Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh 12


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 12



Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Bagaimana ?", ia tanja Kakdu. Ia tertawa.

   "Guru besar, kau benar sakti!", Kakdu berkata, takluk.

   "Aku tidak mengerti, kenapa burung itu tidak dapat terbang ?". Sementara itu, Kok Sin Ong dan Yang Thay Hoa ketahui sebabnja itu. Yang Thay Hoa pun berkata dalam hatinja.

   "Aku kira tjuma guruku jang dapat menandingi Guru Budi ini ...". Kok Sin Ong sebaliknja memandang kearah Hoe Poet Gie. Orang she Hoe itu tertawa, dia berkata.

   "Bagus! Jang satu melebihkan ramainja daripada jang lain! Kelihatannja, makin dilihat djadi makin menarik hati ". Dia membawa sikapnja sebagai penonton jang kebanjakan, sedikitpun seperti tidak ada minatnja untuk turut mempertontonkan kepandaiannja. Khan jang agung girang luar biasa, ketjuali ia memberi selamat dengan tiga tjawan arak, ia pun menjuruh Kakdu pergi ke gudang istana untuk mengambil sebuah djubah sutji untuk Guru Budi.

   "Aku mengharap mendapat pengadjaran dari sekalian tuan2 !", kemudian kata Guru Budi pada orang banjak, sikapnja merendah. Tentu sekali itu hanjalah pura2 belaka, karena suaranja bernada menantang. ---oo0oo--- CHANG Chin Lhama dan Maitjan ada orang dipihak Guru Budi, tidak dapat mereka menjambut tantangan itu. Kok Sin Ong dan Biat Touw Sin-koen pun tidak, mereka merasa tidak dapat menandingi ilmu si guru itu. Sedang Hoe Poet Gie, dia tjuma tertawa sadja, dia atjuh tak atjuh. Melainkan Thian Ok Toodjin seorang, jang mendjadi tidak puas. Dia biasanja tjuma takluk terhadap Yoe Tam Sin-nie, si bhiksuni tua, dan Pek Yoe Siangdjin berdua. Tapi dia masih berpikir dulu ketika dia tersenjum dan tangannja menundjuk pada sebuah pohon besar diluar taman, untuk berkata.

   "Meskipun burung itu bertenaga besar luar biasa, tidak nanti dia dapat merusak pohon besar itu!". Pohon jang ditundjuk itu sebuah pohon istimewa untuk negara Turki itu, orang menamakannja pohon "kuku naga". Besarnja pohon sepelukan dua orang. Bongkot dan akarnja tampak melilit bagaikan naga melingkar,maka itu didapatlah namanja itu.

   "Tootiang mengatakan demikian, tentunja tootiang dapat merusaknja ", kata Guru Budi.

   "Bagaimana tjaranja itu? Ingin sekali aku membuka mataku ". Khan mengerutkan alisnja ketika ia mendengar perkataannja Thian Ok, akan tetapi karena Guru Budi sudah berkata demikian, ia diam sadja, sedang sebenarnja ingin ia berbitjara. Thian Ok Toodjin tertawa tawar.

   "Nanti pintoo mentjoba ", katanja.

   "Djikalau pintoo gagal, harap tuan2 sekalian tidak mentertawakannja ". Lantas dia turun dari undakan tangga, untuk bertindak pergi kebawah pohon besar itu. Dia lantas menaruh kedua tangannja kepada pohon, untuk menekan. Terlihatlah romannja jang sungguh2. Dari atasan embun2-annja, lantas nampak keluarnja hawa bagaikan uap putih, menjusul mana, peluh keluar ber-ketel2 dimukanja, menetes djatuh. Teranglah ia tengah mengerahkan tenaga dalamnja. Selama itu pohon tak bergerak, daunnja tidak ada jang rontok.

   "Men-sia2-kan tenaga begitu rupa, apakah perlunja ?", kata Guru Budi, tertawa. Kok Sin Ong, jang duduk dekat orang djumawa itu, tengah berpikir.

   "Rupanja Thian Ok Toodjin hendak mempertundjukkan kepandaiannja jang istimewa ...". Tengah ia berpikir itu, Guru Budi sambil tertawa berkata padanja.

   "Tuan Kok, aku dengar di Tiongkok ada kata2 'Lalat ephemera menggojangi pohon', maka aku melihatnja, pemandangan hari ini mirip dengan pepatah itu!"

   Guru Budi mengerti banjak tentang Tiongkok, maka itu dengan mengurai pepatah itu, ia menjindir Thian Ok tidak tahu akan tenaganja sendiri.

   Ephemera jalah kutu ketjil berkepala seperti tjetjapung, badan ketjil dan tirus, sajapnja empat, pada ekornja tumbuh tiga batang mirip bulu pandjang dan hidupnja tjuma satu hari.

   Kok Sin Ong bentji Thian Ok tetapi mendengar edjekan itu, ia tertawa dingin dan kata.

   "inilah mungkin bukannja lalat ephemera menggojang pohon. Kau lihatlab lagi biar terang !". Belum berhenti suaranja Sin Ong, mendadak kesunjian mengarungi semua orang. Tidak lagi ada orang jang tertawa tertahan sebab mendengar edjekan Guru Budi barusan. Semua mata diarahkan kepada pohon, jang ditempel tangannja Thian Ok Toodjin. Sekian lama pohon itu, jang besar dan daunnja gompiok, berdiri tegak dan tenang, kepadanja tidak terlihat perubahan apa djuga, tapi sekarang maka tampaklah tjabang2-nja pada tunduk turun dan semua daunnja mendjadi kuning dan laju. Pohon jang demikian besar mendjadi kering dalam sekedjaban ! Sebenarnja Thian Ok Toodjin telah mengerahkan tenaga-dalamnja untuk menjerang pohon besar itu dengan Tok Tjiang Sin-Kang, ilmu Tangan Beratjun. Ia menggempur hati pohon, hawa beratjun dari tangannja tersalurkan, terus hingga ke tjabang2 dan daun. Lie It kaget sekali, hingga ia berkata didalam hatinja .

   "Thian Ok telah menggunai tenaga latihannja sepuluh tahun jang belakangan ini, kepandaiannja madju sangat pesat hingga mendjadi begini luar biasa. Djikalau dia tidak dapat disingkirkan, sungguh dia sangat berbahaja ...!". Thian Ok sendiri sangat puas, tampak kebanggaannja pada wadjahnja, akan tetapi segera djuga ia merasa heran disebabkan kesunjian itu, lantaran tidak ada orang jang bertempik-sorak memudji kepadanja. Ia tjerdas sekali, segera ia mengerti sebabnja sambutan sepi itu. Jalah besok adalah hari raja "Mentjabut Hidjau". Negara Turki itu negara peternakan, djadi negara itu sangat mengutamakan tanaman pepohonan dan rumput. Sekarang, menghadapi hari raja itu, ia merusak pohon jang besar dan gompiok ini, ia mendjadi telah melakukan perlanggaran kepada pantangan. Mengingat ini, sendirinja ia mengeluarkan peluh dingin. Tapi pohon telah terusak, ia tidak bisa berbuat lain. Ia tjuma dapat membatalkan niatnja untuk menggempur roboh pohon itu. Ia kembali ke kursinja dengan diantar ribuan mata jang membentjinja. Khan sendiri turut merasa tidak puas. Sebenarnja tadi, ketika Thian Ok hendak mentjoba merusak pohon, ia hendak mentjegah, akan tetapi ia tahu, Guru Budi hendak mempersulit imam itu, ia pun tidak pertjaja Thian Ok dapat merusaknja, ia batal mentjegah, siapa tahu, Thian Ok benar2 liehay sekali. Betul pohon itu tidak dirobohkan tapi sudah mati, tjabangnja merojot turun dan daun2-nja mendjadi pada kuning ! Khan menganggap itulah kedjadian jang merupakan firasat buruk. Karena ini, ia bersikap demikian tawar, bahkan ia tidak memberi selamat dengan arak ! Adalah Guru Budi, jang tertawa dengan tiba2.

   "Benar2 tootiang liehay!", katanja.

   "Mari aku menghaturkan setjawan arak!".

   "Terima kasih, tidak berani aku menerima !", menampik Thian Ok seraja bangkit. Tapi Guru Budi berbitjara sambil bekerdja, ia telah menghaturkan nenampan emas diatas mana ada sebuah tjangkir kemala, jang herisi penuh arak. Ditangannja itu, nenampan berputaran, menudju kedepan dada si imam. Thian Ok liehay, matanja tadjam, otaknja tjerdas, segera ia dapat membade hati orang.

   "Hmmm, dia masih hendak mengudji aku !", pikirnja. Maka ia tidak mau berlaku alpa. Dengan tadjam ia mengawasi, tangannja diulur untuk menjambuti. la telahmengerahkan tenaganja, untuk menantjap kaki, tapi toh, tubuhnja kena djuga dibikin bergerak satu kali. Sudah lama Guru Budi hendak mengudji Thian Ok, disebabkan ia tahu orang liehay dan tangannja beratjun, ia memikirkan daja untuk mengudjinja. Ia merasa tjaranja jalah memakai perantara, agar ia tidak beradu tangan langsung. Demikian ia memindjam tenaga nenampan dan tjawan arak, guna mengadu tenaga dalam mereka. Djikalau mereka bentrok, dengan tangan beratjunnja, tak susah buat Thian Ok merebut kemenangan, tetapi ia masih kalah tenaga- dalamnja, demikian tubuhnja kena dibikin tergerak. Karena ini, ia tidak berani mengambil tjawan arak itu.

   "Tootiang, silakan minum !", kata Guru Budi sambil tertawa.

   "Ah, aku telah ,mempersembahkannja, kau tidak sudi menerima, kau tidak memberi muka padaku ", dia menambahkan. Thian Ok mendjadi mendongkol sekali. Tahulah ia bahwa orang hendak mendjatuhkan ia benar2, untuk membikin ia mati. Dalam panasnja hati, ia mendjadi berlaku nekat. Ia menjangga nenampan emas itu, ia kerahkan semua tenaga-dalamnja. Ia pun memaksa tertawa.

   "Sebenarnja aku tidak berani menerima ", ia kata.

   "Tapi biarlah! Sekarang aku ingin menjuguhkan terlebih dulu kepada guru jang agung !". Nenampan emas itu berhenti berputar. Dengan antero tenaganja, Thian Ok menolaknja. Guru Budi menang tenaga-dalam tetapi ia tidak berani sembarang menjambuti tjawan arak itu. Dengan begitu, dengan sendirinja mereka mendjadi mendjadjal tenaga-dalam mereka. Lekas sekali, embun2-an mereka menghembuskan uap putih.

   "Silakan minum ! Silakan minum !", kata mereka saling mengundang. Khan heran menjaksikan orang saling memberi selamat dan saling mengalah itu, ia tidak tahu bahwa orang sebenarnja lagi berkutat nekat. Katanja dalam hatinja.

   "Kenapa ini dua orang begini ngotot saling mengalah ?". Seorang pegawal disisi Khan menunduki kepala, untuk membisiki.

   "Mereka berdua lagi bertempur mati2-an, maka itu semoga Sri Baginda mengambil tindakan ...". Khan itu melengak, ia lantas menginsafi bahaja. Ia berpikir.

   "Ini imam mendjemukan, dia melakukan perlanggaran, tetapi dialah tetamuku, tenaganja dibutuhkan, kalau dia terlukakan Guru Budi, kedjadian ini bisa mendatangkan anggapan djelek pada pihakku ". Ia djuga tidak suka Guru Budi mendapat tjelaka. Selagi Khan ini bersangsi, sebab kalau ia memisahkan, itu berarti ia membantui diam2 kepada Thian Ok Toodjin, tiba2 terlihat Hoe Poet Gie berbangkit dari kursinja, sembari tertawa manis, dia berkata.

   "Kamu berdua main mengalah sadja, sajang ini arak, djikalau kamu tidak mau minum, kasilah aku jang meminumnja !". Lantas ia mengangkat sumpit, dengan itu ia mengetuk nenampan emas sehingga terdengar bunji "traang!". Mendadak sadja, tjangkir kemala itu mentjelat sendirinja!. Guru Budi dan Thian Ok Toodjin, keduanja mereka, tangannja lantas terlepas, maka itu, djatuhlah nenampan emas. Akan tetapi Maitjan, boesoe dari Tuyuhun, sebat sekali, dia sudah berlompat, mendjemput nenampan itu. Hoe Poet Gie sendiri sudah lantas membawa tjangkir ke mulutnja, untuk menenggak habis isinja.

   "Sungguh arak jang bagus !", ia memudji ber- ulang2. Semua hadirin, jang terdiri dari orang2 pandai, mendjadi terperandjat saking heran dan kagum. Sungguh hebat Thian Ok dan Guru Budi itu. Sekalipun Kok Sin Ong dan Biat Touw Sin-koen, mereka tidak ungkulan dapat memisah mereka itu berdua. Pula, Thian Ok dan Guru Budi sendiri, tidak nanti sanggup melepaskannja. Akan tetapi Hoe Poet Gie, dia ini telah dapat memisahkan orang dengan tjaranja itu jang nampaknja sangat sederhana !. Maka bisalah dimengerti kemahirannja tenaga-dalam orang she Hoe itu. Guru Budi dan Thian Ok duduk dengan berdiam sadja, roman mereka lesu. Ditempat mereka berdiri tadi, terlihat tapak kaki mereka, suatu bukti bagaimana mereka telah memasang kuda2 mereka, untuk mempertahankan diri. Para boesoe Khan tidak mengerti kemahiran Hoe Poet Gie, tetapi melihat tapak kaki itu, mereka kagum dan terkedjut. Akan tetapi, jang kaget paling hebat jalah Guru Budi dan Thian Ok sendiri. Guru Budi merasakan semua anggauta dalam tubuhnja bergerak keras, menggetar seperti mau terbalik ambruk. Diam2 ia menenangkan diri dan mengerahkan semangatnja, untuk bertahan. Berselang seminuman teh, baru ia berhasil memulihkan diri seperti biasa lagi. Ia lantas menoleh kearah Thian Ok Toodjin. Ia mendapatkan muka si imam putjat sekali, sinar matanja guram. Maka itu berpikirlah ia .

   "Kalau begitu Hoe Poet Gie tidak berat sebelah ! Rupanja lukanja ini si imam hidung kerbau tak terlebih ringan daripada lukaku ...". Oleh karena pertarungan mereka itu, dua2 Guru Budi dan Thian Ok bakal lenjap kepandaiannja jang mereka jakinkan selama tiga tahun, tjoba Hoe Poet Gie tidak datang sama tengah, mungkin mereka bakal bertjelaka dua2-nja, bertjelaka lebih hebat daripada kerugian perjakinan tiga tahun itu. Thian Ok Toodjin berdiam untuk memulihkan diri sebagai Guru Budi, setelah itu,ia pun berpikir keras. Ia djuga memikirkan sepak terdjangnja Hoe Poet Gie. Ia tidak mengerti kenapa orang tidak membantu padanja, sedang dengan kepandaiannja itu, Poet Gie dapat bertindak untuk keuntungan pihaknja. Kenapa Hoe Poet Gie hanja datang sama tengah, membuat ia dan Guru Budi terluka bersama? Tentu sekali ia, demikian djuga Guru Budi, tidak dapat membade maksud orang, jang sengadja menghendaki mereka sama2 terluka sedikit itu. Orang jang bergirang hati adalah Khan Turki. Senang ia melihat sikapnja Hoe Poet Gie, jang memisahkan hingga kedua orang jang lagi mengadu kepandaian itu tidak ada jang menang dan jang kalah tidak ada jang hilang muka. Dalam girangnja itu, ia memberi selamat dengan tiga tjawan arak kepada mereka itu bertiga. Ia sendiri jang menghaturkan arak pemberian selamat itu. Selagi semua itu berdjalan, satu orang menghampirkan Guru Besar Matu, untuk berbitjara dengan berbisik. Dialah koankee, atau pengurus rumah-tangga, dari guru besar itu. Setelah orangnja itu mengundurkan diri, guru besar itu berpaling kepada djundjungannja.

   "Sri Baginda ", katanja.

   "ada seorang pandai bangsa Tionghoa jang ingin memberi suatu pertundjukan dihadapan Sri Baginda ". Khan lantas mengerutkan dahi. Ia kuatir nanti terdjadi lain onar.

   "Siapakah dia itu ?", ia bertanja.

   "Tahukah kau tentang asal-usul dia itu? Dia hendak memberikan pertundjukan apa?".

   "Dialah seorang tabib ", sahut sang guru besar.

   "Dia kata dia dapat menjembuhkan pohon jang barusan kena dibikin sakit itu. Dia pula tabib kenalan hamba, dari itu hamba berani mendjamin bahwa dialah bukan orang djahat ". Baru setelah mendengar keterangan itu, hati Khan mendjadi lega, bahkan ia girang sekali.

   "Baiklah, suruhlah dia mentjoba !", perintahnja. Tak jagi ia menanja djelas-djelas pada si guru besar.

   "Djikalau dia dapat menjembuhkan pohon itu, dia bakal diberi persen besar !"

   Begitu lekas telah keluar perintah itu maka disitu muntjul seorang tua dengan kumis dan djenggotnja terbagi tiga, romannja sangat sederhana, sikapnja sangat tenang.

   Diantara sinar mata para hadirin, ia langsung menudju kepohon kuku naga.

   Kapan Thian Ok Toodjin melihat orang itu, jang ia kenali, ia kaget bukan main.

   Orang itu jalah bintang penakluknja.

   Dialah Kim Tjiam Kok-tjioe Heehouw Kian, si Ahli Djarum Emas.

   Heehouw Kian muntjul tanpa mengubah wadjah atau pakaiannja.

   "He, kenapa dia turut hadir ?", tanja Thian Ok Toodjin dalam hatinja.

   "Yang Thay Hoa toh bukannja tidak mengenalnja ? Kenapa dia dapat masuk kedalam sini ?". Yang Thay Hoa jalah orang jang ditugaskan menjambut dan melajani para tetamu dari Tiongkok, semestinja dia mendapat tahu datangnja orang jang berderadjat seperti tabib jang termashur itu, atau taruh kata dia tidak mewartakannja kepada Khan, sedikitnja dia mesti mengisikkan kepada Thian Ok. Tapi kedjadiannja tidak demikian, tahu2 tabib itu sudah berada diantara mereka. Pasti sekali Thian Ok mendjadi kaget. Sama sekali Thian Ok Toodjin tidak ketahui bahwa datangnja Heehouw Kian jalah atas undangannja Guru Besar Matu sendiri, bahwa pada itu ada suatu sebabnja. Matu mempunjai seorang anak laki2 tunggal, jang ia sangat sajang, kebetulan anak itu mendapat sakit mengih. Ia sudah mengundang banjak tabib, untuk mengobati puteranja itu, semua tidak dapat menolong. Kebetulan lagi Heehouw Kian datang ke kotaradja Khan Turki itu. Dia lantas diminta pertolongannja. Dia mengobati baru tiga kali, lantas putera itu sembuh. Maka itu, Matu djadi sangat berterima kasih. Heehouw Kian mendapat tahu bakal diadakannja pertemuan besar itu, ia minta Matu memperkenankannja datang menonton. Matu menerima baik permintaan itu, tetapi karena ia tidak tahu orang mempunjai kepandaian silat djuga, ia memberikan tempat diantara tetamu biasa. Karena itu, untuk mengadjukan tawarannja itu, Hee-houw Kian minta perantaraannja si pengurus rumah tangga. Diantara para hadirin tjuma beberapa orang sadja jang mengetahui baik Kim Tjiam Kok-tjioe, maka itu rata2 orang heran, perhatian mereka djadi tertarik, ingin mereka melihat bagaimana pohon diobati. Heehouw Kian berdiri di sisi pohon, ia meng-amat2-inja sekian lama, kemudian dari sakunja ia mengeluarkan kim-tjiam, jaitu djarum emasnja, terus ia bekerdja. Ia menusuk pohon dengan dua belas batang djarumnja. Habis itu ia minta dua tahang air dengan apa ia menjirami pohon itu. Setelah itu, ia berdiam, untuk menanti. Berselang kira sepasangan hio, maka terlihatlah perubahannja. Daun2 pohon, jang telah mendjadi laju dan kuning warnanja, sekarang mendjadi segar pula, warnanja itu pulih mendjadi hidjau. Pula, tjabang2 jang tadi sudah merojot turun, sekarang pada bangun pula mendjadi seperti sedia-kala, memain diantara tiupan sang angin. Tegasnja, pohon jang sudah mati itu, mendjadi hidup pula !. Girangnja Khan tidak terkira-kan. Ia lantas memanggil sang tabib datang ke medjanja. Lie It duduk dimedja dekat tangga pendopo, ketika Heehouw Kian lewat didepannja, tabib itu tersenjum terhadapnja. Orang tidak tahu bahwa senjuman itujalah suatu isjarat, tetapi hatinja Lie It bertjekat.

   "Mukaku memakai obatnja, pantas sadja dia mengenali aku ", pikirnja pangeran ini. Tengah ia berpikir begitu, Lie It merasakan seperti ada kutu berkutik didalam tangan badjunja, ia lantas menggunai tangannja untuk menangkap itu. Tapi ia bukannja mentjekuk kutu, hanja memegang sebatang djarum bwee-hoa-tjiam, hingga ia mendjadi kaget berbareng girang. Heehouw Kian berdjalan terus. Tengah orang berdjalan, diam2, tetapi sebat, Lie It melihat djarum itu dimana ada sehelai kertas ketjil sekali. Dengan ber-pura2 menjeka peluhnja, ia bawa kertas itu kemukanja. Dengan tjepat ia membatja. Pada kertas itu ada tulisannja, bunjinja .

   "Lekas menjingkir dari sini, kalau ajal bakal terdjadi perubahan ". ---oo0oo--- BARU sekarang Lie It sadar.

   "Ah, kiranja dialah jang menjerang Thia Tat Souw dengan djarumnja ...!", katanja dalam hati. Tapi ia heran. Maka pikirnja pula .

   "Mengapa dia menjuruh aku mesti lekas menjingkir dari sini ? Mungkinkah rahasiaku sudah terbuka ?". Ia pun mendjadi bingung. Dimuka umum itu, tjara bagaimana dia dapat mengangkat kaki ? Selagi pangeran ini bimbang hati, Heehouw Kian sudah didepan Khan. Khan girang sekali. Dia menanja tabib jang dapat mengobati pohon jang keratjunan itu, setelah itu ia memberi persen tiga tjangkir arak. Kemudian Guru Besar Matu dititahkan untuk melajani tabib itu. Matu mendapat tugas mewakilkan radjanja melajani semua tetamu agung, mendengar perintah djundjungannja itu, mengertilah ia jang sang djundjungan menghendaki tabib itu diundang duduk bersama di medja kepala. Di medja itu berkumpul semua ahli silat jang paling kenamaan, ketjuali tuan rumah, semua tudjuh kursi sudah ada orangnja. Maka berpikirlah ia, achirnja ia berkata kepada Maitjan, boesoe dari Tuyuhun itu .

   "Tabib Heehouw ini tetamu agung dari djauh, kau jalah orang sendiri, baiklah kau jang mengalah ". Maitjan tidak berani membantah, tetapi dia tidak puas, pikirnja .

   "Biarnja dia pandai ilmu tabibnja, dia tidak lebih daripada tabib pelantjongan, mana dia sesuai untuk duduk dimedja kepala ?". Maka itu, meski sekapnja ramah-tamah ketika ia berbangkit dan menarik kursinja, guna mempersilakan tetamu duduk, diam2 ia menggeraki kakinja, untuk membikin si tabib keserimpat djatuh dan mendapat malu karenanja. Tapi, baru sadja ia bekerdja, mendadak ia merasakan kakinja lemas, pinggangnja terus membungkuk, kelihatannja seperti ia mau mendjalankan adat kehormatan besar terhadap orang jang mau dibikin malu itu. Heehouw Kian nampaknja kaget, dengan ter-gesa2 ia membungkuk, untuk memimpin bangun pada boesoe itu seraja ber-ulang2 mengatakan .

   "Djangan, djangan, aku tidak berani menerima hormatmu !". Maitjan terkedjut. Ia merasakan tenaga jang kuat mengangkat tubuhnja. Ia telah mentjoba mempertahankan diri, dengan membikin berat tubuhnja, tetap ia tidak berhasil. Maka sekarang tahulah ia, ketjuali pandai ilmu tabib, orang itu djuga liehay ilmu silatnja. Tanpa merasa, ia mendjadi takluk. Sambil memberi hormat, ia mengutarakan kekagumannja. Djusteru hampir berbareng dengan itu, ia merasakan kakinja jang lemas sembuh dengan mendadak ! Apa jang berlaku itu tidak diketahui Guru Budi, hanja sikapnja Maitjan mendatangkan rasa heran, dari agak rada bertahan, dia mendjadi sangat menghormat. Thia Tat Souw, jang berada di medja sebelah, mendjadi heran dan bertjuriga, hingga ia berkata dalam hati-ketjilnja.

   "Ilmu totok tua-bangka ini sangat liehay ! Malam itu, apakah bukannja dia jang telah menjerang aku dengan djarum bwee-hoa tjiam ?". Guru Besar Matu, setelah dengan hormat mempersilakan Heehouw Kian mengambil tempat duduk, berkata kepada orang banjak untuk sekalian memperkenalkan .

   "Ini Tuan Heehouw, pandai sekali ilmu tabibnja. Anakku telah mendapat sakit mengih jang bandel tetapi telah dapat disembuhkan olehnja. Ah, Tuan Heehouw, tidak kusangka, selain pandai mengobati orang, kau djuga dapat mengobati pohon ! Mari, silakan kau minum tiga tjawan arakku ini ...!". Mendengar perkataannja Matu itu, tambahlah djelus dan kebentjiannja Thia Tat Souw terhadap Heehouw Kian. Inilah sebab . Ketika baru2 ini ia memerintahkan Lamkiong Siang membegal dan membinasakan si saudagar dari Khorezmia, ia sebenarnja hendak merampas obat2-annja saudagar itu untuk dipersembahkan kepada Matu, guna menolong puteranja si Guru Bosar, siapa tahu sekarang putera itu telah disembuhkan tabib ini. Dengan begitu, bukankah persembahan obatnja itu mendjadi tidak ada artinja ?. Ketika Heehouw Kian sudah duduk, ia djusteru duduk berhadapan dengan Thian Ok Toodjin. Imam itu mendjadi likat sendirinja. Si tabib, dengan tersenjum, berkata kepadanja .

   "Semendjak perpisahan kita di gunung Kiong-lay-san, sepuluh tahun belum lewat, ternjata sekarang tooheng telahberhasil dengan perjakinanmu Hoe Koet Sin-Tjiang, siauwtee kagum sekali!". Kedua matanja Thian Ok mentjilak. Ia mendongkol karena orang me-njebut2 kepandaiannja itu, Hoe Koet Sin-Tjiang, jang berarti ilmu Tangan Membusukkan Tulang. Pantas dia dapat membinasakan pohon dengan tangannja jang liehay itu. Dalam panasnja hati, ia kata .

   "Sebentar setelah pesta bubar, aku masih ingin memperoleh pengadjaran dari kau, lao-heng ...!". Manis kata2 mereka itu, terutama kata2 si imam, tapi sebenarnja, dengan begitu, mulailah sudah bentrokan diantara mereka. Thian Ok tidak berani menempur sendiri tabib itu, ia kuatir kalah, maka ia memikir akan menanti tibanja Pek Yoe Siangdjin. Kok Sin Ong dan Hoe Poet Gie kenal Heehouw Kian, mereka lantas minum dan berbitjara dengan gembira dan asjik, dengan begitu sendirinja Thian Ok seperti terasing, sebab dia tidak dapat memasang omong dengan gembira seperti mereka itu. Jang lain2-nja, jang tiada sangkut-pautnja, dapat bersikap biasa sadja. Tengah pesta berlangsung itu, tiba2 terdengar pengumuman oleh seorang abdi dalam .

   "Jang mulia selir jang baru tiba datang untuk memberi selamat kepada para tetamu jang terhormat ...!". Serentak, dalam sedetik, sunjilah seluruh ruangan pesta. Umumnja semua boesoe mengetahui, selir jang baru dari Khan jang agung ini jalah wanita tertjantik dalam negara mereka. Semua orang diam, semua mata diarahkan kearah perdalaman. Lantas terlihat muntjulnja serombongan dajang, jang memimpin selir jang baru itu, jang keluarnja dari pintu model rembulan. Benar2 selir itu tjantik sekali!. Lie It tidak tertarik perhatiannja seperti para hadirin lainnja, akan tetapi karena selir itu datang, ia pun turut menoleh, untuk melihat. Begitu ia sudah memandang, maka tertjenganglah ia. Ia lantas merasa bahwa ia pernah lihat selir itu, bahwa ia seperti mengenalnja, terutama alis orang, jang mirip dengan alisnja seorang lain. Ia lantas berpikir keras .

   "Dia ..., dia ..., siapakah ia ?". Radja Turki berbangkit menjambut selirnja itu.

   "Karosi !", ia berkata.

   "Hari ini hari baik kita, kau dan aku, maka hari ini setjara istimewa, aku mengundang orang2 gagah dari kolong langit ini untuk mereka datang dan ikut merajakan upatjara pernikahan kita, untuk mereka dapat memberi selamat. Inilah pesta terbesar jang sebelum ini belum pernah diadakan ! Sekarang silakan kau menghaturkan selamat kepada hadirin!".

   "Terima kasih kepada Khan jang agung jang telah mengadakan pesta besar ini untukku ", berkata selir dengan perlahan, setelah mana lantas ia mengulur lengannja untuk dengan djari2 tangannja jang lentik mendjemput tjangkir kemala jang berisikan arak, sembari mengangkat itu, dengan tertawa manis, ia berkata .

   "Tuan2, silakan minum ...!". Ketika Lie It mendengar suara si tjantik itu, tanpa terasa tjangkirnja terlepas dari tangannja, djatuh kebawah. Sjukur Lamkiong Siang berada didekatnja dan kawan ini tabah dan sebat, dengan tjepat dia menjambarnja, hingga tjangkir itu tak usah djatuh hantjur. Dia lekas memulangi tjangkir itu sambil berkata dengan perlahan.

   "Banar2 selir itu tjantik sekali. Thian-hee, silakan minum ...!", Lamkiong Siang berkata demikian karena ia menjangka Lie It tersengsam selir itu, djadi ia mau memberi ingat untuk djangan pangeran ini mendjadi berlaku kurang hormat. Lie It menjambuti tjangkirnja, sedang dalam hati ketjilnja, ia kata.

   "Bukan sadja wadjahnja mirip, suaranja pun sama! Dia ..., dia ..., mestinja Boe Hian Song !". Memang benar selir itu si nona she Boe. Sebab Karosi telah mewudjudkan rentjananja untuk menjingkir dengan Hian Song menggantikan dia. Dengan menjamar mendjadi budak pelajan, dengan membawa pakaian pengantinnja, dia sudah pulang dengan naik djuga kereta asalnja. Itulah adat kebiasaan dan meskipun Khan tjerdas, ia tidak tjuriga apa2. Siapa dapat menjangka ada orang berani menjamar djadi selir, sedang si selir sendiri kabur pulang ? Pula Hian Song sangat tjantik, tidak kalah dengan Karosi. Hanjalah, Hian Song sendiri tidak pernah menduga bahwa Lie It hadir dalam pesta itu. Benar ia telah berdandan dan bitjara dalam bahasa Uighur, dan mukanja pun memkai obat, untuk menjalin warna kulitnja, tetapi potongan wadjahnja tidak berubah, seperti suaranja tidak berubah djuga, dari itu, Lie It mendjadi mengenali padanja. Bukankah dengan Lie It ia pernah melakukan perdjalanan bersama untuk ribuan lie? Perpisahan delapan tahun djuga tidak menjebabkan si pangeran melupakannja. Lie It memandang dan memandang lagi, untuk menegasi. Ia bagaikan terdjerumus didalam kabut. Ia sudah mengenali tetapi ia masih sangsi, ia heran bukan main. Tjara bagaimana Boe Hian Song dapat mendjadi selir Khan Turki? Inilah dalam impianpun ia tidak berani mengharapnja. Di achirnja, ia menggigit djari tangannja sendiri!. Dan ia merasakan sakit!. Djadinja ia bukan lagi bermimpi!. Maka itu, terbajanglah segala pengalamannja selama delapan tahun itu . Adu pedang di Ngo-bie-san, pembitjaraan tentang sjair, perdjalanan ber-sama2, dan perpisahan digunung Lie San. Semua itubagaikan impian, bagaikan kedjadian kemarin. Lie It mendjadi ngelamun. Mendadak ia merasa Boe Hian Song berubah mendjadi isterinja. Ia melihat sinarmata Tiangsoen Pek, sinar jang tadjam mengawasi padanja. Lalu ia sadar pula.

   "Semoga dia bukannja Boe Hian Song !", katanja kemudian dalam hatinja.

   "Taruh-kata dia benar, kau pun tidak selajaknja berpikir begini matjam mengenai dia !". Kedjadian ini membuat Lie It melupai pesan Heehouw Kian, jang menjuruh ia lekas mengangkat kaki. Ia sudah sadar, ia sudah menegur dirinja sendiri, toh matanja masih tetap diarahkan kepada Hian Song. Hian Song sendiri tidak mendapat lihat pangeran itu. Tetamu terlalu banjak, semua mata tetamu itu diarahkan terhadapnja. Ini pula sebabnja mengapa ketjuali Lamkiong Siang lainnja tetamu tidak ada jang memperhatikan orang jang lagi kesengsem dan terbenam dalam keheranan itu. Habis selirnja menghormat para tetamu, Khan mengadjaknja ke medja kepala. Ia kata.

   "Semua tetamu ini jalah tetamu2 kita jang paling dihormati, silakan kau memberi selamat djuga kepada mereka !". Karosi menurut.

   "Terima kasih, terima kasih ... !", kata Hoe Poet Gie, tertawa.

   "Aku tidak sanggup menerima kehormatan ini !". Ketika tiba gilirannja Thian Ok Toodjin, imam ini mengangkat tjawannja sambil matanja memandang tadjam selir itu, dari atas kebawah, dan dari bawah keatas. Ketika selir sudah mengeringi tjawannja, baru ia ingat untuk mentjeguk araknja sendiri. Khan melihat sikap si imam, ia mendjadi tidak senang.

   "Imam bau ini tidak tahu adat!", katanja didalam hati. Paras Boe Hian Song pun berubah, akan tetapi dengan lekas ia dapat menjabarkan diri, meski begitu, dua2 Khan dan Thian Ok telah dapat melihat perubahan air mukanja itu. Khan menganggap selirnja itu djemu terhadap si imam. Thian Ok sebaliknja kaget, sebab dari sinar mata orang, ia menduga wanita tjantik ini mengerti ilmu silat sempurna sekali. Pula, samar2, ia mengingat seperti pernah bertemu si nona, hanja biar bagaimana djuga, tidak berani ia menerka Hian Song!. Habis memberi selamat, selir mengambil tempat duduknja. Khan pun duduk, untuk terus menitahkan seorang pengiringnja.

   "Pergi kau undang kedua utusan dari Keradjaan Tong !". Ketika itu keradjaan di Tiongkok sudah bertukar dari ahala Tong mendjadi ahala Tjioe akan tetapi negara2 asing masih biasa menjebutnja ahala Tong. Hian Song heran mendengar titahnja Khan itu.

   "Tidak pernah aku mendengar bibi hendak mengirim utusan kesini ...", pikirnja. Segera djuga pengiring tadi sudah kembali bersama dua utusan Tiongkok jang disebutkan. Melihat mereka itu, Boe Hian Song lantas mengenalinja. Merekalah dua orang jang ia pernah menemukannja digunung Thian-san, Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang. Kedua utusan itu memberi hormat kepada Khan. Mereka tak lupa memberi selamat djuga kepada selirnja radja itu. Khan tertawa girang.

   "Silakan duduk !", ia mempersilakan. Boe Hian Song mendongkol bukan main.

   "Dua binatang ini, mereka menjamar djadi utusan ! Sungguh mereka memalukan negara!", katanja dalam hati. Ia belum tahu bahwa orang jalah utusannja Boe Sin Soe, kakak sepupunja.

   "Karosi ...", kata Khan, tertawa.

   "sehabisnja pesta besar ini, kami bakal memimpin angkatan perang kita menjerbu ke Tiongkok! Kota Tiang-an besar dan indah dan makmur, itu waktu kau boleh memasukinja, masuk ke istana kaisar! Disana kau bakal mendapatkan apa djuga kau kehendaki. Ini dua utusan jalah utusan keponakannja kaisar wanita dari Tiongkok. Kaisar wanita itu tidak mendapat simpati rakjat, sekalipun keponakannja berkhianat terhadapnja, keponakan itu setudju untuk bekerdja sama dengan kita, untuk nanti menjambut penjerbuanku. Ha ha! Bukankah itu berarti jang Tuhan membantu kita ?. Besok mereka ini mau pulang ke negerinja, maka itu kami mengundang mereka datang kemari, silakan kau mewakilkan memberi selamat kepada mereka !". Hian Song ketahui Boe Sin Soe berkontjo hendak merebut kekuasaan pemerintahan, untuk nanti menggantikan Boe Tjek Thian, bibinja itu, mendjadi kaisar, hanja ia tidak menduga, kakak sepupu itu sedemikian buruk, sampai dia tak segan berkongkol dan memindjam tenaga asing untuk merobohkan sang bibi. Itulah sepak-terdjang jang sangat sembrono dan berbahaja djuga. Sepak-terdjang itu dapat memusnahkan negara. Maka itu, bukan main gusar dan panas hatinja, hingga, meski ia mentjoba menguasai diri, air mukanja berubah djuga sedikit. Kebetulan sekali, Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang mengangkat kepalanja, memandang sang selir, mata mereka bentrok sinarnja. Mereka itu kaget melihat sinar mata jang tadjam mengantjam, jang seperti bermusuhan.

   "Aku tidak pernah membuatnja selir gusar, kenapa dia tidak senang ?", mereka masing2 berpikir. Selagi mereka berpikir itu, Hian Song sudah mengangsurkan dua tjawan arak.

   "Silakan minum ! Tuan2 telah melakukan perdjalanan laksaan lie, pasti tuan2 letih !", katanja tertawa. Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang menjambuti arak itu. Lega hati mereka melihat njonja agung itulantas berubah sikapnja mendjadi manis. Mereka menegur diri kenapa mereka berpikir tidak keruan. Keduanja lantas mengeringi tjawan mereka. Habis minum, kedua utusan ini mengangguk kepada Khan dan selirnja, untuk menghaturkan terima kasih. ---oo0oo--- "ADA satu urusan penting jang aku ingin menjampaikan kepada Khan jang agung !", kata Hong Bok Ya. Ia bitjara setjara tiba2. Khan heran.

   "Silakan bitjara !", katanja seraja ia mendekati, matanja menatap.

   "Orang jang hendak ditjari Sri Baginda ", kata Hong Bok Ya.

   "jalah Lie It. Dia ..., dia telah tiba disini ...". Khan terkedjut.

   "Dia sudah tiba disini ?", dia tanja.

   "Dimana dia sekarang ?". Belum berhenti suaranja ini radja, atau ia melihat tubuhnja Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang terhujung sendirinja, lalu Hong Bok Ya, dengan roman putjat, berseru tadjam .

   "Kau ! Kau ...! Kau Boe Tjek Thian punja ...! Oh, kau kedjam sekali ...! Aduh ! Tjelaka ...!", Tjiok Kian Tjiang pun turut berseru .

   "Kau ..., kau ...! Kaulah Boe Tjek Thian punja ....

   ". Belum habis mereka itu berbitjara, lantas tubuh mereka roboh terguling, djiwa mereka melajang, dari kuping, mata, hidung dan mulut mereka meleleh keluar darah hidup. Semua orang mendjadi kaget dan heran. Itulah kedjadian sangat hebat. Beberapa pengiring dan boesoe lantas ber-teriak2 .

   "Perutusan Tiongkok keratjunan ! Perutusan Tiongkok keratjunan !", disusul dengan seruan .

   "Tangkap si pembunuh ! Tangkap si pembunuh !". Tapi Kakdu segera berseru .

   "Djangan berisik ! Djangan bingung ! Mereka bukan dibunuh ! Mereka terkena ratjun ...!". Boe Hian Song pun turut mendjadi heran. Ia bentji dua orang ini, ingin ia membinasakan mereka, tetapi tidak sekarang. Ia sudah memikir, kalau sebentar atau besok ia sudah menjingkir dari istana Khan, hendak ia menjusul mereka itu, untuk membunuhnja ditengah djalan. Sebagai selir Khan, tidak dapat ia membunuh orang di medan pesta ini. Ia tertjengang, sebab orang terbinasa didepannja tanpa ia mengetahui siapa si pembunuhnja. Khan menjambar sebuah tempat arak, dia menegur Kakdu .

   "Kau alpa mendjaga, kau minum ini arak ...!". Kakdu kaget, mukanja mendjadi putjat sekali. la sangat setia, meski ia dihadiahkan kematian, ia tidak mau memohon ampun. Ia mengangguk satu kali seraja berkata .

   "Hamba jalah kepala pasukan pengawal Sri Baginda, ada orang meratjuni utusan, hamba tidak mendapat tahu, maka dosaku, jalah dosa kematian. Hamba tjuma memohon Sri Baginda sukalah mengurus rumah- tanggaku ...". Habis berkata, pengawal setia ini menenggak arak jang tinggal separuh potji, terus ia berdiam, menanti kematiannja. Sia2 sadja ia menunggu, sampai sekian lama, ia masih tidak kurang suatu apa.

   "Sri Baginda, inilah bukan arak beratjun !", kata ia kepada radjanja.

   "Djikalau benar bukannja arak beratjun, kau tidak sangkut-pautnja lagi ...!", kata Khan. Tapi ia tetap heran. Potji arak itu jalah potji jang araknja barusan dikasihkan minum pada kedua utusan Boe Sin Soe itu. Kedua utusan mati, kenapa Kakdu tidak ? Mungkinkah selirnja jang mentjampuri ratjun itu ? Inilah tidak bisa djadi !. Ketjurigaan, Khan terhadap Hian Song tjuma sedetik, lantas itu hilang lagi. Tidak ada alasan selirnja meratjuni. Djuga ia mendampingi, ia melihat tegas ketika sang selir menuang arak. Kalau selir itu menuang ratjun, ia pasti memergokinja. Habis, siapa si tukang meratjuni itu ? Selagi suasana katjau itu, terdengar Hoe Poet Gie tertawa lebar.

   "Ha ... ha ... ! Sangat liehay kepandaiannja orang jang melepas ratjun ini! Dia terlebih liehay daripada ini tuan imam jang tadi meratjuni pohon kuku naga !"

   Matanja Thian Ok Toodjin mendelik.

   "Hai, tabib rudin, kau ngotjeh apa ?", dia membentak.

   "Aku bilang orang jang meratjuni ini lebih liehay daripada kepandaianmu !", djawab Poet Gie.

   "Apakah kau tidak senang hati ?". Belum lagi Thian Ok menjahuti, Guru Budi sudah bangkit.

   "Aku melihat satu orang !", katanja njaring, dingin. Kepandaian melepaskan ratjunnja Thian Ok Toodjin telah dilihat orang banjak, maka itu semua boesoe Turki lantas menjangka dia, akan tetapi mereka tidak berani bilang suatu apa, sekarang terdengar suaranja Guru Budi itu, lantas beberapa orang diantaranja, dengan suara sama dinginnja, menanja imam itu. Thian Ok mendjadi sangat gusar. Dia menjerang Guru Budi.

   "Kau melepas angin busuk !", bentaknja. Guru Budi tertawa.

   "Dikolong langit ini kaulah nomor satu tukang melepas ratjun, ketjuali kau, siapa lagi ?", katanja dingin. Thian Ok djeri terhadap Hoe Poet Gie, ketika barusan orang she Hoe itu mengasi dengar suaranja, ia menguasai diri untuk mengendalikan mulut, sekarang ia menghadapi Guru Budi, ia tidak takut sama sekali. Pula Poet Gie tadi bitjara setjara menjimpang, sedang orang ini berterang menuduh padanja. Mukanjamendjadi guram. Ia lantas menjambar Guru Budi.

   "Kau mempunjai bukti apa ?", dia berteriak.

   "Djikalau kau tidak dapat membuktikan, kau mesti berlutut meminta ampun padaku!". Guru Budi djeri untuk tangan beratjun imam itu, ia berkelit, setelah mana, sebat luar biasa, ia meloloskan djubahnja, ia pakai itu untuk menungkrap si imam. Ia pun berseru .

   "Bukti apa kau mau ? Didalam ruangan ini, ketjuali kau, siapa lagi jang mengerti ilmu ratjun? Djikalau bukannja kau ketakutan, perlu apa kau gusar kelabakan ?". Kata2-nja Guru Budi ditutup dengan suara memberebet njaring, dari robeknja djubahnja, sebab Thian Ok berontak, sedang tubuhnja si imam, terhujung beberapa tindak. Bukan main gusarnja Guru Budi karena djubahnja itu robek,dia lupa siapa tuan rumah siapa tetamu, dengan lantas dia menungkrap pula dengan djubahnja kepada imam itu. Kali ini dia mengerahkan tenaga-dalamnja, hingga djubahnja jang lunak itu mendjadi kaku seperti lempengan besi, anginnja pun menderu. Thian Ok lantas terdesak. Dalam tenaga-dalam, ia memang kalah unggul. Tidak bisa ia lekas membebaskan diri dari rangsakan lawannja. Tapi ini djustru membuatnja makin gusar dan panas hati. Dengan mata mendelik dan gigi gemeretak, dia berseru .

   "Apakah kau menjangka aku takut padamu ? Kau mau berlutut dan mengangguk atau tidak kepadaku ? Djikalau tidak, djangan kau sesalkan aku tidak kenal kasihan!". Kata2 itu berupa antjaman, tersusul kulit mukanja jang berobah mendjadi bersemu gelap, sedang kedua tangannja terus diadjukan kedepan, hingga disitu djuga di rasakan bau batjin jang terbawa gerakan tangan itu. Guru Budi terkedjut. Ia mendapat tjium bau itu, lantas kepalanja terasa pusing dan matanja ber-kunang2, dadanja pun mendjadi sesak. Ia tidak sangka tangan Thian Ok demikian beratjun, hingga belum lagi tangan itu mengenai tubuhnja, hawanja sudah demikian berbahaja. Dengan lantas ia melompat mundur. Pengawalnja Khan melihat suasana buruk, ia mengutarakan itu kepada djundjungannja seraja mohon petundjuk.

   "Kau tutuplah semua pintu, larang siapa pun keluar dari sini!", radja itu memerintahkan. Khan lantas ingat akan pesan Hong Bok Ya halnja Lie It telah datang dan berada diantara mereka, ia mendjadi kuatir, selagi kekatjauan berdjalan, pangeran itu nanti kabur meloloskan diri. Setelah itu dengan tawar ia berkata .

   "Kamu perintahkan orang mengundang Thian Ok Toodjin pergi kebelakang untuk beristirahat !". Titah ini ada mengandung maksud tersembunji tetapi sekalian pengawal mengetahui itu. Itulah titah rahasia untuk mereka membantui Guru Budi mengalahkan Thian Ok, untuk imam itu digiring kebelakang menanti Khan memeriksanja. Hanja Khan tidak berani omong terus-terang, dia menjebutnja "mengundang". Maitjan bersama Kakdu sudah lantas melompat madju, untuk turun tangan membantui Guru Budi. Didalam gelanggang, Thian Ok dan Guru Budi bertempur terus. Mereka sama2 liehay, mereka mengeluarkan kepandaian masing2. Sesuatunja ingin memperoleh kemenangan, dari itu, setiap serangan mereka sangat berbahaja. Oleh karenanja mereka tidak mendapat dengar perintah Khan itu, hingga mereka tidak tahu dua orang itu madju untuk membantui pihak jang satu. Dengan ilmu kepandaiannja, 'Hoe Koet Tok-Tjiang', Thian Ok hendak merobohkan Guru Budi. Selagi orang mundur itu, ia merangsak. Djusteru itu waktu, mendadak ia mendengar suara angin menjambar. Ia lantas menduga kepada penjerangan gelap.

   "Fui ! tidak tahu malu !", dia membentak. Tanpa memutar tubuh, ia memutar tangannja, menjerang ke belakang.

   "Buk !", demikian satu suara jang keras, lalu tubuh besar bagaikan kerbau dari Kakdu terpental balik dan djatuh djauhnja setombak lebih. Selagi Kakdu terhadjar itu, Maitjan madju terus. Dialah boesoe nomor satu bangsa Tuyuhun, dia pandai ilmu gulat bangsanja, maka itu, sambil berdongkol, kakinja terus menjambar kaki Thian Ok, sedang tangannja mentjoba mentjekal tangan si imam. Thian Ok melihat aksinja penjerang gelap itu, dengan lantas ia menantjap kuda2-nja dengan tipu silat 'Djatuh seribu kati', hingga tubuhnja djadi tak bergeming, hingga Maitjan gagal dengan sengkelitannja itu. Hanjalah, karena si boesoe memegang tangan orang erat2, dia membuatnja tangan badju si imam memberebet robek!. Masih Maitjan berdaja, untuk membekuk imam itu, atau mendadak dia merasakan menjedot hawa jang seketika djuga membuatnja kepala pusing dan mata kabur serta dadanja sesak, disusul sama lenjapnja seluruh tenaganja, hingga tubuhnja mendjadi lemas. Maka ketika Thian Ok mendupak, tubuhnja jang djangkung- kurus roboh terbanting bagaikan sepotong balok!. Baru sesudah itu, Thian Ok Toodjin melihat tegas siapa kedua penjerang gelap itu. Maitjan masih tidak apa, tetapi Kakdu, dialah pemimpin pasukan pengawal pribadi dari Khan Turki. Maka ia kaget tidak kepalang. Djusteru begitu, Guru Budi sudah madju pula untuk menjerang, tetapi sekarang dia madju sambil berseru.

   "Siapa djuga djangan membantui aku! Tidak dapat tidak, akan aku bekuk ini imam hidung kerbau !". GuruBudi tidak tahu orang datang untuk memisah atau membantui dia, orang dengan deradjat sebagai dia tidak menghendaki orang membantu padanja. Tadi pun, ketika Thian Ok mengatakan, dia mau main kerojok, dia sudah merasa malu sekali. Dia djuga tidak ingin orang memisahkan. Begitulah, dia telah mengasi dengar seruannja itu. Thian Ok sebaliknja sudah lantas timbul ketjurigaannja.

   "Kakdu pun turut menjerang, mungkinkah Khan mentjurigai aku ?", ia pikir. Karena Guru Budi sudah menjerang pula padanja, tidak sempat ia berpikir lama2, mesti ia melajani musuhnja. Khan mendjadi gusar sekali. Ia melihat Kakdu roboh dengan tidak bisa bangun pula. Pahlawan itu rebah dengan merintih, mukanja bengkak-bengap. Tidak demikian dengan Maitjan, jang terkulai bagaikan majat, mukanja hitam, darah keluar dari mata, hidung, mulut dan telinganja, terang dia telah terkena ratjun dan tak bakal hidup pula. Memangnja ia sudah membentji imam itu, jang meratjuni pohonnja, sekarang ia tidak bersabar lagi. Tapi, selagi ia hendak mengeluarkan titahnja, untuk melakukan penangkapan, diambang pintu terdengar suaranja si pengawal.

   "Pek Yoe Siangdjin datang menghadap !". Lantas terlihat seorang pendeta, jang tubuhnja tinggi dan besar dan djubah sutjinja jang mentereng mentjolok mata, muntjul diantara banjak orang, seperti djuga tidak nampak gerakannja, dia bertindak dengan orang2 jang berada didepannja pada terhujung mundur ke kedua pinggiran, beberapa diantaranja bahkan roboh memegang tanah, rupanja disebabkan mereka tidak keburu menjingkir atau tak dapat mempertahankan diri. Orang umumnja tidak ketahui, si pendeta sudah menggunai ilmu silatnja jang diberi nama "Tjiam Ie Sip-pat Tiat", tenaga-dalam jang dapat membuat orang roboh "delapan belas kali", hanja tjuma karena badjunja terlanggar. Sampaipun Kok Sin Ong dan Heehouw Kian, melihat ketangguhan orang beribadat itu, mendjadi terperandjat. Pek Yoe Siangdjin tidak bertindak dengan tjepat, tetapi toh lekas sekali dia telah tiba di gelanggang, disaat Thian Ok menggunai djurusnja jang berbahaja untuk menjerang hebat kepada Guru Budi. Dua2 Guru Budi dan Thian Ok tidak melihat datangnja pendeta itu, inilah disebabkan mereka lagi memperhatikan lawan masing2, sedang djuga, datangnja si imam sangat tjepat dan tanpa sesuatu tanda. Guru Budi mengertak gigi disebabkan ia merasakan dadanja sesak. Ia tahu betul, kalau pertempuran berlangsung terus setjara demikian, ia bakal kena dikalahkan si imam. Maka ia mengerahkan seluruh tenaganja, untuk menjerang hebat. Disaat kedua musuh itu menghadapi detik2 jang sangat berbahaja itu, jang akan menjudahi pertempuran mereka dengan dua2-nja bertjelaka, se-konjong2 mereka merasa tubuh mereka mendjadi tidak bertenaga, hingga keduanja kaget. Baru sekarang mereka melihat datangnja Pek Yoe Siangdjin, jang sebelah tangannja diadjukan, untuk dikibaskan. Thian Ok mengerti bahaja, dengan lantas dia melompat mundur. Tidak demikian dengan Guru Budi, jang terhujung mundur, sampai tudjuh tindak baru dia dapat mempertahankan diri!. Semua orang mendjadi kagum.

   "Bagus ! Bagus ...!", Hoe Poet Gie berseru seraja tangannja menggunai sumpit untuk mengetuk medja.

   "Pendeta tua ini kesohor namanja bukan kesohor kosong !".

   "Diantara orang sendiri, buat apa mengadu djiwa ?", demikian terdengar suaranja Pek Yoe, jang baharu itu waktu membuka mulutnja. Thian Ok djago tetapi ada dua orang jang ia takuti, jalah jang satu Yoe Tan Sin- nie, jang lainnja Pek Yoe Siangdjin ini, maka itu, meskipun ia diperlakukan demikian, ia tidak berani menundjuki kemurkaan, hanja karena ia mendongkol, ia membuka djuga mulutnja, untuk mendumal membela dirinja.

   "Dia ..., dia menuduh aku meratjuni hingga binasa kepada utusannja Goei Ong !". Goei Ong, atau Pangeran Goei, jalah gelarnja Boe Sin Soe. Mata jang tadjam dari Pek Yoe Siangdjin menjapu kepada majatnja Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang.

   "Adakah mereka perutusannja Boe Sin Soe itu ?", ia menanja.

   "Ja ..., benar ! Mereka terbinasa oleh ratjun ! Eh, ratjun ini rada aneh ...!", ia menambahkan. Guru Budi tidak puas terhadap Pek Yoe Siangdjin disebabkan Khan menghendaki ia mengalah dan gelaran Guru Negara harus diserahkan pada pendeta itu. Ia menurut dimulut, dihati tidak. Akan tetapi sekarang, menjaksikan ketangguhan Pek Yoe, ia menjerah, ia takluk betul2. Maka itu, walaupun ia tidak senang seperti Thian Ok, ia tidak berani mengutarakan itu, bahkan ia kata.

   "Benar, Siangdjin, kau pun telah melihatnja. Tidakkah kedua utusan ini mati setjara aneh sekali ? Dikolong langit ini, ada berapakah orang jang pandai menggunai ratjun ? Maka itu, bagaimana aku tidak mentjurigai dia ?".

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sudah, kau djangan rewel !", Pek Yoe berkata.

   "Nanti aku periksa dulu ! Thian Ok, lekas kau keluarkan obat pemunahmu, kau tolongi Maitjan !". Kemudian Bhiksu ini menghampirkan Khan, untuk memberi hormat, setelah mana, Khan menuturkan tjara kematiannja Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang barusan. Lalu ia periksa kedua majat, berulang kali, air mukanjamenundjuki herannja. Habis itu, ia menjapu dengan sinar matanja kepada para hadirin, mulutnja mengasi dengar kata2-nja jang dingin .

   "Siapakah jang menurunkan tangan djahat ini ? Dengan mempunjai kepandaian begini luar biasa, kenapa kau tidak mau bangkit berdiri memuntjulkan diri ?". Semua orang berdiam, semua mata mengawasi pendeta itu. ---oo0oo--- HOE Poet Gie tertawa . Ha ... ha ...ha ... Hi ... hi... hi ...", tangannja mementjet tangan Heehouw Kian. Djusteru itu terlihat satu orang , bangun untuk berdiri. Melihat dia, orang heran. Pek Yoe sendiri tidak terketjuali, karena dialah murid kepalanja.

   "Apa ? Kaukah jang membuatnja ?", guru itu tanja.

   "Bukan...!", sahut sang murid, jalah Yang Thay Hoa.

   "Hanja aku tahu, didalam ruangan ini ada satu orang jang mesti tahu perbuatan ini perbuatan siapa dan aku hendak melaporkannja setjara rahasia kepada Khan jang agung ".

   "Mari", kata guru itu, jang mengadjak muridnja menghadap Khan.

   "Orang jang bernama Siangkoan Bin jang datang bersama Thia Tat Souw itu jalah Lie It jang menjamar ", Thay Hoa lantas berkata.

   "Dia tidak menerima undangan tetapi dia datang kemari setjara diam2, dengan mengubah warna kulit mukanja, maka teranglah dia mengandung pikiran menentang Khan jang agung. Kedua utusan ini bukannja dia jang membunuhnja sendiri tetapi sudah tentu perbuatan kontjonja.

   "Oleh karena itu, terserah kepada Khan jang agung, bagaimana hendak mengambil tindakannja."

   Thia Tat Souw dan Yang Thay Hoa sudah mentjurigai Lie It, hanja mereka belum mendapatkan buktinja, tidak demikian dengan Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang, jang lantas mengenali, tetapi mereka ini berdua hendak membuka rahasia langsung kepada Khan sendiri supaja mereka memperoleh djasa, untuk mendapat persen atau anugerah, karena itu, mereka menutup mulut terhadap Tiat Souw dan Thay Hoa.

   Siapa tahu, baru Hong Bok Ya menjebut nama Lie It, atau dia lantas terkena ratjun dan menerima kebinasaannja demikian djuga kawannja.

   Keterangannja itu, jang kepalang tanggung, memberi keuntungan kepada Tat Souw dan Thay Hoa, jang sekarang mendjadi merasa pasti, maka djuga Thay Hoa muntjul setibanja gurunja itu.

   Khan kaget dan heran.

   "Sungguh besar njalinja Lie It !", pikirnja. Tanpa ajal lagi, ia memberikan titah-nja.

   "Tangkap Lie It! Tangkap hidup, djangan tangkap mati !". Yang Thay Hoa seeera memberi isjarat kepada Thia Tat Souw, dan Tat Souw, dengan hoentjwee-nja dimulut, lantas bangkit. Para hadirin semua heran, ketjuali mereka jang berada dekat dengan Khan. Inilah sebab mereka tidak dengar pembitjaraannja Thay Hoa dengan Khan itu, atau tiba2 tampak air mukanja Khan berubah mendjadi bengis. Lie It djuga tidak mendengar suaranja Thay Hoa, tengah ia bingung itu, ia melihat Tat Souw bertindak kearahnja. Ia mendjadi tjuriga tetapi dengan menabahkan diri, ia bangkit, untuk menjambut seraja menanja.

   "Thia Pangtjoe, ada titah apakah ?"

   Tat Souw membawa sikap biasa, ia mengangkat setjawan arak.

   "Mataku si orang tua tidak ada bidjinja, aku telah tidak mengenali thian-hee !", ia menjahut.

   "Maka itu aku hendak menghaturkan maaf ". Lie It terkedjut karena dipanggil thian-hee atau tuan pangeran."Apakah pangtjoe sudah mabuk ?", dia tanja. Tat Souw tertawa terbahak.

   "Hari ini aku sangat girang berkenalan dengan thian-hee !", katanja.

   "Mana aku mabuk ? Mari, mari, aku memberi selamat setjawan kepada thian-hee ". Sembari berkata begitu, Tat Souw minum araknja itu, akan tetapi bukannja ia menelannja, ia djusteru memuntahkannja, menjemprot kemuka Lie It, sedang dengan tjawan araknja, ia menimpuk kelengan si pangeran, dibagian djalan darah kiok-te-hiat disebelah dalam sikut. Tat Souw sangat liehay ilmu totoknja, ia sekarang menjerang dengan membokong, maka Lie It tidak dapat meluputkan diri. Dia tersembur dan tertotok djalan darahnja itu, tubuhnja lantas terhujung, terus roboh. Lamkiong Siang duduk didekat Lie It, dia terkedjut atas perbuatannja Tat Souw ini, meski begitu, ia sempat untuk berkata.

   "Toako, kau keliru! Dia memang Lie It tetapi dia sengadja datang kemari dengan menjamar! Dia datang dengan ada maksudnja! Dia mau menghamba kepada Khan jang agung !".

   "Makhluk tolol !", Tat Souw membentak ketua mudanja itu.

   "Kau tahu apa ? Dia datang untuk mengatjau ! Kau sendiri bakal kerembet, dan kau masih berani membelai dia ?". Lantas ketua itu menolak pembantunja itu, terus ia membungkuk, guna menjambar tubuh Lie It, untuk dibekuk. Belum lagi djari tangan orang she Thia ini dapat meraba tubuh pangeran itu, mendadak orang jang dirobohkan itu mentjelat bagaikan ikan gabus meletik, sembari dia mentjelat, satu sinar pun berkelebat. Dan itulah sinarnja pedang!. Tat So boleh gagah perkasa, akan tetapi diserang setjara demikian mendadak dandiluar dugaannja, sia2 belaka ia berkelit, walaupun ia sangat gesit. Djari telundjuk dari tangan kanannja telah terbabat kutung pedangnja si pangeran !. Maka kagetlah ia disamping tangannja terasa sakit sekali. Lie It kalah dari Tat Souw akan tetapi ilmu silatnja, jalah ilmu tenaga-dalamnja, ada dari kalangan lurus, meskipun ia roboh, selagi Lamkiong Siang berbitjara dengan pangtjoe itu, ia sudah bisa mengerahkan tenaga-dalamnja, maka itu lekas sekali ia bebas dari totokan. Disaat ia mau dibekuk, ia melompat bangun sambil menjerang. Bukan kepalang murkanja Tat So. Dengan hoentjwee-nja, ia segera menjerang ke kepala si pangeran. Tentu sekali, gerakannja sangat tjepat dan tenaganja dikerahkan. Lie It tidak berkelit, ia hanja menangkis. Keras kedua sendjata beradu, sampai suaranja menulikan telinga. Sendjata istimewa dari Tat Souw tidak terpapas kutung sebab bahannja dari badja dan besi terpilih dan digunakannja djuga dengan bantuan tenaga dalam jang mahir. Lamkiong Siang gelisah sekali tetapi dia tidak berani madju sama tengah, untuk memisahkan, sedang para hadirin bingung, tak mengerti mereka kenapa dua orang itu bertarung tidak karu2-an, hingga mereka djuga tidak berani lantjang turun tangan. Semua mundur sambil menonton. Pertempuran mendjadi hebat sekali. Jang satu djeri dan hendak membela diri, jang lain gusar dan sengit dan hendak membekuk lawannja. Boe Hian Song tidak menjangka Lie it turut hadir dalam pertemuan ini, ketika ia mendengar keterangannja Yang Thay Hoa, ia heran dan kaget, mulanja ia tidak mempertjajainja, baru setelah menjaksikan aksinja Thia Tat Souw, hingga keduanja mendjadi bertarung, lenjap kesangsiannja. Paling dulu ia mengenali pedangnja Lie It, lalu ilmu silat si pangeran, ilmu pedang Ngo-bie-pay, baru ia menegas orangnja, tak perduli warna kulit muka orang tidak wadjar!. Achirnja, disini ia bertemu pangeran itu. Setelah itu, ia mendjadi bingung, ia menguatirkan keselamatannja si pangeran. Thia Tat Souw liehay, dia mendesak. Tidak terlalu lama, Lie It nampak kewalahan. Pangeran ini mesti membela diri sadja, hingga tidak sempat ia membalas menjerang seperti bermula. Ia membuat Hian Song putus daja. Sebagai selir Khan, si nona tidak bisa membantui pangeran itu. Maka tidak dapat bertindak untuk dia melainkan bisa bersikap tenang, agar dia tidak membangkitkan ketjurigaannja Khan Turki itu. Biar bagaimana, dia toh terlihat tegang. Khan heran, ia mengawasi.

   "Karosi, kau kenapa ?", tanjanja.

   "Ada apakah? Djangan takut, tidak nanti mereka bertempur sampai disini! Aku tjuma hendak melihat kepandaian mereka itu. Djikalau kau takut, nanti aku perintahkan Guru Budi membekuk Lie It itu, untuk mengachirkan pertarungan ini ".

   "Tidak apa2

   ", djawab Hian Song.

   "Aku bukannja takut, aku hanja sedikit tjuriga ...".

   "Bagaimana ?".

   "Entah apa katanja si utusan Tiongkok barusan ? Bukankah dia membilang Lie It ini ada pernahnja dengan Boe Tjek Thian ? Bukankah Boe Tjek Thian itu kaisar wanita dari Tiongkok ?".

   "Benar ...".

   "Bukankah Sri Baginda mengatakannja Lie It ini turunan kaisar Tong ? Kalau benar maka dialah musuhnja Boe Tjek Thian. Kenapa utusan Tiongkok itu membilang dia orangnja Boe Tjek Thian ?", Hian Song membalik hal. Sebenarnja Hong Bok Ya hendak mengatakan ia, bukannja Lie It, tetapi karena dia mati mendadak, Hong Bok Ya tidak keburu omong djelas. Kebetulan untuk Hian Song, ketika ini menggunakan ketjerdikannja. Khan tidak mentjurigai selirnja ini, tidak demikian dengan Thian Ok Toodjin.

   "Meskipun benar Lie It ini turunan radja Tong ", kata Khan.

   "akan tetapi karena dia tidak sudi menghamba padaku, ada kemungkinan dia benar orangnja Boe Tjek Thian. Untuk menetapkan sesuatu adalah sulit. Lihat Boe Sin Soe. Bukankah dia keponakannja Boe Tjek Thian? Bukankah dia telah mengutus wakilnja meminta bantuanku, supaja aku mengangkat dia mendjadi kaisar ?". Lega hati Hian Song mendapatkan Khan tidak tjuriga. Maka lantas ia memikir lain. Ia memikir daja untuk menolong Lie It. Sembari berpikir itu, ia melihat kesekitarnja. Tiba2 hatinja bertjekat. Diluar tahunja, Thian Ok mengawasi ia dengan tadjam. Imam itu makin lama makin keras tjuriganja. Ia merasa pasti Hian Song, sebagai selir mempunjai kepandaian silat jang tinggi. Ia melihatnja dari sinar mata orang jang tadjam sekali. Sudah begitu, ia mendengar suara si nona, suara jang ia rasa kenal, entah dimana pernah ia mendengarnja, ia lupa.

   "Terang-terang tadi Hong Bok Ya menundjuk dia ", pikir Thian Ok.

   "Sajang kata2-nja itu terhenti setengah djalan. Tidak bisa djadi kalau dengan kata2 'dia' dimaksudkan Lie It!. Pernah apakah dia dengan Boe Tjek Thian ? Apakah dia mata2 Boe Tjek Thian atau orang jang tjuma ada hubungannja ? Toh dialah puterinja seorang suku radja dan dia sekarang mendjadi selir Khan ? Tak mungkin dia bersanak dengan Boe Tjek Thian ". Bagaimana keras tjuriganja, Thian Ok Toodjin tidak dapat membuktikan ketjurigaannja itu dan ia pun tidak berani bertindak sembrono, guna membukakedok si nona. Boe Hian Song dapat menduga si imam lagi berpikir keras, maka ia lantas bertindak, untuk mendahului turun tangan. Ia berbisik ditelinga Khan .

   "Matanja imam itu seperti mata bangsat, dia selalu mengawasi tadjam padaku, aku takut ...". Khan memandang kearah Thian Ok. Ia memang bentji imam itu, jang merusak pohonnja, sekarang ia mendengar perkataan sang selir, hatinja mendjadi panas. Tapi ialah radja, ia djuga tengah membutuhkan tenaga orang, terhadap tetamunja itu, tidak dapat ia bertindak sembrono. Ia mengawasi dengan sinar mata tawar.

   "Guru Besar, dapatkah kau melihat siapa jang sudah meratjuni utusan Tiongkok itu ?", ia tanja Pek Yoe Siangdjin.

   "Hebat ratjun itu! Hari ini si djahat itu mesti dapat ditjari !". Kembali ia mengawasi Thian Ok. Ia kuatir Thian Ok ini sahabatnja Pek Yoe Siangdjin, dengan begitu ada harapan Pek Yoe nanti melindunginja. Pek Yoe Siangdjin mengerutkan dahi. Baru sadja ia memeriksa majatnja Hong Bok Ya berdua. Ia telah mentjium bau darah dari kedua utusan itu.

   "Benar, Sri Baginda ", ia mendjawab.

   "Turut pemeriksaanku, kedua utusan itu bukannja mati disebabkan obat beratjun ...".

   "Apa? Kau dapat melihat itu ?", Khan tanja.

   "Siapakah si djahat ?".

   "Mereka bukannja terkena obat ratjun ?". Kakdu pun tanja, heran.

   "Kenapa mereka mengeluarkan darah dan mati lantas ?". Pek Yoe Siangdjin mengasi lihat roman sungguh2, ia kelihatan bengis.

   "Nanti, aku periksa dulu sendjatanja si djahat itu ", bilangnja. Mendadak dia membalikkan tubuhnja Hong Bok Ya, untuk menekan djalan darah tay-twie-hiat dipunggung, terus dengan kedua djari tangannja, ia mentjabut sesuatu, jalah djarum Bwee hoa-tjiam pandjang tiga dim. Setelah itu, dengan sebat ia berbuat demikian djuga pada tubuh Tjiok Kian Tjiang serta berhasil pula mengeluarkan sematjam djarum rahasia. Khan dan para hadirin dimedja utama mendjadi kaget. Khan heran untuk liehaynja si "pendjahat", jang perbuatannja demikian sebat dan terahasia, hingga tiada orang jang melihatnja. Kalau ialah jang diserang djarum itu, bukankah ia tidak berdaja dan bakal bertjelaka ?. Dilain pihak, orang kagum untuk Pek Yoe, jang demikian liehay. Tidak sadja dia mengetahui duduknja hal bahkan lantas dia menundjukkan buktinja.

   "Djarum bwee-hoa-tjiam ini bukan miliknja Thian Ok Toodjin ", kata Pek Yoe kemudian.

   "Dia mempunjai djarum Touw-koet Sin-tjiam dan aku kenal baik djarumnja itu ". Habis berkata, orang liehay ini meletakkan djarum ditelapakan tangannja, lalu ia bertindak menghampirkan Heehouw Kian, mendadak ia berkata.

   "Bukankah kau Kim Tjiam Kok-Tjioe Heehouw Kian ? Telah lama aku si pendeta tua mengagumimu !".

   "Nama Siangdjin besar hingga bagaikan guntur jang menulikan telinga, aku si orang tua djuga mengaguminja !", menjahut Heehouw Kian. Pek Yoe Siangdjin tertawa.

   "Hari ini kita dapat bertemu, sungguh beruntung!", katanja puIa.

   "Kita berdua, mari kita mengikat persahabatan!". Kata2 itu dengan mendadak disusul dengan angsuran tangan, untuk mentjekal tangan si tabib, nampaknja untuk berdjabatan, sedang sebenarnja itulah serangan jang sangat berbahaja, serangan untuk menangkap tangan. Serangan itu lunak diluar, keras didalam hingga tidak sembarang mata dapat mengenalnja. Se-konjong2 Hoe Poet Gie bangkit, sembari tertawa 'ha-ha hi-hi', ia berkata.

   "Aku si Hoe jang tua bangka tak mempunjakan nama, maka itu, Siangdjin, apakah kau djuga tidak mengagumi aku? Mari, mari ! Kita pun mengikat persahabatan !". Lalu dengan meng- gojang2-kan kipasnja, ia menjodorkan tangannja diantara tangan mereka itu berdua, tepat ia membentur tangannja Pek Yoe. Bentrokan kipas dengan tangan itu menerbitkan suara njaring serta muntjratnja lelatu api. Sebagai akibatnja, dua tulang kipas, jang terbuat dari badja pilihan, telah kena disambar patah, itulah bukti hebatnja djeridji tangan dari Pek Yoe Siangdjin, jang telah mahir sekali ilmunja, 'Tiat-Tjie Sin-Kang' atau 'Djeridji Besi'.

   "Bagus betul!", Hoe Poet Gie berseru, gusar.

   "Aku hendak mengikat persahabatan dengan kau tetapi kau merusak kipasku, kau kurang adjar sekali!. Belum pernah aku menemui orang tak sopan sematjam kau!". Orang she Hoe ini tidak melainkan mengutarakan kemurkaannja, dengan kipasnja jang dirangkap, dia lantas menjodok. Ia pula beraksi bagus sekali, jalah sekali ber-kata2 itu, tubuhnja menggigil, sebagai djuga ia tengah sangat gusar, hingga karena tangannja turut bergemetar, udjung kipasnja pun ber- gojang2. Hingga udjung kipas itu seperti mendjadi belasan buah! Pek Yoe Siangdjin kaget tidak terkira. Sodokan itu, ia tahu, jalah sodokan ke djalan darah. Tengah ia kaget itu, tahu2 dua kali ia telah kena tertotok satu di djalan darah kie-liauw di pinggang kanan, dan satunja lagi di djalan darah yang-leng di betis. Saking murka, ia berseru, tangan kirinja pun melajang! Hoe Poet Gie terkedjut. Totokannja itu jalah totokan2 jang liehay, tidak tahunja, semua totokan itu tidak mempan terhadap ini Guru Negara, jang seperti mempunjai tubuhKimkong satu arhat, jang tak dapat rusak. Kedua totokan itu melainkan hanja membikin Pek Yoe merasa kesemutan sadja. Disambar tangannja Pek Yoe itu tidak keburu Poet Gie berkelit, maka ia mengangkat kipasnja, untuk menangkis. Maka sekali lagi mereka bentrok. Kali ini hebat luar biasa bentrokan itu. Dengan lantas tubuh Poet Gie terhujung enam tindak, sedang Pek Yoe bergojang dua kali, kakinja tidak berkisar. Adalah djubah merahnja jang berkibar bagaikan diserang angin keras!.

   "Tuan2 ..., berhenti! djangan bertempur!", Khan berseru.

   "Guru Besar, apakah artinja ini? Siapakah sebenarnja jang menggunai djarum membinasakan kedua utusan itu ?". Pek Yoe Siangdjin menuding Heehouw Kian.

   "Dialah si tua-bangka ini!", ia mendjawab, seraja terus menuding Hoe Poet Gie dan menambahkan.

   "Dan dia ini kontjonja! Silahkan Sri Baginda mengeluarkan perintah membekuk mereka !".

   "Sri Baginda !", Heehouw Kian berkata.

   "hamba si orang tua, hamba tjuma bisa mengobati, tidak bisa hamba meratjuni!". Khan bersangsi. Ia telah melihat sendiri tabib itu mengobati pohonnja, sedang Maha Guru Matu membilangi dia halnja si tabib sudah menjembuhkan puteranja, hingga sedjak semula, ia berkesan baik terhadapnja. Dengan setengah pertjaja dan setengah tjuriga, ia kata pada Pek Yoe Siangdjin.

   "Tjara bagaimana Maha Guru ketahui dianja ?".

   "Dia bergelar Kim Tjiam Kok Tjioe ", djawab Pek Yoe.

   "dia dapat menolong orang dengan djarumnja, dia djuga dapat membunuh! Hamba berani pastikan, dialah si pembunuh. Tidak salah lagi!". Ketika itu Boe Hian Song berbisik pula.

   "Ketika kedua utusan itu mati, Pek Yoe Siangdjin masih belum datang!". Mendengar itu, hati Khan bertjekat.

   "Benar ...!", katanja.

   "Dia tidak melihat dengan matanja sendiri, djangan kita menuduh orang baik hingga dia mendjadi penasaran!". Meski ia mengatakan demikian, Khan ini pun masih bersangsi. Kali ini ia bersangsi untuk menegur Pek Yoe Siangdjin. Tepat itu waktu, orang mendengar djeritan jang menjajatkan hati. ---oo0oo--- ITULAH djeritannja Lie It, jang terluka. Perhatian semua orang tertarik oleh tingkah polanja Pek Yoe Siangdjin, jang menjangka Heehouw Kian, hingga dia bentrok dengan Hoe Poet Gie, dengan begitu, pertempuran diantara Lie It dan Thia Tat Souw seperti dibiarkan sadja, tidak tahunja, pertempuran itu berlangsung terus, dan dengan hebat, hingga tahu2 terdengarlah djeritan si pangeran. Segera semua mata diarahkan kepada Tat Souw dan Lie It. Lie It sudah bertempur lima puluh djurus ketika ia kena terhadjar hoentjwee-nja Tat Souw. Ia terdesak sangat, ia pun seperti terkurung musuh, dari itu, hatinja gentar. Karena hatinja tidak tenteram itu, satu kali ia kalah sebat, rusuknja kena tertusuk hoentjwee, hingga ia merasakan sangat sakit dan darahnja keluar mengutjur membasahi badjunja. Saking sakit, ia sampai mendjerit itu. Boe Hian Song terkedjut, kuatirnja bukan main, tanpa dapat ditjegah, mukanja mendjadi putjat. Khan terkedjut. Ia menjangka selir itu tidak berani melihat darah. Ia pun melihat, meskipun Tat Souw bekerdja keras sekali, walaupun Lie It telah terluka, orang she Thia itu masih belum bisa merobohkan dan menawan lawannja.

   "Guru Besar, tolong kau tangkap dulu orang she Lie itu !", ia memberikan perintahnja.

   "Permaisuriku berhati ketjil, dia tidak dapat melihat darah mengalir ". Hian Song sebaliknja kaget karena mendengar titah Khan ini. Kalau Pek Yoe jang madju, pasti Lie It bakal kena ditawan. Pek Yoe Siangdjin tidak puas dengan perintah itu. Ia berkata tawar.

   "Untuk menjembelih ajam buat apa memakai golok kerbau ? Pula pembunuhnja kedua utusan itu masih belum dihukum ! Mohon titah Sri Baginda, dua orang ini hendak ditawan atau tidak ?". Khan menjangsikan Heehouw Kian sebagai pembunuh, dia menitahkan Pek Yoe menangkap Lie It pun sekalian sebagai siasat untuk menangguhkan urusan, siapa tahu, Pek Yoe memikir lain, keras niatnja membekuk Heehouw Kian dan Hoe Poet Gie, hingga dia berani berkata demikian kepada radja.

   "Baiklah!", kata Khan achirnja. Dia terdesak.

   "Sekarang biarlah Heehouw Sianseng dan Thian Ok Toodjin dipadu!". Kata2 itu menundjuki bahwa djuga Thian Ok ditjurigai, maka itu, mereka berdua perlu dipadu. Thian Ok Toodjin mendjadi panas hati. Dia berani, dia lantas berkata njaring.

   "Pintoo datang kemari dengan se-sungguh2-nja hati untuk membantu Sri Baginda. Tidak disangka, Sri Baginda malahan mentjurigai aku! Djikalau demikian, baiklah, pintoo akan mengundurkan diri!". Heehouw Kian menggunai saatnja jang paling baik ini, dengan roman dan suara menjataikan kegusarannja, ia berkata keras.

   "Saudara Hoe, dari tempat jang djauh kita datang kemari, siapa tahu kita dipandang sebagai orang djahat! Bagaimana sakarang?". Hoe Poet Gie sebaliknja tidakmendjadi kurang puas atau gusar, dia tertawa 'ha-ha hi-hi'. Dia djusteru sangat bergirang.

   "Tempat ini tidak dapat menerima orang, maka ditempat lain pasti akan ada orang jang dapat menerima kita!", ia berkata.

   "Baiklah, mari kita semua pergi! Djikalau pendeta sutji itu hendak melakukan penangkapan, persilakan!". Pek Yoe Siangdjin pun panas hatinja. Dia menarik Thian Ok, dia kata dengan keras.

   "Mohon Sri Baginda lekas mengambil putusan! Sri Baginda menghendaki kami atau mereka itu? Djikalau Sri Baginda tidak menawan itu dua orang djahat maka kami bertiga hendak pergi!". Tengah kekatjauan itu, pertarungan diantara Lie It dan Thia Tat Souw telah membawa perubahan. Dengan mengasi dengar suara menggabruk keras, ketua Hok Houw Pang itu roboh terbanting!. Itulah hebat! Itulah luar biasa!. Para hadirin heran ...!. Bukankah barusan sadja Thia Tat Souw telah menang diatas angin, hingga Lie It kena tertusuk hoentjwee-nja? Kenapa sekarang, dari lebih unggul, dia djusteru tertikam hingga roboh terlukai ?. Guru Budi senantiasa memasang mata, lantas dia berteriak .

   "Ha, benar2 si orang tua-lah jang melepaskan djarum bwee-hoa-tjiam !". Khan mendengar itu, dia melengak. Dia tidak puas atas sikap Pek Yoe barusan, dia berkesan tidak manis terhadap Thian Ok Toodjin, akan tetapi dipihak sana, Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian, merekalah orang2 baru, orang luar, meski mungkin Heehouw Kian bukan si pembunuh, dia toh tidak dapat karena kedua orang itu membuatnja Pek Yoe Siangdjin tidak senang. Maka akhirnja dia lantas mengambil putusan. Dia melemparkan tjangkirnja ke lantai seraja berseru dengan titahnja .

   "Tangkap dua orang itu !". Titah itu ditaati, sekalian boesoe sudah lantas bergerak. Hoe Poet Gie tertawa berkakakan, dia berkata njaring .

   "Aku si orang tua, djikalau aku suka, aku datang, djikalau tidak, aku pergi ! Mana dapat kamu menahan aku ?". Ia lantas mengibaskan kedua tangannja, kekiri dan kanan. Dua boesoe, jang bertubuh tinggi-besar, jang telah lantas datang, atas kibasan itu, tubuhnja terpental hingga setombak lebih. ---oo0oo--- MENGGUNAI ketika itu, Heehouw Kian melajangkan sebelah tangannja, menghembuskan asap, hingga ruangan mendjadi gelap karenanja, hingga ketika tubuh2 lompat berkelebatan, tubuh itu tidak nampak tegas. Sekalian boesoe tidak berani madju, mereka takut asap itu asap beratjun. Heehouw Kian melompatan kearah Lie It, niatnja jalah menolong pangeran itu, akan tetapi orang berdesakan, sulit ia madju.

   "Kemana kamu mau pergi ?", terdengar bentakan njaring dari Pek Yoe Siangdjin, jang dengan kedua tangannja menjerang ber-ulang2. Ia menggunai ilmu silat Pek Khong Tjiang, atau Tangan Memukul Udara, dengan itu ia mentjoba membujarkan asap.

   "Djangan takut !", Thian Ok Toodjin berseru.

   "Ini bukannja asap beratjun!". Heehouw Kian membekal sendjata rahasia jang ada ratjunnja tetapi ia tidak suka mentjelakai banjak orang, ia tidak menggunai itu. Pek Yoe Siangdjin tidak melulu membujarkan asap, segera tubuhnja mentjelat, menghampirkan Hoe Poet Gie, siapa mengibas dengan kipas besinja, menjambuti pendeta itu, jang ia arah telapakan tangannja dekat nadi. Pek Yoe menarik pulang tangannja untuk diselamatkan, berbareng dengan itu, kakinja melajang, tetapi atas itu, tubuh Poet Gie mentjelat mundur setombak lebih, lalu tanpa menoleh pula, ia berkelit, membebaskan diri dari bokongan dua boesoe dibelakangnja, siapa ia teruskan menjikutnja hingga mereka itu roboh dengan pingsan. Pek Yoe menjaksikan gerakan orang, ia mengagumi kegesitan lawan itu. Tapi ia tidak tjuma mendjadi kagum. Ia madju terus, kali ini kearah Heehouw Kian. Dalam sekedjap, ia tiba di sisi si tabib. Heehouw Kian melihat datangnja musuh jang liehay itu, ia mendahului menjambut dengan totokannja. Ia lantas ditangkis Pek Yoe, hingga kedua tangan mereka bentrok. Atas itu tubuhnja terangkat, mentjelat tinggi, hingga perlu ia berdjumpalitan dua kali untuk dapat menaruh kaki diatas medja. Berat dan keras turunnja itu, sang medja tidak dapat bertahan, medja itu ambruk, hingga hantjurlah piring-mangkok dan tjangkir diatasnja. Hingga ada beberapa pengawal didekat medja, jang terluka petjahan beling. Menjaksikan itu, Hoe Poet Gie tertawa ter-bahak2. Lalu sembari tertawa, bersama Heehouw Kian ia kabur ke arah luar!. Didalam benrokan diantara Pek Yoe Siangdjin dan Heehouw Kian itu, si pendeta liehay menggunai pukulan tenaga 'Kim Kong Tjiang', atau 'Tangan Arhat', dan Heehouw Kian memakai 'It Tjia Sian-Kang', atau 'Sentilan Djari Tangan'. Pek Yoe telah melatih tubuh hingga dia tidak takuti sentilan atau totokan, akan tetapi totokannja Heehouw Kian umpama kata dapat "membikin emas berlubang atau batu remuk", maka itu, akibat bentrokan itu, dia merasakan gontjangan keras padadjantungnja dan tubuhnja bagaikan beku, sedang lawannja mental tinggi. Dengan begitu, mereka mendjadi sama unggulnja. Dengan mengerahkan tenaga dalamnja, Pek Yoe membebaskan diri dari gangguan serangan djeridjinja Heehouw Kian, lantas dia berseru kepada muridnja ."Thay Hoa, pergi kau bekuk itu botjah!. Thian Ok, Biat Touw, mari kita bertiga mengurung ini dua tua-bangka supaja dia djangan dapat lolos !". Yang Thay Hoa menurut perintah gurunja, dia lantas bergerak, untuk lari kepada Lie It, akan tetapi Kok Sin Ong, jang berada disampingnja, berkata sambil tertawa lebar.

   "Nanti aku mewakilkan kau!". Dimulut Sin Ong mengatakan demikian, tetapi tangannja melajang kepada murid kepala dari Pek Yoe itu. Thay Hoa kaget, dia berkelit.

   "Kok Loo-bengtjoe !", dia tanja, heran.

   "kau ...! apakah kau kawan mereka itu ?". Ia belum menutup mulutnja, atau Sin Ong sudah menjambar pula hingga dia terguling. Dengan lantas mentjabut sepasang pedangnja, Kok Sin Ong madju kearah Lie It. Ia menjerang kedepan, kekiri dan kanan, guna membuka djalan, ia membikin kedua pedangnja bentrok hebat dengan gegamannja pelbagai pengawal Khan, hingga ada pedang atau golok jang mental terlepas dari tjekalan. Ialah ahli pedang dan kali ini ia mengeluarkan kepandaiannja ilmu pedang Liap In Kiam-hoat latihan beberapa puluh tahun, dengan begitu merdeka dia bergerak baik pun ditempat sempit. Repot kawanan pengawal Turki, tidak dapat mereka memegat atau merintangi. Biat Touw Sin-Koen menjaksikan segala kedjadian itu, untuk sedjenak, dia bingung. Bukankah Pek Yoe mengadjaknja untuk menawan Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian ?. Tapi sekarang Kok Sin Ong mengamuk, dia mendjadi berkuatir untuk keselamatannja Khan. Tak dapat dia bersangsi pula, maka dia melompat, guna memegat.

   "Bagus !", seru Kok Sin Ong melihat datangnja perintang itu. Ia lantas menendang satu pengawal, jang menghadang didepannja, hingga pengawal itu terdjungkal, lalu meneruskan, ia menikam Biat Touw, jang ia papaki dengan pedangnja. Ia mengarah djalan darah soan-kie di dada. Ia berbuat begini karena ia ketahui baik, dengan djumlah jang sedikit, sulit untuk melajani lama2 kepada musuh jang banjak, sedang gelanggang adalah istana Khan.

   "Orang tua she Kok, sungguh hebat ilmu pedang Liap In Kiam-hoat kau ini!", Biat Touw Sin- Koen memudji sambil ia menangkis, dengan sendjatanja, patjul peranti menggali pohon obat2-an, hingga kedua sendjata djadi beradu. Njatalah mereka sama unggulnja. Kok Sin Ong tidak mengambil mumat pudjian lawan, ia terus menjerang, beruntun hingga tiga kali tikam pulang-pergi, selama mana, dengan patjul pengoretnja, Biat Touw dapat menghindarkan diri dari antjaman mara-bahaja. Ia menangkis dengan dua djurusnja "Bunga saldju menutup kepala", dan "Pohon tua melingkarkan akarnja", rapat sekali pendjagaan dirinja. Dengan begitu ia membuat serangan Sin Ong tidak berhasil. Kok Sin Ong berpikir .

   "Biat Touw mendjadi satu jang terlemah diantara Hek Gwa Sam Hiong, njatanja dia liehay sekali, djikalau aku tidak mengadu djiwa, sukarlah untuk menoblos kurungan ini !". Maka ia mendjadi seperti nekat. Sin Ong tjuma menang seurat terhadap Biat Touw, karena itu, untuk mendjatuhkan lawan itu, ia mesti berkelahi tiga-sampai lima-ratus djurus, sekarang ia menghendaki keputusan jang tjepat, itulah sulit, terutama musuh berdjumlah besar sekali. Lantaran ini ia menukar siasat, tidak mau ia melajani terus2-an. Ketika itu pun, dengan satu lirikan, ia melihat Lie It sudah kabur hingga diluar pintu. Segera ia melompat untuk menjingkir, sambil melompat, ia menjerang hebat kekiri dan kanan, kedepan untuk membuka djalan. Dengan tjaranja itu, kembali ia merobohkan beberapa pengawal. Biat Touw terhalang oleh banjaknja pengawal, kalau ia turut mengamuk, ia bisa melukai kawan sendiri. Karena ini, ia tidak dapat menjusul. Tidak lama, Kok Sin Ong sudah sampai di luar pendopo. Tapi ia tidak mau sudah, ia mengedjar. Tatkala itu, djuga Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian sudah diluar. Itulah taman keradjaan. Ditaman itu, kawanan pengawal Khan sudah menutup pelbagai djalan keluar. Ditengah taman, jang mendjadi seperti kosong, Pek Yoe Siangdjin bersama Thian Ok Toodjin madju untuk menghadang. Sambil berseru, Pek Yoe menjerang Heehouw Kian. Ketika ia melompat, djubahnja berkibar bagaikan mega merah, jang hendak menungkrap kepalanja si tabib atau si Ahli Djarum Emas. Heehouw Kian tidak berani keras melawan keras. Ia tahu, dengan serangannja itu, Pek Yoe memandang enteng kepada lawannja. Memangnja pendeta itu lebih tangguh daripadanja. Maka dengan kelintjahannja, ia berkelit kebelakang. Pek Yoe Siangdjin tidak mau mengerti jang musuh dapat lolos, dia melompat pula, untuk menjusul terus, bagaikan gerakannja bajangan. Kembali dia berseru, kembali dia mentjelat madju, untuk menghadjar dari atas. Menjaksikan aksi musuh itu, Hoe Poet Gie lompat mentjelat djuga, tubuhnja seperti terapung naik. Ia mengarah kepada telapakan tangan musuh, untuk di- totok. la merasa tjuma itulah bagian jang lemah daripada si pendeta. Denganserangannja ini, ia mau menolong kawannja jang terdesak itu, jang terantjam bahaja. Tadi Pek Yoe telah beladjar kenal dengan totokan orang she Hoe itu, meskipun ia bertubuh kedot, ia toh djeri, maka atas sambutan Poet Gie, ia batal menjerang terus kepada Heehouw Kian, ia meneruskan melompat kesamping. Sebagai orang liehay, ia dapat menguasai segala gerak-geriknja sendiri. Karena lawan membatalkan serangannja, Hoe Poet Gie tidak dapat menotok. Dilain pihak, Heehouw Kian djuga tidak berdiam sadja. Ia kembali tidak mau menjambut serangan dahsjat dari Pek Yoe itu, ia melompat. Djusteru itu, ia tiba disisi Thian Ok Toodjin, jang telah mengambil kedudukan untuk mengimbangi Pek Yoe. Keduanja musuh besar, satu dengan jang lain. Thian Ok bentji sangat si tabib, maka itu, tidak menanti Kim Tjiam Kok-Tjioe menaruh kakinja ditanah, ia membarengi menjerang. Ia madju sambil mengebut ke muka orang. Kebutannja ini merupakan pukulan dari kematian. Hoed-tim, atau kebutannja itu, lantas sadja terbuka mentjar mendjadi ribuan batang. Diwaktu dikerahkan seperti itu, setiap benang kebutan itu merupakan seperti djarum jang halus tetapi kaku dan tadjam. Heehouw Kian boleh liehay, dia memang menang seurat, akan tetapi didalam keadaan seperti itu, dia kalah angin. Tentu sekali, dia tidak suka memperbahajakan dirinja. Sebagai orang liehay, dia pun telah dapat menduga. Demikianlah selagi tubuhnja turun, tengah Thian Ok menjambut dia dengan kebutan, mendadak dia mementang mulut, untuk meniup dengan keras. Hebat tiupannja itu, anginnja membuat kebutan bujar balik. Berbareng dengan meniup, dia djuga mengajun sebelah tangannja kearah musuh. Thian Ok terkedjut lantaran kebutannja dipunahkan. Saking terkedjut, dia kelihatan gugup dan lambat gerakannja, maka serangan si tabib mengenai tubuhnja, hingga dia terhujung dua kali, mukanja mendjadi sangat putjat. Tapi karena dia tidak roboh, dia tidak mau menjingkir. Lantas dia mengasi dengar tertawanja jang seram.

   "Orang tua she Heehouw, kau hebat !", katanja tadjam.

   "Marilah, mari aku mentjoba pula kepandaianmu memunahkan ratjun !". Heehouw Kian terkedjut. Ia memang heran kenapa Thian Ok kena terhadjar barusan. Mestinja imam itu dapat berkelit, atau kalau dia mau, dia bisa menangkis. Kenapa si imam seperti sengadja manda digebuk ? Maka tertawa dan kata2 si imam membuatnja sadar. Dengan lantas ia merasakan tangannja gatal dan baal, kontan tangannja itu bengkak hingga dilengan. Ia tahu bagaimana harus berbuat. Dengan lantas ia mengeluarkan djarum emasnja, untuk menusuk diri hingga tiga kali, dimuka telapakan tangannja, di djalan darah kiok-tie ditekukan sikut, dan didjalan darah giok-hie diketiak.

   "Apakah ilmumu Hoe Koet Sin-Kang dapat berbuat atas diriku ?", ia kata dengan tertawa dingin selekasnja ia selesai menusuk dirinja. Perkataannja ini dibarengi terajunnja tangannja, untuk menerbangkan djarum emasnja kearah si imam. Maka belasan batang djarum menjambar dengan berkeredepan dengan sinar emas. Thian Ok terkedjut djuga. Ia tidak menjangka, sesudah terkena ratjun, si tabib masih dapat membalas menjerang. Untuk membela diri, ia lantas menimpuk dengan djarumnja, djarum Touw Koet Sin-Tjiam. Maka itu, kedua matjam djarum lantas saling bentrok dan runtuh ditengah djalan, ketjuali beberapa djarumnja Heehouw Kian, jang dapat melintasi rintangan. Inilah disebabkan tenaganja Thian Ok telah berkurang, bekas tadi ia mengurasnja terhadap Guru Budi. Pek Yoe Siangdjin lagi melajani Hoe Poet Gie kapan ia melihat Thian Ok terantjam bahaja, terpaksa ia meninggalkan lawan itu, untuk mentjelat kearah si imam, untuk menjerang djarum tanpa menanti turunnja tubuhnja. la menjerang dengan Pek Khong Tjiang, membikin beberapa batang djarumnja Heehouw Kian djatuh ke tanah, hingga si imam djadi ketolongan. Pertempuran diantara kedua rombongan ini djadi berimbang. Hoe Poet Gie kalah tenaga-dalam dipadu dengan Pek Yoe Siangdjin, sebaliknja Thian Ok keteter oleh Heehouw Kian. Hebat mereka bertarung. Karena itu, banjak pengawal tidak berani madju menjelak, untuk membantu pihaknja. Lie It dilain pihak sudah sampai djuga di taman, lantaran ia terus dikepung kawanan pengawal, tidak bisa ia menghubungi diri dengan Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian. Sjukur untuknja, ia menggenggam pedang mustika jang tadjam luar biasa, maka siapa terkena pedangnja, sendjata atau pengawal, mereka tentu terluka. Ia sendiri sudah memperoleh beberapa luka djuga, bagusnja semua luka bukan jang membahajakan djiwa. Lantaran ia gagah dan pedangnja istimewa, kawanan pengawal tidak berani mengepung terlalu rapat. Belasan pengawal sudah rebah ditanah sebagai kurban pedang mustika. Yang Thay Hoa dapat menjandak selagi pertempuran berlangsung. Kok Sin Ong heran.

   "Dia terhadjar tanganku, dia tidak terluka, dia tangguh ", pikir Sin Ong.

   "Kalau begini, Lie it terantjam bahaja ...". Kok Sin Ong mendjadi saudara-angkat dari Oet-tie Tjiong, gurunja Lie It. Datangnja ini djuga sengadja, untuk menolong sipangeran, jang mendjadi keponakan-muridnja. Tapi ia dirintangi Biat Touw Sin- Koen. Meski dalam hal tenaga-dalam ia menang seurat, ia toh repot djuga. Dalam saat2 itu, tidak bisa ia melepaskan diri dari libatannja Biat Touw. Setibanja Yang Thay Hoa, rombongan pengawal jang mengepung Lie It lantas membuka djalan, mereka mundur ke kedua samping. Segera muridnja Pek Yoe sampai didepan si pangeran, lantas dia menjerang, tangan kirinja dipakai mengantjam, tindju kanannja diadjukan tjepat, untuk menangkap tangan lawan. Dia telah menggunai ilmu silat 'Tay Kim-na Tjioe' atau 'Tangan Menangkap', untuk merampas pedang orang. Maka itu, sangat berani pertjobaannja itu. Lie It mendongkol, ia menjambut dengan satu tabasan. Yang Thay Hoa menjampok, djari tangannja menjentil.

   "Trang !", terdengar suara njaring, dan udjung pedang mental. Djusteru itu, tangan kirinja Thay Hoa menggantikan madju, guna mendjambak dada ! Lie It terkedjut, tetapi ia melawan. Ia menarik pulang pedangnja, untuk dipakai menikam. Dengan tangan kirinja, ia pun menjerang, guna merintangi djambakan orang itu. Udjung pedangnja mendjurus kedengkul lawan. Kedua tangan mereka bentrok satu dengan lain, hebat sekali. Lie It mendjerit keras, karena telapakan tangannja petjah dan mengeluarkan darah, rasanja sangat sakit. la kaget dan berkuatir. Akan tetapi didepannja itu, Yang Thay Hoa roboh terguling !. Yang Thay Hoa menang unggul daripada Lie It, seharusnja ia menang dalam bentrokan itu, akan tetapi baru sadja ia terhadjar Kok Sin Ong, benar ia tidak terluka diluar, didalam ia mendapat gempuran hebat, maka itu, mengadu kekuatan dengan si pangeran, ia mendjadi kalah tangguh. Benar Lie It sudah terluka tetapi dia terluka diluar, tenaga-dalamnja tidak terganggu. Demikian dia rohoh dengan terus memuntahkan darah, sedang dengkulnja djuga dimampirkan udjung pedang lawannja. Lie It djuga terluka bukannja enteng, sebab luka ini mendjadi tambahan bagi beberapa lukanja jang terdahulu. Dengan terlukanja telapakan tangan kirinja itu, ia sekarang tjuma dapat menggunai tangannja jang kanan. Didalam keadaannja jang sulit itu, kawanan boesoe Turki lantas meluruk. kepadanja. Mau atau tidak, terpaksa ia berkelahi mati2-an, untuk membela dirinja. Ia mengandalkan betul pedangnja jang tadjam luar biasa itu. Lagi beberapa pengawal terluka karenanja. Karena kenekatannja ini, kawanan pengawal tidak dapat merangsak terus, bahkan sebaliknja, mereka merenggangkan kurungan. Biar bagaimana, mereka djeri djuga. Lie It bingung bukan main. Ini toh saatnja jang terachir. Maka dapat ia mendobrak kurungan jang rapat itu ? Ia merasa bahwa tenaganja sudah habis. Tepat di detik bagaikan "lampu hendak padam"

   Itu, tiba2 terdengar satu seruan njaring .

   "Tian-hee, djangan bingung ! Lamkiong Siang disini !". Dan seruan itu disusul muntjulnja orangnja, jang dengan bengis menerobos kurungan, goloknja diputar hebat !. Lie It mendjadi girang, dengan sendirinja semangatnja berkobar pula.

   "Mari kita keluar!", ia berseru.

   "Mari kita mempersatukan diri dengan Hoe Lootjianpwee !". Belum berhenti suaranja pangeran ini, Lamkiong Siang telah sampai dihadapannja. Mendadak orang she Lamkiong ini tertawa dingin dan berkata dengan njaring .

   "Ja ...! Aku undang kau bertemu dengan Khan jang agung!". Berbareng dengan itu, sebelah tangannja diajun, hingga terlihatlah berkelebat menjambarnja sebatang hoei-too, atau golok terbang, jang putih mengkilap !. Bukan main kagetnja Lie It untuk ini matjam bokongan, apa pula djarak diantara mereka dekat sekali. Sama sekali ia tidak sempat menggeraki pedangnja, untuk menangkis. Dalam keponggok itu, ia mengegos tubuhnja, untuk berkelit. Masih ia tidak keburu, tanpa dapat ditjegah, golok-terbang nantjap di punggungnja.

   "Lamkiong Siang, bagus ja !", ia berseru, menahan sakit, lantas tubuhnja roboh bagaikan sepotong balok. Lamkiong Siang tertawa.

   "Tian-hee, maafkan aku!", ia berkata seraja membungkuk, untuk memegang tubuh orang, untuk diangkat bangun. Tapi selagi ia mau mengangkat itu, sekonjong-konjong Lie It berteriak bagaikan guntur.

   "Djahanam, se-rahkanlah djiwamu!". Lalu bagaikan ikan gabus meletik, tubuhnja si pangeran melompat bangun, sedang pedangnja meluntjur kearah dada, nantjap dan nembus kepunggung!. Dengan tidak kurang tjepatnja, Lie It mentjabut pedangnja, terus ia tertawa ber-gelak2. Semua pengawal kaget sekali menjaksikan musuh jang sudah roboh itu masih dapat membinasakan Lamkiong Siang, sampai mereka tidak berani madju menjerang. Yang Thay Hoa, jang tadi roboh, mendapat dengar tertawanja Lie It itu. Sebagai ahli, ia mengerti tertawa itu kurang dorongan tenaga-dalamnja, suatu tanda keadaannja si pangeran pun sudah letih sekali.

   "Segala kantung nasi!", ia mendamprat kawanan pengawal itu. Ia terluka dengkul kirinja, karenanja, ia roboh, tetapi kaki kanannja tidak kurang suatu apa, maka ia lantas merajap bangun, lalu dengan sebelah kaki itu, ia melompat menghampiri Lie It. Sebelum sampai, ia berdjumpalitan dulu, untuk membikin iabisa lompat lebih djauh. Sembari melompat itu, ia menjerang Lie It dengan pukulan Tjit Kim Tjiang-hoat, mengarah ke punggung. Lie It dapat mendengar dampratan orang dan dapat melihat djuga orang melompat kepadanja, ia memutar tubuhnja. Ia tidak lari atau berkelit, ia djusteru memapaki, untuk menjerang. Thay Hoa kaget. Ia tidak sangka orang masih demikian tangguh. Ia lantas menarik pulang serangannja itu, tubuhnja djuga ditarik mundur selekasnja kakinja mengindjak tanah. Tapi ia kalah sebat, maka djuga udjung pedang Lie It menantjap ditelapakan tangannja jang kiri, tangan jang dipakai menjerang itu.

   "Ha ...ha ... ha ... ha ...!". Lie It tertawa pula. Sekarang tertawanja itu makin lemah. Begitulah, selagi tubuh Thay Hoa roboh, tubuhnja sendiri, mengikuti berhentinja tertawa itu, turut roboh djuga. Kawanan pengawal kaget dan heran, akan tetapi mereka tidak berani madju, untuk menubruk atau menangkap. Mereka takut pangeran itu menggunai akal seperti tadi, hingga Lamkiong Siang menerima bagiannja. Mereka mengawasi, sampai mereka melihat tubuh orang tidak bergerak lagi dan pedangnja pun terlepas dari tjekalan, baru mereka madju, untuk menghampirkan. Lie It benar2 habis tenaganja. Kok Sin Ong kaget melihat pangeran itu ditangkap, ia pun gusar, sambil berteriak njaring, ia menjerang Biat Touw Sin-Koen. Ia menggunai dua2 pedangnja kiri dan kanan. Biat Touw terkedjut diserang setjara demikian, dengan ter-gesa2 dia menangkis, hingga sendjata mereka beradu dengan bersuara njaring, sampai lelatu apinja berpeletikan. Dia mendjadi lebih terkedjut lagi sebab patjulnja hampir lepas dari tjekalannja.

   "Kau membuka djalan atau tidak?", membentak Kok Sin Ong, jang mengulangi penjerangannja jang dahsjat itu, dengan salah satu djurus ter-liehay dari Liap In Kiam-hoat. Biat Touw kaget dan bingung, dengan lekas ia mundur. Latjur untuknja, ia masih kurang sebat, udjung pedang mampir djuga dilengannja, hingga lengan itu tergores merupakan sebuah luka pandjang. Karena dia terhalang Biat Touw Sin-Koen, Kok Sin Ong terlambat, Lie It sudah keburu digotong pergi oleh sedjumlah pengawal. Ia penasaran, ia hendak mengedjar, tetapi sekarang Pek Yoe Siangdjin sudah datang kesitu, bahkan pendeta itu lantas menjerang dengan djubah merahnja, jang menungkrap kepala. Dengan mengangkat tinggi pedangnja, Kok Sin Ong membuat perlawanan. Ia menggunai djurus 'Kie hoh liauw thian' atau 'Mengangkat obor membakar langit'. Kedua pedangnja menusuk dengan berbareng. Tiba2 ia mendjadi kaget. Pedangnja itu mengenai sasarannja, hanja bukan benda jang keras tetapi jang lunak sekali, dan bukannja pedang menembusi sasaran, sebaliknja kena tertekan keras, tertindih. Sia2 belaka ia mentjoba mempertahankan diri, pedangnja itu tidak dapat dibikin bergerak. Hatinja Biat Touw Sin-Koen mendjadi besar pula melihat datangnja bala bantuan. Ia madju untuk menghadjar punggung musuh. Tepat di itu waktu, Hoe Poet Gie tiba disitu. Dengan se-konjong2 Biat Touw merasai sambaran angin. Ia tahu apa artinja itu, ia lantas bergerak untuk menolong diri, tetapi ia terlambat, tahu2 lengannja telah kena tertotok kipas, lantas patjulnja djatuh terlepas. Hoe Poet Gie tertawa geli, katanja.

   "Kau djuga menjerahkan djiwamu!". Dan kipasnja, jang dirangkap, udjungnja meluntjur ke djalan darah kie-hiat didada, suatu djalan darah jang dapat meminta djiwa apabila terserang djitu. Pek Yoe Siangdjin sudah menguasai Kok Sin Ong, hanja satu kali sadja ia mengerahkan tenaganja, untuk mengulangi desakannja, tjelakalah orang she Kok itu. Djusteru itu, ia melihat Biat Touw Sin-Koen djuga terantjam bahaja maut. Mana dapat ia tidak menolongi? Terpaksa ia mesti melepaskan lawannja, untuk melajani jang lain. Dengan menerbitkan suara angin, Pek Yoe menjambar dangan djubahnja, jang ia tarik pulang dari atasan kepalanja Kok Sin Ong. Ia dapat bergerak sangat sebat dan berbahaja. Sekarang djubahnja itu mengantjam Hoe Poet Gie. Hoe Poet Gie meninggalkan Biat Touw, ia berkelit, sesudah itu, dengan ketjepatan jang luar biasa, ia melakukan penjerangan membalas. Pek Yoe memasang kuda2 berat seribu kati, ia menangkis, untuk menahan ladjunja kipas jang liehay dari si orang she Hoe. Ia berhasil dengan tjegahannja itu, dan karena ia mengerahkan tenaga setjara mendadak sekali, Poet Gie terhujung dua kali. Kok Sin Ong mendjadi bebas dari tindihan, dengan lantas ia menjerang pula pada Biat Touw Sin-Koen. Dia ini berlaku sebat, dia sudah mendjumput pula sendjatanja, maka itu, atas datangnja serangan, dia bisa menangkis, hingga kembali mereka mendjadi berkutat. Pertarungan terdjadi dalam tiga rombongan. Rombongan jang ketiga jalah diantara Thian Ok Toodjin dan Heehouw Kian. Mereka semua bertempur setjara hebat sekali, hingga umpama kata, 'matahari tidak bersinar, rembulan tidak bertjahaja'. Dua diantara Hek Gwa Sam Hiong, tiga djago dari Hek Gwa, wilajah perbatasan, jalah Biat Touw Sin-Koen dan Thian Ok Toodjin, telah terluka, meski benar luka merekatidak parah, toh tenaga-dalam mereka sudah mendapat gangguan. Dilain pihak, lawan mereka djuga telah tidak waras lagi. Heehouw Kian terkena pukulan Hoe Koet Sin-kang dari Thian Ok, betul ia bisa lantas menusuk diri dengan djarum emasnja, akan tetapi disaat pertempuran itu, ia tidak mempunjai kesempatan untuk beristirahat, bahkan sebaliknja ia mesti menguras terus tenaganja, dengan berlarutnja sang waktu, ia mendjadi menghadapi bahaja. Segera ia merasakan kepalanja pusing dan matanja mulai kabur.

   "Tjelaka!", serunja didalam hati. Kok Sin Ong djuga merasa bahwa ia bakal tidak sanggup bertahan lagi. Ia mengadu tenaga dengan Pek Yoe Siangdjin, kesudahannja itu hebat untuknja. Ia telah menggunai tenaga berlebihan. Sjukur untuknja, seperti Heehouw Kian, ia djuga menghadapi lawan jang sudah terluka itu, setjara demikian, ia masih sanggup memaksakan diri bertarung terus. Tengah melajani Pek Yoe Siangdjin, Hoe Poet Gie berlaku tjerdik, ia sudah menggunai ketikanja. Dengan mendadak ia mentjelat, akan menjerang Biat Touw Sin-Koen, hingga djago perbatasan ini mesti melompat mundur.

   "Kita telah makan dan minum tjukup, tjukup djuga kita berkelahi ", kata Hoe Poet Gie sambil tertawa djenaka.

   "kita harus menghaturkan terima kasih kepada tuan rumah kita untuk pelajanannja jang manis. Nah, marilah kita pamitan!". Heehouw Kian dan Kok Sin Ong mendengar suaranja kawan itu, mereka mengerti. Mereka insjaf, tidak dapat berdaja terus untuk menolongi Lie It, mesti mereka menolong diri terlebih dulu. Maka mereka menjambut adjakan itu. Heehouw Kian mendadak merabu dengan djarum emasnja, selagi lawan repot, dengan tjepat ia melompat mundur, berlari pergi. Demikian djuga Kok Sin Ong selekasnja dia merangsak musuhnja. Dibelakang mereka, Hoe Poet Gie mengiring, untuk mentjegah Pek Yoe Siangdjin merintangi kaburnja mereka. ---oo0oo--- DI dalam istana, hati Boe Hian Song sangat tidak tenteram. Ia mesti terus mendampingi Khan Turki, tidak dapat ia pergi keluar untuk melihat Lie It. Melainkan telinganja mendengar suara riuh dan berisik. Sjukur untuknja, Khan tidak mendapat lihat air mukanja, sebab radja itu tengah mengawasi keluar, hatinja pun berdebaran. Tidak berselang lama datanglah seorang pengawal dengan laporannja bahwa Lie It telah terluka dan tertangkap. Djikalau si nona kaget tidak terkira, Khan sebaliknja sangat girang.

   "Djangan bunuh dia!", segera ia memberi pesan.

   "Aku perlu dengan dia. Lekas bawa dia kedalam istana dan panggil tabib untuk mengobatinja!". Habis memberikan perintahnja, Khan mengisikan sebuah tjawan, ia angkat itu kehadapan selirnja jang baru.

   "Minumlah, untuk melenjapkan kagetmu!", ia berkata. Tapi segera ia mendjadi kaget. Baru sekarang ia menampak muka sang selir putjat-pasi. Lekas ia berkata pula.

   "Djangan takut, djangan takut, bahaja sudah lewat!".

   "Sungguh menakuti pertempuran itu ", berkata Hian Song, bersandiwara.

   "Oleh karena jang satu sudah kena ditawan, biarlah jang lainnja dilepaskan sadja ...".

   "Kau benar, mereka djangan dibikin mendjadi mogok dan mengamuk ", kata Khan, jang lantas menitahkan agar Pek Yoe Siangdjin djangan mengedjar musuh. Diantara tiga, Pek Yoe jang belum terluka, walaupun demikian, seperti Biat Touw Sin-Koen dan Thian Ok Toodjin, hatinja sudah tidak tenang lagi. Ia telah membuktikan liehaynja musuh. Melulu karena harus memegang deradjat, ia terus mengubar musuh2-nja. Sekarang datang titah Khan, hati mereka mendjadi lega. Dengan lekas mereka kembali ke istana. Semua pengawal djuga sudah lantas menghentikan aksi mereka. Hoe Poet Gie bertiga memang sudah lolos dari kepungan, dengan tidak dikedjar terus, mereka bebas dari antjaman bahaja. Sekembalinja Pek Yoe semua, Khan memerintahkan pesta ditutup, sebelum kembali ke keraton, ia memberitahukan, pertemuan akan dilandjuti besok. ---oo0oo--- DI dalam keraton, Khan kata pada selirnja jang baru.

   "Hari ini hari baik kita berdua, sajang ada gangguan. Sekarang kami hendak memeriksa Lie It, tidak dapat kami menemani kau lebih lama, mungkin kau tidak menjesalkan kami tetapi kami sendiri sangat menjesal !".

   "Sri Baginda baik sekali, aku berterima kasih ", kata Hian Song.

   "Djikalau Sri Baginda tidak membuat halangan, aku suka sekali turut menghadiri pemeriksaan itu ". Khan tertawa.

   "Kami tjuma kuatir kau nanti kehilangan kegembiraanmu ", katanja.

   "Kau suka turut memeriksa, baiklah. Sebenarnja kami pun tidak ingin berpisah dari kau ...". Habis berkata, Khan mentjekal tangan Hian Song per-lahan2. Karena dia datang lebih dekat kepadanja,Hian Song dapat mentjium bau engas, hingga ia mengerutkan alis.

   "Sekarang biarlah ", kata si nona didalam hatinja.

   "Sebentar kau rasai!". Khan lantas memberikan perintahnja agar Lie It dibawa menghadap. Seorang pengawal berkata kepada djundjungannja.

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Lukanja Lie It itu sudah berhenti mengeluarkan darah, sekarang dia lagi dibalut, sebentar dia akan dibawa kemari. Inilah pedangnja, jang dapat dirampas ". Hamba itu menjerahkan pedangnja Lie It dan Khan menjambuti itu, untuk segera dihunus, ketika dia menjabet kesampingnja, maka perapian kaki tiga jang berada disitu kena terbabat kutung dan ambruk karenanja.

   


Sukma Pedang -- Gu Long Pendekar Cacad Karya Gu Long Golok Halilintar Karya Khu Lung

Cari Blog Ini