Ceritasilat Novel Online

Munculnya Seorang Pendekar 22


Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Bagian 22



Munculnya Seorang Pendekar Karya dari Tjan Id

   

   Dalam pertempuran tersebut, Gonw Leng Hong dengan menggunakan pelajaran keturunannya yang bernama 'Ngo- kwie-toan-hun' (lima setan menyabut nyawa), dalam mana berisikan jurus-jurus Ngo-kwee-tauw-ce (lima setan melempar jalan), ditambah lagi dengan serangan-serangan Lie Siauw Hiong yang gesit dan bertubi-tubi dalam jurus- jurus 'Leng-bwee-bian' (bunga bwee menyapu muka) dan 'Ca-keng-bwee-bian' (bunga bwee yang dikejutkan menyampuk muka).

   Dan begitu mereka melancarkan serangan dengan berbareng, maka serangan mereka menjadi sangat dahsyat dan berpengaruh sekali.

   Dengan serangan-serangan yang bertubi-tubi itu, benar saja mereka telah menyebabkan keempat lawan itu menjadi kacau balau, maka dengan serempak mereka berusaha untuk melancarkan serangan balasan, tapi keadaan mereka berempat tinggal tetap terdesak mundur oleh pihak lawan mereka.

   Lie Siauw Hiong dengan tertawa panjang lalu berkata.

   "Hai, kalian adalah ahliwaris-ahliwaris dari partai masing- masing, tapi tidak disangka-sangka bahwa kepandaian kalian hanya begitu saja!"

   Perkataannya ini sungguh terlampau berlebih-lebihan agaknya.

   Semulanya keempat orang lawan itu sebenarnya merasa simpati juga melihat bakat mereka yang demikian luar biasanya, tapi ketika mendengar ejekan pemuda itu, tidak terasa lagi mereka menjadi murka sekali.

   Cia Tiang Kheng dengan perasaan tidak puas telah menukas.

   "Sekalipun kepandaianmu terhitung hebat, tapi perkataanmu yang demikian temberangnya ini seharusnya tidak mungkin dikeluarkan oleh seorang yang sudah mencapai tingkat kepandaian seperti kau .."

   Cek Yang dan kawan-kawan jadi sangat geram mendengar ejekan Lie Siauw Hiong itu, maka dengan mengibaskan pedangnya ia memberi isyarat kepada rekan- rekannya untuk menyerbu lebih hebat pula.

   Tempo hari ketika mereka bersatu padu membentuk barisan pedang ini, tujuan mereka adalah semata-mata untuk dipakai menghadapi lawan yang tangguh.

   Diwaktu mereka bertempur, mereka tidak lupa untuk menyimpan tenaga sebanyak dua bagian, agar supaya diwaktu mereka menjumpai lawan yang berat, mereka masih dapat menindas lawan itu dengan serentak.

   Pertempuran yang bercorak penyerbuan serentak ini, hebatnya bukan kepalang, karena bila penyerbuan macam demikian sudah digunakan, maka dari delapan penjuru angin laksana terbit hujan pedang yang menyerbu pihak lawan mereka, dan cara bertempur macam ini pernah juga mereka pergunakan sekali dalam pertempuran mereka dipuncak gunung Thay-san.

   Mereka mendongkol bukan main mendengar perkataan Lie Siauw Hiong yang telah membangkitkan kemarahan mereka itu, hingga dalam kemarahan yang memuncak mereka bersedia mengorbankan diri mereka untuk bertarung dengan pemuda kita.

   Tatkala itu dengan gerakan yang datar Li Gok telah menusukkan pedangnya kearah Gouw Leng Hong.

   Sedang kawan-kawannya yang bertiga itnpun dengan serentak menyerbu pula terhadap lawan mereka yang lainnya.

   Penyerbuan sekali ini sungguh tepat dengan apa yang dikatakan.

   'sembilan bagian mati satu bagian hidup'.

   Sinar pedang berkelebat laksana hujan lebat yang datang menyerbu pada kedua pemuda itu.

   Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong yang menampak penyerbuan cara nekat-nekatan itu, tak terasa lagi menjadi terkejut juga.

   Diempat penjuru mata angin tampak sinar pedang yang mengurung mereka, hingga tak ada suatu sudutpun yang tidak terancam oleh bahaya maut, lebih- lebih karena serbuan pedang itu laksana jaringan langit yang tak mungkin dapat ditembuskan.

   (Oo-dwkz-oO)

   Jilid 44 Gouw Leng Hong berseru dengan sengit dan lalu menggunakan jurus permainan pedang leluhurnya, yakni ilmu 'Ngo-kwie-toan-hun', pedangnya ditotokkan kekiri- kanan, keatas dan kebawah, hingga sebentar saja tampak seperti sepuluh pedang mengurung disekitar dirinya.

   Li Gok yang menampak hal itu, hanya mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidungnya, kemudian dengan pedang Bwee Hiang Kiam ditangannya dengan sekali putar saja telah menerbitkan suara "Traaaang"

   Yang nyaring sekali, dengan mana ia sudah berhasil membentur pedangnya Gouw Leng Hong.

   Sementara Gouw Leng Hong yang dibuat terperanjat dengan cara penangkisan musuhnya itu, dalam hati ia berpikir, apakah lawannya ini ingin mengadu tenaga-dalam dengannya? Begitu hatinya tergerak, dengan gerakan memiring ia telah menusuk musuhnya dengan tenaga sepenuh- penuhnya.

   Siapa sangka bahwa lawannya inipun dapat bersiasat juga.

   Karena serangan mereka kadang-kadang berupa pancingan belaka, maka sekali pedangnya berputar, tubuh Li Gokpun sudah beralih, kemudian dengan terlihatnya sinar pedang yang berkilau-kilau terdengar suara "tang tang tang"

   Yang beruntun-runtun, berhubung tiga batang pedang telah memapas pedangnya Gouw Leng Hong dengan serentak.

   Gouw Leng Hong merasa tenaga-dalam lawannya cukup tangguh, halmana terbukti dengan telapak tangannya yang dirasakannya sangat panas, sehingga pedangnya sendiri hampir saja terpental keudara, hingga dalam gugupnya buru-buru dia mencekal pedang itu lebih keras lagi, sambil dengan sebat menghalau pula serangan-serangan lawannya yang datang dengan bertubi-tubi.

   Dengan demikian, tidak terasa lagi dia telah mundur sehingga setengah meter jauhnya.

   Lie Siauw Hiong yang menampak hal itu, iapun menjadi terperanjat sekali.

   Lekas-lekas ia membalikkan tangannya dan menangkis beberapa batang pedang yang menyerang kepada Gouw Leng Hong.

   Tapi dengan menerbitkan suara "sreeet"

   Ternyata ikat pinggang Gouw Leng Hong kena terbabat putus oleh salah sebatang pedang lawannya itu.

   Penyerangan lawan tidak berhenti sampai disitu.

   Mereka saling bantu-membantu melakukan penyerangan yang hebat sekali.

   Gouw Leng Hong yang berdiri disebelah kanan dengan gigih dan berusaha mempertahankan diri, keadaannya sungguh membahayakan sekali, hingga Lie Siauw Hiong dengan sengit lalu membacok kekiri-kanan untuk membebaskan Leng Hong dari dalam kepungan musuh.

   Berbareng dengan itu, Gouw Leng Hongpun telah menyerang pada lawannya dengan jurus 'Kwie-ong-pa-ho' (raja setan menyekal obor) dengan jalan memiringkan pedangnya menusuk kepada lawannya.

   Dilain pihak Lie Siauw Hiong dengan ganasnya menyerang setiap lawan yang berada dihadapannya dengan menggunakan jurus 'Hong-seng-put-sip' dari ilmu pelajaran 'Tay-yan-sin-kiam'.

   Jurus 'Kwie-ong-pa-ho' dari Gouw Leng Hong sendiri sudah cukup ganas dan telengas, kecepatannya sangat mengejutkan lawan.

   Dengan menerbitkan suara "tang tang"

   Beberapa kali, ternyata pedang-pedang mereka saling beradu dengan kerasnya.

   Dan disamping itu, dengan penyerangan yang dibantu oleh Lie Siauw Hiong, menyebabkan serangan Leng Hong menjadi luar biasa sekali lancarnya.

   Dimana-mana tampak ada sinar pedang yang menggulung mereka.

   Syukur juga para lawan mereka sudah berpengalaman dalam menghadapi pertempuran besar dan kecil, maka diwaktu menghadapi ancaman pedang sehebat itu, mereka sama sekali tidak menjadi gugup, maka dengan menerbitkan suara yang keras sekali, ternyata pedang mereka telah kena dihantam oleh kedua pemuda itu, hingga dalam waktu yang pendek, keempat lawan itu telah terdesak mundur sehingga beberapa tombak pula jauhnya.

   Selagi pertempuran berlangsung dengan amat hebatnya, tiba-tiba Li Gok menusuk kearah Lie Siauw Hiong dengan gerakan secepat kilat.

   Lie Siauw Hiong yang melihat pedang Bwee Hiang Kiamnya dipegang dalam tangannya Li Gok, didalam hati ia bertekad bulat, bagaimanapun jadinya, ia harus merebut kembali pedang itu dari tangan musuhnya.

   Maka setelah mengambil keputusan yang pasti dan berkelit dari tusukan musubnya, segera juga ia menghampiri kearah Li Gok.

   Pada saat itu Cek Yang, Kouw Am dan Cia Tiang Khengpun sudah menghadang dihadapan mereka sambil melintangkan pedang didada masing-masing.

   Menampak aksi para lawannya ini, Lie Sianw Hiong hanya tertawa dingin saja.

   Begitu pedangnya dikibaskan, segera berkelebat segulungan sinar putih berkilauan yang menyambar kemuka Li Gok.

   Tapi Kiam-sin Li Gok yang sudah ulung dalam permainan pedang, dia hanya membungkukkan badannya sedikit untuk meluputkan diri dari pada samberan sipemuda she Lie, sedang pedang Bwee Hiang Kiam ditangannya digerakkan untuk memapas pedang pemuda itu.

   Leng Hong sudah mengetahui, bahwa Lie Siauw Hiong bermaksud untuk merampas kembali pedangnya yang telah hilang dan kini berada dalam genggaman tangan lawannya, maka diapun tidak mau mengijinkan lawan-lawan lainnya merintangi usaha saudaranya ini.

   Oleh karena itu, diapun lalu menabaskan pedangnya pada Cek Yang Tojin.

   Maksudnya menghadang Cek Yang ini, adalah agar Lie Siauw Hiong dapat dengan leluasa menghadapi Li Gok.

   Begitulah dengan demikian ia telah berhasil dapat mengunci pertahanan Cek Yang dan Kouw Am.

   Dilain pihak Lok-eng-kiam Cia Tiang Kheng bersiul panjang, lalu pedangnya digunakan untuk menyerang dan mencari titik kelemahan pada bagian jalan darah 'Leng-tay-hiat' sang lawan itu.

   Sementara Leng Hong yang menampak serangan berbahaya ini, terpaksa menarik pulang serangannya, kemudian dengan memutarkan tangannya begitu rupa dia telah tangkis serangannya Cia Tiang Kheng.

   Dipihak sana Lie Siauw Hiong beruntun-runtun setelah mengganti serangannya dari jurusan 'Hui kok-liu-tan' (beterbangannya senjata rahasia?) menjadi jurus 'But-hoan-seng-ie' (barang- barang berubah dan hintang beralih), ternyata hasilnya sangat hebat sekali.

   Karena betapapun Li Gok sudah berpengalaman penuh dalam permainan pedang, tidak urung menjadi sangat terperanjat ketika menampak serangan yang maha dahsyat itu.

   Lie Siauw Hiong semakin bertempur semakin gagah dan ganas, hingga sambil berseru keras ia telah menukik sambil menghujani bacokan kepada lawannya.

   Jurus tersebut tampaknya sepele saja, tapi ternyata mengandung perubahan yang tak disangka-sangka, hingga Li Gok yang cukup maklum akan kedahsyatannya serangan itu, lagi-lagi ia menjadi terkejut pula.

   Kemudian sambil bersiul panjang dan secara keras lawan keras menangkis serangan Lie Siauw Hiong.

   Sedang Lie Siauw Hiong yang sudah maju pesat sekali dalam tenaga-dalamnya, iapun sudah bertekad dalam mengadu kekuatan dan sekalian hendak membinasakan lawannya.

   Siapa tahu lawan itupun sudah memiliki tenaga-dalam yang cukup tangguh.

   Karena begitu pedang mereka saling menempel, seolah-olah ada suatu tenaga yang kian lama kian bertambah kuat menindih kepadanya, sehingga tidak terasa lagi dia merasa agak terperanjat juga.

   Segera juga dia menarik kembali tenaga-dalamnya yang lalu dipergunakannya untuk menempel tenaga dalam lawannya.

   Dan setelah mereka menempelkan pedang mereka satu sama lain, tampak tubuh pemuda itu kian lama kian maju kemuka.

   Kejadian ini telah berlangsung dalam waktu yang pendek sekali, dan selama itu Lie Siauw Hiong telah mengetahui, bahwa daya kurungan pedang lawan-lawannya itu dapat berubah-ubah dengan amat cepatnya, sedangkan serangan- serangan para lawan itu selalu mengancam dari arah delapan penjuru angin.

   Jika dikatakan lambat, tapi kejadiannya ternyata sangat cepat, demikianlah dengan mengempos semangatnya, tangan kiri Siauw Hiong segera menggunakan jurus 'Pek- lian-kay-kong' (ratusan ingatan kosong melompong) dari ilmu pelajaran Kong-kong-kun-hoat yang telah dipelajarinya dari Peng Hoan Siangjin.

   Dengan pesat sekali ia telah memapas tulang rusuk lawannya.

   Li Gok tanpa ragu-ragu sudah melompat mundur dengan amat cepatnya, tapi karena pedangnya kena ditempel oleh pedang Lie Siauw Hiong, maka iapun sulitlah untuk menarik pedangnya, hingga ia terpaksa segera balas menyerang pemuda itu dengan menggunakan tangan kirinya juga.

   Lie Siauw Hiong yang merasakan badannya disambar oleh angin kepalan lawannya, diapun segera mengetahui, bahwa lawannya telah membokong dirinya, maka dia tak berani berlaku ayal-ayalan pula dan dengan cepat dia tarik kembali pedangnya.

   Dan tatkala senjata itu disabetkan kebelakang, tuhuhnyapun ikut pula berputar dengan dibarengi oleh suara "traaang"

   Yang keras sekali.

   Karena pada saat itu ternyata dia telah berhasil menangkis serangan gelap lawannya, dan bersamaan dengan itu, ia segera melanjutkan serangannya pada Li Gok.

   Serangan sekali ini telah dilakukan Siauw Hiong dengan sepenuhnya tenaga, halmana terbukti dari angin yang menderu-deru, hingga kekuatannya ini sangat mengejutkan para lawannya.

   Dengan wajah tenang Li Gok maju kemuka untuk menangkis serangan pemuda itu.

   Sambil bersiul panjang Siauw Hiong telah menggunakan langkah Kit Mo Pouw Hoat yang begitu cepat dan lincah, sehingga dilain saat tubuhnya telah melambung ditengah udara dan berputar-putar demikian indahnya, dengan mana ia masih sempat menangkis ujung pedang Li Gok.

   Kemudian dengan gerakan secepat kilat ia menghajar lawannya dengan tangan kirinya.

   Tapi Li Gok yang bermata celi, segera tangan kirinya dikibaskan untuk memunahkan serangan lawannya.

   Sudah itu Siauw Hiong membalikkan tangan kirinya dengan mempergunakan jurus 'Ban-coan-hui-kong' (laksana sumber air menyerbu udara) dengan mana ia telah membuyarkan kesamping tenaga ribuan kati dari Li Gok.

   Dalam waktu yang bersamaan, tampak sepasang kaki Lie Siauw Hiong bergerak dan menyerbu bagian bawah dari pihak lawannya, Li Gok yang sudah terlanjur membalas menyerang pada si pemuda, tatkala melihat serangan balasan lawannya kembali menyerang kepadanya, tidak terasa lagi ia menjadi terkejut sekali, sebaliknya Lie Siauw Hiong berseru.

   "Lepaskan tanganmu!"

   Tangan kanannya memperhebat tenaga-dalamnya untuk menggempur musuh, sedangkan sepasang kakinya segera digerakkan untuk menyapu dan menendang bagaikan kilat cepatnya.

   Tapi biar bagaimanapun juga Li Gok sebagai salah seorang terkemuka dikalangan Rimba Persilatan, pengalamannya sudah banyak dan luas, dengan cepat dia sudah mengambil keputusannya, kemudian tangan kanannya menjadi kendor dan tangan kirinya digunakan untuk menangkis serangan pemuda itu.

   Lie Siauw Hiong jadi tertawa menampak aksi lawannya.

   Lalu tangan kanannya diulurkan dengan cepat, dengan mana dia sudah berhasil merampas kembali pedang Bwee Hiang Kiamnya, sedangkan tangan kirinya dengan tidak melihat-lihat lagi sudah menangkis serangan lawannya.

   Dan tatkala tangan kanannya telah dikibaskannya, ia membentak dengan suara nyaring.

   "Inilah yang disebut barang sudah kembali pada pemiliknya yang sah, apakah engkau situa-bangka she Li masih juga belum mau menyerah?"

   Lalu dia lemparkan pedang biasa yang sejak tadi dia pakai dalam pertempuran itu, sudah itu ia mengelus-elus tubuh pedang Bwee Hiang Kiamnya yang dirasakannya luar biasa sekali tajamnya.

   Maka dengan kembalinya pedang itu kedalam tangannya, semangat bertempurnya pun menjadi berkobar-kobar, hingga tidak terasa lagi ia lalu berseru panjang.

   Tapi siapa tahu Li Gok yang sudah ulung pengalamannya, sekalipun menderita kekalahan yang tragis, tapi masih saja tidak merasa puas, maka dengan tangan kanannya lagi-lagi dia memapas kepada lawannya.

   Ternyata dia sudah penuh keyakinan akan berhasil, karena dengan cepatnya diapun sudah menarik keluar pedang Ie Hong Kiam dari dalam sarungnya, yang segera ditabaskan dengan gerakan secepat kilat kearah Lie Siauw Hiong.

   Lie Siauw Hiong jadi sangat terkejut dan segera berkelit dengan cepatnya, tapi tidak urung beberapa lembar rambutnya telah kena juga terpapas kutung oleh pedang Ie Hong Kiam Li Gok yang amat tajam itu.

   Lie Siauw Hiong setelah berhasil dapat mengelitkan serangan lawannya ini, tidak terasa lagi dia sampai mengeluarkan keringat dingin karena kagetnya.

   Kemudian setelah menetapkan semangatnya, lalu dia berkata dengan suara dingin.

   "Tampaknya kau tua bangka ini masih menyembunyikan kepandaian yang cukup berarti. Bila memang kau memilikinya, silahkan keluarkan saja seluruhnya!"

   Dia mengatakan begitu karena dia tadi merasakan betapa kuatnya tenaga-dalam orang tua tersebut.

   Dan perkataannya ini ternyata mengandung kebenaran dan kenyataan, karena sesungguhnya Li Gok tadi telah mengeluarkan kepandaian keturunan partainya yang tersebut 'Siang-ceng-kie-kang'.

   Tempoh hari begitu dia terima surat undangan Lie Siauw Hiong, dengan segera dia perlihatkan surat tersebut pada Cia Tiang Kheng, dan tatkala dia telah berhasil melatih tenaga-dalamnya begitu rupa, hingga jika dibandingkan dengan dahulu, kini dia sudah maju pesat sekali.

   Maka setelah sekarang dia mengetahui tak ada gunanya untuk menyembunyikan diri lagi, lantas dia pergi kegunung Ngo Hoa San, karena sekalipun usianya sudah lanjut, tapi kelicikan serta kejahatannya tidak menjadi berkurang.

   Ia yakin bahwa dirinya sendiri tidak mungkin dapat mengungguli diri Lie Siauw Hiong, maka dia tidak lupa untuk mengundang bala bantuan pula.

   Pada waktu Lie Siauw Hiong telah berhasil merampas pedangnya kembali, barulah Li Gok mengeluarkan tenaga aslinya yang luar biasa itu, hingga dengan satu kali berbentrokan saja, telah membuat Lie Siauw Hiong hampir saja terjatuh dan binasa.

   Kejadian ini telah menambah semangatnya tidak sedikit.

   Tapi waktu melihat Lie Siauw Hiong dalam keadaan yang begitu berbahaya masih saja dapat memperlihatkan gerakan kaki yang sehebat dan selincah itu, hal ini sesungguhnya berada diluar dugaannya sama sekali.

   Karena sejak dia pulang dari pertemuan dipuncak gunung Thay-san tempo hari, dia telah sempat memperkuat daya penyerangan maupun daya tahan dari barisannya sendiri.

   Maka Li Gok yang menampak serangannya tidak berhasil, hatinya diam-diam merasa gegetun dan sayang, tapi dia tidak mau tinggal diam saja, karena dari belakang lagi-lagi dia melancarkan serangan pada Lie Siauw Hiong.

   Sementara Lie Siauw Hiong yang menampak aksi lawannya ini, tanpa melihat-lihat lagi hanya memutarkan tangannya dengan acuh tak acuh, sebentar ke Timur dan sebentar ke Barat, tapi dengan gerakan seaneh itu pemuda ini telah dapat memecahkan serangan musuhnya itu.

   Kemudian dengan suara yang sombong ia berkata.

   "Orang she Li, kini berhati-hatilah menghadapi serangan balasan!"

   Belum lagi suaranya itu habis, ketika pedangnya sudah menyambar kearah Li Gok.

   Dengan pedang Bwee Hiang Kiam berada dalam genggaman tangannya, tanpa ragu-ragu pula Siauw Hiong mempergunakan ilmu gerakan kaki dari pelajaran 'Kit Mo Pouw Hoat', hingga dengan gerak itu dan pedangnya ia telah menyerang musuhnya dengan sekaligus.

   Sedang Gouw Leng Hong yang juga sudah mengetahui, bahwa saat ini adalah saat melakukan gerak penjepitan untuk memusnahkan desakan kepungan barisan pedang lawan mereka, segera menggunakan ilmu pedang dari leluhurnya, yaitu Toan-hun-kiam-hoat, dengan mana ia telah melancarkan serangan hebat yang digabungkan dengan gerak kaki yang mereka baru pelajari dari kitab Sansekerta yang telah diturunkan oleh Peng Hoan Siangjin, hingga dengan ini mereka berdua benar-benar telah membingungkan pihak lawan mereka.

   Begitulah dengan menerbitkan suara "cros"

   Beberapa kali, sepasang pedang mereka bagaikan tembok yang rapat sekali telah menggencet lawan-lawan mereka dari kiri- kanan dengan amat hebatnya.

   Sekali ini, benar-benar lawan mereka tengah mengalami ancaman yang gawat sekali.

   Begitu badannya berkelebat, Lie Siauw Hiong sudah keluar dari kurungan pedang lawannya, kemudian dengan ganasnya dia menusukkan pedangnya kearah Li Gok, sambil berbareng melanjutkan gerakan pedang itu untuk dipakai menyerang Kouw Am.

   Kedua orang ini setelah berhasil menembus kurungan barisan pedang musuh, bagaikan ikan yang ketemu air kembali, dengan gesit mereka menerobos kesana kemari dan dengan memperdengarkan suara "Cras, cras"

   Beberapa kali, pedang Lie Siauw Hiong berulang kali telah beradu dengan pedangnya Li Gok.

   Begitu kedua lawan lama ini mengeluarkan kekuatan masing-masing, maka Li Gok mengetahui, bahwa menang- kalahnya adalah ditentukan dalam saat ini juga.

   Dengan berseru dia memusatkan seluruh kekuatan serta kemahirannya dalam usaha melawan lawannya, dengan beruntun pedang mereka saling beradu pula untuk kesekian kalinya, kemudian Lie Siauw Hiong dengan memusatkan seluruh kekuatannya pada tangan kanannya yang mencekal pedang, dengan tangkas dia menangkis pedangnya Li Gok.

   Dan atas penangkisan pedang sipemuda sekali ini, Li Gok tidak dapat mempertahankan lebih lanjut, berhubung pedangnya dengan serta merta, terlempar keudara! Kiam-sin Li Gok sekalipun mengalami kekalahan, tidaklah ia menjadi gugup, tapi dengan menggunakan tangan kirinya ia menjaga dadanya, sedang tangan kanannya tetap melancarkan serangan balasan pada pemuda kita.

   
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lie Siauw Hiong sambil tertawa panjang dan dengan gerak acuh tak acuh, lalu dia tancapkan pedangnya kedalam tanah, kemudian dengan tangan kosong dia menangkis pukulan lawannya.

   Tenaga yang dikeluarkannya ini benar-benar sangat hebat, hingga dengan menerbitkan suara "Pak!"

   Yang amat nyaring, beradulah kedua tangan tersebut.

   Dan sewaktu kedua tangan itu saling beradu, Lie Siauw Hiong lalu menarik-kekuatan tangannya dengan menyedot tangan lawannya, sehingga tangannya Li Gok melekat erat sekali.

   Sedangkan dipihak lainnya, Gouw Leng Hong dengan memutarkan pedangnya telah mengurung ketiga orang lawannya, dan dengan pedangnya yang dimainkan sedemikian dahsyatnya, ia telah dapat menggiring ketiga lawannya mundur kesebelah kiri.

   Karena tak mau ia dibantu oleh pemuda kita, maka begitulah dia menggiring Cek Yang dan kawan-kawan kearah kiri.

   Li Gok yang mengadu lweekang dengan Lie Siauw Hiong, akhirnya telah mulai tampak siapa yang bakal menang dan siapa pula yang akan kalah, karena biarpun ia telah mengempos semangatnya, tetap tidak urung ia telah terdesak juga oleh lawannya sehingga napasnya empas- empis.

   Kouw Am dan Cek Yang Tojin yang tidak mengetahui maksud pemuda she Lie itu, karena terpisah dari gelanggang pertempuran itu, maka merekapun tidak dapat saling bantu kawan-kawannya, lebih-lebih karena Gouw Leng Hong telah memainkan pedangnya bagaikan angin cepatnya, hingga sesaat lamanya mereka tak berdaya akan keluar dari kalangan pertempuran barang setindakpun.

   Sekonyong-konyong Cia Tiang Kheng dan Cek Yang Tojin, dengan gerakan yang berbareng mendesak kepada Gouw Leng Hong, sedang Kouw Am menggunakan kesempatan ini untuk buru-buru melepaskan diri dan berlari kearah Li Gok, untuk membantu kawan itu yang mulai keteter.

   Halmana, telah membuat Gouw Leng Hong menjadi terperanjat, hingga dengan cepat dia putarkan pedangnya untuk menghalang-halangi jalan larinya Kouw Am, tapi tetap dia tidak berhasil.

   Maka setibanya Kouw Am disisi kawannya, buru-buru ia mengulurkan tangannya kepunggung kawannya, dengan jalan mana ia telah membantu menyalurkan kekuatan lweekangnya pada kawannya untuk melawan musuh.

   Ternyata tenaga-dalam Kouw Am tak dapat dicela, karena begitu ia membantu Li Gok, Lie Siauw Hiong segera merasakan ada tenaga yang keras sekali menindih kepadanya, hingga tidak terasa lagi semangatnya jadi tergoncang juga, tapi buru-buru ia memusatkan kekuatannya untuk menahan tenaga lawannya itu.

   Gouw Leng Hong yang melihat pemuda kita seakan- akan agak keteter, iapun segera putarkan pedangnya semakin cepat pula, sehingga lawannya terdesak hebat, dan hanya Cia Tiang Kheng yang telah mengeluarkan kepandaiannya yang seimbang dahsyatnya, barulah dapat mempertahankan diri sehingga tidak terdesak kesuatu pinggiran.

   Cek Yang yang melawan musuhnya semakin lama semakin tidak ungkulan, sambil berseru keras pedang ditangannya lalu digerakkan dengan menggunakan jurus 'Pun-tian-jip-lui' (kilat menyamber kedalam guntur) dari pelajaran 'Kiu-kiong-sin-heng-kiam', tiba- tiba ia mengajukan serangan menggertak untuk kemudian berlompat mundur.

   Gouw Leng Hong sama sekali tidak menyangka, bahwa lawannya ini akan dapat berlaku sedemikian licinnya, berhubung Cek Yang ingin sekali membantu Li Gok turun tangan terhadap diri Siauw Hiong, hingga tidak terasa lagi hatinya jadi terkejut dan buru-buru menangkis serangan Cia Tiang Kheng, akan kemudian ia segera memburu musuh itu.

   Dengan sebat ia kelitkan tusukan pedang Cia Tiang Kheng, sudah itu ia melesat menyusul Cek Yang, yang pada saat itu sudah lari sejauh tiga tombak lebih.

   Oleh karena ia telah mengetahui betapa kejam dan telengasnya Cek Yang, maka dalam gugupnya tanpa memperhitungkan sesuatu lagi, lekas-lekas ia bentangkan ilmu yang dipelajarinya dari Peng Hoan Siangjin, yaitu ilmu mengentengi tubuh yang berasal dari Thian-tiok.

   Ilmu dari Thian-tiok ini ternyata bukan omong kosong.

   Karena begitu dia bentangkan ilmu tersebut, segera juga ia mengejar Cek Yang Tojin bagaikan angin cepatnya.

   Hati Cek Yang Tojin yang sangat gugup, telah membuat ia berlari terlebih keras lagi, ketika dengan sekonyong- konyong ia merasakan ada angin yang menyambar dari arah belakangnya.

   Halmana sudah barang tentu, telah membuatnya jadi terkejut bukan main, berhubung dia tak mengetahui, bahwa kepandaian mengentengi tubuh Gouw Leng Hong kini telah mencapai kesempurnaannya.

   Dalam kekagetannya itu, ia segera mengirimkan tenaga- dalam yang sehebat-hebatnya dari kejauhan, untuk menyerang kepada Lie Siauw Hiong dengan jurus terlihay dari partay Bu-tong yang bernama ilmu Kian-kun-cie.

   Kekuatan ilmu Kian-kun-cie ini sesungguhnya sangat luar biasa sekali, Gouw Leng Hong yang menyaksikannya hal itu, matanya menjadi merah, maka sambil berseru keras, tubuhnya mengapung kembali, kemudian dengan menggunakan jurus 'Thian-ma-heng-kong' (kuda semberani berlari diawan) dia melewati kepalanya Cek Yang Tojin, dengan sebelah kakinya dibarengi menendang dengan sepenuh tenaganya kearah musuh itu.

   Cek Yang Tojin tidak menduga bahwa Gouw Leng Hong yang tubuhnya tengah berada ditengah-tengah udara dapat mengeluarkan serangan yang selihay itu, maka buru- buru ia berkelit dengan menggunakan jurus 'Hong-tiam- tauw' (burung hong manggutkan kepala), mengelitkan sepakan Gouw Leng Hong itu.

   Dan bertepatan dengan kejadian tersebut, Lie Siauw Hongpun telah menggunakan kesempatan untuk melangsungkan serangan balasan kepada Cek Yang Tojin.

   Ketika tubuh Gouw Leng Hong masih berada ditengah udara, sekonyong-konyong dia merasakan ada sinar pedang yang berkelebat menyerang dirinya.

   Waktu dia melirikkan matanya memandang, ternyata Cia Tiang Kheng-lah yang melakukan penyerangan tersebut, maka dengan membalikkan tubuhnya, dia segera menangkis serangan musuhnya itu.

   Sementara Lie Siauw Hiong yang kini dengan seorang diri menghadapi tiga orang lawan, dia masih tetap dapat mempertahankan dirinya dengan lebih bersemangat pula, maka sambil tertawa terkekeh-kekeh ia berkata.

   "Para ahli waris dari partai-partai yang terhormat, aku kira kalianpun masih ingat kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, yaitu Bwee San Bin Tayhiap dengan seorang diri telah melawan kalian bertiga juga, sedangkan Cia Loo-Su dengan secara yang bukan main hebatnya telah membokongnya .."

   Tatkala itu Li Gok telah menggunakan kesempatan selagi Lie Siauw Hiong bercakap-cakap, diam-diam dia telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga-dalamnya untuk menggempur pihak lawannya, hingga Lie Siauw Hiong merasa telapak tangannya agak panas, kemudian dengan mengempos semangatnya yang menyala-nyala, dia telah mempertahankan dirinya, sedangkan dari mulutnya ia terus mengoce.

   "Kepandaian Cia Loosu yang bernama Chit-coat-ciu-hoat atau 'tujuh pukulan maut' itu, benar- benar hebat sekali, karena sekali totok saja Sin-kun telah terkalahkan, dan nama yang didapatkannya sungguh bukannya nama kosong belaka .."

   Perkataan-perkataan yang diucapkannya itu, sepatah demi sepatah sangat menusuk sekali perasaan lawannya, hingga Cia Tiang Kheng yang mendengar perkataan pemuda kita, dalam hatinya merasa pedih bagaikan disayat- sayat oleh pisau tajam.

   Lalu pedangnya yang tajam tiba-tiba ditusukkannya dengan hebat sekali, sehingga Gouw Leng Hong yang menangkisnya masih merasakan kehebatan getaran tenaga-dalam lawannya yang benar-benar amat dahsyat, hal mana mau tak mau harus diakuinya juga.

   Muka Cia Tiang Kheng pucat bagaikan besi, tapi ia telah paksakan diri tertawa dingin sambil berkata.

   "Orang she Lie, permusuhan kami tentu saja mempunyai jalan sendiri- sendiri, yaitu permusuhan ada mulai dan akhirnya, bagaikan hutang yang tentu pula ada penagihnya. Ayah orang she Gouw ini, pada tahun yang lampau dibawah air terjun telah membunuh ayahku, maka hutang jiwa itu kini harus dilunaskan .."

   Dan begitu ia selesai berkata, lalu pedangnya dipakai membabat leher Gouw Leng Hong dengan gerakan secepat kilat.

   Lie Siauw Hiong sebenarnya berkesan baik sekali terhadap Cia Tiang Kheng ini, hingga apa yang dikatakannya itu, hanya merupakan satu nasihat belaka.

   Dia tidak tahu bahwa selama beberapa tahun ini siang dan malam lawannya ini selalu terkenang-kenang atas kejadian- kejadian yang telah lampau itu, sehingga pedomannya sebagai 'seorang ksatria sejati yang boleh mati tapi tidak boleh terhina orang', jadi semakin jelaslah dalam kesimpulannya.

   Seketika itu juga tiba-tiba Gouw Leng Hong terdengar berseru.

   "Berhenti .."

   Teriakan Gouw Leng Hong ini adalah merupakan pemusatan dari kekuatan tenaga lweekangnya, begitu suaranya keluar sekeras suara genta, batu-batu seolah-olah pada berhamburan, sehingga meski orang-orang yang berada dalam gelanggang pertempuran itu rata-rata terdiri dari jago-jago kelas satu, tidak urung mereka jadi terkejut juga mendengar seruan Leng Hong yang memekakkan telinga itu.

   Dengan menggunakan kesempatan selagi Cia Tiang Kheng tengah terkejut, tubuhnya Gouw Leng Hong sudah melesat tiba dan dengan cepat telah mencekal Cia Tiang Kheng, hingga perbuatan ini telah membuat Cia Tiang Kheng terkejut bukan kepalang.

   Maka sambil menghela napas panjang ia berkata.

   "Bagus, orang she Gouw, apakah kau merasa tidak puas .."

   Dengan suara lantang Gouw Leng Hong menjawab.

   "Cia Loosu, sekali-kali janganlah engkau salah sangka, aku .. aku .."

   Dia yang sesungguhnya belum lama baru turun gunung, sehingga pengalaman yang dikumpulkannya masih belum cukup banyak, pada saat itu benar-benar tidak dapat menjawab sebagaimana mestinya, oleh karena itu, dia hanya dapat menjawab dengan suara yang tidak lancar.

   "Aku .. aku .."

   Dua perkataan saja, sedangkan perkataan selanjutnya gagal keluar dari tenggorokannya, sehingga saking gugupnya, seluruh mukanya menjadi merah saking jengahnya. Sekonyong-konyong dari balik bayangan pohon Bwee terdengar suara orang tua yang parau.

   "Cia Sieheng, coba kau lihat, siapakah gerangan aku ini?"

   Dari balik bayangan pohon Bwee tersebut, dengan secara tiba-tiba terdengar suara orang, yang kedengarannya sangat dingin sekali.

   Dan tatkala Cia Tiang Kheng mendengar suara tersebut, ia jadi tercengang sekali.

   Sudah itu, diantara pohon Bwee itu tampak berjalan keluar seorang tua dengan tindakannya yang tenang sekali.

   Cia Tiang Kheng dan Li Gok jadi sangat terkejut menyaksikan perkembangan peristiwa ini, hingga muka mereka menjadi pucat bagaikan abu dan tidak sepatah katapun dapat diucapkan mereka disaat itu.

   Para ciang-bun-jin dari masing-masing partai yang berada dalam gelanggang pertempuran tersebut, semuanya sama-sama berkeadaan demikian juga.

   Siapakah gerangan orang yang muncul dihadapan mereka itu? Ialah orang yang pada beberapa belas tahun yang lampau mereka telah bokong dan mengira bahwa orang itu telah mati, yaitu Chit- biauw-sin-kun Bwee San Bin! Pada waktu yang lampau dimana Bwee San Bin pernah mengembara di Kang-lam dan Kang-pak, tindak-tanduknya selalu penuh diselubungi rahasia, hingga apa yang telah dikatakannya, pastilah segera dikerjakannya.

   Dia sudah berkebiasaan untuk berbicara dengan secara getas dan pasti, halmana, jika dibandingkan dengan perkataan Li Gok, tentu saja tidak sama, karena yang belakangan itu ternyata perkataannya tidak dapat dijadikan pegangan yang teguh.

   Begitu Chit-biauw-sin-kun Bwee San Bin muncul, keempat orang lawannya menjadi terkejut bukan buatan, hati mereka seolah-olah terasa kosong belaka, sedangkan Bwee San Bin sendiri seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali atas kelakuan para lawannya itu, maka dengan suara yang lemah-lembut ia berkata kepada Cia Tiang Kheng.

   "Orang yang dilahirkan kedunia itu, tentu sekali mempunyai cita-cita sendiri. Mengenai kelakuan dan tindakan yang menyeleweng yang pernah dilakukan selama hidupnya, asalkan dia dapat menginsyafi kesalahannya dan mau mengubahnya, maka itulah masih belum terlambat."

   Chit-biauw-sin-kun yang terkenal sebagai seorang Bun- bu-coan-cay atau mahir ilmu surat dan bersilat dengan sekaligus, tempo hari diwaktu pertama kali bertemu dengan Cia Tiang Kheng, diapun mempunyai kesan-kesan yang baik sekali terhadap diri anak muda ini.

   Maka bersamaan dengan itu, ia sendiripun sering berpikir.

   "Andaikata aku ini adalah dia sendiri, aku bagaimana pula harus bertindak?"

   Sekalipun Cia Tiang Kheng dengan totokannya pernah memunahkan seluruh kepandaiannya, sampaikan jiwanyapun sangat terancam oleh karenanya, tapi kesannya terhadap siorang she Cia tinggal tetap tidak berubah.

   Ia sesungguhnya dapat memaafkannya atas tindakan Tiang Kheng yang tidak disengaja itu, meski orang-orang dikalangan Kang-ouw mengatakan, bahwa Bwee San Bin amat sempit jalan pikirannya, hingga tidak kapok akan permusuhan dibiarkan begitu saja tanpa dibalasnya.

   Maka dengan tindakannya terhadap Cia Tiang Kheng pada kali ini, bukankah itu berlawanan dengan kebiasaan sehari-hari dikalangan Kang-ouw? Lie Siauw Hiong sendiripun mempunyai kesan yang cukup baik pula terhadap Cia Tiang Kheng ini.

   Sekarang dengan munculnya dia disitu, adalah untuk mewakilkan orang tua itu menuntut balas kepada musuh-musuhnya, maka pada saat itu ketika ia mendengar perkataan orang tua tersebut, diapun mengetahui bahwa orang tua itu telah memberi pengampunan terhadap Cia Tiang Kheng.

   Sedang Cia Tiang Kheng sendiri ketika melihat munculnya Bwee San Bin, hatinya jadi merasa sangat menyesal atas segala tindakannya pada waktu-waktu yang lampau itu, sehingga dengan berdiri terpekur ia menyekal pedangnya, dengan ujungnya tergantung hampir menyentuh tanah.

   Diwaktu mendengar orang tua itu berkata.

   "..AsaIkan orang yang bersalah dapat mengubah kesalahannya .."

   Tiang Kheng seolah-olah orang yang mendengar guntur ditengah hari bolong.

   Segala sesuatu yang terjadi tempo hari, kini terbayang kembali satu-persatu dikelopak matanya, hingga apa yang ia tak dapat pecahkan selama sepuluh tahun itu, kini telah dapat penyelesaian dengan secara memuaskan sekali.

   Maka dalam detik yang pendek itu, dia merasa dirinya seolah-olah menjadi lebih tua berapa puluh tahun, demikian juga dengan pengertiannya yang tidak dimengertinya pada masa yang lampau itu ..

   Sekonyong-konyong dia mengangkat pedangnya, setelah memandang sesaat pada Bwee San Bin, sekonyong- konyong ia telah menabaskan pedangnya dengan menerbitkan suara "cras", sudah itu pedangnya telah berpindah ketangan kirinya dan sekali lagi terdengar suara "cras"

   Yang telah mengejutkan semua orang.

   Setelah peristiwa tersebut terjadi, maka tampaklah sepasang tangannya penuh berlumuran darah yang jatuh berderai-derai, karena ternyata sepasang ibu jarinya telah kutung dan jatuh keatas tanah.

   Sudah itu dia menjepit pedangnya dengan jari teunjuk dan jari tengahnya, kemudian melontarkan pedang 'Lok-eng-kiam' sehingga menancap sampai setengahnya diatas sebatang pobon, kemudian pemilik pedang itu sendiri melesat tanpa menolehkan kepalanya lagi kearah pihak kawan dan lawannya.

   Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong yang melihat Tiang Kheng telah memusnahkan sepasang ibu jarinya yang mana berarti bahwa untuk seumur hidupnya dia tak akan dapat memainkan pedangnya lagi, mereka berdua merasa sangat menyesal dan sayang akan lenyapnya kemampuan memainkan pedang siorang she Cia yang begitu bagus dan libay.

   Sedangkan Bwee San Bin sendiri, sambil mendongak kelangit, diam-diam memuji didalam hatinya atas tindakan Cia Tiang Kheng sebagai seorang ksatria sejati.

   Ketika angin gunung meniup, daun-daun pohon bergoyang-goyang yang berkeresekan.

   Seketika itu Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong mendapat firasat sesuatu yang tidak wajar, sebaliknya Li Gok, Cek Yang dan Kouw Am bertiga, kini menginsyafi, bahwa keadaan mereka lebih banyak celaka daripada selamat, tapi semua itu membuat Li Gok dan Cek Yang yang tengah menghadapi saat-saat kematian mereka tinggal tetap tidak merasa menyesal, maka bergerak dengan berbareng, mereka telah menggunakan kesempatan selagi Lie Siauw Hiong tidak berjaga-jaga, mereka segera melakukan penyerangan dengan serentak.

   Tapi Lie Siauw Hiong yang menampak serangan tersebut, lalu membentak dengan suara nyaring, kemudian sambil memasang bhesinya dengan teguh dia menangkis serangan kedua orang itu dengan sehebat-hebatnya, sehingga ia masih sempat melancarkan balasan terhadap Li Gok.

   Sedangkan penyerangan Cek Yang yang telah dikirim balik dengan sekaligus, telah membuat orang yang belakangan ini terdesak sehingga mundur lima atau enam tindak jauhnya.

   Disaat itu Gouw Leng Hong telah mengetahui maksud Lie Siauw Hiong, maka dengan cepat dia menghalangi Cek Yang dengan mengirimkan sebuah tusukan, halmana telah dilakukannya untuk mencegah agar Cek Yang tidak turut pula dalam gelanggang pertempuran untuk mengeroyok Siauw Hiong dengan satu lawan tiga.

   Sedangkan Cek Yang sendiripun telah maklum, bahwa Lie Siauw Hiong bermaksud agar ia dapat dijatuhkan oleh Gouw Leng Hong dengan satu lawan satu.

   Begitu ia menyerang kembali, Gouw Leng Hong tidak main sungkan-sungkan lagi, karena sesungguhnya ia paling benci terhadap Cek Yang ini, apa lagi dia inilah yang telah menyebabkan kematiannya Kim Loo-ji, hingga peristiwa mengenaskan itu membuat hatinya bertambah mendidih dan bertekad bulat untuk membinasakan musuh besarnya ini.

   Cek Yang Tojin yang pernah menerima pengajaran dari pemuda ini, dimanalah ia berani berlaku gegabah, maka diapun segera melancarkan pula serangan-searngan balasan yang tidak kalah hebatnya, tapi kesemuanya itu tidak dapat menjatuhkan pemuda kita.

   Bwee San Bin yang menyaksikan pertempuran tersebut dari samping, diapun mengetahui bahwa baik tenaga-dalam maupun kepandaiannya, Gouw Leng Hong sudah dapat digolongkan pada tingkat ahli silat kelas satu, tapi sayang sedikit pengalaman bertempurnya masih kurang, hingga tak terasa lagi ia mengerutkan keningnya dan berkata.

   "Kepandaian anak ini ternyata sudah jadi, tapi dia tak dapat berlaku secerdik Hiong Jie .."

   Tengah dia termenung, sekonyong-konyong pedang Gouw Leng Hong dari langkah Tiong-kiong telah memasuki Hong-bun, dengan saling berhadapan dia melancarkan serangan yang amat ganasnya kepada Cek Yang dari arah samping.

   Jurus yang digunakannya ini benar-benar hebat sekali, sehingga membuat Cek Yang jadi terkesiap dan dengan memaksakan diri ia melakukan penangkisan dengan gerak yang tidak wajar.

   Ternyata jurus yang dipakai oleh Gouw Leng Hong ini adalah merupakan gertakan yang berisi, begitu dia menampak serangannya ditangkis, diapun sudah mengubah pula serangannya.

   Chit-biauw-sin-kun yang menampak hal itu, tidak terasa lagi dengan suara yang dingin lalu menimbrung sambil berkata.

   "Serang bagian bawahnya!"

   Mendengar kata orang tua itu, Leng Hong menjadi agak tercengang, tapi seketika diapun mengertilah maksud orang tua itu.

   Oleh karena pengalaman Chit-biauw-sin-kun itu sangat hebat, sudah tentu saja apa yang dikatakannya itu pasti akan membawa hasil yang baik sekali baginya, maka dengan gerakan secepat kilat ia telah menendang Cek Yang, yang telah mengenai tepat sekali pada tubuh batang pedang toosu itu sehingga senjata itu terlepas dan terlempar keudara.

   Cek Yang Tojin yang kini kehilangan pedangnya, semangatnya entah sudah terbang kemana, sambil membalikkan tubuhnya, dia segera mundur sehingga sepuluh langkah lebih jauhnya.

   Gouw Leng Hong yang kemarahannya telah memuncak, sepasang matanya menjadi merah.

   Setindak demi setindak dia melangkah maju sambil berseru.

   "Cek Yang Toocat, seumur hidupmu senantiasa kau berbuat kejahatan, sekarang kau harus menyerahkan jiwamu sebagai penebus dosa-dosamu itu!"

   Cek Yang mengetahui, bahwa Gouw Leng Hong bukanlah menjadi lawannya yang setimpal, tapi dia masih mempunyai harapan satu-satunya untuk meloloskan dirinya, yakni sambil mundur dia menjatuhkan dirinya ketanah, dengan mana ia bertekad untuk mengambil pedang Ie Hong kepunyaan Li Gok.

   Maka Leng Hong yang menampak aksi lawannya ini, iapun menjadi terkejut dan dengan cepat pula memasukkan pedangnya kearah tubuh musuhnya itu.

   Cek Yang Tojin tidak menyangka bahwa Gouw Leng Hong dapat melancarkan serangan yang sedemikian cepatnya, maka pada sebelum ia keburu membalikkan tubuhnya, pedang Gouw Leng Hong telah terpancang dibadannya.

   Tapi dalam saat kematiannya ini, dia masih sempat berteriak dan melontarkan pedang Ie Hong Kiam itu kepada Gouw Leng Hong.

   Sipemuda she Gouw yang pada saat itu sudah berhasil menancapkan pedangnya ditubuh Cek Yang Tojin, kini dengan secara tiba-tiba melihat lawannya dengan sisa tenaganya yang terakhir telah melontarkan pedang Ie Hong Kiam dengan sekuat tenaganya, halmana terbukti dengan menderu-deru angin yang keluar dari pedang yang dilontarkannya itu, hingga pedang tersebut dengan lurus menjurus kebadannya.

   Leng Hong yang belum cukup pengalaman dalam Rimba Persilatan, ketika menampak kejadian ini ia menjadi kesima.

   Syukur juga Bwee San Bin lekas berteriak.

   "Gunakan pedangmu!"

   Leng Hong insyaf dan segera melontarkan pedangnya sendiri, sehingga dengan menerbitkan suara yang keras sekali pedang itu saling beradu dengan memancarkan bunga-bunga api.

   Pedang Ie Hong adalah pedang kuno, sedangkan pedang Toan-hun-kiam dapat menabas besi bagaikan tanah liat.

   Tapi atas beradunya kedua pedang ini, pedang Toan-hun- kiam patah menjadi dua potong, sedangkan pedang Ie Hongpun karena gempuran tersebut, arahnya menjadi miring dan melesat agak kekiri.

   Ternyata tenaga Cek Yang cukup hebat, karena terbukti sekalipun pedang Ie Hong Kiam yang dilontarkannya itu kena dibentur dengan pedang lawannya, tapi pedang itu masih tetap meluncur kemuka terus dan akhirnya jatuh dalam jarak sepuluh tombak lebih dan masuk kedalam jurang yang ribuan tombak dalamnya.

   Demikianlah, pedang kuno ini kini yang semulanya berasal dari dalam tanah, telah berbalik kepada asalnya tersimpan dibawah bumi pula.

   Teriakan Cek Yang Tojin yang begitu nyaring telah mengagetkan orang yang sedang bertempur dipihak lainnya.

   Oleh karena tangan Kouw Am yang menempel dipunggung Li Gok telah ditarik kembali, maka Li Gok yang secara sekonyong-konyong merasakan tenaganya menjadi kendor, kini dia tahu pasti, bahwa ia akan mengalami kebinasaan, tatkala mengetahui Kouw Am ingin meninggalkannya pergi dan membiarkan dirinya sendiri melawan musuh, hingga tak terasa lagi dia menjadi geram dan berseru nyapnyap.

   "Siangjin, tunggulah sebentar!"

   Dengan tangan kirinya dia menyerang kawannya sendiri, tapi Kouw Am dengan cepat menangkis serangan rekannya, kemudian dengan meminjam tenaga lawannya, dia berlompat mundur tiga atau empat tombak jauhnya.

   Sudah itu dengan cepat bagaikan angin dia telah melesat pergi.

   Gouw Leng Hong yang kehilangan Toan-hun-kiamnya, dengan bertangan kosong ia terpaksa menghalang-halangi jalan mundur lawannya, tapi kemudian Cbit-biauw-sin-kun kedengaran berkata.

   "Hong Jie, biarkanlah dia melarikan diri!"

   Gouw Leng Hong jadi tercengang, karena seketika itu Kouw Am dengan cepat telah pergi jauh. Bwee San Bin lalu berkata.

   "Orang itu belum banyak melakukan kejahatan,"

   Kata Bwee San Bin.

   "apa lagi dia adalah murid Budha, maka biarkan saja dia pergi tanpa diganggu."

   Sementara Lie Siauw Hiong dengan menggunakan kesempatan selagi Li Gok tengah berkutat dengan Kouw Am, ia telah mengumpulkan tenaganya dengan cepat serta melancarkan serangannya, sehingga Li Gok kena terpukul dan terpental kesuatu tempat yang terpisah tiga atau empat tombak jauhnya.

   Selanjutnya sambil melintangkan pedangnya Lie Siauw Hiong lalu berkata.

   "Orang she Li, urusan hari ini, sudah jelas tak akan berakhir baik bagi dirimu .."

   Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Li Gok tidak menjawab perkataan pemuda kita, hanya dengan sekonyong-konyong saja ia menghela napas sambil berkata.

   "Sudahlah!"

   Kemudian dengan perasaan putus asa ia berkata pula dengan nada sedih.

   "Sudahlah, sudahlah, hari ini aku orang she Li mengaku kalah terhadapmu .."

   Sehabis berkata begitu, ia telah mengangkat tangannya dan terus dipukulkan pada batok kepalanya sendiri, hingga dengan mengeluarkan suara "buk!"

   Yang nyaring sekali, seketika itu juga daging dan darahnya berceceran dan beterbangan diudara ..

   Dengan demikian, Kiam-sin Li Gok yang bertabiat kejam dan telengas serta licik, dimana separuh hayatnya berbuat kejahatan yang tidak ada bandingannya, akhirnya telah menemui juga ajalnya dibawah pukulan tangannya sendiri! Ketika angin gunung meniup sepoi-sepoi basah dengan mengeluarkan suara berkeresekan dan berirama bagaikan musik tengah mengalun sayup-sayup sampai dengan disertai bebauan bunga Bwee dan Siong, orangpun sukar percaya, bahwa ditempat yang demikian sunyi dan tenangnya itu pernah terjadi pertempuran yang sehebat tadi! Lima jago dari Tiong-ciu setelah mundurnya partai Siauw-lim, mereka tadinya terkenal sekali, sedangkan nama merekapun cukup menggemparkan dalam Rimba Persilatan.

   Tapi setelah pertempuran sekali ini, mereka seluruhnya dapat dijatuhkan oleh Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong, maka apa yang dikatakan bahwa dunia ini tidak tetap, adalah suatu kenyataan yang sukar dibantah pula.

   Diatas puncak gunung Ngo-hoa-san angin utara meniup dengan amat dinginnya, dikala mana Chit-biauw-sin-kun dengan memegang tangan kedua pemuda itu tampak berdiri sambil memandang ketempat jauh.

   Sedang kejadian beberapa belas tahun yang lampau satu-persatu melintas dikepalanya bagaikan sebuah impian saja.

   Limabelas tahun yang lampau dimana para lawannya pernah berusaha membinasakannya, kini yang mati sudah mati, yang lari sudah lari, hingga kini dia tidak mempunyai pikiran apa- apa pula.

   Kepandaian kedua pemuda ini boleh dikatakan sudah jauh melampaui para guru mereka, maka selama seratus tahun ini, didaerah Tiong-goan hanya merekalah yang paling jago dan hebat, oleh karena itu, cara bagaimanakah dia tidak merasa puas? Angin gunung meniup dan mengubah awan-awan diangkasa.

   Dalam pada itu dengan nada suara penuh kesukaan kedengaran Bwee San Bin bersenandung.

   "Menyanyi sambil menghadapi arak, hidup orang sampai kapan? Misalnya matahari terbit, dimana ada batas-batas waktunya dimana akhirnya ia harus mengundurkan diri pula? Sewaktu masih muda, selayaknya pikiran yang ruwet harus dihilangkan .." (Oo-dwkz-oO) Semalam suntuk salju yang besar turun kemuka bumi, sehingga kota Tiong-An seolah-olah ditabur oleh perak. Pada pagi hari salju sudah berhenti turun, langit pelahan- lahan mulai terang kembali. Dijalanan sebelah barat tampak mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh keledai, dengan kusirnya yang bernama Loo-Ong saban-saban terdengar berteriak dan memukul keledainya yang sudah mengigigil kedinginan. Lalu dia menengadahkan kepalanya memandang kelangit, dimana dia melihat awan yang berwarna biru, tapi waktu melihat kembali kemuka bumi yang masih tertutup oleh salju yang diam-diam dia menggerutu.

   "Kemarin malam salju turun sedemikian tebalnya, dikuatirkan pertukaran musim sudah tidak cocok lagi!"

   Sekonyong-konyong siliran angin yang keras telah meniup datang, sehingga tanpa merasa lagi ia menggigil kedinginan dan buru-buru menarik mantalnya untuk menutupi telinganya.

   Diatas jalanan tidak tampak bayangan seorang manusiapun, hingga dalam hati Loo Ong berkata.

   "Biarlah aku tunggu sebentar pula. Setelah masing-masing pintu dibuka dan melihat jalanan begini licin, sekalipun orang- orang yang sehari-hari tidak pernah memakai kereta, kini terpaksa harus menaik keretaku juga."

   Begitulah dia menjalankan keretanya disepanjang jalan sebelah barat, dan setelah berjalan kurang lebih hampir setengah perjalanan itu ia melihat pintu sebuah rumah yang besar sudah terpentang lebar.

   Didepan pintu itu tampak seorang anak kecil tengah menyapu salju.

   Loo Ong yang bermata tajam, dengan cepat ia sudah dapat mengenali anak yang tengah menyapu salju itu sambil berkaok.

   "Siauw Ie, tidak heran selama berapa bulan ini aku tidak pernah menjumpaimu, kiranya kau telah bekerja pada tuan besarmu disini? Kemarin malam mengapa kau tidak turut datang main kartu?"

   Orang yang dipanggil Siauw Ie itu hanya seorang anak yang baru berumur kurang lebih empat atau limabelas tahun saja.

   Badannya ditutupi dengan pakaian yang sudah tua dan compang-camping, tapi semangatnya tetap menyala-nyala, sedikitpun dia tidak merasakan hawa udara yang dingin itu.

   Dan tatkala mendengar ia ditanya, Siauw Ie lalu menjawab.

   "Ong Twako, aku tidak mau main kartu lagi, sekarang aku sungguh amat sibuk, setiap malam nonaku pasti akan mengajariku huruf-huruf."

   Mendengar jawaban anak itu, kedengaran Loo Ong tertawa terbahak-bahak dan berkata.

   "Aku sungguh tidak menyangka, bahwa kau yang sudah sebesar ini baru mulai belajar mengenali huruf, apakah barangkali kau ingin menjadi Cong-goan?" (Cong-goan = jaman dahulu di Tiongkok adalah sebuah gelar tertinggi bagi seseorang dalam pelajaran sekolah, sekarang dapat dipersamakan kurang lebih dengan tingkat sarjana). Dengan muka bersungguh-sungguh, Siauw Ie lalu menjawab.

   "Dahulupun aku mengira kita sebagai orang- orang yang miskin dan hina, kecuali menjual tenaga mencari nafkah, masih dapat berbuat apakah lagi? Tapi sejak Lan Kho-nio mempelajari aku huruf, pikiran semacam tersebut diatas sudah terkikis habis dari otakku. Lan Khonio mengatakan bahwa orang miskinpun adalah manusia juga, maka mengapakah lain orang dapat mengerjakan, kita tidak? Kau jangan mengatakan umurku sudah besar, Lan Khonio pernah menceritakan padaku bahwa dijaman Song dahulu ada seorang mahasiswa she Souw, ketika berumur duapuluh tahun baru dia mulai belajar mengenal huruf!"

   Loo Ong tampak menggoyang-goyangkan tangannya sambil menjawah.

   "Aku tidak mau tarik urat denganmu, aku ketahui bahwa Lan Khoniomu itu pandai sekali mengerjakan hasil pekerjaan tangan, tapi tidak disangka bahwa diapun pandai surat pula."

   Ketika Siauw Ie mendengar orang yang disayanginya dipuji orang, tidak terasa lagi dia menjadi sangat girang dan lalu berkata.

   "Lan Khonio mengetahui banyak sekali, kau belum pernah mengicipi sayur masakannya, yang sungguh lezat dan tiada tandingannya."

   Loo Ong manggutkan kepalanya sambil memhela napes dan berkata.

   "Dia bersama Phui Po-po kiranya tinggal dibelakang rumahku, kepandaian menyulamnya sungguh luar biasa sekali, hingga seumurku belum pernah aku menampak orang sesabar dia. Sayang sedikit matanya buta. Tapi nona itu memang orangnya baik sekali. Siauw Ie, tuan besarmu itu .."

   Belum lagi dia berkata habis, sudah kedengaran dari dalam orang yang memanggil.

   "Siauw Ie, Siauw Ie!"

   Sebuah nada suara yang merdu halus terdengar mengalun dikuping mereka.

   Siauw Ie dengan tergesa-gesa meninggalkan sapunya, sambil manggutkan kepalanya kepada Loo-Ong, ia berlari- lari anjing menuju kedalam rumah.

   Didalam rumah hawa disana udaranya hangat, karena disana orang tengah menyalakan api unggun, menyandar pada jendela, duduk seorang gadis yang berwajah cantik jelita.

   Dengan nada suara yang menyesali, kedengaran dia berkata.

   "Hawa udara sedemikian dinginnya, pagi-pagi buta hanya memakai baju luar dua helai saja, apakah kau tidak merasakan dingin?"

   Sehabis berkata demikian, lalu ia mengambil sebuah pakaian dari kapas, kemudian dengan memaksa ia pakaikan baju itu pada Siauw Ie.

   Barusan Siauw Ie dari luar tidak merasa dingin sama sekali, kini masuk kedalam rumah yang berhawa panas, tampak dahinya mulau bercucuran keringat, hingga sekalipun nona itu kelihatannya memarahinya, tapi dalam nada suaranya itu mengandung perasaan penuh kasih dan sayang.

   Maka karena merasakan hal itu, hatinyapun menjadi gembira dan dengan cepat ia mengenakan baju pemberian nonanya itu.

   Siauw Ie lalu berkata.

   "Lan Kho, lusa tuan besar bukankah akan pulang?"

   Lan Kho menjawab.

   "Menggunakan kesempatan selagi dia belum kembali, baiklah kita sebentar pergi kepenjara untuk menjenguk Phui Po-po."

   Siauw Ie berkata.

   "Phui Po-po sudah pergi."

   Lan Kho dengan terkejut bertanya.

   "Kapan dia dilepaskan?"

   Siauw Ie menjawab.

   "Berapa hari yang lampau, ketika aku pergi kepenjara, sipir bui Loo Lie memberitahukan begitu kepadaku."

   Lan Kho setelah berdiam sejurus, lalu menghela napas dan berkata.

   "Ai! Dia sudah berusia lanjut sekali, kemanakah dia dapat pergi? Akulah yang telah mencelakakannya."

   Siauw Ie turut berkata.

   "Hal itu tidak dapat dipersalahkan kepadamu, itulah perbuatannya seorang pengecut. Beraninya hanya menghina pada orang tua yang tidak berdaya sama sekali. Bila mereka benar-benar menemui bayangannya perampok, sekalipun lihat bayangannya saja, sudah takut setengah mati!"

   Lan Kho dengan segera berkata.

   "Siauw Ie, dikemudian hari kau jangan mengatakan hal tersebut pula, karena bila perkataanmu itu sampai didengar oleh tuan besar, bukanlah satu permainan belaka."

   Siauw Ie menjawab.

   "Hm! Aku tidak takut, paling juga kepalaku meninggalkan leher saja!"

   Dengan sengit Lan Kho berkata.

   "Bagus, kau tidak mendengar kata, aku berbuat demikian adalah demi kebaikanmu, kau tahu?" (Oo-dwkz-oO)

   Jilid 45 Pada saat itu Lan Kho yang sedang membuatkan sebuah baju untuk Siauw Ie, sekonyong-konyong hidungnya membaui hawa yang wangi, hingga ia lantas bertanya.

   "Apakah bunga Lan-hoa dipinggir pintu sana sudah mekar?"

   Siauw Ie lekas menjawab.

   "Bukan saja bunga Lan-hoa sudah mekar, malahan bunga Bwee-pun turut mekar juga. Apakah boleh aku memetiknya beberapa tangkai untuk ditancapkan dipot bunga?"

   Lan Kho berkata pula.

   "Bunga-bunga itu baik-baik mekar dipucuknya, mengapa harus dipetik? Biarkan saja mereka mekar sesukanya, alangkah harumnya bunga itu. Aku akan pergi kesana untuk menikmati baunya yang harum semerbak itu."

   Setelah berkata lalu dengan tindakan yang lemah gemulai tampak seorang gadis melangkahkan kakinya keluar pintu, gerakannya indah bagaikan penari sedang menari-nari, dan dari tindakan kakinya yang wajar, sikapnya tampak seakan-akan dia bukannya seorang gadis yang buta.

   Sesampainya didekat bunga yang sedang mekar itu, lalu dia membungkukkan badannya dan mencium bunga yang pertama mekar itu dengan hati yang gembira.

   Sejak kecil dia sudah gemar sekali terhadap kembang- kembang, terlebih lebih terhadap kembang Lan-hoa, karena bunga itu dengan namanya sendiri mempunya hubungan yang erat sekali.

   Lalu dia berkata pada dirinya sendiri.

   "Waktu mataku belum buta, setiap tahun dimusim dingin, didepan rumah gubukku rumput-rumput pada mekar, aku senantiasa suka sekali berdiri seorang diri dalam gerombolan rumput- rumput tersebut dan dengan bernapsu aku menyedot harumnya bunga-bunga itu, sehingga kadang-kadang aku merasa dimabukkan oleh bunga-bunga tersebut. Selagi aku asyik memandangi bunga-bunga yang tengah mekar mewangi itu, sekonyong-konyong ada sepasang tangan yang kuat menutupi sepasang mataku dari belakang, dan dengan suara yang dalam orang itu menyuruhku menebak siapa gerangan dia itu? Orang itu tentu saja adalah twakoku. Orang yang dalam hati paling kupuji dan kujunjung tinggi serta kuhormati, maka tanpa menebak lagi akupun sudah ketahui tentulah dia adanya."

   Lalu dia tersenyum sambil melanjutkan pemikirannya dan berkata pada dirinya sendiri.

   "Belakangan, mataku buta, ibu dan twako senantiasa menuruti perkataanku, apa yang kuingini, twako selamanya meluluskan dan sekalipun tidak pernah dia mengecewakan aku, sekalipun aku tidak dapat melihat dengan mataku sendiri, betapa kasih dan sayangnya dia terhadapku, tapi hatiku dapat merasainya. Karena dalam dunia ini, kecuali ibu, twakolah yang memperlakukan aku paling baik dan sempurna, Jangan baru mataku yang buta, sekalipun sepasang tangan atau kakiku cacat, pasti mereka sama menyayangiku juga. Setiap waktu aku menghitung-hitung hari. Dibawah sinar matahari yang akan tenggelam, aku melihat satu jalanan kecil, dan meski aku ketahui bahwa twako paling sedikit setengah tahun baru kembali, tapi aku sangat mengharapkan sekali kedatangannya dengan secara tiba- tiba. Matahari sudah benar-benar tenggelam seluruhnya diufuk barat, dilangit bintang-bintang mulai muncul. Dikala itu ibu yang sedang menisik baju dari wool, sering-sering dia melihat ketempat yang jauh, seakan-akan diapun tengah terkenang juga kepada toako. Dalam mengenang kekasihku, sukar rasanya aku melewatkan hari dengan tenang, tapi dengan keyakinan yang penuh, akhirnya aku dan ibu dapat juga melewatkan hari-hari dengan cukup tenteram dan damai. Berapa kali hujan turun besar sekali, didepan mata air sungai kian lama kian meninggi dan meluap, orang-orang mulai gentar dan panik, tapi siapapun pasti tidak mengira akan datangnya air bah yang demikian cepat dan sekonyong-konyong pada malam itu juga .... Datangnya air banjir itu laksana menyerbunya ratusan ribu tentera berkuda hingga dalam waktu sekejapan saja air bah telah datang menggenang mencapai dada, aku dan ibuku buru-buru naik kedalam tahang air dari kayu, dan dengan mengikuti aliran banjir, aku dan ibuku terbawa kemana saja banjir itu hendak membawa kami. Sekonyong- konyong segulung ombak yang besar telah mendampar sehingga mereka ibu dan anak jadi terpisah satu sama lain, hingga dalam kegugupanku, akhirnya aku telah jatuh pingsan. Setelah aku siuman kembali, ternyata hari sudah terang tanah, dan sungguh tidak kusangka, bahwa dalam pingsanku aku masih dapat memeluk tahang air itu dengan eratnya. Halmana, kusangka, itulah usaha manusia dalam menyelamatkan nyawanya dengan cara yang paling sempurna. Lalu aku tertawa dan berpikir.

   "Tangan dan kakiku ternyata tidak menjadi beku, hanya terdengar suara ombak yang menderu-deru, air tampaknya kian lama kian bertambah tinggi saja, tapi kemanakah ibuku, ibuku yang tercinta?"

   Suatu perasaan yang tidak wajar menyelinap dalam sanubariku ..

   Semakin berpikir aku semakin tidak tahan, aku sudah terpikir untuk melepaskan saja peganganku, tapi perasaan ingin hidup lebih menguasai diriku, karena, aku berpikir, andaikata aku sampai kejadian mati, bukankah seumurku tidak akan melihat wajah twakoku lagi? Akhirnya aku telah tertolong juga.

   Karena ketika aku dalam keadaan pingsan dan bertahan terapung- apung dibawa arus banjir, aku telah dijumpai oleh ronda dari pembesar she Kim, yang ternyata ada seorang pembesar yang sangat baik hati, apa lagi anak perempuan angkatnya yang bernama nona Souw itu telah memperlakukanku sangat baik pula, hingga aku yang berdiam didalam rumah pembesar she Kim itu, tiap-tiap hari aku mendengar-dengar kabar tentang ibuku, tapi manusia itu bagaikan lautan yang tidak ada batasnya, sekalipun untungku baik dan ibuku tidak mati oleh banjir, tapi aku hendak mencarinya kemana? Tadinya aku berpikir setelah air banjir itu surut kembali, aku akan pulang kekampungku, agar kemudian hari bila twako datang mencariku, ia dapat menjumpai aku disana.

   Tapi tidak disangka bahwa twako sudah saling berkenalan dengan nona Souw, bahkan perhubungan merekapun sudah demikian mesranya.

   Tapi sekalipun ia memperlakukan aku sedemikian rupa, aku tinggal tetap mencintainya.

   Perkataannya yang telah diucapkan terhadap bahwa Souw adalah dengan tulus ikhlas, maka bukankah itu berarti bahwa twako benar-henar mencintai dengan segenap hati? Aii, mengapakah ia dapat mengeluarkan perkataan begitu terhadap lain gadis?"

   Pada saat itu perasaan Lan Kho jadi sangat terharu, sedangkan api cemburu lalu mulai merangsangnya.

   Tapi tabiatnya yang halus pelahan-lahan telah dapat menguasainya pula, hingga dalam waktu sekejap mata saja kemarahannya sudah reda kembali dan ia berbalik pikir.

   "Ai! Mengapa sampai saat ini aku masih memikirkan soal itu? Tapi aku percaya, bahwa dalam hati kecilnya, twako pasti masih mengingat akan daku, sekalipun Souw khonio berhasil merebut hatinya sesaat. Ai, ternyata twako mencintai dia tapi dia masih juga kasih terhadapku, dia pasti tidak dapat hidup berbahagia, aku .. aku lebih baik mati saja hari itu dibawa arus banjir."

   Semakin ia berpikir, semakin sedih saja perasaan hatinya, tapi suara tambur yang ditabuh dengan keras telah berhasil menyadarkan dia dari lamunannya.

   Siauw Ie yang berdiri disampingnya memandang kepada sinona yang tengah bermuram durja, hingga untuk sesaat lamanya tidak dapat dia mengeluarkan perkataan untuk menghiburinya.

   Hatinya tengah risau, tapi hati kanak- kanaknya belum lagi lenyap.

   Maka begitu ia mendengar suara tambur, seakan-akan terlupalah segala kejadian yang menimpa dirinya dan lekas-lekas dia lari keluar untuk menyaksikan keramaian.

   Sementara Ah Lan ketika baru saja ingin balik masuk kedalam ramahnya.

   tiba-tiba terdengar suara yang nyaring memanggilnya.

   "Lan Khonio! Lan Khonio!"

   Sekalipun matanya tak dapat melihat, tapi pendengarannya amat tajam, hingga begitu kupingnya menangkap suara yang seakan-akan sudah kenal terhadap suara orang yang memanggilnya, tapi dia tidak dapat menerkanya dalam sesaat siapakah gerangan orang tersebut.

   Siauw Ie buru-buru berjalan masuk dan berkata kepadanya.

   "Yang panggil nona ialah nona Kim, anak angkat pembesar yang berkuasa di Siam-say."

   Ah Lan terpekur sebentar, kemudian baru sadar dan didalam hatinya ia berpikir.

   "Oh, ternyata nona Souw .. Souw Khonio, tentu diapun turut serta pula, mengapakah aku harus menjumpai mereka?"

   Lalu dia memesan pada Siauw Ie.

   "Kau kasih tahu kepadanya, bahwa aku sebenarnya tidak kenal dengannya, dia telah keliru mengenal orang yang salah."

   Dalam hati Siauw Ie tengah merasa bingung sekali, ketika pada saat itu Hui Cie sudah sampai didepan pintu dan sambil tertawa ia berkata.

   "Lan Khonio, benarkah kau tidak mengenalku?"

   Dalam hati Ah Lan merasa agak gelisah, karena disebabkan dia itu, maka lenyaplah kebahagiaannya, tapi orang itu sudah sampai dan mengulurkan tangannya kepadanya, hingga tidak terasa lagi amarahnya telah bangkit kembali dan dengan suara menyindir ia berkata.

   "Oh, ternyata engkaulah Souw siocia! Aku adalah anak orang miskin dan papa, tentu saja tidak berani menyambut anak seorang pembesar agung."

   Tapi begitu perkataannya keluar, tiba-tiba didalam hatinya timbul perasaan menyesal.

   Dia sendiri seakan-akan tidak mempercayai akan dirinya sendiri yang telah dapat berkata begitu tidak sopan, karena perkataannya itu memang sesungguhnya dapat melukai hati orang lain.

   Sebaliknya nona Souw Hui Cie bukan saja tidak menjadi gusar, tapi juga dengan suara yang lemah-lembut ia berkata.

   "Lan Khonio, apakah kau marah terhadapku? Tahukah kau dimana Gouw Twakomu sekarang ini?"

   Begitu mendengar orang memperbincangkan tentang Gouw Leng Hong, Ah Lan meujadi tertarik juga perhatiannya, maka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dia berkata.

   "Apakah kau tidak datang bersama- sama dengannya?"

   Dengan suara yang amat terharu Hui Cie memberi jawabannya.

   "Gouw Twakomu justeru sedang mencarimu kian-kemari."

   Ah Lan yang mendengar perkataan tersebut, bagaikan orang mendengar suara guntur saja, maka dengan memaksakan diri dia bertanya dengan nada suara yang gemetar.

   "Apakah omonganmu dapat dipercaya kebenarannya?"

   Hui Cie maju selangkah dan sambil memegang sepasang tangan Ah Lan dengan lemah lembut ia menjawab.

   "Lan Khonio .. oh, bukan .. bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan Lan Moay saja?"

   Ah Lan yang mendengar ia bercakap-cakap dengan suara yang bersungguh-sungguh, iapun lalu menganggukkan kepalanya. Hui Cie lalu dengan suara yang sungguh-sungguh berkata.

   "Tempo hari setelah kau dengan ngambul meninggalkan rumah, besok pagi-pagi sekali begitu Gouw Twakomu mendengar kabar tersebut, tampak dia seperti orang kehilangan semangat, hingga lekas-lekas dia meninggalkan aku, dan katanya dia hendak mencarimu kemana saja. Gouw Twakomu sesungguhnya hanya mencintai seorang saja, kau .. kau sungguh beruntung sekali."

   Kemudian dengan malu-malu ia berkata pula.

   "Lan Moay, aku tidak mau berbohong terhadapmu .. aku sebenarnya sangat mencintainya, tapi aku sesungguhnya sangat bodoh sekali, aku kira dia seterusnya mencintaiku pula, tapi sekarang aku sudah jelas, bahwa hatinya hanya tertambat kepadamu seorang saja. Hal itu dalam mabuknya, dia mengira aku ini adalah kau. Aku merasa, bahwa aku telah berbuat kesalahan. Lan Moay, dia sesungguhnya mencintaimu, dia adalah seorang pemuda yang masih muda belia serta berwajah tampan, yang dengan seluruh jiwa raganya dia mencintaimu, hingga aku turut bergirang atas keberuntunganmu itu."

   Ah Lan semakin mendengar cerita tersebut, dia merasa semakin sedih saja, menyesal, dan menyalahkan dirinya sendiri yang kurang pikir, hingga mukanya tampak sebentar merah sebentar pucat, dan akhirnya tanpa dapat menguasai dirinya pula ia jatuh pingsan.

   Siauw Ie buru-buru memayangnya, sedang Hui Cie dengan cepat lalu berkata.

   "Lan Moay, kau kenapa? Apakah kau merasa tidak enak badan?"

   
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan memaksakan dirinya tersenyum Ah Lan berkata.

   "Souw Cici, aku merasa pusing sesaat, maka tak dapat menguasai diriku pula."

   Hui Cie lalu berkata pula.

   "Kau lekas-lekas masuk untuk beristirahat, aku hendak pulang. Malam ini pembesar kota Tiang-an telah mengundang ayah angkatku, maka sekarang aku harus pergi. Sampai nanti kita saling berjumpa pula, dik."

   Ah Lan manggutkan kepalanya. Dengan ditolong oleh Siauw Ie, ia berjalan masuk kedalam kemudian sambil menutup kamar tidurnya, ia berkata kepada Siauw Ie.

   "Aku hendak tidur, kau jangan datang mengganggu pula."

   Barusan Siauw Ie telah mendengar mereka bercakap- cakap, maka hatinya merasa agak tidak enak. Ia merasa bahwa perkara yang tidak wajar akan terjadi. Oleh karena itu, dengan lekas ia berkata.

   "Lan Kho, kau jangan sekali- kali merasa marah maupun bersedih."

   Dengan tertawa Ah Lan berkata.

   "Siauw Ie, janganlah engkau memikir yang tidak-tidak, maka ada apakah yang harus kusedihkan?"

   Siauw Ie tidak berdaya, maka diapun dengan segera berjalan meninggalkannya. Ah Lan lalu membaringkan tubuhnya diatas ranjang deugan hati yang pedih bagaikan diiris-iris oleh pisau yang amat tajam.

   "Ternyata Twako masih mencintaiku begitu rupa,"

   Pikirnya.

   "tapi .. dimanakah aku ada muka untuk menjumpainya? Didalam hatinya dia pasti menganggap aku sebagai seorang gadis yang sempurna. Aku harus berdaya agar supaya perasaannya dapat dipertahankan terus, tapi apa daya yang harus kulakukan selanjutnya? .. Ya, hanya kematian saja yang dapat mencapai apa yang kupikirkan itu."

   Tapi setelah berpikir akan kematian, hatinyapun merasa tenteram pula.

   "Tapi, aku masih ingin menjumpainya sekali lagi, kemudian, barulah menamatkan riwayat hidupku ini,"

   Katanya pula.

   Setelah ia mengambil keputusan yang pasti, hatinyapun menjadi tenang dan wajar kembali.

   Begitulah sang waktu berjalan dengan cepat sekali, hingga dalam waktu yang singkat, dia telah membayangkan peristiwa pada beberapa tahun yang lampau itu, dengan segala bayangan itu satu- persatu muncul kembali dalam kelopak matanya.

   Matahari musim dingin yang lemah, pada waktu itu telah memancarkan sinarnya diatas dinding tembok, yang kemudian memantul kembali pada tumpukan salju-salju dan membuat wajahnya tampak pucat dan hatinya seolah- olah tenggelam dalam kerisauan ..

   Kejadian didunia ini memang kadang-kadang tidak dapat dipikirkan dari dimuka.

   Pada hari kedua atau keesokan harinya setelah Hui Cie menjumpai Ah Lan, Gouw Leng Hongpun tiba pula dikota Tiang-an, dan malahan disana ia begitu kebetulan pula dapat berjumpa dengan seorang pelayan Hui Cie yang bernama Siauw Hu, dari siapa ia mendapat keterangan jelas tentang kejadian yang menimpa diri Ah Lan.

   Dan tatkala mendengar kisah pelayan ini, hati Leng Hong jadi berdebar-debar keras sekali, hingga setelah menanyakan jelas tentang alamat nona Ah Lan, segera juga ia menuju kesana dengan laku tergesa-gesa.

   Ternyata setelah Leng Hong dapat membalaskan sakit hati ayahnya dipuncak gunung Ngo-hoa-san, hatinya menjadi sangat gembira, dan kini dalam hatinya dia hanya masih mempunyai satu pekerjaan yang belum dapat dirampungkannya, yaitu mencari kekasihnya Ah Lan anak dan ibu, begitu pula Lie Siauw Hiong yang juga amat sibuk mencari pada Thio Ceng, hingga mereka terpaksa berpisahan dengan Bwee San Bin dan lalu berpencar untuk mencari kekasih masing-masing.

   Kemudian dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Siauw Hu, Leng Hong lalu menuju kejalan sebelah barat, dalam perjalanan mana dengan hati berdebar-debar ia berpikir.

   "Bila Ah Lan dengan secara sekonyong-konyong mengetahui bahwa aku telah dapat berhasil mencari jejaknya, entahlah bagaimana girangnya. Sekarang Hui Cie sudah menutur jelas tentang perhubungannya satu sama lain, dia pasti tidak lagi akan membenciku. Dan bila dia mengetahui bahwa twakonya dengan susah payah sudah berhasil mendapatkan buah 'Hiat-ko' untuknya dan dapat menyembuhkan kembali matanya, dia pasti akan merasa terharu dan bersyukur sekali terhadapku."

   Akhirnya diapun mendapatkan rumah yang diterangkan oleh Siauw Hu, dan setelah tiba dihadapan pintu rumah tersebut, dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut dua kali, kemudian pintu tersebut dibuka oleh seorang anak laki- laki kecil.

   "Lan Kho-nio apakah ada didalam?"

   Leng Hong bertanya.

   Bocah cilik tersebut adalah Siauw Ie.

   Mula-mula ia pandang Leng Hong sejenak, sudah itu barulah ia mempersilahkannya masuk keruangan tamu, sedangkan ia sendiri lalu masuk kedalam untuk melaporkan kepada majikannya.

   Leng Hong dengan matanya yang tajam lalu memandang pada keadaan sekeliling rumah tersebut, yang ternyata segala perlengkapannya sangat mewah, hingga dalam hatinya ia merasa terheran-heran dan berpikir.

   "Siauw Ie belum menerangkan Ah Lan sebenarnya tinggal dirumah siapa, tapi dengan menilik keadaan sekelilingnya, teranglah sudah, bahwa pemilik rumah ini pastilah seorang yang berada."

   Setelah menunggu setengah harian dan tidak menampak Ah Lan keluar menyambut kedatangannya, hati Leng Hong mulai merasa tidak tenteram, tapi ketika baru saja dia hendak berdiri dan menyelidiki, sekonyong-konyong tirai pintu terkuak dan dari dalam segera keluar seorang gadis yang berwajah amat cantik.

   Ternyata Ah Lan setelah menerima laporan dari Siauw Ie, diapun mengetahui bahwa Leng Hong sudah datang, hingga dia sekali-kali tidak menyangka akan kejadian dapat berlangsung sedemikian sekonyong-konyongnya.

   Biasanya setiap hari ia berharap-harap agar supaya Leng Hong datang mencarinya, tapi setelah saatnya tiba, hatinya menjadi ragu-ragu, seakan-akan anak kecil yang bersalah takut menjumpai orang tuanya.

   Akhirnya ia telah mengambil keputusan dan berkata pada diri sendiri.

   "Didunia ini masakah perkara yang ditakuti melebihi daripada kematian? Terhadap kematian aku masih tidak takuti, apa lagi terhadap perkara ini?"

   Oleh karena itu, barulah dia keluar menjumpai kekasihnya.

   Muka tersebut yang sukar dilupakan oleh Leng Hong, begitu muncul dihadapannya, menyebabkan ia diam terpaku, sehingga tak dapat ia mengeluarkan sepatah katapun.

   Setelah menetapkan semangatnya dan maju dua langkah, dengan perasaan terharu sipemuda telah menyapa.

   "Ah Lan, aku .. aku .. akhirnya .. dapat juga mencarimu."

   Ah Lan lalu menjatuhkan dirinya dalam pelukan kekasihnya, dan dengan tangis terisak-isak ia berkata.

   "Akhirnya twako dating juga! Setiap hari aku mengharapkan kedatanganmu, dan kini .. ternyata engkau datang juga keharibaanku."

   Airmata Leng Hong mengucur tanpa terasa pula, ketika is menjawab.

   "Ah Lan, sudahlah, engkau jangan menangis. Hapuslah airmatamu itu, karena pada saat ini sudah sepatutnya kita bergembira. Lagi pula aku kini membawa satu barang untukmu, yang kau pasti akan menyambutnya dengan perasaan girang."

   Ah Lan setelah puas menangis, barulah perasaannyapun menjadi tenang kembali. Sudah itu ia berkata pada dirinya sendiri.

   "Hari ini adalah untuk penghabisan kalinya aku menjumpai twako, sesudah itu, twako untuk selama- lamanya tidak akan menjumpaiku lagi. Ya, benar, aku harus menggembirakannya, barulah cara itu dapat dibenarkan."

   Setelah menyusut airmatanya, dengan suara yang lemah lembut ia bertanya.

   "Twako, selama ini kau pergi kemana saja? Apakah sakit hati orang tuamu sudah kau balaskan?"

   Leng Hong ketika mendengar sinona membuka mulut menanyakan tentang soal sakit hatinya, sedangkan terhadap usaha mencari buah 'Hiat-ko' tidak disinggung-singgung olehnya, hatinya jadi merasa sangat terharu dan iapun segera menjawab.

   "Selama setengah tahun ini aku telah mengalami peristiwa-peristiwa yang menyeramkan serta menegakkan bulu roma, begitu pula kejadian-kejadian yang lucu-lucupun aku telah merasakannya juga, hal mana baiklah akan kukisahkan perlahan-lahan nanti. Pada sebulan yang lampau, aku bersama Hiong-tee telah pergi kegunung Ngo-hoa-san, dimana kami berdua telah melawan musuh kita yang berjumlah empat orang tapi keempat lawan itu telah kami kalahkan sehingga lari tunggang langgang, dengan dua orang antaranya .. Cek Yang Tojin dari Bu-tong dan Li Gok dari Kong-tong .. telah dapat kita binasakan. Tempo hari mereka berempat dengan bersatu padu telah mengurung serta berhasil membinasakan ayahku, tapi sepuluh tahun kemudian merekapun terbinasa pula dalam tangan kita!"

   Sekalipun hatinya merasa pilu, tapi ketika mendengar sakit hati kekasihnya sudah terbalas himpas, dengan bersemangat ia memuji sambil berkata.

   "Twako, sungguh tepat sekali kau bunuh orang itu!"

   Kemudian Leng Hong lalu bertanya.

   "Ah Lan, twanio mana?"

   Mengutik soal Twanio, tanpa dapat ditahan lagi airmata Ah Lan mengucur turun dengan amat derasnya, ia terisak- isak dan menjawab.

   "Ibuku telah terbawa oleh banjir entah kemana parannya .."

   Lalu dia ceritakan tentang keadaan banjir tempo hari kepada Leng Hong. Dengan suara lemah-lembut sipemuda lalu menasihatinya.

   "Ah Lan, hal itu tidak mungkin terjadi, Tuhan selalu melindungi orang baik, Twanio pasti tertolong dari kecelakaan sehingga memperoleh keselamatan."

   Sudah itu, Leng Hong melanjutkan bicaranya.

   "Ah Lan, coba kau terka, barang apakah yang kubawa ini untukmu?"

   Setelah berpikir sebentar, Ah Lan gelengkan kepala dan menjawab.

   "Tak dapat kuterka."

   Leng Hong berkata pula.

   "Sekarang ini barang apakah yang paling kau harapkan?"

   Ah Lan menjawab.

   "Asal kau dan ibu selamat, aku masih ingin mengharapkan apa lagi? Tuhan selalu membenci pada orang yang tamak, lebih-lebih jika aku memohon sesuatu yang melampaui batas, yang pasti sekali akan mengecewakannya."

   Dari dalam saku didadanya, Leng Hong segera mengeluarkan dua buah peles, yang satu adalah cairan obat yang ribuan tahun tuanya, sedangkan yang lainnya adalah memuat 'Hiat-ko'. Dengan suara yang lemah-lembut Leng Hong berkata.

   "Ah Lan, telah kukatakan bahwa aku akan mencarikan buah 'Hiat-ko' untukmu, agar supaya matamu dapat disembuhkan. Sekarang ternyata Tuhan tidak mengecewakan pengharapanku, karena aku telah berhasil menemukan barang yang kucari itu. Mari, akan kubantu engkau menyembuhkan matamu itu."

   Mendengar perkataan sipemuda, Ah Lan merasa gembira bukan buatan, tetapi perasaan gembira itu hanya untuk sekejap saja lamanya, karena ia telah berbalik pikir.

   "Waktu lewat seperempat jam, itulah berarti bahwa pertemuanku dengan twako tambah pendek seperapat jam. Untuk apakah aku disembuhkan mataku, jika itu takkan berguna lagi bagiku?"

   Lalu dia menjawab.

   "Baiklah kita bercakap-cakap mengenai hal yang lainnya saja yang mengenai soal menyembuhkan mataku, tak perlu kita tergesa-gesa."

   Leng Hong yang melihat kekasihnya tenang luar biasa, dengan rasa terharu lalu berkata.

   "Cu Hu Cu pernah mengatakan, bahwa jika kau makan buah mustajab ini, dalam waktu tiga jam pasti akan terbukti kemanjurannya. Apa lagi sekarang ada cairan obat yang ribuan tahun tuanya, oleh karena itu, lekaslah engkau makan cairan obat ini."

   Ah Lan karena tidak mau menyusahkan hatinya, segera menyambuti peles itu yang lalu diminumnya dengan hanya sekali tegukan saja.

   Sudah itu, Leng Hong lalu minta secangkir air, yang lalu diteteskannya cairan obat yang ribuan tahun tuanya itu, akan kemudian dengan menggunakan lap yang bersih dia mencuci mata Ah Lan.

   Setelah selesai mencuci bersih mata nona itu, segera juga ia membungkus sepasang mata kekasihnya sambil berkata dengan girang.

   "Setelah lewat tiga jam, bila aku membuka tutup matamu ini, kau pasti akan dapat melihat kembali terangnya dunia ini."

   Ah Lan dengan perasaan terharu lalu berkata.

   "Twako, aku mengucapkan terima kasih kepadamu."

   Leng Hong segera berkata.

   "Ah Lan, sekarang lekaslah kau beristirahat."

   Sambil menggelengkan kepalanya, Ah Lan lalu menjawab.

   "Tidak, twako, aku ingin mendengar dahulu ceritamu."

   Leng Hong tidak berdaya dan lalu memilih beberapa peristiwa lucu yang telah dialaminya selama setengah tahun itu, dan tatkala Leng Hong bercerita sampai pada bagian yang menggembirakan, Ah Lan hanya tersenyum dan mendengari dengan roman yang tenang, tapi waktu ia mendengar kesulitan-kesulitannya sehingga kekasihnya berhasil mencari buah 'Hiat-ko' untuknya, tidak terasa lagi, airmatanya jatuh berderai-derai.

   Leng Hong lalu berkata pula.

   "Sekarang kesedihan itu sudah lampau, sakit hatiku sudah terbalas. Ah Lan, sekarang marilah kita pulang kembali kekampung halaman kita, dimana kita dapat menanam padi dan bunga, agar supaya kita dapat hidup bahagia dan tanpa berpisahan pula untuk selama-lamanya."

   Ah Lan tersenyum mendengar perkataan sipemuda, hingga dalam senyumnya terkandung suatu perasaan yang sukar diduga, sedangkan matanya sudah berkaca-kaca oleh airmata.

   Sebaliknya Leng Hong sendiri dengan semangat yang bergolak-golak, ia tidak sempat memperhatikan wajah kekasihnya dan hanya berkata.

   "Baiklah kita mencari twanio terlehih dahulu, aku ingin sekali akan dapat membalas budi kebaikan twanio. Rumah kita yang dahulu pasti sudah terlanda banjir sehingga musnah, tetapi itu tidak mengapa, kita dapat pindah dan menetap dibawah kaki gunung, dimana kita dapat membangun kembali rumah kita. Dengan demikian, kita dapat sering-sering mengunjungi In Yaya. Ah Lan, In Yaya sangat menyayangimu, dia memesan untuk mengajakmu kepadanya. Benar, disana masih terdapat pohon jeruk yang baik, buahnya besar-besar lagi manis, kau pasti merasa senang untuk makan buah itu."

   Sekonyong-konyong Ah Lan rasakan matanya gatal- gatal, lalu dia ulurkan tangannya hendak membuka kain penutup matanya itu. Leng Hong segera menghalanginya sambil bertanya.

   "Kau merasa bagaimanakah?"

   Ah Lan menjawab.

   "Aku rasakan mataku sangat gatal."

   Leng Hong dengan girang lalu berkata.

   "Berhasil, berhasil! Tidak disangka bahwa khasiat obat cairan ini manjur luar biasa. Ah Lan, tenanglah, biarlah aku yang membuka tutup matamu itu."

   Dengan perasaan tidak sabar, Leng Hong buru-buru membuka kain penutup mata Ah Lan, hingga sinona yang melihat sinar terang menembus matanya, tanpa terasa lagi ia segera jatuh pingsan. Gouw Leng Hong segera bertanya.

   "Ah Lan, mengapakah kau? Kenapa?"

   Pelahan-lahan Ah Lan siuman dan lalu bangun berdiri, dan sambil menghirup hawa udara dalam-dalam, ia lirikan matanya pada Leng Hong sejurus, kemudian airmata sebesar kacang jatuh berderai-derai melalui kedua belah pipinya. Leng Hong lalu bertanya.

   "Kau dapat melihat aku tidak?"

   Ah Lan manggutkan kepalanya, sedang Leng Hong saking girangnya lalu mengangkat tubuh sinona dan berputar-putar dalam kamar tersebut. Dengan kata-kata yang lemah-lembut Ah Lan berkata.

   "Twako, turunkanlah daku ini."

   Mendengar perkataan kekasihnya, ia menjadi terlongong-longong dan menjawab.

   "Lihatlah, saking girangnya, sehingga aku berlaku semberono! Ya, benar, Ah Lan, sepasang matamu baru saja sembuh kembali, maka tak boleh kau memaksa matamu memandang lama-lama. Lekaslah kau baringkan tubuhmu diatas ranjang dan beristirahat secukupnya."

   Setelah berkata demikian, lalu ia pondong tubuh kekasihnya dibawanya masuk kekamar tidur. Dengan perlahan-lahan ia meletakkan tubuh Ah Lan diatas ranjang dan lalu menyelimutinya sekali, kemudian dengan suara yang lemah gemulai ia berpesan.

   "Sebentar kemudian akan kujengukmu pula."

   Ah Lan segera menjambret tangan Leng Hong sambil berkata dengan cepat.

   "Twako, kau jangan tinggalkan aku."

   Leng Hong yang melihat wajah sinona sedemikian gugupnya, lalu meluluskan permintaannya sambil duduk dipinggir ranjang menjagainya.

   Ah Lan yang dapat melihat kekasihnya dalam jarak dekat dan dapat pula melihat wajah kekasihnya yang tampan, sekonyong-konyong ia bertanya.

   "Twako, percayakah kau bahwa diatas langit terdapat taman Firdaus?"

   Leng Hong merasa tercengang mendengar perkataan kekasihnya itu, maka dengan perasaan tidak mengerti ia menjawab.

   "Ah, mungkin hal itu hanya kabar bohong belaka."

   Ah Lan yang mendengar jawaban pemuda kekasihnya, agaknya ia berputus asa, maka dalam hati ia berpikir.

   "Apakah cerita ayah dan ibu tidak benar sama sekali?"

   Leng Hong lalu menghiburnya sambil berkata.

   "Janganlah kau memikir yang tidak-tidak, baik-baik sajalah kau merawat badanmu serta semangatmu."

   Ah Lan terus memohon agar Leng Hong suka menceritakan masa hidup kecil mereka, maka Leng Hong yang mendengar hal tersebut, dalam hatinya lalu timbul rasa kasih sayang dan akrab yang tak dapat terlukiskan. Ah Lan lalu menimbrung.

   "Twako, masih ingatkah kau pada suatu hari ketika kita naik keatas gunung untuk memetik sayur-sayuran hutan dan berpapasan dengan serigala yang berwarna abu-abu?"

   Dengan tertawa Leng Hong menjawab.

   "Pada saat itu saking kagetnya, tangan dan kaki kita sampai terasa lemas, sedangkan bernapaspun sampai tak berani keras-keras, sehingga serigala itu tidak sampai menemukan jejak kita."

   Ah Lan lalu berkata pula.

   "Aku senantiasa masih ingat, pada saat itu walaupun kau kaget tampaknya, tapi ditanganmu memegang erat-erat sebatang cabang pohon. Kau berdiri dimukaku melindungi diriku, kau memperlakukan diriku begitu baik, hingga bila umurku tak dapat aku membalas kebaikanmu ini, sekalipun aku menjadi setan, pasti akan kuberusaha untuk membalasmu."

   Leng Hong berkata.

   Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah Lan, janganlah kau memperbincangkan soal-soal yang menyedihkan. Hari kebahagiaan kita sudah sampai, hingga terhadap urusan dalam kalangan Kang-Ouw telah tidak menarik pula perhatianku. Asalkan kau mau hidup bersama-samaku, sekalipun kelaparan dan mati kedinginan, akupun merasa rela. Kita tinggal dikaki gunung, setiap hari kita dapat naik keatas gunung bersama-sama, mendengarkan bergemericiknya sumber air, berjalan-jalan dan memetik buah-buahan. Sedangkan Hiong-tee yang kepandaiannya sangat tinggi, ia pasti akan sering-sering datang mengunjungi kita disana. Ah Lan, cobalah kau katakan, penghidupan yang demikian ini apakah tidak cukup bahagia?"

   Ah Lan yang melihat airmuka kekasihnya yang sangat terang dan menunjukkan perasaan hatinya yang bergembira, beberapa kali ia ingin menyadarkannya, akan tetapi dia tetap tidak dapat membuka mulutnya.

   Pada saat itu hari sudah parak siang, waktu Leng Hong terpikir akan janjinya dengan Lie Siauw Hiong, diapun segera memberitahukan hal tersebut pada Ah Lan untuk meminta diri daripadanya.

   Dengan perasaan terharu Ah Lan memandang pada kekasihnya, dan lalu dengan suara yang lemah-lembut ia berkata.

   "Twako, benarkah bahwa kau akan mengingatku senantiasa?"

   Mendengar perkataan Ah Lan ini, Leng Hong jadi merasa agak tercengang, tapi ia tetap menganggukkan kepalanya menyatakan benar. Kemudian Ah Lan berkata pula.

   "Twako, andaikata aku telah membuat suatu kesalahan yang tidak menyenangkan bagi perasaanmu, apakah kau .. tetapkah .. kau sudi memaafkanku?"

   Sambil tertawa Leng Hong menjawab.

   "Ah Lan, dimana- mana kau senantiasa memikirkanku serta berbuat sesuatu untuk kebaikanku, maka dimanakah mungkin engkau membuat kesalahan kepadaku?"

   Sambil menarik napas panjang, Ah Lan lalu menjawab.

   "Bila demikian halnya, maka akupun merasa tenteram. Twako, kau boleh pergi sekarang."

   Leng Hong baru saja memutarkan badannya hendak berjalan pergi, Ah Lan sudah memanggilnya pula sambil berkata.

   "Twako, coba biarkan aku memandangmu sekali lagi."

   Dalam hati Leng Hong merasa agak tercengang dan merasakan bahwa tingkah laku Ah Lan luar biasa anehnya, tapi dalam kegirangan yang tidak terhingga besarnya, kecerdasan otaknya seakan-akan tertutup dan tak dapat memecahkan teka-teki ini terlebih lanjut.

   Ah Lan sambil melirik pada Leng Hong, diapun sudah dapat menguasai perasaannya, sedikit perasaan sayangpun tidak diingat-ingatnya kembali maka dengan secara wajar ia tertawa.

   "Bukankah kau ingin segera pergi?"

   Dengan pandangannya ia mengantarkan kepergian Leng Hong dengan separuh tertawa sambil berpikir.

   "Segala sesuatu yang terdapat dibumi ini, memanglah tidak ada yang sempurna, karena bila keadaan sesuatu itu sedikit saja hampir mencapai kesempurnaan, make usianyapun tidak panjang. Jika sepasang muda-mudi berpacaran dalam usia yang sedemikian mudanya, sekalipun mula-mula mereka saling mencintai dengan secara dalam sekali, tapi kenyataannya adalah mereka ini pasti tidak dapat hidup sampai tua, maka untukku, hidupku sampai saat ini cukuplah bagiku, apa lagi akupun sudah dapat mengecap percintaan yang demikian berharganya! Sekalipun saat percintaanku ini amat pendek, tapi jika dibandingkan dengan percintaan yang kacau berbelit-belit, lelakon percintaanku masih jauh lebih berharga."

   Lalu dia menolak jendela sambil mengangkat kepalanya memandang pada langit yang biru, sedangkan hidungnya dengan bernapsu mencium wanginya bunga Lan Hoa, sehingga pikirannya dengan jernih sekali dapat mengatur apa yang hendak dilakukannya ..

   Dengan perasaan penuh kegirangan dan langkah yang ringan, Gouw Leng Hong menuju keluar kota, akan tetapi sesampainya disana, dia tak dapat menemui Lie Siauw Hiong, sehingga terpaksa ia berjalan bolak-balik didekat tempat-tempat yang berdekatan.

   Pada saat itu langit tampak cerah, dan kebetulan pula didaerah situ untuk tiga tahun lamanya hasil panen sangat memuaskan.

   Dari kejauhan Leng Hong dapat melihat tembok kota yang tinggi kekar, sedangkan para pedagang tampak mondar-mandir dalam kesibukan, begitupun para petani menunjukkan muka yang berseri-seri, sehingga Leng Hong yang menampak kesemuanya ini, hatinyapun merasa jembar sekali.

   Dia telah menanti selama setengah jam, tapi Lie Siauw Hiong yang ditunggu-tunggu belum lagi menampakkan mata hidungnya, maka iapun segera mengetahui, bahwa Lie Siauw Hiong pasti mempunyai pekerjaan yang agak sulit.

   Oleh karena itu, ia lalu menuju kesebuah toko kecil, dimana dari pemilik toko tersebut ia minta kertas dan pit, dan lalu menulis pesannya kepada Lie Siauw Hiong, andaikata pemuda kita datang juga kesitu, ia dapat menyusul pada alamat yang tertulis dalam surat itu.

   Kemudian dengan langkah yang ringan ia meninggalkan toko kecil itu kejalan raya, dimana pada saat itu matahari telah memancarkan sinarnya dengan cepat diatas ubun- ubunnya, tapi panas matahari yang terik itu melainkan dirasakannya hangat saja, sehingga sama seperti hatinya yang merasakan hangatnya percintaannya.

   Dengan teliti ia memikirkan perkataan-perkataan Ah Lan tadi, dengan semacam perasaan yang tidal enak telah bersarang dalam perasaannya.

   Dalam waktu yang pendek tak dapat ia membedakan apakah perasaannya itu diliputi kesenangan ataukah kedukaan, karena hanya tangan dan kakinya yang dirasakannya agak lemas, dan setelah ia menetapkan semangatnya, ia lalu berkata dalam hati.

   "Huh, mungkin juga saking kegirangan aku menjadi mabuk kepayang."

   Belakangan bayangan buruk dengan pelahan-lahan telah menguasai dirinya.

   Leng Hong sebenarnya orang yang amat cerdik serta cerdas, tapi disaat itu karena ia tengah diliputi suasana kegirangan yang memuncak, maka kecerdasan otaknya itu menjadi agak tidak wajar, karena demi melihat tawa serta tutur kata Ah Lan, ia menjadi kegirangan luar biasa, seakan-akan hatinya bulat-bulat sudah diserahkan kepadanya ..

   Kemudian dengan perasaan ketakutan yang amat sangat dan tanpa memperdulikan sesuatu lagi, lalu dia berlari-lari cepat sekali menuju ketempat tinggal Ah Lan.

   Tapi begitu dia sampai didepan pintu rumah itu, ia sudah mendengar suara tangisan orang.

   Leng Hong tahu pasti, bahwa sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi, maka sambil mengempos semangat dia melompati tembok, akan kemudian dengan tindakan lebar dia menerobos masuk kekamar Ah Lan, dimana dia lihat tubuh Ah Lan lemah terkulai dilantai, sedangkan Siauw Ie menangis terisak-isak sambil memeluk tubuhnya.

   Dalam tangisnya, Siauw Ie masih sempat berkata.

   "Lan Kho sudah meninggal dunia, kau datang mau apa lagi?"

   Dengan laku yang kalap ia maju dan menubruk tubuh Ah Lan sambil dipeluknya erat-erat.

   Segera dia ulurkan tangannya dan meraba nadinya, ternyata tangannya telah kaku dan dingin, matanya berkunang-kunang seakan-akan diapun hendak jatuh pingsan.

   Dengan perlahan-lahan dia letakkan tubuh Ah Lan, kemudian dengan mata yang sayu dia melihat kesekitarnya, kemudian dengan secara tiba-tiba dari mulutnya dia telah memuntahkan darah segar.

   Waktu Siauw Ie mengangkat kepalanya memandang, dia dapatkan pemuda tersebut seperti sudah bersalin rupa, matanya tampak sangat sayu dan guram, semangatnya runtuh habis-habisan, sehingga membuat orang yang memandangnya merasa pilu sekali.

   Dan tatkala Siauw Ie menampak aksi sipemuda, tidak terasa lagi iapun menjadi menggigil tubuhnya.

   Leng Hong dalam puncak kedukaannya setelah dapat menetapkan pikirannya, tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dia lalu memeluk mayat Ah Lan, kemudian, tanpa menolehkan kepala lagi dia berjalan pergi meninggalkan rumah celaka itu.

   Dengan perlahan-lahan Siauw Ie menyusut air matanya, sedangkan kata-kata Lan Kho masih terngiang-ngiang ditelinganya.

   "Siauw Ie, segala sesuatu yang telah kualami, engkau sendiri telah ketahui cukup jelas, maka sekarang aku hendak pergi kesuatu tempat yang jauh sekali. Oleh karena itu, mulai hari ini dan selanjutnya, engkau harus menjadi seorang yang baik dan pandai-pandai menjaga diri, tapi mengenai urusanku ini, sekali-kali engkau jangan perbincangkan pada Gouw Kongcu .."

   Tatkala ia mengingat sampai disitu, tidak terasa lagi airmata Siauw Ie telah mengucur kian menderas, hingga sambil menyesalkan dirinya sendiri ia berkata.

   "Siauw Ie, kau ini sungguh manusia yang bodoh sekali, dengan sesungguhnya dia menyatakan ingin meninggalkan pergi ketempat yang jauh sekali. Halmana, bukankah berarti bahwa dia ingin membunuh diri dengan jalan menggantung dirinya sendiri?"

   Tapi suatu pikiran lain lalu muncul dan berkata.

   "Phui Popo dan Lan Kho adalah orang yang paling erat hubungannya, tapi bagaimanakah kesudahannya riwayat mereka? pembesar yang harus mampus, tatkala dia melihat wajah Lan Kho yang cantik menarik, lantas dia menjadi terpincuk, maka dengan menggunakan kesempatan nona itu datang meminta pertolongan kepadanya, dia pura-pura berlaku baik, dan sungguh kasihan nona Lan Kho yang tidak menyangka jelek terhadapnya, sehingga akhirnya ia kena ditipu olehnya. Karena pada suatu hari pembesar keparat itu diwaktu menyuguhkan arak, dengan diam-diam telah mencampurkan obat bius kedalam arak itu, sehingga akhirnya dengan mudah saja dia telah dapat mencemarkan kehormatan nona Lan Kho. Halmana, semua orangpun telah mengetahuinya. Tapi karena dia adalah seorang pembesar, maka tidak ada seorangpun yang berani melawannya, apakah hal ini adil menurut hukum alam?"

   "Lan Kho sekalipun telah menerima penghinaan yang demikian menyakitkan hati, tapi dia masih tetap ingin hidup terus. Dia ingin melihat untuk penghabisan kalinya wajah Gouw Kongcu. Maka sekarang setelah angan- angannya tercapai, diapun rela mati, tanpa Gouw Kongcu mengetahui kejadian yang telah dialaminya, karena dia tidak ingin merembet-rembet pada nama baik pemuda kekasihnya. Sungguh kasihan sekali, dia yang begitu mencintai Gouw Kongcu dan rela menerima penghinaan sehesar itu. Urusan ini hanya aku sendiri yang mengetahui cukup jelas, maka untuk membalas kebaikan Lan Kho yang telah memperlakukan aku begitu baik sekali, aku Siauw Ie selama hayatku dikandung badan ini, akan selalu berikhtiar untuk membalaskan sakit hatimu terhadap pembesar jahanam itu!"

   Begitulah dengan semangat yang menggelora ini, Siauw Ie lalu mengembara dikalangan Kang-ouw, dimana ia mengembara kemana-mana dalam usahanya untuk mencari seorang guru yang pandai, akan kemudian melaksanakan cita-citanya untuk membalas dendam terhadap pembesar yang keji itu.

   Leng Hong setelah menyewa sebuah kereta, lalu mayat Lan Kho dinaiki kekereta, tapi karena takut orang mencurigainya, setibanya diluar kota dia telah memberikan banyak uang kepada sikusir untuk menutup mulut, kemudian ia memondong tubuh Ah Lan dan berlari dengan langkah yang ringan dan gesit menuju kekaki sebuah gunung.

   Dan situ ia masuk kedalam guha gunung, dimana ia telah meletakkan tubuh Ah Lan.

   Selama hidupnya ini, sesungguhnya dia lebih banyak mengalami kesengsaraan daripada mengecap kesenangan.

   Lalu dia mencabut pedangnya dengan mana dia menggali tanah yang lalu mengubur mayat Ah Lan disitu.

   Sudah itu didepan kuburan tersebut dia berkata dengan perasaan yang tidak keruan rasa.

   "Ah Lan, dalam hayatku ini aku sudah menetapkan, bahwa aku akan mengawalmu sepanjang masa .. tidak perduli dilangit maupun dibumi, maka nantikanlah kedatanganku, aku pasti akan menyusulmu."

   Sesudah berkata demikian, lalu dia mengangkat pedangnya, untuk kemudian ..

   ditabaskan pada lehernya sendiri! Sekonyong-konyong dia merasakan tangan kanannya tergetar hebat sekali, berhubung suatu tenaga yang sangat kuat telah menahan jatuhnya pedangnya tersebut, dengan dibarengi oleh satu suara nyaring bagaikan bunyi lonceng pecah yang berkata.

   "Kecantikan itu adalah kekosongan, kekosongan itu adalah kecantikan, sekalipun kesengsaraan itu luas bagaikan lautan, tapi bila kau menoleh kedepan, disanalah tampak daratan."

   Maksudnya kurang lebih berarti sekalipun kesukaran itu terdapat dimana-mana, tapi bila kau tekun dan ulet serta tawakal menghadapinya, maka pada akhirnya kau pasti akan mencapai kebahagiaan.

   Mendengar suara tersebut yang begitu nyaring, diapun merasakan kepalanya seperti diguyur oleh air dingin, maka dalam waktu sekejap mata saja, ia telah merasakan apa yang terlihat dimuka menjadi kabur, hingga dalam keadaan setengah sadar ia telah menolehkan kepalanya, tapi tidak melihat bayangan seorangpun.

   Dan tatkala ia menatapkan matanya memandang kemuka dengan cermat, barulah ia melihat dua bayangan bagaikan terbang cepatnya melesat pergi, diantaranya adalah seorang pendeta tua yang bertubuh kurus kering, sedangkan dengan hanya melihat punggungnya saja, ia seakan-akan merasa kenal terhadapnya, dengan diantara kempitan tangannya terdapat seorang anak dara yang seolah-olah dalam keadaan pingsan ..

   Dalam hati Leng Hong sama sekali tidak pernah memikirkan tentang keganjilan kejadian ini, berhubung otaknya sedang diliputi oleh penderitaan.

   Maka begitu ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak terduga ini, sebentar kemudian dia seperti melihat sebuah telaga besar yang airnya tenang bagaikan sebuah kaca besar, dari mana tidak putus-putusnya terdengar perkataan sipendeta tua kurus tadi yang telah mengatakan.

   "Kecantikan itu adalah kekosongan .. kekosongan itu adalah kecantikan .."

   Beberapa perkataan yang bersarang dalam sekali diotaknya.

   Sekonyong-konyong dia seperti tersadar dari lamunannya, hingga pada wajahnya yang tampan tampak memancar suatu ketetapan yang teguh, tapi begitu ia melangkah ..

   lekas-lekas ia menghentikan juga tindakannya, sedangkan didalam hatinya diam-diam ia berkata.

   "Sebenarnya aku ingin sekali mencari In Yaya. Aku ingin sekali menemaninya selama ada kesempatan dalam sisa hidupku ini, tapi terhadap perjanjianku dengan Hiong-tee, cara bagaimana harus kuselesaikannya? Tapi sebagai seorang laki-laki sejati, masakah aku dapat menelan kata- kataku kembali dengan jalan mengingkari janjiku? Aku, aku harus menantikannya, kemudian .. aiiii, aku masih ada 'urusan' apa lagi?"

   Dalam pada itu tiba-tiba saja dia menjadi terperanjat, karena wanita yang dikempit oleh pendeta tua itu seakan- akan tidak asing lagi baginya karena anak dara itu sesungguhnya ada beberapa bagian mirip dengan wajah Ceng Jie! Maka tanpa merasa ragu-ragu lagi, ia segera memutarkan badannya dan mengejar pada kedua bayangan yang baru lalu itu.

   Dan tatkala sedang mengejar dengan mempergunakan Keng-sin-kangnya yang dahsyat itu, sekonyong-konyong dari sebelah kirinya terdengar suara suitan, hingga dengan cepat dia menahan laugkahnya, sedang dari balik sebuah bukit kecil muncul satu bayangan manusia yang bergerak dengan secara gesit sekali.

   Kecepatan gerakan orang itu sungguh mengejutkan sekali, karena dengan hanya tiga atau empat kali lompatan saja ia sudah lari dan mencapai jarak duapuluh tombak lebih jauhnya.

   Leng Hong yang bermata sangat celi, segera dapat melihat tegas siapa gerangan orang yang bergerak bagaikan angin cepatnya itu karena orang itupun bukan lain daripada Lie Siauw Hiong adanya.

   Dan meski dengan pandangan sekilas saja, wajah Siauw Hiong tampak jelas berupa putus asa dan gugup yang bercampur aduk menjadi satu.

   Karena, dengan sesungguhnyalah, bahwa tak berhasil ia dapat menemui jejak Thio Ceng yang tengah dicarinya.

   Tatkala itu, begitu Leng Hong berhadapan dengan Lie Siauw Hiong, entah mengapa, airmatanya sudah lantas mengalir deras, maka sambil menahan perasaan hatinya yang menyesakkan dadanya ia berkata.

   "Hiong-Tee, dimuka .. dimuka terdapat seorang laki-laki dan seorang wanita .. yang tampaknya mirip sekali dengan Ceng Jie .."

   Sekalipun kata-kata itu terputus-putus, tapi Lie Siauw Hiong sudah mengerti jelas apa maksudnya, maka dalam kegirangannya ia berseru.

   "Lekas kita menyusul!"

   Kemudian bagaikan terbang cepatnya is melesat dan mengejar orang yang lari dihadapannya itu.

   Disaat itu Siauw Hiong tidak memperhatikan wajah Leng Hong, yang sekalipun wajahnya masih tetap tampan, tapi sudah banyak lebih kurus, sedangkan pandangan matanya tampak agak suram, sedangkan matanya sudah kelabu dan seakan-akan ia sudah sepuluh tahun bertamhah tua.

   Halmana, Siauw Hiong sendiripun tak dapat mengira, bahwa begitu mereka saling berpisahan tidak berapa lama, Gouw Twakonya sudah berhasil dapat menjumpai Ah Lan, maka ia tak mendusin tentang hati Leng Hong yang kini tengah menderita kehancuran yang hebat sekali.

   Begitulah kedua orang ini telah berlari-lari dilereng gunung yang curam dan mudun bagaikan berlari ditanah datar belaka layaknya.

   Sekonyong-konyong kedua pemuda ini mendapatkan dua jalan yang bercagak.

   Leng Hong lalu menyarankan.

   "Baiklah kita masing- masing, menyelidik kedua jalan ini .."

   Lie Siauw Hiong membantah.

   "Tidak mungkin, bila kedua jalan ini kita tidak berhasil menjumpainya, maka kita bukankah jadi terpisah semakin jauh saja dari orang yang kita kejar itu?"

   Dengan demikian, kedua orang ini jadi merasa serba salah, dan paling akhir Lie Siauw Hiong mengambil keputusan sambil berkata dengan suara yang pasti.

   "Baiklah kita mengambil jalan yang sebelah kiri saja, jika Tuhan ingin .."

   Dan diwaktu dia mengatakan.

   "Jika Tuhan ingin,"

   Dia sudah menghentikan perkataannya.

   Lalu dia menengadahkan kepalanya memandang keangkasa, dimana selain langit yang berwarna biru tua, ternyata disudut langit tampak sinar aneka warna, sedangkan awan putih yang tipis melayang-layang bagaikan angkin yang tertiup angin.

   


Si Pedang Kilat -- Gan K L Duri Bunga Ju -- Gu Long Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini