Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 2


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 2


embunuh si burung gagak. Si burung gagak tertawa dingin, lalu katanya.

   "Kau tak usah kuatir, aku tak mungkin mampus, yang harus dikuatirkan bukan aku melainkan kau sendiri"

   "Aku sendiri?"

   "Jarak dari tempat ini sampai ke telaga Liok-sui-ou tidak terlampau jauh, sepanjang jalan tak mungkin ada orang yang akan membayarkan rekening-rekeningmu lagi"

   Cho Ping pasti sudah mendapatkan kereta yang paling nyaman dan paling cepat, jalan yang dilaluipun pasti merupakan jalanan yang paling cepat. Seseorang yang "tong-pes"

   Alias kantong kempes hanya bisa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, sekalipun ia berhasil mendahului Cho Ping, setelah tiba di perkampungan Sin-kiamsan- ceng, satu-satunya orang yang bakal menderita kekalahan mungkin juga dia sendiri.

   "Kecuali kau mempunyai nasib yang lebih baik", demikian si burung gagak berkata.

   "atau dalam waktu singkat dapat bertemu seseorang yang punya uang banyak, mengendarai kuda cepat, kemudian kau merampas uangnya dan merampas pula kudanya"

   "Kau tak usah kuatir, pekerjaan semacam itu bukannya tak dapat kulakukan....", kata Yan Cap-sa sambil tertawa. Si burung gagak ikut tertawa. Tiba-tiba dua orang itu mengulurkan tangannya dan saling menggenggam dengan eratnya.

   "Cepatlah pergi,"

   Kata si burung gagak lagi.

   "asal kau belum mati, pasti akan kusuruh seseorang untuk menghantarkan pedangku ini untukmu"

   "Bukankah kau pernah berkata, seringkali seseorang yang sudah hampir mati bisa mempunyai nasib yang lebih baik?"

   "Ya, aku memang pernah mengatakan demikian"

   "Tampaknya nasib baikmu segera akan datang kembali"

   Yang muncul adalah sebuah kereta kuda.

   Kuda penariknya adalah kuda jempolan, kereta yang dihelapun kereta ringan, mereka datang sangat cepat.

   Baru saja suara putaran roda dan ringkikan kuda kedengaran di tempat kejauhan sana, tahu-tahu kereta itu sudah muncul di tikungan bukit sebelah depan.

   "Aku percaya pekerjaan semacam ini pasti dapat kau lakukan", kata si burung gagak.

   "Tentu saja!"

   Meskipun di mulut dia berbicara sok berpengalaman, padahal ketika benar-benar harus melaksanakannya, dia menjadi bingung.

   Ia benar-benar tidak tahu bagaimana harus mulai menjalankan aksinya itu.....

   Tiba-tiba saja ia merasa bahwa untuk menjadi seorang penyamun bukanlah suatu pekerjaan gampang segampang apa yang pernah dibayangkan dahulu.

   Tampak kereta kuda itu melaju lewat dari sisi tubuhnya, tapi ia belum menunjukkan tanda akan melancarkan sergapan.

   "Nasib mujur semacam ini tak mungkin akan berlangsung untuk kedua kalinya", kata si burung gagak dengan kening berkerut.

   "Mungkin aku......"

   Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba kereta kuda itu berhenti tepat di hadapan mereka.

   Ia tidak melancarkan serangan, tapi kereta itu berhenti dengan sendirinya.

   Dari dalam ruang kereta segera kedengaran seseorang berkata dengan suara yang parau dan aneh.

   "Wahai orang yang buru-buru ingin melanjutkan perjalanan, silahkan naik ke atas kereta"

   Si burung gagak memandang ke arah Yan Cap-sa dan Yan Cap-sa memandang ke arah si burung gagak.

   "Orang yang memiliki nasib sangat mujur belum tentu akan sungguh-sungguh mati dalam waktu singkat"

   Yan Cap-sa tertawa terbahak-bahak. Pintu kereta sudah terbuka, ia melompat naik dan berkata sambil tertawa tergelak.

   "Pokoknya kalau aku masih hidup, tanggung kau bisa berjumpa lagi denganku, sekalipun tak ingin bertemu juga tak bisa"

   Siapakah yang berada dalam ruangan kereta itu? Dalam ruang kereta yang bersih dan nyaman hanya ada seseorang, ia mengenakan jubah lebar berwarna hitam, kepalanya di bungkus dengan kain hitam dan mukanya mengenakan pula kain cadar berwarna hitam.

   Yan Cap-sa duduk tepat dihadapannya, ia hanya mengajukan satu pertanyaan setelah berada di dalam kereta.

   "Dapatkah kau angkut diriku ke puncak Cui-im-hong telaga Liok-sui-ou dengan waktu yang paling cepat? "Dapat!"

   Setelah mendengar jawaban tersebut, Yan Cap-sa menutup mulutnya.

   Bahkan sepasang matanya ikut pula dipejamkan.

   Sebetulnya banyak persoalan yang ingin ditanyakan, tapi sekarang sepatah katapun tidak ditanyakan.

   Ya, dia memang bukan seorang manusia bertipe ingin tahu.

   Manusia berbaju hitam itu justru menaruh perasaan ingin tahu terhadap tamunya, dengan sepasang matanya yang tajam di balik kain cadar berwarna hitam, ia sedang menatapnya tanpa berkedip.

   Jeli amat sepasang matanya itu.

   Kereta kuda itu berjalan sangat cepat, selama ini Yan Cap-sa hanya pejamkan matanya rapatrapat, entah tertidur entah tidak.

   Ternyata ia tidak tidur.

   Sebab sejak orang berbaju hitam itu mengeluarkan sebuah poci arak dari laci keretanya dan mulai minum, tenggorokannya ikut bergetar pula.

   Orang yang sudah tertidur tak mungkin dapat mencium bau harumnya arak.

   Sekulum senyuman seperti memancar dari balik mata orang berbaju hitam itu, dia mengangsurkan botol arak tersebut ke depan, lalu tegurnya.

   "Mau minum seteguk dua tegukan arak?"

   Tentu saja dia mau.

   Di kala Yan Cap-sa mengeluarkan tangannya untuk menerima botol arak itu, keadaannya seperti orang hampir mati tenggelam yang tiba-tiba berhasil meraih sebuah balok kayu.

   Akan tetapi sepasang matanya masih belum terbentang lebar.

   Seandainya ia membuka matanya, maka dengan cepat akan ditemukan bahwa orang berbaju hitam itu mempunyai sepasang tangan yang sangat indah.

   Bagaimanapun lembutnya seorang pria, jarang sekali mereka dapat memiliki sepasang tangan yang begini indah.

   Padahal, perempuan sedikitpun jarang yang memiliki sepasang tangan seindah ini, jari-jari tangan yang runcing dan kurus, tapi panjang, dan kulit yang putih lagi halus.

   Ketika Yan Cap-sa mengembalikan botol arak itu.....tentu saja botol yang sudah hampir kosong.

   Tanpa sengaja tangannya telah menyentuh sepasang tangannya.

   Untung dia masih mempunyai sedikit perasaan atau paling sedikit ia masih dapat merasakan bahwa sepasang tangannya begitu lembut, begitu halus dan menawan.

   Tapi ia tidak menunjukkan reaksi apa-apa, seakan-akan kelembutan serta kehalusan tersebut tidak dirasakan olehnya.

   Hampir setengah harian lamanya orang berbaju hitam itu menatapnya, tiba-tiba ia bertanya.

   "Sesungguhnya kau ini manusia atau bukan?"

   Suaranya masih separau dan seaneh tadi, padahal orang yang memiliki sepasang tangan sebagus itu tidak seharusnya mempunyai suara sejelek itu. Ternyata jawaban dari Yan Yan Cap-sa sederhana sekali.

   "Aku adalah manusia!"

   "Apakah manusia hidup?"

   "Ya, hingga detik ini aku masih hidup!"

   "Tapi kau tidak ingin tahu siapakah aku?"

   "Aku tahu kaupun seorang manusia, bahkan pasti seorang yang masih hidup"

   "Cukupkah itu?"

   "Cukup sekali!"

   "Keretaku bukan kudapatkan dari mencuri, arak yang kau minum juga bukan kuperoleh dengan jalan mencuri, kenapa tanpa sebab tanpa musabab kau ku undang naik ke kereta, ku antar kau ke telaga Liok-sui-ou, bahkan mengundang kau minum arak pula?"

   "Karena kau sedang senang!"

   Jawaban itu membuat si orang berbaju hitam tertegun, bahkan tidak tanggung-tanggung tertegun sampai setengah harian, setelah itu ia baru tertawa cekikikan.

   Sekarang suaranya telah berubah, ya berubah menjadi begitu merdu, begitu lengking dan menawan hati.

   Kini, barang siapa merasa dirinya manusia, dia pasti akan tahu kalau orang itu adalah seorang perempuan, bahkan pasti seorang perempuan yang cantik dan menarik hati.

   Setiap pria tentu senang menyaksikan perempuan yang cantik.

   "Kau tidak ingin tahu siapakah diriku?", kembali orang berbaju hitam itu bertanya.

   "Tidak ingin!"

   "Kenapa?"

   "Karena aku tak ingin mencari kesulitan bagi diriku sendiri"

   "Jadi kau tahu kalau aku bakal mendatangkan kesulitan?"

   "Bila tanpa sebab musabab seseorang mengundangku naik kereta dan menjamu minum arak kepadaku, sedikit banyak orang itu pasti mempunyai penyakit"

   "Ada penyakit? Atau ada kesulitan?"

   "Bila seseorang mempunyai penyakit, maka sedikit banyak dia pasti akan mendatangkan kesulitan"

   Kembali orang berbaju hitam itu tertawa, suara tertawanya kedengaran semakin menarik hati.

   "Mungkin setelah kau mengetahui siapakah aku, sekalipun bakal menimbulkan banyak kesulitan, kesulitan itu berharga untuk kau alami"

   "Oya?!"

   "Tentu saja, sebab aku adalah seorang perempuan yang cantik dan menawan hati, tentu selalu berharap agar orang lain ikut menyaksikan keindahannya"

   "Oya?!"

   "Bila orang lain menolak permohonannya dia pasti akan menganggap kejadian itu sebagai semacam cemoohan atau penghinaan, dia pasti akan merasa bersedih hati"

   Pelan-pelan orang itu menghela napas panjang, terusnya.

   "Bila seorang perempuan sedang bersedih hati atau kesal, kadangkala ia dapat melakukan segala perbuatan yang membingungkan!"

   "Misalkan perbuatan apa?", tanya Yan Cap-sa.

   "Misalnya, mungkin saja dia akan mengusir tamu yang telah di undangnya naik ke dalam kereta"

   Yan Cap-sa mulai menghela napas.

   Ketika ia mulai bernapas, sepasang matanya sudah dibuka......tapi hanya sekejap mata kemudian dipejamkan kembali, seakan-akan ia menjumpai setan mengerikan secara tiba-tiba.

   Ya, karena yang terlihat olehnya sudah bukan seseorang yang terbungkus di balik kain hitam lagi.

   Tentu saja yang dijumpainya ketika itu bukan setan.

   Baik di langit maupun di bumi, mana mungkin bisa dijumpai setan yang menawan hati? Ia telah menjumpai seorang perempuan.

   Seorang perempuan yang betul-betul telanjang bulat, dari atas hingga bawah tubuhnya berada dalam keadaan polos, secuil kainpun tak kelihatan, semua bagian tubuhnya kelihatan jelas, begitu terang membuat orang merasa berdebar.

   Tubuh itu begitu halus, begitu putih dan begitu lembut, sebagian besar berwarna putih pualam, tapi ada bagian-bagian tertentu yang berwarna hitam.

   Belangkah dia? Tentu saja tidak! Tapi mengapa ada bagian tubuhnya yang tertentu berwarna hitam? Entahlah......

   mungkin sudah takdir sejak ia menjadi dewasa.

   Tentu saja nama sesungguhnya dari Yan Cap-sa bukan Yan Cap-sa, meski demikian sudah pasti nama aslinya juga bukan si banci atau si dungu.

   Ia pernah menjumpai perempuan.

   Aneka macam perempuan sudah pernah dijumpainya, ada yang mengenakan baju lengkap, tapi ada pula yang tanpa busana.

   Ada yang sesungguhnya berpakaian, tapi kemudian pakaian itu dilepaskan semua.

   Bahkan ada pula yang melepaskan semua bajunya dengan begitu cepat.

   Seorang gadis telanjang bulat sesungguhnya tak akan membuat laki-laki macam Yan Cap-sa menjadi terperanjat.

   Ia menjadi terperanjat bukan lantaran perempuan itu terlampau cantik, juga bukan lantaran pinggangnya terlampau ramping, atau payudaranya terlalu montok.

   Tentu saja lebih-lebih bukan disebabkan sepasang kakinya yang ramping, gempal dan putih mulus itu.

   Persoalan-persoalan seperti di atas tadi paling banter cuma mengakibatkan jantungnya berdebar, tak mungkin akan mengejutkan hatinya.

   Ia terkejut karena perempuan itu pernah dijumpainya, bukan saja baru ditemui bahkan telah melakukan pula suatu perbuatan yang mengejutkan.

   Tentu saja perempuan itu tak mungkin adalah Buyung Ciu-ti.

   Perempuan polos itu ternyata bukan lain adalah istri Hee-ho Seng yang tampaknya alim dan lemah lembut itu.

   Ya, dia bukan lain adalah nyonya muda dari keluarga Hee-ho yang ada di lembah Ang-im-kok, bukit Hwee-gan-san.

   Ilmu pedang dari Hee-ho Seng mungkin tidak terlalu menakutkan, tapi keturunan keluarganya sangat menakutkan.

   Keluarga Hee-ho dari bukit Hwee-gan-san lembah Ang-im-kok, bukan saja merupakan keluarga persilatan yang ternama, peraturan rumah tangganya juga paling ketat.

   Kemanapun orang-orang Hee-ho-san-ceng pergi, belum pernah mereka menerima cemoohan atau penghinaan dari orang lain.

   Bila perempuan dari Hee-ho-san-ceng kebetulan keluar rumah, orang lain tak akan berani memandang mereka walau hanya sekejappun.

   Sebab bila kau melihat mereka lebih lama, kemungkinan besar biji mata kalian akan di korek ke luar.

   Oleh sebab itulah walau siapapun juga bila secara tiba-tiba menemukan bahwa nyonya muda dari keluarga Hee-ho tiba-tiba duduk dihadapannya dalam keadaan telanjang bulat, mereka niscaya akan merasa terperanjat.

   Kalau masih duduk saling berhadapan masih mendingan.

   Sekarang Si Ko-jin sudah duduk di sampingnya, ia duduk begitu dekat dengannya, bahkan dengusan napasnya yang agak memburupun kedengaran sangat jelas.

   Tentu saja sangat jelas, sebab dengusan napas itu justru berasal dari sisi telinganya.

   Yan Cap-sa seperti orang yang sudah tak bernapas lagi.

   Ia tidak termasuk orang yang bodoh, juga bukan tipe manusia yang gampang mabuk atau terbuai oleh keadaan yang dihadapinya.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sejak kakinya melangkah masuk ke dalam kereta tersebut, ia sudah menduga sedikit atau banyak pasti ada kesulitan yang bakal dijumpainya.

   Tapi ia tak tahu sampai di mana besarnya kesulitan tersebut.

   Tapi sekarang dia sudah tahu.

   Seandainya ia tahu betapa besarnya kesulitan yang bakal dijumpainya, ia lebih rela merangkak ke telaga Liok-sui-ou daripada menunggang kereta kuda itu.

   Jilid 3 Bab 3.

   Ko-jin yang menakutkan Seorang gadis cantik yang telanjang bulat, berbaring di sisimu bahkan menghembuskan napasnya yang harum di sisi telingamu.

   Pemandangan semacam ini pasti amat menarik, pasti amat hangat dan bikin hati orang berdebar.

   Bila dikatakan Yan Cap-sa sedikitpun tidak tertarik, ucapan itu pasti bohong dan tak bisa dipercaya.

   Bukan orang lain saja yang tak percaya, mungkin dia sendiripun tidak percaya.

   Sekalipun dia tahu dengan pasti kalau perempuan itu sangat berbahaya, sedemikian bahayanya seperti sebuah gunung berapi yang setiap saat bisa meletus.

   Sekalipun ia dapat tak bernapas, tidak mengendusi bau harum yang tersiar dari tubuhnya, tapi ia tak dapat membuat jantungnya tidak berdebar.

   Ya, bukan berdebar saja bahkan debaran jantungnya sudah mencapai ke taraf yang paling top.

   Seandainya sejak semula dia tahu kalau bakal terjadi peristiwa semacam ini, ia benar-benar akan menolak untuk menaiki kereta itu.

   Tapi sekarang ia sudah duduk di dalamnya.

   Bukan hanya dengusan napas saja di sisi telinganya bahkan ada juga bisikan yang begitu lembut begitu merayu.

   "Mengapa tidak kau pandang tubuhku? Kau takut?"

   Sepasang mata Yan Cap-sa telah terbuka, ia sudah memandang ke arahnya, terutama bagian tubuhnya yang terlarang. Si Ko-jin tertawa lebar, katanya dengan wajah berseri.

   "Rupanya kau masih dapat disebut seorang laki-laki sejati, seorang laki-laki yang masih punya nyali"

   "Sayang meskipun sudah kulihat selama tiga hari tiga malam, akupun tak dapat melihatnya", kata Yan Cap-sa sambil tertawa getir.

   "Tidak dapat melihat apa?"

   "Tidak dapat kulihat sebetulnya kau ini manusia sungguhan atau bukan?"

   "Seharusnya dapat kau lihat!", kata Si Ko-jin. Sambil membusungkan payudaranya yang montok berisi dan meluruskan sepasang pahanya yang putih, perempuan itu melanjutkan.

   "Seandainya aku bukan manusia, menurut tanggapanmu aku lebih mirip sebagai apa?"

   Asal mempunyai sepasang mata yang dapat melihat, siapapun seharusnya mengetahui bahwa dia bukan saja adalah seorang manusia, seorang perempuan hidup, diapun merupakan seorang perempuan di antara perempuan, setiap inci setiap bagian tubuhnya betul-betul adalah tubuh seorang perempuan.

   "Kau sangat mirip dengan seorang perempuan, tapi apa....yang kau kerjakan sedikitpun tidak mirip!", kata Yan Cap-sa.

   "Kau tentu tidak habis mengerti kenapa kulakukan perbuatan semacam in?"

   "Seandainya aku dapat memahaminya, maka aku sendiripun bukan seorang manusia!"

   "Kau menganggap dirimu terlalu jelek!"

   Tanya Si Ko-jin kemudian.

   "Tidak, aku tidak terhitung terlalu jelek"

   "Kau sudah tua"

   "Tidak terhitung tua!"

   "Kau mempunyai cacat bawaan?"

   "Tidak ada!"

   "Pernahkah ada perempuan yang menyukaimu?"

   "Ada beberapa orang"

   "Lantas apa yang kau herankan?"

   "Seandainya kau adalah perempuan lain, bukan saja aku tak akan keheranan bahkan akupun tak akan sungkan-sungkan seperti sekarang, sayang kau.......?", tiba-tiba Yan Cap-sa berhenti berbicara.

   "Aku kenapa?"

   "Kau telah mempunyai suami!"

   "Cepat atau lambat, seorang perempuan pasti akan menikah, setelah menikah pasti mempunyai suami!"

   Sepintas lalu, ucapan tersebut seperti perkataan yang tak berguna, tapi kenyataannya bukan. Karena selanjutnya ia masih mempunyai suatu perkataan yang cukup hebat, begini katanya.

   "Kalau yang dikawininya bukan seorang manusia, apakah ia terhitung mempunyai suami?"

   Pertanyaan itu cukup hebat, tapi selanjutnya ada yang lebih hebat lagi.

   "Semisalnya yang dikawini seorang perempuan adalah seekor babi, seekor anjing atau sebuah balok kayu, apakah ia dapat dianggap telah mempunyai suami?"

   Yan Cap-sa sungguh tak tahu bagaimana musti menjawab pertanyaan itu, terpaksa ia balik bertanya.

   "Apakah Hee-ho Seng adalah seekor babi?"

   "Bukan!"

   "Sebuah balok kayu?"

   "Juga bukan!"

   "Kalau begitu dia adalah seekor anjing?"

   Si Ko-jin menghela napas panjang.

   "Aaaai....seandainya dia adalah seekor anjing, aku malah merasa agak bahagia"

   "Kenapa?"

   "Sebab paling sedikit anjing masih mengetahui maksud manusia, dia masih mempunyai sedikit perikemanusiaan"

   Sambil menggigit bibir, ia seperti menahan kesedihan dan penderitaan, katanya lagi dengan kesal.

   "Hee-ho Seng lebih malas dari seekor babi, lebih tak mengenal kehangatan daripada sebuah balok kayu, dan lebih pandai menggigit orang daripada seekor anjing. Tapi justru dia masih berlagak sok hebat, sok luar biasa. Tiga tahun sudah aku kawin dengannya, tapi setiap hari aku hanya ingin minggat dari rumah"

   "Kenapa kau tidak minggat saja?"

   "Karena aku belum pernah mendapatkan kesempatan, biasanya ia tak pernah meninggalkan aku walau hanya selangkahpun"

   Yan Cap-sa sedang mencari, mencari botol berisi arak yang belum habis diminum itu, dia ingin menggunakan botol arak tersebut untuk menyumbat mulut sendiri.

   Karena sekarang ia benar-benar tak tahu apa yang musti diucapkan.

   Botol arak itu tepat berada dihadapannya, dengan cepat ia berhasil menemukannya, tapi ia tak dapat menggunakan botol arak tersebut untuk menyumbat mulut sendiri.

   Karena pada saat bersamaan, mulutnya telah disumbat oleh suatu benda lain, suatu benda yang empuk, lembut dan berbau harum.

   Kebanyakan pria jika mulutnya disumbat dengan benda tersebut, biasanya akan memberikan suatu reaksi yang wajar, suatu reaksi yang hampir seragam.

   Ya, itulah reaksi seperti yang dilakukan seorang bayi, menghisap dan menghisap...........

   Tapi lain reaksi yang diberikan Yan Cap-sa, ia tidak menunjukkan reaksi seperti pada umumnya.

   Ketika benda yang empuk, lembut dan harum itu menyumbat mulutnya, ia memperlihatkan reaksi seperti secara tiba-tiba ada seekor ular beracun menerobos masuk ke dalam mulutnya, seekor ular yang benar-benar sangat beracun.

   Reaksi semacam ini tidak terlalu umum dan lagi bisa bikin orang tak senang hati.

   Hampir meledak kemarahan Si Ko-jin saking mendongkolnya, sambil mencibirkan bibirnya ia mendesis.

   "Aku ada racunnya?"

   "Tidak ada tampaknya!"

   "Dan kau ada?"

   "Mungkin juga tak ada!"

   "Lantas apa yang kau takuti?"

   "Aku cuma mengetahui akan satu persoalan"

   "Persoalan apakah itu?"

   "Aku hanya ingin tahu sesungguhnya kau ingin aku berbuat apa?"

   "Kau anggap aku bersikap demikian kepadamu karena aku ingin menyuruh kau melakukan suatu pekerjaan?"

   Yan Cap-sa tidak menjawab, dia cuma tertawa.

   Kalau tertawa tentu berarti mengakui atau membenarkannya.

   Si Ko-jin sangat marah, ia benar-benar marah sekali, kalau marahnya sudah berlangsung setengah harian, apalagi yang hendak dia lanjutkan? Sayang bila seseorang sedang marah, maka dia sama sekali tak ada artinya, maka pada akhirnya dia berbicara juga dengan sejujurnya.

   Ia berkata begini.

   "Padahal kali ini bukan untuk pertama kalinya aku minggat dari rumah, aku sudah mencoba minggat sebanyak tujuh kali"

   "Oya?!"

   "Kau tebak sudah berapa kali aku kena di tangkap kembali?"

   "Tujuh kali!"

   Si Ko-jin menghela napas panjang, katanya.

   "Hee-ho Seng sesungguhnya tidak mempunyai kepandaian apa-apa, tapi dia justru mempunyai suatu kepandaian khusus yang luar biasa!"

   "Oya?!"

   "Kemanapun aku berusaha melarikan diri, ia selalu mempunyaa kepandaian untuk menangkapku kembali"

   "Ehmmmm.....kepandaian semacam ini tentu luar biasa sekali!", kata Yan Cap-sa sambil tertawa.

   "Oleh sebab itulah cepat atau lambat dia pasti akan berhasil menemukan diriku kembali. Untunglah kali ini keadaannya jauh berbeda!"

   "Bagaimana bedanya?"

   "Kali ini di kala ia berhasil menangkap kembali diriku, maka aku sudah menjadi orangmu"

   Ia tidak memberi kesempatan kepada Yan Cap-sa untuk menyangkal kenyataan tersebut, segera ujarnya kembali.

   "Atau paling sedikit dia tentu akan beranggapan bahwa aku sudah menjadi orangmu!"

   Yan Cap-sa tak dapat tertawa, iapun tak dapat menyangkal atau memberi bantahan. Barang siapa menyaksikan keadaan mereka sekarang, maka tak mungkin akan terlintas pikiran kedua dalam benaknya. Terdengar Si Ko-jin berkata lebih jauh.

   "Dia masih mempunyai suatu kepandaian yang lain, yakni ia sangat pandai menaruh perasaan cemburu"

   Setiap pria seringkali memang ketempelan penyakit semacam ini, penyakit cemburu.

   "Oleh karena itu, seandainya ia dapat menyaksikan keadaan kita sekarang, maka dengan segala daya upaya dia pasti akan berusaha untuk membinasakan dirimu"

   Yan Cap-sa tak dapat berbuat lain, kecuali membenarkan pendapatnya. Kembali Si Ko-jin berkata.

   "Seandainya orang lain hendak membinasakan dirimu, bahkan dengan segala daya upaya ingin melenyapkan jiwamu, apa yang musti kau lakukan?"

   Sebelum Yan Cap-sa menjawab, ia telah mewakilinya untuk memberikan jawaban.

   "Tentu saja terpaksa kaupun harus membinasakan pula orang itu"

   Yan Cap-sa menghela napas panjang, sekarang ia dapat memahami maksud dan tujuan perempuan itu. Dengan lembut Si Ko-jin berkata lagi.

   "Akan tetapi kaupun tak usah menghela napas, karena kau sama sekali tak bakal rugi, ada banyak orang pria yang bersedia membunuh orang karena ingin mendapatkan perempuan macam aku"

   "Aku percaya pasti terhadap banyak orang lelaki yang dapat berbuat demikian, tetapi aku........."

   "Kaupun sama saja!"

   "Darimana kau bisa tahu kalau akupun sama saja?"

   "Karena setelah sampai pada saatnya, kau pada hakekatnya tak mempunyai pilihan lain"

   Pelan-pelan dia mendongakkan jidat orang dan katanya kembali.

   "Setelah sampai pada waktunya nanti, bila kau tidak membinasakan dirinya maka dialah yang Ia tidak melanjutkan perkataan tersebut, bukan lantaran ada semacam benda lunak yang menyumbat mulutnya, justru mulutnya telah dipergunakan untuk menyumbat bibir orang. Kali ini Yan Cap-sa tidak lagi menganggapnya sebagai ular berbisa, tampaknya kali ini pikirannya sudah terbuka. Sayang, pada saat itulah tiba-tiba si kusir kereta memperdengarkan desisan kaget. Dengan terkejut ia berpaling, lewat daun jendela ia dapat menyaksikan sebuah roda kereta yang ditumpanginya telah menggelinding lewat dari sisinya dan jatuh di tempat kejauhan. Roda tersebut betul-betul adalah roda keretanya......... Pada saat ia menyaksikan roda itu melaju lewat disampingnya, kereta mereka telah menerjang ke tepi jalan dan terjungkir balik. Dengan terjungkirnya sang kereta maka jendelapun berubah ada di atas. Seseorang sedang mengawasi mereka dari atas, pandangan itu dingin, ya, meski wajahnya ganteng tapi memiliki sepasang mata yang penuh dengan perasaan dendam. Si Ko-jin menghela napas panjang.

   "Coba lihatlah,"

   Demikian ia berkata.

   "bukankah ia benar-benar punya kepandaian?"

   "Betul!", Yan Cap-sa cuma bisa tertawa getir. Hee-ho Seng adalah keturunan dari keluarga persilatan. Pada umumnya keturunan dari ketua persilatan tentu memiliki pendidikan yang tinggi, mereka jarang mengucapkan kata-kata kasar, sekalipun hendak "mengenyahkan"

   Orang, biasanya mereka selalu menggunakan istilah "dipersilahkan".

   Tapi sampai dimanapun disiplin dan sopannya orang itu, kesabaran ada batas-batasnya, demikian pula dengan keadaan Hee-ho Seng pada saat ini.

   Sampai sekarang dia masih belum melontarkan makiannya, kejadian ini sudah terhitung suatu kejadian yang tak mudah.

   Ia cuma memaki dengan sepatah kata saja.

   "Perempuan rendah, gelinding keluarlah dari situ!"

   Si Ko-jin memang seorang perempuan yang penurut, ia tidak membangkang ataupun membantah, ketika ia diminta keluar serta merta diapun keluar.

   Tubuhnya masih dalam keadaan telanjang bulat, secuwil kainpun tidak melekat di tubuhnya.

   Dengan gelisah kembali Hee-ho Seng berteriak.

   "Jangan keluar!"

   Si Ko-jin segera menghela napas panjang.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aaaai...bukankah kau tahu, selamanya aku selalu menuruti perkataanmu?"

   Demikian ia mengeluh.

   "tadi kau suruh aku keluar dan akupun menurut, tapi sekarang kau melarangku keluar, apa yang harus kulakukan sekarang........? Sepucat kertas paras muka Hee-ho Seng saking marahnya, sambil menuding ke arah Yan Cap-sa katanya.

   "Kau.......kau.......kau........"

   Sesungguhnya ia memang tak berbakat untuk bicara, apalagi berada dalam keadaan gelisah dan marah, sepatah katapun tak sanggup diutarakan keluar.

   "Rupa-rupanya dia hendak suruh kau menggelinding keluar?", kata Si Ko-jin tiba-tiba.

   "Aaaah, tidak mungkin"

   "Tidak mungkin?"

   "Ya, tentu saja! Sebab aku bukan perempuan memalukan, kenapa aku musti menggelinding keluar?"

   Yan Cap-sa berhenti sebentar, lalu sambil tertawa, katanya lagi.

   "Aku tahu Hee-ho Kongcu adalah seorang pemuda yang berpendidikan, andaikata ia akan minta aku keluar, maka dengan sikap yang sopan dan penuh rasa sungkan dia akan menggunakan istilah silahkan untuk mengundangku keluar"

   Paras muka Hee-ho Seng kembali dari merah padam berubah menjadi pucat pias, sambil menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang ia berseru.

   "Silahkan, silahkan, silahkan........."

   Secara beruntun dia mengucapkan kata 'silahkan' sebanyak tujuh delapan belas kali, malah ketika kata-katanya belum selesai, Yan Cap-sa telah berada dihadapannya. Kembali Yan Cap-sa tertawa.

   "Sesungguhnya mau apa kau undangku keluar?", katanya.

   "Aku persilahkan kau pergi mampus!"

   Di depan jalan raya berhenti sebuah kereta, di atas pintu keretanya tertera simbol dari keluarga Hee-ho.

   Si bocah dan sang kusir masih duduk di kursi bagian depan, mereka sedang mengawasi Yan Capsa dengan mata melotot.

   Sang kusir adalah seorang kakek kurus kecil berambut putih, sudah puluhan tahun pengalaman kerjanya sebagai kusir kereta kuda.

   Jangan dilihat tubuhnya yang ceking, kegesitan maupun kecakapannya dalam berkusir tak kalah dengan pemuda manapun.

   Gerak-gerik si bocah enteng dan lincah, sudah barang tentu dia pernah berlatih silat.

   Tapi sayang mereka tak sanggup membantu Hee-ho Seng, sebab itu orang yang harus dihadapi Yan Cap-sa tak lebih hanya Hee-ho Seng seorang.

   Dalam hal ini, Yan Cap-sa merasa amat berlega hati.

   Meskipun Hee-ho Seng bukan lawan yang empuk, lebih-lebih pedang seribu ularnya adalah sejenis senjata yang mengerikan.

   Tapi cukup mengandalkan dia dengan sebilah pedangnya, Yan Cap-sa masih belum pikirkan persoalan itu di dalam hati.

   Ia hanya merasa bahwa kejadian tersebut ada sedikit kurang beres.

   Meskipun ia tidak pernah menaruh kesan baik terhadap manusia yang bernama Hee-hong in, tapi lantaran seorang perempuan ia harus membunuh suaminya.

   Sayang ia tak punya waktu untuk mempertimbangkan lebih jauh.

   Pedang seribu ular dari Hee-ho Seng dengan membawa kilatan cahaya tajam bagaikan munculnya beribu ekor ular beracun telah menyerbu ke arahnya.

   Sesungguhnya dengan menggunakan jurus serangan yang manapun dari Toh-mia-cap-sakiamnya, ia sanggup untuk mematahkan ancaman tersebut.

   Tapi pada detik yang terakhir, tiba-tiba timbul suatu ingatan aneh dalam benaknya.

   Kalau Cho Ping boleh menggunakan si burung gagak untuk mencoba jurus pedangnya, kenapa ia tak boleh menggunakan kesempatan ini untuk mencoba daya kekuatan dari jurus pedangnya Sam-sauya? Di kala ingatan tersebut mulai menjalar dalam benaknya, seenteng hembusan angin sejuk, atau secerah sinar matahari di pagi hari, pedangnya telah menyambar ke depan.

   Jurus serangan yang dipergunakan tak lain adalah jurus pedang dari Sam-sauya.

   Ia tidak begitu hapal dengan jurus serangan itu, bahkan ketika menggunakannya ia sama sekali tidak merasakan daya kehebatan dari gerakan tersebut.

   Tapi sedetik kemudian, ia dapat membuktikan kedahsyatannya.

   Serangan maut ular beracun dari Hee-ho Seng secara tiba-tiba hancur punah oleh hembusan angin sejuk itu seperti angin sejuk yang menggoyangkan pohon liu, bagaikan salju yang mencair oleh teriknya panas matahari.

   Ancaman itu lenyap dengan begitu saja.

   Malah Hee-ho Seng terlempar sejauh tujuh delapan kaki ke tengah udara, lalu jauh terbanting di atas atap kereta kudanya sendiri.

   Yan Cap-sa sendiri agak kaget dengan kehebatan itu.

   Buru-buru si kusir tua membangunkan Hee-ho Seng, sementara si bocah membelalakkan matanya sedang memandang ke arahnya dengan pandangan kaget.

   Si Ko-jin sedang menghela napas, tersenyum sambil menghela napas, tentu saja menghela napas cuma pura-pura, sedang tersenyum adalah sesungguhnya....

   Manis betul senyuman yang menghiasi bibirnya, semanis madu sesejuk angin semilir di musim panas.......

   "Tak kusangka ilmu pedangmu jauh lebih tinggi dari apa yang kubayangkan semula", dia berkata.

   "Ya, aku sendiripun tak menyangka", Yan Cap-sa menimpali sambil menghela napas dan tertawa. Helaan napasnya bukan berpura-pura senyumannya lebih tampak kegetirannya daripada manisnya......... Ia cukup menyadari, andaikata jurus manapun dari Toh-mia-cap-sa-kiam yang dipergunakan, tak nanti akan menghasilkan kedahsyatan seperti sekarang ini. Seandainya tiada petunjuk dari Buyung Ciu-ti, mana mungkin ia akan tahan menghadapi serangan tersebut? Kini, sekalipun ia sanggup mengalahkan Sam-sauya, apa pula nikmatnya kemenangan semua itu? Yan Cap-sa mulai merasakan kegetiran dalam hatinya, pergelangan tangannya segera diputar dan pedangnya disarungkan kembali. Pada hakekatnya ia tidak memperhatikan Hee-ho Seng lagi, ia sudah tak menaruh hati lagi kepada orang ini. Sungguh tak disangka olehnya ketika kepalanya didongakkan, Hee-ho Seng telah berdiri kembali dihadapannya, ia sedang memandang dengan tatapan dingin. Yan Cap-sa menghela napas panjang.

   "Apa lagi yang kau inginkan?", ia bertanya.

   "Silahkan!"

   "Oh, kau masih ingin mempersilahkan aku untuk mati?"

   Kali ini Hee-ho Seng masih dapat mengendalikan perasaannya, dengan dingin ia berkata.

   "Jurus pedang yang barusan kau gunakan betul-betul suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di kolong langit"

   Yan Cap-sa tak dapat menyangkal akan kebenaran dari ucapan tersebut.

   Bukan saja perkataan itu adalah perkataan yang sesungguhnya, itupun merupakan perkataan yang penuh rasa kagum, namun bagi pendengarannya justru terasa tak tenteram.

   Sebab jurus pedang itu bukan jurus ilmu pedangnya.

   Kembali Hee-ho Seng berkata.

   "Adapun kedatanganku kali ini adalah ingin merasakan kembali kelihaian dari ilmu pedangmu itu!"

   "Kau ingin menjajal lagi jurus pedangku yang barusan ini?"

   "Benar!"

   Yan Cap-sa tertawa.

   Tentu saja bukan tertawa yang sesungguhnya, pun bukan tertawa dingin, lebih-lebih bukan tertawa getir.

   Tertawa semacam ini tak lebih hanya untuk menutupi saja keadaan yang sesungguhnya.

   Menutup perasaan serta jalan pikirannya pada waktu itu.

   Apabila bocah keparat ini berani mencoba sekali lagi kehebatan dari jurus pedang itu, apabila bukan gila sudah pasti ia telah mempunyai pegangan.

   Agaknya ia tidak mirip orang yang sedang edan.

   Mungkinkah ia telah berhasil menemukan jurus tandingan dari serangan itu? Bahkan ia merasa begitu yakin untuk menang? Perasaan dan pikiran Yan Cap-sa mulai tergerak.

   Ia betul-betul ingin melihat dengan cara apakah manusia di dunia ini dapat memecahkan kehebatan dari jurus pedangnya itu.

   Hee-ho Seng masih menantikan jawabannya.

   Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Yan Cap-sa hanya bisa mengucapkan sepatah kata.

   "Silahkan!"

   Begitu ucapan tersebut diutarakan, Hee-ho Seng telah turun tangan, pedang seribu ularnya telah berubah menjadi ular-ular perak yang menari dan beterbangan memenuhi angkasa......

   Serangan ini tampaknya seperti sebuah serangan tipuan.

   Yan Cap-sa mengetahuinya, cuma ia tak ambil perduli.

   Jurus serangan tipuan atau jurus serangan sesungguhnya dari pihak lawan, serangan dari Samsauya itu masih mampu untuk menghadapinya.

   Kali ini ia pergunakan jurus itu jauh lebih matang dan lancar.

   Di saat pedangnya mulai bergerak melakukan perubahan.

   "Craaat...."

   Ular-ular perak musuh yang beterbangan di angkasa telah bergabung membentuk kembali sebilah pedang.

   Cahaya pedang berkilauan memenuhi angkasa sebuah tusukan kilat telah meluncur masuk.

   Tusukan itu sangat sederhana, bukan saja sederhana, bahkan gerakannya begitu bodoh dan bebal, dan arah yang ditusuk ternyata tak lain adalah titik kelemahan dari jurus pedang Samsauya.

   Yan Cap-sa bena-benar merasa terperanjat.

   Ternyata jurus pemecahan yang dipergunakan Hee-ho Seng saat ini bukan lain adalah jurus pedang yang telah ia praktekkan dihadapan Buyung Ciu-ti tadi.

   Bahkan Buyung Ciu-ti sendiripun mengakui bahwa gerakan jurus ini merupakan satu-satunya jurus pemecahan yang sanggup mematahkan serangan dari Sam-sauya.

   Sekarang, ia telah menggunakan jurus serangannya untuk mematahkan serangan dari Samsauya.

   Hee-ho Seng telah menggunakan jurus pemecahan hasil ciptaannya sendiri untuk membunuh dirinya.

   Kini serangan telah dilancarkan, sekalipun hendak dirubahpun tak mungkin bisa dirubah lagi, mungkinkah ia harus tewas di ujung pedang dari jurus serangan hasil ciptaannya sendiri? Ternyata ia tidak mati! Dengan amat jelasnya dia mengetahui bahwa dibalik jurus serangan yang dipergunakan terdapat setitik kelemahan, dengan amat jelasnya dia tahu tusukan lawan mengarah justru mengarah titik kelemahannya itu.

   Tapi setelah tusukan lawan masuk ke dalam lingkaran serangannya, tiba-tiba gerakan pedangnya kembali melakukan suatu perubahan yang sama sekali tak terduga.

   Perubahan tersebut bukan saja tak pernah disangka olehnya, bahkan perubahan tersebut tak mungkin bisa ia ciptakan sendiri.

   Perubahan itu pada dasarnya memang sudah terkandung di dalam gerakan jurus tersebut.

   Ibaratnya air terjun dari bukit yang tinggi, ketika mengalir ke bawah, maka celah-celah kosong yang kau lihat dengan jelas, ketika tanganmu kau luncurkan ke dalamnya, dengan cepat air telah menutupi celah-celah kosong tadi.

   "Triiiing......!"

   Suau dentingan nyaring bergema memecahkan kesunyian.

   Pedang seribu ular telah patah, patah menjadi beribu-ribu batang kecil.

   Hee-ho Seng sendiri ikut terpental pula ke tengah udara, terpental sangat jauh sekali.

   Kali ini bahkan si kusir tuapun ikut memandang ke arahnya dengan pandangan terperanjat, sedemikian terkejutnya sampai ia lupa untuk merawat keadaan Hee-ho Seng.

   Kali ini, Si Ko-jin bukan cuma tertawa belaka malah ia mulai bersorak sambil bertepuk tangan.

   Akan tetapi perasaan Yan Cap-sa kali ini justru makin tenggelam, seakan-akan tenggelam ke dasar gudang es yang paling dingin.

   Sekarang ia baru mengerti, titik kelemahan yang tertampak dalam gerakan serangan dari Samsauya, pada hakekatnya bukan titik kelemahan yang bisa ditunggangi.

   Sekarang ia baru mengerti, di dunia ini hakekatnya tak seorang manusiapun sanggup mematahkan serangan tersebut.

   Ya, seorang manusiapun tak ada.

   Bila kau ingin mematahkan serangan itu, berarti kau sudah bosan hidup dan pergi hanya untuk menghantar jiwa sendiri, bila Cho Ping berani kesitu, diapun pasti akan mampus.

   Apabila serangan itu bisa dipatahkan, dialah yang berhak mendapat segala pujian dan kebanggaan, sebaliknya bila tak mungkin untuk mematahkannya, maka dialah yang seharusnya tewas.

   Hee-ho Seng yang tergeletak di tanah masih belum bangkit berdiri, noda darah masih mengotori ujung bibirnya.

   Si kusir tua dan si bocah telah tertegun seperti patung saking kaget dan takutnya.

   Tapi kuda penghela kereta masih tetap berdiri tegap, barang siapapun yang menjumpai kuda tersebut, mereka akan segera tahu bahwa kuda itu adalah kuda jempolan yang sudah terlatih lama.

   Dia ingin sekali merampas kuda itu.

   Ia lebih gelisah lagi karena harus cepat-cepat menuju perkampungan Sin-kiam-san-ceng, sekalipun pergi hanya untuk menghantar nyawanya, dia harus ke sana.

   Ia tak ingin membiarkan Cho Ping menghantar nyawanya mewakili dia.

   Sebab bagaimanapun juga dia adalah seorang jago persilatan.

   Orang persilatan selalu mempunyai cara berpikir yang bertolak belakang dengan keadaan pada umumnya.

   Pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar ada orang sedang mendehem pelan.

   Seorang gelandangan yang berpakaian dekil penuh lubang, bau dan kotor, sambil berbatuk-batuk tiada hentinya ke luar dari balik hutan yang sepi.

   Tadi siapapun diantara mereka tak pernah menyaksikan orang ini.

   Tadi, agaknya dalam hutan tiada orang semacam ini, tapi sekarang dengan pasti dan nyata orang itu berjalan ke luar dari balik hutan.

   Langkah tubuhnya sangat lambat, batuknya makin lama semakin keras dan menghebat.

   Pertarungan sengit yang barusan berlangsung, sinar pedang yang berkilauan di angkasa dan mendebarkan hati itu, seakan-akan tak pernah dilihat olehnya.

   Bahkan terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya, diapun seolah-olah tak melihat.

   Gadis cantik yang bugil, paling sedikit ada separuh bagian tubuhnya yang putih dan montok menongol keluar dari balik jendela kereta.

   Tapi dia, seperti tak pernah melihatnya.

   Jago pedang yang luar biasa dahsyatnya, dengan sebilah pedang berhawa pembunuhan.......

   Diapun tidak melihatnya.

   Dalam pandangan orang itu seakan-akan hanya terdapat seorang saja....

   ia seperti hanya melihat kehadiran si kusir tua yang kecil lagi ceking itu.......

   Si kusir tua itu sedang ketakutan setengah mati, sekujur tubuhnya menyusut menjadi satu, bahkan kelihatan sedang gemetar keras.

   Gelandangan itu masih berbatuk tiada hentinya, ia berjalan lambat sekali....tiba-tiba ia berhenti, berhenti tepat di hadapan kereta kuda itu.....

   Kusir tua itu lebih terkejut lagi, ia memandang ke arah gelandangan tadi dengan pandangan terkejut.

   Gelandangan itu sudah berhenti berbatuk-batuk, tiba-tiba sapanya ke arah si kusir tua itu sambil tertawa.

   "Baik, bukan?"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baik? Apanya yang baik? Baik apanya?"

   "Aku maksudkan apakah kau baik?"

   "Bagian manaku yang baik?"

   "Segala-galanya di tubuhmu semuanya baik!"

   Kusir tua itu tertawa getir tapi sebelum ia buka suara, gelandangan itu sudah berkata lagi.

   "Tadi seandainya kau sendiri yang terjunkan diri, sekarang orang itu sudah mati"

   Belum lagi kata-katanya habis diucapkan, ia sudah mulai berbatuk-batuk lagi, bahkan pelan-pelan pergi meninggalkan tempat itu.

   Dengan wajah penuh rasa terkejut, kusir tua itu memandang ke arahnya tanpa berkedip.

   Setiap orang semuanya sedang memandang ke arahnya dengan pandangan terperanjat, seakanakan mereka tidak mengerti apa maksud dari ucapannya itu.

   Yan Cap-sa sendiri seperti setengah mengerti setengah tidak, sesungguhnya dia ingin menyusul orang itu serta menanyakan lebih jelas lagi.

   Sayang gelandangan itu sudah pergi entah kemana, bayangan tubuhnya telah lenyap tak berbekas.

   Sekalipun langkah kakinya sangat lambat, tapi dalam sekejap mata itulah bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas, bahkan suara batuknya sudah tak kedengaran lagi.

   Waktu itu, Si Ko-jin sedang bergumam seorang diri.

   "Aneh, aneh...sungguh aneh sekali! Kenapa raut wajah gelandangan itu seperti ku kenal?"

   Si kusir tua sedang bergumam pula.

   "Heran...heran...sesungguhnya apa yang sedang dimaksudkan oleh orang itu?"

   Sementara itu Yan Cap-sa telah tiba dihadapannya, ia lantas berkata.

   "Apa yang dia katakan, mungkin tak akan dipahami orang lain, akan tetapi aku faham!"

   "Oya?!"

   "Bukan aku saja yang faham, kau sendiripun faham!"

   Kusir tua itu segera menutup mulutnya sekali lagi ia mengawasi orang dihadapannya dengan pandangan kaget bercampur tercengang. Pelan-pelan Yan Cap-sa berkata lagi.

   "Pada dua puluh tahun berselang, jago paling tangguh dalam lembah Ang-im-kok bukanlah Heeho Tiong-san, cengcu yang sekarang ini?"

   "Kalau bukan lo-cengcu, lantas siapa lagi?", kata kusir tua itu segera membantah.

   "Orang itu adalah adik kandungnya yang bernama Hee-ho Hui-san!"

   "Akan tetapi............."

   "Akan tetapi pada dua puluh tahun berselang secara tiba-tiba Hee-ho Hui-san telah lenyap tak berbekas, bahkan kinipun tak ada yang mengetahui jejaknya, bukankah begitu?", tukas Yan Capsa. Kusir tua itu menghela napas panjang.

   "Aaaaai...aku kuatir kalau dia orang tua sudah lama meninggal dunia", bisiknya lirih.

   "Semua orang persilatan mengira dia mati, tetapi sesungguhnya aku telah mengetahuinya bahwa dia sesungguhnya belum mati"

   "Darimana kau bisa tahu?"

   "Karena aku mengetahui jejak dan kabar beritanya!"

   "Oya?! Lantas dia orang tua berada dimana?"

   "Di sini", jawab Yan Cap-sa tegas. Kemudian sambil menatap kusir tua itu tajam-tajam. Sepatah demi sepatah kata ia berkata lagi.

   "Kau adalah Hee-ho Hui-san!"

   Senja telah lama menjelang tiba, angin yang berhembus kian lama kian terasa dingin.

   Tubuh kusir kereta tua yang menyusut bagaikan kura-kura, kini telah berdiri tegak, sorot matanya yang sayu dan ketuaan tiba-tiba memancarkan sinar terang.

   Sinar terang itu hanya akan dijumpai di balik sorot mata seorang jagoan yang betul-betul berilmu tinggi.

   "Jauh pada dua puluh tahun berselang, kau sudah pandai menggunakan Toh-mia-cap-sa-kiam", kata Yan Cap-sa berkata. Kemudian setelah berhenti sebentar, ia memberikan penjelasannya lebih lanjut.

   "Pertarunganmu melawan ayahku di puncak bukit Hoa-san pada dua puluh tahun berselang, meski tak diketahui orang lain, tapi aku mengetahuinya"

   Kusir tua itu mengepal sepasang tangannya kencang-kencang. Kembali Yan Cap-sa berkata.

   "Dalam pertarungan itu, kau menderita kekalahan total ditangan ayahku, sebab itu selama dua puluh tahun terakhir ini kau pasti sudah amat mendalami ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam tersebut, sebab kau selalu ingin mencari kesempatan untuk membalas dendam!"

   Tiba-tiba kusir tua itu menghela napas panjang.

   "Aaaaai....sayang ia mati terlampau awal", keluhnya. Yan Cap-sa berkata lagi.

   "Justru karena kau amat mendalami ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam tersebut, maka kau baru tahu kalau disamping ke tiga belas jurus serangan itu sesungguhnya masih terdapat jurus yang ke empat belas, dan sebab itu pula kau dapat berpikir untuk menggunakan jurus itu untuk mematahkan seranganku tadi"

   Ia menghela napas panjang, terusnya.

   "Sebab kecuali kau, di dunia ini mungkin tak ada orang kedua yang mampu berbuat demikian"

   Ternyata kusir tua itu tidak menyangkal.

   "Kemanapun Si Ko-jin melarikan diri, ia tak pernah lolos dari cengkeraman Hee-ho Seng, tentu saja hal inipun disebabkan karena ada kau", kata Yan Cap-sa lebih lanjut.

   "Oya?!"

   "Kepandaian melacaki jejak orang dari Hwe-gan-sin-eng (Elang Sakti dari kawah berapi) Hee-ho Hui-san adalah nomor satu di dunia, sejak dua puluh tahun berselang sudah jarang ada orang di dunia ini yang mampu menandingi kepandaianmu itu"

   "Rupa-rupanya persoalan tentang diriku yang kau ketahui tidak terlalu sedikit!", sindir si kusir tua dengan suara ewa.

   "Ya, memang tidak sedikit!"

   Tiba-tiba mencorong sinar mata setajam sembilu dari mata kusir tua itu, katanya.

   "Apakah kaupun tahu kenapa aku lenyap secara tiba-tiba? Kenapa setelah lenyap tak berbekas aku rela menurunkan derajatku menjadi seorang budak dan menjadi kusir keretanya Hee-ho Seng?"

   "Tentang persoalan itu, aku rasa tak perlu tahu!", jawab Yan Cap-sa dengan suara ewa. Persoalan-persoalan semacam itu memang tak perlu ia ketahui, sebab urusan itu merupakan rahasia pribadi orang lain, tapi bukan berarti rahasia pribadi orang lain tidak diketahui olehnya. Pertikaian antara sesama saudara, cinta gelap antara sang enso dengan sang ipar, karena kurang berhati-hati menyebabkan sekali salah melangkah mengakibatkan selama hidup harus menanggung sesal. Sesungguhnya tragedi semacam itu sudah seringkali terjadi dalam suatu keluarga yang besar, bukan berarti hanya dalam keluarga Hee-ho saja kejadian semacam itu dapat terjadi. Cuma saja lantaran mereka mempunyai nama yang cemerlang serta kedudukan yang mulia, maka semua tragedi serta kejadian yang memalukan yang telah terjadi berhasil dirahasiakan serapatrapatnya. Lenyapnya Hee-ho Hui-san dimasa lampau mungkinkah karena ia mempunyai hubungan cinta gelap dengan ensonya sendiri? Setelah lenyap tak berbekas, diam-diam ia telah kembali lagi, bahkan rela menjadi budak, menjadi kusir kudanya Hee-ho Seng, apa sebenarnya yang ia tuju? Mungkinkah Hee-ho Seng adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan sang enso? Tentang persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan rahasia orang, Yan Cap-sa tak ingin membuat dugaan-dugaan. Sebab hal itu merupakan rahasia pribadi orang lain, ia tak perlu untuk mengetahuinya. Kusir tua itu sedang memandang ke arahnya, memandangnya dengan menggunakan sepasang matanya yang tidak sayu lagi. Yan Cap-sa tidak berusaha untuk menghindari pandangan mata lawan. Apabila seseorang merasa tak pernah melakukan kesalahan yang bertentangan dengan batinnya, ia tak perlu menghindari tatapan mata semacam itu. Tba-tiba si kusir tua itu mengajukan satu pertanyaan yang aneh sekali.

   "Sekarang kau memakai nama marga apa?"

   "Yan, yan dari kata yan-cu atau walet!"

   "Jadi kau adalah Yan Cap-sa?"

   "Betul!"

   "Kau sungguh-sungguh adalah putranya Ho-loji?"

   "Betul!"

   Beberapa patah kata ini bukan saja ditanyakan secara aneh, ditanyakan secara membingungkan, ternyata jawaban yang diperolehpun sama-sama membingungkannya.

   Sesungguhnya pertanyaan itu adalah suatu pertanyaan yang sama sekali tiada artinya.

   Pertanyaan semacam itu sesungguhnya tak perlu harus di jawab, tapi Yan Cap-sa mau tak mau harus menjawabnya.

   Sebab ia tahu pertanyaan tersebut bukan sama sekali tak ada artinya, bahkan ucapan selanjutnya dari kusir tua itu lebih-lebih tak mungkin kalau tak berarti.

   Ia berkata begini.

   "Kalau toh kau adalah putranya bapakmu, seharusnya aku bunuh dirimu!"

   Yan Cap-sa tidak membuka suara.

   Ia cukup memahami perasaan dari orang tua ini.

   Bagi pandangan setiap umat persilatan, suatu kekalahan adalah penghinaan dan malu, dendam sakit hati seperti ini tak mungkin bisa terlupakan untuk selama-lamanya.

   Dendam sakit hati semacam ini harus dituntut balas.

   "Sebetulnya tadi aku ingin menggunakan jurus pedangmu sendiri untuk membunuhmu!"

   Kusir tua itu berkata. Ia menghela napas panjang, terusnya.

   "Sayang cara Hee-ho Seng melancarkan serangannya terlampau lemah, dan lagi perubahan jurus pedangmu terlalu mengerikan"

   "Sesungguhnya tidak terlampau lemah serangannya itu, cuma ia sudah kehilangan rasa percayanya pada diri sendiri!"

   Kusir tua itu membungkam. Kembali Yan Cap-sa berkata.

   "Justru serangan itu belum begitu hafal bagiku, maka seandainya kau yang melancarkan serangan tadi, kemungkinan besar aku sudah tewas di ujung pedangmu"

   Kusir tua itu mengakui, pandangan manusia gelandangan tadi memang terlalu tepat.

   Tapi....siapakah dia? Tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan aneh yang berkeliaran dalam dunia persilatan, kalau orang lain tak ingin memperlihatkan identitas sendiri, apa gunanya kau mencari orang itu serta menanyakan asal-usulnya? "Sekarang........", kata Yan Cap-sa.

   "Sekarang sudah jauh berbeda!", kusir tua itu menambahkan.

   "Di mana letak perbedaannya?"

   "Sekarang kau sudah menaruh kepercayaan penuh atas kehebatan dari jurus pedang itu, maka akupun tak sanggup untuk mematahkannya"

   "Atau paling sedikit kau boleh mencobanya dulu?"

   "Tidak perlu!"

   "Tidak perlu?"

   "Kalau toh banyak persoalan yang tak perlu kau ketahui, kenapa ada banyak persoalan yang tak perlu kucoba?"

   Ia tidak memberi kesempatan bagi Yan Cap-sa untuk melanjutkan kata-katanya, kembali ia menambahkan.

   "Dua puluh tahun berselang, aku kalah di ujung pedang ayahmu, dan dua puluh tahun kemudian Hee-ho Seng kembali kalah di ujung pedangmu, apa gunanya bagiku untuk mencobanya kembali?"

   Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara yang datar dan tawar, tapi siapapun dapat menangkap bahwa di balik perkataannya itu sebetulnya terkandung rasa sedih yang luar biasa.

   Yan Cap-sa dapat memahami perasaannya.

   Yang menjadikan ia berduka mungkin bukan pertarungan pada dua puluh tahun berselang, tapi justru kekalahan pada hari ini.

   Pada akhirnya ia merasakan bahwa kemampuan putranya ternyata masih belum mampu menandingi kehebatan putra musuhnya.

   Kekalahan ini baru merupakan suatu kekalahan total, kekalahan mutlak, dan kekalahan semacam ini tak mungkin bisa di tolong lagi, sekalipun putra musuhnya dibunuh, apa gunanya? Pelan-pelan kusir tua itu berkata.

   "Hari ini keluarga Hee-ho sudah betul-betul menderita kalah, orang dari keluarga Hee-ho kami boleh kau bawa pergi sesuka hatimu!"

   Ia sudah bersiap-siap untuk menyerahkan Si Ko-jin kepada Yan Cap-sa. Rupanya ia sudah tidak menginginkan menantu semacam itu lagi.

   "Aku sama sekali tak ingin membawa pergi siapapun juga!", kata Yan Cap-sa tegas.

   "Kau benar-benar tidak ingin?"

   Yan Cap-sa menggelengkan kepalanya.

   "Tapi aku sangat menginginkan............."

   "Sekalipun kau menginginkan batok kepalaku sekarang juga akan kupersembahkan untukmu!", tukas si kusir tua itu dengan mata mencorong sinar tajam. Yan Cap-sa tertawa.

   "Tidak! Aku tidak menginginkan batok kepalamu, aku hanya ingin meminjam seekor kuda, seekor kuda yang dapat berlari cepat!"

   Kuda itu betul-betul seekor kuda bagus yang dapat berlari cepat.

   Yan Cap-sa membedal kudanya secepat-cepatnya.

   Terhadap kuda bagus yang sanggup berlari cepat ini, tiada rasa sayang barang sedikitpun yang tercermin di atas wajahnya.

   Terhadap kesehatan tubuh sendiripun ia tidak menaruh perhatian, apalagi terhadap kesehatan seekor kuda? Terhadap pertarungan yang bakal berlangsung ia sama sekali tidak mempunyai pegangan apaapa, diapun tak punya harapan, sebab dia tahu, tiada seorang manusiapun sanggup mematahkan serangan dari Sam-sauya.

   Ya, sudah pasti tak ada! Ia hanya berharap bisa tiba di telaga Liok-sui-ou sebelum kedatangan Cho Ping di situ.

   Telaga Liok-sui-ou terletak di bawah bukit Cui-im-hong.

   Perkampungan Sin-kiam-san-ceng terletak di bawah bukit di tepi telaga.

   Bangunannya kuno, tapi kokoh dan besar.

   Di pantai seberang telaga merupakan sebuah dusun kecil yang sebagian besar penduduknya berasal dari marga Cia.

   Seringkali orang-orang yang akan menuju ke perkampuangan Sin-kiamsan- ceng selalu akan berhubungan dulu dengan Cia-ciangkwe yang berdiam di sana.

   Seperti juga dusun-dusun lain, rumah makan milik Cia ciangkwe ini bernama Sin-hoa-ceng.

   Dusun itu bernama dusun Sin-hoa-ceng.

   Di kala Yan Cap-sa tiba di dusun Sin-hoa-ceng yang kecil, kuda itu telah rubuh kepayahan.

   Untung orangnya masih tetap segar dan tak ikut roboh.

   Ia segera menyerbu masuk ke dalam rumah makan, dia ingin bertanya kepada Cia ciangkwe apakah Cho Ping telah tiba di perkampungan Sin-kiam-san-ceng.

   Tapi ia tak perlu bertanya lagi.

   Sebab ketika ia menyerbu masuk ke dalam, ia segera melihat jawabannya.

   Ya, jawabannya yang hidup dan segar.

   ooooOOOOoooo Bab 4.

   Perkampungan Pedang Sakti Rumah makan Sin-hoa-ceng yang kecil hanya melayani dua orang.

   Ketika Yan Cap-sa menyerbu ke dalam, ia segera menyaksikan Cho Ping duduk di sudut ruangan.

   Ternyata Cho Ping sudah tiba lebih duluan.

   Ternyata Cho Ping masih hidup segar bugar.

   Mungkinkah ia telah berjumpa dengan Sam-sauya? Kini terbukti ia masih hidup, jangan-jangan Sam-sauya telah tewas di ujung pedangnya? Yan Cap-sa tidak percaya, tapi mau tak mau dia harus mempercayainya.

   Cho Ping bukanlah seorang manusia yang penyabar, begitu tiba, ia pasti langsung akan menyerbu ke dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng.

   Tak nanti dia akan menunggu di sana dengan begitu tenangnya.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Barang siapa dapat menyerbu ke dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng, dan ia masih sanggup ke luar dalam keadaan hidup, maka hanya ada satu alasan saja sebagai jawabannya.

   Orang itu pasti sudah berhasil mengalahkan manusia yang paling berbahaya, manusia paling menakutkan dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng.

   Sungguhkah Cho Ping telah mengalahkan Sam-sauya? Dengan jurus serangan apakah ia berhasil mematahkan serangan maut dari Sam-sauya? Yan Cap-sa ingin sekali menanyakan persoalan ini, namun ia tidak bertanya apa-apa.

   Sebab walaupun Cho Ping masih hidup, ia sudah mabuk hebat.

   Ya, sedemikian mabuknya dia, sehingga kesadarannya boleh dibilang sudah punah.

   Untung dalam rumah makan itu masih terdapat orang lain yang tidak mabuk, ia sedang memandang ke arahnya sambil gelengkan kepalanya dan menghela napas.

   "Tampaknya saudara ini bukan seorang peminum ahli, baru setengah kati arak ia sudah mabuk"

   Bukan seorang peminum arak, kenapa sekarang bisa mabuk oleh arak? Mungkinkah mabuk digunakan untuk menutupi kehambaran setelah suatu kemenangan yang tak berarti? Ataukah dia hendak menggunakan arak untuk memperbesar keberaniannya sebelum bertempur, tapi ia mabuk lebih duluan? Yan Cap-sa tak dapat menahan sabarnya untuk bertanya.

   "Kaukah yang bernama Cia ciangkwe?"

   Orang yang sedang menggelengkan kepalanya sambil menghela napas itu segera manggutmanggutkan kepalanya.

   "Tahukah kau, apakah saudara ini telah berjumpa dengan Sam-sauya dari keluarga Cia?", kembali Yan Cap-sa bertanya. Cia ciangkwe masih juga menggeleng.

   "Tidak, aku tidak tahu"

   "Apakah ia sudah mendatangi perkampungan Sin-kiam-san-ceng?"

   "Aku tidak tahu"

   "Sam sauya, kini berada di mana?"

   "Aku tidak tahu!""

   Lantas apa yang kau ketahui?", kata Yan Cap-sa kemudian dengan suara yang dingin. Cia ciangkwe tertawa lebar.

   "Aku hanya tahu saudara adalah Yan Cap-sa, aku hanya tahu kalau saudara hendak berkunjung ke perkampungan Sin-kiam-san-ceng!"

   Yan Cap-sa ikut tertawa sesudah mendengar perkataan itu. Persoalan yang seharusnya ia ketahui ternyata tidak diketahui olehnya, sebaliknya persoalan yang seharusnya tidak diketahui olehnya, dia malahan seperti mengetahui semuanya.

   "Dapatkah kau bawa aku ke sana?", kembali Yan Cap-sa bertanya.

   "Dapat!"

   Air telaga Liok-sui-ou hijau kebiru-biruan. Sayang waktu itu musim gugur telah tiba, sepanjang telaga tidak nampak lagi pohon liu yang berjajar, yang ada cuma sebuah perahu cepat.

   "Perahu ini telah kami sediakan khusus untuk menyambut kedatanganmu, aku telah menyiapkannya sejak tiga hari berselang"

   Setelah naik ke atas perahu, dalam perahu bukan saja ada arak dan sayur, di situpun ada sebuah khim, seperangkat alat permainan catur, sebuah

   Jilid kitab dan sebuah batu cadas yang keras dan berkilat.

   "Benda apakah ini?", tanya Yan Cap-sa kemudian.

   "Batu pengasah pedang!", jawab Cia ciangkwe sambil tertawa. Kemudian sambil tersenyum ia menjelaskan lebih jauh.

   "Sudah terlampau banyak orang yang kujumpai sebelum mereka mendatangi perkampungan Sinkiam- san-ceng, dan setiap orang yang sudah naik ke atas perahu ini, biasanya perbuatan yang mereka lakukan selalu tidak sama!"

   Yan Cap-sa tidak memberi komentar, ia hanya mendengarkan dengan saksama.

   "Ada sementara orang, begitu naik ke perahu ia lantas minum arak sepuas-puasnya"

   "Minum arak dapat memperbesar keberanian orang!", Yan Cap-sa menimpali dari samping. Ia memenuhi cawan dengan arak lalu meneguknya sampai habis, setelah itu katanya lagi.

   "Cuma setiap orang yang minum arak bukan berarti untuk memperbesar keberanian saja!"

   Cia cingkwe segera menyatakan setuju dengan pandangan itu. Katanya dengan tersenyum.

   "Ya, benar! Ada sementara orang minum arak hanya dikarenakan ia gemar minum arak"

   Yan Cap-sa kembali menghabiskan tiga cawan arak.

   "Ada pula sementara orang yang gemar memetik khim, atau membaca buku, bahkan ada pula yang gemar main catur seorang diri", kata Cia ciangkwe lagi. Pekerjaan-pekerjaan semacam itu memang bisa mengendorkan ketegangan yang mencekam perasaan seseorang. Dengan bermain khim atau membaca buku tau bermain catur, ketenangan serta kemantapan hatinya dapat terpelihara dengan baik. Kata Cia ciangkwe lebih jauh.

   "Tapi sebagian besar orang-orang yang naik ke perahu ini, mereka lebih suka mengasah pedangnya"

   Cia ciangkwe memandang sekejap pedang yang dibawa Yan Cap-sa, lalu katanya.

   "Batu pengasah pedang ini adalah sebuah batu pengasah yang baik sekali kwalitetnya"

   Yan Cap-sa segera tertawa.

   "Selamanya pedangku tak pernah di asah dengan batu pengasah pedang....", katanya.

   "Kalau tidak diasah dengan batu pengasah pedang, lantas kau asah pedangmu dengan apa?"

   "Dengan tengkuk manusia, terutama tengkuk musuh-musuhku!"

   Ombak menggulung-gulung menuju ke tepi telaga, sinar matahari senja membiaskan cahayanya ke seluruh jagat.

   Bukit Cui-im-hong yang berada di kejauhan tampak indah menawan bagaikan berada dalam lukisan belaka.

   Suasana dalam ruang perahu itu amat hening, karena Cia ciangkwe telah menutup mulut.

   Ia tak ingin membiarkan tengkuknya dibuat pengasah pedang orang, tapi sepasang matanya masih tak tahan untuk melirik sekejap pedang tersebut, pedang dengan tiga belas butir mutiara menghiasi di atasnya.

   Pedang itu bukan sebilah pedang mestika, tapi merupakan sebilah pedang kenamaan, bahkan amat termashur.

   Yan Cap-sa yang sedang memandang keindahan alam di luar jendela seakan-akan teringat kembali akan suatu rahasia dalam hatinya.

   Entah berapa lama sudah lewat dalam keheningan, tiba-tiba ia berpaling sambil bertanya.

   "Tentu saja kau pernah berjumpa dengan Sam sauya, bukan?"

   Cia ciangkwe tak dapat menyangkal.

   "Pedang macam apakah yang biasanya dipergunakan?", tanya Yan Cap-sa lebih lanjut. Ia pernah menyaksikan Sam sauya turun tangan, tapi ia tidak melihat jelas pedang yang dipergunakan sebab gerakan tangan Sam sauya terlampau cepat, maka dia tak tahan untuk mengajukan pertanyaan ini.

   "Aku tak tahu!"

   Tapi rupanya dugaan kali ini meleset. Cia ciangkwe tampak termenung sebentar, pelan-pelan berkata.

   "Tahukah kau tentang peristiwa adu pedang di bukit Hoa-san yang diselenggarakan tempo hari?"

   Tentu saja Yan Cap-sa tahu.

   "Pedang itulah yang telah dipergunakan Sam-sauya", kata Cia ciangkwe lebih lanjut.

   "Thian-he-tit-it-kiam?"

   Pelan-pelan Cia-ciangkwe mengangguk lalu menghela napas.

   "Ya, hanya pedang itu merupakan pedang mestika yang benar-benar tiada tandingannya di kolong langit"

   "Perkataanmu memang benar!", Yan Cap-sa mengakui.

   "Ada banyak sekali orang yang menumpang perahu ini, tak lain hanya ingin menyaksikan pedang tersebut"

   "Apakah setiap kali kau yang bertanggung jawab untuk menghantar mereka ke seberang?"

   "Biasanya memang selalu demikian, sewaktu berangkat seringkali kutemani mereka minum arak atau bermain catur"

   "Sewaktu kembalinya?"

   Cia ciangkwe tertawa.

   "Sewaktu kembali, seringkali aku harus pulang seorang diri", katanya.

   "Kenapa?"

   "Karena begitu mereka menginjakkan kakinya dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng, biasanya jarang sekali dapat pulang dalam keadaan selamat!"

   Jawaban dari Cia ciangkwe ini cukup tawar dan menggidikkan hati.

   Matahari semakin tenggelam di balik bukit, senjapun semakin kelam.

   Gunung nan hijau di tempat kejauhan kain lama kian terlelap di balik kegelapan yang makin mencekam, seakan-akan sebuah lukisan yang warnanya mulai luntur.

   Suasna dalam ruang perahu lebih hening lagi, karena Yan Cap-sa-pun membungkam dalam seribu bahasa.

   Kepergiannya kali ini mungkinkah bisa kembali lagi dalam keadaan hidup? Tiba-tiba ia teringat akan banyak urusan, banyak persoalan yang sesungguhnya tak pantas dibayangkan pada saat seperti ini.

   Ia teringat kembali akan masa kecilnya dulu, terbayang kembali sobat-sobatnya di kala remaja, lalu teringat pula akan orang-orang yang tewas di ujung pedangnya.

   Di antara sekian banyak orang, adakah beberapa di antaranya yang sebetulnya tak pantas mati? Ia teringat kembali akan perempuan pertama yang menemaninya tidur, waktu itu ia masih seorang anak-anak, sebaliknya perempuan itu sudah sangat berpengalaman.

   Baginya, persoalan itu bukanlah suatu pengalaman yang menarik hati, tapi sekarang apa mau dikata justru ia teringat kembali akan peristiwa itu.

   Bahkan ia teringat juga akan Si Ko-jin.

   Sekarang, mungkinkah dia telah ikut Hee-ho Seng pulang ke rumahnya? Apakah Hee-ho Seng masih bersedia menerimanya lagi? Sesungguhnya persoalan semacam ini tak perlu ia pikirkan, tidak seharusnya dia bayangkan, dan sebetulnya diapun tak berharap untuk memikirkannya.

   Tapi sekarang ia telah memikirkan semuanya itu, semakin dipikir bahkan pikirannya semakin kalut.

   Pada saat pikirannya lebih kalut, mendadak ia menyaksikan seseorang berdiri di tepi telaga Lioksui- ou, di bawah senja yang kelabu.

   Pada umumnya bila pikiran seseorang sedang kalut dan bingung, seringkali tidak gampang baginya untuk melihat orang lain, apa lagi urusan yang lain.

   Tapi di kala pikiran Yan Cap-sa mencapai titik kekalutannya, justru ia telah melihat orang itu.

   Orang itu tidak mempunyai potongan yang istimewa.

   Orang itu adalah seorang laki-laki setengah umur, mungkin lebih tua sedikit dari setengah umur sebab rambutnya banyak yang mulai beruban, sorot matanya memancarkan pula keletihan dan ketuaan.

   Pakaiannya amat sederhana, seperangkat baju berwarna hijau dengan sepatu kain dan kaos putih.

   Ketika Yan Cap-sa memandang ke arahnya seperti pula ia sedang memandang senja yang kelabu itu, perasaannya akan timbul suatu ketenangan, suatu keindahan dan suatu kenyamanan yang enak dan segar, tiada rasa kaget atau ngeri atau takut yang tersirap dalam benaknya.

   Cia ciangkwe telah menyaksikan pula kehadiran orang itu, Cuma ia menunjukkan rasa kaget, tercengang bahkan sedikit rasa ngeri dan takut.

   "Siapakah orang ini?", tak tahan Yan Cap-sa bertanya. Cia ciangkwe tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya.

   "Masa kau tidak tahu, siapakah cengcu generasi yang lalu dari perkampungan Sin-kiam-sanceng?"

   "Kau maksudkan Cia Ong-sun?", Yan Cap-sa menegaskan. Cia ciangkwe manggut-manggut.

   "Nah, orang yang akan kau jumpai sekarang tak lain adalah Cia lo-cengcu, Cia Ong-sun!"

   Cia Ong-sun bukan seorang jago persilatan yang tersohor namanya atau seorang pendekar yang disegani setiap orang dalam dunia persilatan.

   Ia menjadi tersohor di dunia karena dia adalah cengcu dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng.

   Yan Cap-sa mengetahui hal ini, tapi tak disangka olehnya kalau Cia cengcu yang dikenal namanya oleh setiap orang itu tak lebih hanya seorang manusia yang begitu sederhana, begitu bersahaja dan lembut.

   Sepintas lalu meski usianya tidak terlampau tua, tapi kehidupannya telah mencapai senja yang kelam, seperti juga ketenangan dan kekelaman yang mencekam suasana ketika itu, seakan-akan tiada suatu kejadian di dunia ini yang dapat menggerakkan lagi hatinya.

   Tangannya kering tapi hangat dan lembut.

   Sekarang ia sedang menggenggam tangan Yan Cap-sa sambil tertawa.

   "Tak usah kau perkenalkan dirimu, aku sudah tahu siapakah kau", demikian ia berkata.

   "Tapi cianpwe, kau......"

   "Jangan sebut aku sebagai cianpwe", tukas Cia Ong-sun.

   "setiap orang yang telah sampai di sini, dia adalah tamu agungku". Yan Cap-sa tidak mendebat, diapun tidak sungkan-sungkan lagi. Digenggam oleh tangan seperti itu, tiba-tiba saja timbul perasaan hangat dalam hatinya. Tapi tangan yang lain masih erat-erat menggenggam pedangnya.

   "Rumahku terletak tak jauh di depan sana", kata Cia Ong-sun.

   "kita boleh pelan-pelan menuju ke sana"

   Kemudian sambil tersenyum katanya lagi.

   "Bisa berjalan-jalan bersama manusia macam kau dalam suasana seperti ini sungguh merupakan suatu peristiwa yang amat menggembirakan......!"

   Meskipun matahari senja telah lenyap dari pandangan, daun-daunan hijau di atas bukit masih kelihatan begitu anggun dan menarik.

   Harum bunga dari tempat kejauhan tersiar di sela hembusan angin malam, membuat suasana bertambah nyaman.

   Di antara sela-sela pepohonan yang lebat, terbentang sebuah jalan kecil beralas batu.

   Tiba-tiba timbul suatu perasaan tenang, perasaan nyaman yang sudah banyak tahun tak pernah dirasakan lagi.

   Dalam keadaan demikian, tiba-tiba saja ia teringat akan sebuah syair.

   Mendaki ke bukit dingin, jalan berliku-liku Awan putih menyelimuti angkasa, tiada sanak keluarga Duduk dalam kereta, berhenti di tepi hutan, menikmati indahnya malam Bunga dan dedaunan, hanya bersemi di bulan ke dua Cia Ong-sun berjalan sangat lambat.

   Baginya walaupun kehidupan sudah makin menipis, tapi ia tidak gelisah, diapun tidak cemas.

   Perkampungan Sin-kiam-san-ceng yang berdiri kokoh di tempat kejauhan, mulai tampak secara lamat-lamat.

   Tiba-tiba Cia Ong-sun berkata.

   "Bangunan ini adalah tinggalan dari nenek moyang kami yang membangunnya pada dua ratus tahun berselang, hingga kini corak bangunannya masih belum mengalami perubahan, walau hanya sedikitpun"

   Suaranya mendadak berubah menjadi parau dan penuh kedukaan, lanjutnya.

   "Tapi manusia-manusia yang berada di sini telah berubah semua, bahkan sangat banyak perubahannya"

   Yan Cap-sa mendengarkan dengan tenang.

   Ia dapat menangkap perasaan dari orang tua ini, meskipun perasaannya agak tersentuh namun bukan berarti ia berduka.

   Karena ia sudah dapat memandang segala sesuatunya dengan lebih luas dan bebas.

   Setiap manusia memang harus mengalami perubahan, kenapa perubahan tersebut harus disedihkan? Kembali Cia Ong-sun berkata.

   "Orang yang membangun perkampungan ini tak lain adalah nenek moyang angkatan pertama kami, mungkin kau mengetahui tentang dirinya, bukan?"

   Tentu saja Yan Cap-sa mengetahuinya.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dua ratus tahun berselang, semua pendekar kenamaan dalam kolong langit telah berkumpul di bukit Hoa-san, membicarakan soal ilmu silat dan memperbincangkan soal ilmu pedang.

   Kejadian tersebut sungguh merupakan suatu peristiwa yang mengesankan.

   Kalau seseorang dapat memperoleh pujian serta sanjungan dari segenap pendekar kenamaan di dunia dalam waktu seperti itu, maka orang itu pastilah seorang manusia yang agung dan luar biasa.

   Cia Ong-sun berkata lebih jauh.

   Jilid-4

   "Sejak dia orang tua meninggal dunia, turun temurun berlangsung beberapa generasi di tempat ini, sekalipun tak seorang di antara mereka yang mampu menandingi dia orang tua, tapi setiap kepala keluarga Cia yang memerintah di sini pasti telah melakukan suatu sejarah yang cemerlang dan suatu peristiwa yang menggemparkan seluruh dunia". Ia tertawa dan berganti napas, kemudian melanjutkan.

   "Hanya aku seorang yang tak becus, hanya aku seorang yang tidak menciptakan kejadian apaapa, aku tak lebih cuma seorang manusia biasa, seorang yang sesungguhnya tak pantas menjadi keturunan dari keluarga Cia......."

   Tertawanya begitu tenang, begitu lembut dan hangat, katanya lebih lanjut.

   "Oleh karena aku tahu bahwa aku hanya seorang manusia biasa yang tak becus, maka aku malah bisa menikmati kehidupan yang sederhana dan aman tenteram"

   Yan Cap-sa hanya mendengarkan, tanpa memberi komentar apa-apa.

   "Aku mempunyai dua orang putri dan tiga orang putra", Cia Ong-sun menambahkan.

   "putriku yang sulung kawin dengan seorang pemuda yang berbakat, sayang ia terlalu sombong, maka mereka mati terlalu cepat". Yan Cap-sa pernah mendengar cerita itu. Toa-siocia dari keluarga Cia kawin dengan seorang jago pedang muda belia yang hebat dan pemberani. Mereka memang mati terlampau awal, mati di tengah malam perkawinannya, terbunuh dalam kamar pengantin mereka yang indah dan penuh kehangatan itu.

   "Putriku yang kedua juga mati terlampau awal, ia mati karena murung dan sedih, sebab orang yang dicintainya ternyata adalah kacung bukuku sendiri, karena ia tak berani berterus terang, kamipun tidak tahu sebab itu kujodohkan dia dengan orang lain, tapi sebelum perkawinan itu tiba, ia sudah mati secara mengenaskan". Ia menghela napas panjang, tambahnya.

   "Padahal jika ia mau berterus terang dan mengungkapkan isi hatinya, kami tidak akan menolak, kacung bukuku adalah seorang anak yang baik". Untuk pertama kalinya ia menghela napas panjang, cuma helaan napas itu tidak terlalu banyak mengandung nada sedih, justru lebih banyak perasaan masa bodohnya. Sebagai seorang manusia, kenapa ia harus sedih atas kejadian yang sudah lewat? "Putra sulungku adalah seorang laki-laki yang lemah pikiran, semenjak kecil ia sudah bego dan tak bisa apa-apa, putraku yang nomor dua karena ingin membalaskan dendam bagi kematian cicik dan cihunya, ia sendiripun akhirnya tewas di bukit Im-san."

   Sekalipun ia tewas, namun kelompok setan dari bukit Im-san yang telah mencelakai jiwa Toasiocia dari keluarga Cia, tak seorangpun yang berhasil lolos dalam keadaan hidup.

   "Inilah ketidak beruntungan dari keluarga kami,"

   Kata Cia Ong-sun.

   "tapi aku tak pernah murung atau menyalahkan orang lain". Suaranya masih tetap tenang dan datar.

   "Setiap manusia mempunyai takdirnya masing-masing, beruntungkah dia? Atau sialkah dia? Siapapun tak dapat menyalahkan siapa. Kalau ia tidak murung karena menerima rejeki, kenapa harus murung di kala ketimpa sial? Ya, selama banyak tahun ini pikiran dan caraku berpandangan memang jauh lebih terbuka!"

   Seseorang yang telah mengalami banyak musibah, banyak kesialan dan tragedi, ternyata masih dapat mempertahankan ketenangan dan kehalusan budinya, dari sini dapat diketahui bahwa dia memang seorang manusia yang luar biasa.

   Yan Cap-sa merasa sangat kagum, ia betul-betul kagum sekali.

   "Setelah jalan pikiranku lebih terbuka,"

   Kata Cia Ong-sun lagi.

   "aku dapat menarik kesimpulan bahwa kesialan dan musibah yang selama ini menimpa diriku, kemungkinan besar adalah hukum karma yang harus kami jalankan karena napsu membunuh dari nenek moyang kami di masa lalu.........."

   Tapi mengapa ia harus memberitahukan semua persoalan itu kepada orang lain? Sesungguhnya persoalan ini adalah urusan pribadi dari keluarga mereka sendiri, persoalan yang tidak sepatutnya diketahui orang lain.

   ...Ia memberitahukan segala sesuatunya itu kepadaku, mungkinkah lantaran ia telah menganggap diriku sebagai seorang manusia yang hampir mendekati ajalnya? ...Hanya orang mati saja yang selamanya tak akan membocorkan rahasia tersebut.

   Yan Cap-sa telah berpikir sampai ke situ, tapi ia tak ambil perduli.

   Karena jalan pikirannya telah terbuka pula, bagaimana pandangan orang lain kepadanya, ia tak akan ambil perduli.

   Kembali Cia Ong-sun berkata.

   "Tentu saja kau tahu bukan, kalau aku masih mempunyai seorang putra, ia bernama Cia Siauhong?"

   "Aku tahu!"

   "Dia memang seorang bocah yang amat cerdik, dialah roh kehidupan dari keluarga Cia, kekuatan dari kami!"

   "Aku tahu, di kala masih mudanya dulu, ia pernah mengalahkan jago pedang yang paling termashur waktu itu, Hoa Sau-kun!"

   "Ilmu pedang yang dimiliki Hoa Sau-kun tidak setinggi apa yang digembar-gemborkan orang, lagi pula ia terlampau sombong. Pada hakekatnya ia tak pandang sebelah matapun terhadap seorang bocah yang berusia belasan tahun"

   Pelan-pelan ia melanjutkan.

   "Bila seseorang ingin belajar pedang, dia harus berlatih dengan hati yang bersih dan perasaan yang tulus, keangkuhan atau sombong, jangan sekali-kali sampai menempel di dalam tubuhnya, karena kesombongan paling mudah menciptakan keteledoran dan setiap keteledoran yang bagaimanapun kecilnya bisa mengakibatkan melayangnya selembar nyawa". Yan Cap-sa tak dapat menahan diri lagi, ia menghela napas panjang.

   "Hanya cukup mengandalkan hal ini, tidak bisa disangkal lagi bahwa dia seorang jago pedang yang tiada tandingannya di dunia dewasa ini.....!"

   Tiba-tiba Cia Ong-sun menghela napas lagi.

   "Sayang hal inipun merupakan ketidak beruntungan baginya"

   "Kenapa"

   "Justru karena ia tak pernah memandang rendah siapapun juga, maka setiap kali berhadapan dengan musuh, ia selalu akan menggunakan segenap kekuatan tubuhnya"

   Meskipun ia tidak melanjutkan perkataannya lebih jauh, Yan Cap-sa telah memahami maksudnya.

   Bila setiap kali menghadapi musuh, seseorang selalu menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya, maka setiap kali juga pasti ada orang yang menjadi korban di ujung pedangnya.

   Semenjak dulu ia memang sudah tahu bahwa di bawa pedang Sam-sauya tak pernah ada orang yang lolos dalam keadaan hidup.

   Untuk kesekian kalinya, Cia Ong-sun menghela napas.

   "Kesalahan terbesar yang pernah dilakukan selama hidupnya adalah napsu membunuhnya yang terlampau besar!"

   "Tapi hal ini bukan merupakan kesalahannya!"

   "Bukan? Ya, memang bukan!"

   "Mungkin ia memang tak berhasrat membunuh orang, ia membunuh orang karena ia tak punya pilihan lain kecuali berbuat demikian"

   Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa. 'Bila kau tidak membunuhku, maka akulah yang akan membunuhmu'. Yan Cap-sa ikut menghela napas pula.

   "Aaaai....... bila seseorang sudah berada dalam dunia persilatan, kadangkala banyak sekali urusan yang harus dilakukan tanpa sekehendak hatinya sendiri, termasuk dalam hal membunuh orang!"

   Cia Ong-sun menatapnya lama, lama sekali, kemudian pelan-pelan berkata pula.

   "Sungguh tak kusangka, kalau kau dapat memahami perasaannya!"

   "Tentu saja, sebab akupun seringkali membunuh orang!"

   "Apakah kaupun sangat ngin membinasakannya?"

   "Benar!"

   "Kau sangat jujur!"

   "Untuk menjadi seorang pembunuh manuia, dia harus seorang yang jujur, karena orang yang tidak jujur seringkali harus mati di ujung pedang orang lain" .....Siapa yang ingin belajar pedang, dia harus jujur dan berhati lurus, sebab itulah dasar pertama yang harus dimilikinya. Cia Ong-sun memandangnya tajam-tajam, tiba-tiba dibalik sorot matanya itu tercermin suatu sikap yang aneh sekali, lalu katanya.

   "Baik, kalau begitu ikutlah aku!"

   "Terima kasih banyak!"

   Terima kasih banyak! Sesungguhnya ucapan itu hanya sepatah dua patah kata yang biasa dan sederhana.

   Akan tetapi dalam keadaan dan saat seperti ini, ternyata ia masih juga mengucapkan kata-kata itu, maka suasanapun ikut berubah menjadi sangat aneh.

   Mengapa ia harus mengucapkan terima kasih? Lantaran orang tua itu dapat memahami perasaannya? Atau karena orang tua itu bersedia membawanya untuk menghantar kematiannya? Padahal ia memang datang untuk menghantar kematiannya.

   Malam yang gelap sudah menjelang tiba, cahaya lampu mulai bermunculan dalam gedung perkampungan Sin-kiam-san-ceng dan mengusir kegelapan dari sekeliling tempat itu.

   Mereka telah masuk ke dalam sebuah ruangan di sisi ruang tengah yang lebar.

   Cahaya lampu dalam ruang tengah terang benderang, sebaliknya sinar lampu dalam ruangan itu redup dan berwarna kelabu.

   Setiap benda yang di sana diselubungi dengan kain hitam yang berwarna gelap, ini semua menambah seram dan suramnya suasana di situ.

   Mengapa Cia Ong-sun tidak menyambut kedatangan tamu agungnya di ruang tengah yang luas dan terang benderang? Mengapa ia mengajak tamunya memasuki ruangan sempit yang suram? Yan Cap-sa tidak bertanya, ia merasa tidak ada keharusan baginya untuk bertanya.

   Cia Ong-sun telah menyingkap secarik kain hitam yang menutupi sebuah benda, ternyata benda itu adalah sebuah papan nama, sebuah papan nama dengan huruf emas berkilauan.

   "THIAN-HE-TIT-IT-KIAM"

   "Sejak dulu sampai sekarang, belum pernah ada orang persilatan yang pernah mendapat penghargaan setinggi ini", kata Cia Ong-sun.

   "anak keturunan dari keluarga Cia selalu menyimpan benda ini dengan hormat dan sayang, namun kamipun merasa sedikit malu"

   "Merasa malu?"

   "Ya, karena semenjak dia orang tua pulang ke alam baka, anak keturunan keluarga Cia tak seorangpun yang pantas untuk menerima ke lima huruf emas itu lagi"

   "Sekalipun demikian, sekarang secara terbuka orang-orang persilatan telah mengakui bahwa hanya satu orang yang pantas menerima ke lima huruf emas itu!"

   Ya, memang satu orang saja yang pantas menerima penghargaan setinggi itu....... Tentu saja orang itu tak lain adalah Sam-sauya dari keluarga Cia.

   "Justru karena itulah pedang yang pernah dipergunakan dia orang tua sewaktu berada di bukit Hoa-san dulu, kini telah diwariskan pula kepadanya", kata Cia Ong-sun. Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan pula.

   "Pedang itu sudah banyak tahun tak pernah digunakan lagi, baru sekarang kuwariskan kepadanya"

   Yan Cap-sa dapat memahami akan hal itu. Kecuali 'dia', siapa lagi yang pantas menggunakan pedang itu? "Inginkah kau menyaksikan pedang itu?", tiba-tiba Cia Ong-sun bertanya lagi.

   "Ingin, tentu saja sangat ingin!"

   Di balik kain hitam yang menutupi sebuah tonjolon, terlihat sebuah rak yang terbuat dari kayu.

   Di atas rak kayu terlentang sebilah pedang.

   Sarung pedang itu berwarna hitam pekat, sekalipun sudah lama dan kuno, tapi masih tetap utuh dan sempurna.

   Kain kuning di ujung gagang pedang telah luntur warnanya, tapi gagang pedang yang dilapisi perak masih memancarkan sinar yang berkilauan.

   Dengan tenangnya Cia Ong-sun berdiri di depan pedang itu, seperti seseorang yang sedang berdiri di hadapan patung pemujaannya.

   Perasaan Yan Cap-sa ketika itu sama pula dengan perasaan Cia Ong-sun, bahkan ia lebih bersujud dan menaruh rasa kagum, karena ia tahu, di dunia dewasa ini hanya pedang ini yang sanggup membinasakan dirinya.

   Tiba-tiba Cia Ong-sun berkata.

   "Pedang ini bukan pedang tajam yang ditempa seorang ahli pandai besi, pedang inipun bukan sebilah pedang antik"

   "Tapi pedang ini adalah sebilah pedang kenamaan yang tiada tandingannya di kolong langit", Yan Cap-sa menyambung dengan cepat. Cia Ong-sun mengakuinya.

   "Ya, memang pedang itu tiada tandingannya di kolong langit"

   "Cuma yang ingin kujumpai sesungguhnya bukanlah pedang ini"

   "Aku tahu!"

   "Yang ingin kujumpai adalah pemilik pedang ini, maksudku pemiliknya yang sekarang"

   "Saat ini ia sudah berada di hadapanmu!"

   Di hadapan Yan Cap-sa adalah rak kayu tempat pedang.

   Di belakang rak kayu itu masih terdapat sebuah benda yang ditutup dengan kain hitam yang lebar, benda itu empat persegi dan panjang sekali.

   Tiba-tiba suatu perasaan bergidik yang sukar dilukiskan dengan kata-kata muncul dari dasar hatinya, dari dasar hati langsung menyerang ke dalam otaknya.

   Pada saat itulah ia meneruskan suatu firasat jelek yang tak enak sekali..............

   Dia ingin bertanya, tapi tak berani mengajukan pertanyaan tersebut.

   Bahkan ia tak berani mempercayainya, diapun tak ingin mempercayainya, ia cuma berharap agar perasaan tersebut hanya suatu kekeliruan yang besar........

   Sayang dugaannya itu tidak salah.

   Ketika kain hitam itu disingkap, maka terlihatlah sebuah peti mati.

   Peti mati itu masih baru, diatasnya seakan-akan terukir delapan atau sembilan huruf.

   Tapi Yan Cap-sa hanya sempat menangkap tiga huruf saja, ketika huruf itu adalah.

   CIA SIAU HONG .....Walaupun sinar lampu yang memancar dalam ruang tengah masih terang benderang, tapi bagaimanapun terang benderangnya sinar lampu, tak mungkin bisa menerangi lagi hati Yan Capsa.

   Sebab sinar cemerlang di dalam hatinya, kini sudah lenyap tak berbekas.

   Cahaya pedang yang cemerlang telah lenyap tak berbekas......

   satu-satunya pedang yang sanggup membinasakan dirinya.

   "Siau Hong sudah mati selama tujuh belas hari"

   Sudah barang tentu ia tak mungkin mati di ujung pedang Cho Ping, sebab tak ada orang yang sanggup mengalahkan dia.

   Ya, memang tak seorang manusiapun yang sanggup mengalahkannya.

   Satu-satunya yang bisa mengalahkan dia hanya takdir!.

   Setiap orang tentu mempunyai takdirnya masing-masing, mungkin karena nasibnya terlampau cemerlang dan ternama, maka takdir menentukan usianya yang pendek.

   Meskipun kematiannya sangat tiba-tiba, namun ia pergi perasaan tenang.

   Sekalipun kelopak mata kakek itu berkaca-kaca oleh air mata, namun suaranya sangat tenang.

   "Aku tidak terlampau berduka hati, sebab ia memang sudah cukup hidup di dunia ini, kehidupannya sudah amat bernilai, ia memang boleh mati dengan perasaan yang tenang"

   Tiba-tiba ia bertanya kepada Yan Cap-sa.

   "Kau lebih suka hidup selamanya dengan tenang dan statis? Ataukah hidup seperti dia, tapi hanya dalam tiga tahun?"

   Yan Cap-sa tidak menjawab, ia tak perlu memberikan jawabannya...........kau suka menjadi meteor di angkasa? Ataukah menjadi lilin yang redup? .....Meskipun sinar dari meteor cemerlang, tapi waktunya sangat pendek, sebaliknya meskipun sinar lilin itu redup, tapi berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

   Namun kendatipun ia hanya berlangsung dalam waktu singkat, dapatkah berjuta-juta batang lilin menandingi kecemerlangan serta keindahan dari cahayanya? Walaupun cahaya dalam ruang tengah terang benderang, tapi Yan Cap-sa lebih suka berjalan di tengah kegelapan.

   Kegelapan yang mencekam di padang yang luas tak bertepian.

   Tiba-tiba Yan Cap-sa berkata.

   "Tadi kau memberitahukan segala sesuatunya kepadaku, ternyata bukan lantaran kau telah menganggapku seseorang yang sudah mendekati pada ajalnya"

   Tentu saja bukan! Sam-sauya telah mati, kenapa ia bisa mati? Tiba-tiba Yan Cap-sa berpaling lagi, kepada Cia Ong-sun ia berkata.

   "Mengapa kau memberitahukan semua persoalan itu kepadaku?"

   "Karena aku tahu kau datang untuk mengantar kematianmu!", jawab Cia Ong-sun hambar.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau tahu?", tanya Yan Cap-sa "Tentu saja aku tahu, akupun bisa melihat betapa kagum dan hormatnya sikapmu terhadap Cia Siau-hong, kaupun telah menyadari bahwa tiada harapan bagimu untuk mengalahkan dia", kata Cia Ong-sun.

   "Tapi mengantarkan kematian sendiri bukanlah suatu pekerjaan yang pantas di hormati!"

   "Benar!"

   Ia tertawa, tertawa dengan amat sedihnya.

   "Tapi paling sedikit aku menghormati dirimu, sebab aku tak akan memiliki keberanian seperti ini, aku tak lebih cuma seorang manusia biasa, lagipula aku sudah tua....."

   Suaranya makin lama semakin rendah, semakin lama semakin berat dan berakhir dengan suatu helaan napas panjang.

   Hembusan angin di musim gugur persis seperti helaan napasnya yang berat dan hampa itu.

   Pada waktu itulah dari balik kegelapan tiba-tiba menyelinap ke luar sesosok bayangan manusia, sesosok manusia dengan sebilah pedang!.

   Ya, sesosok bayangan manusia dengan sebilah pedang.

   Gerakan manusianya lebih gesit daripada seekor burung elang, gerakan pedangnya lebih cepat dari pada sambaran petir.

   Ketika orang itu munculkan diri di belakang punggung Cia Ong-sun, ujung pedangnya langsung menusuk ke punggungnya.

   Yan Cap-sa ikut menyaksikan peristiwa tersebut, tapi ia sudah tidak sempat lagi untuk melancarkan serangan guna melindungi keselamatan orang tua itu.

   Cia Ong-sun sendiri seolah-olah tidak merasakan sama sekali akan datangnya tusukan itu, ia cuma menghela napas sambil membungkukkan badannya mengambil selembar daun kering.

   Gerakannya itu lambat, lambat sekali.

   Tindakannya mengambil daun kering itu seakan-akan hanya suatu gerakan spontan yang timbul karena sentuhan perasaan.

   Seolah-olah lembaran hidupnya tak jauh berbeda dengan daun kering itu, selembar daun yang telah rontok dan mengering.

   Tapi justeru dengan gerakannya itu, secara kebetulan sekali ia berhasil meloloskan diri dari sambaran pedang yang datangnya secepat sambaran kilat itu.

   Pada detik itu pula, tusukan pedang yang jelas sudah hampir mengenai punggungnya, tahu-tahu telah menusuk di tempat yang kosong.

   Padahal selisih waktu antara yang pertama dengan yang kedua hakekatnya cuma beberapa detik.

   Rupanya penyergap itu telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, di kala serangan itu gagal dan tidak mengenai sasarannya, tak sempat lagi baginya untuk menarik kembali gerakannya, seluruh tubuh dan kekuatannya segera tergulung ke depan, dan tusukan pedangnya kini berbalik mengancam tubuh Yan Cap-sa yang berada dihadapannya.

   Sekalipun tusukan tersebut hanya mengandung sisa tenaga daripada serangannya yang pertama, akan tetapi masih mengandung cukup kekuatan untuk merenggut nyawa seseorang.

   Dalam keadaan begini, mau tak mau Yan Cap-sa harus melakukan serangan balasan.

   Pedangnya segera di loloskan dari sarungnya dan cahaya pedangpun berkilauan membelah angkasa.

   Orang itu segera berjumpalitan di tengah udara, dan melompat mundur sejauh tujuh depa lebih, mukanya yang hijau membesi masih membawa tanda-tanda mabuk! "Cho Ping!"

   Tak kuasa lagi Yan Cap-sa menjerit kaget, diantara jeritannya ada tiga bagian mengandung rasa kaget dan tercengang, tapi tujuan bagian yang selebihnya adalah perasaan sayang dan kecewa.

   Cho Ping memandang pula ke arahnya, diapun melotot dengan sinar mata kaget, tercengang bercampur ketakutan, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tak sepotong perkataanpun yang sanggup diutarakan keluar.

   Tiba-tiba darah kental meleleh keluar dari atas tenggorokannya, pelan-pelan tubuhnya ikut terkulai pula ke atas tanah.

   Angin dingin di musim gugur itu masih berhembus lewat.

   Pelan-pelan Cia Ong-sun memungut kembali selembar daun kering dan diperhatikan dengan tenang, seolah-olah ia masih belum merasakan peristiwa yang baru saja terjadi.

   Aaaai, meskipun usia daun sangat pendek, namun tahun depan dia masih akan tumbuh kembali.

   Tapi, bagaimana dengan manusia? Pelan-pelan Cia Ong-sun membungkukkan badannya kembali dan meletakkan daun kering tadi ke tempatnya semula.

   Sepanjang peristiwa itu terjadi, Yan Cap-sa memperhatikan terus gerak-geriknya, rasa kagum dan hormat tanpa terasa memancar keluar dari balik sorot matanya.

   Hingga sekarang ia baru menyadari bahwa kakek yang sederhana ini hakekatnya adalah seorang tokoh persilatan yang benar-benar memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

   Taraf kepandaiannya boleh dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan yang tiada taranya.

   Ia telah berhasil membaurkan kepandaiannya dengan alam semesta di sekelilingnya.

   Oleh karena itulah tak seorang manusiapun dapat mengetahui rahasia tersebut.

   ......Di saat musim dingin tiba, kau tak akan menyaksikan kekuatannya, tapi tanpa kau sadari, kekuatan tersebut dapat membuat air berubah menjadi beku, membuat manusia mati karena kedinginan.

   "Aku tak lebih cuma seorang manusia biasa.............." 'Kebiasaannya' ini jelas berhasil dilatih dari suatu keadaan yang tidak biasa. Berapa orangkah di dunia ini yang sanggup merubah dirinya menjadi sebiasa dan sesederhana itu? Walaupun sekarang ia berhasil menyaksikan banyak persoalan, tapi tidak sepotong perkataanpun diucapkan, ia sudah lama mulai belajar membungkam dan menahan diri. Cia Ong-sun juga tidak banyak berbicara, dia hanya mengucapkan sepatah kata dengan nada datar.

   "Malam semakin kelam, kau harus segera pergi!"

   "Ya, aku harus 'pergi'!"

   Maka diapun pergi.

   Malam semakin kelam, pelan-pelan Cia Ong-sun menembusi halaman yang gelap dan menuju ke sebuah loteng kecil di halaman belakang sana.

   Cahaya lentera di atas loteng itu amat redup, seorang perempuan tua yang berwajah sayu duduk seorang diri di tepi meja, rupanya ia sedang menantikan sesuatu.

   Siapakah yang sedang ia nantikan? Ketika Cia Ong-sun bertemu dengannya, pancaran sinar matanya segera menunjukkan perasaan sayang dan kasihan.

   Barang siapapun juga yang menyaksikan tatapan tersebut, mereka pasti akan mengetahui bagaimanakah perasaan kedua orang itu sekarang.

   Mereka adalah sepasang suami isteri yang sudah banyak tahun hidup bersama banyak suka duka dan kesulitan yang telah mereka rasakan selama ini.

   Tiba-tiba perempuan itu bertanya.

   "Apakah A-kit belum pulang?"

   Dengan mulut membungkam Cia Ong-sun gelengkan kepalanya. Dari balik tatapan matanya yang tua dan sayu, air mata mulai mengembang, tapi suaranya begitu tegas dan mempunyai rasa percaya pada diri sendiri yang tebal.

   "Aku tahu, cepat atau lambat, dia pasti akan pulang, bukankah begitu?", kata perempuan itu lagi.

   "Benar!", Cia Ong-sun mengangguk. Seseorang apabila sudah mempunyai setitik harapan, maka nyawapun akan terasa lebih berharga. Ia tentu berharap bisa hidup di dunia ini untuk selama-lamanya. Malam sudah amat kelam. Di tengah permukaan telaga yang diliputi kegelapan, hanya ada setitik cahaya yang menyinari sekelilingnya. Cahaya itu berasal dari balik jendela sebuah perahu. Cia ciangkwe sedang duduk di tepi jendela sambil minum arak seorang diri. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Yan Cap-sa naik ke dalam perahu, duduk dihadapannya dan memenuhi cawan dengan arak. Ketika Cia-ciangkwe menjumpai kedatangannya, sekulum senyum segera menghiasi bibirnya. Perahu telah berlayar meninggalkan pantai, pelan-pelan menembusi kegelapan malam dan berlayar dengan tenang di atas permukaan air telaga yang jernih.

   "Kau tahu kalau aku bakal kemari?"

   Cia ciangkwe tertawa.

   "Kalau tidak begitu, kenapa aku harus menantikan dirimu?", sahutnya dengan cepat. Yan Cap-sa segera menengadahkan kepalanya dan menatap wajahnya tajam-tajam.

   "Apalagi yang kau ketahui?"

   "Aku masih tahu bahwa arak ini wangi dan lezat sekali. Tak ada salahnya jika kita minum agak banyakan"

   Yan Cap-sa segera tertawa.

   "Masuk di akal, benar juga perkataanmu itu!"

   Perahu itu sudah berada di tengah telaga. Agaknya Cia ciangkwe sudah dipengaruhi pula oleh alkohol, tiba-tiba ia bertanya.

   "Sudah kau saksikan pedang itu?"

   Yan Cap-sa mengangguk.

   "Asal pedang tersebut masih ada, perkampungan Sin-kiam-san-ceng selamanya masih tetap utuh!", Cia ciangkwe menambahkan. Sesudah menghela napas panjang, pelan-pelan terusnya.

   "Meskipun orangnya sudah tiada, tapi pedangnya tetap utuh sepanjang masa!"

   Dalam genggaman Yan Cap-sa terdapat pula sebilah pedang.

   Ia sedang memperhatikan pedang dalam genggamannya itu dengan seksama, tiba-tiba ia bangkit dan beranjak dari sana, langsung menuju ke ujung perahu.

   Suasana kegelapan menyelimuti seluruh permukaan telaga.

   Tiba-tiba ia cabut keluar pedangnya, setelah mengukir huruf 'Sip' atau sepuluh di ujung perahu, tiba-tiba pedang yang sudah dua puluh tahun mengikutinya dan sudah membunuh orang yang tak terhitung banyaknya itu, dilemparkan ke tengah telaga.

   "Plung", percikan butiran air berhamburan kemana-mana, tapi sejenak kemudian permukaan telaga telah pulih kembali dalam ketenangan. Pedang itu sudah tenggelam ke dasar telaga dan lenyap tak berbekas. Dengan terkejut Cia ciangkwe menatap tajam wajah pemuda itu, lalu tak tahan lagi ia bertanya.

   "Mengapa kau tidak mau lagi pedangmu itu?"

   "Mungkin suatu waktu aku akan membutuhkannya kembali, dan waktu itu aku akan balik lagi kemari untuk mendapatkannya"

   "Maka kau mengukir huruf sepuluh di ujung perahu itu sebagai tanda?"

   "Ya, inilah yang dinamakan mengukir perahu memohon pedang!"

   Cia ciangkwe gelengkan kepala sambil menghela napas.

   "Tahukah kau bahwa tindakanmu itu adalah suatu perbuatan yang bodoh sekali?", katanya.

   "Aku tahu!"

   "Kalau memang tahu, kenapa kau harus berbuat demikian?"

   Yan Cap-sa tertawa.

   "Sebab secara tiba-tiba aku merasa bahwa dalam kehidupan seseorang, sedikit banyak harus melakukan beberapa buah pekerjaan yang bodoh, apalagi..........."

   Sekulum senyuman penuh arti menghiasi ujung bibirnya.

   "Ada banyak persoalan seringkali sukar dikatakan apakah tindakan itu bodoh atau pintar, kenapa aku tidak pula berbuat demikian?"

   OoooOOOOoooo Bab 5.

   Suka Duka Seorang Gelandangan Musim gugur telah lewat, musim dinginpun menjelang tiba.

   Angin dingin serasa sayatan pisau menyambar datang dari empat penjuru.......

   Alam memang kejam.

   Gelandangan menderita.

   Menyongsong datangnya hembusan angin dingin, A-kit membenahi pakaiannya yang tipis dan keluar dari lorong keluarga Han.

   Ia tak tahu kemana harus pergi.

   Bayangkan saja, dengan sisa uang sebesar dua puluh tiga biji uang tembaga, kemana ia mesti melanjutkan hidupnya? Tapi, bagaimanapun juga ia harus tinggalkan tempat itu.

   Ia harus meninggalkan orang-orang yang pernah melepaskan budi dan kebaikan kepadanya itu.

   Ia tidak melelehkan air mata.

   Buat gelandangan, tiada artinya air mata, yang ada hanya darah, dan kini darahnya hampir saja membeku.

   Di antara sekian banyak manusia yang tinggal di lorong keluarga Han, Han toa-nay-nay atau Nyonya besar Han adalah orang yang paling tersohor.

   Han toa-nay-nay berdiam di lot


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam -- Khu Lung Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long

Cari Blog Ini