Ceritasilat Novel Online

Pendekar Panji Sakti 6


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 6




   "Aa.... aku benar-benar bodoh, se... sebetulnya apa.... yang kau.... kau lakukan? A... aku tidak mengerti!"

   Dengan pandangan halus dan lembut Thiat Tiong-tong mengawasi gadis itu sekejap, lalu sahutnya.

   "Aku sedang menyiapkan siasat berantai, akan kubuat orang-orang itu tidak seorangpun bisa lolos dari cengkeramanku"

   "Ber.... bersediakah... me... menerangkan.... kepada... ku?"

   "Akan kubuat Suto Siau dan Pek Seng-bu sekalian saling gontok gontokan sendiri, lalu akan kugunakan nenek misterius itu untuk memburu Phoa Seng-hong, padahal mereka sudah kujebak untuk angkat sumpah sehingga mau tidak mau harus melindungi Phoa Seng-hong, akibatnya nenek misterius itupun tidak bakal melepaskan mereka semua, ditambah dengan munculnya mayat dikamar Hong Pak-ban, sudah pasti Li Lokyang serta Hay Tay-sau tidak akan berpangku tangan belaka, pada akhirnya situasi akan bertambah kalut"

   Sui Leng-kong hanya mengawasi pemuda itu dengan termangu, waktu itu Thiat Tiong-tong telah melepaskan jubah luarnya hingga kelihatan pakaian ringkasnya yang berwarna hitam, dia pun mengeluarkan sebuah kain kerudung hitam dan dikenakan diwajahnya.

   Dalam mengerjakan tugas apapun dia memang selalu melakukan dengan cepat, seolah-olah membawa sebuah irama yang aneh, ringan, cepat dan mengalir lancar.

   Dari bawah pembaringan kembali dia mengeluarkan sebilah pedang, Sui Leng-kong segera berjalan menghampiri dan membantunya mengikatkan pedang tersebut dipunggung.

   "Aku akan pergi sebentar"

   Bisik pemuda itu kemudian. Sui Leng-kong manggut-manggut, tanyanya sambil menghela napas sedih.

   "Kau.... kau akan ke mana? Aku.... aku boleh tahu?"

   "Aku hanya akan keluar sejenak"

   "Apa.... apakah aku bi.... bisa membantumu..."

   "Selama ada aku disini, tidak akan kubiarkan kau pergi menyerempet bahaya"

   Kata Thiat Tiong-tong sambil tertawa lembut, kemudian sambil menyingkap tirai pintu dia beranjak pergi.

   "Kau.... kau mesti berhati-hati"

   Terdengar Sui Leng-kong berpesan.

   Seketika itu juga muncul suatu perasaan aneh didalam hatinya, dia tidak tahu apakah perasaan itu merupakan luapan cinta ataukah hanya gejolak emosi, namun tubuhnya terasa jauh lebih ringan dari hari hari biasa.

   Tapi hanya sejenak kemudian perasaan tegang kembali menye-limuti perasaan hatinya, sebab walaupun segala sesuatu telah direncanakan secara rapi tapi dia tahu yang paling sulit adalah bagaimana caranya agar Im Ceng mengetahui rahasia dari wanita yang berada disisinya.

   Baru saja tiba diluar pintu, dari kejauhan sudah terlihat sesosok bayangan tubuh yang ramping bergerak mendekat, gerak-geriknya lemah gemulai seperti ranting pohon liu bahkan disertai gelombang ayunan yang menggetarkan hati.

   "Aah, ternyata dia muncul juga!"

   Pikir Thiat Tiong-tong dengan perasaan girang. Berpikir sampai disitu, cepat-cepat dia menyelinap balik ke dalam tendanya.

   "Kenapa kau balik lagi?"

   Tanya Sui Leng-kong keheranan. Buru-buru Thiat Tiong-tong menggoyangkan tangannya sambil berbisik.

   "Kalian cepat menyingkir dulu ke belakang!"

   Dengan gerakan cepat dia melepaskan kain kerudung hitamnya, berbaring diatas pembaringan, menindih pedangnya dibawah bantal dan menutupi tubuh sendiri dengan selimut.

   Sui Leng-kong bersama Si-jin dan kedua orang bocah itupun sudah menyingkir, seakan-akan asal ada perintah dari Thiat Tiong-tong maka tanpa syarat mereka akan mentaatinya, bahkan bertanya pun tidak.

   Baru saja semuanya selesai, terasa desingan angin berhembus lewat, diiringi bau harum yang semerbak, dalam tenda telah muncul sesosok bayangan manusia.

   Orang itu memperhatikan sekejap sekeliling tenda, lalu serunya perlahan.

   "Ada orang disini?"

   Suaranya merdu, genit dan menawan hati.

   "Tempat ini bukan kuburan, masa tidak ada orangnya?"

   "Loya-cu, pandai amat berbicara"

   Orang itu tertawa ringan.

   "Siapa bilang aku sudah tua?"

   "Apa jeleknya tua? Anak muda suka berangasan dan gampang emosi, sebaliknya orang yang agak tua lebih mengerti sayang pada orang lain"

   Sembari berbicara, Un Tay-tay sudah melangkah masuk ke dalam tenda. Sambil tertawa dingin Un Tay-tay melangkah maju ke depan, lalu sambil bertolak pinggang serunya kepada Sui Leng-kong.

   "Usiaku jauh lebih tua darimu, semestinya kau banyak belajar dariku"

   Belum lagi perkataan itu selesai diucapkan, Thiat Tiong-tong sudah menarik tangannya sambil melayangkan sebuah tamparan.

   "Bagus, kau berani memukul aku!"

   Teriak Un Tay-tay sambil mencak-mencak kegusaran.

   Dengan wajah hijau membesi kembali Thiat Tiong-tong melayangkan dua kali tamparan.

   Dia menaruh rasa kasihan terhadap Im Ceng, sementara terhadap perempuan ini justru menaruh rasa benci dan dendam, tidak heran kalau tamparannya dilakukan sangat keras.

   Bekas sepuluh jari tangan yang merah membengkak pun seketika muncul diatas wajah Un Tay-tay.

   Kebuasan dan sifat liarnya yang nyaris ditonjolkan seketika hilang lenyap tidak berbekas, dengan air mata bercucuran dan nada gemetar bisiknya.

   "Kumohon, jangan ditampar lagi, aku.... aku rela tunduk dibawah perintahnya!"

   "Kau.... kau tidak usah tunduk...."

   Seru Sui Leng-kong cepat, air mata nyaris meleleh juga diwajahnya.

   Dalam waktu singkat suasana jadi hening dan tidak kedengaran sedikit suarapun.

   Tiba-tiba terdengar suara genta dibunyikan bertalu-talu, menyusul kemudian terlihat seorang pelayan keluarga Ting berlarian masuk dengan langkah tergopoh.

   Dengan sedikit sangsi dia memandang sekejap sekeliling tenda, kemudian dengan kepala tertunduk ujarnya.

   "Atas perintah majikan, dipersilahkan semua tamu berkumpul di ruang depan, ada urusan penting yang akan dirundingkan"

   "Sudah tahu!"

   Sahut Thiat Tiong-tong sambil mengidapkan tangannya.

   Pelayan itu mengiakan sambil mundur, namun tidak tahan dia melirik lagi berapa kejap untuk memperhatikan pemandangan aneh didalam tenda itu.

   Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas, ujarnya kemudian dengan suara dalam.

   "Si-jin, temani nona beristirahat dulu, aku akan mengajak dia ke ruang depan"

   "Kau.... kau tidak boleh aku.... ikut?"

   Tanya Sui Leng-kong.

   "Lebih baik kau jangan ikut dulu"

   Dalam pada itu sepasang pipi Un Tay-tay masih merah membengkak, namun sekulum senyum kepuasan menghiasi wajahnya.

   BAB Terjadi Perubahan Langit yang sangat cerah dengan sinar matahari berwarna kuning emas.

   Tapi suasana dalam gedung utama keluarga Li yang bermandikan cahaya matahari justru dicekam dalam ketegangan yang berat dan meenyesakkan napas, bahkan setiap orang merasa napasnya jadi berat.

   Semua meja sudah terisi penuh manusia, semua orang duduk dengan perasaan kebat kebit, wajah serius.

   Beratus pasang mata sama sama tertuju ke wajah Li Lok-yang.

   Waktu itu Li Lok-yang sambil bergendong tangan, berkerut kening, berjalan mondar mandir di antara kerumunan orang banyak, beberapa kali dia menengok keluar pintu gedung sambil bertanya.

   "Apakah semuanya telah hadir?"

   Setiap orang duduk dengan pikiran yang kalut, bahkan Phoa Seng-hong pun duduk saling berhadapan dengan Hay Tay-sau, siapa pun yang mendonggakkan kepalanya, dia akan segera terbentur dengan sorot mata lawan yang penuh dengan kebencian.

   Tiba-tiba terlihat seorang pemuda berbaju pulih yang berwajah sedih, berpakaian lusuh dan memegang sebilah pedang melangkah masuk dengan sempoyongan, dia memandang sekeliling ruangan sekejap kemudian duduk kembali kebangkunya, penampilan orang ini pada hakekatnya seperti dua orang yang berbeda bila dibandingkan berapa hari berselang.

   "Ada apa dengan bajingan itu?"

   Pikir Suto Siau dengan kening berkerut, dia semakin keheranan ketika tidak melihat Un Tay-tay berada bersamanya.

   "Blaaam!"

   Tiba-tiba Im Ceng meletakkan pedangnya diatas meja keras keras, lalu teriaknya.

   "Hey tuan rumah, apa punya arak? Aku ingin minum sampai mabuk"

   "Harap hengtay tunggu sebentar"

   Jawab Li Kiam-pek sambil mendekat.

   Tiba-tiba dia saksikan paras muka pemuda itu berubah hebat, dari balik matanya seakan memancar keluar sinar berapi api.

   Li Kiam-pek agak tertegun, tapi dengan cepat dia sadar kalau kemarahan pemuda berbaju putih itu bukan tertuju kepadanya, tapi diarahkan ke belakang tubuhnya.

   Ketika berpaling, dia pun saksikan kakek aneh itu muncul bersama perempuan cantik pasangan pemuda berbaju putih itu.

   Suto Siau terlebih kaget lagi, tanpa terasa dia melompat bangun sambil melotot besar.

   Un Tay-tay sama sekali tidak melirik kearahnya, diapun tidak memandang ke arah Im Ceng, malah sambil menggandeng tangan kakek aneh itu berjalan menuju ke tempat duduknya.

   Jarang ada yang tahu hubungan sesungguhnya dari berapa orang itu, kebanyakan orang hanya merasa agak kaget bercampur keheranan setelah melihat sikap Suto Siau dan Im Ceng yang lepas kendali.

   Pelayan keluarga Li yang berdiri dipintu gerbang sudah mulai mencocokkan para tamu yang telah hadir dalam ruangan dengan daftar tamunya, kemudian sambil memberi hormat dia melaporkan.

   "Semua tamu telah hadir!"

   Li Lok-yang seketika menghentikan langkah kakinya, kemudian dengan suara berat katanya.

   "Aku merasa tidak enak karena sepagi ini sudah mengganggu ketenangan anda semua"

   Para tamu tahu pasti ada kelanjutan dari perkataannya itu, maka semua orang hanya pasang telinga tanpa menimbrung. Setelah menghela napas panjang, lanjutnya.

   "Anda sekalian jauh-jauh datang kemari, sebagai tuan rumah sudah seharusnya aku melayani kalian dengan sebaik-baiknya, tapi sekarang, mau tidak mau terpaksa aku harus mempersilahkan anda semua untuk segera pulang ke rumah masing-masing"

   Salah satu di antara Ouyang hengte segera bangkit berdiri, teriaknya.

   "Waktu selama sepuluh hari belum lewat, kenapa tuan rumah sudah mengusir tamunya?"

   Kawanan pemuda pemogoran ini memang khusus datang untuk mencari peluang mendekati sekelompok ratu tawon, tentu saja mereka jadi gelisah setelah tahu kalau pertemuan segera akan dibubarkan. Sekali lagi Li Lok-yang menghela napas panjang.

   "Betul, pertemuan selama sepuluh hari memang belum lewat, tapi dalam berapa hari mendatang pasti akan terjadi gelombang badai ditempat ini, cayhe betul-betul tidak tega membiarkan kalian semua terlibas dalam pusaran dan pergolakan ini"

   "Waah, apalagi kalau bakal ada pergolakan ditempat ini"

   Teriak salah satu anggota Ouyang hengte dengan suara keras.

   "kami bersaudara tidak sepantasnya kabur dari sini, melarikan diri di saat ancaman tiba bukan watak dari kami bersaudara"

   Perkataan itu diucapkan dengan lantang dan penuh dengan semangat kesatriaan, tidak tahan dia melirik sekejap ke arah kawanan perempuan yang duduk disudut lain. Tapi dengan suara berat Li Lok-yang segera berkata.

   "Kalian masih muda, mana tahu berbahayanya dunia persilatan, bila sekali sampai terlibat dalam lingkaran setan ini, selama hidup jangan harap bisa lolos kembali"

   Sesudah menghela napas, lanjutnya.

   "Apalagi musuhku ini sangat lihay, sulit mencari orang yang mampu menandingi kemampuan mereka, sebentar lagi banjir darah mungkin akan melanda tempat ini, jika kalian tidak segera pergi, bila sampai orang orang itu tiba disini, aku mungkin tidak berkesempatan lagi untuk melindungi keselamatan kalian. Terus terang, orang itu buas dan kejam, belum pernah dia biarkan lawannya hidup, begitu pertarungan berkobar, siapa hidup siapa mati susah diramalkan, jadi aku harap kalian segera pergi dari sini"

   Dari sikapnya yang amat serius, ucapannya yang penuh diliputi rasa takut dan ngeri, semua orang tahu kalau persoalan yang bakal terjadi amat berat, berubah paras muka setiap orang, sedang kawanan pemuda dari keluarga Ouyang pun sama-sama bergidik, serentak mereka duduk kembali dan tidak berani banyak bicara.

   Kembali Li Lok-yang menjura seraya berkata.

   "Saudara sekalian, kereta kuda telah disiapkan dan setiap saat anda semua dapat berangkat meninggalkan tempat ini, karena keadaan mendesak dan cayhe sendiripun tidak bisa berbuat lain, mohon kalian sudi memaafkan"

   Semua orang tahu kalau setiap ucapan Li Lok-yang lebih berat dari bukit karang, apa yang dia ucapkan tidak pernah merupakan omong kosong tanpa dasar, oleh sebab itu tak seorangpun yang buka suara untuk bertanya lagi.

   Para pedagang sejati, para keluarga kecil, para orang kaya yang takut urusan tergopoh-gopoh bangkit berdiri meninggalkan tempat dan segera berbenah untuk angkat kaki dari situ.

   Ada di antara mereka yang berpamitan dengan Li lok-yang, ada pula yang tidak sempat berpamitan lagi, dalam waktu singkat ruang gedung utama sudah berubah jadi sepi kembali.

   Ada juga berapa orang jago silat serta sahabat karib Li Lokyang yang bicara soal setia kawan, mereka enggan pergi dari situ.

   Namun setelah dibujuk rayu berulang kali oleh Li Lok-yang, maka mereka pun ikut berlalu dari situ.

   Muka gedung utama pun jadi amat hening dan sepi, yang masih tersisa sekarang tinggal Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Im Ceng yang masih tetap duduk sambil pelototi Un Tay-tay serta Thiat liang hong.

   "Saudara, kenapa kau masih belum pergi?"

   Tegur Li Kiam pek sambil menghampiri Im Ceng.

   "Aku tidak bakal pergi!"

   "Kenapa? Bukankah ayahku telah menerangkan dengan sangat jelas?"

   Sambil menuding ke arah Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian, Im Ceng berteriak.

   "Kalau mereka tidak pergi, kenapa aku harus pergi?"

   Biarpun sedang memberi jawaban, namun sorot matanya tidak pernah bergeser dari wajah Un Tay-tay. Suto Siau saling bertukar pandangan sekejap dengan Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu. Sambil tersenyum Pek Seng-bu segera berseru.

   "Saudara, tidak nyana kau bersedia mati hidup bersama kami, kau memang tidak malu disebut seorang enghiong hohan, cayhe ucapkan terima kasih terlebih dulu!"

   "Mati hidup memang bukan sebuah kejadian besar!"

   Teriak Im Ceng.

   "Sungguh?"

   "Tentu saja sungguh"

   Jawab Im Ceng gusar.

   "memangnya kau tahu siapakah aku?"

   Thiat Tiong-tong mulai merasa tegang, dia kuatir Im Ceng benar-benar dipengaruhi emosi sehingga mengakui identitas yang sebenarnya, jika sampai terjadi hal seperti itu tentu saja sulit bagi Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian untuk berlagak pilon lagi.

   Perlu diketahui, situasi pada saat ini amat sensitip, kedua belah pihak sama-sama mempunyai rencana, kedua belah pihak pun menyangsikan sesuatu, hanya Im Ceng seorang yang belum tahu kalau jejaknya sebetulnya sudah ketahuan orang semenjak awal.

   Untung saja Pek Seng-bu segera tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

   "Selama kalian tidak pergi, akupun tidak bakal meninggalkan tempat ini"

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Teriak Im Ceng lagi dengan suara keras.

   "suatu saat nanti kalian bakal tahu siapakah aku!"

   Dengan menggenggam kotak pedangnya, dia berlalu dari situ dengan langkah lebar. Sekali lagi Pek Seng-bu saling bertukar pandangan dengan Suto Siau. Kini Pek Seng-bu menjura ke arah Thiat Tiong-tong sambil berkata.

   "Situasi saat ini sangat gawat, kenapa losianseng masih belum pergi?"

   Thiat Tiong-tong mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak.

   "Hahahaha.... lohu telah merebut kekasih pemuda itu, jika berjalan keluar dari sini, mungkin pemuda itu segera akan datang mencari lohu untuk diajak beradu nyawa"

   Dalam pada itu Li Lok-yang telah perintahkan anak buahnya untuk melakukan persiapan di empat penjuru, terdengar suara bentakan lirih diikuti suara langkah kaki yang tegang berkumandang tiba.

   Perkampungan yang diwaktu biasa nampak tanpa penjagaan, begitu terjadi perubahan segera berubah menjadi sebuah benteng yang kokoh dengan penjagaan yang sangat kuat.

   Para pelayan yang dihari biasa berlaku santun, dalam waktu singkat telah berubah menjadi penjaga yang kosen.

   Diluar pintu gerbang suara kuda dan kereta bergema silih berganti, banyak orang mulai kabur meninggalkan perkampungan itu.

   Sambil bergendong tangan Thiat Tiong-tong berjalan menuju keluar pintu gerbang.

   Dia seolaholah sedang memperhatikan situasi diluaran, padahal semua gerak gerik yang terjadi di belakang tubuhnya tidak satu pun yang lolos dari pengelihatannya.

   Suto Siau menyangka dia tidak memperhatikan keadaan di belakangnya, dengan satu langkah pelan dia menghampiri Un Tay-tay, kemudian setelah melotot sekejap, tegurnya sambil menggigit bibir.

   "Kau sudah edan?"

   Un Tay-tay tertawa terkekeh-kekeh, sengaja dengan suara keras sapanya.

   "Suto tayhiap, ada urusan apa?"

   Suto Siau terkesiap, benar saja, Thiat Tiong-tong segera berpaling. Terpaksa sambil tertawa sahutnya.

   "Ooh,.... tidak apa apa, tidak apa apa!"

   Ketika berjalan balik, hatinya merasa gemas sekali, saking jengkelnya ingin sekali dia menghajar mampus Un Tay-tay dengan sekali pukulan. Un Tay-tay segera menarik ujung baju Thiat Tiong-tong sambil berseru.

   "Lebih baik kita pulang saja, daripada kelewat lama disini aku malah dipermainkan orang lain"

   "Betul"

   Li Kiam-pek segera menimpali.

   "lebih baik losianseng pulang saja!"

   "Sementara waktu lohu akan kembali ke halaman belakang"

   Kata Thiat Tiong-tong dengan wajah serius.

   "tapi bukan berarti aku akan pergi meninggalkan tempat ini, kalian tidak bakalan bisa mengusir aku dari sini"

   Sementara Li Kiam-pek masih termangu, Thiat Tiong-tong sudah beranjak pergi. Memandang bayangan punggung mereka hingga lenyap dari pandangan, Phoa Seng-hong menggelengkan kepalanya sambil menghela napas.

   "Aaai, orang itu memang aneh sekali, bukannya melarikan diri malah tetap tinggal disini menunggu kematian"

   "Masih untung tidak banyak manusia pengecut yang takut mati macam dirimu di dunia ini"

   Sindir Hay Tay-sau sambil tertawa dingin.

   "Apa kau bilang?"

   Teriak Phoa Seng-hong sambil menggebrak meja, dia gusar sekali.

   "Mau apa kau?"

   Balas Hay Tay-sau tidak kalah kerasnya. Li Lok-yang segera menarik wajahnya.

   "Harap kalian berdua segera duduk kembali"

   Tegurnya dengan suara keras.

   "saat ini kita sedang berada disatu perahu, jika tidak bekerja sama secara erat, mungkin perahu ini bakal terbalik dan tenggelam!"

   "Hahahaha.... saudara Li tidak perlu khawatir"

   Kala Hay Tay- sau sambil tertawa tergelak.

   "kami hanya bergurau saja"

   "Braaak!"

   Dia kembali ke bangkunya dan tidak menengok lagi ke arah Phoa Seng-hong.

   Semang pelayan berbaju hitam tiba-tiba berlari masuk dengan wajah gugup bercampur ketakutan, napasnya tersengkal-sengkal, telinga kanannya berlumuran darah, ternyata daun telinganya telah dikutungi orang.

   "Ada apa?"

   Tegur Li Lok-yang dengan wajah berubah. Sambil memegangi telinganya yang berdarah dan mengatur napasnya yang tersengkal, sahut pelayan itu.

   "Hamba mengikuti perintah dengan numpang kereta keluar dari sini, tapi belum sampai diujung jalan telah muncul orang yang menghadang kereta tersebut serta melakukan pemeriksaan"

   "Aah, ternyata dugaanku tidak salah"

   Seru Pek Seng bu sambil menghela napas.

   "rupanya mereka telah melakukan penjagaan yang ketat diseputar wilayah ini, mereka tidak mungkin membiarkan kita menyelinap keluar dan melarikan diri"

   "Bagaimana kemudian?"

   Tanya Li Lok-yang lebij jauh. Sambil menahan rasa sakit sahut pelayan itu.

   "Tampuknya mereka sangat hapal dengan identitas semua orang yang berada di sini, mereka yang tidak tersangkut dibiarkan jalan lewat, melihat keadaan tersebut hamba tidak berani meneruskan perjalanan, sebenarnya hamba ingin kembali untuk melaporkan kejadian ini kepada loya, siapa tahu satu di antara mereka, yang semula seperti orang yang bisu lagi tuli, mendadak maju ke depan menangkap hamba, tanpa banyak bicara dia segera mengurungi daun telingaku"

   "Orang yang bisu lagi tuli?"

   Phoa Seng-hong menjerit kaget.

   "tidak disangka dia pun ikut datang kemari!"

   Paras muka Hek Seng-thian ikut berubah hebat, katanya.

   "Aku dengar ke sembilan orang murid Kiu cu kui bo (setan wanita berputra sembilan) adalah orang-orang yang cacad, apa mungkin si manusia bisu tuli itu adalah salah satu di antaranya?"

   "Di antara deretan murid Kiu cu kui bo, orang ini terhitung paling keji, buas dan telengas"

   Sahut Phoa Seng-hong sambil menghela napas.

   "bahkan dialah yang pernah membuat siaute sangat menderita, kedatangannya kali ini...."

   Mendadak dia bersin beberapa kali dan tidak bicara lagi. Hek Seng-thian menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya.

   "Kiu cu Kui bo sudah banyak tahun tidak pernah muncul dalam dunia persilatan, bagaimana mungkin kau bisa berseteru dengannya? Apakah kau tidak merasa bahwa tindakanmu seperti sekali tonjok menghantam diatas sarang lebah?"

   "Soal ini.... aaai, tidak akan selesai diceritakan dengan satu dua patah kata"

   Hay Tay-sau mendengus dingin, gumamnya sambil menggeleng.

   "Susah diceritakan dalam sepatah dua patah kata? Jika urusannya tidak menyangkut masalah wanita, aku manusia she-Hay berani mengutungi batok kepala sendiri"

   Semua orang mengira Phoa Seng-hong pasti akan ribut lagi dengan orang itu, siapa sangka dia hanya tertunduk lesu tanpa mengucapkan sepatah katapnun, tanpa terasa semua orang saling bertukar pandangan, mereka tahu apa yang dikatakan Hay Tay sau pasti benar.

   Mendadak terjadi kegaduhan diluar pintu gerbang, kawanan manusia yang semula antri memuat barang untuk kabur dari situ, kini berbondong bondong menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.

   "Apa yang terjadi?"

   Seru Li Lok-yang sambil melompat keluar.

   Tampak seorang lelaki botak dengan seluruh tubuh dipenuhi kudis, dengan mengenakan baju kasar terbuat dari goni yang aneh sekali bentuknya sambil menuntun seekor keledai kecil perlahan-lahan berjalan mendekat.

   Gerak gerik orang itu sangat bodoh macam orang kebingungan, persis seperti orang idiot, bahkan keledai yang dituntun pun berjalan dengan lesu tanpa semangat.

   Di punggung keledai yang lemas itu justru mengangkut sebuah karung goni yang besar lagi berat, membuat keledai kecil yang kurus lemah macam sudah berapa bulan tidak pernah mendapat ransum ini nyaris tidak dapat bernapas.

   Walaupun manusia dengan keledainya nampak sangat buruk dan tidak sedap dipandang, namun dalam situasi dan saat seperti ini justru mendatangkan perasaan seram yang aneh dan penuh diliputi misteri.

   Sambil menghadang di depan pintu gerbang hardik Li Lok yang.

   "Sobat, siapa kau? Mau apa datang kemari?"

   Manusia idiot itu tertawa lebar, sahutnya.

   "Hartawan Li, kau berwajah toapan banyak hokki, umurmu pasti panjang sekali, hamba hanya datang kemari untuk minta sedekahmu"

   Sesaat Li Lok-yang berkerut keningnya, kemudian sambil mendongakkan kepala tertawa keras sahutnya.

   "Sobat, kau sudah jauh-jauh datang kemari, tentu saja aku tidak boleh membuat kau kecewa, ambillah!"

   Ditengah bentakan dia mengayunkan tangannya melemparkan sekeping perak ke arah orang itu, sambitan itu sangat kuat dan cepat, desingan angin tajam menusuk pendengaran.

   "Hahahaha.... terima kasih loya"

   Seru si idiot sambil tertawa terkekeh.

   Sewaktu kepingan perak itu tiba dihadapannya, tiba-tiba dia membalik telapak tangannya, mendadak tenaga sambitan yang menyertai kepingan perak itu lenyap tidak berbekas, dengan tenang dan lembut tahu-tahu benda tersebut sudah mendarat diatas tangannya.

   Berubah hebat paras muka Li Lok-yang.

   "Hebat sekali kungfu mu sobat, cayhe masih ingin menjajal lagi"

   "Waah... waaah.... tauke sudah memberi persen, sekarang mau diminta kembali?"

   Seru si idiot sambil tertawa.

   "baik, baiklah... biar aku kembalikan dengan benda lain"

   Mendadak dia hajar pantat keledai itu, diiringi ringkikan kesakitan, keledai itu dengan kepala tertunduk langsung menerjang ke tubuh Li Lok-yang, saking kesakitannya terjangan binatang itu sangat cepat dan hebat.

   Sambil mengebaskan ujung bajunya Li Lok-yang mengegos ke samping, menanti dia berpaling lagi, ternyata si manusia idiot itu sudah lenyap entah lari ke mana.

   Keledai itu langsung menerjang masuk ke ruang tengah, dua orang pelayan buru-buru lari mendekat sambil mencoba menghentikan larinya binatang itu, meski kedua orang itu bertubuh kekar, ternyata mereka tidak mampu menahan tubrukan keledai itu, kontan tubuh mereka roboh terguling ke tanah.

   Li Kiam-pek segera menghampiri keledai itu sambil bentaknya.

   "Jangan kalian sakiti binatang itu, cepat buka bungkusan dipunggungnya, periksa apa isinya?"

   Sementara itu semua orang sudah maju mengerubung, ternyata isi karung goni yang terikat kencang diatas pelana keledai itu adalah tiga sosok mayat dalam keadaan bugil.

   Kulit tubuh ketiga sosok mayat itu telah berubah warna, mimik mukanya nampak mmnyeringai seram, kulit dan ototnya mengejang keras, tampaknya sebelum kematian mereka telah mengalami siksaan dan penderitaan yang luar biasa, tapi anehnya tidak dijumpai sebuah luka pun ditubuh mereka.

   Ketika terendus bau busuk yang memualkan menyeruak keluar dari karung goni itu, buru-buru semua orang mundur berapa langkah.

   "Mayat siapakah itu?"

   Tanya Li Lok-yang kemudian. Semua orang hanya saling berpandangan kemudian menggeleng. Lama sekali Li Lok-yang termenung, akhirnya dengan suara keras serunya.

   "Bagaimanapun juga, kita harus kirim ke tiga buah mayat itu ke halaman belakang, sediakan tiga buah peti mati dan kubur mereka dengan layak"

   Ayah beranak ini selama hidup tidak pernah menyiksa hewan, merekapun tidak pernah memandang enteng orang yang sudah mati, boleh dibilang jiwa ksatria dan kebajikannya sangat mengagumkan.

   Ketika semua orang balik kembali ke ruang tengah, Phoa Seng-hong yang selama ini hanya duduk terpekur tiba-tiba wajahnya berubah hebat, sambil mengangkat kepalanya dia menjerit kaget.

   "Celaka!"

   "Apa yang terjadi?"

   Tanya Hek Seng-thian dan Suto Siau hampir bersamaan waktunya. Dengan sorot mata penuh ketakutan Phoa Seng-hong menuding keluar jendela, serunya dengan nada gemetar.

   "Cepat! Cepat bakar ke tiga sosok mayat itu hingga menjadi abu, harus dibakar sampai habis"

   "Kenapa?"

   Tanya Li Lok-yang keheranan.

   "Kita semua sudah tertipu"

   Teriak Phoa Seng-hong sambil menghentakkan kakinya berulang kali.

   "lelaki idiot itu tidak lain adalah Un sat kui cu (setan penyebar penyakit menular) dari Kiu cu Kui bo!"

   "Apa? Setan penyebar penyakit menular?"

   Seluruh tubuh Li Lok-yang bergoncang keras.

   "Konon kedatangan orang itu selalu membawa penyakit menukar yang akan berakibat menjalarnya penyakit endemi diseluruh wilayah kota...."

   Phoa Seng-hong menghela napas panjang.

   "Sepuluh tahun berselang, perkumpulan cap pwee Lohan pang di kota Bu han yang begitu kosen dan besar pengaruhnya runtuh karena seluruh anggotanya mati tertular penyakit aneh, bisa dibayangkan betapa lihay dan menakutkan orang itu"

   "Menjalarnya penyakit epidemi biasanya disebabkan oleh bencana alam"

   Sela Li Kiam-pek tidak tahan.

   "kekuatan apa yang dimiliki setan penyebar penyakit menular itu untuk menularkan penyakit jahat disebuah wilayah?"

   Selama ini Bi lek hwee hanya membungkam mulut, lama-kelamaan dia tidak sabar juga, segera teriaknya pula.

   "Apa pula yang terjadi dengan ke tiga sosok mayat itu? Kenapa kau minta membakarnya sampai ludas?"

   "Setan penyebar penyakit menular pandai menggunakan pelbagai macam obat beracun, sewaktu menyebarkan penyakit menular, selain menggunakan air untuk media penularan, terkadang dia pun menyebar racun lewat makanan dan mayat manusia"

   "Lohu makin mendengar semakin keheranan"

   "Ke tiga sosok mayat itu jelas merupakan orang-orang yang tewas karena terjangkit penyakit sangat menular, bila seseorang bersentuhan dengan tubuh jenasah itu maka dia akan segera tertular pula jenis penyakit yang sama, seorang menulari sepuluh orang, sepuluh orang menulari seratus manusia, tidak sampai berapa hari kemudian semua manusia yang berada diwilayah ini dapat terjangkit punyakit menular itu!"

   Belum selesai dia berbicara, paras muka semua jago telah berubah hebat. Li yok yang yang segera maju selangkah menghadang di depan pintu gerbang, serunya lantang.

   "Cepat bakar jenasah jenasah itu sampai menjadi abu, kemudian pendam abu mereka didalam tanah, gali yang agak dalam!"

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bukan cuma ke tiga sosok mayat itu yang harus dibakar sampai habis, selain itu semua orang yang barusan pernah bersentuhan dengan mayat itupun harus segera diusir dari sini"

   Sambung Phoa Seng hong.

   "Mengusir dari sini?"

   Mendadak Li Lok-yang membalikkan tubuh sambil menghardik.

   "apakah kau minta aku mengusir anak buahku agar mereka mati dibantai orang diluar sana?"

   "Kalau tidak mengusir mereka dari sini, maka kita semua hanya akan menunggu mati karena tertular penyakit jahat itu, Kiu cu Kui bo pun tidak perlu susah susah turun tangan sendiri!"

   Li Lok-yang tertegun, sampai lama sekali dia tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun sementara peluh sebesar kacang kedele jatuh bercucuran.

   Sorot mata semua orang sudah tertuju ke arahnya, tahu akan gawat dan seriusnya masalah, semua orang menantikan jawabannya.

   Perlu diketahui, waktu itu ilmu pengobatan belum semaju jaman sekarang, sebagian besar jago persilatan sama sekali tidak mengetahui teori penyebaran sebuah wabah penyakit, oleh karena itu semua orang menganggap kejadian ini sebagai suatu peristiwa yang mengerikan dan penuh diliputi misteri.

   Bila pada jaman itu ada orang terserang penyakit kolera atau penyakit pes, dapat dipastikan nyawa mereka pasti akan melayang tanpa ada kesempatan tertolong lagi.

   Dengan menggunakan mayat dari orang yang mati karena terserang wabah penyakit menular itulah si setan penyebar penyakit menyebarkan bakteri jahat ke tubuh orang lain, pengetahuannya yang lebih maju daripada orang lain menghantarkan dirinya menjadi salah satu tokoh kenamaan dalam dunia persilatan.

   Lama sekali Li Lok-yang termenung, tiba-tiba dengan kening berkerut serunya.

   "Apa pun yang bakal terjadi, aku tidak bisa mengusir anak buahku untuk menghantar kematian diluar sana"

   Air muka semua orang berubah makin hebat. Sambll tertawa dingin, Suto Siau segera berseru.

   "Kalau begitu saudara Li memang berharap kita semua ikut mati lantaran tertular penyakit jahat itu?"

   "Mati hidup ada ditangan takdir, sekalipun harus mati, kita tidak boleh meninggalkan nama busuk sebagai orang yang tidak bijak dan tidak setia kawan, jelek-jelek kita harus mati sebagai seorang lelaki ksatria"

   "Dan pada mati dengan nama harum, mending hidup dengan nama busuk"

   Sela Suto Siau ketus.

   "bila saudara Li pingin mati, silahkan saja mati sendirian, cayhe sekalian mah tidak ingin menyumbangkan nyawa dengan percuma, saudara Hek, saudara Pek, saudara Phoa, betulkan perkataan siaute?"

   "Tepat sekali"

   Jawab Hek Seng-thian, Pek Seng-bu dan Phoa Seng-hong dengan wajah hijau membesi.

   "Kalau begitu kau mau apa?"

   Teriak Li Lok-yang keras. Suto Siau tertawa seram.

   "Jika kau tidak segera menurunkan perintah, terpaksa cayhe sekalian akan merampas kekuasaanmu!"

   Sambil berbicara dia memberi kode, lalu bersama Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu mengepung Li Lok-yang di tengah arena.

   "Merampas kekuasaanku?"

   Li Lok-yang berteriak keras.

   "memang nya kalian ingin membunuh ku?"

   "Jika keadaan memaksa, terpaksa cayhe sekalian harus berbuat begitu"

   Mereka berempat mulai menggeser kakinya perlahan-lahan mendekati Li Lok-yang.

   "Criiiing!"

   Terdengar dentingan nyaring bergema memecahkan keheningan, Li Kiam-pek telah meloloskan pedangnya. Tiba tiba Hay Tay-sau menggebrak meja keras keras, teriaknya.

   "Barang siapa berani mengusik Li Lok-yang ayah beranak, aku akan menghajarnya hingga terbelah dua"

   Phoa Seng-hong membalikkan tubuhnya, tiba-tiba dia melancarkan sebuah serangan menghantam dada Hay Tay-sau.

   "Bocah keparat"

   Umpat Hay Tay-sau sambil tertawa seram.

   "sudah cukup lama aku ingin menjagal dirimu"

   Ditengah gelak tertawa dia melancarkan lima buah pukulan, tenaga serangannya keras lagi kuat bahkan disertai tenaga yang bisa menjebol batu karang.

   Phoa Seng-hong dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya berkelit ke samping, dalam waktu singkat diapun telah melancarkan lima jurus serangan balasan.

   Meskipun Phoa Seng-hong mempunyai julukan yang tidak sedap didengar, ternyata ilmu silat maupun gerakan tubuhnya sangat tangguh, langkah kakinya aneh tapi hebat, jauh diluar dugaan siapa pun.

   Dipihak lain Li Kiam-pek telah terlibat pertarungan melawan Pek Seng-bu, terdengar angin pedang mendesir, cahaya senjata menggulung, bagaikan diamuk angin puyuh dan hujan lebat, seluruh angkasa diselimuti oleh cahaya tajam yang menggidikkan hati.

   Sesudah bertarung berapa gebrakan, Pek Seng-bu merasa makin terkesiap, sekalipun dia tidak pernah memandang rendah kemampuan silat dari putra keluarga Li ini, namun mimpi pun dia tidak menyangka kalau kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki pemuda itu sudah mencapai tingkatan yang begitu mengerikan.

   Li Lok-yang masih berdiri dengan sepasang lengan lurus ke bawah, mimik mukanya tetap tenang tanpa terdorong gejolak emosi, namun hawa murninya telah dihimpun menyelimuti seluruh tubuhnya.

   Beberapa kali Hek Seng-thian dan Suto Siau ingin melancarkan gempuran, namun setelah menyaksikan ketenangan sikap yang di perlihatkan Li Lok-yang, untuk sesaat mereka jadi ragu dan tidak berani sembarangan turun tangan.

   Pada saat itulah kembali terdengar suara langkah kaki berkumandang datang dari kejauhan, sebelas orang lelaki berbaju hitam dengan wajah berat dan serius, seakan akan sedang memikul beban ribuan kati melangkah naik ke atas undak undakan rumah.

   "Mau apa kalian datang kemari?"

   Dengan kening berkerut Li Lok-yang segera menegur. Lelaki yang berada dipaling depan menjawab dengan kepala tertunduk.

   "Hamba sekalian telah membakar ketiga jenasah itu dan menguburnya, tapi karena kurang berhati hati, hamba semua telah bersentuhan dengan ketiga sosok mayat itu"

   Lelaki ke dua segera menimpali.

   "Kami minta kalian segera menghentikan pertarungan, dengarkan dulu sepatah dua patah kata hamba"

   Baru selesai dia bicara, pertarungan seketika terhenti.

   "Apa yang sedang kalian bicarakan?"

   Tegur Li Lok-yang dengan nada berat.

   "ayo cepat mundur dari sini!"

   Lelaki yang berada dipaling depan menundukkan kepalanya makin rendah, katanya.

   "Loya, kau tidak usah bertarung lagi melawan mereka hanya gara-gara keselamatan hamba sekalian, sudah banyak tahun hamba semua bekerja untuk loya, hamba semua tidak ingin menyusahkan dirimu lagi"

   "Apa yang hendak kalian lakukan?"

   Bentak Li Lok-yang dengan wajah berubah hebat.

   "Kini hamba semua telah menjadi sumber pembawa bencana, kami semua tidak berani hidup terus di dunia ini, apalagi sebagai pembawa bencana yang akan mencelakai orang banyak"

   Bisik lelaki itu sedih. Li Lok-yang semakin terharu, emosinya makin gejolak, teriaknya lantang.

   "Kalian segera mundur dari sini, apapun akibatnya, aku akan pertaruhkan nyawaku untuk melindungi kalian semua"

   "Budi yang loya dan kongcu berikan kepada hamba semua berat bagai bukit karang, hamba semua...."

   Tiba-tiba perkataan lelaki itu berubah jadi sesenggukan, butiran air mata jatuh berlinang. Lelaki yang ke tiga segera berkata pula.

   "Sekarang posisi hamba sekalian sudah terjepit, kami tidak bisa mengikuti loya dan kongcu lagi, kami tidak bisa berbakti lagi...."

   "Betul, betul sekali"

   Timbrung Phoa Seng-hong cepat.

   "jika kalian masih setia kepada Li toako, tidak seharusnya mendatangkan kesulitan baginya, lebih baik cepatlah pergi meninggalkan tempat ini!"

   "Tidak perlu kau banyak ngebacot!"

   Bentak Li kiam pek gusar. Tiba-tiba lelaki ke empat mengangkat lengannya tinggi-tinggi, kemudian serunya.

   "Loya dan kongcu berada diatas, terimalah penghormatan terakhir dari hamba mu!"

   Ditengah seruan nyaring, ke sebelas orang lelaki itu serentak menjatuhkan diri berlutut.

   "Mau apa kalian?"

   Teriak Li Lok-yang pedih.

   "tanpa perintahku, siapapun di antara kalian tidak boleh mati, mengerti?"

   "Maafkan kami loya, kali ini terhamba hamba semua akan melawan perintahmu"

   Ujar lelaki pertama sambil terisak.

   "sekalipun hamba akan mati dan jadi setan, kami tetap akan berusaha melindungi loya"

   "Kalian segera bangkit berdiri"

   Hardik Li Lok-yang sambil menghentakkan kakinya. Tiba-tiba terlihat raut wajah lelaki itu mengeong keras, percikan darah segar menyembur keluar dari dada dan lambungnya, sambil mundur dengan gontai dia tertawa seram.

   "Saudara semua, aku berangkat duluan!"

   Ke sepuluh orang lelaki sisanya ikut tertawa sedih sambil berseru.

   "Loya, hamba berangkat duluan"

   Masing masing orang segera menghantam ke dada sendiri dengan telapak"

   Tangan, semburan darah segar pun menggenangi permukaan lantai.

   Rupanya sejak awal mereka telah sembunyikan pisau belati tajam dibalik ujung bajunya, ketika pisau itu menghujam ke dada hingga tinggal gagangnya, biar Li Lok-yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali orang sekarat pun tidak mungkin bisa selamat kan nyawa mereka lagi.

   Li Kiam-pek tidak kuasa menahan rasa sedihnya, dia peluk mayat anak buahnya sambil menangis tersedu sedu.

   Li Lok-yang sendiripun berdiri kaku bagai mayat hidup, hanya butiran air mata yang meleleh keluar membasahi pipinya.

   Suto Siau, Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu hanya berdiri mematung, sikap ksatria yang diperlihatkan kawanan lelaki itu membuat mereka terperana, sampai lama sekali, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

   Kini suasana amat hening, kecuali angin yang berhembus lewat tak kedengaran suara yang lain.

   Di tengah halaman luar terlihat gerombolan manusia masih saling berdesakan disitu, ada yang merupakan pedagang permata yang belum sempat pergi, ada pula anak buah keluarga Li.

   Tapi sebagian besar orang orang itu berdiri dengan mata berkaca, bahkan ada pula yang wajahnya telah basah oleh air mata.

   Thiat Tiong-tong berdiri jauh disudut ruangan, kendatipun air mata tidak sampai meleleh keluar namun pancaran sinar matanya penuh mengandung penderitaan yang dalam.

   Sebuah pertikaian yang sebenarnya amat sederhana telah dia ciptakan menjadi satu masalah yang pelik, masalah yang membuat banyak nyawa tidak berdosa harus melayang dengan percuma.

   Sekalipun dia berbuat begitu demi kesetiaannya terhadap perguruan, namun berbicara soal liangsim, dia merasa amat menyesal dan bersedih hati.

   Sekarang dia baru sadar, bunuh membunuh yang terjadi dalam dunia persilatan ternyata merupakan satu peristiwa yang kejam dan penuh penderitaan.

   Sampai semua orang sudah pada bubaran, dia masih berdiri kaku disitu, mengawasi sesosok demi sesosok mayat yang berlumuran darah digotong pergi melalui hadapannya.

   Sekonyong-konyong terdengar suara genta yang dibunyikan bertalu-talu berkumandang dari kejauhan, suara itu tinggi meleng-king dan tajam sekali.

   Menyusul kemudian terdengar suara seorang bocah bersenandung dari tempat kejauhan dengan suara yang nyaring.

   "Bila lonceng kematian berdentang, ayam anjing tersapu punah, Li Lok-yang wahai Li Lok-yang.... apakah hatimu bimbang?"

   "Aku akan beradu nyawa dengan kalian!"

   Bentak Li Kiam-pek nyaring.

   Sambil memutar pedangnya dia siap menerjang keluar, tapi belum sampai kakinya melangkah keluar dari pintu, dia sudah ditarik kembali oleh seseorang.

   Memandang dari tempat kejauhan, kembali Thiat Tiong-tong melihat Phoa Seng-hong berjalan keluar ke undak-undakan diluar pintu gerbang, lalu sambil bergendong tangan dia memandang ke arahnya sambil tersenyum dan memberi hormat.

   Sekali lagi pemuda ini merasakan hatinya amat pedih, cepat dia membalikkan tubuh dan berjalan kembali ke halaman belakang.

   Waktu itu Im Ceng sedang berdiri dibawah pohon waru tepat di depan halaman rumahnya, dia sedang mengawasi tirai yang berada ditengah halaman, Thiat Tiong-tong dapat menangkap sorot matanya yang pedih bercampur gusar, mendadak setelah meninju batang pohon keras keras, pemuda itu membalikkan tubuh dan kabur dari situ.

   Thiat Tiong-tong termenung lama sekali, dia baru tersadar ketika mendengar suara senandung bergema dari balik tirai.

   "Sunyi sepi loteng barat seorang diri, rembulan bersinar bagai sabit, Pohon tinggi halaman nan sepi, Kugunting tidak putus, kuatur tetap kalut, Inikah kesenduan dari sebuah perpisahan? Inilah perasaan yang menyiksa di hati?"

   Itulah bait syair yang dipelajari Sui Leng-kong sejak berapa hari berselang, bait lagu yang sedang disenandungkan dengan nada yang begitu pedih dan menggetarkan hati, mendatangkan suatu perasaan berpisah yang amat sedih dan pedih.

   Thiat Tiong-tong merasa hatinya tercekat, seakan-akan timbul sebuah firasat jelek dari dalam hatinya.

   Dengan langkah lebar dia menerjang masuk ke dalam tenda, segera terlihat olehnya Un Tay-tay sedang bersandar di bangku utama sementara Sui Leng-kong dan Cian-jin berdiri jauh di sudut ruangan.

   Dibawah kaki mereka berdua terlihat dua buah buntalan kecil, pakaian yang mereka kenakan pun amat sederhana, malah tusuk konde mutiara yang semula dikenakan disanggul Sui Leng- kong, kini sudah tidak nampak.

   "Mau apa kalian?"

   Tegur Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah.

   "Nona mau pergi, maka akupun akan menemani nona pergi dari sini"

   Jawab Cian-jin dengan kepala tertunduk. Thiat Tiong-tong menyerbu masuk ke dalam, serunya lagi dengan nada gemetar.

   "Kau benar-benar akan pergi?"

   Sui Leng-kong manggut-manggut.

   "Inilah surat yang ditinggalkan nona"

   Sambung Cian-jin sambil menyodorkan secarik kertas. Thiat Tiong-tong segera merampas kertas itu dnn membaca isinya.

   "Aku sudah tidak kesepian lagi, aku ingin pergi, aku tidak mau menjadi adikmu tapi aku hanya bisa menjadi adikmu, bukankah lebih baik pergi dari sini?"

   "Kenapa kau tidak mau menjadi adikku? Kenapa kau harus pergi?"

   Teriak Thiat Tiong-tong dengan suara keras.

   Perlahan-lahan Sui Leng-kong mendongakkan kepalanya, butir air mata meleleh dari kelopak matanya.

   Meski dia tidak bicara namun dari tetesan air matanya Thiat Tiong-tong dapat membaca suara hatinya, dapat melihat rasa cinta yang mendalam dari gadis tersebut.

   Perasaan hatinya mendadak bergetar keras, dia mundur berapa langkah dan terduduk diatas bangku.

   Benar, dia tidak ingin menjadi adiknya karena yang dia butuhkan adalah semacam rasa cinta yang jauh lebih mendalam.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi, dia tidak sanggup memberikan apa yang diharapkan semen-tara nona itupun tidak bisa menerima apa yang bisa dia berikan.

   Maka gadis itupun memutuskan untuk pergi, pergi meninggalkan tempat itu.

   Perlahan-lahan dia menggerakkan langkahnya, ketika lewat disamping Un Tay-tay, bisiknya lirih.

   "Kau.... kau harus baik baik menjaga.... menjaganya!"

   Perkataan itu diucapkan dengan lelehan air mata, ungkapan perasaan yang amat memedihkan.

   "Adikku, kau tidak usah kuatir"

   Jawab Un Tay-tay sambil tertawa ringan.

   "enso pasti akan menjaganya baik-baik"

   Dengan kepala tertunduk Sui Leng-kong berjalan keluar dari tenda. Terdengar dia berkata lagi dengan nada sesenggukan.

   "Semua.... semuanya ini memang... memang milik.... milikmu.... kau.... kau...."

   Ketika perkataan terakhir diucapkan, suara itu sudah berada ditempat yang amat jauh.

   Bagaikan seorang panglima perang yang baru kalah dimedan laga, seluruh badan Thiat Tiong-tong terasa lemas tidak bertenaga, perasaan kosong dan hampa yang dia rasakan sulit diungkap dengan kata-kata dan tidak mungkin bisa dirasakan siapa pun.

   Lama, lama kemudian tiba-tiba Un Tay-tay menegur sambil tertawa.

   "Orangnya sudah pergi jauh, Thiat Tiong-tong, apa lagi yang kau sedihkan?"

   Kata Thiat Tiong-tong' bagaikan guntur yang membelah bumi disiang hari bolong. Thiat Tiong-tong merasakan telinganya mendengung keras, dengan kaget dia melompat bangun, sambil melompat ke depan perempuan itu hardiknya.

   "Darimana kau bisa mengetahui namaku?"

   "Thiat Tiong-tong!"

   Dengan tenang Un Tay-tay mengupas jeruk sambil menikmatinya dengan santai.

   "keberhasilanmu melawan si jago pedang berhati ungu dan kehebatanmu kabur dari kepungan berlapis telah membuat namamu tersohor dalam dunia persilatan, masa kau belum tahu?"

   Dengan satu gerakan cepat Thiat Tiong-tong menggerakkan telapak tangannya mencengkeram sepasang bahu wanita itu, kembali hardiknya.

   "Mau bicara tidak?"

   Ketika cengkeramannya diperketat, sepasang bahu Un Tay-tay seolah hendak remuk saja, jeruk yang berada dalam genggamannya ikut terjatuh ke lantai. Tapi dia masih tertawa santai, katanya lembut.

   "Lepaskan dulu tanganmu, aku akan bicara"

   "Kau berani menantangku?"

   Thiat Tiong-tong semakin gusar.

   "aku bukan orang yang sudi ditantang apalagi diancam, jika kau tidak segera menjawab, akan kujagal dirimu hidup-hidup"

   Un Tay-tay tertegun, dia merasakan sepasang bahunya sakit bagaikan diiris-iris, dia memang malah terbiasa mengancam orang bila menghadapi setiap persoalan, tidak disangka hari ini dia justru bertemu dengan lelaki kaku yang tidak sudi diancam.

   Senyuman diwajahnya hilang lenyap seketika, jawabnya dengan suara gemetar.

   "Adikmu yang mengatakan"

   "Apa yang dia katakan?"

   Teriak Thiat Tiong-tong gusar.

   "Ketika kau sedang pergi tadi, dia selalu bergumam memanggil namamu, begitu mendengar suara gumamannya, aku segera menebak kalau kau adalah penyaruan dari Thiat Tiong-tong"

   Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, perlahan dia mengendorkan cengkeramannya. Sambil tertawa genit kembali Un Tay-tay melanjutkan.

   "Lagipula.... seharusnya sejak awal aku sudah bisa menduga kalau kau tidak mungkin seorang kakek peyot, seluruh kulit, daging dan ototmu masih kencang dan keras, sama sekali belum mengendor...."

   Perempuan ini benar benar seorang perayu lelaki yang ulung dan berpengalaman, dalam keadaan seperti ini dia mampu menyandarkan tubuhnya dalam pelukan Thiat Tiong-tong sambil berbisik.

   "Sebenarnya macam apa sih kenyataanmu, coba biar kuperiksa...."

   Belum selesai dia berkata, Thiat Tiong-tong telah mengayunkan kembali tangannya menghadiahkan sebuah tamparan.

   "Mau apa kau?"

   Jerit Un Tay-tay kaget. Kembali Thiat Tiong-tong mengayunkan tangannya sekali lagi, bentaknya.

   "Thiat Tiong-tong hanya ada ketika tidak ada orang, mengerti?"

   Mendadak Un Tay-tay tertawa cekikikan.

   "Orang ganteng, kau memang bodoh. Mulai sekarang aku akan mengikuti dirimu terus, masa aku tega mencelakaimu?"

   Katanya. Thiat Tiong-tong mendengus dingin. Tiba tiba dari luar tenda terdengar seseorang berseru.

   "Lo sianseng, apakah kau ada di dalam? Cayhe Li Kiam-pek ingin minta petunjukmu"

   Thiat Tiong-tong segera mendorong tubuh Un Tay-tay sambil berseru.

   "Silahkan masuk"

   Li Kiam-pek menyingkap tirai sambil melangkah masuk ke dalam, ujarnya lagi sambil menjura.

   "Semua tamu telah pergi meninggalkan tempat ini, cayhe mendapat perintah dari ayah untuk menghantar lo sianseng berangkat meninggalkan tempat ini"

   "Ooh, jadi kau sedang mengusir tamu?"

   Tegur Thiat Tiong-tong ketus.

   "Bukan, bukan sedang mengusir tamu, melainkan hanya niat baik dari ayahku saja"

   Kata Li Kiam-pek sambil menghela napas panjang.

   "Sebentar lagi pertempuran bakal berkobar, bila lo - sianseng tidak...."

   "Hmmm! Maksud baik apa"

   Tukas Thiat Tiong-lung gusar.

   "Pentang matamu lebar-lebar, memangnya kau anggap lohu adalah manusia yang bisa datang ketika diundang dan pergi waktu diusir?"

   "Lo sianseng, ucapanmu kelewat serius!"

   Dengan kening berkerut Li Kiam-pek tertawa dingin. Un Tay-tay segera menarik ujung baju Thiat Tiang-tong sambil berbisik.

   "Kenapa sih kau tidak mau pergi? tempat ini...

   "Kau tidak usah ikut campur"

   Tukas Thiat Tiong-tong sambil menyingkirkan tangannya.

   "lohu justru sengaja mau tetap tinggal disini, mau apa kalian?"

   "Yaa sudah, mau pergi atau tidak, urusanmu sendiri"

   Tiba-tiba dari kejauhan berkumandang lagi bunyi genta yang dibunyikan bertalu-talu. Menyusul suara genta tadi, teriakan si bocah lelaki itu bergema kembali.

   "Lonceng ke dua telah berbunyi, jalan tertutup ransum terputus, setengah langkah keluar dari pintu, ditanggung nyawa akan melayang!"

   Berubah hebat paras muka Li Kiam-pek setelah mendengar ucapan tersebut, katanya.

   "Sekarang mau pergi pun jangan harap kau bisa pergi lagi"

   "Bagaimana baiknya sekarang?"

   Seru Un Tay-tay dengan wajah pucat.

   "kami adalah tamu kalian, sudah sepantasnya bila keluarga Li berusaha melindungi keselamatan kami"

   Li Kiam-pek menghela napas panjang sambil berlalu dari situ. Tampak ke dua orang bocah lelaki itu berlari masuk dari luaran sambil berteriak gugup.

   "Mereka telah pergi semua!"

   "Siapa yang telah pergi?"

   Tanya Un Tay-tay.

   "Kusir kereta dan koki sudah pada kabur, enci Cian-jin juga telah pergi, loya, kenapa kau belum pergi?"

   Bocah lelaki yang lain segera menambahkan dengan nada kuatir.

   "Coba kau lihat halaman rumah yang lain, kini hampir semuanya kosong tidak berpenghuni, hawa kematian serasa menyelimuti setiap tempat, sungguh membuat hati ngeri dan takut"

   Sambil menghentakkan kakinya dengan jengkel Un Tay-tay ikut berkata.

   "Padahal kau adalah orang pintar, kenapa mesti melakukan tindakan yang amat bodoh? Asal kabur dari sini, bukankah tidak ada urusan lagi, bahkan sambil bergendong tangan bisa menyaksikan musuhmu satu per satu mampus dalam perkampungan ini, sampai waktunya bukan cuma dendammu bisa terbalas, orang yang kau inginkan pun dapat diperoleh, bukankah hal tersebut sangat menyenangkan?"

   Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya.

   "Siapa sangka kau justru bersikeras ingin tetap tinggal disini, memangnya kau senang menemani musuh-musuh besarmu itu untuk mati bersama?"

   "Hmm! Jika disini hanya tersisa musuh-musuh besarku, sejak awal aku sudah pergi meninggalkan tempat ini, jangan lagi tetap tinggal disini, biar kau tarik lenganku pun jangan harap aku mau berada disini"

   Kata Thiat Tiong-tong dingin.

   "Memangnya kau tinggal disini demi Li Lok-yang, Hay Tay-sau sekalian""

   Seru Un Tay-tay keheranan.

   "waah, ini aneh sekali namanya, masa kau mempunyai hubungan yang akrab dengan mereka?"

   "Sekalipun tidak mempunyai hubungan yang akrab, tapi mereka adalah jago-jago berhati lurus dan bersih, terhadap kawanan manusia jahat berhati busuk, aku bisa saja menggunakan cara yang paling keji untuk menghadapi mereka, tapi terhadap para ksatria berhati lurus, aku hanya mempunyai sebuah cara saja"

   "Apa caramu?"

   "Menghadapi mereka dengan kejujuran dan kesetiaan!"

   Un Tay-tay tertegun berapa saat lamanya, lama kemudian dia baru menghela napas sambil bergumam.

   "Goblok, benar-benar goblok!"

   Meskipun mulutnya bergumam terus, namun tidak sepatah kata pun berani diucapkan.

   Ke dua orang bocah lelaki itu hanya tertegun sambil mengawasi perempuan itu dengan mata terbelalak besar.

   Setelah tercekam dalam suasana yang amat hening berapa saat lamanya, tiba-tiba terdengar lagi tiga kali jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang di udara, disusul kemudian suara hentakan manusia serta suara langkah kaki yang ramai, bahkan secara lamat-lamat terdengar pula suaara desingan anak panah yang memenuhi angkasa.

   Terdengar seseorang dengan suara parau berlarian sambil berteriak.

   "Celaka, celaka, semua hewan yang berada dalam kandang telah mati secara mengerikan!"

   Teriakan tersebut penuh dicekam perasaan ngeri bercampur seram, berkumandang dari arah belakang menuju ke ruang depan.

   Dua orang bocah lelaki itu saling bertukar pandangan sekejap, kendatipun mereka berdua termasuk bocah cerdas yang memiliki kepintaran luar biasa, bagaimana pun usia kedua orang itu masih kelewat muda, setelah mendengar jeritan ngeri yang begitu menyayat hati, tidak urung tubuh mereka gemetar juga saking takutnya.

   Dengan wajah pucat seru Un Tay-tay.

   "Bagaimana baiknya sekarang? Hey,kenapa kalian masih belum juga membenahi semua intan permata serta barang barang berharga itu? Jika kekacauan sudah terjadi, kalian bakal tidak sempat bebenah"

   "Hmm! Kalau orang pun hampir mampus, apa gunanya barang berharga itu?"

   Dengus Thiat Tiong-tong dingin. Un Tay-tay tertegun, tiba-tiba dia mulai menangis, sambil menubruk ke dalam pelukan pemuda itu serunya berulang kali.

   "Aku tidak mau mati, aku tidak pingin mati, kau harus menjamin agar aku tidak sampai mati...."

   Thiat Tiong-tong sekali lagi mendengus dingin, dia segera mendorong tubuh perempuan itu dari pelukannya. Suara genta kembali bergema, sang bocah pun kembali bersenandung.

   "Bunyi genta untuk ke tiga kalinya, malaikat maut telah tiba, persiapkan peti mati dan bersiaplah berangkat ke tanah pekuburan!"

   Dua orang bocah lelaki itu mulai menggigil keras saking takutnya, mereka berdua berdiri saling merapatkan badan. Pada saat itulah Li Kiam-pek yang berpakaian ringkas menyelinap masuk lagi sambil berseru.

   "Kekacauan segera akan terjadi, semua orang dipersilahkan berkumpul di ruang utama, kita harus bersatu padu melakukan perlawanan"

   Un Tay-tay seketika menghentikan isak tangisnya, serunya.

   "Kalau kami semua berkumpul di ruang Utama, bagaimana dengan barang-barang ini?"

   Biarpun kematian sudah di depan mata, ternyata perempuan ini masih belum dapat melupakan intan permata dan barang-barang ber harga itu.

   "Semua barang yang tertinggal disini akan kami uruskan"

   Sahut Li Kiam-pek dingin.

   "asal kita semua belum mati, kujamin barang kalian tidak bakal ada yang hilang"

   Thiat Tiong-tong termenung sejenak, katanya kemudian.

   "Kalau begitu ayoh kita berkumpul!"

   Maka berangkatlah mereka semua meninggalkan tenda menuju ke ruang utama, waktu itu satu pasukan lelaki kekar berbaju hitam bersenjata golok dan tombak telah mengepung sekeliling ruangan itu rapat-rapat.

   Li Lok-yang telah menghimpun seluruh kekuatan yang dimilikinya ditempat tersebut.

   Cahaya senja masih memancarkan sinarnya yang kemerah-merahan, ketika cahaya itu menimpa ujung golok segera terhiaslah sinar yang menyilaukan mata.

   Paras muka semua orang nampak serius dan berat, biarpun mendekati seratusan orang yang berkumpul diseputar halaman gedung, namun tidak kedengaran suara apapun kecuali suara langkah kaki yang bergeser.

   Semua lampu yang ada di ruang utama telah dinyalakan, ditengah senja yang redup, cahaya lentera itu kelihatan suram, membuat ruang utama yang sangat luas nampak lebih menyeramkan dan menggidikkan hati.

   Meja kursi yang semula memenuhi ruang utama, kini ada sebagian besar telah disingkirkan, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Suto Siau sedang berkumpul disebuah sudut ruangan sambil berbisik-bisik merundingkan sesuatu, entah apa yang sedang mereka bicarakan.

   Bi lek hwee serta si bintang pembunuh sedang menikmati arak langsung dari dalam guci, beberapa kali mereka perdengarkan gelak tertawa yang amat keras, suara tertawa yang memecahkan keheningan.

   Phoa Seng-hong duduk seorang diri disisi meja dari Li Lokyang, saat itu dia sedang menggotong mata pedangnya dengan seksama, entah berapa kali dia sudah menggosok hingga mata pedangnya nampak berkilat tajam.

   Im Ceng hanya berdiri di depan gedung tanpa berbuat apa-apa, ketika melihat kemunculan Thiat Tiong-tong dan rombongan, tiba-tiba dia membalikkan tubuh sambil masuk ke dalam, mencabut keluar pedangnya, duduk persis dihadapan Phoa Seng-hong dan mulai menggosok pedangnya.

   Mendadak Li Lok-yang berkata dengan suara dalam.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku sudah bersiap-siap melakukan pertahanan ditempat ini, meskipun tidak tahu bisa bertahan sampai kapan, akupun tidak tahu apakah pertahanan ini bakal jebol atau tidak, tapi sudah kuputuskan akan melawan mereka hingga titik darah penghabisan"

   Dengan sorot matanya yang tajam dia menyapu sekejap wajah semua orang yang hadir, kemudian lanjutnya.

   "Kini kalian semua berada ditempat ini, berarti bukan saja akan menderita bersama bahkan akan mati hidup bersamaku!"

   "Memang seharusnya begitu!"

   Seru Hay Tay-hau sambil menggebrak meja keras-keras. Dengan pandangan berterima kasih Li Lok-yang memandang sekejap ke arahnya, kemudian lanjutnya.

   "Oleh sebab itu di saat kesulitan belum lewat, terpaksa kalian tidak akan peroleh pelayanan yang sepantasnya"

   "Apalah artinya tidak peroleh pelayanan yang pantas!"

   Seru Bi-lek hwee pula sambil menggebrak meja.

   "Hahahahaha.... bagus, bagus sekali"

   Seru Li Lok yang sambil tertawa tergelak.

   "asal kita benar-benar dapat bekerja sama dengan baik, biar menang kalah belum ketahuan hasilnya, saudara sekalian, mari kita bersantap dulu, setelah kenyang bersantap kita baru persiapkan diri untuk menghadapi pertarungan berdarah!"

   Suara jawaban bergema gegap gempita, tidak lama kemudian muncul berapa orang lelaki berbaju hitam yang segera menyiapkan meja berjamuan ditengah ruangan.

   Sejak dicekam perasaan gelisah, ngeri dan kuatir, sebagian besar orang seakan sudah lupa untuk bersantap, kini begitu mengendus bau harumnya hidangan dan arak, kontan saja semua orang mulai merasakan perutnya keroncongan.

   Thiat Tiong-tong memandang keluar sekejap, tiba-tiba ujarnya dengan suara dingin.

   "Semua hewan yang ada di kandang telah mati keracunan, jika dalam hidangan itupun dicampuri racun, bukankah kita semua bakal mampus seperti hewan hewan di halaman belakang?"

   "Semua hidangan dibuat dibawah pengawasan serta penjagaan yang sangat ketat"

   Sahut Li Kiam-pek cepat.

   "kecuali Kiu cu Kui bo memiliki kepandaian yang luar biasa, kalau tidak, dengan cara apa dia akan meracuninya?"

   "Kiu cu Kui bo memiliki banyak macam cara untuk menyebarkan racun jahatnya"

   Kata Phoa Seng-hong pula.

   "kemampuannya meracuni orang sangat hebat dan diluar dugaan, memang lebih baik jika kita bersikap lebih berhati-hati!"

   Sementara pembicaraan masih berlangsung, dari sakunya Li Lok-yang telah mengeluarkan sebatang jarum berwarna perak dan dicelupkan pada hidangan tersebut, dalam waktu singkat jarum perak itu berubah jadi hitam pekat.

   Berubah hebat paras muka semua orang, Li Lok-yang sendiripun nampak tertegun, akhirnya dengan wajah tidak habis mengerti dia menengok ke arah Li Kiam-pek.

   "Apa yang telah terjadi?"

   Seru Li Kiam-pek pula keheranan. Phoa Seng-hong menghela napas panjang.

   "Aaai, aku rasa mereka telah menebarkan racun dalam setiap sumur yang ada disini"

   Katanya.

   "Biar kuperiksa"

   Seru Li Kiam-pek sambil berlari keluar. Semua orang saling berpandangan tanpa bicara, suasana hening pun mencekam seluruh ruang gedung. Tidak selang berapa saat kemudian Li Kiam-pek sudah muncul kembali dengan wajah gelisah bercampur cemas.

   "Ternyata benar juga"

   Serunya.

   "ke empat sumur utama yang ada dalam gedung telah diracuni mereka!"

   "Kalau begitu dalam nasi pun pasti ada racunnya"

   Sambung Phoa Seng-hong.

   "Betul-betul manusia berhati iblis"

   Umpat Hek Heng thian gusar.

   "memangnya dia ingin kami semua mati kelaparan disini? Saudara Li, bagaimana kalau kita sembelih ayam dan bebek lalu dipanggang saja tanpa menggunakan air?"

   Li Kiam-pek menghela napas panjang.

   "Semua ayam, itik, babi dan kambing yang kami miliki telah mati keracunan"

   Katanya.

   Sekujur tubuh Hek Seng-thian bergetar keras, dia tidak banyak bicara lagi.

   Mengawasi hidangan lezat yang menyiarkan bau harum semerbak, namun tidak dapat di santap, kontan saja semua orang merasa semakin kelaparan dan amat tersiksa.

   Harus diketahui manusia adalah besi, nasi adalah baja, biarpun seorang enghiong hohan, sulit baginya untuk menahan rasa lapar.

   Paras muka Li Lok-yang dingin bagaikan es, setelah termenung sambil berpikir berapa saat mendadak teriaknya keras.

   "Kiam-pek, perintahkan orang untuk mencari semua telur ayam dan telur itik yang masih tersisa, kemudian ambil arak yang tersimpan di gudang bawah tanah!"

   Li Kiam-pek menyahut dan segera berlalu.

   "Bagus, bagus sekali"

   Seru Hay Tay-sau pula sambil tertawa.

   "telur ayam, telur itik, arak segelan di gudang bawah tanah, benda seperti ini tidak mungkin bisa diracuni biar dilakukan seorang malaikat pun. Hahahaha.... kalau begitu kita semua tidak perlu mati kelaparan lagi!"

   Dengan termangu Li Lok-yang mengawasi para anak buahnya yang berada di halaman luar, air mukanya berubah makin berat dan serius.

   Tidak selang berapa saat kemudian Li Kiam-pek telah mengangkut semua telur dan arak yang ada ke dalam ruangan.

   Keluarga Li merupakan sebuah keluarga kaya raya, tentu saja simpanan araknya sangat banyak, ketika ditumpuk ke dalam ruangan hampir memenuhi separuh ruangan lebih, tapi telur yang berhasil dikumpulkan tidak lebih hanya dua keranjang, ditambah satu keranjang besar berisi daging ayam asap serta ikan asin.

   "Hanya sebanyak ini?"

   Tanya Li Lok-yang sambil menghela napas sedih.

   "Semua sayuran yang akan dipergunakan di dapur, sebagian besar dibeli pada hari itu juga...."

   Li Lok-yang kembali menghela napas panjang, tukasnya.

   "Ada berapa banyak telur ayam yang berhasil dikumpulkan?"

   "Tadi sudah kusuruh orang menghitung, jumlah keseluruhan ada lima ratus tujuh puluh dua butir!"

   "Lima ratus tujuh puluh dua butir?"

   Seru Phoa Seng-hong sambil tertawa.

   "itu hanya cukup untuk menangsel perut selama berapa hari!"

   "Hengtay jangan lupa"

   Sela Li Lok-yang dingin.

   "Dihalaman luar masih terdapat seratus dua puluhan saudara, mereka pun butuh telur itu untuk mengisi perutnya"

   Phoa Seng-hong tertegun, akhirnya dia terduduk kembali di bangkunya, sekujur tubuh terasa sangat lemas. Setelah menghela napas kembali Li Lok-yang berkata.

   "Beruntung, setiap tahun keluargaku bersama para dayang, tentu pergi ke kuil untuk pasang hio, kalau tidak, aaai! Tidak bisa kubayangkan bagaimana situasinya saat itu"

   Tiba-tiba Suto Siau menyela.

   "Barusan cayhe telah membuat perhitungan, disini terdapat seratus empat puluh orang, berarti setiap orang mendapat jatah empat butir telur dan masih tersisa dua belas butir"

   "Henglay, cermat amat perhitunganmu...."

   Seru Li Lok-yang sambil tertawa. Mendadak Phoa Seng-hong bangkit berdiri, teriaknyanya.

   "Kami adalah tamu dari keluarga Li, apakah kitapun harus mengalami nasib yang sama dengan para budak dan pelayan itu?"

   "Mereka semuapun dilahirkan oleh ayah dan ibunya, sama seperti kita semua, kenapa mereka tidak pantas memperoleh perlakuan yang sama dengan kita?"

   "Sekalipun sama-sama manusia, toh tingkat sosial kita jauh berbeda"

   Teriak Phoa Seng-hong.

   "Apanya yang beda?"

   Sela Hay Tay-sau gusar.

   "justru para saudara dari Li toako jauh lebih berperikemanusiaan ketimbang dirimu, apalagi kalau dinilai dari jiwanya yang berbudi serta kesetiaan mereka, Hmmm! Orang-orang itu justru jauh melebihi watak busukmu"

   Phoa Seng-hong tertawa dingin.

   "Hmm, sudah tahu kalau dalam keadaan seperti ini tidak mungkin orang lain membiarkan kita bertarung, kau sengaja memanasi hatiku dengan kata-kata busukmu...."

   "Sekalipun tidak berada dalam situasi seperti sekarangpun, aku tetap akan mengucapkan perkataan itu"

   "Sudahlah, kalian berdua tidak usah ribut lagi"

   Tukas Li Lokyang sambil menghela napas.

   "sisanya yang dua belas butir bisa dibagi rata khusus untuk mereka yang ada di ruangan ini"

   "Hahahaha...."

   Hay Tay-sau tertawa tergelak.

   "aku bukan sedang rebutan jatah telur, aku hanya merasa tidak tahan mendengar suara kentut busuk dari bajingan itu"

   Li Lok-yang segera perintahkan orang untuk membuat empat onggok api unggun ditengah halaman dan menumpangkan empat buah wajan raksasa diatasnya, untuk menggodok telur mereka tidak berani menggunakan air sumur yang sudah keracunan, maka digunakan bekas air cuci muka yang dipergunakan kemarin.

   Ketika telur sudah matang dan dihantar ke ruang tengah, benar saja, setiap orang mendapat jatah lima butir.

   Hay Tay-sau segera mengambil jatah telurnya dan membuka guci arak, seteguk minum arak satu gigitan makan telur, dalam waktu sekejap dia sudah menghabiskan ke lima butir telur jatahnya.

   Bi lek hwee kelihatan sedikit sangsi ketika habis makan telur ke empat, tapi setelah meneguk berapa cawan arak, akhirnya dia pun menghabiskan telur yang ke lima, setelah itu dia mulai tidur diatas meja.

   Sambil menghela napas Phoa Seng-hong mengupas sebutir telur, diamatinya dulu dengan seksama lalu dipotong jadi delapan bagian dan dimakan dengan perlahan, sementara ke empat butir telur lainnya disimpan ke dalam saku dengan hati-hati.

   Orang lain ada yang cuma makan dua butir, ada pula yang makan tiga butir, kawanan jago yang sudah terbiasa bersantap mewah ini meski hari ini mesti makan telur ayam yang tawar tidak ada rasanya, ternyata semua orang bisa menaikmatinya dengan puas.

   Sambil tertawa tergelak kembali Hay Tay-sau berseru.

   "Hahahaha,.... baru hari ini aku tahu ternyata telor ayam godok pun rasanya sangat nikmat"

   Hanya Im Ceng seorang yang duduk sambil makan sebutir telur, sorot matanya seakan tidak sengaja melirik sekejap ke arah Un Tay-tay yang duduk disamping Thiat Tiong-tong, akhirnya dia tidak sanggup lagi untuk makan butir telur ke dua.

   Seorang diri dia menghabiskan separuh guci arak, ketika paras mukanya mulai berubah jadi merah padam akhirnya dia mendongakkan kepalanya dan memandang ke arah Un Tay-tay dengan main melotot.

   Malam semakin larut, sudah tidak terdengar suara pembicaraan manusia dalam ruang utama, api unggun di halaman luarpun sudah padam, kegelapan malam yang sepi membuat suasana ditempat itu terasa makin berat dan mencekam.

   Sepintas lalu semua orang yang ada dalam diruang utama seakan sudah terlelap tidur, padahal tidak seorangpun benar-benar bisa memejamkan matanya.

   Berulang kali Phoa Seng-hong merogoh kedalam sakunya meraba ke empat butir sisa telur ayamnya, tapi setelah di keluarkan, dipandang sekejap akhirnya dimasukkan kembali ke dalam saku.

   Ketika tengah malam sudah lewat, akhirnya Im Ceng roboh dalam keadaan mabuk berat, dia bersandar dimeja sementara mulutnya mengigau berulang kali, ketika didengarkan dengan seksama, lamat-lamat terdengar kalau dia sedang memanggil nama Un Tay-tay.

   Thiat Tiong-tong duduk bersandar dibangku dengan mata terpejam, namun hatinya terasa sedih dan amat tersiksa.

   Dengan langkah kaki yang ringan Li Lok-yang berpatroli kian kemari, tiba-tiba terdengar Li Kiam-pek bertanya.

   "Ayah, kau tidak tidur sebentar?"

   "Tidurlah, ayah tidak bisa tidur!"

   "Ananda juga tidak bisa tidur, mungkinkah mereka akan datang pada malam ini?"

   Sambil menghela napas Li Lok-yang gelengkan kepalanya berulang kali, dia berjalan menuruni undak-undakan di depan gedung dan memandang sekejap sekawanan lelaki kekar yang hampir semuanya sedang mengawasi dinding pekarangan dengan mata melotot.

   "Semoga mereka melancarkan serangan pada malam ini"

   Mendadak terdengar Suto Siau berbisik dari belakang.

   "mumpung kami semua masih punya semangat bertarung, kalau tidak, cukup dua hari saja, mungkin.... aaai!"

   "Yaa, kalau dua hari lagi mereka belum datang juga, terpaksa kita harus menyerbu keluar"

   Jawab Li Lok-yang sedih.

   "Musuh berada di kegelapan sementara kita berada ditempat terang, jika bersikeras hendak menyerbu keluar, mungkin lebih banyak bahayanya daripada selamat, lagipula.... bukankah saudara Li mempunyai harta kekayaan yang amat banyak disini"

   Li Lok-yang tertunduk lesu, sampai lama sekali tidak mampu mengucapkan sepatah katapun.

   Dengan perasaan tidak tenang, hati berdebar dan penuh kewaspadaan, semua orang melewatkan malam itu dengan penuh penderitaan, akhirnya fajar pun mulai menyingsing.

   Semua orang pun mulai bangkit berdiri dan berjalan mondar mandir disekeliling ruangan, hanya saja karena perasaan dan pikiran setiap orang terasa berat penuh beban, siapa pun tidak ingin banyak bicara.

   Im ceng yang baru sadar dari mabuk merasakan kepalanya amat sakit dan pening, kembali dia membuka guci arak dan mulai meneguk lagi dengan rakusnya.

   Biarpun baru lewat satu malam, namun wajahnya kelihatan jauh lebih lesu, kusam dan mengenaskan.

   "Saudara Phoa"

   Mendadak Thiat Tiong-tong berjalan menghampiri Phoa Seng-hong sambil menepuk bahunya.

   "bersedia menemani lohu untuk berjalan-jalan di halaman luar?"

   "Tentu saja bersedia"

   Jawab Phoa Seng-hong Buru-bur Un Tay-tay ikut bangkit berdiri, tapi Thiat Tiong-tong segera menghardik.

   "Kau tetap tinggal disini!"

   Dengan wajah masgul Un Tay-tay manggut-mauggut, akhirnya dia duduk kembali.

   "Tidak ada salahnya bila ingin berjalan-jalan ditengah halaman, tapi kalian harus lebih berhati-hati"

   Li Lok-yang mengingatkan. Setelah keluar dari gedung, sambil tertawa licik tanya Phoa Seng-hong.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Loya-cu, apakah ada siasat busuk lagi yang hendak kau suruh aku lakukan?"

   "Dugaanmu tepat sekali!"

   "Disini kelewat banyak orang, mari kita berbicara di belakang saja"

   Bisik Phoa Seng-hong dengan semangat berkobar. Berkilat sepasang mata Thiat Tiong-tong.

   "Asal kau dapat memancing keluar Hay Tay-hau, Li Lok-yang, Li Kiam-pek serta Im Ceng dari dalam gedung, aku akan ajarkan sebuah siasat bagus untuk meloloskan diri dari sini"

   "Sungguh?"

   Seru Phoa Seng-hong kegirangan.

   "Kalau tidak percaya yaa sudahlah!"

   "Apa susahnya untuk melakukan hal itu"

   Seru Phoa Seng-hong kemudian, dia membalikkan tubuh dan berjalan masuk ke dalam ruangan.

   Tidak lama kemudian tampak Hay Tay-sau dengan menarik tangan Li Lok-yang dan Li Kiam-pek berjalan keluar dari ruang gedung, mereka segera terlibat perbincangan dengan para lelaki kekar ditengah halaman.

   Menyusul kemudian Im Ceng dengan langkah sempoyongan ikut berjalan keluar, sambil berjalan pemuda itu bergumam tiada hentinya.

   "Selama hidup aku tidak ingin melihatmu lagi, selama hidup aku tidak ingin melihatmu...."

   "Sekarang giringlah mereka menuju ke belakang gedung, cari tempat persembunyian yang tertutup dan suruh mereka menunggu disitu, persoalan lainnya biar aku yang selesaikan"

   Kata Thiat Tiong-tong lagi.

   "Baik!"

   Phoa Seng-hong segera mendekati Im Ceng dan menggandeng lengannya. Im Ceng yang mabuk segera meronta melepaskan diri dari genggaman, teriaknya.

   "Mau apa kau?"

   Phoa Seng-hong dapat mengendus bau arak yang menusuk penciuman, segera jawabnya.

   "Kau sudah mabuk berat, mari kuajak kau mencari angin"

   Diam-diam dia menotok jalan darah lemas dan jalan darah bisunya.

   Im Ceng yang tidak bisa berkutik, mulutpun tidak dapat berbicara langsung diseret menuju ke belakang gedung, menanti Phoa Seng-hong berpaling lagi, dia sudah tidak menjumpai jejak Thiat Tiong-tong.

   Terpaksa dia mencari sebuah jendela yang tersembunyi dan membuat sebuah lubang kecil diatas kertas jendela, bisiknya.

   "Cepat kau tengok ke arah dalam sana!"

   Biarpun Im Ceng tidak mampu bicara namun hati kecilnya merasa gusar sekali, pikirnya.

   "Kau memaksa aku berbuat begitu? Hmm, aku justru sengaja tidak mau melihat!"

   Dia segera memejamkan matanya rapat-rapat. Melihat itu Phoa Seng-hong kembali berpikir.

   "Tampaknya pemuda ini benar-benar keras kepala, biarpun kupaksa juga percuma, belum tentu dia mau membuka matanya untuk melihat...."

   Ketika dia sedang serba salah, tiba-tiba Thiat tiong tong sudah muncul disampingnya sambil berkata dengan suara berat.

   "Coba lihat, dia sudah mabuk hebat sampai mata pun tidak sanggup dibuka, masa kau masih menyuruhnya membuka mata?"

   Mendengar perkataan itu kontan Im Ceng naik pitam, pikirnya.

   "Siapa bilang aku mabuk? Hmm, aku justru mau mementang mataku lebar-lebar"

   Benar saja dia segera membuka matanya lebar-lebar dan mengintip keluar melalui lubang diatas jendela.

   Phoa Seng-hong benar-benar merasa kagum bercampur geli, dia tidak menyangka dengan sepatah kata saja Thiat Tiong-tong sudah dapat membuat Im Ceng membuka matanya kembali, segra pikirnya.

   "Tua bangka ini ternyata hebat, rupanya dia bisa memahami perasaan hati seorang setan arak"

   Perlu diketahui, orang yang semakin takut mabuk biasanya dia semakin tidak mau mengakui bahwa dirinya sedang mabuk. Sambil menepuk bahu Phoa Seng-hong kata Thiat Tiong-tong kemudian.

   "Tugasmu telah selesai, sekarang pergilah cepat!"

   Walaupun rasa ingin tahu menyelimuti perasaan Phoa Seng-hong, sekalipun dia ingin turut menyaksikan pertunjukan apa yang bakal berlangsung ditengah ruangan, namun menyaksikan sorot mata Thiat Tiong-tong yang mengerikan, pada akhirnya dia pergi juga.

   Kini Thiat Tiong-tong bersama Im Ceng berdiri berjajar di depan jendela sambil mencuri lihat ke luar....

   Waktu itu Un Tay-tay sudah bangkit berdiri siap berjalan keluar, tapi dia segera dihadang jalan perginya oleh Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu.

   "Mau apa kalian?"

   Tegur Un Tay-tay kemudian.

   "Saudara Suto ingin berbicara denganmu"

   Kata Pek Seng-bu ketus.

   "Apa yang perlu dibicarakan, aku tidak mengenalinya"

   Seru Un Tay-tay dengan wajah berubah. Tiba-tiba Suto Siau mencengkeram urat nadinya dan mengejek sambil tertawa dingin.

   "Perempuan rendah, kau berani mengatakan tidak kenal aku? Sialan, aku sudah sepuluh tahun memeliharamu, memelihara seekor anjing saja tahu balas budi, masa memelihara kau tidak tahu budi?"

   Un Tay-tay yang kena dicengkeram mulai merasakan separuh tubuhnya linu dan kesemutan, buru-buru dia tampilkan senyuman genitnya dan berseru sambil tertawa.

   "Aaii, masa diajak bergurau pun kau marah-marah. Jangan sok serius!"

   Thiat Tiong-tong yang mengintip dari balik jendela mulai tertawa dingin, pikirnya.

   "Ternyata dugaanku tidak meleset, asal aku tinggalkan ruang gedung, Suto Siau pasti tidak tahan untuk menginterogasi perempuan rendah itu"

   Dia mencoba menengok ke samping, dilihatnya Im Ceng sedang mengintip dengan mata terbelalak besar dan wajah diliputi perasaan terkejut, keheranan bercampur ngeri, jelas pemandangan yang terbentang di depan matanya seketika memmbuat rasa mabuknya hilang separuh.

   Terdengar Suto Siau menegur lagi dengan suara dingin.

   "Aku suruh kau mengintil disamping pemuda itu sambil mencari tahu sarangnya, kenapa setengah jalan kau lepaskan dia dan malahan menempel disamping tua bangka sialan itu?"

   Mendengar sampai disini, peluh dingin mulai bercucuran membasahi seluruh tubuh Im Ceng. Melihat perubahan sikap pemuda itu, Thiat tiong tang segera berpikir.

   "Aku rasa ini sudah lebih dari cukup, kalau sampai Suto Siau mendesak lebih jauh, bisa jadi perempuan itu malah sekalian menghianati aku"

   Berpikir sampai disitu dia segera menghantam daun jendela hingga bergetar keras, dengan cekatan dia sambar tubuh Im Ceng lalu secepat kilat menyelinap ke dalam deretan bangunan rumah disamping lain.

   Jeritan kaget seketika berkumandang dari dalam ruang tengah, Suto Siau, Hek Seng-thian sekalian secepat kilat meluncur keluar dari ruangan.

   Thiat Tiong-tong sama sekali tidak menggubris mereka, sambil membopong Im Ceng menyembunyikan diri, dia segera menepuk bebas totokan jalan darah ditubuh pemuda itu dan menegur.

   "Kau sudah mendengar dengan jelas?"

   "Perempuan rendah!"

   Umpat Im Ceng sambil menyeka butiran keringat dari jidatnya.

   "Kalau sudah tahu jika dia hanya seorang perempuan rendah, tidak sepantasnya kau menderita lantaran dia. Jika kau masih bersedih hati gara-gara perempuan itu, berarti kau memang bukan seorang lelaki!"

   Lama sekali Im Ceng tertunduk melamun, akhirnya dia menghela napas panjang.

   "Saat ini situasi sangat gawat"

   Kembali Thiat Tiong-tong berkata.

   "sekalipun mereka sudah tahu kalau kau adalah anggota Perguruan Tay ki bun, tidak mungkin orang-orang itu bakal turun tangan terhadapmu, cuma kau pun jangan melakukan tindakan ngawur"

   Im Ceng manggut-manggut, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya, sambil menatap lurus wajah Thiat Tiong-tong, tegurnya.

   "Kau.... siapakah kau sebenarnya? Kenapa segala persoalan seolah tidak dapat mengelabuhi dirimu?"

   Sinar matanya penuh dengan perasaan terkejut, keheranan bercampur perasaan hormat yang tinggi. Thiat Tiong-tong tidak berani beradu mata dengannya, sembari berpaling ujarnya.

   "Siapakah aku? Suatu hari kelak kau pasti akan tahu sendiri"

   "Kenapa tidak kau katakan sekarang?"

   "Sebab bila kuungkap sekarang, keadaan pasti akan mengalami perubahan drastis"

   Nada ucapannya dipenuhi rasa serius, berat dan menyeramkan, membuat siapa pun yang mendengartidak berani banyak bertanya lagi. Mendadak terdengar seseorang membentak nyaring.

   "Siapa disitu?"

   Ditengah bentakan keras, terdengar suara ujung baju yang tersampok angin berkumandang membelah angkasa. Buru-buru Thiat Tiong-tong berbisik dengan suara berat.

   "Gunakan kesempatan ini untuk kabur, biar aku yang menghadapi mereka"

   Seraya berkata, dia berjalan keluar dengan langkah lebar. Secara beruntun Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu meluncur tiba ditempat itu, ketika menyaksikan thiat Tiong-tong yang muncul dengan langkah santai, tidak kuasa mereka berdua berteriak.

   "Aaah, rupanya kau!"

   "Betul, memang lohu, ada urusan?"

   "Ditengah kekacauan, mau apa kau berada disini?"

   Tegur Hek Seng-thian dengan suara berat.

   "Jalan-jalan...."

   Sahut Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin, kemudian tanpa perdulikan kedua orang itu lagi dia melanjutkan perjalanannya sambil bergendong tangan.

   "Aku lihat tua bangka ini makin lama semakin bertambah aneh"

   Gumam Hek Seng-thian dengan kening berkerut.

   "Akupun merasakan kemisteriusan orang ini, mula-mula aku curiga kalau dia adalah penyamaran dari anggota Perguruan Tay ki bun, tapi setelah menyaksikan hubungannya dengan Im ceng, aku pun merasa sepertinya tidak mirip"

   "Jangan jangan mereka sedang bermain sandiwara?"

   Bisik Hek Seng-thian setelah termenung sejenak. Dengan cepat Pek Seng-bu menggeleng.

   "Pemuda she-Im itu emosinya tinggi dan berangasan sekali, jika ditilik dari penderitaan hatinya, jelas siksaan itu bukan cuma pura-pura, dalam hal ini siaute berani menjamin"

   Sekalipun ke dua orang ini termasuk jagoan yang licik dan berakal banyak, namun mereka tidak berhasil juga untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya dibalik kesemuanya itu. Akhirnya Hek Seng-thian berkata.

   "Sekalipun orang tua ini mempunyai rahasia, selama tidak ada sangkut pautnya dengan kita, lebih baik tidak usah kita campuri!"

   Dalam pada itu ke dua belas orang centeng keluarga Li yang sedang mendapat giliran bertugas pun nampak bersiap-siap dengan wajah tegang, anak panah sudah dibentang diatas busur, golok pun sudah diloloskan dari sarung, dengan perasaan waswas mereka sedang melakukan penggeledahan disekeliling tempat itu.

   Li Kiam-pek muncul dari samping seraya berseru.

   "Silahkan saudara semua kembali ke ruang tengah, saudara-saudara yang lain pun silahkan kembali ke pos masing masing, jangan semba-rangan bergerak"

   Ketika tidak menjumpai sesuatu yang mencurigakan diseputar itu, semua orang pun balik kembali ke ruang tengah.

   Waktu itu sebenarnya Li Lok-yang sedang berjalan mondar mandir di depan gedung, ketika melihat semua orang sudah kembali, dia segera menghentikan langkahnya dan berkata dengan suara dalam.

   "Sekarang, kekuatan yang kita miliki harus dihimpun jadi satu, pikiran dan perasaan harus tetap tenang, jangan sampai hanya disebabkan sedikit suara yang mencurigakan, seluruh kekuatan bubar kesana kemari, dalam situasi yang membingungkan, musuh bisa manfaatkan kesempatan tersebut untuk melancarkan serangan!"

   "Tapi hanya bertahan melulu tanpa melakukan perlawanan apapun jelas bukan cara terbaik"

   Seru Bi lek hwee dengan suara lantang.

   "Apakah saudara mempunyai usul lain?"

   Tanya Li Lok yang.

   Bi lek hwee tertegun, kontan dia tutup mulut dan tidak buka suara lagi.

   Matahari makin lama semakin meninggi, perasaan semua orang pun semakin kalut bercampur gelisah, sisa telur yang mereka simpan pun sudah mulai dikeluarkan untuk menangsal perut yang lapar, dalam keadaan begini, biar di antara mereka mempunyai hubungan persauda-raan pun, siapa saja sudah tidak saling mengalah lagi.

   Melihat orang lain makan telur, tiba-tiba Hay tay sau merasakan perutnya berbunyi keras saking laparnya, suara yang keras kedengaran semakin nyaring ditengah keheningan yang mencekam sehingga tidak tahan banyak orang berpaling ke arahnya.

   Sembari tertawa tergelak dan memegangi perut sendiri, dia berseru.

   "Hahahaha.... biarpun aku seorang enghiong, apa mau dikata perutku tidak mau diajak kompromi"

   "Dasar maling konyol"

   Umpat Bi lek hwee sambil mengambil guci araknya.

   "ternyata menahan lapar memang merupakan siksaan yang sangat menderita, terus terang, perut lohu pun sudah mulai berontak dan tidak mau menurut"

   Phoa Seng-hong mengeluarkan sisa telur yang dimilikinya dan sengaja berjalan mondar mandir dihadapan Hay Tay-sau, sambil berjalan dia menggigit telurnya, mengunyah dengan perlahan lalu menghela napas.

   Dengan mata melotot sebesar gundu, Hay Tay-sau mengikuti gerakan telurnya kian kemari, akhirnya saking tidak tahannya dia meludah sembari mengumpat.

   "Sialan, apa enaknya telur godokan?"

   "Hahahaha.... memang tidak enak, memang tidak enak"

   Sahut Phoa Seng-hong sambil tertawa tergelak, dia semakin menikmati telurnya dengan gaya yang dibuat-buat. Dengan wajah merah padam Hay Tay-sau melompat bangun, tanpa sadar Phoa Seng-hong ikut mundur satu langkah.

   "Jangan kuatir bocah busuk"

   Hay Tay-sau segera tertawa tergelak.

   "tidak bakalan kurampas telur milikmu"

   Kontan gelak tertawa bergema memecahkan keheningan, suasana yang semula tegang pun sedikit lebih mengendor, bahkan sekulum senyuman sempat menghiasi pula wajah Im Ceng.

   Tapi sayang keadaan para lelaki kekar yang berjaga diluar halaman sudah mulai layu dan lemas, kendatipun ilmu silat yang mereka miliki diatas rata-rata, namun setelah kelaparan seharian, tubuh mereka sudah mulai melemas, kepala pusing dan mata pun mulai berkunang.

   Mengawasi keadaan diluar halaman, Li Lok-yang menghela napas panjang, gumamnya dengan alis mata berkenyit.

   "Senja.... paling banter hanya bisa bertahan sampai senja nanti...."

   Sekonyong-konyong suara genta kembali berdentang, suara si bocah pun kembali bersenandung.

   "Genta berbunyi untuk ke empat kalinya, bila perut mulai kelaparan, kuberi berapa kerat daging babi"

   Ditengah suara senandung, tiba-tiba dari luar tembok pekarangan bermunculan belasan batang bambu yang lebih tinggi daripada dinding, diujung bambu terikat daging babi yang sudah dipanggang matang, daging-daging itu mulai bergoyang dihembus angin.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kulit babi berwarna kuning tampak berkilauan ketika tertimpa sinar matahari, bau harum yang semerbak tersebar mengikuti hembusan angin, sekalipun semua orang tidak ingin mengendus juga tidak sudi memandang, tidak urung tersiksa dalam perasaan hatinya.

   Langkah kaki kawanan lelaki dalam halaman mulai kalut, sepasang mata mereka pun terbelalak semakin lebar.

   Tiba-tiba terdengar seorang lelaki kekar mengumpat.

   "Sialan, maknya, ayam itik sudah terbiasa bagi kami, apa anehnya dengan daging babi? Saudara sekalian, buat apa kita perhatikan barang haram itu?"

   Dia langsung mengambil sebatang anak panah dan dibidikkan ke arah daging babi itu.

   Siapa tahu ketika anak panah tiba diluar dinding pekarangan, tiba-tiba arahnya berubah kemudian langsung rontok ke atas tanah.

   Melihat persiapan yang begitu ketat diluar dinding sana, perasaan semua orang makin berat dan tercekam.

   Thiat Tiong-tong ikut mengawasi daging babi panggang berwarna kuning itu, mendadak dia jadi teringat dengan senandung Sui Leng-kong tentang daging babi, tidak tahan diapun bersenandung.

   ".... Kucicipi kulit babi yang berminyak, sudah terpanggang hingga menguning, kuiris sekerat daging, kupersilahkan kau mencicipi, kupersilahkan kau mencicipi...."

   Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya, namun perasaan hatinya justru terasa lebih sendu dan murung.

   Hay Tay-sau yang masih berjalan mondar mandir dalam ruangan tiba-tiba menghentikan langkahnya, setelah meludah ke lantai, kembali umpatnya.

   "Kujamin daging babi itu pasti masam rasanya, lebih baik jangan dimakan! Lebih baik jangan dicicipi!"

   "Biarpun belum tentu masam rasanya, kujamin pasti beracun...."

   Sambung Li Lok-yang sambil tertawa.

   Belum selesai dia bicara, mendadak tampak ada belasan sosok bayangan manusia meluncur naik ke atas tiang bambu itu.

   BAB Sang Mutiara Pembetot Sukma Ke sepuluh orang itu ada lelaki ada wanita, ada lelaki berlengan tunggal ada pula manusia kudisan berkepala botak, tapi ada juga gadis gadis cantik berpakaian warna warni.

   Dalam genggaman mereka masing-masing menggenggam sebilah pisau belati, gerakan tubuhnya ringan dan cepat, dalam waktu singkat mereka sudah berdiri diujung bambu, tubuh mereka bergoyang mengikuti hembusan angin, seakan-akan setiap saat bisa terbang ke angkasa.

   Dengan wajah berubah Phoa Seng-hong segera berbisik.

   "Orang orang itu adalah Kiu Kui cu (Sembilan setan) serta Jit Moli (tujuh iblis wanita) dari perguruan Kiu cu Kui bo, aneh, kenapa mereka menampakkan diri secara tiba-tiba? Permainan busuk apa yang sedang mereka persiapkan?"

   Setelah berdiri tegak diujung bambu, mendadak kawanan manusia itu berjumpalitan dengan kepala dibawah kaki diatas, gaya mereka bagaikan orang yang tiba-tiba terpeleset hingga jatuh ke bawah.

   Tapi pada saat itulah ujung kaki mereka dengan cekatan menggaet kembali ujung bambu, lalu dengan pisau belatinya mereka mulai mengiris daging babi tadi dan menikmatinya dengan lahap.

   Seorang lelaki berlengan tunggal segera berseru sambil tertawa tergelak.

   "Sudah kalian lihat, semua daging babi ini tidak beracun, asal kalian punya nyali, silahkan saja dicicipi!"

   "Lepas panah!"

   Bentak Li Lok-yang keras.

   Hujan anak panah kontan berhamburan di udara menyambar tubuh sekawanan manusia tersebut.

   Kawanan laki perempuan yang ada diujung bambu tertawa ringan, tiba-tiba mereka melambung ke udara dan menyongsong datangnya hujan anak panah itu.

   Tampak bayangan manusia berkelebat di-tengah hujan panah, ternyata semua anak panah yang dibidikkan telah mereka tangkap semuanya, tidak satu pun dibiarkan rontok ke tanah.

   Dalam waktu singkat hujan panah dan bayangan manusia hilang lenyap tidak berbekas, yang tersisa hanya ke sepuluh kerat daging babi panggang serta suara ejekan dari kawanan manusia itu.

   Berubah hebat paras muka Suto Siau, gumamnya.

   "Ilmu ginkang yang hebat, ilmu telapak tangan yang tangguh, tampaknya kungfu yang dimiliki kawanan manusia itu sama sekali tidak dibawah kemampuan kita semua"

   Li Lok-yang menghela napas panjang.

   "Dengan melakukan tindakan tersebut, bukan saja mereka hendak membuktikan kalau daging babi itu tidak beracun dan memancing semua orang untuk berebut, mereka pun ingin memamerkan juga kebolehan ilmu silat yang dimilikinya!"

   Hay Tay-sau memandang sekejap sekitarnya, tiba-tiba dia melompat ke tengah halaman, dari sakunya dia mengeluarkan seutas tali panjang, dibuatkan simpul hidup diujungnya kemudian dilontarkan keluar.

   "Dasar maling"

   Kontan Phoa Seng-hong mengejek sambil tertawa dingin.

   "tidak aneh kalau kamana pun pergi selalu menggembol peralatan untuk mencuri!"

   Sementara ejekan bergema, tali simpul itu telah berhasil menjerat sepotong daging babi panggang.

   Sambil membentak keras Hay Tay-sau segera menarik kembali talinya, babi panggang itupun terpental dan lepas dari ujung bambu.

   Siapa tahu pada saat itulah terlihat sesosok bayangan manusia melesat ke udara dari luar dinding, pisaunya langsung membabat ke arah ujung tali itu.

   "Kau berani!"

   Hardik Hay Tay-sau gusar, tubuhnya secepat anak panah yang terlepas dari busurnya ikut melesat ke udara, telapak tangan kirinya diayunkan cepat, dia langsung membacok tubuh bayangan manusia itu, ternyata ilmu pukulannya sangat mengerikan.

   Bayangan manusia itu memiliki perawakan tubuh kurus kering, cepat goloknya diputar membabat pergelangan tangan Hay Tay-sau, gerakan tubuh yang dimiliki orang inipun sangat hebat, kecepatannya berganti jurus diudara bagaikan ikan yang berenang di air.

   Dengan tangan kanannya Hay Tay-sau menyambut daging babi itu, tangan kirinya diputar kembali dan kali ini berusaha merampas senjata lawan.

   Kembali terdengar seseorang mengejek sambil tertawa dingin.

   "Setelah keluar dari dinding pekarangan, kau masih ingin balik?"

   Seorang lelaki bermata tunggal melejit ke udara bagaikan seekor burung rajawali, tangan kirinya diayun ke depan menahan telapak kaki lelaki kurus kering tadi sementara tangan kanannya menghajar dada Hay Tay-sau.

   Tubuh lelaki kurus kering yang sedang meluncur ke bawah itu seketika melambung lagi berapa meter ke udara, kali ini dia mengayunkan kakinya menendang wajah Hay Tay-sau.

   Menghadapi serangan dari kiri kanan, tenaga dalam Hay Tay-sau mulai tersendat, meski dia berhasil menghindari ke dua jurus serangan itu, tampak tubuhnya segera akan terjatuh ke luar dinding pekarangan, kalau sampai terjadi begitu, jelas keadaannya sangat berbahaya.

   Dengan wajah berubah kawanan jago dalam ruangan berbondong-bondong menerobos keluar halaman, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu serentak turun tangan, di antara ayunan telapak tangannya, puluhan titik cahaya bintang seketika disambitkan ke arah dua orang yang berada diluar dinding.

   Menggunakan kesempatan itu Hay Tay-sau membentak keras, sembari membusungkan dada menyambut pukulan dari lelaki bermata tunggal, dia meminjam tenaga serangan tersebut untuk mencelat ke belakang, kemudian setelah berjumpalitan beberapa kali, dia melayang turun ke dalam halaman rumah.

   "Kau terluka?"

   Bi lek hwee segera menegur.

   "Hahahaha.... kulit tubuhku mah lebih tebal dari kulit badak, masa pukulan macam begitu bisa melukaiku? Satu pukulan ditukar dengan sepotong daging babi, rasanya jual beli ini tidak kelewat merugikan!"

   Sambil mengacungkan jempolnya Bi lek hwee berseru memuji.

   "Lelaki hebat, lelaki jempolan! Hahahaha... hey anak setan cucu setan yang berada diluar tembok, dengarkan baik-baik! Pukulan kalian hanya dianggap orang sebagai sebuah garukan!"

   Waktu itu semua bayangan manusia yang semula ada diujung bambu, kini sudah melompat turun bahkan tidak kedengaran seorang pun yang menanggapi teriakan itu.

   Dengan membawa babi panggang hasil rampasannya Hay Tay-sau balik ke dalam ruangan, dia mengambil sebilah pisau dan serunya sambil tertawa.

   "Setiap orang dapat seiris daging, kecuali sahabat yang tadi makan telur sambil mengejek dihadapanku!"

   Sambil berkata dia mulai mengiris daging babi itu. Kemudian selesai mengiris, kembali Hay Tay-sau berkata sambil tertawa.

   "Bagaimana pun daging babi ini kuperoleh dengan cara mencuri, rasanya ada orang memang tidak sudi makan daging curian!"

   Phoa Seng-hong mendengus dingin.

   "Hmmm, daging yang mereka iris boleh saja tidak beracun, memangnya kau anggap dibagian yang lain tidak dibubuhi racun?"

   Hay Tay-sau tertegun, kontan umpatnya.

   "Sialan, memangnya lantaran tidak kebagian daging lantas kau mau menakut-nakuti orang?"

   Sekalipun berkata begitu, tidak urung dia hentikan juga irisannya.

   Dari dalam saku Pek Seng-bu mengeluarkan sebatang jarum perak dan ditusukkan ke dalam daging, seketika itu juga jarum perak itu berubah jadi hitam pekat.

   Paras muka Hay Tay-sau kontan berubah hebat, saking tertegunnya dia sampai tidak mampu bicara.

   Menyaksikan kejadian ini semua orang hanya bisa menghela napas di hati.

   Suto Siau pun segera mendorong pergi Phoa Seng-hong sambil ujarnya.

   "Masih untung pukulan bajingan tadi tidak kelewat berat, kalau tidak benar-benar rugi besar"

Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id

Cari Blog Ini