Pendekar Panji Sakti 22
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 22
"Tapi aku toh tidak berbohong"
Seru Cui-ji sambil tertawa.
"Yaa, aku bersaksi ketika Min-ji datang kemari, memboyong harta kekayaannya sampai tiga kereta besar"
Sambung San-san sambil tertawa pula.
"harta karun miliknya seorang sudah lebih dari cukup bagi kami semua hidup sepanjang masa"
"Itulah sebabnya tanpa menjual lukisan pun kami masih bisa hidup bermewah-mewah, selain mengisi perut, setiap hari kami semua disibukkan untuk mengubah tempat ini menjadi sebuah istana"
Kata Cu-ji melanjutkan.
"Cukup...."
Potong Kaisar Malam tiba-tiba sambil tertawa.
"Tiong-tong, sekarang kau sudah mengerti bukan"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Andaikata siautit tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kisah cerita tersebut tentu akan kuanggap sebagai isapan jempol belaka.... aaaai! seandainya bukan manusia aneh macam empek, mana mungkin bisa mengalami kejadian yang aneh pula!"
"Betul"
Kata Cui-ji sambil tertawa.
"kalau dia tidak pandai berpantun dan melukis, mana mungkin bisa terjadi peristiwa semacam ini?"
Kaisar Malam tertawa lebar, katanya.
"Aku tidak ingin Jit ho Nio nio mengetahui kejadian ini, maka setiap hari ketika waktu mengirim nasi tiba, akupun selalu berdandan macam orang mengenaskan untuk menyambut kedatangan mereka"
"Hahahaha.... bahkan siautit pun ikut tertipu"
Sambung Thiat Tiong-tong sambil tertawa geli. Didalam gua tidak jelas berjalannya sang waktu, entah sudah berapa lama mereka berbincang sambil bersenda gurau Tiba-tiba San-san berseru sambil tertawa.
"Kalian kaum lelaki tentu punya persoalan yang tidak ingin diketahui orang lain, khususnya wanita, buat apa kita tetap tinggal disini, ayo jalan!"
"Betul, setelah lelah seharian, sudah waktunya kita tidur"
Sambung Cui-ji sambil beranjak pergi. Maka berduyun duyung kawanan gadis itu berlalu dari situ. Memandang bayangan punggung mereka hingga lenyap dari pandangan, Kaisar Malam baru berkata sambil tertawa.
"Coba kau lihat lagak mereka, benar-benar berotak cerdas, belum lagi kau bicara, mereka sudah dapat menebak suara hatimu"
"Betul, mereka memang sangat memahami jalan pikiran manusia...."
Sahut Thiat Tiong-tong, setelah menghela napas panjang, lanjutnya.
"siautit memang ada berapa persoalan yang tidak ingin didengar orang lain, harap empek mau menjawabnya"
"Apa masalahnya? Katakan saja!"
Thiat Tiong-tong termenung berapa saat lamanya, dia seakan merasa serba salah dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Setelah menengok sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya dia mengambil alat tulis, menulis beberapa huruf diatas kertas dan disodorkan kehadapan Kaisar Malam.
Kakek itu membacanya sebentar, tiba-tiba paras mukanya berubah hebat.
Setelah lama sekali termenung, akhirnya dia pun mengucapkan sepatah kata.
Begitu mendengar perkataan itu, paras muka Thiat Tiong-tong ikut berubah hebat, tidak jelas dia merasa terkejut atau girang.
Tidak lama kemudian dengan air mata bercucuran gumamnya.
"Ternyata begitu... ternyata begitu... Lengkong.... Cu toako.... kalian.... kalian terlalu baik!"
Apa yang sebenarnya ditulis Thiat Tiong-tong? Apa pula yang diucapkan Kaisar Malam? Mengapa secara tiba-tiba Thiat Tiong-tong menyinggung nama Sui Leng-kong dan Cu Cau? BAB 29 Salah Langkah Waktu itu Cu Cau dan Sui Leng-kong berada di bawah kaki bukit Ong wo san, berjarak ribuan li dari gua istana, yang mereka dengar saat itu hanya hembusan angin gunung yang menggoyang dedaunan pohon siong, tentu saja mereka tidak akan mendengar teriakan Thiat Tiong-tong.
Bukit Ong wo san bukan sebuah gunung yang tinggi, namun sejak dulu bukit ini sudah tersohor sebagai tempat pertapa para dewa.
Ketika Cu Cau dan Sui Leng-kong tiba di kaki bukit, benar saja, mereka segera merasa suasana yang sangat berbeda di tempat itu, hanya saja tidak diketahui terletak dimanakah rumah pondok yang dimaksud.
Cukup lama mereka menelusuri seluruh tanah perbukitan itu, akhirnya dengan kening berkerut, Cu Cau berkata.
"Mana ada rumah pondok di sekitar sini? Jangan-jangan... jangan-jangan."
"Jangan-jangan kenapa?"
Tanya Sui Leng-kong cepat. Cu Cau menghela napas panjang, katanya.
"Jangan-jangan Thiat-toakomu hanya membohongi kita berdua?"
Sui Leng-kong mendongakkan kepala memandang awan di angkasa, setelah termenung lama sekali, sahutnya.
"Semenjak berkenalan dengan Thiat Tiong-tong, belum pernah sekali pun dia membohongi aku."
Walaupun sudah cukup lama dia meninggalkan lembah berawan, namun perjalan-annya dari bukit Lau-san ke bukit Ong wo san baru benar-benar membawanya ke alam dunia keramaian.
Sepanjang perjalanan dia menyaksikan banyak kejadian yang dulu tidak pernah dilihat olehnya, menjumpai berbagai lapisan manusia yang beraneka ragam, walaupun selama ini dia tidak pernah memandang rendah siapapun, namun siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan terbuai dan terpesona dibuatnya.
Pengalamannya selama berhari-hari membuat gadis itu makin tumbuh dewasa, dia semakin percaya diri, penyakit gagap yang dideritanya pun lambat-laun sembuh dengan sendirinya.
Kini bukan saja cara berbicara, caranya bertindak jauh pun lebih percaya diri, dia pun yakin Thiat Tiong-tong tidak bakal membohongi dirinya, dia percaya di sekitar sana pasti terdapat rumah pondok yang dimaksud.
"Tentu saja Thiat-jite tidak bermaksud jahat membohongi kita berdua,"
Ujar Cu Cau sambil menghela napas.
"Dia hanya...."
"Tidak usah kau lanjutkan, aku sangat memahami maksud hati Tiong-tong,"
Tukas Sui Leng-kong sedih. Cu Cau tertegun, tegurnya.
"Kau sepantasnya memanggil Toako...."
"Tidak, aku sengaja memanggilnya Tiong-tong... Tiong-tong, Tiong-tong...."
Cu Cau mendongakkan kepala tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, dasar bocah bengal, Jite bisa memiliki adik perempuan macam kau, dapat dipastikan hidupnya akan sengsara...."
Sui Leng-kong tertawa lebar, katanya.
"Aku selalu berpendapat, hanya kau seorang yang mirip Toako ku, Cu-toako, kau jadi Toako ku saja, aku tidak ingin kakak macam liong-tong."
Cu Cau tertawa getir, buru-buru dia mengalihkan pembicaraan.
"Ehmm, ehm, cuaca hari ini bagus juga...."
"Sudah, tidak usah mengalihkan pembicaraan, sekalipun kau tidak mau mengakui aku sebagai adikmu, aku tetap akan menganggap kau sebagai kakak ku."
Sambil menghela napas panjang Cu Cau menggelengkan kepala berulang kali, keluhnya.
"Aaai, belasan hari berselang kau masih seorang gadis yang lemah lembut, tidak disangka hari ini telah berubah jadi nakal dan susah diatur."
"Tahukah Toako apa sebabnya bisa begini?"
"Tidak."
"Karena Toako yang mengajarkan kepada-ku,"
Seru Sui Lengkong tertawa.
"Dasar Mendadak terlihat ada dua sosok bayangan manusia meluncur datang dari balik tebing, ilmu meringankan tubuh mereka sangat tangguh, tapi begitu melihat di situ ada orang lain, seketika kedua orang itu memperlambat langkahnya. Orang yang berjalan paling depan adalah seorang pemuda tampan dengan baju ringkas berwarna hitam, sebuah angkin merah melilit di pinggangnya, sekalipun dia telah memperlambat langkahnya, namun sikap maupun penampilannya tetap gagah dari perkasa, sebilah pedang panjang bersarung hitam tergantung di punggungnya, sebuah pita merah terikat di ujung gagang pedang itu. Sementara rekannya adalah seorang gadis muda bertubuh langsing dengan pakaian hijau pupus, sebilah pedang juga tersoreng pula di punggungnya. Selain cantik, dia pun memiliki sepasang mata yang besar dan bening, kedua orang itu boleh dibilang merupakan sepasang muda-mudi yang serasi. Menyaksikan kemunculan kedua orang itu, diam-diam Cu Cau serta Sui Leng-kong bersorak memuji, mereka tidak tahu kalau sepasang muda mudi itu jauh lebih terpesona ketika melihat mereka. Bahkan setelah berjalan lewat di sisi mereka berdua pun, sepasang muda-mudi itu masih menyempatkan diri berpaling beberapa kali. Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Cau, sambil menjura sapanya.
"Bisa minta tolong?"
Pemuda berpakaian ketat itu segera membalikkan tubuhnya sambil balas menjura. Ada urusan apa?"
Dia bertanya.
"Apakah saudara kenal daerah seputar ini?"
"Cayhe sudah lama tinggal di sini, sedikit banyak mengetahui juga seluk-beluk tempat ini"
"Bagus sekali... boleh aku bertanya tentang buah tempat?"
"Tempat mana yang kau maksud?"
"Pondok Cay-seng...."
Baru empat kata disebut, paras muka pemuda itu telah berubah hebat, tanpa terasa dia mundur selangkah.
Sebenarnya waktu itu si nona berbaju hijau pupus sedang mengawasi Sui Leng-kong sambil tersenyum, begitu mendengar keempat kata tadi, serentak dia membalikkan tubuh sambil membentak.
"Siapa yang kau cari? Buat apa mencari tahu tempat itu?"
Dengan wajah tidak berubah Cu Cau tersenyum, jawabnya.
"Ooh, aku mendapat titipan sepucuk surat yang harus diserahkan kepada pemilik pondok Cay-seng, padahal kami tidak kenal siapa pemilik pondok itu, jadi... terpaksa harus mencari tahu."
Sepasang muda-mudi itu saling berpandangan sekejap, paras muka mereka lambat-laun berubah kembali jadi lembut Setelah termenung beberapa saat, kembali pemuda itu bertanya.
"Boleh tahu nama margamu?"
"Aku dari marga Cu."
"Ooh, kalau memang bermarga Cu berarti kau boleh ke situ,"
Kata sang pemuda sambil tertawa lebar.
"Apa maksud perkataanmu itu?"
Tanya Cu Cau tercengang.
"Sekalipun pondok Cay-seng bukan sebuah tempat yang rahasia, tapi bila saudara berasal dari marga Im atau marga Thiat, maka sulit bagi siaute untuk memberi petunjuk."
"Benar,"
Sambung si nona sambil tertawa pula.
"tadi kusangka kalian berdua dari marga Im, itulah sebabnya kami merasa sangat kaget, harap kalian berdua jangan marah."
Sui Leng-kong segera saling bertukar pandang sekejap dengan Cu Cau, sementara dalam hatinya timbul kecurigaan dan rasa tercengang yang besar.
Siapakah pemilik pondok Cay-seng? Dia musuh atau sahabat? Mengapa orang itu berusaha menghindari orang-orang dari marga Im dan Thiat? Kalau orang ini adalah seorang musuh, mengapa pula Thiat Tiong-tong minta kepadanya untuk memandang orang itu sebagai saudara sendiri? Bahkan pesan itu sampai diulang beberapa kali....
Jelas kejadian im merupakan sebuah kenyataan yang saling bertentangan, biar Cu Cau amat cerdas pun tidak urung dibuat kebingungan sendiri.
Dalam pada itu si nona berbaju hijau itu telah menarik tangan Sui Leng-kong dan memuji sambil tertawa.
"Cici, kenapa wajahmu begitu cantik?"
"Aaah, yang cantik itu dirimu..."
Jawab Sui Leng-kong pula sambil tertawa. Sedang pemuda berpakaian ringkas itu berkata kepada Cu Cau sambil menghela napas.
"Saudara, kau nampak begitu gagah, perkasa dan berwibawa, belum pernah Siaute menjumpai manusia sehebat dirimu, coba kalau bukan begitu, tidak mungkin Siaute akan mempercayai begitu saja perkataanmu..."
"Hahaha, andaikata kau tidak tampan, tidak mungkin aku akan menegur dirimu."
Kedua orang itupun saling berpandangan sambil tertawa tergelak. Setelah melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba-tiba pemuda itu berbisik sambil tertawa ringan.
"Kalian berdua benar-benar ibarat naga dan burung hong, pasangan yang amat serasi...."
Biarpun perkataan itu sangat lirih, ternyata Sui Leng-kong sempat mendengarnya dengan jelas, cepat dia menukas.
"Dia adalah Toakoku...."
Kemudian setelah mengerling sekejap dan tertawa, lanjutnya.
"Aku lihat jusru kalian berdualah...."
Nona berbaju hijau itu segera tertawa, ujarnya.
"Siaumoay bernama Gi Beng, dia adalah kakakku bernama Gi Teng, kami adalah dua bersaudara."
Maka mereka berempat pun tertawa terbahak-bahak, hanya saja suara tawa Cu Cau terdengar sedikit dipaksakan.
"Kebetulan kami berdua pun sedang dalam perjalanan menuju pondok Cay-seng,"
Kata Gi Teng kemudian.
"Mari kita menempuh perjalanan bersama."
"Bagus sekali,"
Sorak Cu Cau sambil bertepuk tangan.
Di tengah gelak tertawa, Gi Teng sudah berjalan lebih dulu memimpin paling depan, sekalipun dia tidak lagi menggunakan ilmu meringankan tubuh, namun langkahnya enteng dan cepat, jelas pemuda ini sudah termasuk seorang jagoan kelas satu dalam dunia persilatan.
Ternyata Gi Beng, adik perempuannya pun memiliki gerakan tubuh yang tidak kalah enteng-nya, saat itu sambil menarik tangan Sui Leng-kong mereka berjalan sambil bersenda gurau, kelihatan sekali kedua orang ini cocok satu dengan lainnya.
Cu Cau sendiri pun diam-diam memuji akan kehebatan kedua orang bersaudara ini, dia tidak menyangka dengan usia mereka yang masih begitu muda ternyata sudah memiliki kungfu yang hebat, tidak tertahan ingin sekali dia mencari tahu asal-usul kedua orang ini.
Kelihatannya Gi Teng sendiri pun mempunyai pemikiran yang sama, tiba-tiba dia berkata sambil menghela napas panjang.
"Sudah lama Siaute berkelana dalam dunia persilatan, tapi dengan kemampuan silat yang kau miliki, bukan saja Siaute belum pernah menjumpainya, mendengar pun belum pernah, jika sepasang mata Siaute belum buta, semestinya kau pun seorang jago lihai dari dunia persilatan!"
Perkataan itu bukan kata pujian, sebab walaupun Cu Cau tidak menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, namun caranya berjalan sudah menunjukkan kalau dia memiliki kepandaian hebat. Sambil tersenyum, sahut Cu Cau.
"Aaah, mana mungkin kepandaian silatku bias menandingi Go bi sim hoat yang kau miliki?"
Walau hanya kalimat yang sederhana, namun secara jitu dia telah menebak asal-usul ilmu silat kedua orang ini. Betapa terkejutnya Gi Teng sesudah mendengar perkataan itu, pujinya.
"Tajam benar pandangan matamu!"
"Kelihatannya aku sudah ketinggalan banyak, lantaran malas berkelana aku sampai tidak tahu kalau partai Go bi telah memiliki jagoan hebat macam kalian dua bersaudara."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaah, tidak heran kalau Cayhe gagal mengenali dirimu, rupanya Hengtay sudah lama hidup mengasingkan diri."
"Mungkin saja dia hanya enggan menyebut nama besarnya,"
Sela Gi Beng sambil tertawa.
"darimana kau tahu kalau dia sudah lama hidup mengasingkan diri?"
"Biarpun saudara ini berhasil menebak asal aliran silat kita, namun tidak berhasil menduga siapa kita berdua, hal ini membuktikan dia memang sudah lama tidak pernah berkelana dalam dunia persilatan."
"Huuuh, tidak tahu malu,"
Umpat Gi Beng tertawa.
"memangnya kau sangka nama besarmu sudah tersohor di kolong langit? Memangnya setiap orang yang berkelana dalam dunia persilatan tentu mengenali dirimu?"
Gi Teng tertawa terbahak-bahak, kendati pun tidak menjawab, namun dari balik gelak lawanya, ketahuan kalau dia amat bangga dengan kemampuan sendiri. Diam-diam Cu Cau tertawa geli, pikirnya.
"Kedua orang bersaudara ini kelewat polos, kalau dilihat dari lagaknya, kemungkinan besar mereka sudah tersohor sejak muda, kalau tidak, mana mungkin sikapnya begitu latah."
Perlu diketahui, orang yang sudah tersohor sejak muda, biasanya memiliki pandangan sangat tinggi, terhadap urusan apapun kebanyakan mereka suka berterus terang dan bicara blak-blakan.
Tiba-tiba Gi Teng berbelok memasuki sebuah jalan setapa kyang amat sempit dan kecil.
Jalan setapak itu berliku-liku langsung menuju ke atas bukit, baru berjalan beberapa lingkah, di sisi jalan sudah terlihat ada sebuah papan nama yang bertuliskan.
"Pondok Cay-seng". Bila ada orang khusus datang ke situ untuk mencari pondok Cay-seng, biasanya mereka akan menelusuri jalan besar, siapa pun tidak akan memperhatikan jalan setapak sekecil itu. Sayangnya walaupun Sui Leng-kong dan Cu Ciu termasuk orang yang teliti, namun pengalaman mereka dalam dunia persilatan sangat cetek, mereka belum terbiasa memperhatikan hal-hal yang kecil. Jika kedua orang ini diwajibkan membangun satu usaha besar, merekalah pilihan yang paling cocok, tapi kalau suruh mereka berdua pergi mencari jalan, jelas pilihan ini merupakan satu tindakan yang keliru besar. Bagi orang lain, tugas yang belum tentu bisa diselesaikan dalam tiga tahun, mungkin mereka hanya butuh tiga hari untuk menyelesaikannya, sebaliknya bagi orang lain yang butuh waktu singkat untuk menemukan satu tempat, mungkin bagi mereka butuh tiga tahun untuk menemukannya. Cu Cau berpaling memandang Sui Leng-kong sekejap, kemudian keluhnya sambil tertawa getir.
"Ternyata berada di sini!"
"Siaute toh sudah bilang,"
Ucap Gi Teng sambil tertawa.
"Pondok Cay-seng bukan sebuah tempat yang sangat rahasia, setiap orang boleh mendatanginya, hanya saja...."
"Hanya saja tempat ini terlarang bagi mereka yang she Im dan Thiat?"
Sambung Cu Cau.
"Benar!"
"Kenapa?"
"Aku sendiri pun kurang jelas apa alasannya "Hahaha, aku lihat kalian berdua sudah terbiasa bersikap takabur,"
Ejek Cu Cau lagi sambil tertawa. Gi Beng tertawa cekikikan, balasnya.
"Menurut pandanganku, kalian berdua pun tidak jauh berbeda."
Mendadak dari balik hutan bambu di sisi jalan terdengar seseorang tertawa nyaring sambil berseru.
"Hanya Enghiong Hohan dari kolong langit yang pantas disebut orang-orang takabur."
"Ucapan yang tepat,"
Cu Cau tertawa nyaring.
"kalau bukan seorang Enghiong, mana mungkin bisa mengucapkan perkataan seperti itu... kelihatannya kau adalah pemilik pondok Cay-seng."
Tiba-tiba terlihat seseorang berjalan keluar dari balik hutan bambu sambil tertawa tergelak, dipandang dari kejauhan, orang itu nampak keren penuh wibawa, gerak-geriknya menyerupai dewa yang baru turun dari kahyangan.
Setelah berjalan mendekat barulah ketahuan kalau orang ini memiliki keanehan yang jauh berbeda dari orang biasa.
Rambutnya panjang terutai, jenggotnya mulai kelihatan memutih, namun sorot matanya justru terasa masih amat muda, membuat orang susah untuk menebak berapa usia sebenarnya.
Sekalipun gerak-geriknya lembut penuh wibawa, namun dari tubuhnya justru memancarkan hawa kekerasan yang tidak terlukis dengan kata-kata, dua sifat yang bertolak belakang justru muncul dari tubuh seorang yang sama, hal ini menciptakan semacam daya pikat yang kuat dan aneh.
Biarpun senyumannya amat cerah, dalam orot matanya justru tersimpan selapis cahaya aneh yang mencerminkan kemurungan.
Dua macam perasaan yang berbeda pun muncul di wajah orang yang sama, hal ini membuat setiap orang dapat menduga orang ini pasti memiliki pengalaman hidup yang tidak biasa.
Sebelum bertemu orang itu, Cu Cau sudah merasa perkataan orang ini jauh berbeda dari perkataan orang biasa, apalagi setelah bertatap muka, dia merasa orang ini memiliki keunikan yang tidak akan ditemui di wajah orang lain, tatapan matanya pun seolah sukar dialihkan lagi ke tempat.
Sementara itu pemilik pondok Cay-seng pun terus menatapnya tanpa berkedip, kemudian serunya sambil tertawa.
"Dua bersaudara Gi, kenapa tidak kalian kenalkan tamu agung yang datang bersama kalian?"
"Tamu tidak diundang, apakah kau merasa kedatangan kami sedikit di luar dugaan?"
Sela Cu Cau sambil tertawa.
"Hahaha, sebelum bertatap muka pun sudah kurasakan hawa lain, apalagi setelah bersua sekarang... maafkan kekerdilan pengetahuan Siaute."
"Kau memang gagah dan penuh daya pikat, tidak heran Jiteku selalu berkata kalau kau adalah seorang pria aneh di kolong langit."
"Siapa adikmu? Dia kenal aku?"
Tanya pemilik pondok Cay-seng keheranan. Mendadak terdengar Gi Beng berseru sambil tertawa merdu.
"Cici, coba lihat ulah mereka berdua, begitu bersua lantas berbincang tidak ada habisnya, membiarkan kita kedinginan di tempat ini, masa tidak mempersilakan tamunya duduk lebih dulu."
Pemilik pondok Cay-seng melirik Sui Leng-kong sekejap, kemudian sahutnya sambil tertawa.
"Aaah, hampir saja Cayhe lupa kalau di sini masih ada tamu agung lainnya, silakan! Silakan...."
Setelah memasuki hutan bambu, terlihatlah lima buah bangunan pondok berdiri di atas tebing bukit, di muka rumah terbentang tan ah rerumputan dengan selokan yang berair jernih, sedang di bagian belakang rumah terbentang kebun sayuran yang luas, sebuah tempat pertapaanyang indah.
Perabot yang tersedia di dalam pertapaan ini sangat lengkap dan bersih, dua orang bocah segera muncul menghidangkan air teh, teh wangi dari merek kenamaan, bahkan cawan pun terbuat dari batu pualam.
Sejak kecil Cu Cau sudah terbiasa hidup dalam suasana bangsawan, namun begitu duduk dalam pondok itu, dia segera dapat merasa tempat ini bukan sebuah tempat pertapaan biasa.
Sekilas pandang dia sudah melihat setiap benda yang berada dalam pertapaan ini merupakan benda mestika yang tidak ternilai harganya, hal ini membuatnya sangat keheranan, pikirnya.
"Setelah hidup mengasingkan diri, pemilik pertapaan ini masih tidak meninggalkan segala kemewahan dan kenikmatan hidup, jelas kalau bukan berasal dari keluarga kaya raya, mustahil dia bisa melakukannya. Jangan-jangan sebelum mengasingkan diri, dia adalah seorang perampok ulung? Tapi kalau ditinjau dari tampangnya, dia pun tidak bertampang kriminal...."
Dalam pada itu pemilik pondok Cay-seng sudah bertanya lagi sambil tertawa.
"Boleh tahu adikmu adalah...."
Sambil tersenyum potong Cu Cau.
"Jite minta aku menyampaikan sepucuk surat, itulah sebabnya secara khusus kami datang kemari...."
Sambil berkata dia mengeluarkan sepucuk surat, katanya lebih jauh sambil tertawa.
"Padahal aku sendiri pun tidak tahu apakah lite benar-benar kenal denganmu atau tidak."
"Ohhh...."
Pemilik pondok Cay-seng berteriak aneh, kemudian sambil tersenyum diterimanya surat itu dan dipandang sekejap, tiba-tiba dengan wajah berubah, teriaknya keras.
"Ooh, rupanya Jite...."
Dari nada suaranya dapat diketahui dia merasa terkejut bercampur girang.
"Kelihatannya Hengtay sangat kenal dengan liteku itu,"
Sela Cu Cau sambil tertawa.
"Ya, kenal sekali... kenal sekali... malah ingat kenal...."
Sahut pemilik pondok Cay-seng cepat. Mendadak dia menghentikan perkataannya dan berseru sambil menjura.
"Maaf, maaf, aku mesti mohon diri sejenak."
Habis berkata, dengan tergopoh-gopoh dia mengundurkan diri.
"Tampaknya pemilik pondok Cay-seng ini rada misterius,"
Bisik Sui Leng-kong lirih.
"Benar,"
Gi Beng membenarkan seraya tertawa.
"memang teramat misterius, sekalipun kami dua bersaudara sudah cukup lama kenal dengannya, namun kami sama sekali tidak tahu tentang dirinya."
"Bagaimana ceritanya sampai kalian kenal dengannya?"
"Bertemu tanpa sengaja, karena pembicaraan saling mencocoki, maka kami pun menjadi sahabat...."
Setelah tertawa, lanjutnya.
"Persis seperti perkenalanku dengan Cici."
"Dia dari marga apa?"
"Aku sendiri pun kurang tahu...."
"Aku lihat kalian berdua pun sangat aneh,"
Seru Sui Lengkong tertawa geli.
"masa berkenalan dengan orang pun tidak tahu nama marganya, bahkan aku lihat kalian anggap kejadian semacam ini sangat lumrah."
"Aku pun tahu kejadian semacam ini tidak lumrah, tapi bagiku, asal dia orang baik dan kita sudah menjadi sahabat, peduli amat dia bernama siapa, bukankah begitu?"
Sementara kedua orang nona ini berkasak-kusuk sambil tertawa, di pihak lain Cu Cau pun sedang membicarakan keanehan pemilik pondok Cay-seng itu dengan Gi Teng.
"Dalam setahun belakangan, dia memang sudah banyak berkenalan dengan para jago dan orang gagah dari dunia persilatan,"
Gi Teng menerangkan.
"tapi dari sekian banyak sahabatnya, ternyata tidak seorang pun yang tahu nama serta asal-usulnya."
"Kalau memang begitu, kenapa masih ada begitu banyak Enghiong Hohan yang bersedia berkenalan dengan-nya?"
"Orang ini Bun bu coan cay, pandai berbicara, pandai bergaul, bahkan memandang harta bagai sampah, asal ada sahabat yang kesulitan dan mohon bantuan, dia tidak pernah menampik. Sementara dia sendiri tidak pernah mohon bantuan orang lain, tentu saja siapa pun bersedia berkenalan dengan tokoh semacam ini."
"Lelaki aneh... benar-benar lelaki paling aneh dikolong langit...."
"Eei... apakah adikmu tahu tentang asal-usulnya?"
Tiba-tiba Gi Teng bertanya.
"Kalau ditinjau dari keadaannya, Jiteku pasti mengetahui asal-usulnya,"
Sahut Cu Cau sambil tertawa.
"hanya sayang sebelum bertanya jelas, aku udah buru-buru dating kemari."
"Aku percaya adikmu pastilah seorang tokoh luar biasa dalam dunia persilatan?"
"Bukan Cayhe sengaja mengunggulkan kemampuan adikku, aku rasa jarang di kolong langit saat ini ada jagoan yang memiliki kepintaran dan keberanian macam dia."
"Aaai... bukankah satu penyesalan yang amat dalam bila Siaute tidak dapat berkenalan dengan jagoan semacam ini?"
Ujar Gi Teng sambil menghela napas. Cu Cau tertawa lebar.
"Jangan kuatir,"
Janjinya.
"suatu saat aku janji akan memperkenalkan kalian berdua, hanya...."
Sesudah tertawa getir lanjutnya.
"Hanya saja jejak Jiteku susah diikuti, mungkin aku sendiri pun tidak tahu saat ini dia berada dimana...."
Berbicara sampai di situ, tanpa terasa bayangan wajah Thiat Tiong-tong muncul kembali dalam benaknya. Sebenarnya apa yang ditulis Thiat Tiong-tong dalam secarik kertas itu? Ternyata dia menulis.
"Sui Ji-song, tahun Keng-cu, bulan empat tanggal enam belas". Tulisan itu terbaca olehnya sewaktu berada dalam ruang rahasia di belakang istana Kaisar malam. Begitu membaca beberapa tulisan itu, paras muka Kaisar malam berubah hebat, sampai lama kemudian dia baru bertanya dengan suara dalam.
"Mengapa kau menanyakan persoalan ini kepadaku?"
"Sebab masalah ini sangat mempengaruhi kehidupan Siautit, itulah sebabnya... aaai! Di balik persoalan ini sesungguhnya terdapat masalah yang amat pelik, Siautit sendiri pun dibuat kebingungan...."
"Kalau kau sendiri pun kebingungan, kenapa mesti aku yang memberi penjelasan?"
Bentak Kaisar malam keras.
"Siautit hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi dalam hutan bunga tho di luar perkampungan Seng keh cung pada tahun Kengcu bulan empat tanggal enam belas?"
"Hutan bunga tho... darimana kau tahu tentang hutan bunga tho?"
Seru Kaisar malam dengan tubuh bergetar.
"Sesungguhnya Siautit...."
Tiba-tiba Kaisar malam mendongakkan kepala dan tertawa keras, tukasnya.
"Baiklah! Kau tidak usah bicara lagi, terlepas kenapa kau bertanya tentang persoalan ini, aku akan menjelaskan kepadamu."
Setelah berhenti tertawa, sekilas perasaan sedih menghiasi raut mukanya, perlahan dia berkata.
"Peristiwa ini merupakan salah satu kejadian yang paling kusesali, cepat atau lambat aku tetap akan membicarakannya pada seseorang."
Thiat Tiong-tong hanya menahan napas dan tidak berani menimbrung. Kembali Kaisar malam berkata.
"Dua puluh tahun berselang, suatu hari, tiba-tiba muncul keinginanku untuk berpesiar, jika aku pun melakukan perjalanan menuju kearah Kanglam, pada bulan keempat aku telah tiba didaratan Tionggoan.
"Kau kan tahu aku paling benci terikat oleh segala peraturan dan adat, karena itu aku tidak punya teman seperjalanan, aku pun tidak sudi menginap di rumah penginapan sambil melihat tampang jelek orang-orang kota. Setiap kali lelah menempuh perjalanan, maka aku pun menggunakan langit sebagai kelambu, menggunakan bumi sebagai alas tidurku, bukan saja hidup bebas merdeka, bahkan bisa menikmati pula keindahan alam.
"Hari itu, yakni hari tanggal enam besar, menjelang senja ketika aku mulai kelelahan, tiba-tiba kujumpai sebuah hutan bunga tho yang sangat luas terbentang di depan mata. Senja di bulan empat memang masa yang indah untuk bunga tho, dibawah cahaya senja yang kemerah-merahan, hutan bunga tho itu nampak sangat indah dan menawan, indah bagaikan nirwana."
Sekulum senyuman kembali menghiasi wajahnya, seolah-olah suasana indah kala itu masih memabukkan dirinya, tapi sekejap kemudian senyuman itu kembali lenyap, terusnya.
"Ketika tanpa sengaja kujumpai pemandangan seindah ini, tentu saja hatiku girang, maka aku pun beristirahat dalam hutan bunga tho itu sambil minum arak dan menikmati ayam panggang.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di saat itulah tiba-tiba dari luar hutan terdengar suara bentakan gusar diiringi makian keras, kelihatannya ada seorang lelaki sedang melarikan diri dikejar seorang wanita.
"Sebenarnya aku enggan mencampuri urusan orang dan tidak ingin melibatkan diri dalam pertikaian dunia persilatan, sekalipun aku agak jengkel karena kehadiran kedua orang itu telah merusak suasana, namun dorongan rasa ingin tahu membuatku pergi mengintip, aku ingin tahu siapa gerangan wanita itu, aaaai... ! Gara-gara mengintip inilah akhirnya aku harus terlibat dalam berbagai persoalan yang seharusnya tidak perlu kualami."
Tampaknya ada ganjalan yang masih mencekam perasaannya, setelah menghela napas beberapa saat dia baru berkata lebih jauh.
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu cukup tangguh, gerak-geriknya pun cukup cekatan, baru saja aku melesat masuk ke balik pepohonan dan menyembunyikan diri di balik ranting pohon, sementara sayur dan arakku belum sempat kusembunyikan, mereka sudah muncul di tempat itu.
"Ternyata orang yang melarikan diri adalah seorang pemuda berpakaian ringkas yang rambutnya kusut dan napasnya ngos-ngosan, keadaannya amat mengenaskan, pedang dalam genggamannya tinggal setengah potong, kelihatannya telah melalui pertarungan yang amat seru, dia sudah terdesak hebat, sedangkan pengejarnya adalah seorang nyonya muda berwajah cantik yang mengenakan baju sutera halus, dia bersenjatakan sepasang pedang Wan yo kiam, waktu itu kondisinya pun cukup lelah, bukan cuma napasnya tersengal, sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat.
"Ketika memasuki hutan, tampaknya pemuda berpakaian ringkas itu sudah tidak mampu menahan diri lagi, tubuhnya sempoyongan, meski berhasil melangkah beberapa meter, pada akhirnya dia roboh juga ke tanah. Nyonya muda itu seketika menubruk maju, pedang wan-yo kiamnya secara beruntun melancarkan beberapa tusukan.
"Dengan ketakutan pemuda berpakaian ringkas itu menjerit.
"Ampuni jiwaku, dengarkan dulu beberapa perkataanku..."
"Nyonya muda itu segera menghentikan tusukan-nya, sambil menempelkan ujung pedangnya di atas dada pemuda itu, bentaknya dingin.
"Kau sudah terjatuh ke tanganku, apa lagi yang hendak kau sampaikan!"
"Hari ini aku baru pertama kali berjumpa denganmu,"
Kata sang pemuda dengan suara gemetar.
"kenapa kau menyerangku sekeji ini... ?"
Bercerita sampai di sini, sang Kaisar malam menghela napas panjang,ujarnya.
"Hingga hari ini aku masih teringat dengan setiap patah kata yang mereka ucapkan, tidak sepatah kata pun yang ketinggalan."
"Tidak kusangka Empek masih teringat sedemikian jelasnya,"
Kata Thiat Tiong-tong dengan kepala tertunduk.
"Ya, hal ini disebabkan kejadian itu amat berkesan bagiku, karena kau menanyakan persoalan ini, tentunya kau sudah tahu bukan siapakah laki perempuan itu?"
"Benar...."
Tapi saat itu aku masih belum tahu, peristiwa itu membuat aku keheranan, kalau memang pemuda itu baru pertama kali bersua dengannya, kenapa wanita itu ingin membunuhnya? "Terdengar wanita muda itu menyahut dengan suara dingin.
"Betul, kita memang baru bertemu pertama kali ini bersua, namun dendam kesumat di antara kita lebih dalam dari samudra, setelah hari ini kau terjatuh ke tanganku, kenapa aku tidak boleh membunuhmu?"
"Tanpa berkedip pemuda itu menatap wajahnya, sesaat kemudian dia berkata lagi.
"Seandainya kau yang terjatuh ke tanganku, aku... bagaimanapun aku tidak akan tega membunuhmu!"
"Sekalipun ucapan ini mengandung nada menggoda, namun bagaimanapun dia adalah seorang pemuda tampan, khususnya sewaktu mengucapkan perkataan itu, dia tampil lebih istimewa, lebih gampang meluluhkan perasaan kaum wanita.
"Dengan gusar wanita cantik itu membentak.
"Dasar lelaki hidung bangor, kau sudah bosan hidup?"
Sekalipun nada bentakannya gusar, namun diam-diam perasaannya sudah mulai luluh.
"Jika perasaannya tidak luluh, bisa saja dia ayunkan ujung pedangnya ke bawah dan menghabisi nyawa pemuda itu, buat apa dia mesti banyak bicara lagi? Memangnya aku tidak tahu jalan pikiran kaum wanita? "Tampaknya pemuda itupun dapat membaca jalan pikiran wanita itu, dia jadi lebih berani, sambil menghela napas panjang ujarnya lagi.
"Bukan aku sengaja mengumpak, sejujurnya selama hidup belum pernah kujumpai nona secantik dirimu"
"Lalu setelah menarik napas panjang lanjutnya.
"Apalagi kerlingan mata nona yang begitu indah bagai bintang di langit, senyummu yang manis bagai hembusan angin di musim semi...."
"Sambil berbicara, perlahan-lahan dia mulai mendorong ujung pedang itu dari atas dadanya.
"Paras muka nona cantik itu berubah semakin memerah, nampaknya dia sudah terbuai oleh bualan pemuda itu.
"Melihat mangsanya sudah terperangkap, pemuda itu semakin kegirangan, tiba-tiba dia melompat bangun dan memeluk wanita itu erat-erat, gumannya.
"Ooh nona, aku benar-benar tidak mampu mengendalikan diri...."
"Ucapannya makin lama semakin jorok, makin lama makin tidak sedap didengar, bahkan aku sendiri pun jadi malu oleh perkataannya.
"Tampaknya wanita cantik itu merasa malu bercampur gusar, tiba-tiba sebuah tonjokan memmbuat pemuda itu jatuh terjungkal, kusangka kali ini dia tentu akan mencabut nyawanya, siapa tahu ujung pedangnya masih tetap ditempelkan di atas dada pemuda itu dan tidak pernah ditusukkan lebih ke dalam.
"Terdengar dia membentak dengan gusar, Kau... kau sangka manusia macam apa diriku?"
Dengan gemetar jawab pemuda itu.
"Aku... aku benar-benar tidak sanggup menahan diri... jika nona mau bermesraan denganku, aku... aku... biar harus mati pun aku rela". Walaupun nada suaranya seperti orang ketakutan, bahkan sampai gemetaran, namun sorot matanya sama sekali tidak menunjukkan perasaan takut, rupanya dia telah memperhitungkan wanita cantik itu tidak bakal membunuhnya.
"Benar saja, perasaan wanita cantik itu benar-benar luluh, kembali pemuda itu menyingkirkan ujung pedang dari hadapannya, tapi kali ini dia tidak memeluknya lagi, melainkan sambil berlutut memohon.
"Bila nona tidak bersedia, lebih baik tusuklah dadaku agar aku segera mati, bisa mati di tangan nona pun hatiku sudah merasa sangat puas"
"Caranya berbicara kali ini sungguh membuat hati orang trenyuh, ditambah lagi lagak dan nada suaranya yang mengharukan, tidak heran kaum wanita gampang tergerak perasaan-nya.
"Perempuan cantik itu menundukkan kepalanya semakin rendah, paras mukanya juga berubah makin memerah, lewat beberapa saat kemudian dia baru berkata perlahan.
"Kau toh sudah tahu kalau aku bukan seorang nona lagi"
"Tapi bagiku, kau selamanya adalah seorang nona yang suci bersih"
Jawab sang pemuda.
"Betapa trenyuhnya perasaan wanita cantik itu sehabis mendengar perkataan itu, tanpa disadari tetesan air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
"Dengan nada yang jauh lebih lembut, kembali pemuda itu berkata.
"Sudah lama kudengar sikap mertua dan suamimu kurang baik, aaaai, aku benar-benar tidak habis mengerti, kenapa begitu tega mereka bersikap demikian terhadapmu...."
"Siapa yang bilang begitu?"
Si wanita cantik itu membentak, mereka... mereka bersikap baik sekali... baik sekali terhadapku..."
Sekalipun dia berusaha menyangkal, namun sikap serta gerak-geriknya telah mengakui kebenaran hal itu.
"Kembali pemuda itu berkata sambil menghela napas panjang.
"Saudara-saudaraku pun bersikap kurang baik terhadapku... padahal tiada dendam atau permusuhan apapun yang terjalin di antara kita, kenapa kita berdua harus saling membenci dan saling membunuh...."
"Terdengar suara 'Tranggg!', ternyata pasang Wan yo kiam yang berada dalam genggaman nyonya muda itu sudah terjatuh ke tanah, kemudian terdengar dia bergumam.
"Mereka bersikap tidak baik terhadapku, buat apa aku mesti mengadu jiwa demi mereka...."
"Benar...
"teriak pemuda itu kegirangan, tapi kembali dia menghela napas sambil melanjutkan, dalam hidupku, aku selalu berharap bisa berjumpa dengan seorang nona cantik, tapi sepasang matamu... bibirmu... ternyata beribu kali lebih indah, lebih cantik daripada apa yang kuimpikan selama ini, andai aku tidak bersua denganmu, mungkin aku tidak akan percaya kalau di kolong langit benar-benar terdapat nona secantik dirimu...."
"Benarkah?"
Tanya wanita cantik itu.
"Buat apa aku membohongimu?"
"Perempuan cantik itu menghela napas sedih, perlahan-lahan dia memejamkan matanya sambil berbisik.
"Kenapa sejak dulu belum pernah ada orang mengatakan hal ini kepadaku?".
"Karena mereka adalah sekawanan lelaki kasar yang tidak mengerti keindahan,"
Jawab pemuda itu sambil menghela napas.
"yang mereka ketahui hanya saling gontok, saling membunuh, kalau setiap hari yang dipikirkan hanya tindakan kasar, mana mungkin mereka mengenal arti kelembutan dan kemesraan, tidak heran mereka menyia-nyiakan masa remaja seorang gadis yang cerdik dan rupawan. Aaai... kenapa Thian selalu tidak adil terhadap umatnya?"
"Perkataan itu sangat menusuk perasaan wanita itu, dengan mata menjadi merah karena terharu, tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke dalam pelukan pemudaitu...."
Mendengar sampai di sini, Thiat Tiong-tong seolah-olah mendengar kembali gelak tawa menyeramkan Sui Ji-song ketika berkata kepada Thiat Cing-kian.
"Dua puluh tahun berselang, kau pernah berlutut di hadapanku, mengatakan aku adalah gadis tercantik, gadis terlembut yang pernah kau jumpai... dua puluh tahun berselang, nyawamu pernah terjatuh ke tanganku, sungguh menyesal waktu itu aku percaya dengan rayuan gombalmu, bukan saja telah mengampuni nyawamu, bahkan di dalam hutan bunga tho....
". Kini Thiat Tiong-tong sudah dapat menebak duduk perkara yang sebenarnya, hanya saja dia tidak tahu bagaimana kejadian yang sesungguhnya. Diam-diam dia menghela napas panjang, pikirnya.
"Seng Cun-hau mempunyai cacad tubuh yang tidak bisa diceritakan kepada orang luar, dia pun seorang lelaki sejati, bagaimana mungkin lelaki semacam dia sanggup mengucapkan kata-kata rayuan? Padahal Sui Ji-song masih muda dan kesepian, tidak heran dia terpikat oleh rayuan gombal Thiat Cing-kian."
Tampak Kaisar malam memperlihatkan sekulum senyuman yang sangat aneh, katanya.
"Waktu itu meski aku sangat gusar dan benci terhadap pemuda itu, namun aku pun membenci suami nyonya cantik itu, karenanya aku hanya menonton sambil berpeluk tangan, aku tidak berencana mencampuri urusan ini. Kulihat kedua orang itu berbicara amat mesra, nyonya cantik itu terkadang menangis, terkadang tertawa, jelas pikirannya dibuat kalut oleh rayuan hingga kehilangan kendali. Tiba-tiba pemuda itu menemukan sayur dan arak yang kutinggalkan di bawah pohon bunga tho, katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, sungguh tidak nyana Thian memang mengaturkan segala sesuatunya, coba lihat di sana tersedia sayur dan arak"
"Tanpa berusaha mencari tahu darimana datangnya sayur dan arak itu, mereka mulai btrsantap dan minum arak dengan santainya, waktu itu malam semakin kelam, suasana dalam hutan bunga tho pun terasa makin hangat dan mesra.
"Melihat kedua orang itu menikmati hidanganku sementara aku harus makan angin di atas pohon, dalam hati aku hanya bisa tertawa getir. Takaran minum perempuan muda itu sangat cetek, ditambah lagi arak yang tersedia ndalah arak keras, maka baru saja meneguk beberapa cawan, bukan saja dia sudah mabuk, bahkan mabuk berat.
"Waktu itu dia sudah berada dalam kondisi tengah bugil, pengaruh arak membuatnya dicekam hawa napsu yang tidak ter kendalikan, ibarat air bah sungai Huangho yang menjebol tanggul, birahinya sudah tidak terkirakan lagi.
"Melihat kejadian ini, kusangka sebentar lagi mereka berdua akan melakukan hubungan intim.
"Siapa tahu tiba-tiba pemuda itu menyambar sepasang wan yo kiam yang tergeletak di tanah, lalu bergumam sambil tertawa dingin.
"Perempuan rendah, kau tidak tega membunuhku, tapi aku tega untuk menghabisi nyawamu...."
"Sementara nyonya muda itu masih merintih di atas tanah karena terangsang napsu birahi, pemuda itu justru mengangkat pedangnya langsung dihujamkan ke hulu hati wanita itu."
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak mengira akan terjadinya perubahan ini, tidak tahan dia menjerit kaget.
"Kau tidak menyangka bukan?"
Tanya Kaisar malam.
"Ya, Siautit tidak pernah membayangkan akan terjadi peristiwa semacam ini,"
Sahut Thiat Tiong-tong sambil menghela napas.
"Waktu itu aku sendiri pun sangat terperanjat, semula kusangka pemuda itu meski licik dan busuk hatinya, dia tetap seorang pemuda romantis yang tahu menyayangi wanita. Saat itulah aku baru sadar, ternyata pemuda itu selain sadis, dia pun keji dan tidak berperasaan, aku tidak tega membiarkan dia melakukan tindakan sebusuk itu terhadap wanita itu! Terlepas apapun alasannya, aku tidak bisa membiarkan kejadian seperti ini terjadi di depan mataku, maka sambil membentak aku pun melompat turun dari atas pohon.
"Tentu saja pemuda itu sangat terperanjat, dia membalikkan pedangnya menusuk tubuhku, tapi dengan sekali sambaran, senjata itu sudah berhasil kurampas, hal ini membuat pemuda itu semakin terkesiap."
Diam-diam Thiat Tiong-tong tertawa geli, pikirnya.
"Dengan kepandaian silat yang dimiliki Kaisar malam, tentu saja mimpi pun Thiat Cing-kian tidak menyangka, tidak heran kalau dia terperanjat setengah mati."
Terdengar Kaisar malam berkata lebih jauh.
"Walaupun saat itu aku membencinya karena tidak pantas menipu wanita itu dengan cara sekeji itu, karena perempuan itu bukan wanita cabul, dia tidak lebih hanya seorang wanita kesepian yang tergoda oleh rayuan gombalnya hingga tidak kuasa menahan diri, tapi aku kasihan dengan usianya yang masih muda, meski dalam keadaan marah, aku tidak sampai hati mencabut nyawanya.
"Pemuda itu termangu beberapa saat, melihat aku tidak berniat membunuhnya, maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia segera melarikan diri terbirit-birit, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
"Sebenarnya aku ingin mengejar pemuda itu, namun ketika melihat perempuan muda itu masih merintih di tanah, seakan dia tidak sadar atas kejadian yang berlangsung di sekelilingnya, aku tahu dia sudah tidak sadarkan diri. Maka aku dekati perempuan itu dan bermaksud menenangkan hatinya, siapa tahu... siapa tahu, baru saja kubangunkan tubuhnya, dia malah justru memelukku erat-erat, dia sangka aku adalah pemuda itu.
"Saat itu sedang bulan purnama, cahaya lembulan menyinari tubuhnya yang indah... tubuh setengah bugil yang panas tiada hentinya gemetar dalam pelukanku, bau harum bunga yang terhembus angin membuat aku... aku tidak kuasa menahan napsuku lagi...."
Apa yang terjadi kemudian benar-benar merupakan satu peristiwa yang sangat mengejutkan hati.
Bagi Thiat Tiong-tong, selain perasaan terperanjat dia pun merasa sangat girang, untuk sesaat perasaannya jadi kalut hingga tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Kaisar malam memejamkan mata seakan sedang membayangkan kembali adegan malam itu, sekulum senyuman tersungging di bibirnya, sampai lama kemudian dia baru melanjutkan kembali kisahnya.
Terdengar Kaisar malam berkata lagi.
"Setelah selesai berhubungan intim, wanita muda itu terlelap tidur dengan nyenyaknya, dia tidur dengan senyuman puas tersungging di ujung bibirnya, bahkan mengigau dengan memanggil nama pemuda itu.
"Sebetulnya aku ingin menunggunya hingga mendusin dari tidurnya, tiba-tiba kulihat pada gagang pedang yang ditinggalkan pemuda itu terukir empat huruf besar, ketika kuamati ternyata bertuliskan Thiat hiat tay ki. Saat itulah aku baru tahu kalau dia adalah anggota perguruan Tay ki bun. Padahal waktu itu aku memang sedang mencari jejak ketua perguruan itu, karena jejak mereka sukar terlacak, maka hingga detik itu keinginanku belum tercapai.
"Mengetahui pemuda itu adalah anggota perguruan Tay ki bun, dalam terkejut bercampur girangnya, tanpa berpikir panjang lagi aku segera melakukan pengejaran, aku sangka dengan ilmu meringankan tubuhku tentu tidak sulit untuk menyusulnya.
"Siapa tahu pemuda itu sangat licik dan teliti, kuatir terkejar, maka sepanjang jalan dia telah mengatur berbagai jebakan dan memancingku mengejar ke arah yang berlawanan.
"Menanti aku gagal mengejarnya dan balik lagi ke hutan bunga tho, waktu itu hari sudah terang, wanita cantik itupun sudah pergi, tapi keadaan di dalam hutan itu kacau berantakan, banyak ranting dan dahan pohon yang bertumbangan, kelihatannya wanita itu mengumbar amarahnya dengan mengobrak-abrik tempat itu.
"Aku amat sedih, walaupun ingin sekali kususul dirinya, apa daya... dalam suasana begitu, aku bahkan tidak tahu siapa namanya."
Mendengar sampai di situ, selain merasa terkejut bercampur girang, Thiat Tiong-tong pun merasa terharu.
Sejak awal hingga akhir Sui Ji-song selalu beranggapan dia sudah dinodai Thiat Cing-kian, apalagi sewaktu mendusin dia tidak berhasil menemukan jejaknya, tidak heran sepanjang hidup perempuan ini membencinya hingga merasuk ke dalam tulang.
Thiat Cing-kian sendiri meski tahu wanita itu bukan ternoda olehnya, namun sewaktu berada dalam gua harta karun dia pun tidak berani mengatakannya secara terus terang, dia ingin menggunakan alasan 'pernah jadi suami istri semalam' untuk meluluhkan hatinya, maka dia pun mengakui anak itu adalah darah dagingnya dengan harapan Sui Ji-song tidak membunuhnya.
Siapa tahu gara-gara pikiran semacam itu, dia harus mengorbankan nyawanya dengan percuma, sementara Sui Ji-song sendiri pun harus menanggung penderitaan sepanjang hidupnya gara-gara tindakannya yang keliru.
Peristiwa ini boleh dibilang merupakan satu kejadian salah langkah, seandainya Kaisar malam tidak secara kebetulan bertemu dengan peristiwa itu, kejadian pun tidak akan berakibat seperti saat ini.
Seandainya Kaisar malam adalah seorang penjahat pemogoran, lelaki hidung belang yang suka main perempuan, dia pun pasti tidak akan membiarkan Thiat Cing-kian kabur dalam keadaan hidup.
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong merasa sangat kegirangan, akhirnya dia tahu Sui Leng-kong bukan saudaranya, simpul mati yang bakal membuatnya sengsara seumur hidup ternyata berhasil diurai secara mukjizat.
Lewat beberapa saat kemudian kembali Kaisar malam bertutur.
"Sepanjang perjalanan aku berusaha mencari tahu identitas wanita itu, aku tidak ingin kejadian ini menjadi beban sepanjang hidupku.
"Selesai berhubungan intim, aku baru sadar perempuan muda itu ternyata masih perawan, sekalipun statusnya adalah bini orang, namun dia belum pernah terjamah oleh lelaki manapun. Aku sadar, biarpun di antara kami berdua tidak pernah punya bibit cinta, namun aku punya tanggung jawab moral terhadapnya, paling tidak bertanggung jawab atas kehidupannya, sayang sejak kejadian itu aku tidak pernah bersua lagi dengannya."
Rasa menyesal yang sangat mendalam tampak melintas di wajahnya. Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, katanya perlahan.
"Masih ada satu hal lagi... andaikata Empek mengetahuinya, mungkin kau... kau akan bertambah sedih."
"Soal apa?"
"Dia telah melahirkan seorang anak."
Dengan tubuh bergetar lantaran kaget, Kaisar malam menceng-keram bahu Thiat Tiong-tong kuat-kuat,jeritnya.
"Sungguh? Darimana kau tahu? Anak... anak itu berada dimana sekarang?"
"Bocah itu bernama Sui Leng-kong jawab Thiat Tiong-tong sambil menghela napas. Secara ringkas dia pun bercerita bagaimana dia terjerumus ke dalam jurang, bertemui Sui Leng-kong dan ibunya hingga berjumpa dengan Cu Cau. Biarpun Kaisar malam termasuk jagoan yang banyak pengalaman, tidak urung dia terbelalak juga sehabis mendengar kisah cerita itu, selain terperanjat, dia pun merasa sedih dan sedikit perasaan girang. Terdengar dia bergumam seorang diri.
"Leng-kong... Leng-kong... ternyata dia telah dewasa... apakah dia... dia berwajah menarik?"
Thiat Tiong-tong sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang, apakah kecut, manis atau getir, yang pasti semuanya muncul dari lubuk hatinya, setelah tertawa getir dia pun mengangguk.
Kaisar malam memandangnya beberapa kejap, tidak tahan dia mendongakkan kepala dan menghela napas panjang, katanya.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Takdir... takdir... mimpi pun aku tidak menyangka ternyata kau adalah anak murid perguruan Tay ki bun!"
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong bertanya.
"Siautit ingin sekali bertanya kepada Cianpwe, sebenarnya ada rahasia besar apa di balik permusuhan dunia persilatan dengan perguruan Tay ki bun?"
Berubah paras muka Kaisar malam sehabis mendengar pertanyaan itu, gumamnya.
"Benar... di balik peristiwa itu memang terdapat sebuah rahasia yang besar sekali, aku tahu akan rahasia itu tapi sekarang belum bisa kukatakan kepadamu."
"Kenapa Siautit tidak boleh mengetahui rahasia itu?"
"Kau bukan tidak boleh mengetahui rahasia itu, sebab... sebab saat ini kau harus memusatkan perhatianmu untuk belajar silat, selama berlatih, lebih baik pikiranmu jangan terganggu oleh persoalanlain."
"Kenapa Siautit harus memusatkan diri berlatih?"
"Karena aku berencana akan mewariskan seluruh kepandaian silatku kepadamu, dengan bakat alam yang kau miliki, aku yakin dalam tiga bulan mendatang pasti sudah nampak hasilnya, bila pikiranmu bercabang, otomatis keberhasilan-mu akan terpengaruh."
Thiat Tiong-tong merasa hatinya bergetar keras, dia tidak tahu harus merasa terkejut atau gembira, katanya tergagap. Tapi...."
"Asal kau bersedia memusatkan seluruh perhatian untuk belajar silat,"
Tukas Kaisar malam cepat.
"tiga bulan kemudian, aku pasti akan membeberkan rahasia besar dunia persilatan yang hampir punah ini kepadamu."
"Tapi... kenapa Empek ingin mewariskan seluruh ilmu silatmu kepadaku?"
Kaisar malam tersenyum, sahutnya.
"Kau adalah saudara angkat Cau-ji, kau pun terhitung sahabat senasib dengan... dengan Leng-kong, kalau tidak kuwariskan ilmu silatku kepadamu, memangnya harus kuwariskan kepada orang lain?"
Buru-buru Thiat Tiong-tong menjatuhkan diri berlutut, serunya dengan kepala tertunduk.
"Terima kasih Empek!"
Sambil mengelus jenggotnya Kaisar malam tertawa tergelak, beberapa saat kemudian setelah menghela napas panjang dia baru berkata lagi.
"Seandainya Cau-ji dan... dan Leng-kong berada di sini... aaaai! Entah apa yang sedang mereka lakukan sekarang?"
Mendadak paras muka Thiat Tiong-tong berubah hebat, jeritnya.
"Aduuuh celaka! Aku telah melakukan kesalahan besar!"
"Kejadian apa yang membuatmu gugup dan kaget?"
"Toako dan Leng-kong adalah saudara!"
Keringat sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi wajah Thiat Tiong-tong, serunya lebih jauh.
"Tapi... tapi... Siautit telah berusaha memohon bantuan orang untuk menjodohkan mereka berdua, saat ini... bila mereka berdua telah... telah...."
Dia merasa dadanya sesak, perkataan selanjutnya tidak sanggup lagi diutarakan.
Paras muka Kaisar malam ikut berubah, jenggot panjangnya bergoyang meski tidak terhembus angin, sepasang kepalannya digenggam kuat-kuat, ujung jarinya terasa dingin membeku, gumamnya.
"Bagaimana... bagaimana baiknya sekarang?"
Cahaya lentera telah menerangi pondok Cay-seng di bawah bukit Ong wo san.
Pemilik pondok yang misterius sedang membuka surat yang diberikan Thiat Tiong-tong dan membaca isinya.
Sudah beberapa kali dia membaca ulang isi surat itu, kini dia hanya duduk terpekur sambil memandang surat itu dengan pandangan mendelong, lama kemudian sekulum senyuman baru tersungging di ujung bibirnya, meski kerutan dahinya menunjukkan perasaan sedih yang mendalam.
Surat itu jelas ditulis dalam keadaan terburu-buru, bukan saja tulisannya tidak jelas, kalimatnya pun amat singkat, tapi pemilik pondok Cay-seng dapat memahami artinya.
Surat itu berbunyi.
"Surat yang lampau tentu sudah kau terima, aku dalam keadaan sehat, berhubung sesuatu persoalan aku tidak bisa datang, waktu sudah hampir tiba, harap semua saudara bersabar, tunggu saatnya.
"Pembawa surat adalah putra Kaisar malam bernama Cu Cau, saudara angkatku, orang ini berbakat aneh, bisa dipercaya, harap dilayani sebaik-baiknya, yang seorang lagi adalah Sui Leng-kong, sahabatku, sayang aku tidak bisa mendampinginya sepanjang hidup.
"Kali ini sengaja kuminta mereka datang bersama, harap aturkan perkawinan untuk kedua orang ini, bila Sui Leng-kong menolak, bujuklah, bila perlu katakan kalau aku tidak akan bertemu lagi dengannya.
"Rindu dengan enso dan keponakan, semoga kalian jaga diri baik-baik. Tertanda, Tiong-tong". Waktu itu Cu Cau, Sui Leng-kong dan dua bersaudara Gi sedang membicarakan tentang asal-usul pemilik pondok Cay-seng yang misterius, secara tiba-tiba orang yang bersangkutan muncul di hadapan mereka. Sambil tersenyum dia memandang Cu Cau dan Sui Leng-kong sekejap, sorot matanya jauh lebih hangat ketimbang tadi, mendadak setibanya di hadapan Cu Cau, dia menjatuhkan diri berlutut. Dengan perasaan terperanjat Cu Cau menegur.
"Saudaraku, mengapa kau menjalankan penghormatan sebesar ini?"
Baru saja dia bangkit berdiri untuk membalas hormat, tapi pemilik pondok Cay-seng telah menekan bahunya agar tetap duduk.
Dua bersaudara Gi maupun Sui Leng-kong ikut tercengang melihat kejadian ini, mereka tidak habis mengerti apa sebabnya pemilik pondok Cay-seng yang misterius melakukan penghormatan besar.
Terdengar pemilik pondok berkata dengan hormat.
"Harap saudara jangan menyebut Hengtay lagi kepadaku, karena kau adalah Toako Thiat Tiong-tong, otomatis merupakan Toakoku juga."
Cu Cau mengawasi rambutnya yang beruban tanpa menjawab. Dalam pada itu Gi Teng telah berseru dengan wajah berubah.
"Thiat Tiong-tong? Apakah yang dimaksud adalah anggota perguruan Tay ki bun yang belakangan menggetarkan sungai telaga dengan julukan sebagai jago pedang tercepat?"
"Benar....
"jawab Cu Cau dan pemilik pondok Cay-seng hampir berbareng, mereka ikut merasa bangga setelah mendengar pujian orang.
"Jadi kau kenal dengannya?"
Tanya Sui Leng-kong pula dengan mata terbelalak.
"Walaupun belum pernah bersua, namun sudah lama kudengar nama besarnya...."
Jawab Gi Teng setelah berpikir sejenak. Kemudian setelah berhenti sesaat, tidak tahan kembali lanjutnya.
"Aku dengar Thiat Tiong-tong pernah mengalahkan si jago pedang berhati ungu Seng-toako serta Ui koan bi gwe, sebetulnya kami berdua pun ingin sekali menjajal kemampuannya."
Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Cau, serunya tidak tahan.
"Jadi kalian dua bersaudara adalah...."
"Mereka adalah Ang eng kiam khek (Jago pedang elang merah) Gi Teng dan saudaranya Cui yan kiam khek (jago pedang walet hijau) Gi Beng, dua jago ternama di antara tujuh jago pedang pelangi lainnya, masa Toako belum tahu akan hal inP"
"Dulu kami memang berniat suatu hari nanti akan mencarinya untuk mengadu kepandaian,"
Ujar Gi Teng sambil tertawa getir.
"tapi setelah menyaksikan kemampuan silat yang Hengtay miliki, aku baru sadar bahwa nama kami sebenarnya hanya kosong belaka."
"Hengtay terlalu merendah."
"Sungguh,"
Sahut Gi Beng cepat.
"terus terang sampai bermimpi pun kepandaian silat kami masih bukan tandingan Toako, bisa diduga kemampuan silat Jite pun pasti amat tangguh, aku pikir pertarungan ini tidak perlu dilangsungkan lagi."
"Kelihatannya adikku cukup tahu diri...."
Ucap Gi Teng sambil tersenyum. Pemilik pondok Cay-seng tertawa tergelak, serunya.
"Hahaha, kalian berdua sungguh polos dan jujur, padahal secepat apapun ilmu pedang yang dimiliki Tiong-tong, belum tentu kemampuannya lebih hebat dari kalian berdua...."
"Bukan Cayhe sengaja membesar-besarkan kemampuan orang,"
Sela Cu Cau sambil tersenyum.
"belakangan ilmu silat yang dimiliki Jite sudah mengalami kemajuan hampir sepuluh kali lipat daripada kemampuannya dulu!"
"Sungguh?"
Teriak pemilik pondok Cay-seng kegirangan.
"Buat apa Cayhe membohongi kalian?"
Dengan wajah penuh kegembiraan pemilik pondok itu mendongakkan kepala dan tertawa tergelak, gumamnya.
"Thian maha pengasih... harapan membangun kembali kejayaan perguruan sudah terbuka...."
Sui Leng-kong terperanjat, serunya tanda sadar.
"Jadi... jadi kau... kau satu perguruan dengan... dengan Tiong-tong!"
Pemilik pondok tidak langsung menjawab, dia termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru mengangguk.
"Benar."
Tidak terlukiskan rasa kaget Cu Cau, Sui Leng-kong serta dua bersaudara Gi, hampir berbareng mereka berteriak.
"Jadi Hengtay adalah anggota perguruan Tay ki bun!"
Pemilik pondok memandang dua bersaudara Gi sekejap, kemudian sahutnya sambil tertawa getir.
"Bukan Cayhe sengaja merahasiakan identitasku, hanya saja... aaaai! Di balik semua ini masih tersimpan rahasia lain."
Dua bersaudara Gi saling bertukar pandang sekejap, lewat sesaat kemudian Gi Beng baru berkata sambil tertawa paksa.
"Ooh, jadi kau kuatir kami bocorkan rahasia itu hingga selama ini mengelabui kami berdua?"
"Aaah, tajam amat perkataan kalian...."
"Sekalipun kami berdua banyak bicara,"
Tukas Gi Beng lagi.
"tapi kalau persoalan itu benar-benar sebuah rahasia besar, tidak nanti rahasia itu akan bocor dari mulut kami."
Pemilik pondok Cay-seng menghela napas panjang.
"Kalau memang begitu, bila aku masih merahasiakan hal ini, berarti aku tidak menganggap kalian sebagai sahabatku."
"Benar,"
Gi Beng tertawa merdu.
"kau tidak boleh merahasiakan lagi di hadapan kami."
"Se... sebenarnya siapakah kau?"
Tanya Sui Leng-kong tergagap. Pemilik pondok Cay-seng menarik kembali senyumannya, dengan wajah berubah serius dan berat, sepatah demi sepatah sahutnya.
"Akulah murid murtad perguruan Tay ki bun...."
"Traaang!", cawan yang berada di tangan Sui Leng-kong tiba-tiba terjatuh hingga hancur berkeping, ditatapnya pemilik pondok itu dengan mata terbelalak, kemudian serunya gemetar.
"Jadi kau... kau adalahToako Tiong-tong?"
"Benar...."
Jawab pemilik pondok sambil tertunduk sedih. Paras muka Gi Teng ikut berubah, jeritnya kaget.
"Berarti Hengtay adalah Im Kian, Im-tayhiap yang... yang mengikat tali perkawinan dengan nona Leng... Toasiocia dari benteng Han hong po?"
Perlu diketahui, peristiwa itu sudah beredar dalam dunia persilatan dan menjadi bahan pembicaraan setiap umat persilatan, bahkan menjadi dongeng yang dipenuhi masalah cinta, petualangan dan tragedi sebuah keluarga.
Pemilik pondok termenung sejenak, sesudah menghela napas berat, sahutnya.
"Betul, aku adalah Im Kian!"
Dengan termangu Gi Beng mengawasi wajah orang itu, lamat-lamat cahaya semu merah menghiasi pipinya.
"Sudah lama kami mendengar tentang kisah ini,"
Gumamnya.
"tak nyana ternyata kau... ternyata kau adalah Im Kian!"
Perlu diketahui, dalam benak kaum wanita, khususnya para gadis muda, kisah romantis yang dipenuhi kemisteriusan apalagi berakhir secara tragis merupakan satu kisah yang amat mempesona.
Entah sudah berapa banyak gadis yang melelehkan air mata karena kisah percintaan itu....
Tapi setelah termenung sejenak, dengan wajah berubah serunya lagi.
"Tapi... tapi... bukankah Im Kian... bukankah dia sudah tewas karena dijatuhi hukuman mati oleh perguruan Tay ki bun?"
"Benar!"
Kembali terjadi kehebohan, paras muka semua orang kembali berubah hebat.
"Lalu... kenapa kau masih... masih hidup hingga kini?"
Im Kian menghela napas panjang, ujarnya.
"Tiong-tong Jite yang telah menyelamatkan jiwaku, coba kalau bukan dia, mungkin saat ini mayatku sudah hancur ditarik lima ekor kuda."
Semua orang menghembuskan napas panjang, mereka hanya bisa saling pandang tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun.
"Hari itu,"
Cerita Im Kian.
"kalau bicara berdasarkan peraturan perguruan, maka aku pasti akan kehilangan nyawaku, itulah sebabnya sebelum ayahku turun tangan, aku telah menghantam ubun-ubunku sendiri dengan harapan bisa menghabisi nyawaku secepatnya."
Gi Beng menghela napas sedih, katanya.
"Kau... masa kau tega turun tangan terhadap diri sendiri? Coba kalau aku... aaai! Tidak nanti aku mampu melakukan tindakan sebrutal itu!"
"Kau anggap anak murid perguruan Tay ki bun adalah manusia macam apa?"
Seru Gi Teng dengan suara dalam.
"bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan seorang nona kecil yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Im Kian tertawa getir, ujarnya lebih lanjut.
"Siapa sangka ketika telapak tangan hampir menyentuh ubun-ubunku, mendadak tanganku jadi lemas... aaaai! Ternyata pukulan itu gagal mencabut nyawaku sendiri!"
"Biar berganti orang lain pun belum tentu mereka mampu, bagaimana mungkin bisa menyalahkan dirimu?"
"Namun saat itu aku sudah bertekad untuk mati, oleh karena itu sepeninggal ayahku, meski aku tersadar kembali, tapi aku tetap memohon kepada Thiat Tiong-tong agar memberi sebuah kematian untukku."
"Jadi Thiat Tiong-tong adalah pelaksana hukuman mati itu?"
Tanya Gi Beng.
"Betul,"
Sahut Im Kian dengan wajah sedih.
"Jiteku ini jarang berbicara dan dia kelihatannya paling dingin, paling sadis di antara kami semua, mungkin ayahku kuatir orang lain tidak tega melaksanakan hukuman itu, maka dia yang diberi wewenang padanya menjadi sang algojo."
"Terkadang orang yang nampaknya dingin dan sadis justru memiliki perasaan yang hangat, hanya saja perasaan itu jarang diperlihatkan di hadapan orang banyak."
Tepat sekali,"
Sambung Cu Cau.
"semakin dingin wajahnya, perasaannya justru makin hangat, semakin setia kawan, sekalipun dia jarang memperlihatkan emosinya di hadapan orang, tapi bila emosinya mulai berkobar, maka dia akan jauh lebih hangat ketimbang orang lain."
Perlahan-lahan Sui Leng-kong menunduk-kan kepala dan berpikir dengan sedih.
"Tapi sikapnya kepadaku mengapa begitu tidak berperasaan, begitu dingin dan hambar...."
Berpikir sampai di situ, tidak kuasa lagi butiran air matanya jatuh berlinang.
Dari mana dia tahu, ketika cinta sudah mencapai puncaknya, maka perasaan itu akan semakin menipis, tidak berperasaan justru menunjukkan kalau dia sangat perasa.
Im Kian menghela napas panjang, katanya.
"Perkataan kalian berdua tepat sekali, Jiteku memang sangat perasa dan setia kawan, biarpun aku memohon kepadanya untuk menghabisi nyawaku, dia justru memaksa aku untuk tetap hidup."
"Dengan begitu... bukankah dia pun telah melanggar peraturan perguruan Tay ki bun?"
Tanya GiBeng.
"Tidak melaksanakan tugas sebagai pelaksana hukuman memang merupakan salah satu pelanggaran besar dalam perguruan Tay ki bun, dosanya sama beratnya dengan sebuah pengkhianatan atau bersekutu dengan musuh!"
"Berarti hukumannya Ngo be hun si (lima kuda memisahkan badan)?"
"Benar!"
Tanpa terasa semua orang menghembuskan napas dingin.
"Jadi dia... dia tidak segan menerima hukuman ditarik lima kuda dan tetap menolong nyawamu?"
Seru Gi Beng tertegun.
"besar amat nyalinya!"
Im Kian termenung beberapa saat, kemudian baru menjawab.
"Hal ini disebabkan hubungan persaudaran di antara kami berdua memang sangat mendalam, tapi selain itu masih ada alasan lain yang lebih besar."
"Masih ada alasan lain? Alasan apa?"
Dengan perasaan tercengang semua orang bertanya.
"Karena dia tidak tega menyaksikan anggota perguruan Tay ki bun secara turun temurun harus menjalani nasib yang sama, menciptakan tragedi yang sama. Dia mengambil keputusan akan mengubah jalan hidup serta nasib perguruan Tay ki bun, dia ingin seluruh dendam permusuhan yang telah berlangsung puluhan tahun, berakhir di tangannya! Dia berharap tragedi paling memilukan yang pernah terjadi dalam dunia persilatan bisa terhapus untuk selamanya...."
Semua orang tertegun, terperangah dibuatnya, hingga kini semua orang termasuk Cu Cau dan Sui Leng-kong baru tahu, ternyata Thiat Tiong-tong sedang memikul tanggung jawab dan beban yang begitu berat.
"Itulah sebabnya dia minta kepadaku untuk hidup terus,"
Kata Im Kian lebih jauh.
"paling tidak menunggu sampai menyaksikan sendiri berakhirnya drama memilukan ini."
"Dan kau... kau mengabulkan permintaan-nya?"
Tanya Gi Beng.
"Aaaai, sekalipun aku sudah bertekad untuk mati, walaupun aku tidak berani melanggar peraturan perguruan, namun setelah mendengar harapannya, bagaimana mungkin permintaannya bias ku tolak?"
Gi Beng menghembuskan napas lega, pujinya dengan tersenyum.
"Benar, tindakan semacam inilah baru pantas disebut tindakan seorang lelaki sejati!"
"Tapi saat itu luka yang kuderita sangat parah, dia pun tidak mampu membagi diri untuk merawat lukaku, dia harus berlagak seolah-olah sudah menjalankan hukuman mati itu dan memberi pertanggung jawaban kepada ayahku."
"Lantas apa daya?"
Tanya Gi Beng dengan kening berkerut.
"Waktu itu hujan sedang turun dengan derasnya, dengan menempuh hujan deras dia berlari sejauh puluhan li untuk mencari sebuah kereta besar, kemudian dengan kereta itu dia mengantar aku ke sebuah rumah penginapan kecil yang berada puluhan li jauhnya, sepanjang jalan secara beruntun dia merampok enam belas rumah dan nengumpulkan uang sebanyak tiga ribu tahil perak dan lima ratus tahil emas murni. Dengan bekal itu dia minta kepadaku untuk berdiam di kaki bukit Ong wo san, mengobati luka di situ sambil nenunggu kabar beritanya, selesai mengatur segala tesuatunya dia baru kembali ke perguruan untuk nemberi laporan. Aaaai! Dalam semalaman dia udah bolak-balik melakukan pekerjaan berat, aku telah membuatnya tersiksa."
"Apa?"
Teriak Sui Leng-kong kaget.
"dia... dia sudah merampok enam belas rumah?"
Im Kian tertawa getir, katanya.
"Bukan saja telah merampok enam belas rumah, bahkan telah membunuh seorang tuan rumah setempat dan menggunakan mayatnya untuk menggantikan posisiku, menjalani hukuman dipisah dengan lima ekor kuda!"
"Tapi ini... ini...."
Seru Sui Leng-kong gemetar.
"Begitulah baru pantas disebut tindakan seorang Toa-enghiong, Toa-hokiat,"
Tukas Gi Beng sambil menghela napas.
"kalau ingin melakukan tindakan yang menggemparkan, kita memang tidak boleh terikat oleh segala macam peraturan tetek bengek."
"Bagus, bagus sekali!"
Seru Cu Cau pula sambil tertawa tergelak dan bertepuk tangan.
"tindakan yang dilakukan Jiteku memang sangat memuaskan, perkataan nona pun amat memuaskan! Benar-benar tidak malu disebut Li-hokiat (orang gagah wanita), aku sungguh merasa kagum!"
"Hanya sayang perkataannya kelewat banyak,"
Sela Gi Teng sambil tersenyum.
"orang lain baru berbicara sepatah kata, dia sudah bertanya sepuluh persoalan."
Tampaknya dia sendiri pun tidak tahan untuk mengetahui kejadian selanjutnya, tanyanya.
"Lantas bagaimana selanjutnya?"
"Dengan melarikan kereta kuda tanpa berhenti, akhirnya tibalah aku di kaki bukit Ong wo san dan menetap di sini, tapi saat itu rumah yang kugunakan hanya dua buah gubuk bekas milik tukang penebang kayu yang sudah reyot, yang kubeli dengan uang tiga ratus tahil perak, dengan uang penjualan rumah itu si tukang penebang kayu membuka sebuah rumah makan kecil di sisi bukit sana, tampaknya kehidupannya cukup bahagia, sampai belakangan, dia masih sering datang kemari untuk mengobrol sambil membawa lima kati arak wangi untukku."
Berbicara sampai di sini, sekulum senyuman tampak tersungging di wajahnya yang murung.
"Dengan tiga ratus tahil perak untuk membeli dua buah gubuk reyot, tidak aneh jika kakek itu sangat berterima kasih kepadamu ujar Gi Beng sambil tertawa.
"tapi siapa pula yang merombak rumah gubuk reyot menjadi rumah pertapaan semacam sekarang ini?"
"Sejak berdiam di sini, hampir dua bulan lamanya aku tidak berhasil mendapat kabar berita darinya... aaai! Waktu itu aku benar-benar menguatirkan keselamatan jiwanya."
Sekulum senyuman tersungging di wajah Sui Leng-kong, ujarnya perlahan.
"Waktu itu... waktu itu dia terjerumus ke dalam jurang dan bertemu aku."
"Benar,"
Im Kian mengangguk.
"setelah kejadian, dia sempat menceritakan peristiwa itu kepadaku, saat itulah perasaanku jadi lega, sewaktu datang dia pun menghadiahkan sejumlah harta yang tidak temilai harganya untukku."
Setelah berhenti sejenak, terusnya sambil tertawa.
"Konon harta karun itu pun diperoleh dari tempat tinggalmu."
"Benar. Dia membagi harta itu menjadi beberapa bagian dan memberitahukan kepadaku kegunaan dari setiap bagian itu, tapi hanya ada satu bagian harta yang tidak pernah dijelaskan kepadaku, sampai sesaat sebelum kau bercerita, aku masih belum tahu apa kegunaannya, karena dia tidak pernah mau menjelaskan hal itu, tapi sekarang...."
Sui Leng-kong tertawa manis, terusnya.
"Sekarang aku baru tahu apa gunanya."
"Hahaha, sekarang aku pun sudah tahu kenapa pondok tempat tinggalmu nampak begini indah dan mewah, semula kusangka kau adalah pensiunan perampok yang hidup mengasingkan diri,"
Seru Cu Cau sambil tertawa tergelak.
"Dia yang memaksa aku menggunakan uang itu untuk membangun rumah ini serta bergaul dengan sahabat dunia persilatan,"
Kata Im Kian sambil tersenyum.
"bahkan sebagai pelengkapnya dia mengirim juga dua orang bocah lelaki untuk melayani keperluan tamu."
"Kedua bocah itu dia beli dari Hun Kiok-hoa,"
Sui Leng-kong menjelaskan sambil tertawa. Tiba-tiba Im Kian menghela napas panjang, katanya.
"Semenjak berpisah di tengah hujan deras malam itu, hingga sekarang aku belum pernah bersua lagi dengannya, entah saat ini dia...."
"Saat ini, bukan saja ilmu silatnya bertambah maju, kesehatan tubuhnya juga bagus sekali,"
Kata Cu Cau sambil tertawa.
"Sebenarnya dia sudah berjanji, dalam dua hari mendatang akan datang menengokku, persoalan apa sih yang membuat kedatangannya tertunda?"
Secara ringkas Cu Cau pun menceritakan kisah perjumpaannya dengan Thiat Tiong-tong hingga dia diminta datang ke situ.
Kisah ini penuh dengan liku-liku, yang membuat Im Kian menghela napas berulang kali, sedang dua bersaudara Gi pun hanya bisa mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo.
Lewat beberapa saat kemudian, Gi Teng baru berkata sambil tertawa getir.
"Tokoh semacam ini memang tidak malu disebut seorang lelaki sejati, sungguh menggelikan, ternyata aku malah ingin mencarinya untuk berduel."
"Beruntung kita kenal dulu dengan Im-toako serta Cu-toako,"
Sambung Gi Beng sambil tertawa.
"seandainya benar-benar terjadi pertarungan, mungkin pihak kami berdualah yang bakal menderita kerugian besar."
Maka Im Kian pun menyajikan sayur dan arak untuk menjamu tamu-tamunya. Malam itu, ketika semua orang telah pergi beristirahat, seorang diri Im Kian mengajak Sui Leng-kong bertemu di dalam hutan bambu.
"Nona,"
Ujarnya.
"Jite berharap kau bersedia melakukan satu hal untuknya, apakah kau sudah tahu?"
"Tidak,"
Sahut Sui Leng-kong keheranan. Im Kian tertawa getir, katanya lagi.
"Sekalipun di mulut kau mengatakan tidak tahu, padahal dalam hati kecilmu sudah tahu dengan jelas bukan."
Tiba-tiba sepasang mata Sui Leng-kong berubah jadi merah, bisiknya dengan kepala tertunduk.
"Apapun yang dia minta, aku pasti akan menyetujuinya, tapi... tapi aku tidak bakal kawin dengan oranglain!"
"Cu-toako adalah seorang berbakat hebat, dia Bun bu coan cay, boleh dibilang...."
"Aku tidak pernah mengatakan Cu-toako tidak baik, tapi... biar dia sepuluh kali, seratus kali lebih hebat pun, aku tidak bakal kawin dengannya!"
Im Kian tertegun sehabis mendengar perkataan itu, sesudah menghela napas, katanya kemudian.
"Aku pun tahu cintamu terhadap Jite sangat mendalam, tapi... aaaai! Nasib mempermainkan manusia, siapa suruh kalian berdua masih terhitung saudara."
Akhirnya Sui Leng-kong tidak sanggup menahan rasa sedihnya lagi, dia menangis terisak.
"Lelaki dewasa akan menikah, wanita dewasa akan dinikahkan, kalau kalian berdua...."
"Apapun alasannya aku tidak bakal kawin dengannya!"
Tukas Sui Leng-kong sambil menghentakkan kakinya. Kembali Im Kian termenung beberapa saat.
"Jangan lupa,"
Katanya kembali.
"saat ini kau pun terhitung anggota perguruan Tay ki bun, sudah sepantasnya kau memikirkan masa depan perguruan...."
"Apa urusannya aku tidak kawin dengan masa depan perguruan?"
"Sekalipun tidak ada urusannya, tapi demi membangun kejayaan perguruan Tay ki bun, kita butuh bantuan para Enghiong dari seluruh kolong langit, tokoh silat macam Cu-toako jelas merupakan bantuan yang luar biasa."
"Jadi maksudmu, aku... aku harus kawin dengannya demi kepentingan perguruan Tay ki bun, agar dia mau membantu kita membela perguruan?"
Seru Sui Leng-kong dengan mata terbelalak.
"Benar! Jika Kaisar malam mau bergabung dengan perguruan Tay ki bun, maka situasi akan berubah total, banyak rahasia yang selama ini tertutup pun akan segera tersingkap."
"Atas dasar apa aku harus berkorban demi perguruan Tay ki bun?"
Air mata makin deras bercucuran membasahi pipi nona itu.
"Karena kau adalah keturunan keluarga Thiat, karena kau adalah putra-putri perguruan Tay ki bun, inilah kehendak Thian!"
Sekujur tubuh Sui Leng-kong gemetar keras, dengan kepala tertunduk dia menangis makin sedih. Im Kian sendiri pun merasa dadanya berombak, lewat sesaat kemudian dia baru berkata lagi sambil menghela napas.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ketahuilah, gara-gara pertikaian ini, sudah banyak anggota perguruan yang mengorbankan diri generasi demi generasi. Selama seratus tahun terakhir, belum pernah ada keturunan perguruan Tay ki bun yang kabur atau bersembunyi dari kenyataan, kau sebagai keturunan Tay ki bun, anggap saja hal ini merupakan ketidak beruntunganmu."
Isak tangis Sui Leng-kong bertambah keras, nadanya bertambah sedih. Sepasang mata Im Kian turut berkaca-kaca, kembali dia menghela napas panjang.
"Apalagi kau adalah kekasih Jite, sudah seharusnya kau pun memahami maksud hatinya, kau berkewajiban membantunya agar apa yang dicita-citakan dapat tercapai."
Tapi... tapi...."
"Dengan berbuat begitu, bukan saja kau telah menyelesaikan tugasmu sebagai keturunan Tay ki bun, kau pun telah melaksanakan keinginannya, jika kau memang mencintainya, mengapa ragu untuk berkorban deminya? Lagi pula pengorbananmu tidak terhitung seberapa bila dibandingkan pengorbanan orang lain, masa kau tidak bisa membayangkan penderitaan dan siksaan yang dialami anggota perguruan Tay ki bun lainnya? Sejarah Tay ki bun memang tertulis di atas genangan darah dan cucuran air mata putra-putrinya!"
Perkataan itu ibarat pecut yang menghajar setiap bagian tubuh Sui Leng-kong, bagai tusukan jarum tajam yang menghujam di lubuk hatinya.
Siapa yang tidak luluh perasaannya setelah disodori kenyataan semacam ini? Sui Leng-kong tertunduk sambil menangis, lama dan lama kemudian ia baru mendongakkan kepala.
"Baiklah!"
Dia berseru. Kelihatannya Im Kian tidak menyangka kalau secepat itu si nona akan menyanggupi permintaannya, dia malah tertegun.
"Apa?"
"Aku menyanggupi perrnintaanmu!"
Sekali lagi Sui Leng-kong tertunduk sedih. Sebetulnya kejadian ini merupakan satu peristiwa yang menggembirakan, namun Im Kian justru merasa hatinya kecut dan pedih. Sampai lama sekali dia baru dapat berbicara lagi.
"Nah, begitulah baru anak baik, tidak menyia-nyiakan pengharapan Jite... terhadapmu, selama hidup dia akan berterima kasih kepadamu...."
Mendadak terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang dari luar hutan bambu. Menyusul kemudian terdengar Cu Cau berseru sambil tertawa tergelak.
"Di tengah malam secerah ini, siapa yang bisa terlelap tidur? Bagaimana pendapat kalian berdua?"
"Entah tuan rumah sudah tertidur belum?"
Terdengar pula Gi Beng berkata sambil tertawa. Buru-buru Im Kian berdehem, sahutnya cepat.
"Tidak nyana kalian masih begadang, kebetulan aku pun belum tertidur."
"Hahaha, bagus, bagus sekali,"
Cu Cau tertawa tergelak.
"Ternyata tuan rumah berada di sini. Orang kuno bilang, paling asyik berpesiar di tengah malam dengan membawa lilin, meski kami tidak membawa lilin, rasanya tidak akan mengurangi keindahan malam bukan?"
Di tengah gelak tertawa, terlihat Cu Cau bersama Gi Teng dan Gi Beng melangkah masuk ke dalam hutan. Setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, kembali Gi Beng berseru sambil tertawa.
"Ternyata Enci Sui juga berada di sini, hayo, apa yang sedang kalian bicarakan? Boleh kami ikut mendengarnya?"
Diam-diam Sui Leng-kong menyeka air matanya, lalu tertawa paksa.
"Aaah, tidak ada yang dibicarakan!"
Buru-buru sahutnya. Tergerak pikiran Im Kian, cepat selanya.
"Benar, kami berdua sedang membicarakan satu masalah besar."
"Masalah besar apa?"
Sepasang mata Gi Beng terbelalak makin lebar.
"Membicarakan masalah perkawinan adikku ini,"
Ujar Im Kian sambil melirik Sui Leng-kong sekejap. Gi Beng dan Gi Teng segera bertepuk tangan sambil bersorak, serunya sambil tergelak.
"Dalam suasana malam seindah ini, memang paling cocok digunakan untuk membicarakan soal perkawinan, kalian berdua tidak seharusnya merahasiakan lagi persoalan ini."
Sementara paras muka Cu Cau kelihatan agak berubah, setelah berpikir sejenak, ujarnya.
"Kalau begitu kedatangan kami yang ceroboh telah mengganggu pembicaraan kalian berdua?"
"Justru persoalan ini menyangkut dirimu,"
Seru Im Kian tertawa. Gi Beng segera memandang Sui Leng-kong sekejap, kemudian memandang pula wajah Cu Cau, akhirnya sambil mengedipkan matanya berulang kali ia bergumam.
"Jangan-jangan antara dia... dengan dia?"
Tiba-tiba Sui Leng-kong menutup wajahnya, lalu kabur meninggalkan tempat itu. Tampaknya Cu Cau sendiri pun tidak tahu harus merasa kaget atau girang, teriaknya pula.
"Adikku, masa kau menggoda aku?"
Memandang bayangan tubuh Sui Leng-kong yang menjauh, perasaan kecut dan sedih kembali menyelimuti hati Im Kian, tapi di luar katanya sambil tertawa.
"Mana berani Siaute menggoda Toako, aku justru ingin menagih secawan arak kegirangan darimu."
"Bagus, bagus"
Kembali Gi Beng bertepuk tangan sambil tertawa.
"Cu-toako memang merupakan pasangan yang paling ideal buat Enci Sui."
"Boleh tahu, perkawinan ini kapan baru diselenggarakan?"
Tanya Gi Teng. Im Kian berpikir sejenak, sahutnya kemudian.
"Sekalipun belum ditentukan, tapi makin cepat semakin baik."
"Memang seharusnya begitu, toh kita semua adalah orang persilatan, buat apa mesti mengurus segala tetek-bengek, mau hari baik atau tidak, rasanya tidak jadi soal, lebih baik kita tetapkan saja pada...."
"Bagaimana kalau kita tetapkan tiga hari kemudian?"
Usul Gi Teng tiba-tiba. Im Kian melirik Cu Cau sekejap, katanya sambil tertawa.
"Soal ini...."
Waktu itu Cu Cau benar-benar tertegun, saking tertegunnya sampai tak mampu bicara. Sampai lama kemudian dia baru tertawa tergelak, katanya.
"Mana mungkin aku menjadi pria yang sok malu-malu kucing, baik, tiga hari kemudian...."
"Puas, puas, Cu-toako memang seorang lelaki sejati,"
Puji Gi Beng sambil bertepuk tangan.
"memang hanya lelaki macam kau yang pantas mendampingi nona Sui."
"Kebetulan tempat tinggalku berada tidak jauh dari sini,"
Kata Gi Teng sambil tertawa.
"bagaimana kalau Siaute segera memerin-tahkan orang untuk mempersiapkan segala keperluan perkawinan, hahaha, tentu saja ditambah beberapa guci arak wangi untuk kita tenggak sampai mabuk."
"Kalau begitu... merepotkan kalian berdua untuk mempersiapkan nya,"
Sahut Im Kian.
"Aaah, merepotkan apa, kami justru tidak menyangka kalau kedatangan kali ini bakal menghadiri satu pesta perkawinan akbar, sungguh bagus... bagus sekali...."
Tiga hari kemudian, pondok Cay-seng sudah dihiasi dengan berbagai pernik perkawinan, suasana dalam ruang utama pun amat meriah dengan lilin merah yang memancarkan cahaya terang.
Sebentar lagi sepasang pengantin baru akan menjalani upacara perkawinan.
Tapi siapa yang menduga bahwa di balik meriahnya suasana perkawinan justru tersimpan sebuah tragedi yang menyedihkan? Cu Cau dan "Cu"
Leng-kong segera akan menjadi suami istri, sementara Thiat Tiong-tong dan Kaisar malam masih berada ribuan li jauhnya dari tempat itu, meski mereka menempuh perjalanan siang malam, waktu sudah tidak sempat lagi.
Apalagi saat itu mereka berdua memang mustahil bisa tiba di sana! Kecuali mereka berdua, siapa lagi yang mengetahui rahasia di balik semua ini? Kecuali mereka berdua, siapa pula yang bisa mencegah terjadinya drama yang amat tragis ini? BAB 30 Tragedi Manusia Paras muka Kaisar Malam hijau membesi, lama kemudian dia baru bertanya.
"Kau serahkan masalah perkawinan Lengkong dengan Cau-ji kepada siapa? Kini orang tersebut berada di mana?"
"Dia adalah Toakoku, Im Kian, saat ini berada di bawah bukit Ong wo san."
"Bukit Ong wo san...."
Gumam Kaisar Malam, mendadak ia melompat bangun sambil berteriak keras.
"Dengan kecepatan kita berdua, kalau berangkat sekarang, mungkin masih sempat untuk menghalangi terselenggaranya perkawinan itu."
"Jadi Empek akan ikut?"
Tanya Thiat Tiong-tong kegirangan. Kaisar malam menghela napas panjang.
"Aaaai, kecuali Jit-ho Nionio yang meminta, sebetulnya tidak ada persoalan lain yang bisa memaksaku meninggalkan gua ini, tapi persoalan itu... persoalan ini...."
Setelah menghentakkan kakinya berulang kali, serunya keras.
"Bagaimanapun juga demi persoalan ini aku harus berangkat sendiri!"
Kemudian dengan suara keras dia memanggil semua nona yang ada dalam gua agar segera berkumpul.
"Ada apa?"
Tanya San-san dengan wajah mengantuk.
"Apakah ingin menambah arak?"
"Menambah arak apa? Siapkan perbekalan, aku harus pergi dari sini!"
Begitu mendengar "aku harus pergi", bagaikan disambar petir di siang hari bolong, paras muka kawanan gadis itu berubah hebat.
"Mau pergi... ada urusan apa?"
Tanya San-san dengan suara gemetar.
"Tentu saja ada urusan penting!"
"U... urusan apa?"
"Sudah, tidak usah banyak tanya,"
Hardik Kaisar malam gusar.
"cepat siapkan perbekalan untukku, cepat! Cepat!"
Padahal selama ini dia selalu hidup santai dan tenang, tapi begitu pikirannya kalut ditambah perasaannya amat cemas, wataknya kontan berubah jadi berangasan dan kasar.
Bagaimana mungkin kawanan gadis itu bisa memahami perasaannya? Sepuluh tahun hidup berdampingan, Kaisar malam selalu bersikap lemah lembut terhadap mereka, sikap itu tidak pernah berubah, tapi sekarang tiba-tiba wataknya berubah seratus delapan puluh derajat, berubah jadi berangasan, kasar dan gampang naik darah, bahkan cara bicara pun amat kasar.
Sampai mimpi pun mereka tidak tahu karena apa sikap lelaki itu berubah drastis, untuk sesaat mereka hanya bisa saling pandang sementara air mata mulai jatuh bercucuran.
Dengan air mata berlinang dan kepala tertunduk, San-san berjalan meninggalkan tempat itu, tapi setibanya di luar pintu, tidak tahan dia berpaling lagi seraya bertanya.
"Setelah... setelah kepergianmu kali ini, apakah kau... kau akan kembali lagi?"
Tidak tega juga perasaan Kaisar malam setelah menyaksikan mimik muka para gadis itu, dia menghela napas panjang.
"Kalian tidak usah kuatir, aku pasti akan balik kemari"
"Kaa... kapan baru balik?"
Tanya Cui-ji Kaisar malam berpikir sejenak, kemudian menggeleng.
"Aku sendiri pun tidak tahu,"
Katanya.
"tapi pasti tak akan terlalu lama."
Kawanan gadis itu semakin sedih setelah mendengar dia tidak bersedia mengatakan sampai kapan baru akan balik.
"Apakah kami... kami tidak bisa diajak serta?"
Tanya San-san kemudian.
"Aaaai... persoalan ini... kalian tidak bisa ikut."
"Kenapa kami tidak boleh ikut? Sebenarnya karena persoalan apa?"
Air mata San-san berlinang makin deras. Saat itu pikiran Kaisar malam sedang dicekam kecemasan dan kepanikan, pertanyaan yang bertubi-tubi membuat amarahnya kembali berkobar, tukasnya.
"Sudah, jangan bertanya lagi, pokoknya kalian tidak bisa ikut, tidak usah bertanya lagi kenapa tidak boleh ikut."
Sekujur tubuh kawanan gadis itu gemetar keras, tidak menanti perkataan itu selesai diucapkan, mereka sudah berlari masuk sambil menutupi wajah sendiri, menutupi wajah sambil menangis tersedu-sedu Mereka sudah melewati belasan tahun kehidupan yang tenang, tenteram dan penuh kegembiraan, pukulan batin yang muncul secara tiba-tiba membuat mereka tidak mampu menahan diri, terlihat ada beberapa orang di antaranya yang berlari dengan tubuh gontai, belum sempat keluar pintu, mereka sudah roboh tak sadarkan diri.
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan kejadian inipun ikut merasakan hatinya pedih, diam-diam dia menghela napas panjang, dia cukup memahami perasaan orang tua itu, dan dia pun tidak ingin menjelaskan alasan perjalanan ini kepada kawanan wanita itu.
Sementara itu Kaisar malam telah berpaling ke arah lain, berpaling memandang ke arah dinding ruangan, dia tidak lagi memandang ke arah kawanan perempuan itu walau hanya sekejap, namun mimik mukanya nampak sangat pedih, perubahan wajahnya sulit dilukiskan dengan perkataan.
Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba terdengar suara getaran yang amat keras bergema di seluruh ruangan, sedemikian kerasnya suara getaran itu membuat seluruh ruang gua itu bergoncang keras, piring mangkuk berjatuhan, bumi serasa bergoyang tiada hentinya.
Dengan wajah berubah, teriak Kaisar malam kaget.
"Apa yang terjadi?"
Cepat dia melompat keluar.
Buru-buru Thiat Tiong-tong menyusul dari belakang, setelah melewati berapa bilik, lamat-lamat mereka mulai mengendus bau mesiu yang sangat menusuk hidung diikuti batu dan pasir yang beterbangan di udara, suasana di situ persis seperti gunung berapi yang meletus.
Tampak San-san, Cu-ji serta Min-ji perlahan-lahan berjalan keluar dari balik asap dan debu, rambut mereka bertiga awut-awutan tidak keruan, paras muka mereka pucat-pias bagai mayat.
"Karena kalian akan meninggalkan kami, maka sekarang jangan harap kau bisa pergi dari sini!"
Ujar Min-ji sambil tertawa bodoh. Tidak terlukiskan rasa gusar Kaisar malam menghadapi kejadian ini, dengan rambut berdiri tegak bagai landak, dia cengkeram tubuh san-san, kemudian bentaknya.
"Apa yang terjadi?"
San-san masih tertawa bodoh, sahutnya.
"Kami telah meledakkan lorong rahasia ini dengan sisa obat peledak yang digunakan untuk membuka lorong gua ini dulu."
"Apa? Meledakkan lorong rahasia ini?"
Teriak Kaisar malam dengan hati terperanjat.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar!"
Sahut Cui-ji sambil tertawa bodoh pula.
"seluruh lorong rahasia ini sudah hancur berantakan, siapa pun jangan harap bisa keluar dari sini. Kami telah mengorbankan segala sesuatunya demi kau, maka kau pun harus selamanya menemani kami."
Kaisar malam membentak keras, dia langsung menampar wajah San-san dengan keras. Tapi San-san masih berdiri bodoh, katanya sambil tertawa.
"Hajarlah, biar dihajar sampai mampus pun jangan harap kau bisa pergi dari sini..."
Tiba-tiba tubuhnya jadi lemas dan segera roboh terjungkal ke tanah.
Kawanan gadis yang lain menjerit kaget, sedang Kaisar malam menghentakkan kakinya berulang kali, di antara sekian orang hanya Thiat Tiong-tong seorang yang tetap menjaga ketenangannya.
Sesudah berpikir sejenak, pemuda itu berteriak keras.
"Sewaktu Siautit masuk kemari tadi, pintu lorong sebelah atas tidak sempat kututup kembali."
"Benar,"
Seru Kaisar malam penuh semangat.
"ayo cepat kita ke sana!"
Buru-buru kedua orang itu berlari keluar dari dalam lorong, meninggalkan kawanan gadis yang masih menjerit sambil menangis tersedu-sedu.
Siapa tahu begitu tiba di ujung lorong, mereka lihat satu-satunya pintu keluar yang tersisa pun entah sedari kapan telah ditutup orang.
Kini seluruh lorong gua tercekam dalam kegelapan yang luar biasa, tidak nampak secercah cahaya pun di situ.
Dengan tertutupnya jalan keluar yang tersisa, berarti pupus sudah pengharapan mereka yang terakhir.
Sekalipun Thiat Tiong-tong memiliki tubuh yang keras bagai baja, tidak urung gemetar juga saat itu, dia merasa tangan dan kakinya dingin membeku, sepasang lututnya jadi lemas, nyaris dia jatuh terduduk di tanah.
Tiba-tiba terdengar Kaisar malam membentak nyaring, di tengah bentakan keras, tubuhnya melambung ke udara, secara beruntun dia melepaskan dua buah pukulan langsung yang diarahkan ke pintu keluar gua karang itu.
Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kedua pukulan yang dilancarkan Kaisar malam dengan segenap tenaga itu, kehebatannya tidak terlukis-kan dengan perkataan.
Terdengar suara getaran yang memekakkan telinga berkumandang di angkasa, dinding karang di sekeliling tempat itu bergoncang keras, suara pantulan yang menusuk pendengaran bagaikan gulungan ombak yang memecah di tepian bergema tiada hentinya.
Hanya suara pantulan yang dihasilkan, sementara batu karang itu sama sekali tidak bergeming, biarpun tenaga pukulan itu sangat hebat, ternyata tetap tidak mampu menandingi kekuatan alam.
Bagaimana mungkin kekuatan manusia bisa menghancurkan batu karang yang sudah terbentuk sejak ribuan tahun berselang dan setiap hari terlatih menerima pukulan ombak dahsyat? Tubuh Kaisar malam naik turun tiada hentinya, secara beruntun sepasang tangannya melancarkan serangkaian serangan berantai, dalam waktu sekejap, kembali belasan pukulan telah dilontarkan, tapi sayang seluruh kekuatan yang dikerahkan hanya sia-sia belaka.
Sampai pada akhirnya Pa-ong (raja bengis) ini putus asa, setelah mendongakkan kepala dan menghela napas panjang, dia pun menjatuhkan diri berbaring di atas tanah.
Secercah cahaya api muncul dari belakang lorong, Cui-ji serta Min-ji dengan membawa obor berjalan keluar dari balik tikungan, cahaya api menyinari wajah mereka yang pucat, menyinari butiran air mata yang berlinang, menyinari tubuh Kaisar malam yang telentang melingkar di tanah, menyinari pula rambutnya yang putih beruban serta wajahnya yang penuh dengan cucuran darah....
Sekarang jagoan tangguh dari dunia persilatan itu benar-benar sudah runtuh, benar-benar sudah hancur pikirannya, tiada cahaya lagi di kolong langit yang mampu menyinari keputus asaan serta kepedihan yang mencekam perasaannya.
Dengan air mata bercucuran Thiat Tiong-tong berpaling ke arah lain, tidak tega menyaksikan semua itu, dia mengalihkan sinar matanya, mengawasi sejumlah makanan yang berceceran di atas tanah.
Terdengar Cui-ji berkata dengan suara gemetar.
"Lain kali, ketika si nenek datang mengantar makanan lagi, dia pasti akan membukakan pintu rahasia ini untukmu, mohon... kumohon... janganlah kelewat bersedih hati... mau bukan?"
"Tidak ada lain kali, tidak bakal ada yang datang mengantar makanan lagi,"
Kata Thiat Tiong-tong.
"Ke... kenapa?"
Tanya Cui-ji, suaranya selain gemetar, juga terdengar sangat parau.
"Sewaktu si nenek datang mengantar nasi semalam, dia telah menjumpai pintu gua dalam keadaan terbuka dan Empek Cu tidak diketahui keberadaannya, dia pasti menyangka dia orang tua telah pergi dari sini."
Setelah menyapu sekejap makanan yang berserakan di tanah, lanjutnya.
"Coba lihat, dia membuang dengan begitu saja makanan yang dibawa, jelas hal ini menunjukkan hatinya sangat terperanjat, bisa jadi dia telah melakukan pencarian di seputar sini, namun akhirnya pulang dengan kecewa, bisa jadi dia pun sekalian menyumbat mati jalan keluar gua ini. Karena menganggap gua ini sudah berada dalam keadaan kosong, tentu saja dia tidak akan datang kemari lagi."
Naga Kemala Putih -- Gu Long Kisah Pendekar Sakti Putri Bulan Bintang Karya Lovely Dear Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung