Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh 5


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 5



Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Sekarang, sesudah aku djatuh kedalam tanganmu, hukuman apa jang kau hendak berikan kepadaku ?".

   "Akuingin bawa kau ke Tiang-an untuk me-lihat2 kebun djagung dan sawah2

   ", djawab si nona sambil tertawa. Lie It membuka kedua matanja lebar2, tapi sedjenak kemudian ia kembali menghela napas dan parasnja berubah tenang.

   "Baiklah ...", katanja dengan suara tawar.

   "Aku sebenarnja sudah mesti mati dan aku tidak takut mati untuk kedua kalinja. Mati dalam tangan Boe Tjek Thian lebih berharga daripada mampus dalam tangan Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie ". Ia berkata begitu, karena menganggap bahwa nona itu mau menjerahkannja kepada Boe Tjek Thian. Dengan adanja anggapan itu, ia djadi terlebih tenang. Tiba2, karena banjak bitjara dan perasaannja bergontjang keras, ia merasa dadanja sakit bukan main, sehingga ia merintih dengan perlahan. Sambil bersenjum Hian Song mengangsurkan tangannja dan lalu mengurut dada pemuda itu. Sesaat kemudian, Lie It merasakan naiknja sematjam hawa panas dari bagian pusar keatas dan rasa sakitnja lantas sadja berkurang banjak. Ia mengerti, bahwa si nona telah menggunakan lweekang jang sangat tinggi untuk membantu padanja. Ia mengerutkan alis dan berkata .

   "Perlu apa kau mengeluarkan tenaga. Bukankah lebih baik djika membiarkan aku mati ?". Hian Song tertawa.

   "Kutahu apa jang dipikir olehmu ", katanja.

   "Didalam hati, kau tentu mentjatji aku sebagai perempuan kedjam, karena sesudah menolong, aku ingin menjerahkan kau kepada musuhmu, supaja kau binasa dengan terhina. Bukankah begitu jang diduga olehmu ?". Tanpa mendjawab, Lie It meramkan kedua matanja. Ia mengakui, bahwa ia memang memikir begitu. Tapi dilain pihak, ia merasa, bahwa pertolongan jang diberikan Hian Song adalah pertolongan jang setulus hati, bukan ber-pura2 atau mengandung maksud tertentu. Perasaan ini, jang mendekati suatu kepertjajaan, sangat melekat didalam hatinja. la benar2 bingung. Ia bingung, sebab tak dapat memastikan, apa sebenarnja maksud si nona. Se-konjong2 si budak tjilik tertawa ketjil. Ia menengok seraja berkata .

   "Dua hari tiga malam, Siotjia kami belum pernah tidur sekedjap. Ia telah mengerahkan seantero tenaganja untuk menolong djiwamu. Hai ...! Kau sungguh manusia kurang penerima. Ratjun kedua memedi itu bukan main hebatnja. Kau harus tahu, bahwa sesudah menghabiskan tenaganja, Siotjia hanja dapat menolong djiwamu. Ilmu silatmu tak dapat ditolong lagi dan sudah musnah seanteronja ".

   "Beng Tjoe, djangan me- nakut2-i dia !", bentak sang Siotjia dengan mata mendelik.

   "Harap Siotjia djangan gusar ", kata si budak.

   "Djika aku tidak bitjara terang2-an, mungkin sekali selama tudjuh hari ini, ia akan terus bersikap bermusuhan terhadap Siotjia ". Lie It jang sudah tidak memikirkan hidup-mati, tidak menghiraukan keterangan Beng Tjoe, bahwa ilmu silatnja sudah musnah sama-sekali. Tapi ia merasa heran mendengar di-sebut2nja djangka waktu tudjuh hari. Mengapa tudjuh hari ? Bagaimana Beng Tjoe tahu, bahwa sesudah lewat tudjuh hari, ia tak akan bermusuhan Iagi dengan Hian Song ? Sesudah berdiam sedjenak, Beng Tjoe berkata pula dengan suara perlahan .

   "Siotjiaku sangat menjajang kau, kau tahu ? Ia bukan sadja sudah menolong djiwamu, tapi djuga tengah berusaha supaja ilmu silatmu tidak sampai mendjadi musnah. Ia menggunakan kereta jang paling baik dan menaruh kau diatas kasur empuk, supaja kau djangan terlalu menderita. Sekarang kita sedang membuat perdjalanan dan didalam tudjuh hari, kita akan tiba digunung Kiong-lay-san, dimana Siotjia akan menjerahkan kau kepada seorang jang berilmu tinggi, agar kau dapat disembuhkan tanpa kehilangan ilmu silatmu. Apa kau kira Siotjia benar2 mau menjerahkan kau kepada Thian-houw Piehee ?". Ia tertawa dan berkata pula .

   "Andaikata Siotjia menjerahkan kau kepada Thian-houw Piehee, aku tahu Thian-houw Piehee tak akan mentjelakakan kau. Siotjia hanja kuatir, bahwa tabib2 istana tak mampu mengobati lukamu jg sangat hebat ". Mendengar keterangan itu, bukan main rasa berterima kasihnja Lie It. Tapi dilain pihak, keterangan gadis ketjil itu djuga mejakinkannya, bahwa Boe Hian Song adalah kaki-tangan Boe Tjek Thian. la djadi serba-salah. Ia terdjepit diantara budi dan permusuhan.

   "Ma Toasiok, tolong hentikan kereta ", se-konjong2 Hian Song berkata kepada kusir jang mentjekel les.

   "Tjoba berikan potji somthung (godokan yosom) kepadaku ". Si kusir mengangguk dan sambil menahan les, ia menengok ke arah Lie It. Pemuda itu kaget, sebab ia merasa, bahwa muka orang itu tidak asing baginja. Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia ingat, bahwa pada waktu ia dan Siangkoan Wan Djie sedang menudju ke Pa-tjioe, ditengah djalan mereka bertemu dengan seorang petani jang telah menolong Wan Djie dari tangkapan seorang perwira dan petani itu adalah si kusir. Lie It djadi heran dan berkata dalam hatinja .

   "Ilmu silat orang itu tjukup tinggi, tapi mengapa dia rela mendjadi kusir Boe Hian Song ?". Ia djadi bingung dan tjoba me-nebak2 siapa adanja nona gagah itu.

   "Ih ...! Mengapa kau mengawasi Ma Toasiok dengan mata mendelong ?", tanja si budak tjilik sambil tersenjum.

   "Apakah aku boleh menanja she dan nama Toasiok jang mulia ?",tanja Lie It.

   "Aku Ma Goan Thong ", djawabnja si kusir.

   "Terima kasih ", kata Lie It.

   "Mengapa kau menghaturkan terima kasih kepadaku ?", tanja Ma Goan Thong.

   "Kau seharusnja menghaturkan terima kasih kepada siotjia ". Hian Song tersenjum.

   "Toasiok, ia menghaturkan terima kasih untuk pertolonganmu atas dirinja Siangkoan Wan Djie ", katanja.

   "Lie Kongtjoe, kaupun sebetulnja harus mengutjap terima kasih kepada Beng Tjoe. Djika tak ada dia, sahabatmu sudah tjelaka dalam tangan Hiong Kie Teng ". Mendengar nama Wan Djie, Lie It terkesiap.

   "Wan Djie ? Bagaimana dengan Wan Djie ?", tanjanja.

   "Djangan kuatir ", djawab Hian Song.

   "Kami tak mengganggu selembar rambutnja. Apakah kau kira kami memedi2 jang biasa membunuh orang setjara serampangan ?".

   "Bukan begitu ", kata Lie It dengan suara djengah.

   "Aku ... aku ...".

   "Kau ingin tahu dimana adanja Wan Djie sekarang?", tanja nona Boe. Lie It mengangguk.

   "Ia tidak memberitahukan kepadaku, tapi rasanja aku bisa menebak ", kata Hian Song.

   "Ia pergi untuk membunuh Thian- houw !". Lie It terkesiap.

   "Bagaimana kau tahu ?", tanjanja.

   "Waktu berada dirumahku, ia telah mengatakan begitu kepadaku ", djawabnja.

   "Ia malah minta bantuanku dalam hal itu ". Sehabis berkata begitu, ia tertawa sambil menutup mulut dengan tangannja. Pemuda itu sangat berkuatir, tapi ia tidak berdaja, karena ia sendiri sedang terluka berat.

   "Biarpun baru bertemu satu kali, aku mengenal sifat2 Wan Djie ", kata Hian Song dengan suara membudjuk.

   "Menurut pendapatku, djika bertemu dengan Thian-houw, ia akan seperti ikan jang bertemu air. Mungkin sekali, jalah jang akan berkuatir akan keselamatanmu !".

   "Apa kau kata ?", bentak Lie It dengan suara gusar.

   "Wan Djie mempunjai sakit hati jang sangat besar. Apakah kau mau mengatakan, bahwa ia akan menakluk kepada musuh ?". Karena darahnja meluap, ia merasa badannja sakit bukan main, sehingga ia mengertak gigi untuk menahan sakit.

   "Sudahlah ", kata Hian Song.

   "kita tak usah me-nebak2 sesuatu jang masih belum tentu. Kau minumlah somthung ini ". Pemuda itu ingin menolak, tapi tubuhnja tak dapat bergerak. Tanpa mengatakan apa2 lagi, Hian Song menekan dagu Lie It dan lalu menuang somthung kedalam mulut pemuda itu jang sudah terbuka lebar. Sesudah minum sepotji penuh, Lie It lantas sadja mengantuk dan beberapa saat kemudian, segera pulas njenjak. Ternjata, karena kuatir pemuda itu terlalu letih, nona Boe sudah menaruh obat tidur kedalam somthung. Sampai keesokan paginja, barulah Lie It tersadar. Hari itu Hian Song tidak me-njebut2 lagi Boe Tjek Thian atau Siangkoan Wan Djie dan ia hanja menemani pemuda itu omong2 perihal ilmu silat, seni memetik khim, main tjatur, bersjair dan seni lukis. Mendengar perundingan2 nona Boe, Lie It merasa sangat kagum dan ditambah dengan tjara2 si nona jang lemah-lembut, per-lahan2 ia mengubah sikapnja jang kaku dan mulai bitjara dengan gembira. Dengan tjepat, tiga hari sudah lewat. Setiap hari, dengan menggunakan lweekang jang sangat tinggi, Hian Song membantu pemuda itu dalam usaha mengeluarkan ratjun dan mengobati lukanja. ---oo0oo--- PADA hari keempat, Lie It sudah bisa duduk. Karena sudah lama tidak melihat sinar matahari, ia menjingkap tirai kereta dan melongok keluar untuk memandang pemandangan alam jang sangat indah. Se-konjong2, dari sebelah kedjauhan kelihatan mendatangi dua penunggang kuda, dua orang muda, jang satu lelaki dan jang lain perempuan. Jang lelaki, jang tiba lebih dulu, segera mentjegat didepan kereta seraja membentak .

   "Berhenti ! Siapa didalam kereta ?".

   "Tuan dari kantor mana ?", tanja Ma Goan Thong.

   "Apa kau mempunjai surat perintah untuk mentjegat atau menangkap orang ?".

   "Fui ! Apa matamu buta !", bentaknja.

   "Aku adalah rakjat Keradjaan Tong, bukan budak kaisar ".

   "Aha ...! Dua penolong tjalon kaisar sudah tiba ", kata Hian Song kepada Lie It sambil tersenjum manis. Lie It mengawasi kedua orang itu, tapi ia tak kenal siapa adanja mereka.

   "Kalau kau rakjat biasa, mengapa kau mentjegat kami ?", tanja Ma Goan Thong.

   "Orang jang berada dalam keretamu bukan rakjat biasa ", kata pemuda itu.

   "Bukan urusanmu ", kata Ma Goan Thong dengan suara ketus.

   "Aku tidak melanggar undang2 negara. Tak dapat kau mentjampuri urusanku ". Sambil berkata begitu, ia mentjambuk keledainja.

   "Aku djusteru mau mentjampuri !", bentak si pemuda. Ia melompat turun dari tunggangannja dan dengan sekali menekan, kedua keledai jang menarik kereta lantas sadja berlutut. Beng Tjoe tertawa njaring.

   "Tenaganja hebat djuga ", katanja.

   "Ma Toasiok, usirlah dia !". Ma Goan Thong tertawa dingin.

   "Apa kau mau merampok ditengah hari bolong ?", bentaknja seraja menjabet dengan tjambuknja. Pemuda itu ternjata bukan sembarang orang. Sambil berkelit, tangankanannja sudah mentjabut sebatang pedang, sedang tangan kirinja menjambar pergelangan tangan Ma Goan Thong jang memegang tjambuk. Ma Goan Thong djadi gusar, ia mengerahkan lweekang dan mendorong keras, sehingga pemuda itu mundur beberapa tindak. Hampir berbareng, ia melompat turun dari kereta seraja berteriak .

   "Bagus ! Mari kita main2 beberapa djurus !". Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pemuda itu segera menjerang dengan pukulan In-mo-sam-boe (Pajung- awan-tiga-kali-menari) jang terdiri dari tiga gerakan, menikam lutut. Melihat serangan jang hebat itu, buru2 Ma Goan Thong mengerahkan lweekang sehingga tjambuknja, jang pandjangnja setombak lebih, berubah lurus bagaikan toja dan dongan gerakan Poan-liong-djiauw-po (Naga-bertindak), ia memutar sendjata itu bagaikan titiran untuk menangkis tikaman2 lawan. Pemuda itu buru2 menarik pulang pedangnja dan sambil menggeser kaki, ia tjoba membabat djari2 tangan Ma Goan Thong jang mentjekal tjambuk. Ma Goan Thong kaget, karena ia tak menduga lawannja dapat bergerak dan mengubah gerakannja sedemikian tjepatnja. Dengan sekali menotol tanah dengan kakinja, ia melompat kebelakang dan kemudian, dengan pukulan Hoei-hong-sauw-lioe (Angin-pujuh-menjapu-pohon-lioe) ia balas menjerang. Karena sendjatanja pandjang dan sendjata lawan lebih pendek, ia bisa menarik keuntungan dalam hal persendjataan, tapi pemuda itu, jang ternjata bernjali sangat besar, sebaliknja daripada mundur malah melompat madju dan selagi tjambuk lewat dibelakangnja, ia membarengi dengan satu tikaman dahsjat. Tapi Ma Goan Thongpun bukan anak kemarin dulu. Sekali lagi ia melompat mundur, akan kemudian menjerang pula. Demikianlah, mereka terus serang-menjerang dengan sengitnja. Sambil menjender dikasur, Lie It mengawasi djalannja pertempuran dengan mata tidak berkesip. Tiba2 ia terkedjut, karena ia merasa, bahwa ilmu silat jang digunakan pemuda itu tidak asing lagi baginja. Ia merasa, bahwa ia pernah melihat ilmu pedang jang sangat lihay itu. Selagi ia tjoba meng-ingat2, mendadak Hian Song bitjara pada budaknja .

   "Beng Tjoe, tjoba kau pisahkan mereka. Tanja dia, apa dia masih mempunjai sangkutan keluarga dengan Tiangsoen Koen Liang."

   Lie It tersadar.

   Sekarang ia ingat, bahwa kiam-hoat itu pernah diperlihatkan oleh Siangkoan Wan Djie.

   Wan Djie adalah murid Tiangsoen Koen Liang, sehingga pemuda itu memang mestinja mempunjai sangkut-paut dengan orang tua tersebut.

   Saat itu Ma Goan Thong tengah menjerang dengan pukulan In-liong-djip-hay (Naga-masuk-kelaut) jang sangat lihay, tapi dengan berani pemuda itu menjerang terus.

   Tiba2, karena kurang ber- hati2, pergelangan tangannja terlibat udjung tjambuk dan dengan girang, Ma Goan Thong tjoba membetotnja.

   Tapi dia bertenaga besar, dengan sekali mengempos semangat, ia memasang kuda2 dan kedua kakinja seperti djuga berakar ditanah.

   Tapi biarpun badannja tidak bergeming, pergelangan tangannja sakit bukan main, sehingga ia mengertak gigi untuk menahan sakit.

   Untuk sedjenak kedua belah pihak mengerahkan seluruh lweekang masing2 sambil saling membetot, dengan pemuda itu per-lahan2 turunkan pedangnja disepandjang badan tjambuk untuk memapas djeridji tangan Ma Goan Thong.

   Pada detik jang sangat genting, sambil tertawa njaring Beng Tjoe melompat.

   Hampir berbareng, pemudi jang datang ber-sama2 pemuda itupun melompat sambil mengajun pedang dan kedua wanita itu hinggap diatas bumi dengan berbareng.

   "Trang ...!", tjambuk Ma Goan Thong terbabat putus, tapi pedang pemudi itu lalu dipapaki pedang Beng Tjoe, jang dengan menggunakan ilmu "memindjam tenaga, memukul tenaga", telah berhasil mendorong lawannja, sehingga nona itu sempojongan. Sesudah berdiri tetap, ia mengawasi Beng Tjoe dan berkata dengan suara dingin .

   "Suruh madjikanmu keluar ".

   "Serdadu melawan serdadu, djenderal melawan djenderal ", kata Beng Tjoe sambil tertawa.

   "Djika kau bisa mengalahkan aku, barulah boleh berhadapan dengan Siotjiaku ".

   "Baiklah, kau madjulah ", kata pemudi itu.

   "Karena aku lebih tua daripadamu, aku mempersilahkan kau menjerang lebih dulu dalam tiga djurus ".

   "Tahan! Aku tidak pernah bertempur dengan manusia jang tidak ternama ", kata budaknja Hian Song.

   "Pernah apakah kau dengan Tiangsoen Koen Liang ". Pemudi itu meluap darahnja.

   "Kurang adjar !", bentaknja sambil menuding dengan pedang Tjeng-kong-kiam.

   "Berani sungguh kau me-njebut2 nama ajahku. Djika kau berani berlaku kurang adjar lagi, aku akan memberi hadjaran keras ". Kedua orang muda itu memang bukan lain daripada Tiangsoen Thay dan Tiangsoen Pek, putera dan puteri Tiangsoen Koen Liang. Mendengar Kok Sin Ong ingin mengadakan Eng-hiong Tay-hwee dipuntjak Kimteng, orang tua itu, jang bersahabat dengan Kok Sin Ong, tapi tidak pernah berhubungan lagi sesudah ia menjingkir ke daerah Kiamkok, segera memerintahkan putera dan puterinja menghadiri pertemuan itu, sebab ia sendiri belum sembuh betul dari lukanja. Apa mau, kakak-beradik itu datang terlambat dan Eng-hiongTay-hwee sudah keburu bubar. Ditengah djalan mereka bertemu dengan beberapa orang jang kabur dan jang memberitahukan mereka, bahwa Eng-hiong Tay-hwee telah diubrak-abrik oleh seorang wanita muda. Mereka kaget dan heran. Tapi sebagai anak kerbau jang tak takut harimau, mereka segera mengubar untuk mendjadjal tenaga dengan Boe Hian Song. Waktu tiba di Song-lioe-koan, dari pengurus sebuah penginapan, mereka mendapat tahu, bahwa dengan menggunakan kereta, Hian Song baru sadja lewat dikota ketjil itu. Mereka memastikan, bahwa wanita itu Hian Song adanja karena wanita, jang dilukiskan oleh si pengurus penginapan, sesuai dengan jang dilukiskan oleh orang2 jang kabur dari puntjak Kim-teng. Disamping itu, dari tjeritera si pengurus penginapan, mereka djuga menarik kesimpulan, bahwa pemuda jang rebah didalam kereta tidak lain daripada Lie It. Oleh karena itu, mereka segera membedal kuda untuk mengubar. Dengan semangat bergelora tudjuan mereka adalah untuk bertempur dengan Hian Song, tapi diluar dugaan, sebelum nona Boe muntjul, Tiangsoen Thay sudah disambut oleh seorang jang mengenakan pakaian petani, sedang Tiangsoen Pek dilajani oleh seorang budak tjilik jang lagaknja sombong. Sambil menahan napsu amarahnja, nona Tiangsoen berkata dengan suara dingin .

   "Madjulah !". Baiklah !", kata Beng Tjoe dan hampir berbareng sehelai sinar merah menjambar. Budaknja Hian Song menggunakan ikat pinggang jang terbuat daripada sutera merah sebagai sendjatanja.

   "Sungguh tjepat !", memudji Tiangsoen Pek sambil melompat kebelakang kurang-lebih tiga tombak djauhnja. Beng Tjoe menotol tanah dengan kakinja dan badannja lantas sadja melesat kedepan, sedang satu tangannja jang mentjekal pedang pendek membuat setengah lingkaran.

   "Tjres ...!", pedang itu membabat putus satu tjabang pohon, sedang Tiangsoen Pek, pada saat terakhir, berhasil menjelamatkan diri dari serangan jang luar biasa tjepat itu. Sesudah kedua serangannja dipunahkan, Beng Tjoe kaget dan kagum, dan dengan gembira, ia segera mengempos semangat untuk menjerang dengan pukulan simpanannja. Pukulan itu, jang menggunakan ikat- pinggang dan pedang pendek, berisi dua matjam tenaga, jaitu tenaga 'lembek' dan tenaga 'keras'. Melihat serangan hebat itu, Tiangsoen Pek mengelakkan sambaran ikat-pinggang lawan dengan gerakan Hong-hong-tiam-tauw (Burung-hong-manggut) dan hampir berbareng, dengan ketjepatan luar biasa, ia melompat kebelakang Beng Tjoe. Tapi budak Hian Song ini rupanja sudah menaksir bahwa lawannja bakal bergerak begitu. Bagaikan arus listrik tjepatnja, ia menarik pulang pedangnja dan lalu menjabet kebelakang.

   "Tring ...!", pantek konde Tiangsoen Pek jang menjerupai burung Hong, terbabat putus. Lie It mengeluarkan keringat dingin.

   "Dengan memandang mukaku, kuharap kau djangan melukakan mereka ", katanja dengan suara perlahan. Dilain detik ia ingat, bahwa Hian Song adalah musuh dan mengingat begitu, mukanja lantas sadja berubah merah. Dilain pihak, nona Boe seperti djuga tak dengar perkataan Lie lt. Ia terus memperhatikan djalan pertempuran itu tanpa berkesip. Tiba2 ia tertawa njaring.

   "Beng Tjoe, sekarang kau bertemu dengan tandingan ", katanja.

   "Ilmu silat si adik lebih tinggi daripada sang kakak ". Bukan main gusarnja Tiangsoen Pek. Sambil membentak, ia menjerang dengan pukulan Tit-tjie-thian-lam (Menuding-ke-selatan) dan pedang Tjeng-kong-kiam menjambar bagaikan keredepan kilat. Buru2 Tiangsoen Pek menangkis dengan djurus Hoen-ka-kim-liang (Memasang-penglari-emas) seraja berkata .

   "Terima kasih, bahwa kau sudah mengalah dalam tiga djurus. Aku kagum akan ilmu pedangmu ". Perkataan Beng Tjoe jang keluar dari hati sedjudjurnja, dianggap sebagai edjekan oleh nona Tiangsoen, jang tanpa mendjawab, segera mengirim serangan berantai jang saling susul. Tiangsoen Koen Liang, ajah si nona, adalah salah seorang diantara tiga ahli pedang kenamaan pada djaman itu. Dua jang lain jalah Kok Sin Ong dan Oet-tie Tjiong. Sebagai seorang jang sangat tjerdas, ketjuali kalah dalam tenaga, Tiangsoen Pek lebih unggul dalam ilmu mengentengkan badan dan kiam-hoat daripada kakaknja. Serangan2-nja berantai, jang dikirim dengan hati mendongkol, dahsjat luar biasa, sehingga Beng Tjoe terpaksa melompat mundur. Tapi nona Tiangsoen djuga tidak berani memandang enteng lagi lawannja dan sambil memusatkan perhatian, ia menjerang gadis ketjil itu. Sesudah bertempur beberapa djurus, tiba2 Beng Tjoe mengedut ikat- pinggangnja jang lantas sadja berubah lurus bagaikan pit dan menjambar seperti anak panah. Tapi, sebelum ikat pinggang itu mengenai lawan, mendadak ia menjentaknja, sehingga sendjata itu kembali berubah lemas dan digunakan seperti tjambuk. Buru2 Tiangsoen Pek melompat kesamping dengan gerakan Hoei-niauw-touw- lim (Burung-terbang-masuk-kehutan), sambil mengebas dengan lengan badjunja, sehingga ikat-pinggang itu terpental dan hampir berbareng, dengan pukulan Giok- lie-tjoan-tjiam (Dewi-menusukkan-benang-kedjarum), pedangnja menjambar djalandarah Hong-hoe-hiat dipundak Beng Tjoe. Tapi budak ketjil itu djuga liehay sekali. Dengan sekali memutar badan, bagaikan bianglala, ikat pinggangnja bisa menjampok udjung pedang lawan dan dengan membalik tangan, ia menjabet dengan pedangnja, dengan pukulan Sian-djin-hoan-eng (Dewa-menukar-bajangan). Melihat serangan hebat itu, Tiangsoen Thay terkesiap dan berseru.

   "Moay-moay, hati2 !"

   Tapi peringatan itu sebenarnja kurang perlu, karena, dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan jang sangat tinggi, si adik sudah menjelamatkan diri dengan melompat mundur, akan kemudian madju menjerang pula dengan tidak kurang sengitnja.

   Sementara itu, Lie It jang rebah didalam kereta sudah tidak dapat bersabar lagi, karena ia dengar suara bentrokan sendjata jang makin lama djadi makin hebat.

   Sambil menjingkap tirai, ia mengerahkan tenaga untuk tjoba bangun dan duduk.

   Hian Song tersenjum dan seraja menekan dada pemuda itu, ia berkata.

   "Empat hari lagi kau sudah boleh berdjalan. Perlu apa ter-gesa2 ?". Lie It mendongak dan melihat matahari berada di-tengah2 langit. Tiga kali setiap hari jaitu pagi, tengah-hari dengan sore si nona mengurutnja sambil mengerahkan lweekang untuk bantu menjembuhkan lukanja. Sekarang tiba temponja untuk pengobatan itu. Begitu tirai kereta terbuka, Tiangsoen Thay lantas sadja berteriak .

   "Thianhee djangan kuatir! Tiangsoen Thay sengadja datang untuk menolong ". Sambil berteriak, ia melompat dan menerdjang kedepan kereta. Dengan menjenderungkan separuh badannja, Boe Hian Song tersenjum seraja berkata . ,,Adjaklah adikmu madju ber-sama2. Beng Tjoe, kau bukan tandingan Tiangsoen Siotjia. Mundurlah !". Tapi sebelum budak itu mundur, Tiangsoen Pek sudah menjerang dengan pukulan Sin-liong-tiauw-wie (Naga-malaikat-menjabet-dengan- buntutnja), sehingga Beng Tjoe terpaksa mesti mundur beberapa tindak dan dengan menggunakan kesempatan itu, ia melompat menjusul kakaknja. Boe Hian Song tertawa manis.

   "Ilmu pedang ajahmu tersohor dikolong langit ", katanja.

   "Aku merasa girang sekali, bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan kalian. Hian-heng dan Hian-moay boleh mengeluarkan seantero kepandaian supaja aku bisa tambah pengalaman ". Setibanja didepan kereta, untuk sedjenak Tiangsoen Thay berdiri terpaku. Sedikitpun ia tidak njana, bahwa Boe Hian Song seorang gadis djelita jang masih begitu muda-belia. Tapi dilain saat, melihat sikap nona Boe jang terang2 sangat memandang enteng kepadanja, darahnja meluap.

   "Turun kau !", bentaknja.

   "Mari kita men-djadjal2 kepandaian !".

   "Karena ingin melindungi orang, aku tidak bisa turun ", djawabnja.

   "Hian-heng dan Hian-moay boleh madju sadja tanpa sungkan2

   ". Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Tiangsoen Pek melompat dan menikam dengan pedangnja, sedang Tiangsoen Thay tjoba mendjambret lengan nona Boe untuk diseret turun. Sambil tersenjum, Hian Song memapaki sendjata nona Tiangsoen dan begitu kedua sendjata itu kebentrok, Tiangsoen Pek terhujung beberapa tindak. Dilain pihak, sesudah menangkis sendjata lawan, hampir berbareng dan dengan ketjepatan kilat, dengan gagang pedang, Hian Song menutuk lengan Tiangsoen Thay jang separuh badannja lantas sadja kesemutan. Kakak-beradik itu kaget dan gusar. Sesudah menarik napas pandjang untuk memulihkan aliran darahnja, Tiangsoen Thay menjerang lagi sambil berteriak.

   "Sambutlah ...!". Dua batang pedang segera menjambar nona Boe seperti arus listrik tjepatnja. Dengan tenang Hian Song menjambut pedang Tiangsoen Thay jang lalu didorong kesamping, sehingga pedang Tiangsoen Pek jang tengah menjambar dengan dahsjatnja kebentrok dengan sendjata kakaknja.

   "Trang ...!"

   Kakak dan adik itu sempojongan beberapa tindak. Tiangsoen Pek mendeliki kakaknja dan berkata dengan suara perlahan.

   "Mengapa kau tidak menjerang dengan Kong-tjiak-kay-peng (Burung-merak-memhuka-tirai) ?". Suara itu jang sangat perlahan rupanja sudah didengar Hian Song jang lantas saja tertawa seraja berkata .

   "Hian-heng dan Hian-moay belum mengeluarkan ilmu jang paling tinggi. Madjulah lagi !". Dengan paras muka merah karena malu, Tiangsoen Thay segera mengangkat pula sendjatanja dan menjerang dengan Kong-tjiak-kay-peng, sedang si adikpun lantas sadja menikam dengan pukulan Tjay-hong-siok-ie (Burung- hong menjisir-bulu). Demikianlah, dalam gerakan burung merak dan burung hong jang sangat indah, kakak dan adik itu menerdjang dari kiri dan kanan.

   "Bagus ...!", memudji Hian Song seraja menangkis, sedang tangan kirinja tetap menekan djalan darah Soan-kie-hiat didada lie It sambil mengerahkan lweekangnja. Melihat pertempuran jang hebat itu, Lie It mendjadi bingung. Hian Song tersenjum seraja berkata dengan suara halus .

   "Kau djangan kuatir. Aku pasti akan memandang mukamu ". Lie It mengerti, bahwa kata2 itu merupakan djandji, bahwa si nona tidak akan mentjelakakan lawannja. Hatinja lega dan dadanja jang barusan agak menjesak, mendjadi lapang kembali. Dilain pihak, melihat sikap Hian Songterhadap Lie It, kedua saudara itu djadi heran bukan main.

   "Apakah Thianhee sudah djatuh dibawah pengaruh ketjantikan siluman itu ?", tanja mereka didalam hati. Ketjurigaan itu dan tjara2 nona Boe jang sangat tidak memandang mata kepada mereka, sudah membangkitkan rasa gusar tertjampur malu dan mereka lantas sadja menjerang dengan pukulan2 jang membinasakan. Tapi Hian Song tetap melajani dengan ketenangan luar biasa, sedang tangan kirinja terus menempel didada Lie It. Melihat ketjintaan Hian Song terhadap dirinja, mau tidak mau Lie It merasa sangat berterima kasih. Per-lahan2, sambil menikmati rasa hangat jang mengalir diseluruh tubuhnja sebagai akibat dari lweekang si nona, ia berada dalam keadaan setengah pulas dan tidak memperhatikan lagi pertempuran jang sedang berlangsung. Kira2 seminuman teh, ia tersadar dan merasa badannja njaman. Karena mendengar suara bentrokan sendjata jang sangat hebat, ia membuka kedua matanja dan melihat Tiangsoen Thay dan adiknja sedang menjerang bagaikan hudjan dan angin. Hian Song mengangkat tangannja dari dada Lie It dan berkata .

   "Pengobatan tengah-hari sudah selesai ". Ia berpaling kepada kedua lawannja dan berkata pula .

   "Ngo-bie Kiam-hoat benar2 liehay dan siauw-moay sudah mendapat banjak peladjaran. Sekarang kalian boleh mengaso dan kalau nanti berdjumpa dengan ajah kalian, tolong sampaikan hormatku kepada beliau. Kami hendak meneruskan perdjalanan dan tak dapat meladeni terus ". Sehabis berkata begitu, sambil mengempos lweekang, ia menjabet keatas dan "trang ...!", pedang Tiangsoen Thay terbabat putus. Paras muka pemuda itu lantas sadja berubah putjat, sedang adiknja, tanpa mengeluarkan sepatah kata, segera melompat keatas punggung kudanja jang kemudian dikaburkan se-keras2 nja. Tiangsoen Thay tertegun sedjenak, tapi lekas2 iapun melompat keatas punggung tunggangannja dan lalu menjusul adiknja. ---oo0oo--- LIE It bangun per-lahan2 dan lalu duduk menjender dibelakang kereta. Dengan perasaan jang sukar dilukiskan, ia mengawasi kedua saudara Tiangsoen itu jang semakin lama djadi semakin djauh. Dilain saat, ia ingat Tiangsoen Koen Liang, seorang menteri tua jang sangat setia kepada kakeknja, dan dari Tiangsoen Koen Liang, ia ingat pula Siangkoan Wan Djie. Ia menghela napas pandjang dan perasaannja sangat tertindih. Melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, Hian Song segera menjanjikan sebuah sadjak kuno, dengan perlahan . Mengapa tuan termenung, diliputi kedukaan ? Ada hal apa jang dibuat pikiran ? Apakah sedang memikirkan seorang gadis rupawan ? Djika benar, buatlah perahu untuk mengadakan pertemuan ". Mendengar njanjian madjikannja, si budak tjilik tertawa dan berkata .

   "Ma Toasiok, hajolah kita berangkat ". Lie It agak terkedjut. Ia merasa kagum akan kepintarannja kedua gadis itu, jang se-olah2 sudah dapat menebak djalan pikirannja. Kereta lantas sadja didjalankan per-lahan2. Lie It terus duduk termenung dan makin lama pikirannja djadi makin kusut. Rupa2 pikiran keluar-masuk dalam otaknja.

   "Mana khim-ku ?", tanjanja achirnja.

   "Djangan kuatir, khim dan pedang semua berada disini ", djawab Hian Song jang lalu menjerahkan tabuh2-an itu kepadanja. Sesudah mengakurkan tali2-nja, Lie It segera memetik tabuh2-an itu sambil menjanji.

   "Sesudah menanja rembulan, lalu menanja sang matahari, Mereka sebenarnja bersinar, tapi mengapa diliputi kegelapan ? Hati jang duka tak dapat ditjutji bersih, bagaikan pakaian kotor jang bertumpukan. Kurenungkan nasib sambil menekap dada, bagaimana kubisa mementang sajap terbang ke angkasa ". Njanjian diatas adalah petikan dari Sie-keng jang mengutarakan keluhan seorang gagah jang ber-angan2 tinggi, tapi tidak dapat bergerak karena ditindih oleh kawanan manusia rendah. Njanjian itu merupakan djawaban terhadap pertanjaan Hian Song dan ia mengumpamakan dirinja "sebagai seorang gagah jang tidak bisa terbang ke angkasa".

   "Apa hanja itu jang dipikiri olehmu ?", tanja nona Boe sambil tersenjum.

   "Kongtjoe, aku rasa masih ada lain hal jang belum diutarakan olehmu. Ajolah, aku ingin dengar pula njanjianmu ".Memang benar, pada saat itu, tanpa merasa, djari2 tangannja kembali memetik khim dan mulutnja menjanjikan lagu jang seperti berikut .

   "Kun kuning, badju hidjau. Hatiku menderita, tak dapat melupakannja. Sutera nan hidjau, kaulah jang mengerdjakannja. Kuingat mendiang kawanku, ingin memperbaiki banjak kesalahan ". Sjair itu adalah gubahan seorang penjair didjaman dulu, jang karena melihat pakaian isterinja, djadi ingat kepada isteri itu jang sudah tidak ada lagi didalam dunia. Dengan mengetahui, bahwa Siangkoan Wan Djie bermaksud untuk membunuh Boe Tjek Thian, sehingga dengan demikian nona itu menghadapi bahaja jang sangat besar, maka Lie It sangat berkuatir kalau2 ia tidak bisa bertemu muka lagi dengannja. Karena adanja kekuatiran dan kedukaan itu, maka suara khim dan njanjian Lie It sangat menjajat hati. Sesudah pemuda itu berhenti menjanji, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Hian Song lalu mengambil khim itu jang lalu dipetiknja sambil menjanji .

   "Harum dan busuk bertjampuran. Harum jang tulen selalu menondjol kedepan. Wanginja dapat diendus dari kedjauhan. Sesudah memenuhi ruangan didalam, merembes sampai diluaran. Barang baik selalu dapat mempertahankan diri. Suara merdu dapat didengar djauh sekali ". Dengan sjair Soe-bie-djin (Ingat wanita tjantik) itu, Hian Song ingin mengatakan bahwa seperti harum dan busuk jang bertjampuran, manusia utama dan manusia rendah sama2 bekerdja dalam suatu keradjaan. Tapi walaupun bertjampuran, manusia utama, seperti harum jang tulen, selalu bisa menondjol kedepan. Selandjutnja, ia mem-perumpama-kan Wan Djie sebagai "barang baik jang selalu dapat mempertahankan diri". Ia ingin mengundjuk, bahwa Boe Tjek Thian tentu bisa melihat ,barang baik' itu, sehingga Wan Djie pasti tidak akan diganggu selembar rambutnja. Mendengar njanjian itu, Lie It kaget tertjampur kagum. Biar bagaimanapun djua, ia sekarang harus mengakui kepintarannja nona itu. Ia mendongak dan apa mau, sorot matanja kebentrok, dengan sorot mata Hian Song, sehingga tjepat2 ia menunduk kembali dengan paras muka ke-malu2-an. Sesaat kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan.

   "Mengapa kau sudah menolong aku ?". Hian Song tertawa.

   "Aku menolong seorang pandai untuk kepentingan negara ", djawabnja.

   "Djuga supaja kau mempunjai kesempatan untuk mementang sajap dan terbang ke angkasa ".

   "Hal itu baru bisa kedjadian djika langit berubah ", kata Lie It dengan suara tawar. Dengan berkata begitu, terang2-an ia mengaku, bahwa sebelum Boe Tjek Thian dirubuhkan, ia tak akan bisa bergerak. Hian Song mengawasi dan berkata.

   "Hanja sajang kawanmu tidak berada disini. Hmm ...! Aku ingat seorang kawan, ingin memperbaiki banjak kesalahan ". Dengan mengutip sjair jang barusan dinjanjikan Lie It, si nona ingin mengatakan, bahwa djika Wan Djie berada disitu, ia tentu bisa memperbaiki kesalahan2 jang dibuat oleh pemuda itu. Lie it mendongkol.

   "Belum tentu Wan Djie berbuat seperti apa jang diduga olehmu ", pikirnja.

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tak mungkin ia melupakan sakit hati kakek dan ajahandanja. Andaikata benar ia berubah pikiran, aku sendiri sudah pasti tak akan membungkuk dihadapan Boe Tjek Thian ". Melihat perubahan paras muka pemuda itu, Hian Song bertanja.

   "Apakah aku menjinggung perasaanmu ?".

   "Terima kasih atas petundjukmu ", djawabnja dengan dingin.

   "Tapi aku bukan seorang kanak2. Aku pertjaja, bahwa aku masih dapat membedakan apa jang harum dan apa jang busuk ". Hian Song menghela napas.

   "Harap sadja benar begitu ", katanja. ---oo0oo--- WAKTU itu kereta sudah mulai masuk kedalam sebuah selat jang diapit oleh dua puntjak gunung. Wanginja bunga2 hutan dan njanjian burung2 jang se-olah2 menjambut mereka, menghibur hati Lie It jang sedang berduka.

   "Ma Toasiok, ada orang mendahului kita ", tiba2 terdengar suara Beng Tjoe.

   "Tjoba lihat tapak2 kaki kuda. Apakah mereka kedua bersaudara Tiangsoen ?". ---oo0oo--- MEMANG benar Tiangsoen Thay dan adiknja sudah berada digunung Khong-lay-sankarena setjara tidak di-duga2, mereka bertemu dengan seorang jang berkepandaian tinggi. Sebagaimana diketahui, sesudah pedangnja dipapas putus oleh Boe Hian Song, dengan gusar dan malu Tiangsoen Thay mengaburkan tunggangannja untuk menjusul si adik jang sudah lari lebih dulu. Sesudah membedal kuda beberapa lama, barulah ia dapat menjusulnja. Begitu bertemu Tiangsoen Pek jang merasa sangat penasaran karena kekalahan itu, lantas sadja menjesalkan kakaknja jang dikatakan kurang tjermat dalam perkelahian tadi.

   "Ja ...!, akupun merasa sangat tidak mengerti dan mungkin sekali, perempuan itu mempunjai ilmu siluman ", kata Tiangsoen Thay sambil meng-garuk2 kepala.

   "Serangan2 kita jang paling hebat selalu dapat dipunahkan dengan mudah sadja ".

   "Ilmu siluman apa ?", bentak si adik sambil mendjebi.

   "Sebab-musabab kekalahan kita jalah karena kau tidak bisa bekerdja sama denganku ".

   "Ja ...! bisa djadi karena kita kurang pengalaman ", kata sang kakak jang tidak berani membantah pendapat adiknja. Tiangsoen Pek tidak mengomel lagi, tapi ia mendjalankan kudanja sambil menunduk, seperti orang jang sedang mengasah otak. Sesudah beberapa djauh, ia menengok kepada kakaknja seraja berkata .

   "Aku sudah me-nimbang2 kiam-hoat perempuan siluman itu dan menurut pendapatku, djika kita bisa bekerdja sama dengan se-erat2-nja, kita masih dapat merubuhkannja. Mari kita berlatih dan besok kita tjoba mendjadjal lagi kepandainnja ". Tiangsoen Thay sebenarnja tidak begitu setudju, tapi ia sungkan bertengkar dan kedua saudara itu lantas sadja mulai serang-menjerang. Dalam pertandingan itu, sang kakak lebih kuat dalam hal tenaga, sedang si adik lebih unggul dalam kiam-hoat dan lebih gesit gerakan2-nja, sehingga pertempuran itu berlangsung seru sekali. Sesudah lewat belasan djurus, tiba2 Tiangsoen Thay membungkuk dan sesudah menotol tanah dengan udjung pedang, ia berbalik dan menjabet kebelakang. Sambil menangkis, si adik berkata .

   "In-kie-Boe-san (Awan- naik-digunung-Boe-san) tidak begitu tepat. Lihat pukulanku !". Ia menikam dan menjontek seraja membentak .

   "Lepaskan pedangmu !".

   "Trang ...!", Tiangsoen Thay terhujung kebelakang beberapa tindak, telapak tangannja sakit bukan main, tapi ia masih dapat mentjekel pedangnja. Melihat kegagalannja dalam usaha melepaskan sendjata kakaknja, si adik djadi malu dan paras mukanja berubah merah.

   "Pedangku tidak terlepas karena tenagaku lebih besar daripada tenagamu ", kata Tiangsoen Thay dengan suara membudjuk.

   "Bahwa dengan memindjam tenaga, kau sudah membuat aku sempojongan, merupakan bukti, bahwa ilmu pedangmu banjak lebih unggul dari pada aku. Djika tadi kita menjerang dengan menggunakan pukulan itu, mungkin sekali si memedi perempuan sudah dapat dirubuhkan ". Mendadak sadja terdengar suaranja seorang tua.

   "Hmmm ...! Enak sadja orang muda bitjara !, kekurangan Ngo-bie Kiam-hoat ternjata sampai sekarang masih belum diperbaiki ". Kedua saudara itu kaget tak kepalang, dengan serentak mereka melompat mundur dan mengawasi kedjurusan dari mana suara itu datang. Ternjata, dipinggir djalan sedang berdiri seorang tua jang tengah mengawasi mereka sambil tersenjum. Tiangsoen Thay djadi semakin kaget dan berkata dalam hatinja.

   "Ajah sering mengatakan, bahwa selagi bertempur, seorang ahli silat selalu harus berwaspada, harus memasang mata keempat pendjuru dan memasang kuping kedelapan djurusan, untuk mendjaga setiap serangan membokong. Tjara bagaimana dia bisa datang tanpa diketahui olehku ?". Ia mengerti, bahwa orang tua itu mempunjai kepandaian jang sangat tinggi, tapi perkataannja, jang mentjela Ngo-bie kiam-hoat, sudah membangkitkan kegusaran didalam hatinja.

   "Baiklah !", katanja sambil menahan napsu amarah.

   "Dengan mengundjuk kekurangan dalam Ngo-bie kiam-hoat kami, kau tentu mempunjai kepandaian tinggi. Sekarang aku ingin meminta pengadjaran untuk menjelidiki kekurangan itu. Moay-moay, berikan pedangmu kepadanja !". Orang itu meng-geleng2-kan kepala dan berkata.

   "Aku sudah bersumpah untuk tidak menggunakan pedang lagi. Tapi permintaanmu untuk mendapat petundjuk2 aku tidak dapat menolak ".

   "Baiklah ", kata Tiangsoen Thay sambil memasang kuda2. Tapi sebelum mereka bergebrak, Tiangsoen Pek sudah mendahului berkata dengan suara menghormat .

   "Lootjianpwee, bolehkah aku mendapat tahu siapa adanja kau ?". Si tua tersenjum.

   "Hajolah, kau berdua boleh bertanding pula dan djika ada bagian2 jang kurang tepat, aku akan memberi petundjuk ", katanja.

   "Dengan petundjukku itu, mungkin sekali kau akan bisa menebak siapa adanja aku ". Tiangsoen Thay djadi semakin mendongkol, tapi adiknja sudah lantas berkata.

   "Koko, marilah kita berlatih lagi. Awas! Sambut seranganku ". Melihat sambaran pedang, Tiangsoen Thay tidak dapat membantah dan mereka lalu bertanding pula. Sesudah lewat belasan djurus, orang itu masih belum bergerak, sehingga Tiangsoen Thay merasa sangat tidak sabaran. Tiba2 Tiangsoen Pek mendapat suatu ingatan dan ia menjerang dengan In-kie-Boe-san. Pada saat itu, se-konjong2 si tua tertawa ter-bahak2, tahu2 ia sudah menjelak diantara kedua saudara itu dan dengan sekali bergerak, kedua tangannja sudah berhasil merampas pedang kakak-beradik itu.

   "Aha ... ! Liap-in Kiam-hoat! Kalau begitu, Lootjianpwee adalah Kok Sin Ong Loo- pehpeh !", teriak Tiangsoen Pek. Liap-in Kiam-hoat adalah serupa ilmu pedang jang terkenal tjepat sekali gerakannja dan Liap-in Po-hoat (Tindakan Liap-in) jang barusan digunakan oleh orang tua itu, sudah segera dikenali si nona. Sedjenak kemudian, Tiangsoen Thay jang otaknja lebih tumpul, baru ingat perkataan ajahnja, jang pernah memberitahukan mereka, bahwa jang dapat mematikan Ngo-bie Kiam-hoat adalah Liap-in Kiam-hoat, dengan po-hoat-nja jang luar biasa tjepat, dimiliki oleh Kok Sin Ong. Buru2 ia merangkapkan kedua tangannja dan berkata sambil membungkuk .

   "Kok Lotjianpwee, mohon Lootjianpwee suka memberi maaf untuk kekurang-adjaranku ". Kok Sin Ong tertawa lebar.

   "Bagus ...! Bagus ...!", katanja.

   "Tak dapat mentjari sang ajah, bertemu dengan putera- puterinja ".

   "Apakah Loo-pehpeh pergi ke Kiamkok untuk mentjari ajah kami ?", tanja Tiangsoen Pek.

   "Benar ...", djawabnja.

   "Sebagaimana kau tahu, aku adalah sahabat karib ajahmu. Pada dua puluh lima tahun berselang, waktu kau berdua belum dilahirkan, diatas gunung Ngo-bie, kami pernah merundingkan ilmu pedang jang baru sadja digubah oleh ajahmu. In-kie-boe-san adalah pukulan luar biasa, jang hanja digunakan waktu sudah terdesak, untuk merebut kemenangan dalam kekalahan. Aku sendiri merasa sangat kagum, hanja sajang, dalam pukulan itu terdapat satu kelemahan. Karena digunakan pada detik berbahaja, maka sifat pukulan itu nekat2-an, jaitu menjerang tanpa memperdulikan bahaja, sehingga oleh karenanja, tidak terluput dari kelemahan. Waktu itu, aku sudah menundjuk kelemahannja kepada ajahmu. Ajahmu sendiri mengakui adanja kelemahan itu, tapi ia berpendapat, bahwa dengan diserang hebat dan mendadak, pihak lawan belum tentu bisa melihatnja. Belakangan, waktu bertemu dengan Oet-tie Tjiong, kami merundingkan pukulan tersebut dan telah mendapatkan suatu djalan untuk memunahkannja. Itulah sebabnja, mengapa barusan, dengan sekali bergerak sadja, aku sudah berhasil merampas pedangmu. Beberapa hari berselang, karena serupa urusan, aku pergi ke Soetjoan dan mendengar, bahwa ajahmu berada di Kiamkok, aku sudah lantas datang kesitu untuk menjambanginja. Hanja sajang, ajahmu katanja sudah pindah ketempat lain jang tidak diketahui orang ".

   "Benar, kami telah pindah ke kelenteng Hianhoa Hweeshio digunung Tjeng-shia-san, untuk menjingkir dari intjaran musuh ", menerangkan Tiangsoen Thay.

   "Menjingkikan diri dari musuh ? Siapa musuh itu ?", tanja Kok Sin Ong. Tiangsoen Pek lantas sadja mentjeriterakan pertempuran antara ajahnja dengan Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie, sehingga, karena kena ratjun, ilmu silat ajahnja telah mendjadi musnah.

   "Betul2 kurang adjar ", kata Kok Sin Ong.

   "Kedua memedi itu ternjata tidak bisa mengubah adat djahatnja. Untung djuga, mereka tidak datang dalam Eng-hiong Tay-hwee. Didengar dari keteranganmu, ajahmu harus berlatih lagi sedikitnja sepuluh tahun untuk memulihkan kepandaiannja. Tapi setjara kebetulan aku mempunjai seorang sahabat jang mungkin dapat memulihkan kepandaiannja dalam tempo jang lebih tjepat ". Sebelum kedua saudara itu keburu menanja, Kok Sin Ong sudah berkata pula.

   "Ada suatu hal jang tidak dimengerti olehku. Barusan sebelum bertanding, kau telah me-njebut2 musuh. Siapa adanja musuh itu ?". Kedua saudara itu sebenarnja sangat ingin minta bantuan Kok Sin Ong untuk menghadapi Hian Song. Tapi mengingat tjeritera orang jang mengatakan, bahwa Eng-hiong Tay-hwee telah diubrak-abrik oleh seorang wanita muda, mereka tidak berani lantas membuka mulut karena kuatir menjinggung orang tua itu, djika wanita tersebut Hian Song adanja. Sekarang, sesudah ditanja, mereka terpaksa menuturkan segala kedjadian dengan terus-terang. Kok Sin Ong menghela napas pandjang dan berkata dengan suara putus harapan .

   "Sudahlah ...! Segala urusan sudah mendjadi hantjur ". Sedjenak kemudian, ia bertanja dengan suara bingung .

   "Apa benar2 kalian lihat Lie It berada dalam tangannja ?".

   "Mengapa tidak benar ?", kata Tiangsoen Thay.

   "Aku malah dengar suara merintihnja Thianhee. Mungkin sekali ia telah mendapat luka berat dan tidak bisa bangun ".

   "Perempuan siluman itu pasti mau membawanja ke Tiang-an untuk mendapat pahala ", menjelak Tiangsoen Pek.

   "Kita harus berdaja untuk menolongnja ".

   "Siapa lagi jang berada dikereta itu ?", tanja Kok Sin Ong.

   "Seorang budak ketjil dan seorang lelaki jang mengenakan pakaian seperti petani ", djawab nona Tiangsoen. Kok Sin Ong berdiri bengong. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu jang sukar diutarakan. ,Kok Lootjianpwee ...", kata Tiangsoen Thay dengan tidak sabaran.

   "Adikku bisa mengalahkan budak itu, sedang aku sendiri dapat merubuhkan lelaki jang mendjadi kusir. Asal sadja Kok Lootjianpwee bisa melajani perempuan siluman itu kira2 seratusdjurus, kami bisa membantu sesudah merubuhkan kedua lawan kami. Dengan madju bertiga, kita boleh tak usah merasa takut ". Kok Sin Ong tertawa ter-bahak2.

   "Selama hidupku, aku telah malang-melintang dari selatan sampai ke utara dan dalam melawan musuh, belum pernah aku minta bantuan orang lain ", katanja dengan suara angkuh.

   "Perempuan itu memang lihay sekali dan didalam seribu djurus, belum tentu aku dapat merubuhkannja. Tapi sesudah seribu djurus, kurasa aku masih dapat menaklukkannja ".

   "Kalau begitu lebih baik lagi ", kata Tiangsoen Thay.

   "Mengapa Lootjianpwee masih kelihatan bersangsi ?". Kok Sin Ong menghela napas. ,Karena aku sudah berdjandji kepada seorang sahabat, bahwa aku tak akan menggunakan pedang lagi ", djawabnja dengan suara masgul. Sahabat jang dimaksudkan jalah Hoe Poet Gie. Hari itu, Hoe Poet Gie telah memantjingnja sampai di Tjian-hoed-teng dan mereka berdua lantas sadja mengadu ilmu pedang. Sesudah bertanding sehari semalam, Hoe Poet Gie mendapat kemenangan.

   "Bagaimana sekarang ?", tanja Hoe Poet Gie dangan suara mengedjek.

   "Diatas puntjak Kim- teng, kau tidak bisa mengalahkan seorang gadis muda-belia dan sekarang kau kembali kalah dalam tanganku ". Mendengar itu, Kok Sin Ong jang sudah dingin hatinja, lantas sadja mematahkan pedangnja sendiri dan bersumpah untuk tidak menggunakan lagi pedangnja selama hidupnja. Kedua saudara itu saling mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Mereka mengerti, bahwa seorang seperti Kok Sin Ong sudah pasti tak akan menarik pulang djandjinja sendiri. Sebelum mendengar keterangan orang tua itu, Tiangsoen Pek masih mempunjai harapan. Tapi sesudah mendengar pengakuan Kok Sin Ong, bahwa Hian Song haru dapat dirubuhkan sesudah lewat seribu djurus, harapannja musnah. Ia sekarang tahu, bahwa ia bukan tandingan nona Boe. Sesudah berpikir beberapa saat, kedua mata orang tua itu tiba2 bersinar terang dan ia berkata dengan suara girang .

   "Lie It keluar karena gara2-ku dan biar bagaimana djuga, tak dapat kita membiarkan ia djatuh kedalam tangan Boe Tjek Thian. Sudahlah ! Aku sendiri tidak bisa turun tangan, tapi aku bisa minta bantuan seorang sahabat. Mari, ikutlah aku !". ---oo0oo--- "LOO-pehpeh, siapa jang mau diminta bantuannja ?", tanja Tiangsoen Pek.

   "Apa keburu ?".

   "Kim-tjiam Kok-tjhioe (si-Tabib-djarum-emas) Heehouw Kian berada digunung Kiong-lay-san ini ", djawabnja. Kedua saudara itu kaget tertjampur girang. Mereka tahu, bahwa Heehouw Kian, ahli pengobatan dan ahli silat jang namanja sangat harum, adalah salah seorang sahabat dari ajah mereka sendiri. Tapi sebagai seorang jang sikapnja tawar terhadap segala keduniawian dan sungkan mengedjar nama atau kekajaan, Heehouw Kian selalu menjingkirkan diri dari dunia pergaulan dan tidak ketentuan tempat tinggalnja. Sudah dua puluh tahun, ia dan Tiangsoen Koen Liang tidak pernah berhubungan lagi satu sama lain. Pada waktu baru terluka, Tiangsoen Koen Liang pernah mengatakan kepada kedua anaknja, bahwa orang satu2-nja jang dapat menolong dirinja adalah Heehouw Kian jang tidak diketahui dimana tempat tinggalnja. Siapa njana, orang berilmu itu sekarang berada didepan mata!. Tak usah dikatakan lagi, kedua saudara itu girang tak kepalang, karena bukan sadja Lie It akan dapat ditolong, tapi ajah merekapun ada harapan dapat pulang ilmu silatnja jang sudah musnah dalam tempo tjepat. Mereka bertiga lantas sadja mulai mendaki gunung. Sesudah berdjalan beberapa djam sambil menikmati pemandangan alam jang sangat indah, djauh2, diatas sebidang tanah datar, mereka melihat beberapa buah rumah jang dikurung dengan tembok merah. Sesudah melewati dua baris pohon2 jang rindang daunnja, tibalah mereka didepan pintu pekarangan. Tanpa mengetuk lagi, Kok Sin Ong menolak pintu itu jang tidak terkuntji, lalu bertindak masuk, dengan diikuti oleh dua orang muda itu. Begitu masuk, hidung mereka mengendus harumnja ratusan bunga dan dalam sebuah kebun, mereka lihat seorang kakek jang berambut dan berdjenggot putih, sedang menjiram rumput2 obat dan pohon2 bunga, dengan dibantu oleh seorang katjung. Begitu melihat Kok Sin Ong, si kakek berseru dengan suara girang .

   "Hola, Loo-kok, urusan apa lagi jang dibawa olehmu ?".

   "Tiangsoen Sieheng sengadja datang kemari untuk mengundang tabib ", djawabnja sambil tertawa. Tiangsoen Thay dan adiknja buru2 menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu. Sesudah mengetahui, bahwa kedua orang muda itu adalah anak2 sahabatnja, si kakek jadi girang dan tertawa ter-bahak2.

   "Kalau begitu, Koen Liang-heng dan aku sama2 menjembunjikan diri dipropinsi Soetjoan ", katanja.

   "Djika kalian tidak datang kesini, sampai sekarang aku masih belum tahu. Ada apa sehingga kau perlu mengundang tabib ?". Tiangsoen Thay lantas sadja mentjeriterakan luka jangdiderita ajahnja. Sesudah mengadjukan beberapa pertanjaan, Heehouw Kian menghela napas dan berkata.

   "Kalau baru terluka, masih gampang diobati. Tapi sekarang agak sukar ".

   "Apa Loopeh tidak mempunjai daja ?", tanja Tiangsoen Pek dengan suara berkuatir.

   "Kalau baru terluka, dengan mengandalkan lweekang ajahmu, didalam tempo sepuluh hari, ia akan sembuh kembali ", djawabnja.

   "Tapi sekarang sedikitnja harus menggunakan tempo setahun ". Mendengar keterangan itu, Tiangsoen Thay dan adiknja djadi sangat girang, sebab, biar bagaimanapun djua, ajahnja bakal sembuh seperti sediakala.

   "Tiangsoen Koen Liang sebenarnja sudah meng-hitung2 untuk menggunakan tempo sepuluh tahun guna memulihkan ilmu silatnja ", kata Kok Sin Ong sambil tertawa.

   "Baiklah, dua hari lagi aku akan pergi ke Kiamkok guna menjambutnja ".

   "Bagus! Aku akan mempunjai seorang sahabat untuk mengawani aku ", kata Heehouw Kian dengan girang.

   "Sesudah satu beres, aku masih mempunjai lain urusan jang memerlukan bantuanmu ", kata pula Kok Sin Ong.

   "Apa itu ? Tjeriterakanlah ".

   "Aku ingin minta bantuanmu untuk menolong murid Oet-tie Tjiong ".

   "Murid Oet-tie Tjiong ? Dia kena penjakit apa ?".

   "Bukan sakit, tapi djatuh kedalam tangan musuh ". Sesudah berkata begitu, Kok Sin Ong segera menuturkan duduknja persoalan.

   "Mengapa kau tidak menolong sendiri ?", tanja Heehouw Kian. Kok Sin Ong menghela napas.

   "Aku sudah berdjandji kepada Thian-san Loo-hoe untuk tidak menggunakan sendjata lagi ", djawabnja dengan suara menjesal. Sahabat itu tertawa ter-bahak2.

   "Kau sungguh litjik !", katanja.

   "Kau sendiri sungkan bertanggung-djawab dan lalu mendorongnja kepadaku. Kau mengatakan, bahwa kau sudah mengundurkan diri dari dunia Kang-ouw, tapi sebagaimana kau tahu, aku sendiri sudah mundur semendjak dua puluh tahun berselang ". Kok Sin Ong djadi bingung.

   "Murid Oet-tie Tjiong itu bernama Lie It dan dia itu adalah tjutju kaisar Tong ", katanja dengan suara memohon.

   "Bagiku tak ada perbedaannja ", kata Heehouw Kian dengan suara tawar.

   "Aku tidak perduli apa negara ini dikuasai oleh seorang she Lie atau oleh seorang she Boe. Aku tidak perduli apa dia tjutju kaisar atau rakjat djelata. Aku tak mau tjampur segala hal jang bersangkut-paut dengan perkelahian. Loo-kok, biarpun sudah banjak umurmu kau masih sadja suka tjari urusan. Kudengar kau telah menghimpunkan apa jang dinamakan Eng-hiong Tay-hwee. Aku sebenarnja sangat tidak setudju. Dengan muntjulnja banjak eng-hiong, muntjul djuga banjak kekatjauan didalam dunia. Bagiku, tudjuanku jang satu2-nja jalah hidup tenteram dalam dunia ini ". Kok Sin Ong djadi makin bingung dan se-bisa2 ia tjoba membudjuk sahabatnja. Tiba2, diluar pekarangan terdengar suara kereta.

   "Tjelaka ! Tak bisa salah lagi Boe Hian Song sudah menguber sampai disini ", kata Tiangsoen Pek. Kok Sin Ong tertawa lebar.

   "Nah ! Kau tidak mau tjari urusan, tapi orang lain jang datang untuk tjari urusan denganmu ", katanja.

   "Sekarang aku mau lihat, bagaimana sikapmu ". Sehabis berkata begitu, ia menarik tangan tuan rumah dan mengadjaknja keluar. ---oo0oo--- DARI sebelah kedjauhan kelihatan mendatangi sebuah kereta keledai dan kusir jang duduk didepan sudah terlihat njata.

   "Benar sadja dia !", Tiangsoen Thay mengeluarkan seruan tertahan.

   "Heehouw-heng, bagaimana sekarang ?", tanja Kok Sin Ong.

   "Ja ! Apa boleh buat ", djawabnja sambil menghela napas.

   "Aku tidak dapat membiarkan Tiangsoen bie-heng dihinakan didepan rumahku ". Beberapa saat kemudian, kereta itu sudah tiba dan berhenti didepan pintu. Dengan ter-senjum2 seorang gadis djelita melompat turun dan nona itu memang bukan lain daripada Hian Song. Bagi Lie It, begitu kereta masuk diselat Kiong-lay-san, hatinja berdebaran dan diliputi dengan perasaan sangsi. Hian Song telah memberitahukannja, bahwa ia bakal diantar kepada seorang tabib jang bukan sadja akan dapat mengobati lukanja, tapi djuga dapat memulihkan ilmu silatnja jang sudah musnah. Siapa tabib itu ? Kalau benar perkataan si nona, maka tabib tersebut bukan sadja seorang ahli pengobatan, tapi djuga seorang ahli silat jang memiliki lweekang jang tinggi. Apa dia gurunja nona Boe ? Selagi ia me-nebak2, kereta berhenti dan Hian Song berkata sambil tersenjum.

   "Sudah tiba ! Kebetulan sungguh, kau akan bertemu dengan beberapa sahabat lama ". Lie It segera bangun dan duduk menjender dibelakang kereta, akan kemudian menjingkap tirai. Begitu melongok keluar, ia mengawasi orang2 jang menjambutnja dengan mata membelalak dan mulut ternganga, se-olah2 ia tidak pertjaja matanja sendiri. Orang jang menghampiri paling dulu adalah Kok Sin Ong, diikuti oleh dua orang muda jang tadi telah dipukul mundur oleh Boe Hian Song. Dibelakang mereka terdapat seorangkakek jang mukanja seperti sudah tidak asing lagi baginja. Dilain pihak, Heehouw Kian mengawasi Hian Song dengan rasa terkedjut. Dari Kok Sin Ong, ia telah mendengar peristiwa dalam Eng-hiong Tay-hwee. Apa bisa djadi seorang gadis jang begitu tjantik dan muda-belia telah merubuhkan djago2 kenamaan dalam perhimpunan itu ? Lain saat, nona Boe sudah menjodja seraja berkata .

   "Boanpwee Boe Hian Song memberi hormat kepada Heehouw Lootjianpwee ". Heehouw Kian djadi lebih kaget lagi.

   "Bagaimana ia bisa mengenal aku ?", tanjanja didalam hati. Walaupun memiliki kepandaian tinggi, sudah puluhan tahun orang tua itu tidak pernah muntjul dalam dunia Kang-ouw dan namanja hanja dikenal oleh beberapa orang jang djumlahnja sangat terbatas. Bagaimana seorang wanita jang usianja belum tjukup dua puluh tahun bisa mengenalnja ?.

   "Apakah kau sengadja datang kesini hanja untuk menemui aku ?", tanja Heehouw Kian.

   "Kalau tak ada urusan penting, boanpwee tentu tidak berani mengganggu ketenteraman Lootjianpwee ", djawabnja.

   "Sebagai seorang jang bergelar Kim-tjiam Kok-tjhioe, Lootjianpwee tentu sudah bisa menebak maksud kedatangan kami ". Sekali lagi si kakek terkesiap. Meskipun ia sering menolong djiwa manusia dengan kepandaian pengobatannja, tapi ia hampir tidak pernah memperkenalkan diri kepada orang2 jang ditolongnja. Gelaran Kim- tjiam Kok-tjhioe telah diberikan oleh beberapa orang sahabatnja. Heran sungguh si nona bisa mengetahuinja.

   "Kau ingin minta pertolonganku untuk mengobati orang ?", tanja Hehouw Kian.

   "Benar ...", djawabnja.

   "Seorang sahabat kena Swee-koet- tjhie-piauw dari Ok-heng-tjia dan Touw-hiat-sin-tjiam dari Tok-sian-lie. Didalam dunia, ketjuali Lootjianpwee, tak ada lain orang jang dapat menjembuhkannja ". Djawaban itu diluar dugaan semua orang. Kedua saudara Tiangsoen semula menduga, bahwa kedatangan Hian Song adalah untuk menguber mereka, sedang Kok Sin Ong menaksir nona Boe mau membawa Lie It ke Tiang-an untuk diserahkan kepada Boe Tjek Thian.

   "Tapi bagaimana Lie It bisa dilukakan oleh kedua memedi itu ?", tanjanja didalam hati.

   "Bukankah mereka datang atas undangan Pwee Yam ?". Tapi jang paling besar rasa herannja adalah Lie It sendiri. Disepandjang djalan, ia telah menarik kesimpulan, bahwa Hian Song bakal membawanja ke Tiang-an untuk mendapat pahala. Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa nona itu akan menjerahkannja kepada Heehouw Kian untuk diobati. Ia tahu, bahwa kakek itu adalah salah seorang sahabat gurunja. Walaupun belum pernah bertemu muka, sang guru sering sekali mentjeriterakan kepandaian dan roman Heehouw Kian, sehingga tidaklah heran, waktu baru melihat kakek itu, ia seperti djuga sudah mengenalnja.

   "Beng Tjoe ", demikian terdengar suara Hian Song.

   "turunkan Lie Kontjoe ". Ia menengok kepada Lie It dan berkata pula sambil tersenjum .

   "Sekarang aku menjerahkan kau kepada Heehouw Lootjianpwee dan kau boleh tak usah kuatir apapun djua ". Lie It merasa sangat berterima kasih lagi malu. Ia sangat menjesal, bahwa disepandjang djalan ia sudah menganggap Hian Song sebagai manusia rendah jang ingin menarik keuntungan guna diri sendiri. Ia mengawasi si nona dengan perasaan jang sukar dilukiskan dan dalam djengahnja, ia tak dapat mengeluarkan sepatah katapun.

   "Tahan !", tiba2 si kakek berkata dengan suara tawar.

   "Meskipun aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, tapi aku tak pernah memasang merek sebagai tabib. Aku merdeka untuk menerima atau menolak orang jang minta pertolongan ". Hian Song tertawa.

   "Lain orang kau boleh tolak, tapi orang ini tak akan dapat ditolak olehmu ", katanja.

   "Djika kau menolak, sahabatmu tentu akan mendjadi gusar. Kok Loo-bengtjoe, sungguh untung kaupun berada disini, sehingga aku boleh tak usah memberi keterangan pandjang lebar ", Kok Sin Ong djadi bingung, karena ia belum bisa menebak maksud perkataan Heehouw Kian. Sebelum ia keburu membuka mulut, si kakek sudah berkata pula .

   "Nona, bukankah kau jang ingin minta pertolonganku ?".

   "Benar ", djawabnja.

   "Kalau begitu, aku hanja berurusan denganmu ", katanja pula.

   "Sekarang djawablah lebih dulu pertanjaanku . Siapa gurumu ?". Pertanjaan itu adalah pertanjaan jang dikandung oleh semua orang jang lantas sadja memasang kuping sambil mengawasi muka si nona. Hian Song tidak lantas mendjawab, tapi lebih dulu menjapu semua orang dengan matanja jang sangat tadjam. Sesudah itu, ia tersenjum seraja berkata dengan suara perlahan .

   "Heehouw Sianseng adalah seorang berilmu tinggi telah menjingkirkan diri dari dunia pergaulan. Apakah Lootjianpwee tidak berbeda dengan tabib2 rendah jang hanja mau menolong orang jang berpengaruh atau ber- uang ?". Untuk sedjenak Heehouw Kian tidak dapat meluarkan sepatah kata. Sesaat kemudian, sambil mengurut djenggotnja, ia berkata .

   "Aku tak pernah mengobati orang dengan tjuma2. Kau tahu ?".

   "Seorang tabib menerima uang untuk pengobatannja, adalah kedjadian lumrah ", kata si nona.

   "Lootjianpwee boleh menjebutkan sadja berapa djumlah jang diinginkan ". Si kakek tersenjum.

   "Akutidak memerlukan uang ", katanja.

   "Tapi akupun tidak dapat menjimpang dari kebiasaan. Setiap kali mengobati orang, aku selalu menerima, dan hadiah itu harus lebih dulu disetudjui olehku . Hadiah apakah jang dipunjai olehmu ?". Si nona membungkuk sambil merangkap kedua tangannja.

   "Lootjianpwee adalah seorang, berilmu jang telah menjingkir dari pergaulan umum, sehingga aku tidak berani mempersembahkan hadiah jang biasa. Aku ingin mempersembahkan bunga untuk memperlihatkan rasa hormat dan terima kasih ". Sehabis berkata begitu, ia membuka ikat pinggangnja dan dengan sekali mengedut, ikat-pinggang itu menjambar satu pohon bunga. Hampir berbareng puluhan kuntum bunga "tergunting"

   Putus.

   Sekali lagi ia menjentak ikat pinggangnja dan daun2 bunga jang memenuhi udara menjambar kearah Heehouw Kian.

   Kedua saudara Tiangsoen mengawasi pertundjukan itu dengan mulut ternganga.

   Sekarang baru mereka mengakui, bahwa lweekang Hian Song banjak lebih tinggi daripada mereka.

   Kok Sin Ong dan Lie It jang bermata tadjam lantas sadja melihat, bahwa daun2 bunga itu merupakan sebaris huruf tjodjie (huruf rumput) jang berbunji.

   "Poet-ko-swee, poet-ko-swee" (Tak dapat diberitahukan, tak dapat diberitahukan). Selagi semua orang mengawasi dengan hati ber-debar2, tiba2 Heehouw Kian membentak keras seraja mengebas dengan kedua lengan djubahnja. Dikebas begitu, daun2 bunga itu serentak terbang balik kearah nona Boe dan huruf2 itupun berubah. Sekarang Tiangsoen Thay dan adiknja djuga bisa melihat enam huruf tjodjie jang berbunji .

   "Djie-tjie-ho ?, djie-tjie-ho ?" (Sebab apa ?, sebab apa ?). Kok Sin Ong jang sedari tadi tjoba memetjahkan maksud huruf2 itu, mendadak tarsadar. Sekarang ia tahu, bahwa perkataan "poet- ko-swee, poet-ko-swee,"

   Merupakan djawaban terhadap pertanjaan Heehouw Kian mengenai nama gurunja.

   Tapi mengapa si nona menolak untuk memberitahukan siapa gurunja? Itulah teka-teki jang hanja dapat didjawab oleh Hian Song sendiri.

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Beberapa saat kemudian, daun2 bunga djatuh ditanah sesudah me-lajang2 ditengah udara.

   "Aku suka menerima si sakit, kau boleh pulang ", kata Heehouw Kian dengan suara perlahan. Sesudah berdiam sedjenak, ia berkata pula .

   "Tolong sampaikan hormatku kepada gurumu. Hmmm ... djika kau tak mau, djuga tak apa ". Hian Song segera mengangkat Lie It dari kereta dan mendukungnja untuk diserahkan kepada Heehouw Kian. Si kakek menggapai Tiangsoen Thay jang lantas sadja menjambuti si sakit dan menggendongnja. Sesaat itu, Lie It menengok kearah Hian Song dan matanja kebentrok dengan sinar mata si nona. Baru sadja Tiangsoen Thay berdjalan beberapa tindak, mendadak terdengar suara tindakan Hian Song jang mengubar dari belakang. Lie It menengok dan melihat si nona mendatangi dengan membawa khim dan pedangnja.

   "Aku hampir lupa ", kata Hian Song dengan tertawa sedih.

   "Khim dan pedangmu ketinggalan di kereta ". Pemuda itu ingin mengutjapkan terima kasih, tapi mulutnja terkantjing. Achirnja, sambil mengawasi si nona dengan sorot mata jang sukar dilukiskan, ia mengangguk beberapa kali. Tiangsoen Pek buru2 menghampiri dan menjambut tabuh2-an dan sendjata itu dengan mata mendelik, tapi Hian Song sendiri menjerahkannja dengan tenang, se-olah2 ia tak lihat sikap bermusuhan itu. Beberapa saat kemudian, kereta berlalu. Hati Lie It mentjelos, ia merasa seperti djuga baru tersadar dari impian sedap, ia merasa se-akan2 kehilangan sesuatu dan alangkah beruntungnja, djika impian itu dapat disambung pula. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinja . ,Apakah aku masih bisa bertemu lagi dengannja ?". Perginja Hian Song diawasi oleh semua orang dengan perasaan heran. Tak ada jang menghaturkan terima kasih kepadanja. Selang beberapa saat barulah Kok Sin Ong berkata dengan suara perlahan .

   "Wanita itu sungguh aneh. Aku tak pernah menduga, bahwa ia akan menjerahkan Lie Kongtjoe kepada kita ". ---oo0oo--- SEMENTARA itu, Tiangsoen Thay sudah membawa Lie It masuk kedalam rumah Heehouw Kian dan menaruhnja dalam sebuah kamar jang bersih. Semua orang berdiri disekitar pembaringan untuk menjaksikan pengobatan jang akan diberikan oleh si kakek. Sambil meramkan kedua matanja, Heehouw Kian menempelkan tiga djari tangannja pada nadi pemuda itu. Selang beberapa saat, ia bertanja dengan suara heran.

   "Lagi kapan kau kena sendjata beratjun itu ?".

   "Sudah tudjuh hari ", djawab Lie It.

   "Apakah terlambat ?", menjelak Tiangsoen Pek dengan suara berkuatir.

   "Bukan,"

   Djawab si kakak.

   "Aku merasa heran, karena hawanja mengalir dengan leluasa didalam tubuhnja, sehingga, biarpun tidak diobati olehku, djiwanja sudah tertolong, hanja ilmu silatnja tak bisa pulih kembali ". Kok Sin Ong djuga merasa heran. Ia mengenal baik isi lweekang pemuda itu dan ia tahu,bahwa tanpa bantuan, Lie It tak akan mampu menjembuhkan dirinja sendiri.

   "Mungkin sekali karena aku telah dibantu oleh Boe Hian Song ", katanja dengan suara tawar. Ia tjoba mengambil sikap atjuh tak atjuh, tapi didalam hati, ia merasa berterima kasih bukan main terhadap nona jang tjantik itu. Dilain saat, Heehouw Kian sudah menantjapkan djarum emas didjalan darah Kian-keng-hiat, Thian-kie-hiat dan Hong-hoe-hiat.

   "Dengan tiga djarum emas ini aku akan mengeluarkan sisa ratjun jang masih mengeram dalam tubuhmu ", katanja.

   "Dalam tempo kira2 setengah bulan, kau bukan sadja akan sembuh, tapi djuga akan dapat pulang semua kepandaianmu ".

   "Apa aku boleh bitjara dengannja?", tanja Kok Sin Ong.

   "Tak halangan, karena bahaja sudah lewat ", djawab si kakek. Sesudah mengawasi pemuda itu, Kok Sin Ong berkata dengan suara perlahan.

   "Lie Hiantit, aku sungguh merasa sangat malu terhadapmu ".

   "Loopeh tak usah mengatakan begitu ", kata Lie It.

   "Urusan didalam dunia ber-ubah2 dan tak ada manusia jang dapat menduga lebih dulu, apa jang akan terdjadi ". Ia mendjawab begitu, karena menganggap bahwa orang tua itu merasa malu sebab kegagalan Eng-hiong Tay-hwee. Tapi apa jang dimaksudkan Kok Sin Ong sebenarnja bukan begitu. Sesudah, bengong sedjenak. orang tua itu bertanja pula .

   "Tjara bagaimana kau sampai dilukakan oleh kedua memedi itu ?". Lie It lantas sadja menuturkan segala kedjadian pada hari itu. Kok Sin Ong kelihatan berduka sekali dan ia berkata dengan suara parau .

   "Aku tahu, bahwa sifat2 djahat dari kedua memedi itu sukar dapat diubah. Hanja aku tak njana, mereka berani mentjelakakan Thaytjoe dan kemudian melukakan kau. Malam itu, waktu kita berada di Pa-tjioe, aku tidak memberitahukan kau tentang kedatangan mereka, sebab ... sebab ...

   ".

   "Aku mengerti maksud Loopeh ", memotong Lie It.

   "Mungkin sekali Loopeh menganggap, bahwa paling banjak mereka akan mentjulik Thaytjoe dan tak akan berani turunkan tangan djahat terhadap putera kaisar itu. Pwee Yam Taydjin djuga bisa djadi hanja memikir sampai disitu. Ia ingin menggunakan nama Thaytjoe untuk merubuhkan Boe Tjek Thian. Aku mengerti, bahwa sebab-musabab mengapa Loopeh sudah tidak memberitahukan hal itu kepadaku, jalah karena Loopeh kuatir aku tidak setudju dan djadi kebentrok dengan kedua memedi itu ". Tapi se-benar2-nja, dibinasakannja Thaytjoe Lie Hian adalah atas perintah Pwee Yam. Sampai waktu itu, Kok Sin Ong dan Lie It sama- sekali tidak menduga, bahwa Pwee Yam begitu busuk. Kok Sin Ong menghela napas ber-ulang2.

   "Tapi biar bagaimanapun djua, dari sini kita dapat melihat, bahwa Pwee Yam bukan seorang baik ", katanja dengan suara berduka.

   "Djika dibandingkan setjara djudjur, merekalah jang lebih bersih daripada Pwee Yam ". Dengan "mereka", orang tua itu maksudkan Boe Tjek Thian dan Boe Hian Song. Lie It pun turut berduka. Untuk beberapa saat, mereka tidak ber-kata2.

   "Tapi aku tetap berpendapat, bahwa Boe Tjek Thian adalah dorna pentjuri negara ", katanja.

   "Memang tidak dapat disangkal, dia telah melakukan beberapa perbuatan baik. Akan tetapi, itu semua adalah untuk mendapat nama, untuk kepentingan diri sendiri, supaja rakjat menakluk terhadapnja. Mengenai Boe Hian Song, akupun berpendapat, bahwa dia seorang baik, seorang pendekar wanita ". Mendengar pudjian pemuda itu terhadap Hian Song, orang jang merasa tersinggung adalah Tiangsoen Pek. Tapi ia tidak mengatakan suatu apa, karena ia baru sadja mengenal pemuda itu.

   "Masih untung sepak-terdjang Gouw-kok-kong Tjie Keng dapat dipertanggung-djawabkan ", kata pula Lie It.

   "Makin tua aku djadi makin tolol ", kata Kok Sin Ong.

   "Terang2-an aku mengakui, bahwa sekarang aku sudah tak tahu apa jang benar dan apa jang salah. Beruntung sekali aku sudah bersumpah untuk tidak menggunakan lagi pedang, sehingga aku boleh tak usah memperdulikan lagi, apa jang benar atau apa jang salah. Aku dan Sie-heng masih tetap bersahabat, tapi soal negeri tak dapat aku mentjampuri lagi. Harap Sie-heng bisa mengerti dan suka memaafkannja ". Lie It kaget. Ia tak njana Kok Sin Ong sudah djadi begitu tawar terhadap urusan dunia.

   "Aku dengar, pada waktu Eng-hiong Tay-hwee hampir bubar, seorang wanita kena dipukul oleh Hiong Kie Teng ", kata Tiangsoen Thay.

   "Didengar dari lukisan wadjahnja, wanita itu seperti djuga Soemoayku ".

   "Benar, ia memang Siangkoan Wan Djie ", kata Lie It. Mendengar djawaban itu, Tiangsoen Thay djadi girang.

   "Apakah Thianhee mengenal ia ?", tanjanja pula.

   "Semendjak ia berusia enam tudjuh tahun, kami sudah saling mengenal ", djawab Lie It. Sehabis berkata begitu, didepan matanja kembali terbajang saat2 kapan ia berada ber-sama2 nona itu. Akan tetapi, bajangan Boe Hian Song tetap tidak menjingkir dari alam pikirannja. Tiangsoen Thay jang tidak setjerdas adiknja, tidak memperhatikan perubahan pada paras muka Lie It. Ia madju setindak dan bertanja pula .

   "Habis bagaimana ?".

   "Dalam keadaan kalut, ia telah menghilang ", djawabnja. Tiangsoen Thay kaget dan ketjewa.

   "Apakah Thianhee tidak pernah menerima warta lagitentang ia ?", tanjanja pula dengan suara berkuatir.

   "Aku dengar ia pergi untuk membunuh Boe Tjek Thian ", djawab Lie It dengan suara perlahan. Tiangsoen Thay terkesiap, paras mukanja lantas sadja berubah putjat.

   "Benarkah ?", ia menegas.

   "Orang jang membawa warta itu adalah seorang sahabat jang boleh dipertjaja ", menerangkan Lie It.

   "Sahabat itu mengatakan, bahwa kita tak usah terlalu berkuatir karena ia pertjaja Wan Djie tidak akan mendapat bahaja apapun djua ".

   "Benar, Wan Djie sangat ber-hati2 dan ia tentu akan bertindak dengan mengimbangi selatan ", kata Tiangsoen Pek. Lie It sengadja tidak mau memberitahukan terang2- an, bahwa orang jang membawai warta adalah Boe Hian Song. Sesudah berdiam sedjenak ia berkata lagi .

   "Sahabat itu menduga, bahwa Wan Djie akan menakluk kepada Boe Tjek Thian. Djika benar dugaan itu, bagiku Wan Djie seperti sudah meninggal dunia. Kalau benar ia menekuk lutut kepada musuh, perbuatannja sama mendukakannja seperti djuga ia terbinasa didalam tangan musuh !". Tiangsoen Thay tidak mengatakan suatu apa lagi, ia hanja menunduk sambil menghela napas.

   "Lie Hiantit ", kata Kok Sin Ong.

   "kau belum sembuh dan tak boleh kau terlalu banjak menggunakan tenaga. Mengasolah. Segala urusan bisa dibitjarakan belakangan. Heehouw-heng, aku akan berangkat sekarang djuga untuk menjambut Tiangsoen Koen Liang ".

   "Moay-moay, kau berdiam disini untuk bantu merawat Thianhee ", kata Tiangsoen Thay.

   "Aku sendiri akan mengikut Kok Pehpeh guna menjambut ajah ".

   "Sekalian djalan, kau harus dengar2 halnja Wan Djie ", kata si adik seraja mengangguk. Mulai hari itu Lie It diobati oleh Heehouw Kian dengan tusukan djarum emas dan dirawat oleh Tiangsoen Pek dengan teliti. Sesudah berselang setengah bulan, ia bukan sadja sudah bisa bergerak dengan leluasa, tapi sebagian besar ilmu silatnja pun sudah pulih kembali. Hari itu, seorang diri ia duduk termenung dalam kamarnja. Dengan perasaan duka, pikirannja melajang ketempat djauh. Ia ingat Hian Song jang gagah dan kemudian ingat Wan Djie jang lemah- lembut. Ia melongok keluar djendela dan melihat daun2 kuning jang berhamburan diselebar pekarangan, karena waktu itu sudah masuk permulaan musim rontok. Sesudah termenung beberapa saat, mulutnja ber-kemik2, menghafal sjair jang dulu diberikan oleh Wan Djie kepadanja .

   "Di telaga Tong-teng, daun2 baru rontok ditiup angin, Kuingat ia jang terpisah djauh berlaksa Ii, Kabut tebal, memakai selimut, masih terasa dingin, Bulan dojong, dibelakang sekosol tiada bajangannja lagi. Kuingin menabuh lagu dari Kanglam, Kuingin membatja sjair Hopak utara, Kitab sjair bebas dari maksud lain jang mendalam, Ku hanja bersadih karena sudah lama berpisah ". Ia menghela napas dan kemudian berkata dengan suara perlahan.

   "Ja. Aku hanja bersedih karena sudah lama berpisah. Apa benar kau memikirkan aku sampai begitu rupa? Aih ! ...". Ia mengambil khim, mengakurkan tali2-nja dan kemudian memetik lagu "kun kuning, badju hidjau". Mendadak, diantara suara tabuh2-an jang menjajat hati, terdengar teriakan njaring.

   "Merdu ... Sungguh merdu suara khim itu ...!". Ia menengok dan melihat si nona tengah mengawasinja dengan alis berkerut, seperti djuga ada sesuatu jang kurang enak.

   "Apa ada warta djelek ?", tanjanja dengan hati berdebar. Selama belasan hari itu, biarpun masih sakit, Lie It sangat ingin tahu hasilnja gerakan Tjie Keng. Maka itu, untuk menghiburnja, setiap hari Tiangsoen Pek menjamar sebagai lelaki dan pergi ke warung teh atau warung arak untuk men-dengar2 warta atau desas-desus jang tersiar di-tempat2 itu.

   "Tak ada warta djelek ", djawabnja.

   "Aku hanja mendengar sebuah lelutjon atau teka-teki jang tidak dapat dipetjahkan olehku dan aku ingin meminta petundjuk Thian-hee ".

   "Apakah itu ?", tanja Lie It sambil tersenjum.

   "Kau begitu pintar, tak mungkin ada sesuatu jang tidak dapat ditembus olehmu ".

   "Kalau mau bitjara tentang kepintaran, Wan Djie Moay-moay barulah seorang pintar ", kata si nona seraja tertawa.

   "Djika di rendengkan dengannja, sedikitpun aku tidak nempil ".

   "Pek-moay, kalau kau terus bitjara begitu sungkan, aku tak akan berani bitjara dengan kau lagi ", kata Lie It.

   "Ja, sudahlah !", kata si nona.

   "Barusan, mendadak aku ingat sebuah teka-teki jang agak sulit dan djika kau tidak mentertawai, aku akan memberitahukannja kepadamu ".

   "Bagus! Katakanlah ", kata Lie It.

   "Tadi aku telah mendengar sebuah lelutjon jang menjerupai teka-teki ", kata si-nona.

   "Seorang badjak telah mendapat hukuman mati. Algodjo jang mendjalankan hukuman mati mempunjai kepandaian tinggi dan dengan sekali menjabet dengan goloknja, kepala badjak itu djatuh ditanah. Mendadak kepala itu berkata . Bagus ! Bagus sekali sebetan golokmu itu ! Sekarang, pertanjaannja adalah begini . Apakah orang jang mendapat hukuman mati itu, manusia pintar atau manusia tolol?". Lie It tertegun, tapi sesaat kemudian, ia mendjawab sambil tertawa .

   "Tolol ! manusia tolol ! Tapi aku tak pertjaja, bahwa dalam dunia ada manusia jang setolol dia, sesudah dibinasakan, dia masih memudji jang membinasakannja ".

   "Tapi aku berpendapat lain ", kata nona Tiangsoen.

   "Aku merasa, didalam dunia memang terdapat banjak manusia jang sama tololnja seperti dia. Perbedaannja jalah, tidak semua orang dibinasakan dengan golok ". Tiba2 ia menutup mulutnja dengan tangan dan berkata pula sesudah tertawa ketjil .

   "Ada jang dibinasakan dengan omongan manis, ada jang dibinasakan dengan tjinta palsu, dan tjelakanja, sesudah mati, orang jang mendjadi korban masih tak dapat melupakan ,si algodjo' ". Sebagai seorang jang otaknja tjerdas, Lie It lantas sadja mengerti maksud nona Tiangsoen.

   "Biarpun ia menjindir aku, tapi sindirannja bukan tidak beralasan ", katanja didalam hati.

   "Biar bagaimanapun djua, Boe Hian Song adalah seorang musuh atau sedikitnja berdiri dipihak musuh. Pek-moay sungguh pintar. Dengan mendengar suara khim, ia lantas bisa menebak apa jang dipikir olehku ". Sesudah dapat menenteramkan hatinja jang bergontjang keras, ia berkata dengan suara perlahan.

   "Pek-moay, terima kasih atas petundjukmu. Kau ternjata banjak lebih pintar daripada aku, Hmmm ... apakah hari ini tidak ada lain warta ?".

   "Jang djelek tak ada, tapi ada jang luar biasa ", djawabnja.

   "Apa ?".

   "Menurut katanja beberapa orang jang sedang minum teh, Boe Tjek Than ingin membuka udjian untuk kaum wanita ".

   "Itu tidak luar biasa. Boe Tjek Thian seorang wanita, sehingga dapatlah dimengerti, djika ia ingin memilih beberapa wanita pintar untuk didjadikan pembesar negeri ".

   "Tapi dalam pada itu terselip sesuatu jang luar biasa. Menurut katanja orang, firman pengumuman mengenai udjian itu ditulis oleh Siangkoan Wan Djie. Lebih dari itu, orang mengatakan bahwa Wan Djie telah mendjadi pembesar wanita tingkat keempat ! Itulah benar2 warta luar biasa ". Lie It terkesiap dan buru2 menanjakan pula .

   "Apa benar mereka mengatakan begitu ".

   "Orang jang bitjara, jang duduk dimedja dekat medjaku, adalah dua orang Sioetjay ", menerangkan Tiangsoen Pek.

   "Mereka baru sadja kembali dari Tiang-an dan apa jang mereka bitjarakan sebagian besar mengenai Wan Djie. Boe Tjek Thian katanja, telah mengangkat Wan Djie mendjadi pembesar tingkat keempat jang ditugaskan untuk mengurus surat2 resmi. Selandjutnja mereka mengatakan, bahwa Boe Tjek Thian telah mengadakan perdjamuan didalam istana untuk kehormatan Wan Djie dan mengundang djuga para sastrawan untuk menggubah sjair. Katanja, dalam tempo sepasangan hio, Wan Djie telah merampungkan sepuluh sjair jang sangat bagus, sehingga semua sastrawan telah dikalahkan. Sesudah itu, barulah Boe Tjek Thian memberitahukan, bahwa Wan Dje adalah tjutju Siangkoan Gie, sehingga semua orang djadi kaget bukan main. Kedjadian itu terdjadi pada bulan jang lalu dan nama Wan Djie katanja sudah menggetarkan seluruh kota Tiang-an dan rakjat sudah mengetahui bahwa didalam istana terdapat seorang Tjay-lie (wanita pintar). Menurut kata kedua Sioetjay itu, banjak pembesar pendjilat telah menulis surat untuk memberi selamat kepada Boe Tjek Thian dan banjak orang me-mudji2 keberanian kaisar itu jang sudah menggunakan puteri dari musuhnja ". Paras muka Lie It lantas sadja berubah putjat. Biarpun ia pernah mendengar dugaan Hian Song, sedikitpun ia tidak pertjaja, bahwa Wan Djie jang mempunjai sakit hati begitu besar, bisa menekuk lutut dan rela mendjadi pembantu dari kaisar Boe Tjek Than. Ia bengong seperti patung dan keringat dingin mengutjur dari dahinja.

   "Thianhee, mengapa kau ?", tanja nona Tiangsoen dengan perasaan kuatir. Ia tidak mendjawab dan tetap bengong.

   "Thianhee, akupun tidak pertjaja tjeritera itu ", kata Tiangsoen Pek dengan suara membudjuk.

   "Nanti sesudah kau sembuh, kita boleh pergi ke Tiang-an untuk menjelidiki terlebih landjut. Apa kau setudju ?".

   "Aku lebih suka tidak tjoba memetjahkan teka-teki ini ", djawab Lie It dengan suara parau.

   "Sebab, andaikata benar, bagaimana ? Bagaimana andai kata tjerita itu benar ?". Melihat kedukaan pemuda itu, Tiangsoen Pek turut berduka, kedua matanja merah, hampir2 ia mengutjurkan air mata.

   "Wan Djie dan aku adalah seperti saudara sendiri ", katanja dengan suara perlahan.

   "Kalau benar, biar bagaimanapun djua, aku akan membudjuk supaja ia meninggalkan musuh besar itu ".

   "Kalau tidak berhasil?", tanja Lie It.

   "Kalau tidak berhasil, aku akan anggap ia sudah mati ", djawabnja.

   "Thianhee, aku merasakan apa jang dirasakan olehmu. Kedukaanku tidak lebih enteng dari pada kedukaanmu. Tapi kau seorang turunan kaisar dan djuga seorang gagah, sehingga kau harus bersikap sesuai dengan sikapnja laki2 sedjati. Dunia ini sangat lebar. Apakah dalam dunia ini tidak terdapat lain orang jang seperti Wan Djie ?". Lie It terkedjut. Ia menengok dan apa mau, sorot matanja kebentrok dengan sorot mata nona Tiangsoen, jang, karena malu, lantas sadja menundukkan kepalanja. Hati pemuda itu bergontjang. Apakah,disamping Wan Djie dan Hian Song, ia bakal menerbitkan lagi salah mengerti dalam lubuk hatinja Tiangsoen Pek ?. ---oo0oo--- MENDADAK sadja, kesunjian dipetjahkan oleh bentakan orang .

   "Siapa kau ? Hei ! Mau apa kau ?". Dengan serentak Lie It dan Tiangsoen Pek melongok keluar djendela. Seorang Toosoe sedang mendatangi kearah kamar mereka dan dibelakang imam itu mengubar dua katjungnja Heehouw Kian jang ber-teriak2 dengan penuh kegusaran. Toosoe itu, jang berusia kira2 lima puluh tahun, mengenakan djubah pertapaan warna hidjau dan dengan djenggotnja jang bertjabang tiga, ia kelihatannja bukan sembarang orang. Sementara itu, tanpa memperdulikan bentakan orang, Toosoe itu madju terus sambil mengebas pohon bunga dan pohon obat jang menghadang didepannja.

   "Thianhee, lihat !", tiba2 Tiangsoen Pek berteriak sambil menuding Toosoe itu. Lie It djuga sudah melihat, bahwa setiap pohon jang tersentuh tangan si imam lantas sadja mendjadi laju !. Hatinja mentjelos, karena ilmu itu bukan main hebatnja. Tanpa meladeni teriakan orang, dia madju terus.

   "Hai ! Kalau kau tidak berhenti, kami akan tidak sungkan2 lagi !", teriak pula salah seorang katjung. Tapi si imam tetap tidak menggubris. Seorang katjung segera mematahkan setjabang pohon dan dengan sekali mengajun tangan, tudjuh potong tjabang menjambar kearah djalan darah imam itu.

   "Bagus !", memudji Lie It. Tapi di lain detik, Lie It terkesiap, sebab, begitu menjentuh pakaian si Toosoe, potongan2 tjabang itu djatuh meluruk ditanah.

   "Itulah Tjiam-ie Sip-pat- tiat !", ia mengeluh. Ilmu Tjiam-ie Sip-pat-tiat (Merubuhkan musuh jang menjentuh pakaian) adalah salah satu matjam ilmu silat jang paling tinggi. Untuk memiliki ilmu itu seseorang harus mempunjai lweekang jang sangat kuat, sehingga setiap bagian tubuhnja dapat memukul musuh dengan menggunakan ilmu "memindjam tenaga, memukul tenaga". Itulah sebabnja mengapa, seorang musuh bisa lantas rubuh begitu lekas ia menjentuh pakaian orang jang memiliki ilmu tersebut dan tudjuh potong tjabang pohon itu telah dipukul djatuh dengan Tjiam-ie Sip-pat- tiat. Melihat kawannja gagal, katjung jang satunja lagi lantas sadja mendjemput sebuah batu besar, jang beratnja kira2 seratus kati, dan sesudah mengerahkan tenaganja, ia menimpuk. Imam itu tertawa besar.

   "Bagus ! Aku boleh tak usah menghantam pintu !". Seraja berkata begitu, ia menjambut batu itu dengan dua djeridjinja dan kemudian mendorongnja kearah pintu. Dengan satu suara gedubrakan, pintu kamar itu hantjur. Sambil menarik tangan Tiangsoen Pek dan mengambil pedang, Lie It mundur kepodjok kamar. Dilain saat, si imam sudah menerobos masuk dan mengawasi kedua orang muda itu dengan mata jang bersorot ungu. Mendadak, seraja menuding Lie It, ia berkata .

   "Heran ! Sungguh heran ! Kau kena Swee-koet-tjhie-piauw dan Touw-hiat-sin-tjiam dari kedua muridku tjara bagaimana kau masih bisa hidup sampai sekarang !". Lie It terkesiap, sekarang baru mereka tahu, bahwa Toosoe itu adalah guru Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie. Sesudah menenteramkan hatinja, sambil membungkuk Lie It bertanja .

   "Bolehkah aku mendapat tahu, untuk apa Lootjianpwee datang kemari ?".

   "Aku sengadja datang untuk melihat kepandaian Heehouw Kian dalam menggunakan djarum emas ", djawabnja dengan suara menjeramkan.

   "Eh, buka badjumu !".

   "Yauw-to (imam siluman) !", bentak Lie It dengan gusar.

   "Kau sungguh kurang adjar. Djika kau ingin menjaksikan ilmu mengusir ratjun dengan djarum emas, kau harus menemui Kim-tjiam Kok-tjhioe sendiri ". Sebaliknja daripada gusar, dia tertawa ter-bahak2.

   "Tentu sadja aku akan menemui Heehouw Kian ", katanja.

   "Tapi aku seorang jang tidak sabaran. Sekarang lebih dulu aku ingin lihat, tjara bagaimana kau masih bisa hidup sampai sekarang. Kalau kau tidak menurut, akulah jang akan membuka badjumu ". Darah Lie it meluap. Sambil melompat, ia mengajun pedangnja dan menikam djalan darah Sin-teng-hiat, dipergelangan tangan Toosoe itu. Si imam tersenjum dan dengan sekali menggeser kaki, ia sudah menjelamatkan diri dari tikaman jang hebat itu. Hati Lie It mentjelos, ia sekarang sudah berhadapan dengan imam itu dan tidak bisa lari lagi. Tanpa memikir lagi, dengan pukulan Giok-lie-touw-so (Dewi menenun), ia menikam tenggorokan orang. Ia menganggap, bahwa dengan tikaman itu, biarpun tidak bisa melukakan, ia sedikitnja akan dapat mengundurkan musuh. Tapi diluar dugaan, toosoe aneh itu tidak bergerak. Tiba2 ia mengangkat tangannja dan tjoba mendorong udjung pedang dengan dua djeridjinja. Lie It kaget dan berkata dalam hatinja .

   "Biarpun dia berkepandaian tinggi, tapi sebagai manusia jang terdiri dari darah-daging, tak dapat ia menahan pedang mustika-ku. Walaupun dia kurang adjar, aku tidak boleh sembarangan membunuh orang ". Selagiia bersangsi, mendadak terdengar suara "tring"

   Dan pedangnja disentil, akan kemudian didjepit oleh kedua djeridji imam itu.

   Hampir berbareng ia merasakan telapak tangannja kesemutan dan sendjatanja sudah pindah ketangan musuh.

   Si imam tertawa dengan sikap sombong dan sesudah melontarkan pedang itu ke lantai, ia berkata .

   "Hmmm ... Kalau begitu kau murid Oet-tie Tjiong. Ilmu pedangmu boleh djuga, tapi kau tak akan bisa berbuat banjak dihadapanku ". Seraja berkata begitu, ia mendesak. Buru2 Lie It mengerahkan seluruh lweekangnja dan mendorong dengan menggunakan pukulan Im-yang-tjiang. Tapi sebelum tangannja menjentuh djubah musuh, terdengar suara "bret", dan badjunja dibagian dada, sudah mendjadi robek. Si Toosoe mengawasi dada pemuda itu.

   "Benar2 heran ", katanja.

   "Heehouw Kian sudah berhasil menjembuhkan kau ! Tapi aku ingin menjaksikan sendiri kepandaiannja. Sekarang aku akan memukul kau dan aku mau melihat, apakah ia masih mampu mengobati ". Lie It gusar bukan main. Tanpa memperdulikan bahaja, ia menghantam dengan kedua tangannja. Sambil tersenjum si toosoe mengebutkan lengan djubah kiri jang sudah lantas menggulung kedua tangan pemuda itu sehingga tidak dapat bergerak lagi. Dilain saat, Toosoe itu mengangkat telapak tangan kanannja jang berwarna hitam dan per-lahan2 menurunkannja kedada Lie It. Lie It tidak berdaja lagi. Ia meramkan kedua matanja untuk menerima kebinasaan. Tiba2, pada detik jang sangat berbahaja, kesunjian dalam kamar itu dipetjahkan oleh teriakan jang menjajat hati .

   "Tahan !". Satu bajangan berkelebat, seorang wanita memeluk Lie It dan memasang punggungnja untuk menerima pukulan. Wanita itu bukan lain daripada Tiangsoen Pek. Si imam kaget dan menahan turunnja tangan.

   "Minggir ...!", bentaknja.

   "Apakah kau mau tjari mampus ?". Si nona tetap memeluk pemuda itu.

   "Toosoe bau ! Biar mampus aku tak akan minggir !", teriaknja. Sesaat itu si imam mengendus bau wangi. Se-konjong2 ia menjeringai.

   "Benar ", katanja.

   "Aku Toosoe bau, kau nona wangi. Aku sungguh tak tega turun- tangan terhadap wanita jang setjantik kau ". Untuk sedjenak ia bersangsi. Ia sudah mengerahkan hawa beratjun dikedua tangannja, sehingga, siapapun jang tersentuh akan segera binasa. Tiba2 ia mentjabut tusuk kondenja untuk menotok djalanan darah Tiangsoen Pek dan sesudah nona itu rubuh, barulah ia akan menghantam Lie It. Tapi, sebelum maksudnja tertjapai, sehelai sinar perak menjambar dan "tring !", tusuk konde itu terpukul miring. Si imam tertawa ter- bahak2.

   "Ha ... ha ... ha ...! Heehouw Lauwtee !", serunja.

   "Achirnja kau keluar djuga ".

   "Hidung kerbau !", bentak Heehouw Kian.

   "Sebagai tetua sebuah tjabang persilatan, apakah kau tak malu melakukan perbuatan serendah itu ?".

   "Ah ....! Mengapa begitu membuka mulut, kau lantas mentjatji orang ?", kata si imam.

   "Bukankah kesajanganku terhadap nona jang tjantik ini, sama sadja seperti kesajanganmu terhadap pohon bunga atau pohon obat ? Mengapa kau mentjatji aku sebagai manusia rendah ?".

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sebagai seorang tua kau telah menghina seorang muda ", kata Heehouw Kian.

   "Apakah itu bukan perbuatan rendah ?".

   "Tidak, aku tidak bermaksud untuk menghina orang ", membantah si Toosoe. Aku hanja ingin men- tjoba2 kepandaianmu dalam menggunakan djarum emas ".

   "Apa maksudmu ? Aku tak mengerti ".

   "Aku selamanja menganggap, bahwa ratjunku tidak dapat dipunahkan oleh siapapun djua dalam dunia. Tapi diluar dugaan, kau sudah berhasil memunahkannja. Mungkin sekali hal itu disebabkan karena lweekang kedua muridku masih belum tjukup tinggi atau ratjunnja tidak tjukup hebat. Maka itu, aku ingin menghadjar dia lagi. Djika didalam tiga bulan kau dapat menjembuhkannja lagi, barulah aku merasa takluk ". Heehouw Kian mengerutkan alisnja.

   "Gila kau !", bentaknja.

   "Mana boleh kau main2 dengan djiwa manusia ? Apakah kau tidak tahu, bahwa membinasakan manusia adalah perbuatan jang berdosa terhadap langit ?". Si imam kembali tertawa ter-bahak2.

   "Kau sungguh mulia ", katanja dengan suara menjindir.

   "Apakah aku berdosa ? Menurut pendapatku, tindakanku adalah untuk kepentingan kita berdua. Aku menggunakan dia untuk mendjadjal Tok-tjiang (pukulan beratjun). Kalau kau berhasil menjembuhkannja, maka kita bisa menarik kesimpulan, bahwa ilmu pengobatanmu sudah sempurna. Djika kau gagal, dapatlah dikatakan, bahwa didalam Rimba Persilatan telah muntjul suatu ilmu jang istimewa. Maka itu, pertjobaanku ini akan banjak faedahnja untuk ilmu silat. Mengenai djiwa manusia, kurasa tak perlu kau menghiraukan djiwa hanja satu manusia demi kepentingan Rimba Persilatan ". Dengan mendongkol Heehouw Kian mengawasi Toosoe aneh itu jang djalan pikirannja berbeda dengan manusia biasa. Sudah tiga puluh tahun ia mengenal imam itu jang bergelar Thian-ok Toodjin, djago terutama dalam kalangan ilmu silat jang menjeleweng. Puluhan tahun, Thian- ok selalu menganggap, bahwa pukulan Tok-tjiang dan sendjata beratjunnja tiada keduanja didalam dunia dan tidak akan dapat dipunahkan oleh siapapun djua.Sebagai tetua, djarang sekali ia muntjul didalam kalangan Kang-ouw. Kali ini ia menjateroni rumah Heehouw Kian karena ia dengar, bahwa orang berilmu itu sudah berhasil menjembuhkan Lie It jang dilukakan oleh kedua muridnja. Sebagai "biang ratjun", ia merasa sangat penasaran kalau benar ratjunnja dipunahkan orang. Heehouw Kian mengerti, bahwa terhadap manusia aneh itu, tak guna ia bertengkar.

   "Ilmu manusia ini agaknja hebat sekali ", pikirnja.

   "Dia masih tetap sama gagahnja seperti tiga puluh tahun berselang, waktu aku pertama bertemu dengannja ". Ia mengawasi kedua tangan si imam jang berwarna hitam dan meskipun ia dikenal sebagai Kim-tjiam Kok-tjhioe, tak urung ia merasa kaget.

   "Heehouw Lauwtee, apakah kau membawa djarum emas ?", tanja si imam.

   "Aku akan segera turun tangan ". Seraja berkata begitu, ia bergerak untuk menubruk Lie It. Heehouw Kian melompat dan menghadang didepannja.

   "Tahan !", katanja.

   "Aku mau bitjara dulu ".

   "Apa kau mau membudjuk aku ?", tanja Thian-ok.

   "Djika benar, tak guna kau menggojang lidah ".

   "Bukan, aku bukan mau membudjuk kau ", djawabnja.

   "Akupun ingin sekali menjaksikan kelihayan Tok-tjiangmu. Aku hanja ingin mengundjuk, bahwa Lie Kongtjoe belum sembuh dari lukanja, sehingga, andai-kata kau berhasil membinasakannja, tak dapat kau mengatakan, bahwa pukulanmu itu tiada bandingannja didalam dunia ". Si imam berdiam sedjenak.

   "Benar djuga kau ", katanja.

   "Tapi siapa jang boleh didjadjal olehku ?". Heehouw Kian tersenjum.

   "Aku bukan seorang pandai, tapi biarlah aku sadja jang tjoba menjambut pukulanmu ", djawabnja.

   "Apakah kau setudju ?". Mendengar itu, Lie It terkedjut dan sambil melompat madju ia berseru .

   "Tidak boleh ! Heehouw Loopeh, kau tidak boleh madju sendiri. Biarlah aku sadja jang mendjadjal kepandaiannja. Djika aku terluka, Loopeh masih bisa mengobati. Tapi djika Loopeh jang terluka, didalam dunia tidak ada lain Kim-tjiam kok-tjhioe ".

   "Botjah ! Djangan rewel !", bentak Thian-ok.

   "Sekarang aku tak sudi turunkan tangan atas tubuh botjah sematjam kau ". Seraja berkata begitu, ia mengebas dengan tangan djubahnja dan Lie It lantas sadja terpental dan djatuh di pembaringan. Ia menengok kearah Heehouw Kian dan berkata pula .

   "Benar, memang kau jang berhak untuk menerima pukulanku. Sebagai seorang berilmu, kau sangat tjotjok untuk mendjadi sasaran Tok-tjiang ". Ia segera mengangkat tangannja untuk memukul.

   "Tunggu dulu ", kata Heehouw Kian.

   "Bagaimana djika aku berhasil menerima pukulanmu ?".

   "Bagaimana ?", menegas Thian-ok.

   "Kalau aku berhasil, apakah kau bersedia untuk berdjandji, bahwa kau tidak akan menggunakan lagi Tok-tjiang terhadap orang lain ?".

   "Aku tidak begitu tolol ! Kalau kau berhasil, kau hanja membuktikan, bahwa ilmuku belum sempurna. Aku akan berlatih lagi dan sesudah sempurna, aku akan datang kembali untuk mendjadjal pula ".

   "Dan selama kau berlatih ?".

   "Selama aku berlatih, aku tentu tak akan menggunakan Tok-tjiang terhadap siapapun djua ". Heehouw Kian mengerutkan alisnja dan berpikir sedjenak. Ia merasa, bahwa meskipun tidak dapat melarangnja untuk se-lama2-nja, sedikitnja ia bisa membatasi penggunaan Tok- tjiang selama beberapa tahun. Maka itu, ia lantas sadja berkata .

   "Baiklah, kau boleh segera turun tangan ". Thian-ok Toodjin lantas sadja meng-gosok2 kedua telapak tangannja jang segera mengeluarkan warna hitam. Lie It dan Tiangsoen Pek mengawasi dengan djantung berdebar keras. Untuk beberapa saat, mereka berdiri tegak sambil mendjalankan pernapasan.

   "Bagaimana ?", tanja Thian-ok sesudah djalan pernapasannja pulih kembali. Heehouw Kian tersenjum. ,Terima kasih, untung djuga tulang2 tuaku masih dapat menahan pukulanmu ", djawabnja.

   "Dan bagaimana dengan kau sendiri ?". Mendengar suara si kakek, barulah Lie It dan nona Tiangsoen bisa bernapas lega. Dilain pihak, Thian-ok mengawasi Heehouw Kian dengan perasaan heran. Bahwa si kakek dapat menerima tenaga pukulannja, berarti bahwa tenaga lweekangnja sudah mentjapai puntjak jang paling tinggi. Tapi hal jang sangat mengherankannja, jalah kemampuan Heehouw Kian untuk menahan ratjun Tok-tjiang. Ia mengawasi beberapa lama dan mendapat kenjataan, bahwa paras muka kakek itu sedikitpun tidak berubah. Ia sungguh tidak pertjaja, bahwa ratjunnja tidak mempan pada tubuh Heehouw Kian. Sementara itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Heehouw Kian sendiri terus mengerahkan seluruh lweekangnja untuk menolak ratjun jang masuk kedalam badannja. Se-konjong2 Thian-ok tertawa ter-bahak2.

   "Heehouw Lauwtee, kau sungguh lihay ", katanja.

   "Tapi aku masih belum mengaku kalah ".

   "Bukankah aku sudah menjambut pukulanmu ?", tanja Heehouw Kian.

   "Aku tidak pertjaja kau tidak mendapat luka didalam ", kata si imam.

   "Mungkin sekali kau hanja dapat mempertahankan diri untuk sementara waktu. Aku akan berdiam terus disini guna melihat kesudahannja ". Lie It dan Tiangsoen Pek terkedjut. Dari perkataannja itu, Thian-ok ternjata masih belum puas dan mau bertanding pula.

   "Aku tidak mempunjai tempo untuk menemani kau ", kata Heehouw Kian dengansuara mendongkol.

   "Katakan sadja . Tjara bagaimana baru kau pertjaja ".

   "Mari kita berkelahi dengan menggunakan ilmu silat ", djawabnja.

   "Djika kau mampu melajani aku dalam seratus djurus, aku akan segera berlalu ". Si kakek tertawa dingin.

   "Berkelahi adalah kebiasaan orang di-pasar2

   ", katanja dengan sikap angkuh.

   "Kalau mau mengukur kepandaian, tak perlu menggunakan tjara itu ". Mendengar nada suara si kakek, Lie It djadi berkuatir, karena nada itu mengandung perasaan djeri. Untung djuga Thian-ok tidak mendapat kesan seperti Lie It. Ia menganggap, bahwa perkataan si kakek ada benarnja djuga, karena sebagai pentolan2 dalam Rimba Persilatan, suatu perkelahian biasa memang agak menurunkan deradjat. Sesudah memikir sedjenak, ia berkata .

   "Tjara apa jang mau diusulkan olehmu ? Baiklah, kau boleh mengadjukan usulmu ". Heehouw Kian segera mengambil seutas tambang jang tergantung di pembaringan Lie it dan sambil melontarkannja, ia berkata .

   "Sambutlah ...". Thian-ok menjambuti udjung tambang itu.

   "Tjara bagaimana kita harus mendjadjal kepandaian ?", tanjanja.

   "Akupun tidak pertjaja kau tidak mendapat luka didalam ", djawabnja.

   "Dengan perantaraan tambang ini, aku akan mendengar ketukan nadimu. Sebagai seorang pandai, kurasa kau djuga mengerti ilmu ini ".

   "Bagus !", kata Thian-ok.

   "Aku mengerti maksudmu. Dengan tambang ini, kita bukan sadja bisa saling mendengar ketukan nadi, tapi djuga bisa mendjadjal lweekang. Aku setudju !". Pembitjaraan kedua orang itu mengingatkan Tiangsoen Pek akan tjeritera ajahnja. Sang ajah pernah menuturkan, tjara bagaimana tabib istana memeriksa penjakit permaisuri atau selir kaisar. Tabib itu tidak menjentuh nadi si-njonja, tapi hanja memegang udjung tali sutera jang di-ikatkan ke pergelangan tangan si sakit. Dengan pertolongan tali itu, si- tabib jang berdiri diluar tirai, dapat memeriksa penjakit itu. Pertandingan jang bakal dilakukan oleh Heehouw Kian dan Thian-ok Toodjin djuga rupanja seperti itu. Dilain saat Heehouw Kian dan Thian-ok sudah bersila dengan membelakangi tembok sambil menarik tambang itu jang mendjadi tegang-lurus. Mereka meramkan mata dengan tubuh tidak bergerak, se-olah2 sedang bersemedhi. Sesudah selang kira2 setengah djam, tambang itu tergetar dengan perlahan dan djenggot Heehouw Kian djuga ber-gojang2 tak hentinja. Tiangsoen Pek mengawasi pertandingan itu dengan hati ber-debar2 sebab ia merasa, bahwa Heehouw Kian mulai djatuh dibawah angin. Lewat beberapa saat, getaran tambang itu menghebat, sedang djubah pertapaan Thian-ok mulai ber-gerak2. Lie It tahu, bahwa pertarungan lweekang itu mendekati puntjaknja. Sesaat itu, si imam sedang ter-girang2, karena detak nadi Heehouw Kian makin lama djadi makin lemah dan achirnja hilang sama-sekali. Menurut pantas, orang jang nadinja tidak mengetuk lagi, sudah putus djiwanja. Tapi heran sungguh, lweekang si kakek masih terus menjerang dengan perantaraan tambang itu, sehingga Thian-ok djadi kaget bukan main. Dalam pertandingan antara djago dan djago, pantangan jang terutama adalah perasaan kaget, karena hal itu memetjah pemusatan semangat. Maka itulah, dalam sekedjap, keadaan berubah dan Heehouw Kian sudah berada diatas angin. Buru2 Thian-ok mengempos semangatnja untuk mempertahankan diri dari serangan si kakek jang me-njambar2 bagaikan gelombang. Sekarang tambang me-lompat2 dan keringat membasahi pakaian kedua orang tua itu. Tiba2, tambang itu bertambah tegang, seperti tali busur dan "tesss ...!"

   Putus.

   "Bagus ! Aku takluk akan kepandaianmu !", kata Thian-ok sambil bangun berdiri.

   "Kau bukan sadja sudah bisa menerima Tok-tjiang, tapi djuga masih dapat mempertahankan diri dari serangan lweekangku. Aku mengaku kalah !". Ia melemparkan potongan tambang itu dilantai dam segera berdjalan keluar. Heehouw Kian sendiri masih tetap bersila dan mengatur djalan pernapasannja. ---oo0oo--- "IH ...! Mengapa berbau amis ?", kata Tiangsoen Pek. Mendadak diluar terdengar suara tindakan, sehingga Lie It jang kuatir musuh datang lagi, lantas sadja menghunus pedang. Tapi jang datang adalah kedua katjungnja Heehouw Kian, jang satu mambawa anglo (perapian), sedang jang lain memegang botol. Di anglo itu dibakarlah sesuatu jang menjiarkan bau sangat harum. Selang beberapa saat barulah Heehouw Kian membuka kedua matanja.

   


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Pendekar Binal -- Khu Lung Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung

Cari Blog Ini