Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh 7


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 7



Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Kau berdjasa, saudara, kau bakal memperoleh hadiah besar ", katanja pula.

   "Siapa tahu kau bakal diangkat mendjadi wiesoe dari Thian Houw ? Itulah artinja terbang tinggi ! Maka aku mengharap sangat kau nanti membantu mengangkat aku !". Si berewokan menatap, lantas dia tertawa.

   "Saudara begini setia dan menjinta negara, sungguh siauwtee kagum !", katanja. Kewalahan Lie It untuk menjingkir dari orang berewokan ini, terpaksa ia melajani orang bitjara, untuk saling beladjar kenal, maka tahulah ia, orang itu she Lamkiong bernama Siang, asal kota Lim-tjoe, propinsi Shoatang. Dari pembitjaraan ini pun ia mendjadi mendapat tahu, tjalon pembunuh Lie Beng Tjie itu bernama Pek Goan Hoa, penduduk sekitar kotaradja.

   "Heran ", pikir Lie It.

   "Di kotaradja ini, pemilihan tjalon mestinja keras, kenapa dia dapat dipudjikan ? Pembesar jang memudjikannja pasti bakal diseret ke dalam pendjara ...". ---oo0oo--- DI hari kedua lantas dapat diketahui, tjalon untuk tangsi Sin Boe Eng itu telah didapatkan tjukup seratus orang, diantaranja Lamkiong Siang djuga lulus, bahkan si berewokan ini dimasuki dalam satu rombongan dengan Lie It, mendjadi "wiesoe jang meronda di luar istana". Sebab istana itu terpetjah dua, luar dan dalam, luar jalah keraton tempat audiensi, tempat rapat pelbagai menteri dan kantor menteri2, sedang istana jalah tempat ratu atau permaisuri, selir2 dan lainnja keluarga kaisar. Di antara istana dan keraton ada batasnja dan terdjaga keras. Karena itu, Lie It putus asa. Dengan ditempatkan di istana luar, itu artinja. tidak dapat ia datang dekat kepada kaisar, kepada Boe Tjek Thian. Lewat lagi dua hari, Lie It mendjadi heran dan bertjuriga. Ia masih belum mendapat panggilan dari Lie Beng Tjie. Pada dua hari pertama, ia djuga masih belum bertugas meronda atau berdjaga. Demikian, ketika ia tinggal berduduk dengan masjgul di kamar penginapan wiesoe, ia dihampirkan si wiesoe Lamkiong Siang, si berewokan jang mengadjaknja memasang omong.

   "Sajang kita ditugaskan diluar hingga kita tidak dapat menjaksikan keindahan taman di dalam istana ", katanja tiba2. Lie It tjuma melajani "Ja, ja.

   "

   Sadja. Ia tidak gembira untuk berbitjara, ia memang tidak ingin membitjarakan urusan seperti itu.

   "Kabarnja Thian-houw berdiam di istana Leng po-kiong jang terlarang ", kata pula Lamkiong Siang.

   "Istana itu katanja bagaikan tempat dewa-dewi. Ada seorang wiesoe sahabatku, dia pernah masuk ke dalam istana, dia memudji tak habisnja Leng-po-kiong itu adanja dekat Pengempang Thay-Ya-tie, di sebelah depannja jalah pendopo Kian-goan-tian dari kaisar ahala Tong. Kian-goan-tian indah tetapi masih kalah dengan Leng-po-kiong !". Lie It kenal baik keraton jang disebutkan. Semasa ketjilnja, sering ia ber-main2 di situ. Sebaliknja daripada memperhatikan tjerita Lamkiong Siang, ia heran kenapa si berewokan ini me-njebut2 keletakannja keraton itu, dia seperti sengadja membotjorkan rahasia istana Boe Tjek Thian. Tengah mereka bitjara, ada datang seorang pesuruh dari tangsi Sin Boe Eng. Dia memanggil Lie It. Maka Thio Tjie Kie tetiron mendjadi bertambah heran dan tjuriga. Ketika itu sudah mendekati maghrib.---oo0oo--- BIARNJA ia bertjuriga, karena dipanggil sep-nja, Lie It tidak berani membantah. Maka ia tak berajal akan mengikuti pesuruh itu. Ketika ia mau pergi, Lamkiong Siang melirik ia dan berkata sambil tertawa .

   "Saudara Thio, ketikamu jang baik telah tiba, maka kau sambutlah itu baik2 !". Hati Lie It bertjekat. Kata2 itu seperti mengandung dua maksud. Lie Beng Tjie berdiam di pendopo samping dari Ngo Hong Lauw jaitu lauwteng Lima Ekor burung Hong, jalah batas di antara istana dalam atau lwee-wan, dan keraton luar, gwa-kiong. Ia tengah menantikan ketika Lie It tiba. Lantas ia tertawa.

   "Apakah kau belum bersantap malam ? Mari kita bersantap bersama ...!". Lega sedikit hati Lie It menampak orang ramah2. Lie Beng Tjie memudji kepandaian si orang she Thio tetiron, lalu dia menanjakan riwajat dan pengalamannja semasa beladjar silat. Itulah pertanjaan jang Lie It telah menduga semendjak siang2, maka itu, dapat ia mendjawabnja dengan baik. Tadinja, di samping meminta surat pudjian Thio Tjie Kie, ia djuga sudah menanjakan asal-usulnja orang she Thio itu, hingga sekarang dapat ia memberikan djawaban seperlunja. Ia merasa bahwa ia tidak sampai membuka rahasia sendiri. Lie Beng Tjie djuga tidak menanjakan dengan melit. Setelah tiga idaran, habis sama2 mengeringkan sebuah tjawan, baru Lie Beng Tjie menimbulkan soal membekuk tjaIon pembunuh. Katanja .

   "Tentang itu hari udjian kau menangkap orang djahat sudah aku melaporkannja kepada Thian-houw, setelah diperiksa, ternjata orang itu ada pesuruhnja Tjie Keng. Sekarang aku hendak menjerahkan padamu sebuah tugas ". Hati Lie It melondjak.

   "Silakan taydjin menitahkannja ", katanja terpaksa. Se- bisa2 ia menundjuki roman tenang.

   "Thian-houw menitahkan aku ", berkata Lie Beng Tjie.

   "supaja pembunuh itu diserahkan kepada Tay-lwee tjongkoan untuk diperiksa, maka kaulah jang harus mengantarkan dia. Setelah itu, untuk sementara kau mesti berdiam sama tjongkoan taydjin di sana. Ada kemungkinan Thian-houw nanti memanggil kau menghadap ". Kabar ini diterima Lie It dengan separuh girang dan separuh kuatir. Ia girang karena dengan begitu datang ketikanja untuk ia berada dekat sama Boe Tjek Thian. Jang membuatnja kuatir jalah ia takut kalau2 si tjalon pembunuh nanti dihukum mati. Itulah seperti djuga ia jang mengambil djiwa orang itu.

   "Inilah suatu tugas rahasia, tidak dapat orang luar mengetahuinja ", berkata pula Lie Beng Tjie.

   "Setelah tjuatja gelap, baru kau membawa dia, supaja tidak sampai menjolok di mata orang banjak, oleh karena dikuatir baik di dalam terutama diluar istana masih bersembunji kontjo2-nja Pwee Yam. Umpama kata mereka mendapat tahu kau mengiringi pendjahat itu, mungkin mereka memegat dan menjerang di tengah djalan guna membungkam mulut orang itu. Maka kau harus berlaku hati2. Kau lebih gagah daripada dia, umpama benar terdjadi sesuatu, kau dapat menguasai dirinja ". Baru sekarang Lie It mengetahui kenapa ia dipanggil di waktu maghrib itu. Sampai di situ Lie Beng Tjie mengasi tahu Lie It tentang tanda2 di antara wiesoe di dalam istana, djuga tjaranja bagaimana si orang tawanan mesti diserahkan kepada tay-lwee tjongkoan, habis mana baru dia menjuruh seorang wiesoe membawa keluar orang tawanan tersebut. Orang itu bermata tjekung dan tindakannja tidak wadjar, maka melihat demikian, Lie It menduga bahwa pastilah orang telah disiksa. Dia mengawasi dengan mata tadjam dan bengis, bibirnja bergerak tetapi tidak keluar suaranja. Itulah tanda bahwa dia telah ditotok urat gagunja hingga dia tidak dapat menegur atau mendamprat. Ia mendjadi sangat masjgul. Dengan menguati hati, ia memegang tangan orang untuk dituntun. Ia membawa orang itu pergi dengan ia memegang kim pay. Tiba di batas keraton, Lie It disambut oleh satu wiesoe, jang menundjuki ia djalan ke tjongkoan-hoe, jaitu kantor tjongkoan, hingga ia harus pergi seorang diri. Ia djalan melintasi taman. Ketika itu tjahaja rembulan terang. Ia meliwati lorong dan pepohonan, pohon yang-lioe dan bunga2. Setindak demi setindak ia berdjalan di tempat di mana ia biasa pesiar, hingga ia berduka sendirinja. Segera djuga Lie It tiba di samping gunung2-an di mana tidak ada orang lainnja. Mendadak si orang tawanan berkata dengan perlahan .

   "Kita berdua tidak bermusuhan, apakah benar2 kau menghendaki djiwaku ?". Lie It terkedjut. Bahwa orang itu dapat membebaskan diri dari totokan urat gagu, ia tidak heran. Orang itu memang liehay. Ia hanja kaget atas itu pertanjaan langsung dan tadjam, hingga ia mendjadi bingung dan tidak lantas dapat mendjawab. ,Kau tjuma mau mentjari pangkat, bukankah ?", berkata pula si orang tawanan.

   "Dengan membikin aku tjelaka, paling banjak kau bakal diangkat mendjadi tongnia atau wiesoe di dalam keraton. Djikalau kau suka mendengar perkataanku, aku berani menanggung untukmu pangkat jang terlebih besar dan kemuliaan jang terlebih besar pula ".

   "Bagaimana ?", tanja Lie It heran."Kita bekerdja sama membunuh Boe Tjek Thian, lantas kau mendjadi menteri besar jang berdjasa jang membangun pula Keradjaan Tong jang agung !". Hanja sedjenak itu, otaknja Lie It berkutat.

   "Aku tidak mengharapi pangkat, lebih2 tidak kemuliaan ", sahutnja tawar. Si orang tawanan mengawasi mendelong. Lie It pun memandang orang itu, lalu mendadak ia berkata.

   "Aku suka melepaskan kau, aku djuga suka bersama kau membunuh Boe Tjek Thian !". Si orang tawanan membuka lebar matanja.

   "Benarkah?", ia menanja, menegasi. Lie It menghunus pedangnja, untuk membabat borgolan hingga putus.

   "Sekarang djuga kita pergi !", katanja. Orang tawanan itu mementang matanja lebih besar.

   "Kau siapa ?", ia tanja.

   "Kau sendiri siapa ?", ia balik bertanja.

   "Aku Pek Goan Hoa dari kotaradja ini, akulah rakjatnja Keradjaan Tong jang agung !".

   "Aku bujutnja Kho Tjouw Hiongtee, aku jalah Lie It !".

   "Oh ...!". Goan Hoa berseru, kaget dan heran .

   "Sebenarnja Eng-kok-kong menitahkan aku pergi pada kau, siapa sangka kita bertemu di sini !". Lie It tidak berkata lagi hanja menarik tangan orang untuk diadjak lari melewati taman bunga itu sampai di tepi pengempang Thay-ya-tie, dari mana lantas mereka bisa melihat keraton Leng-po-kiong.

   "Saudara Pek, tolong kau memasang mata di sini ", kata Lie It.

   "Djikalau ada jang memergoki, kau hadjar mampus padanja dengan golok-terbangmu !". Ia lantas mengeluarkan beberapa buah pisau belati, diserahkan pada orang tawanan itu. Sendjata tadjam itu ia siapkan untuk membunuh Boe Tjek Thian, karena mana, ia tjuma membekal dua bilah.

   "Apakah Thianhee ada mendjandjikan lain orang ?", tanja Pek Goan Hoa.

   "Tjuma kita berdua. Takutkah kau ?". Goan Hoa tertawa.

   "Djikalau aku takut, tidak nanti aku serang Lie Beng Tjie !", djawabnja. Keraton Leng-po-kiong berada di tepi pengempang Thay-ya-tie, di belakang itu ada sebuah gunung palsu, maka Lie It menitahkan Pek Goan Hoa bersembunji di dalam gunung2-an itu untuk memasang mata, ia sendiri lantas menggunai kepandaiannja ringan tubuh, untuk berlompat naik ke gunung2-an, untuk dari sana berlompat naik lebih djauh ke genting katja dari keraton tersebut itu. Keraton Leng-po-kiong terdiri dari beberapa wuwungan, dari satu jang di tengah nampak tjahaja api terang, maka Lie It menudju ke sana. Sebentar sadja ia telah tiba. Ia memasang mata dan kuping. Ia tidak melihat wiesoe dan tidak mendengar sesuatu suara. Lalu ia kata di dalam hatinja .

   "Pastilah Boe Tjek Thian tidak menjangka bahwa ada pembunuh jang memasuki keraton-nja ini, maka djuga dia berbesar hati dan beralpa. Dasar dia bakal hilang djiwanja !". Lantas dengan menjangkel kakinja di pajon rumah, Lie It membikin tubuhnja bergelantungan di udjung genting, untuk matanja memandang ke dalam keraton. Djusteru itu, ia mendengar .

   "Thian-houw terlalu bertjapai lelah ...". Lie It terkedjut. Ia mengenali suara itu, suaranja Siangkoan Wan Djie. Hampir kakinja terlepas dari tjantelannja. Djadi benar apa jang ia dengar mengenai nona Siangkoan itu. Katanja dalam hatinja .

   "Benar2 Wan Djie sudah melupakan sakit hati ajah dan ibunja, dia bertakluk kepada musuh !". Maka ia mendjadi sangat berduka, ia berputus asa. Darahnja lantas bergolak, sampai ia tidak tahu bagaimana harus menenangkan diri. Tapi, ia berhati kuat, ia lantas mengawasi. Kali ini ia bagaikan disiram air dingin, hingga hatinja pun mendjadi dingin separuhnja. Boe Tjek Thian dan Siangkoan Wan Djie duduk berhadapan. Di samping Boe Tjek Thian berdiri seorang nona. Dan dialah bukan lain orang daripada Boe Hian Song, nona jang tjantik dan liehay itu. Bukan kepalang bingungnja ini pemuda bangsawan. Ia sudah menggenggam pisau belatinja tetapi tidak dapat ia menimpuk dengan itu. Dengan adanja Boe Hian Song di sisi ratu, penjerangan tidak dapat dilakukan, atau itu akan berarti kegagalan. Djadi malam ini ia telah pasti gagal.

   "Kouw-kouw ", terdengar suaranja Boe Hian Song, jang memanggil kouw-kouw atau bibi kepada ratu itu.

   "apakah malam ini kouw-kouw ingin melihat si pembunuh ?".

   "Aku tidak ingin melihat pembunuh itu, hanja aku memikir melihat orang jang menangkapnja ", menjahut Boe Tjek Thian, si ratu.

   "Kabarnja orang itu liehay ilmu pedangnja ", berkata Boe Hian Song.

   "Bahkan Lie Beng Tjie tidak dapat mengenali asal-usul dari ilmu pedangnja itu ".

   "Maka itu si pembunuh tidak aneh, jang aneh jalah orang jang menawannja !".

   "Apakah namanja dia ?", Hian Song tanja pula.

   "Menurut Lie Beng Tjie, dia orang Bie-san, namanja Thio Tjie Kie ".

   "Ah, belum pernah aku mendengar nama itu ...", kata Hian Song heran.

   "Thian-houw ", Wan Djie tjampur bitjara.

   "Ada satu hal mengenai mana aku sangat tidak mengerti ".

   "Apakah itu ?".

   "Pembunuh itu dipudjikan pembesar di kotaradja. Kenapa si tjamat tidak diperiksa untuk dihukum ?". Boe Tjek Thian tersenjum.

   "Per-lahan2 kau bakal mengerti !". Hatinja Lie It bertjekat. Teranglah Boe Tjek Thian telah mentjurigai dia. Pula tindakan Boe Tjek Thian dalam urusan tjalon pembunuh itu agaknja di luar dari kebiasaan. Hanja belumsempat ia memikir pula, ia sudah mendengar lagi suaranja ratu itu.

   "Tentang si pembunuh, lain kali sadja kita omongkan pula ", katanja.

   "Sekarang tjoba kau batjakan maklumatnja Tjie Keng itu ", Siangkoan Wan Djie ragu2.

   "Lebih baik kalau tidak dibatjakan ", katanja. Boe Tjek Thian tertawa.

   "Maklumat itu maklumat menghukum aku, pastilah bunjinja mendamprat habis2-an padaku !", ia kata.

   "Apakah kau takut aku mendengarnja ? Jikalau aku takut ditjatji, tidak nanti aku berani mendjadi kaisar perempuan satu2-nja semendjak terbukanja dunia ini !. Wan Djie, kau tetapkan hatimu. Maklumat itu buah-kalamnja Lok Pin Ong, pasti bunjinja tak buruk, maka aku djusteru ingin mendengar, satu kali sadja ...!". Siangkoan Wan Djie terdesak, ia mengeluarkan maklumat itu dari sakunja, lantas ia membatja dengan perlahan .

   "Si orang she Boe jang sekarang mendjadi kaisar palsu, sifatnja luar biasa halus, tetapi dia sebenarnja orang rendah dan tidak mempunjakan pengaruh ...".

   "Bagus, karangan itu bagus dan tepat djuga !", kata Boe Tjek Thian, memotong.

   "Memang aku turunan rendah. Ajahku seorang pedagang kaju dan pamanku orang tani. Memang tabiatku djuga tidak halus ". Siangkoan Wan Djie membatja terus .

   "Dulu dia mendjadi selirnja Sri Baginda Thay tjong, dia membikin kotor keraton. Dia mempermainkan almarhum Sri Baginda, untuk mendjadi si orang berkuasa. Dengan djalan mendjilat dia mempengaruhi Djundjungan ...".

   "Tepat kata2 itu ...!", kata Boe Tjek Thian.

   "Aku dikatakan menjesatkan kaisar almarhum, aku dibilang busuk. Memang, semendjak ribuan tahun, demikian bangsa pria mentjatji bangsa wanita ...!. Walaupun iramanja irama kuno, toh tata bahasanja bagus ! Batja ..., batja terus ...". Mukanja Wan Djie mendjadi merah sendirinja. Ia membatja perlahan .

   "Hingga permaisuri di-ilas2 dan djundjungan terdjerumus bagaikan binatang ". Dengan itu diartikan Boe Tjek Thian sudah bergantian bersuamikan kedua kaisar ajah dan anak (Thay Tjong dan Kho Tjong), hingga dia berbuat sebagai binatang. Tjatjian itu sangat hebat tetapi ratu itu tidak gusar, dia tjuma tampaknja berduka.

   "Apakah itu karena kehendakku ?", dia bertanja sengit.

   "Baginda almarhum mengambil aku dari kuil, dia paksa aku mendjadi selirnja. Apa aku bisa bikin ? Sebabnja kenapa aku tidak ingin mati jalah untuk mengandjurkan wanita di kolong langit ini selandjutnja djangan kesudian diperhina bangsa pria ! Aku telah diperhina oleh ajah dan anak dua generasi !. Lok Pin Ong bukan mendamprat kaisarnja, dia djusteru menimpakan kedosaan atas diriku, itulah tidak dapat dikatakan adil ...!".

   "Maka itu baiklah djangan dibatjakan terus ...", kata Wan Djie.

   "Dari mulut andjing toh tidak bakal muntjul tjaling gadjah ".

   "Bukan, dengan mentjatji Lok Pin Ong setjara demikian, kau pun berbuat tidak adil ", kata Boe Tjek Thian.

   "Seorang menteri ada sudut pandangannja sendiri. Di mata mereka, wanita itu sumber kebentjanaan, dan wanita jang mendjadi kaisar jalah siluman. Lok Pin Ong pasti menganggap dia benar dan di waktu mengarang maklumatnja ini, tentu dia puas sekali, sama sekali dia tidak merasa bahwa dia menghina orang setjara tidak adil ".

   "Kalau begitu baiklah, mari dengar lagi ", kata Wan Djie.

   "Hanja bukankah itu mengadakan jang tidak2 ?". Ia membatja .

   "Dia berhati bagaikan ular berbisa, dia bersifat seperti serigala. Demikian dengan kedjam dia menganiaja menteri2 setia, dia membunuh entjie dan engkonja, dia membinasakan kaisar dan meratjuni ibunja. Dia dibentji manusia dan malaikat, dia tak dapat diterima langit dan bumi !". Boe Tjek Thian tertawa terbahak.

   "Entjieku itu mati membunuh diri ...!", katanja.

   "Perkara membunuh entjie itu mungkin masih dapat didjambret sebagai alasan, seperti menjamber angin dan menangkap bajangan, tetapi tuduhan membunuh engko, membinasakan kaisar dan meratjuni ibu, darimana datangnja itu ?. Maka aku djadi ingat kepada satu lelutjon. Ada seorang kiedjin turut dalam udjian, dalam karangannja ada kata2 . Adikku mati di Kanglam, kakakku terbinasa di perbatasan Utara. Kepala udjian menerima dia dan memanggil dia menghadap, untuk mengatakan padanja . Bagaimana menjedihkan keadaan keluargamu itu ?. Atas itu si kiedjin bilang . Adikku mati di Kanglam, itulah benar. Tentang kakakku, sampai sekarang dia masih hidup baik2. Aku hendak menulis indah, terpaksa aku membuatnja kakakku itu mati satu kali ...". Siangkoan Wan Djie tertawa geli hingga ia mengeluarkan airmata. Lok Pin Ong hendak membikin karangannja mendjadi indah sekali, dia djadi mirip dengan si kiedjin !", katanja. Lalu ia membatja terus melandjuti .

   "Dia djuga mengandung maksud djahat, dia hendak merampas keradjaan. Maka putera kaisar jang disajang dikurung di lain istana, sedang sekutunja pengkhianat diberikan djabatan2 penting ...!. Demikian, sungguh menjedihkan nasibnja sebuah keradjaan ". Mendengar itu, Boe Tjek Thian tersenjum. Dengan demikian dia mau persamakan aku dengan Lu Houw, Tio Hoei Yan dan Poo Soe ", katanja.

   "Singkatnja,wanita itu busuk. Negara musnah, bukan dia tjari sebab-musababnja, dia timpakan kesalahan kepada wanita ! Ha ha ha ...! Itulah sederhana sekali. Nah, kau batja terus, mungkin di bagian bawah dia mengangkat Tjie Keng !".

   "Benar,"

   Sahut Wan Djie, jang terus membatja .

   Tjie Keng jalah menteri tua dari Keradjaan Tong, dia turunan orang bangsawan, dia ingin melangsungkan usaha kaisar almarhum, maka sekarang dia bangkit-bangun untuk membasmi siluman !.

   Sekarang ini rakjat telah hilang harapan ...!".

   Boe Tjek Thian tertawa.

   "Bagus kata2 karangan ini ", katanja.

   "Sebenarnja, siapakah jang hilang harapan ? Aku mendjadi kaisar, maka merekalah si menteri2 lama dan turunan bangsawan jang putus asa. Sebaliknja, rakjat tidak hilang harapannja ...!". Lie It mendengar itu, hatinja berdebar. Dia mau menggulingkan Boe Tjek Thian, dialah jang dimaksud segolongan dengan Tjie Keng (Giap) itu. Maklumat mengatakan rakjat berputus asa, tetapi sekarang buktinja, rakjat jang mentjatji Boe Tjek Thian tidak ada. Wan Djie membatja pula. Sekarang maklumat melukiskan usaha atau pergerakan tentara, jang dipudji tinggi.

   "Bagus ! Bagus !", Boe Tjek Thian memudji susunan kata2-nja maklumat.

   "Dengan begitu tentera dipudji kegagahannja. Eh, Wan Djie, apakah kau tidak merasa bahwa kaum sastrawan terlalu banjak omong ?".

   "Memang, selama beberapa hari ini, bagaimana djalannja peperangan ?", tanja si nona.

   "Lie Hauw It memperoleh kemenangan ber-ulang2, sekarang tentaranja Tjie Keng sudah dikurung ", kata Boe Tjek Thian.

   "Mungkin tidak sampai sepuluh hari lagi dia bakal dapat ditindas seluruhnja ". Lie It menjedot napas dingin. Boe Hian Song, jang semendjak tadi berdiam sadja, tertawa.

   "Tjie Keng jalah seorang panglima kenamaan, kenapa dia demikian tak berguna ?", ia tanja.

   "Sebenarnja rentjana kerdjanja baik sekali ", kata Boe Tjek Thian.

   "Di sebelah dalam dia mempunjai Pwee Yam sebagai penjambut. Dia pula telah berserikat sama Tay tjiangkoen Thia Boe Teng dari angkatan perang kita di Selatan. Dia ingin Thia Boe Teng berontak. Liehay siasat itu, sajang telah kena kita petjahkan. Ingatkah kau pembunuhnja anak Hian ?".

   "Bukankah dia jang dipanggil Thia Boa Ka?".

   "Tidak salah. Aku telah beri ampun padanja. Lantas dia membuat pengakuan siapa jang sudah menitahkan dia bekerdja. Dialah adik dari Thia Boe Teng. Aku mengetahui perbuatan khianat dari Thia Boe Teng, semua itu djasanja Thia Boe Ka ". Dia berhenti sebentar, lalu dia menambahkan .

   "Sebab utama dari kekalahannja Tjie Keng jalah rakjat tidak membantu dia. Karena rahasianja botjor, itu mempertjepat keruntuhannja. Baiklah, Wan Djie, kau batja terus ".

   "Dengan tindakan kita ini, kenapa musuh tak terbasmi ? Kenapa kita tidak dapat mendirikan djasa ?", demikian Wan Djie membatja.

   "Maka itu kalian, mustahil kalian lupa akan kesetiaan ? Di sana ada setumpuk tanah jang belum kering. Di sana ada enam anak jatim-piatu, bagaimana harus ditundjangnja ?".

   "Bagus kata2 itu !", kata Boe Tjek Thian.

   "Dengan tanah belum kering dimaksudkan kuburan Kaisar Kho Tjong. Anak2 piatu itu jalah beberapa putera kaisar. Lok Pin Ong me-njebut2 kuburan Kaisar almarhum dan anak2-nja, supaja dia dapat simpati dan umum membantunja, guna dia merampas negara. Kata2 itu sungguh menarik ! Hanjalah, aku jang mendjadi ibu masih belum mati, kenapa anak2 itu disebut jatim-piatu ? Bukankah di mata mereka, mereka itu tjuma mempunjai ajah, tidak mempunjai ibu ?".

   "Kata2 setumpuk tanah tidak tepat !", kata Hian Song.

   "Tempat pekuburan kaisar demikian besar dan agung, mana dapat itu disebut hanja setumpuk tanah ?".

   "Rupanja itu tjuma untuk memperbagus buah kalam ", kata Ratu.

   "Sudah, kita djangan perdulikan itu. Batja terus ...".

   "Djikalau kita sudah berhasil maka kita telah berdjasa menundjang djundjungan kita. Kita tidak men-sia2-kan pesan djundjungan kita ", demikian bunji maklumat terlebih djauh.

   "Dengan begitu maka djasa kita akan memperoleh hadiah ...". Boe Tjek Thian tertawa.

   "Baru bergerak, sudah me-njebut2 djasa atau pangkat tinggi ", katanja.

   "Djadi mereka itu bukan bekerdja untuk rakjat hanja untuk pribadi mereka masing2. Dia menulis begitu matjam, apakah dia tidak takut nanti datang tentangan dari rakjat ?". Wan Djie lantas membatja bagian terachir dari maklumat, jang menjebutkan bahwa kalau mereka berhasil, negara mendjadi kepunjaan siapa ?. Habis itu, ia menjerahkan maklumat itu kepada Boe Tjek Thian. Ratu itu menjambuti.

   "Maklumat ini ", katanja sambil tertawa.

   "djikalau dilemparkan ke tanah dapat mengasi dengar suara djatuhnja emas dan batu permata, susunannja indah sekali, hanja sajang kotaradja sekarang ini bukan lagi kota mereka ! Wan Djie, tjobalah kau terka, mendengar bunjinja maklumat jang menjerang aku ini, apakah kesanku jang pertama ?".

   "Segala apa jang Thian- houw pikir kebanjakan jang di luar sangkaan kita ", menjahut si nona.

   "Mendengar maklumat ini ", kata Boe Tjek Thian.

   "jang pertama aku pikir jalah siapa jang mendjadi perdana menteri dialah jang harus ditegur !. Ada orang jang dapatmengarang maklumat ini, mengapa dia dibiarkan kena dipekerdjakan oleh Tjie Keng ?". Mendengar perkataan ratu itu, bukan melainkan Siangkoan Wan Djie jang heran tetapi djuga Lie It. Ia kata dalam hatinja .

   "Lok Pin Ong mentjatji dia habis2-an, bukannja dia mendjadi gusar, sebaliknja dia mentjela si perdana menteri tidak pandai mempekerdjakan orang. Orang ini pandangannja luar biasa djauh, dia pun sangat sabar. Sekarang kita menempur dia untuk memperebuti negara, agaknja dalam pertjaturan ini mungkin kita pasti bakal kalah ". Boe Tjek Thian tertawa pula dan kata lagi .

   "Maklumat ini bagus bahasanja sajang tidak ada tenaganja. Tjoba kamu lihat, adakah di antaranja jang me-njebut2 rakjat?. Tidak ...! Pergi dan pulang, dia tjuma menjerang kebidjaksanaan pribadi dari aku, dengan segala kata2 kotor dia memfitnah aku. Di samping itu, mereka mengadjak sekalian orang bangsawan bergerak ber-sama2, maksudnja untuk membangun djasa dan mendapatkan pangkat dan kemuliaan. Djikalau mereka menamakan diri tentara sukarela, seharusnja mereka mengangkat rakjat untuk menghukum si bersalah, tetapi mereka bukan bitjara untuk rakjat !. Mereka tidak menggubris rakjat, mana dapat rakjat memperhatikan mereka ?. Maka djuga maklumat ini bagus tetapi tanpa tenaga atau pengaruhnja !". Ratu ini hening sedjenak. Ia tersenjum ketika ia mengatakan pula .

   "Aku ingat bahwa baru2 ini Pwee Heng-kiam pernah merundingkan tentang mereka itu, katanja mereka tjuma mementingkan ilmu bahasa, tetapi pengetahuan mereka tidak tinggi, benarlah pandangan itu ".

   "Apakah Thian-houw menghendaki aku menulis untuk membantah mereka, kata2-nja jalah dengan mengambil pikiran Thian- houw barusan ?", tanja Siangkoan Wan Djie. Boe Tjek Thian tertawa.

   "Perlu apa untuk men-sia2-kan pit dan tinta ?", katanja. Siangkoan Wan Djie mendjadi heran.

   "Thian-houw ", tanjanja.

   "menurut pandangan Thian-houw, tidak dapatkah maklumat ini kemudian mendjadi terwariskan untuk djaman belakangan ?".

   "Maklumat ini indah. Itulah pasti ", menjahut ratu itu.

   "Rakjat membatja dan tidak mengerti, tetapi kaum sastrawan pasti akan mengaguminja ".

   "Nah, itu djusteru jang aku buat kuatir !", kata Wan Djie.

   "Aku mengerti maksudmu !", kata Boe Tjek Thian tertawa lebar.

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau kuatirkan maklumat Lok Pin Ong ini mendjadi seperti warisan untuk ribuan atau laksaan tahun kemudian, karena mana namaku akan mendadi bau untuk se-lama2-nja !. Bukankah nanti, orang di djaman belakangan, akan memandang aku sebagai wanita paling djahat ?". Wan Djie berdiam. Ia tidak menjangka Boe Tjek Thian dapat bitjara begitu terus-terang. Setelah tertawa, Boe Tjek Thian menjambungi, perlahan .

   "Aku telah mendjadi kaisar wanita jang di dalam hikajat belum pernah kedapatan, maka itu djikalau aku tidak mengubah hikajatnja pria agung dan wanita rendah, pasti aku bakal tertjatji-maki. Tentang ini aku telah menduganja. Tapi kau djangan terlalu menguatirkan. Aku pertjaja bahwa di belakang hari bakal ada ahli hikajat jang djudjur, jang akan dapat berpikir untuk membelai aku. Mungkin itu akan terdjadi sesudah ribuan atau laksaan tahun kemudian ". Siangkoan Wan Djie tetap berdiam, melainkan paras mukanja menandakan ia tidak akur dengan pandangan ratu itu.

   "Wan Djie ", kata Boe Tjek Thian, tenang.

   "aku memikir meminta kau tolong aku mengarang sebuah firman, jang mesti dikirimkan tjepat setjara kilat supaja bisa segera sampai kepada Lie It, untuk menitahkan Lie It biar bagaimana djuga djangan membinasakan Lok Pin Ong !". Mendengar itu, Lie It merasa matanja kegelapan, ia seperti putus asa.

   "Inilah wanita jang terlebih tangguh dari pada seorang pria !", pikirnja. Ia mendapat anggapan, sekalipun ia sendiri, ia bukan lawan Boe Tjek Thian. Maka itu ia naik ke genting di mana ia duduk menumprah dengan tidak keruan rasa. Sampai mendadak ia menampak djauh di sebelah depan sesosok tubuh bergerak bagaikan bajangan tubuh dari seorang wiesoe.

   "Malam ini aku tidak dapat turun tangan, apa perlunja aku berdiam lama2 di sini ?", kemudian ini anak muda berpikir. Ia memandang ke bawah, ke pelbagai istana, ke dalam taman, hingga ia menampak pemandangan alam jang indah bagai gambar lukisan. Ia mendjadi ingat masa ketjilnja, ketika ia suka pesiar di dalam keraton ini. Dan setelah malam ini, dengan gagal niatnja membunuh Boe Tjek Thian, tidak akan ada lagi saatnja ia akan dapat mengindjak pula ini istana atau keraton jang indah. Bahkan ada harapan jang seumur hidupnja ia bakal hidup dalam perantauan, dalam dunia Kang-ouw. Ia mendjadi sangat berduka hingga air matanja mengembeng. Ia telah memikir buat mengangkat kaki tetapi beberapa kali ia batal, tanpa dikehendaki, ia memandangi pula istana atau keraton jang indah itu. Tapi jang membuatnja merasa paling berat bukannja istana itu atau tamannja, hanja seorang jang berada di dalam keraton. Ialah Siangkoan Wan Djie. Dengan telah masuk ke dalam keraton dan mendjadi orang di pihaknja Boe Tjek Thian, mana ia mempunjai harapan lagi ?. la mendjadi melamun .

   "Tahukah diabahwa sekarang aku berada di sini ? Dapatkah ia menemui aku di dalam impian ?". Pula di situ ada Boe Hian Song. Nona itu pernah menolong dia, budinja besar. Si nona sekarang dalam kedudukan sebagai musuhnja. Ia mendjadi bingung, apa ia harus bersjukur kepadanja atau membentji dia ?. Djuga dengan nona Boe ini, untuk selandjutnja, sukar ada pengharapannja untuk bertemu pula. Pikirnja .

   "Dapatkah dia memikirkan aku ?". Ia lantas mendjawab sendirinja .

   "aku tidak tahu. Hanja aku tahu pasti, aku sendiri dapat memikirkan dia, tidak perduli dia musuhku ...". Selagi anak muda ini masih terus bertjokol, tiba2 ia terkedjut mendengar suaranja Siangkoan Wan Djie .

   "Aku telah selesai menulis firman. Apakah Thian-houw ingin melihatnja ?".

   "Sudah, tidak usah ". Boe Tjek Thian mendjawab.

   "Wan Djie, selama ini apakah kau terus masih mengarang sjair ? Aku mendjadi memikir kedjadian itu malam ketika kau hendak membunuh aku. Aku masih ingat sjair jang kau buat malam itu. Ketika itu kau agaknja sangat membentji aku ", Wan Djie tertawa.

   "Ketika itu aku sungguh2 tidak tahu apa2

   ", bilangnja. Boe Tjek Thian djuga tertawa.

   "Aku tadi telah membuat sjair untuk mendjawab sjairmu itu, Bunga Gubahan ", katanja.

   "Bunga gubahan, bunga buatan manusia. Tapi, bukankah segala apa djuga bikinan manusia ? Sjairku sjair Bersenandungkan bunga bie-toh. Kau dengar aku batjakan, lalu aku minta kau suka menggubahnja terlebih djauh."

   Lantas dengan perlahan ratu ini bersenandung .

   "Pohon bie-toh tanaman manusia. Ichtiar manusia memenangkan usaha Thian. Rembulan menerangkan angkasa, kapan tiba waktunja, empat pendjuru lautan mendjadi merah. Musim semi terang dan indah, dan musim rontok menggembirakan. Berlaksa tahun hidup tegak, roda emas berbahagia tak habisnja ". Boe Tjek Thian mendjuluki diri "Kim Loen Hongtee,"

   Atau 'Kaisar Roda Emas', maka itu sjairnja ini memaksa manusia mengalahkan Thian. Itu melulu suaranja seorang kaisar wanita.

   "Sungguh mulut besar !", kata Lie It di dalam hati. Sementara itu Siangkoan Wan Djie memudji, katanja .

   "Bagus, bagus ! Bersemangat dan iramanja indah! Tidak dapat aku membuat sjair demikian !". Boe Hian Song tertawa, dia menanja .

   "Kouw-kouw, bagaimana bergembira kau malam ini. Kau sampai melupakan bahwa kau hendak memeriksa si pembunuh ".

   "Benar !", Wan Djie pun bilang.

   "Kenapa Tayhwee tjongkoan masih belum tiba ?", Lie It terperandjat. Segera ia ingat .

   "Djikalau aku tidak mengangkat kaki sekarang, sebentar sudah terlambat, aku bakal kena dipergoki mereka ...". Baru ia memikir demikian, atau bajangan tadi tampak tiba, terus dari atas wuwungan dia mengajun tangannja. Maka terbanglah dua bilah hoei-too ke dalam keraton itu. Bukan main sebatnja orang itu, baru sesudah dia menimpuk dengan hoei-too, Lie It mengenali dia. Jalah si berewokan Lamkiong Siang. Ia tadinja mau menjangka Pek Goan Hoa. Ia tidak menduga kepada rekannja itu. Lantas di dalam keraton itu terdengar tertawa njaring tetapi empuk. Siangkoan Wan Djie dengan sebelah tangannja menjambuti sebatang hoei-too alias golok-terbang (Di sini diartikan pisau-belati). Selama di Kiamkok, nona ini telah mempeladjari ilmu menjambuti sendjata rahasia. Sebenarnja ia hendak menangkap dua2-nja tetapi Boe Hian Song telah mendahului menjampok dengan tangan badju hingga hoei-too itu mental balik, menantjap di penglari. Boe Hian Song pun berseru terkedjut .

   "Ah, bukan dia! Ini bukannja dia !". Si berewokan itu mengerti gelagat. Begitu ia ketahui bokongannja gagal, ia tahu di dalam keraton itu bersembunji orang liehay, maka ia lantas melompat turun. Hanja dalam sekedjapan sadja, di antara satu sinar putih terang, terlihat ia sudah bertempur sama seorang boesoe. Lagi2 Lie It kena dibikin kaget saking herannja. Boesoe jang merintangi dan menjerang si berewokan itu bukan lain orang daripada Pek Goan Hoa. Entah dari mana dapatnja, Goan Hoa telah menggunai pedang sebagai sendjatanja. Begitu lekas sudah menempur Lamkiong Siang empat atau lima djurus, Pek Goan Hoa berteriak njaring .

   "Masih ada satu, jang bersembunji di atas genting. Dia bernama Lie It !. Dialah tjutjunja kaisar keradjaan Tong she Lie !". Sedjenak itu Lie It insaf. Njata ia telah masuk dalam perangkap. Terang selama udjian itu, Pek Goan Hoa membokong Lie Beng Tjie untuk bersandiwara sadja, untuk memantjing ia mengeluarkan kepandaiannja, supaja ia pun mengenalkan dirinja kepada pembunuh palsu itu. Sampai di situ, tanpa ajal lagi ia melompat turun. Lamkiong Siang berkelahi dengan sebatang golok di tangannja, dia berhasil mendesak. Pek Goan Hoa main mundur, sambil mendesak itu, si berewokan berseru .

   "Aku akan meng-halangi2 dia ini, lekas kau lari. Lekas lari...!". Tapi Lie It sudah melompat mentjelat, ia tiba di samping Pek Goan Hoa, jang ia lantas tikam dengan djurusnja "Lie Kong memanah batu". Pek Goan Hoa menangkis. Ketika keduasendjata bentrok, pedangnja kena dibabat kutung. Ia liehay, ketika ia diserang untuk kedua kalinja, ia masih dapat menangkis dengan pedang buntungnja, pedang mana kemudian dipakai menangkis djuga goloknja Lamkiong Siang. Lie It tidak mempunjai napsu untuk bertempur terus.

   "Mari kita pergi !", katanja pada Lamkiong Siang, jang ia tarik udjung badjunja. Pek Goan Hoa mendengar suara itu, dia tertawa lebar dan berkata .

   "Djangan mimpi !. Di sini telah dipasang djaring langit dan djala bumi. Baiklah baik2 sadja kamu berdiam di sini !". Lie It tidak memperdulikannja. Lagi dua kali ia menjerang hebat. Dua2 kalinja Goan Hoa dapat menghindarkan diri. Sambil berseru bengis, Lie It melompat lari. Dia menjerukan .

   "Mati siapa menghadang aku !. Hidup siapa minggir !". Tapi mendadak terdengar sambutan tertawa besar dan kata2 njaring .

   "Sungguh djumawa! Aku djusteru hendak menghalangi kau !". Suara itu disusul sama berkelebat muntjulnja satu bajangan, jang segera dapat dikenali sebagai satu di antara tiga djago Sin Boe Eng, jalah Tjin Tam jang pandai meraup-menggulung tepung katjang dengan kain benderanja. Pula dia mempunjai sendjata jang luar biasa, jaitu bendera pandjang tiga kaki dengan gagangnja kuningan, karena mana, udjungnja itu dapat digunai sebagai poan-koan-pit atau tombak, sedang benderanja sendiri, bendera itu sebenarnja ada sulaman atau anjaman kawat daripada emas putih, hingga bendera istimewa itu tidak takut pedang jang tadjam. ---oo0oo--- Lie It tidak memikir lain. Ia madju terus.

   "Minggir !", serunja seraja ia menikam ke tenggorokan.

   "Diam kau di sini !", Tjin Tam pun membentak. Dia tertawa dingin, dia tidak takuti antjaman pedang. Dengan benderanja dia menjampok serangan, terus dia mentjoba menggulung. Lie It menarik pulang pedangnja. Ia terkedjut. Dengan mengandalkan ringannja tubuh, ia melawan terus. Tiga kali ia menikam saling-susul. Tjin Tam tidak mau mundur. Setiap kalinja dia menangkis seraja mentjoba menggulung pedang lawan. Pedang itu tidak berdaja asal kena disampok bendera. Maka itu, kekuatan mereka djadi berimbang. Pedang tidak dapat membabat bendera, bendera tidak bisa menggulung pedang. Demikian mereka bertempur hingga kira2 dua puluh djurus. Di samping Lie It, Lamkiong Siang djuga lagi bertarung terus. Bahkan rekan itu dirintangi oleh seorang wiesoe lain, hingga dia tidak sanggup lekas2 meloloskan diri. Wiesoe itu jalah orang kedua dari ketiga wiesoe jang liehay, dialah jang di waktu udjian mentjabuti sisa pelatok, jang bernama Thio Teng, jang bersendjata sebatang Tjee-bie-koen, toja pandjang sebatas alis. Dia bertenaga besar, tojanja mendjadi berat sekali. Anginnja toja itu men-deru2. Lamkiong Siang liehay ilmu goloknja tetapi ia tidak dapat berbuat banjak. Bahkan di lain saat terdengar ia mendjerit, lantaran udjung toja Thio Teng mampir di tulang keringnja hingga ia sempojongan. Lantas Thio Teng tertawa dan kata njaring .

   "Pek Goan Hoa, pembunuh ini aku serahkan padamu !". Setelah itu ia mengundurkan diri, untuk membantui Tjin Tam mengepung Lie It. Segera djuga terdjadi perubahan. Melajani Tjin Tam seorang, Lie It ada sama unggulnja. Dikepung berdua, ia lantas mulai terdesak. Toja itu berat tudjuh puluh dua kati dan pedang tidak dapat menggempurnja, sering kedua sendjata bentrok njaring, hasilnja untuk Lie It tidak ada. Dia bahkan repot karena bendera selalu berkibar berkelebatan. Lantas dia tjuma dapat main menangkis. Lamkiong Siang didesak Pek Goan Hoa sendiri. Untuk menolong diri, tiba2 ia menerbangkan goloknja. Goan Hoa tidak menjangka, pundaknja kena dilukai. Djusteru itu, musuhnja itu lompat mentjelat, untuk lari njelusup masuk ke pohon2 jang lebat. Thio Teng melihat kaburnja si pembunuh, ia mendjadi bersangsi baik ia membantui pula Goan Hoa, untuk mengedjar si pembunuh, atau ia tetap membantui Tjin Tam membekuk Lie It. Tengah orang bersangsi itu, Lie It menjerang dengan dahsjat sekali. Ia berlaku nekat, pedangnja menikam ke arah wiesoe itu hingga mengenakan sasarannja. Meski begitu, ia hendak menjingkir terus. Djusteru itu, Tjin Tam menotok dadanja. Ia melihatnja, ia lantas berkelit. Masih ia terlambat sedikit, udjung badjunja kena tersobek.

   "Djangan perdulikan djahanam itu ! Inilah dia si pendjahat besar !", Tjin Tam berseru. Thio Teng terluka tetapi tidak parah, ia mendjadi sangat gusar, maka itu, walaupun tidak ada seruan Tjin Tam, ingin ia menuntut balas. Sekarang ia nampak semakin garang. Dengan tojanja ia lantas mendesak, hingga Lie It kena terpukul mundur, hampir dia tidak dapat berdiri terus. Dalam keadaan seperti itu, Lie It mendjadi putus-asa berbareng nekat. Ia insaf bahwa ia sukar lolos. Ia tidak sudi menjerah meski ia tahu, lama2 ia bisa susah. Dalam putus-asa itu ia mengertak gigi. Mendadak ia melompattinggi, selagi turun, ia menjerang. Itulah djurusnja "Bima Sakti menggantung". Tjin Tam mengetahui pukulan mati2-an itu, dia lantas berseru, benderanja dipakai menutup diri. Toh ia merasa kewalahan. Thio Teng sendiri sudah lantas mundur, sedang matanja dibikin silau dengan berkelebatannja sinar pedang jang dibulang- balingkan. Meski begitu, dia gagal. Tahu-tahu udjung pedang telah mengenai pahanja, saking sakitnja, tubuhnja roboh, tojanja dilemparkan. Thio Teng wiesoe nomor satu, walaupun dia roboh terluka, dia tidak mau menjerah dengan begitu sadja. Demikian sambil roboh itu, ia menjerang dengan tojanja, jang dibikin terputar. Lie It melompat, dia melihat datangnja toja, dia mengangkat kakinja, untuk mendjedjak, tetapi toja menjerang keras, udjung kakinja jang belakang kena terbentur dan mendatangkan rasa sakit jang sangat. Ketika itu, Tjin Tam pun madju menjerang dengan benderanja, menikam ke arah perut.

   "Tahan !", se-konjong2 terdengar djeritan tjegahan, djeritan itu njaring dan tadjam. Itulah suara seorang wanita. Lie It masih dapat mempertahankan diri, untuk berdiri terus, akan tetapi hatinja gontjang. Ia mengenali suara wanita itu. Ia lantas melihat dua orang nona berlari berendeng menghampirkan padanja, ke-dua2-nja sambil tertawa. Jang berseru itu Siangkoan Wan Djie, dan jang lainnja Boe Hian Song. Ringan tubuh mereka itu, dengan lantas mereka telah datang dekat sedjarak tiga tombak.

   "Lie Kongtjoe, kami sengadja menantikan kau !", kata Nona Boe.

   "Sudah lama kami menantikannja !". Lie It melengak. Hanja sedjenak, ia mengangkat pedangnja, untuk ditikamkan kepada lehernja sendiri. Boe Hian Song seperti sudah menduga itu, tangannja segera diajun, maka kim-piauw, jalah piauw emasnja, lantas meluntjur, menjerang udjung pedang, hingga pedang itu meleset dari sasarannja. Sambil menimpuk, ia kata dengan dingin.

   "Seorang pria, seorang laki2, adakah dia begini tak berguna ?". Siangkoan Wan Djie madju dua tindak.

   "Engko Lie It, mari kau turut kami pulang ", ia berkata, perlahan, halus. Lie It mengertak gigi.

   "Djikalau kau madju lagi tiga tindak, akan aku bunuh diri !", ia mengantjam.

   "Umpama-kata aku tidak lantas mati, tetapi hatiku sudah mati lebih dulu !. Kamu tidak dapat mentjegah tubuhku terbinasa !". Mukanja Wan Djie mendjadi putjat, air matanja pun mengembeng.

   "Engko Lie It, kenapa kau berbuat begini ?", katanja perlahan.

   "Kau tahu, aku mengerti kau. Maukah kau mendengar perkataanku ?". Sekian lama Lie It berdahaga menemui Siangkoan Wan Djie, untuk ber-sama2 mengutarakan rasa-hati mereka, akan tetapi sekarang, sesudah tadi ia mendengar si nona membatjakan maklumatnja Lok Pin Ong, ia merasa Wan Djie seperti telah berpisah sangat djauh darinja, demikian djauh hingga mereka bagaikan orang asing satu dari lain. Ia seperti mengerti si nona tetapi berbareng seperti tidak mengerti djuga. Maka sekarang, biarnja ia mempunjai ribuan kata2, tidak dapat ia mengeluarkannja.

   "Engko Lie It, sebenarnja Thian- houw tidak bermaksud djahat terhadap dirimu ", kata pula Wan Djie. Mendadak mata Lie It mendelik.

   "Djangan bitjara pula !", ia berseru.

   "Pergi kau mendjadi menteri wanita !. Djangan kau pedulikan aku lagi. Aku tidak sudi melihat kau datang kepadaku sebagai si orang perantara tukang membudjuk !". Mukanja Wan Djie dari putjat mendjadi guram, ia merapatkan kedua bibirnja, air matanja mengembeng terus. la seperti tidak dapat membuka mulutnja. Lantas Boe Hian Song datang sama tengah.

   "Kau telah tiba di kotaradja ", katanja, tenang.

   "Segala keadaan di sini kau telah melihat dengan matamu sendiri. Apakah kau masih tetap tidak puas ?". Sakit rasa hatinja Lie It. Ia memandangi kedua nona itu. Mereka pun mengawasi padanja. Dengan menguati hati, ia melengos, untuk menjingkir dari pandangan mata mereka itu.

   "Sekarang ini aku telah berada di dalam tangan kamu ", ia berkata dingin.

   "Baiklah, ke mari kamu ! Bukankah kamu hendak menawan aku untuk dihadapkan kepada Thian-houw kamu ?". Siangkoan Wan Djie menghela napas.

   "Djikalau kau tidak sudi berdiam di sini, kau pergilah ", katanja perlahan.

   "Semoga di lain waktu kita dapat bertemu muka pula ". Boe Hian Song mengibaskan tangannja. Tjin Tam dan Thio Teng mundur ke kiri dan kanan, untuk membuka djalan. Lie It mentjoba menahan gontjangnja hatinja.

   "Hian Song, aku menghaturkan banjak terima kasih jang kali ini kau melepaskan pula padaku ", katanja tawar.

   "Tapi aku tidak dapat membalas budimu. Wan Djie, aku menjesal jang aku telah bertemu denganmu. Mulai hari ini, aku harap kau menganggap sadja bahwa di dalam dunia ini,tidak ada orang sematjam aku, dan aku pun akan memandang kau seperti sudah mati. Dalam hidup kita sekarang ini, di ini djaman, aku dan kau berpisah djalan, bagaikan mega dan lumpur, dan kau djuga djangan kau mengharap untuk bertemu pula denganku ". Siangkoan Wan Djie memutar mukanja, mendadak ia mendjerit, menangis dengan perlahan. Ia tahu, ketjuali ia turut pergi bersama, tidak nanti ia dapat bertemu pula sama Lie It itu. Maka itu, iamendjadi bingung sekali. Di ackhirnja, ia mengambil putusan akan tidak mengikut. Ketika ia memutar pula tubuhnja, Lie It sudah tidak ada. Djusteru itu waktu, di udara nampak tjahaja api berkelebat. Menampak itu, Hian Song melengak, hingga ia meraba gagang pedangnja. Tjin Tam bersama Thio Teng sudah lantas lari pergi.

   "Wan Djie, pergi kau beristirahat ", ia kata pada kawannja.

   "Aku hendak pergi tetapi aku akan segera kembali ". Api itu berkelebat sebentar, lantas lenjap. Wan Djie pun tidak memperhatikan itu, tetapi melihat Hian Song mau lari dengan tangannja mentjabut pedang, ia menarik udjung tangan badju orang, katanja .

   "Entjie, bukankah Thian-how telah bilang, dia mau pergi atau berdiam di sini, kita tidak dapat memaksa dia ? Aku tahu tabiatnja, maka itu djangan kau memaksa dia. Biarlah dia dikasi hidup !". Boe Hian Song tertawa, ia mengibas tangan badjunja.

   "Aku bukan hendak mengedjar dia, aku hendak mengantar dan melindungi dia pergi barang selintasan ", katanja.

   "Pergilah kau pulang ". Wan Djie heran. Ia menganggapnja Hian Song aneh sekali. Tertawanja si nona bukan seperti tertawa bikinan. Pada saat tertawa itu seperti tersimpan rasa sepi dan kuatir. Tengah ia men-duga2, si nona sudah berlari pergi, menjusul Tjin Tam dan Thio Teng ke belakang gunung. ---oo0oo--- BAGIAN belakang dari istana kaisar jalah gunung Lie San. Pada masanja Kaisar Tjin Sie Hong, di sana pernah dibangun A Pong Kiong, atau istana A Pong. Kemudian istana itu dibakar ludas oleh Hang Ie. Ketika keradjaan Tong membangun kotaradja di kota Tiang-an, di atas gunung Lie San itu didirikan djuga beberapa istana, hanja djauh beda daripada istana A Pong itu, banjak tempat di sekitarnja jang masih kosong. Lie It djusteru lari ke gunung itu, untuk kabur dari bagian belakangnja. Ketika ia tiba di tempat di mana istana A Pong, pernah berdiri, hatinja berduka sekali. Ia melihat kelilingan, ia mendapatkan tjuma rembulan sisir jang kesepian. Karena ia menjingkir terus, ia sekarang tak melihat lagi istana, jang telah ditinggal pergi djauh di sebelah belakangnja. Ia menghela napas, lantas ia bertindak per-lahan2 turun dan gunung itu. Ia berdjalan belum djauh atau kupingnja lantas mendengar suara bentrokan sendjata, tanda dari pertempuran. Ia mendjadi terkedjut. Ia pun segera melihat dua orang bagaikan bajangan jang lagi ber-lari2 seperti terbang mendatangi kearahnja. Lantas djuga tampak njata, orang jang berada di sebelah depan itu tubuhnja kekar, tangannja memainkan sebatang tjambuk jang pandjang. Terpisahnja mereka masih ada belasan tombak tetapi suara tjambuknja itu sudah men-deru2. Jang heran, melihat gerak- geriknja, dia bagaikan binatang liar jang terluka dan mogok. Sembari menggeraki tjambuknja itu, dia djuga mengasi dengar seruan2 dahsjat. Sekarang Lie It mengenali orang itu, orang lihay nomor satu dalam Sin Boe Eng. Dialah See-boen Pa. Hanja di waktu udjian tjalon wiesoe Sin Boe Eng, dia tidak muntjul. Dialah jang bersama Tjin Tam dan Thio Teng jang disebut "Sin Boe Eng Sam Toa-kho-tjioe"

   Atau tiga orang liehay dari tangsi Sin Boe Eng. Bahkan Tjin Tam dan Thio Teng termasuk sebawahannja. Kalau diingat ia sama tangguhnja dengan Tjin Tam, bisa dimengerti liehaynja orang she See-boen ini. Lantas Lie It berpikir pula .

   "Rupanja orang telah mengatur rentjana, untuk menawan aku. Mereka melepaskannja dulu, lantas di sini mereka menjembunjikan orang mereka jang terliehay. Hm....! Hm....! Boe Tjek Thian sangat litjik, sampaipun Siangkoan Wan Djie kena dia kelabui ! Mungkin Boe Tjek Thian menghendaki Siangkoan Wan Djie terus bersetia kepadanja, untuk membikin Wan Djie tidak bersusah hati, dia sengadja tidak mau mentjelakai aku di depan nona itu ...". Oleh karena memikir begitu, Lie It mendjadi nekat, maka bukan dia lantas lari menjingkir, dia sengadja madju untuk memapaki djago Sin Boe Eng itu. Tepat di saat ia madju, di belakangnja ia mendengar teriakan Boe Hian Song.

   "Lie Kongtjoe, lekas balik !". Suara itu seperti mengambang di tengah udara, nadanja menggetar, tanda dari hati tak tenang atau berkuatir sangat. Ia mendjadi terkesiap hatinja. Segera ia memikir .

   "Mereka menggunai siasat lunak dan keras terhadap aku, maksudnja tak lain tak bukan, untuk aku dapat dipaksa kembali. Akulah seorang laki2 sedjati, mana dapat aku bertekuk-lutut kepada musuh hingga aku mesti menerima penghinaan ?". Ia mendjadi nekat. Belum ia berhenti berpikir, ia sudah lantas mendengar tindakan kaki ber-lari2 dari Boe Hian Song. Di lain pihak lagi, tjambuknja See-boen Pa sudah sampai di depannja.

   "Tahan !", Hian Song berteriak di saat Lie It berdiri di atas djurang. Sia2 belaka tjegahan itu, tubuhnja Lie It sudah bergerak bagaikan terbang ke dalam djurang jang dalamnja seratus tombak itu. Bukan mainkagetnja Boe Hian Song. Inilah ia tidak menjangka. Ia pun hampir sadja terguling kedalam djurang karena mendadak ia merasakan kepalanja pusing, dunia seperti berputar. Masih terdjadi peristiwa lainnja jang hebat. Dalam Hian Song katjau pikirannja itu, ada bajangan jang lompat melewati atasan kepalanja See-boen Pa, lalu sebuah sendjata jang hitam menimpa ke arah kepalanja si nona. See-boen Pa melihat itu, ia mentjoba-menangkis dengan tjambuknja seraja ia berseru.

   "Nona Boe, lekas membantui aku !". Hian Song bagaikan sadar. Ia melihat seorang toosoe, atau imam, berdjubah hidjau, jang tangannja mentjekal hoed-tim, atau kebutan. Dengan kebutannja itu, imam itu dengan gampang menangkis tjambuk See- boen Pa. Samberan angin tjambuk itu rasanja tadjam. Tjambuk itu terus menjamber ke arah si nona. Walaupun pikirannja tengah terganggu, sebab kaget berduka dan berkuatir, Hian Song dapat seperti wadjar sadja menghindari diri dari bahajanja sendjata si imam. Habis menjerang itu, si imam tertawa terbahak.

   "Apakah kau si budak Boe Hian Song ?", dia menegur.

   "Ha, ha. Aku djusteru lagi metjari kau !. Kau mempunjai kepandaian apa maka kau berani mentjelakai muridku ?". Njata sekarang imam ini jalah Thian Ok Toodjin. Ketika itu hari dia dikalahkan Kim Tjian Kok-tjioe Heehouw Kian dalam satu pertandingan, dia berniat pulang ke gunung Koen-loen-san untuk mejakinkan lebih djauh ilmu silatnja, tetapi dia kena dibudjuki dan dibikin panas hatinja oleh kedua muridnja, Ok-heng-tjia dan Tok- sian-lie hingga bersama kedua murid itu dia pergi ke kota Tiang-an untuk menolongi Pwee Yam dari dalam pendjara sekalian untuk mentjari Boe Hian Song guna mentjoba kepandaiannja si nona. Guru dan murid2-nja itu, bertiga, mendaki gunung dari arah-utara. Mereka ingin dengan diam2 masuk ke dalam istana dari selatan gunung Lie San itu, untuk menjelundup lebih djauh ke dalam istana, ke keratonnja kaisar. Apamau dikata, di gunung itu ada See-boen Pa jang mendjaga, imam itu kena dipergoki. Dengan lantas keduanja bertempur. See-boen Pa gagah tetapi dia kalah, dari itu dia lantas melepaskan sebatang tjoa-yam-tjian, jalah panah-ular-berapi, hingga tjahaja apinja berkelebat di udara. Itulah tanda atau isjarat ada bahaja, untuk minta bantuan. Hian Song mengenali isjarat dari See- boen Pa itu, maka ia kaget dan lantas pergi menjusul. Karena ia melihat Lie It, ia teriaki pemuda itu. Sebaliknja Lie It menjangka si nona dititahkan Boe Tjek Thian untuk menawan dia, karena malu dan mendongkol, dia membuang diri ke dalam djurang. Di dalam kalangan sesat, Thian Ok Toodjin mendjadi salah satu orang jang terliehay, jang djarang tandingannja. Hian Song belum pernah bertemu imam itu tetapi dari gurunja pernah ia mendengarnja, sekarang terpaksa ia melajani bertempur. Tentu sekali maksudnja mentjari Lie It mendjadi terhalang. Ia tidak tahu Lie It mati atau hidup, hatinja tidak tenang. Sebab itu, beberapa kali ia hampir terkebut hoed-tim si imam. Selang sesaat barulah ia bertempur dengan sungguh2, karena ia mengerti ia terantjam bahaja. See-boen Pa madju, untuk membantu mengepung. Thian Ok Toodjin tertawa berkakakan.

   "Kau tahu, kau telah terkena pukulanku Hoe-koet Sin-tjiang !", kata imam itu.

   "Dengan kekuatan tubuhmu, djikalau kau lekas2 pulang untuk mengobatinja, mungkin kau bakal dapat menolong djiwamu, maka itu, kenapa kau djusteru mengantarkan diri ?". See-boen Pa gusar.Dia berteriak .

   "Lihat sadja, lain tahun dihari seperti ini, hari itu hari satu tahun siapakah ?". Seumurnja See-boen Pa belum pernah dikalahkan orang, kali ini dia telah terkena pukulan tangan beratjun dari si imam. Dia pertjaja, dengan bantuan tenaga dalamnja dengan telah menutup diri, di dalam tempo satu djam, dia tidak bakal mendapat bahaja, maka menuruti hawa amarahnja, hendak dia menuntut balas terlebih dahulu. Akan tetapi Thian Ok Toodjin benar2 liehay, dikepung berdua, dia dapat berkelahi dengan leluasa. Tjambuk Hong-liong- pian dari See-boen Pa liehay, tetapi kalau dia diserang tjambuk, dia dapat menjingkir terlebih dulu, atau tjukup dengan mendak, pundaknja bebas dari tjambukan. Benar tjambuk itu pandjangnja satu tombak lebih toh tubuh si imam seperti tak dapat ditjapai. Berkelahi terlebih djauh, kebutannja Thian Ok menjamber ke walikat See-boen Pa ke djalan darah hong-hoe-hiat. Selagi si imam menjerang, si nona membarengi menjerang padanja. Dengan djurus "Giok-lie tjoan tjiam"

   Atau "Bidadari menusuk djarum", Boe Hian Song mengarah djalan darah djie- khie-hiat imam itu.

   Karena dia lagi menjerang djago Sin Boe Eng, iga Thian Ok terbuka.

   Seharusnja pedang si nona mengenai sasarannja.

   Gurunja Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie ini benar2 liehay.

   Dia masih sempat mengegos tubuh, tjuma sedikit, toh dia bebas.

   Di lain pihak, dengan kebutannja, dia menangkis, menangkis sambil terus menjerang.

   Hian Song terkedjut.

   Pedangnja tersamber, hendak dililit.

   Untuk menolong pedangnja itu, ia teruskan meluntjurkan ke depan, guna mengikuti ketika si imam menarik tjambuknja.

   Dengan begitu, ia seperti memindjam tenaga si imam.Ketika itu See-boen Pa, jang ketolongan, telah membalas menjerang djuga, tjambuknja menjabet saling-susul tiga kali.

   Untuk menolong diri, Thian Ok, jang telah melepaskan pedang si nona, lompat berdjumpalitan dalam djurusnja "Yan-tjee tjoan-in"

   Atau "Burung walet menembuskan mega".

   Ia lompat tinggi.

   Ketika ia mau turun, kebutannja menjabet menghalau tjambuk dan pedang lawannja.

   Gebrakan kali ini membuatnja mereka bertiga sama2 kaget.

   Serangan mereka sama2 berbahaja, diri mereka pun sama2 terantjam bahaja hebat.

   Thian Ok heran atas kegagahan si nona, jang ia terka umurnja baru lebih-kurang dua puluh tahun.

   Tapi jang membuatnja djeri jalah apabila ia sudah mengenali ilmu silat pedang nona itu.

   Ia ingat kepada ilmu silatnja seorang tetua Rimba Persilatan jang ia kenal.

   Ia berkepala besar, ia tidak takuti siapa djuga ketjuali tetua itu.

   Tengah hebatnja mereka bertiga mengadu djiwa, Boe Hian Song menangkap djeritan tadjam dan menjajatkan dari dalam lembah.

   Ia kaget, ia menjangka djeritan putus djiwa dari Lie It.

   Tapi ia pun melihat Thian Ok Toodjin turut kaget, bahkan si imam lantas menahan kebutannja di depan dadanja, bukannja dia bersiap untuk menjerang, hanja dia mau bersiaga, seperti dia takut diserang si nona.

   Sekejap itu, Hian Song ingat kebalikannja.

   Lie It sudah djatuh sekian lama, tak mungkin dia baru bersuara andaikata dia djatuh ke djurang dengan tidak lantas mati.

   Thian Ok Toodjin sebaliknja terkedjut lantaran ia mengenali suara muridnja, Ok-heng-tjia, sebab ia tahu betul, muridnja itu bersama Tok-sian-lie berada di lembah sebagai mata2.

   Ia mendjadi bingung.

   Ia men-duga2 .

   "Apa mungkin mereka bertemu sama orang liehay ?". Karena pikirannja katjau, meski ia lebih tangguh, Thian Ok kena didesak Boe Hian Song dan See-boen Pa. Beberapa kali ia terantjam tjambukan atau tikaman pedang, hingga suasana mendjadi berubah, si imam mendjadi djatuh di bawah angin. Adalah di saat seperti itu, Tjin Tam bersama Thio Teng dapat menjandak. Thio Teng bangsa sembrono, segera dia madju lebih djauh, untuk menjerang dengan toja kuningannja seraja mulutnja mendamprat .

   "Imam busuk dari mana berani datang ke gunung Lie San untuk berlaku kurang adjar ?". Dengan djurus "Kim-kong hang-mo"

   Atau "Kimkong menaklukan siluman", dia menjerang ke dada.

   Thian Ok Toodjin menutup diri dengan sebelah tangannja, ketika toja sampai, ia menjambuti dengan tangan kiri, ia menjamber udjung toja, untuk ditjekal keras.

   Thio Teng kaget, dia mengerahkan tenaganja jang kuat, guna menarik pulang tojanja tetapi dia tidak berdaja.

   Si imam sebaliknja bekerdja terus, tangan kirinja diputar, maka toja kuningan itu, jang dipertahankan pemiliknja, mendjadi melengkung.

   See-boen Pa lantas menjerang.

   "Baik, kau hadjarlah !", berseru Thian Ok, jang lantas mengerahkan tenaganja, menjambar toja musuh, hingga tubuh Thio Teng kena terbawa, terlempar kearah kawannja. See- boen Pa kaget, dia berkelit sambil menarik pulang tjambuknja, kalau tidak, pasti dia bakal menghadjar kawannja sendiri. Ia mau menjamber tetapi tidak keburu. Karena tidak ada jang menghalangi, tubuh Thio Teng terlempar terus hingga membentur batu gunung di dekat mereka, hingga kepalanja petjah terbelah, hantjur berantakan. Boe Hian Song kaget berbareng gusar sekali, ia menjerang dengan hebat, dua kali beruntun, masing2 dengan djurus2-nja "Bintang terbang"

   Dan "Kuda liar kabur di sawah".

   Sasarannja jalah mata dan pusar si imam.

   Djuga See-boen Pa madju menggentjet, menjamber ke bawah.

   Thian Ok Toodjin membebaskan diri.

   Ia melihat orang mendjadi nekat, ia tidak berani memandang enteng.

   Ia lantas menutup diri dengan saban2 mengebut setiap serangan.

   Ia menggunai tipu silatnja.

   "In-heng Tjin Nia"

   Jalah "Mega melintang di atas gunung Tjin Nia".

   Ia bagaikan telah membeber djaring.

   Tetapi mendadak ia kaget.

   Tahu2 kebutannja kena tersampok, hingga ia membuka lowongan tanpa di sengadja.

   Boe Hian Song penasaran, ia menjerang dengan djurus "Pek-hong-koan-djit"

   Atau "Bianglala putih menutup langit".

   Mendadak sadja pedangnja meluntjur masuk.

   Si imam kaget, dia lantas berkelit.

   Sjukur untuknja, tjuma udjung tangan badju dari djubahnja jang kena terpapas.

   Tapi kegagalannja Thian Ok ini pun disebabkan Tjin Tam jang madju untuk membantui See-boen Pa.

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di dalam ilmu silat, Tjin Tam tjuma kalah sedikit dari See-boen Pa.

   Disamping itu, dia tjerdik sekali, matanja tadjam.

   Begitulah dia bisa melihat pembelaan diri dari Thian Ok Toodjin.

   Dia bersendjatakan bendera, jang terbuat dari kawat.

   Itulah sendjata peranti menunduki sendjata lunak seperti kebutan.

   Dia menunggu ketika, lantas dia menjerang setjara tiba2.

   Thian Ok menangkis, ia bebas, tapi ia membuat lowongan, maka ia kena dibarengi Nona Boe! Selandjutnja, nona itu bertiga mengepung imam liehay itu.

   Hebat djalannja pertempuran.

   Bendera ber-kibar2, pedang berkelebatan sinarnja, tjambuk pun bagaikan me-lilit2.

   Walaupun dia liehay, Thian Ok toh kena dibikin tidak dapat berbuat banjak dengan kebutannja itu.

   Di saat pertempuran berlangsung itu,disana tampak satu bajangan lain mendatangi.

   Dengan tjepat bajangan itu mendekati, lalu terdengar suaranja jang tadjam.

   "Entjie Hian Song ! Entjie Hian Song, kau lagi bertempur sama siapa ?". Suara itu tidak lantjar dan sedikit ber- getar djuga. Itulah suaranja Siangkoan Wan Djie, jang hatinja berdebaran, tanda dari kegelisahan atau kekuatirannja. Thian Ok Toodjin mendengar suara orang itu, dia mendjadi bergelisah sendirinja. Terutama dia heran kenapa dua muridnja masih djuga belum muntjul, hingga dia berpikir.

   "Aku tidak menjangka di dalam istana ada begini banjak orang liehay. Djikalau aku tidak mengangkat kaki siang2, mungkin aku akan susah ...". Maka lantas ia menjerang Hian Song, sambil menjerang ia melompat madju. Si nona menangkis sambil berkelit. Tapi si imam hanja menggertak. Begitu nona itu berkelit, ia berlompat ke arah Tjin Tam, untuk menjerang djalan darah wiasoe itu. Tjin Tam pun berkelit seraja dia mengibas dengan benderanja, untuk menghalau serangan, lalu dia meneruskan merabu ke kaki. Thian Ok menggunai siasat, maka itu djusteru ia diserang lagi terus merlompat, dan belum lagi Tjin Tam atau lainnja menjerang pula, ia sudah melompat terus, untuk kabur dari hadapannja ketiga musuh itu. Hanja selagi mau kabur, ia menjerang See-boen Pa jang menghadang di depannja. See-boen Pa menangkis dengan tjambuknja, maka tjambuk dan kebutan kebentrok, terus tjambuk itu menjambar, hingga tubuhnja si imam terlempar ke bawah gunung. Dan itu artinja, dia lolos dari kepungan. See-boen Pa tertawa bergelak.

   "Biarnja aku mengorbankan sebelah lenganku, aku toh berhasil menghadjar kau dengan tjambukku !", katanja, tetapi suara tertawanja jalah tertawa jang menjedihkan. Boe Hian Song terkedjut, ia lantas memandang wiesoe itu, maka ia mendapat lihat sebelah tangan orang hitam- legam bagaikan arang. Dan belum lagi Tjin Tam dapat menghalangi, dengan golok di pinggangnja, See-boen pa telah membabat kutung lengannja itu !. See-boen Pa terhadjar tangan liehay dari Thian Ok Toodjin, berkat kekuatan tenaga-dalamnja, dia mempertahankan diri hingga ratjun tidak mendjalar ke tubuhnja, bahkan dia menolaknja itu hingga ratjun berkumpul di telapakan tangannja. Barusan dia berkelahi hebat, ratjun itu mengalir naik pula, tenaganja jang berkurang tidak dapat mentjegah lagi, dari itu, insaf bahwa dia tidak bakal ketolongan, dia nekat mengutungi tangannja itu, guna menolong djiwanja. Siangkoan Wan Djie tiba, ia terkedjut melihat keadaannja See-boen Pa itu. See-boen Pa lantas memondong majatnja Thio Teng, sembari tertawa sedih dia berkata .

   "Nona Boe, untuk sakit hatinja saudara-angkatku ini, selandjutnja aku tjuma mengandal kepada bantuanmu. Tjin Tam, pergi kau menemani Nona Boe mentjari orang djahat itu !".

   "Pergi kau pulang dengan tenang, untuk mengobati lukamu ", kata Hian Song.

   "Andaikata aku tidak dapat membalaskan untukmu, lain kali mesti ada lain orang jang membalaskannja !".

   "Asal gurumu suka datang, nona, aku tentu merasa lega sekali ", kata See-boen Pa. Lantas dia bertindak pergi bersama majatnja Thio Teng. Dengan muka putjat, Siangkoan Wan Djie mengawasi kepergiannja wiesoe liehay itu, jang hatinja keras dan tubuhnja tangguh.

   "Dia sudah pergi, Thio Teng bukanlah ia jang membinasakannja ", Boe Hian Song berkata perlahan pada kawannja. Mendengar itu, lega hati Wan Djie.

   "Dia telah pergi ?", achirnja dia tanja.

   "Kau tidak menjusul dia ? Dia ada meninggalkan apakah ?".

   "Mungkin dia belum pergi djauh. Nanti aku turun ke bawah gunung untuk melihat dia ". Hian Song kuatir si nona kaget dan berduka, ia tidak mau membilangi jang Lie It sudah terdjun ke djurang. Tetapi Siangkoan Wan Djie tjerdik sekali, dari paras orang ia menduga sesuatu, ia merasakan suatu alamat buruk, hingga hatinja ber-debaran. Ia dapat menguatkan hati, ia tidak mau menanja lagi, dengan membungkam dia ikut nona she Boe itu djalan turun ke lembah guna mentjari Lie It. ---oo0oo--- DJALANAN menuruni djurang litjin dengan lumut, beberapa kali Wan Djie hampir terpeleset djatuh. Sjukur Hian Song mengulur tangan, mendjambret padanja.

   "Adik Wan Djie, kau tenangi dirimu,"

   Hian Song kata perlahan. Ilmu ringan tubuh dari Wan Djie tidak lemah tetapi karena hatinja katjau, ia tidak dapat menguasai dirinja. Tidak lama maka hidung mereka terhembuskan bau batjin dari darah.

   "Hai, di sini ada satu majat !", tiba2 terdengar Tjin Tam berseru. Dia djalan berpisahan. Siangkoan Wan Djie merasakan dirinja seperti ditimpa guntur, kagetnja bukan main, kepalanja pusing, tubuhnja bergemetar, maka Hian Song lantas merangkulnja. Di sana terdengar pula suaranja Tjin Tam.

   "Ah, inilah majat seorang tauwto jang memelihara rambut !". Kata2 itu membantu banjak akan ketenangan hati Wan Djie, jang dengan dipeluki Boe Hian Song pergi menghampirkanwiesoe itu. Tjin Tam sudah lantas menjalakan api, hingga mereka dapat melihat tegas.

   "Inilah Ok-heng-tjia !", Hian Song berseru tertahan, karena ia heran. Ia lantas membungkuk, untuk melihat lebih tegas, hingga ia mendapatkan tubuh si tauwto, jalah pendeta jang memelihara rambut, terlukakan lima atau enam lubang, semua bukan di bagian tubuh jang berbahaja, ketjuali luka di pundaknja, jang dalam, tetapi itu bukan luka disebabkan sendjata tadjam, di situ ada bekas2 gigi, suatu tanda itulah luka gigitan. Tentu sekali ia mendjadi heran, hingga ia berkata di dalam hatinja .

   "Seorang jang liehay ilmu silatnja tidak nanti berkelahi dengan menggigit. Siapakah jang membinasakan tauwto ini ?".

   "Ok-heng- tjia senantiasa berada bersama Tok-sian-lie ", kata Siangkoan Wan Djie.

   "maka itu Tok-sian-lie harus diperhatikan. Mungkin dia terluka dan belum mati dan sekarang lagi bersembunji di dekat2 sini. Awas untuk djarumnja jang beratjun jang berbahaja sekali !". Tjin Tam lantas berdjalan seraja memutar benderanja, matanja dipasang tadjam. Tidak djauh diri situ, mereka mendapatkan lagi satu majat.

   "Ah, inilah majatnja seorang muda jang tubuhnja kekar...! ", katanja heran. Siangkoan Wan Djie ketahui, Lie It itu gagah tetapi tubuhnja nampak lemah, maka ia tidak mendjadi kaget hatinja, baru ia merasa sedikit lega, tiba2 ia mendengar suaranja Boe Hian Song.

   "Adik Wan Djie, mari, lekas lihat !. Dia ..., dia bukankah si anak muda jang dipanggil Tiangsoen Tay ?". Wan Djie menghampiri, hatinja kembali berdebaran. Baru ia merasa sedikit lega atau sekarang ada lagi lain urusan. Ketika ia telah datang dekat dan melihat tubuh orang itu, ia kaget bukan main. Sebab terlentang di depannja, dengan alis gompjok dan mata besar, benarlah si anak muda dengan siapa mereka berdua, ia dan anak muda itu, pernah hidup bersama dari ketjil hingga dewasa, hingga mereka mirip kakak dan adik, ialah Tiangsoen Tay. Ia mendjerit perlahan, hingga untuk sesaat ia tak dapat menangis. Tjin Tam sudah lantas memondong bangun anak muda itu, sedang Boe Hian Song, jang merobek udjung badjunja, memegang lengannja seraja terus berkata.

   "Nadinja masih belum berhenti berdjalan ...". Dia merobek pula badju si anak muda, setelah mana ia menambahkan "Dia terkena dua batang djarum beratjun serta satu serangan tangan kosong ". Tanpa ajal lagi, Hian Song menghunus pedangnja untuk membelek daging orang di tempat jang luka, guna mengeluarkan dua potong djarum berbisa itu. Tiangsoen Tay seperti tidak merasakan apa2, dia berdiam sadja.

   "Masih ada harapan ?", Wan Djie tanja, hatinja terus memukul. Hian Song tidak menjahuti hanja ia menotok ke pinggang dan iga si anak muda, guna membebaskan perbatasan djalan darah thiat-hay-hiat, atas mana Tiangsoen Tay lantas memuntahkan reak jang bertjampur darah, jang kental, setelah mana dia membuka kedua matanja. Ketika dia melihat Siangkoan Wan Djie, dia rupanja mengenali si nona, alisnja lantas bergerak, dia tesenjum. Tapi lekas djuga dia merapatkan pula kedua matanja itu.

   "Tjin Tam ", kata Boe Hian Song.

   "lekas kau bawa dia pulang ke istana, dan lekas kau mengundang thay-ie untuk menolongi dia !". 'Thay-ie' jalah tabib istana. Di dalam halnja ilmu- dalam, lweekang atau lay-kang, Tiangsoen Tay kalah djauh dari Lie It, maka itu dia tidak dapat dibawa ke gunung Kong Lay San untuk dimintai pertolongannja Heehouw Kian, sedang dari Tiang-an ke gunung itu di propinsi Soe-tjoan, djaraknja lebih djauh dari pada tempat terlukanja Lie It dulu hari itu. Siangkoan Wan Djie tahu baik liehaynja djarum Tok-sian-lie, dengan dibawa kepada tabib istana, Tiangsoen Tay terserah kepada nasibnja. Tjin Tam sudah lantas bekerdja, dengan memanggul tubuh Tiangsoen Tay, ia berlalu dari lembah itu. Wan Djie mengawasi sampai orang lenjap di antara pepohonan. Ia ingat budi- kebaikannja Tiangsoen Koen Liang serta Tiangsoen Tay dan Tiangsoen Pek kakak- beradik, tanpa merasa ia mengalirkan air mata. Kemudian ia ingat .

   "Majatnja Ok- heng-tjia kedapatan di sini, engko Tay itu terlukakan djarumnja Tok-sian-lie, maka itu pastilah engko Lie It telah bertemu sama ini dua iblis ...". Maka ia mau menduga, Lie It tentulah terantjam bahaja. Boe Hian Song terus mentjari, sampai tjuatja berubah mendjadi terang tanah, ia masih mentjari terus di sekitar lembah itu, hasilnja kosong. Lie It tidak tampak.

   "Dia tidak ada, mari kita pulang ...", katanja kemudian, lesu.

   "Tidakkah terdjadi sesuatu atas dirinja ?". Wan Djie bertanja.

   "Entjie, mengapa kau mendapat pikiran ia di lembah ini ? Menurut suaranja kemarin, bukankah dia mau pergi djauh sekali dan tidak bakal balik kembali ?".

   "Lebih baik lagi dia pergi semakin djauh !", kata Hian Song berduka. Ia menjahut bukan seperti menjahut, karena ia djuga mesti menguatkan hatinja, tidak berani ia memberitahukan hal-nja Lie It terdjun ke djurang, hal mana pasti akan menghantjurkan hatinja Wan Djie. Di dalam hatinja ia mengharap Lie It selamat ditolong orang. Sebab, dengan terdjun ke djurang, kalau orangtidak lantas mati, sedikitnja dia mesti terluka parah, dan adalah harapan tipis jang dia kebetulan sadja dapat ditolong orang selagi keadaannja setengah mati itu. Sama sekali Hian Song tidak pernah menduga bahwa benar2 sudah terdjadi hal kebetulan. Hanja Lie It bukan orang tolongi dengan menanggapi dia selagi dia djatuh tetapi dia njangkut di pepohonan, pohon tjemara, jang tumbuh di pinggir2- an djurang. Sebagai seorang jang liehay ilmu silatnja, lantas dia dapat mendjambret, memegang tjabang2 pohon, hingga dia tidak djatuh langsung ke lembah. Dengan berdjumpalitan, dia achirnja tiba di lembah setjara perlahan. Tjuma meski demikian, dia toh terbanting djuga dan pingsan karenanja. ---oo0oo--- SATU hari penuh Lie It tak sadarkan diri, hingga ia tidak tahu apa jang sudah terdjadi atas dirinja, ketika kemudian ia mulai mendusin, ia mendengar suara orang di kupingnja, suara menghela napas. Ia lantas memusatkan perhatian, ia memasang kupingnja. Lantas ia mendengar suaranja roda2 kereta, terasa tubuhnja memain di antara gontjangan kereta itu. Ia pun lantas ingat kedjadian dulu ketika Boe Hian Song menolongi padanja. Ketika ia membuka matanja, ia mendapatkan di dalam kereta itu, bersamanja, ada bajangannja seorang nona. Sebelum sadar seluruhnja, ia lantas mendjerit memanggil .

   "Hian Song ...! Hian Song ...!". Tapi sekarang ia sekalian mementang matanja, hingga ia segera melihat, wanita itu bukannja si nona she Boe. Sebab orang bukannja Hian Song, ia lantas menduga lain. Maka ia me-manggil2 pula.

   "Wan Djie ...! Wan Djie ...!". Ia pertjaja, kalau orang bukannja Boe Hian Song, tentulah Siangkoan Wan Djie. Djusteru itu ia merasakan mukanja kedjatuhan tetesan air mata, hingga ia terkedjut dan tertjengang. Ia membuka mata lebih lebar, hingga ia memperoleh kepastian benar2 si nona bukan Hian Song, bukan pula Wan Djie, hanjalah Tiangsoen Pek! "Engko It, Thianhee ...", ia mendengar suara si nona she Tiangsoen itu.

   "Kenapa kau masih sadja ingat mereka itu ?". Habis mengutjap, nona itu mengulur tangannja jang halus, memegangi tangan si pemuda, mulutnja mengeluarkan pula .

   "Engkau, engkau sadarlah ...!. Sjukurlah, kau tidak terluka parah !". Biar bagaimana, Lie It girang berbareng berduka. Ia pun bergelisah dan malu sendirinja. Dari rebah, ia mentjoba bangun untuk berduduk.

   "Ah, adik Pek, mengapa kau ada di sini ?", tanjanja kemudian. Ia sekarang dapat melihat tegas, nona itu kutjal dan perok, air matanja masih belum kering. Tentulah tanda bahwa dia baru menderita kedukaan hebat. Tiangsoen Pek menjingkap tenda kereta di depannja.

   "Aku bersama ajah ", ia menjahut, suaranja perlahan dan berduka, dan air matanja mengalir pula. Di bagian depan dari kereta itu berduduk seorang tua. Dia itu menoleh ke belakang, sembari tersenjum dia menanja .

   "Apakah Tianhee masih mengenali loosin ?". Dia tesenjum tetapi senjumnja senjuman kesedihan. Dia memanggil "tianhee"

   Atau "jang mulia"

   Dan menjebut dirinja "loo sin", menteri jang tua. Sebab dialah Tiangsoen Koen Liang, ajahnja Tiangsoen Pek.

   "Tidak ku sangka di sini aku dapat bertemu sama pehpeh ", kata Lie It, jang mengenali orang tua itu, jang ia panggil pehpeh atau paman.

   "Aku mengutjap terima kasih jang pehpeh telah menolongi aku. Maaf, di atas kereta ini tidak dapat aku mendjalankan kehormatan ". Inilah untuk pertama kali semendjak ia ketolongan, Lie It melihat pula menteri setia dari Keradjaan Tong itu, maka kegirangannja bukan main besarnja. Ia merasa heran kenapa orang berada di kotaradja. Ia tahu walaupun Tiangsoen Koen Liang telah diobati sembuh oleh Heehouw Kian, ilmu silatnja pasti belum pulih kembali. Kemana dia sekarang menjelusup ke kotaradja dan djusteru dapat menolonginja ?.

   "Apakah kau telah bertemu sama Wan Djie ?", tanja Tiangsoen Koen Liang. Lie It merasakan hatinja sakit. Ia mendengar suara orang tua itu menggetar.

   "Ja ...", sahutnja perlahan.

   "Apa jang dia bikin di dalam keraton ?", Koen Liang tanja pula.

   "Dia membantu Boe Tjek Thian menulis rentjana, dia menemani membuat sjair ", sahut si pemuda.

   "Atau dia melukis gambar ".

   "Djikalau begitu, benarlah Wan Djie telah mendjadi menteri wanita dari Boe Tjek Thian ", kata Tiangsoen Koen Liang.

   "Benarkah dia telah melupai kakeknja, ajahnja dan djuga ibunja jang masih hidup ?".

   "Aku mendapatkan dia melupakan segala apa ...".

   "Ketika kau bertemu dengannja, dia sedang membuat apa ?".

   "Dia sedang membatjakan maklumatnja Lok Pin Ong ", Lie It mendjawab.

   "Untuk siapakah dia membatjakannja?".

   "Untuk Boe Tjek Thian ".

   "Ah ...!", kata Tiangsoen Pek, suaranja lemah.

   "Boe Tjek Thian sendiri jang menjuruhnja membatja ". Se-konjong2 sadja Tiangsoen Koen Liang tertawa terbahak. Dia seperti merasakan dadanja lapang setjara tiba2, seperti dia dapat melampiaskan apa jangsekian lama menekan hatinja itu.

   "Bagus ! bagus ...!", katanja.

   "Hebat dia mempunjai njali untuk membatjakannja dan Boe Tjek Thian djuga mempunjai njali untuk mendengarkannja ...!. Bagaimana Boe Tjek Thian setelah mendengar itu ...?".

   "Boe Tjek Thian tidak memperhatikan, dia biasa sadja ".

   "Dia biasa sadja ?", Koen Liang heran.

   "Apa dia tidak mengatakan apa2 ?". Tiangsoen Koen Liang menjatakan demikian karena ketika Lok Pin Ong habis mengarang maklumat itu, semua menteri keradjaan Tong, jang menentang Boe Tjek Thian, pada menundjuk kepuasan mereka. Ia menduga sedikitnja Boe Tjek Thian bakal mendjadi setengah mati karena mendongkol dan gusarnja. Siapa tahu, Boe Tjek Thian tidak menghiraukan maklumat jang tadjam bunjinja itu.

   "Setelah dia mendengarnja ", menerangkan Lie It pula.

   "jang pertama dia katakan jalah ia menjesal perdana menteri tidak dapat mengerdjakan orang jang pandai ". Tiangsoen Koen Liang mengangguk.

   "Lok Pin Ong memang pintar sekali ", katanja.

   "Nah, apalagi katanja ? Tjoba kau menjebutkannja padaku ...".

   "Boe Tjek Thian bilang maklumat itu bagus hanja tidak berpengaruh, tiada tenaganja. Satu demi satu dia membantahnja, dia membantah semuanja ...

   ". Mendengar itu, lenjap senjuman pada mukanja Tiangsoen Koen Liang, parasnja lantas mendjadi putjat. Kalau tadi dia bersemangat, sekarang dia mendjadi lesu sekali, hingga dia nampak seperti djadi tua mendadak.

   "Dia bilang bahwa Tjie Keng telah kena dikurung, dan bahwa paling banjak tak lebih dalam tempo setengah bulan bakal kena dibasmi habis ?", dia tanja kemudian.

   "Ja, dan mungkin itulah benar !".

   "Kau sendiri, Tianhee, bagaimana dengan kau ?". Lie It tunduk.

   "Aku sendiri bingung, tidak tahu aku mesti bikin apa ", ia menjahut, lesu.

   "Aku djusteru mau menanjakan petundjuk pehpeh ...". Tiangsoen Koen Liang berdiam sekian lama, lalu ia menarik napas pandjang.

   "Kalau demikian, dia benar musuh jang liehay sekali ", katanja.

   "Mungkin loo-sin tidak bakal melihat pula bangunnja Keradjaan Tong. Oh, Wan Djie ! Wan Djie !. Kau baik ...! kau bagus !, bagus sekali ....!". Lantas orang tua ini muntah darah dan tubuhnja terdjungkal dari tempat duduknja di kereta itu. Tjita2 Tiangsoen Koen Liang jalah membangun pula Ahala Tong sekalian membangun djuga rumah-tangganja. Sekarang dia mendjadi putus harapan. Jang membuatnja paling berduka jalah orang jang dia rawat dan didik dari ketjil, Siangkoan Wan Djie, jang dia tjintai seperti anak kandung, jang dia harap nanti membunuh Boe Tjek Thian, sekarang orang jang dibuat andalan itu djusteru berpihak kepada ratu itu dan mendjadi orang kepertjajaannja. Dia sudah tua, mana sanggup dia menerima pukulan hebat ini ?. Maka itu, napasnja mendjadi sesak, lantas dia roboh sendirinja. Lie It kaget bukan main. Dia melompat turun dari kereta, untuk mengasi bangun. Dia melihat muka orang putjat-pasi dan napasnja empas-empis. Tiangsoen Koen Liang sadar tjepat, lantas dia kata perlahan .

   "Aku telah kehilangan anak laki2-ku, sekarang tinggal ini, satu anak perempuan, maka itu, Tianhee, setelah aku menutup mata, sudikah kau me-lihat2 dia ?". Dengan air mata mengutjur deras, Tiangsoen Pek memegangi kedua tangan ajahnja.

   "Ajah, kau tidak dapat mati ! tidak dapat mati ...!", katanja.

   "Setelah kau berobat sembuh, kita nanti pergi mentjari engko Tay !". Tiangsoen Koen Liang tertawa pedih.

   "Dapatkah aku bertahan sampai sekian lama lagi ?", katanja.

   "Kau, kau ...". Suaranja orang tua ini lantas mendjadi lemah, hingga tidak terdengar tegas. Lie It meraba ke nadi, jang djalannja tidak ketentuan, sebentar tjepat, sebentar perlahan, kadang2 melondjak, lalu berdiam. Ia tidak mengerti ilmu tabib tetapi ia mengetahui djuga sedikit. Itulah tanda buruk. Pula Heehouw Kian terpisah sangat djauh. Mana bisa Tiangsoen Koen Liang keburu pergi kepada tabib itu ?. Dengan sinar mata guram, Tiangsoen Pek mengawasi Lie It. Ia seperti meletaki semua pengharapannja di bahu pemuda ini. Dalam keadaan seperti itu, Lie It lantas bekerdja. Ia melakukan apa jang ia bisa. Lebih dulu ia menotok tiga djalan darah thian-kie, tjiang-tay dan leng-hoe, untuk menutup, guna mentjegah si orang tua pingsan, terutama untuk mentjegah dia tersiksa. Dengan begitu djuga darahnja, jang keratjunan, tidak usah menjerang ke djantung.

   "Bagaimana sekarang ? Bagaimana sekarang ?", tanja Tiangsoen Pek ber-ulang2.

   "Ditempat belukar seperti ini, ke mana kita bisa pergi mengundang tabib ?". Lie It memandang ke sebelah depan.

   "Di depan sana ada rumah berhala ", katanja.

   "Mari kita pergi dulu ke sana, untuk menumpang singgah. Kita boleh minta sebuah kamar guna pehpeh beristirahat, nanti kita berdaja pula ...". Nona Tiangsoen sudah kehilangan akal, ia menurut sadja. Segera tubuh si orang tua dipondong gadisnja, buat dikasi naik ke atas kereta, untuk direbahkan. Sekarang Lie It duduk di depan, memegang kendali kereta.---oo0oo--- "BAGAIMANA sebenarnja maka kamu beramai tiba di sini ?", tanja Lie It selagi roda2 kereta menggelinding. Tiangsoen Pek suka memberi keterangan. Ia menutur sembari menangis, dengan kadang2 ter-putus2, walaupun demikian, si pemuda dapat mengerti. Ternjata, dua hari seperginja Lie It dari rumahnja Heehouw Kian, Kok Sin Ong bersama Tiangsoen Tay menjambut Tiangsoen Koen Liang. Hatinja Kok Sin Ong telah mendjadi tawar, sesudah dia mengantarkan Tiangsoen Koen Liang ke rumah Heehouw Kian, dia lantas meninggalkan sahabatnja itu. Ketika Tiangsoen Koen Liang mendengar halnja Lie It seorang diri pergi ke Tiang-an, hatinja mendjadi tidak tenteram, hingga ia mau lantas menjusul. Ia pikir, di kotaradja masih ada beberapa bekas rekannja, andai-kata apa latjur Lie It kena ditawan Boe Tjek Thian, ia mau berdaja menolongi. Tapi ia telah kehilangan ilmu silatnja, Heehouw Kian tidak mengijinkan ia pergi. Masih ia memaksa. Achirnja Heehouw Kian kalah desak. Lantas dia menggunai dajanja jang terachir, jalah dia membekalkan sematjam obat makan kepada orang tua jang hatinja kuat itu. Khasiat obat itu dapat membikin pulih tenaganja Tiangsoen Koen Liang untuk sementara waktu, tetapi kalau nanti tenaga obat sudah habis, umpama kata ia harus sembuh dalam waktu satu tahun, waktu itu mesti terlambat hingga tiga tahun. Maka ketika ia mau berangkat, Heehouw Kian memesan wanti2, djikalau bukan menghadapi musuh tangguh, djangan ia makan obat itu. Tidak lama setibanja di kotaradja, Tiangsoen Koen Liang lantas mendengar kabar tentang Lie It. Ini terdjadi lantaran Siangkoan Siang, si tjalon wiesoe jang berewokan itu. Dia sebenarnja keponakan si orang tua. Keponakan disebabkan ajahnja adalah orang sebawahan jang dipertjaja dari Koen Liang. Semasa Kaisar Thay Tjong (Lie Sie Bin), Tiangsoen Koen Liang mendjadi Tian-tjian Kiam-tiam, dan ajahnja Siangkoan Siang bekerdja di bawah perintahnja. Lie It telah memakai namanja Thio Tjie Kie, kulit mukanja pun dipakaikan obat hingga mendjadi bersemu kuning, tidak urung dia mendatangkan ketjurigaannja Siangkoan Siang itu. Lalu di hari dia diharuskan mengantar tjalon pembunuh ke keraton, kebetulan sekali Siangkoan Siang bertemu sama Tiangsoen Koen Liang dan ia membitjarakan tentang ketjurigaannja itu mengenai dia. Tiangsoen Koen Liang lantas merasa pasti Thio Tjie Kie jalah Lie It. Ia djuga berkuatir, mungkin Lie It masuk ke keraton untuk menghadapi bahaja. Dari itu, setelah mereka berdua berdamai, Siangkoan Siang ditugaskan turut masuk ke dalam keraton guna membunuh ratu, lalu untuk bersama Lie It lari menjingkir. Telah ditetapkan, Tiangsoen Koen Liang akan menantikan di belakang gunung Lie San. Di luar dugaan, di belakang gunung Lie San itu, Tiangsoen Koen Liang dan dua anaknja, Tay dan Pek, bertemu sama Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie, kedua muridnja Thian Ok Toodjin, jang berada di situ menemani guru mereka. Karena musuh liehay sekali, dengan terpaksa Tiangsoen Koen Liang menelan obat bekalannja Heehouw Kian, hingga tenaganja pulih, lalu dia menempur kedua hantu itu. Tiangsoen Tay membantui ajahnja, dia menubruk Ok-heng-tjia, untuk dipeluki, karena sambil memeluk sukar menjerang, dia menjeret pundak si tauwto. Maka keduanja sama2 terluka parah. Tok-sian-lie tertikam Tiangsoen Koen Liang hingga tudjuh kali, dia kabur. Ketika Lie It djatuh itu, orang lagi bertempur mati2-an. Tiangsoen Pek jang menolongnja. Tepat di saat Tiangsoen Koen Liang membikin Tok-sian-lie kabur, mereka mendengar suaranja Boe Hian Song. Mereka kuatir Boe Hian Song nanti datang bersama rombongan wiesoe, dengan terpaksa mereka menjingkir membawa Lie It dengan kesusu, mereka meninggalkan Tiangsoen Tay, jang mereka tidak tahu masih hidup atau sudah mati. Tjuma sang ajah itu melihat tegas anaknja kena dihadjar tangan beratjunnja Ok-heng-tjia serta terkena djuga djarumnja Tok-sian- lie, djarum beratjun jang liehay itu, hingga ia mau menganggap sadja anaknja itu sudah mati. Selagi Tiangsoen Pek mandi air mata karena penuturannja itu, Lie It djuga berduka bukan main. Ia ingat budi besarnja Tiangsoen Koen Liang, jang membela mati2-an padanja hingga orang kehilangan putera, anak jang akan menjambung turunan she Tiangsoen. Ia tidak tahu, tjara bagaimana harus membalas budi itu. ---oo0oo--- TIDAK lama kemudian kereta telah sampai dikaki bukit di depan itu. Di situ mereka berhenti. Lie It lantas menggendong Tiangsoen Koen Liang, untuk diadjak mendaki bukit. Tiangsoen Pek mengikuti tanpa ber-kata2. Mereka berkuatir djiwanja orang tua itu dapat hilang dalam sekedjap. Maka hati Lie It beratseperti ditindih gunung. Beberapa kali, di waktu berpaling, ia menjingkir dari sinar matanja si nona, karena ia kuatir tidak dapat mendjawab andaikata nona itu menanjanja. Di lereng bukit itu ada sebuah kuil tua, jang ditempati seorang pendeta tua bersama katjung hweeshio tukang masaknja. Pendeta itu menjambut tetamunja dengan baik, bahkan dia memberikan kamarnja ketika ia mendapat tahu ada seorang tetamunja jang sakit. Dia lantas menjuruh muridnja masak air. Manis pelajanannja. Tiangsoen Pek merebahkan ajahnja di atas pembaringan kaju. Ketika ia memegang nadi ajahnja, hatinja mendjadi semakin ketjil. Nadi itu makin lemah denjutannja. Lie It menotok, membuka djalan darah jang tadi dia tutup, habis itu dia mentjoba menjalurkan hawa tenaga-dalamnja, guna menjambung tenaga. Selang sesaat, Tiangsoen Koen Liang membuka kedua matanja.

   "Anak Pek, mari ...", ia memanggil puterinia, suaranja sangat perlahan.

   "Kau mewakilkan aku berlutut dan mengangguk kepada Tianhee !". Nona itu menurut. Lie It terkedjut, dia mendjadi bingung. Dengan ter-sipu2 dia memimpin bangun nona itu.

   "Sekarang aku ketinggalan hanja ini seorang anak perempuan ", kata Tiangsoen Koen Liang pada Lie It, suaranja serak.

   "maka itu aku hendak menjerahkan dia untuk kau jang me- lihat2-nja. Tianhee, sudikah kau menolongi aku bertanggung-djawab untuk seumur hidup dari anakku ini ?". Inilah buat jang kedua kali Tiangsoen Koen Liang menjerahkan puterinja kepada Lie It. Sekarang dia omong dengan terlebih djelas. Namanja menjerahkan untuk tolong ditilik, sebenarnja djodoh si nona dirangkap dengan djodohnja. Hati Lie It gontjang. Ia bingung sekali. Sedjenak itu bergantian di depan matanja seperti tampak bajangannja Siangkoan Wan Djie dan Boe Hian Song. Wan Djie si nona jang tabiatnja paling tjotjok dengannja, dan Hian Song si nona jang ia paling kagumi. Dua2 nona itu menjintainja, tetapi ada sekian banjak sebab diantara kedua pihak, ada keruwetan jang tidak bisa diputuskan dengan gunting jang tadjam. Hingga ia sudah mengambil keputusan buat hidup dalam perantauan, hidup menjendiri, sedang hatinja sudah mirip dengan kaju kering, pikirannja bagaikan arang di musim dingin. Tegasnja, ia tidak dapat main tjinta lagi. Maka di luar dugaannja, mimpi pun tidak, ia boleh bertemu sama Tiangsoen Koen Liang dalam keadaan serupa ini, hingga di saat hampir putus djiwanja, menteri tua itu dapat menjerahkan peruntungan puterinja kepadanja. Pula, tjintanja Tiangsoen Pek terhadapnja tak kalah dengan tjintanja Wan Djie atau Hian Song. Jang paling sukar jalah tidak dapat ia menampik permohonan dari seorang jang menantikan saat kematiannja, sedang orang tua itu pernah menolong djiwanja, untuk itu si orang tua sampai mengurbankan puteranja. Lebih lagi, orang tua itu jalah menteri jang setia kepada keradjaan kaum keluarga Lie. Hati Lie It bagaikan di-iris2 dengan pisau. Terima atau tolak ?. Tiangsoen Koen Liang mengawasinja, menanti djawaban. Tiangsoen Pek memalingkan muka, supaja tidak melihat si anak muda. Tapi Lie It mengerti bahwa ia malu-hati, dan sebenarnja sering melirik kepadanja. Sekian lama ia berdiri membisu. Achirnja ia mendjatuhkan diri didepan pembaringan, untuk berlutut dan mengangguk tiga kali, sedang dari mulutnja keluar kata2 perlahan.

   "Pehpeh tidak mentjela aku, baiklah, aku sudi, aku sudi mendjadi anakmu, akan kuperlakukan adik Pek seperti adik kandungku sendiri ...". Tiangsoen Koen Liang menggojang kepala, sinar matanja mentjerminkan putus asa. Beratlah Lie It untuk menjaksikan keadaan orang tua itu demikian matjam, selagi napasnja akan berhenti untuk se-lama2-nja. Tak tega Lie It melihat sinar mata itu. Didalam hatinja ia berkata.

   "Apakah aku tega membuatnja meninggal dunia dengan mata tak tertutup rapat ?". Hanja sedetik pemuda ini ragu2, lalu ia mengambil keputusan. Tanpa menanti Tiangsoen Koen Liang berbitjara pula, ia mendahului .

   "Aku hendak mengambil adik Pek sebagai adikku. Djikalau dia tidak menampik, aku djuga suka andai-kata dia sudi mendjadi isteriku ". Mata Koen Liang terbuka lebar2.

   "Anak Pek, bagaimana kau ?", tanjanja pada puterinja. Nona itu berdiam, air matanja turun deras2. Tapi sebentar pula, ia menjahut .

   "Aku menurut kepada ajah ...".

   "Baiklah ...", kata Koen Liang.

   "Sekarang aku menjerahkan anak Pek kepadamu. Dia bertabiat buruk, tetapi aku harap kau suka memaafkannja ...". Lie It paykoei pula hingga tiga kali, seraja memanggil .

   "Gakhoe ". Koen Liang tesenjum, lalu kedua matanja, jang tadi dibuka lebar, mulai tertutup dengan per-lahan2.

   "Ajah ...!", panggil Tiangsoen Pek sambil menangis. Ia mendekat, lalu merangkul ajahnja.

   "Kamu djangan membentji Wan Djie ", kata Koen Liang, sangat perlahan.

   "Kamu berdua harus saling membantu, sampai kamu sama2 tua ...". Orang tua ini menjatakan bawa ia tidak membentji Siangkoan Wan Djie, bahkan ia tetap menjintainja. Lie It mendekam didada orang.

   "Djangan kuatir, gakhoe ", ia berkata.

   "Aku pasti akan memperlakukan adik Pek dengan baik ...". Mendengar djandji itu, kedua mataTiangsoen Koen Liang rapat seluruhnja, wadjahnja tersungging senjum, hanja setelah itu, kedua kakinja mengedjang dan napasnja berhenti. Tiangsoen Pek menangis sedu-sedan tetapi tangannja menggenggam kedua tangan Lie It erat2. Lama nona itu menangis, baru kemudian ia berkata dengan perlahan.

   "Untuk mengurus djenazah ajah, sekarang aku mengandal kepadamu. Kau baik sekali terhadap ajah dan aku sangat bersjukur kepadamu ".

   "Djangan begitu ", kata Lie It.

   "Sekarang kita sudah mendjadi orang sendiri. Dengan berbijara demikian, kau se-akan2 memandang aku sebagai orang lain ". Djawab Tiangsoen Pek dengan perlahan .

   "Engko It, djangan kau berdusta. Aku tahu hatimu. Untuk menenangkan hati ajah, kau menentang hatimu sendiri dan menjatakan suka mengambil aku mendjadi isterimu. Engko It, kau djangan kuatir. Aku tidak nanti menganggap kedjadian ini setjara sungguh2. Aku hanja minta kau tolong mengurus djenazah ajahku, setelah beres, selandjutnja aku tidak akan menjusahkan kau lagi ". Lie It djuga memegang tangan si nona erat2. Ia merasakan tangan orang panas dan denjut nadinja tidak lurus. Ia djuga melihat muka si nona merah seperti lagi sakit. Gontjangan hatinja, ia berkasihan. Tanpa merasa ia merangkul tubuh orang. Katanja .

   "Adik Pek, djanganlah berpikir jang tidak2. Sekarang dan selandjutnja, mari kita hidup dengan saling mengandalkan. Bumi boleh hantjur, langit boleh ambruk, tetapi kita berdua, kita tidak dapat berpisah lagi. Kau harus mendjaga dirimu baik2, djanganlah kau membikin arwah ajahmu di alam-baka mendjadi gelisah ". Itulah kata2 jang tulus. Tiangsoen Pek menjusut air matanja, ia tidak mengutjapkan apa2 lagi. Pendeta tua dari kuil itu baik hatinja. Mengetahui tamunja meninggal karena sakitnja, ia lantas datang mendjenguk, untuk menghibur dan membantu mengurus djenazah. Ia menjuruh katjungnja pergi ke kota ketjil jang terdekat, membeli peti mati, bahkan tanpa diminta ia mengatur sembahjang untuk arwah Tiangsoen Koen Liang. Untuk ini ia menanjakan she dan nama orang jang telah menutup mata itu. Lie It bersangsi untuk memberitahukannja, tetapi nona Tiangsoen sudah mendahului, maka ia hanja mengangguk sadja. Ia melegakan hati mengingat roman si pendeta djudjur. Ia pertjaja, bahwa pendeta itu tidak tahu siapa mertuanja, terutama bahwa ia bekas menteri setia. ---oo0oo--- APA latjur kalau aral melintang. Sebelum djenazah Tiangsoen Koen Liang selesai terurus, mendadak Tiangsoen Pek djatuh sakit. Si pendeta, jang mendengar itu, menjerahkan kamarnja sendiri kepada si nona, karena disitu tidak ada kamar lain lagi. Atas budi itu Lie It memberikan uang seratus tail perak pada pendeta itu. Mulanja si pendeta menolak, tetapi setelah diberitahukan bahwa mereka masih mempunjai sedikit bekal, baru ia mau menerima. Kota ketjil dimana peti mati itu dibeli hanja belasan lie djauhnja, diwaktu sendja si katjung kembali dengan peti mati. Lie It bekerdja sendiri mengurus djenazah Koen Liang. Ia menatap wadjah bekas menteri itu ketika ia mau menutup peti itu. Ia berduka bukan main mengingat budi Koen Liang dan puterinja. Berdjandjilah ia didalam hati untuk menjintai si gadis dengan sungguh2, untuk membalas budi mereka itu. Ketika Lie It masuk kekamar Tiangsoen Pek, si nona djusteru tengah mengigau. Ber-ulang2 ia me-manggil2 ajahnja dan menjebut nama Lie It djuga. Lie It duduk disamping si- nona itu.

   "Adik Pek, aku disini, disisimu ", katanja dengan lembut.

   "Djangan takut ".

   "Siapa ?", tanja si nona.

   "Aku !". Diluar pun terdengar suara .

   "Aku !". Lie It terperandjat. Ia melihat katjung si hweeshio masuk dengan semangkok obat jang masih panas. Dia menjingkap tirai pintu dan bertindak masuk. Lie It memusatkan perhatiannja kepada Tiangsoen Pek, ia tidak mendengar tindakan kaki orang diluar kamar, sampai si nona jang mendengarnja dan menjapa.

   "Inilah air teh untuk menjegarkan tubuh ", kata katjung si hweeshio.

   "Kalau orang sakit minum ini, dia mendjadi tenang, sedang orang sehat akan tambah semangatnja. Djie-wie berkundjung kemari, kita tidak mempunjai apa2 untuk menjambut, maka guruku mendjadi kurang enak hati, ia minta agar djie-wie minum teh kam-louw ini. Besok barulah kita mengundang tabib untuk mengobati si nona ". Lie It menganggap bahwa katjung ini berbitjara terlalu manis, beda sekali dari si hweeshio tua jang romannja djudjur, akan tetapi ia pertjaja bahwa memang demikian sifat katjung itu. Ia menghaturkan terima kasih, dan mengangkat tangannja, guna menerima teh itu. Tepat pada waktu itu, dari luar terdengar derap orang ber- lari2. Segera tampak si hweeshio tua berlari masuk, napasnja memburu.

   "Hai, binatang, sedang mengapa kau disini ?", hweeshio itu membentak dengan bengisnja. Berbareng dengan itu ia menjampok djatuh mangkok itu, hingga petjah-hantjur dantehnja berhamburan dilantai. Si katjung kaget. Mendadak dia menggerakkan kedua tangannja, menolak kearah si pendeta tua. Itulah gerakan dari djurus "Liok tee heng tjouw"

   Atau "Menolak perahu didarat". Lie It kaget bukan main. Itulah kedjadian jang sangat diluar dugaannja. Ia heran bahwa si katjung mengerti silat, bahkan ilmu silat Hok Houw Pang, partai "Penakluk Harimau"

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dari Siam-pak, Siamsay Utara, sedang djurus "Liok-tee-heng-tjouw"

   Itu jalah djurus simpanan dari partai tersebut.

   Pang-tjoe Hok Houw Pang adalah seorang pendjahat besar jang liehay dan ilmu silatnja hanja diturunkan kepada murid2-nja, anggauta2 partai, tidak pada orang luar.

   Mungkinkah botjah ini murid Hok Houw Pang ?.

   Walaupun menghadapi soal itu, Lie It tidak mendjadi bingung.

   Tidak dapat ia membiarkan si pendeta tua mendjadi kurban pukulan berbahaja itu.

   Dengan wadjar ia bergerak, mendahului menjerang dengan pukulannja, djurus "Menarik busur memanah harimau"

   Dan si katjung hweeshio segera sudah dapat dirobohkan sebelum serangannja mengenai dada hweeshio tua itu. Katjung itu liehay, seketika roboh ia melompat bangun dengan gerakan "Kim-lee-tjoan-po"

   Atau "Gabus emas menembusi gelombang".

   Lalu dengan berdjumpalitan dia melompat keluar pintu dan kabur.

   Lie It kagum.

   Ia menjerang dengan lima bagian tenaganja.

   Biasanja tidak sembarang orang dapat bertahan terhadap serangan itu, tetapi katjung itu tidak terluka, bahkan dia dapat menjingkir setjara demikian litjin.

   Djelaslah sudah bahwa kepandaian silatnja tidak rendah.

   Muka si pendeta tua mendjadi putjat, tetapi berulangkali ia masih mentjatji katjungnja itu.

   "Kiesoe, silakan kau lekas2 berangkat !", katanja kemudian kepada Lie It.

   "Muridku itu tidak dapat merubah sifatnja jang buruk, aku kuatir kalau ia sebentar datang pula untuk mentjelakakan kalian ...".

   "Sebenarnja bagaimana duduknja hal ini ?", tanja Lie It dengan heran. Pendeta itu menghela napas.

   "Lima tahun jang lalu ", katanja.

   "pada suatu malam diwaktu saldju turun, aku mendengar suara rintihan diluar kuil. Aku lekas2 membukakan pintu. Aku melihat seorang anak umur lima atau enam belas tahun rebah disaldju. Ia ternjata terluka parah. Aku membawa masuk dan mengobtinja. Dia mengaku bahwa dia baru sadja ketemu begal. Katanja, ajah dan ibunja sudah menutup mata. Oleh karena merasa kasihan, aku menerimanja mendjadi muridku sekalian menujadi tukang masak. Kemudian ketika aku pergi keluar dan men-dengar2 kabar, aku mendapat keterangan bahwa disekitar sini tidak pernah terdjadi pembegalan. Setibaku dirumah, aku mendesaknja untuk memberikan keterangan sedjudjurnja. Sekarang baru dia mengaku bahwa djusteru dia sendiri salah seorang pembegal. Menurut dia, rombongannja pernah membegal dan membunuh piauwsoe kepala dari Tjhin Yang Piauw-kiok, karena mana keluarga piauwsoe itu mengundang orang liehay untuk menuntut balas, dari sepuluh anggautanja, tudjuh atau delapan telah terbinasakan, dia sendiri lolos dengan terluka. Karena dia mengaku terus-terang dan dia bertobat, dia berdjandji mau merobah kelakuannja, aku menerimanja sebagai murid. Siapa tahu sekarang dia kembali kepada sifatnja jang lama itu. Sjukur aku lekas mengetahui niatnja jang busuk, djikalau tidak, pastilah djie-wie tjelaka ditangannja. Kiesoe, sekarang baiklah kiesoe berdua lekas2 menjingkir ".

   "Tidak apa djikalau orang datang untuk merampas uang sadja. Djikalau orang mengetahui asal-usul mertuaku dan melaporkannja kepada pembesar negeri, itulah baru berbahaja ", pikir Lie It.

   "Engko It, marilah kita pergi ", kata Tiangsoen Pek perlahan.

   "Kita baik djangan mengganggu kepada soehoe ini ". Lie It masih berpikir. Ia bimbang. Si hweeshio tjoba menerka hati si anak muda.

   "Apakah kiesoe kuatir muridku datang pula dan mentjelakai aku ?", katanja.

   "Hal itu tak usahlah kiesoe kuatirkan. Untuk beberapa tahun aku telah menolong dia, dia tentu ingat akan budiku, tidak nanti dia membunuh aku. Jang hebat jalah kalau sampai terdjadi perkara djiwa didalam kuilku ini. Aku lemah, aku tidak dapat melindungi kiesoe berdua. Aku malu, tetapi aku minta supaja kiesoe berangkat sadja ". Lie It menganggap kata2 hweeshio ini benar. Kalau pendjahat datang, kemudian mereka bertempur dan pendjahat itu dapat dibunuh, achirnja yang sulit jalah si hweeshio. Djuga dibelakang hari, nama si hweeshio dan kuilnja akan tertjemar apabila orang banjak tahu bahwa muridnja itu bekas pendjahat. Maka achirnja ia menaikkan lajon Tiangsoen Koen Liang keatas kereta, dan memernahkan Tiangsoen Pek dikereta itu. Kemudian ia berpamit dari si hweeshio sambil ber-ulang2 menghaturkan terima kasih. ---oo0oo--- HEBAT penderitaan Lie It ketika itu. Hari sudah larut-malam, sudah djam tiga. Malam sunji, rembulan suram, dan bintangpun sedikit jang tampak. Ia tidak takutkepada orang djahat, hanja. ia menguatirkan keselamatan Tiangsoen Pek. Selama perdjalanan itu, beberapa kali si nona merintih, ketika ia meraba dahinja. terasalah dahi itu panas sekali. Ia gagah tetapi ia habis daja. Disamping orang sakit itu, ada djenazah jang harus didjaganja pula.

   


Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung Golok Kumala Hijau -- Gu Long Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini