Ceritasilat Novel Online

Munculnya Seorang Pendekar 18


Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Bagian 18



Munculnya Seorang Pendekar Karya dari Tjan Id

   

   Begitu hatinya tergerak lalu dia berkata, yang maksudnya untuk menganjurkan, agar supaya Suteenya Pantenpur bersama Kinlungo terus melawan.

   pada Hui Taysu, sedangkan dia sendiri akan pergi melihat luka Suhengnya Progota.

   Hui Taysu yang mendengarnya dari samping, dia merasa sangat aneh sekali, karena dia tidak mengetahui apa kata lawannya itu.

   Begitu Kinposuf berkata begitu, lalu dia berlompat kearah tempat antara Peng Hoan Siangjin dan Progota mengatur pernapasan mereka.

   Hui Taysu yang menampak hal itu menjadi gugup sekali, dia kira bahwa lawan itu ingin mencelakakan rekannya, maka dengan menggereng keras dia segera mengejarnya.

   Kinposuf tidak mengetahui bahwa Hui Taysu salah tampa terhadapnya.

   Paderi perempuan itu dengan sepasang kakinya yang ditotolkan ketanah, badannya segera melesat maju dengan lincahnya, hingga dengan sekejap saja dia sudah sampai ditempat Progota mengatur pernapasannya.

   Hui Taysu yang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang hebat sekali, ditambah lagi dengan gerakan Kit Mo Sin Pouw-nya, ternyata sudah terbilang luar biasa sekali, tapi jika dibandingkan dengan kepandaian Kinposuf, ternyata dia masih kalah sedikit, hingga ini telah menyebabkan hatinya menjadi terkediut sekali.

   Kinposuf yang melihat lawannya mengejar, lalu dengan suara dingin dia berkata.

   "Kau kira aku ini orang macam apakah? Masakah aku mau mencelakai orang yang sedang terluka dan tengah mengatur pernapasannya?"

   Tapi dalam hatinya diam-diam dia berpikir.

   "Ilmu Kit Mo Sin Pouw milikku didunia ini tidak ada keduanya, tapi jika membicarakan tentang kecepatannya, ternyata aku masih kalah terhadapnya."

   Hui Taysu yang melihat orang asing itu melompat kearah Suhengnya, diapun mengetahui bahwa dirinya sudah salah terka. Justeru pada saat itu Peng Hoan Siangjin telah berkata pada Kinposuf.

   "Kau jangan keburu bergembira terlampau pagi! Apakah kau kira kau akan dapat menundukkau kepandaian orang-orang Tiong-goan? Tunggulah sebentar lagi .. hm .."

   Dengan ini, terang sekali bahwa ia belum sembuh seratus persen, sedangkan napasnya masih belum teratur kembali. Kinposuf tidak melayaninya, maka Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula.

   "Pertempuran ini dinamakan pertempuran Hoa Ie (pertempuran antara bangsa Tionghoa dengan orang asing). Tunggulah sebentar lagi, siapa yang akan lebih unggul dalam pertempuran ini!"

   Sehabis berkata begitu, dia lalu memejamkan kembali matanya untuk mengatur pernapasannya.

   Sekarang marilah kita balik menilik pada Lie Siauw Hiong, yang bersama-sama Bu Heng Seng naik perahu dengan pesatnya menuju kepulau Siauw Ciap Too.

   Pulau Siauw Ciap Too terpisah dengan pulau Bu Kek Too tidak terlampau jauh.

   Kedua orang ini dengan menggunakan tenaga yang hebat, telah membuat perahu mereka laju dengan pesatnya dan bekas perahu mereka lewat meninggalkan satu garis yang memanjang.

   Oleh karena urusan ini bersangkut-paut erat sekali dengan bangsa dan seluruh dunia persilatan di Tionggoan, Bu Heng Seng tidak berani berlaku ayal-ayalan, dengan menggunakan tenaga-dalam yang hehat sekali, dia telah membikin perahu mereka laju sedemikian pesatnya, sehingga tidak lama antaranya pulau Siauw Ciap Too sudah terbayang dengan samar-samar didepan mata.

   Bu Heng Seng bersama-sama Peng Hoan Siangjin dan Hui Taysu sekalipun diluaran orang menjuluki mereka sebagai 'Tiga Dewa Dunia', tapi diantara mereka jarang sekali berhubungan satu sama lain.

   Apa lagi dengan Hui Taysu, Bu Heng Seng ini setengah tapakpun belum pernah dia menginjakkan kakinya dipulau Siauw Ciap Too, maka pada saat dia melihat pulau itu sudah dekat, tidak terasa lagi dia lalu menggunakan matanya memandang dengan lebih cermat.

   Setelah mereka mendarat, dengan cepat mereka lalu membentangkan Keng-sin-keng mereka dengan sehebat-hebatnya.

   Sekalipun Keng-sin-kang Lie Siauw Hiong termasuk kelas satu dan hebat sekali, tapi jika dibandingkan dengan Keng-sin-keng Bu Heng Seng, dia masih kalah beberapa tingkat, maka Bu Heng Seng karena ingin lekas-lekas sampai kedalam pulau, maka dengan cepat dia cekal lengan pemuda kita, begitulah kedua orang ini lalu berlari-lari masuk kedalam pulau Siauw Ciap Too itu.

   Pulau Siauw Ciap Too ini sekelilingnya kurang lebih hanya sepuluh lie saja.

   Dengan mengandalkan kepandaian kedua orang yang dapat berlari pesat ini, tidak antara lama mereka telah sampailah didepan barisan kuno itu.

   Sekonyong-konyong dari celah-celah batu itu terdengar dua kali siulan panjang, yang agaknya dilepaskan oleh orang yang sudah mencapai tingkat tenaga-dalam yang sempurna sekali.

   Mendengar suara siulan itu, diam-diam Bu Heng Seng berpikir.

   "Teranglah suara siulan itu adalah yang dilepaskan oleh dua orang yang baru sembuh dari pernapasannya yang menyesak, hingga tentu sekali diantara kedua rekannya ini ada salah seorang yang telah terluka .."

   Sambil berpikir begitu, lalu dia enjot badannya naik keatas puncak batu tersebut.

   Suara itu memang tepat seperti yang diduga oleh Bu Heng Seng, yaitu masing-masing dilepaskan oleh Peng Hoan Siangjin dan kepala pendeta asing yang bernama Progota.

   Kedua orang ini ternyata mempunyai tenaga dalam yang hampir bersamaan hebatnya, karena terbukti dengan saling susul-menyusul mereka sembuh dalam waktu yang hampir bersamaan pula.

   Setelah mereka berdiri kembali, lalu mereka saling memandang pada satu sama lain, seakan- akan mereka ingin segera menelan lawannya saja.

   Disebelah sana terdapat Hui Taysu bersama lawan- lawannya, yaitu Kinposuf, Kinlungo dan Pantenpur yang telah mengeroyoknya, tapi Hui Taysu yang menggunakan gerak kaki Kit Mo Sin Pouw, ternyata masih tetap dapat mempertahankan dirinya.

   Setelah kedua lawan keras ini sembuh saling susul, Kinposuf yang kuatir Suhengnya bukan menjadi lawannya dari Peng Hoan Siangjin, maka dia telah perintahkan muridnya Kinlungo untuk membantu Supeknya itu.

   Sekonyong-konyong saja dari atas batu itu tampak melayang sesosok tubuh manusia, hingga Kinlungo yang menampak hal itu menjadi terkejut sekali, dan diwaktu mendapatkan ada dua orang yang tengah berlari-lari mendatangi kesitu, buru-buru dia menyerang keatas.

   Andaikata dia ini orang lain, mungkin sekali dia tidak akan sembarangan menyerang, karena dia terlebih dahulu harus menyelidiki, apakah orang-orang yang datang itu kawan atau lawan.

   Tapi dia kini telah mengetahui, bahwa dirinya adalah orang asing, maka sudah tentu saja orang yang datang itu pastilah kawan musuhnya.

   Oleh karena itu, begitu dia melihat bayangan orang, dia segera menyerang dengan tidak banyak bicara lagi.

   Bayangan dimuka yang datang memberi pertolongan pada Peng Hoan Siangjin, bukan lain daripada Bu Kek Toocu Bu Heng Seng, yang dengan sekali miringkan tubuhnya saja dia sudah berhasil meloloskan diri dari penyerangan Kinlungo.

   Sedangkan orang yang datang belakangan, adalah Lie Siauw Hiong, yang berbeda daripada Bu Heng Seng yang hanya mengelitkan serangan orang, melainkan dengan tidak sungkan-sungkan lagi dia segera balas menyerang lawannya, hingga dengan keras dia telah sambuti serangan pukulan lawannya.

   Ketika menerima pukulan itu, Kinlungo jadi terdesak mundur karena kerasnya pukulan pihak lawannya.

   Dan tatkala mengenali bahwa lawannya ini adalah Lie Siauw Hiong, yang tempo hari telah mengalahkannya diruangan Bu Wie Thio, hatinya menjadi terkejut, karena, dengan sesungguhnya, lawannya ini kini sudah bertambah maju ilmu kepandaiannya.

   Bu Heng Seng maju terus.

   Sesampainya didepan Progota, dia segera berseru.

   "Sambutlah seranganku!"

   Sambil berkata begitu, dia sudah memukulkan kepalannya.

   Sekalipun Progota tidak mengerti perkataan 'sambutlah seranganku', tapi ketika mendengar angin kepalan lawannya itu, dia sudah tahu bahwa lawannya datang untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya.

   Dia yang memang sangat angkuh sekali, diam-diam jadi tertawa dingin dan berbareng menyambuti juga serangannya lawan itu.

   Sementara Bu Heng Seng yang mengetahui lawannya bersikap sombong, dengan tertawa dingin lalu herseru.

   "Hmmm, sungguh lihay sekali pukulanmu!"

   Sehabis berkata demikian, dia segera melancarkan serangan susulannya.

   Progota mimpipun tidak pernah, bahwa dibelakangnya datang pula seorang lawan yang amat tangguh, sedang kepandaian maupun tenaga-dalamnya tidak berada disebelah bawahnya.

   Oleh karena tadi dia menganggap ringan terhadap lawannya, maka kini dia telah kena terdesak, kemudian dengan membalikkan badannya dia berdiri berhadap-hadapan dengan Bu Heng Seng.

   Progota yang diluar dugaannya telah menderita kerugian, tidak terasa lagi dari malu dia berubah menjadi sangat gusar, hingga sambil menggereng keras dia telah melancarkan pula serangannya dengan dua pukulan sekaligus.

   Waktu kedua pukulan itu saling beradu kembali, Bu Heng Seng hanya tampak sedikit tergoncang badannya, sedangkan Progota menjadi sempoyongan dan hampir saja jatuh terlentang, maka dengan tidak terasa hatinya menjadi terkejut tidak kepalang dan dengan diam-diam berkata pada dirinya sendiri.

   "Sungguh tidak dapat dipikirkan dari dimuka, bahwa dipulau liar yang terpencil ini terdapat tiga manusia yang berkepandaian sangat tinggi serta luar biasa lihaynya! Oleh sebab ini, nama Heng Hoo Sam Hut (Tiga Budha dari Sungai Gangga) mungkin juga akan tersapu bersih pada malam ini juga .."

   Berpikir sampai disitu, tidak terasa lagi dia merasa sesak pernapasannya. Disebelah sana Peng Hoan Siangjin terdengar berseru.

   "Loo-tee, banyak tahun tidak saling berjumpa. Sungguh kau pandai sekali memberi pertolongan yang berarti .."

   Bu Heng Seng dengan sikap sungguh-sungguh dan tertawa lalu menjawab.

   "Siangjin terlampau memuji .."

   Memang dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Peng Hoan Siangjin.

   Waktu orang tua itu merayakan ulang tahunnya yang keseratus dua puluh tahun, dia memberi bingkisan Kim dari besi, dan sekalipun pada hari-hari hiasa mereka jarang bertemu satu sama lain, tapi hubungan mereka cukup mesra dan hangat.

   Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula.

   "Hari ini kita tidak boleh sekali-kali kehilangan nama .."

   Sekalipun kata-kata itu diucapkan pada Bu Heng Seng, tapi maksud sebenarnya adalah ditujukan pada Hui Taysu untuk membangkitkan semangat bertempurnya. Kemudian sambil tertawa besar lagi-lagi ia telah melanjutkan perkataannya.

   "Loo-tee, kau lebih baik hadapi orang yang mukanya berkisut-kisut, agar supaya kita bisa bertempur dengan satu lawan satu .."

   Orang yang dimaksudkan dengan muka penuh berkisut- kisut oleh Peng Hoan Siangjin ialah Pantenpur.

   Karena dengan begitu, dia ingin bertempur dengan lawan-lawannya sambil mengikuti urutan seperti juga dengan saudara- saudaranya, yaitu dia sebagai kepalanya menghadapi Progota, Hui Taysu menghadapi pemimpin kedua dari pendeta asing gurunya Kinlungo, yakni Kinposuf, sedangkan Bu Heng Seng sebagai saudara yang termuda harus menghadapi lawannya yang ketiga, yaitu Pantenpur, hingga dengan demikian, barulah tepat dengan urutannya.

   Sambil tertawa tawar Bu Heng Seng lalu berkata.

   "Ha, kau sungguh baik hati sekali."

   Setelah berkata demikian, dia lalu meninggalkan lawannya dan menghampiri simuka berkisut Pantenpur.

   Peng Hoan Siangjin kini melihat bahwa mereka telah mendapat lawan-lawan yang tepat, maka sambil menengadahkan kepalanya ia tertawa besar, dan saking kerasnya suara tertawanya itu, sehingga menyebabkan batu- batu gunung pada berkeretakan, kemudian dia berteriak.

   "Maju!"

   Dengan kata-kata itu ia telah mendahului menyerbu Progota.

   Hui Taysu dan Bu Heng Seng pun sudah lantas turun tangan juga menghadapi lawannya masing-masing.

   Lie Siauw Hiong yang menyaksikan keenam ahli silat yang beraksi dengan secara hebat ini, dia menjadi berdiri terpekur dengan mulut ternganga.

   Sementara Kinlungo yang sangat geram terhadap kekalahannya dengan Lie Siauw Hiong tempo hari, dengan sengitnya lalu menyerang lawannya dengan bertekad bulat untuk menebus kekalahannya tempo hari.

   Didalam hati dia gemas sekali terhadap pemuda kita, maka kalau seumpama dia mempunyai kemampuan, dia ingin telan saja bulat-bulat lawannya ini.

   Lie Siauw Hiong yang dibuat terkejut oleh serangannya ini, dengan lekas dia tarik kaki kirinya, sedangkan tangan kanannya menyambuti serangan lawannya, hingga dengan mengeluarkan suara yang sangat keras atas beradunya kedua pukulan tersebut, Lie Siauw Hiong terpukul mundur sehingga setengah langkah jauhnya.

   Tapi meski demikian, Kinlungo merasa terkejut tidak kepalang, karena dia merasa jika dibandingkan dengan satu bulan yang lalu, tenaga-dalam pemuda kita sudah bertambah maju tidak sedikit.

   Atas beradunya kedua pukulan ini, telah membuat Lie Siauw Hiong insyaf, bahwa tenaga-dalamnya lebih menang sedikit jika dibandingkan dengan lawannya.

   Oleh karena itu, tanpa sungkan-sungkan lagi dia lalu menyerang tiga kali dengan berturut-turut.

   Ketiga pukulan Lie Siauw Hiong ini tampaknya ringan sekali, tapi sebenarnya mengandung kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, maka Kinlungo yang menampak serangan lawannya hampir mencapai dadanya, buru-buru dia ubah kepalannya menjadi lurus sehingga merupakan cakar, dia menangkap nadi pemuda kita, disamping itu, setelah melihat lawannya berkelit dari cakarannya ini, dia teruskan pundak kanannya membentur ubun-ubun lawannya.

   Lie Siauw Hiong tidak menyangka, bahwa lawannya dapat mengeluarkan siasat seaneh itu, maka untuk sesaat dia tidak berdaya untuk memecahkan serangan lawannya itu, hingga terpaksa dia menggunakan gerak kaki Kit Mo Sin Pouw dari Hui Taysu untuk membebaskan diri daripada serangan lawan tersebut.

   Dengan kedengaran suara "creng"

   Yang nyaring sekali, pemuda kita sudah mencabut pedangnya.

   Kinlungo yang melihat lawannya mencabut pedang, kemarahannya menjadi memuncak, hingga diapun segera meloloskan ikat pinggangnya yang panjang itu.

   Dengan ganasnya Lie Siauw Hiong lalu menusuk perut lawannya, tapi karena angkin Kinlungo lebih panjang bentuknya, maka sekalipun dia diserang lebih dahulu, senjatanya telah sampai lebih dahulu daripada lawannya, sehingga angkin itu meluncur lurus dan keras untuk balas menusuk kening pemuda kita.

   Lie Siauw Hiong tidak menjadi gentar atau mundur akan serangan lawannya ini, hanya ia menundukkan sedikit kepalanya, kemudian balas menyerang lawannya sebanyak lima jurus, yang semuanya itu menggunakan ilmu Kiu-cie- kiam-sek yang lihay sekali.

   Permainan angkin Kinlungo tak berbeda dengan naga yang bermain-main diantara awan, tapi kadang-kadang diwaktu dia memutarkan angkinnya itu, dia masih sanggup memunahkan serangan dahsyat dari pemuda itu! Begitulah empat pasang jagoan tingkat atas ini saling bertempur diatas pulau Siauw Ciap Too ini dengan secara mati-matian.

   Matahari kini sudah mendoyong kebarat, sehingga bayangan mereka tampak menjadi semakin kecil.

   Lie Siauw Hiong yang bertempur dengan Kinlungo, ternyata sebelum sampai seratus jurus, mereka sudah menghentikan pertempuran itu, karena mereka tampaknya sangat tertarik oleh pertempuran dahsyat yang dilakukan oleh kakek guru mereka.

   Lie Siauw Hiong sambil menenteng pedangnya, dia mencurahkan perhatian sepenuhnya atas pertempuran tersebut.

   Lebih-lebih karena Peng Hoan Siangjin dan Hui Taysu pernah menurunkan pelajaran kepadanya, maka Siauw Hiong yang menyaksikan jurus-jurus hebat dan aneh yang dilancarkan oleh kedua gurunya ini, semangatnya untuk belajar lebih jauh jadi semakin terbangun, sehingga ia memandang pada gurunya dengan memusatkan seluruh perhatiannya.

   Tempo hari waktu menyaksikan pertempuran antara Peng Hoan Siangjin dengan Hui Taysu, Lie Siauw Hiong telah berhasil memperoleh kemajuan yang tidak sedikit.

   Pada saat ini ketika melihat kedua gurunya bertempur dengan tiga pendeta asing ini, diapun semakin bertambah maju saja serta luas penglihatannya atas jalannya pertempuran-pertempuran itu.

   Peng Hoan Siangjin kadang-kadang tampak dengan sebat dan tangkasnya mengubah serangannya dengan secara lincah dan tepat, yaitu serangan-serangannya itu kadang- kadang diubah dari telapak tangan menjadi serangan- serangan dengan jari tangan dan begitu seterusnya, dia telah menggunakan ilmu 'Tay-yan-sip-sek'nya, sedang paling akhir diapun telah menggunakan serangannya dengan ilmu yang baru diciptakannya, yaitu 'Kong-kong-kun-hoat'.

   Pada saat ini dia telah berhasil memperoleh kemajuan yang pesat, berhubung tipu-tipu yang aneh serta tidak dimengerti olehnya, kini dia menjadi paham dengan melihat permainan Peng Hoan Siangjin ini.

   Kinlungo yang bersamaan juga menyaksikan jalannya pertempuran, diapun memperoleh kemajuan yang pesat pula dengan menyangkok pelajaran gurunya.

   Sekonyong-konyong Kinlungo yang baru saja mendapat menyangkok pelajaran baru dari Progota sambil berteriak dia sudah lantas menggunakannya dengan menyerang belakang pemuda kita, hingga Lie Siauw Hiong yang pada saat itu sedang asyik menyaksikan satu jurus yang paling aneh dari Peng Hoan Siangjin, dengan tiba-tiba saja dia rasakan punggungnya ada angin keras menyamber kejurusannya, tapi tanpa membalikkan badannya lagi ia sudah lantas mengibaskan tangannya kebelakang untuk menyampok serangan Kinlungo, sehingga lawannya dapat didesak mundur sampai setengah tombak jauhnya.

   Daya tangkisan yang dilakukan oleh Lie Siauw Hiong ini, justeru adalah tipu yang baru saja dia petik dari Pang Hoan Siangjin.

   Kedua orang ini setelah serang-menyerang sejurus lamanya, mereka lantas berhenti pula.

   Mereka masing-masing lalu memperhatikan pula atas jalannya pertempuran yang amat tegang ini, dengan mana kedua orang ini tanpa disadari sudah berhasil memetik banyak sekali jurus-jurus yang aneh serta hebat dari guru mereka masing-masing.

   Tapi bagi Lie Siauw Hiong keadaannya jauh lebih menguntungkan lagi bagi dirinya, karena dia yang baru saja diwariskan pelajaran silat yang hebat oleh kedua orang gurunya, tempo hari banyak juga bagian dan jurus-jurus yang belum dapat dia pahami dengan jelas, tapi sekarang dia sudah berhasil memahaminya dengan jelas dan tepat, sehingga baginya sangat menguntungkan sekali.

   Begitulah ketiga orang tokoh dalam persilatan didaerah Tiong-goan itu sudah melakukan pertempuran yang amat seru sehingga melampaui seribu juru lebih, tapi pemuda kita seakan-akan tidak mengetahuinya, sedang Kinlungo jadi bertambah jengkel dan jerih, karena asal saja dia menyerang diri pemuda kita dengan menggunakan tipu-tipu baru yang dia petik dari gurunya, bukan saja serangannya itu tidak berhasil menemui sasarannya, malahan disaban waktu pemuda kita menangkis, dia rasakan tenaga tangkisan itu semakin bertambah hebat saja Hal mana, sudah tentu saja telah membuat dia terkejut dan jerih, hingga sekalipun dia sendiri merasa bertambah maju, tapi kemajuannya itu tidak dapat menyusul begitu cepat seperti kemajuan yang diperoleh pemuda kita itu.

   Dalam pada itu Bu Kek Toocu yang bertempur dengan Pantenpur, sudah berlangsung pula dengan sehebat- hebatnya.

   Kedua orang ini masing-masing telah melancarkan serangan-serangan dengan tipu-tipu yang sangat lihay untuk menjatuhkan pihak lawannya.

   Bu Heng Seng sekalipun umurnya paling muda jika dibandingkan dengan rekan-rekannya, tapi dia yang pernah makan buah mustajab, tenaga-dalamnya telah menjadi semakin hebat, hingga jika dibandingkan dengan tenaga- dalam Peng Hoan Siangjin, boleh dikatakan tidak terpaut terlampau banyak, hingga walaupun Pantenpur telah menyerang dengan jurus-jurusnya yang lihay, sehingga sebanyak tujuh kali, tapi dia masih tetap tidak dapat berada diatas angin.

   Tatkala itu dia hanya mendengar Bu Heng Seng berteriak sambil memukul padanya dengan satu kepalannya! Pantenpur yang kini tengah berdiri atas sebelah kakinya diatas puncak batu gunung tersebut, ketika menampak lawannya menyerangnya dengan kepalan tunggalnya, buru- buru dia putarkan badannya, sebelah kakinya terputar disapukan kearah lawannya.

   Tapi sebelum tendangannya menemui sasarannya, anginnya sudah sampai dan membuat baju Bu Heng Seng berkibar-kibar tertiup oleh angin tendangan itu.

   "Seranganmu ini sungguh bagus sekali!"

   Seru Bu Heng Seng.

   Buru-buru dia apungkan badannya.

   Sepasang tangannya lalu disodokkannya kebawah bagaikan kilat cepatnya.

   Ketika lawannya coba menangkis serangannya ini, dengan menggunakan sebelah tangannya dia menggencet lawannya dengan tenaga yang sebesar-besarnya.

   Pantenpur dengan mengandalkan bhesinya yang kuat, dia coba menangkis serangan lawannya, hingga Bu Hong Seng yang menampak hal itu, menjadi terkejut dan dengan cepat dia ubah serangannya dengan tipu 'Keng-hong-it-piat' (burung Hong yang terkejut terbang berkelebat) sambil menyapukan kakinya dengan tendangan berantai kejurusan lawannya.

   Ternyata tindakan Bu Heng Seng dengan mengadakan tendangan berantai ini agaknya merupakan suatu tindakan yang gegabah, karena Pantenpur yang sudah melatih dirinya selama delapan puluh tahun, tanpa berpikir lagi dia sudah ulurkan jarinya dan coba menotok jalan darah 'Kong- sun-hiat' dikaki lawannya.

   Jalan darah 'Kong sun-hiat' ini terletak disambungan tulang kaki.

   Jika seseorang terkena totokan pada jalan darah tersebut, maka kakinya seketika akan menjadi cacat dan tidak dapat dipergunakan lagi untuk seumur hidupnya.

   Tapi Bu Heng Seng yang menampak keadaan yang berbahaya itu, tampaknya tidak menjadi bingung oleh karenanya.

   Dia hanya menekuk kakinya dan menendang lawannya dengan bagian atas telapak kakinya.

   Tendangan ini adalah satu serangan yang aneh dan berbahaya sekali bagi lawannya.

   
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan begitu, Pantenpur yang menotok tempat kosong, tidak sempat lagi menahan pukulannya sendiri yang tepat sekali mengenakan pada sepatu lawannya, sehingga badannya menjadi sempoyongan.

   Bu Heng Seng yang telah menggunakan serangan yang sangat berbahaya ini, benar dia telah berhasil dapat membebaskan dirinya, tapi dia tidak urung menjadi marah, maka dengan suara dingin dia berkata pada Pantenpur.

   "Bagus .. hmmmm .."

   Setelah berkata begitu, sekonyong-konyong saja dia teringat, bahwa lawannya ini tidak mengerti bahasanya, maka untuk mendengarnya pun percuma saja, hingga tidak terasa lagi dia menjadi tersenyum tawar.

   Bu Heng Seng tidak tinggal diam dan lantas dia mengenjot badannya melayang diangkasa, kemudian dari atas dia menyerang lawannya dengan tipu 'Thay-san-ap- teng' dengan secara dahsyat sekali.

   Pantenpur yang menyaksikan kepandaian lawannya sudah mencapai pada tingkat yang tertinggi, tiap-tiap serangannya senantiasa mengandung bahaya maut.

   Oleh karena itu, dia tidak berani memandang ringan terhadap lawannya, maka sambil memusatkan perhatiannya, dia berusaha untuk menghadapinya dengan tekun dan hati-hati.

   Dengan satu pukulan yang dahsyat, ternyata Pantenpur yang melihatnya hanya tertawa terbahak-bahak dan lalu dengan gerakan mengacip ia hendak memunahkan serangan lawannya dengan cara penangkisan yang mirip dengan cara bersilat orang Tionghoa dalam gerakan yang dinamakan 'Ciang-thian-pauw', atau petasan yang meledak meluncur keangkasa, yang kekuatannya cukup hebat dan dapat mematikan.

   Bu Heng Seng yang bertempur mati-matian dengan Pantenpur, kini merasakan ada suatu tenaga luar biasa yang menolaknya keatas sehingga tenaga pukulannya sendiri menjadi lenyap, sedangkan dirinya sendiri kena tertolak oleh pihak lawannya.

   Tatkala Bu Heng Seng melihat lawannya tergoncang sedikit, terang dia lebih rugi daripada dirinya sendiri, hingga tidak terasa lagi semangat bertempurnya menjadi berkobar- kobar oleh karenanya.

   Maka sambil tertawa terkekeh-kekeh dia lalu memusatkan kembali tenaga-dalam yang sehebat- hebatnya dan lagi-lagi dia menyerang dari atas pada lawan itu.

   Sementara Pantenpur yang mengetahui bahwa lawannya ingin mengadu kekerasan dengannya, jika dia terus mempertahankan cara bertempurnya seperti ini, maka dia sendirilah yang akan menderita kerugian yang besar, karena dirinya seperti juga paku yang terus-menerus dipukul kepalanya.

   Setelah berpikir demikian, ia segera putarkan kakinya dengan bersilat dalam jurus-jurus Pat-kwa.

   Dan berbareng dengan itu, bila ada kesempatan, diapun membalas menyerang kesebelah atas.

   Oleh karena sambil bertempur dia selalu mundur dan berputar-putar, maka desakan Bu Heng Seng dapat dia punahkan dengan cukup lincahnya.

   Dengan cara bertempur begini, Bu Heng Seng merasa senang sekali, maka sambil berteriak dia berkata.

   "Bagus, sambut lagi seranganku ini!"

   Perhatian yang diucapkan ini bukan dia tujukan pada lawannya, karena lawannya tidak mengerti bahasanya, melainkan dia tujukan pada pukulannya, yang kini sudah diperhebat seakan-akan batupun dapat dia hancur leburkan.

   Baru saja dia berkata begitu, Bu Heng Seng sudah melancarkan sepasang pukulannya yang dipecah kekiri dan kekanan dengan jurus yang disebut 'Siang-lui-koan-jie', atau sepasang geledek memekakkan telinga, dengan mana dia menyerang pelipis lawannya.

   Pantenpur buru-buru membentangkan tangannya untuk menangkis serangan lawannya; yang satu dirapatkan, sedangkan yang lainnya lagi dipencarkan, dengan begitu, diapun masih sempat melancarkan serangan dengan menotok jalan darah dilengan lawannya.

   Bu Heng Seng sudah menduga bahwa lawannya akan berbuat demikian.

   Dengan cepat dia tarik tangannya; tangan kirinya dipakai menjaga dadanya, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari dijulurkan merupakan sebuah kantung dengan cepatnya dia totok lawannya.

   Jurus ini adalah jurus terhebat yang sangat diandalkan oleh Bu Heng Seng dan disebut 'Pek-lok-koa-thai' (menjangan putih menggantung kantong), yang kekuatannya tak dapat diduga-duga.

   Dikatakan lambat tapi kejadiannya sangat pesat sekali, gerakan tangan kanan Bu Heng Seng yang cepat bagaikan kilat telah meluncur dan menotok jalan darah 'Sie-ceng-hiat' didada lawannya.

   Dalam sejarah peperangan ada pepatah yang.

   mengatakan.

   "Bila kita mengetahui titik kelemahan lawan, maka seratus kali kita bertempur, hasilnyapun seratus kali pula kita akan menang."

   Bu Heng Seng yang telah mengetahui bahwa lawannya pasti akan menyerang dengan berbareng terhadap dirinya, mula-mula dia menyerang dari tengah, lalu dari samping dia teruskan serangannya.

   Pantenpur tidak pernah menduga sampai disitu.

   Karena sepasang tangannya sudah dikeluarkan untuk menyerang lawannya, kini dia sudah tidak keburu lagi untuk menarik kembali pukulannya; dia hanya dapat menantikan kematiannya saja, tapi dengan tenaga- dalam sehebat yang dia miliki ini, dia tidak rela terima menyerah mentah- mentah.

   Begitulah sepasang kakinya lantas dipakai menyapu pada tempat dimana Bu Heng Seng akan menginjakkan kakinya kebumi.

   Pergerakan yang berbareng ini andaikata dilakukan oleh orang lain, tak mungkin dapat berhasil dengan sama baiknya, karena Bu Heng Seng bukan saja pada waktu itu sedang menyerang lawannya dan sebaliknya dia harus pula menghindarkan serangan balasan pihak lawannya, tapi toh dia masih dapat mengelitkan sapuan lawannya dan berbareng masih dapat melancarkan serangannya juga.

   Oleh sebab itu, Bu Heng Seng segera dapat melihat, bahwa serangannya ini sudah pasti akan berhasil, tapi sebaliknya Siauw Ciap Toocu yang sedang dikerubuti oleh dua lawannya, tampak sukar sekali memperoleh kemenangan, maka tidak terasa lagi hatinya menjadi gugup juga.

   Sekonyong-konyong dia rasakan dadanya menyesak, hawa aslinya seakan-akan sudah buyar, hingga tidak terasa lagi dia menjadi terkejut dan diam-diam dia batuk-batuk kecil, sudah itu buru-buru dia menghempos semangatnya pula.

   Bila dia tidak menghempos semangatnya masih tidak mengapa, tapi setelah dia lakukan usaha tersebut, dia rasakan dadanya sangat sakit sekali.

   Maka dengan mengeluarkan suara gedebuk badannya lalu jatuh kebumi.

   Pantenpur sebenarnya sudah tidak dapat menolong dirinya lagi, tapi dia telah ngotot tidak mau menyerah mentah-mentah.

   Sambil mementilkan jerijinya, dia serang tenggorokkan lawannya.

   Serangannya ini adalah tipu yang bagus sekali, karena jika lawannya mau menolong diri, dia akan mendapat kesempatan untuk meloloskan dirinya sendiri.

   Bu Heng Seng yang sudah kehilangan tenaga asalnya, kini ketika melihat lawannya menyerang tenggorokkannya, segera semacam tenaga otomatis keluar dengan sendirinya, dengan mana dia telah geser sedikit badannya sehingga terlolos dari serangan lawannya itu.

   Dengan mengeluarkan suara "sret"

   Serangannya Pantenpur telah jatuh ditempat kosong, sehingga dia hanya dapat menyentuh baju lawannya saja.

   Pantenpur tidak mengetahui, apa sebabnya Bu Heng Seng dengan secara tiba-tiba saja dapat beraksi demikian.

   Maka dengan tingkat dan kedudukan seperti dirinya, dia tidak mau maju mencelakai lawannya yang sudah tidak berdaya ini, oleh sebab itu, dia hanya berdiri disamping dengan terbengong.

   Kejadian ini, telah berhasil menghentikan masing-masing pihak yang sedang bertempur, Bu Heng Seng yang terjatuh ketanah tanpa dia sendiri mengetahui apa sebabnya, beberapa kali dia telah menghempos semangatnya tapi senantiasa tidak berhasil, hingga saking gugupnya dahinya tampak keluar keringat dingin.

   Peng Hoan Siangjin yang menghampirinya, lalu meraba- raba nadinya.

   tapi dia tak mendapatkan sesuatu yang aneh dan luar biasa.

   Keadaannya normal saja, maka tidak terasa lagi diapun tidak berdaya.

   Hal mana, telah membuat Hui Taysu dan Lie Siauw Hiong pun menjadi gugup juga.

   Sedangkan pihak lawan mereka, yaitu tiga pendeta asing yang bernama julukan 'Heng Hoo Sam Hut' bersama Kinlungo, juga berdiri dengan terlongong-longong, kecuali Kinposuf yang otaknya dapat berpikir dengan cepat.

   Diantara tiga kakak beradik seperguruan ini, hanya Kinposuf sendiri yang berotak paling cerdik, karena sekalipun dia adalah Suteenya Progota, tapi dalam merencanakan sesuatu, semuanya adalah hasil daya pemikirannya.

   Maka boleh dikatakan diantara ketiga kakak beradik ini, dialah yang menjadi otaknya.

   Dia yang merasa ragu-ragu dan curiga, tidak dapat mengambil keputusan yang pasti, hanya dalam hati saja dia tidak habis berpikir.

   "Pemuda tampan seperti anak sekolah setengah umur ini, mengalami kejadian apakah sebenarnya? Melihat caranya dia jatuh bagaikan seorang yang ayan, maka andaikata disaat ini kita menyerbu mereka, .. hmmm .."

   Satu pikiran datang melintang dikepalanya, sedangkan dimukanya terbayang satu roman yang sangat licik sekali, tapi dia tidak teruskan jalan pikirannya, hanya berkata pada dirinya sendiri.

   "Hanya, andaikata kita menggunakan kesempatan ini untuk menyerang mereka, paling banyak pemuda setengah umur seperti anak sekolah ini saja yang akan mampus, sedang kedua pendeta wanita dan laki-laki itu juga pasti tidak mau tinggal diam saja, andaikata kita memaksa menyerangnya. Hmm, hal ini pasti akan menghilangkan muka kami saja .."

   Karena harus diketahui, sekalipun biasanya orang sukar sekali berurusan dengan Heng Hoo Sam Hut ini, tapi biasanya mereka sangat menyayang sekali terhadap angkatan muda yang penuh bakat dan cerdas dalam memahami pelajaran bugee.

   Selanjutnya karena tidak dapat mengambil keputusan yang pasti, maka Kinposuf tampak agak ragu yang terbayang jelas pada muka dan matanya.

   Diseberang sana Tay Ciap Toocu kelihatan sangat gugup sekali.

   Dengan menyalurkan tenaga-dalamnya, dia alirkan itu pada diri Bu Heng Seng, tapi hasilnya ternyata malah lebih buruk, karena Bu Heng Seng tampak lebih menderita pula daripada semulanya.

   Hal mana sungguh diluar dugaannya Peng Hoan Siangjin.

   Hui Taysu yang berdiri disebelah pinggiran, dia sangat memperhatikan mukanya Bu Heng Seng yang sekarang tampak pucat, dan diantara kepucatannya ini, samar-samar terlihat warna biru.

   Maka Hui Taysu yang mempunyai pengalaman sangat luas, didalam hatinya segera menduga beberapa bagian, bahwa lukanya Bu Heng Seng ini tentulah disebabkan oleh kambuhnya luka-lukanya yang lama itu.

   Tapi satu hal yang dia merasa aneh, ialah mengapa Bu Heng Seng yang sudah mencapai tingkat tertinggi dalam kalangan Kang-ouw, sampai tidak mengetahui bahwa dirinya telah terluka? Kinposuf setelah berpikir sebentar, lalu dengan suara yang nyaring dia berkata.

   "Urusan hari ini, karena diantara kalian ada seorang yang sudah terluka terlebih dahulu, maka kami Heng Hoo Sam Hut tidak dapat menunggu lebih lama pula untuk melangsungkan pertempuran ini, .. hari ini .."

   Belum lagi dia selesai mengucapkan perkataannya, Tay Ciap Toocu yang mengetahui maksudnya, karena diapun insyaf bahwa lawannya tidak dapat pergi begitu saja tanpa mendapat perkenan terlebih dahulu daripadanya, maka tidak terasa lagi dia menjadi tertawa terbahak-bahak.

   Kinposuf setelah berdiam sejurus, lalu dia melanjutkan perkataannya.

   "Mengenai kejadian hari ini, sampai disini saja kita akhiri. Kalianpun mempunyai pepatah pula yang mengatakan. 'Ceng San Put Kay, lok sui tiang liu' (gunung yang biru tidak berubah, air sungai yang kehijau-hijauan senantiasa mengalir untuk selama-lamanya, yang maksudnya hari masih banyak, lain waktu mereka ingin memohon pengajaran pula dari Tiga Dewa Diluar Dunia ini), oleh karena itu, untuk sementara kami ingin minta diri saja dari kalian .."

   Dia menggunakan bahasa Han dan bahasanya sendiri untuk menyampaikan kata-katanya ini, bahkan dengan tersenyum-senyum ia telah melambaikan tangannya dan mengajak kawan-kawannya meninggalkan pulau itu.

   Sambil tertawa dingin Hui Taysu tidak lupa bertanya.

   "Apakah kalian bisa keluar sendiri dari pulauku ini?"

   Mendengar perkataan lawannya ini, tidak terasa lagi Kinposuf jadi merasa tercengang sekali.

   Setelah dia memandang keempat penjuru, dia dapatkan barisan 'Kwie- goan-kouw-tin' ini benar-benar sangat luar biasa, hingga sekalipun mereka berdiri ditempat yang tinggi, mereka belum lagi dapat menentukan arah mana yang mereka akan ambil untuk keluar dari pulau itu.

   Kemudian dengan tertawa dingin Hui Taysu sudah mendahului mereka melesat kesebelah depan tanpa berkata- kata barang sepatahpun.

   Kinposuf dan kawan-kawan yang mengetahui, bahwa orang ini tengah memimpin mereka untuk keluar dari pulaunya ini, merekapun tidak berani omong besar pula, hanya mengikuti dari sebelah belakang untuk sama-sama keluar dari barisan kuno yang sangat luar biasa itu.

   Tay Ciap Toocu memandang pada bayangan kelima orang itu, sambil tertawa besar.

   Setelah bayangan kelima orang itu sudah berlalu jauh, barulah dia berhenti tertawa dan lalu bertanya kepada Bu Heng Sang.

   "Loo-tee, sebenarnya terjadi apakah atas dirimu?"

   Bu Heng Seng dengan keras kepala lalu menjawab.

   "Hal ini sesungguhnya terlampau aneh sekali, sampaikan aku sendiri tidak mengetahuinya, yaitu bahwa didunia ini ada suatu macam racun yang dapat berdiam lama dalam tubuh kita, tapi setelah sampai pada saatnya, akan terbit dengan sendirinya dan dengan secara tiba-tiba. Pernahkah Siangjin mendengar tentang hal itu?"

   Peng Hoan Siangjin lalu mengetuk-ngetuk kepala dengan jarinya sambil berpikir, kemudian dia berkata.

   "Jika kau tanyakan tentang lain hal, mungkin juga aku mengerti sedikit, tapi mengenai 'racun', aku sama sekali tidak mengerti .."

   Tapi sesaat kemudian ia telah berseru dengan sekonyong- konyong.

   "Benar, aku pernah mendengar tentang semacam racun yang dinamakan 'Pek-giok-toan-ciang' = racun berwarna hijau yang dapat dengan segera memutuskan usus. Racun ini memang mempunyai sifat keanehan seperti itu."

   Bu Heng Seng yang mendengar perkataan rekannya, diapun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata.

   "Racun 'Pek-giok-toan-tiang' itu apakah yang dalam kalangan Kang-ouw terkenal dengan racun hijau yang tidak berbau dan tidak berasa?"

   Peng Hoan Siangjin berteriak.

   "Benar, benar, apakah kau terkena racun tersebut?"

   Bu Hung Seng mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata.

   "Apakah Siangjin pernah mendengar tentang seseorang yang memperoleh nama julukan 'Giok Khut Mo'?"

   Peng Hoan Siangjin menjawah.

   "Oh, aku tahu, dialah si kepala perompak .."

   Para pembaca tentunya masih ingat, bahwa tempo hari Bu Heng Seng pernah berjumpa dengan anak buahnya Giok Khut Mo yang bernama Sang It Ceng ditengah lautan.

   Diwaktu itu tanpa ragu-ragu lagi Bu Heng Seng telah menenggak arak yang diberikan oleh orang tersebut.

   Bu Heng Seng lalu menceritakan segala kejadian ini pada rekannya, kemudian sambil menarik napas dia berkata.

   "Aku pikir bila dugaanku benar, dalam arak yang disuguhkan padaku itu tentulah ditaruhkan racun .. Hmm, sungguh keliru sekali aku telah tidak menurunkan tangan jahat terhadapnya tempo hari, sehingga dia memperoleh kebebasan dan berlalu dengan secara enak-enakan .."

   Peng Hoan Siangjin tidak berdaya dan tak dapat berbuat lain daripada menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

   Hari sudah mulai gelap, karena sinar matahari sudah mendoyong dan akhirnya selam diufuk sebelah Barat.

   Sisa sinar matahari yang terakhir tersorot pada laut dimana ombaknya beriak-riak pergi datang, sehingga tampak warna kemerah-merahan yang indah luar biasa, sedangkan sinar matahari yang terpantul pada batu-batu gunung, telah menyebabkan keadaan disitu separuh berwarna kemerah- merahan dan separuhnya lagi berwarna kebiru-biruan, yang mana telah menerbitkan pemandangan sangat indah disaat itu.

   Dengan diam-diam Bu Heng Seng telah coba mengatur pernapasannya, tapi setiap usaha yang dilakukannya itu senantiasa menemui kegagalan saja, bahkan dia merasakan bahwa racun yang berada di didalam tububnya itu telah mulai menunjukkan kelancaran bergeraknya, yang lambat- lambat menjalar keseluruh tubuhnya.

   Peng Hoan Siangjin tanpa berkata-kata barang sepatahpun tinggal tetap memandang kepadanya dari samping dalam keadaan tidak berdaya.

   Sekonyong-konyong saja suatu pikiran melintas dikepalanya Lie Siauw Hiong, hingga dengan muka penuh kegembiraan dan optimistis ia jadi berteriak tertahan.

   Tay Ciap Toocu sekalipun terbilang seorang yang luar biasa dalam kepandaian bugee, tapi terhadap soal racun dia sama sekali tidak mengerti.

   Tapi ketika Bu Heng Seng kena racun sangat berbisa dan luar biasa sifatnya, tentu saja ia tak berdaya untuk memecahkannya.

   Pada saat itu ketika dia lihat pemuda kita menunjukkan muka yang berseri-seri, tidak terasa lagi semangatnyapun terbangkitlah dan lalu dengan penuh semangat dia bertanya.

   "Apa? Apakah kau sudah berhasil menemui obat pemunahnya?"

   Lie Siauw Hiong lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi dengan nada yang riang dia menjawab.

   "Barang ini, aku kira tepat sekali untuk dicobanya."

   Sambil berkata begitu, dari dalam dadanya dia menarik keluar se

   Jilid buku, yang lalu dibeberkannya seraya berkata.

   "Dengan adanya buku ini, segala racun yang bagaimana lihaypun terdapat penjelasannya didalamnya .."

   Tampaknya buku itu adalah se

   Jilid buku yang ditulis sendiri oleh raja racun Kim It Peng dengan susah-payah.

   Tempo hari anak daranya Kim It Peng yaitu Kim Bwee Leng pernah menitipkan buku tersebut pada pemuda kita, buku itu tidak pernah terpisah dari badannya.

   Kesatu, karena dia telah berulang-ulang menjumpai peristiwa yang aneh, dan keduanya, karena dirinya mempunyai urusan yang mendesak dan penting, maka dia tidak mempunyai waktu yang senggang untuk melihatnya, sehingga seakan- akan buku tersebut terlupakan olehnya.

   Pada saat ini sekonyong-konyong saja otaknya teringat akan buku itu, maka dengan adanya buku racun itu, tidak disangsikannya lagi bahwa racun yang diderita oleh Bu Heng Seng itu pasti dapat dipecahkannya.

   Tay Ciap Toocu setelah menyambut 'Buku Racun' tersebut lalu dia lihat kulitnya terlebih dahulu sambil diejanya.

   "Tok Keng .. dikarang oleh Kim It Peng, oh, Kim It Peng?"

   Lie Siauw Hiong lalu melanjutkan perkataannya.

   "Kim Loo-cian-pwee tempo hari di See Liong Peng pernah dengan racun melawan racun untuk membinasakan Giok Khut Mo, buku ini adalah hasil jerih-payah orang tua itu yang telah mengarangnya .."

   Dengan tidak terasa lagi, Tay Ciap Toocu mengeluarkan suara teriakan tertahan. Lie Siauw Hiong lalu berkata pula.

   "Pengertian Kim Lo- cian-pwee dalam soal racun, didunia ini tidak ada tandingannya .."

   Setelah berkata begitu, lalu dia membalik-balik lembaran buku racun tersebut untuk mencari penjelasan dari berbagai racun yang tertulis didalamnya.

   Buku racun itu memang ternyata sangat lengkap sekali isinya, baik yang terdapat di Tiong-goan maupun yang terdapat dipenbatasan, setiap macam racun tumbuh- tumbuhan, racun ular, sampaipun racun pada barang- barang yang lainnya, seluruhnya diberi penjelasan yang sangat cermat dan jelas, sehingga ini telah membuat hati pemuda kita jadi terkejut dan mengagumi atas kemampuan yang sangat luar biasa dari Kim It Peng itu.

   Karena jika penjelasan yang tertera disitu dirasa masih kurang terang, lalu sengaja orang tua pencipta buku tersebut memberi gambar-gambar tambahan, sehingga Lie Siauw Hiong semakin melihat, dia merasa semakin tertarik saja oleh isi buku itu.

   Harus diketahui, bahwa Lie Siauw Hiong terhadap orang lain sangat simpatik sekali sikapnya, apa lagi memang sejak dilahirkan dia mempunyai bakat yang dalam dan semangat belajar yang tak kunjung padam.

   Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Semula dia kurang menaruh perhatian atas buku itu, meski dia sendiri tidak menganggap bahwa buku ilmu racun tersebut sebagai ilmu yang menyesatkan.

   Tapi sekarang setelah mengetahui betapa pentingnya buku itu, hatinya menjadi sangat tertarik, oleh karena itu, dia telah mengambil keputusan untuk mempelajari isi kitab tersebut dengan sebaik-baiknya.

   Begitu pikiran ini melintas dikepalanya dan mengambil keputusan yang pasti dia periksa isi kitab racun tersebut, tapi akhirnya tidak didapatkannya penjelasan tentang racun 'Pek-giok-toan-tiang' itu.

   Bu Kek Toocu dan Bu Heng Seng yang duduk tenang disitu, tampaknya dia tengah berusaha untuk mengatur jalan pernapasannya, mukanya tampak sudah agak wajar, tapi hal itu malah membikin gugupnya Peng Hoan Siangjin.

   Setelah berselang sejurus lamanya, Hui Taysupun sudah tampak balik kembali, pada saat itu Lie Siauw Hiong sudah hampir habis membaca buku racun tersebut, tapi dia masih tetap belum juga berhasil menjumpai nama racun 'Pek-giok- toan-tiang' tertera disitu.

   Dengan tergesa-gesa dia balikkan lagi beberapa lembar, dan didepan matanya buku racun ini tinggal satu lembar yang terakhir, sekonyong-konyong semangat Lie Siauw Hiong terbangkitkan, ternyata pada lembar terakhir itu tendapat kata-kata.

   "Penjelasan istimewa". Lie Siauw Hiong lalu berkata.

   "Giok Khut Mo jika meracuni Bu Heng Seng, tentulah racun yang dipergunakannya itu adalah racun yang hebat dan istimewa, dalam lembaran istimewa ini pasti terdapat penjelasannya .."

   Dengan hati-hati dia baca lembaran istimewa ini. Sekonyong-konyong emapt huruf besar muncul dihadapannya, dan empat huruf besar itu jika bukannya huruf 'Pek-giok-toan-tiang', masih ada huruf apakah lagi? (Oo-dwkz-oO)

   Jilid 36 Lie Siauw Hiong tanpa dapat mengendalikan dirinya lagi lantas berteriak.

   "Ada, ada, racun ini ternyata hebat sekali .."

   Selanjutnya diapun lantas membacakan lembaran istimewa itu dihadapan orang banyak.

   "Pek-giok-toan-tiang asalnya terbikin dari tumbuh-tumbuhan yang jarang sekali terdapat didaerah Tiong-goan. Tumbuh-tumbuhan ini hanya berdaun empat dengan berbunga ditengah- tengahnya, tidak berbuah, sarinya tumbuh-tumbuhan ini dapat .."

   Dengan cepat dia membaca lembar istimewa ini, tapi tampaknya dia malas untuk membaca keterangan yang bertele-tele dari penjelasan ini, hingga dia merasa lebih penting untuk mencari cara pengobatannya, maka lalu dilanjutkannya pembacaannya sebagai berikut.

   ".. sifat racun ini sangat kental sekali. Bersama-sama dengan 'Lip- pouw-toan-tiang' (nama racun yang juga berarti dengan cepat dapat memutuskan usus) Pek-giok-toan-tiang disebut 'Siang-toan-tiang' (sepasang racun yang sama keras dan hebatnya untuk memutuskan usus). Racun ini mempunyai sifat yang lambat sekali dalam menunjukkan keracunannya. Waktu racun itu sampai didalam tubuh seseorang, tidak perduli betapa hebatnya orang itu mempunyai tenaga-dalam dan kemahiran ilmu silat, tidak urung ia tak mampu menahan racun yang hebat tanpa tandingan didunia ini, sangat ganas dan berbisa sekali, maka ini terbilang sebagai racun yang paling ditakuti oleh setiap makhluk yang berjiwa .."

   "Cara pengobatannya, yang paling umum hanya ada satu .."

   Berkata sampai disitu, tanpa terasa pula suaranyapun menjadi lemah karena perasaan tegang telah memuncak pada dirinya dengan suara yang keras dan berkata lebih lanjut.

   "Hanya terdapat satu barang yang dapat menyembuhkannya, yaitu 'Ho-giok-peng-sim', barang ini hanya terdapat dan dihasilkan diatas puncak gunung Yan Jian San ..."

   Mendengar perkataan itu, muka Peng Roan Siangjin menjadi berubah dan diam-diam berpikir didalam hatinya.

   "Gunung Yan Jian San terpisah dengan pulau ini, jaraknya adalah ribuan lie, jangankan barang itu dibutuhkan dengan sangat, sehingga dalam waktu yang pendek tidak mudah didapatkannya, sekalipun kita dapat sampai kesana secepat mungkin, itupun belum tentu kita dapat segena menemukan barang tersebut .."

   Lalu sekonyong-konyong terdengar nada suara kegirangan dari Lie Siauw Hiong yang berkata lebih lanjut.

   "Masih ada cara pengobatan yang lainnya lagi .."

   Racun Pek-giok-toan-tiang ini adalah baru tahun yang lampau diketahui oleh Kim It Peng.

   Pada waktu itu dia telah mendapatkan kecuali Ho-giok-peng-sim, sesungguhnya dia merasa kekurangan akal untuk mencari pengobatan cara yang lainnya.

   Tapi Kim It Peng yang mengetahui bahwa Ho-giok-peng-sim sukar sekali didapatkan didunia ini, maka ia telah mencari daya pengobatan yang lainnya.

   Selama seumur hidupnya, ia selalu bergumul dengan racun-racun ditambah lagi dengan kecerdikan serta tenaga- dalam yang hebat sekali, dari itu, akhirnya ia telah mendapatkan cara pengobatan yang kedua, yaitu apa yang kini tertulis dalam lembaran istimewa itu.

   Lie Siauw Hiong dengan penuh kegirangan lalu menyebutkan cara tersebut, sehingga dengan tidak terasa lagi Peng Hoan Siangjin menyebut.

   "Ah!"

   Tampaknya cara pengobatan ini terlampau berbahaya sekali agaknya.

   Ternyata waktu racun ini mulai menjalar, sifatnya sangat cepat sekali.

   Asalkan racun ini belum menjalar sampai dipembuluh darah besar, dengan mengandalkan kepandaian yang sangat tinggi, seseorang akan dapat juga menggunakan tenaga dalamnya untuk mengeluarkan racun tersebut.

   Tapi racun 'Pek-giok-toan-tiang' ini jika sudah masuk kedalam tubuh seseorang, dia sudah lantas dapat masuk kedalam jalan darah yang terpenting, yaitu racun tersebut sudah menjalar dari kepala sampai kejantung.

   Jika ingin mengeluarkan racun tersebut, harus dimulai dari kepala terlebih dahulu.

   Peng Hoan Siangjin, Hui Taysu dan Lie Siauw Hiong yang sudah memiliki kepandaian yang sangat hebat dan tinggi, jika ingin mengeluarkan racun itu, haruslah dari kepala, yaitu 'Nie-wan-kiong, yang harus ditepok, halmana mereka bertiga cukup mengetahuinya.

   Jalan darah 'Nie-wan-kiong' adalah tempat berkumpulnya segala kekuatan yang merupakan motor otak yang bergerak kesegala anggota badan yang lainnya, apabila bagian itu ditepuk, racun itu akan buyar, tapi berbareng seluruh tenaga Bu Heng Seng akan hilang seperti orang biasa saja, hingga kesengsaraannya akan jauh lebih hebat lagi daripada semulanya.

   Jadi meski cara ini memang dapat dilakukan, tapi terlampau berbahaya bagi diri Bu Heng Seng, sehingga Peng Hoan Siangjin dan Hui Taysu yang mendengar keterangan begitu, tidak terasa lagi jadi terkejut dan mengeluarkan teriakan yang tertahan.

   Tempo hari waktu Kim It Peng berhasil menemui cara kedua ini, dia pikir dalam dunia ini sukar sekali ada orang yang mempunyai tenaga-dalam sehebat demikian, oleh karena itu, cara ini tidak mungkin dapat dilaksanakan, tapi dia toh menuliskan juga cara yang sulit ini dalam kitab racunnya itu, suatu tanda bahwa dia sudah menyelidiki segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya.

   Peng Hoan Siangjin dengan setulusnya hati memuji atas keluar biasaan Kim It Peng yang pengalamannya sangat luas dan dalam itu, sampaikan Hui Taysu sendiri juga merasa tunduk terhadapnya.

   Peng Hoan Siangjin dengan tertawa getir lalu berkata.

   "Lo-nie-po, hal ini merupakan satu soal yang sangat sulit, bukankah?"

   Hui Taysu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata.

   "Andaikata kita berdua mempersatukan kekuatan kita untuk melakukan pekerjaan ini, bagaimana?"

   Peng Hoan Siangjin menjawab.

   "Tidak mungkin, hal itu terlampau berbahaya sekali .."

   Hui Taysu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Lie Siauw Hiong segera mengetahui, bahwa itulah berarti yang kedua orang itu ingin turun tangan untuk menolong rekannya dengan bersama-sama pekerjaan ini, bila mungkin, lebih baik dilakukan oleh seorang saja, karena dengan begitu, bahayanya akan lebih kecil.

   Dia sendiri karena tenaga-dalamnya masih kalah jauh, maka tidak berdaya dan tak dapat berbuat lain daripada membungkam dalam seribu bahasa.

   Peng Hoan Siangjin sambil tertawa terbahak-bahak lalu berkata.

   "Ah, baiklah kita coba saja, Loo-nie-po, kau saja yang melakukannya."

   Hui Taysu menggelengkan kepalanya sambil berkata.

   "Dalam soal ini, kita tidak boleh berlaku sungkan-sungkan, lagi pula mengenai tenaga-dalam pin-nie masih kalah setingkat denganmu."

   Peng Hoan Siangjin tidak berkata apa-apa lagi. Sambil balikkan badannya dia berkata pada Bu Heng Seng.

   "Loo- tee, apakah kau rasakan baikan?"

   Sambil tertawa Bu Heng Seng lalu memotong perkataan orang.

   "Siangjin tidak usah berlaku gugup, aku Bu Heng Seng sekalipun tidak berguna, tetapi dalam penderitaan ini aku masih sanggup menahannya."

   Omongan itu terang adalah perkataan yang terlampau dipaksakan, dan pada nada perkataan terakhir sudah kedengaran bergemetaran.

   Sedangkan suara tertawanya itu semakin lama terdengar semakin lemah saja.

   Peng Hoan Siangjin yang mengetahui tabiat rekannya ini, sambil tertawa besar lalu berkata.

   "Loo-tee, sungguh kau hebat sekali .."

   Baru saja perkataannya ini habis diucapkan, lengan baju kanannya sudah bergerak dan ternyata dia sudah menepuk satu kali.

   Peng Hoan Siangjin dalam menepuk ini, dia sudah mengira-ngirakan berapa banyak tenaga yang harus dikeluarkannya, dan justeru perkiraan ini adalah yang paling sulit, karena jika tenaga itu keliru dipergunakannya sedikit saja, akan dapat menyebabkan rekannya mati seketika.

   Dia mengetahui, dengan kepandaiannya yang dimiliki oleh rekannya ini, waktu dia menepuk, dengan sendirinya rekannya pasti akan dapat mengeluarkan tenaga reaksinya, sekalipun bagaimana kecilnya juga untuk menahan tepokannya itu.

   Peng Hoan Siangjin mengetahui berat ringannya dalam melaksanakan tugas ini, dengan muka yang berseri-seri setelah tangannya menyentuh jalan darah 'Nie-wan' itu, lalu gerakan tangannya dilanjutkan dengan mengusap-usap dan menepuk-nepuk.

   Dan diwaktu melakukan tindakan terakhir ini, tenaga-dalamnya disimpan seluruhnya, sehingga waktu Bu Heng Seng merasakan kepalanya seperti juga tergoncang kena pukulan yang kemudian disusul dengan lenyapnya tenaga seluruhnya, maka racun yang bersarang dalam tubuhnya menjadi turut buyar turun kesebelah bawah bagian anggota badannya.

   Peng Hoan Siangjin tidak berani berlaku ayal-ayalan, sedang tangan kirinyapun tidak tinggal diam saja, kemudian dengan cepat dia sudah menotok dua jalan darah atas tubuh rekannya ini.

   Sekali ini jalan darah yang menjadi sasaran totokan itu adalah jalan darah 'Cie Kiong' dan 'Ciang Bun'.

   Maksud dari totokan ini, adalah untuk menyelidiki tentang perkembangan racun yang sedang buyar itu.

   Jangan dikatakan lagi terhadap pemuda kita Lie Siauw Hiong, sampaikan orang yang biasanya sangat alim dan mukanya sangat dingin bagaikan es seperti Hui Taysu, tanpa terasa lagi dia menunjukkan muka dan perasaan yang sangat tegang sekali, hingga ia menggigit kencang giginya dan memegang erat-erat kedua tangannya.

   Sedangkan Peng Hoan Siangjin sendiri dengan mata tidak berkesip memandang pada rekannya Bu Heng Seng, yang mukanya sekonyong-konyong tampak menunjukkan perasaan yang sangat menderita.

   Peng Hoan Siangjin yang mempunyai tenaga-dalam yang begitu hebatnya, dia mengetahui bahwa racun 'Pek- giok-toan-tiang' itu sudah mulai berjalan.

   Sekonlong-konyong hweeshio tua itu mengeluarkan jeritan yang hebat sekali, hingga Bu Heng Seng yang mendengar jeritan itu, seketika itu juga hatinya menjadi tergoncang, jalan darah Leng-tainya terbuka, berbareng dengan mana mukanya menunjukkan perasaan yang menderita menjadi agak berkurang.

   Maka Peng Hoan Siangjin yang menampak hal itu, tanpa ayal lagi segera menepuknya kembali dengan gerakannya secepat kilat.

   Pada saat ini Peng Hoan Siangjin telah menggunakan tenaga khikang kaum Budha yang murni, yaitu sambil mengeluarkan gerengan 'Say-cu-houw' (gerengan bagaikan singa), dalam waktu yang pendek dia telah berhasil membikin Bu Heng Seng tersadar kecerdasannya.

   Setelah dia mendapat pegangan yang kuat dan akan berhasil dalam usahanya ini, Peng Hoan Siangjin lalu menekannya kembali dengan telapak tangannya.

   Waktu telapak tangannya Peng Hoan Siangjin terpisah kurang lebih tiga dim lagi dari jalan darah 'Nie-wan' ini, dengan cepat dia sudah mengangkatnya kembali telapakan tangannya itu.

   Sambil menahan napas Lie Siauw Hiong mengetahui, sekali tepuk ini seluruh kekuatan tenaga-dalam Peng Hoan Siangjin akan menerobos masuk kedalam tubuh rekannya, maka berhasil atau gagal, justeru dalam sekali gerak tangannya inilah yang akan membuktikannya.

   Peng Hoan Siangjin lalu dengan perlahan-lahan mengempos semangatnya.

   Setelah itu, sambil menekankan telapak tangannya pada jalan darah 'Nie-wan' pada rekannya, dia segera menyalurkan tenaga-dalamnya dengan sehebat-hebatnya kedalam tubuh rekamnya.

   Ternyata gerak tangan yang dilaksanakannya oleh Peng Hoan Siangjin ini sangat tepat dan jitu sekali menemui sasarannya.

   Dan setelah rintangan yang amat berat ini berlalu, maka Hui Taysa dan Lie Siauw Hiong barulah merasa lega hati.

   Tapi sebaliknya Peng Hoan Siangjin sendiri yang mempunyai perhitungan yang matang, dia tahu bahwa telapak tangannya yang menekan jalan darah rekannya itu cukup bertenaga, maka sedikitpun dia tidak dapat memencarkan perhatiannya, sedangkan tenaga- dalamnyapun sudah dipusatkan seluruhnya.

   Dengan mengandalkan tenaga-dalam yang sehebat-hebatnya itu, dia mendesak pada racun itu, tapi dia masih meragukan, apakah pekerjaannya ini akan berhasil? Tapi walau bagaimanapun juga dia tidak dapat memecah perhatiannya pada soal-soal lainnya, maka dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk menyembuhkan rekannya ini.

   Begitulah detik demi detik telah berlalu, kepala Peng Hoan Siangjin terlihat sudah mengebulkan asap putih, rambutnya seakan tampak berdiri, tergoyang oleh tiupan angin lalu, sedang mukanya sangat dingin bagaikan es, hingga tampaknya dia sedang berada dipuncak ketegangan.

   Hui Taysu tidak percaya ada pekerjaan yang sedemikian sulitnya, andaikata dia tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.

   Tatkala itu diapun merasa luar biasa gembiranya, waktu melihat pekerjaan yang sedemikian sulitnya itu telah dapat dikerjakan oleh Peng Hoan Siangjin dengan berhasil seluruhnya maka hatinya yang turut merasa tegang, setiap saat dia memusatkan matanya memandang pada perkembangan-perkembagan atas diri Bu Heng Seng ini.

   Dan benar saja, badan Peng Hoan Siangjin sudah tidak tahan agaknya karena tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang yang mabuk arak.

   Maka Lie Siauw Hiong yang menyaksikan peristiwa itu, jadi terkejut bukan kepalang, hingga badannya sudah melesat kemuka untuk melihatnya dengan terlebih cermat lagi.

   Dia ketahui bahwa tenaga-dalamnya Peng Hoan Siangjin sudah tidak dapat disalurkan dengan sempurna lagi.

   Dia bermaksud untuk memberi pertolongan, tapi ia segera berbalik pikir, bahwa tenaga dalamnya sendiri jika dibandingkan dengan orang tua itu, terpaut masih jauh sekali.

   Andaikata dia lancang tangan memberi pertolongan, bukan saja bagi Peng Hoan Siangjin tidak bermanfaat apa- apa, malahan bagi Bu Heng Sang sendiri mungkin akan timbul komplikasi yang ruwet, sehingga kesudahannya akan membahayakan terhadap jiwa Bu Heng Seng.

   Oleh karena itu, dengan cepat dia pun tidak berani melaksanakan apa yang telah dipikirkannya semula.

   Pada saat itu satu bayangan manusia telah melampauinya pula.

   Tanpa banyak berpikir-pikir lagi, Lie Siauw Hiongpun segera mengetahui, bahwa bayangan tersebut pastilah ada Siauw Ciap Toocu Hui Taysu.

   Pergerakan Hui Taysu ini cepat bukan buatan, karena dengan sekali berkelebat ia sudah tampak tiba dihadapannya Peng Hoan Siangjin.

   Dia yang mengetahui bahwa perkembangan kejadian ini agak tidak menguntungkan, maka akhirnya dia selalu waspada dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi disekitarnya.

   Dan diwaktu melihat Peng Hoan Siangjin agak bergoyang-goyang badannya, diapun sudah maklum ada sesuatu yang berjalan tidak beres, dan memang benarlah, bahwa tenaga-dalam Peng Hoan Siangjin pada saat itu tidak berjalan lancar seperti yang diharapkan, maka dengan gerakan kaki Kit Mo Sin Pouw dia sudah tiba dihadapannya.

   Dengan cepat Hui Taysu menggunakan jari telunjuknya, yang ditotokkannya dengan tepat sekali pada jalan darah 'Cie-tong-hiat'-nya Peng Hoan Siangjin, untuk menyalurkan pula tenaga dalamnya dengan melalui hweeshio tua itu.

   Dengan mendapat tambahan tenaga-dalam dari rekannya maka semangatnya Peng Hoan Siangjin menjadi terbangun pula, hingga dengan cepat dia menghempos semangatnya dan tenaga dalam yang cukup hebat disalurkan kembali masuk kedalam tubuhnya Bu Heng Seng.

   Lie Siauw Hiong pun kini mengetahui, bahwa Peng Hoan Siangjin sudah terlolos dari bahaya, tapi sebaliknya andaikata tenaga dalamnya Hui Taysu ini tidak cocok dengan tenaga dalamnya Peng Hoan Siangjin, bukan saja jiwanya Bu Heng Sang sulit dilindungi, malahan Peng Hoan Siangjin dan Hui Taysu sendiripun akan menderita luka-luka yang parah juga.

   Oleh karena itu, perasaan Lie Siauw Hiong pada saat itu jika dibandingkan dengan saat-saat sebelumnya, dia merasa lebih tegang dan hatinyapun tidak henti-hentinya berdebar- debar keras, tapi dia mengetahui bahwa dirinya sendiri tidak mungkin dapat memberi pertolongan apapun, hingga dengan tidak berdaya apa-apa, dia hanya dapat menyaksikan saja kesibukannya kedua orang ini dari samping.

   Disini, dipulau Siauw Ciap Too yang terletak ditengah- tengah antara ketiga pulau dilaut Tong Hai, keadaannya sangat sunyi bagaikan daerah yang mati saja.

   Pantai terpisah dengan pulau ini agak jauh, sehingga suara ombak yang mendampar pantai sama sekali tidak kedengaran sampai disini.

   Lie Siauw Hiong yang memandang dengan terlongong- longong, dia lihat Tay Ciap Toocu dengan tekanan yang keras sekali menekan jalan darah 'Nie-wan' dikepalanya Bu Heng Seng, sedangkan jari telanjuknya Hui Taysu melekat erat sekali pada jalan darah 'Cie-tong-hiat' dituhuh Peng Hoan Siangjin, dengan Bu Heng Seng sendiri duduk bersila dan mukanya menunjukkan perasaan yang sangat luar biasa anehnya.

   Sejak seratus tahun belakangan ini, perhubungan Tiga Dewa Diluar Dunai ini yang hidup dipulau Tong Hai, belum pernah saling mengadakan perhubungan satu sama lain yang demikian mesranya, tapi tidak disangka, hari ini disini mereka telah dapat berkumpul bersama-sama, malahan mereka telah saling menyalurkan tenaga dalam dalam usaha mereka untuk menyembuhkan rekannya itu.

   Dalam pada itu Lie Sianw Hiong dengan diam-diam memanjatkan doa kehadiran Thian Yang Maha Kuasa, agar luka-lukanya Bu Hong Seng dapat pulih kembali seperti sediakala.

   Dan berbareng dengan itu, diapun dengan teliti melihat kitab racun ini sekali lagi, yang kini dia mengetahui, bahwa racun itu sudah mulai buyar dan jalan kesebelah bawah tubuh Bu Heng Seng, hingga sekarang tindakan selanjutnya adalah mencari daya untuk mengambil darahnya yang mengandung racun itu.

   Dengan perlahan-lahan Lie Siauw Hiong jalan menghampiri.

   Dia melihat jalan darah 'Nie-wan' Bu Heng Seng yang ditekan oleh Peng Hoan Siangjin itu sudah menunjukkan kemajuan yang pesat, karena dia menyaksikan kini mukanya Bu Heng Seng yang berwarna hitam legam karena keracunan sudah mulai turun dengan perlahan-lahan kebawah, hingga Lie Siauw Hiong ketahui, bahwa bantuan tenaga dalam Peng Hoan Siangjin dan Hui Taysu sudah menunjukkan kemampuannya yang sebesar- besarnya dan bermanfaat terhadap rekannya yang sedang mengalami malapetaka itu.

   Warna hitam itu lambat-laun sudah turun kesebelah bawah.

   Dan diwaktu Lie Siauw Hiong memperhatikan dengan lebih cermat lagi, hatinya masih tetap tegang dan berdebar-debar keras sekali.

   Setelah dia mengalihkan pandangannya dan melihat Peng Hoan Siangjin dan Hui Taysu, dia dapatkan kedua orang ini menunjukkan roman yang sungguh-sungguh, sehingga dia berpikir bahwa mereka ini tentulah telah menggunakan pelajaran silat dari kaum Budha untuk menolong rekan mereka itu.

   Hawa hitam ini akhirnya telah menurun dan tiba ditangannya Bu Heng Seng, hingga pada saat itu tangan kanannya Bu Heng Seng terkulai kebawah, suatu tanda bahwa hawa hitam dari racun yang sangat hebat itu kini sudah dikumpulkan dan didesak oleh tenaga dalamnya Peng Hoan Siangjin kejari telunjuk ditangan kanannya Bu Hang Sang.

   Sementara itu, Lie Siauw Hiong lalu mengeluarkan sebuah peles kecil yang sudah sangat tua sekali macamnya.

   Diapun dapat memandang pada jari unjuk Bu Heng Seng yang sudah berwarna hitam itu, maka ia mengetahui, bahwa yang bersembunyi dalam tubuhnya Bu Heng Seng ini adalah racun yang sangat ditakuti dan berbahaya, yaitu 'Pek-giok-toan.-tiang'.

   Permainan racun ini, didunia tidak ada keduanya.

   Lie Siauw Hiong tidak berani menyentuhnya.

   Jari tangannya agak jauh digeser, dan dari jarak yang cukup jauhnya, lalu dia totolkan tangannya pada jari telunjuk tangan kanannya Bu Heng Seng.

   Dan tatkala satu siliran angin datang menyamber dan dengan tepat tiba dijari telunjuk tangan kanannya Bu Heng Seng itu, maka jari telunjuknya itu lalu tampak satu lubang yang tidak seberapa dalamnya.

   Pergerakannya Lie Siauw Hiong bagaikan angin saja cepatnya, dan waktu peles kecil itu sudah dekat lengan mulut luka dijari telunjuk tangan kanannya Bu Heng Seng itu, dia lihat dari mulut luka itu menetes keluar darah yang mengandung racun yang hebat sekali, yaitu apa yang dinamakan 'Pek-giok-toan-tiang'.

   Racun Pek-giok-toan-tiang ini berwarna hijau dan mengandung sinar yang mengkeredep-keredep, hingga darah yang menetes keluar itu, setetes demi setetes tampak menarik sekali dalam pandangan mata.

   Racun warna hijau itu jatuh menetes kedalam peles kecil itu dengan mengeluarkan suara nyaring yang seakan-akan jatuhnya bahan emas murni.

   Waktu cairan racun itu masuk kedalam peles itu, disekitarnya segera tampak uap yang tebal sekali, suatu tanda bahwa racun itu tengah menunjukkan reaksinya yang hebat sekali.

   Lie Siauw Hiong yang kuatir uap itu mengandung racun, dia lalu menahan napasnya sejenak, setelah itu, lekas-lekas ia menyumbat mulut peles tersebut.

   Tay Ciap Toocu tunggu sampai yang menetes penghabisan itu sudah keluar, barulah dia tarik tangannya, dan sambil menarik napas yang sangat dalam, dia berdiri disuatu pinggiran.

   Sedang Hui Taysu sendiri dengan diam- diam lalu menarik pulang juga tangannya yang menempel pada jalan darah Cie-tong-hiat ditubuh Peng Hoan Siangjin.

   
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan bersama-sama Peng Hoan Siangjin, ia lalu duduk bersemadi untuk mengatur pernapasannya.

   Sementara Bu Heng Seng sendiri yang sedang bersila diatas tanah, lalu membuka sedikit kelopak matanya, kemudian dengan perlahan-lahan dia menghempos semangatnya yang dipusatkan dan dialirkan keseluruh badannya, setelah itu, dia bersemadi pula seperti rekan- rekannya yang lain.

   Rintangan hebat serta bahaya sekarang telah lewat.

   Syukur juga tenaga dalam Bu Heng Seng cukup hebat, sehingga dia tidak sampai mengakibatkan kerugian apa-apa bagi tenaga dalam Peng Hoan Siangjin.

   Sedangkan Lie Siauw Hiong yang memandang dari samping ketiga orang yang sedang bersemadi mengatur jalan pernapasan mereka ini, hatinya masih tetap saja merasa tegang.

   Lama-lama barulah ketiga orang itu dapat memulihkan kembali semangat mereka seperti sediakala lagi, kemudian Bu Heng Seng sambil berlompat bangun dia menengadahkan kepalanya keatas sambil bersiul panjang.

   Siulannya ini sungguh hebat sekali, karena dalam mengeluarkan suaranya itu, dia sertai juga tenaga dalam yang sehehat-hebatnya, sehingga suara itu bukan main keras dan nyaringnya, bagaikan geledek yang memecah angkasa.

   Suara itu berkumandang jauh sekali, dari mana terbit gema yang memekakkan telinga.

   Mereka semua adalah ahli-ahli lwee-kee, hingga mengetahui bahwa tenaga Bu Heng Seng belum pulih seratus persen.

   Peng Hoan Siangjin sambil tertawa bergelak-gelak lalu berkata.

   "Loo-nie-po, pengorbanan kita ini ternyata tidak sia-sia adanya."

   Atas perkataan rekannya ini, Hui Taysu hanya tersenyum saja, tapi tidak menjawab apa-apa. Lie Siauw Hiong yang melihat darah yang mengandung racun itu dalam peles kecil ditangannya, lalu berkata pada Bu Heng Seng.

   "Cian-pwee, menurut penjelasan dalam kitab ini, racun dalam tubuh Cian-pwee sudah lenyap seluruhnya, tapi Cian-pwee harus beristirahat selama tiga bulan, apabila kau tidak berbuat demikian, maka terhadap tenaga dalammu pasti akan timbul gangguan apa-apa yang tidak diinginkan .."

   Mendengar perkataan pemuda itu, Bu Heng Seng hanya mengeluarkan suara "Hm"

   Saja, tapi dia tidak membenarkan maupun membantah atas perkataan itu.

   Dia bukannya tidak tahu berterima kasih akan nasihat berharga yang diberikan oleh sipemuda itu, hanya dia yang pernah menyombongkan diri dahulu, bahwa orang-orang atau para pendekar di Tiong-goan semuanya tidak ada yang lihay- lihay, kini hanya dalam beberapa bulan saja setelah dia mengunjungi Tiong-goan, barulah dia berjumpa dengan ahli-ahli silat yang terkemuka, dimana dia mendapatkan para pendekar disitu ternyata tidak begitu lemah seperti apa yang diduganya semula, sampaikan para tokoh dari pelbagai golongan, semuanya ternyata hebat-hebat sekali ilmunya, hingga ia sekarang hampir saja mengalami kebinasaan dengan secara mengenaskan sekali.

   Syukur juga jiwanya ketolongan berkat petunjuk dari kitab racun ciptaan 'Raja Racun' dari Tiong-goan.

   Oleh karena itu, sifat-sifat sombongnya semula kini sudah banyak dan jauh berkurang, dan dengan adanya peristiwa ini, diapun tidak berani lagi memandang ringan terhadap para pendekar didaerah Tiong- goan.

   Dan semua itu adalah karena berkat mendengar perkataan pemuda kita yang berupa nasihat dan dia hanya dapat mengeluarkan suara "hm"

   Itu saja. Karena, dengan sesungguhnya, dia merasa berterima kasih serta terharu sekali atas petunjuk dan kebaikan pemuda kita ini. Peng Hoan Siangjin tampak bersenyum-senyum menyatakan kegembiraannya. Kemudian Hui Taysu berkata pada Bu Heng Seng.

   "Thio Sicu, sekarang kau coba pukulkan tinjumu kepada hutan batu itu .."

   Bu Heng Seng mengetahui, bahwa pendeta wanita ini berhati welas asih dan segala tindak-tanduknya selalu sangat teliti dan hati-hati.

   Tampaknya dia merasa tidak tenteram sebelum melihat bahwa kesehatannya telah pulih kembali sebagaimana sediakala.

   Dengan tersenyum dan tidak menolehkan pula kepalanya, Bu Kek Toocu lalu membalikkan tangannya memukul kearah batu-batu yang ditunjuk oleh Hui Taysu tadi.

   Pukulan Bu Heng Seng ini yang disertai tenaga-dalam yang sehebat-hebatnya, meski perlahan tapi ternyata tenaganya sangat mengejutkan sekali, maka dengan hanya kedengaran "Dak!"

   Yang nyaring sekali, batu-batu itu telah bergoyang kekanan dan kekiri. tapi tidak jatuh rubuh atau menjadi ambruk, hingga ia tampak tersenyum dan menjawab.

   "Tenaga dalamku dapat disalurkan dengan lancar sekali, sedikitpun tidak menjadi halangan apa-apa .."

   Hui Taysu lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Peng Hoan Siangjin tampak tertawa dan berkata.

   "Begini saja, asalkan Loo-tee beristirahat lagi selama sepuluh hari atau sampai sebulan lamanya, pasti sekali tenagamu akan dapat pulih kembali seperti sediakala."

   Bu Heng Seng mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Dalam hati dia berpikir, bahwa luka-lukanya sudah baik separuhnya, biasanya dia bersama Peng Hoan Siangjin dan Hui Taysu tidak mempunyai hubungan yang terlampau rapat, maka kalau ia berdiam disitu lebih lama lagi, itulah berarti bahwa dia akan mengganggu mereka saja, lagi pula baginya sendiri tentu akan merasa kurang leluasa.

   Oleh karena itu, dengan suara yang nyaring dan lantang dia berkata.

   "Siauw Seng (membahasakan diri sendiri, kurang lebih sama dengan hamba) yang telah menerima budi kebaikan besar dari kalian berdua, ijinkanlah akan Siauw Seng dibelakang hari membalasnya .."

   Sambil berkata begitu, lalu dia menjura dan memberi penghormatan yang terakhir pada Hui Taysu dan Peng Hoan Siangjin, kemudian sambil memutarkan badannya dia berlalu.

   Tiga makhluk yang biasanya disehut sebagai 'Tiga Dewa Diluar Dunia' ini, biasanya mereka rata-rata mempunyai pandangan yang tinggi, karena mereka beranggapan bahwa kepandaian mereka sudah mencapai tingkat yang tertinggi, sehingga tidak ada lawanpun yang dapat menandingi mereka.

   Peng Hoan Siangjin dan Hui Taysu yang sudah mengeluarkan begitu banyak tenaga dalam, dalam usaha mereka memberi pertolongan pada Bu Heng Seng yang menjadi rekan mereka ini.

   Maka setelah usaha mereka ini berhasil dengan sangat memuaskan, tidaklah heran kalau Bu Heng Seng merasa sangat berterima kasih kepada mereka, tapi tidak pernah dia mengucapkan itu dengan secara terus terang.

   Oleh karena itu, setelah memberi hormatnya yang terakhir, barulah dia mengundurkan dirinya.

   Hui Taysu dan Peng Hoan Siangjin tidak menganggap sikapnya Bu Heng Seng ini terlampau tawar, karena mereka sama berpendapat demikian juga, oleh karena itu, Peng Hoan Siangjin dengan tertawa tergelak-gelak lalu berkata.

   "Baik, baik. Baiklah aku sipendeta malas ini mencuri satu langkah untuk tidak mengantarkan kau lebih jauh pula .."

   Baru saja perkataan itu habis diucapkan, sekali melayang saja dia sudah mencapai jarak tiga tombak lebih jauhnya.

   Sekonyong-konyong tubuh Lie Siauw Hiong pun tampak bergerak, dan dengan sekali mengenjotkan badannya saja dia sudah memburu pada Bu Heng Seng sambil berkata.

   "Cian-pwee, tunggu dulu .."

   Bu Heng Seng sambil melambatkan langkahnya lalu menengok kebelakang dan memandang pada sipemuda. Sementara Lie Siauw Hiong dengan suara gagap dan tidak lancar lalu berkata.

   "Pertaruhan Cian-pwee denganku terhadap pertempuran yang baru berakhir itu, yaitu bahwa kalau Cian-pwee berhasil mengalahkan Pantenpur, itulah berarti bahwa aku kalah dan bersedia dengan seluruh tenaga akan bantu mencari anak daramu .."

   Bu Heng Seng berpendapat, bahwa tadi memang sesungguhnya ia sudah berhasil dapat mengalahkan Pantenpur yang menjadi lawannya, tapi ketika baru saja dia ingin membinasakan lawannya, sekonyong-konyong dia jatuh pingsan, karena racun yang telah lama bersarang didalam tuhuhnya.

   Perasaan Bu Heng Seng terhadap pemuda kita, sekarang sudah banyak lebih baik jika dibandingkan dengan waktu- waktu yang lampau itu, maka sambil melirikkan matanya dia bersenyum, kemudian barulah dia putarkan badannya dan berlalu dari pulau itu dengan tak berkata-kata barang sepatahpun.

   Pada detik itu Hui Taysu lalu bangkit berdiri, menoleh pada Peng Hoan Siangjin, tapi tidak berkata apa-apa, kemudian dia balik masuk kepedalaman pulaunya ini.

   Peng Hoan Siangjin yang sudah dari siang-siang mengetahui jelas tentang tabiat nikouw tua yang sangat luar biasa ini, diapun hanya tertawa terbahak-bahak saja menyaksikan tingkah- laku rekannya itu, dan setelah Hui Taysu sudah melenyapkan diri ditikungan batu-batu gunung tersebut, barulah dia berhenti tertawa.

   Lie Siauw Hiong setelah mengantarkan kepergian Bu Heng Seng dengan pandangan mata, barulah dengan perlahan-lahan dia balik kembali kebarisan batu-batu kuno itu, pada waktu mana dia nampak muka Peng Hoan Siangjin yang agak aneh, hingga tidak terasa lagi hatinya menjadi tercengang juga.

   Lalu dia jalan menghampirinya sambil kemudian duduk disampingnya.

   Sang hari perlahan-lahan sudah menjadi gelap, karena sinar matahari sudah silam keufuk sebelah Barat, sedangkan bayangan malam akan segera menampilkan diri.

   Didaerah yang berdekatan dengan pantai laut, angin laut semakin malam berhembus semakin santar dan besar, sehingga baju Peng Hoan Siangjin yang berwarna putih itu berkibar-kibar oleh hembusannya sang angin.

   Lie Siauw Hiong lalu memandang pada Peng Hoan Siangjin yang sedang berdiam diri disitu, hingga diapun mengetahui, bahwa.

   orang tua ini pasti mempunyai perasaan hati yang hendak disampaikannya, tapi dia belum mau mengatakannya, sedangkan dia sendiri tentu saja tidak enak untuk menanyakannya.

   Pada dua jam yang lalu, ditempat ini telah terjadi pertempuran mati-hidup yang amat seru serta hehbtnya, yaitu pertempuran antara orang Tionghoa dengan orang asing, dan akhirnya kejadian inipun seperti juga awan yang terhembus angin, dan kini pertempuran hebat itu sudah selesai dan keadaan serta ketenangan didaerah itu balik kembali seperti sediakala lagi.

   Malahan mungkin sekali keadaan didaerah ini sekarang sangat sunyi sekali, dan dengan pendengaran amat tajam yang dimiliki oleh orang yang sudah mencapai tingkat tertinggi itu, dari arah yang jauh sekail dan terbawa oleh siliran angin lalu, masih dapat ditangkap hempasan ombak yang sayup-sayup sampai, hingga Lie Siauw Hiong yang tadi duduk secara berdiam diri dengan perasaan yang tegang, kini perasaannyapun perlahan-lahan mulai normal kembali.

   Demikian juga pikirannya yang kacau selama ini, agaknya sudah terlupakan olehnya.

   Dilangit bintang-bintang telah mulai menampakkan diri.

   Kemudian waktu puteri malam menyusul munculkan diri, maka keadaan diangkasa yang gelap dan jauh telah menjadi lebih terang dan permai.

   Pada saat itu Peng Hoan Siangjin yang sedang duduk diatas sebuah batu, kepalanya memandang keangkasa, kedua keningnya tampak pada berdiri, sedangkan mukanya tampak merah seolah-olah tengah merenungkan sesuatu.

   Dengan perasaan tidak mengerti, Lie Siauw Hiong memandang pada orang tua ini ..

   mungkin sekali dia sedang menantikan sesuatu yang hendak disampaikan kepadanya.

   Lama sekali barulah Peng Hoan Siangjin membuka mulut dan berkata.

   "Bocah, aku .. aku akan menceritakan sebuah cerita yang menarik untuk kau dengar."

   Dengan perasaan heran Lie Siauw Hiong memandang pada orang tua itu.

   Pada saat itu Peng Hoan Siangjin masih menatapkan matanya keangkasa, seakan-akan dari angkasa yang tak bertepi dan gelap itu dia tengah mencari-cari ataupun sedang mengingat-ingat peristiwa yang lampau yang kini akan dia ceritakan pada pemuda kita itu.

   Kemudian dengan perlahan-lahan barulah dia berkata.

   "Mungkin seratus tahun yang lampau ..pada saat itu, kaum yang berkuasa pada saat itu didunia Kang-ouw adalah dari partai Siauw Lim. Partai Siauw Lim ini yang menerima pimpinan langsung dari kakek gurunya Tat Mo Couwsu, telah mewariskan pada cucu muridnya berbagai kepandaian yang sangat hebat dan langka, yang sekalipun benar pada belakangan ini pelajaran dari partai Siauw Lim itu sudah ketinggalan jika dibandingkan dengan partai-partai yang lainnya, tapi dalam kepandaian tenaga dalam yang hebat dan asli masih banyak orang maupun murid-murid dari partai lain yang belum lagi dapat menandinginya .."

   Berkata sampai disitu, dia berhenti sebentar, kemudian setelah sunyi sekejap, diapun melanjutkan ceritanya kembali.

   "Tapi pada beberapa tahun mendatangi ini, yang menjadi gembong dan pentolan dalam kalangan Kang-ouw sudah bukannya murid-murid dari partai Siauw Lim lagi. Didunia Kang-ouw tidak tampak lagi pendeta-pendeta Siauw Lim yang menampakkan dirinya, .. malahan ada kalanya murid-murid dari partai Siauw Lim menerima penghinaan, sedang atas penghinaan yang dilakukan oleh anak murid dari partai lain terhadap anak murid Siauw Lim, tidak ada seorang ketuanya yang mau membela maupun membalaskan sakit hati yang diderita cucu muridnya tersebut. Hal mana, telah membuat orang-orang yang menyaksikannya pada mengatakan, bahwa murid- murid partai Siauw Lim sangat loyo dan tidak berdaya lagi terhadap lawan-lawannya, sehingga nama baik partai Siauw Lim sudah lenyap sama sekali. Tapi orang luar mana mengetahui, bahwa dalam hal ini ada sesuatu yang dirahasiakan sehingga mereka tidak mengetahuinya dengan sejelas-jelasnya."

   Lie Siauw Hiong waktu mendengar dia menceritakan tentang partai Siauw Lim Sie, dia menjadi semakin tertarik untuk mendengarkan dengan lebih cermat lagi. Kemudian orang tua itu melanjutkan ceritanya.

   "Pada saat itu, yang menjadi Ciang-bun-jin dari partai Siauw Lim adalah Leng Kheng Taysu, sedangkan Suteenya Leng Kong Taysu adalah orang yang bertanggung jawab dari ruangan Cong Kheng Khok .."

   Waktu Lie Siauw Hiong mendengar 'Leng Kong Taysu', tidak terasa lagi dia rnengeluarkan suara.

   "Ah". Atas reaksi pemuda kita ini, Peng Hoan Siangjin hanya memandangnya saja dengan sebuah lirikan, kemujan dia melanjutkan.

   "Leng Kong Taysu setelah menjabat sebagai Cong Keng Khok (pendeta yang berkuasa mengurus soal- soal kitab suci kaumnya), tiap hari dia membenamkan dirinya dalam kamar, terus memikirkan dan memperdalam kepandaian yang lebih tinggi pula, .. hal yang sebenarnya ilmu yang dimaksudkannya itu adalah pelajaran yang sudah amat samar, tapi Leng Kong Taysu sudah mempelajarinya dengan tekun selama tiga puluh tahun lebih, sehingga ilmu- ilmu yang hampir hilang itu dapat dipelajarkan kembali dan dikembangkan dikalangan Kang-ouw .."

   Lie Siauw Hiong menampak kedua mata hweeshio tua itu seakan-akan bersinar-sinar. Peng Hoan Siangjin sendiri sesudah berhenti sebentar, lalu melanjutkan perkataannya.

   "Belakangan, .. oleh karena suatu peristiwa yang durhaka, dari sebelah dalam partai Siauw Lim sendiri tampak perpecahan, Ciang-bun-jin Leng Kheng Taysu dan Leng Kong Taysu pada meninggalkan Siauw Lim Sie, sedang muridnya Leng Kheng, yaitu Tay Ceng, yang menjadi ahli waris dari partai Siauw Lim, lalu melanjutkan usaha gurunya. Maka disebabkan perkara ini, dibuatlah sebuah peraturan, yaitu tidak perduli para pendeta Siauw Lim yang manapun, kecuali Ciang-bun- jinnya sendiri, dilarang meninggalkan kuil Siauw Lim, sekalipun hanya setengah langkah saja. Disamping itu, ada peraturan lainnya lagi, yaitu kecuali menghadapi bahaya maut, barulah diperbolehkan turun tangan terhadap lain orang .. Oleh karena itu, para pendeta yang mengembara dikalangan Kang-ouw dari murid-murid partai Siauw Lim, selamanya coba menghindarkan pertempuran, oleh sebab itulah maka orang-orang lantas pada mencap, bahwa orang atau anak-anak murid Siauw Lim pada pengecut dan tak berguna .."

   "Leng Kong Taysu dan Leng Kheng Taysu setelah meninggalkan Siauw Lim Sie, tanpa disangsikan lagi mereka telah membawa para muridnya yang pandai-pandai. Dengan demikian, angkatan yang belakangan dari mereka tidak berdaya lagi untuk mempelajari pelajaran silat yang tinggi pula .."

   Lie Siauw Hiong yang berotak sangat cerdik, ketika mendengar sampai disini dan masih banyak hal-hal yang belum diselaminya selama itu, sekaranga dia sudah mengerti dengan jelas, bahwa orang yang pada seratus tahun yang lampau disebut Leng Kong Taysu itu, bukan lain daripada orang yang tengah berhadap-hadapan dengannya itu, yakni Peng Hoan Siangjin sendiri.

   Kenyataannya, benar saja apa yang telah diduga semula.

   Sejak Tay Ceng Taysu menetapkan peraturan tersebut sampai akhirnya dia meninggal dan kedudukannya sebagai ahli waris diserahkan pada Tie Keng Taysu, keturunan kedua sesudah kematiannya Tay Ceng Taysu tadi, dia berpendapat, bahwa jika murid-murid Siauw Lim ingin merebut kedudukan yang terhormat pula dikalangan Kang- ouw, maka murid-murid partai Siauw Lim harus berdaya untuk mencari dan meminta pengajaran Leng Kong Taysu yang hebat itu, tapi setelah seratus tahun telah lampau dan Leng Kong Taysu yang pergi merantau tidak pernah kembali lagi, orang banyak segera mengira bahwa Leng Kong Taysu pasti sudah meninggal dunia.

   Sekonyong-konyong mereka dapat memikirkan sesuatu, yaitu sekalipun Leng Kong Taysu sudah meninggal dunia, tentulah dia telah mewariskan kepandaiannya yang hebat itu pada murid-muridnya.

   Hal ini tidak terlampau sulit untuk diselidikinya, asal saja mereka dapat mendengarnya dikalangan Kang-ouw, merekapun akan menyelidiki jejak orang itu dengan secara teliti ..

   tapi hal ini bagi para murid partai Siauw Lim merupakan suatu kesulitan, berhubung mereka tidak boleh sembarangan meninggalkan kuil mereka.

   Akhirnya Tie Kheng Taysu mendapat satu akal bagus, yaitu dia telah berhasil menerima seorang murid yang berbakat dan tidak digundulkan kepalanya, sehingga dia bebas pergi keluar dari pintu kuil Siauw Lim Sie, dan muridnya itu adalah Sun Ie Tiong.

   Karena peraturan yang dibuat oleh Tay Ceng Taysu berbunyi.

   "Asal dia itu murid-murid dari pendeta Siauw Lim, maka dia tidak diperkenankan sembarangan meninggalkan kuil ini, tapi Sun Ie Tiong bukanlah pendeta, karena kepalanya tidak digundulkan!"

   Oleh karena itu, Tie Kheng Taysu bersama saudara- saudara seperguruannya yang memiliki kepandaian yang tinggi-tinggi, lalu menurunkan kepandaian mereka yang hebat-hebat pada Sun Ie Tiong, sehingga waktu Sun Ie Tiong turun gunung, dia sudah lantas menjadi terkenal sebagai 'Bu Lim Cie Siu', atau Sitampan dari Rimba Persilatan.

   Tugas Sun Ie Tiong adalab untuk mencari Leng Kong, bila mungkin, dan seandainya dia masih hidup, tapi bila dia sudah mati, sipemuda boleh mencari ahli warisnya.

   Begitulah dia segera mempergunakan siasat menantang pada tiap-tiap orang yang terkemuka dikalangan Kang-ouw ..

   dan akhirnya perhatiannya tertuju pada orang yang belum lama ini telah mengangkat namanya dengan pesat sekali, yaitu Lie Siauw Hiong, yang telah memperoleh gelaran 'Bwee-hiang-sin-kiam'.

   Begitulah dia mengikuti terus kepada pemuda kita, yang tanpa sebab telah ditantangnya berkelahi.

   Sesudah Lie Siauw Hiong mengeluarkan tipu dari jurus 'Tay-yan-sip- sek', dia merasa terkejut dan girang, karena dia dapatkan tipu yang digunakan oleh Lie Siauw Hiong itu, adalah ilmu yang sudah lama menghilang dari partai Siauw Lim.

   Oleh karena itu, dengan nekad dia telah melayaninya bertempur terus dengan pemuda kita, kemudian buru-buru dia lari kembali kekuil Siauw Lim Sie untuk memberitahukan kepada gurunya.

   Waktu dia berlari belum sampai setengah lie jauhnya, dia sudah berjumpa dengan murid kepala keturunan kedua, yaitu Cu Hoat ini, karena dia berpikir tentulah diatas gunung dikuil Siauw Lim Sie telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ..

   Cu Hoat sendiri setelah bertemu dengan Sun Ie Tiong, lalu menyuruhnya lekas-lekas kembali, dia tidak usah mengembara lagi dikalangan Kang-ouw pula, karena guru mereka sudah mendapat jejak bahwa dipulau Tay Ciap Too dilaut Tong Hay, hidup seorang Hweeshio tua bernama Peng Hoan Siangjin, yang dianggap mungkin sekali adalah Leng Kong yang melenyapkan diri tempo hari.

   Sun Ie Tiong pun tidak lupa menyampaikan cerita tentang pertempurannya dengan Lie Siauw Hiong yang diceritakan sejelas-jelasnya kepada Suhengnya sambil berkata.

   "Suhu yang menduga Peng Hoan Siangjin sebagai Leng Kong yang hilang dahulu, hal itu barulah satu kemungkinan saja, tapi didepan mata kita terdapat satu jejak yang mungkin dapat memberi garis yang terang untuk kita selidiki. Kita harus terlebih dahulu menyelidikinya, barulah kemudian pulang kekuil. Bukankah itu masih belum terlambat?"

   Cu Hoat yang mendengar bahwa penjelasan itu masuk diakal, maka dia sependapat dengan Suteenya, dan lalu mereka balik kembali untuk menghadang pada Lie Siauw Hiong, untuk coba bertanding dengan mempergunakan pedang, mereka tunggu waktu Lie Siauw Hiong mengeluarkan tipu 'Tay-yan-sip-sek', dia berusaha untuk memperhatikannya dengan tekun dan cermatnya.

   Oleh karena itu, dia lalu berunding dengan Sun Ie Cong, untuk menanyakan hal itu, dengan sejelas-jelasnya kepada pemuda kita.

   Sun Ie Tiong yang lebih berakal, lalu berkata kepada Suhengnya.

   "Kalau sekarang kita menghadangnya kembali, hal itu dapat menerbitkan salah paham saja terhadapnya. Baiklah kita terlebih dahulu memutar kesebelah depan dan mencegatnya dikota Hoa Kee Tin, dimana kita boleh menanyakan dengan sejelas-jelasnya kepadanya."

   Cu Hoat Hweeshio sekalipun berkedudukan sebagai murid Kepala, tapi dia jadi orang paling penurut sekali, apa lagi diantara murid-murid keturunan kedua Sun Ie Tiong adalah salah seorang murid terpandai dan paling dipandang tinggi, baik oleh guru mereka maupun oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri, dan diwaktu dia mendengar keterangan-keterangan yang beralasan dari Suteenya ini, diapun sependapat untuk menghadang Pemuda kita dikota Hoa Kee Tin saja.

   Begitulah mereka menunggu dikota Hoa Kee Tin ini sehingga empat atau lima hari lamanya, tapi mereka masih saja tidak menjumpai pemuda kita datang kesitu.

   Pada hal mereka tidak pernah menyangka, bahwa Lie Siauw Hiong kena dibokong dan dikeroyok oleh sembilan jago-jago Kwan Tiong yang ingin sekali mencabut nyawanya.

   Terus sampai pertemuan dipuncak gunung Kwie San dimulai, barulah dia mulai memperoleh jejaknya pemuda kita ini, maka sambil mengikuti pemuda kita kegunung Kwie San, tidak lupa dia menyuruh Cu Hoat akan pulang terlebih dahulu kekuil Siauw Lim Sie, untuk memberi kabar kepada guru mereka disana.

   Peng Hoan Siangjin yang telah muncul diruangan 'Bu Wie Thia' dan memberi pelajaran yang hebat kepada sipemuda dihadapan musuh, akhirnya telah membuat Lie Siauw Hiong dapat mengalahkan orang-orang asing yang menjadi lawannya, sehingga mereka merasa malu dan lantas kembali kenegeri mereka.

   Sementara Sun Ie Tiong yang menduga keras bahwa Lie Siauw Hiong pastilah murid yang terpandai dari Leng Kong Taysu, ketika baru saja hendak menanyakan sangkut-paut antara mereka dengan pihaknya, tidak disangka Lie Siauw Hiong sudah dibawa kabur oleh Peng Hoan Siangjin, sehingga selanjutnya mereka tidak kelihatan bayangan-bayangan kedua orang itu pula.

   Oleh karena itu, Sun Ie Tiong terpaksa pulang kembali kekuil Siauw Lim Sie dengan tangan hampa.

   Sesampainya dikuil tersebut, lalu diceritakannya kepada gurunya tentang pertempuran tadi antara Lie Siauw Hiong dengan Kinlungo, penantang asing itu, sambil tidak lupa dia melukiskan roman Lie Siauw Hiong dengan Peng Hoan Siangjin.

   Dan setelah Tie Kheng Taysu mendengar penuturan.

   muridnya itu, sambil mengeluarkan airmata sekonyong-konyong ia berkata.

   "Sang Buddba sesungguhnya tidak buta. Leng Kong Couwsu ternyata sampai hari ini masih hidup segar-bugar. Tak dapat disangsikan lagi, orang itu pastilah dia adanya .."

   Oleh karena itu, maka para murid-murid yang terpandai dari partai Siauw Lim pada keluar kuil dan bersama-sama dengan secara berbondong-bondong pergi menuju kepulau Tay Ciap Too.

   Serombongan pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie yang melakukan perjalanan dengan tergopoh-gopoh, malah telah menerbitkan perhatian orang lain, tapi mereka sendiri tidak mengetahuinya.

   Kinlungo bersama Suhengnya Katar waktu masuk kedaerah Tiong-goan, guru mereka pernah memesan dengan memberitahukan sebagai berikut.

   "Ilmu kepandaian silat di Tionggoan sangatlah terbatas, hanya ada satu golongan yang disebut pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie yang agak lumayan tingkat kepandaiannya. Apabila kalian ingin mengejutkan dan mengangkat nama kalian, maka hendaknya kalian terlebih dahulu menjatuhkan mereka ini."

   Tentu saja, guru mereka tidak pernah menyangka, bahwa kedudukan kalangan rimba persilatan didaerah Tiong-goan sekarang sudah mengalami perubahan yang hebat sekali, sedangkan nama Siauw Lim kini sudah jarang terdengar pula.

   Itulah sebabnya, pada waktu diruangan 'Bu Wie Thia', Katar menoleh keempat penjuru untuk mencari pendeta- pendeta Siauw Lim Sie, ahirnya dia hanya menjumpai Kouw-am saja, yang segera melayaninya, hingga dengan girang ia telah menyambutnya, karena dia menduga, bahwa pendeta ini tentulah ada murid-murid dari partai Siauw Lim.

   Tapi waktu mendengar penjelasan adik seperguruannya Kinlungo yang paham bahasa Han, ia telah diberitahukan, bahwa Kouw-am itu bukanlah murid partai Siauw Lim, melainkan murid dari parai Go Bie hingga Katar yang mendengar hal itu menjadi putus harapan dan kecewa didalam hatinya.

   Tapi ahirnya waktu Kinlungo sendiri telah kena dikalahkan oleh Lie Siauw Hiong, Heng Hoo Sam Hut yang mendengar penjelasan muridnya, mereka menduga bahwa orang yang dimaksudkan oleh murid itu, kini tinggal berdiam dipulau Tay Ciap Too, oleh karena itu, lalu mereka bertiga saudara datang kedaerah Tiong-goan pula.

   Tengah mereka merasa bingung, berhubung mereka tidak mengetahui letak pulau Tay Ciap Too tersebut, kebetulan sekali Kinlungo telah dapat mencuri dengar omongan para pendeta Siauw Lim Sie yang juga hendak menuju kepulau Tay Ciap Too juga, maka dengan diam- diam mereka lalu mengikuti perjalanan rombongan pendeta-pendeta dari Siauw Lie Sie itu.

   Keempat orang ini sangat tinggi ilmu Keng-sin-kang mereka, sehingga pengintaian mereka tidak diketahui oleh rombongan pendata-pendeta Siauw Lim tersebut.

   Sesampainya dipulau Tay Ciap Too, mereka yang merupakan dua rombongan yang mempunyai maksud kedatangan yang berlainan, ternyata kedatangan mereka sia-sia belaka, karena yang dicari mereka tidak terdapat dipulaunya itu, karena Peng Hoan Siangjin tengah mengajak Lie Siauw Hiong kepulau Siauw Ciap Too untuk melakukan pertempuran pertaruhan dengan Hui Taysu, dimana akhirnya Heng Hoo Sam Hut telah bertempur dengan rombongan pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie.

   Lie Siauw Hiong sekalipun hanya menduga-duga saja, ternyata dugaannya ini tidak berbeda jauh dengan penjelasan-penjelasan dari Pang Hoan Siangjin sendiri.

   Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Diatas langit bintang-bintang tampak berkedip-kedip, suara debaran ombak terdengar dengan tidak henti- hentinya.

   Keadaan disekeliling mereka tampak gelap sekali, hanya dipantai laut terlihat sebuah garis putih karena riak ombak yang tidak putus-putusnya, karena tersorot oleh sinar bulan maupun bintang-bintang.

   Peng Hoan Siangjin setelah berhenti bercerita, lalu dia tengadahkan kepalanya memandang keangkasa.

   Ramhutnya yang berwarna putih tampak berkibar-kibar dibawah tiupan angin laut, hingga pada saat itu dia lebih mirip sebagai patung daripada manusia yang berjiwa.

   Dengan suara yang perlahan Lie Siauw Hiong lalu bertanya.

   "Dan bagaimana dengan Leng Kheng Taysu?"

   Peng Hoan Siangjin dengan lemah lalu menjawab.

   "Suheng .. oh, bukan, Leng Kheng Taysu juga masih hidup didunia ini."

   Sekalipun dia sudah mengubah sebutannya dengan cepat, tapi perkataan 'Suheng' yang telah tidak sengaja disebutkannya tadi, teranglah sudah, bahwa dia sendiri adalah Leng Kong Taysu. Diam-diam Lie Siauw Hiong berkata pada dirinya sendiri.

   "Leng Kheng Taysu sebagai Suhengnya Leng Kong Taysu, kini diapun masih hidup didunia ini .. dia ini tentunya mempunyai kepandaian yang hebat dan lihay juga .. Oh. Benar, tempo hari ada seorang pendeta yang naik dipunggung burung bangau dan telah memanggil pada Leng Kong Taysu, pendeta itu tentulah Leng Kheng sendiri adanya."

   Para pembaca tentu masih ingat, tempo hari waktu Lie Siauw Hiong dapat memecahkan barisan yang disebut 'Kwie-goan-kouw-tin' dipulau Siauw Ciap Too, yaitu sewaktu Peng Hoan Siangjin sedang bertempur dengan Hui Taysu, ada seorang pendeta tua yang datang dengan naik dipunggung seekor burung bangau dan manggil-manggil kepada Peng Hoan Siangjin.

   Dan diwaktu mereka hendak berpisah, ia pernah berkata kepada pemuda kita.

   "Jika mereka memang berjodoh, pasti dilain waktu mereka dapat saling berjumpa pula."

   Perkataan tersebut masih diingat oleh Lie Siauw Hiong, tapi dia tidak tahu apa artinya.

   Kemudian dari arah pantai tampak datang dengan perlahan-lahan menyusur pantai sebuah perahu kecil, yang ketika sudah mencapai pantai dan para penumpangnya pada turun kedarat, mereka ini ternyata terdiri dari delapanbelas orang, yang setelah mereka sudah datang dekat, barulah mereka dapat mengenali, bahwa kedelapanbelas orang yang baru mendatangi ini adalah para pendeta dari kuil Siauw Lim Sie.

   Sejak rombongan para pendeta dari Siauw Lim ini melihat Peng Hoan Siangjin mengajak pergi Lie Siauw Hiong, mereka hanya dapat mengikuti jurusan yang tadi ditempuh oleh Peng Hoan Siangjin saja, karena mereka tidak tahu tempat mana yang hendak dituju oleh Hweeshio tua itu.

   Tapi karena lautan itu begitu lebar dan tak bertepi, kemanakah mereka ingin menyusulnya? Demikianlah, akhirnya setelah mencari ubak-ubakan tidak karuan, merekapun dapat juga mencari dan mencapai pulau Siauw Ciap Too ini.

   Waktu Lie Siauw Hiong melihat rombongan pendeta- pendeta dari Siauw Lim ini pada mendarat disitu, sedangkan pendeta pertama yang mendarat disitupun sudah melihat pula kepada kedua orang itu, hingga mereka dengan serentak berteriak-teriak saking kegirangan, kemudian dengan langkah yang cepat sekali mereka berlari- lari untuk menghampiri kepada Peng Hoan Siangjin dan sipemuda she Lie.

   (Oo-dwkz-oO)

   Jilid 37 Peng Hoan Siangjin menjadi sangat terkejut dan buru- buru mengangkat badannya untuk melarikan diri, tapi sekonyong-konyong bajunya kena ditarik dengan kencangnya oleh seseorang.

   Tatkala dia menolehkan kepalanya memandang, barulah dia ketahui, bahwa orang yang menarik bajunya itu adalah Lie Siauw Hiong sendiri.

   Pada saat itu, dengan muka yang bersungguh-sungguh Lie Siauw Hiong lalu berkata dengan nada yang perlahan.

   "Siangjin, kau tidak usah menyembunyikan diri pula .."

   Tidak terasa lagi Peng Hoan Siangjin jadi merasa tercengang, dan dengan terhentinya langkahnya seketika itu, ternyata para pendeta Siauw Lim itu sudah berlari-lari dengan langkah yang pesat sekali, sehingga tidak lama kemudian mereka sudah sampai dihadapan Hweeshio tua tersebut.

   Setelah itu, para pendeta itu dengan rapih dan secara berturut-turut pada menjatuhkan diri berlutut dihadapan Peng Hoan Siangjin.

   Permimpin rombongan para pendeta itu adalah Tie Kheng Taysu, sedangkan Bu Lim Cie Siu Sun Ie Tiong tampak berlutut pada baris yang paling belakang sekali.

   Sambil berlutut Tie Kheng berkata.

   "Leng Kong Couwsu, kau .. kau apakah masih ingin membobongi Teecu?"

   Saking gugupnya, Peng Hoan Siangjin tampak menggoyang-goyangkan sepasang tangannya sambil berkata dengan suara nyaring.

   "Bukan, bukan, aku beritahukan kepada kalian, bahwa aku ini bukanlah Leng Kong Taysu .. bukan Leng Kong Taysu .."

   Tie Kheng Taysu jadi terkancing mulutnya demi mendengar perkataan orang tua itu.

   Ia hanya mampu mengeluarkan dua kali suara "Ah", tapi selanjutnya tak dapat pula berkata-kata barang sepatahpun.

   Dan tatkala melihat Peng Hoan Siangjin hendak mengangkat bangun untuk ditinggalkannya pergi, dengan air mata bercucuran dia berkata.

   "Teecu tidak berguna sama sekali, hanya .. hanya mohon supaya Couwsu sudi memandang muka Sang Buddha .."

   Peng Hoan Siangjin lantas berseru.

   "Jika ada omongan sesuatu, bolehlah engkau bicarakan untuk dirundingkan, tetapi janganlah engkau lekas menangis, hingga perbuatanmu ini tak berbeda dengan lakunya anak kecil saja .."

   Oleh kata-kata dan perlakuan Peng Hoan Siangjin ini, Tie Khong sesungguhnya menjadi serba salah, apakah baik ia menangis atau tertawa.

   Tetapi diwaktu memikirkan tentang kejayaan Siauw Lim pada masa yang lampau, hatinya menjadi sangat terharu dan tiba-tiba dengan mengeluarkan suara "Oweeeeeeeeeee"

   Dia lantas memuntahkan darah segar.

   Hal mana, telah membuat Peng Hoan Siangjin terkejut bukan kepalang.

   Buru-buru dia menghampiri dan menepuk punggung Tie Kheng satu kali, kemudian dengan perlahan dia mengurut dadanya dua kali, dan setelah menghela napas tanda berduka dia berkata.

   "Ai! Kalian bukan main menderitanya! .. Baiklah aku beritahukan pada kalian, bahwa aku ini memang benarlah Leng Kong Taysu .."

   Tie Kheng yang mendengar Peng Hoan Siangjin telah mengakui bahwa dirinya benar adalah Leng Kong Taysu, saking girangnya lantas dia berlompat bangun, tapi kemudian lantas berlutut pula sambil berkata.

   "Teecu .. Teecu tak tahu harus mengatakan bagaimana .. Couwsu .. selama tahun-tahun ini, apakah Couwsu baik-baik saja? Ai! Ternyata Thian mengasihani kami sekalian .."

   Sesudah berkata demikian, tanpa merasa dia telah mengeluarkan airmata pula.

   Dalam pada itu, wajah Peng Hoan Sinngjin terlihat roman yang merasa terharu sekali, tapi tidak lama kemudian perasaan tersebut sudah kembali seperti sediakala pula.

   Dengan suara yang agak gemetaran Tie Kheng Taysu lalu berkata.

   "Teecu memohon dengan sangat, agar supaya Couwsu sudi kembali kedalam kuil."

   Sambil berkata begitu, Tie Kheng segera mengangkat mukanya memandang pada Peng Hoan Siangjin, sedangkan para pendeta Siauw Lim lainnyapun pada melirikkan matanya memandang pada Hweeshio tua tersebut.

   Hal mana, pun diturut oleh Lie Siauw Hiong yang berdiri berdekatan.

   Peng Hoan Siangjin lalu mengangkat mukanya memandang keangkasa raya, tampa mengucap barang sepatah katapun juga.

   Tie Kheng Taysu lalu berkata.

   "Teecu sekalian sangat mengharap agar Couwsu suka memandang muka sang Buddha dan sudilah apa kiranya mengikut Teecu sekalian kembali kekuil Siauw Lim Sie lagi."

   Sekonyong-konyong Peng Hoan Siamgjin menghela napas panjang, kemudian dengan suara perlahan ia menjawab.

   "Aku siorang tua telah berkeliaran selama ratusan tahun sebagai seorang pendeta babas, maka bila kalian ingin memanggilku kembali kekuil lagi, hal itu sesungguhnyalah ada sangat mustahil sekali .."

   Para pendeta Siauw Lim ketika memdengar perkataan Hweeshao tua itu, hati mereka jadi merasa agak terkejut, tapi tidak disangka, bahwa Peng Hoan Siangjin telah melanjutkan perkataannya.

   "Hanya, aku sioramg tua sebenarnya telah keluar dari pintu kuil Siauw Lim Sie, sekalipun kepandaian yang kuiliki ini sebagian besar adalah hasil ciptaanku sendiri, tapi dasarnya adalah dengan mengambil inti sari dari buku-buku yang telah kubaca dari kitab-kitab yang terdapat didalam kuil Siauw Lim tersebut. Oleh karena itu, aku pasti akan mengembalikan kepandaianku yang telah kuwariskan itu kepada kaum Siauw Lim Sie."

   Tie Kheng Taysu tampaknya hendak berkata-kata lebih jauh, tapi dengan segera dia merasa dibelakangnya ada seorang pendeta tua yang telah memberi isyarat dengan menarik punggungnya, agar supaya dia jangan melanjutkan dahulu bicaranya.

   Sudah itu Peng Hoan Siangjin lalu melanjutkan bicaranya.

   "Aku lihat bocah berlutut pada baris yang paling belakang disana itu cukup cerdik untuk aku wariskan ilmu pelajaranku, maka akan kubawa dia kepulauku untuk maksud tersebut."

   Sambil berkata begitu, dia menunjuk pada Sun Ie Tiong yang berlutut pada baris yang paling belakang itu.

   Tie Kheng Taysu yang mendengar perkataan Peng Hoan Siangjin ini, diapun segera mengetahui, bahwa seandainya dia memaksa untuk meminta Hweeshio tua itu kembali kekuil Siauw Lim Sie, sudah tentu sekarang tidak mungkin lagi, karena Peng Hoan Siangjin telah menyanggupi untuk mewariskan pelajaran aslinya kepada Sun Ie Tiong, hingga dengan begitu, partai Siauw Lim masih ada harapan pula akan maju dikemudian hari, maka karena itu juga, diapun lalu berdirilah tanpa berkata apa-apa pula.

   Sementara Lie Siauw Hiong yang sekonyong-konyong mendapatkan Tie Kheng Taysu seakan-akan tengah memandangnya dengan roman yang ragu-ragu, tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu kepadanya, hingga Siauw Hiong yang berotak sangat cerdik, lantas dia mengetahui, bahwa Tie Kheng Taysu merasa canggung sekali akan kedudukannya.

   


Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Anak Berandalan -- Khu Lung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung

Cari Blog Ini