Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 13


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 13



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   Tempat tinggal Cin Siang di kaki gunung Li-san, ialah di luar kota sebelah barat.

   Di muka rumahnya terdapat sebuah hutan pohon siong.

   Ketika rombongan Thiat-mo-lek tiba, dilihatnya kereta pesakitan masih berada di dalam hutan.

   Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya masih menjaga di situ.

   Nona itu buru-buru menyambut kedatangan Gong-gong-ji.

   Atas pertanyaan Gong-gong-ji, Liong Seng-hiang menerangkan bahwa Cin Siang sudah diantar pulang.

   Waktu ditanya mengapa nona itu tak masuk ke dalam rumah Cin Siang, Liong Seng-hiang menyebut.

   "Aku takut dimakinya."

   Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak. Dua opsir pengawal kereta pesakitan masih tak dapat berkutik segera dibuka jalan darahnya dan disuruh membawa kereta pulang. Karena mereka masih lemas, Liong Seng-hiang disuruh mengantar.

   "Suhu, mengapa Su sumoay tak kelihatan?"

   Tanya Liong Seng-hiang pada Shin Ci-koh.

   "Entah, aku sendiri heran."

   Ia memandang Khik-sia dan bertanya.

   "Benarkah begitu? Dengan siapa ia lari?"

   "Kabarnya dengan pemimpin baru dari perserikatan Loklim. Ini Khik-sia yang bilang, aku sendiri juga tak tahu benar tidaknya? Kau tentu sudah paham perangai sumoaymu itu. Mungkin ia marah pada Khik-sia,"

   Jawab Shin Ci-koh.

   Karena hatinya riang, wanita itu lincah sekali bicaranya.

   Ia baru tersipu-sipu ketika semua orang memandangnya.

   Buru-buru ia tertawa dan suruh muridnya itu melakukan apa yang diperintahkan Gong-gong-ji.

   Kemudian berpaling pada Gong-gong-ji, Shin Ci-koh tertawa.

   "Ai, sekarang giliran diriku yang menjadi sasaran perhatian orang muda-muda itu."

   Sekalian orang, terutama In-nio, heran mendengar keterangan Shin Ci-koh tadi. Pikir In-nio.

   "Yang dikatakan pemimpin Loklim baru itu, apakah bukan Bo Se-kiat? Mengapa Se-kiat dapat bersama seorang gadis siluman?"

   Di hadapan orang banyak In-nio sungkan mengutarakan isi hatinya.

   Sedang para orang gagah itu karena tidak begitu anti akan pergaulan bebas pria dan wanita, pun tak mau membicarakan hal itu lebih jauh.

   Ketika Thiat-mo-lek hendak mengetuk pintu gedung Cin Siang, Gong-gong-ji mencegahnya.

   "Jangan bikin kaget tuan rumah."

   Ia mengguratkan belatinya di lubang pintu lalu mendorongnya.

   Walaupun jadi pemimpin Gi-lim-kun tapi Cin Siang tak mau diberi pengawal.

   Ia hanya memelihara dua bujang tua untuk menjaga pintu.

   Melihat sekian banyak orang menerobos masuk, bujang tua itu ketakutan.

   Gong-gong-ji buru-buru mengatakan kalau yang datang itu kawan Cin Siang semua.

   Pada saat itu Cin Siang dan Ut-ti Pak tengah menyalurkan darah untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk.

   Ketika mendengar suara Gong-gong-ji, seketika panglima itu loncat dengan marahnya dan menghantamnya.

   "Gong-gong-ji, kau cukup menyiksa diriku!"

   Gong-gong-ji menghindar ke belakang Thiat-mo-lek sembari berseru.

   "Bukannya berterima kasih sebaliknya mengapa memukul aku?"

   Thiat-mo-lek menghadang Cin Siang.

   "Toako, jangan keliru menyalahkan orang baik. Adanya Gong-gong-ji cianpwe merampas kereta pesakitan karena tak ingin melihat toako menderita."

   "Tindakan kalian itu apakah tidak membenarkan tuduhan bahwa aku hendak memberontak? Mo-lek, kau dan aku adalah terikat persaudaraan, tetapi kuminta ku lekas tinggalkan kotaraja ini. Aku rela menyerahkan jiwa pada putusan baginda. Jangan membawa aku pada kedosaan berani melawan raja!"

   Gong-gong-ji tertawa mengejeknya.

   "Segala apa pernah kusaksikan, hanya belum pernah melihat seorang menteri setia yang setolol kau ini!"

   Cin Siang marah, Thiat-mo-lek didorongnya terus hendak memukul Gong-gong-ji lagi. Tibatiba Ut-ti Pak menyelutuk.

   "Toako, mengapa kita tak membawa keluarga kita pergi dari kota raja ini? Dengan begitu bukankah kita tak menyalahi raja? Dengan tenaga yang kita miliki, kiranya dapatlah kita hidup sebagai petani. Apakah ini tidak lebih enak daripada terima hukuman baginda?"

   Gong-gong-ji sengaja membikin panas hati Cin Siang. Ia bertepuk tangan memuji Ut-ti Pak.

   "Itulah yang betul! Cin thongleng, kiranya tak perlu kau meluki sawah, nanti kuajarkan kau beberapa ilmu istimewa untuk hidup. Siang memeriksa rumah-rumah, malam menerobos pintunya. Tanggung takkan habis kau makan seumur hidup. Mau minta apa, ada semua. Puluhan kali lebih nikmat daripada menjadi panglima Liong-ki-to-wi!"

   "Ah, Gong-gong cianpwe hanya bergurau saja. Biarlah kuterangkan duduknya perkara yang sesungguhnya. Kami datang hendak menyampaikan kabar girang padamu, toako,"

   Buru-buru Thiatmo- lek berkata.

   "Berita girang apa? Mo-lek, apakah kau juga hendak berolok-olok padaku,"

   Cin Siang makin gusar.

   "Sungguh mati, memang berita yang mengirangkan benar-benar. Baginda telah mengeluarkan sengci membebaskan kita dari kedosaan. Kau dan Ut-ti toako malah mungkin akan dinaikkan pangkat,"

   Kata Thiat-mo-lek dengan serius. Tetapi mana Cin Siang mau percaya. Ia menarik Ut-ti Pak untuk mendampratnya.

   "Kau juga tak mau mendengar kataku? Turun temurun kita adalah menteri kerajaan yang setia. Bukan saja tak boleh memberontak pada kerajaan, pun tak boleh melarikan diri dari hukuman baginda. Sudah, jangan ngaco belo, ayo ikut aku menyerahkan diri pada baginda."

   "Cin toako harap dengarkan dulu omonganku baru nanti silahkan pergi,"

   Cegah Thiat-mo-lek. Selagi mereka saling tarik menarik, tiba-tiba di luar pintu terdengar orang berseru nyaring.

   "Utusan baginda datang, diperintahkan Cin Siang dan Ut-ti Pak menyambut sengci!"

   Cin Siang menghela nafas.

   "Ah, kita terlambat setindak, baginda telah menjatuhkan hukuman. Ya! Mo-lek, harap kalian sembunyi di belakang dulu, jangan sampai gaduh."

   "Baiklah, dengan memandang mukamu, aku tak mau menyerobot sengci ini,"

   Gong-gong-ji tertawa. Sedangkan Thiat-mo-lek pun turut menghaturkan selamat pada Cin Siang dengan datangnya sengci itu. Setelah menyiapkan meja penyambutan, Cin Siang dan Ut-ti Pak berlutut menanti sengci. Ut-ti Pak berbisik-bisik.

   "Toako, kau sih sudah punyai keturunan, matipun tak apa. Tapi aku, jangankan anak, sedang istri saja masih belum punya!"

   Cin Siang deliki mata kepada saudaranya itu. Saat itu utusan baginda sudah melangkah masuk, maka terpaksa Cin Siang tak jadi mendamprat Ut-ti Pak. Kedengaran utusan itu membacakan sengci.

   "Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak setia kepada kerajaan, maka selain direhabilitir ke dalam pangkatnya semula pun Cin Siang dianugerahi pangkat Tin-kok-kong dan Ut-ti Pak menjadi Cengkok- kong. Demikianlah!"

   Kejut dan girang Cin Siang dan Ut-ti Pak bukan kepalang.

   Mereka menyambuti sengci dengan mengucapkan terima kasih.

   Cin Siang minta tolong kepada sang utusan supaya menyampaikan rasa terima kasih mereka yang tak terhingga kepada baginda.

   Setelah utusan itu berlalu, Ut-ti Pak menyelutuk.

   "Cin toako, bahwa adanya kemalangan yang menimpa diri kita berubah menjadi keberkahan, daripada berterima kasih kepada baginda adalah lebih tepat kalau berterima kasih kepada Gong-gong-ji."

   Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak dan muncul bersama Thiat-mo-lek dan kawan-kawan.

   "Cin Siang, apakah kau masih hendak memukul aku lagi? Jika kau menghendaki, aku pun tak keberatan menemanimu bermain-main barang dua tiga ratus jurus."

   "Hai, Gong-gong-ji, kau ini memang ...! Bagaimanakah cara kau atur kesemuanya ini?"

   Seru Ut-ti Pak.

   Cin Siang malu-malu menyesal.

   Seumur hidup ini hanya tunduk pada raja, belum pernah kepada lain orang.

   Tapi saat itu ia terpaksa menghaturkan terima kasih kepada Gong-gong-ji.

   Gong-gong-ji menuturkan apa yang telah terjadi dan menambahkan kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Thiat-mo-lek dan Tiang Lok kongcu.

   Ut-ti Pak tergelak-gelak.

   "Ha, kalian adalah penolongku semua. Besok aku segera mencari isteri saja. Paling sedikit aku harus punya dua orang anak. Satu akan kusuruh mengaku ayah angkat pada Thiat-mo-lek, dan yang satu biar dijadikan puteri angkatnya Gong-gong-ji. Ai, sayang tampangku begini macam, siapakah yang suka menikah padaku?"

   Sekalian orang gelu mendengar kelakar itu. Dan berkatalah Gong-gong-ji sejenak kemudian.

   "Karena Cin thongleng tak mau memukul aku lagi, terpaksa aku tak dapat menemani lama-lama disini. Coh hengte, biar kucarikan pedangmu kim-ceng-kiam itu sekarang."

   "Bagus, karena kau menangkap Ceng-ceng-ji, biarlah aku menjadi pembantumu. Cemg-ceng-ji kali ini masih berhutan sebuah tamparan padaku. Hai, Gong-gong-ji, jangan lari keras-keras, tunggulah aku!"

   Seru Shin Ci-koh. Setelah Gong-gong-ji, Coh Ping-gwan dan Shin Ci-koh pergi, tertawalah pengemis gila Wi Gwat.

   "Menilik gelagatnya, mereka tak memerlukan aku jadi comblang lagi. Aku pengemis tua ini pun harus berlalu juga. Cin thongleng, terima kasih atas bantuanmu yang banyak memberi fasilitas pada kaumku Kay-pang di kota Tiang-an."

   Singkatnya saja dengan dibekali arak simpanan Cin Siang dan diantar sampai pintu luar oleh sekalian orang gagah, maka tokoh Kay-pang itupun segera ajak Ciu Ko dan Ciok Ceng-yang berlalu.

   Setelah itu Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jun dan adiknya, juga minta diri.

   Khik-sia dan Yak-bwe mewakili Cin Siang mengantar mereka sampai di luar pintu.

   Ketika Khik-sia dan Yak-bwe masuk kembali, berkatalah Thiat-mo-lek dengan tertawa.

   "Kita tengah membicarakan urusanmu."

   Ut-ti Pak mengepal tangan Khik-sia dan tertawa.

   "Ha, kiranya kau putera kenalanku lama. Semasa ayahmu masih hidup, aku pernah bertempur padanya. Benar aku menderita kekalahan tetapi aku kagum padanya."

   "Di kolong dunia ini banyak orang yang berilmu silat tinggi. Tapi yang benar-benar pantas menerima sebutan "taihiap" (pendekar besar), kalau pada generasi yang dulu, hanyalah ayahmu almarhum dan Lam Ci-hun. Pada generasi sekarang, kecuali hanya Thiat hengte, maka pilihanku hanya jatuh pada dirimu."

   Khik-sia mengucapkan beberapa kata merendah. Kemudian Cin Siang berpaling ke arah Yak bwe, ujarnya.

   "Nona Su, sebenarnya kita ini bukan orang luar. Seharusnya aku memanggilmu sumoay, tahukah kau?"

   Yak-bwe heran.

   Ilmu silat Cin Siang itu berasal dari warisan keluarganya, mengapa ada hubungan saudara seperguruan dengannya.

   Cin Siang segera menerangkan bahwa ketika kecilnya ia pernah belajar surat pada ayah Yak-bwe yang itu waktu menjadi pegawai kerajaan.

   Cin Siang memuji-muji kepribadian mendiang ayah Yak-bwe.

   Seorang menteri kerajaan yang jujur dan konsekuen.

   Benar hanya seorang pegawai bun (sipil), tapi keperwiraannya itu dapat digolongkan sebagai pahlawan.

   Yak-bwe girang dan sedih.

   Girang karena almarhum ayahnya mendapat penghargaan orang tapi bersedih karena sejak dilahirkan belum pernah melihat wajah ayahnya itu.

   Untuk merayakan perisitiwa yang menggirangkan itu maka Cin Siang pun menjami mereka.

   Mendapat sambutan yang supel dan ramah tamah dari tuan rumah, Thiat-mo-lek dan kawan-kawan itu tak merasa kikuk lagi walaupun berhadapan dengan seorang menteri kerajaan yang berpangkat tinggi.

   Tetapi di antara mereka, hanya seorang yang sejak tadi tak mau bicara dan tampak murung.

   Dia adalah In-nio.

   Cin Siang dan Ut-ti Pak coba menghiburnya dengan berjanji takkan memberitahukan kejadian yang dilakukan In-nio kepada ayahnya.

   Malah Ut-ti Pak mengajaknya sama-sama minum arak.

   In-nio terpaksa menurut namun hatinya tetap gelisah.

   Dalam pembicaraan selanjutnya, Cin Siang telah menasihati agar Thiat-mo-lek jangan sampai kelebuh dalam dunia Loklim.

   Thiat-mo-lek menyatakan bahwa sekalipun menceburkan diri dalam dunia Loklim tapi ia berjanji takkan merugikan kepentingan negara.

   Ia akan bekerja keras untuk membela kepentingan rakyat yang tertindas.

   "Memang pernyataan Thiat hengte itu tepat. Jika bukan karena keturunan menteri kerajaan, aku pun lebih suka menjadi begal saja. Cin toako, kurasa Thiat hengte itu lebih bahagia daripada kita,"

   Ut-ti Pak menyeletuk.

   Pengaruh arah mulai merangsang pikiran Cin Siang.

   Ia menyatakan bahwa ucapan Thiat-molek itu memang benar.

   Tapi sekalipun begitu, tidak pada tempatnya kalau seorang yang berkedudukan seperti ia dan Ut-ti Pak menyatakan dukungannya.

   "Ut-ti jiko, kau sudah minum banyak, jangan banyak bicara yang tidak-tidak, lebih-lebih tak perlu membicarakan urusan negara. Baiklah kita menceritakan tentang saudara-saudara kita saja,"

   Akhirnya Thiat-mo-lek mengalihkan pembicaraan. Ut-ti Pak mengiyakan dan ia memulai dengan pernyataan bahwa ia memang sedang memikirkan saudaranya (adik) Ut-ti Lam yang diutus kerajaan mengadakan inspeksi tentara ke Lociu.

   "Oh, ya, aku hendak menanyakan padamu tentang seseorang,"

   Kata Ut-ti Pak.

   "Siapa?"

   Tanya Thiat-mo-lek.

   "Ada seorang pendekar muda bernama Bo Se-kiat. Kenalkah kau?"

   "Bukan sekedar kenal saja tapi kenal baik sekali. Mengapa kau tanyakan dirinya?"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Thiatmo- lek.

   "Sebenarnya ocehanku tadi, adalah kata-kata Bo Se-kiat kepada saudaraku itu. Saudaraku kagum sekali kepada pemuda itu,"

   Sahut Ut-ti Pak. Selanjutnya ia menanyakan lagi mengapa dalam lapangan tadi, Bo Se-kiat tak kelihatan hadir.

   "Semalam ia sudah tinggalkan kotaraja ini,"

   Kata Thiat-mo-lek. Ut-ti Pak menyatakan sayang tak dapat berjumpa dengan pemuda yang dipuji setinggi langit oleh Ut-ti Lam. Thiat-mo-lek terdiam sejenak, kemudian berkata.

   "Jiko, kau bersama adikmu memang orang yang berhati blak-blakan. Tetapi menurut hematku, meskipun Bo Se-kiat itu seorang ksatria, tetapi sebaiknya kalian tak usah berhubungan padanya."

   Sejak membicarakan diri Se-kiat, In-nio mendengarkan dengan bersemangat. Dan ketika Thiatmo- lek mengucapkan kata-katanya itu, makin berdebarlah hati nona itu.

   "Mengapa?"

   Ut-ti Pak deliki matanya.

   "Se-kiat adalah pemimpin Loklim yang baru dilantik,"

   Sahut Thiat-mo-lek.

   "Amboi, kau sendiri juga kepala penyamun!"

   Teriak Ut-ti Pak.

   "Tetapi tindakanku berbeda dengan tindakannya. Dia tak bercita-cita akan menjadi penyamun seumur hidup."

   "Itu kan bagus!"

   Seru Ut-ti Pak.

   "Memang bagus, karena emohnya menjadi pemimpin penyamun itu lantaran berhasrat menjadi raja! Itu sih tak apa, tetapi, tetapi ....."

   "Hai, kalian banyak minum tentu!"

   Seru Cin Siang.

   "Benar, toako, karena sudah berjanji tak membicarakan urusan negara akupun tak mau melanjutkan kata-kataku. Ya, memang sudah cukup minum ini, dan sekarang aku terpaksa akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan lagi,"

   Kata Thiat-mo-lek.

   Walaupun ia sudah putus hubungan dengan Se-kiat, namun ia masih mengharap pada suatu hari dapat menasihati anak muda itu lagi.

   Maka iapun tak mau memburuk-burukkan Se-kiat di hadapan Cin Siang.

   Cin Siang cukup mengenal perangai Thiat-mo-lek.

   Mengingat batas-batas kedudukannya dengan Thiat-mo-lek, iapun kuatir jangan-jangan Thiat-mo-lek melantur, membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan kerajaan.

   Oleh karena itu, iapun tak mau bertanya lagi tentang diri Sekiat.

   "Thiat hengte, kita kan baru saja berjumpa mengapa kau terburu-buru hendak pergi?"

   Ut-ti Pak mencegahnya. Tetapi Thiat-mo-lek tetap hendak pergi.

   "Di dunia tiada perjamuan yang tak berakhir. Bahwa saat ini kita dapat berjumpa, itulah sudah suatu kebahagiaan yang tak terduga-duga. Jika aku kelewat lama di sini, dikuatirkan kurang enak bagi kalian. Apalagi hari sudah petang, aku harus lekas-lekas meneruskan perjalanan lagi,"

   Katanya. Cin Siang menghela nafas.

   "Thiat hengte, kita sudah saling mengetahui isi hati kita. Walaupun berbeda jalannya, tapi tujuan kita sama, ialah mengabdi pada negara. Tetapi aku hendak menghaturkan sebuah tanda mata, harap kau suka menerima."

   "Ai, mengapa toako begitu sungkan? Bukankah kita ini kenalan kental?"

   Thiat-mo-lek heran.

   Ternyata tanda mata yang hendak diserahkan Cin Siang itu ialah kuda untuk dipakai rombongan Thiat-mo-lek.

   Thiat-mo-lek girang menerimanya.

   Setelah memilihkan enam ekor kuda bagus, Cin Siang menyerahkan juga sebuah lengcian (lencana) pada Thiat-mo-lek.

   "Pintu kota sebelah barat dijaga oleh Gi-lim-kun. Dengan mengunjukkan lengcian-ku ini, dapatlah kau terhindar dari macam-macam kesulitan."

   Setelah saling mengucapkan selamat berpisah, akhirnya berangkatlah Thiat-mo-lek beserta rombongannya.

   Benar juga, berkat leng-cian dari Cin Siang itu, dengan mudah mereka dapat keluar dari pintu kota.

   Thiat-mo-lek berhenti sejenak untuk memandang ke arah kota Tiang-an.

   Petualangan yang dialaminya selama berada di kotaraja itu, membuatnya terkenang.

   "Dengan kuda bagus dari Cin Siang ini, sebelum petang mungkin kita dapat menempuh ratusan li,"

   Kata Toh Peh-ing.

   "Khik-sia, kudaku dan kudamu sama-sama bagusnya. Ayo, kita bertanding siapa yang dapat balap lebih cepat,"

   Tiba-tiba In-nio menantang Khik-sia. Bermula Khik-sia terkesiap tapi pada lain kejab tahulah ia maksud nona itu.

   "Baik, kita lihat siapa yang lebih dahulu dapat mencapai gunung di sebelah muka itu."

   Tar, begitu cambuk digentarkan, tanpa dipukulkan ke punggungnya, kedua ekor kuda yang sudah terlatih itu segera mencongklang seperti terbang.

   "Anak muda memang suka agulkan diri. Ki ta lihat saja mereka bertanding, tak usah mengganggu kesenangan mereka,"

   Kata Thiat-mo-lek tertawa. Bik-hu yang sedianya hendak mengikuti In-nio, batalkan maksudnya.

   "Dalam hati In-nio hanya terukir pemuda itu. Sekalipun aku di sampingnya, juga ia tetap tak gembira,"

   Akhirnya ia menghibur kekecewaan hatinya.

   "Ah, Pui-heng, perlu apa kita capaikan diri. Toh tak perlu terburu-buru menempuh perjalanan, lebih baik kita berkuda pelahan-lahan saja,"

   Yak-bwe menghibur pemuda yang patah hati itu. Mereka terpecah dalam tiga rombongan. In-nio balapan dengan Khik-sia, Thiat-mo-lek berjalan dengan Toh Peh-ing dan Yak-bwe bersama Bik-hu pelahan-lahan berkuda di belakang.

   "Cici In tentu hendak menanyakan tentang Bo Se-kiat. Kau tentu mendengar juga pembicaraan Thiat toako dengan Cin Siang tadi? Sebenarnya tak perlu bertanya lagi, toh sudah jelas Se-kiat itu bukan orang baik, sayang ci In belum putus arang, akan menanyakan lagi sampai jelas. Tapi ada baiknya juga, setelah tahu tentu akan mengambil putusan yang tegas,"

   Yak-bwe mulai ajak bicara Bik-hu.

   "Memang pada satu saat nanti ia akan berduka, Pui suheng, kau harus pandai menghiburnya."

   Bik-hu menghela nafas.

   "Masakan aku dapat memadai dengan seorang pemimpin Loklim?"

   "Kau salah menilai cici In. Sejak kecil aku bergaul padanya dan jelas bagaimana perangainya. Sekali-kali tidak karena Se-kiat itu seorang lok-lim-beng-cu, ci In lantas jatuh hati. Ia kenal dan menaruh hati pada Se-kiat sebelum pemuda itu diangkat menjadi lok-lim-beng-cu. Memang semua orang, termasuk Thiat toako yang luas pengalamannya, telah salah menilai pemuda itu hingga rela menyerahkan kedudukan bengcu kepadanya. Maka tak dapatlah kita mempersalahkan ci In,"

   Bantah Yak-bwe. Bik-hu menghela nafas.

   "Ya, memang aku salah omong, tetapi, tetapi ....."

   "Tetapi apa?"

   Tukas Yak-bwe.

   "Kau takut dipandang rendah oleh ci In? Turut penglihatanku, kau lebih kuat dari Se-kiat. Meskipun dalam ilmu silat kau kalah, tetapi peribudimu lebih menang. Memang pandai sekali Se-kiat itu mainkan peranannya ksatria, dalam beberapa tindakannya aku dapat mengambil kesimpulan. Sayang ci In yang lebih cerdik dari aku, karena dorongan hati sampai kena dibutakan. Tapi dengan adanya peristiwa ini, ia tentu akan tersadar. Pui suheng, janganlah putus asa!"

   Bik-hu diam-diam mencintai In-nio. Hanya karena merasa bahwa In-nio tak menaruh perhatian padanya, iapun tahu diri. Kini setelah mendengar penjelasan Yak-bwe, timbullah setitik harapan dalam hatinya. Ia menghaturkan terima kasih kepada nona itu.

   "Pui suheng, mungkin kau hanya memandang aku ini seorang budak yang nakal dan tak tahu bahwa akupun pernah mengalami penderitaan yang pahit. Coba tidak ada ci In yang menghibur dan membangkitkan semangatku, dikuatirkan aku sudah putus asa dan masuk menjadi nikoh,"

   Kata Yakbwe.

   Tapi sekalipun mulut mengatakan begitu tapi hatinya diam-diam mengakui bahwa Bik-hu memang lebih menderita daripada ia.

   Love-affair antara ia dengan Khik-sia hanya bergolak karena salah mengerti.

   Sebaliknya love-affair antara Bik-hu, In-nio dan Se-kiat, betul-betul merupakan cinta segitiga sepihak.

   Tiba di kaki gunung, sebelah muka sana, tampak dua titik benda hitam.

   Dan berkatalah Yakbwe.

   "Itulah mereka! Rupanya mereka sudah bicara lama, mari kita kejar!"

   Tadi ketika Khik-sia dan In-nio congklangkan kudanya, dalam beberapa waktu saja sudah jauh. Ketika berpaling ke belakang dan dapatkan Thiat-mo-lek jauh sekali ketinggalan di belakang maka Khik-siapun tahan kudanya.

   "Ci In, terima kasih atas pertolonganmu pada Yak-bwe,"

   Kata Khik-sia.

   "Ah, asal kalian sudah berbaik kembali akupun turut girang,"

   Sahut In-nio.

   "Ci In, budimu itu tentu akan mendapat balasan baik. Sekiranya kau mempunyai urusan, jangalah kau simpan di hati saja."

   Seketika pucatlah wajah In-nio, ujarnya.

   "Khik-sia, harap kau jangan mengelabuhi aku. Mengapa Se-kiat cekcok dengan Thiat piaukomu?"

   "Tidak apa-apa, hanya disebabkan karena tujuan mereka berbeda. Se-kiat mempunyai ambisi menjadi raja, sedang piaukoku lebih suka jadi penyamun budiman."

   "Tapi kalian pernah mengatakan bahwa Se-kiat pergi bersama dengan seorang nona. Bagaimana itu?"

   Karena sudah tak dapat dirahasiakan lagi, terpaksa Khik-sia menuturkan.

   "Ya, memang benar. Kawan Se-kiat ialah murid dari Shin Ci-koh."

   "Siapa wanita itu?"

   In-nio menegas.

   "Namanya Su Tiau-ing, anak perempuan dari Su Su-bing dan adik dari Su Tiau-gi."

   "Oh begitu. Apakah bukan nona Su yang pernah bersama kau tempo hari?"

   Khik-sia merah mukanya, ujarnya.

   "Benar, akupun hampir kena perangkapnya."

   "Toh sudah tahu kalau anak perempuan Su Su-bing mengapa kau bergaul dengan ia?"

   "Ah, hal itu panjang ceritanya ....."

   Khik-sia lalu menuturkan dari permulaan sampai pada waktu Thiat-mo-lek diracuni Tiau-ing.

   "Oh, aku mengerti sekarang. Se-kiat hendak pinjam sisa tentara dari engkoh nona itu,"

   Kata Innio.

   Dalam hati In-nio masih menganggap Se-kiat itu belum seratus persen jahat, karena menentang tindakan Tiau-ing meracuni Thiat-mo-lek.

   Khik-sia mengira, begitu mendengar kisah Se-kiat, In-nio tentu akan sedih, mungkin menjerit kalap dan pingsan.

   Tetapi ternyata tidak.

   Jangankan menangis, sedang menghela nafas saja tidak.

   In-nio hanya tampak mengatupkan bibirnya kencang-kencang dan wajahnya agak lebih pucat dari biasanya.

   Dalam ketenangannya yang dingin itu, dapatlah orang merasakan gejolak hatinya yang laksana menahan gelombang samudera.

   Khik-sia yang sedianya sudah siap dengan kata-kata menghibur, terpaksa beralih dengan pertanyaan.

   "Cici In, kau, kau kenapa?"

   "Tidak apa-apa, terima kasih atas pemberitahuanmu. Hm, itu mereka sudah menyusul,"

   Sahut In-nio.

   Waktu Thiat-mo-lek dan rombongan datang, diam-diam ia memuji ketabahan In-nio.

   Tidak demikian dengan Yak-bwe yang sudah mengerti perangai In-nio.

   Demi melihat sinar mata In-nio, pilulah hati Yak-bwe.

   Ia tahu kalau In-nio berlaku gagah untuk menutupi hatinya yang menderita.

   "Kalau ia dapat mengeluarkan perasaan hatinya, itu sih malah baik. Habis hujan tentu terang. Tapi ia menyimpan kedukaan, ini malah berbahaya. Ai, entah apa yang sedang dipikirkan itu,"

   Yak-bwe membatin.

   "Kuda kalian pesat sekali larinya. Tadi cuaca buruk, kukira akan hujan dan ternyata tidak, malah terang. Kita dapat melanjutkan perjalanan terus,"

   Kata Thiat-mo-lek.

   "Ya, memang tadi mendung, untung datangnya cepat, perginya pun cepat,"

   In-nio cepat menanggapi.

   "Tetapi aku lebih suka kalau jadi hujan, habis hujan barulah udara bersih sungguh-sungguh, kalau tidak awan itu sewaktu-waktu dapat datang lagi. Tidak hari ini, pun besok pagi,"

   Yak-bwe turut-turutan.

   "Ai, mengapa cuaca saja dipersoalkan begitu serius? Hari ini hujan atau besok pagi yang hujan, apa bedanya? Kalau kehujanan, sebaiknya kita lekas-lekas meneruskan perjalanan saja,"

   Khik-sia menyelutuk tertawa.

   "Benar, benar, kau amat pintar. Hanya maju terus, jangan takut. Kalau kehujanan, di sebelah muka tentu ada tempat meneduh,"

   Kata Yak-bwe yang tetap menggunakan kata-kata bertalaran (tidak secara langsung).

   "Tak usah kau katakan memang di sebelah muka itu ialah kota. Kita dapat mencari penginapan di sana,"

   Kata Khik-sia.

   "Ya, Pui suheng, kuminta kau yang mencari penginapan itu sekarang,"

   Kata Yak-bwe.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kita toh bisa sama-sama ke sana, mengapa harus merepoti Pui suheng?"

   Bantah Khik-sia.

   "Mana kau tahu? Pui suheng dapat menggunakan insting,"

   Jawab Yak-bwe. Insting ialah perasaan halus atau getaran halus dari hati.

   "Cari penginapan saja mengapa perlu pakai insting? Makin lama makin aneh kata-kata Yakbwe ini,"

   Batin Khik-sia.

   Ternyata Yak-bwe dan In-nio sudah larikan kudanya lebih dahulu.

   Bik-hu mengikuti dari belakang.

   Tampaknya ia hendak menyusul di samping mereka, tapi ragu-ragu.

   Hanya matanya saja yang memandang lekat-lekat pada In-nio.

   Melihat itu tersadarlah Khik-sia, pikirnya.

   "Oh, kiranya mereka tadi bukan membicarakan cuaca melainkan tentang urusan orang. Ah, tolol benar aku ini."

   In-nio tetap congklangkan kudanya pesat-pesat, sehingga Yak-bwe tak sempat mengajaknya bicara.

   Akhirnya sebelum petang mereka sudah masuk ke kota Pah-koan.

   Di kota itu kebetulan terdapat pasukan negeri yang berjumlah besar.

   Untuk menghindari kemungkinan timbulnya kesulitan, Thiat-mo-lek hendak ajak kawan-kawannya mengitari saja kota itu, tak perlu masuk.

   "Ai, jangan-jangan ayahku berada di sini!"

   Tiba-tiba In-nio berkata. Ketika Thiat-mo-lek mengikuti arah yang ditunjuk si nona, ternyata pada sebuah bendera besar, tertulis sebuah huruf Sip.

   "Mengapa paman Sip membawa begitu banyak tentara. Bukankah ia hanya mengajak beberapa pengikut saja?"

   Tanya Yak-bwe. Tapi In-nio menyatakan bahwa di antara panglima-panglima kerajaan yang memakai she Sip itu, hanya ayahnya seorang. Begitu tiba di kota, dua orang opsir menghampiri dan menegur In-nio.

   "Hai, Sip kongcu, kiranya benar kau. Mengapa kau datang kemari? Silakan lekas menemui ayahmu di dalam kubu."

   Kiranya kedua opsir itu memang pengawal Sip Hong yang lama. Karena sering menyaru jadi pemuda, maka kedua opsir itu memanggilnya dengan sebutan kongcu. Dan ini In-nio sendiri yang memesannya.

   "Mengapa ayah berada di sini dengan sekian banyak tentara? Satupun aku tak kenal, rasanya bukan anak buah kita yang dahulu,"

   Kata In-nio. Opsir itu mempersilahkan In-nio beritanya sendiri pada ayahnya. Mengira kalau opsir itu curiga, maka In-nio segera memperkenalkan.

   "Semua orang ini adalah sahabatku. Dan Su kongcu ini masakan kau lupa?"

   Kedua opsir itu segera mengenali Yak-bwe.

   "Ai, kenal, kenal. Apakah Sik ciangkun baik-baik saja?"

   Yang diketahuinya, Yak-bwe itu adalah puteri dari Sik Ko, panglima daerah Lo-ciu, yang kedudukannya lebih tinggi dari Sip Hong.

   Merekapun mengira mungkin karena takut diketahui orang maka Yak-bwe telah berganti dengan she Su.

   Yak-bwe menyahut dengan sembarangan saja.

   Dan setelah mengetahui rombongan Thiat-molek itu sahabat In-nio, kedua opsir itu mempersilahkan mereka beristirahat ke dalam kubu.

   Thiatmo- lek kenal dengan Sip Hong.

   Tapi kini karena kedudukannya berubah (dari si-wi menjadi penyamun), maka diam-diam ia agak gentar juga.

   Tapi ia hibur dirinya dan menganggap Sip Hong tentu serupa pribadinya dengan Cin Siang.

   Malah kepada Khik-sia ia mengatakan juga bahwa Sip Hong itu adalah kawan baik dari mendiang ayah pemuda itu.

   Mendapat laporan, Sip Hong segera keluar menyambut.

   Tapi begitu melihat Thiat-mo-lek dan Khik-sia, ia terperanjat dan menyurut mundur.

   Ia mengajak mereka masuk ke dalam kubu.

   "Ai, Thiat tayhiap, angin apakah yang membawa kau kemari? Berpisah 10 tahun, aku sungguh terkenang padamu. Dahulu atas bantuanmu bersama Toan tayhiap sehingga menyelamatkan keluargaku, aku belum menghaturkan terima kasih,"

   Kata panglima itu.

   "Dahulu ketika di Tiang-an akupun mendapat pertolonganmu dan belum menghaturkan terima kasih. Sama-sama mendapat budi, tak usah kita ungkat lagilah,"

   Sahut Thiat-mo-lek. Sebelum menjawab pertanyaan Sip Hong lebih lanjut, terlebih dulu Thiat-mo-lek memperkenalkan Khik-sia dan Yak-bwe. Tapi ternyata Sip Hong sudah kenal.

   "Toan seheng, kuucapkan selamat padamu karena sudah bersatu lagi dengan nona Su,"

   Kata panglima itu. Setelah diperkenalkan juga dengan Bik-hu, maka bertanyalah Sip Hong.

   "Kalian datang ke Tiang-an mengapa tak menemui aku? Bilakah kau tiba di kotaraja itu?"

   "Kemarin lusa, tapi ayah sudah pulang. Kukira ayah tentu kembali ke Lu-ciu, tidak nyana kalau masih di sini,"

   Jawab In-nio.

   "Pemerintah menugaskan aku memimpin pasuka ke Yuciu. Setelah suasana di Yuciu aman kembali, barulah aku pulang ke Lu-ciu,"

   Kata Sip Hong.

   "Mengapa ke Yuciu?"

   Tanya In-nio. Tetapi sampai lama ayahnya tak menyahut. Buru-buru Thiat-mo-lek menumpangi bahwa itu adalah urusan negara, tak perlu dibicarakan. Sip Hong tertawa.

   "Ah, kita kan orang sendiri, tiada halangan kuberitahukan. Aku ditugaskan ke Yuciu untuk menumpas Su Tiau-gi."

   "Menumpas Su Tiau-gi?"

   In-nio mengulangi dengan terkejut.

   "Ya, Su Tiau-gi itu adalah puteranya Su Su-bing. Tahun yang lalu ia kena dikalahkan Li Kongpik dan melarikan diri ke Yuciu menggabung pada raja Ki untuk melawan lagi. Karenanya kerajaan cepat-cepat hendak menumpasnya supaya ia jangan sampai tumbuh sayap. Li Kong-pik diangkat menjadi panglima besar. Kemudian Kwik Leng-kong (Kwik Cu-gi) mengusulkan aku menjadi wakil panglimanya. Tentara yang kubawa ini adalah pemberian dari Kwik lengkong. Kwik Lengkong sudah lanjut usianya dan diberi gelar raja muda Pun-yang-ong. Mengingat usianya, baginda tak mengijinkan ia keluar perang lagi."

   "Oh, kiranya begitu. Aku ingin turut perag ayah!"

   Kata In-nio. Sip Hong tertawa.

   "Ai, kau ini memang anak perempuan yang gemar perang. Suruh tinggal di rumah, tidak kerasan. Baiklah, kau boleh ikut." Tiba-tiba panglima itu teringat sesuatu dan bertanya.

   "Bilakah kau pergi dari Tiang-an?"

   "ya, ini hari. Setelah makan siang di rumah Cin Siang, barulah kami berangkat. Cin Siang telah menghadiahkan beberapa ekor kuda bagus pada kami,"

   Kata In-nio.

   "Bukankah hari ini pembukaan Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan oleh Cin Siang? Mengapa ia sempat menemani kalian makan?"

   In-nio tertawa.

   "Eng-hiong-tay-hwe itu sudah kacau-balau dan sekarang sudah berantakan!"

   Sip Hong terkejut dan buru-buru menanyakan apa sebabnya. In-nio berjanji mau menceritakan asal ayahnya tak menyesalinya. Dengan geleng-geleng kepala, akhirnya Sip Hong terpaksa meluluskan. Habis mendengar penuturan puterinya, Sip Hong menghela nafas.

   "Bu Wi-yang, Toh Hok-wi dan kawan-kawan itu memang pengacau. Thiat tayhiap, jasamu melindungi raja hijrah dari kotaraja dahulu, besar sekali. Sungguh tak kira, pemerintah sekarang menganggapmu sebagai pemberontak. Untung ada Tiang Lok kongcu. Karena kejadian itu berakhir menyenangkan, rasanya tak perlu kau terlalu membenci kerajaan."

   "Jika aku berniat memberontak tentu sudah memberontak. Jangan kuatir Sip ciangkun. Palingpaling aku hanya menyusahkan para Ciat-to-su macam Tiang Seng-su dan Sik Ko itu saja. Merugikan kepentingan negara, aku masih belum sampai hati. Ah, karena hari sudah petang, akupun hendak minta diri,"

   Kata Thiat-mo-lek.

   "Masakan sudah begini malam, mau pergi?"

   Tanya Sip Hong.

   Thiat-mo-lek tertawa dan menerangkan bahwa ia sudah biasa jalan malam.

   Dan lagi rasanya tidaklah baik bagi Sip Hong nanti apabila Thiat-mo-lek yang terkenal sebagai pemimpin Lok-lim, menginap di situ.

   Akhirnya terpaksa Sip Hong melepas sang tetamu pergi.

   "Su titli, apakah kau juga akan pergi?"

   Tanyanya.

   "Khik-sia dan Thiat toako adalah serupa, tidak leluasa tinggal di perkemahan tentara,"

   Sahut Yak-bwe. Sip Hong tertawa gelak-gelak.

   "Ai, ya, kau memang seharusnya mengikuti suami, tolol aku ini."

   Yak-bwe merah mukanya. Tiba-tiba ia berkata.

   "Harap paman Sip jangan menertawakan. Aku hendak mewakili seseorang mengajukan permohonan padamu."

   "Tentang apa?"

   Tanya Sip Hong. Ia duga orang yang dimaksudkan itu tentulah Khik-sia.

   "Pui suheng mempunyai cita-cita hendak masuk tentara. Mohon paman suka menerimanya,"

   Kata Yak-bwe.

   "Ai, mana ...."

   Bik-hu tersengat kaget.

   "Kau sendiri pernah mengatakan padaku. Ingat ketika pertama kali berjumpa dengan ci In, bukankah kau pernah mengatakan bahwa cita-citamu ialah hendak memimpin angkatan bersenjata? Cici In menyanggupi, setiba di Tiang-an akan membawamu menghadap paman Sip. Ya, walaupun tidak di Tiang-an, toh akhirnya bertemu juga di sini. Paman Sip bukan orang luar, kau sungkan bicara, aku yang mewakili kau,"

   Buru-buru Yak-bwe memutus omongannya. Kemudian ia berkata lagi kepada Sip Hong.

   "Pui suheng ini berasal dari keluarga terhormat. Dia baru saja menyelesaikan pelajaran silat, ingin mengabdikan diri pada negara. Dia belum pernah menjadi penyamun, harap paman suka memakainya! Ilmu silatnya lebih unggul dari aku atau ci In!"

   Mulut Yak-bwe nereces seperti mercon berbunyi hingga orang tak dapat menyelanya.

   Dan bikhu sendiri akhirnya mengerti kemana tujuan nona itu.

   Ya, hanya dengan masuk menjadi anak buah Sip Hong, barulah ia dapat selalu dekat dengan In-nio.

   Akhirnya terpaksa ia membenarkan apa yang dikatakan Yak-bwe itu.

   "Ih, aneh, bukankah ia selalu menyatakan tak suka menjadi pegawai kerajaan? Mengapa tibatiba berganti haluan? Hm, setan cilik yak-bwe itu memang lihay mulutnya sampai aku tak dapat membantahnya. Tapi perlu apa ia mengajukan permohonan begitu? Toh nyata belum ada persepakatan dengan Bik-hu. Hm, Yak-bwe tentu menghendaki supaya Bik-hu menemani aku,"

   Diam-diam In-nio menilai dalam hati.

   In-nio sebenarnya seorang nona yang cerdik.

   Hanya karena membabi buta menumpahkan pikiran pada Se-kiat seorang, ia sudah tak mengetahui kalau diam-diam Bik-hu mencintainya.

   Kini setelah mendengarkan pembicaraan tadi, dan merenungkannya, ia memandang Bik-hu.

   Dari sikap dan kerut wajah pemuda itu, tahulah In-nio apa yang terkandung dalam hati pemuda itu.

   "Belajar silat dengan tujuan mengabdi pada negara, sungguh utama sekali. Sudah tentu aku akan menerima dengan tangan terbuka. Memang kali ini aku membutuhkan pembantu-pembantu yang berilmu tinggi. Jangan lagi kau ini sute dari puteriku, sekalipun bukan, akupun tetap akan menerima dengan senang hati,"

   Kata Sip Hong dengan gembira.

   Demikian akhirnya Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pamit.

   Sip Hong suruh puterinya masuk ke dalam berganti pakaian dan ia sendiri ajak Bik-hu mengantar Thiat-mo-lek sampai di luar perkemahan.

   Ketika berjalan kembali ke kemahnya, hampir dekat pada kemah panglima, tiba-tiba Sip hong hentikan langkahnya dan tertawa.

   "Pui hiantit, kau tak usah masuk kemari, silahkan kau ke markas menjumpai Lau congpeng. Kau belum mendirikan pahala, untuk sementara menjadi anak buahnya dengan pangkat siaukoan (pangkat tentara yang rendah). Kelah apabila aku sudah berjasa, tentu akan kunaikkan."

   Bik-hu merah mukanya. Tersadarlah ia bahwa dirinya sekarang menjadi seorang tentara kerucuk, mana boleh sembarangan masuk ke dalam kemah puteri panglima? Agar Bik-hu jangan malu, kembali Sip Hong memberi penjelasan.

   "kau adalah sute dari puteriku, kuanggap kau sebagai keponakanku sendiri. Sebenarnya memang tak usah ada pantangan apa-apa. Tetapi kau baru saja masuk menjadi tentara, belum berjasa. Jika aku kelewat memperlakukan kau secara istimewa, kelak apabila aku hendak menaikkan pangkatmu, dikuatirkan orang akan menuduh aku menjalankan famili sistem. Ini memang lumrah terjadi, mengertikah?"

   "Siautit mengerti. Selanjutnya aku akan mematuhi peraturan tentara,"

   Sahut Bik-hu. Sip Hong tertawa.

   "Ah, tak perlu begitu bengis. Setiap waktu kau bebas tugas, bolehlah kau datang menjumpai aku. Satu bulan datang satu dua kali, orang luar tentu tak mengatakan yang tidak-tidak."

   Sip Hong suruh seorang anak buahnya membawa Bik-hu ke markas Lau congpeng. Ia pesan supaya orang itu banyak-banyak memberi petunjuk pada Bik-hu tentang tata-tertib ketentaraan. Diam-diam Sip Hong geli.

   "Bik-hu ini seorang pemuda yang polos. Selama dalam perjalanan dengan In-nio itu mereka tentu sudah akrab sekali. Buktinya ia sampai lupa akan masuk ke dalam kubuku."

   Ternyata In-nio sudah berganti pakaian wanita dan tengah duduk merenung. Ia baru terkejut demi mendengar langkah ayahnya.

   "Yah, kau sudah kembali?"

   Sip Hong tertawa.

   "In-nio kau sedang memikiri apa?"

   "Tidak memikiri apa-apa."

   "Kau tidak memikiri tetapi sebaliknya aku memikiri,"

   Kata ayahnya.

   "Apa saja, yah?"

   "Kau membanggakan dirimu pintar, nah, sekarang coba saja kau tebak."

   "Apa bukan memikiri tentang kekuatan Su Tiau-gi yang berserikat dengan raja suku Ki itu?"

   "Su Tiau-gi seorang panglima yang kalah dan tentaranyapun hanya tinggal remukan, apanya yang dipikiri? Tentang diri faja suku Ki itu, Kwik lengkong telah memberikan padaku surat panggilan yang menyerukan supaya raja-raja (kepala) suku itu takluk pada kerajaan. Kepala-kepala sukuk di daerah perbatasan, paling mengindahkan pada Kwik lengkong. Adalah karena ada orang yang sengaja menyiarkan berita bohong yang mengatakan Kwik lengkong sudah meninggal, barulah kepala-kepala suku Hwe, Hoan dan Ki mulai bergerak. Begitu kuserahkan surat seruan Kwik lengkong itu, tentulah kepala suku Ki takkan mau membantu Su Tiau-gi lagi. Bukannya hendak membanggakan diri, tapi dalam tiga bulan, aku tentu dapat menindas pemberontak itu,"

   Kata Sip Hong.

   "Habis, apa yang ayah pikiri?"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Yang kupikiri ialah yang kau pikirkan itu!"

   Sepasang pipi In-nio bersemu merah.

   "Yah, aku tak mengerti apa maksudmu."

   "In, sekarang kau sudah berumur 20 tahun. Apakah selama kau berkelana di dunia persilatan itu, telah menjumpai pemuda yang kau penujui?"

   "Yah, kau tak berputera lelaki. Aku sedia menjalankan kewajiban seorang putera, takkan menikah seumur hidup agar dapat merawatmu."

   "Itu ucapan kanak-kanak. Justeru karena aku tak punya anak lelaki, aku memerlukan seorang menantu. Mana kau boleh tak menikah. Aku berniat hendak mencarikan seorang pemuda yang ideal. Apakah di dalam hatimu sudah terdapat pemuda semacam itu?"

   Pilu hati In-nio, diam-diam ia menelan air matanya. Tapi ia paksakan tertawa.

   "Yah, kau sering mengatakan bahwa aku ini menyamai seorang lelaki. Biarlah aku menjalan kedudukan itu, apakah tidak serupa? Mengapa aku harus cari pasangan? Yah, aku tak ingin menikah dan tak pernah berjumpa dengan pemuda yang baik."

   Ia tak mengatakan pemuda yang mencocoki, melainkan pemuda yang baik. Ini adalah kenyataan hidupnya. Tapi mana ayahnya tahu apa yang diderita puterinya itu.

   "Dunia begini luasnya, mana tiada pemuda yang baik? Apakah Khik-sia itu bukan pemuda baik?"

   Tanya Sip Hong.

   "Itu rejeki adik Bwe yang besar. Apakah kau suruh aku merebutnya?"

   "Jangan menyimpang kelewat jauh dari pokok pembicaraan. Aku kan hanya menyebut contohnya saja. Pemuda baik di dunia ini sudah tentu bukan hanya Khik-sia seorang saja!"

   "Sayang selama ini aku belum pernah berjumpa. Yah, sudahlah jangan membicarakan hal itu lagilah,"

   Akhirnya In-nio hendak menyingkat jalan.

   "Bagaimana dengan sutemu Bik-hu itu? Bukankah ia sebaya dengan umurmu? Kulihat dia juga tiada celanya. Apakah sedikitpun kau tak punya perasaan kepadanya?"

   Sip Hong tetap tak mau. Merah muka In-nio dan berserulah ia dengan kurang senang.

   "Apakah ayah tergila-gila dengan menantu? Kukatakan, aku belum mempunyai ingatan kawin. Jika ayah keberatan memelihara diriku, baiklah aku pergi saja."

   Akhinya Sip Hong terpaksa mengalah, katanya.

   "Ya, sudahlah, sekarang belum ada ingatan, baik tunggu dua tahun lagi. Akupun masih tak rela berpisah dengan kau. Tak mau kawinya sudah, perlu apa merajuk seperti anak kecil?"

   "Yah, apakah kau sungguh-sungguh cinta padaku dan tak tega berpisah?"

   In-nio tertawa.

   "Kau bukan saja seorang anak perempuan yang baik, pun merupakan seorang pembantuku yang baik. Aku tengah memikirkan ....."

   "Apa lagi, yah?"

   "Dalam sejarah permulaan kerajaan ini, juga terdapat panglima wanita. Kupikir kau boleh membentuk suatu pasukan wanita. Kau suka tidak?"

   "Itulah cita-citaku sejak beberapa tahun. Jika dapat terlaksana, sudah tentu aku girang sekali. Tetapi ......"

   "Tetapi apa?"

   Sip Hong menegas.

   "Tadi aku merencanakan besok pagi akan meninggalkan tempat ini saja."

   "Mengapa? Kau kan suka berperang, mengapa mendadak sontak akan pergi? Kau adalah puteriku, semua anak buah tentara tahu. Siapa yang berani tak mengindahkan padamu? Tinggal dalam perkemahan tentara, juga tak apa-apa."

   "Bukan karena hal itu. Terus terang, memang aku juga mempunyai pemikiran,"

   Jawab In-nio.

   "Oh, tentang apa?"

   "Meskipun gemar berperang, tapi akupun juga sudah rindu pada mamah. Sudah lama aku pergi, aku hendak pulang menjenguk mamah. Karena kepergian ayah kali ini kemungkinan besar tentu berhasil, maka akupun dapat pulang dengan lega. Tentang pasukan wanita tadi, baiklah ayah membentuknya dulu. Begitu sudah menjenguk mamah, aku tentu cepat-cepat kembali sini lagi untuk memimpinnya."

   Sip Hong sendiripun terkenang akan isterinya. Maka ia menyetujui bahkan memuji kebaktian puterinya itu.

   "Ya, besok pagi-pagi aku akan segera pergi. Harap jangan kasih tahu Pui Bik-hu."

   "Kenapa?"

   "Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tak ingin ia mengetahui kepergianku ini."

   "Itu toh bukan rahasia, mengapa perlu mengelabuhi sutemu?"

   "Aku tak ingin dia tahu, itu sudah cukup, mengapa urusan begini saja dibesar-besarkan? Yah, kau selalu mengolok aku,"

   In-nio mulai meradang.

   "Ah, hati anak perempuan paling sukar diduga. Baiklah, aku pun takkan menegas lagi, terserah padamu saja,"

   Akhirnya Sip Hong mengalah. Dalam pada itu ia membatin.

   "Rupanya Bik-hu itu menaruh hati pada In-nio. Tetapi entahlah apa In-nio membalasnya atau tidak. Kalau ia suka kepada pemuda itu, mengapa kepergiannya tak boleh diberitahukan? Kalau ia tak suka, mengapa tampaknya ia begitu sungguh-sungguh hendak mengelabuhi pemuda itu? Huh, agaknya dalam urusan ini tentu terselip apa-apa."

   Sejak kepergian In-nio, memang dalam beberapa hari itu Bik-hu tak melihatnya.

   Ia gelisah tapi tak berani menghadap ke kubu Sip Hong.

   Bertanya pada orang, pun ia merasa sungkan.

   Beberapa hari kemudian, ia benar-benar tak dapat menahan kegelisahannya, pagi-pagi sebelum berlatih baris atau malam hari sehabis appel, dia tentu mondar-mandir di sekitar perkemahan Sip Hong.

   Hal itu menimbulkan kecurigaan tiongkun (pangkat tentara yang menjadi pengawal panglima).

   Coba tiongkun itu belum tahu kalau Bik-hu, walaupun berpangkat kecil tetapi dihargai sekali oleh Sip Hong, tentu siang-siang pemuda itu sudah ditangkapnya.

   Namun lama-kelamaan, tiongkun itu melapor juga pada Sip Hong.

   Sebagai seorang tua, tahulah Sip Hong apa sebabnya.

   Ia pesan tiongkun itu membiarkan saja, jangan mengganggu anak muda itu.

   Tahulah Sip Hong sekarang, bahwa Bik-hu memang jatuh hati pada In-nio.

   Pada suatu hari, appel malam bubar sedikit pagi dari biasanya.

   Haripun masih belum petang sekali.

   Dengan naik kuda, Sip Hong mengadakan inspeksi berkeliling untuk mengetahui situasi daerah kota itu.

   Memang demikianlah kewajiban seorang panglima perang.

   Tiba-tiba di depan sebuah kubu, tampak seekor kuda putih mulus tengah meringkik.

   Sip Hong terkesiap.

   "Seekor kuda ciau-ya-say-cu yang bagus! Siapakah pemiliknya? Mengapa aku sampai tak tahu kalau di dalam pasukan terdapat kuda sehebat itu?"

   Kiranya kubu itu adalah markas dari Lau congpeng, pemimpin pasukan.

   Congpeng itu tersipusipu menyambut kedatangan Sip Hong.

   Atas pertanyaannya, Lau congpeng menerangkan bahwa kuda bagus itu adalah milik dari Pui Bik-hu, ialah siaukoan yang goanswe (panglima) masukkan itu.

   Memang hebat sekali kuda tunggangannya itu.

   Turut pendapat Lau congpeng, tidak tepat kalau pemuda itu hanya diangkat menjadi siaukoan saja.

   Sip Hong tergerak hatinya dan tertawa.

   "Memang kutahu ia mempunyai kepandaian. Tapi sebelum membuat pahala, tak selayaknya dinaikkan pangkat. Besok mudah, sekarang panggillah ia kemari."

   "Apakah kudamu ini pemberian dari Cin Siang?"

   Tanyanya kepada Bik-hu.

   "Benar, karena beberapa hari ini tak diumbar, lantas ngamuk,"

   Kata Bik-hu.

   "Naikilah kudamu dan mari kita balapan dengan kudaku 'cian-liong-ki' ini,"

   Tiba-tiba Sip Hong memberi perintah.

   Bik-hu menyatakan tak berani tapi didesak oleh Sip Hong, akhirnya mau jugalah ia.

   Kebetulan, Bik-hu dapat menggunakan kesempatan itu untuk mengorek keterangan tentang In-nio.

   Kuda tungganggan Sip Hong yang berbulu merah itu, juga seekor kuda pilihan.

   Sehari dapat lari sampai seribu li, baik mendaki gunung maupun melintasi sungai, seperti berjalan di tanah datar saja.

   Tapi hanya beberapa waktu saja, kuda ciau-ya-say-cu milik Bik-hu sudah dapat mengejarnya.

   Sip Hong tak henti-hentinya memuji Cin Siang yang mempunyai koleksi kuda bagus-bagus.

   "Sekiranya Sip ciangkun suka ...."

   "Cia-liongki ini sudah biasa kunaiki, jadi sudah kenal akan tabiat masing-masing. Di dalam peperangan, yang penting mempunyai kuda yang mengerti perangai penunggangnya. Memang kecepatan lari itu penting, tapi lebih penting lagi mengenal watak tuannya. Pakailah sendiri ciauya- say-cu itu, aku lebih suka pakai kudaku ini,"

   Tukas Sip Hong. Saat itu mereka sudah 10-an li jauhnya, di sebuah padang rumput yang tiada lain orang kecuali mereka berdua. Disitulah barulah Sip Hong lambatkan kudanya dan berkata.

   "Kita berdua perlahan saja. Kabarnya kau ini keponakan dari Biau Hui sin-ni dan pernah berguru pada Mo Kia lojin. Kau memperoleh ilmu pedang dari dua aliran, suci-mu pun kagum padamu. Sebenarnya siang-siang aku hendak meminta pelajaran padamu, sayang aku selalu sibuk dengan urusan dinas saja."

   "Sip ciangkun seorang ahli pedang yang ternama, mana aku dapat mengimbangi?"

   Bik-hu merendah.

   Tetapi Sip Hong mengatakan janganlah anak muda itu merendah diri.

   Dengan terus terang ia mengatakan juga bahwa sering-sering ia meminta pelajaran ilmu pedang pada puterinya.

   Melihat panglima itu ternyata seorang ramah, rasa kikuk Bik-hu pun mulai berkurang.

   Kalau semula ia hanya menjawab apa yang ditanyakan saja, lama-kelamaan berani juga ia bicara dengan bebas.

   Dalam membicarakan tentang ilmu pedang, sebagai seorang ahli, walaupun tanpa bertanding dapat juga Sip Hong menarik kesimpulan bahwa ilmu pedang anak muda itu memang tinggi, lebih unggul dari In-nio.

   "Sebenarnya aku ini berasal dari desa. Hanya karena kebenaran ada rejeki, barulah aku dapat naik menjadi panglima. Padahal semasa muda, aku bercita-cita menjadi yu-hiap (pendekar kelana). Dalam segala hal puteriku itu tidak turun aku, kecuali dalam hal gemar berkelana di dunia persilatan ia benar-benar seperti aku. Sekarang aku hendak bertanya. Selama kau mengadakan perjalan ribuan li bersama ia, apakah ada peristiwa yang menggoncangkan atau yang menggembirakan?"

   Terpaksa Bik-hu menceritakan sesuatu, misalnya waktu bentrok dengan anak murid partai Lengsan- pay, bertemu dan salah paham dengan Khik-sia di hotel dan sebagainya.

   Tetapi tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio tak mau ia menceritakan.

   Diam-diam Sip Hong membatin.

   "Ah, kalau begitu hubungannya dengan In-nio erat sekali, pernah bersama-sama menghadapi bahaya. Apalagi mereka saudara seperguruan, jika dijodohkan itulah tepat sekali. Tapi entah bagaimana pendirian In-nio. Anehnya sudah bergaul begitu rapat tapi mengapa waktu pergi In-nio tak mau memberitahu padanya?"

   Melihat panglima itu merenung, diam-diam Bik-hu berdebar-debar hatinya.

   Ia menyangka jenderal itu tentu mempunyai dugaan yang tidak-tidak kepada dirinya selama berkelana dengan Innio itu.

   Bik-hu merah mukanya.

   Tiba-tiba Sip Hong mengangkat kepala dan memandangnya dengan tersenyum.

   "Pui hiantit, katanya dalam beberapa hari ini kau selalu mondar-mandir di dekat perkemahanku. Apakah kau ingin menjumpai aku?"

   Gerak-geriknya diketahui, merahlah muka Bik-hu. Ia terbata-bata menyahut.

   "Ini, ini ....."

   "Kalau tak ingin berjumpa padaku, tentu ingin ketemu suci-mu, bukan?"

   Sip Hong menggodanya. Muka Bik-hu makin padam. Akhirnya ia tabahkan nyalinya.

   "Dalam beberapa hari ini cici In tak kelihatan keluar. Entah, entah apakah ia tak enak badan? Aku, aku ingin menjenguk tapi kuatir melanggar peraturan."

   Sip Hong tertawa menerangkan bahwa In-nio tidak sakit tapi sebenarnya sudah tak berada di perkemahan situ. Mendengar itu Bik-hu terkejut dan menegas.

   "Ya, benar, hari kedua setelah kalian datang, ia lantas pulang menjenguk mamahnya."

   Bik-hu terlongong, wajahnya berubah dan berkata.

   "Jadi In suci pulang menjenguk ibunya?"

   Kalau Bik-hu nadanya mengandung keheranan, pun Sip Hong juga heran, tegurnya.

   "Apakah kau mengira ia pergi ke lain tempat?"

   Bik-hu telah membayangkan sesuatu kemungkinan, tapi belum lagi ia dapat merangkai katakata, tiba-tiba Sip Hong sudah berseru.

   "Hai, tiga ekor kuda di sebelah muka itu walaupun tak sebagus kudamu tapi juga tak kalah dengan kudaku. Aneh, siapa saja mereka itu?"

   Ketika Bik-hu memandang kemuka, ternyata ketiga penunggang kuda yang dikatakan itu makin dekat. Jelas ketiga penunggangnya itu terdiri dari oh-ceng (paderi dari luar daerah). Bik-hu terbeliak kaget, ujarnya.

   "Menilik dandanannya mereka itu seperti murid Leng-san-pay. Ya, benar, paderi berpakaian merah yang berada di depan itu adalah murid kedua dari Leng Ciu siangjin."

   "Apakah yang kau ceritakan pernah bentrok dengan kau itu?"

   Tanya Sip Hong.

   "Ya, Ceng-cing-cu toa-suheng dari Leng-san-pay pernah menerima undangan Su Tiau-gi. Ketiga orang itu mungkin juga bangsa durna,"

   Kata Bik-hu. Saat itu ketiga paderipun sudah tiba. Demi melihat Bik-hu, si paderi jubah merah juga terperanjat dan berseru.

   "Hai, kau juga berada di sini, budak kecil? Mana Shin Ci-koh siluman perempuan itu?"

   "Siapa kalian itu?"

   Bentak Sip Hong. Demi melihat Sip Hong bersikap gagah dan mengenakan pakaian jenderal, bertanyalah paderi itu.

   "Apakah kau ini Sip Hong?"

   "Kurang ajar! Mau turun atau tidak!"

   Bentak Sip Hong. Hoang-ceng (paderi) itu tertawa.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ha, kiranya benar. Sip tay-ciangkun. Di dalam ketentaraan, aku tak berani. Tapi sekarang aku memang hendak berlaku kurang ajar padamu!" -- Ia lambarkan tangan dan berseru kepada kedua kawannya.

   "Kalian membekuk budak itu, aku menangkap kambing gemuk ini!"

   Hoan-ceng itu terlalu membanggakan dirinya pandai ilmu silat.

   Ia anggap Sip Hong itu meskipun seorang panglima ternama tetapi hanya pandai dalam urusan ketentaraan, paling-paling mahir memanah dan naik kuda.

   Maka saat itulah ia harus menangkapnya.

   Di luar dugaan, Sip Hong itu bukan jenderal sembarang jenderal.

   Dalam ilmu pedang ia lihay sekali.

   Sekali ia sentakkan kudanya sebelum musuh datang, kuda Sip Hong sudah menerjang maju.

   Paderi itu lepaskan jubahnya terus diputar ke arah Sip Hong, serunya.

   "Ha, ha, ha, Sip tayciangkun, kau masuk perangkap, jangan heran kalau aku nanti menangkapmu semudah menuntun kambing!"

   Belum habis tertawanya, terdengar suara "Bret", ujung tombak Sip Hong menyusup jubah.

   Si paderi buru-buru putar jubahnya untuk menyingkirkan ancaman tombak dan secepat itu pula sudah membarengi dengan sebuah pukulan.

   Dalam gebrak pertama itu si paderi menderita kerugian besar karena jubahnya berlubang.

   Tapi Sip Hongpun terkejut juga.

   Dengan jubah yang berlubang masih si paderi dapat mementalkan tombak.

   Pada saat si paderi lontarkan pukulan, kedudukan Sip Hong berada di bawah angin (angin meniup ke arahnya).

   Tiba-tiba ia mencium bau angin amis.

   Sip Hong segera tahu kalau ia sedang diancam dengan tok-ciang (pukulan beracun).

   Buru-buru ia gentakkan kudanya untuk berkisar ke posisi 'atas angin' (angin meniup ke arah lawan).

   Kuda tunggangannya cek-liong-cun, seekor kuda yang terlatih baik, Sip Hong dapat mengendalikan menurut sekehendak hatinya.

   Begitu berkisar pada posisi 'atas angin', ia lantas kirim tiga buah tusukan pedang.

   Karena berganti posisi, si paderi agak sulit.

   Kalau lepaskan tok-ciang dikuatirkan racunnya akan membalik mengenai dirinya sendiri.

   Memang bertempur di atas kuda, tidak seperti di atas tanah datar.

   Di atas tanah gerakan orang lebih bebas dan cekat.

   Tetapi tidak demikian di atas kuda.

   Sekali kuda meloncat, jaraknya sudah terpisah beberapa tombak.

   Jika tak dapat menduduki posisi 'atas angin' percuma saja hendak melepaskan senjata beracun.

   Dalam beberapa kejap saja mereka sudah bertempur belasan jurus.

   Sip Hong agak jeri terhadap pukulan beracun musuh.

   Setiap tusukan pedangnya luput atau ditangkis, cepat-cepat ia lantas congklangkan kudanya menyingkir.

   Karena itu, pertandingan tetap berjalan seri.

   Tetapi ketika si paderi sempat melirik ke partai lain, dilihatnya kedua sutenya didesak sampai 'montang-manting' oleh Bik-hu.

   Diam-diam paderi itu gelisah, pikirnya.

   "Jika aku tak lekas menangkap Sip Hong, kalau budak itu menang lebih dulu, tentu akan membantu Sip Hong. Aku pasti kalah."

   Tiba-tiba ia teringat bahwa untuk menjatuhkan orang, harus lebih dulu merubuhkan kudanya.

   Setelah mengambil ketetapan ia segera menimpukkan jarum bwe-hoa-ciam.

   Sebenarnya jarum itu lembut sekali, apalagi menempuh angin, tentu sukar sekali melayangnya.

   Batang jarum berlubang di tengahnya, terisi bubuk beracun.

   Benar karena kegesitan kuda cek-liong-cun, Sip Hong dan kudanya itu tak terkena bwe-hoa-ciam.

   Tetapi pupur beracun dalam jarum itu bertebaran kemanamana.

   Karena tak biasa, begitu mencium tebaran pupur, kuda itu tiba-tiba meringkik keras dan binal.

   Sip Hong dilemparkan ke udara.

   Melihat itu si paderi putar kudanya terus menerjang dan lemparkan jubahnya untuk menangkap lawan hidup-hidup.

   Tepat pada saat itu, ialah ketika si paderi taburkan bwe-hoa-ciam tadi, kedua sute paderi itu telah menderita kekalahan.

   Dalam bertempur tadi, Bik-hu selalu pasang mata dan telinga.

   Demi melihat Sip Hong dalam bahaya ia segera lancarkan serangan dahsyat.

   Cret, ia menusuk seorang lawannya jauh terjungkal.

   Paderi yang satunya hendak melarikan diri tapi kalah cepat dengan kuda Bik-hu.

   Sekali ulurkan tangan, Bik-hu dapat mencengkeram punggung si paderi itu dan menawannya hidup-hidup.

   Pada saat Bik-hu menawan lawannya, saat itu si paderi jubah merah tengah lemparkan jubahnya untuk menangkap Sip Hong yang masih berada di tengah udara.

   Secepat kilat Bik-hu menggembor keras dan lemparkan tawanannya ke arah jubah si paderi.

   Memang si paderi berhasil menjaring orang, tapi bukan Sip Hong melainkan sutenya sendiri.

   Karena berisi benda berat, jubah si paderi itupun jatuh ke tanah.

   Dan sebelum si paderi tersadar dari kejutnya, Bik-hu pun sudah menusuk.

   Jilid 13 Sebenarnya kepandaian paderi itu tidak di bawah Bik-hu.

   Tapi karena tak berhasil menangkap Sip Hong, sebaliknya kedua sutenya malah menjadi korban, pecahlah nyalinya.

   Dengan gerak tengli- ciang-sim ia menghindari tusukan pedang Bik-hu.

   Tapi secepat itu juga Bik-hu sudah susuli lagi dengan tusukan yang kedua dan ketiga.

   Dengan mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua aliran, begitu mendapat angin, serangan Bik-hu itu seperti air bah melanda.

   Sekalipun andaikata paderi itu masih mempunyai semangat bertempur, tetap ia tak mampu balas menyerang.

   Ternyata kepandaian naik kuda dari si paderi itu hebat sekali.

   Dengan gerak to-coan-cu-lian, ia dapat lolos dari lubang jarum.

   Caranya menghindar memang istimewa juga ialah dengan melorot turun dan bersembunyi di bawah perut kudanya.

   Tapi sekalipun orangnya selamat, kudanya kena termakan pedang di bagian pantat.

   Kuda paderi itu juga kuda ternama.

   Begitu terluka, binatang itu lantas mencongklang sekuat-kuatnya.

   Larinya tak kalah pesat dengan kuda ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu.

   Jurus itu berlangsung dengan cepat sekali.

   Pada saat Bik-hu dapat menghalau si paderi, Sip Hong pun tepat menginjakkan kakinya ke tanah.

   Karena memikirkan keselamatan jenderal itu, Bikhu lepaskan si paderi.

   Buru-buru ia loncat turun dari kudanya dan menanyai keadaan Sip Hong.

   "Terima kasih atas pertolonganmu. Beruntung aku tak sampai terluka. Tetapi entah bagaimana dengan kuda tungganganku itu,"

   Kata Sip Hong.

   Dalam berkata-kata itu, kudanya tampak lari mendatangi.

   Binatang itu mengusap-usapkan bulu surinya kepada Sip Hong dan meringkik beberapa kali.

   Seolah-olah ia tahu dan girang bahwa tuannya tak kurang suatu apa.

   Pun karena mengetahui kudanya tak kena apa-apa, Sip hong girang.

   Kiranya kuda itu hanya membaui racun saja tetapi tak sampai terkena.

   "Paderi jubah merah itu adalah tokoh dari Leng-san-pay. Sayang tadi membiarkan ia lari,"

   Kata Bik-hu.

   Sip Hong suruh anak muda itu memeriksa kedua paderi yang terluka tadi.

   Ternyata yang kena tertusuk pedang Bik-hu itu sudah tak bernyawa.

   Karena tak tega melihati korbannya, Bik-hu segera menguburnya.

   Yang seorang ialah yang terbungkus jubah merah tadi, setelah dibuka, ternyata hanya terluka ringan.

   "Mengapa kalian datang kemari? Mengapa hendak mencelakai aku? Lekas mengaku terus terang, kalau tidak tentu kutabas,"

   Bentak Sip Hong seraya mencabut pedang.

   "Ciangkun, ampunilah jiwaku. Ini bukan urusanku, aku hanya disuruh toa-suhengku, terpaksa aku melakukan juga,"

   Sahut si paderi.

   "Apakah toa-suhengmu itu si Ceng-bing-cu?"

   Tanya Sip Hong pula. Si paderi mengiakan.

   "Ya, toa-suheng telah menerima undangan Su Tiau-gi dan kepala suku Ki. Anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan semua dibawa ke daerah Yu-ciu."

   "Untuk apa toa-suhengmu mengutus kau kemari?"

   "Untuk memata-matai keadaan tentara kerajaan."

   Waktu Ceng-bing-cu menyuruh tiga belas sutenya menangkap Su Tiau-ing, di tengah jalan telah berpapasan dengan Shin Ci-koh.

   Dari ketiga belas murid Leng-san-pay itu, kecuali seorang ialah si paderi jubah merah yang ternyata murid kedua dari Leng Ciu siangjin, yang dua belas orang semua telah binasa di tangan Shin Ci-koh.

   Peristiwa itu telah menimbulkan kemarahan Leng Ciu siangjin.

   Ia kabulkan permintaan muridnya pertama yakni Ceng-bing-cu, untuk mengerahkan segenap anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan, turun gunung membantu Su Tiau-gi sekalian untuk membalas sakit hati pada Shin Ci koh.

   Ceng-bing-cu telah memperhitungkan karena kepentingan muridnya, Shin Ci-koh tentu datang ke Yu-ciu.

   Untuk itu Ceng-bing-cu telah mempersiapkan barisan pilihan menghadapi wanita itu.

   Jika itu masih gagal, barulah Leng Ciu siangjin akan keluar sendiri.

   Tetapi Ceng-bing-cu itu ternyata seorang ambisius.

   Tujuannya tidak melainkan menuntut balas pada Shin Ci-koh, pun ia ingin menjadi Kok-su (penasehat agung) dari Su Tiau-gi.

   Kelak apabila Su Tiau-gi berhasil dalam usahanya mendirikan kerajaan, partai Leng-san-pay tentu akan mendapat prioritas untuk merajai dunia persilatan.

   Maka serta merta ia meluluskan permintaan Su Tiau-gi untuk mengirim tiga orang sutenya menyelidiki keadaan tentara kerajaan.

   Untuk keperluan itu, Su Tiau-gi tak segan menghadiahkan tiga ekor kuda yang istimewa.

   Karena paderi itu mengaku dengan terus terang, Sip Hong dapat mengampuni jiwanya.

   Tapi untuk sementara waktu, paderi itu harus ditawan dulu sampai nanti setelah pihak Yu-ciu dapat dipukul pecah.

   "Apakah adik perempuan dari Su Tiau-gi itu sudah kembali ke Yu-ciu?"

   Tiba-tiba Bik-hu bertanya.

   Si paderi menyatakan tidak tahu.

   Sip Hong heran mengapa Bik-hu memperhatikan sekali kepada adik perempuan Su Tiau-gi.

   Sudah tentu ia tak mengerti jalan pikiran Bik-hu.

   Yang diperhatikan Bik-hu itu bukan Su Tiau-ing, melainkan Se-kiat.

   Dan lebih lanjut lagi, sebenarnya bukan Se-kiat, tetapi In-nio.

   Waktu Sip Hong hendak membawa pulang paderi itu, tiba-tiba Bik-hu meminta supaya panglima itu mengeluarkan sebuah perintah.

   Sudah tentu Sip Hong heran dan menanyakan apa yang dimaksud anak muda itu.

   "Su Tiau-gi berani mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan kita, mengapa kita tak balas mengirimorang untuk menyirapi keadaan mereka? Aku sendiri belum mendirikan pahala apaapa, maka dengan ini mohon ciangkun sudi memberi ijin padaku pergi ke Yu-ciu,"

   Kata Bik-hu.

   Sip Hong menyatakan memang ia juga mengandung pikiran begitu.

   Tapi karena jaraknya dengan Yu-ciu masih kira-kira seperjalanan setengah bulan, ia belum bertindak.

   Nanti saja apabila sudah tinggal delapan atau sepuluh hari, ia baru akan mengirim mata-mata itu.

   "Tapi kudaku itu pesat sekali. Walaupun jarak Yu-ciu itu masih ribuan li, namun aku dapat menempuhnya pulang balik selama empat lima hari saja. Lebih lekas mengetahui keadaan musuh, lebih baik,"

   Bik-hu tetap mendesak. Sip Hong sebenarnya dapat menyetujui tapi ia masih sangsi karena pemuda itu baru masuk menjadi tentara, pengalamannya kurang.

   "Pengalaman? Bagaimana mendapat pengalaman kalau tak menempuhnya? Jika ciangkun mengutus aku, aku tentu akan berhati-hati."

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena si anak muda ngotot begitu, akhirnya Sip Hong meluluskan juga. Besok pagi Bik-hu boleh berangkat. Pada saat itu karena ditungguh sampai sekian lama, panglima tak kembali, Lau congkoan segera membawa beberapa pengawal menyusul.

   "Lau congkoan sudah menyusul kemari. Kiranya tak perlu aku yang harus membawa pulang tawanan ini. Kupikir aku akan berangkat sekarang juga,"

   Kata Bik-hu.

   "Ai, mengapa begitu terburu-buru?"

   Kata Sip Hong.

   "Tugas ketentaraan harus dijalankan dengan cepat. Sekarang hari masih sore, sebelum petang kudaku tentu sudah dapat lari sejauh 100-an li."

   "Ya, baiklah. Sekarang kau boleh berangkat. Tetapi ingatlah, nyali harus besar, pikiran harus cermat, segala apa harus ditanggung diri sendiri,"

   Sip Hong memberi pesanan. Setelah menerima ciang-leng (perintah), Bik-hu segera congklangkan kudanya, ia sudah hilang dari pemandangan. Dibawa 'terbang' kuda ciau-ya-say-cu, pikiran Bik-hu melayang-layang.

   "Ia berangkat beberapa hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah berada di Yu-ciu. Jika di dalam kalbunya hanya terukir Se-kiat seorang, sekalipun dapat kususul, aku dapat berbuat apa?"

   Kiranya adanya Bik-hu bergegas-gegas menuju ke Yu-ciu itu, menyelidiki keadaan musuh hanyalah untuk alasan saja.

   Yang penting baginya ialah menyusul jejak In-nio.

   Sewaktu mendengar keterangan Sip Hong bahwa nona itu tak beradi di perkemahan tentara, cepat sekali Bikhu sudah menduga bahwa In-nio tentu pergi ke Yu-ciu menjumpai Se-kiat.

   Memikir sampai di sini hati Bik-hu rawan juga.

   Tetapi pada lain kejap ia berpikir lagi.

   "Ah, tak peduli ia menaruh hati padaku atau tidak, aku tetap akan berusaha supaya ia jangan sampai terjeblos dalam pikatan Se-kiat. Dan akupun telah meluluskan Yak-bwe untuk menghibur kedukaan In-nio. Ai, biar ia jemu padaku, namun aku tetap akan menemuinya!"

   Dan memang dugaan Bik-hu itu jitu sekali.

   In-nio hanya mengajukan alasan akan pulang menjenguk mamanya, tapi sebenarnya ia menuju ke Yu-ciu untuk menemui Se-kiat.

   In-nio berpambek seperti seorang anak lelaki.

   Kepergiannya ke Yu-chiu itu sekali-kali bukan karena ia tak kunjung padam cintanya kepada Se-kiat, tetapi karena sebagian juga akan menasehati pemuda itu supaya jangan terlalu jauh terbenam dalam kesesatan.

   In-nio anggap Se-kiat itu juga seorang sahabat, maka ia harus berdaya untuk menasehatinya.

   Dalam musim rontok di bulan sembilan, padang rumput di luar perbatasan mulai kering.

   Seorang diri berkuda melintasi padang rumput hati In-nio juga terasa rawan.

   Seluas berpuluh-puluh li, tak tampak barang seorang insan.

   Untung In-nio membekal ransum kering.

   Pada hari itu ia mulai masuk ke perbatasan Yu-ciu.

   Rumah-rumah penduduk pun mulai banyak.

   Dilihatnya di tegal gandum, ada orang sedang menuai gandum.

   Pada masa seperti saat itu, iklim di padang rumput berubah-rubah.

   Pagi dan malam dingin sekali, tetapi siang hari panas sekali.

   In-nio buru-buru melanjutkan perjalanan.

   Ia merasa haus dan sekalian perlu untuk bertanya pada penduduk di situ.

   Ia turun dari kuda dan menghampiri seorang pak tani yang sedang menuai gandum untuk meminta minum.

   Pada masa ahala Tong, kaum wanita tidak dikekang dengan peradatan yang keras.

   Terutama di daerah suku Oh, seorang gadis bepergian seorang diri sudahlah biasa.

   Tetapi entah bagaimana, petani-petani itu heran melihat In-nio, hanya karena sifat penduduk di situ jujur-jujur, jadi mereka tetap melayaninya dengan baik.

   Dalam percakapan selanjutnya, In-nio menerangkan bahwa ia hendak ke Tho-ko-sim-ki menjenguk seorang bibinya.

   Tho-ko-sim-ki adalah tempat kediaman suku Ki.

   Ada juga sejumlah kecil suku Han.

   Karena percampuran itu, suku Ki paling rapat dengan suku Han.

   Perempuan tani suku Ki itu kerutkan dahinya.

   "Nona, sekarang ini tidaklah tepat jika kau ke sana karena di sana sedang diadakan persiapan perang. Sebenarnya tak seharusnya raja kami menerima Su Tiau-gi itu, sekarang tentara kerajaan marah."

   "Justeru sebelum perang meletus, aku hendak mengambil pergi bibiku. Tentara negeri tentu tidak secepat itu datangnya, bukan?"

   Kata In-nio. Perempuan tani itu mengatakan tak tahu hanya memang dalam beberapa hari ini terdapat beberapa pasukan yang lewat di situ.

   "Apakah bendera mereka?"

   Tanya In-nio.

   "Tidak membawa bendera apa-apa. Tetapi menilik pakaiannya seperti orang Han. Ada wanitanya juga."

   In-nio heran. Ia tahu tentara negeri belum mempunyai pasukan wanita. Pun induk pasukan yang dipimpin Li Kong-pik telah berjanji pada Sip Hong kira-kira sepuluh hari lagi baru tiba di situ.

   "Entah pasukan manakah mereka itu?"

   Kata In-nio.

   "Mudah-mudahan bukan tentara negeri. Kalau mereka itu tentara negeri selanjutnya kami tentu lebih menderita lagi,"

   Kata perempuan itu. Waktu In-nio menanyakan sebabnya, wanita itu meneranginya lebih lanjut.

   "Mereka itu lebih tepat disebut perampok. Kemarin waktu lalu di sini, tanaman gandum kami diambil separuh!"

   Kini tahulah sebabnya mengapa walaupun belum masanya, tetapi para petani di situ sudah sama menuai gandumnya.

   Ia hanya dapat menghela napas.

   Memang anak tentara yang dipimpin oleh lengkong atau ayahnya masih lumayan disiplinnya.

   Tapi anak tentara dari Tian Seng-su dan para ciat-to-su itu, mungkin lebih ganas dari bangsa perampok.

   Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlarian datang.

   Petani-petani serempak berteriak gaduh.

   "Celaka, kawanan perampok itu datang lagi."

   "Nona, kau muda dan cantik, lekas ikut aku bersembunyi. Ai, kiranya perampok wanita yang datang itu! Tetapi rasanya lebih baik nona menyingkir saja,"

   Kata perempuan tani tadi.

   Tetapi Innio menolak.

   Ia mengatakan hendak bicara dengan mereka.

   Waktu si perempuan tani hendak menariknya, In-nio sudah loncat ke atas kuda dan mencongklang ke sana.

   Perempuan tani itu banting-banting kaki.

   Tapi karena pasukan wanita sudah menerjang ke ladangnya, terpaksa perempuan itu lari.

   "Pasukan dari mana ini? Siapa pemimpinmu? Mengapa kalian menginjak-injak ladang rakyat?"

   Tegur In-nio. Pemimpin mereka tertawa.

   "Budak perempuan yang bernyali besar, berani mengurusi nyonya besar. Lihat panah!" - Cepat panglima perempuan itu sudah lepaskan anak panahnya. In-nio gusar sekali. Begitu ia miringkan kepala, ia sambar ekor anak panah itu dengan sepasang jarinya. Waktu ia hendak timpukkan kembali, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.

   "Hai, apakah itu bukan nona In-nio?"

   Seorang nona yang bermuka jelek dan berambut kuning, hidung besar larikan kudanya menghampiri. In-nio kenal nona itu, serunya.

   "Hai, Kay toaci, kiranya kaulah. Mengapa kau memimpin pasukan wanita ke Yu-ciu?"

   Kiranya nona jelek itu bernama Kay Thian-sian, adik perempuan dari Kay Thian-hau, tangan kanan yang paling dipercaya Se-kiat.

   Waktu dalam pertandingan memilih pemimpin beng-cu di gunung Kim-ke-nia dulu, Kay Thian-haulah yang mengusulkan supaya Se-kiat diangkat jadi bengcu.

   Se-kiat banyak mendapat bantuannya.

   Karena hubungannya dengan Se-kiat, In-nio kenal juga dengan kakak beradik she Kay itu.

   Kay Thian-sian tahu juga tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio.

   Ia masih mengira kedua pemuda itu tentu sepasang kekasih, tidak tahu tentang perubahan hubungan mereka sekarang.

   Thian-sian artinya bidadari, tapi rupanya lebih buruk daripada siluman.

   Ia sedang tertawa menganga sampai gigi-giginya yang berwarna kuning kelihatan.

   "Mengapa kau tanyakan aku? Bukankah kau sendiri datang hendak mencari Bo Se-kiat?"

   "Benar, kudengar ia berada di Tho-ko-poh maka aku hendak mencarinya. Apakah kau menerima perintahnya untuk membawa pasukan kemari?"

   Tanya In-nio.

   "Kiong-hi, kionghi! Tahukah kau kalau bengcu bakal melakukan gerakan besar? Kalau gerakan itu berhasil, ai, kau tentu bakal menjadi permaisuri. Untuk melaksanakan gerakan itu sudah tentu bengcu memerlukan tenaga kita. Anak buah kakakku, saudara-saudara dari Im-majwan Peh hou-ce, Hek-long-san dan yang biasanya setia kepada bengcu, telah berturut-turut datang. Tapi mereka yang biasanya setia kepada Thiat-mo-lek, terutama dari pihak Kim-ke-nia, tidak mau datang."

   In-nio terkesiap hatinya.

   Ia ingat bahwa adanya dulu Thiat-mo-lek menyerahkan kedudukan bengcu kepada Se-kiat itu, adalah karena hendak menghindari perpecahan.

   Siapa tahu kini timbul tanda-tanda keretakan di dunia loklim.

   Cian-hong atau pemimpin barisan wanita tadi segera menghaturkan maaf, tetapi In-nio tertawa.

   "Kalian tak bersalah padaku, mengapa meminta maaf? Lebih baik kalian meminta maaf kepada para petani yang rusak ladang gandumnya itu."

   Si cian-hong merah padam mukanya tak berani menyahut. Adalah Kay Thian-sian yang menyelutuk.

   "Ai, cici In, mengapa kau begitu bengis seperti hakim saja? Apa halangannya merusakkan sedikit tanaman gandum itu? Bahkan kita memang perlu merampas tanaman mereka semua."

   "Habis mereka disuruh makan apa nanti?"

   Bantak In-nio. Nona jelek itu kerutkan jidatnya.

   "Ai, nonaku manis, tahukah kau bahwa daerah ini jarang penduduknya, sukar mencari ransum. Kalau tidak merampas gandum mereka, kita disuruh makan apa?"

   "Bagaimanapun kita tentu lebih dapat berusaha daripada rakyat jelata itu. Tidak punya ransum, dapat juga menyembelih kuda untuk bertahan beberapa hari. Apalagi sekarang sudah tiba di Yu-ciu, perlu apa menyusahkan rakyat? Se-kiat dan engkohmu itu hendak bergerak dengan panji-panji 'keadilan', tetapi kalau sekarang hanya menyebabkan rakyat mati kelaparan, apakah itu sesuai disebut adil? Pada hematku, jika mau merampas carilah orang-orang yang berharta,"

   Bantah In-nio. Walaupun Thian-sian itu buruk mukanya, tapi hatinya masih baik. Ia dapat menerima koreksi In-nio.

   "Ya, memang di sepanjang jalan kami juga merampas orang-orang kaya. Tapi ada kalanya jika tak berhasil mendapat si kaya, si miskin pun kami gasak. Cici In, jangan kira aku ini seorang yang tak kenal adat-kebenaran."

   "Jika aku beranggapan demikian, masakan aku berbahasa taci-adik padamu,"

   Sahut In-nio. Thian-sian tertawa girang.

   "Bagus, demi memandang muka cici In, aku tak mau mengambil sebutirpun gandum mereka. Ayo, semua orang berangkat, nanti di dalam kota kita makan sampai kenyang."

   Memang Thian-sian itu selalu mengindahkan dan menurut nasihat In-nio. Ia segera ajak In-nio bersama-sama. Dalam omong-omong, bertanyalah Thian-sian.

   "Apakah ayahmu meluluskan perkawinan mu? Jika dapat memperoleh bantuan ayahmu, gerakan bengcu tentu dapat berhasil dengan lekas."

   In-nio menerangkan bahwa ayahnya belum mengetahui tentang hubungannya dengan Se-kiat.

   "Oh, kalau begitu kau ini diam-diam melarikan diri? Jika bengcu mengetahui, alangkah terima kasihnya kepadamu!"

   Seru Thian-sian. Hati In-nio terasa rawan, namun ia berusaha untuk menahannya. Pikirnya.

   "Mereka telah bertekad hendak membantu Se-kiat. Jika tahu bahwa ayah menjadi wakil panglima dari tentara kerajaan yang hendak menumpas mereka, bagaimanakah reaksi mereka terhadap diriku? Tetapi aku hendak menjumpai Se-kiat, terpaksa aku harus menyatakan kesediaanku membantunya. Selanjutnya aku dapat menyesuaikan dengan keadaan lagi."

   "Cici In, apa yang kau pikirkan?"

   Tiba-tiba Kay Thian-sian menegur demi melihat In-nio berdiam diri.

   "Aku tengah memikirkan suatu permainan,"

   Jawab In-nio. Karena Thian-sian itu masih seperti kanak-kanak, ia girang sekali mendengar itu dan buru-buru menanyakan.

   "Tetapi kau harus membantu aku dulu,"

   Kata In-nio. Serentak Thian-sian pun menyatakan kesediaanya.

   "Aku hendak menyaru jadi seorang anak buahmu. Sampai nanti masuk ke kota Tho-ko-poh, jangan sampai memberitahukan pada lain orang."

   "Kepada beng-cu?"

   "Juga tidak perlu!"

   Thian-sian kerutkan alis.

   "Mengapa bengcupun tidak boleh? Ho, tahulah aku."

   "Tahu apa?"

   Tanya In-nio.

   "Kau kuatir nanti ia direbut oleh gadis suku Ki, maka diam-diam kau akan menyelidikinya, bukan? Jangan kuatir, walaupun gadis-gadis itu memang pandai memikat orang lelaki, tapi mana mereka nempil dengan kau, nona cantik yang pandai ilmu silat? Dan bengcu itu seorang yang selalu menjunjung peri-budi, dia bukan pria yang gampang berubah hatinya."

   Hati In-nio pedih namun mulutnya memaksa tertawa.

   "Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku hanya akan membuatnya kaget dengan kedatanganku secara tiba-tiba ini."

   Akhirnya tanpa banyak rewel lagi, Thian-sian mengiakan.

   Demikianlah In-nio segera berganti pakaian sebagai serdadu wanita.

   Dua hari kemudian tibalah mereka di Tho-ko-poh.

   Disebut poh (kota jaman kuno yang berbentuk seperti benteng) memang tepat, karena kota itu dikelilingi oleh gunung.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kotanya dibagi menjadi dua, yang sebelah luar dan sebelah dalam.

   Su Tiau-gi dan kepala suku Ki berdiam di kota dalam.

   Melihat keadaan kota Tho-ko-poh yang strategis itu diam-diam In-nio menimang dalam hati.

   "Jika tak dapat menangkap raja di sini, sukarlah kiranya untuk menyerang kota ini."

   Setelah menunggu sebentar di luar pintu kota, akhirnya pintu kota dibuka dan muncullah seorang yang dandanannya mirip dengan opsir. Orang itu berseru nyaring.

   "Sebentar lagi Tay Yan kongcu akan memeriksa barisan, harap kalian berkemah dulu di kaki bukit Hui-ma-san."

   In-nio berdebar hatinya.

   "Tay Yan kongcu apakah dia bukan Su Tiau-ing si wanita siluman itu? Ah, jangan sampai diriku ketahuan."

   Ki-pay-koan atau opsir yang menjabat sebagai ordonan (penyampai berita) itu segera membawa pasukan Kay Thian-sian ke tempat yang dimaksudkan itu.

   Tempat itu bekas ladang gandum.

   Rumah-rumah kayu didirikan secara darurat untuk perkemahan tentara.

   Hanya ada dua buah rumah tembok yang agak baik.

   Ini untuk tempat tinggal Kay Thian-sian dan senopati pembantunya.

   "Mengapa kita tak disuruh tinggal dalam kota?"

   Kay Thian-sian kerukan dahinya.

   "Kota sudah penuh dengan tentara Yan-kok, untuk sementara kalian tinggal saja di sini,"

   Jawab opsir itu.

   "Bahwa nanti Tay Yan kongcu akan datang sendiri menjenguk kalian, itu sudah suatu kehormatan besar. Kay Thian-sian mendengus dengan kurang senang, pikirnya.

   "Apa-apaan dengan kongcu (puteri), nio-nio (permaisuri) Toh tidak lain hanya adik perempuannya Su Tiau-gi saja. Sudah melarikan diri di tempat orang, masih orang she Su itu banyak tingkah memakai gelaran agung, huh, sungguh tak tahu diri! Sungguh tak mengerti aku mengapa bengcu mau berserikat dengan dia?"

   Tepat pada saat perkemahan selesai didirikan, datanglah sebuah pasukan wanita yang mewartakan bahwa puteri segera akan datang. Kay Thian-sian makin panas hatinya.

   "Kurang ajar betul, di hadapanku ia masih main agung-agungan!"

   Benar juga, datanglah Su Tiau-ing dengan naik sebuah kereta.

   Mungkin Tiau-ing itu tak mengerti bagaimana bentuk kereta istana itu, maka model keretanya itu tak keruan bentuknya.

   Dengan menahan kemengkalan hatinya, Kay Thian-sian terpaksa menyongsongnya.

   Tetapi ternyata Su Tiau-ing pandai sekali mengambil hati orang.

   Begitu turun dari keretanya, serta merta ia lantas mengepal tangan Kay Thian-sian seraya berseru dengan ramahnya.

   "Aduh, menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, tentu lelah sekali. Cici Kay, lama sudah kudengar kau ini seorang pendekar wanita yang gagah, sungguh suatu kehormatan kini mau datang kemari!"

   Dingin-dingin saja Kay Thian-sian menyahut, memujikan kesehatan orang.

   "Ai, mengapa cici begitu merendah kepadaku? Toh engkohmu dan Se-kiat itu sudah seperti saudara saja?"

   Seru Tiau-ing. Nona jelek rupa itu ternyata puntul otaknya. Pikirnya.

   "Engkohku baik kepada bengcu itu, ada hubungan apa dengan kau dan aku?"

   "Aku juga mempunyai sebuah pasukan kecil serdadu wanita. Kelak kita dapat menggabungkannya menjadi sebuah pasukan wanita tentu tak kalah dengan pasukan orang lelaki. Ha, cici Kay, pasukanmu ini nyata lebih kuat dari pasukanku itu,"

   Kata Tiau-ing pula.

   Dengan kata-kata ini terang Tiau-ing hendak memeriksa barisan Kay Thian-sian.

   In-nio sudah gelisah.

   Syukur si perawan jelek itu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyatakan bahwa anak buahnya yang habis menempuh perjalanan jauh itu tentu letih, maka ia hendak suruh mereka lekas beristirahat saja.

   Kemudian ia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing yang mengantarkan sekian banyak makanan.

   Tiau-ing menyatakan kemenyesalan bahwa ia tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik untuk anak buah Kay Thian-sian.

   "Kami datang untuk berhamba padamu. Asal mendapat tempat guna berlindung dari hujan dan angin saja, sudahlah cukup. Masakan aku berani mengharap yang tidak-tidak?"

   Tiau-ing tertawa. Tiba-tiba ia membisiki Thian-sian.

   "Harap cici jangan marah. Kesemuanya ini bukan aku yang mengatur. Aku dan Se-kiat juga tak tinggal di dalam kota. Untuk sementara harap cici bersabar dulu, beberapa hari aku tentu dapat menyediakan tempat yang lebih enak untuk cici."

   Kiranya kedatangan Se-kiat dan Tiau-ing untuk menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi itu, diterima tidak dengan kepercayaan penuh.

   Hal itu disebabkan karena adanya percekcokan antara Tiau-gi dan Tiau-ing tempo hari.

   Karena memandang Se-kiat itu seorang bengcu yang luas pengaruhnya, maka Tiau-gi hendak menggunakannya untuk membantu usahanya.

   Dan dengan sendirinya ia tak dapat meneruskan maksudnya untuk menangkap Tiau-ing.

   Dengan adanya ketidak-kompakan dalam persekutuan itu, maka masing-masing pihak saling waspada.

   Itulah sebabnya maka Tiau-gi tak mau menempatkan anak buah Se-kiat di dalam kota.

   Di samping itu diam-diam iapun melepas mata-mata untuk mengamat-amati gerak-gerik orang-orangnya Se-kiat.

   "Oh, jadi kau tidak tinggal bersama engkohmu tetapi bersama bengcu kami?"

   Kay Thian-sian heran.

   "Memang aku senantiasa tinggal dengan Se-kiat."

   "Ha, mengapa bengcu tak tampak?"

   Tiba-tiba Kay Thian-sian mengajukan pertanyaan. Tiau-ing mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah sebagai wakil Se-kiat. Ia yang datang, artinya sama dengan Se-kiat yang datang.

   "Oh, jadi kau dan bengcu itu berarti seorang?"

   Thian-sian menegas. Tiau-ing tidak menyahut melainkan tertawa girang. Melihat ke arah matahari, ia berseru.

   "Ai, hari sudah siang, Se-kiat tentu menanti kedatanganku. Besok kita lanjutkan bicara lagi."

   Setolol-tololnya Thian-sian, sedikit-sedikit tahu juga apa arti tingkah laku Tiau-ing itu.

   Begitu Tiau-ing pergi, Thian-sian hendak mendapatkan In-nio, tapi baru saja masuk ke dalam rumah, tibatiba seorang anak buahnya masuk melaporkan bahwa raja Tomulun hendak bertemu.

   "Hm, baru seorang puteri pergi, datang lagi seorang raja. Apakah aku harus mengumpulkan pasukan untuk menyambutnya lagi?"

   Thian-sian muring-muring."

   "Tomulun itu agak aneh. Ia datang seorang diri tanpa membawa pengikut. Waktu kami tegur, baru ia mengatakan siapa dirinya. Ia ingin bertemu li-ciangkun (jenderal wanita) karena sudah lama mengagumi nama ciangkun yang termasyhur. Orangnya agak ketolol-tololan,"

   Kata serdadu wanita itu. Kay Thian-sian juga seorang wanita yang ketolol-tololan. Mendengar laporan itu, tiba-tiba timbullah gairahnya, serunya.

   "Ha, aneh sekali, namaku mengapa termasyhur sampai di daerah ini, sampai raja suku Ki mendengarnya juga. Baik, karena ia begitu tulus, akupun hendak menjumpainya."

   Keluar di halaman, ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mondar-mandir dengan membongkok tangan.

   "Hai, apakah kau ini raja daerah sini?"

   Tegur Thian-sian. Lelaki itu berpaling dan berseru.

   "Apakah kau ini Kay Thian-sian li-ciangkun?"

   Ketika saling berpandangan, keduanya sama-sama berteriak kaget. Kiranya raja Tomulun itu seorang lelaki yang jelek, kulitnya hitam seperti pantat kuali dan matanya menonjol ke atas.

   "Ya, aku ini Kay Thian-sian. Perlu apa kau cari aku?"

   Sahut Thian-sian. Mulut raja itu menguak-uak seperti babi dan kakinya menyurut mundur.

   "He, kau ini bagaimana? Kau punya mulut atau tidak, mengapa tak bicara?"

   Kembali si nona 'bidadari' menegurnya. Sepasang mata Tomulun mendelik. Tiba-tiba ia tertawa keras.

   "Kau menertawai apa?"

   Seru Thian-sian.

   "Apakah kau ini sungguh Kay Thian-sian?"

   Tomulun balas bertanya.

   "Sejak dilahirkan aku bernama begitu, apakah kau anggap tidak baik?"

   "Baik, baik sekali! Meskipun aku tak sekolah bahasa Han, tapi tahu juga aku akan arti nama itu, hi, hi, apakah artinya bukan sangat cantik sekali melebihi dewi Siong-go di rembulan?"

   Kay Thian-sian marah sekali. Tidak peduli yang dihadapinya itu raja atau bukan, ia lantas menjiwirnya.

   "Kau hendak mengatakan bahwa aku bermuka buruk tidak pantas memakai nama itu, bukan? Hm, kau juga tak mau berkaca, apakah kau ini juga bagus rupamu? Tadi aku hampir saja pingsan melihatmu!"

   Tomulun mendorongnya, berkata.

   "Hi, tak kunyana tenagamu besar sekali."

   Kena didorong mundur sampai tiga langkah, Kay Thian-sian juga memuji.

   "Tenagamupun hebat juga." - Ia tertawa riang, ujarnya pula.

   "Tahukah kau bagaimana kepandaianku? Menjadi seorang jenderal, yang penting ialah harus bertenaga kuat, dapat berperang. Apakah kau masih berani menertawai aku?"

   Tomulun paling gemar adu kekuatan dengan orang. Mendengar itu, timbullah keinginannya.

   "Jangan omong besar. Berbicara tentang tenaga ..."

   "Apa? Kau kira aku tak dapat menandingi kau?"

   Tukas Thian-sian. Tomulun garuk-garuk kepala, batinnya.

   "Ah, jika ia bukan seorang perempuan, tentu kutantang berkelahi. Ha, ada akal ..."

   "Baik, kau ini seorang tetamu dari jauh, aku hendak menghaturkan sebuah bingkisan,"

   Tiba-tiba ia tertawa. Salah seorang serdadu wanita yang menjaga pintu, mempunyai sebatang tongkat besi, Tomulun menghampiri dan memintanya. Tongkat besi itu lalu diletakkan di atas kepalanya dan dibekuk sehingga menjadi sebuah gelang bundar.

   "Nona Kay, kuberikan anting-anting ini kepadamu, sukakah kau?"

   Ternyata ada kebiasaan suku Ki itu baik perempuan maupun lelaki, semua suka memakai anting-anting.

   "Anting-anting besar"

   Yang dipersembahkan Tomulun itu bukan dimaksud supaya dipakai Thian-sian, melainkan hanya untuk mengunjuk kehormatan saja, disamping hendak mempamerkan kekuatannya.

   Sebaliknya Thian-sian telah salah paham.

   Ia deliki mata kepada raja hitam itu dan tertawa mengejek.

   "Kau memberikan anting-anting besar itu, hanya untuk mengolok-olok telingaku yang besar ini! Hm, akupun hendak memberikan tanda mata padamu juga."

   Memang telinga nona itu, lebih besar dari telinga kebanyakan orang.

   "Huh, mengapa hatimu begitu sempit? Baik, kutunggu bingkisan apa yang hendak kau berikan itu."

   Thian-sian menyambuti anting-anting besi tadi, sembari sang tangan menarik, mulutnya menghitung 'satu, dua tiga, empat', dan anting-anting besi lurus kembali menjadi sebatang tongkat lagi.

   Tiba-tiba Thian-sian berteriak 'putuslah' dan tongkat besi itupun patah menjadi dua lalu diberikan kepada si raja.

   "Kuberikan bingkisan ini untuk kau buat sumpit makan!"

   Tomulun terkesiap, tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak dan ulurkan jempolnya.

   "Ah, kau menang! Bukankah kau hendak mengejek mulutku yang lebar sekali ini?"

   Dengan spontan Thian-sian unjukkan jempol tangannya."Benar, kau bukannya goblok sekali." - Dan tertawalah nona itu sekeras-kerasnya. Tomulun pun ikut tertawa.

   "Sudahlah, sudah. Kita ini setali tiga uang, jangan saling mengejek,"

   Kata Tomulun. Thian-sian berjingkrak.

   "Apa katamu? Kau bilang aku dan kau ini sama-sama jelek rupa?"

   "Kukatakan, kau dan aku ini sama kepandaiannya,"

   Sahut Tomulun.

   "Hm, begitulah baru perkataan manusia,"

   Kata Thian-sian. Tiba-tiba mulut Tomulun meluncur kata-kata lagi.

   "Yang jelek malah jujur, yang cantik sebaliknya malah plin-plan!"

   Mendengar itu Thian-sian berjingkrak lagi, serunya.

   "Siapa yang buruk dan siapa yang cantik itu?"

   "Ai, manisku, aku hanya sembarangan berkata saja. Jangan kau tanyakanlah,"

   Sahut Tomulun.

   "Tidak, tidak, kau bukan omong sembarangan. Kau ini orang yang tak jujur!"

   "Aku ini orang yang kelewat jujur sehingga banyak menelan kerugian. Baik, apakah kau sungguh hendak menanyakan?"

   Seru Tomulun.

   "Ya, tapi yang jelek tak usah kau katakan. Bilang saja siapa yang cantik itu!"

   Diam-diam serdadu wanita yang menjaga di situ geli tapi terpaksa ditahan.

   "Apakah siluman kecil itu belum pernah datang kemari?"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Tomulun.

   "Siluman kecil siapa?"

   Thian-sian melongo.

   "Siapa lagi kalau bukan budak perempuan she Su itu!"

   "Oh, kiranya kau memakinya! Sungguh besar sekali nyalimu berani memaki seorang puteri!"

   Tomulun marah sekali, serunya.

   "Persetan puteri atau bukan! Bukan saja memakinya, pun aku hendak mencakar dan membeset kulit mukanya, agar ia lebih buruk dari wajahmu!"

   "Mengapa kau begitu membencinya?"

   Tanya Thian-sian. Dengan dada berombak keras, Tomulun menggerang.

   "Mengapa aku tak harus membencinya, ia sudah bersedia suka menjadi isteriku tetapi sekarang ia mau jadi isteri lain orang!"

   "Jadi isteri siapa?"

   "Siapa lagi kalau bukan si budak busuk Bo Se-kiat itu!"

   Saking kejutnya Thian-sian sampai loncat berjingkrak.

   "Sungguhkah itu?"

   "Sedikitpun tidak salah! Bo Se-kiat si jahanam itu ...."

   Belum Tomulun menghabiskan makiannya, Thian-sian sudah menyolok hidung raja itu dan membentaknya.

   "Kurang ajar! Mengapa kau sembarangan memaki orang?"

   "Heh, aku kan hanya memaki Bo Se-kiat, apa sangkut-pautnya dengan kau? Oh, mengertilah aku. Se-kiat budak itu berparas cakap, jangan-jangan ...."

   Thian-sian mencengkeram raja itu dan membentaknya.

   "Jangan ngaco belo! Bo Se-kiat adalah bengcu kami, tahukah kau?"

   Sambil menghindar cenkeraman si nona, Tomulun tetap marah-marah.

   "Peduli apa dengan bengcu! Aku tetap hendak memakinya, jahanam itu ...."

   Kay Thian-sian loncat menghampiri hendak menyerangnya. Tetapi Tomulun menolak.

   "Seorang lelaki jantan tak mau berkelahi dengan seorang perempuan. Akupun tak mau berkelahi padamu. Baiklah, anggap saja aku telah menyalahi kau. Tidak boleh memaki, ya sudah." - Habis berkata ia lantas berputar hendak berlalu.

   "Tidak malu, menyebut diri lelaki jantan,"

   Thian-sian menggerutu terus enjot tubuhnya loncat melampaui kepala raja itu dan menghadangnya.

   "Berhenti!"

   "Aku sudah tak memaki, masih hendak mengapa kau ini? Apakah benar-benar hendak menantang aku berkelahi?"

   Seru Tomulun.

   "Karena kau belum menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana kau tahu bengcu kami itu hendak mengambil isteri si wanita siluman she Su? Apakah bukan dugaanmu sendiri? Atau apakah bengcu pernah mengatakan padamu?"

   "Kau hanya berpendirian hendak membantu bengcu-mu saja, maka perlu apa aku banyak bicara padamu?"

   Sahut Tomulun.

   "Asal kau jangan sembarangan memaki, sudah tentu aku tak marah padamu. Baiklah, biar aku haturkan maaf padamu, bilanglah!"

   "Tunggu saja nanti tentu akan menerima undangan dari bengcumu. Surat undangannya sudah diedarkan. Karena kau sudah datang, tentu akan dikirimi juga,"

   Kata Tomulun. Thian-sian terkejut, serunya.

   "Apa? Hari pernikahannya sudah ditetapkan?"

   "Benar, besok lusa!"

   Tiba-tiba mata Thian-sian melotot dan mulutnyapun memaki.

   "Jahanam, benar-benar jahanam....."

   "Siapa yang kau maki itu?"

   Tegur Tomulun.

   "Aku bukan memaki kau, aku ....."

   Tiba-tiba Thian-sian tak dapat bicara, wajahnya merah padam.

   Kiranya adanya tadi hendak memukul Tomulun, bukan karena Tomulun telah memaki Sekiat, tetapi karena ia tengah marah-marah namun tak dapat melampiaskan kemarahannya itu.

   Siapa yang sedikit saja menyalahi, tentu akan ditimpahi kemarahannya itu.

   Waktu mendengar Se-kiat telah menetapkan hari pernikahannya dengan Tiau-ing, tanpa dapat dicegah lagi Thian-sian lantas menirunya Tomulun, memaki 'jahanam' pada Se-kiat.

   "Hola, kau juga memaki jahanam itu? Bagus, tepat sekali makianmu itu!"

   Tomulun tertawa gelak-gelak.

   "Hari akan turun hujan, si nona akan menikah dengan orang, apa guna memakinya? Ai ....,"

   Kata Thian-sian yang lantas berpikir hendak mengajak berunding Tomulun tapi tak tahu bagaimana harus memulaikannya. Tomulun tampak kecewa dan mengulangi kata-kata Thian-sian.

   "Ya, memang benar. Hari akan turun hujan, si nona pun hendak menikah dengan orang!" - Ia berputar diri lantas angkat kaki. Thian-sian pun tak mau mencegahnya lagi. Ah, ternyata Tomulun itu dirasuk asmara sepihak. Kunjungannya ke perkemahan Kay Thiansian itu sebenarnya mengharap dapat berjumpa dengan Tiau-ing. Kalau dapat, ia akan berusaha untuk merebut hati nona itu. Tapi kalau tidak dapat, ia hendak puaskan hati memakinya habishabisan. Di samping itu, ia ketarik juga dengan nama "Thian-sian" (bidadari). Menilik namanya orangnya tentu cantik juga. Maka ingin sekali ia melihat, cantik manakah 'bidadari' itu dengan Tiau-ing. Walaupun kepergiannya dari perkemahan Thian-sian itu, hati Tomulun berduka (karena ditinggal kawin Tiau-ing), tapi kesesakan napasnya sudah berkurang banyak. Pikirnya.

   "Meski Thian-sian itu jelek rupa, tapi lebih menarik daripada si ular cantik Su Tiau-ing."

   Pun sekembalinya ke kamar, Thian-sian juga terlongong-longong beberapa saat.

   Makin memikir, makin mendongkol.

   Tiba-tiba ia berseru memanggil orangnya suruh menyiapkan kuda dan seorang penunjuk jalan orang Ki.

   Baru ia berseru, seorang serdadu wanita menerobos masuk.

   Thian-sian tertegun, serunya.

   "Hai, cici In, kau? Baiklah, urusan ini tak dapat ditutup lagi, nantinya akupun memang hendak mencari kau."

   "Tadi akulah yang menyuruh anak buahmu itu pergi menyiapkan kuda. Tapi perlu apa kau menyuruh begitu?"

   Tanya In-nio.

   "Aku hendak mencari, mencari Se-kiat untuk memprotesnya!"

   "Jangan, cici, jangan ...."

   "Apakah kau sudah mengetahui tentang Se-kiat?"

   "Apa yang kau bicarakan dengan raja Ki tadi, kudengar semua. Lusa Se-kiat akan menjadi pengantin!"

   Kata In-nio.

   "Benar, mengapa kau tak bingung? Mengapa kau tak memperbolehkan aku mencari Se-kiat?"

   Teriak Thian-sian. In-nio tertawa rawan.

   "Urusan Se-kiat dengan wanita siluman itu, aku tahu lebih banyak dari kau. Cici, terhadap orang yang kau cintai, kau harus memintanya supaya sungguh mencintai kau. Jika dia berubah hatinya, apa artinya lagi? Apakah kau hendak meminta-minta kasihannya, supaya mencintai kau?"

   Thian-sian menepuk pahanya berseru.

   "Benar! Gagah sekali ucapanmu. Kita kaum wanita jangan mau dipermainkan lelaki!"

   Tapi lewat beberapa jenak kemudian, kembali nona kasar itu marah-marah lagi.

   "Namun cara begitu saja kau lepaskan Se-kiat? Kau rela, tapi kau tak terima! Cici In dari ribuan li kau datang kemari apakah kau berpeluk tangan saja melihat mereka menikah?"

   "Siapa bilang aku berpeluk tangan saja?"

   Sahut In-nio.

   "Bagus, bagus! Ambillah pedang dan carilah Se-kiat sana. Jika kau kewalahan, biar kubantu melabraknya. Kalau putus hubungan biar putus sama sekali,"

   Teriak si buruk. In-nio geli dan mendongkol dibuatnya, namun ia berlaku setenang mungkin.

   "Tidak, aku tak mau berkelahi padanya!"

   "Oh, apakah kau masih suka padanya?"

   Tanya Thian-sian.

   "Tidak, karena ia sudah berbalik hati, akupun tak suka padanya."

   Lagi-lagi Thian-sian menampar pahanya sendiri.

   "Ini, aku tak mengerti. Kau tak mau melabraknya, juga tak suka lagi padanya, habis bagaimana kau hendak menyelesaikan?"

   "Aku tak suka padanya, tetapi karena aku pernah bersahabat maka aku tak suka ia kawin dengan wanita siluman itu. Kupikir hendak bicara secara persahabatan dengan dia, menunaikan kewajiban seorang sahabat untuk memberi nasehat. Sekali-kali aku tak mau gunakan kekerasan. Cici, apakah kau suka membantu aku?"

   "Kau maksudkan supaya aku memberitahukan bengcu agar kau dapat menemuinya?"

   Tanya Thian-sian.

   "Bukan. Siluman wanita itu tinggal bersama Se-kiat. Belum tentu kau dapat menemui bengcumu, sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti."

   "Lalu aku disuruh membantu apa?"

   "Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya. Meskipun siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu tempat tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri."

   Thian-sian menepuk tangan.

   "Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan besok malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului ...."

   "Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan?"

   Bentak In-nio.

   "Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar,"

   Dengan tertawa cekikikan Thian-sian lantas keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya.

   Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni berkemah di luar kota sebelah timur.

   Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik kuda untuk mengenal jalanan dulu.

   Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat sampai tak mau sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu.

   Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung.

   Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota sebelah dalam.

   Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung.

   Ketika kuda In-nio masuk ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio.

   Kejut In-nio bukan kepalang.

   Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun gugup tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya.

   Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya melayang ke arah si paderi.

   "Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat!"

   Tiba-tiba terdengar lengking suara wanita. Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang wanita. Dia adalah Su Tiau-ing.

   "Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong, menangkap puterinyapun lumayan juga!"

   Hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak.

   In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di hotel tempo hari.

   Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki.

   Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia masih berhasil melarikan diri.

   Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya.

   Padri itu menanggalkan jubahnya dipakai sebagai senjata.

   Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah.

   Innio gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar.

   Tapi bukannya dapat menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak ditariknya.

   Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu pedang Hui-ho-poh-tiap.

   Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang berlainan.

   Ia hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi.

   Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut dan memuji kelihayan si nona.

   Ia lebih lihay dari ayahnya.

   Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan.

   Dan karena tak berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar.

   Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa.

   "Nona In, kemarin aku sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat mengundang. Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan sebagai kakak beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas."

   Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki jalanan. Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung gunung itu.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan kakak-adik denganmu?"

   Damprat In-nio. Tiau-ing tertawa mengejek.

   "Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu' namanya?"

   In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya berkobar.

   "Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang!" - Ia mengisar dan kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan tibatiba ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat. Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya.

   "Apakah kata-kataku salah? Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat? Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat berbuat kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana?"

   In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai tenggorokannya terasa manis. Dan matanya agak gelap.

   "Celaka, aku terkena jerat mereka!"

   Diamdiam ia mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu.

   Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio.

   Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan darah meluap.

   Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi).

   Hanya digunakan bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih keras, adalah karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup.

   "Rebahlah!"

   Tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya.

   Seketika itu In-nio rasakan kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh.

   Bagaikan orang bermimpi buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan menjeritlah ia.

   Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa.

   "Kau seorang pendekar wanita ternama, masakan punya rasa takut? Jangan takut, akulah. Mengunjukkan kasih sayangku saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu?"

   Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah ranjang.

   Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri.

   Dan dari jendela dapatlah ia mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari.

   Ia hendak menolak Tiau-ing tapi tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.

   Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan.

   Untuk melampiaskan kemarahannya In-nio menggigit tangan Tiau-ing.

   Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa.

   "Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik laksana bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat!"

   In-nio makin gusar.

   "Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah!"

   "Ai, macam apa ucapanmu itu? Mengapa aku membunuhmu? Adalah karena kau tak mau damai dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah dan suka bercakap-cakap dengan aku?"

   "Mau apa kau? Apakah kau belum cukup menghina aku?"

   Sahut In-nio.

   "Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan. Kau adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang adat?"

   Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh."

   "Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu?"

   Tiau-ing tersenyum.

   "Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi wakil panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan, tapi pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh, semudah orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat. Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu."

   "Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau memberitahukan hal itu kepadaku?"

   "Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja? Sekarang ayahmu datang hendak menumpas pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat?"

   Seru In-nio.

   "Akan mengundang bantuanmu,"

   Tiau-ing tertawa.

   "Bagaimana caranya?"

   "Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu."

   "Isinya?"

   "Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan,"

   Kata Tiau-ing.

   "Aku kepingin mendengar pendapatmu,"

   Kata In-nio.

   "Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong, baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk memerangi Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang terbaik untuk menasihati ayahmu."

   "Emoh semuanya!"

   In-nio menolak dengan tegas.

   "Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia benar-benar hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai seorang puteri tunggal kau ini!"

   Kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman.

   "Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu!"

   Teriak Innio. Wajah Tiau-ing mengerut marah.

   "Ha, kiranya kau yang tak mau menulis!" - Tiba-tiba ia tertawa mengikik.

   "Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu memerlukan dua tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu."

   "Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan?"

   In-nio menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat. Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek.

   "Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada di perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing."

   "Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip Hong tentu sudah kau bunuh, bukan?"

   "Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu atau tidak?"

   "Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak ada gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku!"

   Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia masih mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin.

   "Kedatanganmu kemari, apa bukan karena Se-kiat?"

   "Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri,"

   Tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan bahwa sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak merebut suami. Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia.

   "Kau salah kira. Aku bukannya kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se-kiat, janganlah kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas!"

   


Neraka Hitam -- Khu Lung Hong Lui Bun -- Khu Lung Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung

Cari Blog Ini