Ceritasilat Novel Online

Pahlawan Gurun 16


Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Bagian 16



Pahlawan Gurun Karya dari Liang Ie Shen

   

   Kata Goan-cong.

   "O,jadi maksudmu kalian berempat hendak menandingi kami berdua,"

   Jengek Ham-hi.

   "Bagus, inipun sangat adil sekali."

   Muka Kiau Goan-cong menjadi merah, katanya pula.

   "Kau adalah musuh umum Bu-tong-pay kami, tak dapat kami bicara tentang peraturan kangouw dengan kau."

   "Bagus, orang Bu-tong-pay memang paling mengutamakan keadilan,"

   Jengek Kok Ham-hi.

   "Tapi ada sesuatu kami ingin tahu dengan pasti. Umpamanya, jika pertandingan nanti kami yang kalah, maka kami akan pasrahkan nasib kepada kalian. Tapi sebaliknya kalau beruntung kami yang menang, lalu bagaimana? Apakah kami harus bertempur lagi melawan Su-loenghiong dan murid2nya?"

   "Hm, janganlah kau terlalu menghina diriku,"

   Kata Su Yong-wi dengan gusar.

   "Dengan kepandaian apa kalian mampu mengalahkan Bu-tong-si-hiap?"

   Tapi bila kalian benar2 sanggup lolos dibawah pedang keempat jago muda Bu-tong-pay, maka aku pasti akan membuka pintu lebar2 dan mengantar keberangkatan kalian dengan hormat."

   Kiranya Su Yong-wi tadi sudah merasakan betapa lihainya Thian-lui-kang, ia merasa tidak yakin akan dapat mengalahkan Ci In-hong berdua, sebab itulah Ia lebih suka membiarkan Bu-tong-si-hiap menanggung urusan ini.

   Menurut perkiraannya, dengan gabungan kekuatan empat pendekar muda Bu-tong-pay itu tentu akan dapat menang."

   "Bagus, beginilah persetujuan kita,"

   Kata In-hong.

   "Tapi disini bukan tempat pertandingan yang baik."

   "Ya, kitaboleh keluar sana agar tidak merusak ruangan pesta Su-loenghiong,"kata Thio Goan-kiat. Diam2 Kok Ham-hi heran mengapa lawannya itu begitu garang, padahal Goan-kiat pernah kecundang ditangannya. Apa barangkali akhir2 ini lawannya itu berhasil meyakinkan sesuatu ilmu baru?"

   Begitulah Su Yong-wi lantas membawa kedua pihak menuju kelapangan berlatih didalam taman bagian belakang.

   Ilmu pedang Bu-tong-pay termashur diseluruh jagat, tapi sekarang keempat jago muda Bu-tong-pay justru akan bergabung untuk menghadapi dua lawan yang tak terkenal asal usulnya, tentu saja para tetamu sama heran.

   Dengan sendirinya mereka pun tidak melewatkan kesempatan bagus ini untuk menyaksikan pertandingan seru ini, maka ber-bondong2 para tamu lantas ikut ketaman.

   Bu-tong-si-hioa ambil posisi mengepung, lalu Kiau Goan-cong berkata.

   "Hayolah kalian mulai dulu, memangnya mau tunggu apa lagi?" ~ Dia yakin pihaknya pasti akan menang, maka sengaja berlagak bermurah hati membiarkan pihak lawan menyerang lebih dulu. Dalam pada itu CiIn-hong telah mengedipi Kok Ham-hi, lalu Kok Ham-hi mengerut kening, tapi segera mengangguk tanda setuju.

   "Hm, kalian jangan main sandiwara, mulailah lekas!"

   Ejek Goan-cong.

   "Sebenarnya maksud Suhengku hendak mengampuni jiwamu, lantaran kau sembarangan mengoceh, maka kukatakan terus terang padamu,"

   Jawab Kok Ham-hi.

   "Nah, sekarang terimalah serangan kami!"

   Berbareng Kok Ham-hi berdua lantas melolos pedang, ditengah samberan pedang disertai pula pukulan, sepasang pedang dan dua tangan serentak menyerang sekaligus.

   Sinar pedang berkelebat, angin pukulan menderu, dalam jarak seputar beberapa meter berjangkitlah samberan angin yang kuat hingga para penonton terpaksa melangkah mundur.

   "Hm, Thian-lui-kang kalian bisa berbuat apa terhadapku?"

   Jengek Goan-cong, walaupun demikian tidak urung pedangnya yang menusuk kearah Kok Ham-hi terguncang menceng juga oleh tenaga pukulan Ci In-hong berdua.

   Kok Ham-hi cukup kenal kelicikan dan kesempitan jiwa Kiau Goan-cong yang sukar diinsyafkan akan kesalahannya, ia pikir tangkap penjahat harus tangkap kepalanya, asal orang she Kiau ini tertawan, tentu barisan pedangmereka akan kacau balau sendiri.

   Tapi tak terpikir olehnya bahwa sebabnya Kiau Goan-cong berani pimpin ketia sutenya untuk mencari balas padanya, dengan sendirinya merekapun yakin akan kemenangan dipihaknya.

   Begitulah ketika serangan Kiau Goan-cong tadi tidak mengenai sasarannya, segera ia menggeser kesamping dan menyusul Ki Goan-lun lantas menyerang.

   Waktu Kok Ham-hi memapak dengan tangan pukulannya, tiba2 dari belakang terasa ada angin menyamber tiba, kiranya pedang Thio Goan-kiat dan Nio Goan-hian telah menusuk berbareng kearahnya.

   Serangan kedua orang out cukup ganas dan memaksa Kok Ham-hi harus menyelamatkan diri lebih dulu.

   Terpaksa memutar tangannya dan balas memotong kebelakang, ia serang lengan Nio Goan- hian sebagai imbangan tusukan pedang lawan, berbareng itu pedang Kok Ham-hi juga lantas menangkis "trang", serangan Thio Goan-kiat telah dipatahkan pula.

   Pada saat yang sama Ki Goan- lun dan Kiau Goan-cong juga mulai melancarkan serangan kepada Ci in-hong.

   Maka terdengarlah suara menderingnya senjata yang nyaring memekak telinga, keempat jago Bu- tong-pay tampak ber-putar2 kian kemari dengan pedang mereka yang bergerak cepat hingga terjalin sebuah "jaringan pedang", dalam sekejap saja keempat orang telah sama melancarkan 6 X 6 = 36 jurus.

   Kiranya sesudah mengalami kekalahan dahulu, Kiau Goan-cong berempat menyadari benar2 bila mereka harus melawan Kok ham-hi satu persatu betapapun tidak sanggup menandinginya, sebab itulah sepulangnya mereka ke Bu-tong-san mereka lantas minta belajar lebih mendalam kepada Suhu dan Susiok mereka, setelah giat berlatih selama empat tahun, mereka berhasil menjalin sebuah "Kiam-tin" (barisan pedang) yang dimainkan empat orang sekaligus.

   Permainan barisan pedang mereka ini teratur dengan sangat rapi, yang satu maju dan yang lain harus mundur, setiap gerakan didasarkan atas perhitungan Pat-kwa.

   Bagi pandangan orang lain, mereka terlihat menggeser kian kemari tak teratur, tapi bagi orang yang terkepung ditengah barisan pedang mereka boleh dikata sukar meloloskan diri karena laksana terkepung oleh dinding baja.

   Begitulah dalam sekejap itu seluruh lapangan seakan penuh oleh sinar pedang yang bergemerlapan menyilaukan mata.

   Pertarungan enam orang itu berlangsung dengan dahsyat sehingga laksana pertempuran sengit dimedan perang yang dilakukan oleh be-ribu2 prajurit.

   Para penonton sampai ternganga menyaksikan pertempuran seru itu dan masing2 sama menahan napas.

   "Kok-sute, bertahan dulu baru kemudian menyerang!"

   Seru In-hong dengan suara tertahan kepada Kok Ham-hi.

   Segera kedua orang punggung beradu punggung, pedang mereka berputar secepat angin, terdengar suara mendering beradunya senjata yang mengilukan.

   Selang sebentar lagi, se-konyong2 Ci in-hong berdua membentak keras2, berbareng mereka menghantam ditengah samberan sinar pedang mereka.

   "Thian-lui-kang"

   Yang dahsyat telah mereka keluarkan. Samberan angin pukulan dan sinar pedang yang dahsyat itu memaksa keempat jago muda Bu-tong- pay itu terpaksa melangkah mundur, tapi dengan cepat mereka lantas mendesak maju lagi.

   "Serang mereka dengan gerak cepat, jangan memberikan kelonggaran kepada mereka!"

   Seru Kiau Goan- cong kepada ketiga sutenya. Kalau tadi begitu maju Ci In-hong berdua lantas mengeluarkan jurus "Lui-tian-kau-hong"

   Yang dahsyat dari Thian-lui-kang mereka itu, yaitu sebelum barisan pedang lawan sempat teratur dengan rapat, maka bagi Nio Goan-hian dan Ki Goan-lun yang lebih lemah itu tentu sukar menghadapi pukulan Lui-tian-kau-hong yang dahsyat dan mungkin akan terluka, dengan begitu kemenangan pasti juga akan berada dipuhak Ci In-hong.

   Tapi lantaran pukulan Lui-tian-kau-hong itu terlalu dahsyat, In-hong berdua harus memikirkan akibatnya bila anak murid Bu-tong-pay itu terpukul mati atau terluka parah sehingga permusuhan mereka dengan Bu-tong-pay akan berarti sukar diredakan.

   Dan sekarang barisan pedang pihak lawan sudah bekerja, terpaksa Ci In-hong berdua mengeluarkan Thian-lui-kang untuk melunakkan daya tekanan lawan, tapi sukar untuk membobol barisan pedang yang rapat itu.

   Apalagi mereka juga belum berani menggunakan jurus "Lui-tian-kau-hong"

   Yang dahsyat.

   Sebaliknya Kiau Goan-cong sama sekali tidak kenal ampun, begitu mereka berada diatas angin, segera ia menyerukan sutenya menyerang lebih gencar.

   Barisan pedang mereka semakin beputar makin cepat dan lingkaran kepungan merekapun makin menciut.

   Empat batang pedang mereka menyamber kian kemari laksana seorang saja yang memainkan ilmu pedan gyang ruwet dan lihai, segenap penjuru se-akan2 penuh dengan bayangan keempat orang jago Bu-tong itu.

   Kok Ham-hi dan Ci in-hong ternyat diserang hingga sukar bernapas, tapi untuk sama sekali melumpuhkan Kok Ham-hi berdua rasanya juga sulit bagi Kiau Goan-cong berempat.

   Melihat pertarungan seru itu, para penonton sampai kesima, banyak diantaranya lantas memberi komentar dan pujian kepada ilmu pedang Bu-tong-pay yang dikatakan luar biasa itu, bahkan ada diantaranya menyindir pula kepada Kok Ham-hi berdua yang tampak terdesak itu.

   Hanya Su Yong-wi saja yang merasa kuatir malah, dia percaya Ci In-hong dan Kok ham-hi masih belum mengerahkan seluruh kekuatan Thian-lui-kangnya, meski barisan paedang Bu-tong-pay itu sangat lihai,tapi kalau kedua lawannya mengeluarkan segenap kekuatan Thian-lui-kang, biarpun takdapat mematahkan barisan pedang itu sedikitnya kedua pihak akan hancur bersama.

   Namun Su Yong-wi merasa tidak sanggup memisah pertarungan sengit itu, maka ia hanya gelisah sendiri tanpa berdaya.

   Sejenak kemudian, tiba2 terdengar suara "bret"

   Sepotong lengan baju Kok Ham-hi terpapas robek oelh pedang Thio Goan-kiat.

   Mestinya Goan-kiat mengira sebelah lengan lawan pasti akan terkutung, tapi ternyata meleset dan Cuma lengan bajunya saja yang tertabas , diam2 ia merasa sayang, dengan gemas kembali ia menyerang dengan lebih gencar.

   Kok Ham-hi menjadi murka juga, mendadak ia berteriak.

   "Suheng, Lui-tian-kau-hong!"

   Ditengah teriakannya itu pukulan Kok Ham-hi berdua lantas dilontarkan dengan kuat dan membawa suara menderu.

   Kebetulan waktu itu Kiau Goan-cong dan Ki Goan-lun sedang menyerang dari depan, seketika mereka disamber oelh angin pukulan yang dahsyat, dada serasa kena digodam.

   Keruan Goan-cong berdua terkejut, lekas2 mereka memutar pedang dan menyerang dengan mati2an.

   Sementara itu Goan-kiat dan Goan-hian juga sudah menubrukmaju dari kiri dan kanan, pedang Goan-kiat mengarah punggung Kok Ham-hi dan pedang Goan-hian mengincar tulang pundak kanan Ci in-hong.

   Dalam keadaan begitu, tampaknya kedua pihak pasti akan sama2 terluka atau bahkan gugur bersama, keruan Su Yong-wi kelabakan saking kuatirnya, tapi apa daya ia sendiri merasa tidak sanggup memisah kalau maju begitu saja mungkin jiwa sendiri akan melayang percuma malah.

   Pada detik yang berbahaya itulah se-konyong2 ditengah orang banyak melayang maju dua sosok bayangan secepat terbang, yang seorang hinggap disamping Kiau Goan-cong dan yang lain berdiri di pihak Kok Ham-hi sana.

   Yang duluan membantu Goan-cong menahan pukulan Thian-lui-kang, sedang yang kedua memutar pedangnya untuk membantu Kok Ham-hi mematahkan serangan Goan-kiat tadi.

   Munculnya kedua orang itu terlalu cepat hingga sebelum orang melihat jelas tahu2 Kok Ham-hi berdua tergetar mundur, begitu pula Kiau Goan-cong dan ki Goan-lun terdesak mundur beberapa tindak.

   Disebelah lain pedang Goan-kiat yang menusuk punggung musuh tadi juga tertangkis dan terpental balik, untung dia keburu menahan pedangnya sehingga senjata tidak sampai makan tuannya.

   Begitu cepat permainan pedang itu, sekali serangan Goan-kiat dipatahkan, segera pedangnya berputar dan pedang Goan-hian juga tersampauk kesamping.

   "Terima kasih atas pertolongan saudara!"

   Kata Goan-cong sesudah berdiri tenang. Sebaliknya Goan-koiat lantas membentak.

   "Siapa kau, berani kau memusuhi anak murid Bu-tong- pay kami?"

   Sementara itu rasa kejut Su Yong-wi baru lenyap dan dapat melihat jelas siapa kedua orang pemisah itu, ia berseru heran.

   "Eh, bukankah kalian ini Liu-tocu dan Cui-tocu? Bilakah kalian tiba?"

   Kedua orang itu lantas menarik kembali pukulannya dan yang lain memasukkan pedang ke sarungnya. Lalu oran yang berpedang menjawab dengan tertawa.

   "Harap Tio-samhiap jangan marah, maksud kami hanya menjadi juru damai saja dan tiada maksud memusuhi anak murid Bu- tong-pay. Cayhe Liu Tong-thian adanya dan ini adalah suteku, Cui Tin-san. Agaknya ketika Liu Tong-thian berdua datang keadaan ditengah kalangan pertandingan sedang berlangsung dengan sengitnya sehingga orang lain tidak memperhatikan mereka. Liu Tong-thian berdua sudah pernah bergebrak dengan Ci in-hong ketika mereka menghadiri Lok-lim-tay-hwe (pertemuan besar kaum Lok-lim) di Long-sia-san tempo hari. Waktu itu Cui Tin-san bertanding ilmu pukulan dengan Ci In-hong dan kalah satu jurus. Sedangkan Liu Tong-thian bertanding pedang dengan Ci In-hong dan menang satu jurus. Cui Tin-san dan Liu Tong-thian berdua terhitung ksatria sejati, sekali salah membantu Tun-ih ciu dan mengetahui persekongkolan Tun-ih Ciu dengan musuh, segera kedua orang merasa menyesal dan mengundurkan diri. Karena itu sekarang demi melihat Ci In-hong berdua dikerubut oleh anak murid Bu-tong-pay, mereka berdua lantas tampil kemuka untuk memisahkan pertarungan sengit itu. Dengan kekuatan mereka berdua, yang satu membantu menahan Thian-lui-kang yang dilancarkan Ci In-hong dan Kok Ham-hi, sedang seorang lagi membantu Kok Ham-hi mematahkan serangan Thio goan-kiat. Jadi mereka memisah secara adil tanpa membela salah satu pihak, ini membuktikn kejujuran mereka sebagai juru damai. Sebab itulah walaupun Thio Goan-kiat merasa gemas, tapi juga tak dapat berbuat apa2.

   "Entah sebab apa Bu-tong-si-hiap terjadi salah paham dengan Ci In-hong berdua?"

   Demikian Liu Tong-thian lantas bertanya. Sebagai kepala Bu-tong-si-hiap, segera Kiau Goan-cong menjawab.

   "Tingkah laku orang she Kok ini tidak pantas, dia telah merebut tunangan Suteku, bahkan pernah menganiaya dua orang Suteku yang lain. Untuk penghinaan ini masakah anak murid Bu-tong dapat tinggal diam? Maksud baik kalian berdua sebagai juru damai harus dipuji, tapi persoalan kami ini sebaiknya kalian jangan ikut campur."

   "Tunangan Thio-samhiap bukankah putri Giam-say-hiap?"

   Tanya Liu Tong-thian.

   "Benar,"

   Kata Goan-cong pula sebelum Goan-kiat mengiakan.

   "Setelah kalian mengetahui persoalannya, tentu pula kalian mengetahui juga bahwa kesalahan bukan terletak pada pihak kami."

   "Kabarnya Thio-samhiap sudah mengnyatakan membatalkan pertunangan kepada Giam-tayhiap, entah betul tidak hal ini?"

   Tanya pula Liu Tong-thian. Sebabnya Goan-kiat tadi tidak mendahului menjawab justru karena alasan yang disebut Liu Tong- thian ini. Maka dengan gusar berkatalah dia.

   "Memang betul. Setelah kedua binatang itu melakukan perbuatan yang tidak tahu malu itu, masakah aku masih sudi menikahi perempuan hina dina itu?"

   "Thio Goan-kiat,hendaklah mulutmu dicuci bersih dahulu,. damprat Kok Ham-hi dengan gusar.

   "Hendaklah saudara2 jangan bertengkar dulu,"

   Sela Liu Tong-thian.

   "Jadi jelasnya Giam-socia itu dengan sukarela telah memilih Kok-heng ini. Seorang laki2 sejati kenapa mesti takut tidak mendapatkan istri? Kalau hati Giam-socia sudah diserahkan kepada orang lain, buat apa Thio-heng mesti memikirkannya pula?"

   "Perempuan hina itu sudah tentu aku tidak sudi tadi, tapi dendamku ini harus kulampiaskan,"

   Kata Goan-kiat dengan gemas.

   "Tapi sekarang kita harus menghadapi musuh bersama, persengketaan pribadi tentunya dapat dikesampingkan untuk sementara. Harap Bu-tong-si-hiap suka berpikir lebih mendalam dan pertimbangkan masak2,"

   Ujar Liu Tong-thian. Cui Tin-san adalah laki2 yang berwatak keras, dengan tak sabar ia lantas menyela.

   "Jika saudara2 tidak dapat didamaikan, maka boleh kalian bertarung lagi. Cuma menurut penilaianku kedua pihak kalian sukar untuk mengalahkan pihak yang lain, paling2 akan berakhir dengan hancur bersama."

   Sebagai orang yang telah menahan pukulan Thian-lui-kang bagi Coan-cong tadi, Cui Tin-san tahu bila dia tidak membantunya mungkin tadi Goan-cong sudah terluka parah andaikan tidak mati.

   Kenyataan ini betapapu tak dapat dibantah oleh Kiau Goan-cong, apalagi dia adalah bakal ahli waris Bu-tong-pay, sudah tentu ia mesti berpikir dua kali sebelum mati konyol secara sia2.

   Karena itu terpaksa Kiau Goan-cong mundur teratur, katanya kemudian.

   "Baiklah, mengingat maksud baik Liu-tocu berdua, persoalan kami ini untuk sementara dapat kami kesampingkan. Bagaimana jadinya dikemudian hari biarlah kita tunggu saja."

   "Terima kasih atas penghargaan Kiau-tayhiap kepada kami,"

   Kata Liu Tong-thian. Karena pertarungan itu takdapat berlangsung lagi, Kiau Goan-cong merasa kehilangan muka, segera ia mohon diri kepada Su Yong-wi dan pergi bersama ketiga sutenya.

   "Habis gelap trbitlah terang, kini urusan sedah beres, sudah waktunya untuk memberikan selamat kepada ulang tahun Su-loenghiong,"

   Demikian Liu Tong-thian lantas berseru kepada orang banyak.

   "Ci-heng dan Kok-heng, marilah berkenalan dengan tuan rumah."

   Liu Tong-thian mengira persoalan dapat diselesaikan begitu saja, tak terduga Su Yong-wi tetap bersikap dingin saja, tiba2 ia berkata.

   "Nanti dulu!"

   Keruan Liu Tong-thian melengak, tanyanya.

   "Adakah sesuatu petunjuk Su-loenghiong?"

   "Sengketa pribadi, boleh diakhiri, tapi urusan lebih penting bagaimana menyelesaikannya?"

   Kata Su Yong-wi.

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Urusan penting apa maksud Su-loenghiong?"

   Tanya Liu Tong-thian.

   "Ci In-hong adalah murid keponakan Yang Thian-lui, apakah Liu-tocu mengetahui hal ini?"

   Kata tuan rumah pula.

   "Agaknya kalian telah salah paham,"

   Ujar Liu Tong-thian dengan tertawa.

   "Hendaklah Su- loenghiong mengetahui bahwa sekarang Ci-heng adalah pembantu utama Bengcu baru Li Su-lam, dia pernah bekerja bagi Yang Thian-lui adalah karena sengaja ditugaskan oleh gurunya, tapi diam2 dia mengadakan hubungan rahasia dengan pihak pasukan pergerakan. Bahkan saat ini dia sedang melaksanakan sesuatu tugas penting bagi kita. Cuma belum tiba waktunya sehingga aku takdapat menerangkan urusan penting yang dimaksud itu."

   Bahwa keterangan Liu Tong-thian ternyata cocok dengan keterangan Lau Tay-wi tadi tentang diri Ci In-hong, mau tak mau Su Yong-wi menjadi terkejut, ia pikir apakah Loh-samko yang berdusta padaku dengan maksud memfitnah orang she Ci ini.

   Bahkan yang lebih mengejutkan para tetamu adalah keterangan Liu Tong-thian tentang diri Ci In-hong sebagai pembantu utama Li Su-lam.

   Segera Su Yong-wi berkata pula .

   "Maafkan bila aku terlalu rewel, tapi soalnya menyangkut keselamatan kita bersama. Tentang keterangan Liu-tocu tadi darimana Liu-tocu mendengarnya?"

   "Bukan mendengar, tapi aku menyaksikan sendiri,"

   Kata Liu Tong-thian.

   "Bahkan belum lama ini aku baru datang dari Long-sia-san, maka aku berani menjamin akan kebenaran keteranganku tadi atas diri Ci-heng, bilama perlu aku dapat mengemukakan pula seorang tokoh lain sebagai penjamin."

   "Siapa?"

   Tanya Su Yong-wi.

   "Kanglam-tayhiap Beng Siau-kang!"

   Sehut Liu Tong-thian.

   "Beng Siau-kang sendiri yang menceritakan padaku tentang asal usul Ci-heng serta tugas penting yang diembannya."

   Baru sekarang Kok Ham-hi tahu bahwa Liu Tong-thian berdua kiranya baru saja datang dari Long- sia-san, pantas mereka mengetahui urusanku dengan Giam Wan.

   Liu Tong-thian sendiri terkenal ilmu pedangnya sudah lama namanya berkumandang didunia kangouw, sekarang ditambah lagi nama Beng Siau-kang, mau tak mau para tetamu percaya kepada keterangannya tadi.

   Maka berkatalah Su Yong-wi akhirnya.

   "Jika demikian, mungkin benar aku telah salah paham. Eh, dimanakah Loh-samya?" ~ Ia bermaksud suruh Loh Hiang-ting memberi kesaksian lebih jauh, tapi Loh Hiang-ting ternyata sudah mengeluyur pergi, bahkan Ting Cin juga ikut menghilang. Rupanya begitu munculnya Liu Tong-thian berdua, Loh Hiang-ting merasa gelagat jelek, maka cepat2 ia kabur bersama Ting Cin. Lau Tay-wi menjadi kaget juga, katanya dengan ragu2.

   "Suhu, tampaknya .

   "

   Sebagai seorang yang sudah berpengalaman dan dapat berpikir, diam2 Su Yong-wi merasa malu diri katanya kemudian.

   "Kini urusan sudah menjadi jelas, tidak perlu disangsikan lagi bahwa mereka berdua pasti agen rahasia musuh. Sungguh menyesal aku telah kena dikelabui mereka dan hampir2 membikin susah orang baik." ~ Habis itu iapun minta maaf kepada Ci In-hong dan Kok Ham-hi. Dengan rendah hati Ci In-hong menjawab.

   "Ah, memang sukar membedakan orang jahat atau orang baik, adalah biasa jika terjadi salah paham."

   "Sungguh aku harus berterima kasih padamu, bila kalian tidak keburu tiba dan membongkar kedok mereka, mungkin akibatnya aku akan hancur lebur terjerumus kedalam perangkap musuh,"

   Kata Su Yong-wi.

   Setelah persoalan Loh Hiang-ting dan Ting Cin menjadi jelas, maka semua orang lantas kembali keruangan pesta untuk memberikan selamat ulang tahun kepada Su Yong-wi, suasana perjamuan berlangsung dengan meriah.

   Sehabis perjamuan Liu Tong-thian berkata kepada Ci In-hong.

   "Sungguh tidak terduga akan bertemu kau disini, ada suatu urusan aku justru ingin berunding dengan kau."

   "Urusan apa?"

   Tanya In-hong.

   "Urusan yang menyangkut Yang Thian-lui,"

   Jawab Liu Tong-thian.

   "Kalian berdua beremaksud mengadakan pembersihan pintu perguruan sendiri, Beng-tayhiap telah memberitahukan hal ini kepadaku."

   Ci In-hong merasa girang, segera ia pinjam sebuah kamar rahasia kepada tuanrumah, lalu bersama KokHam-hi serta Liu Tong-thian dan Cui Tin-san berempat lantas mengadakan perundingan rahasia dalam kamar itu.

   "Sebenarnya urusan ini semula kamipun tidak pernah memikirkannya,"

   Tutur Liu Tong-thian.

   "Lalu apa sebabnya coba kau terka? Ternyata keparat Yang Thian-lui itu benar2 telah pepet pikiran dan menyangka kami berdua juga kemaruk harta dan pangkat seperti dia, maka dia telah "penujui kami".

   "Haha, mungkin dia mendapat laporan bahwa kalian pernah membantu Tun-ih Ciu, makanya mengira kalianpun dapat diperalat olehnya,"

   Kata In-hong dengan tertawa.

   "Sebabnya kami membantu Tun-ih Ciu waktu itu sebenarnya karena timbul dari rasa setia kawan saja, tatkala itu kami sama sekali tidak mengetahui akan persekongkolannya dengan pihak musuh,"

   Kata Liu Tong-thian.

   "Kami paham,Liu-heng tidak perlu memberi penjelasan lagi,"

   Kata In-hong.

   "Sekarang mohon engkau menerangkan saja mengapa Yang Thian-lui mencari kalian dan apa maksud tujuannya?"

   "Dia mengutus seorang wakil untuk menghubungi kami dengan macam2 janji muluk2 asalkan kami mau membantunya secara diam2,"

   Tutur Liu Tong-thian.

   "Tegasnya dia menghendaki kami menjadi agen rahasianya dan kami tetap bertahan dalam kedudukan kami didunia kangouw seperti biasa,"

   Cui Tin-san menambahkan dengan tertawa.

   "Lalu cara bagaimana kalian menghadapi bujukannya?"

   Tanya In-hong.

   "Waktu itu sebenarnya aku bermaksud membinasakan utusan itu, tapi Liu-suheng tidak setuju,"

   Tutur Cui Tin-san.

   "Ya, sebab kupikir kenapa tidak berbalik mengakali dia dengan cara yang sama,"

   Kata Liu Tong- thian.

   "Sebab itulah aku tidak memberi reaksi apa2, malahan aku melayani utusan itu dengan sangat hormat. Aku menyatakan urusannya teramat penting, maka aku perlu brpikir lebih mendalam, aku mengatakan paling baik kalau Yang-koksu sudi datang ketempat kami untuk bicara secara langsung."

   "Akal inipun pernah dipakai oleh Toh An-peng dari Hui-liong-san,"

   Kata In-hong.

   "Toh An-peng telah bersekongkol dengan Yang Thian-lui dan memancing Li-bengcu ketempatnya. Peristiwa ini mungkin kalianpun sudah mengetahui."

   "Sesudah kami datang ke Long-sia-san barulah kami mendapat tahu dari Li-bengcu,"

   Sahut Tin-san.

   "Dan akal yang mereka sendiri pernah gunakan apakah bangsat tua Yang Thian-lui itu mau masuk perangkap begitu saja?"

   Ujar In-hong.

   "Li-bengcu juga berkata demikian, tapi tiada halangannya dicoba dan lihat saja bagaimana jawabnya,"

   Kata Liu Tong-thian.

   "Waktu itu kami telah berjanji kepada utusan itu agar memberi kabar jawaban dalam waktu tiga bulan. Dan begitu utusan itu berangkat pulang segera kami menuju Long-sia-san untuk melaporkan kejadian itu kepada Li-bengcu. Dari Li-bengcu kami sudah mendapat kesanggupan akan mengirim bala bantuan bila tiba waktunya. Soalnya tinggal Yang Thian-lui mau masuk perangkap atau tidak. Li-bengcu juga menyatakan sayang kalian tidak berada ditempat sehingga kehilangan kesempatan yang bagus. Tak terduga disini pula kami dapat bertemu dengan kalian."

   "Ya, kalau Yang Thian-lui mau masuk perangkap, kami dapat bersembunyi di tempat kalian untuk membereskan dia sehingga akan banyak hemat tenaga dan waktu bagi kami."

   Kata In-hong.

   "Umpama dia tidak mau masuk perangkap tentu juga akan memberi jawaban,"

   Ujar Kok ham-hi.

   "Kita tunggu saja bagaimana jawabannya, lalu mengatur siasat lebih jauh."

   "Benar, biarpun bangsat tua itu banyak tipu muslihatnya, sedikitnya iapun belum tahu pasti akan haluan kami,"

   Kata Liu Tong-thian.

   "Sampai sekarang jarak janji tiga bulan itu masih ada berapa hari lagi?"

   Tanya In-hong.

   "Belum ada sebulan lamanya, jadi kami masih ada waktu dua bulan lebih,"

   Sahut Liu Tong-thian.

   "bagus, jika demikian cukup bagi kami untuk pulang memberi lapor kepada guruku, habis itu baru kami datang ketempat Liu-tocu,"

   Kata In-hong. Tiba2 Liu Tong-thian teringat sesuatu, serunya.

   "Wah, celaka !"

   "Ada apa?"

   Tanya Cui Tin-san.

   "Kita menjadi lupa akan kaburnya Loh Hiang-ting dan Ting Cin berdua tadi,"

   Kata Liu Tong-thian.

   "Kita telah tampil kemuka untuk membela Ci-heng tadi, hal ini oleh mereka tentu akan dilaporkan kepada Yang Thian-lui."

   "Rasanya Su-loenghiong pasti takkan melepaskan kedua orang itu,"

   Ujar Cui Tin-san.

   "Dengan bantuan para tamu serta ke-17 anak muridnya, kukira kedua bangsat itu takkan lolos begitu saja."

   "Andaikan mereka berhasil lolos dan pulang ke Taytoh, lalu bagaimana kan urusan kita bisa runyam,"

   Ujar Liu Tong-thian.

   "aku ada suatu usul,"

   Kata Cui Tin-san.

   "Sebaiknya Liu-suheng pulang dulu, aku akan memburu ke Taytoh, pimpinan Kay-pang disana adalah kenalan baikku, aku akan minta bantuannya untuk mengawasi jejak kedua keparat itu. Bilamana mereka kabur kesana, dengan jaringan Kay-pang yang luas, itu tentu akan diperoleh kabar yang pasti. Dan bila demikian halnya barulah kita mengatur siasat lebih lanjut."

   "Ya, memang tiada jalan lain lagi, terpaksa kita coba2 cara ini,"

   Kata Liu Tong-thian.

   Setelah mengambil keputusan pasti, mereka berempat lantas keluar dan mohon diri kepada tuan rumah.

   Su Yong-wi memberitahukan mereka bahwa telah dikirim 12 muridnya untuk mengejar Loh Hiang-ting berdua, diantara tetamunya juga banyak yang sukarela ikut pergi memburu agen rahasia musuh itu.

   "Ci-heng, biarlah aku mengantar keberangkatan kalian,"

   Kata Lau tay-wi, ternyata dia tidak ikut mengejar Loh Hiang-ting, mungkin untuk mengghindarkan salah paham orang. Setiba dipersimpangan jalan, Lau Tay-wi bertanya pula.

   "Ci-heng, bukankah gurumu mengasingkan diri di Pok-bong-san?"

   "Benar, darimana engkau mendapat tahu?"

   Sahut In-hong.

   "Dari ayahku,"

   Jawab Lau Tay-wi dengan tertawa.

   "Kiranya ayahku adalah kenalan gurumu, Cuma sudah lama tidak berjumpa. Tahun lalu ayah pernah menyambangi gurumu di Pok-bong-san, tapi tidak bertemu. Rumah Siaute berada di Koh-siong-cun dikabupaten Peng-kok-koan, hanya ratusan li diutara Pak-bong-san, bila Ci-heng ada tempo boleh silahkan mampir ketempatku itu. Dirumahku hanya tinggal ayah dan adik perempuanku, bila Ci-heng sudi menyampaikan berita selamat tentang diriku, tentu mereka akan sangat berterima kasih padamu."

   "Tapi tugas kami mendesak, entah ada tempo luang atau tidak untuk mampir,"

   Ujar In-hong.

   "Namun bial perlu tentu aku akan minta guruku agar menyampaikan kabar kepada paman."

   Lau tay-wi merasa rada kecewa, katanya.

   "Baiklah jika begitu, terima kasih."

   Begitulah Ci In-hong dan Kok Ham-hi lantas melanjutkan perjalanan, beberapa hari kemudian sampailah mereka di Pak-bong-san.

   In-hong membawa Ham-hi kepondok tempat tinggal gurunya, dibelakang rumah adalah hutan Tho yang sedang berbunga dengan indah sekali laksana lautan bunga.

   "Tampaknya Suhu sedang berlatih pedang ditengah hutan Tho, janganlah kita mengejutkan beliau,"

   Kata In-hong. Dengan pelahan2 mereka lantas menyusuri hutan Tho itu, tidak jauh terlihatlah sinar pedang yang kemilauan me-nari2 diangkasa laksana ular naga disertai bertaburannya kelopak bunga Tho yang berserakan memenuhi tanah.

   "Kok-sute, apakah kau dapat melihat dimana letak kehebatan ilmu pedang Suhu?"

   Tanya In-hong kepada Kok Ham-hi.

   Kok Ham-hi tidak lantas menjawabnya, ia perhatikan lebih cermat permainan pedang Hoa Thian- hong yang hebat itu, gesit laksana ular, lincah laksana kera.

   Tiba2 melayang keatas seperti elang, mendadak menubruk kebawah serupa harimau, sinar pedangnya menyambar cepat diantara daun lebat pohon Tho kelopak bunga Tho sama rontok beterbaran, namun tangkai bunga sedikitpun tidak ikut bergetar.

   Bahwasanya ilmu pedangnya indah sekali, yang paling hebat adalah merontokkan kelopak bunga tanpa bikin goyang tangkai bunganya.

   Betap tinggi dan mujizat ilmu pedang Hoa Thian-hong sunguh sukar diukur.

   Diam2 Kok Ham-hi berpikir.

   "Meski beng-tayhiap disebut orang sebagai memiliki ilmu pedang yang tiada tandingannya, tapi kalau bicara soal kelincahan mungkin takdapat menandingi Hoa- supek, apalagi ilmu pedang Lian-goan-toat-beng-kiam-hoat yang dimainkan keempat murid utma Bu-tong-pay itu lebih2 bukan tandingannya."

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Begitulah saking asyiknya dan kagumnya terhadap ilmu pedang yang bagus itu, tanpa terasa Kok Ham-hi sampai berseru.

   "Sungguh hebat!"

   Cepat Hoa Thian-hong lantas menarik pedangnya dan berpaling, lalu berkata.

   "Kau sudah pulang, In-hong. Dan siapakah dia ini?"

   Lebih dulu In-hong dan Kok Ham-hi memberi hormat, lalu In-hong menjawab.

   "Dia adalah murid Kheng-susiok, namanya Kok Ham-hi."

   Girang sekali Hoa Thian-hong, serunya.

   "Ha, jadi kau telah menemukan Kheng-susiokmu?"

   "Kheng-susiok masih berada di Kanglam,"

   Sahut In-hong.

   "Kok-sute yang diperintahkan oleh Kheng-susiok agar mencari kita ,belum lama berselang Tecu baru saja bertemu dengan Kok-sute."

   Segera Hoa Thian-hong menanyakan keadaan guru Kok Ham-hi, lalu menghela napas dan berkata.

   "Sudah 20 tahun aku berpisah dengan gurumu. Aku sangat mengharapkan dia dapat datang kesini untuk memikul kewajiban membersihkan pintu perguruan kita. Sungguh tidak nyana bahwa dia terluka parah, sukar lagi meyakinkan Thian-lui-kang dengan sempurna."

   "Tapi ilmu pedang Supek yang hebat ini rasanya jauh lebih cukup untuk menghadapi Yang Thian- lui,"

   Ujar Kok Ham-hi.

   "Ya, lantaran aku menyadari terbatasnya kemampuanku, biarpun aku berlatih selama hidup juga Thian-lui-kangku tak dapat menandingi orang she Yang itu, makanya timbul hasratku untuk meyakinkan ilmu pedang ini,"

   Kata Hoa Thian-hong.

   "Mendiang kakek guru kalian dulu terkenal dengan ilmu pedang dan ilmu pukulannya, Thian-lui-kang adalah ilmu andalannya, ilmu pedangnya juga menjagoi dunia persilatan. Cuma sayang diantara anak muridnya tiada seorangpun yang menwariskan segenap kepandaiannya itu. Syukur paling akhir ini sisuatu kamar batu dibelakang gunung kebetulan kutemukan ilmu pedang ini yang dia ukir pada dinding batu, aku sudah berlatih dua tahun, kuharap dengan ilmu pedang ini dapat mengatasi kekuatan Thian-lui-kang, tapi sampai sekarang latihanku masih belum sempurna."

   "Ilmu pedang Supek sudah sedemikian hebatnya dan Supek masih merasa belum sempurna?"

   Kok Ham-hi menegas dengan melengak.

   "Coba kalian periksa lebih teliti,"

   Kata Hoa Thian-hong.

   "Diantara kelopak bunga yang rontok ini tercampurkan pula beberapa lembar daun, ini tandanya kurang sempurna. Sebab kalau sudah mencapai tingkat sempurna, yang rontok hanya melulu kelopak bunga saja. Kekuatan Yang Thian- lui masih jauh diatasku, bila ingin membinasakan dia dengan ilmu pedang, maka diperlukan cara cepat yang tak ter-duga2, untuk ini sedikitnya aku perlu berlatih tiga tahun lagi. Tapi lantaran diwaktu muda akupun pernah terluka parah, kini usiaku sudah lanjut, badan sudah loyo, mungkin setelah tiga tahun tenagaku sudah yakin ketinggalan jauh dibanding Yang Thian-lui."

   "Meski Kheng-susiok tak dapat datang sendiri, tapi beliau sudah menugaskan Kok-sute untuk mewakilkan beliau mengadakan pembersihan dikalangan perguruan kita,"

   Kata In-hong.

   "O, jadi gurumu suruh kau mewakilkan dia?"

   Tanya Hoa Thian-hong kepada Kok Ham-hi.

   "Jika demikian Thian-lui-kang yang kau yakinkan tentu sudah sempurna?"

   "Bakat Siautit terlalu rendah, untuk mencapai tingkatan sempurna sungguh tidak berani mengharapkan,"

   Sahut Kok Ham-hi.

   "Cuma ada suatu jurus serangan "Lui-tian-kau-hong"

   Yang kugunakan bersama Ci-suheng, sudah kami coba beberapa kali, hasilnya cukup memuaskan. Hanya entah dapat menandingi Yang Thian-lui atau tidak?"

   "Coba kalian perlihatkan padaku,"

   Kata Hoa Thian-hong.

   "Mohon Supek memberi petunjuk,"

   Sahut Kok Ham-hi, lalu berdiri sejajar dengan Ci In-hong, sebelah tangan masing2 sama memutar suatu lingkaran, habis itu lantas dipukulkan berbareng kedepan.

   Terdengarlah suara riuh, sebatang pohon kontan roboh berikut akarnya, dalam lingkar seluas beberapa meter debu pasir berhamburan.

   Girang sekali Hoa Thian-hong, katanya.

   "Jurus Lui-tian-kau-hong kalian ini sudah jauh lebih kuat daripadaku. In-hong, lwekangmu juga sudah banyak maju, jauh diluar dugaanku."

   "Hal ini adalah berkat petunjuk Beng-tayhiap, beliau telah mengajarkan suatu inti lwekang kepada kami berdua,"

   Ujar Ci In-hong.

   "O, jadi kalian sudah bertemu dengan Beng Siau-kang,"

   Ujar Hoa Thian-hong.

   "Beng-tayhiap sekarang berada di Long-sia-san, beliau juga terkenang kepda Suhu, maka tecu disuruh menyampaikan salam pada Suhu,"

   Tutur In-hong, lalu iapun menceritakan pengalamannya tempo hari.

   "Pantas jurus Lui-tian-kau-hong kalian ini sedemikian hebatnya, kiranya atas petunjuk Beng- tayhiap yang berharga."

   Kata Hoa Thian-hong.

   "Cuma Thian-lui-kang bangsat she Yang itupun lain daripada yang lain, apakah kalian sanggup mengalahkan dia juga sukar dipastikan. Biarlah kalian tinggal beberapa hari lebih lama disini, akan kuajarkan ilmu pedangku ini kepada kalian, dengan gabungan ilmu pukulan dan ilmu pedang kalian untuk melawan Yang Thian-lui rasanya akan lebih memberi harapan untuk menang."

   Ilmu pedang yang diyakinkan Hoa Thian-hong agak luas dan ruwet, untung Ci In-hong dan Kok Ham-hi sudah mempunyai dasar yang kuat, maka untuk melatihnya tidak menjadi sukar.

   Setelah berlatih tujuh hari, dalam hal perubahan2 ilmu pedang itu sudah apal bagi mereka, untuk selanjutnya mereka boleh berlatih sendiri tanpa petunjuk sang guru.

   Karena In-hong dan Ham-hi harus menuju ketempat Liu Tong-thian untuk menunggu kabar, maka mereka lantas mohon diri kepada Hoa Thian-hong.

   Sebelum berpisah tiba2 Hoa Thian-hong ingat sesuatu, katanya kepada In-hong.

   "Karena sibuk mengajarkan ilmu pedang padamu, ada sesuatu urusan sampai lupa kukatakan padamu!"

   "Mohon Suhu memberi petunjuk,"

   Sahut In-hong.

   "Urusan ini menyangkut kehidupanmu, sebab sekarang usiamu sudah waktunya untuk berumah tangga,"

   Kata Hoa Thian-hong.

   "Kau tidak punya ayah-ibu lagi, sebagai guru aku mesti memikirkan dirimu."

   Jantung Ci In-hong berdetak, baru saja ia hendak melaporkan kepada sang guru tentang hubungannya dengan Beng Bing-sia, ternyata sang guru sudah melanjutkan lagi.

   "Didunia persilatan ada seorang tokoh bernama Lau Han-ciang, dahulu terkenal dengan golok emasnya, sudah lama sekali dia mengasingkan diri, apakah kau pernah mendengar Locianpwe ini ?"

   Kembali In-hong terkejut, sahutnya.

   "Lau Han-ciang Locianpwe? Bukankah beliau mempunyai seorang putra bernama Lau tay-wi?"

   "Benar, tentang perkenalanmu dengan Tay-wi dalam pasukan pergerakan juga sudah kudengar dari Lau Han-ciang,"

   Sahut Hoa Thian-hong.

   "Haha, menarik juga kalau kuceritakan, memangnya aku dan Lau Han-ciang adalah sobat lama, kalau saja dia tidak datang kesini mencari diriku mungkin sampai saat ini aku tidak tahu bahwa dia tinggal berdekatan dengan tempat kita ini."

   "Ya, dari Lau-toako muridpun mendapat tahu bahwa tiga tahun yang lalu paman Lau pernah datang kesini untuk mencari suhu,"

   Kata In-hong.

   "Jika demikian, jadi antara guru dan murid kita sama2 ada hubungan baik dengan ayah beranak keluarga Lau, ini menjadi lebih2 bagus pula,"

   Ujar Hoa Thian-hong sambil tertawa.

   "Lebih2 bagus bagaimana?"

   Tanya In-hong, dalam hati ia terkesiap, tapi pura2 tidak paham. Sembari mengelus jenggotnya yang panjang, pelahan2 Hoa Thian-hong menjawab.

   "Biar kau mengetahui saja bahwa Lau Han-ciang mempunyai seorang anak perempuan dan hendak dijodohkan kepadamu."

   Baru sekarang In-hong paham apa sebabnya Lau Tay-wi pernah minta padanya agar suka mampir kerumahnya untuk menemui ayahnya, bahkan sengaja menyebut adik perempuannya. Maka cepat2 ia berkata.

   "Suhu, soal ini .

   "

   Akan tetapi saking gugupnya ia menjadi gelagapan malah. Dengan tertawa Hoa Thian-hong berkata pula.

   "

   Kebetulan sekali bahwa kaupun berkawan baik dengan Lau Tay-wi, segala urusan menjadi lebih bagus lagi.

   Tentang perjodohan ini aku telah bertindak sebagai wali bagimu dan menyanggupinya.

   Eh, memangnya kau merasa tidak suka?" ~ Baru sekarang melihat air muka muridnya itu berubah gugup dan gelisah.

   Setelah tenangkan diri barulah In-hong berkata.

   "Tecu sudah yatim piatu, kalau Suhu menjadi waliku, mana murid berani membantah. Cuma .

   "

   "Ada apa?"

   Tanya Hoa Thian-hong.

   "Cuma murid juga sudah ada suatu persoalan yang perlu dilaporkan kepada suhu."

   "Baik, persoalan apa, katakan saja!"

   "Tecu dan putri Beng-tayhiap, nona Beng Bing-sia, sudah .. sudah "

   "apa, kau sudah menikah dengan putrinya Beng-tayhiap?"

   Kata Hoa Thian-hong menegas dengan terkejut.

   "Menikah sih belum, tapi sudah saling mengikat janji,"

   Sehut In-hong, terpaksa ia menjawab terus terang dengan menahan malu.

   "Tecu tidak dapat mengingkari nona Beng, maka mohon Suhu suka memaafkan."

   Hoa Thian-hong menghela napas, katanya kemudian.

   "

   Sebenarnya akupun bersahabat baik dengan Beng-tayhiap, malahan aku pernah utang budi padanya, hubungan dengan dia boleh dikata lebih rapat daripada Lau Han-ciang.

   Cuma sayang, lau Han-ciang datang lebih dulu kesini dan aku sudah berjanji padanya.

   Orang persilatan seperti kita ini harus dapat pegang janji, apa yang telah kita katakan tidak boleh ditarik lagi, coba, bagaimana aku harus berbuat?"

   Namun Ci In-hong sudah mencintai Bing-sia sepenuh hati, sebaliknya iapun tak dapat melupakan budi sang guru dan tak dapat membikin susah beliau. Setelah berpikir kemudian ia berkata.

   "Tecu dan Kok-sute segera akan menempur Yang Thian-lui dengan mati2an, menang kalah sukar diduga, maka soal perjodohan dengan pihak keluarga Lau ini mohon Suhu suka bicara dengan paman Lau agar ditunda untuk sementara."

   "Memang tiada jalan lain kecuali usulmu ini, tapi cara inipun cuma untuk mengulur waktu saja."

   Kata Hoa Thian-hong.

   "Sudah tentu, kuharapkan tugas kalian akan terlaksana dengan lancar dan sesudah membereskan perguruan kita, rasanya akupun harus tetap pegang janjiku kepada pihak lain."

   In-hong merasa nada ucapan sang guru sudah rada kendur, paling tidak takkan paksa dia menikah dengan nona Lau yang belum dikenal itu. Maka katanya kemudian.

   "Baiklah bila kelak tecu berhasil melaksanakan tugas dengan selamat barulah kita bicarakan pula soal ini."

   Begitulah Ci In-hong dan Kok Ham-hi lantas mohon diri untuk berangkat dan persoalan itupun untuk sementara dikesampingkan dulu.

   Disebelah selatan Pak-bong-san adalah padang belukar yang tiada penduduknya, mereka harus berjalan berpuluh li jauhnya baru melihat sebuah desa, tapi apa yang disebut "desa"

   Tidak lebih hanya beberapa rumah keluarga pemburu saja.

   Sebaliknya disebelah utara pegunungan itu ada beberapa buah desa yang berpenduduk lebih padat.

   Koh-siong-cun tempat tinggal Lau Tay-wi itu adalah satu diantara desa2 itu.

   Antara selatan dan utara pegunungan itu dihubungkan dengan sebuah jalan kecil, untuk melintasi jalan ini tidak perlu mengitari gunung.

   Cuma jalan kecil ini jarang dilalui orang sehingga tumbuh lebat semak rumput, kalau belum kenal jalan ini sukar untuk menemukannya.

   Mengenai perjodohannya dengan keluarga Lau meski untuk sementara dapat dikesampingkan, tapi didalam hati In-hong mau tak mau merasa tertekan, maka sepanjang jalan ia rada kesal.

   Tanpa terasa mereka telah sampai dibatas jalan antara utara dan selatan gunung itu.

   Ci In-hong kenal jalanan itu, tiba2 terpikir olehnya.

   "Coba kalau tiada timbul persoalan yang merikuhkan ini, mestinya tiada halangan bagiku untuk mengunjungi ayah Lau-toako."

   Belum lenyap pikirannya, tiba2 tertampak dua penunggang kuda muncul dari balik tanjakan sana.

   Kedua penunggang kuda itu sedang celingukan kesana kemari dipadang belukar itu, ketika melihat Ci In-hong berdua, segera mereka percepat kuda mereka menuju kesini.

   Kedua penunggang kuda itu berdandan sebagai Busu kerajaan Kim, tapi Ci in-hong sudah beberapa tahun bekerja di tempat Yang Thian-lui, maka ketika kedua orang itu sudah dekat, segera ia dapat melihat bahwa kedua orang itu adalah orang Mongol yang menyamar sebagai Busu negeri Kim.

   Hati In-hong tergerak, diam2 ia berpikir untuk apa kedua Tartar ini berkeliaran dipadang belukar sini? Jangan2 orang yang mereka cari adalah guruku?"

   Sesudah berhadapan dengan mereka, kedua Busu itu lantas menghentikan kudanya, seorang diantaranya lantas bertanya.

   "Kami hendak menuju Koh-siong-cun, numpang tanya arah mana yan gharus kami tempuh?"

   Bahasa Han yang digunakan terasa kaku, bahkan jelas terdengar logat Mongolnya. Keruan In-hong terkejut, katanya didalam hati.

   "Kiranya mereka bukan mencari guruku. Mereka hendak menuju Koh-siong-cun, tak perlu ditanya lagi yang dicari pasti paman Lau adanya."

   Dalam pada itu Koh Ham-hi lantas menjawab dengan sikap dingin.

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada urusan apa kalian pergi ke Koh-siong-cun?"

   Busu tadi mengerut kening, agaknya mendongkol sekali, tapi rupanya ia dapat menahan perasaannya, lalu berkata pula.

   "Kalian cukup memberitahukan arah Koh-siong-cun saja, buat apa kau tanya urusan orang lain?"

   Untuk tujuan apa kedua Busu Mongol yang menyamar sebagai busu Kim itu datang ke Koh-siong- cun ? Dapatkah Ci In-hong berdua mengenyahkan lawan2nya dan bagaimana kelanjutan tugas mereka dalam usaha mengalahkan Yang thian-lui di ibukota Kim ?

   Jilid 15 bagian pertama Ci In-hong mengedipi Kok Ham-hi sambil menggeleng. Ia cukup kenal watak sang sute yang berangasan. Ia kuatir Kok Ham-hi terus labrak kedua orang itu, maka cepat memberi isyarat agar bersabar. Habis itu In-hong baru bicara.

   "Bukan maksud kami suka ikut campur urusan orang lain, soalnya suasana sekarang sedang kacau, kami tidak enak membawa orang asing kedalam kampung. Sebab itulah kami harus tanya lebih jelas. Apa barangkali kalian punya kenalan di Koh-siong-cun?"

   Rupanya Busu yang satu lagi menjadi tidak sabar, tiba2 ia membentak.

   "Jika kalian tidak mau memberitahu boleh persetan, buat apa banyak cingcong!"

   "Baiklah, silahkan saja kalian pergi,"

   Sahut Ci In-hong.

   "Hm, enak saja kau bicara !"

   Mendadak Busu kedua yang berjenggot membentak. Berbareng dari atas kuda ia terus menghantam batok kepala Ci In-hong. Bahkan Busu yang lain dengan cepat juga lantas menyabet Kok Ham-hi dengan pecutnya. Ci In-hong menjadi murka, balasnya membentak.

   "Sebenarnyas aku tidak mau membunuh kau, tapi kau sendiri yang cari mampus!" ~ Berbareng telapak tangan kanan memutar suatu lingkaran, dengan membawa suara menderu yang keras, segera ia lancarkan serangan maut dari Thian-lui- kang yang lihai. Ci In-hong mengira dengan Thian-lui-kang sedikitnya akan membikin Busu Mongol itu terluka parah andaikata tidak mampus, tak terduga ketika tenaga pukulan kedua orang kebentur, terdengar suara "blang"

   Yang keras, Busu Mongol itu mencelat dari kudanya, sebaliknya Ci In-hong sendiripun tergetar mundur dua-tiga tindak.

   Belum lagi ia berdiri tegak, se-konyong2 ia merasa didorong pula oleh suatu tenaga yang kuat, tanpa tertahan ia mundur lagi tiga tindak.

   Dan baru saja ia terkejut, lagi2 ia terdorong oleh tenaga kuat yang serupa dan kembalai ia mundur tiga tindak, habis itu baru dapat berdiri dengan baik.

   Padahal Busu Mongol itu hanya melontarkan sekali pukulan saja dan Ci In-hong ber-turut2 harus mundur tiga kali, keruan kejutnya tidak kepalang.

   Ia tidak tahu bahwa Busu Mongol itupun tidak kurang kejutnya setelah mencelat dari kudanya dan dada terasa seperti digodam dengan keras.

   Kiranya Busu Mongol berjenggot itu bernama Ulitu, dia adalah murid pertama Liong-siang Hoat- ong, Koksu negeri Mongol.

   Ilmu kebanggaan Liong-siang Hoat-ong disebut "Liong-siang-sin-kang (ilmu sakti naga-gajah), tenaga ilmu pukulan ini sangat hebat dan seluruhnya meliputi sembilan gelombang tenaga.

   Sekali memukul, maka tenaga pukulan menjadi laksana gelombang samudra yang mendampar, damparan gelombang yang satu lebih dahsyat daripada yang lain.

   Tapi Ulitu baru mencapai satu pukulan tiga gelombang tenaga saja, sebab itu masih kalah kuat daripada Thian-lui- kang Ci In-hong.

   Kawan Ulitu itu bernama Abul, terhitung jago kedua daripada ke-18 kemah emas.

   Kini iapun sudah bergebrak dengan Kok Ham-hi.

   Sekali keluarkan Thian-lui-kangnya, dengan kuat Ham-hi pegang ujung pecut lawan sambil membentak.

   "Turun!"

   Benar juga, Abul lantas berjumpalitan terberosot dari kudanya.

   Akan tetap Kok ham-hi ternyata tidak mendapatkan keuntungan.

   Kiranya Abul terkenal sebagai jago gulat Mongol nomor satu meski kedudukannya terhitung nomor dua diantara ke-18 jago kemah emas.

   Sebelum kakinya menempel tanah, lebih dulu menggunakan gaya "Ngo-eng-bok-tho" (elang lapar menyambar kelinci), dari atas ia tubruk kebawah untuk menangkap ubun2 kepala Kok ham-hi.

   Sambil mendak kebawah, segera Kok ham-hi menyikut pula sehingga tulang iga abul kena disikut, tulang iganya kontan patah sebatang, sebaliknya Kok Ham-hi juga kena dibanting terjungkal dengan cukup keras.

   Waktu Ham-hi dapat meloncat bangun lagi, pada saat yang sama Ci In-hong juga telah berdiri tegak.

   Disebelah sana Ulitu dan Abul telah berdiri sejajar, keduanya membentak berbareng dalam bahasa Mongol.

   "Hang-liong-hok-hou (taklukkan naga tundukkan harimau)!"

   Tapi dipihak lain Ci In-hong dan Kok Ham-hi juga memutar sebelah tangan masing2 membentak.

   "Lui-tian-kau-hong!"

   "Hang-liong-hok-hou"

   Adalah suatu jurus pukulan yang paling dahsyat dalam Liong-siang-sin-kang, serupa pukulan maut "Lui-tian-kau-hong"

   Dalam Thian-lui-kang.

   Begitulah kedua pihak sama2 mengeluarkan kepandaian masing2 yang paling hebat, maka terdengarlah suar blang yang keras, debu pasir bertebaran.

   Ulitu dan Abul berdua terlempar pergi beberapa meter jauhnya dan ter-guling2 diatas tanah baru kemudian dapat berdiri kembali.

   Sebaliknya Ci In-hong dan Kok Ham-hi juga tergetar mundur sembilan langkah.

   Kalau dinilai dengan sendirinya kedua Busu Mongol itu yang kecundang, maka Ulitu menyadari ketemu lawan tangguh, kalau bertempur lagi tentu lebih banyak celaka daripada selamatnya, cepat ia memberi isyarat kepada Abul, kedua terus mencemplak keatas kuda dan melarikan diri.

   Setelah mengadu pukulan dahsyat dan ternyata kedua orang Mongol itu masih mampu mencemplak keatas kudanya dan kabur, diam2 Ci In-hong juga terkejut dan tidak berani sembarangan mengejar.

   Dalam sekejap saja kedua Busu Mongol itu sudah lenyap dari pandangan.

   "Lihai juga kedua orang Mongol itu,"

   Kata Ham-hi.

   "Suheng, kau tidak apa2 bukan?"

   "Ya, setelah mereka menahan pukulan Lui-tian-kau-hong kita, rasanya merekapun sudah kapok, Cuma saja Han-loenghiong mungkin tak dapat menandingi mereka berdua,"

   Kata Ci In-hong. Barulah Kok ham-hi ingat bahwa tempat tujuan kedua Busu Mongol itu adalah Koh siong-cun, tak perlu ditanya lagi tentu kedua Busu Mongol itu mempunyai maksud jahat terhadap Lau Han-ciang. Maka cepat ia berkata pula.

   "Benar, marilah kita menyusul ke Koh-siong-cun untuk melabrak mereka lagi."

   Sudah tentu Ci In-hong juga sudah memikirkan hal ini, Cuma dia merasa ragu2 karena ada persoalan perjodohan yang dikemukakan gurunya itu.

   Namun akhirnya ia ambil keputusan betapapun harus membantu sesama kaum perjuangan, apalagi Lau Han-ciang adalah ayah Lay Tay- wi yang menjadi sahabatnya.

   Segera ia berkata.

   "Baiklah, mari kita menyusul kesana dengan memotong jalan melalui jalan kecil."

   "Apakah Suheng tidak kuatir ditahan Lau-loenghiong nanti?"

   Ham-hi meng-olok2 dengan tertawa.

   "Hakekatnya akupun belumpernah bertemu dengan dia,"

   Ujar Ci In-hong.

   "kupikir untuk sementara ini kita tak perlu perkenalkan diri kita, setiba disana nanti kita bertindak menurut keadaan saja."

   Setelah sepakat, segera mereka berangkat menuju Koh-siong-cun, setiba disana sudah lewat tengah malam. Waktu Ci In-hong mendengarkan dengan cermat, sayup2 terdengar diarah barat-laut sana ada suara beradunya senjata.

   "Dugaan Suheng memang tidak salah, tentu kedua orang Mongol itu sudah bergebrak dengan Lau loenghiong,"

   Kata Ham-hi.

   Segera mereka berlari kejurusan datangnya suara itu dengan ginkang masing2.

   Koh-siong-cun memang sesuai dengan namanya, perkampungan itu terletak di-tengah2 hutan Siong (cemara) yang rimbun, meski malam ini cahaya bulan cukup terang, namun didalam hutan cemara itu hanya remang2 tampak bayangan rumah disana sini.

   Diam2 Ci In-hong bergirang, suasana begini paling cocok bagi orang keluar malam, ia pikir nanti kalau kedua orang Mongol itu dapat dibereskan, segera tinggalkan perkampungan itu tanpa diketahui oleh Lau Han-ciang.

   Rekaan Ci In-hong memang bagus, tapi perubahan keadaan sungguh sama sekali diluar dugaan.

   Ketika mereka memasuki hutan cemara itu, keadaan remang2 dan sukar membedakan kawan atau lawan.

   Cuma dari suaranya Kok Ham-hi dapat mendengar bahwa yang sedang bertempur itu agaknya terdiri dari lima orang.

   "Mereka menjadi heran mengenai jumlah orang itu, padahal keluarga Lau Cuma terdiri dari ayah dan anak, sedang Busu Mongol juga Cuma dua orng, lalu siapa lagi yang seorang itu ?"

   Dalam pada itu terdengarlah suara orang tua serak sedang membentak.

   "Siapa kalian, mengapa tanpa sebab kalian melakukan serangan kepada kami?"

   Ci In-hong menduga yang bicara itu tentu Lau Han-ciang adanya. Segera ia percepat langkahnya memburu kedapan. Benar juga, sebelum Ci In-hong berdua sampai ditempat pertempuran, terdengarlah Busu Mongol yang bernama Ulitu itu sedang berkata.

   "Baik, akan kujelaskan agar kalian tidak mati penasaran. Kami diperintahkan oleh Koksu Kerajaan Kim untuk memenggal kepalamu. Nah, Lau Han-ciang, kau sudah tahu dosamu tidak?"

   Karena mengaku jagoan dari kerajaan Kim, dengan sendirinya Ulitu bicara dalam bahasa Nuchen, yakni suku bangsa negeri Kim.

   Bahasa Nuchen yang dia ucapkan ternyata jauh lebih fasik daripada bahasa Han, namun bagi pendengaran Ci In-hong masih dapat dibedakan logt Mongolnya yang kaku itu.

   Akan tetapi Lau Han-ciang tidak tahu bahwa kedua busu negeri Kin ini adalah palsu, disangkanya apa yang diucapkan tadi memang benr.

   Maka dengan gusar Lau Han-ciang balas membentak.

   "Apa dosaku?"

   Yang Thian-lui sendiri berkhianat, menjual kawan untuk kejayaan sendiri, menindas rakyat sebangsanya dan mengekor pada musuh, dia yang benar2 berdosa yang tak dapat diampuni."

   "Bangsat tua, ajalmu sudah didepan mata, masih berani sembarangan omong,"

   Bentak Busu Mongol lain yang bernama Abul.

   "Coba jawab pertanyaanku, putramu adalah perwira didalam pasukan pemberontak bukan?"

   "Benar, aku merasa bangga mempunyai seorang putra demikian,"

   Jawab Han-ciang.

   "Hm, perbuatan anakmu sudah cukup membikin kau dihukum mati, sekarang kau berani pula menerima putranya To Pek-seng, apakah kau tidak tahu bahwa segenap keluarga To Pek-seng adalah buronan kerajaan?"

   Jengek Abul. Sementara itu Lau Han-ciang berdua sudah berada didekat tempat pertempuran itu, ia menjadi terkejut mendengar kata itu. Pikirnya.

   "Yang dimaksudkan bangsat ini apakah bukan To Liong? Mengapa To Liong bisa tinggal ditempat Lau-loenghiong?"

   Dengan memusatkan pandangannya, lapat2 Lau Han-ciang melihat ketiga orang yang bertempur melawan kedua Busu Mongol itu terdiri dari seorang laki2 tua berjengot panjang, seorang lagi perempuan muda berkuncir dua dan seorang lain lagi adalah To Liong.

   Cepat ia membisiki Ham-hi.

   "Kejadian ini rada aneh, coba kita ikuti dulu perkembangan selanjutnya," ~ Segera mereka panjat keatas sebatang pohon besar dan mengikuti pertempuran sengit itu dari atas. Dalam pada itu terdengar To Liong sedang bicara.

   "Paman Lau tak perlu banyak bicara dengan mereka, biar siautit membereskan mereka saja."

   "Hm, apa kepandaianmu, berani kau omong besar?"

   Jengek Ulitu. Keruan Lau Han-ciang berdua tambah heran. Dengan suara pelahan Kok Ham-hi berkata kepadanya.

   "Peristiwa ini benar2 aneh. Jelas To Liong adalah agen rahasia pihak Mongol, mengapa mendadak berubah menjadi sahabat Lau-loenghiong dan menjadi pahlawan disini? Aku benar2 tidak percaya akan perubahan haluan secepat ini?"

   "Akupun tidak percaya, coba kita ikuti dan waspada,"

   Saut In-hong.

   Kedua orang sama2 menyiapkan sebuah Kim-ci-piau (senjata rahasia mata uang) untuik menjaga segala kemungkinan bila To Liong berbuat licik terhadap Lau han-ciang dan anak perempuannya.

   Diluar dugaan, cara To Liong bertempur melawan Busu Mongol itu ternyata tidak kenal ampun dan mendekati cara mengadu jiwa.

   Bahkan sering kali To Liong membantu Lau Han-ciang dan anak perempuannya bilamana mereka terserang oleh kedua musuh itu.

   Ci In-hong cukup kenal kepandaian To Liong, ia yakin To Liong pasti sukar melawan gabungan kedua busu Mongol itu, apalagi hendak mengalahkannya.

   Maka ia pikir dalam hal ini tentu ada permainan sandiwara, terang kedua Busu Mongol itu sengaja mengalah.

   Segera In-hong mengisiki Ham-hi akan pikirannya itu, Kok Ham-hi dapat menyetujui pendapat In- hong dapat menyetujui pendapat In-hong itu, tapi mereka menjadi seba sulit, waktu itu To Liong sedang menempur kedua Busu Mongol, jika mereka melompat turun untuk melabrak To Liong tentu akan menimbulkan salah paham Lau Han-ciang.

   Syukurlah pada waktu itu terdengar Ulitu sedang berseru.

   "Lihai juga kau bocah ini, biarlah malam ini kami mengalah padamu, lainkali kami pasti akan memberi hajaran setimpal padamu," ~ Ia bicara dengan napas ter-engah2, habis itu bersama Abul lantas putar tubuh dan melarikan diri. Sebagai jago silat pilihan, sudah tentu Ci In-hong dan Kok Ham-hi dapat melihat kelakuan Ulitu yang pura2 bernapas ter-engah2 itu. Dalam pada itu terdengar To Liong sedang membentak dengan tertawa bangga.

   "Hm, kalian baru kenal kelihaianku sekarang? Mau lari kemana kalian!" ~ Habis itu tampaknya ia hendak mengejar musuh. Tapi Lau Han-ciang yang sudah tua dankehabisan tenaga itu keburu mencegahnya.

   "To-hiantit, biarkan saja, tak perlu mengejar mereka!"

   Saat itu Ulitu sedang berlari lewat dibawah pohon tempat sembunyi Ci In-hong dan Kok Ham-hi. Segera In-hong memberi tanda kepada Kok Ham-hi, berbareng mereka lantas melompat turun, sekaligus mereka melancarkan pukulan "Lui-tian-kau-hong"

   Secara mendadak, karena tidak ter- duga2, seketika Ulitu dan Abul merasakan membanjirnya arus tenaga yang maha kuat, konta kedua orang ter-guling2 kebawah lereng laksana bola.

   "Siapa itu?"

   Bentak To Liong, berbareng pedangnya lantas menabas.

   Tapi seketika iapun merasakan dorongan arus tenaga yang dahsyat, tanpa ampun iapun jatuh terjungkal.

   Maksud To Liong sebenarnya hendak menolong Ulitu berdua, tak terduga ia sendiri malah kecundang.

   Dan setelah jatuh terguling segera iapun sadar siapakah yang datang ini.

   Dalam pada itu Lau Han-ciang dan anak perempuannya menjadi terkejut, lekas2 mereka membangunkan To Liong, dengan suara lantang Lau Han-ciang lantas menegur.

   "Kawan dari kalangan mana yang datang ini? Mengapa tanpa bicara lantas main pukul?"

   "Lau-loenghiong, engkau telah tertipu oleh keparat ini, sebenarnya mereka adalah suatu komplotan,"

   Kata Kok Ham-hi.

   "Apa katamu?"

   Bentak Lau Han-ciang dengan gusar dn kejut. Sudah tentu ia tidak percaya apa yang dikatakan Kok Ham-hi, apalagi sudah jelas To Liong tadi berdiri dipihaknya dan melabrak kedua musuh.

   "Jangan percaya ocehannya, Lau-loenghiong,"

   Seru ToLiong sesudah berdiri kembali.

   "ToLiong, apakah perlu kami membongkar guci wasiatmu?"

   Jengek Ci In-hong.

   "Sebaiknya kau mengaku terus terang saja kepada Lau-loenghiong bilamana kau tidak ingin merasakan kelihaianku."

   Keruan To Liong menjadi takut, betapapun ia tidak sanggup melawan Ci In-hong dan kok Ham-hi, maka tanpa pikir lagi segera ia putar tubuh dan melarikan diri.

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "To-toako! To-toako!"

   Seru nona Lau sambil ikut berlari, berlari menyusul To Liong. Lau Han-ciang menjadi gusar, bentaknya pula.

   "Kalian mau mebcelakai To-kongcu, lebih dulu hadapi golokku ini !" ~ Berbareng ia terus membabat dengan goloknya untuk merintangi Ci In-hong berdua yang bermaksud mengejar To Liong. Dengan sendirinya Ci In-hong berdua serba susah. Terpaksa In-hong menangkis tabasan golok orang dengan pedangnya, lalu berseru.

   "Lau-loenghiong, kau telah tertipu oleh To Liong. Engkau sudah lama mengasingkan diri dipegunungan sunyi, mungkin kau tidak tahu bagaimana tingkah laku To Liong yang sesungguhnya?"

   Untuk sejenak Lau Han-ciang menjadi ragu2, akhirnya ia berkata.

   "Bukankah To Liong adalah putra To-tayhiap, To Pek-seng yang terkenal sebagai pahlawan bangsa. Kalian ini siapa, berani kau meng-olok2 To-kongcu dihadapanku?"

   "Memang betul To-tayhiap adalah pahlawan besar, cuma sayang putranya ternyata pengecut, dia tidak membalas sakit hati kematian ayahnya yang diketahui dibunuh oleh Yang Thian-lui, sebaliknya dia malah menjual tenaga kepada musuh,"

   Demikian Ci In-hong berusaha menjelaskan.

   "Bahwasanya tadi To Liong membantu Lau-loenghiong, hal ini hanya bermain sandiwara belaka sebagaimana terbukti dia terus menyerang kami ketika kami hantam roboh kedua Tartar tadi."

   "Terus terang akupun menyangsikan asal usul kalian yang belum kukenal,"

   Jengek Lau Han-ciang.

   "Baik, jika Lau-loenghiong tidak percaya kepada omongan kami, tiada gunanya kami banyak bicara lagi,"

   Ujar Ci In-hong.

   "Mengenai diri To Liong, untuk mencari keterangan sejelasnya rasanya engkau boleh tanya kepada putramu sendiri."

   Lau Han-ciang menjadi tercengang, tanyanya kemudian.

   "Sebenarnya kau siapa? Kau kenal putraku?"

   Akan tetapi setelah mengucapkan kata2 tadi Ci In-hong lantas melangkah pergi bersama Kok Ham- hi. Pertanyaan Lau Han-ciang itu didengarnya, namun dia tidak menjawabnya. Setelah keluar dari hutan cemara itu, dengan tertawa Kok Ham-hi berkata.

   "Nona Lau itu tampaknya telah kena terpikat ole To Liong."

   "Sesungguhnya aku justru berharap nona Lau menemukan jodoh yang sesuai, Cuma sayang To Liong adalah bangsat yang berhati binatang, bila nona Lau mendapatkan dia rasanya kurang cocok,"

   Kata In-hong.

   "Melihat gelagatnya, aku menjadi sangsi jangan2 perbuatan To Liong ini menyerupai apa yang pernah kulakukan dahulu,"

   Ujar Kok Ham-hi dengan tertawa.

   "Dahulu aku pernah membantu ayah Giam Wan mengalahkan Tin-lam-jit-hou, sesungguhnya tujuanku adalah untuk merebut hati ayah Giam Wan saja agar ia menerima lamaranku. Cuma saja maksud tujuan To Liong sekarang sudah tentu lain lagi daripadaku, tentu dia ada rencana keji. Cara To Liong memikat wanita memang juga lihai, kabarnya bakal istri Bengcu kita dahulu juga hampir terpikat olehnya."

   Tiba2 hati Ci In-hong tergerak, serunya.

   "Wah, celaka !"

   "Ada apa ?"

   Tanya Ham-hi.

   "Mungkin rencana To Liong ini tidak untuk menjerat anak perempuan Lau Han-ciang saja, akan tetapi bermaksud mengorek rahasia pasukan pergerakan mengingat putra Lau Han-ciang adalah perwira dalam pasukan tersebut."

   "Pendapat Suheng cukup beralasan, tapi orang tua itu tidak mau percaya omongan kita, cara bagaimana kita harus bertindak?"

   Ci In-hong merenung sejenak, lalu berkata.

   "Yang harus dikuatirkan adalah soal pengkhianatan To Liong belum lagi diketahui oleh Lau Tay-wi, maka jalan satu2nya sekarang marilah kita lekas berangkat ketempat Liu Tong-thian, dari sana kita dapat minta dia mengirim seorang utusan untuk memberitahukan hal ini kepada Lau Tay-wi di Su-keh-ceng."

   Sambil bicara tanpa terasa kedua orang telah meninggalkan Pak-bong-san dan berada dijalan besar. Tiba2 dari depan tampak datang dua penunggang kuda dengan cepat. Waktu Kok Ham-hi memandang kedepan, ia menjadi terkejut dan lantas membentak.

   "Kalian berdua bangsat ini mau berbuat apa datang kesini?" ~ Berbareng itu ia lantas menghantam dengan Thian-lui-kang. Agaknya kedua penunggang kuda itupun keget demi melihat Kok Ham-hi, cepat mereka putar kuda mereka dan lari kearah yang tak menentu. Lari kedua kuda itu sangat cepat sehingga pukulan Kok Ham-hi tadi tidak mencapai sasarannya, hanya dalam sekejap saja kedua orang itu sudah kabur jauh.

   "Siapakah kedua orang itu?"

   Tanya In-hong.

   "Kedua orang itu adalah dua diantara Tin-lam-jit-hou, yang satu adalah kepalanya, bernama Toan Tiam-jong, dan seorang lagi adalah sutenya, Cah-ih-hou Ci Jing-san, si harimau bersayap,"

   Tutur Kok Ham-hi.

   "Aneh, untuk apa jauh2 mereka datang dari Tin-lam keutara sini?"

   Kata Ci In-hong.

   "Dapat dipastikan mereka bermaksud jahat, Cuma sayang kita ada tugas penting, tiada waktu mengejar mereka,"

   Ujar Ham-hi.

   Dalam hati ia pikir jangan2 Tin-lam-jit-hou juga telah menempuh jalan sesat sebagaimana arah yang diambil To Liong.

   Begitulah mereka melanjutkan perjalanan ketempat Liu Tong-thian tanpa rintangan apa2 lagi.

   Setiba disana Liu Tong-thian sendiri menyambut kedatangan mereka.

   "Sayang Ci-heng datang rada terlambat, jika datang lebih cepat tiga hari yang lalu dapat berjumpa dengan nona Beng,"

   Kata Liu Tong-thian.

   "Hah, jadi Beng-tayhiap ayah beranak pernah berkunjung kesini?"

   In-hong menegas dengan girang.

   "Ya, bahkan ada pula Li-bengcu beserta nona Nyo,"

   Tutur Liu Tong-thian.

   "Beberapa hari ini keadaan disini ramai, sungguh aku sangat mengharapkan kedatangan kalian."

   Sesudah berada didalam dan berduduk, lalu Kok Ham-hi bertanya tentang Yang Thian-lui.

   "Keparat she Yang itu sudah memberi jawaban padaku,"

   Tutur Liu Tong-thian.

   "Dia mengirim sepucuk surat padaku dan mengundang aku ke Taytoh untuk menemuinya. Padahal Beng-tayhiap dan Li-bengcu datang kesini dengan maksud menjebak Yang Thian-lui disini, tak tahunya dia malah menginginkan kita masuk perangkapnya."

   "Lalu kau akan pergi kesana tidk?"

   Tanya Ci In-hong.

   "Kalau tidak masuk sarang harimau, darimana bisa mendapatkan anak harimau,"

   Ujar Liu Tong- thian.

   "Kau tidak takut kepada perangkap yang dia pasang?"

   Ham-hi bertanya.

   "Aku sudah berunding dengan Li-bengcu,"

   Jawab Liu Tong-thian.

   "Bahwasanya YangThian-lui yang licik itu tidak mau datang kesini dengan menempuh bahaya memang sudah kita duga. Tapi dia mengundang aku menemuinya, apakah ini berarti dia sudah tahu pendirianku dipihak Gi-kun, inilah yang sukar dipastikan. Besar kemungkinan dia menaruh curiga saja dan ingin mencoba diriku. Karenannya akupun ikuti saja tipu muslihatnya dan akan pergi kesana menemuinya."

   "Bagaimana pendapat Li-bengcu?"

   Tanya In-hong.

   "Semula Li-bengcu juga menguatirkan keselamatanku,"

   Tutur Liu Tong-thian.

   "Tapi setelah aku menyatakan takadku untuk menghadapi resiko apapun, akhirnya Li-bengcu dan Beng-tayhiap setuju juga. Bahkan Li-bengcu siap untuk datang juga ke Taytoh."

   "Beliau adalah pucuk pimpinan kita, mana boleh menempuh bahaya sendiri?"

   Ujar Ci In-hong.

   "Akupun berkata begitu, tapi Li-bengcu menyatakan kalau aku berani menyerempet bahaya, mengapa beliau tidak?"

   Kata Liu Tong-thian.

   "Kemudian barulah aku mengetahui bahwa kepergian Li-bengcu ke Taytoh tidak melulu hendak YangThian-lui saja, tapi beliau hendak menemui pula Liok-pangcu dari Kay-pang utara untuk berunding cara bagaimana mengadakan perlawanan terhadap pihak Kim. Liok-pangcu saat ini berada dicabang markas Kay-pang di Taytoh."

   "Bengcu kita ini sungguh gagah berani dan banyak pula tipu akalnya,"

   Ujar Ci In-hong.

   "Lantas bagaimana dengan Beng-tayhiap?"

   "aku tahu kau tentu terkenang kepad nona Beng, kata Tong-thian dengan tertawa.

   "Mereka ayah beranak juga akan pergi keTaytoh, hanya saja akan berangkat terlambat sedikit, sebab Beng-tayhiap masih perlu kembali ke Long-sia-san untuk menyelesaikan sedikit urusan."

   Kemudian mereka berunding lebih jauh tentang cara bagaimana berangkat ke taytoh, kotaraja negeri Kim.

   Karena Ci In-hong pernah tinggal dua-tiga tahun disana, supaya tidak dikenal, Liu Tong-thian telah memberi obat rias muka agar Ci In-hong menyamar, Liu Tong-thian telah memberikan obat rias yang sama pula kepada Li Su-lam.

   Adapun wajah Kok Ham-hi memangnya sudah jelek, tentu tiada orang yang mengenalnya.

   Begitulah Ci In-hong lantas merias mukanya menjadi wajah prajurit biasa yang tidak menarik, waktu ia becermin, ia hampir2 tidak kenal dengan wajah sendiri.

   Karena Yang Thian-lui memberi wktu agar menemuinya sebelum pertengahan bulan yang akan datang, maka mereka cukup waktu untuk pergi ke Taytoh dan dapat mengatur siasat seperlunya disana.

   Terutama mereka dapat mencari kabar kepada Kay-pang dan Cui Tin-san tentang Loh Hiang-ting dan Ting Cin apakah kedua orang itu sudah berada di Taytoh.

   "Selain itu, kita masih harus waspada terhadap seorang musuh lain,"

   Ujar In-hong.

   "Siapa maksudmu?"

   Tanya Liu Tong-thian.

   "To Liong, kakak To Hong,"

   Kata In-hong.

   "Akupun sudah tahu bahwa dia adalah agen rahasia musuh,"

   Kata Liu Tong-thian dengan tertawa.

   "Bukankah akupun berada di Long-sia-san ketika Li-bengcu membongkar kedoknya waktu itu? Cuma dia tidak tahu akan seluk beluk diriku karena kehadiranku waktu itu adalah membantu Tun-ih Ciu."

   "Yang harus kita waspadai adalah suatu muslihat keji yang sedang dilakukannya sekarang ini,"

   Kata In-hong pula. Lalu iapun menceritakan apa yang dilihatnya di Pak-bong-san serta pendapatnya akan muslihat keji yang mungkin diatur oleh To Liong itu.

   "Sungguh keji bangsat itu,"

   Cacai Liu Tong-thian.

   "Baiklah, segera kukirim orang untuk memberitahukan Lau Tay-wi di Su-keh-ceng."

   Setelah ambil keputusan, besok paginya mereka bertiga lantas berangkat bersama ke Taytoh.

   Pada saat yang sama ternyata Li Su-lam dan Nyo Wan berdua juga sedang berada dalam perjalanan menuju ibikota kerajaan Kim itu.

   Setelah mengalami banyak suka duka selama berpisah, perjalanan mereka sekarang berlangsung dengan penuh kasih mesra yang tak terperikan.

   Suatu hari sampailah mereka diwilayah Bit-it-koan,suatu kota kabupaten terletak ratusan li diselatan ibukota kerajaan Kim.

   Sedang berjalan, tiba2 debu mengepul didepan, suatu pasukan berkuda sedang mendatangi sehingga orang ditengah jalan sama menyingkir.

   Waktu Li Su-lam meng-amat2i lebih teliti, dilihatnya bagian depan dan belakang pasukan itu adalah prajurit2 berkuda Kim, sedangkan suatu barisan kecil dibagian tengah ternyata berseragam prajurit Mongol.

   Inipun belum aneh, yang aneh adalah beberapa "orang penting"

   Dalam barisan Mongol itu, yang menunggang kuda tinggi besar di-tengah2 itu ternyata bukan lain daripada Mufali komandan Sin- ek-ong (batalyon sayap sakti) yang terkenal dalam pasukan Mongol.

   Sedang dikanan-kiri Mufali adalah Ulitu dan Abul, kedua jago kemah emas.

   Yang rada dibelakang Mufali adalah seorang hwesio besar dengan wajah merah bercahaya.

   Melihat tempat Mufali ditengah barisan Mongol tu pantasnya dia adalah pucuk pimpinan dari pasukan itu, akan tetapi ada lagi seorang perwira Mongol yang bercampur ditengah pasukan2 yang mula2 tidak diperhatikan oleh Li Su-lam, tapi kemudian ia menjadi terkejut setelah mengenalinya.

   Siapakah perwira yang mengejutkan ini? Kiranya tak lain tak bukan adalah pangeran ke empat kerajaan Mongol, Dulai adanya.

   Mufali adalah panglima Mongol, kedudukannya dengan sendirinya sangat tinggi, tapi kalau dibandingkan Dulai yang pernah menjabat "Mangkubumi"

   Waktu ayah bagindanya wafat, tentu saja pangkat kedua orang selisih sangat jauh.

   Tapi sekarang Mufali menunggang kuda tinggi besar dan diiring dibagian tengah, sebaliknya Dulai berseragam perwira rendahan dan mencampurkan diri dibelakang barisan, terang dulai sengaja menyamar sebagai pengiring Mufali, hal ini sungguh terlalu aneh dan menarik bagi Li Su-lam.

   Li Su-lam dan Nyo Wan menyamar sebagai suami-istri petani, mereka mengira Dulai dan Mufali tentu pangling kepada mereka maka mereka lantas ikut menyingkir ketepi jalan bersama orang banyak.

   Tiba2 terdengar Mufali bersuara heran, lalu menoleh dan entah bicara apa dengan hwesio besar tadi.

   Habis itu mendadak si hwesio melontarkan suatu pukulan jauh kearah Li Su-lam.

   Seketika Li Su- lam merasa didorong oleh suatu tenaga maha dahsyat,tanpa kuasa ia menyelonong kedepan beberap langkah baru dapat menahan diri lagi.

   Kalau Li Su-lam Cuma hampir jatuh saja, tapi orang2 lain dijalanan itu menjadi korban, terdengar jerit ngeri beberapa kali, beberapa orang dibelakang Li Su-lam telah roboh dengan mulut dan hidung mengeluarkan darah, tampaknya sudah binasa.

   "Sungguh hebat ilmu sakti Hoat-ong, pantas bergelar jago nomor satu didunia ini. Sungguh mengagumkan!"

   Demikian terdengar seorang perwira Kim memberi pujian.

   Mungkin perwira Kim itu mengira pukulan hwesio itu hanya sekedar menghalau orang2 yang berkerumun ditepi jalan, maka tidak menaruh perhatian terhadap Li Su-lam yang menjadi sasaran serangan itu, barisan itupun dalam sekejap saja sudah lalu.

   Diam2 Li Su-lam mengerahkan tenaga dalam untuk mengatur pernapasan dan menghilangkan rasa sesak akibat tenaga pukulan si hwesio tadi.

   "Kau tidak apa2 bukan? Tanya Nyo Wan.

   "Tidak apa2,"

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut Li Su-lam.

   "Lihai sekali hwesio tadi."

   "Perwira Kim tadi memanggilnya Hoat-ong, mungkin sekali adalah Koksu Mongol Liong-siang Hoat-ong,"

   Ujar Nyo Wan. Ketika di Mongol dulu Li Su-lam tiada kesempatan bertemu dengan Liong-siang Hoat-ong, Cuma ia pernah mencoba kepandaian beberapa murid Hoat-ong yang menjadi jago kemah emas Jengis Khan, maka ia cukup kenal ilmu silat aliran mereka.

   "Mungkin Duai dan Mufali telah mengenali kau, maka sengaja suruh Liong-siang Hoat-ong menyerang kau,"

   Kata Nyo Wan pula dengan kuatir.

   "Melihat gelagat, terang merekapun hendak menuju ke Taytoh."

   "Besar kemungkinan cocok dengan dugaanmu,"

   Sahut Li Su-lam.

   "Cuma kitapun pantang mundur. Betapapun kita harus tetap menuju ke taytoh."

   Dalam pada itu suasana ditepi jalan tadi sedang ribut karena jatuhnya korban akibat pukulan si hwesio tadi.

   Ada yang menangis ada yang mencaci maki akan kebuasan orang Mongol yang dianggap tiada ubahnya seperti orang Kim.

   Dari keterangan yang diperoleh Li Su-lam dari beberapa orang yang berkerumun disitu, diketahui bahwa tersiar berita dikotaraja Kim dan sekitarnya bahwa antara pihak Kim dan Mongol sedang diadakan perundingan perdamaian, bahkan katanya pihak Kim yang minta berdamai.

   Karena itu hari ini penduduk setempat be-ramai2 ingin melihat utusan pihak Mongol yang tiba itu, tak terduga malah terjadi bencana seperti tadi.

   Li Su-lam menceritakan kabar yang diperoleh itu kepada Nyo Wan, lalu kedua orang itu melanjutkan perjalanan ke taytoh.

   Suasana diibukota Kim itu sangat meriah, diberbagai tempat dipajang dengan macam2 gapura dan pertunjukan untuk menyambut kedatangan utusan Mongol, rakyat yang datang menonton keramaian itu ber-jubel2, maka Li Su-lam berdua dengan aman dapat memasuki kotaraja itu dengan aman.

   Setiba didalam kota, segera Li Su-lam berdua menuju kemarkas cabang Kay-pang .

   Dengan girang pimpinan cabang Kay-pang yang bernama Lau Kan-luh menyambut kedatangan Li Su-lam itu.

   Cui Tin-san yang sudah berada disitu juga ikut keluar menyambut.

   Cui Tin-san sudah kenal Li SU-lam ketika di Long-sia-san dahulu, maka ia merasa pangling kepada Li Su-lam dalam keadaan menyamar itu.

   Tapi setelah Su-lam membuka suara barulah Cui Tin-san yakin berhadapan dengan sang Bengcu yang asli.

   "Kabarnya Liok-pangcu kalian sudah tiba di Taytoh sini, tentu beliau berada disini bukan?"

   Tanya Su-lam kepada Lau Kan-luh.

   Pangcu atau ketua Kay-pang yang bernama Liok Kun-lun adalah tokoh persilatan terkenal, apalagi Kay-pang adalah serikat kaum pengemis, suatu organisasi massa yang terbesar, kedatangan Li Su- lam kekotaraja Kim dengan menyerempet bahaya ini tujuannya juga ingin bertemu dengan Liok Kun-lun yang sudah lama dikaguminya,terutama ia ingin mengadakan kerja sama dengan pihak Kay-pang disamping dapat pula membantu Ci In-hong dan Kok Ham-hi membinasakan Yang Thian-lui.

   Lau Kan-luh adalah Sutit (murid keponakan) Liok kun-lun, maka dengan terus terang ia menjawab.

   "Susiok memang sudah berada disini, saat ini beliau sedang main catur dengan seorang Han- locianpwe ditaman belakang. Marilah kita ketaman dibelakang untuk menjumpai beliau."

   "Han-locianpwe yang kau maksudkan itu apakah Han-tayhiap Han Tay-wi yang tinggal di Lokyang itu?"

   Tanya Su-lam.

   "Benar, Han-locianpwe datang kesini bersama anak perempuannya pula,"

   Sahut Lau Kan-luh.

   "Sungguh kebetulan sekali,"

   Ujar Su-lam dengan girang.

   "Han-locianpwe juga tokoh yang sudah lama aku kagumi."

   Han Tay-wi adalah tokoh satu angkatan dengan Kok Peng-yang , guru Li Su-lam.

   Sering Kok Peng- yang membicarakan Han Tay-wi dengan Su-lam.

   Jago tua she Han ini terkenal kaya diwilayah Lokyang, tapi kota ini akhirnya jatuh kepihak Mongol, terpaksa Han Tay-wi mengungsi bersama anak perempuannya dan mondok dicabang Kay-pang di taytoh.

   Begitulah Li Su-lam ikut Lau Kan-luh ketaman belakang, dilihatnya seorang tua berbaju hijau sedang main catur bersama seorang laki2 kekar setengah umur.

   Cara mereka bermain catur sungguh aneh sekali, boleh dikata belum pernah dilihat Li Su-lam.

   Papan catur yang dipakai bukan ditaruh dimuka kedua pemain, tapi digantung di dinding didepan sana.

   Disamping orang tua berbaju hijau ada pula seorang nona jelita.

   Li Su-lam menaksir siotang tua tentu Han Tay-wi adanya dan laki2 kekar yang menjadi lawan caturnya adalah ketau Kay-pang, Liok Kun-lun.

   Dari penjelasan Lau Kan-luh, ternyata dugaan Li Su-lam tidak keliru, Bahkan Lau Kan-luh menerangkan pula.

   "Nona yang berdiri disamping Han-locianpwe itu adalah anak perempuannya bernama Han Pwe-pwe, seorang pendekar jelita yang punya nama juga didunia kangouw.

   "Tampaknya permainan catur mereka sedang tegang, sementara jangan kau kejutkan mereka, ujar Su-lam. Dalam pada itu terdengar Liok Kun-lun sedang berkata.

   "Han-taosiok, sekarang giliranmu !"

   Terdengar Han Tay-wi bergelak tertawa, katanya.

   "Liok-laute, permainanmu hari ini sungguh sangat garang, rasanya aku yang sudah tua ini tidak sanggup menangkis."

   Habis berkata, ia comot satu biji catur putih terus disambitkan kepapan catur yang tergantung di dinding sana.

   "Plok", biji catur putih itu tepat hingga dan masuk diantara garis silang catur yang dituju. (Perlu diterangkan bahwa catur yang dimaksudkan disini disebut "WI KI"

   Yakni semacam permainan catur kuno yang biasanya Cuma digemari dinegeri Tiongkok dan Jepang, biji caturnya serupa bentuknya, terbagi dalam warna hitam putih, masing2 terdiri dari 150 biji.

   Papan catur bergaris silang 17 dan kemudian dibaharui menjadi 19 garis silang.

   Cara bermainnya adalah kepung mengepung sehingga pihak lawan menghadapi jalan buntu dan tak berdaya yang berarti menyerah).

   Menurut posisi permainan kedua orang pada waktu itu, tempat yang dimainkan Han tay-wi tadi adalah bertujuan merebut posisi pojok.

   Li Su-lam terkejut melihat cara permainan catur yang aneh itu, ia pikir cara bercatur demikian bukan saja bertanding kepandaian catur, bahkan juga bertanding kepandaian menggunakan Amgi (senjata rahasia).

   "Han-toasiok, pojok itu harus kupertahankan,"

   Terdengar Liok Kun-lun berkata.

   Lalu iapun mengambil satu biji hitam dan disambitkan kegaris silang yang dimaksudkan, tujuannya hendak merebut posisi pojok garis lintang.

   Maka terjadilah serang menyerang antara biji hitam dan putih itu.

   Setelah mengikuti permainan catur itu sejenak, diam2 Li Su-lam membatin.

   "Kekuatan catur kedua orang ini tampaknya selisih tidak banyak, kepandaian menggunakan Amgi merekapun sejajar. Cuma Liok-pangcu melulu memusatkan perhatiannya berebut posisi pojok dengan pihak lawan, sebaliknya melupakan bagian luar, akhirnya mungkin dia akan kebobolan. Tiba2 terdengar sinona jelita tadi berkata.

   "Ayah, babak ini mungkin engkau harus meneyrah kepada Liok-pangcu !"

   "Masak ya ?"

   Ujar Han Tay-wi dengn tersenyum. Li Su-lam sendiri berpikir bila Han tay-wi mau taruh biji caturnya pada garis silang tengah, maka tujuh bagian dia pasti akan menangkan lawannya. Benar juga, segera tertampak Han tay-wi memungut satu biji putih.

   "plok", dengan tepat ia sambitkan biji catur itu ke-tengah2 papan dan tepat menclok pada garis tengah. Sebagai seorang penggemar catur, melihat langkah yang diambil Han tay-wi itu cocock benar dengan taksirannya, saking senangnya sampai ia berseru bagus. Liok Kun-lun bergelak tertawa, katanya.

   "Pemain memang seringkali lalai, aku memusatkan perhatian untuk berebut suatu tempat pojok dan lupa kepada bagian tengah. Babak ini sudah pasti aku kalah,tidak perlu diteruskan lagi."

   Lalau han tay-wi berkata.

   "Liok Kun-lun, sungguh aku tidak tahu bahwa didalam Kay-pang kalian masih ada seorang ahli catur. Mengapa tidak katakan padaku sajak tadi?" ~ Nyata yang dia maksudkan adalah Li Su-lam yang berseru memuji tadi. Dengan tertawa Lau Kan-luh lantas perkenalkan mereka. LI Su-lam memberi hormat kepada kedua orang tua itu, lalu berkata.

   "Dari guruku sudah sering Wanpwe mendengar nama besar kedua Cianpwe, sungguh beruntung hari ini dapat berjumpa disini." ~ Kemudian iapun memberitahukan nama gurunya, yaitu Kok Peng-yang.

   "Ah, kiranya kau adalah murid Kok-laute, pantas punya kepandaian begini bagus,"

   Ujar Han tay-wi.

   Kemudian Han Tay-wi menceritakan kejadian dimasa lalu, iapernah main catur bersama Kok Peng- yang selama sepuluh hari sehingga lupa makan dan lupa tidur, akhirnya guru Li Su-lam menang satu babak lebih banyak.

   Baru sekarang Li Su-lam paham bahwa yang dipuji oleh Tan Tay-wi tadi kiranya adalah soal kepandaian main catur.

   Sifat Han Tay-wi memang rada aneh, rada eksentrik, terhadap orang yang kurang cocok dengan seleranya mungkin seharian takkan diajak bicara, tapi kalau cocok dengan hatinya, maka dia akan mengobrol tak henti2nya.

   Bahkan ia lantas memberitahukan Li SU-lam bahwa sebenarnya diantara dia dan Kok Peng-yang malahan boleh dikata sudah terikat menjadi besan.

   Sebab anak perempuannya yaitu Han Pwe-eng telah bertunangan dengan putri Kok Yak-hi dari Yangciu.

   "Menantu kesayangan Han-loenghiong adalah Kok-siauhiap. Kok Siau-hong yang akhir2 ini namanya sangat menonjol dikalangan kangouw itu.

   "

   Demikian Liok Kun-lun menambahkan.

   "O,"

   Hanya sekian saja Li Su-lam mengiakan.

   Diam2 ia merasa geli akan perbesanan yang dimaksudkan itu.

   Padahal antara Kok Peng-yang dan Kok Yak-hi meski sama2 she Kok, tapi keduanya terlahir dari nenek moyang yang jauh sekali angkatannya.

   Hanya saja nama baik Kok Yak-hi didunia kangouw memang cukup terkenal dan tidak dbawah Kok Peng-yang.

   Begitulah Han Pwe-eng, anak perempuan Han Tay-wi yang berada disebelahnya itu menjadi ter- sipu2 katanya.

   "Aih, ayah ini bagaimana sih, mengapa bicara melantur. Li-toako tentu ada urusan penting yang hendak dibicarakan dengan Liok-pangcu, mengapa ayah bicara urusan tetek-bengek."

   "Ya, ya, penyakitku kembali kambuh lagi,"

   Ujar Han Tay-wi dengan tertawa.

   "Baiklah, silahkan kalian bicara yang lebih penting, sebentar lagi kita boleh mengobrol."

   Walaupun begitu kembali Han Tay-wi menyimpang lagi ketika melihat Nyo Wan, segera ia bertanya pula tentang diri sinona.

   Maka Cui Tin-san yang perkenalkan Nyo Wan kepadanya, ditambahkan bahwa nona Nyo adalah bakal istri Li-bengcu.

   Keruan NYo Wan menjadi malu.

   Dengan girang Han Tay-wi lantas berkata kepada anak perempuannya.

   "Pwe-eng, kau harus banyak bergaul dengan nona Nyo ini, kalian sudah terhitung sesama anggota keluarga."

   "Ai, ayah memang suka omong macam2 saja."

   Omel Han Pwe-eng. Lalu iapun berkata kepada Nyo Wan.

   "Nyo-cici, marilah kita bicara sendiri disamping sana, jangan dengarkan ocehan ayah."

   Han Tay-wi tertawa ter-bahak2, ditambahkannya.

   "Haha, anak perempuan memang suka malu2 kucing."

   Setelah mengetahui keadaan diri Han Pwe-eng, bagi Nyo Wan persoalannya menjad lebih mantap.

   Maklumlah, asal-usul Han Pwe-eng lebih bersekatan dengan dia, sama3 berasal dari keluarga berada, maka setelah bicara sejenak, kedua nona merasa sangat cocok sekali.

   Dalam pada itu Li Su-lam juga lantas mengalihkan pokok pembicaraannya dengan Liok Kun-lun dan menceritakan pengalamannya dalam perjalanannya.

   Kiranya ditengah jalan kau telah pergoki utusan Mongol,"

   Kata Liok Kun-lun.

   "Setahu kami, rombongan orang Mongol itu semuanya tinggal didalam istana Yang Thian-lui."

   Li Su-lam menjadi kuatir, katanya.

   "Jika Koksu dari Mongol itupun tinggal ditempat yang Thian- lui, maka usaha Ci In-hong dan Kok Ham-hi untuk membereskan orang she Yang itu rasanya akan mengalami kesulitan."

   "Liong-siang Hoat-ong itu suka membual bahwa dia punya Lion-siang-sin-kang tiada tandingannya didunia ini, kukira belum tentu demikian halnya."

   Ujar Han Tay-wi.

   "Liok-laute, jikakau bergabung dengan aku,kukira kita dapat menempur dia dengan sama dahsyatnya."

   "Han-toasiok sudah lama bertirakat dirumah, nyatanya masih punya hasrat bertempur,"

   Sahut Liok Kun-lun dengan tertawa.

   "Bilamana ada kesempatan bertemu dengan Liong-siang Hoat-ong dengan senang hati aku akan mengikuti engkau untuk menmpurnya."

   "Soalnya bukan hasrat segala,"

   Kata Han Tay-wi.

   "Dalam keadaan perang begini, meski aku tidak ingin tahu urusandiluar, tapi urusan diluar justru mencari perkara padaku. Tartar Mongol telah menghancurkan rumahku, apakah sekarang aku harus jeri terhadap Koksu Mongol itu?"

   "Bila kedua Locianpwe suka tampil kemuka, sungguh bagus sekali urusannya,"

   Kata Li Su-lam dengan girang.

   "Kamipun sudah mendapat kabar bahwa pihak Kim minta berdamai kepada pihak Mongol,"

   Kata Liok Kun-lun.

   "Tapi para panglima perang Mongol kabarnya masih tetap akan mengerahkan pasukannya,untung Dulai setuju berdamai, makanya diputuskan untuk menerima permintaan damai pihak Kim. Mungkin sekali lantaran wafatnya Jengis Khan, Dulai ingin menentramkan dalam negeri sendiri dulu, habis itu baru memeusatkan kekuatan nya untuk menghadap luar."

   "Dulai adalah putra paling pintar diantara keempat putra Jengis Khan,kedatangannya ke taytoh sekarang ini tentu membawa muslihat tertentu, kita harus waspada, ujar Han Tay-wi.

   "Li-laute, apakah kau tidak salah lihat, benar2 Dulai ikut datang?"

   "Pasti tidqak salah,"

   Sahut Su-lam.

   "Waktu itupun aku merasa heran mengapa Dulai perlu menyamar segala?"

   Tapi setelah dipikir sekarang, mungkin cocok dengan dugaan Han-locianpwe, Dulai merencanakan sesuatu muslihat, dalam keadaan menyamar dia akan lebih mudah mengatur dan bertindak menurut keadaan."

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanpa terasa hari sudah magrib, makatempat bermalam Li Su-lam lantas dibicarakan.

   Menurut Han Tay-wi, daripada tinggal didalam markas Kay-pang itu, ada lebih baik Li Su-lam tinggal dirumah Han Tay-wi saja, terutama untuk menghindari pengintaian musuh.

   Kiranya Han Tay-wi masih punya sisa harta, maka dia membeli sebuah rumah di ibukota kerajaan Kim ini, rumah itu terletaj tidak jauh dari tempat Kay-pang.

   Li Su-lam pikir kalau Nyo Wan mendapatkan teman sebagai nona Han,hal ini tentu jauh lebih baik daripada tinggal ditempat Kay-pang.

   Maka dengan senang hati ia lantas menerima baik ajakan Han Tay-wi itu.

   Ternyata tujuan Han Tay-wi mengundang Li SU-lam tinggal dirumahnya itu masih ada maksud lain lagi, yaitu bisa main catur dengan Li Su-lam.

   Memangnya untuk sementara waktu Li Su-lam juga mesti menunggu berita tentang kedatangan Ci In-hong dan Kokham-hi, daripada keluyuran di luaran, dengan suk ahati Su-lam mengiringi Han Tay-wi main catur di rumah.

   Nyo Wan dan han Pwe-eng juga sangat cocok satu sama lain.

   Cuma Pwe-eng adalah seorang nona yang suka bergerak, ia tidak dapat berdiam didalam rumah seperti ayahnya.

   Pada suatu hari Pwe-eng mengajak Nyo Wan pesiar keluar, melancong di kotaraja Kim yang ramai itu.

   Memangnya Nyo Wan sudah lama tinggal dipegunungan, sudah tentu ajakan itu sangat menarik baginya.

   Cuma iapun kuatir kalau terjadi apa2, maka ia pikir mesti minta izin dulu kepada Li Su- lam.

   "Mereka sedang asyik main catur, mana mau perhatikan kita,"

   Ujar Pwe-eng.

   "Kita keluar sebentar saja secara diam2, sepulang kita nanti mungkin permainan catur mereka belum tentu selesai."

   Nyo Wan pikir dirinya dalam keadaan menyamar, rasanya juga tiada kenalan dikotaraja Kim ini sehingga tiada halangan buat melancong sebentar selagi Li Su-lam asyik main catur dengan Han Tay-wi.

   Dan memang benar juga, Li Su-lam dan Han Tay-wi waktu itu sedang tenggelam dalam pertarungna sengit diatas papan catur mereka.

   Tanpa terasa hari sudah dekat petang, diluar dugaan, sampai saat itu Han Pwe-eng dan Nyo Wan ternyata belum pulang.

   Setelah Li Su-lam dan Han Tay-wi selesai bercatur barulah mereka ingat akan kedua nona yang tak tampak bayangannya sejak tadi.

   Waktu dicari dibelakang dan ditanyakan tukang kebun dan tukang masak, ternyata merekapun tidak tahu kemana perginya nona majikan.

   Su-lam menjadi kuatir, tapi Han Tay-wi coba menghiburnya.

   "Mungkin anak perempuanku mengajak nona Nyo pesiar keluar, kukira takkan terjadi apa2, sebentar tentu mereka akan pulang." ~ Walaupun demikian diam2 iapun merasa gelisah karena tidak menjaga Han PWe-eng untuk keluar sampai hari sudah magrib. Kemana perginya Han Pwe-eng dan Nyo Wan waktu itu? Ketika Nyo Wan ikut Han Pwe-eng sampai dipusat kotaraja Kim itu, ia benar2 terpesona oleh keramaian kota dan bingung oleh lalu-lalangnya manusia yang ber-jubel2. Kaum wanita dinegeri Kim jauh lebih bebas daripada adat diwilayah Song selatan yang kolot dan dikungkung didalam rumah. Maka Nyo Wan merasa senang dan lega karena diantara manusia yang lalu lalang itu ternyata banyak sekali kaum wanitanya. Dengan penuh semangat Pwe-eng membawa Nyo Wan pesiar kesekeliling benteng keraton untuk melihat istana yang megah dan genting kacanya yang mengkilap itu. Kemudian diajaknya pula pesiar kebeberapa tempat tamasya yang terkenal didalam kota. Sementara itu hari sudah jauh lewat lohor, kuatir dicarai Li Su-lam, Nyo Wan mengusulkan pulang saja. Namun hasrat Han Pwe-eng ternyata belum mereda, ia mengajaknya pula pesiar kesuatu tempat yang disebut "Thian-kiau", suatu tempat yang lazim nya disebut alun2, suatu lapangan yang luas dengan macam2 tontonan dan orang berjualan, suatu pasar yang serba ada. Karena tertarik, Nyo Wan tidak menolak ajakan itu. Setiba ditempat itu, benar juga Nyo Wan menjadi sangat senang melihat ramainya pasar itu. Ia membeli beberapa benda pajangan, maksudnya akan dibawa pulang buat Li Su-lam. Tiba2 mereka mendengar suara gembereng yang ditabuh ber-talu2. Kiranya adalah ayah beranak perempuan sedang mengamen disebelah sana, pengamen ilmu silat. Gembereng itu dibunyikan untuk menarik penonton. Dasar Han Pwe-eng suka akan keramaian, setelah ikut berkerumun dan melihat sebentar, ia berkata kepada Nyo Wan.

   "Nona cilik itu tampaknya ada sedikit kepandaian, rupawan pula, marilah kita melihat sebentar lagi."

   Sementara itu penonton sudah banyak berkerumun dan mengitari kalangan pengamen ilmu silat ayah beranak itu.

   Selagi Nyo Wan dan Pwe-eng hendak ikut berkerumun lebih dekat, tiba2 Nyo Wan merasa seorang laki2 menubruknya dari samping, karena tidak ter-sangka2, dengan tepat Nyo Wan keseruduk.

   Dengan gusar Pwe-eng lantas mendamprat.

   "Hai apakah kau jalan tidak pakai mata?" ~ Berbareng sebelah tangannya lantas mendorong. Tak terduga dari samping mendadak menyelonong seorang lagi dan menghadaang didepan Han Pwe-eng, dorongan Pwe-eng tadi malah tertolak kembali oleh suatu tenaga yang kuat. Keruan Pwe- eng terkejut tak terduga olehnya bahwa ditempat yang ramai ini bisa ditemukan seorang jago silat kelas tinggi. Pada saat yang bersamaan Nyo Wan juga sempat melihat jelas siapa orang yang menumbuknya tadi. Sungguh kejut Nyo Wan tak terkatakan demi mengenali orang itu. Kiranya orang itu bukan lain daripada Dulai, pangeran Mongol yang berkuasa itu. Kini Dulai juga menyamar sebagai rakyat Kim umumnya. Dengan cengar cengir Dulai lantas berkata.

   "Selamat bertemu nona Nyo, sungguh tidak nyana kita dapat berjumpa pula disini!"

   Nyo Wan cukup cerdik juga, sesudah terkejut segera terpikir olehnya bahwa Dulai tentu ada maksud jahat terhadapnya, agar bisa selamat harus turun tangan lebih dahulu.

   Karena itu segera ia menggunakan Kim-na-jiu-hoat, pundak Dulai lantas dicengkeramnya.

   Meski ilmu silat Dulai tidak setinggi Nyo Wan, tapi kepandaiannya bergulat tergolong kelas satu dikalangan jago gulat Mongol.

   Cepat Ia mendak kebawah, sebelah kaki lantas menjegal dan tangan lain berbalik hendak menangkap pergelangan tangan Nyo Wan.

   Dengan sendirinya Nyo Wan juga tidak gampang menyerah, segera ia memutar tubuh, telapak tangan juga lantas menarik.

   "bret"

   Baju Dulai terobek sebagian, namun tulang pundak Dulai juga luput tercengkeram.

   "Nona Nyo,"

   Kata Dulai setelah mundur dua tindak.

   "Caramu terhadap kawan lama bukankah rada kasar?"

   Menyusul Dulai lantas memberi isyarat, seorang laki2 lain lantas menyerang maju tanpa bicara Nyo Wan terus melancarkan serangan berantai, namun orang itu dapat menangkisnya dengan mudah saja.

   "Cara bagaimana Tuanku ingin bereskan budak liar ini, hamba tunggu perintah!"

   Kata orang itu kepada Dulai dalam bahasa Mongol.

   "Meski nona Nyo kurang simpatik terhadap teman lama, tapi aku ingat hubungan baik dimasa lalu maka boleh kau tangkap dia saja, tapi jangan melukainya."

   Kata Dulai kemudian.

   Orang tadi mengiakan, sebelah tangannya lantas bergerak, dengan pelahan ia menolak kedepan, kontan Nyo Wan merasakan dorongan tenaga yang sangat kuat hampir2 ia tidak sanggup bernapas.

   Ingin mengelak, tapi hampir segenap penjuru terkurung oleh tenaga pukulan lawan.

   Kemahiran Nyo Wan sebenarnya adalah main senjata, dalam hal ini hanya beberapa jurus saja sudah kewalahan.

   Kiranya kedua lelaki teman Dulai ini adalah Ulitu dan Abul, kedua jago Mongol yang pernah dihajar oleh Ci In-hong dan Kok Ham-hi di Pak-bong-san itu.

   Lawan Nyo Wan sekarang adalah Ulitu dan lawan Han Pwe-eng adalah Abul.

   Ulitu dan Abul adalah murid Liongsiang Goat-ong.

   Liong-siang-sin-kang mereka belum sanggup menandingi "Thian-lui-kang"

   Ci In-hong dan Kok Ham-hi, tapi kelebihan kalau digunakan menandingi Nyo Wan dan Pwe-eng.

   Karena itu tidak seberapa lama Nyo Wan berdua sudah terdesak.

   Para penonton yang mengerumuni pengamen silat tadi mula2 merasa tertarik melihat dua nona berkelahi dengan dua lelaki kekar, tapi kemudian banyak yang tergetar jatuh oleh pukulan Ulitu dan Abul yang dahsyat itu, karena itu barulah para penonton itu merasa kapok, sebagian ber-teriak2 sambil lari menyingkir.

   Sekilas Han Pwe-eng melihat ayah beranak pengamen silat tadi sedang berbenah alat perabotnya dan bermaksud menyingkir.

   Tergerak pikiran Pwe-eng mendadak ia melompat kesana dan tepat berdiri disebelah nona pengamen tadi.

   "Pinjam kedua batang golokmu ini nona cilik,"

   Kata Han Pwe-eng.

   Saat itu dua batang golok yang dupakai nona pengamen tadi belum lagi dimasukkan kedalam peti, mak dengan sebat luar biasa Pwe-eng terus samber kedua senjata itu menyusul golok itu lantas bekerja dan membacok kearah Abul yang mengejar tiba.

   Keluarga Han terkenal dengan ilmu pedang "Keng-sin-kiam-hoat"

   Meski Han Pwe-eng kurang leluasa menggunakan golok, tapi golok digunakan sebagai pedang masih cukup lihai, karena itu mau tak mau Abul meski berpikir dua kali sebelum menerjang maju lagi. Kesempatan itu segera digunakan oleh Pwe-eng untuk berseru.

   "Enci Wan sambut golok ini!" ~ Berbareng ia terus lemparkan sebilah golok kearah Nyo Wan dan dapat ditangkap oleh Nyo Wan dengan tepat. Nyo Wan memang mahir menggunakan golok maupun pedang, dengan senjata ditangan, segera ia keluarkan ilmu golok keluarga Nyo yang terkenal, sinar golok kemilauan menyelubungi seluruh tubuhnya, begitu rapat pertahanannya sehingga anginpun tak menembus. Karena itu untuk sementara Ulitu menjadi tak berdaya.

   "Enci Wan, kita pulang saja, tinggalkan mereka!"

   Seru Han Pwe-eng.

   Nyo Wan tersadar, ia pikir memang betul seruan Pwe-eng itu, buat apa terlibat lebih lama disitu jika kalah atau menang toh tetap tidak menguntungkan pihaknya.

   Maka dengan pura2 membacok dua kali segera ia bermaksud melarikan diri.

   Akan tetapi kepandaian lawan lebih kuat daripadanya, untuk meloloskan diri begitu sja tidaklah mudah.

   Terpaksa bertempur sambil lari.

   Tiba2 dari depan sana datang pula satu regu tentara Kim, seorang perwira lantas membentak untuk menghentika keonaran itu.

   Rupanya regu tentara itu adalah pasukan patroli keamanan kota.

   Dulai lantas mendekati perwira Kim itu dan perkenalkan diri sebagai pengiring Mufali.

   Selagi perwira Kim itu terkejut, tiba2 datang lagi empat Busu Mongol bersama seorang hwesio gemuk.

   Melihat Dulai segera hwesio dan keempat pengiringnya memberi hormat.

   Nyata hwesio besar itu adalah Liong-siang Hoat-ong, Koksu negeri Mongol.

   Biarpun tidak kenal Dulai, perwira Kim itu ternyata tahu siapa si hwesio besar itu.

   Maka tanpa tanya lagi segera ia perintahkan anak buahnya mengube Nyo Wan dan Han Pwe-eng.

   "Tidak perlu kalian ikut campur, asalkan kedua budak itu tidak dapat lolos sudahlah cukup, nanti aku yang membekuk mereka,"

   Kata Dulai.

   "Apa susahnya jika hendak menangkap kedua budak itu, kalian mundur semua!"

   Ujar Liong-siang Hoat-ong.

   Ulitu dan Abul tahu sang guru akan menggunakan Liong-siang-kang yang dahsyat, maka cepat mereka menyingkir kepinggir.

   Waktu Liong-siang Hoat-ong memukulkan sebelah tangan dari jauh, dengan tepat tenaga pukulannya dapat mencapai tubuh Han Pwe-eng dan Nyo Wan yang waktu itu berada belasan meter jauhnya.

   Liong-siang-kang yang diyakinkan Liong-siang Hoat-ong sudah mencapai tingkat sempurna, begitu hebat sehingga dapat dikuasai sesuka hatinya, maka tenaga pukulannya itupun kena pada sasarannya secara pas saja, Nyo Wan berdua hanya merasa badan kaku kesemutan, lalu jatuh terkulai tanpa terluka, hanya saja tidak berkutik lagi.

   Segera Dulai perintahkan dua Busu agar membawa Nyo Wan dan Pwe-eng pulang keistana Yang Thian-lui dan supaya diperlakukan dengan sopan.

   Setiba ditempat kediaman Yang Thian-lui, dengan cengar cengir Dulai berlagak minta maaf kepada Nyo Wan, katanya.

   "Jangan kuatir, nona Nyo, Li Su-lam dan aku adalah saudara angkat, tentu aku akan perlakukan kau dengan baik. Bahkan aku dapat ."

   Sampai disini mendadak ia cabut tusuk kundai yang dipakai Nyo Wan. Keruan Nyo Wan berteriak terkejut. Namun Dulai sudah lantas menyambung dengan tertawa.

   "Jangan kuatir, maksudku jika kau sangsi, biarlah aku mengundang pula saudara Li kesini untuk menemui kau."

   

   Jilid 15 bagian kedua Sekarang kembali kepada Han Tay-wi dan Li Su-lam yang sedang me-nunggu2 pulangnya Han Pwe-eng dan Nyo Wan.

   Akan tetapi sampai hari sudah gelap kedua nona itu masih belum nampak pulang, dengan sendirinya mereka menjadi gelisah dan kuatir.

   Segera Han Tay-wi mohon diri untuk mendatangi cabang Kay-pang yang punya hubungan luas itu agar mencari jejak anak perempuannya bersama Nyo Wan.

   Li Su-lam sendirian menunggu dirumah Han Tay-wi.

   Sampai hari sudah dekat tengah malam, bukan saja Han Pwe-wng dan Nyo Wan tetap belum pulang, bahkan Han Tay-wi juga belum kembali.

   Keruan Su-lam tambah kuatir, pikirannya menjadi kacau, dia pikir Nyo Wan dalam keadaan menyamar, kepandaian nona Han juga tidak rendah, tentu tidak terjadi sesuatu yang berbahaya.

   Bisa saja mereka juga tersesat jalan saja.

   Dengan perasaan tidak tenteram, Su-lam mondar mandir didalam kamarnya, tanpa terasa kentongan yang ditabuh peronda sudah menunjukkan tengah malam.

   Maikin gelisah hatinya.

   Kalau Nyo Wan tetap belum pulang mungkin karena mengalami sesuatu, tapi Han Tay-wi yang pergi kemarkas kay- pang itupun belum pulang, hal inilah yang dirasakan makin janggal, padahal letak markas cabang Kay-pang itu tidak jauh dari rumah keluaraga Han itu.

   Selagi ia merasa ragu2 apakah mesti menyusul ketempat Kay-pang atau tidak, se-konyong2 diluar jendela ada terkelebatnya bayangan orang.

   "Kau sudah pulang Han-locianpwe?"

   Seru Su-lam dengan girang. Diluar dugaan.

   "plok"

   Satu potong benda kecil warna hijau tahu2 menancap diatas meja. Waktu Su- lam meng-amat2i, dikenalnya benda itu adalah tusuk kundai milik Nyo Wan. Keruan ia terkejut, cepat ia membentak.

   "Siapakah yang datang itu?"

   Seorang diluar lantas menjawab.

   "Kami datang menyampaikan berita tentang nona Nyo, silahkan keluar saja!"

   Cepat Su-lam melolos pedang, ia putar kencang pedangnya untuk menjaga diri, lalu melompat keluar melalui jendela.

   Dilihatnya di-semak2 bunga sana berdiri sejajar dua orang laki2 berbaju hitam.

   DIbawah sinar bulan yang remang2 wajah mereka kurang jelas, tapi dapat diketahui pasti orang yang belum dikenal.

   Seorang diantaranya lantas buka suara.

   "Li-bengcu tidak pelu sangsi, marilah ikut bersama kami saja!"

   Li Su-lam tahu apa artinya ajakan mereka itu, tanpa pikir ia masukkan pedang kesarungnya, lalu bertanya.

   "Nona Nyo berada dimana ? Terjadi apa atas dirinya?"

   "Ikut saja bersama kami, setelah bertemu dia tentu kau akan tahu sendiri,"

   Jawab orang tadi.

   "Mengapa kalian tidak mau memberitahukan aku sekarang saja?"

   Tanya Su-lam. Seorang lagi rupanya berwatak lebih berangasan, tiba2 orang ini mendengus dan berkata.

   "Hm, tidak perlu banyak bicara, jika Li-kongcu percaya kepada kami boleh silahkan ikut, kami tiada tempo buat ngobrol dengan kau!" ~ Habis itu segera ia mendahului berlari keluar taman sana tanpa pusing lagi kepada Su-lam. Sebenarnya Li Su-lam adalah orang yang cerdas dan pemberani, jika dalam keadaan biasa tentu ia tidak mau ikut kepada dua orang yang mencurigakan itu, tapi sekarang dia sedang bingung oleh hilangnya Nyo Wan, tanpa banyak pikir ia terus ikut kejurusan ke dua orang itu. Ginkang kedua orang itu ternyata tidak rendah, dengan kencang Li Su-lam mengikut mereka memutari beberapa jalanan, akhirnya sampai dibelakang taman sebuah gedung besar. Dibawah sinar bulan yang remang2 Li Su-lam dapat melihat atap gedung itu kemilauan, kiranya pakai genting kaca semua. Ia tidak tahu bahwa menurut peraturan dikotaraja hanya rumah kediaman raja dan kerabatnya baru boleh memakai genting kaca sebagai atap rumah. Tapi ia yakin orang yang menempati gedung semegah itu tentu orang kaya dan berpangkat. Cuma ia tidak paham mengapa Nyo Wan bisa datang ketempat demikian. Dalam pada itu kedua orang berbaju hitam tadi lantas mendahului melompat pagar tembok taman itu. Walaupun merasa sangsi terpaksa Li Su-lam mengikuti kedua orang itu, ia bertekad.

   


Pendekar Kembar Karya Gan KL Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH

Cari Blog Ini