Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 12


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 12



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   Kembali Yak-bwe mendesak. Saat itu In-nio tengah lepaskan sebuah senjata rahasia. Seorang opsir yang naik kuda di sebelah muka, terjungkal jatuh. Khik-sia menghela napas pelahan, ujarnya.

   "Ceritanya panjang sekali. Biarlah nanti setelah lolos dari bahaya, kuberi tahu padamu sendiri."

   Yak-bwe heran, pikirnya.

   "Mengapa hanya aku yang akan diberitahu? Ada hubungan apa dengan ci In? Rupanya ia tak ingin ceritanya didengar ci In. Hm, dari kerut wajahnya terang kalau ia hendak bicara sendirian dengan aku. Ia tak tahu bahwa aku dengan ci In itu sudah seperti saudara kandung sendiri. Sebenarnya tak ada halangannya mengatakan di depan ci In."

   Setelah merubuhkan si opsir, In-nio berpaling dan tertawa.

   "Silahkan kalian bicara sepuaspuasnya. Aku tak nanti mendengarkan."

   Yak-bwe tertawa.

   "Ah, sungguh heran mengapa kau memaki nona Su itu sebagai gadis siluman? Bukankah kalian seperjalanan dan sepenginapan?"

   Sekarang giliran Khik-sia yang merah padam mukanya. Mengangkat tangan, kembali ia hendak bersumpah. Tiba-tiba Yak-bwe tertawa geli dan menarik turun tangan Khik-sia.

   "Sekarang rasanya kau tentu sudah mengerti. Sebelum tahu fakta yang sebenarnya, jangan suka menuduh yang bukan-bukan. Aku hanya berkata sepatah, tapi mengapa kau sibuk tak keruan? Coba pikirkan, begitu mesra hubunganmu dengan nona siluman itu, bagaimana pandangan orang lain? Benar, kau seorang lelaki ksatria. Tapi apakah di dunia ini tiada lain ksatria kecuali kau?"

   Yak-bwe membawakan dampratannya itu dengan halus, sehingga Khik-sia seperti dikemplang kepalanya.

   Tapi kemplangan itu telah dapat menghilangkan keraguan hatinya.

   Sehijau-hijau Khik sia namun mengerti juga kemana jatuhnya kata-kata Yak-bwe itu.

   Pikirnya.

   "Kukira ia berubah hati, mencintai Tok-Ko U. Ternyata tidak! Ya, memang gerak-gerikku selama ini dengan Su Tiauing jauh lebih menimbulkan kecurigaan orang daripada ia dengan Tok-Ko U. Persoalan hanya kupandang dari segi pandanganku sendiri. Ternyata aku sendiri juga mempunyai kesalahan."

   Khik-sia menyesal dan merasa bahagia. Serentak ia mencekal tangan Yak-bwe dan berbisik.

   "Memang akulah yang bersalah. Aku membuatmu penasaran."

   "Tidak, akupun juga bersalah. Tak seharusnya aku membikin panas hatimu,"

   Jawab Yak-bwe.

   Keduanya saling mengakui kesalahannya.

   Dan apa yang dikatakan selanjutnya adalah seperti tadi lagi.

   Tapi sekalipun begitu ulangan itu lebih berarti dan lebih meresap.

   Keduanya sama membuang tuduhannya yang tidak-tidak memperbaharui kasih.

   "Hai, mengapa kalian hanya rebutan mengaku salah saja? Bosan aku mendengarnya!"

   In-nio berpaling dan tertawa.

   "Kau bilang tidak mau mendengarkan tetapi ternyata mencuri dengar. Sekarang urusan kita sudah beres, kalau kau hendak bertanya apa-apa kepada Khik-sia, lekaslah!"

   Sahut Yak-bwe sambil mendorong Khik-sia maju dua langkah.

   "Cici In, jangan bingung, tanyalah!"

   Seru Yak-bwe. Memang In-nio ingin menanyakan tentang diri Se-kiat. Tapi digoda oleh Yak-bwe, mulutnya sudah hendak menyebut nama Se-kiat, terpaksa diganti dengan pertanyaan lain.

   "Ya, ya, Khik-sia, memang aku hendak bertanya padamu. Bukankah kau datang bersama Thiat-mo-lek?"

   "Benar, sekarang Thiat toako sedang bertempur dengan Yo Bok-lo. Mari kita menggabungkan diri,"

   Seru Khik-sia.

   "Masih ada siapa lagi?"

   Kembali In-nio bertanya.

   "Masih ada Kim-kiam-ceng-long Toh Pek-ing. Celaka, aku tadi mengikuti Thiat toako, tapi entah sekarang bagaimana keadaannya? Bagaimana cici In, kita harus mencari siapa dulu?"

   Yak-bwe serasa pecah mulutnya karena geli.

   "Khik-sia, kau tolol benar! Yang ditanyakan ci In itu, bukan Thiat toakomu atau Coh sioksiokmu, melainkan seorang lain lagi. Mengapa kau lupa?"

   "Siapa?"

   Khik-sia menegas.

   "Yak-bwe mengetuk dahi Khik-sia dengan jarinya dan berkata.

   "Kau benar-benar membikin perutku keras. Dia ...." -- tiba-tiba berhenti lalu tertawa.

   "Baiklah, kalau ci In tidak menanyakan, kau pun tak perlu bilang!"

   In-nio lebih lapang hati. Pun ia benar-benar sudah tak sabar lagi. Maka berserulah ia dengan terang-terangan.

   "Aku hendak menanyakan seorang kawan, perlu apa plintat-plintut. Bo Se-kiat, ya, dia datang tidak?"

   Khik-sia memang sudah menduga In-nio bakal mengajukan pertanyaan begitu. Diam-diam ia merasa pilu. Terpaksa menerangkan dengan kata tak lampias bahwa Se-kiat tidak datang.

   "Tidak datang? Tetapi kabarnya jauh-jauh hari ia sudah tiba di Tiang-an,"

   Ujar In-nio.

   "Semalam ia sudah tinggalkan kota raja ini,"

   Sahut Khik-sia. Heran In-nio memikirkan.

   "Se-kiat tentu datang bersama Thiat-mo-lek. Mengapa ia pergi sendirian?"

   In-nio cerdas dan banyak pengalaman. Demi melihat kerut wajah Khik-sia agak lain, terbitlah kecurigaannya. Cepat-cepat ia bertanya pula.

   "Khik-sia, kau tak perlu mengelabuhi aku. Apakah terjadi sesuatu dengan dia?"

   "Tidak, dia tak mendapat bahaya apa-apa. Melainkan ...."

   "Melainkan apa?"

   Tukas In-nio.

   "Dia tak terluka, melainkan, melainkan, dia sudah berlainan haluan dengan kita,"

   Sahut Khiksia.

   "Benarkah omonganmu ini?"

   Wajah In-nio berubah seketika.

   "Setelah aku dan Thiat toako tiba di sini, ia bersama lain orang pergi ke lain tempat. Ih, lihatlah, apa itu bukan kedua saudara Tok-ko? Mari kita lepaskan mereka dari kepungan musuh dulu, baru nanti kita bicara lagi. Ci In, jangan gelisah, aku tentu akan menerangkan soal itu sampai jelas kepadamu."

   In-nio yang penuh diliputi dengan kecurigaan itu membatin.

   "Selamanya Khik-sia ini tak pandai bicara. Mungkin karena ada urusan Se-kiat lantas tinggalkan Tiang-an, sekali-kali tidak karena pecah dengan Thiat-mo-lek."

   Tapi ia merasa sikap Khik-sia memang lain dari biasanya, kata-katanya pun tak lampias. Ia gelisah. Tapi sesaat terlintaslah dalam pikirannya.

   "Asal dia tak terluka saja, legalah sudah hatiku. Ya, lebih baik sekarang menolong kedua saudara Tok-ko itu dulu. Nanti perlahan-lahan aku dapat menanyakan lagi pada Khik-sia."

   Muda. Tapi selama itu Bik-hu hanya memendam asmaranya, ma- Ia memandang kemuka, tertawa.

   "Kakak-beradik Tok-ko sudah berjumpa dengan kedua saudara Lu. Yak-bwe, persoalanmu dengan sendirinya beres, dah."

   Pada saat itu mereka masih di tengah gelanggang pertempuran.

   Hanya karena kawanan tentara tak berani mendekati mereka, maka mereka dapat bicara dengan leluasa walaupun tak hentihentinya mereka harus menangkis anak panah yang menyambarnya.

   Perhatian mereka tetap tak lengah.

   "Ah, Pui-heng, kau mengapa?"

   Tiba-tiba Yak-bwe berseru.

   Kiranya sebatang anak panah menyambar Bik-hu, tetapi pemuda itu hanya tundukkan kepala seperti tak mengacuhkan.

   Untung Khik-sia segera lontarkan pukulan lwekang biat-gong-ciang menghantamnya.

   Bik-hu dongakkan muka.

   Matanya agak merah.

   "Tak apa-apa, mataku kelilipan pasir,"

   Katanya dengan tersipu-sipu.

   Pemuda itu ternyata diam-diam telah cintai In-nio.

   Alangkah pilu hatinya demi mengetahui nona itu sudah mempunyai pandangan lain pemuda.

   Tapi selama itu Bikhu hanya memendam asmaranya maka baik Yak-bwe maupun In-nio sampai tak mengetahuinya.

   Sepasang kakak beradik Tok-ko dan Lu dikepung oleh sepasukan kecil.

   Sebagian memang tentara pemerintah, sebagian anak buah Ceng-ceng-ji.

   Mereka dipimpin oleh Ki Ping-hwat, seorang jagoan penjahat kelas satu.

   Ia menggunakan sepasang jit-gwat-lun (senjata yang bentuknya seperti roda, satu besar seperti matahari, satu kecil seperti rembulan).

   Jit-gwat-lun khusus untuk menggempur golok dan pedang.

   Memang kepandaian Ki Ping-hwat lihay juga.

   Sebenarnya ia dapat menghadapi kedua saudara Tok-ko tapi ia masih merangkap juga untuk menyerang kedua saudara Lu.

   Sebentar menyerang kesana, sebentar kesini.

   Sepasang kakak adik itu beberapa kali hendak menerobos keluar, tapi tetap gagal.

   Ceng-kong-kiam Tok-ko Ing beberapa kali hampir saja kena dirampas oleh jit-gwat-lun.

   Diantara rombongan Yak-bwe, adalah Khik-sia yang paling cepat tibanya.

   Secepat menerobos masuk, ia segera mainkan pedangnya.

   Terhadap kawanan tentara, ia membabat senjata mereka.

   Terhadap anak buah Ceng-ceng-ji, ia gunakan ujung pedang menutuk jalan darah mereka.

   Dalam sekejap saja, sudah ada tujuh delapan orang yang rubuh.

   Ki Ping-hwat yang sudah pernah merasakan kelihayan Khik-sia, terperanjat sekali melihat anak muda itu datang.

   Tak berani ia bertempur lama-lama terus melarikan diri.

   Pada lain saat Yak-bwe pun masuk.

   Bahu membahu dengan Khik-sia, ia mengganyang musuh.

   "Nona Ing, apa masih kenal dengan Su-toakomu?"

   Dalam lain kesempatan Yak-bwe bertanya pada Tok-ko Ing.

   "Cici Su, kau mengelabuhi aku sampai menderita sekali!"

   Tok-ko Ing melengking.

   Sesaat teringat bagaimana ia begitu tolol tak dapat membedakan seorang gadis yang menyaru pemuda, tertawalah ia dengan getir, wajahnya merah padam.

   Yak-bwe tetap membanyol dengan gaya dan nada seperti seorang lelaki.

   Yak-bwe menghampiri dan menjura di hadapan Tok-ko Ing.

   "Harap nona jangan marah. Biarlah toako menghaturkan maaf padamu!"

   Tok-ko Ing terpingkal-pingkal sampai hampir jatuh, serunya.

   "Cis, tak malu, masih ingin jadi lelaki lagi? Sungguh mati, aku tetap ingin menganggapmu sebagai toako, tapi sayang ada orang yang tak memperbolehkan."

   Ia berpaling dan berseru kepada Khik-sia.

   "Sebenarnya aku harus meminta maaf padamu, karena aku begitu naif tak mengetahui bahwa kau ini bakal suaminya Su-toako."

   Karena biasa memanggil toako, maka saat itu tanpa disengaja kembali Tok-ko Ing menyebut toako lagi. Mendengar kata-kata yang lucu bakal suaminya Su toako itu, kawan-kawannya tertawa gelak-gelak.

   "Akupun harus meminta maaf kepada kalian berdua saudara,"

   Kata Khik-sia.

   "Toan siauhiap, sudahlah, jangan main maaf saja. Cukup asal selanjutnya kau baik-baik memperlakukan cici Su saja. Dan ingat, kau hanya boleh mempunyai seorang nona Su, jangan beberapa nona Su lagi,"

   Sahut Tok-ko Ing. Ia teringat tempo hari dalam perjalanan telah berjumpa dengan Khik-sia bersama seorang nona Su lainnya (Su Tiau-ing).

   "Mendapat seorang adik baru seperti kau, masakan aku berani kurang ajar terhadap Yak-bwe,"

   Kata Khik-sia tertawa. Lu Hong-jun dan Hong-jiu pun maju menemui Khik-sia. Tok-ko U sengaja mendekati Hongjin dan berdiri jajar dengan nona itu. Katanya.

   "Hong-jin, kurasa salah pahammu dengan nona Su tentu sudah hilang sekarang. Adik Ing, tahukah kau bahwa bukan melainkan kau sendiri, pun nona Lu ini juga kena dikelabuhi oleh Su toako-mu."

   "Oh, begitu? Mengapa cici Lu tak mengatakan padaku?"

   Seru Tok-ko Ing. Hong-jiu tertawa.

   "Besaok akan kuceritakan padamu, kejadian-kejadian lucu yang kualami di Kim-ke-nia. Nona Su, apakah kau masih marah padaku?"

   Dalam sikap dan bicaranya selama ini Tok-ko U mesra sekali kepada Hong-jiu.

   Kini baru nona itu mengetahui bahwa Tok-ko U ada hati kepadanya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang ia sendiri juga ada apa-apa kepada pemuda itu, maka diam-diam ia merasa girang.

   Sebenarnya Yak-bwe tak begitu senang kepada Hong-jiu, tapi karena nona itu menghaturkan maaf, iapun balas memberi hormat.

   "Memang watakkulah yang jelek. Urusan yang lalu, bukan kesalahan cici."

   Setelah kedelapan pendekar muda mudi itu bersatu, mereka segera menerjang keluar dari kepungan. Ketika mengisarkan pandangan Khik-sia lihat Wi Gwat dan Ciok Ceng-yang masih terkepung. Kata Khik-sia kepada teman-temannya.

   "Opsir yang bertempur dengan Wi lo-cianpwe itu adalah pemimpin Kiu-seng-su-ma Toh Hok-wi. Mungkin karena berhadapan dengan pembesar kerajaan maka Wi lo-cianpwe agak sungkan. Tetapi orang she Toh itulah yang mencelakai Cin sian, sahabat karib Thiat toako. Wi lo-cianpwe dapat memberi ampun, tapi aku tak dapat memberinya kemurahan. Biar kuberinya sedikit hajaran."

   Memang yang diduga anak muda itu benar.

   Mengingat kedudukan Toh Hok-wi, Wi Gwat tak mau berlaku ganas.

   Tetapi Wi Gwat bukannya untuk kepentingan pribadinya.

   Ia kuatir bentrok dengan pemerintah adalah karena mengingat kepentingan partai Kay-pang.

   Anak buah Kay-pang tersebar di seluruh negeri jumlahnya besar sekali.

   Benar mereka tak sudi berhamba pada kerajaan, tetapi pun tak mau menyalahi undang-undang negara.

   Biarpun Wi Gwat itu seorang yang tak kenal takut pada siapa saja, tapi demi mengingat kedudukan Kay-pang di kota raja dan di lain daerah maka ia terpaksa berlaku sungkan.

   Karena dibatasi dengan hal itu posisi Wi Gwat sukar.

   Ia tak mau ditangkap tapi pun tak mau mengalahkan lawan.

   Ia hanya mengharap agar Toh Hok-wi tahu diri dan mundur sendiri.

   Tetapi ternyata karena hendak mengembalikan muka dan lagi dikipasi Ceng-ceng-ji, walaupun tahu bukan lawannya Toh Hok-wi tetap tak mau mundur, bahkan ia memberi perintah kepada pasukan Thengpay- kun untuk bantu mengepung Wi Gwat dan Ciok Ceng-yang.

   Rombongan anak buah Kay-pang yang maju menghadang kena dihalau oleh Theng-pay-kun.

   Wi Gwat sambil putusan gunakan toa-kin-na-chiu (menangkap dengan tangan kosong) untuk menangkap Toh Hok-wi.

   Ia anggap Toh Hok-wi tentu tak terluka dan pemerintahpun tentu takkan marah.

   Tetapi ternyata walaupun tak selihat Wi Gwat, Toh Hok-wi itu juga bukan jago sembarangan.

   Apalagi ia mendapat bantuan dari Pok Yang-kau yang kepandaiannya tak kalah dengan Ceng-ceng-ji.

   Dulu orang she Pok itu pernah dipersen pukulan oleh Wi Gwat ketika dalam rapat besar Kay-pang.

   Maka dalam kesempatan sekarang ini, Pok-kun hendak membalas dendam.

   Kesemuanya itu mempengaruhi gerak-gerik Wi Gwat di dalam usahanya menangkap Toh Hokwi.

   Ia hendak melemparkan Toh Hok-wi keluar gelanggan, tapi belum mendapat kesempatan.

   Bahkan hampir saja beberapa kali ia terancam bahaya dari kedua pengeroyokannya Toh Hok-wi dan Pok Yang-kau itu.

   Namun kedua orang itupun tak mampu juga untuk menangkap Wi Gwat.

   Sebelum Khik-sia datang, Wi Gwat dan kedua lawannya itu sudah bertempur ratusan jurus.

   Wi Gwat sungkan sebaliknya kedua lawannya bernafsu sekali.

   Lama-kelamaan panaslah hati pengemis itu.

   Penyakitnya gila angot lagi.

   Pada saat ia hendak mengganas, Khik-sia menerobos masuk.

   Anak muda itu tak mau kucurkan banyak darah.

   Terhadap "benteng"

   Pasukan berlapis rotan (Theng-pay-kau) yang merintanginya dengan tombak ia hanya ganda tertawa.

   "Aku tak mau melukai kalian. Sekarang hendak kulucuti bungkusan kalian dulu!"

   Khik-sia mainkan pedangnya dengan indah sekali.

   Terdengar beberapa bunyi krak-krak.

   Setiap pedang Khik-sia berkiblat tentu ada sebuah theng-pay pecah.

   Dalam beberpa kejap saja, berpuluh-puluh Theng-pay pecah.

   Anak buah Kay-pang yang mengikuti Khik-sia dari belakang, pun turut menerobos masuk kepungan.

   Karena alat pelindung diri sudah pecah, pasukan Then-paykun itu kacau balau.

   "Jangan membunuh jiwa orang. Jika anjing menggigit orang, cukup gebuk saja kaki binatang itu!"

   Buru-buru Wi Gwat meneriaki anak buahnya.

   Anak buah Kay-pang siapkan senjatanya yang terkenal ialah Bak-kau-ciang atau pentung pengecut anjing.

   Anak buah Theng-pay-kun yang lari dibiarkan lari, tapi yang coba-coba merintangi, tentu digebuk kakinya.

   Kaum Kay-pang termasyhur dengan ilmu tongkatnya.

   Anak buah Theng-pay-kun yang sudah pecah alat pelindung dirinya, dihajar kocar-kacir oleh anak-anak Kay-pang.

   Melihat Khik-sia datang, pecahlah nyali Pok Yang-kau.

   Setelah mengirim serangan kosong kepada Wi Gwat, ia lantas melarikan diri.

   Khik-sia menusuknya, tapi ujung pedangnya kena disisihkan oleh pukulan biat-gong-cang Pok Yang-kau.

   "Bagus, aku ingin mencoba pukulan lwekangmu Khun-goan-ciang!"

   Seru Khik-sia. Ia menyerang dengan pedang dan pukulan.

   "Blak,"

   Terdengar suara pukulan berbenturan keras.

   Keduanya sama-sama tergetar.

   Tadi Khiksia menyerang juga dengan pedang.

   Begitu tenaga pukulannya lenyap, ujung pedangnyapun masih menusuk Pok Yang-kau tak berdaya.

   Ia percepat larinya.

   Tetapi Khik-sia lebih cepat lagi.

   Pedangnya dapat menabas lutut Pok Yang-kau.

   To Hok-wi tetap bertempur gigih untuk mempertahankan namanya sebagai tay-ciangkun.

   Ia tak menyangka bahwa Pok Yang-kau bakal melarikan diri.

   Pada saat Pok Yang-kau berputar tubuh lari, Toh Hok-wi masih menyerang Wi Gwat dengan hebat.

   Hanya celakanya, kali ini Wi Gwat sudah tak kuat lagi menahan kesabarannya.

   Dibarengi dengan menggerung keras, ia dapat menjepit gigir golok Toh Hok-wi terus ditariknya.

   "Tay-ciangkun, ambillah lagi golok pusaka dan mari main-main dengan aku si pengemis tua ini!"

   Wi Gwat tertawa gelak-gelak.

   Ia lemmparkan golok orang ke udara.

   Wajah Toh Hok-wi pucat seperti kertas.

   Tanpa menghirauka martabat jenderal atau bukan jenderal (tay-ciangkun) lagi, ia lantas lari terbirit-birit.

   Sementara karena terbacok lututnya, Pok Yang-kau lari mati-matian dengan kaki pincang.

   Jika mau sebenarnya Khik-sia dapat mengejar, tapi pada saat itu matanya tertumbuk akan bayangan Toh Hok-wi yang belum berapa jauh.

   Tiba-tiba Khik-sia mendapat akal, pikirnya.

   "Untuk lolos dari bahaya saat ini, harus meminjam tenaganya."

   Cepat ia tinggalkan Pok Yang-kau dan lari mengejar Toh Hok-wi.

   Baru Toh Hok-wi hendak menghampiri goloknya yang meluncur turun dari udara, tiba-tiba seorang opsir loncat mendahului menyambarnya.

   Toh Hok-wi mengira kalau opsir itu tentu orang sebawahannya.

   Baru ia hendak memanggil, Khik-sia sudah menusuk punggungnya.

   Khik-sia telah memperhitungkan bahwa orang tentu tak mungkin menghindar dari tusukannya.

   Tusukan itu ditujukan ke arah jalan darah, maka tak boleh terlalu keras.

   Tapi tiba-tiba si opsir yang sudah menyambuti golok Toh Hok-wi tadi membacaok pedang Khik-sia hingga sampai terdorong ke sisi.

   Tangan Khik-siapun terasa sakit.

   Usahanya yang sudah hampir berhasil digagalkan orang, murkalah Khik-sia.

   Secepat kilat ia babatkan pedangnya sampai tiga kali beruntun-runtun.

   Tapi tak kalah cepatnya si opsir itu juga membalas dengan dua buah bacokan.

   Benar gerakannya itu tak selincah Khik-sia.

   Namun karena permainan goloknya begitu rapat dan keras, Khik-sia pun tak dapat berbuat apa-apa.

   "Hai, mengapa opsir ini sedemikian lihaynya. Rasanya Toh Hok-wi dan Bu Wi-yang sendiri tak menang dengan dia!"

   Diam-diam Khik-sia heran.

   Telah dikatakan, gerakan opsir itu tak selincah Khik-sia, tapi rupanya dalam hal tenaga lwekang ia lebih unggul sedikit dari Khik-sia.

   Apalagi golok Gan-leng-to milik Toh Hok-wi itu juga golok pusaka, maka tak takut beradu dengan pedang pusaka Khik-sia.

   Setelah pertukaran tiga babatan pedang dengan dua bacokan golok tadi, opsir itu lontarkan hoan-chiu-to atau membacok dengan membalik golok.

   Begitu Khik-sia terpaksa mundur selangkah opsir itupun putar tubuh terus pergi.

   Bermula Khik-sia menduga orang tentu akan gunakan tipu siasat, tapi ternyata opsir itu angkat kaki tanpa menoleh lagi.

   "Hai, belum ketahuan menang kalahnya, mengapa sudah lari?"

   Teriak Khik-sia.

   Sekali loncat ia memburunya.

   Tapi ia tak mau menyerang secara gelap, maka sebelumnya ia sudah meneriakinya dulu.

   Toh Hok-wi ternyata tak kenal dengan opsir itu.

   Tapi karena melihat kepandaian orang begitu lihay, diam-diam Toh Hok-wi girang sekali.

   Serunya.

   "Bagus, lindungi aku dari belakang dan lekas menggabungkan diri dengan induk pasukan, kemudian kepung lagi kawanan pemberontak itu. Akan kucatat jasamu, kelak tentu akan kunaikkan pangkat."

   "Terima kasih atas budi tayjin,"

   Sahut opsir itu seraya maju menghampiri. Sekonyong-konyong ia gunakan kin-na-chiu menangkap pergelangan tangan Toh Hok-wi. Seketika lemaslah Toh Hokwi tak dapat berkutik lagi.

   "Kau, kau mau berbuat apa ini?"

   Serunya dengan cemas. Khik-sia yang memburu datang, terperanjat juga melihat kejadian itu. Buru-buru ia simpan pedangnya. Opsir itu tertawa.

   "Jika kita mau lolos, jalan satu-satunya hanya dengan meminjam orang ini. Kenapa kau hendak membunuhnya?"

   Sekarang barulah Khik-sia tahu bahwa opsir itu kawan seperjuangannya. Bahkan rencananya pun sama. Hanya karena salah mengerti saja maka opsir itu mengira tadi Khik-sia hendak membunuh Toh Hok-wi. Padahal ia hanya mau menusuk jalan darah orang saja.

   "Siapakah saudara ini? Mengapa membantu aku?"

   Dalam girangnya Khik-sia buru-buru meminta penjelasan. Kembali opsir itu tertawa.

   "Membantu kau berarti membantu diriku sendiri juga. Aku yang rendah ini mendapat kehormatan menduduki kursi terakhir dari Sepuluh Pemberontak, namaku Co Ping-gwan dari Keng-ciu. Menilik usiamu yang masih begitu muda, tentulah kau ini Toan Khik-sia siauhiap yang termasyhur!"

   Mimpipun tidak Khik-sia bahwa pemberontak nomor sepuluh yang hendak ditangkap oleh pemerintah itu, ternyata muncul di gelanggang situ dalam pakaian sebagai seorang opsir kerajaan. Khik-sia menjawab memberi hormat.

   "Tadi telah salah paham, mohon dimaafkan. Co toako memiliki kecerdasan dan keberanian, aku sungguh kagum sekali."

   Co Ping-gwan tertawa.

   "Toh tayjin ini kuserahkan padamu, supaya kau lega."

   Waktu Khik-sia hendak menyahut, Co Ping-gwan sudah mendorong pembesar itu hingga Khiksia terpaksa menyambutnya. Sebenarnya ketika tangan Co Ping-gwan dilepas tadi, Toh Hok-wi hendak meronta, tapi Khik-sia cepat sudah menerkam punggungnya.

   "Jika berani sembarangan bergerak, urat nadimu tentu kuputus. Celaka kau nanti!"

   Wi Gwat, Tok-ko U dan kawan-kawan berdatangan menghampiri.

   Dengan menggusur Toh Hok-wi, mereka menerjang keluar dari kepungan.

   Barisan tentara kerajaan tak mampu menjaga pertahanannya lagi.

   Dalam beberapa kejap, rombongan Wi Gwat sudah tiba di pinggir lapangan.

   Ternyata di dalam lapangan ketentaraan itu, terdapat 3000 tentara Gi-lim-kun dan 2000 anak buah Toh Hok-wi.

   Mereka menjaga keras pintu besar, orang tak boleh sembarangan masuk keluar.

   Lima ribu tentara pilihan itu, siap dengan busur dan senjata.

   Benar Thiat-mo-lek dan Khik-sia serta jago-jago itu berkepandaian tinggi, tapi jika hendak berkeras menerjang tentara pemerintah tentu tak mungkin.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam menggusur Toh Hok-wi itu, Co Ping-gwan dengan tegas mengancam.

   "Toh tayjin, jika kau ingin menyelamatkan kantong nasimu, lekas perintah orangmu membuka pintu!"

   Pucatlah wajah Toh Hok-wi, batinya.

   "Membuka pintu lepaskan tawanan, mereka tak membunuh aku, tetapi akupun tetap dijatuhi hukuman mati oleh raja. Membuka mati, tidak membuka pun mati. Ah, lebih baik aku mati sebagai menteri setia saja."

   Baru ia berpikir begitu, Khik-sia sudah menekan punggungnya dan seketika ia rasakan tubuhnya seperti digigiti ribuan ular kecil. Benar-benar siksaan yang paling hebat di dunia.

   "Hoha, lepaskanlah. Biar kuturut perintahmu!"

   Akhirnya ia meratap. Khik-sia tertawa dingin.

   "Terserah saja kepadamu. Tapi, jika kau membangkang, aku masih mempunyai ilmu pijat istimewa untuk kau coba."

   Toh Hok-wi digusur kira-kira terpisah beberapa tombak dari pasukan pemerintah.

   Ketika memandang ke muka, Toh Hok-wi dapatkan yang di sebelah depan adalah anak buahnya sendiri dan yang di bagian belakang adalah pasukan Gi-lim-kun.

   Ia kuatir anak buah Gi-lim-kun tak mau mendengar perintahnya.

   Tapi ia tak mempunyai lain pilihan lagi.

   Begitu Khik-sia hendak memijatnya lagi, Toh Hok-wi buru-buru berteriak.

   "Lekas buka pintu, lekas buka pintu!"

   Anak tentara jelas melihat bahwa pemimpinnya itu sedang ditekan musuh.

   Karena perintah itu menyangkut urusan besar, sekalian anak buah pun tak berani mengambil putusan menurut atau menolak.

   Pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, terbagi menjadi dua golongan.

   Satu golongan menyatakan.

   "Cin thong-leng membuka Eng-hiong-tay-hwe ini sebenarnya sudah mengatakan kepada orang gagah di seluruh negeri bahwa mereka takkan mendapat gangguan. Tapi karena Kaisar mendengarkan anjuran Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, maka mengeluarkan perintah menangkap sepuluh pemberontak tadi. Ini menyebabkan Cin thong-leng kehilangan muka pada seluruh orang gagah. Maka lebih baik kita buka pintu saja."

   Golongan kedua menentang.

   "Jangan, jangan! Menangkap pemberontak adalah perintah dari raja. Kalau kita bukakan pintu dan lepaskan mereka, bukan saja kita semua anak buah Gi-lim-kun akan dihukum kaisar bahkan Cin tayjin pun tentu tambah berat dosanya. Orang she Toh itu memang sudah beberapa kali hendak mencelakai Cin tayjin. Biarkan sekarang dia mati disiksa kawanan pemberontak itu!"

   Kedua pihak sama-sama ada alasan namun sampai sekian saat tiada keputusannya.

   Pada waktu biasa, Toh Hok-wi bersikap angker terhadap anak buahnya.

   Dia sering memberi putusan yang tak adil, kebanyakan tentu mengeloni orang-orang yang menjilatnya.

   Kewibawaan Toh Hok-wi di kalangan tentara kalah jauh dengan Cin Siang.

   Memang beberapa anak buah yang setia pada Toh Hok-wi, saat itu mau memberi jalan.

   Sementara partai Thiat-mo-lek lawan Bu Wi-yang dan Yo Bok-lo, ternyata sampai saat itu masih belum ada kesudahannya.

   Hanya sekarang kedua orang itu gunakan siasat sambil bertempur sambil mundur.

   Sampai akhirnya datanglah pasukan Theng-pay-kun.

   Mereka bergabung dengan barisan Giau-kau-chiu membentuk suatu garis pertahanan untuk menghadang Thiat-mo-lek.

   Di saat itu barulah Bu Wi-yang dapat menyusup ke dalam barisan anak buahnya untuk beristirahat.

   Pada saat itu juga ia mengetahui tentang tindakan Khik-sia terhadap Toh Hok-wi.

   Cepat-cepat ia lari menghampiri dan meneriaki anak buah Toh Hok-wi.

   "Toh tayjin telah ditawan pemberontak. Kalian sekarang harus mendengar perintahku. Lepaskan anak panah!"

   Anak buah Toh Hok-wi bersangsi.

   "Pasukan Gi-lim-kun, dengarlah! Kalian ingin tidak menolong Cin thong-leng kalian?"

   Kembali Bu Wi-yang berseru. Lwekang yang tinggi menimbulkan suara nyaring sekali hingga pasukan Gi-lim-kun yang tengah berisik itu diam seketika.

   "Untuk menolong Cin tayjin, hanya harus menurut surat perintah baginda. Basmi kaum pemberontak itu dan mendirikan jasa untuk meringankan kedosaan Cin tayjin. Untuk itu aku bersedia memberi kesaksian kepada baginda. Tetapi jika kalian berani membukakan pintu, baginda tentu menuduh Cin tayjin menyuruh kalian berontak. Dengan demikian bukankah Cin tayjin akan lebih berat dosanya?"

   Bu Wi-yang berseru dengan lantang sekali.

   Sebagian besar anak buah Gi-lim-kun memang mempunyai pendirian demikian.

   Maka anjuran Bu Wi-yang cepat diterima.

   Ribuan batang anak panah mengauk ke arah Toh Hok-wi.

   Jago-jago kelas satu seperti Khik-sia, Co Ping-gwan, Wi Gwat, Tok-ko U, dan lain-lain sibuk juga melindungi Toh Hok-wi.

   Memang pasukan Gi-lim-kun itu merupakan pasukan pilihan.

   Setiap calon harus diuji merentang busur berat, baru dapat diterima.

   Oleh karenanya mereka kuat dan gagah sekali memanah.

   Begitu Gi-lim-kun bergerak, pasukan Hou-bin-kun pun mengikuti.

   Sebenarnya mereka adalah anak buah Toh Hok-wi sendiri.

   Tapi karena biasanya Toh Hok-wi memperlakukan mereka keras dan tak adil, banyak yang sakit hati.

   Dan kesempatan ini digunakan baik-baik oleh mereka.

   "Mundur, lekas mundur ke lapangan lagi!"

   Teriak Co Ping-gwan. Toh Hok-wi kaget dan marah dengan pengkhianatan itu.

   "Aku adalah pembesarmu, kamu tak menurut perintahku, tak apa. Tapi mengapa berani membidik aku?"

   Teriaknya dengan kalap. Namun dalam hujan anak panah yang sedemikian riuhnya, mana anak buah Hou-bin-kun menghiraukannya. Bu Wi-yang loncat ke atas kuda. Sembari pentang busur, berseru nyaring.

   "Toh Hok-wi, karena kau mau menyerah pada pemberontak, jangan salahkan aku!" Sret, sret, sret, ia lepaskan tiga batang anak panah berturut-turut. Tenaganya besar, apalabi dalam keadaan yang kacau, maka sukar untuk menjaganya. Terpaksa Khik-sia putar pedang dan berhasil menyampok dua batang. Anak panah yang ketiga ditampar dengan kipas oleh Tok-ko U. Sayang karena tenaganya kalah kuat dengan Bu Wi-yang, maka anak panah dapat menembus kipas, terus menyusup ke tenggorokan Toh Hok-wi. Seketika matilah pembesar itu. Bu Wi-yang tertawa gelak-gelak. Sekarang ia mengarah Khik-sia, Tok-ko U dan lain-lain. Melihat itu marahlah Hong-jun, teriaknyanya.

   "Datang tidak disambut, tidak menghormat. Lihat panahku!" Sret, sret, sret, ia pun lepaskan tiga batang anak panah berturut-turut. Lu Hong-jun adalah ahli panah yang digelari orang sebagai Sin-cian-chiu. Anak panah pertama mengenai kuda dan anak panah kedua mengarah tenggorokan Bu Wi-yang. Orang she Bu itu ternyata lihay juga. Ia cepat loncat turun dari kudanya yang sudah terjungkal tak bernyawa itu. Dan secepat itu ia menangkis dengan busurnya. Trang, busurnya pecah terhantam anak panah Hong-jun. Dan pada lain saat, anak panah yang ketiga sudah menyambar datang. Bu Wi-yang tak sempat menghindar lagi. Terpaksa ia ngangakan mulutnya dan menggigit. Kre, ujung anak panah dapat digigitnya dan tertolonglah jiwanya. Tapi dua buah gigi muka rompal. Bu Wi-yang lari terbirit-birit. Waktu Hong-jun menyusuli anak panah yang keempat, sudah tak keburu mengejarnya. Rombongan Khik-sia kembali lagi ke gelanggang. Karena disitu masih berlangsung pertempuran kacau, pasukan Gi-lim-kun pun tak berani melepaskan panah lagi. Di gelanggang situ, Shin Ci-koh masih main udak dengan Ceng-ceng-ji. Sambil mengejar, wanita aneh itu berteriak-teriak.

   "Kunyuk kecil, kau masih hutang sebuah tamparan. Jangan ngimpi kau dapat melarikan diri! Kalau kenal selamat, baik kai menyerah saja daripada nanti kalau kecandak tentu kutampar lebih dari satu kali."

   Ceng-ceng-ji tak dapat melawan Shin Ci-koh dan tak berani balas memaki.

   Untung ia lebih unggul ginkangnya.

   Ia menyelinap masuk ke dalam kerumunan yang sedikit orangnya.

   Untuk beberapa saat Shin Ci-koh belum dapat menyandaknya.

   Tetapi karena banyak orang yang benci Ceng-ceng-ji, mereka memberi jalan pada Shin Di-koh dan sengaja merintangi Ceng-ceng-ji.

   Orang-orang itu sebenarnya tak berani pada Ceng-ceng-ji.

   Tapi karena Ceng-ceng-ji sedang diuber setan, iapun tak berani cari permusuhan lagi.

   Setiap ada orang merintangi, dengan menahan kemarahan, ia terpaksa mengitari dari samping.

   Karena dirintangi begitu, jarak Ceng-ceng-ji makin lama makin dekat dengan Shin Ci-koh.

   Pada saat Wi Gwat tiba di gelanggang, kebetulan Ceng-ceng-ji sedang berlarian mendatangi.

   Melihat congor Ceng-ceng-ji, meluaplah amarah Wi Gwat.

   Ia hadangkan kedua tangannya dan berseru.

   "Bagus, kau masih di sini, kunyuk kecil? Lekas ganti buli-buliku!"

   Saking gugupnya Ceng-ceng-ji enjot kakinya hendak melampaui Wi Gwat.

   Tapi tiba-tiba mulut Wi Gwat menyembur arak dan tangannya menghantam dengan biat-gong-ciang.

   Aduh ....

   diam-diam Ceng-ceng-ji berteriak tertahan.

   Muka dan tubuhnya kena kesemprot.

   Sakitnya seperti disiram air panas.

   Dan di samping itu, ia masih menerima lagi pukulan biat-gong-ciang.

   Hek, nafasnya serasa berhenti, untung ia cukup lihay dan tak sampai terluka dalam.

   Dengan ginkangnya yang jempol, dalam saat-saat yang berbahaya di mana Shin Ci-koh sudah hampir datang, ia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati balikkan tubuh, berjumpalitan di udara.

   Begitu tiba di tanah, kaki kiri diinjakkan ke kaki kanan terus loncat ke samping sampai beberapa tombak jauhnya.

   Tapi alangkah kejutnya ketika berdiri jejak, ia lihat Khik-sia sudah berada di hadapannya.

   "Toan sute, meskipun kita bermusuhan, tapi kita adalah saudara seperguruan. Apakah kau tega melihat aku dihina orang luar?"

   Tersipu-sipu ia mainkan diplomasi.

   "Aku masih punya hubungan apalagi dengan kau?"

   Sahut Khik-sia. Habis itu ia lantas menyerang. Tapi lain mulut lain hati. Ternyata serangannya itu hanya kosong dan diatur sedemikian rupa untuk memberi jalan lolos pada Ceng-ceng-ji.

   "Bawa kemari!"

   Tiba-tiba Co Ping-gwan membentak.

   "Apa yang kauminta?"

   Tanya Ceng-ceng-ji. Ia terus menyelinap dari samping tapi golok Co Ping-gwan yang dimainkan dalam jurus liong-toh-liok-hap, memaksa Ceng-ceng-ji berhenti.

   "Apa kau pura-pura tak tahu? Pedang pusaka kim-ceng-kiam yang kau pegang itu, adalah milik keluargaku. Lekas berikan padaku!"

   Bentak Co Ping-gwan.

   "Oh, kiranya Co kongcu. Kau sudah merampas golok gan-leng-to kepunyaan Toh Hok-wi, mengapa masih meminta kim-ceng-toan-kiam lagi?"

   "Kurang ajar! Pedang pusaka warisan keluargaku, mana boleh kau gasak!"

   Damprat Co Pinggwan sembari mainkan golok dengan gencar. Sebenarnya kepandaian Ceng-ceng-ji tak kalah dengan Co Ping-gwan. Tapi karena ia letih bertempur sejak tadi, maka ia tak mampu membobolkan rintangan Co ping-gwan itu.

   "Ha, ha, kunyuk kecil, coba sekarang kau mau lari kemana?"

   Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak.

   "Co ping-gwan, harap berhenti sebentar. Biar kutamparnya dulu kunyuk itu satu kali baru nanti kau boleh selesaikan perhitunganmu lagi!"

   Dalam saat dimana Ceng-ceng-ji sudah seperti tikus yang dicegat oleh dua ekor kucing, tibatiba barisan tentara negeri menjadi gempar dan panik.

   Sesosok tubuh melayang melampaui kepala mereka dan pada lain kejab sudah tiba di tengah gelangang.

   Orang itu bukan lain ialah Gong-gongji.

   "Gong-gong-ji, apa sekarang kau masih mau menyingkiri aku lagi?"

   Cepat-cepat Shin Ci-koh tinggalkan Ceng-ceng-ji dan lari menghampiri Gong-gong-ji.

   oooooOOOOOooooo Dilepas Shin Ci-koh, Ceng-ceng-ji agak longgar.

   Tapi kelonggarannya hanya sekejab mata saja.

   karena pada lain kejab semangatnya seperti terbang, demi melihat Gong-gong-ji datang.

   "Pedang pusaka ini benar kepunyaan keluargamu, tapi yang memberikan kepadaku ialah suhengku. Sekarang suhengku sudah datang, jika hendak meminta kembali pedang ini, silahkan bilang padanya!"

   Serunya kepada Co Ping-gwan seraya menyerang. Dan ketika Co Ping-gwan menghindar, Ceng-ceng-ji lantas putar tubuh dan melarikan diri. Co Ping-gwan tak dapat mengejarnya. Pikirnya.

   "Ya, Gong-gong-ji sudah datang. Aku harus menemuinya."

   Dua puluh tahun berselang pedang pusaka yang terbuat dari emas milik keluarga Co itu telah dicuri Gong-gong-ji.

   Karena sayang kepada Ceng-ceng-ji, pedang itu diberikan kepadanya.

   Setelah dewasa dan matang dalam gemblengan ilmu silat, Co Ping-gwan hendak mencari Gonggong- ji untuk meminta kembali pedangnya itu.

   Untung pada saat itu Gong-gong-ji sudah tersadar dari pengaruh Yu-pay dan kembali ke jalan yang lurus.

   Walaupun ia menang, tapi ia tak mau melayani tantangan Co Ping-gwan bahkan sebaliknya malah minta maaf dan berjanji akan mengembalikan pedang Co Ping-gwan.

   Dan sejak itu selama berkelana di dunia persilatan, banyak kali secara diam-diam Co Ping-gwan mendapat bantuan dari Gong-gong-ji.

   Akhirnya kedua orang itu bersahabat baik.

   Ceng-ceng-ji tahu tentang riwayat pedang pusaka itu.

   Maka kali ini adanya Co Ping-gwan dimasukkan dalam golongan pemberontak, adalah dari usulnya.

   Latar belakangnya karena Cengceng- ji hendak memiliki terus pedang itu.

   Karena bernafsu untuk menjumpai Gong-gong-ji, maka Shin Ci-koh tak menghiraukan siapapun.

   Yang menghadang jalannya, tak perduli dia itu anak tentara atau orang persilatan, tentu disikat dengan kebut hud-timnya.

   Tapi karena lapisan tentara negeri itu banyak sekali, sudah tentu tak mudah baginya untuk menyapu bersih.

   Co Ping-gwan yang juga hendak menemui Gong-gong-ji dan kebetulan berada di belakang Shin Ci-koh, tiba-tiba mendapat pikiran.

   "Aku hendak minta Gong-gong-ji mengembalikan pedangku, untuk itu akupun harus membantu kerepotannya. Dia tak senang menjumpai wanita ini. Biarlah kuhadangnya saja."

   Ia percepat larinya dan berseru.

   "Shin lo-cianpwe, sungguh beruntung dapat berjumpa, terimalah hormatku!"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Shin Ci-koh tak senang kalau orang membahasakan dirinya sebagai locianpwe. Karena dengan begitu ia dianggap sebagai orang tua. Tapi mengingat ayah Co Ping-gwan, ia tak mau memukul anak muda itu. Ia deliki mata dan menyahut dingin.

   "Tak usah banyak tingkah, aku tak punya waktu!"

   Tapi Co Ping-gwan malah loncat kemuka dan berhadapan dengan wanita aneh itu, ujarnya.

   "Jika membicarakan tentang ilmu pedang, ayah selalu menyatakan kekagumannya terhadap ilmu pedang lo-cianpwe. Sayang pada waktu lo-cianpwe lalu di rumahku, aku masih kecil tak mengerti apa-apa. Sekarang aku beruntung berjumpa, sudilah lo-cianpwe memberi petunjuk barang satu dua jurus locianpwe, mengapa hari ini kau memakai hud-tim bukan pedang?"

   Marah Shin Ci-koh bukan kepalang dengusnya.

   "Apa kau hendak menguji aku?"

   Buru-buru Co Ping-gwan menjura.

   "Tidak, lo-cianpwe. Aku hanya mohon pelajaran ilmu pedang, sekali-kali tak berani menguji lo-cianpwe."

   "Tadi kau bertanya mengapa aku tak pakai pedang? Tahukah kau bahwa begitu bu-ceng-kiam itu keluar, tentu akan minta jiwa orang?"

   "Tahum tahu! Justeru ilmu pedang sakti itulah yang hendak kumohon,"

   Sahut Ping-gwan. Shin Ci-koh tertawa dingin.

   "Untuk belajar ilmu pedangku tak boleh secara lisan. Kalau benarbenar kau ingin belajar, nah, lihatlah pedang ini! Ho, kau tak mau menyingkir?"

   Co Ping-gwan gunakan jurus tiang-ho-lok-ji, atau sungai ho di senjakala, ia putar pedangnya. Trang, pedang Shin Ci-koh kena didorong ke sisi. Dan tertawalah ia.

   "Ilmu pedang lo-cianpwe sungguh hebat. Apakah caraku menangkis tadi benar?"

   Karena memandang muka ayahnya, maka Shin Ci-koh tak mau menyerang sungguh-sungguh.

   Tapi sebaliknya karena tahu wanita itu selalu bertindak ganas, maka Co Ping-gwan telah menangkis dengan sekuat tenaganya hingga tangan Shin Ci-koh menjadi kesakitan.

   Akhirnya marah juga Shin Ci-koh.

   Ia ambil putusan hendak memberi hajaran pada anak muda itu tak peduli ia itu putera siapa.

   "Bagus, kalau tak kukeluarkan sungguh-sungguh kau tentu mengira ilmu pedangku Bu-ceng-kiam itu hanya bernama kosong,"

   Akhirnya ia tertawa dingin sembari kiblatkan pedangnya.

   Tampaknya berkiblat di kanan tahu-tahu sudah di kiri.

   Sungguh suatu ilmu pedang yang luar biasa, sukar diduga gerak perubahannya.

   Dalam beberapa jurus saja, Co Ping-gwan tak mampu berbuat apa-apa, kecuali hanya sibuk menangkis.

   Diam-diam ia jeri juga, batinnya.

   "Ah, nyata-nyata Bu-ceng-kiam itu tak bernama kosong. Untung aku dapat merampas golok pusaka Gan-leng-to ini biarpun mati-matian, tapi dapat melayaninya."

   Shin Ci-koh juga terkejut melihat anak muda itu dapat melayani ilmu pedang Bu-ceng-kiam. Diam-diam ia kuatir jangan-jangan kemasyhuran Bu-ceng-kiam itu akan jatuh di tangan Ping-gwan.

   Jilid 12 Shin Ci-koh paling menjunjung nama.

   Begitu bertempur, entah dengan kawan atau lawan, ia tentu harus menang.

   Begitu ia pergencar serangannya, Co Ping-gwan menjadi kewalahan.

   Untung dalam saat-saat Ping-gwan akan menderita kekalahan itu, tiba-tiba terdengar gelak tertawa seorang tua.

   "Shin Ci-koh, mengapa kau gunakan Bu-ceng-kiam terhadap seorang anak muda? Apakah tak takut ditertawai orang? Ai, ai, ai sudahlah jangan bertempur. Pengemis tua hendak mengundang kau minum arak!"

   Itulah Wi Gwat.

   Ia pinjam tongkat bambu Ciok Ceng-yang dan sekali disodokkan, terpisahlah golok Co Ping-gwan dengan pedang Shin Ci-koh.

   Ini bukan berarti bahwa kepandaian Wi Gwat jauh lebih lihay dari kedua orang itu.

   Tetapi dikarenakan kepandaian Shin Ci-koh tak terpaut banyak dengan Co Ping-gwan.

   Wi Gwat dapat mencari timing dan gunakan tenaga dengan tepat.

   Maka sekali gerak, ia berhasil pisahkan mereka tanpa melukai.

   Melihat si pengemis tua, terpaksa Shin Ci-koh mau mengalah.

   Apalagi si pengemis gila itu berkata dengan tepat, dapat menjunjung gengsi Shin Ci-koh.

   Amarah Shin Ci-koh menurun dan setelah menyimpan pedang ia berkata.

   "Bukannya aku menghina kaum muda tetapi karena dia hendak merintangi urusanku."

   Wi Gwat mendorong Co Ping-gwan ke samping, ujarnya.

   "Benar, urusan Shin Ci-koh hanya aku si pengemis tua ini yang dapat mengetahui. Kau budak kecil, jangan mengganggu kita bicara."

   Co Ping-gwan tahu kalau ditolong Wi Gwat, maka ia pun buru-buru undurkan diri menggabung pada Khik-sia.

   "Pengemis tua, mengapa kau juga ikut-ikutan menggerecoki aku? Mana aku senggang minum arak dengan kau?"

   Seru Shin Ci-koh dengan agak kurang senang. Wi Gwat tertawa.

   "Kalau kau tak mau minum arak, seharusnya kau undang aku minum arakmu!"

   "Pengemis tua, jangan ngaco, aku benar-benar tak punya tempo menemanimu. Mau minum arak, silahkan minum sendiri saja. Maaf, aku mau pergi,"

   Shin Ci-koh mau pergi tapi dicekal tangannya oleh Wi Gwat.

   "Ha, ha, apa kau belum mengerti? Yang kumaksudkan, kau supaya undang aku minum arak kegiranganmu. Tak perlu kau menemani aku. Ketahuilah, karena berkelahi aku bersahabat dengan Gong-gong-ji. Perangaiku sama dengan dia. Dia tak mau mendengarkan perkataan orang, tetapi perkataan pengemis tua ini, ha, ha, ia tak berani tak mendengarkan. Ci-koh, urusanmu dengan Gong-gong-ji serahkan saja padaku. Pengemis tua ini paling senang menjadi comblang!"

   Walaupun Shin Ci-koh itu berlainan dengan wanita biasa, ialah tak mau sungkan-sungkan mengaku senang pada orang, tapi tak urung pada saat itu ia merah juga. Batinnya.

   "Beberapa kali Gong-gong-ji selalu menyingkir dari aku. Tetapi kutahu bukannya ia sama sekali tak suka padaku. Melainkan ia memang sudah biasa hidup bebas, takut kalau sudah menikah akan terikat. Ah, rupanya ia tak tahu bahwa sekarang perangaiku sudah berubah."

   Kiranya pada dua puluh tahun yang lalu, Gong-gong-ji sudah kenal dengan Shin Ci-koh.

   Mereka saling mencocoki.

   Shin Ci-koh suka sekali kepada Gong-gong-ji.

   Gong-gong-ji pun mengagumi kepandaian Shin Ci-koh.

   Sebenarnya mereka dapat menjadi pasangan suami-isteri yang ideal.

   Tetapi Shin Ci-koh tak setuju dengan cara hidup Gong-gong-ji yang digelari sebagai Biau-chiu-sin-thou atau Pencuri Sakti.

   Ia anggap nama itu tidak baik.

   Gong-gong-ji pun takut akan watak Shin Ci-koh yang keras.

   Segala apa harus menurut perintahnya.

   Kalau sudah menjadi suami isteri, Gong-gong-ji kuatir akan diikat kebebasannya.

   Itulah sebabnya maka ia tak mau membicarakan soal pernikahan.

   Setelah Gong-gong-ji biasa hidup bebas menurut sekehendak hatinya, rasa takut kawin dengan Shin Ci-koh itu makin mendalam.

   Akhirnya ia hapus sama sekali pikiran itu.

   Pun dengan bertambahnya usia Shin Ci-koh makin kepingin mempunyai rumah tangga.

   Karena sudah kelewat umur belum menikah, pikirannya agak terganggu.

   Untuk melampiaskan kegelisahannya itu, seringkali ia mengganas.

   Dan karena keganasannya itu makin terkenal di dunia persilatan dan makin ditakuti orang pula.

   Semakin ditakuti orang, ia merasa makin terasing.

   Makin terasing, ia makin merasa kesepian.

   Makin kesepian, makin ia berusaha keras untuk mengejar Gong-gong-ji.

   Dengan begitu terjadilah hal yang lucu.

   Yang satu kepingin sekali berumah tangga, yang satu takut kawin.

   Untuk menghindarkan diri dari kejaran Shin Ci-koh, Gong-gong-ji berusaha agar jangan sampai berjumpa.

   Begitu mencium bau angin Shin Ci-koh ia sudah lari kalang kabut.

   Shin Ci-koh berpikir lebih lanjut.

   "Kabarnya ia sudah banting stir ke jalan yang lurus. Tidak mau ugal-ugalan mencuri lagi. Sebenarnya kalau hanya sekali tempo ia berbuat begitu, akupun tak keberatan. Tapi soalnya ialah bagaimana ia dapat mengetahui pendirianku sekarang ini? Ah, dalam hal ini memang harus ada orang perantaranya."

   Membayangkan hal itu, merahlah wajahna. Ia berkata dengan pelahan.

   "Wi lo-cianpwe, karena kau sudah mengetahui urusan kami berdua, maka akupun tak mau menutup lagi. Lebih dulu aku menghaturkan terima kasih padamu. Asal separuh hidupku dapat mempunyai kawan hidup, tak nanti ayahku kehabisan arak."

   Wi Gwat tertawa gelak-gelak.

   "Bagus, bagus, biar aku menjadi ayah-angkatmu. Sebagai ayahangkat sudah tentu aku akan berusaha mati-matian untuk kepentinganmu. Baik, sekarang juga aku hendak mendapatkan Gong-gong-ji. Hai, tapi sekarang ia sedang ada urusan penting, terpaksa harus menunggu dulu."

   Shin Ci-koh mendongak ke muka.

   Tampak Gong-gong-ji sedang menyusup ke dalam barisan pasukan Bu Wi-yang.

   Gerakannya luar biasa gesitnya.

   Menerjang sebuah pasukan besar, seperti masuk ke dalam hutan yang kosong saja.

   Di bawah sabetan pedang dan tombak, sehelai bulunya pun tak rontok.

   Secepat kilat ia sudah tiba di samping Bu Wi-yang.

   Wajah Gong-gong-ji memang luar biasa.

   Bu Wi-yang segera mengenali, walaupun terkejut tapi diam-diam ia membatin.

   "Mau apa Gong-gong-ji ini? Masakan ia dapat mengapa-apakan aku di tengah barisan besar?"

   Baru ia berpikir, begitu tubuh Gong-gong-ji sudah melayang datang.

   Buru-buru ia gunakan jurus liong-coa-ci-to, cepat ia tusukkan sepasang kait kepada bayangan hitam itu.

   Aduh .....

   terdengar jeritan dan darah muncrat.

   Dada penyerangnya itu berlubang, tubuhnya terkulai.

   Ada segumpal dagingnya yang masih melekat di kait.

   Bu Wi-yang tak menyangka sama sekali Gong-gong-ji ternyata begitu tak punya guna.

   Tapi ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia.

   "Celaka!"

   Sepasang kaitnya belum sempat ditarik keluar dari tubuh orang tadi, tahu-tahu Gong-gong-ji sudah mencekal pergelangan tangannya.

   Jangankan ia memang kalah tangguh dengan Gong-gongji, sekalipun andaikata menang, tapi kalau dikuasai pergelangan tangannya, tentu tak dapat berkutik lagi.

   Mengapa Gong-gong-ji dapat hidup lagi? Bukan, sebenarnya yang tertusuk kait Bu Wi-yang tadi bukan Gong-gong-ji.

   Waktu menyerbu dengan gerak cepat tadi, Gong-gong-ji menyambar seorang tentara terus dibuat menerjang Bu Wi-yang.

   Karena perawakan Gong-gong-ji pendek kecil maka ia dapat tertutup dengan perisai istimewa tadi.

   Bu Wi-yang salah melihat dan kena diakali.

   Hal ini disebabkan karena memang gerakan Gong-gong-ji luar biasa cepatnya sehingga Gong-gongji dengan opsir itu tampaknya seperti satu orang.

   Dan kedua kalinya, karena Bu Wi-yang kelewat tegang.

   Begitu ada orang menyerang, terus saja ia tusuk.

   Coba Bu Wi-yang berlaku tenang, walaupun kepandaian memang kalah dengan Gong-gong-ji, tapi sekurang-kurangnya ia masih dapat melayani sampai 10-an jurus juga.

   Begitu mencekal tangan Bu Wi-yang, Gong-gong-ji lantas melemparkannya ke udara.

   Dan secepat itu juga Gong-gong-ji melayang menyusulnya, melampaui kepala kawanan tentara.

   Begitu Bu Wi-yang melayang turun, Gong-gong-ji sudah menyambutinya, terus mencengkeram jalan darahnya.

   Saat itu mereka sudah berada di luar pagar kepungan barisan tentara.

   "Gong-gong-ji, kau bukan orang Lok-lim dan tak ada sangkut pautnya dengan kawanan pemberontak. Kau bebas pergi kemana-mana, mengapa cari kesulitan? Lekas lepaskan Bu tayjin!"

   Teriak Yo Bok-lo.

   Tadi ia bersama Bu Wi-yang.

   Ketika melihat Bu Wi-yang ditangkap, ia cepat memburu tapi terlambat.

   Bu Wi-yang sudah diringkus Gong-gong-ji.

   Yo Bok-lo bergelar Chit-poh-tui-hun atau tujuh langkah mengejar jiwa.

   Meskipun ginkangnya tak selihat Gong-gong-ji, tapi dalam jarak pendek, ia hampir dapat menyamai kecepatan Gong-gong-ji.

   Pada saat Gong-gong-ji menyambuti Bu Wi-yang tadi, Yo Bok-lo pun sudah kira-kira tiga tombak di belakang Gong-gong-ji.

   Gong-gong-ji tertawa dingin.

   "Justeru aku ingin tahu apa kesulitan itu?" Tanpa berpaling lagi ia menjinjing Bu Wi-yang dan pergi. Yo Bok-lo sebenarnya jeri juga kepada Gong-gong-ji. Tapi untuk menolong bu Wi-yang, terpaksa ia bertindak juga. Kuatir tak dapat mengejar, lebih dulu Yo Bok-lo lepaskan pukulan biatgong- ciang ke punggung Gong-gong-ji.

   "Bangsat, mau lari kemana kau? Aku hendak menempurmu sampai mati, sambutlah seranganku!"

   Tiba-tiba Thiat-mo-lek menghadang maju. Kini Gong-gong-ji dapat tertawa lepas, serunya.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Yo bok-lo, bukan aku yang mendapat kesusahan sebaliknya kau sendiri. Karena sudah ada yang hendak membalaskan hutangmu memukul aku, akupun tak mau turun tangan."

   Pukulan biat-gong-ciang tadi dilontarkan Yo Bok-lo dengan sekuat tenaganya.

   Tapi sedikitpun tak dapat melukai Gong-gong-ji.

   Malah Gong-gong-ji dapat pinjam tenaga pukulan itu untuk mempercepat larinya.

   Ketawanya masih berkumandang, tapi orangnya sudah lenyap dalam gundukan manusia.

   Bu Wi-yang tertawan dan Ceng-ceng-ji pun sudah bersembunyi karena ketakutan melihat suhengnya.

   Kini tinggal Yo Bok-lo seorang diri.

   Untung Thiat-mo-lek tetap berlaku sportif, sebelum menyerang memberi peringatan dulu.

   Dalam keadaan terpencil, kuncuplah nyali Yo Boklo.

   Sebagai penyambutan dari tantangan Thiat-mo-lek, ia melesat dan melarikan diri masuk ke dalam barisannya.

   Wi Gwat, Khik-sia, kedua saudara Tok-ko dan lain-lain sudah menerjang.

   Wi Gwat juga memimpin anak buah Kay-pang menggempur anak tentara.

   Melihat Wi Gwat, Yo Bok-lo putar haluan dan lari sipat kuping.

   "Bangsat, kau masih hendak berlindung dalam barisanmu? Kemana kegaranganmu?"

   Teriak Thiat-mo-lek. Yo Bok-lo lari mati-matian. Tiba-tiba ada orang menghadangnya. Dengan mencekal pedang dan mata melotot, orang itu tertawa mengejeknya.

   "Bangsat Yo, Toan Khik-sia sudah menunggumu di sini."

   Yo Bok-lo buntu jalannya. Dari muka dan belakang dikejar musuh. Sekonyong-konyong ia berputar ke belakang dan tertawa gelak-gelak.

   "Thiat-mo-lek, kau mau mengandalkan jumlah banyak untuk mengalahkan aku?"

   "Khik-sia, jangan campur tangan,"

   Seru Thiat-mo-lek yang sebat sekali, sudah melesat ke muka Yo Bok-lo.

   "Bangsat tua, hari ini aku hendak membalaskan sakit hati ayah. Siapa saja tak boleh membantu. Pendek kata kalau belum mati tidak boleh bubar. Darah mengalir baru berhenti!"

   Khik-sia lintangkan pedangnya untuk menjaga kemungkinan Yo Bok-lo melarikan diri. Ia mengeluarkan ancaman.

   "Siapa yang akan membantu akan kuhajar. Siapa yang hendak melarikan dirim juga akan kubacok! Bangsat Yo, asal kau dapat menyelamatkan batang kepalamu dari pedang Thiat toako, maka aku pun takkan menghadangmu!"

   "Baik, aku hendak minta pelajaran ilmu pedangmu yang tiada bandingannya di dunia,"

   Akhirnya Yo Bok-lo tabahkan hatinya. Tapi di luar dugaan Thiat-mo-lek malah menyimpan pedangnya. Serunya.

   "Dahulu kau melukai ayahku dengan pukulan secara menggelap. Sekarang akupun hendak membalas kau dengan pukulan agar kau dapat mati dengan puas!" Artinya, Thiat-mo-lek akan menghadapi Yo Bok-lo dengan tangan kosong. Sebenarnya Yo bok-lo jeri terhadap Thiat-mo-lek. Mendengar ucapan itu, diam-diam ia girang. Pikirnya.

   "Kalau kau pakai pedang, aku tentu kalah. Tapi karena kau sendiri mengatakan tak mau pakai pedang dan hanya dengan sepasang tangan kosong, itu salahmu sendiri."

   Namun ia masih belum percaya dan menegas lagi.

   "Artinya kita bertempur satu lawan satu dengan tangan kosong, bukan?"

   "Dengan tangan kosong menentukan mati-hidup!"

   Sahut Thit-mo-lek dengan tegas.

   "Bagus, aku memang menghendaki janjimu itu. Ucapan seorang ksatria ....."

   "Laksana kuda dicambuk!"

   Sahut Thiat-mo-lek.

   "Ah, mana dia dapat digolongkan seorang ksatria,"

   Khik-sia menyeletuk. Yo Bok-lo tertawa keras.

   "Jangan kelewat memandang rendah orang, bocah! Thiat-mo-lek, hari ini raja akhirat akan mengundang tetamu. Entah siapa yang akan diundang, kau atau aku. Nih, terimalah pukulanku!"

   Yo Bok-lo sengaja bersikap garang untuk membesarkan nyalinya.

   Namun nada tertawanya yang tergetar, tak dapat menutupi ketakutan hatinya.

   Dalam ketakutannya, ia memukul sekuatkuatnya.

   Krak.

   Thiat-mo-lek menangkis.

   Yang berbunyi bukan kepalan beradu melainkan hanya angin pukulannya.

   Sekalipun begitu, suaranya sudah memekakkan telinga.

   Tubuh Yo Bok-lo menjulang ke atas.

   Dua buah jari tangan kirinya menusuk sepasang mata orang, tangan kanannya menabas kaki.

   Dua tangan menyerang dari atas dan bawah, gayanya mirip dengan Hek-hou-ciang (pukulan macan mendekam) dari Siau-lim-pay.

   Tetapi tenaganya kuat sekali, jauh lebih lihay dari pukulan Siau-lim-pay itu.

   Yo Bok-lo tahu kalau lwekangnya kalah dengan lawan.

   Maka ia gunakan siasat hendak mencuplik biji mata Thiat-mo-lek.

   Thiat-mo-lek mendak ke bawah dan gunakan jari tengah untuk menutuk telapak tangan lawan.

   Di situ terdapat jalan darah lo-kiong-hiat.

   Yo Bok-lo paling-paling hanya dapat meremukkan tulang bahu Thiat-mo-lek, tapi sekali jalan darah lo-kiong-hiat itu kena ditutuk, hancurlah jiwa Yo Bok-lo.

   Gelar Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun.

   Ia lincah dan cepat sekali menghadapi setiap perubahan.

   Ia enjot tubuhnya berjumpalitan di udara dan melayang turun di belakang lawan.

   Jalan darah thian-ku-hiat di punggung Thiat-mo-lek, cepat dihantamnya.

   Thiat-mo-lek mahir dalam ilmu thing-hong-pian-ki (mendengar suara membedakan senjata).

   Begitu terasa angin menyambar dari belakang, cepat ia putar tubuh dan hantamkan kedua tangannya ke perut orang.

   Yo Bok-lo telusupkan tangan kiri ke bawah siku lengan kanannya untuk menutuk siku lengan Thiat-mo-lek.

   Tapi Thiat-mo-lek sudah memperhitungkan hal itu.

   Ia maju selangkah dan menyambar iga Yo Bok-lo.

   Walaupun tak kena tapi Yo Bok-lo sudah mengucurkan keringat dingin.

   Tiba-tiba Thiat-mo-lek menggembor keras.

   Tangannya dikepalkan dan menghantam dengan gerak heng-sim-bak-hou.

   Kerasnya bagai pukul besi menghancurkan batu.

   Yo Bok-lo tak berani menyambuti.

   Ia enjot tubuhnya melayang sampai satu tombak lebih dan meluncur turun, secepat kilat Yo Bok-lo sudah putar tubuh hingga pukulan lawan tak mengenainya.

   Khik-sia menahan nafas melihat jalannya pertempuran itu.

   Pikirnya."Thiat toako tak mau adu ilmu pedang, padahal ia tentu menang dengan senjata.

   Tapi toako memilih tangan kosong, ini tentu kurang leluasa."

   Kembali saat itu Thiat-mo-lek dan Yo Bok-lo bertempur dengan seru.

   Mereka dahulu mendahului untuk menindas lawan.

   Ilmu tangan kosong Yo Bok-lo benar-benar luar biasa, sukar diduga perubahannya.

   Tetapi gerak cepat pukulan yang dilancarkan Thiat-mo-lek itu, walaupun gayanya seperti orang main pedang, namun cepatnya bukan kepalang.

   Ilmu pukulan Thiat-mo-lek yang keras dan cepat itu, dapat juga mengimbangi permainan lawan.

   "Bilakah Thiat-mo-lek menciptakan ilmu pukulan kilat itu?"

   Diam-diam Khik-sia heran sendiri.

   Yo Bok-lo sakti dalam ilmu pukulan tangan kosong.

   Dan Thiat-mo-lek sengaja hendak mengalahkannya dengan ilmu pukulan tangan kosong juga.

   Maka siang-siang ia sudah berusaha menciptakan sebuah ilmu pukulan untuk menandinginya.

   Ia menggabungkan ilmu pedang sakti dari Mo Kia lojin dan Toan Kui-ciang (ayak Khik-sia), dirubah dan dilebur menjadi sebuah ilmu pukulan tangan kosong.

   Saat itu adalah yang pertama kali Thiat-mo-lek gunakan ilmu pukulan ciptaannya itu.

   Maka sudah pada tempatnya kalau Khik-sia merasa terkejut.

   Bahkan Yo Bok-lo sendiri, seorang ahli ilmu silat tangan kosong, setelah melayani beberapa jurus, merasa kagum dan gentar.

   Walaupun terdesak namun posisi kaki Yo Bok-lo tetap teratur rapi menurut formasi pat-kwa dan ngo-heng.

   Berpuluh tahun lamanya Yo Bok-lo meyakinkan ilmu pukulannya itu, sehingga untuk beberapa waktu Thiat-mo-lek pun tad dapat berbuat apa-apa.

   Namun Thiat-mo-lek yang mempunyai tenaga pembawaan yang kuat, apalagi ia dalam usia di masa orang sedang gagahgagahnya, tetap dapat mengatasi lawan.

   Benar ia tak semahir Yo Bok-lo dalam ilmu pat-kwa dan ngo-heng, namun ia menang kuat dengan Yo Bok-lo.

   Setelah lewat belasan jurus, siapa kuat siapa lemah, mulai kelihatan.

   Di dalam kurungan hujan pukulan Thiat-mo-lek, gerakan Yo Bok-lo pun mulai tak lancar.

   Chit-si-ciang-hwat atau tujuh jurus pukulan, adalah ilmu pukulan yang mengangkat nama Yo Bok-lo.

   Tapi pukulan sudah habis dimainkan, bukan jiwa lawan yang diburu, sebaliknya malah ia yang didesak tak dapat bernafas.

   "Gelaranmu Chit-poh-tui-hun, dan sekarang kau sudah bergerak sampai tujuh langkah. Baiklah, karena kau tak mampu memburu jiwaku, akulah yang akan mengejar jiwamu!"

   Thiat-mo-lek tertawa sinis. Habis berkata, ia memukulkan kedua tangannya ke muka. Dahsyatnya seperti gunung rubuh.

   "Bagus, aku akan mengadu jiwa dengan kau!"

   Terpaksa Yo Bpk-lo menggarangkan suaranya dan merapatkan sepasang tangannya untuk kemudian dipentang ke kanan dan ke kiri.

   Dia keluarkan jurus terakhir yang paling ganas Im-yang-siang-jong-ciang.

   Thiat-mo-lek tabaskan tangannya dari samping.

   Jari tengahnya ditonjolkan seperti orang menabas.

   Dan memang ia gunakan jurus ilmu pedang heng-kiang-hui-to atau terbang melintasi sungai.

   Jari itu berubah menjadi semacam ujung pedang.

   Sebenarnya waktu menggunakan Im-yang-siang-jong-ciang tadi, Yo Bok-lo harus berganti posisi kaki agar dapat merubah gerak penyerangannya menjadi pertahanan.

   Tapi ternyata begitu Thiat-mo-lek mainkan habis serangannya, tenaga Yo Bok-lo pun sudah habis.

   Kakinya terhuyung hingga keliru menginjak posisi lain.

   Ini berarti dari seng-bun (pintu hidup), ia melangkah masuk sibun ( pintu mati).

   Dan justru karena itu ia berputar ke hadapan Thiat-mo-lek atau berarti ia memberikan dirinya disambar pukulan dan ditabas jari Thiat-mo-lek .

   Jari Thiat-mo-lek berhasil menghancurkan gi-kang (tenaga luar) Yo Bok-lo, sedang pukulannya telah membuat Yo Bok-lo terpental sampai beberapa tombak jauhnya.

   Yo Bok-lo yang remuk tulangnya masih coba hendak berbangkit, tapi Thiat-mo-lek sudah tiba di hadapannya dan mencengkeram sang korban.

   Dengan berlinang-linang air mata, berserulah ksatria itu.

   "Yah, hari ini anak telah membalaskan sakit hatimu."

   Ia cabut pedangnya dan mengutungi kepala Yo Bok-lo, dimasukkan ke dalam kantong kulit.

   "Selamat toako, akhirnya kau dapat membunuh bangsat tua ini!"

   Khik-sia menghampiri.

   "Meskipun sakit hati telah terbalas, namun untuk lolos dari kepungan musuh, bukannya mudah. Karena gara-garaku telah merembet saudara-saudara, hatiku sungguh tak enak,"

   Kata Thiat-mo-lek.

   "Hai, toako, lihatlah!"

   Tiba-tiba Khik-sia berseru kaget. Dan saat itu barisan tentara pun gempar. Ternyata Gong-gong-ji dengan menjinjing Bu Wi-yang, tiba di bawah guat-ping-thay (panggung inspeksi). Sekali loncat, Gong-gong-ji sudah melayang ke atas panggung itu.

   "Seorang panglima boleh dibunuh tak boleh dihina. Gong-gong-ji, kalau berani bunuhlah aku dengan segera!"

   Teriak Bu Wi-yang dengan nafas sengal-sengal. Gong-gong-ji meletakkan tubuh jenderal itu, sahutnya.

   "Siapa yang mau membunuhmu? Aku hendak mengantarkan sengci (perintah raja) padamu!"

   Mulut Bu Wi-yang ternganga dan berkata dengan gelagapan.

   "Apa? Kau membawa sengci?"

   Tiba-tiba Gong-gong-ji kerutkan wajah dan mengeluarkan secarik kertas. Serunya.

   "Bu Wiyang, mengapa tak lekas-lekas berlutut menyambut?"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia rentang kertas itu di muka Bu Wi-yang. Astaga! Benar juga surat itu memakai stempel dari Li Heng, baginda kaisar yang sekarang.

   "Aneh, mengapa baginda memberi sengci kepada Gonggong- ji? Aneh, mustahil dipercaya,"

   Diam-diam Wi-yang membatin. Namun percaya atau tidak, buktinya surat itu memakai stempel Kaisar. Mau tak mau ia terpaksa berlutut juga dan ulurkan sepasang tangannya menyambuti sengci itu dengan khidmat. Sengci itu berbunyi demikian.

   "Thiat-mo-lek, Bo Se-kit, Toh Peh-ing, Toan Khik-sia, Co Pinggwan dan lain-lain sepuluh orang itu, perjalanan hidupnya tidak baik, beberapa kali melanggar undang-undang. Seharusnya ditangkap dan dihukum setimpal. Tetapi mengingat mereka masih ada hasrat untuk mengabdi pada kerajaan, maka mereka telah datang dalam pertandingan besar ini. Namun untuk memakai orang, pemerintah tak mau sembarangan. Oleh karena mereka yang tersebut di atas itu masih belum membuat jasa untuk menebus kedosaannya, maka belum dapat diterima. Kesepuluh orang itu harus lekas diusir dari lapangan ini, tak boleh turut dalam pertandingan. Orang gagah lain-lainnya boleh tinggal terus, menunggu pengumuman."

   Dalam sengci itu walaupun Thiat-mo-lek dan kawan-kawan sebagai rakyat yang sering melanggar undang-undang, tetapi dosanya tidak dianggap berat.

   Dan yang penting mereka itu atk dianggap sebagai "pemberontak".

   Hukumannya hanyalah, mengusir mereka dari lapangan situ.

   "Bukankah ini serupa dengan yang dikehendaki Thiat-mo-lek?"

   Tanya Bu Wi-yang dalam hati. Dia seorang yang cermat. Makin membaca makin curiga. Pikirnya lebih lanjut.

   "Masakan baginda akan meniadakan perintahnya kepada kita? Dan lagi dalam urusan yang begini penting, mengapa tak dibubuhi cap kerajaan dari kumala dan melainkan memakai stempel baginda saja?"

   Memang sengci itu hanya memakai stempel baginda.

   Li Hing gemar sekali membubuhi stempel namanya pada lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan.

   Tapi jika mengenai urusan negara yang resmi, ia jarang menggunakan stempel itu.

   Memang ada kalanya, dalam surat rahasia yang menyangkut urusan pribadi, setempo ia menggunakan stempel namanya itu.

   "Sengci yang kau bawa ini, tulen atau palsu?"

   Akhirnya Bu Wi-yang bertanya dengan ragu. Gong-gong-ji membisiki ke dekat telinganya.

   "Stempel yang digunakan kaisar itu tulen! Dengan melaksanakan sengci ini, tanggung kau dapat mempertahankan kedudukanmu. Kalau tidak jiwamu pasti tak terjamin, mengerti?"

   Seketika teranglah pikiran Bu Wi-yang. Ya, sengci itu palsu tetapi memakai stempel asli. Pikirnya.

   "Gong-gong-ji memang termasyhur sebagai pencuri sakti. Apa yang lain orang tak dapat, ia mampu mengerjakan. Tapi tak peduli sengci ini palsu atau tulen, apa yang dikatakan Gong-gongji itu memang benar. Meskipun sengci palsu, tetapi karena memakai stempel tulen, kelak apabila diselidiki, aku mempunyai pegangan kuat. Paling-paling aku hanya disalahkan karena kurang teliti memeriksa sengci saja. Hukumannya hanya potong gaji. Tetapi jika kubongkar rahasia sengci ini di depan umum, Gong-gong-ji itu setan yang tak takut pada siapa juga. Apakah jiwaku dapat lolos dari tangannya?"

   Secepat kilat Bu Wi-yang memutuskan, jiwanya yang paling penting.

   Dan ia mengambil putusan, baik sengci itu palsu atau tulen, dia akan menerimanya.

   Begitu dengan mengangkat sengci itu tinggi-tinggi, ia mengangguk tiga kali ke arah istana.

   Barisan tentara heran melihat gerak-gerik jenderal itu.

   Setelah menjalan penghormatan seperlunya, Bu Wi-yang tampil ke muka panggung dan merentang sengci.

   Mulailah ia berseru nyaring.

   "Berhenti semua, dengarkan sengci!"

   Waktu Bu Wi-yang membaca sampai pada kalimat Thiat-mo-lek dan kawan-kawan harus diusir dari lapangan, tak boleh ikut dalam pertandingan, gegap-gempitalah suara orang bersorak di bawah panggung.

   Thiat-mo-lek dan Khik-sia saling berpandangan dengan tertawa.

   "Suhengmu itu benarbenar luar biasa. Masakan sengci pun dapat ia curi. Jika saat ini kita tak berlalu, mau tunggu kapan lagi?"

   Bisik Thiat-mo-lek.

   Dalam pertempuran tadi, baik pihak tentara negeri maupun pihak orang gagah, sama-sama menderita kerugian.

   Menghadapi rombongan Thiat-mo-lek yang sudah mendapat kebebasan itu, terpaksa Bu Wi-yang, Ceng-ceng-ji dan kaki tangannya, terpaksa hentikan rintangannya.

   "Ah, tak usah kalian usir, memang aku sendiri mau pergi!"

   Teriak Thiat-mo-lek.

   Dengan terjadinya insiden dalam Eng-hiong-tay-hwe itu, sebagian besar orang gagah yang hadir sudah tak mempunyai kegembiraan lagi.

   Apalagi penyelenggara pertandingan Cin Siang ditangkap.

   Semua orang sudah tak bernafsu untuk ikut dalam pertandingan lagi.

   Ya, walaupun sengci meminta yang lain-lain supaya tetap tinggal.

   Maka begitu Thiat-mo-lek dan kawan-kawan angkat kaki, sebagian besar orang gagah itu pun sama mengikutinya pergi.

   Eng-hiong-tay-hwe yang disiapkan dalam waktu yang lama, akhirnya dalam beberapa kejap saja berantakan .....

   Gelombang yang satu surut, gelombang yang lain datang.

   Tentara di dalam lapangan sudah hentikan serangannya, sebaliknya pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, tak mau membuka pintu.

   Ternyata pasukan Gi-lim-kun sudah kompak dan Bu Wi-yang tak berdaya menguasai mereka lagi.

   Setelah Cin Siang ditangkap, Poan Ting-wan yang menjabat sebagai Hou-ya-to-wi otomatis mengcover pimpinan Gi-lim-kun.

   Pimpinan Poan Ting-wan itu dapat diterima dan disambut baik oleh anak buah Gi-lim-kun.

   Sebagai seorang yang berpengalaman, sekali lihat tahulah dia bahwa sengci itu tentu palsu.

   "Celaka, menilik gelagatnya Bu tayjin itu tentu menerima tekanan. Siapa yang tahu sengci itu palsu atau tulen? Masih ingatkah kalian apa yang dikatakan Bu tayjin tadi? Di perintahkan kita menjaga keras pintu ini, tak boleh lepaskan orang. Atau nanti kita bakal menambah dosa Cin thong-leng. Tadi karena melihat Toh Hok-wi hendak lepaskan musuh, Bu tayjin telah memanahnya mati. Sekarang keadaannya bukankah seperti Toh Hok-wi juga? Turut pendapatku, lebih baik jangan membuka pintu. Kita kirim seorang kawan untuk meminta keterangan pada Tiong-su-sim (sekretariat kerajaan). Jika sengci itu memang dikeluarkan baginda, rasanya masih belum terlambat kita buka pintu,"

   Katanya.

   Seperti telah dikatakan di bagian atas, pasukan Gi-lim-kun pecah menjadi dua blok.

   Yang satu mendukung pernyataan Cin siang supaya jangan bermusuhan dengan kawanan orang gagah.

   Blok kedua cenderung pada pendirian.

   untuk menebus dosa pemimpin mereka (Cin Siang), mereka harus membuat jasa membantu pemerintah menangkap pemberontak.

   Kedua pihak sama-sama untuk kepentingan Cin Siang, hanya caranya berbeda.

   Saat itu kedua blok itupun sudah mulai ramai berdebat tentang sengci.

   Tetapi blok yang kedua itu, dipimpin oleh Poan Ting-wan sendiri.

   Ia pandai mengemukakan pendiriannya maka pengikutnya bertambah banyak dan menang angin.

   Namun blok yang cenderung untuk membuka pintu juga mempunyai alasan yang teguh.

   "Kalau sengci itu tulen dan kita berayal membuka pintu, apakah tidak akan mencelakai kita semua?"

   Kedua-duanya sama mempunyai alasan kuat, sehingga belum dapat diputuskan.

   Mereka tetap siapkan busur dan pintu tetap belum dibuka.

   Ada sementara anak buah Toh Hok-wi, karena sakit hati pemimpinnya dibunuh Bu Wi-yang, saat itu menyusup ke dalam barisan dan berteriak-teriak.

   "Bu Wi-yang terang ditekan pemberontak yang memalsu sengci. Jika dia berani memaksa buka pintu, panah saja biar, mampus, habis perkara!"

   Wajah Bu Wi-yang pucat seketika. Dengan suara parau ia berseru.

   "Sengci ini asli, sengci ini asli!"

   Tetapi anak tentara tak mau percaya, mereka tetap berdebat beramai.

   Karena yang mengetahui palsu tulennya stempel senci itu hanyalah Cin Siang dan Ut-ti Pak.

   Anak buah Gi-lim-kun itu, satu pun tak ada yang pernah melihat cap kaisar atau cap kerajaan.

   Apalagi Bu Wi-yang tak dapat memperlihatkan sengci itu satu persatu kepada anak tentara yang mempunyai kecurigaan itu.

   Dalam keadaan serba sulit itu, tiba-tiba Gong-gong-ji lepaskan Bu Wi-yan terus lari menuju ke muka barisan Gi-lim-kun.

   Disitu ia berseru lantang.

   "Aku masih mempunyai sebuah sengci khusus untuk Gi-lim-kun. Bukankah kalian hendak mengetahui berita tentang Cin thongleng kalian? Nah, diamlah!"

   Banyak dari anak buah Gi-lim-kun yang kenal pada Gong-gong-ji.

   Tahu bahwa Gong-gong-ji itu pencuri nomor satu di dunia.

   Sudah tentu mereka makin tak percaya pada perkataannya.

   Tetapi karena anak buah Gi-lim-kun itu amat memikirkan keadaan Cin Siang, begitu mendengar tentang berita pemimpinnya itu, mereka terpaksa diam mendengarkan juga.

   "Cin Siang dan Ut-ti Pak telah dibebaskan oleh baginda dan Eng-hiong-tay-hwe ini tetap dipimpin oleh Cin Siang. Sekarang Cin tayjin masih menghadap Baginda di istana, belum dapat segera datang kemari. Baginda telah mengeluarkan sengci, suruh kalian menurut perintah Cin tayjin!"

   Teriak Gong-gong-ji. Anak buah Gi-lim-kun yang belum kenal siapa Gong-gong-ji itu, sama bersorak girang.

   "Bagus, bagus!"

   Tetapi anak buah yang sudah kenal Gong-gong-ji, menolak.

   "Kami tak percaya segala sengci. Sekalipun ada sengci yang dibubuhi cap kaisar, tetapi siapa berani memastikan kalau bukan kau yang mencurinya?"

   Bu Wi-yang terkesiap, pikirnya.

   "Anak buah Gi-lim-kun itu benar-benar lihay dan luas pandangannya. Apa yang kupikir mereka pun dapat menyangkanya. Ah, rupanya hari ini aku sudah ditakdirkan mati. Tidak di tangan Gong-gong-ji tentu di bawah hujan panah Gi-lim-kun!"

   Tetapi biasanya orang tentu suka mendengar berita yang girang. Meskipun anak buah Gi-limkun itu curiga, namun mereka diam-diam mengharap supaya sengci itu tulen saja. Salah seorang segera berseru.

   "Kecuali sengci, apakah kau membawa bukti lain lagi? Menilik ucapanmu, rupanya kau sudah berjumpa dengan Cin thongleng. Apakah kau membawa suratnya? Kami cukup mengenali tulisannya."

   Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak.

   "Memang telah kuduga bahwa kalian tentu tak mau percaya pada sengci, maka akupun segan memperlihatkan padamu. Tentang surat dari Cin thongleng, aku sih tak membawa, tetapi ...."

   "Tetapi apa?"

   Karena tak sabar lagi anak buah Gi-lim-kun berebutan berteriak. Tiba-tiba Gong-gong-ji mencabut sebatang "kim-kiam"

   Dan dimain-mainkan di hadapan Gi-limkun, serunya.

   "Lihatlah sejelas-jelasnya! Apakah kalian kenal senjata milik siapa ini?"

   Cin Siang mempunyai dua buah pusaka. seekor kuda bulu kuning dan sebatang kim-cong-kian. Kuda tak selamanya dibawa, tapi senjata tentu dibawa bareng kemana ia pergi.

   "Hai, itulah kim-kian pusaka Cin thongleng!"

   Serentak gemparlah anak buah Gi-lim-kun berseru. Gong-gong-ji tertawa keras.

   "Kalian sudah melihat jelas? Sudah mau mempercayai omonganku? Pikirlah. Cin tayjin saat ini sedang menunggu untuk menghadap baginda, mana ia ada waktu menulis surat untuk kubawa? Waktu aku bertemu padanya, ia lantas menarik aku, ujarnya. Bagus Gong-gong-ji, kebetulan sekali kau datang. Larilah secepat-cepatny, bawalah kimkianku ini selaku bukti. Bahwa baginda telah membebaskan aku dari kedosaan. Suruh anak buahku itu mendengar perintah sengci, jangan sekali-kali membikin susah kawan-kawanku lama itu."

   Stempel kaisar mungkin aku Gong-gong-ji berani mencuri, tetapi kim-kian Cin tayjin mana aku berani turun tangan? Taruh kata aku berani mencarinya, pun tak nanti mampu. Bagaimana, kalian percaya tidak? Mau tidak membuka pintu?"

   Gi-lim-kun menjunjung sekali pada Cin Siang dan mengindahkannya. Kata-kata Gong-gong-ji itu dapat mengetuk hati anak buah Gi-lim-kun. Sebagian besar berpendapat begini.

   "Benar, Cin thongleng memang tiada yang menandingi. Walaupun Gong-gong-ji termasyhur sebagai pencuri sakti di kolong jagad tetap tak nanti dapat mengambil senjata Cin thongleng."

   Di samping itu, banyak anak buah Gi-lim-kun yang tahu betapa baik hubungan Thiat-mo-lek dengan Cin Siang.

   Malah ada beberapa orang Gi-lim-kun yang dahulu bekas kawan kerja Thiatmo- lek.

   Pintarnya Gong-gong-ji merangkai cerita menyebabkan juga beberapa opsir Gi-lim-kun yang cermat, menjadi ragu-ragu juga, jangan-jangan Cin Siang memang memesan begitu.

   Adanya beberapa faktor itu, menyebabkan keterangan Gong-gong-ji mendapat sambutan baik.

   Anak tentara merupakan suatu kesatuan.

   Mereka mudah sekali memberi reaksi pada sesuatu hal.

   Mendengar berita baik dan melihat senjata kim-kian Cin Siang seketika mereka berjingkrakjingkrak kegirangan.

   Ada yang berseru.

   "Benar, memang sebenarnya Cin thongleng hendak mengikat persahabatan dengan orang-orang gagah di seluruh negeri, itulah perbuatan kawanan dorna yang hendak mengacaukan Eng-hiong-tay-hwe ini dengan mengadakan gerakan menangkap pemberontak." Yang lain berkata.

   "Thiat-to-wi (Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai Hou-ya-towi) dahulu baik sekali kepada kita. Sekalipun ada sengci, tak seharusnya kita membikin susah padanya. Apalagi dia seorang sahabat baik dari Cin thongleng."

   "Kali ini tentu tak salah lagi. Buka pintu, buka pintu!"

   Akhirnya anak buah Gi-lim-kun serempak sama berseru.

   Poan Ting-wan yang lebih berpengalaman dan lebih dapat berpikir tenang, mengetahui juga bahwa dalam keterangan Gong-gong-ji itu terdapat beberapa kelemahan.

   Tetapi karena anak buah Gi-lim-kun seluruhnya sudah setuju membuka pintu iapun tak dapat menghalanginya lagi.

   Maka pada saat itu sudah ada beberapa anak buah Gi-lim-kun memalu rantai besi ke enam pintu.

   Khik-sia girang dan menghampiri toakonya.

   "Mari kita jalan, toako."

   Tetapi bukannya mengiyakan, sebaliknya Thiat-mo-lek malah mendampratnya.

   "Tidak! Kita harus mengalah pada lain-lain saudara dulu. Memikirkan lain orang dulu baru memikirkan diri sendiri. Petuah ayahmu di masa hidupnya, apa kau sudah lupa?"

   Khik-sia merah mukanya dan mengiyakan.

   Begitu pintu terbuka maka berebutanlah sekalian orang-orang gagah keluar.

   Waktu Gong-gong-ji melihat Wi Gwat dan Shin Ci-koh sedang menghampiri kepadanya, buruburu ia hendak menyusup masuk ke dalam gelombang manusia itu.

   Tetapi tiba-tiba sebuah tangan menghadang dan menariknya.

   Itulah Thiat-mo-lek.

   "Gong-gong cianpwe, apa kau takut tak dapat lari keluar? Sutemupun berada di sini. Dalam peristiwa hari ini, aku sungguh berterima kasih sekali padamu."

   Dalam pada itu Khik-sia pun datang memberi hormat kepada suhengnya itu. Gong-gong-ji akrab sekali dengan Thiat-mo-lek dan Khik-sia adalah sute yang paling dikasihinya. Sudah tentu ia tak dapat berkutik lagi.

   "Gong-gong cianpwe, bagaimana caramu mendapatkan kim-kian itu? Bagaimana keadaan Cin Siang dan Ut-ti Pak?"

   Tanya Thiat-mo-lek. Gong-gong-ji membisikinya.

   "Urusan ini dapat mengelabuhi lain orang, kecuali kau. Ya, sudah tentu kucurinya."

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagaimana kau dapt menemui Cin toako,"

   Tanya Thiat-mo-lek pula.

   "Ada seseorang memberitahukan padaku bahwa kereta pesakitan itu belum tiba di istana, maka buru-buru kukejar."

   "Jadi, kau rampas kereta itu? Apa Cin toako setuju?"

   Gong-gong-ji tertawa.

   "Kupaksa pengawal untuk membelokkan arah tujuan kereta pesakitan. Sekarang Cin Siang sudah berada di dalam rumahnya sendiri. Untuk mencuri kim-kian Cin Siang, aku harus menerima dua buah pukulannya. Untung kulitku tebal sekali."

   Kedatangan Gong-gong-ji ke kotaraja Tiang-an itu ternyata karena hendak menyelidiki kedua sutenya.

   Seorang dengan wajahnya yang aneh itu ia enggan menggabungkan diri masuk ke dalam lapangan.

   Ia hanya akan mengetahui tempat beradanya kedua sutenya, kemudian akan menemuinya sendiri-sendiri.

   Ada dua hal yang hendak ia lakukan.

   Pertama, ia hendak memberi jeweran pada Ceng-ceng-ji.

   Kedua, hendak menurunkan ilmu kepandaian baru kepada Khik-sia.

   Ilmu silat itu ia ciptakan sendiri, sejak ia berpisahan dengan Khik-sia selama beberapa tahun ini.

   Hari itu ia menunggu di sebuah the-koan (kedai minum) di dekat lapangan.

   Begitu kedua sutenya keluar, ia akan mengikuti mereka.

   Diluar dugaan, ia berjumpa dengan dua orang kenalan, ialah Liong Seng-hiang, si nona penjual silat yang menjadi murid kepala Shin Ci-koh, dan ayah angkat si nona.

   Setelah memberi laporan pada suhunya, Liong Seng-hian mengharap suhunya akan dapat menolong sumoay, Khik-sia dan lain-lain keluar dari lapangan sebelum pintu besi ditutup.

   Tetapi sampai menjelang siang hari, sang suhu tetap belum tampak keluar.

   Ia sendiri tak berani mendekati lapangan, tetapi ia dapat menduga bahwa pintu gerbang tentu sudah ditutup dan di dalam lapangan sudah berlangsung gerakan menangkap pemberontak.

   Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya sibuk, terpaksa mereka beristirahat dulu di sebuah the-koan itu agar dapat menyirapi berita-berita.

   Bahwa di situ mereka dapat berjumpa dengan Gong-gong-ji, girang mereka seperti mendapat lotere.

   Benar Gong-gong-ji itu selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari Shin Ci-koh, tetapi dengan wanita itu ia pernah mempunyai ikatan hati yang dalam, yang sampai saat itu tak dapat ia lupakan.

   Ia ajak Liong Seng-hiang ke tempat sepi untuk menanyakan tentang keadaan suhunya.

   Apa yang diceritakan Liong Seng-hiang, membuatnya terkejut sekali.

   Di dalam daftar Sepuluh Pemberontak itu, terdapat seorang sute dan dua sahabat karib Gonggong- ji (Thiat-mo-lek dan Co Ping-gwan).

   Sudah tentu ia tak dapat berpeluk tangan lagi.

   Tetapi pintu besi sudah tertutup, betapa lihay kepandaiannya, tetap tak dapat menembus masuk.

   Selagi ia putar otak cari akal, kebetulan kereta pesakitan yang membawa Cin Siang dan Ut-ti Pak, didorong keluar dan lalu didekatnya.

   Gong-gong-ji cerdas sekali.

   Begitu melihat hal itu, segera ia dapat menduga tentang sebab ditangkapnya Cin Siang dan Ut-ti Pak.

   Dan secepat itu pula ia mendapat pikiran.

   Dikuntitnya kereta itu.

   Tiba di tempat yang sepi, ia segera loncat ke atas kereta dan menguasai kedua opsir yang mengawal.

   Tetapi betapapun Gong-gong-ji membujuk dan menjamin Cin Siang tentu dapat terlolos dari bahaya, namun Cin Siang tak mau mempercayainya.

   Demikianlah keduanya bertempur di atas kereta.

   Untung karena mendongkol terhadap tindakan sewenang-wenang dari kerajaan, Ut-ti Pak tak mau mengeroyok Gong-gong-ji.

   Karena hampir setengah hari diborgol, gerakan Cin Siang tak selincah Gong-gong-ji.

   Pada saat ia putuskan borgolan tangannya, Gong-gong-jipun secepat kilat sudah menutuk jalan darahnya.

   Tapi sekalipun begitu, ia masih tetap harus menerima dua buah tinju Cin Siang, baru dapat membuatnya tak berdaya.

   Ut-ti Pak pun sekalian ditutuknya juga.

   Gong-gong-ji gunakan ilmu tutuk ciong-chiu-hwat (keras).

   Ia perkirakan dalam dua jam jalan darah itu tentu sudah dapat terbuka sendiri.

   Maka ia tak mau buang tempo.

   Dirampasnya kim-kian Cing Siang lalu perintahkan Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya mendorong kereta ke rumah Cin Siang.

   Setelah itu Gong-gong-ji bergegas-gegas menuju ke istana.

   Dengan ginkangnya yang lihay, walaupun di tengah hari bolong, dapat juga Gong-gong-ji masuk ke istana.

   Di sebuah kamar dari salah seorang selir, dapatlah Gong-gong-ji menjumpai Li Hing.

   Bermula Gong-gong-ji hendak paksa kaisar itu menulis surat pembebasan untuk Sepuluh Pemberontak dan merehabilitar kedudukan Cin Siang dan Ut-ti Pak.

   Tetapi di luar dugaan, Li Hing itu bernyali kecilm melihat wajah Gong-gong-ji yang aneh, pingsanlah ia seketika.

   Gong-gong-ji tak dapat berbuat apa, terpaksa ia hanya mengambil stempel kaisar itu.

   Tanpa memikirkan lagi apakah sengci itu harus dicap kerajaan atau cukup hanya dengan stempel kaisar saja, ia terus ngacir pergi.

   Ia mencari seorang tukang tulis yang berada di pinggir jalan.

   Dengan diancam hendak dibunuh tetapi pun diberi sekeping emas, ia paksa tukang tulis itu membuat sebuah sengci.

   Sengci palsu inilah yang menimbulkan kecurigaan Bu Wi-yang, namun ia terpaksa mengindahkan juga.

   Singkat jelas Gong-gong-ji menuturkan petualangannya itu kepada Thiat-mo-lek.

   Thiat-mo-lek geli tapi pun kuatir juga, ujarnya.

   "Urusan ini hanya dapat bertahan untuk sementara, akhirnya toh akan ketahuan juga. Kalau sampai ketahuan bukankah akan lebih memberatkan dosa Cin Siang dan Ut-ti Pak?"

   "Jangan kuatir! Kaisar itu takut mati, masakan ia tak kuatir nanti aku mencarinya lagi?"

   Enak saja Gong-gong-ji menyahut dengan tertawa.

   "Thiat toako, mereka sudah keluar semua, tapi aneh mengapa Toh siok-siok tak kelihatan?"

   Kata Khik-sia. Thiat-mo-lek menyuruhnya segera mencari mereka. Tiba-tiba Gong-gong-ji berseru.

   "Hai, itu si Ceng-ceng-ji juga disitu. Aku hendak menghukum suteku yang murtad itu."

   Benarkah Gong-gong-ji akan menghukum sutenya? Tidak! Yang benar saat itu ia melihat Wi Gwat dan Shin Ci-koh mendatangi, maka dengan alasan menangkap Ceng-ceng-ji, ia lantas menyingkir pergi.

   "Ha, Gong-gong-ji, sahabat lama datang, mengapa kau mau mengumpet?"

   Wi Gwat sudah menegurnya dengan tertawa gelak-gelak. Wi Gwat menghadang Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh pun tiba di sampingnya, wanita itu tertawa.

   "Telah kutampar muka Ceng-ceng-ji, tak usah kau menghukumnya lagi."

   Karena dikepung oleh beberapa orang, terpaksa Gong-gong-ji menjumpai Shin Ci-koh.

   "Gong-gong-ji, kau benar-benar giat berusaha untuk kepentingan sahabat,"

   Kembali Shin Ci-koh tertawa. Gong-gong-ji membeliakkan mata, serunya.

   "Bagaimana, apakah menurut anggapanmu aku tak seharusnya membantu sahabat?"

   Shin Ci-koh tersenyum.

   "Perangaimu masih pemarah seperti dahulu. Aku toh belum menghabiskan kata-kataku. Kau giat membantu sahabat, itu untuk kebaikanmu juga. Memberi selamat saja belum sempat mengapa aku harus menyalahkan kau? Tetapi aku sungguh tak mengerti, mengapa kau selalu melupakan seorang sahabatmu?"

   "Siapa?"

   Tanya Gong-gong-ji.

   "Apa. Aku ini bukan sahabatmu? Bertahun-tahun ini kau mondar-mandir dari selatan ke utara untuk mencuri kangtau (obyek), hanya saja tak pernah mencari aku! Tahukah kau, betapa susah payahku mencarimu?"

   Shin Ci-koh gunakan lwekang sakti untuk menstreamlinekan (mempersatukan sekecil mungkin) suaranya, hingga Gong-gong-ji seorang yang dapat mendengar, lain-lain orang tidak.

   Merahlah wajah Gong-gong-ji.

   Tanpa merasa ia berjalan bahu-membahu dengan Shin Ci-koh, tinggalkan Thiat-mo-lek dan Wi Gwat.

   Diam-diam Wi Gwat geli dan yakin pencomblangannya tentu berhasil.

   Sekarang mulailah cair ketakutan Gong-gong-ji terhadap Shin Ci-koh.

   Diam-diam ia menyesal dahulu telah salah sangka kepada wanita itu.

   "Berpuluh tahun kita berpisah, tapi tampaknya kau masih seperti dulu,"

   Gong-gong-ji memulai pembicaraannya.

   "Aku sih hampir berumur 40 tahun. Ketika aku berjumpa padamu, waktu itu aku baru berumur 18 tahun. Ah, dalam sekejap mata saja sudah 20-an tahun,"

   Jawab Shin Ci-koh. Gong-gong-ji tertawa.

   "Ya, memang hari cepat sekali jalannya. Waktu itu kau masih memelihara kuncir. Tetapi wajahmu sekarang tak banyak berubah seperti dulu. Dalam pandanganku, kau masih tetap serupa si nona kecil yang nakal dahulu itu. Ci-koh, aku pun tak dapat melupakan kau. Hanya rupanya nasib belum mengijinkan hingga aku tak dapat menjumpaimu."

   Gong-gong-ji bukan saja hebat dalam hal muslihat, tapi ternyata pun seorang ahli merayu.

   Kata-katanya itu sebagian memang benar, tapi sebagian salah.

   Bahwa ia tak dapat melupakan Shin Ci-koh itu memang sungguh.

   Tapi bahwa nasib belum mengijinkan bertemu itu tidak benar.

   Bukan nasib, tetapi dia sendiri memang yang ketakutan bertemu Shin Ci-koh.

   "Berapa kodi tahun (20 tahun) manusia dapat mengenyam dalam hidupnya? Kau mau suruh aku tunggu lagi 20 tahun baru kau mau menjumpai aku?"

   Pengakuan Shin Ci-koh itu membuat hati Gong-gong-ji tergerak juga. Tapi kalau membayangkan bahwa begitu menikah, tentu bakal dikekang kebebasannya, Gong-gong-ji bersangsi lagi. Tiba-tiba Shin Ci-koh tertawa.

   "Gong-gong-ji, kau manusia yang tak takut pada segala setan belang tapi ternyata takut pada sesuatu."

   "Apa yang kutakuti?"

   Tanya Gong-gong-ji.

   "Kau sudah tahu sendiri, mengapa perlu bertanya. Sebenarnya yang kau takuti belum tentu menakutkan seperti yang kau bayangkan!"

   Berkata sampai di situ, sepasang pipi Shin Ci-koh bersemu merah.

   Matanya berlinang-linang penuh dengan air mata asmara.

   Gong-gong-ji tahu juga arti sikap kekasihnya itu.

   Sekarang mari kita tinggalkan dulu sepasang kekasih tua yang sedang berkasih-kasihan itu.

   Berturut-turut muncullah Wi Gwat, Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jin dan adik, In-nio, Yak-bwe, Bik-hu dan lain-lain, tetapi hanya Toh Peh-ing yang tetap belum kelihatan.

   Tak berapa lama Khiksia datang dan mencarinya kemana-mana, namun Toh Peh-ing tetap tak diketemukan.

   Selagi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan kebingungan, tiba-tiba seekor kuda lari menyusur jalur jalanan di tengah lapangan.

   Penunggangnya seorang thaykam (orang kebiri).

   Ia menuju ke arah Poan Ting-wan dan berseru keras.

   "Siapa suruh kalian buka pintu? Lekas tutup lagi!"

   Ting-wan terkejut, serunya.

   "Ada, ada sengci ...."

   "Tolol, itu sengci palsu!"

   Thaykam itu membentaknya keras-keras.

   Poan Ting-wan merah mukanya.

   Ia congkel rantai besi dengan tombaknya dan pintu besi yang ribuan kati beratnya itupun tertutup lagi.

   Opsir penjaga pintu pintu lainnya, pun berbuat demikian.

   Seketika enam buah pintu gerbang, tertutup lagi! Para orang gagah yang masih ketinggalan di dalam lapangan hanya tinggal dua tiga bagian, sebagian besar sudah sama keluar.

   Di antara yang tertutup di dalam itu, terdapat sebagian anak buah Ceng-ceng-ji.

   Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pun masih belum keluar.

   Gong-gong-ji marah dan hendak meringkus si thaykam (orang kebiri).

   Tetapi pasukan Gi-limkun sudah melindunginya dengan cepat.

   "Gong-gong cianpwe, jangan terlalu mengumbar kemarahan. Gi-lim-kun hanya melakukan perintah, mengapa harus menempur mati-matian?"

   Bu Wi-yang yang sudah kembali ke dalam pasukannya segera unjuk kegarangan.

   "Bagus, kalian kawanan pemberontak berani membuat amanat palsu tentuk tak dapat diberi ampun lagi!"

   Sambil lempar sebatang belati beracun, Gong-gong-ji membentaknya.

   "Bu Wi-yang, kalau berani kemarilah!" Jaraknya lebih dari 100-an langkah dan dipagari pula oleh pasukan Gi-limkun, namun ketika belati itu meluncur turun dari udara, arahnya tepat ke batok kepala Bu Wi-yang. Bu Wi-yang buru-buru indungkan sepasang kaitnya ke atas kepala. Trang, sebuah gigi dari kait kirinya putus terbabat belati. Belati masih menggelincir ke samping, menyusup dada seorang pengawal, masih pula menggurat lengan seorang pengawal lagi. Pengawal pertama mati seketika, pengawal kedua menjerit kesakitan dan menggeletak ke tanah. Wajahnya berwarna hitam, mata, hidung, telinga dan mulutnya mengluarkan darah. Bu Wi-yang copot nyalinya. Buru-buru ia ngacir ke belakang barisan. Poan Ting-wan memberi komando dengan gerakan panji dan menyerbulah pasukan Gi-lim-kun kepada rombongan Thiat-mo-lek.

   "Sesama saudara mengapa saling gontok-gontokan?"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru Thiat-mo-lek.

   Ia terpaksa putar pedangnya.

   Dalam sekejap saja ia dapat memecahkan belasan theng-pay dan mengutungkan berpuluh tombak lawan.

   Tapi ia tetap membatasi diri.

   Senjata dan alat pelindung diri theng-pay hancur namun tiada seorang pun dari anak buah Gi-lim-kun itu yang terluka.

   Pasukan Gi-lim-kun tahu bahwa kegagahan Thiat-mo-lek itu tidak di bawah pemimpin mereka (Cin Siang).

   Apalagi mengingat hubungan mereka dengan Thiat-mo-lek dahulu, maka mereka pun hanya mengepung dari jarak beberapa tombak saja, tak mau mendesak rapat.

   Melihat situasi menguntungkan pihaknya, Bu Wi-yang segera ajak barisan pengawalnya untuk meninjau pertempuran.

   Ia memberi perintah supaya Gi-lim-kun lepaskan anak panah.

   "Awas, kalau orangku ada satu saja yang terluka, aku tentu minta ganti jiwa seratus orangmu!"

   Gong-gong-ji memberi peringatan.

   Pasukan Gi-lim-kun sudah menyaksikan kelihayan tokoh itu dan tahu apa yang diucapkan itu tentu dijalankan sungguh.

   Disebabkan oleh rasa jeri mereka terhadap Gong-gong-ji dan Thiat-molek serta rasa memandang rendah pada pribadi Bu Wi-yang, maka anak buah Gi-lim-kun itupun tak mau melakukan perintah Bu Wi-yang.

   Sekalipun begitu mereka tak mau kendorkan kepungannya.

   Bu Wi-yang mendongkol sekali, tetapi tak dapat berbuat apa-apa.

   Selagi kedua pihak dalam keadaan stand-by (bersiap), tiba-tiba terdengar suara genderang dan teriakan orang.

   "Tiang Lok kong-cu datang!"

   Pintu tengah terbuka dan masuklah dua rombongan pengawal istana diiringi sebuah kereta kerajaan. Pelopor barisan kehormatan itu, seorang opsir yang menunggang kuda tegar. Begitu masuk ke lapangan, berserulah ia.

   "Bu Wi-yang, Poan Ting-wan, lekas menghadap tuan puteri!"

   Kedatangan rombongan puteri Tiang Lok kongcu itu, menggemparkan suasana lapangan.

   "Apakah puteri juga ingin menyaksikan pertandingan? Tapi mengapa tak memberitahukan lebih dahulu?"

   Pikir Bu Wi-yang.

   Puteri Tiang Lok adalah puteri bungsu dari baginda Tong Hian-cong, jadi adik perempuan dari baginda Li Heng yang sekarang ini.

   Ketika baginda Hian-cong masih memerintah, pendekar pedang wanita nomor satu Sun Toa-nio pernah masuk ke istana dan memberi pelajaran ilmu pedang pada puteri Tiang Lok.

   Dan sejak itu puteri berguru pada pendekar wanita itu.

   Pada masa pemberontakan An Lok-sian dan Su Khik-hwat, Li Heng mengganti ayahandanya.

   Ia mencarikan suami untuk adik perempuannya itu.

   Tetapi sayang hu-ma (menantu raja) itu tak berumur panjang dan sejak itu puteri Tiang Lok menjadi janda muda.

   Puteri Tiang Lok sering tinggal di istana.

   Karena adiknya itu pandai ilmu surat dan silat dalam banyak hal Li heng tentu mendengar advisnya.

   Dalam sejarah kerajaan Tong, urusan pemerintahan dikuasai oleh puteri raja, bukan hal yang baru.

   (Misalnya puteri dari ratu Bu Cek-thian yang bernama Thay Ping kong-cu juga bertahuntahun memegang tampuk pemerintahan).

   Sekalipun puteri Tiang Lok tak berbuat seperti Thay Ping kongcu tersebut, namun sampai dimana pengaruh dan kekuasaan dalam istana, semua menteri sama-sama mengetahui.

   Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi juga paling jeri berhadapan dengan puteri itu.

   Tidak demikian dengan Thiat-mo-lek.

   Ia mempunyai kenangan yang tak dapat dilupakan dengan tuan puteri itu.

   Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia masih menjabat sebagai si-wi (pengawal istana), ia bergaul intim sekali dengan puteri itu.

   Tiang Lok kongcu menganggapnya sebagai orang kepercayaan dan Thiat-mo-lek pun dapat membatasi dirinya.

   Jika dalam negeri tak terjadi peristiwa yang menggoncangkan, tentu baginda Hian-cong sudah mengangkat Thiat-mo-lek sebagai menantunya.

   "Adakah puteri datang karena aku?"

   Pikir Thiat-mo-lek. Pada saat itu Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan sudah berlutut di hadapan kereta. Ketika kain pintu kereta tersingkap, ternyata benar Tiang Lok kongcu.

   "Kalian sungguh bernyali besar. Mengapa tak menurut sengci?"

   Begitu membuka mulut Tiang Lok kongcu sudah mendamprat mereka.

   "Sengci yang mana?"

   Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan tercengang.

   "Sengci yang menyatakan bahwa selama dalam pertandingan tak boleh melakukan penangkapan. Mengapa kalian berbuat semaunya sendiri? Baginda suruh Gong-gong-ji yang membawa sengci itu, apakah belum dibacakan pada kalian?"

   "Jadi sengci itu tulen?"

   Bu Wi-yang berseru kaget.

   "Budak bernyali besar, siapakah yang berani memalsu tulisan dan cap baginda? Tampar mulutmu!"

   Bentak Tiang Lok kongcu. Bu Wi-yang benar-benar diselubungi keheranan. Terang sengci itu palsu, tetapi mana ia berani berdebat dengan puteri? Tetapi pada lain kejap, ia mendapat pikiran.

   "Tadi karena hendak menyelamatkan jiwa, aku sudah mengakui sengci Gong-gong-ji. Untuk itu terang aku bakal menerima hukuman. Tak nyana sekarang kongcu menyatakan kalau sengci itu tulen. Ah, tak peduli bagaimana, itu persoalan kongcu sendiri, tapi yang nyata hal itu menguntungkan aku. Kalau dipersalahkan, baginda tentu bukan melainkan menghukum aku sendiri, pun kongcu juga. Asal aku dapat menjaga jangan sampai diturunkan pangkat, apa sakitnya kutampar mukaku sendiri?"

   Plak, plok, ia menampar mukanya sendiri sampai beberapa puluh kali, selaku menurut perintah kongcu. Gong-gong-ji heran, tapi pun geli. Batinnya.

   "Sungguh di luar dugaan sekali. Aku telah melakukan kebohongan besar, kongcu malah membenarkan kebohongan itu. Ha, ha, cap baginda memang tulen, tapi tulisan baginda itu sebenarnya palsu. Kongcu tentu tak tahu kalau tulisan itu kusuruh buatkan oleh seorang juru tulis pinggir jalan."

   Poan Ting-wan lebih serius, ia memberanikan diri bertanya.

   "Hatur beritahu pada kongcu, tadi Ong kongkong juga datang membawa sengci saat ini ia masih ada di sini. Apakah kongcu tak mau menanyainya?"

   Thaykam yang disebut Ong Kong-kong itu tercengang. Tersipu-sipu ia tampil menghadap.

   "Sengcu yang hamba bawa tadi itu, seperti ..... seperti berlainan."

   "Apanya yang lain?"

   Tanya Tiang Lok kongcu.

   "Tujuannya tidak ada perubahan ialah maih menitahkan Bu Wi-yang melaksanakan sengci semula. Itu, itu, itu Gong-gong-ji ....."

   Orang kebiri itu tak berani menyatakan apa-apa karena tadi puteri sudah mengatakan bahwa sengci yang dibawa Gong-gong-ji itu tulen. Ia takut kalau disuruh menampar mulut seperti Bu Wiyang tadi.

   "Kasih lihat sengcimu itu padaku!"

   Tukas Tiang Lok kongcu. Ong thaykam terbeliak kaget, buru-buru ia berkata.

   "Baginda hanya menitahkan aku secara lisan, tidak memakai tulisan."

   Ternyata karena ketakutan digertak Gong-gong-ji, baginda Li Heng sampai pingsan.

   Ketika ia ditolong oleh hamba sahaya, barulah ia mengetahui kalau capnya hilang.

   Ia gusar sekali dan segera menitahkan Ong thaykam yang menjadi kepala orang kebiri untuk menyiarkan perintahnya.

   Saking keburu nafsu dan capnya hilang, maka ia hanya memberi perintah dengan lisan saja.

   Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan mau percaya karena sudah kenal dengan kepala thaykam itu.

   "Hm, hampir setengah harian mengatakan sengci, kiranya tidak ada buktinya sama sekali. Dengan begitu kau hendak memalsu sengci, terang kau diperalat kaum durna untuk mengacaukan kewibawaan kerajaan. Kerajaan hendak mencari orang pandai dan panglima gagah, tetapi kau menghendaki kerajaan kehilangan kepercayaan kepada sekalian orang gagah di seluruh dunia!"

   Diberondong dengan tumpukan kesalahan oleh Tiang Lok kongcu, pucatlah wajah thaykam itu. Buru-buru ia berkata.

   "Kongcu, wan ...."

   Sebenarnya ia hendak mengatakan Wan-ong (penasaran) untuk meminta keadilan, tapi sudah dibentak Tiang Lok yang memerintahkan pengawalnya supaya menyeret thaykam itu ke dalam istana.

   Opsir kepala barisan kehormatan secepat kilat sudah menutuk jalan darah thaykam itu hingga tak dapat berkutik lagi.

   Terus dimasukkan ke dalam kereta pesakitan dan didorong pergi.

   Khik-sia kagum atas kelihayan ilmu tutuk opsir itu.

   Anak buah Gi-lim-kun yang tak tahu tentang ilmu tutuk hanya mengira thaykam itu saking takutnya sampai jatuh pingsan sendiri.

   "Gi-lim-kun, mundur dan buka pintu!"

   Akhirnya Poan Ting-wan berseru. Karena memang segan bermusuhan dengan Thiat-mo-lek, pasukan Gi-lim-kun itu serentak mundur dengan gembira.

   "Siapakah yang bernama Thiat-mo-lek? Kongcu akan bicara,"

   Tiba-tiba si opsir kepala barisan kehormatan menghampiri.

   Thiat-mo-lek yang tercengang mengetahui kesudahan yang tak diduga-duga itu gelagapan.

   Tapi diam-diam ia seperti kenal dengan wajah dan suara opsir itu.

   Tetapi ia tak ingat siapa.

   Gong-gong-ji membisiki telinga Thiat-mo-lek dan menyerahkan sebuah barang.

   "Karena kongcu telah menolong kita akupun takkan membikin susah padanya. Tolong kau berikan benda ini padanya."

   Sudah 10-an tahun Thiat-mo-lek tak berjumpa dengan puteri itu.

   Walaupun ia tak berani memikirkan sesuatu yang jauh, namun ia tak dapat melupakan persahabatan mereka.

   Pelahan-lahan ia melangkah ke samping kereta.

   Pada saat itu puteri Tiang Lok pun menyingkap kain pintu dan tengah memandangnya.

   Thiat-mo-lek buru-buru menghaturkan terima kasih atas bantuan puteri itu.

   "Ai, mengapa kau begitu sungkan kepadaku? Budimu melindungi kami hijrah ke Sechwan, aku belum sempat menghaturkan terima kasih,"

   Tiang Lok kongcu tertawa. Untuk itu Thiat-mo-lek mengatakan hanya melakukan tugas jabatannya sebagai si-wi.

   "Berbicara tentang peristiwa yang lampau, adalah pihak keluargaku yang menyakiti hatimu. Apakah kau tak membenci?"

   Tanya kongcu.

   "Semoga dirgahayu dengan kerajaan! Apa yang diderita Thiat-mo-lek hanya soal kecil. Atas budi kecintaan kongcu, aku merasa berhutang terima kasih."

   "Sekarang Nyo Kok-tiong dan adik perempuannya sudah binasa dan ayahanda baginda Hancong sudah wafat. Apakah kau suka mengabdi kepada kerajaan lagi?"

   Thiat-mo-lek menghaturkan terima kasih tetapi ia menyatakan tak suka. Wajah kongcu tampak mengerut gelap. Sampai beberapa jenak baru ia bertanya.

   "Kalau begitu kau hendak pergi lagi?"

   Thiat-mo-lek mengiyakan.

   "Ya, apakah masih ada pertanyaan lagi yang kongcu hendak ajukan?"

   Puteri raja itu terdiam seperti memikirkan sesuatu. Kemudian tanyanya.

   "Dimana isterimu?"

   "Ia berada di desa."

   "Sudah berapa anakmu sekarang?"

   "Dua orang, satu laki-laki satu perempuan. Yang laki berumur 7 tahun, yang perempuan 5 tahun."

   Tiang Lok kongcu menghela nafas.

   "Tempo berjalan cepat sekali. Anakmu sudah begitu besar. Kau lebih bahagia dari aku. Aku mempunyai suami, tetapi siang-siang sudah meninggal. Aku tak punya keturunan, hidupku sepi sekali."

   Thiat-mo-lek merasa pilu juga. Ia memandang ke muka. Tampak puteri raja itu lebih kurus tapi lebih cantik dari dulu. Terkenang akan masa yang lampau, hati Thiat-mo-lek menjadi gundah. Sampai beberapa saat ia tak berkata.

   "Putera puterimu itu tentu menyenangkan sekali. Kelak apabila kau mengajaknya kemari, bawalah kepadaku. Hm, aku belum kenal dengan isterimu. Lebih baik kau ajak mereka pindah ke Tiang-an saja. Penghidupan berkelana yang kau tuntut selama ini, bukan jalan yang tenteram,"

   Kata kongcu.

   Ucapan itu mengandung arti, supaya Thiat-mo-lek pindah ke kota raja sehingga dapatlah mereka sering-sering berjumpa.

   Thiat-mo-lek tertawa rawan.

   Ia mengatakan bahwa dirinya masih dalam status sebagai orang buronan negara mana dapat pindah ke kota raja.

   "Aku telah mengatur semuanya. Jasamu terhadap raja dahulu, kerajaan belum memberi hadiah,"

   Kata Tiang Lok. Tetapi Thiat-mo-lek menyatakan ia tak menginginkan pemberian apaapa.

   "Kutahu kau tentu tak menginginkan pangkat, akupnun tak berani memaksa. Tetapi bagaimanapun kerajaan tetap akan membalas jasamu. Karena itu aku telah memohonkan kim-pay (piagam) bebas dari hukuman mati untukmu. Kim-pay ini, selayaknya kau harus menerima."

   Thiat-mo-lek menimbang bahwa dengan memiliki kim-pay itu, ia dapat terbebas dari berbagai kesulitan, pun keluarganya juga terhindar dari rongrongan pembesar setempat. Maka iapun menerimanya.

   "Dengan menyimpan kim-pay itu, keluargamu dapat pindah ke kotaraja sini,"

   Kata Tiang Lok kongcu.

   "Terima kasih kongcu. Aku pun hendak menghaturkan sebuah bingkisan kepada kongcu,"

   Kata Thiat-mo-lek.

   "Oh, kau juga mau memberi tanda mata padaku?"

   "Tetapi barang itu bukan milikku sendiri, harap kongcu jangan sesalkan aku."

   Kata Thiat-molek. Tiang Lok kongcu heran, tapi begitu menerimanya barulah ia mengerti kalau cap milik baginda yang dicuri Gong-gong-ji. Kongcu agak kecewa, tapi iapun lega juga karena benda itu amat berharga sekali bagi engkohnya.

   "Baik, dengan menyerahkan benda ini membuktikan bahwa kau tak mengandung maksud memberontak. Nanti di hadapan koko, akan kukatakan hal ini."

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Harap kongcu suka menyampaikan ucapan terima kasih Thiat-mo-lek kepada baginda, pula harap kongcu baik-baik menjaga diri."

   "Oh, kau hendak pergi? Kau ...."

   "Apakah kongcu hendak memberi pesan lagi?"

   Puteri raja itu menatap Thiat-mo-lek sejenak. Lama baru ia menghela nafas dan berkata.

   "Baik, pergilah, akupun juga hendak kembali ke istana!"

   Setelah rombongan puteri keluar, maka Thiat-mo-lek segera ajak rombongannya keluar dari lapangan.

   Dalam ramai-ramai itu tiada seorang pun kawannya yang terluka, tetapi kurang satu yakni Kim-kian-deng-long Toh Peh-ing.

   Thiat-mo-lek menghibur kawan-kawannya, mungkin Toh Peh-ing sudah keluar lebih dulu.

   Dalam pada itu Gong-gong-ji mengajak rombongannya untuk menjenguk Cin Siang dan Ut-ti Pak.

   Tiba-tiba opsir yang memimpin barisan kehormatan puteri Tiang Lok tadi larikan kudanya mendatangi, serunya.

   "Atas perintah kongcu, aku ditugaskan mengantar kalian."

   "Kami semua sudah biasa jalan sendiri tak perlu diantar!"

   Gong-gong-ji kurang senang.

   "Aku sudah tahu kalian bisa jalan sendiri, tapi perintah kongcu mana aku berani melanggarnya?"

   Sahut si opsir.

   Walaupun tak senang, tapi mereka terpaksa menerima.

   Setelah berjalan beberapa waktu, Gonggong- ji merasa tak enak kalau ketahuan akan berkunjung ke tempat tinggal Cin Siang.

   Maka disuruhnyalah opsir itu pulang.

   Saat itu mereka sudah jauh dari lapangan tadi.

   "Belum sampai di tempat tujuan, biarpun kau usir, aku tetap mengikut,"

   Kata si opsir. Dari jengkel Gong-gong-ji menjadi marah.

   "Tempat tujuan apa? Kau mau mengantar sampai di mana?"

   Wajah opsir itu membengis.

   "Kemana kalian pergi, walaupun sudah keluar dari kota Tiang-an, aku tetap mengikut!"

   "Kurang ajar! Aku belum pernah tahu orang mengantar secara begitu! Pendek kata kau mau kembali tidak? Apa minta kuusir sungguh?"

   Bentak Gong-gong-ji. Thiat-mo-lek buru-buru hadangkan lengannya menengahi mereka.

   "Siapakah sebenarnya saudara ini?"

   Makin memperhatikan makin Thiat-mo-lek seperti tak asing dengan opsir itu.

   Ia teringat akan seseorang tetapi belum berani memastikan.

   Opsir itu tertawa gelak-gelak.

   Tiba-tiba ia mengusap wajah dengan lengan bajunya dan dengan nada suara berganti berserulah ia.

   "Aha, akhirnya Thiat ceculah yang bermata tajam!"

   "Toh sioksiok!"

   Seketika menjeritlah Khik-sia.

   Ya, memang opsir itu bukan lain ialah Toh Peh-ing sendiri.

   Kiranya ia mahir dalam obat-obatan dan menyaru.

   Dalam golak pertempuran tadi ia segera mendapat akal untuk meloloskan diri.

   Diringkusnya salah seorang opsir bawahan Bu Wi-yang lalu dilucuti pakaiannya.

   Dengan memakai pakaian itu dan memake-up wajanya, berubahlan ia menjadi seorang opsir kerajaan.

   Karena orang lagi bertempur mati-matian maka tiada seorang pun yang memperhatikan dia.

   Dengan pura-pura membawa perintah dari Bu Wi-yang supaya keluar meminta bala bantuan, dapatlah ia keluar dari salah satu pintu gerbang.

   Saat itu Cin Siang sudah dibawa pergi tapi Gong-gong-ji belum datang.

   Peh-ing tahu hubungan Thiat-mo-lek dengan Tiang Lok kongcu.

   Segera ia menghadap puteri itu untuk memohon bantuan.

   Kongcu terkejut dan terus menghadap ke kakandanya.

   Li Heng sudah mengutus thaykam untuk menyampaikan sengci ke lapangan.

   Raja itu masih marah-marah.

   "Koko, set yang kau jalankan itu salah,"

   Kata Tiang Lok dengan banting-banting kaki. Baginda Li heng tercengang heran.

   "Gong-gong-ji itu dapat muncul lenyap sekehendak hatinya. Mampukah para pengawal istana mencegahnya?"

   Tanya puteri.

   "Akan kutambah jumlah si-wi. Sekalipun Gong-gong-ji mampu menyelundup ke dalam istana, tapi tak mungkin ia dapat membunuh aku,"

   Kata Li Heng.

   "Aha, apa guna hidup selalu dalam ketakutan begitu? Apalagi bahaya bukan hanya berasal dari Gong-gong-ji seorang. Kau tentu sudah tahu bagaimana kegagahan Thiat-mo-lek itu. Apabila pasukan Gi-lim-kun sampai tak dapat menangkapnya dan ia dapat lolos, bukankah akan merupakan bahaya pada kerajaan? Pula masih ada Cin Siang dan Ut-ti Pak dua orang menteri kerajaan yang selalu setia."

   "Sekarang kau mendengarkan bujukan Bu Wi-yang untuk menangkapnya. Kelak siapakah yang akan membantumu melindungi kerajaan? Dalam segala hal kita harus pandai memikirkan segalanya. Bahwa Thiat-mo-lek telah menceburkan diri di kalangan lok-lim, andaikata benar, yang menerima akibat langsung adalah wilayah Gui-pok yang jauh dari kota raja, bukan kota Tiang-an ini. Sekarang kalau kau menitahkan untuk menangkapnya, apabila ia sampai memberontak di kota raja ini, dan berserikat dengan Cin Siang serta Ut-ti Pak, bayangkanlah betapa akibatnya. Gonggong- ji seorang saja sudah sukar dihadapi, apalagi masih ditambah dengan Thiat-mo-lek, Cin Siang dan Ut-ti Pak. Apakah kerajaan kita dapat dipertahankan?"

   Mendengar uraian adiknya, Li Heng kucurkan keringat dingin, ujarnya.

   "Karena rangsangan amarah, aku sampai tak memikir panjang. Kurang ajar Bu Wi-yang itu, ia menganjurkan aku mengeluarkan sengci. Habis bagaimana sekarang?"

   Kongcu tertawa.

   "Satu-sstunya cara ialah mengeluarkan sengci lagi untuk mengikat hati Thiatmo- lek serta mengangkat Cin Siang dalam kedudukan yang lebih tinggi. Serahkan saja padaku, tanggung beres. Tetapi terpaksa harus sedikit menyiksa Ong thaykam."

   Li Heng setuju dan segeralah Tiang Lok kongcu meminjam kereta baginda menuju ke lapangan.

   Ia suruh Toh Peh-ing menjadi opsir yang mengepalai barisan pengawalnya.

   Demikianlah atas jasa Toh Peh-ing, rombongan orang gagah dapat diselamatkan.

   Mendengar cerita Toh Peh-ing, semua orang tertawa geli.

   


Gelang Perasa -- Gu Long Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini