Ceritasilat Novel Online

Pendekar Panji Sakti 7


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 7




   Hanya Im Ceng seorang yang tidak banyak bicara, dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke tengah halaman, dari tangan kawanan jago disitu dia minta sebuah gendawa lalu panah demi panah dibidikkan ke tengah udara.

   Anak panah tampak meluncur bagaikan sambaran kilat, dalam waktu singkat ke sepuluh kerat daging babi yang tergantung diujung bambu sudah rontok semua ke tanah.

   Sorak sorai segera bergema memecahkan keheningan, Suto Siau sekalian yang menyaksikan kehebatan itu diam-diam merasa terkejut, hanya Un Tay-tay seorang yang berlagak seolah tidak melihat.

   Baru berhenti suara sorakan, dari luar dinding terdengar seseorang berseru dengan nada dingin.

   "Bidikan yang jitu! Ilmu memanah yang hebat! Kepandaian yang mengagumkan! Siapa yang melakukan bidikan? Apa berani berdiri diatas dinding pekarangan?"

   "Jangan terpancing!"

   Bentak Thiat Tiong-tong tanpa sadar. Terdengar Im Ceng menyahut dengan lantang.

   "Sauya berdiri ditengah halaman, kalau ingin melihat, silahkan saja datang kemari!"

   Dengan tangan kiri memegang busur, ditangan kanannya telah disiapkan tiga batang anak panah.

   "Bagus, biar kutengok manusia macam apakah dirimu!"

   Orang diluar dinding tertawa ringan. Tampak sesosok bayangan tubuh seorang gadis melayang di udara dan meluncur tiba, gerakan tubuh perempuan itu sangat indah dan menawan, bagaikan bidadari yang turun dari kahyangan.

   "Perhatikan baik-baik!"

   Bentak Im Ceng nyaring. Anak panah segera dibidikkan ke depan dalam posisi segitiga, diiringi desing angin tajam serangan tersebut langsung mengancam tubuh pendatang.

   "Waah, ternyata hebat juga!"

   Seru gadis itu sambil tertawa merdu.

   Sepasang tangannya diangkat tinggi-tinggi untuk menyambut ke dua batang anak panah pertama, sementara sebuah tendangan kilat menghadang anak panah ke tiga.

   Gerak serangannya kembali dilakukan dengan lemah gemulai, persis seperti bidadari yang sedang menari.

   Siapa tahu saat itulah Im Ceng telah menyiapkan bidikan berikut, hardiknya.

   "Masih ada lagi!"

   Kembali tiga anak panah melesat dengan cepatnya, meskipun ke tiga serangan itu tidak dilepas berbarengan namun selisih gerakan nya tidak berbeda banyak.

   Semua orang hanya merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu terdengar gadis itu menjerit kaget dan terjatuh ke luar pagar.

   Sambil mengelus jenggotnya Bi lek hwee tertawa terbahak-bahak.

   "Hahahaha.... mereka telah melukai seorang anggota kita, sekarang kita pun balas hadiah itu. Wah... waah.... pertarungan ini benar-benar menarik, betul-betul berarti!"

   Rasa gembira hanya sejenak menyelimuti perasaan semua orang, tidak lama kemudian suasana berubah hening kembali, rasa lapar yang luar biasa seakan iblis keji yang sedang mencekik leher mereka.

   Menjelang senja, sudah banyak lelaki kekar dihalaman luar yang tidak mampu menahan diri, mereka mulai bersandar disudut dinding.

   Dibawah sinar matahari senja, suasana ditempat itu tampak lebih muram, kusam dan mengenaskan.

   Mulut setiap orang sudah terjahit rapat karena rasa lapar, tidak ada yang bicara, tidak ada yang minum arak.

   Bahkan keinginan untuk minum arak pun sudah ikut lenyap.

   Mengawasi matahari senja yang menyinari jagad, tiba-tiba Li Lok-yang berkata dengan suara berat.

   "Lohu sudah putuskan akan menyerbu ke luar, adakah di antara kalian yang bersedia mengikutiku?"

   Perkataan itu bagaikan sebuah lecut yang mencambuk tubuh setiap orang, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Im Ceng serta Bi lek-hwee seperti kena dihajar keras, serentak mereka melompat bangun dari bangkunya.

   "Mati hidup menang kalah tergantung pada gempuran kali ini"

   Kata Suto Siau sambil tertawa.

   "Li toako, sebelum mengambil keputusan terakhir, lebih baik pertimbangkan lagi masak-masak!"

   "Selama hidup aku selalu bertindak sangat hati-hati, tapi saat ini aku sudah tidak punya jalan lain kecuali melakukan pertaruhan terakhir ini!"

   Bicara sampai disitu tiba-tiba dengan sorot mata setajam sembilu dia melanjutkan.

   "Dari pada mati terkepung ditempat ini, lebih baik tewas dalam pertempuran!"

   Jika menunggu dua hari lagi, mungkin saja akan datang bintang penolong...."

   "Tidak, keputusanku sudah bulat, hengtay tidak perlu banyak bicara lagi, bila ada orang yang ingin keluar dari sini, silahkan saja bertahan ditempat ini, cayhe tidak bakalan memaksa!"

   Kalau diwaktu biasa dia selalu bicara halus, lembut penuh kedamaian maka perkataannya sekarang lebih keras dari baja. Setelah memandang sekejap seputar sana, tambahnya.

   "Siapa yang bersedia mendampingi aku untuk bertarung, silahkan acungkan tangan!"

   Bi lek-hwee dan Im Ceng segera mengacungkan tangannya, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap, akhirnya sambil angkat tangan serunya.

   "Saudara Suto, kau...."

   "Tentu saja siaute harus turut bergabung"

   Tukas Suto Siau sambil tertawa getir.

   "Aaah, ada sekian banyak jago yang ikut sudah lebih dari cukup, Hay Tay-sau masih terluka sedang lo sianseng ini tidak pandai bersilat, tentu saja mereka harus tetap tinggal disini"

   "Masih untung Hay tayhiap sudah tertidur"

   Bisik Li Kiam-pek.

   "kalau sampai kedengaran dia.."

   "Siapa bilang aku sudah terluka dan susah bergerak?"

   Tiba-tiba Hay Tay-sau melompat bangun sambil berteriak keras.

   "siapa bilang aku sudah tertidur? Bila kalian ingin menyerbu keluar, biar aku yang menjadi pembuka jalan"

   "Seharusnya aku yang menjadi pembuka jalan!"

   Buru-buru Li Kiam-pek mengayunkan pedang siap melangkah pergi. Bi lek hwee tertawa terbahak-bahak.

   "Hahahaha.... tugas sebagai pembuka jalan sudah menjadi milikku seorang, kalian tidak perlu berebut lagi dengan lohu"

   Serunya.

   "Kenapa?"

   Tanya Hay Tay-sau dan Im Ceng hampir berbareng. Sambil menepuk kantung kulit yang tergantung dipinggangnya Bi lek hwee berkata.

   "Didalam kantungku terdapat puluhan butir Bi lek cu (peluru peledak), kekuatannya melampaui kehebatan ribuan prajurit, dengan mengandalkan benda ini aku bisa membuka sebuah jalan berdarah"

   "Kalau memang begitu, tanggung jawab sebagai pembuka jalan kuserahkan kepada hengtay"

   Tukas Li Lok-yang segera.

   "sementara sauhiap dan putraku biar menjadi pembantu"

   Lalu sambil berpaling ke arah Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu, lanjutnya.

   "Aku harap Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu menjadi barisan paling belakang, sedang aku dan saudara Suto akan berada dibarisan tengah, apapun yang terjadi dan bagaimanapun sengitnya perta-rungan, aku harap bagian depan maupun barisan belakang harus saling berhubungan, jangan sampai masing-masing kelompok kehilangan kontak!"

   "Bagaimana dengan aku?"

   Teriak Hay Tay-sau gusar.

   "memangnya kau sudah melupakan aku?"

   Perlahan-lahan Li Lok-yang menghampirinya.

   "Mengenai hengtay...."

   Tiba tiba dia menotok jalan darah dibahunya dan melanjutkan.

   "lukamu belum sembuh, lebih baik jangan sembarangan bergerak"

   Hay Tay-sau mendongkol bercampur jengkel, namun dia sudah tidak mampu berdebat lagi. Sembari berpaling, Li Lok-yang kembali berkata dengan nada berat.

   "Saudara-saudara yang berada diluar, siapkan busur kalian, jangan biarkan siapa pun menerobos masuk kemari!"

   "Biar cayhe yang berjaga disini!"

   Phoa Seng-hung segera nyelutuk. Sambil tertawa dingin Li Kiam-pek melirik sekejap ke arahnya, kemudian jengeknya.

   "Memang tidak ada orang yang suruh kau ikut keluar!"

   Sementara pembicaraan masih berlangsung, semua orang sudah mengencangkan tali pinggang dan meloloskan senjata andalan. Im Ceng sambil mengayunkan pedangnya tiba-tiba berseru sambil menghela napas.

   "Aaai, seandainya dia berada disini, keadaan pasti lebih mendingan!"

   "Siapa?"

   Tanya Li Kiam-pek.

   "Dia adalah suhengku, kecerdasan dan kecekatannya seratus kali lipat lebih hebat ketimbang aku, meski dalam situasi yang kalut pun dia dapat menghadapi dengan tenang, hanya sayang...."

   Dia melirik Suto Siau sekejap, lalu dengan penuh perasaan dendam lanjutnya.

   "Sayang dia sudah menghianati perguruan, menganggap bajingan sebagai ayah, jika aku berjumpa lagi dengannya, pasti akan kuhajar dia habis habisan!"

   Thiat Tiong-tong merasakan timbulnya hawa dingin dari dasar hatinya, diam-diam dia pejamkan mata. Sambil menggenggam pedangnya kencang kencang, Li Lok- yang berseru lagi.

   "Sekarang matahari senja belum tenggelam, inilah saat yang tepat untuk melangsungkan pertarungan berdarah, ayoh teman, kita segera menyerbu ke luar!"

   Seketika itu juga cahaya pedang dan hawa pembunuhan menyelimuti seluruh ruang utama. Mendadak Thiat Tiong-tong mengangkat kepalanya dan berkata pula dengan suara dalam.

   "Kini keadaan sudah berkembang makin gawat, apa pun yang akan kalian lakukan diluar sana, lohu pasti akan berjaga-jaga ditempat ini, tapi...."

   Setelah menyapu sekejap wajah semua orang yang hadir, dia menambahkan.

   "Bila dalam setengah jam kemudian kalian belum berhasil meraih kemenangan, kuanjurkan lebih baik cepatlah balik kemari, hindari pengorbanan yang tidak berguna"

   "Memang seharusnya begitu"

   Sahut Suto Siau.

   "bila dalam setengah jam kita tidak peroleh hasil, lebih baik secepatnya mundur kemari dan kita membuat perencanaan yang lain"

   "Baik!"

   Kata Li Lok-yang kemudian setelah termenung sejenak.

   "Lohu akan menggunakan tambur sebagai tanda"

   Ujar Thiat Tiong-tong lagi.

   "bila suara tambur berhenti, itu berarti waktu selama setengah jam telah tiba!"

   Li Lok-yang manggut-manggut, Li Kiam-pek segera perintahkan orang untuk mengambil tambur.

   Semangat tempur kawanan lelaki kekar ditengah halaman kembali berkobar, suasana keheningan yang semula mencekam seluruh bangunan dalam waktu singkat terbakar kembali oleh semangat tempur yang meluap.

   Diiringi bentakan keras Bi lek hwee menerjang keluar dari halaman, Im Ceng dan Li Kiam-pek dengan pedang terhumus mengikuti di belakangnya Kedua orang ini selain sama-sama masih muda, tampan, gerak geriknya amat cekatan.

   Bi lek-hwee menyambar sebuah busur, kemudian sambil bersuit nyaring melayang ke atas dinding pekarangan.

   Dalam waktu singkat dia telah merogoh segenggam peluru Bi lek cu, dengan menggunakan Ilmu Bi lik ciang Tan ta kim kiong (pukulan geledek menghamburkan gendewa emas) dia melepaskan serangan mematikan.

   Terdengar serangkaian suara desingan tajam menggema membelah angkasa, belasan peluru peledak segera berhamburan ke angkasa dan menimbulkan serangkaian ledakan dahsyat disekeliling tempat itu.

   Diluar dinding pekarangan merupakan sebuah tanah lapang yang luas, pepohonan yang rimbun tumbuh dikejauhan sana, sebuah jalan raya dengan alas batu membentang hingga ke dalam hutan.

   Tampak bayangan manusia bergerak kian kemari diatas jalanan tersebut, ketika melihat datangnya serangan mematikan, serentak mereka membubarkan diri ke empat penjuru.

   Terdengar sibocah pincang itu berteriak keras.

   "Yang meng hantar kematian sudah keluar, jangan biarkan mereka balik kembali!"

   Bayangan manusia kembali bergerak ditengah hutan, seseorang menyahut sambil tertawa seram.

   "Mereka tidak bakalan bisa balik lagi!"

   "Setan cilik, kena kau!"

   Mendadak Bi lek hwee membentak nyaring. Sekali lagi serangkaian peluru peledak berhamburan di udara. Bocah pincang itu tertawa tergelak.

   "Hahahaha.... setan tua, kau tidak bakal bisa menyentuh tubuhku...."

   Sambil memutar tubuh dia melesat naik keatas tiang bambu, kemudian ejeknya lagi.

   "Hey setan tua, apa kau berani naik ke atas?"

   Belum selesai teriakan itu, hujan anak panah telah beterbangan mengancam tubuhnya, buru-buru bocah pincang itu merosot turun ke bawah dengan jurus "menenteng orang mati".

   Tiba-tiba terlihat cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu Im Ceng sudah merangsek maju ke depan sambil melancarkan tiga jurus serangan pedang, seketika itu juga bocah pincang tersebut terkurung dalam kepungan.

   "Bocah busuk, hebat juga ilmu pedangmu!"

   Seru bocah pincang itu sambil mengerdipkan matanya.

   Tubuhnya berputar beberapa lingkaran mengelilingi cahaya pedang itu, dalam waktu sekejap dia melancarkan pula tiga jurus serangan balasan.

   Paras muka Im Ceng berubah berat dan serius, permainan pedangnya makin berat dan penuh tenaga.

   Kembali bocah pincang itu melayani pertarungan sebanyak tiga gebrakan, kini wajah senyum nakalnya telah lenyap, mendadak jeritnya.

   "Bocah keparat ini lihay sekali, kalian cepat datang membantu!"

   Belum selesai dia berteriak, kembali muncul dua sosok bayangan manusia dari sisi kiri dan kanan, seorang gadis berbaju abu-abu dan seorang nona berbaju hijau, gerakan tubuh mereka cepat sekali bagai sambaran kilat.

   Sambil membalikkan tubuh dan menarik kembali senjatanya, bocah pincang itu berseru sambil tertawa.

   "aku sudah tidak tahan lagi, lebih baik kalian saja yang menemaninya bermain!"

   Dengan dua tiga kali jumpalitan, dia segera menyingkir jauh jauh.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dasar setan cilik"

   Umpat si nona berbaju abu-abu sambil tertawa.

   "sudah kabur dari medan pertarungan, masih banyak bicara...."

   Ditengah suara tertawanya yang merdu, ujung bajunya menari kian kemari, sekejap mata dia sudah melancarkan berapa jurus serangan.

   Dalam pada itu si nona berbaju hijau telah meluluskan pula sebuah rantai perak sepanjang satu setengah meter, serunya sambil tertawa.

   "Ngo-moay, kau menyerang jarak dekat, aku menyerang jarak jauh, coba kita lihat bocah ini dapat bertahan berapa jurus!"

   Walaupun Im Ceng tidak pernah suka bertarung melawan perempuan, tapi sekarang dia sudah terkurung oleh jurus serangan ke dua orang gadis yang aneh, sakti dan cepat sehingga sulit baginya untuk menghindarkan diri.

   Disisi lain, Li Kiam-pek telah bertarung melawan seorang lelaki berewok bermata satu, orang itu bersenjatakan sebatang golok panjang dan sebilah golok pendek, perawakan tubuhnya tinggi besar bagaikan setengah bangunan pagoda.

   Suara tambur begitu berkumandang, pertarungan pun berlangsung makin seru.

   Jurus serangan yang dipergunakan dua orang itu sama-sama keras, cepat dan ganas, terdengar suara benturan senjata berkumandang silih berganti, tiga titik cahaya tajam saling menyambar dan saling membabat dengan serunya.

   Biarpun lelaki bermata satu itu berperawakan tinggi besar, namun gerak geriknya sama sekali tidak lamban ataupun bebal, golok panjang dan golok pendeknya melancarkan serangan secara bergantian, jurus serangan yang digunakan pun ganas, telengas dan aneh.

   Sebaliknya ilmu pedang Li Kiam-pek berasal dari aliran lurus yang mengutamakan kemantapan dan ketenangan, sekalipun harus menghadapi lelaki kekar yang banyak pengalaman, namun dua ratus gebrakan kemudian menang kalah masih susah ditentukan.

   Sementara kedua orang itu masih asyik saling menyerang, terdengar Bi lek hwee berteriak keras.

   "Jangan melibatkan diri dalam pertarungan berkepanjangan, cepat terjang! Cepat terjang!"

   Ditengah bentakan nyaring, lagi-lagi dia melontarkan serentetan peluru peledak.

   Mendadak terdengar suara tertawa seram bergema dari balik hutan, terlihat sesosok bayangan manusia meluncur datang sambil mengebaskan bajunya berulang kali.

   Ditengah deruan angin kencang, peluru peledak yang beterbangan di angkasa itu seketika terpental balik ke belakang, bukan Cuma terpental ke belakang bahkan segera berhamburan di dalam halaman keluarga Li.

   Ledakan demi ledakan pun bergetar diseluruh gedung, jeritan kaget bergema memecahkan keheningan.

   Berubah hebat paras muka Li Lok-yang, teriaknya.

   "Jangan kau gunakan lagi peledak Bi lek cu!"

   Dengan pedang terhunus dia menyambut kedatangan bayangan manusia itu.

   Tampak bayangan manusia yang baru muncul dari balik pepohonan itu segera melayang turun ke tanah, ke dua ujung bajunya berkibar ketika terhembus angin, bentuknya persis seperti sepasang sayap kelelawar, bahkan ketika sudah berdiri diatas permukaan, ujung bajunya kelihatan makin panjang hingga terjulai diatas tanah.

   Dia memiliki perawakan tubuh yang tinggi tapi kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, tulang jidatnya menonjol tinggi, kelopak matanya mendelong ke dalam, bila diamati sekilas pandang mirip sekali dengan seorang lelaki buta.

   Begitu melihat kemunculan orang itu, si bocah pincang segera bertepuk tangan sambil bersorak sorai, teriaknya tertawa.

   "Bagus, bagus sekali! Ternyata toako juga telah datang, sekarang akan kulihat masih ada berapa banyak senjata rahasia yang kalian miliki, ayoh keluarkan semua!"

   Tercekat perasaan hati Bi lek hwee mendengar seruan itu, dengan suara keras segera tegurnya.

   "Apakah kau adalah Ai Thian-hok?"

   Semua jago senjata rahasia yang ada dikolong langit pasti bergidik hatinya bila mendengar nama Ai Thian-hok disebut orang, bukan saja bergidik bahkan boleh dikata merasa takut hingga bulu kuduknya pada bangun berdiri.

   Biarpun dia buta namun sangat ahli dalam meluncurkan pelbagai jenis senjata rahasia yang ada dikolong langit, ketajaman pendengarannya luar biasa, seakan-akan disekujur tubuhnya memiliki mata yang tajam.

   Dengan wajah yang dingin tanpa perasaan orang itu menyahut.

   "Benar, siapa yang akan menemani aku si buta untuk bermain berapa gebrakan?"

   Suaranya begitu ketus, dingin, kaku, sama sekali tidak berperasaan.

   Dengan satu langkah cepat Li Lok-yang melompat melampaui Bi-lek hwee sambil menyelinap maju ke depan, setelah memandang orang itu dari atas hingga ke bawah, katanya dengan nada berat.

   "Rupanya kaulah murid pertama dari Kiu cu Kui bo!"

   "Betul!"

   Seru bocah pincang yang berdiri jauh di belakang Ai Thian-hok.

   "dialah toa-suko kami!"

   "Kehadiran suhengmu benar-benar merupakan satu penghormatan bagiku"

   "Li sianseng kelewat memuji"

   Tukas Ai Thian-hok ketus. Li Lok-yang tertegun.

   "Darimana kau bisa tahu kalau cayhe adalah Li Lok-yang?"

   Ai Thian-hok tertawa terbahak-bahak.

   "Hahahaha.... biarpun sepasang mataku buta, hatiku tidak buta, dalam situasi dan keadaan seperti ini, siapa lagi yang masih bisa bicara sopan dan penuh sungkan kepadaku kecuali Li Lokyang?"

   "Orang bilang bintang pembunuh yang tidak bermata biasanya tajam dalam perasaan, setelah perjumpaan hari ini, nyata sekali kalau ucapan tersebut bukan kosong belaka"

   "Li sianseng begitu memuji diriku, apakah kau menginginkan Ai Thian-hok melakukan sesuatu untukmu?"

   Tanya Ai Thian-hok sambil menghentikan gelak tertawanya.

   Sekalipun sedang tertawa, paras mukanya tetap kaku tanpa perasaaan.

   Dan kini, begitu dia berhenti tertawa, raut mukanya nampak semakin dingin menakutkan, seolah-olah perasaan hatinya memang terbuat dari bongkahan salju abadi, siapa pun di dunia ini tidak ada yang mampu menggerakkan perasaan hatinya.

   "Betul"

   Sahut Li Lok-yang sambil tertawa keras.

   "cayhe memang ingin mengajak anda untuk bertaruh"

   "Hmmm, setiap kali aku she-Ai sedang menduduki posisi diatas angin, aku tidak pernah mau bertaruh dengan siapa pun, Li sianseng, tampaknya keinginanmu itu tidak bakalan terkabul!"

   Sekali lagi Li Lok-yang tertegun, sebenarnya dia ingin mempertaruhkan keselamatan dirinya untuk mengajak Ai Thian-hok mempertaruhkan keselamatan saudara-saudara seperguruannya. Terdengar si bocah pincang tertawa tergelak.

   "Hahahaha.... bertaruh atau tidak kau tetap berada di pihak yang kalah, apa lagi yang ingin kau pertaruhkan?"

   Serunya.

   "kau boleh saja membohongi orang lain, tapi jangan harap bisa membohongi toako ku!"

   "Li sianseng"

   Kembali Ai Thian-hok berkata, bila kau ingin bertarung, cayhe pasti akan menerima tantanganmu itu, cuma ada baiknya kau bersihkan dulu bekas kulit telur yang menempel didalam alas sepatumu, daripada mengganggu gerak-gerikmu nanti"

   Tanpa sadar Li Lok-yang memeriksa alas sepatu sendiri, benar saja, ternyata alas sepatunya memang tertempel bekas kulit telur yang banyak, andaikata tidak diberitahu Ai Thian-hok, mungkin dia sendiripun tidak bakal menyadari.

   Ai Thian-hok yang buta sepasang matanya ternyata memiliki ketajaman pandang melebihi manusia yang bermata normal, padahal kalau dilihat kelopak matanya yang mendelong, jangan lagi tidak nampak ada biji mata, cukup dilihat dari bentuknya pun sudah menyeramkan sekali, jelas dia bukan orang yang berlagak buta....

   tapi, kenapa dia bisa tahu kalau alas sepatunya ada bekas kulit telur? Dalam waktu singkat perasaan hati Li Lok-yang dicekam dalam ketakutan dan kengerian yang luar biasa.

   "Kau tidak perlu keheranan darimana aku bisa mengetahui akan hal tersebut"

   Terdengar Ai Thian-hok berkata lagi.

   "aku tahu karena dari suara langkah kakimu tadi dapat kudengar suara kulit telur yang menempel di sol sepatumu"

   "Darimana kau bisa tahu kalau suara tersebut berasal dari kulit telur?"

   Ai Thian-hok tertawa tergelak.

   "Hahahaha.... semua bahan makanan sudah keracunan, aku duga kalian pasti makan telur ayam untuk memperpanjang umur, tidak aneh jika dalam situasi serba kalut, kulit telur akan berceceran di mana-mana, oleh sebab itulah aku menduganya, ternyata dugaanku memang benar"

   Kembali Li Lok-yang menghela napas panjang, pikirnya.

   "Aai, ternyata Ai Thian-hok memang seorang jagoan yang sangat hebat dan luar biasa"

   Sebagaimana diketahui, pertempuran sengit sedang berlangsung waktu itu, seluruh udara, diliputi suara dentingan senjata yang nyaring, suara bentakan yang keras serta suara tambur yang menggelegar bagai halilintar.

   Tapi dalam keadaan seperti itu, ternyata di dapat menangkap suara langkah kaki orang lain, ketajaman pendengarannya boleh dibilang sangat mengerikan, ditambah lagi kemampuannya untuk menganalisa serta mengambil kesimpulan, kehebatan yang dimiliki orang ini benar-benar luar biasa.

   Bi lek-hwee yang selama ini hanya berdiri dibelakang Li Lokyang sambil menahan diri, saat ini sudah tidak mampu mengendalikan diri lagi, segera bentaknya nyaring.

   "Ai Thian-hok, ternyata mulutmu hebat, perasaanmu juga hebat, lohu ingin membuktikan apakah tanganmu juga trampil dan hebat?"

   Gendewanya digetarkan, dengan satu langkah cepat dia menerobos maju ke depan, dengan ujung lamur dia totok jalan darah Ciang tay hiat di antara dada dan lambung Ai Thian-hok. Sambil berjumpalitan maju ke depan, si bocah pincang itu menghardik.

   "Toako ku hanya ingin bertarung melawan Li lok yang, mau apa kau banyak urusan? Hmm, biar sauya saja yang menemanimu bermain berapa gerakan!"

   Ditengah bentakan, sepasang kakinya meluncur datang dengan kecepatan tinggi, langsung menendang wajah lawannya. Menghadapi serangan semacam ini terpaksa Bi lek hwee harus selamatkan diri dengan mengegos ke samping, teriaknya penuh amarah.

   "Kau sudah tahu kalau selama hidup lohu paling pantang bertarung melawan bocah dan kaum wanita, mau apa kau datang kemari?"

   Bocah pincang itu tertawa terkekeh.

   "Hahaha.... kau tidak ingin bertarung melawanku? Huuuh, ketahuilah, aku pun belum tentu sudi bertarung melawanmu. Kalau toh kau belum menerima mutiara pengganti nyawa, lebih baik menyingkir saja ke samping dan tidak usah turut campur dalam persoalan ini!"

   "Sialan!"

   Umpat Bi lek hwee gusar.

   Tinjunya langsung disodokkan ke depan dan menghantam ke tubuh seseorang yang sedang bertarung melawan Hek Seng-thian.

   Biarpun dia berada dalam keadaan gusar, namun orang ini tetap tidak ingin bertarung melawan anak-anak dan kaum wanita, sekalipun wataknya agak kasar ternyata kekasarannya cukup simpatik.

   Sementara itu Pek Seng-bu serta Suto Siau sekalian masing-masing sudah menemukan lawannya, pertarungan sengit pun berkobar di tanah lapang diluar pagar dinding.

   Dari balik pepohonan terlihat bayangan manusia bergerak kian kemari, meskipun serangan yang mereka lancarkan sangat tangguh, ternyata orang orang itu belum juga berhasil membuka sebuah jalan berdarah ditempat itu.

   Perlahan-lahan Li Lok-yang dan Ai Thian-hok bergerak semakin mendekat, namun hingga detik ini mereka belum sampai bertarung barang satu gebrakan pun.

   Dengan wajah penuh senyuman si bocah pincang itu memukul satu jurus kekiri, menendang kemudian kekanan, tiba-tiba dia berjumpalitan lagi di udara dan balik ke dalam hutan sambil berseru.

   "Suhu telah tiba!"

   Benar saja, terlihat Kiu cu Kui bo didampingi dua orang gadis cantik telah munculkan diri dari balik pepohonan.

   Perempuan itu berjalan mendekat dengan langkah tertatih, pakaian yang dikenakan pun amat sederhana.

   Sebaliknya dua orang gadis yang mendampinginya justru berpakaian amat mewah dan indah, dandanannya sangat mencolok mata.

   Li Lok-yang sangat terkesiap....

   ternyata wanita cantik yang saat itu berdiri disamping Kiu cu Kui bo tidak lain adalah wanita cantik yang mendampingi si kakek aneh tadi.

   Tentu saja dia tidak memahami betapa rumitnya hubungan mereka semua, timbul perasaan ragu dan curiga dalam hatinya.

   Siapa tahu di saat dia masih tertegun dan bediri penuh keraguan itulah Ai Thian-hok sudah melambung ke tengah udara, tampak sepasang ujung bajunya berkibar terhembus angin, persis seperti seekor kelelawar yang sedang terbang di angkasa.

   Ujung bajunya panjang lagi lebar, dibalik kelembutan terselip kekerasan, inilah dua jenis senjata pembunuh yang paling aneh dan hebat, ketika sepasang ujung bajunya diputar, sehebat apapun kepandaian silat yang dimiliki lawan, jangan harap bisa mendekati tubuhnya dalam waktu singkat.

   Dalam pada itu kawanan lelaki kekar yang bertahan dibalik halaman mulai merasa sangat gelisah, mereka hanya bisa mendengar suara berlangsungnya pertarungan dari balik dinding tanpa bisa mengikuti jalannya pertarungan.

   Lama kelamaan ada sebagian centeng yang tidak mampu menahan diri lagi, ada di antara mereka yang mulai memanjat ke atas dinding pagar untuk menonton jalannya pertempuran.

   Paras muka Thiat Tiong-tong sendiripun nampak amat serius, dia masih memukul tambur tiada hentinya.

   Un Tay-tay dengan wajah murung dan kesal duduk mendampinginya, perempuan itupun sama sekali tidak berbicara.

   Sepuluh orang lelaki kekar yang semula berkumpul disudut halaman sambil berbisik-bisik, tiba-tiba berteriak keras dan serentak mereka lari kedepan pintu gerbang yang tertutup rapat.

   Seseorang dengan cepat mengayunkan goloknya membacok ke pintu gerbang....

   "Mau apa kalian?"

   Tegur Phoa Seng-hong dengan wajah berubah.

   "Kami akan menyerbu keluar!"

   Sahut para centeng.

   Baru selesai mereka bicara, tiba-tiba suara tambur berhenti berbunyi.

   Tidak lama setelah bunyi tambur berhenti, tampak Hek Seng-thian muncul terlebih dulu ke dalam ruangan, seluruh tubuhnya basah oleh darah, dadanya naik turun tidak beraturan, senjata andalannya juga telah hilang.

   "Hengtay, kau terluka?"

   Tegur Phoa Seng-hong dengan wajah berubah. Hek Seng-thian manggut manggut.

   "Bahu.... bahu kiriku...."

   Mendadak dia jatuh terduduk di lantai.

   Dari luar dinding pagar kembali terdengar suara teriakan keras menyusul kemudian tampak Pek Seng bu dan Suto Siau kabur masuk dengan gerakan cepat, paras muka ke dua orang inipun nampak kusam dan kelelahan, butiran keringat bercucuran membasahi jidatnya.

   Walaupun Thiat Tiong-tong tidak dapat mengikuti jalannya pertarungan diluar pagar, namun setelah menyaksikan raut muka beberapa orang itu, dia dapat membayangkan betapa sengit dan hebatnya pertarungan yang baru berlangsung diluar sana.

   Masih memegangi pemukul tambur dia segera berlari keluar dari halaman, teriaknya keras.

   "Masih ada yang lain?"

   Dengan peluh bercucuran Pek Seng-bu segera menuding ke luar halaman. Saat itulah terdengar Li Lok-yang yang berada diluar halaman berteriak keras.

   "Saudara sekalian, cepat mundur kembali, biar cayhe yang melakukan penghadangan"

   Menyusul kemudian terdengar seseorang menyambung sambil tertawa dingin.

   "Biarpun jalan keluar tersumbat, kalau ingin mundur tidak bakalan dihadang orang, kau tidak perlu kuatir!"

   Baru selesai ucapan tersebut bergema, Li Lok-yang, Li Kiam-pek, Bi lek hwee dan Im Ceng secara beruntun telah mundur balik ke dalam halaman, tapi wajah ke empat orang inipun nampak sangat mengenaskan, baju yang mereka kenakan basah kuyup oleh keringat.

   Setelah mengatur pernapasan sejenak Li Lok-yang baru menghela napas panjang, dengan kepala tertunduk dia berjalan mondar mandir dalam ruangan.

   Ditinjau dari wajahnya yang murung dan helaan napasnya yang sedih, bisa diketahui bahwa persoalan yang sedang dihadapi sangat gawat.

   Ketika tiba kembali dalam ruang tengah, perasaan hati semua orang pun ikut nampak berat.

   Setelah berjalan mondar mandir berapa saat, akhirnya Li Lokyang menuju ke depan undak-undakan batu dan berseru dengan nada berat.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saudara sekalian, harap dengarkan dulu perkataanku"

   Perlahan-lahan para centeng yang berada ditengah halaman bergeser mendekat dan berkumpul menjadi satu.

   Menyaksikan kawanan jago yang di hari-hari biasa selalu gesit dan cekatan bagai seekor harimau, kini, meskipun berusaha tampil dengan penuh semangat namun tidak dapat menutupi perasaan kecewa dan sedihnya, tidak kuasa lagi dia merasakan hatinya sangat pedih.

   "Kalian cepat buang senjata masing-masing! dan mengangkat tinggi ke dua belah tangan, asal kalian tidak melakukan perlawanan, sekeji dan sebuas apapun tidak mungkin Kiu cu Kui-bo akan mencabut nyawa kalian semua. Aku tahu, kalian sudah banyak tahun mengikuti aku, tapi hari ini, terus terang aku merasa tidak sanggup melindungi keselamatan kalian lagi, harap kalian jangan menyalahkan aku"

   Belum selesai dia berkata sudah terjadi kegaduhan di antara para centeng itu, maka ketika dia menyelesaikan perkataannya, kawanan lelaki kekar itu segera teriak bersama.

   "Biar harus matipun kami tidak akan pergi"

   "Bila tetap tinggal disini, kalian hanya akan menghantar kematian saja"

   Kata Li Lok-yang sedih. Seorang centeng segera melompat keluar sambil berteriak.

   "Loya selalu baik dan sayang kepada hamba semua, biar harus mati pun hamba lebih rela mati bersama loya"

   Seorang rekannya segera menimpali.

   "Biarpun hamba sekalian hanya orang bodoh, tapi kami bukan manusia kurcaci yang takut mati, jika loya memaksa hamba semua untuk pergi, terpaksa hamba akan mati duluan disini"

   Lama sekali Li Lok-yang berdiri tertegun sambil mengawasi anak buahnya, mendadak sambil menghentakkan kakinya dia berpaling dan beranjak pergi, lamat-lamat butiran air mata nampak mengembang dalam kelopak matanya. Un Tay-tay segera bertanya lirih.

   "Masa kita benar-benar tidak punya harapan untuk menyerbu keluar dari tempat ini?"

   Selama ini dia hanya menguntil terus disamping Thiat Tiong-tong, sedetik pun tidak ingin meninggalkan dirinya.

   Tanpa bicara Li Lok-yang mengangguk.

   Un Tay-tay tertegun berapa saat, tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari ruangan.

   Suto Siau maupun Im Ceng nampak seakan hendak menggerakkan tubuhnya, namun siapa pun tidak ada yang mengejarnya.

   Perlahan-lahan Li Lok-yang berjalan mendekati Hay Tay sau, sembari membebaskan totokan jalan darahnya dia berkata.

   "hengtay, harap kau jangan marah!"

   "Kenapa aku mesti menyalahkan dirimu?"

   Teriak Hay Tay-sau sambil bangkit berdiri.

   "mendengar perkataanmu yang begitu patah semangat, hampir saja aku mati lantaran jengkel"

   Li lok yang tertawa getir.

   "Bukannya cayhe ingin mengucapkan kata-kata yang patah semangat, hanya saja situasi dan keadaan yang kita hadapi sekarang memang lebih banyak bahayanya daripada selamat"

   Hay Tay-sau membelalakkan matanya lebar-lebar, sementara orang yang lain seolah mengakui akan kebenaran perkataan tersebut.

   "Ayoh, kalian bicaralah"

   Teriak Hay Tay-sau kemudiann "sebenarnya kalian mampu tidak untuk bertempur melawan mereka?"

   Li lok yang mendongakkan kepalanya memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian katanya.

   "Saudara Hay, saat ini kau tidak usah banyak bertanya lagi, kita tunggu saja senja menjelang nanti, kita berdua sekali lagi mencoba untuk menerjang keluar dari sini"

   "Nah, itu baru kata-kata yang bersemangat"

   Teriak Hay tay-sau sambil menggebrak meja. Perlahan-lahan Li Lok-yang mengalihkan sorot matanya kewajah Thiat Tiong-tong, kemudian bertanya.

   "Kami berhasil atau tidak meloloskan diri dari sini, yang pasti anda tidak bakalan mati"

   "Apa maksud perkataanmu itu?"

   Tanya Thiat Tiong-tong.

   "Orang terdekat yang berada disamping Kiu cu Kui bo saat ini tidak lain adalah istrimu yang lembut dan cantik jelita itu!"

   Berubah hebat paras muka Thiat Tiong-tong.

   Sementara itu Li Lok-yang sudah berlalu dari hadapannya, ucapan tersebut kembali menimbulkan kegaduhan bagi kawanan jago lainnya, mereka memang tidak mengetahui asal usul Thiat Tiong-tong yang sebenarnya, tanpa terasa pikirnya.

   "Mungkinkah dia adalah jagoan yang dikirim Kiu cu Kui bo untuk membantunya dari dalam?"

   Waktu itu Li Lok-yang sudah berdiri di depan gedungnya sambil bergendong tangan, dia saksikan disudut halaman ada berapa orang centengnya sedang mencabut rumput dan menguliti kulit pohon secara diam-diam.

   Rasa pedih seketika menyelimuti perasaan hatinya, buru-buru dia berpaling ke arah lain, tidak tega untuk memandangnya lebih jauh.

   "Ooh Thian!"

   Keluhnya dihati.

   "aku Li Lok-yang selalu berbuat baik terhadap siapa pun, kenapa nasibku harus berakhir dalam keadaan yang begini tragis?"

   Perasaan hatinya amat sakit dan tersiksa, tanpa disadari apa yang sedang dia pikirpun terucapkan keluar secara jelas, tentu saja nada keluhannya amat pedih dan memilukan hati. Tiba-tiba Hay Tay-sau menggebrak meja sambil mengumpat.

   "Li toako selalu bersikap jujur dan setia kawan, heran, kenapa ditempat ini justru muncul pengkhianat"

   "Siapa pengkhianatnya?"

   Tanya Li Kiam-pek cepat.

   "Dia!"

   Sambil berteriak, Hay Tay-sau segera menuding langsung ke arah Thiat Tiong-tong.

   Sebenarnya semua orang sedang memikirkan persoalan itu, tidak heran kalau kegaduhan segera terjadi setelah mendengar teriakan itu.

   Dengan suara keras Bi lek hwee segera berteriak.

   "Benar, orang ini sangat mencurigakan, gerak-geriknya penuh misterius, dia pasti musuh yang sengaja menyusup kemari"

   Li Lok-yang segera berpaling menatap wajah Thiat Tiong-tong, dia sangka pemuda itu pasti akan berusaha menyangkal atau berkelit.

   Siapa sangka Thiat Tiong-tong sama sekali tidak menyangkal, dia hanya berdiri kaku disitu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

   Kembali Hay Tay-sau membentak nyaring.

   "Terlepas bagaimana akhir dari pertempuran yang bakal berlangsung hari ini, kita tidak boleh membiarkan penghianat ini tetap hidup di kolong langit, mari kita bantai dulu dirinya"

   "Benar, harus kita bantai dulu bajingan itu"

   Serentak semua orang menyahut.

   Sambil berteriak, semua orang mulai menggeserkan langkahnya mengepung Thiat Tiong tong, rasa jengkel, benci dan mendongkol yang selama ini menyelimuti perasaan semua orang pun seketika dilampiaskan ke tubuh pemuda itu.

   Saking takutnya ke dua orang bocah lelaki itu sudah berdiri menggigil dengan wajah menghijau dan bibir pucat pasi, sambil menarik baju Thiat Tiong-tong mereka berusaha menarik pemuda itu untuk kabur.

   Kembali Li Lok-yang menghela napas panjang, ujarnya.

   "Semua orang berkeinginan begitu, apa lagi yang hendak kau katakan?"

   Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, pikirnya.

   "Siasat berantai yang kulakukan telah menciptakan situasi berubah jadi begini rupa, boleh dibilang harapanku sudah tercapai, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Suto Siau maupun Bi lek hwee tidak ada yang bisa kabur lagi dalam keadaan selamat, hanya sayang berapa lembar nyawa tidak bersalah harus ikut menjadi korban, aaai! "Sebenarnya betulkah tindakanku ini? Benarkah langkah yang kuambil?"

   Berpikir sampai disitu, perasaan kecewa segera menyelimuti hatinya, dia pun tidak ingin melakukan perlawanan lagi.

   "Betul"

   Katanya kemudian sambil menghela napas.

   "aku telah mencelakai kalian, bunuhlah aku!"

   Tantangan ini justru membuat semua orang termangu. Tiba tiba terdengar seseorang berseru.

   "Bila kalian ingin membunuhnya, lebih baik sekalian bunuhlah aku!"

   Dibawah sorot cahaya senja yang redup, Un Tay-tay berjalan masuk dengan langkah perlahan.

   Saat itu tubuhnya sudah dipenuhi dengan aneka macam perhiasan serta intan permata yang memantulkan cahaya berkilauan ketika tertimpa sinar senja, sambil tertawa ringan lanjutnya.

   "Aku dapat mengenakan intan permata yang paling kusukai, dapat mati disisi orang yang paling kusayangi, nasibku jauh lebih beruntung daripada nasib kalian yang harus mati di medan pertempuran, bila kalian hendak turun tangan, ayohlah cepat turun tangan!"

   Ternyata dia kabur keluar dari ruang gedung tadi tidak lebih hanya ingin mengambil perhiasan mahal itu dan mengenakannya.

   "Turun tangan yaa turun tangan, siapa takut!"

   Teriak Hay Tay-sau keras. Waktu itu Un Tay-tay sudah berdiri disamping Thiat Tiong-tong, kembali dia bertanya.

   "Siapa yang akan turun tangan?"

   Semua orang saling bertukar pandangan, siapapun tidak ingin menghabisi nyawa dua orang yang sama sekali tidak melakukan perlawanan di saat kematian mereka sendiri menjelang tiba, tanpa sadar mereka malah mundur dua langkah.

   Entah sejak kapan langit telah semakin redup dan gelap, dalam keadaan seperti ini tidak ada orang lagi yang pergi menyulut lilin, suasana dalam ruangan pun makin lama semakin gelap.

   Pintu gerbang yang tadi sudah ditutup rapat oleh Phoa Seng-hong, entah sejak kapan telah terbuka lebar kembali.

   Ditengah remang-remangnya kegelapan, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan putih berjalan keluar dari balik pintu, dalam kegelapan, bayangan Itu bagaikan sesosok sukma gentayangan yang sedang bergerak mendekat.

   Ketika bayangan itu semakin mendekat, semua orang dapat melihat raut mukanya yang cantik jelita, ternyata dia tidak lain adalah Sui Leng-kong.

   Berubah paras muka Li Lok-yang, segea ujarnya.

   "Apakah nona datang untuk menyampaikan pesan dari Kiu cu Kui bo?"

   Sui Leng-kong sama sekali tidak menggubris, melirik sekejap pun tidak, dia langsung berjalan menuju kehadapan Thiat Tiong-tong.

   "Kau sudah keluar dari sini, mau apa balik lagi kemari?"

   Tanya Thiat Tiong-tong sambil tertawa sedih.

   "Jika kau hidup, akupun akan pergi dalam keadaan hidup"

   Sahut Sui Leng-kong perlahan.

   "bila kau benar-benar ingin mati, akupun tidak ingin hidup, tentu saja aku harus datang kemari untuk menemanimu"

   Meskipun perkataan itu menyangkut masalah mati hidupnya, namun dia ucapkan dengan santai dan tenang, perasaan tenangnya yang luar biasa membuat setiap patah katanya pun dapat diucapkan dengan lancar.

   "Jadi kalian berdua bukan anak buah Kiu cu Kui bo?"

   Hay Tay-sau segera menegur dengan kening berkerut.

   "Walaupun dia ingin menerimaku sebagai muridnya, tapi aku lebih suka mati!"

   Jawab Sui Leng-kong perlahan. Hay Tay-sau tertegun, peluh segera bercucuran bagaikan air hujan, teriaknya kemudian.

   "Wouw.... hampir saja aku salah membunuh!"

   Dia segera menampar wajah sendiri dua kali, kemudian katanya lagi.

   "Lo sianseng, aku mohon maaf atas kelancanganku tadi!"

   Thiat Tiong-tong tertawa hambar, sahutnya.

   "Bagaimana pun kita semua toh bakal mati, mati lebih cepat atau lebih lambat sama sekali tidak ada bedanya, bila waktunya telah tiba, silahkan saudara Li mencoba lagi untuk menerjang keluar!"

   Kemudian dia berpaling ke arah Sui Leng-kong dan menambahkan sambil menghela napas.

   "Aaai, hanya sayang.... kau harus mati penasaran"

   Sui Leng-kong tertawa.

   "Apakah kau berharap aku hidup terus?"

   Dia bertanya.

   "Betul, aku lebih suka mengorbankan segala-galanya demi kehidupanmu"

   "Kau pun berharap semua orang yang berada disini dapat hidup terus?"

   Kembali Sui Leng-kong bertanya.

   "Apa kau bilang?"

   Thiat Tiong-tong terkesiap.

   "Jika kau benar-benar ingin mengorbankan segalanya, dapat melupakan semua budi dan dendam, aku pun punya cara agar semua orang yang berada disini tetap hidup, apakah kau tersedia?"

   Dalam kegelapan meski tidak dapat melihat jelas perubahan wajah semua orang, namun seluruh ruangan segera timbul kegaduhan, jelas setiap orang yang hadir disitu sudah tergerak hatinya oleh perkataan tersebut.

   Thiat Tiong-tong sendiripun merasakan seluruh tubuhnya jadi tegang, serunya.

   "Sungguh perkataanmu itu?"

   Sui Leng-kong manggut-manggut, dia segera membalikkan badan sambil berbisik.

   "Ikutilah aku!"

   Dengan gerakan tubuh yang enteng dia meninggalkan ruangan tengah, tanpa sadar Thiat tiong-tong mengikuti di belakangnya.

   Gadis cantik yang aneh ini seolah-olah memiliki semacam daya kekuatan yang luar biasa didalam perkataan maupun gerak-geriknya, membuat siapa pun merasa sangat percaya dengan apa yang dia ucapkan.

   Semua orang hanya mengawasi bayangan tubuh mereka berdua berjalan keluar dari halaman lalu lenyap dibalik kegelapan dengan mata terbelalak, tidak ada yang berusaha menegur, lebih-lebih tidak ada yang berniat menghalangi.

   Kegelapan malam diluar pintu terasa berat bagai baja, keheningan dan kegelapan yang menyelimuti seluruh permukaan bumi seakan menghimpit suasana ditempat itu hingga tidak mampu mengeluarkan sedikit suarapun.

   Tanpa bersuara Thiat Tiong-tong mengikuti di belakang Sui Leng-kong, berjalan masuk ke dalam hutan yang gelap, bahkan dibalik hutan pun sama sekali tidak terdengar suara apapun, suara angin, suara jangkrik, seakan semuanya sudah tersumbat mati oleh kegelapan malam yang mencekam.

   Thiat Tiong-tong merasa hatinya tercekat, perasaan bergidik muncul di dalam hatinya, langkah kakinya makin ringan, makin cepat, akhirnya secercah cahaya yang lirih muncul ditengah hutan itu.

   Cahaya api berwarna hijau bagaikan api setan menerangi seluruh hutan, bayangan manusia tampak bergerak kian kemari dibalik pepohonan, seakan-akan disitu sedang diselenggarakan pertemuan para sukma gentayangan.

   "Apakah sudah datang?"

   Mendadak terdengar seseorang menegur dengan suara menyeramkan.

   "Yaa, sudah datang!"

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawab Sui Leng-kong, Ditengah pepohonan yang rimbun terdapat sebuah tanah lapang, berpuluh titik cahaya mutiara yang hijau bergoyang disekeliling tempat itu, bergoyang bagaikan mata sukma gentayangan yang sedang bergerak.

   Dibawah cahaya mutiara hijau tampak bayangan manusia sedang duduk mengelilingi seseorang, cahaya yang memantul diwajah mereka, membiaskan sinar hijau yang menyeramkan di tubuh kawanan manusia tersebut.

   Orang yang duduk ditengah bukan lain adalah Kiu cu Kui bo yang amat termasyur dikolong langit.

   Waktu itu dia sudah berganti baju dengan mengenakan sebuah gaun berwarna hijau pupus, rambutnya disanggul tinggi, dia sedang duduk bersila.

   Thiat Tiong-tong langsung berjalan menuju ke hadapannya.

   Kiu cu Kui bo memperhatikan berapa kejap wajah pemuda itu, kemudian sambil tertawa seram ujarnya.

   "Anak murid Perguruan Tay ki bun memang selalu memiliki nyali yang jauh lebih besar daripada siapa pun!"

   "Dari mana kau bisa tahu kalau aku adalah anggota Perguruan Tay ki bun?"

   Tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah.

   "Aku yang beritahu"

   Kata Sui Leng-kong perlahan.

   "Dia bilang kau menggembol panji darah milik Perguruan Tay ki bun, benarkah ucapannya?"

   Lanya Kiu cu Kui bo lagi.

   "Perkataannya tidak pernah bohong"

   "Keluarkan dan perlihatkan kepadaku!"

   Thiat Tiong-tong melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba-tiba dia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan panji berdarah yang disimpan dalam sakunya, kemudian dengan sekali getaran dia sudah mengibarkan panji tersebut.

   Dengan satu gerakan cepat Kiu cu Kui bo melompat bangun sambil mengawasi panji berdarah itu dengan sorot mata yang tajam, dia mengawasi hampir setengah perminum teh lamanya, mengamati tanpa berkedip sedikitpun juga.

   "Sudah kau lihat dengan jelas?"

   Tegur Thiat Tiong-tong kemudian. Mendadak Kiu cu Kui bo mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang, setelah duduk kembali, katanya perlahan.

   "Ternyata memang panji darah yang dulu pernah memerintah di seluruh kolong langit!"

   Saat itulah Sui Leng-kong baru berkata lagi.

   "Dia orang tua bilang, dikolong langit saat ini hanya panji berdarah itu yang bisa menyelesaikan pengepungan yang dilakukannya hari ini, karena itulah aku baru memanggilmu datang kemari"

   "Sungguh?"

   Seru Thiat Tiong-tong dengan penuh semangat.

   "Benar"

   Kiu cu Kui bo manggut-manggut.

   "dulu, perguruan kami pernah menerima budi dari panji ini, kamipun pernah bersumpah, asal bertemu dengan panji darah sama seperti bertemu dengan pemilik panji itu, maka semua yang dikatakan pemegang panji akan ku taati tanpa membantah"

   "Kalau begitu...."

   Thiat Tiong-tong jadi sangat kegirangan.

   "Tunggu sebentar"

   Mendadak Kiu cu Kui bo membentak keras sambil menukas.

   "sekalipun kau memiliki panji sakti itu, tahukah kau peraturan apa yang harus dipegang oleh pemegang panji?"

   Thiat Tiong-tong kembali tertegun, dalam benaknya dia seakan masih memiliki sedikit bayangan yang buram, tapi sudah banyak tahun panji sakti tidak pernah munculkan diri, kebanyakan anggota generasi terakhir Perguruan Tay ki bun boleh dibilang telah melupakan akan hal ini.

   Perlahan-lahan Kiu cu Kui bo berkata lagi.

   "Dulu, meskipun Im dan Thiat dua orang cianpwee pernah memimpin kolong langit dengan mengandalkan panji sakti itu, namun karena kuatir kehadiran mereka akan sangat mengganggu umat persilatan lainnya, maka mereka pun membentuk sebuah peraturan bagi pemegang panji sakti!"

   Pada hakekatnya Thiat Tiong-tong sama sekali tidak mengetahui tentang peraturan itu, karenanya dia tidak berani menimbrung. Dengan suara dingin kembali Kiu cu Kui bo melanjutkan.

   "Panji sakti sudah banyak tahun tidak pernah muncul dalam dunia persilatan, tentang peraturan yang berlaku, apakah kau akan pulang dulu bertanya kepadanya, ataukah akan mendengarkan lewat penuturanku sekarang?"

   "Cianpwee adalah seorang tokoh persilatan vang termashur, aku percaya kau tidak bakal membohongi orang"

   "Sebutkah dulu nama dari pemegang panji sakti!"

   Kata Kiu cu Kui bo kemudian dengan nada lierat.

   "Thiat Tiong-tong!"

   "Thiat Tiong-tong!"

   Bentak Kiu cu Kui bo keras.

   "kau seharusnya memegang panji itu dengan kedua belah tanganmu, berdiri tegap dan pejamkan mata, sejak itu maka setiap ucapan yang kau katakan akan merupakan perintah dari panji sakti, oleh sebab itu kau tidak boleh lagi berbicara sesuka hatimu tanpa dipikirkan dulu, mengerti?"

   Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya.

   "Ada satu hal lagi yang perlu kau ingat, perintah hanya boleh diucapkan bila persoalan itu menyangkut mati hidup seseorang, lagipula perintahmu tidak boleh melebihi sepuluh patah kata!"

   Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya. Tidak boleh melampaui sepuluh patah kata? Bagaimana caraku menurunkan perintah?"

   Dia mencoba memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, suasana disitu dicekam dalam keheningan, tampaknya semua orang sedang mendengarkan dengan seksama.

   Paras muka Kiu cu Kui bo pun berubah amat serius, dia tidak berkata apa-apa lagi.

   Perlu diketahui, dulu para pendiri Perguruan Tay ki bun selalu bertindak dengan berdasarkan jiwa ksatria, walaupun panji sakti itu diciptakan dari lumuran darah para penjahat dan kaum laknat, namun mereka sama sekali tidak pernah menggunakan alasan balas budi untuk menguasai dan mengendalikan umat persilatan.

   Sebagai ungkapan rasa terima kasih umat persilatan kepada mereka berdua, maka ditetapkan peraturan yang tidak pernah tertulis ini, yakni dimana panji sakti muncul maka semua orang wajib mentaati perintahnya.

   Im dan Thiat cianpwee berduapun sadar, bila mereka tidak mengikat diri dengan peraturan maka lama-kelamaan mereka akan menjadi jumawa dan memberi perintah semaunya sendiri.

   Karenanya merekapun menetapkan, jika tidak menyangkut mati hidup seseorang maka mereka tidak boleh memberi perintah, sekalipun harus menurunkan perintah pun tidak boleh melampaui sepuluh patah kata.

   Peraturan ini berlaku turun-temurun dan harus ditaati oleh setiap orang yang memegang panji sakti itu.

   Hanya sayang karena belakangan Perguruan Tay ki bun tertimpa bencana, daya pengaruhnya juga tidak sekuat dulu, meski ada panji sakti pun belum tentu ada orang mau menuruti perintahnya, oleh sebab itu para ciangbunjin nya tidak pernah juga mewariskan peraturan ini kepada generasi berikut.

   Dengan sepasang tangan memegang panji sakti itu, perlahan-lahan Thiat Tiong-tong memejamkan matanya, berbagai pikiran berkecamuk didalam benaknya, dia mulai bertanya kepada diri sendiri.

   "Apa yang harus kuucapkan dalam perintahku?"

   Bila dia mengatakan.

   "Harap lepaskan mereka semua dalam keadaan hidup", ini berarti termasuk musuh besar Perguruan Tay ki bun pun akan dibebaskan, dia tidak ingin menggunakan panji sakti untuk menyelamatkan para musuh perguruannya. Jika dia mengatakan.

   "Bebaskan saudara seperguruanku!"

   Maka semua orang yang ada dalam gedung keluarga Li akan turut mati terkepung, dia tidak tega untuk mencelakai Li Lokyang dan putranya yang berjiwa ksatria dan amat seti kawan itu. Sebaliknya bila dia mengatakan"

   "bebaskan saudara seperguruan ku dan anggota keluarga Li"

   Maka orang orang seperti Hay Tay-sau serta para centeng yang bukan bermarga Li akan tewas secara mengenaskan disitu.

   Tentu saja dia tidak tega mencelakai kawanan manusia yang tidak bersalah itu.

   Untuk sesaat dia hanya berdiri kaku, tidak sepatah kata pun mampu diucapkan keluar.

   Mendadak terdengar Kiu cu Kui bo berseru.

   "Bila tidak segera kau sampaikan, perintahmu tidak berlaku lagi"

   Setelah berhenti sejenak, kembali dia menambahkan.

   "Sebenarnya perintah inipun ada batas waktunya yakni sampai hitungan ke sepuluh, biarpun aku tidak menghitung tapi aku rasa waktunya sudah tiba!"

   Dalam cemas dan gelisahnya buru-buru Thiat Tiong-tong berseru.

   "Menyingkir dan memberi jalan kebebasan, segera mundur dari sini"

   Perlahan-lahan Thiat Tiong-tong menurunkan kembali tangannya, namun dia masih berdiri kaku, peluh dingin membasahi jidatnya dan bercucuran membasahi seluruh pakaian yang dikenakan.

   Tiba-tiba terdengar Sui Leng-kong menghela napas panjang sambil berkata.

   "Kusangka kau akan mengucapkan kata-kata itu"

   "Perkataan apa?"

   Tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah.

   "Bebaskan orang yang ingin kubebaskan!"

   Sekujur tubuh Thiat Tiong-tong segera gemetar keras, sepasang matanya terbelalak lebar, tiba-tiba dia menjerit keras lalu muntahkan darah segar, darah yang segera menodai panji sakti dalam genggamannya.

   "Kee.... kenapa kau?"

   Tanya Sui Leng-kong terperanjat. Dengan air mata berlinang kata Thiat Tiong-tong.

   "Kenapa tidak terpikir olehku akan kalimat perintah itu?"

   Begitu selesai berkata, kembali dia memuntahkan darah segar, tubuhnya ikut roboh terkapar ke atas tanah. Buru-buru Sui Leng-kong memeluk tubuhnya dan berseru dengan air mata bercucuran.

   "Kau jangan menyalahkan diri sendiri, jangan menyalahkan diri, dalam keadaan seperti ini, siapa pun pasti akan merasa tegang"

   Ai Thian-hok yang duduk disamping Kiu cu Kui bo tiba-tiba menyindir sambil tertawa dingin.

   "Jika seorang lelaki sejati ingin membalas dendam, seharusnya andalkan kepandaian sendiri, jangan manfaatkan kemampuan orang untuk hapuskan sakit hatimu, lelaki macam apa itu?"

   Perkataan tersebut bagaikan sebuah lecut yang menghajar tubuhnya.

   Sekali lagi Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergetar keras, bagaikan kepalanya diguyur dengan sebaskom air dingin, dia termangu berapa saat lamanya, kemudian sambil melompat bangun serunya.

   "Terima kasih banyak atas petunjukmu, akan kuingat terus perkataan ini!"

   Ai Thian-hok berseru nyaring.

   "Menggunakan siasat bagus untuk menghadapi orang baik, sekalipun kau lakukan itu dengan cara yang jujur dan gagah, namun perbuatan semacam ini tidak patut dilakukan oleh seorang lelaki macam kau...."

   "Kata-kata yang indah ini akan selalu kuingat dalam hati"

   Perlahan-lahan Ai Thian-hok bangkit berdiri, tambahnya dengan suara dalam.

   "Oleh karena kuhormati kau sebagai seorang lelaki sejati, maka aku baru berbicara begitu, Suhu, mari kita pergi!"

   "Boleh tahu siapa nama anda?"

   Teriak Thiat tiong-tong.

   "Perguruan kami hanya satu kali mendengarkan perintah dari panji sakti, itupun demi mewujudkan sumpah yang pernah diucapkan dulu, bila kita bersua lagi dikemudian hari mungkin kita akan berhadapan sebagai musuh, buat apa kau tanyakan soal ini?"

   Sambil mengebaskan ujung bajunya dia segera bangkit berdiri. Si bocah pincang buru-buru berjumpalitan dua kali di udara dan melayang turun di sisinya, teriaknya.

   "Suheng, aku ikut bersamamu"

   "Bocah nakal"

   Seru Ai Thian-hok sambil tersenyum.

   "kenapa kau selalu berjumpalitan? Memangnya sudah tidak bisa ilmu meringankan tubuh!"

   Sambil menarik tangan bocah pincang itu, dia segera meninggalkan hutan dengan langkah lebar.

   Kawanan manusia berbaju hijau yang berada diseputar hutan pun beramai-ramai bangkit berdiri, ketika berjalan lewat dari samping Thiat Tiong-tong, satu per satu mereka mengawasi pemuda itu dengan seksama.

   Orang yang berjalan di belakang bocah pincang itu adalah seorang lelaki berlengan tunggal yang memiliki perawakan tinggi besar, wajahnya selalu muram tapi langkahnya ringan bagaikan sedang melayang.

   Dibelakang lelaki berlengan tunggal adalah si manusia kudis yang mirip orang idiot, sambil menengok kearah Thiat Tiong-tong dan tertawa, ujarnya.

   "Kami telah membuatmu kelaparan hampir dua hari, maaf, maaf."

   Lelaki bermata juling yang mengikuti di belakangnya segera tertawa seram.

   "Saudara Thiat"

   Serunya.

   "lebih baik jangan kelewat dekat dengan orang ini, hati-hati kalau sampai tertular penyakit kudisnya"

   Dibawah sinar mutiara berwarna hijau, raut muka orang ini benar-benar lebih menakutkan daripada setan.

   Tanpa sadar Thiat Tiong-tong mundur selangkah kebelakang, melihat itu sambil tertawa tergelak ke dua orang itu berjalan keluar meninggalkan hutan.

   Dibelakang mereka adalah seorang lelaki cebol yang berwajah kusut, bermata tikus, berbibir seperti babi dan giginya bertaring, waktu itu dia sedang mengawasi Thiat Tiong-tong bagaikan seekor ular berbisa.

   Begitu menyaksikan tampang orang itu kontan saja Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergidik dan sangat muak, tidak kuasa dia mundur selangkah lagi.

   Tiba-tiba dari belakang tubuhnya kedengaran seorang menimpali sambil tertawa.

   "Harap hengtay jangan berkerut kening, meskipun wajah beberapa orang ini sedikit kurang sedap dipandang, namun hati mereka jauh lebih haik ketimbang lelaki tampan"

   Orang ini berdada ayam dan bungkuk punggungnya, suaranya keras bagai gembrengan pecah.

   Dibelakang orang ini adalah seorang lelaki tinggi besar bagaikan sebuah pagoda, wajahnya kasar dan dipenuhi burik sebesar mata uang emas.

   Ke enam orang itu ditambah dengan Ai Thian-hok yang buta serta si bocah pincang berjumlah persis delapan orang, satu demi satu mereka berjalan lewat dibawah sinar mutiara berwarna hijau sehingga kelihatan bagaikan sukma gentayangan.

   Kembali Thiat Tiong-tong berpikir.

   "Kiu cu Kui bo memang luar biasa, entah darimana dia peroleh anak muridnya ini, masih ada satu orang lagi, bagaimana pula tampangnya?"

   Dia kembali berpaling, tampak seorang pemuda berbaju putih yang berwajah tampan berjalan mendekat sambil menjura, sambil menengok ke arahnya pemuda itu melemparkan sekulum senyuman.

   Pemuda ini bukan cuma tampan, gerak geriknya amat sopan, senyumannya sangat ramah.

   Kenyataan ini jauh diluar perkiraan Thiat Tiong-tong, buru buru dia balas memberi hormat seraya berkata.

   "Hati hati dijalan hengtay!"

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi pemuda itu segera menggelengkan kepalanya sambil menuding ke telinga dan mulut sendiri, ternyata walaupun dia memiliki panca indera yang genap dan empat anggota badan yang sempurna, namun selain tuli, diapun bisu.

   Tidak perlu ditanya lagi ke sembilan orang itu tidak lain adalah sembilan setan yang paling tersohor dan paling misterius dalam dunia persilatan, sembilan jagoan andalan Kiu cu Kui bo.

   Setelah ke sembilan orang itu keluar dari hutan, dibelakang mereka mengikuti enam orang gadis cantik berbaju warna warni.

   Biarpun ke sembilan orang setan adalah kawanan manusia cacad yang berwajah aneh lagi jelek, tapi ke tujuh iblis wanita justru cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, bukan saja rambutnya disanggul indah, matanya bening, senyuman pun sangat menawan hati.

   Perempuan pertama adalah seorang gadis berbaju ungu, sambil mendekati Thiat Tiong-tong katanya sambil tertawa.

   "Jit-moay kami menaruh perhatian yang begitu besar terhadapmu, aku pikir kau tentu seorang pemuda yang tampan, bersediakah kau tunjukkan wajah aslimu?"

   Lima orang gadis cantik lainnya segera maju mengerubung.

   "Siapakah jit-moay kalian itu?"

   Tanya Thiat l'iong-tong kaget.

   "Dia!"

   Seru gadis berbaju ungu itu sambil menuding ke arah Sui Leng-kong. Thiat Tiong-tong tercekat hatinya, tanpa terasa dia berpaling kea rah Sui Leng-kong. Kembali gadis berbaju ungu itu tertawa cekikikan.

   "Sebentar lagi dia akan pergi bersama kami, sekarang per hatikan dulu wajahnya beberapa kejap!"

   "Leng-kong, kau.... kau.... ?"

   "Sui Leng-kong sudah bergabung dalam perguruan kami dan menempati urutan paling buncit dari Jit sian cu (tujuh orang dewi)"

   Kata Kiu cu Kui bo dingin.

   "berarti mulai saat ini kau akan jarang sekali dapat bertemu dengannya"

   "Tujuh dewi?"

   "Betul, ke tujuh orang murid wanita ku persis seperti tujuh dewi yang baru turun dari kahyangan, mereka tidak bisa menjamah semua kehidupan keduniawian"

   "Bukankah kau sudah mempunyai tujuh orang murid yang persis menempati posisi tujuh wanita iblis, kenapa kau harus memaksa dia bergabung denganmu?"

   "Lo-jit sudah dinodai Phoa Seng-hong, dia sudah bukan perawan lagi, kini Sui Leng-kong muncul, kebetulan sekali dia bisa menempati tempat kosong itu"

   "Apakah kau tidak akan mengakui muridmu yang sudah ternoda?"

   "Kalau dewi sudah ternoda oleh napsu duniawi, tentu saja dia tidak berhak menempati posisi sebagai dewi lagi"

   Bentak Kiu cu Kui-bo dengan suaara nyaring.

   "sekalipun aku harus mewakilinya melakukan pembalasan dendam, namun dia pun harus diusir keluar dari perguruan"

   "Hmm, aku tidak percaya kalau anak muridmu benar-benar dapat menjaga keperawanan tubuh mereka"

   Jengek Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin. Kiu cu Kui bo tertawa terbahak bahak.

   "Hahahaha.... aku justru akan suruh kau mempercayainya"

   Ditengah gelak tertawa yang keras, dia memberi tanda sambil serunya.

   "Anak anak, tunjukkan kepadanya!"

   Gadis berbaju merah itu segera tertawa cekikikan, ujarnya.

   "Thiat siangkong, pentang matamu lebar lebar"

   Sambil berkata dia menggulung lengan bajunya dan mem perlihatkan pergelangan tangan-nya yang putih dan mulus.

   Kelima orang gadis lainnya segera mengikuti gerakannya dengan menggulung lengan baju masing-masing.

   Thiat Tiong-tong segera memperhatikan dengan seksama, biarpun hanya disinari cahaya hijau yang redup dari mutiara, namun ke lima buah lengan tersebut kelihatan begitu putih, halus dan lembut, bagaikan lengan orok yang baru lahir.

   Pada ke enam lengan yang putih itu, tepatnya dibawah bahu, terlihat ada sebuah tahi lalat berwarna merah cerah, warna merah itu segar dan kontras dibalik kulit tubuh yang putih, tapi jelas dapat dilihat kalau benda itu tidak lain adalah tahi lalat tanda keperawanan.

   Tidak kuasa lagi Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, pikirnya.

   "Nama besar tujuh wanita iblis sudah tersohor di seantero dunia persilatan, selama ini orang beranggapan mereka adalah sekawanan iblis wanita yang cabul dan suka merusak kaum pria, tak disangka ternyata mereka adalah gadis-gadis suci yang bisa menjaga keperawanan masing-masing. Phoa Seng-hong telah menodai seorang gadis suci bersih, tidak heran jika orang lain datang mencarinya untuk membalas dendam"

   Tiba-tiba terlihat ada sesosok bayangan manusia melintas masuk ke dalam hutan, orang itu berbaju putih dengan gerakan tubuh yang cepat dan lincah, dia tidak lain adalah Im Ceng, anak murid Perguruan Tay ki bun.

   Setibanya ditempat tersebut, dia segera memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan cepat berdiri dihadapan Thiat Tiong-tong dengan sikap melindungi.

   "Im kongcu, mau apa kau datang kemari?"

   Tidak tahan Thiat Tiong-tong bertanya.

   "Aku menguatirkan keselamatanmu, maka tidak tahan untuk kemari menengokmu!"

   Thiat Tiong-tong seketika merasakan hawa panas bergolak dalam dadanya, serunya lagi.

   "Aku sama sekali tidak kenal dengan Im kmigcu, kenapa Im kongcu menaruh perhatian besar terhadapku?"

   "Kau telah selamatkan aku dari jebakan wanita busuk, tanpa pertolonganmu, mungkin aku akan menjadi manusia paling berdosa bagi Perguruan Tay ki bun, budi ini sangat besar, mana boleh aku tidak membalasnya?"

   "Jadi kaupun anak murid Perguruan Tay ki bin?"

   Tegur Kiu cu Kui bo tiba-tiba sambil menarik muka.

   "Benar"

   Sahut Im Ceng sambil membusungkan dada.

   "akulah Im Ceng, putra dari ciangbunjin perguruan Tay ki bun, mau apa kau?"

   "Kalian berdua sama-sama anggota Perguruan Tay ki bun, kenapa bilang tidak saling mengenal? Sebenarnya sandiwara apa yang sedang kalian mainkan dihadapanku?"

   Tegur Kiu cu Kui bo lagi dengan suara keras. Thiat Tiong-tong merasakan tubuhnya bergetar keras, sementara Im Ceng dengan perasaan terperanjat segera berpaling, mengawasi rekannya tajam tajam sembari menghardik.

   "Jadi kaupun anggota Perguruan Tay ki bun? Siapa bilang kaupun anggota Perguruan Tay ki bun?"

   Untuk sesaat Thiat Tiong-tong terbungkam, tidak mampu berbicara. Kiu cu Kui bo kembali berkata.

   "Orang ini memiliki panji sakti dari Perguruan Tay ki bun, mana mungkin dia bukan anggota Perguruan Tay ki bun? Sebenarnya apa yang telah terjadi? Cepat katakan!"

   "Aku mempunyai kesulitan yang tidak bisa diungkap...."

   Thiat Tiong-tong menghela napas sedih.

   "Suhu"

   Sui Leng-kong segera menimbrung.

   "lebih baik kau orang tua jangan mendesaknya lagi!"

   Dengan pandangan dingin Kiu cu Kui bo memandang Thiat Tiong-tong berapa kejap, kemudian ujarnya.

   "Baiklah, sepuluh hari kemudian aku akan mengundangmu untuk menjelaskan persoalan ini, sementara waktu aku bebaskan dirimu"

   "Terima kasih suhu"

   Cepat Sui Leng-kong menyembah. Kiu cu Kui bo menarik lengan bajunya, dengan sekulum senyuman ramah menghiasi bibirnya dia berbisik.

   "Anak baik, ayoh kita pergi!"

   Sui Leng-kong manggut-manggut, tanpa bicara dia menengok mengawasi Thiat Tiong-tong sekejap, waktu itu Thiat Tiong-tong juga sedang menatapnya, ketika empat mata saling bertemu, mereka seolah merasa ada banyak perkataan yang hendak disampaikan, namun tidak sepatah katapun mampu diutarakan.

   Tatapan mata yang berlangsung cukup lama seolah telah saling menjalin suatu perasaan cinta yang tidak terhingga.

   Akhirnya Sui Leng-kong telah pergi, pergi dengan membawa bau harum, pergi dengan meninggalkan perasaan kehilangan yang mendalam.

   Setelah bayangan tubuh ke dua orang itu lmyap dari pandangan, Im Ceng baru melotot kearah Thiat Tiong-tong, tiba-tiba dia mencengkeram bahunya sambil berteriak.

   "Mereka telah pergi, bagaimana penjelasanmu kepadaku?"

   "Saat ini aku masih belum dapat memberi penjelasan"

   "Kau tidak dapat menjelaskan berarti kau memang anggota Perguruan Tay ki bun gadungan, jika kau adalah anggota Perguruan Tay ki bun gadungan, hari ini jangan harap bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat"

   Hardik Im ceng. Thiat Tiong-tong tertawa getir.

   "Sekalipun aku hanya anggota Perguruan Tay ki bun gadungan, tapi kulakukan hal ini toh demi menyelamatkan nyawa kalian semua, kenapa kau malah ingin membunuhku? Membalas air susu dengan air tuba?"

   Dengan penuh amarah kembali Im Ceng berteriak.

   "Kau telah selamatkan nyawa dari begitu banyak musuh besar Perguruan Tay ki bun dengan menggunakan panji sakti milik perguruan kami, bagaimana mungkin aku bisa berterima kasih kepadamu?"

   "Walaupun aku telah selamatkan jiwa mereka, tapi akupun telah selamatkan nyawa dari begitu banyak lelaki ksatria dari gedung keluarga Li, apakah kau sudah melupakan akan hal ini?"

   "Bagaimana pun juga, aku harus bertanya dulu kepadamu, darimana kau dapatkah panji sakti itu?"

   "Soal inipun kau tidak perlu tahu"

   "Panji darah adalah panji sakti pusaka perguruan, kenapa aku tidak berhak untuk mengetahuinya?"

   Teriak Im Ceng makin gusar.

   "Walaupun kau tidak perlu tahu, namun kau punya hak untuk mengambil balik"

   "Panji sakti itu berada dimana sekarang?"

   Dari dalam sakunya Thiat Tiong-tong mengambil keluar panji darah itu, lalu dengan suara berat ujarnya.

   "Panji sakti ini merupakan pusaka perguruan, pemegangnya mempunyai kedudukan diatas posisi ciangbunjin, setelah kau mendapatkan kembali panji ini, kuharap bertindaklah lebih berhati-hati!"

   Baru saja Im Ceng akan menerima panji sakti itu, mendadak dia mundur selangkah sambil berseru.

   "Bila kau bukan anggota Perguruan Tay ki bun, tidak mungkin kau akan serahkan panji sakti itu kepadaku, pun tidak akan mengetahui seluk beluk perguruan sejelas itu. Sebaliknya bila kau adalah anggota Perguruan Tay ki bun, kenapa harus mengakui bahwa dirimu gadungan? Tadinya aku benar-benar tidak habis mengerti dengan persoalan ini, tapi sekarang aku sudah tahu"

   "Karena apa?"

   Tidak tahan Thiat Tiong-tong berseru.

   "Karena dalam Perguruan Tay ki bun terdapat seorang murid murtad yang tidak berani berjumpa denganku"

   Kata Im Ceng sepatah demi sepatah kata.

   "karena merasa bersalah, dia jadi malu sendiri"

   "Apa yang telah dia lakukan?"

   Tanya Thiat Tiong-tong dengan perasaan terkesiap. Sinar berapi api memancar keluar dari balik mata Im Ceng, dia tertawa dingin.

   "Hmm, di saat aku sedang terluka parah, ketika nyawaku sedang diujung tanduk, dia telah meninggalkan aku, bahkan dengan tebalkan muka mengaku musuh sebagai ayah"

   "Kalau memang begitu, kenapa kau bisa hidup hingga sekarang?"

   "Untung lukaku waktu itu sangat parah hingga tidak dijaga secara ketat, tampaknya mereka baru akan menginterogasi setelah aku sadar dari pingsanku!"

   "Benarkah perkataanmu itu?"

   Berubah wajah Thiat Tiong-tong.

   "Buat apa aku berbohong?"

   Teriak Im Ceng gusar.

   "semua kejadian itu kualami sendiri, pelajaran itu kuperoleh dari cucuran darah, buat apa aku mesti berbohong?"

   "Aaai, kau salah paham!"

   Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.

   "Salah paham?"

   Im Ceng tertawa seram.

   "kalau salah paham, kenapa kau tidak berani bertemu aku?"

   Thiat Tiong-tong tertegun.

   "Aku...."

   "Thiat Tiong-tong!"

   Teriak Im Ceng semakin gusar.

   "urusan sudah jadi begini, buat apa kau masih berlagak pilon? Kalau bukan Thian maha adil sehingga aku sempat mendengarkan pembicaraanmu dengan Suto Siau, kalau bukan nasibku lagi mujur hingga sempat kabur dari musibah itu, mungkin di kolong langit benar-benar tidak ada yang tahu akan perbuatan terkutukmu yang telah menghianati perguruan dan menjual rekan sendiri. Sekarang Thian telah memberi kesempatan kepadaku untuk bisa bertemu lagi denganmu, apa lagi yang hendak kau katakan? Thiat Tiong-tong, serahkan nyawamu!"

   Dengan cekatan Thiat Tiong-tong membalik tubuhnya, mundur sejauh tiga langkah, serunya sambil menghela napas sedih.

   "Samte, sekalipun ingin membunuhku, seharusnya dengarkan dulu penjelasanku"

   Im Ceng tertawa dingin.

   "Percuma, biar kau menjelaskan sampai lidahmu berbunga pun tidak bakal aku percaya lagi kepadamu"

   "Sebetulnya waktu itu aku hanya membohongi Suto Siau agar dia percaya kepadaku, kemudian baru mencari kesempatan untuk melarikan diri"

   Dia tidak segan mempertaruhkan nyawa sendiri untuk ditukar dengan keselamatan Im Ceng, tapi kini Im Ceng justru menaruh kesalah pahaman yang begitu mendalam terhadapnya.

   "Apakah waktu itu kaupun kabur dari sana?"

   Jengek Im Ceng sambil tertawa dingin. Thiat Tiong-tong mengangguk sedih.

   "Waktu itu aku kabur dengan penuh penderitaan, bila kuceritakan, belum tentu kau mau percaya"

   "Tentu saja aku tidak akan percaya"

   Im Ceng tertawa seram.

   "jangan lagi persoalan lain, waktu itu kau terluka parah bahkan sudah terjatuh ke tangan Suto Siau, bagaimana mungkin masih sempat melarikan diri?"

   "Tapi begitulah kenyataannya, kau ingin bagaimana baru mau percaya?"

   "Biar kau bunuh akupun, aku tetap tidak akan percaya!"

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Teriak Im Ceng nyaring. Baru selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba dari luar hutan berkumandang suara gelak tertawa seseorang. Menyusul gelak tertawa itu, Suto Siau melayang masuk ke dalam hutan, serunya lagi sambil tertawa.

   "Tiong-tong, kalau toh dia tidak percaya yaa sudahlah, buat apa kau mesti mengajaknya berdebat?"

   "Betul-betul manusia berhati keji!"

   Umpat Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah. Dia sadar, dengan sikap dan perkataan Suto Nian, kesalahan pahamnya dengan Im Ceng bakal bertambah mendalam. Betul saja, Im Ceng kontan tertawa seram.

   "Bagus, bagus sekali!"

   Teriaknya.

   "Thiat Tiong-tong wahai Thiat Tiong-tong, kendatipun kau berusaha mungkir, kini Suto Siau sudah mewakilimu mengakui, apa lagi yang akan kau katakan?"

   Dengan sekali lompatan Thiat Tiong-tong menyerbu ke hadapan Suto Siau.

   "Hahahaha.... urusan telah berkembang jadi begini, buat apa kau membohonginya lagi?"

   Kembali Suto Siau berkata sambil tertawa. Sambil tersenyum dia segera menggapai ke luar lilitan, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Phoa Seng hong segera bermunculan dari balik pepohonan. Kembali Suto Siau melanjutkan sambil tertawa.

   "Bagaimana pun juga, semua orang yang hadir disini adalah orang orang kita, apalagi yang mesti kautakuti?"

   "Benar"

   Sambung Pek Seng-bu sambil tertawa pula.

   "asal kita habisi nyawanya, didunia ini tidak mungkin ada orang yang mengetahui rahasiamu lagi, dan kau tetap bisa menjadi mata- mata dalam Perguruan Tay ki bun!"

   Dengan penuh kemarahan dan rasa dendam Thiat Tiong-tong menggigit bibir sambil menutup rapat mulutnya, dia sadar, fitnahan ini tidak mungkin bisa dibantah dengan alasan apa pun.

   Dalam pada itu Im Ceng telah mengepal tinjunya kencang kencang, setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu mendadak teriaknya.

   "Thiat Tiong-tong, aku beritahu padamu, sekalipun harus pertaruhkan nyawa aku tetap akan berusaha kabur dari sini!"

   "Huuh, murid Perguruan Tay ki bun bisanya kabur juga?"

   Ejek Hek Seng-thian sambil tertawa dingin.

   "Aku harus kabur dari sini karena aku ingin menyiarkan penghianatannya ke seluruh dunia, agar semua orang tahu akan perbuatan busuk yang dia lakukan"

   Jerit Im Ceng makin gusar.

   Begitu selesai bicara, dia langsung menerjang ke arah Pek Seng-bu.

   Dari kejauhan Suto Siau segera memberi kerdipan mata kepada Pek Seng-bu, tampaknya Pek Seng-bu memahami rencana rekannya....

   saat itulah kepalan Im Ceng telah menyodok tiba.

   Saat ini dia hanya berniat meloloskan diri secepatnya, tidak heran kalau tenaga pukulan yang dilontarkan sangat dahsyat, dengan tangan kiri melindungi dada, kepalan kanannya menyodok ke iga Pek Seng-bu, belum lagi serangannya tiba, angin pukulan yang kuat sudah mengibarkan ujung baju lawan.

   Cepat Pek Seng-bu mengayunkan tangannya dan langsung membabat urat nadi di pergelangan tangan lawan.

   Siapa tahu serangan dari Im Ceng itu hanya serangan tipuan, baru sampai setengah jalan, kepalan kirinya mendadak memutar keluar dari bawah ketiak kanannya dan menghantam dagu Pek Seng-bu dengan jurus Sik po thian keng (batu hancur langit bergetar).

   Agaknya Pek Seng-bu tidak menyangka kalau dia akan mengubah jurus serangannya secepat itu, sementara dia masih kaget dan gugup, Im Ceng lelah melancarkan serangkaian tendangan berantai, tiga jurus serangan seakan dilancarkan hampir berbareng.

   Di antara deruan angin tendangan dan bayangan pukulan, tubuh Pek Seng-bu terdorong maju sejauh berapa, langkah, seolah termakan oleh pukulan dari Im Ceng, langkahnya jadi gontai hingga terpaksa harus menyingkir ke samping dan memberi jalan lewat.

   Pertarungan antara ke dua orang itu berlangsung hanya sekejap mata, tujuan utama Im ceng memang ingin cepat lolos dari kepungan, dia tidak mau bertarung lebih jauh, setelah berputar di tengah udara secepat kilat tubuhnya melesat keluar dari hutan.

   Suto Siau dan Hek Seng-thian serentak membentak nyaring.

   "Kejar! Mau kabur ke mana kau!"

   Tubuh mereka berdua tetap berdiri menggencet disamping Thiat Tiong-tong, biar teriakannya nyaring, kaki mereka sama sekali tidak bergeser. Ketika Im Ceng sudah pergi jauh, Pek Seng-bu buru berkata sambil tertawa tergelak.

   "Hahahaha.... bagaimana dengan lagakku pura-pura kalah? Sudah cukup persis belum?"

   "Betul-betul mirip, betul-betul hebat"

   Puji Suto Siau sambil bertepuk tangan.

   "Tapi sejujurnya, gerak serangan bajingan itu cukup tangguh!"

   "Sehebat secanggih apapun gerak serangannya, memang dia benar benar mampu kabur dari sergapan saudara Pek hanya dalam tiga gebrakan?"

   Tukas Suto Siau sambil tertawa. Ke tiga orang itu saling berpandangan sambil tertawa tergelak, suara tertawa mereka penuh diliputi perasaan bangga dan puas. Sesaat kemudian Suto Siau baru berpaling ke arah Thiat Tiong-tong, katanya.

   "Tahukah kau, apa sebabnya kami bertiga tidak menghabisi nyawa Im Ceng, sebaliknya malah membiarkan dia kabur?"

   "Hmm. Kau memang berniat mengadu domba kami berdua"

   Dengus Thiat Tiong-tong sinis. Sekali lagi Suto Siau tertawa terbahak-bahak.

   "Hahahaha.... tepat, tepat sekali"

   Katanya.

   "dengan membiarkan dia melarikan diri kali ini, sama artinya aku telah menciptakan seorang musuh bebuyutan untukmu, selama hidup jangan harap dia bisa melepaskan dirimu dengan begitu saja"

   Dalam hati kecilnya Thiat Tiong-tong merasa sedih sekali, namun diluaran sahutnya dengan ketus.

   "Hmmm, kami adalah sesama saudara seperguruan, sekalipun timbul kesalahan paham, akhirnya toh akan beres dengan sendirinya"

   "Benarkah?"

   Jengek Suto Siau sambil tertawa licik.

   "mendengar kan perkataanmu saja tidak sudi, bahkan dalam pikirannya hanya ingin menghabisi nyawa murid murtad secepatnya, mana mungkin kesalahan paham ini bisa diselesaikan begitu saja"

   Hampir meledak rasa mendongkol Thiat Tiong-tong setelah mendengar perkataan itu, tidak tahan teriaknya.

   "Bajingan laknat, kau...."

   "Betul, aku memang bajingan laknat"

   Tukas Suto Siau lagi sambil tertawa.

   "tapi bila dibandingkan nama busukmu dikemudian hari, mungkin posisiku jauh lebih mendingan ketimbang kau"

   Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya.

   "Saudara Thiat, sekarang kau sudah menjadi murid murtad dari Perguruan Tay ki bun, bukan saja Im Ceng ingin membunuhmu, gurumu pasti akan berusaha menjalankan peraturan perguruan, kalau dugaanku tidak salah, kawanan jago persilatan yang menganggap diri mereka sebagai para pendekar sejati pun tidak bakalan melepaskanmu dengan begitu saja. Hahahaha.... mulai sekarang kau akan menghadapi ancaman di mana-mana, tidak ada tempat lagi bagimu untuk tancapkan kaki dalam dunia persilatan, saudara Thiat, aku pikir kau pasti menyadari akan hal ini bukan"

   "Sekalipun begitu, tidak ada urusannya denganmu!"

   Kembali Suto Siau tertawa dingin.

   "Seharusnya hengtay tahu diri, dengan situasi yang kau hadapi sekarang semestinya paling cocok bila bergabung dengan kami semua, kalau tidak...."

   "Kalau tidak kenapa?"

   Tukas Thiat Tiong-tong.

   "Hahahaha.... kalau tidak bakal terjadi apa, masa hengtay sendiripun tidak tahu?"

   "Betul"

   Sambung Hek Seng-thian pula sambil tertawa.

   "lebih baik kau ambil keluar semua harta karun yang diperoleh dari dalam gua dan bersama kami membangun satu usaha besar, tindakan ini lauh lebih menggembirakan daripada harus menerima tekanan dari Perguruan Tay ki bun"

   "Jangan didesak terus"

   Cegah Pek Seng-bu cepat.

   "apa salahnya kalau kita beri kesempatan lagi untuk saudara Thiat agar bisa dipertimbangkan kembali usulan ini!"

   "Betul, betul sekali"

   Seru Phoa Seng-hong pula sambil tertawa keras.

   "lebih baik kita balik dulu ke gedung keluarga Li sambil menikmati hidangan dan arak, urusan lain toh bisa kita bicarakan perlahan-lahan"

   Ke empat orang ini benar benar telah menggunakan semua cara mengancam, membujuk, merayu maupun memaksa untuk menggiring pemuda itu masuk ke dalam perangkap.

   Tapi sikap Thiat Tiong-tong justru berubah makin dingin, kaku, tanpa sedikit perasaaanpun, siapa pun tidak dapat menduga apa gerangan yang sedang dia pikirkan.

   "Hengtay, mari kita pergi!"

   Kata Suto Siau kemudian sambil merangkul bahu pemuda itu.

   Thiat Tiong-tong tidak bisa menyingkir, terpaksa dia keluar dari dalam hutan mengikuti ke empat orang itu dan menuju ke gedung keluarga Li.

   Diluar pintu gerbang terlihat ada sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, agaknya Un Tay-tay sedang berdiri di depan pintu sambil mengawasi situasi diseputar sana.

   Sambil menuding bayangan manusia itu seru Suto Siau seraya tersenyum.

   "Sekarang kita sudah menjadi orang sendiri, siaute pun tidak ingin merahasiakan sesuatu lagi kepadamu, tahukah hengtay siapa sebenarnya Un Tay-tay ini?"

   Tidak menunggu jawaban dari lawan, dia segera menambahkan.

   "Un Tay-tay sebenarnya adalah istri simpanan-ku, tapi bila hengtay memang berminat dengannya, siaute bersedia segera putus hubungan dengan perempuan ini!"

   Sementara pembicaraan masih berlangsung, Un Tay-tay sudah melompat keluar dari balik pintu dan mendekati mereka semua, ketika melihat Thiat Tiong-tong berjalan berdampingan dengan Suto Siau, bahkan mereka tampak berhubungan begitu akrab, perempuan itu seketika menghentikan langkahnya dan berdiri termangu, saking tertegunnya sampai perkataan yang hampir terucap keluar pun segera ditelan kembali.

   Sambil tertawa terbahak-bahak Suto Siau segera berkata.

   "Un Tay-tay, mulai sekarang saudara Thiat adalah orang sendiri, kau tidak dilarang untuk berhubungan mesra dengannya sekalipun berada dihadapanku"

   Un Tay-tay mengangkat wajahnya, memandang Thiat Tiong-tong dengan termangu.

   Sorot mata Thiat Tiong-tong sama sekali tanpa emosi, tiba-tiba Un Tay-tay menutupi wajah sendiri dan lari masuk ke dalam sambil menangis tersedu-sedu, pakaian yang dikenakan kelihatan bergelombang kencang ketika tertimpa cahaya malam.

   "Hahahaha.... bagus, bagus sekali!"

   Kembali Suto Siau tertawa terbahak bahaka.

   "tidak kusangka ternyata dia benar-benar sudah jatuh hati kepada saudara Thiat, benar-benar satu peristiwa yang patut dirayakan"

   Sekalipun gelak tertawanya nyaring, namun tidak dapat menutupi rasa cemburunya yang meluap.

   Perlu diketahui, dia sama sekali tidak pernah menyukai Un Tay-tay namun diapun enggan ditinggalkan perempuan itu, apalagi membiarkan dia jatuh cinta kepada lelaki lain.

   Tapi berhubung dia sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan Un Tay-tay, tentu saja tidak sebesar penderitaan yang dialami dalam hatinya....

   inilah keegoisan seorang lelaki, lelaki mana pun tidak akan tahan menghadapi penderitaan karena ditinggalkan perempuan, bahkan seringkah dia lebih suka membiarkan penderitaan tersebut dirasakan oleh perempuan itu sendiri....

   menikmati penderitaan orang lain, bagi orang tertentu justru merupakan semacam kenikmatan.

   Ditengah gelak tertawa nyaring, cahaya lentera segera menerangi seluruh ruangan, Li Lok-yang dan Li Kiam-pek berdua muncul dari balik pintu.

   Bi lek hwee dan Hay Tay-sau mengikuti dibelakangnya, hampir semua orang tampil dengan wajah tegang, senjata masih terhunus, tampaknya mereka belum tahu kalau kepungan diluar telah dibubarkan.

   Ketika menyaksikan sikap Suto Siau sekalian yang tampak begitu santai, Li Lok-yang tertegun, tanyanya keheranan.

   "Apakah hengtay sekalian tidak apa apa?"

   "Kalau disini ada saudara Thiat, semua urusan tentu akan beres dengan sendirinya"

   Sahut Suto Siau sambil tertawa nyaring.

   "Mana Kiu cu Kui bo?"

   "Mungkin saat ini sudah berada setengah li dari sini"

   Wajah Li Lok-yang yang tegang pun perlahan-lahan mengendor kembali, namun sorot matanya yang tajam masih diliputi tanda tanya besar dan mengawasi wajah Suto Siau serta Thiat Tiong-tong tanpa berkedip, jelas dia berharap bisa mendengarkan kisah kejadian yang sebenarnya.

   Namun Suto Siau sengaja tidak bicara, sementara Thiat Tiong-tong pun seakan sudah menjadi orang bisu, tidak sepotong perkataanpun yang diutarakan.

   Hanya Pek Seng-bu yang berkata sambil tersenyum.

   "Kiu cu Kui bo pasti mempunyai alasan yang kuat untuk memberi muka kepada kita semua, toh sekarang orangnya sudah pergi, buat apa saudara Li banyak bertanya lagi"

   Benar saja, Li Lok-yang tidak bertanya lagi, lapi dia semakin menaruh curiga terhadap asal usul Thiat Tiong-tong, dengan kening berkerut dia persilahkan tamunya untuk masuk ke dalam mangan.

   Gedung keluarga Li yang semula sunyi senyap pun dalam waktu singkat muncul kembali kehidupan....

   perasaan hati yang selama ini tertekan oleh bayang-bayang kematian, dalam waktu singkat telah hilang tak berbekas.

   Perasaan sedih dan iba seringkah merupakan ungkapan perasaan yang paling nyata dalam setiap peristiwa....

   di saat manusia menghadapi rasa takut dan ngeri dalam menghadapi kematian, biasanya perasaan mereka akan jadi kaku dan hilang rasa, tapi sekarang semua orang mulai merasa sedih dan iba terhadap rekan rekannya yang tewas, mulai merasa betapa berharganya nyawa yang dimiliki.

   Cara kerja keluarga kenamaan ini memang luar biasa, tidak sampai berapa saat kemudian semua jenazah telah dikubur, bahan makanan yang dibutuhkan pun sudah didatangkan, bahkan pintu gerbang yang semula kotor oleh darah pun kini sudah berkilat dan bersih sekali.

   Sayang nyawa yang terlanjur melayang tetap melayang, selamanya tidak bisa kembali lagi.

   Selama ini Suto Siau, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu tidak pernah bergeser setengah inci pun dari sisi Thiat Tiong-tong.

   Hay Tay-sau dengan matanya yang tajam bagai elang juga mengawasi terus gerak gerik Phoa Seng-hong.

   Bi lek hwee sambil bergandong tangan sebentar duduk, sebentar berdiri, dia nampak tidak tenang, sedangkan Li Lokyang dan putranya meski nampak sangat repot namun keningnya berkerut kencang, agaknya ada masalah berat yang mengganjal hati mereka.

   Tiba tiba Hay Tay-sau tertawa dingin sambil menyindir.

   "Ada sementara orang walaupun kelihatannya pintar, padahal gobloknya setengah mati, semestinya ada peluang untuk diam-diam kabur, dia justru hingga sekarang masih bercokol disini"

   Phoa Seng-hong sengaja berpaling ke arah lain, dia berlagak seperti tidak mendengar perkataan itu. Sebaliknya Bi lek hwee tidak bisa menahan, diri, segera tegurnya.

   "Siapa yang hengtay maksudkan?"

   "Biarpun pertempuran sudah berlalu tapi biang kerok yang menimbulkan musibah ini justru masih bercokol dengan tenangnya, orang semacam ini masa kita biarkan berlagak terus?"

   Paras muka Phoa Seng-hong berubah hebat, Bi lek hwee pun kelihatan mulai naik pitam, dengan penuh amarah dia berpaling ke arah Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu lalu hardiknya.

   "Betul, pertempuran sudah lewat, pertikaian di antara kitapun sudah saatnya untuk diselesaikan!"

   "Kita toh sesama saudara sendiri"

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ujar Hek Seng-thian sambil tersenyum.

   "kalau memang ada persoalan, mari kita bicarakan baik baik"

   "Kembalikan dulu muridku sebelum berbicara!"

   Bentak Bi lek hwee nyaring.

   "Bila hengtay mengajak aku ribut dalam suasana dan situasi seperti ini, rasanya kaulah yang bakal rugi"

   Ujar Hek Seng-thian dengan tenangnya, kemudian sambil tersenyum dan berpaling ke arah Suto Siau, lanjutnya.

   "bukan begitu saudara Suto?"

   "Kelihatannya memang begitu"

   Jawab Suto Siau sambil tersenyum. Berubah paras muka Bi lek hwee.

   "Jadi saudara Suto akan membantunya?"

   Suto Siau hanya tersenyum tanpa menjawab, orang ini nyaris sepanjang hari hanya menampilkan senyuman hambarnya, membuat orang susah menebak arti sesungguhnya dari senyuman itu.

   Bi lek hwee mencoba memandang sekejap sekeliling tempat itu, agaknya berusaha mencari bantuan, tapi anak buahnya sudah keburu pergi dari situ sedang orang lain pun sama sekali tidak berminat untuk mencampuri urusan ini.

   Diam-diam dia menghela napas, selain kecewa hatinya panas dan marah.

   Untunglah pada saat itu Li Lok-yang muncul kembali dengan langkah lebar, dengan nyaring dia berseru.

   "Jika kalian masih ada urusan lain, silahkan dilanjutkan setelah mengisi perut!"

   Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya.

   "Waktu itu akupun ada berapa patah kata yang ingin kusampaikan kepada kalian semua"

   Tidak lama kemudian diatas meja telah ditata hidangan yang meski tidak terlampau lezat namun cukup mengenyangkan perut.

   Dalam keadaan situasi seperti ini, biarpun dia seorang.

   peminum juga tidak ada selera untuk minum arak, biarpun dia banyak masalah pun untuk sesaat semuanya dikesampingkan dulu, hidangan sudah berada di depan mata, sementara waktu mereka tidak ingin mengurusi hal yang lain kecuali mengisi perut secepatnya.

   Sejak dulu hingga sekarang, kelaparan merupakan musuh paling besar bagi umat manusia, sehebat dan setangguh apapun seorang enghiong, tidak nanti dia sanggup melawan rasa lapar.

   Kini suara yang terdengar dalam ruangan hanyalah suara orang bersantap, selang sesaat kemudian tiba-tiba Hek Seng-thian meletakkan kembali sumpitnya seraya berteriak kaget.

   "Aduh celaka!"

   Paras mukanya ikut berubah.

   "Ada apa?"

   Cepat Suto Siau bertanya.

   "Ada seseorang yang tidak ikut bersantap!"

   "Benarkah.... ooh"

   Li Lok-yang mengernyitkan alis matanya, setelah melirik Thiat Tiong-tong sekejap, serunya sambil ber paling.

   "Kiam-pek, kenapa kau tidak mengundang.... nyonya itu untuk ikut bersantap...."

   Belum selesai dia berkata, Hek Seng-thian sudah lari keluar.

   "Sungguh aneh"

   Gumam Hay Tay-sau dengan kening berkenyit.

   "sejak kapan dia mencemaskan bini orang yang tidak ikut bersantap, ini namanya kaisar tidak gelisah justru sang thaykam yang panik"

   Siapa tahu belum selesai dia berkata, Pek Seng-bu sudah ikut berlarian pula meninggalkan ruangan.

   Suto Siau meski lebih dapat mengendalikan diri dan sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya, namun kelihatan sekali kalau wajahnya berubah.

   Tentu saja ke tiga orang ini kuatir Un Tay-tay dengan membawa harta karun melarikan diri terlebih dulu, sementara Bi lek hwee dan Hay Tay-sau sekalian sama sekali tidak tahu duduknya persoalan, tentu saja mereka sangat keheranan setelah melihat kegugupan ke tiga orang itu.

   S Setelah mendeham berapa kali, Suto Siau berbisik ke sisi telinga Thiat Tiong-tong.

   "Saudara Thiat, harta karun itu apakah kau gembol dalam sakumu?"

   Thiat Tiong-tong termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya ketus.

   "Bila kau jadi aku, akan kau simpan dimana barang-barang itu? Mana ada tempat yang jauh lebih aman daripada disisi diri sendiri?"

   Suto Siau tertegun, akhirnya sambil menghentakkan kakinya dia berseru.

   "Waah, kalau begitu runyam sudah urusannya!"

   Buru-buru dia beranjak dari tempat duduknya dan ikut lari keluar dari ruangan. Tapi baru setengah jalan, dia sudah menghentikan kembali langkahnya. Melihat itu Thiat Tiong-tong segera berseru.

   "Aku sudah tidak punya tempat untuk dituju, rasanya kau tidak perlu menjaga disisiku lagi"

   Suto Siau segera mengerdipkan matanya memberi kode kepada Phoa Seng-hong, kemudian baru melanjutkan kembali perjalanannya keluar dari ruangan.

   Perlu diketahui, ke tiga orang ini menganggap harta karun adalah segala-galanya, oleh sebab itu persoalan yang lain mereka anggap sudah tidak penting lagi.

   Li Lok-yang dan Hay Tay-sau sekalian, hanya bisa saling berpandangan dengan mulut melongo.

   Sambil menggebrak meja Bi lek hwee kontan mengumpat.

   "Permainan busuk apa yang sebenarnya sedang mereka bertiga lakukan? Benar-benar bikin hatiku mendongkol!"

   "Kalau memang ingin tahu, kenapa tidak segera menyusul mereka untuk memeriksa sendiri?"

   Sela Thiat Tiong-tong.

   "Aaah, benar juga! Lohu memang seharusnya menyusul ke sana!"

   Seru Bi lek hwee. Tanpa sadar Hay Tay-sau ikut pula beranjak pergi. Tiba-tiba Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, gumamnya.

   "Manusia mati karena harta, burung mati karena makanan, harta karun ku itu nampaknya akan merenggut beberapa lembar nyawa manusia lagi"

   Berubah hebat paras muka Li Lok-yang, cepat dia melompat bangun sambil berseru.

   "Sudah terlalu banyak manusia yang kukubur hari ini, aku tidak ingin terjadi pembunuhan lagi ditempat ini, Kiam-pek, ayoh ikut aku!"

   Belum selesai bicara, tubuhnya sudah melangkah keluar dari ruangan.

   Li Kiam-pek melirik Thiat Tiong-tong dan Phoa Seng-hong sekejap kemudian buru-buru keluar dari situ, ketika tiba diluar pintu, dia membisikkan sesuatu ke telinga anak buahnya, mungkin dia minta anak buahnya untuk memperhatikan gerak-gerik ke dua orang itu.

   Maka saat ini dalam ruangan hanya tersisa Thiat Tiong-tong dan Phoa Seng-hong dua orang.

   "Jadi kau diperintahkan mereka untuk mengawasi aku?"

   Tanya Thiat Tiong-tong kemudian.

   "Cayhe hanya ingin menemani hengtay"

   "Hmm, sekarang kau menjual tenaga untuk mereka, tunggu saja ketika mereka berkeinginan untuk melenyapkan biang keladi dari semua peristiwa ini, aku kuatir tidak ada orang lagi yang mau menjual tenaga untukmu"

   Phoa Seng-hong tersenyum.

   "Aaah, belum tentu begitu"

   Jelas antara dia dengan Hek Seng-thian, Pek Seng-bu sekalian sudah ada perjanjian khusus sehingga dia nampak begitu tenang.

   "Jangan lupa"

   Kata Thiat Tiong-tong lagi.

   "Kiu cu Kui bo sedang menunggumu setiap saat, kau pun jangan lupa kalau aku memiliki kekuatan yang bisa mengundurkan kekuatan Kiu cu Kui bo dari sini"

   Phoa Seng-hong tertunduk sambil termenung, tapi wajahnya sudah sedikit berubah, lewat sejenak kemudian tiba-tiba dia mendongak sambil berkata.

   "Apa yang kau inginkan dariku? Coba dijelaskan lebih dulu"

   "Jika kau bersedia bekerja sama denganku, bukan saja selanjutnya tidak ada ancaman jiwa bahkan dengan kesempatan ini kau bisa mendapat nama serta keuntungan materi secara bersamaan"

   "Benarkah ada keuntungan semacam ini didunia ini? Apa yang harus kulakukan?"

   "Asal kau bersedia mengenakan topeng kulit manusia yang kubeli dengan harga mahal ini, kemudian mengenakan juga pakaianku, persoalan yang lain bisa dihadapi menurut keadaan"

   "Apa yang harus kuperbuat?"

   Tanya Phoa Seng-hong dengan mata terbelalak lebar.

   "Perawakan tubuhmu sembilan puluh persen mirip tubuhku, asal kau bisa mengatakan alasan yang tepat, enggan melepaskan topengmu, mereka pasti tak dapat mengenalimu lagi"

   "Perawakan badan boleh mirip, tapi suaraku..."

   Thiat Tiong-tong segera tersenyum.

   "Padahal logat suaraku sekarangpun bukan suara asli, karena sudah kubuat-buat, jadi setiap orang dapat menirukannya. Lagipula aku memang tidak suka bicara, asal kau kurangi pembicaraan yang tidak penting maka semuanya akan beres"

   Phoa Seng-hong kembali tertawa dingin, katanya.

Kuda Binal Kasmaran -- Gu Long Rahasia Mo-kau Kaucu -- Khu Lung Rase Emas Karya Chin Yung

Cari Blog Ini