Ceritasilat Novel Online

Pendekar Panji Sakti 4


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 4




   Dia terbayang kembali perkataan gurunya dulu.

   "Ayahmu adalah seorang tokoh sakti berbakat aneh, konon beliau berhasil melacak kabar berita tentang harta karun ini, sayang sebelum berhasil mengungkapnya, dia keburu tewas dibunuh orang!"

   Ketika ingatan tersebut melintas dalam benak Thiat Tiong-tong, dia merasa hawa darah bergolak dalam dadanya, hampir saja dia melompat turun dari balai untuk mencari keberadaan peti musibah itu.

   Dia yakin semua rahasia yang sedang dicari bisa jadi tersimpan dalam peti itu, mungkin saja disitu sudah tersimpan semua jawaban dari rahasia ini, meski mungkin saja dia akan tertimpa bencana gara-gara membuka peti itu, namun dia bertekad untuk membukanya.

   BAB Gua Harta Dewa Kematian Harta karun yang tersimpan dalam ruang gua yang lain ternyata jauh lebih mengejutkan, berbagai macam pedang mestika bergantungan diatas dinding, bahkan tampak juga mahkota yang bertaburkan intan berlian.

   Suara air yang gemericik berkumandang dari sebuah kepala naga yang terbuat dari batu permata, air itu ditampung dalam sebuah kolam air, meski permukaan air sangat penuh namun tidak nampak meluber, agaknya dibagian bawah kolam terdapat jalan pembuangan.

   Disamping kolam air terdapat pula sebuah pembaringan, pakaian keraton yang dikenakan Sui Leng-kong tadi masih tertinggal disitu.

   Selain itu terlihat pula dua buah peti yang penuh berisikan pakaian.

   Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas, dia tahu semua tempat yang ada disitu pasti dirancang dan dibangun dengan susah payah oleh pemilik harta karun itu.

   Tapi dia belum juga berhasil menemukan peti musibah berwarna hitam itu, maka diapun mendekati kolam air, niatnya untuk minum dulu berapa tegukan, siapa tahu saat itulah dia temukan peti hitam tersebut ternyata disimpan didalam kolam.

   Tanpa ragu dia mengambil peti itu ke tepi kolam, mendadak terjadi getaran yang sangat kuat disusul dinding gua terasa bergoncang keras, peti itu kembali terjatuh ke dalam air.

   Suara getaran makin lama semakin bertambah kuat, seolah olah sedang dilanda gempa dahsyat.

   Dengan perasaan terkesiap Thiat Tiong-tong berpikir.

   "Benarkah peti musibah itu memiliki daya kekuatan yang begini mengerikan?"

   Dia mencoba untuk mengambil peti itu lagi, siapa tahu suara getaran kembali mengguncang seluruh ruang gua, tidak kuasa lagi pemuda itu bergerak mundur sejauh tiga langkah.

   Getaran yang terjadi kali ini jauh lebih dahsyat lagi, hampir semua barang mestika yang tergantung diatas dinding berguguran ke tanah, air bersih dalam kolam pun ada sebagian yang tertumpah keluar.

   Ketika suara itu mereda, suasana pun pulih kembali dalam keheningan yang mencekam, kemudian secara lamat-lamat ia mendengar suara orang sedang menggali, suara itu berasal dari tempat yang sangat dekat bahkan makin lama semakin mendekat.

   "Aaah, rupanya ada orang membuka bukit!"

   Akhirnya Thiat Tiong-tong paham dengan apa yang terjadi.

   Begitu memahami apa yang segera akan terjadi, pemuda itu mulai memandang sekeliling tempat itu, maksudnya ingin mencari tempat persembunyian, tapi sekitar ruangan hanya dinding gua yang rata, sama sekali tidak terdapat tempat yang bisa dipakai untuk menyembunyikan diri.

   Tidak lama kemudian terdengar ada orang berseru.

   "Sudah betul belum arahnya?"

   Suara itu kedengaran sangat dekat, seolah berasal dari dinding sebelah.

   "Kau tidak usah kuatir"

   Terdengar seseorang menjawab.

   "aku sudah membuang banyak waktu dan pikiran untuk mencari tempat ini, tidak bakalan salah"

   "Baik, saudara sekalian, kita lanjutkan penggalian!"

   Menyusul kemudian terdengar lagi suara cangkul yang membentur permukaan tanah.

   Terdesak oleh waktu dan keadaan, Thiat Tiong-tong tidak sempat berpikir panjang lagi, dia segera mendorong pembaringan itu ke sudut ruangan, kemudian mendorong ke dua peti berisi pakaian ke depan pembaringan itu.

   Lalu dengan cepat dia membenahi tempat bekas pembaringan itu berada, menutup kembali peti keberuntungan, menyembunyikannya ke balik tumpukan benda mestika dan membersihkan dua tetes darah yang menodai pembaringan itu.

   Saat itu kendatipun luka yang dideritanya belum pulih kembali, tapi kondisi kesehatannya jauh lebih segar dan sehat, dengan sendirinya semua gerakan dilakukan cepat.

   Setelah yakin kalau disekeliling tempat itu tidak tertinggal bekas baru yang menunjukkan baru saja ada orang disitu, dia baru menerobos masuk ke bawah ranjang.

   Beberapa saat kemudian dinding gua roboh jadi dua, menyusul teriak kegirangan seseorang.

   "Aaah, ternyata memang berada disini!"

   Dua sosok bayangan manusia menyelinap masuk melalui celah dinding yang roboh.

   Thiat Tiong-tong segera menahan napas, dia mencoba mengintip keluar melalui celah-celah peti baju.

   Ternyata orang yang barusan muncul dalam ruangan adalah seorang sastrawan berusia pertengahan yang memakai jubah panjang berwarna biru, meskipun berada dalam keadaan terkejut bercampur girang, namun sikapnya tetap tenang, mantap dan tidak terburu napsu, hanya pakaiannya penuh berdebu dan pasir hingga penampilan nya sedikit berantakan.

   Orang ke dua adalah seorang tojin berjubah abu-abu dengan rambut digulung tinggi, hidungnya betet matanya cekung, tulang keningnya kurus lagi sempit, meskipun masih berusia pertengahan namun rambutnya sudah mulai memutih.

   Begitu tiba dalam gua, sorot mata mereka berdua segera terhisap oleh tumpukan benda berharga yang membukit.

   Dalam pada itu dari balik dinding gua kembali muncul seorang pemuda berbaju perlente serta seorang lelaki berpakaian ringkas yang bercambang lebar, beralis tebal dan bermata besar.

   Mungkin lantaran kelewat gembira dan sulit mengendalikan emosinya, sewaktu melompat masuk ke dalam ruangan itu, kepala lelaki kekar tersebut membentur diatas dinding hingga berdarah, namun dia sama sekali tidak memperlihatkan rasa sakit.

   Harta karun yang tidak ternilai harganya itu membuat sorot mata semua orang terperana, pandangan rakus dan kebuasan seekor binatang terbesit diwajah masing masing.

   Sampai lama, lama sekali kakek berambut putih itu baru menghela napas panjang sambil berkata.

   "Jerih payah selama belasan tahun, penderitaan yang membuat rambut memutih akhirnya terbayarkan juga hari ini"

   Dari atas lantai diambilnya sebilah pedang perak yang bertaburkan intan permata, kemudian gumamnya lagi.

   "Tahukah kau, berapa banyak pikiran dani keringat yang harus kukorbankan demi mendapatkan kau?"

   Tiba-tiba sastrawan berbaju biru itu menyampoi tangannya hingga pedang perak itu terjatuh kembali ke lantai.

   "Apa-apaan kau ini?"

   Tegur tojin itu dengan wajah berubah.

   "Apakah kau sudah lupa dengan perjanjian yang telah kita sepakati? Sebelum ada pembagian, siapa pun dilarang menyentuh benda yang ditemukani dalam gua ini!"

   "Aku kan hanya ingin melihatnya sejenak!"

   Sastrawan berbaju biru itu sama sekali tidak menggubris, dia berjalan ke tepi kolam untul minum air. Sementara itu lelaki bercambang lebat itu sudah mundur dua langkah, kepada pemuda berbaji perlente itu bisiknya.

   "Saudaraku, kau berasal dari keluarga kaya, apa pernah melihat harta karun sebanyak ini?"

   "Jangankan melihat, mimpi pun belum pernah melihat"

   Selesai minum setegukan air sastrawan berbaju biru itu menyeka tangannya yang basah lalu sambilj berpaling tanyanya.

   "Sekarang harta karun sudah ditemukan, apa rencana anda berikut?"

   "Sekalipun aku yang berhasil melacak tempat penyimpanan harta karun ini, tapi bila tiada dukunganmu, rasanya mesti membuang tenaga lebih banyak"

   "Hanya membuang tenaga lebih banyak?"

   "Bukan hanya membuang lebih banyak tenaga bahkan bisa jadi tidak akan ditemukan untuk selamanya"

   "Ehmm, rasanya memang begitu"

   "Maka dari itu akupun tidak ingin tamak, bagaimana kalau kita bagi dua harta karun ini dengan masing masing memperoleh satu bagian.."

   Kemudian setelah menghela napas panjang, kembali tojin itu melanjutkan.

   "Selanjutnya aku hanya ingin mencari sebuah tempat dengan pemandangan alam yang indah dan menikmatinya"

   "Membagi jadi dua?"

   Teriak lelaki bercambang itu tiba-tiba.

   "kau anggap kami semua adalah orang mampus? Dalam dunia persilatan saat ini. Kecuali Siau Lui-sin (dewa guntur kecil) dari perguruan Bi lek bun, siapa pula yang sanggup meledakkan perut bukit dengan menggunakan obat peledak?"

   "Meminjam obat peledakmu tentu ada harganya juga"

   Jawab tojin berambut putih itu dingin.

   "jangan kuatir, aku pasti akan membayar untuk itu"

   "Apa kau bilang?"

   Bentak lelaki bercambang itu semakin gusar.

   Tosu berambut putih itu tertawa dingin, dia berjalan menghampiri kolam penampungan air dan mengambil segayung air bersih.

   Dalam kondisi seperti ini, setiap orang tentu ingin minum sedikit air.

   Thiat Tiong-tong yang menonton dari balik persembunyian segera berpikir.

   "Kalau aku jadi dia, sebelum minum air tersebut tentu akan kuperiksa dulu apakah air itu beracun atau tidak"

   Sementara itu tosu berambut putih itu telah membiarkan air mengalir keluar hingga habis, gumamnya.

   "Tidak bisa, tidak bisa...."

   Sastrawan berbaju biru itu pura-pura tidak mendengar, sambil bergendong tangan dia memandang ke tempat kejauhan.

   Tosu berambut putih itupun tidak memandang kearahnya, dia melepaskan tusuk kondenya dari kepala dan segera dicelupkan ke dalam air.

   Ujung tusuk konde yang terbuat dari perak itu segera berubah warnanya jadi hitam pekat.

   Sambil mengembalikan tusuk kondenya, tosu itu baru berpaling ke arah sastrawan berbaju biru itu sambil tegurnya dingin.

   "Hek Seng-thian, hatimu benar-benar kelewat hitam!"

   Paras muka Hek Seng-thian sama sekali tidak berubah, dia bahkan berlagak tidak mendengar.

   "Ternyata kau berniat menguasainya sendirian!"

   Kembali ujar tosu itu penuh amarah.

   "Benar"

   Jawab Hek Seng-thian ketus.

   "tapi racun dalam air itu bukan dipersiapkan untukmu, bila aku ingin membunuhmu, buat apa mesti meracuni air tersebut?"

   Kepada pemuda berbaju perlente itu serunya.

   "Suruh mereka semua masuk!"

   Pemuda perlente itu menyahut dan keluar dari ruangan, tidak lama kemudian dia muncul kembali diiringi delapan orang lelaki kekar yang membawa cangkul.

   "Aaah, kalian tentu sudah kelelahan"

   Seru Hek Seng-thian sambil tertawa.

   "mari, mari minum air dulu untuk melepaskan dahaga"

   "Cong piautau kelewat sungkan!"

   Kawanan lelaki kekar itu sama-sama menjura, meski mulut bicara begitu namun enam belas buah mata sama-sama mengawasi tumpukan harta karun itu tanpa berkedip.

   "Minum air dulu"

   Kembali bujuk Hek Seng-thian dengan senyuman ramah.

   "jangan kuatir, semuanya mendapat bagian!"

   Serentak kawanan lelaki kekar itu menghampiri kolam air dan berebut minum untuk melepaskan dahaga.

   "Benar benar manusia berhati kejam dan buas!"

   Pikir Thiat Tiong-tong dengan perasaan bergidik, saking seramnya pemuda itu merasakan tangan dan kakinya menjadi dingin Tampaknya tojin berambut putih serta Siau Lui-sin ikut terkesiap, paras muka mereka berubah hebat.

   Ketika semua orang selesai minum, salah seorang di antaranya bergumam sambil menyeka mulutnya.

   "Manis benar air ini, seperti dicampuri dengan gula...."

   Berapa patah kata itu diucapkan sangat lemah seakan sama sekali tidak bertenaga, ketika mengucapkan kata terakhir, paras mukanya tiba-tiba mengejang keras kemudian napasnya jadi sesak dan roboh terjungkal.

   Menyusul kemudian ke tujuh orang lainnya satu per satu roboh terkapar ke tanah, begitu menyentuh tanah nyawa mereka ikut melayang.

   Ternyata tidak seorang pun sempat menjerit kesakitan.

   "Obat racun yang sangat lihay!"

   Desis lelaki bercambang itu ngeri.

   Dia segera berjongkok, membuka kelopak mata sesosok mayat di antaranya dan diperiksa dengan seksama, ternyata kulit matanya telah berubah jadi hijau tua.

   Sambil tersenyum Hek Seng-thian memandang sekejap sekeliling ruangan, lalu katanya.

   "Ditengahi kerlipan cahaya mutiara, berjajar berapa sosok mayat, begini baru hebat namanya!"

   Sembari berkata dia mulai menggeser tubuhnya menghampiri tosu berambut putih itu. Seketika itu juga paras muka tojin berambut putih itu berubah hebat.

   "Mau apa kau?"

   Hardiknya.

   "Aku hanya ingin tahu, darimana kau dapatkan peta harta karun ini?"

   "Bukankah sudah kujelaskan sejak dulu?"

   Hek Seng-thian tertawa dingin.

   "Kau bilang mendapatkan peta harta karun itu dari tubuh seorang murid Perguruan Tay ki bun yang tewas?"

   "Benar...."

   "Kalau kau gunakan perkataan itu untuk membohongi bocah berusia tiga tahun, mungkin saja dia akan percaya, tapi bagiku.... hmmm! Hmmm! Sudah terlalu banyak mayat anak murid Perguruan Tay ki bun yang kulihat, semenjak dua puluh tahun berselang, murid Perguruan Tay ki bun mana yang bukan mampus dihadapan mataku"

   "Ini.... ini...."

   Tosu berambut putih itu mulai tergagap. Sambil tertawa dingin Hek Seng-thian menukas.

   "Apalagi harta karun yang tidak ternilai jumlahnya ini merupakan harta karun peninggalan leluhur mereka, setiap anggota Perguruan Tay ki bun menganggapnya sebagai masalah serius, karena itu orang yang bertugas menyimpan peti rahasia ini pastilah seorang pentolan yang punya posisi tinggi dalam Perguruan Tay ki bun! Mayat mereka sudah pernah kuperiksa semua, seandainya mereka menggembol peta itu, kau anggap dirimu masih ada kesempatan untuk peroleh bagian?"

   Tosu berambut putih itu termenung berapa saat lamanya, tiba-tiba teriaknya keras.

   "Kau tidak usah perduli darimana aku dapatkan peta rahasia ini, hal ini tidak ada sangkut pautnya denganmu, kau harus membagi setengah dari harta karun ini kepadaku!"

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar, aku memang harus membaginya denganmu"

   Dengus Hek Seng-thian dingin.

   "tapi aku mulai mencurigai asal-usulmu"

   "Mencurigai apa?"

   Berubah paras muka tosu itu. Sambil menarik muka ujar Hek Seng-thian.

   "Aku curiga kaupun salah seorang anggota Perguruan Tay ki bun, ketika mendengar rahasia tentang peta harta karun itu dari mulut angkatan tuanya, timbul niat jahat untuk mengangkangi harta tersebut, maka kaupun menghianati perguruan, bukan begitu?"

   Sekujur tubuh tosu berambut putih itu gemetar keras, secara beruntun dia mundur sejauh tiga langkah, kemudian serunyua dengan nada gemetar.

   "Kau.... kau sudah edan? Kalau aku anggota Perguruan Tay ki bun, masa akan mencari dirimu?"

   Hek Seng-thian tertawa dingin.

   "Tentu saja kau harus mencariku"

   Katanya.

   "sebab dalam dunia persilatan ini, kecuali aku Hek Seng-thian, siapa lagi yang mengerti ilmu membongkar bukit? Kecuali Bi lek tong, siapa pula yang mengerti menggunakan bahan peledak?"

   Paras muka tojin berambut putih itu berubah hijau membesi, lama sekali dia berdiri tertegun sebelum akhirnya menghela napas panjang.

   "Betul"

   Katanya.

   "aku memang menghianati perguruan gara-gara ingin mendapatkan harta karun ini!"

   "Bagus sekali"

   Bentak Siau Lui-sin keras.

   "ternyata kau si bajingan tua adalah cucu kura-kura dari Perguruan Tay ki bun, hari ini biar kujagal dirimu terlebih dulu!"

   Sepasang lengannya segera direntangkan, ruas tulang sekujur badannya gemerutuk nyaring, dengan sekali lompatan ia sudah menyelinap maju ke hadapan tosu itu kemudian kepalannya ditonjok-kan ke muka.

   Jurus serangan ini tampaknya bodoh, kaku dan sederhana, sama sekali tidak nampak kehebatannya, padahal dibalik kesederhanaan justru tersembunyi kekuatan maha dahsyat, inilah Kun bu bi lek kun (pukulan geledek tanpa gulungan) yang amat dahsyat dari perguruan Bi lek tong.

   Sambil miring ke samping tosu berambut putih itu mundur ke belakang, lalu setibanya disamping kolam air teriaknya keras.

   "Hek Seng-thian, ada perkataan yang hendak kusampaikan, mau mendengarnya tidak?"

   "Apa lagi yang mau kau katakan?"

   Hardik Siau Lui-sin sambil merangsek ke depan.

   "Keponakan Lui, tahan!"

   Tiba tiba Hek Seng-thian berseru. Sambil menghentikan gerakan tubuhnya seru Siau Lui-sin.

   "Paman Hek, bangsat ini pernah jadi anggota Perguruan Tay ki bun, berarti dia adalah musuh besar lima keluarga kita, masa kau akan melepaskan dirinya?"

   "Siapa bilang mau melepaskan dia"

   Sahut Hek Seng-thian dingin.

   "Apa salahnya kalau kita menunggu sampai dia selesaikan dulu perkataannya"

   Sambil menempel pada dinding gua, tosu berambut putih itu memperhatikan sekejap sekeliling ruangan, lalu teriaknya.

   "Asal kalian bersedia memberi jalan kehidupan kepadaku, aku rela hanya menerima dua bagian dari harta karun itu!"

   "Omong kosong, sebutkan dulu siapa namamu!"

   Melihat pemuda perlente itu sudah menghadang jalan perginya sementara Siau Lui-sin menempel terus disisinya, sedangkan Hek Seng-thian meski masih berdiri sambil bergendong tangan, namun sorot matanya setajam sembilu menguasahi terus gerak-geriknya, sadarlah tosu berambut putih itu bahwa mereka telah menguasahi keadaan.

   Setelah menghela napas panjang, ujarnya.

   "Walaupun aku pernah menjadi anggota Perguruan Tay ki bun, namun belum pernah melukai seorang manusia pun dari lima keluarga kalian, aku.... aku adalah murid terakhir dari Thiat Hau, bagian pelaksana hukuman dalam Perguruan Tay ki bun, namaku Chee-gong!"

   Diam-diam Thiat Tiong-tong terkesiap karena Thiat Hau adalah nama ayahnya. Tiba-tiba terdengar Hek Seng-thian tertawa dingin, ujarnya.

   "Chee-gong? Hehehehe.... selamanya Perguruan Tay-ki-bun belum pernah menerima murid diluar keluarga Im maupun keluarga Thiat, kau sangka bisa membohongi aku?"

   Dengan wajah pucat bagaikan mayat tiba-tiba tosu berambut putih itu menjatuhkan diri berlutut, rengeknya.

   "Terlepas siapa pun diriku ini, tapi yang jelas aku telah mencuri peta harta karun ini dari tangan Thiat Hau, akupun sudah menggunakan tenaga dalam pikiran selama belasan tahun untuk membongkar rahasia dibalik peta ini sebelum berhasil membawa kalian kemari...."

   Dengan air mata nyaris bercucuran lanjutnya.

   "Selama dua puluh tahun, aku telah banyak menderita dan siksaan, penderitaan membuat rambutku beruban, apakah sekarang kalian tega membunuhku dengan begitu saja?"

   Berkilat sepasang mata Hek Seng-thian.

   "Thiat Hau pintar dan berilmu tinggi, kemampuannya tiada tandingan dikolong langit, mana mungkin kau bisa mencuri barang miliknya kalau antara kalian tidak punya hubungan khusus? Hmmm, delapan puluh persen kau adalah saudara seayah lain ibu dari Thiat Hau yang bernama Thiat Cing-kian!"

   "Betul, betul, akulah Thiat Cing-kian"

   Teriak tosu berambut putih itu cepat.

   "kalau bukan aku yang telah membokong Thiat Hau hingga terluka parah, mana mungkin kalian mampu melukai dirinya?"

   Thiat Tiong-tong yang mendengar pembicaraan itu seketika merasa teramat gusar, saking dendamnya sekujur tubuhnya sampai gemetar keras. Hek Seng-thian kembali tersenyum.

   "Betul"

   Sahutnya.

   "andaikata kau tidak membokong Thiat Hau hingga terluka parah, belum tentu jagoan dari lima keluarga sanggup menandingi kemampuannya, cukup ditinjau dari jasamu ini, sudah sepantasnya jika nyawamu diampuni, tapi sayang.... aaai! siapa suruh kau dari marga Thiat, karena kau dari keluarga Thiat maka aku tidak bisa mengampuni nyawamu"

   Bicara sampai disini segera bentaknya.

   "Turun tangan!"

   Thiat Cing-kian tertawa pedih, sambil menghela napas keluhnya.

   "Tahu bakal mengalami kejadian seperti hari ini, aku pasti tidak akan berbuat salah dimasa lalu, oh toako, aku bersalah kepadamu, aku.... aku...."

   Tiba tiba sambil busungkan dada serunya.

   "Kalau kalian ingin turun tangan, silahkan lakukan! Aku tidak akan melawan!"

   "Memangnya kau mampu melawan?"

   Jengek Hek Seng-thian sambil tertawa dingin. Sebuah pukulan segera dilontarkan ke depan.

   "Blaaaam!"

   Serangan itu bersarang di dada Thiat Cing-kian.

   Terdengar Thiat Cing-kian menjerit kesakitan, darah segar menyembur keluar dari mulutnya, sementara tubuhnya mencelat ke belakang dan roboh terkapar.

   Siau Lui-sin segera memburu tiba, ketika memeriksa dengus napasnya dia segera berseru.

   "Sudah mampus!"

   "Tentu saja sudah mampus, mana ada korban yang hidup dibawah seranganku"

   Kata Hek Seng-thian sambil tertawa angkuh.

   "Tapi sayang keenakan baginya, orang semacam ini seharusnya jangan dibiarkan mati kelewat cepat"

   "Anggap saja dia tahu diri, tidak berani melancarkan serangan balasan!"

   Ucap Hek Seng-thian sambil tertawa, kemudian setelah memandang sekejap sekitar situ, katanya lagi.

   "cepat kalian kumpulkan semua harta karun yang ada ditempat ini"

   Siau Lui-sin dan pemuda perlente itu menyahut, serentak mereka mulai turun tangan. Perlahan-lahan Hek Seng-thian berjalan menghampiri pembaringan, menarik keluar sebuah peti dan membukanya, tapi segera gumannya.

   "Pakaian semacam ini mana pantas digunakan lagi!"

   "Blaaam!"

   Dia menutup kembali peti itu dan menendangnya balik ke tempat asal. Terdengar pemuda perlente itu berkata sambil menghela napas.

   "Siapa pun orangnya, bila memperoleh harta karun sebanyak ini, dia pasti akan kayanya luar biasa, tapi.... dengan cara apa kita bertiga akan mengangkut keluar semua harta karun itu?"

   "Tidak usah kuatir"

   Seru Siau Lui-sin sambil tertawa terbahak bahak.

   "dengan mengandalkan kekuatan lenganku, biar lebih banyak satu kali lipatpun aku masih mampu untuk mengangkutnya"

   Tiba-tiba terdengar Hek Seng-thian berseru tertahan, dari dalam kolam air dia mengeluarkan sebuah peti berwarna hitam, setelah diamati berapa saat gumamnya.

   "Peti ini kelihatan sangat aneh, entah bagaimana cara membukanya"

   "Coba aku lihat!"

   Seru Siau Lui-sin sambil tertawa. Dia sambut peti besi itu dan diperiksa sejenak, kemudian katanya.

   "Masa dalam peti semacam inipun bisa tersimpan barang bagus? Lebih baik tidak usah diperiksa!"

   Sambil berkata dia buang peti itu ke tanah.

   "Aaah, kau tahu apa"

   Seru Hek Seng-thian sambil tertawa dingin.

   "aku berani taruhan barang yang tersimpan dalam peti itu pasti harganya jauh diatas tumpukan intan permata itu"

   "Sungguh?"

   Seru Siau Lui-sin tercengang, kembali dia pungut peti besi itu dari tanah. Mendadak terdengar seseorang berseru tertahan kemudian terlihat sesosok bayangan manusia meluncur masuk ke dalam ruangan.

   "Siapa?"

   Bentak tiga orang itu berbareng. Seorang gadis yang dekil lagi pula lumpur telah berdiri di depan pintu gua sambil bercekak pinggang, teriaknya.

   "Kaa.... kalian.... sii.... siapa? Maa.... mau apa datang kee.... ke sini?"

   Gadis itu tidak lain adalah Sui Leng-kong. Siau Lui-sin tertawa tergelak, sambil menghampiri dengan langkah lebar, serunya.

   "Nona gagap, siapa pula dirimu? Apakah tempat ini adalah tempat tinggalmu?"

   "Teen.... tentu sa.... saja!"

   "Hahahaha.... tapi sekarang tempat ini sudah berganti pemilik! Bila kau bersedia mandi sampai bersih, toaya tentu akan mengajakmu pergi meninggalkan tempat ini!"

   Sui Leng-kong melirik sekejap sekeliling tempat itu, ketika tidak menjumpai mayat Thiat Tiong-tong tergeletak ditanah, dia segera tahu kalau pemuda itu sudah menyembunyikan diri, diam-diam dia pun menghembuskan napas lega.

   Tapi diluar dia berlagak tertarik, serunya sambil tertawa.

   "Suu.... sungguh? kau.... kau aa.... akan memm.... membawaku kee.... keluar dari sii... sini?"

   Sambil tertawa cengar-cengir Siau Lui-sin berjalan menghampiri gadis itu dan bermaksud meraba payudara Sui Leng-kong, mendadak Hek Seng-thian menarik wajahnya, dengan sekali ayunan dia sudah menghajar lelaki itu hingga mundur berapa langkah.

   Dalam terkejut bercampur kagetnya Siau Lui-sin berteriak keras.

   "Paman Hek, kau.... kau...."

   Tanpa memandang sekejap pun ke arahnya, Hek Seng-thian menghampiri Sui Leng-kong, kemudian setelah menjura katanya.

   "Harap nona jangan marah"

   Sui Leng-kong pura-pura tertawa dan segera menggelengkan kepalanya berulang kali. Kembali Hek Seng-thian berkata dengan lembut.

   "Bila nona memang pemilik tempat ini, tentunya kau bisa membuka peti hitam itu bukan? Tolong nona bukakan agar kami bisa melihat isinya, begitu selesai menengok kami segera akan pergi dari sini dan tidak akan mengganggu ketenanganmu lagi"

   Sui Leng-kong memutar biji matanya berulang kali, serunya sambil tertawa.

   "Membuka peti itu mah gampang sekali, asal diputar kesebelah kiri, peti itu segera akan terbuka!"

   Dia masih berbicara dengan tergagap, untuk menyelesaikan sepatah kata tersebut dia butuh waktu setengah perminum teh lamanya. Tiba tiba Siau Lui-sin menimbrung lagi.

   "Peti itu empat persegi, bagaimana caranya memutar?"

   "Peti itu memang empat persegi"

   Sela Hek Seng-thian sambil tertawa.

   "bukankah di dalamnya terdapat bulatan tombol kecil?"

   Siau Lui-sim termenung berapa saat lamanya sebelum jadi mengerti, katanya kemudian.

   "Aaah, benar, benar, diluar memang empat persegi tapi dalamnya bulat, ternyata si pencipta peti ini memang sangat pintar dan hebat!"

   Sambil tertawa Hek Seng-thian mengambil peti itu, tiba-tiba satu ingatan seperti melintas dalam benaknya, dia membawa peti itu menuju ke depan Sui Leng-kong, kemudian katanya lagi.

   "Peti ini milik nona, lebih baik nona saja yang membukakan!"

   "Pe.... peti ii.... tu suu.... sudah berkaa.... karat, a.... aku tak pu.... punya tenaga, ma.... mana mungkin bi.... bisa membukanya...."

   Siau Lui-sin segera maju ke depan dan mengambil peti itu, katanya sambil tertawa tergelak.

   "Hahahaha.... kalau masalah tenaga, biar aku Lui Ceng-wan yang melakukannya!"

   Dengan tangan kanan memeluk peti itu, tangan kiri memutar ke arah kiri, benar saja penutup peti itu segera bergerak.

   "Hahaha.... coba lihat"

   Seru Siau Lui-sin sambil tertawa tergelak.

   "aku...."

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Belum selesai dia berkata mendadak orang itu menjerit kesakitan dan roboh terkapar ke tanah, percikan darah segar segera menyembur keluar dari dadanya.

   Ternyata begitu penutup peti itu kendor, tiga bilah pisau terbang yang sangat tipis telah meluncur keluar dan semuanya menghujam diatas dadanya yang kekar.

   Dengan wajah berubah Hek Seng-thian membungkukkan badan melakukan pemeriksaan.

   "Lui toako, dia....

   "jerit pemuda perlente itu. Sambil menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang sahut Hek Seng-thian.

   "Sudah tidak tertolong lagi!"

   Pemuda perlente itu segera menyerbu ke hadapan Sui Lengkong, bentaknya penuh amarah.

   "Kelihatannya kau ingin mampus!"

   "Aku.... aku ju.... juga tiii.... tidak tahu"

   Seru Sui Leng-kong sambil membelalakkan matanya.

   "Kentut, kalau kau tidak tahu, siapa yang tahu?"

   Sambil bangkit berdiri Hek Seng-thian segera menukas dingin.

   "Kalau mau disalahkan mesti salahkan Lui Ceng-wan sendiri yang kelewat gegabah dan tidak mau berhati-hati, mana boleh kau salahkan nona ini? Bagaimanapun toh peti sudah terbuka, cepat periksa apa isinya?"

   Pemuda perlente itu tertegun sesaat, dalam hati kecilnya dia mulai menggerutu, agaknya dia tidak menyangka kalau gurunya begitu kejam dan tidak berperasaan.

   Hek Seng-thian mengambil sebuah pacul dan digunakan untuk membuka penutup peti itu, ternyata isinya hanya beberapa

   Jilid kitab serta sebuah kain kumal yang tertata rapi sekali. Tampaknya pemuda berbaju perlente itu sangat kecewa, sebaliknya Hek Seng-thian menunjukkan rasa girang yang luar biasa, serunya sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Hahahaha.... ternyata kitab pusaka ilmu silat warisan Perguruan Tay ki bun berada disini!"

   Ditengah gelak tertawa nyaring dia berpaling seraya serunya lagi.

   "Ambil keluar"

   Pemuda perlente itu menggeleng seraya mundur dua langkah.

   "Kau tidak mau mengambilnya?"

   "Tecu tidak berani...."

   "Bagus, ternyata kau berani membangkang perintah"

   Sorot matanya dialihkan ke wajah Sui Leng-kong. Tidak menunggu orang itu buka suara, Sui Lengkong sudah membungkukkan tubuh seraya berseru.

   "Biar aku saja yang mengambil!"

   Sewaktu pinggangnya dibungkukkan itulah mendadak sepasang telapak tangannya dilontarkan bersama ke depan, sekuat tenaga menghantam dada Hek Seng-thian, selain pukulannya berhawa dingin, lamat-lamat terselit desingan angin serangan yang kuat.

   Hek Seng-thian tertawa dingin.

   "Hmmm, sudah kuduga, kau pasti akan berbuat begini"

   Ditengah suara tertawa dinginnya, dia berputar setengah lingkaran, kakinya melayang ke depan menendang tulang selangkangan gadis itu.

   Bergeser, berganti gerakan semuanya dilakukan secepat sambaran petir, dengan merangkap tangan-nya ke depan dada dia kunci jalan mundur Sui Leng-kong, Saat ini, tampaknya Sui Leng-kong tidak mampu menghindarkan diri lagi dengan ancaman musuh karena dalam melancarkan serangan nya tadi dia kelewat besar menggunakan tenaganya.

   Siapa tahu di saat yang terakhir itulah tiba-tiba gadis itu melambung ke tengah udara.

   "Ilmu meringankan tubuh yang hebat!"

   Puji Hek Seng-thian dengan wajah berubah.

   Cepat dia mundur tiga langkah sambil berusaha melindungi diri.

   Memanfaatkan kesempatan ini Sui Leng-kong merangsek maju ke depan, dia berniat merebut posisi yang lebih menguntungkan.

   Sayangnya, kendatipun ilmu silat yang dimiliki sangat tangguh namun dia sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam bertarung, tidak seharusnya dia merangsek maju dalam kondisi seperti ini.

   Diam-diam Hek Seng-thian kegirangan, secepat kilat telapak tangannya didorong ke muka.

   Berapa gebrakan kemudian, benar saja, jurus serangan yang dilancarkan Sui Leng-kong makin lama semakin bertambah lemah.

   Perlu diketahui, gadis itu sama sekali tidak tahu sampai dimana takaran ilmu silat yang dimilikinya, tidak heran kalau timbul perasaaan takut, cemas dan was-wasnya ketika bertarung melawan orang lain.

   Thiat Tiong-tong yang bersembunyi dibawah ranjang jadi sangat gelisah bercampur cemas, baru saja dia hendak menerobos keluar, saat itulah Thiat Cing-kian yang semula sudah tergeletak mati itu melejit bangun lagi dari atas tanah.

   Thiat Tiong-tong terkesiap, dia merasa jantungnya berdebar keras, baru saja ingatan lain melintas....

   Mendadak Sui Leng-kong memutar pinggangnya sambil berputar arah, sepasang telapak tangannya dihantamkan ke tubuh lawan kuat kuat.

   Hek Seng-thian tertawa dingin, pikirnya.

   "Ternyata ilmu silat yang digunakan adalah kungfu aliran Perguruan Tay ki bun, bodoh amat budak ini, bukannya mengandalkan kelebihannya dalam ilmu meringankan tubuh, dia justru mengajak pertarungan dengan keras melawan keras"

   Sambil berpikir dia mundur tiga langkah ke belakang, dengan demikian tubuhnya telah mundur ke hadapan "mayat"

   Dari Thiat Cing-kian. Mendadak terdengar Thiat Cing-kian membentak nyaring, tubuhnya menubruk kedepan dan memeluk sepasang kaki Hek Seng-thian kuat kuat,.

   "Dia.... dia hidup lagi!"

   Jerit pemuda perlente itu kaget.

   Hek Seng-thian jauh lebih terkesiap daripada siapa pun, tahu-tahu tubuhnya sudah diseret Thiat Cing-kian hingga terjatuh ke tanah, sepasang lutut kakinya tahu-tahu kesemutan, ternyata jalan darahnya sudah tertotok.

   Berkilat sepasang mata pemuda perlente itu, tanpa banyak bicara tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan melarikan diri dari situ.

   "Jangan lari"

   Jerit Hek Seng-thian.

   "cepat bantu aku...."

   "Murid kesayanganmu sudah kabur terbirit-birit, buat apa masih menjerit macam setan saja"

   Jengek Thiat Cing-kian sambil tertawa dingin. Seraya berkata, telapak tangannya diayunkan berulang kali, dua buah jalan darah penting dibawah ketiak kembali sudah ditotok olehnya.

   "Kau.... bagaimana mungkin kau...."

   "Hmm! Kau anggap aku sudah mampus?"

   "Sudah kuperiksa denyutan nadimu...."

   "Sebelum kau melancarkan pukulan, aku sudah menghimpun seluruh tenaga dalamku untuk melindungi dada, karena itu setelah termakan pukulanmu, akupun menutup semua pernapasanku pura-pura mati, aku yakin selesai menghantamku, kau pasti akan melakukan pemeriksaan, hehehehe.... Hek Seng-thian, selama ini kau banyak akal busuk dan licik, masa tidak terbayang olehmu betapa bermanfaatkan taktik pura-pura mati?"

   "Baik, anggap saja aku Hek Seng-thian berhasil kau pecundangi hari ini, sekarang aku sudah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh, bunuhlah, tidak usah banyak cincong lagi!"

   "Mau bunuh, bunuhlah? Hmmm, gampang amat!"

   Jengek Thiat Cing-kian dingin. Sorot matanya dialihkan ke wajah Sui Leng-kong yang masih termangu mangu, lalu ujarnya sambil tertawa.

   "Nona, tidak ada salahnya kau yang memberi usul, lebih baik mau menghukum mati bangsat ini dengan cara apa, aku pasti akan menuruti permintaanmu"

   "Ter.... terserah"

   Jawab Sui Leng-kong sambil membelalakkan matanya.

   "Daging manusia lezat lagi harum, nona pernah mencicipi?"

   Tanya Thiat Cing-kian kemudian.

   "Aa.... aku be.... belum pernah menci.... cipi, aku.... aku pun tak.... tak doo.... doyan!"

   "Kalau begitu biar aku nikmati sendiri daging tubuhnya, gara-gara pukulan bajingan ini tadi, tenaga dalamku menderita kerugian sangat besar, biarlah aku gunakan dagingnya untuk memulihkan kembali kekuatan tubuhku"

   Seraya berkata, dia cabut keluar sebilah pisau belati dan mulai diasah dialas sepatunya. Kulit wajah Hek Seng-thian mulai mengejang keras, mengejang lantaran ngeri bercampur seram, serunya gemetaran.

   "Kalau ingin membunuhku, bunuh saja dengan sekali tusukan, buat apa kau mesti menyiksaku dengan cara begitu?"

   Thiat Cing-kian sama sekali tidak ambil perduli, melirik sekejap pun tidak, dia masih meneruskan asah pisaunya.

   "Nona!"

   Dia berseru kemudian sambil menatap wajah Sui Leng-kong.

   "aku berterima kasih sekali kepadamu karena selama ini telah menjagakan harta karun ini disini"

   "Har.... harta ka.... karunmu?"

   Tanya Sui Lengkong dengan mata terbelalak semakin lebar, dia keheranan.

   "Harta karun ini memang milik Perguruan Tay ki bun, kalau kulihat dari gaya ilmu silat yang nona gunakan pun seolah sangat mirip dengan kungfu aliran kami...."

   "Aa... apa itu tay.... Perguruan Tay ki bun? A.... aku tii.... tidak tahu.... tii... tidak menger.... mengerti"

   Thiat Cing-kian tersenyum, baru saja dia akan mengucapkan sesuatu lagi, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menyambung dengan nada dingin.

   "Aku tahu!"

   Tiba-tiba dari bawah kolong ranjang sudah muncul seorang pemuda berwajah hitam, beralis mata setajam pedang dan bersorot mata setajam cahaya bintang.

   Begitu menyaksikan raut muka pemuda itu, entah mengapa, tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetar keras, seakan-akan baru saja berhadapan dengan setan gentayangan.

   "Sii.... siapa kau?"

   Tegurnya gemetar.

   "Kau tidak kenal dengan aku? Hmm! Aku justru kenal siapakah dirimu!"

   Dengan sorot mata setajam sembilu pemuda itu mengawasinya lekat-lekat.

   Sui Leng-kong sendiri ikut dibuat kebingungan dan tidak habis mengerti, kendatipun begitu dia pun bisa meraba kalau di antara kedua orang ini pasti terjalin suatu hubungan khusus yang istimewa, oleh sebab itu dia sama sekali tidak ikut menimbrung.

   Thiat Cing-kian memaksakan diri untuk tertawa, balik tanyanya.

   "Darimana kau bisa mengenali diriku?"

   Begitu berjumpa dengan pemuda ini, perasaan ngeri bercampur takut seketika menyelimuti perasaan hatinya, membuat dia sama sekali tidak berani turun tangan.

   "Coba amati wajahku, mirip siapakah aku ini?"

   Thiat Cing-kian mengamatinya berapa saat, semakin dipandang hatinya semakin takut, makin diamati hatinya semakin bergidik.

   "Coba pandang lebih seksama, coba dipikirkan lebih teliti!"

   Dibawah cahaya mutiara yang redup tiba-tiba Thiat Cing-kian teringat akan seseorang, serunya gemetar.

   "Kau.... kau...."

   "Sudah teringat siapakah aku?"

   "Apa hubunganmu dengan Thiat Hau toako?"

   Thiat Tiong-tong melompat bangun, hardiknya.

   "Kau masih punya muka, berani menyebut mendiang ayahku sebagai toako? Hmmm, gara-gara harta karun kau begitu tega mencelakai dia orang tua, membuat beliau kehilangan sebuah lengan dan cacad seumur hidup, kalau bukan gara-gara ulahmu, tidak mungkin dia orang tua tewas ditangan orang lain.... kau.... kau memang bedebah!"

   "Kau.... kau keliru besar, aku...."

   Paras muka Thiat Cing-kian berubah pucat pasi bagaikan mayat.

   "Keliru?"

   Jengek Thiat Tiong-tong gusar.

   "hmmm! Dengan mulutmu, Kau telah mengakui semuanya, sekarang masih berusaha mungkir? Masih ingin menyangkal?"

   Mendadak sambil membusungkan dadanya Thiat Cing-kian berteriak lantang.

   "Benar, memang aku yang membokongnya, akulah yang mencelakainya, sejak kecil hingga dewasa aku selalu, setiap saat hidup dibawah kendalinya, nyaris aku dibuat sesak napas hingga tidak mampu hidup layak, begitu muncul kesempatan, tentu saja aku harus memberontak, harus melakukan perlawanan, tapi aku sama sekali tidak membunuhnya, aku hanya...."

   "Sekalipun kau tidak membunuhnya, tapi gara-gara ulahmu dia harus tewas ditangan orang...."

   "Mau apa kau?"

   "Aku hendak membunuhmu, membalaskan dendam sakit hati ayahku!"

   "Setiap orang boleh saja membunuhku, tapi kau tidak boleh melakukannya!"

   "Kenapa tidak boleh?"

   "Jangan lupa, bagaimanapun juga aku adalah pamanmu, sebagai anggota Perguruan Tay ki bun, kau berani bersikap kurangajar terhadap angkatan tua?"

   Thiat Tiong-tong tertegun, dia tahu peraturan perguruan yang harus paling berat hukumannya dalam Perguruan Tay ki bun adalah.

   mengkhianati perguruan serta berani melawan orang yang lebih tua.

   Menyaksikan perubahan mimik wajah anak muda itu, sekulum senyuman licik kembali tersungging dibibir Thiat Cingkian.

   Mendadak terlihat bayangan manusia berkelebat lewat, Sui Leng-kong sudah berdiri dihadapannya sambil berkata.

   "Aku.... aku bisa membunuhmu"

   "Tentu saja kau bisa membunuhku"

   Jawab Thiat Cing-kian sambil tertawa dingin.

   "tapi sayang kau bukan tandinganku, jika kurang percaya, silahkan saja dicoba!"

   Baru selesai dia berkata tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang menyeramkan berkumandang datang dari luar gua, menyusul kemudian seseorang mengejek.

   "Kalau begitu biar aku yang mencoba lebih dulu!"

   Begitu mendengar suara orang itu, paras muka Sui Leng-kong seketika berubah jadi pucat pias, tubuhnya gemetar keras. Baik Thiat Cing-kian maupun Thiat Tiong-tong, mereka berdua sama-sama terperanjat dan tidak habis mengerti.

   "Tingg.... tingg...."

   Dari luar gua bergema suara dentingan nyaring, suara itu mula-mula berasal dari tempat yang jauh tapi sejenak kemudian sudah tiba di depan mata.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Paras muka Sui Leng-kong berubah makin memucat, pucat bagai selembar kertas.

   Di antara kilauan cahaya mutiara, terlihat sesosok bayangan manusia telah melayang masuk ke dalam ruang gua.

   Dia adalah seorang nyonya tua yang kurus kering, tangannya menggenggam dua batang tongkat bambu, setiap kali tongkat bambunya menutul permukaan tanah, tubuhnya melayang di udara persis seperti seorang nenek sihir.

   "Ibu...."

   Bisik Sui Leng-kong dengan nada gemetar.

   "Hmm, kau masih ingat memiliki seorang ibu? Bagus, bagus!"

   Dengus Sui Ji-song dingin. Dia melirik Thiat Tiong-tong sekejap kemudian sorot matanya segera dialihkan ke tubuh Thiat Jing-kian, sepatah demi sepatah kata tegurnya dengan nada berat.

   "Thiat Cing-kian, kau masih ingat dengan diriku?"

   Dengan cepat Thiat Cing-kian menggeleng.

   "Maaf, aku benar benar tidak bisa mengenali dirimu"

   "Masa kau sudah melupakan seorang sahabat karibmu pada dua puluh tahun berselang?"

   Dia benar-benar tidak teringat perempuan jelek mana yang pernah dijumpai pada dua puluh tahun berselang.

   "Masa kau sudah melupakan kejadian pada dua puluh tahun berselang, malam itu hujan angin, bunga berguguran ditengah hutan bunga tho...."

   "Kau.... kau.... kau adalah Sui Ji-song?"

   "Ooh, rupanya kau masih teringat dengan diriku!"

   Sui Ji-song mulai tertawa, tertawa lebar.

   Masih mendingan kalau dia tidak tertawa, begitu tertawa lebar, wajahnya nampak jauh lebih jelek, jauh lebih mengerikan.

   Thiat Tiong-tong saling bertukar pandangan dengan Sui Lengkong, mereka sama sekali tidak menyangka kalau Sui Ji-song ternyata kenal dengan Thiat Cing-kian, yang membuat Thiat Tiong-tong semakin keheranan adalah sorot mata Sui Ji-song waktu itu.

   Sorot matanya penuh dengan pandangan sayu, seakan-akan dia sedang terkenang kembali kejadian dimasa lampau, peristiwa yang membuatnya sedih, menyesal, membenci hingga merasuk ke tulang sumsum....

   percampuran dari berbagai macam perasaan yang kumpul jadi satu.

   Dengan sorot mata yang serba kalut itulah dia mengawasi wajah Thiat Cing-kian yang tampak kaget, seram bercampur ngeri.

   "Aku tahu, kau pasti masih teringat aku"

   Katanya perlahan.

   "tapi sekarang sudah tidak mengenali diriku lagi, bukan begitu?"

   "Aku.... aku...."

   "Dua puluh tahun berselang, kau pernah berlutut dihadapanku, mengatakan aku adalah perempuan paling cantik, perempuan paling lembut yang pernah kau jumpai sepanjang hidupmu"

   Perlahan-lahan dia pejamkan matanya, seakan-akan sedang terlarut dalam lamunannya yang indah dimasa silam. Mendadak dia membuka matanya kembali dan mulai tertawa keras, tertawa seram.

   "Hahahaha.... tapi sekarang aku telah berubah jadi perempuan paling jelek dikolong langit, tentu saja kau tidak bakal kenali diriku lagi!"

   Sepasang tangannya yang menggenggam tongkat bambu kelihatan gemetar keras, sambil tertawa menyeramkan lanjutnya.

   "Dua puluh tahun, bahkan dua puluh tahun pun belum genap, tapi perubahan yang terjadi di dunia begitu besar dan luar biasa, dua puluh tahun berselang nyawamu terjatuh ke tanganku, aku hanya bisa membenci diri sendiri kenapa mau percaya dengan bujukan serta rayuan gombalmu, bukan saja kuampuni jiwamu bahkan genap selama dua hari menemanimu ditengah hutan bunga tho. Dua puluh tahun kemudian, kau terjatuh lagi di tanganku, sekarang bujukan dan rayuan gombal apa lagi yang akan kau sampaikan!"

   Thiat Cing-kian memutar biji matanya ke sekeliling tempat itu, belum lagi dia berbuat sesuatu, terdengar Hek Seng-thian telah berkata pula sambil tertawa seram.

   "Hehehehe.... kukira siapa yang ada disini, ternyata enso Seng pun ada ditempat ini"

   "Hek Seng-thian, tutup bacotmu!"

   Umpat Sui Ji-song cepat.

   "Enso Seng, setiap waktu setiap saat Seng toako masih rindu dan teringat kepadamu, lebih baik cepat bunuhlah dia kemudian bersama siaute pergi menjumpai toako!"

   "Ji-song!"

   Dengan cepat Thiat Cing-kian menjatuhkan diri berlutut.

   "akupun setiap saat setiap waktu selalu merindukan dirimu, sekali pun paras mukamu telah berubah, namun perasaan hatiku terhadapmu tidak pernah akan berubah"

   "Enso seng, dia sedang membohongi dirimu"

   Teriak Hek Seng-thian cepat.

   "dia...."

   "Tutup mulut!"

   Tiba-tiba Sui Ji-song membentak nyaring. Sinar matanya perlahan-lahan dialihkan dari wajah Thiat Tiong-tong ke wajah Thiat Cing-kian dan Hek Seng-thian, kemudian setelah tertawa dingin dengusnya.

   "Dasar lelaki, pintarnya hanya merayu dengan kata-kata manis, aku Sui Ji-song sudah muak mendengarnya"

   Sambil menuding Hek Seng-thian dengan tongkat bambunya, dia melanjutkan.

   "Yang paling busuk, paling memuakkan di antara sekian yang ada, kaulah manusia paling busuk, bedebah paling laknat. Sejak awal kau sudah tahu kalau Seng Cun-hau tidak mampu punya anak maka kau sengaja membohongi aku, gagal berbohong kaupun mengasah pisau di hadapan Seng Toa-nio, menghasut dan mengadu domba kami, hmmm, semua hutangmu masih tercatat jelas dalam ingatanku, hari ini aku tidak bakalan mengampuni jiwamu!"

   Begitu selesai bicara, tongkat bambunya ditekan dan langsung menghujam diatas dada Hek Seng-thian.

   Seketika itu juga Hek Seng-thian menjerit ngeri lalu tergelepar ditanah dan tewas seketika.

   Kemudian dengan tongkatnya kembali dia tuding Thiat Tiong-tong, katanya pula.

   "Kau! Kau menipu putriku hingga ibunya pun sudah tidak dimaui lagi, kaupun bajingan laknat, aku harus menjagal dirimu!"

   "Ibu...."

   Jerit Sui Leng-kong dengan nada gemetar. Sui Ji-song tidak menggubris, kini dia sudah menuding Thiat Cing-kian dengan tongkatnya.

   "Dan kau"

   Teriaknya.

   "kau telah menipuku, mencelakai aku hingga harus menderita siksaan seperti yang kualami hari ini, biar kucincang tubuhmu pun belum bisa melampiaskan semua rasa dendamku"

   "Kau tidak boleh membunuhku, putri ku juga tidak akan setuju kau membunuh aku!"

   "Siapa putrimu?"

   "Dia!"

   Teriak Thiat Cing-kian sambil menuding ke arah Sui Leng-kong.

   Diiringi jeritan kaget Sui Leng-kong mundur berapa langkah ke belakang, kini punggungnya sudah menempel diatas dinding gua.

   Thiat Tiong-tong sendiripun dibuat gelagapan, sebab semua perubahan yang terjadi amat mendadak, sama sekali diluar dugaan, setiap perubahan yang berlangsung seakan diluar akal sehat siapa pun.

   Terdengar Thiat Cing-kian berkata lebih jauh.

   "Seng Cun-hau tidak bisa punya anak, tentu saja anak itu anakku, bagaimanapun kita pernah jadi suami istri selama dua malam, tegakah kau membunuhku ?"

   Kini Thiat Tiong-tong baru mengerti apa yang telah terjadi, pikirnya.

   "Tidak heran kalau Seng Toa-nio berniat membunuhnya telah mengetahui kalau dia hamil, tidak aneh jika diapun bersikap begitu kejam dan tidak berperasaan terhadap putrinya sendiri!"

   Oleh karena dia sangat membenci Thiat Cing-kian, terhadap apa yang telah diperbuatpun merasa sangat menyesal, maka semua dosa, kesalahan dan rasa dendamnya dilampiaskan semua pada keturunannya itu.

   Ketika mengalihkan kembali pandangan matanya, tampak Sui Ji-song sedang pejamkan matanya sambil berkata.

   "Sesungguhnya akupun tidak tega untuk membunuhmu, aaai! Cepat kemarilah, bantulah aku menuju ke pembaringan sana, aku merasa lelah sekali"

   Buru-buru Thiat Cing-kian menghampiri, berpura-pura tersenyum lembut dan memayang tubuh Sui Ji-song sambil berbisik.

   "Ji-song, kita segera akan melewatkan sisa hidup dalam kegembiraan dan kesenangan, kita punya harta yang berlimpah...."

   Belum habis ucapan tersebut diucapkan, tiba-tiba tubuhnya mengejang keras dan roboh terjungkal ke tanah. Dihiasi senyuman menyeringai yang menggidikkan hati Sui Ji-song tertawa keras.

   "Hahahahaha.... harta karun? Dasar lelaki bau yang tamak tidak tahu malu!"

   Kemudian dengan tongkat bambunya dia mencukil tumpukan barang berharga itu dan dihirukkan keatas mayat Thiat Cingkian, katanya lagi.

   "Hari ini, kusuruh kau mampus dibawah tumpukan harta karun!"

   Dengan tubuh gemetar keras Sui Leng-kong mulai menangis tersedu sedu, bagaimanapun jahatnya Thiat Cing-kian, dia tetap ayah kandungnya. Tidak heran kalau gadis tersebut tidak bisa menguasahi rasa sedihnya.

   "Ibu, kau...."

   Tiba-tiba mulutnya terkatup dan roboh tidak sadarkan diri disisi mayat Thiat Cing-kian.

   Suara tertawa seram serta suara isak tangis seketika sirna dan lenyap, suasana dicekam kembali dalam keheningan.

   Cahaya mutiara masih membiaskan sinarnya yang redup dan menyinari wajah Sui Ji-song yang jelek, tubuh yang kurus kering, rambut yang awut awutan serta kakinya yang cacad.

   Kini sorot matanya telah berubah jadi merah padam sementara paras mukanya hijau membesi, dia seolah-olah sudah kehilangan seluruh tenaga hidupnya dan berubah menjadi sesosok kerangka kosong yang jelek.

   Thiat Tiong-tong hanya mengawasi jalannya peristiwa itu dari samping....

   dia sendiripun tidak tahu harus merasa benci atau iba....

   terhadap mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah pun dia tidak tahu harus merasa benci atau iba.

   Seluruh pertikaian, semua dendam kesumat telah berakhir dengan datangnya kematian, kemarukan serta ketamakan mereka terhadap harta karun pun ikut lenyap bersama datangnya maut.

   Kini sorot mata Sui Ji-song sudah dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong, kembali senyuman menyeramkan menghiasi ujung bibirnya.

   "Bocah keparat"

   Teriaknya.

   "kau telah membohongi putriku, kalau bukan secara diam-diam aku menguntit sampai disini, bukankah dia akan mati kelaparan di sini!"

   "Asal hujin bersikap sedikit lebih baik kepadanya, tidak melimpahkan semua dosa dan kesalahan yang dilakukan generasi sebelumnya kepada dia, dengan sendirinya dia akan menurut dan berbakti kepadamu"

   "Kentut, kau tidak lebih hanya ingin menganaya aku si orang cacad, hari ini akan kusuruh kau rasakan kelihayan dari si manusia cacad!"

   Ditengah umpatan dan caci makinya dia sudah menutulkan tongkat bambunya dan melambung ke udara.

   Betapa terkesiapnya Thiat Tiong-tong menghadapi terkaman itu, apalagi menyaksikan rambutnya yang awut tidak karuan, matanya yang merah berapi persis seperti setan buas yang sedang mementang-kan cakar mautnya.

   Buru buru dia mengigos ke samping, tapi dua batang tongkat bambu itu secepat sambaran kilat telah mengancam dadanya.

   Pemuda itu sadar kalau kepandaian silatnya masih bukan tandingan lawan, apalagi kondisi kesehatan badannya belum pulih sama sekali, tentu saja dia tidak berani menyambut dengan kekerasan, cepat dia mengegos lagi ke samping dan berusaha menghindarkan diri.

   "Hmm, kau anggap bisa melarikan diri?"

   Kembali tongkat bambunya melancarkan serangan berantai, jangan dilihat kakinya cacad, kecepatan geraknya ternyata sama sekali tidak berkurang.

   Dalam waktu singkat puluhan gebrakan sudah berlalu, Thiat Tiong-tong semakin tidak kuasa menahan diri, tiba-tiba lututnya jadi lemas, ternyata dia sudah tersandung mayat Siau Lui-sin hingga tidak ampun tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.

   Cepat dia berguling ke samping sambil menyambar sebuah pacul yang tertinggal disitu.

   Ketika Sui Ji-song mundur ke belakang, Thiat Tiong-tong telah berhasil menyambar sebilah pedang berwarna hijau kemala, cepat dia bersalto dan melompat bangun.

   Dia sadar, Sui Ji-song sudah tidak mungkin diajak berbicara secara baik-baik maka timbul niatnya untuk beradu nyawa.

   Berpikir sampai disitu pedang mestikanya segera dibacokkan ke depan, bukan tubuh Sui Ji-song yang diarah melainkan tongkat bambu andalannya, inilah taktik "Mau memanah orangnya, robohkan dulu kuda tunggangannya".

   "Traaang!"

   Pedang dan tongkat bambu segera saling membentur.

   Ternyata tongkat bambu itu sama sekali tidak patah, bergetarpun tidak, rupanya perempuan itu telah menyalurkan seluruh kekuatan tubuhnya ke dalam tongkat, sehingga senjata mestika pun sulit untuk mematahkannya.

   Sebaliknya Thiat Tiong-tong merasakan pergelangan tangannya kesemutan, didalam kagetnya cepat dia melancarkan sebuah bacokan lagi.

   "Bagus!"

   Bentak Sui Ji-song, kali ini dia menyerang lagi dengan tongkat bambu yang sebelah.

   Untuk kesekian kalinya Thiat Tiong-tong merasakan pergelangan tangannya bergetar keras, saking kerasnya pedang yang berada dalam genggamannya ikut mencelat ke udara.

   Saat ini dia sama sekali tidak punya peluang untuk berpikir panjang, baru saja pedangnya mencelat dari genggaman, tongkat bambu dalam genggaman Sui Ji-song sudah menyambar lagi dengan kecepatan tinggi.

   Thiat Tiong-tong segera membuang tubuhnya ke belakang kemudian menggelinding ke samping, dia menyelinap ke sisi kolam air.

   Kembali Sui Ji-song melambung ke udara sambil meluncur ke tepi kolam air, bentaknya.

   "Serahkan nyawamu!"

   Tangan kirinya menekan ke bawah, tongkat bambunya langsung menyodok dada anak muda itu.

   "Kraaak!"

   Tiba-tiba tongkat bambu yang menutup disisi kolam air itu patah jadi dua, begitu kehilangan keseimbangan tubuh, tidak ampun....

   "Byuuur!"

   Tubuhnya tercebur ke dalam kolam.

   Ternyata ketika terjadi bentrokan antara pedang dan bambu tadi, kedua batang bambunya sudah gumpil berapa bagian terhajar pedang mestika Thiat Tiong-tong, oleh sebab itu begitu ditekan Sui Ji-song dengan penuh tenaga, tongkat bambu itupun patah jadi dua.

   Semenjak Thiat Tiong-tong menelan jinsom berusia seribu tahun, kendatipun luka yang dideritanya belum sembuh seratus persen, namun tenaga dalamnya tanpa sadar telah bertambah maju pesat.

   Dalam hal ini sebetulnya Thiat Tiong-tong sendiripun tidak tahu, itulah sebabnya dia tidak punya keyakinan, sebaliknya Sui Ji-song kelewat memandang enteng lawannya, karena kelewat gegabah maka perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini kontan membuatnya gelagapan.

   Ditengah percikan bunga air yang menyebar ke mana mana Thiat Tiong-tong menghembuskan napas panjang sambil menyelinap ke arah lain, kini dia sudah menyingkir ke tepi dinding gua sambil mengatur pernapasan, dia bersiap siap menghadapi serangan berikut.

   Siapa tahu meski sudah ditunggu sekian waktupun tiada gerakan apapun di kolam air itu, Sui Ji-song masih tertelungkup diatas permukaan air tanpa bergerak, seakan dia sudah menjadi sesosok bangkai.

   Mula-mula Thiat Tiong-tong agak tertegun, tapi kemudian sadar apa yang telah terjadi, batinnya.

   "Aaah benar, air itu beracun, Sui Ji-song pasti sudah meneguk air dalam kolam itu hingga keracunan dan tewas!"

   Dalam waktu singkat tubuh Sui Ji-song yang kurus kering itu mulai mengejang lalu menyusut jadi kecil, empat anggota tubuhnya jadi melengkung dan kaku, rambutnya terapung diatas permukaan hingga keadaannya tampak sangat menakutkan.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hampir saja Thiat Tiong-tong muntah saking mualnya setelah menyaksikan peristiwa ini.

   Akhirnya dia tidak kuasa menahan diri lagi, dengan cepat pemuda itu lari keluar dari gua dan mulai muntah disudut batu, dia memuntahkan seluruh isi perutnya sehingga hanya tersisa air masam dalam lambungnya.

   Pada saat itulah dari balik gua terdengar suara isak tangis Sui Leng-kong yang amat menyedihkan hati.

   Berapa saat lamanya Thiat Tiong-tong berdiri mematung, dia tidak tahu bagaimana harus menghibur gadis itu.

   Kini dia hanya berharap tidak pernah ada harta karun di dunia ini, maka semua peristiwa yang tragis, memedihkan hati dan menyiksa batin tidak pernah akan terjadi.

   Sekalipun harta kekayaan itu indah dan menawan, seringkali yang ikut hadir bersama dengan harta adalah ketamakan, pelit, intrik, pembunuhan, kekejaman, perebutan kekuasaan, fitnah serta kematian.

   Bagaimana pun juga mata umat manusia selalu akan dibuat silau oleh harta kekayaan, mereka hanya bisa melihat sisi terang dari harta karun tapi tidak pernah bisa melihat sisi gelap dari kesemuanya itu.

   Untuk berapa saat Thiat Tiong-tong hanya berdiri termangu, dia tidak bermaksud menghibur Sui Leng-kong yang menangis sedih, sebab dia tahu hanya cucuran air mata yang bisa melampiaskan semua rasa sedih yang mencekam perasaan seorang gadis.

   Dia mulai duduk diatas peti baju, mengambil berapa kitab serta lipatan kain dari dalam peti musibah.

   Beberapa

   Jilid kitab itu terbuat dari kain sutera yang halus sementara lipatan kain itu ternyata adalah sebuah bendera yang dibuat dari cucuran darah segar, tapi lantaran sudah kelewat lama, warna darah itu telah berubah sehingga nampak buram tidak bercahaya, tapi justru memancarkan daya tarik yang menggidikkan hati.

   Ketika menyentuh gulungan kitab serta bendera berdarah itu, tanpa terasa tubuh Thiat Tiong-tong gemetar keras, air mata pun tanpa terasa ikut jatuh bercucuran.

   Bukan saja didalam gua itu tersimpan harta kekayaan dan kematian, ternyata tersimpan pula sebuah rahasia besar.

   Rahasia itu menyangkut leluhur Thiat Tiong-tong, yang penuh mengandung dendam kesumat, lelehan darah dan air mata, kegembiraan dimasa hidup dan penderitaan menjelang ajal.

   Dia mulai membuka lembaran pertama kitab itu yang tertulis.

   "Di masa lalu, sam-koay (tiga manusia aneh), Su-sat (empat iblis), Jit-mo (tujuh setan) Kiu-ok (sembilan orang jahat) cappwee koan (delapan belas perampok) mendatangkan bencana bagi umat persilatan, bukan saja sepak terjangnya jahat dan kejam, banyak orang persilatan hanya berani marah tidak berani bertindak. Sampai suatu saat Im dan Thiat dua orang cianpwee terjun ke dalam dunia kangouw, setelah melewati berbagai pertarungan di bukit Hong-san, telaga Tong-teng, gunung Tiam-cong, telaga Tay-ouw, bukit Ci lian san, gunung Kunlun dan Tiong-tiau, akhirnya dengan andalkan dua bilah pedang sakti berhasil membasmi Sam-koay, Su-sat, Jit-mo, Kiu-ok serta Cappwee koan, dengan lumuran darah merekalah dibuat sebuah panji sakti.

   "Sejak itu semua umat persilatan takluk dan menaruh hormat kepada kami, dimana panji sakti tiba, semua orang menyambut dengan penuh hormat.

   "Akhirnya Im dan Thiat dua orang cousu mendirikan Perguruan Tay ki bun, dengan kebenaran dan keadilan membangun perguruan, dengan kebenaran dan keadilan menegakkan peraturan, dengan kebenaran dan keadilan menaklukkan orang.

   "Kami berharap seluruh anggota perguruan untuk jangan melupakan ke delapan hal yang kami canangkan yakni. kesetiaan, bakti, kebajikan, cinta kasih, kepercayaan, kesetia-kawanan, kerukunan dan kedamaian. Taati peraturan perguruan, membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan serta kebenaran"

   Disisi bagian bawah tertulis.

   "Ketua angkatan ke dua Perguruan Tay ki bun, Thiat Hau"

   Memegang surat wasiat peninggalan mendiang ayahnya, tidak kuasa air mata jatuh berlinang membasahi pipi Thiat Tiong-tong, dia segera membuka halaman ke dua, disitu tulisannya bertambah kalut.

   "Aku Thiat Hau, seorang kakek cacad, beruntung memiliki seorang putra yang kini masih bayi, setiap kali teringat bahwa aku tidak berkesempatan lagi untuk bertemu dengan putraku, hatiku teramat pedih.

   "Nasibku memang kurang beruntung, sebuah lenganku dikutungi oleh adik sendiri, sepasang kaki dibikin cacad oleh musuh besar, dalam keadaan kritis dan terluka parah aku bertekad untuk menemukan kembali harta karun milik perguruan.

   "Tumpukan harta ini disembunyikan leluhur Perguruan Tay ki bun sewaktu menyingkir dari musibah, walaupun sudah terkubur banyak waktu, untung saja aku berhasil menemukan tempat persembunyiannya setelah meneliti sebuah peta rahasia yang tidak utuh.

   "Tapi yang membuat aku terharu adalah keberhasilanku menemukan kembali panji berdarah yang dibuat leluhur sewaktu mendirikan perguruan, panji ini tidak ternilai harganya, barang siapa mendapatkannya, dialah yang berhak menduduki posisi seorang ketua.

   "Aku sadar dalam kehidupan kali ini tidak mungkin bisa bertemu dunia bebas lagi, aku berharap siapa pun yang menemukan harta ini, bila bukan anggota Perguruan Tay ki bun, tolong gunakanlah untuk kesejahteraan orang banyak.

   "Seandainya harta ini diperoleh anggota Perguruan Tay ki bun, dia berkewajiban untuk melanjutkan perjuangan kita menuntut balas, jangan sekali kali kau lupakan wejangan leluhur.

   "Ketahuilah perahu bisa menyeberangkan orang, bisa pula menenggelamkan orang, harta karun ibarat air, bila kau pergunakan secara benar dia akan mendatangkan berkah, bila kau salah dalam penggunaan akan berakibat bencana, jangan lupa dengan wejangan ini.

   "Kehidupanku didalam gua amat berat dan penuh derita, untuk mengisi waktu yang luang aku telah menulis semua catatan serta rahasia ilmu silatku didalam kain yang kugunakan sebagai pengganti kertas, semoga siapa pun yang beruntung mendapatkan mustika ini, gunakanlah ilmu ini demi kebajikan.

   "Menjelang masa akhir hidupku, aku telah bertemu dengan Sui Leng-kong, dia adalah seorang gadis yatim yang bernasib memedihkan, selama ini dia menjadi satu-satunya penghiburku, maka akupun berharap siapapun yang mendapatkan harta ini bersedia pula merawat dirinya.

   "Ilmu silat yang kutulis antara lain terdiri dari kouwkoat tenaga dalam, ilmu samadi, ilmu pukulan Tayki hong im-ciang, dua belas jurus ilmu darah besi serta ilmu meringankan tubuh dan ilmu pedang"

   Membaca sampai disini Thiat Tiong-tong segera mendongakkan kepalanya, dengan air mata bercucuran pekiknya.

   "Ayah.... ooh ayah.... ananda yang tidak berbakti ternyata tidak punya jodoh untuk bersua muka denganmu"

   Belum selesai dia bergumam, tiba-tiba terdengar helaan napas panjang bergema dari belakang tubuhnya, Sui Leng-kong dengan air mata bercucuran berkata.

   "Apa... apakah dia... dia orang tua aa.... adalah aa... ayahmu?"

   Dengan sedih Thiat Tiong-tong mengangguk. Sui Leng-kong tertegun sesaat, kemudian tanyanya lagi.

   "Di.... di mana i.... ibumu?"

   Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas.

   "Sewaktu masih bayi, ibuku juga telah pergi"

   Dengan lemah lembut Sui Leng-kong membelai rambutnya, dia memandang dengan sorot mata lembut, penuh rasa kasihan dan simpatik, perhatian dan penghiburan.

   Gadis berhati mulia ini hanya memikirkan kemalangan yang menimpa orang lain, dia seakan sudah melupakan kemalangan sendiri, sejujur-nya, bukankah nasib yang menimpanya jauh lebih menge-naskan.

   Kedua orang itu saling berhadapan dengan air mata berlinang, perasaan hati mereka penuh diliputi kegetiran dan kepedihan.

   Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Sui Leng-kong bangkit berdiri, menggapai ke arah Thiat Tiong-tong dan bergerak keluar.

   Sambil menggenggam kitab serta panji berdarah itu, Thiat Tiong-tong ikut di belakangnya.

   Gadis itu mengajak Thiat Tiong-tong berjalan menelusuri rawa-rawa dan kubangan, seperminum teh kemudian dia berhenti di depan sebuah gundukan tanah.

   Disisi gundukan tanah itu penuh ditanami bebungahan berwarna kuning, tiba ditempat itu Sui Leng-kong segera menundukkan kepalanya, air mata kembali berlinang membasahi wajahnya.

   "Apakah.... apakah disini tempat kubur dia... dia orang tua?"

   Sui Leng-kong berdiri kaku ditengah hembusan angin dan manggut-manggut. Thiat Tiong-tong segera jatuhkan diri berlutut di depan kuburan dan menangis tersedu sedu. Sui Leng-kong ikut berlutut, dalam hati berdoa.

   "Aku telah mengajak keturunan kau orang tua datang kemari, semoga arwahmu dialam baka bisa beristirahat tenang"

   Kemudian setelah membesut air mata, katanya lagi dengan sedih.

   "Ayahku pernah berbuat salah kepada kau orang tua, tapi diapun sudah mati, kumohon kau orang tua sudi memaafkan segala dosanya"

   Hujan, tiba-tiba turun dengan derasnya, seakan-akan air hujan ingin mencuci bersih semua dosa dan kesalahan yang telah lampau.

   Lama, lama kemudian akhirnya hujan pun berhenti.

   Perlahan-lahan Thiat Tiong-tong bangkit berdiri kemudian menarik tangan Sui Leng-kong, dia sudah putuskan akan menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk melindungi gadis yang patut dikasihani ini.

   Tiba-tiba Sui Leng-kong mengangkat kepalanya.

   "Kau.... kau tidak membenciku?"

   Tanyanya.

   "Tanpa kau, aku sudah mati sejak tadi, tanpa kau, ayahku mati tanpa liang kubur, untuk berterima kasih pun masih belum mampu, mana mungkin aku membencimu?"

   Setelah menghela napas panjang, lanjutnya.

   "Bukan saja tidak membencimu, bahkan aku... akupun tidak akan membenci ayah ibumu...."

   Baru bicara sampai disitu, Sui Leng-kong sudah menubruk ke dalam rangkulannya dan menangis tersedu.

   Biarpun dunia amat luas, namun dia merasa hanya bisa bersandar pada pemuda itu satu orang, hanya selama berada dalam pelukan, kehidupannya yang lemah baru akan peroleh ketenangan.

   Tapi dia harus meninggalkan dia, meninggalkan dia, meninggalkan dia....

   Kenapa? Dia tidak boleh mengatakannya, dia tidak tega mengatakannya....

   Thiat Tiong-tong telah menarik tangannya dan berkata dengan lembut.

   "Jangan menangis, pergilah bersamaku, kau telah mengubur jenasah ayahku, sekarang akupun akan mengubur jenasah ayah ibumu"

   Dengan pandangan bingung Sui Leng-kong mengikutinya balik ke dalam gua rahasia, panji darah dan kitab silat yang tersebar ditanah pun telah dipungut kembali, tapi mereka telah meninggalkan air mata dan kesedihan.

   Tiba dalam gua, mereka menjumpai sebuah jubah panjang berwarna putih tergeletak diatas ranjang, diatas jubah itu tertera berapa huruf besar dari darah segar.

   "Aku pun bisa berlagak mampus"

   Jenasah Hek Seng-thian sudah tidak nampak ditempat itu. Lama sekali Thiat Tiong-tong tertegun, akhirnya sambil menghela napas panjang ujarnya.

   "Orang ini benar-benar sangat lihay, setelah ditipu orang lain, sekarang gantian dia yang menipu orang"

   Tiba-tiba terdengar Sui Leng-kong menjerit kaget kemudian menangis lagi dengan sedihnya, ternyata batok kepala Thiat Cingkian dan Sui Ji-song telah dipenggal orang.

   Harta karun yang semula memenuhi ruangan pun sudah berkurang banyak.

   Tampaknya barang apapun yang bisa dibawa telah dibawa pergi Hek Seng-thian dengan menggunakan kain baju, hanya saja bagian yang terbawa olehnya belum lebih dari sepersepuluh.

   Thiat Tiong-tong memperhatikan sekejap tulisan darah yang tertera diatas jubah, lalu memeriksa pula mayat Sui Ji-song dan Thiat Cing-kian, saat itu darah yang mengalir dari tubuh mereka telah mengering.

   Setelah menghela napas ujarnya kemudian.

   "Dia sudah pergi hampir satu jam lamanya, saat ini pasti sudah berada jauh sekali, tidak mungkin bisa terkejar...."

   "Tapi... aa.... ayahku...."

   Sui Leng-kong menangis sedih.

   "Sekalipun dia sudah pergi jauh, namun suatu saat aku pasti akan menangkapnya dan membalaskan dendam sakit hatimu, kau percaya denganku bukan?"

   Sui Leng-kong manggut-manggut, suara tangisannya juga ikut mereda.

   Habis mengubur semua jenasah yang ada, Thiat Tiong-tong mengambil keputusan dia akan menjaga kuburan ayahnya selama seratus hari.

   Tentu saja Sui Leng-kong menemaninya, kini dia sudah tidak perlu menghindari siapa pun, maka selesai membersihkan tubuh dia pun bertukar pakaian.

   Tiga hari kemudian luka yang diderita Thiat Tiong-tong sudah sembuh kembali.

   Diapun menjumpai kasiat dari jinsom berusia seribu tahun sangat luar biasa.

   Selama hampir seratus hari mereka tetap tinggal di depan kuburan, menggunakan kesempatan itu mereka mulai merancang rencana bagaimana caranya mengirim keluar harta karun yang amat banyak itu, begitu juga memikirkan sistim pengamanan ketika diangkut.

   Selesai masa berkabungnya, diapun berpamit di depan kuburan ayahnya dan mengambil keputusan untuk segera terjun kembali ke dunia ramai.

   Tentu saja Sui Leng-kong sangat gembira, sebab penderitaannya selama belasan tahun kini telah berakhir.

   BAB Huru-hara di Lokyang Kota Lokyang adalah sebuah kota besar yang makmur dan ramai, boleh dibilang kota paling makmur di kolong langit saat itu.

   Belakangan tersiar sebuah kabar aneh dalam kehidupan masyarakat kota Lokyang, konon di kota itu telah kedatangan seorang manusia aneh yang memiliki kekayaan tidak terkalahkan.

   Dikota Lokyang waktu itu sudah terdapat banyak sekali orang yang kaya raya, banyak saudagar kaya yang datang dari tempat jauh, kongcu dari keluarga kenamaan banyak sekali berkumpul dikota ini.

   Tapi semua orang kaya yang ada disana ternyata tidak seorangpun dapat mengungguli kekayaan yang dimiliki manusia aneh itu, tidak heran kalau ia jadi pusat perhatian orang dan menjadi tokoh dalam cerita yang beredar.

   Keluarga Li di utara kota bukan saja merupakan seorang kaya raya yang termashur di kota Lokyang, bahkan diapun merupakan seorang pengusaha permata yang terhitung paling besar di seantero jagad, tidak ada orang yang tidak kenal dengan Liok-yang.

   Keluarga Li Lok-yang turun-temurun memang berdagang intan permata, bukan saja sudah sejak lama kaya raya bahkan kepandaian silat yang dimiliki keluarga Li pun terhitung sangat hebat.

   Bagi saudagar yang mengusahakan intan permata, tidak mengerti ilmu silat sama halnya engan seekor domba yang hidup ditengah gerombolan harimau, keluarga Li sangat memahami akan hal ini karenanya kepandaian silat mereka pun dilatih dengan tekun.

   Peristiwa aneh dan manusia aneh yang menggemparkan seluruh kota waktu itu berasal dari cerita para pembantu yang bekerja di keluarga itu.

   Sudah sebelas generasi keluarga Li dari Lokyang berdagang barang permata, setelah melalui pelbagai kejadian dan peristiwa, anak buah mereka sudah terlatih hidup penuh kewaspadaan dan hati hati.

   Mereka tidak memiliki toko yang mewah, megah dan indah, yang mereka miliki adalah sebuah bangunan raksasa yang kuno tapi kokoh dengan penjagaan yang sangat ketat.

   Dalam satu tahun pasti ada sepuluh hari para saudagar barang permata berkumpul disitu, biasanya mereka melakukan transaksi besar besaran dalam gedung kokoh itu.

   Para hartawan, para pedagang kenamaan biasanya akan membawa istri dan gundik mereka untuk berbelanja barang perhiasan disitu, busu, piausu pun banyak berkeliaran disana.

   Tentu saja di antara mereka terdapat juga pentolan perampok, para pencoleng dan kaum lioklim yang biasa bekerja gelap, namun begitu hadir di sini, merekapun akan bertransaksi mengikuti aturan, tidak seorangpun berani main kekerasan apalagi berusaha merampok.

   Pintu gerbang keluarga Li selalu terbuka, asal kau datang untuk berjual beli barang permata, tidak perduli apa pun status sosial mu, tidak perduli ada berapa banyak uang yang kau miliki, semuanya boleh berkunjung ke situ.

   Dalam sepuluh hari yang istimewa ini, semua orang boleh datang ke sana, bahkan biarpun kau hanya ingin membeli sebutir mutiara atau ingin membeli bunga mutiara yang berharga tiga tahil, semuanya berhak menikmati pelayanan istimewa sebagai seorang bangsawan.

   Anggota keluarga Li serta para pembantu yang telah melalui pendidikan ketat akan menyambut dan melayani semua orang secara santun dan halus.

   Motto mereka adalah.

   "Sekali melangkah masuk ke pintu gerbang, kau adalah tamu kehormatan keluarga Li"

   Ditempat ini tidak ada orang yang akan menanyai identitasmu, juga tidak akan diselidiki sumber uang dan harta yang kau miliki, asalkan saja tingkah lakumu selama ada disana normal dan tidak aneh-aneh.

   Tapi jika kau mencoba melakukan tindakan yang melanggar hukum, yang ringan paling hanya diusir keluar dari gedung itu, sementara yang berat akan ditahan dan diinterogasi.

   Tentu saja selama ini berapa kali keluarga Li harus menghadapi percobaan perampokan dan pembegalan, seperti yang dilakukan gembong iblis berilmu tinggi Gi pak siang sat atau Tok jiu Kun lun, tapi semua percobaan itu berhasil dipatahkan oleh orang-orang keluarga Li.

   Tahun ini, pasar bebas kembali diselenggarakan dalam gedung keluarga Li, bahkan tahun ini diselenggarakan lebih besar dan meriah.

   Sejak hari Tiong-yang, kereta dan lautan manusia mulai membanjiri utara kota Lok-yang.

   Pemilik toko permata angkatan ke sebelas Li Lok-yang berwajah bersih dengan perawakan tubuh tinggi, sekalipun rambutnya sudah memutih namun sinar matanya masih terang bagai cahaya bintang.

   Dia mengenakan jubah berwarna gelap, dengan penampilan yang anggun penuh wibawa bersama putra pertamanya Li Kiam-pek berdiri di undak-undakan pintu kedua untuk menyambut kedatangan para tetamunya.

   Seorang nyonya cantik berpenampilan anggun ditemani seorang pemuda tampan berbaju putih merupakan sepasang tamu pertama yang datang berkunjung hari ini.

   Menyusul kemudian pensiunan panglima perang, perampok kenamaan yang telah cuci tangan, pemuda perlente, kakek kaya raya dengan membawa bini dan istri mudanya berduyun-duyun memasuki ruangan.

   Hari pertama berlalu dengan begitu saja, hari kedua baru merupakan puncak keramaian.

   Tengah hari itu ketika Li Lok-yang sedang mencuri waktu untk beristirahat sejenak, tiba-tiba di depan pintu gerbang berhenti dua buah kereta megah yang ditarik delapan ekor kuda jempolan.

   Kusir kereta adalah dua orang bocah tampan berbaju mewah yang baru berusia delapan, sembilan tahun, tapi keahliannya dalam mengendalikan kereta jauh lebih hebat ketimbang orang yang berpengalaman sekalipun.

   Asal orang yang sedikit punya pengetahuan, mereka segera akan mengenali kalau ke dua orang bocah tampan ini tidak lain adalah Ban kim sintong (bocah sakti selaksa emas) hasil didikan rumah pelacuran kenamaan di kota Lokyang, rumah pelesiran Hun kiok hoa.

   Bunga seruni putih Ko Chang-yan adalah seorang pelacur kenamaan dikotaraja, tapi setelah berusia lanjut dia alih profesi menjadi seorang pelatih sekawanan bocah tampan dan dayang cantik yang berkemampuan tinggi, orang-orang itu khusus dijual kepada orang kaya sebagai budak, tapi karena semua bocah dan dayang itu berotak cerdas, berkemampuan hebat dan memiliki berbagai macam ilmu, maka kalau bukan orang yang benar-benar kaya, jangan harap bisa mempekerjakan mereka, sebab harga mereka sangat tinggi, untuk membeli satu orang dibutuhkan uang sebesar sepuluh laksa tahil perak, satu jumlah yang mungkin senilai dengan seluruh harta kekayaan seorang pedagang kaya.

   Kini sorot mata semua orang sudah tertuju pada dua orang bocah yang ada dikereta kuda itu, setiap orang ingin tahu saudagar kaya raya mana yang ada dibalik kereta, siapakah orang yang memiliki kekayaan sebesar ini? Pintu kereta pertama dibuka orang dan muncullah seorang gadis cantik berbaju mewah, gadis ini selain berwajah ayu, senyuman manis selalu menghiasi bibirnya.

   Semua orang merasa pandangan matanya silau, serentak mereka mengawasi gadis itu dengan termangu.

   Siapa tahu begitu turun dari kereta, gadis cantik itu segera membungkukkan tubuh seraya berkata.

   "Nona, silahkan turun dari kereta"

   Dari balik kereta kembali muncul sebuah tangan yang halus, tangan itu memegang bahu gadis pertama dengan lembut.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Menyusul kemudian dari balik kereta muncul sepasang kaki yang bulat kecil dengan mengenakan sepatu kecil yang indah, sebutir mutiara menghiasi ujung sepatu itu, mutiara sebesar kelengkeng yang bergetar ketika terhembus angin.

   Sekalipun belum nampak orangnya, namun cukup melihat sepasang tangannya, sepasang kakinya serta sepasang mutiaranya yang bergetar, orang sudah merasa pandangan matanya silau, terkesima dan berdiri bodoh.

   "Siapakah dia? Sebenarnya siapakah dia?"

   Diam-diam semua orang mulai menebak.

   Tahu-tahu diluar kereta sudah berdiri seorang gadis yang cantik bak bidadari dari kahyangan, rambutnya hitam mengkilap, kerlingan matanya bening bagai air, dia mengenakan pakaian model keraton yang halus tapi indah, bahannya seperti sutera seperti juga hasil tenunan.

   Meskipun gadis yang pertama tadi cantik, tapi dia termasuk gadis yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat, sebaliknya gadis berbaju keraton itu memiliki kecantikan yang sama sekali tidak membawa hawa napsu, bagaikan bidadari yang turun dari kahyangan.

   Sambil berpegangan pada bahu gadis pertama, perlahan-lahan gadis itu berjalan menuju ke depan kereta ke dua.

   Sorot mata semua orang pun serentak dialihkan ke atas kereta nomor dua.

   Begitu pintu kereta kedua terbuka, sorot mata semua orang segera tertuju ke situ, ternyata yang muncul adalah seorang kakek berambut putih yang tubuhnya sudah bungkuk dan wajahnya penuh keriput.

   Jalan kehidupan orang ini sudah terlewatkan separuh masa, langkah kakinya pun gontai, dengan satu tangan dia menutupi matanya seakan tidak tahan dengan cahaya matahari, tangan yang lain berpegangan diatas bahu gadis cantik berbaju keraton itu.

   Menyaksikan adegan ini semua orang merasa kecewa bercampur tidak terima, masa sekuntum bunga seharum itu harus ditancapkan diatas seonggok tahi kerbau? Dibawah pandangan mata banyak orang, mereka bertiga berjalan menuju ke pintu gerbang.

   Buru-buru Li Lok-yang menyambut kedatangan mereka, sambil tersenyum dan menjura sapanya.

   "Tamu agung datang dari jauh, boleh tahu siapa nama anda?"

   Kakek itu mendengus dingin, dengan suara bagai seorang banci sahutnya.

   "Aku datang kemari untuk berdagang, bukan menjawab interogasimu!"

   Li Lok-yang tertegun, kemudian buru-buru sahutnya sambil tertawa paksa.

   "Silahkan masuk! Silahkan masuk!"

   "Tentu saja harus masuk"

   Jawab kakek perlente itu sambil melotot.

   "kalau tidak masuk memangnya harus tidur di depan pintu rumahmu, hmmm... hmmmm.... benar benar kurangajar!"

   Sekali lagi Li Lok-yang tertegun, saking jengkelnya nyaris dia tidak sanggup berkata-kata.

   Selama hidup sudah cukup banyak manusia yang dijumpainya, tapi belum pernah dia jumpai kakek seaneh ini.

   Kakek aneh itu langsung memasuki ruang utama, dengan sorot matanya dia memandang sekeliling tempat itu sekejap lalu serunya sambil tertawa terkekeh.

   "Hahahaha.... palsu! Palsu! Dari lukisan yang tergantung dalam ruangan ini, paling tidak ada dua lukisan yang merupakan barang tiruan"

   Li Kiam-pek yang masih muda, berdarah panas, kontan naik darah dan siap mengumbar amarahnya, tapi deheman ayahnya membatalkan niat tersebut.

   Dalam pada itu ke dua orang bocah ganteng itu sudah ikut masuk ke dalam gedung sambil menjinjing dua buah peti yang berbentuk indah, peti itu terbuat dari besi dengan taburan intan permata disekitarnya.

   Belum lagi isi peti, dari bentuk ke dua peti itupun sudah ketahuan kalau nilainya luar biasa, tentu saja Li Lok-yang tahu nilai barang, tidak tahan untuk berdecak keheranan.

   Begitu masuk ke dalam gedung, kakek perlente itu segera berteriak.

   "Dimana tempat menginapku?"

   Biarpun gedung keluarga Li tidak nampak mentereng, namun memiliki banyak halaman dengan ruang kamar yang indah.

   Untuk menyambut kedatangan para tetamunya, Li Lok-yang telah perintahkan orang untuk membersihkan seluruh halaman rumah, dia tahu watak kakek perlente ini sangat aneh maka sengaja mengajaknya menuju ke halaman rumah yang paling lebar.

   Siapa tahu begitu memasuki kamar, gadis cantik bak bidadari itu segera menutupi hidungnya sambil berkerut kening.

   Kakek perlente itu lebih marah lagi, sambil menuding ke ujung hidung Li Lok-yang umpatnya.

   "Ruangan macam beginipun kau anggap tempat tinggal manusia? Kandang babi milik lohu jauh lebih indah ketimbang halaman rumahmu ini"

   Li Kiam-pek tidak kuasa menahan diri lagi, sambil menarik wajahnya dia menegur.

   "Kalau menganggap kurang berkenan, kenapa tidak membawa rumah sendiri?"

   Dia sengaja tidak memandang wajah ayahnya dan langsung mengucapkan perkataan itu.

   "Hmm, kau sangka bisa menyusahkan aku?"

   Jengek kakek perlente itu sambil tertawa dingin.

   Dalam duajam kakek berbaju perlente itu sudah perintahkan orang untuk mendirikan tiga buah tenda, tenda yang sangat megah dan indah bak istana raja Mongol ditengah gurun.

   Perabot dan perlengkapan yang tersedia dalam tandu itu lebih hebat lagi, hampir semua benda adalah barang pilihan yang indah, mahal dan tidak ternilai harganya.

   Dia menyediakan dapur sendiri dan menampik kiriman makanan yang disediakan gedung keluarga Li, kokinya adalah seorang koki kenamaan dari Hangciu, konon dia khusus diundang dari dalam istana kaisar.

   Kakek yang aneh, istri yang cantik bak bidadari, kekayaan yang tidak terhingga, perjalanan yang spektakuler, ketika semua hal digabung menjadi satu, tidak heran kalau segera menimbulkan gelombang kehebohan dalam masyarakat.

   Setiap orang mencoba untuk menebak namun tidak seorangpun bisa menduga asal usul kakek aneh ini, bahkan termasuk Li Lok-yang sendiripun diam-diam merasa tercengang sekalipun rasa herannya tidak sampai ditampilkan keluar.

   Para bangsawan yang datang dari kotaraja menduga kalau kakek itu mungkin saja seorang pembesar dipinggir perbatasan yang telah pensiun atau seorang keluarga kaya raya dari wilayah Kanglam.

   Sebaliknya para orang kaya dari wilayah Kanglam mengira kakek itu termasuk salah satu keluarga bangsawan di kotaraja atau salah satu keluarga Kaisar yang sedang berpesiar.

   Malah ada sementara orang yang menduga kalau kakek itu adalah seorang perompak laut yang sudah cuci tangan dan memiliki kepandaian silat yang sangat hebat.

   Tapi siapa pun tidak ada yang bisa menebak asal-usul sebenarnya dari rombongan itu.

   Menjelang senja, koki kenamaan dari kakek aneh itu mengeluarkan sebuah daftar menu yang menggemparkan masyarakat.

   setiap hari mereka nembutuhkan seratus ekor ikan segar, delapan puluh ekor burung kakaktua dan yang lebih penting lagi setiap hari mereka butuh delapan ekor kuda jempolan yang masih hidup.

   Sebab kegemaran kakek itu adalah otak ikan, hati burung kakaktua serta hati kuda yang dimasak setengah matang.

   Selewat senja, kakek itu duduk di depan tenda sambil menikmati pelbagai macam arak wangi, arak yang begitu harum baunya hingga bisa terendus dari jarak duajalanan dari tempat itu.

   Gadis cantik bak bidadari itu duduk disisi sang kakek dengan mengenakan kain cadar diwajahnya, selama ini tidak pernah terdengar dia berbicara, namun setiap kerdipkan matanya sudah jauh melebihi ribuan patah kata.

   Ketika malam hari mulai tiba, perdagangan bebas dalam gedung keluarga Li pun dimulai, semua orang dengan membawa pelbagai barang permata mulai dengan perdagangan mereka.

   Tapi transaksi yang terjadi pada hari kedua sangat minim, hanya seorang pensiunan jenderal membeli empat pasang kuda antik serta seuntai kalung mutiara.

   Selain itu juga pasangan tamu pertama....

   perempuan cantik berbaju sutera serta pemuda berbaju putih itu membeli berapa macam perhiasan dan sebilah pedang bertaburkan permata.

   Hingga pasaran bebas ditutup, kakek aneh itu tidak pernah menampakkan diri, ini membuat banyak pemuda tampan yang tidak tahan untuk mencuri pandang ke halaman belakang.

   Namun gadis cantik bercadar itu hanya mengernyitkan dahinya kemudian segera masuk ke dalam tendanya.

   Ada berapa orang pemuda yang tidak kuasa menahan diri, mereka mulai mengumpat dengan nada kasar.

   "Sekuntum bunga cantik ditancapkan diatas seonggok tahi kerbau, kakek bangkotan berumur delapan puluh tahun pun mengawini gadis cantik, betul-betul tidak tahu diri"

   Ketika umpatan itu terdengar dari dalam tenda, tiba-tiba gadis cantik itu tertawa terpingkal-pingkal sambil berbisik.

   "Kau.... penyamaranmu benar-benar sangat mirip!"

   Kakek perlente itu segera meluruskan punggungnya yang bongkok, dalam waktu singkat dia seolah sudah lebih muda puluhan tahun.

   "Kalau penyaruanku tidak mirip, orang lain tidak akan memaki, semakin kasar makian mereka, aku merasa semakin gembira"

   Ternyata ke dua orang itu bukan lain adalah Thiat Tiong-tong serta Sui Leng-kong yang tengah menyaru. Semua dugaan yang beredar dalam masyarakat pun keliru besar. Setelah tertawa sesaat, dengan kening berkerut Sui Leng-kong berkata lagi.

   "Tapi aku.... aku merasa a.... agak kuatir, cepat.... cepat atau lambat me... mereka pasti akan datang"

   "Tentu saja mereka akan datang, kalau mereka tidak muncul, buat apa aku datang kemari?"

   "See... setelah pulang.... Hek Seng-thian pas.... pasti akan berusaha men... mencari kita, ulahmu i.... ini.... apa tidak akan ter.... tertebak olehnya?"

   "Mereka mempunyai banyak mata-mata yang tersebar dimana-mana, kemana pun kita pergi, apalagi dengan membawa harta karun sebanyak ini, cepat atau lambat jejak kita akan dikejar dan posisi kitapun akan semakin berbahaya, tapi dengan berulah seperti ini, mereka malah tidak berani bertingkah macam-macam, karena mereka tidak tahu pasti siapa kita berdua, jadi kau tidak perlu kuatir...."

   "Tapi Hek Seng-thian pernah.... pernah bertemu aku"

   "Wajahmu saat itu jauh berbeda dengan penampilanmu sekarang, biarpun Hek Seng-thian bertemu denganmu pun belum tentu dia bisa mengenali"

   Sambil tersenyum Sui Leng-kong tundukkan kepalanya, sepasang pipinya berseru merah, meski tidak berkata-kata namun perasaan hatinya terasa sangat manis dan hangat. Kembali Thiat Tiong-tong berkata sambil tertawa.

   "Sayang kebanyakan pemuda yang muncul disini hanya kawanan playboy yang gemar main perempuan, kalau tidak aku pasti akan mencari-kan jodoh untukmu!"

   Tiba-tiba senyuman manis yang menghiasi wajah Sui Lengkong hilang lenyap tidak berbekas.

   Kini wajahnya berubah jadi pucat tidak berwarna darah, sorot matanya pun nampak sendu dan diliputi perasaan sedih.

   Thiat Tiong-tong sama sekali tidak memperhatikan perubahan dari gadis itu, dia sedang mengawasi pedang mestika yang tergantung diatas dinding sambil berkata.

   "Menurut perhitunganku, besok pagi mereka pasti akan muncul disini!"

   Pagi hari ke tiga, sinar matahari bersinar cerah menerangi seluruh jagad.

   Dari ujungjalan utara kota tiba-tiba muncul dua ekor kuda yang dilarikan kencang.

   Kedua orang itu tidak lain adalah Hek Seng-thian, cong piautau dari perusahaan ekspedisi Thian bu piaukiok serta wakil cong piautaunya pendekar bertangan tiga Pek Seng-bu.

   Diiringi suara ringkikan kuda yang panjang, mereka menghentikan kudanya persis di depan pintu gerbang gedung keluarga Li.

   Sambil melompat turun dari kudanya, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu langsung melangkah masuk ke dalam gedung seraya berseru.

   "Dimana Li toako?"

   Waktu itu Li Lok-yang sedang menarik napas di depan undak-undakan pintu gerbangnya. Ke tiga orang itupun segera terlibat dalam pembicaraan serius....

   "Betul"

   Terdengar Hek Seng-thian berkata.

   "Kedatangan kami berdua memang ingin mencari berita tentang seseorang"

   "Siapa?"

   "Konon dalam gedung Li toako telah kedatangan seorang manusia aneh yang memiliki kekayaan luar biasa, bahkan barang berharga yang dimilikinya merupakan barang-barang langka?"

   "Cepat amat berita ini tersiar ke telinga Hek congpiautau, baru berlangsung satu hari ternyata semua kejadian telah kau ketahui"

   "Tujuan kedatangan kami kali ini memang ingin menyelidiki asal-usul orang tersebut, disamping itu juga ingin tahu ada siapa saja pengunjung yang kelihatan agak mencolok dalam dua hari ini?"

   "Bukan saja cayhe tidak mengetahui latar belakang kakek itu, bahkan siapa namanya pun tidak jelas"

   "Tapi Li toako...."

   Sambil menarik muka tukas Li Lok-yang.

   "Sekalipun aku berhasil mengetahui latar belakangnya pun tidak mungkin akan kuberitahukan kepada kalian berdua, sebab hal ini termasuk tradisi keluarga Li yang harus ditaati turun-temurun, aku rasa kalian berdua pun mengetahui dengan jelas bukan?"

   Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian setelah termenung sejenak ujar Pek Seng-bu.

   "Kalau memang begitu bisakah Li toako memberitahukan kepada kami barang berharga apa saja yang dibawa kakek aneh itu?"

   "Tentang hal ini.... asal kalian berdua mau tinggal selama berapa hari, dengan sendirinya akan melihat sendiri semua yang bisa dilihat, bila kalian pun tidak dapat melihatnya, cayhe sendiri pun pasti tidak bisa melihatnya juga"

   Dengan senyuman dikulum kembali tambahnya.

   "Kalian tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh, silahkan mencuci muka lebih dulu kemudian meneguk secawan arak untuk memulihkan kembali kondisi tubuh"

   Pek Seng-bu yang selama ini membungkam terus tiba-tiba menimbrung dengan suara dalam.

   "Kami dua bersaudara bukannya tidak paham dengan kebiasaan serta tradisi yang berlaku dalam keluarga Li toako, tapi...."

   Setelah menghela napas panjang, lanjutnya.

   "Persoalan ini menyangkut masalah yang amat besar dengan keberlangsungan hidup Thian bu piaukiok, Seng kee ceng, Benteng Han hong po, Bi lek tong serta peternakan Lok jit, bila kami gagal menemukan jejak sepasang muda mudi itu.... aaai! Tidak bisa dibayangkan bagaimana akibatnya. Oleh sebab itu aku mohon kepada Li toako, mengingat hubungan kita yang sudah cukup lama, bersedia membantu kami berdua"

   Meskipun perkataan itu disampaikan dengan halus dan lembut, namun paras mukanya kelihatan jelas amat serius dan berat.

   "Muda-mudi dua orang?"

   Agak berubah paras muka Li Lokyang.

   "apakah mereka adalah anak murid Thiat hiat tay ki bun?"

   "Betul, mereka adalah murid Perguruan Tay ki bun!"

   "Orang-orang Perguruan Tay ki bun gemar berkeliaran secara bebas bahkan lebih suka bergerak ditengah gurun atau padang rumput atau tanah perbukitan yang sepi, atas dasar apa kalian bisa menduga kalau mereka akan datang kemari?"

   "Aaai! Panjang sekali ceritanya, singkatnya kami berhasil mendapat tahu kalau anak murid Perguruan Tay ki bun berhasil menemukan sejumlah harta karun yang tidak ternilai harganya, mereka pasti akan berusaha menjual sebagian dari harta itu untuk ongkos bergerilya, oleh sebab itu kami simpulkan mereka pasti akan muncul disini untuk menjual hasil penemuannya itu"

   "Ooh, jadi kalian berdua menaruh curiga kalau kakek aneh serta istri cantiknya adalah penyamaran dari muda-mudi murid Perguruan Tay ki bun?"

   "Betul!"

   "Anak murid Perguruan Tay ki bun pun pasti tahu kalau mereka sedang berada dalam target pencarian kawanan jago lihay dari lima keluarga besar, dalam keadaan seperti ini untuk menyembunyikan diri saja sudah cukup kerepotan, mana mungkin mereka mau tampilkan diri dalam satu pertemuan terbuka yang begini mencolok, apalagi melakukan tingkah laku yang aneh dan ekstrim, melakukan perbuatan yang justru memancing perhatian orang banyak?"

   Hek Seng-thian menghela napas panjang.

   "Meskipun perkataanmu ada benarnya juga, tapi anggota Perguruan Tay ki bun seringkah melakukan tindakan yang jauh diluar dugaan orang, bila kita sedikit lengah, pasti akan termakan oleh siasat busuk mereka"

   Sementara pembicaraan berlangsung, mereka bertiga sudah mengambil tempat duduk di ruang tengah. Li Lok-yang termenung berapa saat, kemudian baru ujarnya.

   "Menurut tradisi yang berlaku turun-temurun, siaute betul betul tidak bisa membantu kalian berdua, tapi diluar masalah ini, bila kalian berdua membutuhkan sesuatu pasti akan siaute penuhi"

   "Kalau begitu siaute butuh bantuanmu"

   "Bantuan apa?"

   "Siaute hanya ingin meminjam dua stel pakaian pembantu dari keluarga Li toako untuk kami kenakan"

   "Baik!"

   Setengah jam kemudian Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sudah muncul dengan pakaian pegawai gedung keluarga Li, mereka ikut mem-baurkan diri dalam kerumunan orang banyak.

   Sementara itu dari balik tenda mewah terdengar suara permainan khiem yang merdu merayu.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Meskipun waktu itu mereka berdua punya maksud tertentu, tidak urung terbuai juga oleh lantunan irama musik yang merdu merayu itu.

   Dayang cantik berbaju perlente itu duduk di depan dupa hio sambil memetik senar khiem, sementara dua orang bocah ganteng itu duduk dikedua sisinya sambil memainkan seruling serta alat musik lainnya.

   Thiat Tiong-tong dengan senyum dikulum seolah sedang menikmati lantunan lagu merdu itu, padahal secara diam-diam dia mengawasi terus gerak-gerik disekelilingnya, dari balik matanya yang setengah terpejam terkadang memancar keluar sinar mata yang tajam.

   Hanya Sui Leng-kong yang bersandar diatas pembaringan bagaikan seekor kucing yang sedang tiduran.

   Pada saat itulah tiba-tiba dayang cantik itu mengakhiri permainan khiem nya.

   Sambil menghelanapas kata Sui Leng-kong.

   "Si-ji, permainanmu.... sungguh indah!"

   Mendadak Thiat Tiong-tong melompat bangun sambil berseru.

   "Mainkan terus alat musik itu!"

   Dengan sebuah gerakan cepat dia menyelinap keluar dari balik tirai.

   "Su.... sudah datang?"

   Bisik Sui Leng-kong dengan wajah berubah.

   "Yaa, sudah datang!"

   "Bagaimana sekarang?"

   "Kalian semua jangan bergerak, Si-ji, lanjutkan permainan khiem mu!"

   Kemudian setelah membetulkan letak baju dan rambutnya sekali lagi dia menyingkap tirai dan berjalan keluar.

   Waktu itu Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu masih tetap berpatroli diseputar tenda, tiba-tiba mereka saksikan ada seorang kakek bungkuk yang berwajah aneh muncul dari balik tenda sambil menggapai ke arah mereka berdua.

   Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap, bisik Hek Seng-thian.

   "Sasaran kita telah muncul!"

   Sambil mengangguk kedua orang itu segera berjalan mendekat.

   "Apakah kalian berdua adalah pembantu gedung ini?"

   Tegur kakek aneh itu dingin.

   "Benar!"

   Jawab Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sambil menjura.

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Rahasia Mo-kau Kaucu -- Khu Lung Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini