Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh 4


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 4



Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Si tua benar2 lihay, lweekangnja lebih kuat daripada aku ", katanja didalam hati. Sin Ong pun tidak kurang kagetnja. Waktu menjerang, ia sudah menghitung masak2, bahwa pedang lawan pasti akan terbang karena pukulan jang dahsjat itu. Ia tak njana, bahwa nona itu masih dapat mempertahankan diri. Dilain saat, mereka sudah mulai bertempur pula setjara lebih hebat daripada tadi. Selagi pertandingan berlangsung dengan dahsjatnja, tiba2 terdengar teriakan luar biasa jang menjerupai aum harimau. Kok Sin Ong terkesiap. Dilain saat terdengar suara tertawa berkakakan, disusul dengan suara seorang .

   "Kok Laotee, sudah sepuluh tahun kita tidak pernah bertemu muka. Bagaimana dengan Kiam-hoatmu ? Aku datang untuk menengok kau ". ---oo0oo--- BERBARENG dengan perkataan itu, ditengah lapangan berdiri seorang jang mengenakan djubah pandjang warna hidjau dan mukanja-pun bersinar hidjau. Ia berusia kira2 lima puluh tahun dan pada dagunja terdapat beberapa lembar djenggot pandjang. Dilihat dari matjamnja, ia masih muda dari pada Kok Sin Ong, tapi mengapa ia memanggil Beng-tjoe itu dengan panggilan "Laotee" (adik) ?. Semua mata mengawasi orang itu dan entah mengapa, muka si djubah pandjang menimbulkan rasa tidak enak didalam hatinja semua djago itu. Sementara itu, paras muka Kok Sin Ong segera berubah merah. Sesudah menonton beberapa saat, orang itu berkata dengan suara njaring.

   "Kok Sin Ong selalu membanggakan ilmu pedang Liap-in Kiam-hoat. Tapi aku kuatir, nama itu hanja nama kosong dan ia akan ditertawai oleh segenap orang gagah dalam dunia Kang-ouw !". Mendengar edjekan itu, muka Kok Beng-tjoe djadi semakin merah. Orang itu bernama Hoe Poet Gie, seorang In-soe (orang jang mengundurkan diri dalam pergaulan) jang adatnja aneh. Dulu, ia bersahabat dengan Kok Sin Ong, tapi karena pada suatu hari ia mentjela ilmu pedang Beng-tjoe itu, maka persahabatan itu mendjadi renggang dan selama sepuluh tahun mereka tak pernah bertemu muka. Setjara kebetulan, hari ini mereka bertemu pada waktu Kok Sin Ong sedang bertempur mati2-an untuk mempertahankan nama baiknja. Diedjek begitu rupa, Kok Sin Ong djadi gusar tertjampur malu. Dalam pertempuran antara djago dan djago, pantangan paling besar adalah terpetjahnja pemusatan pikiran dan semangat. Maka itu, begitu ia bergusar, ilmu silat Kok Sin Ong lantas sadja mulai kalut. Sesudah lewat beberapa djurus lagi, tiba2 pedang si nona menjambar kepala Kok Sin Ong bagaikan kilat tjepatnja. Dengan hati mentjelos, buru2 si kakek menundukkan kepalanja dengan gerakan Hong-hong-tiam-tauw (Burung-Hong-memanggutkan-kepala) dan pedang lewat hanja dalam djarak setengah dim dari kulit kepala. Hoe Poet Gie tertawa ter-bahak2.

   "Aduh ...! Hampir sadja kulit kepala si tua terpapas !", teriaknja.

   "Sekarang dia sudah memberi hormat kepada Ngo-bie dengan menundukkan kepala ". Hian Song tertawa geli.

   "Keangkeran Beng-tjoe musnah disapu air, sehingga menggelikan hati Thian-san Hoe Poet Gie ". Mendengar perkataan si nona, semua djago djadi kaget. Sudah lama mereka mendengar nama Hoe Poet Gie, tapi baru sekarang mereka lihat wadjah pendekar aneh itu. Kok Sin Ong pun tidak kurang kagetnja.

   "Tjelaka ...! Mereka berdua ternjata mengenal satu sama lain ", ia mengeluh.

   "Sungguh besar njali botjah perempuan itu jang sudah berani memanggil namanja ". Karena hatinja kalut, Kiam-hoatnja pun djadi semakin katjau dan ia terpaksa berkeIahi, sembari mundur. Hoe Poet Gie kembali tertawa njaring.

   "Kok Laotee, kau sudah kalah, perlu apa berkelahi terus ?", katanja dengan suara mengedjek.

   "Paling baik kita minum arak ". Melihat beberapa pentolan Rimba Persilatan sudah berlalu, bahkan Lie It sendiri sudah menjingkirkan diri, semangat Kok Sin Ong lantas sadja runtuh dan hatinja tawar. Sesaat itu djuga, sambil menangkis pedang si nona, ia melompat keluar dari gelanggang dan lalu lari turun kebawah gunung.

   "Hei ! Tunggu ...!", teriak Hoe Poet Gie.

   "Ha ...! Kau tak mau tunggui aku ? Baiklah. Mari kita adu ilmu mengentengkan badan ". Sambil tertawa ha ha-hi hi, ia segera melompat dan mengedjar Kok Sin Ong. Kedua orang itu memiliki ilmu ringan badan jang sangat tinggi, sehingga dalam sekedjapmata, mereka sudah tidak kelihatan bajangannja lagi. Sesudah Beng-tjoe lama dan Beng-tjoe baru kabur, keadaan djadi kalut dan djago2 itu lantas sadja bergerak untuk menjingkirkan diri.

   "Beng Tjoe, Djie Ie!", seru nona Boe.

   "Musnakan ilmu silat enghiong2 besar itu !".

   "Baiklah !", kata kedua budak itu jang lantas sadja melompat kesana-sini sambil memukul atau menotok djalan darah djago2 itu. Sambil ber-teriak2, mereka lari lintang-pukang seperti diuber setan. Hian Song tertawa geli dan beberapa saat kemudian, ia berteriak .

   "Sudahlah ! Biarkan mereka pergi. Beng-Tjoe, tjoba kau tolong Siangkoan Moay-tjoe ". Dengan hati duka, Lie It menjaksikan tjara bagaimana Enghiong Tay-hwee telah dihantjurkan oleh Boe Hian Song.

   "Tak salah, dalam pertandingan ini aku kalah ", katanja sambil menghela napas.

   "Aku bukan dikalahkan oleh wanita itu tapi oleh Boe Tjek Thian ". Selagi melamun, se-konjong2 ia lihat Boe Hian Song mendaki gunung. Karena hatinja sudah dingin dan tak punja kegembiraan untuk bertempur lagi, buru2 ia turun dari lain bagian gunung itu. ---oo0oo--- SEMENTARA itu sesudah diurut oleh Beng-Tjoe, per-lahan2 Wan Djie tersadar dari pingsannja dan kemudian, karena lelah, ia pun jatuh tertidur pulas. Ia mendusin pada besok harinja, kira2 tengah hari. Sesudah ingatannja pulih, ia membuka kedua matanja dan ternyata, ia berada seorang diri di-tengah2 lapangan rumput itu. Sambil mengawasi matjam2 sendjata jang terserak disekitar lapangan itu, ia menghela napas dan berkata dalam hatinja .

   "Kemana perginja Boe Hian Song ? Mengapa sesudah menolong, ia tinggalkan aku seorang diri ditempat ini?". Mendadak, setjara tidak disengadja, matanja lihat beberapa baris huruf jang ditulis dengan udjung pedang diatas kulit pohon. Empat baris huruf itu jang merupakan sadjak, berbunji seperti berikut .

   "Benar dan salah sukar ada perbedaan, Tulen atau palsu achirnja akan ketahuan, Sekarang untuk sementara kita berpisahan, Dilain hari, kumengharap suatu persatuan."

   Wan Djie jang sangat tjerdas segera dapat menangkap maksud Boe Hian Song.

   Pada djaman itu, rakjat Tiongkok terpetjah djadi dua golongan, jang satu menentang dan jang lain mendukung Boe Tjek Thian.

   Wan Djie berada dalam golongan jang pertama, sedang Hian Song dalam golongan kedua.

   Maka itu, karena tak dapat memaksa Wan Djie untuk menukar pendirian dengan segera, maka Hian Song mengatakan, bahwa biarlah mereka berpisahan untuk sementara waktu, sehingga salah atau benar, tulen atau palsu mendjadi terang dan mereka dapat mentjapai pendirian jang bersamaan.

   Sesudah membatja sadjak itu, pikiran Wan Djie semakin kalut.

   "Andaikata Boe Tjek Thian bukan manusia djahat, ia djuga pasti bukan manusia baik ", katanja didalam hati.

   "Apakah dia berbuat benar dengan membunuh kakek dan ajahku ? Orang lain boleh mendukung dia, tapi aku, jang mempunjai sakit-hati sedalam lautan, tentu tidak dapat berbuat begitu. Ah ...! Sajang Lie It sudah berlalu, sehingga aku tidak dapat berdamai dengannja ". Tapi baru sadja ingat Lie It, ia tertawa sendiri. Ia jakin, bahwa perundingan dengan pemuda itu tidak akan menghasilkan apapun djua, karena, biarpun mereka sama2 membentji Boe Tjek Thian, sebab-musabab kebentjian itu adalah sangat berlainan. Ia me-raba2 pisau belati jang berada dalam kantong sendjata rahasia. Segera djuga, ia ingat pesan Tiangsoen Koen Liang.

   "Ah, perlu apa aku me-narik2 tangan orang lain ?", katanja didalam hati.

   "Aku harus berusaha dengan tenaga sendiri. Djika dilindungi oleh Tuhan, dengan sekali menikam, aku dapat membalas sakit hati orang tuaku ". Memikir begitu, dengan tekad jang lebih teguh, ia segera meneruskan perdjalanan kekota Tiang-an. ---oo0oo--- SESUDAH berdjalan kira2 dua puluh hari, pada suatu maghrib ia tiba dikota Tjoe- tong. Kota itu adalah sebuah kota pegunungan dan menurut kebiasaan, begitu tjuatja gelap, didjalanan djarang terdapat manusia lagi. Tapi malam itu lain daripada malam jang lain. Seluruh kota terang-benderang dan semua djalanan ramai dengan manusia jang berlalu-lintas. Dengan heran si nona menanja seorang tua dan djawaban si kakek menggirangkan sangat hatinja. Mengapa ? Karena ia diberitahukan, bahwa keramaian itu disebabkan oleh kundjungan Boe Tjek Thian kekota Tjoe-tong.

   "Pada bulan jang lalu, bekas Thay-tjoe Lie Hian telah dibunuh orang djahat di Pa-tjioe dan Tjo-kim-gouw Tay tjiang-koen Khoe Sin Soen telah meletakkan djabatannja ", menerangkan si-kakek.

   "Sampai sekarang, orang jang berdosa masih belum dapat dibekuk. Sepandjang keterangan, kedatangan Thian-houw ke Soetjoan pertama adalah untuk menjelidiki pembunuhan itu dan kedua jalah untuk menindjau keadaan rakjat. Belum tjukup satu djam beliau tiba disini, sudah ada banjak orang jang minta bertemu untuk mengadjukan pengaduan atau untuk melihat mukanja Thian-houw ". Mengingat apa jang dilihatnja di Pa-tjioe, Wan Djie berkata dalam hatinja .

   "Hm ...! Dia membinasakan puteranja sendiri dan sekarang berlagak mau menangkap pembunuhnja untuk menutupi mata orang ". Sesudah orang tua itu memberi keterangan, ia segera menanja .

   "Dimanakah adanja Thian- houw ? akupun ingin bertemu dengan beliau ".

   "Thian-houw berdiam dalam sebuah sekolahan didekat kantor Tiekoan ", djawabnja.

   "Aku si tua pernah hidup dibawah pemerintahan beberapa orang kaisar, tapi belum pernah loo-hoe bertemu dengan seorang kaisar jang begitu mendekati rakjat djelata. Maka itu, tidaklah heran kalau banjak orang mentjatjinja, tapi lebih banjak lagi jang menakluk kepadanja ". Sesudah menghaturkan terima kasih dan berpamitan kepada orang tua itu, Wan Djie segera tjari sebuah rumah penginapan untuknja mengaso. p---oo0oo--- KIRA-kira tengah malam, ia menukar pakaian djalan malam dan dengan membekal pisau belati, ia pergi ke gedung sekolahan untuk tjoba membunuh Boe Tjek Thian. Begitu tiba didepan gedung, si nona heran bukan main, karena pintu hanja didjaga oleh seorang opas jang tidak bersendjata.

   "Njali Boe Tjek Thian sungguh besar ", pikirnja.

   "Apa dia tidak takut dibunuh orang ? Ha ...! Inilah kesempatan jang diberikan Tuhan ". Tapi entah mengapa, waktu ia meraba pisau, djari2 tangannja bergemetaran dan hatinja merasa sangat tidak enak. Sebagaimana diketahui, Siangkoan Wan Djie memiliki ilmu mengentengkan badan jang tjukup tinggi, sehingga dalam tempo tidak terlalu lama, ia sudah menjelidiki belasan kamar dalam gedung itu, jang didjaga oleh beberapa belas Sie-wie, jang sama-sekali tak menduga, bahwa gedung tersebut sedang disatroni oleh seorang tjalon pembunuh. Sesudah selesai dengan penjelidikannja, ia lain pergi ke sebuah kamar jang terletak di-tengah2, dimana terlihat sinar lampu dan bajangan beberapa orang. Dengan menggaetkan kedua kakinja dipajon, badannja menggelantung kebawah dan matanja mengintip kedalam kamar dari sebuah djendela. Benar sadja Boe Tjek Thian berada dalam kamar itu. Ia duduk didepan sebuah medja jang penuh surat dan kertas, dengan diapit thaykam tua, jang lain seorang dajang. Kaisar itu sedang membatja beberapa surat dengan penuh perhatian. Melihat sinar mata Boe Tjek Thian jang ber-kilat2, djantung Wan Djie memukul keras. Itulah sinar mata luar biasa jang se-olah2 dapat menembus kedalam isi perut orang. Kaisar wanita itu sebenarnja sudah berusia kira2 enam puluh tahun, tapi ia kelihatannja banjak masih muda dan masih gagah sekali. Selang beberapa saat, Boe Tjek Thian membolik-balik lembaran laporan dari sebuah perkara.

   "Ong Kong-kong, tjoba panggil Koan-leng ", katanja.

   "Thian-how Piehee ", kata thaykam itu.

   "dalam Dewan Keradjaan, Piehee telah bekerdja siang-malam dan sampai ditempat ini, Piehee masih djuga tidak mau mengaso. Sebaiknja Piehee harus lebih mendjaga kesehatan sendiri ".

   "Aku tak dapat me-njia2 kan harapan rakjat ", djawabnja.

   "Ong Kong-kong, sudahlah kau djangan rewel. Panggillah Koan-leng ". Thaykam itu menghela napas dan lalu berdjalan keluar. Sesaat itu, didalam kamar hanja ketinggalan sang kaisar dan dajangnja. Wan Djie mentjekal pisau belatinja erat2. Waktu itu, djiwa Boe Tjek Thian berada dalam tangannja. Dengan sekali menimpuk sadja, ia dapat membalas sakit hatinja. Tapi perasaan kepingin tahu tjaranja kaisar wanita itu memeriksa adalah sedemikian besar, sehingga, sesudah bersangsi beberapa saat, ia menunda keinginannja untuk membinasakan Boe Tjek Thian. Selang beberapa saat, Thaykam tua itu sudah kembali dengan mengadjak Tie-koan. Ternjata, semua pembesar setempat mengetahui, bahwa dimana sadja kaisar itu singgah, ia selalu memeriksa perkara2 jang belum putus, sehingga oleh karenanja, sang Tiekoan tidak berani pulang dan terus menunggu ditempat persinggahan. Tiekoan itu masuk dengan paras muka putjat-pias dan ia berlutut sambil manggutkan kepalanja ber-ulang2.

   "Kau periksa lagi perkara ini !", bentak Boe Tjek Thian sambil melemparkan segabung proses-verbal.

   "Hamba sangat tolol dan mohon Thian-houw Piehee sudi memberi petundjuk dibagian mana jang kurang benar ", djawabnja dengan suara gemetaran.

   "Perkara apa itu ?", bentak pula sangdjungdjungan. Sambil memegang proses-verbal itu, Tiekoan membatja .

   "Pendeta tjabul Biauw-giok tidak mendjaga kesutjiannja dan melakukan perbuatan jang melanggar susila ".

   "Tak usah dibatja ...!", memotong Boe Tjek Thian.

   "Tjeriterakan sadja duduknja perkara setjara ringkas ".

   "Perkara ini berdasarkan pengaduan Ong Tjian Houw jang mengatakan, bahwa niekouw (pendeta wanita) kuil Soei-goat-am jang bernama Biauw-giok telah memantjing puteranja Ong Tjian Houw untuk berdjinah, sehingga niekouw itu mendjadi hamil ", menerangkan pembesar itu.

   "Bagaimana kau memutuskannja ?", tanja Boe Tjek Thian.

   "Hamba memerintahkan supaja kandungan itu digugurkan, mengusir Biauw-giok dari rumah berhala, merangketnja lima puluh kali dan mendjatuhkan hukuman supaja dia didjadikan budak negara ", djawabnja.

   "Tindakan apa kau ambil terhadap anaknja Ong Tjian Houw ?", tanja pula sang kaisar.

   "Hamba memerintahkan supaja Ong Tjian How menilik keras dan mengadjar anaknja ", djawabnja. Boe Tjek Thian mengeluarkan suara dihidung dan menanja pula .

   "Dimana letak rumah Ong Tjian How ?".

   "Di pintu kota sebelah barat ".

   "Niekouw itu ?".

   "Di kuil Soei-goat-am, pintu kota sebelah timur ".

   "Berapa djauhnja djarak antara kedua itu ?".

   "Belasan li ...".

   "Apa benar seorang niekouw muda berani pergi kerumah Ong Tjian How jang djauhnja belasan li, untuk menggoda puteranja ?".

   "Perdjandjian itu terdjadi di Soe-goat- am ".

   "Brak ...!", Boe Tjek Thian menggebrak medja.

   "Binatang !", bentaknja.

   "Kalau begitu, tak boleh dikatakan, bahwa anak Ong Tjian How telah dipantjing atau dipaksa berdjinah oleh niekouw itu ! Kau memutar-balikkan duduknja perkara ! Adalah anak Ong Tjian How jang sudah menjatroni ke Soei-goat-am dan mengganggu niekouw itu. Binatang ! Mengapa kau memutar duduknja perkara ?". Tiekoan itu menggigil dan ia membenturkan kepalanja ber-ulang2 diatas lantai.

   "Benar, benar ...", katanja.

   "Hamba sangat tolol. Hamba kurang menjelidiki perkara itu ...".

   "Disamping itu kedosaan apa jang diperbuat oleh si baji, sehingga kau memutuskan supaja kandungan itu digugurkan ?", tanja Boe Tjek Thian dengan suara gusar.

   "Apa kandungan itu sudah digugurkan ?". ,,Belum ... belum ...", djawabnja. Boe Tjek Thian tertawa dingin.

   "Hmmm ...! pembesar jang seperti kau bagaimana bisa memegang peranan sebagai ajah dari rakjat djelata ?", bentaknja. Si Tiekoan djadi makin ketakutan. Ia manggut2-kan kepala seperti ajam mematok gabah dan berkata .

   "Hamba pantas mendapat hukuman mati. Hamba berdosa besar ...!".

   "Pulangkan proses-verbal itu !", bentak pula sang djungdjungan. Sambil merangkak, pembesar itu lalu mengembalikan apa jang diminta. Boe Tjek Thian segera mengangkat pit dan menulis seperti berikut diatas proses-verbal itu .

   "Ong Tjian How jang tidak mampu menguasai dan mendidik anaknja, harus diperiksa dan dihukum menurut undang2 negara. Puteranja Ong Tjian Houw jang memperkosa seorang niekouw mendapat hukuman pendjara tiga tahun dan seratus rangketan. Biauw-giok harus mendjadi wanita biasa lagi dan tak seorangpun boleh mengganggu bajinja jang masih berada dalam kandungan ". Sesudah meletakkan pit- nja diatas medja, kaisar itu berkata dengan suara perlahan .

   "Mengenai kau, kau harus segera mentjopot topi kebesaranmu dan menggapelok pipimu dua puluh kali. Sesudah itu kau mesti menunggu dikantormu untuk mendapat hukuman jang lebih tepat ". Semangat si Tiekoan terbang. Dengan tangan bergemetaran, ia mentjopot topinja dan kemudian menggempur muka sendiri. Boe Tjek Thian memerintahkan supaja ia menggaplok dua puluh kali. Tapi dalam ketakutannja ia menggampar terus-menerus dan masih tidak berani berhenti, walaupun pipinja sudah bengkak dan biru. Sesudah mengusir Tiekoan itu dengan suara bengis, Boe Tjek Thian menghela napas pandjang.

   "Dari dulu sampai sekarang, orang lelaki memang selalu menumplek segala kesalahan diatas kepala orang perempuan ", katanja.

   "Memetjat pembesar djahat soal mudah, tapi menghilangkan kebiasaan itu bukannja soal gampang ". Sesudah mengirup teh, ia berkata pula kepada si thaykam tua .

   "Kong- kong, seorang petani dari Ban-goan-koan ingin mengadjukan pengaduan. Panggilah dia masuk ". Beberapa saat kemudian, seorang lelaki masuk dengan sikap ketakutan. Wan Djie segera mengenali, bahwa ia adalah Thio Loosam jang pernah ditemuinja didjalanan ke Pa-tjioe. Mimpipun si tua belum pernah, bahwa ia bakal dapat bertemu dengan seorang kaisar. Sesudah ia mendjalankan peradatan, Boe Tjek Thian segera memerintahkan ia berduduk.

   "Berapa usiamu ?", tanjanja.

   "Lima puluh delapan tahun ", djawabnja.

   "Lebih muda tiga tahun daripada kami ", kata sang djungdjungan sambil bersenjum.

   "Bagaimana dengan hasil sawah tahun jang lalu ?".

   "Lebih bagus daripada tahun berselang ", djawabnja.

   "Bagaimana tahun ini ?", tanja pula Boe Tjek Thian.

   "Ketika hamba berangkat kemari, pohon2 padi sudah menghidjau ", djawabnja.

   "Djika tidak kekeringan atau diganggu hama, pendapatan tahun ini mungkin akan lebih besar daripada hasil tahun jang lalu ".

   "Bagus !Apa kau dan keluargamu tjukup makan dan pakaian ?".

   "Dengan mengandalkan redjeki Thian-houw Piehee, dalam sebulan hamba sekeluarga bisa makan nasi kira2 dua puluh hari lebih. Hanja beberapa hari harus dibantu dengan makanan lain ".

   "Kalau begitu, keadaanmu belum begitu baik ".

   "Biar bagaimanapun djua, keadaan sekarang banjak lebih baik daripada dulu. Itu semua sudah terdjadi karena kebidjaksanaan dan pertolongan Thian-houw Piehee kepada rakjat djelata ". Boe Tjek Thian menghela napas.

   "Daerah Siok (propinsi Soetjoan) dikenal sebagai gudang negara ", katanja.

   "Bahwa rakjat tidak tjukup makan, adalah karena dipungutnja tjukai jang terlalu besar. Sesudah keamanan pulih, negara boleh tidak usah mempertahankan tentara jang terlalu besar djumlahnja dan tjukai serta padjakpun dapat dikurangi lagi ". Mendengar pembitjaraan sang djungdjungan jang ramah-tamah, ketakutan Thio Loosam berkurang banjak. Sambil membungkuk ia berkata .

   "Kami, kaum petani, berdoa supaja Tuhan Jang Maha Kuasa memberkahi Thian-houw dengan umur pandjang agar penghidupan kami makin lama mendjadi makin baik ".

   "Apa benar ?", menegas sang djungdjungan sambil bersenjum.

   "Kalau begitu, kami harus berterima kasih kepada kalian semua ". Sehabis berkata begitu, ia membuka surat pengaduan jang berada dihadapannja dan berkata pula .

   "Sekarang baiklah kita membitjarakan pengaduanmu. Kau mendakwa keluarga Ong telah merampas tjalon menantumu, bukan ? Setjara kebetulan, Tiehoe di Pa-tjioe telah mengirim orang dengan membawa laporan, jang disertai dengan surat kawin jang ditulis oleh ajah tjalon menantumu. Laporan Tiehoe adalah untuk melawan dakwaanmu ".

   "Mata Thian-houw Piehee dapat menembus sampai laksaan li,"

   Kata Thio Loosam.

   "Surat kawin itu ditulis oleh besanku karena dipaksa oleh keluarga Ong ".

   "Apakah keluarga Ong berpengaruh besar ?".

   "Orang jang merampas menantu hamba adalah Ong Kang. Ia mempunjai seorang paman jang pernah mendjabat pangkat tinggi ".

   "Pangkat apa ?".

   "Tjioe-hoe dari kota Pa-tjioe ".

   "Oh begitu ? Kami pertjaja keteranganmu. Akan tetapi, dalam memeriksa perkara, orang tak boleh mendengar keterangan sepihak sadja. Lie Tjioe-hoe jang sekarang berkuasa dikota Pa-tjioe adalah seorang pembesar jang bidjaksana. Sekarang kami akan menulis seputjuk surat kepada Lie Tjioe-hoe untuk memerintahkan supaja ia periksa perkaramu sampai se-terang2nja dan se-adil2nja. Kau boleh membawa sendiri surat itu dan menjerahkannja kepada pembesar tersebut. Legakanlah hatimu, ia pasti tak akan melindungi ok-pa (orang djahat jang berpengaruh besar) itu. Disamping itu, aku djuga memerintahkan supaja isteri Lie Tjioe-hoe menemui tjalon menantumu dan menanjakan, apa benar ia dipaksa menikah dengan orang lain ". Thio Loosam djadi girang bukan main.

   "Tjalon menantuku adalah seorang wanita jang putih bersih ", katanja.

   "Sesudah dirampas, ia berkeras menolak kemauan keluarga Ong. Si orang she Ong djuga tahu, bahwa hamba sedang mengadjukan pengaduan dan sebelum perkara ini beres, dia tidak berani terlalu memaksa. Tjalon menantuku hanja dikurung dalam rumahnja. Baiklah, tindakan Thian-houw Piehee untuk menanja tjalon menantuku itu, adalah tindakan jang sangat bidjaksana ". Sesudah Boe Tjek Thian menulis surat, ia segera menjambutnja sambil berlutut dan kemudian berlalu dari kamar itu. ---oo0oo--- SESUDAH mengaso beberapa saat, kaisar wanita itu membolak-balik pula tumpukan surat jang berada diatas medja dan kemudian berkata kepada thaykam tua itu .

   "Panggil Tek Djin Kiat ". Mendengar nama itu, Siangkoan Wan Djie terkedjut. Tek Djin Kiat adalah seorang pembesar ternama jang sangat dihormati oleh segenap rakjat dan jang pernah dipudji tinggi oleh Tiangsoen Koen Liang. Pada djaman Kho-tjong Hongtee, ia pernah mendjabat pangkat Tay-lie-sin dan selama satu tahun, ia memeriksa dan membereskan tudjuh belas ribu perkara, antaranja banjak perkara sulit. Wan Djie kaget tertjampur heran, karena seorang jang seperti Tek Djin Kiat sudah rela bekerdja dibawah perintahnja Boe Tjek Thian.

   "Biar bagaimanapun djua, tak dapat disangkal dia pandai sekali menggunakan orang ", pikirnja.

   "Thian-houw Piehee, ada urusan apa memanggil hamba datang kemari ?", tanja Tek Djin Kiat sambil berlutut.

   "Duduklah ", kata Boe Tjek Thian.

   "Hari ini kami sudah memeriksa beberapa perkara, dengarlah !". Mendengar perkataan sang djundjungan, pembesar itu kelihatan kurang senang.

   "Eh, mengapa kau kurang senang ?", tanja Boe Tjek Thian.

   "Apakah kami sudah memberi putusan jang keliru ?".

   "Pandangan Thian-houw Piehee terang bagaikan katja dan belum pernah membuat kesalahan ", djawabnja.

   "Kalau begitu, mengapa Tek-keng (menteriku Tek) mengerutkan alis ?", tanja pula kaisar wanita itu.

   "Hamba merasa djengkel karenakuatir akan keselamatan Thian-houw Piehee ", djawabnja.

   "Perkara2 jang seperti itu tidak dapat dihitung berapa banjaknja. Apakah Piehee bisa memeriksa semuanja ? Hamba dengar Kaisar Giauw dan Soen jang terkenal arif-bidjaksana djuga tidak mengurus semua pekerdjaan ".

   "Kami mengerti maksudmu jang sangat baik ", kata Boe Tjek Thian.

   "Kami memang harus mempunjai lebih banjak pembantu jang pandai. Kami memanggil kau djustru untuk meminta bantuanmu. Tjobalah besok Tek-keng periksa perkara2 ini ". Sehabis berkata begitu, ia mendjumput tumpukan surat2 itu jang lalu diserahkan kepada Tek Djin Kiat.

   "Tek-keng, dalam mengikuti kami melakukan perdjalanan ini, apakah kau mendapatkan pembesar2 jang dapat digunakan didalam djabatan2 penting ?", tanja Boe Tjek Thian.

   "Orang jang duluan dipudjikan oleh hamba, belum diberikan tugas jang penting ", kata Tek Djin Kiat.

   "Siapa ?".

   "Thio Kian Tjie, Tiang-sie dari kota Keng-tjioe ".

   "Bukankah kami sudah menaikkan pangkatnja djadi Soe-ma dari kota Louw-tjioe ?".

   "Thio Kian Tjie mempunjai kepandaian dari seorang perdana menteri. Djika Thian-houw Piehee hanja mengangkatnja sebagai Soe-ma dari kota Louw-tjioe, tidaklah dapat dikatakan, bahwa Piehee sudah memberikan tugas penting kepadanja ". Mendengar perkataan menterinja, Boe Tjek Thian berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula .

   "Hanja sajang usianja sudah terlalu tua ".

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Djabatan perdana menteri bukan djabatan sematjam pesuruh jang harus dilakukan dengan menggunakan tenaga muda ", kata Tek Djin Kiat.

   "Mengapa Piehee mempersoalkan tua atau muda, tampan atau djelek ? Walaupun Thio Kian Tjie seorang tua jang beroman djelek, tapi ia lebih menang ribuan kali lipat, laksaan kali lipat, daripada kedua saudara Thio Ek Tjie dan Thio Tjiang Tjong ". Mendengar perkataan itu, bukan main kagetnja Wan Djie.

   "Tek Djin Kiat benar-benar berani mati ", pikirnja.

   "Ia sudah berani menjindir sang djungdjungan ". Thio Ek Tjie dan Thio Tjiang Tjong adalah dua saudara jang berusia muda, berparas tampan dan pandai menabuh tabuh2-an. Mereka telah dipanggil masuk kedalam keraton dan diberi pangkat Kong-hong (pelajan atau pesuruh keraton). Menurut katanja orang, mereka adalah "gula2"

   Kaisar wanita itu.

   Hal ini pernah disebutkan djuga oleh Tiangsoen Koen Liang dan dianggap sebagai salah satu kedosaan Boe Tjek Thian jang disiarkan oleh mereka jang menentangnja.

   Tapi diluar dugaan nona Siangkoan, Boe Tjek Thian tidak mendjadi gusar.

   Ia bersenjum dan berkata .

   "Thio Ek Tjie dan saudaranja mana bisa dibandingkan dengan Thio Kian Tjie ? Sebab musabab mengapa kami memberikan pangkat Kong-hong kepada mereka adalah karena mereka mengerti seni musik dan dapat memberi hiburan, djika kami sedang djengkel. Kedudukan mereka tidak lebih dari pada dajang keraton. Sekarang kami berusia enam puluh satu tahun dan sudah tak usah memperdulikan lagi segala omongan jang tidak2

   ".

   "Walaupun begitu, hamba rasa alangkah baiknja djika Thian-houw Piehee mendjauhkan diri dari segala manusia rendah dan lebih mendekati manusia2 utama (Koentjoe) ", kata Tek Djin Kiat.

   "Terima kasih atas nasehat Tek-keng ", kata sang djungdjungan.

   "Mengenai Thio Kian Tjie, sesudah pulang ke kotaradja, kami akan menaikkan pangkatnja satu tingkat lagi dan djika ia ternjata seorang pandai, kami tentu akan memberikan pangkat perdana menteri kepadanja ". Sesudah mendapat djaminan itu, barulah Tek Djin Kiat tidak membuka mulut lagi.

   "Malam ini kami masih ingin merundingkan suatu urusan jang sangat penting dengan kau ", kata pula Boe Tjek Thian.

   "Kau tunggulah ". Baru habis ia berkata begitu, si thaykam tua sudah masuk dengan mengadjak seorang wanita muda, jang segera memberi, hormat dengan berlutut. Wan Djie segera mengenali, dia adalah Djie Ie, budaknja Boe Hian Song. Dengan djantung memukul keras, ia menahan napas karena kuatir kedatangannja diketahui oleh budak jang lihay itu.

   "Apa Hian Song turut datang ?", tanja Boe Tjek Thian.

   "Siotjia telah menitip seputjuk surat untuk Thian-houw Piehee ", djawabnja.

   "Urusan di Pa-tjioe dan digunung Ngo-bie-san telah diterangkan se-djelas2-nja dalam surat ini ". Kira2 seminuman teh kaisar wanita itu membatja surat Hian Song. Sehabis membatja, ia tertawa seraja berkata .

   "Ah Hian Song pun kelihatannja ingin mendjadi kaisar wanita !". Tek Djin Kiat kelihatan kaget.

   "Tek-keng tak usah kaget ", kata pula sang djungdjungan.

   "Hian Song adalah keponakan kami sendiri. Ia bukan mau merebut kedudukan kami, tapi ingin merampas kedudukan kaisar tanpa mahkota didalam Rimba Persilatan ".

   "Semangat anak itu tidak ketjil! Tapi, untuk mendjadi pemimpin besar seseorang tidak boleh hanja mengandalkan ilmu silatnja. Pergilah kau memberitahukan perkataan kami kepadanja ". Djie Ie mengijakan dan berkata .

   "Siotjia sedang mengubar Lie It dan mungkin sekali ia tidak dapat datang di Tiang-an ". Sekali lagi Wan Djie terkedjut.

   "Tak heran hari itu Hian Song meninggalkan aku ", pikirnja.

   "Kalau begitu, dia mengedjar Lie It. Aku harap sadja Tuhan melindunginja supaja ia tak sampaidibekuk ".

   "Apa kau pernah bertemu, dengan Lie It ?", tanja Boe Tjek Thian.

   "Bertemu, dipuntjak Kim-teng, gunung Ngo-bie-san ", djawabnja.

   "Siotjia telah mengadu pedang dengannja. Waktu itu ia baru sadja mendjadi Beng-tjoe dari apa jang dinamakan Eng-hiong Tay-hwee. Dalam pertandingan itu, ia telah dikalahkan oleh Siotjia ". Boe Tjek Thian menghela napas.

   "Tak dinjana, Lie It djuga menentang kami ", katanja dengan suara perlahan.

   "Tadinja kami menganggap, bahwa dalam keluarga Lie, dialah jang berpemandangan paling luas ". Ia berdiam sedjenak dan berkata pula sambil mengangsurkan surat Hian Song kepada Tek Djin Kiat.

   "Surat ini membuka kedok dari persekutuan Tjie Keng. Tjoba kau batja ". Sesudah itu, ia berpaling kepada Djie Ie seraja berkata .

   "Pengatjauan Hian Song dan kau dipuntjak Kim-teng sangat menggembirakan, bukan ?".

   "Benar ", djawabnja.

   "Hamba belum pernah berkelahi begitu hebat. Kami menghadjar djago2 itu, sehingga mereka lari lintang-pukang. Sungguh menggembirakan !".

   "Nah ...! Untuk djasamu itu kami menghadiahkan setjangkir teh ", kata sang djungdjungan sambil tertawa.

   "Tjoba kau tjeriterakan djalannja pertempuran ". Djie Ie menghirup teh jang dihadiahkan itu, kemudian menuturkan djalannja pertempuran dengan bersemangat. Sesudah budak itu selesai dengan tjeriteranja, Boe Tjek Thian segera berkata .

   "Kau sudah tjapai, pergilah tidur. Sekalian keluar, suruhlah mereka membawa kedua perwira pemberontak itu kepadaku ".

   "Ilmu silat mereka sudah dimusnahkan oleh Siotjia, tapi mereka masih galak sekali ", kata Djie Ie.

   "Kami mau lihat sampai dimana kegalakannja ", kata Boe Tjek Thian.

   "Kau pergilah ". Budak itu tidak berani banjak bitjara lagi dan sesudah memberi hormat sambil berlutut, ia segera keluar dari ruangan itu. ---oo0oo--- BEBERAPA saat kemudian, dua orang boesoe menggusur dua perwira pemberontak itu jang kedua tangannja terborgol. Wan Djie lantas mengenali, bahwa mereka memang benar adalah orang orang jang sudah membunuh Lie Hian. Sikap mereka angkuh sekali dan sesudah berhadapan dengan Boe Tjek Thian, mereka masih berdiri tegak. Tanpa bitjara lagi, kedua boesoe itu menendang dan karena sudah tidak memiliki lagi kepandaian silat, dengan serentak mereka roboh berlutut.

   "Tak boleh kau berbuat begitu ", menegur Boe Tjek Thian.

   "Sesudah kedosaan mereka terbukti, mereka dapat dihukum menurut undang2 negara ". Mendengar perkataan Boe Tjek Thian, kedua perwira itu jang sudah menunggu pukulan2, mengangkat kepala dan hati mereka bergontjang keras karena melihat sorot mata jang tadjam bagaikan pisau, sehingga tjatjian jang sudah disediakan mereka tidak dapat dikeluarkan. Sambil membolak-balik surat2 diatas medja, Boe Tjek Thian berkata dengan suara perlahan .

   "Apakah kamu Thia Boe Ka jang berpangkat Touw-wie dan Han Eng jang berpangkat Sian-heng-khoa, dibawah perintah Khoe Sin Soen?".

   "Kalau kau mau bunuh, bunuhlah !. Perlu apa rewel2 ?", teriak Han Eng. Boe Tjek Thian tidak menggubris, tapi segera menanja pula dengan suara sabar .

   "Thia Boe Ka, bukankah kau saudaranja Tay-tjiang-koen Thia Boe Teng ?".

   "Seorang laki2, berani berbuat berani menanggung-djawab ", kata Thia Boe Ka tanpa mendjawab pertanjaan kaisar wanita itu.

   "Benar ...! Benar aku jang membunuh anak mustikamu. Aku jang melakukan itu dan tiada sangkut-pautnja dengan orang lain. Kalau kau me-njeret2 keluargaku, akupun tidak takut. Namamu akan tertjatat dalam sedjarah sebagai boe-to hoen-koen (radja jang menjeleweng) ".

   "Benarkah ?", menegas Boe Tjek Thian.

   "Benarkah tiada sangkut-pautnja dengan orang lain ? Apa benar kau melakukan perbuatan itu atas kemauan sendiri, tanpa disuruh orang ?". Ia mengulangi pertanjaan itu beberapa kali sambil menatap wadjah Thia Boe Ka dengan sorot mata jang sangat berpengaruh. Tiba2 Boe Ka mendongak dan berkata dengan suara menjindir .

   "Kau perlu tahu djuga ? Baiklah. Orang jang menjuruh aku adalah Khoe Sin Soen, Tjo-kim-gouw Tay-tjiang-koen jang paling dipertjaja olehmu !". Boe Tjek Thian tertawa dingin. Ia berpaling kepada Tek Djin Kiat seraja berkata .

   "Tek-keng, tolong kau menulis firman untuk menghibur Khoe Sin Soen, supaja ia tidak terlalu memikiri kedjadian ini. Katakanlah, bahwa kami sudah memeriksa perkara ini dan sudah terbukti, bahwa pembunuhan itu tiada sangkut- pautnja dengannja ". Tek Djin Kiat mengijakan sambil membungkuk dan sambil tertawa ia berkata kepada Thia Boe Ka .

   "Thian-houw mempunjai pemandangan jang sangat tadjam. Mana dapat kau memfitnah Khoe Tay-tjiang-koen. Aku menasehati kau, supaja kau mengaku sadja se-terang2-nja ".

   "Baiklah ", kata pula Boe Tjek Thian.

   "Kau mengatakan, bahwa perbuatanmu itu tiada sangkut-pautnja dengan orang lain. Sekarang kami ingin menanja, mengapa kau membinasakan putera kami ? Apakahdia telah melakukan perbuatan jang mentjelakakan rakjat ?".

   "Jang mentjelakakan rakjat adalah kau ...!", bentak Thia Boe Ka.

   "Kau sudah merampas tachta keradjaan dan membunuh menteri2 setia. Kau membunuh orang, apa orang tidak bisa membunuh anakmu ?".

   "Kami tidak pernah mentjelakakan rakjat, tapi hal ini tak usah diributi sekarang ", kata kaisar wanita itu dengan suara sabar.

   "Tapi andaikata kami berdosa, kedosaan itu tiada sangkut-pautnja dengan putera kami. Mengapa kau membunuh dia ?". Berkata sampai disitu, Boe Tjek Thian naik darahnja dan ia melandjutkan perkataannja dengan suara keras dan gemetar .

   "Kau menuduh kami sebagai seorang kedjam jang sudah membunuh banjak menteri besar. Tapi bagaimana dengan perbuatanmu sendiri ? Kamu sudah membunuh putera kami, tapi sudah berbuat begitu rupa, sehingga menerbitkan dugaan, bahwa kamilah jang sudah menjuruh orang untuk melakukan perbuatan itu, supaja rakjat mentjatji kami sebagai seorang ibu jang sudah membunuh anaknja sendiri ! Kamu bukan sadja sudah membinasakan seorang pemuda jang tidak berdosa, tapi djuga sudah menghantjur- luluhkan hatinja seorang ibu. Apakah itu bukan perbuatan kedjam ? Djawab ! Dikolong langit, apakah ada perbuatan jang lebih beratjun daripada itu ? Hajo djawab !". Mendengar perkataan Boe Tjek Thian jang sangat bernapsu, kedua pembunuh itu tidak dapat mengeluarkan sepatah kata dan mereka menundukkan kepala untuk menjingkir dari sorotan mata jang setadjam pisau.

   "Thian-houw Piehee djangan terlalu berduka ", kata Tek Djin Kiat dengan suara membudjuk.

   "Serahkanlah kedua manusia ini kepada hamba, supaja hamba bisa mendjatuhkan hukuman setimpal kepada mereka ".

   "Hukuman apa jang kau ingin djatuhkan ?", tanja sang djungdjungan.

   "Menurut undang2 negara, hutang djiwa harus dibajar dengan djiwa djuga ", djawabnja.

   "Untuk orang jang membunuh putera kaisar, hukumannja ditambah setingkat dan dia mesti mati dengan hukuman pitjis ".

   "Tidak ", kata Boe Tjek Thian sambil menggelengkan kepala.

   "Sebelum memeriksa terang, kau sudah menarik kesimpulan. Tak dapat kami menjerahkan perkara ini kepada Tek- keng ". Tek Djin Kiat kaget.

   "Maaf, Thian-houw Piehee, hamba belum mengerti akan teguran Piehee ", katanja.

   "Hamba mohon Piehee sudi memberi petundjuk jang lebih terang ".

   "Sebelum memeriksa dengan saksama, Tek-keng sudah menarik kesimpulan, sehingga dengan begitu, kau bisa berbuat keliru dalam menetapkan hukuman ", djawabnja.

   "Tapi bukankah mereka sudah mengakui kedosaan mereka ?", tanja Tek Djin Kiat.

   "Tapi dalam perkara bunuh sering terdapat dua orang jang berdosa, jaitu orang jang menjuruh dan orang jang disuruh melakukan pembunuh itu ", djawab Boe Tjek Thian.

   "Sebelum mendjatuhkan hukuman, hal ini harus diselidiki dulu se-terang2-nja ". Sehabis berkata begitu, ia mengirup teh dan berkata pula dengan suara perlahan .

   "Siapa jang memerintahkan kamu ? Bitjaralah terus terang ". Han Eng mengangkat kepalanja dan melirik sang djungdjungan, tapi ia lantas menunduk lagi.

   "Djika kamu tidak memberitahukan nama orang itu, kamu tentu akan mendapat hukuman pitjis ", kata pula Boe Tjek Thian.

   "Apa ada harganja untuk kau mewakili hukuman orang lain ? Apa kamu rela ?".

   "Bitjara atau tidak, nasib kami adalah sama djuga ", kata Thia Boe Ka dengan suara keras.

   "Tak mungkin kau melepaskan kami ".

   "Hukuman jang didjatuhkan kepada orang jang disuruh lebih enteng setingkat dari orang jang menjuruh ", kata Boe Tjek Thian.

   "Djika kamu memberitahukan nama pengkhianat itu, kamu berdjasa dan dengan melihat besar- ketjilnja djasa, hukuman kamu dapat dikurangi lagi. Sesudah kamu memberitahu nama si penjuruh, kamu tetap akan dihukum, tapi mungkin sekali, kamu akan dibebaskan dari hukuman mati ".

   "Apa kau bitjara sungguh2 ?", tanja Thia Boe Ka.

   "Seorang kaisar tidak boleh bitjara main2

   ", djawabnja. Membunuh putera kaisar adalah kedosaan jang tidak dapat diukur bagaimana besarnja. Kedua perwira itu sudah menganggap, bahwa diri mereka pasti bakal mati dan mimpipun mereka tak pernah mimpi, bahwa mereka masih bisa terluput dari kebinasaan. Dengan adanja harapan itu, kenekatan mereka lantas sadja hilang.

   "Kami sudah diperdajai oleh orang jang menjuruh kami ", kata Han Eng dengan suara gemetaran.

   "Dia mengatakan, bahwa Piehee adalah seorang kedjam jang mentjelakaan ummat manusia. Tapi sekarang kami mendapat kenjataan, bahwa Thian-houw Piehee seorang jang welas-asih dan sangat mulia ".

   "Lekas beritahukan namanja orang jang menjuruh kau ", kata Boe Tjek Thian.

   "Apa Tjie Keng ?".

   "Bukan ", djawab Han Eng.

   "Biarpun Gouw-kok-kong ingin memberontak, tapi ia bukan manusia rendah. Orang jang menjuruh kami jalah ... jalah ...".

   "Siapa ?".

   "Thian-houw Piehee tak akan dapat menduga ", kata Thia Boe Ka.

   "Dia adalah Tiong-soe-leng Pwee Yam !". Pada djaman keradjaan Tong, pangkat Tiong-soe-leng adalah pangkat jang sangat tinggi dan tiada berbeda dengan seorang perdana menteri.

   "Ah ...!", kaisar wanita itu mengeluarkan seruan tertahan.

   "Benar2 kami tak pernah menduga. Pwee Yam manismulutnja dan djuga pandai bekerdja. Kami sungguh tak pernah menduga, bahwa dia pengkhianat. Tapi ada baiknja djuga. Bisul jang sudah kelihatan diluar kulit lebih baik daripada penjakit didalam perut ". Ia menengok kepada Tek Djin Kiat dan berkata pula .

   "Belakangan ini, kamipun merasa ada sesuatu jang luar biasa dalam dirinja Pwee Yam. Hanja kami tak pernah mimpi, bahwa dia begitu djahat. Hmh ...! Menteri2 banjak jang memudji kami sebagai seorang jang pandai menggunakan orang. Tapi dalam hal ini, kami masih kalah djauh dari Thaytjong Hongtee (Lie Sie Bin) !".

   "Dari djaman purba sampai sekarang, Thianh-ouw Piehee adalah Seng-bo (nabi wanita) pertama jang memegang kendali pemerintahan ", kata Tek Djin Kiat.

   "Piehee adalah seorang luar biasa jang mempunjai tanggung-djawab jang luar biasa pula. Orang2 jang menentang Piehee tentu sadja lebih banjak djumlahnja daripada orang2 jang menentang Thaytjong Hongtee. Diantara mereka, ada jang menentang terang2-an dan ada pula jang masih gelap2-an. Maka itu, menurut pendapat hamba, bukan Piehee kalah dari Thaytjong Hongtee, tapi karena kedudukan Piehee adalah banjak lebih sukar daripada kedudukan Thaytjong Hongtee !". Sang djungdjungan menghela napas.

   "Hmh ...! orang jang mengenal kami hanjalah Tek-keng seorang ", katanja dengan suara perlahan.

   "Hanja sajang Tek- keng seorang she Tek dan bukan she Lie ". Ia berpaling kepada kedua perwira itu seraja berkata pula .

   "Sesudah membuka rahasia Pwee Yam, kamu berdua membuat pahala jang sangat besar, sehingga oleh karenanja, kami membebaskan kamu dari hukuman mati! Hmmm ...! Mengapa Pwee Yam begitu djahat ?".

   "Gouw-kok-kong telah bersekutu dengan Pwee Yam jang sudah menjanggupi untuk memberi bantuan dari dalam ", kata Thia Boe Ka.

   "Sesudah tertjapainja persekutuan itu, Pwee Yam memerintahkan hamba berdua membunuh Thay-tjoe, dengan berbuat begitu, pertama Thian-houw Piehee akan ditjatji orang, kedua Piehee akan menaruh tjuriga terhadap Khoe Tay-tjiang-koen dan ketiga, Piehee akan tidak bisa mengurus negara karena berduka ". Boe Tjek Thian tertawa dingin.

   "Hmh ...! Sekali menepuk dapat tiga lalat ", katanja.

   "Otak Pwee Yam sungguh lihay ! Djika kehilangan anak, mana ada ibu jang tidak berduka ? Tapi kalau Pwee Yam dan Tjie Keng berhasil dengan maksud mereka, bakal lebih banjak ibu jang kehilangan anak, lebih banjak rakjat jang akan berduka! Kami tidak dapat menuruti kemauan musuh2 kami. Biar bagaimanapun djua, kami akan terus mengurus negara ini !". Ia mengutjapkan kata2 itu dengan tegas dan dengan semangat jang ber-golak2. Melihat begitu, Siangkoan Wan Djie djadi makin bingung.

   "Djika aku membinasakannja, bukankah negara akan diurus oleh orang2 sematjam Pwee Yam ?", tanjanja didalam hati.

   "Apa dia lebih pandai daripada Boe Tjek Thian ?". Sementara itu, Boe Tjek Thian sudah berkata pula kepada si thaykam tua .

   "Bawalah kedua orang itu. Apa jang kau dengar, tak boleh dibotjorkan kepada siapapun djua ". Thia Boe Ka dan Han Eng merasa terharu dan malu bukan main. Dengan bertjutjuran air mata, mereka manggut2 sehingga kepala mereka membentur lantai. Tiba2 Thia Boe Ka berkata dengan suara berkuatir .

   "Thian-houw Piehee !".

   "Ada apa ? Apa kau mau bitjara lagi ?", tanjanja.

   "Harap Piehee suka ber-hati2 dengan pembunuh gelap !", djawabnja.

   "Apa ? Pwee Yam menjuruh orang untuk membunuh kami ?", tanja pula kaisar wanita itu.

   "Bukan, hamba kuatir pembunuh gelap itu sudah berada digedung ini ", djawabnja.

   "Omong kosong ...! Jang berada dalam gedung ini adalah orang-orang kepertjajaan kami ", kata Boe Tjek Thian.

   "Biarpun sudah tidak memiliki lagi ilmu silat, hamba masih bisa mendengar, bahwa digedung ini ada seseorang jang bersembunji ", menerangkan Thia Boe Ka.

   "Entah dia pengawal Piehee sendiri, entah dia orang djahat. Karena menanggung budi jang sangat besar, maka hamba tidak dapat tidak memperingati Piehee ".

   "Apa pada waktu masuk kesini, kau sudah merasakan adanja orang itu ?", tanja pula Boe Tjek Thian.

   "Ja ...".

   "Kalau begitu, dia salah seorang pengawal kami. Djika benar pembunuh, siang2 dia tentu sudah turun tangan, apa pula tadi, kami hanja dikawani oleh seorang dajang. Sudahlah, kau boleh berlalu ". Thia Boe Ka tidak berani banjak bitjara lagi dan sesudah memberi hormat, ia dan Han Eng segera mengikuti si thaykam tua. Tak usah dikatakan lagi, bahwa pada waktu Thia Boe Ka memberi laporan, Siangkoan Wan Djie ketakutan bukan main. Sesudah kedua perwira itu berlalu, barulah hatinja djadi lebih lega. ---oo0oo--- DILAIN saat, kaisar wanita itu mengangkat sebuah katja muka dan mengawasinja mukanja sendiri.

   "Ha ...! aku sudah tua ", katanja dengan perlahan, sambil men- ngusap2 rambutnja jang sudah putih separuh. Sesudah berdiam sedjenak, ia berkatapula .

   "Tek-keng, bagaimana pendapatmu dengan putusan kami jang barusan ?".

   "Hamba merasa sangat takluk akan pemandangan Piehee jang sangat luas ", djawabnja.

   "Tapi, untuk bitjara terus terang, kelonggaran jang tadi diberikan sungguh2 diluar dugaan hamba ".

   "Kau salah, kami bukan seorang jang selalu longgar ", kata sang djungdjungan.

   "Kami hanja berusaha untuk berlaku se-adil2- nja, tanpa mengingat soal pribadi. Djika jang dihadapi kami adalah soal keselamatan negara dan rakjat, kami dapat berlaku terlebih keras daripada kau. Kami adalah seorang jang satu tangan mentjekal katja muka dan lain tangan memegang tjambuk ". Tek Djin Kiat manggut2-kan kepalanja.

   "Memang, dalam mengurus negara, seseorang harus memegang katja muka dan tjambuk dengan berbareng ", katanja. Boe Tjek Thian menghela napas pandjang.

   "Hanja sajang, kami sudah terlalu tua dan orang djahat berdjumlah terlalu besar, sehingga kami kuatir kami tak akan dapat melajani mereka ", katanja dengan suara berduka.

   "Piehee terlalu tjapai karena bekerdja terlalu keras ", kata Tek Djin Kiat.

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hamba mengharap Piehee suka menjajang diri sendiri ".

   "Ja, itulah sebabnja mengapa kami ingin mendapat bantuanmu ", kata sang djungdjungan.

   "Sekarang kami ingin menjerahkan satu tjambuk kepada Tek-keng ". Sehabis berkata begitu, ia segera memerintahkan dajangnja mengambil tjambuk itu. Tjambuk itu, jang pandjang bentuknja, mengeluarkan sinar emas jang berkilauan. Sambil berdiri dan mengangkatnja dengan kedua tangan, ia menjerahkannja kepada Tek Djin Kiat.

   "Apakah maksud Piehee dengan menjerahkan tjambuk ini ?", tanja menteri itu.

   "Tjambuk emas ini adalah pemberian dari Thaytjong Hongtee ", menerangkan Boe Tjek Thian.

   "Siapapun djua jang berhadapan dengan tjambuk ini seperti berhadapan dengan kami sendiri. Djika ada orang melanggar undang2 negara, tak perduli dia itu menteri besar atau keluarga kaisar, Tek-keng boleh menghukumnja dengan menggunakan sendjata ini ". Sesudah mendengar pendjelasan itu, barulah Tek Djin Kiat berani menerima hadiah itu sambil berlutut.

   "Biarpun badan hantjur dan tulang berserakan, tak dapat hamba membalas budi Piehee jang sangat besar ", katanja dengan suara terharu dan berterima kasih. Kentongan berbunji beberapa kali, sebagai tanda, bahwa waktu itu sudah lewat tengah malam.

   "Apakah Piehee masih ingin memberi pesanan apa2 kepada hamba ?", tanja Tek Djin Kiat.

   "Masih ada suatu hal penting jang kami ingin damaikan dengan Tek-keng ", kata sang djungdjungan.

   "Tek-keng, malam ini aku merasa sangat berduka ...". Tek Djin Kiat menghela napas, ia merasa kasihan akan kaisar wanita itu. Sesudah menghela napas, ia berkata dengan suara perlahan .

   "Itulah hamba sangat mengerti. Baik djuga, Piehee sekarang sudah tahu siapa jang berdiri dibelakang lajar ".

   "Kedukaan kami hukan hanja karena kematian Thaytjoe ", memutus Boe Tjek Thian.

   "Kami berduka sebab sepak-terdjang Lie It. Kami sungguh tak njana, dia bersekutu dengan Tjie Keng dan menentang kami ".

   "Waktu masih berada di Tiang-an, Piehee telah mengangkat Lie Hauw It Tjiangkoen sebagai Toa-tjong-koan djalanan Yang- tjioe dan sekarang panglima perang itu akan segera turun keselatan dengan membawa tiga puluh laksa serdadu ", kata Tek Djin Kiat.

   "Menurut pendapat hamba, biarpun ditambah dengan satu Lie It, Tjie Keng tidak akan bisa berbuat banjak ". Boe Tjek Thian kelihatan berduka sekali dan ia berkata parau .

   "Kami bukan kuatir Lie It merampas negara. Apa jang kami kuatirkan jalah, sesudah kami meninggal dunia, kedalam tangan siapa negara ini harus diberikan ?".

   "Piehee, mengapa mengeluarkan perkataan begitu?", kata Tek Djin Kiat dengan terkedjut.

   "Baik kesehatan, maupun kekuatan otak, Piehee masih sama kuatnja seperti diwaktu muda ". Boe Tjek Thian bersenjum dan kemudian berkata .

   "Tiada manusia jang bisa hidup untuk se-lama2-nja. Pada achirnja, seorang kaisar-pun harus berpulang kealam baka. Kita tak usah memperdajai diri sendiri. Sebagaimana kau tahu kami mempunjai empat orang putera. Putera sulung, Lie Hong, telah meninggal dunia karena kesalahan minum ratjun. Putera kedua, Lie Hian, telah dibinasakan orang. Tapi, andaikata, ia pandjang umur pun, kami rasa ia tak akan dapat mengendalikan pemerintahan, sebab ia hanja seorang kutu buku jang otaknja tumpul. Putera kami jang ketiga, Lie Tiat, djuga bukan pemuda bidjaksana dan kami sudah menganugerahkan pangkat Louw-leng-ong kepadanja. Putera jang paling ketjil, Lie Tan, masih berusia terlalu muda dan djika dilihat dari sekarang ia pun bukan seorang jang mempunjai kepandaian untuk mendjadi djungdjungan ".

   "Menurut pandanganku, diantara keluarga kaisar, hanjalah Lie It seorang jang paling pandai. Aku pernah memikir untuk menjerahkan tachta keradjaan kepadanja dihari kemudian. Tapi, sungguh mengetjewakan, bahwa dari sepak-terdjangnja jang sekarang, sudah terbukti, bahwa dia dan kawan2-nja hanja mementingkan diri sendiri, hanja bertudjuan untuk merampas negara guna kepentingan pribadi ".

   "Hai...! Malam ini aku sungguh berduka. Tek-keng, tjoba kau bantu memikir, kepada siapa kami harus menjerahkan tachta keradjaan ?". Mendengar perkataan itu, tak kepalang kagetnja Siangkoan Wan Djie. Ia tak njana, bahwa Boe Tjek Thian jang dipandang Lie It sebagai musuh terbesar, pernah memikir untuk menjerahkan tachta keradjaan kepadanja!. Sementara itu, Boe Tjek Thian sudah melandjutkan perkataannja.

   "Keponakan kami, Boe Sam Soe, kelihatannja lebih pandai daripada putera kami jang tolol, biarpun dia bukan seorang jang benar2 tepat untuk mendjadi kaisar. Bagaimana pendapatmu, djika dibelakang hari kami menjerahkan tachta keradjaan kepada keponakan itu ?".

   "Keputusan Piehee untuk mengangkat ahli waris se-benar2-nja tidak dapat ditjampuri oleh hamba ", kata Tek Djin Kiat dengan djantung memukul keras.

   "Akan tetapi, dalam soal ini hamba mohon Piehee suka memikiri lagi setjara lebih saksama. Semendjak djaman purba sampai sekarang, djika putera mendjadi kaisar, barulah sang ibu bisa dipudja didalam Thaybio (kuil keluarga kaisar). Sebegitu djauh hamba pernah dengar, keponakan mendjadi kaisar, sang bibi tak tentu mendapat kedudukan didalam Thaybio ".

   "Tek- keng, dengan mengutarakan pendapat kami itu, kami hanja mementingkan kepentingan negara dan sama-sekali tidak memperdulikan soal keagungan pribadi ", kata sang djungdjungan.

   "Tapi se-dalam2-nja, Boe Sam Soe pun bukan orang jang tepat. Djika kami dapat bertindak setjara bebas, kami sebenarnja ingin mengangkat orang dari lain she ?". Sambil berkata begitu, ia mengawasi Tek Djin Kiat dengan sorot mata jang berkilat. Menteri itu terkesiap, buru2 ia berlutut seraja berkata.

   "Thian- houw Piehee, hal itu biar bagaimanapun djua tidak dapat dilakukan ".

   "Mengapa tidak ?".

   "Djaman sekarang bukan djaman Kaisar Giauw dan Soen. Pada waktu ini, kebiasaan bahwa seorang putera harus mewarisi tachta keradjaan dari orang tuanja sudah melekat didalam hati segenap rakjat. Kaisar Giauw boleh menjerahkan tachta kepada Kaisar Soen, tapi Thian-houw Piehee tidak dapat berbuat begitu. Djika Piehee menjerahkan keradjaan Tong kepada jang berlainan she, maka hamba berani memastikan, bahwa didalam negeri kita bakal terdjadi peperangan hebat !". Boe Tjek Thian tidak mendjawab. Untuk beberapa lama ia duduk bengong dan kemudian, sesudah menghela napas pandjang, ia berkata dengan suara perlahan.

   "Kami kalah ...!". Sehabis berkata begitu, paras mukanja mendadak berubah, se-olah2 ia mendjadi lebih tua sepuluh tahun. Sebagai seorang jang pintar luar biasa, Tek Djin Kiat mengerti apa maksudnja sang djungdjungan. Ia tahu, bahwa Boe Tjek Thian ingin menjerahkan tachta keradjaan kepada dirinja sendiri, tapi dengan beberapa perkataan, ia telah membatalkan keinginan itu. Selama hidupnja, Boe Tjek Thian telah mengalami banjak gelombang hebat, tapi ia selalu dapat mengatasinja dan selalu memperoleh kemenangan jang terachir. Tapi kali ini, ia tak dapat tidak mengaku kalah. Ia tak dapat membenrantas kebiasaan jang sudah melekat selama ribuan tahun !. Dalam rasa terima kasihnja, didalam hati Tek Djin Kiat terdapat djuga perasaan takut. Ia mengerti maksud Boe Tjek Thian, tapi ia berlagak tidak mengerti.

   "Thian-houw Piehee, apakah merasa djengkel karena pemberontakan Tjie Keng ?", tanjanja. Sang djungdjungan tertawa ter-bahak2.

   "Tjie Keng adalah penjakit dikulit jang tidak tjukup berharga untuk dihiraukan ", katanja dengan suara dingin.

   "Sudah tentu kami harus membendung gerakannja dan siang2 kami sudah mengambil tindakan jang seperlunja ". Ia berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula .

   "Gerakan Tjie Keng tidak dipandang sebelah mata oleh kami, tapi kami dengar Lok Pin Ong djuga telah menjatukan diri kedalam gerakan itu. Si orang she Lok adalah sastrawan jang kenamaan dan kami agak merasa menjesal. Nanti, pada waktu Tjie Keng mau menggerakan tentara, surat selebaran jang disiarkan mereka, untuk menghukum kami tentulah djuga dikarang oleh Lok Pin Ong. Kami ingin sekali membatja karangannja dan kau harus menjerahkan surat selabaran itu kepada kami ". Sesudah mengijakan, Tek Djin Kiat bertanja .

   "Apa lagi jang mau dipesan Piehee ?". Bidji mata Boe Tjek Thian bergerak, seperti d juga ia mau bitjara lagi, tapi ia mengurungkan niatannja.

   "Tidak ada apa2 lagi, kau boleh mengaso ", katanja. Tek Djin Kiat segera memberi hormat dengan berlutut dan kemudian berlalu dari ruangan itu. Sesudah Tek Djin Kiat berlalu, si dajang jang berdiri dibelakangnya segera berkata .

   "Thian-houw Piehee, sekarang sudah djauh malam. Mohon Piehee djuga mengaso ".

   "Baiklah ", djawabnja.

   "Pergi bereskan kamar. Sesudah memeriksa sebuah laporan lagi, kami akan segera tidur ". ---oo0oo--- DALAM ruangan tersebut, hanja ketinggalan Boe Tjek Thian seorang. Sesudahmembatja, ia mengangkat pit dan menulis beberapa huruf diatas surat laporan itu. Tiba2, ia menghela napas dan melemparkan pit, akan kemudian bangun berdiri dan djalan mondar-mandir diserambi depan. Ia dongak mengawasi rembulan dan berkata dengan suara perlahan .

   "Hai ...! Sukar sungguh seorang wanita mendjadi kaisar !". Dengan djantung memukul keras, Siangkoan Wan Djie mentjekel sebatang pisau belati. Ia jakin, bahwa dengan sekali menimpuk, ia sudah bisa membalas sakit hati kakek dan ajahnja. Djeridji2 tangannja bergemetar dan dalam tempo sekedjapan mata, dua matjam pikiran jang bertentangan ber-kelebat2 dalam otaknja. Beberapa kali, sambil menggertak gigi, ia tjoba mengangkat tangan, tapi tangannja berat luar biasa. Mendadak terdengar suara Boe Tjek Thian jang ber- kata2 pada dirinja sendiri .

   "Hai ! Orang jang mengenal kami, merasa kasihan, jang tidak mengenal, membentji kami. Malam ini indah dan sunji. Kami sungguh ingin mempunjai seorang kawan untuk diadjak ber-omong2. Eh ...! Siapa itu ?". Ternjata, dalam suasana jang sunji-senjap, suara bernapasnja Wan Djie jang agak ter-sengal2 sudah didengar oleh kaisar itu jang mempunjai kuping sangat tadjam.

   "Trang ...!", sebatang pisau djatuh dilantai, diikuti dengan melajang turunnja si nona, jang sudah mentjekel pula pisau jang kedua.

   "Ah ! Benar2 ada pembunuh ...!", seru Boe Tjek Thian dengan suara kaget. Tapi sebagai seorang jang berhati tabah, paras mukanja sedikitpun tidak berubah dan ia menatap wadjah Wan Djie dengan sarot mata tadjam.

   "Apa kau mau membunuh kami ?", tanjanja. Wan Djie madju setindak dan mengangkat tangannja, tapi tangan itu bergemetar keras dan "trang ...!", pisaunja kembali djatuh dilantai. Boe Tjek Thian bersenjum dan berkata dengan suara sabar .

   "Kau tak usah takut. Mari kita bitjara baik2. lh ...! Apa kau bukan Siangkoan Wan Djie ? Aduh ...! Sudah begitu besar !". Si nona kaget bukan main. Ia ingat, bahwa dulu, diwaktu masih ketjil, ia pernah bertemu sekali sadja dengan kaisar wanita itu. Tak dinjana, sang kaisar masih mengenalinja. Sesudah mengawasi muka orang beberapa saat lagi, Boe Tjek Thian berkata pula dengan suara girang.

   "Tak salah ...! Kau memang Siangkoan Wan Djie, jang tangannja mentjekel timbangan untuk menimbang ummat manusia dikolong langit !". Ia berkata begitu, karena pada malam Wan Djie mau dilahirkan, ibunja mimpi dihadiahkan sebuah timbangan oleh satu malaikat, jang mengatakan, bahwa anak jang akan dilahirkan itu dihari kemudian akan mendjadi penimbang ummat manusia. Hal itu telah tersiar luas dalam istana, sehingga sampai sekarang Boe Tjek Thian masih mengingatnja.

   "Tak usah kau tanja, mengapa aku mau membunuh kau !", kata Wan Djie dengan suara gusar.

   "Baiklah, mari kita duduk dan omong2 sedikit ", mengundang Boe Tjek Thian. Wan Djie tidak bergerak, kedua matanja menatap wadjah Boe Tjek Thian.

   "Ah ...! Hatimu tidak tenteram, bukan ?", tanja Boe Tjek Thian.

   "Kalau kau ingin berdiri terus, berdirilah ...! Kami membunuh kakekmu dan membunuh djuga ajahmu, sehingga kau menganggap kami sebagai musuh besar, bukan ?". Nona Siangkoan madju setindak dan berkata dengan suara menjeramkan .

   "Kau tjoba memperpandjang waktu untuk memanggil pengawalmu. Aku mengerti segala siasatmu. Aku bitjara terang2, dengan sekali menggerakkan tangan aku dapat membunuh kau ".

   "Kau begitu takut ?", tanja Boe Tjek Thian dengan suara tawar.

   "Aku ingin adjukan sebuah usul. Tutup dan kuntjilah pintu. Untuk sementara waktu, kami rela mendjadi persakitan dan kau boleh mengadili kami ". Wan Djie lantas sadja menghampiri pintu dan selagi menutupnja, kedua matanja tetap mengawasi kaisar itu. Boe Tjek Thian bersenjum seraja berkata.

   "Kami menunggu kedatanganmu !".

   "Baiklah ", kata si nona.

   "Sekarang aku mau tanja. Aku tahu, bahwa kakekku seorang putih-bersih dan iapun seorang penjair jang terkenal. Mengapa kau membunuhnja ?".

   "Benar, kakekmu memang pandai bersjair dan diantara penjair2 pada djaman ini, ia terhitung salah seorang jang terkemuka ", kata kaisar wanita itu.

   "Sebagai manusia, ia memang bukan manusia rendah, tapi djuga bukan manusia baik !".

   "Aku tidak mengerti omonganmu !", kata Wan Djie dengan gusar.

   "Kau sudah mengakui, ia bukan manusia rendah, tapi mengapa kau kata, ia bukan manusia baik ?". Boe Tjek Thian tertawa.

   "Ukuran untuk mengukur baik atau djahat tidak terlalu sederhana ", katanja.

   "Djika seseorang melakukan sesuatu jang baik untuk orang banjak, ia adalah manusia baik. Apa kau tahu, apa jang sudah dilakukan oleh kakekmu?".

   "Sebagai seorang jang putih-bersih dan djudjur, ia pasti tak akan melakukan sesuatu jang tidak baik ", djawab nona Siangkoan.

   "Benar, setjara sadar iapun tidak merasa, bahwa apa jang dilakukannja adalah perbuatan djahat ", kata Boe Tjek Thian.

   "Tapi pada hakekatnja, perbuatan itu merupakan suatu kedjahatan. Ia tidak suka kami mentjampuri urusan negara. Ia berusaha untuk mempengaruhi mendiang kaisarsupaja kami ditendang, bahkan firman-pun sudah ditulis olehnja. Rentjana firman itu jang ditulis olehnja kami dapat memperlihatkan kepadamu. Ia djuga meng- gosok2 putera kami supaja melawan kami dan ia malah berani menjembunjikan tentara di Tong-kiong untuk membunuh kami. Bukti2-nja nanti bisa dilihat dengan kedua matamu sendiri. Ia telah membuat sebuah persekutuan untuk merubuhkan kami. Ia mentjatji kami dan mengatakan, bahwa kami tidak boleh mengurus negara. Kami tahu sebab-musabab jang sebenarnja dari perlawanan orang2 sematjam kakekmu. Sebab musababnja jalah tindakan2 kami mementingkan kepentingan rakjat dan tidak mengutamakan kepentingan golongan mereka. Kami telah menghapus hak2 luar biasa dari kaum bangsawan, kami telah mengubah segala peraturan kolot, kami tidak mengakui, bahwa negara ini adalah milik satu keluarga atau orang dari satu she !". Makin bitjara Boe Tjek Thian djadi makin bernapsu dan suaranja djadi makin keras dan tadjam.

   "Mereka mengatakan kami tidak boleh mengurus negara ", katanja pula.

   "Tapi rakjat tidak menentang kami dan kami terus mengurus sampai tiga puluh tahun lebih. Kami tak berani mengatakan, bahwa pengurusan kami sudah tjukup baik, tapi sedikitnja kami tak usah kalah dengan orang lelaki. Kakekmu adalah seorang penjair jang dipiara didalam keraton. Sjairnja tjukup baik, hanja pandangannja terlalu sempit. Apa dia tahu bagaimana rakjat hidup se-hari2 ? Apa dia tahu apa jang dipikir rakjat ? Kau baru sadja berkelana diluaran. Tjoba katakan, apakah rakjat menentang atau menundjang kami ?". Siangkoan Wan Djie tak dapat mendjawab. Bajangan si pendjual teh, bajangan Thio Loosam dan bajangan orang2 jang pernah ditemuinja, berkelebat didepan matanja. Itu semua bukan khajal, tapi kenjataan jang sesungguhnja. Kupingnja seolah olah mendengar pula perkataan si pendjual teh dan Thio Loosam.

   "Kami hanja mengharap Thian-houw Piehee berumur pandjang !". Sementara itu. Boe Tjek Thian sudah berkata pula .

   "Kami tak suka main tedeng2. Kami mengakui, bahwa kami adalah dari keluarga miskin. Ajah kami adalah seorang pedagang ketjil, seorang pendjual kaju. Kami pernah djadi dajang dalam keraton, pernah djadi pendeta dan pernah djadi selir dari ajah dan anak. Mungkin sekali didalam hati, kau tengah mentjatji kami sebagai perempuan jang tak tahu malu. Tapi apakah ini kesalahan kami ? Apakah penindasan terhadap kaum wanita jang sudah berdjalan ribuan tahun, masih belum tjukup ? Tapi kami alot sekali. Biarpun ditjatji dan disumpahi, kami tidak mati2. Kami berhasil merampas kekuasaan dan mendjadi kaisar wanita pertama dibenua Tiongkok ! Semula kami hanja ingin melampiaskan penasaran kaum wanita, tapi belakangan kami merasa, bahwa jang penasaran bukan hanja kaum wanita, tapi djuga kaum pria, jaitu rakjat djelata jang telah di-ilas2 selama ber-abad2. Kami telah mengadakan peraturan pembagian sawah dan membuka udjian2 untuk orang2 jang pandai, supaja rakjat djelata jang memiliki kemampuan bisa memperoleh djuga kesempatan untuk mendjadi pembesar negeri. Kami menghapus kebiasaan kolot, kapan djabatan pembesar negeri diborong oleh kaum bangsawan dan kaum jang beruang. Kami malah mempermisikan rakjat datang di kotaradja untuk mengadu langsung kepada kami, djika mereka dipersakiti. Apakah kau bisa memberitahukan kami, tindakan2 kami jang mana, jang tidak baik ?". Siangkoan Wan Djie djadi bingung sekali. Ia harus mengakui, bahwa apa jang dikatakan Boe Tjek Thian adalah hal jang sebenarnja. Ia harus mengakui, bahwa semua tindakan itu adalah tindakan jang tepat. Tapi, tapi Boe Tjek Thian adalah musuh besar jang sudah membunuh kakek dan ajahnja. Mana bisa sakit hati jang begitu hebat disudahi dengan begitu sadja ?. Djantungnja memukul keras, keringat dingin mengutjur dari badannja dan ia tetap membungkam. Sesudah mengaso sebentar, Boe Tjek Thian melandjutkan perkataannja.

   "Pandangan kakekmu terlalu sempit, angan2-nja terlalu besar. Ajahmu adalah kutu-buku jang tolol. Ia ingin mendjadi seorang jang 'tiong' (setia kepada radja) dan 'hauw' (berbakti kepada orang tua) setjara tolol. Ia menuruti sadja perkataan kakekmu setjara membabi-buta. Ia menganggap, bahwa djika berhasil membinasakan aku, ia akan mendjadi menteri setia dan djempolan dari keradjaan Tong. Maka itu, ajah dan anak bersekutu untuk merobohkan kami. Pemimpin mereka seorang menteri besar jang bernama Tiangsoen Boe Kie. Mereka katanja ingin membangunkan kembali Keradjaan Tong, tapi tudjuan mereka jang se- benar2-nja jalah, tanpa memperdulikan nasib rakjat, mereka ingin mengubah dunia mendjadi dunia mereka. Kami tidak dapat mengidjinkan mereka berbuat begitu dan dengan terpaksa, kami sudah membinasakan mereka. Sekarang kami sudah memberi pendjelasan se-terang2-nja, sehingga, djika kau masih berpendapat, bahwa kami bersalah, djemputlah pisaumu dan tantjapkan didada kami !". Wan Djie berdiri terpaku, paras mukanja putjat-pias.

   "Pikiranmu sangat kalut, bukan ?", tanjakaisar wanita itu dengan suara sabar.

   "Kau belum dapat mengambil keputusan, bukan ? Baiklah, aku memberi lain kesempatan kepadamu. Kau berdiamlah disini, mengawani kami. Kami akan menghadiahkan kau dengan sebatang pisau jang sangat tadjam ...!". Sehabis berkata, ia mentjabut sebatang pisau jang sinarnja berkilauan. Wan Djie terkedjut dan melompat mundur. Dengan semangat jang bergelora dan sinar mata jang ber-kilat2, Boe Tjek Thian mengangkat pisau itu seraja berkata .

   "Bukankah kau sekarang berusia empat belas tahun ? Pada waktu berusia seperti kau, kami telah dipanggil masuk kedalam keraton oleh Thaytjong Hongtee. Waktu itu, sebuah negeri di wilajah barat telah mengirim upeti jang berupa seekor kuda mustika dan diberi nama Saytjoe-tjong. Sesuai dengan namanja, kuda itu menjerupai singa jang galak dan ganas, sehingga tak seorangpun dapat menunggangnja. Kami mengadjukan diri untuk tjoba menunggangnja dengan sjarat, bahwa untuk pertjobaan itu, kami minta tiga rupa barang. 'Panglima kami jang paling gagah masih tak mampu ', kata Thaytjong Hongtee. Tapi djika kau mau djuga, baiklah. Barang apa jang diminta olehmu ?. Kami minta satu tjambuk besi, satu martil besi dan sebatang pisau ! Djika kuda itu tidak menurut perintah, kami akan mentjambuknja. Djika dia masih tetap melawan, kami akan menghantamnja dengan martil dan kalau dia masih djuga tidak mau menurut, kami akan membinasakannja dengan pisau itu !. 'Kuda itu adalah kuda mustika jang didalam satu hari bisa lari seribu lie djauhnja', kata pula Thaytjong Hongtee. 'Kalau dibinasakan, apa kau tidak merasa sajang ?'. Kami djawab . Biarpun dia bisa lari seribu li didalam satu hari, tapi djika dia tidak menurut perintah, apa gunanja kemampuan itu ?. Achirnja, kuda itu ditaklukkan oleh kami tanpa menggunakan martil. Kami sudah berhasil dengan hanja menggunakan tjambuk. Mulai dari waktu itu, Thaytjong Hongtee sangat menjajang kami. Beliau mengatakan, bahwa sajang kami bukan seorang lelaki, sebab, kalau kami seorang lelaki, kami pasti akan mentjambuk manusia2 djahat didalam dunia ! Thaytjong Hongtee adalah lelaki jang paling dikagumi oleh kami, tapi beliaupun tentu tak pernah menduga, bahwa kami bisa mendjadi kaisar. Demikianlah, Thaytjong Hongtee segera menghadiahkan tiga rupa barang itu kepada kami. Tjambuk besi diubah mendjadi tjambuk emas dan barusan kami sudah memberikannja kepada Tek Djin Kiat. Pisau ini masih tetap seperti dulu. Sekarang kami memberikan pisau ini kepadamu. Apa kau tahu apa artinja pemberian itu ?". Wan Djie tetap belum dapat mendjawab. Ia hanja mengawasi pisau tersebut dengan mata membelalak. Boe Tjek Thian tersenjum dan kemudian berkata dengan suara lemah-lembut .

   "Kedatanganmu sangat kebetulan. Kami memang sedang men-tjari2 orang untuk menilik tindakan2 kami. Kau mengawani kami dan djika kami melakukan perbuatan jang tidak benar atau salah membunuh orang jang baik, kau boleh segera membinasakan kami dengan pisau ini ". Bukan main bergontjangnja hati Siangkoan Wan Djie. Dengan mata membelalak, ia berkata .

   "Kau, kau ingin aku berdampingan denganmu ? Dan aku membawa pisau jang setadjam itu ?".

   "Benar ", djawabnja.

   "Karena kau musuh, maka kau seorang jang paling tepat untuk menilik sepak-terdjang kami ". Sampai disitu, runtuhlah nona Siangkoan. Badannja menggigil dan air matanja bertjutjuran. Ia menjambuti pisau itu dengan kedua tangan seraja berkata .

   "Baiklah ...!. Aku bersedia untuk merawat kau. Nanti, sesudah aku benar2 takluk, barulah aku akan menggunakan pisau ini untuk bantu melawan musuh2-mu ! Aku tidak ingin mempedajai kau. Pada waktu ini, perasaan sakit hati dalam hatiku masih belum hilang ". ---oo0oo--- TIBA2 diluar ruangan itu terdengar suara tindakan kaki jang disusul dengan suaranja seorang .

   "Thian-houw Piehee, kamar tidur sudah dibereskan. Dengan siapa Thian-houw Piehee bitjara ?".

   "Panggil The Sip Sam Nio ", memerintah sang djungdjungan. Ia menengok kepada Wan Djie dan berkata pula .

   "Bukalah pintu ", kata sang djungdjunan pada seseorang diluar itu. Si nona segera menjelipkan pisau dipinggangnja dan sesaat kemudian, pintu terbuka dan dari luar bertindak masuk seorang wanita setengah tua jang mengenakan pakaian keraton. Kalau halilintar menjambar ditengah hari bolong, mungkin Wan Djie tidak begitu kaget. Ia mengawasi njonja itu dengan mata membelalak.

   "Sip Sam Nio, tjoba kau lihat, siapa nona ini ?", tanja Boe Tjek Thian. Air mata si nona sudah turun seperti hudjan, sedang wanita itu melompat sambil berteriak .

   "Anakku !". Ia menubruk dan memeluk Wan Djie erat2. Wanita itu bukan lain daripada ibu kandung Wan Djie sendiri. Ia seorang she The, anak jang ketiga belas dari kedua orang tuanja, dan sesudah masuk di keraton, ia dikenal sebagaiThe Sip Sam Nio. Melihat dua batang pisau dilantai, njonja itu mengawasi puterinja seraja berkata .

   "Wan Djie, kau ...? Anak Djie, kau datang dengan membawa pisau ...! Kau ?". Boe Tjek Thian bersenjum dan memberi keterangan .

   "Dia datang untuk membunuh kami. Tapi sekarang, ia sudah bersedia untuk mengawani kami. Kau harus merasa girang. Kami djusteru memerlukan seorang bersendjata untuk menilik kami !". Sesudah semangatnja kembali, Sip Sam Nio menghela napas seraja berkata.

   "Kau benar gila dan sjukur kau belum melakukan perbuatan jang gila. Ja, Thian-houw Piehee pernah membunuh mertuaku dan suamiku dan aku pun pernah mempunjai pikiran seperti kau. Tapi sesudah lewat beberapa tahun, aku mulai mengerti. Thian-houw Piehee membunuh mereka bukan karena soal pribadi. Sesudah berdekatan dengan Thian-houw Piehee beberapa tahun, aku harus mengakui, bahwa beliau selalu mengutamakan kepentingan rakjat dan menjampingkan kepentingan pribadi. Bagaimana aku bisa memandangnja sebagai seorang musuh ? Aku sangat menjesal sudah kehilangan mertua dan suami. Tapi siapakah jang harus disesali ? Aku hanja bisa menjesali ajahmu jang berpemandangan suram dan menjesali diri sendiri jang sudah tidak tjoba mentjegahnja. Anak Djie, aku sekarang hanja mempunjai kau seorang. Aku harap kau djangan setolol ajahmu ".

   "Sudahlah, ibu ", kata Wan Djie dengan suara perlahan.

   "Aku ingin minta tempo sementara waktu untuk membuktikan dengan mata sendiri ". Sang Ibu menghela napas.

   "Kalau begitu hatiku lega ", katanja.

   "Sesudah ajahmu dihukum, menurut putusan pengadilan, aku dilempar masuk kedalam keraton sebagai budak. Tempo itu, bukan main aku membentji Thian-houw. Tak lama kemudian, Thian-houw mengubah hukuman tersebut dengan mengatakan, bahwa kedosaan seorang suami tidak boleh me- njeret2 isterinja. Sesudah itu, Thian-houw menanja, apa aku suka bekerdja didalam keraton sebagai guru dari para dajang. Waktu itu, pikiranku bersamaan dengan pikiranmu sekarang. Aku ingin menjaksikan dengan mata sendiri sepak- terdjang Thian-houw dan oleh karenanja, aku segera menerima baik tawaran itu. Dan sekarang aku sudah membuktikan, bahwa Thian-houw sungguh2 bekerdja untuk kepentingan rakjat ". Boe Tjek Thian tertawa.

   "Sudahlah, hal itu biarlah dilihat dan diputuskan olehnja sendiri ", katanja.

   "Djika kami sebagai kau, kami tentu akan menanjakan lebih dulu pengalamannja selama beberapa tahun ini. Kami lihat Wan Djie adalah seorang jang tjerdas dan berbakat baik. Kami kuatir, karena mempeladjari ilmu silat, ia me-njia2-kan ilmu suratnja ".

   "Thian-houw Piehee, tak salah perkataan Piehee ", kata The Sip Sam Nio.

   "Selama beberapa tahun ini, belum pernah sedetik hamba tidak mengingatnja. Wan Djie, kuingat, diwaktu masih ketjil kau sudah suka dengan sjair dan dalam usia lima tahun, kau sudah dapat menggubah sjair. Bagaimana sekarang ?".

   "Anak beladjar dibawah pimpinan Tiangsoen Pehpeh ", katanja.

   "Diwaktu siang anak beladjar ilmu silat dan diwaktu malam ilmu surat. Kadang2 anak masih suka menggubah sjair ". Aha ! Gurumu Tiangsoen Koen Liang ?", menegas sang djungdjungan.

   "Dia seorang jang mahir dalam ilmu surat dan ilmu silat. Djika kau dipimpin olehnja, kami boleh tak usah merasa kuatir. Beberapa lama jang lalu, kami telah memerintahkan The Oen untuk mengundangnja. Tapi kami rasa, ia tak akan gampang2 bisa berubah pikiran, karena otaknja sudah karatan ". Mengingat Tiangsoen Koen Liang, paras si nona berubah merah dan ia merasa djengah sekali.

   "Kalau Tiangsoen Pehpeh tahu kedjadian ini, bagaimana perasaannja ?", tanjanja didalam hati. Sesudah mereka ber-omong2 lagi beberapa lama, dajang jang membereskan kamar tidur, kembali meminta supaja sang djungdjungan mengaso.

   "Benar, sekarang sudah djauh malam dan kita mesti mengaso ", kata Boe Tjek Thian.

   "Sip Sam Nio, kesehatanmu kurang baik, tapi mulai dari sekarang, kau bisa berkumpul terus dengan puterimu. Kami sebenarnja ingin bitjara lebih banjak lagi, tapi sekarang kita harus mengaso dulu. Djie Ie ! Apa kau sudah menjediakan kamar untuk Wan Djie ?". Budaknja Hian Song masuk seraja berkata .

   "Wan Djie Tjietjie, marilah ...". Sesudah mengantar nona Siangkoan ke sebuah kamar jang sederhana dan bersih, Djie Ie tertawa seraja berkata .

   "Aku tahu kau tak akan membunuh Thian-houw, sehingga hatiku lega. Melihat kau melompat turun, aku sudah berani memastikan, bahwa kau akan menakluk, sehingga aku tidak mengawasi kau lagi dan lalu membereskan kamar ini ". Wan Djie terkedjut. Baru sekarang ia tahu, bahwa ia terus diawasi oleh Djie le jang lihay. Djie Ie bersenjum dan berkata pula .

   "Sjair Siotjiaku jang diberikan kepadamu sekarang sudah terbukti kebenarannja. Siotjia tahu, bahwa pada achirnja, ia dan kau akan berkumpul ber-sama2

   ".

   "Aku sangat ingin bertemu dengan Siotjiamu lagi ", kata Wan Djie.

   "Siotjia menguber Lie It ", kata Dje Ie.

   "Kulihat Lie It sangat menjajang kau. Apa kau tidak pikiri dia ?". Sehabis berkata begitu, ia tertawa dan berdjalan keluar sambil menjingkap tirai. Dapatdimengerti, djika Wan Djie tak dapat pulas. Ia bergelisah diatas pembaringan dan kedalam otaknja masuk rupa2 pikiran. Ia ingat Boe Hian Song dan ingat pula Lie It. Bagaimana nasib pemuda itu jang sedang di-uber2 itu ? Apa dia tidak gusar karena ia sekarang dapat dikatakan sudah menakluk kepada Boe Tjek Thian ? Dengan pikiran kusut, si nona menghela napas ber-ulang2. Seperti djuga Siangkoan Wan Djie, pada ketika itu Lie It sedang terdjepit diantara budi dan permusuhan, sehingga ia tak tahu apa jang harus diperbuatnja. ---oo0oo--- HARI itu, sesudah mengalami pukulan hebat diatas puntjak Kim-teng, dengan perasaan ketjewa, ia melarikan diri dan mendaki gunung se-tjepat2-nja. Per- lahan2 keadaan diseputarnja berubah sunji dan kesunjian itu hanja dipetjahkan oleh suara angin, air dan njanjian burung2 ketjil. Dengan pikiran tertindih, ia berdjalan terus diantara bukit2. Tiba2 disebelah timur terlihat sehelai sinar merah jang gilang-gemilang dan tak lama kemudian, matahari mulai muntjul. Fadjar sudah menjingsing dan ia berdjalan terus sambil melawan pukulan angin jang sangat dingin. Ia menghela napas dan didepan matanja kembali terbajang pengalaman2 jang telah lampau. Mendadak, dibawa oleh tiupan angin, dari sebelah kedjauhan terdengar suara tertawa jang njaring, bagaikan kelenengan perak. Ia terkedjut. Tiba2, dari belakang sebuah bukit muntjul seorang wanita muda jang mengenakan pakaian warna putih. Ia lebih kaget lagi, karena nona itu bukan lain daripada Boe Hian Song.

   "Enghiong besar ", kata Hian Song sambil tertawa geli "Mengapa kau berlalu begitu tjepat ?". Sambil mentjekel gagang pedang, Lie It mengawasi si nona dengan sorot mata gusar.

   "Seorang gagah boleh dibunuh, tapi tak boleh dihina ", katanja.

   "Hunus sendjatamu dan binasakan aku, djika kau mampu ". Hian Song kembali tertawa geli.

   "Siapa jang hinakan kau ?", tanjanja.

   "Aku datang kesini untuk memulangkan serupa barangmu, tapi kau menduga jang tidak2

   ". Lie It mengawasi dan ternjata, kedua tangan nona Boe mentjekel khim tua jang telah ketinggalan diatas lapangan Kim-teng.

   "Ambillah ", kata pula Hian Song sambil tersenjum.

   "Tanpa khim, sjairmu kurang keindahannja ". Paras muka Lie It berubah merah. Ia melirik Hian Song dan ternjata pada muka nona itu tidak terdapat sinar permusuhan. Karena si nona bermaksud baik, ia tak dapat mengumbar napsu. Tapi mengingat pengalamannja semalam dan sekarang ia harus menerima khim dari tangannja seorang wanita jang telah merobohkannja, ia djadi merasa djengah sekali.

   "Sambutlah !", kata Hian Song sambil melemparkan tabuh2-an itu.

   "Djangan kau membawa lagak sebagai seorang Beng-tjoe Enghiong-hwee jang sematjam itu, Beng-tjoe jang sematjam itu, tiada harganja. Tapi khim ini berharga tinggi. Menurut pendapatku, kau lebih baik melemparkan kedudukan Beng-tjoe itu daripada kehilangan khim ini !". Dengan terpaksa Lie It menjambuti djuga khimnja. Ia ingin mengutjapkan terima kasih, tapi mulutnja terkantjing dan dilain saat, Hian Song sudah berlalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, sehingga tak lama kemudian, ia sudah tak kelihatan bajangannja lagi. Lie It menghela napas.

   "Hai ! Dunia benar2 sudah berubah !", pikirnja.

   "Lelaki merosot kebawah, perempuan naik keatas. Boe Tjek Thian mendjadi kaisar, apakah Rimba Persilatan- pun bakal dikuasai oleh seorang wanita ?". Hatinja merasa sangat penasaran. Tapi dilain saat, ia harus mengakui, bahwa djika dibandingkan dengan wanita seperti Boe Hian Song, 'orang2 gagah' jang semalam berkumpul diatas puntjak Kim-teng adalah seperti mutiara2 direndengkan dengan batu2 koral. Mengingat begitu, ia kembali menghela napas pandjang. Mendadak didepan matanja terbajang wadjah Wan Djie jang tjantik-aju. Sesaat itu, Lie It se-olah2 seorang jang sedang kelelap mendjambret sebatang rumput. Ia mendjambret bajangan Wan Djie. Dilain detik, depan matanja terbajang dua wanita muda. Jang satu sastrawan wanita jang lemah lembut, jang lain djago wanita jang gagah perkasa. Direndengkan setjara begitu, ia tak tahu, siapa jang menang, siapa jang kalah. Djika disuruh memilih sungguh sukar untuk mendjatuhkan pilihan. Tapi sesaat kemudian, ia berkata dalam hatinja .

   "Dalam hidup didunia ini, djika seorang manusia bisa mempunjai seorang sahabat jang mengenal isi hatinja, ia sudah dapat dikatakan beruntung sekali. Dalam dunia ini, Wan Djie adalah manusia satu2-nja jang mengenal isi hatiku. Tapi Hian Song adalah seorang musuh !". Dengan adanja pikiran begitu, bajangan nona Siangkoan achirnja menindih bajangan nona Boe. Sekali lagi ia menghela napas.

   "Dimana adanja Wan Djie sekarang ?", tanjanja didalam hati. Ia lantas sadja ingat pengalamannja jang semalam. Hiong Kie Teng adalah seorang kasar jang dengan tulus hati ingin menolong dirinja. Hiong Kie Teng tentu sadja tak tahuasal-usul Wan Djie dan tak tahu pula hubungan antara si nona dan dirinja sendiri. Tapi apa jang sangat mengherankan adalah tindakan budaknja Hian Song. Mengapa budak itu menolong Wan Djie ? Apa Wan Djie dan Hian Song sudah mengenal satu sama lain ? Bajangan Boe Hian Song sebenarnja sudah ditindih dengan bajangan Siangkoan Wan Djie. Tapi dengan mengingat nona Siangkoan, bajangan nona Boe lantas sadja muntjul kembali didepan matanja. Ia tidak mengenal siapa adanja Hian Song, tapi dilihat dengan sepak-terdjangnja semalam, tak dapat tidak, ia adalah kaki-tangan Boe Tjek Thian.

   "Djika dia tahu, bahwa Wan Djie adalah tjutju Siangkoan Gie, tindakan apa jang akan diambilnja ?", tanjanja didalam hati.

   "Apakah ia akan menangkap Wan Djie dan menjerahkannja kepada Boe Tjek Thian ?". Boe Hian Song kelihatannja bukan orang djahat, tapi ia tetap berkuatir akan keselamatan Wan Djie karena dia berdiri dipihak musuh. Dengan memikiri nasib Wan Djie, ia djadi lebih gusar terhadap Boe Tjek Thian. jang dianngap telah mendjadi gara2 dari semua kedjadian jang mengenaskan. Semakin ia memikir, kepalanja semakin pusing dan badannja, jang tidak mengaso semalam suntuk, semakin dirasakan letih. Ia segera berhenti dipinggir satu selokan dan duduk diatas batu. Tanpa merasa, ia sudah mulai mengakurkan tali2 khim dan lalu memetik sebuah lagu sambil menjanji dengan suara perlahan. Lagu itu adalah Siok-lam dari Sie-keng (Kitab Sjair) dan njanjiannja berbunji seperti berikut .

   "Pohon djagung berbaris, pohon kao-liang menghidjau. Kakiku bertindak pe-lahan2, djantungku ber-gojang2. Jang mengenal aku mengatakan aku sedang berduka, jang tidak mengenal aku menanja, aku sedang mentjari siapa. Oh langit ...! Langit ...!. Kau diangkasa, mengapa kau membuat aku sampai begini rupa ?". Sjair itu adalah mengenai suatu peristiwa didjaman Keradjaan Tjioe. Sesudah Keradjaan Tjioe pindah ketimur, pada suatu hari, seorang jang berpangkat Tayhoe telah lewat diibukota jang dulu. Ia lihat, bahwa tempat dimana dulu berdiri keraton dan kuil keluarga keradjaan, sekarang sudah berubah mendjadi kebun djagung dan sawah kao-liang. Pembesar itu merasa duka bukan main dan oleh karenanja, ia menggubah sjair diatas. Dengan hati sedih karena memikiri nasib Keradjaan Tong, Lie It memetik khim dan menjanji sambil mengutjurkan air mata, sehingga suara tabuh2-an dan suara njanjian kedengarannja sangat menjajatkan hati. Sesudah melampiaskan perasaan hatinja, barulah ia merasa agak lega. Mendadak, selagi lagunja tiba pada bagian jang paling mendukakan, terdengar suara tertawa. Ia terkesiap, djeridjinja kalut dan sehelai tali khim mendjadi putus. Sambil mengangkat khim-nja, ia bangun berdiri dan hampir berbareng, disebelah kedjauhan berkelebat bajangan manusia. Matanja jang sangat tadjam segera mengenali, bahwa bajangan itu bukan lain daripada si nona Hian Song.

   "Hei! Mengapa kau tertawa ?", teriaknja dengan gusar. Hian Song menghampiri seraja berkata sambil bersenjum .

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ih, kau sungguh aneh ! Kau menangis dan aku tertawa. Ada apa sangkut-pautnja antara kau dan aku ?". Darah pemuda itu lantas sadja meluap dan dengan mata mendelik, ia meraba gagang pedang.

   "Enghiong besar, kau djangan marah ", kata si nona.

   "Maaf, aku tak bisa menemani lama2

   ".

   "Siapa kesudian menahan kau lama2 !", bentak Lie It.

   "Hm ... ! lebih tjepat kau berlalu, lebih baik lagi !".

   "Aku tak akan pergi djauh ", kata si nona.

   "Apa kau tahu aku mau pergi kemana?".

   "Bukan urusanku!"

   Bentaknja.

   "Aku ingin pergi ketempat jang dipikiri olehmu ", kata Hian Song.

   "Aku ingin menengok kota Tiang- an, untuk melihat dengan mata sendiri, apakah keraton di Tiang-an sudah mendjadi kebun djagung dan tanah sawah ?". Perkataan itu bagaikan djarum jang menusuk Lie It. Dibawah kekuasaan Boe Tjek Thian, sebaliknja daripada runtuh, ibukota itu makin lama djadi makin makmur. Disindir begitu, Lie It gusar tertjampur malu. Belum ia sempat membuka mulut untuk balas menjerang, si nona sudah tertawa njaring dan berlalu dengan tjepat sekali. Sesudah Hian Song berlalu, dalam hati ketjilnja ia mengakui, bahwa apa jang dikatakan si nona memang merupakan suatu kenjataan. Tiang-an makin mentereng dan penghidupan rakjat djelata mendapat perbaikan2 jang menjolok mata.

   "Perempuan itu memang liehay sekali dan harus ditakuti ", pikirnja. Ia djadi makin berduka, karena kedatangannja di Soetjoan telah berachir dengan kegagalan, sedang gerakan Tjie Keng pun belum tentu bisa berhasil.

   "Sudahlah ! Sebagai seorang menteri setia aku harus berusaha sedapat mungkin, gagal atau berhasil adalah soal kedua ", katanja didalam hati."Sekarang paling baik aku pergi ke Yang-tjioe untuk menemui Tjie Keng ". ---oo0oo--- DENGAN hati kusut, ia terus turun dan pada waktu ia tiba di puntjak Tjian-hoed- teng, mendadak terdengar pula suara tertawa jang sangat njaring.

   "Perlu apa kau datang lagi ?", teriaknja dengan gusar. Kalau Hian Song seorang lelaki, ia tentu sudah mentjatji habis2-an. Tapi kali ini dugaannja meleset, karena jang mendatangi bukan nona Boe, tapi sepasang orang muda, satu lelaki dan satu perempuan. Jang lelaki adalah seorang tauwto jang berambut pandjang, sedang jang perempuan berparas tjantik, tapi genit sekali kelihatannja. Ia terkedjut dan berkata dalam hatinja .

   "Apakah mereka bukan dua memedi jang terkenal dalam kalangan Kang-ouw, Ok-heng-tjia dan Tok sian-lie ?". Dugaan Lie It tidak salah. Mereka memang bukah lain daripada Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie jang djuga ingin menghadiri Eng-hiong Tay-hwee, tapi terlambat karena sebagai akibat serangan Hian Song. Si tauwto harus berobat kurang-lebih sepuluh hari lamanja. Begitu berhadapan, Tok-sian-lie mengawasi Lie It dari kepala sampai dikaki. Ia tertawa seraja bertanja .

   "Apakah kau bukan Lie Kongtjoe ?".

   "Aku she Lie ", djawabnja.

   "Ada apa ?". Ok-heng-tjia kelihatan girang sekali.

   "Aha ...!", serunja.

   "Kalau begitu, kau adalah Tjian-swee-ya (radja muda, keluarga kaisar) jang sering di- sebut2 oleh Kok Sin Ong Tjian-sweeya, terimalah hormat kami ".

   "Tahan ...!", kata Lie It dengan suara mendongkol.

   "Apakah kamu bukan Ok-heng-tjia dan Tok- sian-lie ?". Tok-sian-lie tertawa manis dan mendjawab .

   "Ah ...! Itulah gelaran jang diberikan oleh musuh2 kami. Kami dengar, Tjian-sweeya akan mengepalakan Eng-hiong Tay-hwee dan dengan ter-buru2 kami datang kemari untuk turut menghadiri pertamuan itu. Apakah Eng-hiong Tay-hwee sudah selesai dan bubar ? Kemana Kok Loosianseng ?". Lie It tertawa dingin.

   "Siapa sudi menganggap kamu sebagai kawan ", katanja.

   "Sekarang aku mau tanja . Bukankah pembunuhan terhadap Thay-tjoe di Pa-tjioe dilakukan oleh kamu berdua ?". Ok-heng-tjia heran dan lalu mendjawab dengan suara kasar.

   "Benar ...! Kalau bukan begitu, kami tentu tidak menganggap kau sebagai orang sendiri ".

   "Binatang !", bentak Lie It.

   "Kamu mendjadi kaki-tangan dari Boe Tjek Thian dan sudah membunuh kakakku, tapi kamu masih berani mengakui aku sebagai orang sendiri !". Tok-sian-lie tertawa geli.

   "Tjian-sweeya, apakah Kok Sin Ong belum memberitahukan latar belakang kedjadian ini kepadamu ?", tanjanja. Lie It kaget dan didalam hatinja lantas sadja timbul perasaan tjuriga. Ia segera mengubah sikap dan sambil menjodja, ia berkata.

   "Aku benar belum tahu, harap kalian suka menerangkan se-djelas2-nja ".

   "Itu semua adalah tipu jang sangat lihay dari Pwee Lootaydjin ", menerangkan Tok-sian-lie dengan suara bangga.

   "Beliau memerintahkan perwira jang bekerdja dibawah Khoe Sin Soen mempersembahkan firman palsu kepada Thaytjoe untuk mendesak supaja putera kaisar itu membunuh dirinja sendiri. Tapi, diluar dugaan, Thaytjoe bertjuriga dan ingin bertemu dengan ibunja. Maka itu, kami tidak dapat berbuat lain daripada turunkan tangan ". Tak kepalang kagetnja Lie It.

   "Kalau begitu, mereka diperintah oleh Pwee Yam !", katanja dengan suara ditenggorokan.

   "Kalau Thianhee (panggilan untuk seorang putera atau keluarga kaisar jang terdekat) sudah tahu, baguslah ", kata Ok-heng-tjia. Tok-sian-lie kembali tertawa geli.

   "Djika orang seperti Thianhee masih kena dikelabui, apalagi orang lain ?", katanja.

   "Aku merasa pasti, semua orang akan menumplek kedosaan diatas kepala Boe Tjek Thian dan gelaranku ini boleh diberikan kepadanja !". Lie It menunduk, kepalanja pusing. Sungguh2, ia tak pernah mimpi, bahwa seorang seperti Pwee Yam jang didjuluki sebagai "menteri setia"

   Dari Keradjaan Tong, dapat berbuat begitu.

   Iapun tak pernah menduga, bahwa Kok Sin Ong, seorang Beng-tjoe dari Rimba Persilatan, turut-serta dalam persekutuan itu dan tidak memberitahukannja terang2-an.

   Memikir begitu, bukan main rasa ketjewa didalam hatinja.

   Sebegitu djauh, ia selalu menganggap dirinja sebagai seorang gagah jang bersih dan berserikat dengan lain2 orang gagah jang bersih pula, untuk menghukum Boe Tjek Thian jang kotor.

   Tapi sekarang, sesudah mendengar keterangan kedua memedi itu, ia djadi bersangsi mengenai soal "bersih"

   Dan "kotor". Siapakah sebenarnja jang "bersih", dan siapa jang "kotor" ?. Melihat perubahan pada paras muka Lie It, Tok-sian-lie tertawa seraja berkata.

   "Thianhee, mengapa kau ? Kau sebenarnja harus bergirang. Anak Boe Tjek Thian, jang satu sudah mampus, jang lain mampus karena ratjun. Masih ada satu Louw-leng-ong tapi Louw-leng-ong itu seorang tolol. Dihari kemudian, dalam bangunnja kembali Keradjaan Tong, Thianhee akan naik mendjadi Banswee (kaisar). Pada waktu itu terdjadi, Tjian-sweeya djanganlahmelupakan kami berdua !". Lie It menggigit bibir, sedapat mungkin ia menahan napsu amarahnja.

   "Apa Tjie Keng tahu kedjadian ini ?", tanjanja dengan suara gametar. Tok-sian-lie mengawasinja dengan mata tadjam dan mendjawab .

   "Ini semua adalah tipu dajanja Pwee Taydjin. Hal ini tidak diketahui oleh Gouw-kok-kong. Untuk bitjara terus-terang, Gouw-kok-kong ingin mengangkat Louw-leng-ong sebagai kaisar, sedang Pwee Taydjin ingin mengangkat Thianhee sendiri. Thianhee adalah seorang jang bidjaksana dan kurasa Thianhee sudah mengerti maksud Pwee Taydjin ".

   "Tidak, aku belum mengerti dan harap kau suka mendjelaskannja ", kata Lie It.

   "Louw-leng-ong dan Thaytjoe Lie Hian ke-dua2-nja adalah anak Boe Tjek Thian ", menerangkan Tok-sian-lie.

   "Tak perduli siapa jang mendjadi kaisar, kita seperti menanam bibit penjakit dihari kemudian. Disamping itu, merekapun belum tentu bersedia untuk membunuh ibu sendiri. Inilah keberatan jang pertama ".

   "Jang lain ?".

   "Djika Tjie Keng berhasil dalam usahanja untuk mengangkat Louw-leng-ong, maka dihari kemudian, kekuasaan atas ketentaraan tentu djatuh kedalam tangannja. Dilain pihak, djika Thianhee bisa bekerdja-sama dengan Pwee Taydjin dan Thianhee berhasil menguasai orang2 gagah diseluruh negara, maka kita akan bisa mengurangi kekuasaan Tjie Keng. Tjoba Thianhee pikir . Dengan disokong oleh segenap orang gagah dan dibantu oleh Pwee Taydjin, mana bisa Louw-leng-ong melawan Thianhee ? Dihari nanti, tachta keradjaan sudah pasti akan diduduki oleh Thianhee sendiri ". Mendengar sampai disitu, Lie It tak dapat menahan sabar lagi.

   "Kalau begitu, kalian adalah orang2 kepertjajaan Pwee Taydjin ", katanja dengan suara menjeramkan.

   "Untuk kesetiaan kalian terhadapku, aku harus memberi hadiah jang bagus !".

   "Terima kasih atas kebaikan Thianhee ", kata Ok-heng-tjia dengan suara girang. Tiba2, Tok-sian-lie berteriak.

   "Soeko, hati2 !". Ok-heng-tjia terkesiap dan melompat mundur. Pada saat jang bersamaan, Lie It sudah menghunus pedang dan menikam tenggorokan Ok-heng-tjia jang untung masih keburu menjingkirkan diri.

   "Apa aku tidak dihadiahkan ?", tanja si memedi perempuan dengan suara menjindir. Sesudah tikamannja jang pertama gagal, Lie It memutar badan dan menjabet Tok- sian-lie dengan pedangnja. Tapi sebelum pedangnja menjambar, Tok-sian-lie sudah mengajun tangan dan sedjumlah djarum jang berkeredepan menjambar. Lie It kaget, karena ia tahu, bahwa djarum itu adalah Touw-hiat-sin-tjiam jang sangat beratjun. Tjepat bagaikan kilat, ia menggeser kaki dengan gerakan Poan-liong- djiauw-po (Naga-menggeser-kaki) dan memutar pedangnja dengan pukulan Giok-tay- wie-yauw (Ikatan-pinggang-diseputar-pinggang). Pukulan itu adalah pukulan jang sangat istimewa untuk membela diri dari serangan rupa2 sendjata, tapi karena djarak mereka terlalu dekat dan gerakan Lie It agak terlambat, maka sebatang djarum lolos dari kebasan pedang dan menantjap didjalan darah Kian-keng-hiat, dipundak kiri pemuda itu. Hampir berbareng, Lie It merasa pundaknja seperti digigit semut dan sesaat kemudian, lengan kirinja tidak dapat digunakan lagi. Sementara itu, sesudah terlolos dari kebinasaan, Ok-heng-tjia gusar tak kepalang.

   "Botjah goblok !", bentaknja.

   "Kedudukan Hongtee kau tolak, sekarang aku antar kau untuk menjusul saudaramu ...!". Sambil mentjatji, ia menimpuk dengan sedjumlah Tjhie-piauw. Karena pundak kirinja sakit dan gerakannja kaku, maka sebatang Swee-koet-tjhie-piauw kembali menantjap di djalan darah Tiong- tjoe-hiat, dibelakang leher. Timpukan itu jang disertai dengan lweekang jang sangat tinggi, sakitnja bukan main, sehingga mata Lie It ber-kunang2. Tapi sebagai seorang muda jang memiliki kepandaian tinggi, Lie It bertubuh kuat dan tidak gampang2 roboh. Sambil mengertak gigi dan mengempos semangat, ia berteriak .

   "Bangsat ...! Hari ini aku akan lebih dulu mampuskan dua memedi djahat ". Tiba2 badannja melesat tinggi dan selagi melajang turun, bagaikan sehelai bianglala putih, pedangnja membabat kebawah. Ok-heng-tjia terkedjut, sedikitpun ia tak menduga, bahwa sesudah kena dua sendjata rahasia jang sangat liehay, pemuda itu masih dapat menjerang begitu hebat. Buru2 ia menghunus golok dan menangkis "Trang ...!", lelatu-api muntjrat dan golok Ok-heng-tjia somplak sebagian. Pedang Lie It ternjata adalah pedang mustika dari keraton Keradjaan Tong. Sambil mengaum bagaikan harimau terluka, Ok-heng-tjia membalik goloknja dan menghantam dengan belakang golok. Sesaat itu Lie It sudah tidak memikir hidup-mati dan ia menjerang setjara nekat. Tanpa menghiraukan pembelaan diri, ia memapaki golok Ok-heng-tjia dan terus menikam muka musuh. Tauwtoo djahat itu melompat mundur dengan didesak terus oleh pukulan2 jang membinasakan, sehingga dia djadi repot bukan main. Tiba2 Tok-sian-lie tertawa njaring.

   "Soeko, kau benar tolol !", teriaknja.

   "Ratjun Touw-hiat-sin-tjiam tak lama lagi akan mengamuk disekudjur badannja. Piauw apa jang digunakan kau ?".

   "Swee-koet-tjhie- piauw jang ratjunnja bekerdja paling tjepat ", djawabnja.

   "Bagus ...!", kata simemedi perempuan sambil tertawa.

   "Kalau begitu, mengapa kau tidak bisa menunggu untuk beberapa saat. Perlu apa kau mengadu djiwa dengannja ?". Ok-heng-tjia tersadar dan sambil menangkis pedang Lie It, ia melompat keluar dari gelanggang dan terus kabur dengan berputaran. Melihat kakaknja diuber, Tok- sian-lie lantas sadja menguber pemuda itu, sehingga mereka seperti djuga kanak2 jang sedang main petak umpat. Bagaikan kalap Lie It memutar badan dan mengedjar memedi perempuan itu. Tapi ilmu mengentengkan badan Tok-sian-lie lebih tinggi daripadanja, sehingga ia tak dapat menjandaknja.

   "Thianhee !", seru perempuan itu dengan nada mengedjek.

   "Lebih banjak kau mengeluarkan tenaga, lebih tjepat mengamuknja ratjun! Kalau tulang2-mu sudah rontok, biarpun dewa tak akan dapat menolong djiwamu. Aduh ...! Kau seorang turunan kaisar, tinggi ilmu surat dan ilmu silatmu, benar2 sajang djika kau mesti binasa setjara begitu mengenaskan !". Diedjek begitu, Lie It merasa dadanja se-olah2 mau meledak. Ia memutar pedang dan menerdjang dengan kalap, tapi si memedi sudah kabur lebih dulu.

   "Eh, kalau kita binasakan dia, apa Pwee Lootaydjin tak djadi gusar ?", tanja Ok-heng-tjia. Tok-sian-lie tertawa.

   "Djika dengar kata, dia adalah orang kita ", djawabnja.

   "Kalau melawan, dia musuh kita. Sedangkan Thaytjoe masih boleh dibinasakan, apa lagi dia ? Jang paling untung adalah Louw-leng-ong ".

   "Baiklah, sesudah dia mampus, aku ambil mutiaranja, kau ambil pedangnja ", kata Ok-heng-tjia. Demikianlah mereka saling sahut, se-olah2 Lie It sudah pasti akan binasa dalam tangan mereka. Sementara itu, mata Lie It sudah ber-kunang2.

   "Tjelaka ... ! Tak dinjana hari ini aku mesti binasa dalam tangan manusia rendah !", ia mengeluh. Tiba2 dengan menggunakan sisa tenaganja, ia melompat dan menikam Tok-sian-lie. Serangan mati2-an itu bukan main hebatnja.

   "Brett ...!", walaupun si memedi perempuan berkelit setjepat mungkin, tak urung tangan badjunja ditobloskan udjung pedang.

   "Thianhee ", edjeknja.

   "saat berkumpul dengan kakakmu sudah tidak lama lagi !". Sampai disitu Lie It tak tahan lagi, tubuhnja ber-gojang2 dan ia roboh diatas tanah. Se-konjong2, pada saat jang sangat berbahaja, dalam keadaan lupa-ingat, kupingnja menangkap siulan jang njaring luar biasa jang disusul dengan bentakan .

   "Bangsat ...! Kamu mau mentjelakakan manusia lagi ?". Ia tjoba membuka kedua matanja, tapi tak dapat, hanja kupingnja mendengar bentrokan sendjata dan sesudah itu, ia tak ingat suatu apa lagi. ---oo0oo--- ENTAH sudah lewat berapa lama, Lie It per-lahan2 tersadar. Ia seperti baru tersadar dari impian jang menakutkan. Sebelum membuka mata, hidungnja mengendus bebauan jang sangat ha rum dan kupingnja mendengar suara "tek-tek-tek ...", ia seperti sedang rebah didalam sebuah kereta. Dilain saat, ia tahu, bahwa ia sedang rebah diatas kasur jang empuk. Bukan main rasa herannja dan dengan sekuat tenaga, ia membuka kedua matanja. Apa jang dilihatnja jalah satu muka jang tjantik-aju dan sepasang mata jang tengah mengawasinja. Sedjenak kemudian, sesudah mengumpulkan semangat, tiba2 ia berseru dengan suara perlahan.

   "Kau ...! kau ...!". Wanita itu tertawa seraja berkata .

   "Djangan takut, djiwamu sudah ketolongan !". Ia tjoba bangun, tapi sekudjur badannja sakit semua, kaki- tangannja kaku dan sedikitpun ia tak dapat bergerak.

   "Apa kau masih belum mengenali aku ?", tanja si nona.

   "Orang kata, tidak berkelahi, tidak kenal. Aku bernama Boe Hian Song !". Sekarang Lie It ingat segala pengalamannja. Ia ingat kedjadian dipuntjak Kim-teng dan ia ingat pertempurannja melawan Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie.

   "Kalau begitu, kaulah jang sudah menolong djiwaku ?", tanjanja dengan suara hampir tidak kedengaran. Sebelum Hian Song keburu mendjawab, seorang gadis tjilik jang duduk disebelah depan kereta menengok dan berkata sambil tertawa .

   "Djika tidak ditolong Siotjia, kau tentu sudah tidak bernjawa. Hm ...! kau sungguh me-nakut2-i kami. Kau sudah pingsan tiga hari dua malam lamanja !".

   "Kau ...! mengapa kau menolong aku ?", tanja Lie It dcngan suara ter-putus2.

   "Kau sungguh luar biasa !", mendului si tjilik.

   "Tanpa sebab, mengapa kau memandang kami sebagai musuh besar ? Kau sama-sekali tak punja rasa berterima kasih. Ketahuilah, untuk menolong djiwamu, Siotjia telah mengeluarkan bukan sedikit tenaga. Siotjia bahkan tak segan mengisap keluar darah beratjun jang mengeram dalam tubuhmu !".

   "Beng Tjoe, djangan rewel ...!", bentak Hian Song. Sesaat itu, rupa2 perasan malu, berterima kasih, djengah, mengamuk didalam pikiran Lie It. Ia mengheIa napas seraja bertanja .

   


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Dendam Asmara -- Okt

Cari Blog Ini