Ceritasilat Novel Online

Munculnya Seorang Pendekar 7


Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Bagian 7



Munculnya Seorang Pendekar Karya dari Tjan Id

   

   Oleh karena itu, mereka datang kesitu untuk meminta pertolongan dan pengobatan dari Tabib Sakti ini.

   Pada saat itu dan ditempat yang sama, mereka kedua belah pihak bertemu pula, hati masing-masing sangat benci dan dendam.

   Begitupun masing-masing pihak sama-sama mengetahui, bahwa kedatangan mereka kesana pun semata- mata untuk meminta obat.

   Setelah masing-masing pihak saling memandang sesaat lamanya, Leng Hong Too-jin tanpa mengucapkan sepatah katapun, lalu membimbing tangan Sin-ho Tam Peng masuk kerumah Tabib Sakti tersebut, maka tiba-tiba Cu-kat Beng berkata dengan suaranya yang bernada rendah .

   "Mari kita segera pergi."

   Ie It Hui melihat wajah Cu-kat Beng bersungguh- sungguh, dia yakin telah terjadi sesuatu yang tak diinginkan, maka sambil buru-buru mendukung Souw Eng Swat, lekas-lekas ia pergi keluar dari hutan bambu itu.

   Dia merasakan bahwa nafas Souw Eng Swat sangat berat sekali, tampaknya sudah kembung-kempis saja, maka tidak terasa lagi dia bertanya dengan gugup .

   "Luka Sumoay bagaimana dirawatnya ?"

   Cu-kat Beng menjawab .

   "Jangan khawatir, aku telah mengambil satu botol obat mujarab dari Tabib Sakti tersebut."

   Ie It Hui dengan perasaan ragu-ragu lalu berpikir pada dirinya sendiri .

   "Kenapakah Tabib Sakti ini sekarang dengan secara tiba-tiba menjadi begitu dermawan sekali dan mau menyerahkan obat 'Tui-hun-tan'-nya pada Cu-kat Beng ?"

   Sekonyong-konyong dia berseru .

   "Sumoay !"

   Lalu dia ulurkan tangannya meraba hidung Souw Eng Swat, dan dengan perasaan kaget sekali dia berkata .

   "Celaka, pernafasan Sumoay agaknya sudah berhenti menghembus !"

   Pada saat itu mereka sudah melampaui hutan bambu tersebut. Sambil berjalan disamping kereta mereka. Cu-kat Beng lalu memandang kebelakang sambil mengeluarkan sebotol obat yang berwarna hijau dan berkata .

   "Tui-hun-tan ini baik ditelankan kemulut Sumoay sebanyak tiga butir, obat ini pasti akan menolongnya."

   Belum lagi perkataan ini habis diucapkannya, dari dalam hutan bambu tersebut berkelebat satu bayangan manusia, yang sekonyong-konyong berhenti dimuka mereka. Dengan tertawa dingin orang tersebut berkata .

   "Sungguh kejam sekali kamu 'Kong Tong Sam Coat Kiam' ! Ternyata kalian telah membunuh mati Tabib Sakti itu !"

   Lalu dengan ekor matanya dia melirik kearah botol obat yang sedang dipegang oleh Cu-kat Beng, dengan mana ia melanjutkan perkataannya .

   "Bahkan kalian telah mencuri juga obat 'Tui-hun-tan' pula. Hmmm ! Ternyata ahli pedang seluruh jagat telah menghasilkan murid yang sangat baik sekali !"

   Waktu Ie It Hui mendengar bahwa Tabib Sakti itu sudah meninggal dunia, dia menjadi sangat terkejut juga. Cu-kat Beng pun sambil tertawa hambar lalu berkata .

   "Too-su dari Bu-tong-pay pun ternyata lihay juga, ya ? Tanpa membedakan hijau merah ataupun putih lagi, lalu sembarangan saja menuduh orang !"

   Leng-Hong Tojin tertawa pula sambil berkata .

   "Bagus, aku telah menuduhmu."

   Sehabis berkata begitu, lalu dia kembali masuk kedalam hutan bambu itu. Kemudian Cu- kat Beng memandang pada Ie It Hui, yang tampaknya sangat curiga terhadapnya dan berkata .

   "Lekas naik kereta, sebentar lagi akan aku jelaskan duduknya perkara yang sebenar-benarnya."

   Ternyata para too-su dari Bu-tong-pay sekalipun ribut mulut dengan Cu-kat Beng, tapi masing-masing pihak mementingkan untuk menolong kawannya lebih dahulu, oleh karena itu, lalu mereka mengambil jalan sendiri- sendiri.

   Hal ini, baiklah untuk sementara kita tinggalkan dahulu.

   Sekarang kita balik meninjau pemuda Lie Siauw Hiong.

   Pada saat dia ditawan musuhnya, ternyata dia tidak kehilangan ingatan.

   Dia tidak bisa berbicara ...

   kaki dan tangannyapun tidak dapat digerakkannya, karena ia dikempit dan dibawa pergi oleh Biu Chit Nio.

   Hanya disamping badannya, dia merasa angin menghembus amat kencangnya.

   Pada saat itu lawannya melarikannya dengan amat cepatnya.

   Tadinya dia merasa bahwa ilmu kepandaian meringankan tubuhnya, 'Am-eng-pu-hiang' sudah terlatih sempurna, tapi tak disangka-sangka kepandaian lawannya ini jauh melebihi kepandaiannya sendiri.

   Kini ia insyaf, bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipelajari sampai pada sesuatu batas tertentu, karena bila seseorang mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, maka pasti ada lain orang yang dapat melebihi kepandaiannya.

   Begitulah orang didunia ini dalam menuntut ilmu selalu atas mengatasi tanpa habis-habisnya.

   Kemudian Lie Siauw Hiong berpikir tentang keselamatan dirinya, maka diam-diam dia berpikir .

   "Apakah kesalahan yang telah kuperbuat terhadap orang aneh dan luar biasa ini ? Mengapa dia secara mendadak sekali mengancamku ?"

   Lie Siauw Hiong hanya dapat mengeluh saja, tapi pada saat itu bernafaspun dirasakannya agak sulit.

   Kaki dan tangannya mulai merasa agak kesemutan.

   Penderitaannya pada saat itu adalah suatu pengalaman pahit getir yang tak dapat dilukiskannya dengan kata-kata.

   Begitulah untuk pertama kalinya Lie Siauw Hiong merasa dirinya terkena totok orang, maka dalam kegugupan serta kemarahannya, membuat perasaan membenci lawannya tidak terhingga besarnya.

   "Sekali ini bila aku dapat melarikan diri, aku akan berlatih lebih giat lagi, kemudian setelah sempurna, akan kupertunjukkan hasil godokan ilmuku itu pada Biu Chit Nio ini."

   Tapi tak tahu ia siapakah orang yang telah menotoknya itu.

   Laki-lakikah, atau perempuankah ia itu ? Tapi hidungnya segera menangkap bebauan yang harum sekali.

   Bau itu bersumber dari badan Biu Chit Nio.

   Begitu dia menyedot dalam-dalam hawa tersebut, diam-diam dia berpikir .

   "Bau ini ternyata tidak jauh bedanya dengan bau yang dipancarkan oleh Leng Moay-moay."

   Kembali dia menghisap hawa tersebut sambil memikirkan diri Kim Bwee Leng .

   "Sekarang mungkin Kim Bwee Lang sudah mati karena menanggung perasaan kesal."

   Karenanya, pikiran Lie Siauw Hiong menjadi gundah gulana dan kacau-balau.

   Tiba-tiba ia merasa angin disamping badannya berbenti berhembus, cepat dia memusatkan seluruh perhatiannya.

   Sambil memandang keempat penjuru, ternyata dia sudah berada dalam satu ruangan dari sebuah kapal pula.

   Hatinya bertambah gusar, akhirnya dia berpikir .

   "Mengapa kini aku berada didaerah perairan ? Dan diatas kapal siapakah aku gerangan ?"

   Biu Chit Nio telah membantingkan tubuh Lie Siauw Hiong dilantai kapalnya.

   Si pemuda yang dibantingkannya itu tulang tubuhnya merasa seakan-akan hancur luluh dan tak terperikan sakitnya.

   Nafasnya sengal-sengal.

   Pada saat itu selain kehilangan kebebasannya, diapun tak bisa bergerak.

   Tubuhnya terbaring dilantai kapal tersebut, berkeluk berpangku lutut, hingga amat tak sedap dipandang mata.

   Bu Heng Seng yang sudah banyak mengerahkan tenaganya itu, kelihatan dipantai tersebut bulak-balik dua kali, membuat air sungai tersebut bergolak-golak, tapi ia tak juga berhasil menemukan bayangan orang yang sedang dicari-carinya itu.

   Maka dengan penuh kemarahan dan kemendongkolan lalu kembali kekapalnya.

   Sewaktu dia tiba kekapalnya, ternyata orang yang sedang dicari dan hendak ditangkapnya itu sudah berada disitu.

   Biu Chit Nio sambil tertawa berkata pada Bu Heng Seng .

   "Biasanya kau mengatakan aku seorang bodoh, tapi sekarang justeru adalah giliranku untuk menyebut kaulah yang bodoh, bukan ?"

   Sambil tertawa getir Bu Heng Seng menyahut .

   "Anak ini ternyata sangat cerdik sekali."

   Thio Ceng waktu melihat 'pemuda yang bermata besar ini' kena tertangkap oleh ibunya, kembali hatinya kaget bercampur gembira, kagetnya ialah entah apa gerangan yang hendak dilakukan terhadap pemuda ini oleh ayah dan ibunya, gembiranya ialah karena dia dapat berjumpa kembali dengan pemuda ini.

   Biu Chit Nio lalu berkata kepada Bu Heng Sang .

   "Apakah kau sudah menanyakan dengan sejelas-jelasnya mengenai saputangan itu ?"

   Bu Heng Seng menjawab .

   "Saputangan itu benar kepunyaannya, dan dia sendiripun telah mengakuinya."

   Biu Chit Nio dengan suara yang sangat benci dan gemas lalu berkata .

   "Aku ingin membawanya pulang kepulau kita, untuk membawa dia kemakam Kiu Moay, kemudian barulah aku membunuh dia untuk dijadikan barang sajian, sebagai balasan atas kekejamannya dahulu."

   Dengan gugup Thio Ceng berkata .

   "Kenapakah kita harus kembali kepulau ?"

   Kemudian dengan suaranya yang perlahan dia berkata pula .

   "Aku tidak mau turut ! Bukankah ayah pernah meluluskan permintaanku, untuk bermain-main sepuas-puasnya ditempat ini ? Sekarang belum lagi aku dapat bermain-main dengan puas, tapi mengapa mendadak sontak hendak pulang kembali kepulau kita yang amat kecil itu ? Sungguh-sungguh membuat aku mati berulam jantung karena kesal dan kesepian disana !"

   Dengan tertawa Bu Hang Seng berkata .

   "Apa yang kau katakan, pulau Bu-khek-too kita tidak enak untuk bermain- main ? Orang-orang dikalangan Kang-ouw diseluruh dunia ingin pergi kepulau kita itu, dan orang-orang biasa kesana sengaja untuk berparawisata."

   Dengan perasaan yang amat terkejut, Lie Siauw Hiong berpikir .

   "Ternyata orang ini adalah pemilik dari pulau Bu- khek-too, kenapakah aku hendak dibawanya kesana ? Dan apakah kesalahan yang telah kuperbuat terhadap Tong Hay Sam Sian (Tiga Dewa dari Lautan Timur) ini ?"

   Segala-galanya ini hanya Yang Maha Esalah yang tahu. Sambil memonyongkan mulutnya dan dengan suara yang amat merdu, Thio Ceng lalu berkata .

   "Mereka ingin datang adalah urusan mereka sendiri, aku ..."

   Sambil mengerutkan keningnya Bu Heng Seng membentak .

   "Jangan kau banyak cakap ! Jika ingin pergi bermain-main di Tiong-Goan, waktunya masih banyak dikemudian hari. Tapi kini kita harus kembali kepulau sekarang juga."

   Mata Thio Ceng menjadi merah, air matanya mulai jatuh berderai-derai. Biu Tihit Nio lalu memeluk anaknya Thio Ceng ini kedadanya sambil berkata dengan lemah-lembut .

   "Anak goblok, kau mengapa harus berlaku begitu kesusu ? Ayah dan ibumu tentu saja tidak hendak memaksa kau berdiam seumur hidup dipulau Bu-khek-too. Dikemudian hari kau harus menikah dan bila kau sudah menikah, kau boleh pergi kemana kau suka untuk bermain-main. Coba kau katakan, benar tidak ?"

   Saking merasa malu, muka Thio Ceng menjadi merah saga. Tanpa disadarinya apa sebabnya, dia selalu terkenang pada 'pemuda bermata besar' yang sedang terbaring dilantai kapalnya ini. Dia berpikir .

   "Asal saja dikemudian hari dia dapat menemani aku bermain-main, alangkah baiknya. Tapi bila mereka sudah kembali kepulau, dia pasti akan dihukum oleh ayah dan ibuku."

   Oleh karena berpikir begitu, tidak terasa lagi hal ini menjadi pukulan bathinnya yang sangat hebat. Biu Chit Nio lalu mengusap-usap rambut anaknya yang sangat bagus itu, dan sambil menunjuk kearah tubuh Lie Siauw Hiong dia berkata .

   "Tapi kau dikemudian hari jangan sekali-kali menikah dengan orang semacam dia ini. Dia adalah she Bwee, namanya San Bin. Ah-iepun justeru karena kesal terhadapnya, sehingga menyebabkan dia sampai meninggal dunia. Ibumu akan membunuhnya, untuk membalaskan sakit hati Ah-iemu !"

   Pada saat itu Lie Siauw Hiong merasa sangat terkejut, setelah mendengar ibu Thio Ceng yang menjelaskan halnya tadi. Barulah sekarang dia insyaf, apa maksud orang ini sebenarnya menangkapnya mati-matian.

   "Oh, ternyata urusan ini bersangkut-paut dengan urusan Siok-siok. Ia menganggap aku Bwee San Bin, alangkah malang dan celakanya nasibku ini. Tapi sebaliknya bila tidak ada Bwee Siok-siok, aku mana bisa mempunyai hari depan seperti hari ini ? Tentu lama sebelumnya mungkin aku sudah mati dipuncak gunung Ngo-hoa-san. Sekarang aku mewakilkan dia untuk mati. Hal itu aku tidak berkeberatan untuk sekedar guna membalas budinya."

   Kemudian dia melanjutkan perasaan hatinya .

   "Tapi cara kematianku ini sungguh-sungguh terlampau tidak berharga dan keterlaluan. Apakah yang telah diperbuat Bwee Siok- siok terhadap 'Kiu Ah-ie' ini ? Dan apakah barangkali Bwee Siok-siok telah menganiaya Kiu Ah-ie ini, sehingga akhirnya dia mengalami kematiannya ?"

   Sekonyong-konyong dia teringat pada hari pertama waktu pertama kalinya dia tiba dirumahnya Bwee San Bin.

   Pada saat itu dirungan depan dia mendengar 'Hauw Jie Siok'-nya pernah mengatakan hal itu kepadanya, tapi pada waktu itu dia sama sekali tidak mengerti persoalannya.

   Tetapi sekarang hal ini sudah menjadi terang benderang baginya, hingga diam-diam dia berpikir .

   "'Kiu Ah-ie' ini mungkin juga setelah mendengar Bwee Siok-sioknya telah meninggal dunia, lantas dia pergi menuntut balas, tapi akhirnya diapun binasa, entah kenapa tidak diketahui. Apa lagi pemilik pulau Bu-khek-too ini mempunyai ilmu kepandaian silat yang sangat tinggi sekali, tapi meskipun demikian orangnya sangat sembrono. Karena belum lagi dia menyelidiki duduk perkara sebenarnya mengenai kematian Ah-ie ini, dan belum pula bertanya secara cermat pada orang yang bersangkutan, dia mengira Lie Siauw Hiong adalah Bwee Siok-sioknya sendiri yang telah mencelakai dia. Ai, bukankah hal ini merupakan satu kekeliruan yang besar sekali ?"

   Kendatipun hatinya berpendapat demikian, tapi ia tak dapat mengatakannya. Dan saking gugupnya, dahinya menjadi basah dengan keringat. Dengan tertawa dingin Biu Chit Nio lalu berkata .

   "Kau ternyata takut mati juga, ya ?"

   Lalu Biu Chit Nio bertepuk tangan, kemudian datang dua pemuda yang berbadan tegap. Mereka ini adalah kelasi- kelasi. Biu Chit Nio lalu memerintahkan mereka sambil berkata .

   "Putar haluan ke Timur, kita akan pulang kembali."

   Kedua kelasi tersebut dengan berlaku hormat sekali menyatakan menurut perintah. Dan bersamaan dengan itu, Biu Chit Nio pun berkata lagi .

   "Lekas bawa orang ini ketempat simpanan barang-barang dibagian belakang dari ruangan kapal kita ini. Setiap hari beri dia makan sedikit bubur, jangan biarkan dia mati kelaparan ditengah perjalanan."

   Karena marahnya, dari tujuh anggota badan Lie Siauw Hiong seolah-olah mengeluarkan asap.

   Dia dapat membedakan orang dengan baik sekali.

   Tidak perduli apakah orang itu berbudi ataukah bermusuhan dengan dia, dia pandang hal tersebut dengan sama pentingnya.

   Bagi orang yang baik terhadapnya, dia akan berusaha untuk membalas kebaikan terhadap orang itu, dan jika orang itu berlaku jahat terhadapnya, diapun akan berikhtiar pula untuk membalasnya.

   Maka disaat itu kebenciannya mencapai puncaknya terhadap Biu Chit Nio.

   "Asal saja aku tidak mati, aku akan memberi pelajaran terhadap perempuan itu,"

   Pikirnya.

   Setelah dia mengambil keputusan ini, diapun akan berdaya-upaya untuk membalasnya.

   Kemudian dia merasakan tubuhnya seakan-akan sehelai papan saja, dilemparkan kesana-kemari seenaknya dilantai kapal.

   Tapi waktu tubuhnya hendak dibawa keluar, dia melihat muka gadis cilik yang berbaju putih itu tengah memandang kepadanya dengan pandangan yang menunjukkan rasa kasihan terhadapnya.

   Hal ini membuat hatinya merasa terharu sekali.

   Namun pandangan Lie Siauw Hiong ini sebentar saja, karena tubuhnya sudah dibawa keluar.

   Kedua kelasi ini memperlakukannya sangat kasar sekali, dia tidak menganggap Lie Siauw Hiong seperti orang, melainkan seperti barang saja.

   Dia melihat dilangit sebuah sinar terkilas, sewaktu dia dilemparkan keruangan kapal yang amat gelap gulita itu.

   Dia seperti orang yang sudah mati saja, berbaring diruangan kapal yang gelap itu.

   
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekian kali badannya dilemparkan agak jauh, sekian kali pula dia merasa badannya semakin sakit.

   Diruangan kapal dimana terakhir ia dilemparkan, ia mencium bau busuk yang sangat menusuk hidung dan sukar dapat ditahan hingga kepalanya dirasakan sangat pusing sekali.

   Sedikitpun Lie Siauw Hiong tidak pernah menduga, bahwa dirinya akan mengalami peristiwa sepahit itu.

   Saking marahnya, seakan-akan dia hendak muntahkan darah saja rasanya.

   Tapi biar bagaimanapun ia tidak berdaya sama sekali, apalagi ilmu totokkan pemilik pulau Bu-khek-too ini dapat membikin orang yang tertotok sukar bernafas.

   Ilmu totokan tersebut ternyata lebih lihay daripada totokan partai Tiam Cong yang disebut ilmu 'Chit-coat- tiong-ciu'.

   Sekarang baru dia tahu bahwa dirinya telah mengalami kekalahan, hingga kini terpaksa dia berlaku tenang dan tidak ingin melakukan pergerakan apa-apa.

   Entah sudah berapa lama waktu sudah berlalu, kelasi yang kasar itu berjalan masuk, lalu dengan menggunakan mangkok besar yang berisikan bubur mereka membuka mulut Lie Siauw Hiong, kemudian menuangkan semua isi bubur itu ketenggorokan si pemuda.

   Bubur itu sedang panas-panasnya, sehingga tenggorokan Siauw Hiong terasa melepuh.

   Penderitaannya ini membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk dan diiris-iris dengan sembilu.

   Karena bila dia tidak mau, dia tidak berdaya sama sekali, maka orang-orang tersebut merasa lebih senang lagi dapat memperlakukan pemuda ini dengan cara demikian berulang-ulang, dan tidak lama kemudian dia datang lagi dengan membawa pula sebuah mangkok berisikan bubur panas.

   Begitulah dalam waktu yang pendek sekali, dia sudah memberi makan bubur pada pemuda itu beberapa kali.

   Akhirnya Lie Siauw Hiong merasa perutnya sudah kembung, sehingga dia tidak berdaya untuk mencegahnya.

   Setelah menelan bubur itu sebanyak enam atau tujuh mangkok, dia sesungguhnya sudah tidak tahan lagi.

   Perbuatan ini lebih kejam daripada hukuman apapun jua, apa lagi bubur tersebut masih panas sekali.

   Waktu masuk kekerongkongannya, terasa olehnya sakit sekali, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaannya lahir-batin yang ditanggungkannya dewasa itu.

   Kesemuanya ini membuat dia semakin bertambah benci saja terhadap Biu Chit Nio.

   Sekonyong-konyong terdengar suara langkah kaki orang yang mendatangi lagi.

   Mendengar ini Lie Siauw Hiong tambah mengeluh.

   Dia mengira bahwa mereka yang sedari tadi bertubi-tubi memberi makan bubur panas kepadanya, kini mendatangi lagi.

   Ia terpaksa memejamkan matanya rapat-rapat.

   Pada saat itu dirasakannya ada sebuah tangan yang licin dan halus mengusap-usap mukanya.

   Tangan tersebut bukanlah tangan yang berbulu, tapi licin dan putih halus melebihi batu giok layaknya.

   Lagi pula orang tersebut membawa bau badan yang sangat harum sekali.

   (Oo-dwkz-oO)

   Jilid 13 Lie Siauw Hiong lalu membuka matanya.

   Selama sepuluh tahun dia melatih diri dikamar batunya, dia sudah biasa melihat barang-barang ditempat gelap dengan tak ubahnya seperti disiang hari saja, maka pada saat itu tentu saja dia dengan mudah dapat melihat sebuah wajah yang sangat cantik jelita.

   Wajah yang dilihatnya itu lalu tertawa, sehingga dikedua pipinya kelihatan lesung pipitnya yang manis menggiurkan, seakan-akan sekuntum bunga yang sedang mekar.

   Perasaan hatinya menjadi sangat sedap.

   Bahkan sejak lahir, dia sudah mempunyai perasaan yang sangat berkesan dan memuji akan 'kecantikan', apa lagi dibawah pimpinan Bwee San Bin yang sedemikian lamanya, maka perasaan ini dengan sendirinya semakin berkembang segar saja.

   Perasaan mana, bukanlah setiap orang dapat mangertinya.

   Hal itu baru didapatkannya setelah mangalami banyak hal-hal yang bersangkutan dengan kecantikan yang sangat mahal sekali nilainya ini.

   Pada saat itu ketika melihat kecantikan yang luar biasa ini, dalam hati Siauw Hiong tidak pernah timbul perasaan yang bukan- bukan, selain merasa dirinya lebih dekat kepada orang yang bersangkutan itu.

   Waktu Thio Ceng merasa dirinya dipandang begitu rupa oleh Lie Siauw Hiong, diapun lalu tertawa dengan manisnya dan dalam hatinya dia telah mengambil keputusan yang pasti, yaitu .

   "Melepaskan Lie Siauw Hiong supaya dia dapat melarikan diri."

   Sekalipun dalam hatinya dia merasa serba salah, tapi dia tahu asal saja dia dapat melepaskan 'pemuda bermata besar ini' untuk melarikan dirinya, maka dikuatirkannya dikemudian hari dia tak mempunyai kesempatan lagi untuk saling berjumpa kembali dengannya.

   Tapi dia tak sampai hati akan ayah dan ibunya sampai membunuh pemuda ini, sekalipun pemuda ini telah membuat kesalahan, yang menurut perkiraannya, kesalahan Lie Siauw Hiong itu belum patut mendapat ganjaran hukuman mati.

   Gadis yang masih murni ini sangat besar sekali perasaan kasihnya terhadap pemuda ini.

   Perasaan 'cinta' dan 'benci' dari pemuda ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan perasaan 'benar' dan 'salah', perasaan mana dirasakan juga Thio Ceng pada saat itu.

   Dengan suara yang perlahan dia berkata .

   "Aku akan melepaskan kau. Kapal ini berjarak dekat sekali dengan pantai, kau pasti dapat melarikan dirimu. Kau harus lekas- lekas melarikan diri, bila tidak ingin diketahui oleh orang tuaku."

   Jempol kanannya lalu menekan jalan darah 'Bun-hiang- hiat' dibawah hidungnya, lantas tangannya dengan cepat menepuk dua kali didada dan perut pemuda itu, maka pada saat itu juga tubuh Lie Siauw Hiong yang kaku itu segera dapat bergerak kembali dengan leluasa.

   Kini dengan sedikit gerakan saja, ia lalu berdiri dihadapan Thio Ceng, yang pada saat itu juga hidungnya dapat menangkap bau-bauan yang wangi dari tubuh pemudi itu.

   Pada saat itu seakan-akan dunia ini penuh oleh wangi- wangian yang semerbak baunya.

   Mereka merasakan bahwa dunia ini seolah-olah tiada berpenghuni, selain mereka berdua saja.

   Mereka seakan-akan dapat mendengar debaran jantung masing-masing.

   Lie Siauw Hiong berdiri terpaku seketika, otaknya terasa sangat kosong, hingga dia tidak tahu lagi perkataan apa yang baik yang harus diucapkannya dihadapan pemudi itu.

   Setelah berselang lama juga dengan penuh kegugupan, Thio Ceng berkata .

   "Kau lekas lari, kalau sampai ketahuan oleh ayah, pasti hal ini tidak mungkin dapat kau lakukan !"

   Dimulut ia berkata begitu, tetapi dalam hati sebenarnya dia tak ingin ditinggalkan oleh pemuda yang bermata besar ini.

   Lie Siauw Hiong sambil menekan perasaan hatinya yang rindu, segera menggerakkan kaki dan tangannya mencelat keluar dari dalam kapal bagaikan seekor burung kepinis gesitnya.

   Sementara Thio Ceng lalu mengantarkan bayangan Lie Siauw Hiong dengan didalam hatinya berpikir .

   "Perpisahan pada kali ini, bilamanakah kiranya dapat berjumpa lagi ?"

   Diluar kapal yang sedang berlabuh dengan tenangnya itu, keadaan sangat gelap sekali.

   Jarak kapal dari pantai tak seberapa jauh, tepat seperti apa yang dikatakan oleh Thio Ceng tadi, yang kalau diukur jaraknya, kurang lebih tujuh atau delapan tombak jauhnya.

   Jarak sejauh itu bagi Lie Siauw Hiong bukanlah merupakan suatu halangan yang sulit.

   Maka dengan sekali mencelat saja, tubuhnya sudah melayang sejauh lima tombak lebih, kemudian lalu digerakkannya tubuhnya kembali, untuk dapat melayang mencapai daratan.

   Keadaan disana-sini sunyi-senyap, hingga hanya suara air mengalir saja yang terdengar, tapi dalam kesunyian malam itu tiba-tiba terdengar suara dingin yang berkata .

   "Bagus !"

   Sekalipun suara itu kaku, tetapi gemanya jelas terdengar diudara.

   Sewaktu baru saja kakinya menginjak pantai, sekonyong- konyong dari sampingnya berkelebat satu bayangan orang, ternyata dihadapannya berdiri seorang yang memakai pakaian yang berwarna putih.

   Dalam waktu sekejap itu saja, hatinya tiba-tiba berpikir .

   "Mustahilkah dia tidak mengijinkan aku melarikan diri, lalu dia datang mengejar lagi ?"

   Ketika dia menatapkan matanya memandang dengan cermat, tidak terasa lagi semangatnya melayang keudara.

   Orang yang berdiri dimukanya adalah seorang anak sekolah yang berpakaian putih, yaitu pemimpin pulau Bu- kek-too.

   Tadinya Lie Siauw Hiong menduga, bahwa orang tersebut adalah gadis Thio Ceng adanya.

   Dengan suara yang dingin Bu Heng Seng berkata .

   "Apakah kau pikir kau akan dapat melarikan diri ?"

   Lie Siauw Hiong tahu kekuatan dirinya sendiri dan dia tahu pula bahwa dirinya pasti tidak dapat melarikan diri dengan bebas, karena biar bagaimanapun dia tidak dapat memenangkan orang ini, maka dia berkata .

   "Tuan telah menduga banyak hal-hal yang keliru terhadap diriku, aku ..."

   Dengan suara tertawanya yang tajam dia memutuskan perkataan pemuda itu, lalu dia mengulurkan sepuluh jarinya yang mirip sepit itu.

   Dari tangan kanannya yang terdiri dari jari telunjuk, tengah, dan jempol menotok jalan- jalan darah 'Tian-cong', 'Kian-ceng' dan 'Giok-cin' ditubuh lawannya.

   Sedangkan jari-jari tangan kirinya menotok jalan darah 'Su-pek', 'He-kwan', 'Tee-cong', 'Sim-hiang' dan 'Tong- hian'.

   Dengan menggunakan seluruh perhatiannya lalu dia melancarkan serangan yang dahsyat diarahkan disebelah bawah tubuh lawannya.

   Serangannya ini dilakukan dengan latihannya yang telah dia latih selama sepuluh tahun.

   Belum lagi suara dingin Bu Heng Seng berhenti, badannya sudah ditarik mundur kebelakang, sedangkan bayangan Lie Siauw Hiong lalu mengikuti maju, dengan menggunakan segala kemampuannya dia balas melancarkan serangannya terhadap lawannya, tapi sekalipun serangannya ini sangat terukur dan terlatih, tapi tidak berdaya menemui sasarannya.

   Kemudian dalam waktu yang singkat, kedua orang ini sudah mundur kebelakang sampai beberapa puluh tombak jauhnya, pada saat mana napas Lie Siauw Hiong sudah tidak beraturan lagi jalannya.

   Bu Kek Toocu badannya sedikit berputar, lantas dari tempat yang dekat sekali dia menotok jalan darah 'Houw-kee' dituhuh Lie Siauw Hiong.

   Pergerakan Bu Heng Seng yang cepat bukan buatan ini justeru adalah salah satu tipu 'Hut-hiat' yang sudah lama lenyap dari kalangan Kang-ouw, yaitu pergerakan tangan diantara lengan baju yang tertutup ini dengan sendirinya tidak terlihat nyata cara pergerakannya itu.

   Pergerakan yang cepat dari Bu Heng Seng ini dapat dibuktikan dengan tubuh Lie Siauw Hiong yang belum lagi sempat berkelit, tahu-tahu tubuhnya sudah tertotok oleh lawannya, sehingga dia berdiam seperti sebuah patung batu saja.

   Kepandaian Lie Siauw Hiong sudah mencapai tingkat yang tinggi, tapi bagaimana dia dapat dengan sekali totok saja sudah kena ditotok lawannya, hal ini sebenarnya disebabkan karena Lie Siauw Hiong yang sangat marah itu dia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya lebih lanjut, maka dengan cara yang jitu dan licin sekali dirinya sudah kena tertotok oleh lawannya.

   Lagi pula ilmu totokan lawannya ini sangat luar biasa sekali, hingga cara pergerakannya itu belum pernah dilihatnya dikalangan Kang-ouw.

   Begitulah dengan banyak faktor yang mempengaruhinya ini, Lie Siauw Hiong dengan sekali bergebrak saja telah dibikin tidak berdaya oleh pihak musuh, hingga dalam hatinya tidak putus-putusnya dia menyesalkan dirinya dan berpikir .

   "Tidak diangka-sangka ilmuku yang sudah sangat tinggi ini, dengan satu serangan saja dari pihak lawan aku sudah tak berdaya untuk meloloskan diri !"

   Suara tertawa Bu Heng Seng berhenti dan tangannya lantas bergerak, ternyata tubuh Lie Siauw Hiong sudah dikempitnya.

   Pada saat itu, hati Thio Ceng sangat berduka.

   Sambil berdiri diatas geladak kapalnya, dia memandang pada air sungai yang mengalir perlahan-lahan.

   Diatas langit tampak bintang-bintang berkelap-kelip, dan ditempat yang jauh disana bumi sudah ditelan oleh kegelapan malam hari.

   Perasaan Thio Ceng yang sangat sedih dan kesepian ini, baru dia rasakan untuk pertama kalinya sejak dia dilahirkan didunia ini.

   Sekonyong-konyong dari arah daratan tampak berkelebat satu bayangan orang yang berwarna putih, cepat sekali pergerakan orang tersebut.

   Melihat cara pergerakan itu, tanpa disangsikan lagi sudah pasti adalah ayahnya sendiri, maka dalam hatinya diam-diam ia berpikir dengan heran .

   "Ayah turun kedarat demi kepentingan apakah ? Apakah barangkali dia telah memergokinya ?"

   Begitu pikiran ini terlintas dikepalanya, kenyataan telah membuktikannya.

   Bu Kek Toocu dengan mengempit Lie Siauw Hiong diketiaknya lantas naik keatas kapalnya, dan dengan matanya yang tajam dia melirik kearah anak daranya yang sedang memandang kepadanya dengan perasaan heran.

   Lantas tangan kanannya terangkat dan tubuh Lie Siauw Hiong lagi-lagi dilemparkan kedalam ruangan gudang kapal itu.

   Perasaan hati Thio Ceng sangat terkejut.

   Perasaan takut dan tercengang bersarang dalam hatinya.

   Bu Kek Toocu lalu berjalan menghampirinya sambil berkata .

   "Kau telah melakukan suatu pekerjaan yang sangat bagus sekali. Mari kau turut aku !"

   Mukanya tampak dingin sekali, melihat hal itu teranglah yang ayahnya sedang marah besar.

   Ternyata lagi-lagi Lie Siauw Hiong telah mengalami kesengsaraan seperti pertama kalinya dia kena tertotok, yaitu kedua tangannya terjulur kemuka dengan jari-jarinya terpentang lebar, sedangkan kakinya separuh membengkok.

   Pada saat ini dengan cara demikian juga dia terbaring dilantai ruangan kapal.

   Pemuda kasar yang memberinya bubur itu selalu datang dengan tidak putus-putusnya, setiap hari asal saja matahari mulai menyingsing, pasti pemuda kasar itu datang menyiksanya dengan memberi dia makan bubur yang sebanyak-banyaknya.

   Dengan cara demikianlah dia dapat menghitung lewatnya hari.

   Lima-enam hari telah lewat, selama mana diapun telah dipermainkan pula tidak keruan oleh pemuda kasar itu.

   Sekalipun dia tidak dapat bergerak dengan leluasa, tapi otaknya masih tetap dapat bekerja dengan normal.

   Oleh karena itu, kebenciannya terhadap lawannya bertambah besar saja dan sebaliknya terhadap orang yang dikasihinya, perasaan cintanya semakin bertambah besar dan berkobar-kobar, dan justeru pada saat inilah baru disadarinya, bahwa perasaan 'cinta' lebih hebat daripada perasaan 'benci'.

   Karena otaknya terbayang dengan nyata bahwa orang yang dikasihinya jauh lebih banyak daripada orang yang dibencinya, demikianlah dia menilai sesuatu perkara didunia ini dengan cara selayang pandang.

   Kim Bwee Leng dengan sendirinya adalah orang yang paling dalam melekat disanubarinya, hingga setiap waktu bayangannya senantiasa memenuhi ruang matanya.

   Dia mendadak sontak teringat akan Kim Bwee Leng, waktu dia bersama-sama melewati penghidupan mereka yang penuh kesunyian disuatu daerah yang liar dan sepi.

   Dia teringat betapa mereka telah melewati waktu satu hari satu malam disana.

   Terhadap pengorbanan yang diberikan oleh Kim Bwee Leng ini, dia merasa sangat bangga sekali.

   Dan terhadap Pui Siauw Kunpun dia tidak dapat melupakannya pula.

   Tapi pada saat ini yang paling segar dalam otaknya adalah bayangan Thio Ceng yang begitu cantik dan suci.

   Diam-diam Lie Siauw Hiong berpikir pada dirinya sendiri .

   "Mengapa dia tidak nampak muncul-muncul ? Setelah beberapa hari berselang, aku kira ayah dan ibunya sudah memberi peringatan keras kepadanya."

   Pada saat itu dia telah melupakan sama sekali keadaan dirinya sendiri yang sangat berbahaya itu, malahan dia telah melupakan pula kebenciannya yang sangat besar ini.

   Adapun Thio Ceng yang telah dimaki habis-habisan oleh ayah dan ibunya, sambil berbaring didalam kamarnya sendiri, tidak dapat dia melupakan 'pemuda bermata besar ini'.

   Kapalnya pada saat itu dari pulau Cong-beng-too berlayar kearah selatan, keluar dari mulut sungai Tiang- kang dan menuju kelaut.

   Bu Kek Toocu lalu memandang jauh sekali keluar dari jendela kapalnya, dimana tampak laut yang tak bertepi dihadapannya.

   Air dan langit seakan-akan menjadi satu saja, sedangkan Laut Timur (Tong Hay) tampak terbentang dengan angkernya, dimana airnya bergelombang sangat dahsyatnya.

   Hatinya dirasakannya bergolak-golak, maka sambil menoleh pada Biu Chit Nio ia tertawa dan berkata .

   "Kita akan segera kembali kekampung balaman kita."

   Biu Chit Nio hanya mengganda tertawa. Bu Heng Seng dengan mengerutkan keningnya berkata .

   "Kembalinya kita kekampung halaman kita sekali ini, kita harus mengajar anak kita itu baik-baik,"

   Biu Chit Nio masih saja tinggal tetap tertawa. Bu Heng Seng dengan perasaan penuh keheranan lalu bertanya .

   Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa yang kau tertawakan ?"

   "Aku sedang menertawakan para perompak yang tampaknya sudah bosan hidup ingin merompak kapal kita."

   Biu Chit Nio berkata sambil menunjuk dengan jarinya keluar jendela kapal mereka.

   "Selama dua hari ini kita sesungguhnya terlampau kesal sekali, sekarang justeru saatnya untuk melenyapkan kekesalan kita sudah sampai."

   Dengan mengikuti arah tudingan tangan isterinya ini, lalu Bu Heng Seng memandang keluar.

   Benar saja dari jarak yang sangat jauh sekali tampak tiga titik hitam, tadi karena hatinya sedang memikirkan sesuatu, maka dia tidak memperhatikan keadaan disekelilingnya.

   Oleh karena itu dengan keheranan dia berkata .

   "Hal ini sesungguhnya adalah aneh sekali, tak mungkin perompak dari daerah Tong Hay tidak mengenali kita."

   Dengan tertawa Biu Chit Nio menjawab pertanyaan suaminya .

   "Mungkin juga bukan mereka."

   Angin laut menghembus sangat keras sekali, sehingga ketiga kapal tersebut melaju pesat sekali, tidak sampai satu jam lamanya, bentuk kapal tersebut sudah tampak dengan nyata.

   Ketiga kapal tersebut membentuk sudut segi tiga datang menghampiri kekapalnya, tapi sambil tertawa Bu Kek Toocu berkata .

   "Melihat kedatangan mereka sungguh sangat berarti sekali."

   Karena kepandaian silatnya sendiri cukup tinggi, maka dia tak gentar menghadapi lawan-lawan yang merupakan perompak-perompak ini.

   Begitu dengan laku yang tenang dia tetap duduk dibawah jendela sambil memandang kesebelah luar, tidak perduli kapal tersebut mengelilingi kapalnya, sedikitpun dia tidak mengambil pusing.

   Kemudian diatas masing-masing kepala kapal tersebut muncul seseorang yang berpakaian ketat.

   Tampaknya mereka ini adalah ahli-ahli berenang dan menyelam.

   Tiap- tiap orang ini memegang tanduk kerbau yang lalu ditiupnya keras-keras, yang lantas mengeluarkan suara 'uuung uuuuung', suaranya sangat menusuk kuping dan memecah angkasa disekitar lautan tersebut.

   Dengan tertawa Biu Chit Nio berkata .

   "Perompak-perompak ini ternyata pandai juga mengatur barisannya, hanya tidak diketahui mereka ini berasal dari golongan mana."

   Perkataannya ini terang mengandung penghinaan.

   Setelah meniup terompet tanduk kerbau itu, orang-orang tersebut lalu pada menepi disebuah pinggiran dan dari dalam kapal mereka lantas muncul anak buah kapal yang banyak jumlahnya dan juga memakai pakaian ringkas.

   Begitu keluar mereka membentuk dua barisan seperti juga sayap saja layaknya.

   Walaupun mereka terdiri dari jumlah yang banyak, tapi sedikitpun tidak kedengaran suara.

   Pada saat itu Bu Kek Toocu merasa heran juga.

   "Aku belum pernah menampak perompak yang ingin merampas barang orang dengan cara seaneh mereka ini,"

   Kata Biu Chit Nio. Belum perkataannya ini habis diucapkannya, dari tiap- tiap kapal muncul sepuluh orang yang berpakaian kuning, hingga dengan keheran-heranan Biu Chit Nio berkata lagi .

   "Kau tengoklah, mengapa mereka memakai pakaian macam begini ?"

   Perompak-perompak yang memakai pakaian panjang seperti mereka ini biasanya memang belum pernah tampak dimana-mana. Sambil menggaruk-garuk kepalanya Bu Kek Toocu berkata .

   "Perompak ini apakah mungkin perompak yang datang dari Oey Hay (laut kuning), tapi ..."

   Ia berpikir sesaat lamanya, kemudian melanjutkan pembicaraannya .

   "Sesungguhnya, bila mereka ini adalah perompak-perompak dari Tong Hay (laut timur), pasti sekali mereka tidak mempunyai niat untuk merampok kita."

   Biu Chit Nio lalu mencampuri berkata .

   "Coba kau tanyakan, apakah mereka ini dari golongan 'Kim-jie-see', 'Oey-jie-see' ataukah dari 'Twa-see' dan 'Pak-see'. Aku dengar yang memimpin mereka ini adalah 'Giok-kut-moo' (Hantu tulang kumala), tapi mengapa mereka dapat keluar dan ingin merampok kita ?"

   Sekalipun perkataannya itu kedengaran tidak menunjukkan kekuatiran, tapi perkataannya ini jelas sekali tidak mengandung penghinaan pula.

   Belum lagi perkataannya ini habis diucapkannya, dari ketiga kapal tersebut mulai terdengar pula suara tiupan terompet yang terbikin dari tanduk kerbau, dari mana tampak sehelai bendera hitam yang ditengah-tengahnya terlukis tengkorak putih dikibarkan diatas tiang kapal mereka masing-masing.

   Bu Kek Toocu sambil tertawa lalu berkata pada Biu Chit Nio .

   "Niat perompak ini benar-benar tidak kecil tampaknya."

   Biu Chit Nio pun lalu menjawab perkataan suaminya .

   "Para perompak ini yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip matanya, sekarang mereka dapat berbaris sedemikian rapinya, hingga mereka ini tampaknya sudah dilatih lebih dahulu oleh 'Giok-kut-moo' itu. Tahukah kau sebenarnya, 'Giok-kut-moo' itu orangnya macam apakah ?"

   "Hei, kau setahuku tak pernah berkeliaran kemana- mana, bagaimana kau dapat mengetahui, bahwa dia benar mempunyai kepandaian pula ?"

   Tanya Biu Chit Nio kepada suaminya ragu-ragu.

   "Mula-mula akupun memang tidak mengetahuinya, hanya beberapa tahun berselang aku dapat dengar dari Lo Lauw si tukang kebun dipulau kita. Dia yang kembali dari membeli pohon Tho Hoa memberitahukan kepadaku, bahwa para perompak disepuluh pesisir dari Laut Kuning telah digulung oleh 'Giok-kut-moo' ini, sampai pun perompak dari golongan Kun-hay-kim-go Bang Su Sim dari But Lam See telah digulungnya pula. Pada waktu aku mendengar cerita tersebut, mula-mula aku merasa sangat heran, tapi didalam hati, aku tidak pernah memikirkan mereka, tidak disangka-sangka hari ini malah mereka sendiri yang datang menyatroni kita,"

   Jawab Bu Kek Toocu pula. Dengan tertawa Biu Chit Nio menyambung perkataan suaminya .

   "Kalau demikian halnya,"

   Dengan melirik kearah para perompak itu.

   "Mereka dari Laut Kuning datang kelaut Timur, apakah mereka khusus ingin mencegat kapal kita belaka ? Bila demikian halnya, aku ingin sekali menyaksikan sampai dimana kelihayan mereka ini."

   Bu Kek Toocu sambil tertawa lalu berkata .

   "Kau bila dibandingkan dengannya, tentu saja jauh sekali perbedaannya, bila kau ingin menjadi perompak, dikuatirkan sampaikan orang-orang dari Laut Selatan akan tergulung semua olehmu."

   Mereka suami-isteri ini berkata- kata sambil tertawa-tawa, seakan-akan terhadap penyerangan para perompak ini mereka tidak memandang sebelah matapun.

   Pada saat itu ketika kapal tersebut sudah datang dekat sekali dengan kapalnya, segala gerak-gerik dari kapal perompak-perompak ini jelas kelihatan.

   Perlahan-lahan ketiga kapal ini datang menghampiri kapal Bu Kek Toocu.

   Waktu kapal mereka mencapai jarak kurang lebih dua sampai tiga puluh tombak jauhnya, dari kepala sebuah kapal terdengar seorang yang meniup terompet tanduk kerbau, dan bersamaan dengan itu, anak buah kapal itupun lantas menurunkan layar mereka, sehingga jalan kapal itu agak perlahan.

   Bu Heng Seng yang melihat ketiga kapal tersebut sesungguhnya juga menuju pada kapalnya, tidak terasa ini tampak seorang orang yang sebagai pemimpinnya dan segera meniup pula terompet tanduk kerbaunya.

   Para anak buahnya dengan laku yang sangat menghormat sekali berdiri dikedua pinggirannya, lantas dari tengah-tengah kapal tersebut muncul seorang laki-laki, yang umurnya kurang lebih empat-puluh tahun, mukanya kekuning-kuningan mengenakan pakaian kuning yang tampaknya sangat aneh sekali.

   Melihat anak buahnya sangat menghormat terhadapnya, Bu Heng Seng segera mengetahui, bahwa orang ini pastilah pemimpin dari ketiga kapal tersebut.

   "Hiii, perompak busuk ini ternyata masih mampu mengatur barisannya sedemikian rupa,"

   Desis Biu Chit Nio cekikikkan. Orang bermuka kuning itu lalu berjalan kekepala kapalnya, lalu memberi hormat pada Bu Kek Toocu sambil berkata .

   "Oey Cu See Ceecu Seng It Ceng menerima perintah untuk menanyakan kesehatan Bu Kek Toocu."

   Pada saat itu kapal mereka sudah keluar dari muara sungai menuju kelautan nan bebas, terpisah dalam jarak kurang lebih dua atau tiga puluh tombak jauhnya, tapi suara Seng It Ceng ini dapat terdengar dengan jelasnya ditelinga Bu Kek Toocu.

   Hal itu terang menunjukkan bahwa dia mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi juga.

   Bu Heng Seng pun tidak mau menunjukkan kelemahannya dan lalu berkata .

   "Silahkan Tuan kembali dan memberitahukan pemimpinmu, bahwa aku Tong Hay Bu Kek Toocu sudah lama mengagumi namanya, hanya tidak ada waktu yang terluang untuk menyambanginya."

   Biu Chit Nio yang melihat ilmu dalam dari Seng It Ceng sekalipun berada disebelah bawah dari 'Giok-kut-moo', tapi dia dapat mengira yang 'Giok-kut-moo' sendiri pasti luar biasa sekali.

   Oleh karena itu, diapun tidak berani lagi memandang ringan terhadap lawannya.

   Perompak tersebut melihat Bu Heng Seng bergerakpun tidak dari tempat duduknya semula, dia menjadi marah sekali.

   Segera Seng It Ceng melambaikan tangannya, kemudian anak buahnya menjadi diam.

   Seng It Ceng lalu berkata lagi .

   "Pemimpin kami telah memerintahkan aku untuk menyuguhkan pada Tuan arak untuk diminum, maka sekarang silahkan Tuan datang kekapal kami untuk mencicipinya."

   Diam-diam Bu Heng Seng merasa heran, lalu dia menjawab .

   "Terhadap maksud baik pemimpinmu, aku suami-isteri merasa berterima kasih sekali, hanya disayangkan yang saat ini aku mempunyai urusan penting hendak segera kembali kepulau kami. Oleh karena itu, kuharap kau beritahukan saja hal ini pada pemimpin kalian."

   Bu Kek Toocu sebagai salah seorang yang sangat terkenal dikalangan Kang-ouw, tapi dia waktu bercakap- cakap dengan perompak tersebut demikian sopan- santunnya, maka dari sini dapat ditarik kesimpulan, betapa lihaynya dan besarnya kekuasaan dari Giok-kut-moo ini.

   Seng It Ceng lalu menjawab pula .

   "Sekalipun demikian, aku ingin sekali kau suami-isteri minum secawan arak kami untuk mengikat tali persahabatan."

   Lantas dia mengeluarkan tiga cawan arak yang segera diisi penuh, lalu dia mengeluarkan arak yang berwarna hijau, setelah terlebih dahulu dia pegang secangkir untuknya sendiri, yang dua cangkir lainnya lagi lalu dilemparkannya kearah Bu Heng Seng.

   Cangkir arak tersebut sangat indah sekali dan sinarnya terang menyolok, sedangkan araknya sendiri berwarna kehijau-hijauan sebagai batu giok saja.

   Dua buah sinar hijau lantas melayang keatas kapal Bu Kek Toocu, sedangkan arak yang berada dalam cangkir tersebut setetespun tidak bertumpah keluar.

   Dalam pada itu jarak antara kedua kapal tersebut sudah amat dekat, hingga sudah kira-kira berjarak antara dua puluh tombak lebih saja jauhnya.

   Seng It Ceng yang sudah dapat melemparkan arak tersebut tanpa setetes araknyapun tertumpah keluar, tidak perduli dalam kepandaian silat maupun tenaga-dalam, dia sudah tergolong dalam tingkat yang tertinggi.

   Bu Kek Toocu hanya tertawa dingin saja, diantara waktu dia mengebutkan lengan bajunya lantas ada tenaga dalam yang tidak kelihatan keluar dari lengan bajunya untuk menahan majunya cangkir arak tersebut, sehingga dua cangkir arak tersebut tertahan ditengah-tengah udara untuk sesaat lamanya, kemudian barulah dengan perlahan-lahan jatuh tepat diatas meja.

   Gerakan tangan yang sempurna ini telah membuat para perompak melongo dan berdiri terpaku disitu.

   Seng It Ceng tanpa berubah mukanya lalu berkata .

   "Silahkan."

   Lantas dia minum kering araknya itu.

   Sekalipun muka Bu Hang Seng tak tampak berubah, tapi sesungguhnya didalam hatinya dia merasa serba salah, dia tahu yang 'Giok-kut-moo' ini bukan saja ilmu kepandaiannya sangat tinggi, tapi keistimewaannya ialah bahwa dia juga sangat pandai sekali dalam ilmu racun.

   Dia amat menyangsikan yang didalam araknya ini mungkin sekali telah dicampur dengan racun pula.

   Waktu dia lihat kembali kearah arak hijau tersebut, memang warnanya sangat bening sekali, hingga ini teranglah ada arak yang bagus mutunya.

   Setelah dia berdiam diri sejurus lamanya dan melihat pula Seng It Ceng, sekali teguk saja Bu Kek Toocu telah mengeringkan cawan araknya.

   Bu Kek Toocu yang mengetahui kedudukannya sendiri, tidak ingin menunjukkan kelemahannya, dia hanya kuatir pada isterinya yang tenaga dalamnya mungkin masih belum cukup sempurna, tapi untuk dirinya dia tidak, merasakan sesuatu halanganpun, segala macam racun dapat dikeluarkannya nantinya.

   Dalam pada itu dengan suaranya yang nyaring dia berteriak .

   "Isteriku tidak bisa minum, baik aku saja yang mewakilinya."

   Lantas didongakkannya kepalanya meminum hingga kering kedua isi cawan arak itu.

   Kemudian dua cawan yang sudah kosong itu lantas dikirimkan kembali.

   Seng It Ceng hanya merasakan berkesiuran angin yang keras dengan mengeluarkan suara 'huu huu' dua kali, lantas kedua cawan arak itu melesak masuk kelantai papan kapalnya begitu dalam, sehingga tidak tampak lagi.

   Bu Heng Seng lalu berseru .

   "Silahkan kalian memberi jalan."

   Lantas kapalnya mulai bergerak, tangan Seng It Ceng kemudian tampak digerakkan, lantas ketiga kapal perompak itu meminggir memberi jalan.

   Tanpa disangka-sangka, justeru pada saat itu sekonyong- konyong terdengar suara yang keras memecah angkasa, karena ternyata bahwa kapal besar dari Bu Heng Seng telah terbelah dua ditengah-tengahnya, hingga air lantas masuk menerobos kekapalnya dan dayung dari kapalnya pun sudah tentu pada hancur diseketika itu juga.

   Kepingan-kepingan dari kapalnya ini pada beterbangan ditengah lautan, sedangkan ditengah-tengah udara pada saat itu tercium bau belerang yang tajam, hal mana memberi kenyataan, bahwa kapalnya itu sudah dihancurkan orang dengan sebuah ledakan dari obat pasang yang mengandung belerang ! Para awak kapal banyak yang luka, diantaranya banyak yang kehilangan daging dan anggota badan mereka, sedangkan teriakan kaget memenuhi dan memecah angkasa.

   Bu Heng Seng dan Biu Chit Nio yang duduk dikepala kapal mereka, juga terjatuh kena goncangan yang dahsyat itu.

   Buru-buru mereka menghalau asap tebal dihadapan mereka.

   Dari jauh tampak oleh mereka ketiga kapal perompak itu sudah melarikan diri.

   Tidak terasa lagi Bu Heng Seng lalu berseru saking marahnya .

   "Bangsa cecurut, berani main gila dihadapanku !"

   Sambil memegang tangan Biu Chit Nio lalu dia terjunkan dirinya dan mengejar kapal perompak itu dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna.

   Sekalipun ketiga kapal perompak tersebut sangat laju jalannya, tapi Bu Kek Toocu suami-isteri dengan mengembangkan ilmu meringankan tubuh, maka jarak antara mereka semakin lama semakin dekat saja.

   Kepandaian Bu Heng Seng ini sangat sempurna sekali, tapi sebaliknya kepandaian Biu Chit Nio agak lebih rendah sedikit.

   Dan dengan bantuan suaminya, kecepatan mereka ini sangat mengejutkan orang dan tak jauh didepan mata mereka kapal ketiga perompak itu sudah semakin dekat saja.

   Dalam pada itu Biu Chit Nio tiba-tiba teringat akan Ceng Jie yang masih berada diatas kapalnya, buru-buru dia memandang pada kapalnya, pada saat itu dia hanya melihat kapalnya sudah hampir tenggelam dan seorang anak gadis terapung-apung diatas sehelai papan.

   Gadis mana tak lain adalah anak daranya sendiri.

   Karena dia berpendapat yang anaknya ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna, maka sudah tentu baginya tidak menjadi suatu pikiran apa-apa, oleh karena itu, hatinyapun menjadi tenang kembali dan terus mengejar ketiga kapal perompak itu.

   Seng It Ceng melihat Bu Kek Toocu suami-isteri sangat hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya dan terus saja mengejar kapalnya, kemudian dia perintahkan anak buahnya untuk mempercepat jalan kapalnya, disamping itu dia memerintahkan anak buahnya pula untuk bersiap-siap menghadapi lawan-lawan mereka itu.

   Anak buahnya yang seluruhnya berpakaian warna kuning itu, tampaknya sudah terlatih sempurna dalam hal memegang senjata dan berdiri ditempat masing-masing menantikan kedatangan lawan-lawan itu tanpa menjadi kacau.

   Bu Heng Seng yang menampak kapalnya sudah hancur, hatinya menjadi sangat geram dan gugup sekali, maka dengan mengempos semangatnya bersama-sama Biu Cliit Nio dia meminjam tenaga tolakan ombak berlompat- lompatan bagaikan dua ekor burung besar yang sedang mengejar-ngejar kapal lawannya.

   Setelah mengatur segala sesuatunya dengan beres, lalu Seng It Ceng menoleh kepada Bu Heng Seng suami-isteri yang sudah mendatangi semakin dekat, hatinya tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut sekali, karena ternyata kedua orang lawannya pada saat itu sudah mengejar sampai dibelakang kapalnya dari arah kiri dan kanan, disamping itu, tiga orang anak buahnya dari jurusan yang tidak sama pada menghunus senjata masing-masing, untuk bersiap-siap menghadapi lawan-lawan itu.

   Siapa tahu dengan sekali menyingsingkan lengan bajunya saja, bayangan Bu Heng Seng menjadi kabur dengan hanya mengeluarkan suara angin yang keras sekali, tampak senjata tiga orang anak buahnya pada beterbangan ditengah-tengah udara, kemudian ketiga anak buah itu tampak jatuh bergelimpangan dan mati, sebelum tubuh mereka jatuh kedalam laut ! Seng It Ceng tidak pernah menyangka, bahwa Bu Kek Toocu sedemikian garangnya, hingga tidak terasa lagi hatinya menjadi jerih.

   Dia melihat lima orang anak buahnya yang berdiri dibelakang kapal tinggal tetap mempertahankan diri mereka terhadap serangan lawan- lawan itu, maka dia segera memerintahkan nakhoda kedua kapal lainnya untuk meneruskan pelayaran mereka secepat mungkin.

   Sedangkan dia sendiri lalu berlompat kebuntut kapalnya dengan menghunus pedang panjang ditangannya.

   Perompak golongan 'Oey-cu-see' ini sebelum takluk pada 'Giok-kut-moo', dahulunya mereka telah merajai didaerah Tong Hay (Laut Timur), setelah mereka menakluk dan bekerja dibawah perintah Giok-kut-moo, terhadap ilmu menyelam didasar laut mereka lebih utamakan.

   Begitulah tadi kapal Bu Kek Toocu yang telah dihancurkan oleh mereka yang pandai sekali menyelam didasar laut, adalah perbuatan anak buah Seng It Ceng ini, dalam hal mana Bu Heng Seng sampai tidak merasakan dasar kapalnya telah dibokong musuhnya, hingga dari sini dapat ditarik kesimpulan, betapa lihaynya anak buah Seng It Ceng itu.

   Kelima orang anak buah Seng It Ceng yang telah menjaga sedemikian sempurnanya, mereka menaruh keyakinan bahwa mereka pasti dapat menghalau setiap serangan dari lawan-lawan mereka ini, tapi siapa duga sekali lengan baju Bu Heng Seng bergerak, lantas salah seorang dari antara mereka tidak dapat mempertahankan dirinya pula, hingga orang tersebut kena dipukul mampus oleh Biu Chit Nio yang telah membantu pula terhadap serangan suaminya itu.

   Penjagaan mereka yang kini sudah dibobolkan dengan jatuhnya seorang penjaga itu, selanjutnya menjadi tidak sekokoh semula pula.

   Serangan suami-isteri ini demikian cepatnya, sehingga Seng It Ceng yang berdiri tidak jauh dari situ, tidak keburu lagi untuk membantunya, sedangkan keempat orang anak buah yang lain, berturut-turut sudah terbinasa pula dipukul oleh suami- isteri ini, dengan mayat-mayat mereka satu-persatu jatuh tercemplung kedasar laut menjadi makanan ikan-ikan besar.

   Bu Heng Seng lalu menyatu-padukan semangatnya, tiba- tiba bagian perutnya dirasakan sedikit meluang, sekalipun hal itu dirasakan sekejap saja, tapi iapun sudah dapat menduga apa yang telah terjadi, dia insyaf bahwa pengaruh racun lawannya telah mulai bekerja, dan berbareng dengan itu, diapun pikir bahwa racun yang dipakai oleh Giok-kut- moo ini pasti adalah racun yang luar biasa sekali.

   Sekarang kapalnya sendiri sudah hancur lebur.

   
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pikirnya, sebelum racun lawannya menyerang lebih hebat, dia harus terlebih dahulu menghancurkan seluruh lawannya, dan untuk itu terlebih dahulu dia harus merampas kapal lawannya ini.

   Dalam pada itu, sambil menarik tangan Biu Chit Nio, dia lalu menyerbu keruangan tengah dari kapal lawannya.

   Orang yang menghadang dimukanya justeru ada Seng It Ceng sendiri, Bu Heng Seng lalu memukul kearah dada dalamnya, sedangkan Biu Chit Nio sendiri sambil lompat melewati kepalanya Seng It Ceng, dia terus menyerbu kebagian tengah dari kapal tersebut.

   Seng It Ceng yang melihat serangan lawannya yang begitu dahsyat, terpaksa dia menyambut serangan lawannya ini, tapi sekonyong-konyong terdengar suara 'Peng', ternyata dia tidak dapat menahan lagi serangan lawannya ini, sehingga ia mundur beberapa puluh langkah kebelakang, sedangkan dadanya dirasakan sesak dan denyut jantungnya menjadi lebih cepat dengan secara tiba-tiba.

   Seng It Ceng sebelum tunduk dan takluk dibawah pengaruh Giok-kut-moo, dialah yang menjadi pemimpinnya, kepandaiannya didaerah Tong Hay sangat disegani sekali oleh lawan-lawannya, belakangan setelah menyerah pada Giok-kut-moo, dia masih tetap merupakan tangan kanan dari pemimpinnya, dan tatkala dia melihat yang sekali gebrak saja dia sudah terpukul oleh lawannya, tidak terasa lagi hatinya menjadi sangat terperanjat sekali.

   Akan bicara dengan terus terang, Bu Heng Seng tadi telah memukulnya hanya dengan tenaga enam bagian saja, kemudian sambil tertawa dingin dia menggerakan pula tangannya, sehingga lagi-lagi satu pukulan yang dahsyat meluncur kearah tubuh Seng It Ceng.

   Disamping itu, disebelah kirinya ada tiga anak buahnya yang sedang bersiap sedia untuk membantunya.

   Pada saat Seng It Ceng merasa bingung dan serba salah, ia terpaksa sambil mengeraskan kulit mukanya bersedia untuk melawan keras dengan keras serta menyambut sekali lagi serangan lawannya ini.

   Tampak rambutnya pada berdiri, sedangkan bajunya yang berwarna kuning telah berkibar-kibar keras sekali karena hembusan angin yang keluar dari dalam tubuhnya.

   Bajunya ini terkembang lebih besar daripada layar kapalnya sendiri, keadaannya itu sungguh angker sekali.

   Tapi sesungguhnya dia sendiri sangat takut sekali terhadap lawannya ini, karena dia sangat kuatir yang dirinya sendiri bukan merupakan lawan yang setimpal bagi Bu Heng Seng.

   Siapa tahu, baru saja dia mengeluarkan pukulannya, lawannya sudah menarik kembali serangannya, Seng It Ceng merasakan bahwa serangannya yang hebat kena disedot oleh lawannya, walaupun dia berusaha sekuat tenaga untuk menarik kembali serangannya, ternyata sekarang sudah tidak bisa dilakukannya lagi.

   Bu Heng Seng telah mengerahkan tenaganya kearah kiri, lantas tubuh lawannyapun segera mendoyong kearah yang ditentukan olehnya, yaitu kekiri pula, badan Seng It Ceng ini terus menjurus yang kemudian membentur pada diri ketiga anak buahnya.

   Seng It Ceng melihat ketiganya adalah orang-orangnya sendiri, dia tidak berdaya sama sekali, saking gugupnya, keringat dingin telah mengucur keluar, karena dia mengetahui, bahwa peristiwa yang sangat aneh ini, kesudahannya mengakibatkan ketiga anak buahnya jatuh bergelimpangan dilantai kapalnya, karena kena terpukul oleh pukulannya sendiri tadi.

   Bu Heng Seng dengan tepat sekali telah meminjam tenaga sang lawan untuk menyerang lawannya itu.

   Ilmu itu disebut 'Ie- hoa-tiap-bok' (memindahkan bunga menyambung pohon), cara dia menggunakan tipu tersebut demikian sempurnanya, sehingga para perompak yang berdiri disebelah kanannya sampai tidak sempat turun tangan lagi, dengan mata terbelalak mereka hanya dapat menyaksikan peristiwa itu dengan mata mendelong saja, tapi mereka tidak tahu harus berbuat apakah yang tepat pada saat itu.

   Keadaan didalam ruangan kapal mereka berbeda pula, Biu Chit Nio yang telah mengembangkan tenaga dalamnya dan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, dipadu pula dengan ilmu totokannya yang tunggal, dia menerobos diantara para perompak pulang pergi dengan amat leluasa.

   Sebentar dia menerjang kekiri, sebentar pula dia menyerbu kekanan, sambil bila ada kesempatan, dia melancarkan totokannya, sehingga para perompak tidak berdaya sama sekali.

   Adakalanya sekali dia melakukan penyerangan terhadap empat atau lima orang, maka kelima orang-orang tersebut tidak dapat berdaya dan mereka lantas pada jatuh kelantai kapalnya terkena totokannya.

   Lie Siauw Hiong pada saat sebelum kapal yang dinaikinya itu menjadi hancur lebur, dia kemudian terkena goncangan yang hebat sekali, sehingga dia terlempar keluar kamarnya dan jatuh kelaut, pada saat itu juga lantas datang sebuah ombak yang besar dan menggulung tubuhnya masuk kedasar laut.

   Tubuhnya yang kena ditotok lawannya, masih terasa amat sakit dan badannya pun berbentuk separuh melingkar, bergerak sedikitpun dia tidak mampu.

   Dia terus saja digulung oleh ombak, diombang-ambingkan sesuka hatinya, hingga dia sedikitpun tidak berdaya untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri.

   Dengan demikian, dia betul-betul menyerahkan nasibnya terhadap ombak.

   Sebelum tenggelam kebawah, sekonyong-konyong sebuah ombak yang besar telah melemparkan tubuhnya keatas permukaan laut, bukan buatan kesengsaraan yang dirasakannya, karena air laut yang asin itu dari hidung, kuping dan mulutnya telah menerobos masuk, dia merasa seakan-akan perutnya sudah kembung benar.

   Perlahan-lahan dia merasa dirinya semakin lemah, seakan-akan dihadapannya ada sebuah tangan raksasa yang telah mencekik lehernya, sehingga dia sukar bernafas.

   Dalam waktu sedetik saja, dari otaknya melintas dengan cepatnya bayangan-bayangan orang, pertama bayangan ibu dan ayahnya yang mati secara menyayatkan perasaan, lalu muka Bwee Siok-sioknya yang demikian kasih sayang terhadapnya, lalu tampang muka Hauw Jie Sioknya yang begitu menyedihkan sekali.

   Dan yang paling akhir tampak bayangan Kim Bwee Leng yang telah menawan perhatiannya.

   Dalam pada itu tiba-tiba dia berpikir .

   "Sekarang dia berada dimana ?"

   Kemudian dalam waktu yang sekejap pula, bayangan- bayangan tersebut semuanya telah lenyap, sedangkan dihadapannya tampak gelap sekali, dan bayangan kematian akan segera sampai ...

   Sekonyong-konyong sekali lagi datang sebuah ombak yang besar sekali dari arah sebelah bawahnya, melemparkan dia keatas, sehingga badan Lie Siauw Hiong yang mulai timbul, tenggelam pula kepermukaan air laut.

   Bagaimanapun jua gelombang laut mengombang- ambingkannya, Lie Siauw Hiong hanya memiliki sedikit sekali tenaga untuk membela dirinya, karena selain dia sudah tertotok terlebih dahulu oleh lawannya, kini dia merasa sangat lelah dan tak berdaya.

   Pada saat itu diantara gemuruhnya suara ombak menampar air laut, sekonyong-konyong terdengar suara teriakan kegirangan dari seseorang yang masuk dikuping Lie Siauw Hiong, kemudian disusul dengan dirasakannya badannya kena tertumbuk barang keras.

   Saking sakitnya, dirasakannya seakan-akan tembus kerongga dadanya, maka diapun segera insyaf, bahwa jalan darah dalam dirinya yang tertotok tadi sudah terbuka.

   Buru-buru dia menggerakkan sepasang tangannya, lantas air laut pada terpecah kekiri dan kanannya dan badan seseorang muncul kepermukaan air laut, dimana dia melihat dihadapannya ada seorang gadis cilik yang berdiri dengan menginjak sehelai papan, dan gadis cilik itu ternyata bukan lain daripada Ceng Jie adanya.

   Waktu menundukkan kepalanya memandang, dia tahu bahwa tadi barang yang telah membuka totokannya adalah papan tersebut.

   Seketika itu seluruh badan Ceng Jie basah kuyup agaknya, sedangkan pada mukanya yang berwarna kemerah-merahan menunjukkan sinar kegirangan.

   Disana itu pula dengan terpaku dia memandang pada pemuda Lie Siauw Hiong, dan sekalipun rambutnya yang bagus pada waktu itu awut-awutan karena tertiup oleh angin laut, tapi hal itu malah menambah kecantikannya saja.

   Badan Lie Siauw Hiong yang berada dipermukaan laut, perlahan-lahan mulai tenggelam kebawah kembali.

   Ceng Jie segera mendorong dua belah papan kemukanya, sehingga Lie Siauw Hiong tepat jatuh diatas papan itu, dan dengan penuh semangat diapun mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya lalu berdiri diatas papan itu mengikuti kemana saja ombak membawanyaSekalipun kedua orang ini tidak bercakap-cakap, tapi Lie SiauwHiong yang memang agak pendiam sifatnya, pada saat itu perasaan kasih sayangnya terhadap Ceng Jie ini bertambah sepuluh kali lipat dibandingkan dengan tadi sewaktu dia mempertahankan jiwanya terkenang akan gadis cilik ini.

   Kedua orang ini didamparkan oleh ombak, jarak antara mereka semakin lama semakin dekat.

   Bila mereka bercakap- cakap, cukup jelas terdengar oleh satu dengan yang lainnya.

   Sedangkan disebelah sana diatas kapal pada saat itu, Bu Heng Seng lagi-lagi melancarkan serangannya yang bertubi- tubi dan dahsyat sekali, sehingga ada beberapa puluh anak buah perompak yang telah terpukul jatuh kedasar laut, sedangkan Seng It Ceng sendiri, sudah terpukul jua olehnya, sehingga ia belakangan menderita luka-luka didalam anggota badannya.

   Justeru ketika itu dia sedang mengamuk secara garang sekali, sekonyong-konyong dia merasakan dadanya mulai sakit dan sesak, tiba-tiba dia sangat terperanjat akan kelihayannya racun yang mulai menjalar didalam tubuhnya ini.

   Andaikata kepandaiannya sendiri tidak cukup tinggi, pasti dirinya sudah siang-siang menjadi celaka, waktu dia memandang kembali kearah kedua kapal perompak lainnya, dilihatnya merekapun sudah mulai membantu kawan-kawannya dan berlompatan naik keatas kapal dimana dia berada.

   Sementara Biu Chit Nio sendiri sekalipun dia ini berada diatas angin, tapi bila dia ingin menghancurkan seluruh perompak agaknya mustahil sekali, karena dirinya sendiri sudah terkena racun.

   Pada saat itu rasa gusar dan gugupnya tercampur aduk.

   Buru-buru dia melancarkan serangannya pula dan dalam saat itu juga tampak seorang yang terkena pukulannya hingga mampus dan mayatnya terlempar beberapa tombak jauhnya kedalam laut.

   Pukulannya ini dia lancarkan dengan hebat sekali.

   Para perompak menjadi terperanjat bukan buatan.

   Bu Heng Seng lalu melancarkan serangannya pula dan pada waktu itu ada dua perompak yang buru-buru menggabungkan diri untuk melayani Bu Heng Seng ini, tapi dengan mengeluarkan suara 'Crat', kedua tulang orang tersebut lantas pada patah.

   Mereka jatuh mengusruk dalam keadaan pingsan.

   Sesaat kemudian suara gemuruh bagaikan ribuan kuda liar yang sedang berlari-lari dari arah Timur mulai terdengar, sedang awan yang gelap dan bertumpuk-tumpuk segera terbentang menutupi angkasa raya, hingga dalam waktu yang singkat hembusan angin yang keras segera datang meniup dengan dibarengi oleh turunnya tetesan- tetesan air hujan yang sebesar kacang mulai turun dengan lebat sekali, seakan-akan bumi ini hendak dihancur luluhkan oleh titikan-titikan air hujan tersebut.

   Angin yang datang meniup dilautan ini demikian kerasnya, tak lama lagi agaknya awan yang tebal menutupi langit, angin puyuh mulai meniup, lantas ombak-ombak sebesar gunung dan sangat tinggi datang mendamparkan kapal-kapal mereka.

   Dalam sekejap saja ombak yang besar itu segera menggulung kapal-kapal itu.

   Tiang layar yang terkena damparan ombak dalam waktu yang pendek hampir terbelah menjadi dua potong.

   Seng It Ceng yang sudah kenyang makan asam garam dalam pengalaman dilautan, diapun sudah mengetahui rahasia dan dalil-dalil dalam lautan ini, dan dia tahu, kalau pada saat itu layar mereka diturunkan, dengan sendirinya lajunya kapal mereka dapat diperlambat.

   Dengan demikian, keadaan yang berbahaya dapat diperkecil.

   Karena waktu itu dia sudah menderita luka-luka dibahagian dalam anggota tubuhnya, maka dia teriakkan anak buahnya untuk segera menurunkan layar kapal mereka.

   Tapi layar kapalnya yang demikian besarnya, bukan dapat diturunkan dengan mudah dan segera oleh sepuluh atau beberapa puluh orang saja.

   Apa lagi pada saat itu Bu Heng Seng masih tetap saja ngotot melancarkan serangan- serangannya yang bertubi-tubi dengan tak putus-putusnya, sehingga membuat anak buahnya banyak yang mati dan luka-luka parah maupun enteng oleh karenanya.

   Dibawah hembusan angin yang keras dan hujan yang menderas disertai ombak-ombak yang menggulung sebesar gunung, membuat orang yang sudah berpengalaman seperti Seng It Ceng ini tidak urung menjadi gugup dan bingung juga.

   (Oo-dwkz-oO)

   Jilid 14 Pada saat itu suara hujan yang demikian santernya telah mulai turun seakan-akan ditumpahkan dari langit saja layaknya.

   Kemudian dengan sekonyong-konyong terdengar suara yang sangat keras sekali.

   Ternyata kepala kapal mereka menabrak batu karang dan seketika itu juga kapal mereka menjadi hancur luluh, disertai suara yang memberotok lantas tiang topang dari kapal mereka patah dua dan kapal itupun segera terbalik, kemudian disusul dengan menyambernya sebuah ombak besar yang menggulung kapal mereka, sehingga kapal beserta orang- orangnya seluruhnya masuk kedalam laut.

   Diantara mereka semua hanya Bu Kek Toocu seorang yang tidak tergulung oleh ombak tadi, sepasang tangannya dengan kesepuluh jari-jarinya menancap keras sekali pada papan kapal, sedangkan dia sendiri sambil mengandalkan papan tersebut, mengikuti deburan ombak terapung-apung dipermukaan laut itu.

   Dia, dengan mengikuti lewatnya sebuah ombak yang mendamparkannya dan sebelum ombak yang kedua datang sampai menggulung dirinya, dia memandang kesetiap penjuru, sampai matanya hanya dapat memandang pada jarak kurang lebih sepuluh tombak saja.

   Bayangan Biu Chit Nio sendiri tidak kelihatan sama sekali, sedang kedua kapal perompak lainnya juga tidak tampak batang hidungnya pula.

   Tidak perduli betapapun tingginya ilmu kepandaian Bu Kek Toocu, tapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali menentang kekuatan alam, dia hanya dapat mengandelkan kekuatan sepuluh jarinya saja agar dia sendiri jangan sampai tergulung ombak masuk kedasar laut.

   Tapi angin semakin lama semakin santer, demikianpun ombak semakin lama semakin tinggi menghempasnya, hingga pada saat itu pula kapal yang mulai tenggelam itu tidak dapat menahan hempasan ombak yang keras itu dan segera terbalik berikut seluruh muatannya sekali.

   Dan tatkala kapal itu terbalik, ombak lalu menggulungnya pula dan sekali lagi kapal yang sudah terbalik itu tertumbuk pula dengan batu karang.

   Dan saat itu tepatlah seluruh kapal tersebut menjadi hancur lebur berkeping-keping dan keping-kepingan dari kapal ini tentu saja sudah diombang-ambingkan oleh ombak yang tidak berperasaan itu sehingga berserakan kian kemari.

   (Oo=dwkz=oO) Sekarang marilah kita menilik kembali pada Lie Siauw Hiong dan Ceng Jie yang terapung-apung diatas laut dengan berdiri dipapan kapal, makin lama jarak antara mereka berdua semakin mendekat saja.

   Hati kedua orang ini dirasakan demikian mesra dan manisnya, tapi tidak disangka sekonyong-konyong saja langit gelap, ombak yang besar dan beberapa puluh tombak tingginya itu dengan disertai angin yang santer sekali telah menjurus kearah mereka.

   Lie Siauw Hiong yang menggunakan tipu yang paling sempurna, yaitu 'Am-eng-pu-hiang', dia masih dapat berdiri diam dengan tidak terombang-ambing oleh ombak, tapi sekonyong-konyong dia mendengar suara teriakan dan jeritan Ceng Jie, karena nona itu telah terdampar oleh ombak dan terpukul kebelakang.

   Lie Siauw Hiong merasa kaget sekali.

   Dengan melupakan keadaan yang berbahaya bagi dirinya, sepasang kakinya yang tergenang ombak setinggi gunung lalu ditotolkannya dengan gesit sekali, kemudian tubuhnya lantas melayang beberapa meter kedepan, untuk menjambret tubuh Ceng Jie.

   Tapi karena ombak yang besar kembali datang mendamparnya, Lie Siauw Hiong yang berdaya-upaya meloncat dibawah ancaman ombak yang sangat besar dan dahsyat ini, tentu saja majunya menjadi sedikit terhambat, hingga tenaganyapun menjadi berkurang, sedang Ceng Jie yang terkena damparan ombak yang dahsyat ini, iapun kembali digulung ombak kebelakang, hingga semakin lama ia semakin tenggelam kedalam laut.

   Dan begitu selanjutnya dia tidak mendengar lagi suara angin yang menderu-deru.

   Angin yang berhembus tadi datangnya sangat cepat sekali, tapi berlalunyapun pesat pula.

   Tidak antara beberapa jam lamanya, awan yang gelap telah buyar dan melayang- layang pergi, hingga sinar matahari sudah mulai pula menunjukkan dirinya kembali diangkasa, sedangkan ombak lautpun mulai reda dan tenang kembali.

   Tidak antara lama, keping-kepingan kapal yang hancur lebur tadipun mulai muncul kembali kepermukaan laut.

   Nun jauh disana terlihat pelangi yang seakan-akan menjadi satu dengan permukaan laut, merupakan satu pemandangan yang sangat indah sekali diatas laut yang terbentang luas itu.

   Lie Siauw Hiong lalu membuka matanya dengan perlahan-lahan, segera ia sadar bahwa ia sedang berbaring diatas pasir.

   Dalam pada itu ujung kakinya dimain-mainkan oleh ombak yang datang sekali-sekali memecah dekat kakinya.

   Sejurus lamanya ia tak dapat berpikir dimana ia berada sekarang.

   Dia tidak dapat mengingatnya sama sekali serta merta.

   Kemudian tangan kirinya meraba urat nadi dipergelangan tangan kanannya.

   Dia merasa nadi kanannya berdenyut dengan amat perlahan.

   Dalam hati dia berpikir .

   "Benar, aku masih hidup. Orang yang hidup bagaikan sebuah jam saja, dari detik kedetik terus saja bergerak. Hanya orang tidak pernah menginsyafinya, bahwa umurnya dari detik kedetik telah berkurang."

   Pada saat itu dua ekor burung laut putih yang melayang rendah sekali datang kearah tempat Lie Siauw Hiong terbaring.

   Dengan matanya yang keheran-heranan mereka memandangnya, kemudian sambil mengeluarkan suara kaget kedua burung itu lalu terbang kembali keangkasa raya.

   Lie Siauw Hiong terpikir pada Ceng Jie yang sangat mungil itu.

   Mungkin ia sudah menjadi mayat dan terkubur didasar lautan dan dia sendiri yang telah menerima penghinaan orang, diam-diam dia berpikir kembali .

   "Kesemuanya adalah gara-gara Bu Heng Seng suami-isteri yang telah menimbulkan bencana ini."

   Tanpa terasa lagi, dia lalu menggertakkan giginya sehingga mengeluarkan suara keretakan.

   Tapi kemudian waktu dia teringat akan ilmu kepandaian Bu Heng Seng yang sangat luar biasa sekali itu, sekalipun dirinya yang sudah berlatih selama sepuluh tahun lamanya itu, namun satu jurus saja pun dia tidak berhasil dapat menangkisnya.

   Maka pada waktu itu terasa olehnya, bahwa kepandaian Chit-biauw-sin-kun sesungguhnya tidak berguna sama sekali.

   Setelah berbaring beberapa saat lamanya disitu dengan pikiran yang bukan-bukan, akhirnya diapun bangkit berdiri.

   Kemudian dia memandang kesegenap penjuru.

   Kini diketahuinya bahwa dia terdampar disuatu pulau kecil.

   Dia percaya bahwa pulau ini luas sekitarnya tidak akan melebihi jarak sepuluh lie.

   Tapi ditengah-tengah pulau ini terdapat puncak gunung yang menjulang kelangit dan puncak gunung itu tampak gundul.

   Tak sehelai rumputpun kedapatan diatasnya.

   Dia ingat betul sekiranya dalam keadaan yang tak sadar tadi dia tidak menutup jalan pernapasannya yang tertentu, pasti sekali pada saat itu dia sudah mati kelelap, tapi sekarang dia berada dalam keadaan yang lelah sekali.

   Lalu dipaksakannya dirinya akan berdiri dan berjalan mendekati pertengahan pulau tersebut.

   Baru saja dia dapat memaksakan dirinya berjalan melewati sebuah puncak gunung, sekonyong-konyong keadaan disekelilingnya menjadi gelap gulita.

   Pada saat itu sesungguhnya dia sudah tidak dapat melanjutkan perjalanannya lagi, maka dengan perasaan lesu terpaksa dia duduk dan mengatur jalan pernapasannya dengan ilmu yang kini ia anggap sudah tidak berguna lagi.

   Setelah pernapasannya berjalan satu babak, dia merasakan sebagian besar tenaganya pulih kembali, tapi dia dengan masih termangu-mangu duduk diatas tanah, karena keadaan ditempat itu sudah gelap sekali, tadinya dia mengira yang matanya sudah kabur dan menduga keliru.

   Waktu dia menoleh kembali, dia melihat jalan asal yang dia ambil tadi sudah tidak dapat ditemukan lagi.

   Segala batu gunung maupun pohon-pohonan tampaknya sangat samar-samar sekali.

   Lie Siauw Hiong yang telah menerima latihan secara langsung dan sejati dari Chit-biauw-sin-kun, tentu saja dia sudah sangat paham dan mempunyai kesanggupan yang lumayan, tapi pada saat ini ketika dia menampak keadaan yang sesunyi ini, dia balik berpikir bahwa penghuni dari pulau ini atau pemilik pulau tersebut tentunya adalah seorang yang sangat luar biasa sekali.

   Diantara ketujuh kepandaian Chit-biauw-sin-kun yang paling mendapat perhatian istimewanya adalah dalam hal main catur, yang permainannya berbedaan dengan kebanyakan orang.

   Karena setiap langkah yang dia jalankan, selalu mengandung perubahan yang sangat beraneka ragam serta variasinya.

   Setelah dia dapat memahami segala seluk-beluk barisan yang hendak dia jalankan ini, barulah dia dapat bertanding dengan perhatiannya yang mantap sekali, dan dengan demikian, kekuatannya dalam lapangan tersebut dapat dibayangkan sendiri betapa luar biasanya.

   Lie Siauw Hiong setelah mewarisi seluruh kepandaian Chit-biauw-sin-kun, dengan melihat sejurus lamanya keadaan barisan dari batu-batu gunung ini, karena bentuk barisan ini hampir bersamaan dengan barisan yang terdapat di Tiong Goan yang biasa disebut 'Kie-bun-ngo-heng-tin' (barisan lima pintu ajaib).

   Setelah dia menimbang-nimbang dengan matang, lalu dia mulai memasuki barisan tersebut dengan mengambil jalan dari pintu 'Kim-bun' disebelah kirinya.

   Lie Siauw Hiong dengan mengikuti barisan Kie-bun-ngo- heng-tin yang mengandung perubahan-perubahan berjalan satu kali kekiri dan kekanannya, kemudian setelah dia berbelok disatu sudut sambil berpikir, dia sudah mengambil keputusan untuk keluar dari 'Touw-bun', tapi siapa tahu begitu dia berbelok satu kali, dia kembali balik ditempat asal semula.

   Sekali ini benar-benar telah membuat Lie Siauw Hiong menjadi sangat heran sekali, hingga dalam hatinya diam-diam dia menduga, barisan ini sebenarnya barisan apakah Sedang dia berpikir, sekonyong-konyong terdengar suara "Ceng", alat musik kuno di Tiongkok yang mempunyai tali tigabelas, suara tetabuan itu begitu nyaring dan melengking-lengking, seakan-akan suara tersebut bukan keluar dari alat musik yang biasa, maka dengan cermat sekali Lie Siauw Hiong mendengari suara tetabuan itu, yang dalam pada suaranya meninggi itu, seakan-akan terdengar suara kaki kuda yang sedang berlari-lari.

   Kemudian waktu dia memperhatikan lebih lanjut, suara yang keluar dari alat musik semakin membuat hati orang terharu dan lama kelamaan suara itu menjadi begitu cepat dan keras, seakan-akan orang yang sedang memainkan alat musik tersebut tengah murka besar dan ingin membuat seluruh bumi menjadi hancur layaknya.

   Dari asap yang menyelubungi tempat itu, Lie Siauw Hiong dapat membedakan dari arah mana suara alat musik itu datang, dan kemudian diketahuinya, bahwa suara tersebut datangnya tepat dari tengah-tengah batu-batu gunung itu.

   Lalu diapun berjalan kearah datangnya suara alat musik tersebut.

   Entah sudah berputar-putar berapa puluh kali, tapi akhirnya dia merasakan yang dia semakin lama semakin dekat saja ketempat suara alat musik yang berbunyi itu.

   Kemudian Lie Siauw Hiong lalu memanjat keatas sebuah batu yang besar, karena dia yakin, bahwa suara musik itu datangnya tepat dari gunung batu itu.

   Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ditengah-tengah barisan batu-batu tersebut tampak kabut demikian tipisnya, sehingga Lie Siauw Hiong dapat melihat muka seorang Ho-siang (Hweesio atau pendeta) yang berwarna merah, tengah duduk dibawah batu gunung dengan memetik alat musiknya itu, yaitu Ceng, yang tampaknya begitu mengkilat dan sinarnya berkilau-kilauan, yang menandakan bahwa barang itu terbuat daripada baja asli.

   Tidak heran bila suaranya begitu lantang dan nyaring.

   Tampak orang tua itu tidak demikian pandai memainkan alat musiknya itu, sebenarnya dia seharusnya memusatkan seluruh perhatiannya terhadap alat musiknya, bila dia ingin menghasilkan suara yang indah, tapi tampaknya dia tidak begitu perhatikan alat musiknya itu, hanya dipetiknya dengan secara acuh tak acuh saja.

   Dari alat musiknya itu lalu keluar suara seperti angin puyuh, hinggga keadaan ditempat itu sangat menyeramkan sekali.

   Lie Siauw Hiong melihat janggut orang tua itu sudah putih.

   Tampaknya dia ini paling sedikit berusia seratus tahun keatas, tapi semangatnya seperti orang yang baru berumur antara lima atau enampuluh tahun saja, malahan mukanya tampak merah sekali, menandakan orang itu sangat sehat, hingga tidak terasa lagi dia menjadi sangat heran sekali.

   Pada saat itu suara Ceng ini sudah mencapai klimaxnya, begitu cepat seolah-olah gunung yang hendak roboh saja layaknya.

   Hal itu dapat membuat orang sangat takut sekali.

   Kemudian suara itu lenyap sama sekali, seakan-akan lagu yang dimainkannya sudah habis.

   Tapi orang tua itu tampak belum puas kemarahannya, lalu dia tepuk satu kali alat musiknya, yang lantas menjadi gepeng seketika itu juga ! Ternyata tenaga orang tua itu sangat hebat sekali, karena alat musik yang terbuat dari baja asli itu telah dapat dirusakkannya dengan secara mudah sekali.

   Setelah itu, disusul dengan dibalikkanya tangannya memukul kembali dan apa yang terjadi ? Alat musiknya pada saat itu juga sudah menjadi hancur luluh ! Lie Siauw Hiong yang menyaksikan peristiwa ini, tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut, dalam hati dia berpikir .

   "Tenaga dalam seperti orang tua ini, seumurku belum pernah aku melihat. Aku masih sangsikan, bahwa Bu Heng Seng belum tentu dapat melakukan hal itu seperti apa yang diperbuat orang tua ini. Apakah barangkali ..."

   Pada saat itu, orang tua itu telah menengadahkan kepalanya keatas, ketempat persembunyian pemuda Lie Siauw Hiong sambil melambaikan tangannya dan berkata .

   "Bocah cilik, sudah cukupkah? Masih tidak lekas turun menjumpaiku, mau tunggu apa lagi ?"

   Lie Siauw Hiong yang bersembunyi disebelah atas, mengira dirinya sudah cukup sempurna bersembunyi, tapi siapa tahu bahwa orang tua itu belum lagi menengok keatas, dia sudah mengetahui tempat dimana Lie Siauw Hiong berada.

   Dalam pada itu dengan laku yang sangat terpaksa dan menebalkan kulit mukanya, dia meluncur turun kebawah.

   Orang tua itu lalu melototkan matanya sebentar pada si pemuda, kemudian ia tertawa dan berkata .

   "Apakah kau ingin makan barang apa-apa ?"

   Setelah itu, dengan sembarangan saja dia memungut dua butir buah berwarna hijau dari atas tanah, yang kemudian diberikannya kepadanya.

   Lie Siauw Hiong yang melihat sinar mata orang tua itu yang tajam dan tertawa dengan secara wajar ketika mempersilahkannya makan bebuahan itu, tidak terasa lagi dia merasa girang dan tercengang.

   Ternyata sejak Lie Siauw Hiong mendapat kecelakaan dilautan dan dapat meloloskan dirinya sampai pada saat ini, dia merasakan bahwa perutnya masih kosong melompong.

   Pada saat orang tua ini mengingatkannya, dia segera dapat merasakan kelaparannya, apalagi waktu melihat buah yang sangat mungil dan indah dipandang mata itu, tidak terasa lagi dia menjadi mengilar sekali, hingga tanpa terasa lagi dia lekas-lekas mengulurkan tangannya untuk mengambilnya.

   Setelah dia menggigit sebentar, benar saja buah itu sangat manis dan harum sekali baunya, hal mana telah membikin sekonyong-konyong dia berpikir .

   "Dia bagaimana dapat mengetahui bahwa aku sedang kelaparan ?"

   Dan tatkala dengan secara tidak disengaja dia mengangkat kepalanya memandang pada orang tua itu, orang tua itu pun lalu menyambut pandangan si pemuda dengan senyumnya.

   Lie Siauw Hiong merasa bahwa orang tua itu berhati welas asih.

   Tapi bila dibandingkan dengan waktu tadi dia sedang memainkan alat musiknya, dia tidak tahu hal apakah yang telah membangkit kemarahannya ? Setelah dia makan dua biji buah itu, sekonyong-konyong dia mendengar orang tua itu berkata .

   "Buah ini adalah buah dewa yang sangat langka. Waktu melihat tindakanmu yang sangat mantap itu, aku dapat pastikan sedikitnya kau mempunyai latihan ilmu dalam selama sepuluh tahun lamanya. Maka bila kau sekarang melatih kembali ilmu tenaga dalammu itu, barulah kau dapat merasakan khasiatnya buah itu."

   Lie Siauw Hiong tidak tahu apa sebabnya, dia merasa omongan orang tua itu seakan-akan mengandung semacam tenaga yang sukar dibantah, sekalipun buah ini sangat sukar dicernakannya.

   Tapi sewaktu dia mentaati petunjuk orang tua itu, duduk bersemedi dan mengatur pernapasannya, ternyata dia dapat menjalankan pernapasannya dengan lancar sekali.

   Setelah pernapasannya melalui dua belas anggota tubuhnya, Lie Siauw Hiong merasa sekujur badannya sangat nyaman dan segar.

   Perasaan laparnya hilang lenyap sama sekali, maka dia merasa sangat berterima kasih sekali terhadap kebaikan yang telah diberikan oleh orang tua itu.

   Orang tua itu lalu mengeluarkan suara "Ihhh", ternyata dari tempat Lie Siauw Hiong duduk secara tenang itu, tampak dari arah kepalanya keluar asap putih yang mengepul-ngepul.

   Hal itu terang menunjukkan kepandaian silat yang tertinggi dari ilmu dalamnya orang tua, malahan sebenarnya hal itu mungkin baru dapat dicapai dalam latihan kurang lebih empat sampai lima puluh tahun lamanya.

   Didepan matanya dia melihat Lie Siauw Hiong yang paling banyak baru berusia duapuluh tahun lebih tapi tenaga dalamnya sudah demikian sempurnanya, maka tidak terasa lagi dia merasa sangat tercengang juga.

   Lie Siauw Hiong sesudah menjalankan pernapasannya selesai, dia melompat bangun, lalu sambil menghadapi orang tua itu dia memberi hormat seraya berkata .

   "Terima kasih atas kebaikan Loo-cian-pwee, Boan-pwee merasa budi kebaikan Loo-cian-pwee tidak kecil artinya bagiku."

   Sambil tertawa orang tua itu menjawab.

   "Bocah cilik, sekarang baru kau tahu kefaedahannya, ya ?"

   Mendengar perkataan orang tua itu, Lie Siauw Hiong merasa agak tidak enak hati.

   "Bocah, tenaga dalammu sudah boleh dibanggakan agaknya. Melihat caramu berlatih, teranglah bahwa kau bukan keluaran dari murid Bu Kek Too-cu, juga bukan dari golongan Siauw-ciap-too. Apakah barangkali kecuali kita tiga orang yang tidak hendak mampus ini, masih ada golongan lain yang melebihi kita ?"

   Ulas orang tua itu lagi.

   Lie Siauw Hiong bukan main pintarnya, setelah diketahuinya orang tua yang berada dihadapannya ini adalah seorang dari 'Tiga Dewa Diluar Dunia', yang jadi pemimpinnya yaitu Peng Hoan Siang-jin.

   Dengan laku yang hormat sekali dia berkata .

   "Boan-pwee Lie Siauw Hiong memberi hormat pada Peng Hoan Siang-jin."

   Lie Siauw Hiong yang telah menerima pesanan dari Bwee Siok-siok-nya, tidak boleh sembarangan memberitahukan namanya sebagai gurunya, maka pada saat itu dia hanya berkata .

   "Pelajaran yang telah Boan- pwee miliki ini, mana dapat dibandingkan dengan kepandaian dari Cian-pwee ?"

   Perkataan itu diucapkannya dengan nada yang rendah sekali, karena disaat itu dia sedang merasa putus asa dan sedih sekali. Dengan paras yang bersungguh-sungguh orang tua itu berkata .

   "Orang muda waktu bicara boleh bicara apa saja, tapi janganlah sekali-kali menunjukkan perasaan kesedihanmu. Aku tahu hatimu berpendapat yang gurumu pasti bisa menang dari 'Tiga Dewa Diluar Dunia', bukankah begitu ?"

   Lie Siauw Hiong buru-buru membantahnya .

   "Tadi dalam perkataan Boan-pwee mengandung suara yang sedih, hal itu disebabkan karena Boan-pwee telah mempelajari kepandaian sepuluh tahun dengan tekun sekali, tetapi siapa nyana, satu jurus sajapun aku tidak dapat menyambut serangan dari Bu Heng Seng itu ... aiii ..."

   Berpikir dan berkata sampai disini, tidak terasa lagi Lie Siauw Hiong lalu menghela napas.

   Biasanya dia sangat pintar dan cerdas, tapi pada kali ini benar-benar dia tidak tahu apa sebabnya maka Peng Hoan Siang-jin sangat memandang tinggi terhadap kemampuannya ini ? Dia yang biasanya sangat membanggakan kepandaiannya sendiri, tidak disangka-sangka setelah dia kena dikalahkan tiga kali dan tertawan dua kali oleh Bu Heng Seng, hatinya menjadi sedikit jeri dan putus asa.

   Dan sekarang waktu dia melihat Peng Hoan Siang-jin sangat memandang tinggi dan menghormatinya, hal itu membuat dia merasa agak takut-takut.

   Peng Hoan Siang-jin ketika mendengar penjelasannya ini, sambil mengeluarkan suara "Ihhh", dia berkata .

   "Kau dengan Bu Hang Seng sudah pernah bertanding ?"

   Dengan acuh tak acuh tampak Lie Siauw Hiong memanggutkan kepalanya.

   Peng Hoan Siang-jin lalu mengangkat kepalanya memandang langit dan berpikir sebentar, kemudian secara tiba-tiba tangan kirinya ditotokkannya kearah jalan darah 'Ji-hee-hiat' ditubuh Lie Siauw Hiong.

   Pergerakannya ini sangat cepat sekali bagaikan kilat, tapi Lie Siauw Hiong hanya dapat menjerit dengan mengeluarkan suara .

   "Cian- pwee, kau ..."

   Sebenarnya dia dapat melawan totokan ini dengan menggunakan jurus 'Am-eng-pu-hiang', hanya tampak sepasang pundaknya digeser kesamping, sedangkan badannya cepat-cepat diegoskan dan Peng Hoan Siangjin secara sekonyong-konyong membalikkan tangan kirinya, dari samping diputarkan kembali, kemudian kembali dia menuju arah jalan darah yang tadi juga.

   Lie Siauw Hiong yang menggunakan pergerakan kaki yang cukup sempurna, buru-buru mundur beberapa puluh langkah, barulah dia dapat menghindarkan totokan orang tua itu ...

   apa yang disebut menghindarkan, adalah karena disebabkan Peng Hoan Siang-jin sudah duduk kembali dan tidak melancarkan serangan selanjutnya.

   Dengan mata yang terbelalak saking herannya, Lie Siauw Hiong lalu memikirkan tipu totokan yang dilancarkan tadi oleh Peng Hoan Siang-jin, karena waktu dia tadi menghindarkan serangannya ini, dengan terang- terangan dia melihat dengan nyata, yang totokannya itu dilancarkan dari satu tempat yang agak miring.

   Ilmu totokan semacam ini sungguh-sungguh sangat aneh sekali, karena bila kurang hati-hati, sekalipun seseorang sudah menghindarkan diri, tapi tokh akhirnya masih dapat tertotok juga.

   Peng Hoan Siang-jin sendiri menundukkan kepalanya, seakan-akan dia tengah memikirkan sesuatu yang telah melibat dirinya.

   Kemudian pandangannya dialihkannya kemuka Lie Siauw Hiong dan dengan mesra sekali dia menunjukkan senyumannya yang manis, sedangkan mukanya yang tadi tampak ruwet memikirkan sesuatu, kini agaknya sudah tak tampak lagi.

   Hal ini sungguh membuat Lie Siauw Hiong merasa sangat heran, sedangkan Peng Hoan Siang-jin dengan tertawa lalu berkata .

   "Tanpa menanyakan siapakah gurumu lagi, aku sebaliknya ingin bertanya kepadamu, Bu Heng Seng waktu menotokmu, bukankah itu dengan cara 'Hut-hiat', persis seperti yang aku lakukan tadi ?"

   Menyusul perkataannya ini, lalu lengan kanannya terangkat, dengan berkelebatnya satu bayangan tangan bajunya, jarinya telah menotok jalan darah 'Kiok-tie' ditubuh Lie Siauw Hiong.

   Lie Siauw Hiong pun ingat, bahwa Bu Heng Seng pun menggunakan cara yang aneh ini untuk menotok dirinya, tapi dia tidak pernah menyangka, bahwa ilmu totokan tersebut adalah siasat 'Hut-hiat' yang sudah lama menghilang dari kalangan rimba persilatan, maka dalam pada itu, diapun mengangguk-anggukkan kepalanya mengiakan.

   Muka Peng Hoan Siang-jin tampak berseri-seri kegirangan, lalu dia berkata .

   "Dengan mengandalkan kemampuanmu, aku percaya bahwa dalam satu jurus sebenarnya kau masih dapat meloloskan dirimu dari serangannya, hanya pada waktu kau menghadapinya, mungkin sekali kau terlampau tegang, maka barulah dengan satu kali totok saja kau sudah dibikin tidak berdaya oleh Bu Heng Seng. Aku malah mengira, selama sepuluh tahun tidak melihat tampangnya si Bu Heng Seng ini, tenaga dalam dan kepandaiannya entah sudah maju berapa tingkat, hingga tidak disangka yang dia masih saja menggunakan siasat 'Hut-hiat' yang dulu-dulu juga. Hahaha, ilmu 'Hut- hiat'nya ini sekali pun bukan ilmu biasa, tapi tidak dapat digolongkan dalam ilmu yang paling sempurna dan sejati."

   Sambil berkata begitu, mukanya tampak sangat bangga sekali.

   Lie Siauw Hiong sendiri sekalipun sangat membenci sampai ketulang-tulangnya terhadap Bu Heng Seng, tapi terhadap kepandaiannya pribadi dia sangat kagumi sekali.

   Pada saat ini tatkala melihat Peng Hoan Siang-jin sangat memandang ringan terhadap ilmu totokan 'Hut-hiat' dari Bu Heng Seng itu sekalipun diam-diam dia merasa sangat girang sekali, walaupun didalam hati kecilnya diapun agak tidak mempercayainya.

   Peng Hoan Siang-jin lalu memandang padanya kembali sambil tersenyum-senyunm, sepasang tangannya dipentangkan, tangan kirinya lalu digerakan kebawah dengan lima jari-jarinya dibuka bagaikan cakar burung garuda.

   Lie Siauw Hiong yang memang sangat cerdik ini, melihat cara Peng Hoan Siang-jin memperlihatkan cara tersebut, lantas dia ingat-ingat tipu yang bagus ini, karena dia ketahui bahwa tipu tersebut diciptakan oleh Peng Hoan Siang-jin khusus untuk melayani tipu Bu Heng Seng tadi.

   Begitulah dengan mengikuti gerak-gerik tangan Peng Hoan Siang-jin ini, Lie Siauw Hiong melatih dirinya sendiri, sedang dalam hatinya tidak terasa lagi dia merasa amat gembira akan tanpa diminta menerima petunjuk yang sangat berharga ini.

   Menyaksikan peristiwa ini, Peng Hoan Siang-jin memanggut-anggukkan kepalanya, menandakan bahwa hatinya merasa puas, karena seakan-akan dia hendak mengatakan, bahwa anak muda ini sungguh cerdik sekali dan mudah menerima pelajaran yang tadi telah diperlihatkannya.

   Setelah berdiam diri sejurus kemudian, Peng Hoan Siang-jin lalu berkata pula .

   "Bocah, tahukah kau berapa umurku sekarang ?"

   Lie Siauw Hiong yang melihat muka yang bersemangat dan janggut yang berwarna putih, baginya sangat sukar sekali untuk menerka berapa umur orang tua itu, sehingga dengan segera menggelengkan kepalanya menyatakan tidak tahu.

   Peng Hoan Siang-jin lalu berkata pula .

   "Sekalipun aku sendiri juga tidak dapat menyebutkannya dengan pasti, hanya pada dua puluh tahun yang lampau ketika Bu Heng Seng menghadiahkan aku alat musik 'Ceng' ini, ketika itu umurku telah mencapai 'Samkap' (180 tahun). (Satu kap berarti enam puluh tahun). Jadi (Sam-kap atau tiga kap berarti seratus delapan puluh tahun). Ai, sekarang alat musik ini telah aku rusakkan sedikit banyak alat musik ini sudah termasuk barang nan antik sekali,"

   Kata orang tua itu pula.

   Lie Siauw Hiong yang mendengar Peng Hoan Siang-jin berkata demikian, tidak terasa lagi dia menjadi sangat terkejut sekali.

   Waktu dia mendengar yang si Hweeshio itu sekarang sudah berumur dua ratus tahun, tidak heranlah bila tenaga dalamnya sedemikian hebatnya, hingga tidak terasa lagi baru sekarang dia menjadi insyaf.

   Ternyata bila seseorang ingin mencapai satu tingkat yang paling sempurna dalam ilmu dalamnya, sedikitnya orang itu harus melatih dirinya sampai tua, bila sampai seseorang sudah melatih dirinya sampai ditingkat yang dicita-citakan, maka badan orang itu menjadi sangat sehat, sehingga tidak lekas nampak tua.

   Tapi kecualian dari hal ini tentu saja ada, ambil saja misalnya terhadap Bu Kek Too-cu Bu Heng Seng.

   Setelah dia makan buah mujijat itu, dia dapat mempertahankan badannya tetap saja awet muda, sehingga siapa yang memandangnya akan menduga bahwa dia paling banyak baru berusia tiga sampai empat puluh tahun saja tuanya, sedangkan tenaga dalam Peng Hoan Siang-jin yang sudah melatih dirinya sampai usia dua ratus tahun ini, tentu saja kepandaiannya sudah tidak ada batas-batasnya lagi.

   Waktu Lie Siauw Hiong memikirkan kesemuanya ini, Peng Hoan Siang-jin berkata pula .

   "Bu Heng Seng hanya mengandalkan tenaga dari buah dewa ini saja, bila tidak demikian halnya, maka tenaga dalam yang dimilikinya itu, mana mungkin dapat digolongkan sejajar dengan sebutan 'Tiga Dewa Diluar Dunia' itu ?"

   Tenaga dalam Peng Hoan Siang-jin lebih tinggi daripada Bu Heng Seng tidak kurang dari seratus tahun latihan.

   Hal itu tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata yang singkat saja, karena untuk menerangkan soal ini, pasti akan memakan waktu yang lama pula.

   Tapi kenyataannya setelah Bu Heng Seng memakan buah dewa ini, apalagi dia sangat pintar, maka dia dapat menandingi dua rekannya yang usia maupun waktu latihannya jauh melebihi daripada dirinya sendiri.

   Maka akhirnya orang-orang telah menyebut mereka bertiga dengan julukan 'Tiga Dewa Diluar Dunia'.

   Setiap detik Lie Siauw Hiong mendengar Peng Hoan Siang-jin mencela kepandaian Bu Heng Seng ini.

   Dalam dadanya terasa sangat girang sekali, tapi waktu dia berpikir bahwa orang tersebut sudah mencapai latihan demikian sempurnanya, tidak terasa lagi dia sendiri menjadi putus asa kembali, tapi satu hal yang aneh ialah mengapa Peng Hoan Siang-jin sangat memperhatikan sekali terhadap kepandaian yang dimilikinya.

   Peng Hoan Siang-jin tampaknya seolah-olah seorang yang sudah lama sekali tidak pernah bercakap-cakap dengan orang, juga seperti dia merasa berjodoh sekali dengan diri pemuda Lie Siauw Hiong ini, hingga dengan sangat asyiknya dia terus saja mengoceh .

   "Empat puluh tahun yang lampau, kami tiga orang pernah merundingkan dan memperdebatkan soal kepandaian kami. Bu Heng Seng yang setelah memakan buah dewa, mukanya tidak berubah dan tetap awet muda. Dalam hal ini sudah tentu dia dapat memenangkan aku, tapi bila kami mempersoalkan tenaga dalam, si Bu Heng Seng itu dengan sendirinya mengaku kalah dengan aku, hanya Siauw-ciap-too-cu Hui Tay Su tidak mengaku kalah denganku. Seperti aku yang sudah berusia lanjut sekali, bagaimana aku ingin bertanding dengan dia seorang wanita ? Tapi tak disangka si nenek itu mulutnya jahat dan amat berbisa, lantas dia mengatur barisan dari kota kuno ini, mengurung aku selama sepuluh tahun lamanya. Barisan ini sungguh aneh sekali, sepuluh tahun lamanya aku belum juga berhasil memecahkan barisannya. Besok pagi adalah batas waktu yang telah kami tetapkan berdua. Bila sampai besok aku masih juga belum dapat memecahkan barisan ini, maka tidak ada jalan lain daripada harus menghancurkan barisan ini saja."

   Sekarang Lie Siauw Hiong baru insyaf.

   Ia maklum bahwa Peng Hoan Siang-jin dan Hui Tay Su sedang mengadu kepandaian.

   Tidak heranlah bila tadi dia mendengar alat musik yang dimainkan kakek itu mengandung nada penuh kemurkahan yang sangat hebat sekali.

   Dia berpikir, sekalipun orang tua itu pernah mengatakan bahwa dia yang sudah mencapai umur setinggi itu, sudah tentu tidak mau dia mengadu kekuatan dengan lawannya, tapi kenyataannya ialah, bahwa dia yang sudah dua ratus tahun lamanya mengasingkan diri agaknya masih ingin menang sendiri saja, namun masih juga belum dapat mengendalikan dirinya sendiri.

   Waktu berpikir bahwa orang tua ini hendak menghancurkan seluruh pulau ini dengan kekuatan latihan tenaga dalamnya yang sudah terlatih selama enam puluh tahun belakangan ini, diapun berpikir, bahwa pulau yang sekecil ini, sudah tentu belum berapa lama berselang muncul dari permukaan laut, maka bila orang ingin menghancurkannya, sudah barang tentu tidak akan begitu mudah adanya.

   Lie Siauw Hiong teringat perkataan kakek itu yang mengatakan, bahwa pulau itu adalah 'Siauw-ciap- too'.

   Apakah Siauw-ciap-too ini bukannya termasuk Tay- ciap-too.

   Ketika dia mengangkat kepalanya memandang pada batu dihadapannya yang menjulang kelangit, dia melihat tiga huruf 'Siauw-ciap-too', tapi mengapa Hui Tay Su tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali ? Peng Hoan Siangjin tidak menghiraukan apa yang sedang dipikirkan oleh Lie Siauw Hiong ini.

   Telah sepuluh tahun lamanya dia tidak pernah menjumpai orang, kini dia berhadapan dengan pemuda ini, lalu dengan sendirinya dia lepaskan seluruh isi hatinya pada pemuda ini.

   Tak putus- putusnya dia menceritakan kegagahannya dimasa-masa yang lampau.

   Lie Siauw Hiong hanya membisu saja mendengarkan dia bercerita.

   Menyaksikan aksi pemuda ini, si Hweesio merasa kurang enak, maka tiba-tiba dia berkata dengan suara yang memuji pada si pemuda katanya .

   "Kau Loo-tee (saudara muda) umurmu masih sangat muda sekali, tapi tenaga dalammu demikian sempurnanya, sesungguhnya sukar dicari orang kedua seperti kau ini. Tidak kusangka bahwa didaerah Tiong Goan (Tiongkok sekarang) masih ada orang yang mempunyai kepandaian demikian dan dapat mengajarkan kau pelajaran demikian rupa ini."

   Bila orang lain mendengar dirinya dipuji demikian rupa oleh 'Tiga Dewa Diluar Dunia', tentu saja dia akan menjadi angkuh dan sombong sekali, tapi bagi pemuda Lie Siauw Hiong ini, dia tidak merasa girang apa-apa, karena kepercayaannya terhadap dirinya sudah banyak berkurang.

   Dan sewaktu mendengar pujian orang tua itu, mukanya tetap saja tidak berubah.

   Peng Hoan Siangjin sendiri terhadap Lie Siauw Hiong merasa cocok satu sama lain, dia membahasakan Lie Siauw Hiong dengan sebutan 'Loo-tee'.

   Sebutan itu dapat disejajarkan dengan dirinya sendiri, padahal menurut tingkatan yang sebenarnya sudah lebih dari pantas bila dia menjadi kakek besarnya.

   Kakek itu memanggil pemuda itu dengan sebutan 'Loo-tee', bukankah itu sangat lucu sekali ? Pada saat itu, ketika orang tua itu melihat Lie Siauw Hiong seakan-akan kehilangan semangat, dengan segera dia berkata .

   "Apakah kau mengira bahwa yang kau telah dikalahkan oleh Bu Heng Seng disebabkan karena tenaga dalammu lebih rendah daripadanya ? Tapi kenyataannya ialah, bahwa kau telah melupakan suatu hal yang paling penting."

   Peng Hoan Siangjin melanjutkan .

   "Kau telah melupakan 'tenaga dalam' dua huruf. Bu Heng Seng yang telah makan buah dewa, ditambah lagi dengan latihannya yang lamanya ratusan tahun, dengan demikian kau bocah yang baru berusia dua puluh tahun lebih, dimanalah dapat menjadi lawannya yang setimpal ?"

   Lie Siauw Hiong yang memangnya sangat cerdik sekali, beberapa kali dia telah dikalahkan oleh Bu Heng Seng secara mengecewakan sekali, dengan demikian perasaannya terhadap kemampuannya sendiri menjadi banyak berkurang.

   Ketika dia mendengar anjuran dan pengerahan semangat dari Peng Hoan Siang-jin, dengan cepat dia insyaf bahwa dirinya dapat dikalahkan oleh Bu Heng Seng dengan demikian gampangnya disebabkan karena tenaga dalamnya masih terpaut jauh sekali dengan lawannya.

   Waktu dia berpikir bahwa latihan orang mengenai tenaga dalam sudah mencapai ratusan tahun lamanya, dia sangsi seumur hidupnya mungkin belum dapat menyusulnya, maka tidak terasa lagi pengharapannya menjadi putus kembali.

   
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Peng Hoan Siang-jin lalu berkata lagi .

   "Kau lihatkah batu disana itu ?"

   Sambil berkata dia menunjuk pada batu sangat besar sekali yang terdapat dihadapannya.

   Lie Siauw Hiong melihat batu tersebut sangat besar dan kuat sekali tampaknya.

   Dia menjadi heran mengapa Peng Hoan Siang-jin memperlihatkan batu tersebut kepadanya, tapi keheranannya tak lama dirasakannya, karena kemudian tampak tangan Peng Hoan Siangjin digerakkan sedikit, dengan mengeluarkan suara hembusan angin yang menjurus kebatu raksasa itu, hingga dalam seketika saja batu raksasa itu menjadi hancur lebur.

   Lie Siauw Hiong yang melihat pukulan itu dilakukan oleh Peng Hoan Siangjin dari jurus yang biasa saja, yaitu yang disebut 'Ngo-heng-ciang-hwat', tapi tipu tersebut waktu dipakai oleh Peng Hoan Siangjin, ternyata tenaganya sedemikian luar biasanya, hingga dengan demikian barulah mata Lie Siauw Hiong menjadi terbuka akan rahasia 'tenaga dalam' ini.

   Dengan perasaan yang bangga sekali, Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula .

   "Dengan menyaksikan hal ini, agaknya kaupun mempercayai perkataanku sekarang, bukan ? Omong terus terang, kau tidak usah terlampau memandang tinggi terhadap Bu Heng Seng itu. Aku situa bangka tidak usah menurunkan satu jurus dari golonganku, aku hanya melanjutkan pelajaranmu saja, dengan menggunakan kepandaian yang dimiliki oleh ajaran gurumu sendiri, aku jamin bahwa kau pasti dapat menyambut ratusan jurus padanya, maka hal itu boleh tak usah kau terlampau pikirkan."

   Sekalipun Lie Siauw Hiong seorang yang sangat cerdik dan pandai, tapi pada saat itu dia hanya dapat menggelengkan kepalanya saja, menandakan yang dia tidak mempercayai perkataan orang tua itu. Dalam hatinya dia berpikir .

   "Sekalipun benar Bu Heng Seng telah makan buah dewa dan menjadi sedemikian hebatnya, tapi disamping itu tenaga dalamnya sendiri pun memang sudah dilatih dengan sempurna sekali. Tenaga dalam Peng Hoan Siangjin sekalipun benar sangat tinggi sekali, tapi bila dia ingin dalam waktu yang pendek dapat mengajarku sehingga aku dapat melayani Bu Heng Seng bertempur sehingga ratusan jurus, aku kuatirkan bahwa hal itu tidak mungkin akan terjadi."

   Peng Hoan Siangjin waktu melihat Lie Siauw Hiong menggelengkan kepalanya, suatu tanda bahwa ia tidak percaya akan perkataannya, tidak terasa lagi dia menjadi marah dan lalu berkata .

   "Apakah kau benar berani tidak mempercayai perkataanku ?"

   Lie Siauw Hiong berkata .

   "Sekalipun kepandaian Loo- cian-pwee tidak ada tandingannya didunia ini, tapi kemampuan Boan-pwee terpaut jauh sekali dengan orang lain, hingga dengan sendirinya Boan-pwee tidak mempunyai keyakinan bahwa Boan-pwee akan berhasil dalam usahaku kelak."

   Peng Hoan Siangjin seakan-akan mudah sekali menjadi marah, maka dalam pada saat itu dengan penuh kemarahan dia berkata lantang .

   


Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl Perkampungan Hantu -- Khu Lung Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini