Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh 6


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 6



Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Sungguh berbahaja ! Sungguh berbahaja ...!", katanja. Ia lalu mengeluarkan sebatang djarum emas jang lalu digunakan untuk menusuk djeridji tengah tangan kirinja dan dari lubang tusukan itu lantas sadja mengalir keluar darah hitam jang lalu dimasukkan kedalam botol jang di bawa oleh si katjung. Sekarang Lie It baru tahu, bahwa ditembok terpeta warna hitam dalam bentuk punggung Heehouw Kian dan bau amis keluar dari hawaberatjun itu. Sesudah menaruh anglo dilantai, si katjung lalu mengeluarkan pahat untuk mentjopot batu2 bata jang kena ratjun.

   "Pendam dalam2 batu2 dan botol itu dibelakang gunung ", kata Heehouw Kian kepada katjungnja.

   "Kau harus mendjaga supaja tidak dipendam didekat mata air !". Lie It terkedjut.

   "Apakah ratjun Thian-ok Toodjin begitu hebat ?", tanjanja.

   "Djika tidak ber-djaga2, hari ini djiwaku sudah melajang ", djawabnja si kakek, sambil mengangguk.

   "Bukankah Loopeh jang mendapat kemenangan ?", tanja Tiangsoen Pek. ,Tidak dapat dikatakan menang ", djawabnja.

   "Aku hanja berhasil me-nakut2-inja.

   ".

   "Aku agak kurang mengerti ", kata pula si nona.

   "Sesudah menerima pukulannja, Loopeh masih dapat mempertahankan diri dalam tempo lebih dari satu djam. Dia tidak bisa merubuhkan Loopeh dan menurut peraturan, Loopehlah jang memperoleh kemenangan ".

   "Andaikata benar menang, kemenangan itu didapat setjara kebetulan sekali ", kata Heehouw Kian. Lie It dan si nona jang masih belum dapat menangkap maksud si kakek, lantas sadja minta pendjelasan.

   "Begitu lantas aku tahu, bahwa jang datang adalah Thian-ok, aku segera menelan setengah peles Leng-tan pemunah ratjun dan mengenakan Kim-sie Djoan-ka (badju mustika jang terbuat daripada benang emas) dan sesudah itu, barulah aku keluar untuk menemuinja ", menerangkan Heehouw Kian.

   "Tapi tak dinjana, pukulan Tok-tjiang djauh lebih hebat daripada dugaanku sehingga hampir2 aku kena dirubuhkan. Belakangan, waktu ia menantang untuk bertanding pula, aku mendapat djalan untuk menipunja. Dia memiliki lweekang jang sangat lihay dan djika aku meladeni tantangannja untuk bertempur, mungkin sekali aku tak akan dapat melajaninja dalam seratus djurus. Tapi aku mengerti, bahwa dalam pertandingan 'lembek', lweekangku lebih unggul setingkat daripadanja. Maka itu, aku segera mengusulkan untuk mendjadjal tenaga dengan menggunakan tambang. Sebagai hasilnja, dengan memindjam lweekangnja, aku dapat mengusir ratjun jang mengeram dalam tubuhku dan tanda hitam ditembok adalah ratjun jang keluar dari badanku. Sebagaimana dilihat kalian, aku mengeluarkan sisa ratjun jang masih ketinggalan dengan mendorongnja ke djeridji jang lalu kulubangkan ". Sesudah berdiam sedjenak, ia berkata pula sambil tersenjum .

   "Karena pertandingan tadi, bukan sadja aku kehilangan lweekang jang didapat dengan latihan tiga tahun, tapi kepalaku djuga mendjadi botak ". Seraja berkata begitu, ia membuka ikat kepalanja dan ternjata, semua rambutnja telah hantjur. Dengan rasa terharu, buru2 Lie It berlutut dan berkata .

   "Untuk menolong djiwa siauwtit, Lootjianpwee telah berkorban begitu besar. Budi ini tak akan dilupakan siauwtit ".

   "Djangan kau mengatakan begitu ", kata si kakek sambil membangunkan pemuda itu.

   "Selama beberapa tahun aku berlatih dengan giat karena aku tahu, dia pasti akan menjatroni aku ". Melihat sikap pemuda itu, ia sungkan memberitahukan, bahwa badju mustikanja pun telah mendjadi rusak karena serangan lweekang Thian-ok Toodjin.

   "Aku sungguh tak pernah mimpi, bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat manusia jang begitu lihay ", kata Tiangsoen Pek dengan suara kagum.

   "Diluar langit masih ada langit, diatas manusia masih ada manusia ", kata si kakek.

   "Dalam hal menggunakan ratjun, memang Thian-ok paling lihay didalam dunia. Tapi dalam ilmu silat, dia belum menduduki kursi pertama ".

   "Lain musuh masih tak apa ", kata Tiangsoen Pek.

   "Jang paling harus ditakuti adalah kedua memedi murid Thian-ok, terutama Tok-sian-lie jang bisa membokong orang sambil ter-senjum2. Ajah dan Thianhee hampir2 binasa dalam tangan mereka ".

   "Benar ", kata si kakek.

   "Sekarang kalian sudah bermusuh dengan murid2 Thian-ok Toodjin dan kalian haruslah ber-hati2

   ".

   "Tapi aku djusteru tak tahu bagaimana harus ber-djaga2, karena mereka sudah mengenal kami ", kata nona Tiangsoen.

   "Begini sadja ", kata pula Heehouw Kian.

   "Nanti, djika kalian mau berlalu dari sini, aku akan memberikan Ek-yong-tan (obat untuk mengubah paras muka) supaja kalian dapat mengubah wadjah ".

   "Bagus !", seru Tiangsoen Pek dengan girang.

   "Tapi lebih baik diberikan sekarang, karena setiap hari aku harus pergi ke warung2 teh untuk men- dengar2 warta-berita ".

   "Kalau begitu, sebentar aku akan memerintahkan katjung untuk meanberikannja kepada kau dan mengadjarkan tjara memakainja ", kata Heehouw Kian. Si nona tertawa dan menghaturkan terima kasih. Sebelum berlalu, Heehouw Kian memegang nadi Lie It.

   "Besok kau akan sudah sembuh seluruhnja ", katanja. Ia berpaling kepada nona Tiangsoen dan berkata pula .

   "Menurut perhitunganku, besok ajahmu pun akan sudah tiba disini ". Sesudah orang tua itu berlalu, sambil mengawasi Lie It, Tiangsoen Pek berkata .

   "Idam2-an ajah jang paling besar adalah melihat bangunnja kembali keradjaan Tong. Besok, djika bertemu dengan Thianhee, ajah tentu akan merasa girang sekali ". Lie It menghela napas.

   "Tapi aku kuatir, aku tak akan mampu memikul tanggungan jang sedemikian berat ", katanja. Untuk beberapa saat si nona berdiri bengong.

   "Djika ajahmendengar tjeritera mengenai Wan Djie, ia tentu akan berduka sekali ", katanja dengan suara perlahan. Mendengar itu, pikiran Lie It djadi kusut. Ia tidak menjahut, hanja paras mukanja berubah putjat. Tiangsoen Pek merasa sangat menjesal dan berkata pula dengan suara berbisik .

   "Aku sabenarnja tidak boleh me-njebut2 lagi Wan Djie dihadapan Thianhee ...". Ia tak dapat meneruskan perkataannja dan kedua matanja berubah merah. Sesaat itu, katjung Heehouw Kian datang dengan membawa Ek-yong-tan, sehingga perhatian kedua orang muda itu dapat disalurkan kelain tempat. Sesudah si katjung mengadjarkan tjara memakai obat itu dan berlalu dari kamar tersebut, Tiangsoen Pek berkata sambil tertawa .

   "Thianhee, kau harus menukar pakaian ". Ditegur begitu, barulah Lie It ingat, bahwa pakaiannja telah robek karena pukulan Thian-ok Toodjin. Mengingat pertolongan si nona jang tadi sudah memeluknja, tanpa merasa mukanja berubah merah.

   "Terima kasih ", katanja dengan suara djengah. Sesaat kemudian, nona Tiangsoen minta permisi dan meninggalkan kamar itu. Tapi baru berdjalan, beberapa tindak, ia balik kembali sambil mengangsurkan sebuah kotak Ek-yong-tan.

   "Aku tinggalkan satu kotak ", katanja.

   "Mungkin sekali, kau djuga akan memerlukannja ". Malam itu Lie It tak bisa pulas. Kira2 tengah malam, ia bangun dari pembaringan, menukar pakaian dan lalu menulis seputjuk surat untuk Tiangsoen Pek. Sesudah me-nimbang2 setengah malam, ia telah mengambil keputusan untuk pergi ke Tiang-an guna menemui Siangkoan Wan Djie. Sesudah mendengar, bahwa nona itu menakluk kepada Boe Tjek Thian, dalam otaknja muntjul dua rupa pikiran jang bertentangan. Kalau benar, ia merasa putus harapan dan tidak ingin menemui nona itu lagi. Ia akan menganggap sadja, bahwa Wan Djie sudah meninggal dunia. Dilain pihak, masih terdapat kemungkinan, bahwa apa jang didengarnja hanja desas-desus jang tidak berdasar. Mengingat begitu, ia berkuatir sangat akan keselamatan Wan Djie. Maka itu, disatu pihak ia takut menemui Wan Djie, dilain pihak, ia sangat ingin menemuinja. Sesudah memikir bolak-balik, achirnja ia mengambil keputusan untuk pergi ke Tiang-an dengan tidak memperdulikan bahaja jang sangat besar, guna menjelidiki dan menjaksikan dengan mata sendiri benar- tidaknja berita itu. Disamping itu, ia djuga mempunjai sebuah alasan lain untuk pergi dengan diam2. Ia kuatir, bahwa djika pergi ke Tiang-an ber-sama2 Tiangsoen Pek, ia tak akan dapat mempertahankan diri dan sekali lagi terlibat dalam tjinta. Pada hakekatnja, terhadap nona Tiangsoen jang sudah membuang budi dengan merawatnja selama ia sakit, ia tidak mempunjai rasa tjinta dalam arti tjinta jang menudju ke pintu perkawinan. Rasa tjintanja terhadap Tiangsoen Pek adalah tjinta dari seorang kakak terhadap adiknja. Maka itulah, ia kuatir, djika bergaul terlalu rapat dengan nona itu, ia akan menimbulkan salah mengerti jang dapat berakibat djelek. Dalam suratnja, ia menghaturkan terima kasih dan minta maaf, bahwa ia pergi tanpa berpamitan. Sebagai alasan, ia mengatakan, bahwa ia tak mau si nona menempuh bahaja jang tidak mestinja. Ia memohon supaja nona itu berdiam terus dirumah Heehouw Kian dan merawat ajahnja jang masih sakit. Sesudah selesai menulis, ia melongok keluar djendela. Hawa sangat dingin dan rembulan berada di-tengah2 langit, sedang setiap kali angin meniup, beberapa lembar daun jang sudah merah me-lajang2 djatuh ditanah. Melihat pemandangan malam itu, hatinja djadi lebih berduka. Ia ingat, bahwa ia bertemu dengan Wan Djie dimusim semi jang riang-gembira dan pada waktu itu, didalam hatinja terdapat sebuah angan2 jang sangat besar. Tapi dalam sekedjap, segala apa sudah berubah. Nasib Wan Djie masih merupakan sebuah teka-teki, sedang hatinja sendiri se-olah2 daun laju jang rontok karena ditiup angin. Sesudah menghela napas ber-ulang2, ia membuka kotaknja Ek-yong-tan. Ia mengambil serupa obat jang lalu ditjairkan dengan air teh dan kemudian melaburnja diatas mukanja. Tak lama kemudian, wadjahnja sudah berubah. Ia seperti lebih tua dua puluh tahun, kulit mukanja kelihatan berkerut, sedang sebagian rambutnja berubah putih. Ia segera mengenakan djubah pandjang warna biru jang agak tua dan lalu berdjalan mondar-mandir dalam kamarnja dengan tindakan seorang tua. Ia berkatja didepan sebuah katja tembaga dan ia merasa sangat girang, karena ia sendiri tidak mengenali wadjahnja. Sesudah mengambil khim dan pedangnja, per-lahan2 ia membuka pintu kamar dan keluar dengan tindakan indap2. Ia pergi kekamar Tiangsoen Pek jang terletak dipodjok timur taman bunga dan melemparkan suratnja kedalam kamar dari tjelah djendela. Sesudah berdiri bengong beberapa saat, ia segera meninggalkan rumah Heehouw Kian. la turun gunung dengan menggunakan djalanan ketjil jang telah digunakan Hian Song waktu mengantarkannja kerumah Heehouw Kian.---oo0oo--- DENGAN perasaan tertindih, diantara tiupan angin, sajup2 ia seperti masih mendengar suara roda kereta. Tak lama kemudian, disebelah timur terlihat sinar merah dan fadjar mulai menjingsing. Sesudah melewati gunung, dusun, kota2 dan sungai2, sambil melawan hawa dingin, hari itu Lie It tiba di Gok-koan dan tiga atau empat hari lagi, ia akan sampai pada tudjuannja, jaitu kota Tiang-an. Karena sudah mendekati kotaradja, djalanan sudah agak ramai dan sepandjang djalan terdapat warung arak. Kira2 tengah hari, karena haus dan lapar, ia turun dari tunggangannja dan masuk kedalam sebuah warung arak untuk menangsal perut dengan arak dan daging kerbau. Ia adalah tamu satu2-nja dan si pemilik warung arak menjambutnja dengan hormat dan ramah-tamah. Mendengar Lie It ingin pergi ke kotaradja, si pemilik warung arak tersenjum seraja bertanja .

   "Apakah Loosianseng pergi ke Tiang-an untuk memegang pangkat ?".

   "Bukan ", djawabnja.

   "Aku sudah tidak mempunjai kegembiraan lagi, karena setiap tahun gagal dalam udjian ".

   "Loosianseng djangan berkata begitu ", kata si pemilik warung arak dengan suara membudjuk.

   "Dulu, sesudah berusia delapan puluh tahun, barulah Tjioe Kong bertemu dengan Boen Ong. Orang tidak boleh merasa ketjewa karena menghadapi kegagalan untuk sementara waktu ". Lie It tertawa.

   "Pada djaman ini, didalam dunia tidak ada Boen Ong dan akupun bukannja Tjioe Kong ", katanja.

   "Disamping itu, djika bisa mendapat penghidupan jang sederhana, aku sudah merasa puas ".

   "Untuk itu kurasa Loosianseng boleh tak usah kuatir ", kata pula si pemilik warung arak dengan paras sungguh2.

   "Orang2 terpeladjar dalam kampung ini sering mengatakan, bahwa meskipun kaisar sekarang hanjalah seorang wanita, tapi beliau sangat bidjaksana dan pandai sekali menggunakan orang2 jang sungguh2 berkepandaian. Hanja sajang, Loosianseng tidak ingin mendjadi pembesar negeri ". Ia berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula .

   "Sekarang Tiang-an lebih ramai daripada dulu dan rakjat mudah mentjari makan ". Mendengar keterangan itu. Lie it lantas sadja ingat edjekan Hian Song jang mengatakan mau ke Tiang-an untuk melihat apakah ibukota itu sudah mendjadi "kebun djagung"

   Atau "tanah sawah". Sesudah bengong beberapa lama, barulah ia bisa berkata .

   "Terima kasih atas keteranganmu ...". Sehabis berkata begitu, dengan tangan mentjekel tjawan arak, ia mengawasi gunung2 jang berbaris disebelah kedjauhan. Melihat tamunja mengawasi gunung, pemilik warung arak itu berkata lagi sambil tertawa.

   "Djika ingin, Loosianseng boleh mendaki gunung itu untuk me-lihat2 peninggalan djaman dulu ". ,Ada apa jang menarik hati ?", tanja Lie It.

   "Gunung ini adalah Sioe- yang-san jang tersohor dan sampai beberapa tahun jang lalu, para pelantjong sering sekali naik keatas untuk me-lihat2 peninggalan Pek Ie dan Siok Tjee ", djawabnja. ,Tapi selama satu-dua tahun ini, djarang ada jang naik keatas ". Menurut sedjarah, Pek Ie dan Siok Tjee adalah sastrawan ternama pada djaman permulaan keradjaan Tjioe. Waktu Tjioe Boe Ong menggerakkan tentara untuk menjerang negara Siang, mereka pernah tjoba mentjegah niatan kaisar Tjioe itu. Belakangan, sesudah Siang dimusnakah oleh Tjioe, mereka sungkan makan nasi keradjaan Tjioe dan menjembunjikan diri di Sioe-yang-san. Mereka hanja makan daun2 dan achirnja mereka mati kelaparan. Mendengar keterangan itu, Lie It berkata dalam hatinja .

   "Pada djaman ini manusia jang seperti Pek Ie dan Siok Tjee sudah tidak ada lagi dalam dunia. Tidak heran, bahwa makin lama makin djarang jang menengok peninggalannja. Tapi, meskipun didalam hati ia memikir begitu, terhadap si pemilik warung arak ia berkata .

   "Sebenarnja aku ingin sekali naik keatas, tapi karena bekal sudah hampir habis dan perlu buru2 tiba di Tiang-an, aku tak dapat mewdjudkan niatan itu ". Selagi omong2, datang seorang tamu lain, seorang boesoe (ahli silat) jang, masih muda. Lie It agak terkedjut karena muka orang itu seperti djuga tidak asing baginja.

   "Dimana aku pernah bertemu dengannja ?", tanjanja didalam hati. Dilain saat, ia tersenjum sebab baru mendusin, bahwa potongan badan dan roman orang itu agak mirip dengan dirinja sendiri. Orang2 itu mengenakan pakaian mewah dan menunggang seekor kuda jang sangat bagus, hanja badannja kurus dan parasnja putjat, seperti orang lagi sakit. Begitu masuk, ia minta tiga kati arak putih dan dua kati daging kerbau. Didengar dari suaranja jang njaring dan penuh, ia bukan seorang sakit.

   "Orang ini kelihatannja memiliki ilmu silat jang tjukup baik ", pikir Lie It.

   "Mungkin sekali, putjatnja adalah putjat jang wadjar ". Sesudah pemuda itu mentjeguk satu-dua tjawan arak, si pemilik warung arak, jang ramah-tamah, mendekati dan bertanja .

   "Apakah Siangkong mau pergi ke Tiang-an ?".

   "Benar ", djawabnja sambil mengangguk.

   "Kebetulan sekali, Loosianseng ini pun ingin pergi ke Tiang-an ", katanja pula seraja menundjuk Lie It.

   "Kalian boleh djalan ber-sama2

   ". Pemuda itu berpaling kearah Lie It dan menjodja sambil bangun berdiri.

   "Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama Loosianseng jang mulia ?", tanjanja. Lie It lantas sadja memberikan nama samaran dan balas menanjakan nama pemuda itu.

   "Siauwtee she Thio, bernama Tjie Kie ", djawabnja.

   "Aku kelahiran Soetjoan barat, kampung Bie-san. Apakah Loosianseng datang di kotaradja atas panggilan kaisar ?". ,Atas panggilan kaisar ?", menegas Lie It.

   "Belum lama berselang, kaisar telah mengeluarkan firman dan memerintahkan pembesar2 setempat mentjari orang2 pandai dan mengirim mereka ke kotaradja untuk diberi pangkat ", menerangken Thio Tjie Kie.

   "Apakah Loosianseng masih belum tahu ?". Lie It tertawa.

   "Aku seorang bodoh, mana bisa aku mendapat panggilan kaisar ?", katanja.

   "Aku datang di Tiang-an untuk mentjari sesuap nasi. Apakah kedatangan Thio-heng atas panggilan kaisar ?". Tjie Kie tertawa ter-bahak2.

   "Aku pergi ke Tiang-an untuk mendjadjal peruntungan ", katanja.

   "Tjie Keng memberontak di Yang-tjioe. Djika setjara kebetulan aku dapat membuat pahala dimedan perang, anak-isteriku akan turut mudjur ".

   "Kalau begitu, Thio-heng ingin bekerdja dalam ketentaraan ", kata Lie It.

   "Angan2 Thio-heng sangat besar dan aku merasa kagum ". Perkataan itu mengandung nada sindiran, tapi Tjie Kie agaknja tidak merasakannja. Lie It jang sangat ingin mendengar keadaan peperangan, lantas sadja berkata "Aku dengar Gouw-kok-kong Tjie Keng adalah seorang djenderal jang pandai menggunakan tentara. Sekarang kaisar mengumpulkan serdadu. Apakah keadaan dimedan perang sudah sangat genting ?". Thio Tjie Kie tertawa besar.

   "Tentara Tjie Keng tidak seberapa besar djumlahnja dan iapun tak punja panglima pandai, mana bisa ia berhasil ?", katanja dengan suara menghina.

   "Kudengar, Thian-houw Piehee telah mengangkat Lie Hauw It Tjiangkoen sebagai Toa-tjongkoan didjalanan Yang-tjioe dan dengan membawa tiga puluh laksa serdadu, Lie Tjiangkoen sudah bergerak kedjurusan selatan. Disamping itu, beliau djuga sudah mengangkat Yo Taytjiangkoen sebagai Toa-tjongkoan didjalanan ke Kanglam dan Yo Tjiangkoen sekarang sudah memusatkan bala tentaranja didaerah Kang-hoay. Achirnja Thian- houw Piehee sudah menarik pulang Thia Boe Teng Taytjiangkoen dari Sian-ie dan Thia Tjiangkoen sudah menerdjang keselatan dengan sepuluh laksa tentara. Digentjet oleh tiga pasukan jang berdjumlah begitu besar, andai-kata Tjie Keng mempunjai sajap, ia tak akan bisa terbang lagi. Sekarang kaisar mengumpulkan tentara untuk menghadapi lain kemungkinan dan sama-sekali bukan untuk melawan Tjie Keng ". Mendengar keterangan itu, bukan main rasa duka dan ketjewanja Lie It. Lie Hauw It adalah bujut Tong-koo-tjouw (Lie Yan) dan saudara sepupunja sendiri. Bahwa Lie Houw It rela mendjadi panglima besar untuk menindas pemberontakan Tjie Keng, adalah kedjadian jang sungguh diluar dugaannja. Karena mendongkol, paras muka Lie It lantas sadja berubah dan sikapnja tawar. Perubahan itu telah dilihat oleh Thio Tjie Kie jang djuga djadi merasa tidak enak untuk ber-omong2 terus. Sesudah makan kenjang, ia lantas sadja bangun berdiri dan berkata seraja menjodja .

   "Sebab ingin buru2, siauwtee mau djalan duluan. Djika ada djodoh, kita akan bertemu pula di Tiang-an ". Sesudah Tjie Kie berlalu, barulah Lie It membajar uang arak dan daging dan lalu meneruskan perdjalanannja. Sesudah berdjalan beberapa lama, tiba2 ia dengar suara "uuuh ...! uuuh ...!"

   Di sebelah kedjauhan.

   Ia lantas sadja melompat turun dari tunggangannja dan memasang kuping.

   Biarpun suara itu kedengarannja tidak djauh, tapi sebab djalan gunung itu ber-belit2, ia tak dapat melihat apa jang terdjadi.

   Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia segera ber-lari2 kearah suara itu, suara panah pertandaan, dan naik ketempat jang tinggi.

   Ia, memandjat sebuah batu raksasa dan lalu memandang ke bawah.

   Dilain saat, ia lihat Thio Tjie Kie sedang membelok disebuah lembah dan dari sebelah depan mendatangi beberapa belas orang jang mengaburkan tunggangan mereka dengan ketjepatan luar biasa.

   "Heran ...", katanja didalam hati.

   "Siapa sebenarnja Thio Tjie Kie, sehingga sahabat2 djalanan hitam (perampok) menggunakan begitu banjak orang untuk mentjegatnja ". Sementara itu, Thio Tjie Kie sudah menahan kudanja dan dilain saat, belasan orang itu sudah berhadapan dengannja.

   "Dalam dunia jang aman, berani sungguh kamu mentjegat aku !", bentaknja dengan suara gusar. Dua lelaki jang rupanja mendjadi kepala, lantas sadja melompat turun dari tunggangan mereka dan berkata dengan suara hormat .

   "Mohon Kongtjoe tidak mendjadi gusar. Kami bukan perampok ".

   "Kalau bukan perampok, mengapa kamu mentjegat aku ?", tanja pula Tjie Kie.

   "Madjikanku mengundang Kongtjoe ", djawab satu diantaranja sambil membungkuk.

   "Siapa madjikanmu ?", tanja Tjie Kie, Kedua orang itu kelihatan heran dan untuk sedjenak, mereka saling mengawasi.

   "Apakah Kongtjoe sudah lupa pertemuandipuntjak Kim-teng ?", tanja jang berdiri disebelah kiri.

   "Aku Thia Thong !".

   "Aku tak kenal kau !", bentak Tjie Kie.

   "Kau salah mengenali orang ". Thia Thong kelihatan bingung.

   "Dalam pertemuan di Kim-teng terdapat banjak sekali orang, sehingga memang mungkin Kongtjoe tidak mengenali kami ", kata jang berdiri disebelah kanan.

   "Sesudah bertemu dengan madjikan kami, Kongtjoe tentu akan ingat segala apa ".

   "Pertemuan di Kim-teng ?", menegas Tjie Kie.

   "Ngatjo kau ! Hajo minggir ...! Aku ingin buru2 meneruskan perdjalanan ".

   "Apa ?", kata orang jang berdiri disebelah kanan.

   "Kau ! Kau bukan Lie Kongtjoe ?". Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Tjie Kie dengan mata membelalak. Thia Thong tersenjum.

   "Jang tulen tidak memperkenalkan diri, jang memperkenalkan diri, bukan jang tulen ", katanja.

   "Baiklah, Kami menganggap sadja Kongtjoe sebagai seorang she Thio ".

   "Thio Toaya, madjikan kami mengundang Toaya ".

   "Gila kau ...!", bentak Tjie Kie dengan gusar.

   "Menganggap aku sebagai orang she Thio ? Aku memang she Thio ! Kalau kau masih rewel, rasakan tjambukku !". Mendengar sampai disitu, Lie It mendusin. Mereka ternjata menganggap Thio Tjie Kie sebagai dirinja sendiri, sebab dandanan dan paras muka orang she Thio itu agak mirip dengan dirinja. Ia lantas sadja ingat, bahwa memang benar ia pernah bertemu dengan Thia Thong dipuntjak Kim-teng.

   "Siapa madjikan mereka ?", tanjanja didalam hati. Ditjatji begitu, sikap kedua orang itu lantas sadja agak berubah, mereka tidak begitu hormat lagi seperti tadi.

   "Lie Kongtjoe ", kata jang berdiri disebelah kanan.

   "Siauwdjin rela ditjambuk, tapi biar bagaimanapun djuga, kami mesti mengadjak Kongtjoe pergi menemui madjikan kami. Madjikan kami telah memesan, bahwa biar apapun djua jang terdjadi, Kongtjoe harus diundang !". Thio Tjie Kie meluap darahnja.

   "Kurang adjar !", teriaknja "Siapa madjikanmu? Apakah dia kaisar ?". Tiba2 Thia Thong berteriak .

   "Tjoen-loei-tong-tee (Geledek musim semi menggetarkan bumi) !".

   "Hoei-liong-tjay-thian (Naga terbang dilangit) !", menjambungi kawannja. Tjie Kie heran bukan main.

   "Benar2 gila !", katanja.

   "Siapa perduli Tjoen-loei-tong-tee Hoei-liong-tjay-thian-mu !". Tapi Lie It-lah jang kaget bukan main. Mengapa ?, Karena delapan perkataan itu merupakan kata2 rahasia (kode rahasia) jang digunakan oleh pihak pemberontak jang menentang Boe Tjek Thian. Siapa jang mengenal delapan perkataan itu, dianggap sebagai ,orang sendiri' ".

   "Siapa jang memerintahkan mereka untuk menjambut aku ?", tanja Lie It didalam hati.

   "Kok Sin Ong sedang pergi menjambut Tiangsoen Koen Liang, guruku tidak bisa djadi, sedang Pwee Yam, sebagai seorang perdana menteri, tak mungkin mengetahui gerak-gerikku didalam kalangan Kang-ouw. Tjie Keng berada di Yang-tjioe dan Thia Boe Teng tengah memimpin tentara. Heran sungguh ! Siapa madjikan mereka ?". Thio Tjie Kie jang tidak mengerti delapan perkataan itu djadi semakin gusar dan lalu mentjatji mereka dengan ber-teriak2.

   "Dengan setulus hati madjikanku mengundang Kongtjoe untuk mampir dirumahnja, tapi maksud jang baik itu disambut Kongtjoe setjara kurang pantas ", kata Thia Thong dengan suara tawar.

   "Kongtjoe, sekali lagi aku ingin menanja . Apakah benar kau tidak mau mengikut kami ?".

   "Tak ada waktu!", bentak Thio Tjie Kie.

   "Aku perlu buru2 ke Tiang-an ". Tiba2 orang jang berdiri disebelah kanan tertawa dingin.

   "Kalau begitu, desas-desus jang tersiar merupakan suatu kenjataan ", katanja.

   "Lie Kongtjoe, kau ternjata sudah melanggar sumpahmu dan mengkhianati perserikatan. Bukankah kau mau pergi ke Tiang-an untuk mengedjar pangkat dan kemewahan ?". Sampai disitu, Thio Tjie Kie tak dapat menahan sabar lagi.

   "Binatang ! Kau sungguh kurang adjar !", teriaknja seraja menjabet dengan tjambuknja. Untuk menjingkirkan diri dari sambaran tjambuk, Thia Thong melompat kebelakang, tapi sebelum melompat, lebih dulu ia mendorong kuda Tjie Kie, sehingga binatang itu terhujung kebelakang beberapa tindak. Sambil membentak keras, Tjie Kie melontjat turun dan waktu kedua kakinja hinggap ditanah, tangan kanannja mentjekel tjambuk, sedang tangan kirinja sudah memegang sebatang pedang pendek. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera menjerang kedua lawannja. Thia Thong segera melajani dengan Lo-han Sin-koen, sedang kawannja mengeluarkan ilmu silat Kin-na Tjhioe-hoat. Mereka itu lihay sekali dan tanpa bersendjata, mereka masih bisa mengirim serangan2 jang sangat hebat. Thio Tjie Kie djuga memiliki ilmu silat jang tjukup tinggi, akan tetapi, karena harus melawan musuh, per-lahan2 ia djatuh dibawah angin. Sesudah bertempur kurang-lebih tiga puluh djurus, sambil membentak, kawan Thia Thong menghantam pergelangan tangan Tjie Kie dengan pukulan Keng-tek-toh-pian (Keng Tek merampas pian). Hampir berbareng, Thia Thong menindju dan tindjunja tepat menghadjar lengan lawan, sehingga pedang pendek itu lantas sadja djatuh ditanah. Sesaat itu, kawan Thia Thong bukan sadja sudah merebut tjambuk Tjie Kie, tapi djuga sudah berhasil menotok djalan darah pemudaitu jang lantas sadja tidak dapat bergerak lagi. Sesudah tertawa ter-bahak2, mereka membelenggu kedua tangan Tjie Kie jang lalu diikat diatas punggung kudanja. Sambil ber-teriak2 kegirangan, dengan kawan2-nja, mereka lalu membawa pemuda she Thio itu jang sudah mendjadi orang tawanan. Lie It terkedjut.

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mereka menganggap Thio Tjie Kie sebagai aku, sehingga kekurang-adjaran mereka ditudjukan terhadap aku ", pikirnja dengan perasaan mendongkol.

   "Mengapa mereka mengatakan aku melanggar sumpah dan mengkhianati perserikatan ?". Ia sebenarnja tidak menjukai pemuda itu, tapi sekarang, sesudah Thio Tjie Kie dipersakiti dan ditawan sebagai penggantinja, ia djadi gusar dan segera mengambil keputusan untuk menjelidiki soal itu sampai se-terang2-nja. ---oo0oo--- BURU2 ia turun kebawah, kedjalan dimana tadi ia meninggalkan kudanja. Tapi tunggangan itu sudah menghilang. Kuda itu, jang dibelinja didjalan, hanja seekor kuda biasa dan hilangnja tidak mendjadi soal. Maka itu, ia segera mengempos semangatnja dan menguber dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Biarpun memiliki ilmu ringan badan jang sangat tinggi, Lie It tidak dapat menjandak larinja kuda2 pilihan itu. Ketika ia tiba dimulut selat gunung, orang2 jang dikedjar sudah pergi djauh sekali. Apa jang masih bisa dilihat hanja beberapa titik hitam jang kemudian menghilang dari pemandangan. Ketika itu sudah sendja dan sambil memanggul tjangkul, para petani sudah mulai pulang dari sawah dan kebun mereka. Lie It mentjegat seorang petani tua dan dengan berlagak seperti seorang pelantjong jang kesasar, ia menanjakan rumah penginapan. ,Djika Loosianseng (tuan) berdjalan kira2 sepuluh li lagi, kau akan bertemu dengan sebuah kota ketjil dan disitu kau bisa mentjari rumah penginapan ", menerangkan si petani. Dia berhati baik dan sesudah mengawasi Lie It beberapa saat, ia berkata pula .

   "Loosianseng kelihatannja seperti seorang sastrawan dan mungkin sekali kau sudah tjapai dan lelah. Djika kau tidak mentjela, kau boleh menginap digubukku ". Lie It menghaturkan terima kasih dan berkata .

   "Kalau hanja sepuluh li aku masih kuat. Tapi aku merasa sedikit takut ".

   "Takut apa ?", tanja si petani.

   "Takut bertemu dengan pendjahat ", djawabnja. Si petani tersenjum.

   "Pada waktu ini keadaan banjak lebih aman daripada dulu ", katanja.

   "Apa-pula tempat ini berdekatan dengan ibukota dan kurasa Loosianseng tak akan bertemu dengan pendjahat ".

   "Benar ", kata Lie It.

   "selama beberapa hari, aku memang tidak pernah bertemu degan pendjahat. Tapi anehnja, makin mendekati Tiang-an, aku makin merasa tidak aman ".

   "Mengapa begitu ?". Barusan aku bertemu dengan serombongan pendjahat jang telah mentjulik seorang pemuda jang ingin pergi ke Tiang-an untuk masuk dalam tentara ".

   "Benarkah ?", menegas si petani dengan suara heran.

   "Apakah kau tidak melihatnja ?". Lie It balas menanja.

   "Tadi, mereka malah lewat disini ".

   "Oh, sekarang aku mengerti ", kata si petani.

   "Mereka itu adalah kaki-tangan keluarga Pwee. Sebab tunggangan mereka lari keras, aku tak melihat tawanan itu. Hmmm ...! Mereka memang sering menghina orang. Mungkin sekali pemuda itu bersalah terhadap keluarga Pwee. Loosianseng, djika kau tidak bermusuhan dengan mereka, kau tak usah takut ".

   "Siapa itu keluarga Pwee ?".

   "Kampung kelahiran perdana menteri jang sekarang jalah kampung kami ini ".

   "Bukankah Pwee Yam sendiri berada di kotaradja ?".

   "Sinsiang sendiri memang berada di kotaradja, tapi ia mempunjai seorang adik lelaki jang berdiam disini, menunggu rumah ".

   "Kudengar kaisar perempuan telah mengeluarkan firman jang melarang orang berbuat se-wenang2 terhadap rakjat ", kata Lie It dengan suara mendongkol.

   "Dilihat begini, firman itu hanja selembar kertas belaka untuk menipu rakjat ". Si petani meng-geleng2-kan kepala.

   "Kau salah, Loosianseng, kau salah ", katanja.

   "Dulu, djangankan saudara seorang perdana menteri, sedangkan seorang tiekoan pun bisa berbuat seperti kaisar2-an. Keluarga Pwee memang kurang adjar, tapi baru kali ini, mereka berani mentjulik orang. Biasanja dalam urusan ketjil, biarpun menderita, dimana masih bisa ditelan, kami selalu menelannja. Bukan se-kali2 karena kami takut pergi ke kotaradja untuk mengadu, tapi sebab kami tak mau memusingkan Thian-houw untuk segala urusan tektek-bengek ". Lie It kaget dan mendongkol. Sebenarnja ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk mentjatji Boe Tjek Thian, tapi diluar dugaan, si petani malah membela kaisar perempuan itu. Sambil mengawasi langit, si petani berkata pula .

   "Loosianseng, sekarang sudah hampir malam. Djika kau tidak mentjela, lebih baik menginap sadja dirumahku ".

   "Terima kasih ", kata Lie It.

   "Djika aman, aku ingin meneruskan perdjalanan dan menginap dikota ketjil itu ". Melihat dia mau berdjalan djuga,si petani pun tidak menahan lagi. Lie It berdjalan keluar kampung dan sesudah gelap, ia balik kembali. Ia telah mengambil keputusan untuk menjelidiki penangkapan atas diri Thio Tjie Kie. Gedung keluarga Pwee terletak disebelah timur kampung dan berdiri dengan membelakangi sebuah tandjakan gunung. Melihat gedung itu didjaga oleh sedjumlah boesoe (pengawal), Lie It sengadja mengeluarkan suara aneh didalam hutan jang berdampingan dengan gedung tersebut dan kemudian menimpuk sebuah sarang burung dengan sebutir batu, sehingga beberapa ekor burung terbang keluar sambil berbunji keras. Beberapa boesoe memburu kepinggir hutan.

   "Fui ! Gangguan burung malam !", kata seorang.

   "Memang tak mungkin ada orang jang bernjali begitu besar, berani tjoba2 mengganggu Wan- gwee ", menjambung kawannja (Wan-gwee = Orang hartawan).

   "Tapi kita tetap harus berwaspada ", kata boesoe jang ketiga.

   "Kudengar Sinsiang telah dimarahi Thian- houw. Bukan tidak bisa djadi Thian-houw memerintahkan beberapa pengawal istana datang kemari ". Lie It tertawa geli didalam hatinja. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan Pat-po Kan-sian (Delapan tindak memburu tonggeret), ia melompat keluar dari dalam hutan dan pada waktu beberapa boesoe itu menengok, ia sudah melompati tembok gedung keluarga Pwee. Sesudah menunggu beberapa lama disatu sudut, ia melihat seorang boesoe mendatangi dengan menenteng teng-loleng. Dengan sekali melompat, ia sudah merobohkan pengawal itu.

   "Djangan bersuara !", bentaknja dengan suara perlahan sambil menempelkan udjung pedangnja ditenggorokan orang itu. Melihat lihaynja Lie It, si boesoe tidak berani bergerak. Sesudah memadamkan lilin teng-loleng, Lie It berbisik .

   "Dimana madjikanmu ? Antar aku kepadanja ". Si boesoe tidak berani membantah. Sesudah melewati dua buah pintu, ia menundjuk sebuah gedung didalam taman seraja berkata .

   "Wan-gwee berada disitu. Kau pergi sadja sendiri !".

   "Aku terpaksa harus membuat kau menderita sedikit ", kata Lie It "Sesudah bertemu dengan Pwee Wan- gwee, aku akan memerdekakan kau ". Ia segera menotok djalan darah Ma-ah-hiat orang itu, jang lalu tidak dapat bergerak atau bersuara lagi. Sesudah itu, ia melompat keatas genteng dan mengintip kebawah. Dalam sebuah ruangan jang terang-benderang, ia melihat dua orang lelaki jang dandanannja seperti pembesar negeri dan dikiri-kanan mereka berdiri beberapa orang boesoe.

   "Kalau begitu, warta tentang penangkapan atas diri kakakku bukan dusta ", kata salah seorang.

   "Ong Taydjin, apakah kau tahu, sebab apa kakakku ditangkap ?". Lie It segera mengetahui, bahwa orang jang bitjara itu adalah adiknja Pwee Yam jang bernama Pwee Tjiang. Orang jang dipanggil "Ong Taydjin"

   Dan mengenakan pakaian kebesaran tingkat ketiga, menghela napas pandjang.

   "Pwee Taydjin setjara mendadak telah ditangkap oleh Liong-kie Touw-wie dan dimasukkan kedalam pendjara istana ", katanja.

   "Begitu mendengar, buru2 aku datang kemari, sehingga aku tidak keburu menjelidiki terlebih djelas ".

   "Selang berapa lama sesudah penangkapan itu baru Taydjin mendapat warta ?", tanja Pwee Tjiang.

   "Pwee Taydjin ditangkap tengah malam, besok paginja aku sudah tahu ", djawabnja.

   "Apakah sesudah musjawarah pagi ?".

   "Benar ! sesudah selesai musjawarah pagi, seorang thaykam memberitahukan hal ini kepadaku. Tapi iapun tak tahu sebab- musababnja ".

   "Apakah didalam musjawarah Boe Tjek Thian tidak mengatakan sesuatu ?".

   "Thian-houw repot memilih djenderal dan mengatur tentara. Ia sama-sekali tidak me-njebut2 halnja Pwee Taydjin. Tidak hadirnja Pwee Taydjin didalam musjawarah malah dianggap karena beliau mendapat sakit ". Lie It kaget tertjampur girang. Sekarang baru ia tahu, bahwa Pwee Yam sudah dibekuk. Sesudah berdiam sedjenak, Pwee Tjiang berkata pula .

   "Kakakku sangat disajang dan dipertjaja oleh Thian-houw. Asal rahasia pemberontakan itu tidak botjor, kurasa djiwanja tidak berada dalam bahaja ".

   "Benar,"

   Kata si pembesar she Ong.

   "Kedosaan Pwee Taydjin belum diumumkan. Kita masih punja harapan ".

   "Tapi kita tidak boleh berlaku lengah ", kata Pwee Tjiang. Mungkin Thian-houw akan bertindak untuk mentjari bukti2

   ".

   "Itulah sebabnja mengapa aku tjepat2 datang kemari. Aku kuatir kau menjimpan surat2. atau lain bukti mengenai pemberontakan ".

   "Terima kasih atas kebaikan Ong Taydjin ", kata Pwee Tjiang.

   "Sekarang begini sadja, djika ada utusan kaisar datang dan ternjata kakakku bukan tersangkut dalam soal pemberontakan, kita boleh menerima firman setjara baik. Tapi kalau Toako ditangkap sebab tuduhan memberontak, maka aku dan keluargaku tak akan bisa terlolos dari hukuman mati. Daripada mati konjol lebih baik melarikan diri. Aku akan segera memerintahkan orang untuk membungkus semua barang2 berharga dan kalau perlu kita bisa kabur dengan mengambil djalan ganung, dibelakang gedung ini"

   Sesudah memberi pesan kepada beberapa orang kepertjajaannja, Pwee Tjiang berpaling kepada seorang boesoe dan berkata .

   "Sekarang bawalah sanak kaisar itukemari ". Ia menengok kepada "Ong Taydjin"

   Dan berkata pula .

   "Sungguh mudjur Lie It sudah terdjatuh kedalam tanganku. Sekarang kita boleh tak usah kuatir, kalau2 dia mengadu kepada Thian-houw."

   "Lie It ?", menegas si pembesar she Ong.

   "Apakah Lie It jang pada delapan tahun berselang katanja hilang ?".

   "Benar, dia turut serta dalam gerakan Eng-kok-kong ", kata Pwee Tjiang.

   "Tapi kakakku tidak pertjaja padanja dan memesan supaja aku meng-amat2-i gerak-geriknja. Untung djuga, untuk pergi ke Tiang-an orang harus melewati djalan ini. Setiap hari aku memerintahkan orang mendjaga dan hari ini, benar sadja aku berhasil ". Beberapa saat kemudian, Thia Thong membawa masuk Thio Tjie Kie. Pwee Tjiang berbangkit dan sambil tertawa tengil, ia berkata .

   "Apakah Thianhee masih mengenali aku ? Aku telah memerintahkan mereka menjambut Thianhee dan untuk kekurang-adjaran mereka, aku mohon Thianhee sudi memaafkan ".

   "Siapa kenal pada kau ?", bentak Tjie Kie.

   "eh ...! Aku dan kau sama-sekali tidak mempunjai permusuhan, tapi mengapa kau sudah mentjulik aku ?". Pwee Tjiang mengawasi pemuda itu. Pada kira2 sepuluh tahun berselang, waktu Lie It baru berusia sebelas atau dua belas tahun, ajanhnja pernah mengadjaknja datang di gedung Pwee Yam. Ketika itu Pwee Tjiang mengintip dari belakang sekosol dan sampai sekarang, lapat2 ia masih ingat paras muka Lie It jang sangat tampan.

   "Waktu masih ketjil dia begitu tampan, mengapa sekarang mukanja kuning, seperti orang penjakitan ?", tanjanja di dalam hati. Thia Thong jang dapat menebak djalan pikiran madjikannja, segera bitjara bisik2 untuk memberitahukan, banwa pemuda itu kena sendjata beratjun dari Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie.

   "Uh, begitu ?", katanja sambil manggut2. Sementara itu Thio Tjie Kie terus mentjatji dengan perkataan2 keras.

   "Thianhee ", kata Pwee Tjiang sambil bersenjum.

   "apakah kau lupa perdjandjian Tjoen-loei-tong-tee Hoei-liong- tjay-tian ?".

   "Omong kosong !", teriak Thio Tjie Kie.

   "Siapa Thianhee-mu ? Kau mau memberontak ? Huh ...! Aku tak sudi di-seret2 olehmu ". Paras muka Pwee Tjiang lantas sadja berubah gusar.

   "Dengan penuh kesetiaan kakakku ingin membangun kembali Keradjaan Tong ", katanja.

   "Apakah kau mau membalas budi dengan kedjahatan dan membuka rahasia kepada Boe Tjek Thian ?". Thio Tjie Kie djadi bingung.

   "Hei ! Siapa sebenarnja kamu ?", teriaknja dengan gusar.

   "Thianhee, memang mungkin kau tidak mengenali aku ", djawabnja.

   "Tapi Tiong-soe- leng Pwee Yam adalah kakakku. Apakah kau djuga tidak kenal padanja ?". Pemuda itu terkedjut. Sedjenak kemudian, dengan mata terputar, ia berteriak .

   "Pwee Yam adalah seorang perdana menteri dan kalau benar kau adiknja, kau tentu mengerti akan undang2 negara. Mana boleh kau sembarangan mentjulik orang ? Terang2 kau seorang pendjahat jang sudah menggunakan nama baiknja Pwee Siangkok ". Mendengar begitu, Pwee Tjiang mulai bertjuriga. Apakah kaki-tangannja telah membuat penangkapan jang keliru ?.

   "Apakah pada bulan Sha-gwee tahun ini kau berada di Pa-tjioe ?", tanjanja.

   "Mengapa kau tanja begitu ?".

   "Apakah kau tahu, bahwa bekas Thaytjoe Lie Hian telah dibunuh orang ?".

   "Hal itu tidak ada sangkut pautnja dengan aku ", djawabnja. Ia bingung karena tidak mengerti, mengapa Pwee Tjiang sudah mengadjukan pertanjaan tersebut. Pwee Tjiang menatap wadjah Tjie Kie.

   "Kudengar kau merasa penasaran sekali sebab bekas Thaytjoe itu dibunuh orang, apakah benar ?", tanjanja pula.

   "Kalau benar begitu, tentu sadja aku merasa sangat penasaran !", djawabnja. Pwee Tjiang tertawa dingin.

   "Tak heran djika kau datang ke Tiang-an untuk mengadu kepada Thian-houw ", katanja.

   "Apakah kau masih belum mau mengaku, bahwa kau adalah Lie It ?". Sekarang Thio Tjie Kie mendapat kepastian, bahwa orang sudah kesalahan menangkap.

   "Seorang laki2, duduk tidak mengubah nama, djalan tidak mengubah she ", katanja dengan suara njaring.

   "Dengarlah kau ! Aku bernama Thio Tjie Kie, bergelar Peng-oet-tie, orang kelahiran Bie-san ". Pwee Tjiang terkesiap.

   "Kau Thio Tjie Kie ?", ia menegas dengan mata membelalak. Kagetnja Thia Thong lebih hebat daripada madjikannja. Ia menatap wadjah orang dan sekarang baru ia merasa, bahwa paras pemuda itu agak berlainan dengan Lie It. Tapi sebab kuatir disalahkan, ia berkeras kepala dan berkata .

   "Mana bisa salah ? Dipuntjak Kim-teng, gunung Ngo-bie-san, aku telah bertemu dengan dia dan aku pasti tidak salah mengenalinja. Paras mukanja jang seperti orang sakit adalah akibat djarum Touw-hiat Sin-tjiam. Ratjun sendjata rahasia itu sudah mengamuk hebat dan mengubah warna mukanja ".

   "Gila kau !", bentak Tjie Kie.

   "Sedari dilahirkan, paras mukaku sudah seperti sekarang. Itulah sebabnja, mengapa orang2 Kang-ouw memberi gelaran Peng-oet-tie (Oet-tie Kiong penjakitan) kepadaku. Dalam bulan Sha-gwee tahun ini aku tidak pernah pergi ke Pa-tjioe. Dengarlah kau ! Aku she Thio, bukan she Lie !. Djangan kau main gila !".

   "Perlu apa kau datang di kotaradja ?", tanja Pwee Tjiang.

   "Untuk turut- serta dalam pemilihan Wie-soe dari pasukan Sin-boe-eng ", djawabnja.

   "Pembesarkota Bie-san telah memberi seputjuk surat pudjian kepadaku supaja aku bisa turut dalam udjian. Djika kau tidak pertjaja, kau boleh batja surat itu ...".

   "Wan- gwee, djangan pertjaja. segala omong-kosong ", memutus Thia Thong.

   "Aku berani memastikan, dia bukan lain daripada Lie It tulen ". Baru sadja Pwee Tjiang mau membuka mulut, se-konjong2 seorang boesoe menerobos masuk.

   "Wan-gwee ...!", katanja dengan suara bingung.

   "Sepasukan tentara telah menerdjang masuk kedalam kampung kita ...! Kami belum tahu, pasukan itu dari mana datangnja ". Pembesar she Ong itu ketakutan setengah mati.

   "Me ..., mengapa begitu tjepat ?", katanja dengan suara bergemetar.

   "Lekas ! lekas tjari tahu, dari mana mereka datang. Dari Tiang-an atau dari pembesar setempat ...". Pwee Tjiang mendelik.

   "Tidak perduli dia she Thio atau she Lie, dia tetap kaki-tangan Boe Tjek Thian ", katanja.

   "Kita tidak dapat memberi ampun kepadanja. Thia Thong, geledah badannja dan tunggu sampai aku kembali. Kau harus mendjaga baik2, djangan sampai dia bisa kabur ". Sehabis berkata begitu, sambil menarik tangan "Ong Taydjin", ia menekan sebuah kenop ditembok dan sebuah pintu lantas sadja terbuka. Semua orang, ketjuali Thio Tjie Kie, Thia Thong dan seorang boesoe lain, segera masuk kedalam pintu itu jang kemudian tertutup lagi. ---oo0oo--- DALAM tempo sekedjap, beberapa matjam ingatan keluar-masuk dalam otak Lie It. Semula ia niat menguber Pwee Tjiang, tapi di lain detik, ia mengubah niatannja. Biar bagaimanapun djua, Thio Tjie Kie telah mendjadi korban karena gara2-nja dan ia merasa sangat tidak tega. Selagi ia me-nimbang2 tindakan apa jang akan diambilnja, tiba2 terdengar teriakan menjajat hati. Ternjata, Thia Thong sudah turunkan tangan djahat dan menghantjurkan tulang pundak Thio Tjie Kie. Sesudah tertawa ter-bahak2, Thia Thong berkata.

   "Sekarang dia tak akan bisa lari lagi. Samko, tolong geledah ...". Perkataan itu putus ditengah dialan, karena orang jang dipanggil "Samko"

   Itu mendadak roboh terguling.

   Sebagai seorang jang berkepandaian tjukup tinggi, ia mengerti, bahwa telah terdjadi sesuatu jang luar biasa.

   Bagaikan kilat ia melompat kesamping "Prak...!", sebuah genteng djatuh hantjur dilantai, disusul dengan melompat turunnja sesosok tubuh manusia.

   Thia Thong terkedjut.

   "Siapa kau ?", bentaknja. Tangan Lie It berkelebat dan dengan sekali mendjambret, ia sudah mentjengkeram tulang pundak Thia Thong.

   "Andjing buta !", teriaknja dengan gusar.

   "Buka matamu! Aku Lie It ...!". Ia mengerahkan lweekang dan memidjit tulang pundak Thia Thong jang lantas mendjadi hantjur. Dia berteriak keras dan roboh pingsan. Dalam keadaan kesusu Lie It tidak mau mem- buang2 tempo untuk memeriksa luka Thio Tjie Kie. Ia menotok djalan darah Tjie Kie untuk mengurangkan mengalirnja darah, lalu menggendongnja dan terus lari. Sesaat itu, diluar gedung sudah ramai dengan suara berbengernja kuda dan teriakan tentara, sedang pengawal2 keluarga Pwee sudah berkumpul didalam taman dan kemudian naik diatas tembok untuk melawan sadja. Lie It tiba ditaman, pintu sudah didobrak dan sedjumlah tentara sudah menerobos masuk.

   "Pwee Tjiang ...! Lekas keluar untuk menjambut firman !", teriak seorang perwira. Tapi Pwee Tjiang tidak kelihatan mata-hidungnja dan para boesoe sudah mulai bertempur dengan tentara negeri.

   "Pwee Yam berdosa besar, dia tjoba memberontak !", teriak pula perwira itu.

   "Apa kamu djuga mau mampus ?". Mendengar antjaman itu, sebagian boesoe merasa djeri lalu menjingkirkan diri. Tapi dalam usaha untuk menggulingkan Boe Tjek Thian, Pwee Yam mempunjai banjak kaki-tangan jang benar setia kepadanja. Mereka itu tidak mendjadi keder dan terus melawan, sehingga didalam taman lantas sadja terdjadi pertempuran jang sangat hebat. Dengan menggendong Tjie Kie, Lie It bersembunji dibelakang sebuah gunung2-an. Makin lama pertempuran makin mendekati tempat bersembunjinja dan disekitarnja djadi makin terang-benderang karena sorotan obor2. Ia mengeluh, ia mengerti, bahwa tak gampang2 ia bisa lari keluar. Se-konjong2 sebatang anak panah menjambar dan ia berkelit. Apa mau kelitan itu telah menggontjangkan tulang Thio Tjie Kie jang remuk, sehingga ia berteriak kesakitan. Karena tempat sembunjinja sudah ketahuan, ia terpaksa melompat keluar dan terus kabur. Koan- kee (pengurus rumah tangga) keluarga Pwee, jang memimpin perlawanan itu, kaget dan berteriak .

   "Tjegat ...! Bunuh mereka !". Ia menganggap Tjie Kie sebagai Lie It dan Lie It sebagai orang jang dikirim oleh Boe Tjek Thian. Ia tahu, bahwa apa jang paling ditakuti oleh madjikannja adalah kedatangan Lie It ke kotaradja untuk membuka rahasia dihadapan sang kaisar. Kalau sampai terdjadi begitu, seantero keluarga Pwee tidak akan dapat pengampunan lagi. Maka itu ia segeramemerintahkan pembantu2-nja untuk membinasakan kedua pemuda itu. Sementara itu Lie It segera terhalang oleh satu serangan mendadak. Dibarengi suara menjambernja sebatang pedang menikam kearahnja. Ia lantas berkelit sambil menundukkan kepalanja sedang tangannja lantas diulur untuk menjamber tangan si penjerang, hingga sedjenak sadja ia dapat merampas pedang orang, untuk dilemparkan!. Tjelaka seorang boesoe jang berada didekat mereka, pedang itu nantjap didadanja. Tanpa menghiraukan apa djuga Lie It berlari terus. Segera ia mendengar pula suara angin di belakangnja. Ia kaget sekali. Hebat serangan itu. Ia tidak menjangka dirumah keluarga Pwee ada orang demikian liehay. Ia memang telah menghunus pedangnja, maka ia lantas menangkis kebelakang. Ia menggunai tipu silat "Souw Tjin pwee kiam"

   Atau "Souw Tjin menggendol pedang".

   Satu suara njaring terdengar karena tangkisan itu.

   Kedua sendjata bentrok, lelatu apinja meletik berhamburan.

   Lie It pun kaget.

   Karena ia menggendong orang, bokongan itu membikin gerakannja kurang gesit.

   Hampir sadja ia kena dibatjok.

   Djusteru itu, datang serangan susulan, jang kedua kali.

   Sekarang ia sudah bersedia.

   Maka ia menggeser tubuhnja.

   Ini pun berarti, ia menghindarkan tubuh Thio Tjie Kie dari antjaman bahaja.

   Sambil berkelit, ia menangkis.

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kembali terdengar suara bentrokan, hanja tidak senjaring tadi.

   Sekarang tadjamnja pedang memapaki sendjata lawan, maka sendjata lawan itu, sebatang golok, kena dipapas somplak.

   Menjusul tangkisannja itu, dengan kesebatannja.

   Lie It membalas menjerang.

   Ia menggunai djurus "Wan-tee-hoan-in"

   Atau "Membalik mega di bawah lengan".

   Serangan ini tidak mengenai sasarannja.

   Sekarang barulah Lie It dapat melihat djelas pembokongnja itu, jalah si koan-kee atau pengurus rumah keluarga Pwee itu.

   Him Pek San adalah nama si koan-kee.

   Dia asal pendjahat besar dalam dunia Liok-lim atau Rimba Hidjau, dan dalam kalangan Kang-ouw, atau Sungai Telaga, dialah orang kelas satu.

   Maka itu tidak heran bahwa dia liehay sekali.

   Dia pun terkedjut mendapatkan Lie It, jang menggendong orang, demikian liehay.

   Tapi dia tidak mendjadi lengah karenanja.

   Segera dia madju pula, menjerang dengan djurus dari Pat-kwa-too, jalah ilmu golok Patkwa.

   Biar bagaimana, dia menggunakan beban Lie It untuk mendesak, guna saban2 membatjok Thio Tjie Kie.

   Djikalau Lie It menurunkan Tjie Kie, ia akan segera dapat memberikan perlawanan dengan leluasa.

   Ia djusteru tidak sudi berbuat demikian.

   Pikirnja .

   "Tidak, tidak dapat aku meninggalkan dia ! Dia benar hendak pergi kepada Boe Tjek Thian, hingga dia bisa dipandang sebagai musuhku, akan tetapi keadaannja begini rupa, dia sedang terluka, djikalau aku meninggalkan dia, perbuatanku bukan perbuatan seorang gagah ". Maka ia berkelahi dengan waspada, terutama untuk melindungi orang dipunggungnja itu. Him Pek San liehay. Satu kali dia menggunakan tipu, jalah mengantjam kearah kedua kaki Thio Tjie Kie. Lie It melihat serangan itu, ia terpaksa menangkis dengan tipu pedangnja "Si nelajan tua memantjing ikan". Pedangnja menangkis kebawah. Disaat itu, Pek San mengubah serangannja. Sambil berseru, dia mengubah arah tudjuan goloknja, jalah tidak lagi terus kebawah, hanja berbalik keatas, kepundak Lie It selagi pundak si pemuda turun mengikuti tangkisan pedangnja. Kalau mulanja dia menggunakan djurus "Hee tjioe too"

   Atau "Golok turun", sekarang dia menggunakan 'Siang-tjioe-too' atau "Golok naik". Oleh karena dia memangnja telah bersedia, serangannja ini tjepat dan sangat berbahaja.

   "Serrr ...!", demikian terdengar satu suara mambarengi batjokan Him Pek San itu. Itulah samberan sebatang piauw, jang tepat mengenai lengannja. Karena ini, batjokannja mendjadi meleset dari sasarannja. Lie It berlaku sebat dan lintjah. Ia mengangkat sebelah kakinja, menendang. Djitu tendangan ini. Him Pek San terdupak ulu hatinja, maka dia mendjerit sambil memuntahkan darah hidup, tubuhnja roboh terguling. Penjerang dengan piauw kepada Him Pek San itu jalah seorang tongnia atau komandan Gie-lim-koen, pasukan kaisar. Dia menerima tugas untuk menggeledah rumah keluarga Pwee. Heran dia melihat Lie It merobohkan koan- kee itu.

   "Kau siapa, tuan ?", ia menanja.

   "Apakah tuan pun diutus Thian-houw ?". Lie It tidak mendjawab. Djusteru orang menanja, ia berlompat, untuk meninggalkan tongnia itu jang si komandan ini mendjadi heran. Dalam tjuriganja, dia lantas menjerang dengan piauwnja, tiga kali beruntun. Tapi semua serangan itu dapat digagalkan Lie It, jang menangkis dengan pedangnja. Didepan Lie It ada dua orang anggauta Gie-lim-koen. Mereka itu madju, untuk merintangi, masing2 mengantjam dengan sam-tjiat-koen dan golok besar. Sam-tjiat-koen jalah rujung berantai tiga batang rujung disambung mendjadi satu. Lie It tidak perduli ada orang menghalang, dia madju terus.

   "Kau mau mampus ?", mereka menegur. Mereka mendjadi bingung, sebab mereka melihat tegas, bahwa Lie It merobohkan beberapa orang keluarga Pwee. Lie It tetap membungkam. Ketika ia dihalangi dengan sam-tjiat-koen, ia menabas rujung orang hingga kutung. Ketika ia dibatjok, ia berlompat berkelit, hingga dengan begitu dapat ia melewati penghalangnja itu.

   "Tidak perduli dia siapa, bekuk dulu !", achirnja si tongnia berseru, memerintah. Ia tidak mau terhalang oleh kesangsiannja. Lie It lantas sadja diserang dua orang, jang masing2 bersendjatakan rujung kong-pian dan tombak. la mendjedjak tanah dengan kedua kakinja, untuk berlompat. Ia menggendong orang tapi ia masih dapat melompat tinggi. Kedua penjerang itu, jang datangnja dari samping kiri dan kanan, tidak dapat menahan serangan mereka. Ketika serangan mereka gagal, sendjata mereka bentrok satu dengan lain, tubuh mereka pun terdjerunuk. Baru Lie It menaruh kakinja ditanah, atau datang serangan jang ketiga. Penjerang ini tjetek ilmu silatnja, ketika Lie It menangkis, dia tidak berdaja, goloknja kena dibabat kutung, menjusul mana, dia pun ditotok djalan darahnja. Lie It lari terus. Ia berlompatan kekiri dan kanan, guna menjingkir dari setiap rintangan. Ia repot sebab musuh2-nja terdiri dari orang-orang keluarga Pwee dan Gie-lim- koen. Ketika ia hampir tiba dipintu belakang, ia mendengar bentakan menggeledek .

   "Berhenti !". Itulah bentakan seorang, jang menghalang didepannja. Orang itu menjerang dengan sebatang tombak, jang udjungnja ber-gojang2. Lagi sekali Lie It kaget. Ia tahu bahwa ia menghadapi seorang liehay lain. Dengan terpaksa ia menangkis. Sendjata mereka bentrok, memuntjratkan lelatu api. Lalu keduanja sama2 terkedjut. Karena bentroknja sendjata mereka, keduanja mundur tiga tindak. Itulah tidak heran. Penjerang dengan tombak itu jalah Tjiang Tay Sioe, pemimpin Gie-lim-koen, jang berpangkat Liong Kie Touw-oet. Tidak berani Lie It berlaku ajal. Dengan lantas ia berlompat pula, untuk menjingkir dari tempat jang berbahaja itu. Lagi sekali ia dirintangi seorang kaki-tangan keluarga Pwee, maka dalam sengitnja, setelah berkelit, ia mendjambak orang itu, ia angkat tubuhnja, lalu melemparkannja sambil berseru .

   "Sambutlah !". Ia melemparkan tubuh orang kemuka Tjiang Tay Sioe. Kembali Tay Sioe mendjadi heran. Jang dilemparkan itu kaki-tangan keluarga Pwee. Maka orang ini, musuhkah atau kawankah ? Untuk membebaskan diri dari bahaja, terpaksa ia menangkis tubuh orang keluarga Pwee itu. Lie It menggunakan kesempatan ini untuk terus menjingkir. Masih ada beberapa perintang tapi ia robohkan mereka semua. ketika ia tiba dipintu belakang dari taman itu, Tay Sioe mengedjar padanja. Ia lantas berteriak . ,Hai, perlu apa kamu mengedjar aku ? Pwee Tjiang sudah lari dari belakang gunung ! Kenapa kamu bukannja pergi menangkap pemberontak ?". Tay Sioe terkedjut. Rumah keluarga Pwee itu benar sudah dikurung tetapi mereka jang mendjaga dibelakang tidak besar djumlahnja, kalau musuh lari kebelakang, mungkin mereka dapat lolos. Maka itu, lantas ia memerintahkan orangnja memburu kebelakang. Ia memetjah sedjumlah serdadunja. Dalam pertempuran katjau itu, pihak Gie-lim-koen telah berhasil melabrak orang2 keluarga Pwee, diantara siapa sebagian telah kabur, sebagian masih melawan saking terpaksa. Djusteru karena sibuk memetjah orang2-nja, Tay Sioe telah mesti membagi perhatiannja. Maka itu, Lie It kabur terus. Sampai diluar, ia merampas seekor kuda tunggangan. Ia lompat kepunggung kuda itu, untuk kabur dalam kegelapan. Masih ada beberapa pengedjarnja tetapi ia membikin mereka itu tidak berdaja. Sesudah menjingkir selintasan, hingga ia tidak mendengar suara pengedjarnja, Lie It turun dari kudanja, guna mendekam ditanah, untuk memasang kuping. Benar2 ia sudah tidak dikedjar lebih djauh. Hatinja mendiadi lega. Ia gendong tubuh Tjie Kie. Dalam sinar bulan, ia mendapatkan muka orang putjat sekali dan kedua matanja pun dirapatkan. Ia meraba nadinja. Kesudahannja, hatinja mendjadi lega. Denjutan nadi itu mejakinkannja, bahwa Tjie Kie tidak terluka didalam. Ia lantas berpikir. Ia bawa Tjie Kie kedalam rimba, untuk diletakkan ditempat tak berpohon dilapangan berumput. Karena ia membekal obat2 luka, ia lantas mengobati. Hanja sebentar Lie It menantikan. Begitu lekas darah berhenti keluar dan membeku, ia mulai menotok djalan darah Tjie Kie, untuk membebaskannja dari pingsannja. Tjie Kie tersadar. Per-lahan2 ia membuka matanja. Ia segera mengenali, penolongnja jalah si "sastrawan miskin"

   Dari rumah makan. Ia mendjadi heran.

   "Kiranja Tuan seorang jang berilmu-kepandaian tinggi", katanja.

   "Aku minta Tuan suka memaafkan aku ! Budimu ini, Tuan, akan kuukir didalam hati. Aku pun mohon maaf, bahwa aku tidak dapat berbangkit untuk memberi hormat, dan menghaturkan terima kasihku seperti lajaknja ".

   "Saudara Thio, djangan kuatir ", kata Lie It.

   "Lukamu itu luka diluar, setelah beristirahat beberapa hari, kau akan sembuh ...". Thio Tjie Kie sengit sendirinja.

   "Aku menjesal, bahwa ilmu silatku telah musnah. Hmmm ...! Aku tidak menjangka bahwa aku, Thio Tjie Kie dari Bie-san, mesti menderita ketjelakaan ini ! Sakit hatiku ini sukar dibalaskan, maka itu, djikalau akumati, mataku tidak dapat meram !".

   "Saudara Thio, sakit hatimu telah terbalaskan ", Lie It memberitahukan.

   "Apakah kau jang membinasakan dia, tuan Lie ?".

   "Bukan, bukan ! Tentara negeri telah datang menjerbu. Mungkin si bangsat tua djuga tidak akan lolos !". Tjie Kie heran.

   "Djadi benarlah mereka itu kawanan pemberontak ?".

   "Kira2 begitu ".

   "Terima kasih kepada langit, terima kasih kepada bumi !", Thio Tjie Kie memudji.

   "Dasar Thian-houw maha bidjaksana ! Biarpun aku tidak dapat membantu lagi kepada Thian-houw, tetapi penasaranku ini telah terlampiaskan !". Tidak puas Lie It mendengar orang me-njebut2 pemberontak sambil sebaliknja memudji Thian-houw atau Boe Tjek Thian tinggi2, djikalau bukannja orang sedang terluka, mungkin ia akan menggamparnja. Ia lantas berpikir.

   "Saudara Thio, untuk apa kau pergi ke kotaradja ?", kemudian ia bertanja. Ia lakukan itu dengan terpaksa, dengan menahan hati. Ia tahu maksud orang, tetapi ia menanja djuga. Tjie Kie menghela napas.

   "Kau menanjakan, 'in- kong' (tuan penolong), tidak dapat aku tidak mendjawab ", dia menjahut. Dia sekarang menjebut 'in-kong'.

   "Thian-houw hendak mengadakan pemilihan anggauta wie-soe atau pradjurit barisan Sin Boe Eng, maka aku datang untuk turut dalam pemilihan itu. Aku telah dipudjikan oleh tiehoe dari Bie-san untuk turut dalam udjian. Sekarang tulang piepee-ku telah terluka dan ilmu silatku pun musnah, terpaksa aku mesti melepaskan segala harapanku untuk memandjat tangga kepangkatan.

   "Apakah saudara masih membawa surat pudjian tiehoe itu ?", tanja Lie It.

   "Ada ! Hanja sekarang ini, apakah gunanja ?". Dengan tangan bergemetaran, Tjie Kie me-raba2 kedalam sakunja, untuk mengeluarkan surat pudjian itu. Ia memeriksanja didepan matanja. Tiba2 ia mengertak gigi, lalu ia memegangnja dengan kedua tangan, akan dirobek hantjur. Lie It waspada, ia segera mendahului merampasnja. Tjie Kie heran, ia menghela napas..

   "In-kong, untuk apakah kau menjajangi kertasku ini ?", tanjanja.

   "Seumur hidupku, tidak dapat aku menggunakannja pula, bahkan akan menjebabkan kedukaanku melulu ". Lie It tertawa.

   "Orang baik akan diberkahi Thian ", katanja.

   "Siapa tahu djikalau kau dapat kesempatan untuk memperoleh kembali kepandaianmu itu, saudara Thio ?".

   "Itulah tak akan terdjadi, ketjuali Hoa To hidup pula atau Pian Tjiak mendjelma kembali ", kata Tjie Kie sangat sedih. 'Pian Tjiak' dan 'Hoa To', keduanja jalah tabib2 pandai didjaman dahulu.

   "Orang berilmu, saudara, terdapat disegala djaman ", Lie It menghibur.

   "Begitupun didjaman kita ini, siapa memastikan, bahwa kini tidak ada tabib sepandai Pian Tjiak atau Hoa To ?", Tjie Kie menjeringai. Ia tertawa, tertawa sedih.

   "Tabib pandai mungkin ada, tetapi sukar diminta pertolongannja ", katanja pula.

   "Laginja, umpama kata aku berhasil menemui tabib pandai, tulang selangkaku sudah hantjur, maka paling sedikitnja aku memerlukan waktu beberapa tahun lagi baru aku bisa mejakinkan pula ilmu silatku, sedang sekarang ini jalah dalam bulan ini, Thian-houw akan mengadakan pemilihannja itu ! Apa perlunja aku memiliki surat pudjian ini ?".

   "Saudara Thio ", kata Lie It.

   "djikalau tetap saudara tidak menginginkan surat pudjian ini, aku akan memberanikan diri untuk memintanja. Sudikah kau menjerahkannja kepadaku ?". Thio Tjie Kie mendjadi heran.

   "Untuk apakah itu ?", ia tanja.

   "Aku mempunjai seorang adik jang mirip denganmu, saudara Thio ", djawab Lie It.

   "Adikku itu djuga mengerti sedikit ilmu silat, hanja sajang dia tidak mempunjai orang jang dapat memudjikan padanja, dari itu, djusteru ada ketika ini, aku ingin memakai surat pudjian ini agar dia dapat turut menempuh udjian itu. Djikalau dia bisa berhasil, adalah kau jang menghadiahkannja pangkat itu. Dengan begitu, aku pun turut bersjukur terhadapmu ".

   "Aku telah kau tolong, in-kong, djiwaku seperti dihidupkan pula olehmu ", kata Tjie Kie.

   "Budimu itu besar sekali, walaupun tubuhku hantjur-lebur, tak dapat aku membalasnja, dari itu, mengapa aku menjajangi surat pudjian ini jang hanja barang sampiran, jang untukku sudah tidak ada gunanja? Hanjalah hendak aku memberitahukan, Thian-houw mempunjai aturan jang keras, aku kuatir, djikalau kemudian rahasia itu petjah, mungkin adikmu akan berada dalam bahaja ...".

   "Tentang itu tidak usah saudara kuatir, sebab mengenai nasib manusia, dia beruntung atau bertjelaka, semua sudah ada tulisannja. Mungkin dia ditakdirkan akan memperoleh kemuliaan. Djikalau sampai terdjadi demikian, umpama rahasia ini petjah, mungkin Thian-houw suka memaafkan kepadanja. Tapi, umpama kata benar seperti kekuatiran saudara, djuga baiklah saudara djangan kuatir. Dapat saudara katakan, bahwa surat pudjian itu telah dirampas orang dari tangan saudara. Saudaraku sendiri akan mempunjai djawabannja, hingga saudara tidak akan ke-rembet2

   ". Tjie Kie tertarik hatinja, ia menaruh kepertjajaan.

   "Djikalau begitu, silahkan saudara ambil !", katanja.

   "Surat ini tidak ada perlunja lagi untukku, dengan ini aku dapat membantu lainorang, kenapa aku tidak senang memberikannja ? Aku tidak hendak pulang lagi ke Bie-san, aku akan menjembunjikan diri di rumah salah seorang sahabatku. Umpama kata benar rahasia petjah, akan aku menerangkan bahwa benar aku telah diganggu orang djahat dan surat pudjian itu kena dirampas. Aku rasa tulang selangkaku jang hantjur ini dapat dipakai sebagai alasan untuk menguatkan keteranganku itu. Pasti sekali saudaramu itu, in-kong, bisa mengaku ia mendapatinja dari tangan si perampas. Dan, seandai perkara mesti diperiksa di muka istana, akan aku memberikan keterangan jang serupa guna membantu saudaramu itu ". Sebenarnja Lie It djemu terhadap orang she Thio ini, djemu karena orang hendak membantu Boe Tjek Thian, akan tetapi mendapatkan orang demikian djudjur dan dapat mengambil keputusan demikian bidjaksana, hatinja memikir .

   "Dia benar kepintjut kepangkatan dan mau pergi ke kotaradja untuk mendjadi budaknja Boe Tjek Thian, tetapi dia tetap seorang jang hatinja baik, maka aku mesti merasa malu sendiri jang aku mesti mendusta mengakali surat pudjiannja ini ...". Maka ia lantas berkata.

   "Sekarang tjuatja bakal mendjadi terang, tidak dapat aku berdiam lebih lama pula ber-sama2 kau, dari itu kebetulan saudara hanja mendapat luka diluar, darah pun sudah berhenti keluarnja, setelah beristirahat lagi sekian lama, kau akan dapat pulang kesegaranmu. Pula sebentar, setelah tjuatja terang dan ada petani jang lewat disini, saudara boleh mentjeritakannja untuk minta pertolongan. Apakah kau membutuhkan uang ?".

   "Uangku tidak kena dirampas, aku mempunjai tjukup ", kata Tjie Kie "In-kong, terima kasih banjak untuk kebaikan kau ini ". Sedjenak itu, Tjie Kie kurang puas jang Lie It hendak meninggalkannja. Bukankah ia tengah terluka ? Akan tetapi, setelah memikir sebaliknja, ia anggap perlu lekas2 Lie It menjingkir. Maka itu, ia lantas mengandjurkan Lie It lekas pergi. Lie It sendiri tidak tega meninggalkan orang luka itu, maka itu, sebelumnja pergi, ia menanjakan alamat sahabatnja Tjie Kie itu. Ia telah pikir, umpama kata ia bisa menemui tabib pandai, hendak ia menolong lebih djauh ini sahabat baru. Hanja mengenai maksudnja ini, ia tidak mengutarakannja. Begitu lekas mereka sudah berpisah, Lie It berlalu dengan ber- lari2. Baru setelah pergi djauh, dan ketika tjuatja mulai terang, ia berhenti untuk beristirahat di tepi sebuah kali ketjil. Di sini ia mentjutji mukanja, untuk membuang kumis-djenggotnja, setelah mana, ia pulas mukanja dengan obat pelumas warna kuning, guna membikin kulit mukanja mendjadi berubah. Ketika kemudian ia berkatja di muka air, ia tertawa sendirinja.

   "Ini dia jang dibilang, tulen jalah palsu, palsu jalah tulen ", pikirnja.

   "Ini obat berwarna untuk menjalin rupa sungguh sempurna. Kemarin ini, orang menganggapnja Thio Tjie Kie jalah aku, setelah ini selandjutnja, orang pasti akan menganggap akulah Thio Tjie Kie !". ---oo0oo--- TIGA hari kemudian maka tibalah sudah Lie It di Tiang-an, kotaradja. Ia mendapatkan banjak gedung jang indah dan banjak toko, keadaan ramai sekali, sedang di djalan besar, orang seperti berdesakan. Jang menarik perhatian jalah sekarang ini suasana ada terlebih menggembirakan daripada dulu2. Maka, di samping hati tertarik, ia mendjadi berpikir. Lantas Lie It mentjari sebuah rumah penginapan. Ia pun lantas mentjari pakaian, untuk berdandan, la menggantikan Peng-oet-tie Thio Tjie Kie, maka ia berpakaian sebagai boesoe, seorang jang mengerti ilmu silat. Thio Tjie Kie menggunai dua rupa sendjata, pedang dan rujung kong-pian, maka ia pun pergi membeli dua rupa sendjata itu. la membeli pedang karena ia mesti menjembunjikan pedangnja sendiri agar pedang itu tidak ada jang melihat dan mengenali. Setelah selesai menjiapkan diri. Lie It pergi mendaftarkan diri. Touw-oet, atau kepala dari tangsi Sin Boe Eng, bernama Hek- tjie Beng Tjie. Dialah adik dari Hek-tjie Siang Tjie, jang mendjadi Kanglam-too Tjongkoan. Mereka sebenarnja bangsa Ouw atau Tartar. Ketika Kaisar Tong Thay- tjong Lie Sie Bin menggeraki tentara membangun negara atau keradjaan Tong, dia menggunai banjak orang Kang-ouw, hingga keluarga Hek-tjie banjak djasanja. Demikian sampai pada djaman Kaisar Tong Kho-Tjong Lie Tie, tahun Eng-liong, Hek- tjie Beng Tjie diangkat mendjadi Liong Kie Touw-oet, komandan, dari Gie-lim- koen, jaitu pasukan kaisar, dan dia dihadiahkan she Lie, maka dia dipanggil djuga Lie Beng Tjie. Dia terpakai terus ketika Boe Tjek Thian naik atas tachta- keradjaan, hanja dia diangkat mendjadi touw-oet dari tangsi Sin Boe Eng. Anggauta2 Sin Boe Eng jalah tentara pribadi dari kaisar. Tugasnja jalah, di waktu damai mendjaga keraton, di waktu perang turut mengiringi kaisar ke medanlaga. Djadinja, Sin Boe Eng ada lebih mendekati kaisar daripada Gie-lim-koen. Karena itu djuga, setiap kota memudjikan orang muda jang gagah untuk mendjadi tjalon2 anggauta Sin Boe Eng. Orang2 muda demikian, ketjuali gagah, pula ada tanggungannja, hingga mereka dapat dipertjaja. Lie It mendaftarkan diri dengan lantas diterima. Di samping surat pudjian pembesar kota Bie-san itu, lebih dulu, pembesar tersebut telah mengirim namanja berikut gambarnja. Ia lantas ditempatkan di dalam tangsi, guna menanti saatnja udjian di waktu mana kepandaiannja akan membikin ia terpilih atau tidak. Kali ini dibutuhkan seratus wie-soe, atau pahlawan. Sebaliknja, dari pelbagai kota, datang dua ratus tjalon. Untuk Lie It, ketikanja baik sekali. Ia hanja bingung memikirkan, di waktu diudji, bagaimana ia harus menggunai ilmu silatnja. Ia kuatir, djikalau ia memperlihatkan antero kepandaiannja, kepandaian itu nanti menarik perhatian dan mendatangkan ketjurigaan. Djikalau ia tidak mempertontonkan kepandaiannja, ia kuatir nanti ditolak. Kapan telah tiba hari udjian, Lie Beng Tjie sendiri jang memegang pimpinan. Lebih dulu setiap tjalon diudji kepandaiannja menggunai panah dan menunggang kuda. Semua tjalon lulus. Lalu mereka disuruh bersilat dengan delapan belas matjam sendjata. Sjaratnja jalah mesti pandai di dalam satu atau dua rupa sendjata itu. Kemudian orang ditanja, apa jang mendjadi kepandaiannja jang istimewa Kepandaian ini perlu, untuk mereka dapat dipilih untuk tempatnja masing2 jang tjotjok dan tepat. Lie It melihat, meskipun banjak tjalon pandai menunggang kuda dan main panah, jang pandai ilmu silat tidak seberapa orang. Ia memperhatikan seorang tjalon dari kota Le-koan, propinsi Hoolam. Dia itu lulusan boekiedjin. Baik dia memanah berdepan, maupun sambil membalik tubuh, tiga2 anak panahnja mengenai sasaran titik merah dengan djitu. Dia lulus dalam udjian panah. Jalah selagi ia melarikan kudanja, seorang memanah ia dari belakang. Ia menunggu tibanja anak panah itu, lantas ia memutar tubuh dan menjerang. Anak panah itu dapat dihadjar djatuh. Untuk itu, ia tidak menoleh ke belakang lagi, dan udjung panahnja pun mengenai tepat udjung anak panah itu. Maka ia disambut tempik-sorak seluruh hadirin. Hanja ia ketahui, kepandaian itu disebabkan utama dia pandai mendengar suara anginnja anak panah tersebut. Toh ia turut bertepuk tangan. Menjusul itu tjalon dari kota Thay-hoo, Kangsee, mamperlihatkan kepandaian atau kekuatan kakinja. Dia seorang boekiedjin. Lie Beng Tjie menitahkan menantjap sepuluh batang kaju pek sebesar mangkok, tingginja masing2 delapan kaki, ditantjapnja setinggi pinggang. Orang umumnja kaget melihat pelbagai pelatok itu. Boekiedjin dari Tayhoo itu mendjura kepada Lie Beng Tjie sebagai tjoe-ko-khoa, jalah pembesar udjian, lalu dia berkata .

   "Aku hendak membikin patah sepuluh batang pelatok ini. Kalau ada satu pelatok sadja jang tidak patah, aku bersedia menerima hukuman ". Habis berkata, dia bertindak menghampirkan pelatok2 itu. Ketika dia menggeraki kaki kanannja, suara njaring terdengar. Njata sebatang pelatok sudah patah sebatas tanah. Dia madju pula, kaki kirinja bekerdja. Pelatok jang kedua pun patah. Di antara sorak riuh- rendah, dia terus-menerus mendupak, hingga achirnja tempik-sorak terdengar tak hentinja. Lie Beng Tjie tersenjum.

   "Sungguh tidak gampang untuk melatih ketangguhan kaki ini ", katanja. Ia lantas membikin bundaran di atas nama orang, hingga si boekiedjin mendjadi girang sekali. Kemudian ia tertawa dan menanja.

   "Sekarang, dapatkah kau mentjabut semua sisa pelatok itu ?". Tjalon itu melengak.

   "Aku aku belum pernah mentjoba ", sahutnja, bingung dan djengah. Lie Beng Tjie mengibaskan sebelah tangannja. Itulah tanda memanggil salah seorang wie-soe atau pengawalnja sendiri. Boesoe itu lantas muntjul. Dia tahu apa jang dia mesti lakukan. Dia lantas membungkuk, mengulur tangan dan mentjabut pelatok jang mendam itu. Njata dia kuat dan pandai sekali. Di dalam tempo jang pendek, sepuluh sisa pelatok itu dapat ditjabut semua. Lie It terperandjat di dalam hati. Tidak gampang untuk mentjabut pelatok itu. Pahlawannja Beng Tjie ini jalah seorang jang pandai Tay-lek Eng-djiauw-kang, atau ilmu Tjengkeraman Kuku Garuda.

   "Kau dapat diterima ", kata Beng Tjie kepada boekiedjin itu.

   "Kau bekerdja di bawah perintah dia ini sebagai sio-twie-thio. Djikalau ada temponja jang luang, kau boleh beladjar lebih djauh di bawah perintahnja ". Karena melihat si boekiedjin rada djumawa, sengadja Beng Tjie hendak membuatnja tunduk, supaja dia djangan terus berkepala besar. Ketika itu di antara orang banjak terdengar satu suara tertawa. Beng Tjie mendengar itu, ia mengawasi, lalu memanggil. Ketika orang telah datang dekat, ia menanja .

   "Apakah kau mempunjai kepandaian jang terlebih liehay ?".

   "Sekarang ini belum datang giliranku ". orang itu menjahuti.

   "Sekarang kau boleh mulai !". Orang itu minta dua gantang katjang hidjau, ia tuang itu ke lantai, untuk diampar, habis mana ia bertindak di atas itu. Selamaitu, para hadirin berdiam semua, matanja mengawasi. Di saat seperti itu, djarum djatuh pun akan terdengar suaranja. Njatanja, katjang hidjau jang kena diindjak lantas petjah hantjur mendjadi tepung. Tentu sekali ilmu tenaga-dalam seperti ini djauh lebih hebat dari pada menendang roboh pelatok dan mentjabut sisa2-nja pelatok itu.

   "Dia antara tjalon2 ini, dialah jang paling liehay ", Lie It pikir. Ketika ia menanja orang di sebelahnja, ternjata dia itu jalah Tjioe Tay Lian, boesoe dari Sin-hoa, Ouwlam.

   "Bagus !", kata Lie Beng Tjie tertawa.

   "Sekarang aku tanja kau, dapatkah kau mengeduk tepung katjang hidjau itu, supaja tidak ada jang ketinggalannja ?". Tjioe Tay Lian heran, hingga ia tidak lantas mendjawab. Pikirnja.

   "Walaupun ia menggunai sesapu, belum tentu ia dapat mengeduk bersih semua tepung itu ". Ia menganggap aneh pertanjaan itu. Lie Beng Tjie menggapai kepada seorang boesoe jang memegang bendera besar, jang berada di sampingnja. Orang itu menghampirkan. Ia lantas menitahkan .

   "Kau tolong menjingkirkan tepung katjang hidjau itu ". Segera terasa menjambernja angin disebabkan gerakan bendera itu. Bagaikan terhisap, semua tepung tergulung ke dalam bendera, lantas lantai itu bersih dari tepung itu. Habis itu si boesoe menghampirkan Lie Beng Tjie, untuk melaporkan selesainja tugasnja itu. Ia mendjura. Lantas ia membeber benderanja jang tergulung itu. Segera terdjadi hal jang mengherankan. Tepung itu mendjadi gempel, merupakan seperti gumpalan sebesar mangkok, ketika djatuh di lantai, tidak petjah!. Lie It benar2 terkedjut. Mengindjak katjang hidjau mendjadi tepung sudah hebat sekali, sekarang boesoe ini dapat menggulung itu mendjadi gumpalan. Kepandaian ini djauh lebih hebat daripada kepandaiannja Tjioe Tay Lian.

   "Dengan kepandaiannja itu, aku mungkin tidak dapat mengalahkan dia ", ia berpikir.

   "Boe Tjek Thian mempunjai banjak orang liehay, aku mesti ber-hati2

   ". Ketika ia menanjakan orang di sampingnja, dia mendapat tahu, boesoe itu bernama Tjin Tam, salah satu dari ketiga boesoe paling liehay dari tangsi Sin Boe Eng. Jang satu lagi jalah Thio Teng, boesoe jang mentjabut palatok tadi. Jang ketiga jalah See-boen Pa, jang tidak terlihat di antara para hadirin.

   "Thio Tjie Kie dari Bie-san !", lantas terdengar suara panggilan. Lie It mengadjukan diri dengan hatinja tidak tenang. Ia memberi hormat pada Lie Beng Tjie, jang terus membeber daftar di mana ada namanja, gambar serta tjatatan jang perlu mengenai dirinja. Kemudian sambil bersenjum, tjoe-koh itu bertanja .

   "Kaukah Thio Tjie Kie dari Bie-san dengan gelar "Peng Oet-tie" ?"

   "Ja ", djawab Lie It terpaksa. ia tidak menduga, djulukannja Tjie Kie pun tertjatat di dalam daftar itu. Djulukan itu berarti.

   "Oet-tie Kiong jang sakit2-an".

   "Oet-tie-Kiong itu jalah panglima besar jang membantu keradjaan Tong membangun negara ", berkata Lie Beng Tjie.

   "dengan rujungnja, rujung Tjoei Mo Kong-pian, dia pernah menjapu delapan belas radja muda pemberontak, maka itu, karena kau didjuluki Peng Oet- tie, kau mestinja pandai menggunai kong-pian ".

   "Sebenarnja hamba hanja mengerti beberapa djurus ilmu pedang ", Lie It menjahut.

   "Djulukan itu diberikan oleh beberapa sahabat Rimba Persilatan jang menggodai aku ". Lie Beng Tjje membatja pula daftar.

   "Benar, di sini tertjatat djuga kau mengerti ilmu pedang ", katanja.

   "Baiklah, kau tjobalah ilmu rujung dan pedangmu itu !". Lie It menurut. Ia tidak pandai ilmu kong-pian, ia mendjalankan djurus jang umum, jaitu Liok-hap-pian. Karena ia memangnja berdasar baik, dapat ia bersilat lumajan. Di dalam ilmu pedang, ia tidak berani mempertundjuki ilmu pedangnja, jaitu Ngo-bie Kiam-hoat, maka ia mainkan sedjurus Pat Sian Kiam-hoat, jaitu ilmu pedang Pat Sian Kiam.

   "Dapatkah kau menggunai berbareng kedua sendjata ?", tanja Lie Beng Tjie.

   "Bisa ", menjahut Lie It. la pernah melihat Thio Tjie Kie menggunai rujung di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Ia terus bersilat dengan kedua sendjatanja itu. Lie Beng Tjie mengawasi, agaknja ia heran.

   "Kau digelarkan Oet-tie, kenapa ilmu rujungmu tak semahir ilmu pedang ?", dia tanja.

   "Pula, ilmu pedangmu nampak belum dikeluarkan semuanja. Ada beberapa djurus jang masih dapat diperbaiki, agaknja kau takut mengeluarkannja. Kenapakah ?". Di dalam hatinja, Lie It terkedjut. Liehay toa-tjoe-koh ini, jang dapat melihat rahasianja itu. Tapi ia dapat membesarkan njali, ia menjahut dengan tjepat. Katanja .

   "Entah apa sebabnja, melihat demikian banjak mata mengawasi aku, aku mendjadi bingung, selagi aku ingin mengasi lihat kebisaanku, aku djusteru tak dapat menggunai pedangku ini ". Lie Beng Tjie bersenjum.

   "Nah, kau mempunjai kepandaian apa lagi jang istimewa ?", ia tanja pula.

   "Aku dapat menjambuti sendjata rahasia ", mendjawab Lie It. Beng Tjie berpikir. Tadi orang telah mempertundjuki ilmu panah.

   "Baik ", katanja.

   "Akan aku menjuruh orang memanah kau setjara berantai. Apakah udjung panah tadjam perlu disingkirkan ?".

   "Tidak usah ", sahut Thio TjieKie tetiron.

   "Panah itu tidak mengenal kasihan, kalau kesalahan, hebat akibatnja. Apakah kau tidak takut ?", Lie Beng Tjie menegasi.

   "Djikalau seorang memanah aku, aku memperhatikan dia ", mendjawab Lie It dengan keterangannja.

   "Dengan aku telah memperhatikan, pikiranku tidak katjau. Kalau udjung panah disingkirkan, aku kuatir kepandaianku nanti tidak dapat dilihat ". Lie Beng Tjie tertawa terbahak.

   "Djadi kau kuatir orang tidak melihat kepandaianmu !", katanja.

   "Baiklah, sekarang kau boleh mulai !". Ia memberikan perintahnja. Seorang kauw-wie lantas madju dengan dua ekor kuda tunggangan. Kuda jang satu diserahkan pada Lie It, untuk dia ini menaikinja dan pergi ke sebelah depan. Keduanja lantas lari berputaran, ber-kedjar2-an.

   "Awas !", kemudian berseru si kauw-wie, jang terus memanah, hingga anak panahnja berbunji njaring. Lie It berkelit dengan tipunja "di dalam sanggurdi menjembunjikan diri". Anak panah lewat di-iganja. Ia menjampok balik, membikin anak panah itu djatuh ke tanah. Segera datang serangan jang lain, bahkan saling-susul tiga kali. Lie It mentjelat djumpalitan di atas kudanja, tangannja menjambar berlaku sebat dan gapah. Semua penonton kagum dan bersorak memudji. Kauw-wie, atau boesoe itu, seorang djago panah, jang mengandalkan dirinja, maka ia penasaran semua seranngannja gagal. Lagi2 ia memanah, tiga kali beruntun. Kali ini ia menggunai kepandaiannja jang istimewa. Nampaknja tiga batang panah mengarah ke punggung. sebenarnja langsunq ke bokong, batok kepala dan samping iga. Penonton semua terkedjut, mereka berhenti bersorak setjara mendadak, semua mata mendelong mengawasi. Lie It tidak bingung. Ia mentjelat dari punggung kuda, hingga semua anak panah lewat di bawah kakinja. Tapi ia bukan tjuma mentjelat, ia berdjumpalitan dari itu tangannja dapat menjambar, menangkap ketiga batang anak panah itu. Setelah itu, ia duduk pula di atas kudanja.

   "Bagus !", Lie Beng Tjie tanpa merasa berseru dengan pudjiannja. Si penjerang mendjadi merah mukanja. Djusteru Lie It baru duduk, ia menjerang pula. Kali ini dengan dua anak panah beruntun, Ia bukan menjerang orang, hanja kuda, kaki belakang. Ia pikir .

   "Asal kudanja roboh dan dia roboh bersama, tidak usahlah aku mendapat malu ...". Ia pertjaja, dengan Lie It lagi bertjokol, tidak nanti dia mendapat waktu untuk dapat menangkap anak panah di belakang kuda. Ia tengah berpikir atau Lie It sudah bergerak dalam tipu silat "ikan gabus lompat berbalik", jalah dengan kedua kaki menjantel di pelana, tubuhnja mendengak ke belakang, kedua tangannja diulur dipakai menangkap kedua anak panah itu. Si boesoe melihat gerakan orang, ia heran dan penasaran, maka lagi sekali ia memanah pula, keras2 dua kali beruntun. Menjaksikan itu, para hadirin mendjadi mendongkol.

   "Ini pieboe, mengadu kepandaian, bukannja mengadu djiwa !", kata mereka di dalam hati.

   "Kenapa hatimu begini busuk ?". Di dalam keadaan seperti ini, guna menolong dirinja, terpaksa Lie It mengasi lihat kepandaiannja jang istimewa. Tidak bisa ia berkelit atau menangkap pula dengan kedua tangannja. Maka ia melenggak dan mementang mulutnja, menjambuti anak panah jang satu, untuk memakai itu memapaki, menjerang anak panah jang kedua, membikin anak panah itu runtuh. Maka gemuruhlah tepuk tangan para hadirin. Si tukang panah menghampirkan Lie Beng Tjie, untuk menjerahkan tugasnja sambil ia menjatakan .

   "Thio Tjie Kie sangat liehay, aku menjerah kalah ". Lie It pun madju kepada kepala Sin Boe Eng itu, untuk mengatakan ia gagal menangkap anak panah jang kedua, hingga ia tjuma membuat buah tertawaan sadja.

   "Kepandaian kau tidak dapat ditjela ", kata Lie Beng Tjie.

   "Bukan sadja kau pandai menjambuti sendjata rahasia, djuga ilmu ringan tubuhmu dan tenaga-dalam telah ada dasarnja. Kau hebat !". Toa-tjoe-koh ini mengangkat pitnja jang bertinta merah, tetapi ia memutarkan itu tanpa dikasi turun ke kertas daftar, seperti djuga ia lagi memikir. Ia pun berdiam sadja. Mau atau tidak, hati Lie It berdebaran. Ia turut dalam udjian asal dapat dipilih supaja ia bisa berada dalam keraton, dekat dengan Boe Tjek Thian, guna turun-tangan. Tetapi barusan, dua anak panah terachir dari penjerangnja memaksa ia mengeluarkan kepandaiannja jang istimewa. Ia pertjaja, kepandaiannja itu bisa mendatangkan ketjurigaan orang, apabila ia didesak, rahasianja bisa petjah. Lie Beng Tjie masih belum menurunkan pit-nja. Lebih dulu ia menjuruh si tukang panah mengundurkan diri, lalu ia melihat pula daftar.

   "Kau mundur dulu, kau menanti sebentar ", katanja kemudian. Lie It mundur dengan hati terus tidak tenteram. ---oo0oo--- HABIS dia, madju satu tjalon lain, namanja Tjoei Tiong Goan, seorang jang dipudjikan pembesar kota Sin-koan, Hoolam.

   "Kaulah seorang ahli pedang kenamaandari Hoolam ", berkata Lie Beng Tjie.

   "Apakah kau pernah menemui tandingan ?". Terkedjut djuga Lie It. la pernah mendengar nama Tjoei Tiong Goan, jalah muridnja Pat-Tjioe Sian-Wan Tjia Pouw Tjie. Dia terkenal di lima propinsi Utara. Tidak disangka, dia datang sebagai tjalon djuga. Ia pun heran, kenapa Lie Beng Tjie menunda dirinja dan sebaliknja memanggil dulu satu kiam-kek, ahli pedang, dari Hoolam itu. Tiong Goan seorang jang dapat berlaku merendah di luar, di dalam dia djumawa. Dia mendjawab .

   "Di kolong langit ini banjak ahli pedang kenamaan, sajang murid belum pernah menemuinja. Pernah murid bertemu beberapa orang tua, mereka pernah memberi petundjuk tetapi belum pernah kita bertanding. Untuk jang lainnja, mereka tidak dapat dipikirkan, djikalau murid bertanding dengan mereka, menang pun tidak ada harganja untuk di-sebut2

   ". Tiong Goan menjebut dirinja "murid", sebab adalah kebiasaan, umumnja di dalam udjian, tjalon memandang diri sebagai murid, pengudji dianggap sebagai guru. Untuk udjian sipil dan militer, sama sadja. Lie Beng Tjie bersenjum.

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Djadinja, ketjuali beberapa tetua jang terbatas itu, kau belum menemui tandinganmu !", katanja.

   "Kau menjebut beberapa tetua, siapakah mereka itu ?".

   "Liap-in-kiam Kok Sin Ong dan Pat-sian-kiam Wan Bok pernah murid menemuinja di rumah murid ", Tiong Goan menjahut.

   "Itulah kedjadian lima atau enam tahun jang lampau. Selagi bergembira, mereka menjuruh murid main2

   ".

   "Sampai berapa djurus kau dapat melajaninja ?", Beng Tjie menanja pula.

   "Beberapa tetua itu tjuma hendak mentjoba, mereka tidak mengeluarkan kepandaian mereka, dari itu murid tjuma menjambut mereka sepuluh djurus lebih ", sahut pula Tiong Goan.

   "Dia dapat melajani lebih daripada sepuluh djurus, itulah hebat ", memikir Lie It.

   "Dia djadinja bukan bernama kosong !".

   "Djikalau begitu, ilmu pedangmu tidak ada ketjelaannja ", kata Beng Tjie tertawa.

   "Sekarang aku ingin menjaksikan kepandaianmu itu. Hendak aku menjuruh seorang melajanimu, setudjukah kau?".

   "Setudju !", sahut Tiong Goan, jang hatinja djumawa.

   "Bagus !", berkata Lie Beng Tjie, jang lantas menundjuk Lie It.

   "Aku menundjuk dia untuk melajani kau main2

   ". Lie It terkedjut.

   "Mana dapat murid melajani dia ?", berkata ia dengan tjepat.

   "Harap taydjin menundjuk lain orang sadja ...".

   "Kau djangan kuatir !", berkata Beng Tjie sambil tertawa. Terus dia menjuruh mengambil dua batang pedang kaju, sedang seorang lain diperintah mengambil semen ke dalam mana udjung kedua pedang dibelesaki, setelah mana, kedua pedang diserahkan masing2 kepada kedua tjalon itu. Beng Tjie lantas berkata pada Lie It .

   "Tadi kau belum memperlihatkan semua ilmu pedangmu, sekarang ketikanja untuk mentjoba itu. Tjara ini djuga tidak membahajakan djiwa, hingga kedua belah pihak tak usah menguatirkan apa djuga. Habis pertandingan akan diperiksa, siapa jang paling banjak totokan semennja di tubuhnja, dari situ akan bisa dilihat siapa menang dan siapa kalah !". Lie It bukan takuti Tiong Goan, ia hanja berkuatir nanti orang melihat kepandaiannja, jang mana bisa berarti djuga terbukanja rahasianja. Untuk ia, menang atau kalah serba-salah. Tapi tjoe-koh sudah memerintahkan, ia tidak dapat menolak. Maka ia bawa pedangnja madju ke dalam kalangan. Tjoei Tiong Goan nampak sangat bersemangat. Lie It itu tidak dia pandang.

   "Silakan kau memberikan pengadjaranmu saudara Thio !", katanja lantang, pedangnja melintang di depan dadanja.

   "Saudara Tjoei jalah ahli pedang kenamaan, mana siauwtee berani lantjang !", kata Lie It merendah. Ia pun menjebut diri siauwtee, adik.

   "Silakan saudara sadja jang mulai ". Lie It bersangsi, mentjoba merebut kemenangan atau mengalah ?. Tiong Goan mendjadi tidak sabaran.

   "Maaf !", katanja sambil terus menjerang. Dia menikam ke muka dengan djurusnja "Heng tjie thian lam"

   Atau "menuding melintang ke selatan".

   Guru Tiong Goan dikenal sebagai Pat- Tjioe Sian Wan, Si Kera Sakti Tangan Delapan, iImu silat pedangnja pun dinamakan "Leng Wan Kiam-hoat", atau ilmu pedang Kera Sakti, maka itu bisa dimengerti kegesitannja, sedang Tiong Goan sudah mendapatkan kepandaian gurunja itu.

   Demikian, hebat penjerangannja ini, jang tidak bisa diduga, serangannja gertakan belaka atau sungguh2.

   Lie It berkelit dengan hatinja terkesiap.

   Masih ia bersangsi.

   Udjung pedang njerempet di pundaknja.

   Melihat itu, semua hadirin tertawa riuh.

   Ia mendjadi merah mukanja.

   Ia telah kena ditowel pedang.

   Ia berpikir keras .

   "Rupanja Lie Beng Tjie telah mentjurigai aku, djikalau aku mengalah terus, rahasiaku bisa benar2 terbuka. Inilah berbahaja ...". Karena ini, ketika Tiong Goan mengulangi serangannja, ia tidak bisa mengalah terus. Ia lantas menangkis sambil menggeser tubuhnja ke samping, ia lantas membalas menjerang. Ia djuga menggunai djurusnja Tiong Goan itu jalah "Heng tjie thian lam". Tiong Goan berseru kaget, ia berkelit, tetapi pundaknja telah kena ditowel. Ia mendjadi kaget berbareng gusar. Sambil memusatkan perhatian, ia punmenjingkirkan pandangan rendahnja kepada lawannja ini. Maka sekarang ia menjerang sambil tak melupakan pendjagaan diri. Dengan tjepat mereka telah bergerak kira2 tiga puluh djurus. Para hadirin mendjadi kagum. Banjak jang matanja mendjadi seperti kekunangan. Tiong Goan ber-gerak2 bagaikan terbang, sebatang pedangnja seperti mendjadi puluhan batang. Dia berlompat ke kiri dan kanan Lie It, ke belakang, lalu ke depan, hingga Lie It nampak tjuma bisa menangkis, tidak dapat menjerang. Lie It menggunai ilmu pedang Pat-sian-kiam jang biasa, ia mendjadi repot. Para hadirin lantas berpikir .

   "Ilmu pedang Thio Tjie Kie tidak dapat ditjela. Tetapi biar bagaimana, Tjoei Tiong Goan menang satu tingkat darinja ...". Lalu mendadak datang titahnja Lie Beng Tjie menghentikan pertandingan itu. Sambil tertawa, tjoe-koh ini kata .

   "Kamu berdua seimbang, tidak usah kamu bertanding lebih djauh. Thio Tjie Kie lebih banjak kena ditowel akan tetapi Tjoei Tiong Goan tertowel di tempat2 jang berbahaja. Karena kamu berdua mempunjai kelebihanmu masing2, lain kali kamu dapat berlatih bersama untuk perjakinan terlebih djauh ". Sesudah orang berhenti bertanding, para hadirin melihat tubuh Lie It seperti penuh totokan semen, tetapi Tiong Goan telah tertowel tiga kali ulu-hatinja, maka kalau dia bukannja tertikam pedang kaju, mungkin djiwanja sudah terbang. Maka orang pun kagum kepada tjoe-koh, jang matanja demikian tadjam. Lie Beng Tjie menggeraki pit-nja, membuat dua bundaran merah di namanja kedua tjalon itu seraja dia berkata .

   "Kamu berdua dapat diterima !. Sebentar, se-selesai-nja udjian, nanti kita berbitjara teilebih djauh ". Lie It mengundurkan diri dengan hatinja terus tidak tenang. Ketika tjalon2 lainnja diudji, ia tidak ketarik untuk memperhatikan mereka itu. Ia pun lantas dirubung oleh banjak boesoe jang mengaguminja. Hanja kemudian ia memasang kuping ketika ia mendengar ada orang jang membitjarakan urusannja.

   "Aku lihat tjoe-koh tidak adil ", berkata satu orang.

   "Mestinja si orang she Thio jang menang. Tjoba mereka menggunai sendjata benar, kalau orang kena ditikam tiga kali ulu-hatinja, apakah dia masih hidup ?".

   "Bukannja begitu ", kata jang lain.

   "Thio Tjie Kie terluka di seluruh badannja, meski lukanja tidak berbahaja apa ia masih dapat membuat perlawanan dan menikam ulu-hati orang ?".

   "Kamu berdua keliru ", kata orang jang ketiga.

   "Habis ?".

   "Aku pun tidak dapat memutuskannja. Bukankah kita semua tidak melihat djelas ? Siapa tahu, sesudah terlukakan beberapa kali baru si orang she Thio dapat menikam ulu-hati tandingannja ?". Dua orang itu bungkam.

   "Lekas lihat, lekas lihat ...!", kata seorang lain lagi.

   "Lihat, ilmu tombaknja orang itu baik sekali !". Orang lantas mengawasi kalangan pieboe. Lie It turut melihat. Seorang tjalon nampak lagi bersilat dengan tombak, anginnja men-njambar2. Lie It tidak melihat lama, ia memikirkan pula urusannja. Ia memikirkan perkataannja Lie Beng Tjie. Tiba2 ada orang menghampirkan ia, menepuk pundaknja, lalu berbisik di kupingnja .

   "Saudara, kau menjimpan diri dalam2 hingga kau bagaikan kosong !". Ia terperandjat. Ia mendapati orang berewokan, bitjaranja sambil bersenjum, dan senjumannja rada aneh. Orang itu melandjuti.

   "melihat kepandaian kau, saudara tidak selajaknja kau mengalah mengasi dirimu tertikam, tetapi kau mengasikan dirimu ditikam ber-ulang2 ! Inilah sifatnja seorang ksatria tulen, kau menolongi orang ! Sungguh, aku kagum terhadapmu !".

   "Bukan, bukan begitu !", kata Lie It lekas.

   "Memang ilmu pedangnja Tjoei Tiong Goan liehay. Dia bahkan jang mengalah !".

   "Djikalau aku mendjadi Tjoei Tiong Goan, sedari siang2 aku sudah melemparkan pedang untuk mengaku kalah ", kata pula orang itu.

   "Taruh kata dia tidak menginsafi bahwa kau mengalah, dia mesti ketahui, setelah empat kali dia menikam kau, kau lantas menikam ulu-hatinja. Dia murid guru kenamaan, dan dia bertempur terus, sungguh dia bermuka tebal !". Lie It heran. Orang ini matanja tadjam. Apakah maksud dia ?.

   "Lagi satu hal siauwtee tidak mengerti, tolong saudara mendjelaskan ", kata pula si boesoe.

   "Apakah itu ?", kata Lie It.

   "Sudilah saudara menerangkan ...". Meskipun ia tidak suka bitjara tetapi Lie It merasa tidak enak berdiam sadja.

   "Saudara telah menggunai ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat, ada satu djurusnja jang luar biasa ", kata orang itu.

   "Entah apakah namanja djurus itu ?". Ia lantas memetakan djurus tersebut dengan gerakan kuda2 dan kedua tangannja. Kembali Lie It terkedjut. Orang ini bermata tadjam dan liehay. Memang itu satu djurus tjiptaan gurunja mirip dengan djurus "Terapung di lautan bintang", dari ilmu silat Pat-sian Kiam- hoat. Terpaksa ia bersandiwara. ,Aku terdesak Tiong Goan, saking terpaksa aku menggunai djurus itu ", katanja tertawa.

   "Sebenarnja itu bukan djurus berarti. Aku membuat saudara tertawa sadja ".

   "Djadi saudara Thio mentjiptakan itu seketika tengah terdesak. Tapi itulah liehay. Benar2 aku kagum !", kata pula siberewokan, suaranja seperti mengedjek seperti bukan. Lie It lantas ber-pura2 menonton, karena djusteru itu ia mendengar tempik-sorak ramai. Tapi djusteru ia menonton, ia mendjadi tertarik hatinja. Tjalon kali ini jalah seorang muda dengan pakaian putih, dia lagi mempertundjuki permainan golok menabas pelatok. Di udjung gelanggang ditantjapkan belasan pelatok kaju sebesar tjangkir teh, si tjalon memisahkan diri delapan tombak, dari situ dia menimpuk dengan hoei-too.

   "golok terbang". Setiap kalinja, dia membuat pelatok itu putus. Kepandaian itu tidak aneh, jang heran jalah tenaga-dalamnja. Sebab jang dinamakan hoei-too atau golok terbang adalah sebilah pisau belati jang tipis, tetapi pisau ketjil itu dapat memutuskan pelatok itu. Di dalam hatinja, Lie It memudji. Tudjuh kali sudah si boesoe pakaian putih menimpuk, lalu dia kata njaring .

   "Masih ada tiga batang hoei-too ! Kali ini aku hendak menjerang berbareng memutuskan tiga pelatok dengan berbareng djuga !". Orang heran, semua lantas berdiam, mata mereka mengawasi tak berkedip. Tjalon itu berkata demikian, sebelah tangannja diajun, tetapi goloknja tidak terlihat terbang. Orang mendjadi heran, semua tertjengang. Djusteru begitu ada suara tadjam berseru .

   "Bekuk pembunuh gelap !". Itulah sebab si tjalon bukan menimpuk ke depan hanja ke belakang, ke arah panggung tempat duduknja tjoe-koh! Djadi dia hendak membunuh Lie Beng Tjie, pemimpin tangsi Sin Boe Eng !. Kedjadian sangat di luar dugaan. Di samping teriakan itu, orang mengetahuinja sesudah ketiga hoei-too disampok djatuh oleh Lie Beng Tjie. Melihat demikian, boesoe pakaian putih ini berseru bengis . ,Mati siapa jang menentang aku! Hidup siapa jang minggir!"

   Lantas dengan memutar pedangnja, dia menerdjang ke luar.

   Ketika ada orang jang merintangi, ia menjerang dengan hoei-too.

   Sebentar sadja, tiga orang terlukakan pedang, dua orang terkena hoei-too.

   Keadaan lantas mendjadi katjau.

   Lie It tidak ingin tjampur urusan itu, ia hendak menjingkir, atau si berewokan berbisik di kupingnja .

   "Lekas pegat pembunuh itu !". Djusteru itu, si boesoe badju putih lari ke arahnja, dengan lekas dia mendekati hingga tiga tombak. Si berewok berteriak, atas mana ia diserang dengan hoei-too. Ia berkelit seraja mendak. Entah disengadja atau tidak, sikut-nja menjentuh Lie It. Dia ini tidak menjangka, dia terbentur hingga terhujung dua tindak. Maka tepat sekali, hoei- too menjamber ke tenggorokannja. Sjukur ia awas dan lintjah, sekalian sadja ia menggeser kakinja satu tindak, hingga tenggorokannja itu ketolongan. Tapi hoei- too jang kedua menjusul. Golok ini ia lantas hadjar djatuh dengan pedangnja. Sementara itu, si pakaian putih telah tiba. Masih Lie It bersangsi.

   "Tangkap atau djangan ?", demikian pertanjaan jang berkutat dalam hatinja. Orang hendak membunuh Lie Beng Tjie, orang mesti ada orang dari golongannja. Kalau ia tidak menangkap, rahasianja sendiri bakal petjah. Si boesoe pakaian putih tapinja tidak banjak pikir, ia tidak ragu2.

   "Serrr ...!", suara pedangnja, jang ditikamkan ke muka Thio Tjie Kie tetiron. Sekarang tidak dapat Lie It bersangsi pula. Ia terantjam bahaja. Maka ia lantas menangkis ! Dan ia mesti menggunai djurusnja jang istimewa karena datangnja serangan hebat sekali.

   "Traang ...!", demikian suara bentrokan. Pedang boesoe itu terpental. Tetapi ia liehay, tanpa menarik pulang lagi, hanja dengan mengikuti ajunan sendjata, dia menjerang pula, hingga sinar pedangnja bagaikan menggulung. Dengan djurusnja "Mengikuti angin memetjah gelombang", Lie It menangkis memetjahkan serangan itu. Atau lagi2 si boesoe menikam pula, untuk mengulang dan mengulanginja hingga tudjuh kali, semua mengarah anggauta2 tubuh jang berbahaja. Karena ini terpaksa Lie It membela diri dengan djurusnja "Memeluk pokok, mendjaga satu". Hebat pertahanan ini, serangan si boesoe tidak memberi hasil. Djustru orang kewalahan, mendadak Lie It membalas menjerang dan ia berhasil menikam lengan orang. Ketika itu, karena tertjegat Lie It, lain2 boesoe dan wiesoe keburu memburu. Dua wiesoe liehay dari Sin Boe Eng berlompat madju, jang satu menangkap kedua tangan orang, jang satu pula menendang. Karena tangannja terluka, boesoe pakaian putih itu kehilangan kegesitannja. Dia roboh tertendang, dia lantas ditubruk, maka di lain saat, dia lantas terbelenggu. Tjoba dia tidak terluka, pasti dia masih melawan hebat.

   "Pembunuh sudah tertangkap, beres sudah !", berkata satu wiesoe kepada semua tjalon.

   "Silakan kamu kembali, untuk menantikan dilandjutinja udjian. Djangan ada jang katjau !". Tjoei Tiong Goan melihat kegagahannja Lie It itu, baru sekarang ia insaf bahwa ia kalah dari Lie It, maka itu ia mengundurkan diri dengan kuntjup. Lie It sebaliknja sangat berduka.

   "Dia bernjali besar, dia gagah tak ada di bawahanku ", katanja di dalam hati.

   "Sajang dia kena ditangkap ...". Ia menjesal bukan main. Ketika ia memandang kepada si boesoe, djusteru orang itu mengawasi tadjam kepadanja, sinar matanja menundjuki dia penasaran dan berduka.Maka ia mendjadi semakin tidak enak hati, lekas2 ia berpaling ke lain arah.

   "Pendjahat telah kena ditawan, djasamu paling besar !", kata si djago Sin Boe Eng.

   "Pasti Lie Taydjin akan menghadiahkan besar kepadamu !".

   "Terima kasih ", kata Lie It perlahan, sedang hatinja bagaikan karam. Habis kekatjauan lantas datang ketenangan. Lie Beng Tjie segera mengumumkan .

   "Udjian ditutup sampai di sini, akan dilandjuti besok ". Ketika orang bubaran, Lie It turut mengundurkan diri. Ia heran Lie Beng Tjie tidak menjapanja, hingga ia djadi berpikir keras. Kembali ia diliputi kesangsian dan kekuatiran. Selagi orang ramai membitjarakan urusan si pembunuh dengan sepak terdjangnja itu jang berani, ia berdjalan tjepat, kepalanja tunduk. Baru ia keluar dari kalangan, mendadak ia merasa ada orang menepuk pundaknja. Tempo ia mengangkat kepala, ia mendapatkan si berewokan.

   "Ha ha ha, saudara ...!", kata dia itu.

   "Kegagahan kau melebihkan dugaanku ...! llmu pedangmu itu, walaupun Oet-tie Tjiong memuntjulkan diri pula atau Kok Sin Ong hadir di sini, mereka pun tak beda banjak ! Benar-benar hari ini mataku telah terbuka ...!". Lie It mengeluh dalam hatinja. Orang per-tama2 menjebut gurunja. Itu tandanja orang ini melihat bahwa ia telah menggunai djurus adjaran gurunja itu. Karena terpaksa, ia berlagak pilon.

   "Kau bergurau, tuan ", katanja, tertawa.

   "Mana bisa aku dibandingkan dengan dua wiesoe liehay itu ...". Si berewokan tidak memperdulikannja.

   


Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Keajaiban Negeri Es -- Khu Lung Sang Ratu Tawon -- Khulung

Cari Blog Ini