, kejadian ini sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi Bong Thiangak,"

   Pemuda itu berseru dengan nada terharu. Long Jit-seng membenahi pakaiannya, lalu maju ke hadapan Bong Thian-gak dengan hormat, dia membungkukkan badan menjura sambil berkata nyaring.

   "Hwecu di atas, Long Jit-seng memberi salam atas kebesaran Hwecu."

   Buru-buru Bong Thian-gak membangunkan Long Jit-seng sambil menyahut.

   "Long-kunsu tak usah banyak adat...."

   Belum habis dia berbicara, tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan urat nadi pada pergelangan tangan kirinya dicengkeram orang, dengan lima jari tangannya yang kuat.

   Pada saat bersamaan, telapak tangan kiri Long Jit-seng disodokkan ke muka.

   Mimpi pun Bong Thian-gak tak menyangka Long Jit-seng bakal melancarkan serangan dengan cara sedemikian kejinya.

   Perlu diketahui, urat nadi pergelangan tangan merupakan salah satu dari tiga tempat mematikan di tubuh manusia, begitu urat nadi dicengkeram orang, betapa pun besarnya kekuatan tidak mungkin bisa dikerahkan lagi.

   Masih mending bagi mereka yang bertangan utuh, Bong Thian-gak hanya berlengan tunggal, bagaimana mungkin dia bisa meloloskan diri? Itulah sebabnya serangan Long Jit-seng benar-benar merupakan sergapan maut yang kejam dan tak berperikemanusiaan.

   Bong Thian-gak tidak tahu bagaimana cara untuk menghindarkan diri ataupun berbuat sesuatu, namun dia tetap berdiri tegak dengan senyum di kulum, dengan dada dibusungkan dia menyambut datangnya sergapan Long Jitseng itu.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Blam", pukulan dahsyat Long Jit-seng menghajar telak di atas dada Bong Thian-gak. Dengan cepat Long Jit-seng merasakan telapak tangan kirinya sakit panas dan pedas, seolah-olah baru saja menghantam sepotong lempengan besi baja. Pada saat itulah Bong Thian-gak memutar pergelangan tangan kirinya dengan leluasa, seakan-akan pergelangan tangannya terdiri dari kapas yang lunak, tahu-tahu saja sudah terlepas dari cengkeraman baja kelima jari tangan kanannya! Long Jit-seng tertegun, mimpi pun dia tak menyangka ilmu silat Bong Thian-gak telah mencapai tingkatan begitu hebat. Sambil tersenyum Bong Thian-gak berkata.

   "Tipu muslihat Long-kunsu benar-benar hebat, jika caramu ini digunakan untuk mencoba kepandaian orang, memang sulit bagi orang lain untuk menghindar."

   Long Jit-seng menghela napas panjang.

   "Hwecu memang pantas disebut seorang Tay-enghiong. Bukan cuma berkepandaian silat tinggi, Hwecu pun welas-asih dan bijaksana."

   "Sesungguhnya barusan aku berniat jahat dengan niat menghabisi nyawa Hwecu dalam sekali pukulan. Sedangkan Hwecu pun sudah dapat meraba niat jahat diriku, namun kenyataan kau sama sekali tidak mengungkapnya."

   "Ai ... atas kejadian ini Long Jit-seng sungguh merasa menyesal, aku tidak pantas menjadi anggota Tiong-yanghwe!"

   Beberapa patah kata Long Jit-seng itu diucapkan dengan tulus hati dan sejujurnya. Bong Thian-gak pada dasarnya memang pemuda yang berjiwa besar, sungguh ia dibuat sangat terharu oleh kejadian itu. Akhirnya sambil tersenyum Bong Thian-gak berkata.

   "Kata Nabi besar, tiada orang yang luput dari kesalahan. Asal kau bersedia bertobat, dosa apa pun bisa dimaafkan. Tiong-yanghwe sangat membutuhkan orang-orang berbakat seperti Hekki- to-cu."

   Berkilat mata Long Jit-seng, segera ujarnya dengan suara lantang.

   "Sekarang dan detik ini juga Long Jit-seng bergabung dengan Tiong-yang-hwe, selama hidup aku bersumpah akan setia sampai mati kepada Hwecu dan selalu mendampingimu, bila suatu hari aku melanggar sumpah, biar Thian menjatuhkan hukuman berat kepadaku dan mati dengan hulu hati tertembus pedang."

   Selesai mengucapkan sumpah, Long Jit-seng segera menjatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali ke arah langit.

   "Long-sianseng, kesetiaan dan ketulusan hatimu mengharukan hatiku,"

   Kata Bong Thian-gak kemudian. Air mata jatuh berlinang membasahi wajah pemuda itu, dengan cepat dia membimbing bangun Long Jit-seng yang masih berlutut, kemudian pelan-pelan ujarnya.

   "Longsianseng, mari kita pulang!"

   "Hwecu tinggal dimana?"

   "Rumah penginapan Hong-tok-ciu-lau."

   "Tempat itu tak boleh didiami lagi."

   "Ehm, ucapanmu memang benar,"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "entah bagaimanakah pendapat Sianseng?"

   "Lebih kurang tiga li di luar kota terlarang terdapat kuil Hong-kong-si, Hongtiang kuil itu Hong-kong Hwesio adalah sahabat karibku, bila Hwecu tidak keberatan lebih baik markas Tiong-yang-hwe dipindahkan saja untuk sementara waktu ke situ."

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian sahutnya.

   "Kuil Hong-kong-si pasti merupakan kompleks kaum ibadah, rasanya kurang pantas bagi kita orang-orang kasar dunia persilatan untuk mengganggu ketenangannya."

   Long Jitseng tersenyum.

   "Di dalam kuil Hong-kong-si hanya berdiam Hong-kong Hwesio serta kedua muridnya saja,"

   Tukasnya.

   "Dalam kuil yang begitu luas hanya didiami mereka bertiga?"

   Bong Thian-gak heran. Long Jit-seng manggut-manggut sambil tertawa.

   "Hong-kong Hwesio adalah seorang berwatak aneh, belum pernah ada seorang Hwesio pun yang cocok hidup bersamanya, maka itulah kuil Hong-kong-si tak pernah menerima anggota baru."

   "Apakah dia akan setuju bila kita menempati kuilnya?"

   Tanya pemuda itu sambil berkerut kening. Long Jit-seng tertawa.

   "Dalam satu tahun ada tiga ratus enam puluh lima hari, boleh dibilang sepanjang hari Hong-kong Hwesio dan kedua orang muridnya hidup mengasingkan diri dalam sebuah kamar gelap tak tembus cahaya, biar langit ambruk atau permukaan tanah merekah mereka bertiga tak bakal meninggalkan kamarnya. Oleh sebab itu kita tak usah meminjam kepada mereka, kita secara langsung pindah saja ke situ."

   Makin mendengar, Bong Thian-gak semakin terkejut, tanyanya kemudian.

   "Apakah mereka tidak bersantap?"

   "Rangsum yang disimpan dalam kamar membukit, sepanjang tahun mereka tidak bakal kekurangan rangsum atau air." 'Ai, cara hidup mengasingkan diri Hong-kong Hwesio ini benar- . benar mengagumkan,"

   Tanpa terasa Bong Thian-gak menghela napas.

   "Hwecu, kalau begitu kita putuskan demikian saja,"

   Kata Long Jit-seng kemudian.

   "besok sebelum senja tiba, kita semua pindah ke kuil Hong-kong-si."

   "Kini Long-sianseng adalah Kunsu Tiong-yang-hwe, tentu saja segala sesuatunya akan berjalan menurut perkataanmu,"

   Bong Thian-gak tertawa. Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, Hwecu begitu percaya menyerahkan beban berat itu kepadaku, mungkin aku tak bisa memikul tanggung jawab ini."

   Mendadak paras Bong Thian-gak berubah, serunya cepat.

   "Ssstt, ada orang datang, bisa jadi mereka adalah anggota Put-gwa-cin-kau."

   Baru selesai dia berkata, empat sosok bayangan orang telah menerobos masuk ke dalam kompleks tanah kuburan itu.

   Jelas orang-orang itu sudah mengetahui jejak Bong Thiangak maupun Long Jit-seng, maka tanpa berhenti mereka langsung menuju ke arah mereka berada.

   Bong Thian-gak diam-diam terkejut, pikirnya.

   "Heran, mengapa para pendatang segera mengetahui lokasi kami secara tepat?"

   Belum habis ingatan itu melintas, keempat sosok bayangan orang itu sudah berhenti di hadapan mereka.

   Mereka berempat adalah orang berjubah panjang hijau, sebilah pedang tersoreng di pinggang masing-masing, sebagai pemimpin adalah seorang pemuda gemuk pendek berkulit putih.

   Sementara itu orang gemuk pendek itu tampak tertegun juga setelah bertemu Bong Thian-gak serta Long Jit-seng.

   Berkilat sepasang mata Bong Thian-gak, dia merasa orang gemuk pendek itu seakan-akan pernah bersua di suatu tempat, paras mukanya sangat dikenal, setelah tertegun sejenak, berbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya.

   "Hehehe, tampaknya kehadiran kalian berempat bermaksud untuk membekuk diriku?"

   Jengek Long Jit-seng sambil tertawa dingin. Salah seorang menengok sekejap ke arah pemuda gemuk pendek itu, lalu berkata.

   "Komandan regu Ang, orang inilah Hek-ki-to-cu Long Jit-seng!"

   Mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, lalu pikirnya.

   "Ang Teng-siu! Kalau begitu dia adalah orang kepercayaan Thay-kun."

   Tiga tahun berselang di suatu perkampungan petani, Ang Teng-siu dan seorang dayang Thay-kun telah bekerja sama membunuh seorang pembantu Ji-kaucu, waktu itu Ang Tengsiu pernah memberi pertanyaan kepada Bong Thian-gak bahwa Thay-kun adalah majikannya.

   Sementara itu Ang Teng-siu telah berseru dengan suara dalam.

   "Bunuh mereka semua!"

   Begitu perintah diberikan, ketiga orang berjubah panjang itu serentak melolos pedangnya sambil berjalan mendekat.

   "Berhenti!"

   Bentak Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   Di tengah bentakan, Bong Thian-gak melompat ke muka dan menghadang di hadapan Long Jit-seng.

   Tiga bilah pedang panjang ketiga orang itu serentak menusuk tubuh Bong Thian-gak dengan kecepatan bagaikan sambaran petir.

   Bong Thian-gak tertawa dingin, tubuhnya selincah ikan melejit lewat di antara celah-celah ketiga pedang itu, kemudian telapak tangan kirinya diayunkan ke muka dan ...

   dua kali dengusan tertahan bergema.

   Kedua orang berjubah hijau itu masing-masing terhajar dadanya oleh serangan Bong Thian-gak sehingga terdorong mundur sejauh tiga-empat langkah, pedang mereka terlilit oleh lengan baju kanan Bong Thian-gak yang kosong sehingga sebilah di antaranya mencelat ke udara.

   Dalam satu gebrakan saja Bong Thian-gak berhasil menaklukkan ketiga orang berjubah hijau itu, kesempurnaan ilmu silat orang ini segera menggetarkan hati semua orang.

   Untung saja Bong Thian-gak masih punya belas kasihan dengan meringankan tenaga serangannya, coba tidak, bisa jadi ketiga orang berjubah hijau itu akan tewas.

   Berubah hebat paras Ang Teng-siu, dengan cepat ia menyerbu ke muka, sebuah pukulan dilontarkan ke arah Bong Thian-gak dengan kecepatan luar biasa.

   Bong Thian-gak menggeser langkah kakinya ke samping, tahu-tahu tubuhnya sudah beralih ke samping, setelah itu bentaknya.

   "Tahan!"

   "Apa lagi yang hendak kau ucapkan?"

   Tanya Ang Teng-siu dengan wajah tertegun.

   "Bukankah kau she Ang bernama Teng-siu?"

   Tegur Bong Thian-gak sambil menarik muka.

   "Betul!"

   Jawab Ang Teng-siu terkejut.

   "darimana kau bisa tahu namaku? Siapa pula kau?"

   Sambil tertawa dingin Long Jit-seng segera menimbrung.

   "Ketua Tiong-yang-hwe... Jian-ciat-suseng!"

   Mendengar nama itu, air muka Ang Teng-siu berubah hebat, serunya kemudian.

   "Sudah lama kudengar nama besarmu, apakah kau kenal diriku?"

   "Apakah Ang-heng mendapat perintah untuk menangkap Hek-kito-cu?"

   Kembali Bong Thian-gak bertanya dengan suara dalam. Ang Teng-siu termenung sambil berpikir sejenak, kemudian baru menjawab, 'Dengan kehadiran saudara, bagaimana mungkin kami bisa melakukan penangkapan terhadap Tocu?"

   "Kalau memang begitu, cepat kalian berempat mengundurkan diri dari sini!"

   Sebelum Ang Teng-siu sempat menjawab, mendadak dari balik kompleks tanah kuburan yang amat luas itu berkumandang suara seseorang dengan suara merdu.

   "Jian-ciat-suseng, kalian sudah terkepung."

   Seruan ini sungguh mengejutkan Bong Thian-gak, dia tak pernah mengira di kompleks tanah kuburan itu pun sudah tersembunyi musuh yang siap menyerang.

   Dengan cepat Long Jit-seng berpaling.

   Dari balik nisan yang porak-poranda dan menyeramkan itu, sekejap mata telah bermunculan dua puluh sosok bayangan orang berbaju merah, mereka semua berdiri di depan nisan kuburan.

   Memandang dari kejauhan, yang terlihat hanya sorot mata mereka yang hijau berkilat seperti api setan.

   Dari posisi mereka berada, Bong Thian-gak dan Long Jitseng memang benar-benar sudah terkepung.

   "Apakah Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun yang berada di situ?"

   Bong Thian-gak segera menegur nyaring. Yang berdiri paling dekat dengan Bong Thian-gak adalah seorang perempuan berkerudung merah, dia segera menjawab dengan merdu.

   "Betul, memang aku."

   "Ji-hubuncu, dengarkan baik-baik,"

   Seru Bong Thian-gak dengan suara lantang.

   "aku orang she Bong tak ingin mempunyai perselisihan dengan pihak Hiat-kiam-bun, bila Jihubuncu adalah orang pintar, harap kau segera mengundurkan diri dari sini!"

   "Mundur boleh saja,"

   Sahut Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun sambil tertawa seram.

   "Asal kau tinggalkan Long Jit-seng di sini."

   Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Long Jit-seng terbahakbahak.

   "Hahaha, aku orang she Long sudah tua dan tak bertenaga, bila nona menginginkan aku, aku tak berani menerima!"

   "Yang kami inginkan adalah harta karun Mo-lay-cing-ong,"

   Kata Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun dengan suara dingin.

   "asal kau Hek-ki-to-cu bersedia bekerja sama, Hiat-kiam-bun tak bakal melupakan jasamu itu."

   "Mana ... mana ...."

   Hek-ki-to-cu tertawa.

   "sayang sekali Hiat-kiam-bun datang terlambat, sebab aku sudah bergabung dengan perkumpulan Tiong-yang-hwe."

   "Soal itu aku bisa membicarakan dengan Hwecu kalian."

   Sebagai orang pintar, Bong Thian-gak segera dapat meraba duduknya persoalan mendengar pembicaraan itu, agaknya pihak Hiat-kiam-bun juga sudah mengetahui tentang rahasia harta karun milik raja muda Mo-lay-cing-ong itu dan agaknya Long Jit-seng juga telah membicarakan syaratnya dengan pihak Hiat-kiam-bun.

   Maka setelah tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata.

   "Cara menyerobot yang dilakukan Hiat-kiam-bun tak bisa diterima kami."

   "Biarpun ilmu silat Jian-ciat-suseng tiada tandingan, namun jangan harap bisa menandingi kerja sama tiga orang penjagal berbaju merah kami. Tempo hari ketika masih berada di rumah penginapan, tentunya kau sudah pernah merasakan kelihaian penjagal berbaju merah bukan? Jadi aku tak usah memperkenalkan lagi."

   Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memandangnya lekat-lekat, lamat-lamat dia dapat melihat di belakang Jihubuncu Hiat-kiam-bun tiga pasang mata yang menggidikkan sedang mengawasi dirinya dengan sorot mata hijau menyeramkan.

   Penjagal berbaju merah memang merupakan algojo-algojo andalan Hiat-kiam-bun.

   Kalau di dalam pertarungan kemarin Bong Thian-gak masih punya keyakinan, maka sekarang dia sama sekali tidak berkeyakinan untuk bisa menandingi ketiga algojo itu.

   Melihat pemuda itu bungkam dan sampai lama belum menjawab, Ji-hubuncu berkata lagi sambil tertawa.

   "Di bawah pimpinanmu, aku percaya dalam waktu singkat Tiong-yanghwe bisa tampil sebagai suatu perkumpulan besar dalam Bulim, sebagai seorang Tay-enghiong, Tay-hokiat, dia mesti seorang yang tahu gelagat dan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Jian-ciat-suseng masih bisa mencari kedudukan besar di kemudian hari, kali ini kau mesti menerima dulu keadaan."

   Bong Thian-gak mendongkol bercampur geli, dia lantas berkata.

   "Aku benar-benar berhasrat menyaksikan raut wajahmu, ingin kulihat bibir macam apakah yang kau miliki sehingga begitu pandai bicara."

   "Asal kau bersedia melepaskan Hek-ki-to-cu, aku pun bersedia memperlihatkan wajah asliku."

   "Aku tahu wajahmu sangat jelek, karenanya aku tak ingin melihatnya lagi,"

   Tukas Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ternyata perkataan itu membuat Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun terbungkam, sampai lama sekali dia tak bicara lagi.

   Untuk beberapa saat suasana di sekeliling tempat itu menjadi sunyi senyap, tegang dan mengerikan.

   Ang Teng-siu dan ketiga orang berbaju hijau berdiri di tempat semula, mereka juga membungkam.

   Mendadak terdengar Ji-hubuncu berkata.

   "Ang Teng-siu, kau sudah berhasil menemukan Buncu?"

   Mimpi pun Bong Thian-gak tak mengira kalau Ang Teng-siu pun berkomplot dengan pihak Hiat-kiam-bun, berarti kedatangan Ang Teng-siu berempat ke situ tadi bukan sungguh-sungguh hendak mencari Long Jit-seng, melainkan sebelum kejadian Ang Teng-siu memang sudah punya janji dengan pihak Hiat-kiam-bun.

   Dengan sikap menghormat, sahut Ang Teng-siu.

   "Lapor Jihubuncu, jejak Buncu sudah kami ketahui dengan jelas, cuma saat ini bukan saatnya untuk bicara, maaf kalau aku tak bisa memberi laporan sekarang."

   Mendadak Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya lantang.

   "Ji-hubuncu, untuk menyusupkan Ang Teng-siu ke dalam Put-gwa-cin-kau memang bukan suatu pekerjaan gampang, bisa jadi banyak tenaga dan pikiran telah digunakan. Malam ini, bila aku bisa lolos dari pengejaran kalian dan kulaporkan kejadian ini kepada pihak Put-gwa-cinkau, dapat dipastikan Ang Teng-siu tak bisa melanjutkan pekerjaannya menyusup ke dalam tubuh Put-gwa-cin-kau."

   "Hm, tampaknya reaksi pikiranmu benar-benar cepat!"

   Jengek Ji-hubuncu dingin. Bong Thian-gak tertawa.

   "Mana ... mana ... ikan dan telapak beruang tak mungkin bisa diperoleh bersama-sama, Ji-hubuncu, kau jangan kelewat tamak!"

   Tiba-tiba Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun menghela napas, lalu berkata.

   "Jian-ciat-suseng, silakan bawa Hek-ki-to-cu meninggalkan tempat ini!"

   "Terima kasih atas kemurahan hati Ji-hubuncu!"

   Selesai berkata, pemuda itu berpaling ke arah Long Jit-seng dan berkata lebih lanjut.

   "Long-sianseng, mari kita pergi!"

   Tapi baru saja Bong Thian-gak berjalan dua langkah, mendadak dia berpaling lagi sambil bertanya kepada Ang Teng-siu.

   "Ang Teng-siu, masih kenal padaku?"

   Ang Teng-siu tertegun, lalu menggeleng kepala.

   "Kita baru bersua untuk pertama kali ini, bagaimana mungkin bisa kenal?"

   Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh Bong Thiangak berkata.

   "Kita pernah bertemu walau Ang-heng belum ingat. Siapa tahu dengan Ji-hubuncu kalian pun merupakan sahabat lama? Waktunya memang sudah lama sehingga tidak ingat lagi."

   Habis berkata dia lantas beranjak pergi. Long Jit-seng mengikut di belakang Bong Thian-gak dengan mulut membungkam, setelah menempuh perjalanan beberapa saat Long Jit-seng berkata.

   "Hwecu benar-benar seorang naga sakti di antara manusia, sungguh tak nyana Ji-hubuncu Hiatkiam- bun yang paling sukar dihadapi pun bersedia memberi muka padamu."

   Bong Thian-gak menghela napas.

   "Ai, Ji-hubuncu membiarkan kita pergi dengan selamat lantaran jejak Buncu mereka dipandang jauh lebih berharga dari apa pun. Ai, semoga mereka bisa menemukan Buncunya."

   "Siapa Buncu mereka?"

   Tanya Long Jit-seng tercengang. Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas.

   "Bila dugaanku tak salah, bisa jadi Buncu Hiat-kiam-bun adalah Si-hun-mo-li."

   Long Jit-seng terkejut.

   "Maksud Hwecu, Si-hun-mo-li adalah Buncu Hiat-kiambun?"

   Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Apa yang barusan kukatakan hanya merupakan dugaan saja, tapi tujuh puluh persen mungkin benar, ai ... mengenai hal ini baru bisa jelas bila dirunut kejadian tiga tahun berselang ... baiklah persoalan ini kita bicarakan di kemudian hari saja."

   Ternyata setelah berjumpa Ang Teng-siu hari ini, dia segera memperoleh jawaban yang tepat atas beberapa teka-teki yang selama ini belum terjawab olehnya.

   Tiga tahun berselang, di dalam perkampungan petani yang menjadi markas kantor cabang Put-gwa-cin-kau kota Kayhong, dia telah bertemu Ang Teng-siu.

   Ang Teng-siu adalah anak buah Jit-kaucu Thay-kun, sedang Ang Teng-siu pun anggota Hiat-kiam-bun, dengan cepat Bong Thian-gak jadi teringat ucapan Thay-kun serta Keng-tim Suthay waktu itu.

   "Sembilan hari lagi di Bu-lim bakal muncul sebuah perkumpulan baru."

   Ketika Bong Thian-gak muncul kembali di Bu-lim, dia memang sudah berkunjung ke gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong serta Keng-tim-an, namun orang-orang yang menghuni di kedua tempat itu tak satu pun yang berhasil ditemukan, tempat tinggal mereka dalam keadaan kosong, sedang kabar penghuninya seolah lenyap begitu saja.

   Tiga tahun kemudian, di Bu-lim muncul sebuah partai baru yang disebut Hiat-kiam-bun.

   Ketika itu Bong Thian-gak berpikir dalam hati.

   "Janganjangan Hiat-kiam-bun adalah partai baru yang didirikan Toasuheng Ho Put-ciang atau Keng-tim Suthay sekalian?"

   Setelah dua kali perjumpaannya dengan Ji-hubuncu Hiatkiam- bun, Bong Thian-gak merasa baik nada suara maupun perawakan tubuhnya seakan-akan pernah bersua di suatu tempat.

   Akhirnya setelah kemunculan Ang Teng-siu pada hari ini, Bong Thian-gak baru dapat menebak bahwa Ji-hubuncu itu tidak lain adalah puteri Keng-tim Suthay, si gadis jelek.

   Hong-leng terletak di atas tanah perbukitan di sebelah utara kota terlarang.

   Waktu itu seorang pemuda berbaju putih berdiri di atas undak-undakan pintu gerbang, sebilah pedang tersoreng di pinggangnya, ia berwajah tampan.

   Sebentar-sebentar ia mendongak mengawasi sang surya yang semakin lama bergeser semakin ke tengah awangawang.

   Akhirnya tepat berada di atas kepala, tengah hari telah tiba.

   Pada saat itulah dari jalan raya di kejauhan sana muncul seekor kuda yang dilarikan cepat, kuda itu menuju ke depan undak-undakan batu sebelum penunggang kudanya melejit ke udara dan turun di depan undak-undakan batu pertama.

   Orang itu adalah seorang pemuda berlengan tunggal berusia tiga puluhan, berwajah tampan, terutama sorot matanya yang memancarkan sinar kewibawaan.

   Melihat kemunculan pemuda berlengan tunggal itu, pemuda berbaju putih tadi berseru sambil tertawa terbahakbahak.

   "Hahaha, Jian-ciat-suseng benar-benar memegang janji tidak datang lebih awal, tidak pula terlambat, persis tengah hari."

   "To-tongcu sudah menanti lama rupanya,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tersenyum. Rupanya tengah hari ini adalah saat dilangsungkannya duel antara Sin-tong Tongcu Kay-pang yakni To Siau-hou dan Bong Thian-gak. Mendadak To Siau-hou menarik muka, kemudian berkata.

   "Hari ini aku orang she To dapat bertarung dengan saudara, hal ini sungguh merupakan suatu kebanggaan bagiku."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Kedatanganku memenuhi janji ini sesungguhnya bukan untuk berduel denganmu."

   "Lantas mau apa kau kemari?"

   Seru To Siau-hou dengan wajah berubah.

   "Aku datang untuk minta maaf kepada To-tongcu, bila kemarin Hui-eng-su-kiam bersaudara dari perkumpulan kami telah mengusik perkumpulan kalian, harap kau sudi memaafkan."

   To Siau-hou tertawa dingin.

   "Apakah kau beranggapan sebagai ketua suatu perkumpulan besar akan kehilangan pamor dan derajat bila berduel denganku?"

   "Oh, tidak!"

   "Hm! Selama sastrawan berkelana di Bu-lim, kau selalu berusaha mencari jago-jago lihai kenamaan untuk diajak berduel, selama tiga bulan terakhir ini entah berapa banyak jago lihai yang telah keok di tanganmu ... cuma selama ini kau belum pernah mencari gara-gara terhadap jago Kay-pang, entah lantaran kau jeri pada nama besar Kay-pang ataukah memang tak ingin berselisih dengan pihak kami."

   "Aku memang tak ingin berselisih dengan orang-orang Kaypang,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tersenyum.

   "Seandainya Jian-ciat-suseng berkeinginan menjadi tenar, maka cara yang terbaik adalah mengalahkan para jago Kaypang, dengan cara ini bisa jadi Tiong-yang-hwe akan berhasil menancapkan kaki untuk selamanya dalam Bu-lim."

   "To-tongcu masih muda dan berkepribadian, keberhasilanmu di kemudian hari pasti akan luar biasa, sebagai anak muda yang berjiwa panas, kuanjurkan janganlah kelewat banyak mencari gara-gara, sebab cara ini bukan cara yang baik."

   Bong Thian-gak mengucapkan kata-katanya dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh. To Siau-hou tertawa dingin.

   "Sejak enam bulan lalu kuterima jabatan Tongcu bagian Sin-tong partai kami, belum pernah kujumpai seorang jago lihai yang pantas melangsungkan duel denganku, hari ini aku tertarik duel denganmu. Bila kau enggan berduel melawanku hari ini, silakan kau umumkan pembubaran perkumpulan Tiong-yanghwe dari dunia persilatan. Kau mesti tahu, tidak semua umat persilatan senang menyaksikan munculnya partai baru."

   "Bila kuterima tantangan untuk berduel ini?"

   Tanya Bong Thian-gak sambil menarik wajah. To Siau-hou tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, bila kau sanggup melawanku, To Siau-hou akan mengundurkan diri dari Kay-pang dan selama hidup membaktikan diri untuk Tiong-yang-hwe."

   "To-tongcu, kau sedang bergurau rupanya?!' tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.

   "Seorang lelaki sejati tak pernah bicara tanpa tanggung jawab."

   "Ai, tidakkah To-heng pikirkan bahwa taruhanmu kelewat besar?"

   To Siau-hou tertawa dingin.

   "Hehehe, jangan kuatir, aku pun mempunyai sebuah syarat."

   "Apa syaratmu?"

   "Bila kau keok, Tiong-yang-hwe harus dibubarkan dengan segera dan Jian-ciat-suseng pun harus menggabungkan diri dengan kaum pengemis."

   "Sayang aku tak bisa menerima syaratmu,"

   Kata Bong Thian-gak dengan tersenyum.

   "Mengapa kau menampik?"

   To Siau-hou berkerut kening.

   "Suatu pertandingan adu kepandaian boleh dibilang suatu perbuatan yang baik bagi kaum persilatan untuk mengukur kepandaian silatnya, buat apa kita mesti bertaruh dengan taruhan yang begitu besar? Apakah To-tongcu sudah yakin dapat menangkan diriku?"

   Tertegun si To Siau-hou mendengar perkataan itu, katanya kemudian.

   "Bila kau yakin bisa menangkan diriku, mengapa tidak kau terima keuntungan ini."

   "Bila kau melepaskan diri dari Kay-pang, sudah dapat dipastikan Pangcu kalian tak akan melepaskan diriku,"

   Ucap Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   "Ya, betul,"

   To Siau-hou manggut-manggut.

   "tapi bila Tiong-yang-hwemu makin hari makin bertambah kuat, Kaypang pun tak dapat melepaskan dirimu."

   "To-tongcu, kalau kau sudah bertekad hendak adu kepandaian, cabut pedangmu."

   Ucapan anak muda itu hambar tanpa emosi.

   "Kau tidak melolos pedang?"

   Tanya Giok-bin-giam-lo dingin.

   "Pedangku dilolos bila keadaan sudah membutuhkan."

   Tampaknya To Siau-hou tidak sesombong Mo Sau-pak dari perkumpulan Kim-liong-kiam-san-ceng, dengan cepat tangan kanannya melolos sebilah pedang mustika yang memancarkan cahaya tajam.

   Begitu pedang dilolos, To Siau-hou segera miringkan tubuh ke samping, kemudian tubuh berikut pedangnya langsung menyerang sisi kanan Bong Thian-gak.

   Jurus serangan yang dipergunakan olehnya sangat lamban dan tiada keistimewaan, seolah-olah serangan dilancarkan dengan santai.

   Tapi Bong Thian-gak yang menyaksikan serangan itu justru hatinya begetar, batinnya.

   "Ah! Tay-kek-kiam, ilmu silatnya seperti beberapa kali lipat lebih maju daripada tiga tahun berselang."

   Seperti burung walet terbang di udara, Bong Thian-gak melejit ke atas undak-undakan batu ketiga dan meloloskan diri dari serangan itu.

   Dengan demikian posisi yang ditempati kedua belah pihak persis pada garis undak-undakan yang sama.

   Gagal dengan serangannya, To Siau-hou berseru.

   "Jianciat- suseng memang benar-benar bukan orang sembarangan!"

   Sementara berbicara pedangnya kembali diputar, pelanpelan membacok lagi ke sisi kanan Bong Thian-gak.

   Belum lagi serangannya tiba, terasa segulung hawa dingin yang menusuk tulang menyergap wajahnya.

   Sesudah menyaksikan jurus kedua ini, Bong Thian-gak baru paham apa sebabnya To Siau-hou memandang begitu serius pertaruhan yang diusulkannya tadi, ternyata Giok-bin-giam-lo yang sekarang sudah bukan Giok-bin-giam-lo tiga tahun yang lalu, kepesatan ilmu silat telah mencantumkan namanya di antara jago-jago lihai.

   Dalam tiga tahun yang singkat ternyata To Siau-hou berhasil mendalami ilmu silatnya, maju beberapa puluh kali lipat lebih hebat dari semula, maka dapat dibayangkan kepandaian silat ketua Kay-pang yang mewariskan ilmu silat itu kepadanya benar-benar tak terlukiskan.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak bergeser dua undak-undakan lagi untuk menghindarkan diri dari tusukan lawan.

   Tapi To Siau-hou pun tak malu disebut jago lihai, dia tidak memberi kesempatan kepada Bong Thian-gak untuk menempati posisi di atas yang lebih menguntungkan.

   Dengan cepat dia bergeser berebut naik dua undakundakan, angin serangan dingin diiringi desingan cahaya tajam secara beruntun dan tiada habisnya mengurung Bong Thian-gak di bawah bungkusan kabut cahaya pedangnya.

   Ilmu pedang itu bukan lain adalah Tay-kek-kiam-hoat, adalah ilmu pedang Bu-tong-pay, ilmu pedang ciptaan Thio Sam-hong cikal-bakal Bu-tong-pay.

   Ilmu pedang ini mengutamakan tenaga lembut dan halus, dengan tenang menguasai keras.

   Seandainya ada orang bisa melatih ketenangan dan kelembutan Tay-kek-kiam-hoat hingga puncak kesempurnaan, maka jangan harap umat persilatan di dunia ini bisa meloloskan diri dari kurungan cahaya pedang itu dengan selamat.

   Tay-kek-kiam-hoat termasuk ilmu andalan Bu-tong-pay, biasanya hanya para Ciangbunjin yang memperoleh warisan ilmu itu, Bong Thian-gak sungguh tak habis mengerti dari


Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Kait Perpisahan -- Gu Long Renjana Pendekar -- Khulung

Cari Blog Ini