Ceritasilat Novel Online

Pendekar Panji Sakti 14


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 14




   "Siapa takut, siapa takut kepadanya!"

   Suto Siau kelihatan manggut-manggut, tiba tiba dia berbalik dan menghampiri manusia aneh itu sambil berkata.

   "Apa yang hendak cianpwee lakukan bila cayhe sekalian enggan melepaskan dirinya?"

   "Itu mah bisa berakibat fatal"

   Jawab manusia aneh itu sambil bergendong tangan dan tertawa.

   Beberapa patah kata itu diucapkan amat santai seolah tidak bertenaga, namun setiap patah kata yang terucap kedengaran begitu tajam dan menusuk pendengaran.

   Berubah hebat paras muka Suto Siau sekalian, dari enam orang yang hadir ada tiga orang di antaranya yang berakal licik, serentak mereka saling bertukar tanda.

   Sambil menjura Suto Siau segera berkata.

   "Perempuan itu mempunyai kaitan yang erat dengan kami semua, bahkan menyangkut sederet persoalan, sekalipun kami semua bersedia membiarkan cianpwee membawanya pergi, tapi bagaimana pertanggungan jawab kami bila kelak orang lain menanyakannya?"

   Kemudian setelah tertawa tergelak, lanjutnya.

   "Apalagi cayhe sekalian masih belum tahu siapa nama cianpwee"

   "Bocah keparat, hebat amat kau"

   Tukas Yin Ping tiba-tiba.

   "bukankah kau ingin tahu dulu namanya kemudian baru dipertimbangkan, kalau bisa dilawan kalian lawan, kalau tidak bisa dilawan kalian akan kabur, bukan begit?"

   "Kalau memang begitu, bagaimana kalau cianpwee tunda dulu selama berapa hari, menunggu cayhe sudah undang semua rekan, agar mereka pun dapat menyaksikan kehebatan cianpwee, kemudian perempuan itu baru diajak pergi dari sini?"

   Dalam hati dia sudah mengambil keputusan, asal hari ini bisa menggunakan Sui Leng-kong untuk memaksa Thiat Tiong-tong menyerah, apa susahnya untuk serahkan kembali gadis itu kepadanya. Yin Ping yang mendengar perkataan itu segera tertawa terkekeh.

   "Oooh.... mau pakai siasat mengundang pasukan bantuan? Bertarung setelah bala bantuannya tiba?"

   Manusia aneh itu berkata pula sambil menuding ke arah Suto Siau.

   "Hahahaha.... tidak kusangka dalam dunia persilatan telah muncul seorang tokoh secerdik kau, tampaknya aku mesti membuka mataku lebar lebar"

   "Tidak berani, tidak berani, entah bagaimana pendapat cianpwee dengan usul tadi?"

   Kata Suto Siau.

   "Selama hidup aku paling tidak suka memaksakan kehendak, bila hari ini aku bersikeras membawa pergi nona ini, paling tidak peristiwa ini pasti akan mencoreng wajah kalian semua"

   Thiat Tiong-tong berkerut kening setelah mendengar perkataan itu, sebaliknya Suto Siau sekalian berseri, buru-buru dia menjura seraya berkata.

   "Ternyata cianpwee memang bijaksana, boanpwee ucapkan banyak terima kasih"

   Manusia aneh itu tertawa perlahan, katanya lagi.

   "Oleh sebab itu...."

   Dia berhenti sejenak, menunggu perhatian semua orang sudah tertuju ke arahnya, dia baru melanjutkan.

   "Oleh sebab itu kuputuskan, hari ini aku akan membuat kalian semua menyerahkan nona itu ke tanganku dengan perasaan rela dan ikhlas...."

   Belum selesai perkataan itu diucapkan, paras muka Suto Siau sekalian telah berubah hebat sementara Yin Ping tertawa terpingkal-pingkal.

   Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap, sementara Pek Seng-bu secara diam-diam menjawil tubuh Lok Put-kun.

   Mereka berdua tahu, persoalan yang dihadapi pada malam ini tidak mungkin bisa diselesaikan secara damai, tapi mereka sendiripun tidak berani bertindak secara gegabah, oleh sebab itu diputuskan untuk mendorong Lok Put-kun agar menjajal terlebih dulu kepandaian silat yang dimiliki manusia aneh itu.

   Lok Put-kun memang seorang jago yang kasar, berangasan dan bertemperamen tinggi, sejak tadi dia sudah mendongkol sambil menahan diri, maka setelah diberi tanda untuk turun tangan, mana mungkin dia bisa menahan diri? Dengan suara keras kontan hardiknya.

   "Mengharapkan kami serahkan nona itu kepadamu? Hmm, jangan bermimpi disiang hari bolong!"

   Dengan langkah lebar dia maju ke muka, begitu tiba di depan manusia aneh itu, sambil merentangkan sepasang tangannya yang besar bagai kipas, bentaknya.

   "Mari, mari, mari, kalau punya kemampuan, layani dulu berapa jurus seranganku!"

   Dari suara gemerutuk yang dipancarkan dari tulang belulang Lok Put-kun ketika merentangkan telapak tangannya, Thiat Tiong-tong tahu kalau kepandaian gwakang yang dimiliki orang ini sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.

   "Anak muda, kau belum pantas bertarung melawanku"

   Jengek manusia aneh itu sambil tertawa.

   "Kentut"

   Bentak Lok Put-kun gusar.

   "jika takut menghadapiku, lebih baik...."

   "Baiklah"

   Potong manusia aneh itu kemudian.

   "dalam satu jurus bila aku tidak sanggup membuatmu terjungkal, bagaimana kalau anggap saja aku yang kalah?"

   Ketika kedua orang ini berdiri saling berhadapan, terlihatlah perbedaan mereka yang sangat mencolok, kalau yang satu bertubuh tinggi besar, kekar berotot dan hitam, maka yang lain bertubuh gemuk, putih dengan anggota badan yang lembut halus.

   Yang satu bicara keras bagai bunyi genta, sementara yang lain lembut bagai orang bercanda.

   Sekalipun Suto Siau sekalian tahu kalau manusia aneh itu memiliki kungfu yang luar biasa, namun Lok Put-kun pun bukan manusia sembarangan, dia sudah banyak tahun mengembara dalam dunia persilatan, sekalipun cara kerjanya sedikit gegabah namun pengalamannya dalam menghadapi musuh tidak lemah.

   Kendatipun ilmu silat yang dimiliki manusia aneh itu jauh melebihi lawannya, tapi kalau ingin menghajarnya hingga jatuh terpelanting dalam satu gebrakan saja, jelas lebih susah daripada naik ke langit.

   Maka Suto Siau sekalian jadi amat girang setelah mendengar orang itu sesumbar dengan tantangannya.

   Hek Seng-thian kuatir Lok Put-kun tidak pandai bicara, maka dengan langkah cepat dia maju ke depan sembari menegaskan.

   "Cianpwee, lagi bergurau atau sungguhan?"

   "Siapa yang sedang bergurau denganmu"

   Jawab manusia aneh itu sambil tertawa.

   "Kalau memang begitu, apa yang hendak cianpwee lakukan bila kalah?"

   "Kalau kalah, aku akan segera turun gunung dengan merangkak"

   Semenjak tadi Lok Put-kun sudah mencak mencak kegusaran, mendengar perkataan itu kembali teriaknya penuh amarah.

   "Kalau aku yang kalah, bukan saja akan turun gunung dengan merangkak, bahkan aku akan menyembah delapan kali kepadamu"

   "Hahahaha.... aku kuatir sampai waktunya kau sudah tidak mampu menyembah lagi"

   Hek Seng-thian girang sekali setelah mendengar perkataan itu, cepat ujarnya sambil tertawa.

   "Saudara Lok tidak usah banyak bicara lagi, cepat minta berapa petunjuk dari cianpwee itu, saudara Lok hanya cukup melancarkan satu jurus serangan saja dan ingat, jangan sampai dibuat terjungkal olehnya"

   "Ayohlah!"

   Kata manusia aneh itu kemudian sambil menggulung lengan bajunya.

   Dia berdiri amat santai, tidak menyiapkan diri, tidak pula menghimpun tenaga dalamnya, seakan seorang lelaki dewasa yang siap menghadapi seorang bayi cilik.

   Lok Put-kun sendiri meski tampil dengan wajah penuh amarah, dihati kecilnya dia pun tidak berani gegabah, sesudah mendengus dingin dia silangkan kepalannya di depan dada sambil bertekuk lutut, kuda kudanya segera diperkuat.

   Kuda kuda dalam bentuk begini merupakan sebuah kuda kuda yang paling dasar, khususnya bagi orang yang berlatih tenaga gwakang, bhesi semacam ini boleh dibilang sangat kokoh dan sulit digoyang kendatipun didorong oleh dua puluhan orang lelaki kekar.

   Terlihat dia menarik lambungnya dengan menancapkan sepasang kakinya ke dalam tanah, lalu pikirnya.

   "Bocah gendut, akan kulihat dengan cara apa kau akan membuat aku roboh terjungkal"

   Thiat Tiong-tong sendiripun diam-diam bersorak memuji setelah menyaksikan kuda-kuda orang itu, disamping kagum diapun merasa terperanjat, ingin diketahui dengan cara apa manusia aneh itu akan membuatnya roboh terjungkal.

   Diiringi bentakan nyaring Lok Put-kun mulai melontarkan pukulannya, ditengah angin pukulan yang menderu deru dengan jurus Thay san ya teng (bukit thay-san menindih kepala) dia bacok batok kepala orang itu.

   Jurus serangan ini meski kasar dan sederhana namun terkandung dasar utama dari ilmu pukulan, boleh dibilang Lok Put-kun sangat menguasainya.

   Apalagi dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar, seperti nama jurus serangan itu, kekuatannya boleh dibilang bagaikan tindihan dari sebuah bukit Thay-san.

   Tidak urung para jago bersorak memuji juga setelah melihat kehebatan pukulan itu.

   Manusia aneh itu masih berdiri dengan senyuman diwajah, dia tidak menghindar pun tidak berusaha berkelit.

   Diam-diam Lok Put-kun kegirangan, pikirnya.

   "Sekalipun kau ingin menggunakan tenaga dalammu untuk mentalkan aku, tidak nanti tubuhku akan roboh terjungkal"

   Sambil memperkuat kuda kudanya sekali lagi dia menghujamkan kepalannya ke bawah.

   "Blaaaam!"

   Sepasang pukulan maut dari Lok Put-kun segera bersarang telak diatas bahu manusia aneh itu.

   Ternyata orang itu tidak mementalkan tubuh lawannya dengan getaran tenaga dalam, tubuh Lok Put-kun masih tetap berdiri bagaikan sebuah pagoda baja, sebaliknya tubuh manusia aneh itupun terhajar bagaikan sebuah paku yang tertancap ke dalam tanah.

   Semua orang merasa terkejut bercampur girang, Lok Put-kun sendiripun agak termangu melihat hasil pukulannya itu.

   Belum sempat ingatan ke dua melintas lewat, mendadak terdengar manusia aneh itu berseru sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Sekarang, berbaringlah kau!"

   Secepat kilat dia menggetarkan sepasang tangannya mencengkeram ke depan, karena tubuh pendeknya sebagian menancap di tanah, maka arah serangannya persis mengarah sepasang kaki Lok Put-kun yang tinggi besar.

   Waktu itu Lok Put-kun sedang memperkokoh sepasang kakinya dengan sepenuh tenaga, mimpi pun dia tidak menyangka kalau lawannya akan menggunakan jurus serangan tersebut untuk mengancam kakinya.

   Dalam keadaan begini sulit baginya untuk menghindarkan diri, tahu-tahu sepasang kakinya terasa sakit hingga merasuk tulang, diiringi jeritan kaget tahu-tahu tubuhnya sudah terlempar ke udara dan roboh terkapar diatas tanah.

   Kenyataan semacam ini sungguh diluar dugaan siapa pun, kawanan jago yang hadir hanya bisa berdiri melongo dengan mata terbelalak, tidak seorangpun mampu mengeluarkan suara jeritan.

   Diiringi suara tertawa nyaring manusia aneh itu melompat keluar dari dalam tanah, sebuah liang yang cukup dalam segera muncul diatas tanah.

   Menggunakan tubuh untuk menancap ke dalam tanah yang keras, kepandaian silat semacam ini boleh dibilang belum pernah terdengar dalam dunia persilatan, seandainya tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, siapa pun tidak akan percaya dengan kenyataan tersebut.

   "Kenapa kau belum menyembah kepadaku?"

   Terdengar manusia aneh itu menegur.

   Lok Put-kun membentak keras, dia berusaha merangkak bangun, siapa sangka bantingan tersebut ternyata kuat sekali, bantingan keras yang membuat sekujur tubuhnya linu dan sakit, baru merangkak setengah jalan, kembali tubuhnya roboh terjengkang.

   Pek Seng-bu menghela napas panjang, cepat dia membangunkan rekannya itu.

   Lok Put-kun memandang Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sekejap, kemudian memandang pula ke arah manusia aneh itu, tiba-tiba sambil mendekap dibahu Pek Seng-bu, dia mulai menangis tersedu-sedu.

   Menyaksikan hal ini Suto Siau hanya bisa mendongkol bercampur geli.

   Manusia aneh itupun tertawa lebar, ujarnya kemudian.

   "Masih ada lagi yang ingin menjajal kemampuanku?"

   Semua orang hanya saling berpandangan, siapa pun tidak berani menjawab. Manusia aneh itu segera mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak, serunya lagi.

   "Jika kalian tidak keberatan, akupun tidak akan berlaku sungkan lagi"

   Sambil berpaling serunya.

   "Murid muridku, cepat turunkan nona itu"

   Tampak kawanan nona itu saling mendorong di antara rekan sendiri dengan wajah cemberut, ternyata tidak seorangpun yang bersedia turun tangan. Yin Ping yang melihat itu tertawa terkekeh, katanya.

   "Bila kalian ingin mengikutinya, mulai sekarang harus belajar tidak cemburuan, kalau tidak, tanggung kalian akan mampus duluan karena mendongkol"

   Kawanan nona itu tertawa geli, akhirnya sambil dorong mendorong mereka berjalan mendekat. Manusia aneh itu berpaling ke arah Yin Ping kemudian serunya.

   "Jika semua wanita didunia mirip kau, aku benar-benar tidak usah pusing dan bingung"

   Suto Siau sekalian hanya bisa pasrah dan membiarkan kawanan nona itu merangkak naik keatas tangga, siapa pun sadar, kepandaian silat yang dimiliki mustahil bisa mencegah niat manusia aneh itu.

   "Tunggu sebentar!"

   Mendadak terdengar bentakan keras berkumandang dari puncak tangga.

   Ketika semua orang mendongakkan kepalanya, tampak Sim Sin-pek entah sejak kapan telah berdiri dipuncak tangga.

   Rupanya perhatian semua orang waktu itu sedang tertuju pada kehebatan kungfu manusia aneh itu sehingga tidak ada yang memperhatikan gerak geriknya.

   Tampak tangannya yang satu digunakan untuk berpegangan pada puncak tangga, sementara tangan kirinya ditempelkan diatas jalan darah pek hwee hiat di ubun ubun Sui Leng-kong, sambil tertawa dia berseru.

   "Siapa pun kalau berani maju selangkah lagi, telapak tanganku ini segera akan kutabokkan ke bawah. Waktu itu terpaksa cianpwee hanya bisa membawa pulang seorang nona cantik yang sudah mati kaku, hahahaha.... aku rasa pasti tidak ada artinya bukan!"

   Jalan darah pek hwee hiat merupakan jalan darah terlemah ditubuh manusia, biasanya hanya terpukul ringan saja bisa berakibat luka parah, apalagi jika Sim Sin-pek menghantamnya dengan sepenuh tenaga, dapat dipastikan nyawa Sui Lengkong pasti melayang.

   Manusia aneh itu segera memerintahkan kawanan gadis itu untuk mundur, kemudian sambil mendongakkan kepalanya dia bertanya.

   "Siapa kau? Apayang hendak kau lakukan?"

   Thiat Tiong-tong ikut merasa panik, dia genggam sepasang tinjunya kuat kuat. Perlahan-lahan Sim Sin-pek berkata.

   "Aku hanya seorang angkatan muda yang tidak bernama, saat ini tidak ada permintaan lain kecuali berharap setelah aku turun ke bawah nanti, cianpwee dan sekalian nona-nona itu tidak mengusik seujung rambutku"

   Mendengar permintaan yang sangat sederhana, tanpa berpikir panjang lagi manusia aneh itu menyanggupi.

   "Baiklah, aku kabulkan permintaanmu, sekarang bawalah nona itu turun ke bawah!"

   Semula Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu menyangka Sim Sin-pek sedang membantu mereka untuk memaksakan kehendaknya, mereka jadi mendongkol bercampur kecewa setelah mendengar perkataan itu.

   Tidak tahan lagi Pek Seng-bu menyelinap ke belakang Chee Toa-ho dan diam-diam memberi tanda kepadanya.

   Siapa tahu Sim Sin-pek berlagak seolah tidak melihat, setelah menotok jalan darah ditubuh Sui Leng-kong dia membebaskan ikatan talinya sambil berseru.

   "Minggir semua!"

   Kemudian dengan cepat dia melompat turun ke bawah.

   Kini biarpun ikatan tali ditubuh Sui Leng-kong telah dilepas namun tubuhnya masih tetap tidak mampu bergerak, dia hanya bisa mengawasi Thiat Tiong-tong dengan mata mendelong, entah berapa banyak patah kata yang terkandung dibalik sorot matanya itu.

   Thiat Tiong-tong merasakan hatinya pedih bagaikan disayat-sayat, seandainya orang yang menghadapi kejadian tersebut saat ini adalah Im Ceng yang bertemperamen tinggi, niscaya tanpa berpikir panjang dia sudah menerkam ke depan.

   Tapi Thiat Tiong-tong bukan Im Ceng, dia sadar kekuatannya seorang diri bukan saja tidak akan mampu berbuat banyak, sebaliknya justru bisa mengancam keselamatan jiwa Sui Lengkong, oleh sebab itu sambil menggertak gigi dia menahan diri tanpa bergerak.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak, dengan langkah lebar dia maju mendekat.

   "Cianpwee"

   Sim Sin-pek segera berseru sambil tertawa.

   "aku harap...."

   Dengan cepat dia mendorong Sui Leng-kong ke depan. Dengan lembut manusia aneh itu memegang bahu nona itu, katanya sambil tertawa.

   "Anak baik, meski kau tidak meminta sesuatu kepadaku, tapi akupun tidak bakal merugikan dirimu"

   "Terima kasih cianpwee"

   Seru Sim Sin-pek sambil membungkukkan tubuh memberi hormat. Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi sambil tertawa.

   "Nona Sui cerdas dan berparas cantik, dia tidak malu disebut bidadari dari dunia, tapi sayang...."

   Dia menggelengkan kepalanya, tutup mulut dan tidak berbicara lagi.

   "Tapi sayang kenapa?"

   Tidak tahan manusia aneh itu bertanya.

   "Tapi sayang nona itu sudah kucekoki dengan sedikit obat beracun"

   Sahut Sim Sin-pek sambil tertawa.

   "bila racun itu tidak segera diobati maka dalam dua jam kemudian dia akan mati dengan pendarahan dari tujuh lubang inderanya"

   "Kau.... kau.... dimana kau simpan obat pemunah itu?"

   Teriak manusia aneh itu gusar.

   "Ada dalam saku boanpwee"

   "Bawa kemari!"

   Hardik manusia aneh itu sambil menggetarkan tangannya mencengkeram tubuh Sim Sin-pek. Dengan cekatan pemuda itu mundur berapa langkah, ujarnya lagi sambil tertawa.

   "Bukankah tadi cianpwee sudah berjanji tidak akan menyentuh seujung rambut boanpwee, masa sudah lupa dengan janji tersebut?"

   Dengan wajah tertegun manusia aneh itu menarik kembali tangannya. Kembali Hek Seng-thian serta Suto Siau sekalian merasa terkejut bercampur girang, pikir mereka.

   "Tidak disangka ternyata bocah ini pintar juga"

   Dengan wajah penuh kebanggaan Sim Sin-pek tersenyum, ujarnya.

   "Walaupun ilmu silat yang kumiliki tidak sebanding dengan kehebatan cianpwee, tapi racun obat yang kugunakan terbuat dari gabungan tiga puluh enam macam ramuan yang tidak mungkin bisa dipunahkan siapa pun"

   "Apa yang kau inginkan?"

   Tanya manusia aneh itu kemudian sambil menurunkan kembali tangannya.

   "Bila cianpwee tidak ingin membawa pulang sesosok mayat, lebih baik serahkan dulu kepada-ku, atau kalau tidak.... silahkan cianpwee menyanggupi tiga buah syaratku"

   "Kentut, kau anggap kami bisa diancam?"

   "Tentu saja, tentu saja, mana mungkin cianpwee bisa kuancam"

   Seru Sim Sin-pek sambil tersenyum.

   "sayangnya nona ini cantik bak bidadari, perawakan tubuhnya jugaramping menggiurkan...."

   Tidak tahan manusia aneh itu berpaling memperhatikan sekejap gadis cantik yang berada disisinya, walaupun paras mukanya waktu itu pucat pias namun alis matanya yang lentik, biji matanya yang bening, pinggangnya yang ramping serta tubuhnya yang gemetar ketika terhembus angin, benar-benar mendatangkan daya pikat yang luar biasa.

   Dibandingkan dengan kecantikan Yin Ping maka nona ini nampak lebih polos, lebih bersih dan alim, sesosok tubuh wanita yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

   Tidak tahan lagi dia menghela napas panjang, ujarnya kemudian.

   "Apa syaratmu, cepat katakan!"

   Sim Sin-pek tertawa bangga, cepat dia berpaling ke arah Hek Seng-thian, setelah memberi hormat ujarnya.

   "Tecu tidak berani mendahului guru, untuk syarat yang pertama silahkan suhu yang tentukan"

   "Anak pintar!"

   Puji Hek Seng-thian tertawa. Setelah termenung berapa saat, dia baru berpaling seraya berkata.

   "Saudara Suto...."

   Sejak tadi Suto Siau sudah menunggu kesempatan untuk berbicara, ia segera menyahut sambil tertawa.

   "Kami semua hanya minta kepada cianpwee untuk menyerahkan sebuah tanda pengenal, jika suatu saat kami berada dalam keadaan bahaya hingga mesti mencari cianpwee dengan membawa tanda pengenal itu, cianpwee wajib memberikan bantuannya dengan sepenuh tenaga"

   Thiat Tiong-tong terkesiap, dia tahu Suto Siau ingin meminjam kekuatan yang dimiliki manusia aneh itu untuk menghadapi Perguruan Tay ki bun.

   Kendatipun Perguruan Tay ki bun memiliki kawanan jago yang amat banyak, namun belum ada seorang pun di antara mereka yang sanggup menandingi kepandaian silat manusia ini.

   Terdengar manusia aneh itu mendengus dingin.

   "Apa syaratmu yang ke dua?"

   Ia bertanya. Sim Sin-pek tertawa, ujarnya.

   "Obat racun yang kugunakan memiliki susunan bahan racun yang amat rumit dan unik, untuk memunahkan sama sekali pengaruh racun tersebut, dibutuhkan obat penawar yang mesti diminum sebanyak tiga puluh enam kali setiap sepuluh hari selama satu tahun beruntun"

   Setelah berhenti sejenak dan tertawa, lanjutnya.

   "Oleh sebab itu cianpwee harus membawa serta cayhe untuk pulang ke rumahmu, agar disamping belajar silat dari cianpwee, boanpwee pun bisa memunahkan racun didalam tubuhnya"

   "Baik"

   Teriak manusia aneh itu gusar.

   "ternyata kaupun pingin belajar ilmu silatku"

   Setelah melirik Sui Leng-kong sekejap, tidak tahan dia menghela napas panjang, tanyanya lagi.

   "Apa syaratmu yang ke tiga?"

   Sim Sin-pek memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil perlahan-lahan berjalan menghampiri Thiat Tiong-tong, katanya sambil tersenyum.

   "Syarat yang ke tiga.... cianpwee mesti tangkap orang ini dan memaksanya untuk...."

   Mendadak Thiat Tiong-tong melancarkan serangan secepat kilat, sepasang telapak tangan-nya menyerang bersama secepat sambaran kilat, yang ke atas membabat tenggorokan Sim Sin-pek sementara yang ke arah bawah menghantam ke arah dadanya.

   Dengan terkesiap Sim Sin-pek miring ke samping, jeritnya ketakutan.

   "Cianpwee, kau telah berjanji...."

   "Janji cianpwee tidak termasuk melarang aku melancarkan serangan!"

   Tukas Thiat Tiong-tong cepat.

   "Hahahaha.... benar!"

   Seru manusia aneh itu kegirangan. Berubah hebat paras muka Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu, serentak mereka bergerak siap melancarkan serangan. Tanpa menghentikan gerak serangannya Thiat Tiong-tong segera berseru lantang.

   "Cianpwee pun tidak pernah berjanji tidak akan menyerang orang lain, silahkan cianpwee menghadang siapa pun yang ingin turut mencampuri urusan ini, biar aku yang merebut obat penawar racunnya!"

   "Hahahaha.... baik!"

   Seru manusia aneh itu sambil tertawa tergelak, kemudian sambil menarik wajahnya dia mengancam.

   "bila ada yang berani turun tangan sembarangan, jangan salahkan kalau aku tidak kenal ampun!"

   Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu merasa hatinya miris, serentak mereka menghentikan langkahnya.

   "Awasi mereka"

   Perintah manusia aneh itu kemudian sambil memberi tanda.

   "jangan biarkan orang-orang itu bertindak sembarangan"

   Kawanan gadis muda itu menyahut dan berdiri berjajar persis dihadapan Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu, meski begitu lirikan mata mereka justru berulang kali dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong.

   Serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong ibarat bunga terbang yang melayang di udara terhembus angin topan, meskipun jurus serangan yang digunakan tidak termasuk aneh, namun kecepatan geraknya susah diikuti dengan mata telanjang.

   Pada dasarnya ilmu silat yang dimiliki Sim Sin-pek memang bukan tandingannya, apalagi sejak awal sudah timbul perasaan jeri dihati kecilnya, bertarung dalam perasaan kebat kebit membuat dia tidak mampu konsentrasi secara prima.

   Tidak sampai sepuluh gebrakan kemudian, dia sudah tidak memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan balasan.

   "Serangan yang amat cepat!"

   Puji manusia aneh itu sambil tersenyum.

   "Bagaimana bila dibandingkan semasa mudamu dulu?"

   Tanya Yin Ping tertawa.

   Manusia aneh itu hanya tersenyum tanpa menjawab.

   Sementara itu jurus serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong makin lama semakin bertambah cepat, Sim Sin-pek sudah keteter hebat, gerakan tubuhnya sudah kalut dan peluh telah membasahi seluruh tubuhnya.

   Suto Siau sekalian merasa terkejut bercampur gusar, khususnya Hek Seng-thian, dia menghentakkan kakinya berulang kali, sementara Pek Seng-bu telah masukkan tangannya ke dalam saku dan secara diam-diam menggenggam senjata rahasia.

   Dia memiliki julukan sebagai pendekar bertangan tiga, sudah barang tentu ilmu melepaskan senjata rahasianya sudah mencapai tingkat yang luar biasa.

   Belasan tahun berselang, sewaktu diadakan pertandingan ilmu di antara orang orang perusahaan ekspedisi dua sisi sungai besar yang diadakan di perkampungan keluarga Thio, Pek Seng-bu pernah menggunakan tiga jenis senjata rahasia untuk memadamkan sebelas buah lampu lentera diruang utama.

   Ternyata tidak seorangpun di antara ratusan jago silat yang hadir waktu itu mengetahui dengan cara apa dia melepaskan senjata rahasianya, itulah sebabnya orangpun memberi julukan si pendekar bertangan tiga kepadanya.

   Kini situasi yang dihadapi sangat gawat, dalam keadaan terdesak sekali lagi dia berencana ingin melumpuhkan Thiat Tiong-tong dengan mengandalkan senjata rahasianya.

   Siapa tahu baru saja dia menggenggam senjata rahasia andalannya, mendadak terendus bau harum yang lembut berhembus lewat dihadapan-nya.

   Tahu-tahu seorang gadis bercelana hijau telah setengah merebahkan diri dalam pelukannya sambil berbisik lembut.

   "Kau sedang merogoh benda apa sih? Boleh aku lihat?"

   "Lihay amat ketajaman mata nona ini"

   Batin Pek Seng-bu dengan perasaan kaget, cepat sahutnya.

   "Ooh... ti.... tidak ada apa-apa...."

   Sambil menyahut dia menarik kembali tangannya dari dalam saku.

   "Pelit amat kau, masa dilihat sebentar pun tidak boleh?"

   Seru nona itu lagi sambil tertawa merdu, kini pipinya yang halus dan lembut nyaris sudah menempel diatas wajahnya, bau harum semakin menusuk penciuman.

   Baru saja Pek Seng-bu merasa terangsang, tahu-tahu pergelangan tangannya telah dicengkeram oleh ke lima jari lentik gadis itu, rasa sakit yang merasuk ke dalam tulang membuat dia tidak sanggup menarik kembali telapak tangannya.

   "Triing.... triiing.... triiing.... !"

   Diiringi dentingan nyaring, senjata rahasia yang berkilat tajam terjatuh semua dari balik sakunya dan berserakan diatas tanah.

   "Aduh mak...."

   Teriak nona itu lagi sambil tertawa merdu.

   "benda itu mah tidak boleh dibuat mainan...."

   Dengan ujung kakinya dia sapu benda itu hingga mencelat jauh dari sana, kemudian sambil menowel pipi Pek Seng-bu dan menjulurkan lidahnya si nona kembali menyodok pinggangnya.

   Seketika Pek Seng-bu merasakan separuh tubuhnya jadi kaku, untuk berapa saat dia sama sekali tidak mampu bergerak.

   Untuk kesekian kalinya kawanan jago itu merasa terkesiap, seorang dayang saja sudah berilmu sehebat itu apalagi si manusia aneh sebagai majikannya, semakin tidak ada orang yang berani bertindak gegabah.

   Dalam pada itu Thiat Tiong-tong telah melancarkan belasan jurus, dibawah kurungan angin pukulan yang menderu deru, Sim Sin-pek berusaha menggeser tubuhnya mendekati Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian.

   Apa mau dikata angin pukulan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong mengurungnya begitu rapat, jangan lagi bergeser, air pun tidak mungkin bisa menembusi lapisan pukulan yang menghimpit-nya.

   Padahal dalam pertemuan sebelumnya, Suto Siau sekalian merasa kepandaian silat pemuda itu belum sedahsyat sekarang, mereka tidak menyangka hanya terpaut berapa saat, kungfu yang dimiliki anak muda itu telah mengalami kemajuan yang demikian pesat.

   Tentu saja beberapa orang itu tidak tahu kalau Thiat Tiong-tong telah berhasil memperoleh kitab pusaka ilmu silat peninggalan ayahnya dalam gua rahasia itu, kenyataan yang mereka saksikan saat ini membuat hati orang orang itu semakin tercekam.

   Mendadak Thiat Tiong-tong menyodokkan tangannya ke depan, langsung mencengkeram urat nadi padapergelangan tangan Sim Sin-pek.

   Jurus serangan yang dia gunakan amat sederhana tanpa perubahan jurus yang aneh, namun Sim Sin-pek tidak mampu menghindarkan diri, walaupun dia sempat menarik ke belakang pergelangan tangannya, namun jalan darah Ci tie hiatnya tahu-tahu sudah tergenggam lawan.

   Dalam terperanjatnya secara beruntun Sim Sin-pek mengeluarkan gerakan Pa ong sia ka (raja bengis menanggalkan tameng), Lip coan jian gun (memutar roda dunia), Huan cuan kim si (menggulung balik serat emas) untuk meloloskan diri dari sergapan musuh.

   Siapa tahu telapak tangan Thiat Tiong-tong yang telah menempel diatas pergelangan tangan-nya seakan susah ditanggalkan lagi, walaupun secara beruntun dia telah berganti dengan berapa gerakan, namun jari tangan lawan masih menempel ketat, kenyataan ini membuat hatinya tercekat bercampur panik, peluh sebesar kacang kedele mulai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.

   "Sudah kau ketahui, siapakah aku?"

   Jengek Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin.

   "Tahu...."

   Sahut Sim Sin-pek dengan nada gemetar. Tiba-tiba Thiat Tiong-tong mencengkeram dagunya dan menjapitnya kuat kuat. Rupanya pemuda itu memang sengaja memancing Sim Sin-pek agar mengucapkan kata "tahu", sebab di saat dia mengutarakan kata "ta.."

   Mulutnya berada pada posisi terbuka, saat itulah Thiat Tiong-tong mencengkeram dagunya sehingga dia sama sekali tidak mampu merapatkan mulutnya lagi.

   Secepat kilat ThiatTiong-tong merogoh ke dalam sakunya, mengambil sebutir pil berwarna hitam kemudian setelah dijejalkan ke mulut Sim Sin-pek, tangan kirinya mendorong bagian bawah dagunya dan menekan ke atas kuat-kuat.

   "Glegekk...."

   Sim Sin-pek telah menelan pil itu ke dalam perutnya. Thiat Tiong-tong segera tertawa terbahak bahak, tegurnya.

   "Hahahaha.... sudah tahu, pil apa yang kau telan?"

   Waktu itu Sim Sin-pek merasakan bau amis yang busuk dan aneh muncul dari balik tenggorokannya, tatkala satu ingatan melintas didalam benaknya, dengan wajah berubah pucat lantaran ngeri, jeritnya gemetar.

   "Maa.... masa pil beracun?"

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tepat sekali!"

   Jawab Thiat Tiong-tong tergelak.

   "kau butuh obat penawarnya?"

   Sementara Sim Sin-pek masih termangu, Yin Ping beserta kawanan gadis lainnya sudah tertawa terkekeh lantaran geli. Manusia aneh itu berseru pula sambil tertawa.

   "Bagus, bagus sekali, inilah yang dinamakan siapa menanam kebusukan, dia akan menulai bencana. Senjata makan tuan!"

   "Sayangnya obat racunku jauh lebih mengerikan"

   Thiat Tiong-tong menambahkan.

   "jika dalam satu jam tidak peroleh obat penawarnya, maka racun itu akan mulai bekerja, seluruh tubuh akan mulai membusuk lalu mengelupas kulitnya satu demi satu.... oooh, tidak terkirakan rasa sakit dan tersiksanya"

   Pucat pias selembar wajah Sim Sin-pek, sepasang kakinya terasa lemas, tubuhnya menggigil keras, nyaris dia roboh terjungkal ke tanah saking takut dan ngerinya. Sambil menyodorkan sebuah botol obat dari dalam sakunya, dia berseru lirih.

   "Botol ini.... botol ini berisikan obat penawar racun untuk.... untuk nona Sui.... !"

   "Ooh, kau pingin barter obat penawar racun denganku?"

   Tanya Thiat Tiong-tong. Sim Sin-pek mengangguk berulang kali tanpa sanggup mengucapkan sepatah katapun.

   "Hanya satu botol ini?"

   Kembali Thiat Tiong-tong bertanya. Sembari merangkak bangun dari atas tanah sahut Sim Sin-pek.

   "Mana mungkin hamba memiliki obat beracun yang diramu dari tiga puluh enam macam bahan beracun? Tadi.... tadi hanya bergurau saja.... obat racun itu hanya obat racun biasa, penawarnya pun hanya satu macam"

   "Sungguh?"

   Thiat Tiong-tong tertawa dingin.

   "Sung.... sungguh, bila berbohong biar aku mati disambar geledek"

   Terdengar Yin Ping menghela napas sambil gelengkan kepalanya berulang kali.

   "Aaaai.... dilihat tampangnya sih gagah dan ganteng, sayang jiwanya pengecut, ternyata begitu takut mampus, sayang.... aaaai! sungguh sayang!"

   Sim Sin-pek pura-pura tidak mendengar, nyaris botol yang berada dalam genggamannya terjatuh ke tanah. Sambil tertawa dingin Thiat Ti menyambut botol obat itu.

   "Baa.... bagaimana dengan obat... obat penawar racunku...."

   Teriak Sim Sin-pek tiba tiba.

   "Penawar racun apa? Mana aku punya obat penawar racun!"

   Sahut Thiat Tiong-tong sambil menarik wajahnya. Pecah nyali Sim Sin-pek setelah mendengar jawaban itu, dia roboh terduduk diatas tanah, setengah menangis jeritnya.

   "Saudara Thiat, kau...."

   "Apa? Kau memanggil aku dengan sebutan apa?"

   Tukas Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin.

   "Paa.... paman Thiat, empek Thiat, tolonglah aku...."

   Rengek Sim Sin-pek dengan wajah hampir menangis.

   "berbuatlah bajik, berbuatlah mulia, tolonglah aku, tolong hadiahkan obat penawar racun untukku!"

   "Lain kali masih berani mencelakai orang?"

   "Tidak berani, lain kali hamba tidak berani lagi"

   Dengan sorot tajam Thiat Tiong-tong mengamati wajah pemuda itu beberapa saat, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak.

   "Hahahaha.... dasar manusia dungu, dasar goblok, racun apa yang kau telan tadi? Obat itu tidak lebih hanya obat luka luar"

   Sim Sin-pek tertegun, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri melongo sambil mengawasi kawanan gadis itu tertawa terpingkal pingkal. Kembali Thiat Tiong-tong berkata sambil tertawa.

   "Kalau tidak berbuat begitu, memangnya kau bersedia menyerahkan obat penawar racun itu? Obat luka luar belum pernah ditelan orang, rasanya kau telah menjadi orang pertama yang mencicipinya, bagaimana? Enak bukan rasanya?"

   Sim Sin-pek hanya berdiri terbelalak dengan mulut melongo, jangan lagi berbicara, dia sendiri-pun bingung mesti menangis atau tertawa.

   Ditengah gelak tertawa yang riuh, paras muka Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian telah berubah jadi pucat pias bagai mayat.

   Dengan jengkel Suto Siau menghentakkan kakinya berulang kali keatas tanah, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya setelah menghela napas panjang katanya.

   "Mari kita pergi!"

   "Betul, sudah waktunya kalian harus pergi"

   Manusia aneh itu menambahkan. Dengan gemas Suto Siau melotot berapa kejap ke arah Thiat Tiong-tong, sementara Hek Seng-thian dengan benci mengumpat.

   "Tunggu sajasuatu saat nanti...."

   Akhirnya sambil menggertak gigi, bersama Pek Seng-bu sekalian beranjak pergi dari situ. Jago pedang berkopiah kuning melotot juga ke arah Thiat Tiong-tong seraya berkata.

   "Kelompok jago pedang pelangi pasti akan minta pelajaran lagi dikemudian hari"

   "Baik, akan kutunggu"

   Sahut Thiat Tiong-tong santai.

   Bi gwat kiam kek melirik sekejap ke arah pemuda itu sambil melemparkan senyuman manis, tapi dia segera ditarik pergi Chee Toa-ho.

   Menanti semua orang sudah berlalu, Sim Sin-pek baru seakan tersadar kembali, tergopoh-gopoh dia bangkit berdiri sambil berteriak ketakutan.

   "Suhu tunggu aku...."

   Dengan sempoyongan dia lari menyusul rombongannya.

   Rombongan jago itu datang secara gagah perkasa tapi harus angkat kaki dalam keadaan yang mengenaskan, dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan.

   Setelah musuh tangguh berhasil dipukul mundur, Thiat Tiong-tong merasa semangatnya berkobar kembali, pikirnya.

   "Dengan kedudukan manusia aneh itu, rasanya mustahil dia akan menggunakan cara paksa untuk merampas obat penawar racun ini, apalagi obat sudah berada ditanganku, masa dia tetap bersikeras akan membawa pergi Sui Leng-kong?"

   Belum habis ingatan itu melintas lewat, tiba-tiba terdengar manusia aneh itu menegur sambil tertawa.

   "Anak muda, kau tidak datang memohon kepadaku?"

   Thiat Tiong-tong melongo, pikirnya keheranan.

   "Seharusnya kau yang datang memohon kepadaku, kenapa malah aku yang harus memohon kepadamu?"

   Berpikir begitu segera tanyanya.

   "Mohon.... mohon apa?"

   "Mohon kepadaku agar melolohkan obat penawar racun itu kepadanya! Kalau tidak, bila aku telah membawanya pergi sedang dia mati gara-gara keracunan, memangnya kau tidak akan bersedih hati?"

   "Soal ini.... soal ini...."

   Manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak, ujarnya lagi dengan bangga.

   "Telah kuputuskan untuk membawa pergi nona itu, jadi obat penawar racun itu akan kau serahkan atau tidak, itu menjadi urusanmu sendiri"

   Paras muka Sui Leng-kong pucat pias, tubuhnya gontai dan gemetar keras.

   Thiat Tiong-tong sendiripun merasa gusar bercampur kaget, dia merasakan hatinya sakit bagaikan diiris-iris.

   Yin Ping segera maju menghampirinya, setelah menghela napas pelan katanya.

   "Serahkan obat penawar itu kepadanya!"

   "Tapi.... tapi...."

   "Aaai, anak bodoh, bila kau sama sekali tidak ambil perduli dengan keselamatan nona itu, dialah yang akan memohon kepadamu. Tapi kau sudah menunjukkan sikap kuatirmu atas keselamatan jiwanya, tentu saja kau yang harus memohon kepadanya"

   Dengan perasaan sedih Thiat Tiong-tong termenung sejenak, dia tahu apa yang diucapkan perempuan itu ada benarnya juga, sebab dia lebih suka menyaksikan Sui Leng-kong pergi meninggalkan dirinya ketimbang menyaksikan Sui Leng-kong mati karena keracunan.

   Terhadap masalah yang tidak mungkin bisa teratasi, dia memang tidak ingin membuang waktu terlalu banyak, maka obat penawar itu segera disodorkan ke muka.

   "Ternyata kau memang seorang pemuda yang cerdas"

   Kata manusia aneh itu sambil menyambut botol itu. Sementara Sui Leng-kong dengan air mata bercucuran bisiknya gemetar.

   "Kau.... kau...."

   "Kau harus menunggu aku"

   Ucap Thiat Tiong-tong sambil menggigit bibir.

   "biar harus mati pun aku tetap akan berusaha untuk menyelamatkan dirimu!"

   Walaupun hanya berapa patah kata singkat namun jauh melebihi beribu patah kata.

   "Sampai mati aku tetap akan menunggumu"

   Janji Sui Lengkong pula tegas. Biarpun dia sedang menangis sedih, namun berapa patah kata itu diucapkan secara tegas dan tandas. Manusia aneh itu segera tertawa tergelak, ejeknya.

   "Hey anak muda, tidak usah menunggu lagi, walaupun saat ini dia bicara secara tegas, kujamin tiga sampai lima hari lagi dia sudah akan melupakan dirimu untuk selamanya"

   Thiat Tiong-tong sudah membalikkan tubuhnya, dia sama sekali tidak menggubris ucapan tersebut. Yin Ping datang menghampiri, bisiknya.

   "Dia masih berada didalam rumah gubuk, meski terluka namun tidak sampai membahayakan jiwanya, baik baiklah kau rawat lukanya"

   Dengan pandangan kosong Thiat Tiong-tong mengangguk, kemudian dia mendengar suara langkah kaki, suara isak tangis Sui Leng-kong, suara hiburan dari manusia aneh itu yang kian lama kian menjauh.

   Sebenarnya bisa saja dia mengintil dari belakang, namun bila teringat Ai Thian-hok yang terluka gara-gara dia, tanpa sangsi lagi sambil menggertak gigi dia lari masuk ke dalam gubuk.

   BAB 18 Barisan Bidadari Telanjang Ai Thian-hok masih duduk bersila di dalam rumah gubuk dengan wajah hambar, tanpa perasaan.

   "Ai-heng!"

   Thiat Tiong-tong menyapa sambil menghela napas pelan.

   "Sui Leng-kong telah dibawa kabur orang, mari kita segera berangkat, dengan begitu kita tidak akan kehilangan jejak mereka, cuma.... apakah saudara Ai masih sanggup bergerak?"

   "Kenapa kau bicara dengan setengah berbisik? Aku tidak mendengar apa yang kau katakan"

   Sahut Ai Thian-hok dengan wajah bingung. Ucapan itu disampaikan dengan nada sangat keras, bagaikan orang yang sedang berteriak. Thiat Tiong-tong terkesiap, pikirnya kaget.

   "Jangan-jangan... gendang telinganya terluka?"

   Padahal selama ini dia mengandalkan ketajaman pendengarannya untuk menggantikan matanya yang buta, jika sekarang telinganya jadi tuli, boleh dibilang dia menjadi cacad total, seorang tokoh sakti pun menjadi manusia yang tidak berdaya.

   Thiat Tiong-tong merasakan tangan kakinya jadi lemas, nyaris dia tidak sanggup berdiri tegak.

   Tiba-tiba Ai Thian-hok bangkit berdiri, sambil mencengkeram bahu anak muda itu katanya dengan suara gemetar.

   "Kenapa kau tidak berbicara, apakah... apakah aku sudah tidak.... tidak bisa mendengar lagi...."

   Lantaran daya pendengarannya melemah, dengan sendirinya nada suaranya bertambah nyaring dan keras.

   Thiat Tiong-tong menyaksikan raut mukanya kaku sedikit mengejang, wajah panik dan ketakutan yang terpampang saat itu belum pernah terlihat sebelumnya.

   Biasanya meski berada dalam kondisi yang amat kritis pun dia tidak pernah berubah muka, tapi sekarang paras mukanya telah mengalami perubahan yang luar biasa, hal ini membuktikan kalau menjadi tuli merupakan satu kenyataan yang jauh lebih menyiksa ketimbang mati dibunuh.

   Thiat Tiong-tong merasa sedih sekali, terpaksa sambil menyerakkan suaranya dia menjawab.

   "Tenggorokan siaute agak sakit, mungkin suaraku jadi parau lantaran kecapaian selama berapa hari belakangan, mana mungkin saudara Ai tidak bisa mendengar"

   Ai Thian-hok menghembuskan napas lega, senyuman kembali menghiasi wajahnya.

   "Anak muda memang tidak tahan uji"

   Katanya.

   "baru mendapat siksaan begitu tenggorokan sudah jadi serak, masih mending kakakmu...."

   Thiat Tiong-tong merasakan air mata mengembang dalam kelopak matanya, tapi dia memaksakan diri untuk tertawa keras sambil menyahut.

   "Yaa.. tentu saja, siapa yang mampu menandingi saudara Ai!"

   "Tadi kau bilang hendak mengejar seseorang?"

   "Benar!"

   "Kalau begitu mari kita segera berangkat, biarpun loko terluka namun tidak akan mengganggu, aku masih sanggup melakukan perjalanan"

   "Justru siaute yang merasa agak tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan"

   Kata Thiat Tiong-tong sambil tertawa paksa.

   "Kalau begitu biar aku tuntun dirimu"

   Thiat Tiong-tong segera membesut air matanya dan melangkah keluar dari situ sambil merangkul bahu Ai Thian-hok, tapi baru keluar dari rumah gubuk itu, air matanya telah jatuh berlinang.

   Melakukan pengejaran seorang diripun belum tentu berhasil menyusul manusia aneh itu, apalagi sekarang harus disertai Ai Thian-hok yang nyaris cacad total, boleh dibilang jauh lebih sulit daripada naik ke langit.

   Hingga sekarang dia masih belum mengetahui asal-usul manusia aneh itu, bila gagal menyelidiki asal usulnya, mungkin sepanjang masa sulit baginya untuk menyelamatkan Sui Lengkong.

   Tapi bagaimana pula dengan Ai Thian-hok? Apakah harus ditinggalkan seorang diri? Cahaya fajar mulai muncul diujung langit, hujan angin pun sudah berhenti sejak tadi.

   Di tengah cahaya fajar yang redup, mereka berdua menelusuri jalan perbukitan yang penuh lumpur, melihat sisajejak kaki yang tertinggal diatas lumpur, diam-diam Thiat Tiong-tong merasa amat girang.

   Siapa tahu ketika tiba disebuah persimpangan, tiba-tiba jejak kaki itu menjadi kacau dan semakin sulit dilihat, dengan perasaan terkejut Thiat Tiong-tong berusaha berjongkok sambil meneliti arah yang dituju, sayang dia tidak berhasil menemukan sesuatu.

   Ai Thian-hok yang menunggu berapa saat tiba-tiba bertanya.

   "Apakah Yin.... Yin Ping melakukan perjalanan bersama orang yang sedang kau kejar?"

   Suara pertanyaan itu sangat nyaring hingga bergaung diseluruh perbukitan, namun dia sendiri sama sekali tidak mendengar apa apa.

   "Benar"

   "Kalau begitu dia melalui jalanan yang ini!"

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sambil berkata dia menuju ke arah sebelah kiri. Thiat Tiong-tong terkejut bercampur keheranan, pikirnya.

   "Selain tuli diapun buta, aneh, darimana bisa tahu arah yang digunakan Yin Ping?"

   Setelah berjalan sesaat, tak tahan dia pun menyatakan keheranannya. Sambil tersenyum sahut Ai Thian-hok.

   "Bau harum yang tersebar dari tubuh Yin Ping sangat tebal, bau itu masih tersisa di udara fajar yang bersih, jadi gampang untuk dilacak jejaknya, coba kalau berada ditempat keramaian, belum tentu aku dapat mengendus bau harumnya itu"

   Disamping kagum, Thiat Tiong-tong pun merasa amat terharu, setelah menempuh perjalanan berapa saat lagi lambat laun mereka sudah menuruni tanah perbukitan, matahari semakin tinggi di angkasa dan memancarkan cahaya emasnya menyinari seluruh jagad.

   Sayang bayangan tubuh manusia aneh beserta Yin Ping sekalian sudah hilang lenyap tidak berbekas.

   Pada saat itulah dari kejauhan sana, dari balik pepohonan hutan bergema suara keleningan merdu, disusul kemudian muncul seorang penjaja makanan yang membawa sebuah poci.

   "Sekarang ke arah mana kita harus pergi?"

   Tanya Thiat Tiong-tong kemudian. Sambil tertawa getir Ai Thian-hok menggeleng, sahutnya.

   "Udara diseputar sini lembab dan berbau tanah, aku tidak bisa mengendus bau harumnya lagi"

   Thiat Tiong-tong menghela napas sedih, sambil berdiri mematung, dia mulai membayangkan kembali sikap mesra yang diperlihatkan Sui Lengkong selama ini, dia tidak bisa membayangkan apa jadinya bila gagal menemukan kembali gadis tersebut.

   Mungkin dia sendiri sanggup menjalani kehidupan yang penuh penderitaan dan siksaan hidup, tapi bagaimana dengan Sui Leng-kong? Mampukah dia melewati hari-harinya dalam kenangan serta kerinduan? Suara keleningan kian lama kian bertambah dekat, seorang penjaja makanan dengan tangan kiri membawa keranjang, tangan kanan mem-bawa poci arak berjalan mendekat, keleningan yang terikat diatas keranjang makanan berbunyi tiada hentinya.

   Penjaja makanan itu mulai berteriak.

   "Daging sapi, arak putih, harum, sedap.... murah...."

   Perlu diketahui, tempat dimana mereka berada sekarang adalah tempat yang termasuk daerah wisata, banyak orang yang pagi-pagi naik gunung untuk bersembahyang, sehingga tidak heran kalau sejak fajar sudah ada penjaja makanan yang berkeliling.

   Tergerak hati Thiat Tiong-tong menyaksikan penjaja makanan itu, segera bisiknya.

   "Saudara Ai, tunggu sebentar, biar aku tengok dulu keadaan di depan sana"

   Dengan langkah lebar dia menghampiri penjaja makanan itu, mengeluarkan uang dan memberi arak serta daging.

   Dengan senyuman ramah penjaja makanan itu melayani pesanannya, tapi tujuan utama Thiat Tiong-tong bukan untuk membeli arak, maka diapun mencari keterangan apakah melihat ada rombongan orang yang baru lewat dari situ.

   Dia kuatir Ai Thian-hok menaruh curiga, oleh sebab itu diajaknya penjaja makanan itu menyingkir agak jauh.

   Penjaja makanan itu menatapnya berapa saat, lalu menjawab.

   "Tidak ada"

   Jawaban tersebut seketika membuat Thiat Tiong-tong sangat kecewa, diam-diam dia menghela napas dan tidak berminat lagi untuk membeli arak. Tiba tiba penjaja makanan itu bertanya lagi.

   "Apakah toaya bermarga Thiat?"

   "Dari mana kau bisa tahu?"

   Dengan perasaan terperanjat Thiat Tiong-tong bertanya.

   "Apakah toaya punya lima tahil perak?"

   Kembali penjaja makanan itu bertanya sambil tertawa.

   Thiat Tiong-tong tahu, pertanyaan itu pasti ada alasannya, maka tanpa banyak cakap dia merogoh ke dalam sakunya mengeluarkan sekeping perak dan diperlihatkan dihadapan orang itu.

   Dengan mata terbelalak penjaja makanan itu mengawasi kepingan uang ditangan pemuda itu, akhirnya dia merogoh ke dalam keranjangnya, membongkar barang dagangannya dan mengeluarkan selembar daun selebar telapak tangan dari dasar keranjang itu.

   Dalam sekilas pandang Thiat Tiong-tong dapat melihat kalau daun lebar itu berisi penuh dengan ukiran tulisan.

   Kembali penjaja makanan itu bertanya sambil tertawa.

   "Daun ini harganya lima tahil perak, apakah toaya berninat untuk membelinya?"

   Andaikata berganti orang lain, mereka pasti menganggap penjaja makanan itu sudah sinting karena memikirkan uang dan pergi meninggalkannya.

   Tapi Thiat Tiong-tong yang teliti dan sangat berhati-hati dapat menduga kalau ukiran diatas daun pasti berisikan tulisan, satu ingatan segera melintas lewat, tegurnya.

   "Darimana kau dapatkan daun itu?"

   Penjaja makanan itu tidak menjawab, dia hanya mengawasi uang ditangan pemuda itu sambil tertawa cengar cengir.

   Thiat Tiong-tong tersenyum, dia melemparkan kepingan perak itu ke dalam keranjang makanannya.

   Dengan kegirangan penjaja makanan itu berkata.

   "Tadi ada sebuah kereta kuda yang sangat indah dan mewah melalui hutan ini, pelancong kaya semacam ini tidak mungkin akan membeli daganganku maka pada mulanya aku tidak menaruh perhatian"

   Setelah menyembunyikan kepingan perak tadi ke balik tumpukan barang dagangannya, kembali dia melanjutkan.

   "Siapa tahu kereta kuda yang paling belakang tiba-tiba berhenti, katanya mau membeli daging sapi. Suara itu merdu, manis dan enak didengar, buru-buru aku pun berlari mendekat, dari dalam kereta segera terdengar ada suara lelaki yang berkata sambil tertawa"

   "setelah hidup selama banyak tahun dalam kuil, tidak heran kalau kau jadi rakus makanan, mungkin kecuali kau, tidak ada orang lain yang sudi makan daging semacam itu". Maka dia pun minta aku mengiriskan daging, tapi harus dipotong tipis-tipis. Aku tahu ini pesanan istimewa maka daging kuiris setipis mungkin. Siapa tahu tatkala aku sedang mengiris daging itulah, telingaku secara tiba-tiba menangkap lagi suara bisikan yang manis dan merdu"

   "Apa yang dia katakan?"

   Tidak tahan Thiat Tiong-tong menukas.

   "Dia minta aku menunggu di persimpangan jalan ini, bila melihat ada seorang pemuda bertanya kepadaku apakah melihat ada serombongan manusia lewat disini, maka aku disuruh menjual daun itu kepadanya dengan harga lima tahil perak. Suara bisikan itu seakan bergema dari sisi telingaku, padahal disitu tidak ada orang, baru aku merasa terperanjat sambil mengangkat kepala, kulihat ada seseorang menampakkan diri dari balik jendela dan memandang kearahku sambil tertawa, aku duga pasti dialah yang barusan berbicara denganku!"

   Thiat Tiong-tong tahu, suara bisikan itu pasti disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara, diam-diam pikirnya dengan keheranan.

   "Tenaga dalam Sui Leng-kong tidak hebat, dia belum mampu menggunakan ilmu menyampai-kan suara, jangan-jangan yang memberi kisikan adalah Yin Ping?"

   Terdengar penjaja makanan itu berkata lagi sambil tertawa.

   "Wajah itu benar benar amat cantik, bahkan jauh lebih cantik daripada bidadari dari kahyangan, saking kesemsemnya hampir saja jari tangan ini kuiris sendiri. Ketika melihat aku berdiri terpesona, diapun mengeluarkan sekeping uang perak serta selembar daun ini dan menyerahkannya kepadaku, tapi aku tetap tidak percaya, masa ada orang mau membeli daun ini seharga lima tahil perak!"

   Sambil tertawa Thiat Tiong-tong menyambut daun itu, pikirnya.

   "Dia tahu kalau aku pasti akan mencari berita diseputar sini, juga tahu kalau penjaja makanan itu pasti akan mencoba beradu untung dengan menunggu ditempat ini, bila Sui Leng-kong bisa berpikir begitu, Yin Ping pasti bisa menduga pula ke situ, aneh, tapi kenapa dia harus meninggalkan pesan secara rahasia bahkan menyampaikan dengan ilmu menyampaikan suara? Jelas dia berbuat begitu lantaran kuatir ketahuan manusia aneh itu. Pesan apa yang dia tinggalkan pada daun itu?"

   Berpikir sampai disini, dia segera periksa daun itu dengan seksama, benar juga segera terbaca beberapa tulisan disitu, tulisan itu berbunyi.

   "Bila ingin bertemu kembali, cepat berangkat ke kaki bukit Lau-san di Lu-tang, hati-hati!"

   Setelah membacanya berulang kali, Thiat Tiong-tong merasakan darah panas bergolak dirongga dadanya, dengan kegirangan dia berpikir.

   "Aku.... aku punya harapan untuk berjumpa lagi dengan Sui Leng-kong..."

   Dia tahu bawah bukit Lau-san pasti merupakan tempat tinggal si manusia aneh itu, pikirnya lebih jauh.

   "Kenapa Yin Ping mau memberitahukan rahasia ini kepadaku? Untuk mengukir tulisan diatas daun pun sudah banyak menguras pikiran dan tenaganya, jangan-jangan dia berbuat demikian karena kasihan aku berpisah dengan Sui Lengkong?"

   Tapi ingatan lain segera melintas lewat, seakan sadar akan sesuatu, pikirnya lebih jauh.

   "Aaah, benar, bagaimanapun dia sudah punya umur, sudah waktu baginya untuk memikirkan masa tuanya nanti, tentu dia berniat hidup berdampingan dengan manusia aneh itu hingga kakek nenek, tapi kuatir kehadiran Sui Leng-kong akan menyingkirkan dia dari pandangan orang itu. Maka dia membantuku untuk merampas balik Sui Leng-kong. Aaaai! Yin Ping wahai Yin Ping, kecerdasan otakmu memangjauh diatas siapa pun* Sementara dia masih melamun, penjaja makanan itu sudah melarikan diri dari situ, kelihatannya dia kuatir Thiat Tiong-tong menyesal, maka sehabis menyembunyikan uang perak itu, dia mengambil langkah seribu. Perlahan-lahan Ai Thian-hok berjalan mendekat, cepat Thiat Tiong-tong menyongsong kedatangannya, dia menyangka rekannya datang mencari berita, siapa tahu Ai Thian-hok sama sekali tidak menunjukkan kecurigaannya. Tanpa ragu lagi, dia segera membimbing Ai Thian-hok dan beranjak pergi dari situ.

   "Saudaraku, kita mau ke mana? Apa perlu aku temani?"

   Tanya Ai Thian-hok kemudian. Dengan sedih Thiat Tiong-tong berpikir.

   "Walaupun keikut sertaannya akan menjadi beban bagiku, tapi apakah aku tega membiarkan dia pergi seorang diri? Lagipula.... akupun tidak tahu Kiu cu Kui bo saat ini berada dimana"

   Berpikir begitu, sambil tertawa tergelak sahutnya.

   "Siaute sadar, perjalanan kali ini penuh dengan rintangan dan kesulitan, dengan pengalaman dan pengetahuan siaute yang begitu cetek, jelas merupakan satu masalah besar. Bila Ai-heng bersedia, bantulah aku sekali ini!"

   "Baik, mari kita berangkat!"

   Sahut Ai Thian-hok sambil tersenyum.

   Selain terharu, Thiat Tiong-tong pun menghela napas sedih, sepanjang perjalanan dia selalu berusaha mengelabuhi rekannya, dia takut Ai Thian-hok jadi bosan hidup gara-gara mengetahui telinganya sudah mulai tuli.

   Ternyata Ai Thian-hok seakan tidak menyadari akan hal itu, sepanjang perjalanan dia selalu mencari kesempatan untuk menuturkan semua pengalaman dan pengetahuannya tentang dunia persilatan kepada anak muda tersebut.

   Suatu hari tibalah mereka di kota Cu-shia diwilayah Lu-tang, jaraknya dengan bukit Lau-san sudah tidak terlalu jauh lagi.

   Saat itu udara terasa hangat, aneka bunga mekar dengan indahnya, sudah hampir setahun pemuda itu meninggalkan Perguruan Tay ki bun.

   Membayangkan kembali semua pengalamannya selama ini, Thiat Tiong-tong tidak tahu haruskah merasa sedih atau gembira, walaupun dia sudah banyak mengucurkan darah dan keringat demi perguruan, diapun tidak tahu apakah semua perbuatannya bisa dimaklumi gurunya atau tidak.

   Bagaimana pula keadaan saudara perguruan lainnya selama setahun ini? Bagaimana pula dengan keadaan luka yang diderita Im Ceng? Biarpun ada Un Tay-tay yang melindunginya, namun dia tetap merasa amat kuatir.

   Apalagi dihati kecilnya masih menyimpan sebuah rahasia yang amat besar, setiap menjelang tengah malam, di saat sepi manusia, dia seringkah bergumam seorang diri.

   "Waktunya sudah hampir tiba, jangan lupa.... jangan sampai lupa...."

   Setibanya di kota Cu-shia, walaupun dihati kecilnya Thiat Tiong-tong ingin melanjutkan kembali perjalanannya, namun lantaran kuatir Ai Thian-hok kelewat lelah, maka menjelang senja dia pun mencari tempat penginapan untuk beristirahat, berdua dia duduk terpekur sambil minum arak.

   Ketika malam semakin kelam, selera minum kedua orang itu makin meningkat, siapa pun enggan kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

   Selama ini Thiat Tiong-tong selalu berusaha untuk bicara keras, agar Ai Thian-hok dapat menangkap pembicaraannya secara jelas, akibatnya saat ini tenggorokannya benar-benar sedikit agak parau.

   Setiap kali Ai Thian-hok tidak dapat menangkap isi pembicaraan secara jelas, Thiat Tiong-tong selalu berseru sambil tertawa.

   "Tenggorokan siaute memang semakin parau, bayangkan, kemarin sewaktu minta air, jarak tiga meter pun orang tidak mendengar teriakanku, tentu nya toako juga makin pusing bukan untuk menangkap ucapanku?"

   Ai Thian-hok tersenyum tanpa menjawab, lewat sesaat kemudian tiba-tiba setitik air mata membasahi kelopak matanya. Melihat itu dengan terperanjat Thiat Tiong-tong bertanya.

   "Toa.... toako, kenapa kau bersedih hati?"

   Ai Thian-hok duduk tanpa bergerak, sampai lama kemudian ia baru berkata pelan.

   "Saudaraku yang bodoh, memangnya kau sangka toako benar-benar tidak tahu?"

   "Toako, apa yang kau ketahui?"

   "Berulang kali kau minta aku membantumu, membimbingmu, padahal kau tidak tega meninggalkan diriku bukan? Padahal kau kasihan kepada toako lantaran sudah buta, tuli lagi bukan?"

   Sekujur tubuh Thiat Tiong-tong bergetar keras, air mata kembali jatuh bercucuran, sambil memegang bahu Ai Thian-hok kuat-kuat, ujarnya gemetar.

   "Toako, kau.... sejak kapan kau tahu akan hal ini?"

   "Sewaktu tiba di kaki bukit, toako sudah mengetahuinya!"

   Sahut Ai Thian-hok sambil menghela napas. Kemudian setelah tertawa pedih, lanjutnya.

   "Kau tidak menyangka bukan, meski toako sudah buta lagi tuli, namun masih mampu berdiri tegak, mampu berjalan, masih punya selera makan, tidur dengan nyenyak?"

   Thiat Tiong-tong hanya mengawasi raut mukanya yang kaku itu dengan termangu, dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan hatinya sekarang, dalam waktu sesaat pelbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya.

   Bukan saja seluruh kemewahan dan keindahan dunia tidak bisa dilihat dan dinikmati lagi, kedudukan terhormat dalam dunia persilatan, nama harum di antara umat persilatan pun harus dia tinggalkan untuk selamanya.

   Seandainya dia hanya seseorang yang pasrah pada nasib, mungkin keadaan jauh agak mendingan, tapi dia adalah seorang jagoan sejati yang besar ambisinya dan tinggi cita-citanya, mungkinkah dia sanggup menghadapi pukulan batin ini? Tapi kenyataannya sekarang, pukulan batin yang belum tentu dapat dihadapi siapa pun tidak sampai merobohkan dirinya, ia masih dapat bertahan dengan tenang, bersikap seakan tidak pernah terjadi sesuatu, bukan hanya orang lain saja, bahkan Thiat Tiong-tong sendiripun tidak menyangka.

   Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya terdengar Ai Thian-hok berkata kembali.

   "Saudaraku, kau jangan lupa, keteguhan batin seorang lelaki terbentuk karena tempaan penderitaan dan siksaan, biarkan saja tubuh berubah jadi cacad, biarkan saja tubuh dan phisikmu berubah tidak berguna, yang penting hatimu belum menjadi cacad, pikiranmu masih berguna, itu semua sudah lebih dari cukup"

   "Aaaa, kelihatannya memang gampang, padahal sulit untuk dilakukan"

   Pikir Thiat Tiong-tong didalam hati.

   "berapa orang sih di dunia ini yang sanggup melakukan hal tersebut?"

   Sekalipun perasaan hatinya amat pedih, namun diliputi perasaan kagum yang tidak terhingga. Tiba-tiba Ai Thian-hok bangkit berdiri, setelah menghela napas panjang, ujarnya.

   "Waktu sudah larut malam, mari kita tidur!"

   Sewaktu kembali, tubuhnya berjalan sangat tegak.

   Malam itu Thiat Tiong-tong tidak dapat tidur nyenyak, hingga fajar menjelang tiba dia baru bisa terlelap tidur.

   Ketika dia mendusin dari tidurnya, Ai Thian-hok telah pergi dari situ sambil meninggalkan sebuah surat yang ditindihkan dibawah sebuah kotak kecil dari kayu.

   Tulisan diatas kertas sangat kacau dan susah dibaca, namun secara lamat-lamat masih bisa terbaca.

   "Meski belajar pedang susah, ternyata mendapat kawan sejati jauh lebih susah, memperoleh seorang adik macam kau membuat aku rela mati, oleh sebab itu aku tidak ingin membuat susah kau, sepanjang-panjangnya jalanan akhirnya akan tiba diujungnya juga, mungkin mulai kini aku akan berkelana ke ujung dunia dan entah sampai kapan baru bersua kembali.

   "Sebuah kotak kayu yang sudah banyak tahun kusimpan kuberikan sebagai kenangan, semoga hiante tidak usah mencariku lagi"

   Membaca surat itu sambil memegang kotak kayu kecil, Thiat Tiong-tong merasakan seluruh tubuhnya gemetar keras, rasa sedih menyelimuti seluruh perasaan hatinya.

   Bukit Lau-san terletak di daerah Ciau-ciu (Propinsi Shoatang) yang terletak di pesisir laut, udara amat hangat, karena berada disepanjang laut, tidak heran kalau banyak pelancong yang berkunjung ke situ.

   Setibanya dikaki bukit, Thiat Tiong-tong mulai berjalan mengelilingi seluruh tanah perbukitan, namun dia tidak berhasil menemukan seorang manusiapun diseputar sana.

   Akhirnya dia mencari seorang penebang kayu yang dijumpainya di kaki bukit dan bertanya apakah pernah menjumpai sekelompok manusia aneh diseputar sana, tapi penebang kayu itu menjawab tidak pernah dijumpai sesuatu yang aneh.

   Thiat Tiong-tong merasa panik bercampur kecewa, mencari hingga menjelang senja, akhirnya dia duduk termangu dibawah pohon sambil mengawasi lembayung dikaki bukit, pikirnya.

   "Mungkinkah dia membohongi aku? Jangan-jangan mereka menuju ke barat sementara aku menuju ke timur hingga selama hidup tidak akan berhasil menemukan mereka kembali?"

   Belum habis ingatan tersebut melintas lewat, mendadak terdengar suara meong bergema dari sisi pepohonan, menyusul kemudian terlihat seekor kucing berbulu putih muncul dari balik semak.

   Kucing itu kelihatan gagah dan keren, jauh lebih gagah dari kucing biasa, sepasang matanya yang berwarna hijau seolah memancarkan cahaya api, binatang itu tidak lain adalah Ping-nu, kucing kesayangan Yin Ping.

   Tidak terkirakan rasa girang Thiat Tiong-tong menyaksikan kemunculan kucing itu, segera serunya.

   "Meong, apakah kau datang menjemputku?"

   Tampaknya Ping-nu sangat mengerti bahasa manusia, sepasang matanya yang hijau nampak memandang anak muda itu berulang kali, kemudian diiringi suara meong, kucing itu lari menuju ke atas bukit.

   Thiat Tiong-tong tidak berani berayal, segera dia mengikuti di belakangnya.

   Kecepatan gerak kucing pintar itu ternyata sama cepatnya dengan gerakan tubuh seorang jago persilatan, tampak bulu putihnya yang halus memantulkan cahaya bianglala ketika tertimpa cahaya senja.

   Thiat Tiong-tong berlarian dengan sepenuh tenaga, dia tidak berani berayal hingga ketinggalan, lebih kurang sepertanak nasi kemudian mereka telah melampaui punggung bukit dan memasuki hutan yang lebat.

   Angin gunung yang berhembus kencang, mendatangkan hawa dingin yang menggigit.

   Biarpun udara dingin, peluh sempat membasahi punggung Thiat Tiong-tong, setelah melampaui berapa tikungan bukit, lagi-lagi kucing itu mengeong, kemudian menerobos masuk ke balik semak disisi dinding tebing dan melenyapkan diri.

   Thiat Tiong-tong tertegun, buru-buru dia berlarian mendekat sambil melakukan pemeriksaan.

   Ternyata di antara dinding bukit itu terdapat sebuah jalan setapak selebar satu meter, jalan sempit itu tertutup oleh lebatnya semak belukar sehingga kalau tidak dicari dengan seksama, sulit untuk ditemukannya.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan kegirangan kembali Thiat Tiong-tong berpikir.

   "Dibalik celah sempit ini pastilah tempat tinggal manusia aneh itu"

   Tapi ingatan lain kembali melintas, pikirnya lebih jauh dengan sedih.

   "Berbicara dari kungfu yang kumiliki, kendati pun berhasil menemukan tempat tinggalnya, bukan berarti aku dapat menyelamatkan Leng-kong secara gampang...."

   Sementara dia masih melamun, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur sambil tertawa merdu.

   "Bocah bodoh, apa yang sedang kau tengok disitu?"

   Dengan perasaan terkejut Thiat Tiong-tong berpaling, entah sejak kapan dua orang gadis berambut hitam telah berdiri dibawah sinar senja yang mulai redup.

   Mungkin karena dia sedang melamun hingga kurang konsentrasi, maka tidak diketahui kehadiran mereka berdua.

   Kedua orang gadis itu mengenakan jubah panjang terbuat dari sutera yang halus, lembut lagi longgar, satu berwarna merah yang lain berwarna hijau dan panjangnya selutut hingga nampak jelas sepasang betisnya yang putih halus, kaki mereka terbungkus oleh sepatu terbuat dari rumput yang datar dan amat sederhana.

   Mereka berdua tidak lain adalah gadis yang pernah ikut bersama manusia aneh itu mengunjungi lembah kong-kok-san.

   Thiat Tiong-tong merasa terkejut bercampur girang, terkejut karena jejaknya ketahuan lawan, girang karena dugaannya ternyata tidak meleset, disitulah tempat tinggal manusia aneh itu.

   Dengan matanya yang jeli nona berbaju hitam itu memperhatikan wajah Thiat Tiong-tong berapa saat, kemudian tegurnya sambil tertawa.

   "Ternyata perhitungan kokcu tidak meleset, kau benar-benar datang kemari!"

   "Yaa, kalau memang sudah datang, ayohlah masuk ke dalam"

   Sambung nona berbaju hijau itu pula.

   "apa lagi yang kau perhatikan?"

   "Darimana dia tahu kalau aku bakal kemari?"

   Tanya Thiat Tiong-tong terperanjat.

   Dia duga manusia aneh itu benar-benar seorang manusia sakti yang bisa melihat masa depan, hingga apa yang bakal terjadi sudah diketahui terlebih dulu olehnya.

   Tentu saja dia tidak mengira kalau manusia aneh itu sesungguhnya adalah seorang jagoan silat yang berbakat alam, sekalipun tidak dapat meramal masa depan, namun perhitungan serta dugaannya selalu tepat.

   Ketika dia saksikan Yin Ping yang dihari biasa jarang meninggalkan dirinya tahu-tahu keluar lembah secara diam-diam, dia segera menduga kalau perempuan itu menaruh rasa cemburu terhadap Sui Leng-kong hingga sengaja memancing kedatangan Thiat Tiong-tong ke situ untuk menolong gadis tersebut.

   Sementara masih kaget bercampur ragu, kawanan gadis itu telah meluruk maju mendekat, satu menarik tangan Thiat Tiong-tong, yang lain menarik lengan bajunya sembari berseru.

   "Kokcu kami sudah menunggu, ayoh cepat masuk!"

   Tanpa membuang waktu lagi mereka menarik anak muda itu memasuki celah sempit di antara dinding bukit dan menuju ke dalam lembah.

   Thiat Tiong-tong hanya merasakan bau harum semerbak terendus disisi hidungnya, dia mencoba meronta namun tidak berhasil.

   Celah sempit itu lembab, gelap lagi tertutup rapat oleh semak yang lebat, untuk melewatinya maka orang harus berjalan satu per satu, begitulah, Thiat Tiong-tong dengan diapit dua orang gadis itu, satu di depan yang lain di belakang, berjalan menelusuri jalan setapak itu hampir seperminum teh lamanya.

   Tiba-tiba pemuda itu merasakan pandangan matanya jadi terang, ternyata pemandangan dihadapannya telah berubah jadi amat lebar dan terbuka, hembusan angin yang semilir ditambah bau harum bunga yang harum, membuat suasana disitu terasa nyaman dan mengesankan.

   Rupanya disudut celah yang sempit tadi merupakan sebuah lembah bukit yang luas dan lebar, lembah itu dikelilingi perbukitan diseke-lilingnya dengan pepohonan yang rimbun dan sebuah sungai kecil yang mengalir tenang.

   Sepanjang sungai kecil itu penuh ditumbuhi pohon Yang-liu, di antara rimbunnya dedaunan lamat-lamat tampak sebuah bangunan indah yang muncul dibalik bukit.

   Di depan bangunan indah itu merupakan sebuah tanah lapang dengan rumput yang dipotong pendek tapi rapi, diatas hamparan rerumputan nan hijau tergeletak puluhan macam alat musik, meja catur dan lain sebagainya.

   Thiat Tiong-tong tidak menyangka kalau di dunia pun terdapat alam seindah nirwana, tidak urung dia berdiri tertegun berapa saat lamanya.

   Terdengar nona berbaju merah itu berseru sambil tertawa cekikikan.

   "Saudara-saudaraku, apa indahnya melihat ikan disungai? Cepat kemari dan lihatlah si burung bodoh ini...."

   Rupanya disepanjang sungai kecil, dibalik pepohonan yang rimbun berkumpul belasan orang gadis cantik.

   Kawanan gadis itu hanya mengenakan kain tipis yang terbuat dari sutera, ketika berlarian terhembus angin, tampaklah dengan jelas lekukan tubuh mereka yang montok dan indah, ternyata dibalik kain sutera tipis itu, mereka berada dalam keadaan telanjang bulat.

   Thiat Tiong-tong hanya merasakan rangsangan yang hebat setelah melihat kawanan gadis bugil itu, buru-buru dia pejamkan matanya rapat rapat dan tidak berani memperhatikan lebih jauh.

   Dalam waktu singkat kawanan gadis itu sudah berada disisi tubuhnya, ada yang menarik bajunya, ada yang menarik lengan bajunya, bau harum yang menusuk hidung muncul dari empat arah delapan penjuru.

   Thiat Tiong-tong merasa gugup bercampur panik, dia mencoba mendorong kawanan gadis itu, tapi begitu jari tangannya menyentuh tubuh yang halus, lembut bagaikan kapas, dengan perasaan takut cepat dia menarik kembali tangannya.

   Sekalipun dia adalah seorang lelaki sejati berhati baja, tidak urung dibikin kelabakan juga setelah berada dalam kerumunan gadis bugil.

   Terdengar seorang gadis muda berseru sambil tertawa cekikikan.

   "Coba lihat tampangnya, dulu saja dia nampak gagah perkasa dan banyak akal hingga manusia pengecut takut mati itu dibuat kelabakan setengah mati, siapa sangka kalau hari ini dia sendiri yang justru seperti burung dungu"

   Ditengah gelak tertawa yang riuh, seorang gadis lain membelai pipi Thiat Tiong-tong dengan lembut, lalu katanya sambil menghela napas.

   "Sejak bertemunya tempo hari, aku sudah ingin mengelus pipinya, coba kalian lihat wajahnya, oooh.... macam pahatan saja, sungguh indah dan mengesankan, akhirnya keinginanku itu kesampaian juga hari ini"

   "Tidak heran kalau nona cilik itu mati-matian menunggu kehadirannya"

   Seru gadis yang lain pula.

   "biar kokcu sudah membujuk dan merayu dengan cara apapun, dia tetap tidak menggubris dan ambil perduli, rupanya dia memang tampan sekali"

   Kelihatannya gadis itu baru pertama kali ini bertemu Thiat Tiong-tong, bukan saja mengaguminya, bahkan nona itu seperti menyesal kenapa bukan dia yang dicintai pemuda itu.

   Sementara Thiat Tiong-tong sendiri merasa sedikit agak lega setelah tahu kalau Sui Leng-kong masih berada dalam keadaan selamat.

   Tiba-tiba dari seberang sungai kecil terdengar seseorang berseru dengan suara nyaring.

   "Tamu sudah tiba kenapa tidak dipersilahkan masuk? Kawanan gadis itu sama-sama membuat muka setan sambil menjulurkan lidahnya kemudian menarik tangan pemuda itu dan diajak menyeberangi jembatan kecil.

   "Tolong lepaskan tangan kalian"

   Pinta Thiat Tiong-tong.

   "aku bisa berjalan sendiri!"

   Sambil tertawa kawanan gadis itu melepaskan tangannya.

   Thiat Tiong-tong menghembuskan napas lega, dia mencoba celingukan kesana kemari, ternyata setelah menyeberangi sungai mereka menelusuri sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu warna warni, dikedua sisi jalan setapak itu penuh ditumbuhi aneka bunga yang indah dan semerbak.

   Jalan setapak itu langsung menghubungkan tempat itu dengan sebuah bangunan mungil, saat itulah kembali terdengar seseorang berseru dari balik ruangan sambil tertawa.

   "Tamu agung datang dari jauh, ayoh para budak, cepat ajak dia masuk ke dalam, aku malas untuk keluar menyambut"

   Nona berbaju merah itu tertawa lirih sambil menutupi mulutnya, dia segera berjalan duluan menuju ke sebuah serampi samping, ketika membuka pintu pagar maka bergemalah suara keleningan yang merdu.

   Manusia aneh itu dengan jubah merahnya sedang duduk diatas sebuah alas tidur yang terbuat dari batu kemala putih, di depan pembaringan adalah sebuah meja pendek dengan sebuah vas berisi aneka bunga dan sebuah jamban berisi aneka buah buahan.

   Beberapa orang gadis cantik berdiri disekelilingnya sambil meniup seruling dan bermain khiem, ketika melihat kemunculan Thiat Tiong-tong, meski irama musik tidak berhenti namun kerlingan mata kawanan gadis itu hampir semuanya tertuju ke arah anak muda itu.

   Ke empat dinding ruangan itu bersih berkilat bagai cermin, suasana dalam ruangan pun indah bagai sebuah lukisan, ketika Thiat Tiong-tong mencoba mengawasi sekitar situ, dia tidak tahu ada berapa banyak gadis cantik yang berada disana, dia pun tidak tahu ada berapa banyak kerlingan mata yang tertuju ke wajahnya.

   Sambil tertawa tergelak manusia aneh itupun berseru.

   "Wouw, seorang penebar bibit cinta yang luar biasa. Tidak nyana kau rela menempuh perjalanan sejauh ribuan li hanya untuk menyusul seorang nona. Tentu sudah kelelahan bukan selama perjalanan? Mari, mari, mari, duduklah kemari"

   Seorang gadis yang duduk diatas pembaringan batu itu segera bangkit berdiri dan memberikan tempat duduknya. Thiat Tiong-tong segera berpikir.

   "Kalau ku tampik ajakan itu, dia pasti menduga hatiku cupat dan takut kepadanya...."

   Maka sambil tersenyum diapun berjalan mendekat dan duduk.

   Dia memang seorang pemuda yang cerdas, pemberani dan tidak terbiasa terkekang oleh adat yang bertele-tele, kendatipun dia sedikit lupa diri ketika menyaksikan suasana bak berada di nirwana tadi, namun hanya sekejap kemudian dia sudah berhasil mengen-dalikan diri.

   "Kau berani minum arak dan makan buah yang tersedia disini?"

   Tantang manusia aneh itu lagi sambil tertawa. Thiat Tiong-tong tersenyum, sahutnya.

   "Berbicara dari ilmu silat yang cianpwee miliki, buat apa mesti meracuni arak dan buah itu jika ingin membunuhku? Jangan lagi baru secawan dan sebiji buah, disuruh menghabiskan tiga kati pun aku sanggup"

   Manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak.

   "Hahahaha.... bagus!"

   Serunya.

   Dia bertepuk tangan, seorang gadis muncul menghidangkan arak wangi, arak itu berwarna hijau dan harum baunya.

   Thiat Tiong-tong tahu, bila orang itu mengijinkan dirinya bertemu Sui Leng-kong maka dia tidak usah banyak bicara, sebab banyak omongpun tidak ada gunanya, oleh karena itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia mulai meneguk arak sambil menikmati buah-buahan.

   Kawanan gadis cantik yang berada disekitar sana hanya berdiri menonton sambil tertawa cekikikan, melihat itu si manusia aneh itu segera menegur sambil tertawa.

   "Dasar budak cilik, apa yang kalian tertawakan, cepat tunjukkan kebolehan kalian dihadapan tamu!"

   Kawanan gadis itu menyahut, irama musik pun berubah, dari nada yang halus lembut berubah jadi keras dan cepat, beberapa orang di antara mereka sudah mulai bertepuk tangan sambil menyanyi, ada pula yang tampil ditengah ruangan dan mulai menari.

   Tarian yang dibawakan kawanan gadis itu lembut dan indah, liukan pinggul yang bergetar bagai liukan ular ditambah dengan kibaran baju yang memperlihatkan betis putih mereka, membuat suasana disitu benar benar mengobarkan rangsangan syahwat.

   Kerlingan mata merekapun menggetarkan sukma, diiringi senyuman manis yang memikat tiba-tiba seorang gadis penari menjatuhkan diri ke dalam pelukan anak muda itu.

   Tapi Thiat Tiong-tong tetap duduk sambil memegang cawan, bukan saja tidak memandang kearah nona itu, menyentuh pun tidak.

   Melihat sikapnya yang kaku itu sambil tersenyum manusia aneh itu mengulapkan tangannya.

   "Sudahlah"

   Dia berseru.

   "biar kuajak sang tetamu mengunjungi tempat lain"

   Begitu dia selesai bicara, nyanyian dan tarian berhenti seketika, nona yang berada dalam pelukan Thiat Tiong-tong pun ikut bangkit berdiri, sambil menowel ujung hidungnya dia mengumpat lirih.

   "Dasar kau.... lebih kaku dari sebatang balok kayu"

   Thiat Tiong-tong hanya menghembuskan napas lega, cepat dia ikut bangkit berdiri.

   Sejujurnya, barusan diapun sedikit terangsang oleh ulah gadis cantik itu, masih untung dia sudah terbiasa menyembunyikan perasaan hingga orang lain tidak mengetahuinya.

   Kembali manusia aneh itu berkata sambil tertawa.

   "Jarang sekali ada orang yang sanggup berkunjung kemari, tapi sekarang kau sudah datang, berarti kaulah tamu agung kami. Kalau tidak kuajak melihat-lihat sekitar sini, kau pasti akan menuduhku berjiwa sempit!"

   Diam diam Thiat Tiong-tong berpikir.

   "Sampai sekarang dia sama sekali tidak menyinggung soal Sui Leng-kong, jangan-jangan dia sedang mengajakku untuk menjum-painya?"

   Sementara dia masih termenung, manusia aneh itu sudah beranjak pergi terlebih dulu.

   Setelah melewati berapa serambi dan beberapa bangunan rumah, Thiat Tiong-tong baru sadar kalau kesemuanya itu terdiri dari satu kesatuan bangunan besar, kendatipun dari luar bangunan itu kelihatan biasa tidak ada keistimewaan tapi dalamnya nyaris seluruhnya dibangun dari batu pualam putih yang bening dan berkilat hingga bangunan itu mirip sebuah istana salju yang bening bagai cermin.

   Perabot maupun dekorasi dalam ruangan pun indah, sederhana tapi penuh artistik, sama sekali tidak meninggalkan kesan kemewahan yang berlebihan.

   Tidak tahan kembali Thiat Tiong-tong berpikir sambil menghela napas.

   "Tampaknya manusia aneh ini memang seseorang yang sangat pandai menikmati hidup"

   Manusia aneh itu berjalan terus tiada hentinya, setelah melalui beberapa bilik, tiba-tiba Thiat Tiong-tong merasakan pandangan matanya silau, ternyata mereka telah tiba disebuah ruangan besar yang dipenuhi aneka batu permata, zamrud, intan permata serta benda berharga lainnya, boleh dibilang seluruh benda yang berada disitu rata rata indah dan mahal harganya.

   Thiat Tiong-tong pernah menjumpai tumpukan batu permata yang amat banyak ketika berada dalam gua harta tempo hari, waktu itu dia menganggap tumpukan barang berharga itu luar biasa dan tiada duanya dikolong langit, siapa tahu bila dibandingkan tumpukan harta yang dijumpai di tempat ini, apa yang pernah dilihatnya dulu ternyata masih tidak seberapa.

   Tidak tahan lagi dia menghela napas panjang.

   Dari atas sebuah meja, manusia aneh itu mengambil sebilah pedang yang gagangnya penuh ditaburi batu permata, ujarnya sambil tertawa.

   "Aku percaya kau memiliki ketajaman mata yang luar biasa, bagaimana menurut pandangan-mu tentang pedang ini?"

   Sewaktu ibu jarinya memencet sebuah tombol.

   "Criiiing!"

   Pedang itu sudah diloloskan dari sarungnya.

   Di antara dentingan suara yang nyaring bagai pekikan naga, cahaya pedang segera memancar ke empat penjuru, sinar yang amat menyilaukan mata membuat setiap benda yang berada dalam ruangan terlihat sangat jelas.

   "Pedang bagus!"

   Tidak tahan Thiat Tiong-tong berteriak memuji. Sekulum senyuman bangga tersungging di ujung bibir manusia aneh itu, sambil memandang sekeliling ruangan itu sekejap ujarnya.

   "Seluruh harta karun yang berada dalam ruangan ini merupakan hasil jerih payah leluhurku yang mengumpulkan sedikit demi sedikit, bagaimana menurut pendapatmu?"

   "Jarang dijumpai di tempat lain"

   "Bagaimana pula dengan kawanan nona cantik tadi?"

   Kembali manusia aneh itu bertanya sambil tertawa.

   "Semuanya cantik jelita bak bidadari dari kahyangan"

   Tiba-tiba manusia aneh itu menarik muka, katanya dengan nada berat.

   "Asal kau bersedia mengabulkan satu permintaanku, seluruh harta karun yang berada disini boleh kau angkut pergi, seluruh gadis cantik yang kau jumpai tadipun boleh kau pilih sesuka hatimu"

   "Apa permintaanmu itu?"

   Tanya Thiat Tiong-tong dengan perasaan hati sedikit tergerak.

   Manusia aneh itu tidak menjawab, dia tekan sebuah tombol diatas dinding batu kemala, tiba tiba muncul sebuah jendela kecil yang terbuat dari kaca kristal, tidak tahan Thiat Tiong-tong melongok ke dalam.

   Diseberang jendela merupakan sebuah ruangan mungil, didalam ruangan tersedia sebuah pembaringan yang terbuat dari batu kemala, seorang nona berbaju putih dengan rambut sebahu dan wajah cantik bak bidadari duduk termenung disitu, siapa lagi kalau bukan Sui Leng-kong? Di depan maupun dibelakang tubuhnya penuh bertumpuk aneka macam benda mestika yang mahal harganya, ada buah segar, ada pakaian indah, ada perhiasan mahal....

   ada pula setumpuk buku dan seekor burung kakaktua yang indah bulunya.

   Segala sesuatu yang tersedia disitu boleh dibilang merupakan benda benda yang paling disukai setiap wanita dikolong langit.

   Tapi Sui Leng-kong duduk diatas ranjang dengan wajah murung, kendatipun dia sedang memegang se

   Jilid buku, namun matanya tidak memandang ke arah buku itu, dia hanya duduk melamun. Thiat Tiong-tong seketika merasakan hatinya bergolak keras, hampir saja dia berteriak memanggil. Sambil tersenyum manusia aneh itu segera berkata.

   "Walaupun kau dapat melihatnya namun dia tidak dapat melihatmu, biar kau berteriak sampai serak pun jangan harap dia mendengar suara teriakanmu"

   Thiat Tiong-tong tertawa dingin.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mengakunya saja seorang bulim cianpwee, tapi bisanya hanya menyekap seorang nona, enghiong macam apa pula dirimu itu"

   Ejeknya. Dia segera membuang muka dan tidak memperhatikan dirinya lagi. Manusia aneh itu sama sekali tidak menanggapi, katanya lagi perlahan.

   "Asal kau bersedia mengatakan dihadapannya bahwa selama hidup tidak akan bertemu lagi dengannya, seluruh harta karun dan wanita cantik yang ada disini boleh kau bawa pergi"

   Siapa yang tidak akan terpikat, siapa yang tidak akan tertarik dengan harta karun serta wanita cantik? Dia yakin Thiat Tiong-tong tidak bakal menampik tawarannya itu. Thiat Tiong-tong mendongakkan kepalanya dan tertawa keras.

   "Hahahaha.... kusangka cianpwee adalah seorang tokoh yang luas pengetahuannya, siapa tahu... hehehehe.... memangnya cianpwee anggap cayhe adalah manusia semacam itu?"

   Serunya. Berubah paras muka manusia aneh itu, serunya sambil tertawa dingin.

   "Jangan lupa, sampai detik ini dia masih berada dalam cengkeramanku, bila aku menggunakan kekerasan, memangnya dia bisa terbang ke langit?"

   Thiat Tiong-tong kembali tertawa.

   "Walaupun cianpwee salah menilai tentang diriku namun cayhe tidak bakal salah menilai diri cianpwee, bila kau ingin menggunakan kekerasan, buat apa mesti menunggu sampai hari ini!"

   Walaupun manusia aneh ini suka main wanita, tapi dia selalu bersikap angkuh dan tinggi hati, perkataan dari Thiat Tiong-tong barusan tepat menyentuh perasaan hatinya, kontan saja sikap maupun wajahnya berubah jadi lebih lembut dan ramah.

   Dia berjalan mengelilingi ruangan itu satu lingkaran, kemudian sambil menghentikan langkahnya berkata.

   "Kau sudah pernah melihat kepandaian silatku, bagaimana kalau aku membantu musuh-musuh besarmu menghadapi dirimu?"

   "Kepandaian silat yang cianpwee miliki sangat tangguh, belum pernah kujumpai sebelum ini, bila kau membantu musuh-musuhku, sudah jelas aku tidak mampu melawan kalian"

   Kembali manusia aneh itu tersenyum.

   "Bila kau bersedia mengabulkan permintaanku, aku segera akan turun tangan membantumu urttuk membunuh seluruh musuh besarmu itu!"

   Janjinya.

   Sesungguhnya manusia ini berwatak aneh, selama hidup dia paling enggan mencampuri urusan dunia persilatan, kalau bukan dipaksa oleh keadaan, tidak nanti dia akan mengucapkan perkataan tersebut.

   Hal inipun antara lain disebabkan sejak kecil dia sudah hidup manja, apa yang diinginkan selama ini, tidak ada yang berani menentang, semuanya dapat diperoleh secara gampang.

   Dalam perkiraannya semula, Sui Leng-kong pun akan diperoleh dengan gampang sekali tanpa harus menggunakan paksaan, siapa tahu, walau sudah menggunakan cara apa pun Sui Leng-kong tetap tidak menggubris dirinya.

   Semakin dingin sikap Sui Leng-kong terhadapnya, semakin bersemangat manusia aneh ini mengejarnya, namun diapun tidak ingin memperoleh gadis itu dengan cara paksaan, oleh sebab itu dia berusaha menjebak Thiat Tiong-tong dengan segala iming-iming, agar Sui Leng-kong mematikan perasaannya terhadap pemuda ini.

   Itulah sebabnya dia menggunakan pelbagai cara dan upaya memaksa Thiat Tiong-tong untuk mengabulkan permintaannya.

   Benar saja, Thiat Tiong-tong mulai tertarik dengan tawaran itu, dengan hati berdebar pikirnya.

   "Bila dia mau membantu, sudah jelas dendam kesumat Perguruan Tay ki bun akan terbalas"

   Tapi ingatan lain kembali melintas.

   "Tapi benarkah tindakanku ini, mengorbankan Sui Leng-kong demi masalah pribadi? Lagipula.... balas dendam atas penghinaan yang dialami Perguruan Tay ki bun menjadi kewajiban setiap anak muridnya, mana boleh aku libatkan orang lain?"

   Berpikir sampai disitu diapun tertawa hambar sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.

   "Benar-benar manusia yang tidak tahu diri!"

   Umpat manusia aneh itu sangat gusar.

   "Weess!"

   Dia ayunkan telapak tangannya langsung membacok tubuh Thiat Tiong-tong, serangannya cepat melebihi sambaran petir.

   Biarpun melihat datangnya serangan itu, Thiat Tiong-tong tidak mencoba untuk menghindar, segera terasa olehnya angin dingin menggulung wajahnya, tajam bagai sayatan pisau dan dingin menyesakkan napas.

   "Kau pingin modar?"

   Bentak manusia aneh itu gusar.

   Ditengah bentakan nyaring, pada detik yang terakhir dia tarik kembali serangannya itu.

   Terkesiap juga Thiat Tiong-tong melihat kesaktian lawan, apalagi melihat kemampuannya mengontrol tenaga pukulan, tapi dia berkata juga sambil tertawa hambar.

   "Bila cianpwee benar-benar akan menggunakan ilmu silatmu, jelas aku bukan tandinganmu, buat apa mesti bersusah payah menghindarkan diri?"

   Manusia aneh itu tertegun, telapak tangannya yang siap melancarkan bacokan lagi segera ditarik kembali, dengan gemas da menghentakkan kakinya sambil melontarkan pukulan ke muka.

   Kasihan barang mestika yang berada dihadapannya, termakan pukulan itu benda-benda berharga itu segera mencelat ke empat penjuru dan hancur berantakan.

   Dengan wajah tidak berubah jengek Thiat Tiong-tong dingin.

   "Biarpun tenaga pukulan cianpwee sangat hebat, ternyata nyalimu kecil sekali"

   "Apa kau bilang?"

   Teriak manusia aneh itu gusar.

   "Kalau cianpwee memang bernyali, kenapa tidak berani membiarkan aku bertemu dengan-nya?"

   Lagi-lagi manusia aneh itu tertegun, tiba-tiba bentaknya.

   "Ikut aku!"

   Sambil bicara dia segera beranjak pergi.

   Thiat Tiong-tong tahu, orang itu sudah termakan oleh ejekannya, dengan girang dia segera mengikuti di belakangnya menelusuri sebuah serambi panjang yang terbuat dari batu pualam.

   Meskipun antara ruangan penyimpan harta dengan ruangan dimana Sui Leng-kong tersekap hanya dipisahkan oleh sebuah dinding, namun jalan untuk menuju ke sana ternyata amat jauh dan penuh dengan liku-liku dan tikungan, orang akan tersesat bila tidak mengikuti petunjuk jalan.

   Dalam sekilas pandang Thiat Tiong-tong dapat menangkap kalau letak jalan berliku itu diatur sesuai dengan ilmu barisan, namun dia tidak menggubris, kini dirinya sudah berada dalam sarang harimau, maka dia tidak akan ambil perduli terhadap persoalan lain.

   Beberapa saat kemudian tibalah mereka diujung sebuah jalan, suara nyanyian Sui Leng-kong terderigar bergema dari balik tirai.

   Suara nyanyiannya merdu merayu, terdengar dia sedang bersenandung.

   "Janganlah sakit rindu, rindu membuat kau cepat tua. Dari pada pikiran pusing dan jenuh, lebih baik sakit rindu"

   "Hmm, apa enaknya sakit rindu?"

   Dengus manusia aneh itu sambil melangkah masuk ke dalam ruangan, tapi begitu bertemu Sui Leng-kong, seluruh hawa amarahnya hilang lenyap seketika.

   Sui Leng-kong pun sudah melihat kehadiran Thiat Tiong-tong yang berada di belakangnya, dia sedikit tertegun sambil memandang melongo, tidak tahu harus sedih atau gembira, bahkan buku yang berada dalam genggaman pun terjatuh tanpa terasa.

   Sorot mata mereka saling menatap tanpa berkedip, seakan tidak ingin saling berpisah kembali.

   Menyaksikan adegan itu, manusia aneh tersebut merasa murung bercampur masgul, dia tidak dapat mengutarakan bagaimana perasaan hatinya sekarang.

   Lama kemudian akhirnya dia berteriak keras.

   "Setelah saling bertemu kenapa tidak segera bicara!"

   Namun sepasang muda mudi itu masih saling menatap tanpa bicara, dalam keadaan seperti ini, biar ada berjuta patah kata pun tidak sepotong kata yang mampu diutarakan, mereka merasa berdiam diri jauh lebih mesrah ketimbang bicara.

   Dari atas meja manusia aneh itu memetik berapa biji anggur, sambil mengunyah dia berjalan mondar mandir di antara ke dua orang itu, tanpa sadar anggur berikut bijinya tertelan semua.

   Sebetulnya anggur itu dari jenis yang langka, selain manis pun harum, tapi sekarang dia tidak bisa membedakan bagaimana rasanya buah itu, mulutnya bergumam terus tiada hentinya.

   "Gampang! Gampang.... aaai, susah! Susah! Susah!"

   Terdengar suara cekikikan berkumandang dari balik pintu, Yin Ping sambil membopong kucing kesayangannya, Ping-nu berjalan masuk ke dalam. Sambil berjalan ke samping Thiat Tiong-tong dan tertawa, ujarnya.

   "Adik cilik, tahukah kau apa yang dia maksud sebagai gampang? Dan apa pula yang susah?"

   Dengan penuh rasa berterima kasih Thiat Tiong-tong meliriknya sekejap, kemudian sahutnya sambil tersenyum.

   "Gampang untuk membunuhku saat ini juga, namun meski berhasil membunuhku, kalau ingin Sui Leng-kong melupakan aku, sulitnya melebihi mendaki ke puncak langit"

   Sambil tersenyum Yin Ping berpaling ke arah manusia aneh itu, tanyanya.

   "Benarkah yang dia katakan?"

   Manusia aneh itu tertawa.

   "Pemuda yang kau giring kemari tentu saja memiliki kecerdasan otak yang luar biasa"

   "Kalau memang luar biasa, berarti kaupun tahu kalau selama hidup jangan harap bisa membuat gadis itu berpaling darinya, kalau memang begitu.... lebih baik bebaskan saja dirinya! "Hmm, tidak segampang itu!"

   Seru manusia aneh itu sambil menarik muka. Tiba-tiba Sui Leng-kong melompat bangun dan menjatuhkan diri berlutut dihadapannya, sambil menyembah pintanya.

   "Dari pada kau menyekapku terus disini hingga menimbulkan rasa benciku terhadapmu, lebih baik bebaskanlah aku, selama hidup aku tidak akan melupakan kebaikanmu!"

   Ucapan itu diutarakan dengan air mata berlinang, wajahnya kelihatan menyedihkan sekali, jangankan manusia biasa, orang berhati baja pun pasti akan tergerak hatinya setelah menyaksikan raut mukanya itu.

   Manusia aneh itu memandangnya berapa kejap, kemudian ujarnya sambil tertawa getir.

   "Tentu saja aku tidak berharap kau membenciku, Cuma.... biarpun aku bebaskan dirimu dan persilahkan kau segera pergi dari sini, tapi apa gunanya kau selalu teringat kebaikanku? Apa manfaatkan bagiku pribadi?"

   "Kalau begitu.... kalau begitu bunuh saja aku!"

   "Aaaai, apalagi disuruh membunuhmu.... mana aku tega?"

   Manusia aneh itu mendongakkan kepalanya menghela napas panjang.

   "Kau enggan membebaskannya, tidak ingin membunuhnya pula, apa sebenarnya maksudmu?"

   Tegur Thiat Tiong-tong.

   "Benar"

   Seru Yin Ping pula sambil tertawa.

   "sebenarnya apa keinginanmu, paling tidak biarlah orang lain mengerti, kalau keadaan dibiarkan berlarut terus semacam ini, memangnya kau anggap selamanya aku tidak bisa cemburu?"

   "Ooh, rupanya kaupun mengerti cemburu...."

   Manusia aneh itu tertawa geli. Kemudian setelah berjalan mondar-mandir berulang kali sambil menggendong tangan, mendadak dia menghentikan langkahnya seraya berseru.

   "Aaah, ada akal!"

   "Bagaimana?"

   Tanya Thiat Tiong-tong cepat.

   "Bila kau berhasil menembusi delapan barisanku, kalian berdua akan segera kubebaskan!"

   Berubah paras muka Yin Ping.

   "Tapi.... tapi delapan barisan Pat-bun-tin itu...."

   Serunya sambil tertawa paksa.

   "Tapi kenapa!"

   Tukas manusia aneh itu sambil tertawa.

   "tempo hari, aku sendiripun harus menembusi delapan barisan itu sebelum mendiang ayah mengijinkan aku turun gunung!"

   "Siapa pun tahu kalau kau adalah seorang manusia berbakat alam dalam dunia persilatan, ada berapa orang di dunia ini yang mampu menandingimu? Sementara dia.... aaai, dia pun tidak terlalu jelek!"

   "Hahahaha.... kalau memang tidak terlampau jelek, apa salahnya kalau dicoba?"

   Jelas perkataan terakhir ini sengaja ditujukan kepada Thiat Tiong-tong. Diam diam pemuda itu berpikir.

   "Kalau kau saja mampu menembusi, kenapa aku tidak?"

   Selama pertarungan itu berlaku adil, dia memang merasa tidak perlu takut untuk menghadapinya, maka dengan suara lantang sahutnya.

   "Baik!"

   "Kalau begitu, ikutlah aku!"

   Kata manusia aneh itu sambil tersenyum.

   Selesai bicara, dia bergerak terlebih dulu mengajak beberapa orang itu menuju ke dalam sebuah bilik batu.

   Bilik batu itu berbentuk segi delapan dengan delapan buah pintu, setiap pintu ditutup dengan sebuah tirai berwarna, masing-masing berwarna merah, kuning tua, kuning muda, hijau tua, hijau muda, biru, ungu dan hitam.

   Tidak diketahui apa isi dibalik setiap pintu tersebut.

   Di depan pintu bertirai itu terdapat beberapa buah meja batu dengan bangkunya, buah buahan segar, arak wangi serta teh harum tersedia lengkap disitu komplit dengan cawan-cawan kemalanya.

   "Delapan pintu sudah terlihat, tapi dimana letak barisan nya...."

   Diam-diam Thiat Tiong-tong berpikir.

   Terdengar manusia aneh itu bertepuk tangan sekali, kecuali pintu berwarna hitam, dari ke tujuh pintu lainnya segera bermunculan tujuh orang gadis cantik yang mengenakan pakaian berwarna warni.

   Setiap gadis itu mengenakan pakaian sesuai dengan warna pintunya, yang merah memakai baju merah, yang hijau mengenakan baju warna hijau.

Amanat Marga -- Khu Lung Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long

Cari Blog Ini