Pendekar Aneh 14
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 14
Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen
"Djangan mengutjap begini, engko It ", ia kata, perlahan.
"Aku dapat mati bersama kau, aku puas. Aku tjuma merasa bersusah hati ". Lie It heran.
"Apa ?", tanjanja. Ta melepaskan rangkulan mereka, untuk menatap.
"Aku ...! aku ...! aku sudah ...
", tergeraagap si isteri, jang mukanja lantas mendjadi merah. Sedjenak kemudian, Lie It dapat menduga.
"Kau lagi berisi?", tanja dia, tertawa. Tiangsoen Pek mengangguk.
"Ja ..., kira2 sudah tiga bulan ", sahutnja.
"Oh, aku mengharapi anak perempuan ". Tiba2 suami-isteri itu kaget sendirinja. Mereka sadar bahwa mereka lagi terantjam bahaja. Djiwa mereka bergantung pada sang waktu, hitung detik, hingga anak mereka itu mungkin bakal tak dapat melihat matahari atau langit. Tiangsoen Pek berdiam, ia tunduk. Ia merasa bahwa ia salah omong. Pertjuma ia mengbarap wanita atau pria. Ia sangat berduka dan menjesal.
"Djangan terlalu berduka ", Lie It menghibur.
"Kau tahu, anak Bin telah ketolongan. Sakarang ini, selagi waktunja tinggal sedikit, baik kita bitjara dari hal2 jang menggembirakan ".
"Bagaimana djalannja si Bin ketolongan ?", Tiangsoen Pek tanja.
"Tjoba kau tuturkan biar terang, supaja aku girang mendengarnja ". Lie It berdiam sedjenak, agaknja nja ia ragu2.
"Dia telah ditolongi oleh orang jang tentunja tidak dapat kau sangka2
", sahutnja. Hati si isteri bertjekat. Ia lantas dapat menduga.
"Dialah Boe Hian Song ", Lie It mendjelaskan.
"Dia menempuh bahaja dengan menjaru djadi selir jang baru dari Khan. Dia melakukan pertjobaan berbahaja itu tjuma untuk menolongi anak kita ". Sang isteri mendengari dengan berdiam sadja, suaminja menuturkan djelas sepak-terdjangnja Hian Song itu. Achirnja ia menghela napas. Ia kata.
"Kalau begitu aku berbuat salah terhadapnja, Engko It, pantas walaupun dialah musuhmu, kau memandang dia sebagai sahabat. Sudah, Engko, djangan kau membantah, aku ketahui semua. Sekarang kau harus lebih bersjukur terhadapnja !".
"Si Bin jalah djiwa kita, sudah tentu aku bersjukur terhadapnja ", kata Lie It.
"Apakah kau tidak merasa bersjukur ?".
"Aku djuga bersjukur kepadanja, tetapi aku lebih bersjukur kepadamu !", kata isteri itu.
"Kau telah tidak men-sia2-kan aku. Terima kasih kepada Thian. Didalam sini kita tjuma berdua, Hian Song sebaliknja berada diluar Ah, aku djadi merasa kasihan terhadapnja ". Meski begitu, isteri ini tertawa.Njata katjau pikirannja itu. Ia mengasihani Hian Song, ia mengasihani suaminja, ia pun mengasihani dirinja sendiri. Ia bersusah hati, ia pun puas. la lantas menatap mata suaminja, hatinja berdebaran. Lie It melihat tertawanja isteri itu, tertawa jang tak nanti ia dapat lupakan. Tiangsoen Pek bingung. Ia bersjukur kepada Hian Song, ia mengasihaninja, tetapi, ia berkuatir. Ia takut Hian Song nanti merampas hati suaminja. Njata ia tetap bertjemburu, kedjelusan menguasai dirinja. Hanja sekedjab, lantas hatinja djadi lega pula. Bukankah sekarang sang suami ada bersamanja ? Sekarang ini, dengan tjara apa djuga, tidak nanti Hian Song dapat merebutnja. Ketika itu Hian Song dengan diantar Pek Yoe Siangdjin bertindak ke kamar tahanan Tiangsoen Pek. Ia pun gontjang keras hatinja. Ia bergelisahan tak kalah dengan gelisahnja Tiangsoen Pek. Ia tjuma bukan dikuasai tjemburu atau djelus. Dengan sekuat hatinja, ia tjoba mempertahankan diri. Ia tidak mau memberi kentara sesuatu apa djuga didepan Pok Yoe Siangdjin, jang senantiasa waspada terhadapnja. Selagi mendekati kamar tahanan, mendadak si pendeta tanja.
"Sungguh aku tidak mengerti, mengapa kau mengurbankan dirimu untuk menolongi Lie It ?". ,,Oh, kau tidak tahu ?", Hian Song djawab.
"Lie It jalah muridnja Oet-tie Tjiong !".
"Oh, begitu !", kata Pek Yoe heran.
"Aku mengerti sekarang."
Pek Yoe dan Oet-tie Tjiong dan Yoe Tan Sin-nie ada orang2 dari satu tingkatan. Pek Yoe mengetahui lelakon asmara diantara Oet-tie Tjiong dan Yoe Tan. Yoe Tan jalah tunangannja Oet-tie Tjiong. Ia pikir.
"Untuk gurunja, sekarang Hian Song hendak melindungi muridnja Oet-tie Tjiong. Yoe Tan demikian menjintai Oet-tie Tjiong dan Hian Song begini setia kepada gurunja, dia harus dihargai. Sajang aku tidak mempunjai murid seperti dia ". Hania Pek Yoe tidak tahu Hian Song bekerdja bukan melulu untuk gurunja itu.
"Aku mau bertemu sendiri dengan mereka itu ", kata Hian Song sesampainja didepan kamar tahanan. Pek Yoe tertawa dan berkata.
"Sri Baginda sudah mendjandjikan kemerdekaan mereka, aku pun tidak dapat mempersulit kau. Ini dia kuntji untuk membukai borgolan mereka, kau dapat merdekakan sendiri pada mereka itu, untuk kau sendiri djuga jang mengantarkan sampai diluar istana. Kau djangan kuatir ". Hian Song menjambuti anak kuntji. Dengan perlahan ia menolak pintu, untuk masuk kedalam, buat terus menutup pula pintu itu hingga Pek Yoe ditinggalkan diluar kamar. Lie It berdjingkrak saking heran dan kedua matanja dipentang lebar, ketika ia melihat siapa jang masuk kedalam kamarnja. Tiangsoen Pek pun terkedjut, hanja hati dia ini mendjadi dingin.
"Hian Song, kau ...!", katanja tanpa merasa, tubuhnja terus menggigil, hingga rantai borgolannja beradu dan berbunji. Sungguh diluar terkaannja, Hian Song memperbahajakan diri datang pada mereka. Dia pun bingung, tidak dapat dia menjingkir dari ini nona siapa dia ingin mendjauhkan diri untuk se-lama2-nja. Segera dia merasa bahwa Hian Song kembali muntjul diantara dia dan Lie It.
"Djangan berisik, aku datang untuk menolongi kamu !", kata Hian Song perlahan, tangannja diulapkan.
"Tidak ! aku ingin mati disini !", kata Tiangsoen Pek, matanja menatap si nona. Katjau pikirannja hingga ia seperti tidak tahu apa jang ia utjapkan itu. Hian Song membukai borgolan mereka. Tiangsoen Pek lantas ingat anaknja itu. Ia tunduk.
"Tidak bisa!", kata Lie It setelah ia mentjoba menenteramkan hatinja.
"Aku berani masuk kemari, itu artinja aku mempunjai dajaku ", kata Hian Song.
"Mana dapat kau membilang tidak bisa ?".
"Dapat aku menerka dalam. Bukankah kau memperdajakan Khan? Bukankah kau mengatakan kau sudi mendjadi selir asal kami berdua dimerdekakan ? Lalu kemudian kau memikir djalan untuk membunuhnja ? Tidak bisa! Khan bukannja satu manusia dungu ! Dia dapat menerima sjaratmu dia tentu telah memikir muslihat lain untuk menghadapi dajamu itu. Djangan kau anggap urusan demikian enteng !". Lie It pandai berpikir, dia dapat membade akal Hian Song seperti Khan membadenja. Hian Song bersenjum. Sekarang ini ia tidak dapat main likat2 lagi. Ia dekati Lie It untuk berbisik di telinganja.
"Aku tidak sedemikian dungu. Dajaku ini memang tidak dapat mengabui Khan tetapi aku mempunjai daja lainnja lagi. Dia boleh sangat pintar tetapi tidak nanti dia dapat membadenja !".
"Apakah itu ?", tanja Lie It, ragu2.
"Kau bitjaralah !".
"Kau takut mati atau tidak?", si nona balik menanja.
"Aku djusteru memikir untuk tak hidup lebih lama pula !".
"Bagus! Ini sebungkus obat bubuk, kau makan ini, lantas kau mati !". Tiangsoen Pek kaget, dia mendjadi gusar.
"Apa ?", bentaknja.
"Apa matjam akalmu ini ?".
"Ssstt...!", kata Hian Song ditelinga njonja itu.
"Adik Pek, kau pertjaja aku. Dapatkah aku membunuh suamimu? Inilah obat aneh dari Heehouw Kian ! Dengan makan ini, selama tudjuh hari orang dapat hidup rudin. Djikalau Engko It sudah mati buat apakah Khan dengan majatnja? Maka itu kau dapat bawa pergi djenasahnja ".---tulisan tidak terbaca--- Habis kau?", ia tanja.
"Bagaimana kau nanti meloloskan dirimu?".
"Aku mempunjai dajaku sendiri. Tak lama lagi kau akan mengetahuinja ".
"Djikalau aku bakal membikin kau tjelaka, lebih baik aku tidak keluar dari sini ", kata Lie It.
"Djikalau kau tidak pergi, kau bakal membikin susah lebih banjak orang!", Hian Song memberi ingat.
"Kok Sin Ong beramai pasti bakal mentjoba manolongimu. Didalam istana Khan ada banjak orang liehay, apa itu bukan berarti mereka mengantarkan djiwa mereka? Kau djangan kuatir, aku bilang aku mempunjai daja, pasti ada dajaku!".
"Baik, ku pertjaja kau!", kata Lie It. Ia menjambuti obat, lantas ia makan. Tiangsoen Pek memegangi tubuh suaminja, dengan per-lahan2 ia merebahkannja. Ia sekarang beranggapan lain terhadap Hian Song. Maka ia kata .
"Kau berikan djuga sebungkus padaku". Hian Song tertawa.
"Adik Pek, kau masih harus mengurus perkabungan ", katanja.
"Buatnja nanti kau gunai obat ini ...".
"Aku berada sendirian didalam istana ini, aku kuatir ", sahut Tiangsoen Pek.
"Entjie jang baik, kau bagilah aku sebungkus. Tidak ada halangannja untuk aku menjimpannja, bukan?". Hian Song pikir benar djuga, maka ia memberikan satu bungkus. Lama, mereka berdiam didalam kamar, Pek Yoe Siangdjin mendjadi tidak sabaran.
"Jang mulia, Sri Baginda menantikan kau !", ia berkata pada Hian Song.
"Lekasan kau antar mereka pergi! lnilah perpisahan hidup, bukannja pertjeraian mati, buat apa kamu bitjara terlalu banjak?".
"Silakan kau undang Sri Baginda datang kemari, aku hendak bitjara dengannja !", Hian Song mendjawab, keras. Pek Yoe mendjadi heran.
"Buat apa kau menghendaki Sri Baginda datang kekamar tahanan?", tanjanja.
"Kalau ada bitjara, tidak dapatkah kau bitjara didalam keraton ?".
"Djangan kau banjak rewel!", Hian Song membentak.
"Pergilah kau persilakan Sri Baginda datang kemari! Buat apa kau tanja banjak2 ?". Pek Yoe mendjadi guru negara, diperlakukan demikian kasar oleh Hian Song, ia djadi panas hatinja.
"Sang waktu bukannja siang lagi!", katanja, mendongkol.
"Kenapa kau main mengulur waktu ? Baiklah, djikalau kau hendak bitjara dengan Sri Baginda, mari aku wakilkan kau mengantarkan mereka berdua keluar dari istana ...". Pendeta ini pikir baiklah ia menunaikan tugasnja, supaja sepasang suami-isteri itu lekas berpisah dari si nona. Tapi baru ia habis berkata begitu, ia lantas mendengar suaranja Hian Song, dingin .
"ApAkah kau sangka Lie It dapat hidup lebih lama pula ? Djangan kau bermimpi ". Pek Yoe tertjengang.
"Mungkinkah dia telah dapat membade muslihatnja Sri Baginda?", pikirnja. Lantas ia mendjawab.
"Kenapa tidak? Sri Baginda toh sudah mengasikan kata2 nja? Apakah kau masih tidak pertjaja djandji Sri Baginda?.
"Khan berdjandji, aku tidak !", kata si nona. Ia tertawa dingin. Berbareng dengan tertawanja si nona, disana terdengar tangisannja Tiangsoen Pak. Pek Yoe Siangdjia kaget sekali. Ia djadi sangat heran.
"Lekas undang Sri Baginda!", ia memberi perintah. Ia sendiri lantas mendorong pintu pendjara, jang terbuat dari besi, untuk bertindak masuk. Kembali ia mendjadi kaget. Ia dapatkan Lie It rebah dilantai, mukanja putjat, tak miripnja orang jang masih hidup. Tiangsoen Pek memegangi tembok, dia menangis sedu-sedan. Hian Song sebaliknja berdiri angkuh, dia tertawa dingin.
"Hai, kau main gila apa ini?", tanja Pek Yoe, heran dan bingung. Ia lantas membungkuk, akan mengangkat tujuh Lie It, buat memeriksa nadinja. Tiba2 sadja ia mengeluh. Lie It telah berhenti bernapas. Bukan main bingungnja pendeta itu. Lie It jalah orang jang dibutuhkan Khan Turki. Dia benar membelar tetapi orang belum putus asa membudjuknja. Khan pun masih belum ingin membinasakannja. Sekarang ?.
"Bagus ja !, kau meratjuni dia!", achirnja Pek Yoe berseru.
"Taruh-kata benar, habis kau mau apa?", Hian Song tertawa menantang.
"Dapatkah kau mentjampur-tahu urusanku?". Matanja pendeta ini mendelik. Biar bagaimana, si nona pun ada orang jang dikehendaki Khan, maka itu, tanpa titah dari Khan, apa ia bisa bikin? Ia tidak berani mengambil sesuatu tindakan. Tjepat sekali, Khan tiba bersama Kakdu dan Maitjan. Begitu ia masuk kedalam kamar tahanan, ia pun berdiri mendjublak. ,,Bagaimana ini? Bagaimana ini?", tanjanja kemudian ber-ulang2. Boe Hian Song tertawa berkakak.
"Khan jang agung, kau telah melupakan satu hal!", berkata ia, njaring.
"Aku jalah keponakan dari Ratu Tiongkok!". Tetapi Tiangsoen Pek mendamprat.
"Kau siluman djahat! Kau meratjuni suamiku !".
"Suamimu toh telah bertuliskan mati?", kata Hian Song.
"Daripada dia mati ditangan musuh, lebih baik dia mati ditanganku! Buat apa kau memaki?". Khan bingung bukan main.
"Lekas panggil tabib!", ia memerintahkan.
"Lekas tolongi dia !".
"Djangan banjak tjapai hati lagi!", kata Hian Song, jang masih sadja tertawa menghina.
"Diasudah mati sekian lama! Tabib paling pandai dikolong dunia djuga tidak akan mampu menghidupkan dia pula!". ---oo0oo--- Pek Yoe Siangdjin masih memeluki tubuhnja Lie It. Ia berdiam sadja.
"Bagaimana, dia masih bernapas atau tidak?", Khan tanja Guru Negara itu. Pek Yoe menggeleng kepala. Baru sekarang ia meletaki tubuh si pangeran.
"Entah ratjun apa jang digunai jang Mulia Permaisuri ", ia kata.
"ratjun itu bekerdja tjepat luar biasa. Dia ini sudah putus djiwa !", Khan membanting kaki.
"Kau ..., kau ....", katanja.
"Jang Mulia Permaisuri jang menghendaki bitjara sendiri dengan Lie It ", berkata Pek Yoe lekas.
"Sri Baginda telah menerima baik permintaannja, aku tidak berani turut masuk ke dalam sini. Mana aku tahu dia mau menggunai ratjun ?". Mata khan mendelik.
"Aku maksudkan kau!", ia kata pada Hian Song.
"Kenapa kau menurunkan tangan djahat itu?". Nona Boe tertawa terbahak.
"Apakah kalian masih belum melihat djelas?", ia mendjawab.
"Aku toh keponakannja Ratu dari Tiongkok ! Lie It ini musuhnja Ratu jang mendjadi bibiku itu, dia terdjatuh di dalam tangan kau, apakah itu bukan berarti bahaja jang mengeram didalam tubuh ? Mana dapat aku membiarkannja? Ha ...ha ... Ada ketika jang bigini baik, pasti aku menggunainja, untuk menjingkirkan dia ". Khan gusar bukan main. la, jang menganggap dirinja pintar, kena didjual seorang wanita.
"Bagus ja !", bentaknja.
"Kau djuga djangan harap hidup pula ...". Ia lantas melirik pada Pek Yoe Siangdjin, memberi isjarat untuk Guru Negara itu menotok habis ilmu silat si nona. Ketika itu Hian Song tertawa bergelak pula dan berkata njaring.
"Aku telah melakukan tugasku, aku djuga tidak mau hidup lebih lama !". Tatkala Pek Yoe mengangkat kakinja, bertindak, tubuh si nona terhujung, terus roboh! Hian Song sudah menjiapkan obatnja selagi ia bitjara, habis itu ia menelannja, maka tak dapat si pendeta berbuat apa2. Ini pula hal diluar dugaan. Maka Khan kembali mendjublak. Ketika ia sadar, ia mem-banting2 kaki.
"Ah, wanita she Boe ini sungguh liehay ! ", ia kata, masjgul. Ia mengawasi tubuh si nona, ia merasa menjesal. Tubuh Hian Song roboh disisi tubuh Lie It. Melihat itu, Tiangsoen Pek kata dalam hatinja.
"Ah, kiranja dia menggunai daja sematjam ini ". Ia mendjadi bersangsi, hingga ia berpikir pula.
"Entah perkataannja benar atau dusta belaka. Ah, kalau dia tidak dapat hidup pula, dia dan engko Lie It benar-benar mendjadi suami-isteri didunia baka ..."
Diwaktu hidupnja dia tidak dapat merampas engko It dari tanganku, maka itu, bukankah itu sebabnja maka sekarang dia menggunai akal-muslihatnja ini, supaja mereka mati dan dikubur bersama dalam sebuah liang kubur?".
Selagi njonja ini bersangsi, matanja khan tergeser kepadanja.
Radja itu pun tengah was2.
Tiangsoen Pek lantas mengambil keputusan.
"Tidak perduli dia bitjara benar atau dusta, baiklah aku mentjoba ...", katanja dalam hati. Maka sembari menangis, ia kata kepada Khan.
"Suamiku telah mati diratjuni dan si tukang meratjuni telah membunuh diri, untuk itu aku tidak mau minta Sri Baginda menolongi aku membalas sakit hati, tjukup asal Sri Baginda mengidjinkan aku membawa pergi majat mereka ".
"Kau hendak membawa pergi majat suamimu?", tanja Khan tawar.
"Benar", Tiangsoen Pek mengangguk.
"Dia sudah mati, untukmu dia sudah tidak ada gunanja lagi. Dialah pangeran Keradjaan Tong, aku hendak membawa dia pulang untuk dikubur di Tiongkok. Aku harap Sri Baginda mau nerima baik permintaanku ini, seumurku nanti aku ingat budi Sri Baginda ". Khan mengawasi. Ia mengasi dengar suara perlahan.
"Kau hendak membawa djuga djenazah dia ?", ia tanja. Njonja Lie It terperandjat. Ia melihat mata Khan bersinar tadjam. Dengan tangannja, radja itu menundjuk majatnja Hian Song.
"Ja ...,", ia menjahut. Ia ingat apa2.
"Aku pun minta Sri Baginda mengidjinkan aku membawa majatnja pulang ".
"Untuk apakah ?", Khan tanja.
"Bukankah dia musuhmu?".
"Benar, dialah musuhku ", sahut si njonja.
"Tapi dialah keponakannja Boe Tjek Thian. Djikalau aku tjuma membawa pulang djenazah suamiku, Boe Tjek Thian pasti akan mendapat tahu duduknja hal. Dia mempunjai banjak kaki-tangan. Mana dia dapat membiarkan aku mengubur baik2 djenazah suamiku ini ? Dia kedjam, apa sadja dapat dia lakukan. Aku sendiri tidak takut, tetapi kalau dia merusak djenazah suamiku, oh ..., itulah hebat! Djikalau aku membawa pulang majat keponakannja, itu artinja aku membawa pulang dua buah peti mati. Dia tidak bakal ketahui peti jang mana jang muat majat Lie It dan mana jang muat Boe Hian Song. Adalah aturan di Tiongkok, setelah orang mati dan dimasuki dalam peti serta petinja dipaku, peti itu tidak dapat dibongkar lagi. Mengganggu majat dalam peti mati terpaku berarti mengganggu arwahnja. Dengan membawa pulang dua buah peti mati, disana aku akanmenguburnja bersama, maka andaikata benar dia memerintahkan orang merusak peti mati suamiku, pasti dia ragu2 untuk merusak jang mana ". Mendengar itu, khan nampak kagum.
"Aku tidak sangka kau dapat memikir begini terliti ", katanja.
"Kau wanita jang tjantik dan pintar!". Tiangsoen Pek mengawasi radja itu. Ia mau melihat orang mengangguk atau tidak. Ia mengeluarkan peluh dingin. Inilah saatnja, suaminja dan Hian Song bakal ketolongan atau tidak. Asal radja itu mengangguk atau menjahut "ja". Karena ia mengawasi, ia melihat Khan pun mengawasi ia tadjam. Mendadak radja itu tertawa.
"Kenapa mesti banjak berabeh begitu?", katanja.
"Kalau orang sudah mati, bukankah sama sadja dimana djuga dia dikuburnja? Nanti aku urus majat suamimu sebagai djenazahnja keluarga keradjaan, nanti aku membuatnja dia kuburan jang besar dan agung, supaja kau dapat menenteramkaa dirimu, supaja kau dapat berlega hati berdiam didalam istanaku, dengan begitu tak usahlah kau pulang ke negerimu ". Bukan kepalang kagetnja Tiangsoen Pek.
"Ini .... ini ...", serunja. Khan mengibaskan tangan, dia memotong.
"Ada apa jang tidak bagus? Kau berdiam terus disini menemami aku, untuk selamanja kau bakal mengitjipi kebesaran dan kebahagiaan! Bukankah ini terlebih baik daripada kau pulang dengan menempuh bahaja? Kenapa kau mesti kasi dirimu dipaksa Boe Tjek Thian? Sudah, djangan banjak omong, aku telah memikir sempurna untuk kebaikan dirimu! Dajang, lekas kamu memimpin permaisuri jang baru pergi ke keraton untuk mandi dan berdandan!". Kagetnja Tiangsoen Pek tidak kepalang. Ia tidak sangka, setelah demikian banjak kesulitan, beginilah hasilnja. Tentu sadja, ia tidak diberi kesempatan untuk banjak pikir lagi. Dua orang dajang sudah bertindak menghampirkan padanja. Pek Yoe Siangdjin pun memasang mata. Asal ia melawan, tentulah pendeta itu bakal turun tangan. Mana bisa ia melakukan perlawanan? Maka ia lantas mengertak gigi.
"Tunggu sebentar!", katanja keren.
"Aku hendak melihat muka suamiku lagi sekali!". Khan tertawa.
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak menduga kau sangat menjintai suamimu!", katanja.
"Baiklah, aku suka membiarkan kau mendapati kepuasanmu. Kau boleh meminta diri dari suamimu itu!"
Selagi Khan ber-kata2, Tiangsoen Pek sudah membungkuk didepan tubuh suaminja, selagi mengawasi mukanja Lie It, diam2, tetapi pun dengan sebat, ia makan obat dari Hian Song, terus ia meratap.
"Engko It, kau djalanlah per-lahan2, kau tunggui aku!". Didalam hatinja, ia berkata.
"Tidak perduli mati benar atau mati bohong, aku toh mati dalam pelukanmu!". Lalu dalam keadaan samar2, ia memeluk tubuh suaminja itu. Maka dengan hati puas, meramlah matanja, berhentilah napasnja jang terachir. Kedua dajang terkedjut melihat si njonja roboh, mereka menubruk untuk menahan, tetapi sudah kasip. Ketika mereka hendak mengangkat, untuk memisahkan suami-isteri itu, keras sekali rangkulan si njonja, jang Khan mengatakannja selirnja jang baru. Khan kaget, dia menghela napas.
"Aku tidak sangka sama sekali wanita Tionghoa demikian keras dan sutji hatinja!", ia kata.
"Seorang djuga aku tidak berhasil mendapatkannja. Mereka membikin aku putus harapan dan djuga kagum. Lie It pun seorang gagah sedjati. Aku telah berdjandji, aku mesti penuhkan djandjiku. Kamu rawatlah baik2 djenazah mereka ...". Dengan masjgul, radja ini meninggalkan kamar tahanan itu. ---oo0oo--- DI kaki gunung Tien-ko-er, di baratnja kotaradja, disebuah tanah belukar jang luas, disana terdapat sebuah kuburan baru. Pada malam djam tiga, di rimba lebat ,didekat situ, muntjul empat bajangan orang jang bergerak dengan gesit. Mereka menghampirkan kuburan itu. Merekalah Heehouw Kian, Hoe Poet Gie, Pwee Siok Touw dan Kok Sin Ong. Karena kuburan itu jalah kuburannja tiga orang, jang semasa hidupnja membawa lelakon asmara segitiga. Itulah hari keenam dari "matinja"
Lie It bertiga makan ratjun istimewa. Hati Pwee Siok Touw tidak tenang. Dia bergelisah seorang diri. Maka separuh berbisik dia tanja.
"Benarkah mereka bakal hidup pula?".
"Djikalau kita terlambat lagi satu hari, mereka tidak dapat didjamin pula ", sahut Heehouw Kian tertawa.
"Sekarang kita datang disaatnja jang tepat. Nah, marl kita bekerdja!". Dengan lantas empat buah sekop dikasi bekerdja, untuk membongkar tanah jang bergunduk besar dan tinggi itu. Tak usah menggunai terlalu banjak waktu, mereka telah menggali sebuah liang. Tatkala Pwee Siok Touw membungkuk, untuk melihat tegas2, ia terkedjut.
"Tjuma dua buah petimatinja !", katanja. Heehouw Kian madju, untuk memeriksa, atau dirumpun rumput tak djauh dari kuburan itn terdengar suara berkeresekan. Ia. tertawa.
"Kiranja disini ada ditaruh orang2 bersembunji!", katanja.
"Njata kita terlalu sembrono!". Hoe Poet Gie tidak menjahuti, ia hanja meraup batu2 hantjur, terustangannja diajun kearah rumput itu, dimana segera terdengar djeritan jang disusuli suara robohnja beberapa tubuh. Demikianpun teguran.
"Siapa jang bernjali demikian besar berani membongkar kuburan permaisuri?". Menjusuli teguran itu, dari arah selatan dan utara lantas terlihat muntjulnja belasan bajangan, antaranja ada jang terus menjerang dengan sendjata2 rahasia. Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian segera bekerdja. Mereka menjerang dengan pukulan-pukulan Pek Khong Tjiang atau "Menjerang Udara Kosong", maka djuga semua sendjata rahasia itu dapat dipukul djatuh sebelumnja ada jang sampai kepada mereka berempat.
"Djumlah mereka tiga belas orang ", berkata Hoe Poet Gie jang liehay.
"Diantaranja ada empat jang tenaga-dalamnja lebih tangguh daripada jang lain2- nja. Lao Kok, Siok Touw, kamu berdua sudah tjukup untuk melajani mereka !". Kok Sin Ong dan Pwee Siok Touw melepaskan sekop, untuk diganti dengan pedang mereka, lantas mereka lari madju, guna menghadang musuh2 itu. Maka segera djuga terdengar suara beradunja pelbagai matjam sendjata tadjam. Hoe Poet Gie bersama Heehouw Kian bekerdja terus menggali kuburan, sampai Kok Sin Ong dan Pwee Siok Touw, selang sekian lama, kembali pada mereka, dan Siok Touw kata.
"Sajang, ada tiga kuku garuda jang dapat lolos "
"Tidak apa ", kata Hoe Poet Gie.
"Kalau sebentar datang bala-bantuan mereka, kita sudah bekerdja selesai ".
"Tjuma sajang ", kata Kok Sin Ong tertawa.
"dengan begitu ilmu pedang bersatu padu jang kita baru jakinkan tak dapat ketika untuk ditjoba terhadap Pek Yoe si tua bangka kepala gundul !". Tatkala itu Hoe Poet Gie mengeluarkan dua helai rantai besi jang pandjang, jang udjungnja ada gaetannja, bersama Kok Sin Ong ia menurunkan rantai itu guna masing2 menggaet naik sebuah peti mati. Kok Sin Ong, jang matanja djeli, tertawa dan berkata.
"Siok Touw, kau boleh tenangkan hatimu. Dari kedua peti ini, jang pertama lebih berat banjak daripada jang kedua, maka itu pasti didalamnja ada dua majat!".
"Kereta kita belum datang ", kata Siok Touw, jang mengangguk kepada djago tua itu.
"Mungkinkah tukang keretanja takut ?". Kok Sin Ong dongak, melihat langit. Tjuatja akan mulai terang.
"Belum sampai tempo jang didjandjikan ", katanja tertawa.
"Djikalau kau kurang sabar, baiklah buka dulu kedua peti mati ini, untuk menjaksikan soemoay kau ada didalamnja atau tidak ".
"Eh, ada orang datang!", kata Poet Gie tiba2.
"Ah, itulah bukannja kereta, hanja orang2 jang menunggang kuda jang larinja pesat! Oh, mungkin mereka Pek Yoe si tua-bangka kepala gundul !". Belum habis suaranja djago ini, satu penunggang kuda sudah lantas sampai didepan mereka, di djarak belasan tombak, lantas penunggang itu lompat dari atas kudanja, untuk berdiri dimuka kuburan. Dengan segera dia tertawa berkakak. Dia memang Pek Yoe Siangdjin. Pendeta itu menduga mesti ada kawannja Lie It jang akan membongkar kuburan, ia lantas mengatur orang untuk mendjaga. Tentu sekali ada bertentangan sama deradjatnja untuk ia sendiri jang setiap malam mendjaga, memasang mata dikuburan, dari itu ia minta Khan menugaskan tiga belas pengawal, ia sendiri bersama jang lainnja menanti disebuah pos pengawal jang terpisahnja dari kuburan tudjuh atau delapan lie, supaja setiap waktu ia dapat pergi ke kuburan itu. Inilah sebabnja kenapa ia dapat datang demikian tjepat, diluar dugaannja Hoe Poet Gie beramai. Hebat Pek Yoe. Dia bergerak, terus tangannja mendjambak kearah Kok Sin Ong. Dengan memperlihatkan kegesitannja, Sin Ong berkelit dari sambaran itu. Di lain pihak, Hoe Poet Gie madju untuk menjerang. Ia sekarang menggunai pedang, jang pertama kali, semendjak ia mengubah kebiasaannja. Pek Yoe tidak takut, dia tertawa.
"Dua kali sudah kita bertempur, belum ada keputusannja siapa menang dan siapa kalah!", dia kata.
"Maka itu malam ini marllah kita bertarung se-puas2-nja !". Hoe Poet Gie jalah si terpandai diantara empat Ahli Pedang, hebat serangannja itu, maka dengan Pek Yoe memandang enteng kepada mereka, pendeta ini mendjadi kurban, tidak perduli dia sangat sebat, selagi berkelit, udjung djubahnja toh kena tersontek udjung pedang !. Baru sekarang Pek Yoe terkedjut. Pula, sebelum ia bisa berbuat apa2, ia mesti memutar tubuh dengan tjepat. Karena dibelakangnja, Kok Sin Ong menikam kepunggungnja. Terpaksa ia lompat mentjelat, untuk memisahkan diri tjukup djauh, sembari mengangkat tongkatnja, ia tertawa dan berkata.
"Peladjar rudin, ilmu pedangmu tidak ada ketjelaannja! Baiklah, malam ini kau boleh beladjar kenal dengan ilmu tongkat Hok Mo Thung Hoat dari aku si pendeta tua!". Pek Yoe tahu Poet Gie jang terliehay diantara empat orang itu, maka ia menantang si orang she Hoe, akan tetapi ia mesti menangkis pedangnja Kok Sin Ong. Ia menang tenaga-dalam, ia membuat orang she Kok itu merasakan tangannja sakit, hingga hampir sadja sendjatanja itu terlepas. Karena ini, Kok Sin Ong mendjadi waspada.
"Sambut!", berseru Hoe Poet Gie. Ia tidak mau main bokong, sengadja ia berseru, untuk memberi tanda.
"Mari!", Pek Yoemenjambut sambil tertawa.
"Mari kita main2 dengan menggunai sendjata!". Pek Yoe menjerang. Ia membikin Poet Gie seperti terkurung tongkatnja. Ia benar2 menggunai tipu2 dari Hok Mo Thung-hoat, ilmu silat tongkat 'Menakluki Harimau'. Akan tetapi Hoe Poet Gie meloloskan diri dengan djurusnja 'Menuding kelangit selatan', dengan berani dia menangkis. Bentrokan itu mendatangkan suara njaring dan berisik. Ketika Poet Gie memeriksa pedangnja, pedang itu terusak di tiga tempat. Itulah bukti kemahirannja tenaga dalam si pendeta.
"Ha ...ha ...ha ...ha ...!", Pek Yoe tertawa.
"Kau tunduk atau tidak? Djikalau tidak, mari madju pula!". Tepat pendeta ini membuka mulut besar itu, tibalah kawan2-nja, jalah Biat Touw Sin-koen bersama Maitjan dan Guru Budi. Melihat itu, Hoe Poet Gie lantas berpikir, terus ia tertawa bergelak.
"Kami berempat ", katanja gagah.
"kamu pun berempat! Bagus, dengan begitu dapat kita mengadu kepandaian kita tanpa siapa pun mengandalkan djumlah jang terlebih banjak ...".
"Hmmm !", bersuara Pek Yoe, jang tetap memandang enteng. Bukankah barusan ia telah mengadjar kenal tenaganja terhadap Kok Sin Ong dan orang she Hoe ini ?.
"Sekarang dapat kau menundjuki aku, bagaimana kau hendak mengatur pertarungan ini. Kita madju berbareng atau satu lawan satu? Djumlah kita sama banjaknja, malam ini kita mesti mengambil keputusan, djangan seperti dua kali jang sudah2, belum apa2-nja kamu sudah mengangkat langkah pandjang ". Poet Gie tertawa.
"Siangdjin, kata2-mu tjotjok dengan pikirankul", ia bilang.
"Sesudah dua kali, kita djangan melewatkan jang ketiga ini, maka malam ini pasti kita mesti menetapkan, siapa menang dan siapa kalah! Kamu Hek Gwa Sam Hiong, kamu bertiga merupakan sebagai satu tubuh, demikian aku dengan Lao Kok, kami ada sahabat2 bersatu djiwa! Baiklah, aku bersama Lao Kok, suka aku melajani kamu Hek Gwa Sam Hiong. Sajang Thian Ok sudah mati, hingga Sam Hiong djadi harus disebut Siang Hiong !". Pek Yoe gusar. Ia merasa terhina. Ia bertiga disebut Hek Gwa Sam Hiong, 'Tiga Djago dari Perbatasan'. Sam Hiong jalah Tiga Djago. Tapi sekarang Poet Gie mengedjeknja Siang Hiong, Dua Djago. Maka ia sengit sekali, sambil mengangkat tongkatnja, ia kata pada kawannja.
"Biat Touw Laotee, malam ini kita membalas sakit hatinja Thian Ok!. Peladjar rudin, aku terima baik tjaramu ini, maka madjulah kamu berdua!"
Dipihak lain, Guru Budi telah menantang Heehouw Kian, musuh lawasnja itu. Ia djeri untuk djarum emas dari si tabib, dari itu dengan litjik ia mengusulkan untuk mengadu tenaga-dalam. Heehouw Kian mendjawab dengan sabar.
"Telah lama aku mendengar kabar kaulah orang gagah nomor satu dari bangsa Turki, maka itu aku si tua, jang bertubuh lemah, ada bagaikan tjengtjorang membentur kereta, tak nanti aku sanggup bertahan akan benturan itu. Meski demikian, karena kau memerintahkan, tak dapat tidak, aku si tua bersedia mengurbankan diriku menjambutnja. Silahkan kau menjebutkan tjaramu!". Guru Budi girang jang usulnja diterima baik. Lantas ia menundjuk sebuah batu besar didepannja.
"Djanganlah kau terlalu merendah, Heehouw Sianseng", katanja.
"Aku telah mendengar hebatnja ilmu silat Tionghoa apapula bagian peladjaran tenagar dalamnja, maka itu aku anggap inilah hari jang tepat untuk mentjobanja. Aku pikir baiklah kita bertanding diatas batu besar itu, siapa jang djatuh dari atasnja dialah jang kalah. Setudjukah ?".
"Baik !"
Heehouw Kian menerima tanpa bersangsi.
"Mari kita lantas mulai ". Keduanja lantas berlompat naik keatas batu besar itu, diatas itu mereka duduk bersila berhadapan, kedua tangan mereka ditempelkan satu dengan lain. Setjara demikian mereka mengadu tenaga-dalam mereka. Dipihak sana tinggal Maitjan seorang, maka Siok Touw menghadapi orang jang bakal mendjadi tandingannja itu. Ia lantas ketarik dengan pedang ditangannja pahlawan Turki itu. Itulah pedangnja Lie It. Maitjan ini ahli pedang bangsa Tujuhun, setelah 'matinja' Lie It, ia minta Khan menghadiahkan pedangnja Lie It itu kepadanja. Dan khan memberikannja. Tentu sekali Siok Touw ingin dapat merampas pulang pedang itu, untuk dikembalikan pada pemiliknja jang sah. Maka tanpa banjak upatjara lagi, ia kata.
"Kau membekal pedang, kau pasti pandai ilmu menggunainja. Mari, mari, ingin aku beladjar kenal dengan ilmu pedangmu!"
Maitjan memang hendak mentjoba pedang mustika itu, ditantang setjara demikian, ia girang menerimanja.
Demikian empat pasang djago bertempur dalam tiga rombongan.
Pek Yoe Siangdjin memandang enteng kepada lawannja, mulai bergerak, ia lantas menghadjar Hoe Poet Gie dengan tipu silatnja 'Sin liong tjoet hay' atau 'Naga sakti keluar dari laut'.
Hoe Poet Gie tertawa dan berkata.
"Lao Kok, hari ini ada ketikanja jang baik!". Suara itu disambut Kok Sin Ong, maka mendadak sadja dua batang pedang berkelebat berbareng, menjambar kearah tongkat si pendeta, untuk didjepit. Bukan main kagetnja Pek Yoe. Inilah ia tidak pernah sangka. Dengan sebat ia menarik pulang tongkatnja, ia pun berkelit.Kembali ia mendjadi kaget. Ia merasa hawa dingin lewat dikulit kepalanja. Lantaran kedua pedang menjambar terus. Maka ia bersjukur jang ia berkelit dengan sebat sekali. Djikalau tidak, batok kepalanja tentulah akan kena dipapas. Biat Touw mentjoba menolongi kawannja itu tetapi tidak dapat berbuat banjak disebabkan sebatnja bergeraknja kedua pedang lawan itu. Segera setelah itu, keduanja bergerak pula. Saking liehaynja mereka, djurus2 dikasi lewat dengan tjepat. Setelah mereka menjampaikan djumlah beberapa puluh djurus, si pendeta mendjadi heran, tanpa merasa, hatinja mulai gentar. Pek Yoe tidak melihat mata kepada musuh2-nja. Ia memang unggul dari Hoe Poet Gie. Benar Biat Touw rada lemah, tetapi dengan dibantu ia, mesti ia menang. Atau sedikitnja, kedua pihak berimbang. Siapa njana, ilmu pedang bergabung dari dua lawan itu liehay sekali. Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong sama2 ahli silat pedang. Benar, mula2, kerdja sama mereka kurang litjin, disebabkan perjakinan mereka terlalu pendek waktunja, akan tetapi setelah bertempur banjak djurus, mereka lantas djadi biasa. Mereka pun dapat melatih baik sekali Boe Siang Kiam-hoat dari kitab peninggalannja Yoe Tan Sin-nie. Begitulah, sesudah dapat berkelahi dengan sempurna, Pek Yoe jang berkepala besar itu mendjadi keteter, dari galak merangsak, dia mendjadi repot menangkis, sampai tak ada ketikanja untuk dia menjerang pula. Mendapatkan ia menang angin, Hoe Poet Gie girang bukan main. Ia bagaikan tambah tenaganja. Ia bersjukur. Pikirnja.
"Djikalau Pek Yoe Siangdjin menantang aku bertempur satu lawan satu, tjelaka aku! ". Inilah sebab, ia tentu tidak dapat membiarkan Kok Sin Ong membantuinja, andaikata ia terdesak, deradjatnja menentangnja. Sekaranglah lain. Heehouw Kian dan Guru Budi bertempur dengan tidak bergerak, dengan tidak berisik, tetapi. hebatnja mereka tak kalah dengan dahsjatnja pertarungan Pek Yoe Siangdjin dan Biat Touw Sin-koen melawan Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong itu. Setehh bertarung sekian lama, si tabib kosen mulai merasakan seluruh tubuhnja panas. Tangannja lawan itu agaknja panas bagaikan api bara dan tenaganja pun bertambah. Sebaliknja Guru Budi merasakan tangan lawannja lunak sekali, tak perduli ia menjerang hebat, ia seperti menjerang kapas jang lembek, ia tidak merasakan tenaga menentang. Dengan demikian, djadilah keras lawan lemah. Lewat lagi sekian waktu, dari kepalanja Heehouw Kian terlihat keluarnja uap putih, uap jang seperti dikeluarkan hawa panas sekali. Guru Budi pun mengeluarkan peluh dari seluruh tubuhnja. Luar biasa kepandaiannja Guru Budi. Dia dapat membikin hawa hangat ditubuhnja mendjadi panas dan tersalurkan, kepihak lawan, djikalau pihak lawan gagal menentang, zat air dari tubuh lawan dapat dibikin kering, hingga lawan itu bakal rusak dan ludaslah tenaga-dalamnja, ia bakal djadi bertjatjad. Heehouw Kian mempunjai lalihan tenaga-dalam puluhan tahun, karena ia dari pihak lunak, ia melajani kekerasan dengan kelunakannja. Dengan begitu, kedua pitiak nampak sama unggulnja. Tapi tabib ini tidak terlalu tenang hatinja. Ia memikirkan Hoe Poet Gie, si sahabat akrab. Karena ia ketahui baik sekali, lawan sahabatnja itu, Pek Yoe Siangdjin, lawan jang kesohor sebagai djago nomor satu. Pikirannja itu mendjadi terpetjah. Ia ketahui ini, ia mentjegah se-bisa2-nja. Lewat lagi sekian saat, mendadak terdengar djeritannja Biat Touw Sin-koen, disusul dengan tjatjiannja Pek Yoe Siangdjin, jang mendongkol sekali. Rupa2-nja jang satu telah terluka dan jang lain mendapatkan kerugian. Selagi ia bertahan untuk serangan hawa panas jang dahsjat itu, Heehouw Kian bertjekat hati. Ia menduga dan dugaannja itu tepat. Pek Yoe dan Biat Touw telah melajani Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong sampai tiga ratus djurus, mereka repot bukan main. Ilmu pedang Yoe Tan Sin-nie terdiri tjuma tiga puluh enam djurus, disamping itu, banjak sekali perubahannja. Semua ini dapat dipahamkan Poet Gie dan Sin Ong. Inilah jang membikin pendeta itu dan kawannja kewalahan. Lantas datang saatnja udjung pedang Sin Ong menegur Biat Touw, hingga dia ini kaget dan kesakitan. Sjukur luka itu tidak tembus ketulang, maka masih dapat dipertahankan. Guru Budi dapat menduga Biat Touw telah terluka. Hal ini membuatnja menjesal. Ia ingin melihatnja tetapi tidak dapat. Ia repot sama usahanja sendiri untuk mendjatuhkan lawannja. Tak bisa ia melihat lukanja sahabat itu. Karena ia memikirkan Biat Touw, pemusatannja djadi terganggu. Heehouw Kian dapat merasa desakan lawan tak keras sebagai semula, ia lantas menggantikan merangsak. Maka lekaslah, dari berimbang, ia djadi menang unggul. Selagi Heehouw Kian dan Guru Budi ini berkutat itu, dipihak sana Pwee Siok Touw dan Maitjan telah menjampaikan puntjaknja kehebatan. Maitjan jalah ahli pedang sukubangsa Tuyuhun, ilmu pedangnja itu gabungan ilmu silat pedang pelbagai partai di See Hek, Wilajah Barat. Sudah begitu, dia bertabiat keras. Dia memandang enteng kepada Pwee Siok Touw, jang usianja ditaksir lebih-kurang barutiga puluh tahun, dari itu, begitu bergerak, dia lantas menjerang dengan bengis, dia terus mendesak. Tentu sekali dia tidak pernah menerka, walaupun usianja masih muda, Siok Touw sudah mewariskan ilmu pedang Yoe Tan Sin-nie, guru pendeta wanita jang liehay itu. Ketjuali mengenai tenaga-dalam dan pengalaman, dalam ilmu pedang, Siok Touw tak ada dibawah Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong. Maka djuga, tidak perduli ia didesak demikian hebat, Siok Touw dapat membela diri, dapat ia memetjahkan setiap serangan dahsjat. Masih Maitjan menjerang terus. Ia telah mengandalkan sangat pedang mustikanja itu. Ia menikam, ia menabas pergi pulang. Ingin ia dapat membabat kutung sendjata lawannja. Tapi Siok Touw, jang memainkan Boe Siang Kiam-hoat, terus berlaku tenang tetapi sebat, hingga dia dapat mundur atau berkelit dengan lintjah. Achirnja Maitjan menjedot hawa dingin. Baru sekarang ia tidak berani memandang enteng lagi kepada musuhnja ini. Selama itu, seratus djurus telah dilewatkan. Siok Touw merasakan desakan lawan berkurang, ia lantas menggunai ketikanja jang baik. Sambil bersiul pandjang dengan tiba2, ia mulai dengan serangan pembalasannja. Saban2 ia main mengantjam. Setiap kali pedangnja ditangkis dengan dibabat, ia mengelit itu. Untuk merangsak, ia menggunai kegesitan-nja. Ia main berlompatan, kekiri dan kanan, atau kebelakang lawannja itu. Kesudahannja, Maitjan seperti melihat musuh di delapan pendjuru. Dia terkurung hingga dia mendjadi repot. Lantas tiba satu saat jang hebat. Udjung pedang Siok Touw dapat menusuk lengan lawannja. Tapi Maitjan masih dapat bertindak tjepat, meski kena ketusuk, pedangnja toh dapat memapas kutung pedang lawan. Hanja tjelaka untuknja, saking sakit luka-nja itu, pedangnja tidak dapat ditjekal terus, pedang itu terlepas djatuh. Sebaliknja Siok Touw, begitu melihat pedang djatuh, dia berlompat sambil membuang pedang buntungnja, guna mendjemput pedang mustika itu. Demikian, tjepat luar biasa, sekarang pedang berganti tangan. Maitjan kaget, gusar dan berkuatir karena terampasnja pedangnja itu.
"Aku suka mengasi ampun djiwamu! Apakah kau masih tidak mau pergi?", Pwee Siok Touw kata keras pada lawannja. Ia tidak melandjuti serangannja. Menuruti adat, Maitjan masih hendak bertarung terus, akan tetapi disamping itu, ia merasakan tangannja sakit sekali, tangannja lemas. Ia terluka di nadi kanan, ia mengerti tangannja itu pasti bertjatjad. Tegurannja Siok Touw membuatnja sangat mendongkol berbareng putus asa. Mana dapat ia melawan terus? Adakah muka untuknja mentjuri hidup dengan bertjatjad? Maka achirnja ia djadi sangat masjgul. Ia lompat kepada pedang buntung musuhnja, ia pungut itu. Dengan tiba2 sadja ia menikam dadanja sendiri! Menjaksikan kenekatan lawannja itu, Pwee Siok Touw menghela napas.
"Maitjan benar2 satu laki2 sedjati ", katanja dalam hati.
"Kalau tahu begini, tentu aku suka berbuat murah hati ...". Terpaksa ia menghampirkan majat lawan itu, untuk melolos sarung pedang dari Pinggangnja, untuk ia soren sendiri, pedangnja dikasi masuk kedalam sarung itu. Kemudian ia menonton pertarungan di dua gelanggang lainnja. Pertempuran Pek Yoe melawan Poet Gie sudah mendekati djurus jang kelima ratus. Pek Yoe mendjadi masgul dan mendongkol. Ia jang djumawa, sekarang kena dibikin djatuh dibawah angin oleh musuh2 jang ia mulanja pandang ringan. Beberapa kali ia mentjoba memetjahkan kurungan, tapi senantiasa ia gagal. Diachirnja, hatinja mendjadi gentar. Maka itu, ketika ia mengetahui robohnja Maitjan, hatinja itu mendapat gempuran hebat, tanpa ia merasa, gerakan tongkatnja mendjadi rada ajal.
"Awas!", tiba2 Poet Gie berseru njaring. Seruan itu dibarengi dengan serangan pedang jang bersinar seperti bianglala. Kelihatannja pedang menjerang kepada si pendeta, tidak tahunja, sasarannja jalah Biat Touw Sin-koen. Pek Yoe terkedjut, tjepat2 ia membela dirinja. Njatanja ia membela diri belaka, tak ada serangan untuknja. Sebaliknja repotlah Biat Touw. Pedang Poet Gie bagaikan pedang njasar untuknja. Tjelaka untuknja, ketika ia mentjoba menangkis pedang si orang she Hoe, pedang Sin Ong menjambar padanja. Habislah dajanja. Tak bisa ia berkelit, tak dapat ia menangkis. Maka tertabaslah ia dari dua arah, hingga tubuhnja terbabat kutung mendjadi empat potong. Pek Yoe Siangdjin kaget bukan alang-kepalang. Sungguh hebat kedjadian itu. Nekad dan gusar, dia berseru keras sekali, bagaikan binatang liar, dia menjerang dengan sekuat tenaganja. Atas kenekatan musuh, Poet Gie dan Sin Ong tidak melajani keras lawan keras, sebaliknja, mereka bersikap lunak dan gesit. Mereka senantiasa mendjauhkan diri dari udjung tongkat. Setiap ada lowongan, baru mereka membalas mengantjam. Menonton tjara bertarung itu, Siok Touw bagaikan kabur matanja. Baru sekarang ia menjaksikan tubuh orang demikian gesit. Tidak lama Pek Yoe mengamuk, lantas terdengar bentrokan keras dari tiga sendjata. Suara itu menulikan telinga. Menjusuli itu, ketiga orang jang mengadu djiwa itu pada memisahkan diri. SiokTouw melihat dua potong pedang menggeletak ditanah. Sobaliknja Pek Yoe berdiri dengan djubahnja berlepotan darah. Itulah bukti si imam telah terlukakan tudjuh lubang, tetapi dia masih menghadjar patah pedang lawannja. Siok Touw heran dan kagum. Tapi ia kuatir pendeta itu mendjadi kalap dan akan mengamuk, lekas2 ia menghunus pedang Lie It jang berada di pinggangnja, terus ia melemparkan itu kepada Kok Sin Ong sambil ia berkata.
"Kok Lootjianpwee, sambut! Silakan tukar pedang ", Kok Sin Ong melihat dan mendengar, dengan lantas ia menjambuti pedang itu, setelah itu ber-sama2 Hoe Poet Gie, ia memandang tadjam kepada Pek Yoe Siangdjin, untuk bersiap-sedia andaikata pertarungan dilandjuti. Mereka waspada untuk setiap gerak dari pendeta itu. Sebaliknja, untuk menjerang lebih dulu, mereka sungkan. Sunji-senjap suasana di itu waktu. Melihat romannja si pendeta, orang dapat perasaan menakutkan.
"Sudah, sudah !", tiba2 terdengar keluhan Pek Yoe.
"Seumurku tak pernah aku bertemu lawan, maka itu, tak dapat orang lain membunuhku !". Lantas ia melemparkan sian-thung, tongkat sutjinja itu. Hoe Poet Gie lantas berkata njaring.
"Kami berdua menggunai ilmu pedang warisannja Yoe Tan Sin-nie! Kau bukannja kalah dari kami berdua!". Akan tetapi belum berhenti kata2 itu, Pek Yoe sudah menepuk batok kepalanja sendiri, hingga batok kepala itu petjah, lantaran mana tubuhnja roboh, djiwanja melajang pergi ke Dunia Barat. Hebat pelemparan tongkat si pendeta, tongkatnja nantjap di lereng gunung. Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong mengawasi sekian lama, lantas mereka saling mengawasi dan mereka menghela napas. Mereka tidak menduga demikianlah achirnja bhikku jang liehay itu. Guru Budi lagi melajani Heehouw Kian, hatinja sudah mendjadi ketjil, maka itu, tatkala telinganja mendengar keluhan Pek Yoe Siangdjin, jang suaranja keras, ia mendjadi sangat kaget. Djusteru itu, ia merasakan desakan keras sekali dari pihak lawannja. Mendadak hatinja djadi dingin, maka ia meramkan matanja untuk menantikan kematiannja Beda dari pertarungan menggunai sendjata tadjam, pertarungan mengadu bathin tak ada tandanja, maka itu, Guru Budi dan Heehouw Kian tidak pernah mengasi dengar suara apa djuga. Mulut mereka bungkam, bentrokan sendjata tidak ada. Sebab mereka bertangan kosong. Disaat ia menerima nasib itu, mendadak Guru Budi merasai dirinja lega. Tak lagi ia terdesak. Ia lantas membuka kedua matanja. Maka ia melihat Heehouw Kian telah menarik pulang tangannja seraja berkata dengan tawar.
"Kita tak usah bertanding terlebih djauh!". Baru sekarang ia insjaf bahwa lawannja tak ingin mengambil djiwanja. Ia berhati lega tetapi ia malu sendirinja.
"Terima kasih, kiesoe!", ia ber kata perlahan, terus ia lompat turun dari batu besar itu, untuk ngelojor pergi. Maka sunji benar2 sang malam disekitar situ, tjuma sang puteri malam terus memperlihatkan sinarnja jang permai. Ketika itu sudah djam empat. Heehouw Kian jang memetjahkan kesunjian, ia bersiul pandjang. Hanja sedjenak, terlihatlah muntjulnja sebuah kereta, jang dikandarkan bukan oleh orang lain daripada Tiangsoen Tay, kakaknja Tiangsoen Pek, jang ditemani oleh seorang jang duduk mematung disisinja. Orang itu dandan sebagai pemburu.
"Heehouw Tjianpwee ", kata Tiangsoen Tay ketika ia menghentikan keretanja.
"kau lihat saudara ini. Dia kaget bukan main!". Tiangsoen Tay, ketika itu malam ber-sama2 Pek Goan Hoa menempur Thia Tat Souw dipadang rumput, telah kena ditangkap lawan, selekasnja Pek Goan Hoa dirobohkan dengan totokan, sjukur untuk mereka, mereka dapat ditolong oleh Heehouw Kian. Mereka tiba di kotaradja Khan sebelum sampainja Lie It, mereka berdiam menjembunjikan diri di rumahnja si pemburu dikaki gunung Tien-ko-er. Baru kemarin dulunja mereka bertemu dengan Heehouw Kian, untuk bekerdja sama. Heehouw Kian memesan kereta untuk malam itu. Tiangsoen Tay jang mesti membawanja, sebab Pek Goan Hoa mesti berdiam dirumah mendjagai Hie Bin. Pada djam tiga, Tiangsoen Tay berangkat bersama si pemburu. Ketika mereka tiba, mereka menjaksikan pertarungan mati-hidup diantara Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong melawan Pek Yoe Siangdjin dan Biat Tow Sin-koen. Mereka lantas menunda kereta mereka,untuk menonton. Si pemburu seorang jang besar njalinja, dia biasa menghadapi binatang2 liar, tetapi menjaksikan pertempuran itu, hatinja guntjang, achirnja dia djadi ketakutan hingga dia duduk mendjublak diatas keretanja. Heehouw Kian naik keataa kereta.
"Tidak apa !", katanja tertawa. Dengan saldju ia mengaduki obatnja, untuk ditjekoki pada si pemburu, maka sebentar kemudian, sadarlah dia.
"Sungguh menakutkan ", berkata si pemburu. Ia masih lemah, maka pulangnja nanti, perlu ia ber istirahat beberapa hari dan makan pula obatnja si tabib. Ketika itu, Hoe Poet Gie bersama Pwee Siok Touw sudah menggotong naik kedua peti mati keatas kereta. Maka lekas djuga, kendaraan itu dapat dikasi djalan pergi. Tiangsoen Tay dan Pwee Siok Touw berkuatir, hati mereka tak tenang. Mereka berkuatir obatnja Heehouw Kian nanti tidak menolong.Mendekati fadjar sampailah mereka dirumah si pemburu. Disana Pek Goan Hoa dan Hie Bin sudah menantikan didepan pintu. Kata Goan Hoa .
"Tadi malam si Bin tidak dapat tidur. Dia tidak mau tidur, dia kata hendak menantikan ibunja ...".
"Mana ibuku !", anak itu lantas menanja.
"Mana ajahku dan bibiku ?". Heehouw Kian kuatir anak itu kaget melihat peti mati.
"Ibu dan ajahmu lagi tidur njenjak !", ia mendjawab sambil tertawa.
"Kau djangan mengganggu. Bukankah ibumu pernah membilangi kau, anak jang baik harus tidur siang2, tidak boleh berisik hingga mengganggu tidurnja orang tua ?. Maka sekarang pergilah kau tidur, kalau sebentar kau mendusin, ibumu pasti akan berada didampingmu ".
"Baik, aku turut perkataan kong-kong ", kata botjah itu.
"Bukankah ibu dan ajah telah bertempur pula dengan pahlawan2 Khan ?. Ah, tentulah mereka letih sekali ! Djangan, djangan banguni ibu dan ajah !". Girang anak ini, maka itu ia menurut ketika Pek Goan Hoa memondong dia, dibawa masuk kekamar tidur dimana dia direbahkan. Tidak lama, pulaslah dia. Sebuah ruang telah dikosongkan. Didalam situ ada pembaringan jang besar dikolong mana api dinjalakan, arangnja jalah arang batu. Seluruh ruangan mendjadi hangat hawanja. Disitu pun ada dibakar kaju tjendana, membikin orang bernapas lega karena baunja jang harum. Semua itu persiapannja Pek Goan Hoa. Untuk menolongi Lie It, Tiangsoen Pek dan Boe Hian Song, kamar hangat dibutuhkan. Sebab tak dapat peti mati mereka dibuka di tegalan dimana hawa udara dingin. Dari tangan Kok Sin Ong, Heehouw Kian mengambil pedangnja Lie it.
"Pedang ini tepat !", katanja tertawa. Dengan sekali menggores, tutup peti dapat dibelah, untuk dibuka. Dengan begitu tidak usah ada guntjangan andaikata peti mati itu dibongkar dengan golok sembarangan atau kapak. Begitu lekas peti jang satu dibuka, legalah hatinja Siok Touw. Disitu rebah tenang tubuhnja Hian Song, kulit mukanja mirip kulit muka orang hidup jang tengah tidur njenjak. Heehouw Kian pondong tubuh si nona, untuk diangkat dan diletaki diatas pembaringan. Kemudian ia membuka peti mati jang kedua. Tiangsoen Tay menghela napas lega. Ia melihat didalam peti itu tubuhnja Lie It dan adiknja, Tiangsoen Pek, hanja Tiangsoen Pek merangkul keras tubuh Lie It, sampai sukar untuk dilepaskan. Semua orang berduka dan kagum. Tubuh Lie It dan Tiangsoen Pek itu tak dipaksa dipisahkan, dua2-nja diangkat, diletaki djuga diatas pembaringan. Setelah itu Heehouw Kian mengawasi mereka, untuk melakukan pemeriksaan. Ia mendapatkan roman Lie It tidak berubah, sebaliknja pada alis Tiangsoen Pek terlihat beberapa titik hitam.
"Ah !"
Terdengar suaranja, suara kaget.
"Bagaimana ?", Tiangsoen Tay lantas menanja.
"Dapatkah ia ditolong ?".
"Obat Hoan Hoen Tan dari aku pasti akan menjembuhkannja selama waktu tudjuh hari ", sahut tabib itu.
"ketjuali ada sesuatu perubahan jang tidak di-sangka2, kalau itu sampai terdjadi terserahlah kepada Thian ...". Kata2 ini membuat hati orang sedikit lega. Tidak antara lama, hawa panas api itu telah meresap kedalam pembaringan, tersalur ke ketiga tubuh jang terletak diatasnja. Dengan perlahan, tangan dan kaki mereka itu pun terasa mulai hangat. Heehouw Kian menuang tiga tjawan arak, untuk dipakai sebagai air minum untuk tiga butir obat, jang terus dimasuki kedalam mulut mereka itu. Lantas orang semua berdiam, menantikan bekerdjanja obat itu, Hoan Hoen Tan, atau pel 'Mengembalikan Arwah'. Pwee Siok Touw dan Tiangsoen Tay bergelisah sendirinja, hati mereka tegang. Lewat kira2 sepasangan hio, tubuh Hian Song bergerak, lehernja pun mengasi dengar suara, jang mana disusul sama teriakannja.
"Aduh !".
"Bagus, bagus !", kata Heehouw Kian.
"Nona Boe mendusin paling dulu ! Siok Touw, kau uruti dia, supaja djalan darahnja pulih, agar dia sadar seluruhnja ". Pwee Siok Touw menurut. Belum lama, Lie It pun mendusin seperti Hian Song itu, maka Heehouw Kian lantas memegangnja, untuk dengan perlahan2 meloloskan dia dari rangkulan Tiangsoen Pek, sedang Kok Sin Ong terus madju untuk menguruti. Tiangsoen Tay menghampirkan, akan melihat adiknja dari dekat. Adik itu masih berdiam sadja bagaikan majat. Ia mendjadi bingung. Bahkan Heehouw Kian pun heran. Lewat sesaaat Hian Song dapat bitjara.
"Mana adik Pek ?", ia tanja. Itulah kata2-nja jang pertama. Ia membuatnja orang girang. Heehouw Kian memegang pula tangannja Lie It. Bagaikan orang baru sadar dari tidurnja, Lie It membuka matanja.
"Oh, kau, Hian Song!", katanja, ketika pertama kali ia menampak Nona Boe. Hian Song tertawa, romannja masgul.
"Terima kasih, Heehouw Tjianpwee ", ia kata.
"Kembali kita telah melewatkan kota kematian. Eh, adik Pek, kenapa kau berdiam sadja ? Ia lantas mengangkat tubuhnja, untuk berduduk. Sekarang ia melihat Tiangsoen Pek rebah dengan kedua mata tertutup rapat. Ia heran.
"Kiranja dia pun makan obat itu ", kata Lie It.
"Kita sudah mendusin, dia djuga bakal sadar. Entjie Hian Song, djangan kuatir ". Sembari berkata begitu, suami inimerabah tangan dan kaki isterinja. Tiba2 ia terkedjut. Tangan dan kaki itu dingin. Heehouw Kian menarik Lie It kepinggiran.
"Isterimu sedang hamil, bukankah ?", ia tanja dengan suara perlahan.
"Ja ... baru tiga bulan ". Lie It mendjawab.
"Aku alpa, aku mengetahuinja baru kemarin ini, waktu Khan mengidjinkan kami bertemu dan adik Pek memberitahukannja ". Tidak lama dari itu, datanglah Hian Song.
"Tjianpwee, mengapa dia belum djuga mendusin ? Apakah hamilnja itu membuatnja sadar lebih ajal ?". Heehouw Kian tidak lantas mendjawab. Sebaliknja mukanja mendjadi putjat. Menampak itu, Lie It kaget, ia lantas bergelisah sendirinja. Obat Toan Hoen Tan dari Heehouw Kian dapat dimakan oleh orang laki2 atau wanita, tanpa pandang umur, pantangnja tjuma wanita hamil. Ketika itu hari ia membitjarakan itu dengan Hian Song, ia tidak menjangka si nona bakal mengambil obatnja itu, ia tidak me-njebut2 tentang pantangan itu. Maka itu, sekarang ia kaget sekali, hingga ia berdiam sadja. ---oo0oo--- Lie It mengawasi. Ia mirip terdakwa jang lagi menanti keputusan hakim. Ruangan itu djadi sunji, napas orang rasanja sesak.
"Adikku dapat ditolong atau tidak, paman Heehouw ?", tanja Tiangsoen Tay kemudian, suaranja menggetar.
"Aku minta sukalah paman omong terus-terang ". Sebenarnja Heehouw Kian tidak suka bitjara, akan tetapi tidak dapat ia djalan untuk mendusta. Achirnja, ia menghela napas dan katanja dengan perlahan.
"Ia tengah hamil tiga bulan, itulah pantangan untuk obatku, karena ia telah putus djiwa, tak dapat ia sembuh pula. Aku tidak berdaja ". Untuk sedjenak, orang tertjengang. Lantas kesunjian dipetjahkan Hian Song, jang paling dulu nangis mendjerit. Ia jang hendak menolongi Tiangsoen Pek, siapa tahu ialah jang menjebabkan orang mati. Hanjalah njonja itu mati tenang, sebab ia mati merangkul suaminja. Untuk Hian Song tapinja itu hebat sekali.
"Semua salahku ! Akulah jang membuatnja mati !", serunja.
"Didalam kedjadian ini, siapa pun tidak dapat disalahkan !", kata Heehouw Kian, perlahan suaranja tetapi tetap.
"Jang dapat dipersalahkan tjuma Khan Turki !". Tiangsoen Tay memegang Lie It.
"Kau ..., kau menangislah !", katanja, suaranja parau. Tapi Lie It tidak menangis, matanja mendelong. Tangisannja Hian Song, kata2-nja Tiangsoen Tay, ia seperti tidak mendengarnja. Dimatanja tjuma ada Tiangsoen Pek jang lagi rebah itu. Ia membajangi si njonja tengah rebah disisinja. Sudah delapan tahun Tiangsoen Pek menjintainja dan merawatinja. Sudah delapan tahun djuga Tiangsoen Pek senantiasa berkuatir, berkuatir orang nanti merampas suaminja dari tangannja. Ia tahu benar kekuatiran isterinja. Sekarang isteri itu pergi. Sekarang, setelah isteri itu menutup mata, baru ia merasai bahwa ia benar2 menjintai isterinja itu. Hanjalah sekarang, sudah kasip. Lie It berlutut ditepi pembaringan, kedua tangannja ditaruh ditubuh isterinja.
"Adik Pek !", ia memanggil. Atau mendadak ia roboh. Pukulan itu terlalu hebat untuknja. Heehouw Kian semua repot menolongi, untuk menjadarkannja. Tjuma Hian Song seorang, jang dengan diam2 menjingkir dari ruangan itu. Ia merasakan dunia mendjadi sangat sunji. Ketika itu saldju melapis bumi, suasana tenteram sekali. Tapi ia merasa sunji disebabkan lain. Ia merasa hatinja dingin dan otaknja kosong. Ia berdjalan tanpa mengetahui mesti pergi ke-mana. Ia melainkan tidak niat menemui Lie It pula. Mendadak diatas tanah bersaldju terlihat satu bajangan ber-lari2. Bajangan itu dapat menjandak si nona. Dialah Pwee Siok Touw. Hian Song djalan terus, ia seperti tidak mengetahui datangnja soeheng itu. Si soeheng pun tidak membuka mulut, dia mengintil sadja. Dia rupanja ketahui kedukaan si soemoay, maka tak mau dia mengganggu. Tapi dia sendiri, dia pun sangat berduka. Semendjak Hian Song datang ke Thian-san, dapatlah dia melihat sikap luar biasa dari si nona terhadap Lie It. Dia djadi berkuatir, berkuatir soemoay ini nanti bernasib buruk seperti bibinja, jang juga gurunja. Dia djuga berkuatir untuk dirinja sendiri, sebab diam2, dia pun telah menjintai soemoay itu. Terus kedua orang itu berdjaIan dengan membungkam. Saldju kembali turun, seperti bulu angsa beterbangan menimpa tubuh mereka.
"Ah, dingin ! ", kata si nona, jang berhenti bertindak tiba2.
"Soemoay, mari pulang !", Siok Touw mengadjak. Si nona menggeleng kepala, ia menghela napas.
"Djangan bersusah hati, soemoay ", sang soeheng menghibur.
"Itulah bukan kesalahan kau ...". Hian Song tidak menjahuti. Ia berdjalan pula. Saldju turun semakin besar.
"Soemoay, lebih baik kita pulang ke Thian-san ", kata Siok Touw kemudian. Ia memberanikan diri.
"Mengenai segala peristiwa disini, kau boleh minta Tiangsoen Tay jang menjampaikannja kepada Thian-houw. Kau tahu sendiri besar sekali harapan soehoe atas dirimu, supajakaulah jang mendjadi ahli warisnja. Dengan berdiam di Thian-san, dapat kita sama2 mejakinkan ilmu pedang kita. Kau djuga akan sering2 menemui Lie It. Mendengar nama Lie It, tubuh si nona menggigil.
"Tidak, soeheng ", katanja, berduka.
"Aku tidak mau menemukan dia pula. Aku telah mengambil putusan untuk kembali ke Tiang-an !". Siok Touw melengak.
"Sekarang ?", dia tanja.
"Benar !", mendjawab si nona, pasti.
"Aku tidak mau menanti besok ! Tolong kau sampaikan maafku kepada semua tjianpwee ". Mendadak dia berdjalan tjepat, tanpa menoleh pula. Siok Touw berdiri diam, ia mengawasi, sampai tubuh orang tak terlihat pula. Ia tidak mau menjusul. Pertjuma ia susul nona itu, jang hatinja ada pada Lie It. Tapi ia pun tidak lantas berlalu. Masih lama ia berdiri bagaikan terpaku tanpa menghiraukan saldju. Achirnja, ketika Siok Touw kembali kerumahnja si pemburu, waktu sudah tengah hari. Lie It sudah lama mendusin, hanja dia sangat lesu. Dia telah mengetahui Hian Song sudah pergi, maka hatinja pun beku. Maka itu, tanpa ditanja Siok Touw, tidak mau dia bitjara.
"Barusan dalam tidurnja si Bin me-manggil2 ibunja ", kata Tiangsoen Tay.
"Baik, nanti aku budjuki dia ", berkata Lie It.
"Aku nanti bilangi dia bahwa ibunja telah pergi bersama bibinja. Kau tolong kubur adik Pek ".
"Kasihan anak itu ", mengeluh Tiangsoen Tay.
"Tapi begitupun baik. Tunggu sampai dua tahun lagi, baru dia dikasi tahu hal jang sebenarnja ". Oleh karena peti mati tersedia, gampang sadja Tiangsoen Tay mengurus djenazah adiknja, tjuma perasaannja sangat berat. Adik itu buruk nasibnja. dia menderita sangat. Tak dapat ia bitjara dengan adiknja itu. Maka ia menangis. Untuk mentjegah Hie Bin mendusin, ia tidak berani menangis keras, ia bekerdja dengan diam2. ---oo0oo--- Tiga hari kemudian maka digunung situ terlihat sebuah kuburan baru. Kuburan itu tidak besar dan mentereng seperti kalau dibuat oleh Khan. Itulah kuburan sederhana. Lie It jang merapikannja. Lie It pula jang membikin batu nisan dengan bunjinja.
"Kuburan Tiangsoen Pek, isteri jang tertjinta ". Maka itu, di alam baka, tentulah Tiangsoen Pek puas. Kesehatannja Lie It sudah sembuh, tjuma hatinja terluka. Tiga hari Tiangsoen Tay mengawasi iparnja itu, terpaksa ia meninggalkannja. Ia mesti pulang ke Tiang-an, untuk menjampaikan laporannja kepada ratu. Maka itu, didepan kuburan mereka berpisahan.
"Orang jang telah meninggal dunia tidak akan hidup pula ", berkata Tiangsoen Tay menghibur.
"maka itu seperginja aku, kau mesti mendjaga diri baik2, kau mesti meredakan kedukaanmu ". Lie It tidak menjahuti. Kata pula Tiangsoen Tay .
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak dapat aku berbitjara dengan adik Pek, tetapi dari keterangannja Hie Bin, adikku itu tidak pernah melupakan negaranja. Sering dia menuturkan Hie Bin pelbagai hal mengenai negara kita. Dia telah mendjandjikan akan mengadjak anaknja ke Tiang-an ".
"Aku ketahui itu ", kata Lie It.
"Kalau si Bin menangis, sering dia mendjustakan dengan kata2-nja itu ".
"Kau toh tidak menghendaki si Bin terus hidup di wilajah asing ini ?". Lie It menarik napas.
"Aku sendiri, tak sudi lagi aku pulang ", ia mendjawab.
"Mengenai si Bin, kalau nanti sudah dewasa dia mau pulang, aku tidak akan meng-halang-inja ". Ia lantas menambahkan .
"Aku bukannja tak tahu adik Pek mengingat negaranja. Ah, selama delapan tahun dia tinggal digunung belukar, sengsara hidupnja. Djikalau aku ingat itu, aku menjesal ".
"Sekarang ini bagaimana pandanganmu mengenai Thian-houw ?", Tiangsoen Tay mengalihkan pemebitjaraan.
"Dialah wanita jang berambekan dan berpengaruh. Dia telah memakai tenaganja orang2 jang aku kagumi. Dia djuga membinasakan orang2 jang aku hargakan. Tak tahu aku mesti membilang apa. Tentang djasanja, tentang kedjahatannja, biarlah ahli2 sedjarah di djaman belakangan sadja jang mengutarakannja ".
"Sebenarnja aku mengagumi dia ", kata Tiangsoen Tay.
"Dia mengatur negara rapi sekali. Sedikitnja dia terlebih baik daripada kaisar2 jang terdahulu. Hanja dia bukan tak ada tjatjadnja. Dua keponakan jang dia hargakan, Boe Sin Soe dan Boe Sam Soe - bukannja machluk2 baik. Kau tidak mau pulang, baik. Aku tidak mau memaksa kau. Tjuma disana ada beberapa orang jang kau kagumi, jang meng-harap2 pulangmu ".
"Siapakah mereka ?", Lie It tanja. Didalam hatinja, ia lantas kata .
"Siapa lagi ketjuali Siangkoan Wan Djie ?".
"Tahukah kau kalau Thio Kian Tjie mendjadi Perdana Menteri ?".
"Kabarnja dia dipudjikan Tek Djin Kiat ".
"Benar. Sjukur ada dia serta Tek Djin Kiat, Poan Gan Hoan dan lainnja jang djudjur dan setia, karenanja kedua saudara Boe tidak berani main gila setjara terang2-an. Toh mereka harus dikuatirkan. Maka itu, Tek Djin Kiat dan Thio Kian Tjie pun menghargai pulangmu ".
"Apakah mereka mengharapi tenagakuuntuk menjingkirkan dua saudara Boe itu ?".
"Ja ...! Sekarang ini sudah pasti Thian-houw akan menjerahkan tachta kepada Louw Leng Ong, puteranja itu. Jang dikuatirkan jalah huru-hara. Kalau kedua saudara Boe itu memperoleh pengaruh, lenjaplah harapan kamu kaum she Lie. Kalau Louw Leng Ong sudah naik disinggasana, dikuatirkan orang2-nja nanti menuntut balas. Apabila itu terdjadi, tjelaka seluruh keluarga Boe, tak ada pilihan lagi batu pualam atau batu koral biasa. Maka itu, dalam suasana mengantjam itu, perlu ada orang2 jang dapat mengendalikan pemerintahan. Tegakah kau tak mentjampur-tahu urusan itu dan tak memperdulikan lagi saudara atau orang jang terdekat dengan kau ? Dapatkah kau membiarkan Hian Song ? Sukakah kau membiarkan negaramu bertjelaka ?". Mendengar itu, hati Lie It tergerak. Tapi ia berdiam. Lewat sekian lama, ia tjuma menghela napas.
"Kau tahu aku sangat menjukai Wan Djie ", berkata pula Tiangsoen Tay.
"Buat guna Wan Djie maka djuga aku mengharap kau suka pulang buat satu kali sadja ". Lie It mengasi dengar suaranja seperti mendumal.
"Oh, Wan Djie, Wan Djie ...". Wan Djie itu sahabat akrabnja semendjak masih ketjil, disaat ini perasaannja mulai tawar, akan tetapi mendengar namanja Wan Djie disebut Tiangsoen Tay, ia menggigil tanpa merasa.
"Baru2 ini telah aku membilangi kau ", kata lagi Tiangsoen Tay.
"selama jang belakangan ini dia mendjadi semakin lesu. Agaknja ada suatu urusan penting sekali jang ia ingin memutuskannja bersamamu ".
"Ja ... Hian Song pun membilang demikian, Wan Djie itu mirip dengan adikku. Aku tahu kau pun sangat menjajangi dia. Aku tidak ingin dia meninggal dunia karena memeras. Dia mempunjai kesulitan, dia menantikan kau untuk memutuskannja. Apakah kau tega dan tetap tidak mau menemuinja ?". Lie It menghela napas, ia tetap berdiam.
"Ah, kau berkukuh tidak mau pulang ", kata Tiangsoen Tay pula, Baiklah, aku tidak mau memaksa kau. Hanja aku minta, setelah kau sembuh nanti, sukalah kau memikirkannja pula ". Tiangsoen Tay kuatir Lie It nanti mendjadi runtuh semangatnja, maka itu ia membudjuki agar dia pulang, supaja dia berusaha. Sebenarnja kalau Lie It pulang, ia mungkin nampak kerugian. Tapi ini ia tidak hiraukan. Ia tahu Lie It menjintai Siangkoan Wan Djie. Ia tjuma menghendaki Wan Djie senang hatinja.
"Apa jang kau katakan ini dapat aku pikirkan ", kata Lie It kemudian, perlahan. Tiangsoen Tay menggenggam erat tangan orang.
"Bagus !", katanja.
"Sekarang aku mau pergi, aku harap kita nanti bertemu pula di Tiang-an ". Seberlalunja sahabat itu, Lie It merasa tak tenang. Ketika ia pulang, ia lantas roboh karena sakit. Tapi tetap ia pikirkan perkataannja Tiangsoen Tay. Ia bergelisah dan guntjang hatinja. Tjampur-aduk perasaannja . Urusan negara, sakit hati pribadi, persahabatan, tjinta-asmara, kedukaan terhadap isterinja. Selama itu didepan matanja berbajang tubuh dan raganja Tiangsoen Pek, Boe Hian Song dan Siangkoan Wan Djie. Mereka itu muntjul bergantian. Selama sakitnja itu, Lie It merasa anaknja sangat menahuinja. Ia ditunggui dan dilajani. Kadang2 sadja anaknja menanja hal ibunja. Anak itu mengharap ajahnja lekas sembuh, supaja dia nanti diadjak pergi ke Tiang-an mentjari ibu dan bibinja. Si bibi jalah Hian Song. Anak itu polos sekali. Maka itu, memikirkan anak ini, pikiran Lie It tambah ruwet. Kok Sin Ong ber-sama2 Hoe Poet Gie, Heehouw Kian dan Pwee Siok Touw seharusnja sudah pulang ke Thian-san akan tetapi karena sakitnja Lie It, keberangkatan mereka mendjadi tertunda. Selama itu Khan besar pernah mengirim barisannja ke gunung mentjari mereka akan tetapi mereka dapat menjembunjikan diri dengan baik. Dengan penjamaran jang sempurna, beberapa kali mereka lolos dari pemeriksaan. Setengah bulan lamanja Lie It sakit, selama itu ia telah pikirkan kata2-nja Tiangsoen Tay. Lalu pada suatu hari ia nampak segar sekali, hingga orang heran ketjuali Heehouw Kian si tabib pandai. Sakitnja Lie It disebabkan terutama sakit dihati, maka itu asal pikirannja terbuka, dapat dilegakan, sakitnja akan berkurang atau sembuh sendirinja. Heehouw Kian lantas memberikan obat untuk menguatkan tubuh, maka lekas djuga Lie It pulih kesehatannja, maka pada suatu hari dia kata pada anaknja .
"Anak Bin, bukankah kau ingin pergi ke Tiang-an ? Sekarang aku akan pergi kesana !". Hie Bin bertepuk tangan saking girang.
"Bagus !", serunja.
"ibuku dan bibi ada di Tiang- an ! Di Tiang-an itu ada banjak makanan jang lezat2 ! Ajah, aku mau turut !". Lie It tjekal tangan anaknja, ia genggam erat2.
"Anak Bin, usiamu masih terlalu muda ", katanja, sabar.
"maka itu tunggulah lagi dua tahun, akan aku adjak kau kesana. Sekarang ini kau turut sadja Heehouw Kong-kong dan Pwee Pehpeh, dan kau harus mendengar kata2 kong-kong dan pehpehmu itu ". Kelihatan Hie Bin putus asa, hanja sebentar, ia djadi gembira pula.
"Baik, ajah !", katanja.
"Aku minta ajah menjampaikan pengharapanku supaja ibu baik, supaja bibi pun baik ! Tolong bilangi bahwa aku sangat kangen, supaja mereka lekas pulang mendjenguk aku ! Ibudengan bibi sekarang tentu sudah akur, kalau bibi memberikan aku buah, ibu tidak akan menegur pula padaku, bukankah ?". Sakit hatinja Lie It mendengar itu, hampir ia meneteskan air mata.
"Memang ibu dan bibimu itu sangat menjajangi kau ", katanja.
"Nanti aku sampaikan pesanmu ini kepada ibu dan bibimu itu ", Ketika itu Hoe Poet Gie mengadjak Kok Sin Ong pergi ke Thian-san Utara untuk tinggal hersama, dan Heehouw Kian pergi ke Thian-san Selatan untuk tinggal bersama Pwee Siok Touw. Kuburannja Oet-tie Tjiong dan Yoe Tan Sin-nie ada digunung sebelah selatan itu, maka itu Heehouw Kian suka menemani mereka itu. Lie It menjerahkan anaknja pada Heehouw Kian.
"Anak ini berotak terang sekali", kata Heehouw Kian.
"Siok Touw, kau mengadjari dia ilmu silat, nanti aku mengadjari ilmu surat. Eh, anak, kalau nanti kau mendjadi besar, kau menjukai apa ?".
"Aku ingin mendjadi seperti ajahku, mendjadi seorang ahli pedang ", sahut botjah itu.
"Aku djuga ingin mendjadi seperti kong-kong, mendjadi tabib. Setelah beladjar ilmu pedang, aku nanti bunuh orang2 djahat, dan setelah beladjar ilmu tabib, aku nanti tolongi orang baik2 ! Kong-kong, bukankah itu bagus ?". Heehouw Kian menundjuki djempolnja.
"Bagus ! Bagus !", pudjinja. ,,Nanti kong-kongmu mewariskan semua kepandaiannja kepadamu !".
"Kenapa kau tidak mau lekas berlutut ?", kata Lie It pada anaknja. Hie Bin tjerdik sekali, ia lantas berlutut dan meng-angguk2 pada Heehouw Kian seraja berkata .
"Kalau begitu, kong-kong, aku mesti memanggil soehoe !". Tabib itu tertawa bergelak.
"Lie It ", katanja.
"aku bersahabat baik dengan gurumu. Gurumu itu mempunjai murid djempol sebagai kau, aku girang sekali, sekarang aku pun mempunjai murid djempol ini ! Aku berani omong besar, murid jang aku adjar pastilah akan mendjadi murid jang terlebih baik daripada murid gurumu !". Hoe Poet Gie turut tertawa.
"Oet-tie Tjiong sudah menutup mata, apakah kau masih hendak bersaing dengannja ?", dia tanja. Menurut aturan dalam dunia Rimba Persilatan, Heehouw Kian lebih tua dua tingkat daripada Hie Bin, tjoba bukan Heehouw Kian sendiri jang mengutarakannja, tidak nanti Lie It berani menjuruh anaknja mengangkat guru kepadanja, maka sjukurlah Heehouw Kian bukan oaang jang berkukuh terhadap aturan. Heehouw Kian tertawa, ia kata pada muridnja itu .
"Djikalau kau ingin beladjar pedang, kau djuga harus mengangkat satu guru ". Hie Bin mengerti, ia lantas bertekuk lutut didepan Siok Touw.
"Djangan ! Djangan !", Siok Touw mentjegah, tangannja di-gojang2-kan. Akan tetapi Heehouw Kian menahan tubuhnja, hingga dia menerima hormat muridnja.
"Apanja jang tidak boleh ?", kata Heehouw Kian tertawa.
"Kita mengadjarkan masing2 ! Perduli apa segala aturan 1 Apakah kau kuatir deradjatmu tarun ?".
"Bukan. Itu djusteru mengangkat deradjatku ", kata Siok Touw. Memang djuga deradjat mereka berlainan. Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong tertawa. Lie It girang sekali, Itu artinja puteranja itu bakal terdidik sempurna. Demikian achirnja Lie It berpisahan dari anaknja serta Heehouw Kian semua, seorang diri ia berangkat pulang ke Tiang-an. Ia bagaikan bermimpi. Ia tetap menjamar sebagai seorang Uighur, supaja orang tidak mengenalnja. Ia berdjalan dengan menunggang kuda. Lewat beberapa hari, selagi berdjalan itu, ia melihat debu mengepul didepannja. Itulah satu pasukan tentera jang lagi mendatangi. Ia pergi ketempat jang tinggi untuk mengawasi, hingga ia mendapatkan itulah sebuah pasukan tidak terurus, bendera dan pakaiannja tidak keruan, barisannja katjau. Djadi itulah sepasukan katjau-balau. Ia menduga kepada pasukan jang kalah perang. Ia girang berbareng berduka. Girang sebab tentara Tionggoan menang. Dan berduka, karena katjaunja barisan ini berarti rakjat disepandjang djalan pastilah menderita dari gangguan mereka. Untuk menjingkir dari mereka itu, Lie it mengambil lain arah, atau beberapa serdadu Turki itu lantas menguber padanja sambil mem-bentak2 menjuruhnja berhenti. Sebenarnja, kalau ia mau, dapat ia menjingkir terus, tetapi ia memperlahankan kudanja. Ia ingin memperoleh keterangan dari mulut mereka itu. Segera djuga datang serangan anak panah serabutan dari beberapa serdadu Turki itu. Dengan menggunai kepandaiannja, lie It menjambuti semua anak panah, terus ia melemparkannja pula, untuk dipakai membalas menjerang mereka itu, hingga empat diantaranja terguling dari punggung kudanja, roboh berkoseran ditanah, terus tak dapat merajap bangun lagi. Kemudian ternjata mata mereka tjelong, muka mereka perok dan putjat. Merekalah tentera jang kelaparan, karena lukanja itu, habislah tenaga mereka. Kuda mereka lantas lari kalang-kabutan. Mau atau tidak, terharu hatinja Lie It. Ia melihat satu di antaranja seperti seorang perwira, romannja pun tidak terlalu kutjal. Ia lompat turun dari kudanja, untuk menghampirkan dia itu. Ia mengangkatnja bagun.
"Tjongsoe, ampun !", memohon si perwira. Ia memanggil 'tjongsoe', orang gagah.
"Kita tidak bermusuh, mengapa kau memanah aku?", tanja Lie It.
"Aku tjuma mau minta sedikit barang makanan ", sahut perwira itu. Tempat itu sepi, djarang sekali penduduknja, ada djuga beberapa pemburu, maka itu barisan ini sangat kekurangan barang makanan. Mereka dapat menjembelih kuda mereka tetapi ini mereka tidak lakukan, sebab kuda perlu untuk mereka melarikan diri. Lie It membekal barang makanan, ia berkasihan terhadap mereka, ia lantas membagi. Ia melihat bagaimana orang makan dengan lahapnja. Habis minum, mereka itu menghaturkan terima kasih ber-ulang2. Perwira itu, jang berpangkat pek-hoe-thio, agaknja malu ketika ia berkata.
"Kami asal rakjat melarat, djikalau tidak sangat terpaksa, tidak nanti kami membegal dan merampok ". Ia melihat Lie It sebagai bangsanja, ia tidak mengenali penjamaran orang.
"Kenapa kamu kalah perang setjara begini hebat ?", tanja Lie It.
"Itulah sebab pemimpin kami busuk !", sahut si perwira.
"Kami dibilangi bahwa tentera Tiongkok tidak bisa berkelahi, lalu kami diandjurkan merampas barang dan wanita Tionghoa. Bulan jang lalu kami menerdjang kota Teng-tjioe dan ketjamatan Hoei-ho di Wie- tjioe. Disana pemimpin kami menitahkan kami melepas api membakar rumah rakjat, orang laki2-nja ditangkap didjadikan budak. Kami mengira kami bakal berhasil menjerbu terus ke Tiang-an, hanja belum lagi kami mengambil kedudukan teguh tentera Tiongkok sudah melakukan penjerangan membalas. Katanja jang mendjadi djenderal Tiongkok jalah putera mahkotanja. Pasukan Tiongkok itu dibantu pasukan perang Turfan. Selama beberapa kali bertempur, kami terus kena dikalahkan. Rakjat Teng-tjioe dan Wie-tjioe pun bangun, kami diserang dari sana-sini. Rangsum kami kena dipegat dan dirampas. Demikian karena kami telah madju djauh, tanpa rangsum dan bala-bantuan, kami kena dipukul rusak ". Gusar Lie It mengetahui orang demikian djahat, ia mengangkat tjambuknja.
"Kamu djahat, dan kedjam pantas kamu musnah !", katanja bengis.
"Pantas kamu mampus kelaparan !". Perwira itu kaget, apapula ketika tjambuk mendjeter kearahnja Ia mendekam, untuk berkelit. Ia takut bukan main. Tapi tjambuk lewat diatasan kepalanja. Lie It menghela napas, ia kata ."Ja ..., semua ini dosanja Khan kamu !". Ia lompat naik atas kudanja, meninggalkan mereka itu. Serdadu2 lainnja telah lari serabutan tadi. Disepandjang djalan Lie It menemui rombongan2 tentara Turki jang tidak keruan matjam itu, ia tidak mau usil mereka, ia selalu menghindarinja. Kemudian, selang dua hari, habis sudah sisa tentara Turki, sekarang ia bertemu dengan sedjumlah rakjat jang mengungsi. Menurut mereka, Khan Turki sudah mengadjukan permohonan berdamai dengan kaisar puteri Tiongkok, hanja kebenarannja mereka tidak tahu. Mereka pulang sehabis menjingkir dua puluh hari lebih. Lega djuga hati Lie It. Ia meng-harap2 perdamaian berhasil. Lagi dua hari tibalah Lie It dibatas medan perang. Ia tidak mau mengambil djalan besar, ia memilih djalanan pegunungan walaupun sukar. Ia mau melintasi selat Seng-eng-kiap untuk tiba di wilajah An-see. Ia keputusan rangsum tetapi ditengah djalan ia dapat menangkap dua ekor kelintji, jang tjukup untuk menangsal perut dua hari. Hari itu selagi lewat disebuah lembah pandjang, Lie It mendengar djeritan wanita bangsa Turki, jang minta tolong. Ia menduga kepada perbuatan djahat serdadu buronan, maka ia larikan kudanja untuk melihat. Ia mendapatkan sebuah gubuk dimana terdapat majatnja seorang wanita serta dua orang botjah. Pembunuhnja pun masih ada jalah dua orang Tionghoa. la, gusar, ia mengadjukan kudanja. Atau tiba2 ada batu menjamber kearahnja, keras timpukan itu. Ia menduga, itulah timpukannja seorang liehay. Ia menghunus pedangnja, untuk menangkis sambil berkelit. Satu batu tersampok, batu jang lain lewat akan tetapi kudanja ngusruk. Sebab kepala kuda itu kena tertimpuk petjah. Ia lantas berlompat turun, terus kearah dua orang itu. Begitu kedua pihak sudah datang dekat, dua2-nja kaget hingga mereka sama2 berseru. Dua orang itu jalah Thia Tat Souw serta anaknja, Thia Kian Lam. Pakaian mereka rombeng dan kotor. Muka mereka penuh debu. Keadaan mereka rudin sekali. Lie It lantas mengenalinja. Hanja ia heran kenapa mereka bersengsara disini. Turut dugaannja, dengan menakluk pada Khan Turki, mereka tentu sudah memperoleh pangkat tinggi dan kedudukan mewah. Benarlah apa jang Lie It dengar perihal Khan Turki meminta berdamai. Ketika Turki menjerang hingga peperangan mendjadi berketjamuk, Boe Tjek Thian menggunai ketikanja mengangkat puteranja, pangeran Louw Leng-ong, mendjadi thaytjoe atau putera mahkota serta ditugaskan mendjadi djenderal perang jang pergi ke Hoopak untuk menumpas penjerang. Tek Djin Kiat diangkat mendjadi pembantu djenderal itu. Maksudnja Boe Tjek Thian agar putera itu berkuasa atas bala tentera dan mendjadi gampang nanti untuk naik di tachta. Thaytjoe manusia biasa sadja tetapi dibantu Tek Djin Kiat dapat ia memimpin angkatan perangnja, jang dipetjah mendjadi tiga djalan . Touwtok Thio Djin Tan dari Yoe-tjioe dengan tiga puluh laksa serdadu madju di timur. TaytjiangkoenGiam Keng Yong didjadikan kepala dibagian barat dengan tenteranja sedjumlah Iima belas laksa djiwa. Pasukan tengah jang terdiri dari pasukan tjampuran, besarnja sepuluh laksa djiwa, diserahkan kepada Seetok Tiong Gie, djenderal bangsa Turfan. Angkatan perang ini dapat melabrak musuh, merampas pulang daerah2 jang kena dirampas musuh itu, terus memasuki wilajah musuh sekali. Khan Turki tidak sanggup melawan, dia meminta damai, dia mengutus wakilnja ke Tiang-an, antaranja dia menjatakan suka menjerahkan puterinja untuk dinikahkan pada puteranja putera mahkota. Dalam soal perdjodohan atau pernikahan antara negara Tiongkok dengan negara asing, biasanja puteri Tiongkok dinikahkan pada putera atau radja asing, tetapi kali ini puteri asing dinikahkan pada putera kaisar Tiongkok. Perdjodohan itu achirnja gagal tetapi soalnja telah mendjadi buah pembitjaraan jang menarik hati. Begitu lekas tersiar berita Khan Turki mengadjukan permohonan untuk berdamai, rakjatnja tua dan muda mendjadi girang sekali. Akan tetapi disebelah itu, ada beberapa orang jang sebaliknja mendjadi sangat berkuatir. Mereka ini, jalah kawanan pengkhianat, jang datang dari Tiongkok, jang menghamba kepada Khan, diantaranja jalah Thia Tat Souw dan anaknja. Mereka menguatirkan, djikalau perdamaian didapat, Boe Tjek Thian nanti meminta mereka diserahkan kepada kaisar wanita itu. Selama mereka masih berdiam di Tiongkok, ratu itu pun sudah ingin sangat membekuknja. Maka itu, di harian perutusan Turki berangkat, mereka diam2 mengangkat kaki. Thia Tat Souw ketua Hek Houw Pang, anggauta2 perkumpulannja itu terdapat ditapal batas, ingin ia menjeberangi perbatasan, untuk menjampurkan diri dengan orang2-nja itu. Diluar dugaan, selagi mereka berada ditanah pegunungan dan tengah merampas barang makanannja wanita Uighur pengungsi itu, mereka bertemu dengan Lie It. Benar Lie It menjamar tetapi Tat Souw mengenali pedangnja. Mengetahui jang dia tidak dapat menjingkir pula, Tat Souw lantas menjerang sambil ia berteriak .
"Djikalau bukan kau jang mampus tentulah aku!". Ia menjerang dengan hoentjwee besinja, dengan tipu silat 'In Liong sam hian' atau 'Naga didalam mega memperlihatkan diri tiga kali'. Dapatlah diduga bahwa serangan itu hebat luar biasa. Lie It menangkis dengan pedangnja, dengan begitu sendjata mereka bentrok keras, suaranja terdengar njaring sekali dan lelatu api pun muntjrat berhamburan. Tubuh Tat Souw terhujung tiga tindak, sedang tubuh si pangeran tjuma bergojang sadja. Kesudahan ini membuat Lie It heran. Ia ketahui baik tenaga dalam dari Tat Souw menang daripadanja, toh kali ini ia merasa, tenaga lawan itu tak sebesar dulu-hari. Ia tidak tahu, atau tidak ingat, Tat Souw itu telah terkena djarum emasnja Heehouw Kian dan lukanja itu belum sembuh, sedang sekarang ini sudah dua hari dia kelaparan, hingga tenaganja mendjadi berkurang. Setelah itu, Lie It membalas menjerang. Karena ia menang unggul, ia menjerang dengan bengis. Menampak ajahnja keteter, Thia Kian Lam mendjadi berkuatir. Untuk membantui, ia mengeluarkan sendjatanja, sepasang poan- koan-pit, alat peranti menotok djalan darah. Maka sedjenak kemudian, Lie It sudah dikepung berdua, ajah dan anak itu. Walaupun Tat Souw telah kehilangan tenaganja, ilmu totoknja tetap liehay, hoentjwee besinja tidak dapat dipandang ringan. Pula harus dibuat sjukur oleh Lie It, lawannja ini telah kehabisan tembakaunja, hoentjweenja itu tidak dapat disedot lagi, dengan begitu sendirinja dia tidak dapat menggunai asap hoentjweenja jang berbahaja itu. Sebaliknja si pangeran, jang mengandadalkan ilmu pedangnja, terutama pedangnja jang tadjam, dapat melawan dengan baik. Maka meskipun ia dikepung berdua, mereka nampak berimbang kekuatannja. Sesudah pertempuran berdjaIan seratus djurus, se-konjong2 Tat Souw merasakan iga kirinja sakit. Itulah bagian dja lan darah hoen-moei, tempat bekas tusukan djarumnja Heehouw Kian. Tadi2-nja ia tidak merasakan, sekarang, setelah mengeluarkan tenaga besar sekali, lukanja kumat. Ia terkedjut. Ia mengerti, karena sakitnja itu, ia tidak akan dapat bertahan lama, Maka bagaikan nekat, ia menjerang dengan djurus 'Melintangkan penglari emas', ia mendjaga pedangnja lawan, setelah itu, dengan memutar diri, tiga kali ia menjerang saling-susul, setiap kalinja terus ia mengarah djalan darah. Lie It dapat membade orang telah mendjadi nekat, selagi lawan itu berlaku bengis, ia bergerak dengan tidak kalah sebatnja, setelah menghalau bahaja, ia berseru sambil membalas menjerang dengan sama hebatnja. Ia menggunai djurus 'Merantai Memelintangkan Perahu', mengarah kepundak setelah terlebih dulu mengantjam dengan tikaman.
"Tjelaka !", Tat Souw berteriak didalam hatinja. Setjepat bisa, ia berkelit dengan mendak. Tapi ia masih terlambat sedikit, udjung pedangnja Lie It mengenakan djuga pundaknja itu. Sedikit dagingnja terpapas, darahnja mengutjur.
"Traangg ...!", terdengar satu suara njaring. itulah poan- koan-pit Kian Lam, jang bentrok dengan pedang Lie It. Anak ini melihat ajahnjaterantjam bahaja, ia mau menolongi dengan menjerang musuhnja. Tapi Lie It djeli matanja dan sebat gerakannja, dia sempat menangkis, maka sendjata mereka beradu. Kesudahannja itu, poan-koan-pit kena dibabat kutung udjungnja.
"Kian Lam, lekas lari !", teriak Tat Souw, matanja merah, dan dengan nekat, ia menjerang. Ia seperti binatang jang telah terluka, jang mendjadi mogok. Dengan hoentjweenja, ia mendesak tanpa menghiraukan rasa njeri pada iga dan pundaknja jang bor2-an darah itu. Kian Lam masih bersangsi ia tidak mau mengangkat kaki. Menampak ke- ragu2-an sang anak. Tat Souw mendjadi mendongkol, maka dia berteriak .
"Anak tidak berbakti! Apakah kau hendak memutuskan turunan she Thia ?". Kian Lam terkedjut. Untuk sedetik, dia berdiam, atau segera dia lari kabur sambil menangis meng-gerung2. Lie It membentji kedjahatan ketua Hek Houw Pang itu, akan tetapi menghadapi kedjadian didepan matanja ini, menjaksikan kelakuannja Kian Lam itu, timbul rasa kasihannja. Meski begitu, ia tidak sempat berpikir, Tat Souw terus mendesaknja, karena dia menggunai siasat desakannja itu agar pangeran ini tidak sempat mentjegah larinja anaknja itu. Ia mendjadi mendongkol, ia melawan sama hebatnja. Tepat ketika tangisannja Kian Lam lenjap, serangannja Tat Souw mendjadi kendor, bahkan satu kali, tubuhnja merangsak demikian rupa hingga pedangnja Lie It dapat menjamber dengkulnja. Dia terhujung, tetapi, bukan dia mengeluh kesakitan, sebaliknja dia tertawa lebar dan berkata .
"Aku si orang she Thia sudah malang-melintang beberapa puluh tahun, kalau sekarang aku mati, aku mati puas !". Lie It berhenti menjerang. Kembali timbul rasa kasihannja.
"Thia Pangtjoe ", katanja dengan rasa hormat.
"kau serahkan hoe-leng dan buku keanggautaan Hek Houw Pang, lantas kau musnahkan ilmu silatmu, nanti aku idjinkan kau pulang untuk berkumpul bersama anakmu !". Ia berkasihan, karena ia memikir .
"Tat Souw sudah berumur hampir enam puluh tahun, biarlah ia hidup dengan sisa usianja. Kalau dia menjerahkan hoe-leng dan bukunja, boleh itu aku serahkan pada Tiangsoen Tay agar kemudian Hek Houw Pang tidak usah meradjalela lagi mengganggu kesedjahteraan ". Tapi Thia Tat Souw berpikir lain. Ketua Hek Houw Pang itu tertawa dan berkata.
"Kau menghendaki aku menjerahkan hoe-leng dan buku anggauta perkumpulanku serta aku pun merusak ilmu silatku sendiri ? Ha ...! Ha ...! Kau memandang terlalu enteng kepadaku si orang she Thia ! Satu laki2 boleh mati tetapi tidak dapat dia memohon belas-kasihan ! ". Belum habis katakatanja itu, lalu tubuhnja roboh menggabruk, terkulai ditanah. Rupanja dia sudah memutuskan nadinja sendiri. Lie It menghela napas.
"Kembali satu Pek Yoe Siangdjin ", katanja dalam hati. Untuk mengambil hoe-leng dan buku keanggautaan Hek Houw Pang, pangeran ini lantas mendekati tubuh Tat Souw itu, terus ia membungkuk, atau ia kaget karena dadanja kesemutan. Dengan tiba2, berbareng dengan itu, tubuhnja Tat Souw bergerak, tangannja bergerak pula. Lalu, terdengarlah satu suara njaring dari bunjinja hoentjwee mengenai batok kepala. Bukan main kaget dan sakitnja Lie It, dengan wadjar sadja sebelah kakinja melajang kearah tubuh ketua Hek Houw Pang itu, setelah mana, kepalanja mendjadi pusing sekali, masih ia mendengar satu djeritan hebat jang samar2 tetapi ia sendiri segera tidak sadarkan diri. Tak tahulah Lie It, berapa lama ia pingsan, ketika ia mendusin, hari sudah maghrib, nampak sinar lajung dari sang surya. Ia mendapatkan ia rebah tak djauh dari majatnja si wanita Uighur serta dua anaknja. Hingga suasana disitu sangat mengetjilkan hati. Ia mau berbangkit tetapi tidak bisa. Ia lantas ingat bahwa ia belum bebas dari totokan tadi oleh Tat Souw. Maka ia berdiam, terus ia mengerahkan tenaga-dalamnja. Dengan begitu, tidak selang lama, darahnja dapat mengalir pula, dari perlahan hingga mendjadi biasa, setelah mana baru ia dapat menggeraki kaki-tangan dan tubuhnja, untuk bangun berduduk dan berdiri. Didekatnja itu, ia tidak melihat Tat Souw. Ia bertindak ketempat dimana tadi ia bertempur hebat dengan ketua Hek Houw Pang itu. Didekat situ ada djurang. Ketika ia melongok kebawah, ia melihat satu tubuh rebah terkulai, setelah ia mengawasi, ia mengenali majatnja orang she Thia itu. Tat Souw litjik sekali, banjak akalnja, djahat hatinja. Begitulah ia ber-pura2 sebagai satu laki2 sedjati, mati membunuh diri. la hendak memperdajakan Lie It. Ia berhasil, karena Lie It seorang manusia pemurah hati. Ketika si pangeran datang dekat, mendadak ia menjerang dengan totokan, disusul dengan hadjaran hoentjweenja. Sjukur ia telah kehilangan banjak tenaganja, totokannja tepat tetapi tidak hebat. Demikian djuga hadjaran hoentjweenja, maka dalam sakit dan kaget, Lie It masih sempat menendang padanja, hingga tubuhnja terpental kedalam djurang dimana dia menerima kebinasaannja. Lantas Lie It mentjari djalan untuk merajap turun kedjurang, untuk mengambil hoe-leng serta buku keanggautaan Hek Houw Pang. Ketika ia naik pula, ia djuga letih luar biasa, sebab ia pun kelaparan dan telahmenggunakan tenaga berlebihan. Gubuknja si wanita Uighur sudah rusak tidak keruan tetapi di situ masih ada sisa bubur, api didapur pun belum padam. Ketika Lie It memeriksa, ia tidak dapat makan bubur itu. Pada itu telah ketjampuran darah manusia. Melihat bubur itu, dapatlah ia membajangkan apa jang terdjadi tadi. Wanita ini masak bubur, untuk anaknja, tiba2 datanglah Tat Souw dan Kian Lam, lantas mereka ini mentjoba merampas bubur itu. Hebat untuk Tat Souw, satu djago, ketua Hek Houw Pang, dan tetamu jang dihormati Khan Turki, tetapi lantaran sangat lapar, lupa dia kepada kehormatan diri atau keangkuhannja, dia merampas bubur. Njonja itu membelai buburnja, tidak ampun lggi, dia dibunuh setjara telengas, demikian djuga kedua anaknja, hingga darahnja muntjrat ke bubur !. Berduka sekali Lie It apabila ia membajangkan peristiwa hebat itu. Sangat menjedihkan nasibnja wanita dan anak2-nja itu. Ia pun dapat mentjium sedikit bau batjin pada darah dalam bubur itu.
"Aku tidak menjangka beginilah hebatnja peperangan ", ia menghela napas. Walaupun ia sangat lapar, tidak dapat Lie It makan sisa bubur itu, maka itu, ia terpaksa memotong daging kudanja, jang tadi telah mati dihadjar remuk batok kepalanja oleh Thia Tat Souw, Ia bakar daging itu, untuk didjadikan penangsal perutnja. Untuk minum, ia pergi mengambil air selokan gunung. Habis bersantap, Lie It mesti bekerdja keras, untuk mengubur majatnja si wanita dan anak2-nja, bahkan majat Tat Souw ia tidak dapat membiarkan sadja, ia menguburnja djuga. Ketika ia mau pergi, ia membekal daging kuda itu, untuk persiapan beberapa hari selama ia masih berada ditanah pegunungan. Berselang enam hari barulah ia dapat melewati selat Seng-seng-kiap itu dan mulai memasuki wilajah Tiongkok, diperbatasan An-see. Delapan tahun telah berlalu, sekarang ia mengindjak pula tanah-daerah tumpah darahnja, rupa2 perasaannja pangeran ini. Ia membajangi bagaimana ia bersama Tiangsoen Pek keluar dari perbatasan Tiongkok, lalu hidup berdua digunung jang sepi. la bagaikan bermimpi dan baru hari ini mendusin. Dan sekarang ia berada bersendirian pula. Untuk melandjuti perdjalanannja lebih djauh, Lie It mentjampurkan diri dalam kaum pengungsi. Ia membeli tiga perangkat pakaian, untuk salin. Kaum pengungsi itu jalah penduduk sekitar kota Wie-tjioe dan Teng- tjioe, kurban2 keganasan tentara Turki, hingga mereka kabur ke wilajah Tiongkok. Bisalah dimengerti kesengsaraan mereka itu. Hanja sekarang, semangat mereka lumajan, sebab mereka sudah mendengar hal berhentinja peperangan, hingga hati mereka mendjadi lega. Sekarang tidak ada kekuatiran lagi, ketjuali kekuatiran untuk hidupnja nanti. Masih ada pengharapan mereka untuk membangun pula rumah- tangga mereka. Berselang beberapa hari, djumlah pengungsi mendjadi surut banjak. Ada diantara mereka jang ditampung sanak atau sahabatnja, ada jang suka ditolong pembesar setempat. Lie It tidak mau ditolong pembesar, ia ikut terus rombongan jang tinggal sedikit itu, jang masih mentjari sanaknja. Sebenarnja Lie It dapat makan dan pakai seperti biasa, tetapi untuk mentjegah ketjurigaan, ia terus berada diantara kaum pengungsi itu. Lagi dua hari, tibalah Lie It di Tjoan- tjioe. Itu waktu musim semi, ketikanja petani bekerdja disawah atau ladang, maka ia melihat mereka itu lagi bekerdja radjin dan anak2 mereka menggembala ternak sambil meniup seruling. Tidak ada bekas2-nja bahaja perang, suasana tampak aman dan tenang. Menjaksikan itu, hati Lie It djuga terbuka banjak. Itu hari tengah orang berdjaIan dalam rombongan. Lie It melihat beberapa penunggang kuda kabur melewati mereka. Jang menarik perhatiannja jalah satu diantara mereka itu, jang ia kenali, hingga hatinja bertjekat. Penunggang kuda itu jalah Yang Thay Hoa. Sekedjab sadja, lewatlah rombongan penunggang kuda itu. Heran Lie It. Tidak salah lihat ia, orang itu benar muridnja Pek Yoe Siangdjin. Selain menunggang kuda, dandanan Thay Hoa pun mentereng. Dia tidak miripnja sebagai pengungsi.
"Kenapa dia berani berdjalan berterang begini ?", ia kata dalam hati, men-duga2
"Mau apakah dia ? Dia mengungsi atau ada usahanja ? Siapa kawan2-nja itu ?". Tidak dapat Lie It memperoleh kepastian, maka itu, ia memikir untuk berlaku waspada. Sampai di Tjoan-tjioe ini, rombongan dalam sepuluh tinggal satu bagian. Tidak dapat Lie It terus mengikuti restan pengungsi itu. Maka ia mengeluarkan uang emasnja, untuk ditukar dengan uang perak, buat membeli kuda. Disitu tidak ada kuda, terpaksa ia membeli seekor keledai. Ia tidak menarik perhatian, tidak ada jang mentjurigai, sebab biasa sadja ada beberapa pengungsi jang dapat menjelamatkan diri dengan bisa membawa uangnja. Ia djuga membeli dua perangkat pakaian jang bagus. Ditempat aman dan ramai, kalau ia tetap menjamar sebagai pengungsi, ia djusteru menarik perhatian umum. Ketika dilain harinja Lie It meninggalkan Tjoan-tjioe dengan menunggang keledainja, ia seperti telah menjalin diri. Ia berdjalan terustudjuh hari, melintasi wilajah An-see dan mendapatkan suasana damai makin njata dan tegas. Setelah melihat Turki, ia merasakan perbedaan besar negara itu dengan negaranja.
"Dasar Tiongkok negara besar dan luas, kaja akan segala bendanja ", pikinja.
"Biarnja ada peperangan, Tiongkok tetap mempunjai kelebihannja ". Tjuma sedjenak, lantas ia dapat pikiran lain.
"Tak tepat pendapatku ini ", pikirnja lebih djauh.
"Negara luas dan benda banjak, kalau peperangan terbit, itu masih belum dapat membuat penduduk digaris belakang tenang semuanja, mereka masih membutuhkan pemerintahan jang bidjaksana untuk mengaturnja, guna mengurangi segala gangguan akibat peperangan itu ". Baik selama peperangan, maupun selama ditengah djalan ini, Lie It dapat melihat, mendengar dan berpikir. Ia melihat dan mendengar dari pihak sendiri dan djuga dari pihak musuh, bangsa Turki itu. Ia, mendapatkan liehaynja Boe Tjek Thian berperang. Ia melihat sempurnanja pembesar negeri memernahkan rakjat djelata. Ia menjaksikan ketenangannja rakjat digaris belakang. Semua itu menjatakan Boe Tjek Thian itu pintar dan pandai, dialah ratu atau kaisar untuk rakjat. Sekalipun Baginda Thay Tjong, diwaktu perang, dia ddak dapat mengurus rakjat seperti sekarang ini ", pikirnja lebih djauh pangeran ini.
"Karena itu, perlu apa rakjat membutuhkan lagi aku si orang she Lie sebagai kaisar? Kenapa kaisar itu mesti seorang pria? Boe Tjek Thian merampas mahkota Keradjaan Tong, seumurku aku membentji dia. Benarkah kebentjianku ini ?". Memikir begitu, ruwet pikiran pangeran ini. Berselang lagi setengah bulan, tibalah Lie It dikota Tiang-an. Segera ia melihat, kota lebih makmur daripada delapan tahun dulu ketika ia meninggalkannja. Di djalan2 besar jang lebar, penduduk berdjubalan. Mereka seperti tidak melihat bahaja perang. Ia djadi ingat halnja pertama kali ia bertemu dengan Boe Hian Song, ketika dia melagukan sjair "Thian Lie". Tadinja ia menganggap kota Tiang-an belukar dan sunji, ia melampiaskan kepepatan hatinja. Ketika itu Hian Song telah mengedjeknja. Waktu ia tiba di Tiang-an, baru ia mendapat kenjataan Tiang-an bukanlah tempat seperti jang ia bajangkan itu. Sekarang ia tiba pula di Tiang- an, kota ini berbeda, makin besar. Maka, apakah Hian Song akan mengedjeknja pula? Lie It mengambil tempat dihotel. Ia sudah memikir, selang dua hari ia akan mentjari Tiangsoen Tay. Ia memikir djuga untuk berdaja dapat menemui Siangkoan Wan Djie. Karenanja, itu malam, kembali pikirannja katjau, hingga tak dapat ia lantas tidur pulas. Pikirnja .
"Entah Wan Djie mempunjai urusan penting apa maka berulang-kali dia mengirim orang membawa warta padaku supaja aku pulang. Dan Hian Song, entah dia djuga ada didalam istana atau tidak. Kalau aku bertemu dia, bagaimana ?". Sampai djam tiga, ia masih gulak-gulik sadja. Tepat ia lagi bergelisah itu, ia mendengar suara pelajan hotel me-ngetuk2 pintu sambil berkata .
"Tuan2 tetamu, silahkan bangun! Ada pembesar negeri melakukan pemeriksaan !". Lantas ia mendengar suara lain jang njaring .
"Semua keluar! Semua berdiri berbaris dengan rapi, untuk menanti pemeriksaan Kauw-oet taydjin !". Kaget Lie It.
"Bukankah mereka datang untukku ?", pikirnja. Ia mendjadi bertjuriga.
"Mungkin Boe Tjek Thian sudah lantas mendapat tahu aku telah tiba dikota ini dan dia lantas menitahkan orang mentjari aku ". Sekarang ini Lie It tidak takut Boe Tjek Thian nanti mentjelakainja, akan tetapi ia pikir lebih baik ia terus menjembunjikan diri. Ia mendengar banjak tindakan kaki, jang menudju keluar, tandanja tetamu2 lain sudah mentaati titah. la lantas berpikir pula .
"Djikalau benar Boe Tjek Thian memerintahkan orang mentjari aku, rasanja pertjuma aku mengangkat kaki. Mungkinkah ini tjuma pemeriksaan biasa sadja? Baiklah aku tidak bertjuriga tidak keruan ". Dengan menenteramkan diri, pangeran ini bertindak keluar. Ketika ia telah melihat, ia mendjadi kaget bukan main. Disana seorang pembesar militer serta dua pengiringnja lagi memeriksa dan menanjakan setiap tetamu. Dialah Yang Thay Hoa! Itulah luar biasa!. Segera mata mereka berdua bentrok sinarnja, segera Yang Thay Hoa membentak dengan titahnja .
"Inilah mata2 Turki! Tangkap dia !". Bukan kepalang gusarnja Lie It.
"Kaulah mata2 Turki!", ia membalas membentak. Yang Thay Hoa tertawa berkakak.
Golok Bulan Sabit -- Khu Lung /Tjan Id Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung Dendam Asmara -- Okt