Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh 9


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 9



Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Boe Koen- tjoe, ampun!", tiba2 mereka mengasi dengar suara mereka selagi sendjata mereka djatuh berkontrangan. Boe Hian Song tertawa.

   "Benar2 kamu orang Han !", katanja.

   "Aku tadinja menjangka kamu gagu !". Nona ini tidak menjerang terus, hanja sebat luar biasa, ia menjontek bergantian topengnja mereka itu, hingga nampaklah wadjah mereka, hingga ia meadjadi heran. Untuk sedjenak, Hian Song berpikir, lantas ia ingat mereka itu jalah dua tetamu-tumpangan dari Boe Sin Soe, kakak sepupunja. Ia tahu mereka jalah orang2 kepertjajaan sang kakak, maka kenapamereka menjaru mendjadi orang Turki, bahkan mereka berani menempur dirinja ?. Ia tjerdik tetapi tidak dapat ia menerka. Dua pahlawan itu nampaknja likat, setelah sendjata mereka dilepaskan, mereka berlutut didepan si nona, sambil mengangguk, satu diantaranja berkata .

   "Hambamu jang rendah jalah Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang, hamba mohon sukalah Koen-tjoe memberi ampun atas kelantjangan hambamu. Koen-tjoe benar2 liehay, kami tidak tahu diri, kami berani banjak lagak didepan Koen-tjoe ". Sedjenak itu, Hian Song kata didalam hatinja .

   "Djadinja mereka hendak mengudji aku ". Dua pahlawan itu tinggi kedudukannja dalam Ban Sin Boen dan Tjeng Shia Pay, didalam kalangan Rimba Persilatan, mereka kenamaan, dalam halnja tingkat deradjat, mereka lebih tinggi dari si nona. Itu pun, rupanja, jang menjebabkan mereka menjamar untuk mengudji padanja. Hanja heran, kenapa mereka tidak melakukannja di Tiang-an, tetapi mereka melakukannja hanja di wilajah perbatasan ini. Pula, apa perlunja mereka berada dipadang rumput ? Bukankah ia lagi mendjalankan tugas rahasia ? Siapakah jang mengetahui rahasianja, hingga ia dapat disusul sampai disini?.

   "Silakan bangun, djiewie ", kata Hian Song kemudian.

   "Aku she Boe, aku belum pernah memperoleh pangkat atau gelaran. Kita sama2 orang Rimba Persilatan, tidak dapat djiewie mendjalankan kehormatan ini ". Hian Song mengatakan demikian sebab ia disebut "koen-tjoe,"

   Atau puteri jang mulia, jang ada kebalikannja dari pada "tian-hee", putera jang mulia. Itulah gantinja kata2

   "paduka jang mulia". Dua orang itu lantas bangun berdiri. Hong Bok Ya terus berkata dengan likat .

   "Kami pernah mendengar pada delapan tahun jang lampau Koen-tjoe pernah mengalahkan djago2 diatas puntjak gunung Ngo-bie-san, barusan kami mentjoba memperoleh buktinja. Sekarang baru kami pertjaja dan takluk ". Mendengar keterangan itu, Hian Song makin heran, hingga ia mendjadi bertambah tjuriga. Maka ia mengawasi dengan tadjam, lalu ia berkata.

   "Menurut aturan Rimba Persilatan, aku harus memuliakan djiewie sebagai orang2 jang lebih tua, maka itu, mengapa kamu masih menggunai sebutan Koen-tjoe dan hamba ? Aku minta djiewie menghapus itu!. Sekarang aku mau minta pendjelasan, kenapa djiewie menjamar djadi pengawal Turki?Kenapa djiewie datang kemari, ketempat ribuan lie serta gunung jang belukar ini ? Adakah itu untuk hanja mengudji aku ? Inilah tidak wadjar !".

   "Itu ... itu ...", kata Kian Tjiang, likat.

   "Bagaimana ?", Hian Song mendesak.

   "sekarang ini bangsa Turki lagi mengumpulkan tentera, untuk menjerbu kita, mungkinkah djiewie telah berkhianat kepada negeri sendiri, untuk membantui bangsa asing itu, lalu dengan alasan mengudji kepandaian, djiewie hendak membinasakan aku? Djikalau pertemuan kita ini terdjadi didalam negeri kita, aku dapat memakluminja, suka aku menghormati djiewie sehagai orang2 tua, tetapi disini, harap djiewie maafkan aku, aku mesti mendapatkan keterangan jang pasti. Maka djikalau djiewie ragu2, harap kau djangan sesalkan aku ". Sembari berkata begitu, si nona mengawasi muka orang. Muka Kian Tjiang mendjadi putjat, dan tubuhnja Bok Ya menggigil. Hanja sebentar, lantas mereka tenang seperti biasa.

   "Nona Boe", kata jang satu, tertawa.

   "apakah itu jang mengherankan kau, silakan kau utarakan ?".

   "Kamu jang mengukir antjaman dibatu gunung itu, apakah artinja ini ?".

   "Itulah terang sekali, untuk minta nona lekas pulang !", sahut Hong Bok Ya.

   "Kenapa kamu menghendaki aku pulang ?".

   "Bukannja kami, hanja saudara nona. Tjiansweeya ingin nona pulang ".

   "Ngatjo! Sin Soe menghendaki aku pulang, untuk apakah ?".

   "Itulah hamba tidak ketahui. Tapi disini ada suratnja tjianswee sendiri. Silahkan nona batja, nanti nona mengerti ". Boe Hian Song mengenali surat kakak sepupunja, Boe Sin Soe. Surat itu berbunji .

   "Adikku, aku terkedjut mendengar kau berangkat ke gurun Utara jang djauh, untuk memanggil pulang si achli-waris tjelaka dari Keradjaan Tong, untuk dia membangun keradjaannja. Adikku tjerdas, mengapa kau bertindak begini?, bukankah tindakan itu akan memusnakan diri sendiri? Sungguh, kakakmu tidak mengerti! Sri Baginda telah berusia landjut, ia terpengaruh hasutan djahat dari Tek Djin Kiat, ia bagaikan tertutup ketjerdasannja, sudah begitu, bukannja adikku memberi nasihat, kau djusteru membantu padanja ! Djikalau sampai terdjadi Keradjaan kembali pada si orang she Lie, bukan melainkan kesenangan dan kemuliaan sekarang ini bakal ludas, seperti asap hilang menghembus-bujar, pula kami kaum Keluarga Boe, apakah kami masih dapat hidup ? Oleh karena itu, adikku, aku minta sukalah kau memikirnja pula masak2 ! Aku harap, setelah menerima suratku ini, segera adikku pulang ke Tiang-an, untuk kita berdamai pula bagaimana baiknja. Dari kakakmu, Sin Soe ". ---oo0oo---SEMENDJAK Boe Tjek Thian naik di tachta, ia merubah merek Keradjaan Tong mendjadi Keradjaan Tjioe. Lantas, karena itu, timbul persoalan, bahkan pertentangan. Pihak Boe berpendapat, setelah kaisar, atau ratu, she Boe, maka sanak keluarga Boe adalah jang harus mewariskan keradjaan. Akan tetapi ada menteri2 besar jang tidak menjetudjui pendapat, atau kebiasaan itu, dan mereka ini menghendaki supaja keradjaan nanti diturunkan kepada anaknja Sri Ratu. Boe Sin Soe ingin sekali mendjadi radja menggantikan Boe Tjek Thian, dia lantas berichtiar untuk mendapatkan warisan itu. Dia ber-sekongkol sama beberapa menteri, untuk mereka menundjang padanja. Demikian, di tahun kedua dari pemerintahan Boe Tjek Thian, atas andjurannja, maka Thio Gim Hok, selaku kepala, dengan membawa tanda tangan beberapa ratus orang, sudah mengadjukan permohonan kepada Boe Tjek Thian agar Boe Sin Soe ditetapkan sebagai achli waris keradjaan. Ketika itu perdana menteri jalah Gim Tiang Tjian, ia menentang, maka batallah usahanja Boe Sin Soe itu. Boe Tjek Thian ingin memperlunak pertentangan itu, ia lantas mengambil tindakan merubah she Lie dari puteranja jang keempat, Lie Tan, mendjadi she Boe, serta berbareng mengangkat putera ini mendjadi "soe-hong"

   Atau tjalon achli waris, sedang Sin Soe dianugerahkan mendjadi pangeran Goei Ong, Boe Sam Soe mendjadi Liang Ong, serta lain2 keponakannja lagi mendjadi Koen Ong.

   Dengan demikian, pengaruh Keluarga Boe mendjadi besar hingga menindih pengaruh Keluarga Lie.

   Boe Tjek Thian hendak mengangkat Boe Hian Song mendjadi pangeran Koen-tjoe tetapi Hian Song menampik.

   Djusteru karena ini, Hian Song mendjadi mendapat kepertjajaannja ratu.

   Boe Tjek Thian telah mengangkat Lie Tan mendjadi Soe-hong itu, maksudnja seperti djuga sudah pasti tachta keradjaan bakal diserahkan kepada Lie Tan, si putera nomor empat, akan tetapi putera ini bukan seorang pangeran jang pintar, maka dia tidak ditetapkan mendjadi Thay-tjoe, putera mahkota.

   Di lain pihak, Boe Sin Soe berichtiar terus agar tachta diwariskan kepadanja.

   Menjaksikan suasana buruk itu, Tek Djin Kiat berkuatir Boe Sin Soe nanti berontak, maka ia memberi saran supaja Boe Tjek Thian memanggil pulang Lie Hian, putera nomor tiga, agar Lie Hian itu diangkat mendjadi putera mahkota.

   Didalam suratnja, Tek Djin Kiat antaranja menulis .

   "Mana lebih erat diantara bibi dengan keponakan dan ibu dengan anak ? Djikalau Sri Baginda mengangkat putera, maka untuk laksaan tahun kemudian, Sri Baginda akan mengambil tempat kedudukan didalam Thay Bio, turun-temurun tidak ada habisnja. Djikalau Sri Baginda mengangkat keponakan, maka itulah langka. Belum pernah terdengar seorang keponakan diangkat mendjadi kaisar atau seorang bibi dimuliakan didalam Thay Bio ". Tek Djin Kiat berterang menentang Boe Sin Soe mendjadi kaisar, maka itu ia menundjuki perbedaan diantara hubungan bibi dengan keponakan dan ibu dengan anak serta menjebutnjebut Thay Bio, kuil keradjaan. Hati Boe Tjek Thian tergerak karena saran itu. Ia pun melihat, kalau keponakannja tetap diangkat mendjadi kaisar, mesti terdjadi kekatjauan didalam pemerintahan. Ia tahu, walaupun benar Lie Hian tidak pintar tetapi djuga Boe Sin Soe tidak tjotjok. Sebaliknja, Lie Hian itu ditundjang oleh sedjumlah menteri jang berpengaruh. Maka setelah me-nimbang2, Boe Tjek Thian mengambil putusan menerima baik sarannja Tek Djin Kiat, jalah pangeran Louw Leng Ong dipanggil pulang, untuk persiapan guna dia nanti mendjadi pengganti kaisar. Ketika Boe Sin Soe mendengar keputusan ini, ia djadi sangat membentji Tek Djin Kiat, akan tetapi menteri itu sangat disajang Ratu, ia tidak berani mengganggunja. Setelah membatja surat itu, Hian Song berpikir.

   "Memang, kalau pihak Lie mendjadi kaisar, keluarga Boe ada kemungkinan nanti termusnakan. Tapi ia sendiri, ia harus mengutamakan negara, siapa jang lebih pandai memerintah, dialah jang tepat, soal keluarga ada soal lain. Ia ingat setjara demikian bibinja, Ratu Boe Tjek Thian, sering mengatakan. Karena memikir begini, Hian Song segera mengambil keputusannja. Ia me-robek2 hantjur suratnja Boe Sin Soe, ia masuki itu ke mulutnja, terus ia telan! Kedua boesoe itu melongo. Sungguh mereka tidak mengerti maksudnja nona ini.

   "Aku tidak mau pulang !", kata Hian Song, tawar.

   "Apakah kamu hendak mengambil djiwaku ?".

   "Tidak, kami tidak berani!", kata Hong Bok Ya tjepat,sambil tertawa.

   "Kata2-ku tadi untuk menasihati nona. Tjiansweeya tjuma mengharap nona suka pulang. Katanja paling baik nona dapat ditjegah pergi tanpa kami menemui nona, adalah kami jang bernjali besar sudah menggunai tjara kami ini. Nona sudah biasa merantau, nona tentu tidak memperhatikannja. Djikalau nona tidak puas, baiklah, disini kami menghaturkan maaf ". Hian Song dapat mengerti, maka ia mau menduga, rupanja Boe Sin Soe ingin, kalau tidak sangat perlu, suratnja ini tidak usah diperlihatkan kepadanja.

   "Karena itu ada pikirannja kakakku, tidak usah kamu menghaturkan maaf ", katanja. Ia menjapu muka mereka itu.

   "Kami menggunaiseragam ini, rupanja nona bertjuriga ", berkata Tjiak Kian Tjiang.

   "Sebenarnja kami menjamar begini supaja dapat kami merdeka mundar-mandir disini ".

   "Djadi untuk gampang mentjari dan mengikuti aku !", kata Hian Song tertawa dingin.

   "Hmm ...Hmmmv....! Kamu berani menjamar mendjadi boesoe Turki, njalimu besar! Tapi djikalau kamu bertemu sama boesoe jang tulen atau bertemu Thian-san Kiam-kek, pasti kamu mentjari penjakit sendiri! Di waktu pulang, baiklah kamu menjalin dandanan sebagai rakjat djelata ".

   "Terima kasih, nona ", kata Hong Bok Ya.

   "kami akan turut nasihatmu. Apakah kita berangkat sekarang djuga ?".

   "Apa kita ?", tanja si nona.

   "Kamu pulang sendiri, kepada Ong-ya kamu beritahu bahwa aku telah membatja suratnja, lalu kamu membilangi supaja dalam segala hal dia menurut kepada Sri Baginda, djangan dia bertindak atas suka sendiri ". Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang saling mengawasi, tetapi karena Boe Hian Song telah mengambil keputusan untuk tidak turut pulang, terpaksa mereka berdua pulang sendiri.

   "Bibiku mengubah Tong mendjadi Tjioe, dia mendjadi kaisar wanita jang pertama di dalam negara ini ", pikirnja.

   "siapa tahu dia bukannja bertindak begitu melulu untuk satu keluarga sadja. Djikalau Boe Sin Soe dan kawan2-nja main gila, bukan melainkan keluarga Boe bakal mendapat nama djelak, djuga rakjat bakal bertjelaka. Mudah2-an Thian melindungi agar bibiku itu hidup lebih banjak tahun lagi, dengan bibiku masih hidup mungkin Sin Soe tidak berani bergerak ". Boe Hian Song mengatakan demikian tanpa ia mengetahui kakaknja itu, sudah bertindak djauh sekali. Boe Sin Soe sudah membuat perhubungan sama Khan dari Turki. Bahkan diketahuinja Lie It berada di gunung Thian-san pun Sin Soe jang mengisiki Khan itu. Adalah keinginan Sin Soe supaja Khan membinasakan Lie It. Sebaliknja Khan Turki berpikir lain. Hok Bok Ya dari Tjiok Kian Tjiang adalah orang2-nja Sin Soe jang menjampaikan kisikan itu, mereka sudah bertemu sama Khan sendiri. Pula, Khan-lah jang telah memberikan pakaian seragam itu, untuk mereka dapat menjamar atau menjembunjikan diri, sebab maksud mereka membekuk Hian Song, untuk dipersembahkan pada Khan, guna mereka menagih djasa, maka adalah diluar dugaan mereka, mereka sendiri jang hampir mampus ditangan si nona. Karena kegagalan itu, baru mereka mengeluarkan suratnja Boe Sin Soe, untuk membersihkan diri, supaja segala apa ditumpuk di kepalanja Boe Sin Soe. Setelah berpikir sedjenak, Boe Hian Song mulai lagi dengan usahanja menjusul Tiangsoen Pek. ---oo0oo--- IA terus mengikuti djedjak orang. Ia memandjat makin tinggi, sampai disebuah puntjak. Di sini ia melihat sebuah rumah diantara banjak pepohonan bagaikan rimba. Ia terkedjut, hatinja bimbang. Ia berdiri diam, ia berpikir keras. Di achirnja ia dapat membesarkan hati, maka ia menghampirkan rumah itu, ia pergi kepintu dan mengetuknja. Sekian lama, ia tidak memperoleh djawaban. Ia mendjadi heran.

   "Ketjuali mereka, siapa lagi jang tinggal disini ?", pikirnja. Ia maksudkan Lie It dan Tiangsoen Pek.

   "Mungkinkah mereka tidak sudi menemui aku ?". Karena memikir demikian, ia lantas me-manggil2. Pertama ia menjebut nama Tiangsoen Pek, lalu nama Lie It. Tetap ia tidak memperoleh penjahutan. Ia heran dan mendjadi bertjuriga. Maka achirnja, ia mengertak gigi, ia menolak daun pintu !. Hawa dingin menjamber keluar ketika pintu sudah terpentang. Rumah itu kosong. Di situ tidak ada Lie It, djuga tidak ada Tiangsoen Pek.

   "Ah ....", kata si nona didalam hatinja, ia sangat berduka dan ketjele.

   "Apakah benar2 kau tidak mempunjai lagi sedikit djuga rasa persahabatan ? Dari djauh2 aku datang kemari, kenapa kau tidak mau menemui aku bahkan kau pergi bersembunji ?". Begitu ia berpikir begitu, begitu ia berpikir pula.

   "Mungkinkah Tiangsoen Pek jang tidak mengidjinkan dia menemui aku? Tiangsoen Pek, kau sungguh tjupat pikiranmu! Kau kira aku orang jang kesudian memperebuti suami ?". Sembari ber-kata2 begitu di dalam hatinja, Hian Song melihat kelilingan. Sinar matanja lantas bentrok sama dua baris sjair ditembok. Ia lantas membatja .

   "Sepuluh tahun diimpikan, dipikirkan. Bagaikan pasir meniup angin barat. Seperti sepasang burung sama nasib ...! Didalam dunia ini, dimana rumahku;? Suka aku menjiram darahku ditanah asing. Ingin aku menitipkan pesan untuk kawan lama. Mengingat penasaran Tuan Lie atas negaranja, Biarlah dia mengitjipi keindahan gunung saldju ...". Sjair itu baru sadja ditulis. Itulah sjairnja Tiangsoen Pek. Hian Song berdiam, hatinja bekerdja. Dengan itu Tiangsoen Pek melukis nasibnja sendiri jang telah menikah sama Lie It selama sepuluh tahun, karena berduka maka ia meninggalkan rumahnja, seperti angin barat "merantau"

   Digurun pasir.

   "Inilah nasibnja Tiangsoen Pek. Bukankah ini djuganasibku ? Bukankah ini ditulis untukku ? Aku menjeberangi laut pasir, aku mendaki gunung Thian-san. Bukankah aku pun seperti bermimpi sepuluh tahun ? Teranglah, untuk anaknja, Tiangsoen Pek meninggalkan rumahnja. Untuk itu, ia tidak takut mati. Ia pun menganggapnja akulah kawan lama Lie It. Maka itu, untukku, ia djuga bersedia meninggalkan rumahnja ini. Njata dia bersedia menjerahkan Lie It padaku dan aku diperingati akan penasarannja Lie It dalam urusan negaranja ". Achirnja Hian Song mendjadi berduka, hingga air matanja keluar mengalir. Ia menjesalkan Tiangsoen Pek salah mengerti demikian rupa. Karena ini ia lantas mengambil putusan .

   "Baiklah, djangan aku merintangi mereka sebagai suami-isteri, biar mereka hidup berbahagia digunung Thian-san ini. Untuk se-lama2-nja, baiklah aku djangan bertemu pula dengan Lie It ...". Hampir Hian Song lantas meninggalkan rumah kosong itu ketika matanja melihat khim tua milik Lie It. Ia mendjadi bertambah berduka. Maka ia berduduk, air matanja turun menetes, mengenai alat tetabuhan itu. Tanpa merasa nona ini mengangkat khim itu, untuk memetik-nja. Ia membunjikan lagu, jang dulu ia pernah memperdengarkannja untuk Lie It. Setelah memainkan sebuah lagu, ia hendak meletaki alat tetabuhan itu, untuk bangun berdiri, atau kupingnja lantas mendengar suara halus, jang datangnja dari kedjauhan, seperti suara saldju ter-indjak2.

   "Mungkinkah mereka kembali ?", ia lantas berpikir. Sebat luar biasa, Hian Song pergi melongok kedjendela. Apa jang ia lihat membikinnja terkedjut. Jang datang itu jalah Tok Sian Lie diikuti oleh seorang pria dengan badju hidjau, muka siapa tidak segera terlihat njata. Tidak takut Hian Song, bertemu sama Tok Sian Lie, meskipun ia heran jang mereka bertemu ditempat ini. Ia menguatirkan pria itu, jang ia menduga Thian Ok Toodjin. Segera djuga ia menghela napas lega. Itulah bukan Thian Ok jang ia sangka.

   "Baiklah aku lawan diam pada mereka, ingin aku mengetahui, mau apa mereka datang kemari ?", pikirnja. Maka ia lantas duduk didepan medja dan mulai menabuh pula alat tetabuhannja. Tidak lama, suara tindakan kaki sudah sampai didepan pintu. Lantas terdengar Tok Sian Lie tertawa dan berkata.

   "Oh, Lie Kongtjoe, kau senang sekali! Ada sahabat kekalmu jang datang mendjengukmu !". Hian Song tidak memperdulikannja, ia terus menabuh khim- nja. Tok Sian Lie jang masih tertawa geli, seketika mendadak tertawanja itu berhenti, disebabkan ia mendengar lagu berirama sedih. Ia baru tertawa pula tempo lagu itu ter-putus2. Segera ia berkata njaring.

   "Sahabat kekal begini mengabaikan tetamu, apakah tidak keterlaluan ? Aku belum pernah bertemu sama isterimu jang baru, mengapa kau tidak mau mengundang aku masuk kedalam rumahmu ?". Lalu terdengar suaranja si pria badju hidjau.

   "Suruhlah dia djangan menabuh khim terlebih djauh, lagunja itu tidak menggembirakan!".

   "Benar !", kata si wanita.

   "Djikalau kau menabuh khim untuk menjambut tetamu, kasi dengarlah lagu jang merdu! Eh, apakah kau tidak mau membukai pintu ? Djikalau kau tidak membukai pintu, nanti aku lantjang masuk sendiri !". Kata2 itu dibarengi sama tertolaknja daun pintu. Sembari berbuat begitu, Tok Sian Lie berkata kepada pria kawannja itu.

   "Apakah kau tidak mau masuk untuk menemui tuan rumah ?". Si pria menjahuti dengan djumawa .

   "Kau gusur sadja mereka keluar, aku tidak sudi turun tangan terhadap anak muda !". Tok Sian Lie lantas bertindak masuk.

   "Ah, kiranja Njonja Lie jang Iagi menabuh khim !", katanja. Ketika itu Hian Song menutup tubuhnja dengan mantel dan lagi menabuh khim sambil tunduk, hingga ia tidak lantas dapat dikenali Tok Sian Lie jang telah berpisah banjak tahun, hingga dia itu menjangka ialah Tiangsoen Pek. Lagi2 wanita itu tertawa dan berkata .

   "Nona jang dulu Nona Tiangsoen dan sekarang Njonja Lie, apakah kau masih mengenali aku ? Dikaki gunung Lie San kau telah membunuh soeheng-ku, kedjadian itu tentunja kau masih ingat bukan ? Kau djangan takut, aku bukan hendak menagih djiwa, aku tjuma hendak mengundang kau pergi kesuatu tempat jang bagus!. Nah, baik2-lah kau turut aku ". Hian Song tetap berdiam, ia tidak menoleh, ia terus menabuh khim- nja. Kali ini Tok Sian Lie tertawa seram.

   "Apakah Njonja Lie tidak suka berangkat ? Kalau begitu, baiklah aku sendiri jang mengundang kepadamu !", katanja seraja menghampirkan dengan per-lahan2. Ketika ia sudah datang dekat, ia mengulur tangannja untuk menarik. Sembari mengulur tangan itu, ia tertawa dan berkata pula .

   "Adik jang baik, tanganku ada ratjunnja! Apakah kau ingin aku mengasi bangun padamu ?". Merdu suaranja wanita ini, tangannja pun putih-halus, maka sebenarnja dia tjotjok dengan djulukannja, 'Tok Sian-lie', artinja 'Dewi Beratjun'. Mendadak Tok Sian-lie berhenti tertawa. Baru sekarang ia melihat orang bukannja Tiangsoen Pek. Tak sempat ia menarik pulang tangannja atau lompat mundur, ketika Hian Song mengibaskan tangan, dia lantas roboh terguling dan djumpalitan tiga kali, sehingga tubuhnja tiba diluar pintu. Tapi dia tidakterluka, begitu dia bangun berdiri, tangannja pun terajun, menjamberkan djarumnja jang beratjun, djarum Touw-hiat-tjiam. Boe Hian Song sudah lantas menghunus pedangnja, jang ia putar dengan keras, hingga nampak tjahaja putih perak seperti bianglala, hingga djarum djahat itu kena terhadjar djatuh dan hantjur. Ketika ia tunduk, akan melihat lengannja, ia mendapatkan pada tangan badjunja jang putih ada tapak tangan jang hitam. Tangannja Tok Sian-lie putih- halus seperti batu kemala tetapi tapak tangannja itu hitam beratjun, maka itu menandakan hatinja jang buruk dan kedjam. Ia kaget dan kata didalam hatinja .

   "Kepandaiannja hantu wanita ini tambah banjak, sjukur aku tidak memandang tak mata kepadanja !". Lantas ia melompat keluar, untuk membentak .

   "Tok Sian-lie, untuk apa kau datang kemari ? Masihkah kau tidak mau omong biar benar ?". Selagi Hian Song menanja itu, belum lagi Tok Sian-lie mendjawab ia, pria berbadju hidjau itu mendahului turun tangan. Dia mengebut dengan tangan badjunja jang pandjang, tubuh Tok Sian-lie lantas tergulung dan tertarik, lalu punggungnja ditekan, ditolak dengan perlahan, sampai tubuh itu berkisar kepinggir. Tadinja muka Tok Sian-lie putjat seperti muka majat, segera sedjenak itu, lantas mendjadi merah, segar seperti semula. Maka setelah membuang napas, dia tertawa dan memberikan penjahutannja .

   "Boe Hian Song, hari ini tidak dapat kau bertingka lagi! Perlu apa kau datang kemari? Masihkah kau tidak mau omong biar benar ?". Dengan berani dia mengulangi pertanjaan orang. Teranglah dia mengandal sangat pada pria berbadju hidjau itu. Boe Hian Song pun terkedjut melihat gerak- gerik pria itu. Ia menjerang Tok Sian-lie dengan djurus dari ilmu silat 'Tiat Sioe Sin-kang', atau 'Tangan-badju Besi', ia menduga Tok Sian-lie tidak bakal dapat pertahankan dirinja, siapa tahu si pria dengan gampang sadja telah memberikan pertolongannja. Kepandaian pria itu njata ada terlebih tinggi daripada kepandaiannja sendiri. Pria itu melirik kepada Nona Boe, lantas dia tertawa terbahak.

   "Kaukah si wanita jang pada delapan tahun dulu telah mengatjau rapat orang2 gagah di puntjak Kim-teng dari gunung Ngo-bie-san ? Benar, kepandaianmu tidak dapat ditjela, kau berbakat baik ! Lebih baik kau mengangkat aku sebagai gurumu !". Biarnja orang liehay, Boe Hian Song toh murka, maka tanpa mendjawab, ia menjerang dengan tikamannja.

   "Ai ...!"

   Berseru si badju hidjau itu.

   "Siapakah sudah adjarkan kau ilmu pedang ini ?". Hian Song tidak menggubris, kembali ia menikam. Tepat ketika udjung pedang hampir mengenai hidungnja, si hidjau itu melenggak dengan sebelah kakinja, sedang kakinja jang lain diangkat diteruskan untuk dipakai mendupak ke tangan si nona. Hian Song terkedjut, hampir tangannja kena ditendang, sjukur ia dapat lekas menarik pulang. Ini pun membuatnja terkedjut, sebab ia mengerti tikamannja itu sangat berbahaja. Karena penasaran, tanpa men-sia2-kan ketika, kembali ia menjerang, bahkan sekarang saling-susul, hingga pedangnja berkeredepan ber-kilau2. Walaupun dia didesak hebat, pria itu tertawa berkakak.

   "Meski djuga ilmu pedangmu liehay, apa kau bisa bikin atas diriku ?", katanja djumawa. Lalu, tanpa menanti sampai tubuhnja diputar, tangannja jang sebelah lentas diajun, dipakai menjerang kebelakang. Seperti djuga dia mempunjai mata dipunggungnja, tangannja itu menotok ke tangan si nona, ke djalan darah kiok-tie-hiat dilengan kanan. Boe Hian Song melihat bahaja mengantjam, dengan terpaksa ia menggeser tubuh, dengan begitu ia berkelit, hanja setelah berkelit, ia kembali menjerang. Ia menikam kedjalan darah yan-kwan-hiat divpinggang lawan. Setjara demikian bertempurlah mereka berdua, tjepat lewatnja djurus2, dari sepuluh lantas naik kedua puluh. Menjaksikan itu Tok Sian-lie, jang liehay, ber-kunang2 matanja. Ia mendjadi kagum. Tetapi dia manusia litjin, lantas dia mengasi dengar edjekannja.

   "Bagus, ja, Sin-Koen, kau menghina aku !", demikian suaranja njaring.

   "Baik aku tidak sudi bersama pula denganmu, aku hendak pulang untuk mengadu kepada soehoe !". Si badju hidjau itu, jang dipanggi Sin-koen, tertawa.

   "Tjara bagaimana aku menghina kau ?", dia bertanja.

   "Sebab kau tidak mau membalas penasaranku, kau sebaliknja membilang hendak mengambil dia sebagai muridmu ! Baiklah, karena kau menghendaki dia, aku tidak mau turut padamu ". Mendengar demikian, merah mukanja si badju hidjau ini. Dialah Biat Touw Sin-Koen, seorang jang biasa bertindak menuruti kehendak hatinja sendiri. Dia pandai ilmu obat2-an, maka selama sepuluh tahun jang belakangan ini, dia biasa mengidar didalam dan diluar kota untuk mentjari daun atau rumput obat jang langka. Ini pun sebabnja mengapa di waktu diadakan pertemuan di Kim-teng, Puntjak Emas, digunung Ngo-bie-san, dia tidak berkesempatan hadir. Didalam kalangan Rimba Persilatan, dialah, dan Khim Tjiam Kok-tjioe Heehouw Kian jang pandai ilmu tabib, jang namanja sama terkenalnja. Hanja jang beda diantara mereka berdua . Heehouw Kian menggunaikepandaiannja untuk menolong sesamanja jang sakit, Biat Touw kadang2 menolong dan kadang2 mentjelakai orang, mentjelakai selagi mentjoba obatnja jang beratjun. Karena tabiatnja jang berandalan ini, dia menjebut dirinja 'Biat Touw Sin-Koen' (Malaikat Luar Garis). ---oo0oo--- DIA bertemu sama Tok Sian-lie karena kedjadian jang berikut . Guru dari Tok Sian-lie, jaitu Thian Ok Toodjin, karena mentjoba tangannja jang beratjun, sudah kena dikalahkan Heehouw Kian. Dia lantas pulang, untuk menutup diri, guna beladjar lebih djauh sampai sepuluh tahun. Djusteru itu Biat Touw Sin-Koen pulang dari See Hek, Wilajah Barat, habis mentjari bahan obat2-an. Biat Touw menudju langsung ke Seng-Sioe-Hay, di Koen-loen-san, mentjari Thian Ok. Sebab Thian Ok lagi menjekap diri, dia tidak dapat menemui, dia mendjadi menjesal. Tapi, tidak bertemu sama Thian Ok, dia bertemu sama murid orang, jalah Tok Sian- lie. Tjepat sekali mereka mendjadi bersahabat kekal. Masing2 mereka mempunjai maksudnja sendiri. Biat Touw mau mendapatkan ratjunnja Thian Ok, ia perlu membaiki Tok Sian-lie. Sebaliknja Tok Sian-lie, karena kematiannja Ok Heng Tjia, ingin memperoleh kawan jang dapat diandalkan. Ia pun lagi kesepian, maka ia menerima persahabatannja Biat Touw. Begitulah, erat perhubungan mereka. Tok Sian-lie jang litjin mendapat kabar hal pernikahan diantara Lie It dengan Tiangsoen Pek, bahwa suami-isteri itu tinggal bersembunji digunung Thian-san, dia lantas mengadjak Biat Touw pergi, guna ia menuntut balas. Buat pergi seorang diri, ia tidak berani. Ia djeri untuk ilmu pedangnja Lie It. Di lain pihak, ia ingin dapat menguasai Lie It itu, supaja ia bisa mempermainkan Tiangsoen Pek. Terhadap Tiangsoen Pek sendiri, ia tidak takut. Kebetulan untuknja, ia bersahabat sama Biat Touw Sin-Koen. Diluar dugaannja, bukan ia bertemu Lie It dan Tiangsoen Pek, atau Tiangsoen Pek seorang diri, ia djusteru bertemu sama Boe Hian Song. Tentu sekali ia tidak dapat melawan Nona Boe. Karenanja ia mendongkol mendengar Biat Touw Sin-Koen bukan lekas2 turun tangan tetapi berniat mengambil Hian Song sebagai muridnja. Maka sengadja ia mengambul, untuk membikin gusar kawan itu. Biat Touw Sin-Koen djengah mendengar kata2 Tok Sian-lie. Ia telah main gila dengan nona ini, ia takut rahasianja terbuka dan diketahui Thian Ok Toodjin. Ia terhitung orang jang terlebih tua dan terlebih atas tingkatannja dibanding dengan Tok Sian-lie, mendjadi tidak pantas ia main gila sama murid orang. Maka sekarang ia merasa sangsi. Tapi ialah seorang ulung, dapat ia membawa aksi-nja. Ia tertawa lebar.

   "Nona ketjil, kau terlalu tjemburu! ", katanja.

   "mana bisa aku tidak menghendaki kau? Aku tjuma menjajangi kepandaiannja dia ini ...". Imam ini mendustakan Tok Sian-lie. Ia djusteru ketarik sama Hian Song, jang ketjantikannja melebihi sepuluh lipat "muridnja"

   Itu. Ia ingin ambil Hian Song sebagai muridnja, agar kemudian si nona dapat menggantikan Tok Sian-lie. Sepasang alisnja Hian Song bangun berdiri mendengari pembitjaraannja dua orang itu.

   "Siluman tidak tahu masa lalu, mari rasai pedangku !", ia berkata njaring seraja menikam, dan ketika tikaman jang pertama itu gagal, segera ia mengulangi ber-ulang2. Biat Touw Sin-Koen berkelahi dengan tangan kosong, didesak demikian rupa, ia mendjadi repot, sudah begitu, ia mesti melajani Tok Sian-lie bitjara, begitulah ketika satu kali ia berajal.

   "Bret ...!", maka udjung badjunja kena dirobek udjung pedang si nona, hingga ia terkedjut. Berbareng dengan itu, ia seperti mengenali ilmu silatnja si nona.

   "Ah, mungkinkah wanita ini murid dia ?", ia kata dalam hatinja.

   "Pantas dia tidak suka menjerah terhadapku. Baiklah aku kasi dia rasa, supaja dia bisa lihat !". Lantas ia tertawa keras dan pandjang, terus ia mentjabut sematjam sendjata jang tergendol dibebokongnja, sendjata mana terlihat berkilauan.

   "Lekas kau angkat aku mendjadi gurumu, aku masih dapat memberi ampun pada selembar djiwamu !", katanja keras. Hian Song membungkam, ia terus melakukan penjerangannja. Tapi ia sekarang mendapat perlawanan keras. Bahkan satu kali, mendadak ia merasakan pedangnja terlibat sendjata musuh, tak dapat ia segera menarik pulang. Ia mengerti ia terantjam bahaja akan tetapi ia mendapat akal, sebaliknja daripada menarik, ia djusteru meluntjurkan itu, untuk meneruskan menikam! Biat Touw terkedjut, terpaksa iu melepaskan libatannja. Ia menjekal sendjata jang istimewa. Sebab sendjatanja adalah sebatang patjul pendek, jang ia biasa pakai untuk menggali pohon2 obat2-an. Jang luar biasa, sendjata itu terang mengkilap. Pedang Tjeng-song-kiam dari Hian Song bukan sebangsa pedang mustikanja Lie It tetapi tadjamnja luar biasa, ketika kedua sendjata itu beradu,selainnja suaranja jang njaring, patjul itu tidak rusak sedikit djuga, pedang si nona sebaliknja sedikit bengkok. Pula keistimewaannja patjul Biat Touw, patjul itu ada tambahan lima batang jang tadjam seperti garu atau kuku peranti menjamber dan melibat sendjata lawan serta djuga dapat dipakai menotok djalan darah. Maka djuga, mengenai sendjata, Biat Touw menang unggul dari Hian Song. Pertempuran itu berdjalan seru, berselang tiga puluh djurus, Hian Song kena dibikin repot. Dari mulai menjerang, ia mendjadi pihak jang membela diri, karena sulit untuknja melakukan penjerangan pembalasan. Aneh ilmu silatnja Biat Touw, serangannja katjau, sebentar dia menjamber, sebentar dia menotok, lalu dia mematjul. Sjukur untuk si nona, ia mahir ilmunja ringan tubuh, hingga ia bisa bergerak dengan gesit. Tok Sian-lie tertawa geli ketika ia melihat Hian Song kelabakan.

   "Sin-Koen, kau rampas pedangnja, kau berikan padaku !", ia berkata separuh mengedjek. Ia ketarik sama pedangnja Nona Boe dan ingin sekali memilikinja. Hian Song mengertak gigi. Ia mengerti, lama2 ia bisa mendapat susah. Dengan terpaksa ia mengeluarkan antero kepandaiannja, guna bisa menjerang membalas. Maka itu pedangnja berkilauan mengimbangi tjahaja berkeredepan dari patjulnja Biat Touw. Penjerangannja si imam terintang sedikit tetapi dia tertawa.

   "Bagus ilmu pedangmu!"

   Katanja.

   "Hanja dengan begini kau menggunai tenagamu terlalu banjak, kau membuatnja kekalahanmu bakal datang terlebih tjepat pula, bahkan di achirnja, kau bisa mendapat sakit berat! Maka lebih baik kau lekas menjerah, kau mengangkat aku mendjadi gurumu !". Tok Sian-lie tertawa, ia berkata pula.

   "Aku tidak menghendaki adik seperguruan seperti dia! Aku tjuma menginginkan pedangnja !". Hian Song mendengar semua itu. Ia mengerti Biat Touw bukannja menggertak sadja. Tapi ia mana sudi mendjadi muridnja musuh ini? Dengan terpaksa ia berlaku nekat. Tok Sian-lie benar2 djail. Setelah melihat orang berkelahi lama, diam2 ia menjerang dengan Touw-hiat Sin-tjiam, djarumnja jang beratjun, jang mengarah djalan darah. Hian Song mendengar suara menjamber, ia terkedjut, ia lantas berkelit. Ia bebas dari serangan itu tetapi karena itu, ia mendjadi repot. Melajani dua musuh, perhatiannja mendjadi terbagi. Tepat selagi nona ini terantjam bahaja, dari dalam rimba didekatnja terdengar satu suara pandjang dan njaring sekali, suara itu seperti turun dari udara, lalu berkumandang dilembah. Tjabang2 pohon pun tergojang karenanja. Dua-dua Biat Touw Sin-Koen dan Hian Song terkedjut. Mereka heran. Suara orang liehay siapakah itu ? Tengah mereka berpikir keras dan memasang mata, lantas mereka melihat dari dalam rimba keluar dua ekor binatang jang berbulu kuning emas, jang ternjata jalah 'khim-hoat hoei-hoei' atau kera Afrika jang dinamakan "kera kepala andjing". Adalah aneh kera sematjam itu didapatkan digunung bersaldju ini. ---oo0oo--- KERA itu bengis romannja tetapi pun bagus, menarik hati untuk dilihat. Begitulah, sekalipun Biat Touw Sin-Koen, dia telah tertarik perhatiannja. Kedua kera itu mendatangi kedua orang jang lagi bertarung itu, mendadak mereka berpekik pula, lalu keduanja lompat, akan menerkam. Mereka mempunjai tangan dengan kuku jang pandjang. Hian Song kaget, ia berkelit seraja mendjaga diri. Selagi ia berkelit itu, ia mendengar djeritan Biat Touw serta pekikannja seekor kera, ketika ia menoleh dengan tjepat, ia mendapatkan pundak Biat Touw terluka bekas ditjengkeram dan patjulnja melukai kaki depan binatang itu. Lukanja Biat Touw Sin-Koen disebabkan ia memandang enteng kepada kedua kera itu, tidak tahunja sang binatang gesit luar biasa, tak dapat dia berkelit seluruhnja dari sergapannja, maka dia terluka. Dia lagi mendesak Hian Song, maka ketika disergap, dia berkelit sambil mengibas. Dia bertenaga besar, sebaliknja dia menjangka kedua kera itu dapat disampok roboh hingga pingsan. Dia pun mcmikir untuk menangkap hidup kedua binatang itu, maka dia menggunai tenaga empat atau lima bagian. Karena lukanja itu, Biat Touw heran dan kaget. Dia telah mejakinkan ilmu Kim-tjiong-tiauw, atau Djala Lontjeng Emas, sematjam ilmu kebal hingga tubuhnja tidak dapat dilukakan sendjata tadjam, dia tidak sekali menduga, binatang itu dapat melukakannja. Tentu sekali, dia mendjadi sangat gusar.

   "Baiklah, lebih dulu aku bereskan kamu, binatang !", dia membentak. Dia terus berlompat kepada seekor kera, untuk mendjambak. Seperti seorang ahli silat, kera itu berkelit lintjah sekali, setelah mana, dia membalas menjerang. Berbareng dengan itu, Biat Touw merasai angin menjambar dibelakang kepalanja, hingga dia mesti lekas berkelit, sambil mengibas. Kera jang satunja jang menjerang itu, kena dikibas hingga djatuh. Hanja sedjenak, ia bangun pula, bersama kawannja,kembali ia lompat menjerang. Hian Song girang berbareng heran. Ia tidak diserang kedua kera itu, ia bahkan dibantui. Maka ia lantas berpikir.

   "Tadi mereka menolong aku, maka tidak dapat aku membiarkan mereka ". Dari itu, ia lantas madju menjerang Biat Touw. Ia berlaku hati2, ia kuatir kedua kera tidak mengenali sahabat dan musuh. Tapi kekuatiran ini tidak beralasan, kedua binatang itu mengenali padanja, terus mereka menjerang si badju hidjau, tjara menjerangnja pun rapih, dari kiri dan kanan. Dikepung bertiga, Biat Touw Sin- koen agak kewalahan. Lagi satu kali dia telah kena ditjengkram, maka dalam murkanja ia menggunai patjulnja dengan keras sekali. Dengan menerbitkan suara njaring, pedang Hian Song kena ditangkis mental, lalu dengan tangan kirinja dia menindju keras, dua kali saling-susul, dua2 kalinja mengenai sasarannja. Tanpa ampun lagi, kedua kera itu terpental roboh, untuk tidak lantas bangun pula. Hian Song kaget. Ia menjangka kedua kera itu sudah mati.

   "Serahkan dua kera itu padaku !", terdengar Tok Sian-lie berkata.

   "Sin-Koen, kau menghendaki jang mati atau jang hidup ?".

   "Lebih baik kalau keduanja dapat ditolong !", menjahut Biat Touw.

   "Kau hati2 !". Tok Sian-lie menghampirkan kedua kera itu, untuk memeriksa. Ia mendjadi heran.

   "Eh, batok kepalanja tidak petjah !", katanja.

   "Kenapa keduanja mati ?". Dia memegang bulu dikepalanja, jang berwarna kuning emas, niatnja untuk disingkap. Kedua kera itu tidak mati, pingsannja djuga pingsan ber-pura2. Keduanja roboh terus berdiam, untuk dapat beristirahat, ketika jang satu bulunja ditarik, dia lompat bangun dengan mendadak sambil tangannja menjamber lengan orang!. Biat Touw pun kaget, tetapi dia tidak mendjadi gugup, dia lompat untuk menjerang. Kedua kera itu berlompat untuk berkelit, habis mana jang satu membalas menjerang, jang lain menjerang Tok Sian-lie. Dia ini merasakan sakit sampai ke-uluh-hatinja karena luka dilengannja bekas tjengkeraman si kera, akan tetapi melihat serangan datang, lekas2 dia menjambut dengan djarum beratjunnja. Sang kera liehay, ia berkelit, lantas ia menjamber sebatang tjabang untuk diputar bagaikan pedang guna menutup diri, setelah itu, ia lompat keatas pohon, menangkel pada sebuah tjabang. Ketika ia terajun balik, ia menjerang pula wanita itu !. Kera jang menjerang Biat Touw Sin-Koen berlaku tjerdik, dia tidak mau merapatkan, dia berputaran, saban2 dia mengantjam sama tjengkeraman-nja. Njata dia sangat gesit dan menang djuga tangan pandjang. Sebenarnja dia biasa berdjalan dengan kedua tangan dan kedua kaki, tetapi sekarang, dia dapat berdiri seperti manusia dan kedua kaki depannja dapat digunai sebat dan pandai seperti tangan manusia. Beratnja untuk Biat Touw, Hian Song terus menjerang padanja, hingga dia tetap dikepung berdua. Djusteru itu, dia mendengar djeritannja Tok Sian-lie hingga dia kaget sekali.

   "Tolong ,,,!", demikian suaranja wanita kawannja itu. Biat Touw mengibas, untuk mengundurkan musuh, habis mana dia berlompat kearah Tok Sian-lie, buat membantu kawan itu. Boe Hian Song melihat gerakan lawannja ini.

   "Kemana kau hendak kabur ?", ia membentak seraja lompat menikam. Biat Touw seperti telah dapat menduga bahwa dia akan dikedjar, maka itu selagi tubuhnja melompat itu, tidak menunggu sampai kakinja mengindjak tanah, tubuhnja telah diputar balik sangat tjepat, sambil berputar, dia menjerang kebelakangnja. Hebat kesudahannja saling-serang ini. Hian Song kaget bukan main, ia tidak dapat menangkis, bahkan berkelit pun tidak keburu, maka dadanja kena tertotok djari tangannja si badju hidjau, hingga ia merasakan napasnja seperti berhenti dengan tiba2. Dilain pihak, udjung pedangnja mengenai mata kaki lawannja itu! Walaupun terluka, Biat Touw lari terus menjusul Tok Sian-lie, Hian Song sebaliknja, tidak berani menguber. Disana Tok Sian-lie lagi terantjam si kera kepala andjing. Dari atas pohon, kera itu melompat turun, sebelah tangannja jang pandjang diluntjurkan kearah si wanita tangan beratjun, untuk menjengkeram batok kepalanja. Biat Touw gesit dan liehay sekali, dia sampai dengan tjepat, lantas dia menjerang guna menolong Tok Sian-lie. Si kera tahu lawan ini berbahanja, dia lompat naik pula ketjabang pohon. Biat Touw tidak mengedjar, hanja dengan menarik tangan Tok Sian-lie, ia lari pergi, luka dimata kakinja tidak menjebabkan dia tidak dapat lari keras. Lekas sekali mereka lenjap diantara angin dan saldju. Boe Hian Song menghela napas lega.

   "Djahanam itu sangat liehay kedua tangannja ", pikirnja.

   "Tanpa bantuannja kedua kera istimewa ini, pastilah hari ini aku kena terhinakan manusia djahat itu ". Ia lantas memikir untuk menghampirkan kedua kera, atau mendadak ia mendengar pula seruan njaring dan pandjang dari dalam rimba. Kedua kera itu, seperti mendengar panggilan madjikannja, lari masuk kedalam rimba itu. Hian Song mendjadi bertambah heran.

   "Mestinja mereka binatang piaraan ! Karena mereka liehay, madjikannja mesti liehay djuga !". Karena memikir demikian, tanpa bersangsi ialari kearah rimba, guna menjusul kedua kera itu. Ia lari belum djauh, mendadak ia merasakan dadanja sakit. Ia lantas menghentikan tindakannja, ia mengempos semangatnja, guna melegakan pernapasannja. Karena ini, ia memikir untuk berhenti menjusul. Begitu ia memikir, begitu ia mendengar suaranja si kera. Hatinja mendjadi ketarik pula. Maka ia lari menjusul lagi. Tiba disatu tikungan, ia menampak sebuah tempat terbuka, dimana ada bukit es tinggi beberapa puluh tombak, duduknja bagaikan sekosol. Disitu, nempel pada es, terlihat kedua kera itu.

   "Engko hoei-hoei, terima kasih !", katanja girang sekali. Kedua kera itu tidak mendjawab, sebaliknja, satu suara terdengar menanja si nona.

   "Nona, kau letihkah ?". Hian Song heran. Ia lantas berpaling kearah dari mana suara itu datang. Lantas ia melihat seorang dengan pakaian putih lagi duduk di kaki bukit es itu, sedang kedua kera segera menghampirkan dia itu, untuk lompat naik kepundaknja kiri dan kanan. Ia menduga kepada madjikan kedua binatang itu. Maka mau ia menjahuti. Tapi orang itu sudah mendaihului bertindak kearahnja. Ketika ia melihat sinar mata orang, jang tadjam sekali dan memutar memain, ia kaget, hingga ia kata didalam hatinja.

   "Aku mesti ber-hati2! Siapa tahu kalau dia orang djahat!". Mendadak orang dengan pakaian putih itu berkata.

   "Lekas kau menoleh kebelakang! Lekas kau loloskan badjumu!"

   Nona Boe kaget bukan main. Ia tidak tahu maksud orang. Sebaliknja, ia mendapatkan orang berlompat kearahnja. Tidak sempat ia berpikir lagi, ia menabas dengan djurusnja.

   "Heng tjie thian lam"

   Atau "Menuding melintang kelangit Selatan". Ia bukan berniat menjerang melukai, tetapi ingin mentjegah madjunja orang, untuk dapat ketika menanjakan keterangan.

   "Ah ...!", seru orang itu seraja ia menunda madjunja, untuk menjamber setjabang pohon disampingnja, untuk dipatahkan, hingga itu ia bisa madju terus, tanpa menghiraukan antjaman pedang, dia menusuk ke dada si nona didjalan darah leng- toet-hiat. Hian Song kaget, dalam hatinja ia berkata.

   "Benarlah dia manusia djahat!". Maka ia lantas berkelit, lalu menjerang dengan djurus "Meraba bintang, memetik bintang."

   Itulah salah satu djurusnja jang terliehay.

   "Ah...!", orang berpakaian putih itu bersuara pula. Dia pun tidak berhenti, setelah membebaskan diri, dia menjerang pula dengan tjabang kajunja itu. Njata, dari gerak-geriknja, dia mengenali ilmu silat si nona. Herannja Boe Hian Song tidak terkira. Serangannja itu sangat hebat, dengan itu ia belum pernah gagal. Bahkan Thian Ok Toodjin dan Biat Touw Sin-koen mengalahkan ia karena mereka menang tenaga- dalam.Tapi dia ini menggunai hanja tjabang pohon. Dia sangat gesit, tenaga- dalamnja pun mahir sekali. Terpaksa ia mengeluarkan seantero kepandaiannja, guna membela dirinja. Dengan sebat dan lintjah, si pakaian putih memetjahkan setiap serangan, atau menghindarkannja, dia membuat si nona di depannja heran bukan buatan. Dalam herannja, Hian Song hendak menanja, atau segera ia didesak, lalu dengan beruntun ia kena ditusuk tudjuh djalan darah dipunggungnja, seperti leng- kie, tiong-hoe, dan lainnja. Lantas tangannja mendjadi kaku, pedangnja terlepas djatuh ditanah.

   "Maaf, Nona Boe !", pria itu berkata tjepat.

   "Maaf untuk perbuatanku jang kurang adjar ini. Lekas kau meluruskan napasmu !". Hian Song tidak dapat ketika untuk mengutjapkan kata2, ia merasakan dadanja sesak, ada hawa panas mengalir pada tudjuh djalan darahnja. Lekas2 ia bernapas untuk menjalurkan darah, menuruti petundjuk pria pakaian putih itu. Ia tidak usah menggunai banjak tempo atau lantas ia merasa pernapasannja pulih dan tubuhnja terasa merdeka sekali. Si badju putih mengawasi, hingga ia melihat muka orang bersemu dadu. Ia lantas tertawa dan berkata.

   "Kau telah terkena tangannja Biat Touw Sin-Koen, djikalau kau tidak ditotok seperti ini, tidak dapat kau bebas dari ratjunnja tangan orang djahat itu !". Hian Song lantas sadja mengerti, hingga ia mau pertjaja orang ini. Ia djadinja ditolong dibebaskan dari totokan dipunggungnja. Pantas orang meminta ia membuka badju sambil membalik belakang. Djadi dialah jang salah menjangka maksud orang. Ia hanja heran, selagi orang ini djauh terlebih liehay daripadanja, mengapa dia menanti dulu sampai beberapa puluh djurus, baru dia menotok. Maka maulah ia menduga bahwa orang tengah mengudji kepandaiannja. Lalu ia mendjumput pedangnja, ia memberi hormat seraja menghaturkan terima kasih.

   "Aku mohon bertanja she dan nama in-kong jang mulia ...?", ia tanja kemudian. Ia memanggil "in-kong" (tuan penolong).

   "Apakah aku pun boleh mendapat tahu siapa guru in-kong ?". Orang dengan pakaian putih itu tertawa.

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mari turut aku, kau nanti mendapat tahu !", sahutnja. Ia lantas memutar tubuh, untuk bertindak pergi. Kedua kera itu berlompat turun, keduanja berpekik aneh, tetapi melihat sikapnja, njata keduanja gembira sekali. Keduanja mengangkat djuga tangannja masing2, seperti orang jang memberi hormat pada si nona, habis itu mereka berlompatan untuk berdjalan didepan, selaku pengundjukdjalan. Hian Song tetap heran. Ia pun berpikir.

   "Dia telah mengobati aku, mestinja dia tidak berniat djahat ". Maka ia bertindak mengikuti, pergi lebih djauh kesebelah dalam bukit bersaldju itu. Puntjak bukit seperti masuk kedalam awan, air selokan pun bagaikan katja. Maka pemandangan alam disitu indah sekali. Untuk berdjalan diatas saldju mengikuti si pakaian putih, Hian Song menggunai ilmu enteng tubuh "Teng peng touw soei"

   Atau "Menjerang dengan mengindjak kapu2".

   Segera ia mendjadi heran pula.

   Ia melihat orang seperti djalan dengan tindakan lebar akan tetapi ia tidak dapat melombai orang itu.

   Diam-diam ia mendjadi kagum.

   Sesudah ber-lari2 sekian lama, Hian Song merasa hawa mulai hangat, tidak sedingin tadi.

   Njata ia telah tiba disebuah bukit dimana ada banjak pepohonan, jalah rumput dan pohon bunga.

   Didepannja terbentang sebuah telaga ketijl.

   Anehnja telaga itu berada diatas puntjak gunung.

   Telaga itu permai.

   Kupingnja lantas tnendengar kitjau burung2 dan hidungnja mentjium harumnja bunga.

   Ia merasa ia seperti berada ditempat dewa.

   "Inilah pengempang Thian Tie jang kesohor ", berkata si orang pakaian putih tanpa diminta.

   "Katanja pengempang ini, dtilunja jalah mulut gunung api, setelah apinja padam, lalu berubah mendjadi telaga. Itulah sebabnja kenapa hawa disini hangat ". Hian Song kagum. Selewatnja pengempang itu, mereka tiba disebuah guha batu, jang mulutnja tertutup batu sehagai daun pintu. Si badju putih menolak pintu batu itu.

   "Silakan masuk !", ia menggapai kepada Hian Song. Untuk sedjenak, Nona Boe bersangsi, tapi segera ia mengambil keputusan.

   "Aku sudah tiba disini, tidak dapat aku mundur pula. Dia lebih liehay daripada aku, djikalau dia mau mentjelakai aku, tidak usah dia menunggu sampai disini ". Maka ia lantas bertindak madju, masuk kedalam guha. ---oo0oo--- DI dalam guha ada sinar terang dari sebuah lubang angin. Sinar itu membikin Hian Song dapat melihat segala apa dengan njata. Lantas ia mendjadi heran. Ia melihat sebuah medja batu diatas mana ada bertjokol seorang niekouw atau pendeta wanita, dikitari sekosol batu marmer hingga dia mirip patung dewi atau malaikat. Jang heran, dia bukan mirip patung tanah liat atau kaju, dia seperti orang hidup!. Untuk sedjenak Hian Song berdiri tertjengang, achirnja ia menekuk kedua kakinja, mendjatuhkan diri didepan bhiksuni itu, untuk memberi hormat sambil ia berkata separuh berseru.

   "Soehoe...!. Kiranja soehoe disini...! Soehoe, inilah muridmu, Hian Song, datang !". Niekouw itu berdiam sadja.

   "Soehoe...!"

   Kata sang murid, heran.

   "Soehoe, mengapa kau berdiam sadja?". Guru itu terus berdiam. Orang dengan pakaian putih itu, jang berdiri disamping si nona, berkata dengan perlahan.

   "Gurumu telah meninggal dunia semendjak tiga tahun jang lampau, aku menantikan sampai sekarang baru aku mendapatkan kau datang ".

   "Apa ...!", berseru Hian Song, heran dan kaget. Ia tidak pertjaja mata atau pendengarannja, ia melompat bangun. Ia lantas menggeser sekosol, untuk mendekati gurunja itu. Ketika ia meraba, ia kena pegang anggauta tubuh jang dingin seperti es, tubuh guru itu keras dan kaku, bagaikan batu. Ia kaget hingga ia mendjatuhkan diri pula, ia berdiam sekian lama tanpa bisa menangis. Baru kemudian terdengar isaknja. Pria dengan pakaian putih itu membiarkan orang menangis hingga sekian lama.

   "Soehoe menutup mata tanpa sakit lagi ", katanja perlahan.

   "Aku tjuma menantikan tibamu, lantas kita dapat memenuhkan keinginannja, jalah kita dapat mengantar pulang tubuh-raganja. Soe-moay, tidak usah kau terlalu berduka ". Hian Song berlompat bangun, matanja menatap wadjah orang.

   "Hian Song, kau telah tidak mengenali aku ...", kata pria itu.

   "Ketika kau berumur sepuluh tahun, aku telah melihatmu. Semendjak itu, hingga sekarang sudah lewat enam belas tahun, tidak heran kau tidak ingat aku lagi. Djuga aku, djikalau tadi aku tidak mengudji dulu ilmu pedangmu, aku tidak berani mengakui kau ". Hian Song menepas air matanja, ia mengawasi pula.

   "Ah, kau djadinja Pwee Toako !", katanja.

   "Benar, akulah Pwee Siok Touw ", menjahut pria itu.

   "Sampai soehoe hendak menghembuskan napasnja jang penghabisan, aku tetap berada didampingnja ". Siok Touw ini keponakan gurunja Hian Song, karena ia memperoleh ilmu silatnja dari bibinja itu, ia pun memanggil guru pada sang bibi. Selagi Hian Song masih beladjar pada gurunja, Siok Touw sudah keluar dari perguruan, untuk pergi merantau, maka djuga kedua saudara seperguruan ini tjuma pernah bertemu satu kali.

   "Kenapa soehoe berada disini ?", kemudian Hian Song tanja. Ia heran.

   "Soehoe meninggalkan sekumpulan sjair ", kata Siok Touw.

   "ia memesan untuk kau membawa pulang buat dihaturkan kepada Thian-houw. Soehoe bilang Thian-houw paling mengenal hatinja. Buku sjairitu kau boleh batja lebih dulu, habis membatja, lantas kau akan mendapat tahu kenapa soehoe datang kemari ". Siok Tow lantas menjerahkan buku sjair jang dimaksudkan itu. Hian Song menjambuti, lantas ia membalik lembaran pertama. Ia membatja sjair jang berarti .

   "Ingin memesan kata2 tetapi sukar. Mengikuti rembulan terang tiba di Thian-san. Selama tiga puluh tahun segala apa berubah Koet Goan jang kesasar belum lagi kembali ". Hati Hian Song tergerak. Ia mengetahui djuga sedikit hal ichwal gurunja, dan sjair ini memberikan pendjelasan kepadanja. Njata selama beberapa puluh tahun sang guru senantiasa ingat "itu orang", jalah Oet-tie Tjiong, gurunja Lie It. Ia mendjadi terharu, ia berduka, tanpa merasa airmatanja menetes djatuh. ---oo0oo--- GURU Hian Song itu, sebelum dia mendjadi pendeta, jalah Pwee Keng Hiang, dan ajahnja, Pwee Boen Keng, didjaman Kaisar Tong Thay Tjong, mendjabat Pok-sia, mendjadi menteri jang berkenamaan. Ketika itu ada suatu kebiasaan, putera atau puterinja seorang berpangkat dikirim ke biara, untuk mendjadi murid pendeta tanpa mendjadi paderi, jalah tanda mentjukur gundul rambutnja, untuk beberapa tahun lamanja, katanja guna memohon perlindungan Sang Buddha agar si putera atau puteri pandjang umur. Tempo Keng Hiang baru dilahirkan, ibunja telah minta peruntungannja diramalkan, katanja ia bakal menghadapi banjak kesukaran, maka itu sedari umur delapan tahun ia sudah dikirim ke Kam In Sie, sebuah kuil jang istimewa menerima murid2 keluarga orang berpangkat. Kepala dari Kam In Sie bernama Biauw Giok, djanda dari seorang Gie-tjian Sie-wie, pengawal Kaisar Tong Thay Tjong. Sie-wie ini gagah, liehay ilmu pedangnja, tetapi ia terbinasa dimedan perang Korea selama tahun Tjeng-koan ke-18, karena ia tidak mempunjai anak baik laki2 maupun perempuan, isterinja lantas mensutjikan diri di biara itu. Biauw Giok pun memahamkan ilmu pedang, tidak ada orang jang mengetahui kepandaiannja itu, baru setelah berusia landjut dan karena tjotjok sama tabiatnja Keng Hiang, ia mengadjari ilmu pedangnja itu pada muridnja ini. Ini djuga ia lakukan diluar tahunja orang lain. Tatkala Biauw Giok meninggal dunia dan Kaisar Lie Sie Bin wafat, Boe Tjek Thian, jang diusir dari keraton, memasuki Kam In Sie mendjadi bhiksuni. Disini ia berkenalan sama Keng Hiang, jang melihatnja dia seorang wanita luar biasa, mereka mendapat ketjotjokan satu dengan lain, keduanja lantas mendjadi sahabat erat, hingga pernah terdjadi, tempo ada datang orang djahat, jang hendak membinasakan Boe Tjek Thian, Keng Hiang jang menolongi mengusir tjalon pembunuh itu. Belakangan, nasib Boe Tjek Thian berubah mendjadi baik. Oleh Kaisar Kho Tjong (jalah Lie Tie puteranja Lie Sin Bin / Thay Tjong), dia disambut masuk kedalam keraton, dari selir 'Tjiauw- gie' (sebawahan dari Koei-hoei), dia mandjat mendjadi Hong-houw, permaisuri. Poei Keng Hiang turut masuk kekeraton sesudah habis temponja berdiam didalam biara, dia diangkat mendjadi pembesar dalam keraton (lie-khoa). Lalu datang saatnja Boe Tjek Thian merampas kekuasaan atas pemerintahan, ia main petjat banjak pangeran atau orang bangsawan, hingga banjak menteri mengetahui pemerintahan bakal djadi pemerintahannja Keluarga Boe. Beberapa menteri lantas berserikat, diam2 mereka menentang permaisuri itu. Oet-tie Tjiong mendjadi salah satu penentang itu. Ketika itu ia mendjabat Liong Kie Touw-oet dari tangsi Sin Boe Eng, bahkan ialah satu satu penentang hebat. Sikapnja ini menjulitkan Pwee Keng Hiang, sebab ia dan Keng Hiang, sebagai saudara2 misan, sudah ditunangkan satu pada lain semendjak masih ketjil. Oet-tie Tjiong ketahui Keng Hiang dipertjaja Boe Tjek Thian, ia mentjari ketika membikin pertemuan rahasia sama tunangannja itu, untuk minta si tunangan membantunja. Keng Hiang terkedjut. Baru sekarang ia ketahui Boe Tjek Thian hendak digulingkan. Seberpisahnja dari Oet- tie Tjiong, pikirannja mendjadi katjau. Satu hari dan satu malam ia berpikir keras. Achirnja ia membuka rahasia pada Boe Tjek Thian. Boe Tjek Thian tjerdik sekali, tanpa memberi kentara sesuatu, ia mengatur tipu daja, ia memasang perangkap, untuk turun tangan terlebih dulu dan setjara mendadak djuga. Jang pertama dibekuk dan dibunuh jalah dua orang penting, jaitu Kok-kioe atau ipar kaisar, Tiangsoen Boe Kie, serta seorang menteri, See-tay Sie-long Siangkoan Gie, menjusul mana dibunuhlah tiga puluh enam anggauta keluarga bangsawan lainnja. Oet-tie Tjiong liehay, ia dapat kabur dari kotaradja. Dengan begitu hampir ludas djumlah penentang. Pwee Keng Hiang tidak mendjadi menjesal akan tindakannja itu. Ia tahu, kalau Boe Tjek Thian sampai mendjadi kaisar (Ratu), kaum wanita bakal naik deradjatnja, dan rakjat djuga bakal memperolehkeuntungan. Hanjalah, walaupun ia tidak menjesal, ia toh berduka, karena dengan memihak dan membelai Boe Tjek Thian, ia mendjadi kehilangan tunangannja jang ia tjintai. Ia berdjasa terhadap Boe Tjek Thian tetapi ia tidak suka menerima anugerah, maka kemudian, ia meninggalkan ratu itu. Boe Tjek Thian ketahui sebabnja kedukaan Keng Hiang, ia menjuruh Keng Hiang membudjuki Oet-tie Tjiong kembali, tetapi Oet-tie Tjiong sangat membentji ratu, segan dia kembali, tak sudi dia menemui tunangannja. Maka achirnja, Keng Hiang masuk mendjadi bhiksuni, ia pulang kekampung halamannja, ia mejakinkan terus ilmu silatnja, antaranja ia mewariskan kepandaiannja kepada Pwee Siok Touw, sang keponakan. Selama itu Boe Tjek Thian telah pergi ke pelbagai tempat, untuk menjelidiki penghidupan rakjat, untuk ditolong. Beberapa kali ia mampir pada Keng Hiang, jang ia harapkan kembalinja kesisinja, akan tetapi Keng Hiang tidak dapat meluluskannja. Meski demikian, hubungan mereka tetap erat, maka itu, mengingat Boe Tjek Thian tidak mempunjai pengawal wanita jang gagah, ia mendjandjikannja satu, jang pintar dan gagah. Inilah sebabnja kenapa kemudian dia menerima Boe Hian Song sebagai murid. Begitu lekas Boe Hian Song memperoleh kepandaian, Pwee Keng Hiang meninggalkan kampung halamannja. Ia tidak bisa melupai Oet-tie Tjiong, ia lantas pergi merantau untuk mentjari. Diachirnja, ia mendengar kabar Oet-tie Tjiong tinggal bersembunji digunung Thian-san, ia lantas meninggalkan Tionggoan, ia menudju ke wilajah gurun Utara. Tatkala itu Boe Tjek Thian sudah mendiadi Ratu dan Keng Hiang sendiri telah berusia mendekati enam puluh tahun. Keng Hiang kuatir kepandaiannja lenjap tanpa achli waris, maka itu, ia pergi ke Thian-san dengan mengadjak Pwee Siok Tow. Inilah sebab kenapa mereka berdua berada digunung itu. Hian Song masih terus meneteskan air matanja meski ia telah membatja sjair guru itu. Ia mendjadi sangat berduka kalau ia ingat nasibnja mirip sama nasib gurunja. Guru itu mentjari Oet-tie Tjiong dan ia mentjari Lie It. Sekarang ini tulang-belulang Oet-tie Tjiong sudah mendjadi abu dan gurunja pun telah menutup mata. Benar Lie It masih hidup tetapi untuknja, Lie It mirip dengan Oet-tie Tjiong. Lie It pastilah tak sudi menemui ia pula. Bukankah diantara mereka ada Tiangsoen Pek ? Bukankah Tiangsoen Pek sangat djelus dan tjemburu ?. Pula, mana ia tega mengganggu Tiangsoen Pek? maka ia menguatkan hati. Ia menjusut air matanja. Kemudian ia tanja Siok Touw kalau2 gurunja berhasil menemui Oet-tie Tjiong.

   "Mungkin ", sahut Siok Touw.

   "Kenapa mungkin? Kenapa kau tidak tahu ?", tanja si nona.

   "Setibanja kita di Thian-san, kita mendapatkan guha ini ", Siok Touw memberi keterangan.

   "Disini kita lantas tinggal menetap ".

   "Ketika itu aku masih belum ketahui bibiku lagi mentjari tunangannja dan aku tak tahu djuga Oet- tie Tjiong tinggal disebelah bawah kita ".

   "Pada suatu malam, habis turun saldju, bibi memberitahukan aku bahwa ia mau pergi mendjenguk seorang sahabatnja dan ia menjuruh aku mendjaga rumah, aku dilarang pergi ke-mana2

   ".

   "Aku heran. Dipuntjak bersaldju ini, dari mana bibi mendapatkan sahabat? Lalu aku mendengar seruan bibi diatas puntjak. Itulah seruan pandjang jang dikeluarkan dengan emposan tenaga-dalam. Tidak lama, dari sebelah bawah puntjak terdengar seruan serupa, jang menjambut seruan bibi itu. Biarnja aku heran tetapi karena aku mentaati pesan bibi, aku terus berdiam didalam guha. Kemudian seruan itu sirap. Malam itu bibi tidak pulang. Ia pulang besoknja, lantas ia djatuh sakit ". Hian Song mendjadi heran sekali.

   "Tenaga-dalam soehoe demikian sempurna, kenapa ia bisa dapat sakit demikian mendadak ?", ia bertanja.

   "Bibi pulang dengan lesu sekali, kelihatan bibi tidak menggunai tenaga-dalamnja untuk mengobati sakitnja itu. Setelah djatuh sakit, bibi bagaikan hilang ingatannja. Tak berhentinja ia merintih kedinginan. Aku menjalakan api, untuk menghangatkan tubuhnja. Aku pun membudjuki, setelah ia sembuh, kita nanti pulang ke Selatan. Bibi menatap aku, seperti ia tidak mengenalku. Mendadak dia kata tadjam, 'Engko Oet-tie, djikalau kau tidak pulang, aku pun tidak mau pulang !'. Baru aku tahu, sahabat jang ia tengok itu jalah Oet-tie Tjiong, tunangannja. Tentang djodoh bibi, aku dengar dari orang2 tua. Tidak dapat aku menghibur bibi ketjuali aku menjesali Oet-tie Tjiong tak berbudi ".

   "Besoknja aku pergi keluar, untuk mentjari kaju, aku melihat tapak2 kaki, jang satu besar, jang lain ketjil. Jang besar itu kaki pria. Tapak kaki itu kedapatan disekitar sini, maka aku menduga bagaimana katjau atau ruwetnja pikiran bibi dan tunangannja itu ". ---oo0oo--- HIAN Song menghela napas. Ia pikir.

   "Oet-tie Tjiong tidak mau pulang tetapi ia suka berbitjara lama sama soehoe, mungkin kebentjian dan kemenjesalannjaterhadap soehoe sudah hilang. Lie It barangkali tidak demikian, mungkin ia tidak dapat mempertjajai aku dan suka bersamaku bitjara seantero malam ...".

   "Sakitnja bibi tambah berat kian hari ", Siok Tow melandjuti keterangannja.

   "Pada suatu hari, selagi mendampingi bibi, aku membatja kitab ilmu pedangnja, sampai pada bagian jang aku tidak mengerti, mendadak aku ingat bagaimana andai-kata bibi tidak pandjang umur, kepada siapa aku bisa minta pendjelasan. Djusteru aku memikir begitu, selagi air mataku turun tanpa aku merasa, bibi membuka matanja, ia melihat aku menangis. Ia menghela napas dan berkata. 'Kitab ilmu pedangku ini belum ditulis rampung. Tidak ada djalan lain, biarlah aku hidup lagi beberapa tahun'. Lalu semendjak hari itu, sakit bibi berubah mendjadi baik setiap hari. Lewat satu bulan, bibi mengadjak aku pergi mentjari bunga2 hutan, ia membuatnja dua buah karangan bunga. Aku mengikuti dibelakangnja. Tiba dikaki puntjak, disebuah tikungan, aku melihat sebuah kuburan baru, pada nisannja terdapat huruf2 . 'Kuburan Thian-san Kiam-kek Oet-tie Tjiong'. Dibawah itu ada tjatatan orang jang membuat batu nisan itu, jalah Lie It dan isterinja, Tiangsoen Pek. Bibi menaruh bunga itu diatas kuburan tersebut, tanpa mengutjap apa2, ia mendjura tiga kali. Baru hari itu aku ketahui Oet-tie Tjiong telah meninggal dunia. Tiba2 bibi menangis, sembari menangis, ia berkata . 'Hian Song, Hian Song, kau pun harus sangat dikasihani?' ". Hati Hian Song berdebaran. Ia ingat kata2 gurunja ketika ia keluar dari rumah perguruan, ketika ia mau berpisahan dari gurunja itu. Kata gurunja itu .

   "Didalam Keluarga Lie dari Keradjaan Tong ada seorang anggauta bernama It jang ilmu silat dan sifatnja tidak dapat ditjela, dia tjuma keras menentang bibimu, maka kalau kau bertemu dengannja dan dapat membudjuki dia untuk bertindak sedjalan denganmu, itulah baik sekali, kalau tidak, terhadapnja kau harus menaruh belas kasihan ".

   "Ia pikir, mungkin gurunja ketahui hal-ichwal ia dengan Lie It dan guru itu mengharap ia djangan berperuntungan malang seperti si guru dan Oet-tie Tjiong. Kalau tidak, tidak nanti guru itu mengutjap demikian dihadapan kuburan tunangannja itu.

   "Bibiku sering mengingat kau ", kata Siok Touw pula setelah mengawasi si nona sedjenak.

   "Rupanja bibi mengingat sesuatu maka ia ingat padamu ". Siok Touw tidak tahu bahwa Hian Song pun mempunjai lelakon asmara jang mirip lelakon bibinja itu.

   "Kemudian bagaimana dengan soehoe ?", tanja si nona sesudah ia dapat menenteramkan hati.

   "Sedjak itu hari bibi menjambangi kuburan, ia pulang untuk terus menutup diri didalam guha ", menjahut Siok Tow.

   "Terus bibi menjakinkan ilmu pedangnja. Berselang hampir lima tahun, baru selesai bibi merampungkan kitabnja. Pada suatu malam bibi memanggil aku. Ia memesan dua rupa urusan. Jang pertama jaitu, nanti sesudah bibi menutup mata, aku mesti setjara sembunji melindungi Lie It dan isterinja, tetapi aku dilarang bergaul dengan mereka. Jang kedua jakni. Aku mesti berdiam disini menantikan kau. Katanja, tjepat atau lambat, kau bakal datang, bahwa sedatangnja kau, aku mesti menjerahkan kitab sjair dan kitab ilmu pedangnja kepada kau. Bibi pun membilangi aku, apabila aku mendapat tahu kau datang, paling baik aku segera memimpin kau kemari, djangan membiarkan kau lewat dipuntjak Lok To Hong dibawah itu. Aku tahu, tempat kediamannja Oet-tie Tjiong jalah dipuntjak itu. Rupanja bibi djuga tidak menghendaki kau bertemu sama suami-isteri itu. Sebenarnja aku heran memikirkan pesan itu. Mengapa aku mesti langsung mengadjak kau kemari dan mengapa ia tidak ingin kau menemui mereka itu ?". Hian Song menjingkir dari tatapan matanja orang dihadapannja itu.

   "Aku djuga tidak tahu ", sahutnja perlahan, berdusta. Ia menangis terisak, hatinja sangat bersedih. Biar bagaimana, Siok Touw melihat sikap orang rada aneh.

   "Ketika itu aku sudah merasakan alamat kurang baik ", ia melandjuti.

   "Diluar dugaanku, besoknja bibi menutup mata tanpa sakit lagi. Dengan mengikuti pesan bibi, aku lantas rawat tubuhnja, jang aku pakaikan obat, guna dapat menantikan tibamu ini, supaja kaulah jang mengurus penguburannja. Gunung Thian-san ini begini luas, aku kuatir selagi kau datang, aku tidak mendapat tahu, maka itu aku menjuruh kedua kera ini setiap hari pergi membuat penjelidikan, guna menantikanmu. Inilah dua kera jang bibiku dapat menaklukkan di rimba Sishuangpana di Sinkiang Selatan. Binatang ini sangat tjerdas, gampang dikasi mengerti. Bibi masih menjimpan sepotong badjumu, badju itu aku kasi dua kera itu tjium, untuk mereka mengenalmu. Aku pesan mereka untuk mengantarkan kau kemari ". Mendengar keterangan ini barulah Hian Song mengerti kenapa kedua kera itu tidak menjerang padanja bahkan membantui. Sebaliknja, ia berkata .

   "Soehoe, soeheng, walaupun kamu memikir djauh dan ber-djaga2, aku toh telah bertemu dengan Tiangsoen Pek dan telah tiba dirumahnja Oet-tie Tjiong dipuntjak Lok To Hong ". Habis bertjerita, Siok Tow berdiam sedjenak.

   "Soe-moay apakah kautadinja mengenal Lie It suami-isteri ?", tiba2 dia menanja.

   "Semua aku kenal ", sahut si nona, tunduk, sedang mukanja merah. Ia likat.

   "Aku pun pernah mentjuri lihat mereka berlatih pedang ", Siok Touw memberitahu.

   "Ilmu pedang Tiangsoen Pek seperti ilmu pedang Ngo-bie-pay ".

   "Benar. Dialah gadisnja Tiangsoen Koen Liang ".

   "Djikalau begitu, suami-isteri ini ahli2 warisnja ahli pedang kenamaan, merekalah djodoh sembabat !". Didalam hatinja, Hian Song sangat berduka.

   "Silat pedangnja Tiangsoen Pek belum mahir, tetapi buat kalangan Rimba Persilatan, dia sudah tjukup ", kata pula Siok Touw.

   "Jang liehay adalah suaminja. Beberapa kali aku pernah lihat si suami itu bersilat, setiap kalinja dia madju pesat. Mungkin dia telah berhasil mewariskan kepandaian guru dan mertuanja ". Senang Hian Song mendengar kemadjuannja Lie It itu.

   "Hanja sajang ", kata Siok Touw.

   "bibi melarang aku bergaul dengan mereka, hingga aku tidak berkesempatan untuk saling berlatih dengan Lie It. Aku kuatir, lewat lagi beberapa tahun, aku bakal terkalahkan dia, hingga tak ada perlunja lagi untuk aku melindungi mereka. Mereka pun tinggal digunung Thian-san, apa mungkin nanti ada datang orang jang memusuhkannja ?". Kata2 kakak seperguruan ini membuat Hian Song mengerti kenapa barusan ia ditanja kenal Lie It dan isterinja itu atau tidak. Kata2 itu ada seperti pertanjaan kalau2 ia tahu Lie It mempunjai musuh jang hendak mentjelakakannja.

   "Soehoe memesan demikian, mesti ada maksudnja ", ia kata.

   "Barangkali soeheng belum ketahui, Lie It jalah tjutju dari kaisar Keradjaan Tong ".

   "Oh, begitu ... ? Tapi aku pikir, djikalau dia tidak menentang Thian- houw, tidak nanti Thian-houw memerintahkan orang menjingkirkan dia. Kaulah keponakan Thian-houw, mengenai Thian-houw, kau pasti tahu lebih banjak daripada aku ".

   "Sebenarnja ", sahut Hian Song.

   "aku diutus Thian-houw untuk mentjari dia. Adalah niat Thian-houw mewariskan tachta kepada puteranja, Louw-leng-ong Lie Hian, dan Lie It mau diundang untuk membantu Lie Hian. Karena soehoe tidak menginginkan aku bertemu dengan mereka itu, tolong soeheng sadja jang menjampaikan tugasku ini ".

   "Djikalau aku tidak melihat kedatanganmu, mungkin aku sudah turun gunung ", Siok Tow memberitahu.

   "Soehoe menjuruh aku melindungi mereka, maka itu saban2 aku memperhatikan gerak-geriknja. Kemarin aku mendapatkan suami-isteri bergantian turun gunung. Itulah hal jang tidak pernah terdjadi selama beberapa tahun ini. Maka aku berniat pergi menjelidiki ".

   "Tak usah soeheng mentjari tahu lagi ", Hian Song kata.

   "Mereka itu pergi untuk mentjari Khan Turki ". Siok Tow heran.

   "Untuk apakah ?", ia tanja. Hian Song menuturkan kedjadian jang ia ketahui mengenai Lie It dan isterinja, Tiangsoen Pek, jang keras tjemburunja itu.

   "Oh, djadi anak mereka ditjulik Khan itu !", kata Siok Tow tambah heran.

   "Karena masih ada batas waktu satu bulan, baiklah, mari kita urus dulu djenazah soehoe, nanti baru aku pergi membantu mereka. Soemoay, kau duduklah, soehoe masih mempunjai serupa barang untukmu. Nanti aku ambil ...". Hian Song duduk seorang diri, pikirannja katjau. Ia berduka, ia pun girang.

   "Soeheng suka pergi membantu mereka, aku boleh melegakan hati ", pikirnja.

   "Tapi, benar2-kah untuk selandjutnja aku tidak dapat menemui pula dianja ?". Ia maksudkan Lie It. Matanja bentrok pula dengan sjair gurunja barusan.

   "Ah, sjair itu seperti djuga ditulis untukku. Semasa aku di Tiang-an, pernah di-saat2 rembulan bundar-permai, aku bermimpi menuruti hati pergi kegunung Thian-san. Sekarang aku telah tiba disini, apa mungkin aku kembali ?". Lantas Hian Song ingat Siangkoan Wan Djie dengan siapa ia untuk beberapa tahun hidup seperti kakak-beradik, segala apa dibitjarakannja, ketjuali satu hal, jalah urusan ia menjintai Lie It, sebab ia dapat me-raba2, djuga Nona Siangkoan menaruh hati pada pemuda bangsawan itu, mungkin tjintanja tak kalah daripada tjintanja sendiri. Ia ingat sebuah sjairnja Siangkoan Wan Djie, jang artinja mirip sjair gurunja ini. Sjair pernah dimasuki kedalam khim kuno dan budak perempuan jang menjampaikannja kepada Lie It, hingga tentulah si pemuda pernah melihatnja. Sekarang ini, Lie It pun lenjap. Berpikir lebih djauh, Hian Song ingat ketika ia mau berangkat dari kotaradja, Siangkoan Wan Djie pernah memesan kata2 untuk disampaikan kepada Lie It, sekarang ia tidak mau menemui Lie It, habis bagaimana pesan itu harus disampaikannja ? Tidak dapat pesan itu diminta Pwee Siok Touw jang mewakilkan ia menjampaikan. Sebaliknja, berat ia me-njia2- kan pesan Wan Djie itu. Tengah hati nona ini kusut dan berkutat itu, Siok Tow sudah kembali.

   "Sjair tadi soehoe minta kau sampaikan kepada Thian-houw ", kata soeheng ini.

   "Dan ini kitab ilmu pedang untuk kau sendiri. Kau lebih tjerdas berlipat ganda dari pada aku, maka dibelakang hari pastilah kau bakal dapat mengembangkan ilmu kepandaian soehoe. Aku mengandal sangat padamu ". Hian Song menjambuti kitab itu, lalu ia paykoei tiga kali kepadagurunja. Mengingat kebaikan dan budi gurunja, kembali ia mengutjurkan air mata.

   "Habis mengubur soehoe, apakah kau berniat pulang, soemoay ?", Siok Tow tanja.

   "Ja ...", sahut si nona perlahan, sedikit bersangsi.

   "Mengenai urusan Lie It, aku mengandal kepada kau, soeheng ".

   "Djikalau kau mau pulang, itu pun baik ", Siok Touw kata.

   "Aku hendak minta tolong untuk satu hal ".

   "Apakah itu, soeheng ?".

   "Apakah soe-moay kenal Kim Tjiam Kok-tjioe Heehouw Kian ?". Ditanja begitu, hati si nona bertjekat.

   "Pernah aku bertemu dengannja pada delapan tahun jang lampau ", sahutnja.

   "Dia pun pernah menanjakan tentang guru kita ".

   "Habis, bagaimana kau mendjawabnja ?".

   "Pernah soehoe melarang aku bitjara tentangnja, maka itu aku menjahut sadja bahwa aku tak dapat mengatakannja ". Siok Touw menghela napas. Ia kata .

   "Setelah gagalnja urusan djodohnja itu, soehoe pernah bertemu sama Heehouw Kian. Ketika itu Heehouw Kian belum tahu hati soehoe sedang terluka, ia sangat menaruh hati. Tentu sekali, karena soehoe tjuma ingat Oet-tie Tjiong, soehoe tidak dapat menerima lamarannja. Meski begitu, mereka berdua dapat mendjadi sahabat2 kekal. Selama beberapa tahun berdiam di Thian-san, soehoe telah mendapatkan beberapa bidji soat-lian serta djuga obat2-an jang diambilnja dibeberapa gunung lain, maka diwaktu mau menutup mata, soehoe telah menjiapkannja dalam sebuah kotak ketjil, jang mana ia menjuruh aku menjerahkannja pada Heehouw Kian. Sekarang soemoay hendak pulang ke Tionggoan, kau sadja jang tolong bawa dan mewakilkan aku menjampaikannja ". Ketika itu Hian Song merasai hatinja berat, tetapi hendak ia mendjawab kakak seperguruan itu, atau mendadak mereka melihat kedua kera jang berdiam dimulut guha, berbangkit dengan tiba2, seperti mereka itu mendengar sesuatu, menjusul keduanja mengasi dengar pekik jang luar biasa.

   "Rupanja ada orang asing !", kata Siok Touw tertawa.

   "Baiklah, kamu boleh pergi melihat, tetapi djangan kau mengatjau;...!". Menerima titah madjikannja itu, bagaikan terbang, kedua kera itu berlari pergi.

   "Kupingnja kedua binatang itu sangat tadjam ", kata Siok Touw.

   "Kalau ada orang asing datang kemari, dari djauh2 mereka sudah mendapat tjium baunja ". Hian Song heran. Ia men-duga2, siapa itu jang mendaki puntjak gunung ini ? Dia mesti seorang liehay. Adakah dia si pria badju hidjau, Biat Touw Sin-Koen ataukah Lie it ?. Setelah mendapat pendidikan dari bibiku ", Siok Tow kata pula.

   "kedua kera itu mendjadi lie-hay sekali,sekalipun ahli silat pandai belum tentu gampang2 dapat mengalahkannja, maka kau tak usahlah kuatir, soemoay ". Orang she Pwee ini mengatakan demikian karena ia melihat si nona berpikir keras.

   "Sjukur ada Kim Tjiam Kok-tjioe Heehouw Kian,", Siok Tow menambahkan sesaat kemudian.

   "djikalau tidak, tidak nanti kau dapat melihat djenazah soehoe ".

   "Kenapa, soeheng ?", tanja Hian Song heran.

   "Tubuh soehoe dapat dikebalkan sampai sekarang ini sebab aku telah pakaikan ia obat jang dua puluh tahun dulu Heehouw Kian berikan pada soehoe ", Siok Tow menerangkan.

   "Ketika itu soehoe masih belum sutjikan diri dan Heehouw Kian mengirimkan dia bahan2 wewangian, jang katanja dapat membikin parasnja terlindung hingga tidak mendjadi beroman tua. Semasa hidupnja bibi tidak pernah menggunai itu, siapa sangka ia memakainja setelah ia menutup mata. Benar2 obat itu luar biasa khasiatnja ". Hian Song menghela napas.

   "Hal obat itu pernah aku dengar soehoe mengatakannja ", ia kata.

   "Sembari tertawa soehoe menjatakan padaku, sebagai seorang sutji ia tidak memerlukan obat harum itu, bahwa akulah si orang kaum muda, jang membutuhkannja. Soehoe kata ia tidak menghendaki itu ". Sebenarnja ketika itu Hian Song pun kata, sebagai wanita bukan sembarangan wanita, ia tidak dapat menjenangi lain orang hanja dengan ketjantikan, hingga gurunja memudji tinggi padanja. Tentang ini ia tidak dapat menerangkan kepada Siok Touw.

   "Ketika itu hati soehoe sudah beku, dia tidak dapat menggunai obat itu ", Hian Song berpikir pula.

   "Dilain pihak, tjintanja Heehouw Kian itu membuatnja orang terharu terhadapnja ". Nona ini mengetahui djuga hal hubungan erat diantara gurunja dan Heehouw Kian, itu pun sebabnja mengapa ia ingat mengantarkan Lie It kepada orang she Heehouw itu untuk minta tolong diobati, sekarang melihat sjair gurunja, baru ia mengerti baik, kedua orang itu mempunjai hubungan jang luar biasa erat. Lantas ia ingat pula Lie It, hatinja mendjadi tidak keruan rasa. Selama itu, sang waktu telah lewat, kedua kera belum djuga kembali. Per-lahan2, Pwee Siok Touw nampaknja berkuatir.

   "Siapakah kedua musuh tadi ?", dia tanja Nona Boe. Hian Song memberi keterangannja, ia melukiskan romannja si pria berbadju hidjau jang bersendjatakan patjul itu.

   "Oh, dialah Biat Touw Sin-Koen !", kata Siok Touw heran.

   "Jang satu lagi?"

   "Jang satu lagi, aku kenal. Dialah jang kaum Kang-ouw menjebutnja Tok Sian-lie murid dari Thian Ok Toodjin ". Mendengar namanja TokSian-lie, Siok Touw kaget.

   "Ah, mengapa dia pun datang kemari ?", katanja heran. Hian Song heran melihat roman kakak seperguruan ini.

   "Kepandaian Tok Sian-lie berada di sebawahan kita, kenapa agaknja soeheng sangat menghargakan dia !", ia tanja. Siok Tow tetap mengasi lihat roman berkuatir, hatinja terang tidak tenteram. Ia belum lagi memberi djawabannja, lantas mereka mendengar pekik kedua kera, pekik dari kesakitan, menjusul mana kedua binatang itu muntjul dimulut guha. Melihat binatang itu ia kaget hingga ia berseru. Kedua kera itu terluka dan darahnja masih menetes keluar. Pasti Siok Touw heran dan kaget, sebab ia ketahui baik, selainnja liehay, binatang piaraan gurunja itu tidak mempan sembarang sendjata tadjam. Dengan keduanja terluka, terang musuh liehay sekali, sedikitnja melebihkan dirinja sendiri. Lantas Siok Touw memanggil kedua keranja, lantas ia memeriksa luka mereka.

   "Sjukur tubuh binatang beda dari tubuh manusia, kalau tidak, ratjun tentu sudah masuk kedalam djantung mereka ", katanja.

   "Dengan terserang djantungnja, pasti mereka terbinasa ". Hian Song terkedjut. Ia lantas menduga kepada Thian Ok Toodjin. Siok Touw mengeluarkan satu botol obat, dalam mana ada pel warna hidjau, ia mengambil dua butir, ia masuki itu kedalam mulutnja, untuk dihantjurkan, lalu ia memborehkan luka2-nja kedua kera itu.

   "Aku tidak kuatir untuk Tok Sian-lie, hanjalah gurunja ", katanja kemudian.

   "Kepandaian Thian Ok memang berada diatasan kita ", kata Hian Song.

   "Akan tetapi djikalau kita berdua melawan dia, belum tentu kita dapat dikalahkan ".

   "Apakah kau pernah menempur Thian Ok ?", tanja Siok Tow.

   "Ja ..., delapan tahun dulu, diatas gunung Lie San ", sahut si nona.

   "Ber-sama2 tiga djago dari istana aku melawan dia dan kekuatan kita berimbang ".

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mungkin kau belum ketahui, selama beberapa tahun ini Thian Ok telah melatih hebat tangan beratjunnja ", kakak seperguruan ini memberitahu.

   "Sekarang dia muntjul, tentulah dia sudah berhasil dengan perjakinannja itu. Jang aku buat kuatir bukan melainkan Thian Ok seorang. Pernahkah kau mendengar namanja Hek Gwa Sam Hiong (Tiga Djago dari Perbatasan) ?".

   "Tidak ", menjahut si nona menggeleng kepala.

   "Mereka itu terdiri dari Thian Ok Toodjin, Biat Touw Sin-Koen dan Pek Yoe Siangdjin ", Siok Touw menerangkan.

   "Jang belakangan ini seorang pendeta. Thian Ok dan Biat Touw pernah dikalahkan bibi. Diantara mereka, Pek Yoe jang paling aneh ilmu silatnja. Sebabnja bibi menjingkir kesini jalah disamping untuk mendekati Oet-tie Tjiong djuga guna bersedia kalau2 Hek Gwa Sam Hiong datang mentjari balas. Sekarang ini Tok Sian-lie dan Biat Touw telah muntjul bergantian, mungkin Pek Yoe akan muntjul djuga ...". Boleh dibilang baru Siok Touw menutup mulutnja menutur tentang Hek Gwa Sam Hiong, 'Tiga Djago dari Perbatasan' itu, dari kedjauhan lantas terdengar seruan jang luar biasa, mulanja seperti diselang bukit, lalu sebentar sadja seperti berkumandang di luar pintu guha. Tanpa merasa, ber-sama2 Hian Song, ia lompat keluar.

   "Benar2 jang datang bukan tjuma seorang !", kata Siok Touw, terperandjat.

   "Soemoay, kau kembali kedalam, kau lindungi soehoe! Umpama kata aku gagal, lekas kau bawa tubuh soehoe menjingkir dari belakang guha ...!". Hian Song heran. Ia belum melihat musuh. Tentu sekali ia mendjadi bersangsi. Djusteru itu lantas terlihat seorang ber-lari2 mendatangi, bahkan ia segera mengenali Thian Ok Toodjin.

   "Apakah soeheng tidak keliru ?", pikirnja.

   "Thian Ok seorang diri ...". Thian Ok segera tiba didepan Siok Touw, ia menuding dengan kebutannja.

   "Adakah kau muridnja Yoe Tam si bhiksuni tua ?", dia menegur.

   "Lekas kau memberitahukan gurumu bahwa sahabat kekalnja datang mentjari dia !". Belum lagi Siok Touw menjahut, imam itu tertawa dan menambahkan.

   "Sebenarnja tanpa kau memberitahukannja, dia pasti telah ketahui aku sudah datang ...!". Lantas Hian Song mendengar lagi tiga kali seruan tadi, jang saling-susul, nadanja tinggi dan rendah bergantian. Ia seperti merasakan hatinja bergetar.

   "Hebat tenaga-dalam imam itu ", pikirnja. Ketika ia berpaling kepada Siok Touw, ia melihat kakak seperguruan itu mendjadi lebih tenang.

   "Setan djahat, djangan banjak lagak !", kata Siok Touw.

   "Untuk menjembelih ajam tak usah memakai golok peranti memotong kerbau ! Lihat pedang ...!". Kata2 itu dibarengi sama tikaman "Air sungai tumpah". Mendengar itu, Hian Song tertjengang. Tetapi ia tjerdas, segera ia mengerti maksud soeheng itu. Rupanja sengadja soeheng ini tidak mau mengasi tahu jang guru mereka sudah meninggal dunia, supaja musuh djeri. Atas serangan itu, Thian Ok menangkis dengan kebutannja, jang mengasi dengar suara seperti tetabuhan, sebab setiap bulu kebutannja mendjadi kaku bagaikan djarum. Suara itu berlagu sedap untuk telinga. Maka kedua pihak heran dan terperandjat sendirinja. Maksudnja Thian Ok menangkis untuk terus menotok dengan tipunja jang istimewa "Mengebut debu, menusuk liang", siapa tahu, pedang lawannja hebat sekali, bentrokan itu membuat belasan benang kebutannja terpapas kutung. Janghebat, pedang itu pedang biasa sadja akan tetapi mirip pedang mustika. Maka itu menandakan mahirnja tenaga-dalam dari lawan ini. Hian Song kagum melihat liehaynja soeheng itu, maka itu, hatinja mendjadi tenang. Kedua pihak sudah lantas melandjuti pertempuran mereka. Mereka sama2 tangguh, dengan tjepat mereka telah melalui dua puluh djurus lebih. Siok Touw mendapat hati, ia mendesak, pedangnja berkelebatan tak hentinja, bagaikan badai atau hudjan lebat. Thian Ok membela diri dengan saban2 main mundur. Hian Song senang melihat ke-unggulan soehengnja itu, meski demikian, ia memikir untuk memberikan bantuannja, supaja pertempuran bisa lekas2 dihentikan, hanja. belum lagi ia madju, atau Thian Ok sudah berseru njaring, sambil dengan kebutannja dia menangkis, dengan tangan kirinja dia merangsak menjerang!. Hebat serangan tangan kosong itu, disebabkan anginnja jalah angin bau batjin jang membikin orang ingin muntah. Siok Touw berkelit, pedangnja ditarik pulang, guna membabat tangan lawan. Thian Ok berlaku sebat menarik pulang tangannja itu, begitu pedang lewat ditempat kosong, dia menjambar pula. Tangannja itu dibuka sepuluh djarinja, telapakannja nampak hitam. Mau tidak mau, Siok Touw mesti mundur. Djusteru ini, ia berbalik kena didesak, hingga Thian Ok lantas mendjadi si penjerang. Dengan lantas keadaan Siok Touw mendjadi buruk. Sudah pedangnja senantiasa diganggu kebutan, jang hendak melibatnja, bau amis tangannja si imam mengganggu hebat kepada hidungnja, tak dapat ia menutup diri dari bau itu. Sjukur untuknja, ilmu pedangnja tetap tidak mendjadi katjau. Selagi bsertempur itu, mendadak Thian Ok tertawa niaring dan berkata.

   "Ha ...ha ...! Kiranja Yoe Tam si pendeta wanita benar sudah mampus! Hai anak muda, kau bukanlah lawanku, djikalau kau tetap membandel, kau bakal mampus ketjewa! Baiklah kau menjerahkan kitab ilmu pedang dan teratai saldju kepadaku, mungkin aku memberi ampun kepada selembar djiwamu ...!". Didalam hatinja, Siok Touw kaget. Ia tidak mengerti kenapa Thian Ok mengetahui rahasianja itu. Djusteru diwaktu ia kaget, si imam menjerang hebat, hingga ia terkedjut, hampir sadja ia kena terhadjar kebutan. Dengan lantas permainan pedangnja mendjadi kalut. Menjaksikan keadaan soeheng itu, Hian Song berkuatir. Ia mendjumput sepotong batu, dengan gerakannja "Lauw Hay menjebar uang emas", ia menimpuk kearah Thian Ok. Itulah serangan sama dengan serangan sendjata rahasia uang emas atau kim-tjhie-piauw. Thian Ok mendapat tahu datangnja sendjata rahasia, ia mengebut dengan kebutannja. Akan tetapi, karena ia memetjah perhatiannja, ia memberi kesempatan kepada Siok Touw, hingga lawannja itu mendapat ketika memperbaiki diri. Hian Song terus memasang mata. Satu kali ia melihat sinar matanja soehengnja diarahkan kepadanja. Ia mengerti itulah tanda untuk ia masuk ke guha. Berbareng dengan itu, ia ingat bahwa Thian Ok mempunjai kawan. Ia berpikir dengan tjepat.

   "Mengandal kepada kegagahannja, soeheng tentu dapat bertahan lagi sekian lama, atau kalaupun ia kalah, ia tentu dapat menjingkirkan dirinja. Sebaliknja, kalau tubuh soehoe dirusak musuh, inilah hebat ". Karena ini, ia mengambil putusan buat masuk kedalam guha. Thian Ok melandjuti desakannja. Segera dia berhasil pula. Mendadak dia tertawa dan berkata njaring.

   "Biat Touw Sin-koen, aku kata si pendeta wanita Yoe Tam sudah mampus, kau tidak pertjaja ! Sekarang kau pertjaja, bukan? Kenapa kau tidak mau lekas2 menggunai ketikamu ?". ---oo0oo--- BELUM berhenti kata2 itu, dari tikungan bukit terlihat muntjulnja Biat Touw Sin- koen. Sebenarnja ada maksudnja kenapa Thian Ok muntjul digunung Thian-san ini. Ia mau mentjari murid jang perempuannja. Muntjulnja ini sekalian dikarenakan ia telah berhasil dengan latihan Tok Tjiang Kang-hoe, jalah kepandaian 'Tangan Beratjun'. Dikaki puntjak Lok To Hong, ia bertemu sama muridnja itu, Tok Sian- lie, jang berada bersama Biat Touw Sin-koen. Sin-koen lantas sadja merasa tidak enak, dia djengah sendirinja. Thian Ok ingin menegur Sin-Koen tetapi ia menunda ketika ia melihat muridnja terluka dan Sin-Koen pun habis dipetjundangi, sebaliknja ia menanjakan duduknja hal. Lantas ia menduga kepada Yoe Tam Sin-nie, sebab ia pernah melihat kedua kera dari bhiksuni tua itu. Ia kaget berbareng girang. Ia pernah mendengar hal-nja Yoe Tam sudah meninggal Dunia, ia masih ragu2 lantaran belum memperoleh kepastian. Sekarang ia mendengar halnja kedua kera itu, ia berfikir. binatang itu, binatang piaraannja Yoe Tam, keduanja ada disini, Yoe Tam mesti berada disini djuga. Sekarang aku akan dapat petjahkan teka-teki ia benar sudah mati atau masih hidup ...". Karena bersama Biat Touw Sin-Koen ia pernah dikalahkan Yoe Tam, Thian Ok mendjadi djeri, seorang diri iamasih berkuatir melawan niekouw tua itu, maka ia mengadjak kawannja ini, untuk membuat penjelidikan. Djuga Biat Touw tetap bersangsi. Tok Sian-lie tidak terluka parah, dia ditinggalkan dikaki gunung setelah diobati. Tidak lama muntjullah kedua kera, maka Thian Ok melukakannja dengan pukulan tangannja jang beratjun. Setelah itu, Thian Ok mendaki puntjak, sedang Biat Touw, jang litjik, mengatakan hendak membantu dengan diam2. Thian Ok tidak puas akan tetapi ia tidak bisa memaksa. Demikian Thian Ok menempur Siok Touw. Sampai Siok Touw terdesak itu, Yoe Tam masih djuga belum muntjul, maka Sin-Koen berkata didalam hatinja .

   "Thian Ok melukakan kedua keranja, sekarang Siok Touw hampir kalah, kalau Yoe Tam masih hidup, tidak ada alasan kenapa dia tidak lekas muntjul ". Maka ia mau pertjaja, niekouw itu benar sudah mati, dari itu barulah ia berani keluar dari tempatnja sembunji, untuk memberikan bantuannja. Pwee Siok Touw mengeluh melihat Biat Tow datang, pikirnja.

   "Kedua kera sedang terluka, soe-moay seorang diri, mana dapat dia melawan Sin-koen ? Maka itu aku harap soe-moay dapat melihat selatan dan melarikan diri siang2. Oleh karena ia berfikir begitu, Siok Touw mendjadi terpetjah perhatiannja, maka ia bertambah terdesak. Bau amis dari tangan djahat Thian Ok pun menjerang hidungnja tambah hebat, hingga kepalanja mendjadi pusing dan matanja mulai ber-kunang2, hingga dengan sendirinja, silatnja mulai katjau lagi. Njali Biat Touw mendjadi besar, dia tidak perlu membantu Thian Ok, dia lari langsung kemulut guha, sembari tertawa lebar, dia mengawasi dengar suaranja jang njaring dan djumawa.

   "Boe Hian Song, tidak dapat kau bersembunji lagi! Lekas muntjul dan berlutut dan meng-angguk2 terhadapku !". Ia berpendapat sama seperti Pwee Siok Touw, dengan kedua kera telah terluka, disana tinggal si nona seorang diri. Mustahil tak sanggup dia membekuk nona itu ?. Sunji-senjap guha itu. Dari dalam tak ada djawaban. Biat Touw tertawa pula.

   "Djikalau kau tidak suka keluar, baiklah, terpaksa aku mesti menjeretmu !", katanja. Lalu dia mengangkat kakinja, untuk bertindak memasuki guha. Tapi tidak dapat dia bertindak terus. Dia seperti menemui sesuatu jang hebat. Tertawanja terhenti dengan tiba2, matanja terpentang, mulutnja menganga. Dia birdiri tertjengang! Apakah jang terlihat? Disana diatas medja, Yoe Tam Sin- nie duduk bersila. Biat Touw tidak tahu suatu apa tentang obat param atau pembalsem dari Heehouw Kian, dia pun tidak dapat menduga. Dia tjuma melihat bhiksuni tua itu duduk tenang bagaikan manusia hidup, kedua matanja separoh terbuka separoh tertutup, dan bibirnja terbuka sedikit bagaikan lagi hendak berbitjara kepadanja. Sedetik dia tertjengang atau semangatnja terbang, apa jang dia ingat melainkan satu.

   "Ha ..., kiranja Yoe Tam masih belum mati! Aku terpedajakan Thian Ok !". Ketika dulu hari Biat Touw terlukakan Yoe Tam, dia mesti pulang untuk berobat dan berlatih pula sepuluh tahun lamanja. Sebenarnja dia sama liehaynja dengan Thian Ok dan Pek Yoe Siangdjin, lantaran lukanja itu, kemudian dia ketinggalan. Pula ketika dia dilukakan hebat oleh Yoe Tam, bhiksuni itu telah mengantjamnja, apabila mereka berdua bertemu pula, dia hendak dipatahkan tulang selangkanja. Dari itu, disamping dia sangat membentji Yoe Tam, dia djuga djeri bukan main. Maka sekarang, saking takutnja tak terkira, dia tidak sempat lagi mentjari tahu Yoe Tam masih hidup atau benar2 sudah mati!. Tepat dia mendusin dan mau memutar tubuhnja guna mengangkat langkah seribu, Hian Song lompat keluar dari belakang gurunja dimana semendjak tadi ia menjembunjikan diri. Ia melompat sambil menjerang dengan pedangnja. Pula berbareng dengan ia, kedua kera turut muntjul djuga, untuk menerkam!. Tjelaka untuk Biat Touw, jang tak sempat bersiap sedia itu. Kedua tulang pundaknja kena ditjengkeram kedua kera dan djalan darah kiok-tie di siku lengannja nja tertikam pedangnja Hian Song, hingga lengannja itu kontan luka dan tak bertenaga.

   "Soehoe, tidak usah soehoe turun tangan sendiri !", kata Nona Boe njaring. Lalu dengan meniru suara gurunja, ia berkata.

   "Muridku, kau wakilkan aku memusnahkan ilmu silatnja!". Pandai si nona meniru lagu suara gurunja itu, hingga njalinja Biat Touw seperti hantjur luluh. Djangan kata sekarang dia telah terluka, walaupun belum, tidak nanti dia berani melawan Hian Song. Maka djuga dengan menahan sakit, dia meloloskan diri, dia lari tunggang-langgang keluar dari dalam guha itu!. Selagi orang ngatjir itu, Hian Song menjusut peluhnja, peluh dingin !. Karena ia telah menggunai akal-muslihatnja orang di djaman Han .

   "Tjoe-kat jang mati menakuti- kabur kepada Tiong Tat jang hidup !" (Tjoe-kat jalah Tjoe-kat Liang, dan Tiong Tat ialah Soe-ma Ie). Itulah tipu sekali pukul. Selagi Hian Song menjusuti keringatnja itu, kedua kera pun rebah ditanah dengan napas mereka memburu, karena keduanja menjerang musuh selagi mereka menderita luka2. Akan tetapi Nona Boe tidak dapat ketika akan berdiam lama2. Diluar, Siok Tow lagi menghadapibahaja. Maka ia mengasah otaknja, mentjiptakan lagi sebuah tipu daja lain. ---oo0oo--- MELAJANI Thian Ok Toodjin, Pwee Siok Tow mendjadi sangat letih dan pajah. Ia sudah berkelahi hampir seratus djurus, hingga tenaganja hampir habis. Jang paling menjulitkan jalah itu bau amis dari tangan beratjun lawannja itu, seperti sia2 sadja ia menguatkan hati melawan pusingnja kepala dan ber-kunang2-nja matanja. Lagi beberapa djurus, mestilah ia roboh ditangan imam jang liehay itu. Ia putus asa kalau ia ingat kedua kawan musuh pasti tengah mengepung Hian Song sedang kedua kera terluka parah. Dengan menguatkan hati, dengan mengempos semangatnja, ia masih mentjoba mempertahankan diri. Untung bagi Siok Touw, setelah merasa pasti kemenangan sudah ada dipihaknja, Thian Ok tidak kesusu untuk merobohkannja. Imam ini hanja menanti ketika jang baik untuk mengirim hadjarannja jang terachir. Djusteru itu, mendadak Thian Ok mendengar teriakannja Biat Touw, jang segera terlihat lari keluar dari dalam guha, agaknja ia telah terluka. Dia mendjadi kaget sekali. Segera dia ingin menegur kawan itu, untuk menanjakan sebabnja, atau kupingnja lantas mendengar teguran .

   "Thian Ok, imam djahat, njalimu sangat besar! Djusteru aku lagi menutup diri, kau berani datang menghina muridku !". Dia lantas memandang kearah guha dimana, dimulut guha itu, terlihat Hian Song lagi mendorong sebuah kereta diatas mana ada seorang bhiksuni duduk bersila dan bhiksuni itu bukan lain daripada Yoe Tam Sin-nie. Bukan main kagetnja Thian Ok tidak perduli dia bernjali besar.

   "Ah, kiranja dia hanja menutup diri untuk berlatih ", katanja dalam hati. Selagi orang kaget dan ragu2 itu, Siok Touw berseru sambil menjerang, pedangnja meluntjur dengan djurus "Bintang mengambang". Mulanja pedang menjampok kebutan, lalu diteruskan menikam, tepat melukai musuh. Tapi Thian Ok lain daripada Biat Touw, walaupun dia kaget, dia bersangsi untuk suara si pendeta wanita, hanja disebabkan kena tertikam, dia djadi menuruti hawa-amarahnja.

   "Binatang, kau berani membokong !", serunja.

   "Djangan kau harap dapat hidup !". Dia memutar tubuhnja, tangan kirinja melajang. Siok Touw menjerang dengan sekuat tenaganja, sjukur ia mengenai sasarannja, kalau tidak, mestinja ia terdjerunuk djatuh. Karena serangannja itu, ia tidak sempat membela diri, maka itu, tangannja si imam djuga mengenai tepat padanja, hingga ia terpental setombak lebih. Habis menjerang itu, Thian Ok kaget sendirinja. Dia merasa pasti Yoe Tam sudah mati, suara tadi bukan suara bhiksuni itu, tetapi karena terluka dan baru habis menggunai tenaga berlebihan, mendadak matanja ber-kunang2 dan kupingnja pun berbunji, ia merasa tenagania habis, maka tanpa berpikir lagi, ia terus lari turun gunung se-kuat2-nja. ---oo0oo--- HIAN Song menjaksikan itu semua, ia tidak berani mengedjar imam itu. Ia menjangka orang masih tangguh sebab sudah terluka masih dapat melukakan Siok Touw, hingga ia memikir haruslah ia tjepat menolong soehengnja itu. Tjoba ia tahu hal jang benar dan ia mengedjar Thian Ok, mungkin ia dapat menjandak dan membinasakannja. Ia melepaskan keretanja, ia lari kepada Siok Touw, muka siapa putjat-pasi dan dari mulut dan hidungnja keluar darah. Untuk leganja hatinja, ia toh mendapatkan soeheng itu tersenjum dan berkata .

   "Soe-moay, bagus sekali akal kau ...!". Dengan mengandal pengaruh soehoe, kau berhasil membikin iblis2 itu kabur ! Sungguh berbahaja keadaan kita !". Soeheng itu lantas mengetahui akal- muslihat adik seperguruannja itu. Kereta jang dipakai pun kereta peranti mengangkut kaju bakar. Hian Song mengeluarkan peluh dingin. Siok Touw dapat tertawa dan tersenjum akan tetapi suaranja parau, lalu kulit mukanja berubah semakin putjat. Hian Song melihat itu, ia berkuatir, lantas ia mau memeriksa nadi sang soeheng.

   "Djangan !", soeheng itu mentjegah, menggeleng kepala.

   "Lekas kau keluarkan peles obat dari sakuku. Djangan kau bentur kulitku !". Hian Song heran, tapi ia lantas mengawasi. Ia lihat kulit soeheng itu mendjadi hitam. Itulah tanda keratjunan. Pula dengan tjepat sekali, tangan dan kaki soeheng itu mendjadi tidak dapat digeraki lagi. Maka hebat sekali "Hoe Koet Sin-tjiang", ilmu Tangan-Sakti-Merusak-Tulang, dari Thian Ok Toodjin. Dilain pihak, ia pun mengagumi mahirnja tenaga-dalam soehengnja itu, jang sampai itu waktu masih dapat mempertahankan diri. Dengan ber-hati2, dengan dua djari tangannja, si nona mengeluarkan peles obat jang disebut itu, sebuah peles ketjil. Didalam situ ada beberapa butir pel warna hidjau.

   "Lebih dulu kau telan sebutir ", Siok Touwkata. Suaranja sangat perlahan hingga hampir tak terdengar. Hian Song tahu obat itu mesti obat pemunah ratjun, dan ia tahu djuga, sang soeheng menjuruh ia makan obat itu guna mendjaga diri kalau2 ia, kena menjentuh tubuh soeheng itu. Ia menurut. Ia lantas merasakan hawa segar didadanja, sedang baunja obat harum sekali, hingga bau amis disekitar mereka lantas bujar lenjap. Habis itu, ia mengasi makan obat itu kepada soeheng itu, jang mulutnja ia mesti bentet karena lekas sekali Siok Touw merapatkan mulut dan matanja. Ia mengasikan tiga butir obat pulung itu. Tidak lama Hian Song menanti, Siok Tow lantas muntah. Jang keluar jalah darah. Dengan lekas, kulit soeheng itu mulai berubah, dari putjat mendjadi hitam, lalu putjat pula dan mendjadi merah. Pula kedua matanja segera dapat dibuka.

   "Sungguh berbahaja !", Siok Touw membuka suaranja sembari menjeringai.

   "Tanpa Pek-leng-tan peninggalan soehoe ini, mestilah aku hilang djiwa. Baru sekarang Hian Song kenal obat jang mudjarab itu. Lantas ia bekerdja. Ia lari ke kereta, untuk menolak itu masuk kedalam guha, guna memernahkan tubuh gurunja, kemudian ia mendorong pula kereta keluar guna menolongi soehengnja, untuk membawa soeheng itu kedalam guha.

   "Kau letih, soe-moay ", kata Siok Touw, hatinja lega dan berterima kasih.

   "Sekarang kau tidak usah melajani aku lagi, ada kedua kera jang dapat merawat aku. Djikalau ada urusan penting, kau dapat turun gunung ". Siok Touw berkata demikian tanpa ia ingat kedua keranja pun terluka parah dan memerlukan rawatan. Hian Song tahu, urusan jang dimaksud Siok Touw jalah urusan Lie It. Tentu sekarang ia tidak dapat segera mengurus itu. Soeheng ini memerlukan rawatan.

   "Soeheng, tak usah kau pikirkan urusan lain ", ia berkata.

   "Tunggu sadja sesudah kau sembuh ". Siok Touw mengetahui lukanja itu, ia tidak memaksa. Hebat tangan djahat dari Thian Ok. Tiga hari Siok Touw dirawat Hian Song, baru ia dapat dahar sendiri bubur dan tubuhnja djuga dapat berkutik diatas pembaringannja. Tanpa Pek-leng-tan dari Yoe Tam Sin-nie, mestinja tulang2-nja pun terusak ratjunnja si imam. Kedua kera mendahului kesembuhan madjikannja. Dihari ketiga, keduanja sudah dapat bergerak dengan leluasa. Maka itu Siok Tow lantas mendesak agar si adik seperguruan pergi turun gunung. Hian Song menolak. Biar ia memikirkan Lie It, tidak dapat ia lantas pergi. Maka djuga ia menunggu sampai tudjuh hari, diwaktu mana baru Siok Tow bebas benar2 dari ratjunnja Thian Ok, dapat dia turun dari pembaringannja, tinggal lemasnja sadja. Hari itu ia menerima baik permintaan soehengnja untuk mengubur djenazah gurunja, jang terpaksa ia lakukan sendiri. Tentang pembuatan batu nisannja, itu ia serahkan si soeheng, jang akan menjelesaikannja lain waktu. Sekembalinja Hian Song habis mengubur, Siok Touw kata padanja .

   


Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Legenda Kematian -- Gu Long Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini