Pendekar Panji Sakti 5
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 5
Selesai berkata dia masuk kembali ke balik tenda.
Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian bersama-sama masuk ke dalam tenda.
Diam-diam mereka telah menghimpun tenaga dalamnya pada kedua lengan dan siap melancarkan serangan setiap saat.
Begitu masuk ke balik tenda, terenduslah bau harum yang lembut menyelimuti seluruh ruangan, ketika mereka melirik sekejap ke sekeliling tempat itu tampaklah dua orang bocah ganteng itu sedang mendampingi seorang dayang cantik bermain khiem, terhadap kemunculan mereka berdua, mereka sama sekali tidak memandang atau melirik, sementara seorang gadis cantik sambil menggoyang kipasnya sedang berbaring sambil menikmati alunan musik.
Sambil duduk bersandar diatas bangkunya kakek aneh itu menegur dengan nada ketus.
"Kalau memang kalian berdua adalah pembantu keluarga Li, kenapa berani sembarangan mencuri barang milik lohu?"
"Peraturan keluarga Li sangat ketat dan keras, tidak mungkin kami berani mencuri barang milik tamu. Kau orang tua tentu salah paham"
Orang ini memang pintar lagi licik, sekalipun sebagai seorang cong piautau harus menyamar jadi seorang pembantu, ternyata gerak-gerik maupun cara berbicaranya sangat mirip, sama sekali tidak nampak mencurigakan.
"Hmm, akan kulihat kau bisa menyaru sampai berapa lama?"
Pikir Thiat Tiong-tong sambil tertawa. Sambil menarik wajahnya kembali dia membentak.
"Barang bukti di depan mata, kalian masih berani menyangkal?"
Sementara itu Pek Seng-bu sedang merasa keheranan, dia tidak berhasil menjumpai pertanda yang menunjukkan kalau kakek itu berasal dari Perguruan Tay ki bun, tanpa terasa pikirnya.
"Jangan-jangan dia memang kehilangan barang dan sekarang melimpahkan kesalahannya pada kami berdua?"
"Hamba berdua baru saja tiba disini"
Kata Hek Seng-thian dengan kepala tertunduk.
"hamba benar-benar...."
"Braaak!"
Thiat Tiong-tong menggebrak meja sambil berteriak gusar.
"Masih ingin membantah?"
Sambil menuding si dayang cantik yang sedang memetik senar khiem katanya lagi.
"Aku harus mengeluarkan biaya sebesar lima belas ribu tahil perak untuk membeli dia dari rumah pelesiran Hun kiok hoa, sementara kau sama sekali tidak keluar biaya barang setengik pun, nyatanya berani amat ikut menikmati alunan musik yang dia mainkan. Apakah ini bukan mencuri namanya? Sudah ada barang bukti masih berani membantah, ayoh cepat akui kesalahan kamu berdua!"
Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu tertegun dibuatnya, untuk sesaat mereka tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Thiat Tiong-tong semakin mencak-mencak kegusaran, sambil melompat bangun dari tempat duduknya kembali dia menghardik.
"Kalian berdua sudah mencuri barang milikku, sekarang tidak mau mengembalikannya kepadaku?"
"Bagaimana caranya mengembalikan irama musik itu?"
Tanya Pek Seng-bu cepat.
"Kau harus memainkan juga sebuah lagu untuk aku dengar"
"Tapi hamba tidak pandai bermain khiem"
Thiat Tiong-tong semakin gusar, umpatnya sambil menggebrak meja.
"Tidak bisa, tidak bisa, memangnya kalau sudah bilang tidak bisa lantas urusan beres? Lohu akan laporkan kejadian ini kepada majikan-mu, lohu akan... akan...."
Tiba-tiba dia terduduk kembali di bangku dengan napas tersengkal sengkal bahkan berulang kali terbatuk batuk, bocah ganteng itu segera menyuguhkan air teh sambil membujuk.
"Loya, kau jangan marah...."
Setelah menyuguhkan air teh, dia segera menguruti punggungnya.
Pek Seng-bu dan Hek Seng-thian saling bertukar pandangan tanpa bersuara, agaknya mereka tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Sui Leng-kong yang menyaksikan tampang kedua orang itu diam-diam merasa geli, tapi diapun kuatir wajahnya ketahuan Hek Seng-thian, maka setelah mendeham bisiknya.
"Sudahlah...."
Dengan menutupi wajahnya dengan kipas, diam-diam dia memberi kode mata pada pemuda itu.
"Enyah,.... kalian cepat enyah dari sini"
Maki Thiat Tiong-tong lagi.
"jika kalian berdua berani mencuri dengar lagi, jangan salahkan kalau lohu akan potong kaki anjing kau berdua!"
Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu tidak berani bicara lagi, buru-buru mereka mengundurkan diri dari situ.
Sepeninggal kedua orang itu, Sui Leng-kong tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa terpingkal-pingkal sampai membungkukkan tubuhnya.
Dalam pada itu Pek Seng-bu yang sudah berada diluar halaman sedang menghela napas panjang, sambil tertawa getir dan gelengkan kepalanya berulang kali dia bergumam.
"Benar-benar seorang kakek pelit yang aneh, tidak heran kalau dia cepat kaya raya"
Paras muka Hek Seng-thian pun nampak suram dan serius, katanya.
"Walaupun aku tidak berhasil mengenali siapakah dia, tapi aku merasa bahwa dibalik semuanya ini terdapat sesuatu yang aneh"
"Apakah perempuan itu adalah gadis yang toako jumpai dalam gua?"
Tanya Pek Seng-bu dengan kening berkerut. Dengan cepat Hek Seng-thian menggeleng.
"Gadis yang kujumpai didalam gua amat aneh dan jelek, sementara gadis itu cantik bak bidadari dari kahyangan, tapi.... aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.... ada yang tidak beres"
"Apanya yang tidak beres? Mungkin kau merasa aneh karena yang tua jelek, bongkok lagi memuakkan sementara yang perempuan muda, cantik dan menawan, karena itu toako merasa hubungan ini agak kurang beres"
"Bukan begitu saja, aku tetap merasa ada yang tidak beres, hanya saja tidak bisa kujelaskan dimana letak ketidak-beresan itu"
Pek Seng-bu segera menepuk bahu saudaranya sambil berkata.
"Sudahlah, lebih baik toako memeriksa ke timur sementara siaute periksa ke arah barat, coba kita lakukan penyelidikan lagi, siapa tahu akan ditemukan sesuatu petunjuk yang berharga"
Tidak menunggu jawaban dari Hek Seng-thian, dia sudah membalikkan tubuh dan beranjak pergi.
Sementara Hek Seng-thian masih berpikir dengan kening berkerut, tiba-tiba dia mendengar gelak tertawa berkumandang dari halaman depan, tanpa terasa dia berjalan menghampiri.
Halaman itu bukan didiami keluarga kaya raya, tapi lantai disapu amat bersih.
Saat itu sepasang suami istri setengah umur sedang berdiri diatas undak-undakan dengan senyuman dikulum, disisi lain terlihat sepasang suami istri yang lebih muda usianya dengan didampingi seorang dayang sedang mengawasi seorang bocah berusia tiga, empat belas tahunan menari ditengah halaman.
Cara bocah itu menari sangat aneh tapi gerakannya lucu.
Melihat itu Hek Seng-thian tersenyum sendiri, dia segera melihat kalau bocah itu ternyata pincang kakinya.
Sementara dia masih memandang dengan perasaan iba, tiba-tiba daun jendela dari deretan rumah disisi kiri dibuka orang.
Seorang nenek berbaju kuno berambut putih berdiri di depan jendela sambil bercekak pinggang, teriaknya penuh amarah.
"Apa yang kalian tertawakan? Si gagap bisa menyanyi, si pincang bisa menari, apanya yang lucu?"
Melihat kemunculan nenek itu semua orang segera bubaran, tampak si nenek kembali berseru sampai menggapai.
"Po-ji, kemarilah, kalau mereka berani menertawakan dirimu lagi, biar nenek beradu jiwa dengan mereka"
Hek Seng-thian tidak ingin membuat keonaran, buru-buru dia mengundurkan diri dari situ, pikirnya dengan perasaan geli.
"Lagi lagi seorang nenek yang aneh, rasanya dia lebih pantas jadi pasangan kakek jelek itu"
Membayangkan kembali cara bocah itu menari, hatinya makin geli, tanpa terasa gumam-nya.
"Si pincang bisa menari, si gagap pandai menyanyi...."
Berpikir sampai disitu, satu ingatan segera melintas lewat, serunya kegirangan.
"Aaah benar, gadis dalam gua adalah seorang gagap, sementara gadis cantik itupun tidak berani banyak bicara, meskipun hanya mengucapkan "sudahlah"
Rasanya dibutuhkan banyak waktu dan tenaga, hahahaha.... penyaruan mereka meski hebat, jangan harap bisa mengelabuhi aku si rase tua"
Berpikir sampai disitu dia segera berlarian menuju ke depan tenda kakek aneh itu, ditengah jalan dia menarik tangan seorang pembantu dan pesannya.
"Cepat temukan Pek Seng-bu, suruh dia secepatnya datang ke tenda si kakek aneh!"
Pelayan itu buru-buru mengangguk, belum sempat menjawab Hek Seng-thian sudah pergi jauh.
Ditempat sepi dia melepaskan jubah luarnya, dengan pakaian ringkas ditubuhnya ia menyusup masuk lagi ke dalam halaman belakang dan bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Tirai di depan pintu tenda sudah diturunkan, irama musik pun telah berhenti, kini yang terendus adalah bau masakan dan arak yang harum semerbak, entah hidangan apa sajayang disiapkan.
Sambil menelan air liur umpat Hek Seng-thian didalam hati.
"Bangsat ini pandai amat menikmati hidup!"
Dengan satu gerakan cepat dia menyelinap ke sisi tenda dan menghampiri jendela. Dari balik tenda terdengar suara tertawa seorang gadis diikuti dentingan mangkut dan cawan, lalu terdengar seseorang berseru.
"Hey, be.... berikan kepadaku...."
Hek Seng-thian merasa hatinya bergetar keras, tanpa ragu lagi dia mendorong daun jendela dan menyelinap masuk ke dalam, serunya sambil tertawa latah.
"Bagus, bagus sekali, ternyata kalian berada disini!"
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak bergerak, hardiknya.
"Siapa kau? Cepat pergi dari sini!"
Hek Seng-thian tertawa dingin.
"Siapakah aku? Masa kau tidak kenal?"
Thiat Tiong-tong sengaja memandangnya berapa kejap, lalu sambil tertawa dingin ujarnya kembali.
"Bagus sekali, rupanya pembantu yang tadi, kenapa? Setelah gagal mencuri, apa sekarang mau merampok?"
"Di depan orang beneran tidak usah bicara bohong, dalam mata yang jeli tidak akan kemasukan pasir, biarpun kalian berdua mau berubah seperti apapun jangan harap bisa mengelabuhi ketajaman mata toaya mu"
Sui Leng-kong mulai merasa tegang, tapi Thiat Tiong-tong tetap berlagak gusar. Kembali umpatnya sambil menggebrak meja.
"Kau itu manusia macam apa, berani amat bersikap kurang ajar kepada lohu, hmmm! Cepat enyah dari sini, cepat menggelinding dari sini...."
Dia sambar sebuah cawan dan dilemparkan ke depan. Dengan sedikit miringkan tubuh Hek Seng-thian sudah lolos dari sambitan itu, ujarnya sambil tertawa licik.
"Kalian sembunyikan kemana harta karun curian itu? Cepat mengaku terus terang, kalau tidak, jangan salahkan kalau toaya tidak akan mengampuni jiwamu"
"Barang curian apa?"
Bentak Thiat Tiong-tong gusar.
"kelihatannya kau sudah edan?"
"Sudah, jangan berlagak pilon lagi, cepat serahkan nyawamu!"
Seru Hek Seng-thian sambil tertawa seram, sepasang tangannya diangkat sejajar dada kemudian dengan langkah yang berat selangkah demi selangkah dia menghampiri lawan.
Thiat Tiong-tong pura-pura menunjukkan wajah kaget dan gugup sementara secara diam-diam dia telah menghimpun tenaga dalamnya, dalam keadaan seperti ini meski dia tidak ingin membongkar identitas sendiri, namun asal Hek Seng-thian turun tangan, dia akan melancarkan serangan lebih dulu.
Selisih jarak kedua orang itu makin lama semakin mendekat, sekarang selisih jarak mereka tinggal satu setengah langkah.
Mendadak tirai pintu kembali terbuka, menyusul seseorang membentak keras.
"Tunggu sebentar!"
Sesosok bayangan manusia menyelinap masuk dengan kecepatan tinggi, kemudian sambil mencengkeram pergelangan tangan Hek Seng-thian serunya.
"Toako. Jangan turun tangan!"
Thiat Tiong-tong tidak menyangka kalau dalam keadaan kritis si pendekar bertangan tiga Pek Seng-bu akan menghalangi saudaranya untuk turun tangan. Hek Seng-thian sendiripun nampak tertegun, bentaknya.
"Lepas tangan!"
"Toako, kau salah orang!"
Kata Pek Seng-bu cepat.
"Aku yakin mataku tidak buta, tak mungkin aku salah orang, gadis itu gagap waktu bicara, jelas dia adalah gadis dalam gua itu"
"Orang gagap toh bukan cuma satu orang, apalagi didunia ini masih terdapat orang gagap lain, toako, apakah kau tidak merasa gegabah dengan menilai seseorang dari hal ini?"
Kemudian setengah berbisik ujarnya lagi.
"Untung siaute datang tepat waktu, kalau tidak, bagaimana caramu untuk memberikan pertanggungan jawab kepada Li Lokyang?"
"Lalu atas dasar apa kau mengatakan aku salah bicara?"
Tegur Hek Seng-thian gusar. Pek Seng-bu menarik Hek Seng-thian mundur berapa langkah, lalu bisiknya.
"Siaute berhasil menemukan jejak anak murid Perguruan Tay ki bun di halaman sebelah tengah sana!"
"Sungguh?"
Seru Hek Seng-thian terkesiap.
"Kau tidak salah melihat?"
"Bangsat itu adalah salah satu orang yang lolos dari perangkap ditengah hutan tempo hari, siaute melihat dengan mata kepala sendiri, jadi tak mungkin keliru, harap toako berlega hati"
Paras muka Hek Seng-thian segera berubah hebat, setelah termangu sesaat buru-buru dia menjura seraya berkata.
"Lo sianseng, maafkan kecerobohan cayhe, harap lo sianseng jangan masukkan kejadian ini didalam hati"
"Tidak dimasukkan ke dalam hati?"
Umpat Thiat Tiong-tong dengan gusar.
"hmrnrn, hmmm, lohu pasti akan masukkan kejadian ini didalam hati, selamanya tidak akan kulupakan, cepat enyah dari hadapanku!"
Sambil tertawa getir kembali Pek Seng-bu berbisik.
"Cepat pergi, lebih baik kita jangan bikin sewotnya makhluk tua ini"
Dia menarik tangan Hek Seng-thian dan buru buru mengundurkan diri dari situ. Memandang hingga bayangan tubuh mereka lenyap dari depan mata Sui Leng-kong baru menghembuskan napas lega, keluhnya.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh berbahaya! Un.... untung...."
Tiba-tiba dia menyaksikan sinar ketegangan yang memancar dari balik mata Thiat Tiong-tong, sepasang tangannya yang mengepal tampak gemetar keras, tidak tahan serunya lagi dengan perasaaan terkejut.
"Ke.... kenapa kau?"
"Sudah kau dengar apa yang mereka bicarakan tadi?"
Tanya Thiat Tiong-tong dengan suara dalam.
"Yaa. Suu.... sudah ku... kudengar!"
"Pek Seng-bu adalah seorang jagoan yang sangat teliti, tak mungkin dia salah melihat, tapi yang membuat aku tidak habis mengerti adalah siapa yang telah dia jumpai?"
Pek Seng-bu yang menarik tangan Hek Seng-thian hingga keluar dari halaman, saat itulah Hek Seng-thian tidak bisa menahan diri lagi dan bertanya.
"Jite, persoalan ini menyangkut satu masalah yang luar biasa, kau tidak salah melihat?"
Pek Seng-bu tersenyum.
"Bukan saja siaute melihat dengan jelas sekali bahkan telah ku selidiki kalau bajingan inipun ditemani seorang gadis, kemarin malam dia malah sempat membeli sejumlah barang perhiasan, caranya membeli sangat royal, tapi sepanjang hari sebagian besar waktunya digunakan untuk berbaring dalam kamar, dia jarang menampakkan diri, juga tidak suka bergaul dengan orang lain"
Hek Seng-thian segera merasakan semangatnya berkobar kembali, tidak tahan serunya.
"Kalau begitu pasti dialah orangnya!"
"Kapan cara kerja siaute ngawur dan tidak pakai aturan?"
"Ayoh berangkat!"
Sambil melepaskan cekalan, Hek Seng-thian berlalu lebih dulu dari situ. Sekali lagi Pek Seng-bu menarik tangannya.
"Toako, biasanya kau bertindak sangat hati hati dan penuh kewaspadaan, kenapa hari ini berubah jadi berangasan dan tidak sabaran?"
Hek Seng-thian menghela napas panjang.
"Sebab persoalan ini besar sekali pengaruhnya terhadap kita berdua, aku tidak boleh membiarkan mereka turun tangan terlebih dulu, apalagi membiarkan Leng It-hong dan Suto Siau sekalian tiba duluan disini, jika mereka sampai tahu kalau kita dua bersaudara mendapat rejeki nomplok, dapat dipastikan merekapun menuntut bagian, terlebih.... dalam kematian Siau Lui-sin, aku ikut memikul tanggung jawab yang besar, bila sampai bajingan Li bek hwee (api geledek) mengetahui kejadian yang sesungguhnya, keadaan akan lebih berabe lagi...."
"Sekalipun begitu, toako anggap Li Lok-yang akan berpeluk tangan saja bila kau turun tangan dalam saat begini? Dengan kekuatan kita berdua, memangnya sanggup menghadapi kerubutan anak buah keluarga Li?"
Kata Pek Seng-bu sambil menghela napas. Hek Seng-thian melengak, kemudian setelah termangu berapa saat diapun menghela napas panjang.
"Terus terang, saat ini pikiran toako sangat kalut, tidak sanggup berkosentrasi, akupun bingung dan tak tahu apa yang mesti dilakukan, lebih baik kau sajayang sementara memegang kendali"
Pek Seng-bu melirik sekeliling tempat itu sekejap kemudian membisikkan sesuatu ke sisi telinga saudaranya, dengan senyuman dikulum Hek Seng-thian manggut berulang kali.
"Bagus, kita lakukan dengan cara itu!"
Tiba-tiba berpekik sembari bertepuk tangan.
Malam itu di saat lampu-lampu mulai menerangi ruangan, transaksi jual beli dalam gedung keluarga Li mulai dibuka.
Sekeliling dinding gedung utama bermandikan cahaya lentera, setiap jarak sepuluh langkah tergantung sebuah lentera yang terbuat dari tembaga dengan bahan bakar yang cukup, rangkaian lentera yang berjajar jajar membuat suasana disitu bagaikan di siang hari saja.
Selain itu, diatas setiap meja tersedia juga dua buah lilin ukuran raksasa yang ditutup dengan sebuah penutup terbuat dari bahan halus, penutup lilin diganti dengan yang baru sehari satu kali sehingga penampilannya selalu bersih tanpa bekas asap.
Sebab dalam jual beli barang berharga dibutuhkan penerangan cahaya yang jelas, dengan begitu orang baru bisa membedakan mana barang asli dan mana barang palsu.
Disekeliling setiap meja disediakan delapan buah bangku, diatas meja pun tertera sebuah papan nama terbuat dari kayu dengan kode yang berbeda.
Kode angka itu menandakan nomor urut, juga melambangkan tamu yang duduk di meja tersebut bertempat tinggal di halaman rumah nomor berapa....
tamu yang berdiam di halaman rumah pertama akan menempati meja nomor satu, sementara tamu yang tinggal di halaman ke sepuluh akan menempati meja nomor sepuluh.
Oleh karena setiap orang yang datang kesitu kebanyakan merahasiakan nama serta identitas aslinya, maka cara itulah yang dipakai untuk membedakan satu dengan lainnya.
Tentu saja ada sementara orang kenamaan yang tidak mungkin bisa merahasiakan nama serta identitas sebenarnya, seperti juga kertas yang tak pernah bisa membungkus api.
Sejak awal Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sudah duduk dimeja nomor tiga belas yang letakkan sedikit disudut gedung utama, namun sorot mata mereka yang tajam mengawasi dengan seksama, setiap orang, setiap tamu yang berlalu lalang disitu.
Sampai ruang gedung utama dipenuhi empat puluh persen pengunjung, di antara kerumunan orang baru muncul tokoh tokoh kenamaan.
Seorang kakek kurus kering berwajah masam dengan membawa dua orang wanita muda berwajah cantik tapi bermata liar menempatkan diri di belakang meja nomor dua.
Di belakang mereka berdua mengikuti dengan ketat seorang lelaki setengah umur yang menyoren sebilah pedang, wajahnya pucat dan gerak geriknya jumawa, sekalipun tampan namun tampak dingin, jahat dan amat licik.
"Coba kau lihat siapa yang telah datang?"
Bisik Hek Seng-thian dengan kening berkerut.
"Aaah, Giok Phoa-an (Phoa An kumala) Phoa Seng-hong!"
Sahut Pek Seng-bu tercengang.
"bagaimana mungkin dia bisa menjadi pengawalnya Hong Pak-ban dari San-say? Benar-benar satu kejadian aneh"
"Apanya yang aneh?"
Hek Seng-thian tertawa.
"dapat dipastikan orang ini sudah tertarik dengan salah satu bini Hong Pak ban, hahaha.... kelihatannya Hong Pak-ban tak akan terlepas dari statusnya sebagai si penyandang topi hijau"
Sementara pembicaraan sedang berlangsung, ditengah ruangan kembali muncul tiga rombongan tetamu, rombongan pertama adalah Hong liu ong sun (cucu raja romantis) Kim Ji kongcu dari Kotaraja yang datang dengan membawa keempat orang gundiknya, mereka berjalan masuk sambil bergurau dan berbincang dengan ramainya.
Rombongan ke dua adalah berapa orang kongcu keturunan saudagar kaya dari wilayah Kanglam, Ouyang hengte, mereka berjalan masuk kedalam ruangan sambil menggoyangkan kipasnya, sementara sorot matanya yang jalang tiada hentinya menyapu wajah setiap perempuan muda yang hadir dalam ruangan.
Rombongan ke tiga terdiri dari sekelompok wanita, usia mereka rata-rata dua puluh tahunan, gerak geriknya lembut, wajahnya cantik, sikapnya santun dan penuh terpelajar seakan rombongan wanita dari keluarga berpendidikan.
Hampir semua orang mengalihkan pandangan matanya ke wajah rombongan wanita itu, namun jarang ada yang tahu asal usul mereka, hanya Hek Seng-thian yang tersenyum sambil berbisik.
Mite, tahukah kau siapa mereka?"
"Aaah, toako kelewat memandang rendah pengetahuan siaute, masa aku tidak kenal dengan perompak wanita yang malang melintang di utara dan selatan sungai besar, It oh Li ong hong (segerombolan ratu tawon)?"
"Hehehehe.... dengan kemunculan rombongan iblis wanita ini, entah ada berapa banyak lelaki hidung bangor yang bakal jadi korban bagai laron yang menubruk cahaya api!"
Pek Seng-bu memandang sekejap ke seluruh ruangan, benar saja, dia segera jumpai sorot mata Ouyang hengte sedang dialihkan ke wajah rombongan itu, tidak tahan serunya sambil tertawa dingin.
"Hmmm, kalau mencari kematian buat diri sendiri, jangan salhkan orang lain!"
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak keras dari luar pintu.
"Dimana letak tempat dudukku?"
Seorang lelaki hitam pekat dengan kepala yang besar dan tinggi badan mencapai dua meter lebih menerjang masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar, dalam tangannya membawa sebuah karung goni.
Begitu tiba ditengah ruangan, matanya yang besar bagai gundu menyapu sekejap wajah Giok Phoa-an Phoa Seng-hong, kemudian sambil mendelik ke arah lelaki itu umpatnya.
"Bagus sekali, ternyata si tulang lunak yang suka makan nasi murahan juga telah datang kemari!"
Phoa Seng-hong mendongakkan kepalanya memandang langit-langit, dia berlagak seolah tidak mendengar. Melihat itu Pek Seng-bu kembali berkata sambil tertawa.
"Sungguh tidak disangka Thian sat seng (Bintang pembawa bencana) Hay Tay sau juga telah datang, coba kalau bukan bertemu disini, dia bersama Giok Phoa-an pasti akan membuat pertunjukan yang menarik!"
"Coba kau lihat karung goni yang dibawanya"
Sahut Hek Seng-thian sambil tertawa pula.
"kelihatannya tidak sedikit yang berhasil dia dapatkan dalam setahun ini, orang ini selalu bekerja sendirian, bahkan aku sendiripun tidak jelas darimana ia dapatkan barang-barang itu, kelihatannya dia memang serba bisa dan serba tahu, luar biasa!"
Dalam pada itu Hay Tay-sau sudah diantar orang menuju ke meja nomor tujuh, tapi dia tidak menempatinya, malah dengan lantang berteriak.
"Li toako, bagaimana dengan hari ini?"
Waktu itu Li Lok-yang bersama putranya sedang jalan berkeliling dalam ruang gedung, mereka sedang menyelenggarakan transaksi dengan para penjual disitu, ada yang mereka beli barang dagangannya ada pula yang tidak.
Tapi setiap transaksi yang kejadian, pihak keluarga Li segera akan memberi uang muka sebesar setengah harga.
Ketika mendengar teriakan itu, sambil tertawa Li Lok-yang menyahut.
"Sekarang waktu masih terlalu awal, pasaran belum dibuka semuanya!"
Si bintang pembawa bencana Hay Tay-sau tertawa terbahak bahak, serunya lantang.
"Hahahaha.... bagus, kalau begitu biar aku yang membukakan pasar untuk Li toako hari ini"
Dengan tangan kirinya menggenggam mulut karung, tangan kanan memegang dasar karung, dia tuang seluruh isi karung goninya ke atas meja.
Dalam waktu singkat sinar gemerlapan memancar keluar dari tumpukan barang mestika itu.
Kembali Hay Tay-sau berseru sambil tertawa keras.
"Aku memang tidak sabaran, paling pantang duduk kelewat lama, disini terdapat tiga puluh macam barang mainan, tidak banyak pun tidak sedikit, setiap macam benda berharga lima ratus tahil perak, kalau ingin membelinya silahkan segera membeli!"
Baru selesai dia berkata, sekawanan wanita yang suka membeli barang murahan segera menyerbu ke depan dan saling berebut untuk memilih.
"Semuanya berhenti!"
Kembali Hay Tay-sau menghardik. Suaranya yang keras bagai geledek seketika membuat rombongan wanita itu menghentikan langkahnya dengan kaget.
"Kalian tidak bisa memilih dengan cara begini"
Seru Hay Tay-sau sambil tertawa keras.
"kalau yang bagus sudah dipilih duluan, siapa yang mau membeli sisanya? Pokoknya siapa yang sudah menyentuh benda itu, dia harus membeli barang tersebut!"
Kemudian sambil menggebrak meja serunya lagi.
"Setorkan uangnya dulu kemudian baru mengambil, siapa yang berani sembarangan, akan kupotong lengannya!"
Semua orang saling bertukar pandangan dan beringsut mundur dari situ, siapa pun tidak tahu dengan pasti berapa nilai barang yang bakal dirabanya, tentu saja tidak seorangpun mau beradu untung.
Li Lok-yang yang menyaksikan hal itu segera tersenyum, dari seorang lelaki setengah umur yang nampaknya merupakan kasirnya, dia mengambil selembar uang kertas kemudian ujarnya sambil tersenyum.
"Biar aku mengambil duluan!"
"Li toako, aku percaya denganmu, uang kertas itu boleh disimpan dulu!"
"Peraturan tak boleh dilanggar, silahkan terima uang ini!"
Dia letakkan uang itu dimeja lalu masukkan tangannya ke dalam kantung dan mengambil sebiji batu kemala yang berwarna putih mulus. Di antara sorak-sorai orang banyak, Li Lok-yang berkata lagi sambil tersenyum.
"Waaah. Batu Han-giok senilai tiga ribu tahil perak hanya kubeli dengan harga lima ratus tahil, luar biasa, luar biasa!"
Li Lok-yang memang sangat ahli dalam menilai harta barang berharga, ucapannya sangat dihargai orang dan menjadi panutan orang banyak, tidak heran kalau begitu dia menyelesaikan perkataannya, sudah ada serombongan orang yang berebut maju, tapi orang kedua hanya memperoleh sebuah mainan gantungan yang nilainya hanya dua ratus tahil.
Maka orang pun beramai-ramai mundur kembali ke belakang, tinggal seorang sastrawan setengah umur berwajah bersih dan mengenakan baju biru yang tetap melangkah maju ke depan.
"Gin siepoa (siepoa perak) selalu cermat dalam perhitungan, apakah kaupun ingin ikut beradu untung?"
Seru Hay Tay-sau sambil tertawa. Sastrawan setengah umur ini adalah Gien siepoa, seorang pedagang barang permata yang amat tersohor namanya, mendengar itu dia tertawa.
"Aku percaya dengan perkataan anda, tidak mungkin kau akan bikin orang lain menderita kerugian"
Barang pertama yang diambilnya hanya bernilai tiga-empat ratus tahil, tapi dia sama sekali tak gugup, kembali diambilnya sebuah benda lagi....
kali ini dia mendapat sebuah patung singa terbuat dari batu zamrud yang nilainya mencapai ribuan tahil perak.
"Ternyata perhitungan siepoa dari Gin-siepoa memang sangat hebat"
Puji Hay Tay-sau sambil tertawa.
"apa mau mengambil lagi?"
"Aaah, sudah untung empat ribu tahil, rasanya sudah lebih dari cukup, aku selalu tahu diri!"
Sahut Gin-siepoa sambil tertawa.
Seorang lelaki setengah umur berunding cukup lama dengan bininya, setelah pikir punya pikir akhirnya dia mengeluarkan setumpuk kecil uang kertas dan maju mendengar dengan peluh membasahi jidatnya.
Dengan tangan gemetar dia mengambil sebuah benda dari dalam karung, tapi yang diperoleh hanya sebuah batu han-giok bernilai dua ratus tahil, tiba-tiba paras mukanya berubah jadi pucat pias, peluh sebesar kacang kedele bercucuran membasahi wajahnya.
Sementara bininya segera lari mendekat sambil berseru dengan nada gemetar.
"Baa.... bagaimana sekarang?"
Hay Tay-sau yang mengikuti kejadian itu segera membentak nyaring.
"Ambil sebuah lagi!"
"Tapi.... aku sudah tidak punya...."
Lelaki setengah umur itu tertunduk lesu.
"Goblok, kalau aku suruh kau mengambil lagi, tentu saja tidak perlu setor uang"
Sepasang suami istri itu seakan tidak percaya dengan pendengaran sendiri, tapi setelah didesak berulang kali akhirnya mereka mendapatkan sebuah benda yang nilainya mencapai ribuan tahil, tidak heran kalau kedua orang itu mengucapkan terima kasihnya berulang kali.
Pek Seng-bu segera berbisik sambil tertawa.
"Ternyata si bintang pembawa bencana memang tidak malu disebut seorang perampok budiman!"
Mendadak Hong Pak-ban bangkit berdiri sambil berkata.
"Aku tidak usah meraba lagi, sisanya yang dua puluh empat macam barang kubeli semua!"
"Serahkan dulu uangnya!"
Hong Pek-ban mengeluarkan selembar uang kertas dan diserahkan kepada Phoa Seng-hong, katanya.
"Uang kertasku bernilai dua belas ribu lima ratus tahil, berarti uang kembalinya lima ratus tahil"
Perlahan-lahan Phoa Seng-hong menerima uang kertas itu dan berjalan ke tengah lapangan.
Suasana dalam ruangan pun mulai dicekam ketegangan yang luar biasa, sebab nyaris semua umat persilatan tahu kalau si Phoa-an kemala Phoa Seng-hong adalah musuh bebuyutan Hay Tay-sau.
Terdengar, si bintang pembawa bencana Hay Tay-sau tertawa seram, jengeknya.
"Hey manusia she-Phoa, cepat menggelinding pergi, aku sedang berdagang dengan majikanmu, aku tak sudi menerima duit yang dihantar seorang budak!"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika itu juga Phoa Seng-hong menghentikan langkahnya, paras mukanya berubah jadi pucat pias. Kembali Hay Tay-sau tertawa seram.
"Hahahaha.... kenapa? memangnya aku salah menyebutmu seorang budak?"
Ejeknya.
Phoa Seng-hong menarik kembali tangannya, kini jari tangannya sudah menyentuh gagang pedang.
Sepasang kepalan Hay Tay-sau pun sudah digenggam kencang, di antara ruas-ruas jari tangannya terlihat otot yang menonjol keluar.
Empat mata saling melotot dengan sinar kebencian dan kegusaran, tampaknya pertarungan tidak terelakkan.
Mendadak Li Lok-yang mendeham perlahan, dia menghampiri Phoa Seng-hong, mengambil uang kertas itu lalu ditukar dengan kantung milik Hay Tay-sau, ujarnya kemudian.
"Nah, transaksi sudah selesai bukan?"
Tanpa mengucapkan sepatah katapun Phoa Seng-hong menyerahkan kantung goni itu ke tangan Hong Pak-ban, dia tidak mengucapkan sepatah katapun namun dari balik matanya sudah memancar keluar sinar pembunuhan yang menggidikkan.
Hay Tay-sau tertawa dingin berulang kali, dia memilih berapa lembar uang kertas dan diserahkan kepada kasir keluarga Li, kemudian umpatnya lagi.
"Dasar budak bertulang lunak!"
Sambil berjalan dia mengumpat tiada hentinya, sewaktu tiba di depan Hong Pak-ban tiba-tiba dia berhenti, katanya sambil tertawa tergelak.
"Padahal semua barang barang itu tidak ada harganya, justru budakmu itu memiliki sebuah topi hijau yang tidak ternilai harganya untuk dijual kepadamu!"
"Topi hijau apa?"
Hong Pak-ban tertegun, tiba-tiba dia teringat arti yang sebenarnya dari perkataan itu, kontan saja paras mukanya berubah jadi merah padam, dengan gusar dia menggebrak meja sambil mencaci maki.
Tapi Hay Tay-sau sudah pergi jauh, sambil mengulapkan tangannya ia mulai bersenandung.
"Lima telaga empat samudra aku kunjungi, emas perak dikolong langit kuambil, melihat ketidak adilan di dunia ini, ku babat kubacok biar habis"
Suara umpatan Hong Pak-ban makin lama semakin lirih, sedangkan Phoa Seng-hong hanya berdiri membungkam tidak berani banyak berkutik.
Suasana didalam ruangan pun dicekam dalam keheningan yang luar biasa, tapi sejenak kemudian suasana sudah pulih kembali seperti sedia kala, transaksi jual beli pun kembali berlangsung.
Hingga menjelang malam hari, banyak meja yang masih tetap dalam keadaan kosong.
Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu diam diam berpikir.
"Meja nomor empat tetap dalam keadaan kosong...."
Kedua orang itu segera saling bertukar pandangan sekejap, sementara dalam hati kecil merasa girang.
"Masih ingat apa langkah kita selanjutnya?"
"Mula-mula bikin keonaran dulu disini agar orang lain tidak sempat memperhatikan halaman belakang, lalu menyulut api di istal kuda agar pegawai keluarga Li repot memadamkan api, setelah itu kita baru turun tangan"
Berbicara sampai disini kembali dia menghela napas panjang, tambahnya.
"Kelihatannya semua ini bisa dilakukan dengan mudah, tapi masalahnya sekarang bagaimana cara kita menciptakan keributan disini?"
"Kita memang kekurangan tenaga, sementara Phoa Seng-hong kurang bernyali, kalau tidak keributan pasti sudah terjadi sejak tadi"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, tiba-tiba terlihat seorang nenek berpakaian lusuh dengan menggandeng seorang pemuda pincang berusia tiga, empat belas tahunan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ditangan si nenek memegang sebuah kantung goni yang usang, walaupun pakaian yang dikenakan ada tambalannya, namun lagak serta gerak geriknya bagaikan seorang nyonya bangsawan.
Sorot mata semua orang pun segera dialihkan ke wajah mereka berdua.
Perlahan-lahan nenek itu berjalan menuju ke meja nomor sembilan, sepanjang perjalanan ia sama sekali tidak menengok kemana-mana, tapi ketika tiba ditengah ruangan, tiba-tiba karung goninya terlepas hingga mutiara miliknya tersebar ke mana mana.
Mutiara sebesar lengkeng tersebar memenuhi permukaan lantai dan menggelinding entah kemana, sekilas pandang pun tidak diketahui ada berapa banyak mutiara yang hilang.
"Mutiaraku.."
Nyonya tua itu menjerit lengking. Dengan satu lompatan Li Kiam-pek segera tampil ke tengah ruangan, teriaknya sambil mengangkat tinggi tangannya.
"Tamu sekalian yang terhormat, tolong jangan bergerak dulu, biar aku bantu nyonya tua ini memunguti semua mutiaranya yang terjatuh"
Sebagaimana diketahui, mutiara-mutiara itu besarnya seperti buah kelengkeng, setiap butirnya bernilai sangat tinggi, bila sampai hilang satu saja maka siapa pun tidak akan sudi menanggung dosa.
Maka seluruh hadirinpun berdiri termangu ditempat, siapa pun tidak ingin sembarangan bergerak.
Hek Seng-thian saling bertukar pandangan sekejap dengan Pek Seng-bu, diam-diam mereka bangkit berdiri dan menyelinap keluar gedung melalui pintu samping, setelah itu mereka berdua baru mendongakkan kepala sambil menghembuskan napas lega.
"Thian benar benar telah membantu kita"
Ujar Pek Seng-bu.
"Urusan tidak bisa ditunda lagi, ayoh kita segera berangkat"
"Betul, kita harus segera berangkat!"
Sambil berbicara mereka berdua menelusuri jalan samping yang sepi dan gelap, kemudian setibanya ditempat yang sepi, mereka berdua segera melejit ke atas wuwungan rumah.
"Kau lepaskan api, biar aku yang berjaga diri"
Bisik Pek Seng-bu kemudian.
Mereka berdua pun saling berpisah, satu kekiri dan yang lain ke kanan.
Dibalik gedung pada halaman ke empat, cahaya lentera masih menyinari seluruh ruangan, dari balik jendela terlihat ada dua sosok bayangan manusia berdiri berdekatan.
Mereka sedang berpelukan di depan jendela dengan mesrahnya, seakan siapa pun tidak ingin banyak bicara.
Lewat berapa saat kemudian bayangan lelaki itu baru bangkit berdiri dan membuka daun jendela, sinar rembulan yang memancarkan cahayanya segera menyinari raut mukanya yang tampan.
Dia memiliki alis mata yang panjang bagai sebilah pedang, sinar matanya sangat tajam, hidungnya mancung membuat wajah tampannya lebih mirip dengan kepolosan seorang pelajar.
Tapi bila dilihat dari kulit tubuhnya yang putih serta bibirnya yang sedang mencibir, diapun lebih mirip dengan kepolosan dan kekerasan hati seorang bocah cilik.
Saat itu dia sedang menengok cahaya rembulan diluar jendela, dadanya naik turun tidak beraturan, tampaknya sedang mendongkol.
Kemudian terlihat bayangan perempuan itu perlahan-lahan bangkit berdiri lalu memalingkan kepalanya....
Dibawah sinar rembulan, kecantikan wajah perempuan itu betul-betul gampang membuat perasaan lelaki tergoda.
Sorot matanya seakan mengandung daya pikat yang sukar ditampik setiap lelaki, dia mengerling sekejap ke arah pemuda tampan itu kemudian baru bertanya dengan lembut.
"Kau sedang marah?"
Pemuda tampan itu mendengus dingin, ia tidak menggubris maupun ambil perduli, tapi kemali perempuan cantik itu merangkul bahunya dengan tangannya yang lembut, sementara bibirnya ditempelkan ke sisi telinganya dan membisikkan sesuatu.
"Tolonglah, jangan marah kepadaku, mau bukan?"
Pemuda tampan itu menghela napas panjang.
"Aku bukannya marah tapi sedikit tidak habis mengerti, kenapa kau bersikeras ingin datang kemari?"
Tanyanya.
"Kenapa pula kau tidak ingin kemari?"
Perempuan cantik itu balik bertanya sambil menundukkan kepalanya. Sambil menggigit bibir tiba-tiba pemuda tampan itu balas menggenggam bahunya.
"Katakan kepadaku"
Ujarnya.
"bukankah kau mempunyai banyak masalah? Bukankah kau sedang menghadapi tekanan yang amat besar, tekanan yang jahat? Bukankah kau sedang minta aku menolongmu? Membantumu...."
"Kau keberatan?"
Tanya perempuan itu sedih.
"Siapa bilang aku keberatan"
Pemuda tampan itu menghela napas panjang.
"jangan lagi kau pernah menyelamatkan jiwaku, sekalipun.... sekalipun kau suruh aku terjun ke dalam lautan api pun aku tetap rela melakukannnya, apalagi demi cinta kita berdua...."
"Oooh, Kau baik sekali kepadaku, aku tahu...."
Sambil mengerdipkan matanya yang basah oleh air mata, perempuan cantik itu menyandarkan diri dalam pelukannya. Pemuda itu pejamkan matanya sambil berkata dengan sedih.
"Kalau aku tidak baik kepadamu, tidak mungkin aku bersedia membawamu keluar dan akan menghantarmu kembali...."
Mendadak ia mendorong tubuhnya dan berkata lagi dengan lantang.
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang anggota perguruan yang berdosa, membawamu pulang akan memikul banyak mara bahaya dan resiko, bahkan besar kemungkinan aku akan mendapat hukuman yang sangat berat dari perguruan"
Perempuan cantik itu mulai sesenggukan, dengan air mata bercucuran katanya.
"Aku memang seorang gadis yang malang, kalau aku tidak menggantungkan diri denganmu, lalu aku mesti hidup bergantung pada siapa?"
Lambat laun hawa amarah pemuda itu mulai mereda, hiburnya dengan suara lembut.
"Tentu saja aku akan melindungimu, bagaimanapun aku tetap akan membawamu pulang, tapi kenapa kau ingin datang kemari? Kenapa tidak langsung pulang ke rumah saja?"
"Barang berharga, tahukah kau setiap wanita pasti tidak kuasa menahan godaan intan permata dan perhiasan indah, selamanya mereka tidak akan mampu melawan godaan itu, sudah lama aku ingin datang kemari"
"Tapi.... tahukah kau ada berapa banyak orang dalam dunia persilatan yang merupakan musuh besarku?"
"Kenapa kau tidak menyamar, tidak mengubah wajahmu?"
Pemuda tampan itu segera berkerut kening, serunya gusar.
"Wajah dan tubuh kita adalah pemberian dari orang tua, setelah bersusah payah orang tua melahirkan kita, kenapa wajah kita mesti disembunyikan? Kenapa kita harus menyaru?"
"Siau-in, jangan marah"
Sekali lagi perempuan cantik itu menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
"Kita segera pergi dari sini, setuju? Jangan kuatir, tidak bakal ada orang bisa mencelakai dirimu"
Perlahan lahan dia menggerakkan tangannya keatas daun jendela dan menutupnya, tapi sewaktu telapak tangan itu melintas diatas jendela, sebuah cap jari tangan telah membekas disana.
Kelihatannya jari tangan itu sudah dibubuhi bubuk sulfur sehingga dipandang dalam kegelapan memancarkan sinar yang gemerlapan, seperti sebuah telapak iblis yang meninggalkan tanda jejaknya ditepi neraka.
Tempat itu memang tepi dari sebuah neraka, sebab didalam kamar itu memang sedang berlangsung sebuah intrik, sebuah rencana keji dari neraka.
Perempuan cantik itu jauh lebih menakutkan, lebih berbahaya dan mengerikan daripada iblis benaran.
Dia tidak lain adalah Un Tay-tay, kekasih gelap dari Suto Siau, pemilik peternakan Lok jit san ceng.
Dengan mengandalkan kecantikan wajahnya, dengan kekejian serta kelicikan otaknya, dengan kelembutan serta kemesrahan dari rayuan mautnya, dia telah merangkai sebuah jebakan, sebuah perangkap yang sangat mengerikan, menanti sang pemuda Im Ceng masuk perangkap.
Dia telah mengarang sebuah cerita, mengatakan kalau dirinya adalah seorang perempuan yang patut dikasihani, seorang perempuan sebatang kara yang hidup dalam ketakutan, dia memohon kepada Im Ceng untuk membawanya kabur, kepada pemuda itu mohonnya.
"Bawalah aku pergi, ajaklah aku melarikan diri, biarpun harus ke ujung dunia aku tetap akan mengikutimu, mendampingimu hingga mati, aku ingin meninggalkan dunia yang penuh kebusukan dan kekejian, aku hanya menginginkan kau seorang"
Im Ceng yang sensitip perasaannya, keras kepala, polos tapi penuh dengan kehangatan dengan mudah terjerumus ke dalam lingkar perangkapnya, dia bersumpah akan selalu melindunginya, bahkan berjanji akan membawanya pulang ke rumah.
Dia akan mengajak perempuan itu kembali ke markas besar Perguruan Tay ki bun, agar perempuan tersebut memperoleh perlindungan secara sempurna, karena itu dia ingin mengajaknya berkelana dalam dunia persilatan selama tiga tahun sebelum membawanya pulang dan hidup mendampinginya sepanjang masa.
Apa yang direncanakan Im Ceng, justru merupakan harapan terbesar dari Un Tay-tay.
Dia segera melaporkan kesemuanya itu kepada Suto Siau, dari pihak Suto Siau dia pun memperoleh sejumlah uang dalam nilai yang amat besar sebagai bekalnya ketika "melarikan diri"
Bersama Im Ceng.
Sepanjang perjalanan perempuan itu meninggalkan kode rahasia nya agar Suto Siau dapat menguntitnya secara diam-diam, tentu saja mimpipun Im Ceng tidak menyangka kalau dia sedang mengajak musuh besarnya pulang ke rumah.
Kini daun jendela telah diturunkan, sinar lentera pun bertambah redup, dari atas wuwungan rumah diseberang sana muncul sesosok bayangan manusia, dia adalah Pek Seng-bu.
Dibalik kegelapan malam sekulum senyuman licik dan rasa bangga tersungging diujung bibirnya, gumamnya.
"Bangsat cilik, akan kulihat kali ini kau hendak kabur ke mana lagi?"
Belum habis ingatan tersebut melintas, dari belakang wuwungan rumah sana sudah nampak cahaya api berkobar dengan hebatnya.
Menyusul kemudian terdengar suara teriakan dan jeritan minta tolong diikuti suara langkah kaki yang sangat ramai.
Pek Seng-bu yang mendekam diatas wuwung-an rumah segera mendengar datangnya desingan angin lembut, diikuti munculnya Hek Seng-thian.
"Apakah dia ada disini?"
"Aku telah melihatnya dengan jelas, tidak mungkin salah"
"Apakah nampak sesuatu gerakan?"
"Tidak nyana anak murid Perguruan Tay ki bun pun bisa terpikat dengan seorang wanita siluman, saat ini mungkin mereka sedang.... hmmm... hnmmm"
"Eeei, coba lihat, apa itu?"
Tiba tiba Hek Seng-thian berseru keheranan. Mengikuti arah yang dituding Pek Seng-bu segera menyaksikan sebuah bekas telapak jari tangan yang lamat-lamat memantulkan cahaya hijau.
"Sejak tadi siaute memang sedang keheranan, tidak jelas apa yang sedang dilakukan perempuan itu, tapi menurut pendapat siaute, tampaknya asal usul perempuan itu tidak lurus, hanya sayang tidak berhasil kuselidiki siapakah dia sebenarnya"
"Perduli dia berasal dari mana dari siapakah dia, sekarang sudah saatnya untuk turun tangan!"
Api kebakaran di halaman belakang tampaknya semakin berkobar membesar, tapi suara kekalutan telah mereda, jelas seluruh anggota keluarga Li sudah mendapatkan pendidikan yang ketat.
Setelah termenung berapa saat akhirnya Hek Seng-thian mulai menggeser tubuhnya diatas atap rumah, tampaknya dia siap melontar kan sesuatu ke dalam kamar.
Mendadak Pek Seng-bu menghalangi perbuatan saudaranya.
"Sekarang situasi telah berkembang jadi begini, lebih baik kita langsung menerjang masuk ke dalam, bikin mereka kelabakan"
"Baik!"
Mereka berdua segera bersama-sama melompat turun dari atas genteng, karena sudah cukup lama bekerja sama, kedua orang itu seakan sudah ada kesepakatan yang tidak tertulis dalam setiap tindakan, begitu memberi tanda, mereka langsung menerjang masuk ke dalam kamar melalui jendela sebelah depan dan belakang.
Siapa tahu baru saja tubuh mereka berdua menyentuh tanah, tiba-tiba setitik cahaya bintang dengan kecepatan luar biasa dan sama sekali tidak menimbulkan suara telah mengancam bahu Hek Seng-thian.
Waktu itu Hek Seng-thian sedang pusatkan seluruh perhatiannya ke belakang kamar, dia tidak menyadari datangnya ancaman itu.
Melihat datangnya ancaman, buru-buru Pek Seng-bu melayangkan sebuah tendangan langsung diarahkan ke rambut rekannya.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hey, kau sudah edan?"
Umpat Hek Seng-thian gusar.
Buru-buru dia mengegos ke samping, karena harus menghindari tendangan itu, secara bersamaan diapun sudah lolos dari ancaman cahaya tajam itu.
Terdengar desingan angin tajam bergema, tahu-tahu senjata rahasia itu sudah melintas lewat persis disisi telinganya.
Pek Seng-bu segera menuding ke arah mana berasalnya senjata rahasia itu, sambil memutar badan, dengan gerakan liong heng it ka (gerakan naga satu rumah) dia meluncur ke arah yang dituding dengan kecepatan tinggi.
Sekarangpun Hek Seng-thian sudah tahu apa yang terjadi, dia segera mengikuti di belakangnya, terlihat bayangan manusia kembali berkelebat disisi wuwungan rumah, lagi-lagi setitik cahaya bintang meluncur tiba.
Buru-buru kedua orang itu mengegos ke samping lalu bersama sama melompat naik ke atas wuwungan rumah, diam-diam mereka terkesiap dibuatnya, tidak jelas siapa yang berulang kali membokong mereka.
"Jangan-jangan ada orang yang melindungi mereka berdua?"
Pikir Pek Seng-bu dihati.
"atau ditempat lain masih terdapat anggota Perguruan Tay ki bun? Atau gerak gerik kami berdua sudah ketahuan Li Lok-yang?"
Sementara Hek Seng-thian pun sedang berpikir.
"Jangan-jangan orang yang ada dalam kamar sudah mengetahui kehadiran kami berdua, maka sengaja berlagak pergi tidur, padahal diam-diam memutar arah dan melancarkan serangan bokong-an?"
Ke dua orang itu tidak ada yang berani berkutik, mereka tidak ingin mengganggu ketenangan orang lain, khususnya orang-orang dari keluarga Li, karena itu tanpa bersuara mereka merangkak maju ke depan.
Tampak sesosok bayangan manusia menggelinding diatas atap rumah dan bergeser menuju ke hadapan Hek Seng-thian.
Waktu itu Hek Seng-thian telah menghimpun hawa murninya dalam telapak tangan, sambil mendengus dia lancarkan bacokan.
Pek Seng-bu juga tidak tinggal diam, dia merangsek kedepan sambil menendang punggung orang itu.
Kedua orang ini menyerang dari depan dan belakang dengan menggunakan tenaga sebesar delapan puluh persen, arah maupun sasaran yang ditujupun merupakan bagian tubuh yang mematikan, jelas ke dua orang ini memang berniat menghabisi nyawa orang itu.
Biarpun dikerubuti dari depan dan belakang, orang itu sama sekali tidak nampak panik, dengan menggeserkan tubuhnya tahu-tahu dia sudah menerobos lewat dibawah ancaman kedua orang itu.
"Sungguh cepat gerakan tubuh orang ini!"
Diam-diam Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu terkesiap. Tanpa bicara mereka berdua membuntuti di belakangnya, lagi-lagi tiga jurus serangan dilancarkan. Mendadak terdengar bayangan manusia itu tertawa ringan, tegurnya.
"Hey, apakah kalian berdua benar-benar ingin membunuhku?"
Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu tertegun, cepat mereka tarik kembali serangannya sambil mundur setengah langkah.
Dibawah sinar rembulan, terlihat orang itu berbaring diatas atap rumah sambil mengganjal kepalanya dengan kedua belah tangan, senyuman lebar menghiasi wajahnya, ternyata dia tidak lain adalah Suto Siau, pemilik peternakan Lok jit sanceng.
Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu tertegun, lama kemudian Hek Seng-thian baru menegur.
"Suto Siau, kenapa kaupun bisa berada disini?"
"Begitu tahu kalian berdua sudah datang, tentu saja siaute segera menyusul kemari"
"Tajam benar pendengaran Suto-heng!"
Meskipun wajahnya tampil dengan senyuman paksa, dalam hati kecilnya dia merasa gelisah bagai minyak mendidih, pikirnya.
"Jangan-jangan rahasia kami mendapat harta karun diketahui juga oleh siluman setan ini?"
Perlu diketahui, sekalipun dia mendapat julukan seorang jago yang pintar, banyak akal dan licik, namun jika dibandingkan kemampuan Suto Siau, ia sadar kalau kemampuan dirinya masih ketinggalan jauh.
Sementara itu Suto Siau telah berkata lagi sambil tersenyum.
"Sekalipun persoalan yang kuketahui tidak terlalu banyak, sayang apa yang kalian berdua ketahui justru jauh lebih sedikit"
Tanpa sadar kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap, tiba-tiba Pek Seng-bu berkata sambil menarik muka.
"Apa yang kami ketahui memang amat minim, itulah sebabnya ada satu persoalan yang ingin ditanyakan kepada saudara Suto"
"Aaah, terhadap sesama saudara tidak perlu berlagak sungkan"
"Dalam kamar itu terdapat anak murid Perguruan Tay ki bun sementara kami berdua-pun sedang bersiap menghajarnya, kenapa saudara Suto malah menghalangi dengan melancarkan serangan bokongan? Untung nyawaku masih dilindungi Thian, kalau tidak, bukankah sudah tewas ditangan saudara Suto sedari tadi?"
Suto Siau segera menukas.
"Pokoknya siapapun yang akan mengusik bajingan she-Im itu hari ini, siaute dengan taruhan nyawa tetap akan menghalanginya"
"Apa maksud perkataanmu?"
Berubah paras muka Hek Seng-thian. Pek Seng-bu pun menambahkan sambil tertawa dingin.
"Apakah saudara Suto telah bergabung dengan pihak Perguruan Tay ki bun?"
Kembali Suto Siau tersenyum.
"Tahukah kalian berdua, siapakah perempuan yang sedang menemani bocah she-Im itu didalam kamarnya?"
"Perduli amat siapakah dia, aku...."
"Perempuan itu adalah gundik kesayanganku"
Tukas Suto Siau lagi. Kembali Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu berdiri tertegun.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tanya Pek Seng-bu.
"saudara Suto, kau harus memberi penjelasan"
Kini dia sudah berbaring disamping Suto Siau, menghimpin lawannya dari kiri dan kanan.
"Apakah kalian tidak melihat bekas jari tangan berwarna hijau itu?"
Kata Suto Siau.
"Siaute bisa sampai disini karena membuntuti kode rahasia itu, sekarang kalian berdua sudah mengerti bukan?"
Diam-diam Hek Seng-thian berdua merasa lega, pikirnya.
"Ternyata dia mempunyai rencana lain, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia kami berdua"
Berpikir sampai disitu, sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Hek Seng-thian.
"Gerak-gerik saudara Suto sangat rahasia dan mencurigakan, darimana siaute berdua bisa mengetahui rencanamu?"
Katanya.
"Ceritanya panjang sekali, tempat ini tidak cocok untuk berbicara, bagaimana kalau kujelaskan setibanya di kamar kalian berdua?"
"Kamar kami ada di halaman nomor tiga belas"
"Kalau begitu ayoh kita berangkat"
Menanti bayangan tubuh ke tiga orang itu sudah lenyap dari pandangan, dari balik wuwungan rumah kembali muncul sesosok bayangan manusia.
"Apa yang telah terjadi?"
Gumamnya.
Dibawah cahaya rembulan tampak bayangan itu mengenakan baju hitam dengan wajah ditutupi kain kerudung hitam, ternyata dia tidak lain adalah Thiat Tiong-tong.
Sewaktu mendengar ada seorang murid Perguruan Tay ki bun muncul ditempat itu, dia sudah menduga delapan puluh persen orang itu adalah Im Ceng, hanya saja karena pemuda ini, jadi orang sangat berhati-hati dalam setiap tindakan maka sebelum menemui rekannya itu terlebih dulu dia awasi gerak gerik Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu.
Menanti dia saksikan kedua orang musuhnya siap melancarkan serangan dan diapun siap menghalangi, tidak disangka seseorang yang lain telah bergerak duluan.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau orang yang menghalangi Hek Seng-thian berdua ternyata adalah Suto Siau, terlebih tidak mengira kalau perempuan cantik yang datang bersama Im Ceng ternyata adalah gundik kesayangan Suto Siau.
Dengan kecerdasan otaknya tidak sulit bagi-nya untuk menduga apa gerangan yang telah terjadi.
Tidak kuasa lagi peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya, pemuda itu berpikir.
"Jika sam-te benar-benar mengajak perempuan itu pulang ke rumah, jelas dia telah melakukan satu pelanggaran yang menakutkan"
Thiat Tiong-tong sendiripun cukup memahami tabiat dari Im Ceng, ketika pemuda itu telah mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu, maka jangan harap ada orang yang bisa menghalanginya.
Ketika bayangan manusia masih muncul dibalik jendela tadi, Thiat Tiong-tong pun dapat melihat dengan jelas gerak-gerik mereka berdua yang nampak begitu mesrah, kenyataan ini membuat pikirannya bertambah kuatir.
Dia sadar, bila berharap Im Ceng mau sadar dari perbuatannya, dia harus berhasil mengumpulkan bukti yang cukup untuk mengungkap intrik yang sedang dilakukan perempuan itu serta membongkar identitas sebenarnya dari dirinya.
Dia pun sadar, perempuan itu pasti seorang musuh tangguh yang pernah dijumpai selama ini, perempuan cantik yang genit, licik lagi pintar, perempuan yang tidak gampang dihadapi.
Apalagi dibelakangnya terdapat kekuatan yang begitu besar menunjang segala perbuatannya, dia merasa tidak yakin bisa menangkan pertarungan adu akal semacam ini.
Untuk bisa menangkan semua pertempuran, dia harus berhasil menangkap titik kelemahannya, tapi apa yang menjadi titik kelemahannya? ....
Daya tarik barang permata merupakan godaan yang paling susah dilawan oleh perempuan manapun.
Tiba-tiba dia terbayang kembali dengan perkataan yang pernah diucapkan wanita itu, tidak kuasa lagi sekulum senyuman menghiasi bibirnya.
Cahaya lampu mulai menerangi seluruh sudut ruangan, saat pasaran bebas kembali di mulai.
Gedung utama keluarga Li nampak jauh lebih ramai ketimbang tiga hari sebelumnya, setiap sudut tempat hampir dipenuhi oleh gelak tertawa, suara pembicaraan, asap tembakau yang pedas serta bau parfum yang harum semerbak.
Transaksi, jual beli, adu akal, adu kepintaran pun berlangsung dalam suasana hiruk pikuk.
Ouyang hengte, Ouyang bersaudara yang merupakan keluarga kaya raya dari wilayah Kanglam hadir jauh lebih awal dari hari-hari biasa, mereka mengenakan pakaian yang indah sementara sepasang mata yang liar mengawasi kawanan gadis aneh dimeja sebelah tanpa berkedip.
Kawanana ratu lebah dari Heng-kang masih tetap bersikap acuh, sama sekali tidak memandang sekejappun ke arah mereka, semakin mereka tidak acuh kawanan kongcu itu semakin getol menarik perhatian.
Hong Pak-ban yang ada di meja nomor dua berkilatan sepasang matanya, bagaikan seekor anjing pemburu, dia awasi terus sekeliling pasar dengan seksama, tampaknya transaksi yang berlangsung kemarin telah mendatangkan laba cukup banyak baginya.
Phoa-an kemala Phoa Seng-hong dengan tenang berdiri di belakang majikannya, sementara seorang wanita cantik yang duduk dibelakangnya berulang kali mencuri-curi untuk meraba telapak tangannya.
Im Ceng dan Un Tay-tay pun hadir di arena, merekapun sempat bertemu dengan Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Suto Siau yang berada disudut gedung, namun mereka berlagak seolah-olah tidak mengenalinya.
Melihat itu Im Ceng membatin.
"Ooh, ternyata mereka sudah tidak teringat lagi siapa aku"
Mendadak terdengar gelak tertawa bergema memenuhi angkasa, seseorang berseru dengan nyaring.
"Aku datang lagi!"
Hay Tay-sau dengan bertelanjang dada dan membawa sebuah karung goni berjalan masuk ke dalam ruangan, transaksi yang sedang berlangsung pun berhenti seketika, dengan keheranan semua orang mengawasi tokoh aneh itu.
"Blaaam!"
Dia letakkan karung goninya keatas meja, lalu serunya sambil tertawa tergelak.
"Hari ini aku akan lebih repot, siapa yang menginginkan barangku, cepat ajukan penawaran"
Belum sempat orang lain berbicara, Hong Pak-ban sudah bangkit berdiri seraya berseru.
"Ada berapa banyak barang yang kau bawa? Lohu akan memborong semuanya"
Hay Tay-sau berlagak berpikir sejenak kemudian baru menjawab.
"Tetap tiga puluh macam, tapi harganya...."
Buru buru Hong Pak-ban goyangkan tangan-nya berulang kali, tukasnya sambil tertawa.
"Kalau mau dagang mesti adil, kalau kemarin berharga lima ratus tahil, hari inipun harus sama harganya"
"Harus sama?"
Hay Tay-sau garuk garuk kepalanya.
"Tentu saja"
Dia mengeluarkan selembar uang kertas dan melanjutkan.
"disini ada uang senilai lima belas ribu tahil, persis untuk memborong semua barangmu"
Buru-buru dia letakkan uang kertas itu diatas meja kemudian buru-buru mengambil karung goni itu dan dibawa balik, kelihatannya dia kuatir kalau Hay Tay-sau tiba-tiba menyesal dan membatalkan transaksi itu. Tanpa berpaling lagi Hong Pak-ban berseru.
"Transaksi sudah selesai, tidak usah banyak bicara lagi!"
Mendadak Hay Tay-sau mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak, serunya.
"Padahal barang yang ada dalam karung ku itu hanya laku dijual dua tahil perak, jika kau ngotot ingin membelinya dengan harga lima ratus tahil, yaa.. apa boleh buat"
Semua orang merasa terkejut bercampur geli, Hong Pak-ban yang terkenal sangat pelit, ternyata kali ini benar-benar dipedundangi orang.
Pucat pias selembar wajah Hong Pak-ban, buru-buru dia tuang isi karung itu diatas meja, benar saja, benda yang ada disitu hanya barang rongsok yang tidak ada nilainya.
Dalam terkejut bercampur gusarnya dia berteriak keras.
"Bangsat! Kau berani menipuku?"
"Siapa yang menipumu?"
Balik Hay Tay-sau dengan wajah berubah.
"bukankah kau yang ngotot ingin memborongnya, kalau kau berani menyebut kata menipu lagi, segera akan kupenggal batok kepalamu"
"Bruuuk!"
Hong Pak-ban jatuh terduduk diatas bangkunya, sementara Hay Tay-sau sama sekali tidak memandang kearahnya lagi, dia serahkan uang kertas itu ke tangan Li Lok-yang sambil ujarnya.
"Li toako, tolong bagikan uang ini kepada fakir miskin, aku akan pergi duluan!"
Diiringi gelak tertawa yang nyaring, dia beranjak pergi dari ruangan dengan langkah lebar.
Diam-diam semua orang bersorak memuji, khususnya Im Ceng, dia merasa amat kagum dengan orang itu.
Tiba-tiba Hong Pak-ban berpaling ke arah Phoa Seng-hong, hardiknya.
"Cepat kejar, cepat kejar dia!"
"Apanya yang dikejar?"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Phoa Seng-hong balik bertanya dengan wajah gelap, tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Hong Pak-ban semakin murka, sambil melompat bangun dia tuding wajah lelaki itu dan umpatnya.
"Lohu telah mengeluarkan uang banyak untuk mengundangmu, memangnya aku suruh kau makan tidur melulu?"
Sekilas senyuman licik melintas diatas wajah Phoa Seng-hong, jengeknya.
"Kau toh dengan rela hati membeli barang itu, kalau sampai tertipu salahkan diri sendiri, masa marah dengan orang lain?"
"Kurangajar, kau ingin memberontak.... kau...."
"Tutup mulut!"
Bentak Phoa Seng-hong sambil tertawa dingin.
"toaya mu sudah tidak mau bekerja lagi, ini uangmu, aku kembalikan semua, mulai sekarang mau dibunuh mau dirampok, tidak ada urusannya lagi dengan aku"
"Bagus, kau.... kau... aku.... aku...."
Paras muka Phoa Seng-hong berubah hebat.
"Apa kau, kau? Pergilah mampus!"
Seru Phoa Seng-hong sambil tertawa dingin, ia segera berlalu dari situ. Air muka dua orang wanita cantik yang ada disisi Hong Pek-ban ikut berubah, tiba-tiba mereka berteriak sambil mengejar.
"Siau Phoa, Siau Phoa, mau kemana kau? Jangan pergi...."
Hong Pak-ban semakin naik pitam, ibarat minyak bertemu api, amarahnya benar-benar memuncak.
"Budak sialan, balik!"
Umpatnya.
Tapi mereka seolah tidak mendengar teriakan itu, dalam waktu singkat ke dua orang wanita itu sudah keluar dari ruang gedung.
Tidak tahan semua orang pun tertawa kegelian, ketika Hong Pek-ban melihat tiada wajah simpatik disekitar sana, dengan jengkel dia hentakkan kakinya dan ikut menerjang keluar dari ruangan.
Siapa tahu baru tiba di depan pintu, kebetulan seseorang sedang melangkah masuk kedalam, tidak ampun mereka pun saling bertumbukan.
Kontan Hong Pak-ban mencaci maki kalang kabut sambil mundur berapa langkah.
"Budak sialan, buta matanya!"
Orang yang kena ditumbuk itu adalah si kakek aneh, semua orang tahu segera ada pertunjukan menarik yang akan terjadi. Terdengar kakek itupun mulai balas memaki.
"Kau sendiri yang budak sialan, kau sendiri yang buta matanya, macam anjing busuk!"
"Sialah, sudah menumbuk aku masih berani memaki, mau memberontak!"
Hong Pak-ban makin sewot. Belum selesai dia berkata, wajahnya sudah ditampar kakek aneh itu berapa kali.
"Bagus.... kau... kau berani memukulku!"
Kakek itu tertawa dingin.
"Hmm, uangmu tidak bisa menangkan uang-ku, kekuasaanmu pun tidak bisa menangkan kekuasaanku, ada apa? Masih kurang? ingin ditampar lagi?"
Sambil memegangi pipinya Hong Pak-ban termangu sesaat, akhir nya dia baru teringat kalau dalam segala hal dia memang kalah dari orang itu, maka tanpa banyak bicara lagi dia melarikan diri terbirit birit.
Sekali lagi gelak tertawa bergema memenuhi angkasa.
Kakek aneh itu dengan punggung bungkuk kembali melanjutkan langkahnya memasuki ruangan, yang membuat orang kecewa adalah ketidak hadiran si gadis cantik itu, sekarang yang mengintil di belakangnya hanya ke dua orang bocah ajaib.
Transaksi yang berlangsung dalam gedung pun seketika berkembang jadi lebih bergairah dan hidup sejak kehadiran kakek aneh itu.
Banyak orang ingin mencari keuntungan dari kakek aneh yang kaya raya itu, barang berharga yang langka dan luar biasa indahnya pun segera dikeluarkan dari tempat penyimpanan.
Meskipun kakek itu tua lagi bungkuk, namun banyak menjadi perhatian perempuan perempuan cantik, namun dia hanya bersandar diatas pembaringan empuk yang khusus dibawa sendiri sambil setengah memejamkan matanya.
Sekilas pandang orang mengira dia sedang beristirahat, padahal tidak seorang manusia pun yang lolos dari pengamatannya.
Menjelang malam tiba-tiba Gin-siepoa bangkit berdiri sambil membuka sebuah kotak kulit yang berada disisinya, dari dalam kotak itu dia mengeluarkan seuntai kalung, anting anting dan perhiasan kepala yang terbuat dari berlian.
Satu set perhiasan berlian itu selain terdiri dari berlian yang indah, juga dihiasi dengan untaian mutiara sebesar buah kelengkeng, begitu benda itu dikeluarkan, decak kagum seketika memenuhi seluruh ruangan.
Sepasang mata Un Tay-tay terbelalak lebar, cahaya kerakusan memancar keluar dari balik matanya yang indah, ini pertanda dia akan mengorbankan segala yang dimiliki demi mendapatkan barang perhiasan itu.
Lelang pun dimulai, harga dibuka dari sepuluh ribu tahil perak, ketika tawaran mencapai lima belas ribu tahil perak, yang tersisa hanya tinggal Un Tay-tay, Kim Ji-kongcu serta Ouyang Hengte.
Akhirnya Un Tay-tay dengan tawaran enam belas ribu tahil perak berhasil mengalahkan mereka semua, senyum kepuasan dan rasa bangga pun segera tersungging di ujung bibirnya.
Belum selesai dia bergembira mendadak kakek itu mendeham sambil berseru.
"Dua puluh ribu tahil!"
Un Tay-tay tertegun, dia seperti tercengang, seperti juga gusar, segera teriaknya lagi.
"Dua puluh empat ribu tahil!"
Dia sudah meneriakkan seluruh harta kekayaan yang mampu dikeluarkan olehnya saat ini. Sekulum senyuman aneh kembali tersungging diujung bibirnya, perlahan-lahan dia memperlihatkan ke limajari tangannya.
"Apakah anda menawar dengan harga lima puluh ribu tahil perak?"
Tanya siepoa perak sambil tersenyum. Jawaban yang dibutuhkan merupakan kepastian.
"Bertransaksi ditempat ini, begitu harga disepakati maka kau mesti membayar secara kontan!"
Kembali siepoa perak menambahkan.
Dengan perlahan kakek aneh itu memberi kode kepada bocah yang ada disisinya, tidak lama bocah itu sudah mengeluarkan setumpuk uang kertas.
Gien siepoa memandang sekeliling ruangan sekejap, decak kagum, seruan kaget kembali bergema diseluruh tempat.
Un Tay-tay duduk termangu dibangkunya dengan wajah pucat pias, jelas dia merasa sedih, gusar bercampur kecewa.
Biasanya, jika dia sudah berminat dengan suatu benda maka dengan menghalalkan secara cara dia akan berusaha mendapatkannya, bahkan bila perlu menggadaikan nyawa pun akan dia lakukan.
Tentu saja dalam keadaan dan situasi seperti ini, mustahil baginya untuk melakukan cara-cara yang biasa dia gunakan.
Setelah transaksi disetujui, kotak perhiasan itupun dihantar kan ke hadapan si kakek aneh itu.
Suto Siau yang berada disudut ruangan segera berbisik sambil tertawa ringan.
"Kali ini Tay-tay ketanggor batunya!"
"Yaa, lima puluh ribu tahil perak hanya untuk membeli sekotak perhiasan, kecuali kakek aneh itu siapa lagi yang berani melakukan?"
Sambung Hek Seng-thian. Dalam pada itu Im Ceng sudah bangkit dari tempat duduknya sambil berkata lembut.
"Tay-tay, mari kita pergi!"
Un Tay-tay tidak menjawab, dia masih mengawasi kotak perhiasan yang berada disisi kakek aneh itu dengan termangu. Im Ceng kembali menghela napas panjang, sembari membungkukkan tubuhnya dia berbisik.
"Apakah perhiasan itu begitu penting artinya bagimu?"
"Aku tidak tahu"
Un Tay-tay menggeleng.
"Aku hanya tahu betapa sedih hatiku jika gagal mendapatkan benda yang ingin kudapatkan"
Im Ceng tertegun, tanpa sadar dia duduk kembali ke bangkunya.
Pada saat itulah dari luar pintu gedung terdengar suara ringkikan kuda yang ramai diikuti enam belas orang lelaki kekar melompat turun dari kuda kudanya dan masuk ke dalam gedung.
Begitu berada dalam ruangan, orang-orang itu segera menggetar kan pergelangan tangannya dan mengibarkan sebuah panji yang terbuat dari kain sutera.
Dari ke enam belas lembar panji itu, hampir semuanya bercorak sama, dasar hitam dengan sulaman tulisan berwarna merah darah.
"Bi lek tong! Kawanan lelaki pembawa panji itu memecahkan diri menjadi dua regu, masing-masing regu berdiri disisi undak-undakan hingga mencapai pintu gerbang. Mereka semua berdiri tegak bagai sebatang tombak, paras mukanya serius dan sangat amat berat. Kembali terjadi kehebohan dalam ruangan.
"Bi leik-hwee telah datang!"
Diam-diam Suto Siau pun mengerutkan dahinya sambil berpikir.
"Mau apa dia datang kemari? Kenapa paras muka Hek Seng-thian langsung berubah? Jangan-jangan dia sudah melakukan satu perbuatan yang takut diketahui orang?"
Sementara dia masih berpikir terlihat seorang kakek berjenggot panjang, bertubuh tinggi kekar, berwajah merah bercahaya dan mengenakan pakaian indah melangkah masuk ke dalam ruangan dengan tindakan lebar.
Pakaian yang dikenakan sangat indah dan mewah, jenggot panjangnya pun terawat sangat rapi, sinar matanya berkilat penuh dengan kebanggaan.
Buru-buru Li Lok-yang maju menyambut seraya menyapa.
"Selamat datang hengtay, tidak nyana kau pun mau ikut meramaikan suasana di tempat ini"
Sambil mengulapkan tangannya dan tertawa tergelak tukas Bi lek-hwee.
"Di antara saudara sendiri tidak perlu banyak berbasa-basi"
Kemudian sambil menyapu sekejap ke seluruh ruangan, tambahnya.
"Kedatangan siaute kali ini adalah untuk mencari Hek Seng-thian, ada berapa hal perlu kubicarakan dengannya"
Waktu itu Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Suto Siau telah bangkit dari tempat duduknya. Sambil tertawa paksa dan menjura seru Hek Seng-thian cepat.
"Siaute berada disini, entah urusan apa kau mencariku?"
"Aku tahu kalau kau berada disitu"
Seru Bi lek-hwee dengan suara lantang.
"aku mau bertanya, kemana kau sudah membawa murid pertamaku? Hmm, delapan puluh persen pasti diajak melakukan hal-hal yang tidak baik!"
Dia benar-benar tidak pandang sebelah mata terhadap orang lain, teguran itu dilontarkan di hadapan umum. Sekali lagi paras muka Hek Seng-thian berubah, sambil berlagak pilon sahutnya.
"Siapa? Maksudmu keponakan Lui? Sejak berpisah berapa bulan berselang, siaute belum pernah bersua lagi dengannya"
"Kau sungguh tidak melihatnya?"
"Aah, masa hengtay tidak percaya dengan perkataan siaute?"
"Sialan, sudah mampus ke mana bocah itu! Hek lote, jangan marah, jangan marah, anggap saja aku telah salah menuduhmu tadi"
Tabiat orang tua ini benar benar milik geledek, datangnya cepat, pergipun sangat cepat. Thiat Tiong-tong yang duduk sambil setengah memejamkan matanya segera merasa tergerak hatinya.
"Aah, ternyata Hek Seng-thian telah berbohong dengan sengaja mengelabuhi mereka, ini peluang bagus untukku!"
Sebuah rencana segera melintas dalam benaknya, sikapnya pun semakin santai.
Dengan santainya dia bangkit berdiri lalu beranjak keluar dari ruangan, sementara dua orang bocah lelaki itu mengikuti di belakangnya sambil membawa kotak perhiasan itu.
Tiba di belakang halaman yang sepi dan agak redup cahayanya, Thiat Tiong-tong segera memperlambat langkahnya, sesosok bayangan manusia tampak melintas lewat, ternyata dia adalah Gin siepoa.
"Merepotkan kau!"
Seru Thiat Tiong-tong sambil tersenyum. Siepoa perak mengeluarkan selembar uang kertas lima puluh ribuan dan diserahkan kepada pemudaku, lalu bisiknya.
"Sebetulnya apa tujuan kau orang tua melakukan hal ini?"
Thiat Tiong-tong memicingkan matanya sembari tertawa terkekeh.
"Lohu hanya ingin menggoda nona itu, Cuma, jangan sekali-kali kau ceritakan kejadian ini kepada orang lain"
Dengan penuh pengertian siepoa perak manggut-manggut, sahutnya sambil tertawa.
"Tanpa bersusah payah aku telah menerima bayaran tiga ribu tahil perak dari kau orang tua, tentu saja aku akan menjaga rahasia ini baik baik"
Selesai menjura kembali dia ngeloyor pergi dari situ.
Thiat Tiong-tong tersenyum penuh kebanggaan, ternyata perhiasan itu memang merupakan barang mestika miliknya.
Dia tahu manusia macam Gien siepoa yang pandai berdagang merupakan orang yang bisa diajak kerja sama, maka dia menyuapnya dan memainkan sandiwara tadi agar Un Tay-tay masuk perangkap.
Pada saat itulah mendadak dari balik semak terdengar seseorang menyindir sambil tertawa dingin.
"Orang bilang tua tua keladi makin tua makin menjadi, ternyata ungkapan ini memang sangat tepat"
"Siapa disitu?"
Meskipun agak terperanjat, dia tidak ingin membongkar penyaruan sendiri, maka sengaja berlagak terengah-engah dia menghampiri semak tanaman disisi jalan dengan langkah lebar.
Dibawah cahaya rembulan terlihat ada sepasang laki perempuan sedang berpelukan dengan mesrahnya, perempuan itu ternyata tidak lain adalah gundik Hong Pek-ban.
Saat ini dia nampak berbaring dengan napas tersengkal dan pakaian awut-awutan tidak rapi.
Ketika menyaksikan kemunculan Thiat Tiong-tong, wajahnya bukan saja tidak tampil rasa malu, malahan sambil tertawa cabul memperketat rangkulannya pada tengkuk lelaki itu.
Sementara sang lelaki berwajah putih pucat, dia tidak lain adalah Phoa Seng-hong.
Sambil memegang dada sendiri seperti orang kaget, serunya sambil tertawa.
"Hey orang tua, bila kau berhasil menggaet perempuan genit tadi, tidak ada salahnya untuk menikmati surga dunia ditempat ini"
"Betul, disini amat menarik"
Sambung perempuan itu pula, sambil cekikikan.
"Kami bisa melihat orang lain, tapi orang lain tidak bisa melihat kami, cobalah sendiri, kau pasti akan merasa senang!"
Dalam hati Thiat Tiong-tong menyumpahi, tapi diluaran katanya.
"Apa kau bilang? Lohu tidak paham"
"Hahahaha.... cayhe pun orang satu aliran denganmu, masa kau ingin berbohong di depanku? Menurut pengalamanku yang berpuluh tahun, perempuan itu memang seekor ikan bagus bahkan segera akan terkait oleh umpanmu, Cuma.... si bocah berpipi licin itu nampaknya merupakan jagoan yang berilmu tinggi, orang macam begitu tidak gampang dihadapi, bila rencanamu sampai ketahuan.... hmmm hmmm.... rasanya sulit untuk menghadapinya!"
Thiat Tiong-tong pun berlagak seolah tebakan Phoa Seng-hong itu benar, dia membungkam diri dalam seribu bahasa. Kembali Phoa Seng-hong berkata sambil tertawa.
"Tapi jika disampingmu terhadap seorang pengawal semacam aku, dapat dipastikan bajingan muda itu tidak akan berani berkutik!"
Diam diam Thiat Tiong-tong tertawa dingin, pikirnya.
"Tidak nyana bajingan ini sedang mengincar aku"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi diluaran sengaja ujarnya.
"Jadi kau ingin menjadi pengawal pribadiku?"
"Aku sudah kehilangan pekerjaan, tentu saja harus mencari pekerjaan baru"
Kembali Thiat Tiong-tong berpikir.
"Hmm, kau ingin memperalat aku? Memangnya aku tidak bisa memperalat dirimu?"
Berpikir begitu segera serunya.
"Kau anggap memang gampang untuk bekerja denganku?"
"Masa kau tidak menginginkan hal yang sama sama menguntung kan?"
Phoa Seng-hong balik bertanya.
"Kalau ingin menjadi pengawalku, kau mesti taati semua perintahku"
"Tentu saja"
"Kalau begitu sekarang juga bangkit berdiri dan ikuti aku"
Tanpa berpikir panjang Phoa Seng-hong bangkit berdiri, tapi perempuan itu segera menarik pakaiannya sambil berseru.
"Setelah tertarik dengan orang lain, masa kau akan tinggalkan aku?"
"Lepaskan!"
Hardik Phoa Seng-hong dengan wajah sedingin es.
"Kalau tidak kulepas mau apa kau?"
Perempuan itu masih berlagak manja dengan memeluk kaki Phoa Seng-hong erat-erat.
Siapa tahu secara tiba-tiba Phoa Seng-hong melayangkan sebuah tendangan, langsung menginjak jalan darah Ciang tay hiat di depan dada perempuan itu.
Jalan darah Ciang tay hiat berhubungan langsung dengan denyut jantung, merupakan salah satu jalan darah kematian, mana mungkin perempuan itu mampu menahan diri? Tiba-tiba tubuhnya mengejang, tanpa menimbulkan sedikit suarapun tubuhnya sudah roboh terkapar.
"Sungguh kejam hati orang ini!"
Pikir Thiat Tiong-tong dengan perasaan terkesiap. Paras muka Phoa Seng-hong sama sekali tidak berubah, ujarnya lagi sambil tertawa.
"Coba kau lihat cara kerjaku sebagai seorang pengawal, agar dia tidak membocorkan rahasia-mu, aku tidak segan untuk membungkam mulut perempuan itu untuk selamanya, bagiku tugas lebih penting ketimbang cinta!"
Sementara itu ke dua orang bocah ajaib itu sudah berdiri dengan wajah pucat pias, Thiat Tiong-tong sendiripun berlagak ketakutan, sengaja bisiknya dengan suara gemetar.
"Kau.... kau berani membunuh orang disini? Bagaimana kalau sampai ketahuan Li Lok-yang?"
Phoa Seng-hong tertawa dingin.
"Aku bertindak demi majikanku, bagaimana akhir dari persoalan ini, semuanya tergantung bagaimana sikap Tuan"
"Lho.... kenapa kau limpahkan semua kesalahan dan tanggung jawab ini kepada lohu?"
"Jika kau tidak bersedia bertanggung jawab, terpaksa aku akan menguarkan semua rahasiamu tadi kepada khalayak ramai"
Dia tahu orang tua tersebut sudah berada dalam kendalinya, karena itu sikapnya nampak amat bangga. Thiat Tiong-tong sengaja berkerut kening, setelah termenung sejenak serunya.
"Kalau begitu.... kalau begitu...."
Tiba-tiba wajahnya cerah kembali, sambungnya.
"Mumpung semua orang masih berkumpul dalam gedung, cepat kau kirim mayat ini ke dalam kamar orang lain!"
"Usul yang bagus!"
Puji Phoa Seng-hong sambil tertawa.
"Bagaimana pun jahe memang makin tua makin pedas!"
"Orang yang ada dimeja tiga belas sangat memuakkan, diapun pernah menyalahi lohu, kirim saja mayat ini ke dalam kamar mereka!"
"Bagus sekali, bagus sekali, Hek Seng-thian memang sangat menyebalkan!"
Sambil membopong mayat perempuan itu katanya lagi.
"Aku segera akan balik"
"Kalau begitu akan lohu tunggu dalam tendaku"
"Baik!"
Dengan sekali lompatan dia sudah melesat ke atas wuwungan rumah dan lenyap dari pandangan mata.
Sinar bangga memancar keluar dari balik mata Thiat Tiong-tong, ketika dia berjalan lewat di depan ruangan yang ditempati Hong Pak-ban, tiba-tiba terlihat ada dua sosok bayangan manusia sedang bersembunyi dibalik kegelapan.
Satu ingatan segera melintas lewat, ternyata kedua orang itu adalah si nenek berbaju rombeng serta pemuda pincang itu.
Semenjak menelan jinsom berusia ribuan tahun, ketajaman matanya sudah melebihi orang lain, meski berada dalam kegelapan namun dia dapat melihat lawan dengan sangat jelas.
Dengan cekatan dia segera bersembunyi dibalik sudut dinding, sementara dua orang bocah itu saling bertukar pandangan sekejap dan segera berlalu melewati jalanan lain.
Mereka memang sudah mendapat pendidikan ketat dan tidak pernah mencampuri urusan rahasia majikannya, mereka pun tidak mau membocorkan rahasia majikannya sekalipun dia adalah seorang perampok.
Ketika mendengar suara langkah manusia, kedua orang itu segera berpaling, tapi mereka kembali berlega hati setelah mengetahui yang muncul hanya dua orang bocah.
Selang berapa saat kemudian pemuda pincang itu baru berbisik.
"Suhu, si tua Hong sudah kembali, kenapa bangsat itu belum juga munculkan diri? Tecu sudah sedikit tidak sabaran"
"Kenapa mesti gelisah"
Sahut si nenek sambil tertawa dingin.
"aku yakin dia masih belum kabur dari sini, anggap saja memang rejeki dia bisa hidup berapa hari lebih lama"
Thiat Tiong-tong bertambah curiga, batinnya.
"Ternyata dua orang nenek dan cucunya ini adalah guru dan murid, berarti mereka memang sengaja menyamar, tapi apa tujuannya? Sayang pengetahuanmu tentang jago persilatan amat cetek hingga tidak bisa mengenali asal usul mereka"
Sementara dia masih berpikir, pemuda pincang itu sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil berkata.
"Biar tecu tengok ke depan sana, apakah bangsat itu masih ada didalam gedung?"
Pemuda itu bukan sama memiliki gerakan tubuh yang aneh bahkan kecepatan tubuhnya luar biasa, sama sekali tidak menunjukkan gejala seperti orang cacad.
Nenek berpakaian rombeng itu sama sekali tidak menghalangi, tampaknya dia merasa sangat yakin dengan kemampuan silat yang dimiliki pemuda itu.
Thiat Tiong-tong semakin tercengang.
Dia bisa menduga kalau sasaran yang sedang dicari kedua orang itu adalah Phoa Seng-hong, hanya tidak diketahui perselisihan apa yang terjalin di antara mereka bertiga.
Disekeliling halaman gedung kedua ini merupakan tanah be rumpun, cahaya lentera yang menerangi bangunan itupun tak mencapai tempat tersebut sehingga suasana diseputar sana terlihat sangat remang-remang.
Mendadak terdengar suara gelak tertawa kembali bergema memecahkan keheningan.
Terlihat ada tujuh delapan orang gadis muncul dari balik kegelapan sambil bersendang gurau.
Gerak gerik mereka sangat ringan dan cekatan, ternyata mereka adalah rombongan ratu lebah.
Setelah berada ditempat yang sepi, merekapun tidak berlagak alim lagi.
Terdengar seorang gadis bertubuh kecil ramping berkata sambil menghela napas.
"Orang tua aneh itu jelas kaya raya, sayang orangnya kelewat tua, kalau tidak...."
Seorang gadis tinggi semampai segera menanggapi sambil tertawa.
"Yau su-moay bukan saja suka duit, juga senang orang tampan, lain bagiku, asal dia berduit, biar tua juga tidak masalah"
"Siapa suruh kau macam pengumpul barang rongsok? Aku rasa terhadap si bintang pembawa bencana pun kau punya selera...."
"Waah, kalau orang itu mah aku tidak berani mengusiknya"
Sahut gadis lain sambil menjulurkan lidahnya.
"Kenapa tidak berani mengusiknya? Asal ada kesempatan, aku tetap akan menggaetnya, akan kulihat seberapa banyak harta kekayaannya"
Mendadak terdengar suara gelak tertawa disusul seseorang berseru.
"Hahahaha.... tampaknya aku memang ketimpa rejeki, siapa yang mau menggaet aku, silahkan kemari"
Gelak tertawa itu nyaring dan lantang, jelas suara dari si bintang pembawa bencana Hay Tay-sau.
Dengan tangan sebelah membawa buli-buli arak, pakaian bagian dadanya dibiarkan terbuka, dia berjalan mendekat dengan langkah lebar.
Kontan saja sekawanan ratu tawon itu heboh, ada yang menjerit kaget, ada yang menutupi wajahnya, ada pula yang tertawa ter pingkal-pingkal.
Seorang gadis berwajah bulat segera menuding kearah nona yang sedang menutupi wajahnya sambil berseru.
"Dia, dia orangnya, dia yang mau menggaetmu"
"Kau ini...."
Seru si nona itu malu.
"kalau berani bicara lagi...."
Dengan wajah bersemu merah karena malu dia berusaha mengejar rekannya, tapi dengan satu kali sambaran Hay Tay-sau telah menangkap tangannya dan memeluknya erat erat.
"Ooh, rupanya kau si budak cilik yang mau denganku?"
Seru Hay Tay-sau sambil tertawa tergelak.
"mari, coba kulihat wajahmu"
Sambil berkata dia memegang dagu gadis itu, dipandangnya berapa kejap kemudian menggesekkan jenggotnya yang kaku bagai duri diatas wajahnya.
"Hahahaha... kau takut tidak?"
Serunya sambil tertawa. Dengan napas tersengal gadis itu berteriak minta ampun, sementara tangan yang lain justru merangkul Hay Tay-sau erat-erat. Siapa tahu secara tiba-tiba Hay Tay-sau mendorong tangan nya seraya berseru.
"Kalau baru budak cilik macam kau, masih belum pantas untuk manggaetku!"
Ditengah gelak tertawa yang keras dia segera beranjak pergi. Gadis itu segera terdorong hingga jatuh terduduk ditanah, untuk sesaat dia nampak tertegun, malu bercampur gusar, akhirnya sumpah serapahpun bergema memenuhi udara.
"Laki-laki sialan, laki-laki bau.... dasar laki dungu!"
Kembali gelak tertawa bergema disekeliling tempat itu. Tiba-tiba terdengar ada suara seseorang yang sedang berseru.
"Nona-nona sekalian, urusan apa yang membuat kalian gembira? Apakah boleh siauseng ikut meramaikan suasana?"
Ternyata Ouyang bersaudara telah menyusul kesana.
Seketika itu juga kawanan ratu tawon itu menghentikan gelak tertawanya, semua orang mengernyitkan alis dan sambil tundukkan kepala, tutup mulut rapat-rapat mereka beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Sambil menggoyang kipasnya Ouyang hengte mengintil di belakang mereka.
Hay Tay-sau yang berdiri dikejauhan sambil minum arak segera berseru sambil tertawa keras.
"Anak-anak, balik saja, jangan sampai mengganggu sarang lebah, kalau sampai disengat bisa berabe akibatnya"
Seorang pemuda di antaranya membalikkan tubuh, tampaknya hendak mengumpat tapi dia segera ditarik lengannya oleh rekan yang lain. Hay Tay-sau tertawa tergelak, mendadak hardiknya.
"Siapa disitu? Mau apa bersembunyi di sana?"
Thiat Tiong-tong terperanjat, tapi dia segera lega setelah melihat arah yang dituju Hay Tay-sau adalah tempat persembunyian nenek berbaju rombeng.
Pada saat itulah dari balik halaman kedua berkumandang suara jeritan ngeri yang amat nyaring.
Ditengah jeritan, terlihat Hong Pak-ban dengan tubuh bermandikan darah dan pakaian tidak rapi berlarian keluar dengan langkah limbung.
"Li Lok-yang, Li Lok-yang, ada dimanakau?"
Hay Tay-sau melompat ke hadapannya, mencengkeram bahunya dan menegur.
"Hey, kau sudah edan?"
Dengan sekali ayunan, dia tampar wajah orang itu keras-keras. Setelah kena tamparan, agaknya kesadaran Hong Pak-ban pulih kembali, dia termangu sejenak kemudian baru gumamnya.
"Aku telah membunuh orang! Aku telah membunuh dia"
"Siapa yang kau bunuh?"
"Gin-sian.... perempuan hina itu, dia kabur dengan lelaki lain bahkan akan membunuhku, maka aku telah membunuhnya lebih dulu"
"Goblok!"
Umpat Hay Tay-sau dengan gusar.
"gara-gara perempuan hina kau sampai membunuh? Memangnya berharga?"
Hong Pak-ban kembali termangu, akhirnya dia menangis tersedu-sedu.
Sementara itu Li Kiam-pak, tuan muda perkampungan keluarga Li dengan membawa empat orang centengnya telah menyusul tiba, dari kejauhan sana masih terdengar suara langkah kaki yang ramai.
Thiat Tiong-tong tahu, kesemuanya ini hanya lagu pembukaan sebelum kekalutan lain yang lebih parah, kelihatannya keluarga pedagang kaya ini segera akan menghadapi satu huru-hara yang belum pernah dialaminya setelah hidup damai sekian tahun.
Maka dia pun melompat masuk ke dalam halaman kedua secara diam-diam, betul saja, dia saksikan mayat perempuan cabul itu sudah tergeletak diatas lantai, disampingnya masih terlihat ada sebuah peti.
Tampaknya perempuan jalang itu sudah tergila-gila dengan Phoa Seng-hong sehingga diputuskan untuk kabur sambil mencuri barang perhiasan, tidak tahunya niat itu ketahuan Hong Pak-ban sehingga terjadilah kasus pembunuhan itu.
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, dengan cepatnya dia menyelinap lewat dan kembali ke tendanya.
Sebelum melangkah masuk, dia sudah mendengar Phoa Seng-hong yang berada dalam ruang tenda sedang berkata sambil tertawa.
"Nona, selanjutnya kita akan menjadi satu keluarga, masa kau usir aku dari sini?"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyusul kemudian terdengar suara dayangnya Si-jin menghardik.
"Enyah kau dari sini! Jika berani bersikap kurang ajar lagi kepada nona kami, jangan salahkan kalau kau kehilangan nyawa"
Dengan langkah lebar Thiat Tiong-tong berjalan masuk ke dalam tenda, dia saksikan Sui Leng-kong duduk disudut tenda sementara dayangnya Si-jin menghadang dihadapannya. Begitu melihat kehadirannya, dayang itu segera berseru.
"Aah, untung majikanku sudah kembali"
"Coba tanyakan sendiri kepadanya, benarkah dia yang suruh aku datang kemari?"
Kata Phoa Seng-hong sambil berpaling dan tertawa.
"Apa tugasmu telah selesai?"
Tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah serius.
"Sudah kulakukan dengan sempurna, siapa pun tidak akan menaruh curiga kepadaku"
"Satu gelombang belum mereda sudah muncul gelombang yang lain, mungkin saja kau dapat lolos dari persoalan ini, tapi jangan harap bisa lolos dari kasus yang lain!"
"Apa maksudmu?"
Berubah paras muka Phoa Seng-hong.
"Hong Pak-ban telah mewakilimu melakukan pembunuhan, jelas hutang piutang ini tidak akan lari dari pundakmu, kemudian.... Hay Tay-sau juga tidak bakal melepaskan dirimu"
Phoa Seng-hong segera tertawa.
"Hong Pak-ban yang melakukan pembunuhan tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, manusia she-Hay itu pun merupakan musuh bebuyutanku selama banyak tahun, belum tentu dia bisa berbuat banyak kepadaku"
"Sayang situasinya saat ini sudah jauh berbeda, lagipula kau masih dihadang musuh tangguh lain yang jauh lebih lihay, orang yang berniat menghabisi nyawamu"
"Siapa?"
"Si nenek berpakaian rombeng serta pemuda pincang"
Phoa Seng-hong agak tertegun, setelah berpikir sejenak katanya.
"Mereka.... rasanya mereka tidak punya dendam sakit hati apa apa denganku...."
Tapi belum selesai bicara, paras mukanya telah berubah hebat, lanjutnya.
"Aah dia, jangan-jangan dia...."
"Sudah kau ingat asal-usulnya?"
Dengus Thiat Tiong-tong dingin. Phoa Seng-hong mundur berapa langkah dengan sempoyongan kemudian duduk lemas diatas bangku, gumamnya.
"Apa.... apa yang dia katakan?"
"Dia bilang akan mencabut nyawamu!"
Phoa Seng-hong mulai membesut wajahnya, membesut butiran keringat yang membasahi seluruh wajahnya.
"Di depan lohu saja kau mengibul dan bicara sombong sehingga lohu percaya kalau kau memang seorang enghiong hohan yang kosen dan ampuh kepandaian silatnya, siapa tahu.... hehehe.... baru ketemu seorang nenek dan bocah cilik, kau sudah ketakutan setengah mati, Huuh! Kalau enghiong semacam ini mah.... kamsia saja, lohu tidak pingin menggunakannya"
Tampaknya Phoa Seng-hong hendak mengumbar api kemarahannya, tapi baru saja bangkit berdiri dia sudah terduduk kembali.
"Benar, aku memang takut kepadanya"
"Braaak!"
Sambil menggebrak meja, lanjutnya dengan nyaring.
"Tapi kecuali dia, bila ada orang yang berani bersikap kurangajar kepada diriku, Hmm! Aku tetap mampu untuk memenggal batok kepalanya!"
Thiat Tiong-tong tertawa dingin.
"Siapa dia? Kenapa kau begitu takut kepadanya?"
Dia bertanya.
"Dia.... namanya.... Aai, biar kuberitahu pun percuma, toh kau tidak bakal kenal"
Bibirnya telah ikut berubah jadi pucat tanpa warna darah, dia seolah tidak berani menyebut nama tersebut karena kuatir bila namanya disinggung maka bencana besar segera akan tiba.
"Kau tidak berani mengatakan?"
"Sekalipun tidak berani kusebut, memangnya kau mau apa?"
"Lebih baik perkecil suaramu, jangan sampai teriakanmu kedengaran olehnya!"
Phoa Seng-hong tertegun, hawa amarahnya lenyap seketika, dengan lesu dia tundukkan kepalanya.
"Tapi duduk melulu disini pun bukan cara penyelesaian yang tepat"
Kata Thiat Tiong-tong lagi.
"Apakah kau kuatir terseret oleh masalahku ini? Sekarang kau sudah menjadi majikanku, tentu saja kalau aku menghadapi persoalan, kaupun harus ikut menghadapinya"
"Mana boleh begitu"
Sengaja Thiat Tiong-tong berseru dengan wajah berubah.
"lebih baik kau cepat pergi dari sini!"
"Pergi? Jika Dia sudah tahu kalau peristiwa tersebut merupakan perbuatanku, memangnya aku masih bisa kabur? Tahukah kau siapa dia? Tahukah kau betapa lihaynya dia? Bila dia sudah muncul disini, bukan hanya aku seorang yang bakal sial, mungkin keluarga Li pun ikut tertimpa kemalangan!"
Nada ucapannya sama sekali tanpa luapan emosi, hal ini menunjukkan betapa takut dan ngerinya orang itu. Thiat Tiong-tong berlagak seolah-olah ikut gugup dan ketakutan. Phoa Seng-hong melirik Sui Leng-kong sekejap, lalu sambil tertawa dingin katanya.
"Terpaksa aku hanya bersembunyi disini, kau tidak bakal mampu mengusirku lagi, sebab bila aku harus mati, kaupun harus ikut mendampingi kematianku"
Thiat Tiong-tong sengaja termangu beberapa saat lamanya, dia seakan sudah tidak sanggup bicara lagi.
Sui Leng-kong tahu, rekannya itu cerdas dan punya kemampuan melebihi siapa pun, dibalik tindakannya itu dia pasti punya tujuan tertentu, maka diapun ikut membungkam.
Lewat berapa saat lamanya Thiat Tiong-tong baru menghela napas panjang sambil bertanya.
"Kecuali cara ini, memangnya tidak ada cara yang lain lagi?"
Sambil tertawa dingin Phoa Seng-hong menggeleng.
"Aah, lohu punya satu siasat...."
Seru Thiat Tiong-tong kemudian.
"Siasat apa?"
"Di antara sekian banyak kawanan tokoh persilatan yang hadir disini kecuali kau dan orang she-Hay itu, apakah masih terdapat tokoh lain yang agak menonjol namanya?"
"Suto Siau, Bi lek Hwee, lalu Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, semuanya merupakan tokoh-tokoh kenamaan yang punya nama dan pengaruh besar dalam dunia persilatan"
"Hanya berapa orang itu saja? Hehehe,.... asal lohu menyampaikan berapa patah kata kepada mereka, sudah pasti orang orang itu akan membantumu dengan sepenuh tenaga"
"Sungguh?"
Phoa Seng-hong merasa semangatnya bangkit kembali.
"asal berapa orang itu mau membantu, situasi pasti akan berubah drastis, tapi mana mungkin mereka mau membantuku?"
"Tentu saja lohu punya siasat bagus, asal kau menurut, semuanya pasti beres!"
"Bila kali ini kau benar-benar bisa membantuku dengan siasat jitumu, dikemudian hari bila kau tertimpa persoalan macam apa pun, aku pasti akan membantumu dengan sepenuh tenaga"
Thiat Tiong-tong menuju ke samping meja tulisnya, menulis dua pucuk surat lalu disegel rapat-rapat, pesannya.
"Mula-mula kau harus berusaha agar bisa berbicara empat mata dengan Bi lek Hwee, serahkan surat ini kepadanya, asal dia sudah membaca isi surat ini kujamin orang itu akan membantumu dengan sepenuh tenaga, kau mesti paksa dia untuk angkat sumpah lebih dulu kemudian baru mengeluarkan surat yang kedua"
Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak Phoa Seng-hong menerima surat itu. Kembali Thiat Tiong-tong menulis dua pucuk surat, kemudian katanya lagi.
"Serahkan kedua pucuk surat ini kepada Suto Siau, caranya persis seperti cara pertama tadi"
Kemudian dia pun menulis lagi dua pucuk surat dan minta Phoa Seng-hong menyerahkan kepada Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu.
Dalam keadaan terdesak dan terancam jiwanya, Phoa Seng-hong tidak bisa berbuat lain kecuali mencoba cara yang ditawarkan itu.
Dengan wajah serius kembali Thiat Tiong-tong berpesan.
"Jangan sekali kali salah menyerahkan surat sebab kalau tidak kau bakal tertimpa bencana besar, kaupun jangan sekali kali menyinggung tentang lohu, kalau tidak, mereka tidak bakalan mau membantumu"
Dengan wajah termangu Phoa Seng-hong mengawasi lawannya, dia merasa kakek aneh itu makin lama semakin penuh misteri, akhirnya dia menyingkap tirai, menengok sekejap keadaan diluar kemudian baru melesat pergi dari situ.
Gelang Perasa -- Gu Long Lembah Nirmala -- Khu Lung Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung